- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

📁🔒 Sabilus Salikin – Full (Backup)

3 months ago

617 min read

01. Islam, Tasawuf, dan Tarekat

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan. KH Sholeh Bahruddin dalam kata pengantar mengatakan, Sabilus Salikin disarikan dari berbagai kitab tarekat atau tasawuf yang ada, dan banyaknya ragam tarekat/tasawuf itu menunjukkan kehebatan  Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Setelah mengkaji satu kitab dan diteruskan ke kitab lain, ternyata tidak ada Imam tarekat yang saling bertentangan. Jika kemudian muncul pertentangan, hal itu berasal dari  pengikutnya, karena fanatisme yang berlebihan (ta’assub).

BAB I: Pendahuluan

Banyak yang beranggapan bahwa aliran tasawuf dalam Islam lahir karena pengaruh dari luar. Anggapan itu mencuat karena tasawuf muncul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani, juga agama Hindu dan Budha.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Bahwa ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang penuh nafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci, dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan serta melakukan beberapa pantangan.

Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, ruh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Ruh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, ia berpendapat bahwa ruh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi (penjelmaan). Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.

Sampai di sini, tampak adanya perbedaan. Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tidak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa ruh sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, ruh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya ruh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana (tempat kebebasan). Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi (renungan) dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani, dan agama Kristen telah datang jauh sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut di atas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?, (Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, Abdul Qâdir Isa, halaman: 30).

Tasawuf dan tarekat adalah korban yang paling sering dihujat sesat oleh saudara-saudara seiman. Mereka memandang tasawuf dan tarekat sebagai sarang bid’ah hal-hal yang baru yang diklaim tidak pernah diajarkan dalam Islam atau tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Rasûl. Dalil utama yang sering dikemukakan mereka adalah hadits Nabi Saw. yang sangat terkenal dan diriwayatkan oleh banyak imam hadits:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ، فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة. رواه أَبُو داود والترمذي، وَقالَ: حديث حسن صحيح  . (رياض الصالحين، ج 1، ص: 128)

Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 128).

Benarkah tasawuf dan tarekat itu bid’ah?

  • Pengertian Tasawuf

Banyak sekali definisi tasawuf yang telah dikemukakan, dan masing-masing berusaha menggambarkan apa yang dimaksud dengan tasawuf. Tetapi pada umumnya definisi yang dikemukakan hanya menyentuh sebagian dari keseluruhan bangunan tasawuf yang begitu besar dan luas.

Definisi-definisi yang dikemukakan sama dengan yang dilakukan empat orang buta, dalam kisah Rumi, ketika mereka menggambarkan bentuk gajah. Masing-masing menggambarkan bentuk gajah sesuai dengan bagian tubuh yang disentuhnya. Bagi yang pertama, bentuk gajah seperti mahkota, bagi yang kedua seperti pipa air, bagi yang ketiga, seperti kipas, dan bagi yang terakhir seperti tiang.

Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salaf, sementara Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani dalam Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:

  1. Tasawuf adalah bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu “perjalanan” menuju Malik al-Muluk (Raja semua raja), (yakni Allâh `azza wa jalla).
  2. Tasawuf adalah mencari wasilah (alat yang menyampaikan) ke puncak fadhilah (keutamaan).

Definisi paling panjang yang dikutip Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani berasal dari perkataan Imam al-Junaid Ra ketika ditanya orang mengenai makna tashawwuf: Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun sepuluh makna:

  1. Tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba-lomba mengerjakannya.
  2. Selalu bersandar kepada Allâh `azza wa jalla,
  3. Gemar melakukan ibadah ketika sehat.
  4. Sabar kehilangan dunia (harta).
  5. Cermat dan berhati-hati membedakan yang hak dan yang batil.
  6. Sibuk dengan Allâh SWT dan tidak sibuk dengan yang lain.
  7. Melazimkan dzikir khafi (dzikir hati).
  8. Merealisasikan rasa ihlas ketika muncul godaan.
  9. Tetap yakin ketika muncul keraguan dan
  10. Teguh kepada Allâh SWT dalam semua keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah ini, dan jika tidak, maka ia adalah pendusta, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1).

Beberapa fuqaha’ ahli fiqih juga mengemukakan definisi tasawuf dan mengakui keabsahan tasawuf sebagai ilmu kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Jazi al-Kalabi al-Gharnathi (w. 741 H.) dalam kitabnya al-Qawanin al-Fiqhiyyah li Ibn Jazi, halaman: 277 menegaskan: “Tasawuf masuk dalam jalur fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir”.

Imam `Abd al-Hamid al-Syarwani, dalam kitabnya Hawasyi al-Syarwani VII, menyatakan: “Ilmu batin (kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji), itulah ilmu tasawuf”.

Imam Muhammad `Amim al-Ihsan dalam kitabnya Qawa’id al-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imam al-Ghazali, menyatakan: “Tasawuf terdiri atas dua hal: Bergaul dengan Allâh SWT secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap orang yang benar bergaul (ibadah) dengan Allâh SWT dan baik bergaul dengan mahluk, maka ia adalah sufi”.

Definisi-definisi tersebut pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang tersimpul dalam satu buhul: “Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah”.

Penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) merupakan ruh dari takwa, sementara takwa merupakan sebaik-baik bekal (dalam perjalanan menuju Allâh Swt.), sehingga dikatakan oleh Imam Muhammad Zaki Ibrahim, pemimpin tharîqah sufi al-Asyirah al-Muhammadiyyah di Mesir, bahwa “Tasawuf adalah taqwa. Taqwa tidak hanya berarti “mengerjakan semua perintah Allâh Swt. dan meninggalkan semua larangan-Nya. Taqwa juga meliputi “cinta, ikhlas, sabar, zuhud, qana’ah, tawadhu’, dan perilaku-perilaku batin lainnya yang masuk ke dalam kategori makarim al-akhlaq (akhlak yang mulia) atau al-akhlaq al-mahmudah (akhlak yang terpuji)”.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tasawuf juga sering didefinisikan sebagai akhlak, yaitu akhlak bergaul (ibadah) dengan Allâh Swt. dan akhlak bergaul dengan semua makhluk-Nya. Imam Muhammad ibn `Ali al-Kattani, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya, menegaskan bahwa “tasawuf adalah akhlak”. Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani juga mengutip definisi senada dalam kitabnya Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’: “Tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak (orang-orang ) mulia.”

Definisi terakhir di atas sejalan dengan keberadaan Nabi Saw. yang diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal

وحَدَّثنا مُحَمد بن رزق الكلواذي، قال: حَدَّثنا سَعِيد بن منصور، قال: حَدَّثنا عَبد العزيز عن ابن عجلان عن القعقاع، عَن أبي صالح، عَن أبي هُرَيرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ، (سنن الكبرى للبيهقي، ج 1، ص: 191، إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 46)

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik, (Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 1, halaman: 191, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 46).

Akhlak itu sendiri merupakan perilaku batin yang melahirkan berbagai perbuatan secara otomatis tanpa melalui pertimbangan yang disengaja, atau dalam definisi Imam al-Ghazali diungkapkan dengan redaksi: “Akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi yang berakar kuat dalam jiwa; dari kondisi itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikirkan dan pertimbangan.”

Apapun definisi yang dikemukakan para ulama’ mengenai tasawuf, yang jelas bahwa tashawwuf merupakan sisi rohani Islam yang sangat fundamental dan esensial, bahkan ia merupakan inti ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.

Pernyataan Imam Muhammad Zaki Ibrahim barangkali sudah cukup sebagai penjelasan terakhir: “Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi tashawwuf, semua definisi yang ada mengarah kepada satu titik yang sama, yaitu taqwa dan tazkiyah. Tasawuf adalah hijrah menuju Allâh Swt, dan pada hakikatnya semua definisi yang ada bersifat saling melengkapi”, (Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islami, atau Tashawwuf Salafi, halaman: 7).

Tidak satu definisi pun yang mampu menggambarkan secara utuh apa yang disebut dengan tasawuf. Demikian pula, tidak ada satu penjelasan pun yang mampu menggambarkan apa yang disebut denga ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allâh Swt), karena hal itu menyangkut soal rasa dan “pengalaman”, bukan penalaran atau pemikiran. Pemahaman yang utuh mengenai tasawuf dan sekaligus ihsan hanya muncul setelah seseorang “mengalami” dan tidak sekadar “membaca” definisi-definisi yang dikemukakan orang.

Sumber: Alif.ID

02. Tasawuf dalam Konteks Keilmuan

Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya Al-Khalidi menyatakan,  tasawuf adalah “saudara kembar” fikih. Fikih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara tasawuf merupakan perwujudan kongkret dari konsep ihsan. Dua konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu kalam).

Konsep iman itu tampak dalam dialog antara Jibril AS dan Nabi SAW, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah yang sangat terkenal, (Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman: 31, nomor hadits 50):

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ: أَخْبَرْنَا أَبُوْ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِيْ زَرْعَةَ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ، فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: مَا الْإِيْمَانُ ؟ قَالَ: (الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ)، قَالَ: مَا الْإِسْلَامُ ؟ قَالَ: (الإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ)، قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: (أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ)، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: (مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْأَمَّةُ رَبَّهَا، وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبْلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِيْ خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللهُ)، ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} [لقمان: 34] الآيَةَ، ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ: (رُدُّوْهُ). فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا، فَقَالَ: (هَذَا جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِيْنَهُمْ)

Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi tasawuf sebagai “saudara kembar” fikih, dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Hamka mengatakan, kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan tasawuf dan fikih, gabungan hati dan otak. Dengan fikih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan tasawuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama.

Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang islam, iman, dan ihsan,  tampaklah bahwa ketiga ilmu (dalam) Islam yaitu fikih, usuludin, dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (islam, iman, ihsan). Islam diartikan  mengucapkan syahadat, mengerjakan salat lima waktu, puasa bulan Ramadan, mengeluarkan zakat, dan naik haji. Agar kita dapat mengerjakan perintah agama dengan tidak membuta, kita pelajarilah fikih.

“Iman adalah beriman kepada Allâh SWT, malaikat, rasul-rasul,  kitab-kitab, dan  kepada hari qiamat serta takdir, buruk maupun baik. Kita pelajarilah usuludin atau ilmu kalam. Ihsan adalah kunci semuanya, yaitu bahwa kita mengabdi kepada Allâh SWT, seakan-akan Allâh SWT berada di hadapan kita. Meski mata kita tidak dapat melihatNya, namun Allâh SWT tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam tasawuf. Itulah tali berpilah tiga: iman, islam, ihsan, yang dicapai dengan tiga ilmu:fikih, usuludin, dan tasawuf” (Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 94-95).

Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan syari’ah. Tasawuf bahkan merupakan ruh, hakikat, dan inti dari syariah. Syariah sendiri –merujuk al-Qur’an dan al-Hadits– dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari diri Nabi SAW, yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan. Dalam bahasa yang lebih umum, syariah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah SWT dan rasul-Nya. Namun begitu, syariah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muhammad sebagai nabi dan rasul Allah SWT.

Adalah mustahil memahami syariah (sebagai produk)  secara sempurna tanpa memahami hakekatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini adalah tasawuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu fiqih dan Hadits, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tasawuf melibatkan hati atau kalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal (jasmani).  (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 406-407, al-Shidîq wa al-Tahqîq, halaman: 177).

Fikih dan tasawuf ibarat dua sisi mata uang. Jika salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imam Abu Abdillah al-Dzahabi (w. 748 H), penulis kitab Siyar A’lam al-Nubala’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid menegaskan: “Jika seorang ulama tidak bertasawuf, maka ia kosong, sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (bersyariat), maka ia tergelincir dari jalan yang lurus”.

Imam Malik ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki yang sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Amîn al-Qurdhi, juga mengungkapkan hal senada: “Barangsiapa yang bersyariat tetapi tidak berhakikat (bertasawuf) maka ia telah fasik; dan barangsiapa yang berhakikat (bertasawuf) tetapi tidak bersyariat maka ia telah zindik”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408).

Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa tasawuf adalah sebuah madzhab sebagaimana ilmu fikih yang mengenal (minimal) empat mazhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas hukum suatu perkara. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqaha (ahli fikih) dan ahli Hadits. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataannya ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidina Ali setelah ‘Utsman Ibn Affan RA. Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima kekhalifahan Ali bin Abi Thalib) telah disepakati oleh para fuqaha, ahli Hadits, dan juga oleh ahli ma’rifat dan tasawuf, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 28, halaman: 211-212): وَلَايَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ

Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim

Syaikh Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah adalah sepasang guru-murid yang mendukung dan mengakui kebenaran tasawuf sebagai ilmu yang dapat membersihkan jiwa.

Ibn Taimiyah menyebut para sufi dengan sebutan ahl ‘ulum al-qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang perkataanya paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu tahqiqan) serta paling jauh dari bid’ah (ab’adu minal bid’ah). Ia menyebutnya dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmû’ al-Fatawâ (Beirut: Dar al-Kitab al Arabi, tahun 1973).

Dalam kitabnya Amradh al-Qulub wa Syifauha (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1399), halaman: 62, ketika membicarakan surah al-Kafirun), Ibn Taimiyah berkata: “Adapun qul ya ayyuhal kafiruun mengundang tauhid amali iradi, tauhid praktis yang didasarkan pada kehendak, yaitu keikhlasan beragama semata-mata untuk Allâh dengan sengaja dan dikehendaki; dan itulah yang dibicarakan oleh Syaikh-syaikh tasawuf pada umumnya.

Imam-imam tasawuf menjadikan Allâh SWT sebagai satu-satunya yang dicintai dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang paling sempurna” (Amradh al-Qulub wa Syifauha, halaman: 68).

Adapun Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, dalam kitabnya Madârij al-Sâlikin, juz 1, halaman: 464 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tahun 1973), mengatakan tentang Abu Yazid al-Busthami dengan kalimat seperti ini: “Ini (memelihara dan menjauhkan keinginan dari selain Allâh yang Maha Suci) adalah  seperti  Abu Yazid al-Busthami. Semoga Allâh SWT merahmatinya mengenai berita tentang dirinya. Ketika ia ditanya keinginannya,  ia menjawab, “Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua (setelah Allâh SWT)”. Inilah hakikat tasawuf.”

Dalam kitabnya yang lain Badai al-Fawaid, juz 3, halaman: 756 (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 1996), Ibn al-Qayyim al-Jawziyah berkata:

“Tasawuf dan kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allâh) berada pada wilayah hati”.

Sumber: Alif.ID

03. Tarekat dalam Alquran dan Hadis

Tarekat adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan. Tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’ah, sebab jalan utama disebut syar’i sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata ini terambil dari kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq al-bab yang berarti “mengetuk pintu”.

Oleh karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut tarekat karena ia selalu mengetuk pintu hatinya dengan dzikrullah atau mengingat Allah. Cara beribadah semacam ini oleh Nabi SAW disebut dengan tarekat hasanah (cara yang baik). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal dalam musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat (dipercaya), Nabi SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيْقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَلِ بِهِ اُكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيْقًا حَتَّى أَطْلَقَهُ أَوْ أَكْفَتَهُ إِلَى تَعْلِيْقِ شُعَيْبِ الْأَرْنَؤُوْطِ : صحيح وهذا إسناد حسن

“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada tarekat yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allâh SWT) kepada malaikat yang mengurusnya, ‘Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-Ku, (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 2, halaman: 203).

Ungkapan tarekat hasanah dalam hadis tersebut menunjukan kepada perilaku hati yang diliputi kondisi ihsan (beribadah seolah–olah melihat Allâh SWT atau kondisi khusyu’) yakin berjumpa dengan Allâh SWT dan kembali kepada-Nya,

(الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿٤٦

(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya, (al-Baqarah, 2: 46).

Ibadah (misalnya shalat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh nabi disebut sebagai shalat al-munafiq (salatnya orang munafik), yaitu yang di dalamnya ia tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit (la yadzkurullaha fiha illa qalilan) Shahih Muslim, 1: 434, dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wail.

(فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5), (al-Maun, 107: 4-5).

Di dalam Alquran pun kata tarekat muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna.

Setelah Allâh SWT menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas tarekat, Allâh SWT. langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya:

(وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقاً ﴿١٦﴾ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَاباً صَعَداً ﴿١٧

Seandainya mereka istiqamah di atas tarekat niscaya Kami beri minum mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak): untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barangsiapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azab yang sangat pedih, (al-Jinn, 72: 16-17).

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq RA ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-tarekat dan ia menjawab, “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allâh SWT dengan sesuatu (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-tarekat) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, tarekat dalam ayat tersebut adalah ”jalan menuju tauhid yang murni”.

Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syaikh-syaikh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah: “Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allâh dan yang diisyaratkan oleh syaikh-syaikh tarekat dan pakar-pakar agama.”

Dalam ayat yang lain tarekat disandingkan dengan syari’ah yaitu ketika Allâh berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً

Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah (peraturan) dan minhaj (metode), (al-Maidah, 5:48).

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa syir’ah dalam ayat tersebut adalah syari’ah (peraturan) sedangkan minhaj adalah tarekat (metode pelaksanaan syari’ah), dan kedua-duanya (syari’ah dan tarekat) secara simultan bermuara pada tujuan pokok yang merupakan haqiqat al-din (hakikat agama), yaitu tauhid yang murni, atau hanya menyembah Allâh SWT semata (ibadat Allâh wahdah).

Tidak diragukan lagi bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran  dan Sunnah sebagaimana disiplin keilmuan Islam lainnya. Hal ini sebagaimana telah disampaikan oleh para imam tasawuf, diantaranya:

  1. Imam Junaid mengatakan, “Sesungguhnya ilmu kita ini adalah berdasar Alquran  dan Sunnah”
  2. Syaikh Sahal Tastarimengatakan,“Ushul kita (tasawuf ada tujuh, yaitu berpegang teguh kepada Alquran, melaksanakan Sunnah Rasulullah, makan yang halal, mencegah yang menyakitkan, menjauhi dosa, taubat dan melaksanakan hak-hak.”, (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 170).

قال سهل: أُصُوْلُنَا سَبْعَةُ أَشْيَاءَ: التَّمَسَّكُ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، وَالْاِقْتِدَاءِ فِى سَنَةِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَكَالُ الْحَلَالِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاجْتِنَابُ الْاَثَامِ، وَالتَّوْبَةُ، وَاَدَاءُ الْحُقُوْقِ.

  1. Syaikh Hasan Syadzili, “Apabila kasyafmu bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah maka lakukanlah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah dan tinggalkan kasyf dan ilham.” (Iqadhul Humam (syarah matan Hikam), Ahmad bin ‘Ajibah juz 2, halaman: 302-303)
  2. Syaikh Abu Hasain al-Waraqmengatakan, “Tidaklah seorang hamba sampai kepada Allâh SWT kecuali dengan Allâh SWT (Alquran) dan sesuai dengan kekasihNya (Rasulullah) dalam melaksanakan syari’ahNya. Barangsiapa menjadikan jalan wushul tanpa melaksanakan al-Sunnah, maka ia (sebenarnya) menyesatkan meskipun dikira memberikan petunjuk.” (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 230).

قال: وقال أبو الحسين: لَايَصِلُ الْعَبْدُ اِلَى اللهِ إِلَّا بِااللهِ، وَبِمُوَافَقَةِ حَبِيْبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِى شَرَائِعِهِ. وَمَنْ جَعَلَ الطَّرِيْقَةَ اِلَى الْوُصُوْلِ فِي غَيْرِ الْاِقْتِدَاءِ يَضِلُّ، مِنْ حَيْثُ يَظُنُّ أَنَّهُ مُهْتَدٌ.

  1. Syaikh Abd. Wahab Sya’rani: “Sesungguhnya jalan kaum sufi adalah tertulis dalam Alquran dan Sunnah “ (Lathaif al-Minan wa al-akhlaq Wahab Sya‘rani, juz I, halaman: 2).
  2. Abu Yazid al-Busthamimengatakan ketika ditanya tentang sufi, “allah Yaitu yang meletakkan Alquran di sisi kanan dan Sunnah di sisi kiri, “(Syathahat al-Shufiyah Abd Rahman Badawi, halaman: 96).
  3. Menurut Syaikh Amîn al-Qurdhidalam kitab Tanwîr al-Qulûb halaman 409, pokok ajaran tasawuf ada lima:
    • Taqwallah dalam keadaan tersembunyi dan terlihat direalisasikan dalam sifat wira’i dan istiqamah.
    • Mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dalam ucapan, perbuatan direalisasikan dalam bentuk budi pekerti yang baik.
    • Berpaling dari mahluk direalisasikan dalam sifat sabar dan tawakkal.
    • Rela atas pemberian Allâh SWT baik sedikit atau banyak diwujudkan dalam sifat qana’ah dan pasrah.
    • Kembali kepada Allâh SWT dalam setiap keadaan senang dan susah direalisasikan dalam syukur ketika senang dan mengembalikan segala sesuatu kepada Allâh SWT dalam keadaan susah.

Masih banyak lagi pernyataan para imam tasawuf yang senada. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran an Sunnah.

Alquran dan Hadis merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegangi oleh umat Islam. Sering didengar pertanyaan dalam kerangka landasan naqli ini, Apa dasar Alquran-Hadisnya sehingga anda berkata demikian?’ atau ‘Bagaimana Alquran dan Hadisnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik, termasuk persoalan-persoalan tasawuf.

Di sini sekilas akan disampaikan beberapa dasar Alquran dan Hadis yang melandasi teori dan amalan tasawuf.

Sumber: Alif.ID

04. Dasar Alquran Tentang Tarekat

Alquran dan Sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan di mana pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan melaksanakan kandungannya dalam bentuk amalan yang nyata. Pemahaman terhadap nash tanpa pengamalan akan menimbulkan kesenjangan. Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menyawab, “Alquran”.

Para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang banyak menghafalkan isi Alquran dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha menerapkan akhlak atau perilaku mereka dengan mencontoh akhlak Rasulullah, yakni akhlak Alquran.

Dalam hal inilah, tasawuf, pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam Alquran dan as-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Alquran, Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dan ruang lingkup Alquran dan Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Alquran dan Sunnah itu sendiri.

Abu Nashr as-Siraj al-Thusi, dalam kitabnya aI-Luma’ menjelaskan bahwa dari Alquran dan Sunnah itulah, para sufi pertama-tama mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku, kerinduan dan kecintaan pada Ilahi, dan ma’rifat, suluk (jalan), dan juga latihan-latihan rohaniah mereka. Itu semua mereka susun demi terealisasinya tujuan kehidupan mistis. Lebih lanjut, Ath-Thusi mengemukakan bagaimana para sufi secara khusus lebih menaruh perhatian terhadap moral luhur serta sifat dan amalan utama. Hal ini demi mengikuti Nabi, para sahabat, serta orang-orang setelah mereka. Ini semua, menurut Al-Thusi, ilmunya dapat disimak dalam kitab Allâh SWT, yakni Alquran.

Alquran merupakan Kitab Allâh yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah maupun mu’amalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Alquran. Ayat-ayat Alquran itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriah, tetapi di sisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniah. Sebab, jika ayat-ayat Alquran dipahami secara lahiriah saya, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.

Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dan sumber ajaran Islam, Alquran dan Sunnah, serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Alquran antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Allâh SWT Hal ini misalnya sebagaimana difirmankan Allâh SWT dalam Alquran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة : 54)

Hai orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmn, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54)

Dalam Alquran, Allâh pun memerintahkan manusia agar senantiasa bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، (التحريم: 8)

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allâh dengan tobat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allâh tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beniman bersama dengan dia sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya engkau Mahakuasa alas segala sesuatu, (Q.S. Al-Tahrîm, 66: 8)

Alquran pun menegaskan tentang keberadaan Allâh SWT di mana pun hamba-hamba-Nya berada. Hal ini sebagaimana ditegaskannya

وَ لِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (البقرة: 115)

Dan kepunyaan Allâh-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wayah Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui), (Q.S. Al-Baqarah, 2:115)

Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saya ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Allâh SWT pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang yang dikehendakiNya, sebagaimana firman-Nya:

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ، (النور: 35)

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dan pohon yang banyak berkahnya, yaitu (pobon) Zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saya hampir-hampir meneRAngi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di alas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu, (Q.S. al-Nûr, 24:35)

Allâh SWT pun memberikan penjelasan tentang kedekatan manusia dengan-Nya, seperti disitir dalam firman-Nya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ،(البقرة: ١٨٦)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu beRAda dalam kebenaRAn, (Q.S. Al-Baqarah, 2:186)

Kata “da’a” dalam ayat itu tidak diartikan sebagai berdoa oleh kalangan sufi, tetapi berseru dan memanggil. Dasar-dasar tasawuf ini ternyata banyak ditemukan dalam Alquran.

Lebih dari itu, pada ayat 16 dan SuRAt Qaf, Allâh SWT menjelaskan:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ، (ق: ١٦)

“Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh daRAhnya sendiri, (Q.S. Qaf, 50:16)

Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, manusia tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, Harun Nasution menegaskan bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia.

Alquran pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allâh SWT:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ، (فاطر: ٥)

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh, (Q.S. Fâthir, 35:5)

Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar untuk mejauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan. Selanjutnya, kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan (maqamât) dan keadaan (ahwal) yang dilalui para sufi (yang pada dasarya merupakan objek tasawuf), landasannya akan banyak ditemukan dalam Alquran. Berikut ini akan dikemukakan ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan sebagian maqamat dan ahwal para sufi. Di antaranya adalah:

  1. Tingkatan zuhud misalnya (yang banyak diklaim sebagai awal mula beRAngkatnya tasawuf), telah dijelaskan dalam Alquran:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى، (النساء: 77)

Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhiRAt itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, (Q.S. al-Nisak, 4: 77)

  1. Tingkatan taqwa berlandaskan pada firman Allâh SWT:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ، (الحجرات: ١٣)

Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal, (Q.S. Al-Hujurât, 49:13)

  1. Tingkatan tawakal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allâh SWT berikut:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً ، (الطلاق: ٣)

Dan barangsiapa bertawakal kepada Allâh, niscya Allâh mencukupkan (keperluan)-nya, (Q.S. Al-Talâq, 65:3)

عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ، (الزمر: ٣٨)

Dan hanya kepada Allâh orang-orang yang beriman itu bertawakal, (Q.S. al-Zumar, 39:38)

  1. Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allâh SWT berikut ini:

لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ ،( إبراهيم:٧)

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu.” (Q.S. IbRAhim, 14:7)

  1. Tingkat sabar berlandaskan pada firman Allâh SWT berikut ini:

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ، ( غافر:٥٥)

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allâh itu benar, dan mohonlah ampunan unluk dosamu dan bertasbihlah seRAya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi, (Ghâfir, 40:55)

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ، (البقرة: 155)

Dan berikanlah berita gembiRA kepada orang-orang yang sabar, (Q.S. Al-BaqaRAh, 2:155)

  1. Tingkatan rela (ridla) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (المائدة:119)

Allâh rela terhadap mereka, dan mereka pun rela terhadap-Nya, (QS. Al-Maidah,2: 119)

  1. Tingkatan cinta berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة: 54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54).

  1. Tingkatan malu berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى، (العلق:١٤)

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh melihat segala perbuatannya?, (Q.S. al-‘Alaq, 96:14)

  1. Mujahadah al-Nafs (memerangi nafsu) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى، (النزعات: ٤١)

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya), (Q.S. Al-Nazi’at, 79:40-41)

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ، ( يوسف: ٥٣)

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Q.S. Yusuf, 12:53)

  1. Ahwal sufi:

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ، (الأعراف: ٥٦)

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allâh) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan RAsa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allâh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik, (QS. al-‘ARAf, 7:56)

مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء اللهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللهِ لَآتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ، (الأنكبوت: ٥)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allâh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allâh itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Q.S. Al-‘Ankabut, 29:5)

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ ، (فاطر: ٣٤)

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allâh yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri, (Q.S. Fathir, 39:34)

Demikianlah, sebagian ayat Alquran yang dijadikan sebagai landasan dan dasar kaum sufi dalam melaksanakan praktik-praktik kesufiannya. Akan terlalu panjang uraiannya jika semua pengertian psikis serta moral yang diungkapkan para sufi tentang maqamat dan ahwal, dicarikan rujukannya dalam Alquran. Namun, siapa saya yang berminat mengkaji masalah ini secara mendalam dapat membacanya dalam karya-karya para sufi, seperti ar-Risâlah al-Qusyairiyah karya Imam al-Qusyairi, al-Luma’ karya Syaikh Ath-Thusi, dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali.

Sumber: Alif.ID

05. Dasar Hadis Tentang Tarekat

Sejalan dengan apa yang disitir dalam Alquran, sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata tasawuf juga dapat dilihat dalam kontek Hadis. Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan dan dasar ajaran-ajaran tasawuf adalah hadis-hadis berikut.

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 4, halaman: 301)

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِهِ عَرَفُوْنِيْ

Aku adalah perbendaharaan yang tersembunji, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Atsar al-Ahâdîts al-Dha’îfah wa al-Maudhu’ah fi al-‘Aqîdah Abd. Rahman Abd. al-Khaliq, juz 1, halaman: 15, Tafsîr al-Alusi, juz 19, halaman: 418)

لاَيَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْـبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَلِسَانَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ الَّذِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّذِيْ يَمْشِي بِهَا فَبِيْ يَسْمَعُ فَبِيْ يَبْصُرُ وَبِيْ يَنْطِقُ وَبِيْ يَعْقِلُ وَبِيْ يَبْطِشُ وَبِيْ يَمْشِي

Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat sebingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal, dan kakinya yang dia pakai unluk berjalan, maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat berbicara, berpikir, mengepal, dan berjalan, (Jâmi’ al-‘Ulum wa al-Hukum, juz 1, halaman: 365)

Hadis di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat melebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana’, yaitu fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan sebagai yang dicintainya.

Berikut ini dikemukakan beberapa hadis yang merupakan landasan lahirnya tasawuf:

  • Aisyah berkata:

اَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ: أَفَلاَ اُحِبُّ اَنْ اَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا.

Adalah Nabi bangun shalat malam (qiyam al-lail), sehingga bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan Allâh, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allâh telah berjanji akan mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menyawab, Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allâh yang bersyukur?, (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

  • Rasulullâh SAW bersabda:

وَاللهِ اِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ اَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

Demi Allâh, aku memohon ampunan kepada Allâh dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali.” H.R. Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 2, halaman: 338, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :67)

  • Rasulullâh SAW bersabda:

اِنَّ اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ اَذَنْـتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ اَحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِي بِهَا وَاِنْ سَأَلَنِيْ لأَعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ.

Sesungguhnya Allâh SWT telah berfirman, “Siapa memusuhi kekasihKu, maka Aku menyatakan perang kepadannya Tidak ada yang paling Aku sukai dan hamba-Ku yang mendekatkankan diri kepada-Ku selain menjalankan kewajibannya. Hendaklah hamba-Ku mendekatkan diri dengan-Ku juga dengan menjalankan kesunahan-kesunahan sehingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaRAn dan penglihatannya, juga akan menjadi tangan dan kakinya. Setiap penmohonannya pasti akan Aku kabulkan. Jika meminta perlindungan, Aku akan melindunginya”,H.R Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 91, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :105)

Maksudnya: pernyataan bahwa Allâh akan menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki hamba yang dicintai-Nya merupakan mayaz untuk menjelaskan pertolongan Allâh.

  • Rasulullâh SAW bersabda:

لَوْ اَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَتَّى تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ يَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

Seandainya kalian benar-benar bentawakal kepada Allâh, maka Allâh akan memberikan rezeki pada kalian sebagaimana bunting yang pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang sudah kenyang”.  H.R. At-Tirmidzi. Hadis Hasan, (Sunan Ibn Majjah, juz 2, halaman: 1394)

  • Rasulullâh SAW bersabda:

اِزْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَا فِى اَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوْكَ

Berzuhudlah terhadap dunia maka Allâh akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di tangan orang lain maka mereka akan mencintaimu”, (Sunan Ibn Majjah, juz 3, halaman :1373).

Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa dirinya adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Beliau mejauhi pola hidup kebendaan saat orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.

Selama di Gua Hira, Rasulullâh SAW hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang memakai pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum, kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allâh SWT, sehingga Siti Aisyah, istrinya, bertanya, ‘Mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullâh SAW, padahal Allâh SWT senantiasa mengampuni dosamu?’ Rasulullâh SAW menyawab, ‘Apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allâh SWT?’

Kalangan sahabat pun ada yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, pernah berkata, Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketaqwaan, ke-fana’-an dalam keagungan dan kerendahan hati. Khalifah Umar bin al-Khattab RA pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum Muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman Ibn Affan RA banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Alquran. Baginya, Alquran ibarat surat dan kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke mana pun ia pergi. Demikian pula, sahabat-sahabat lainnya, seperti Abu Dzar al-Ghifari, Tamim ad-Dary, dan Hudzaifah aI-Yamani.

Uraian dasar-dasar tasawuf di atas, baik Alquran, Hadis, maupun suri teladan para sahabat, ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat rujukannya dalam Alquran. Dan sini, jelaslah bahwa pertumbuhan pertamanya, tasawuf ternyata ditimba dan sumber Alquran itu sendiri.

Faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam, selain berupa pernyataan Alquran dan Hadis, adalah perilaku Rasulullâh SAW sendiri. Sebagaimana telah dimaklumi, beliau di dalam bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allâh) tidak jarang pergi meninggalkan keramaian dan hidup menyepi untuk merenung dan berkontemplasi dan ber-tahannus di Gua Hira. Ternyata, di tengah-tengah kesendiriannya inilah, beliau berkomunikasi dengan Allâh dan mendapat petunjuk dari-Nya.

Sumber: Alif.ID

06. Tarekat dalam Pandangan Ibnu Taimiyah

Penjelasan Ibn Taimiyah mengenai tarekat sangat penting untuk dikemukakkan lebih jauh disini, sebab –sekali lagi– selama ini ia sering dituding sebagai antitarekat, bahkan dijadikan rujukan utama oleh sebagian kecil umat untuk menentang tarekat. Padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah menentang tarekat/tasawuf kecuali yang nyata sekali bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.

Ketika memuji Imam al-Junaid al-Baghdadi berkenaan dengan kewajiban seorang salik (Orang yang berjalan menuju Allâh Swt. agar mengenal Sang Pencipta sehingga dapat beramal dan berubudiyah secara ihlas), Ibn Taimiyah menegaskan dalam kitabnya al-Istiqamah:

“Ini (mengenal sang Pencipta) termasuk di antara pokok-pokok akidah ahl al-Sunnah dan imam-imam para syaikh, khususnya syaikh-syaikh sufi, karena pokok pangkal tarekat para sufi adalah kehendak (al-Iradah), yang merupakan fondasi amal. Mereka dalam hal kehendak, ibadah, amal, dan akhlak lebih besar keteguhannya daripada dalam hal perkataan dan ilmu pengetahuannya. Mereka dengan semua itu lebih besar perhatiannya dan lebih banyak pemeliharaanya. Orang yang belum memasuki semua itu tidak dapat serta merta menjadi ahli tharîqah mereka.”

Dalam kitabnya yang lain al-Hasanah wa al-Sayyiah, Ibn Taimiyah menegaskan lebih lanjut bahwa orang yang mengikuti Imam al-Junaid adalah orang yang memperoleh hidayah, selamat dan bahagia: “Barang siapa menempuh jalan yang ditempuh oleh al-Junaid yang merupakan salah seorang pakar tashawwuf dan ma’rifah, maka ia benar-benar telah mendapat hidayah, selamat dan bahagia.”

Selain Imam al-Junaid al-Baghdadi, Ibn Taimiyah juga memuji dan membela para Syaikh tarekat lainnya, seperti: Abu Yazid al-Busthami, Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, dan bahkan juga Imam al-Ghazali. Tentang Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya Ibn Taimiyah menggambarkannnya sebagai berikut:

“Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani dan syaikh tarekat seperti beliau merupakan syaikh yang paling gigih memerintahkan menetapi syari’ah, perintah dan larangan, serta mengedepankan agar meninggalkan keinginan dan kehendak nafsu, karena kesalahan dalam berkehendak dilihat dari segi kehendak itu sendiri hanya terjadi dari sisi hawa nafsu ini. Beliau memerintahkan seorang salik (murid yang menempuh suluk/perjalanan menuju Allâh Swt) agar tidak memiliki sama sekali kehendak yang bersumber dari hawa nafsu melainkan ia berkehendak sesuai dengan yang dikehendaki Allâh ‘azza wa jalla.”

Pada bagian sebelumnya sudah disinggung bahwa Ibn Taimiyah menyebut para sufi sebagai ahl ulum al-Qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang bebas dari bid’ah ketika ia mengatakan: “Perkataan pakar-pakar ilmu hati dari kalangan sufi dan yang selain mereka, seperti Abu Hamid Muhammad aL-Ghazâli pula Ibn Taimiyah mengutip pernyataan yang mengukuhkan kebenaran tarekat para sufi: “Tarekat para sufi adalah tujuan (ghayah), karena mereka menyucikan kalbu mereka dari hal-hal selain Allâh dan memenuhinya dengan dzikrullah; dan ini merupakan prinsip dakwah para rasul.”

Pengakuan Ibn Taimiyah mengenai kebenaran tarekat para sufi juga mencuat dari pernyataanya yang dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Aqidah al-Ishfahaniyah, yaitu ketika ia berbicara tentang mu’jizat para Nabi: “Tidak ada jalan bagi akal untuk memahami mukjizat para nabi hanya dengan komoditi akal semata. Hal-hal lain dari keistimewaan para nabi hanya dapat dipahami dengan “rasa” oleh orang yang menempuh tarekat tasawuf…”

Jika Nabi memiliki suatu keistimewaan yang Anda tidak punya modelnya, maka Anda sama sekali tidak akan memahami keistimewaan itu, apalagi membenarkannya, karena pembenaran hanya muncul setelah pemahaman, dan model yang dimaksudkan di sini terdapat di awal tarekat tasawuf. Adapun rasa (dzauq) maka ia seperti ‘menyaksikan’ dan ‘mengambil dengan tangan’ dan hal itu tidak ada kecuali dalam tarekat para sufi.

Ibn Taimiyah bahkan tidak mengingkari konsep “mabuk” yang kadang-kadang melahirkan berbagai ungkapan yang sepintas terkesan berbau syirik tetapi sebenarnya tidak dimaksudkan demikian, ungkapan-ungkapan yang dikenal dengan syathahat. Ungkapan-ungkapan pada dasarnya muncul secara otomatis dari kondisi fana’ (“ekstase”) yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh pertimbangan atau kesadaran apapun kecuali semata-mata karena terbuai oleh keagungan dan keindahan Tuhan.

Dalam kaitan ini ia mengatakan: “Sebagian tokoh sufi yang mengalami kondisi spiritual tertentu (dzawi al-ahwal) kadang-kadang mengalami ‘mabuk dan lenyap dari selain Allâh’ dalam keadaaan fana’ yang singkat. Keadaan mabuk seperti itu terjadi tanpa disengaja, tanpa pertimbangan. Kadang-kadang dalam keadaan itu ia berkata subhani (maha suci aku), atau ungkapan-ungkapan lain seperti yang mempengaruhi Abu Yazid al-Busthami dan orang-orang berjiwa sehat (al-ashihha) lainnya.”

Hal itu menurut Ibn Taimiyah sejalan dengan makna-makna hadits qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Dalam hadits itu disebutkan bahwa apabila seorang hamba selalu berupaya menempuh jalan pendekatan diri kepada Allâh dengan melaksanakan secara intensif al-faraidh (perkara-perkara yang diwajibkan) dan al-nawafil (perkara-perkara yang disunnahkan), sebuah upaya yang bermuara pada suatu keadaan (hal) yang dalam hadits itu diungkapkan dengan “sampai Aku mencintainya” (hatta uhibahu), “maka Akulah yang menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.”

Semua ini dikemukakan Ibn Taimiyah ketika ia membela ahli tarekat yang sejalan dengan sunnah. Di sela-sela pembelaan ini ia menegaskan: Pokok-pokok madzab ahli tarekat yang Islami adalah mengikuti para nabi dan para rasul.

Sumber: Alif.ID

07. Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah

Dengan mengacu pada uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa tarekat atau thariq al-shafiyyah (jalan para sufi) pada hakikatnya adalah: jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul dalam merealisasikan penghambaan diri dan tauhid yang murni dengan cara mengosongkan kalbu dari hal-hal selain Allâh, serta memenuhinya dengan dzikrullah dalam setiap keadaan (berdiri, duduk, dan berbaring).

Dasarnya:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka, (Q.S. Ali Imrân 3:191)

Dengan kata lain, tarekat pada dasarnya adalah “pengamalan syariah dalam kerangka tauhid dan ubudiyah.”

Di dalam janji Alquran yang seringkali terdengar kumandangnya di mimbar-mimbar adalah bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (Khair Ummat Ukhrijat li al-Nas)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿١١٠

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik, (Q.S. Ali Imran, 3:110)

Dan sekaligus umat pilihan yang adil untuk menjadi saksi atas manusia (ummat wasathan litakuna syuhada li al-nas)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهِ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهََ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia, (Q.S. Al-Baqarah, 2:143).

Agama mereka pun merupakan agama yang tidak tertanding dalam semua aspek sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW:

وقال: الْإِسْلَامُ يَعْلُوْ وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ،  )صحيح البخاري ، 1/ 454)

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih darinya, (Shahîh al-Bukhâri, juz 1, halaman: 454).

Hal ini sekaligus mengandung arti bahwa umat Islam juga tidak tertandingi. Kenyataanya, hingga saat ini umat Islam masih terpuruk dan lebih banyak menjadi penonton daripada pemain di panggung peradaban.

Pernyataan Alquran,

(كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَ اللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴿٢٤٩

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar, ( Q.S. al-Baqarah, 2:249).

Justru sekarang lebih banyak berlaku untuk umat yang lain daripada umat Islam sendiri yang notabene merupakan mayoritas. Hal ini tiada lain karena umat Islam hanya terpaku pada formalitas agama (fikih atau syariah dalam arti sempit) yang saat ini justru selalu menjadi sumber khilafiah berkepanjangan.

Pada umumnya mereka mengamalkan syariah tanpa melibatkan tarekat, padahal di dalam tarekat sebagaimana ditegaskan dan dibuktikan oleh al-Mukarram Said Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya-tersembunyi apa yang oleh beliau disebut “teknologi Alquran,” suatu teknologi yang mampu melahirkan energi ketuhanan yang maha dahsyat sebagai sumber senjata untuk mengusir iblis la’natullah, musuh paling nyata setiap mukmin, sehingga pada gilirannya mereka mampu menegakkan shalat al khasyi’in yang juga menjadi kunci mutlak kemenangan itu sendiri.

Syari’at, tarekat, dan hakikat adalah tiga hal yang memiliki hubungan yang sangat kuat, yang salah satu dari ketiganya tidak bisa diabaikan.

Ibarat lautan yang di dalamnya terdapat mutiara yang amat besar dan indah. Untuk bisa mencapai dan mengambil mutiara tersebut, tentu kita membutuhkan kapal. Untuk mencapai dan memperoleh mutiara hakikat itu, kita butuh kapal syari’at untuk mengarungi lautan tarekat dengan selamat.

Perumpamaan lainnya, syari’at adalah pohon, tarekat adalah dahannya, dan hakikat adalah buahnya. Barangsiapa hidup hanya bersyariat tanpa berhakikat, maka sia-sia. Barangsiapa hanya berhakikat tanpa bersyariat, maka kerusakan baginya. Lebih jelasnya hal ini termaktub dalam kitab Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408-409

Dalam sebuah syair disebutkan:

فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيْقَةٌ * كَالْبَحْرِ وَحَقِيْقَةٌ دُرٌّ غَلَا

Syariat bagaikan kapal, tarekat bagaikan lautan, dan hakikat bagaikan intan yang mahal, (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 9)

Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman 324 disebutkan pula bahwa orang-orang ahli dhahir adalah mereka yang ahli syariat, dan orang-orang ahli batin adalah mereka yang ahli hakikat. Keduanya menetapi hakikat, karena jalan menuju Allâh al-Haqq di dalamnya terdapat hal yang dhahir dan yang bathin. Yang dhahir dari jalan itu adalah syariat, dan bathinnya adalah hakikat. Bagian inti hakikat terdapat dalam syariat, layaknya bagian inti dari keju itu terdapat pada susu. Tanpa adanya kemurnian susu, maka tak akan terbentuk keju.

Dengan demikian, maksud dari hakikat dan syariat adalah melaksanakan ubudiyah dengan cara yang diridhai. Tiap syariat yang tidak disertai hakikat, maka syariat itu rusak. Dan tiap hakikat yang tidak disertai syariat, maka hakikat itu batal. Syariat itu benar, dan hakikat itu adalah hakikat bagi syariat. Syariat adalah menjalankan perintah Allâh, dan hakikat adalah menyaksikan (dengan dzat Allâh) dalam perintah-Nya. (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 324)

Tarekat, Jalan Menuju Makrifat

Pengamalan tarekat akan membuahkan apa yang disebut dengan haqîqah, dan jalan tritunggal syarîat-tarekat-hakikat, pada gilirannya akan membuahkan al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) yang oleh Nabi SAW disebut sebagai “pangkal ilmu” (RA’s al-‘Ilm) (Musnad al-Rabi, halaman: 311), bahkan juga “pangkal harta atau modal “ (RA’s al-Mal). (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman: 7), semuanya tertuang secara ringkas dalam sabda Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

1532: Syariah adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqah adalah keadaan (batin)-ku, dan marifah adalah pangkal harta (modal)-ku, (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman :7).

Mengenal Allâh (al-makrifah billah) merupakan tujuan utama penciptaan makhluk. Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan:

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقَتُ الْخَلْقَ لِيَعْرِفُوْنِى

Dulu Aku adalah mutiara yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal; maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Abjad al-Ulum, Juz 2, halaman: 159).

Menurut al-Qari isi Hadis tersebut sesuai dengan firman Tuhan.

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku, (QS. Adz-Dzariyat, 51:56)

Ungkapan li ya’buduni atau “agar mereka mengabdi kepada-Ku” oleh Ibn Abbas ditafsirkan dengan li ya’Rafuni yaitu agar mereka mengenal-Ku’, (Kasyf al-Khafa, juz 2, halaman: 173).

وقال مجاهد: إلا ليعرفوني. وَهَذَا أَحْسَنُ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَخْلُقْهُمْ لَمْ يُعْرَفْ وُجُوْدُهُ وَتَوْحِيْدُهُ، (تفسير البغوي، ج 7 ، ص: 380)

Penafsiran li ya’buduni dengan li ya’RAfuni dikemukakan juga oleh para mufassir lainnya seperti Mujahid yang dikutip oleh al Tsa’alibi dalam Jawahir al-Hisan fi Tafsir Alquran, al-Baghawi dalam Ma’alim al Tanzil, dan al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam Alquran, Abu al-Saud dalam Tafsir-nya, Ibn Juraij yang dikutip oleh Ibn Katsir dalam Tafsir-nya, dan juga Imam al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani.

Mengenal Allâh SWT merupakan keharusan bagi seorang hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Mengenal Allâh SWT juga berarti mengenal jalan kembali kepada-Nya. Jalan kembali ini pulalah yang sebenarnya juga disebut dengan tarekat, yaitu jalan yang memang disiapkan secara khusus untuk ditempuh oleh hati (qalb), jiwa (nafs) atau ruh (ruh), tiga istilah yang menunjuk kepada satu makna yang dalam bahasa Imam al-Ghazali disebut dengan lathifah RAbbaniyyah (yaitu Dzat Mahahalus yang dinisbatkan kepada Allâh Swt). (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 3-4)

Dzat yang sangat halus tersebut adalah unsur yang asal penciptaannya berasal dari Allâh SWT sebagaimana tersiRAt dari firman Allâh SWT, “nafakhtu fihi min ruhi” (setelah Kutiupkan kepadanya sebagian ruh-Ku).

(فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ ﴿٢٩

Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, (Q.S. al-Hijr, 15:29).

(فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ ﴿٧٣

Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya, (QS. Shad, 38:72).

Unsur inilah yang mampu mencapai prestasi al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) dan ia pulalah yang kelak kembali ke “asal”-nya (Allâh ‘azza wa jalla).

Persoalan mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya ini sudah harus diselesaikan di dunia ini. Jika di dunia seseorang tidak mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah, setidak-tidaknya sangat sulit untuk kembali kepada Tuhannya; artinya, ia tidak akan masuk ke dalam golongan yang dipanggil oleh Allâh SWT dengan firman-Nya:

 (يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, serta masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku, (Q.S. al-Fajr, 89:27-30).

Dalam kaitan ini pulalah Allâh SWT menegaskan:

(وَمَن كَانَ فِي هَـذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً ﴿٧٢

Barangsiapa di dunia buta (mata batinnya), maka dia di akhirat akan lebih buta lagi dan tersesat jalannya, (QS. al-Isra, 17:72)

Sumber: Alif.ID

08. Tarekat, Teknik Berzikir Efektif

Di samping menunjuk kepada pengertian-pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, tarekat juga dapat didefinisikan secara singkat sebagai “teknik berzikir efektif”. Sebelumnya telah disebutkan bahwa istilah tarekat dalam Alquran dan Hadis digunakan dalam konteks zikrullah dalam kerangka tauhid.

Dalam hadis al-Bukhari berikut kata thuruq (bentuk jamak dari thariq dan tarekat) juga digunakan dalam konteks ini:

وَفِي الْحَدِيْثِ إِنَّ للهَ تَعَالَى مَلَائِكَةٌ سِيَاحِيْنَ فِي الدُّنْيَا سِوَى مَلَائِكَةِ الْخَلْقِ إِذَا رَأَوْا مَجَالِسَ الذِّكْرِ يُنَادِيْ بَعْضُهُمْ بَعْضًا أَلَا هَلُمُّوْا إِلَى بَغِيَّتِكُمْ فَيَأْتُوْنَهُمْ وَيَحْفُوْنَ بِهِمْ وَيَسْتَمِعُوْنَ أَلَا فَاذْكُرُوْا اللهَ وَذْكُرُوْا أَنْفُسَكَ، (الحديث متفق عليه من حديث أبي هريرة(

Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas berkeliling di tarekat-tarekat mencari ahli zikir. Jika mereka menemukan suatu kaum yang sedang berzikir kepada Allâh, mereka berseru, ‘Sebutkan kebutuhan kalian’.”Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, “Malaikat-malaikat itu kemudian mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia, (Ihya ‘Ulumuddin, juz 1, halaman :34).

Kata thuruq (tarekat-tarekat atau jalan-jalan) dalam Hadis tersebut menunjukkan kepada halaqah atau majelis zikir. Halaqah artinya lingkaran, dan halaqah zikir menunjukan kepada makna “sekumpulan orang yang duduk melingkar untuk bersama-sama berzikir dan bermunajat kepada Allâh ‘azza wa jalla”. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, halaqah zikr ini disebut oleh Nabi SAW sebagai riyadh al-jannah (taman-taman surga):

عن أنس بن مالك رضي الله عنه: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعَوْا قَالَ وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ

Jika kamu melewati taman-taman sorga, maka masuklah ke sana”. Para sahabat bertanya, “Apa taman surga itu?” Nabi menjawab, “Halaqah-halaqah zikir, (Sunan al-Tirmidzi, Juz 5, halaman :532, Musnad Ahmad,juz 3, halaman:150).

Hadis tersebut memerintahkan orang-orang mukmin agar bergabung dengan halaqah zikir sebagai sebuah majelis yang sangat dicintai Allah SWT

Di dalam Alquran banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung perintah berzikir dan keutamaannya. Selama ini tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa berzikir itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Pendapat semacam ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan karena diantara dalil-dalil yang berkenaan dengan zikir justru menunjukan kepada hukum wajib.

Zikir merupakan aktivitas ibadah yang paling tinggi nilainya. Dalam sebuah firman Allah SWT, di samping digunakan lafadz yang memang mengandung makna keagungan dzikir, Allâh SWT bahkan masih menggunakan lam al-taukid (lam yang dibaca fatihah dan menunjuk pada makna “sungguh atau sangat”) untuk menegaskan betapa besar keutamaan, nilai, pahala, atau manfaat zikir, sebagaimana yang sering dibaca khatib Salat Jumat di akhir khutbahnya, “Wa ladzikrullahi akbar (sungguh zikrullah itu akbar).”

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan, (QS. al-Ankabut, 29:45).

Keakbaran kedudukan zikrullah sebagai amal terbaik juga dipertegas oleh hadis Nabi SAW dalam riwayat Ahmad dengan sanad hasan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ قَالَ مَكِّيٌّ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا وَذَلِكَ مَا هُوَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian, amal yang lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan amal yang lebih baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda.” zikrullah, (Musnad Ahmad, Juz 5, halaman: 239).

Selain sebagai amalan yang paling agung, zikrullah bahkan merupakan inti atau ruh semua aktivitas. Setiap aktivitas yang di dalamnya tidak ada zikrullah adalah sia-sia dan tidak mempunyai nilai apa-pun di mata Allâh SWT Dalam sebuah hadis yang diriwayat oleh Imam al-Nasa’i, Nabi SAW menyebut aktivitas semacam ini sebagai permainan belaka:

فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيْهِ ذِكْرُ اللهِ فَهُوَ لَهْوٌ وَلَعْبٌ

Segala sesuatu yang tidak bertolak dari zikrullah adalah permainan, (al-Sunan al-Kubra, Juz 5, Halaman: 302).

Satu faktor yang menyebabkan dzikrullah menduduki posisi tertinggi dalam keseluruhan aktivitas seorang mukmin yaitu terkait erat dengan keberadaanya sebagai pengusir iblis atau setan dari dalam diri manusia. Tidak dipungkiri bahwa makhluk terkutuk ini selalu menempel di dalam diri manusia sejak manusia itu lahir ke dunia. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا وَالشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِينَ يُولَدُ فَيَسْتَهِلُ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِيَّاهُ إِلَّا مَرْيَمَ وَابْنَهَا ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ)  صحيح البخاري- طوق النجاة ، 6: 34)

Tidaklah seorang anak-pun dilahirkan kecuali dia pasti disentuh oleh syetan, (Shahih al-Bukhari-Thuq al-Najah, Juz 6, halaman: 34).

8325 – إِنَّ لِلْوَسْوَاسِ خُطَمًا كَخُطَمِ الطَّائِرِ فَإِذَا غَفَلَ ابْنُ آدَمَ وَضَعَ ذَلِكَ الْمِنْقَارَ فِى أُذُنِ الْقَلْبِ يُوَسْوِسُ فإن ابنُ آدم ذكرَ اللهَ نَكَصَ وَخَنَسَ فَلِذَلِكَ سُمِيَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَاسُ، (ابن شاهين فى الترغيب فى الذكر عن أنس وهو ضعيف)جامع الأحاديث ،ج 9، 239)

Dalam bahasa Ibn Abbas yang dikutip oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman Hadis tersebut diungkapkan dengan kata-kata:“Tidaklah seorang manusia yang terlahir ke dunia kecuali al-waswas bertengger di hatinya; jika ia melakukan zikrullah, setan itu menahan diri; tetapi jika ia lalai, setan itu bergerilnya membisikkan godaan-godaan” (Jami Hadis, juz 9, halaman: 239).

يا رسول الله. فقال: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنْ ابْنِ آدَمَ (3) مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يَقْذَفَ فِيْ قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا، أَوْ قَالَ: شرًا” (4(وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ يَعْلَى الْمُوْصِلِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا عَدِي بْنُ أَبِيْ عَمَارَةِ، حَدَّثَنَا زيادًا (5) النّميري، عن أنس بن مالك قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعُ خُطَمِهِ (6) عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِنْ ذَكَرَ (7) خَنَسَ، وَإِنْ نَسِيَ (8) اِلْتَقَمَ قَلْبَهُ، فَذَلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ.

Ibn Abbas menjelaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan dikutip juga oleh Imam Ibn Katsir dan Imam al-Thabari dalam kitab tafsir mereka, bahwa yang dimaksud al-waswas adalah setan, kemudian ia berkata: “Setan itu mendekam di kalbu anak Adam; jika ia lupa dan lalai, setan itu membisikkan godaan-godaan, dan jika ia berdzikir kepada Allâh, setan itu menahan diri”. (Mushannaf Ibn Syaibah, juz 7, halaman: 135, Tafsir Ibn Katsir, juz 4, halaman: 539, Tafsir al-Thabari, juz 30, halaman: 355).

Jadi, tidak diragukan lagi bahwa musuh bebuyutan manusia adalah iblis, sang iblis tidak pernah berhenti menggoda manusia bahkan sejak manusia pertama Adam diciptakan dan makhluk-makhluk durhaka ini tidak mungkin dapat dihalau kecuali dengan senjata yang disebut zikrullah. Hal ini ditegaskan langsung oleh Nabi SAW melalui sabda beliau dalam riwayat Imam Ibn Hibban, Tirmidzi, dan Abu Ya‘la:

كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يَحْرَزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ

Seseorang tidak akan bisa melindungi diri-nya dari setan kecuali hanya dengan zikrullah, (Shahih Ibn Hibban, Juz 14, halaman: 125, Sunan al-Tirmidzi, Juz 5, halaman: 148, Musnad Abi Ya’la, juz 3, halaman: 140).

Persoalannya, setiap orang sudah berzikir, sudah biasa menyebut asma’ Allah SWT dan mengingat-Nya, tetapi dalam kenyataan mereka tetap terperangkap dalam jebakan-jebakan sang iblis baik yang tampak maupun yang tersembunyi, seperti dengkil, dendam, ‘ujub, marah, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang secara simultan menimbulkan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (al-fakhsya’ wa al-munkar) dalam berbagai bentuknya, dan yang paling layak dipertanyakan adalah bahwa semua itu tidak jarang justru dilakukan oleh orang-orang yang secara lahiriah sudah terbiasa berzikir. Berbagai kasus yang terjadi di lembaga-lembaga Islam, mulai dari sekolah-sekolah yang berlabel Islam hingga instansi-instansi yang menangani urusan-urusan keagamaan merupakan bukti kegagalan zikir mereka.

Rahasia kegagalan zikir mereka sebenarnya hanya terletak dalam satu hal mereka tidak melibatkan tarekat sebagai “teknik berzikir efektif”. Logika awam membuktikan bahwa pekerjaan apapun yang dilakukan dengan tidak melibatkan tarekat (teknik/metode/cara) yang tepat, maka sudah dapat dipastikan hasilnya tidak maksimal atau bahkan gagal sama sekali.

Air dan pengolahannya adalah contoh sederhana yang dapat dikemukan di sini. Dalam kondisi biasa (tanpa teknologi) air hanya berfungsi sebagai pelepas dahaga, mencuci dan atau mandi. Dalam kasus ini manfaat air tidak maksimal. Sebaliknya tatkala terhadap air itu diterapkan teknologi tinggi (‘ilm al-tarekat) oleh seorang pakar teknologi yang berkompeten di bidangnya, maka dari pengolahan air itu dapat diciptakan energi Raksasa yang sanggup membangkitkan tenaga listrik, menjalankan kereta api, dan bahkan juga dapat berfungsi sebagai peledak yang berkekuatan tinggi.

Kalau air saja dapat diolah menjadi sumber energi raksasa dengan melibatkan teknologi, lalu bagaimana dengan kalimah Allâh yang oleh Alquran disebut sebagai ‘ulya (tertinggi) (kalimatullahi hiyal ‘ulya)? Bagaimana dengan zikrullah yang oleh Alquran digambarkan dengan kata akbar ‘maha hebat’ (wa ladzikrullahi akbar)

Disinilah letak urgensi tarekat sebagai “teknik berzikir efektif”, yaitu agar zikir yang dilakukan oleh seorang hamba dapat berfungsi maksimal dan mencapai efektivitasnya untuk menghalau sang iblis, terutama yang tanpa disadarinya telah lama berada di dalam dirinya/hatinya, menjadi biang kerok setiap keangkaramurkaan.

Sebagai “teknik berzikir efektif” tarekat melibatkan beberapa unsur yang harus difungsikan secara simultan, karena yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Salah satu unsur dari unsur-unsur tersebut adalah zikir itu sendiri. Yang menjadi fondasi dan ruh semua aktivitas ibadah. Terkait dengan masalah ini, tarekat bahkan dapat dipahami juga sebagai istilah untuk paket-paket zikir dan tugas-tugas spiritual berdasarkan model kurikulum pembelajaran yang dijadikan sebagai media untuk mencapai kesucian jiwa dan kedamaian hati.

Sumber: Alif.ID

09. Lafal Dzikir yang Paling Utama

Di dalam Alquran perintah berdzikir diungkapkan berkali-kali dan pada umumnya muncul dalam tiga redaksi, yaitu:

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلاً ، (ألإنسان :٢٥

Sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang, (Q.S. Al-Insan, 76:25), atau

قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّيَ آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزاً وَاذْكُر رَّبَّكَ كَثِيراً وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ ، (ال عمران :٤١)

Berkata Zakariya: “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung)”. Allah berfirman: “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari”, (Q.S. Ali Imrân, juz 3, halaman:41, atau

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُواْ وَاذْكُرُواْ اللهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلَحُونَ،   (الأنفال: ٤٥)

Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung, (Q.S. al-Anfâl, 8:45)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ، (الجمعة:١٠)

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaRAnlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung, (Q.S. al-Jumu’ah, 62:10).

Berdzikir dapat dilakukan dengan berbagai lafadz yang ma’tsur dari beberapa Hadis Nabi SAW seperti subhanAllâh, alhamdulillah, Allâhu akbar, la ilaha illAllâhistighfar, shalawat, al-asma al-husna, membaca ayat-ayat suci Alquran, dan lain sebagainya. Hanya saja, lafal dzikir yang paling utama dan paling agung adalah al-nafy wa al-itsbat (di Indonesiakan menjadi “nafi-isbat”), yaitu ungkapan la ilaha illAllâh (tidak ada Tuhan selain Allâh).

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلهِ قَالَ شُعَيْبُ الْأَرْنَؤُوْطِ : إسناده حسن

Yang didasarkan pada hadis Nabi yang menyatakan bahwa Dzikir yang paling utama adalah lâ ilâha illAllâh”, (Shahih Ibn Hibban, juz 3, halaman: 126, Sunan al-Tirmidzi, juz 5, halaman: 426 dan Sunan Ibn Majjah, juz 2, halaman: 1249).

Selanjutnya Nabi SAW mengatakan:

قَالَ (مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ، ) صحيح البخاري، ج 1، ص: 59)

Allâh benar-benar mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan lâ ilâha illallâh semata-mata mengharap ridha-Nya”, (Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman: 59, juz 5, halaman: 2063).

Di samping itu, keutamaan dzikir ini dapat dipahami dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam-imam Hadis lainnya:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَقَدْ ظَنَنْتُ – يَا أَبَا هُرَيْرَةَ – أَنْ لَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ هَذَا الْحَدِيْثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيْثِ اَسْعَدَ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إله إِلَّا اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ،  )صحيح البخاري ج 1، ص:  49)

Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat kelak adalah orang yang berdzikir dengan lâ ilâha illallâh secara murni dari kalbu atau jiwanya”, (Musnad Ahmad, juz 2, halaman :373, Shahîh al-Bukhari, juz 1, halaman: 49, juz 5, halaman: 2402, al-Sunan al-Kubra, juz 3, halaman: 42).

Lafal dzikir nafi isbat (lâ ilâha illAllâh), dipilih dan dilazimkan oleh ahli tarekat Naqsyabandiyah sebagai lafal dzikir yang paling pokok.

Dalam Khulashah al-Tashanif fi al-Tasawuf yang terhimpun dalam Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, Imam al-Ghazali menegaskan, “Penyucian jiwa yang paling efektif adalah dengan mengintensifkan dzikir tarekat al-Naqsyabandiyah, yaitu dzikir dengan ismu dzat dan nafi isbat”, (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 179).

Unsur-unsur pokok lainnya yang menjadi syarat dan rukun dalam tarekat baik sebagai “teknik berdzikir efektif” maupun sebagai “cara pengamalan syariah” dan “jalan menuju ma’rifah” adalah: mursyid (guru), wasilah (alat), rabithah (proses), dan mujahadah (suluk/iktikaf) semuanya disajikan dalam buku ini.

Dzikir itu Wajib Bukan Sunnah

Pandangan umum yang dikenal orang selama ini mengenai hukum berdzikir adalah bahwa berdzikir itu sunnah. Pandangan ini tampaknya perlu digarisbawahi dan dikaji ulang. Dimaklumi bahwa sunnah berimplikasi “jika dikerjakan memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak apa-apa”, sedangkan wajib memiliki implikasi “apabila dikerjakan memproleh pahala dan kalau ditinggalkan ada sanksi, dosa atau siksa.”

Kalau berdzikir itu sunnah, maka konsekuensinya adalah bahwa orang yang tidak melakukan dzikir tidak dikenai sanksi apa pun, padahal Allâh berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴿١٢٤﴾

Barangsiapa tidak mau berdzikir kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta, (Q.S. Thaha, 20: 124).

لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَاباً صَعَداً ﴿١٧﴾

Barangsiapa berpaling (tidak mau) berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia memasukkannya ke dalam siksa yang pedih, (Q.S. al-Jinn, 72:17).

Dengan menyimak ketiga firman tersebut tidak diRagukan lagi bahwa hukum berdzikir itu wajib, bukan sunnah.

Oleh karena itu pula, setelah turun firman Allâh,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ ﴿١٩٠﴾ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang beRAkal, (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (191), (Q.S. Ali Imrân, 3:190-191).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ يُصَلِّيْ فَأَتَاهُ بِلَالُ يُؤَذِّنُهُ بِالصَّلَاةِ فَرَآهُ يَبْكِيْ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَبْكِيْ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ ! فقال: يَا بِلَالَ أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا وَلَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ عَلَيَّ اللَيْلَةَ آيَةً { إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب } ثم قال: وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهَا وَلَمْ يَتَفَكَّرْ فِيْهَا) تفسير القرطبي ج 4،ص 300)

Nabi SAW melakukan shalat sambil terus menerus menangis, dan ketika ditanya mengapa, beliau bersabda, “Telah turun kepada ayat inna fi khalqis samawati..(sesungguhnya dalam penciptaan langit …dst.); maka celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkan isinya, (Shahih Ibn Hibban, juz 2, halaman: 386, Tafsir al-Qurthubi, juz 4, halaman: 300, Tafsir Ibn Katsir, juz , halaman: 441).

Sumber: Alif.ID

10. Unsur-unsur Tarekat, Mursyid

Kata mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan isim fa’il (Inggris: present participle) dari kata kerja arsyada-yursyidu yang berarti membimbing, menunjuki (jalan yang lurus). Dari kata itu terbentuk kata rasyad (hal memperoleh petunjuk/kebenaran) atau rusyd dan rasyada (hal mengikuti jalan yang benar/lurus). (Lisan al-Arab, juz 3, halaman: 175-176).

Dengan demikian, makna mursyid adalah “(orang) yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus” Dalam wacana tasawuf/tarekat mursyid sering digunakan dengan kata Arab Syaikh; kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “guru”.

Dalam Alquran kata mursyid muncul dalam konteks hidayah (petunjuk) yang dioposisikan dengan dhalalah (kesesatan), dan ditampilkan untuk menyifati seorang wali yang oleh Tuhan dijadikan sebagai khalifah-Nya untuk memberikan petunjuk kepada manusia:

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ عَن كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَت تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِّنْهُ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللهِ مَن يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيّاً مُّرْشِداً ﴿١٧﴾

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allâh, maka ia benar-benar mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan, maka orang itu tidak akan pernah engkau dapati memiliki wali mursyid (pemimpin yang mampu memberi petunjuk), (Q.S. al-Kahfi, 18:17)

Kata wali (Awliya’) sendiri menunjukan kepada beberapa makna, antara lain al-nashir (penolong), (Lisan al-Arab, juz 15, halaman: 406), al-mawla fi al-din (pemimpin spiritual), (Lisan al-Arab, juz 15, halaman: 408), al-shadiq (teman karib) dan al-tabi al-muhibb (pengikut yang mencintai), (Lisan al-Arab, juz 15, halaman: 411). Semua makna ini berserikat dan secara simultan menjelaskan makna wali dalam ayat di atas, yaitu “orang yang mencintai dan dicintai Allâh sehingga layak menjadi pemimipin spritual yang harus diikuti”.

Pengertian wali semacam ini digambarkan dalam sebuah Hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan beberapa imam Hadis lainnya dengan redaksi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: قَالَ اللهُ – عَزَّ وَجَلَّ – : مَنْ آَذَى لِي وَلِيًّا فَقَدِ اسْتَحَقَّ مُحَارَبَتِي ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِمِثْلِ أَدَاءِ فَرَائِضِي ، وَإِنَّهُ لَيَتْقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ رِجْلَهُ الَّتِي بِهَا يَمْشِي ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا ، وَلِسَانَهُ الَّذِي يَنْطِقُ بِهِ ، وَقَلْبَهُ الَّذِي يَعْقِلُ بِهِ ، إِنْ سَأَلَنِي أَعْطَيْتُهُ ، وَإِنْ دَعَانِي أَجَبْتُهُ) مسند أبي يعلى، ج 12، ص: 520(

Barangsiapa memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai berupa ibadah-ibadah yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu terus menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku pasti dengannya ia mendengar, (Akulah) kakinya yang dengannya ia berjalan, (Akulah) lisannya yang dengannya ia mengucapkan, dan (Akulah) hatinya yang dengannya ia berangan-angan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya, (Musnad Abi Ya’la, juz 12, halaman: 520).

Menurut berbagai riwayat yang shahih, wali-wali Allâh adalah hamba-hamba Allâh yang memiliki karakteristik utama “tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allâh” sebagaimana halnya Nabi SAW yang oleh ‘Aisyah dengan “selalu berdzikir kepada Allâh dalam setiap detik yang beliau miliki” (kana yadzkurullaha fi kulli ahyanihi, (Musnad Abi Ya’la, juz 8, halaman: 355). Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir-nya meriwayatkan dari Abdullah Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيْحَ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَؤَوْا ذَكَرَ اللهَ، (المعجم الكبير ، ج10، ص: 205)

Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci dzikrullah; apabila mereka dilihat orang maka (yang melihat) itu langsung berdzikir kepada Allâh, (al-Mu’jam al-Kabir, juz 10, halaman: 205).

Maksud “kunci-kunci dzikrullah” dalam riwayat tersebut adalah wali-wali Allâh SWT sesuai dengan Hadis dalam riwayat Ibn Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah wali-wali Allâh itu? Beliau menjawab:

قال رجل: يَارَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ إِذَا رَؤَوْا ذَكَرَ اللهَ). مسند البزار ،ج 2، ص: 187)

Orang-orang yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu berdzikir kepada Allâh karena melihat mereka, (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, juz 7, halaman: 79, Musnad al-Bazar, juz 2, halaman: 187).

Imam al-Suyuthi mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa kaum Hawariyyun bertanya kepada Nabi Isa As., “Siapa wali-wali Allâh yang tidak ada Rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih?” Nabi Isa menjawab:“Orang-orang yang memandang hakikat dunia sementara manusia memandang permukaannya, dan orang-orang yang memandang dunia yang abadi (akhirat) sementara manusia memandang dunia yang fana” (Tafsir al-Durr al-Mantsur, juz 4, halaman: 370).

Dalam sebuah Hadis sahih diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ( إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ عُبَّادًا لَيْسُوْا بِأَنْبِيَاءٍ يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ قِيْلَ: مَنْ هُمْ لَعَلَّنَا نُحِبُّهُمْ ؟ قَالَ: هُمْ قَوْمٌ تَحَابُوْا بِنُوْرِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ وَلَا انْتِسَابٍ وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ لَا يَخَافُوْنَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلَا يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزَنَ النَّاسُ ثُمَّ قَرَأَ: { أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ (صحيح ابن حبان ج 2،ص: 332)

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada’ tetapi pada hari kiamat para Nabi dan syuhada’ menginginkan seperti mereka karena kedudukan mereka di sisi Allâh ‘azza wa jalla.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan apa amal-amal mereka? Boleh jadi kami akan mencintai mereka.” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan ruh Allâh tidak atas dasar hubungan darah antara mereka dan tidak pula atas dasar harta yang saling mereka berikan. Demi Allâh, wajah mereka adalah nur (Allâh) dan mereka berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari nur; mereka tidak takut ketika orang lain takut”. Kemudian Rasulullah membacakan ayat


أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allâh tidak ada Rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih, (Q.S. Yunus, 10:62).

Hadis tersebut dikutip oleh Imam al-Jauzi dari jalur ‘Umar bin al-Khattab RA. dalam Zad al-Masir-nya, (Zad al-Masir, juz 4, halaman: 43-44), dan dikutip juga oleh Imam Ibn Hibban dalam Shahih-nya (Shahih Ibn Hibban, juz 2, halaman: 332), dan oleh Imam al-Baihaqi dalam al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab (al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz 1, halaman: 134), dari jalur Abu Hurairah.

Tugas mursyid

  1. Mursyid sebagai Pemandu Jalan

Mursyid dalam tarekat adalah seorang wali yang layak diikuti sebagai imam dalam perjalanan menuju Tuhan. Ia adalah wali Allâh Swt yang ciri khasnya sebagaimana disebutkan di atas. Jalan menuju Tuhan bukan jalan yang mulus melainkan jalan yang berliku-liku dan penuh dengan rintangan-rintangan berupa ranjau-ranjau iblis sehingga diperlukan pemandu yang arif untuk bisa selamat dari semua rintangan itu. Seorang salik, orang yang menempuh perjalanan (menuju Tuhan) atau yang biasa disebut dengan murid, yang telah membulatkan kehendaknya untuk menempuh perjalanan (menuju Tuhan) tidak boleh tidak harus didampingi mursyid sebagai pemandu jalan yang menuntun dan sekaligus memperingatkannya apabila ada bahaya yang mengancam. Keberadaan seorang mursyid dengan fungsi ini sangat mutlak.

Barangsiapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari, kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi yang dikutip oleh Annemarie Schimmel (Dimensi Mistik dalam Islam, halaman:106), untuk menggambarkan betapa sulitnya perjalanan itu dan betapa pentingnya keberadaan seorang pemandu (mursyid).

Di antara syarat tarekat mu’tabarah adalah tarekat tersebut bersambung sampai Rasulullah dan diakui keberadaannya. Hal ini disebabkan karena jika seorang yang sanadnya terputus, atau tidak diberi izin untuk membaiat para murid tarekat, maka bagi seorang salik tidak boleh untuk mengambil sanad atau mempelajari tarekat dari guru tersebut. Bahkan, lebih berbahaya lagi jika seorang salik belajar tarekat hanya melalui bacaan atau buku-buku tanpa melalui baiat dan bimbingan seorang mursyid yang telah memiliki wewenang untuk mengajarkan tarekat tersebut. Karena jika sudah demikian, maka yang menjadi pembimbingnya adalah setan.

Syaikh Amîn al-Qurdhi mengatakan, “Wajib bagi orang yang menempuh thâriqah yang sempurna perjalanannya kepada Allâh dan suluknya atas kuasa seorang mursyid yang sampai pada maqam-maqam yang luhur itu, yang bersambung sampai Rasulullah SAW, juga mendapatkan izin (wewenang) dari gurunya untuk memberi arahan dan petunjuk kepada Allâh, bukan didasarkan pada ketidaktahuan atau berdasarkan nafsu. Oleh karena itu, guru yang arif yang telah sampai (pada maqam-maqam itu) menjadi perantara bagi murid menuju Allâh, yang menjadi pintu bagi murid untuk masuk menuju Allâh. Barangsiapa tidak mempunyai guru yang menunjukkannya, maka yang menjadi penunjuknya adalah setan.” (Tanwîr al-Qulûb, halaman:524-525)

Posisi mursyid atau syaikh sufi menurut Ibn Taimiyah tidak ubahnya seperti imam dalam shalat dan pemandu haji (dalil-al-hajj); imam shalat diikuti oleh makmum, mereka shalat sesuai dengan shalatnya imam (yushalluna bi shalatihi), sedangkan pemandu haji menunjukan kepada jamaah jalan menuju baitullah (yadullu al-wafd ala thariq al-bait), (Minhaj Sunnah al-Nabawiyyah, juz 8, halaman: 38).

Dalam peristiwa Isra dan Miraj (perjalanan Nabi menuju Tuhan), Nabi SAW dipandu oleh Jibril As. yang berfungsi sebagai mursyid, imam atau guide, yaitu pemandu jalan yang menuntun dan membimbing beliau hingga sampai di hadirat Allâh ‘azza wa jalla.

فقال: مَا هَذِهِ يَا جِبْرَائِيْلُ؟ قَالَ: سِرْ يَا مُحَمَّدْ، فَسَارَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَسِيْرَ، فَإِذَا شَيْءٌ يَدْعُوْهُ مُتَنَحِّيًا عَنِ الطَّرِيْقِ يَقُوْلُ: هَلُمَّ يَا مُحَمَّدُ، قَالَ جِبْرَائِيْلُ: سِرْ يَا مُحَمَّدُ، فَسَارَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَسِيْرَ، قَالَ: ثُمَّ لَقِيَهُ خَلْقٌ مِنَ الْخَلَائِقَ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَوَّلُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا آخِرُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا حَاشِرُ، فَقَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: اُرْدُدْ السَّلَامَ يَا مُحَمَّدُ، قَالَ: فَرَدُّ السَّلَامَ، ثُمَّ لَقِيَهُ الثَّانِيْ، فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَقَالَةِ الْأَوَّلِيْنَ (1) حَتَّى انْتَهَى إِلَى بَيْتِ الْمُقَدَّسِ، فَعُرِضَ عَلَيْهِ الْمَاءُ وَاللَّبَنُ وَالْخَمْرُ، فَتَنَاوَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّبَنَ، فَقَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: أَصَبْتُ يَا مُحَمَّد الْفِطْرَةَ، وَلَوْ شَرِبْتَ الْمَاءَ لَغَرَقْتَ وَغَرَقَتْ أُمَّتُكَ، وَلَوْ شَرِبْتَ الْخَمْرَ لَغَوَيْتَ وَغَوَتْ أُمَّتُكَ، ثُمَّ بُعِثَ لَهُ آدَمُ فَمَنْ دُوْنَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، فَأَمَّهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ. ثُمَّ قَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: أَمَّا الْعَجُوْزُ الَّتِيْ رَأَيْتَ عَلَى جَانِبِ الطَّرِيْقِ، فَلَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ عَمْرِ تِلْكَ الْعَجُوْزِ، وَأَمَّا الَّذِيْ أَرَادَ أَنْ تَمِيْلَ إِلَيْهِ، فَذَاكَ عَدُوُّ اللهِ إِبْلِيْسُ، أَرَادَ أَنْ تَمِيْلَ إِلَيْهِ، وَأَمَّا الَّذِيْنَ سَلَّمُوْا عَلَيْكَ، فَذَاكَ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى، (تفسير الطبري ج 17، ص: 336)

Dalam Tafsir al-Thabari disebutkan bahwa dalam Mi’raj itu, Nabi SAW bertemu dengan seorang tua renta di sisi jalan, dan ketika beliau bertanya siapa orang itu, Jibril As. berkata, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!

Beliau juga mendengar sebuah suara yang menyeru beliau agar menyingkir dari jalan, “Halumma ya muhammad (ke sinilah Muhammad)!, sebelum Nabi SAW sempat menoleh Jibril sudah langsung memperingatkan, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!

Beberapa saat kemudian Jibril memberikan penjelasan. Orang tua yang engkau lihat di sisi jalan tadi menunjukan bahwa tidak tersisa dari dunia ini kecuali sekadar sisi umur orang tua itu, sedangkan suara yang hendak memalingkanmu adalah Iblis (Tafsir al-Thabari, juz 17, halaman:336, Tafsir Ibn Katsir, juz 3, halaman:6, Al-AHadis al-Mukhtarah, juz 6, halaman:258).

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi SAW memang menjadi rujukan utama para sufi, terutama yang berkenaan dengan unsur Jibril As. yang berfungsi sebagai mursyid, sang pemandu.

Keberadaan unsur Jibril AS. sangat mutlak sedemikian rupa sehingga andai kata unsur ini tidak ada, maka Nabi SAW akan terperangkap oleh jebakan iblis. Lalu bagaimana dengan umat beliau? Apakah mereka juga memerlukan unsur Jibril ini? Jawabannya pasti: ya, tidak boleh tidak. Posisi dan fungsi unsur Jibril As. ini justru diduduki dan dilaksanakan oleh Nabi sendiri.

Urgensi unsur Jibril sangat jelas terutama mengingat pernyataan Nabi SAW bahwa shalat adalah mi’raj-nya orang mukmin, (Syarh Sunan Ibn Majjah, halaman: 313). Artinya, orang-orang mukmin juga dimungkinkan mengalami mi’raj dengan izin dan kehendak Tuhan. Sebagai saRAna mi’raj, dalam shalat seorang mukmin harus melibatkan unsur Jibril, kalau tidak, maka shalatnya akan didominasi oleh unsur setan, sehingga shalat itu menjadi shalat yang tanpa makna, gersang, dan jauh dari nilai-nilai khusyuk, yang pada gilirannya tidak dapat berfungsi sebagai tanha an al-fahsya wa al-munkar mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, (Q.S. al-Ankabut, 29:45).

Shalat semacam ini kata Nabi SAW dalam riwayat al-Thabrani dengan perawi-perawi sahih (Majma al-Zawaid, juz 2: 258), adalah shalat yang hanya akan menjauhkan pelakunya dari Allâh SWT (man lam tanhahu shalatuhu an al-fahsya wa al-munkar lam yazdad minAllâhi illa budan), (al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, halaman: 54). Berbagai kasus dalam kehidupan orang-orang mukmin menjadi bukti tak terbantah atas pernyataan ini.

Mi’raj adalah karunia Tuhan yang berupa perjalanan menuju Dia SWT dengan perbentangan berbagai fenomena ghaib (metafisik) sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Dalam sejarah Nabi SAW dikenal dua jenis mi’raj: Khusus dan umum. Mi’raj khusus dialami Nabi SAW pada saat beliau menerima perintah shalat wajib lima waktu. Sedangkan mi’raj umum dialami Nabi SAW pada saat-saat yang lain termasuk ketika beliau dimuliakan Allâh dengan diangkat sebagai Rasul.Dalam wacana sufi mi’raj umum lebih sering disebut dengan istilah muraqabah, dan sangat dimungkinkan dialami oleh siapa pun dari kalangan orang-orang beriman. Pengalaman melihat surga dan neraka dengan mata kepala (muraqabah) yang dialami para sahabat merupakan indikasi nyata atas kemungkinan ini.

Dalam kitab Shahih-nya Imam Muslim memuat bab yang menyinggung soal muraqabah; di dalamnya diriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari Hanzhalah al-Usayyidi, salah seorang sekretaris Rasulullah SAW, ia berkata bahwa ketika Nabi bercerita tentang surga dan neraka, ia dan Abu Bakar al-Shiddiq RA. merasa melihat surga dan Neraka itu dengan mata kepala mereka, tetapi masing-masing dari mereka banyak yang lupa apa yang mereka lihat, lalu mereka memutuskan untuk menghadap Nabi SAW dan menanyakan hal itu. Dialog antara Hanzhalah dan Nabi dapat disimak dari kutipan berikut:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بِنْ يَحْيَى اَلتَّيْمِي وقطن بن نسير واللفظ ليحيى أخبرنا جعفر بن سليمان عن سعيد بن إياس الجريري عن أبي عثمان النهدي عن حنظلة الأسيدي قال وكان من كتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قال * لَقِيَنِي أَبُو بَكْر، فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، مَا تَقُولُ؟ قَالَ: قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا، قَالَ أَبُو بَكْر: فَوَاللهِ، إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْر، حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، يَا رَسُولَ اللهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: وَمَا ذَاكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ ، نَكُونُ عِنْدَكَ، تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ، عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ، نَسِينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي، وَفِي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ، وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ، سَاعَةً، وَسَاعَةً، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. (صحيح مسلم- عبد الباقى، ج 4، ص: 1100)

Aku (Hanzhalah) berkata, Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah. Rasulullah SAW bertanya, Ada apa? Aku (Hanzhalah) berkata, Wahai Rasulullah, kami pernah berada di hadapanmu mendengarkan engkau bercerita kepada kami tentang surga dan neraka sehingga kami seolah-olah melihat sorga dan neraka itu dengan mata kepala. Setelah kami pulang dari hadapanmu, serta bertemu dan bermain-main dengan anak-istri kami dan pergi keperkarangan kami, kami banyak lupa tentang hal itu.

Rasulullah SAW bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian berkekalan dengan apa yang kalian lihat dihadapanku dan berkekalan dalam dzikir, niscaya para malaikat menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan dijalan-jalan (tarekat-tarekat) kalian. Sayangnya, wahai Hanzhalah, (muraqabah itu) hanya sesaat dan sesaat (ini diucapkan tiga kali oleh beliau), (Shahîh Muslîm-‘Abd al-Bâq, juz 4, halaman:1100, Musnad Ahmad, juz 4, halaman:346, Sunan al-Tirmidzi, juz 4, halaman:666).

Dalam kasus tersebut para sahabat telah mengalami muraqabah dan sekaligus mi’raj, karena m’iraj pada dasarnya dapat dipahami sebagai naik dan melintasi alam fisik, keluar dari dimensi ruang dan waktu, serta memasuki dan menyaksikan alam metafisik ketuhanan. Pengalaman mi’raj para sahabat tersebut terjadi berkat bimbingan Rasul SAW sebagai pemandu, sebagaimana Rasul sendiri mengalami mi’raj berkat bimbingan Jibril AS. dengan izin Allâh SWT. Dengan kata lain, mereka dibawa mi’raj oleh Nabi SAW sebagaimana Nabi dibawa mi’raj oleh Jibril AS. dengan izin Allâh. (Lalu, bagaimana dengan orang-orang mukmin lain yang tidak bertemu dengan Nabi? Siapa yang akan membawa mereka mi’raj?).

Hikmah yang dapat diambil dari pengalaman itu adalah bahwa yang bersangkutan pasti menyadari secara haqqul yaqin bahwa ungkapan Alquran inna lillahi wa inna ilaihi RAjiun (kami milik Allâh dan kepada-Nya kami pulang)

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ، (البقرة: ١٥٢)

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) –Ku, (Q.S. al-Baqarah, 2:152).

Ini adalah benar (haqq), dan bahwa mereka ketika hidup di dunia pada hakikatnya sedang berada dalam perjalanan pulang menuju Tuhan, sebuah perjalanan yang sangat sulit dan berliku-liku.

Dengan adanya seorang pemandu, perjalanan itu akan terasa lebih ringan, mudah, dan lancar sehingga tepat sekali ungkapan Rumi yang dikutip sebelumnya, Barangsiapa berjalan tanpa pemandu, ia memerlukan dua ratus tahun untuk perjalanan dua hari.

Sumber: Alif.ID

11. Mursyid Sebagai Khalifah Rasul

Ngaji bersambung kitab Sabilus Salikin sudah sampai bagian ke-11. Pada edisi lalu, dibicarakan tentang mursyid sebagai satu dari sejumlah unsur tarekat, serta tugas mursyid sebagai pemandu jalan. Tugas mursyid yang lain adalah sebagai khalifah rasul. Menjadi mursyid tentulah tidak mudah dan ada kualifikasinya, yang juga dijabarkan di edisi ke-11 ini.

Imam-imam Hadis, selain al-Bukhari dan Muslim, meriwayatkan sebuah hadis perpisahan yang di dalamnya antara lain Nabi SAW bersabda:

… عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ….

Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah al-khulafa al-RAsyidin yang memperoleh petunjuk; berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dan ‘gigitlah’ sunnah-sunnah itu dengan gigi geRAham kalian, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 18, Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 10, halaman:114).

Dalam Hadis itu tampak bahwa sunnah Nabi SAW disandingkan dengan sunnah para khalifah (pengganti) beliau; kedua jenis sunnah ini sama-sama wajib diikuti dan dipegangi secara teguh oleh setiap mukmin. Ini menunjukan bahwa sunnah al-khulafa al-Rasyidun adalah sunnah yang suci sebagaimana Sunnah Nabi SAW sendiri. Tidak mungkin Nabi SAW memerintahkan mengikuti sunnah mereka apabila sunnah itu mengandung cacat atau hal-hal yang bertentangan dengan syaRA.

Siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan al-Khulaf al-Rasyidun itu? Selama ini ungkapan al-Khulafa al-Rasyidun dipahami sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, yaitu sebagai kepala negara atau pemerintahan Islam yang bertanggung jawab atas semua urusan politik umat. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq RA., Umar bin al-Khattab RA., Utsman Ibn Affan RA., dan Ali bin Abi Thalib RA.

Belakangan nama Amirul Mukminin Umar Ibn Abd al-Aziz RA. diposisikan sebagai khalifah kelima dan sekaligus terakhir dari al-Khulafa al-Rasyidun, sehingga secara keseluruhannya al-Khulafa al-Rasyidun dalam pengertian ini hanya berjumlah lima orang. Tetapi di samping pengertian sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, pengertian al-Khulafa al-Rasyidun juga dapat ditinjau dari segi spiritual, sebab Nabi SAW tidak sekedar sebagai kepala negara atau pemerintahan melainkan juga sebagai Nabi dan Rasul yang membawa misi tauhid dan ubudiah serta penyempurnaan akhlak yang mulia.

Beliau adalah pemimpin spiritual yang oleh Alquran digambarkan memiliki tugas-tugas:

  1. Membacakan kepada umat ayat-ayat Allâh SWT
  2. Menyucikan kalbu mereka.
  3. Mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ ﴿١٦٤﴾

Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Ali Imrân: 164).

Tugas-tugas seorang khalifah sudah sepatutnya sesuai dengan tugas-tugas Nabi SAW sebagai seorang Rasul, yaitu ta’lim (mengerjakan al-Kitab dan al-Hikmah) dalam kerangka tauhid, ubudiyah, dan penyempurnaan akhlak yang mulia. Dengan pengertian kedua ini, al-Khulafa al-Rasyidin pada dasarnya menunjuk kepada ulama yang oleh Nabi SAW diposisikan sebagai waratsah al-Anbiyâ’ (ahli waris para Nabi), dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW atau Nabi-Nabi lainnya tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan al-Ilm (ilmu) :

وَإنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأنْبِيَاءِ ، وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوْا العِلْمَ، (صحيح ابن حبان، ج 1، ص: 289)

Allah Berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar, (Fathir, 35:32).

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (al-Nahl, 16:43).

وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَن فِي الْقُبُورِ ﴿٧

Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui, (al-Anbiya, 21:7).

Ciri khas mereka adalah bahwa mereka tidak pernah meminta upah atas upaya dakwah mereka karena Nabi SAW juga tidak meminta upah atas dakwah beliau

وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٤﴾

Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam, (Yusuf, 12: 104).

Dan Allâh SWT memerintahkan agar mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta upah seperti mereka.

اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٢١﴾

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, (Yâsin, 36:21).

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا ﴿٥٧﴾

Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (menghaRApkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya, (al-Furqân 25:57).

Dengan warisan ciri khas semacam ini mereka layak menyandang gelar khalifah (pengganti) Rasul yang sekaligus sebagai penegak hujjah Allâh, dan jumlah mereka tentu tidak hanya lima orang meskipun juga tidak banyak.

Sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan, jumlah mereka memang sedikit sebagaimana ditegaskan oleh sayyidina Ali Ibn Thalib RA. ketika berkata kepada Kuhail ibn Ziyad, Demi Allâh SWT, sungguh bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allâh SWT agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan hujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allâh SWT.

Bahwa al-Khulafa al-Rasyidin yang dimaksud oleh Nabi SAW lebih terkait dengan khalifah-khalifah spiritual daripada khalifah-khalifah di bidang politik dapat disimak pula dari kenyataan bahwa Umar bin al-Khattab RA. dan beberapa sahabat lainnya ternyata masih diperintahkan oleh Nabi SAW agar menemui dan meminta syafaat kepada Uwais al-Qarni RA., seorang laki-laki dalam Hadis riwayat Imam Muslim disebut sebagai Khayr al-Tabiin, orang terbaik di antara orang-orang yang hidup pada masa sahabat;

عن عمر رضي الله عنه، قَالَ: إنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُوْلُ: إنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسٌ، وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ، فَمُرُوهُ، فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 240، تذكرة الأولياء، ص: 49)

Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seseorang yang bernama Uwais; dia hanya punya seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allâh SWT untuk kalian, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 240, TadzkiRAt al-Auliyâ’, halaman: 49).

Berkaitan dengan diri Uwais al-Qarni RA. inilah, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah RA., disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَجِدُ نَفَسَ الرَّحْمَنِ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ

Aku mencium nafas tuhan yang Maha Rahman dari arah tanah Yaman, (Syaikh Ismail haqqi bin Musthofa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 18)

Nafas al-Rahman yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah Uwais al-Qarni. Dia adalah wali Allâh SWT yang paling besar pada masanya; disembunyikan oleh Allâh SWT di tengah-tengah rakyat jelata sehingga orang-orang tidak mengetahuinya dan bahkan sering mengejeknya. Dia berasal dariku dan aku berasal darinya, kata Rasulullah SAW (al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz 1, halaman:113).

Ungkapan Rasul ini menunjukan kepada hubungan spiritual antara Uwais al-Qarni RA. dan Nabi SAW meskipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.

Sifat dan Syarat (kualifikasi) Mursyid

Dengan menyimak misi, tugas-tugas, dan ciri khas dakwah Rasulullâh SAW dan para khalifah (pengganti) beliau dapat dipahami bahwa tidak setiap ulama’ dapat serta-merta menjadi Mursyid terutama dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan guru spiritual, karena diantara ulama ada pula bahkan banyak sekali yang sekedar berbaju ulama tetapi prilakunya justru bertentangan dengan esensi ulama’ itu sendiri, yaitu takut kepada Allâh SWT sebagaimana diisyaratkan Alquran:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ﴿٢٨﴾

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allâh Maha perkasa lagi Maha Pengampun, (Fathir, 35:28).

Di antara mereka banyak pula yang terbuai oleh harta dan kenikmatan duniawi; mereka tidak berdakwa kecuali upah yang akan diperolehnya sudah jelas. Ulama’ semacam ini oleh Imam al-Ghazali disebut dengan ulama dunia atau ulama’ su’ (jahat) : Di antara perkara-perkara yang paling penting adalah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama’ dunia dan ulama’ akhirat. Yang dimaksud dengan ulama’ dunia di sini adalah ulama’ su’ yang bertujuan mengejar kenikmatan dunia serta memburu kehormatan dan kedudukan di antara ahli ilmu, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, halaman: 58).

Oleh karena itu ketika berbicara tentang kualifikasi seorang Mursyid, Imam al-Ghazali menjadikan kebebasan dari kecintaan terhadap harta dan kedudukan sebagai kriteria awal:

Mursyid adalah orang yang:

  1. Dari batinnya sudah keluar kecintaan terhadap harta dan kedudukan.
  2. Format pendidikannya berlangsung di tangan seorang Mursyid juga, dan begitulah seterusnya hingga silsilah itu berakhir pada Nabi SAW
  3. Mengalami riyadhah (latihan jiwa) seperti sedikit makan, bicara, dan tidur, serta banyak melakukan salat, sedekah dan puasa.
  4. Memperoleh cahaya dari cahaya-cahaya Nabi SAW
  5. Terkenal kebaikan biografinya dan kemulian akhlaknya seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, damai, dermawan, qanaah, amanah, lemah lembut, rendah hati, berilmu, jujur, berwibawa, malu, tenang, tidak tergesa-gesa, dan lain sebagainya.
  6. Suci dari akhlaq yang tercela seperti sombong, kikir, dengki, tamak, beRAngan-angan panjang, gegabah dan lain sebagainya.
  7. Bebas dari ekstremitas orang-orang yang ekstrem.
  8. Kaya dengan ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah SAW sehingga tidak membutuhkan ilmu orang-orang yang mengada-ada (Ilm al-Mukallafin), (Khulashah al-Tashanif al-Tasawuf dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 173).

Sedikit berbeda dari Imam al-Ghazali, al-MukarRAm Saidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengumumkan kualifikasi sebagai berikut:

  1. Pilih Guru yang Mursyid, dicerdikan oleh Allâh SWT, bukan dicerdikan oleh yang lain-lain, dengan izin dan ridha Allâh SWT, karena Allâh SWT
  2. Yang kamil mukamil (sempurna dan menyempurna), diberi karunia oleh Allâh SWT, karena Allâh SWT
  3. Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada si murid, si murid berobah kearah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridha Allâh SWT, biidznillâh.
  4. Yang masyhur kesana kemari, kawan dan lawan mengatakan, ia seorang Guru Besar.
  5. Yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yaitu tidak dapat dicela oleh Hadis dan Alquran dan oleh ilmu pengetahuan (tidak bersalah-salahan dengan Hadis, Alquran dan akal).
  6. Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulatnya hatinya, kasih kepada Allâh. Ia ada giat bergeloRA dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi bukan karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena prestasinya itu adalah sebagai abdinya kepada Allâh SWT dalam hidupnya.
  7. Mengambil ilmu dari Polan yang tertentu; Gurunya harus mempunyai tali yang nyata kepada Allâh dan Rasul dengan silsilah yang nyata, (Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus, halaman: 173).

Dalam kitab Mutammimat, halaman 74, Nabi SAW mengajarkan kalimat thayyibah kepada para sahabat agar hati mereka jernih dan bersih jiwanya, dan selanjutnya bisa sampai kepada Allâh SWT dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi bagi orang yang berdzikir itu tidak bisa menghasilkan hati yang jernih dan jiwa yang bersih, dan juga tidak bisa menghasilkan inti dari dzikir kecuali berguru kepada seseorang yang alim yang mengamalkan ilmunya dengan sempurna dan yang memahami makna Alquran dan kitab-kitab agama, serta memahami ilmu Hadis dan sunnah, juga mengerti tentang akidah dan ilmu wushul. Serta silsilahnya sampai kepada Nabi SAW Orang yang memiliki sifat seperti inilah yang harus dijadikan guru, karena mencari guru itu harus teliti dan serius.

Bagi seorang mursyid disyaratkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Memahami apa yang dibutuhkan oleh para sâlik, seperti ilmu fiqih dan akidah, yang sekiranya dapat memalingkan sâlik ketika mengawali suluknya sehingga sâlik tidak bertanya kepada selain mursyid.
  2. Mengetahui terhadap kesempurnaan-kesempurnaan hati, tata kRAma hati, kerusakan jiwa dan penyakit-penyakitnya, serta cara memelihara hati yang telah sehat dan stabil.
  3. Lemah lembut, penyayang terhadap muslim, khususnya pada para murid sâlikin. Ketika sang mursyid melihat para muridnya tidak mampu untuk melawan hawa nafsu dan meninggalkan kebiasaannya, maka hendaknya sang mursyid memberi toleransi kepada mereka setelah memberi nasihat, tidak memutus mereka dari bimbingannya, dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai penyebab celaka mereka di hari kemudian, serta selalu menemani mereka sampai mereka memperoleh hidayah.
  4. Menutupi aib-aib para murid yang diketahui oleh mursyid
  5. Menjaga diri dari harta sâlik, dan tidak tamak pada apa yang dimiliki oleh mereka
  6. Melakukan apa yang diperintahkan oleh mursyid, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (uswah), sehingga ucapannya memiliki pengaruh pada hati para muridnya
  7. Tidak duduk (bercakap-cakap) bersama-sama para muridnya, kecuali sesuai kadar kebutuhan, dan menyampaikan masalah tarekat dan syari’at seperti menelaah kitab ini (Tanwîr al-Qulûb), agar jiwa mereka bersih dari bisikan-bisikan yang kotor, dan mereka dapat beribadah dengan sempurna.
  8. Ucapannya harus murni dan bersih dari kejelekan hawa nafsu, guRAuan, dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.
  9. Tolerir terhadap hak dirinya, yakni tidak mengharap untuk dihormati dan dimuliakan. Tidak pula memaksakan haknya yang tidak mampu dilaksanakan para muridnya, tidak menetapkan amal yang membuat mereka bosan, tidak terlalu menampakkan kebahagiaan dan kesedihan, dan tidak pula menyulitkan mereka.
  10. Jika sang mursyid menyaksikan dari salah seorang muridnya bahwa dengan sering duduk bersama murid, keagungan mursyid menjadi hilang dalam hati murid, maka sang mursyid memerintahkannya untuk berkhalwat menyendiri di tempat yang tidak terlalu jauh dari sang mursyid.
  11. Jika mursyid mengetahui bahwa harga dirinya dalam hati salah seorang muridnya runtuh, maka hendaknya sang mursyid memalingkan muridnya dengan lemah lembut.
  12. Tidak lengah untuk selalu membimbing muridnya menuju ahwâl-nya yang baik.
  13. Jika salah seorang muridnya ada yang bermimpi sesuatu, atau mengalami mukâsyafah atau musyâhadah, maka hendaknya sang mursyid tidak membicarakannya dengan murid tersebut, namun memberinya amalan yang bisa melindungi dirinya dari keburukan mimpi tersebut, dan bisa mengangkat derajatnya menjadi lebih luhur dan mulia. Karena jika mursyid membicarakan dan menjelaskan hal tersebut kepada muridnya, maka sang mursyid telah melanggar hak murid, sehingga menjadikan murid melihat dirinya memiliki derajat yang luhur, dan bisa menjatuhkan derajat diri murid sendiri.
  14. Melarang muridnya untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak termasuk kawan suluknya, kecuali sangat penting. Juga melarang muridnya untuk tidak membicarakan dengan sesama kawan suluknya tentang kemuliaan-kemuliaan yang mereka peroleh. Karena jika mursyid membiarkan hal tersebut, maka sang mursyid telah melanggar hak murid sehingga menjadikan mereka takabbur.
  15. Membuat tempat khalwat untuk digunakan sâlik menyendiri di dalamnya, yang sekiranya tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya kecuali orang-orang tertentu. Dan tempat khalwat lain untuk dijadikan tempat berkumpulnya murid dengan para murid suluk lainnya.
  16. Tidak memperlihatkan aktifitas-aktifitas dan rahasia-rahasia sang mursyid kepada muridnya, tidak pula tidur, makan, dan minum di depan muridnya. Karena dengan hal itu, bisa jadi kemuliaan sang mursyid menjadi berkurang di mata murid yang masih lemah dalam memahami orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan. Dan hendaknya, mursyid menahan muridnya yang bertindak memata-matai, dengan tujuan agar murid memperoleh kebaikan.
  17. Tidak memperkenankan murid untuk banyak makan sehingga meng-hancurkan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh sang mursyid bagi muridnya, karena kebanyakan manusia menuruti keinginan perutnya.
  18. Melarang teman-teman mursyid untuk duduk bersama dengan mursyid yang lain, karena hal ini sangat membahayakan bagi murid. Namun, jika mursyid berkeyakinan bahwa muridnya memiliki keteguhan cinta kepada dirinya dan tidak khawatir hati muridnya goncang, maka hal ini tidak apa-apa.
  19. Menjaga diri untuk tidak mondar-mandir mendatangi para pemimpin dan pejabat, agar para muridnya tidak menirunya, sehingga sang mursyid menanggung dosa dirinya dan dosa murid-muridnya, karena ini termasuk dalam Hadis:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا . رواه مسلم والترمذي

Barangsiapa melakukan tradisi yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya.

Pada umumnya, orang yang dekat dengan para pemimpin dan pejabat, sulit baginya untuk mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat yang dilihatnya. Jika sudah demikian, dengan sering berkecimpungnya mursyid dengan mereka, seakan-akan dia menyetujui terhadap kemunkaran (yang mereka lakukan).

  1. Ucapannya kepada murid-muridnya harus lemah lembut, menjaga diri dari perkataan kotor dan perkataan yang mencela mereka, agar hati mereka tidak lari darinya.
  2. Ketika salah seorang murid memanggilnya, lalu sang mursyid menjawabnya, maka sebaiknya jawaban sang mursyid itu tetap menjaga kehormatan dan kewibawaannya.
  3. Jika sang mursyid duduk di antara murid-muridnya, maka hendaknya dia duduk dengan tenang penuh wibawa, tidak banyak menoleh pada mereka, tidak tidur di depan mereka, tidak menjulurkan kaki, menundukkan pandangan, melirihkan suara, dan tidak merendahkan etikanya pada mereka. Pada hakikatnya para murid itu meyakini terhadap semua sifat yang terpuji, dan mengambilnya (sebagai contoh).
  4. Jika seorang murid mendatanginya, maka mursyid tidak berwajah muRAm. Dan ketika hendak mengakhiri (perbincangannya dengan murid), hendaknya sang mursyid mendoakannya tanpa permintaan dari murid. Dan ketika mursyid mendatangi salah seorang muridnya, maka mursyid harus dalam keadaan dan kondisi yang paling sempurna.
  5. Ketika salah seorang muridnya tidak ada, maka mursyid mencarinya dan mencari tahu apa penyebabnya. Jika murid itu sakit, mursyid menjenguknya. Jika murid itu sedang membutuhkan bantuan, maka sang mursyid menolongnya. Jika murid itu memiliki masalah, maka mursyid mendo’akannya.

Secara global, satu kalimat yang menyimpulkan seluruh etika mursyid di atas adalah mursyid harus mengikuti prilaku Rasulullah SAW yang ada pada diri sahabat-sahabat beliau SAW dengan sekuat tenaga, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 525).

Sumber: Alif.ID

12. Wasilah

Urgensi posisi Mursyid yang sangat penting dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan sebenarnya erat kaitannya dengan masalah wasilah. Allâh SWT memerintahkan agar orang-orang mukmin mencarinya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan carilah wasilah (yang menyampaikanmu) kepada Allâh, serta berjuanglah di jalan-Nya, agar kamu menang, (al-Maidah, 5:35).

Dari uraian-uraian berikut akan dipahami bahwa mursyid adalah pembawa wasilah sebagaimana Jibril adalah pembawa Buraq yang oleh Imam Zubaidi disebut sebagai kendaraan para nabi, (Syarh al-Nawawi Shahih Muslim, juz 2, halaman: 210).

Pengertian Wasilah

Wasilah artinya alat atau menurut definisi al-Razi dan Louis Ma’luf yaitu alat yang dipergunakan untuk mendekatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain, (Mukhtar al-Shihah, juz 1, halaman: 300, al-Munjid fial-Lughah, halaman: 900). Menurut Abd. Rauf, wasilah adalah alat yang memudahkan sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau dengan kata lain yang memungkinkan tercapainya suatu tujuan, (al-Ta’arif, halaman: 726).

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hampir tidak pernah lepas dari yang dimanakan wasilah dengan berbagai bentuknya. Seseorang tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan keluarganya yang tinggal di luar negri, misalnya, tanpa menggunakan wasilah yang disebut telepon.

Hubungan melalui telepon semacam ini adalah hubungan langsung, bukan hubungan melalui perantara. Telepon bukan perantara, melainkan alat yang memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara dua orang yang saling berjauhan. Perantara sangat berbeda dengan alat (wasilah). Dalam bahasa Arab, perantara biasa disebut dengan wasithah; bukan wasilah. Uang dan kendaraan adalah contoh lain dari wasilah yang sangat dibutuhkan untuk mempermudah tercapainya tujuan.

Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, yang dimaksud wasilah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan diri kita. Dengan pengertian semacam ini, maka sudah barang tentu alat tersebut sudah harus bisa sampai terlebih dahulu kepada Allâh, padahal tidak ada sesuatu yang dapat sampai kepada Allâh kecuali yang berasal dari Allâh itu sendiri. Satu-satunya yang dapat sampai kepada Allâh hanyalah cahaya (Nur) Allâh sendiri, sebagaimana tidak ada yang dapat sampai kepada matahari kecuali cahaya matahari itu sendiri.

Dengan demikian, wasilah yang dimaksud dalam ayat 35 Surah al-Maidah pasti bukan amal saleh, bukan pula keimanan dan ketaatan sebagaimana yang dipahami orang selama ini, melainkan cahaya (Nur) Allâh.
Perintah Tuhan dalam ayat 35 Surat al-Maidah tersebut adalah perintah mencari wasilah, bukan perintah mencari amal saleh, keimanan, dan ketaatan.

Mengenai tiga perkara ini perintah Tuhan yang muncul adalah mengerjakan, sehingga redaksi yang digunakan Tuhan dalam al-Qur’an bukan ibtaghu, melainkan i`malu kerjakanlah, aminu berimanlah, dan athi`u taatlah atau kata-kata lain yang menjadi derivasinya. Jadi, kata ibtaghu carilah dalam ungkapan ibtaghu al-Wasilata menjadi kata kunci dalam memahami perintah ini.

Dalam peristiwa spektakuler Isra-Miraj, selain unsur Jibril dan Muhammad, terdapat satu unsur lagi yang terlibat, yaitu Buraq, kendaraan para nabi. Dikatakan kendaraan ini disebut buraq karena warnanya yang maha putih, cahayanya yang mahaterang, kecepatannya yang mahatinggi, dan segala sesuatu yang melekat pada buraq mirip dengan kilat semuanya di luar persepsi manusia. Kata buraq memang terambil dari barq kilat, (Lisan al-Arab, juz 10, halaman: 15). Dalam riwayat yang berasal dari Anas bin Malik Ra. disebutkan bahwa buraq itu lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada bagal (peranakan kuda jantan dan keledai betina), (Shahih al-Bukhari, juz 2, halaman: 1173, Shahih Muslim, juz 1, halaman: 145, 150).

Bahasa yang digunakan oleh Rasulullâh Saw. dalam menggambarkan karakteristik buraq sebagai kuda terbang adalah bahasa kias (majaz). Hal itu tampaknya memang disengaja oleh Nabi Saw. agar bisa dipahami oleh akal umat sesuai dengan tingkat peradaban dan pengetahuan mereka ketika itu; dan bahasa semacam ini sangat sering digunakan oleh Beliau Saw. dalam al-Hadits dan bahkan juga oleh Allâh Swt. dalam al-Qur’an. Dan Allâh Swt. tidak mengutus seorang rasul-pun kecuali dengan bahasa yang dipahami kaumnya agar ia bisa memberikan penjelasan yang terang.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللهُ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٤﴾
Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia memberikan penjelasan yang terang, (QS. Ibrahim, 14:4).

Benda tercepat yang dipahami bangsa Arab ketika itu adalah kuda untuk binatang darat dan burung untuk binatang udara, sehingga sangat wajar apabila Nabi Saw. menggambarkan buraq sebagai binatang serupa kuda atau keledai yang bisa terbang sebagai perpaduan antara kecepatan kuda dan burung.

Sejalan dengan perjalanan sang waktu, peradaban dan pengetahuan manusia berkembang dengan pesat. Dari penelitian-penelitian para ilmuwan berhasil diketahui bahwa benda yang memiliki kecepatan paling tinggi bukan lagi kuda atau burung; kecepatan itu dimiliki oleh cahaya. Dari buku-buku fisika diketahui bahwa kecepatan cahaya adalah 300.00 km/detik.

Andaikata Rasulullâh Saw. hidup dan mengalami Isra-Mi’raj pada abad ini, abad teknologi yang dengan berbagai jenis kendaraan super canggih, maka dapat dipastikan bahwa buraq yang dikendarai beliau dalam peristiwa spektakuler itu tidak akan digambarkan sebagai kuda terbang yang lebih cepat dari kuda atau burung, melainkan sebagai benda yang jauh lebih cepat daripada cahaya fisik, yang tiada lain adalah cahaya Allâh Swt. sendiri, cahaya metafisika Ketuhanan, yang hakikatnya hanya diketahui oleh Sang Pemilik.

Jadi, buraq adalah cahaya (Nûr) Tuhan, dan cahaya (Nûr) inilah yang disebut wasilah. Sebagaimana unsur Jibril, keberadaan unsur buraq mutlak diperlukan dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan.

Sumber: Alif.ID

13. Qalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

Di dalam Alquran, Allâh SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nûr)-Nya yang diungkapkan dengan redaksi:

اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٣٥﴾

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu, (an-Nûr, 24:35).

Menurut Ka’ab al-Ahbar dan Ibn Jarir RA. yang dimaksud Nurihi alam ayat ini adalah Nuri al-Muhammad, Nur Muhammad, (Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 259). Ketika ditanya oleh Ibn Abbas tentang ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan: “Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allâh SWT untuk Nabi-Nya SAW al-misykah adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujajah adalah Qalbu (rohani)-nya, sedangkan al-Mishbah adalah nubuwat”, (Tafsir al-Bughawi, juz 3, halaman: 346).

Komentar senada diungkapkan oleh Ibn Umar RA. yang dikeluarkan oleh Imam al-ThabRAni, Ibn ‘Adi, Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir: “al-misykah adalah rongga dada (jasmani) Muhammad SAW, al-zujajah Qalbu (rohani)-nya sedangkan al-Mishbah adalah nur yang ada di dalam Qalbunya”, (Majma al-Zawaid, juz 7, halaman:83, al-Mu’jam al-Awsath, juz 2, halaman: 235, al-Mu’jam al-Kabir, juz 12, halaman: 317, Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 263, Fath al-Qadir, juz 4, halaman: 36).

Cahaya (nur) yang ada dalam kalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad, termasuk di dalamnya Alquran yang juga disebut dengan cahaya (nur) yang diturunkan ke dalam qalbunya

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُم بُرْهَانٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُوراً مُّبِيناً ﴿١٧٤﴾

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu`jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Alquran), (al-Nisâ’, 4: 174)

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٩٧﴾

Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Alquran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembiRA bagi orang-orang yang beriman, (al-Baqarah, 2:97).

Nur Muhammad tersebut merupakan cahaya Allâh ada di bumi sebagai satu ujung sedangkan ujung yang lain ada di sisi Allâh sendiri. Hal ini ditegaskan dengan kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang sama:

“Cahaya (Allâh) di atas cahaya (Muhammad); Allâh menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki.”

Maksudnya adalah bahwa cahaya Allâh berhubungan langsung dengan cahaya Muhammad, karena pada hakikatnya cahaya Allâh dan cahaya Muhammad adalah satu, dan ditempat lain digambarkan sebagai tali Allâh SWT yang harus dipegangi kuat-kuat. Dalam kaitan ini Allâh SWT berfirman:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٠٣﴾

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah meneRangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk, (Ali Imrân, 3: 103).

Ayat lain yang tampaknya juga penting dikemukakan di sini untuk memahami keterkaitan Cahaya (Nûr) Tuhan dengan kalbu orang mukmin sebagai singgasana nur itu, di samping keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju Tuhan adalah:

أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّن رَّبِّهِ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللهِ أُوْلَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ﴿٢٢﴾

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata, (al-Zumar, 39:22).

Imam al-Qurthubi mengutip sebuah Hadis yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang ayat itu, Bagaimana dada orang itu menjadi lapang? Rasulullâh SAW menjawab: Jika cahaya (Nur) itu masuk ke dalam qalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih bertanya, Apa tanda-tanda hal itu? Rasulullâh SAW menjawab: Melakukan perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri tipu daya (dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba saatnya, (Tafsir al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkam Alquran), juz 15, halaman: 247).

Dari informasi di atas semakin jelas bahwa cahaya (Nur) Allâh SWT bersemayam di dalam kalbu orang yang dikehendaki lapang dadanya oleh Allâh SWT, dan karena kondisi orang semacam ini dioposisikan dengan orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada Allâh Swt, maka berarti bahwa orang yang didalam kalbunya terdapat cahaya (Nur) Allâh Swt tiada lain adalah ahli dzikir. Ia adalah orang yang tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allâh SWT.

Tidak seorang pun yang mendapat gelar sebagai ahli dzikir kecuali Nabi SAW sendiri dan hamba-hamba Allâh SWT yang oleh beliau disebut sebagai mafatih al-dzikr kunci-kunci dzikir; mereka adalah wali-wali Allâh yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung berdzikir juga. Mereka itulah para ‘ulama yang disebut sebagai waratsah al-anbiya ahli waris para Nabi, yang kepada mereka Allâh SWT mewariskan Alquran, sehingga di kalbu mereka itulah wasilah atau Nur Tuhan bersemayam.

Mencari dan melihat mereka adalah kewajiban yang diperintahkan Allâh SWT kepada orang-orang yang beriman. Menemukan mereka berarti menemukan wasilah. Dengan wasilah, mereka akan dapat berhubungan langsung dengan Allâh serta memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari-Nya, sebagaimana bumi berhubungan langsung dengan matahari melalui cahayanya sehingga memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari matahari itu sendiri Rabitah (Merabit).

Unsur lain yang juga sangat fundamental dalam tarekat sebagai jalan menuju Tuhan dan sekaligus sebagai teknik berdzikir efektif adalah rabitah al-mursyid (merabit mursyid) yang dalam istilah Imam al-Munawi disebut dengan shuhbat al-mursyid bersahabat dengan mursyid, yaitu ketika ia menyinggung cara pencapaian akhlak yang terpuji dalam al-Faydh al-Qadîr-nya: “Cara memperoleh akhlak yang terpuji adalah dengan memperbanyak dzikir sambil bersahabat dengan mursyid yang sempurna”, (Faydh al-Qadîr, juz 3, halaman: 467).

Bersahabat dengan mursyid melahirkan akhlak yang agung, menyemaikan kesadaran keagamaan yang benar, dan membangkitkan gelora cinta ilahi yang tersalur dari kalbu mursyid ke dalam kalbu murid. Bersahabat dengan mursyid yang sempurna adalah langkah awal yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Tuhan. Perjalanan ini sekaligus menjadi sarana diagnosa dan terapi terhadap penyakit-penyakit yang dijangkitkan oleh virus paling ganas bernama iblis.

Dalam setiap kalbu terdapat apa yang disebut hazhzh al-Syaithan bagian setan, dan bagian inilah yang diambil Jibril dari qalbu Nabi Muhammad SAW. pada saat Beliau SAW berusia empat atau lima tahun dan pada saat menjelang kebeRangkatan beliau dalam perjalanan malam menuju Tuhan, (Shahih Muslim, juz 1, halaman: 147, Shahih Ibn Hibban, juz 14, halaman: 242, al-Mustadrak, juz 2, halaman: 575, Musnad Ahmad, juz 3, halaman: 149, 288, Musnad Abi Ya’la, juz 6, halaman: 108, 224, Musnad Abi Awanah, juz 1, halaman: 113, 125).

Sumber: Alif.ID

14. Rabitah (Merabit)

Dari segi bahasa makna rabitah adalah hubungan atau ikatan; terambil dari kata rabth yang berarti mengikat atau menghubungkan, (al-Munawir Qamus ‘Arabi-Indunisia, halaman: 501). Ungkapan rabitah al-mursyid, dengan demikian, menunjukan kepada makna menghubungkan diri dengan mursyid atau merabit dengan mursyid.

Pada hakikatnya perintah rabitah itu mengikuti dan mempunyai landasan dari ayat Alquran, Hadis dan pendapatnya para ulama’, Di dalam Alquran perintah melakukan rabitah diungkapkan melalui firman Allâh SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٢٠٠﴾

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung, (Ali `Imrân, 3: 200).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan, (al-Maidah: 35)

Sedangkan dari Hadis sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih al-Bukhari:

أَنَّ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ  الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ شَكَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَمَ انْفِكَاكِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ حَتَّى فِى الْخَلَاءِ، أَيْ بِحَسْبِ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ كَرَّمَ اللهُ تَعَالَى وَجْهَهُ يَأْخُذُهُ الْحَيَاءَ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (البهجة السنية، ص: 71)

Sesungguhnya sayyidina abu bakar as-Shiddiq RA. mengeluh kepada nabi Muhammad SAW. Tidak dapat berpisah dengan nabi hingga di dalam tempat mandi sekalipun (secara ruhani atau terbayang-bayang), sehingga Abu Bakar RA. merasa malu terhadap nabi SAW, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 71).

وعن أَبي موسى الأشعري رضي الله عنه: أن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: (( المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 237)

Kata rabithu dalam ayat tersebut menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab-nya bermakna hafizhu atau lazimu berkekalan atau terus-menerus, yaitu al-Muwazhabah ‘ala al-Amr berkekalan atau terus-menerus melakukan sesuatu. Asal makna RAbithu (ribath atau murabathah) adalah al-Iqamah ‘ala jihad al-‘aduw (melakukan perang terhadap musuh), (Lisan al-Arab, juz 7, halaman: 303).

Pemahaman ideal mengenai maksud kata rabithu (ribrah atau murabathah) dalam firman Allâh tersebut, dengan menyimak makna-makna yang terkait dengan kata itu sendiri, muncul dalam tarekat, yaitu berkekalan atau terus-menerus menghubungkan diri secara rohani dengan mursyid dalam rangka memerangi iblis sebagai musuh manusia yang paling nyata. Tidak ada musuh yang paling layak untuk selalu diwaspadai dan diperangi kecuali iblis la’natullah yang memang berusaha terus menghancurkan manusia.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) pada dasarnya adalah berjamaah secara rohani dengan mursyid, yaitu imam-berimam dalam khafilah rohani Rasulullah SAW Menunjuk kepada pengertian inilah Imam Ja’far al-Shâdiq, tokoh sufi dari kalangan ahli bait Nabi SAW, yang dikutip oleh Abu Nu’aim al-Ishfahani dalam ensiklopedia orang-orang suci–nya yang berjudul Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ mengatakan: “Barangsiapa menjalani hidup dengan bergabung dalam batin (rohani) Rasul, maka dialah yang disebut orang sufi, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 20).

Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) menunjuk kepada makna melibatkan Rasul SAW dalam setiap munajat dan ibadah agar munajat dan ibadah itu dapat langsung mendapat sambutan dari Allâh sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allâh SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللهَ تَوَّاباً رَّحِيماً ﴿٦٤﴾

Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, (al-Nisâ’, 4: 64).

Melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dalam ibadah dapat disimak pula dari sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan imam-imam Hadis lainnya disebutkan bahwa ketika Umar meminta izin kepada Nabi SAW, untuk menunaikan ibadah umrah, Nabi SAW bersabda:

فَقَالَ يَا أَخِي لَا تَنْسَنَا مِنْ دُعَائِكَ، (مسند أحمد، ج 1، ص: 326)

“Wahai saudara mudaku, serikatkan (libatkan) kami dalam doamu dan jangan lupakan kami, (Musnad Ahmad, juz 1, halaman: 326).

Dalam kasus yang berbeda, melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dapat disimak dari kisah Umar ibn Khaththab RA. yang melibatkan Paman Nabi SAW yang bernama Abbas RA. ketika ia berdo’a memohon hujan:

فَقَدْ ذَكَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَتَوَسَّلُوْنَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ حَيَاتِهِ فِي الْاِسْتِسْقَاءِ ثُمَّ تَوَسَّلَ بِعَمِّهِ الْعَبَّاسِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَتَوَسَّلَهُمْ هُوَ اِسْتِسْقَاؤُهُمْ، (تحفة الأحوذي، ج 10، ص: 26)

Sayyidina umar RA. Telah menyebutkan sesungguhnya para sahabat bertawassul kepada nabi di waktu masih hidup untuk meminta hujan kepada Allah SWT kemudian para sahabat bertawassul kepada paman nabi (abbas) setelah wafat beliau, (Tuhwah al-Ahwadzi, juz 10, halaman: 26).

Artinya, Umar melibatkan ‘Abbas RA. sebagai pengganti Rasul SAW untuk mendapatkan karunia Allâh SWT berupa hujan. Dengan melibatkan ‘Abbas RA. sesungguhnya Umar RA. hendak bergabung dalam khafilah rohani Rasul SAW melalui orang yang masih hidup dan yang dicintai Rasul SAW meskipun Umar RA. sendiri memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Rasul SAW

Berdasarkan hal ini, maka orang-orang mukmin lainnya, apalagi yang hidup pada masa sekarang, sudah seyogianya mencari seorang hamba Allâh SWT yang karena kecintaan dan ketaatannya kepada Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW layak dicintai oleh Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW dan layak pula menduduki posisi sebagai khalifah pengganti Rasul SAW.

Teknik Melakukan Rabitah

Di dalam shalat, ketika melakukan tasyahud, kita diperintahkan mengucapkan salam kepada Nabi SAW, Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam dan Rahmat serta barakah Allâh untukmu wahai Nabi SAW). Perintah ini harus dilakukan secara lahir dan batin, secara lahir dengan mengucapkan salam itu sendiri, sedangkan secara batin adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani Rasul SAW, agar kita bisa bersama dengan Beliau SAW

Bersama dengan Rasul SAW sekaligus mengandung makna bersama dengan Allâh SWT karena Rasul SAW tidak pernah berpisah sedetik-pun dari-Nya. Kenyataan bahwa di dalam rohani Beliau SAW tersimpan Nur Allâh SWT, dan bahwa Beliau SAW sebagaimana ditegaskan oleh Aisyah RA. selalu berdzikir kepada Allâh SWT

حدثنا هارون بن معروف حدثنا اسحاق الأزرق حدثنا زكريا بن أبي زائدة عن خالد بن سلمة عن البهي عن عروة : عن عائشة أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يذكر الله في كل احيانه، (مسند أبى يعلى، ج 8، ص: 355 )

Dalam kaitan inilah mengapa sebagian Kaum Arifin yaitu orang-orang yang sudah mengenal Allâh SWT secara tahkik berkata: “Bersamalah engkau selalu dengan Allâh, dan jika engkau belum bisa, maka bersamalah engkau selalu dengan orang yang sudah bersama dengan Allâh”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 512).

Namun begitu, karena kita tidak mengenal Rasul SAW secara jasmani, maka yang dapat kita lakukan adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani ulama yang kita kenal secara jasmani, yaitu ulama yang benar-benar berkapasitas sebagai Waratsah al-Anbiyâ’ (Ahli Waris Para Nabi), yang kepada mereka beliau mewariskan isi rohani beliau dengan izin Allâh SWT.

Hamba-hamba Allâh SWT seperti itu dalam Alquran disebut antara lain dengan al-Shadiqun, dan Allâh memerintahkan kita agar selalu bersama dengan mereka (secara jasmani dan rohani).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh SWT dan hendaklah kamu selalu bersama orang-orang yang benar, (al-Taubah, 9: 119).

Bahkan, bersama atau berjamaah secara rohani jauh lebih mungkin direalisasikan daripada berjamaah secara jasmani, sebab tidak mungkin kita dapat berjamaah dengan mereka secara jasmani dalam semua keadaan. Maka al-Shadiqun yaitu orang-orang yang benar, dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang benar dalam keimanan mereka kepada Allâh, sehingga sebutan lain yang dikemukakan Alquran untuk mereka adalah al-Muminuna Haqqan, orang-orang mukmin sejati (hak), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allâh SWT, hati mereka bergetar dan apabila dibacakan ayat-ayat Allâh SWT kepada mereka keimanan mereka semakin bertambah, dan hanya kepada Allâh SWT mereka bertawakal, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian harta yang dikaruniakan kepada mereka.

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٤﴾ كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ ﴿٥﴾

(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka, (al-Anfâl, 8: 3-5).

Bukan orang-orang yang beriman tetapi di dalam hatinya tumbuh subur sifat-sifat nifaq (munafik) yang diantara ciri-ciri utama mereka adalah bahwa mereka tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً ﴿١٤٢﴾

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali, (al-Nisâ’, 4: 142).

Mereka tiada lain adalah wali-wali Allâh yang oleh Nabi sebagaimana disinggung sebelumnya disebut dengan Mafatih al-Dzikr ‘kunci-kunci dzikir’, dan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kaum sufi, dan oleh Ibn Taimiyah disebut sebagai golongan yang paling baik setelah Nabi, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 11, halaman: 17). Memandang mereka melahirkan dzikir kata Nabi dalam riwayat Imam al-ThabRAni ketika menggambarkan keberadaan mereka, (al-Mu’jam al-Kabir, juz 10, halaman: 205). Memandang mereka, terutama yang dilakukan secara rohani, mewujudkan apa yang dimaksud dengan Rabitah di sini.

Rabitah sebagai Penghalau Iblis

Melakukan Rabitah pada dasarnya dimaksudkan sebagai realisasi atas perintah berjamaah yang dalam nash diungkapkan dengan berbagai redaksi. Imam al-Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir-nya mengutip sebuah Hadis Nabi SAW, Kalian harus berjamaah, (al-Tarikh al-Kabir, juz 8, halaman: 447). sementara Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan sebuah Hadis bahwa Nabi SAW bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وإِيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، أَخْرَجَهُ الترمذيُّ

Wahai manusia, kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai-beRAi, (Jâmi’ Ushûl fi Ahâdits al-RAsûl juz 6, halaman: 669).

Imam al-Tirmidzi dan al-Nasai meriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Umar berkhutbah menyampaikan sabda-sabda Nabi yang di dalamnya antara lain beliau bersabda: Kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai (dari jamaah), karena setan bersama orang yang sendirian, (Sunan al-Tirmidzi, juz 4, halaman: 465, al-Sunan al-KubRA, juz 5, halaman: 388).

Dalam riwayat Imam al-Baihaqi Hadis tersebut diungkapkan dengan redaksi:

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْحَافِظِ ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ مُحَمَّدِ بْنِ يَعْقُوْبَ ثَنَا عَبَّاسُ بْنِ مُحَمَّدٍ الدَّوْرِيْ ثَنَا هَارُوْنُ بْنُ مَعْرُوْفٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ حَدَثَنِيْ سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِيْ الْعُمْيَاءِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ مَهْجَانِ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ مِنْ أَهْلِ إِيْلِيَاءِ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فِيْ حَدِيْثٍ ذَكَرَهُ قَالَ: لَمَّا دَخَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الشَّامَ حَمِدَ اللهُ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَرَ وَأَمَرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا خَطِيْبًا كَقِيَامِيْ فِيْكُمْ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَصِلَةِ الرَّحْمِ وَصِلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ

Kalian harus berjamaah, karena tangan Allâh ada di atas jamaah dan setan bersama orang yang sendirian, (Syu’ab al-Iman, juz 7, halaman: 488).

Hadis-Hadis di atas semuanya mengisyaratkan pentingnya berjamaah sebagai ajaran agama yang sangat fundamental, baik dalam urusan ibadah maupun dalam urusan muamalah, baik secara jasmani maupun secara rohani.

Dalam shalat kita dianjurkan berjamaah; bahkan setengah ulama menghukumi shalat berjamaah itu wajib berdasarkan hadis-hadis Nabi yang antara lain mengancam akan membakar rumah-rumah penduduk yang dekat dengan mesjid tetapi penghuninya tidak mau shalat berjamaah, (Shahih Muslim, juz 1, halaman: 451; Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, halaman: 153).

Tujuan paling pokok dari berjamaah adalah melindungi diri dari gangguan iblis yang selalu mencari celah untuk memalingkan manusia dari kebenaran menuju kesesatan, dan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.

Kalau yang dimaksud berjamaah hanya semata-mata berjamaah secara jasmani, maka efektivitas perlindungan diri tidak akan tercapai secara maksimal, sebab yang menjadi sarang iblis adalah kalbu manusia, sehingga kalbu pun harus dikondisikan agar juga berjamaah, yaitu dengan melakukan rabitah (merabit mursyid).

Rabitah yang dilakukan secara berkesinambungan melahirkan berbagai fenomena positif sebagai karunia Tuhan yang jenisnya bergantung kepada kehendak-Nya, antara lain yang paling utama adalah mengalami atau merasakan kahadiran Tuhan. Apa yang dialami Nabi Yusuf As. ketika nyaris terjerumus dalam kemesuman merupakan salah satu indikasi atas kenyataan ini.

Di dalam Alquran diceritakan bahwa Yusuf sudah nyaris melakukan perbuatan mesum bersama Zulaikha andai kata ia tidak melihat dan mengalami bukti Tuhannya. Ibn Abbas RA. menjelaskan, yang dikutip oleh Imam al-Thabari dalam Tafsir-nya, bahwa ungkapan andai kata Yusuf tidak melihat bukti Tuhannya dalam surah Yusuf ayat ke-24 tersebut adalah andaikata ia tidak melihat bayangan bentuk wajah ayahnya, (Tafsir al-Thabari, juz 16, halaman: 34, nomor 19013). Dari penjelasan Ibn Abbas ini semakin jelas bahwa Yusuf mengalami rabitah secara otomatis dengan izin Allâh SAW

وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابُ، وَذَهَبَ لِيَحِلَّ سَرَاوِيْلَهُ، فَإِذَا هُوَ بِصُوْرَةِ يَعْقُوْبَ قَائِمًا فِي الْبَيْتِ، (تفسير الطبري، ج 16، ص: 34، رقم 19013)

Dalam hal berdzikir kepada Allâh khususnya, melakukan rabitah merupakan keharusan, karena jalan yang ditempuh dalam berdzikir adalah jalan rohani yang sangat halus dan penuh dengan ranjau-ranjau iblis yang selalu berusaha memalingkannya dari jalan Allâh untuk kemudian menjerumuskannya ke dalam kesesatan.

Dalam kaitan inilah Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan dalam kitabnya Nihayah al-Zain, Orang yang berdzikir wajib mengikuti salah seorang Imam dari Imam-imam tasawuf, (Nihayah al-Zain (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.) halaman: 7).

Sumber: Alif.ID

15. Suluk

Dalam wacana sufi, perjalanan dalam menempuh jalan-jalan menuju Tuhan disebut dengan suluk. Adapun orang yang melakukan perjalanan disebut sâlik.

Asas pertama tarekat adalah al-Iradah, yaitu kehendak atau kemauan bulat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allâh SWT dengan menapaki jalan-jalan (menuju-Nya) secara sungguh-sugguh sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan benar-benar mengalami dan merasakan (kehadiran) Tuhan (Rukun Ihsan: Seolah-olah beribadah melihat Allâh SWT apabila tidak maka sadirilah bahwa Allâh SWT melihatnya). Perintah Tuhan mengenai hal ini sangat jelas ketika berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan carilah wasilah, serta bersungguh-sungguhlah menapaki jalan-jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu memperoleh kemenangan atau kesuksesan, (al-Maidah, 5:35).

Sebenarnya tidak hanya manusia yang diperintahkan Tuhan untuk menapaki jalan-jalan-Nya lebah pun bahkan menjadi objek yang dikhitab Tuhan dengan perintah yang sama melalui wahyu yang disampaikan kepadanya, maka tempuhlah jalan-jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan untukmu.

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٦٩﴾

Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan, (al-Nahl, 16: 69).

Dalam kasus lebah ini terdapat tanda ketuhanan yang layak direnungkan oleh murid (orang yang berkehendak bulat bertemu dengan Tuhan). Perjalanan menuju Tuhan tidak mungkin dapat dilakukan, dan jalan-jalan menuju Tuhan pun tidak akan pernah tersingkap, kecuali dengan mujahadah (perjuangan yang sungguh-sungguh) yang dimotori oleh iradah tersebut. Hal ini ditegaskan Tuhan dalam sebuah firman-Nya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوْا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٦٩﴾

Dan orang-orang yang ber-mujahadah di dalam Kami, kepada mereka Kami benar-benar menunjukkan jalan-jalan menuju Kami; sesungguhnya Allâh benar-benar bersama dengan orang yang mengalami ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allâh), (al-Ankabût, 29:69).

Latihan kejiwaan

Di dalam suluk, para sâlik menyibukan diri dengan riyadhah (latihan kejiwaan) dalam Rangka pendekatan diri kepada Allâh (al-Taqarrub ilallâh) melalui pengamalan ibadah-ibadah faraidh (wajib) dan nawafil (sunnah), semua aktivitas ini dilakukan di atas fondasi dzikrullah, di samping dzikrullah itu sendiri dijadikan sebagai amalan yang berdiri sendiri, lepas dari ibadah-ibadah lainnya, sebagai wujud konkret pengamalan firman Allâh SWT dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً، (سنن الترمذي، ج 4، ص: 418، رقم: 3603، صحيح البخاري، ج 4، ص: 541، رقم: 7405).

Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya,maka Aku berdzikir kepadanya dalam diri-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam suatu kelompok, maka Aku berdzikir kepadanya dalam kelompok yang lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta; maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari, (Sunan at-Tirmidzi, juz 4, halaman: 418, nomor: 3603, Shahih al-Bukhari, juz 4, halaman: 541, nomor: 7405).

Intinya semua sunnah Nabi sebagai model Alquran yang hidup, nyata, dan sempurna, yang dalam bahasa Aisyah diungkapkan dengan redaksi akhlak Nabi adalah Alquran, (Musnad Ahmad, juz 6, halaman: 91, al-Mu’jam al-Awsath, juz 1, halaman: 30), diwujudkan secara konkret dan sungguh-sungguh dalam suluk. Berkekalan dalam wudhu, berdzikir dalam setiap keadaan (berdiri, duduk dan berbaring), berjamaah dalam semua salat wajib, menjaga moderasi antara lapar dan kenyang, menghiasi waktu malam dengan berbagai ibadah dan shalat sunah, mengosongkan qalbu dari selain Allâh SWT, mengarahkan segenap konsentrasi dan perhatian sebagian contoh sunnah Nabi yang dipraktekkan dalam suluk.

Suluk sekaligus merupakan jalan menuntut ilmu dan ma’rifah yang dengannya Allâh SWT melempangkan jalan menuju surga yang notabene jalan menuju Allâh SWT sendiri karena surga tidak ada kecuali di sisi Allâh. Sebuah Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan imam-imam Hadis lainnya, mendukung kenyataan ini:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْماً سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الجَنَّةِ

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allâh memudahkan baginya jalan menuju surga, (Sunan at-Tirmidzi, juz 5, halaman: 48, Sunan Ibn Majjah, juz 1, halaman: 71).

Sumber: Alif.ID

16. Suluk dalam Pandangan Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah yang selama ini dituding sebagai anti tarekat ternyata justru sangat mendukung suluk sebagai unsur fundamental dalam tarekat. Dalam kaitan ini ia menegaskan dalam Majmû’ al-Fatawâ-nya, ”Suluk adalah menempuh jalan yang diperintahkan Allâh dan Rasul-Nya berupa realisasi akidah, ibadah, dan akhlak”.

Semua ini sangat jelas dalam ibadah Alquran dan Sunnah, karena suluk menempati posisi makanan yang merupakan keharusan bagi orang mukmin. Oleh karena itu, semua sahabat mengenal suluk dengan petunjuk Alquran dan Sunnah dan sekaligus dari penyampaian Rasul sendiri.  Mereka tidak membutuhkan ahli-ahli fiqih dari kalangan sahabat, dan tidak pernah saling bertentangan satu sama lain.

Ini berbeda ketika ahli-ahli membicarakan fikih. Mereka cenderung saling bertentangan dalam kasus-kasus fiqih. Mereka berbicara dalam fatwa-fatwa yang diminta oleh suatu kelompok mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan fikih.

Adapun masing-masing dari mereka yang melakukan suluk, mendekatkan diri kepada Allâh SWT dengan mengintensifkan ibadah yang diwajibkan dan yang disunnahkan,  berpedoman kepada Alquran dan Sunnah. Jika salah seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allâh dan Rasul-Nya.

Kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi SAW sendiri. Ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allâh nurun ‘ala nurin (cahaya di atas cahaya), (Majmû’ al-Fatawâ, juz 19, halaman: 273).

Lebih jauh Ibn Taimiyah menegaskan bahwa masalah suluk merupakan bagian dari masalah akidah yang semuanya ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah sehingga tidak layak dipertentangkan: “Masalah suluk merupakan salah satu jenis masalah akidah; semuanya ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah. Mereka (para sahabat) tidak pernah saling bertentangan dalam masalah akidah dan tidak pula dalam masalah tarekat (jalan) menuju Allâh. Apalagi, dengan tarekat seseorang dapat menjadi salah seorang wali dari wali-wali Allâh yang abrar (bebas dari noda durhaka)  dan muqarrabin, (didekatkan kepada Allâh).

Oleh karena itu, syaikh-syaikh tarekat sufi jika memerlukan rujukan dalam perkara-perkara syariat seperti yang berkenaan dengan nikah, warisan, bersuci, sujud sahwi, dan yang semacamnya,  akan mengikuti (taklid) ahli-ahli fiqih…berijtihad. Barang siapa di antara mereka mengikuti Rasul, maka ia benar, dan barangsiapa menyimpang dari Rasul, maka ia salah”, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 19, halaman: 274).

Jadi, dalam pandangan Ibn Taimiyah, sebuah pandangan yang sangat ideal, suluk merupakan masalah akidah sehingga tidak dapat didekati dengan pendekatan fikih, atau merupakan realisasi konkret dari tasawuf yang oleh Imam Muhammad Ibn Ahmad bin Jazi al-Kalabi al-Gharnathi disebut sebagai fikih batin, (al-Qawanin al-Fiqhiyyah li Ibn Jazi, halaman: 277).

Hal-hal yang berkenaan dengan suluk semuanya didasarkan pada Alquran dan Sunnah. Khalwat Nabi SAW di Gua Hira’, khususnya, menjadi rujukan utama bagi para salik sebagaimana ditegaskan juga oleh Buya Hamka ketika ia mengatakan: “Maka kaum Shufiyah yang menyucikan dirinya dalam khalwatnya itu, pun mengambillah contoh teladan atas amal-amal mereka dalam khalwat, suluk dan tarekat, dan bermacam-macam sistem yang lain: khalawat dan tahannust Nabi di Gua Hira’, sampai terbuka hijab kegaiban oleh kemurnian jiwa”, (Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 23).

Melalui suluk yang memenuhi syarat dan rukunnya, seseorang dengan izin Tuhannya akan mencapai tauhid yang murni atau “mengalami” Allâh Swt secara haqq al-Yaqin (keyakinan yang hak yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun), sehingga tidak lagi memerlukan argumentasi-argumentasi logis mengenai keberadaan dan keesaan-Nya. Ia sudah mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Allâh SWT sehingga ia pun berjalan di muka bumi bagaikan pelita yang menerangi sekelilingnya.

Pelita mereka berasal dari nûrun ‘ala nûrin (cahaya di atas cahaya). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah sambil mengutip firman Allâh SWT dalam ayat ke 35 dari surah al-Nur menggambarkan  dengan ungkapan: “Lampu-lampu seseorang yang ‘mengalami’ Allâh SWT secara tahkik (muwahhid) dan yang berjalan (salik) di atas jalan dan tarekat Rasul menyala dan bersinar dari pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang tidak tumbuh di Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya sudah hampir bisa menerangi tidak disentuh api. Nurun ‘ala nurin, Allâh membimbing kepada cahaya-Nya orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan Allâh SWT membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia”, (Madârij al-Sâlikin, juz 3, halaman: 98).

Suluk, Realisasi Khalwat, Uzlah, dan I’tikaf

Dalam tarekat sufi suluk dipahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan ‘uzlah, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu (10, 20, atau 40 hari) di sebuah tempat yang bebas dari kebisingan dan hiruk pikuk duniawi.

Teladan yang diambil oleh para salik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi melakukan khalwat dan tahannuts di Gua Hira’. Imam al-Bukhari dan Muslim serta beberapa imam Hadis lainnya meriwayatkan sebuah Hadis bahwa umm al-Mu’min Aisyah berkata:

ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ فَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِىَ، (سنن الكبرى للبيهقى، ج 9، ص: 6).

Nabi digemarkan oleh Allâh untuk melakukan khalwat, beliau selalu berkhalwat di Gua Hira’ dan melakukan tahannuts di sana, yaitu beribadah selama beberapa malam tertentu, (Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 9, halaman: 6).

Para sufi melakukan suluk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh Alquran disebut sebagai rumah-rumah yang diizinkan Allâh SWT untuk dimuliakan dan dijadikan tempat berdzikir menyebut asma-Nya

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ ﴿٣٦﴾

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, (al-Nûr, 24:36).

Rumah-rumah semacam inilah yang oleh para salik dijadikan tempat khalwat dan ‘uzlah; mereka menetap disitu selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan dzikir secara intensif. Dengan demikian, tidak mengheRAnkan apabila suluk mereka disebut juga dengan I’tikaf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu.

Dalam kasus ini para salik merujuk kepada I’tikaf Nabi SAW selama sepuluh hari dalam bulan RAmadhan. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa ‘Aisyah RA. berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

Nabi SAW selalu I’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan bulan RAmadhan sampai Allâh mewafatkan beliau, (Shahih Muslim, juz 2, halaman: 830).

Dan satu yang barangkali penting digarisbawahi di sini adalah bahwa I’tikaf pada dasarnya merupakan ibadah tersendiri; artinya tidak harus terkait dengan keharusan berpuasa dan tidak harus pula terkait dengan bulan Ramadhan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ، (المستدرك، ج 1، ص: 439)

Tidak ada keharusan berpuasa atas orang yang beri’tikaf kecuali ia menetapkan puasa itu untuk dirinya sendiri, (al-MustadRAk, juz 1, halaman: 439).

Imam al-Baihaqi dan beberapa Imam Hadis lainnya meriwayatkan dari Aisyah RA. bahwa ia berkata: “Nabi SAW pernah melakukan I’tikaf selama sepuluh hari pertama bulan syawal”.

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ….﴿١٤٢﴾

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan TauRAt) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam, (Q.S al-A’râf: 142).

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah mengutip pendapat ulama’ yang mendukung keabsahan I’tikaf sebagai ibadah yang mandiri ketika ia mengatakan: “I’tikaf merupakan ibadah yang berdiri sendiri, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya ibadah-ibadah lainnya seperti haji, salat, jihad dan ribath (merabit); i’tikaf adalah menetap di suatu tempat tertentu untuk melakukan ketaatan kepada Allâh Ta’ala, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya ribath (merabit); dan i’tifaf merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh) itu sendiri sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i’tikaf sebagaimana halnya haji”, (Hasyiyah Ibn al-Qayyim, juz 7, halaman: 106).

Satu hal yang pasti adalah bahwa suluk yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allâh SWT akan melahirkan manusia baru, yang dari dalam hatinya memancar mata air dan sumber-sumber hikmah yang kemudian mengalir pada lisannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW

أبو هريرة رضي الله عنه: قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَخْلَصَ للهَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ظَهَرَتْ يَنَابِيْعُ الْحِكْمَةَ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ. أخرجه رزين، (جامع الأصول فى أحادث الرسول، ج 11، ص: 557، عوارف المعارف، ص: 255)

Barangsiapa mengikhlaskan dirinya selama empat puluh pagi (hari) kecuali dari kalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya, (Jâmi’ Ushûl fi Ahâdits al-RAsûl, juz 11, halaman: 557; `Awârif al-Ma’ârif, halaman: 255).

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa suluk dapat membidani kelahiran manusia baru yang utuh sehingga layak dijadikan sarana pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada kenyataan.

Sumber: Alif.ID

17. Beragam Tarekat Satu Hakikat

Tarekat adalah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal tarekat dari generasi ke generasi sampai sekarang.

Adapun dalam konteks wirid, Nabi SAW telah memberikan isi dzikir kepada para sahabat sesuai dengan derajat dan ahwalnya. Secara khusus ada dua sahabat yang diberikan oleh Rasulullâh SAW:

  1. Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq. Ia mengambil dari beliau dzikir ismu al-Mufrad yaitu “Allâh”.
  2. Sahabat Ali bin Abi Thalib. Ia  mengambil dari beliau dzikir al-nafi wa al-itsbat yaitu “la ilaha illallâh”. Sebagaimana disebutkan oleh beberapa sumber sejarah, sahabat Ali bin Abi Thalib RA para suatu hari datang kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi bersabda, “Wahai Ali kamu harus melanggengkan dzikir kepada Allâh SWT dalam keadaan sendiri (khalwat)”.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Sahabat Ali berkata, “Ini adalah fadhilah dzikir. Setiap manusia melakukan dzikir.” Maka Rasulullah bersabda, “ Wahai Ali kiamat tidak akan terjadi selama disebut lafadz “Allâh”. Lalu sahabat Ali bertanya, “Bagaimana cara aku berdzikir wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjawab, “Pejamkan matamu lalu dengarkan aku tiga kali, lalu ucapkanlah tiga kali sekiranya aku mendengar.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Kemudian Rasulullah bersabda, “Laa ilaaha illallâhu tiga kali, sambil memajamkan kedua mata beliau seraya mengeraskan suara dan Ali mendengar. Lalu Ali mengucapkan  Laa ilaaha illallâhu tiga kali, sambil memajamkan kedua mata beliau seraya mengeraskan suara dan Rasulullah SAW Mendengar”, (Abd Rahman Jabarut, Tarikh ‘Ajaibu al-Atsar fi al-Tarajim wa al-Akhbar, Juz 1, halaman: 346).

Sejak munculnya tasawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Tarekat” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Sufi. Pada saat itu disebut “Tarekat Shufiyyah” (metode orang-orang Sufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Tarekat Arbabi al-Aql wa al-Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran.

Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata atau empiris). Istilah “tarekat” terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “tarekat.”

Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Sufi di dalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allâh SWT dan ridhanya. Ada yang menggunakan metode latihan-Iatihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthmainah, lalu ke nafsu mulhimah, kemudian ke tingkat nafsu radhiyah, lalu ke nafsu mardhiyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah.

Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allâh dalam keadaan apapun.

Perlu digarisbawahi di sini, bahwa meskipun nama tarekat dan metodenya beragam tapi tujuan dan hakekatnya satu. Hal ini sesuai dengan pernyataan para imam dan Syaikh tarekat. Di antaranya adalah:

  1. Imam al-Junaid bin Muhammad(297 H): Ahli Sufi adalah penghuni satu rumah, dimana orang lain tidak dapat memasukinya, (al-Risalah al-Qusyairiyah, halaman: 127).
  2. Imam Ibnu Arabi(638 H): Sesungguhnya para ahli adzwaq (Tarekat) jelas berada pada satu jalan, (al-Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 213).
  3. Ibnu ‘Ajibahmenjelaskan pernyataan Ibnu Bana Sirqisthi: Madzhab Sufi telah disepakati maksud dan aktifitasnya meskipun berbeda-beda jalurnya. Sesungguhnya al-Haq adalah satu dan jalannya adalah satu meskipun berbeda-beda jalurnya, titik akhirnya satu dan Rasanya (dzauq) satu. Maknanya sebagaimana dikatakan bahwa tarekat-tarekat itu bermacam-macam dan jalan al-Haq adalah satu. Madzhab Sufi adalah kesesuaian atau kesamaan antara ushul dan furu’, (al-Futuhât al-Ilahiyah, halaman: 101).
  4. Razaq Qasyani(730 H), “Maksud saya, sesungguhnya jalan (thariq) dan tujuan (ghayah) adalah hakekatnya satu, yaitu Al-Haq (Allâh Swt)”, (Syarah Fushûsh al-Hikam, halaman: 155).
  5. Qadir Isa: Sesungguhnya jalan (thariq) hakekatnya satu, meskipun beRagam metode amaliyah dan tata cara sesuai dengan ijtihad pada masa, situasi dan kondisi saat itu. oleh karena itu muncul beRagam tarekat sufi yang mana hakikatnya adalah satu, ( Haqaiq ‘an al-Tasawuf, halaman: 272).

Selain beberapa pernyataan di atas, ada beberapa pernyataan senada yang mungkin terlalu banyak kalau semuanya ditulis. Diantaranya adalah:

  1. Syaikh Abu Nasr Siroj al-Thusi(378 H), (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 457).
  2. Syaikh Abu Thalib al-Makki(386 H), (Qûth al-Qulûb, juz 2, halaman: 79).
  3. Imam Abu Hamid Muhammad aL-Ghazâli(505 H), (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, halaman: 255).
  4. Syaikh Ahmad Shawi al-Maliki al-Khalwati(1241 H), (al-AsRAr al-RAbbaniyah wa al-Fuyudhat al-Rahmaniyah, halaman: 45).
  5. Syaikh Muhammad Kansus Tijani(1294 H), (Kasyfu al-Hijab, halaman: 329).
  6. Syaikh Muhammad Abu al-Faidl al-Manufi(1312 H), (Ma’alim al-Thariq ila Allâh, halaman: 262).

Kebanyakan orang menganggap bahwa tasawuf terdiri dari beberapa madzhab dan aliran. Mereka menyamakan dengan bidang keilmuan yang menggunakan analisa logika sebagaimana filsafat. Kalau filsafat menggunakan analisa logika maka pantas muncul beberapa aliran. Sedangkan tasawuf adalah pengalaman seseorang (tajribah), maka tetap satu madzhab dan tidak terjadi brRagam aliran. Kalau kenyataan jalan (tarekat) tasawuf bermacam-macam, tetapi adanya perbedaan dan beragam jalan tersebut, semuanya menuju satu tujuan, (lihat al-Ta’arruf limadzhab ahli al-Tashawuf, halaman: 12-13).

Melihat beberapa pernyataan di atas maka sangat jelas sekali bahwa meskipun nama tarekat dan metodenya beragam tapi tujuan dan hakikatnya satu, yaitu al-Haq Allâh SWT (ilahi anta maqshudi waridlaka mathlubi).

Sumber: Alif.ID

18. Nama-Nama Tarekat Sedunia

Tarekat sangat banyak jumlahnya. Mari kita mengenal mereka secara mendalam. Namun terlebih dahulu, lihat dan baca dulu seratusan nama tarekat di bawah ini. Penjelasan lebih lanjut hadir di ngaji berikutnya
  1. Tarekat al-Ibâhiyyah
  2. Tarekat al-ittihâdiyyah
  3. Tarekat al-Ahmadiyyah atau Badawiyah: Tarekat syaikh Badawi, (w. 1276 M), mempunyai beberapa cabang, yaitu :
  • Tarekat as-Syannawiyyah
  • Tarekat al-Marâziqah
  • Tarekat al-Kannâsiyyah
  • Tarekat al-Inbâbiyyah
  • Tarekat al-Humûdiyyah
  • Tarekat al-Munâfiyyah
  • Tarekat as-Salamiyyah
  • Tarekat al-Halbiyyah
  • Tarekat az-Zâhidiyyah
  • Tarekat as-Syu’aibiyyah
  • Tarekat at-Tasqiyâniyah
  • Tarekat al-‘Arabiyyah
  • Tarekat as-Sathuwihiyyah
  • Tarekat al-Bandâriyyah
  • Tarekat al-Musallimiyyah atau Tarekat Sarnabalillah
  • Dan Tarekat Bayumiyyah.
  1. Tarekat al-Idrisiyyah: cabang dari Tarekat al-Khâdhirîyah daeRAh ‘Ashir
  2. Tarekat al-Adhamiyyah: dinisbatkan pada Syaikh IbRAhim bin Adham
  3. Tarekat al-Isma’îliyyah: Tarekat  daeRAh Qordofah
  4. Tarekat al-Isyrâqîyyah: mengikuti Tarekat  SuhRAwardiyah al-Halbî, nama lengkapnya Syihabuddin Yahya bin Habsyi bin Amirqi as-SuhRAwardi al-îsyrâqîyyah dijuluki as-Suhrâwardi al-Maqtul.
  5. Tarekat al-AsRAfiyyah: cabang dari tarekat Syadziliyah di turki (Abdullah ar-Rumi)
  6. Tarekat al-I’ti basyiyyah: cabang dari tarekat Khalwatiyah
  7. Tarekat ightisyâsyiyyah: cabang dari tarekat Kubrâwiyah di Khurosan
  8. Tarekat Akbariyyah: Tarekat  Hâtimiyyah
  9. Tarekat ‘Amirul Ghunyah: cabang Hâtimiyah dari Tarekat  Idrisiyyah
  10. Tarekat al-Ummi Sananiyyah: Tarekat  Sananiyyah
  11. Tarekat al-Awyasiyyah: dinisbatkan kepada Uwais al-Qorni
  12. Tarekat al-Bâbâiyyah
  13. Tarekat al-Buhuriyyah
  14. Tarekat al-Burâqiyyah
  15. Tarekat al-Burhaniyyah atau Tarekat  al-Burhamiyyah atau Dasuqiyah, cabangnya tarekat al-Sahawiyah dan tarekat al-Syarâbanah
  16. Tarekat al-Basthâmiyyah atau al-Thaifuriyyah: dinisbatkn pada syaikh Abi Yazid Thaifur al-Busthami
  17. Tarekat al-Bakriyyah: dari mesir cabangnya Tarekat  al-Qâdiriyah dan Tarekat  al-Khalwatiyyah
  18. Tarekat al-Bukâiyyah: keturunan sudan berbasis Qâdiriyah, dan memiliki dua cabang yaitu Fadhliyah dan Saidiyah al-Banawah cabang dari tarekat al-Qâdiriyah
  19. Tarekat al-Bunuhiyah: tarekat Maghribiyah (maroko)
  20. Tarekat al-Bairiyah: tarekat dari jalan Qiliqiyah
  21. Tarekat al-Bairuhajat: tarekat Afghoniyah dari pengikut al-Anshori al-Harowi
  22. Tarekat al-Byromiyah: pendirinya adalah haji Byrom keturunan Turki dari tarekat al-Shafawiyah, terpecah menjadi:
  • al-Hamzawiyah
  • al-Syaikhiyah
  • al-Hammatiyah
  1. Tarekat al-Bayumiyah: cabang dari al-Ahmadiyah
  2. Tarekat al-Bataiyyah: tarekat Tunisiyah maroko
  3. Tarekat al-Tijaniyah: tarekat jazariyah maghribiyah tersebar hingga ke sudan
  4. Tarekat al-Tasyasyatiyah: tarekat india, afganistan
  5. Tarekat al-Jabawiyah: tarekat al-Sa’diyah
  6. Tarekat al-Jarahiyah: cabang turki dari tarekat al-Khalwatiyah
  7. Tarekat al-Jazuliyah: cabang tarekat al-Syadziliyah, diantaranya adalah cabang:
  • al-Darqowah
  • al-Hammadasyah
  • al-AiSAWiyah
  • al-Syarqowah
  • al-Thaibiyah
  1. Tarekat al-Jalalah: cabang tarekat al-Qâdiriyah dalam maghrib maroko
  2. Tarekat al-Jalaliyah al-Najariyah: cabang tarekat al-Suhrâwardiyah, daeRAh india dinisbatkan kepada syaikh Makhdum Jihaniyan, w. 1383 M.)
  3. Tarekat al-Jamaliyah: cabang farisy dari tarekat al-Sahrurodiyah, pendirinya adalah ardestani (alm) keturunan ke-15 masehi. Dan juga tarekat al-Jamaliyah yaitu tarekat Turki yang bertempat di Istanbul
  4. Tarekat al-Jalwatiyah: cabang Turki shofwiyah, cabangnya adalah:
  • tarekat al-Hasyimiyah
  • al-Rusyaniyah (Kalsyaniyah)
  • al-Fana’iyah
  • al-Hudza’iyah dinisabtkan kepada syaikh Junaid
  1. Tarekat al-Junaidiyah: keturunan Junaidi dan cabangnya adalah:
  • tarekat al-Khawajikan
  • al-Kubrâwiyah
  • al-Qâdiriyah
  1. Tarekat al-Hatimiyah: keturunan ibnu arâby (Akbariyah)
  2. Tarekat al-Habibiyah: cabang dari tarekat al-Syadiliyah
  3. Tarekat al-Haririyah: cabang dari Tarekat ar-Rifaiyyah
  4. Tarekat al-Hafnawiyah: cabang dari tarekat al-Khalwatiyah (wafat 1767 M.)
  5. Tarekat al-Hakimiyah: dinisbatkan kepada imam hakim at-Tîrmîdzi
  6. Tarekat al-Hallajiyah: dinisbatkan kepada al-Hallaj
  7. Tarekat al-Hamadasyiyah: cabang maghroby dari tarekat al-Jazulawiyah yang mempunyai cabang:
  • tarekat al-Daghwaghiyah
  • tarekat al-Shadaqiyah
  • tarekat al-RAbahiyah
  • tarekat al-Qasimiyah
  1. Tarekat al-Hamzawiyah: gabungan tarekat dari tarekat al-BiRAmiyah dan tarekat al-Malamiyah
  2. Tarekat al-Hanshaliyah: tarekat bangsa maghRAbiyah (Maroko)
  3. Tarekat al-Haidariyah: cabang dari tarekat al-Qondariyah (Paris atau PRAncis)
  4. Tarekat al-Khâdiriyah atau Khidriyah: tarekat yang dinisbatkan pada ibnu Dabbagh, cabangnya:
  • al-Murghaniyyah
  • al-Idrisiyyah
  • al-Sanusiyyah.
  1. Tarekat al-KhaiRAziyah: dinisbatkan pada Abi Sa’id al-Khiroz
  2. Tarekat al-Khafifiyah: Ibnu Khofif as-Syirozi
  3. Tarekat al-Khafiyah: nama laqab dari tarekat an-Naqsyabandiyah di negara china dan Turkistan.
  4. Tarekat al-Khalwatiyyah: cabang tarekat Suhrowardiyyah di kurosan (IRAn) cabang yang di turki adalah:
  • Sarâhiyah Ightibasyiyah as-Sayaqiyah
  • al-Niy aziyah
  • al-Sunbûliyah
  • al-Syamsiyyah
  • al-Kalfaniyyah
  • as-Syuja’iyah

cabang di Mesir adalah:

  • al-Dha’ifiyyah
  • al-Hafnuwiyyah
  • as-Saba’iyah
  • as-Shawiyah
  • ad-Dardiyah
  • al-mughsiyah
  • an-Naubah
  • al-Hîjaz
  • al-Khalîlyyah, di Tunisia
  • al-Khumûsiyyah al-Khawâjâkân di IRAn merupakan cabang Tarekat al-Junaidi, di daeRAh Turkinistan disebut al-Yusûwiyah dinisbatkan pada syaikh Yusuf al-Hamdzânî
  • ad-Darqâwah cabang Tarekat al-Jazûliyyah, Tarekat ad-Darqawah memiliki cabang:
  • al-Bauzîdiyah al-Kitâniyyah
  • al-hîrâqiyyah
  1. Tarekat al-Khilyaliyah
  2. Tarekat al-Khumusiyah
  3. Tarekat al-Khâwajakân
  4. Tarekat al-Khowâthoriyyah
  5. Tarekat al-Dardiriyah
  6. Tarekat al-Darqowah
  7. Tarekat ad-Dasuqiyah: Burhaniyah
  8. Tarekat ad-Dahriyah: berkembang di negara Yaman, China dan Turki
  9. Tarekat ad-Dahabiyah: sebutan tarekat al-Kubrowiyah di Paris atau PRAncis
  10. Tarekat ar-Rohhâliyyah
  11. Tarekat ar-Rohmâniyyah: cabang kholwatî.
  12. Tarekat ar-RosûliSyâhiyyah di India
  13. Tarekat ar-RAsyidiyah: cabang tarekat al-Yusufiyyah.
  14. Tarekat ar-Rifa’iyyah: cabang dari Tarekat ini adalah:
  • Tarekat as-Suriyah
  • al-Haririyah
  • as-Sa’diyah
  • as-Siyadiyah

sedangkan di mesir cabangnya bernama:

  • Tarekat al-Baziyah
  • al-Malikiyah
  • Tarekat al-Habibiyah.
  1. Tarekat ar-Rukniyah: cabang dari tarekat al-KubRawiyah berkembang di IRAq dinisbatkan kepada (‘ala’ ad-Daulah as-Samnani (w. 1336 M))
  2. Tarekat ar-RAusyiniyah: cabang tarekat Khalwatiyyah berkembang di Mesir dan Turqi, dinisbatkan pada Syaikh al-Kalsyâni 1553 M (cabang Tarekat as-SuhRAwardiyah).
  3. Tarekat ar-Rumiyah atau Tarekat Asrofiyyah
  4. Tarekat az-Zarruqiyah: cabang iRAn dari tarekat as-Syadzili dinisbatkan pada Syaikh Zaruq
  5. Tarekat az-Ziyaniyah: cabang maghrobi dari tarekat as-Syadzili
  6. Tarekat az-Zainiyah: cabang tarekat as-Suhrowardiyyah di turki
  7. Tarekat as-Sâlimiya atau Sahliyah
  8. Tarekat as-Sab’îniyah: tarekat yang dinisbatkan kepada Ibnu Sab’in
  9. Tarekat as-Siqthiyah: Tarekat yang dinisbatkan kepada Sari as-Siqthi (w. 867 M)) di turki
  10. Tarekat as-Salâmiyah atau Tarekat ‘Arûsiyah
  11. Tarekat as-Sulthâniyah: turkinistaniyah
  12. Tarekat as-Samâniyah: cabang tarekat as-Syadzili dinisbatkan kepada Muhammad Abdul Karim as-Samani al-Madani
  13. Tarekat as-Sunbuliyah: cabang tarekat Khalwatiyah di turki
  14. Tarekat as-Sannan Ummiyah: di turki
  15. Tarekat as-Sananiyah: di tunis
  16. Tarekat as-Sanusiyah: di libya
  17. Tarekat as-Suhrowardiyyah: dinisbatkan kepada Abdul Qohir as-Suhrowardi disebut juga Siddîqiyah berdasarkan nama Abu Bakar as-Siddiq dan memiliki cabang yaitu:
  • Jalâliyah
  • Jamaliyah
  • Khalwatiyah
  • RAusyaniyah
  • Shofwiyah
  • Zainiyah
  1. Tarekat as-Sahliyah: dinisabtkan kepada syaikh Sahal at-Tastari
  2. Tarekat as-Suhailiyah: cabang tarekat jazair as-Syadzili
  3. Tarekat as-Sayâriyah: dinisbatkan kepada syaikh Abil Abbas as-Sayari
  4. Tarekat as-Syadziliyah: cabangnya adalah:
  • al-Habîbiyah
  • al-Karzâziyah
  • an-Nasyiriyah
  • as-Syaikhiyah
  • Syahiliyah
  • al-Yusufiyah
  • az-Zaruqiyah
  • az-Ziyaniyah
  • al-Bakriyah
  • al-Khowathiriyah
  • al-Jauhariyah
  • al-Makkiyah
  • al-Hasyimiyah
  • al-Samaniyah
  • al-‘Afifiyah
  • al-Qâsimiyah
  • al-‘Arûsiyah
  • al-Handusyiyah
  • al-Qâwujiyyah.
  1. Tarekat as-Syarqawah: cabang maghrob dari tarekat al-Jazuliyah
  2. Tarekat as-Syarqâwiyah: tarekat al-Khalwatiyah
  3. Tarekat as-Syatthâriyyah: dinisbatkan kepada syaikh abdullah as-Syaththar (w. 1415 M))
  4. Tarekat as-Sya’baniyah: cabang Tarekat Kholwatiyah
  5. Tarekat as-Syaudziyah: cabang Tarekat sab’îniyah di turki
  6. Tarekat at-Thâlibiyah atau Maghribiyah
  7. Tarekat al-‘Arûsiyah: cabang Tarekat Qâdiriyah
  8. Tarekat al-‘Azûziyah: di tunis
  9. Tarekat al-‘Asyîqiyyah: adalah Tarekat syathâriyyah di india dan dinisbatkan kepada Abu Yazid al-‘Isyqi
  10. Tarekat al-‘Alwaniyah
  11. Tarekat al-‘Alâwiyah: di nisbatkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib
  12. Tarekat al-‘Awamiriyah: Berada di Tunisiah
  13. Tarekat al-‘Idrusiyah: Berada di Yaman
  14. Tarekat al-Ghazâliyah: Berada di MadRasah al-Ghazâliyah
  15. Tarekat al-Ghautsiyah: cabang Tarekat syathariyah di india
  16. Tarekat Firdausiyyah: cabang Tarekat Kubrâwiyyah di india
  17. Tarekat Qâdiriyah: dinisbatkan kepada ‘Abdul Qâdir Jailani dan mempunyai cabang di yaman dan somali:
  • Alyafi’iyah
  • Masyari’iyah
  • ‘Arabiyah,
  • dan di india :
  • al-Banawah
  • al-Karzamar,
  • dan di anâdul :
  • al-AsyRAfiyah
  • Hindiyah
  • al-Khalusiyah
  • Nabalasiyah
  • Rumiyah
  • Waslaniyah
  • dan di mesir :
  • al-FaRAdhiyah
  • Qasimiyah
  • dan di maghribi :
  • ‘Amariyah
  • ‘Arusyiyah
  • Bau’iliyah
  • al-Jalalah
  • al-Bukaiyah
  1. Tarekat al-Qorrâ’iyyah: berada di tunis.
  2. Tarekat al-Qusyairiyyah: dinisbatkan kepada Imam Qusyairî.
  3. Tarekat al-Qoshâriyyah: dinisbatkan kepada Khamdûn al-Qoshâr dan nama dari Tarekatnya yaitu malamatiyah.
  4. Tarekat al-Qolandariyyah: berada di paris.
  5. Tarekat al-Qunyawiyyah
  6. Tarekat al-Kubrâwiyah: merupakan cabang Tarekat dari Junaidiyah, cabang-cabangnya yaitu:
  • al-‘Idrusiyah
  • al-Hamdaniyah
  • al-Ightisaiyah
  • an-Nur Bakhsyiyah
  • an-Nuriyati
  • ar-Rukniyah.
  1. Tarekat al-Karzuniyah: cabang Tarekat al-Khafifiyah
  2. Tarekat al-Karzariyah
  3. Tarekat al-Matbuliyah: dinisbatkan kepada syaikh IbRAhim al-Matlubi
  4. Tarekat al-Muhâsabah: dinisbatkan kepada syaikh Hârits al-Muhâsibî.
  5. Tarekat al-Muhammadiyah: dinisbatkan kepada nabi Muhammad yang pertama menggunakan nama ini adalah Ali al-Khowas dan Abdul Wahhab as-Sya’roni
  6. Tarekat al-Madâriyah: berada di hindia.
  7. Tarekat al-Madâniyah: nama awal Imam Syadziliyah.
  8. Tarekat al-MuRAdiyah: berada di turki.
  9. Tarekat al-Murâzaqâh: cabang dari Tarekat al-Ahmadiyah.
  10. Tarekat al-Masyisyiah: dinisbatkan kepada Ibnu Masyis.
  11. Tarekat al-Mishriyah: an-Niazayiah cabang dari Tarekat Jalwatiyah.
  12. Tarekat al-Muthâwa’ah: al-Ahmadiyah.
  13. Tarekat al-MaghRAbiyah: Tarekat berkembang di maghrib yang diikuti oleh murid-murid, penyair paris
  14. Tarekat al-Malamiyah: berada di KhaRasan.
  15. Tarekat al-Malamatiyah: al-Hamzawiyah cabang Tarekat al-BiRAmiyah di turki.
  16. Tarekat al-Manshuriyyah: berada di al-Halajiyah.
  17. Tarekat al-Maulawiyyah: dinisbatkan kepada Jalaluddin ar-Rumiy, cabangnya al-Bustansyiniyah wal Irsyadiyah.
  18. Tarekat an-Ni’matulliyyah: Tarekat syi’ah di kota Kurman paris yang bersumber dari Tarekat Qâdiriyyah al-Yafi’iyah.
  19. Tarekat an-Naqsyabandiyah: berada di Turkistan dari Thaifuriyah
  20. Tarekat al-Khalidiyah: Tarekat an-Naqsyabandiyah dinisbatkan kepada Khalid an-Naqsyabandi.
  21. Tarekat an-Nuruddiniyah: berada di JaRAkhiyah yang dinisbatkan kepada Tarekat ad-Diniyah.
  22. Tarekat an-Nuriyah: yang dinisbatkan kepada Abi Khasin an-Nuri.
  23. Tarekat an-Niyazziyah: cabang dari Tarekat Jalwatiyah di turki.
  24. Tarekat al-Haddarah: berada di al-Maghrib.
  25. Tarekat al-Warits ‘Alisyahiyah: berada di hindia.
  26. Tarekat al-Yusuyah: cabang dari Khawajakan diTurkistan.
  27. Tarekat Yunusiyah: dinisbatkan kepada syaikh asy-Sibaniy, (1222M).
  28. Tarekat al-Haddaiyah: dinisbatkan kepada syaikh Imam al-Haddâd
  29. Tarekat Jistiyah atau Histiyah: dinisbatkan kepada Mu’inuddin al-Jisti
  30. Tarekat Umâriyah
  31. Tarekat Utsmaniyah
  32. Tarekat al-Abbasiyah
  33. Tarekat az-Zainabiyah
  34. Tarekat Qâdiriyah an-Naqsyabandiyah: dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas(1802-1872 M.)
  35. Tarekat Haqqâniyah an-Naqsyabandiyah: yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani

Berdasarkan rujukan kitab: Mausu’ah as-Shufiyah, halaman: 264-270, Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 2-3, Risalah al-Qusyairiyah, A’lâm as-Shûfiyah, Thabaqât as-Shûfiyah, Thabaqât al-Kubrâ, an-Nafahât al-Qudsiyah, al-Munqabah al-Auliyâ’, Thabaqât al-Qâdhi al-Zakariyah, Thabaqât al-Masyayikh.

Sumber: Alif.ID

19. Pengertian Sufi dan Tasawuf

Ngaji kitab Sabilus Salikin yang disusun oleh pengasuh Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan, Sholeh Bahruddin beserta para santri, telah memasuki Bab II yaitu tentang Sufi dan Tasawuf.  Sufi dan tasawuf dimaknai secara berbeda oleh banyak ulama. Terdapat hampir 90 ulama yang memaknainya di dalam kitab Tahdzib al-Asrar fi Ushul al-Tasawwuf, namun untuk edisi ke-19 ini akan dituliskan 45 ulama dulu, dan bersambung di edisi ke-20.


Para ‘Ulama‘ memberikan pengertian berbeda-beda atas makna sufi dan tasawuf. Rasûlullah SAW bersabda;

مَنْ سَمِعَ صَوْتَ اَهْلِ الصُّوْفِ يَدْعُوْنَ فَلَمْ يُؤْمِنْ عَلَى دُعَائِهِمْ كُتِبَ مِنَ الْغَافِلِيْنَ

Barangsiapa mendengar suara ahli tasawuf yang sedang berdo’a dan dia tidak mengucapkan amin atas do’anya maka dia termasuk golongan orang yang lalai, (Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf, halaman: 11).

Berikut ini pendapat para ‘ulama‘ sufi tentang pengertian sufi dan tasawuf yang dijelaskan dalam kitab Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf, halaman: 11-22;

  1. Ibrâhîm bin Adham, tasawuf adalah luhurnya sebuah tujuan yang dicita-citakan setiap umat agar terhindar dari tergelincirnya langkah dan melakukan Zuhud (Mencegah) dari apa-apa yang dihalalkan oleh Allâh SWT, bukan dari sesuatu yang di haramkan Allâh SWT
  2. Sarri as-Saqathi, sufi adalah seseorang yang tidak pernah padam dari cahaya ma‘rifat Allâh SWT sebab cahaya sifat wira’i dirinya, orang yang tidak berbicara dengan bathin ilmu yang bisa merusak dhahirnya ilmu, orang yang tidak tertarik dengan kemuliaan yang bisa merusak batas-batas aturan.
  3. Dzunnun al-Mishri, ketika di tanya apakah tasawuf itu lafadz yang musytaq atau julukan? beliau berkata; tasawuf adalah menutupi dan menyimpan amal yang bisa menyebabkan riya’.
  4. Syaikh Imam al-Junaidî, tasawuf adalah;
    1. Meninggalkan ikhtiyar.
    2. Menjauhi sesuatu yang tidak pantas.
    3. Seseorang yang mempunyai 8 sifat yaitu sakha’ (dermawan), sabar, ridha, isyarah, ghurbah (menyendiri), berpakaian sufi, siyâhah (perjalanan ruhani), dan merasa fakir.

al-Junaidî juga menjelaskan bahwa orang sufi memiliki tiga sifat, yakni:

  • Bagaikan bumi, yang semua orang menempatinya baik orang yang taat atau orang tidak taat.
  • Bagaikan mendung yang menaungi siapa saja.
  • Bagaikan hujan yang menyirami orang taat dan yang tidak taat.
  1. Abû Ja’far al-Naisâburî, sufi adalah seseorang yang perilaku dan perbuatannya suka memaafkan (pemaaf), mengajak untuk berbuat kebaikan (amar ma‘ruf), dan menjauhi dari sifat-sifat bodoh.
  2. Abû ‘Utsman al-Hairi, siapakah orang sufi itu? Beliau berkata;
    1. Orang-orang mu‘min yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh… (QS. al-Ahzab: 23)
    2. Orang yang tidak membanggakan amalnya, karena orang yang membanggakan amalnya berarti meremehkan nikmat Tuhannya.
  3. Abu Yazid al-Busthami, tasawuf adalah membuang nafsu dalam Abu Yazid al-Busthami, tasawuf adalah membuang nafsu dalam ibadah, menyandarkan hati pada sifat ketuhanan, berperilaku dengan akhlak yang luhur dan melihat Allâh SWT secara utuh. Tasawuf juga dapat ditinjau dari tiga sisi;
    1. Syari‘at: membersihkan hati dari kotoRAn dan berperilaku baik pada sesama makhluk dan mengikuti Rasul pada semua syari‘atnya
    2. Haqiqat: tidak ada kejelekan, tidak ada kehidupan, tidak ada keburukan, terbebas dari menghamba kepada syahwat (nafsu), keluar dari syubhat, melebur sifat-sifat kemanusiaan, meninggalkan semua yang dicintai dan cukup dengan Allâh
    3. al-Haq: Allâh al-Haq memilih Sufi karena sifatnya yang bersih, sehingga dikatakan golongan yang bersih.
  4. Sahal bin Abdullah, Sufi adalah; orang yang darahnya selalu dialirkan, miliknya selalu dimubahkan, tidak melihat sesuatu kecuali dari Allâh, mensucikan Allâh pada semua ciptaan-Nya. Dan tasawuf adalah; Menghindari perselisihan, meRasa tenang terhadap Allâh SWT, berlindung kepada Allâh SWT, dan menjauhi makhluk.
  5. Abû Husain al-Nûri, tasawuf ialah meninggalkan semua bagian nafsu, bisa menguasai waktu. Dan orang Sufi adalah; mereka yang meRasa tenang ketika tidak ada, dan mengalah ketika ada, mereka yang meninggalkan kepentingan nafsu dan memilih kepentingan Allâh SWT, serta mereka yang menemukan dan memahami keberadaannya.
  6. Jâbir bin Dâwud, tasawuf ialah mengharapkan Allâh yang Haq pada makhluk tanpa perantara makhluk.
  7. Muhammad bin Alî al-Tirmidzî, orang Sufi ialah orang yang tujuan dan cita-cita utamanya adalah Allâh yang H
  8. Abûl Abbâs bin Masrûq, orang yang berpura-pura tasawuf akan di siksa dengan siksa yang tidak pernah diberikan kepada seorang makhluk di alam ini, sedangkan orang yang ber-tasawuf dengan sungguh-sungguh akan diberi kenikmatan yang tidak pernah diberikan kepada seorang makhluk di alam ini.
  9. Muznî al-Kabîr, tasawuf adalah berbudi pakerti dan mengosongkan tangan dari beberapa harta dan membersihkan jiwa dari berangan-angan serta menjaga Allâh yang Haq pada setiap keadaan.
  10. al-Wâlîd bin Qâsim, tasawuf adalah menjaga gerak-gerik sifat dari mengikuti jejak syahwat (hawa nasfu) dan bersegera memilih Allâh yang Haq dalam segala keinginanya.
  11. Abû Husain bin Hindun, Tasawuf adalah memurnikan cinta.
  12. al-Kattânî, Tasawuf berarti bersih dan menyaksikan, Tasawuf juga berarti budi pekerti, seseorang yang tambah Tasawuf-nya berarti bertambah pula akhlaknya. Orang Sufi ialah orang yang ta‘at dan ketika beribadah dianggap masih melakukan kesalahan dan membutuhkan banyak istighfar.
  13. Abû Ali al-Rudzbârî, Tasawuf adalah;
    1. Membersihkan budi pekerti dari kotoRAn seorang hamba
    2. Nama untuk orang-orang yang dipercaya oleh Allâh dan orang-orang yang dicintai oleh Allâh
    3. Menetap atau mendiami pada pintu Allâh sekalipun ditolak
    4. Membatasi kebebasan, dan

Abû Ali al-Rudzbârî juga berkata, bahwa Sufi ialah barangsiapa yang melepas setiap geRAkan dengan berfikir dan tunduk pada jalur takdir serta tidak memperoleh teman kecuali secukupnya.

  1. Husain bin Mansyûr, Sufi adalah;
    1. Seseorang yang tidak bisa menerima orang lain dan tidak diterima orang lain
    2. Seseorang yang mempunyai sifat dari Allâh SWT
    3. Orang yang mempunyai sifat seperti yang di Isyarahkan oleh Allâh SWT di dalam Alquran;
  2. as-Syiblî, Sufi adalah;
    1. Orang yang selalu menepati janji-janji Allâh SWT
    2. Orang yang tidak memandang di dunia dan akhirat bersama dengan selain Allâh SWT
    3. Orang yang memutuskan hubungan yang tidak bisa menjadi lantaran kepada Allâh SWT seperti yang dilakukan oleh Nabi Musa yang memutskan hubungannya dengan kaumnya sehingga melakukan khâlwat (menyendiri)
    4. Orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak dimiliki oleh sesuatu
    5. Bagaikan anak kecil yang berada dipangkuan Allâh SWT (dalam kekuasaan) yang Haq

Imam as-Syiblî juga mengatakan bahwa Tasawuf adalah membatasi gerakanmu dan menjaga setiap nafasmu, serta terjaga dari memperhatikan alam semesta (perhatiannya hanya kepada dunia)

  1. Ruwaim, Tasawuf adalah;
    1. Permulaan menggunakan ruh jika mampu, jika tidak mampu jangan sekali-kali sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna
    2. Meninggalkan keutamaan diantara dua hal dan melakukan segala amal kebaikan. Imam Ruwaim juga berkata, Sufi ialah melakukan segala amal kebaikan.
  1. ‘Amr bin ‘Utsmân al-Makki, orang Sufi adalah orang yang menggunakan keutamaan waktu yang ada.
  2. Abûl ‘Abbâs bin ‘Atha’;
    1. Orang Sufi adalah orang yang jiwanya bersih dari kotoRAn dan sifat-sifat indRawi
    2. Keutamaan orang Sufi adalah mengalahkan seluruh manusia dengan kepasrahannya
    3. Permulaan Tasawuf adalah sâlik berdiri di depan Allâh yang Haq sepertihalnya mayit bearada ditangan orang yang sedang memandikannya, mayit tetap dalam kekuasaan orang yang memandikan dan tidak ada pilihan lain bagi mayit tersebut.
  3. Abbas al-Jarîrî, Sufi adalah tidak menghiRAukan terhadap kenikmatan yang dianggap baik dan cobaan yang dianggap jelek. Sedangkan Tasawuf adalah;
    1. Memperhatikan keadaan hati dan tetap teguh pada akhlak/etika
    2. Manusia yang paling utama ketika menyibukkan dirinya dengan memanfaatkan semua waktu yang ada.
  4. Qays bin Abdul Azîz, Tasawuf adalah sabar terhadap rekayasa nafsu dan menghindari sesuatu yang dianggap jinak.
  5. Ahmad RAjâ’ al-Makkî, orang Sufi adalah orang yang cara makannya seperti orang yang sakit dan tidurnya seperti orang yang tenggelam, sedangkan Tasawuf ialah tunduk kepada Allâh yang H
  6. Yahya al-‘Alawî, Tasawuf adalah menetapi (menguatkan) sirrî sampai tidak tersisa (habis)
  7. Abû ‘Abdillah al-QuRAsyî, Tasawuf adalah mengawali dengan menghilangkan sifat-sifat insaniyah (manusiawi) dan diakhiri dengan mengikat sifat-sifat ubudiyah (menghamba).
  8. Abûl Hadîd, Tasawuf adalah Allâh memuliakanmu di keRajaan-Nya seperti Allâh memuliakan selainmu dikeRajaan-Nya. (tidak meRasa lebih mulia dari orang lain/tawaddhu‘).
  9. Abû Khashîb, Tasawuf adalah budi pekerti yang tidak sepatutnya digunakan kecuali untuk taat kepada Allâh SWT
  10. Fâris al-Baghdâdî, perilaku Sufi ada 3, antara lain; sadar dan mengambil ‘ibâRAt, malu dan memohon ampun, serta menerima teguRAn dan menerima alasan.
  11. al-Nashîbî, Sufi adalah orang yang tidak mengenal lelah untuk mencari Allâh SWT dan tidak menggelisahkan sebab.
  12. al-Nabâjî, Tasawuf adalah mensucikan Rahasia dari kotoRAn dengan berpaling pada selain Allâh yang H
  13. Abû Turâb al-Nakhsyabî, Sufi adalah;
    1. Orang yang tidak mengotori segala sesuatu melainkan membersihkan segala sesuatu
    2. Orang yang bersih karena Allâh SWT
  14. Samnûn al-Muhibbi, Tasawuf adalah;
    1. Masuk dalam segala budi pekerti yang baik dan keluar dari segala budi pekerti yang jelek
    2. Mengirimkan jiwa dalam hukum Allâh SWT
  15. Abû Muhammad al-Murta‘isyu, Sufi adalah tidak sebaiknya mendahulukan jejak cita-citanya (hawa nafsu)
  16. Abû Zayd al-Warâq, Tasawuf adalah sebagaimana firman Allâh SWT “Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh. Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)” (Q.S. al-Ahzab: 23)

…رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلاً ﴿الأحزاب: ٢٣﴾

Dan sifat mereka adalah sebagaimana firman Allâh SWT “….mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong”, (Q.S. Ibrahîm: 43)

…لَا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ ﴿الأحزاب: 34﴾

  1. Ibrâhîm al-Khawâsh, Tasawuf adalah meninggalkan beban dan mengerjakan uasaha sampai tampak indah (berhasil dengan baik)
  2. Abû Sa‘îd al-Hasan bin Yasâr al-Bashri, Tasawuf adalah senang dalam beribadah, mengeRAhkan kesunguh-sungguhan dan meninggalkan kesibukan perkara yang tidak ada gunanya.
  3. Abû Sulaimân al-Dârâni, Tasawuf adalah pekerjaannya itu hanya Allâh yang mengetahui, serta bersama Allâh dan hanya Allâh yang mengetahui.
  4. Abû Ya‘qub al-NahRAjûriketika ditanya perihal Tasawuf, beliau berkata; mereka yang mengadu itu termasuk umat yang tertinggal, dan Tasawuf itu adalah membawa hati dengan menitipkan kehadiRAn kepada Allâh SWT sehingga Allâh SWT bercakap-cakap dengan hatinya.
  5. Abûl Hasan al-Sanjâri, Sufi adalah orang yang berpuasa dan shalat dengan menetapi ataupun berpaling, baik berzuhud dan menyepi sendiri, baik cepat dan pelan.
  6. al-Hasan bin Ahmad al-Masûhi, Tasawuf adalah memutus sesuatu yang mengantungkan kepadanya, mengambil dengan kebenaran, berbicara dengan lembut dan putus asa dari makhluk.
  7. Abû ‘Alî al-Makkî, Tasawuf adalah tiga nama/sifat yang terkumpul yaitu; penetapan, keikhlasan dan kebinasaan, penetapan yang dimaksud alah bersama Allâh SWT, dan keikhlasan itu dari sifat kemanusiaan dan kebinasaan dari Akhlak.
  8. Mimsyâd al-Dainûri, Tasawuf adalah;
    1. Kejernihan Rahasia dan amal (perbuatan) karena untuk mencari ridha Allâh al-Jabbar, dan persahabatan dengan manusia tanpa usaha (mencari)
    2. Kecukupan, sedikit mengetahui manusia, dan meninggalkan sesuatu yang tidak ada gunanya.
  9. Abû ‘Ali al-Hasan al-Asfihâni, Sufi adalah orang yang memakai pakaian kain wool (bulu domba) yang bersih, orang yang memakan hawa nafsu dengan Rasa pahit, orang yang membuang dunia dibelakang tengkuk, dan mengikuti jejak Nabi SAW.

Sumber: Alif.ID

20. Pengertian Sufi dan Tasawuf (lanjutan)

Sabilus Saikin bagian ke-20 masih melanjutkan pengertian sufi dan tasawuf  menurut ulama dalam kitab Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf. Bagian sebelumnya menjabarkan pengertian sufi dan tasawuf hingga nomor 45. Berikut ini lanjutannya.

  1. Abû ‘Ali al-Hasan, sufi adalah kaum pilihan, dia dipilih maka dia memilih.
  2. Abû Husain bin Jarîr, sufi adalah orang yang tidak terhalangi oleh bumi dan langit dan tidak tertutupi kecuali pandangan yang belawanan.
  3. Abû Bakar Muhammad bin Mûsa al-Wasîthi, sufi adalah orang yang ucapannya penuh dengan ibarat, serta hatinya menerangi jalan fikirannya.
  4. ‘Ali bin Sahal, sufi adalah orang yang bersih dari bencana dan sirna dari melihat pemberian.
  5. Qazuwainî, Tasawuf adalah ilmu yang diperoleh tanpa belajar dan tanpa usaha.
  1. Abû Ja’far al-Haddâd, tasawuf adalah merasa tenang terhadap Allâh SWT, dan Lari dari makhluk.
  2. ‘Ali bin ‘Abdullah, tasawuf adalah ilmu yang samar sifatnya tapi tetap hakikatnya
  3. Abul Husain al-Zanjânî, tasawuf adalah bagusnya amal (perbuatan), sempurnanya ‘ubudiyah (ibadah) dan meRasa fakir kepada Allâh SWT serta bagusnya orang yang mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.
  4. Abul Husain al-Warâq, sufi adalah orang yang jika dihadapkan pada dua keadaan, maka dia akan memilih hal yang paling baik dan yang paling luhur.
  1. Abû ‘Abdullah bin Jallâ’, sufi adalah;
    1. Orang yang fakir dan sunyi dari sebab
    2. Orang yang selalu bersama Allâh SWT dimanapun berada dan dia tidak tercegah dari Allâh SWT oleh setiap kedudukannya.
  2. Ibnu Yazdâniyâr, tasawuf adalah orang yang menerima agama dengan baik, menjaga, membersihkan dan memenuhi.
  3. Ghânim bin Sa‘îd, tasawuf adalah memuliakan kefakiran dan mengagungkan Allâh yang H
  1. ‘Utsmân al-Maghribî, tasawuf adalah keadaan hatinya bercampur kebingungan dan orang yang bingung tidak ada nama yang dikenal.
  2. Abû Hatim al-‘Athâr, sufi adalah mereka para pemimpin yang membentangkan pemberitahuan.
  3. al-Quhthabî, sufi adalah orang yang mensifati seluruh dhahirnya sebagai pertanda dirinya, meremehkan segala sesuatu yang rusak (sesuatu selain Allâh), jiwanya resah meninggalkan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh SWT (taqarrub), jiwanya memutuskan bukti dan faidah, keadaan jiwanya merasa lemah berhadapan dengan Allâh SWT.
  1. Abû Bakar bin Sannân, tasawuf adalah engkau menemukan kelemahan dalam dirimu, sehingga kekuasaan (Allâh) menjadi jelas terhadapmu.
  2. Zanzânî, tasawuf adalah menghilangkan kedudukan, tidak menghiraukan kehidupan dunia dan akhirat (lebih mementingkan bermu‘amalah dengan Allâh), setiap orang yang kembali kepada Allâh maka dia telah mengesakan Allâh. setiap orang yang kembali kepada nafsunya maka dia telah menemukannya. Setiap orang yang kembali kepada makhluk maka dia telah menemukan mereka. Dan hal ini telah diketahui.
  3. Yûsuf bin Husain, beliau berkata;
    1. Tasawuf adalah menanggung resiko dalam bermu‘amalah dengan Allâh sampai tidak menggunakan beberapa waktu yang dimakruhkan
    2. Orang-orang terbaik dari sufi adalah yang terbaik dari manusia, yang terjelek dari sufi adalah yang terjelek dari manusia, sehingga para sufi adalah yang terbaik atas segala keadaan
    3. Setiap umat memiliki ahli sufi, mereka adalah titipan Allâh yang keberadaannya diRahasiakan dari manusia.
  1. Abû Bakar al-Warâq, sufi adalah orang yang hatinya bersih dari macam-macam kotoran, hatinya selamat dari kejelekan orang lain, hatinya mengakar dengan sifat mengerahkan seluruh kemampuan dan lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri (ngalah).
  2. Abû Bakar bin Thâhir: sufi adalah orang yang tidak cinta dengan jin dan manusia dibanding Allâh (lebih mencintai Allâh), karena barang siapa yang cinta tanpa melibatkan Allâh maka dia tidak beruntung.
  1. al-Zaqâq, sufi adalah orang yang menjadikan pekerjaannya mengikuti kehendak orang lain (tidak mengecewakan).
  2. Abû Ya’qub al-Muzâbili, tasawuf adalah melenyapkan keadaan jiwa dalam sisi kemanusiaan (keadaan hati tidak ditunjukkan kepada manusia).
  3. Hasnûn al-Dainûri, tasawuf adalah menjaga dzat yang disembah, meniggalkan sesuatu yang tidak ada, dan mengambil sesuatu dari yang ada.
  1. Abû Bakar al-Zâhdâbâdî, tasawuf adalah
    1. Meniggalkan Rasa aman dari ajakan nafsu
    2. Tidak hidup kecuali dengan dzat yang wajib wujudnya di dunia dan akhirat.
  2. Abû Muhammad al-Zanjâni, tasawuf adalah mengeluarkan kesibukan dunia dari dalam hati.
  3. Abû Bakar al-HalanjiTasawuf adalah jernih, yang berarti orang yang mendatangi panggilan hakikat, yaitu tidak berbohong.
  1. Abû Hasan al-Sirwâni al-Kabîr, sufi adalah orang yang selalu bersama dengan al-Waridad (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) bukan bersama wirid.
  2. Ja’far bin Muhammad bin Nashîr al-Khalidi, tasawuf adalah menenggelamkan diri dalam ibadah, keluar dari (kebiasaan) manusia, dan melihat kepada Allâh secara menyeluruh.
  3. Abû al-Hasan al-Bûsyanji, tasawuf adalah meringkas harapan, melanggengkan amal (ibadah), memperbanyak takut (kepada Allâh), dan menyedikitkan malas (beribadah kepada Allâh).
  1. Abû Bakar al-Daqi, sufi adalah;
    1. Bangun tidur langsung berdzikir atau tafakkur sampai tertidur
    2. Berhakikat dengan sungguh-sungguh bersama Allâh.
  2. Abû ‘Abdillah Ahmad bin ‘Athâ’ al-Rûdzabâri, sufi adalah orang yang merasa nikmat dengan cobaan karena dia tidak memandang terhadap cobaan itu, tetapi cara pandangnya kepada dzat yang telah menentukan cobaan tersebut, Allâh telah menentukan cobaan itu kepadanya sehingga dia merasakan kenikmatan terhadap sesuatu yang telah ditentukan oleh Allâh. Pandangan tersebut berlandaskan karena cinta kepada Allâh sehingga antara cobaan dan nikmat terasa sama.
  1. Umar bin Najîd, sufi adalah orang yang bersabar terhadap perintah dan larangan.
  2. Abû Abdillah bin Khafîf, Tasawuf adalah;
    1. Sabar atas berlakunya ketetapan Allâh dan mengambil sikap seperti sikapnya orang-orang pilihan, tidak mengambil amal yang ringan (rukhshah) karena takut dan lari dari api neraka
    2. Menghilangkan perilaku watak kemanusiaan, meletakkan sifat-sifat ruhaniah, (semua perilaku) berhubungan dengan ilmu hakikat, melakukan amal yang utama karena kehidupan akhirat yang abadi, memberi nasihat kepada seluruh umat, patuh kepada Allâh SWT secara hakiki, mengikuti syari’at Rasulullah SAW
    3. Tidak lupa, tidak melirik, tidak berpisah dari Allâh SWT, berbakti kepada orang tua, meninggalkan tuntutan nafsu dan meRasakan Rasa yang sama ketika dipuji dan dicela

Abû Abdillah bin Khafîf juga berpendapat, bahwa sufi adalah orang yang memperhatikan Allâh dengan sesuatu keadaan jiwa yang wajib dijaganya.

  1. Abû Sahal: tasawuf adalah berpaling dari pertentangan.
  2. Abû Qâsim al-Nashrâbadi:tasawuf adalah cahaya dari Allâh yang Haq yang menunjukkan jalan kepada-Nya, dan getaran dari jiwa (khatir) yang berasal dari Allâh yang memberi tanda isyarat menuju kepada Allâh.
  3. Husain al-Hamîri, sufi adalah;
    1. Orang yang tidak gelisah dalam kegelisahannya dan orang yang tetap dalam (maqam) ketetapannya
    2. Keberadaan Sufi ada dalam al-Wujdu (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) dan sifatnya dalah hijab (penghalang)
    3. Orang yang tidak bisa angkat oleh bumi dan langit tidak bisa menaunginya (menurut Hadis qudsi bahwa langit dan bumi tidak bisa memuat Allâh, yang bisa memuat Allâh hanya hati hamba Allâh)

لَايَسَعَنِيْ أَرْضِيْ وَلَاسَمَائِيْ وَلَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ التَّقِى، (فيض القدير ،ج 2 حديث 4969)

Dunia adalah alam jasmani sementara hati adalah alam ruhani. Alam jasmani tidak bisa memuat alam ruhani sehingga dikatakan bumi tidak mampu mengangkat dan langit tidak bisa menaungi orang sufi.

  1. Lebih mulia dibanding ungkapan bahasa akan tetapi barangsiapa yang menyicipinya maka dia menemukan rasanya.
  1. Abû Qasim Al-Râzî, tasawuf adalah;
    1. Keadaan jiwa yang tegak bersama dengan Allâh al-Haq
    2. Tasawuf dapat membuahkan tawaddhu‘, meninggalkan memandang selain Allâh dan meninggalkan meRasa bahagia dengan kefakiran (merasa lebih utama dari orang lain), melihat keutamaan orang-orang fakir, berubat kebaikan kepada seluruh makhluk baik mukmin dan kafir selama tidak merobohkan syari’at dan masuk pada kemakruhan.
  2. Abû Bakar al-Husaini al-Mukri, tasawuf adalah menjaga beberapa rahasia dan menjauhi hal-hal yang jelek.
  1. Manshûr bin Muhammad al-Sajzî, tasawuf itu menyedikitkan makan, tidur, merendahkan nafsu, berusaha sekuat tenaga melaksanakan taat dan meninggalkan maksiat.
  2. Husain bin al-Mutsannâ,tasawuf adalah membersihkan hati dari segala getaran hati yang rusak, dan jiwa bisa merasakan adanya al-Washlu (diterima oleh Allâh).
  3. Ruwaim al-Junaid, ketika ditanya apa itu tasawuf dan hakikatnya. Beliau menjawab, tasawuf adalah ambillah lahirnya jangan engkau bertanya tentang hakikinya sehigga engkau bisa tenggelam di dalamnya. Lalu Imam Ruwaim berkata, sufi adalah orang yang melaksanakan taat kepada Allâh tanpa ada yang mengetahuinya kecuali Allâh.
  1. Basyar, sufi adalah orang yang dikhususkan oleh Allâh.
  2. Abû Qâsim, sufi adalah orang yang bertambah ilmunya maka berkurang watak dasar kemanusiaannya, (Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf, halaman: 11-22).

Selanjutnya, Sayyidina ‘Usmân bin ‘Affan berkata; tasawuf adalah mencari washîlah menuju keutamaan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1 halaman: 100). Keterangan lain menyebutkan bahwa tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak ketuhanan, (Mu’jam al-Kalimât as-Shûfiyah, halaman: 22).

Berikut ini penjelasan beberapa ‘Ulama’ tentang tasawuf yang terdapat di dalam kitab Hilyah;

  1. Abû Yazîd al-Rabi‘ bin Khutsaimberkata sesungguhnya tasawuf ialah memuliakan hati dan tidak menghiRAukan unsur lahir/zhahir, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 5).
  2. ‘Urwah bin Zubair, tasawuf adalah menampakkan anugerah dan menyimpan cobaan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 70).
  1. Sâlim bin Abdullah, tasawuf adalah menetapi khudhu‘ (sifat tunduk) dan qunu‘ (sifat rendah diri) serta tidak berkeluh kesah, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 70).
  2. Abû al-‘Aliyyah, tasawuf ialah ridha dengan bagian yang diterima dan dermawan dengan kenikmatan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 112).
  3. Muhammad bin Wâsi‘,sesungguhnya tasawuf ialah khusyû‘ (tunduk), khumûl (menyembunyikan amal yang baik dan menampakkan amal yang buruk), qunu‘ (sifat rendah diri), dan dzubûl (sifat layu), (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 238).

Menurut Imam Qusyairi terdapat ciri-ciri kepribadian dan perilaku orang sufi;

عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الْغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وَيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ، (الرسالة القشيرية، ص: 126-127).

Berikut ciri-cirinya yang terbagi menjadi dua;

  • Seorang Sufi Shâdiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemuliaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal
  • Seorang Sufi Kâdzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur, (ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 126-127).

Sementara itu, maqâm orang sufi ada tiga, diantaranya;

  1. Maqâm Islâm, kesempurnaan taqwâ dan istiqâmah
  2. Maqâm Imân, kesempurnaan thuma‘nînah dan yaqîn
  3. Maqâm Ihsân, adalah tingkatan yang tertinggi. Yaitu maqâm dimana seorang hamba dapat ber-musyâhadah (melihat Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 84).

Dalam Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’ disebutkan bahwa sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, serta tidak dikuasai oleh siapapun.

وَقِيْلَ: الصُّوْفِي مَنْ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ،

Dikatakan bahwa seorang Sufi adalah orang yang tidak memiliki sesuatu, dan tidak pula dimiliki oleh apapun, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 329).

Kemuliaan dan keutamaan para sufi adalah bahwa mereka bisa mencapai Haqîqat Îmân dengan mewujudkan tiang atau rukun-rukun Îmân yang diantaranya adalah Îmân kepada Qadar, (baik dan buruknya, manis dan pahitnya) bagi mereka adalah sama dalam arti ridha, pasrah, kesempurnaan ma’rifat dan murninya keyakinan baik pada waktu gembiR maupun susah, waktu dalam kehinaan maupun kejayaan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 69).

Fudhayl bin Iyad menceritakan kisah seorang raja yang terkenal dengan nama Sultan Hârun al-Rasyîd yang sedang mendengarkan nasihat seorang ‘ulama’ sufi yang bernama Syaikh Raja‘ bin Hayat yang mengatakan; “Wahai sultan jika anda ingin selamat dari siksa Allâh SWT di akhirat, maka cintailah orang-orang muslim seperti anda mencintai diri sendiri, apa yang anda benci pada diri sendiri berlakukanlah pada diri mereka (jika sudah bisa) lalu matilah sesukamu. Aku mengatakan ini kepada anda karena aku sangat khawatir pada suatu hari anda terpleset dari jalan kebenaran, apakah ada orang mengatakan hal ini pada anda sebelumnya dengan landasan belas kasihan dan memintakan rahmat Allah untuk anda?”

Seketika itu, Sultan Hârun al-Rasyîd menangis sampai tak sadarkan diri. Setelah sadar, Sultan  Hârun al-Rasyîd minta untuk dinasihati lagi. Kemudian Syaikh Raja‘ bin Hayat berkata; “Wahai pimpinan orang-orang mu’min, sesungguhnya paman nabi yang bernama abbas datang kepada nabi lalu bartanya tentang kepemimpinan”. Nabi SAW bersabda;

إِنَّ الْإِمَارَةَحَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَمِيْرًا فَافْعَلْ.

“Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah kesedihan dan penyesalan pada hari kiyamat, jika engkau mampu untuk tidak jadi pemimpin maka lakukanlah”.

Mendengar nasihat ini Sultan  Hârun al-Rasyîd menangis dengan keras lalu Sultan  Hârun al-Rasyîd meminta nasihat lagi, syaikh Raja’ bin Hayat berkata wahai orang yang wajahnya tampan anda akan ditanya oleh allah tentang keadaaan ini pada hari kiyamat, jika anda mampu untuk menjaga wajah tampan ini dari jilatan api neraka, maka hati-hatilah tiap pagi dan sore dalam hati anda ada tipu daya kepada salah satu rakyat anda karena Nabi SAW bersabda;

مَنْ أَصْبَحَ لَهُمْ غَاشًّا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.

“Barang siapa pada pagi harinya memiliki tipu daya kepada manusia, maka dia tidak akan mencium bau surga”.

Kemudian Sultan Hârun al-Rasyîd menangis, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6 halaman: 341).

Sumber: Alif.ID

21. Pembahasan Tasawuf

“Barangsiapa yang bertasawuf tanpa Ilmu Fiqih, maka dia disebut zindiq (orang yang pura-pura beriman), dan barangsiapa yang mendalami Ilmu Fiqih tanpa bertasawuf maka dia disebut fasiq. Barangsiapa yang menyeimbangkan antara keduanya maka dialah ahli haqîqat yang sesungguhnya (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 64)”

Demikian terjemahan dari kalimat ini:

مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam bahwa Allâh SWT telah menyebutkan di dalam Alquran orang-orang yang tulus,  taat (patuh), tunduk, yakin, ihlas,  berbuat baik, dan orang-orang yang takut kepada Allâh. Alquran juga menyebutkan  orang-orang yang selalu mengharap ridha Allâh,  ahli ibadah, orang-orang yang beri‘tikaf,  sabar,  ridha,  tawakal,  tawaddhu‘,  mencintai Allâh, dan bertaqwa. Mereka adalah orang-orang pilihan,  berbakti, dan  dekat dengan Allâh.

Tidak ada pula perbedaan pendapat bahwa mereka semua adalah umat Muhammad SAW. Jika mereka tidak ada di masa nabi Muhammad dan memang mustahil keberadaannya di semua masa, maka tentu Allâh tidak akan menyebutkannya di dalam Alquran dan Rasûlullah tidak akan menjelaskannya di dalam Hadis, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 20).

وَمَوْضُوْعُ هٰذَا الْعِلْمِ: اَلذَّاتُ الْعَلِيَّةُ، لِأَنَّهُ يَبْحَثُ عَنْهَا بِاعْتِبَارِ مَعْرُوْفَتِهَا : ذَاتًا وَصِفَاتٍ وَأَسْمَاءٍ : تَعَلُّقًا وَتَـخَلُّقًا وَتَـحَقُّقًا. وَوَاضِعُهُ: اَلرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحْيًا وَإِلْهَامًا. وَحَدُّهُ: صِدْقُ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ تَعَالٰى مِنْ حَيْثُ يَرْضَى، بِمَا يَرْضَى. وَاسْتِمْدَادُهُ: مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَإِلْهَامَاتِ الصَّالِـحِيْنَ، وَفُتُوْحَاتِ الْعَارِفِيْنَ. وَثَمْرَتُهُ: تَصْفِيَةُ الْبَوَاطِنِ بِالتَّخَلِّيَّةِ وَالتَّحَلِّيَّةِ لِتَتَهَيَّأَ لِوَارِدَاتِ الْأَنْوَارِ الْإِلٰهِيَّةِ وَالْفُتُوْحَاتِ الرَّبَّانِيَّةِ.

Tema pembahasan tasawuf adalah dzat yang maha tinggi (Allâh), karena yang dibahas tentang ma’rifatullah baik dzat, sifat dan nama-nama-Nya dengan ta’alluq, takhalluq, dan tahaqquq-Nya. Peletak dasar tasawuf adalah Rasulullah SAW melalui wahyu dan ilham. Batas tasawuf adalah kebenaran dalam ber-tawajjuh (menghadap) kepada Allâh dari apa saja dan dengan apapun yang diridhai-Nya.

Landasan/dasar tasawuf adalah Alquran, Hadis, ilham para orang-orang shalih dan orang-orang yang ma’rifatullah (orang-orang yang terbuka hatinya). Buah tasawuf adalah membersihkan batin dengan takhalliyah (membersihkan batin dari sifat-sifat tercela) dan tahalliyah (membersihkan batin dengan sifat-sifat terpuji) agar siap untuk menerima nur ilâhiyah (cahaya ketuhanan), (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 60).

Rukun Tasawuf

Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasanî menjelaskan beberapa rukun tasawuf berikut ini;

وَقَدْ قَالُوْا: اَرْكَانُ التَّصَوُّفِ مَجْمُوْعَةٌ فِيْ اَرْبَعَةِ الْاَشْيَاءِ، وَهِيَ: كَفُّ الْأَذَى، وَحَمْلُ الْجَفَا، وَشُهُوْدُ الصَّفَا، وَرَمْيُ الدُّنْيَا بِاالْقَفَا.

Rukun tasawuf ada empat;

  1. Kafful Adzâ, yakni Mencegah penganiayaan/kezhaliman,
  2. Hamlul Jafâ, yakni Sabar (menerima) ketidakramahan atau kebrutalan orang lain,
  3. Syuhudu al-Shafâ, yakni kejernihan hatinya tampak dalam perilakunya, dan
  4. Ramyud Dunyâ bil Qafâ, yakni Menghilangkan kecintaan dunia (zuhud), (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 13).

Lima Pokok/Dasar Tasawuf

نَقْضُ الْأُصُوْلِ وَالْأَرْكَانِ هُوَ: إِهْمَالُهَا وَالْعَمَلُ بِأَضَدَادِهَا. وَأُصُوْلُ التَّصَوُّفِ خَمْسَةٌ: تَقْوَى اللهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ. وَاِتْبَاعُ السُّنَّةِ فِي الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ. وَالْإِعْرَضُ عَنِ الْـخَلْقِ فِي الْإِقْبَالِ وَالْإِدْبَارِ. وَالرِّضَى مِنَ اللهِ فِي الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ. وَالرُّجُوْعُ إِلَى اللهِ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ.

  • Taqwa kepada Allâh di kala sepi dan dalam keramaian,
  • Mengikuti sunnah Nabi dalam segala ucapan dan perbuatan,
  • Tidak bergantung terhadap makhluk baik di hadapan maupun di belakangnya,
  • Ridha dengan pemberian Allâh baik banyak maupun sedikit, dan
  • Semua permasalahan di kembalikan kepada Allâh baik dalam waktu gembiRA maupun susah, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 354).
  • Keutamaan dan Kemuliaan Ilmu Tasawuf

وَأَمَّا ثُبُوْتُ شَرَفِهِ بِاالنَّقْلِ، فَلَا شَكَّ أَنَّ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ الْأُمَّةِ وَرَدَتْ بِمَدْحِ جُزْئِيَّاتِهِ وَمَسَائِلِهِ، كَالتَّوْبَةِ، وَالتَّقْوَى، وَالْإِسْتِقَامَةِ، وَالصِّدْقِ، وَالْإِخْلَاصِ، وَالطُّمَأْنِيْنَةِ، وَالزُّهْدِ، وَالْوَرَعِ، وَالتَّوَكُّلِ، وَالرِّضَى، وَالتَّسْلِيْمِ، وَالْمَحَبَّةِ، وَالْمُرَاقَبَةِ، وَالْمُشَاهَدَةِ، وَغَيْرِ ذٰلِكَ مِنْ مَسَائِلِهِ.

Keutamaan dan kemuliaan ilmu tasawuf tidak diRagukan di dalam Alquran, Hadis dan Ijma’ ‘Ulama’ tentang  bagian-bagian dan berbagai permasalahannya, seperti taubat, taqwa, istiqamah, jujur, ikhlas, thuma‘ninah, zuhud, wara’, tawakkal, ridha, berserah diri, kecintaan kepada Allâh, muraqabah, musyahadah, dan lain sebagainya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 61).

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mengetahui perilaku hati (yang baik atau yang tercela) dan cara membersihkan dari sifat-sifat tercela serta menghiasi diri dengan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang tercela. Sasaran tasawuf adalah perilaku hati dan panca indra, sedangkan buahnya adalah sucinya hati dan ma‘rifat, juga selamat di akhirat dan ridha Allâh serta kebahagiaan yang abadi.

Sedangkan kemuliaannya adalah;

(وَفَضْلُهُ) أَنَّهُ أَشْرَفُ الْعُلُوْمِ لِتَعَلُّقِهِ بِمَعْرِفَةِ اللهِ تَعَالَى وَ حُبِّهِ وَهِيَ أَفْضَلُ عَلَى اْلإِطْلاَقِ (وَنِسْبَتُهُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُوْمِ) أَنَّهُ أَصْلٌ لَهَا وَشَرْطٌ فِيْهَا إِذْ لَا عِلْمَ وَلاَ عَمَلَ إِلاَّ بِقَصْدِ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ فَنِسْبَتُهُ لَهَا كَالرُّوْحِ لِلْجَسَدِ.

Keutamaannya ilmu tasawuf sesungguhnya paling mulia karena berhubungan dengan ma‘rifat dan cinta kepada Allâh SWT, sementara hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu yang lainnya adalah menjadi pokok dan syarat atas keberadaan ilmu-ilmu yang lain, karena tidak ada ilmu dan amal kecuali bertujuan tawajjuh kepada Allâh SWT bisa disimpulkan bahwa hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu-ilmu yang lain seperti halnya ruh dengan jasad, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 406).

Hakikat Tasawuf

Tasawuf adalah sebuah ilmu untuk menggembleng batin yang bertujuan agar keadaan dan perilaku diri menjadi lebih baik, dan semakin dekat dengan Allâh sang Khaliq. Sehingga tidak salah jika tasawuf disebut sebagai ilmu batin, karena sasaran utamanya adalah sisi batin. Tasawuf adalah ilmu yang paling luhur dan agung, yang paling terang dalam menyinari batin.

وَاعْلَمْ أَنَّ التَّصَوُّفَ وَيُقَالُ لَهُ عِلْمُ الْبَاطِنِ. مِنْ أَجَلِّ الْعُلُوْمِ قَدْرًا وَأَعْظَمِهَا مَحَلاًّ وَفَخْرًا. وَأَسْنَاهَا شَمْسًا وَبَدْرًا . وَقَدْ فَضَّلَ اللهُ أَهْلَهُ عَلَى الْكَافَّةِ مِنْ عِبَادِهِ بَعْدَ رُسُلِهِ وَأَنْبِيَائِهِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ. وَجُعِلَ قُلُوْبُهُمْ مَعْدَنَ اْلأَسْرَارِ. وَاخْتَصَّهُمْ مِنْ بَيْنِ اْلأُمَّةِ بِطَوَالِعِ اْلأَنْوَارِ. فَهُمُ الْغِيَاثُ لِلْخَلْقِ. وَالدَّائِرُوْنَ فِيْ عُمُوْمِ أَحْوَالِهِمْ مَعَ الْحَقِّ.

Sehingga para Mutashawwif atau Sufi (orang yang mempelajari dan berperilaku Tasawuf) adalah orang-orang yang diberikan keunggulan dari semua manusia setelah para Nabi dan Rasul. Dalam hati mereka terkuak rahasia-rahasia langit. Hati mereka penuh dengan cahaya Ilahi dan mereka menjadi penolong dan pelindung bagi umat yang membutuhkannya. Karena hati mereka selalu bersama Allâh al-Haq (Yang Maha Benar), maka setiap ucapan dan perbuatan mereka bersumber dari al-Haqq, sehingga selalu diarahkan pada kebenaran, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 404).

قَدْ عَلِّمُوْا أَنَّ دَوَامَ السَّيْرِ قَطْعًا يُؤَدِّيْ إِلَى الْوُصُوْلِ.

Sudah diketahui bahwa sebuah perjalanan seseorang yang langgeng (ber-tasawuf) dapat mengantarkan pada wushûl (sampainya seorang sûfî kepada ma‘rifatullah), (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 72).

Wushûl kepada Allâh SWT yang dimaksud adalah ketika seorang Sûfî atau Sâlik (murid) sampai pada titik kesenangan, ketenangan, dan kerinduan kepada Allâh SWT yang besar dan jernihnya cinta kepada Allâh SWT hal ini lah yang kemudian seorang sufi atau salik mendapatkan predikat/gelar al-Shâdiq, as-Sâirin, dan al-Thâlibin. Ketiga gelar ini adalah derajad yang dekat dengan Allâh SWT, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 265)

Oleh karena itu, ilmu untuk menggembleng dan membenahi sisi batin adalah sebuah ilmu yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dipilih oleh Allâh SWT

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ تَعَالَى وَحُكْمٌ مِنْ حِكَمِ اللهِ يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ . أَخْرَجَهُ الدَّيْلَمِيْ عَنْ عَلِي، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 324).

Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Ilmu batin adalah salah satu rahasia dari rahasia-rahasia Allâh SWT, dan salah satu hukum dari hukum-hukum Allâh SWT yang diletakkan dalam hati para hamba yang dikehendaki-Nya”. HR. ad-Dailami dari Ali, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 324).

Mati/Lenyapnya Ilmu Tasawuf

Tasawuf atau tarekat akan hilang sebab para ahlinya wafat, dengan demikian akan hilang pula pengetahuan atau ilmunya (haliyah, tradisi-tradisi dll).

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتِّـخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوْا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا.

Sesungguhnya Alah tidak akan mengambil suatu ilmu dari suatu kaum, akan tetapi Allâh akan mengambilnya dengan mewafatkan para ulama’ sehingga tidak ada seorangpun yang ‘alim, kemudian mereka menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang ketika ditanya, maka mereka menjawab (memberikan fatwa) dengan tanpa landasan keilmuan, yang sesat dan menyesatkan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 15).

Sumber: Alif.ID

22. Istilah-istilah dalam Tasawuf

Penjelasan dan keterangan

Berikut ini adalah penjelasan beberapa istilah;

  • Sâlik adalah murid, yakni para penempuh jalan ruhani, (Mu’jam al-Kalimât as-Shûfiyah, halaman: 190).
  • Tahallî adalah menghiasi diri dengan asma-asma Allâh sesuai dengan batasan yang telah disyari‘atkan yang sulit untuk dibedakan, (al-Futûhât al-Makkiyah, Juz 4 halaman: 168). Tahallî juga berarti sebgai tahapan penghiasan diri dengan segala amal shalih, (Iqadh al-Himam fî Syarh al-Hikam, halaman: 11-12)
  • Takhallî adalah menyendiri dan berpaling dari hal-hal yang dapat menyibukkan diri dari Allâh SWT, (al-Futûhât al-Makkiyah, Juz 4 halaman: 169). Takhallî juga berarti tahapan pengosongan dan pembersihan diri dari sifat dan perbuatan tercela, (Iqadh al-Himam fî Syarh al-Hikam, halaman: 11-12)
  • Tajallî adalah nur ilahiyah yang turun kepada seseorang yang bisa membuka hati dari rahasia alam ghaib, (al-Futûhât al-Makkiyah, Juz 4 halaman: 171). Tajallî juga bermaksud sebagai tahapan penampakan diri Tuhan atau nur ilahiyah kepada para salik menuju kedekatan dengan Tuhan (ma’rifat billah), (Iqadh al-Himam fî Syarh al-Hikam, halaman: 11-12).
  • Sirrî adalah sesuatu yang tidak bisa diRasakan oleh angan-angan, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 211).
  • Fana’ dan Baqa’ adalah dua nama yang menjadi sifat seorang hamba yang selalu mengesakan Allâh SWT Sehingga menjadikan terangkatnya deRajat dari golongan orang ‘awâm menuju kepada deRajat golongan orang yang khâs (khusus). Artinya Fana’ dan Baqa’ pada awalnya adalah hilangnya kebodohan sebab tetapnya ilmu dan hilangnya kemaksiatan sebab ketaatan atau kepatuhan, hilangnya lupa kepada Allâh sebab dzikir dan hilangnya melihat geRAk-gerik hamba disebabkan tetapnya melihat pertolongan Allâh SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 195). Fana’ juga berarti hilangnya sifat-sifat yang buruk, dan Baqa’ berarti tampaknya sifat-sifat yang terpuji, (al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 67).

Mengenai hakikat Fana’ dan Baqa’ dijelaskan;

(وَأَمَّا حَقِيْقَةُ الْفَنَاءِ وَالْبَقَاءِ) فَالْفَنَاءُ سُقُوْطُ الْأَوْصَافِ الْمَذْمُوْمَةِ، وَالْبَقَاءُ وُجُوْدُ الْأَوْصَافِ الْمَحْمُوْدَةِ. فَمَتَى بَدَلَ الْعَبْدُ أَوْصَافَهُ الْمَذْمُوَمَةَ فَقَدْ حَصَلَ لَهُ الْفَنَاءُ وَالْبَقَاءُ. وَالْفَنَاءُ اِثْنَانِ: (أَحَدُهُمَا) مَا ذَكَرْنَاهُ وَهُوَ بِكَثْرَةِ الرِّيَاضَةِ (وَالثَّانِيْ) عَدَمُ الْإِحْسَاسِ بِعَالَمِ الْمَلَكُوْتِ، وَهُوَ بِالْاِسْتِغْرَاقِ فِيْ عَظَمَةِ الْبَارِي وَمُشَاهَدَةِ الْحَقِّ. (جامع الأصول في الأولياء، 172)

Adapun hakikat fana’ dan baqa’. Fana’ adalah hilangnya sifat-sifat yang hina, dan baqa’ adalah wujudnya sifat-sifat yang terpuji. Ketika seorang hamba (sâlik) mengganti sifat-sifatnya yang hina, maka tercapailah baginya fana’ dan baqa’. Fana’ ada 2 macam; pertama sebagaimana yang telah kami sebutkan yaitu dengan memperbanyak riyadhah (olah batin, tirakat; jawa) kedua, tidak adanya pengindraan terhadap ‘alam malakut, yaitu dengan menenggelamkan diri dalam keagungan Allâh Sang Pencipta, dan musyahadah (seakan melihat) Allâh Yang Haq, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172, lihat juga di dalam kitab al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 67).

Allâh SWT telah menetapkan ukuran segala sesuatu sebelum alam diciptakan pada zaman azali. Ketetapan ini dalam bahasa tauhid lebih dikenal dengan istilah qadha’, yang berarti kehendak atau ketetapan Allah terkait dengan segala sesuatu baik yang wujud maupun tidak wujud. Karena qadha’ adalah kehendak Allâh SWT, maka qadha’ merupakan salah satu sifat dari dzat Allâh SWT yang qadim (lampau yang tidak ada permulaannya).

وَأَمَّا الْقَضَاءُ فَهُوَ تَعَلُّقُ إِرَادَةِ اللهِ بِالْأَشْيَاءِ فِي اْلأَزَلِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِيْمَا لاَ يَزَالُ عَلَى وِفْقِ عِلْمِهِ فَهُوَ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ. وَأَمَّا الْقَدَرُ فَهُوَ إِيْجَادُ اللهِ اْلأَشْيَاءَ عَلَى قَدَرٍ مَخْصُوْصٍ، وَوَجْهٍ مُعَيَّنٍ أَرَادَهُ اللهُ تَعَالَى فَهُوَ مِنْ صِفَاتِ اْلأَفْعَالِ ، فَالْقَضَاءُ قَدِيْمٌ وَالْقَدَرُ حَادِثٌ. (تنوير القلوب، ص 87)

Setiap ketetapan tersebut diwujudkan dalam qadar dengan ukuran-ukuran tertentu, dan dengan bentuk-bentuk tertentu. Qadar adalah bentuk perwujudan dari sebuah perencanaan Allah pada zaman azali. Karena qadar berhubungan dengan perwujudan terhadap ada atau tidaknya segala sesuatu, maka qadar bersifat Hadis (baru), (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 87).

Berikut ini adalah sebuah Hadis yang menjelaskan bahwa do’a dapat menolak qadha’ dan perbuatan baik dapat menambah umur.

لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيْدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ (فيض القدير، ج 6، ص 582)

Rasûlullah SAW bersabda: “Tiada yang bisa menolak qadha’ (ketentuan Allah) kecuali do’a, dan tiada yang dapat menambah usia kecuali perbuatan baik”, (Faydh al-Qadîr, juz 6 halaman: 582).

  • Sementara itu ikhlâs adalah perbuatan yang didasari ketulusan, yakni beRAmal tanpa mengharap imbalan apapun, baik imbalan yang bersifat duniawi maupun imbalan yang bersifat ukhRawi, antara zhahir dan batin sama-sama rela. Pengertian ikhlas ini, lebih lumRAh kita dengar dalam istilah Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Menurut pendapat Syaikh Ruwaim disebutkan bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya layaknya dia menyembunyikan keburukannya, sehingga sama sekali dia tidak ingin menampakkan apalagi memamerkan kebaikan apapun yang pernah dilakukannya. berikut penjelasannya;

قَالَ: الْإِخْلَاصُ كُلُّ عَمَلٍ لَا يُرِيْدُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ غَرْضًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ. وَقَالَ: هُوَ أَنْ تَسْتَوِيَ عِبَادَةُ الْعَابِدِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ. وَقِيْلَ: الْمُخْلِصُ مَنْ يُخْفِيْ حَسَنَاتِهِ، كَمَا يُخْفِيْ سَيِّئَاتِهِ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 274)

Ruwaim berkata: “Ikhlâs adalah semua perbuatan yang pelakunya tidak mengharapkan bagian baik di dunia maupun di akhirat”. Ruwaim selanjutnya berkata: “Ikhlâs adalah penyembahan seorang hamba antara zhahir dan batinnya sama”. Dikatakan pula bahwa seseorang yang ikhlâs adalah (seperti) orang yang menyembunyikan kebaikannya, sebagaimana dia menyembunyikan keburukannya,  (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 274)

وَضِدُّ الْإِخْلَاصِ الرِّيَاءُ وَهُوَ إِرَادَةُ نَفْعِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ

  • Kebalikan ikhlas adalah riya’, riya’ adalah menghendaki kemanfaatan dunia dengan perbuatan akhirat, (Sirâj al-Thâlibîn, juz 2, halaman: 364).

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ خَرَجُوْا مِن دِيَارِهِم بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّوْنَ عَن سَبِيْلِ اللهِ وَاللهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ، (الأنفال: ٤٧)

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allâh SWT Dan (ilmu) Allâh SWT meliputi apa yang mereka kerjakan, (Q.S. al-Anfâl: 48)

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ وَهُوَ الرِّيَاءُ (إرشاد العباد، ص: 67، سراج الطالبين، ج 1، ص: 233).

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah Hadis dari Rasûlullâh SAW: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti atas diri kalian adalah syirik kecil yaitu riya’, (Irsyâd al-‘Ibâd, halaman: 67, Sirâj al-Thâlibîn, Juz 1 halaman: 233).

Riya’ (pamer) dikelompokkan menjadi 5 bagian:

وَالْمُرَائُ بِهِ كَثِيْرٌ وَتَجْمَعُهُ خَمْسَةُ أَقْسَامٍ وَهِيَ الْقِسْمُ الْأَوَّلُ الرِّيَاءُ فِى الدِّيْنِ بِالْبَدَنِ: وَذَلِكَ بِإِظْهَارِ النُّحُوْلِ وَالصَّفَارِ لِيُوْهَمَ بِذَلِكَ شِدَّةَ الْاِجْتِهَادِ وَعَظُمَ الْحُزْنِ عَلَى أَمْرِ الدِّيْنِ وَغَلَبَةِ خَوْفِ الآخِرَةِ، فَأَمَّا أَهْلُ الدُّنْيَا فَيُرَاؤُوْنَ بِإِظْهَارِ السِّمَنِ وَصَفَاءِ اللَّوْنِ وَاعْتِدَالِ الْقَامَةِ وَحُسْنِ الْوَجْهِ وَنَظَافَةِ الْبَدَنِ وَقُوَّةِ الْأَعْضَاءِ وَتَنَاسُبِهَا، الثَّانِى الرِّيَاءُ بِالْهَيْئَةِ وَالزِّيِّ: أَمَّا الْهَيْئَةُ فَبِتَشْعِيْثِ شَعْرِ الرَّأْسِ وَحَلْقِ الشَّارِبِ وَإِطْرَاقِ الرَّأْسِ فِى الْمَشِيِّ وَالْهُدُوْءِ فِى الْحَرَكَةِ وَإِبْقَاءِ أَثَرِ السُّجُوْدِ عَلَى الْوَجْهِ، وَالْمُرَاؤُوْنَ بِالزِّيِّ عَلَى طَبَقَاتٍ: فَمِنْهُمْ مَنْ يَطْلُبُ الْمَنْزِلَةَ عِنْدَ أَهْلِ الصَّلَاحِ بِإِظْهَارِ الزُّهْدِ فَيَلْبِسُ الثِّيَابَ الْمُخْرِقَةَ الْوَسَخَةَ الْقَصِيْرَةَ الْغَلِيْظَةَ لِيُرَائِيَ بِغَلَظِهَا وَوَسَخِهَا وَقَصْرِهَا وَتَخَرُّقِهَا أَنَّهُ غَيْرُ مُكْتَرِثٍ بِالدُّنْيَا، الثَّالِثُ الرِّيَاءُ بِالْقَوْلِ: وَرِيَاءُ أَهْلِ الدِّيْنِ بِالْوَعْظِ وَالتَّذْكِيْرِ وَالنُّطْقِ بِالْحِكْمَةِ وَحِفْظِ اْلأَخْبَارِ وَالآثَارِ، وَأَمَّا أَهْلُ الدُّنْيَا فَمُراَءَاتُهُمْ بِالْقَوْلِ بِحِفْظِ الْأَشْعَارِ وَالْأَمْثَالِ والتَّفَاصُحِ فِى الْعِبَارَاتِ وَحِفْظِ النَّحْوِ الْغَرِيْبِ لِلْإِغْرَابِ عَلَى أَهْلِ الْفَضْلِ وَإِظْهَارِ التَّوَدُّدِ إِلَى النَّاسِ لِاسْتِمَالَةِ الْقُلُوْبِ، الرَّابِعُ الرِّياَءُ بِالْعَمَلِ: كَمُرَاءَاةِ الْمُصَلِّى بِطُوْلِ الْقِيَامِ وَمَدِّ الظَّهْرِ وَطُوْلِ السُّجُوْدِ وَالرُّكُوْعِ وَإِطْرَاقِ الرَّأْسِ، وَأَمَّا أَهْلُ الدُّنْيَا فَمُرَاءَاتُهُمْ بِالتَّبَخْتُرِ وَالْإِخْتِيَالِ وَتَحْرِيْكِ الْيَدَيْنِ وَتَقْرِيْبِ الْخَطَا وَالْأَخْذِ بِأَطْرَافِ الذَّيْلِ وَإِدَارَةِ الْعَطْفَيْنِ لِيَدُلُّوْا بِذَالِكَ عَلَى الْجَاهِ وَالْخَشَمَةِ، الْخَامِسُ: الْمُرَاءَاةُ بِالْأَصْحَابِ وَالزَّائِرِيْنَ وَالْمُخَالَطِيْنَ كَالَّذِيْ يَتَكَلَّفُ أَنْ يَسْتَزِيْرَ عَالِمًا مِنَ الْعُلَمَاءِ لِيُقَالَ إِنَّ فُلَانًا قَدْ زَارَ فُلَانًا، (احياء علوم الدين، ج 3، ص: 263-264).

Riya’ (pamer) banyak sekali macamnya dan dikelompokkan menjadi lima bagian:

  1. Riya’ dalam masalah agama dengan badannya, yaitu dengan memperlihatkan kurusnya badan dan pucatnya wajah agar orang tersebut disangka sebagai orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah dan sangat prihatin atas perkara agama dan sangat takut kepada akhirat. Adapun ahli dunia maka dia memamerkan dengan menampakkan kegemukannya, bersihnya kulit, tegak bentuk tubuhnya, ketampanan wajahnya, bersih dan kuatnya anggota badan, dsb.
  2. Riya dengan keadaaan tubuh dan penampilan. Adapun riya dengan keadaan tubuh adalah kumalnya rambut, memotong kumis, menundukkan kepala ketika berjalan, pelan-pelan dalam bergerak dan menetapkan bekasnya sujud pada kening. Sedangkan riya dengan penampilan adalah orang yang mendapatkan kedudukan menurut ahli shalâh (ahli kebaikan) dengan menampakkan kezuhudannya dengan menggunakan pakaian compang-camping, kotor, pendek, kasar kainnya supaya terlihat jelek, kumuh, pendek, dan compang-camping pakaian tersebut sesungguhnya dia tidak termasuk orang yang susah di dunia.
  3. Riya’ dengan ucapan. Riya ahli agama adalah dengan petuah, memberi nasihat, ucapan yang bijaksana, menjaga Hadis Nabi dan atsar sahabat Nabi. Adapun riya’ ahli dunia adalah dengan ucapan, yaitu dengan menghafal syair-syair serta pribahasa, fasih dalam mengucapkan kalimat, menjaga kaidah bahasa yang aneh. Bagi orang yang memiliki keutamaan menampakkan Rasa senang pada manusia supaya mendapatkan simpati
  4. Riya’ dengan perbuatan, seperti riyanya orang yang shalat dengan memperpanjang berdiri ketika sholat, menegakkan punggung, memanjangkan sujud dan ruku’ dan menundukkan kepala. Adapun ahli dunia, riyanya dengan sombong, menghayal, menggerak-gerakkan kedua tangan, memperpendek langkah kaki, mengambil sesuatu dengan saputangan, mencari simpati supaya memperoleh jabatan dan nama baik
  5. Riya’ dengan banyaknya sahabat, orang yang berkunjung, teman sejawat, seperti orang yang mempertajam ucapan dengan tujuan supaya para ‘Ulama’ mendatanginya sehingga dia mengatakan sesungguhnya ‘Ulama’ ini telah mendatangi seseorang, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 263-264).
  • Berikutnya penjelasan mengenai Ahwal yang merupakan jama’ dari kata hâl, yang bermakna sesuatu yang terjadi di dalam hati atau hati yang tertimpa sesuatu. Menurut al-Junaidi, hâl adalah sesuatu yang singgah di dalam hati. Karena itulah, hâl tidak bisa kekal, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 40). Hâl juga berarti sebuah makna atau keadaan yang datang pada hati dan bukan hasil usaha dari diri Sâlik, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 57)

Bersambung…

Sumber: Alif.ID

23. “Wira’i”

Begitu banyak istilah dalam ilmu tasawuf. Edisi ini masih melanjutkan tema mengenai istilah-istilah dalam tasawuf. Yang pertama adalah wira’iWira’i adalah maqam yang mulia.  Rasûlullah SAW bersabda, “tiang agamu adalah wira’i“.

Wira’i memiliki tiga tingkatan:

1) Orang yang menghindari syubhat, yaitu sesuatu antara halal dan haram. 2) Orang yang menghindari sesuatu yang menghentikan hati dari berdzikir kepada Allâh SWT. 3) Orang-orang yang terhindar dari sesuatu yang menyibukkan hatinya dari berdzikir kepada Allâh SWT (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 42).

Orang-orang yang wira’i juga memiliki perbedaan berdasarkan tingkatannya;

وَالْوَرَعُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: وَرَعُ اْلعَامِّ وَهُوَ أَنْ لاَيَتَكَّلَمَ إِلاَّ بِاللهِ سَاخِطًا أَوْ رَاضِيًا، وَوَرَعُ الْخَاصِّ وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ كُلَّ جَارِحَةٍ عَنْ سُخْطِ اللهِ، وَوَرَعُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ

جَمِيْعُ شُغْلِهِ يَرْضَى اللهُ بِهِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 76).

Wara‘ ada tiga macam; Wara‘-nya orang ‘awâm yaitu tidak berbicara kecuali dengan Allâh SWT, baik dalam keadaan senang atau tidak. Wara‘-nya orang khâsh adalah dengan menjaga semua anggota tubuh dari kemurkaan Allâh SWT, dan Wara‘-nya orang akhâsh yaitu dengan (menjaga) semua kesibukannya agar diridhai oleh Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Berikut ini adalah mutiara nasihat Dzunnun al-Mishri yang terangkum dalam kitab Hilyah:

1. Tiga tanda khauf (takut) adalah; a) wara‘ dari barang syubhat dengan cara memperhatikan ancaman, b) Menjaga lisan dengan memperhatikan keagungan, dan c) Mengobati kesedihan yang berat menjadi lebih ringan daripada menghadapi murka dzat yang sabar lagi pemaaf (al-Halîm).

2. Tiga tanda amal ikhlas; a) Pujian dan hinaan dari manusia terasa sama, b) Melupakan pandangan manusia tentang amal karena memandang kepada Allâh SWT, dan c) Menetapkan pahala amal di akhirat dengan pengampunan Allah dan menetapkannya di dunia dengan pujian yang baik.

3. Tiga tanda kesempurnaan amal adalah; a) Meninggalkan perjalanan keliling negara-negara, b) Menyedikitkan atau meminimalkan kegembiraan karena mendapatkan kenikmatan seperti menghadapi cobaan, dan c) Ketulusan hati pada semua keadaan baik Rahasia maupun terlihat.

4. Tiga tanda ‘Amal Yaqin adalah; a) Meminimalkan perbedaan dengan manusia dalam pergaulan, b) Tidak menghiraukan pujian manusia, dan c) Menghilangkan hinaan manusia.

5. Tiga tanda tawakkal; a) Melepaskan hubungan-hubungan dengan manusia, b) Tidak mencari simpati dalam kesempatan untuk menaikkan kedudukan, dan c) Jujur dalam mu‘amalah (pekerjaan) dengan sesama mahluk.

6. Tiga tanda kesabaran adalah; a) Menjauhi pergaulan dengan keras, b) Berdiam diri pada saat terkena cobaan, dan c) Menampakkan kekayaan dalam kehidupan padahal berada dalam jeratan kefakiran

7. Tiga tanda hikmah adalah; a) Melepaskan jiwa dari keterikatan dengan manusia, b) Menasihati manusia menurut kadar akalnya sehingga mereka mampu melakukan nasihat tersebut. Sedangkan yang ketiga beliau tidak menyebutkan.

8. Tiga tanda zuhud adalah; a) Angan-angan yang pendek, b) Cinta kefakiran, dan c) Merasa cukup dengan kesabaran.

9. Tiga tanda ahli ibadah adalah; a) Mencintai waktu malam untuk digunakan tahajjud, berdzikir dan berkhalwat, b) Tidak suka dengan datangnya tubuh karena terlihat manusia, dan c) Lupa dengan amal-amal yang baik karena takut timbul fitnah.

10. Tiga tanda tawaddhu‘; a) Mengecilkan diri karena mengetahui celah pada dirinya, b) Menghormati manusia karna menghormati ke-Esaan Allâh SWT, dan c) Menerima kebenaran dan nasihat dari orang lain

11. Tiga tanda dermawan adalah; a) Memberikan sesuatu padahal dirinya membutuhkan, b) Takut meRasa cukup karena pemberiannya tidak diikuti orang lain, dan c) Takut jiwanya meRasa cukup karena berhasil memasukkan kebahagiaan kepada manusia.

12. Tiga tanda budi pekerti yang baik adalah: a) Meminimalkan perbedaan terhadap manusia yang bergaul, b) Memperbaiki ahlak yang ditolak (jelek), dan (c) Menetapkan tercegahnya nafsu yang selalu mencela terhadap orang-orang yang berselisih dengannya tanpa mengetahui aib mereka.

13. Tiga tanda belas kasih Rasul bagi makhluk; beliau tidak menyebutkan yang pertama, melainkan yang kedua dan yang ketiga, yaitu: b) Menangisi (sedih dalam hati) terhadap anak yatim dan orang-orang miskin, dan c) Menghilangkan hinaan terhadap musibah orang muslim dan memberikan nasihat kepada manusia.

14. Tiga tanda orang-orang yang berkecukupan dengan Allâh SWT adalah: a) Tawaddhu‘ kepada orang-orang faqir dan orang-orang yang hina, b) Mengagungkan terhadap orang-orang kaya yang sombong, dan c) Meninggalkan bergaul dengan orang-orang yang cinta dunia lagi sombong.

15. Tiga tanda malu: a) Menemukan kedamaian dalam hati dengan hilangnya keresahan, b) Memenuhi kholwatnya dengan tafakkur bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh, dan (c) MeRasakan kewibawaan Allâh SWT dengan muraqabah yang jernih.

16. Tiga tanda ma‘rifat adalah: a) Menerima apa adanya atas semua yang ditetapkan oleh Allâh SWT, (b) Memutuskan semua hal yang merintangi jalan menuju Allah. (c) Bangga dengan Allâh SWT

17. Tiga tanda taslîm (orang yang pasrah): a) Menerima semua ketentuan-ketentuan Allâh SWT dengan senang hati, b) Bersabar ketika menerima cobaan, dan c) Bersyukur ketika dalam kebingungan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 8 halaman: 31-32).

Kemudian, Dzunnun al-Mishri meneruskan kembali nasihat-nasihatnya di halaman berikutnya:

1. Tiga tanda al-Hummul (menyembunyikan amal baik); a) Tidak bicara kepada orang atau mencegah pembicaraan, b) Tidak suka menampakkan ilmu di depan teman, dan c) MeRasa menemukan sesuatu yang menyakitkan ketika memberi nasihat, karena tidak menyukai perkataan.

2. Tiga tanda al-Hilm (sabar dan pemaaf) adalah; a) Meminimalkan amarah saat perbedaan pendapat dan menerima manusia karena tawaddhu‘ kepada Allâh SWT, b) Melupakan perbuatan jelek seseorang dan memaafkannya, dan c) Membalas kejelekan seseorang dengan kebaikan.

3. Tiga tanda Taqwâ; a) Meninggalkan kesenangan yang tercela walaupun ada kesempatan melakukannya, b) Melakukan amal-amal kebaikan walaupun nafsu berlari darinya, dan c) menyampaikan amanat kepada pemiliknya walaupun ada kebutuhan terhadapnya.

4. Tiga tanda yang menempel (dekat) dengan Allâh SWT; a) Lari kepada Allâh SWT dalam semua keadaan, b) Meminta kepada Allâh SWT atas segala sesuatu, dan c) Meminta arahan tiap waktu terhadap-Nya.

5. Tiga tanda raja‘ adalah; a) Beribadah dengan manisnya hati, b) Bernafaqah (bersedekah) di jalan Allâh SWT karena meyakini adanya pahala, dan c) Tiada henti-hentinya melaksanakan keutamaan amal dengan kejernihan jiwa.

5. Tiga tanda malu (kepada manusia) adalah; a) Menimbang ucapan sebelum berbicara, b) Menjauhi sesuatu yang akan membutuhkan alasan darinya, dan c) Meninggalkan ajakan orang bodoh karena merasa kasihan kepadanya.

6. Tiga tanda malu (kepada Allah) seperti yang disabdakan Rasûlullah SAW;

قَالَ الرَّسُوْلُ: أَنْ لَا تَنْسَى الْمَقَابِرَ وَالْبَلَا، وَ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى، وَ أَنْ تَتْرُكَ زِيْنَةَ الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا.

Tiga tanda tersebut adalah; a) Tidak melupakan kuburan dan akhirat, b) menjaga kepala dan isinya, dan c) meninggalkan keindahan kehidupan dunia.

7. Tiga tanda al-Afdhâl (keutamaan) adalah; a) Menyambung kembali tali persaudaraan yang sudah putus, b) Memberi kepada orang yang menolak memberi, dan c) Memaafkan terhadap orang yang mendhalimi.

8. Tiga tanda kejujuran adalah; a) Terus menjaga kejujuran, b) Berdiam diri ketika melihat yang berharga, dan c) Tidak suka istiqamah sirrî (rahasia) kepada Allâh SWT terlihat manusia baik secara diam-diam atau terlihat, hal ini karena lebih mementingkan Allâh SWT dari pada pandangan manusia.

9. Tiga tanda memutuskan rintangan dari jalan menuju Allâh SWT adalah; a) Lebih mendahulukan ilmu, b) Cepat memahami hukum, dan c) Tajam pemahaman.

9. Tiga tanda amal-amal petunjuk (al-rasyîd) adalah; a) Tetangga yang baik, b) Memberi nasihat saat bermusyawarah, dan c) bagus dalam bertetangga.

10. Tiga tanda kebahagiaan adalah; a) Memahami agama, b) Ringan melakukan amal ibadah, dan c) Bagus dalam bertetangga, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 8 halaman: 61-62)

Mengenai tanda-tanda orang faqîr yang sesungguhnya, Ibrâhîm al-Khawwâs menjelaskan ada dua; 1) Tidak mau mengeluh/mengadu, dan 2) Menyembunyikan bekas/jejak musibah, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 47).

Berikut ini adalah macam-macam faqîr;

وَالْفَقْرُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: فَقْرُ الْعَامِّ وَهُوَ أَنْ لاَيَطْلُبَ الْمَعْدُوْمَ حَتَّى يَفْقُدَ الْمَوْجُوْدَ، وَفَقْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ السُّكُوْتُ عِنْدَ الْعَدَمِ، وَفَقْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ الْبَذْلُ وَاْلإِيْثَارُ عِنْدَ الْوُجُوْدِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Faqîr ada tiga macam; faqîr-nya orang ‘awâm, yaitu tidak mencari yang tidak ada sehingga barang yang ada menjadi sirna. faqîr-nya orang khâsh yaitu diam ketika tidak adanya sesuatu. faqîr-nya orang akhash, yaitu dengan mengupayakan dan mengutamakan yang ada, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).

Muraqabah

Berikutnya keterangan mengenai muraqabahMurâqabah secara bahasa berarti pendekatan. Sedangakan secara istilah, murâqabah adalah mata hati yang selalu memandang Allah SWT dengan ta’dzim (mengagungkan-Nya), (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 179). Muraqabah juga berarti mengetahui dan meyakini bahwa sesungguhnya Allâh SWT Maha melihat segala sesuatu yang ada di dalam hati dan mengetahui semua itu. Allâh Swt selalu memantau setiap getaran yang tercela yang membuat hati sibuk hingga lupa berdzikir, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 51).

Al-Harits berkata, barangsiapa yang memperbaiki hati/batinnya dengan jalan muraqabah dan ikhlas dalam beramal, maka Allâh akan menghiasi dhahir/lahirnya dengan perilaku mujahadah serta senang melakukan amalan-amalan yang sunnah, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 62).

Selanjutnya adalah penjelasan tentang mahabbatullâh. Yakni cinta kepada Allâh SWT dengan mengikuti jejaknya Nabi Muhammad SAW dari segi akhlak/perilakunya, pekerjaanya, serta hal-hal yang telah diperintahkan. Sunnahnya yaitu mengikuti syari‘atnya sebagaimana mencintai Allâh adalah dengan mencintai Rasul Nya, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 278).

وَلاَ تَحْصُلُ حَقِيْقَةُ الْمَحَبَّةِ مِنَ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ إِلاَّ بَعْدَ سَلاَمَةِ الْقَلْبِ مِنْ كُدُوْرَاتِ النَّفْسِ. فَإِذَا اسْتَقَرَّتْ مَحَبَّةُ اللهِ فِى الْقَلْبِ خَرَجَتْ مَحَبَّةُ الْغَيْرِ. لِأَنَّ الْمَحَبَّةَ صِفَةٌ مُحْرِقَةٌ تَحْرُقُ كُلَّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ جِنْسِهَا (وَعَلاَمَتُهَا) قَطْعُ شَهَوَاتِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ . وَقَالَ يَحْيَ بْنُ مُعَاذٍ: صَبْرُ الْمُحِبِّيْنَ أَشَدُّ مِنْ صَبْرِ الزَّاهِدِيْنَ، (تنوير القلوب، ص: 485).

Hakikat kecintaan seorang hamba kepada Allâh tidak akan terwujud kecuali dengan hati yang telah bersih dari segala kotoran. Ketika mahabbatullâh telah ada dalam hati, maka cinta kepada selain-Nya akan sirna. Ini disebabkan karena mahabbah adalah satu sifat yang bisa membakar segala sesuatu yang tidak termasuk bagian dari mahabbah itu sendiri. Di antara tanda-tanda Mahabbatullâh adalah hilangnya keinginan duniawi maupun ukhaawi. Yahya ibn Mu‘adz berkata: “Kesabaran para pecinta Allâh SWT itu lebih dahsyat daripada kesabaran orang-orang yang ahli zuhud”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 485).

وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامِ: عَلَامَةُ حُبِّ اللهِ حُبُّ ذِكْرِهِ.

Nabi SAW bersabda: “Tanda cinta kepada Allâh SWT adalah cinta menyebut-Nya”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 290).

وَحَدَّثَنِيْ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُهِيْلٍ بنِ أَبِيْ صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ لِجِبْرِيْلَ قَدْ أَحْبَبْتُ فُلاَنًا فَأُحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِيْ فِيْ أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأُحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي اْلأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ مَالِكٌ لاَ أَحْسَبُهُ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ فِي الْبُغْضِ مِثْلَ ذَلِكَ، (تنوير الحوالك، ج 3، ص: 128).

Sementara itu, Ketika Allâh SWT mencintai seorang hamba karena mulia budi pekerti, kearifan, dan kebijaksanaannya yang selalu bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Maka, tidaklah sulit bagi Allâh SWT untuk mengangkat derajat hamba yang dicintai-Nya. Allâh SWT akan mengatakannya kepada malaikat Jibril bahwa Dia mencintai seorang hamba, yang kemudian Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Dan jika sudah demikian, maka seluruh penduduk langit pun turut mencintai hamba tersebut. Demikan halnya dengan hamba yang dimurkai-Nya, jika Allâh SWT murka terhadap seorang hamba, maka Allâh SWT akan mengatakannya kepada malaikat Jibril, kemudian Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Sehingga seluruh penduduk langit pun turut murka pada hamba tersebut, (Tanwîr al-Hawâlik, juz 3, halaman: 128).

Berikutnya tentang prasangka atau praduga yang memiliki peran besar dan hikmah yang agung dalam kehidupan ini. Maka sudah sepatutnya kita harus selalu menjaga setiap bisikan hati agar tetap  berprasangka baik (Husnuzhan) terhadap segala sesuatu yang telah Allâh SWT tetapkan, agar kita termasuk orang-orang yang beruntung. Dan sebaliknya, dengan berburuk sangka (Su’udzan) kepada-Nya akan memberikan kemadharatan pada diri kita sendiri.

Rasûlullâh SAW Bersabda;

قَالَ اللهُ تَعَالٰى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ إِنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ.

Allâh SWT berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika dia berprasangka baik, maka (baik) baginya. Dan jika dia berprasangka buruk, maka (buruk) baginya”, (Faydh al-Qadîr, juz 4, halaman: 643).

وَقَدْ قَالَ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ فَلْيَظُنَّ بِيْ خَيْرًا، (إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 374).

Allâh SWT berfirman: “Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku, oleh karena itu berbaik prasangkalah kepada-Ku”.

Hal tersebut sesuai dengan pengertian dan sebuah keyakinan bahwa Allâh SWT sangat dekat dengan kita. Sehingga kedekatan itu adalah kedekatan secara hakiki.

الْقُرْبُ الْحَقِيْقِيُّ قُرْبُ اللهِ مِنْكَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ. وَقَالَ تَعَالَى: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لاَ تُبْصِرُوْنَ وَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ. وَحَظُّكَ مِنْ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ مُشَاهَدَتُكَ لِقُرْبِهِ فَقَطْ، فَتَسْتَفِيْدُ بِهَذِهِ الْمُشَاهَدَةِ شِدَّةَ الْمُرَاقَبَةِ وَغَلَبَةَ الْهَيْبَةِ وَالتَّأَدُّبَ بِآدَابِ الْحَضْرَةِ وَأَمَّا أَنْتَ فَلاَ يَلِيْقُ بِكَ إِلاَّ وَصْفُ الْعَبْدِ وَشُهُوْدُهُ مِنْ نَفْسِكَ كَمَا يَقُوْلُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى بَعْدَ هَذَا إِلَهِيْ مَا أَقْرَبَكَ مِنِّيْ وَمَا أَبْعَدَنِيْ عَنْكَ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 40).

Kedekatan hakiki adalah dekatnya Allâh SWT dengan dirimu. Allâh SWT berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat”, (Q.S. al-Baqarah: 186). Dan Allâh SWT berfirman: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat”, (Q.S. al-Waqi‘ah: 85).

Dan firman Allâh: “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada uRAt lehernya”, (Q.S. Qaaf: 16). Bagianmu dari semua itu adalah persaksianmu terhadap kedekatan-Nya saja. Dengan musyahadah ini kau ambil hikmah dengan kedekatan yang sungguh-sungguh, ketakutan yang mendalam, dan beretika dengan etika di hadapan Allâh SWT Tidak pantas bagimu, kecuali dengan beretika sebagai seorang hamba, dan penyaksianmu kepada Allâh SWT melalui dirimu.

Sebagaimana apa yang diucapkan oleh mu’allif (Ibnu ‘Atha’illah) setelah ini: “Tuhanku, alangkah dekatnya Engkau dariku, dan alangkah jauhnya diriku dari-Mu”, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 40).

Pandangan Allâh SWT terhadap makhluk-Nya berbeda dengan apa yang menjadi pandangan makhluk. Allâh SWT memberikan penilaian atas seorang hamba bukan dari sisi zhahirnya, melainkan yang menjadi ukuran adalah sisi batinnya. Seburuk apapun wajah seorang hamba dan serendah apapun derajatnya di mata manusia, namun penilaian Allâh SWT hanya tertuju pada kemuliaan hatinya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullah SAW;

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ . رواه مسلم (تنوير القلوب، ص 419)

Nabî SAW bersabda: “Sesungguhnya Allâh SWT tidak memandang penampilan kalian, juga tidak memandang harta kalian, melainkan Dia memandang hati kalian”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 419).

Selain itu, ada pula sebuah pengakuan dosa dari seorang hamba dengan memohon ampun kepada Allâh SWT akan tetapi pengakuan tersebut adalah bohong. Hal itulah yang kemudian Rasûlullâh SAW menganggap mereka adalah golongan orang-orang yang menghina Allâh SWT

وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ الْمُسْتَغْفِرُ بِالِّلسَانِ الْمُصِرُّ عَلَى الذُّنُوْبِ كَالْمُسْتَهْزِئِ بِرَبِّهِ، (تنبيه الغافلين، ص: 370).

Dikisahkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Orang yang memohon ampun dengan lisan (membaca istighfar) tapi tetap melakukan perbuatan dosa, maka dia seperti orang yang menghina Tuhannya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 370).

Sumber: Alif.ID

24. Taubat

Pada dasarnya pengakuan dosa dengan memohon ampun kepada  Allâh SWT merupakan perbuatan taubat. Karena secara harfiah taubat adalah rujû‘ (kembali). Sedangkan secara istilah, taubat adalah kembali dari ucapan dan perbuatan yang buruk menuju ucapan dan perbuatan yang baik.

Firman Allâh SWT;

يٰآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًا. (التحريم: ٨)

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allâh dengan taubat yang semurni-murninya, (Q.S. at-Tahrîm: 08).

Berikut ini adalah macam-macam taubat;

فَالتَّوْبَةُ وَهِيَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: تَوْبَةُ الْعَامِّ وَهِيَ مِنَ الذُّنُوْبِ وَالسَّيْئَاتِ، تَوْبَةُ الْخَاصِّ وَهِيَ أَنْ يُخَلِّيَ قَلْبَهُ مِنْ مَعْرِفَةِ مَا سِوَى الله، وَتَوْبَةُ اْلأَخَصِّ وَهِيَ أَنْ تَسْتَغْرِقَ رُوْحَهُ بِمَحَبَّةِ اللهِ

لَابِمَحَبَّةِ غَيْرِ اللهِ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 76 )

Taubat terbagi menjadi tiga golongan, yaitu;

  1. Taubat orang ‘awâm yaitu taubat dari dosa dan keburukan,
  2. Taubat orang khâsh adalah mengosongkan hatinya dari ma‘rifat selain Allâh SWT, dan
  3. Taubat orang akhâsh adalah dengan menenggelamkan ruhnya dalam mahabbah (cinta) Allâh SWT, bukan mahabbah selain-Nya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Pembagian-pembagian tersebut didasarkan pada maqam (tingkatan-tingkatan tertentu). Orang ‘awâm adalah orang biasa pada umumnya. Sedangkan orang khâsh ada yang menyebutkan bahwa ini adalah tingkatan para ‘Ulama’, dan para wali (kekasih) Allâh SWT, dan orang akhâsh atau akhâshshul khâsh adalah tingkatan bagi para Nabî dan RAsûl.

Mengenai syarat-syarat taubat dijelaskan sebagai berikut;

شُرُوْطُ التَّوْبَةِ: النَّدَمُ عَلَى مَا عَمِلَ مِنَ الْمُخَالَفَاتِ، وَتَرْكُ الزَّلَّةِ فِى الْحَالِ، وَالتَّصْمِيْمُ عَلَى أَنْ لَا يَعُوْدَ إِلَى مِثْلِ مَا عَمِلَ مِنَ الْمَعَاصِي. (الرسالة القشيرية، ص 92)

Syarat-syarat taubat adalah menyesali perbuatan yang jelek, meninggalkan perbuatan jelek seketika, membulatkan tekad (berniat) untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat, (ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 92, lihat juga di dalam kitab Minahu as-Saniyah, halaman: 2). Juga dijelaskan;

(وَشُرُوْطُ التَّوْبَةِ) عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثَلَاثَةٌ: النَّدَمُ عَلَى مَا سَلَفَ، وَالتَّرْكُ فِى الْحَالِ، وَالْعَزْمُ عَلَى أَنْ لَايَعُوْدَ إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ فِى الْمُسْتَقْبَلِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص 177-178).

Dan syarat taubat menurut golongan Ahlussunnah wal Jama‘ah ada tiga; menyesali perbuatan buruk yang telah berlalu, meninggalkan perbuatan buruk, dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan buruk tersebut di masa yang akan datang, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 177-178).

Selanjutnya diterangkan;

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: شُرُوْطُ التَّوْبَةِ ثَمَانِيَةٌ، الثَّلَاثَةُ الْمَذْكُوْرَةُ، وَالرَّابِعُ: أَدَاءُ مَظَالِمِ النَّاسِ وَحُقُوْقِهِمْ، وَالْخَامِسُ: قَضَاءُ مَا فَوْتَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ. وَالسَّادِسُ: إِذَابَةُ كُلِّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ بِالرِّيَاضَةِ وَالْمُجَاهَدَةِ. وَالسَّابِعُ: إِصْلَاحُ الْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ وَالْمَلْبُوْسِ بِجَعْلِهَا مِنْ جِهَّةِ الْحَلَالِ. وَالثَّامِنُ: تَطْهِيْرُ الْقَلْبِ مِنَ الْغِلِّ وَالْغَشِّ وَالْمَكْرِ وَالْحَسَدِ وَطُوْلِ اْلأَمَلِ وَغَيْرِهَا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 178)

Sebagian ‘Ulama’ berkata: “Syarat-syarat taubat ada 8, yang tiga sudah disebutkan sebelumnya. Dan yang keempat, menerima aniaya manusia dan memenuhi hak-haknya. Kelima, meng-qadha’ kewajiban yang telah tertinggal. Keenam, menghilangkan setiap daging yang tumbuh dari baRAng haram dengan riyadhah dan mujahadah. Ketujuh, mencari makanan, minuman dan pakaian yang halal. Kedelapan, mensucikan hati dari tipu daya, rekayasa, hasud dan banyak beRAngan-angan, dan lain sebagainya”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 178).

ALHAQQ

Berikutnya adalah penjelasan lafadz-lafadz yang berlaku dikalangan ‘Ulama’ Sufi, antara lain;

  1. اَلْـحَقُّ بِالْـحَقِّ لِلْحَقِّal-haq yang dimaksud adalah Allâh SWT dan di dalam keterangan tafsir Abû Shalih;

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ …. ﴿المؤمنون : ٧١﴾

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka…, (Q.S. al-Mu’minun: 71).

Abû Sa‘îd menjelaskan, yang dimaksud kalimat tersebut di atas adalah mengenai hati seorang hamba yang bersemayam bersama al-haq dengan al-haq dan karena al-haq. Yaitu, al-Haq adalah Allâh SWT

  1. مِنْهُ بِهِ لَهُ, yaitu dari Allâh SWT dengan Allâh SWT dan karena Allâh SWT Maksud dari kalimat tersebut adalah seorang hamba Allâh yang melihat amal perbuatanya dan disandarkan pada dirinya sendiri, maka ketika hatinya sudah dipenuhi dengan cahaya ma‘rifat, dia akan tahu bahwa semua perkara itu dari Allâh SWT, berdiri dengan izin Allâh SWT, diketahui karena Allâh SWT, dan dikembalikan pada Allâh SWT hal inilah yang singgah di hati hamba Allâh SWT dalam suatu waktu, kemudian timbul dalam hatinya peRasaan ridha dan menyerahkan diri pada Allâh SWT dan sifat-sifat baik lainnya, maka hati menjadi jernih pada setiap tingkah laku dan waktunya, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 287).

وَقَالَ سَهَلْ: الْآيَاتُ لِلهِ، وَالْمُعْجِزَاتُ لِلْأَنْبِيَاءِ، وَالْكَرَامَاتُ لِلْأَوْلِيَاءِ، وَالْمَغُوْثَاتُ لِلْمُرِيْدِيْنَ، وَالتَّمْكِيْنُ لِأَهْلِ الْخُصُوْصِ، (طبقات الصوفية، ص: 171).

Sahal berkata: bahwa ayat-ayat adalah milik atau untuk Allâh SWT, mukjizat adalah untuk para Nabi, kaRamah untuk para wali, al-Maghûtsât (pertolongan) untuk orang-orang yang membutuhkan, dan al-Tamkîn (semangat untuk beribadah) bagi orang-orang tertentu, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 171).

Berikutnya penjelasan mengenai tiga ungkapan tentang pembagian ilmu ma‘rifat (ilmu pengetahuan).

وَالْعِبَارَاتُ الَّتِيْ تُطْلَقُ عَلَى الْعُلُوْمِ الْجَلِيَّةِ ثَلَاثَةٌ: عِلْمُ الْيَقِيْنِ، وَعَيْنُ الْيَقِيْنِ، وَحَقُّ الْيَقِيْنِ، (سراج الطالبين، ج 1، ص: 43).

Yakni Ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan ilmu-ilmu yang agung, yaitu; ‘Ilmul Yaqîn, ‘Ainul Yaqîn, dan Haqqul Yaqîn, (Sirâj al-Thâlibîn, juz 1 halaman: 43).

عِلْمُ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ مِنَ الدَّلِيْلِ الْعَقْلِيِّ. وَعَيْنُ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ بِالْمُشَاهَدَةِ. وَحَقُّ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ مِنْ فَنَاءِ صِفَاتِ الْعَبْدِ وَبَقَاؤُهُ بِالْحَقِّ عِلْمًا وَشُهُوْدًا وَحَالًالَاعِلْمًا فَقَطْ، فَالَّذِيْ يَفْنَى مِنَ الْعَبْدِ عَلَى التَّحْقِيْقِ صِفَاتُهُ لَاذَاتُهُ، (السير والسلوك إلى ملك الملوك، ص: 39-40).

Ilmul yaqîn adalah ilmu yang didapatkan dari dalil ‘aqli (nalar). ‘Ainul yaqîn adalah ilmu yang didapatkan melalui musyahadah. Haqqul yaqîn adalah ilmu yang diperoleh dari fana’ (sirna)-nya sifat-sifat hamba, dan baqa’ (tetap)-nya hamba dengan Allâh SWT yang haqq secara ilmu, persaksian dan hal (anugrah Allâh), dan bukan dengan ilmu saja. Sedangkan yang sirna pada hakikatnya adalah sifat hamba, bukan dzat-Nya, (al-Sair wa al-Sulûk ila Malik al-Mulûk, halaman: 39-40).

Tentang penjelasan lebih lanjut mengenai tiga pembagian ilmu ini, bisa dibaca di Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 196.

Selanjutnya mengenai Ulul ‘Ilmî al-Qâimîn yang merupakan para pewaris nabi yang selalu berpegang teguh pada kitab-kitab Allâh SWT, bersungguh-sungguh mengikuti jejak Rasûlullah SAW, para sahabat, dan tabi‘in yang mengembara di jalan para wali dan orang-orang shalih. Mereka ada tiga kelompok; 1) ahli Hadis, 2) ahli fiqih, dan  3) ahli tasawuf.

Yang menjadi dasar keterangan tersebut adalah Hadis iman. Yakni, ketika malaikat jibril bertanya kepada Rasulullah tentang tiga hal pokok. Yaitu; 1) tentang Islâm dan Îmân, 2) Ihsân lahir batin, dan 3) HaqîqatIslâm itu dhahir, Îmân itu dhahir-batin, dan Ihsân itu Haqîqat dhahir batin. Hadis tersebut adalah;

اَلْإِحْسَانُ اَنْ تَعْبُدَاللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (أخرجه بخاري ومسلم وأبو داود وإبن ماجه)

“Ihsân ialah beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak mampu maka sesungguhnya Allâh melihatmu”.

Malaikat jibril membenarkan hal itu. Ilmu itu disertai dengan amal, amal itu disertai dengan ikhlas. Ikhlas ialah menghaRAp ridha Allâh SWT, kesimpulannya tiga kelompok di atas berbeda ilmu dan amalnya, tujuan dan deRajatnya memiliki keutamaan sendiri-sendiri, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 12).

Syariat dan Hakekat

Berikutnya adalah penjelasan tentang syarî‘at;

فَالشَّرِيْعَةُ هِيَ: إِصْلَاحُ الْـجَوَارِحِ الظَّاهِرَةِ، وَهِيَ تَدْفَعُ إِلَى الطَّرِيْقَةِ الَّتِيْ هِيَ إِصْلَحُ السَّرَائِرِ الْبَاطِنَةِ، وَهِيَ أَيْضًا تَدْفَعُ إِلَى الْـحَقِيْقَةِ الَّتِيْ هِيَ كَشْفُ الْحِجَابِ وَمُشَاهَدَةُ الْأَحْبَابِ مِنْ دَاخِلِ الْحِجَابِ، فَالشَّارِيْعَةُ أَنْ تَعْبُدَهُ، وَالطَّارِيْقَةُ أَنْ تَقْصِدَهُ، وَالْـحَقِيْقَةُ أَنْ تَشْهَدَهُ.

Syarî‘at adalah memperbaiki organ-organ tubuh secara lahir, dan syari’at  merupakan jalan menuju tarekat, yang mana tarekat adalah usaha untuk memperbaiki batiniyah, dan tarekat  merupakan pengantar menuju Haqîqat, yang dapat membuka penghalang (hijab), dan melihat (musyahadah) dengan kekasih. Pendek kata, syarî‘at adalah beribadah (menghamba) kepada-Nya, sedangkan tarekat adalah menjadikan Allâh sebagai satu-satunya tujuannya, dan haqîqat adalah kemampuan menyaksikan Allâh SWT dengan mata hatinya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 27).

Pada dasarnya syarî‘at dan haqîqat tidak bertentangan, karna haqîqat adalah asrâru al-rubûbiyah (rahasia ketuhanan) dan untuk bisa mencapainnya harus melalui tarekat. Yaitu dengan menjalankan syarî‘at Islâm dengan keteguhan hati. Maka barangsiapa yang menjalankan cara (tarekat) seperti itu maka dia akan sampai pada haqîqat, sehingga haqîqat menjadi pamungkas atau pemuncak dari tujuan syarî‘at. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Junaidî ketika beliau ditanya tentang haqîqat, beliau menjawab;

مَا بَلَغَ أَحَدٌ دَرَجَةَ الْحَقِيْقَةِ إِلَّا وَجَبَ عَلَيْهِ التَّقَيُّدُ بِحُقُوْقِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَحَقِيْقَتِهَا، وَصَارَ مُطَالِبًا بِآدَابٍ كَثِيْرَةٍ، لَمْ يَطَالِبِ اللهُ بِهَا غَيْرَهُ.

Seseorang tidaklah sampai pada deRajat Haqîqat, kecuali dia harus menjalani penghambaan dengan sepenuh hati. Sehingga dia menjadi orang yang dipenuhi dengan adab, dan Allah SWT tidak mencari dengan jalan selain itu, (al-Intishâr Lil Auliyâ’ al-Akhyâr, halaman: 126).

Berikut ini adalah tamtsil antara syarî‘at dan haqîqat;

الشَّرِيْعَةُ عَمَلُ الْـجَوَارِحِ، وَالْـحَقِيْقَةُ مَعْرِفَةُ الْبَوَاطِنِ، فَالشَّرِيْعَةُ أَنْ تَعْبُدَهُ، وَالْـحَقِيْقَةُ أَنْ تُشَاهِدَهُ، فَالشَّرِيْعَةُ مِنْ وَظَائِفِ الرُّوْحَانِيَّةِ، الشَّرِيْعَةُ قُوَّةُ الْبَشَرِيَّةِ، وَالْـحَقِيْقَةُ قُوَّةُ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَمَا نَقْضُ مِنْ أَحْدِهِمَا يُزَادُ فِي الْآخِرِ.

Dengan demikian, syarî‘at merupakan amal perbuatan organ-organ tubuh zhahir. Sedangkan haqîqat adalah ilmu pengetahuan tentang batin. syarî‘at adalah suatu amaliah/pekerjaan dimana seorang hamba menyemba Allâh SWT sedangkan haqîqat adalah amaliah/pekerjaan yang dilakukan oeh seorang hamba dan bagaimana ia melihat/menyaksikan Allâh SWT dengan mata batinnya. Syarî‘at juga merupakan bagian dari fungsi spiritual dan penguat organ tubuh (jasmani), sementara haqîqat adalah penguat ruh (rohani) dan keduanya tidak akan mengurangi antara yang satu dengan yang lainnya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 331).

Sesunguhnya perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama’ tentang ilmu zhahir itu rahmat dari Allah Swt, karena orang yang membenarkan akan membantah orang yang menyalahkan. dan berusaha menjelaskan (kepada semua orang) tentang kesalahan orang yang menyalahkan, tentang perbedaan pendapat untuk memperebutkan kebenaran dalam masalah agama. Sehingga mereka menghindari hal itu. Jika tidak demikian maka manusia akan rusak karena hilangnya esensi agama.

Begitu juga dengan perbedaan pendapat dikalangan ‘Ulama’ Ahli Haqîqat itu juga rahmat dari Allâh SWT, dikarenakan masing-masing berbicara pada masanya, menjawab pertanyaan dilihat dari sisi keadaan batinnya, memberikan isyarat yang ditimbulkan oleh pengertian yang muncul dalam hati sebagai akibat dari istiqamah dalam ketaatan, mereka adalah ahli berbuat ketaatan, mampu menguasai hatinya, sebagai murid, dan Ahli Haqîqat, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 102).

Sumber: Alif.ID

25. Islam, Iman, dan Ihsan

Pilar agama itu ada tiga, yakni islam, iman, dan ihsan……

أَرْكَانُ الدِّيْنِ ثَلَاثَةٌ: الْإِسْلَامُ، وَالْإِيْمَانُ، وَالْإِحْسَانُ، (دُرُوْسُ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ، ص: 3)

Berikut ini pembahasan islam, iman, dan ihsan:

هٰذِهِ مَنَازِلُ الثَّلَاثُ هِيَ الَّتِيْ يَنْزِلُهَا الْمُرِيْدُ وَيَرْتَحِلُ عَنْهَا. مَنْزِلُ الْإِسْلَامُ، وَهُوَمَحَلُّ تَطْهِيْرُ الْجَوَارِحِ الظَّاهِرَةِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَتَحْلِيَتُهَا بِطَاعَةِ عَلَّامِ الْغُيُوْبِ. وَمَنْزِلُ الْإِيْمَانُ، وَهُوَمَحَلُّ تَطْهِيْرِ الْقُلُوْبِ مِنَ الْمَسَاوِى وَالْعُيُوْبِ، وَتَحْلِيَتُهَا بِمَقَامَاتِ الْيَقِيْنِ، لِتَتَهَيَّأَ لِحَمْلِ مَعْرِفَةِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَمَنْزِلَةُ الْإِحْسَانُ، وَهُوَ مَحَلُّ الشُّهُوْدِ وَالْعَيَانُ.
Islâm adalah tempat penyucian anggota-anggota lahir dari segala dosa dan menghiasinya dengan tujuan taat kepada Allâh ‘allam al ghuyub.

Îmân adalah tempat penyucian hati dari perbuatan buruk dan sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan maqâm-maqâm yaqin agar siap untuk menggapai ma’rifatullah.

Ihsân adalah tempat di mana seorang hamba dapat bermusyahadah (melihat Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 68).

Sementara itu, hilangnya Islâm disebabkan empat hal;
ذِهَابُ الْإِسْلَامِ مِنْ أَرْبَعَةٍ: أَوَّلُهَا: لَايَعْمَلُوْنَ بِمَا يَعْلَمُوْنَ، وَالثَّانِى: يَعْمَلُوْنَ بِمَا لَايَعْلَمُوْنَ، وَالثَّالِثُ: لَايَتَعَلَّمُوْنَ مَا لَايَعْلَمُوْنَ، وَالرَّابِعُ: يَمْنَعُوْنَ النَّاسُ مِنَ التَّعَلُّمِ، (طبقات الصوفية، ص: 173).

  1. Tidak mengamalkan/mengerjakan apa yang sudah diketahui.
  2. Mengamalkan apa yang tidak diketahui (beramal tidak berilmu).
  3. Tidak mau mempelajari apa yang tidak diketahui.
  4. Melarang manusia/orang lain untuk belajar, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 173).

Ibnu Salim di dalam kitab al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 273 menjelaskan empat rukun Îmân, antara lain;

  1. Îmân kepada Qadar
  2. Îmân kepada Qudrat
  3. Membinasakan kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki.
  4. Menemukan pertolongan Allâh SWT dalam segala urusan.

Sementara itu, di dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 331 dijelaskan mengenai syarat-syarat Îmân;
(وَاعْلَمْ) أَنَّكَ إِذَا سُئِلْتَ عَنْ شُرُوْطِ اْلِايْمَانِ؟ (فَالْجَوَابُ) عَشْرَةٌ اَلْـخَوْفُ مِنَ اللهِ وَالرَّجَاءُ فِى فَضْلِ اللهِ وَالْاِشْتِيَاقُ إِلَى اللهِ وَالتَّعْظِيْمُ لِمَنْ عَظَّمَ اللهَ وَالْتَهَاوُنُ بِمَنْ تَهَاوَنَ بِاللهِ وَالرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ وَالْـحَذْرُ مِنْ مَكْرِ اللهِ وَالشُّكْرُ لِنِعْمَةِ اللهِ وَالتَّوَكُّلُ عَلَى اللهِ وَالتَّسْبِيْحُ بِحَمْدِ اللهِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 331).

Sepuluh syarat Îmân tersebut antara lain adalah sebagai berikut;

  1. al-Khauf, takut kepada Allâh SWT
  2. al-Rajâ’, mengharap anugerah Allâh SWT
  3. Isytiyâq, rindu kepada Allâh SWT
  4. al-Ta‘dzim, menghormati orang yang menghormati Allâh SWT
  5. al-Tahâwun, meremehkan orang yang meremehkan Allâh SWT
  6. Ridhâ, menerima keputusan Allâh SWT
  7. al-Hadzr, takut dari berbuat makar terhadap Allâh SWT
  8. al-Syukru, syukur atas nikmat Allâh SWT
  9. al-Tawakkal, tawakkal kepada Allâh SWT, dan
  10. al-Tasbîh, bertasbih dengan memuji Allâh SWT (dzikirullah).

Salah satu sifat orang yang beriman adalah mencari perantaraan, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 74).
Dalam istilah tauhid, Îmân berarti membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Dan dalam pemahaman lain dapat diartikan bahwa Îmân adalah menetapkan keyakinan akan sebuah kebenaran dalam hati, kemudian keyakinan itu diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan nyata.

Dalam melaksanakan perintah serta meninggalkan larangan Allâh dan Rasul-Nya, sering kali manusia teledor, lalai atau bahkan meninggalkannya, hal ini kemudian Nabi Muhammad memberikan resep untuk memperbarui keadaan keimanan yang tidak stabil, dengan memperbanyak membaca tahlil, seperti hadist berikut ini;
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم قَالَ جَدِّدُوْ اِيْمَانَكُمْ, قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ نُجَدِّدُ اِيْمَانَنَا؟ قَالَ اَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ: لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasûlullah SAW bersabda; “Perbaruilah îmân kalian semua”, kemudian ada yang berkata; “wahai Rasûlullah bagaimana caranya kita semua bisa memperbarui îmân?” Rasûlullah menjawab; “perbanyaklah membaca tahlil”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2 halaman: 250).

Berikut ini adalah firman Allâh SWT kepada Nabi Musa As.;
يَا مُوْسَى لَوْلَا مَنْ يَقُوْلُ لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ اللهُ لَسَلَّطْتُ جَهَنَّمَ عَلَى أَهْلِ الدُّنْيَا، (حلية الأولياء، جز 2، ص: 236، جز 4، ص: 436. كاشفة السجا ، ص: 14)
Hai Musa, andaikata di dunia ini tidak ada orang yang mengucap lafad لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ niscaya aku (Allâh) akan memasukkan penduduk dunia ke neraka jahannam, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2 halaman: 236, Juz 4 halaman: 436, Kâsyifah al-Sajâ, halaman: 14).

Ada sebuah hadîts shahîh yang menjelaskan bahwa kiamat (hari akhir) tidak akan pernah terjadi selama manusia membaca tahlil (لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ) dan Rasûlullah SAW bersabda bahwa kiamat tidak akan terjadi selama di bumi masih ada manusia yang berdzikir.

Berikut penjelasan Hadisnya;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَبَّاسِ وَ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ، وَ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَمْرُو بْنُ الْعَاصْ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلعم قال: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ مِنْ اَحَدٍ يَقُوْلُ: لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ. هٰذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amar bin Ash, sesungguhnya Rasûlullah SAW Bersabda; “Hari kiamat tidak akan terjadi selama ada seseorang yang membaca لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 3 halaman: 74).

وَقَالَ النَّبِي صلعم: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ فِي الْاَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ الله الله.
Dan Rasûlullah SAW Bersabda; “Kiamat tidak akan terjadi selama di bumi masih ada orang yang berdzikir Allâh, Allâh”, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 171).

Selanjutnya, Rasûlullah SAW juga menjelaskan bahwa hari kiamat tidak akan pernah terjadi sehingga banyak terjadi pembunuhan dan peperangan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6 halaman: 407).
قال رسول الله: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْهَرْجُ. قُلْنَا:وَ مَا الهرج؟ قال: الْقَتْلُ.

Îmân sendiri memiliki karakter sesuai dengan makhluk yang memilikinya.
وَإِذَا سُئِلْتَ عَنِ الْإِيْمَانِ عَلَى كَمْ قِسْمٍ (فَالْجَوَابُ) عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: إِيْمَانٌ مَطْبُوعٌ لاَ يَزِيْدُ وَلاَ يَنْقُصُ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمَلاَئِكَةِ. وَإِيْمَانٌ مَعْصُوْمٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ يَزِيْدُ بِنُزُوْلِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِمْ، وَلاَ يَنْقُصُ. وَإِيْمَانٌ مَقْبُوْلٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمُؤْمِنِيْنَ تَارَةً يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَتَارَةً يَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَّةِ وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ذَاتُ اْلإِيْمَانِ يَزِيْدُ باِلطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَّةِ. وَإِيْمَانٌ مَوْقُوْفٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمُنَافِقِيْنَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَإِذَا ذَهَبَ النِّفَاقُ مِنْ قُلُوْبِهِمْ صَحَّ إِيْمَانُهُمْ وَإِيْمَانٌ مَرْدُوْدٌ وَهُوَ إِيْمَانُ الْكُفْرَةِ وَالنَّصَارَى وَمَا أَشْبَهَ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 331).

Keterangan di atas menjelaskan mengenai lima golongan atau macam-macam Îmân. Berikut penjelasan yang dimaksud;

  1. Golongan yang Îmân-nya bersifat tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya para malaikat.
  2. Golongan yang Îmân-nya terus bertambah. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya para Nabi dan Rasul. Hal itu disebabkan para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang dijaga dari kesalahan (ma’shum).
  3. Golongan yang Îmân-nya dapat berkurang karena maksiat, dan dapat bertambah karena taat. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya orang-orang mu’min.
  4. Golongan yang Îmân-nya didiamkan dalam arti Îmân mereka tidak akan benar selama kemunafikan masih ada dalam hati mereka. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya orang-orang yang munafik.
  5. Golongan yang Îmân-nya ditolak, mereka adalah golongan orang-orang kafir, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 331).

Berikutnya adalah keterangan mengenai tempatnya Îmân dan Islâm yang dijelaskan di dalam kitab Syarh al-Hikam;
قاَلَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ ظَاهِرُ الْقَلْبِ مَحَلُّ اْلإِسْلاَمِ وَبَاطِنُهُ مَكَانُ اْلإِيْمَانِ فَمِنْ هَهُنَا تَفَاوَتَ الْمُحِبُّوْنَ فِى الْمَحَبَّةِ لِفَضْلِ اْلإِيْمَانِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ وَفَضْلِ الْبَاطِنِ عَلَى الظَّاهِرِ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 36).
Sebagian orang alim berkata: “Bagian luar hati adalah tempatnya Islâm, bagian dalam hati adalah tempatnya Îmân. Dari sinilah para pecinta itu berbeda-beda dalam cintanya, karena lebih unggulnya Îmân atas Islâm-nya, dan lebih unggulnya batin atas lahirnya”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 36).

Selanjutnya mengenai empat tingkatan/derajad Îmân yang dijelaskan di dalam kitab Tanwîr al-Qulûb;
(وَاعْلَمْ) أَنَّ اْلِإيْمَانَ أَرْبَعُ مَرَاتِبَ (اَلْأُوْلَى) إِيْمَانُ الْمُنَافِقِيْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ دُوْنَ قُلُوْبِهِمْ وَإِنَّمَا يَنْفَعُهُمْ فِى الدُّنْيَا لِحِفْظِ دِمَائِهِمْ وَصَوْنِ أَمْوَالِهِمْ، وَهُمْ فِى الْآخِرَةِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: (إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ) ـ (الثَّانِيَةُ) إِيْمَانُ عَامَّةِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِقُلُوْبِهِمْ وَأَلْسِنَتِهِمْ لَكِنَّهُمْ لَمْ يَتَخَلَّقُوْا بِمُقْتَضَاهُ، وَلَمْ تَظْهَرْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ الْيَقِيْنِ فَيُدَبِّرُوْنَ مَعَ الله وَيَخَافُوْنَ وَيَرْجُوْنَ غَيْرَهُ، وَيَجْتَرِئُوْنَ عَلىَ مُخَالَفَةِ أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ (الثَّالِثَةُ) إِيْمَانُ الْمُقَرَّبِيْنَ، وَهُمْ الَّذِيْنَ غَلَبَ عَلَيْهِمْ اسْتِحْضَارُ عَقَائِدِ الْإِيْمَانِ، فَانْطَبَعَتْ بِذَلِكَ بَوَاطِنُهُمْ، وَصَارَتْ بَصَائِرُهُمْ كَاَنَّهَا تُشَاهِدُ الْأَشْيَاءَ كُلَّهَا صَادِرَةً مِنْ عَيْنِ الْقُدْرَةِ الْأَزَلِيَّةِ، فَظَهَرَتْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ ذَلِكَ، فَلَا يَعُوْلُوْنَ عَلَى شَىْءٍ سِوَى اللهِ، وَلَا يَخَافُوْنَ وَلَا يَرْجُوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُمْ رَأَوْا أَنَّ الْخَلْقَ لَا يَمْلِكُوْنَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا، وَلَا يَمْلِكُوْنَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا، وَلَا يُحِبُّوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُ لَا مُحْسِنَ سِوَاهُ، وَلِهَذَا قَالَ الشَّيْخُ أَبُو الْحَسَنِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: (وَهَبْ لَنَا حَقِيْقَةَ الْإِيْمَانِ بِكَ حَتَّى لَا نَخَافَ غَيْرَكَ، وَلَا نَرْجُوْ غَيْرَكَ، وَلَا نُحِبَّ غَيْرَكَ، وَلَا نَعْبُدَ شَيْئًا سِوَاكَ) وَلَا يَعْتَرِضُوْنَ شَيْئًا مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَحْكَامِهِ: لِأَنَّهُ الْحَكِيْمُ، وَرَأَوْا الآخِرَةَ مَحَلَّ الْقَرَارِ، فَسَعَوْا لَهَا سَعْيَهَا (الرَّابِعَةُ) إِيْمَانُ أَهْلِ الْفَنَاءِ فِى التَّوْحِيْدِ الْمُسْتَغْرِقِيْنَ فِى الْمُشَاهَدَةِ، كَمَا قَالَ سَيِّدِيْ عَبْدُ السَّلاَمِ: وَأَغْرِقْنِيْ فِى عَيْنِ بَحْرِ الْوِحْدَةِ حَتَّى لَا أَرَى وَلَا أَسْمَعَ وَلَا أَجِدَ وَلَا أَحَسَّ إِلَّا بِهَا، وَقَالَ: وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ وَحَلَّ بَيْنِيْ وَبَيْنَ غَيْرِكَ. وَهَذا الْمَقَامُ يَحْصُلُ وَيَنْقَطِعُ، (تنوير القلوب، ص: 83).

Empat tingkatan Îmân yang dimaksud di atas adalah;
1) Îmân-nya orang-orang munafik hanya membenarkan dengan lisan mereka tanpa diyakini dengan hati, akan tetapi Îmân mereka berguna di dunia untuk menjaga darah dan harta mereka, sedang di akhirat sebagaimana firman Allâh SWT; “Sesungguhnya orang-orang munafik akan ditempatkan di neraka yang paling bawah”.

2) Îmân-nya orang-orang mu’min. Mereka meyakini dengan hati dan membenarkan dengan lisan, akan tetapi mereka tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan Allâh SWT, dan buah dari keyakinannya tidak tampak. Maka, ketika mereka ber-tadabbur pada Allâh SWT mereka masih takut dan berharap pada selain-Nya, dan mereka berani untuk mengingkari perintah-Nya dan larangan-Nya.

3) Îmân Muqarrabin, yaitu mereka yang menyibukkan diri dengan menghadirkan aqidah keimanan, sehingga keimanan mereka menyatu dalam batin mereka. Mata hati mereka seolah-olah memandang segala sesuatu yang keseluruhannya itu keluar dari ketentuan pada zaman azali. Maka, tampaklah hasil dari keimanan mereka. Mereka tidak meminta tolong kepada selain Allâh SWT, mereka tidak takut dan tidak pula berharap kecuali kepada Allâh SWT Mereka berkeyakinan bahwa makhluk itu tidak mempunyai kemanfaatan dan bahaya baginya. Dan juga tidak kematian, kehidupan, dan kebangkitannya, dan tidak mencintai selain Allâh SWT karena selain Allâh SWT tidak bisa berbuat kebaikan. Oleh karena itu Syaikh Abû Hasan berkata: “Berilah kami haqîqat Îmân kepada-Mu sehingga kami tidak takut kepada selain-Mu, tidak mengharap sesuatu kepada selain-Mu, tidak mencintai kepada selain-Mu, dan tidak menyembah sesuatu selain-Mu”. Dan mereka (muqarrabin) tidak berpaling dari kehendak dan hukum-Nya. Karena sesungguhnya Allâh SWT adalah Dzat Yang Maha Bijaksana, dan mereka berkeyakinan bahwa akhirat adalah tempat yang kekal, maka mereka pun berlomba-lomba.

4) Îmân-nya Ahlul Fana’ dalam ketauhidannya yang tenggelam dalam musyahadah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Abdu as-Salam: “Tenggelamkanlah aku dalam sumber lautan keesaan-Mu sehingga kami tidak melihat, tidak mendengar, tidak menemukan dan meRasakan kecuali kepada-Mu. Kumpulkanlah antara aku dan engkau dan halangi antara aku dan selain engkau”, (Tanwîr al-Qulûb, halman: 83).

Dan pembahasan berikutnya tentang hakikat Ihsân.
(وَأَمَّا حَقِيْقَةُ الْإِحْسَانِ) فَهِىَ أَنْ يَعْبُدَ الْعَبْدُ رَبَّهُ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، كَمَا فِى حَدِيْثِ جِبْرِيْلَ وَقَالَ الْجَلَالُ الْمَحَلِّى: حَقِيْقَةُ الْإِحْسَانِ مُرَاقَبَةُ الله تعالى فِى جَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ الشَّامِلَةِ لِلْإِيْمَانِ وَالْإِسْلاَمِ حَتَّى تَقَعَ عِبَادَاتُ الْعَبْدِ كُلُّهَا فِى حَالِ الْكَمَالِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَغَيْرِهِ.
Yakni, seorang hamba yang sedang beribadah/menyembah kepada Allâh SWT seakan-akan melihat Allâh SWT Imam Jalal al-Mahallî menyatakan bahwa hakikat Ihsân adalah muraqabah kepada Allâh SWT dalam berbagai ibadah yang meliputi Îmân dan Islâm. sehingga seluruh ibadah seorang hamba mencapai kesempurnaan, seperti ikhlas, dan lain-lain, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 86).

Sumber: Alif.ID

26. Akhlak Mulia (Husnul Khuluq)

Etika baik, budi pekerti luhur, atau akhlak terpuji memang bisa dibentuk oleh lingkungan. Namun, akhlak mulia bukan semata karena dibentuk oleh lingkungan. Akhlak mulia adalah sebuah anugerah yang Allâh SWT berikan kepada hamba-Nya yang terpilih.

Seorang hamba yang dikehendaki Allâh SWT untuk menjadi hamba yang baik, maka Allâh SWT akan menganugerahkan baginya akhlak mulia. Sebaliknya, jika seorang hamba dikehendaki menjadi orang yang tidak baik, maka Allâh SWT berikan baginya akhlak yang tidak baik.

إِنَّ هٰذِهِ اْلأَخْلاَقَ مِنَ اللهِ، فَمَنْ أَرَادَ اللهُ تَعَالَى بِهِ خَيْرًا مَنَحَهُ خُلُقًا حَسَنًا، وَمَنْ أَرَادَ بِهِ سُوْءًا مَنَحَهُ خُلُقًا سَيِّئًا، (فيض القدير، ج 2، ص: 694).

Sesungguhnya akhlak ini dari Allâh SWT, barangsiapa yang Allâh SWT kehendaki baik maka Allâh SWT memberinya akhlaq yang mulia dan barangsiapa yang Allâh SWT kehendaki buruk maka Allâh SWT memberinya akhlaq yang buruk, (Faydh al-Qadîr, juz 2 halaman: 694).

فَالْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ الْأَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرِوَايَةٍ فَإِنْ كَانَتْ الْهَيْئَةُ بِحَيْثُ تَصْدُرُ عَنْهَا الْأَفْعَالُ الْجَمِيْلَةُ الْمَحْمُوْدَةُ عَقْلًا وَشَرْعًا سُمِيَتْ تِلْكَ الْهَيْئَةُ خُلُقًا حَسَنًا. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49)

Husnul khulûq merupakan suatu ungkapan keadaan jiwa yang tertanam di dalamnya. Berbagai perbuatan muncul darinya dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Dan apabila keadaan yang tertanam itu muncul darinya perbuatan yang baik menurut akal dan norma, maka disebut dengan etika yang baik, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3 halaman: 49).

فَالْخُلُقُ الْحَسَنُ صِفَةُ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضَلُ أَعْمَالِ الصِّدِّيْقِيْنَ وَهُوَ عَلَى التَّحْقِيْقِ شَطْرُ الدِّيْنِ وَثَمْرَةُ مُجَاهَدَةِ الْمُتَّقِيْنَ وَرِيَاضَةِ الْمُتَعَبِّدِيْنَ. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 45)
Husnul khulûq merupakan sifat para Rasul dan perbuatan utama para shiddiqin. Husnul khulûq secara hakiki merupakan separuh dari keimanan, hasil dari mujahadah para muttaqin, dan hasil latihan orang yang beribadah, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3 halaman: 45).

Berikut ini adalah dasar Husnul khulûq;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ، رواه أحمد والحاكم والبيهقي، (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 46).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus Allâh SWT untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 46)

Allâh SWT berfirman;

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ. (القلم: ٤)

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung, (Q.S. al-Qalam: 4)

عَنْ أَبِى دَرْدَاءَ قَالَ: قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَثْقَلُ مَا يُوْضَعُ فِي الْمِيْزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ، رواه أبو داود والترمذي. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 46).

Rasûlullah bersabda: “Amal yang paling berat di mizan (timbangan amal) pada hari kiamat adalah taqwa kepada Allâh SWT dan budi pekerti yang baik”, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 46).

Berikut ini empat rukun yang dapat menghasilkan Husnul Khulûq dengan cara mengambil jalan tengah (i‘tidal) dan sesuai dengan keadaan;

الْأَرْكَانُ الْأَرْبَعَةُ وَاعْتَدَلَتْ وَتَنَاسَبَتْ حَصَلَ حُسْنُ الْخُلُقِ وَهُوَ قُوَّةُ الْعِلْمِ وَقُوَّةُ الْغَضَبِ وَقُوَّةُ الشَّهْوَةِ وَقُوَّةُ الْعَدْلِ بَيْنَ هَذِهِ الْقُوَى. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49)

  1.  قُوَّةُ الْعِلْمِ, berfungsi mempermudah menemukan perbedaan antara ucapan, i‘tiqad dan perbuatan yang benar dan yang salah. Jika berhasil maka bisa menghasilkan hikmah yang menjadi pokok akhlak yang baik.
  2.   قُوَّةُ الْغَضَبِ, berfungsi mengekang dan mampu melepaskan menurut batas kebijaksanaan (akal dan norma).
  3.   قُوَّةُ الشَّهْوَةِ, berada di bawah kendali hikmah (akal dan norma).
  4.   قُوَّةُ الْعَدْلِ, berfungsi menguasai قُوَّةُ الشَّهْوَةِ dan قُوَّةُ الْغَضَبِ di bawah akal dan norma, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 49).
  1.  الحِكْمَةُ حَالَةٌ لِلنَّفْسِ بِهَا يُدْرِكُ الصَّوَابَ مِنَ الْخَطَاءِ فِي جَمِيْعِ الْأَفْعَالِ الِاخْتِيَارِيَّةِ
  2. الشَّجَاعَةُ كَوْنُ قُوَّةِ الْغَضَبِ مُنْقَادَةُ لِلْعَقْلِ فِي إِقْدَامِهَا وَإِحْجَامِهَا
  3. الْعِفَّةُ تَأَدُّبُ قُوَّةِ الشَّهْوَةِ بِتَأْدِيْبِ الْعَقْلِ وَالشَّرْعِ
  4. الْعَدْلُ حَالَةٌ لِلنَّفْسِ وَقُوَّةٌ بِهَا تُسَوِّسُ الْغَضَبَ والشَّهْوَةَ وَتَحْمِلُهُمَا عَلَى مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ وَتَضْبِطُهُمَا فِي الْاِسْتِرْسَالِ وَالْاِنْقِبَاضِ عَلَى حَسَبِ مُقْتَضَاهَا. فَمَنِ اعْتَدَلَ هَذِهِ الْأُصُوْلَ الْأَرْبَعَةَ تَصْدُرُ الْأَخْلَاقُ الْجَمِيْلَةُ كُلُّهَا. (إحياء علوم الدين، ج 3 ص 49-50)

Pokok dan sumber akhlak

1. Hikmah adalah keadaan jiwa yang dapat digunakan untuk menemukan kebenaran dari semua perbuatan sadar yang salah.

2. Keberanian adalah kekuatan sifat kemarahan yang ditundukkan oleh akal dalam keputusan maju dan mundurnya.

Sifat yang muncul dari keberanian adalah al-Karâm (dermawan), an-Najdah (keberanian), at-Tasahum (keinginan pada hal-hal yang menyebabkan perbuatan baik), Kasrun Nafsi (mengekang hawa nafsu), al-Ihtimal (menanggung penderitaan), al-Hilm (sabar dan pemaaf), ats-Tsabat (pendirian teguh), Kadzmul Ghaidh (menahan amarah), al-Waqar (berwibawa), at-Tawâdud (penuh cinta) dll.

Jika keberanian terlalu lemah, maka menimbulkan sifat-sifat yang seperti an-Nihanah (rendah diri), adz-Dzullah (hina), al-Jaz‘u (penyesalan), al-Khusasah (pendek pikir dan hina), Shagrun Nafsi (kecil jiwa), al-Inkibat (merasa terkekang untuk menuntut haknya).

Jika keberanian terlalu tinggi, maka muncul sifat-sifat yang jelek seperti Tahawwur (berani tanpa perhitungan dan pemikiran), al-Badzahu (angkuh), al-Shalifu (pengakuan terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya, dalam arti perbuatan atau suatu hal), Isytisyathah (sifat amarah yang berlebihan), sombong/‘Ujub (membanggakan diri).

3. Menjaga kehormatan diri adalah mendidik kekuatan syahwat dengan didikan akal dan norma.

Sifat baik yang muncul dari menjaga kehormatan diri adalah pemurah, malu, sabar, toleran, Qana’ah (menerima apa adanya), Wira’i, lemah lembut, suka menolong, tidak tamak.

Jika dorongan ‘Iffah (menjaga kehormatan diri) terlalu lemah dan kuat maka akan memunculkan sifat yang jelek seperti sifat rakus, sedikit Rasa malu, keji, boros, kikir, riya’, mencela diri, gila, suka bergurau, pembujuk, hasut, iri hati, mengadu domba, merendahkan diri di hadapan orang-orang kaya dan meremehkan fakir miskin, dll.

4. Adil adalah keadaan jiwa dan kekuatannya yang mengusai kemarahan dan syahwat dan membawanya kepada kehendak hikmah (ilmu dan norma), dan mencegahnya menurut batas kebijaksanaan.

Sifat baik yang muncul dari sifat adil adalah Husnu at-Tadbir (penalaran yang baik), Juudah adz-Dzihn (kejernihan hati), Tsiqabat ar-Ra’yi (kecerdasan berpikir), Ishabah adz-Dhan (kebenaran dugaan), kecerdasan berpikir terhadap amal-amal yang lembut dan kecerdasan berfikir terhadap bahaya jiwa yang tersembunyi.

Jika dorongan adil terlalu lemah maka akan menimbulkan sifat-sifat yang jelek seperti kebodohan, al-Ghumarah (tidak punya kepandaian), al-Humku (dungu), gila, dll.

Jika dorongan adil terlalu kuat maka akan muncul sifat-sifat jelek seperti cerdik licik, jahat, al-Makru (rekayasa), al-khada’ (suka menipu), al-Addaha’ (tipu muslihat).

Barangsiapa pokok dan sumber akhlaknya i’tidal (tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat) maka akhlak yang keluar darinya adalah seluruh akhlak yang baik, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 3 halaman: 49-50).

Sementara itu, sumber akhlak yang tercela (buruk) dijelaskan sebagai berikut;

  • Ridha terhadap jiwanya yang makin jauh kepada Allâh SWT
  • Takut terhadap makhluk, dan
  • Dan mementingkan duniawi.

Kemudian dari ciri yang pertama muncullah syahwat (keinginan), kelalaian, dan maksiat. Lantas dari ciri yang kedua muncullah sifat pemarah, dengki dan hasud. Dan ciri yang ketiga  muncullah sifat serakah, tama’ (mengharapkan pemberian selain dari Allâh), dan sifat kikir.

Sumber: Alif.ID

27. Perilaku Orang Takwa

Takwa adalah merasa takut untuk melakukan hal/perbuatan yang dilarang oleh Allâh SWT, sehingga memilih untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allâh SWT.

berikut ini adalah macam-macam perilaku orang yang takwa:

وَالتَّقْوَى وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: تَقْوَى الْعَامِّ بِالِّلسَانِ وَهُوَ إِيْثَارُ ذِكْرِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلَا يُزَالُ عَلَى ذِكْرِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ، وَتَقْوَى الْخَاصِّ بِاْلأَرْكَانِ وَهِيَ إِيْثَارُ خِدْمَةِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلاَ يُزَالُ عَلَى خِدْمَةِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ، وَتَقْوَى اْلأَخَصِّ بِالْجِنَانِ وَهِيَ إِيْثَارُ مَحَبَّةِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلاَ يُزَالُ عَلَى مَحَبَّةِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 76)

Taqwâ ada tiga macam. Takwanya orang awam dengan lisan, yaitu lebih mendahulukan menyebut Allâh daripada menyebut makhluk. Takwanya orang khash dengan anggota tubuh, yaitu lebih mendahulukan untuk melayani Allâh daripada melayani makhluk. Takwanya orang akhash dengan hati, yaitu lebih mendahulukan cinta kepada Allâh daripada cinta kepada makhluk, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Syaikh Abû Yazîd berkata jika seorang laki-laki telah menghamparkan sajadahnya di atas air, dan duduk bersila di atas udara, maka janganlah kamu terperdaya hingga kamu melihat bagaimana dia menjalani perintah dan menjauhi larangan Allâh SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 280).

Tangisan Orang yang Takut kepada Allâh

Menangis karena takut kepada Allâh memang benar adanya, dan hal itu dijelaskan di dalam Alquran;

وَيَـخِرُّوْنَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا (الإسراء: ١٠٩)

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu‘”, (Q.S. al-Isra’: 109).

خَرُّوْا سُجَّدًا وَبُكِيًّا (المريم: ٥٨).

Mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis, (Q.S. Maryam: 58).

Dan berikut ini adalah penjelasan Nabî SAW ketika ditanya tentang perihal keselamatan dan tangisan.

وَقَالَ أَبُوْ أُمَامَةُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاالْنَجَاةُ؟ فَقَالَ:(أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلِيَسَعْكَ بَيْتَكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ)، وَقَالَ عَلَيْهِ وَالسَّلَامِ: (حُرِّمَتْ النَّارُ عَلَى ثَلَاثِ أَعْيُنٍ: عَيْنٍ سَهَرَتْ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَعَيْنٍ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ)، وَسَكَتَ الرَّاوِىْ عَنِ الثَّالِثَةِ. وَقَالَ: (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اَبْكُوْا، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوْا فَتَبَاكُوْا. فَإِنَّ أَهْلَ النَّارِ يَبْكُوْنَ فِى النَّارِ حَتَّى تَسِيْلَ دُمُوْعُهُمْ فِى وُجُوْهِهِمْ كَأَنَّهَا أَنْهَارٌ، فَإِذَا فَرَغَتْ دُمُوْعُهُمْ تَسِيْلُ الدِّمَاءُ فَلَوْ أَنَّ سُفُنًا أُرْسِلَتْ فِى مَجَارَي دُمُوْعِهِمْ لَجَرَتْ) .(وَاعْلَمْ) أَنَّ الْبُكَاءَ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ مِنْ أَدَلِّ الْأَدِلَّةِ عَلَى الْخَوْفِ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَالْمَيْلِ اِلَى الآخِرَةِ. وَالْجَالِبُ لِلْبُكَاءِ شَيْآنِ: الْخَوْفُ مِنَ اللهِ، وَالنَّدَمُ عَلَى مَا سَلَفَ مِنَ التَّفْرِيْطِ وَالتَّقْصِيْرِ، وَأَعْظَمُ سَبَبِهِ الْمَحَبَّةُ. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 263-264)

Abu Umamah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apa keselamatan itu?”. Nabî menjawab: “Jagalah lisanmu, luaskanlah rumahmu, menangislah atas kesalahanmu”. Nabi bersabda: “Tiga mata yang diharamkan masuk neraka; mata yang terjaga fi sabilillah, mata yang menangis karena takut kepada Allâh SWT”, dan perawi Hadis tidak meneruskan pada bagian yang ketiga. Nabi juga bersabda: “Wahai manusia menangislah engkau, jika engkau tidak bisa menangis maka paksalah untuk menangis, karena sesungguhnya ahli neraka itu menangis di neraka sehingga air matanya mengalir di wajahnya bagaikan aliRAn sungai, ketika air matanya habis maka mengalirlah darah (sebagai ganti air mata), seandainya sebuah kapal yang dilepas pada aliRAn air matanya maka kapal akan berlayar”.

Ketahuilah bahwa menangis karena takut kepada Allâh SWT itu merupakan bukti Rasa takut kepada Allâh SWT dan condongnya diri untuk lebih memilih akhirat. Dua hal yang bisa menyebabkan menangis, yaitu takut kepada Allâh SWT, menyesal terhadap perilaku yang melampaui batas dan kecerobohan yang telah lalu. Dan penyebab utamanya adalah mahabbah (rasa cinta), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 263-264).

Berikut ini adalah kisah para sahabat menangis ketika mengingat kematian dan akan adanya hari kimat;

وَكَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدُ الْعَزِيْزِ يَجْمَعُ الْفُقَهَاءَ فَيَتَذَاكَرُوْنَ الْمَوْتَ وَالْقِيَامَةَ ثُمَّ يَبْكُوْنَ حَتَّى كَأَنَّ بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ جَنَازَةً، وَمَنْ أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِهِ أُكْرِمَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: تَعْجِيْلِ التَّوْبَةِ، وَقَنَاعَةِ الْقَلْبِ، وَنَشَاطِ الْعِبَادَةِ. وَمَنْ نَسِيَ الْمَوْتَ عُوْقِبَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ تَسْوِيْفِ التَّوْبَةِ، وَعَدَمِ الرِّضَا بِالْكَفَافِ، وَالتَّكَاسُلِ فِى الْعِبَادَةِ. (تنوير القلوب ص 451)

‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengumpulkan para ahli fiqih, kemudian mereka saling mengingatkan tentang mati dan kiamat, kemudian mereka menangis seakan-akan di depan mereka tertapat jenazah. Barangsiapa yang banyak mengingat mati maka akan diberi kemuliaan dengan tiga hal; mempercepat taubat, hati yang menerima, giat dalam ibadah. Dan barangsiapa yang lupa dengan mati maka akan disiksa dengan tiga hal: menunda-nunda taubat, tidak senang dengan kecukupan, malas dalam ibadah, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 451).

Sabar, Tawakal, dan Tawadhu‘

Menurut Imam Junaid, sabar adalah menahan kepahitan tanpa bermuram wajah, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 271).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْا وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allâh SWT supaya kamu beruntung, (Q.S. Ali ‘Imran: 200).

Makna dari kata ayat di atas adalah;

  • اصْبِرُوْا, sabar yang berarti mengajak nafsu untuk taat dan patuh kepada Allâh SWT
  • صَابِرُوْا, sabar dengan perubahan hati (dari akhlak yang buruk menuju akhlak yang baik) untuk menghadapi cobaan Allâh SWT
  • رَابِطُوْا, persambungan sirri dengan Rasa rindu kepada Allâh SWT

مَا رُزِقَ عَبْدٌ خَيْرًا لَهُ وَلَا أَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Tiada rizki yang diberikan kepada seorang hamba itu lebih baik dan lebih luas daripada sabar, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 271).

Dari segi perilaku, sabar dikelompokkan menjadi tiga golongan;

وَالصَّبْرُ وَهُوَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: صَبْرُ الْعَامِّ وَهُوَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، وَصَبْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ مَعَ الْحَقِّ مَعَ الْمَعِيَّةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Tiga golongan tersebut adalah; sabar-nya orang ‘awam yaitu dari kemaksiatan, sabar-nya orang khâs yaitu atas ketaatan, dan sabar-nya orang akhâs yaitu bersama Allâh SWT

Sementara itu, dari segi maqâm, sabar terbagi menjadi lima.

(وَالصَّبْرُ) عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: صَبْرٌ لِلهِ، وَصَبْرٌ فِى اللهِ، وَصَبْرٌ بِاللهِ، وَصَبْرٌ مَعَ اللهِ، وَصَبْرٌ عَنِ اللهِ. فَالصَّبْرُ لِلهِ عَنَاءٌ، وَالصَّبْرُ فِيْهِ بَلَاءٌ، وَالصَّبْرُ بِهِ بَقَاءٌ، وَالصَّبْرُ مَعَهُ وَفَاءٌ، وَالصَّبْرُ عَنْهُ جَفَاءٌ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 272).

Lima sabar itu adalah; 1) Sabar Lillâh (tunduk, patuh kepada Allâh SWT), 2) Sabar Fillâh (cobaan), 3) Sabar Billâh (tetap untuk selalu bersama Allâh SWT), 4) Sabar Ma‘allâh (menepati janji setia), dan 5) sabar ‘Anillâh (jauh dari Allâh SWT), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 272).

Dan orang-orang yang bersabar atas perilaku buruk orang lain dikategorikan sebagai orang-orang yang shiddiq (terpercaya). Itulah kisah, as-Syadzili membiarkan perilaku orang-orang/musuh yang menyakiti beliau.

(إِنَّمَا أَجْرَى اْلأَذَى عَلَى أَيْدِيْهِمْ كَيْلَا تَكُوْنَ سَاكِنًا إِلَيْهِمْ أَرَادَ أَنْ يُزْعِجَكَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى يُشْغِلَكَ عَنْهُ شَيْءٌ) وُجُوْدُ أَذَى النَّاسِ لِلْعَبْدِ نِعْمَةٌ عَظِيْمَةٌ عَلَيْهِ لَا سِيَّمَا مِمَّنْ اِعْتَادَّ مِنْهُ الْمُلَاطَفَةَ وَالْإِكْرَامَ وَالْمُبَرَّةَ وَالْاِحْتِرَامَ لِأَنَّ ذَلِكَ يُفْقِدُهُ عَدَمَ السُّكُوْنِ إِلَيْهِمْ وَتَرْكَ اْلاِعْتِمَادِ عَلَيْهِمْ وَفَقْدَ اْلأُنْسِ بِهِمْ فَيَتَحَقَّقُ بِذَلِكَ عُبُوْدِيَّتُهُ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ سَيِّدِيْ أَبُو الْحَسَنِ الشَّاذِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ آذَانِيْ إِنْسَانٌ مَرَّةً فَضَقْتُ ذَرْعًا بِذَلِكَ فَنِمْتُ فَرَأَيْتُ يُقَالُ لِيْ مِنْ عَلَامَةِ الصِّدِّيْقِيَّةِ كَثْرَةُ أَعْدَائِهَا ثُمَّ لَا يُبَالِيْ بِهِمْ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 57-58).

Allâh SWT memberikan potensi kepada makhluk untuk berbuat yang menyakitkan, agar engkau tidak merasa tentRAm dengan mereka. Allâh SWT menghendakimu agar menjauhi segala sesuatu yang dapat menyibukkan dirimu sehingga jauh dari Allâh SWT Perbuatan manusia yang menyakitkan atas seorang hamba merupakan sebuah kenikmatan yang besar bagi dirinya. Apalagi perbuatan yang menyakitkan itu dari orang yang biasa menyayanginya, memuliakannya, berbuat baik padanya, dan menghormatinya. Karena perbuatan itu akan menjadikan dirinya tidak merasa tentram, tidak tergantung, dan tidak terhibur dengan mereka.

Jika sudah demikian, maka akan menjadi nyata ubudiyahnya kepada Allâh SWT Abu Hasan al-Syadzili RA. berkata: “Seorang manusia menyakitiku, dan aku tak mampu membalasnya. Lalu aku tertidur, kemudian aku bermimpi”, dan dikatakan kepadaku “Termasuk dari tanda-tanda orang yang shiddiq (yang berbakti kepada Allâh SWT) adalah orang yang banyak musuh, namun dia tidak mempedulikan mereka”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 57-58).

Orang yang bersabar juga harus mengetahui, macam-macam bala’ (ujian/cobaan dari Allâh SWT), itulah sebabnya ada tiga kategori bala’ yang diberikan oleh Allâh SWT kepada hambanya sesuai dengan tingkat dan kemampuan.

وَالْبَلَاءُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: بَلاَءُ الْعَامِّ وَهُوَ لِلتَّأْدِيْبِ، وَبَلاَءُ الْخَاصِّ وَهُوَ لِلتَّهْذِيْبِ، وَبَلاَءُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ لِلتَّقْرِيْبِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Ketiga bala’ itu adalah; 1) Bala’-nya orang ‘awam, sebagai bentuk pelajaran, 2) Bala’-nya orang khâs, sebagai bentuk perbaikan etika, dan 3) Bala’-nya orang akhâs sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allâh SWT), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).

Berikutnya mengenai tanda-tanda orang yang tawakkal.

(وَعَلاَمَةُ الْمُتَوَكِّلِ) أَنْ لَايَسْأَلَ وَلَايَرُدَّ وَلَا يَحْبِسَ (وَأَكْمَلُ) أَحْوَالِهِ أَنْ يَكُوْنَ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى كَالْمَيِّتِ بَيْنَ يَدَيِ الْغَاسِلِ يُقَلِّبُهُ كَيْفَ أَرَادَ لَايَكُوْنُ لَهُ حَرَكَةٌ وَلاَ تَدْبِيْرٌ. قَالَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ ذَرْوَةُ اْلإِيْمَانِ اْلإِخْلاَصُ وَالتَّوَكُّلُ وَاْلاِسْتِسْلاَمُ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ (وَلَيْسَ) فِى الْمَقَامَاتِ أَعَزُّ مِنَ التَّوَكُّلِ فَإِنَّ التَّوَكُّلَ عَلَى اللهِ يُحَبِّبُ الْعَبْدَ وَأَنَّ التَّفْوِيْضَ إِلَى اللهِ يَهْدِيْهِ وَبِهُدَى اللهِ يُوَافِقُ الْعَبْدُ رِضْوَانَ اللهِ وَبِمُوَافَقَةِ رِضْوَانِ اللهِ يَسْتَوْجِبُ الْعَبْدُ كَرَامَةَ اللهِ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَيُسَلِّمْ لِقَضَائِهِ وَيُفَوِّضْ اَلْأَمْرَ إِلَيْهِ وَيَرْضَ بِقَدَرِهِ فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَأَحْسَنَ اْلإِيْمَانَ وَالْيَقِيْنَ وَفَرَّغَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ لِكَسْبِ الْخَيْرِ وَأَقَامَ اْلأَخْلاَقَ الصَّالِـحَةَ الَّتِيْ تُصْلِحُ لِلْعَبْدِ أَمْرَهُ وَمَنْ طَعَنَ فِى التَّوَكُّلِ فَقَدْ طَعَنَ فِى اْلإِيْمَانِ لِأَنَّهُ مَقْرُوْنٌ بِهِ وَمَنْ أَحَبَّ أَهْلَ التَّوَكُّلِ فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ تَعَالَى، (تنوير القلوب، ص: 479).

Orang yang bertawakal, adalah mereka yang tidak meminta, tidak menolak, dan tidak menahan. Keadaan yang paling sempurna dari tawakal ini adalah seorang sâlik menghadapkan dirinya kepada Allâh SWT seakan-akan dia adalah mayat yang ada di hadapan orang yang memandikannya, tubuhnya dibolak-balikkan dia tetap diam dan menerima apa adanya. Abu Darda’ menyatakan bahwa buah imân adalah ikhlâs, tawakal, dan pasrah sepenuhnya kepada Allâh ‘Azza wa jalla. Tidak ada maqâm (tempat) yang lebih mulia dibandingkan dengan tawakal. Karena tawakal menjadikan hamba mencintai Allâh SWT Dengan kepasrahan ini, sâlik memperoleh hidayah, sehingga dia pun memperoleh keridhaan-Nya. Jika Allâh SWT telah meridhainya, maka kemuliaan dari Allâh SWT akan diperolehnya.

Oleh karena itu, barangsiapa bertawakal kepada Allâh SWT, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, ridha dengan qodar-Nya, maka dia benar-benar telah menegakkan agama, dan memperbaiki iman dan keyakinannya. Sehingga kedua tangan dan kakinya hanya tergerak untuk kebajikan. Dia benar-benar menjadi orang yang berakhlak mulia, yang dengan akhlak mulia tersebut segala urusannya pun menjadi baik. Sebaliknya, barangsiapa menghina terhadap tawakal, maka dia menghina keimanannya, karena keimanan selalu bersamaan dengan tawakal. Barangsiapa mencintai orang-orang ahli tawakal, maka dia mencintai Allâh SWT, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 479).

Berikut ini adalah macam-macam tawakal:

وَالتَّوَكَّلُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: تَوَكَّلُ الْعَامِّ وَهُوَ عَلىَ الشَّفَاعَةِ، وَتَوَكَّلُ الْـخَاصِّ وَهُوَ عَلَى الطَّاعَةِ، وَتَوَكَّلُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ عَلَى الْعِنَايَةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 76).

Tawakal terbagi menjadi tiga; 1) Tawakalnya orang ‘awâm yaitu tawakal atas syafa‘at, 2) Tawakalnya orang khâsh yaitu tawakkal atas ketaatan, dan 3) Tawakalnya orang akhâsh yaitu tawakkal atas pertolongan, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Selanjutnya adalah pembahasan tentang tawaddhu‘:

أَمَّا التَّوَاضُعُ فيِ اِصْطِلَاحِهِمْ: اَلْإِسْتِسْلَامُ لِلْحَقِّ وَتَرْكُ الْإِعْتِرَاضِ عَلَى الْحُكْمِ (الطرق الصوفية، ص: 265).

Tawaddhu‘ menurut istilah ahli ‘Ulama’ Sufî adalah menyerahkan diri kepada kebenaran dan meninggalkan berpaling pada hukum, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 265).

وَقِيْلَ: هُوَ اَلْـخُشُوْعُ لِلْحَقِّ وَالْإِنْقِيَادُ وَقَبُوْلُهُ مِنَ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيْرِ وَالْكَبِيْرِ وَالصَّغِيْرِ وَالشَّرِيْفِ وَالْوَضِيْعِ (الطرق الصوفية، ص: 266).

Dikatakan juga: “Tawaddhu‘ adalah tenangnya hati pada kebenaran, mengikuti dan menerima kebenaran itu, baik dari orang kaya, fakir, orang tua, anak kecil, orang mulia maupun orang yang rendah”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 266).

Mengenai dasar Tawaddhu‘,di dalam Alquran dijelaskan;

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (الشعراء: 215)

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman, (Q.S. al-Syu‘arâ’: 215).

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً (الفرقان: 63)، مَعْنَاهُ: خَاشِعِيْنَ مُتَوَاضِعِيْنَ.

(Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati) (Q.S. al-Furqan: 63), maknanya: “Dengan khusyu‘, dengan tawaddhu‘”.

Rasûlullah SAW bersabda;

قَالَ النَّبِيُّ: لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.

Nabi SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebiji SAWi dari sifat sombong”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 311).

قَالَ النَّبِيُّ: مَا تَوَاضَعَ رَجُلٌ للهِ اِلَّا رَفَعَهُ اللهُ.

Nabi SAW bersabda: “Tidaklah tawaddhu‘ seorang laki-laki kepada Allâh SWT, kecuali Allâh SWT mengangkat derajatnya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 67).

Sementara itu Barangsiapa yang melihat dirinya memiliki nilai-nilai (kelebihan), maka tidak ada baginya sikap tawaddhu‘.

وَقِيْلَ: عَلَامَةُ التَّوَاضُعِ أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِنْسَانُ أَنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ خَيْرٌ مِنْهُ.

Abû Sulaimân al-Dârâni berkata: “Tanda-tanda tawaddhu‘ adalah apabila seseorang meyakini bahwa sesungguhnya orang lain itu lebih baik dari dirinya”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 270).

قَالَ أَبُوْ يَزِيْدَ: اَلتَّوَاضُعُ مَنْ لَايَرَى فِي الْخَلْقِ شَرًّا مِنْهُ.

Abu Yazid al-Busthami berkata: “Tanda-tanda tawaddhu‘ adalah seseorang yang tidak melihat makhluk lebih jelek dirinya”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 270).

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ آدَمِيٍّ إِلاَّ فِي رَأْسِهِ حِكْمَةٌ بِيَدِ مَلِكٍ فَإِذَا تَوَاضَعَ قِيْلَ لِلْمَلِكِ إِرْفَعْ حِكْمَتَهُ وَإِذَا تَكَبَّرَ قِيْلَ لِلْمَلِكِ ضَعْ حِكْمَتَهُ. أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِيُّ عَنْ أَبِيْ عَبَّاسٍ، (الطرق الصوفية، ص: 267).

Nabi SAW bersabda: “Tidaklah ada anak cucu Adam, kecuali mempunyai sebuah hikmah dari Allâh SWT Ketika dia tawaddhu‘, maka dilaporkan kepada Allâh SWT”. Lalu Allâh SWT berfirman: “Tampakkan hikmahnya!”. Dan ketika dia sombong maka dilaporkan kepada Allâh SWT: “Hilangkan hikmahnya!”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 267).

قَالَ (عم): مَنْ تَوَاضَعَ لِلهِ رَفَعَ اللهُ

Barangsiapa tawaddhu‘ kepada Allâh SWT maka Allâh SWT akan mengangkat derajatnya, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 267).

Sumber: Alif.ID

28. Hati

وقال في الحكم : “نُوْرٌ مُسْتَوْدَعٌ فِي الْقُلُوْبِ، مَدَدُهُ النُّوْرُ الْوَارِدُ مِنْ خَزَائِنِ الْغُيُوْبِ”، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 32).

Seperti yang dijelaskan di dalam kitab al-Hikam bahwa Nur (cahaya ilahi) bertempat atau dititipkan di hati seseorang, cahaya yang diturunkan Allâh SWT dari persaudaraan yang gaib. Dalam hal ini, pembahasan hati ini terkait dengan masalah ikhlas yaitu termasuk Rahasiaku yang kutitipkan di hati seorang hamba yang aku cintai, tidak karena terlihat oleh malaikat yang mencatatnya, dan juga tidak karena setan yang merusak amalnya, (al-Futuhat al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 32).

Mengenai macam-macam hati, dijelaskan;

وَالْقَلْبُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: قَلْبُ الْعَامِّ وَهُوَ يَطِيْرُ فِى الدُّنْيَا حَوْلَ الطَّاعَةِ، وَقَلْبُ الْخَاصِّ وَهُوَ يَطِيْرُ فِى الْعُقْبَى حَوْلَ الْكَرَامَاتِ، وَقَلْبُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ يَطِيْرُ فِى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى حَوْلَ اْلأُنْسِ وَالْمُنَاجَاتِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 78).

Hati ada tiga macam; hati orang awam adalah hati yang melayang dalam urusan dunia yang dibarengi dengan ketaatan. Hati orang khash adalah hati yang melayang dalam urusan akhirat yang diliputi dengan kemuliaan. Hati orang akhash adalah hati yang melayang dalam SidRAtul Muntaha (keagungan Allâh SWT yang tanpa batas) dalam keadaan terhibur dan selalu bersama dengan Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 78).

Berikutnya mengenai penjelasan yang meneRangkan obat hati;

دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِاالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الْصَالِحِيْنَ، (طبقات الصوفية، ص: 222).

Obat hati ada lima; 1) Membaca Alquran dengan tadabbur (berusaha memahami maknanya). 2) Mengosongkan perut (lapar berpuasa). 3) Qiyâmul Lail (mengisi malam-malamnya dengan ibadah). 4) menghamba atau mendekatkan diri kepada Allâh pada malam hari. 5) Bergaul dengan para shalihin, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 222).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai hati orang yang fasiq dan munafiq;

وَصَلاَحُ الْقَلْبِ إِنَّمَا يَكُوْنُ بِطَهَارَتِهِ عَنِ الصِّفَاتِ الْمَذْمُوْمَةِ كُلِّهَا دَقِيْقِهَا وَجَلِيْلِهَا وَهَذِهِ هِيَ الصِّفَاتُ الْمُنَاقِضَةُ لِلْعُبُوْدِيَّةِ مِنْ أَوْصَافِ الْبَشَرِيَّةِ الَّتِيْ أَشَارَ إِلَيْهَا الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَهِيَ الَّتِيْ تَسُمُّ صَاحِبَهَا بِسُمَّةِ النِّفَاقِ وَالْفُسُوْقِ وَهِيَ كَثِيْرَةٌ مِثْلُ الْكِبْرِ وَالْعُجْبِ وَالرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْحِقْدِ وَالْحَسَدِ وَحُبِّ الْجَاهِ وَالْمَالِ وَيَتَفَرَّعُ عَنْ هَذِهِ اْلأُصُوْلِ فُرُوْعٌ خَبِيْثِيَّةٌ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ وَالتَّذَلْذُلِ لِلْأَغْنِيَاءِ وَاسْتِحْقَارِ الْفُقَرَاءِ وَتَرْكِ الثِّقَّةِ بِمَجِيْءِ الرِّزْقِ وَخَوْفِ سُقُوْطِ الْمَنْزِلَةِ مِنْ قُلُوْبِ الْخَلْقِ وَالشُّحِّ وَالْبُخْلِ وَطُوْلِ اْلأَمَلِ وَاْلأَشَرِ وَالْبَطَرِ وَالْغِلِّ وَالْغَشِّ وَالْمُبَاهَاةِ وَالتَّصَنُّعِ وَالْمُدَاهَنَةِ وَالْقَسْوَةِ وَالْفَظَاظَةِ وَالْغِلْظَةِ وَالْغَفْلَةِ وَالْجَفَاءِ وَالطَّبْشِ وَالْعَجَلَةِ وَالْحِدَّةِ وَالْحَمِيَّةِ وَضَيِّقِ الصَّدْرِ وَقِلَّةِ الرَّحْمَةِ وَقِلَّةِ الْحَيَاءِ وَتَرْكِ الْقَنَاعَةِ وَحُبِّ الرِّيَاسَةِ وَطَلَبِ الْعُلُوِّ وَالْاِنْتِصَارِ لِلنَّفْسِ إِذَا نَالَهَا الذُّلُّ . وَعُنْصُرُ يَنَابِيْعِهَا إِنَّمَا هُوَ رُؤْيَةُ النَّفْسِ وَالرِّضَا عَنْهَا وَتَعْظِيْمِ قَدْرِهَا وَتَرْفِيْعِ أَمْرِهَا فَبِهَذِهِ اْلأُمُوْرِ كَفَرَ مَنْ كَفَرَ وَنَافَقَ مَنْ نَافَقَ وَعَصَى مَنْ عَصَى وَبِهَا خَلَعَ مِنْ عُنُقِهِ رِبْقَةَ الْعُبُوْدِيَّةِ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، (شرح الحكم، ج 1، ص: 30).

Hati yang baik hanya bisa terwujud dengan membersihkannya dari semua sifat tercela, baik yang kecil maupun yang besar. Semua sifat ini adalah sifat manusia yang bertentangan dengan ubudiyah (sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengaRAng). Sifat-sifat ini meRAcuni pemiliknya dengan RAcun kemunafikan dan kefasikan. Sifat-sifat ini banyak, seperti sombong, kagum terhadap diri sendiri, riya’, pamer, dengki, hasud, cinta pada jabatan dan harta. Dari sifat-sifat tercela itu, akan bercabang lagi menjadi beberapa sifat buruk seperti permusuhan, kebencian, merasa hina di hadapan orang-orang kaya, meremehkan orang-orang fakir, tidak yakin atas datangnya rizki, takut deRajatnya jatuh dalam pandangan manusia, pelit, kikir, banyak berangan-angan, serakah, menyalahgunakan kenikmatan, dendam, menipu, membanggakan diri sendiri, sikap berpura-pura, mencari muka (menjilat), berhati batu, kasar dan keras tutur katanya, lalai (dari dzikir kepada Allâh SWT), sulit menerima nasihat, kasar prilakunya, tergesa-gesa, mudah marah, memandang rendah orang lain, tidak lapang dada, sedikit kasih sayangnya, sedikit Rasa malunya, tidak qona’ah, senang jabatan, mencari kedudukan yang tinggi, mengedepankan hawa nafsu ketika ditimpa kehinaan, (Syarh al-Hikam, juz 1, halaman: 30).

Pangkal dari sifat-sifat tersebut bersumber dari mementingkan, merelakan, dan mengagungkan nafsu. Dengan sifat-sifat tersebut, orang yang kafir tetap menjadi kafir, orang yang munafik tetap menjadi munafik, dan orang yang durhaka tetap menjadi durhaka. Dan sifat-sifat tersebut juga menjadi sebab lepasnya ikatan ubudiyah kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, (Syarh al-Hikam, juz 1 halaman: 30).

Selanjutnya tentang pembagian h;

وَالرُّوْحُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: أَرْوَاحُ اْلأَعْدَاءِ وَهِيَ فِى الْجَحِيْمِ مُعَذَّبَةً، وَأَرْوَاحُ اْلأَوْلِيَاءِ وَهِيَ فِى النَّعِيْمِ مُنْعَمَةً، وَأَرْوَاحُ اْلأَنْبِيَاءِ وَهِيَ عِنْدَ الْكَرِيْمِ مُكْرَمَةً، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 78).

Ruh ada tiga macam; ruh para musuh Allâh SWT disiksa di neraka Jahim, ruh para kekasih Allâh SWT diberi kenikmatan di surga Na’im, dan ruh para nabi dimuliakan di sisi-Nya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 78).

Sumber: Alif.ID

29. Zuhud

Zuhud adalah kosongnya hati dari sesuatu yang tidak ada padanya (Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 116). Syaikh Dhiya’uddin Ahmad Musthafa al-Kamasykhânawi mendefinisikan zuhud menjadi tiga golongan. 

وَالزُّهْدُ وَهُوَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: فَزُهْدُ الْعَامِّ تَرْكُ الْحَرَامِ، وَزُهْدُ الْخَاصِّ تَرْكُ الْفُضُوْلِ مِنَ الْحَلاَلِ، وَزُهْدُ اْلأَخَصِّ تَرْكُ مَا يُشْغِلُهُ عَنِ اللهِ تَعَالَى.

Zuhud ada tiga macam. Pertama,  zuhud orang ‘awâm yaitu dengan meninggalkan yang haram. Kedua,  zuhud orang khâsh, yakni meninggalkan berlebih-lebihan dalam perkara halal. Ketiga,  zuhud orang akhâsh yaitu dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkan (memalingkan) dirinya dari Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).

Tidak mudah tergiur dengan kenikmatan dan gemerlap dunia, akan menjadikan diri kita lebih nyaman, sehingga diri tak tersiksa dan hati pun menjadi tenang. Sebaliknya, menuruti keinginan nafsu dan mencintai seluruh kesenangan duniawi menjadikan diri semakin tersiksa, hati menjadi tidak tenang karena takut kenikmatan dunia yang dimiliki menjadi sirna.

Jika semua hal ini dapat kita pahami dengan baik, maka kita tidak akan mudah terbujuk oleh kepalsuan duniawi. Rasulullah bersabda;

اَلزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا يُرِيْحُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، وَالرَّغْبَةُ فِي الدُّنْيَا تُطِيْلُ الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.

“Zuhud akan membuat hati dan badan menjadi nyaman. Dan mencintai dunia semakin menambah kesedihan dan kesusahan”, (Faydh al-Qadîr, juz 4 halaman: 96).

Salah satu faedah zuhud adalah dicintai Allah dan dicintai manusia. Rasulullâh SAW bersabda:

عَنْ سَهَلْ بِنْ سَعِدْ: أَنَّ رَجُلًا اَتَى النَّبِيَ صلعم: فَقَالَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ دُلُّنِيْ عَلَى عَمَلٍ اِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيْ اللهُ وَ أَحَبَّنِيْ النَّاسُ. قَالَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ. وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ.

Diriwayatkan dari Sahal bin Sa‘id, sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabî lalu bertanya: ”Wahai Rasûlullâh SAW tunjukkanlah kepadaku satu amal, yang ketika saya amalkan maka Allâh dan manusia mencintaiku”.

Rasûlullâh SAW menjawab: “Berzuhudlah di dunia, maka Allâh akan mencintaimu, berzuhudlah terhadap sesuatu yang dimiliki manusia maka manusia akan mencintaimu”.

Orang yang cinta harta benda menjadikan dirinya buta, tak kenal kawan, tak kenal keluarga. Harta lebih berharga baginya dibandingkan kawan dan keluarga yang dimilikinya. Demi harta, orang tersebut rela memutus tali persahabatan dan kekeluargaan karena cinta butanya pada dunia.

Seringkali kita temui di masyarakat, perpecahan keluarga yang disebabkan perebutan harta warisan, atau lahan bisnis yang semuanya tak lain adalah bagian dari gemerlap kenikmatan dunia.

Sementara itu, ada juga orang-orang yang lebih memilih untuk mengedepankan harta ketimbang pendidikan. Mereka menganggap bahwa harta yang melimpah akan menjadi jaminan kebahagiaan di masa mendatang.

Mereka lupa bahwa kenikmatan dunia yang mereka miliki, sewaktu-waktu dapat sirna dari genggaman mereka. Mereka juga lupa, bahwa harta melimpah tanpa diimbangi ilmu pengetahuan untuk mengelolanya, hanya akan menjadikan harta itu semakin menipis dan habis.

Mereka lebih memilih kaya harta, namun minim ilmu. Bukankah segala urusan baik urusan dunia maupun akhirat harus dipahami ilmunya?

Dua hal di atas, mementingkan kenikmatan dunia dan merelakan keadaan yang minim ilmu (bodoh) adalah dua hal yang kemudian oleh Abu Hasan al-Syadzili dipandang sebagai hal yang sangat berbahaya yang dapat menjadikan seseorang itu celaka.

وَقَالَ: لَا كَبِيْرَةَ عِنْدَنَا إِلَّا فِي اثْنَيْنِ حُبِّ الدُّنْيَا بِالْإِيْثَارِ وَالْمَقَامِ عَلَى الْجَهْلِ بِالرِّضَا، لِأَنَّ حُبَّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ كَبِيْرَةٍ، وَالْمَقَامُ عَلَى الجَهْلِ أَصْلُ كُلِّ مَعْصِيَةٍ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 45).

Abu Hasan al-Syadzili berkata: Tidak ada kerusakan yang besar bagiku kecuali dua perkara. Yaitu, memilih cinta dunia dan rela dengan deRajad kebodohan. Karena, mencintai dunia merupakan pangkal setiap dosa besar dan kebodohan adalah pangkal setiap kemaksiatan, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 45).

Dunia ini, jika semakin kita terus membenamkan diri di dalamnya, maka semakin dalam kita terjerumus dalam kepalsuannya. Sebaliknya, jika kita menggunakan dunia ini sebatas kebutuhan kita untuk mengabdikan dan menyembahkan diri kepada Allâh SWT, maka dunia ini yang akan mencari dan mengabdi kepada kita.

Betapa banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada Allâh SWT, hidup mereka tentRAm, serba kecukupan. Dunia menjadi pelayan mereka, bukan mereka yang menjadi pelayan dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allâh SWT kepada dunia ketika menciptakannya: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku, maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdiannya”.

فَمَنْ أَرَادَ اللهُ أَنْ يَتَّخِذَهُ وَلِيًّا كَرِهَ إِلَيْهِ الدُّنْيَا وَوَفَقَهُ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَسَهَّلَهَا عَلَيْهِ كَمَا وَقَعَ لِبَعْضِهِمْ فَإِنَّهُ خَرَجَ يَتَصَيَّدُ فِى بَرِيَةٍ وَإِذَا شَابٌ رَاكِبٌ أَسَدًا وَحَوْلَهُ سِبَاعٌ فَلَمَّا رَأَتْهُ اِبتَدَرَتْ نَحْوَهُ فَزَجَرَهَا الشَّابُ ثُمَّ قَالَ: مَا هَذِهِ الْغَفْلَةُ؟ اِشْتَغَلْتَ بِهَوَاكَ عَنْ أُخْرَاكَ وَبِلَذَّتِكَ عَنْ خِدْمَةِ مَوْلَاكَ، أَعْطَاكَ الدُّنْيَا لِتَسْتَعِيْنَ بِهَا عَلَى خِدْمَتِهِ فَجَعَلْتَهَا ذَرِيْعَةً لِلْاِشْتِغَالِ عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَتْ عَجُوْزٌ بِيَدِهَا شُرْبَةُ مَاءٍ فَشَرِبَ وَنَاوَلَهُ فَسَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ: هِىَ الدُّنْيَا وُكِّلَتْ بِخِدْمَتِيْ. أَمَّا بَلَغَكَ أَنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَهَا قَالَ: مَنْ خَدَمَنِيْ فَاخْدِمِيْهِ وَمَنْ خَدَمَكَ فَاسْتَخْدِمِيْهِ. فَخَرَجَ عَنْ الدُّنْيَا وَسَلَكَ الطَّرِيْقَ وَصَارَ الْأَبْدَالَ، (تنوير القلوب، ص: 448).

Apabila Allâh SWT menghendaki seorang hamba untuk dijadikan kekasihnya, maka Allâh SWT akan menjauhkan dunia darinya, dan Allâh SWT memberikan pertolongan serta kemudahan baginya untuk melakukan amal-amal yang baik.

Sebagaimana terjadi pada seorang kekasih Allâh SWT Yaitu ketika dia keluar untuk berburu, tiba-tiba dia bertemu dengan seorang pemuda yang menunggangi harimau yang dikelilingi oleh binatang buas. Ketika hewan-hewan buas itu melihatnya dan hendak menerkamnya, maka pemuda tersebut mencegahnya.

Lalu pemuda itu berkata: Apakah ini tergolong lupa? Kamu sibukkan dirimu untuk menuruti hawa nafsu, kesenangan dunia dan meninggalkan akhirat serta meninggalkan pengabdian kepada sang pencipta. Allâh SWT memberimu dunia untuk membantumu dalam mengabdi kepada-Nya. Akan tetapi, engkau jadikan dunia ini sebagai perantara yang menyibukkan dirimu jauh dari-Nya.

Kemudian keluarlah seorang perempuan tua yang membawa air, pemuda itu pun meminumnya. Laki-laki itu bertanya kepada pemuda tentang perempuan itu, lalu pemuda itu berkata: “Dia adalah dunia yang dipasrahkan kepadaku karena pengabdianku (kepada-Nya). Tidakkah telah sampai kepadamu ketika Allâh SWT menciptakan dunia, lalu Allâh SWT berfirman: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdian darinya”.

Setelah itu, laki-laki tersebut meninggalkan dunia dan menjalani tarekat, hingga dia menjadi seorang wali abdal, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 448).

Berikutnya adalah penjelasan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi mengenai etika/akhlak seorang sâlik untuk tidak mencintai jabatan dan kedudukan;

وَمِنْهَا تَرْكُ حُبِّ الْجَاهِ وَالرِّيَاسَةِ لِأَنَّهَا قَاطِعَةٌ عَنْ طَرِيْقِ الْحَقِّ. عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ ضَارِيَانِ بَانَا فِيْ زُرَيْبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الشَّرَفِ وَالْمَالِ لِدِيْنِهِ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتُّرْمُذِىّ

Di antara tata krama seorang sâlik terhadap dirinya sendiri adalah meninggalkan cinta jabatan dan kepemimpinan. Karena hal itu menjadi pencegah dirinya dari jalan yang benar.

Diriwayatkan dari Rasûlullâh SAW: “Tiadalah dua harimau yang lapar lagi galak yang semalaman berada di kandang kambing itu lebih berbahaya daripada kerakusan seseorang pada kemuliaan dan harta atas agamanya”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 533).

Dan selanjutnya adalah perintah atau anjuran bagi seseorang untuk menyembunyikan jati diri;

(اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لاَ يُدْفَنُ لاَ يَتِمُّ نِتَاجُهُ) لاَ شَيْءَ أَضَرُّ عَلَى الْمُرِيْدِ مِنَ الشُّهْرَةِ وَانْتِشَارِ الصَيْتِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ أَعْظَمِ حُظُوْظِهِ الَّتِيْ هُوَ مَأْمُوْرٌ بِتَرْكِهَا وَمُجَاهَدَةِ النَّفْسِ فِيْهَا وَقَدْ تَسْمَحُ نَفْسُ الْمُرِيْدِ بِتَرْكِ مَا سِوَى هَذَا مِنَ الْحُظُوْظِ وَمَحَبَّةُ الْجَاهِ وَإِيْثَارُ اْلاِشْتِهَارِ مُنَاقِضٌ لِلْعُبُوْدِيَّةِ الَّتِيْ هُوَ مُطَالَبٌ بِهَا قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَمَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا صَدَّقَ اللهُ مَنْ أَحَّبَ الشُّهْرَةَ، (شرح الحكم، ج 1، ص: 11).

Pendamlah dirimu dalam kesamaran (tidak dikenal orang), karena sesuatu yang tumbuh dari yang tak dipendam tidak akan sempurna hasilnya. Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi sâlik dibandingkan kemasyhuran (terkenal) diri dan nama, karena hal itu termasuk bagian terbesar yang diperintahkan untuk ditinggalkan dan memerangi nafsu di dalamnya, dan terkadang hati sâlik masih tolerir untuk meninggalkan selain kemasyhuran.

Mencintai jabatan dan memilih kemasyhuran itu bertentangan dengan tuntutan ibadah atas dirinya. Ibrâhîm bin Adham RA. berkata: “Allâh SWT tidak membenarkan orang yang mencintai kemasyhuran”, (Syarh al-Hikam, juz 1, halaman: 11).

Pada zaman Nabi, orang-orang yang zuhud, ahli ibadah, dan orang yang ahli taubat mempunyai beberapa keistimewaan yaitu senang dan bersungguh-sungguh untuk melakukan ibadah.  Mereka itu di antara adalah:

  • Abdullâh Ibnu Umarmelakukan puasa di siang hari dan ibadah malam harinya dan menghatamkan Alquran setiap malam, dia bercita-cita untuk tidak kawin.
  • Utsman bin Mazh’un, dia senang beribadah sehingga meninggalkan rumah dan tidak kawin
  • Bahlul Ibnu Dzu’aib, beliau datang kepada Nabi dalam keadaan menangis karena dosa-dosa yang telah dilakukan, apabila Allâh mengambilku dengan sebagian dosaku maka Aku akan selamanya berada di neraka Jahannam, kemudian saya pergi ke gunung untuk menghapus dosa-dosaku dengan mengikat kedua tangan ke leher menggunakan besi, kemudian dia mengeluh kepada Allâh : Ya Tuhanku Ya Tuanku, saya adalah Bahlul yang telah terbelenggu dengan Rantai yang mengakui terhadap dosa-dosanya.
  • Haula’ binti Tuait, beliau mengikat badannya dengan tambang agar supaya tidak tertidur dalam Rangka untuk beribadah dan Siti ‘Aiysh melaporkan hal tersebut kepada Nabi kemudian Nabi berkata: lakukanlah sesuatu sesuai dengan kemampuan karena Allâh itu tidak condong sampai kita condong kepadanya, dan amal yang dicintai oleh Allâh itu langgeng meskipun sedikit, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 89).

Sumber: Alif.ID

30. Pengertian Tarekat

وَأَمَّا الْفَرْقُ بَيْنَ الشَّرِيْعَةِ وَالطَّرِيْقَةِ فَقَالَ الصَّاوِي، وَالشَّرِيْعَةُ الْأَحْكَامُ الَّتِيْ شَرَعَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالْمَكْرُوْهَاتِ وَالْجَائِزَاتِ. وَالطَّرِيْقَةُ هِيَ الْعَمَلُ بِالْوَاجِبَاتِ وَالْمَنْدُوْبَاتِ وَالتَّرْكُ لِلْمَنْهِيَّاتِ وَالتَّخَلِّي عَنْ فُضُوْلِ الْمُبَاحَاتِ وَالْأَخْذُ بِالْأَحْوَطِ كَالْوَرَعِ وَبِالرِّيَاضَةِ مِنْ سَهَرٍ وَجُوْعٍ وَصُمْتٍ

Perbedaan antara syari’at dan tarekat, dikatakan oleh al-Shawa, syari’at adalah hukum-hukum yang berasal dari Allah ‘azza wa jalla yang disampaikan oleh Rasalullah saw, tentang hal-hal yang wajib dilakukan, yang haram, yang makruh, dan yang jaiz.

Tarekat adalah melaksanakan hal-hal yang wajib dan yang mandzub (sunnah), meninggalkan hal-hal yang dilarang, tidak melakukan hal-hal yang mubah yang tak berguna, memilih perilaku yang paling hati-hati seperti wira’i, dan memilih riyadhah seperti tidak banyak tidur pada malam hari, berlapar-lapar, dan diam (tidak berbicara tanpa guna), (Ahkamul Fuqaha’).

وَالطَّرِيْقَةُ هِيَ السَّيْرَةُ الْمُخْتَصَّةُ بِالسَّالِكِيْنَ إِلَى اللهِ تَعَالَى مَعَ قَطْعِ الْمَنَازِلِ وَالتَّرَاقِي فِى الْمَقَامَاتِ

Tarekat adalah cara tertentu yang dilakukan oleh para pelaku suluk menuju kepada Allah SWT dengan menempuh beberapa pos dan peningkatan maqâm demi maqam, (Jami’ul Ushul, halaman: 335).

Ilmu Tarekat semuanya bermazhab empat;

وَأَحْسَنُ الْمَذَاهِبِ فِي الْأَحْكَامِ مَذْهَبُ الْفُقَهَاءِالْمَرْجُوْعِ إِلَيْهِمْ، كَالْأَئِمَّةِ الْأَرْبِعَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 89).

Sebaik-baik bermazhab dalam hukum adalah bermazhab kepada para fakaha sebagaimana al-imam al-arba’ah (imam empat madzhab), (al-Futuhat al-Ilahiyyah fi Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 89).

هٰذِهِ الطَّرِيْقَةُ مَوْرُوْثَةٌ، أَخْذُهَا عَارِفٌ عَنْ عَارِفٍ إِلَى سَيِّدِ الْعَارِفِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلْنَذْكُرْ سِلْسِلَتَنَا تَبَرُّكًا وَاقْتِدَاءً.

Tarekat ini adalah warisan yang diwariskan dari orang ‘arif (makrifat), bersumber dari orang ‘arif, sampai kepada Sayyidil ‘arifin Nabi Muhammad SAW yang menjadi penghulu para ‘arifin, yang menyebutkan silsilahnya untuk tabrrukan dan iqtida’ (mengikuti perilaku mereka), (al-Futuhat al-Ilahiyyah fî Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 271).

إِنَّ الْعَارِفَ لَا يَلْزَمُ حَالَةً وَاحِدَةً, إِنَّمَا يَلْزَمُ رَبَّهُ فِي الْحَالَاتِ كُلِّهَا.

Orang yang ‘arif (bijaksana) tidak hanya mengandalkan satu macam cara dalam menempuh jalan menuju hakikat, akan tetapi banyak cara yang dilakukan agar bisa mencapai tujuan yang dikehendaki (ma‘rifatullah), (Thabaqat as-Shafiyah, halaman: 34).

Wajib Mencari Guru yang Bisa Mengantarkan kepada Allah SWT

Wajib bagi salik untuk mencari seorang guru yang dapat mengantarkan dirinya kepada Allah SWT setelah mempelajari hal-hal yang wajib atau fardlu atau sesuatu yang dikhususukan untuk sebagian orang bukan untuk sebagian orang lain, dan sesungguhnya salikus shadiq adalah orang yang mengetahui keagungan sifat ketuhanan dan beberapa haq dalam tingkatan sifat ketuhanan terhadap semua makhluk dan hal tersebut mewajibkan bagi salik untuk selalu bersungguh-sungguh, tunduk dan rendah hati kepada Allah dan selalu mencintai Allah dan mengagungkannya dan selalu cenderung kepada Allah. Hatinya selalu cinta kepada Allah dan berpaling dari selain Allah SWT, (Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, halaman: 112).

وَهَلْ طَلَبَ الشَّيْخَ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ؟ فَيَجِيْبُ عَلَى كُلِّ فَرْدٍ أَنْ يَطْلُبَ مَنْ يُوْصِلُهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى بَعْدَ تَعْلِيْمِ الْفَرَائِضِ، (جواهر المعانى وبلوغ الأمانى، ص: 112)

Seorang guru (mursyid) memiliki kepandaian (mahir). Kemahiran atau kemampuan dalam suatu hal merupakan buah dari keluasan dan kedalaman keilmuannya, sedangkan yang disebut orang yang mahir adalah orang yang luas dan dalam ilmunya. Dalam hadis diterangkan;

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 117).

Orang yang mahir dalam membaca Alquran akan senantiasa bersama para malaikat safarah yang mulia”. Jadi, arti luas di sini adalah luas dalam hafalannya atau keilmuannya, (al-Futuhat al-Ilahiyyah fî Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 117)

Dasar Salik dalam Bertarekat

Barangsiapa yang ingin bertarekat menuju Allah SWT, dan berperilaku mengikuti Rasulullah, menyerupai orang-orang salih dengan mendaki tangga-tangga mereka, maka salik wajib membersihkan ahlak-ahlak yang tercela (takhalli). Menghiasi akhlak dengan sifat-sifat keutamaan dan terpuji yang bisa mendekatkan kepada Allâh SWT Seperti tawaduk, sabar dan pemaaf (al-hilm) ridha terhadap yang terjadi, ikhlas dalam amal ibadah dan sifat-sifat iman yang bisa membawa salik naik ke tangga-tangga yang luhur.

Jika salik sudah berakhlak dengan hal tersebut, maka Allah SWT akan memanggilnya “Wahai Hambaku”, lalu salik menjawab “aku penuhi panggilan-Mu”, dengan bersunggguh-sungguh dan orang yang menyatakan kebenaran, semua itu di sandarkan kepada Allah SWT Hal inilah yang di maksud dengan ibadah yang khusus (ubudiyah al-khas), definisi ibadah (secara umum) adalah menyembah kepada Allah yang maha mengasihi yang melakukan pemaksaan kepada semua mahluk-Nya. Allah SWT Berfirman;

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمٰوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِى الرَّحْمٰنِ عَبْدًا ﴿مريم: 93﴾

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba, (Q.S. Maryam: 93).

Ubudiyah yang dimaksud pada ayat tersebut diharuskan kepada para kekasih (wali) Allah, maka ubudiyah ini senada dengan firman Allâh yang terdapat pada Surat al-Furqan ayat 63-68, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Juz 1 halaman: 05).

al-Qusyairi berkata: taubat itu derajat dari derajatnya para salikin, dan maqâm pertama dari maqam thalibin. Abu Ya‘qub Yusuf bin Hamdan as-Susi berkata: taubat adalah maqâm pertama dari beberapa maqam untuk menuju kepada Allah SWT, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islami, halaman: 119).

As-Syaikh Abu Thalib RA. berkata: “Seorang salik tidak akan bisa menjadi wali Abdal, sampai dia mengganti makna sifat ketuhanan dengan sifat kehambaan, mengganti akhlak setan dengan sifat orang mukmin, mengganti watak hewan dengan sifat para ahli ruhani yaitu beberapa dzikir dan ilmu. Jika sudah demikian, maka dia akan menjadi wali Abdal yang mendekatkan diri, (Syarh al-Hikam, juz 1, halaman: 30).

قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ فَلاَ يَكُوْنُ الْمُرِيْدُ بَدَلاً حَتَّى يَبْدُلَ بِمَعَانِي صِفَاتِ الرُّبُوْبِيَّةِ صِفَاتِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَأَخْلاَقَ الشَّيَاطِيْنِ بِأَوْصَافِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَطَبَائِعَ الْبَهَائِمِ بِأَوْصَافِ الرُّوْحَانِيِّيْنَ مِنَ اْلأَذْكَارِ وَالْعُلُوْمِ فَعِنْدَهَا يَكُوْنُ بَدَلاً مُقَرِّبًا، (شرح الحكم، ج 1، ص: 30).

Sumber: Alif.ID

31. Zikir (1)

Zikir merupakan rukunnya tarekat dan menjadi kuncinya haqîqat dan juga menjadi pedangnya para murid (salik) dan benderanya kewalian. Allah SWT berfirman:

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. (الأحزاب: ٤١)

Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya, (Q.S. al-Ahzâb: 41).

فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ (النساء: 103)

Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring, (Q.S. an-Nisâ’: 103).

Nabi SAW bersabda kepada Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Krw.:

عَلَيْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ فِى الْخَلْوَةِ.

Berzikirlah selalu kepada Allah SWT dalam keadaan sendiri.

Jika seorang hamba hendak dijadikan sebagai kekasih-Nya, maka Allah SWT akan membukakan pintu zikir untuknya.

وَقاَلَ الشَّيْخُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخَرَازِ: إِذَا أَرَادَ اللهُ أَنْ يُوَالِيَ عَبْدًا مِنْ عَبِيْدِهِ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ ذِكْرِهِ فَإِذَا اسْتَلَذَّ الذِّكْرَ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ الْقُرْبِ ثُمَّ رَفَعَهُ إِلَى مَجَالِسِ اْلأُنْسِ ثُمَّ جَعَلَهُ عَلَى كُرْسِيِ التَّوْحِيْدِ ثُمَّ رَفَعَ عَنْهُ الْحِجَابَ وَأَدْخَلَهُ دَارَ الْفُرْدَانِيَّةِ وَكَشَفَ لَهُ حِجَابَ الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ وَإِذَا وَقَعَ بَصَرُهُ عَلَى الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ بَقَى بِلاَ هُوَ فَحِيْنَئِذٍ يَصِيْرُ الْعَبْدُ زَمَنًا فَانِيًا فَوَقَعَ فِيْ حِفْظِهِ وَبَرِئَ مِنْ دَعَاوِى نَفْسِهِ. (تنوير القلوب، ص 510)

Syaikh Abu Sa‘îd al-Kharâz menyatakan bahwa ketika Allah menginginkan seorang hamba untuk dijadikan kekasih-Nya, maka akan dibuka baginya pintu zikir. Dan ketika dia telah merasakan nikmat zikir, maka akan dibuka baginya kedekatan dengan Allah. Selanjutnya, dia akan diberi ketenteraman, dan dijadikan baginya ketauhidan yang kuat, dihilangkan pula darinya tabir-tabir Allah, dia dimasukkan dalam wilayah kesendirian (bersama Allah), dibuka baginya hijab keagungan Allah. Dan ketika mata batinnya telah sampai pada keagungan tersebut, maka dia menyatu dengan Allah. Ketika inilah, dia menjadi lumpuh dan hancur, dia berada dalam penjagaannya, dan terbebas dari segala bisikan nafsunya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 510).

Mengenai atsar zikir dijelaskan bahwa apa yang dirasakan oleh seseorang ketika berzikir;

وَتِلْكَ النَّتِيْجَةُ إِنَّمَا هِيَ الذَّهُوْلُ عَنْ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَالْخَوَاطِرِ الْكَوْنِيَّةِ وَاْلاِسْتِهْلاَكِ فِى الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ الذَّاتِيَّةِ فَيَظْهَرُ فِى الْقَلْبِ أَثَرُ تَصَرُّفَاتِ تِلْكَ الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ وَهُوَ تُوَجُّهُ الْقَلْبِ إِلَى الْحَقِّ اْلأَقْدَسِ بِالْمَحَبَّةِ الذَّاتِيَّةِ . وَاْلأَثَرُ مُتَفَاوِتٌ بِحَسَبِ اْلاِسْتِعْدَادِ وَهُوَ إِعْطَاءُ اللهِ تَعَالَى أَرْوَاحَ عِبَادِهِ قَبْلَ تَعَلُّقِ اْلأَرْوَاحِ بِاْلأَبْدَانِ ثُمَّ تَشَرَّفَهُ مَا شَاءَ مِنَ الْقُرْبِ الذَّاتِيّ اْلأَزَلِيّ، فَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ الْغَيْبَةُ أَيِ الذَّهُوْلُ عَمَّا سِوَى الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَقَطْ، وَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ السَّكَرُ أَيِ الْحَيْرَةُ وَالْغَيْبَةُ مَعًا وَبَعْدَ ذَلِكَ يَحْصُلُ لَهُ وُجُوْدُ الْعَدَمِ وَهُوَ فَنَاءُ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَبَعْدَهُ يَتَشَرَّفُ بِالْفَنَاءِ أَيِ اْلاِسْتِهْلاَكِ فِي الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ، وَإِنْ لَمْ تَظْهَرْ لَهُ النَّتِيْجَةُ عِنْدُ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الْقُصُوْرِ فِى الشُّرُوْطِ. (تنوير القلوب، 515)

Hasil dari natijah (berzikir dengan wuquf qalbi) adalah lupa dari wujud manusiawi dan semua bisikan alam, tenggelam dalam tarikan dzat ilahi. Jika sudah demikian, maka tampaklah bekas perubahan dari tarikan ilahi itu, yaitu menghadapnya hati pada dzat Yang Maha Benar lagi Maha Suci dengan rasa cinta kepada-Nya. Bekas (hasil) zikir itu berbeda-beda tergantung pemberian Allah, yaitu sebuah pemberian Allah pada ruh-ruh hamba-Nya, sebelum ruh-ruh itu dihubungkan dengan jasadnya, kemudian Allah memuliakannya dengan qurb (kedekatan) yang bersifat dzat yang azali. Di antara mereka (para Sâlik), pertama kali yang mereka capai adalah ketiadaan selain Allah, yaitu lupa dari selain Allah. Sebagian yang lain, yang pertama mereka capai adalah mabuk, bingung, dan ketiadaan selain Allah secara bersamaan, yang selanjutnya akan tercapai hilangnya wujud sifat kemanusiaan (fana’), lalu mereka mendapatkan kemuliaan fana’, yaitu leburnya diri dalam tarikan-tarikan ilahi. Jika seorang sâlik belum tampak baginya hasil-hasil tersebut, maka dia masih belum memenuhi syarat-syarat zikir (dengan benar), (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 515).

Berikut ini adalah penjelasan atsar zikir menurut pandangan beberapa ulama’;

  • al-Sukrîatsar zikir adalah suatu keadaan yang berada diantara maqâm mahabbah kepada Allah dan maqâm fana’, ketika seorang hamba sudah terbuka hatinya dengan sifat kesempurnaan maka seorang hamba akan berhasil dan sukses meraih derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah) seperti halnya kaRamahnya Imam Syibli: seandainya sirri-ku (h-ku) melihat ‘arsy-nya Allah dan kekuasaannya Allah, maka niscaya h-ku akan terbakar. Secara umum sesungguhnya bagi orang yang cinta kepada Allah setelah hangus terbakarnya semua satir (penghalang) maka dia akan masuk pada derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah).
  • Al-Syathh adalah gerakan-gerakan yang samar bagi orang yang sudah menemukan Allah ketika kuatnya penemuan kepada Allah, ibarat air yang banyak yang mengalir pada tempat yang sempit, maka air tersebut akan melober.
  • Zawal al-Hijab adalah hilang penghalang antara hamba dan tuhannya, sebagaimana komentar Abu Yazid al-Busthami: Allah mempunyai beberapa hamba ahli ibadah seandainya surga dan segala hiasannya di nampakkan kepadanya maka dia akan berteriak ketakutan dan lari dari surga seperti berteriak dan ketakutannya penduduk neraka dari neraka. Karena surga adalah penghalang baginya untuk bertemu kepada Allah.

Allah itu inti sari bagi ahli ibadah, jika mereka melihat Allah di surga terhalang satu jam olehnya maka mereka minta tolong untuk keluar dari surga seperti ahli neraka minta tolong untuk keluar dari neraka.

  • Gholabah al-Syuhûd adalah sebuah tempat yang tertinggi, yang tidak ada tempat setelahnya tempat tersebut, suatu masa setelahnya masa tersebut (yang tidak bisa di hitung dan tidak bisa direkayasa adanya), (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 246-257).

Selanjutnya adalah pembagian atau macam-macam zikir dalam pelaksanaannya. 1) Zikir dengan lisan yang memiliki pahala sepuluh kebaikan, 2) Zikir dengan hati memiliki tujuh ratus kebaikan, dan 3) Zikir yang pahalanya tidak dapat dihitung. Yakni, memenuhi hati dengan mahabah dan malu kepada Allah. Sahal bin Abdullah berkata: ”tidak semua orang orang yang mengaku itu memang berzikir”. Beliau ditanya tentang zikir lalu beliau menjawab zikir itu mewujudkan ilmu dengan menyakini bahwa Allah itu menyaksikanmu, maka kamu melihatnya dengan hatimu dan dekat darimu dan kamu malu kepadanya, kemudian berperangailah pada jiwa dan tingkah lakumu.

Sementara itu, ada dua cara untuk ber-zikir. 1) Dengan membaca tahlil, tasbih, dan membaca Alquran, 2) Menggerakkan hati sesuai dengan syarat-syarat mengesakan Allah SWT, Nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan menyebarkan kebaikan-Nya, melestarikan taqdir-Nya atas semua makhluk, maka zikirnya orang yang mengharap Rahmat itu atas janji Allah SWT dan zikirnya orang yang takut kepada Allah itu atas dasar ancaman Allah SWT. Dan zikirnya orang yang tawakkal itu atas dasar kecukupan rizki yang diberikan oleh Allah SWT, dan zikirnya orang yang mencintai Allah itu atas dasar diluaskan nikmat. Imam as-Syibli mengatakan bahwa hakikat zikir itu adalah lupanya orang yang ber-zikir yakni lupanya segala sesuatu selain Allah SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 200).

عَنْ أَبِي ذَرْ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَعِّدْنِيْ مِنَ النَّارِ، قَالَ: إِذَا عَمِلْتَ سَيِّـئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً عَلَى أَثْرِهَا فَإِنَّهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ. مِنَ الْحَسَنَاتِ لَآإِلٰهَ إِلَّاالله؟ قَالَ: مِنْ أَكْبَرِ الْـحَسَنَاتِ.

Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari dia berkata “Wahai Rasûlullah, tunjukkanlah padaku satu amal yang bisa mendekatkanku ke surga dan bisa menjauhkanku dari neraka”. Rasûlullah bersabda: “Ketika engkau melakukan amal jelek maka lakukan amal kebaikan setelah melakukan amal jelek karena amal kebaikan pahalanya 10 kali amal jelek”. Kemudian aku bertanya kepada Rasûlullah, “Wahai Rasûlullah apa kebaikan mengucap لاإله إلاالله ” Rasûlullah menjawab, “ucapan itu merupakan kebaikan yang paling besar”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ juz 2 halaman: 361).

Sumber: Alif.ID

32. Zikir (2)

Zikir sendiri terbagi menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat atau derajat, yaitu sebagai berikut:

وَالذِّكْرُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: ذِكْرُ الْعَامِّ وَهُوَ بِاللِّسَانِ وَقَلْبُهُ غَافِلٌ، وَذِكْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ بِاللِّسَانِ وَقَلْبُهُ حَاضِرٌ، وَذِكْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ بِالْقَلْبِ حَاضِرٌ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 78).

Tiga kategori tersebut adalah:

1) Zikirnya orang awam, yaitu dengan lisan, sedangkan hatinya lupa.

2) Zikirnya orang khash (khusus), yaitu dengan lisan sedangkan hatinya hadir,

3) Zikirnya orang akhash (paling khusus), yaitu dengan hati yang hadir (tanpa lisan), (Jami’ul Ushul fil Auliy’, halaman: 78).

Selain itu, dijelaskan pula empat pembagian zikir yang diterangkan di dalam kitab Nasy’atut Tasawuf;

  1. Zikir dengan lisan
  2. Zikir dengan qalbi
  3. Zikir dengan sirrî
  4. Zikir dengan h

Apabila “zikir ruh” sudah benar, maka “zikir sirri”, qalbi, dan lisan akan diam dari zikir. Inilah yang kemudian disebut dengan zikir musyahadah. Dan apabila “zikir sirri” sudah benar, maka hati dan lisan diam tidak berzikir dan hal ini disebut dengan zikir haibah dan apabila zikir qalbi sudah benar, maka lisan akan lamban untuk berdikir dan inilah yang disebut dengan zikir allai dan zikir na‘mai. Dan apabila hati lupa ber-zikir, maka yang zikir adalah lisannya dan hal ini disebut dengan zikir ibadah, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islami, halaman: 162).

Kemampuan hati dapat terasa dan semakin jernih tatkala secara ajeg dan rutin terus diajak untuk berzikir. Zikir tidak hanya menjadikan hati lebih jernih, zikir juga bisa menjadi obat penenang tatkala hati sedang gunda. Segala penyakit hati seperti hasud, sombong, buruk sangka, dan berbagai penyakit hati lainnya dapat sembuh dengan zikir.

قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: ذِكْرُ اللهِ شِفَآءُ الْقُلُوْبِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 164)

Nabi SAW bersabda: Berzikir kepada Allah SWT adalah pengobat hati, (Jami’ul Ushul fi al-Auliya’, halaman: 163).

Disamping zikir menjadikan hati tenang, zikir juga menjadikan hidup seseorang menjadi lebih mudah. Sebagaimana hal ini sering kita jumpai pada orang-orang khash, hidup mereka lebih tentram dan tenang, hidup mereka sederhana namun tercukupi.

وَقَالَ: «مَجَالِسُ الذِّكْرِ تَنْزِلُ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَتَحُفُّ بِهِمْ الْمَلآئِكَةُ وَتَغْشَاهُمْ الرَّحْمَةُ وَيَذْكُرُ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ»….وَقَالَ: «وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا»، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 165).

Rasulullah SAW bersabda: “Majelis zikir diturunkan kepada mereka ketenangan, para malaikat mengitari mereka, mereka diliputi Rahmat, dan Allah SWT pun berzikir di Arsy-Nya”….. Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari zikir kepada-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit”, (Jami’ul Ushul fi al-Auliya’, halaman: 165).

وقال: لَمْ أَجِدْ السُّرُوْرَ إِلَّا فِى ثَلَاثِ خِصَالٍ: التَنَعُّمُ بِذِكْرِ اللهِ، وَاليَأْسُ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَالطُّمَأْنِيْنَةُ قَبْلَ أَنْ تَتَرَكَّهُ.

Yahya bin Muadz berkata, “aku tidak menemukan kebahagiaan kecuali tiga hal. (a) menemukan kenikmatan dalam berzikir. (b) putus asa dari manusia. (c) merasa tenang dengan zikir yang dijanjikan Allah”, (Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, juz 8, halaman: 129).

Salah satu keuntungan yang didapat dari majelis zikir adalah adanya jaminan keselamatan akhirat bagi siapapun yang turut serta dalam majelis itu. Baik yang ahli ibadah, maupun yang tidak, Allah SWT akan memenuhi permintaan dan memberikan ampunan bagi setiap orang yang turut serta dalam majelis zikir tersebut.

وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ لِلهِ مَلاَئِكَةً سَيَّارَةً فُضْلًا يَتَّبِعُوْنَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوْا مَجْلِسًا فِيْهِ ذِكْرٌ قَعَدُوْا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَؤُوْا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ فَيَسْأَلُهُمْ اللهُ  عَزَّ وَجَلَّ – وَهُوَ أَعْلَمُ – : مِنْ أيْنَ جِئْتُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي اْلأَرْضِ، يُسَبِّحُوْنَكَ ويُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ وَيَحْمَدُوْنَكَ وَيَسْألُوْنَكَ. قَالَ: وَمَاذَا يَسْألُوْنِيْ؟ قَالُوْا: يَسْألُونَكَ جَنَّتَكَ. قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِيْ؟ قَالُوْا: لَا، أَيْ رَبِّ. قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِيْ؟ قَالُوْا: ويَسْتَجِيْرُوْنَكَ. قَالَ: وَمِمَّ يَسْتَجِيْرُوْنِيْ؟ قَالُوْا: مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ. قَالَ: وَهَلْ رَأَوْا نَارِيْ؟ قَالُوْا: لَا، قَالَ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِيْ؟ قَالُوْا: وَيَسْتَغفِرُوْنَكَ؟ فَيَقُوْلُ: قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ، وَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوْا، وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوْا. قَالَ: فَيَقُوْلُوْنَ: رَبِّ فِيْهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ. فَيَقُوْلُ: وَلَهُ غَفَرْتُ، هُمُ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ. (رياض الصالحين، ص 548)

Di dalam riwayat Muslim dikatakan, dari Abu Hurairah RA., dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Sungguh Allah mempunyai malaikat-malaikat yang mulia yang selalu berjalan-jalan mencari majelis zikir, apabila mereka mendapatkan suatu majelis yang dipergunakan untuk berzikir, maka mereka duduk di situ dan masing-masing malaikat membentangkan sayapnya, sehingga memenuhi ruangan yang berada di antara ahli zikir dan langit dunia. Apabila ahli zikir itu telah kembali ke rumah masing-masing, maka para malaikat itu naik ke langit, dan kemudian ditanya oleh Allah ‘azza wa jalla padahal Allah telah mengetahui: “Dari mana kalian datang?” Para malaikat menjawab: “Kami baru saja mendatangi hamba-Mu di bumi yang membaca tasbih, takbir, tahlil, tahmid dan memohon kepada-Mu.” Allah bertanya: “Apakah yang mereka minta?” Malaikat menjawab: “Mereka minta surga.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Allah bertanya: “Bagaimana jika mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat menjawab: “Mereka juga mohon diselamatkan.” Allah bertanya: “Mereka mohon diselamatkan dari apa?” Para malaikat menjawab: “Dari neraka-Mu.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum pernah.” Allah bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?” Para malaikat menjawab: “Mereka juga memohon ampun kepada-Mu.” Allah berfirman: “Aku telah mengampuni mereka, maka Aku akan memenuhi permohonan mereka dan akan menjauhkan mereka dari apa yang mereka mohon untuk diselamatkan.” Para malaikat berkata: “Wahai Tuhan, di dalam majelis itu ada si Fulan, seorang hamba yang banyak berdosa, ia hanya lewat kemudian ikut duduk bersama mereka.” Allah berfirman: “Kepada Fulan pun Aku mengampuninya. Mereka semua adalah termasuk ahli zikir, yang tidak seorang pun yang duduk di situ akan mendapatkan celaka”, (Riyadhus-Shalihin, halaman: 548).

يَرْجُوْ النَّجَاةَ وَلَمْ يَسْلُكْ مَسَالِكَهَا v إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَاتَجْرِى عَلَى الْيَبِسِ

Seseorang berharap keselamatan namun tidak mau berjalan di jalan keselamatan. Sungguh, perahu tidak berjalan di atas daratan (Tanwir al-Qulub, halaman: 443).

Berikut ini adalah Hadis yang menjelaskan etika berzikir dengan menggunakan tasbih;

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِى عَمْرٌو أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ أَبِى هِلَالٍ حَدَّثَهُ عَنْ خُزَيْمَةَ، عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيْهَا: أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ: أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا اَوْ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الْأَرْضِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ مِثْلَ ذٰلِكَ، (سنن أبى داود، ج 1، ص: 348).

Ahmad bin Shalih menceritakan kepadaku, Abdullah bin Wahbin menceritakan kepadaku, Amr mengabariku bahwa Sa’id bin Abi Hilal menceritakan kepadanya dari Khuzaimah, dari ‘Aisyah binti Sa’ad bin abi Waqash dari bapaknya ‘Aisyah: Sesungguhnya dia (ayahnya) bersama Rasûlullâh telah mendatangi seorang perempuan dan kedua tanganya terdapat biji kurma dan batu kecil (kerikil) untuk membaca tasbih, Nabi bersabda: “Aku mangabarimu dengan sesuatu yang lebih mudah (daripada biji kurma atau batu kecil) dan yang lebih utama? Nabi bersabda:

سُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الْأَرْضِ، وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وسُبْحَانَ اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَالْحَمْدُ لِلهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَلَآ اِلَهَ إِلَّا اللهُ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ

Sumber: Alif.ID

33. Nafsu

Nafsu adalah unsur rohani manusia yang memiliki pengaruh paling banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan perintah kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan. Dalam diri manusia, terdapat tujuh macam nafsu yang perlu untuk diketahui sifat dan karakternya. Karena dengan mengetahui sifat-sifat dan karakter tersebut, hal ini memungkinkan bagi kita untuk bisa sampai kepada Allah SWT

وَلَهُمَا عَقَبَاتٌ سَبْعَةٌ لاَ يَصِلُ أَحَدٌ إِلَى هَذِهِ الْمَقَامَاتِ إِلاَّ بِقَطْعِهَا وَهِيَ الصِّفَاتُ السَّبْعَةُ لِلنَّفْسِ وَهِيَ اْلأَمَّارَةُ وَاللَّوَّامَةُ وَالْمُلْهِمَةُ وَالْمُطْمَئِنَّةُ وَالرَّاضِيَةُ وَالْمَرْضِيَّةُ وَالْكَامِلَةُ. وَقَطْعُ عَقَبَاتِهَا بِالْأَذْكَارِ السَّبْعَةِ: [الأول] «لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ» مِائَةُ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ اْلأَمَّارَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِأَنَّهَا تَأْمُرُ صَاحِبَهَا بِالسُّوْءِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَزْرَقُ. [الثاني] «الله» مِائَةُ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِأَنَّهَا تَلُوْمُ صَاحِبَهَا بَعْدَ وُقُوْعِ الْمَعْصِيَّةِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَصْفَرُ. [الثالث] «هُوَ» تِسْعُوْنَ أَلْفًا، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمُلْهِمَةِ. سُمِيَتْ بِهِ لِأَنَّهَا تُلْهِمُ صَاحِبَهَا فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَحْمَرُ. [الرابع] «حَيٌّ» سَبْعُوْنَ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ. سُمِيَتْ بِهِ لِأَنَّهَا اِطْمَئَنَّتْ وَسَكَنَتْ مِنْ اِضْطِرَابِهَا وَسَلِمَتْ لِلْأَقْدَارِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَبْيَضُ. [الخامس] «قَيُّوْمٌ» تِسْعُوْنَ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الرَّاضِيَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا رَضِيَتْ مِنَ اللهِ بِكُلِّ حَالٍ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَخْضَرُ. [السادس] «رَحْمَنٌ» خَمْسَةٌ وَتِسْعُوْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمَرْضِيَّةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا صَارَتْ مَرْضِيَّةً عِنْدَ الْحَقِّ وَالْخَلْقِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَسْوَدُ. [السابع] «رَحِيْمٌ» مِائَةُ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْكَامِلَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا كَمُلَتْ أَوْصَافُهَا وَصَارَتْ رَحِيْمَةً لِجَمِيْعِ الْخَلْقِ، فَتُحِبُّ لِلْكَافِرِ اْلإِيْمَانَ وَلِلْعَاصِي التَّوْبَةَ مِنَ الْعِصْيَانِ وَلِلطَّائِعِ الثَّبَاتَ عَلَى طَاعَةِ الرَّحْمَنِ، وَلَيْسَ لَهَا نُوْرٌ مَخْصُوْصٌ، فَنُوْرُهَا يَتَمَوَّجُ بَيْنَ هَذِهِ اْلأَنْوَارِ السِّتِّ وَعَالَمُهَا الْخَيْرَاتُ وَمَحَلُّهَا الْخَفَاءُ، لِأَنَّهَا رَجَعَتْ بِحَسَبِهِ إِلَى حَالِ الْعَوَامِ. وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّهَا أَمَرَتْ بِالرُّجُوْعِ إِلَى الْخَلْقِ لِأَجْلِ تَكْمِيْلِهِمْ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 175).

Penjelasan tujuh macam nafsu beserta karakteristiknya adalah sebagai berikut:

  1. Nafsu Ammârah, yaitu nafsu yang cenderung mendorong kepada keburukan.
  2. Nafsu Lawwâmah, yaitu nafsu yang telah mempunyai Rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaRAn.
  3. Nafsu Mulhimah, yaitu nafsu yang memberikan dorongan untuk berbuat kebaikan.
  4. Nafsu Mutmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan pemelihaRAan yang baik. Ia mendatangkan ketenteRAman jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, mampu membentengi seRAngan kekejian dan kejahatan.
  5. Nafsu Râdhiyah, yaitu nafsu yang ridha kepada Allah SWT, yang mempunyai peRAn yang penting dalam mewujudkan kesejahteRAan.
  6. Nafsu Mardhiyah, yaitu nafsu yang mencapai ridha Allah SWT Keridhaan tersebut terlihat pada anugeRAh yang diberikan Allah SWT berupa senantiasa berzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan.
  7. Nafsu Kâmilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap cakap untuk mengerjakan irsyad (petunjuk) dan menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 175).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tabiat nafsu;

وَأَمَّا أَخْلَاقُ النَّفْسِ، فَمِنْهَا: اَلْكِبْرُ، وَالْعُجْبُ، وَالْفَخْرُ، وَالْـخَيْلَاءُ، وَالْغِلُّ، وَالْغَشُّ، وَالْبُغْضُ، وَالْـحِرْصُ، وَالْأَمَلُ، وَالْـحِقْدُ، وَالْـحَسَدُ، وَالضَّجْرُ، وَالْـجَزْعُ، وَالْهَلْعُ، وَالطَّمَعُ، وَالْـجَمْعُ، وَالْمَنْعُ، وَالْـجُبْنُ، وَالْـجَهْلُ، وَالْكَسَلُ، وَالْبَذَاءُ، والجَفَا، واتِّباعُ الهَوَى والإِزْدِرَاءُ، والإِسْتِهْزَاءُ، والتَّمَنِّي، والتَّرَفُّعُ، وَالْـحِدَّةُ، والسَّفَهُ، والطَّيْشُ، وَالْمُرَاءُ، وَالتَّحَكُّمُ، وَالظُّلْمُ، وَالْعَدَاوَةُ، وَالْمُنَازَعَةُ، وَالْمُعَانِدَةُ، وَالْمُخَالَفَةُ، وَالْمُغَالَبَةُ، وَالْمُزَاحِمَةُ وَالْغِيْبَةُ، وَالْبُهْتَانُ، وَالْكَذْبُ, وَالنَّمِيْمَةُ، وَالتَّهْوِيْسُ، وَسُوْءُالظَّنُّ، وَالْمُهَاجِرَةُ، والَّلؤُمُ، والوِقَاحَةُ، والغُدْرُ، والخِيَانَةُ، والفُجُوْرُ، والشِّمَاتَةُ، إلى غير ذلِكَ مِمَّا يُكْثِرُ تِعْدَادُهُ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 255).

Di antara tabiat nafsu adalah; takabbur (sombong amal), ‘ujub (sombong fisik), angkuh, kesombongan, pendendam, licik, pembenci, serakah, berangan-angan, iri hati, hasud, keluh kesah, gelisah, tama’, menimbun harta, mencegah/melarang, penakut, bodoh, malas, keji, kerasnya hati, menuruti hawa nafsu, menghina, mencemooh, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, congkak, pemarah, boros, gegabah, berpura-pura/munafiq, sewenang-wenang, penindas, permusuhan, pertentangan, durhaka, pembangkang, pertikaian, persaingan, menggunjing, pembohong, pendusta, adu domba, pemikir, prasangka yang buruk, lari dari kenyataan, suka mencela, suka dengan kekerasan, banyak alasan, suka berkhianat, suka berbuat mesum, gembira atas bencana orang lain, dan lain sebagainya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 255).

Salah satu pengaruh terbesar nafsu adalah terhadap akal dan syahwat. Salah satu tanda adanya syahwat, yaitu berdirinya dzakar (baca: ereksi). Jika dzakar sudah berdiri, maka dua pertiga akal manusia menjadi hilang. Jika dua pertiga akal telah sirna, maka berpikir pun menjadi sulit karena dua pertiga bagian dari akal sehat telah dikuasai nafsu.

فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. قَالَ هُوَ قِيَامُ الذَّكَرِ. وَقَدْ أَسْنَدَهُ بَعْضُ الرُّوَاةِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ فِيْ تَفْسِيْرِهِ: الذَّكَرُ إِذَا دَخَلَ. وَقَدْ قِيْلَ إِذَا قَامَ ذَكَرُ الرَّجُلِ ذَهَبَ ثُلُثَا عَقْلِهِ حديث ابن عباس، (إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 96).

Dalam firman Allah SWT: “Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”. Sebagian mufassir mengatakan yang dimaksud adalah berdirinya dzakar. Sebagian mereka menyandarkan kepada beliau dalam tafsirnya, namun dengan redaksi: “Dzakar (alat vital laki-laki) jika sudah masuk (ke dalam alat vital perempuan)” – dikatakan juga – “jika dzakar telah berdiri (ereksi), maka hilanglah dua pertiga akalnya”. Hadis riwayat Ibn Abbas, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 96).

Seringkali kita tertipu dengan halusnya bujuk rayu nafsu yang menunggangi diri dalam melaksanakan ibadah. Bersedekah dengan jumlah uang yang banyak karena rasa gengsi dan riya’ agar orang memandang kita sebagai orang yang dermawan, merupakan perbuatan ibadah yang tercampur dengan kepentingan duniawi.

Orang yang beribadah dengan tujuan untuk mencari kehormatan dan kebahagiaan dunia, maka bukan surga yang akan didapatkannya, melainkan neraka menjadi tempat kembalinya. Jangankan surga, aromanya saja tidak akan tercium olehnya.

رِيْحُ الْجَنَّةِ يُوْجَدُ مِنْ مُسِيْرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَلاَ يَجِدُهَا مَنْ طَلَبَ الدُنْيَا بِعَمَلِ اْلآخِرَةِ، (فيض القدير، ج 4، ص: 54).

Rasulullah SAW bersabda: “Aroma surga dapat tercium dari jarak perjalanan 500 tahun, namun aroma itu takkan dapat dicium oleh seseorang yang mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat”, (Faydh al-Qadîr, juz 4, halaman: 54).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tanda-tanda orang yang mengikuti hawa nafsunya;

(مِنْ عَلاَمَاتِ اِتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ) هَذِهِ مِنَ الصُّوَرِ الَّتِيْ يَتَبَيَّنُ بِهَا خِفَّةُ الْبَاطِلِ وَثِقَلُ الْحَقِّ عَلَى النَّفْسِ وَمَا ذَكَرَهُ هُوَ حَالُ أَكْثَرِ النَّاسِ فَتَرَى الْوَاحِدَ مِنْهُمْ إِذَا عَقَدَ التَّوْبَةَ لاَ هِمَّةَ لَهُ إِلاَّ فِيْ نَوَافِلِ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ وَتِكْرَارِ الْمَشْيِ إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ النَّوَافِلِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرُ مُتَدَارِكٍ لِمَا فَرَّطَ فِيْهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَلاَ مُتَحَلِّلٍ لِمَا لَزِمَ ذِمَّتُهُ مِنَ الظُّلاَمَاتِ وَالتَّبِعَاتِ وَمَا ذَاكَ إِلاَّ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَشْتَغِلُوْا بِرِيَاضَةِ نُفُوْسِهِمْ الَّتِيْ خَدَعَتْهُمْ وَلَمْ يَحْظُوْا بِمُجَاهَدَةِ أَهْوَائِهِمْ الَّتِيْ اِسْتَرَفَتْهُمْ وَمَلَكَتْهُمْ لَوْ أَخَذُوْا فِيْ ذَلِكَ لَكَانَ لَهُمْ فِيْهِ أَعْظَمُ شُغْلٍ وَلَمْ يَجِدُوْا فُسْحَةً لِشَيْءٍ مِنَ الطَّاعَاتِ وَالنَّفْلِ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مَنْ كَانَتْ الْفَضَائِلُ أَهَمُّ إِلَيْهِ مِنْ أَدَاءِ الْفَرَائِضِ فَهُوَ مَخْدُوْعٌ . وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِيْ الْوَرَدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَلاَكُ النَّاسِ فِيْ حِرْفَتَيْنِ اِشْتِغَالٌ بِنَافِلَةٍ وَتَضْيِيْعُ فَرِيْضَةٍ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ بِلاَ مُوَاطَأَةِ الْقَلْبِ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا حَرَمُوْا الْوُصُوْلَ بِتَضْيِيْعِهِمْ اْلأُصُوْلَ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 30).

Diantara tanda-tanda orang yang mengikuti hawa nafsunya adalah bersegera untuk melaksanakan kesunnahan dan malas untuk melaksanakan yang wajib. Ini adalah sebuah gambaran yang bisa menjelaskan ringannya kebatilan dan beratnya kebenaran bagi nafsu. Apa yang telah disebutkan oleh pengarang adalah keadaan kebanyakan orang. Anda menyaksikan seseorang yang telah niat bertaubat dan dia tidak memiliki keinginan yang kuat kecuali untuk melaksanakan puasa dan sholat sunnah, berkali-kali pergi ke Baitullah, dan berbagai kesunnahan lainnya. Dengan tidak adanya niat yang kuat itulah, dia tidak dapat menggapai yang wajib karena kecerobohannya, dan dia tidak dapat melepaskan tanggungan aniaya atas dirinya sendiri dan orang lain. Semua itu ada tidak lain karena mereka masih belum mau melatih nafsu yang telah memperdayai diri mereka, tidak pula mereka mau memerangi hawa nafsu yang telah menguasai diri mereka. Seandainya mereka melatih dan memerangi hawa nafsu, maka mereka akan mengalami kesibukan yang dahsyat, dan tidak akan menemukan kelonggaRAn dalam ketaatan dan kesunnahan.  Sebagian orang ‘alim berkata: “Barangsiapa yang lebih mementingkan fadhilah-fadhilah kesunnahan daripada melaksanakan kewajiban, maka dia adalah orang yang tertipu”. Muhammad ibn Abi al-Warad RA. berkata: “Kerusakan manusia terletak dalam dua pekerjaan; (pertama) sibuk dengan kesunnahan dan menyia-nyiakan kewajiban, (kedua) beribadah dengan anggota badan namun hati tidak turut serta di dalamnya, mereka akan terhalang untuk bisa wushûl karena mereka menyia-nyiakan yang inti”, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 30).

Untuk menundukkan nafsu, kita perlu memahami dan mengerti karakteristik dan sifat-sifat nafsu itu sendiri, serta bagaimana cara-cara nafsu untuk membujuk diri kita agar terjerumus dalam perbuatan yang negatif. Jadi, kata kunci untuk menundukkan nafsu adalah ilmu. Tanpa ilmu, kita tidak bisa apa-apa, tanpa ilmu kebutuhan dunia dan akhirat sulit untuk bisa dicapai. Yang terpenting adalah kita harus selalu berpegang teguh pada Alquran dan Hadis. Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’ disebutkan:

وَقَالَ: مَوْتُ النَّفْسِ بِالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ وَاْلاِقْتِدَاءِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 43).

Abu Hasan al-Syadzili berkata: “Matinya nafsu itu dengan ilmu dan ma’rifat, serta mengikuti Alquran dan sunnah RAsûl”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 43).

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَايَدْخُلُ عَلَى اللهِ حَتَّى يَمُوْتَ اَرْبَعُ مَوْتَاتٍ: الْمَوْتُ الْأَحْمَرَ، وَهُوَ: مُخَالَفَةُ النَّفْسِ، وَالْمَوْتُ الْأَسْوَدُ، وَهُوَ: اِحْتِمَالُ الْأَذَى مِنَ الْخَلْقِ، وَالْمَوْتُ الْأَبْيَضُ وَهُوَ: الْجُوْعُ، وَالْمَوْتُ الْأَحْضَرُ، وَهُوَ: لُبْسُ الْمُرْقِعَاتِ

Sebagian ‘Ulama’ berpendapat: seseorang tidak akan dapat masuk dalam  keagungan Allah, kecuali ia mengalami empat kematian: Mati merah (Mautul Ahmar), yaitu melawan nafsu. Mati hitam (Mautul Aswâd), yaitu memaafkan atau menerima segala bentuk penindasan orang lain. Mati putih (Mautul Abyadh), yaitu lapar dan mati hijau (Mautul Akhdhar), yaitu menambal amal jelek dengan amal kebaikan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 256).

Berikut ini penjelasan mengenai sumpah iblis untuk menggoda manusia;

وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ قَالَ إِبْلِيْسُ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أَغْوِيْ بَنِيْ آدَمَ مَا دَامَت ِالْأَرْوَاحُ فِيْهِمْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُوْنِي، (شرح الحكم، ج 2، ص: 60).

Abu Sa’id al-Khudri RA. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Iblis berkata kepada Allah ‘Azza wa Jalla: “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, tak henti-hentinya aku kan menggoda manusia, selama nyawa masih ada dalam diri mereka”. Allah SWT berfirman kepada setan: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku pun tak henti-hentinya mengampuni mereka selama mereka masih memohon ampun kepada-Ku”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 60).

Sumber: Alif.ID

34. Sebaik-baik Ulama

قال النبى: حُكَمَاءُ عُلَمَاءُ كَادُوْا مِنْ صِدْقِهِمْ أَنْ يَكُوْنُوْا أَنْبِيَاءَ، (حلية الأولياء، جز 7، ص: 418).

Rasulullah SAW bersabda. “Hampir-hampir kesungguhan ulama ahli hikmah itu menjadi seperti para nabi”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 7 halaman: 418).

حدثنا عبد الله بن محمد بن جعفر، حدثنا زكريا الساجي فيما قرئ عليه فأقربه، حدثنا سهل بن بحر، حدثنا محمد بن إسحاق السليمي، حدثنا المبارك عن سفيان الثوري عن أبى الزناد أبى حازم عن أبى هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ((خِيَارُ أُمَّتِي عُلَمَاؤُهَا، وَخِيَارُكُمْ عُلَمَاؤُهَا رُحَمَاؤُهَا، أَلَا وَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ لِلْعَالِمِ أَرْبَعِيْنَ ذَنْبًا قَبْلَ أَنْ يَغْفِرَ لِلْجَاهِلِ ذَنْبًا وَاحِدًا، أَلَا وَإِنَّ الْعَالِمَ الرَّحِيْمَ يَجِئُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّ نُوْرَهُ قَدْ أَضَاءَ، يَمْشِيْ فِيْهِ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ كَمَا يَضِئُ الْكَوْكَبُ الدُّرِّيُّ))، (حلية الأولياء، جز 6، ص: 425)

Sebaik-baiknya umatku adalah ulama, sebaik-baik ulama adalah yang memiliki belas kasihan terhadap umat, ketahuilah bahwa Allah mengampuni 40 dosa orang alim lebih dahulu sebelum Allah mengampuni satu dosa orang bodoh. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang alim yang penuh kasih sayang datang pada hari kiyamat dan cahayanya menerangi jalan-jalan yang dilaluinya, dia berjalan diantara arah timur dan barat seperti bintang-bintang yang bersinar, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6, halaman: 425).

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنُ أَحْمَدَ-إِمْلَاءٌ-حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنُ حَنْبَلٍ،حَدَثَنِيْ أَبِيْ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيْ يَقُوْلُ: الْأَعْمَالُ السَّيِّئَةُ دَاءٌ، وَالْعُلَمَاءُ دَوَاءٌ، فَإِذَا فَسَدَ الْعُلَمَاءُ فَمَنْ يَشْفَى الدَّاءَ، (حلية الأولياء، جز 5، ص: 288).

Amal yang jelek merupakan penyakit, ulama adalah obat, ketika para ulama’ rusak maka siapa yang bisa mengobati?

حَدَّثَنَا سليمان بن أحمد، ثنا محمد بن عبد الله الحضرمي، ثنا أحمد بن راشد البجلي، ثنا يحيى ابن يمان، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِي يَقُوْلُ: الْعَالِمُ طَبِيْبُ الدِّيْنِ، وَالدَّرَاهِمُ دَاءُ الدَّيْنِ، فَإِذَاجَذَبَ الطَّبِيْبُ الدَّاءَ إِلَى نَفْسِهِ، فَمَتَى يُدَاوِي غَيْرَهُ، (حلية الأولياء، جز 5، ص: 288).

Orang alim merupakan dokter agama, dirham adalah penyakitnya, ketika seorang dokter terkena penyakit, maka kapankah dia bisa mengobati orang lain?, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’,  juz 5, halaman: 288).

Tiga Golongan Manusia

قال المُرْسِيْ رضي الله تعالى: النَّاسُ ثَلَاثَةٌ: قَوْمٌ هُمْ بِشُهُوْدِ مَا مِنْهُمْ إِلَى اللهِ وَهُمُ الْعِبَادُ وَالْعَامَّةُ، وَقَوْمٌ هُمْ بِشُهُوْدِ مَأْمُنِ اللهِ إِلَيْهِمْ وَهُمْ الْخَاصَّةُ، وَقَوْمٌ هُمْ بِشُهُوْدِ مَا مِنَ اللهِ إِلَى اللهِ، (جواهر المعانى وبلوغ الأمانى، ص: 446-447)

Imam al-Mursi menggolongkan manusia menjadi tiga golongan;

  1. Golongan yang bisa melihat Allah melalui segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah
  2. Golongan yang melihat sesuatu yang diamanahkan Allah yang disandarkan kepada makhluknya yaitu orang yang khusus
  3. Golongan yang melihat sesuatu dari Allah dan disandarkan kepada Allah, (Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, halaman: 446).

Manusia Terbagi Menjadi Empat Golongan Yang Mengikuti Nabi

وَالنَّاسُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَصْنَافٍ فِى إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، الصِّنْفُ الْأَوَّلُ: الْعُلَمَاءُ إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَقْوَالِهِ، الصِّنْفُ الثَّانِى: الْعُبَّادُ إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَفْعَالِهِ، الصِّنْفُ الثَّالِثُ: الصُّوْفِيَّةُ إِقْتَدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فىِ أَخْلَاقِهِ، الصِّنْفُ الرَّابِعُ: الْعَارِفُوْنَ الْمُحَقِّقُوْنَ اِقْتِدَأُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَحْوَالِهِ، (جواهر المعانى وبلوغ الأمانى، ص:447)

  1. Para ulama yang mengikuti jejak nabi dalam segi perkataan Nabi
  2. Orang-orang yang ahli ibadah yang mengikuti jejak Nabi dari segi pekerjaan Nabi
  3. Seorang sufi yang mengikuti jejak Nabi dari segi akhlak Nabi
  4. Orang-orang yang ma’rifat billah yang mengikuti jejak Nabi dari segi haliyah Nabi, (Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, halaman: 447).

Kewajiban Amar Ma‘ruf

Menyuruh pada kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah dari kemunkaran (nahi munkar) adalah sebuah kewajiban bersama. Kewajiban ini tidak harus menunggu apakah kita sudah melaksanakan perbuatan ma’ruf tersebut, atau kita telah meninggalkan perbuatan munkar tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadis berikut:

رَوَى أَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مُرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَإِنْ لَمْ تَعْمَلُوْا بِهِ وَانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ لَمْ تَنْتَهُوْا عَنْهُ، (تنبيه الغافلين، ص: 32).

Abu Hurairah RA. meriwayatkan Hadis dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Memerintahlah kalian kepada kebajikan, meskipun kalian belum melaksanakannya. Dan laranglah kalian dari perbuatan munkar, meskipun kalian belum meninggalkannya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 32).

Namun, kewajiban untuk melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar tersebut memiliki batasan-batasan tersendiri, sesuai dengan kadar keimanan dan kemampuan yang dimiliki.

  1. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan kekuasaan, yaitu untuk pemerintah/aparat yang berwajib (penegak hukum).
  2. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan lisan, yaitu untuk para ulama (ilmuwan).
  3. Amar ma‘ruf nahi munkar dengan hati, yaitu untuk orang awam.

وَرَوَى أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ يَعْنِي أَضْعَفُ فِعْلِ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ قَالَ بَعْضُهُمْ التَّغْيِيْرُ بِالْيَدِ لِلأُمَرَاءِ وَبِاللِّسَانِ لِلْعُلَمَاءِ وَبِالْقَلْبِ لِلْعَامَّةِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ كُلُّ مَنْ قَدَرَ عَلَى ذَلِكَ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُغَيِّرَهُ، (تنبيه الغافلين، ص: 33. تنوير القلوب، ص: 8).

Abu Sa’id al-Khudri RA. meriwayatkan Hadis dari Nabî SAW, beliau bersabda: “Jika seseorang di antara kalian ada yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya (kekuasaannya). Namun, jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya. Namun, jika tidak mampu, maka dengan hatinya (do’a). Dan yang demikian itu adalah iman yang paling lemah”. Maksudnya adalah hal tersebut adalah perbuatan yang paling lemah dari orang-orang yang memiliki keimanan. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan merubah dengan tangan adalah untuk pemerintah/aparat yang berwajib (penegak hukum), merubah dengan lisan adalah bagi ulama (ilmuan), dan merubah dengan hati adalah bagi orang awam. Dan sebagian ulama lainnya juga menyatakan bahwa tiap orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemunkaran tersebut, maka hal itu adalah wajib baginya untuk merubahnya. (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 33).

Dunia Menjadi Pelayan bagi Orang yang Melayani Agama Allah

Dunia ini, jika semakin kita terus membenamkan diri didalamnya, maka semakin dalam kita terjerumus dalam kepalsuannya. Sebaliknya, jika kita menggunakan dunia ini sebatas kebutuhan kita untuk mengabdikan dan menyembahkan diri kepada Allah SWT, maka dunia ini yang akan mencari dan mengabdi kepada kita. Betapa banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada Allah SWT, hidup mereka tentram, serba kecukupan. Dunia menjadi pelayan mereka, bukan mereka yang menjadi pelayan dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT kepada dunia ketika menciptakannya: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku, maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdiannya”.

فَمَنْ أَرَدَ اللهُ أَنْ يَتَّخِذَهُ وَلِيًّا كَرِهَ اِلَيْهِ الدُّنْيَا وَوَفَقَهُ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَسَهَّلَهَا عَلَيْهِ كَمَا وَقَعَ لِبَعْضِهِمْ فَإِنَّهُ خَرَجَ يَتَصَيَّدُ فِى بَرِيَةٍ وَإِذَا شَابٌ رَاكِبٌ أَسَدًا وَحَوْلَهُ سِبَاعٌ فَلَمَّا رَأَتْهُ اِبتَدَرَتْ نَحْوَهُ فَزَجَرَهَا الشَّابُ ثُمَّ قَالَ: مَا هَذِهِ الْغَفْلَةُ؟ اِشْتَغَلْتَ بِهَوَاكَ عَنْ أُخْرَاكَ وَبِلَذَّتِكَ عَنْ خِدْمَةِ مَوْلَاكَ، أَعْطَاكَ الدُّنْيَا لِتَسْتَعِيْنَ بِهَا عَلَى خِدْمَتِهِ فَجَعَلْتَهَا ذَرِيْعَةً لِلْاِشْتِغَالِ عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَتْ عَجُوْزٌ بِيَدِهَا شُرْبَةُ مَاءٍ فَشَرِبَ وَنَاوَلَهُ فَسَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ: هِىَ الدُّنْيَا وُكِّلَتْ بِخِدْمَتِيْ. أَمَّا بَلَغَكَ أَنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَهَا قَالَ: مَنْ خَدَمَنِيْ فَاخْدِمِيْهِ وَمَنْ خَدَمَكَ فَاسْتَخْدِمِيْهِ. فَخَرَجَ عَنْ الدُّنْيَا وَسَلَكَ الطَّرِيْقَ وَصَارَ الْأَبْدَالَ، (تنوير القلوب، ص: 448).

Apabila Allah SWT menghendaki seorang hamba untuk dijadikan kekasihnya, maka Allah SWT akan menjauhkan dunia darinya, dan Allah SWT memberikan pertolongan serta kemudahan baginya untuk melakukan amal-amal yang baik. Sebagaimana terjadi pada seorang kekasih Allah SWT Yaitu ketika dia keluar untuk berburu, tiba-tiba dia bertemu dengan seorang pemuda yang menunggangi harimau yang dikelilingi oleh binatang buas. Ketika hewan-hewan buas itu melihatnya dan hendak menerkamnya, maka pemuda tersebut mencegahnya. Lalu pemuda itu berkata: Apakah ini tergolong lupa? Kamu sibukkan dirimu untuk menuruti hawa nafsu, kesenangan dunia dan meninggalkan akhirat serta meninggalkan pengabdian kepada sang pencipta. Allah SWT memberimu dunia untuk membantumu dalam mengabdi kepada-Nya. Akan tetapi, engkau jadikan dunia ini sebagai perantara yang menyibukkan dirimu jauh dari-Nya. Kemudian keluarlah seorang perempuan tua yang membawa air, pemuda itupun meminumnya. Laki-laki itu bertanya kepada pemuda tentang perempuan itu, lalu pemuda itu berkata: “Dia adalah dunia yang dipasrahkan kepadaku karena pengabdianku (kepada-Nya). Tidakkah telah sampai kepadamu ketika Allah SWT menciptakan dunia, lalu Allah SWT berfirman: “Barangsiapa mengabdi kepada-Ku maka layanilah dia. Dan barangsiapa mengabdi kepadamu (dunia), maka mintalah pengabdian dariny”. Setelah itu, laki-laki tersebut meninggalkan dunia dan menjalani tarekat, hingga dia menjadi seorang wali abdal, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 448).

وَفِي الْحَدِيْثِ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى يَا دُنْيَا اُخْدُمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ وَاتَّعَبِيْ مَنْ خَدَمَكَ) وَقَالَ أَيْضًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الدُّنْيَا طَالِبَةٌ وَمَطْلُوْبَةٌ، فَمَنْ طَلَبَ الْآخِرَةَ طَلَبَتْهُ الدُّنْيَا حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقُهُ، وَمَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا طَلَبَتْهُ الْآخِرَةَ حَتَّى يَأْخُذَ الْمَوْتُ بِعُنُقِهِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 298).

Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, Allah berfirman: ”Hai dunia, layanilah orang yang telah melayani (agama) Ku, dan sengsarakanlah orang yang hanya melayanimu”. Rasulullah SAW bersabda; “Dunia itu bisa jadi mencari dan dicari, barangsiapa yang mencari akhirat, niscaya dunia akan mencarinya sampai rizqinya paripurna. Dan sebaliknya barangsiapa yang mencari dunia, maka akhirat akan menuntutnya hingga maut pun menjemput sampai di lehernya”, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 298).

Sumber: Alif.ID

35. Enam Perkara untuk Mencapai Derajat Salihin

Menurut Ibrahim bin Adham, agar seorang salik dapat mencapai derajat orang-orang salih, maka ia harus melakukan enam hal.

Enam hal tersebut meliputi:

  • Menutup pintu nikmat dan membuka pintu sengsara.
  • Menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan.
  • Menutup pintu kesantaian dan membuka pintu kelelahan.
  • Menutup pintu tidur, dan membuka pintu terjaga.
  • Menutup pintu kekayaan, dan membuka pintu kemiskinan.
  • Menutup pintu angan-angan, dan membuka pintu persiapan untuk menghadapi kematian, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 468)

وَقَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ أَدْهَمَ : لاَيَنَالُ الرَّجُلُ دَرَجَةَ الصَّالِحِيْنَ حَتَّى يَجُوْزَ سِتَّ عَقَبَاتٍ: (اْلأُوْلَى) يَغْلِقُ بَابَ النِّعْمَةِ وَيَفْتَحُ بَابَ الشِّدَّةِ (الثَّانِيَةُ) يَغْلِقُ بَابَ الْعِزِّ وَيَفْتَحُ بَابَ الذُّلِّ (الثَّالِثَةُ) يَغْلِقُ بَابَ الرَّاحَةِ وَيَفْتَحُ بَابَ التَّعَبِ (الرَّابِعَةُ) يَغْلِقُ بَابَ النَّوْمِ وَيَفْتَحُ بَابَ السَّهَرِ (الْخَامِسَةُ) يَغْلِقُ بَابَ الْغِنَى وَيَفْتَحُ بَابَ الْفَقْرِ (السَّادِسَةُ) يَغْلِقُ بَابَ اْلأَمَلِ وَيَفْتَحُ بَابَ اْلاِسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ، (تنوير القلوب، ص: 468).

Derajat kemuliaan apapun baik kemuliaan dunia maupun kemuliaan akhirat hanya bisa dibeli dengan keseriusan yang ajeg.

وَقِيْلَ إِنَّ الْاِسْتِقَامَةَ تُوْجِبُ دَوَامَ الْكَرَامَةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 180).

Dikatakan bahwa istiqâmah menjadikan langgengnya kaRamah, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 180).

Berikut ini macam-macam istiqâmah;

وَاْلاِسْتِقَامَةُ وَهِيَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: اِسْتِقَامَةُ الْعَامِّ وَهِيَ بِالْخِدْمَةِ، وَاسْتِقَامَةُ الْخَاصِّ وَهِيَ بِصِدْقِ الْهِمَّةِ، وَاسْتِقَامَةُ اْلأَخَصِّ وَهِيَ بِتَعْظِيْمِ الْجِهَّةِ أَيِ الْحُرْمَةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).

Istiqâmah ada tiga macam; istiqâmah-nya orang ‘awâm yaitu dengan pengabdian, istiqâmah-nya orang khâsh yaitu dengan niat yang kuat, dan istiqâmah-nya orang akhâsh yaitu dengan mengagungkan semua kebesaran Allah SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).

Wali

Istilah wali itu secara ilmu shorof (gramatikal Arab) ada dua bentuk;

  1. kata wali mengikuti wazan faîlun dengan menggunakan makna isim fail yang berarti seseorang yang taatnya terus menerus tanpa disela-selai dengan kemaksiatan
  2. kata wali mengikuti wazan fâlun dengan menggunakan makna isim maf’ul yang berarti seseorang yang yang selalu dijaga oleh Allah SWT dari segala macam bentuk kemaksiatan dan selalu mendapat pertolongan untuk melakukan ketaatan.
  • Dasar Kata wali diambil dari Alquran
  1. al-Baqarah: 257

اَللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiRAn) kepada cahaya (iman).

  1. al-A’raf: 196

إِنَّ وَلِيِّـيَ اللهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

Sesungguhnya pelindungku ialah Allah SWT yang telah menurunkan al-Kitab (Alquran) dan Dia melindungi orang-orang yang soleh.

  1. al-Baqarah: 286

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan Rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.

  1. al-Maidah: 55

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.

Kata wali menurut bahasa bermakna dekat, sehingga apabila seorang hamba dekat dengan Allah SWT sebab banyak melakukan ketaatan, maka Allah SWT dekat dengannya melalui rahmat-Nya dan dari situlah dia menjadi wali, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 11).

Wali menurut istilah Sufi adalah orang yang selalu melanggengkan taat dan menjauhi kemaksiatan, menghindar dari segala macam bentuk kesenangan. Sedangkan kata wali menurut ahli Fiqh adalah seseorang yang mempunyai sifat ‘adalah al-Batinah sebagaimana syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama’ ulama’ dalam kitab fiqh. Pembahasan tentang wali pada bab ini adalah wali menurut ahli sufi.

Dasar dasar wali yang disebutkan oleh Alquran dalam surah Yunus ayat 62-64

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿٦٤﴾

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar, (al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 1, halaman: 9).

“Maqam” para wali

Allah SWT menjadikan manusia di bumi sebagai khalifah. Dan di antaranya Allah memilih beberapa dari mereka sebagai pewaris rasul dan para nabi yang disebut dengan wali. Dan tentunya dari beberapa pilihan tersebut masih ada perbedaan lagi, seperti karakter kepemimpinan maupun kemampuan. Sehingga  seorang wali ada beberapa macam tingkatan. Seperti dijelaskan dalam Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’:

اِعْلَمْ أَنَّ اْلأَوْلِيَاءَ لَهُمْ أَرْبَعُ مَقَامَاتٍ: الأَوَّلُ مَقَامُ خِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ، وَالثَّانِى مَقَامُ خِلاَفَةِ الرِّسَالَةِ، وَالثَّالِثُ خِلاَفَةُ أُوْلِى اْلعَزْمِ، وَالرَّابِعُ خِلاَفَةُ أُوْلِى اْلإِصْطِفَاِء. فَمَقَامُ خِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ لِلْعُلَمَاءِ، وَمَقَامُ خِلاَفَةِ الرِّسَالَةِ لِلأَبْدَالِ، وَمَقَامُ خِلاَفَةِ أُوْلِى الْعَزْمِ لِلْأَوْتَادِ، وَمَقَامُ خِلاَفَةِ أُوْلِى اْلإِصْطِفَاءِ لِلْأَقْطَابِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 6).

Ketahuilah bahwasanya para wali ada empat tingkatan: (pertama) maqam khilafah Annubuwwah, (kedua) maqam khilafah ar-Risalah, (ketiga) maqam khilafah Ulul ‘azmi, (keempat) maqam Ulil Isthifai. Bahwasanya maqam khilafah an-Nubuwwah untuk Ulama’, maqam khilafah ar-risalah untuk wali abdal, maqam khilafah ulul azmi untuk wali autad, dan maqam khalifah Ulil Isthifai untuk wali qutub”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 6).

Wali “Majdzub”

Seringkali kita mendengar istilah jadzab atau majdzubJadzab atau majdzub ini adalah sebuah istilah yang identik dengan para wali Allah SWT.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan wali jadzab atau majdzub itu?

وَالْمَجْذُوْبُ فِى قَبْضَتِهِ تَعَالَى بِمَنْزِلَةِ الصَّبِيِّ الرَّضِيْعِ، تَتَصَرَّفُ فِيْهِ يَدُ الْقُدْرَةِ كَتَصَرُّفِ الْوَالِدَةِ فِى وَلَدِهَا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 7)

Wali majdzub ada dalam genggaman (kekuasan) Allah SWT Layaknya bayi yang menyusu, tindakannya selalu dalam kekuasan Allah SWT, ibarat tindakan seorang ibu terhadap anaknya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 7).

Setan biasanya hadir dalam mimpi kita dengan wujud yang berbeda-beda. Adakalanya dengan wujud orang-orang yang kita kasihi, maupun orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal. Namun, apakah setan mampu untuk menyerupai wujud para wali kamil?

Sebagaimana setan tidak mampu menyerupai Nabi SAW, setan juga tidak mampu untuk menyerupai wali yang sempurna. Sebagaimana hal ini termaktub dalam kitab Tanwîr al-Qulûb, halaman: 520.

أَنَّ الشَّيْطَانَ كَمَا لاَ يَقْدِرُ أَنْ يَتَمَثَّلَ بِصُوْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْدِرُ أَنْ يَتَمَّثَلَ بِصُوْرَةِ الْوَلِي الْكَامِلِ أَيْضًا، (تنوير القلوب، ص: 520).

Hakikat Wali Allah

Wali adalah orang yang diberi kekhususan oleh Allah untuk melaksankan perintahnya dengan menyaksikan beberapa pekerjaan Allah dan sifat-sifatNya. (Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, halaman 286)

Akibat hilangnya wali satu saja:

قَالَ فِي”لَطَائِفِ الْمِنَنِ” : “سُئِلَ بَعْضُ الْعَارِفِيْنَ عَنْ أَوْلِيَاءِ الْعَدَدِ : أيَنْقُصُوْنَ فِي زَمَنٍ ؟ فَقَالَ: لَوْ نَقَصَ مِنْهُمْ وَاحِدُ مَا أَرْسَلَتِ السَّمَاءُ قَطْرَهَا، وَلَا أَبْرَزَتِ الْأَرْضُ نَبَاتَهَا.

Termaktub dalam kitab “Lathâiful Minan” tentang auliya’ al’ adad “ bila satu wali saja berkurang (wafat), maka langit tidak akan menurunkan air hujannya dan bumi tidak akan menumbuhkan tumbuhan-tumbuhannya“

Tiga Tanda Wali

عَلَامَةُ الْأَوْلِيَاءِ ثَلَاثَةٌ : “تَوَاضُعٌ عَنْ رَفْعَةٍ، وَزُهْدٌ عَنْ قُدْرَةٍ، وَإِنْصَافٌ عَنْ قُوَّةٍ”.

  1. Bertawadlu’ dalam kemuliaan
  2. Berzuhud dalam kelapangan rezki
  3. Melayani, membantu dengan kseungguhan

Menghina/meremehkan para wali:

وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ حَامِدِ :”اْلِاسْتِهَانَةُ بِاالْأَوْلِيَاءِ مِنْ قِلَّةِ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ تَعَالَى”.

Orang yang suka menghina  atau menganggap remeh para wali adalah sebagai tanda orang tersebut tidak ma’rifat atau sedikit sekali makrifatnya kepada Allah SWT.

Sumber: Alif.ID

36. Karamah atau Keramat

Pembahasan ini, karamah atau dalam bahasa Indonesia Keramat, mengundang kontroversi. Keramat dalam bahasa Indonesia diartikan seseorang yang memiliki kelebihan khusus, di luar kebiasaan. Keramat dimiliki seseorang karena punya tingkat ketakwaan yang hebat. Orang yang memiliki keramat, sering disebut wali.

Segala suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan (khawariqul ‘adah) yang terjadi pada diri manusia, adakalanya disertai dengan sebuah pengakuan.

Adapun perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang disertai dengan pengakuan dibagi menjadi empat:

Pertama, pengakuan menjadi Tuhan, seperti pengakuan diri Fir’aun dan Dajjal menjadi Tuhan,

Kedua, pengakuan menjadi Nabi. Poin ini dibagi menjadi dua:

  1. Pengakuan yang benar disertai dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan (Khawariq al-‘Adah) yang disebut dengan Mu’jizat, dan tidak bisa dikalahkan
  2. Pengakuan yang bohong, dia tidak bisa menampakkan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan (Khawariq al-‘Adah), dan apabila dia bisa mengeluarkan Khawariq al-‘Adah, maka pasti bisa dikalahkan.

Ketiga, pengakuan menjadi Wali. Perbuatan yang luar biasa yang terjadi pada diri manusia dengan disertai dengan pengakuan menjadi wali. Dalam hal ini para ulama’ Sufi berbeda pendapat tentang apakah boleh seseorang mengaku mempunyai karamah?

Sementara pendapat yang lebih unggul adalah pendapat yang tidak disertai dengan pengakuan menjadi wali.

Keempat, pengakuan menjadi pengikut Setan. Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari diri manusia disertai dengan taat kepada setan.

Sementara itu, ada keistimewaan yang tidak disertai pengakuan.

Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari diri manusia tanpa disertai dengan pengakuan, ada dua macam:

  1. Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari seseorang yang Sholeh dan ini yang disebut dengan karomah Auliya’
  2. Sesuatu yang luar biasa yang muncul dari seseorang yang jelek, pendosa dan dijauhkan dari Allah, hal ini disebut Istidroj, ((Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 14).
  • Dasar dasar tentang keberadaan karomah berdasarkan Alquran:
  1. Surat maryam ayat 25

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَباً جَنِيّاً ﴿٢٥﴾

Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.

  1. Surat Ali Imrân ayat 37

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقاً قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَـذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللهِ إنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٣٧﴾

. ..Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

  1. Surat al-Kahfi ayat 15-16

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحمته ويُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقاً ﴿١٦﴾

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.

  • Dasar dasar tentang keberadaan karomah berdasarkan Hadis:
  1. Shahih al-Bukharinomor Hadis 3253:

3253 – حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ حَدَّثَنَا جَرِيْرُ بْنِ حَازِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ :

( لَمْ يَتَكَلَّمُ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ عِيْسَى وَكَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيْلَ رَجَلٌ يُقَالُ لَهُ جُرَيْجٌ كاَنَ يُصَلِّي جَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَقَالَ أُجِيْبُهَا أَوْ أُصَلِّي فَقَالَتْ اللهم لَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيْهِ وُجُوْهَ المُوْمِسَاتِ وَكَانَ جُرَيْجُ فِي صَوْمَعَتِهِ فَتَعَرَّضَتْ لَهُ اِمْرَأَةٌ وَكَلَّمَتْهُ فَأَبٰى فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا فَقَالَتْ مِنْ جُرَيْجِ فَأَتَوْهُ فَكَسَّرُوْا صَوْمَعَتَهُ وَأَنْزَلُوْهُ وَسَبُّوْهُ فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى ثُمَّ أَتَى الغُلَامَ فَقَالَ مَنْ أَبُوْكَ يَا غُلَامُ ؟ قَالَ الرَّاعِي قَالُوْا نَبْنِيْ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ ؟ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ طِيْنٍ . وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ تَرْضَعُ اِبْنًا لَهَا مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ فَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ رَاكِبٌ ذُوْ شَارَةٍ فَقَالَتْ اللهم اجْعَلْ اِبْنِيْ مِثْلَهُ فَتَرَكَ ثَدَّيْهَا وَأَقْبَلَ عَلَى الرَّاكِبِ فَقَالَ اللهم لَا تَجْعَلْنِيْ مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدَّيْهَا يَمُصُّهُ – قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَمُصُّ أُصْبُعَهُ – ثُمَّ مَرَّ بِأَمَةٍ فَقَالَتْ اللهم لَا تَجْعَلْ اِبْنِي مِثْلَ هَذِهِ فَتَرَكَ ثَدَّيْهَا فَقَالَ اللهم اجْعَلْنِيْ مِثْلَهَا فَقَالَتْ لِمَ ذَاكَ ؟ فَقَالَ الرَّاكِبُ جَبَّارٌ مِنَ الْجَبَابِرَةِ وَهِذِهِ الأَمَّةُ يَقُوْلُوْنَ سَرَقَتْ زَنَيَتْ وَلَمْ تَفْعَلْ )

Dari abu Hurairah Rasulullah bersabda : Tidak ada bayi yang bisa berbicara kecuali tiga orang, Nabi Isa As, dan pada masa bani Israil ada seorang laki-laki bernama juraij sedang beribadah di musallahnya, kemudian ibunya datang dan memanggilnya kemudian juraij berkata di dalam hatinya “apakah aku penuhi panggilan ibuku ataukah aku sholat” maka berdo’alah ibunya dalam hatinya “ya Allah jangan engkau matikan Juraij hingga engkau melihatkan wajah seorang pelacur. Pada suatu ketika Juraij berada di musallahnya datanglah seorang perempuan menawarkan dirinya kepada Juraij dan Juraij menolaknya, maka datanglah pelacur tersebut pada seorang pengembala dan menawarkan dirinya pada pengembala. Maka dia hamil dan lahirlah seseorang bayi, dan perempuan itu mengatakan bayi itu hasil dari hubungan dengan Juraij, kemudian orang-orang mendatangi Juraij dan menghancurkan musollanya serta mencemoohnya, setelah itu Juraij mengambil air wudlu dan sholat. Kemudian mendatangi bayi tersebut, seraya mengatakan “ Siapa ayahmu” Bayi tersebut menjawab “”Ayahku seorang pengembala. Akhirnya orang-orang membangun kembali musallah Juraij dari emas. Akan tetapi Juraij menolaknya, kecuali dari tanah. Dan bayi yang menyusu pada seorang ibu dari kaum bani Israil, kemudian lewat didepan perempuan tersebut seorang penunggang kuda yang gagah, maka ibunya berdo’a “ya Allah jadikanlah anakku seperti dia” maka bayi tersebut melepaskan susuan ibunya seraya mengatakan “ya Allah jangan jadikan aku seperti dia, setelah itu dia menyusu lagi. Abu Hurairah berkata seakan-akan aku melihat Nabi menghisap jari tangannya, kemudian lewat seorang amat didepan ibu tersebut maka berkatalah “ ya Allah jangan jadikan anakku seperti dia, maka bayi tersebut melepaskan susuan ibunya seraya mengatakan “ya Allah jadikan aku seperti dia, Ibunya bertanya kenapa ? bayi itu menjawab,’’ penunggang tersebut adalah seseorang yang pemimpin yang sewenang-wenang,’’ sedangkan amat tersebut adalah orang yang dituduh mencuri dan berzina akan tetapi dia tidak pernah melakukanya.

  1. Shahih al-Bukharinomor Hadis 2152, Tafsîr al-Fakhru al-Râzî Mafâtih al-Ghaib bab Surat al-Kahfi, Juz 21, halaman: 87-88

2152 – حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرُناَ شُعَيْبُ عَنِ الزَّهْرِي حَدَثَنِيْ سَالِمٌ اِبْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ ( اِنْطَلَقَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوْا الَمبِيْتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوْهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الجَبَلِ فَسَدَتْ عَلَيْهِمْ الغَارَ فَقَالُوْا إِنَّهُ لَا يُنْجِيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَخْرَةِ إِلَّا أَنْ تَدْعُوْ اللهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اللهم كَانَ لِيْ أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ لَا أَغْبَقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا فَنَاءً بِيْ فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْمًا فَلَمْ أَرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا فَحَلِبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنَّ أَغْبُقَ قَبْلَهُمَا أَهْلًا أَوْ مَاًلا فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحَ عَلَى يَدِي أَنْتَظِرُ اِسْتَيْقَاظُهُمَا حَتَّى بَرِقَ الفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوْقَهُمَا اللهم إِنْ كُنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ اِبْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ الخُرُوْجَ قَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَقَالَ الآخَرُ اللهم كَانَتْ لِيْ بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ فَأَدَرْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلِمْتُ بِهَا سَنَةً مِنَ السِّنِيْنَ فَجَاءَتْنِيْ فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِيْنَ وَمِائَةَ دِيْنَاٍر عَلَى أَنْ تَخِلِّي بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلْتُ حَتَّى إِذَا قَدَّرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لَا أُحِلُّ لَكَ أَنْ تُفْضِ الْخَاتِمَ إِلَّا بِحَقِّهِ فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوْعَ عَلَيْهَا فَانْصَرَفَتُ عَنْهَا وَهِيَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَهَبَ اَلَّذِي أَعْطَيْتُهَا اللهم إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ اِبْتَغَاءَ وَجْهِكَ فَافَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ فاَنْفَرَجَتْ الصَّخْرَةَ غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهَا قَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَقَالَ الثَالِثُ اللهم إِنِّي اِسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ اَلَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَرَتْ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمَوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِيْنٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللهَ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِيْ فَقَلَتْ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرَكَ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالْرَقِيْقِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللهَ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِيْ فَقُلْتُ إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلُّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللهم فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ اِبْتِغَاءً وَجْهِكَ فَافَرَّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ فَانْفَرَجَتْ الصَخْرَةُ فَخَرَجُوْا يَمْشُوْنَ )

  1. Tafsîr al-Fakh al-Râzî Mafâtih al-Ghaib bab Surat al-Kahfi, Juz 21, halaman: 88:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “بَيْنَمَا رَجُلٌ يَسْمَعُ رَعْدًا أَوْ صَوْتًا فِي السِّحَابِ: أَنْ اَسُقَّ حَدِيْقَةِ فَلَانٍ ، قَالَ فَعَدَوْتَ إِلَى تِلْكَ الْحَدِيْقَةِ فَإِذًا رَجُلٌ قَائِمٌ فِيْهَا فَقُلْتُ لَهُ مَا اِسْمُكَ ؟ قَالَ: فَلَانٌ بْنِ فُلَانٍ بْنِ فُلَانٍ قَالَتْ : فَمَا تَصْنَعُ بِحَدِيْقَتِكَ هَذِهِ إِذَا صَرَّمْتَهَا ؟ قَالَ: وَلَمْ تَسْأَلْ عَنْ ذَلِكَ ؟ قُلْتُ : لِأَنِّيْ سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السِّحَابِ أَنْ اَسُقَّ حَدِيْقَةِ فُلَانٍ ، قَالَ: أَمَّا إِذَا قُلْتَ فِإِنِّي أَجْعَلُهَا أَثْلَاثًا فَاجْعَلُ لِنَفْسِيْ وَأَهْلِي ثُلُثًا وَاجْعَلُ لِلْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ثُلُثًا وَأَنْفَقُ عَلَيْهَا ثُلُثًا”

Sumber: Alif.ID

37. Dalil Aqli Munculnya Karamah

Satu dalil “aqli” tentang terjadinya karamah  adalah hamba sebagai kekasih Allah SWT  atau “waliyullah”, seperti disebut di dalam Surat Yunus Ayat 62, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿سورة يونس ٦٢

Allah SWT sebagai kekasih hamba terdapat di dalam QS. al-Baqarah ayat 257,

اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢٥٧﴾

Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Surat al-A’raf ayat 196:

إِنَّ وَلِيِّـيَ اللهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ ﴿١٩٦﴾

Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al Alquran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.

Surat al-Maidah ayat 55:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ ﴿٥٥﴾

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

Surat al-Baqarah ayat 286

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾

Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan Rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Allah sebagai kekasih hamba dan hamba sebagai  kekasih Allah SWT:

Surat al-Maidah ayat 54,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ واللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٤﴾

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Surat al-Baqarah ayat 165,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً للهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ ﴿١٦٥﴾

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah SWT. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah SWT semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

QS al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ﴿٢٢٢﴾

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Ketika hal ini terjadi maka kami berkata: ketika hamba melaksakan seluruh perintah Allah, melakukan perkara yang diridhai Allah, meninggalkan dan menjauhi larangan Allah, bagaimana menjadi jauh jika Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi sesekali memberikan apa yang diinginkan hamba tersebut, tetapi  pemberian ini malah lebih utama, karena pada saat melaksanakan apa yang diperintahkan dan diinginkan Allah, hamba tersebut merasa lemah dan mencela diri sendiri, sehingga Allah sesekali menuruti apa yang diinginkannya.

Jika penampakan karomah terhalang, adakalanya karena Allah bukan dzat yang tepat untuk menampakkan karomah atau adakalanya karena orang mu’min bukan orang yang tepat mendapatkan pemberian Allah berupa karomah. Untuk kemungkinan pertama berarti mengecilkan kekuasaan Allah dan hal ini berhukum kafir.

Sedangkan yang kemungkinan kedua adalah batil. Sesungguhnya mengetahui (ma’rifat) terhadap dzat, sifat, perbuatan, hukum, beberapa nama Allah, cinta padaNYA, taat, melanggengkan zikir pensucian, tahmid, tahlil, itu semua lebih mulia dibanding pemberian sepotong roti atau bisa menjinakkan ular atau singa. Ketika Allah memberi ma’rifat, rasa cinta, zikir, syukur tanpa diminta  hamba, maka pemberian Allah berupa sepotong roti itu lebih utama.

Nabi bersabda menceritakan firman Allah SWT

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِكَايَةً عَنْ رَبِّ الْعِزَّةِ : “مَا تَقَرُّبَ عَبْدٌ إِلَيَّ بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَلَا يَزَالُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أَحَبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَبَصَرًا وَلِسَانًا وَقَلْبًا وَيَدًا وَرِجْلًا بِيْ يَسْمَعُ وَبِيْ يَبْصُرُ وَبِيْ يَنْطِقُ وَبِيْ يَمْشِي”

Rasulullah SAW Bersabda dengan menceritakan firman Allah “seorang hamba tidak melakukakan taqarrub (pendekatan diri) kepadaKu dengan melaksanakan perintahKu, dan terus menerus bertaqarrub kepadaKu dengan melakukan kesunnahan, sehingga Aku mencintainya, ketika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengar, penglihatan, lisan, hati, tangan dan kakinya, karena Aku, dia bisa mendengar, melihat, berbicara, dan berjalan.”

Hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun selain Allah SWT dalam pendengaran para kekasihnya, bukan dalam pandangan mereka bukan pula dalam anggota tubuh mereka, jikalau masih ada bagian yang dimiliki selain Allah SWT maka pastinya Allah  SWT berfirman انا سمعه وبصره , sehingga tidak diragukan lagi bahwa maqâm ini (seperti yang termaktub dalam Hadis) lebih mulia dibanding bisa menjinakkan ular, binatang buas, membagi-bagikan roti, manancapkan ranting anggur langsung tumbuh dan berbuah.

Nabi bersabda:

قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ حَاكِيًا عَنْ رَبِّ الْعِزَّةِ : “مَنْ آذَى لِيْ وَلِيًا فَقَدْ بَارَزَنِيْ بِالْمَحَارِبَةِ”

Menyakiti wali sama dengan menyakiti Allah SWT makna ini senada dengan firman Allah ٍSWT

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ، ﴿سورة الفتح ١٠﴾

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah (Surat al-fafh 10)

Karamah merupakan bagian dari mu’jizat Nabi sebagai petunjuk atas kebenaran pengakuannya dan keabsahan agama yang dibawanya.

Sumber: Alif.ID

38. Macam-macam Karamah

Pada bagian ini, kita memasuki jenis-jenis karamah atau keramat dalam bahasa Jawa. Seperti keterangan-keterangan sesudahnya, pembahasan ini merujuk pada sumber-sumber penting, baik dalam buku atau kitan tasawuf ataupun pada buku-buku pokok berisi biografi para ulama. Semoga bermanfaat.

Menurut Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatul Kubra ada beberapa macam karamah:

  1. Menghidupkan yang sudah mati, seperti Abi Ubaid Abu Basyari. Ketika berada dalam perang hewan tunggangannya mati, lalu beliau berdoa kepada Allah untuk menghidupkannya lagi, lalu hiduplah hewan tersebut. Kisah Mufarroj al-Dawamini, syaikh Adbul Qadir al-Jailani ketika berkata kepada ayam jago yang telah di makan dagingnya. “Berdirilah dengan izin Allah yang telah menghidupkan tulang belulang yang hancur, lalu berdirilah ayam jago yang hanya tinggal tulang belulang, syaikh Abu Yusuf al-Dawamini, Syaikh Zainuddin al-Faruqi al-Syafi’i, syaikh Fathuddin Yahya.
  2. Berbicara dengan orang-orang mati pembagian ini lebih banyak di miliki oleh para wali dibanding pembagian pertama seperti yang pernah di riwayatkan oleh abu Sa’id al-KhoRAzidan syaikh Abdul Qodir al-Jailani dan lain-lain.
  3. Memecahkan lautan dan mengeringkannya, berjalan diatas, lain pada bagian banyak terjadi pada diri wali seperti yang pernah di alami oleh syaikh al-Islam Taqiuddindan Daqiq al-Iddi.
  4. Merubah benda yang satu keberadaan yang lain. Seperti yang pernah di ceritakan bahwa syaikh Isa al-Hattar al-Yamanisuguhkan dua wadah air minum yang keduanya diisi dengan khomer, kemudian syaikh tersebut menanyakan isi wadah yang satu ke wadah yang lain begitu juga sebaliknya. Kemudian syaikh Isa berkata ”Bismillah makanlah, lalu orang-orang yang hadir memakannya ternyata khomer tesebut telah berubah menjadi semula.
  5. Bumi dilipat untuk para wali, diceritakan ada sebagian wali ada di masjid jami’ tursus tiba-tiba ada peRasaan rindu untuk ziarah ketanah Haram (Makkah), kemudian beliau memasukan kepalanya kedalam saku baju, kemudian mengeluarkanya kembali, tiba-tiba beliau sudah ada di Makkah.
  6. Dapat berkomunikasi dengan benda mati dan hewan.
  7. Dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
  8. Hewan menuruti perintah para wali seperti kisah Abi Sai’id bin Abi Khair al-Mihani, IbRAhim al-Khois, syaikh al-Islam Zainuddin bin Abdul Salâm.
  9. Melipat zaman
  10. Memperpanjang zaman dijaRAk yang sangat jauh
  11. Menjawab panggilan karamah ini banyak sekali dimiliki oleh para wali.
  12. Menjaga lisan untuk berbicara
  13. Menarik Nabi SAW manusia untuk mendatangi majlisnya
  14. Dapat menceritakan sebagaian barang ghoib dan terbukanya Nabi SAW (kasyf)
  15. Sabar tidak menemukan makanan dan minuman dalam waktu yang panjang
  16. Maqâm menggunakan alam semesta
  17. Memperbanyak makanan
  18. Menjaga diri dari makanan haram seperti yang diceritakan dari Haris al-Mahasibi, dibalik tabir ototnya bergeRAk ketika di hidangkan makanan haram.
  19. Bisa melihat suatu tempat yang sangat jauh, seperti syaikh Abu Ishaq al-SyiRAzibisa melihat ka’bah dan Baghdad
  20. Menimbulkan Rasa segar bagi yang melihatnya, walaupun wali tersebut sudah mati.
  21. Allah memberi kecukupan bagi Auliya’ ketika ada orang yang berniat jelek lalu Allah membalikannya untuk berbuat kebaikan seperti yang terjadi kepada imam Syafi’I dan Haris al-Rosyid.
  22. Bisa terbang dengan berbagai cara : Alam diantaranaya alam jasmani dan alam roh disebut alam matsal, alam ini lebih halus dibanding alam jasmani dan lebih kasar dibanding alam roh dalam alam matsal para wali dapat melihat roh dan jasad dalam berbagai macam bentuk hal ini berdasarkan firman Allah Qs Maryam ayat 27


فَأَتَتْ بِهِ قَوْمَهَا تَحْمِلُهُ قَالُوا يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئاً فَرِيّاً ﴿٢٧﴾

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.

  1. Allah memperlihatkan simpanan-simpanan bumi kepada para wali seperti kisah Abi Tullabketika menggetarkan hatinya tiba-tiba muncul air.
  2. Para ulama’ mengaRAng kitab dengan mudah mengaRAng dengan menggunakan waktu yang singkat sementara kesibukan mereka luar biasa hingga meninggal dunia. Karomah ini mereka bentuk karomah yang memper panjang waktu. Diceritakan bahwa imam Syafi’I mempunyai sepuluh kitab kaRAngan yang luar biasa, sementara beliau membaca Alquran satu kali satu khataman dengan metode tadbir (lisan membaca Alquran fikiRAn bertafakkur hati merasakan) khusus pada bulan RAmadhan dua kali khataman tiap hari, imam Syafi’i masih tetap mempelajari ilmu, memberi fatwa,Zikir, Tafakkur juga mengobati orang-orang sakit bahkan sampai tiga puluh orang per hari begitu juga dengan imam Haromain, Abu al-ma’ali al-Juwaimi, imam al-Robbani, syaikh Muhyiddin an-Nawawi, syaikh al-imam walad(ayah imam al-Subqi).
  3. Meniadakan akibat RAcun yang mematikan dan beberapa macam hal yang bias menyebabkan kematian.
  • Karamah Buah Keta’atan

Ibnu Arabi menuturkan dalam kitab Futûhât al-Makkiyah bahwa ada delapan anggota tubuh yang selalu ta’at yasng bisa mengeluarkan karomah, Yaitu :

  1. Mata: mata yang selalu di gunakan untuk keta’atan dan menjahui dari kemungkaRAn dapat mengeluarkan karomah berupa penglihatan akan datangnya tamu yang akan berkunjung walaupun dalam jaRAk yang sangat jauh, mata bisa melihat dibalik tiRAi yang tebal, melihat ka’bah pada waktu shalat hingga berhadapan langsung dengan ka’bah, mata bisa melihat alam malaikat rohani, malaikat tuRAbi baik dari bangsa malaikat, jin, golongan lain dan Nabi SAW, Khidir As.
  2. Telinga: telinga juga seperti mata, telinga yang taat dan terjaga dari kemaksiatan, dapat mendengar kabar gembiRA. Bahwasannya dia merupakan orang yang dapat hidayah, akal dari Allah inilah karomah yang paling besar “ Allah berfirman dalam Q.S. al-Zumar: 17


وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ ﴿١٧﴾

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembiRA; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, (Q.S. Al-Zumar: 17)

  1. Lisan: dapat berbicara dengan alam yang lebih tinggi, berbicara dengan alam semesta, bisa menceritakan kabar-kabar ghaib dan sesuatu yang akan terjadi.
  2. Tangan: yang taat dan terjaga dari kemaksiatan dapat mengeluarkan karomah berupa cahaya yang keluar dari tangan ketika dimasukkan kedalam saku, tangan bisa mengeluarkan air, tangan menggenggam debu lalu debu itu dilempar kearah musuh, lalu musuh lari tunggang langgang seperti yang pernah dilakukanNabi Muhammad SAW Atau ada seorang wali tangannya menggapai udara, ketika telapak tangannya di buka tiba-tiba ada emas dan peRAk.
  3. Perut: perut yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah SWT, dapat mengeluarkan karomah, diantara karomah yang keluar dari perut adalah sang wali merasa mulas perutnya ketika dipuji atau diganggu, Allah menjaga masuknya makanan dan minuman ke dalam perut sang wali, seperti yang dialami Kharis al-Muhasibiketika dihidangkan makanan yang syubhat maka jari jemarinya keluar keringat.
  4. Alat kelamin: alat kelamin yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah, dapat mengeluarkan karomah, Allah memberika Rahasia menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang buta asal, penyakit lepRA. Firman Allah dalam Qs. Al-Anbiya’ ayat 91


وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِن رُّوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِّلْعَالَمِينَ ﴿٩١﴾

Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh) nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.

  1. Tapak kaki: yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah, dapat mengeluarkan karomah, diantaranya adalah berjalan diatas air dan udara, melipat bumi
  2. Qulub (hati): yang digunakan untuk taat dan menjauhi larangan Allah, dapat mengeluarkan karomah, diantaranya adalah mengetahui Rahasia alam semesta, bisa mengeluarkan cahayanya hati, mengetahui Rahasia Rahasia ketuhanan

Sumber: Alif.ID

39. Pendapat yang Menolak Adanya Karamah

Terdapat beberapa pendapat dari mereka yang menolak atau tidak menyepakati adanya karamah. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut

  1. Adanya karamah membuat orang merasa luhur, dan bisa menyesatkan tujuan Allah SWT menampakkan perbuatan yang luar biassa pada diri hamba adalah sebagai tanda kenabian.  Jika hal itu terjadi pada selain Nabi SAW, maka pertanda itu menjadi batal.

2. Orang yang menyatakan keberadaan karamah berpedoman pada hadis Nabi SAW dengan menceritakan firman Allah SWT
أَنَّهُ مَا تَقَرَّبَ الُمتَقَرِّبُوْنَ إِلَيَّ بِمِثْلِ أَدَاءٍ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِمْ، (إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام، ص: 283)

Mereka yang tidak se[akat dengan karamah berpendapat bahwa hadis ini mengenai perbuatan taqarrub kepada Allah SWT. Padahal melaksanakan ibadah wajib itu lebih utama dibanding taqarrub dengan melaksanakan ibadah sunnah. Sementara itu, bertaqarrub dengan kesunnahan lebih tidak menghasilkan karamah.

3. Mereka yang menolak karamah berpedoman pada S. al-Nahl :7

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُواْ بَالِغِيهِ إِلاَّ بِشِقِّ الأَنفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿٧﴾

Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pendapat bahwa seorang wali dapat berpindah dari satu negara ke negara lain yang jauh,  tidaklah masuk dalam kategori ayat tersebut. Nabi Muhammad SAW tidak akan sampai ke Madinah tanpa melakukan perjalanan dengan penuh kesulitan dari Makkah, dan membutuhkan beberapa hari. Bagaimana dapat diterima akal ucapan berikut: “Sesungguhnya wali mampu berpindah dari daerahnya menuju ke Makkah untuk haji dalam satu hari?”

Ulama sufi pun menanggapi pendapat-pendapat orang yang menolak keberadan karamah. Bahwasannya manusia berselisih pendapat tentang “ apakah boleh seorang wali mengaku mempunyai wilayah kewalian? Menurut ahli hakikat pengakuan tersebut tidak diperbolehkan, dengan demikian ada perbedaan antara  mukjizat dan karomah yaitu mukjizat disertai dengan pengakuan menjadi Nabi, seorang Nabi SAW diutus kepada makhluk untuk merubah kufur menjadi iman, maksiat menjadi taat, jika mujizat tidak ditampakkan, maka mereka tidak akan beriman, jika tidak beriman maka mereka tetap dalam kekafiran.

Ketika para Nabi SAW mengaku menjadi Nabi SAW dan menampakkan mujizat, maka kaum akan beriman. Sehingga para Nabi SAW mendahulukan pengakuan sebagai Nabi SAW tanpa ada tujuan  menghargai kedudukan Nubuwiyah, tapi tujuan penampakan mu’jizat justru untuk belas kasian terhadap makhluk. Sehingga mereka berubah dari kufur menjadi iman.

Sementara karamah tidak disertai pengakuan menjadi wali, tidak mengetahui kewalian seseorang, tidak menjadikan kufur, mengetahui kewalian bukan menjadi syarat keimanan, pengakuan menjadi wali itu termasuk mengikuti hawa nafsu. Menurut pengertian kami wajib bagi Nabi SAW menampakkan pengakuan menjadi Nubuwiyahsedangkan wali tidak boleh menampakkan kemuliannya sehingga ada perbedaan yang jelas antara mu’jizat dan karamah.

Adapun ulama yang memperbolehkan pengakuan menjadi wali, mereka menjelaskan bahwa ada perbedaan antara karamah wali dan mujizat Nabi SAW dalam beberapa sisi:

1. Penampakan perbuatan yang luar biasa (Khariq lil adah) menunjukkan bahara manusia tersebut adalah orang yang tidak bermaksiat, jika khariq lil adah itu disertai pengakuan menjadi Nabi SAW itu menunjukkan kesungguhanya dalam pengakuan kenubuwiyahannya, jika khariq lil adah disertai dengan pengakuan menjadi wali maka hal itu menunjukkan kesungguhannya dalam pengakuan kewaliannya. Dengan menggunakan metode ini berarti penamakan karamah bagi wali bukan termasuk bagian mujizat bagi Nabi.

2. Mujizat berfungsi untuk mengalahkan sedangkan karamah tidak wajib ditampakkan,”karamah tidak wajib”

3. Wajib meniadakan perlawanan terhadap mujizat, sedangkan karamah tidak.

4. Menurut pendapat kami tidak wajib menampakkan karamah bagi wali ketika ada pengakuan kemuliaan kecuali penampakan karamah untuk pengakuannya mengikuti agama Nabi, ketika demikian maka penampakan karomah itu menjadi mujizat bagi Nabi SAW tersebut dan sebagai penganut risalah kenabiaan

Taqarrub kepada Allah dengan kewajiban itu lebih utama di bandingkan dengan kesunnahan saja. Adapun wali itu bertaqarrub dengan melaksanakan kewajiban dan kesunnahan. melaksanakan keduanya merupakan amaliyah wali yang lebih utama dibandingkan dengan hanya melaksanakan kewajiban saja.

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُواْ بَالِغِيهِ إِلاَّ بِشِقِّ الأَنفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿٧﴾

Ayat ini memuat perjanjian yang telah diketahui (alam roh/alastu/sudah ditentukan Allah di dalam ilmunya)

Sumber: Alif.ID

40. Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (1)

Pada dasarnya para wali atau rijalullâh memiliki banyak tingkatan dan ahwal yang berbeda-beda, diantara mereka ada wali yang menggabungkan ahwal dan tingkatan maqâm, diantara mereka ada wali yang mencapai satu tingkatan maqâm dan ahwal tanpa melalui proses iktisab.

Di antara mereka ada wali yang jumlahnya tetap pada tiap zaman, diantara mereka ada wali yang jumlahnya tidak tetap. Berikut ini kami sampaikan dua pengelompokan wali yatu:

  • Wali yang Jumlahnya Tetap Pada Tiap Zaman
  1. Wali al-Aqthâb (Wali Qutub) disebut juga Ghouts, Muqarrobin, Sayyid al-Jama’ah

Yaitu wali yang mengumpulkan semua ahwal dan maqomat secara asal dan menggantikan, setiap zaman jumlahnya hanya satu. Diantara meRAka ada yang mendapatkan kekuasaan dhohir dan batin contohnya adalah Abu Bakar al-Shiddiq RA, Umar bin al-Khattab, Utsman Ibn Affan RA, Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali, Muawiyah bin Yazid, Umar bin ‘Abdul ‘Azîz. Dan diantara mereka ada yang khusus mendapatkan kekuasaan batin yaitu Ahmad bin Harun al-RAsyid, Abu Yazid al-Busthami.

  1. Wali al-Aimmah

Yaitu wali yang jumlahnya tidak lebih dari Dua pada setiap zaman, yang satu dijuluki Abdul Robbi dan yang lainnya dijuluki Abdul Malik, kedua duanya menggantikan wali Qutub ketika Wafat, sehingga keduanya menempati sebagai wakil dari wali Qutub

  1. Wali al-Autad

Yaitu Wali yang jumlahnya empat orang tidak kurang dan tidak lebih, MeRAka diberi tugas oleh Allah SWT menjaga 4 arah mata angin, terkadang diantara mereka ada yang wanita. Julukan mereka adalah Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qodir, Abdul Murid.

  1. Wali al-Abdal

Yaitu Wali yang jumlahnya 7 orang tidak kurang, tidak lebih. MeRAka diberi tugas oleh Allah SWT menjaga 7 wilayah, setiap wali abdal diberi kekuasaan wilayah sendiri sendiri.

  1. Wali abdal pertama dibawah pimpinan Nabi Ibrahim al-Kholil
  2. Wali abdal kedua dibawah pimpinan Nabi Musa
  3. Wali abdal ketiga dibawah pimpinan Nabi Harun
  4. Wali abdal keempat dibawah pimpinan Nabi Idris
  5. Wali abdal kelima dibawah pimpinan Nabi Yusuf
  6. Wali abdal keenam dibawah pimpinan Nabi Isa
  7. Wali abdal ketujuh dibawah pimpinan Nabi Adam

Dikatakan wali badal karena apabila beliau meninggalkan tempat kekuasaannya dan menghendaki pengganti didaerah tersebut karena mempertimbangkan  kemaslahatan, maka beliau meninggalkan pengganti yang bentuknya sesuai dengannya, bentuk itu merupakan ruhaniyah wali abdal tersebut. Amaliyah wali Abdal ada 4 yaitu; Lapar, berjaga di malam hari, diam, uzlah

  1. Wali al-Nuqabâ’

Yaitu wali yang jumlahnya dua belas pada tiap zaman, sesuai dengan bilangan gugus bintang dua belas. Setiap Wali Naqib punya tanda khusus gugus bintang tersebut. Alloh menjadikan ditangan mereka ilmu-ilmu syari’at yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Mereka bisa melepas tutup nafsu, tipu dayanya, dan rekayasanya. Adapun iblis bagi para Nuqaba’ terlihat, sehingga mereka mengetahui rencana iblis. Diantara ilmu mereka adalah mampu membaca bahagia atau celakanya seseorang hanya dengan melihat bekas tapak kakinya

  1. Wali al-Nujaba’

Yaitu : Wali yang jumlahnya ada delapan orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, mereka dikenal banyak orang dan ahwal mereka diterima masyaRAkat, sekalipun mereka tidak berusaha mengenalkan diri.

  1. Wali al-Hawariyyun

Yaitu: wali yang jumlahnya hanya satu pada setiap zaman maka apabila beliau wafat akan digantikan dengan yang lainnya, pada masa Rasulullah SAW ada sahabat mempunyai maqam ini yaitu Zubari bin Awwam.

  1. Wali Rajabiyyun

Yaitu: wali yang jumlahnya 40 orang setiap zaman tidak kurang tidak lebih, yaitu para wali yang haliyahnya selalu mengagungkan Allah SWT, dikatakan wali Rajabiyyun karena hal pada maqam ini tidak ada kecuali pada bulan Rajab, kemudian hilang hal tersebut pada diri mereka sampai masuk pada bulan Rajab berikutnya. Sedikit sekali orang yang mengenal mereka menyendiri dalam satu daeRAh akan tetapi mereka mengenal satu sama lain sesama Rajabiyyun.

  1. Wali al-Khatmu

Yaitu: wali yang jumlahnya hanya satu pada setiap zaman bahkan hanya ada satu sepanjang masa, Allah SWT mengakhiri dengan al-Khatmu kewalian ummat nabi Muhammad bahkan Allah SWT mengakhiri semua kewalian mulai dari nabi Adam As. sampai akhirnya wali yaitu nabi Isa As. Beliau akan mengakhiri kewalian seluruh alam ketika beliau turun dan berkumpul di dalam ummat nabi Muhammad SAW

  1. Wali 300 pada hatinya nabi Adam As.

Yaitu: wali yang jumlahnya 300 pada setiap zaman, hal ini sesuai dengan makna sabda nabi SAW di dalam masalah 300 orang ini “sesungguhnya mereka ada pada hati nabi Adam As.”

  1. Wali 40 pada hati nabi Nuh

Yaitu: wali yang jumlahnya 40 pada setiap masa, hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah “sesungguhnya di dalam ummat nabi muhammad  ada 40 orang pada hatinya nabi Nuh”.

  1. Wali 7 pada hati Ibrahim

Yaitu: wali yang jumlahnya 7 pada setiap masa, hal ini berdasarkan sabda Rasul “do’a mereka adalah do’anya nabi Ibrahim” yang terdapat di dalam Alquran Qs. as-Syu’aRA’: 83


رَبِّ هَبْ لِي حُكْماً وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ ﴿٨٣﴾

(Ibrahim berdo`a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh,

  1. Wali 5 pada hati malaikat Jibril

Yaitu: wali yang jumlahnya 5 pada setiap zaman tidak kurang juga tidak lebih, hal ini berdasarkan Hadis nabi “mereka adalah pemimpin ahli tarekat ini”, bagi mereka adalah ilmu-ilmu sesuai dengan hitungan yang dimiliki oleh malaikat jibril.

  1. Wali 3 pada hati Malaikat Mikail

Yaitu Wali yang berjumlah 3 pada tiap zaman tidak kurang juga tidak lebih. Mereka memiliki kebaikan sejati, belas kasih, halus hatinya, lembut hatinya, suka menolong, wajahnya penuh senyum, hatinya penuh belas kasih, memiliki pengetahuan seperti Malaikat Mikail

  1. Wali 1 pada hati Malaikat Israfil

Yaitu: Wali yang berjumlah 1 orang pada tiap zaman tidak kurang juga tidak lebih, beliau memiliki perintah dan larangan, mengumpulkan keduanya, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh marwi. Abu Yazid al-Busthami adalah salah satu wali yang berada pada hati Malikat isrofil dan Nabi Isa As.

  1. Wali alam anfas

Wali yang berada pada hati nabi Dawud, jumlahnya tidak berkurang dan juga tidak bertambah pada setiap zaman. Penisbatan wali ini terhadap qalbu nabi Dawud yaitu: kebersamaan, persamaan sifat, ahwal, dan pengetahuan yang dimiliki wali ini sama dengan nabi Dawud.

  1. Wali rijalul ghaib

Yaitu: wali yang berjumlah 10 orang pada setiap zaman tidak kurang tidak lebih, mereka orang-orang yang khusyu’, tidak berbicara kecuali membisikkan (suara yang lirih), tajalli kepada Allah yang Rahman mengalahkan ahwal mereka dan mereka tersembunyi dan tidak dikenal.. QS. Thaha:108


يَوْمَئِذٍ يَتَّبِعُونَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُ وَخَشَعَت الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً ﴿١٠٨﴾

  1. Wali yang berjumlah 18

Yaitu: wali yang berjumlah 18 orang tidak kurang tidak lebih, mereka melaksanakan perintah Allah secara lahir, mereka menjalankan hak-hak Allah, menjalankan beberapa sebab (kasb), memiliki perbuatan-perbuatan yang luar biasa. Mereka menampakkan reaksi yang baik kepada manusia sesuai dengan perbuatan manusia tersebut begitu juga sebaliknya, menampakkan pemberian Allah berupa kenikmatan dzahir kepada manusia (kenikmatan dzahir berupa perbuatan yang luar biasa, sedangkan kenikmatan batin berupa pengetahuan) dhuha: 11,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ﴿١١﴾

sabda nabi:

التَّحَدُّثُ بِالنِّعْمَةِ شُكْرٌ

Mengungkapkan kenikmatan yang diterima merupakan bentuk syukur

  1. Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah

Yaitu: wali yang berjumlah 8 orang yang memiliki tanda-tanda dari Alquran, mereka tegas terhadap orang-orang kafir, mereka menyandang nama-nama ketuhanan (Asma’ al-Husna dzu al-Quwwah al-Matin) mereka tidak memperdulikan celaan orang yang mencela. Terkadang mereka dinamakan Rijal al-Qahri seperti Abu Abdillah ad-Daqqa’ di kota fas (maroko).

  1. 5 Wali yang menjadi bagian dari Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah

Yaitu: 5 orang wali pada setiap zaman tidak kurang tidak lebih yang berada di bawah pimpinan Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah, mereka memiliki tutur bahasa yang lembut yang menjadi pembeda dari wali Rijal al-Quwwah al-Ilahiyyah. Thaha: 44,

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ﴿٤٤﴾

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut

Ali Imrân: 158

وَلَئِن مُّتُّمْ أَوْ قُتِلْتُمْ لإِلَى الله تُحْشَرُونَ ﴿١٥٨﴾

Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.

Sumber: Alif.ID

41. Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (2)

  1. Lima belas wali yang disebut Rijal al-Hannan dan al-Athfi al-Ilahi

Yaitu: wali yang berjumlah 15 yang memiliki hati yang lemah lembut, hati yang penyayang kepada seluruh hamba-hamba Allah baik mukmin maupun kafir, mereka melihat makhluk dengan pandangan belas kasih bukan dalam kaca-mata hukum, mereka tidak diberi kekuasaan oleh Allah untuk menjadi pemimpin kepemerintahan atau menjadi hakim karena peRasaan dan maqâm mereka tidak menempati kedudukan hukum yang mengikat makhluk, mereka bergaul dengan makhluk karena terdorong oleh belas kasihan. al-A’RAf: 156

وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَـذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَـا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ ﴿١٥٦﴾

  1. Empat Wali Anfas

Yaitu: wali yang memiliki kewibawaan dan keagungan yakni wali yang berjumlah 4 pada setiap zaman tidak kurang tidak lebih. Al-Mulk: 3.

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقاً مَّا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِن تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِن فُطُورٍ ﴿٣﴾

Mereka membantu wali autad, hatinya bergantung pada langit, jasadnya tidak dikenal di bumi tetapi dikenal oleh penduduk langit. 1) wali yang pertama berada di hati nabi muhamad, 2) wali yang kedua berada pada hati nabi Syu’aib, 3) wali yang berada pada hati nabi Shaleh, 4) wali yang berada pada hati nabi hud.

  1. Dua puluh empat Wali Rijal al-Fathi

Yaitu: wali yang berjumlah 24 tidak kurang tidak lebih pada setiap zaman, Allah membuka hati wali Allah dengan melalui perantaraan mereka, terbukanya hati itu berisi pengetahuan dan Rahasia ilahi, Allah menjadikan mereka berjumlah 24 menurut hitungan jam dalam hari, setiap jam ada Rijal al-Fathi yang bertugas. Setiap orang yang hatinya terbuka terhadap ilmu dan pengetahuan terhadap jam tersebut maka wasilahnya adalah seorang wali Rijal al-Fathi yang bertugas pada jam tersebut, mereka berpencar di seluruh penjuru bumi dan tidak pernah berkumpul. 2 orang wali Rijal al-Fathi berada di daeRAh  yaman, 4 orang wali Rijal al-Fathi berada di belahan bumi timur, 6 RAng wali Rijal al-Fathi berada di bumi barat, 12 orang wali tersebar di arah-arah yang lain. Fathir: 2

مَا يَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٢﴾

  1. Tujuh wali Rijal al-Ma’arij al-`Ula

Yaitu: wali yang berjumlah 7 orang setipa zaman tidak kurang tidak lebih, mereka memiliki tangga pada setiap nafas mereka berada pada alam anfas, mereka auliya’ pemilik tingkatan. Muhammad: 36


إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِن تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ ﴿٣٦﴾

  1. Dua puluh satu wali yang di sebut Rijal at-Tahti al-Asfal

Yaitu: wali yang berjumlah 21 orang setiap zaman tidak kurang tidak lebih, wali golongan ini berdasarkan fiman Alloh Qs. al-Tin : 5

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ ﴿٥﴾

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)

Yang dimaksud Allah dengan asfala safilin adalah alam tabiat yang tidak ada tempat yang lebih rendah dari padanya, pada asalnya tabiat itu mati, lalu Allah menghidupkan dengan nafsu Rahmani yang telah dikembalikan kepadanya, wali ini merupakan sesorang yang tidak pernah memperhatikan dirinya kecuali memperhatikan jiwa yang kembali kepada Allah serta hati mereka selalu hadir di depan Allah.

  1. Tiga wali yang disebut Rijal al-Imdâd al-Ilahi wa al-Qauli

Yaitu: wali yang berjumlah 3 orang setipa zaman tidak kurang tidak lebih, mereka menolong makhluk untuk menemukan kebenaran tetapi dengan cara yang halus, lembut, dan belas kasih bukan dengan cara kasar, memaksa dan keras, mereka menghadap Allah dengan mengambil faedah, mereka menghadap makhluk dengan memberi faedah, wali ini adakalanya laki-laki dan perempuan, Allah memberikan kekuasan kepada mereka untuk berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.

وَقَدْ وَرَدَ فِى الْخَبَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ تَقَبَّلَ لِيْ بِوَاحِدَةٍ تَقَبَّلْتُ لَهُ بِالْجَنَّةِ، أَنْ لَا يُسْأَلُ أَحَدًا شَيْأً.

Diantara sifat-sifat mereka adalah ketika dia memberi suatu faedah kepada makhluk maka wali tersebut memandang kepada makhluk dengan pandangan yang belas kasih sehingga disangka bahwa wali tersebut yang meminta faedah. Ibnu Arabi mengomentari tentang perilaku mereka: aku tidak pernah melihat akhlak bermuamalah kepada manusia yang lebih baik dari mereka.

  1. Wali Ilhayun Rahmaniyun berjumlah tiga orang.

Yaitu wali yang ahli menerima wahyu ilahi, mereka mendengarkannya secara berantai, suara wahyu ilahi seperti bunyi lonceng, mereka mempunyai keyakinan yang bagus mengenai kalam Allah, mereka menyerupai wali abdal pada sebagian ahwal tapi mereka bukan termasuk wali abdal.


Q.S al-Anfal:35

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ ﴿٣٥﴾

Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka Rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.

  1. Satu wali terkadang wanita, ada pada setiap zaman.

Q.S al-An’am:18

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

Sang wali memberi anugerah terhadap segala sesuatu kecuali Allah, memiliki sifat pemberani, banyak mengajak terhadap kebenaran, ucapannya benar, adil dalam penerapan hukum.

  1. Wali dari percampuran jenis

Yaitu wali yang dilahirkan antara ruh dan manusia, tidak diketahui ayah manusianya. Seperti yang diceritakan dari Ratu Bilqis yaitu seorang Ratu yang dilahirkan antara jenis jin dan manusia, tersusun dari dua jenis mahluk yang berbeda. Wali merupakan seseorang dari alam barzakh (ruhani). Allah memberikan tugas padanya untuk menjaga alam barzakh selama-lamanya, dia dilahirkan membawa sifat-sifat ini. Wali ini merupakan suatu mahluk yang berasal dari ovum (air mani) ibunya. Kejadian ini bertentangan dengan kesepakatan ahli kedokteran, bahwasanya ovum wanita tidak bisa menjadi anak, tetapi kejadian wali ini di luar kebiasaan yang sudah ditentukan dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

  1. Diantara para wali ada seorang wali terkadang berjenis kelamin wanita.

Dia melakukan pertolongan-pertolongan terhadap seluruh alam. Dia merupakan orang yang dikenal maqâmnya, jumlahnya hanya satu pada setiap zaman. Ahli tarekat mengenalnya seperti keadaan wali Quthub tapi dia bukan Quthub.

  1. Wali Rijalul Ghina Billah jumlahnya ada 2 orang

Yaitu; wali yang berjumlah 2 orang setiap zaman tidak kurang tidak lebih, wali yang mempunyai martabat. Ayat yang menjelaskan ini adalah Qs. Ali Imrân: 97

فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ﴿٩٧﴾

Yang pertama Mereka selalu mendapat siraman rohani dari alam musyahadah, setiap orang yang kaya dalam alam musyahadah maka termasuk golongan wali ini,

dan yang lainnya adalah mereka selalu mendapat siraman rohani dari alam malakut

Rijalul Ghina Billah, yaitu orang-orang yang tidak membutuhkan kepada manusia sedikit pun, sehingga kelompok ini tidak membutuhkan kepada bantuan siapa pun, selain bantuan Allah.

  1. Diantaranya ada wali yang selalu membolak balik hatinya pada setiap nafas

wali ini sangat aneh ahwalnya karena tidak ada orang yang lebih tinggi ma’rifat dan taqwanya kepada Allah dibanding wali ini, tidak henti hentinya ruas ruas jarinya selalu bergetar karena takut kepada Allah, dasarnya

al-Syura :11,

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجاً يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴿١١﴾

al-Isro’ ; 6

ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً ﴿٦﴾

  1. Diantaranya ada Wali yang disebut Rijal ‘Ain al-Tahkim wa al-Zawaid

Yaitu; Wali yang jumlanya ada sepuluh pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, derajat mereka terkenal karena mereka mempunyai ciri khusus yaitu dengan lisan yang selalu menyebarkan do’a, ahwalnya selalu menambah keimanan dan keyaqinan terhadab yang Ghaib, sehingga bagi mereka tidak ada yang sesuatu yang ghaib karena sesuatu yang ghaib menjadi musyahadah, dan setiap Ghaib yang menjadi musyahadah dapat menambah keimanan pada ghaib yang lain, Dasarnya Qs. Thaha : 114,

فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً ﴿١١٤﴾

al-Baqarah : 168

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿١٦٨﴾

  1. Diantaranya ada wali al-Budala’ (bukan wali abdal)

Yaitu: wali yang berjumlah 12 orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, maqâm mereka sangat populer, derajat mereka terkenal karena mereka mempunyai ciri khusus yaitu dengan lisan yang selalu menyebarkan do’a, ahwalnya selalu menambah keimanan dan keyaqinan  terhadab yang Ghaib, dikatakan budala’ karena jika ada salah satu tidak ada maka yang lain bisa menggantikan kedudukannya.

  1. Diantaranya ada wali Rijal Isytiyaq

Yaitu: Wali yang jumlahnya ada 5 orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih,, mereka termasuk pimpinan tarekat billah, dengan mereka Allah menjaga kelestarian alam, mereka tiada henti hentinya senantiasa melaksanakan sholat pada siang dan malam.

Qs. al-Baqarah ; 238

حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلهِ قَانِتِينَ ﴿٢٣٨﴾

  1. Diantaranya ada wali 6 orang

Yaitu: Wali yang berjumlah 6 orang pada tiap zaman, tidak kurang tidak lebih, diantaranya adalah : Ibnu Harun al-Rasyid Ahmad al-Sibti, mereka mempunyai kekuasaan pada 6 arah mata angin, wujud ruhani mereka seperti tubuh manusia, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 13-72)

Sumber: Alif.ID

42. Golongan Wali yang Tidak Terhitung Jumlahnya

Setelah beberapa edisi kita mendapatkan keterangan ihwal wali, dalil kewalian, pro dan kontranya, sekarang kita akan membaca bersama golongan atau macam-macam wali. Buku Sabilius Salikin mengetengahkan golongan wali yang populer dan pokok-pokok saja. DI buku lain, Anda mungkin akan mendapatkan lebih banyak lagi versi yang berbeda.

  1. Wali al-Mulamatiyah, yaitu Pimpinan dan imam ahli thâriqâh, pemimpin alam dari bangsa mereka dan berkecimpung di dalamnya, beliau adalah nabi Muhammad SAW yang menjadi Rasulullah. Wali mulamatiyah adalah ahli hikmah yang meletakkan berbagai macam masalah pada tempat dan hukumnya, menetapkan sebab pada tempatnya dan meniadakan sebab pada tempatnya, yang semestinya ditiadakan.

Mereka tidak melompati sesuatu yang telah di urutkan oleh Allah Swt, menurut urutan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Mereka memandang sesuatu dengan pandangan yang diridhoi oleh Allah SWT, mereka tidak mencampur aduk diantara beberapa hakikat. Wali maulamatiyah tidak diketahui derajatnya, mereka tidak dikenal kecuali penghulunya yang selalu cinta dan mengistimewakan golongan ini pada maqomnya, golongan wali ini tidak dapat dihitung tetapi jumlahnya dapat bertambah dan berkurang.

  1. Wali al-Fuqara’: Di antaranya wali al- Fuqâra’, golongan wali ini tidak dibatasi dengan jumlah, tapi hitunganya bisa bertambah banyak dan sedikit.

Allah berfirman Qs. al-Fathir :15

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ ﴿١٥﴾

  1. Wali al-Shufi: Diantaranya ada wali shufi, golongan wali ini tidak dibatasi dengan jumlah, tapi hitunganya bisa bertambah banyak dan sedikit. Mereka pemilik akhlaq yang mulia, bahkan dikatakan: “Barang siapa yang bertambah budi pakertinya maka maqâm di tasawufnya akan bertambah, sehingga terkumpul dalam hati satu hati. Mereka tidak memiliki sesuatu apa pun kecuali kemahlukannya, dan persamaan dalam sisi sebagai makhluq sehingga mereka tidak mencari kedudukan, ini merupakan tingkatan keadaan luar biasa yang muncul tanpa sengaja, agar mereka menunjukkan kebenaran pelaksaan agama. Diantara mereka ada yang melakukan kebiasaan yang luar bisa sehingga menjadi suatu kebiasaan, maka hal itu bukan merupakan sebuah hal luar bisa bagi mereka, seperti berjalan diatas air dan terbang diudara.
  2. Wali al-‘Ubbad: adalah Wali yang mengkhususkan diri melaksanakan ibadah ibadah fardlu saja, mereka selalu berada dalam rumah, shalat jama’ah, hanya mengurus dirinya saja, diantara mereka ada pelaku sebab (shahib al-sabab)dan meninggalkan sebab (Tarik al-sabab), mereka tergolong orang orang yang baik lahir batin, mereka terjaga dari tipu daya, iri hati, cinta dunia dan tamak, mereka mengeRAhkan semua kemampuannya untuk hal hal yang baik, mereka tidak henti hentinya memperoleh pengetahuan, Rahasia Rahasia ilahi, menyaksikan alam malakut, memahami ayat ayat Allah ketika membacanya, mereka tidak memperhitungkan pahala, mereka bisa menyaksikan kiamat dan hiruk pikuknya, surga dan neraka. Selalu menangis ketika sholat, tidak pernah tidur, berdoa dengan penuh harapan, takut, rendah hati. Ketika berbicara dengan orang bodoh maka dia mendoakan keselamatan kepadanya. Mereka selalu beribadah kepada Tuhannya, selalu memikirkan tentang akhirat, selalu berpuasa, ketika bersedekah tidak berlebihan dan tidak kurang, mereka bukan ahli memelakukan kejelekan dan kebatilan, ahli melakukan berbagai macam amal kebaikan, mereka beramal dengan menggungkan Allah.
  3. Wali al-Zuhhad: yaitu Wali yang meninggalkan dunia dan tidak ada usaha untuk memiliki dunia. Ada yang mengatakan wali al-Zuhhad adalah wali yang meninggalkan dunia tapi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dunia. Dan pemimpin wali ini adalah Ibrahin bin adham.
  4. Wali Rijal al-ma’: yaitu Wali yang selelu beribadah kepada Alloh di tepi laut dan sungai, mereka tidak dikenali manusia.
  5. Wali Afrâd: yaitu Wali yang jumlahnya tidak dibatasi hitungan, mereka merupakan orang orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan memegang aturan atuaran syara’, mereka berada diluar wilayah quthub, tapi mereka hadir diantara quthub. Mereka bagaikan para malaikat yang mengelilingi keagungan Allah.
  6. Wali Umara’

Sabda Rasulullah: إن االله امناء       Sesungguhnya Allah memiliki wali UmaRA’. Rasulullah bersabda menyebutkan sifat Abu Ubaidah bin JaRAkh “Sesungguhnya Abu Ubaidah bin JaRAkh adalah orang terpercaya umat ini ”, mereka (Wali UmaRA’) adalah kelompok golongan dari wali Mulamatiyah bukan dari golongan yang lain abhakan mereka pemuka dan yang terkhusus dari golongan mulamatiyah. Ahwal ( keadaan bathin) mereka tidak diketahui walaupun mereka bergaul dengan manusia umum tetap melakaukan hal-hal yang umum dilakukan manusia, yaitu melakukan perintah Allah dan menjahui larangan yang wajib. Mereka tidak di kenal atau popular di antara manusia, tapi derajat mereka akan tampak saat hari kiamat tiba.

  1. Wali al-Qurra’

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas , bisa bertambah dan berkurang. Wali yang ahli Hifzh Alquran, mengamalkan isi Alquran. Barang siapa  yang berhalaqah dengan Alquran maka dia mereka ahli Alquran. Barang siapa ahli Alquran, maka dia adalah ahli Allah (Kekasih Allah) karna Alquran adalah kalam Allah yang termasuk wali al-Qura’ adalah Abu Yazid al-Busthami dan Sahl bin Abdullah al- Tastari.

  1. Wali al-Ahbab

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas bisa bertambah bisa berkurang.

firman Allah Q.S.al-Ma’idah: 54:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٤﴾

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Di antara wali ini ada yang disebut Muhibbin sehinga Allah senang memberi  coba’an kepada mereka ada juga yang di sebut mahbubin, sehingga Allah memilihnya. Sehingga wali al-Ahbab dibagi menjadi dua :

  1. Pada awalnya Allah mencintai mereka
  2. Allah menjalankan mereka untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah dan Rasulnya sehingga keta’atan itu berbuah mahabbah (Cinta)kepada Allah SWT

Firman Allah QS. al-Nisa’: 80 dan al-Imrân : 31

مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً ﴿٨٠﴾

Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihaRA bagi mereka.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣١﴾

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Mahabbah ini merupakan buah bukan sebagai permulaan amal, sudah dapat dipastikan bahwa mereka mempunyai banyak maqâm dan tidak ada satu maqam dari beberapa maqam kecuali  dimiliki orang-orang utama (al-Fadhil) dan orang yang diutamakan (al-Mafdhul) mereka memiliki tanda-tanda bersih hatinya Mahabbah (cinta), mereka murni tidak bercampur kotoran yang membuat keruh hati, mereka memiliki prinsip lebih mendahulukan Allah, mereka tidak menjalankan suatu amal hanya berdasarkan pandangan baik dan buruk dari sisi aturan (SyaRA’) tapi berdasarkan Adab, etika dan tatakRAma.

  1. Wali al-Muhadditsûn

Wali al- Muhadditsûn di bagi dua golongan :

A) Wali yang dapat berkomunikasi dengan Allah Swt dibalik tabir ucapan. Firman Allah. QS. al-SyuRA’ :51

إِنَّا نَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَن كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٥١﴾

Sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman.

Wali bagian ini banyak sekali tingkatanya.

B) Wali yang dapat berkomunikasi dengan para malaikat, terkadang terdengar di telinganya wali, kadang percakapan itu di tulis, mereka semua adalah ahli komunikasi. Metode mereka untuk sampai pada maqam ini dengan cara Riyadhoh al-Nafsu, mujahadah badan (melatih tubuh) dengan berbagai macam cara, karena jiwa yang bersih dari berbagai macam kotoran dan watak yang jelek. Maka roh mereka bisa menemukan ilmu-ilmu dari alam malakut dan Rahasia-Rahasia ketuhanan, berbagai macam ilmu dapat terukir semua dapat jiwa, sehingga ruhani dapat menerima berbagai macam kejadian ghaib. Karna sesungguhnya para malaikat itu satu kesatuan, Setiap malaikat memiliki maqâm tertentu dan para wali dalam hal ini berada pada derajat dan tingkatan tertentu. Diantaranya ada agung dan ada lebih agung malaikat Jibril merupakan malaikat yang agung, sementara malaikat mikail leih agung. Diantara wali berada dihati malaikat Jibril dan ada pula yang berada dihati malaikat Mikail.

  1. Wali al-Akhla’

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Firman Allah SWT QS.an-Nisa’ :125


وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً ﴿١٢٥﴾

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama IbRAhim yang lurus? Dan Allah mengambil IbRAhim menjadi kesayanganNya.

Rasullah bersabda :

لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلًا لَأَ تَّخِذْتُ اَبَا بَكْرٍ خَلِيْلًا وَلَكِنْ صَاحِبُكُمْ خَلِيْلُ الله.

  1. Wali al-Sumara’

Yaitu wali yang jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang, mereka adalah wali khusus dari golongan wali Hadis mereka tidak lagi berkomunikasi dengan para malaikat, tapi berkomunikasinya langsung dengan Allah SWT.

  1. Wali al-Waratsah

Wali al-Waratsah dibagi menjadi tiga golongan :

  1. Dholim li Nafsihi
  2. Muqtasid
  3. Sabiq bi al-Khoirat

Firman Allah QS. Fathir :32

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.

Rasulallah bersabda :

اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْاَنْبِيَاءِ

  • Wali Sumara’ Dholim li Nafsihi

Adalah: Wali WaRAtsah al- Musthofa (Wali yang menjadi pewaris nabi) yang tidak memberi hak-hak dirinya didunia hingga mereka bahagia di akhirat. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW:

اِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya dirimu memiliki hak, matamu juga memiliki hak atas mu”

Ketika manusia berpuasa terus menerus dan tidak tidur dimalam hari, maka dia telah menganiaya endiri dan matanya. Oleh karena itu Allah menyebutkan dalam Surat al-Fathir: 32 “Dhalim li Nafsihi”. Sang wali menginginkan melakukan Azimah dan yang lebih berat. Karena dia mengetahuinya dengan tujuan menghindari mensia-siakan waktu, ruhsho dan al-batholah.

Adalah ujntuk orang-orang yang lemah. Dalam ayat ini Allah tidak menghendaki menganiaya diri sendiri dengan cara yang dicela Syari’at (aturan).

  • Wali Waratsah al-Kitab yang disebut dengan al-Muqtasid adalah :

Wali yang memberikan hak-hak diri sendiri berupa kenikmatan dunia supaya bisa menjadi penopang untuk berkhidmat kepada Allah dan melakukan amal kebaikan dengan peRasan lapang, keadaan ini berada ditengah antara azimah dan ruhshoh.

  • Wali al- Sabiq bil Khairât

Wali yang lebih dahulu melakukan perintah sebelum waktunya dengan tujuan untuk persiapan. Pada saat memasuki waktu amal, maka dia bersiap-siap menjalankan kewajiban tepat waktu, sehingga tidak ada yang dapat mencegah untuk menjalankannya, seperti wudhu sebelum dating waktu shalat, menunaikan kewajiban Zakat mal sebelum datangnya setahun (Haul), (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 13-72).

Sumber: Alif.ID

43. Macam-macam Tarekat: Tarekat Uwaisiyah

Bab II Kitab Sabilus Salikin telah berakhir. Sekarang mari kita memulai Bab III

Uwaisiyah merupakan penisbatan tarekat kepada Uwais al-Qarni RA (wafat 36 H) Abu ‘Amir Uwais bin ‘Amir al-Muradi Tsumma al-Qarn. Ia  termasuk  golongan pembesar tabi’in  (Syaikh Ismâil haqqi bin Musthâfa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah, 2010, halaman: 18). Ia bahkan termasuk pembesar tabi’in dan orang yang paling utama pada masanya.

Kedudukan Uwais al-Qarni RA disaksikan sendiri oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَجِدُ نَفَسَ الرَّحْمٰنِ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ

“Aku mencium nafas tuhan yang Maha rahman dari arah tanah Yaman”

Yang dimaksud oleh nabi adalah mencium bau harum kekasih Allah SWT yaitu Uwais al-Qarni RA.

وَ يَكْفِيْ شَرَفاً وَ فَخْراً لِمُشَرَّفِ هَذَا الْمَكَانِ مَا وَرَدَ فِي الْخَبَرِ عَنْ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: خَلِيْلِيْ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ أُوَيْسِ الْقَرْنِيِّ.

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسُ، يَأْتِيْ عَلَىْكُمْ فِيْ أَمْدَادِ الْيَمَنِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ الْأَبَّرَهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ.

Rasulullah SAW menuturkan keistimewaan Uwais dikabarkan Allah SWT kepada Umar dan Ali bahwa: ”Ada seseorang dari umatku yang bisa memberikan syafaat di hari kiamat sebanyak bulu domba dari jumlah domba yang dimiliki oleh Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak), lalu para sahabat bertanya: “Siapa dia wahai Rasulullah SAW?”. Rasul SAW Menjawab: “Ia adalah hamba Allah Swt”. Siapa namanya ya Rasul? “Rasul menjawab: “Ia bernama Uwais al-Qarni RA”.

Rasul SAW bersabda: “Yang mencegah untuk menemuiku adalah dua hal (1) karena keadaan, dan (2) karena dia menghormati aturan. Sebab dia mengasuh ibunya yang sudah tua, buta matanya, lumpuh kedua tangan dan kakinya. Uwais bekerja sebagai pengembala unta di siang hari dengan upah yang cukup untuk dibelanjakan untuk ibunya, dirinya dan dishadaqahkan kepada tetangganya yang miskin”.

Para sahabat bertanya apakah kita bisa melihatnya atau tidak? Rasul SAW bersabda, “Abu Bakar al-Shiddiq RA tidak bisa menemukannya, yang bisa menemukan dia adalah Umar dan Ali. Dia memiliki ciri-ciri berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya tanda putih, tanda putih itu bukan penyakit belang (barosh). Jika kalian menemukan dia sampaikan salamku padanya, lalu mintakan doanya untuk umatku”, (Muslim, Shahih Muslim Hadis, Libanon: Dar al-Fikr, nomor: 2542 jilid 4, juz 7, halaman 188 & Farid al-Din al-Attor,  Tadzkirat al-Auliyâ’, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010, halaman 49).

Setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar al-Shiddiq RA wafat, Umar diangkat menjadi Khalifah. Di sela-sela kesibukan Umar sebagai Khalifah beliau teringat tentang sabda Rasul tentang Uwais. Lalu Umar mengajak Ali bin Abi Thalib untuk mencarinya di kota Najt (Yaman).

Umar mengumpulkan penduduk Najt dan bertanya, “Apakah di antara kalian ada seseorang dari suku Qorn?” Penduduk Najt menjawab, “Ya”. Kemudian salah satu dari penduduk Qorn mendekati Umar, lalu Umar mengabarkan tentang Uwais dan para penduduk tidak mengenalnya.

Dengan nada tinggi Umar berkata, “Nabi Muhammad SAW pemilik syariat ini tidak berkata sembarangan”. Sebagian penduduk berkata, “Wahai pemimpin orang mukmin, Uwais adalah orang yang tidak pantas engkau cari karena dia adalah orang gila lagi gelandangan”.

Umar berkata, “Aku mendatangi kalian hanya untuknya, di mana dia?”  Para penduduk Najt menjawab, “Dia ada di lembah Uranah sedang mengembala unta di rerumputan, dia mengembala unta sampai waktu sore hari kemudian kami memberinya makan sore, dia tidak bergaul dalam keramaian penduduk, tidak berteman dengan siapapun, tidak memakan makanan orang pada umumnya, tidak bergembira seperti suka cita orang pada biasanya. Justru dia menangis tatkala semua orang tertawa, dan dia tertawa tatkala banyak orang-orang menangis”.

Umar berkata, “Bawalah aku menemui dia”. Lalu para penduduk mengantar Umar dan Ali menuju ke tempat Uwais, saat itu Uwais sedang shalat, ketika Uwais merasakan kedatangan Umar dan Ali, dia mempercepat shalatnya, lalu ketika Umar melihat Uwais selesai shalat, Umar langsung mengucapkan salam kepada Uwais. Lalu Uwais menjawab salam Umar dan Ali.

Umar bertanya, “Siapa namamu?” Uwais menjawab: “Abdullah (hamba Allah SWT)”. Umar berkata, kita juga hamba-hamba Allah SWT, siapa nama yang dikhususkan untukmu. Uwais menjawab: “Uwais”. Kemudian Umar berkata: “Tunjukkan tangan kananmu kepadaku”.

Pada saat itu terlihat tanda putih di telapak tangan Uwais seperti yang disebutkan oleh nabi Muhammad SAW. Umar berkata, “Nabi kirim salam kepadamu dan berwasiat kepadamu untuk mendoakan aku”. Uwais berkata, “Engkau lebih utama mendoakan seluruh orang-orang muslim karena engkau adalah orang yang paling utama di muka bumi ini”.

Umar berkata, “Aku juga mendoakan orang mukmin tetapi seyogyanya engkau mengikuti wasiat Nabi untuk berdoa”. Uwais keberatan untuk diminta mendoakan, sehingga Uwais berkata, “Wahai Umar mintalah doa kepada seseorang selain aku”. Umar membujuk Uwais untuk mau berdoa, lalu Umar berkata, “Rasul telah menunjukkan tanda-tandamu kepada kami, dan semua tanda itu ada padamu”.

Uwais berkata, “Ambillah wasiat Nabi itu dariku”, lalu sahabat Umar dan Ali kembali ke Madinah, kemudian Uwais bersujud di tanah sambil berdoa, “Wahai Tuhanku, kekasihmu Nabi Muhammad SAW telah memindahkan keadaan ini kepadaku, kekasihmu berwasiat kepadaku untuk berdoa. Wahai Tuhanku, ampunilah seluruh umat Nabi Muhammad SAW”, (Farid al-Din al-Attor,  Tadzkirat al-Auliyâ’, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman:  49-50).

Sumber: Alif.ID

44. Tarekat Uwaisiyah (lanjutan)

Setelah pertemuan antara Uwais dengan Umar dan Ali, tersiarlah kabar bahwa Uwais memiliki derajat yang tinggi, sehingga penduduk kota Yaman selalu mencari dan mendatanginya. Uwais merasa terganggu untuk bermunajat kepada Allah SWT, sehingga ia meninggalkan Yaman agar tidak diketahui keberadaannya oleh penduduk. Tidak ada yang melihat Uwais di mana pun kecuali Harim Bin Hayyan.

Harim bin Hayyan berkata, “Aku mendengar bahwa Uwais bisa diterima syafa’atnya pada hari kiamat, sehingga aku melakukan perjalanan untuk mencarinya, lama aku mencarinya sehingga hatiku terbuai kerinduan untuk bertemu dengan Uwais. Seluruh desa dan kota telah aku lalui, sehingga aku sampai di kota Kuffah. Pencarianku terhenti pada seorang laki-laki yang memiliki ciri-ciri yang persis seperti yang diceritakan Nabi, Umar, dan Ali. Laki-laki itu sedang berwudhu’ di pinggir sungai Furadh. Hatiku senang sekali dan berucap salam padanya, kemudian dia menjawab dan melihat ke arahku, kemudian aku ingin mencium tangannya, tapi dia menolak. Aku berkata semoga Allah SWT mengasihimu dan mengampunimu wahai Uwais. Bagaimana kabarmu? Setelah aku bertanya seperti itu aku tidak kuasa membendung tangisku karena merasa kasihan terhadap keadaan Uwais yang lemah dan Uwais juga menangis.

Usai menangis Uwais berkata, “Wahai Harim bin Hayyan, siapa yang menunjukkanmu kepadaku?” Aku tidak menjawab pertanyaan itu lalu aku balik bertanya, “Bagaimana Anda tahu namaku dan bapakku ?” Uwais menjawab, “Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada yang menceritakan kepadaku, ruhku telah mengenali ruhmu, karena antara ruh orang-orang mukmin saling mengenal”.

Harim berkata kepada Uwais, “Ceritakanlah kepadaku tentang Hadisnya Rasul?” Uwais menjawab, “Aku tidak pernah bertemu dengan Nabi tetapi aku mendengar Hadis Nabi yang diriwayatkan dari sahabatnya, aku tidak menyukai membuka pintu fatwa dan pengingat karena aku telah disibukkan selain hal itu”. Lalu aku berkata, “Aku menyukai mendengar ayat Alquran darimu, kemudian Uwais memegang tanganku sambil mengucapkan ta’awudz, Uwais menangis tersedu-sedu, kemudian membaca ayat Alquran:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ (الذاريات: 56)

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ ﴿٣٨﴾ مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٩﴾ إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ مِيْقَاتُهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٤٠﴾ يَوْمَ لَا يُغْنِي مَوْلًى عَن مَّوْلًى شَيْئاً وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ ﴿٤١﴾ إِلَّا مَن رَّحِمَ اللهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ﴿٤٢﴾ (الدخان: 38-42)

Kemudian Uwais menjerit dengan keras, bahkan aku tidak mengetahui apakah akalnya masih ada atau tidak. Selang beberapa saat Uwais berkata, “Wahai Harim bin Hayyan, kenapa engkau mendatangiku?”. Aku menjawab, “Tujuanku mencarimu untuk merasa tenang dan nyaman bersamamu”.

Uwais mengomentari jawabanku, “Aku tidak mengerti, bahwasanya orang yang mengenal Allah SWT bagaimana ia bisa merasa tenang dan nyaman bersama selain-Nya?” Aku berkata, “Berilah aku wasiat”. Uwais berkata, “Jadikan kematian di bawah kepalamu (ingat pada kematian) dan di dalam kepalamu dan setelah itu tidak ada pengaruh kehidupan setelah kematian (tidak ingat pada kehidupan dunia dan yang diingat hanya Allah SWT semata), jangan engkau memandang dosa kecil tapi pandanglah pada besarnya maksiat kepada Allah SWT karena jika Engkau meremehkan dosa maka Engkau telah meremehkan berpaling dari Allah Swt”.

Harim berkata, “Apa yang Engkau perintahkan kepadaku? Di tempat mana aku bermukim?” Uwais berkata, “Bertempatlah di Syam”. Aku berkata, “Bagaimana aku mendapatkan penghidupan di kota Syam (Syiria)?” Uwais berkata, “Jauhkan perasaan itu dari hatimu, karena keragu-raguan telah mencemari hatimu, sehingga nasihat tidak bermanfaat”.

Aku berkata lagi, “Berilah aku wasiat” Uwais berkata, “Bapakmu Hayyan telah mati, Nabi Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Musa, Nabi Muhammad SAW dan seluruh Nabi dan Rasul telah meninggal semua, Abu Bakar, Umar bin al-Khattab telah mati”. Aku bertanya kepada Uwais “apakah Umar bin al-Khattab telah mati?” Uwais menjawab: “Ya. Allah SWT telah memberikan kabar kepadaku melalui ilham tentang kematian Umar bin al-Khattab”.

Kemudian Uwais berkata, “Wahai Harim, aku dan engkau termasuk golongan orang-orang yang mati”. Kemudian Uwais membaca shalawat kepada Nabi, berdoa dengan doa yang pelan. Lalu Uwais berkata, “Wasiatku kepadamu bersuluklah dengan jalan sesuai syari’at dan tarekat orang-orang yang baik, jangan engkau melupakan zikir kepada Allah SWT walaupun sekejap. Jika engkau sudah sampai kepada kaummu berilah nasihat kepada mereka, jangan engkau memutus nasihat (mengharapkan kebaikan) dari hamba Allah SWT, jangan engkau menyimpang dari taat kepada pemimpin umat sehingga imanmu tidak keluar tanpa kamu sadari, engkau tidak mengetahui apakah engkau akan jatuh ke neraka atau tidak”.

Kemudian Uwais berkata lagi, “Wahai Harim, engkau dan aku tidak akan pernah bertemu sejak saat ini, jangan lupakan aku dalam do’a, berangkatlah ketika aku berangkat, jangan engkau tinggalkan aku sedetik pun sebelum kepergianmu”. Lalu aku dan Uwais menangis, kemudian Uwais pergi sementara aku memandanginya dari belakang sampai Uwais naik ke gunung. Setelah peristiwa itu aku tidak melihat dan mengetahui keadaannya, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ’. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 51–52).

Nasihat-nasihat Uwais al-Qorn

لَا يَخْفَى عَلَىْهِ شَيْءٌ

Maksudnya adalah apabila seseorang sudah ma’rifat kepada Allah SWT (pokok), maka akan mudah baginya semua mahluk (cabang)

اَلسَّلَامَةُ فِي الْوَحْدَةِ

Maksudnya adalah keselamatan itu ada pada menyendiri (secara ruhani bukan secara jasadi)

اِجْعَلِ الْمَوْتَ تَحْتَ رَأْسِكَ وَ عِنْدَ رَأْسِكَ

Maksudnya adalah ingatlah kepada kematian dan janganlah ingat pada kehidupan dunia dan ingatlah hanya Allah SWT semata

وَ لَا تَتَوَقَّعْ الْحَيَاةَ بَعْدَهُ

Janganlah mengharap kehidupan setelah mati. Maksudnya adalah membekali hidup untuk menyongsong kematian.

  • Aku mencari kedudukan, maka aku temukan kedudukanku di dalam sifat tawadhu’.
  • Aku mencari kepemimpinan, maka aku temukan kepemimpinan itu dalam (memberi) nasihat kepada orang.
  • Aku mencari keagungan, maka aku temukan keagungan di dalam sifat fakir.
  • Aku mencari sunnah dan aku temukan sunnah itu di dalam sifat takwa.
  • Aku mencari kemuliaan, maka aku temukan kemuliaan itu dalam sifat qona’ah.
  • Aku mencari kenyamanan maka aku temukan kenyamanan itu dalam sifat zuhud.
  • Ingatlah kepada kematian.
  • Jika kamu mampu (untuk) tidak memisahkan hatimu dengan air mata, maka lakukanlah.
  • Bernadzarlah kepada kaummu ketika kamu kembali kepada mereka.
  • Dan bersungguh-sungguhlah dalam (menghidupi) dirimu.
  • Takutlah meninggalkan (sholat) jamaah.
  • Kamu meninggalkan agamamu sedangkan kamu tidak menyadarinya. Kemudian kamu mati dan masuk neraka pada hari kiamat, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ’. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 54-55).

Penjelasan: Sebagian wali Allah SWT diberi julukan Uwais. Artinya tidak membutuhkan bimbingan dari seorang guru, karena Uwais adalah Faidhul Ilahi (anugerah Ilahi) tanpa perantara orang lain dan berkah cahaya kenabian. Derajat ini adalah maqâm yang sangat tinggi sebagaimana firman Allah Swt:

ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ﴿٤﴾ (الجمعة: 4)

Maka intisab Tarekatnya secara hakikat langsung kepada Allah SWT dan proses suluknya sesuai dengan suluk Nabi sebagaimana sabda Nabi SAW:

أَدَّبَنِيْ رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ

Tuhanku telah mendidikku, maka Allah SWT lah yang memperbaiki adabku.

Sumber: Alif.ID

45. Tarekat Malamatiyah

Malamatiyah adalah nama tarekat yang mulai berkembang pada pertengahan abad ke 3 H. di NaisAbûr kota Khurosan. Tarekat ini juga dikenal denga nama al-Qushâriyah (القصارية) atau al-Hamduniyah (الحمدونية) kedua nama ini dinisbatkan kepada Hamdun bin Ahmad bin Amarah al-Qashar (w. 271 H). Beliau yang menyebarkan tarekat Malamatiyah ini.

Nama lengkapnya adalah Abû Shâlih Hamdûn bin Ahmad bin Ammarah Al-Qushshâr Al-NaisAbûri, tidak diketahui tahun kelahirannya, beliau wafat tahun 271 H. di kebumikan di pemakaman al-Khairah dalam kitab Thabaqât al-Shûfiyah, hlm 109, dikebumikan pemakaman Khaidah dalam kitab al-Thabâqat al-Kubra, hlm. 121, Beliau terkenal sebagai ulama fikih Madzhab Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (77-161 H), dan Sufi.

Syaikh SyihAbûddin Abi Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H.) membahas tarekat Malâmatiyah dalam kitab Awârif al-Ma’ârif, halaman: 82, dan juga diambil dari kitab al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 1, halaman: 165 nomor: 243, Arti Malâmatiyah adalah orang-orang yang mengharapkan hinaan dan cacian terhadap diri sendiri.

Syaikh Hamdun al-Qashar melihat kenyataan manusia, bahwa nafsu itu menggunakan banyak metode untuk meluapkan kesenangan (syahwat). Sementara ikhlâs yang benar itu sangat langka dan sulit untuk sampai pada maqâm ikhlas.

Ada pendapat lain bahwa tarekat Malâmatiyah disandarkan kepada Abû Hafs al-Haddad al-Malamati (w. 204 H.), beliau yang meletakkan dasar-dasar tarekat Malâmatiyah ini sebagai berikut:

  1. Kaum yang mengisi waktu dengan beribadah kepada Allah SWT yang Haq;
  2. Selalu menjaga sirrinya;
  3. Mereka mencela diri sendiri ketika macam-macam ibadah yang dilakukan diketahui orang lain;
  4. Mereka menampakkan perbuatan-perbuatan yang jelek dan menyimpan rapat-rapat kebaikannya sehingga orang lain mencelanya karena yang mereka lihat adalah perbuatan lahir semata;
  5. Pengikut Tarekat ini akan mencela diri sendiri jika orang lain mengetahui sisi batinnya, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259. Mengutib dari kitab al-Malâmatiyah wa al-shufiyah, halaman: 89).

Syaikh Abû Hafs al-Haddad al-Malamati mengambil pelajaran dari Syaikh Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H.) dari Ibrâhîm ibn Adhan bin Mansur bin Zaid bin Jabir bin Tsa’labah bin Ajali (w. 160 H.) dari Hasan Basri dari Saiyidina ‘Ali dari Nabi Muhammad.

Nama tarekat ini tidak disandarkan kepada pendiri atau pengembang tarekat ini tetapi diambil dari ciri khusus penganut Malâmatiyah yaitu suka mencela diri sendiri (لوم الملامتى نفسه). Kata Malâmatiyah berasal dari kata Laum (لوم), لام-يلوْم-لوماً-و مَلاماً-و مَلامةً yang berarti mencela, mengecam dengan keras (Warson Munawir, al-Munawir: 1392). Maksudnya adalah pengikut tarekat Malâmatiyah meyakini bahwa diri tidak memiliki bagian apapun di dunia ini secara mutlaq, mereka merasa tenang dan bahagia ketika dicela karena mereka berkeyakinan bahwa dirinya sangat jelek, hal ini dilakukan untuk melawan tabiat nafsu (مخالفة النفس) yaitu suka pamer (Riya’), cinta dunia, jabatan, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٤﴾

  1. Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Qs. al-Maidah: 54)

Maksud (لوم الناس) adalah pengikut Malâmatiyah memandang bahwa hubungannya dengan Allah SWT adalah Rahasia (sirri) sehingga tidak patut untuk diketahui orang lain. Mereka sangat suka untuk menyembunyikan rahasia tersebut.

Jika rahasia ini terungkap maka akan membuat kekasihnya cemburu, karena orang yang terpaut dengan kekasihnya tidak menyukai orang lain datang kepada kekasihnya. Bahkan dalam kecintaan yang tinggi, seseorang akan membenci pada orang lain yang memperlihatkan perhatian pada kekasihnya.

Rasulullah SAW Adalah panutan, Imâm bagi ahli haqiqat, panutan bagi para pecinta (muhibbin). Diceritakan dalam kitab Shirah bahwa nabi Muhammad SAW. dalam awal penyampaian risalah kenabian banyak menghadapi hinaan, cacian, makian, perkataan kotor, perbuatan-perbuatan yang menyakitkan, bahkan nabi pernah dilempari batu hingga berdarah tetapi nabi menghadapi dengan sabar dan do’a yang baik.

اللهم اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Pengikut tharîqat ini merasa kuatir membuat kecemburuan di hati manusia ketika keadaan dan rahasia-rahasia itu terungkap pada manusia dengan pujian dan sanjungan yang patut diungkapkan. Maka pengikut Malâmatiyah malah sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menarik hinaan dan kebencian manusia.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa ketika Allah SWT cinta kepada seorang hamba-Nya akan memberi potensi kepada makhluk untuk berbuat yang menyakitkan agar engkau tidak merasa tentram kepada mereka (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 57-58), dan Allah SWT menjadikan seluruh alam untuk mencacinya, tetapi Sâlik Malâmatiyah tidak memperdulikan hinaan dan cacian demi menyelamatkan rahasia-rahasianya bersama Allah SWT (kekasihnya).

Salik menyembunyikan segala bentuk kebaikan dari pandangan manusia untuk menyelamatkan rahasia-rahasianya sehingga manusia tidak melihat kebaikan yang melekat pada diri Sâlik dan tidak membuat mereka kagum, Sâlik merasa tenang dan senang terhadap hinaan, untuk menghilangkan sifat ujub, Sâlik menampakkan perbuatan-perbuatan jelek dan menyembunyikan perbuatan baik. Ini adalah pokok ajaran yang kuat dalam jalan menuju kepada Allah SWT, karena tidak ada hijab bahaya yang lebih sulit dibuka dibanding manusia yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.

Sifat pada `ujub muncul didorong oleh 2 hal, yaitu:

  1. Mencari kedudukan dan pujian di hadapan manusia. Contoh; seseorang melakukan amal kebaikan untuk mendapatkan simpati manusia, lalu dia memuji diri sendiri dan melihatnya sebagai orang yang penuh kebaikan;
  2. Suatu perbuatan seseorang untuk memperoleh simpati manusia lain lalu mereka memujinya dan orang tersebut merasa `ujub (merasa lebih baik dari yang lain).

Sumber: Alif.ID

46. Tarekat Malamatiyah (lanjutan)

Imâm Ghazali dalam kitab Raudhah al-Thalibîn, bab ke 15 dan al-Majmû’ al-Rasâil, halaman: 132. menyatakan wajib bagi hamba menjaga amal dari 10 hal (yang bisa merusak amal) yaitu: sifat nifaq, riya’, mencampur amal, ingin mendapat imbalan, merusak amal, penyesalan terhadap amal baik, ‘ujub, malas dalam amal, meremehkan dan takut dicaci-maki manusia.

Allah SWT menutup anugerah kepada kekasih-Nya yang menempuh jalan kepada-Nya sehingga amal perbuatannya tidak disukai makhluk walaupun perbuatannya baik, karena mereka tidak bisa melihat hakikat dan kesungguhannya walaupun amal perbuatannya banyak. Karena manusia tidak melihat sekitarnya dan kekuatan jiwanya.

Para Sâlik Malâmatiyah tidak ‘ujub (menganggap baik) terhadap dirinya sendiri, sehingga mereka mampu menjaga dirinya dari ‘ujub. Barangsiapa senang terhadap perbuatan baik manusia tidak senang terhadapnya. Barangsiapa memilih dirinya sendiri maka kebaikan tidak akan memilihnya.

Azazil (nama asli Iblis) (Nashâih al-Îbâd, halaman: 57) sangat dicintai makhluk. Sementara Allah SWT dan para malaikat tidak menyukai Iblis. Karena Azazil atau Iblis menganggap dirinya lebih baik dari nabi Adam As., sehingga Iblis tidak disukai dan akhirnya mendapat laknat Allah SWT

…. فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴿٣٤﴾

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ ﴿٧٦﴾

Malaikat merupakan makhluk Allah SWT yang sangat menyukai kebaikan sehingga anak Adam As. tidak menyukai kebaikan.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Pada ayat tersebut mirip ungkapan malaikat yang sangat mencintai amal baik, sedangkan reaksi dari anak adam adalah tidak menyukai para malaikat. Sementara para malaikat pada saat mengungkapkan hal itu tidak mempunyai sifat ‘ujub (membanggakan) terhadap diri sendiri.


قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا …. ﴿٢٣﴾

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri.

Sehingga para malaikat disenangi kebaikan, sebagaimana firman Allah Swt:

فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْماً ﴿١١٥﴾ (طه: 115)

…Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.

Mulamatiyah juga dikenal dengan Mulamiyah, Mulamiyah adalah orang yang tidak menampakkan sesuatu yang ada dalam batin terhadap lahirnya akan tetapi mereka adalah bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan keikhlasan, dan mereka juga adalah pimpinan dan Imâm ahli tarekat (jalan menuju Allah) dan juga pemimpin alam semesta, di antaranya adalah Nabi Muhammad SAW dan mereka meletakkan sesuatu sesuai dengan ketetapan alam ghaib artinya mereka tidak menyalai kehendak dan pengetahuan Allah, mereka tidak menafikan sebab musabab terjadinya sesuatu kecuali pada peniadaan dan penetapan yang sesuai pada tempatnya. Barang siapa yang meniadakan sebab musabab pada tempat yang seharusnya ditetapkan maka dia termasuk orang-orang bodoh. Barangsiapa berpedoman pada tempat penetapan dengan peniadaan maka dia termasuk menyekutukan dan mengingkari. Wali mulamiyah merupakan orang yang masuk pada kategori sabda Rasulullâh SAW:

أَوْلِيَائِيْ تَحْتَ قَبَابِيْ لَايَعْرِفُهُمْ غَيْرِيْ

(al-Ta’rifât, halaman: 227, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 67).

Muamalah Tarekat Malâmatiyah

  • Malamah Istiqamah Sirri:

Sâlik selalu menyendiri dalam amal ibadahnya, selalu bersungguh-sungguh menjaga agamanya, dan hubungan muamalahnya. Sehingga para manusia mencaci-maki sementara Sâlik ini tidak memperdulikan dan mengabaikan hinaan tersebut.

Sâlik dalam tahap ini meniadakan sifat munafik dalam hati, meninggalkan riya’, tidak takut dihina makhluk, tetap berjalan pada prinsip-prinsip tiap ahwal, sanjungan dan hinaan terasa sama oleh Sâlik, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 261).

Diceritakan bahwa Syaikh Abû Thahir al-Harami pada suatu hari menunggang keledai yang berjalan menuju ke arah pasar, salah satu muridnya menghalau keledai tersebut dengan memegang tali kendalinya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berteriak “ini (Abû Thahir al-Harami) adalah syaikh Zindiq, dan disahut oleh orang-orang pasar yang lain”. Ketika mendengar teriakan ini, salahsatu murid ingin membalas dengan melempari batu terhadap penghina tanpa kehendak gurunya. Lalu syaikh Abû Thahir al-Harami berkata kepada muridnya: “Jika Engkau tetap diam aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu agar engkau bisa selamat dari cobaan ini.” Maka muridpun diam. ketika keduanya kembali ke tempat pemondokannya, maka sang guru berkata kepada muridnya: ambillah kotak itu dan keluarkan isinya berupa beberapa Surat, kemudian sang guru berkata kepada muridnya: Lihatlah!, Saya telah memberikan Surat ini kepada beberapa orang, dan masing-masing dari mereka memberikan julukan yang berbeda diantaranya memberikan julukan syaikh seorang pemimpin, dan yang lain memberikan julukan syaikh seorang yang cerdas, ada yang memberikan julukan syaikh seorang yang zuhud, ada yang memberikan julukan syaikh al-Haramain dan lain-lain, semuanya adalah laqab bukan sebuah nama. Semua itu mengatakan dengan dasar keyakinan mereka masing-masing.

  • Malamah al-Qashd

Adapun seseorang yang menyengaja tarekat Malâmatiyah, meninggalkan pangkat dan kedudukan, meninggalkan bergaul dengan makhluk, maka hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Amîrul Mukminîn Utsman Ibn Affan RA., ketika beliau sedang berada di kebun kurma, beliau sedang memikul kayu sedangkan beliau mempunyai 40 pembantu, lalu seorang pembantu berkata kepadanya, ya AmîRAl Mukminîn apa yang baginda lakukan? Beliau menjawab: (saya ingin melatih hati saya). Hal ini saya lakukan sampai saya bebas melakukan apapun tanpa adanya halangan antara saya dan kedudukan saya. Hal inipun juga dilakukan oleh Imam Abû Hanifah.

Kisah yang sama juga dikisahkan oleh Abu Yazid al-Busthami ketika beliau hendak ke Madinah, semua orang keluar untuk menyambut dan memuliakannya, dan ketika semua orang memberikan pujian kepadanya, maka masuklah Abu Yazid al-Busthami ke pasar dan beliau mengeluarkan roti dari dalam sakunya dan kemudian  memakannya, dan kejadian ini berada pada bulan RAmadhan. Maka kembalilah semua orang dan meninggalkan beliau sendirian.

  • Malamah al-Tark

Adapun orang yang tarekatnya meninggalkan pangkat dan kedudukan dan memilih sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, maka dia akan mengatakan: saya adalah orang yang sedang masuk dalam tarekat malamah, pendapat ini adalah pendapat yang sesat, bahaya yang nyata dan benar-benar gila. Sebagaimana pendapat mayoritas orang-orang pada zaman sekarang, adapun yang dimaksud meninggalkan makhluk adalah menerima makhluk, karena kewajiban seorang manusia pertama adalah diterima oleh makhluk kemudian berusaha untuk menolaknya.

Adapun tarekat ini disebar-luaskan oleh Hamdûn ibnu Ahmad ibnu  ‘Ammârah al-Qashshâr. Beliau berkata: (al-Malamah adalah meninggalkan keselamatan). Ketika seseorang meninggalkan keselamatannya, maka dia akan melakukan beberapa cobaan dan meninggalkan semua hal-hal yang disenanginya, karena berangan–angan ingin menggapai keagungan Tuhan dan akhirat, sehingga dia cuek dengan makhluk dan meninggalkannya. Semakin cuek dan meninggalkan makhluk, maka semakin dekatlah dia kepada Tuhannya. Maka segala sesuatu yang diterima oleh semua makhluk, itulah keselamatan, dan ini ditujukan kepada Ahlu malamah, agar semua prasangka makhluk berbeda dengan prasangka Ahlu malamah dan prasangka Ahlu malamah berbeda dengan prasangka para makhluk. Baca juga:  Kisah-Kisah Spiritual: Pertemuan Para Burung

Hakikat mahabbah yang terindah adalah berada dalam tarekat malamah, karena caci makian seorang yang dicintai tidak memberikan dampak pada yang dicintai, dan tidak membuat lari kekasih kecuali masuk ke wilayah kekasihnya, tidak ada getaran jiwa selain kepada kekasihnya, karena tarekat Malâmatiyah merupakan taman orang-orang yang rindu pada kekasih.

Golongan ini khusus dicaci secara fisik karena keselamatan hati. Derajat ini tidak bisa diperoleh oleh malaikat muqarrabîn karubiyyin ruhaniyyin, manusia (ahli zuhud, ahli ibadah) kecuali Sâlik tarekat ini yaitu orang-orang yang menjalankan tarekat dengan memutus tali temalinya hati, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265).

Sumber: Alif.ID

47. Ketetapan Malamatiyah

Ketetapan-ketetapan Malamatiyah adalah sebagai berikut:

  1. Tidak menampakkan dan tidak menyembunyikan kejelekan. Artinya, Sâlik Malâmatiyah melakukan sesuatu dengan ikhlâs, melaksanakan sesuatu dengan kesungguhan hati tidak suka menunjukkan amal (zhahir) dan hal (amal hati atau batin) kepada seseorang;
  2. Sâlik Malâmatiyah berpegang teguh pada keikhlâsan, mereka memandang bahwa menyembunyikan ahwal (keadaan hati/batin)merasa nikmat, jika sampai amal ahwal mereka terlihat oleh seseorang sehingga Sâlik merasa gelisah sebagaimana orang yang berbuat maksiat merasa gelisah karena kemaksiatannya diketahui orang;
  3. Sâlik Malâmatiyah lebih mengedepankan keikhlâsan, sementara para shufi menghilangkan keikhlâsan.

Abû Ya’qub al-Susi berkata: “Ketika Sâlik Malâmatiyah menemukan keikhlâsannya secara ikhlâs maka mereka butuh keikhlâsannya dengan ikhlâs”. Sebagian ‘Ulama’ berkata: “Ikhlâs yang benar adalah melupakan pandangan kepada makhluk dengan terus menerus memandang kepada Allah SWT yang haq, sementara Sâlik Malâmatiyah memandang makhluk sehingga dia menyamarkan amal dan halnya”.

Ja’far al-Khâlidi bertanya kepada Imâm Junaid (Baghdad, w. 297 H/910 M.) tentang perbedaan ikhlâs dan shiddiq. Imâm Junaid berkata: “Shiddiq adalah pokok dan permulaan, sementara ikhlâs adalah cabang dan yang mengikuti, keduanya juga memiliki perbedaan karena ikhlâs tidak akan muncul sebelum ada perbuatan”.

Imâm Junaid berkata : “Ikhlâs adalah kemurnian dan pemurnian, dimana kemurniannya terbentuk dalam proses pemurnian itu”. Keadaan Sâlik Malâmatiyah berupa keikhlâsan seperti ini, sedangkan proses pemurniannya merupakan keadaan para shufi dan kemurnian yang terbentuk dari proses itu merupakan hasil.

Sâlik Malâmatiyah menyembunyikan keadaan mereka untuk 2 hal:

  1. Mewujudkan kejujuran dan keikhlâsannya;
  2. Untuk menutupi keadaannya dari rasa cemburu orang lain.

Diceritakan dari Ibrâhîm bin Adham beliau berkata: “Aku sampai di suatu desa bersamaan hujan yang lebat, angin musim dingin mengenaiku, sehingga tambalan bajuku robek, kemudian aku sampai di masjid dan aku tidak diperkenankan masuk ke dalam masjid itu, aku mencoba masuk kedua dan ketiga kalinya sehingga aku lelah tak berdaya. Tiupan angin dingin hampir membinasakanku kemudian aku masuk ke pemandian, aku mengeringkan pakaianku di atas api, sampai-sampai asap api mengenai pakaian dan wajahku, keadaan itu sampai tengah malam”.

Ibrâhîm bin Adham adalah salah satu `ulama’ besar pada zamannya yang dalam perjalanannya kehujanan, beliau mencari tempat berteduh di masjid, dan oleh petugas masjid sampai tiga kali. Ibrâhîm bin Adham tidak marah dan mencari tempat lain untuk berteduh, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265).

Zikir Tarekat Malâmatiyah

Dalam tarekat Malâmatiyah zikir dibagi menjadi 4 macam:

  1. Zikir Lisan: dilaksanakan Sâlik dengan menggunakan lisan sementara hatinya lupa, Sâlik masih mengharapkan pahala atau ingin mencapai maqâm-maqâm tertentu dan ingin diterima di kalangan tertentu. Ini adalah zikir Sâlik umum;
  2. Zikir Qalb (hati): setelah Sâlik bisa melaksanakan zikir lisan dengan baik, selanjutnya Sâlik menghentikan zikir lisan dan beRAlih melaksanakan zikir qalb (hati).

Sâlik pada tahap ini menghitung kenikmatan-kenikmatan yang diterima sementara dia lupa terhadap dzat pemberi nikmat, sibuk memperhatikan karunia lupa terhadap pemberi karunia, ingin mendapat pahala, merasa sudah mencapai maqâm-maqâm tertentu. Ini adalah bentuk terendah dari kedudukan terendah dan paling jauh. Munculnya keinginan batin yang memandang pada tujuan sebagai pertimbangan perwujudan awal;

  1. Zikir Sirri: setelah Sâlik melaksanakan zikir lisan dan qalb lalu Sâlik menghentikan kedua zikir tersebut dan beRAlih melakukan zikir sirri.

Kendala yang ada pada zikir sirri adalah terpautnya pengaruh zikir qalb.

Zikir sirri adalah zikir keagungan, disebut juga Haibah atau zikir sifat, ini mulai diRasakan Sâlik sebagai pendekatan (Taqarrub). Zikir ini menimbulkan Rasa takut, tunduk dan khawatir. Timbulnya Rasa khawatir (Haibah), Rasa wujud dan ini kebalikan Fana’;

  1. Zikir Ruh: setelah Sâlik bisa melaksanakan zikir lisan, qalb dan sirri lalu Sâlik menghentikan ketiga zikir tersebut dan berganti dengan zikir ruh. Kendala awal yang dialami oleh Sâlik pada zikir ruh adalah munculnya zikir sirri terhadap ruh. Ini adalah zikir musyahadah, (Majmû’ah al-RAsâil al-Imâm al-Ghazâli fi RAudhah al-Thalibîn, halaman: 104-105).

Secara muamalah tarekat Mulamatiyah menghilangkan kedudukan di dalam hati makhluk dengan cara melakukan sesuatu yang menjadi bahan makian makhluk sehingga hilanglah kedudukan Sâlik Malâmatiyah di dalam hati manusia. Sâlik Malâmatiyah memishakan diri dari kerumunan kehidupan manusia untuk dapat diterima di hadapan Allah SWT Merasa tenang dengan menyembunyikan jati diri dan ditolak oleh manusia umum dan diterima oleh Allah SWT.

Diceritakan bahwa sebagian para Raja bermaksud menemui ahli zuhud, ketika Raja itu sudah dekat, zâhid (orang zuhud) itu meminta makanan dan minuman yang banyak. Dia (zâhid) makan dengan suapan yang besar. Raja yang melihat tingkah zâhid tersebut lalu memalingkan wajah dan pergi. Sang zâhid berkata: ”Alhamdulillah segala puji bagi dzat yang telah memalingkanmu dariku”.

Untuk menghindari kemuliaan yang diberikan oleh Raja atau pemimpin negara, sebagian dari zâhid (bahkan) ada yang meminum-minuman halal yang dimasukkan ke dalam botol khamr (minuman keras). Sehingga para pejabat menyangka bahwa zâhid itu minum khamr, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 255).

Sumber: Alif.ID

48. Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (1)

Abû al-Qâsim al-Junaid ibn Muhammad al-Junaid al-Kharaz al-Qawariri al-Baghdâdi memiliki julukan (laqab) Abû al-Qâsim. Julukan “al-Qawariri” disandarkan kepada profesi ayahnya, penjual kaca. Al-Junaid kemudian mendapat julukan al-Kharaz, yang artiya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad.

Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 5). Al-Junaid adalah salah seorang shûfi terkemuka di samping seorang ahli fikih.

Dalam fikih, beliau bermazhab kepada Imâm Abû Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam mazhab tersebut saat usianya masih 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sarri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdâdi yang termasuk teman pamannya, dan sufi terkemuka lainnya.

Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-Thâ-ifah al-Shûfiyyah, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 370).

Al-Junaid salah sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu, banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islâm.

Abû Alî al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli makrifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang ia telah melakukan semua hal,  sehingga boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan”.

“Lalu al-Junaid berkata kepadanya: ‘Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala amal perbuatan akan gugur. Ini bagiku adalah suatu pendapat yang sangat berbahaya. Seorang pezina dan pencuri bahkan jauh lebih baik dari pada orang yang berpendapat seperti itu. Sesungguhnya orang-orang yang arif billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh amal perbuatan sesuai perintah Allâh Swt., karena hanya kepada-Nya amal perbuatan itu kembali.”

“Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikit pun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allâh Swt. kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.

Meninggalkan kelezatan dunia

Muhammad Ibn Abdullâh al-Razi berkata: Saya mendengar Abû Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak menjalankan tasawuf dengan banyak bicara saja (al-qil wa al-qâl). Tapi kita melakukannya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allâh Swt yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 372).

Sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasûlullâh Saw.: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…”.

Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allâh Swt. tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasûlullâh Saw. dalam setiap keadaannya”.

Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allâh Swt. selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.

Beliau juga berkata: “Siapa yang tidak hafal Alquran dan tidak menulis hadis-hadis Rasûlullâh Swt. maka orang tersebut jangan diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan Alquran dan Sunnah”. Sikap wara’, zuhud, taqwâ, tawâdhu’, dan kuat dalam ibadah sudah tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid.

Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.

Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.

Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300 raka’at, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8). Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak 300 raka’at dan 30.000 kali bacaan tasbîh.

Sumber: Alif.ID

49. Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (2)

Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang kemegahan dunia. Jawabnya, “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.

Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.

Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300 raka’at, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8). Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak 300 raka’at dan 30.000 kali bacaan tasbîh.

Banyak sekali karâmah yang dianugerahkan oleh Allâh Swt. kepada al-Junaid sebagai bukti kebenaran keyakinan dan jalan yang ditempuhnya. Di antaranya; suatu ketika datang kepadanya seorang Yahudi kafir seraya bertanya: “Wahai Abu al-Qasim, apakah pengertian dari hadits Nabi Saw.:
اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
Takutilah pada firasat seorang mu’min, karena ia melihat dengan cahaya dari Allâh Swt”. (Artinya penglihatan seorang mu’min yang saleh itu memiliki kekuatan).

Mendengar pertanyaan spontan dari orang Yahudi itu, al-Junaid sejenak menundukkan kepala. Tiba-tiba al-Junaid berkata: “Wahai orang Yahudi, perkataanmu benar, dan firasatku menyuruh untuk melepaskan simbol kekafiranmu, masuk Islâmlah engkau karena telah datang waktu bagimu untuk masuk agama Islâm”.

Mendapat jawaban demikian, orang Yahudi tersebut langsung masuk Islâm, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 374 dan Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 2, halaman:10 dan Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:15 ).

Suatu hari, Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al-Baghdadi menderita sakit mata. Beliau pun memanggil seorang tabib. Tabib itu berkata: “Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air”.

Namun ketika tiba waktu saalat, Syaikh Junaid malah berwudhu’, saalat, kemudian tidur. Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia mendengar sebuah suara berkata: “Junaid mengabaikan matanya demi memilih keridha-an kami. Jika, demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya akan kami kabulkan’.”

Keesokan harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid dan melihat bahwa mata Junaid telah sembuh. “Apa yang telah engkau lakukan?” tanya sang tabib keheranan. ”Aku berwudhu’ untuk shalat,” jawab Syaikh Junaid.

Seketika itu pula sang tabib, yang beragama Kristen, mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Ini adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan penyembuhan makhluk,” komentar tabib tersebut. “Wahai Syaikh junaid, yang sakit bukan matamu. Engkaulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.” Sahut tabib. (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 376-377).

Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk disembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.

Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak dapat melaksanakan perintah Syaikh yang begitu mudah.

Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana.

Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan cara demikian, ia pikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.

Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allâh Swt.) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia (Allâh Swt.) masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia (Allâh Swt.) masih menemaniku. Aku tak bisa pergi ke tempat dimana tak ada yang melihatku, aku merasa dimanapun dan kapanpun aku berada di situ selalu ada Dia (Allâh Swt). Demikian jawaban dari santri muda tersebut.

Al-Junaid wafat hari Jum’at, riwayat yang lain hari Sabtu tahun 297 H. atau 910 M. Abu Bakar al-‘Aththar berkata: “Menjelang al-Junaid wafat kami dengan beberapa orang sahabat berada di sisinya. Beliau dalam keadaan melaksanakan shalat dengan posisi duduk. Setiap kali hendak sujud ia menekuk kedua kakinya.

Beliau terus berulang-ulang melakukan shalat, hingga ruh dari kakinya mulai terangkat. Ketika kakinya sudah tidak bisa lagi digerakkan, Abû Muhammad al-Jariri berkata kepadanya: Wahai Abu al-Qasim sebaiknya engkau berbaring!. Kemudian al-Junaid mengucapkan takbir dan membaca 70 ayat dari surat al-Baqarah namun sebelumnya beliau telah mangkhatamkan al-Qur’an karim. (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman:17)

Sumber: Alif.ID

50. Sejarah Perkembangan Tarekat Junaidiyah

Awal pendidikan al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada pamannya sendiri, Sari al-Saqathi, yang dikenal sebagai seorang shufi yang sangat luas ilmu pengetahuannya.

Ketika usianya 20 tahun, al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqih pada Abu Thawr, seorang faqih yang kondang di Baghdad. Setelah mempelajari hadits dan fiqih, al-Junaid beralih menekuni tashawwuf, sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tashawwuf sejak berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari al-Saqati. Selain itu Junaid kecil juga belajar sufisme dari siapa saja sehingga pengetahuan shufismenya semakin hari bertambah luas. Ketika dewasa bisa dibilang ilmu al-Junaid dalam shufisme telah cukup matang.

al-Junaid terkenal dengan seorang shufi yang cerdas, memiliki pikiran cemerlang dan selalu cepat tanggap dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak.

Kedudukannya diantara para shufi sangatlah terhormat, bahkan Sari al-Saqathi sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya kepada Sari al-Saqati, “Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tashawwuf?” Sari al-Saqati menjawab, “Tentu saja bisa, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tashawwuf al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai.” (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 370).

Lebih jauh al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang shufi harus tetap meyakini Keesaan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Dalam ajaran Shufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Shufi memiliki:

  1. Kemurahan hati seperti Ibrahim As.;
  2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail As.;
  3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub As.;
  4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria As.;
  5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya As.;
  6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa As.;
  7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa As.;
  8. Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad Saw, (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 387).

Sumber: Alif.ID

51. Sanad, Silsilah, dan Amalan Tarekat Imam Junaid

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa satu disiplin ilmu (silsilah al-rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lain hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri yaitu Rasulullah SAW. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan, satu paket. Seluruh ilmu Islam memiliki sanad, yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran sesuai maksud pembuat syariat, Allah SWT dan Rasul.

Di antara sebab “kebalnya” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dari berbagai upaya untuk merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran dari  nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Adanya berbagai perubahan pada ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh para nabi itu, karena tidak memiliki sanad.

Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW, yang tidak dikaruniakan kepada umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah SAW akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.

Tentang pentingnya sanad, Imâm Ibn Sirin, ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:

إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْحِ)

“Sesungguhnya ilmu agama ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imâm Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîh-nya).

Imâm ‘Abdullâh ibn al-Mubarak berkata;

الإسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata tentang urusan agama terhadap apapun yang ia inginkan”.

Silsilah tarekat Imam Junaid

Silsilah tarekat imâm Junaidî sampai Rasulullah SAW adalah:  Imâm Ma’rûf al-Karkhi dari Imâm ‘Alî al-Ridlâ, dari Imâm ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadzîm, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far al-Shâdiq, dari ayahnya sendiri; Imâm Muhammad al-Baqîr, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imâm al-Husain (Syahîd Karbala), dari ayahnya sendiri; Imâm ‘Alî ibn Abî Thalib, dari Rasulullah SAW.

Lihat mata rantai berikut:

Rasulullah SAW

Imâm ‘Alî ibn Abî Thalib

Imam al-Husain (Syahîd Karbala)

Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin

Imîm Muhammad al-Baqîr

Imam Ja’far al-Shâdiq

Imam Musa al-Kadzîm

Imâm ‘Alî al-Ridlâ

Imâm Ma’rûf al-Karkhi

Imâm al-Sirri al-Saqthi

Imâm al-Junaid al-Baghdâdi

Amalannya: Salawat Kubra

اَلْفَاتِحَةُ إِلَى رُوْحِ وَلِيِّ اللهِ سَيِّدِنَا الْإِمَامِ جُنَيْدِ الْبَغْدَادِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ نَفَعَنَا بِهِ وَ بِعُلُوْمِهِ وَ اَسْرَارِهِ فِى الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ وَ إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الفاتحة)

بسم الله الرحمن الرحيم

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْمُرْسَلِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ النَّبِيِّيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الصِّدِّيْقِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الرَّاكِعِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْقَاعِدِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ السَّاجِدِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الذَّاكِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْمُكَبِّرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الطَّاهِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الظَّاهِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الشَّاهِدِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْاَوَّلِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ الْآخِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَارَسُوْلَ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا نَبِـيَّ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَاحَبِيْبَ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ اَكْرَمَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ عَظَّمَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ شَرَّفَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ اَظْهَرَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنِ اخْتَارَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ صَوَّرَهُ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَنْ عَبَدَ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا خَيْرَ خَلْقِ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا خَاتِمَ رُسُلِ الله

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سُلْطَانَ الْأَنْبِيَاءْ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا بُرْهَانَ الْأَصْفِيَاءْ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـصْـطَـفٰى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـــعْــلٰى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـجْـتَـبٰى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُــزَكَّـى

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَــكِّــيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مَــدَنِـيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا عَـرَبِـيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا قُرَشِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا هَاشِمِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا اَبْطَحِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا زَمْزَمِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا تِهَامِيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا اُمِّـيُّ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَ وَلَدِ آدَمَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا أَحْمَدُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُـحَمَّدُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا طٰـهٰ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا يٰس

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا مُدَثِّرُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ الْكَوْثَرِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا شَفِيْعُ يَوْمَ الْمَحْشَرِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ التَّاجِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ الْمِعْرَاجِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَالْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَالْمُحْسِنِيْنُ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدَالْكَوْنَيْنِ وَالثَّقَلَيْنِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا صَاحِبَ النَّعْلَيْنِ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَا رَسُوْلَ الله، يَاخَاتِمَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ

أَلْفُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَ أَلْفُ أَلْفِ سَلَامٍ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَا نَبِيَّ الله، إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

52. Tarekat Ghazaliyah

Tarekat Ghazaliyah dinisbatkan kepada Abu Hamid Muhammad aL-Ghazali (lahir 450 H./ 1111 M.) Mujaddid abad ke-5 Hijriyah. Ghazaliyah merupakan tarekat yang terbesar pada masanya dari ahlu sunnah wa al-jamaah. Tarekat ini menyerap kelebihan-kelebihan dari tarekat pendahulunya serta memberikan corak yang jelas terhadap tarekat-tarekat sesudahnya, sampai sekarang (al-Adab al-Shufî fi al-Maghrab wa al-Andalus, halaman: 52).

Hamid Muhammad aL-Ghazali dilahirkan di kota Tunis, satu kota di Khurasan (450 H./ 1111 M). Orang tuanya pedagang yang bertakwa, memiliki toko yang menjual hasil tenunan sendiri di kota Khurasan. Orang tuanya sering menghadiri majlis fuqahâ’, majlis wu’azh (nasihat) untuk mengikuti pengajian, dan selesai pengajian selalu berdoa agar diberi anak yang ahli fikih dan ahli nasihat.

Kesungguhan orang tua Imam Ghazâli berbuah manis yaitu diberi rizki oleh Allah SWT dua orang anak laki-laki;

1). Ahmad Abu Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazâli, yang dijuluki sebagai mujtahid madzhab Syafii. Beliau terkenal sebagai penasihat yang tampan wajahnya, pemilik beberapa karamah dan ahli memberikan isyarat. Beliau menggantikan saudaranya (Imam Ghazâli) mengajar, ketika Imam Ghazâli meninggalkan Nidhamiyah karena  melaksanakan zuhud. Beliau meninggal tahun 520 H di Baqzawin (al-Ghazâli, Ihyâ’ Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8).

2) Muhammad Imam Ghazali yang menjadi mujtahid madzhab Syafii (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383 dan al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8).

Imam al-Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dan Alquran dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani di kota Thusi, kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr al-Isma’ili dan menulis buku al-Ta’liqât. Kemudian pulang ke Thusi, (al-Subki, Thabaqât al-Syafiiyah, juz 6, halaman: 195. dan Muhammad abu yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 383.  dan al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 8. dan  Insklopedi Islâm, jilid 2, Jakarta: 1993, halaman: 25)

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fiqih mazhab Syafii dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang berbeda pendapat dengannya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu al-Juwaini.

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazâli ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para `ulamâ’ dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana.

Maka pada tahun 484 H., beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah an-Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Di sinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal dan mencapai kedudukan yang sangat tinggi. Pengajian Imam Ghazâli dihadiri 300 ulama dan 100 pimpinan pemerintah Baghdad.

Penduduk kota Baghdad takjub dan mengagungkan Imam Ghazâli, sehingga Imam Ghazâli menjadi ulama dalam berbagai bidang keilmuan yang sangat berpengaruh di kota Baghdad dan Khurasan. Ia menjadi tokoh terkemuka di zamannya baik dalam bidang keilmuan, pemikiran, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 385).

Setelah kemasyhuran diperoleh, maka datanglah ujian dan cobaan dari Allah SWT berupa keragu-raguan yang mendalam. Beliau meragukan kebenaran yang ditangkap oleh panca indera dan akalnya, beliau berusaha mengobati dengan potensi keilmuan dan akalnya, tapi tidak sembuh bahkan menjadi semakian kuat keraguannya.

Hatinya terserang badai dalih yang tidak terselamatkan, kecuali dengan pertolongan al-Ilahiyyah. Penyakit ini berlangsung dua bulan, sampai Allah SWT memberi kesembuhan  dengan nur Ilahi (cahaya Tuhan) yang dipancarkan ke hatinya, dan nur ilahi itu menjadi kunci pokok beberapa pengetahuan.

Imam Ghazâli mengomentari tentang kesembuhannya, “Barang siapa yang menyangka keterbukanya hati hanya dengan  sebuah dalil, maka dia mempersempit rahmat Allah SWT, padahal rahmat Allah SWT sangat luas”. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. Ketika  menjawab pertanyaan sahabat tentang Firman Allah SWT:

فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَآءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿١٢٥﴾ [الأنعام: 125]

Maka Nabi SAW Menjawab: “Pembuka itu adalah nur yang ditancapkan kedalam hati”, sedangkan tanda-tandanya adalah; menjauh dari tipu daya dunia dan kembali ke kehidupan akhirat. Dan akhirnya Imam Ghazâli keluar dari gelapnya keraguan menuju ke cahaya keyakinan dan tenggelam dalam cahaya Ilahi selamanya.

Kemudian Imam Ghazâli pindah menuju negara Syam dan menetap selama dua tahun, dan beliau melakukan `uzlah, khalwat, riyadhah, mujahadah dan membersihkan hati dengan memperbanyak zikir kepada Allah SWT

Kemudian Beliau bertempat di menara masjid Damaskus, dan menutup pintunya  agar beliau bisa menyepi dengan Tuhannya, menutup pintu hatinya untuk melaksanakan zikir dan bertasbih dengan ruh di alam malakut bersama dengan Allah SWT Kejadian itu terjadi selama perjalanan ke Baitul Muqaddas, setiap hari masuk di kubah batu dan menutup pintu kubah agar bisa beribadah, munajat, tafakkur, musyahadah dan menghabiskan waktunya untuk Allah SWT pada kondisi seperti itu Imam Ghazâli mengarang kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddin.

Imam Nawawi mengomentari Kitab Ihyâ’ ‘Uumuddin bahwa Ihyâ’ Ulumuddin hampir-hampir seperti Alquran. Syaikh Abu Hasan al-Syadzili memerintahkan kepada murid-muridnya untuk membaca kitab Ihyâ’ Ulumuddin, dan beliau berkata, “Kitab Ihyâ’ ‘Ulumuddin bisa memberimu keilmuan”, (Muhammad abu Yazid al-Mahdi, A’lâm al-Shûfiyah, Kairo: Dâr Gharib, 1998. Halaman: 387-389).

Karya-karya Imam Ghazâli :

1). Ihyâ’ ‘Ulumuddin, 2). Tahâfat al-Falâsafah, 3. al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd, 4. al-Munqidz min al-Dhalâl, 5. Jawâhir Alquran, 6. Mîzân al-‘Amal, 7. al-Muqshid al-Usna fi Mâ’anî Asma’ Allah al-Husna, 8. Faishal al-Tafarruqah baina al-Islâmi wa al-Zindiqah, 9. al-Qisthâs al-Mustaqîm, 10. al-Mustadzharâ, 11. Hujjah al-Haq, 12. Mufshil al-Khilâf fi Ushûl al-Dîn, 13. Kîmiyâ’ al-Sa’âdah, 14. al-Basîth, 15. al-Wasîth, 16. al-Wajîz, 17. Khulâshah al-Mukhtashar, 18. Yâqut al-Ta’wîl fi Tafsîr al-Tanzîl, 19. al-Mustashfa, 20. al-Mankhûl, 21. al-Muntahil fi ‘Ilmi al-Jadal, 22. Mi’yâr al-‘Ilmi, 23. al-Maqâshid, 24. al-Madhnûn bih ‘ala Ghairi Ahlih, 25. Misykât al-Anwâr, 26. Mahk al-Nadzor, 27. Asrâru ‘Ilmi al-Dîn, 28. Minhâj al-‘âbidîn, 29. al-DaRAr al-Fâkhirah fi Kasyf ‘Ulûmi al-Akhirah, 30. al-Anîs fi al-Wahdah, 31. al-Qurbah ila Allah ‘Azza Wajalla, 32. Akhlâq al-Abrâr wa al-Najâh min al-Asyrâr, 33. Bidâyah al-Hidâyah, 34. al-Arba’în fi Ushûl al-Dîn, 35. al-Dzarî’ah ila Makârim as-Syarî’ah, 36. al-Mabâdi’ wa al-Ghâyât, 37. Talbîs Iblîs, 38. Nashihah al-Mulûk, 39. Syifâ’ al-‘Alîl fi al-Qiyâsi wa al-Ta’lîl, 40. Iljâm al-‘Awâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm, 41. al-Intishâr, 42. al-‘Ulûm al-Dunniyyah, 43. al-Risâlah al-Qudsiyyah, 44. Itsbât al-Nadzor, 45. al-Ma’khat, 46. al-Qaul al-Jamîl fi al-Radd ‘ala min Ghairi al-Injîl, 47. al-Amâlî, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulumuddin, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 23).

Sumber: Alif.ID

53. Dasar-Dasar Tarekat Ghazaliyah

Dasar-dasar Tarekat Ghazaliyah terkumpul dalam istilah Qawaidul ‘Asyrah (al-Ghazâli: Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, Dâr al-Fikr: 1996, halaman: 430-432).

  1. Niat yang sungguh-sungguh
  2. Beramal karena Allah SWT tanpa menyekutukan Allah SWT dan persekutuan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW.:

اعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Tanda-tandanya adalah;

  1. Salik (orang yang berjalan menuju Tuhan) tidak menyukai amal yang tidak benar.
  2. Salik memutuskan segala sesuatu selain Allah SWT, sehingga salik menjauhi makhluk.
  3. Hendaklah salik meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya merasa aman dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: ”Sebagai salah satu kebaikan Islâm seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berfaidah baginya”.

Jika ketiga pokok ini sudah nyata, maka cabang  yang tumbuh akan membuahkan dekat kepada Allah, maka salik hidup di dunia bermakna akhirat. Rasul bersabda:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرَ سَبِيْلٍ وَ عُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُوْرِ

  1. Selaras, sesuai dengan kebenaran secara lahir batin, tidak menuruti dorongan nafsu, menjauhkan nafsu dari kesenangannya. Hal itu dilakukan dengan penuh kesabaran dan meniggalkan kesenangan, sesuatu yang lezat, tempat yang indah dan perselisihan yang didorong oleh nafsu. Barangsiapa membiasakan diri dengan hal ini, maka dia dikeluarkan dari hijab nafsu lalu masuk ke terbukanya hijab. Tidurnya menjadi terjaga dari percampuran dengan mahluk menjadi uzlah bagi salik, dari kenyang menjadi lapar, dari mengaggap diri mulia menjadi hina, dari berbicara menjadi diam, dari mengambil yang banyak menjadi sedikit.
  2. Beramal dengan mengikuti nabi Muhammad SAW. Dengan tujuan salik bukan termasuk orang yang mengikuti dorongan kesenangan, tidak ada pandangan kemegahan pada diri salik, karena orang yang sengaja melakukan amal perbuatan wali itu tidak beruntung.


قَالَ النَّبِيُّ صَلْعَمْ: عَلَىْكُمْ بِالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ لَوْ كاَنَ عَبْدًا حَبَشِيًّا

  1. Tidak menunda-nunda keinginan yang luhur untuk melakukan amal kebaikan karena menundanya menjadi penyebab kerusakan.

Imam Ghazâli berkata: “Jangan meninggalkan amalmu hari ini untuk dilakukan hari esok. Karena amal-amal perbuatan tersusun dari sebagian amal yang lain”. Jika tidak demikian maka salik masuk pada ungkapan: “Barangsiapa yang rela dengan sesuatu yang rendah maka dia terhalang mendapat sesuatu yang lebih tinggi”. Salik yang kamil adalah salik yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW, bukan orang yang membuat aturan sendiri, bukan orang yang keluar dari aturan atau ahli bid’ah.[blockquote align=”right” author=”Imam Ghazali”]“Jangan meninggalkan amalmu hari ini untuk dilakukan hari esok. Karena amal-amal perbuatan tersusun dari sebagian amal yang lain”[/blockquote]

قَالَ النَّبِيُّ صَلْعَمْ: (يَا أَحْبَابِيْ عَلَىْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ) قالوا: يا رسول الله و ما السواد الأعظم؟ قال: (مَا أَنَا عَلَىْهِ وَ أَصْحَابِيْ)

  1. Sâlik harus merasa lemah dan hina. Bukan berarti malas melaksanakan taat dan meniggalkan bersungguh-sungguh tapi bermakna lemah melakukan sesuatu kecuali atas kekuasaan Allah SWT yang Maha Pemberi, dan salik memandang mahluk dengan pandangan penuh kewibawaan dan kemuliaan. Karena sebagian mahluk bisa menjadi lantaran (wasilah) bagi sebagian yang lain untuk dapat memandang keagungan Allah SWT Karena berdasarkan kebiasaan-kebiasaan Allah SWT (sunnatullâh) tatkala Allah SWT menghendaki sesuatu maka Allah SWT menetapkan lantaran (wasilah). Jika Allah SWT menghendaki menunjukkan keagungan-Nya maka Allah SWT menyandarkannya pada selain Allah SWT dengan tujuan menjaga kaidah ketertiban.

Ketika engkau mengetahui bahwa segala sesuatu itu berada dalam kekuasaan Allah SWT dan kembali pada-Nya lalu engkau merasa sombong, maka engkau telah sombong terhadap-Nya, kecuali dengan sesuatu yang menjadikan engkau sampai kepada-Nya. Maka jadikanlah kelemahanmu dalam kekuasaan Allah SWT. Jadikan tempatmu sebagai alasan untuk sampai kepada-Nya. Kekuasaanmu (pada saat ini) tidak terbentuk karena telah tercabut dalam proses pembentukan.

  1. Khauf dan raja’ secara maknawi. Tidak ada ketenangan dalam keagungan ihsan, kecuali telah ada kenyataannya. Dalam hal ini ada tuntutan khusnuzhan (perasangka baik) dengan sifat murah hati yang baik.
  2. Terus-menerus memiliki hak-hak baik hak Allah SWT atau hak hamba. Karena barangsiapa tidak berusaha memenuhi hak, maka harta bendanya bersumber dari pertolongan. Orang yang berusaha terus menerus akan merasa bosan lalu melepaskan kebosanannya itu. Berbeda dengan orang yang menghilangkan (kepemilikan) amal perbuatan dan ucapannya (ikhlas). Karena nafsu menyebar sifat bosan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Nafsu juga menjaga hak-hak hamba sebagaimana perbuatan makhluk ada yang baik dan buruk. Maka reaksi nafsu salik timbul cinta (ketika baik), timbul benci (ketika perbuatan jelek) dengan apa yang disenangi oleh nafsu akan dicintai dan apa yang dibenci oleh nafsu akan dibenci salik.
  3. Melanggengkan murâqabah kepada Allah SWT.  Hati salik tidak lupa kepada Allah SWT walaupun sekejap mata. Barangsiapa hatinya bisa bermurâqabah terus menerus kepada Allah SWT maka selainnya akan hilang, lalu salik akan menemukan Allah SWT dan kebaikannya. Dengan seperti itu ilmu al-yaqîn bisa engkau dapatkan yaitu engkau menyaksikan beberapa gerakan, diam suatu benda digerakkan dan didiamkan oleh Allah SWT.

Kemudian engkau menambah murâqabahmu hingga engkau naik pada ilmu al-yaqîn dan itu adalah hakikat yakin.

Hakikat muroqobah adalah melirik pada dzat yang mengawasi dengan mengalihkan perhatian kepada-Nya. Muroqobah merupakan keadaan hati yang bisa menjadi buah dari kemakrifatan, amal dhohir dan amal hati (batin). Sementara keadaan hati bisa timbul dengan menjaga hati terhadap dzat yang mengawasi, sibuk dengan-Nya, menoleh, melirik, memperhatikan kepada-Nya.

Adapun makrifat yang menjadikan buah pada keadaan ini (menjaga hati) adalah adanya guru karena Allah melihat terhadap perasaan/suara hati, mengetahui terhadap rahasia yang tersimpan, mengawasi terhadap perbuatan hamba, melaksanakan perbuatan yang dilakukan oleh diri manusia.

Sesungguhnya rahasia hati pada hakikatnya terbuka sebagaimana dzohirnya kulit yang ada pada makhluk juga terbuka akan tetapi terbukanya hati lebih kuat. Sehingga makrifat ini ketika menjadi yakin akan mengurangi keraguan, kemudian makrifat akan menguasai dan memaksa hati.

Terkadang salik diberi pengetahuan tentang sesuatu yang tidak ada keraguan-keraguan, sehingga salik tidak bisa mengontrol hatinya seperti, salik mengetahui tentang kematian. Ketika makrifat menguasai hati maka hati akan melaksanakan penjagaan pada sisi pengawasan dan makrifat memalingkan angan-angannya hanya kepada Allah SWT

Muroqobah dibagi menjadi 2 tingkatan:

  1. Muroqobah al-Muqorrobîn, yang dilakukan oleh shiddiqin (orang-orang yang memiliki kejujuran dan di akhirat di bawah bendera Abu Bakar al-Shiddiq RA) adalah muroqobah keagungan dan kemuliaan.
  2. Muroqobah al-Waro’în, yang dilakukan oleh Ashhab al-Yamîn (orang-orang yang bisa mengendalikan lahir, batin dan hati untuk bisa secara yakin memperhatikan Allah Swt). Adalah melirik pada keagungan, hatinya masih tetap pada batas i’tidal (lurus) tetap berusaha menoleh pada keadaan dan perbuatan, (Ihyâ’ ‘Ulumuddin, juz 4, halaman: 346-347).

Sâlik harus mengetahui sesuatu yang wajib bagi salik untuk menyibukkan diri baik secara lahir dan batin dengan sungguh-sungguh, karena orang yang merugi dan bodoh.

Sumber: Alif.ID

54. Syarat-syarat Menjadi Salik

Kewajiban Sâlik dan orang yang menginginkan menjalankan tarekat (murid) untuk menuju kepada Allah SWT, (Muhammad Amin: Khulashah al-Tashawif fi al-Tasawuf fi Majmû’ah RAsâil lil Imam al-Ghazâli, Dâr al-Fikr: 1996. Halaman: 170-171). adalah sebagai berikut:

  1. Harus beri’tiqad yang benar,
  2. Taubat nashuha,
  3. Meminta maaf dan kerelaan musuhnya sehingga tidak ada hak-hak makhluk yang menjadi tanggungan Sâlik,
  4. Belajar ilmu syari’at menurut kadar, dengan ilmu itu bisa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT, hukumnya tidak wajib mempelajari selain itu. Adapun mempelajari selain ilmu syari’at cukup dengan kadar keselamatannya. Seperti yang di lakukan Imam Syibli, beliau berkata: “Aku telah belajar dan berkhidmat kepada 400 orang guru, Aku mempelajari 4000 Hadis dari mereka, lalu aku memikirkan dan mendalami Hadis itu karena aku melihat keselamatanku ketika mengamalkannya, aku juga melihat bahwa orang-orang dahulu dan orang-orang akhir semuanya masuk dalam kategori Hadis itu yaitu:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ بِقَدْرِ مَقَامِكَ فِيْهَا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ بِقَدْرِ بَقَائِكَ فِيْهَا، وَاعْمَلْ لِلهِ بِقَدَرِ حَاجِتَكَ إِلَيْهِ، وَاعْمَلْ لِلنَّارِ بِقَدَرِ صَبْرِكَ عَلَيْهَا.

  • Perjalanan Sâlik dalam Menempuh Tarekat Berputar dalam 3 Pokok:
  1. Khauf (takut kepada Allah SWT) sumber takut kepada Allah SWT berasal dari cabang ilmu, tanda tanda khauf adalah Sâlik berlari menuju Allah SWT
  2. Raja’ (berharap hanya kepada Allah Swt), yang merupakan cabang dari keyaqinan dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm Raja’ adalah mencari kepada yang diyakini (Allah Swt).
  3. Cinta, merupakan cabang dari ma’rifat, dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm cinta adalah mendahulukan terhadap yang dicinta (Allah SWT) dari pada dirinya, keluarga, harta, kedudukan dan lain-lain, jika cahaya (nûr) ma’rifat sudah terpancar dari hati Sâlik maka Sâlik akan meninggalkan kegelapan maksiat anggota tubuh. Jika Sâlik dapat keluar dari jeratan kematian maka Sâlik bersyukur kepada Allah SWT atas pertolongan dan perlindungan-Nya, Sâlik selalu berusaha mengembalikan segala sesuatu kepada Allah SWT karena tidak ada tempat yang patut untuk dijadikan tempat mengungsi dari semua keadaan selain Allah SWT, Sâlik selalu berdo’a kepada Allah SWT minta dizhahirnya dibersihkan dari semua dosa, bathinnya dibersihkan dari cela, dihilangkan kealpaan dari-Nya, dipadamkan syahwat nafsu yang digambarkan sebagai api, istiqamah dalam menjalankan tarekat. Karena cahaya siang sebagai tanda akhirat, dunia digambarkan sebagai malam yang gelap, tidur sama dengan mati, (Minhaju al-Arifin, dalam kitab Majmû’ah al-RAsâil al-Imam al-Ghazâli, halaman: 213).
  • Imam Ghazâli Memberikan Peringatan kepada Sâlik tentang Perubahan-perubahan Hati Sâlik yang Terbagi 4 Macam
  1. RAf’un: hati Sâlik terangkat dengan melakukan zikir kepada Allah SWT Tanda-tanda terangkatnya hati Sâlik dengan 3 hal: a). perilaku Sâlik sesuai dengan aturan syari’at, tarekat dan hakikat yang telah diatur oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW dan para syaikh (mursyid), b). tidak melanggar aturan, c). selalu rindu kepada Allah SWT
  2. Fath: terbukanya hati Sâlik dengan ridha kepada Allah SWT Tanda-tanda terbukanya hati Sâlik ada 3: a). tawakkal, b). jujur c). yaqin
  3. Khafdh: hancurnya hati Sâlik dengan sibuk terhadap salain Allah SWT Tanda-tanda pecahnya hati Sâlik ada 3: a). ‘ujub, b). riya’, c). cinta dunia.
  4. Waqaf: hati Sâlik berhenti (mati) dengan lupa kepada Allah SWT Tanda-tanda hati Sâlik yang mati ada 3: a). hilangnya kenikmatan taat, b). tiadanya Rasa pahit ketika melakukan maksiat, c). mencampur barang halal.

Pesan-pesan Imam Ghazâli tentang Zikir

Jadikan hatimu sebagai kiblat lisan, Rasakanlah kehidupan ibadah dan kewibawaan sifat ketuhanan ketika melakukan zikir, ketahuilah bahwa Allah SWT mengetahui Rahasia-Rahasia hatimu, perbuatan zhahirmu dan mendengar ucapanmu. Maka basuhlah hatimu dengan kesusahan dan hidupkanlah cahaya takut kepada Allah SWT Ketika hijab kealpaan hilang dihatinya, maka keberadaan zikirmu bersama dengan Allah SWT serta Allah SWT menyebut namamu dalam dzat-Nya. Allah SWT berfiman dalam Surat al-‘Ankabut: 45

…. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ….﴿٤٥﴾ (العنكبوت: 45)

…….Karena Allah SWT tidak membutuhkan zikirmu sememtaRA engkau membutuhkan zikir kepada Allah Swt…….

Allah SWT berfiman dalam Surat al-RA’d: 28

….أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾ (الرعد: 28)

Allah SWT berfiman dalam Surat al-Anfal: 2

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾ (الأنفال: 2)

Zikir dibagi menjadi 2 : a). zikir yang murni dengan yang sesuai dengan karakter hati (selalu tertarik dengan tarikan-tarikan Ilahi) dalam hal menghilangkan pandangan hati Sâlik terhadap selain Allah SWT, b.) zikir yang bersih dengan hilangnya tujuan zikir (Sâlik berzikir tidak merasa berzikir), (Minhaju al-`Arifin dalam kitab Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 214).

Tarekat ini didirikan oleh al-Ghazâli, seorang shufi, ahli kalam dan ahli filsafat Islâm, karena itu ajaran tasawufnya sangat moderat dan jauh dari penyimpangan.

Menurutnya, tasawufnya terdiri dari dua hal: tulus kepada Allah SWT dan berbuat baik terhadap manusia adalah shufi, Tulus kepada Allah SWT berarti seorang hamba harus mengesampingkan kecenderungan dirinya demi perintah Allah SWT

Menurutnya, Tarekat harus menjalankan dua hal; Melanggengkan zikir kepada Allah SWT dan meninggalkan suatu perkara yang dapat melupan Allah SWT Ini merupakan perjalan kepada Allah SWT, bukan pergerakan musafir dalam perjalannya musafir dan bukan perjalanan musafir itu sendiri, tapi kedua menggambungkan keduanya, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 6).

Berbuat baik terhadap sesama berarti tidak mendahulukan kepentingan di atas kepentingan orang banyak, selama kepentingan mereka tidak bertentangan dengan syara’, karena barang siapa rela terhadap penyimpangan syara’, dia bukan seorang shufi. Andaikata mengaku sebagai shufi, itu adalah kebohongan.

Sumber: Alif.ID

55. Syarat-syarat Masuk Tarekat Ghazaliyah

Sâlik harus memenuhi beberapa syarat sebelum memasuki tarekat, menurut al-Ghazâli memerlukan beberapa syarat yang tidak mudah diantaranya:

  1. Mengedepankan ilmu dari pada ibadah

Dalam pandangan ilmu al-Ghazâli, mendahulukan ilmu dari pada ibadah menjadi wajib, karena dua hal;

Pertama, agar ibadah menjadi sah dan diterima, Kedua, ilmu yang bermanfaat menghasilkan ketakutan dan ketundukan dalam hati kepada Allah SWT.

Dan hal itu akan mendatangkan ketaatan dan mencegah ma`siat dengan pertolongan dan petunjuk Allah SWT Dibalik dua hal ini tidak menyimpan suatu maksud dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT Karena itu, ilmu yang manfaat harus dimiliki seorang shufi, karena itulah masih terdapat prasyarat lain; Pertama, untuk beribadah seorang harus mengetahui sembahannya. Bagaimana menyembah sesuatu yang tidak diketahui keberadaan-Nya dan sifat-sifat-Nya serta apa yang wajib dan yang mustahil bagi-Nya. Barangkali seseorang meyakini sesuatu dalam sifat-sifat-Nya yang menyimpang dari kebenaran, maka ibadah itu laksana debu yang tercerai-berai.

Kedua, seseorang harus mengerti apa yang menjadi kewajiban dan apa yang harus ditinggalkan menurut syara’. Dari uraian ini, al-Ghazâli melihat bahwa ilmu yang harus dikuasai seseorang pelaku tarekat ada tiga macam:

  1. Ilmu tauhid. Batasan minimal yang harus dikuasai Sâlik adalah apa yang dikenal sebagai ilmu dasar-dasar Agama dan kaidah-kaidah dalam ber-akidah.
  2. Ilmu sirr (rahasia). Yaitu ilmu yang berhubungan dengan hati.
  3. Ilmu adat yang terlihat. Yaitu ilmu yang berhubungan dengan anggota tubuh, badan dan harta.

Setelah Allah memberikan pengetahuan kepada apa yang wajib diketahui, apa yang wajib dijalani serta apa yang harus ditinggalkan, seorang murid barulah diperkenankan menghadap Imam/ Syaikh, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 14).

  1. Mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan seluruh ikatan dan tulus kepada Allah SWT

Menurut al-Ghazâli, tarekat adalah mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan semua ikatan dan tulus dengan subtansi cita-cita. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama-tama ia menyendiri dalam zawiyah berkonsentrasi dengan ibadah-ibadah, baik yang fardhu maupun rawatib, dan duduk dengan hati yang hanya dipenuhi keinginan berzikir kepada Allah SWT Kemudian mengulang-ulang sebutan “Allah” dengan lisannya secara menghadirkan segenap hati dan perasaannya sampai pada suatu kondisi tertentu. Kondisi dimana seandainya gerakan lisan telah berhenti dan beralih menuju alam pikiran, terlihat seakan-akan lafadz itu tetap terucap dari lidahnya karena seringnya pengulangan.

Kondisi ini berlangsung sampai pengaruh lisan benar-benar hilang disusul oleh gerakan batin dan hati secara terus-menerus. Setelah itu barulah yang tertinggal dalam hati hanya sebatas makanan yang dimaksud, tidak lagi mengindahkan huruf-huruf dan struktu-struktur kalimat. Seorang murid hanya berikhtiar sampai batas ini. Setelah itu hanya berkewajiban menjaga diri dari Rasa was-was yang bisa mengganggu konsentrasinya. Jika semua ini telah dilewati, ia tinggal menanti apa yang akan muncul padanya, sebagaimana terjadi pada para wali. Dan itu adalah sebagian dari yang dialami para Nabi.

Simâ’ dan Adabnya

Derajat pertama dalam simâ’ yaitu faham pada sesuatu yang didengar dan bisa menangkap ma’na sesuatu yang didengar oleh pendengar, kemudian pemahaman tersebut membuahkan al-wajdu (keadaan hati), al-wajdu bisa menggerakan anggota tubuh lahir tanpa pertimbangan, hal ini disebut al-Idlthirâb, adapun gerakan yang menggunakan pertimbangan disebut dengan al-roqsh (menari dengan gerakan teratur) dan al-Tashfîq (menari sambil tepuk tangan).

Simâ’ bagi salik bisa menghasilkan keadaan jiwa bermuamalah kepada Allah, merubah keadaan salik dari keadaan (hâl) satu ke keadaan (hâl) lainnya karena tidak ada tujuan bagi murid kecuali ma’rifat, wushûl kepada Allah dengan cara musyâhadah secara sirri dan membuka tutup hati, hal-hal yang terjadi ketika salik simâ’, adakalanya salik mencela dirinya sendiri atau menerima percakapan atau menerima sesuatu, atau menolak atau wushûl atau diam atau mendekat atau menjauh atau rindu kepada penantian atau rindu pada yang akan terjadi atau muncul harapan atau putus asa atau galau/kesediahan atau merasa tentram atau bisa menerima janji dst, (Ihya’ ‘Ulûm al-dîn, juz 2, hlm. 257).

Adab simâ’, Salik harus mengikuti aturan ilmu tentang ma’rifat kepada Allah dan sifat-Nya jika tidak maka simâ’ bisa berakibat buruk pada salik.

Sumber: Alif.ID

56. Melanggengkan Zikir, Fikir dan Wirid

Tarekat Ghazâliyah memiliki perhatian besar terhadap zikir, fikir dan wirid. Dengan zikir terus-menerus akan melahirkan Rasa cinta (mahabbah), dan dengan fikir yang tidak terpurus akan mencapai ma’rifat.

Tarekat Ghazâliyah berusaha mengantarkan murid menuju ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT selama di dunia. Seorang hamba jika telah mencintai Allah SWT selama di dunia, dia akan meninggalkan dunia ini dengan kecintaannya kepada-Nya. Demikian pula jika telah mencapai ma’rifat  kepada Allah SWT di dunia, ia akan mati dalam keadaan ma’rifat kepada-Nya.

Jika seorang hamba mati dalam keadaan ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT, jalan untuk menuju pertemuan dengan Allah SWT di akhirat akan terhampar di hadapannya. Jika telah bertemu Allah SWT di akhirat, maka ia telah selamat.

Al-Ghazâli berkata: “Tidak ada keberuntungan selain bertemu kepada Allah SWT Dan tidak ada jalan untuk bertemu dengan-Nya, kecuali mati dalam keadaan ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya. Mahabbah tidak akan tercapai tanpa membiasakan zikir kepada kekasih. Dan ma’rifat kepada-Nya tidak akan tercapai tanpa berfikir tentang sifat-sifat-Nya. Tidak ada eksistensi selain Allah SWT dan perbuatan-Nya.

Tidak mudah untuk dapat berzikir dan berfikir sebelum meninggalkan hal-hal keduniaan, kecuali sebatas keperluan dharuratnya. Semua itu tidak akan tercapai secara sempurna tanpa menyita waktu siang-malam dengan kegiatan zikir dan fikir.

Dengan dasar ini al-Ghazâli menyusun wirid-wirid untuk siang dan malam yang bertujuan mensucikan hati, membersihkan dan menghiasinya dengan zikir kepada Allah SWT dan perasaan dekat kepada-Nya.

Di samping kumpulan wirid yang disusunnya,  al-Ghazâli juga membuat rincian untuk wirid-wirid siang maupun malam.

Wirid siang ia rinci menjadi tujuh dalam empat waktu:

  1. Satu wirid antara waktu shubuh hingga terbit matahari.
  2. Dua wirid antara waktu terbit hingga tengah hari.
  3. Dua wirid antara tengah hari dan waktu `ashar.
  4. Dua wirid antara `ashar dan maghrib.

Wirid malam, yang terinci menjadi lima dan terbagi dalam lima waktu:

  1. Satu wirid dari terbenam matahari sampai hilang mega merah.
  2. Satu wirid dari waktu `Isyâ’ sampai menjelang waktu tidur masyarakat.
  3. Satu wirid di waktu tidur.
  4. Satu wirid selepas tengah malam hingga menjelang seperenam akhir malam.
  5. Satu wirid dalam seperenam akhir malam (waktu sahur).

Selain wirid-wirid yang terbagi secara terperinci itu, al-Ghazâli memposisikan fikir sebagai ibadah yang harus dijalankan murid sebagaimana ibadah-ibadah lain. Jadi, dalam fikir terkandung makna zikir kepada Allah SWT dengan dua kelebihan: Pertamakelebihan dalam ma’rifat, karena fikir merupakan kunci menuju ma’rifat dan pembuka al-kasyf. Keduakelebihan dalam mahabbah, di mana hati tidak akan merasa cinta sebelum meyakini kebesaran-Nya. Sementara keagungan-Nya tidak akan terbaca sebelum mengetahui sifat-sifat-Nya, kekuasaan-Nya dan keajaiban ciptaan-Nya. Jadi, dari fikir tercapai ma’rifat, dan ma’rifat muncul rasa kagum (pengagungan) dan dari rasa kagum tumbuh rasa cinta.

Dikatakan bahwa zikir juga dapat menumbahkan rasa senang (al-‘uns)yang merupakan bagian dari mahabbah. Akan tetapi, rasa cinta yang lahir melalui ma’rifat lebih kuat dan lebih agung.

Perbandingan mahabbah orang ‘ârif (ahli ma’rifat) dengan ahli zikir yang tidak melihat dengan sempurna, bagaikan kecintaan orang yang menyaksikan keindahan seseorang dan ketinggian budi pekerti serta tingkah lakunya dengan rasa cinta orang yang sekedar mendengar sifat-sifatnya tanpa pernah melihatnya secara langsung. Maka kecintaannya terhadap orang yang didengar kebaikannya tidak seperti kecintaan orang yang menyaksikan kebaikan itu secara langsung. Karena berita bukanlah sebagaimana penglihatan.

Dan alasan ini, sesungguhnya rasa cinta seorang ‘ârif berbeda dengan rasa cinta ahli zikir. Imam al-Ghazâli berkata:

“Hamba yang membiasakan zikir kepada Allah SWT dengan hati dan lisan, dan membenarkan risalah Nabi SAW dengan keimanan yang tulus, tiada ungkapan mereka akan keindahan sifat-sifat Allah SWT pada diri mereka selain sebagai anugerah paling indah yang mereka yakini dengan membenarkan dzat yang telah menghiaskannya pada diri mereka, Orang ‘ârif adalah mereka yang menyaksikan keagungan dan kebaikan dengan mata bathin yang lebih tajam daripada mata lahir, karena tidak ada seorang pun yang sanggup menyentuh substansi keagungan dan keindahan-Nya, Hal itu tidak terjangkau oleh siapapun. Orang hanya sanggup menyaksikan sebatas apa yang terbuka baginya. Keindahan Tuhan tiada bertepi, demikianpun hijab-Nya”.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan tertinggi dan urutan zikir dalam tarekat Ghazâliyah adalah zikir lisan, hati dan terakhir secara bersama, dan terakhir adalah zikir dengan lisan saja.

Sumber: Alif.ID

57. Wirid Siang Tarekat Ghazaliyah (1)

Wirid Siang terperinci menjadi 7, masing-masjng memiliki waktu tertentu:

  1. Dari shubuh hingga matahari terbit, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 335-342)., susunannya sebagaimana keterangan al-Ghazâli berikut ini:

Ketika bangun dan tidur, hendaknya berzikir kepada Allah dengan bacaan:

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيٓ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

Bacaan ini disempurnakan hingga selesai sebagaimana telah ditulis dalam buku kumpulan do’a-do’a. Selama berdo’a memakai pakaian dengan niat menutup aurat sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT Berdo’a kepada Allah SWT dalam beribadah tanpa bermaksud riya’, kemudian menuju ke kamar mandi (jika ada perlunya), mendahulukan kaki kiri dan membaca do’a yang telah di sebutkan dalam kitab thaharah saat masuk atau keluar. Kemudian bersiwak (membersihkan mulut) dan berwudhu’ dengan tetap memperhatikan hal-hal sunnah serta membaca do’a yang telah disebutkan dalam kitab thaharah. Di sini kami hanya menyebutkan salahsatu bentuk ibadah sekedar untuk memperlihatkan sisi susunan dan urutannya saja.

Selepas wudhu’ mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, lebih utama dikerjakan di rumah sebagaimana telah dilakukan Rasulullah SAW Selesai shalat di rumah atau di masjid membaca do’a yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:

اللهم إِنِّيٓ أَسْأَلُكَ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِكَ تَهْدِى بِهَا قَلْبِي

Kemudian keluar rumah menuju masjid dengan berjalan tenang, tidak tergesa-gesa dan tetap sopan sebagaimana anjuran sunnah.

Memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan sambil membaca do’a masuk masjid. Di dalam masjid diusahakan mencari tempat atau barisan paling awal jika memungkinkan. Tidak memaksakan diri jika tempatnya telah penuh sebagaimana dijelaskan pada bab shalat jum’at.

Melaksanakan shalat sunnah fajar dua rakaat jika belum mengerjakannya di rumah, disusul bacaan do’a-do’a. Jika sudah melaksanakan shalat sunnah fajar dua rakaat di rumah, hendaknya melaksanakan shalat tahiyyat di masjid. Kemudian duduk menanti jama’ah, lebih utama bersegera melaksanakan jama’ah, karena Rasulullah SAW selalu datang di awal waktu shubuh. Tidak baik meninggalkan shalat berjamaah, khususnya Shubuh dan `Isyâ’ karena pada keduanya terdapat banyak keutamaan.

Selesai shalat sunnah fajar dua rakaat sebaiknya membaca istighfâr dan tasbih hingga datang saat shalat Shubuh berjama’ah.

Bacaan istighfâr tersebut adalah:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ 70×

Dan bacaan tasbih adalah:

سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرْ 100×

Melaksanakan shalat fardhu dengan tetap menjaga etika lahir maupun bathin. Usai shalat, duduk di masjid berzikir hingga terbit matahari. Sebaiknya tidak berbicara, akan tetapi yang dilakukan hingga terbit matahari adalah empat hal: berdo’a, mengulan-gulang zikir, membaca Alquran dan bertafakkur (merenung).

Do’a selesai shalat dimulai dengan bacaan:

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَ سَلَّمَ، اللهم اَنْتَ السَّلَام وَ إِلَىْكَ يَعُوْدُ السَّلَام

Membuka do’a dengan cara Rasulullah SAW, yaitu dengan bacaan:

سُبْحَانَ رَبِّيْ الْعَلِيِّ الْأَعْلَى الْوَهَّابُ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ حْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ اَهْلُ النِّعْمَةِ وَ الْفَضْلِ وَ الثَّنَآءِ الْحَسَنِ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ لَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَ لَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

Membaca semua do’a, atau menghafal sejumlah do’a yang dianggap sesuai dengan keadaannya atau yang mudah bagi lisannya. Semua amalan yang diuraikan aI-Ghazâli di atas berdasarkan pada sunnah Rasul, namun tidak menyebutkan Hadis–Hadis itu, karena khawatir akan membutuhkan pembahasan yang sangat panjang.

Tujuan kajian adalah memberi gambaran secara umum tentang tarekat-tarekat shufi. Adapun penjabarannya terdapat pada karangan-karangan para syaikh dan imam tarekat.

Selesai berdo’a dilanjutkan membaca zikir berulang-ulang, karena dalam pengulangannya ada keutamaan. Dalam mengulang bacaan zikir tidak perlu terlalu banyak, paling sedikit mengulangi setiap bacaan 3 atau 7 kali dan paling banyak 70 atau 100 kali, dan ukuran sedangnya 10 kali. Mengulangi bacaan zikir disesuaikan dengan kelonggaran waktu, yang lebih banyak lebih besar keutamaannya.

Yang sedang dan yang baik adalah mengulanginya sepuluh kali, Yang demikian lebih memungkinkan untuk dilakukan secara teratur, meski hanya sedikit. Setiap pekerjaan yang tidak mungkin pelaksanaannya secara tetap dalam skala besar, maka yang sedikit tapi terus menerus adalah lebih utama dan lebih terasa pengaruhnya dalam hati. Berikut beberapa bacaan dziklr yang mudah dijaga:

  • لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ حْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
  • سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرْ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
  • سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلَآئِكَةِ وَ الرُّوْحِ
  • سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَسْأَلُهُ التَّوْبَةَ
  • اللهم لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَ لَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَ لَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدّ مِنْكَ الْجَدُّ
  • لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ
  • بِاسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَ لَا فِي السَّمَآءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
  • اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَ نَبِيِّكَ وَ رَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ
  • أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَ أَعُوْذُ بِكَ رَبِّيْ أَنْ يَحْضُرُوْنَ

Kesepuluh bacaan zikir ini jika masing-masing diulang sepuluh kali maka akan mencapai 100 kali. Hal ini lebih utama dari pada mengulang satu bacaan zikir l00 kali, karena setiap bacaan mempunyai keutamaan dan pengaruh yang berbeda dalam hati.

Sumber: Alif.ID

58. Wirid Siang Tarekat Ghazaliyah (2)

Bacaan-bacaan ayat Alquran yang disunnahkan adalah:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّآلِّينَ ﴿٧﴾ [الفاتحة: 1-7]

اللهُ لَآ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿٢٥٥﴾ [البقرة: 255]

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾ [البقرة: 285-286]

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاء وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاء وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاء وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٦﴾ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي الْنَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٢٧﴾ [آل عمران: 26-27]


لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢٨﴾ [التوبة: 128]

لَقَدْ صَدَقَ اللهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً ﴿٢٧﴾ [الفتح: 27]

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَداً وَلَم يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلَّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيراً ﴿١١١﴾ [الإسراء: 111]

سَبَّحَ لِلهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿١﴾ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢﴾ هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٣﴾ هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيرٌ ﴿٤﴾ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَى اللهِ تُرْجَعُ الأمُورُ ﴿٥﴾ [الحديد: 1-5]

هُوَ اللهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٢٣﴾ هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاء الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٢٤﴾ [الحشر: 22-24]

Adapun tafakkur sebagai salah satu bentuk pendekatan didasarkan pada dua hal berikut:

Pertamaberpikir akan hal-hal yang bermanfaat dalam bidang mu`âmalah, seperti: bermuhasabah atau introspeksi terhadap perbuatan silam, menata serta menahan diri dari kemaksiatan, mengingat-ingat kekurangan demi perbaikan serta meluruskan niat baik dalam berhubungan dengan orang lain maupun diri sendiri.

Keduaberpikir tentang hal-hal yang bermanfaat dalam bidang mukâsyafah, seperti: berfikir tentang nikmat Allah SWT tampak maupun tidak tampak untuk menambah ma’rifat, memperbanyak Rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya dan hukuman-hukuman-Nya untuk menambah ma’rifat serta kepatuhan terhadap-Nya.

Tarekat yang paling baik adalah yang di dalamnya tercakup empat hal di atas: do’a, zikir, bacaan ayat Alquran dan fikir. Itulah aktifitas yang seharusnya dilakukan selesal shalat shubuh.

  1. Antara terbit matahari sampai waktu Dhuhâ, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 342-343).

Yaitu pertengahan antara terbit matahari hingga tergelincir. Kurang lebih 3 jam pertama waktu siang atau seperempat dan waktu siang jika siang hari dihitung 12 jam. Pada waktu kedua ini terdapat dua amalan:

Pertamashalat Dhuhâ. Keduaaktifitas sosial yang bermanfaat bagi masyarakat, berupa menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, tolong-menolong antar sesama dalam kebaikan, mendatangi majelis ta’lim dan segala macam aktifitas yang membawa kemanfaatan bagi sesama.

Jika tidak ada satupun dari kegiatan sosial yang dilakukan, cukuplah kembali melakukan empat amalan sebagaimana waktu pertama, yaitu: do’a, zikir, membaca ayat Alquran dan tafakkur.

  1. Dan waktu Dhuhâ hingga tengah hari, yang meliputi dua amalan, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 343):

Pertamabekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan hati tetap mengingat Allah SWT Keduaberistirahat dengan melakukan tidur sejenak menjelang shalat Dhuhur.

  1. Amalan saat selesai shalat Dhuhur, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 343-344).

Waktu ini dimulai dengan shalat fardhu (dhuhur) serta shalat sunnah sebelum dan sesudah dhuhur yang dilanjutkan membaca zikir sebagaimana amalan pertama. Amalan-amalan tersebut meliputi: do’a, wirid, membaca ayat-ayat Alquran dan fikir.

  1. Saat menjelang waktu shalat `Ashar, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344).

Melakukan I’tikaf di masjid, memperbanyak zikir dan shalat atau melakukan perkara-perkara terpuji lainnya hingga datang waktu `Ashar.

  1. Amalan di waktu `Ashar, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dînjuz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344).

Melaksanakan shalat sunnat empat Rakaat melaksanakan shalat `Ashar dilanjutkan dengan amalan wirid seperti pertama.

  1. Ketika matahari terlihat kekuning-kuningan seakan luruh ke bumi, karena cahayanya terhalang asap dan debu permukaan bumi, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 344-345).

Wirid yang dibaca saat ini seperti halnya yang pertama: do’a, wirid, membaca Alquran dan fikir. Disunnahkan membaca istighfâr dan membaca Surat al-Syamsi serta al-Lail dengan membaca ta’awwudz lebih dahulu. Ketujuh wirid yang telah kami jelaskan di atas secara lebih terperinci merupakan amalan-amalan wirid di siang hari.

Sumber: Alif.ID

59. Wirid Malam Tarekat Ghazaliyah

Berikut penjelasan lebih detail amalan-amalan wirid di malam hari yang terbagi menjadi lima:

  1. Waktu masuk shalat Maghrib sampai hilang kemerah-merahan mega di ufuk barat, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 345-346). Usai shalat Maghrib, dilanjutkan shalat sunnah 2 Rakaat. Rakaat pertama membaca Surat al-Kâfirûn dan kedua membaca Surat aI-Ikhlâs. Dilaksanakan setelah shalat Maghrib tanpa diselingi ucapan atau tindakan apapun. Kemudian shalat lagi 4 Rakaat agak lebih lama dan mengakhirinya dengan bacaan-bacaan ringan hingga habis waktunya.
  2. Dari masuk waktu `Isyâ’ hingga waktu tidur malam, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 346-347). Urutan-urutan wiridnya sebagai berikut:

Melaksanakan shalat sunnat 10 Rakaat, 4 Rakaat sebelum shalat `Isyâ’ antara adzan dan iqamah dan enam Rakaat sesudahnya, 2 Rakaat salam dan 4 Rakaat salam. Bacaan Alquran dalam shalat ini sebaiknya dengan ayat-ayat tertentu, seperti: penutup Surat al-Baqarah, ayat kursi, permulaan Surat al-Hadîd, dan akhir Surat al-Hasyr.

Shalat Witir 13 Rakaat. Riwayat terbanyak mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. melaksanakan yang demikian.

Shalat Witir sebelum tidur jika tidak terbiasa bangun malam.

  1. Pada waktu sebelum tidur, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 348-350). Jika tidur dilakukan dengan menjaga etika yang baik, tidak ada salahnya dikategorikan sebagai wirid dan merupakan ibadah. Dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, al-Ghazâli menuliskan sepuluh etika saat menjelang tidur, diantaranya: suci dari hadats, bersiwak atau menyikat gigi, menghadap qiblat, menulis wasiat di kertas dan diletakkan di bawah bantal, bertaubat, tidak makan, tidak tidur sebelum mengantuk, berdo’a sebelum tidur, zikir sebelum tidur dan berdo’a saat pikiran setengah sadar.
  2. Lepas tengah malam hingga seperenam akhir malam, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 350-352). Waktu ini dipergunakan untuk shalat Tahajjud. Dikatakan tahajjud karena dilaksanakan setelah tidur malam. Selesai membaca do’a bangun tidur, segeRA mengambil air wudhu’. Mengerjakan wudhu’ lengkap dengan sunnah-sunnahnya, melaksanakan shalat menghadap qiblat dan membaca do’a iftitah, membaca tasbih, tahmid dan tahlil masing-masing 10 kali.
  3. Pada seperenam akhir dan waktu malam, yaitu waktu Sahur, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 352-353). Amalan-amalan pada waktu ini adalah melaksanakan shalat-shalat sunnah dan wirid hingga tiba waktu fajar.

Wirid-wirid di atas adalah susunan al-Ghazâli untuk para murid secara ringkas. Wirid-wirid ini tidak berlaku sama untuk para mursyid.

Sumber: Alif.ID

60. Enam Kategori Murid Tarekat Ghazaliyah

Sebagaimana termaktub dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353-354, disebutkan bahwa jika dilihat darisudut kemampuannya, keadaan masing-masing murid tidak lepas dari 6 kategori. Ada kemungkinan seorang murid baru pada tahap hamba (‘âbid), atau mungkin sudah mencapai tingkat orang yang mengerti (‘âlim), atau mungkin baru sebagai pelajar (muta’allim), sebagai wali, sebagai orang mumpuni atau profesional (muhtarifatau bahkan telah mencapai taraf menyatu (muwahiddengan Yang Mahatunggal.

‘Âbid adalah kategori orang yang hanya melakukan ibadah, tidak memiliki kesibukan selain beribadah. Sekiranya ia meninggalkan ibadah untuk sekedar duduk, maka batal ibadahnya. Urut-urutan wiridnya sebagaimana diterangkan di atas, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353).

‘Âlim adalah kelompok orang yang dengan pengetahuannya dapat memberi manfaat kepada orang lain, baik dengan cara memberi fatwa, pengajaran atau melalui karya-karyanya. Urut-urutan wiridnya berbeda dari wirid ‘âbid, dia perlu menelaah kitab-kitab terlebih dahulu, menyeRAp dan menyusun pengetahuannya.

Semua itu sudah pasti membutuhkan waktu tersendiri. Jika dapat menggunakan waktunya secara maksimal untuk itu, maka yang terbaik baginya setelah menyelesaikan tulisan dan karangannya adalah menjalankan wirid. Demikian, sebagaimana telah dijelaskan pada bab keutamaan belajar dan mengajar dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn.

Bagaimana tidak, bukankah dalam pengetahuan atau ilmu ada kelanggengan zikir kepada Allah SWT dan perenungan akan pesan-pesan-Nya serta sabda-sabda Rasul-Nya? Hal ini menyimpan manfaat untuk orang lain dan memberikan arahan menuju kehidupan akhirat. Semoga saja satu hal yang dipelajari seseorang akan menjadi ibadah baginya, Jika tidak ada orang mempelajarinya maka usahanya sia-sia.

Keutamaan ilmu di atas ibadah yang dimaksud adalah ilmu yang mendorong manusia mencintai akhirat dan merasa cukup dengan kemewahan dunia. Atau juga ilmu yang menunjukkan mereka jalan menuju akhirat, bukan ilmu yang menambah kecintaan manusia terhadap harta, kedudukan dan pengakuan orang.

Meskipun ilmu lebih utama dalam pandangan aI-Ghazâli, namun harus ada aturan pembagiannya. Tabiat manusia tidak akan sanggup menghabiskan semua waktu dengan terus menerus menulis dan menyusun buku atau karangan. Waktu pagi digunakan untuk wirid, setelah terbit fajar sampai siang hari digunakan untuk muthola’ah dan mengajar jika dia memiliki murid dan jika tidak, maka waktunya digunakan untuk tafakkur dan memperdalam keilmuannya karena kejernihan hati ada setelah melakukan zikir, waktu siang digunakan untuk muthola’ah dan menulis sampai waktu `asyar, setelah `asyar mendengarkan hal-hal yang berfaedah untuk kejernihan hati, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354).

Muta’allim adalah orang menyibukan diri dengan belajar atau menuntut ilmu. Kesibukan seperti ini lebih utama dari melakukan zikir dan amalan-amalan sunnah Urut-urutan wiridnya sama dengan ‘âlim. Bedanya jika ‘âlim sibuk dengan pekerjaan mengajar, sementara muta’allim sibuk dengan kegiatan mencari ilmu, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354-355).

Muhtarif adalah orang yang sanggup melakukan zikir dalam kondisi apapun. Ketika membutuhkan usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia tidak boleh menghabiskan semua waktu dengan beribadah sehingga akan menelantarkan keluarga. Begitu juga sebalikmya, dia tidak lupa melakukan zikir dan wirid selama melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga. Di saat bekerja ia mengingat Allah SWT, di pasar ia berzikir dan membaca ayat-ayat Alquran.

Setelah mencukupi kebutuhan keluarga, ia dapat kembali melaksanakan zikir. Namun jika tetap melanjutkan pekerjaan dengan terus berzikir dan bersedekah dari hasil pekerjaannya, itu lebih baik daripada melakukan wirid-wirid yang telah kami susun. Karena ibadah yang memiliki faedah ganda sudah pasti lebih bermanfaat dari pada yang hanya satu faedah. Bersedekah dan berusaha dengan niat ibadah akan memberi manfaat bagi diri sendiri berupa kedekatan dengan Tuhan sekaligus memberi manfaat bagi orang lain. Berkah dan do’a-do’a orang lain akan mengalir kepadanya dan melipatgandakan pahalanya.

Wali sebagaimana imam atau hakim atau juga pemimpin, dia juga mencurahkan perhatian terhadap persoalan-persoalan kaum muslim. Dialah yang mewakili keperluan umatnya sesuai syari’at dengan niat tulus. Hal itu lebih baik dari membaca wirid-wirid yang telah disusun. Bidangnya adalah memenuhi keperluan-keperluan masyarakat di waktu siang dengan berpegang pada kaidah-kaidah, sedangkan malam harinya melanggengkan amalan-amalan wirid.

Muwahid adalah orang yang telah mencapai derajat menyatu dengan Dzat Yang Maha Tunggal atau dia yang hanya mencintai Allah SWT, dia yang hanya takut kepada-Nya, yang tidak menerima rizki selain dari-Nya, dan dia yang hanya melihat Allah SWT pada setiap pandangannya.

Siapa telah mencapai tingkatan ini dia tidak lagi membutuhkan macam-macam jenis wirid. Wiridnya hanya satu, menghadirkan segenap hati dan perasaan bersama Allah SWT setiap saat. Tidak lagi peduli terhadap persoalan apapun dan tidak lagi mendengar sesuatu pun selain dalam wiridnya hanya berupa ungkapan hati dan renungan pikiran. Tidak ada yang menggerakkan dan mendiamkan selain Allah SWT. Seluruh pengalaman yang mereka alami akan menjadi sebab semakin tingginya keadaan mereka.

Bagi mereka, tidak ada kelebihan satu ibadah dari ibadah lainnya, Mereka itulah orang-orang yang telah menuju Allah SWT Ini adalah puncak derajat shiddiqin, derajat ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengurutkan wirid dan melaksanakan kewajibannya dalam waktu yang panjang.

Inilah diantara bentuk dan gambaran tarekat al-Ghazâliyah, memperlihatkan pada kita bahwa tarekat ini tetap berpegang kepada Alquran dan Sunnah serta mencontoh etika dan ajaran-ajaran para sahabat, `ulamâ’ dan tabi’in. Itulah tarekat yang sesuai dengan kondisi umat Islâm.

Sumber: Alif.ID

61. Hizib Ghazaliyah

Imam al-Ghazâli meninggalkan suatu hizib yang terkenal dan cukup panjang:

Hizib Ghazâliyah

LINK DOWNLOAD PDF

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ  اِهْدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّالِّيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَ النُّوْرِ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ. فَأَرَادُوْا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَسْفَلِيْنَ، كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ.

فَوَقَاهُ اللهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوْا. مَا هُمْ بِبَالِغِيْهِ. فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ وَ سَنَقُوْلُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالٍ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَ قَدِّمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنْثُوْرًا وَذَلِكَ جَزَاءٌ الظَّالِمِيْنَ، ثُمَّ نُنْجِيْ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا كَذَلِكَ حَقًّا عَلَىْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِيْنَ، لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْنَهُ مِنْ أَمْرِ اللهِ، وَ إِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ، وَ إِنَّهُ لَذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ، وَ إِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَى وَ حُسْنَ مَأَبٍ (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) فَصَبَّ عَلَىْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ، وَ تَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ، جُنْدٌ مَّا هُنَالِكَ مَهْزُوْمٌ مِنَ الْأَحْزَابِ.

وَ جَعَلْنَا لَهُ نُوْرًا يَمْشِيْ بِهِ فِي النَّاسِ، فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَ قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَ قُلْنَا حَاشَ لِلهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيْمٌ، قَالَ تَاللهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللهُ عَلَىْنَا، إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهَ عَلَىْكُمْ وَ زَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَ الْجِسْمِ وَ اللهُ يُؤْتِيْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ، شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَ هَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ، وَ آتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ، وَ رَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا، وَ قَرَّبْنَاهُ نَجِيًّا، وَ كَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَ الزَّكَاةِ وَ كَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا وَ سَلَامٌ عَلَىْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَ يَوْمَ يَمُوْتُ وَ يَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَ إِنْ يُرِيْدُوْا أَنْ يَخْدَعُوْكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللهُ هُوَ الَّذِيْ أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ، وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ  وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.

هُوَ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ، كُلَّمَا أَوْقَدُوْا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللهُ، وَ ضُرِبَتْ عَلَىْهِمُ الذِّلَّةُ وَ الْمَسْكَنَةُ وَ بَآؤُوْا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ، سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَ إِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ، خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٍ، لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ، فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ، وَ لَا تَكُنْ فِيْ ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُوْنَ، فَإِمَّا نَذْهَبَنَّ بِكَ فَإِنَّا مِنْهُمْ مُنْتَقِمُوْنَ،

إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ، فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ، أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِيْنَ، قَالَ لَاتَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الْظَّالِمِيْنَ، لَا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَى، لَا تَخَفْ إِنِّيْ لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلِوْنَ، لَا تَخَفْ وَ لَا تَحْزَنْ، قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِيْ مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَ اَرَى، قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى، فَإِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ، إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا، وَ أَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَ خَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً، لَيَذُوْقَ وَ بَالَ أَمْرِهِ،

وَ لَا يَحِيْقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ، وَ خَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ، وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ، لَنْ يَضُرُّوْكَ شَيْئًا، إِنَّا سَنُلْقِي عَلَىْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا، فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ، فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا، وَ لَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَىْهِمِ شَيْئًا قَلِىْلًا، فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَ تَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَ كَفَى بِاللهِ وَكِيْلاً، أَلَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ، وَ مَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ قِيْلًا، وَ يَنْصُرَكَ اللهُ نَصْرًا عَزِيْزًا(أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) مَلْعُوْنِيْنَ أَيْنَمَا ثُقِفُوْا أَخِذُوْا وَ قُتِّلُوْا تَقْتِيْلًا،

وَ اللهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيْلًا وَذَلِكَ جَزَاءٌ الظَّالِمِيْنَ، إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِيْنٌ، وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ، وَأَلْقَيْتُ عَلَىْكَ مَحَبَّةً مِنِّيْ، إِنِّيْ اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِساَلَاتِيْ وَبِكَلامِيْ، إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمِامًا، إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِيْنَا(أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ)خَتَمَ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ، ذَهَبَ اللهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُوْنَ،

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَ، كُبِتُوْا كَمَا كُبِتَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ، وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ، إِنَّا جَعَلْنَا فِيْ أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُوْنَ، وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ، أُولَئِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ،وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِيْنَ مُنْتَقِمُوْنَ، إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَ فِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا،

وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَفِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوِا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا، وَإِنْ تَدْعُوْهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوْا إِذًا أَبَدُا، أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً، عَلَىْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللهُ عَلَىْهِمْ، فَأَصْبَحُوْا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ، دَمَّرَ اللهُ عَلَىْهِمْ، ثُمَّ عَمُوْا وَصَمُّوْا كَثِيْرٌ مِنْهُمْ،أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا، وَذَلِكَ جَزَاءٌ الظَّالِمِيْنَ،

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبْ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ، فِإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيِطَانِ الرَّجِيْمِ، وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا، قُلْ إِنَّنِيْ هَدَانِيْ رَبِّيْ إِلَى صَرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، قَالَ كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ، رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ، عَسَى رَبِّيْ أَنْ يَهْدِيَنْيِ سَوَاءَ السَّبِيْلِ،

إِنَّ وَلِيَ اللهِ الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ، رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِيْ مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِيْ مِنْ تَأْوِيْلِ الْأَحَادِيْثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّيْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وًأًلْحِقْنِيْ بِالصَّالِحِيْنَ، أَوْ مَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ فَجَعَلْنَا لَهُ نُوْرًا يَمْشِيْ بِهِ فِي النَّاسِ، وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ، قَالُوْا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَىْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ،

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْجَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، فَانْقَلِبُوْا بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسَهُمْ سُوْءٌ، قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، إِنَّهُ كَانَ بِي حَنِيْفًا، وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا وَجَعَلَنِيْ مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ، وَمَا تَوْفِيْقِيْ إِلاَّ بِاللهِ عَلَىْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ، صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ، يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْ اَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ،

وَلَوْ تَرَى إِذْ فَزَعُوْا فَلاَ فَوْتَ، وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِيْنَ، وَأُخِذُوْا مِنْ مِكاَنٍ قَرِيْبٍ، إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِيْنَ اَمِنُوْا، وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ، وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمِنُوْا قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلِيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً، وَقَاتِلُوْاهُمْ حَتَّى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةً، وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَ بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ، يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْأَخِرَةِ، فَضُرِبَ عَلَيْهِمْ بِسُوْرٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيْهِ الرَّحْمَة وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ، وَاللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ، وَاللّهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللّهِ وَلِيّاً وَكَفَى بِاللهِ نَصِيراً،

فَلاَ تَخْشَوْهُمْ قُلُوْبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ، أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ، تُصِيْبُهُمْ بِمَا صَنَعُوْا قَارِعَةٌ، وَمَا يَنظُرُ هَؤُلَاءِ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً، كَأَنَّهُمَ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ، أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً،  فَسَتَذْكُرُوْنَ مَا أَقُولُ لَكُمْ وَأُفَوِّضُ أَمْرِيْ إِلَى اللهِ إِنَّ اللهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ، وَإِنْ تَصْبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئاً، ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً، وَاذْكُرُواْ إِذْ أَنتُمْ قَلِيلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فِي الْأَرْضِ فَآوَاكُمْ،

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُواْ إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، لَا إِلَهَ إِلَّا، عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ، فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ تُكَلَّفُ إِلاَّ نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ، وَمَكَرُواْ وَمَكَرَ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ، وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُوْرُ، فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُوْرِ، سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّوْنَ الدُّبُرَ، فَأَخَذْنَاهُمْ أَخْذَ عَزِيزٍ مُّقْتَدِرٍ، مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ، ذَلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةً، الآنَ خَفَّفَ اللهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًا، يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ، قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى، يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَلُ لَّكُمْ نُوراً تَمْشُوْنَ بِهِ،

(أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَمَا لَهُمْ مِّنْ نَّاصِرِيْنَ، وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِيْنَ، عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ، دَمَّرَ اللهُ عَلَيْهِمْ، أُوْلَئِكَ فِي الأَذَلِّيْنَ، فَمَا اسْتَطَاعُوا مِنْ قِيَامٍ وَمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ، وَأَنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِيْنَ، فَأَيَّدْنَا الَّذِيْنَ آَمَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِيْنَ، إِنَّ اللهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا، يَسْعَى نُورُهُم بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ، وَاللهُ حَفِيْظٌ عَلَيْهِمْ، إِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ وَاللهُ حَفِيظٌ عَلِيْمٌ، طُوْبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ، وَهُمْ مِّنْ فَزَعٍ يَوْمَئِذٍ آمِنُوْنَ، أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ، أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ، فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ، إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ، وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ،

وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيّاً، وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِيْنَ، وَآوَيْنَاهُمَا إِلَى رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِيْنٍ، وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُوْنَ، فَانْقَلَبُواْ بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ، إِلاَّ قَلِيْلاً سَلاَماً سَلاَماً وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُوْراً، (أَعْدَاؤُنَا لَنْ يَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَا بِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَيْنَا بِحَالِ مِنَ الْحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَمَا يَنْظُرُ هَؤُلَاءِ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً مَّا لَهَا مِنْ فَوَاقٍ، وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ، سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوْحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ، فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِّمَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ، فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُوْمِ وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌ، وَإِنَّهُ لَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ،

هُوَ الَّذِيَ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ، تِلْكَ آيَاتُ اللهِ نَتْلُوْهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ فَبِأَيِّ حَدِيْثٍ بَعْدَ اللهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُوْنَ، لَّـكِنْ اللهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنزَلَ إِلَيْكَ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ وَالْمَلآئِكَةُ يَشْهَدُوْنَ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْداً، وَكَفَى بِاللهِ وَكِيْلاً وَكَفَى بِاللهِ نَصِيْراً، وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيْتاً، قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) فَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَاناً وَأَضْعَفُ جُنْداً، وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَّوْعِداً، وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذاً أَبَداً، وَأَلْقِ مَا فِي يَمِيْنِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا إِنَّمَا صَنَعُوْا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى، تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى،

إِنَّ هَـؤُلاءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيْهِ وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُوْنَ، وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ،أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً، وَأُولَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ،كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى قُلُوْبِ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ، (أَعْدَاؤُنَا لَنْ نَصِلُوْا إِلَيْنَا بِالنَّفْسِ وَلَابِالْوَاسِطَةِ لَا قُدْرَةَ لَهُمْ عَلَى إِيْصَالِ السُّوْءِ إِلَىْنَا بِحَالِ مِنَ الْأَحْوَالِ) وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوْا فَهُمْ لَا يَنْطِقُوْنَ، وَاللهُ اَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا، هُوَ الَّذِي اَبْدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُوءُمِنِيْنَ، قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَي إِبْرَاهِيْمَ، وَأَرَدُوْا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْاَخْسَرِيْنَ، إِنَّ رَبِّي عَلَي صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمَ، وَاللهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُحِيْطٌ بَلْ هُوَ قَرْأَنٌ مُجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ، وَصَلَى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

62. Tarekat Sa’diyyah

Tarekat Sa'diyyah

Pendiri: syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabbawi al-Syaibani al-Idrisi al-Hasani

Penyebaran: Syam, Mesir, Turki, Maroko dan lain-lain

Tharîqah ini dinisbatkan kepada syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabbawi al-Syaibani al-Idrisi al-Hasani, lahir di makkah al-Mukarromah pada bulan Rojab tahun 460 H, wafat di Syam pada tanggal 9 Dzulhijjah 573 H.

Nasab beliau dari jalur ayah adalah Sa’d al-Dîn bin Yunus Syaibi bin Abdullâh al-Maghroby bin Yunus al-Hasani bin Abi Su’ud Muhammad Thayyib bin Ali Asyarif al-Idrisi al-Hasani al-Jannani bin Muayyadiddin al-Hasani bin Syaiban al-Idrisi al-Hasani bin Abdul Rahman al-Idrisi al-Hasani bin Ali al-Idrisi al-Hasani bin Abdullâh al-Marokisyi al-Idrisi al-Hasani Ibnu Umar al-Idrisi al-Hasani Ibni Idris al-Anwar al-Hasani bin Idris Akbar al-Hasani (Pembuka kota maroko) bin Abdullâh al-Madhzi bin Hasan al-Musyannah bin Sayyidina al-Hasan Assibti As, bin Sayyidina Ali Krw, bin Sayyidina Fatima al-Zahro binti Rasûlullâh Muhammad Saw.

Sedangkan nasab beliau dari jalur ibu adalah Sa’duddin bin Sayyidah Abidah az-zahidah Aisyah binti Ayyub bin Abdul Mukhsin bin Yahya bin Tsabit bin Khazim Ali Abi fawaris bin Mahdi bin Khusain bin Ahmad bin Musa al-Ridha bin Ibrohim al-Murtadha bin Musa al-Kadhim bin Ja’far as-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin al-Imam Zainal Abidin bin Syaidina al-Husain as-Sibthi As, bin Sayyidina Ali Krw, Bin Sayyidah Fatima al-Zahro binti Sayyidina Muhammad al-Rasûl Saw.

Pada usia 7 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an dan membacakannya di Masjid al-Haram, kemudian beliau menyempurnakan belajar beberapa ilmu agama (Tafsir, Hadits, Fiqih al-Syafi’i) dari orang tuanya yaitu syaikh Yunus dan beberapa `ulamâ’ yang mukim dan berziarah ke Makkah. Pada awalnya beliau adalah khalifah tharîqah Naqsyabandiyah khâlidiyah, namun setelah bertemu Nabi beliau berpindah ke tharîqah as-Sa’diyah.

Ketika  menginjak dewasa orang tuanya mengikutkan Syaikh Sa’duddin untuk ikut berjihad bersama pasukan berkuda menuju negara Syiria di waktu perang salib menuju Baitul Maqdis (Palestina). Di waktu ikut berperang  beliau bertemu dan berkumpul dengan teman-teman yang jahat dan mengajak beliau untuk merampok di jalan hingga akhirnya datang pertolongan Allâh Swt sebab barokah do’a orang tuanya yang senantiasa tidak henti-hentinya memohon pada Allâh Swt. agar syaikh Sa’duddin diberi hidayah oleh Allâh Swt atau di ambil nyawanya, maka ditengah perjalanan beliau di anugerahi ilmu mukasyafah sehingga beliau bisa bertemu Rasûlullâh Saw dan disampingnya ada sahabat Abu Bakar al-Shiddiq r.a dan Sayyidina Ali Krw. Ada yang mengatakan beliau bersama sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga. Rasûlullâh Saw. bersabda pada Syaikh Sa’duddin:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ

Maka beliau menjawab Ya, mulai sekarang Wahai Rasûlullâh Saw. Akhirnya beliau menangis dan pingsan, setelah beliau sadar Rasûlullâh Saw. datang lagi dan mengusap dada beliau, dan Rasûlullâh Saw. memerintahkan Sayyidina Ali untuk memberi makan tiga kurma yang telah diludahi Rasûlullâh Saw. Seraya Rasûlullâh Saw. bersabda pada Syaikh Sa’duddin:

“Wahai Sa’duddin ambillah pusaka ini untukmu dan keluargamu setelahmu sampai hari kiamat”

setelah beliau terbangun tetaplah di dalam hati Syaikh Sa’duddin rasa khauf (takut pada Allâh) setelah itu beliau langsung melepas pakaian dan membuang pedang untuk pergi berhidmad kepada orang tuanya dan memasuki dunia Tharîqah (tashawwuf) dan melakukan mujahadah dengan rasa nikmat tanpa kesulitan dan keterpaksaan, sebab barokah Rasûlullâh Saw., sampai akhirnya beliau termasuk Kibaru al-`Arifin (Wali Agung), dan mempunyai banyak Asraru al-Rabbani. Beliau menetap di syam dan mendirikan pesantren serta masjid yang digunakan untuk belajar ilmu dan ma’rifat.

Disamping itu beliau juga seorang mu’alif (pengarang kitab) di antara kitab yang beliau karang adalah kitab al-Futuh, kitab al-Hawatif, kitab al-Akhbar, kitab al-Waqai, kitab al-Aurâd, kitab al-Qashaid wal Mandhumah, kitab al-Ushul: Zâdu al-Fukhul min Ilmi Ushul, al-Risalah al-Saniah, al-Risalah al-Bahiyah, kitab al-Fiqih, Ighatsu al-Malghuf, kitab al-Tashawwuf: I’lamu al-Mu’minin, Tanwir al-Fikri, al-Minna al-Ilahiyyah, Assofakhatu al-NurâniyyahDi antara karamah beliau adalah :

  1. Apabila beliau membaiat seseorang murid atau orang yang taubat, maka dia akan terputus dari dosa-dosa besar, dan apabila dia mau melakukan dosa besar maka dia akan mendapati syaikh di depannya.
  2. Pada suatu hari di hutan beliau bertemu seorang penggembala yang sedang memberi minum kambingnya di atas sumur, kemudian Syaikh meminjam timba tersebut namun timba itu terjatuh ke dasar sumur. Setelah peristiwa itu penggembala tersebut melihat Syaikh Sa’duddin dengan wajah murung, namun Syaikh Sa’duddin tersenyum seraya beliau mengatakan sabda Nabi ”Sesungguhnya kebaikan ada padaku dan umatku sampai hari kiamat”. Maka naiklah timba tersebut dari dasar sumur.

Tharîqah ini mempunyai dua sanad yaitu; (1) Wahbi dan (2) Kasbi. Adapun sanad Wahbi itu langsung dari Nabi Muhammad Saw melalui pertemuan beliau dengan Rasûlullâh secara Kasyaf. Adapun sanad Kasbi itu dari syaikh Yunus al-Syaibani al-Makki al-Hasani dari syaikh Abu Bakar al-Nasâji dari Abi al-Qosim al-Durjani dari Abi Utsman al-Maghribi dari Abi ‘Ali al-Katib dari syaikh Ali al-Raudzabaadi dari syaikh Junaidi al-Baghdadi dari Sari al-Saqathi dari Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi dari Imam ‘Ali al-Rodhi dari Imam Musa al-Kadzîm dari bapaknya yaitu Imam Ja’far al-Shâdiq dari Muhammad al-Baqir dari ‘Ali Zain al-‘Abidin dari Imam Husain al-Sibti dari orang tuanya yaitu Sayyidina Ali ibn Abi Thâlib dari nabi Muhammad Saw.

Sumber: Alif.ID

63. Wirid Tarekat Sa’diyyah

Wirid Ashghâr:

Wadzifah yang dibaca setelah subuh dan maghrib dengan berurutan dan jumlah yang telah ditentukan:

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Surat al-Ikhlâs
  3. Mu’awidzataini
  4. Awal dan akhirnya surat al-Baqarah
  5. Ayat-ayat tauhid dan ayat kursi
  6. Shalawat
  7. Istighfâr
  8. Dzikir kepada Allâh Swt. dan do’a

Wirid Ausath:

Wadzifah yang dibaca setelah subuh dan maghrib dengan jumlah bilangan yang berbeda:

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Surat al-Ikhlâs
  3. Mu’awidzataini
  4. Awal dan akhirnya surat al-Baqarah
  5. Ayat-ayat tauhid dan ayat kursi
  6. Shalawat
  7. Istighfâr
  8. Dzikir kepada Allâh Swt. dan do’a

Wirid Akbar:

Wadzifah yang dibaca setiap hari dengan berurutan dan bilangan yang telah ditentukan yang mencakup terhadap dzikir kepada Allâh Swt. yang berjumlah tujuh asma` al-Husna:

 لا إله إلا الله، الله، هو، حي، واحد، قيوم، قهار.  

Dan setiap dari salah satu nama tersebut mempunyai tata cara yang khusus dan tidak boleh pindah ke asma` yang lain, kecuali atas perintah mursyid yang berjumlah berkisar di antara sepuluh ribu dan seratus ribu:

Adapun wirid-wirid yang lain adalah:

  1. Wirid mutsallats
  2. Wirid musabba’
  3. Wirid al-Faddhiy
  4. Wirid al-Râid (hizib futuhât)
  5. Hizib al-Shafa
  6. Hizib al-Anwar
  7. Dan hizib al-Tahshin

Dan semua hizib ini dibaca dalam sehari dan semalam.

Wirid Musabba’ dan Mutsallats

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهْدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾. آمِيْن


اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إيْمَاناً وَ قَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الوَكِيْلُ فَانْقَلَبُوْا بِنِعْمَةِ مِّنَ اللهِ وَ فَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوْءٌ وَ اتَّبِعُوْا رِضْوَانَ اللهِ وَ اللهُ ذُوْ فَضْلٍ عَظِيْمٍ 3×

بِسْمِ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ 3×

بِسْمِ اللهِ عَلَى نَفْسِي وَ دِيْنِي بِسْمِ اللهِ عَلَى أَهْلِي وَ مَالِي بِسْمِ اللهِ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ رَبّي، بِسْمِ اللهِ خَيْرِ الأَسْمَاءِ، بِسْمِ اللهِ رَبِّ الأَرْضِ وَ السَّمَاءِ، بِسْمِ اللهِ الّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ دَاءٌ بِسْمِ اللهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَ لَا فِي السَّمَاء 3×

بِسْمِ اللهِ اِفْتَتَحْتُ وَ عَلَى اللهِ تَوَكَلْتُ وَهُوَ حَسْبُنَا وَ نِعْمَ الْوَكِيْلِ، حَسْبِيَ اللهُ لِدِيْنِي، حَسْبِيَ اللهُ لِدُنْيَايَ، حَسْبِيَ اللهُ لِمَنْ بَغَى عَلَيَّ، حَسْبِيَ اللهَ لِمَنْ حَسَدَنِيْ، حَسْبِيَ اللهُ لِمَنْ كَادَنِي بِسُوْءٍ، حَسْبِيَ اللهُ عَدَدَ كُلِّ شَيْءٍ، حَسْبِيَ الله مِنْ كُلِّ شَيْءٍ حَسْبِيَ اللهُ لَا إِلَهُ إِلَّا هُوَ عَلَىْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ العَرْشُ العَظِيْم 7×

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ 3×

أَعُوْذُ بِوَجْهِ اللهِ الكَرِيْمِ، وَ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ المُبَارَكَاتِ اَلَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بِرٌّ وَ لَا فَاجِرٌ مِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَ مَا يَعْرُجُ فِىْهَا وَ مِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فِي الأَرْضِ وَ مِنْ شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَ مِنْ فِتَنِ اللَّيْلِ وَ النَّهارِ وَ مِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ إِلَّا طَارِقاً يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَن 3×


تَحَصَّنْتُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الحَيِّ القَيُّوْمِ العَلِيِّ العَظِيْمِ اَلَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَ لَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ 3×

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم، اَللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ لَاتَأْخُذُهُ سِنَةُ وَ لَا نَوْم لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَ مَا فِي الأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ مَا خَلْفَهُمْ وَ لَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيٍْء مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَ الأَرْضِ وَ لَا يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْم 3×

يَا اَللهُ يَا حَفِيْظُ 7×

كٰهٰيٰعٓصٓ كِفَايَتُنَا وَصِيَانَتُنًا مِنَ الأَعْدَاءِ وَ الحَسَادِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ 3×

حٰمٓ عٓسٓقٓ حِمَايَتِنَا وَ سَلَامَتِنَا مِمَّا نَخْذَرُ وَ نَخَافُ، سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيْمٍ 3×

اللهم احْفِظْنِيْ مِنْ بَيْنَ يَدَي وَ ِمنْ خَلْفِي وَ مِنْ يَمِيْنِيْ وَ مِنْ شِمَالِي وَ مِنْ فَوْقِي وَ مِنْ تَحْتِي وَ مِنْ ظَاهِرِيْ وَ مِنْ بَاطِنِي 3×

اللهم أَسْأَلُكَ الكِفَايَةِ وَ الصَّيَانَةِ وَ الحِمَايَةِ وَ السَّلاَمَةِ مِنْ آَفَاتِ الدُّنْيَا وَ الآخِرَةِ 3×

ألٓمّٓ، ألٓمّٓرٰ، ألٓرٰ، كٰهٰيٰعٓصٓ، طٰهٰ، طٰسٓمٓ، يٰسٓ، صٓ، حٰمٓ، حٰمٓ عٓسٓقٓ، قٓ، نٓ، إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْن

Membaca al-Fatihah kepada:

  1. Ruh nabi Muhammad Saw.;
  2. Sahabat nabi;
  3. al-Quthb al-‘Arif billâh al-Sayyid al-Syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabawi al-Syîbânî al-Idrisî al-Hasanî;
  4. Para sahabat al-Quthb al-‘Arif billâh al-Sayyid al-Syaikh Sa’d al-Dîn al-Jabawi al-Syîbânî al-Idrisî al-Hasanî;
  5. Para wali Allâh Swt.;
  6. Dan orang-orang ‘Arif.

Sumber: Alif.ID

64. Wirid Harian Tarekat Sa’diyyah

Wirid Selama Satu Minggu

  • Wirid hari Sabtu:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الَّرحِيْمِ

اللهم أَنْتَ الْأَبْدِي الْقَدِيمِ القَيُّوْمِ الْقَائِمِ الْقُدُّوْسِ الْقَدِيْرِ الْقَهَّارُ الْقَابِضُ، رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَ حِكْمَةً يَا مَنْ بِهِ الحَوْلُ وَ العِزَّةُ وَ بِهِ العِزُّ وَالنَّصْرُ، إِلٰهِي بِكَ المُسْتَعَانُ فَلاَ تَكْلِنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ، يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 7×

  • Wirid hari Ahad:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا ذَاالجَلَالِ وَ الإِكْرَامِ يَا ذَاالطُّوْلِ وَالْإِنْعَامِ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ عَلَىْكَ تَوَكَلْتُ يَا رَحِيْمُ يَا رَحْمٰنُ يَا مَنْ لَهُ العِزَّةُ وَ الجَبَرُوْتُ يَا مَنْ يَعْلَمُ السِّرُّ وَ أَخْفَى يَا مَنْ قَالَ وَ قَوْلُهُ الحَقُّ شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَالمَلآئِكَةُ وَ أُوْلُوْ العِلْمِ قَائِماً بِالقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ العَزِيْزُ الحَكِيْمُ يَا مَنْ هُوَ بِعِزَّتِهِ عَزِيْزٌ يَا هُوَ يَا هُوَ يَاهُوَ يَا هُوَ يَا هُوَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Senin:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

إِلٰهِيْ بِقُدْرَتِكَ وَ عِلْمِكَ وَ حِلْمِكَ وَ عِزَّتِكَ وَ جَبَرُوْتِكَ وَ لَا هَوْتِ وَ نَاسَوْتِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُكَ مَا كَانَ قَبْلَ أَنْ يَكُوْنَ، يَا اَللهُ ، يَا رَحْمٰنُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، يَا سَلاَمُ، سَلِّمْنِيْ مِنْ آفَاتِ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ بِحَقِّ سَلاَمٍ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيْمٍ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Selasa:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

إِلٰهِي عَافِنِي مِنْ سَقَامِي وَ اكْفِنِي الشَّرَّ يَا مَنْ أَجَابَ دَعْوَةَ زَكَرِيَا وَقَبْلَ تَسْبِيْحِ يُوْنُسَ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ إِسْتَجِبْ لِيْ وَ نَجِّنِي مِنَ الْهَمِّ وَ اجْعَلْ لِيْ مِنْهُ فَرْجاً وَمِنْ كُلِّ بَلاَءٍ مَخْرَجًا، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، يَا لَطِيْفُ، أُلْطُفْ بِنَا لُطْفًا خَفِيًّا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Rabu:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم يَا مَنْ تَعَالَى عَنْ خَلْقِهِ يَا عَلِيْ يَا أَبْدِيْ يَا دَهْرِي يَا دَيْمُوْمِيْ يَا مُهَيْمِنُ يَا جَبَّارُ أَسْأَلُكَ بِرَسُوْلِكَ المُصْطَفٰى النَّبِيِّ القُرَشِيِّ الَّذِيْ أَعْطَيْتُهُ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِيْ وَ اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ يَا عَظِيْمُ أَحْجِبْنِيِّ عَنْ مُضِرَّةِ أَعْدَائِي فَأَنْتَ النَّافِعُ وَ أَنْتَ الضَّارُ وَ أَنْتَ اَلَّذِيْ قَامَتْ بِقُدْرَتِكَ السَّمَوَاتِ يَا مَالِكُ عَلَىْكَ اعْتِمَادِيْ وَ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ بِكَ أَسْتَعِيْنُ عَلَى أَعْدَائِي وَ بِكَ أَثِقُ وَ بِكَ أَلْتَجِيْءُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَ عَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ وَ لَا حَوْلاَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ أَسْأَلُكَ يَا مَنْ هُوَ الْوَهَّابُ يَا وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ وَهَّابُ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 7×

  • Wirid hari Kamis:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اللهم يَا مَنْ لَهُ الأَسْمَاءُ الحُسْنٰى أَسْأَلُكَ بِالْبَيْتِ الْحَرَامِ وَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوْبِي يَا غَفُوْرُ يَا مَنْ أَجَابَ نُوْحاً فيِ قَوْمِهِ وَ إِبْرَاهِيْمَ عَلَى أَعْدَائِهِ يَا مَنْ شَهِدَتْ بِوَحْدَانِيَّتِهِ جَمِيْعُ الكَائِنَاتِ، يَا فَتَّاحُ يَا عَلِيْمُ رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَ أَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ اللهم يَا مُفْتِحَ الأَبْوَابِ اِفْتَحْ لَنَا رَحْمَتَكَ وَ اقْضِ لَنَا الْحَوَائِجَ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ يَا فَتَّاحُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 5×

  • Wirid hari Jum’at dibaca setelah shalat Jum’at:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اللهم صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ، إِلٰهِي لَكَ مُقَالِيْدُ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ تُعْطِي مَنْ تَشَاءُ وَ تُحْرِمُ مَنْ تَشَاءُ فَاجْعَلْنَا مِنَ الَّذِيْنَ شَرَحَتْ صُدُوْرُهُمْ بِالْعَطَاءِ مِنَ الْمَعَارِفِ وَ اجْعَلْنَا مِنْ عَبِيْدِكَ الْمُشَاهِدِيْنَ لِحَضْرَةِ قُدْسِكَ وَ قَدِّسْنَا وَ قَرِّبْنَا وَ عَلِّمْنَا مِنْ لَدُنْكَ عِلْماً رَبَّانِيًّا وَ حِكْمَةً وَ رَأْفَةً وَ رَحْمَةً يَا مَنْ لَهُ الْفَضْلُ الْعَظِيْمُ يَا مَنْ وَ سِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ لَا يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ، يَا عَظِيْمُ يَا عَظِيْمُ يَا عَظِيْمُ ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 7×

Syaikh berkata wirid syaikhina Ra. dibaca setelah menunaikan shalat shubuh :

يَا قَادِرُ يَا قَاهِرُ يَا ظَاهِرُ يَا بَاطِنُ يَا لَطِيْفُ يَا عَلِيْمُ يَا خَبِيْرُ قَوْلُهُ الْحَقُّ وَ لَهُ الْمُلْكُ يَوْمَ يَنْفَخُ فِي الصُّوْرِ عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ 41×

Wirid syaikhina Ra. yang dibaca setiap hari setelah menunaikan sholat fardhu sebelum berdo’a:

  1. لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ 161x
  2. Ayat kursi 2x
  3. سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ وَ لَا حَوْلَا وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 5x
  4. Kemudian berdo’a kepada Allâh S

Wirid Mingguan Syaikh al-‘Izham

  1. Wirid hari Jum’at يَا اَللهُ 1000x
  2. Wirid hari Sabtu لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 1000x
  3. Wirid hari Ahad يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ 1000x
  4. Wirid hari Senin لَا حَوْلَا وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 1000x
  5. Wirid hari Selasa اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ 1000x
  6. Wirid hari Rabu أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ 1000x
  7. Wirid hari Kamis سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ 1000x
  8. Wirid malam Jum’at بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 786x
  9. Wirid malam Sabtu يَا جَبَّارُ 500x
  10. Wirid malam Minggu يَا فَتَّاحُ 500x
  11. Wirid malam Senin يَا جَلِيْلُ يَا قَيُّوْمُ 500x
  12. Wirid malam Selasa يَا لَطِيْفُ 500x
  13. Wirid malam Rabu يَا غَنِيُّ يَا نَافِعُ 500x
  14. Wirid malam Kamis بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 500x
  15. Setelah selesai semua diakhiri dengan membaca: لَا حَوْلَا وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Wirid yang Dilakukan untuk Suluk dan Tabarruk

Wirid Fadhi (dilakukan setelah tawajjuh dan membaca surat al-Fatihah):

  1. أَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ 100×
  2. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ حْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 100×
  3. سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ 100×
  4. سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ 100×
  5. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلىَ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ 100×
  6. Kemudia diam sejenak dan berdo’a

Wirid yang dilakukan setelah shalat shubuh (dilakukan setelah tawajjuh dan membaca surat al-Fatihah):

  1. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ 100
  2. أَنْتَ الْهَادِي أَنْتَ الْحَقُّ، لَيْسَ الْهَادِي إِلاَّ هُوَ، حَسْبِيْ رَبِّي جَلَّ اللهُ، مَافِي بِقَلْبِي غَيْرُ اللهِ، وَنُوْرُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ، لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 10×
  3. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ 100×
  4. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 200×
  5. اَللهُ اَللهُ 100×
  6. يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 100×
  7. سُبْحَانَ اللهِ 100×
  8. يَا لَطِيْفُ 133×
  9. Kemudian membaca surat al-Fatihah dan berdo’a

Wirid yang dilakukan siang hari pada hari Jum’at:

  1. اَللهُ اَّلذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ وَ الْآفَاتِ 300×
  2. Istighfâr dan shalawat kepada nabi Muhammad Saw.

Sumber: Alif.ID

65. Wadzifah al-‘Ammah Tarekat Sa’diyyah

Wazhifah Thariqah Sa’diyah

Di dalam thariqah Sa’diyah ada beberapa wazhifah yang dilakukan secara berjama’ah diantaranya:

A. Al-Wazhifah al-‘Ammah

Al-Wazhifah al-‘Ammah adalah wazhifah yang dibaca dimajlis-majlis umum yang dihadiri para murid dan pecinta dzikir para Allah. Caranya adalah:

  • Tawajuh kepada Sayyidina Muhammad Saw.
  • Membaca al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw. keluarga dan shahabatnya, kepada Sayyidina Sa’duddin dan semua para wali dengan niat agar mendapatkan futuh (dibuka hati) dari Allâh Swt.
  • Membaca ayat suci al-Qur’an:

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ، وَمَا تُقَدِّمُوْا لِأَنفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْراً وَأَعْظَمَ أَجْراً وَاسْتَغْفِرُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

  • Membaca istighfar 100 kali dan diakhiri dengan ucapan:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا وَلَا قُوَّةً وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا.

  • Membaca shalawat Nabi yang di dahului dengan ayat shalawat

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

  • Setelah itu membaca shalawat syarîfah

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَرَسُوْلِكَ، النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ، صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْاَهْوَالِ وَالآفَاتِ، وَتَقْضِيْ لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ، وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ، وَتَرْفَعُنَا بِهَا أَعْلَى الدَّرَجَاتِ، وَتُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ، مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ

  • Membaca surat al-Ikhlâs 3 kali
  • Membaca surat Mu’awwidzataini 1 kali
  • Membaca surat al-Fatihah 1 kali
  • Membaca surat al-Baqarah (ayat 1-5) 1 kali
  • Ayat tauhid 1 kali:

وَإِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَاحِدٌ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ

  • Membaca ayat kursi 1 kali
  • Membaca akhir surat al-Baqarah (ayat 285-286) 1 kali
  • Membaca kalimah وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا 3 kali
  • Membaca asmaul husna 1 kali
  • Bermunajat kepada Allâh Swt. dengan membaca:

سُبْحَانَ الَّذِيْ تَقَدَّسَتْ عَنِ الْأَشْبَاهِ ذَاتُهُ، وَتَنَزَّهَتْ عَنْ مُشَابَهَةِ الْأَمْثَالِ صِفَاتُهُ، وَشَهِدَتْ بِرُبُوْبِيَّتِهِ آيَتُهُ، وَدَلَّتْ عَلَى وَحْدَنِيَّتِهِ مَصْنُوْعَتُهُ. وَاحِدٌ لَا مِنْ قِلَّةٍ، وَمَوْجُوْدٌ لَا مِنْ عِلَّةٍ. بِالْبِرِّ مَعْرُوْفٌ، وَبِالْإِحْسَانِ مَوْصُوْفٌ. مَعْرُوْفٌ بِلَا غَايَةٍ، وَمَوْصُوْفٌ بِلَا نِهَايَةٍ، أَوَّلٌ قَدِيْمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ، وَآخَرٌ كَرِيْمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ، لَا يُنْسَبُ إِلَيْهِ الْبَنُوْنَ، وَلَا يُفْنِيْهِ تَدَاوُلُ الْأَوْقَاتِ، وَلَا تُوْهِنُهُ السِّنُوْنَ، كُلُّ مَخْلُوْقَتِهِ تَحْتَ قَهْرِ عَظْمَتِهِ، وَأَمْرُهُ بَيْنَ الْكَافِ وَالنُّوْنِ. وَبِذِكْرِهِ أَنِسَ الْمُخْلِصُوْنَ، وَبِرُؤْيَتِهِ تَقَرَّ الْعُيُوْنَ، وَبِتَوْحِدِهِ اِبْتَهَجَ الْمُسَبِّحُوْنَ. هَدَى أَهْلَ طَاعَتِهِ إِلَى صِرَاطِ الْمُسْتَقِيْمَ، وَأَبَاحَ أَهْلَ مَحَبَّتِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ، وَعَلِمَ عَدَدَ أَنْفَاسِ مَخْلُوْقَاتِهِ بِعِلْمِهِ الْقَدِيْمِ، وَيَرَى حَرَكَاتِ أَرْجُلِ النَّمْلِ فِى جَنَحِ الْلَيْلِ الْبَهِيْمِ، يُسَبِّحُهُ الطَّيْرُ فِيْ وَكْرِهِ، وَيُمَجِّدُهُ الْوَحْشُ فِيْ قَفْرِهِ، مُحِيْطٌ بِعَمَلِ الْعَبْدِ سِرَّهُ وَجَهْرَهُ، وَكَفِيْلٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ بِتَأْيِيْدِهِ وَنَصْرِهِ، وَتَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ الْوَجِلَةُ بِذِكْرِهِ وَكَشْفِ ضُرِّهِ. وَمِنْ آيَاتِهِ وَمِنْ آيَاتَهِ أَنْ تَقُوْمَ السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ بِأَمْرِهِ، أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، وَغَفَرَ ذُنُوْبَ الْمُذَنِّبِيْنَ كَرَمًا وَحِلْمًا، لَيْسَ كَمِثْلِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ………………………………………1×

اللهم اكْفِنَا السُّوْءَ بِمَا شِئْتَ وَكَيْفَ شِئْتَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ………3×

يَا نِعْمَ الْمَوْلَى وَيَا نِعْمَ النَّصِيْرُ، غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، سُبْحَانَكَ لَا نُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ، جَلَّ وَجْهُكَ، وَعَزَّ جَارُكَ، وَيَفْعَلُ اللهُ مَا يَشَاءُ اللهُ بِقُدْرَتِهِ، وَيَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ بِعِزَّتِهِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا بَدِيْعَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا مَالِكَ الْمُلْكِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ ارْحَمْنَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَفِّقْنَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ أَصْلِحْنَا.

رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً، (إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)، اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، عَدَدَ خَلْقِكَ، وَرِضَاءَ نَفْسِكَ، وَزِنَّةَ عَرْشِكَ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ، كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ، وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

اللهم صَلِّ أَفْضَلَ الصَّلَوَاتِكَ عَلَى أَشْرَافِ مَخْلُوْقَاتِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَعْلُوْمَتِكَ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ، كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ، وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَحَبِيْبِكَ وَرَسُوْلِكِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنْهُمَا، وَأَجْرَ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ فِي أُمُوْرِنَا وَأُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ أَجْمَعِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَا كَانَ وَعَدَدَ مَا يَكُوْنَ، وَعَدَدَ مَا هُوَ كَائِنٌ فِيْ عِلْمِ اللهِ.

اللهم صَلِّ عَلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْأَرْوَاحِ، وَصَلِّ عَلَى جَسَدِهِ فِي الْأَجْسَادِ، وَصَلِّ عَلَى قَبْرِهِ فِي اْلقُبُوْرِ، وَصَلِّ عَلَى قَلْبِهِ فِي النُّوْرِ، وَصَلِّ عَلَى اسْمِهِ فِي الْأَسمَاءِ.

اللهم صَلِّ عَلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْحَبِيْبِ، وَعَلَى أَبِيْهِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ الْخَلِيْلِ، وَعَلَى أَخِيْهِ سَيِّدِنَا مُوْسٰى الْكَلِيْمِ، وَعَلَى رُوْحِ اللهِ عِيْسٰى الْأَمِيْنَ، وَعَلَى عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ سَيِّدِنَا سُلَيْمَانَ، وَعَلَى أَبِيْهِ سَيِّدِنَا دَاوُدَ، وَعَلَى جَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَعَلَى أَهْلِ طَاعَتِكَ أَجْمَعِيْنَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ، كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ، وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ.

  • Membaca ayat al-Qur’an yang mudah
  • Membaca shalawat:

صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى النُّوْرِ الْمُبِيْنِ أَحْمَدَ الْمُصْطَفٰى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

يَا اللهُ يَا رَحْمٰنُ اِرْحَمِ الْمُسْلِمِيْنَ، يَا اللهُ يَا رَحْمٰنُ وَفِّقِ الْمُسْلِمِيْنَ، يَا اللهُ يَا رَحْمٰنُ انْصُرِ الْمُسْلِمِيْنَ، أَلْفَ صَلَاةٍ، أَلْفَ سَلَامٍ عَلَى سَرِّ الْعَظِيْمِ أَحْمَدَ الْمُصْطَفٰى أَشْرَفَ الْعَالَمِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. يَا حَنَّانُ يَا مَنَّانُ تَوَفَّنَا عَلَى الْإِيْمَانِ، صَلَاتِيْ وَسَلَامِيْ عَلَى بَدْرِ التَّمَامِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَفِيْ طُوْلِ الزَّمَانِ، صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى مَنْ لَهُ الشَّامَّةُ وَالْعَلَامَةُ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ الْمُظَلَّلُ بِالْغَمَامَةِ.

  • Tawasul kepada Nabi Muhammad Saw.
  • Bermunajat dengan cara seorang Syaikh membaca kalimat

يَا مُتَجَلِّى اِرْحَمْ ذُلِّي، يَا مُتَعَالِي اِرْحَمْ حَالِي

setelah itu para jama’ah mengikutinya 3 kali.

  • Kemudian Syaikh membaca:

يَا رَبِّ أَنْتَ اللهِ

setelah itu diikuti para jama’ah:

يَا رَبِّ أَنْتَ اللهِ، يَا رَبِّ أَنْتَ اللهِ، يَا حَسْبِى أَنْتَ اللهِ

  • Syaikh membaca:

يَسِّرْ لَنَا عِلْمَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ

kemudian para jama’ah mengikutinya 3 kali

  • Kemudian Syaikh membaca do’a setelah selasai dzikir:

اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَعَشِيْرَتِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. اللهم أَمِتْنَا ذَاكِرِيْنَ وَأَحْيِنَا ذَاكِرِيْنَ وَاحْشُرْنَا ذَاكِرِيْنَ تَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ، وَلَا تَحِلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

  • Membaca tahlil dengan cara Syaikh membaca:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ

kemudian diikuti para jama’ah sesuai dengan tuntunan dari Syaikh (100 kali)

  • Membaca dzikir ismu jalalah (اللهُ) 100 kali
  • Kemudian para jama’ah membaca dzikir الحَيُّ, القَيُّوْمُ, اللهُ 100 kali
  • Syaikh membaca:

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، حَقًّا وَصِدْقًا. وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى جَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اللهم تَقَبَّلْ مِنَّا بِسِرِّ الْفَاتِحَةِ.

  • Setelah itu para jama’ah membaca al-Fatihah sesuai dengan niat ini
  • Membaca ayat al-Qur’an yang mudah
  • Syaikh membaca hadiah al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw., para Nabi dan Rasûl, Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq r.a, Sayyidina Umar, Sayyidina ‘Usman, Sayyidina ‘Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan seluruh ahli bait. Dan para jama’ah membaca surat al-Fatihah sesuai dengan niat tersebut.
  • Kemudian Syaikh membaca:

وَاِلَى مَنْ فِيْ عِلْمِ اللهِ الْقَدِيْمِ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَإِلَى سَادَاتِنَا سَادَاتِ هَذَا الْحِمَى فِيْ مَشَارِقِ الْأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا، وَإِلَى مَنْ لَهُ فِيْ حُبِّهِمْ قَدَمٌ، أَوْ سَرِّهِمْ قَدَمٌ، أَوْ فِيْ سَلَكِهِمْ قَدَمٌ، جَمِيْعًا لَهُ مِنَّا (بِسِرِّ الْفَاتِحَةِ)

dan para jama’ah membaca surat al-Fatihah sesuai dengan niat tersebut

  • Syaikh membaca:

وَإِلَى سَيِّدِيْ وَقُوَّتِيْ وَمَلَاذِيْ الْغَوْثِ أَبِي الْفُتُوْحِ سَعْدُ الدِّيْنِ الْجَبَاوِي الْحَسَنِي، وَإِلَى أَوْلَادِهِ وَأَحْفَادِهِ، وَإِلَى جَمِيْعِ أَهْلِ الطَّرِيْقِ مِنْ شَيْخٍ وَمُرِيْدٍ وَمُحِبٍّ وَمُلْتَمِسٍ، وَإِلَى كُلِّ طَرِيْقَةٍ مَرْضِيَّةٍ لِلهِ، وَإِلَى كُلِّ وَلِيٍّ وَوَلِيَّةٍ مِنْ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَأَهْلِ الْأَرْضِيْنَ جَمِيْعًا لَهُمْ مِنَّا (بِسِرِّ الْفَاتِحَةِ)

dan para jama’ah membaca surat al-Fatihah sesuai dengan niat tersebut

  • Syaikh membaca do’a

Sumber: Alif.ID

66. Wadzifah Nûrâniyah Tarekat Sa’diyyah

Wadzifah Nûrâniyah adalah wadzifah yang biasa dibaca oleh Sayyiduna Maulânâ Syamsu al-Zaman yaitu Syaikh Thâriq al-Sa’dî untuk memjadikan Khudhu’ (menundukan perilaku para jama’ah).

Cara malakukan Wadzifah Nûrâniyah:

  • Tawajuh kepada Nabi Muhammad Saw.
  • Membaca surat al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan Shahabatnya, kepada Syaikh Sa’duddin dan para ‘Auliya’ dengan niat Futuh.
  • Membaca shalawat 100 kali dan diakhiri dengan membaca:

اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ، وَاجْزِهِ مَا هُوَ أَهْلُهُ، اللهم اجْزِ عَنَّا نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا مَا هُوَ أَهْلُهُ، وَآتِهِ الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَالدَّرَجَةَ الْعَالِيَّةَ الرَّفِيْعَةَ، وَابْعَثْهُ اللهم مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ.

  • Membaca istighfar 100 kali dan diakhiri dengan membaca:

نَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا وَلَا قُوَّةً وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا، تَوْبَةَ عَبْدٍ فَقِيْرٍ حَقِيْرٍ ضَعِيْفٍ عَاجِزٍ مُحْتَاجٍ.

  • Membaca dzikir:

” لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهَ “، ” اللهُ “، ” هُوَ “، ” اللهُ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ “.

  • Bermunajat:

” يَا وَاحِدُ “، ” يَا قَهّارُ “، ” يَا وَاحِدُ يَا قَهَّارَ اُلْطُفْ بِنَا فِيْمَا جَرَتْ بِهِ الْأَقْدَارُ

  • Membaca asmaul husna 1 kali
  • Membaca do’a
  • Membaca surat al-Fatihah kepada Nabi Muhammad Saw., para auliya’,dan shâlihîn dengan niat agar diterima do’a tersebut.

Sumber: Alif.ID

67. Tarekat Qadiriyah – Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Nama Qâdiriyah diambil dari nama pendirinya yaitu Syaikh  Abdul Qâdir al-Jilani yang memiliki nama lengkap al-Imam Muhyiddin Abu Muhammad Abu Shâlih Abdul Qâdir bin Abi Shâlih Musa Jangki Dausat al-Jilani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112).

Beliau dilahirkan di desa Busytiru kota Jilan pada bulan Ramadhan tahun 470 H./1077 M. Dan beliau wafat pada malam sabtu 8 Rabi’ul akhir tahun 561 H/1166 M. di kota Baghdad, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 184 dan Adhwa’, halaman 24).

Silsilah Beliau

Silsilah beliau baik dari bapak maupun dari ibu sambung sampai Rasûlullâh Saw. Nasab dari ayah adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Abu Shâlih Jangki Dausat bin Abdillah bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullâh al-Tsani bin Musa al-Juni bin Abdullâh al-Mahdi bin Hasan al-Mustanna bin Hasan al-Sibthi bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw.

Nasab dari ibu adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Syarifah Ummul Khair Fatimah binti Abdullâh Sauma’i al-Zahid bin Abu Jamaluddin Muhammad bin Mahmud bin Thâhir bin Abu al-Atha’ Abdullâh bin Kamaluddin Isa bin Abi Alauddin Muhammad al-Jawad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far al-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin Zaenal Abidin bin Husain al-Syahid bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw., (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112 dan Adhwa’, halaman: 23).

Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sudah masyhur keutamaan dan kelimuannya. Ayah beliau adalah seorang `ulamâ’ yang masyhur keilmuan, wira’i dan ketakwaannya. Beliau wafat ketika Syaikh Abdul Qâdir masih kecil.

Beliau juga memiliki saudara laki-laki bernama Abdullâh seorang pemuda yang ahli ilmu dan ibadah tetapi wafat pada usia muda. Tepatnya ketika Syaikh Abdul Qâdir meninggalkan Jilan dan memasuki kota Baghdad.

Sedangkan ibu beliau adalah seorang perempuan yang masyhur dengan kebaikan dan kemuliaannya. Beliau wafat ketika syaikh Abdul Qâdir sudah berada di Baghdad, (Adhwa’, halaman: 25).

Perjalanan Beliau

Sejak usia 10 tahun syaikh  Abdul Qâdir sudah dikawal malaikat sebagaimana diceritakan oleh al-Tadafi bahwa syaikh  Abdul Qâdir berkata: “Sejak kecil malaikat datang kepadaku setiap hari, aku tidak tahu kalau dia adalah malaikat, karena berwujud manusia. Ia mengantarkanku dari rumah ke tempatku belajar dan menyuruh teman-temanku agar memberikan tempat kepadaku dan dia  bersamaku sampai aku pulang, maka pada suatu hari aku bertanya: siapakah engkau? Dia menjawab: aku adalah malaikat yang Allâh Swt. kirimkan kepadamu untuk menemanimu selama di tempat belajar, padahal setiap hari aku mempelajari sesuatu yang orang lain tidak mungkin mempelajarinya dalam satu minggu”, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 186).

Beliau meninggalkan Jilan pada usia 16 tahun dan menetap di Irak hingga mendapat perintah dari Nabi Khidir As. agar memasuki kota Baghdad pada usia 18 tahun, pada saat al-Taimi wafat yakni pada tahun 488 H. Di kota inilah beliau menimba ilmu, melakukan pengembaraan dan bermujahadah hingga tampak keberhasilannya, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 164).

Guru-guru Beliau

Syaikh Muhammad bin Yahya al-Tadafi al-Hambali di dalam kitab Qalaid al-Jawahir mengatakan ketika syaikh Abdul Qâdir tahu bahwa mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat dan juga menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang sakit, beliau bersemangat untuk menghasilkan berbagai macam disiplin ilmu. Setelah menyelesaikan al-Qur’an beliau belajar ilmu fiqih dari: (1) Syaikh  Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali, (2) Syaikh  Abu al-Khattab Mahfudz al-Kalwadzani al-Hambali, (3) Syaikh Abu al-Hasan Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin al-Farra’ al-Hambali, (4) Syaikh  al-Qadhi Abu Sa’id al-Mubarrok bin Ali al-Mukharimi al-Hambali.

Sedangkan ilmu adab beliau belajar dari syaikh  Abi Zakariya Yahya bin Ali al-Tibrizi. Beliau mendengarkan Hadits dari (1) Syaikh  Abu Ghalib Muhammad bin al-Hasan al-Baqilani, (2) Syaikh  Abu Sa’id Muhammad bin Abdul Karim bin Khasyisya, (3) Syaikh  Abu al-Ghanaim Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Maimun al-Farsi, (4) Syaikh  Abu Bakar Ahmad bin al-Muzhaffar, (5) Syaikh  Abu Ja’far bin Ahmad bin al-Husain al-Qari al-Siraj, (6) Syaikh  Abu al-Qasim Ali bin Ahmad bin Bannan al-Karkhi, (7) Syaikh  Abu Thâlib Abdul Qâdir bin Muhammad bin Yusuf, (8) Syaikh Abdur Rahman bin Ahmad, (9) Syaikh  Abu al-Barakat Hibatullâh bin al-Mubarrak, (10) Syaikh Abu al-‘Izzi Muhammad bin al-Mukhtar, (11) Syaikh  Abu Nashar Muhammad, (12) Syaikh Abu Ghalib Ahmad, (13) Syaikh  Abu Abdillah Yahya, (14) Syaikh Abu al-Hasan bin al-Mubarrak bin al-Thuyur, (15) Syaikh Abu Manshur Abdur Rahman al-Qazaz, (16) Syaikh  Abu al-Barakat Thalhah al-‘Aquli.

Beliau juga mempelajari fiqih al-Syafi’i dan fan-fan (cabang-cabang) ilmu lainnya. Sedangkan beliau belajar tashawwuf dari (1) Syaikh  Abi al-Khair Hammad al-Dabbas bin Muslim bin Dawud al-Dabbas sekaligus belajar ilmu adab dan suluk kepada beliau, (2) Syaikh  Abi Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Mukharimi, (3) Syaikh  Abu Ya’qub Yusuf bin Ayyub bin Yusuf al-Hamdani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 165).

Murid-murid Beliau

Dalam setiap tahunnya santri madrasah dan pesantren di Baghdad yang telah menyelesaikan pendidikannya kurang lebih tiga ribu santri, sehingga dalam jangka waktu tiga puluh tiga tahun santri yang telah menyelesaikan pendidikannya mencapai seratus ribu santri. Mereka menyebar keseluruh penjuru dunia, diantaranya Abu al-Fath Nashar bin al-Mina beliau menjadi masyâyikh Hanabilah setelah wafatnya syaikh Abdul Qâdir, Ahmad bin Abu Bakar bin al-Mubarak Abu al-Sa’ud al-Harim, al-Hasan bin Muslim mendirikan pesantren di al-Qadisiyah, Mahmud bin Utsman bin Makarim al-Nu’al, Umar bin Mas’ud al-Bazzaz yang banyak sekali khâlifah yang bertaubat atas bimbingan beliau, Abdullâh al-Jaba`i yang berasal dari desa Jabah Libanon sebelumnya beliau adalah orang nasrani yang diboyong ke Damaskus kemudian masuk Islâm yang mana oleh Zainuddin ‘Ali bin Ibrahim bin Najah salahsatu sahabat Syaikh  Abdul Qâdir dibeli kemudian dimerdekakan dan mengirimnya ke syaikh  Abdul Qâdir di Baghdad pada tahun 540 H. untuk belajar ilmu agama dan menetap di sana hingga syaikh Abdul Qâdir wafat, yang kemudian disusul oleh al-Muwafiq bin Qudamah penyusun kitab al-Mughni kemudian beliau berangkat ke Asbihan dan mengajar di sana hingga beliau wafat pada tahun 605 H, Hamid bin Mahmud al-Haroni yang kemudian bertemu dengan Nuruddin Zanki, Zainuddin bin Ibrahim bin Najah al-Anshari al-Dimiski beliau mengajar di madrasah syaikh  Abdul Qâdir di Baghdad yang kemudian berangkat ke Damaskus dan Mesir, (Adhwa’, halaman: 175).

Termasuk santri beliau adalah Ahmad bin al-Mubarak al-Marqo’ati, Muhammad bin al-Fath al-Harami, kedua-duanya menjadi pembimbing madrasah syaikh  Abdul Qâdir di Baghdad. Syaikh  Abu al-Fathi al-Harowi menjadi pembimbing karena khidmat kepada syaikh Abdul Qâdir, beliau mengatakan “Aku berkhidmat kepada syaikh  Abdul Qâdir selama empat puluh tahun dan selama itu aku menyaksikan syaikh Abdul Qâdir mengejarkan shalat subuh dengan wudhu’nya shalat isyâ’, dan ketika beliau hadats seketika itu juga beliau wudhu’ dan shalat dua rakaat, setiap mengerjakan shalat isyâ’ beliau masuk ke ruang khalwat dan tidak seorang pun boleh masuk, sedangkan beliau tidak keluar kecuali ketika fajar sudah terbit”.

Dan termasuk murid beliau adalah Syu’aib Abu Madyan, Abu Amr Utsman bin Marzuk bin Humaid bin Tsalamah al-Qurasyi beliau menetap di Mesir dan menjadi guru di sana. Dan pernah melaksanakan ibadah haji bersama dengan syaikh Abdul Qâdir.

Imam al-Syathnufi menyebutkan dalam kitab Bahjah al-Asrar `ulamâ’-`ulamâ’ besar dan para wali yang telah belajar ilmu dan tharîqah dari syaikh Abdul Qâdir. Kebanyakan dari mereka adalah ahli fatwa, ahli hukum (pengadilan) atau orang yang mumpuni di bidang ilmu syari’at khususnya hadits, fiqih, al-Qur’an.

Murid-murid beliau yang ahli di bidang hukum (pengadilan), (1) Abu Ya’la Muhammad al-Fara`, (2) Qadhi al-Qudhah Abu Hasan ‘Ali, (3) al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan, (4) Qadhi al-Qudhah Abu al-Qasim Abdul Malik bin ‘Isa bin Darbas al-Maridini, (5) al-Imam Abu Amr Utsman, (6) al-Qadhi Abu Thâlib Abdur Rahman Mufti Irak, (7) syaikh  al-Qudhah Abu al-Fath Muhammad bin al-Qadhi Ahmad bin Bakhtiyar al-Wasithi yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Munadi, (Adhwa’, halaman:: 177).

Murid-murid beliau di bidang fatwa: (1) Abu Abdillah Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini, (2) Ahmad bin Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini, (3) Abu Bakar Abdullâh bin Nashar bin Hamzah al-Tamimi al-Bakri al-Baghdadi penyusun kitab Anwar al-Nazhir fi Ma’rifati Akhbari al-Syaikh Abdul Qâdir, (4) al-Imam Abu Amr Utsman bin Ismail bin Ibrahim al-Sa’di, (5) al-Hasan bin Abdullâh al-Dimyati, (6) Syaikh al-Fuqaha’ Abu Abdillah bin Sanan, (7) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Muhammad al-Azhari al-Sharbini, (8) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Shâlih Bahauddin, (9) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Abdullâh bin al-Husain bin al-‘Akbari al-Bashri al-Dharir, (10) Abu Muhammad al-Hasan al-Farisi, (11) Abdul Karim al-Farisi, (12) Abu al-Fadhl, (13) Ahmad bin Shâlih bin Syafi’ al-Hambali, (14) Abu Ahmad Yahya bin Barokah bin Mahfuzh al-Daibaqi al-Babishri al-‘Iraqi, (15) Abu al-Qasim Khalaf bin ‘Iyasy bin Abdul ‘Aziz al-Mishri, (16) Najm al-Din Abu al-Faraj Abdul Mun’im bin ‘Ali bin Nashir bin Shuqail al-Harani.

Murid-murid beliau yang terkenal ahli fiqh: (1) Muhammad bin Abi al-Makarim al-Fadhl bin Bakhtiyar bin abi Nashr al-Ya’qubi, (2) Abu Abdul Malik Dziyan bin Abu al-Ma’ali Rasyid bin Nabhan al-‘Iraqi, (3) al-Imam Abu Ahmad yang terkenal memiliki banyak kelebihan, karya tulis dan karamah, (4) Abu al-Farj Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Hambali, (5) al-Mufti Abu ‘ali bin Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji, (6) Abu Muhammad Yusuf bin al-Muzhaffar bin Syuja’ al-‘Aquli al-Aziji al-Shahari, (7) Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Thabal, (8) Abu al-Ridha Hamzah bin Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji, (9) Muhammad bin Ismail al-Aziji, (10) Abu al-Fath Nashar bin Fatayan bin Muthahar al-Mutsni, (11) Ali bin Abi Thâhir bin Ibrahîm bin Naja al-Mufashir al-Wa’izh al-Anshari. Dan masih banyak lagi yang lain, (Adhwa’, halaman: 178).

Murid-murid beliau yang hafal al-Qur’an dan ahli hadits fiqhiyah: (1) Abu Hafs Amr bin Abi Nashr bin ‘Ali al-Ghazal, (2) al-Imam Muhammad Mahmud bin Utsman al-Ni’al, (3) al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Abdul Wahid al-Maqdisi. Dan masih banyak yang lain.

Sedangkan murid-murid beliau yang menjadi guru tharîqah: (1) Abu al-Sa’ud Ahmad bin Abu Bakar al-Harami yang dijuluki Sirajul Auliyâ’, (2) al-Syahid abu Abdillah Muhammad bin Abu Ma’ali, (3) Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Wahab al-Aziji, (4) Syaikh Abdul Aziz bin Dalaf al-Bagdadi yang mana dari beliaulah silsilah tharîqah Qâdiriyah menyebar ke Indonesia. Dan masih banyak yang lain, (Adhwa’, halaman: 179).

Karya-karya Beliau

Karya-karya beliau di antaranya: (1) al-Ghunyah Lithâlib al-Thariq al-Haq, (2) Futûhât al-Ghaib, (3) al-Fathur al-Rabbani wal Faidh ar-Rahmani, (4) al-Fathur al-Rabbani fi Halli al-Fadhi al-Zanjani, (5) al-Fathur al-Rabbani Lima Dzala fihi al-Zarqani, (6) Jala’ al-Khathir fi al-Zhahir wal Bathin, (7) Aurâd al-Ayyam as-Sabah, (8) Aurâd al-Auqat al-Khamsah, (9) Wirid Shalat Kubrâ, (10) Hizib al-Raja’, (11) Hizib al-Washilah, (12) al-Shalawat wa al-Ad’iyah, (13) Asrar al-Isra`, (14) Sirr al-Asrar, (15) al-Fuyûdhah al-Rabaniyah, (16) Tafsir al-Qur’an al-Karim, (17) Maratib al-Wujud. Dan masih banyak lagi karya-karya yang lain, (Adhwa’, halaman: 193).

Tharîqah Qâdiriyah tidak hanya tersebar di wilayah Baghdad akan tetapi Tharîqah Qâdiriyah tersebar ke berbagai penjuru dunia diantaranya (1) Makkah, (2) Madinah, (3) Yaman, (4) Tunisia, (5) Al-Jazair, (6) Libia, (7) Mesir, (8) Syiria, (9) Libanon, (10) Palestina, (11) Senegal, (12) Sudan, (13) Somalia, (14) Turki, (15) Asia Tengah, (16) Cina, (17) Malaysia, (18) Indonesia, (19) Yugoslafia.

Sumber: Alif.ID

68. Silsilah Tarekat Qadiriyah

Silsilah Tharîqah Qâdiriyah adalah sebagai berikut:

(1) Allâh Swt,
(2) Jibril As,
(3) Sayyidina Muhammad Saw.,
(4) Sayyidina Ali ibn Abi Thâlib,
(5) Sayyidina Hasan ibn Ali,
(6) Sayyidina Husain ibn Ali,
(7) Syaikh Ali Zainal Abidin,
(8) Syaikh Muhammad al-Baqir,
(9) Syaikh Imam Ja’far al-Shâdiq,
(10) Syaikh Musa al-Kazhim,
(11) Syaikh Ali ibn Musa al-Ridha,
(12) Syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi,
(13) Syaikh Sari al-Saqathi,
(14) Syaikh Abu al-Qasim Junaidi al-Baghdadi,
(15) Syaikh Abu Bakar al-Syibli,
(16) Syaikh Abdul Wahid al-Tamimi,
(17) Syaikh Abu al-Farraj al-Tursusi,
(18) Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Hakari,
(19) Syaikh Abu Sa’id Mubarak al-Makhrumi,
(20) Syaikh Abdul Qodir al-Jailani,
(21) Syaikh Abdul Aziz,
(22) Syaikh Muhammad al-Hattaq,
(23) Syaikh Syamsuddin,
(24) Syaikh Syarofuddin,
(25) Syaikh Zainuddin,
(26) Syaikh Nuruddin,
(27) Syaikh Waliyuddin,
(28) Syaikh Hisyamuddin,
(29) Syaikh Yahya,
(30) Syaikh Abu Bakar,
(31) Syaikh Abdul Rahim,
(32) Syaikh Utsman,
(33) Syaikh Kamaluddin,
(34) Syaikh Abdul Fatah,
(35) Syaikh Murad,
(36) Syaikh Syamsuddin (Makkah),
(37) Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1307/1878 di Makkah),

Sumber: Tsamrah al-Fikriyah, halaman: 25.

Al-Kurdy (Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy: 1994), Said (2003,37-38), dan Aqib (2004, 125-126) menyebutkan nama-nama tharîqah dari silsilah Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib RA. Intinya sebagai berikut:

  1. Pengamal tharîqah setelah Sayyidina Ali Ibnu Thâlib Ra. wafat disebut golongan “Alawiyah”, yaitu silsilah nomor 4, sampai pada periode Abu Qâshim Junaidi al-Baghdadi.
  2. Setelah Abu Qashim wafat sampai periode Syaikh Abdul Qâdir Jailani yaitu nomor 19, disebut golongan pengamal “Junaidiyah” atau “Baghdadiyah”.
  3. Setelah Syaikh Abdul Qâdir Jailani sampai dengan masa Syaikh Ahmad Khatib Sambas, yaitu silsilah nomor 34, disebut dengan tharîqah “Qâdiriyah”.
  4. Setelah Syaikh Ahmad Khatib wafat, tharîqah yang dipegangi disebut tharîqah “Qâdiriyah wa Naqsyabandiyah”.

Sumber: Alif.ID

69. Ajaran-ajaran Dasar Tarekat Qadiriyah

Syaikh Abdul Qâdir Jailani Ra. menetapkan tujuh ajaran dasar tharîqah Qâdiriyah:

  1. Mujahadah: melawan kehendak hawa nafsu dan membelenggu-nya dengan takwa dan takut kepada Allâh Swt. dengan jalan muraqabah (beribadah kepada Allâh Swt. seakan-akan melihat-Nya jika tidak mampu maka yakinlah bahwa Allâh Swt. Maha Melihat).
  2. Tawakkal: pada hakikatnya adalah menyerahkan segala urusan kepada Allâh Swt.
  3. Akhlak yang mulia baik kepada Allâh Swt. maupun kepada sesama hamba Allâh Swt.
  4. Syukur: menurut ahli tahqiq adalah pengakuan nikmat Allâh Swt. dengan cara tunduk kepada-Nya.
  5. Sabar ada tiga macam:
  • Sabar karena Allâh Swt.;
  • Sabar bersama Allâh Swt.;
  • Sabar atas Allâh Swt..
  1. Ridha: ridha atas segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allâh Swt.
  2. Jujur: sama antara yang tersembunyi dan yang terbuka, (Adhwa’, halaman: 132).

Sumber: Alif.ID

70. Tata Cara Baiat Tarekat Qadiriyah

Tata Cara Baiat Tharîqah Qâdiriyah

  1. Mursyid memberikan pengetahuan tentang akidah tata cara ibadah mengetahui halal haram;
  2. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk melakukan taubat terhadap seluruh maksiat;
  3. Mursyid memerintahkan Sâlik melaksanakan shalat sunnah taubat 2 rakaat;
  4. Sâlik duduk iftirasy menghadap kiblat di depan mursyid;
  5. Mursyid membaca fatihah sambil menjabat tangan Sâlik;
  6. Mursyid berkata dan diikuti oleh Sâlik:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ.

  1. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk selalu taat kepada Allâh Swt., menjauhi seluruh kemaksiatan, baik maksiat anggota tubuh zhahir dan maksiat hati seperti iri, dendam, riya’ dan sebagainya.
  2. Mursyid berkata dan diikuti oleh Sâlik:

شَيْخُنَا وَأُسْتَادُنَا (الشَّيْخُ عَبْدُ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِي) رَضِيْتُهُ شَيْخًا لِيْ وَطَرِيْقَةً لِيْ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلٌ.

  1. Mursyid berkata secara sirri:

يَا وَاحِدُ يَا مَاجِدُ اِنْفَحْنَا مِنْكَ بِنَفْحَةِ خَيْرٍ 3×

  1. Mursyid membaca ayat-ayat yang menjelaskan tentang baiat (al-Fath: 10)
  2. Mursyid berkata kepada Sâlik “Dengarkanlah kalimat tauhid dariku” tiga kali. “Ucapkanlah لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ sambil Sâlik memejamkan kedua mata. Kemudian murid menirukan ucapan mursyid sebanyak tiga kali;
  3. Mursyid memerintahkan kepada Sâlik untuk memperbanyak membaca tahlil tanpa dibatasi hitungan di malam dan siang hari menurut batas kemampuan Sâlik;
  4. Mursyid berkata “Apakah engkau menerima baiat ini?”, Sâlik menjawab “saya terima”;
  5. Mursyid membaca fatihah yang pahalanya dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw., seluruh Nabi dan Rasul, keluarga dan seluruh sahabatnya, seluruh orang-orang mukmin dikhususkan kepada syaikh Abdul Qâdir al-Jilanidan mursyid-mursyid tharîqah Qâdiriyah.

Jika seorang mursyid memandang Sâlik pantas untuk ditambah aurâd (wirid)nya maka mursyid memerintahkan Sâlik dengan macam-macam dzikir tharîqah Qâdiriyah dan harus dilakukan oleh Sâlik.

Wiridan pagi dan sore yang wajib dilakukan oleh Sâlik tharîqah Qâdiriyah adalah:

  1. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 100×
  2. اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ 100×
  3. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمْ 100×
  4. حَسْبِيَ اللهِ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ 100×

Ketika mursyid memandang Sâlik mampu, maka mursyid menambah beberapa macam wirid yang lain. Setelah selesai melakukan wirid Sâlik dianjurkan untuk membaca al-Fatihah yang pahalanya dihadiahkan kepada mursyid tharîqah dan seluruh silsilah tharîqahnya, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 276-277).

Sumber: Alif.ID

71. Adab Murid Tarekat Qadiriyah

Adab Sâlik terhadap Diri Sendiri

  1. Ber-i’tiqat dengan benar yakni i’tiqat ahlu sunnah wal jama’ah;
  2. Berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Hadits serta mengamalkannya, yaitu melakukan perintah dan menjauhi larangan baik hukum asal atau furû`;
  3. Jujur;
  4. Bersungguh-sungguh sampai Sâlik menemukan hidayah petunjuk dan tanda-tanda (wushul kepada Allâh Swt). Bersungguh-sungguh memadamkan jilatan syahwatnya dan hawa nafsunya. Karena i’tiqat yang benar bisa menaghasilkan ilmu hakikat. Bersungguh-sungguh bisa menetapkan Sâlik menempuh jalan hakikat;
  5. Wajib bagi Sâlik melakukan amal secara ikhlâs karena Allâh Swt., supaya Sâlik tidak sia-sia menjalankan tharîqahnya;
  6. Sâlik harus menyembunyikan karamah-karamahnya, karena syaikh Abdul Qâdir al-Jilaniberkata: “Wali tidak akan menampakkan karamahnya kecuali diizinkan oleh Allâh Swt”. Karena salah satu dari sarat kewalian adalah menyembunyikan karamah;
  7. Sâlik tidak berhubungan dengan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang sempit, orang-orang yang beramal dengan sia-sia yaitu orang yang mencari qâla dan qîla (orang yang menambah keilmuan tanpa melakukan amal), tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak menyukai amal ibadah, tidak bergaul terhadap orang yang suka memerintahkan beramal terhadap Islâm dan iman, tapi dia tidak melakukan dengan dasar.
  8. Hendaknya Sâlik tidak kikir dengan shadaqah;
  9. Seyogyanya Sâlik ridha dengan keadaan yang hina (di hadapan mahluk), lapar, menyembunyikan amal yang baik, senang dengan hinaan manusia, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 281-282).

Adab Sâlik terhadap Mursyid

  1. Tidak melawan mursyid lahir batin;
  2. Tidak durhaka kepada mursyid, karena orang yang durhaka adalah orang yang meniggalkan adab;
  3. Sâlik harus memiliki husnuzhan (berprasangka baik) kepada mursyid walaupan mursyidnya melakukan perbuatan yang tidak disukai menurut kaca mata syara’, karena mursyid berusaha memberikan kalam matsal dan isyarah kepada Sâlik;
  4. Jika Sâlik melihat aib mursyid maka Sâlik harus menutupinya;
  5. Sâlik harus menta’wil ucapan mursyid sesuai dengan syara’, jika Sâlik tidak menemukan alasan secara syari’at maka Sâlik memintakan ampun kepada mursyid, mendoakannya, mendapatkan taufik, ilmu, sadar dan terjaga dari kesalahan;
  6. Sâlik tidak beri’tikat bahwa mursyidnya adalah ma’shûm (terjaga dari maksiat), tapi mahfuzh (melakukan kesalahan dan meminta maaf);
  7. Melanggengkan bersahabat dengan mursyid, karena persahabatan itu bisa menjadi wasilah antara Sâlik dan tuhannya;
  8. Hendaknya Sâlik tidak meniggalkan mursyid sampai Sâlik sudah wusul kepada Allâh Swt;
  9. Sâlik tidak boleh berbicara di depan mursyid kecuali dalam keadaan dharurat;
  10. Sâlik tidak boleh menampakkan kelebihannya di depan mursyid;
  11. Sâlik tidak menggelar sajadah di hadapan mursyid kecuali waktu shalat (menampakkan taat ibadah di hadapan mursyid dengan tujuan mendapatkan simpati dari mursyid);
  12. Sâlik selalu siap sedia melayani (khidmat)kepada mursyid.
  13. Seyogyanya bagi Sâlik diam ketika mursyid memiliki masalah, walaupun jawaban mursyid kurang luas, bahkan Sâlik harus bersyukur kepada Allâh Swt. atas pemberian ilmu, keutamaan dan cahaya dalam hatinya.
  14. Hendaknya bagi Sâlik tidak bergerak ketika mendengarkan ucapan mursyid kecuali atas peritah mursyid.
  15. Sâlik tidak bersuara dengan keras dihadapan mursyid.
  16. Sâlik tidak duduk di tempat duduk yang dikhususkan untuk mursyid.
  17. Sâlik tidak beranjak dari tempat duduk atau keluar dari hadapan mursyid, kecuali atas isyarah atau perintahnya, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 282-286).

Adab antar Sâlik

  1. Persahabatan harus saling mengalah (al-Itsar: lebih mementingkan sahabat daripada kepentingan dirinya), menerima apa adanya keadaan sahabat, melaksanakan persahabatan degan syarat saling berkhidmat (saling melayani).
  2. Sâlik tidak memperdulikan haknya atas seseorang, tapi Sâlik memperdulikan hak orang lain atas dirinya.
  3. Menampakkan kekompakan kepada sahabat baik secara ucapan ataupun perbuatan mereka.
  4. Meninggalkan perselisihan, perdebatan terhadap sahabat.
  5. Tidak boleh menyimpan dendam dalam hati kepada sahabat, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 287).

Sumber: Alif.ID

72. Tata Cara Khalwat 40 Hari Tarekat Qadiriyah

Tata Cara Kholwat 40 Hari Tharîqah  Qâdiriyah

  1. Tidak berbicara kecuali dengan pembicaraan yang diridhai oleh Allâh Swt.
  2. Sedikit makan dan berpuasa lebih baik.
  3. Sedikit tidur.
  4. Berdzikir setiap tarikan nafas.
  5. Berkhalwat di dalam masjid jika memungkinkan, jika tidak memungkikan maka berkhalwat di dekat masjid, untuk menghadiri shalat berjama’ah.
  6. Lebih baik tidak membawa uang.
  7. Seyogyanya menghilangkan seluruh keinginan kecuali ridhanya Allâh Swt.
  8. Selalu bermuraqabah kepada Allâh Swt. serta melanggengkan dzikir.
  9. Menghilangkan kesibukan yang bisa menggagalkan khalwatnya Sâlik.
  10. Sâlik menjalankan amalan dari mursyid baik berupa dzikir dan membaca al-Qur’an.

Dalam hadits  Nabi disebutkan:

مَنْ دَاوَمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا عَلَى صَلَاةِ الْغَذَاةِ وَالْعِشَاءِ فِيْ جَمَاعَةٍ كُتِبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ. رواه الإمام أبو حنيفة في مسنده.

Barang siapa yang melanggengkan sholat subuh dan isya’ dengan berjama’ah selama 40 hari, maka ditulis bebas dari sifat munafiq dan syirik.

مَنْ أَخْلَصَ لِلهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا تَفَجَّرَتْ يَنَابِيْعُ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ. 

Barang siapa yang melakukan ‘ibadah dengan ikhlas selama 40 hari, maka muncul hikmah dari dalam hati melalui lisan Sâlik, (Ittihâf  al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 275).

Sumber: Alif.ID

73. Hizib Tarekat Qadiriyah

Hizb Shoghir

حِزْبُ الصَّغِيْرِ

اَللهم حُلْ هَذَا الْعُقْدَةَ وَأَزِلْ هَذِهِ الْعُسْرَةَ، وَلَقِّنِيْ حُسْنَ الْمَيْسُوْرِ وَقِنِيْ سُوْءَ الْمَقْدُوْرِ وَارْزُقْنِيْ حُسْنَ الطَّلَبِ وَاكْفِنِيْ سُوْءَ الْمُنْقَلَبِ اَللهم حُجَّتِيْ وَعُدَّتِيْ فَاقْتِيْ، وَوَسِيْلَتِيْ اِنْقِطَاعَ حِيْلَتِيْ، وَ رَاسِ مَالِي عَدَمُ اِحْتِيَالِيْ، وَشَفِيْعِيْ دُمُوْعِيْ، وَكُنُزِيْ عَجْزِيْ، إِلَهِيْ قَطْرَةٌ مِنْ بَحَارِ جُوْدِكَ تَغْنِيْنِيْ وَذُرَّةٌ مِنْ تِيَارِ عَفْوِكَ تَكْفِيْنِيْ فَارْزُقْنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ وَاغْفِرْ لِيْ وَاقْضِ حَاجَتِيْ وَنَفِّسْ كُرْبَتِي وَفَرِّجْ هَمِّيْ وَاكْشِفْ غَمِّي بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن.

Hizib Nashr

حِزْبُ النَّصْرِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم اِقْطَعْ أَجْلَ أَمَلِ أَعْدَائِي وَشَتِّتْ اَللهم شَمِّلْهُمْ وَأَمِّرْهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَاقْلِبْ تَدْبِيْرَهُمْ وَبَدِّلْ أَحْوَالَهُمْ وَنَكِّسْ أَعْلَامَهُمْ وَكُلَّ سِلَاحَهُمْ وَقَرِّبْ آجَالَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَغَيِّرْ أَفْكَارَهُمْ وَخَيِّبْ آمَالَهُمْ وَخَرِّبْ بُنْيَانَهُمْ وَاقْلِعْ آثَارَهُمْ حَتَّى لَا تَبْقَى لَهُمْ بَاقِيَةٌ وَلَا يَجِدُوْا لَهُمْ وَاقِيَةً وَاشْغِلْهُمْ بِأَبْدَانِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَرَامِهِمْ بِصَوَاعِقَ اِنْتِقَامِكَ وَابْطِشْ بِهِمْ بَطْشاً شَدِيْدًا وَخُذْهُمْ أَخْذاً عَزِيْزًا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ وَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.

اَللهم لَاأَمْنَعُهُمْ وَلَاأَدْفَعُهُمْ إِلَّابِكَ اَللهم إِنَّانَجْعَلُكَ فِي نُحُوْرِهِمْ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شُرُوْرِهِمْ، يَامَلِكَ يَوْمِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ عَلَىْهِمْ فَدَمِّرْهُمْ تَدْمِيْرًا وَتَبِّرْهُمْ تَتْبِيْرًا فَاجْعَلْهُمْ هَبَاءً مَنْثُوْرًا، آمِيْنَ آمِيْنَ آمِيْنَ يَااللهُ يَااللهُ يَااللهُ بِسْمِ اللهِ بِحَرَمَةِ مُحَمَّدٍ عِنْدَكَ أَنْ تَسْتَرَنَا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ  وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

Hizib Fath

حِزْبُ الْفَتْحِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ:

” إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحاً مُّبِيناً لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْماً وَيَنْصُرَكَ اللهُ نَصْراً عَزِيزاً”.

اَللهم يَاوَاجِبَ الْوُجُوْدِ وَيَاوَاهِبَ الْخَيْرِ وَالْجُوْدِ، إِفْضِ عَلَىْنَا أَنْوَارَ رَحْمَتِكَ وَيَسِّرْلَنَا الْوُصُوْلَ إِلَى كَمَالِ مَعْرِفَتِكَ، سُبْحَانَكَ لَاعِلْمَ لَنَا إِلَّا مَاعَلَّمْتَنَا وَلَامَعْرِفَةَ لَنَا إِلَّامَا أَلْهَمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ، اَللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْعِصْمَةِ دَوَامِهَا، وَمِنَ النِّعْمَةِ تَمَامِهَا، وَ مِنَ الرَّحْمَةِ شُمُوْلِهَا وَمِنَ الْعَافِيَةِ حُصُوْلِهَا، وَمِنَ الْعَيْشِ أَرْغَدَهُ، وَمِنَ الْعُمُرِ أَسْعَدَهَ، وَمِنَ الْوَقْتِ أَطْيَبَهُ، وَمِنَ الرِّزْقِ أَوْسَعَهُ، وَمِنَ الْفَضْلِ أَعْذَبَهُ، وَمِنَ اللُّطْفِ أَنْفَعَهَ، وَمِنَ الْإِنْعَامِ أَعَمَّهُ، وَمِنَ الْإِحْسَانِ أَتَمَّهُ، اَللهم كُنْ لَنَا يَاجَبَّارُ وَلَاتَكُنْ عَلَىْنَا، اَللهم حَصِّنْ بِالسَّعَادَةِ آجَالَنَا، وَحَقِّقْ بِالزِّيَادَةِ آمَالَنَا، وَاقْرِِنْ باِلْعَافِيَةِ غَدْوَنَا وَ آصَالَنَا وَاجْعَلْ إِلَى مَغْفِرَتِكَ وَرَحْمَتِكَ مَصِيْرَنَا وَ مَآلَنَا، وَ صُبَّ سَحَائِبُ عَفْوِكَ عَلَى ذُنُوْبِنَا، وَمُنَّ عَلَىْنَا بِإِصْلَاحِ عُيُوْبِنَا، وَاجْعَلْ التَّقْوَى زَادَنَا، وَفِي دِيْنِكَ اِجْتِهَادَنَا، فَإِنَّهُ عَلَىْكَ تَوَكَّلْنَا وَ اعْتِمَادَنَا وَثَبِّتْنَا عَلَى نَهْجِ الْاِسْتِقَامَةِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، رَبَّنَا خَفِّفْ عَنَّا ثِقَلَ الْأَوْزَارَ، وَارْزُقْنَا مَعِيْشَةَ الْأَبْرَارِ وَاكْفِنَا شَرَّ الْأَشْرَارِ، وَ اعْتِقْ رِقَابَنَا وَرِقَابَ آبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَمَشَايِخِنَا مِنَ الدَّيْنِ وَالْمَظَالِمِ وَالنَّارِ، بِرَحْمَتِكَ يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ يَاكَرِيْمُ يَاسَتَّارُ يَاحَلِيْمُ يَاجَبَّارُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا خَيْرِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَا، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Hizib Mubarok

حِزْبُ الْمُبَارَكِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

رَبِّ عَبْدُكَ ضَاقَتْ بِهِ الْأَسْبَابُ وَغَلَّقَتْ دُوْنَهُ الْأَبْوَابُ، وَتَعَسَّرَ عَلَىْهِ سُلُوْكُ طَرِيْقِ أَهْلِ الصَّوَابِ، وَزَادَ بِهِ الهَمُّ وَالغَمُّ وَ الْاِكْتِئَابُ، وَانْقَضَى عُمْرُهُ، وَلَمْ يَفْتَحْ لَهُ إِلَى فَسِيْحِ تِلْكَ الْحَضْرَاتِ وَمَنَاهِلِ الصِّفْوَةِ وَالرَّاحَاتِ بَابٌ، وَانْصَرَمَتْ أَيَّامُهُ وَالنَّفْسُ رَاتِعَةٌ فِي مَيَادِيْنِ الْغَفْلَةِ وَدَنَاءَاتِ الْاِكْتِسَابِ، وَأَنْتَ الْمَرْجُوْ لِكَشْفِ هَذَا النِّصَابِ، يَا مَنْ إِذَا دُعِيَ أَجَابَ يَا سَرِيْعَ الْحِسَابِ يَا عَظِيْمَ الْجِنَابِ، رَبِّ لَا تَرُدَّ مَسْأَلَتِيْ وَلَاتَدَعْنِيْ بِحَسْرَتِيْ، وَلَاتَكِلْنِي إِلَى حَوْلِي وَ قُوَّتِي وَارْحَمْ عَجْزِيْ وَفَقْرِي وَفَاقَتِيْ، وَذَلِّلْ صُعُوْبَةَ أَمْرِيْ وَسَهِّلْ طَرِيْقَ يُسْرِي، فَقَدْ ضَاقَ صَدْرِي وَ تَاهَ فِكْرِيْ وَتَحَيَّرْتُ فِي أَمْرِيْ أَنْتَ الْعَالِمُ بِسِرِّيْ وَجَهْرِيْ المَالِكُ لِنَفْعِيْ وَضَرِّيْ الْقَادِرُ عَلَى تَيْسِيْرِ عُسْرِيْ.

رَبِّ ارْحَمْ مَنْ عَظُمَ مَرَضُهُ وَعَزَّ شِفَاؤُهُ وَكَثُرَ دَاؤُهُ وَقَلَّ دَوَاؤُهُ، وَأَنْتَ مَلْجَأَ هُوَ رَجَاؤُهُ وَمُغِيْثُهُ، إِلٰهِيْ وَ سَيِّدِيْ وَ مَوْلَايَ، ضَاقَتْ الْمَذَاهِبُ إِلَّا إِلَىْكَ، وَخَابَتْ الْآمَالُ إِلَّا لَدَيْكَ، وَانْقَطَعَ الرَّجَاءُ إِلَّا مِنْكَ، وَبَطَلَ التَّوَكُّلُ إِلَّاعَلَىْكَ، لَامَلْجَأَ وَلَامَنْجَى مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، تَحَصَّنْتُ بِذِي الْمَلِكِ وَالْمَلَكُوْتِ، وَاعْتَصَمْتُ بِذِي الْعِزَّةِ وَالْجَبْرُوْتِ وَتَوَكَّلْتُ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَايَمُوْتُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا.

Sholawat Syarifah

الصَّلَاةُ الشَّرِيْفَةُ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، بَحْرَ أَنْوَارِكَ وَمَعْدَنَ أَسْرَارِكَ وَلِسَانَ حُجَّتِكَ وَعَرُوْسَ مَمْلَكَتِكَ وَطِرَازَ مُلْكِكَ المُتَلَذِّذَ بِمُشَاهَدَتِكَ، صَلَاةً تَحُلُّ بِهَا عُقْدَتُنَا وَ تَفْرَجُ بِهَا كُرْبَتُنَا، وَتَقْضِى بِهَا حَوَائِجُنَا، صَلَاةً تُرْضِيْكَ وَتُرْضِيْهِ وَتَرْضَى بِهَا عَنَّا يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ، عَدَدَ مَا أَحَاطَ بِهِ عِلْمَكَ وَأَحْصَاهُ كِتَابَكَ وَشَهَدَتْ بِهِ مَلاَئِكَتُكَ وَ جَرَى بِهِ قَلَمُكَ، عَدَدَ الْأَمْصَارِ وَالْأَحْجَارِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَشْجَارِ وَمَلَائِكَةِ الْجَبَّارِ، وَعَدَدَ مَا خَلَقَ مَوْلَانَا مِنْ أَوَّلِ الزَّمَانِ إِلَى آخِرِ الزَّمَانِ، وَسَلِّمَ عَلَىْهِ وَعَلَىْهِمْ مِثْلُ ذٰلِكَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

74. Khataman dalam Tarekat Qadiriyah

Adab Khataman

Menurut Syaikh al-Kurdi dalam kitab Tanwîr al-Qulûb fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyûb menyebutkan 8 adab khataman, yaitu:

  1. Suci dari hadats dan najis.
  2. Di ruangan khusus, sunyi dari keramaian manusia.
  3. Khusyu’ dan hadir hati kepada Allâh Swt., seolah-olah dalam mengabdikan diri kepada-Nya. Jika anda tidak melihat-Nya, maka Dia melihat anda.
  4. Peserta yang hadir harus seizin Syaikh .
  5. Pintu ditutup, Karena menurut hadits yang diriwayatkan al-Hakim dari Ya’la bin Syidad:

بَيْنَمَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: هَلْ فِىْكُمْ غَرِىْبٌ، ىَعْنِى الْكِتَابُ، فَقُلْنَا: لَا ىَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ، وَ قَالَ: اِرْفَعُوْا اَيْدِيَكُمْ

Tatkala aku berada di sisi Rasullullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya: ”adakah orang asing diantara kamu? Kami menjawab: Tidak ada, Rasûlullâh Saw., Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda: “Angkat tangan kamu”.

دَخَلَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ هُوَ وَاُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ, وَ بِلَالٌ وَ عُثْمَانَ بْنُ طَلْحَةَ فَاَغْلَقُوْا عَلَيْهِمْ فَلَمَّا فَتَحَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ اَوَّلَ مَنْ وَلِجَ فَلَقَيْتُ بِلَالًا فَسَأَلْتُهُ هَلْ صَلَّى فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ صَلَّى بَيْنَ الْعَمُوْدَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ

Rasûlullâh Saw., telah memasuki ka’bah bersama dengan Usamah bin Zaid, bilal, Utsman bin Thalhah. Mereka menutupkan pintu. Tatkala mereka membukanya, sayalah orang pertama masuk, ku jumpai bilal dan kutanyakan: apakah Rasûlullâh Saw, shalatnya di dalamnya? Bilal menjawab: “benar, dianara dua tiang arah Yaman”.

  1. Memejamkan pelupuk mata dari permulaan sampai akhir.
  2. Berusaha sungguh-sungguh melenyapkan lintasan dan getaran dalam hati, sehingga tidak sampai lalai dari mengingat Allâh Swt.
  3. Duduk tawarruk, kebalikan dari duduk tawarruk dalam shalat.

Prosesi Khataman

Prosesi khataman biasanya dilaksanakan oleh mursyid atau murid senior, dalam posisi duduk berjama’ah shalat, maka mulailah membaca berbagai bacaan. Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrat al-Fikriyyah, bahwa proses khataman dimulai sebagai berikut:

  1. al-Fatihah, ke hadirat Nabi Saw, beserta keluarga dan sahabatnya.
  2. al-Fatihah, untuk para Nabi dan Rasul, para Malaikat al-Muqarrabin, para Syuhadâ’. Para Shalihin, setiap keluarga, setiap sahabat, dan kepada arwah bapak kita Adam As., dan ibu kita Hawâ’. Dan semua keturunan dan keduanya sampai hari kiamat.
  3. al-Fatihah, kepada arwahnya Khulafâ’ al-Râsyidîn (Abu Bakar al-Shiddiq r.a, Umar, Ustman, Ali), semua sahabat awal dan ahkir, para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in dan semua yang mengikuti kebaikan mereka sampai hari kiamat.
  4. al-Fatihah, untuk arwah para imam Mujtahid dan para pengikutnya, para `ulamâ’ dan pembimbing, para Qari’, para Mukhlisin, para imam hadits, mufassir, semua tokoh-tokoh sufi yang ahli tharîqah, para wali baik laki-laki maupun perempuan, Kaum muslimin dan muslimat dari seluruh penjuru dunia.
  5. al-Fatihah, untuk semua arwah Syaikh tharîqah Qâdiriyah wa al-Naqsyabandiyah, khususnya Shulthân al-Auliyâ’ Syaikh  Abdul Qâdir al-Jilani, Abul Qâsim al-Junaidi, Sirri Saqathi, Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi, Habib al-Ajami, Hasan al-Bashri, Ja’far Shâdiq, Abu Yazid al-Basthami, Yusuf al-Hamadani, Burhanuddin an-Naqsyabandi, as-Sirhindi. Berikut nenek moyang dan keturunan mereka, ahli silsilah mereka dan orang yang mengambil ilmu dari mereka.
  6. al-Fatihah, kepada arwah orang tua kita dan Syaikh-Syaikh kita, keluarga kita yang yang telah mati, orang yang berbuat baik kepada kita, dan orang yang mempunyai hak dari kita, orang yang mewasiati kita, dan orang yang kita wasiati, serta orang yang mendo’akan baik kepada kita.
  7. al-Fatihah, kepada arwah semua mu’minin-mu’minat, muslimin-muslimat yang masih hidup maupun yang sudah mati di sebelah barat maupun di sebelah timur, di belahan kanan dan kiri dunia, dan dari seluruh penjuru dunia, semua keturunan Adam As., sampai kiamat.

Sumber: Alif.ID

75. Tarekat Rifaiyah – Biografi Sayyid Ahmad al-Rifa’i

Tharîqah yang pendiriannya dinisbatkan kepada seorang wali quthub yang menjadi tonggak tharîqah dan tokoh para wali besar yaitu Syaikh Sayyid Ahmad al-Rifa`i bin (1)Sayyid `Ali, bin (2)Sayyid Yahya, bin (3)Sayyid Tsabit, bin (4)Sayyid Hazim, bin (5)Sayyid Ahmad, bin (6)Sayyid Ali, bin (7)Sayyid Hasan al-Rifa`ah, bin (8)Sayyid al-Mahdi, bin (9)Sayyid Abu Qasim Muhammad, bin (10)Sayyid Hasan, bin (11)Sayyid Husain, bin (12)Sayyid Musa al-Tsani, bin (13)Sayyid Ibrahim al-Murtadha, bin (14) Imam Musa al-Kadzîm, (15)bin Imam Ja`far Shadiq, bin (16)Imam Muhammad al-Baqir, bin (17)Imam Zainal Abidin Ali, bin (18)Sayyid Imam Abi Abdillah al-Husain, bin (19)Sayyidina Ali wa Sayyidatina Fatimatuz Zahra’, binti (20)Sayyidil Khalqi Sayyidina Muhammad Saw. Beliau dilahirkan di Ummi Abidah daerah pertengahan antara Bashrah dan Bagdad yaitu daerah yang masyhur di Irak tepatnya hari Kamis pada pertengahan pertama bulan Rajab, yakni pada tahun 512 H., (A’lâm al-Shûfiyah, halaman: 412-413).

Pengembaraannya dalam menuntut ilmu dimulai dengan belajar Fiqih madzhab Syafi’i dari pamannya yang bernama Syekh Abi Bakrin al-Wasiti al-Anshari. Beliau sempat mengajar kitab al-Tanbih, lalu masuk Tharîqah kemudian menempa dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia tinggalkan gemerlap dunia dan memusatkan perhatian pada tharîqah sehingga menjadi seorang wali besar dan sangat ahli dalam ilmu tharîqah. Imam Rifa`i memiliki banyak sâlik yang sangat menghormatinya. Menurut Ibnu Khalkan dan lainnya, santri-santrinya terkenal dengan nama Rifa`iyah atau Ahmadiyah atau Bathaihiyah, Para santrinya memiliki hal-hal yang aneh dan menakjubkan, (Nûr al-Abshâr, halaman: 252).

Syaikh Syamsuddin Sibtu bin al-Zauji dalam kitab Tarikhnya mengatakan, bahwa disamping Imam Rifa`i yang memiliki berbagai karamah dan maqâm, santri-santrinya juga luar biasa. Mereka kadang menaiki binatang buas dan bermain-main dengan ular. Di antara mereka bahkan ada yang memanjat pohon kurma kemudian menjatuhkan diri ke tanah, namun tak merasa sakit sedikitpun, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 402).

Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuti, Imam Rifa`i ini menyandang mandat (ijazah) tharîqah dari (1)Syaikh Ahmad al-Wasithi al-Qârî, dari (2)Syaikh Abil Fadhal bin Kamikh al-Kâmakhâni, dari (3)Syaikh Ghulam bin Tarakkân, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Rauzabati, dari (5)Syaikh `Ali al-‘Ajami, dari (6)Syaikh Abi Bakar al-Syibli, dari (7)Imam Abul Qasim al-Junaidi aI-Baghdadi, dari (8)Imam as-Sari as-Saqathi, dari (9)Imam Abi Mahfud al-Karkhi, dari (10)Syaikh Imam Dawud al-Thâ’i, dari (11)Syaikh Habib al-Ajami, dari (12)Syaikh Imam Hasan al-Bishri, dari (13)Suami al-Batûl, dan anak dari paman Rasûlullâh, Maulana Amiril Mu’minin al-Imam Ali bin Abi Thalib Krw., dari (14)Sayyidil Makhluqin wa Imamin Nabiyyin wal Mursalin Sayyidina Muhammadin Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107).

Beliau juga menyandang mandat Tharîqah dari pamannya (1)Sayyid Syaikh Manshur al-Batha’i al-Robbani, dari pamannya (2)Syaikh Abil Manshur al-Thayyib, dari (3)Syaikh Abi Sa`id Yahya al-Bukhari al-Wasithi, dari (4)Syaikh Abi Ali al-Qurmuzi, dari (5)Syaikh Abil Qasim al-Sundusi al-Kabir, dari (6)Syaikh Abi Muhammad Ruwaim al-Baghdadi, dari (7)Syaikh Abil Qasim al-Junaidi, dari (8)Syaikh Sari al-Saqathi, dari (8)Syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi, dari (9)Imam Ali bin Musa al-Ridha, dari ayahnya (10) Imam Musa al-Kadzîm dari ayahnya (11) Imam Ja’far al-Shâdiq, dari ayahnya (12)Imam Muhammad al-Baqir dari ayahnya (13)Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari (14)al-Imam Amiril Mu’minin Asadullah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw., dari (15)Rasûlullâh Saw., (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 107 dan Thabâqat al-Kubra, halaman: 200).

Syekh Ahmad Rifa’i & Syekh Abdul Qadir Jailany

Imam Rifa`i sering melihat Nur kebesaran Allâh Swt. Ketika hal itu terjadi, maka dirinya meleleh seperti genangan air. Maka berkat Rahmat Allâh Swt., kemudian mengeras sedikit demi sedikit hingga kembali ke wujud semula. Ia berkata pada santri-santrinya, “Sekiranya bukan karena kemurahan Allâh Swt., niscaya aku tidak akan kembali pada kalian“. Di dalam kitab Thabâqat karya Abdul Wahab Ibnu as-Subki terdapat kisah, bahwa ada seekor kucing yang tidur di lengan baju Imam Rifa`i, Ketika waktu shalat tiba, ia menggunting lengan bajunya dengan pelan-pelan agar tidak membangunkan si kucing. Seusai shalat dan si kucing telah bangun dari tidurnya, ia jahit lengan bajunya sehingga tersambung kembali, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 204).

Imam Rifa`i pernah mengambil air wudhu’ pada musim dingin, ketika terlihat ia sedang meluruskan lengan tangannya dalam waktu yang cukup lama dan tidak menggerakkan sama sekali, lalu ada seorang mu`adzin bernama Ya`qub mendatanginya dan langsung mencium tangannya. “Ya’qub, engkau telah mengganggu si lemah ini“, kata Imam Rifa`i seraya menunjuk sesuatu yang berada di lengannya. “Apakah itu?” Tanya Ya’qub. “Ada seekor nyamuk yang sedang menikmati rezekinya dari lenganku. Karena engkau mencium tanganku, nyamuk itu pergi”, jawab Imam Rifa`i. Di antara kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal, “Aku telah mencoba menempuh semua jalan menuju kepada Allâh Swt. Namun aku tak menemukan jalan yang lebih mudah, lebih dekat dan lebih pantas selain dari kefakiran, kehinaan dan susah“, (Nûr al-Abshâr, halaman: 253).

Dalam kitab Thabâqat karya Imam al-Sya`rani diterangkan bahwa Imam Rifa`i selalu memulai salam kepada setiap orang yang dijumpai sampai kepada seekor hewan atau anjing sekalipun. Bila mendengar kabar adanya orang sakit, ia akan menjenguknya meski orang yang sakit tersebut tinggal di tempat yang jauh. Ia akan kembali dari menjenguk orang yang sakit tersebut setelah satu hari atau dua hari, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).

Imam Rifa`i keluar ke jalan untuk menunggu orang buta lewat. Bila ada orang buta lewat, ia ambil tangannya dan menuntunnya. Bila melihat orang tua renta, maka ia mendatangi penduduk desa dan berpesan dengan mengutip sabda Rasûlullâh Saw., “Barangsiapa yang memuliakan orang sudah tua renta (Muslim), maka Allâh Swt. akan menunjuk orang yang akan memuliakannya di hari tuanya nanti”. Bila datang dari perjalanan dan hampir sampai di Ummi Abidah desanya, Imam Rifa`i mengumpulkan kayu bakar. Kayu bakar tersebut diikat, lalu dipanggul di pundaknya. Yang demikian juga diikuti oleh sâliksâliknya. Setelah sampai di desanya, kayu bakar tersebut ia bagikan kepada para janda, orang miskin, orang lumpuh, orang sakit, orang buta dan orang tua renta, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 203).

Diantara kata-kata Imam Rifa`i yang terkenal; “Di antara tanda tenang bersama Allâh Swt. adalah merasa resah bersama orang-orang kecuali para wali. Sebab tenang bersama mereka (para wali) berarti tenang bersama Allâh Swt”. Selain itu ia pernah berkata, “Sesuatu yang lebih dekat dengan murka Allâh Swt. adalah melihat (dengan perasaan bangga) pada diri sendiri, tingkah laku dan amalnya. Yang lebih parah dari itu adalah meminta imbalan atas amal (ibadah)”. Diantara karamah Imam Rifa`i adalah ketika sedang mengajar di atas kursinya, maka orang yang jauh sekalipun akan mendengar seperti berada di dekatnya. Bahkan, semua penduduk desa sekitar pun turut mendengar seperti berada di tempat pengajiannya sekalipun orang tuli juga bisa mendengar pengajiannya, meski hanya ucapannya saja.

Sebelum meninggal dunia Imam Rifa`i menderita sakit perut. Dalam keadaan demikian, ia mengeluarkan kotoran (berak) setiap hari seperti biasanya selama sebulan lamanya. Ia ditanya akan hal itu, “Dari mana asal semua (kotoran) ini, sedangkan Engkau tidak pernah makan atau minum selama 20 hari?” Ia menjawab, “Ini semua berasal dari dagingku, tapi sekarang dagingku telah habis dan hanya tinggal otakku. Sekarang dari otak yang akan keluar, besok aku akan berangkat menuju Allâh Swt”. Setelah itu keluar kotoran putih dua atau tiga kali, lalu ia wafat pada waktu dhuhur yakni pada hari Kamis 12 Jumadil Ula tahun 578 H. Kalimat terakhir yang beliau ucapkan adalah;

أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Pada hari meninggalnya banyak sekali orang yang melayat. Ia dikebumikan di kuburan Yahya al-Bukhari, (Thabâqat al-Kubra, halaman: 206).

Sumber: Alif.ID

76. Cabang-cabang Tarekat Rifa’iyah

Tarekat Rifaiyah
Tarekat Rifaiyah

Abu Shayyad penulis biografi tokoh-tokoh al-Rifa`iyah dan cabang-cabangnya dalam kitabnya Tanwirul Absar fi Thabâqati Sadat al-Rifa`iyah, sebagaimana dikutip oleh Trimingham, bahwa cabang tharîqah al-Rifa`iyah merupakan yang tersebar di dunia Islâm, antara lain:

  1. Ajlaniyah;
  2. A’zabiyah (didirikan oleh Muhyiddin Ibrahim Abu Ishaq al-A’zab, cucu Ahmad al-Rifa`i)
  3. Aziziyah
  4. Haririyah (didirikan Abu Ali al-Haririyang wafat tahun 645 H/1248 M, dari Hawran, Bashrah)
  5. ‘Ilmiyah atau Alamiyah
  6. Jabartiyah (didirikan di Yaman oleh Ahmad Abu Isma’il al-Jabarti)
  7. Jandaliyah (didirikan oleh Jandal ibn Ali al-Jandalidi Hums)
  8. Kiyaliyah
  9. Nuriyah
  10. Qathaniyah (didirikan oleh Hasan al-Rifa`idi Damaskus)
  11. Sabsabiyah
  12. Sa’adiyah atau Jibawiyah (didirikan di Jiba dekat Damaskus pada 736 H/1335 M, oleh Sa’aduddin al-Jiwabi ibn Yusuf as-Syaibani)
  13. Shayyadiyah (didirikan oleh Izzuddin Ahmad as-Shayyadyang dinamai juga Hafidz al-Rifa`i)
  14. Syamsiyah
  15. Thalibiyah (didirikan oleh Thalib al-Rifa`iwafat 638 H/1284 M)
  16. Wasitiyah
  17. Zainiyah
  18. Baziyah di Mesir
  19. Haidhariyah (didirikan oleh seorang Turki, Quthbuddin Haidar az-Zawujiwafat 617 H/1220 M)
  20. Ilwaniyah (didirikan oleh Safi’udin Ahmad al-Ilwan)
  21. Habibiyah (didirikan oleh Muhammad al-Habibi, zawiyah didirikan di Kairo pada 1247 H/1831 M)
  22. Malakiyah
  23. Syunbukiyah-Wafa’iyah, dua tharîqah yang tergabung (didirikan oleh Abu Muhammad Abdullah Talhah as-Syunbukipada abad X, dengan Abul Wafa Tajul Arifin 417-501 H/1026-1107 M)
  24. Uqailiyah, tharîqah yang bergabung (didirikan oleh Uqail Hakkari dai Umariyah, Syiria).

Menurut Tirmingham nomor 1-17 kemungkinan besar ada pada abad XIX, sedangkan nomor 20-24 berada di Mesir, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 220-221).

Sumber: Alif.ID

77. Sejarah Tarekat Rifa’iyah di Indonesia

Tharîqah al-Rifâ’iyah masuk ke Indonesia melalui Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi as-Syafi’i al-Idrusy al-Raniry pada tahun 1658 M/1055 H. Beliau lahir di Randir, yaitu sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat India. Pada tahun 1637-1644 M, beliau diangkat menjadi syaikh Islâm pada kerajaan Aceh, yaitu satu jabatan di bawah Sultan yang bertanggung jawab di dalam masalah-masalah agama.

al-Raniry menerima tharîqah tersebut dari seorang guru yang paling terkenal di Gujarat di Ibu kota India yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban al-Tarimi al-Handrami yang dikenal dengan sebutan Sayyid Umar Alaidrus, beliau mengangkat al-Raniry sebagai khalifahnya. sehingga al-Raniri bertanggungjawab menyebarkan Tharîqah ini di wilayah Melayu-Indonesia. Di Indonesia tharîqah al-Rifa`iyah terkenal dengan permainan Dabus dan tabuhan Rebana yang dikenal di Aceh dengan nama Rapa’i.

Salah satu ciri tharîqah al-Rifa`iyah ialah dzikir yang nyaring dan lantang. Jika para Darwis al-Rifa`iyah berdzikir, maka mereka berdzikir dengan suara yang sangat keras dan meruang-ruang. Karena itu, mereka dikenal dengan sebutan “Darwis yang meraung”. Kadang-kadang mereka disebut juga “Darwis yang menangis” kerena suara-suara ganjil yang mereka hasilkan ketika berdzikir.

Menurut Annemarie Schimmel (ahli barat tentang tashawwuf) dalam bukunya Mistical Dimension of Islâm, para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah ini terkenal karena mampu mewujudkan kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti memakan ular yang hidup, menusuk-nusuk dan menikam tubuh dengan benda tajam tanpa terluka, bahkan sampai mencukil mata mereka keluar tanpa merasakan kesakitan dan tidak cacat. Namun semua itu, menurut Maulana Abdur Rahman Jami merupakan sesuatu yang tidak diketahui Syaikh dan rekan-rekanya yang shaleh. Menurut para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah, mereka melakukan perbuatan itu untuk mencari perlindungan Tuhan dari godaan iblis, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 221-223).

Sumber: Alif.ID

78. Ajaran Tarekat Rifa’iyah

Ajaran Tharîqah al-Rifa`iyah

Pada dasarnya Tharîqah al-Rifa`iyah dilandasi pada 2 dasar yang tidak mungkin terpisah dari ke duanya, yakni: al-Qur’an yang mulia dan sunnah nabi Muhammad Saw. yang luhur. Di samping itu tharîqah ini tidak menyampingkan hukum aqli yang tidak keluar dari kedua dalil nash, dan apabila ditemukan di dalam sebagian amal tharîqah sesuatu yang mubah itu hanya semata-mata untuk menenangkan hati, yang pada dasarnya telah di-nash oleh Nabi dan juga sesuai dengan hukum akal agar seseorang tidak bosan dengan amaliyahnya yang bisa berakibat amal shaleh menjadi amal jelek, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12).

Dasar-dasar Tharîqah al-Rifa`iyah

  1. Mengokohkan tauhid sekaligus menyatakan dengan maknanya.
  2. Mengagungkan kitab Allâh Swt. dengan mengambil hukum-hukum yang ada di dalamnya serta mengikuti perintah-perintah-Nya.

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ …. (آل عمران: 31 )

  1. Mengimani kepada apa saja yang datang dari Rasûlullâh Saw. dengan cara mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan perbuatan serta bersikap ihsan (menyembah kepada Allâh Swt. seakan-akan kamu melihat kepada-Nya dan apabila kamu tidak melihatnya maka Allâh Swt. melihatnya).
  2. Melanggengkan hadirnya hati dan berdzikir dengan lisan dengan tanpa hitungan bersamaan dengan keluar masuknya nafas.

فَاذْكُرُوْنِى أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِى وَلاَ تَكْفُرُوْنِ  (البقرة : 152)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah cinta kepada nabi Muhammad Saw. dan keluarganya melebihi segala-galanya dengan membaca shalawat dan salam dengan penuh tatakrama dan hadirnya hati serta khusyu’ kepada keagungan nabi Muhammad Saw.

إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِىِّ يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِمًا (الأحزاب : 56)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mengikuti akidah Ulama’ Salaf dan menghargai pendapat Ulama’ Khalaf.
  2. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mencintai keluarga nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya yang suci.

…. قُلْ لَّآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّاالْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبَى …. (الشورى : 23)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah mengagungkan kedudukan para shahabat nabi Muhammad Saw. dan menjaga kemuliannya, memuji kebaikannya serta menjauhi dari segala sesuatu yang timbul di dalam perselisihan di antara para shahabat.

أَصْحَابِي كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ (الحديث)

  1. Seorang sâlik Tharîqah al-Rifa`iyah senantiasa mengetahui keagungan Mursyidnya dengan sebenar-benarnya mengalahkan Mursyid yang lain.
  2. Tharîqah al-Rifa`iyah adalah menolak semua bentuk ajaran yang tidak sesuai dengan syar’i dan akal.

إِنَّا مَعَاشِرَ الْأَنْبِيآءِ أَمَرَنَا أَنْ نُكَلِّمَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ إِنْ أَرَدْتَ أَنْ لَا يُكَذِّبَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَكَلِّمِ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ (الحديث)

  1. Tharîqah al-Rifa`iyah sesuai dengan madzhab empat yang di anut di dalam Islâm, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 12-22).

Kewajiban Sâlik

Diwajibkan bagi sâlik untuk memenuhi 4 perkara; ilmu, amal, ikhlas dan khauf (rasa takut), karena sesungguhnya ilmu tanpa amal atau amal tanpa ilmu adalah mahjub (terhalang/tidak sampai). Dan sesungguhnya berilmu dan beramal yang tidak ikhlas akan rugi. Apabila tidak dilandasi rasa takut kepada Allâh Swt., dan khawatir dari akibat yang akan muncul sampai dia merasa aman di hari pertemuan dengan Allâh Swt. maka sâlik akan maghrur (tertipu).

Guru dari Syaikh Imam Rifa`i berkata: Dasar dari tharîqah al-Rifa`iyah adalah menetapi al-Qur’an dan al-Sunnah serta meninggalkan hawa nafsu, bid`ah dan juga sabar di dalam melaksanakan perintah dan amal. Barangsiapa sikap, ucapan dan perbuatannya di setiap waktu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah maka tidak bisa dijadikan di dalam tharîqahku, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tharîqah al-Rifa`iyah, halaman: 58).

Sumber: Alif.ID

79. Tata Cara Baiat Tarekat Rifa`iyah

Seseorang yang akan bergabung dalam Tarekat al-Rifa`iyah terlebih dulu harus dibaiat.

Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut;

  1. Berwudhu’
  2. Shalat taubat dua rakaat
  3. Mursyid duduk di atas lututnya dan di atas sajadah dengan menghadap kiblat, sedangkan salik duduk di atas lututnya menghadap mursyid sambil menempelkan kedua lututnya pada kedua lutut mursyidnya dengan adab dan khusyu’
  4. Kemudian mursyid membaca Surat al-Fatihah 3x kemudian membaca al-Isti’adzah dan ayat bai’at:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهَ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً ﴿الفتح: ١٠﴾

وَأَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عٰهَدْتُمْ وَلَاتَنْقُضُوْا اَلْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً …. (النحل : 91)

Kemudian sâlik membaca kalimat tersebut dengan menjabat tangan mursyidnya (jika sâlik laki-laki).

  1. Kemudian mursyid menyuruh membaca istigfar;

أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لآإِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ تُبْتُ لِلهِ وَرَجَعْتُ إِلَى اللهِ وَنَهَيْتُ نَفْسِى عَمَّا نَهَى اللهُ وَرَضِيْتُكَ شَيْخًا لِى وَمُرْشِدًا بِطَرِيْقِ إِمَامِ الْأَصْفِيَاءِ وَسُلْطَانِ الْأَوْلِيَاءِ الْغَوْثِ الْأَكْبَرِ وَالْكُبْرَتِ الْاَحْمَرِ لَاثِمِ يَدِ النَّبِيِّ الْأَطْهَرِ الْخَاشِعِ الْخَاضِعِ الدَّاعِيْ سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا السَّيِّدِ اَحْمَدَ مُحْيِ الدِّيْنِ أَبِى الْعَبَّاسِ الْكَبِيْرِ الْحُسَيْنِي الرِّفَاعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَبِطَرِيْقَةِ وَلَدِهِ الْقُطْبِ الْفَرْدِ الْجَمِيْعِ الْـجَوَّادِ سَيِّدِنَا السَّيِّدِ اَحْمَدَ عِزِّ الدِّيْنِ الشَّهِيْرِ بِالصَّيَّادِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهٰذَا الطَّرِيْقُ طَرِيْقِيْ وَالْمَنْهَجُ مَنْهَجِيْ اَلْإِخْوَانِ إِخْوَانِيْ وَالطَّاعَةُ طَاعَتِيْ وَالمَعْصِيَّةُ تَحُوْلُ بَيْنَنَا وَالْعَهْدُعَهْدُ اللهِ وَالْيَدُ يَدُ سَيِّدِنَا رَسُوْلِ اللهِ وَالْبَيْعَةُ بَيْعَةُ شَيْخِنَا وَسَيِّدِنَا السَّيِّدِ اَحْمَدَ أَبِي الْعَالَمِيْنَ الْكَبِيْرِ الْحُسَيْنِي الرِّفَاعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلُ.

Setelah itu mursyid berkata pada sâlik: “Saya menetapkanmu menjadi sâlik tarekat ini dan dengan janji ini aku membaiat kepada Allah SWT”, kemudian mursyid berkata: “Berdirilah dan duduklah untuk menepati janji menjadi sâlik pada tarekat ini, setelah itu sâlik berdiri sesuai isyarahnya mursyid, setelah itu duduk”, ketika sâlik duduk mursyid berkata kepada sâlik:

أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ

  1. Kemudian mursyid mentalqin sâlik dengan kalimat tauhid;

لَآإله إلا الله ×3

seraya memanjangkan suaranya yang kemudian ditirukan oleh sâlik sambil mursyid meletakkan keningnya pada kening sâlik dan meletakkan tangannya mursyid pada dada sâlik dengan sambil mendo’akan agar sâlik mendapatkan taufiq, ikhlas dan barakah. Setelah itu, diakhiri do’a dengan bacaan al-Fatihah. (jika sâlik laki-laki)

  1. Setelah itu mursyid dan sâlik menghadap kiblat sambil membaca shalawat;

الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَاوَسِيْلَتَنَا إِلىَ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا أَوَّلَ خَلْقِ اللهِ وَخَاتِمَ رُسُلِ اللهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَا أَنْبِيَاءَ اللهَ أَجْمَعِيَنَ.

Diakhiri dengan membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada nabi Muhammad SAW., para Nabi dan Rasul, keluarga Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan Imam al-Rifa`i, berserta keluarganya dan muslimin muslimat. Setelah itu membaca do’a, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 81-83).

Tata Krama Tarekat al-Rifa’iyah

  • Khidmat kepada mursyid dengan tujuan sebagai berikut:
    1. Supaya watak sâlik terbentuk oleh watak mursyid sehingga akhlak sâlik dari akhlak yang buruk berubah menjadi akhlak yang baik
    2. Supaya sâlik terlepas dari pengakuan tipu daya, merasa mulia dengan tarekat ini, berbicara dengan ucapan yang bisa merusak akidah
    3. Supaya sâlik bisa keluar dari kemalasan yang dapat merubah sâlik menjadi semangat beramal shalih
    4. Supaya sâlik mengamalkan Alquran dan Hadis;
    5. Sâlik bisa menjalakan tarekat Salafus Shalih yang selalu menjalankan kebenaran yang bisa menghapus sesuatu yang tidak bermanfaat. Sehingga sâlik menjadi dekat dengan ahli al-haq dan jauh dari ahli al-bathil, terlepas dari pengaruh hujatan orang yang menghujat.

Ketika sâlik sudah memiliki tanda-tanda yang seperti di atas, maka mursyid memerintahkan sâlik untuk mengamalkan wirid-wirid sebagai berikut:

  1. Membaca Shalawat nabi minimal 20x
  2. Membaca Istighfar minimal 20x
  3. Membaca zikir diantaranya membaca لَآ إله إلا الله minimal 20x, dibaca setiap selesai shalat fardhu.

Jika sâlik menemukan kenyamanan dalam berzikir, maka mursyid akan menambah bilangan zikir menurut ukuran yang sesuai dengan keadaan sâlik. Jika dipandang perlu, mursyid memerintahkan sâlik untuk mengobati suatu penyakit bathin dengan riyadhah tertentu, perjalanan wisata, menyendiri, khalwat, tidak tidur di malam hari, tahajjud, melakukan khidmah yang memberatkan tubuh dan bershadaqah. (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 83-85)

Sumber: Alif.ID

80. Cara Wirid Tarekat Rifa’iyah

Bacaan wirid dalam Tarekat al-Rifa`iyah dijelaskan di dalam kitab Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman 85-89.

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Membaca Istighfar 3x
  3. Membaca Tahlil 100x
  4. Membaca Shalawat 10x
  5. Membaca Surat al-Dhuha 3x
  6. Membaca Surat al-Insyiraah 3x
  7. Membaca Surat al-Ikhlas 3x
  8. Membaca Surat al-Falaq 3x
  9. Membaca Surat al-Naas 3x
  10. Membaca Surat al-Fatihah 3x
  11. Membaca basmalah 19x
  12. Membaca doa di bawah ini sebanyak 3x

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَللهم فَارِجَ الْهَمِّ كَاشِفَ الْغَمِّ مُجِيْبَ دَعْوَةِ الْمُضْطَرِّيْنَ رَحْمٰنَ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا اَنْتَ تَرْحَمُنِى فَارْحَمْنِى رَحْمَةً تُغْنِنِيْ بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

  1. Membaca doa dibawah ini 3x

اَللهم إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَالْهَرَمِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ وَفِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ

  1. Kemudian membaca doa di bawah ini

رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُـخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَاناً نَصِيْرًا. اَللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَسْمَائِكَ الْكَرِيْمَةِ وَصِفَاتِكَ الْعَظِيْمَةِ وَبِكَلِمَاتِكَ التَّامَّاتِ كُلِّهَا وَبِآلاَئِكَ وَأَسْرَارِكَ وَأَنْبِيَائِكَ وَأَنْصَارِكَ وَبِنَبِيِّكَ وَعَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِ أَهْلِ حَضْرَاتِكَ وَعَيْنِ أَرْبَابِ مَعْرِفَتِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ حَبِيْبِكَ الَّذِيْ فَتَقْتَ بِهِ رَتْقَ الْمَوَادِّ السَّابِقَةِ الْأَصْلِيَّةِ وَأَقَمْتَ بِهِ دَعَائِمَ الْمَوَادِّ اللَّاحِقَةِ الْفَرْعِيَّةِ عِلَّةَ الْأَجْزَاءِ الْـحَادِثَاتِ سَبَبًا وَدَائِرَةِ النَّكَاتِ الْمُنْبَجَسَةِ مِنْ عَالَمِ الْإِبْدَاعِ اِحَاطَةً وَعَدَدًا وَمُنْتَهَى الْمَوَارِدِ الْمُنْشَعَبَةِ مِنْ سَاحِلِ بَحْرِ الْإِيْجَادِ مَدَدًا طَرِيْقَ سَبِيْلِ التَّجَالِّيَاتِ السَّارِيْ فِى الْمَظَاهِرِ وَالْمَبَاطِنِ وَنُقْطَةِ الْـجَمْعِ الْمَحِيْطَةِ بِكُلِّ فَرْقٍ ظَاهِرٍ وَبَاطِنٍ حَامِلِ لِوَاءِ ((وَ إِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ)) [القلم: 4]

صَاحِبِ مَنْشُوْرٍ ((قُلْ إِنَّنِيْ هَدٰى نِيْ رَبِّي إِلىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ)) [الأنعام: 161] اُرْزُقْنَا. اَللهم مِنْكَ طُوْلُ الصَّحَبَةِ وَكَرَامَةُ الْـخِدْمَةِ وَلَذَةُ شُكْرِ النِّعْمَةِ وَحِفْظُ الْحُرْمَةِ وَدَوَامُ الْمُرَاقَبَةِ وَنُوْرُالطَّاعَةِ وَاجْتِنَابُ الْمَعْصِيَّةِ وَحَلَاوَةُ الْمُنَاجَةِ وَبَرَكَةُ الْمَغْفِرَةِ وَصِدْقُ الْجِنَانِ وَحَقِيْقَةُ التَّوَكَّلِ وَصِفَاءُ الْوَدِ وَوَفَاءُ الْعَهْدِ وَاعْتِقَادُ الْفَضْلِ وَبُلُوْغُ الْأَمَلِ وَحُسْنُ الْخَاتِمَةِ بِصَالِحِ الْعَمَلِ وَشَرَفِ السَّتَرِ وَعِزَّةِ الصَّبْرِ وَفَخْرِالْوِقَايَةِ وَسَعَادَةِ الرِّعَايَةِ وَجَمَالِ الْوُصْلَةِ وَالْأَمْنِ مِنَ الْقَطِيْعَةِ وَالرَّحْمَةِ الشَّامِلَةِ وَعِنَايَةِ الْكَافِلَةِ إِنَّكَ عَلىٰ كُلِّ شَىْئٍ قَدِيْرٍ. اَللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبُّ الْمَسَاكِيْنِ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةَ فَاقْبِضْنِيْ إِلَيْكَ غَيْرِ مَفْتُوْن (( رَبَّنآ ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَ هَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا)) [الكهف: 10] 3x  ((اَللهُ لَطِيْفٌ  بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَآءُ وَهُوَ الْقَوِىُّ الْعَزِيْزُ))

[الشورى: 19] يَاكَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا رَبِّ الْأَرْضِ وَالسَّمٰوَاتِ أَسْأَلُكَ بِالْـحَقِيْقَةِ الْـجَامِعَةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ وَبِمَا انْطَوِى فِيْ مَضْمُوْنِهَا مِنْ عَظَائِمِ الْأَسْرَارِ الرَّبَّانِيَّةِ بَالِيْمِ الْمُمْتَدِ إِلىٰ بِحُبُوْحَةِ ((مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ  بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ)) [الرحمن: 19-20] مَادَةُ الْمَظَاهِرِ الطَّالِعَةِ الْمَشَارِقِ اللَّآمَعَةِ مُحْيَا الْحِكْمَةِ الْمَقْبُوْلَةِ مَدَارِ الشَّرِيْعَةِ الْمَنْقُوْلَةِ مِيْزَابُ الْفُيُوْضَاتِ الْهَاطِلَةِ مَنْبَعِ الْعَوَارِفِ الْمُتَوَاصِلَةِ مَاهِيَةِ الْمَعْرِفَةِ الْمَطْلُوْبَةِ مِيْزَانِ الطَّرِيْقَةِ الْمَرْغُوْبَةِ مُنْتَهىَ الْـحَقِيْقَةِ الْمَحْبُوْبَةِ مِحْرَابِ جَامِعِ الْبِدَايَةِ الْإِبْدَاعِيَةِ مُنْبِرَ بَيْتِ النِّهَايَةِ الْأَمْكَانِيَّةِ وَأَسْأَلُكَ اللهم بِحَاءِ الْحَسَنِ الْأَعَمَّ وَالْحَمْدِ الْأَتَمَّ حَدُّ النِّهَايَاتِ الصَّاعِدَةِ فِيْ أَدْرَاجِ السَّمُّو الْمَلَكُوْتِيْ حَبْطَةِ الْغَايَاتِ الْمُنْقَلِبَةِ عَلىٰ بِسَاطِ الْإِحْسَانِ الرَّحْمَوَتِيْ حَبْلِ إِحَاطَةِ مَعَانِيْ (حــمعسق) حَمْلَةِ دَوْلَةِ التَّصْرِيْفِ الَّذِيْ أَفْرَغَ عَلىَ النُّوْنِ مِنْ طَرِيْقِ الْكَافِ حَرْفِ الْعَبْدِيَّةِ الْخَاصَّةِ الْمُضْمَرَةِ فِيْ عَالِمِ (حم) حَالَةِ الْمَحْبُوْبِيَّةِ الْمَطْرَزَةِ بِعَلَمِ (الم) وَأَسْأَلُكَ: اَللهم بِمِيْمِ الْمَدَدِ الْمَعْقُوْدِ عَلىٰ مُجَمَّلِ أَسْرَارِ الْوُجُوْدِ مَدَةِ الْأَزَلِ السَّالِمَةِ مِنْ شَوَائِبِ النُّقْصَانِ مَدَةِ الْأَبَدِ الثَّابِتَةِ بِالْوَهْبِ الْقَدِيْمِ إِلىٰ آخِرِ الدَّوْرَانِ مَعْنَى وَصْفِ الْقَدَمِ فِى ثَوْبِ الْعَدَمِ مَرْجَعُ مَظَاهِرِ الْعَدَمِ فِيْ عَالَمِ الْقَدَمِ مِفْتَاحِ كَنْزِ الْفَرْقِ بَيْنَ الْعُبُوْدِيَّةِ وَالرُّبُوْبِيَّةِ مِصْبَاحِ التَّجَرُّدِ عَنْ مَلاَبِسَاتِ الْأَغْمَاضِ بِالْكُلِّيَّةِ مَنَارِ الْإِخْلاَصِ الْمُتَحَقَّقِ بِأَكْرَمِ آدَابِ الْمَخْلُوْقِيَّةِ مَوْلىٰ كُلِّ ذُرَّةٍ كَوْنِيَّةٍ فِيْ كُلِّ دَائِرَةٍ رَبَانِيَّةٍ مِنْصَةِ التَّجَلِّيَّاتِ الصَّمَدَانِيَّةِ فِيْ حَظَائِرِ التَّعْيِيْنِ الْأَوَّلِ مَجْمُوْعِ التَّدَلِّيَّاتِ الْإِحْسَانِيَّةِ فِيْ سَاحَةِ رَفْرَفِ الْإِفَاضَةِ الْأَطُوْلِ وَأَسْأَلُكَ اللهم بِدَالِ الدَّنُوِّ الْأَقْرَبِ الَّذِيْ لاَ يَنْفَصِلُ عَنْ حَضْرَةِ الْإِحْسَانِ دَوْلَةِ الْإِعَانَةِ الْمُشْتَمَلِ مَقَامِ سُلْطَانِهَا عَلىٰ جَمِيْعِ نَفَائِسِ الْعِرْفَانِ دَائِرَةِ الْبُرْهَانِ الْكُلِّي الْمُتَرَجِّمِ فِيْ صَحْفِ الْإِيْنَاسِ دُرَّةِ الْكُلِّيَّانِ النَّوْعِيَ الْمُتَوَّجِ بِتَاجِ ((وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ)) [المائدة: 67]

اَغْمِسْنَا فِيْ أَحْوَاضِ سِوَاقِيْ مَسَاقِيْ بِرِّكَ وَرَحْمَتِكَ وَقَيَّدْنَا بِقُيُوْدِ السَّلاَمَةِ وَالْحِمَايَةِ عَنِ الْوُقُوْعِ فِيْ مَعْصِيَتِكَ طَهَّرَ اللهم قُلُوْبِنَا مِنَ الْمَعَارَضَاتِ وَزَكَ أَعْمَالِنَا مِنَ الْقُبُوْضَاتِ وَالشُّبْهَاتِ وَأَلْهَمَنَاخِدْمَتِكَ فِيْ جَمِيْعِ الْأَوْقَاتِ وَنَوِّرْ قُلُوْبَنَا بِأَنْوَارِ الْمُكَاشَفَاتِ وَزَيِّنْ ظَوَاهِرَنَا بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَاتِ وَسَيِّرْ أَفْكَرَنَا وَأَفْهَامَنَا وَعَقْوَلِنَا فِيْ مَلَكُوْتِ الْأَرْضِ وَالسَّمٰوَاتِ وَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَرْضَى بِالْمَقْدُوْرِ وَلَا يَمِيْلِ اِلىٰ دَارِ الْغُرُوْرِ وَيَتَوَكُّلِ عَلَيْكَ فِيْ جَمِيْعِ الْأُمُوْرِ وَيَسْتَعِيْنُ بِكَ فِيْ نُكْبَاتِ الدُّهُوْرِ اُرْزُقْنَا اللهم لَذَّةَ النَّظَرَ اِلىٰ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ ىَاعَلِيُّ ىَاعَظِىْمُ ىَاعَزِىْزُ ىَاكَرِىْمُ ىَارَحْمَانُ ىَارَحِىْمُ ىَامُنْعِمُ ىَامُتَفَضِّلُ ىَامَنْ لَآإِلٰهَ إِلاَّ هُوَ ىَاحَيُّ ىَاقَىُّوْمُ أَفْضَلُ عَلَيْنَا سِرًّا مِنْ اَسْرَارِكَ ىَزِىْدُنَا تَوَلُّـهًا اِلَيْكَ وَاسْتِغْرَاقًا فِى مَحَبَّتِكَ وَلُطْفًا شَمَلاً جَلِىًّا وَخَفِىًّا وَرِزْقًا طَىِّبًا هَنِىًّا وَمَرِىًّا وَقُوَّةً فِى الْإِىْمَانِ وَالْىَقِىْنِ وَصَلاَبَةً فِى الْحَقِّ وَالدِّىْنِ وَعِزًّا بِكَ ىَدُوْمُ وَىَتَخَلَّدُ وَشَرَفًا ىَبْقٰى وَيَتَأَبَّدُ لاَيُخَالِطُ تَكَبُّرًا وَلاَعُتُوًّا وَلاَ اِرَادَةَ فَسَادٍ فِى الْأَرْضِ وَلاَ عُلُوًّا اَطْمِسِ اللهم جُمْرَةَ الْأَنَانِيَّةِ مِنْ أَنْفُسِنَا بِسَيْلِ سَحَابِ التَّقْوَى وَخَلِّصْ أَوْهَامَنَا مِنْ خِيَالِ الْحَوْلِ وَالْقُوَّةِ وَالْغُرُوْرِ وَالدَّعْوَى، أَلْزِمْنَا كَلِمَةَ التَّقْوَى وَاجْعَلْنَا أَهْلَهَا وَأَعِذْنَا مِنَ الْمُخَالَفَاتِ بِوَاقِيَةِ شِرْعَتِكَ وَاجْعَلْنَا مَحَلَّهَا عَرِّفْنَا حَدَّ الْبَشَرِيَّةِ بِلَطِيْفِ اِحْسَانِكَ وَنَزِّهْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْغَفْلَةِ عَنْكَ بِمَحْضِ كَرَمِكَ وَامْتِنَانِكَ اُسْتُرْنَا بَىْنَ عَبْدِكَ بِخَصَّةِ رَحْمَتِكَ وَانْشُرْعَلَيْنَا رِدَاءَ مَنَّتِكَ بِخَالِصِ عِنَايَتِكَ وَنِعْمَتِكَ قِنَا اللهم عَذَابَ النَّارِ وَفَضِيْحَةَ الْعَارِ وَاكْتُبْنَا مَعَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ أَيِّدْنَا بِقُدْرَتِكَ الَّتِيْ لاَ تُغْلَبُ وَسِرْبِلَّنَا بِوَهْبِ أَحْسَانِكَ الَّذِيْ لاَ يُسْلَبُ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ) ]الفاتحة: 5[ (رَبَّنَا اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا) ]الكهف: 10[

لاَقُدْرَةَ لِمَخْلُوْقٍ مَعَ قُدْرَتِكَ وَلاَ فِعْلَ لِمَصْنُوْعٍ دُوْنَ مَشِيْئَتِكَ تَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ وَأَنْتَ عَلىٰ كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ آمَنَّا بِكَ إِيْمَانَ عَبْدٍ أَنْزَلَ بِكَ الْحَاجَاتِ وَتَوَكَّلَ عَلَيْكَ مُلْتَجِئًا لِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ فِى الْحَرَكَاتِ وَالسَّكَنَاتِ اِذْعَاناً وَتَيَقُّنًا وَعِلْمًا وَتَحْقِيْقًا بِأَنَّ غَيْرَكَ لاَوَقْوَى سُلْطَانِكَ لاَيَضُرُّ وَلاَيَنْفَعُ وَلاَيَصَلُ وَلاَ يَقْطَعُ وَأَنْتَ الضَّارُّ النَّافِعُ الْمُعْطِيْ الْمَانِعُ إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اَللهم أَرِنَا الْـحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا إِتِّبَاعُهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اِجْتِنَابُهُ وَلاَتَجْعَلْ عَلَيْنَا مُتَشَابِهًا فَنَتَّبِعُ الْهَوَى اللهم إِنَّا نَعُوْذُبِكَ أَنْ نَمُوْتَ فِى طَلَبِ الدُّنْيَا أَسْأَلُكَ اللهم بِالنُّوْرِ اللاَّمِعِ وَالْقَمَرِ السَّاطِعِ وَالْبَدْرِ الطَّالِعِ وَالْفَيْضِ الْهَامِعِ وَالْمَدَدِ الْوَاسِعِ نُقْطَةِ مَرْكَزِ الْبَاءِ الدَّائِرَةِ الْأَوْلِيَةِ وَسِرِّ أَسْرَارِ الْأَلِفِ الْقُطْبَانِيَّةِ وَاسِطَةِ الْكُلِّ فِيْ مَقَامِ الْجَمْعِ وَوَسِيْلَةِ الْجَمِيْعِ فِيْ تَجَلِّى الْفَرْقِ جَوْهَرَةِ خِزَانَةِ فُجْرَتِكَ وَعَرُوْسِ مَمْلَكِ حَضْرَاتِكَ مَسْجِدِ مِحْرَابِ الْوُصُوْلِ سَيْفُ الْحَقِّ الْمَسْلُوْلِ دَائِرَةِ كَوَاكِبِ التَّجَلِّيَاتِ وَقُطْبِ أَفْلاَكِ التَّدَلِّيَتِ جَوْلَةِ تِيَارِ أَمْوَاجِ بَحْرِ الْقُدَرَةِ الْقُهْرَةِ لَمْعَةِ بَارَقَةِ أَنْوَارِ الذَّاتِ الْمُقَدَّسَةِ الْبَاهِرَةِ فَسَحَةِ مِيْدَانِ بَازَخِ مَقْرِ كُرْسِ النَّهِيْ وَالْأَمْرِ رَابِطَةِ طُوْلِ حَوْلِ عَرْشِ التَّصَرُّفِ فِى السِّرِّ وَالْجَهْرِ مَقَامِ تَلَقِّيْ (إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحاً مُّبِينًا ﴿١﴾ لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطاً مُّسْتَقِيمًا ﴿٢﴾) ]الفتح:  1-2[  سُلْطَانِ سَرِيْرٍ (إِنَّآ أَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ﴿٣﴾) ]الكوثر:  1-3 [

اِشْرَحَ اللهم صُدُوْرَنَا بِالْهِدَايَةِ كَمَا شَرَحْتَ صَدْرَهُ وَيَسِّرْ بِمَزِيْدِ عَوَارِفِ جُوْدِكَ أُمُوْرَنَا كَمَا يَسِرْتُ أُمُوْرَنَا اِجْعَلْنَا مِمَّنْ يَعْرِفُ قَدْرِ الْعَافِيَةِ وَيُشْكِرُكَ عَلَيْهَا وَيُرْضَى بِكَ كَفِيْلاً لِتَكُوْنَ لَهُ وَكِيْلاً تُوْلِ اللهم أُمُوْرَنَا بِذَاتِكَ وَلاَ تَكِلْنَا إِلىٰ أَنْفُسِنَا وَلاَ لِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَلاَ أَقَلُّ مِنْ ذٰلِكَ وَكُنْ لَنَا فِيْ كُلِّ مَقَامٍ عَوْنَا وَوَاقِيًا وَنَاصِرًا وَحَامِيًا. أَرْضَنَا اللهم فِيْمَا تَرْضَى وَالْطُفْ بِنَا فِيْمَا يَنْزِلُ مِنَ الْقَضَاءِ أَغْنِنَا بِالْإِفْتِقَارِ إِلَيْكَ وَلاَ تَفَقَّرْنَا بِالْإِسْتِغْنَاءِ عَنْكَ زَيْنِ سَمَاءَ قُلُوْبِنَا بِنُجُوْمِ مَحَبَّتِكَ اسْتَهْلَكَ أَفْعَالَنَا فِيْ فِعْلِكَ وَاسْتِغْرَقِ تَقْصِيْرَنَا فِيْ طُوْلِكَ صَحَّحَ اللهم فِيْكَ مُرَامَنَا وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ غَيْرِكَ اهْتِمَامَنَا جِئْنَاكَ بِذُنُوْبِنَا وَتَجَرُّدِنَا مِنْ أَعْذَارِنَا فَسَامَحَنَا وَاغْفِرْلَنَا جَمِّلَ اللهم أَفْئِدَتَنَا بِسَائِغِ شِرَابِ عِنَايَتِكَ وَحَسِّنْ اَجْسَامَنَا بِبَرْدِ عَافِيَتِكَ وَأَرْدِيَةِ هَيْبَتِكَ وَكَرَامَتِكَ اَكْفِنَا اللهم شَرَّ الْحَاسِدِيْنَ وَالْمَعَادِيْنَ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ بِنَصْرِكَ وَتَأَيِّيْدِكَ يَاقَوِيُّ يَامُعِيْنُ اللهم مَنْ أَرَادَنَا بِسُوْءِ فَاجْعَلْ دَائِرَةِ السُّوْءِ عَلَيْهِ ارم اللهم نَحْرَهُ فِيْ كَيْدِهِ وَكَيْدِهِ فِيْ نَحْرِهِ حَتَّى يَذْبَحُ نَفْسَهُ بِيَدِيْهِ اِضْرَبْ عَلَيْنَاسَرَادِقِ الْوِقَايَةِ وَالرِّعَايَةِ وَاحْطِنَا بِعَسَاكِرِالْأَمَنِ وَالصُّوْنِ وَالْكِفَايَةِ دَبَسِّهِمْ قَهْرِكَ مِنْ آذَانَا وَأَيِّدْ بِمَكِيْنٍ جَبْرُوْتِكَ مَقَامَنَا وَحْمَانَا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتُوَفِّنَا مُسْلِمِيْنَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِيْنَ بَارَكَ اللهم لَنَا فِيْ أَرْزَاقِنَا وَأَوْقَاتِنَا وَاجْعَلْ عَلىٰ طَرِيْقِ مَرْضَاتِكَ اِنْقِلاَبِ حَيَاتِنَا وَمَمَاتِنَا لاَحَظَّنَا بِعَيْنِ الْمَحَبَّةِ الَّتِيْ لاَتَبْقِيَ لِمَنْظُوْرِهَا ذَنْبًا إِلاَّ وَتَشْمِلَهُ بِالْغُفْرَانِ وَلاَ تَشْهَدُ عَيْبًا إِلاَّ وَتُحْفَهُ بِالسَّتَرِ وَإِصْلاَحِ الشَّأْنِ عَطْفَ اللهم عَلَيْنَا قُلُوْبَ أَوْلِيَائِكَ وَأَحْبَابِكَ وَاكْتُبْنَا اللهم فِيْ دَفْتَرِ مَحْبُوْبِيْكَ وَأَهْلِ اقْتِرَابِكَ تَجَاوَزَ اللهم عَنْ سَيِّئَاتِنَا كَرَمًا وَحَلِمًا وَآتِنَا مِنْ لَدُنْكَ بِسَابِقَةِ فَضْلِكَ عِلْمًا هَيِّءْ اللهم لَنَا آمَالِنَا عَلىٰ مَا يَرْضِيْكَ بِغَيْرِ تَعَبٍ وَلاَنَصَبٍ وَاكْفِنَاهُمْ زَمَانِنَا وَصُرُوْفِ بِدْعِهِ وَنَوَائِبِهِ بِلاَسَعْيِ وَلاَسَبَبِ أَقِمْ لَنَا بِكَ عِزًّا تِهَابِهِ النَّوَائِبِ وَمَجْدًا تَتَبَاعَدُ عَنْ أَرِيْكَتَهُ الْمَصَائِبِ وَشَرَفًا رَفِيْعًا تَنْقَطِعُ عَنْهُ اِطْنِبَةُ الْمَتَاعِبِ وَكَرَامَةِ لاَيَمَسُّهَا الزِّيْغَ وَالْبُهْتَانِ وَقُدْرَةِ لاَيَشُوْبِهَا الظَّلَمُ وَالْعُدْوَانَ وَنُوْرًا لَمْ تَمْسَسْهُ نَارَالدَّعْوَى وَالْغُرُوْرَ وَسِرًّا لَمْ تُحِطْ بِهِ غَوَائِلِ الْوَسَاوِسِ وَالشُّرُوْرِ أَثْبَتِنَا اللهم فِيْ دِيْوَانِ الصِّدِّيْقِيْنِ وَأَيَّدَنَا بِمَا أَيَّدْتَ بِهِ عِبَادِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ وَأَكْرَمْنَا بِالثَّبَاتِ عَلىٰ قَدَمِ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَصَلَّ اللهم عَلَىْهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمِّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمٌ عَلىَ الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

  1. Kemudian membaca al-Fatihah 3x
  2. Kemudian membaca لا إله إلا الله 10x
  3. Kemudian membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW. 3x
  4. Kemudian membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada seluruh umat nabi Muhammad SAW.
  5. Dan ditutup dengan doa yang dimudahkan oleh Allah SWT

Rangkaian wirid-wirid di atas disebut Tuhfah al-Syarifah/Hizbi Tuhfah al-Tsaniyah. Dibaca setelah rawatib yang wajib dibaca setiap hari dengan penuh tata krama dan bagus serta menghayati maknanya. Para Imam Tarekat al-Rifa`iyah berkata: sesungguhnya al-Tuhfah al-Tsaniyah termasuk menjadi penyebab terbesar terbukanya hati sâlik dan menjadi pintu dikabulkannya do’a, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 85-89)

Sumber: Alif.ID

81. Jalan yang Ditempuh Salik Tarekat Rifa`iyah

Berikut beberapa asas (dasar) dan adab (etika) sâlik dalam tarekat Rifa`iyah yang dijelaskan dalam Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah;

  1. Cinta kepada mursyid
  2. Hati dan lisan tenggelam dalam cinta kepada nabi Muhammad Saw, berpegang teguh kepada aturan hukum dan mengikuti sunnah-sunnah Rasul

(Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 83)

  1. Langgeng zikir, pikirannya benar, ini adalah ungkapan khudhur seperti pada firman Allah Swt. Surat ali-‘Imran ayat 191.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿أل عمران: ١٩١﴾

Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka, (QS. ali-Iman; 191).

Ketika sâlik dalam keadaan (halmaqâm) tertentu dan mursyid telah melakukan istikharah dan mendapat isyarat, maka sang mursyid menambahkan zikir kepada sâlik dengan bacaan zikir Ismu Dzat, dengan hitungan yang sesuai dengan keadaan sâlik. Sang mursyid mengangkat sang sâlik menjadi Syausiyah (orang yang diberi tugas untuk mengurus saudara-saudaranya dalam majelis), jika sâlik sudah bagus dalam melaksanakan tugas menjadi Syausiyah (khidmah kepada majelis zikir dan teman-teman di pondok sufi) maka mursyid menambahkan zikir Ismu Dzat menurut kemampuan dan keadaan sâlik.

Jika sâlik mampu memperbaiki khidmat (pengabdiannya) tanpa memandang kelebihannya atas makhluk lain, serta tetap melaksanakan ratîb (urutan wirid) yang diterima, menjaga adab, maka mursyid mengangkat sâlik ke martabat al-Niqâbah (pemimpin majelis), lalu mursyid memerintahkan sâlik untuk berzikir Asmaul Husna.

وَ لِلهِ الْاَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا ﴿الأعراف: 180﴾

Artinya; “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…. ”(al-A’raf; 180).

Ini menunjukkan bersihnya hati sâlik dan dapat dipersiapkan menjadi pemimpin dengan syt:

  1. Dapat melakukan khidmat dengan ikhlas;
  2. Tidak menganggap diri memiliki keagungan;
  3. Bisa mengendalikan jiwa;
  4. Tambah tawadhu’ kepada Allah dan makhluk;
  5. Tetap berpegang teguh pada syari’at dalam semua keadaan.

Pada tahap ini setelah istikharah dan mendapat isyarat, mursyid mengangkat sâlik tersebut menjadi khalifah (sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. dalam memberikan ajaran Tarekat ini). Dalam proses ini terjadi pertautan hati antara hati sâlikmursyid sampai seterusnya ke semua silsilah Syaikh Ahmad al-Rifa`i hingga ke Rasulullah SAW, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 89).

Khalwat Mingguan Setiap Bulan Muharam

Khalwat pada bulan Muharam diisyaratkan terhadap para pengikut Tarekat al-Rifa`iyah. Khalwat ini dilaksanakan pada tanggal 11 Muharram sampai sore tanggal 27 Muharram.

Tata cara khalwat Muharram sebagai berikut:

  1. Menyendiri di pondok yang telah disediakan, tanpa bercampur dengan wanita
  2. Melanggengkan wudhu’ (jika batal langsung berwudhu’)
  3. Tidak berbicara yang tidak ada faedahnya
  4. Tidak banyak berbicara kecuali darurat
  5. Tidak keluar rumah atau pondok kecuali darurat
  6. Tidak memakan makanan yang bernyawa
  7. Setelah shalat fardhu membaca;

اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُـحَمَّدِنِالنَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الطَّاهِرِ الزَّكِيْ وَعَلىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمِ 100×

  1. Membaca Ratib yang wajib
  2. Membaca يَاوَهَّابُ tanpa hitungan berbarengan dengan keluar masuknya nafas, menutup kedua mata, menghilangkan getaran hati
  3. Menghadirkan wajah Mursyid yang memberikan pencerahan
  4. Ketika sâlik merasakan getaran hati, maka sâlik membuka kedua mata dan mengakhiri khatam dengan al-Fatihah ditujukan kepada silsilah Tarekat al-Rifa`iyah
  5. Anjuran zikir pada minggu pertama khalwat
  1. Hari pertama membaca لَآإِلٰهَ إِلاَّ الله sebanyak-banyaknya
  2. Hari ke dua membaca يَا اَللهُ sebanyak-banyaknya
  3. Hari ke tiga membaca يَاوَهَّابُ sebanyak-banyaknya
  4. Hari ke empat membaca يَاحَيُّ sebanyak-banyaknya
  5. Hari ke lima membaca يَامَجِيْدُ sebanyak-banyaknya
  6. Hari ke enam membaca يَامُعْطِى sebanyak-banyaknya
  7. Hari ke tujuh membaca يَا قُدُّوْسُ sebanyak-banyaknya, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 90-91).

Sumber: Alif.ID

82. Tata Cara Halaqah Zikir Rifa’iyah (1)

Halaqah zikir secara umum dilaksanakan tiap malam setelah shalat Isya’, para sâlik tarekat Rifa`iyah melakukan zikir khusus tiap malam. Tiap malam Jum’at dan malam Senin, zikir dilaksanakan secara berjamaah.

Adapun tata cara halaqah zikir dijelaskan dalam kitab Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 91-100 sebagai berikut:

  1. Para sâlik membentuk halaqah (barisan melingkar) zikir tiap ba’da shalat Isya’, mereka duduk dengan kedua lututnya dengan tenang
  2. Membaca al-Fatihah, dihadiahkan kepada nabi Muhammad Saw., keluarganya, para sahabat-sahabatnya, kepada Shahibu al-Tarekat (Syaikh Ahmad al-Rifa`i), anak turun pengikut tarekat al-Rifa`iyah dan kepada seluruh muslim dengan harapan mendapatkan limpahan sirri dari Hadhrah Nabawiyah dengan perantara Hadhrah pada Syaikh Rifa`iyah;
  3. Tetap mempertahankan kosentrasi sampai akhir zikir
  4. Lalu Syaikh (pemimpin halaqah) dengan penuh khusyu’, kesempurnaan adab dan berkata;

دُسْتُوْرٍ يَارَسُوْلَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَنْبِيَاءَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَهْلَ بَيْتِ رَسُوْلِ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَوْلِيَاءَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاسَيِّدِ الْأَوْلِيَاءِ يَا سَيِّدِيْ يَا رِفَاعِيْ يَاأَبَا الْعَلَمِيْنَ اَلْمَدَدَ

  1. Secara bersama-sama membaca wirid dengan hati yang tenang, tata krama, memejamkan mata tanpa melihat keadaan apapun, khusyu’, takut kepada Allah , mendapatkan limpahan rohani dari nabi Muhammad SAW.. yang turun bersama tiupan hati Shahib al-Tarekat (Syaikh Ahmad al-Rifa`i). Berikut wirid syarifnya:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيهِمْ غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ ﴿٧﴾ [الفاتحة: 1-7] مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ الله وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَاناً سِيْمَاهُمْ فِي وُجُوْهِهِمْ مِّنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْاَهُ فَاَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِـحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا ﴿٢٩﴾ [الفتح: 29]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ﴿١﴾ الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى ﴿٢﴾ وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى ﴿٣﴾ وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى ﴿٤﴾ فَجَعَلَهُ غُثَآءً أَحْوَى ﴿٥﴾ سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنْسَى ﴿٦﴾ إِلَّا مَا شَآءَ اللهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى ﴿٧﴾ وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى ﴿٨﴾ فَذَكِّرْ إِنْ نَّفَعَتِ الذِّكْرَى ﴿٩﴾ سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى ﴿١٠﴾ وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى ﴿١١﴾ الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى ﴿١٢﴾ ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى ﴿١٣﴾ قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى ﴿١٤﴾ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى ﴿١٥﴾ بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى ﴿١٧﴾ إِنَّ هٰذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولىٰ ﴿١٨﴾ صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى ﴿١٩﴾ [الأعلى: 1-19]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾ تَنَزَّلُ الْمَلَآئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾ [القدر: 1-5]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجاً ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً ﴿٣﴾ [النصر: 1-3]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اَللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾ [الإخلاص: 1-4]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِن شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾

[الفلق: 1-5]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إلهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْـخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ ﴿٦﴾ [الناس: 1-6]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ اَلْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمٰـنِ الرَّحِيْمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ ﴿٧﴾ آمين [الفاتحة: 1-7]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ وَشَرِّفْ وَعَظِّمْ بِكُلِّ وَقْتٍ مِّنَ الْأَوْقَاتِ وَسَاعَةٍ مِّنَ السَّاعَاتِ مِلْءَ الْأَرَضِيْنَ وَالسَّمٰوَاتِ عَلىٰ سَيِّدِ السَّادَاتِ وَإِمَامِ الْقَادَاتِ وَرَئِيْسِ الْكُلِّ فِي الْحَضَرَاتِ وَعَلىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَصْحَابِ الْكَمَالاَتِ وَعَلىَ الْمَشَايِخِ الْعَارِفِيْنَ أَرْبَابِ الْحَالاَتِ وَالسَّلاَمِ عَلىَ الْفَرْدِالْأَمْجَدِ الْقَطْبِ الْغَوْثِ الْأَوْحَدِ النَّائِبِ عَنْ حَضْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ فِيْ مُلْكِ اللهِ وَالْأَمْرِ بِأَمْرِاللهِ فِيْ سَمٰوَاتِ اللهِ وَأَرْضِ اللهِ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالىٰ عَنِ الْإِمَامِيْنَ وَالسَّبْعَةِ الْأَقْطَابِ وَعَنِ الْأَبْدَالِ وَالْأَنْجَابِ وَالْأَطْرَازِ وَالْأَحْبَابِ وَالْأَوْتَادِ وَالْأَفْرَادِ وَالرِّجَالِ أَهْلِ الْإِرْشَادِ وَالْقَائِمِيْنَ بِمَصَالِحِ الْعِبَادِ وَعَلىٰ صُلَحَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ رَحْمَةَ اللهِ وَبَرَكَاتِهِ إِنَّهُ الْبِرُّ الْمُعِيْنُ وَنَسْأَلُ اللهَ أَجْمَعِيْنَ أَنْ يُمَدَّنَا بِمَدَدِ رَسُوْلِهِ الْأَعْظَمِ وَحَبِيْبِهِ الْأَكْرَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِمَدَدِ حَضْرَاتِ الْأَنْبِيَاءِ الْكِرَامِ عَلَىْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ وَنَسْأَلُهُ أَنْ يَعْطِفَ عَلَىْنَا قَلْبُ صَاحِبِ الزَّمَانِ وَأَهْلِ حَاشِيَتِهِ الْكِرَامِ الْأَعْيَانِ جَعَلْنَاهُمْ وَوَسِيْلَتَنَا إِلَى اللهِ فِيْ كُلِّ أَمْرٍحَسَنٍ يَدُلُّ عَلىَ اللهِ دَفَعْنَا بِهِمْ شَرَّ الزَّمَانِ وَالسُّلْطَانِ وَالْإِخْوَانِ الْـخُوَّانِ وَالْأَعْدَاءِ مِنَ الْإِنْسِ وَالْـجَانِ أَخَذْنَاهُمْ دِرْعًا لِرَدِّ كُلِّ بَلاَءٍ وَدَفْعِ كُلِّ قَضَاءٍ قِبَلْنَاهُمْ بَابًا لِنَيْلِ كُلِّ خَيْرٍ دُنْيٰوِيْ وَأُخْرٰوِيْ خَفِيٍّ وَجَلِيٍّ كُلِّيٍّ وَجُزْئِيٍ وَالسَّلاَمُ عَلَىْنَا وَعَلىٰ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ وَسَلاَمُ عَلىَ الْمُرْسَلِيْنَ وَالْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ ﴿٧﴾ آمين [الفاتحة: 1-7]

Sumber: Alif.ID

83. Tata Cara Halaqah Zikir Rifa’iyah (2)

Sebagian sâlik membaca Asmaul Husna berikut ini:

عَلىٰ مَـنْ لَـهُ وَجـْـهٌ يَـفَـوْقُ عَـلَى الْبَــدَرِصَــلاَتِيْ وَ تَسْـلِـيْمِيْ وَأَزْكَى تَـحِـيَّتِيْ
وَصَلَـىْتُ تَعْـظِيْمًا عَلىَ الْـكَامِـلِ الْـقَـدَرِبـَدَأْتُ بِـبِـسْـمِ اللهِ فِيْ مَــبْدَإٍ الْأَمْرِ
أُؤْمِــلَ بِالْأَسْــمَــاءِ مِنْ بـَابِـهِ جـَــبَرِيْدَخـَـلْـتُ بِـأَسْـمـَاءِ الْإِلٰـهِ لِـبـَابِــهِ
وَبِالْفَـضْـلِ يَارَحْـمٰنُ كُنْ جَابِرًا كَسَرِيأُنَـادِيْـهِ يَـا اَللهُ جُـدْلِـيْ تَكَــرُّمـًا
وَيَا مَـالِـكَ مُـلْــكِ فُــؤَادِيْ بِالـذِّكْــرِرَحِيْمُ فَكَنْ عَوْنِيْ وَغَوْثِـيْ وَرَاحِمِـيْ
سَـلاَمٌ فَسَلَّـمَنِي مِنَ الْـكَـرَبِ وَالنَّــصَرِوَهـَـبْ لِيْ يَا قُـدُّوْسُ فَـهُمَـا مُـقَدَّسًا
مُـهَىْـمِـنً أَيْـدِنـِيْ بِـذِكْـرِكَ فِيْ قَــبْـرِيْوَيَا مُؤْمِنُ اِقْبِضْنِيْ بِفَـضْلِكَ مُـؤْمِنـًا
وَبِالْـجَـبَـرِ يَـاجَـبَّارِ قُــدْنِيْ إِلَى الْـخَيْـرِعَـزِيْـزُ فَــعَــزِّزْنِيْ إِذَا ذَلَّنـِي الْوَرَى
وَيَا خَـالِـقٌ مِـلْ بِيْ بِلُـطْفِ عَـنِ الْكِـبْرِوَفِى النَّــاسِ كَبِّـرْ قَدِّرْ يَا مُـتَكَبِّــرٌ
مُـصَـوِّرْ فَاحْـفَـظْـنِيْ وَغَـفَّـارٌ زِلْ وَزْرِيْوَ يَا بَرِئُ بَرْئِ مِنَ الْعَـيْبِ مَـسْلَـكِيْ
وَيَـارَبِّ يَـاوَهَّـابُ زِدْنـِيْ مِـنَ الْفَــخَـرِوَقَـهَّـارٌ قَـهَّـرْ لِيْ عَـدُوِّيْ مَدَّا الْمُدَّا
وَبِالْفَـتْـحِ يَافَـتَّـاحُ تَـمِّمْ عَــلاَ قَــدَرِيْوَرَزَّاقٌ فَارْزُقْــنِيْ الْهِــدَايَةِ وَالتُّــقٰى
وَيَاقَابِضٌ اِقْبِضْ شِدَّةَ الْقَبْضِ مِنْ صَدْرِيْعَلِـىْمٌ فَعَلِّمْـنِيْ إِلَى الْقُـرْبِ مَنْهَـجًا
وَيَاحَافِضْ اِحْفَـضْ قَدَرِ مِنْ قَصْدِهِ ضَرِّيْوَيَا بَاسِـطَ اِبْسَـطْ لِيْ بِسَـاطَ عِـنَايَةً
مُـعِــزُّ فَـزِدْ عِــزِّيْ إِلَى آخِــرِ الـدَّهْــرِوَيَا رَافِعَ اِرْفَعْـنِيْ عَلَى النَّاسِ بِالْهُدٰى
سَـمِـيْعٌ فَأَسْمِـعْـنِـيْ خِــطَابِـكَ بِـالسِّـرِمُـذِلُّ فَــزَلْ ذَلِّـيْ وَشَـرِّفْ مَـرَاتَـبِـيْ
وَيَا حَاكِمٌ اِحْكَمْ لِيْ بِـغَـيْـبِكَ فِى السِّرِّبَـصِيْرٌ فَبَـصِّـرْنِيْ بِنَـفْسِـيْ وَعَـىْـبِـهَا
لَـطِيْفٌ بِلُـطْفٍ مِنْكَ جُدْلِيْ مَدَى عُمْرِيْوَيَا عَدْلُ خُذْ بِالْعَـدْلِ وَالْقَهْرِ ظَالِـمِيْ
حَـلِيْـمٌ تَـوَلَّنِـيْ بِـحُكْمِــكَ فِيْ أَمْـــرِيْخَـبِيْرٌ فَشَـرِّفْ فِـىْكَ اِخْـبَارَ هِـمَّتِـيْ
شَـكُـوْرٌ فَــقَـيِّدْنِيْ مَدَا الدَّهْـرِ لِلشُّــكْرِعَظِيْمٌ غَفُوْرٌ فَاغْـفِرَ الذَّنْبَ وَالْـخَـطَا
مُــقِيْـتٌ حَــسِيْـبٌ جُـدْ لِعِبَـادِكَ بِالْبِرِّعَلَى كَـبِيْـرٍ بَـلْ حَــفِيْـظٍ لِـمَـنْ دَعَا
حَـكِيْـمٌ وَدُوْدٌ فَابْـدَلَ الْـعُـسْـرِ بِالْيُسْـرَكَـرِيْمٌ رَقِيْـبٌ بَـلْ مُـجِيْـبٌ وَوَاسِـعٌ
فَفـِيْ جُوْدِكَ اِبْـعَثْـنِـيْ أَمِيْـنًا مِنَ الْمَـكَرِمَـجِـيْدٌ فَـمَـجِّدْ لِيْ مَقَامِـيْ وَبَاعِـثْ
وَكِــيْلٌ قَــوِيُّ قُـوَّنـِيْ وَاكْـفِـنِـيْ شَـرِّيْشَـهِيْـدٌ وَحَقٌّ خُذْ إِلَى الْـحَقِّ مَـشَرَّبِيْ
حَـمِيْـدٌ فَـنَـوِّرْنـِيْ بِـحَمْـدِكَ فِيْ قَـبْـرِيْمَــتِــيْنٌ وَلِيِّ كُنْ وَلِيِّيْ وَنَـاصِــرِي
وَمَـبْـدَى فَـكَـرِّمْ لِى الْبِـدَايَةِ فِى سَـيْـرِيْوَمَـحْصٰى فَلاَ تَـخْفٰى عَلَىْكَ خَطِيْئَتِيْ
مُـمِـيْتُ أَمْـتِـنِيْ نَاطِـقَ الْقَـلْبِ بِالذِّكْـرِمُعِيْدٌ مُـحْيِيْ فَاحْيِيْ بِالْكُفْرِ مَهْجَتِيْ
وَ يَا وَاجِدٌ بِالْوَجْدِ فِىْكَ اَكْـفِـنِيْ هَـجَرِيْوَ يَـا حَيُّ يَـا قَـــيُّـوْمُ زِدْنِيْ مُـعَـارِفًـا
وَ يَا وَاحِـدُ وَحِّــدْ غَـرَامَـكَ فِي فِـكْـرِيْوَيَا مَاجِدٌ شَـرِّفْ بِمَجْدِكَ مُـسْنَـدِيْ
بِمِعْـرَاجِ حَبْلِ الْوَصْـلِ فِي السِّرْ وَالْـجَـهْرِوَيَـا أَحَـدُ يَـا فَــرِدُ فَـرِّدْ رِقَـايَــتِـيْ
وَ يَا قَادِرُ اَكْشِفْ لِيْ اَلْـحِجَابِ عَنِ الْأَمْرِوَيَا صَـمَـدُ صَـمِّـدُ لِسَـانِيْ عَلَى الثَّـنَا
مَــقْــدَمَ قَــدَمَـنِـيْ بِـشَأْنِ عَلَى غَـيْرِيْوَمُقْتَدِرُ كُنْ لِيْ وَبِالْـقُـدْرَةِ اِكْـفِـنِيْ
وَ يَا أَوَّلُ اِخْـتَمْ لِيْ بِـحُسْنِ انْـتَهَا عُـمْرِيْمُـؤَخِّـرُ أَخِّـرْ رُكْبِ ضَـدِّيْ عَنِ الْمَنَا
وَ يَا وَالٍ يَا مُـتَـعَـالٍ زِدْ بِالْـعُـلاَ فَـخْرِيْوَيَـا آخِــرُ يَـا ظَاهِــرُ أَنْـتَ بَـاطِــنُ
وَ مُـنْـتَـقَـمُ مِـمَّـنْ تَـعَامَـلَ بِالْـمَــكَـرِوَيَـا بِـرُّ يَـا تَـوَّابُ اِقْـبَـلْ لِـتَـوْبَـتِـيْ
وَالْإِكْرَامِ بِالْإِفْـضَالِ تَـتَحَـفْ مَنْ يُسْرِيعَفْوُ رَؤُوْفُ مَالِكُ الْمُلْكِ ذُو الْـجَلاَلِ
غَنِيٍّ وَمُـغْنِيٍّ فَاغْـنِـنِيْ فِـىْكَ مِنْ فَـقْرِيْوَيَا مُـقْـصَــدُ فِي كُلِّ شَيْءٍ وَجَامِـــعٍ
وَيَا مَانِعُ اِمْـنَـعْـنِيْ وَيَا نُوْرُكُنْ فَـخْرِيوَمُعْطِيْ فَجُدْ لِيْ بِالْكَـرَامَـةِ وَالْـعَـطَا
بَــدِيْــعٌ فَـأَطَّلِـعْـنِيْ عَلَى أَبْـدَعِ السِّــرِّوَهَـادِيْ فَـزِدْنـِيْ بِالْـهِـدَايَـةِ رِفْـعَـةً
وَوَارِثُ وَرِّثْـنِـي الْوُصُـوْلَ كَـمَـا تَــدْرِيْوَبَاقِيْ فَـأَبْـقِـنِـيْ بِــوَصْـلِـكَ بَـاقِـيًا
وَجِـئْتُ بِـذَنْـبِـيْ وَالتَّـجَـرُّدِ مِـنْ عُذْرِيرَشـِـيْـدُ فَأَرْشِـدْنِـيْ بِـرُشْـدِكَ دَائِـمًا
وَكَــمِّـلْ مَـقَـامَـاتِيْ بِسِرِّيْ وَفِيْ جَـهْـرِيْفَـسَامِـحْ وَجُدْ وَاغْـفِـرْ ذُنُوْبِيْ وَعَافِنِيْ
لِـذَاتِـكَ بِالتَّــوْحِـيْـدِ يَاعَـالِــمًا سِـرِّىوَخُـذْنِيْ عَلَى الْإِيْـمَانِ بِالْـمَوْتِ شَاهِدًا
وَشَـيْخِـيْ بِآدَابِ الطَّـرِيْـقَـةِ وَالْـمُـقْرِيْوَأَهْـلِـيْ وَإِخْـوَانِـيْ وَأُمِّـيْ وَوَالِــدِيْ
بِـفَـضْلِكَ أَعْـدَائِـيْ وَمَـنْ قَامَ فِي ضَـرِيوَجَـمِّـلْ فُؤَادِيْ بِالْعِـنَايَـةِ وَاكْـفِـنِـيْ
وَزِدْفِيْ غَنِى الدَّارَيْنِ بَـيْـنَ الْـمَـلاَ قَـدْرِىوَخُـذْ حَاسِـدِيْ وَارْفَـعْ بِـعِزِّكَ تَبْـتِـيْ
عَلِّـيْ وَقَـيِّـدْنِـيْ لِـخِـدْمَـةِ ذِى السِّــرِّوَتَـمِّـمْ عَلَى الْفَـخْرِ وَارْضَى مَـشَايِـخِيْ
مُـحَـمَّدُ­نِ الْـمَـبْـعُـوْثُ لِلْـعَبْـدِ وَالْـحُـرِّوَصَلِّ عَلَى الْمُخْـتَارِ مِنْ جَوْهَرِالْـوَرْدِى
لِـصِـدِّقَـــيْـهِ فِـيْ كُلِّ حَــالٍ أَبِيْ بَكْـرٍوَجُـدْ بِالرِّضَـا لِلصُّـحْبِ وَالْآلِ سِـيْمًا
وَحَـيْدَرَةُ الْمَـطْلُـوْبُ فِيْ مَـعْـضَـلِ الْأَمْرِكَذَا عُمَرُ الْفَـارُوْقُ عُـثْـمَـانَ بَـعْـدَهُ
وَحَـيْدَرَةِ الْمَـطْلُـوْبِ فَـيَمْـعَـضِـلُ الْأَمْرُكَذَا السِّـتَّـةُ السَّـادَاتُ مِنْ نُوْرِ سِرِّهِمْ
حَـقِـيْـقَـتُـهُ تَـعْـلُوْ عَلَى الْأَنْـجَمِ الزُّهْـدِكَذَا السِّـتَّـةُ السَّـادَاتُ مِــنْ سِـرِّهِـمْ
كَذَا الْـحَسَنُ الْمَوْصُوْفُ بِالْـعِلْمِ وَالشُّكْرِوَسَـبَـطَا رَّسُـوْلُ اللهِ أَعْنِيْ حُـسَيْنَـهُمْ
إِلَى مُــنْــتَــهَى الْأَيَّامِ فِي الْبَـرِّ وَالْبَـحْـرِوَأُمُّــهُـمَـا وَالـتَّـابِـعِـيْنَ لِـحِزْبِـهِـمْ
أُوْلِي الْـعِـلْـمِ أَهْـلِ الطَّـلاَعِ عَـلَى السِّـرِّخُـصُـوْصًا لِأَصْحَابِ الطَّرِيْقِ شُيُوْخِنَا
جَـنَـابُ الرِّفَاعِيْ تَـاجٍ مِنْ هَـامٍّ بِـالذِّكْـرِكَـسَـيِّـدِنَا بَلْ شَــيْخُ أَهْـلِ طَرِيْـقِـنَا
إِمَــامٌ رِّجَــالِ اللهِ فِـيْ جَــمْـعَـةِ السِّـرِّمَـلاَذُ الْـوَرَى شَــيْخَ الطَّـرَائِـقِ كُلِّـهَا
وَمُـنْـقَـذُهُـمْ مِـنْ صُرْعَةِ الشَّكِّ وَالْـغُدْرِسِـرَاجُ قُـلُـوْبِ السَّالِـكِـيْنَ بِـلاَ مُـرَّا
عَلَى الْأَرْضِ مِـنْ أَهْـلِ الطَّـرِيْقَـةِ وَالْفِكْرِ(أَبُو الْعَلَمِيْنَ) الْغَوْثُ أَشْجَعُ مِنْ مَشِى
وَشَـيْخُ سِرَاجُ الدِّيْنَ مِـنْ حُـبِّـهِ فَـخْـرِيْوَسَــيِّــدُنَا (الصَّيَّادُ) أُسْـتَاذُ عُـصْـرُهُ
وَمَـوْلاَيَ (خَـيْرُ اللهِ) مِـنْ قَـامَ بِالْـخَـيْرِوَطَائِـفَـةُ الرَّاوِيْ وَأَبْــنَاءُ عَــمِّــهِـمْ
بِـمُـنْـقَـلَـبِ الْأَفْــلاَكِ دُوْرًا عَــلَى دُوْرِوَأَهْـلُ طَـرِيْقِ ابْنِ الرِّفَاعِيْ جَـمِـيعْهِمْ
كَــذَاكَ الدَّسُـوْقِيْ وَالْأَمَـاجِـدِ ذِيْ الصَّبْرِوَلِلْـقَادِرِيْ وَالْأَحْـمَدِيْ حَـمَى الْـوَرَى
بِـسُـلْـكِـهِـمَـا فِيْ مِـنْهَـجِ الشَّرْعِ بِالسَّيْرِوَلِلشَّاذِلِيْ وَالنَّقْـشَبَنْـدِيْ وَمَنْ مَـشَى
تَكْــرِمْ عَلَـيْـهِـمْ مِـنْـكَ فِيْ رَحْمَةٍ تَجْرِيْوَلِلْـقَـوْمِ مِـنْ هَامُوْا بِـحُبِّكَ سَـيِّـدِيْ
عَلَى حِــفْــظِ هٰذَا الدِّيْنِ بِالْـعُـزِّ وَالنَّصْرِوَسُـلْـطَانَـنَا غَــوْثِ الْبِــلاَدِ فَــجَازُهُ
عَلَى فِـرْقَـةِ الشَّـيْطَانِ وَاحْـفَـظْـهُ بِالسِّـرِّوَأَيَّــدَهُ بِالْأَمْــلاَكِ وَانْـصُرْ جُــنُـوْدَهُ
يَـــذُلُّ بِــهَا كُلُّ الْمَـمَـالِـكَ بِالْـقَــهْــرِوَتَـوَّجَـهْ بِالْـقُـرْآنِ وَارْزُقْــهُ هَـيْـبَـةً
وَسَـلِّـكْـهُ فِيْ سُـبُـلِ الشَّـرِيْـعَـةِ بِالْأَمْـرِوَوَفِّــقْ لَـهُ التَّـوْفِـيْـقِ فِيْ كُلِّ حَــالَـةِ
بِــحُـسْـنِ مَـعَـاشِ بِالصِّـيَانَةِ وَالْـخَـيْرِوَأَمِـنْ بَنِـي الْإِسْــلاَمِ رَبِـّيْ بِـظِـلِّـهِ
وَأَبْـدِلْهُ فِي الْـعَـقْبٰى بِـعِـزِّ إِلَى الْـحَـشْـرِوَحَـسِّـنْ أُمُـوْرَ الْـخَلْقِ طَـرًّا بِـوَقْـتِهِ
بِـحُـكْـمَةِ رُشْدٍ مِـنْكَ تُصْحىٰ مِنَ السَّكَرِوَمَـيْـلِ جَـمِـيْـعِ الْمُسْلِـمِيْنَ لِسَـيْرِنَـا
بِـحَبْلِ زَمَـامِ الْـعُطْفِ بِالْـحَمْدِ وَالشُّكْرِوَقُــدْنَا وَبَـاقِي الْـمُـؤْمِـنِـيْنَ إِلَى التُّقٰى
صُـرُوْفَ الزَّمَـانِ جَاءَ بِالْـغَـمِّ وَالشُّـكْـرِوَهَـيِّءْ لـَنَا الْآمَـالَ بِالْـخَـيْرِ وَاكْـفِنَا
وَتَـرْجَـمُــهَا ضَـمْنُ الْقَـصِيْدَةِ بِالشِّـعْـرِبِأَسْــمَائِكَ الْـحُسْنٰى دَعَاكَ أَبُو الْهُدٰى
عَلَى خَتْـمِـهَا أَسْـتَـغْـفِرُ اللهَ مِــنْ وَزْرِيْوَقَــالَ بِـحَـمْدِ اللهِ لِلـنَّـظْـمِ خَاتِـمًا
بَـدَأْتُ بِـبِـسْـمِ اللهِ فِي مَــبْــدَاءَ الْأَمْـرِفَـيَـارَبِّ خُـذْهَـا بِـالْـقَـبُـوْلِ لِأَنِّـنِيْ

Sumber: Alif.ID

84. Tata Cara Halaqah Zikir Rifa’iyah (3)

Masih mengenai tata cara halaqah zikir:

  1. Kemudian membaca al-Fatihah
  2. Lalu Mursyid membaca;

دُسْتُوْرٍ يَارَسُوْلَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَنْبِيَاءَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَهْلَ بَيْتِ رَسُوْلِ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاأَوْلِيَاءَ اللهِ دُسْتُوْرٍ يَاسَيِّدِ الْأَوْلِيَاءِ يَا سَيِّدِيْ يَا رِفَاعِيْ يَاأَبَا الْعَلَمِيْنَ اَلْمَدَدَ

  1. Lalu Mursyid mengawali bacaan لَآ إله إلا الله 1x, lalu diikuti oleh para sâlik secara serentak sebanyak minimal 111x dengan penuh tatak RAma, segan, Rasa malu dan memejamkan mata
  2. Membaca zikir Ismu Dzat sebanyak 111x. Ketika berzikir, hati menengok ke akhirat, menyanjung terhadap Syaikh Ahmad al-Rifa`i. Hal itu bisa menjaga pandangan hati sâlik pada saat terjadi limpahan ruhani
  3. Kemudian zikir; يَا اَللهُ مَا تَيَسَّرَ
  4. Duduk menghadap kiblat saat mengakhiri Khatam Halaqah dengan membaca shalawat secara bersama-sama;

اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ، اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ، اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَاوَسِيْلَتَنَا اِلَى اللهِ، اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا أَوَّلَ خَلْقِ اللهِ وَخَاتِمَ رُسُلِ اللهِ، اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَاأَنْبِيَاءَ اللهُ أَجْمَعِيْنَ.

  1. Salah satu diantara sâlik membaca 10 ayat Alquran
  2. Kemudian membaca shalawat al-Dawaiyah 2 kali;

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ كُلِّ دَاءٍ وَدَوَاءٍ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ عَلَىْهِ وَعَلَىْهِمْ كَثِيْرًا.

Ketika membaca shalawat al-Dawaiyah ketiga kalinya, ketika sampai pada lafadz كثيرًا lalu membaca:

وَبَارِكْ وَسَلِّمْ عَلَىْهِ وَعَلَىْهِمْ كَثِيْرًا كَثِيْرًا وَصَلِّ وَسَلِّمْ بِـجَلاَلِكَ وَجَمَالِكَ عَلَى جَمِيْعِ النَّبِيِّيْنَ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَآلِ كُلٍّ وَصَحْبِ كُلِّ أَجْمَعِيْنَ وَالْـحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

  1. Kemudian mursyid membaca al-Fatihah yang dihadiahkan kepada nabi Muhammad SAW., keluarganya, para sahabat-sahabatnya, kepada Shahibut Tarekat (Syaikh Ahmad al-Rifa`i), anak turun pengikut Tarekat Rifa`iyah dan kepada seluruh muslim dengan harapan mendapatkan limpahan sirri dari Hadhrah Nabawiyah dengan perantara Hadhrah pada Syaikh Rifa`iyah
  2. Kemudian mursyid membaca doa:

اَللهم وَأَوْصِلْ بَعْدَالْقَبُوْلِ مِنَّا بِفَضْلِكَ وَكَرَمِكَ مِثْلَ ثَوَابِ هٰذَا الذِّكْرِ الْـحَكِيْمِ وَالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَالصَّلَوَاتِ الشَّرِيْفَةِ وَالْأَوْرَادِ اللَّطِيْفَةِ إِلَى رُوْحِ وَضَرِيْحِ وَمَرْقَدِ وَتَرْبَةِ سَيِّدِالسَّادَاتِ وَمَنْبَعِ السَّعَادَاتِ رُوْحِ الْأَرْوَاحِ وَمَدَدِ الْفَتَّاحِ نُقْطَةِ الْبَاءِالْبَارِزَةِ بِالْحَقَائِقِ الْكُلِّيَّةِ وَجُرَّةِ حَبْلِ الْوَصْلِ الْقَائِمَةِ بِالدَّقَائِقِ السَّمَاوِيَةِ وَعَقْدَةِ مِيْمِ الْمَدَدِ الشَّامِلَةِ لِكُلِّ رَقِيْقَةٍ غَيْبِيَّةِ سَيِّدِنَا وَسَنَدِنَا وَذُخْرِنَا وَهَادِىْنَا وَنَاصِرِنَا وَحَامِىِّنَا وَحَارِسِنَا وَمَوْلاَنَا أَبِي الطَّيِّبِ وَالطَّاهِرِ وَالْقَاسِمِ رَسُوْلِ اللهِ مُـحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَلِّبْ بْنِ هَاشِمٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَظَّمَ وَكَرَّمَ وَإِلَى بَاقِيْ إِخْوَانِهِ مِنَ النَّبِيِّيْنِ وَالْمُرْسَلِيْنِ وَآلِ كُلٍّ وَصَحْبِ كُلٍّ أَجْمَعِيْنَ وَإِلَى التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْهِمْ وَالْأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَمُقَلِّدِيْهِمْ وَالْأَوْلِيَاءِ الْعَارِفِيْنَ وَمَنْسُوْبِيْهِمْ وَمَحْسُوْبِيْهِمْ خُصُوْصًا مِنْهُمْ إِلَى شَيْخِنَا وَمَفِزِّعِنَا وَسَيِّدِنَا الْقُطْبِ الْغَوْثِ الْأَكْبَرِ وَالْكِبْرِيَتِ الْأَحْمَرِ ذِي الْقَلْبِ الْعَامِرِ الْمَدَدِ الْحَاضِرِمُلْحَقِ الْأَصَاغِرِ بِالْأَكَابِرِ شَيْخِ أَهْلِ الْبَوَادِي وَالْحَوَاضِرِ لاَثِمِ يَدِ النَّبِيِّ الطَّاهِرِ سُلْطَانِ الْأَوْلِيَاءِ بُرْهَانِ الْأَصْفِيَاءِ مُجَدِّدِ شَرِيْعَةِ الْبَشِيْرِ النَّذِيْرِ مَوْلاَنَا وَوَسِيْلَتِنَا إِلَى رَبِّنَا السَّيِّدِ أَحْمَدَ مُحْيِ الدِّيْنِ أَبِي الْعَبَّاسِ اَلرِّفَاعِيْ اَلْـحُسَيْنِيْ اَلْكَبِيْرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَإِلَى وَلَدِهِ الْقُطْبِ الْغَوْثِ الْجَامِعِ الْجَوَّادِ فَرْدِ الْأَفْرَادِ وَمَلْجَاءِ الْأَوْتَادِ وَكَعْبَةِ الْقَصَادِ سَيِّدِنَا وَشَيْخِنَا السَّيِّدِ عِزِّ الدِّيْنِ أَحْمَدَ الصَّيَّادَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَإِلَى بَقِيَّةِ أَوْلاَدِهِ وَأَسْبَاطِهِ وَخُلَفَائِهِ وَمُرِيْدِيْهِمْ وَمُحِبِّيْهِ وَمُتَّبِعِيْهِ وَالْمُتَمَسِّكِيْنِ بِطَرِيْقَتِهِ وَالْآخِذِيْنَ بِعَهْدِهِ وَوَثِيْقَتِهِ فِي مَشَارِقِ الْأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا مِنْ عَهْدِهِ الْمُبَارَكِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ اَللهم وَإِلَى جَمِيْعِ إِخْوَانِهِ الْأَوْلِيَاءِ الْعَارِفِيْنَ وَعِبَادِ اللهِ الصَّالِـحِيْنَ وَخُلَفَائِهِمْ وَمُـحِبِّيْهِمْ وَمُرِيْدِيْهِمْ وَذُرَارِيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ وَلَنَا وَالْوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَبِنِيَّةِ الْقَبُوْلِ وَاسْتِعْطَافِ قَلْبِ نَبِيِّنَا الطَّيِّبِ الطَّاهِرِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِضَاءً لِلهِ تَعَالٰى

الفاتحة

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمِ اللهم بِحُرْمَةِ الصَّلاَةِ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اِجْعَلْنَا بِالصَّلاَةِ عَلَىْهِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ وَعَلَى حَوْضِهِ مِنَ الْوَارِدِيْنَ الشَّارِبِيْنَ وَبِسُنَّتِهِ وَطَاعَتِهِ مِنَ الْعَالَمِيْنَ وَتَحْتَ لِوَائِهِ مِنَ الْمَحْشُوْرِيْنَ وَلاَ تَحُلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ، اَللهم لاَ تُفَرِّقْ جَمْعَنَا هٰذَا إِلاَّ بِذَنْبٍ مَغْفُوْرٍ وَعَمَلٍ مَقْبُوْلٍ وَسَعْيٍ مَشْكُوْرٍ وَتِجَارَةٍ لَنْ تَبُوْرٍ يَا نُوْرَ النُّوْرِ قَبْلَ الْأَزْمِنَةِ وَالدُّهُوْرِأَخْرِجْنَا وَوَالِدِيْنَا وَالمُسْلِمِيْنَ وَالْحَاضِرِيْنَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ يَا اَللهُ اَللهم فَرِّجْ كُرُوْبَنَا وَنَوِّرْ قُبُوْرَنَا وَقُلُوْبَنَا وَاغْفِرْ ذُنُوْبَنَا وَاسْتُرْ عُيُوْبَنَا وَكُنْ لَنَا وَلاَ تَكُنْ عَلَىْنَا وَاخْتِمْ بِالسَّعَادَةِ آجَالَنَا وَحَقِّقْ فِيْكَ بِالزِّيَادَةِ آمَالَنَا وَلاَ تَقْطَعْ مِنْكَ رَجَاءَنَا يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهم فَارِجَ الْهَمّْ كَاشِفَ الْغَمِّ مُجِيْبَ دَعْوَةِ الْمُضْطَرِّيْنَ رَحْمَنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ وَرَحِيْمَهُمَا أَنْتَ تَرْحَمُنَا فَارْحَمْنَا رَحْمَةً تَغْنِيْنَا بِهَا عَنْ رَحْمَةٍ مِنْ سِوَاكَ اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِيْنَ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبَضْنَا إِلَىْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنِيْنَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ (اللهم انْصُرْ سُلْطَانِنَا) أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ خَادِمَ شَرِيْعَةِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَيِّدْ بِهِ كَلِمَةَ الْحَقِّ وَالدِّيْنِ وَاحْفَظْ بِهِ ثَغُوْرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ اللهم انْصُرْهُ وَانْصُرْ عَسَاكِرَهُ وَاجْعَلْ عَلَى أَعْدَائِنَا وَأَعْدَائِهِ مِنَ السُّوْءِ دَائِرَةً  اللهم مَنْ أَرَادَنَا أَوْ أَرَادَ دِيْنَنَا أَوْ أَرَادَ بِلاَدِنَا بِسُوْءٍ فَاجْعَلْ دَائِرَةَ السُّوْءِ عَلَىْهِ اللهم اَرْمِ نَحْرَهُ فِيْ كَيْدِهِ فِيْ نَحْرِهِ حَتَّى يُذْبَحُ نَفْسُهُ بِيَدِيْهِ اللهم اَكْفِنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ السُّوْءَ بِمَا شِئْتَ كَيْفَ شِئْتَ إِنَّكَ عَلَى مَاتَشَاءُ قَدِيْرٌ اَللهم اَحْيِنَا مُؤْمِنِيْنَ وَأَمِتْنَا مُؤْمِنِيْنَ وَاحْشُرْنَا مُؤْمِنِيْنَ فِيْ زُمْرَةِ الصَّالِحِيْنَ تَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَىْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُوْلٰئِكَ رَفِيْقًا يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ وَاغْفِرْ اللهم لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَلِمَشَايِخِنَا وَلِكُلِّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ أَنَّكَ يَا مَوْلاَنَا سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ آمِيْنَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Kemudian bersama-sama mengucapkan syahadat:

أَشْهَدُ أَنْ لَآ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُـحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلِّمْ عَلَى جَمِيْعِ النَّبِيِّيْنَ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَآلِ كُلٍّ وَصَحْبِ كُلٍّ أَجْمَعِيْنَ.

Diakhiri dengan membaca al-Fatihah, setelah itu bersama-sama membaca ayat;

وَتَرَى الْمَلَآئِكَةَ حَآفِّيْنَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٧٥﴾ [الزمر: 75]

  1. Kemudian membaca al-Fatihah 1x yang ditujukan kepada nabi Muhammad SAW..
  2. Kemudian bersalam-salaman dan saling mendoakan agar mendapat kebaikan.

Sumber: Alif.ID

85. Adab Salik terhadap Mursyid Tarekat Rifa’iyah

Adab Salik terhadap Mursyid

  1. Memiliki tata krama yang baik;
  2. Khusyu’, khudhu’;
  3. Mengetahui kedudukan dan derajat Syaikh;
  4. Menggerakkan segala kemampuan untuk Syaikh, tidak melawannya, tidak menertawakannya, tidak menggunakan sesuatu yang membuat Sâlik merasa agung dihadapannya;
  5. Mengagungkan perintahnya;
  6. Menjaga kehormatan Syaikh dan keluarganya, kerabatnya baik Syaikh ada di rumah, bepergian, hidup dan wafatnya;
  7. Berserah diri pada mursyid pada semua keadaan, tidak menjadikan mursyid sebagai musuh dan sahabat;
  8. Sâlik tidak diperkenankan untuk berkunjung kepada orang shaleh/wali tanpa seizin dan perintahnya, Mursyid tidak akan memberikan izin untuk mengunjungi salah satu ulama’/wali sementara di dalam hati sâlik terdapat perasaan penghormatan yang besar.

Hal ini dilakukan mursyid untuk mencegah supaya keteguhan hati sâlik tidak terguncang mengikuti mursyid, karena sâlik di hadapan mursyid seperti mayat di tangan orang yang memandikan. Sementara mursyid adalah pengganti (al-Naib) nabi Muhammad Saw. dalam hal menunjukkan jalan yang lurus dan nabi Muhammad Saw. penghulu orang mukmin, para wali dan ulama adalah pewaris para Nabi, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 104).

Kitab-kitab dan Sâlik-sâlik Syaikh Imam al-Rifa`i

Syaikh Imam Rifa`i adalah seorang mu’alif atau pengaRAng. Diantara karangan beliau yang sampai pada kita adalah:

  1. حالة أهل الحقيقة مع الله لتحميل الكتاب
  2. الصراط المستقيم
  3. كتاب الحكيم شرح التنبيه (فقه شافعي)
  4. البرهان المؤيد، لتحميل الكتاب
  5. معانى بسم الله الرحمن الرحيم
  6. تفسير سورة القدر
  7. البهجه
  8. النظام الخاص لأهل الاختصاص، لتحميل الكتاب
  9. المجالس الأحمدية
  10. الطريق إلى الله
  11. التحفه الرفاعية، لتحميل الكتاب
  12. كتاب قلادة الجواهر فى هذا الرابط، لتحميل الكتاب
  13. أسرار العبادات، لتحميل الكتاب

Di samping itu Imam Rifa`i memiliki banyak sâlik atau pengikut baik di waktu hidupnya maupun setelah wafat, sampai-sampai Imam Ibnu Muhadzab dalam kitabnya Aza’ibun Wasitun mengatakan jumlah khalifah/ pengganti Sayyid Ahmad Rifa`i di waktu hidup beliau mencapai 180 ribu. Juga dikatakan begitu istimewanya Sayyid Ahmad Rifa`i, di waktu hidup beliau tidak ada tempat, kota, negara, atau desa, pegunungan, daRAtan yang tidak ada sâlik atau pengikutnya.

Di antara sâlik atau pengikut beliau yang terkenal adalah:

  1. Syekh al Khafid ‘Izziddin al-Faruqi
  2. Syekh Ahmad al-Badawi
  3. al-‘Arif Billah Abu Hasan al-Syadzili
  4. Syaikh Sayyid Abdillah al-KhaRAqiyi al-Khasini Ibnu ‘Amatah
  5. Syekh Najmuddin al-Asyfahani Syaikhul Islâm Ibrahim al-Dasuqi
  6. Syaikh Ahmad Alwan al-Maliki
  7. al-Khafid Jalaluddin al-Suyuti
  8. Syaikh Uqail al-Munbaji
  9. Syekh Ali al-Khawasi, (Qawa`id al-Mar`iyah fi Ushul al-Tarekat al-Rifa`iyah, halaman: 113-114).

Keagungan Imam Rifa`i di Mata Para Ulama

Berikut ini pendapat para ulama’ tentang sosok Imam Rifa`i, antara lain;

  1. Syaikh Abdul Wahab al-Sya’RAniberkata: “Beliau adalah sosok wali Ghaustul Akbar dan Quthbul Asyhar dan termasuk salah satu Aimmatil ‘Arifin (pemimpin para wali) yang menjadi rujukan para wali”.
  2. Imam Tajuddin al-Subkiberkata: “Beliau adalah syaikh yang zuhud, agung dan termasuk salah satu pemimpinnya para wali (al-‘Arifin) yang mempunyai banyak karamah yang agung”.
  3. al-Qadhi Abu Suja` al-Syafi’i mengatakan: “Said Imam Rifa`i adalah sosok yang ‘alim dan agung, faqih, muhaddits, mufassir bahkan beliau adalah orang yang paling ‘alim di masanya terhadap kitab Allah SWT. dan Rasulnya”.
  4. Syaikh Ibnu Khalkanberkata: “Beliau adalah seorang laki-laki yang shaleh, faqih yang menjadi pengikut serta penyebar madzhab Syafi`i”.
  5. Syaikh Abdu al-Sami’ al-Hasyimi al-Wasithimengatakan: “Said Ahmad Rifa`i adalah salah satu tanda (ayat) dari tanda tanda kebesaran Allah ”.
  6. Syaikh Manshur al-Batha’i al-Robbani(guru Imam Rifa`i) berkata: “Saya mengukur diriku dan juga teman-temanku dan membandingkannya dengan Sa`id Ahmad Rifa`i dan aku dapati beliau mengungguli semuanya”.
  7. Syaikh Ibnu Atsir al-Jazurimengatakan: “Beliau adalah sosok yang shaleh yang agung dan bisa diterima orang banyak, beliau juga memiliki banyak Sâlik yang tak terhitung”.

Sumber: Alif.ID

86. Tarekat Suhrawardiyah

Tarekat ini dinisbatkan kepada Syaikh Syihab al-Din Abu Hafsh Umar bin Abdillah bin Muhammad al-Taimi al-Sufi al-Syafi’i al-Suhrawardi, atau  pamannya yaitu Syaikh Dhiyauddin Abu Najib bin Muhammad al-Taimi al-Suhrawardi (wafat tahun 1167). Keduanya orang yang berjasa dalam penyebaran Tarekat Suhrawardi.

Yang paling terkenal adalah Syaikh Syihab al-Din Abu Hafsh Umar, pengarang Awârif al-Ma’ârif. Beliau lahir pada bulan Rajab tahun  539-632 H. / 1145-1238 M. di desa Suhrawardi Baghdad Irak. Beliau dikenal dengan sebutan Imam Suhrawardi. Beliau hidup di kalangan keluarga  ulama.

Di wilayah Baghdad banyak sekali ulama yang mempunyai keilmuan yang tinggi dalam berbagai macam disiplin ilmu sehingga kota ini yang menjadi salah satu pusat kajian berbagai macam keilmuaan baik ilmu fikih, ushul fikih, Alquran, hadis, sastra, adab, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Banyak kalangan pelajar dari berbagai penjuru negara datang ke kota ini untuk menuntut ilmu. Begitu juga dengan Syaikh Syihab al-Din Suhrawardi mengikuti pamannya dan menetap di Baghdad.

Syaikh Syihab al-Din Abu Hafsh Umar bin Muhammad al-Suhrawardi  mempelajari fikih mazhab Syafi’I, setelah mepelajari ilmu syariat beliau meneruskan belajar hadis ke sejumlah Ulama’ di antaranya Syaikh Ibnu Dabisyi, Syaikh Ibnu Nuqthoh, Syaikh Dhiyauddin Najib al-Suhrawardi (w.1167) , Syaikh Zaki al-Barzali. Dari Syaikh Nazar bin Yusuf al-Najjar  disamping belajar ilmu syariat, juga mempelajari ilmu hakikat. Beliau di kenal sebagai ulama yang ahli fiqih.

Imam Suhrawardi mengambil pelajaran dari Syaikh Abi Qosim bin Fadhlan. Juga sempat belajar kepada Syaikh Abdu al-Qodir bin Abi Shalih al-Jilani  dalam bidang ilmu tasawuf, ilmu nasihat. Beliau juga sepat ke Bashrah untuk belajar ilmu tasawuf, ilmu nasihat kepada Syaikh Abi Muhammad bin Abdillah dan banyak  ulama yang beliau ambil keilmuaanya, sehingga beliau dikenal  juga sebagai ulama yang memiliki kemampuan untuk menasihati manusia, ulama ahli adab.

Syaikh Syihab al-Din Suhrawardi lebih banyak mengambil pelajaran tasawuf (tarekat) dan ilmu nasihat dari pamannya sendiri yaitu Syaikh Dhiyauddin Abu Najib bin Muhammad al-Taimi al-Suhrawardi sampai diberi khirqah  (baju sufi) khusus oleh pamannya sebagai tanda untuk meneruskan ajaran tarekat tersebut.

Setelah mempelajari ilmu, mengamalkan, mendalami, dan memantapkan keilmuannya dengan sikap wira’i, zuhud, riyadlah, mujahadah, dan khalwat, maka tampillah Syaikh Syihab al-din Abu Hafsh Umar bin Muhammad al-Suhrawardi  sebagai ulama’ yang sangat berpengaruh hingga tidak ada ulama yang mampu menandingi pengaruhnya pada zamannya. Yang mengikuti pengajiannya banyak dari kalangan ulama, umara, dan masyarakat umum (Awârif al-Ma’ârif,  halaman: 7-10).

Dengan pengaruh Syaikh Syihab al-Din Abu Hafsh Umar bin Muhammad al-Suhrawardi, khalifah al-Nasir mendekati Syaikh Suhrawardi untuk mau menjadi utusan kerajaan yang bertugas untuk menjalin kerjasama dengan sultan dan pemimpin wilayah Islam. Tujuan Khalifah al-Nasir adalah untuk membendung serangan tentara Mongol dengan cara membangkitkan semangat kepemudaan yang pernah diperankan oleh Sayyidina Ali Krw. Gagah berani melaksanakan perjuangan, tulus ikhlas, lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan diri sendiri dan tidak sombong. Akhirnya  Syaikh Suhrawardi menyetujuinya tawaran tersebut.

Dalam melaksanakan tugas kenegaraan tersebut, Syaikh Syihab al-Din Suhrawardi mengunjungi desa, kota dan negara, bertemu dengan pimpinan negara, ulama, dan masyarakat umum. Pertemuan itu juga digunakannnya untuk memperkenalkan ajaran Tarekat Suhrawardi. Dalam waktu yang tidak telalu lama ajaran tarekat ini menyebar dengan luas (Thabâqat al-Auliyâ’, halaman: 201).

Sanad Tarekat Suhrawardiyah

Sumber: Alif.ID

87. Ajaran Tarekat Suhrawardiyah

Ajaran Tarekat Suhrawardiyah adalah sebagai berikut:

  1. Berpedoman pada ajaran tauhid dan menjalankannya dengan kesungguhan
  2. Menjalankan syariat dengan lurus
  3. Selalu butuh (faqr) kepada Allah SWT dan Zuhud
  4. Menjaga adab (tata krama)
  5. Mensucikan waktu dari berbagai macam kekejian atau kotoran dengan jalan mensucikan hati dari berbagai macam kotoran jiwa (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 133-134).

Mursyid (Syaikh)

Kedudukan syaikh di dalam ajaran tarekat sangat penting karena beliau yang menunjukkan salik untuk bisa memahami ajaran Allah sekaligus bisa mengenal dan mencintai Allah.

Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Jika kalian menginginkan aku bersumpah, maka bersumpah demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah Swt adalah orang yang mencintai Allah SWT, Orang yang menjadikan hamba-hamba Allah Swt mencintai Allah Swt., dan orang orang yang berjalan di muka bumi dengan membawa nasihat.

Ini adalah dasar bagi mursyid atau syaikh untuk melakukan fungsi sebagai wakil Nabi Muhammad Saw. Kedudukan ini lebih tinggi dari kedudukan selain wakil Nabi dalam menyeru manusia melalui jalan (tarekat) menuju kepada Allah Swt.

Tugas seorang syaikh atau mursyid adalah membersihkan hati para salik, dengan tujuan:

  1. Cahaya tauhid (keesaan), keagungan ilahi dan kesempurnaan keabadian tercermin dalam hati salik;
  2. KecintaaniIlahi bersemayam dalam hati salik (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 153).

Adab Syaikh (Mursyid)

Segala sisi tasawuf (tarekat) dipenuhi dengan adab, tiap waktu, hal (keadaan hati). Maqâm memilik adab. Berikut adab mursyid berhubungan dengan salik:

  1. Tidak menawarkan diri untuk menjadi pemimpin dan mendidik salik.
  2. Tidak berbicara dengan salik kecuali hatinya hadir bersama dengan Allah SWT.
  3. Hendaknya syaikh (mursyid) mengambil i’tibar tentang keadaan salik untuk kebaikan salik itu sendiri.
  4. Hendaknya syaikh (mursyid) memiliki pengetahuan tentang ilmu batin sehingga mengetahui yang terbaik bagi salik.
  5. Hendaknya syaikh (mursyid) memiliki waktu khusus untuk melakukan kholwat dan berkumpul dengan manusia sehingga hasil berkholwat bisa dirasakan oleh yang lain.
  6. Memiliki budi pekerti yang luhur.
  7. Menyampaikan pelajaran kepada salik dengan hati lemah lembut.
  8. Mengasihi kepada sahabat, menunaikan hak-hak persahabatan, menjenguk orang sakit dan lain-lain.
  9. Memberikan nasihat dan arahan kepada salik yang lemah dengan sikap yang lemah-lembut dan penuh kasing-sayang.
  10. Seorang Mursyid tidak boleh mempunyai keinginan sedikit pun terhadap harta-benda murid. Ia hanya boleh menerima harta dari seorang murid jika terpaksa menggunakannya untuk kemaslahatan umum. Ketika seorang murid ingin mendermakan harta miliknya kepada syekh, maka mursyid tersebut mungkin mengambilnya, sebab ia bisa menggantinya dengan pengajaran yang dibutuhkan murid. Tetapi jika murid masih menginginkan harta tersebut, ia dibolehkan untuk membelanjakannya sebagian.
  11. Jika syaikh (mursyid) mengetahui keadaan salik yang kurang berkenan, tidak sesuai dengan aturan, maka syaikh (mursyid) menasehatinya dengan bahasa dan hati yang lemah lembut. syaikh (mursyid) tidak mengungkapkan kejadian tersebut kepada yang lain.
  12. Menyimpan rahasia salik dari orang lain (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 414-419).

Adab Sâlik terhadap Syaikh (Mursyid)

  1. Diam dan tidak banyak bicara di hadapan syaikh (mursyid).
  2. Sâlik seharusnya tidak membicarakan dirinya di hadapan syaikh (mursyid) demi memperoleh kedudukan di hati syaikh (mursyid).
  3. Sâlik selalu berharap mendapatkan nasihat-nasihat syaikh (mursyid).
  4. Sâlik harus merendahkan suaranya di hadapan syaikh (mursyid).
  5. Jika bertemu syaikh (mursyid), salik harus tenang zhahir batin.
  6. Sâlik harus memberikan kepercayaan penuh kepada syaikh (mursyid) dalam memberikan pengarahan dan petunjuknya, karena syaikh (mursyid) adalah wakil nabi.
  7. Jika salik kesulitan mengerti tentang keadaan syaikh (mursyid), maka hendaknya salik ingat tentang kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, ketika itu Nabi Khidir melakukan sesuatu yang diingkari oleh Nabi Musa, lalu Nabi Khidir menjelaskan rahasia di balik peristiwa. Maka salik tidak boleh mengingkari keadaan hal-nya syaikh (mursyid) karena keterbatasan ilmu salik untuk menemukan kenyataan. Dan salik harus percaya bahwa syaikh (mursyid) mempunyai alasan yang sesuai dengan keilmuan dan hikmah.
  8. Sâlik harus patuh dan taat kepada syaikh (mursyid) dzahir dan batin.
  9. Sâlik tidak boleh membantah dan melawan kepada syaikh (mursyid).
  10. Sâlik harus menyesuaikan keinginannya dengan keinginan syaikh (mursyid).
  11. Sâlik harus memperhatikan pemikiran-pemikiran syaikh (mursyid).
  12. Sâlik harus menjaga perasaan syaikh (mursyid) dalam segala hal.
  13. Sâlik harus menceritakan kejadian-kejadian, mimpi-mimpi kepada syaikh (mursyid) dengan tujuan syaikh (mursyid) memberikan pengarahan terhadap keaadaan salik.
  14. Hendaknya salik bedoa meminta pertolongan kepada Allah , sebelum berbicara kepada syaikh (mursyid).
  15. Sâlik harus melihat kondisi syaikh (mursyid) sebelum berbicara tentang kehidupan dunia atau akhirat (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 404-414).

Adab Persahabatan antar Sâlik

  1. Menjaga kehormatan syaikh (mursyid);
  2. Menjaga hubungan baik dengan sahabat;
  3. Memberi nasihat terhadap yang kecil;
  4. Selalu melaksanakan al-itsar (mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri) dalam bermuamalah sosial;
  5. Menjauhi saling menghina antarsâlik;
  6. Saling menolong;
  7. Melupakan kesalahan yang pernah dilakukan sahabatnya;
  8. Saling menasihati;
  9. Menyembunyikan aib atau cela sahabatnya;
  10. Saling menunjukkan kekurangan sahabatnya sehingga dia mampu untuk memperbaikinya;
  11. Melaksanakan khidmat terhadap sahabat dan berani menanggung perbuatan yang menyakitkan dari mereka, hal ini adalah mutiara orang-orang faqir (orang yang butuh terhadap Allah );
  12. Sâlik tidak melihat dirinya mendapatkan suatu derajat tertentu di khususkan untuk dirinya;
  13. Sâlik harus tulus dalam persahabatan, tidak ada dalam hatinya rasa keberatan terhadap sahabatnya, jika dalam hati salik ada unsur keberatan dalam hati, maka salik harus segera menghilangkannya;
  14. Sâlik hendaklah menjahui sahabat yang himmahnya hanya karena unsur duniawi;
  15. Sâlik mendahulukan menyerahkan haknya kepada sahabatnya dan tidak menuntut hak dari sahabatnya;
  16. Bersikap lemah lembut;
  17. Seyogyanya salik tidak berbicara menghayal dan berandai-andai kepada sahabatnya;
  18. Sâlik dalam persahabatan tidak boleh takut berpisah dan senang tetap bersahabat;
  19. Sâlik bersikap lapang dada dan meninggalkan sikap menjilat;
  20. Menjaga sikap tengah-tengah (adil) antara terlalu ngirit dan boros;
  21. Menutupi aib dan cela sahabatnya dan;
  22. Sâlik berdo’a kepada Allah agar sahabatnya diampuni oleh Allah Swt., (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 430-434).

Sumber: Alif.ID

88. Khalwat Tarekat Suhrawardiyah

Salik dianjurkan untuk melakukan khalwat tiap setahun sekali baik di rumahnya, pondok (zawiyah), atau di tempat lain dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ikhlas, menyelamatkan manusia lain dari kejelekan sifat-sifat sâlik dan menyelamatkan ajarannya, memperbanyak zikir, membaca Alquran, melanggengkan muraqabah. Lama khalwat minimal 40 hari atau lebih bahkan lebih baik selama hidup.

Hitungan khalwat 40 hari berdasarkan atas hadist Nabi :

مَنْ اَخْلَصَ لِلهِ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا ظَهَرَتْ يَنَابِعُ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ “رواه أبو نعيم”

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِيْنَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً “الأعراف” ﴿١٤٢﴾ [الاعراف: 142]

  • Tata Cara untuk Khalwat 40 Hari :
  1. Menyelesaikan unsur dunia, mengeluarkan semua kepemilikan terhadap materi dari dalam hati salik;
  2. Mandi dengan sempurna, menjaga kebersihan pakaian dan tempat khalwat;
  3. Shalat 2 rakaat;
  4. Melakukan taubat kepada Allah atas semua dosa-dosa salik;
  5. Sâlik tidak menyimpan dendam, hasut, hiyanat dalam hatinya;
  6. Kemudian duduk di tempat khalwat
  • Tata Cara Khalwat :
  1. Wajib melanggengkan wujud;
  2. Memperbanyak membaca Alquran,
  3. Zikir لااله إلاالله dengan lisan bagi salik pemula dan zikir tahlil dengan hati tanpa menggerakkan lisan;
  4. Mempersedikit makan, sedikit demi sedikit;
  5. Tidak makan dengan lauk pauk yang bernyawa jika mampu;
  6. Mengurangi (menyedikitkan) tidur;
  7. Mengurangi (menyedikitkan) bicara;
  8. Menyepi dari pergaulan dengan manusia;
  9. Menetapi shalat jama’ah baik dengan cara keluar dari tempat khalwat atau melakukan melakukan jama’ah di tempat khalwat

Urutan maqâm yang harus ditempuh Salik Suhrawardiyah adalah Maqâm Taubat, Maqâm Wira’i, Maqâm Zuhud, Maqâm Sabar, Maqâm Faqr, Maqâm Syukur, Maqâm Khauf, Maqâm Raja’, Maqâm Tawakal, dan Maqâm Ridla.

Hal-hal yang Harus Dilakukan Sâlik Awal dan Sâlik Akhir

  1. Niat yang ikhlas;
  2. Bagi salik awal hendaknya mengikuti tarekat syaikh (mursyid) sufi, berahlak seperti ahlaknya, mengikuti pengajiannya karena masuk Tarekat merupakan hijrah bagi salik;
  3. Seyogyanya salik mengeluarkan seluruh harta benda, kedudukan, jabatan dan pangkat dari dalam hatinya lalu meletakkan pondasinya;
  4. Sâlik harus mengetahui jiwanya;
  5. Selalu berniat karena Allah dan melakukan segala sesuatu walaupun itu mubah. Seperti makan, minum, tidur dan lain-lain;
  6. Hendaknya salik selalu membersihkan hati dari pergerakan, ucapan, bisikan, nafsu ketika beramal, berbicara, dan berahwal;
  7. Sesuatu yang bermanfaat dan menjadi modal bagi salik adalah diam. Jangan sampai diamnya salik menjadikan pendorong untuk ucapan manusia, sementara hati salik berubah dan berkata macam-macam;
  8. Hendaknya Sâlik tidak memperhatikan manusia secara berlebihan yang bisa membahayakan hati salik. Sâlik jika berjalan menundukkan pandangan mata, tidak menoleh ke kiri kanan;
  9. Seyogyanya salik awal tidak berhubungan dengan orang yang cinta dunia;
  10. Tidak mendengarkan perkataan orang lain yang bisa mempengaruhi hati untuk melakukan taat;
  11. Sâlik menyibukkan diri dengan shalat, tadharru’, membaca Alquran, berdoa, macam-macam zikir, istighfar, dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad .

Hal tersebut di atas dibutuhkan dan dibuat pegangan amal oleh salik awal, sementara bagi salik akhir harus memahami, melakukan secara nyata dan bersungguh-sungguh, (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman:  507-512).

Tanda-tanda salik awal adalah menemukan manisnya pada sebagian taat dan tidak pada yang lain. Ketika salik awal berzikir maka ruh menjadi bercahaya, dan ketika salik sibuk dengan tuntunan-tuntunan nafsu maka salik terhalang untuk berzikir (tidak bisa berzikir). Kesungguhan hati (shadiq) yang menjadikan salik konsisten (istiqamah) dzahir bathin, menyembah Allah SWT. dengan segenap jiwa, salik tidak terhalang dari Allah SWT., zikir, tidak juga tidur, minum dan makan. Kesungguhan itu menginginkan jiwanya (ikhlas) karena Allah SWT. Sifat kesungguhan hati (shiddiqiyah) lebih dekat dengan keadaan bathin (ahwal) kenabian (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 513).

Ketentuan Salik Akhir Tarekat Suhrawardiyah:

  1. Istiqamah dzahir bathin karena Allah ;
  2. Ruhani salik akhir bersih dari kegelapan nafsu;
  3. Mengikuti hati;
  4. Ruhani mereka berhubungan dengan maqâm a’la, api kesenangan menjadi padam, bathin mereka menjadi mabuk karena jelasnya pengetahuan yang diterima hati. Sehingga, akhirat bagi mereka terbuka (inkisyaf);
  5. Kesenangan terhadap duniawi telah mati, ruhani mereka menjadi cemerlang;
  6. Ruhnya salik tertarik oleh tarikan-tarikan ilahi (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 513-517).

Sumber: Alif.ID

89. Safar Tarekat Suhrawardiyah

Safar berarti perjalanan yang dilakukan kaum sufi dari satu daerah ke daerah lain. Perjalanan (safar) sangat bermanfaat dalam menundukan hawa nafsu yang membandel dan melembutkan hati yang keras.

Berada di sebuah negeri asing, terpisah dari sahabat dan keluarga, dan latihan bersabar dalam menghadapi musibah dan cobaan, sesungguhnya bisa melumpuhkan dan menghentikan keinginan hawa nafsu, serta melembutkan hati yang keras. Dalam menundukkan hawa nafsu, pengaruh safar tak kalah pentingnya dibandingkan dengan pengaruh shalat sunnah, puasa, dan doa.

Dalam aturan Tarekat Suhrawardiyah, kaum sufi yang melakukan safar mestilah memperhatikan dan mengamalkan dua belas aturan:

  1. Mengukuhkan niat dan menjunjung tujuan luhur, yakni:
    1. Mencari pengetahuan;
    2. Menemui para syaikh dan saudara sesamanya;
    3. Memutuskan diri dari segala sesuatu yang disenanginya dan mereguk pahitnya terpisah dari segenap saudara dan sahabat tencinta;
    4. Mengungkapkan khazanah tersembunyi dari dalam jiwa dan mengeluarkan segala perhiasan dan tuntutannya. Sebab, banyak sifat tercela akan terungkap selama melakukan safar karena berada jauh dari segala sesuatu yang disenanginya;
    5. Menyendiri dan menghindari penerimaan oleh manusia;
    6. Membaca ayat-ayat tentang keEsaan Allah SWT. dari buku alam semesta, membaca tanda-tanda kekuasaan dan rahasia-rahasia Allah SWT., serta berbagai keajaiban makhluk sehingga meningkatkan kekuatan keyakinan tentang bukti-bukti kekuasaan Allah SWT. dan rahasia-rahasia-Nya.
  2. Melakukan safar bersama sahabat.
  3. Sekelompok orang yang melakukan safar bersama-sama harus menunjuk seorang pemimpin (amir) agar semua orang di dalam kelompok itu mematuhinya.
  4. Berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal terhadap saudara-saudaranya yang masih tinggal.
  5. Mengucapkan selamat tinggal pada tempat-tempat persinggahan, ketika akan meninggalkannya.
  6. Ketika seseorang yang melakukan safar akan menunggangi kuda, unta, tandu, atau kapal, ia mestilah berdoa: “Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menaklukkan kuda ini bagi kami, Dengan nama Allah SWT aku bertawakkal kepada Allah SWT. Tiada kekuasaan dan perintah kecuali bersama Allah Yang Maha besar dan Maha kuasa. Engkaulah penunggang segenap punggung dan penolong segala urusan”.
  7. Dari tempat itu ia harus memulai perjalanan pagi-pagi sekali pada hari
  8. Di saat mendekati tempat tujuan, ia harus mengucapkan, “Wahai, Tuhan langit dan segala sesuatu yang bertambah; Tuhan buminya dan segala sesuatu yang berkurang; Penguasa atas setan dan mereka yang tersisa; Tuhan anginnya dan segala sesuatu yang berhembus; Tuhan airnya dan segala sesuatu yang mengalir! Ya Allah SWT., aku berdoa untuk kebaikan tempat ini dan para penghuninya. Kepada-Mu aku berlindung dari kejahatan tempat ini dan para penghuninya”.
  9. Mengucapkan salam kepada tempat yang dituju. Ketika tiba di tempat itu ia melakukan shalat dua rakaat.
  10. Menyiapkan semua perlengkapan safarseperti tongkat, wadah, air, dan ikat pinggang.
  11. Ketika sudah tiba di sebuah kota atau tempat yang dituju, ia harus mengucapkan salam kepada seluruh penghuni tempat itu, yang masih hidup maupun sudah wafat, membaca beberapa ayat al-Qur`an, memohon rahmah untuk mereka, dan memanjatkan doa, “Ya, Tuhanku, izinkanlah aku beristirahat dengan baik”.
  12. Sebelum memasuki kota itu, ia sebaiknya mandi, jika memungkinkan, (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 183-191).

Sama‘ (Nada-nada) Musik Ruhaniyah

Sama’ berarti pendengaran, penerimaan bunyi, melakukan percobaan paduan suara. Dalam tasawuf, sama’, berarti menunjukkan nada-nada musik ruhani. Menurut Abu Hafs Umar As-Suhrawardi, sama’ bisa memberikan tiga manfaat:

  1. Untuk menghilangkan rasa kecut (qabd), di mana kaum sufi modern menggubah suatu komposisi spiritual berupa sama’ yang berupa suara-suara merdu, langgam irama yang serasi dan terpadu, serta bait-bait yang membuat mereka bersemangat dan bergairah sewaktu memerlukannya;
  2. Menumbuhkan dan meningkatkan hal (kondisi ruhani) yang menggerakkan dan membangkitkan hasrat kerinduan (kepada Allah SWT.) dan kecintaan kepada-Nya pada diri orang yang mendengarkan (sami’), sehingga tersingkaplah berbagai tirai dan hijab (penghalang) di hadapannya, dan pintu ketinggian pun menjadi terbuka;
  3. Sewaktu berlangsung sama’, telinga jiwa terbuka dan terpesona oleh seruan keazalian dan juga seruan “perjanjian pertama”, sehingga jiwa dapat meninggalkan keberadaan noda kotoran dari dirinya serta terbebas dan polusi hati, hawa nafsu, dan sebagainya. Kemudian dengan cepat, jiwa pergi menuju ke haribaan-Nya, perjalanan (jiwa) yang melelahkan berubah menjadi kegairahan kepada-Nya; dari pencinta Allah berusaha untuk menjadi “kekasih”-Nya  (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 227-228).

Tentang peran musik, ia berkata: “Musik tidaklah membangkitkan orang kepada sesuatu yang tak terdapat dalam hatinya. Oleh karena itu siapa yang hatinya terpaut kepada selain Allah SWT., niscaya oleh musik tergugah kepada keinginan sensual, tapi orang yang terpaut hatinya mencintai Tuhan, niscaya dengan mendengar musik menjadi tergugah untuk melakukan kehendak-Nya. Mendengar musik bagi para wali, akan mengantarkan mereka kepada penyaksian karunia-karunia Tuhan, bahkan bagi mereka, melalui musik Tuhan menyingkapkan diri-Nya” (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 244).

Sesungguhnya yang membedakan hal (kondisi ruhani) batil dan haq akibat sama’ adalah wujudnya hawa nafsu dan iradatul haq.

Syaikh Abû Thalib al-Makki menyebutkan dalil tetang kebolehan sama’ diambil dari para ulama’ salaf (para sahabat dan tabi’in). Perkataan Syaikh Abû Thalib al-Makki tersebut menunjukkan kesempurnaan ilmu beliau tentang ahwal para ulama salaf.

Hukum sama’ menurut Syaikh Abû Thalib al-Makki ada 3 macam:

  1. Haram, apabila hanya digunakan untuk nafsu dan syahwat.
  2. Syubhat, apabila sama’ digunakan untuk mendengarkan sesuatu yang bisa dicerna oleh akal dengan sifat-sifat yang mubah karena adanya unsur
  3. Mubah, apabila mendengarkan dengan hati yang bisa menggugah pada keinginan untuk mencintai Sang Khaliq.

Sumber: Alif.ID

90. Wirid-wirid Suhrawardiyah (1)

Berbagai wirid yang harus diulang-ulang oleh hampir semua kaum darwis adalah:

  1. La ilaha illa Allah (Tidak ada Tuhan selain Allah SWT.)
  2. Ya, Allah (Wahai, Allah);
  3. Ya, Hu (Wahai, Dia);
  4. Ya, Haqq (Wahai, Yang Mahabenar);
  5. Ya, Hayy (Wahai, Yang Mahahidup);
  6. Ya, Qayyum (Wahai, Yang Maha berdiri Sendiri);
  7. Ya, Qahhar (Wahai, Yang Maha Memaksa).

Aurad Tarekat Suhrawardiyah:

  1. Membaca syahadat (tajdid syahadat);
  2. Shalat sunnah qobliyah subuh;
  3. Shalat subuh;
  4. Membaca wirid ba’da shalat subuh:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِىْ وَ يُمِيْتُ، وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ، لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ .. صَدَقَ وَعْدَهُ وَ نَصَرَ عَبْدَهُ وَ أَعَزَّ جُنْدَهُ وَ هَزَمَ الْأَحْزَابَ وَ حْدَهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ أَهْلُ النِّعْمَةِ وَ الْفَضْلِ وَ الثَّنَاءِ الْحَسَنِ.

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَ لَانَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَ لَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.

هُوَ اللهُ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ…. (sampai akhir Asmaul Husna)

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَ نَبِيِّكَ وَ رَسُوْلِكَ الْأُمِىِّ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ صَلاَةً تَكُوْنُ لَناَ رِضَاءً، وَ لِحَقِّهِ أَدَاءً، وَ أَعْطِهِ الْوَسِيْلَةَ وَ الْمَقَامَ الْمَحْمُوْدَ الَّذِيْ وَعَدْتَهُ، وَ اجْزِهِ عَنَّا مَا هُوَ أَهْلُهُ، وَ اجْزِهِ أَفْضَلَ مَا جَازَيْتَ نَبِيًّا عَنْ أُمَّتِهِ، وَ صَلِّ عَلَى جَمِيْعِ إِخْوَانِهِ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَ الصَّدِيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ.

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ فِي الْأَوَّلِيْنَ، وَ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ فِي الْآخِرِيْنَ، وَ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

اللهم صَلِّ عَلَى رُوْحِ مُحَمَّدٍ فِي الْأَرْوَاحِ .. وَ صَلِّ عَلَى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الَأَجْسَادِ .. وَ اجْعَلْ شَرَائِفَ صَلَوَاتِكَ وَ نَوَامِىْ بَرَكَاتِكَ، وَ رَأْفَتِكَ، وَ رَحْمَتِكَ، وَ تَحَنُّنِكَ، وَ رِضْوَانِكَ عَلَى مُحَمَّدِ عَبْدِكَ وَ نَبِيِّكَ وَ رَسُوْلِكَ.

اللهم اَنْتَ السَّلَامُ .. وَ مِنْكَ السَّلَامُ، وَ إِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلَامُ، فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ، وَ أَدْخِلْنَا دَارَ السَّلَامِ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ.

اللهم إِنِّي أَصْبَحْتُ لَا أَسْتَطِيْعُ دَفْعَ مَا أَكْرَهُ، وَ لَا أَمْلِكُ نَفْعَ مَا أَرْجُوْ، وَ أَصْبَحَ الْأَمْرُ بِيَدِ غَيْرِىْ، وَ أَصْبَحْتُ مُرْتَهِنًا بِعَمَلِى، فَلَا فَقِيْرَ أَفْرَقُ مِنِّى، اللهم لَاتُشْمِتْ بِهِ عَدُوِّى، وَ لَا تُسِىْءِ بِى صَدِيْقِى .. وَ لَا تَجْعَلْ مُصِيْبَتِى فِيْ دِيْنِىْ، وَ لَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّى، وَ لَا تُسَلِّطْ عَلَىَّ مَنْ لَا يَرْحَمُنِى.

اللهم هَذَا خَلْقُ جَدِيْدٍ فَافْتَحْهُ عَلَىَّ بِطَاعَتِكَ، وَ اخْتِمْهُ لِيْ بِمَغْفِرَتِكَ وَ رِضْوَانِكَ، وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ حَسَنَةً تَقَبَّلَهَا مِنِّى وَ زَكِّهَا وَ ضَعِّفْهَا، وَ مَا عَمِلْتُ فِيْهِ مِنْ سَيِّئَةٍ فَاغْفِرْ لِى إِنَّكَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ وَدُوْدٌ.

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَ بِالْإِسْلَامِ دِيْنًا، وَ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ نَبِيًّا.

اللهم أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذَا الْيَوْمِ، وَ خَيْرَ مَا فِيْهِ، وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَ شَرِّ مَا فِيْهِ. وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ طَوَارِقِ الْلَيْلِ وَ النَّهَارِ، وَ مِنْ بَغْتَاتِ الْأُمُوْرِ وَ فَجْأَةِ الْأَقْدَارِ، وَ مِنْ شَرِّ كُلِّ طَارِقٍ يَطْرُقُ، إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ مِنْكَ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنَ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ وَ رَحِيْمَهُمَا، وَ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ أُجْهَلَ عَلَىَّ، عَزَّ جَارُكَ، وَ جَلَّ ثَنَاؤُكَ، وَ تَقَدَّمَتْ أَسْمَاؤُكَ وَ عَظُمَتْ نَعْمَاؤُكَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا يَلِجُ فِى الْأَرْضِ .. وَ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا .. وَ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَ مَا يَعْرُجُ فِيْهَا، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ حِدَّةِ الْحِرْصِ، وَ شِدَّةِ الطَّمَعِ، وَ سُوْرَةِ الْغَضَبِ، وَ سُنَّةِ الْغَفْلَةِ، وَ تَعَاطَى الْكُلْفَةِ.

اللهم إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنْ مُبَاهَاتِ الْمُكَثِّرِيْنَ، وَلِإِزْرَاءٍ عَلَى الْمُقِلِّيْنَ، وَأَنْ أَنْصُرَ ظَالِمًا أَوْ أَخْذَلَ مَظْلُوْمًا، وَأَنْ أَقُوْلَ فِى الْعِلْمِ بِغَيْرِ الْعِلْمِ، أَوْ أَعْمَلَ فِى الدِّيْنِ بِغَيْرِ يَقِيْنٍ، أَعُوْذُبِكَ أَنْ أَشْرَكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، اَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ، أَعُوْذُ بِعَفْوِكَ مِنْ عِقَابِكَ، وَأَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لَاأُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ…. أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ…

اللهم اَنْتَ رَبِّى، لَاإِلَهَ إِلَّا أَنْتَ… خَلَقْتَنِى وَأَنَا عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ… أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتَ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِى، فَاغْفِرْ لِى…. إِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ…

اللهم اجْعَلْ أَوَّلَ يَوْمِنَا هَذَا صَالِحًا، وَآخِرَهُ نَجَاحًا، وَأَوْسَطَهُ فَلَاحًا، اللهم اجْعَلْ أَوَّلَهُ رَحْمَةً، وَأَوْسَطَهُ نِعْمَةً، وَآخِرَهُ تَكْرِمَةً.

أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلهِ، وَالْعَظْمَةُ وَالْكِبْرِيَاءُ لِلهِ، وَالْجَبَرُوْتُ وَالسُّلْطَانُ لِلهِ، وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، وَمَا سَكَنَ فِيْهِمَا لِلهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ.

أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ… وَكَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كاَنَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.

اللهم إنَّا نَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ، لَاإِلَهَ أَنْتَ، الْحَنَّانُ الْمَنَّانٌ، بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، ذُوْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ… أَنْتَ الْأَحْدُ الصَّمَدُ… الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، يَا حَيُّ يَاقَيُّوْمُ، يَا حَيُّ حِيْنَ لَا حَيَّ فِيْ دَيْمُوْمَةِ مُلْكِهِ وَبَقَائِهِ، يَا حَيَّ مُحْيِ الْمَوْتَى… يَا حَيَّ مُمِيْتِ الْأَحْيَاءِ، وَوَارِثَ الْأرْضِ وَالسَّمَاءِ.

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ … وَبِاسْمِكَ اللهُ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لَاتَأْخُذُهُ سِنَّةٌ وَلَا نَوْمٌ.

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ الْأَعْظَمِ الْأَجَلِّ … الْأَعَزِّ … الْأَكْرَمِ … الَّذِيْ دُعِيْتَ بِهِ أَجَبْتَ… وَإِذَا سُئِلْتَ بِهِ أَعْطَيْتَ، يَا نُوْرَ النُّوْرِ … يَا مُدَبِّرَ الْأُمُوْرِ … يَا عَالِمَ مَا فِى الصُّدُوْرِ، يَا سَمِيْعُ يَا قَرِيْبُ يَا مُجِيْبَ الدُّعَاءِ، يَا لَطِيْفًا لِمَا يَشَاءُ، يَا رَءُوْفُ … يَا رَحِيْمُ، يَا كَبِيْرُ … يَا عَظِيْمُ يَا اللهُ…. يَا رَحْمَنُ يَا ذَاالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.

الم: اللهُ لَاإِلَهَ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ، وَعَنَتِ الْوُجُوْهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّوْمِ، يَا إِلَهِى … وَإِلَهُ كُلُّ شَيْئٍ إِلَهاً وَاحِدًا لَاإِلَهَ إِلَّا أَنْتَ اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ يَا اللهُ … يَا اللهُ … يَا اللهُ … اللهُ الَّذِيْ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ … فَتَعَالَى اللهُ الْمُلْكُ الْحَقُّ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَرْشُ الْكَرِيْمُ.

أَنْتَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ، وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ، وَسِعْتَ كُلَّ شَيْئٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا.

كَهيعص ….. حم حمعسق، الرَّحْمَانُ، يَا وَاحِدُ، يَا قَهَّارُ، يَا عَزِيْزُ يَاجَبَّارُ، يَا أَحَدُ يَا صَمَدُ، يَا وَدُوْدُ، يَا غَفَّارُ، وَهُوَ اللهُ الَّذِيْ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ، لَاإِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِاسْمِكَ الْمَكْنُوْنِ الْمَخْزُوْنِ، الْمُنْزِلِ السَّلَامِ، الْمُطَهِّرِ، الطَّاهِرِ، القُدُّوْسِ، الْمُقَدِّسِ.

يَا دَهْرُ، يَا دَيْهُوْرُ، يَا دَيْهَارُ، يَا أَبَدُ، يَا أَزَلُّ، يَا مَنْ لَمْ يَزِلْ وَلَا يُزَالُ، وَلَا يَزُوْلُ، هُوَ يَا هُوَ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ يَا مَنْ لَا مَنْ هُوَ إِلَّا هُوَ، يَا مَنْ لَا يَعْلَمُ مَا هُوَ إِلَّا هُوَ، يَا كَانَ، يَاكِيْنَانُ، يَا رُوْحُ، يَا كَائِنُ قَبْلَ كُلِّ كَوْنٍ …. يَا كَائِنُ بَعْدَ كُلِّ كَوْنٍ، يَا مَكُوْنًا كُلَّ كَوْنٍ، أَهْيًا، شَرَاهِيًا، أَدُوْنَاى، أَصْبُؤْتُ، يَا مُجِلِّى عَظَائِمِ الْأُمُوْرِ ((فَإِنْ تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللّهُ لَا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ ﴿١٢٩﴾ )) ((لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴿١١﴾)).

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَقَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَدُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ.

اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ.

اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَلِمْتَ وَشَرِّ مَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمَعِى وَبَصَرِى وَلِسَانِى وَقَلْبِى.

اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْقَسْوَةِ، وَالْغَفْلَةِ، وَالذُّلِّ وَالْمَسْكَنَةِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ وَالْفُسُوْقِ وَالشِّقَاقِ وَالنِّفَاقِ وَسُوْءِ الْأَخْلَاقِ، وَضَيْقِ الْأَرْزَاقِ، وَالسُمْعَةِ وَالرِّيَاءِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الصَّمَمِ، وَالْبُكْمِ، وَالْجُنُوْنِ، وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ، وَسَائِرِ الْأَسْقَامِ.

اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَةٍ …. وَمِنْ تَحْوِيْلِ عَافِيَّتِكَ، وَمِنْ فُجْأَةِ نِقْمَتِكَ، وَمِنْ جَمِيْعِ سُخْطِكَ.

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ الصَّلَاةَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَأَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ، عَاجِلِهُ وَآجِلِهُ، مَا عَلِمْتَ مِنْهُ، وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّهِ، عَاجِلِهُ وَآجِلِهُ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ، وَمَا لَمْ أَعْلَمْ. وَأَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ، وَأَسْأَلُكَ مِمَّا سَأَلَكَ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَسْتَعِيْذُكَ مِمَّا اسْتَعَاذَكَ مِنْهُ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

وَأَسْأَلُكَ مَا قَضَيْتَ لِى مِنْ أَمْرٍ أَنْ تَجْعَلَ عَاقِبَتَهُ رُشْدًا بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ لَاتَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهِ يَا نُوْرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا جَمَالَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا عِمَادَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ …. يَا صَرِيْخَ الْمُسْتَصْرِخِيْنَ، يَا غَوْثَ الْمُسْتَغِثِيْنَ، يَا مُنْتَهِى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ، وَالْمُفَرِّجَ عَنِ الْمَكْرُوْبِيْنَ، وَالْمُرَوِّحَ عَنِ الْمَغْمُوْمِيْنَ، وَمُجِيْبَ دَعْوَةِ الْمُضْطَرِيْنَ، وَكَاشِفَ السُّوْءِ، وَأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَإِلَهَ الْعَالَمِيْنَ. مَنْزُوْلٌ بِكَ كُلُّ حَاجَةٍ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللهم اسْتُرْ عَوْرَاتِى، وَآمِنْ رُوْعَاتِى، وَأَقِلْنِى مِنْ عَشَرَاتِى، اللهم احْفِظْنِى مِنْ بَيْنِ يَدَىَّ، وَمِنْ خَلْفِى، وَعَنْ يَمِيْنِى، وَعَنْ شِمَالِى وَمِنْ فَوْقَى، وَأَعُوْذُ بِكَ أَنْ أَغْتَالَ مِنْ تَحْتِى.

اللهم إِنِّى ضَعِيْفٌ فَقُوِّ فِى رِضَاكَ ضَعْفِى، وَخُذْ إِلَى الْخَيْرِ بِنَاصِيَّتِى، وَاجْعَلْ الْإِسْلَامَ مُنْتَهَى رِضَاىَّ.

اللهم إِنِّى ضَعِيْفٌ فَقُوِّنِى، اللهم إِنِّى ذَلِيْلٌ فَأَعَزَّنِى، اللهم إِنِّى فَقِيْرٌ فَأَعَزَّنِى بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللهم إِنَّكَ تَعْلَمُ سِرِّى وَعَلَانِيَّتِى، فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِى، وَتَعْلَمُ حَاجَتِى فَاعْطِنِى سُؤْلِى، وَتَعْلَمُ مَا فِى نَفْسِى فَاغْفِرْ لِى ذَنْبِى…

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِى، وَيَقِيْنًا صَادِقًا حَتَى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَنْ يُصِيْبَنِى إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لِى، وَالرِّضَا بِمَا قَسَمْتَ لِى يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.

اللهم يَا هَادِىَ الْمُضِلِّيْنَ، وَيَا رَاحِمَ الْمُذْنِبِيْنَ، وَمُقِيْلَ عَشْرَةِ الْعَاثِرِيْنَ ارْحَمْ عَبْدَكَ ذَا الْخَطْرِ الْعَظِيْمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ كُلِّهُمْ أَجْمَعِيْنَ، وَاجْعَلْنَا مَعَ الْأَحْيَاءِ الْمَرْزُقِيْنَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ. آمِيْنَ يَا رَبَ الْعَالَمِيْنَ.

اللهم… عَالِمَ الْخُفِّيَاتِ… رَفِيْعَ الدَّرَجَاتِ… تُلْقَى الرُّوْحُ بِأَمْرِكَ عَلَى مَنْ تَشَاءُ مِنْ عِبَادِكَ…

غَافِرَ الذَّنْبِ… وَقَابِلَ التَّوْبِ… شَدِيْدَ الْعِقَابِ… ذَاالطَّوْلِ لَاإِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْوَكِيْلَ وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ.

يَا مَنْ لَا يَشْغُلُهُ شَأْنٌ عَنْ شَأْنٍ، وَلَا يَشْغُلُهُ سَمْعٌ عَنْ سَمْعٍ، وَلَا تَشْتَبِهُ عَلَيْهِ الْأَصْوَاتُ.

وَيَا مَنْ لَاتَغْلُطُهُ الْمَسَائِلُ وَلَا تَخْتَلِفُ عَلَيْهِ الْلُغَاتُ وَيَا مَنْ لَا يَتَبَرَّمُ بَإِلْحَاحِ الْمُلِحِّيْنَ أَذِقْنِى بَرْدَ عَفْوِكَ وَحَلَاوَةَ رَحْمَتِكَ.

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيْمًا، وَلِسَانًا صَادِقًا، وَعِلْمًا مُتَقَبَّلًا… أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ وَاسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ. وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ.

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لَايَرْتَدُ، وَنَعِيْمًا لَايَنْفَدُ، وَقُرَّةَ عَيْنِ الْأَبَدِ، وَمُرَافِقَةَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… وَأَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحَبَّ مَنْ أَحْبَكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ…

اللهم بِعِلْمِكَ الْغَيْبِ، وَقُدْرَتِكَ عَلَى خَلْقِكَ… أَحْيِنِى مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِى، وَتَوَفَّنِى مَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِى…

أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشُّهَادَةِ، وَكَلِّمَةَ الْعَدْلِ فِى الرِّضَا وَالْغَضَبِ، وَلَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقِ إِلَى لِقَاكَ. وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ ضَرَّاءٍ مُضَرَّةٍ، وَفِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ…

اللهم اقْسِمْ لِى مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنِى وَبَيْنَ مَعْصِيَّتِكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا يُدْخِلُنِى جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا.

اللهم ارْزُقْنَا حُزْنَ خَوْفِ الْوَعِيْدِ، وَسُرُوْرَ رَجَاءِ الْمَوْعُوْدِ، حَتَّى نَجِدَ لَذَّةَ مَا نَطْلُبُ، وَخَوْفَ مَا مِنْهَ نَهْرُبُ.

اللهم ألْبِسْ وُجُوْهَنَا مِنْكَ الْحَيَاءَ، وَامْلَأْ قُلُوْبَنَا بِكَ فَرْحًا، وَأَسْكُنْ فِى نُفُوْسِنَا مِنْ عُظْمَتِكَ مَهَابَةً، وَذَلِّلْ جَوَارِحَنَا لِخِدْمَتِكَ، وَاجْعَلْ أُحِبُّ إِلَيْنَا مِمَّا سِوَاكَ، وَاجْعَلْنَا أخْشِى لَكَ مِمَّنْ سِوَاكَ، نَسْأَلُكَ تَمَامَ النِّعْمَةِ بِتَمَامِ التَّوْبَةِ، وَدَوَامَ الْعَافِيَّةِ بِدَوَامِ الْعِصْمَةِ، وَأَدَاءَ الشُّكْرِ بِحَسَنِ الْعِبَادَةِ.

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ بَرَكَةَ الْحَيَاةِ، وَخَيْرَ الْحَيَاةِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ الْحَيَاةِ، شَرِّ الْوَفَاةِ وَأَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا بَيْنَهُمَا.

أَحْيِنِى حَيَاةَ السُّعَدَاءِ: حَيَاةَ مَنْ تُحِبُّ بَقَاءَهُ…

وَتَوْفَّنِى وَفَاةَ الشُّهَدَاءِ: وَفَاةَ مَنْ تُحِبُّ لِقَاءَهُ…

يَا خَيْرَ الرَّازِقِيْنَ وَأَحْسَنَ التَّوَّابِيْنَ، وَأَحْكَمَ الْحَاكِمِيْنَ، وَأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَرَبَّ الْعَالِمِيْنَ.

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَأَرْحَمْ مَا خَلَقْتَ، وَأغْفِرْ مَا قَدَرْتَ، وَطَيِّبْ مَا رَزَقْتَ، وَتَمِّمْ مَا أَنْعَمْتَ، وَتَقَبَّلْ مَا اسْتَعْمَلْتَ، وَاحْفِظْ مَا اسْتَحْفَظْتَ، وَلَا تَهْتِكَ مَا سَتَرْتَ، فَإِنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ.

أَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ لَذَّةٍ بِغَيْرِ ذِكْرِكَ، وَمِنْ كُلِّ رَاحَةٍ بِغَيْرِ خِدْمَتِكَ، وَمِنْ سُرُوْرٍ بِغَيْرِ قُرْبِكَ، وَمِنْ كُلِّ فَرْحٍ بِغَيْرِ مَجَالِسَتِكَ، وَمِنْ كُلِّ شُغْلٍ بِغَيْرِ مُعَامَلَتِكَ.

اللهم إِنِّى أَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ تُبْتُ إِلَيْكَ مِنْهُ ثُمَّ عِدْتُ فِيْهِ…

اللهم إِنِّى أَسْتَغُفِرُكَ مِنْ كُلِّ عَقْدٍ عَقَدْتَهُ ثُمَّ لَمْ أَوْفَ بِهِ…

اللهم إِنِّى أَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ نِعْمَةٍ أَنْعَمْتَ بِهَا عَلَيَّ فَقُوِّيَتْ بِهَا عَلَى مَعْصِيَّتِكَ…

اللهم إِنِّى أَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ عَمَلٍ عَمِلْتَهُ لَكَ فَخَالِطُهُ مَا لَيْسَ لَكَ…

اللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ أَنْ تُصَلِّىَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَأَسْأَلُكَ جَوَامِعَ الْخَيْرِ، وَفَوَاتِحَهُ، وَخَوَاتِمَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَوَامِعِ الشَّرِّ وَفَوَاتِحِهِ وَخَوَاتِمِهِ.

اللهم احْفِظْنَا فِيْمَا أَمَرْتَنَا، وَاحْفِظْنَا عَمَّا نَهَيْتَنَا، وَاحْفِظْ لَنَا مَا أَعْطَيْتَنَا، يَا حَافِظَ الْحَافِظِيْنَ، وَيَا ذَاكِرَ الذَّاكِرِيْنَ، وَيَا شَاكِرَ الشَّاكِرِيْنَ، بِذِكْرِكَ ذَكَرُوْا، وَبِفَضْلِكَ شَكَرُوْا… يَا غِيَاثُ… يَا مُغِيْثُ… يَا مُسْتَغَاثُ… يَا غِيَاثَ الْمُسْتَغِيْثِيْنَ لَا تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ فَأَهْلَكَ، وَلَا إِلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَأَضِيْعَ، اَكْلَأَنِى كَلَاءَةَ الْوَلِيْدِ، وَلَا تَحَلُّ عَنِّى، وَتَوَلَّنِى بِمَا تَتَوَلَّى بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ… أَنَا عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ، نَاصِيَتِى بِيَدِكَ، جَارٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدَلَ فِيَّ قَضَاؤُكَ، نَافِذٌ فِىَّ مَشِيْئَتُكَ، إِنْ تُعَذِّبَ… فَأَهْلُ ذَلِكَ أَنَا، وَإِنْ تَرْحَمَ فَأَهْلُ ذَلِكَ أَنْتَ، فَافْعَلْ اللهم يَا مَوْلَاىَ يَا اللهُ يَا رَبِّ مَا أَنْتَ لَهُ أَهْلٌ. وَلَا تَفْعَلْ-اللهم يَا رَبِّ يَا اللهُ- مَا أَنَا لَهُ أَهْلٌ، إِنَّكَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ.

يَا مَنْ لَا يَضُرُّهُ الذُّنُوْبُ، وَلَا تَنْقُصْهُ الْمَغْفِرَةُ، هَبْ لِى مَا لَا يَضُرُّكَ، وَأعْطِنِى مَا لَا يَنْقُصُكَ.

يَا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ،  تَوَفَّنِى مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِى بِالصَّالِحِيْنَ، أَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ…

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِى أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ…

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، وَهَيِّءْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا…

رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَارْزُقْنَا الْعَوْنَ عَلَى الطَّاعَةِ، وَالْعِصْمَةَ مِنَ الْمَعْصِيَّةِ، وَإِفْرَاغَ الصَّبْرِ فِى الْخِدْمَةِ، وَإِيْذَاعَ الشُّكْرِ فِى النِّعْمَةِ، وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ الْخَاتِمَةِ، وَأَسْأَلُكَ الْيَقِيْنَ وَحُسْنَ الْمَعْرِفَةِ بِكَ، وَأَسْأَلُكَ الْمَحَبَّةَ وَحُسْنَ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا وَحُسْنَ الثِّقَةِ بِكَ، وَأَسْأَلُكَ حُسْنَ الْمُنْقَلِبِ إِلَيْكَ.

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَأصْلِحْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، اللهم ارْحَمْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، اللهم فَرِّجْ عَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَرْجًا عَاجِلًا.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ.

اللهم اغْفِرْ لِى، وَلِوَالِدَىَّ، وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيْرًا، وَاغْفِرْ لِأَعْمَامِنَا وَعَمَّاتِنَا، وَأَخْوَالِنَا، وَخَالَاتِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَاتِنَا وَلِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ يَا خَيْرَ الْغَافِرِيْنَ.

  1. Membaca wirid ketika matahari akan terbit

Sumber: Alif.ID

91. Wirid-wirid Suhrawardiyah (2)

5. Membaca wirid ketika matahari akan terbit

Ketika matahari akan terbit, salik mulai membaca:

  1. Surat al-Fatihah 7 kali
  2. Surat al-Mu’awwidzatain 7 kali
  3. Surat al-Iklash 7 kali
  4. Surat al-Kafirun 7 kali
  5. Ayat kursi 7 kali
  6. سُبْحَانَ اللهُ وَ الْحَمْدُ لِلهِ وَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اللهُ اَكْبَرُ 7 kali
  7. Membaca shalawat kepada nabi Muhammad . dan keluarganya 7 kali
  8. Memohon ampun untuk diri Sâlik sendiri, orang tua Sâlik, dan orang-orang mukminin
  9. Dan membaca doa di bawah ini sebanyak 7 kali

اللهم افْعَلْ بِيْ وَ بِهِمْ، عَاجِلاً وَ آجِلاً فِي الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا وَ الآخِرَةِ، مَا أَنْتَ لَهُ أَهْلٌ، وَلَا تَفْعَلْ بِنَا يَا مَوْلَانَا مَا نَحْنُ لَهُ أَهْلٌ، إِنَّكَ غَفُوْرٌ، حَلِيْمٌ، جَوَّادٌ، كَرِيْمٌ، رَءُوْفٌ، رَحِيْمٌ

6. Kemudian menghadap kiblat membaca Tasbih, Istighfar, dan membaca Alquran sampai matahari terbit kira-kira satu tombak.

7. Shalat Israq dua rakaat:

Rakaat pertama membaca:

اَللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ ﴿٢٥٥﴾ [البقرة: 255]

Rakaat kedua membaca:

آمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ ﴿٢٨٥﴾ [البقرة: 285]]

8. Kemudian membaca Isti’adzah dan membaca:

أَعُوْذُ بِاسْمِكَ وَ كَلِمَتِكَ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّ السَّامَّةِ وَ الْهَامَّةِ، وَ أَعُوْذُ بِاسْمِكَ وَ كَلِمَتِكَ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّ عَذَابِكَ وَ شَرِّ عِبَادِكَ، وَ أَعُوْذُ بِاسْمِكَ وَ كَلِمَتِكَ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّ مَا يَجْرِىْ بِهِ الْلَيْلَ وَ النَّهَارَ، إِنَّ رَبِّيَ اللهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، عَلَىْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ.

9. Shalat dua Rakaat dilanjutkan membaca:

اللهم إِنِّي أَصْبَحْتُ لَا أَسْتَطِيْعُ دَفْعَ مَا أَكْرَهُ، وَ لَا أَمْلِكُ نَفْعَ مَا أَرْجُوْ، وَ أَصْبَحْتُ مُرْتَهِناً بِعَمَلِى، وَ أَصْبَحَ أَمْرِى بِيَدِى غَىْرِى فَلَا فَقِيْرَ أَفْقَرَ مِنِّى ..

اللهم لَا تُشَمِّتْ بِى عَدُوِّى، وَ لَا تُسِئْ بِى صَدِيْقِى، وَ لَا تَجْعَلْ مُصِيْبَتِى فِي دِيْنِى، وَ لَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّى وَ لَا مَبْلَغَ عِلْمِى، وَ لَا تُسَلِّطْ عَلَىَّ مَنْ لَا يَرْحَمُنِى.

اللهم إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الذُّنُوْبِ الَّتِى تُزِيْلُ النِّعَمُ، وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الذُّنُوْبِ الَّتِى تُوْجَبُ النِّقَّمُ.

10. Shalat Istikharah, Rakaat pertama membaca Surat al-Kafirun dan Rakaat kedua membaca Surat al-Ikhlas.

11. Membaca doa Istikharah.

12. Shalat dua Rakaat, Rakaat pertama membaca Surat al-Waqi’ah dan Rakaat kedua membaca Surat al-A’la.

13. Kemudian membaca:

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ الْأَشْيَاءَ إِلَىَّ، وَ خَشْيَتَكَ أَخْوَفَ الْأَشْيَاءَ عِنْدِى، وَ اقْطَعْ عَنِّى حَاجَاتِ الدُّنْيَا بِالشَّوْقِ إِلَى لِقَائِكَ، وَ إِذَا أَقْرَرْتَ أَعْيُنَ أَهْلِ الدُّنْيَا بِدُنْيَاهُمْ فَأَقَرَّرَ عَيْنِى بِعِبَادَتِكَ، وَ اجْعَلْ طَاعَتَكَ فِي كُلِّ شَيْءٍ مِنِّى يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

14. Jika salik sibuk dengan mencari penghidupan keluarga, maka salik bekerja.

15. Jika salik tidak sibuk, maka salik meneruskan dengan membaca Alquran dan zikir sampai waktu dhuha.

16. Shalat dhuha.

17. Tidur qailulah.

18. Shalat sunnah zuhur

19. Shalat zuhur

20. Menghidupkan waktu antara zuhur dan ‘ashar dengan zikir, shalat, dan muraqabah.

21. Shalat sunnah asar empat rakaat.

22. Shalat asar.

Wirid ba’da salat asar:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَ لَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 100×

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمُلْكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ 100×

سُبْحَانَ اللهُ، وَ الْحَمْدُ لِلهِ، وَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَ اللهُ أَكْبَرُ وَ لَا حَوْلَا وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 100×

سُبْحَانَ اللهُ وَ بِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللهُ الْعَظِيْمُ، وَ بِحَمْدِهِ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ 100×

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمُلْكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ 100×

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ 100×

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّوْمُ، وَ أَسْأَلُهُ التَّوْبَةَ 100×

مَا شَآءَ اللهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ 100×

23. Wirid tasbih di antara sehari semalam:

سُبْحَانَ اللهُ شَدِيْدُ الْأَرْكَانِ 100×

سُبْحَانَ مَنْ يَذْهَبُ بِالْلَيْلِ وَ يَأْتِيْ بِالنَّهَارِ 100×

سُبْحَانَ مَنْ لَا يُشْغِلُهُ شَأْنٍ عَنْ شَأْنٍ 100×

سُبْحَانَ اللهُ الْحَنَّانُ … سُبْحَانَ اللهُ الْمُسَبِّحُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ 100×

Sumber: Alif.ID

92. Tarekat Khalwatiyah

Khalwatiyah diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syaikh Muhammad bin Nur al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari al-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syaikh Syihabuddin Abi Hafs Umar al-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).

Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri al-Shiddiqi), seorang sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syaikh Abdul Latif bin Syaikh Husamuddin al-Halabi.

Karena pesatnya perkembangan Tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat al-Ahzan (Pelipur Duka).

Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas. Menurut salah satu bukunya, al-Bakri menceritakan, bahwa dirinya pernah mengalami hidup sebatang kara. Pada waktu kecil, tepatnya ketika berumur dua tahun, ayah dan ibunya sempat bercerai.

Ia kemudian tinggal bersama ayahnya setelah ibunya kawin lagi dengan lelaki lain. al-Bakri juga menyatakan, secara geneologis, ayahnya masih memiliki nasab sampai kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq RA. Sedangkan dari sisi ibunya, nasabnya sampai cucu Rasulullah SAW. al-Husein, putRA Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Hidup al-Bakri suka sekali berkeliling, terutama ke negeri-negeri yang ada di kawasan Timur Tengah. Hal itu dilakukannya tak lain guna menambah wawasan dan pengetahuan, dan belajar pada guru-guru yang dianggapnya memiliki ilmu tinggi. Dari Damaskus, kampung halamannya, ia pergi ke kota Quds di Palestina, kemudian ke Tripoli (Libanon Utara), ke kota Akka dan kemudian singgah di kota Sidon atau Shaida.

Setelah menikah dengan sepupunya tahun 1141 H., ia melanjutnya perjalanannya ke Makkah al-MukarRamah sambil menunaikan ibadah haji. Di sana, ia banyak melakukan kontemplasi untuk memperdalam pengalaman batinnya.

Setelah tinggal beberapa lama di Makkah, ia melanjutkan perjalannya ke Mesir. Kemudian kembali ke Quds dan Irak (Baghdad dan Basrah). Tak lama, ia kembali pergi ke Makkah untuk berhaji yang terakhir kalinya. Tahun 1161 H., ia pergi ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya (1162 H).

Di Mesir inilah, ia banyak berdakwah melalui Tarekat Khalwatiyah yang diambil dari gurunya, Syaikh Abdul Latif bin Husamuddin al-Halabi. Tarekat Khalwatiyah nampaknya telah banyak memberi pengaruh pada pemikIran maupun amaliyah al-Bakri sehari-hari. Sehingga dari sekitar 200 karya al-Bakri, sebagian di antaranya banyak berupa amaliyah praktis.

Tarekat khalwatiyah dinisbahkan kepada Syaikh Muhammad bin Nur al-Khalwati yang dikembangkan oleh keponakannya yang bernama Syaikh Sirajuddin Umar al-Khalwatiy (w. 730 H). Keduanya diberi julukan Khalwatiy karena keduanya selalu berkhalwat dan keduanya juga diberi  pelajaran tentang tujuh Asmâul Husnâ dalam tujuh tahapan khalwat dari syaikh Ibrahim al-Kailani dari Syaikh Jamal ad-Din al-Thibrizi Iran (w. 640 H.) dari  Syaikh Syihabuddin Muhammad al-ZiRAzi (w. 629 H.) dari Ruknuddin Muhammad bin Fadhal al-Zanzani (w. 615 H.) dari Qudbuddin Muhammad bin Ahmad al-Abhari (w. 590 H.) dari Abi Najib Diya’uddin al-Syuhrawardi (w. 563 H.)

Pelajaran tujuh tahapan khalwat tersebut berfungsi untuk menjadi tali pengendali nafsu yang juga berjumlah tujuh yaitu :

  1. لا اله الا الله : untuk nafsu ammarah,
  2. الله : untuk nafsu awwamah
  3. هو : untuk nafsu muthmainnah
  4. حي : untuk nafsu râdhiah
  5. قيوم : untuk nafsu mardhiyah
  6. حق : untuk nafsu mulhimah
  7. قهار : untuk nafsu kamilah, (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 17)

Sejarah Perkembangan

Tarekat Khalwatiyah pada awalnya mengakar kuat di Iran pada abad ke 9 H. Pemimpin yang paling terkenal pada saat itu adalah Syaikh Saifuddîn al-Khalwatiy (w.884 H./1381 M.) dan Syaikh Zhahiruddîn al-Khalwatiy (w.900 H./1397 M).

Penyebaran keluar wilayah Iran berada di bawah pimpinan syaikh Shadruddin al-Khayawi (w. 832 H.), beliau mengambil tarekat dari Syaikh Izzuddîn al-Syarwani (w.815 H./1312 M.) dari Syaikh Muhammad Birom al-Khalwatiy (780 H./1277 M.) dari Umar al-Khalwati (w. 730 H), kemudian pekembangannya bertambah luas di bawah pimpinan murid Syaikh Shadruddîn yaitu Syaikh Yahya Jalâluddîn bin Sayyid Bahâ’uddîn al-Syarwani al-Bakwi (w. 879 H).

Beliau terkenal dengan Mujaddid Tarekat Khalwatiyah secara amaliyah, seiring dengan berkembangnya tarekat yang dipimpin Syaikh Yahya Jalâluddîn bin Sayyid Bahâ’uddîn al-Syarwani al-Bakwi muncullah cabang dari tarekat Khalwatiyah sampai tarekat ini memiliki 23 cabang yaitu;

  1. Jamâliyah, yang didirikan oleh Jamâluddîn al-Aqshari(w. 893 H./1485 M.)
  2. Sunbuliyah, yang didirikan oleh Yusuf Sunbul Sanan(w. 936 H./1529 M.)
  3. Ahmadiyah, yang didirikan oleh Ahmad Syamsuddîn al-Bakhtiyasyi(w. 939 H./1433 M.)
  4. Sya’baniyah, yang didirikan oleh Sya’ban Wali(w. 975 H./1568 M.)
  5. Sananiyah, yang didirikan oleh Ibrahim Umi Sanan(w. 976 H./1569 M.)
  6. Isyaqiyah, yang didirikan oleh Husnî Hisamuddîn Isyaqi(w. 1001 H./1593 M.)
  7. Syamsiyah, yang didirikan oleh Syamsuddîn Siwasi(w. 1010 H./1602 M.)
  8. Jalwatiyah, yang didirikan oleh ‘Aziz Mahmûd Khadiri Hada’i(w. 1037 H./1628 M.)
  9. Qurabasyiyah, yang didirikan oleh ‘Alî Ala’uddîn Qarbasy Wali(w. 1096 H./1685 M.)
  10. Mishriyah, yang didirikan oleh Syaikh Nawazi Mishri(w. 1104 H./1693 M.)
  11. Damardasyiyah, yang didirikan oleh Muhammad Damardasy(w. 930 H./1526 M.)
  12. Kalsyaniyah, yang didirikan oleh Ibrahim Kalsyan(w. 940 H./1534 M.)
  13. Ashaliyah, yang didirikan oleh Ahmad bin ‘Ali al-Harîri al-Ashâli (w. 1050 H./1639 M.)
  14. Bahsyiyah, yang didirikan oleh Muhammad al-Bahsyi al-Halbi(w. 1098 H./1687 M.)
  15. Nâshihiyah, yang didirikan oleh Muhammad al-Nâshihi(w. 1124 H./1718 M.)
  16. Jarâhiyah, yang didirikan oleh Nuruddîn Muhammad al-Jarahi(w. 1127 H./1721 M.)
  17. Jamâliyah, yang didirikan oleh Muhammad Jamâluddîn ‘Isyâqi(w. 1157 H./1751 M.)
  18. Raûfiyah, yang didirikan oleh Ahmad RAûf(w. 1163 H./1757 M.)
  19. Shalâhiyah, yang didirikan oleh ‘Abdullâh Shalâhuddîn ‘Isyâqi(w. 1198 H./1784 M.)
  20. Ibrâhîmiyah, yang didirikan oleh Ibrâhîm al-Khalwati(w. 1265 H./1849 M.)
  21. Saiza’iyah, yang didirikan oleh Hasan Saiza’i(w. 1144 H./1738 M.) Cabang dari Kalsyaniyah
  22. Zahruwiyah, yang didirikan oleh Ahmad Zahr(w. 1150 H./1744 M.) Cabang dari Sananiyah
  23. Hayâtiyah, yang didirikan oleh Muhammad al-Hayati(w. 1172 H./1766 M.), (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 18-22).

Sumber: Alif.ID

93. Sejarah Tarekat Khalwatiyah Masuk ke Indonesia

Jalur penyebaran Tarekat Khalwatiyah berawal dari Iran, Mesir, Sudan, kemudian masuk ke Timur Tengah (termasuk Makkah dan Madinah). Makkah dan Madinah merupakan tujuan orang muslim menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama, termasuk dari Indonesia, sehingga dua kota tersebut menjadi jembatan masuknya Tarekat Khalwatiyah ke Indonesia.

Tarekat Khalwatiyah masuk ke Indonesia dibawa oleh dua orang, yaitu:

1. Syaikh Yusuf al-Makassari

Beliau mengambil Tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi ketika berada di Damaskus. Syaikh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syaikh Abdullah Muhammad bin Abd al-Baqi.

Di Sulawesi selatan beliau digelari Tuanta salanmaka ni gawa (guru kami yang agung dari gowa), nama lengkapnya Muhammad Yusuf bin Abdullah abu Mahasin al-Tajal-Khalwati al-Makassari.

Menurut sejarah Gowa, al-Makassari dilahirkan di Tollo wilayah kerajaan Gowa dan meninggal di Tanjung harapan Afrika selatan pada tanggal 22 Dzul Qa’dah 1110 H. /22 Mei 1699 M. Ibunya bernama Aminah putri Gallarang Mendongke.

Riwayat pendidikan Syaikh Yusuf dimulai dari daerahnya sendiri karena wilayahnya sering didatangi oleh para da’i yang kebanyakan berasal dari Aceh, Minangkabau Kalimantan Selatan, Jawa, Semenanjung Melayu dan Timur Tengah.

Karena kota Makassar sejak abad ke 15 memang sering didatangi pedagang Melayu dan pedagang asing. Syaikh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syaikh Abdullah Muhammad bin Abd al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syaikh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi.

2. Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani Palembang.

Beliau menyebarkan tarekat ini di Sumatra kemudian berkembang ke Kalimantan dan masuk ke Jawa. (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 47).

Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani adalah ulama besar dari Palembang yang lahir pada tahun 1704 M, beliau sempat menjadi pengajar keagamaan di Masjid al-Haram pada abad 18. Popularitasnya sebagai ulama besar tidak lepas dari keluarganya yang berasal dari kalangan yang taat beragama.

Ayahnya yang bernama Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani, seorang mufti di Kedah. Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani pada mulanya banyak belajar agama, terutama ilmu tasawuf dari tokoh-tokoh dan ulama yang berasal dari tanah air seperti Abdur Rauf Singkel dan Syamsuddin as-Sumatrani.

Semangatnya dalam menuntut ilmu telah menarik minatnya untuk berguru pada ulama-ulama di luar negeri. Beliau juga banyak belajar dari ulama yang terkenal seperti Syaikh Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi dan Ahmad bin Abdul Mun`im ad-Damanhuri dari mesir. Dalam beberapa tahun belajar dan sudah mumpuni keilmuwannya, beliau mulai mengajarkan ilmunya di Masjid al-Haram.

Selain mengajar, beliau juga banyak menulis buku yang digunakan oleh kaum muslimin dalam kehidupan sosial dan religius. Seperti, Hidayat as-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin (Petunjuk untuk mencapai Tingkat Muttaqin). Dalam hal sosial, al-Falimbani tidak sepakat dan menentang segala bentuk kolonialisme yang dilakukan Barat, terutama perlakuan kepada negara-negara Islam.

Karena itu, al-Falimbani menghimbau kepada kaum muslimin dunia, untuk melakukan jihad fi sabilillah. Himbauan al-Falimbani tidak hanya dilakukan melalui ceramahnya, tapi juga diwujudkan melalui penulisan kitab yang berjudul Nasihah al-Muslimin wa TazkiRAh al-Mu`min fi Fada`il al-Jihad fi sabil Allah wa Karamah al-Mujahidin (Nasihat bagi muslimin dan Peringatan bagi Mukminin Mengenai Keutamaan Jihad di Jalan Allah) ditulis pada tahun 1772  dalam bahasa Arab.

Dengan penulisan buku tersebut kaum muslimin diharapkan memiliki jiwa atau semangat juang dalam menegakkan kebenaran di muka bumi. Al-Falimbani juga mengajarkan Tarekat Khalwatiyah as-Sammaniyah dengan meyakini bahwa seorang guru bisa menjadi wasilah antara Tuhan dengan muridnya. Sebagai jalan mencapai ketauhidan yang tinggi, al-Falimbani memberikan rujukan kepada kaum muslimin melalui kitab Ratib yang berisi tentang zikir, pujian serta doa. Al-Falimbani wafat pada tahun 1788 di Perbatasan Malaysia dan Siam.

Sanad Khalwatiyah

Sumber: Alif.ID

94. Cara Mursyid Mentalqin Masuk Tarekat Khalwatiyah

Tata cara mursyid mentalqin atau mengajarkan/memahamkan/membimbing murid-murid yang akan masuk ke dalam Tarekat Khalwatiyah adalah sebagai berikut:

  1. Mursyid membaca ta’awudz sambil menggenggam ibu jari murid
  2. Mursyid memerintahkan murid memejamkan kedua mata
  3. Mursyid berkata “Dengarkan ucapanku: لا اله الا الله” sementara murid diam sampai mursyid menyelesaikan ucapannnya, lalu murid menirukannya tiga kali sementara mursyid diam dan mendengarkan
  4. Mursyid membaca al-Fatihah satu kali untuk mendo’akan keadaan hati murid
  5. Mursyid membaca al-Fatihah satu kali dihadiahkan untuk Nabi Muhammad SAW..
  6. Mursyid membaca al-Fatihah satu kali dihadiahkan kepada syaikh ahli silsilah Tarekat Khalwatiyah
  7. Mursyid memerintahkan murid untuk bertaubat, memperbanyak zikir secara terus-menerus
  8. Mursyid memerintahkan murid untuk melakukan zikir fida’ (Zikir Fida’ adalah zikir dangan kalimat tahlil dengan hitungan 70 ribu kali dengan tujuan untuk menebus diri sendiri atau orang lain dari siksa api neraka) untuk dirinya sendiri sejumlah 70 ribu kali, kemudian membaca do’a:

اللهم ان هذه السبعين ألفا نويت بها فداء نفسي من النار

Ya Allah zikir fida’ 70 ribu ini, aku niatkan untuk menebusku dari api neraka

  1. Membaca Ayat Kursi tiga kali
  2. Membaca Ayat Q.S. al-Baqarah: 285–286 3 kali :

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾

  1. Membaca ayat 26 – 27 Surat Ali Imran 3 kali :

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٦﴾ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي الْنَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الَمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٢٧﴾

  1. Membaca Surat An-Nâs 3 kali

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ ﴿٦﴾

(Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 66-69)

  1. Membaca wirid tambahan yaitu:
  2. membaca kitab shalawat Dalâil al-Khairât karangan Syaikh Muhammad Jazuli(w. 870 H.)
  3. membaca doa-doa dan zikir seperti yang diterangkan dalam kitab sunnah, seperti kitab al-Adzkâr karangan imam Nawawi, dan membaca hizib lain seperti hizib bahr karangan Syaikh Abu Hasan al-Syadzili, hizib Falah karangan Syaikh Abdul Hafidz al-Hanaqi, atau hizib-hizib karangan Syaikh Musthofa al Bakri

Dasar-dasar dan Ajaran Tarekat Khalwatiyah

Pada dasarnya Tarekat Khalwatiyah adalah dinisbahkan pada suatu golongan yang menyendiri oleh karena itu dasar berzikir yang dipakai dengan menggunakan kalimat thayyibah yang sesuai dengan sifat khalwah, yaitu Duduk bersila kemudian membaca kalimat لا اله dari bahu sisi sebelah kanan sambil menafikan apa saja selain Allah SWT. dan memukulkan kalimat الا الله ke dalam hati yang berada di bawah payudara sebelah kiri, beserta menetapi keadaan tersebut beberapa saat setelah itu berzikir dengan lafadz Jalalah (الله) dilanjutkan dengan membaca zikir asmâ’ 10 secara berurutan yaitu:

هُوَ، حَقٌّ، حَيٌّ، قَهَّارٌ، وَهَّابٌ، فَتَّاحٌ، وَاحِدٌ، اَحَدٌ، صَمَدٌ، قَيُّوْمٌ

Dengan ketentuan :

  1. Seorang murid tidak melewati asmâ’ yang kedua sebelum Allah SWT. membuka hati seorang murid pada asmâ’ yang pertama, begitu juga seterusnya pada 10 asmâ’ tersebut
  2. Hendaklah seorang murid membaca al-Fatihah 100 kali setiap akan melakukan zikir
  3. Membaca:

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَحَبِيْبِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ  × 100

Apabila seorang murid telah berhasil memenuhi derajat intiha’ (pamungkas) dari 10 asmâ’ tersebut maka dia termasuk orang yang maftuh (terbuka hatinya), oleh karena itu dia harus menambah bacaan Surat al-Kautsar 100 kali dan kalimat لا اله الا الله حق المبين

sebanyak 100 kali setelah bacaan al-Fatihah 100 kali dan shalawat:

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَحَبِيْبِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ  × 100

Terkadang para salik duduk melingkar di aula pondok untuk membaca zikir هو, dalam melakukan zikir, para salik mendahulukan sisi kanan lalu memasukkan ke tenggorokan, ke sisi kiri kemudian ke belakang. Hal ini dilakukan baik secara individu maupun berkelompok, sebagaimana yang dilakukan oleh pemimpin tarekat KubRawiyah (pengikut syaikh Najmuddin kubrâ), (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 314)

Sumber: Alif.ID

95. Ajaran dan Adab Murid Pengikut Tarekat Khalwatiyah

Berikut ini wasiat yang disampaikan oleh syaikh Quthbuddîn Musthafâ bin Kamâluddin al-Bakwi al-Khalwati bagi murid pengikut tarekat Khalwatiyah, yang terkumpul dalam kitab al-Wasiyatul Jaliyah lis-Salikin Thariqil Khalwatiyah :

  1. Tidak boleh menyimpang dari syari’at Nabi Muhammad SAW. Karena sesungguhnya orang yang menyimpang dari syar’iat Nabi Muhammad maka dia termasuk orang yang tersesat dari jalan (tarekat) yang diridhoi Allah SWT.
  2. Harus mempunyai bekal (taqwa)
  3. Harus meninggalkan sesuatu hal yang dicintai dengan tujuan hanya mencari keridaan Allah SWT.
  4. Harus mencari teman yang bisa mendukung kemajuan tarekatnya
  5. Harus menjalani tarekat ini dengan sungguh-sungguh, mengendalikan hawa nafsu dan selalu merendahkan diri di hadapan Allah
  6. Harus selalu bersyukur, sabar, dan rida terhadap qadha’
  7. Harus selalu mengembalikan segala urusannya kepada Allah, apabila seorang murid bisa menghiasi hatinya dengan tujuh sifat di atas maka akan muncul cahaya hikmah di dalam hatinya (kebajikan) yang merupakan awal dari sebuah karamah yang diturunkan Allah SWT. kepada murid
  8. Wajib menjalani aurad yang sudah diajarkan
  9. Harus berprilaku dengan akhlak yang mulia dan menjauhi sifat-sifat tercela
  10. Menepati syarat-syarat tarekat yaitu: a) Diam, b) Lapar, c) Terjaga (menyedikitkan tidur), d) Uzlah (menyendiri), e) Suci lahir dan batin, f) Melanggengkan zikir, g) Menafikan/membuang getaan hati yang muncul yang bisa mengganggu kekhusyu’an dan hadirnya hati, h) Selalu menyambung hati dengan guru (Rabitah), (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, hal:298-306).

Adab Berzikir Tarekat Khalwatiyah

Adab berzikir dalam Tarekat Khalwatiyah ada 20, dengan rincian 5 dilakukan sebelum berzikir, 12 pada waktu berzikir, dan 3 setelah berzikir:

  • Adab Sebelum Berzikir:
    a. Bertaubat
    b. Mandi untuk berzikir
    c. Tenang dan diam
    d. Menyandarkan hati pada kehendak guru sambil mengucapkan:دُسْتُوْرُ يَا شَيْخِيْ دُُسْتُوْرُ يَا اَهْلَ السِّلْسِلَةِ دُسْتُوْرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ
    e. Membayangkan gurunya ketika menyandarkan hati pada kehendak guru yang pada hakikatnya bersandar kepada nabi Muhammad . yang menjadi perantara antara dia dengan Allah SWT.
  • Adab Pada Waktu Berzikir
    a. duduk ditempat yang suci
    b. meletakkan kedua telapak tangan diatas dua lutut
    c. memberi wangi-wangian pada tempat zikir
    d. memakai pakaian yang bagus dan halal
    e. diusahakan di tempat yang gelap
    f. memejamkan kedua mata
    g. menggambarkan wajah gurunya diantara kedua matanya
    h. bersungguh-sungguh di dalam berzikir baik dibaca pelan (sirri) maupun keras (jahr)
    i. ikhlâs di dalam berzikir
    j. memilih kalimat zikir لا اله الا الله karena kalimat tersebut memberi pengaruh yang tidak ditemukan pada kalimat yang lain
    k. menghadirkan makna zikir di dalam hati
    l. meniadakan segala sesuatu yang maujud pada waktu zikir
  • Adab Setelah Zikir
    a. tenang dan diam serta khusyu’ dan hadir
    b. mengendalikan nafsunya secara terus menerus
    c. menjauhi minum air setelah berzikir, (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 306-314).
    Aurâd ‘Ammah
    1. Menetapi hukum-hukum syariah lahir batin, melatih nafsu dengan melanggengkan sholat dan puasa sunnah, membaca Alquran, dan membaca zikir nabawiyah, selain itu juga melakukan amal ibadah, dan akhlak yang sesuai dengan kitab syariah
    2. Menetapi zikir di bawah ini setiap hari, pagi dan sore:
    3. Membaca Surat Muhammad ayat 19 yaitu:فَاعْلَمْ اَنَّهُ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ، 1 ×Kemudian membaca   “  لَا اَلَهَ اِلَّا الله “ paling sedikit 300 X setiap pagi dan sore hari, dimulai pada waktu ashar hari jum’at sampai dengan pada waktu ashar hari kamis.
    Kemudian dilanjutkan pada waktu ashar hari kamis sampai dengan waktu ashar hari jum’at dengan membaca Surat al Ahzab ayat 7:
    اِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِي يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَا، 1 ×kemudian membaca salawat sesuai dengan riwayat yang ma’tsuroh (datang dari nabi)“اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَسَلِّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا”dibaca sesuai hitungan zikir لَا اِلَهَ اِلَّا الله
  • Sebelum berdiri dari majlis sholat ashar pada hari jum’at salik terlebih dahulu membaca salawat ummy.

)اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِ الْأُمِّيِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِمْ(، 80 ×

  • Membaca zikir-zikir lain yang tidak tetap (seyogyanya dilaksanakan) dan yang paling utama adalah :
    • Zikir musabbi’at (مُسَبِّعَاتْ) dibaca pagi dan sore yaitu:
      1. ayat kursi sampai kalimat “الخَالِدُوْن” (3 kali)
      2. akhir Surat al-Baqarah (3 kali) :
        لِلهِ مَا فِي السَّمَاواتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِن تُبْدُواْ مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللهُ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٨٤﴾ آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾membaca Surat ali Imrân ayat 26 dan 27 (3 kali) :
        قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٦﴾ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الَمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٢٧﴾
      3. Surat al-Fatihah (3 kali)
      4. Surat al Ikhlas (3 kali)
      5. Surat al Falaq (3 kali)
      6. Surat an Nas (3 kali)
      7. kemudian diakhiri membaca shalawat kamilah dibaca 3 kali yaitu :
      8. للَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ صَلاَةَ اَهْلِ السَّمَوَاتِ وَالأَرَضِينَ عَلَيْهِ وَأَجِرْ يَا رَبِّ لُطْفَكَ الْخَفِيِّ فِي أُمُورِي
        • kemudian membaca
          سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسلَامٌ عَلَى اْلمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَcatatan: sebaiknya wirid ini dibaca setelah shalat subuh dan shalat ashar
        • membaca kitab shalawat Dalailu al-KhaiRAt karangan imam jazuli pendiri tharikah Jazuliyah as Syadzili
        • sebaiknya bagi yang bisa membaca wirid Alquran secara rutin paling sedikit dua hizib disertai do’a-do’a dan zikir nabawiyah, seperti yang terangkum dalam kitab sunnah seperti kitab al-Adzkâr an Nawawi karangan imam Nawawi, atau juga membaca hizib lain seperti hizib bahr karangan Syaikh Abu Hasan al- Syadzili, lebih khusus lagi membaca hizib bakri karangan Syaikh Musthofa al-Bakri
        • membaca wirid yang telah dipilihkan oleh mursyid, dan diantara pilihan tersebut adalah Qasidah Bahjatus Syaiqin (بَهْجَةٌ الشَّائِقِيْن) karangan syaikh Musthofa bin Azuz, Qasidah Asma’ul Husna karangan syaikh Muhammad bin Abi al-Qasim al-Hamili, Hizib Falah karangan Syaikh Abdul Hafidz al-Hanaqi, atau salah satu dari hizib-hizib karangan Syaikh Musthofa al-Bakri, atau juga membaca wirid terkenal bagi pengikut tharekat Azuziyah Rohmaniyah yang dibaca setelah subuh, yaitu:
        • membacaيَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ لَا إلهَ إِلَّا اَنْتَ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ  40 kali
        • Membaca سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ 100 kali
        • Membaca sholawat kamilah 3 kali
        • Membacaاللهم  رَبِّ جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَاِسْرَافِيْلَ وَعِزْرَائِيْلَ وَمُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ أَجْرَنِي مِنَ النَّارِ، 3 ×
          Setelah subuh setelah Ashar membaca لا إله إلا الله 300 kali, seratus kali yang pertama dibaca panjang, seratus yang kedua dibaca sedang, dan seratus yang ketiga dibaca pendek.
        • khusus hari kamis setelah ashar tidak membaca لا إله إلا الله diganti dengan salawat nabi:
          اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.  300 X
          >setelah jumat, membaca sholawat nabi :اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِ الْأُمِّيِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ 80 x,kemudian membaca wirid yang biasa dibaca setelah sholat, setelah itu membaca لاإله إلا الله sesuai dengan kebiasaannya
          setelah itu membaca sholawat nabi 10 kali :اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ

Sumber: Alif.ID

96. Ajaran dan Adab Murid Pengikut Tarekat Khalwatiyah (2)

Aurad Khusus (Adzkâr al-Sulûk)

Adzkaru al-Suluk ini bisa dibaca atau diamalkan jika mendapat bimbingan atau ajaran serta mendapat izin dari mursyid pada waktu tarbiyah, dan diakhir suluk. Seorang salik melakukan khalwat dengan menempuh tujuh tingkatan yang disesuaikan dengan perjalanan nafsu, yaitu nafsu amarah, kemudian nafsu lawwamah, kemudian nafsu muthmainnah, kemudian nafsu rodiyah, kemudian nafsu mardiyah, kemudian nafsu mulhimah, kemudian nafsu kamilah.

Hal ini dilakukan dengan membaca zikir asma’ul Husna. Dan asmaul Husna dibagi menjadi 7 macam yang disesuaikan dengan tujuh tahapan nafsu, yaitu:

لَاإلهَ اِلَّا الله، الله، هُوَ ، حَيُّ، قَيُّوْم، حَقٌّ، قَهَّارْ

Dan setiap asma’ tersebut mempunyai 10 asma’ furu’ (cabang) sehingga terkumpul menjadi 77 asma’ yang bisa menjadikan salik sempurna pada semua tingkatan kemudian disempurnakan dengan 22 asma’, sehingga tekumpul 99 asma’.

نظم أسـمـاءالله الحسنـى للـشيخ مـحمـد بن أبـي القاسـم الـهـاملي (ت. 1315 هــ)

صَـلَاتُـكَ رَبـِّي وَالسَّـــلَامُ عَلَى النَّبِيصَلَاةً بِــهَا يَشْفِـى قَلِـيْبِـي مِـنَ الـضَّرِّ
وَيَـا بَـارِي اتَّـخِفْنِي بِخَفَـائِـكَ الْـوَدِيوَأَجـِـرْنِي مِـنْ خـَـنَاسِي وَوَسْـوَاسِ نَفْسِي
فَـهَا أَنَـا عُـبَيـْدُكَ فِي غَـايَـة الْـفَـقْـرِوَمَـعَ اضْـطِـرَارِ لِحَـضْـرَتِـكَ يَا مُـغْنِـي
فَـيَا حَيُّ يَا عَلِيْمُ اجْـبُرْنِي مِـنْ كَـسْرِيوَيَـا عَـادِلُ يَا لَطِيفُ اتَّـحِفْنِـي بِللُّطْفِ
وَيَـا هُوَ يَا قَيُـومُ أَمْـدِدْنِي بِـالْـفَـضْـلِوَيَـا اللهُ يَا رَحـْـمٰنُ ابْــعِدْ نِي مِنْ مُكْرِي
وَيَـا بَـاعِـثُ سَــمِيْعُ أَمْـدِدْنِي بِالْــوُدِّوَيَـا خـَبِيْـرُ بَـصِيْـرُ يَـسِّـرْ عَنِّي عُسْرِى
وَيَـا عَـزِيْـزُ وَهَّــابُ وَفَاتِـحُ ذُو وَهْبٍوَيَـا صَـمَـدُ حـَـنَّـانُ بِـالْـمَـدِّ لِلْــكُـلِّ
وَيَــا بَـدِيْـعُ وَكِيْلًا بِإِطْـعَـامِ الْـخَلْـقِكَبِـيْـرٌ وَمَـتَـعَـالٍ مُنَـزَّهُ عَـنِ الْـجَـمْـعِ
يَـا مُـقْـتَـدِرُ مُعِـيْدٌ قَـاهـِـرٌ ذُوْ مَـجْدٍوَيَـا عَـظِيْمُ جـَـبَّارُ وَمُــخْتَـرِعُ الْـكُـلِّ
وَيَا وَاحِدُ أَحـَدٌ فِي الصِّفَـاتِ وِفِي الْفِعْلِفَـذَاتُـكَ يَا مَكِيْـنُ فَـرْدَانِـي فِي الْإِسْــمِ
فَأَقِـلْنِـي يِـا رَحـِـيْمُ فِــي كُـلِّ عُثْـرَةٍوَقَـدْسَنِـيَ يَا قُدُوْسُ مِنَ الشَّـكِّ وّالشِّرْكِ
وَاكْـلَأَنِي يَا كَالِئُ مِـنْ كُلِّ عَـدُوٍّ حَسَدٍوَافْـتَـحْ عَنِّـي رَبِّي بَـصِـيْـرَتِي لِلْـفِـكْـرِ
وَارْزُقْـنِي يَـا رَزَّاقُ شَـرَابَ حـُـبّ الدُنِوَامْنُـنْ عَنِّـي يَا مَنَّـانُ بِإِلْـهَامِكَ السَّرِي
وَيَـا مَـاحَيُ امْحُ عَنِّي وَصِـفْ  كُلَّ أَسِىوَيَا بَـرُّ فِـي الْأَلْطَافِ وَلَطِـيْفٌ فِي الْقَهْرِ
يَا جَمِيْلًا فِي الْجَلَالِ وَبِالْعَكْسِ فِي الضَّدِّوَيَا بَاطِنُ فِي الظُّـهُورِ وَالظَّاهِرُ فِي الْخَفِـي
وَيَـا وَلِـيُّ حـَــمِـيْـدُ جـَـوَادُ حـَـلِـيْــمُوَيَـا قَــوِيُ مَـتِـيـْنُ مُـعِـزُّ لـذلـتـــي
وَيَـا حَـسِـيْـبُ رَقِـيْـبُ الْأَوَّلُ الْآخِـرُاَلْـقَـابِـضُ الـْبَـاسِـطُ فَابْـسُطْ نِعْمَتِـي
وَيَـا فَـتَّـاحُ الْـغُـيُوبِ افْـتَـحْ أَقْـفَـالِيبِـرَفْعِكَ لِلسُّـتُورِ عَـنْ سُـوَيْدَاءِ قَـلْبِـي
وَتَـعْـمِيـرِ الْـقُـلُـوبِ بِـالْعِلْــمْ اللَّدُنِيوَحَـضْـرَةِ الْــعَـمَـارِ وَسِـرِّكَ الْـمَصُـونِ
وَيَـا وَالِـيُّ الْمُـجِـيْـبُ الْبَـرُّ التـَّـوَّابُأَقْـسَـمْـتَ بِـالْجَبَّـارِ وَحَضْرَةِ الْـوَصَــالِ
أَنْ تَـشْرَبَنِـي شَرَابَ حَضْرَتِكَ يَـا عَلِيبِـطَـلْـعَـةِ شَـمُـوسِ أَنْـوَارِكَ يَـا هَـادَي
فَـيَا رَافِـعُ خَـافِضُ أَرْفِعْ عَنِّي أَضْرَارِيوَأَمْـرَاضِ قَـلْــبِـي بِـشُـهُـوْدِ أَقْــمَارِي
وَاغْـفِـرْلِـي يِـا غَـفَّارُ خَطِيْئَةِ الْـفَرْقِوَمُـسَـاوِي الْـجَـمْـعِ فِي خَـزَائِنِ فِكْرِي
يَا مُـقِـيْـتُ فَـقْـتَنِـي بِصَبَابَـةِ وَجْدِيوَجَـوَاءُ كَـالْفَـيْضِ مِـنْ كَـوْثَـرِ الْغَـيْبِ
وَيَـا جَـلِـيْلُ كَـرِيْـمُ رَفِـيْقًـا بِالْعِـبَادِوَيَـا وَاسِـعُ حَـكِـيْـمُ يَـا وَدُوْدُ مَـاجِــدُ
يَا مُـهَيْمِـنُ سَـلَامُ الْـمُقْسِـطِ لِلْجَـمْعِفَارْزُقْـنِـي بِالْـوَقَـارِ وَتَهْذِيْـبِ أَخْلَاقِـي
وَاغْـفِـرْلـِي يِـا رَؤُوْفُ أَوْزَارَ اللَّـمَــمِوَحُــوْبَــةَ الْآثَــامِ فَـاقْـبَــلْ تَــوْبَــتِي
يَا حَفِيظُ احْفَظْنِـي مِنَ الْمُكْرِ وَالْخَدْعِوَيَــا مُـدَبِّـرُ صَـبُـوْرُ مُـتَكَبّـِرُ ذُو حَـقٍّ
وَيَا مُــذِلُّ شَـكُـورُ مُـقَـدِّمُ مُـؤَخِّــرُيَـا ذَا الْمُـلْكِ وَالنُّـورِ مُصَـوِّر كُلّ الْخَـلْقِ
يَا بَاقِـيُ يَا وَارِثُ يَـا رَاشِـدُ طُـرَّ الْخَلْقِيَا مُـنْتَقِـمُ مَـنِيعَ امْـنَعْـنِـي مِـنْ بُؤْسِـي
يِا ذَا الـنَّفْعِ وَالضَّرِّ يَا ذَا الْإِكْـرَامِ الْجَلِييَا مُـغْنِيُ كُـلَّ الْخَلْقِ اَغْنِنِي بِكُـلِّ فَضْلٍ
وَيَا مُـحْيِيُ فِي الْإِطْلَاقِ وِيِا مُحْصِيُ الْكُلِّفَمَلَكَنِـي يَا مَـلَاكُ فِـي غَـايَةِ الْـحُـبِّ
وَيَا مُـبْدِئُ مُـمِـيْتُ الْـوَاجِــدُ الْقَادِرُاَلْمُـومِنُ الْـخَالِـقُ ذُو الْـحُكْمِ الْـغَفُورِ
وَيَا عَـفُـوُّ جَـامِـعُ اجْـمَـعْنِـي بِالرُّسُلِوَيَا غَنِـيُ عَـنْ كُـلٍّ اغْنِنِـي بِـالـوَصْـلِ
لَا تَحْرِمْنَا يَا شَهِيدُ عَنْ فَيْضِكَ الْجَبْرِيوَاتِّـبَـاعِ الْـمُـخْـتَـارِ وَحُـبِّـهِ الْـــوَدِي
فَـالْأَسْـمَاءُ الْـكُلِّ وَبِالْـمُصْطَفَى النَّبِـيوَبِـالْـخَـفَـاءِ الْـخَفِي زَوِّلْ عَنِّـي حِجَبِي
فَـيَـا صَـاحِبِـي لِلهِ حُــبِّ وَاعْـتَـقِـدْوَجِدْ فِي شَوقِ الْأَذْكَارِ وَحُضُورِهَا الْفِكْرِي
يَـكُـنْ لَكَ اضْمِحْـلَالُ وَتُلَاشِي بِالْكُلِّوَتَلْـبِسُ خَلْعَـةٍ مِـنْ حَـضْـرَةِ الْـغَيْـبِ
وَتُصَلِّي يَا مُرِيْدُ صَـلَاتُـكَ فِي الْـفَجْـرِوَتَـنْضَـحُ بَـرُّكَ مِـنْ فَـيْـضِـهِ الْـبَحْرِي
وَتَـقَـدَّمَ إِمَـامًـا كُـــنْـتَ لَـهُ إِمَـامًـافَـهٰـذِهِ صَــلَاةً إِنْ كُـنْتَ عَارِفًا بِالْغَيْبِ
فَـيَـرْضَـاكَ الْإِلٰـهُ لِإِرْشَــادِ الْـخَـلْـقِبِسَــطْـوَةِ الْـمَـقَادِيْـرِ وَجَـلْـبَةِ الْقَـهْـرِ
فَـيَكْـرَمُـكَ الْـقَهَّـارُ بِخَـلْعِ الْـعِـذَارِ  وَتَـلَاشِـي الْحِـجَابُ عَـنْ أُمِّ الْكِـتَـابِ
فَاقْرَأْهَـا بِصِدْقٍ يَا حَبِيبِي عَقِبَ الذِّكْرِ  تَـكُنْ لَكَ أَنِـيْـسًا مِـنْ وَحْشَةِ الْـقَبْرِ
وَتُطْـرَدُ كُلِّ هَـمٍّ وَالْبُـؤْسِ مَعَ الْـفَـقْـرِ  وَصَـوْلَـةِ عَـدُوٍّ وَحِــرْزًا مِـنَ الـضَّـرِّ
وَاغْـفِرْ يَا غَـفَّارُ لِجَـامِـعِ ذَا الـنَـظْـمِ سَـلِيْـلِ ذِي الْأَنْـوَارِ أَبِي الْقَاسِـمِ نَسَـبِي
مُحـَمَّـدٌ يَا حَـضَّـارُ ابْـنُ أَبِـي الْقَاسِـمِاَلْهَامِلُ فِي الْأَقْـطَارِ بِـلَادِي وَمَـسْـكَـنِي
وَاغْفِرْ لِلْمُخْتَارِ وَابْنَ عَـزُوْزِ الْبَـرْجِـيوَالـسَّـنَدِ الْأَخْـيَـارِ وَجَـمِـيْعِ إِخْـوَانِـي
وَارْحَــمِ الْـوَالِـدَيْـنِ طَـرًّا يَـا عَلِـيُّوَأَسْـكِـنْهُـمْ جَـنَةَ الْـفِـرْدَوْسِ يَا رَبـِّـي
وَصَـلِّ يَا جَـبَّـارُ عَلَـى خَيْـرِ  الـرُّسُلِمَـا قَـدْ غِـنَـي وَرْشَـانِ فِي أَبْـرَاجِ عَلِـي
وَآلـِـهِ الْأَصْــحَـابِ ثُـمَّ كُـلِّ  تَـالـِيوَأَهْـلِ بَـيْعَـةِ الـرِّضْـوَانِ وَشُهَدَاءِ الْبَدْرِ

بهجة الشائقين للشيخ مصطفى بن محمد بن عزوز (ت. 1283)

بِسْــمِ اْلإِلٰــه بـَـادِي ذَا النِّــظَامِبِالْـحَـمْدِ وَالـشُّكْرِ عَلَى الــدَّوَامِ
ثُـمَّ الـصَّلاَةُ عَلَـى الْمَـاحِي لِلـزّلَلْمُحَمَّــدٍ أَزْكَى رَسُوْلٍ فِـى اْلعَمَـــلْ
وآلِـــهِ أَهـْـــلِ الْــوَفَاءِ وَالْــوَرَعْوَكُـلُّ قُـطْبٍ لِـمَـنَاهِـجِهِم تَــبَعْ
بِجَــاهِ نُــورِ الْعَــرْشِ يَـا مَجِـــيْدُوَاللَّــوْحِ واْلكُـرْسِـيِّ يَا حَمِـــيْدُ
بِمَـــسْجِــدِ مَكَّـــةَ وَالْـبَقِـــيْعِأَدْخـِـلْنَا فِي حـِـزْبِ النَّـبِيِّ الشَّفِيْعِ
إِنَّ ذُنُــوبِــي يَـا إِلٰـهِي عَظُمَــتْصَـحِـيْفَتِــي بِالسَّـيِّئَاتِ مُلِـئَتْ
وَهِـيَ فِي جـَــنْبِ عَفْــوِكَ صَـغِيرَةْوَعِـنْدَ عَـبْدِكَ الْمُسِيْءِ كَـــبِيْرَةْ
بِـأَسْـمَائِكَ الْحُـسْنَـى رَبِّ رَقِّــيْنَاوَنَــوِّرَنْ قُلُــوْبـَـنَا وَاهْــدِيْنَــا
بِـأَنْ نَكُــوْنَ مِـنْ أَهـْـل الطّرِيْـقِوَالصِّـدْقِ وَالْإِخْلَاصِ وَالتَّحْقِـيْقِ
بِــفـَضْلِ اللهِ الْـمَالِكِ الـــدَّيَّـانِوَبِـالْــقُرْآنِ وَالـسَّـبْعِ الْـــمَثَانِي
رَبِّ بِــنُورِكَ الْـمَــضِـي يَـا وَالِـياِرْفَــعْ عَلَــيْنَا الْحُـجْبَ يَـا عَالِي
وَثَــبِّتَــنْ اِيْـمَانَنَــا وَاسْــقِــيْنَـامِــنْ كُـلِّ عِلْـمٍ نَـافِعٍ وَاكْــفِينَا
بِكُــلِّ شَـيْخٍ صَحِــيحِ الْإِسْــنَادِمِـنْ شَـيْخِنِا إِلَـى الرَّسُولِ الْهَادِي
يَــا رَبِّ صَــلِّ عَــنْهُ بِــالــدَّوَامِوَارْحـَـمْ أَشْـيَاخـَـنَا يَـا  ذَا الْإِكْرَامِ
وَاغْفِــرْ لَــنَا الذُّنُـوبَ يَــا رَفِــيْعُفَـمَـا لَــنَا سِــوَاكَ يَـا سَـرِيْـــعُ
طَهِّــرْ قُلُــوبَــنَـا مِــنَ الْآفَــاتِوَاَسْـبِلْ عَلَـيْنَا السِّـتْرَ فِـيْمَا يَاتِي
تَــوَسَّـلْـنَا لَــكَ بِـأُولِـي الْـعَـزْمِأَهـْـلِ الْــوَفَا وَالْـكَـرَمِ وَالْــحِلْمِ
بِـخَــاتَمِ الـرُّسُلِ الْكَـرِيمِ العَاقِبْوَبِـالْـخَلِيْــلِ وْإِدْرِيـْسِ الثَّـاقِبْ
لِـلسَّـمَاوَاتِ كُـلِّهَا حَتَـى وَصَــلْمَـقَـامَــةً عَـالِـيَـةً بَـهَـا نَـــزَلْ
مُوسَى بْنِ عِمْرَانَ مَنْ نَاجَاهُ الْكَرِيمْوَعِيسٰى رُوْحُ اللهِ الزَّاهِدِ الْحَكِيمْ
وَنُـوحُ مَـنْ لَـهُ الْـمَعَالِـي ثَـبَتَـتْفِي سَايِـرِ الْكُتُبِ يَا صَاحِ رَسَمَتْ
يَـــا اللهُ يَـا مَـــالِـكُ يَــا قَــادِرُكُـنْ لِلْـقُلُوبِ حـَـافِظًـا وَنَـاصِـرُ
إِلٰـهَــنَــا يَــا أَحـَـــدُ يَـا وَاحـِــدُيَـا جـَـوَّادُ يَـا بَـاسِـطُ يَـا مَاجـِـدُ
وَيَـا وَهـَّـابُ يَـا ذَا الـطُّولِ يَا كَرِيمُوَيَـا غَنِـيُّ وَيَـا مُغْنِـيُّ وَيَا حَلِيْمُ
وَيَـا فَــاتِـحُ يَـا رَزَّاقُ يَـا عَلِــيْـمُيَـا حـَـيُّ يَا قَـيُّومُ رَحـْـمَانُ رَحـِـيْمُ
وَيَـا بَـــدِيْـعَ السَّـمَـوَاتِ كُـلِّهَــاوَالْأَرَضِيْنَ أَنْـتَ الَّــذِي دَحَوْتَهَا
يَا ذَا الْـجَلَالِ وِالْإِكْـرَامِ يَا حـَـنَّانُمِـنْ كُـلِّ خَيْرٍ سَأَلْـنَاكَ يَا مَــنَّانُ
اِتَّـحِفْــنَا يَا رَبِّ بِـمَقَـامِ الــرِّضَـاوَهـُوَ سُرُورُ الْقَلْبِ فِـي مَرِّ الْقَضَا
وَيَــا سَـلَامُ سَـلِّـمِ الْأَنْـــفَــاسَفِـي الْخَطْـرَاتِ وَانْزِعِ الْـوَسْوَاسَـا
وَيَـا صَـدُوقُ فِي الْأَقْـوَالِ وَالْأَخـْبَارِاِجْعَلْـنَا رَبِّ صَـادِقِيْنَ فِي الْأَذْكَارِ
اِجـْـعَلْـنَا رَبِّ فِي حِزْبِ الصِّـدِّيْقِينَوَزُمْـرَةِ الْأَبْـــرَارِ وَالْـمُقَـرَّبِــيْنَ
يَـــا بَـــاقِـيًــا بَـقَـاءً لَا يَــزُوْلُأَبْقِــيْنَـا فِـي كَــمَالِكَ نَـــجُولُ
يَـا دَائِــمًـا دَوَامًــا لَا يَفْـنَـى وَلَايَــكُـنْ سِــوَاهُ أَحـَـدٌ إَلَّا بَــلٰـى
أَدِمْ سُــرُورَنَـا بِلُطْـفِـكَ الْـخَفِـيبِنَـا فِـي الدَّارَيْنِ وَاكْفِنَا يَا كَافِـي
شِـرُّ الْعَـدَا وَكِـيدُ الـحَاسِدِ الَّـذِيفِـي كُـلِّ نِـعْمَةٍ نَصِـيْبُـهَا يُـوْذِي
وَيَـا لَطِـيْفُ الْطُفْ بِعَبْدِكَ الْمُسِيفِي كُلِّ الْأَحْوَالِ اِذْ يُصْبِحُ أَوْ يُمْسِي
فِـيْ  كُـلِّ لَـحْظَةٍ كَـذَاكَ الحْرَكَاتِوَالسَكَنَاتُ فِي الْمَحْيَا وَفِي الْمَمَاتِ
تَـجَاوَزْ بِالْـحِـلْمِ عَلَـى مَا صَـدَرَامِـنْـهُ مِـمَّـا بَـطَنَ أَوْ مَـا ظَـهَـرَا
اِسْـمَـعْ نِـدَا الْـمُضْـطَرِّ يَـا قَـرِيْبُأَجـِــبْ دُعَـاءَهُ فَــلَا يُـخِـيْــبُ
أَبْـصِـرْ أَحـْـوَالَـهُ حـَـيْـثُ تَـقَـلَّبَـاوَاجـْـعَـلْـهُ لِـنَوَاهـِيْـكَ مُـجْتَنَـبَـا
اِرْحـَـمْــنَا رَبِّ بِـرَحـْـمَـتِكَ الَّـتِـيوَسِـعَـتِ الْأَرَاضِـي وَالسَّمَــوَاتِ
أَيِّـدْنَــا بِـالْـقُـدْرَةِ يَــا قَـدِيـْــرُفَـلَـمْ نَـجِـدْ سِـوَاكَ يَـا نَـصِــيْرُ
بِـسَيِّـدِ الـرُّسُـلِ وَجـَـمْـعِ الْأَنْــبِيَافِـي جـَـنَّةِ عَـدْنٍ اِجـْـعَلْ إِخـْوَانِيَا
اَحـْـضِـرْ لَــنَـا يَـا سَــيِّدَ الْأَنَــامِفِـي السَّـكَرَاتِ وَعِـنْدَ الْـخِـتَامِ
يَـا رَبِّ اَسْــبِلْ سِـتْـرَكَ عَـلَــيْنَـابِـفَـضْــلِكَ وَكُـلِّ مَــا لَـدَيْـنَـا
اِحـْـفَظْنَا وَانْـصُـرْنَا عَـنْ كُلِّ ظَـالِمٍبِـالْأَسْـمَاءِ الْعَـظِـيْمَةِ يَـا دَايِـــمُ
وَبِـالْوُصُـولِ جـُـدْ عَــلَى إِخـْـوَانِنَـاوَكُـلِّ مَـنْ دَخـَــلَ فِي طَـرِيْقِـــنَا
بُـشْـرَى الَّـذِي دَخـَـلَ فِي الطَّرِيْـقِنَـالَ الـرِّضَـا وَغَـايَـةَ التَّـحْقِيْـقِ
حـَـازَ الــضَّــمَانَـةَ مِـنَ الـرَّسُـولِكَـذَا الــشَّفَاعَـاةُ يَـوْمَ الرُّحـُــوْلِ
وَبِـالْـكِـرَامِ الْـكَـاتِبِينَ اعْفُ عَنَّاوالْطُـفْ بِنَا لُطْفَ الْـحَبِيْبِ رَبَّنَا
يَـا سَـامِـعَ الْأَصْـوَاتِ مِنَّـا فَاقْبَـلْدُعَـاءَنَـا بِهٰـذَا النِّـظَامِ الْأَكْمَــلِ
وَاجـْعَلْـهُ خـَـالِصًا لِوَجـْهِكَ الْكَرِيْـمِوَجـُـدْ عَلـَى قَارِيْهِ بِالْخَيْرِ الْـعَمِيْمِ
اَلْـــحَمْـــدُ لِلهِ عَلَـى الـتَّـمَــامِلَــهُ الشُّـكْرُ فِـى الْبَدْءِ وَالْـخِتَامِ
اِغْــفِــرْ لِـوَالِـدَيَّ وَالْإِخـْــــوَانِفِـي جـَـنَّـةِ الْـفِـرْدَوْسِ يَسْـكُنَانِ
وَكُـلُّ مَـنْ دَخـَـلَ حـِـزْبَ الْـوَالِــدِوَأَخـَـذَ الْـعَهْــدَ عَـنْهُ يَـا مَاجـِـدُ
اِجـْـعَلْ مَـقَــامَـهُ يَـا ذَا الْــجَلَالِفِـي جـَـنَّـةِ عَـدْنٍ يَـا مُـتَعَـالِـي
سَــمَّـيْتُـهُ بَـهْـجَـةَ الـشَّائِـقِـيْـنَرَوْضَــــةَ أَنْــوَارِ الْـعَــارِفِـيْـنَ
يَــشُـوقُ الــنُّفُـوسُ لِـلْـمَعَـالِـيوَيُـرْفَــعُ الْأَرْوَاحُ لِــلْكَـمَـــالِ
مَـنْ دَامَ عَـنْهُ فَي الصَّبَاحِ وَالمَسَـايَـكُــنْ لَـهُ فِـي قَـبْـرِهِ مُـؤَنَّسَـا
وَيَـبْـسُـطُ اللهُ عَـلَـيْـهِ الـرِّزْقَـــاوَيَـنْـدَفِـعُ عَــنْهُ الْـبَلَا وَيَرْقَـى
اِغْفِـرْ إِلَـى مَنْ جـََـمَّعَ هـٰذَا الـنَّظَامِاِبْـنُ عَـزُوزِ مُـصْطَفٰى عَلَى الدَّوَامِ
خـَتَمْتُ نَـظْمِـي بِالصَّلَاةِ وَالسَّـلَامُعَلَـى النَّبِـيِّ الْهَاشِمِي بَدْرِ التَّمَامِ
عَلَـيْــهِ مِنِّـي أَفْـضَــلُ الـصَّـلَاةِمَـا صَـبَّتِ الْأَمْـطَارُ فِـي الْفَـلَاةِ

حزب الفلاح للشيخ عبد الحفيظ الخنقي

بِسْمِ اللهِ الْعَظِيْمِ الْأَعْظَمِ الَّذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ. اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اللهم نَوِّرْ قُلُوْبَنَا بِجَلَالِ هَيْبَتِكَ، وَاشْرَحْ صُدُوْرَنَا لِسِرِّ حِكْمَتِكَ، وَطَهِّرْ أَبْدَانَنَا بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِأَمْرِكَ، وَنَوِّرْ أَبْصَارَنَا بِالْإِعْتِبَارِ فِيْ مَصْنُوْعَاتِكَ، يَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ يَا مُقِيْلَ الْعَثَرَاتِ يَا اللهُ، اللهم كَمَا خَلَقْتَنَا بِقُدْرِكَ الصَّالِحَةِ وَرَزَقْتَنَا بِإِرَادَتِكَ الْفَالِحَةِ وَبَسَطْتَ نِعْمَتَكَ عَلَيْنَا بِرَحْمَتِكَ الْمَانِحَةِ حَسِّنْ خُلُقَنَا بِحُسْنِ اخْتِيَارِ تَدْبِيْرِكَ، وَأَطِبْ مَطْعَمَنَا بِمَا تَرْضَاهُ أَنْتَ لَنَا لَدَيْكَ، وَأَتْمِمْ لَنَا بَسْطَ الْإِنْعَامِ بِفَضْلِكَ وُجُوْدِكَ يَا خَالِقُ يَا رَزَّاقُ يَا بَاسِطُ، سُبْحَانَكَ اللهم رَبِّ لَا إِلٰهَ أَنْتَ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ أَسْمَائِكَ الصَّمَدَانِيَّةِ وَأَوْصَافِكَ الْوَحْدَانِيَّةِ وَأَفْعَالِكَ الْاِلٰهِيَّةِ أَنْ تَمَنَّ عَلَيْنَا بِالدُّخُوْلِ فِيْ حَضْرَتِكَ الْجَمَالِيَّةِ، وَالتَّمَتُّعِ فِيْهَا بِالْغَيْبَةِ عَنِ الْأَغْيَارِ الْكَوْنِيَّةِ، وَأَنْ تَشْهَدَنَا بَهَاءَ جَمَالِ حَضْرَةِ الْاُنْسِ الْقُدْسِيَّةِ، الْمُنْفَرِدَةِ بِوَحْدَانِيَّةِ عَظَمَةِ الرُّبُوْبِيَّةِ، الدَّائِمَةِ فِيْ وُجُوْدِكَ الْبَاقِيَّةِ فِيْ دَيْمُوْمِيَّتِكَ الظَّاهِرَةِ فِيْ مُلْكِكَ الْبَاطِنَةِ فِيْ مَلَكُوْتِكِ الْأَوَّلِيَّةِ فِي مَشِيْئَتِكَ الْآخِرِيَّةِ فِي قَيُّوْمِيِّكَ الْمُحْتَجِبَةِ عَنْ خَلْقِكَ الْمُنْكَشِفَةِ لِعِزَّتِكَ الْمُنْهَلَكِ فِيْهَا كُلُّ الْكُلِّ بِقَهْرِيَّتِكَ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَّةٌ وَلَا نَوْمٌ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُوْنَ مَالِكُ مُلْكٍ وَالْمَلَكُوْتِ، أَسْأَلُكَ يَا مَوْلَانَا بِحَقِّ نُوْرِكَ الْعَظِيْمِ وَنَبِيِّكَ الْكَرِيْمِ وَالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ أَنْ تَمَنَّ عَلَيْنَا بِتَوْبَةٍ نَصُوْحٍ تَرْضَاهَا مِنَّا وَتَقِيْمُهَا لَدَيْكَ وَتَخْتَارَهَا لَنَا بِاخْتِيَارِ فَضْلِكَ وَكَرَمِكَ فَضْلًا عَنِ اخْتِيَارِنَا نَحْنُ لِنفُوْسِنَا، يَا تَوَّابُ يَا رَحِيْمُ ارْحَمْنَا بِرَحْمَتِكَ الْوَاسِعَةِ الْجَلْبَابِ، وَأَقِمْ اَعْوِجَاجِ أَحْوَالِنَا بِفَضْلِكَ يَا تَوَّابُ، وَافْتَحْ لَنَا سَرَادِقَ رَحْمَتِكَ الْمَكْنُوْنَةِ فِيْ عِزِّ جُوْدِكَ كَمَا فَتَحْتَهَا لِأُوْلِى الْأَلْبَابِ، وَلَا تَكِلْنَا إِلَى تَدْبِيْرِ نُفُوْسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ فِي كُلِّ الْأَسْبَابِ، وَاجْعَلْ اَسْبَابَنَا مُطَابِقَةً لِرِضَاكَ وَمِفْتَاحًا لِخَيْرِ الْأَبْوَابِ، وَأَسْبِلْ عَلَيْنَا سَتْرُكَ الْجَمِيْلَ فِي الدَّارَيْنِ بِحَقِّ آلِ عِمْرَانَ وَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَامْنَحْنَا بِرِضَاكَ، وَوَفِّقْنَا لِطَاعَتِكَ، وَاخْلِصْ لَنَا الْعَمَلَ حَتَّى لَا نَعْلَمَ مِنْهُ مَعَكَ مَا يَدْخُلُ عَلَيْنَا الْخِلَلَ فِيْهِ وَيَخْرُجُنَا مِنْهُ يَا عَلِيْمُ يَا حَكِيْمُ، نَحْنُ الْعَبِيْدُ الضُّعَفَآءُ وَأَنْتَ الْقَوِيُّ فَإِنْ لَمْ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ. اللهم اكْشِفْ لَنَا الْحِجَابَ وَافْتَحْ لَنَا الْأَسْبَابَ وَوَضَّحْ لَنَا الْمِهَابَ حَتَّى نَشْهَدَ مِنْكَ مَا يُقَرِّبُنَا إِلَيْكَ يَا قَرِيْبُ. اللهم كَمَا كُنْتَ أَنْتَ لِعِبَادِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ كُنْ لَنَا لِطَاعَتِكَ نَاصِرًا وَمُعِيْنًا حَتَّى تَكُوْنَ الطَّاعَةُ شَاهِدَةً لَنَا عِنْدَكَ مِنْ غَيْرِ أَنْ نَكُوْنَ نَحْنُ شُهَدَآءَ عَلَيْهَا إِلَيْكَ. اللهم اجْعَلْ مُشَاهَدَتَنَا لِلطَّاعَةِ غَيْبَةٍ عَنْهَا وَحُضُوْرًا بَيْنَ يَدَيْكَ. اللهم كَمَا أَشْهَدْتَنَا طَاعَتَكَ وَوَفَّقْتَنَا لَهَا وَأَلْهَمْتَ الْجَوَارِحَ لِلتَّحَرُّكِ لِأَفْعَالِهَا وَأَبْصِرْتَ الْعَقْلَ سِرَّ مَعْقُوْلَاتِهَا اِجْذَبْهَا مِنَّا إِلَيْكَ وَاحْفَظْهَا بِسِرِّ الْعِنَايَةِ فِي بَرْزَخِ أَرْوَاحِ أَوْلِيَائِكَ وَأثْبُتْهَا فِي لَوْحِ الْكَمَالِ بِدَوَامِ رِعَايَتِكَ حَتَّى لَا نَبْصِرَ مِنْهَا سِرًّا وَلَا عَلَانِيَّةً سِوَى التَّوْفِيْقِ مِنْكَ إِلَيْكَ يَا سَمِيْعُ يَا بَصِيْرُ يَا اللهُ. اللهم ثَبِّتْ أَقْدَامَنَا عَلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَاهْزَمْ جَيْشَ الْأَعْدَاءِ عَنَّا لِنَكُوْنَ عَلَى طَاعَتِكَ مُقِيْمِيْنَ وَفَرِّجْ هُمُوْمَنَا فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ يَا كَرِيْمُ بِحَقِّ يٰسٓ وَالطَّوَاسِيْمَ وَاٰلٓمّٓ. اللهم ثَبِّتْ سُرُوْرَ عِنَايَتِكَ فِيْ قُلُوْبِنَا وَاخْرِقْ السُتُوْرَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ فِي سِرِّنَا وَأَعْظِمِ الشُّهُوْدَ فِيْ مُشَاهَدَتِكَ لِأَرْوَاحِنَا مَا أَطِيْقُهُ فِيْ سِرِّ التَّجَلِّيَاتِ فِيْ مُنَاجَاتِنَا. رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ. رَبِّ ادْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ فِي الرُّبُوْبِيَّةِ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ فِي الْعُبُوْدِيَّةِ حَتَّى لَا نَعْلَمَ الدُّخُوْلَ وَلَا الْخُرُوْجَ إِلَّا مِنْكَ وَإِلَيْكَ يَا صَادِقَ الْوَعْدِ يَا نَاجِزَ الْقَصْدِ يَا مُوْفِي الْعَهْدِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ يَا اللهُ. اللهم يَسِّرْ أُمُوْرَنَا وَاكْشِفْ كُرُوْبِنَا وَاغْفِرْ ذُنُوْبَنَا وَاجْبُرْ أَحْوَالَنَا يَا مُيَسِّرَ الْأُمُوْرِ يَا جَابِرَ الْمَكْسُوْرِ يَا كَاشِفَ الضَّرِّ عَنِ الْمَعْسُوْرِ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ اِسْتَجِبْ لَنَا فِيْمَا تَخْتَارُهُ أَنْتَ لَنَا وَتَرْضَاهُ. يَا لَطِيْفُ بِالْمُؤْمِنِيْنَ يَا رَؤُوْفُ يَا رَحِيْمُ اِلْطَفْ بِنَا وَارْحَمْنَا حَتَّى نُشَاهِدَ مِنْكَ مُسَاعَدَةَ الْأَقْدَارِ فِيْنَا وَقْتَ حُلُوْلِ مَصَائِبِكَ بِنَا مَا دَامَتِ الْأَيَّامُ سَائِرَةً بِنَا فِي فُلْكِ الْأَعْيَارِ وَنَحْنُ فِيْهَا لَا نَعْلَمُ الشَّرَ مِنَ الْمُخْتَارِ فَأَنْتَ أَعْلَمُ مِنَّا بِأَحْوَالِنَا وَأَلْطَفْ بِأُمُوْرِنَا وَأرْحَمْ بِنَا مِنَّا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ يَا اللهُ، وَلَوْ كُنَّا نَعْرِفُ مَصَالِحَ نُفُوْسِنَا لَاخْتَرْنَا مُرَادَكَ عَلَى مُرَادِنَا وَلَكِنْ عَمَّنَا حِلْمُكَ الْوَاسِعُ فَأَمْطُرْنَا بِسَحَائِبِ الْإِفْضَالِ فَتَعَاظَمَتْ عَلَيْنَا إِحْسَانُ الْإِنْعَامِ حَتَّى غِبْنَا فِيْهَا عَنْكَ يَا مُنْعِمُ يَا خَيْرَ الْمُحْسِنِيْنَ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا بِمَا نَسِيْنَا وَلَا تُرْهِقْنَا مِنْ أَمْرِنَا عُسْرًا. بِسْمِ اللهِ الشَّافِي اللهم يَا شَافِي اِشْفِ، بِسْمِ اللهِ الْكَافِي اللهم يَا كَافِي اِكْفِ، بِسْمِ اللهِ الْعَافِي اللهم يَا مُعَافِي اِعْفِ، بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا في السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ. تَحَصَّنْتَ بِعِزَّتِكَ يَا عَزِيْزُ فِي جَبَرُوْتِهِ، وَاعْتَصَمْتَ بِرُبُوْبِيَّتِكَ يَا رَبِّ فِي مَلَكُوْتِ أَحَدِيَّتِهِ، وَتَوَكَّلْتُ عَلَيْكَ يَا حَيُّ فِي قُدْرَةِ أَزَلِيَّتِهِ، اِصْرِفْ عَنَّا كُلَّ بَلَاءٍ وَسُوْءٍ وَشَرٍّ تَكْرِهُهُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَقِّنَا شَرَّ كُلِّ فَاجِرٍ وَعَانِدٍ وَحَاسِدٍ بِحَقِّ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ.

Sumber: Alif.ID

97. Tarekat Kubrawiyah

Pendiri Tarekat Kubrâwiyah adalah al-Imâm al-Zâhid al-Qudwah al-Muhaddits al-Syâhid Shâni al-Auliyâ’ Abû al-Jannâbi Ahmad Ibn ‘Umar Ibnu Muhammad Najmu al-Dîn Kubrâ al-Khawarasmi al- Khauwaqiyi yang lahir tahun 540 H. dan wafat pada tahun 618 H. Beliau mempunyai empat julukan, antara lain adalah; Shani’ul Auliyâ’, Abûl Jannabi, al-Kubrâ, dan al-Khawarasmi al-Khawwaqi.

Beliau dijuluki Shani’ul Auliyâ’ karena ada dua pandangan; pertama, secara ma’qul (rasional) dan kedua, secara manqul (irrasional). Secara rasional, karena murid beliau banyak yang menjadi wali dan menjadi orang-orang salih. Sebab yang irrasional, ketika beliau melihat seseorang yang dalam kondisi mabuk (jadzâb) maka orang tersebut akan menjadi seorang wali.

Adapun sebab dijuluki Abû Jannâb karena beliau menjauhi urusan-urusan dunia, zuhud, dan melaksanakan suluk tarekat sufiyah. Sedangkan beliau dijuluki al-Kubrâ sebagaimana pendapat Imâm ibn `Ammat al-Hambali dalam kitabnya Syatrâd al-Dahhat karena ketika beliau masih kecil sudah mampu memahami perkara-perkara yang musykil dan sulit.

Sedangkan beliau dijuluki al-khuwaarasmi al-khaywaqiy adalah beliau dinisbatkan terhadap khuwaarasmi yaitu suatu daerah yang besar di negara persi (pendapat Imâm Yaqut al-Hamami). Pada saat beliau datang kepadanya pada tahun 600 H. beliau pergi belajar ilmu-ilmu syari’at, ilmu Hadis, ilmu fiqih, dan lain-lainnya yang membawanya ke dunia tasawuf, (syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 79).

Beliau hidup pada masa sultan Jalâl al-Dîn bin Khawaarizmi. Beliau masuk menjadi prajurit dan ikut berperang melawan tentara Jengis Khan (Mongol) dan bersama prajuritnya beliau berhasil mengkocar-kacirkan dan menawan pasukan Jengis Khan. Hal ini membuat Jengis Khan marah dan mengirim pasukan yang besar untuk menyerbu tanah Sindi.

Pertemuan pasukan besar tersebut terjadi pada bulan Syawal pada tahun 618 H. Pasukan sultan menjadi gentar karena jumlah pasukan tartar yang sangat besar. Pasukan Jengis Khan berhasil membuat gentar pasukan sultan, dan akhirnya mereka menawan putra sultan Jalâl al-Dîn bin Khawaarizmi, (syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 78).

Beliau mencari ilmu-ilmu agama dan ilmu Hadis di kota Naisabûr, Hamdan Asbihana dan Makkah, kemudian dia pulang ke negaranya setelah  mahir ilmu Hadis. Kemudian dia berangkat lagi kedua kalinya untuk mencari ilmu tarekat sufiyah menuju Mesir untuk bertemu dengan syaikh Ismâ’il al-Kusrâ dan Syaikh Syihâb al-Dîn Abû Hafsh ‘Umar bin Abdillâh bin Muhammad al-Taimi al-Suhrawardi pengarang ‘Awârif al-Ma’ârif (539-632 H./1145-1238 M).

Beliau menetap beberapa waktu bersamanya untuk tabarruk (mengambil barokah), kemudian dia juga menemui seorang guru yang bernama Amar ibnu Yasir di daerah Bedlis, kemudian dia juga pergi ke mesir lalu pindah ke kota al-Iskandariyah. Di kota Mesir beliau belajar ilmu tasawuf kepada seorang guru yang bernama Syaikh Rauzabhân. Beliau juga belajar ilmu Hadis kepada seorang guru yang bernama al-hafidz Abi Thahir al-Salafi pada tahun 575 H.

Setelah menetap di sana beliau pergi ke kota Damaskus bertemu dengan seorang guru yang bernama Syaikh Ibnu Ubay Isyruna. Kemudian pergi ke Baghdad dan menetap beberapa saat di sana kemudian pergi lagi ke Bedlis bertemu dengan seorang guru bernama syaikh Amar ibnu Yasir kemudian kembali ke Baghdad tepatnya di daerah Khawaq. Beliau meninggal di sana pada tahun 618 H.

Sebagian riwayat menceritakan sesungguhnya Syaikh Najmuddîn al-Kubrâ pada mulanya adalah seorang mufassir yang bermadzhab Syafi’i bahkan beliau pernah menafsiri Alquran dalam 12 jilid, beliau juga pernah bertemu dengan Imâm Fakhruddin al-Razi dan dia mengakui keunggulan syaikh Imâm Najmuddîn Kubro.

Umam bin al-Hajb berkata: “Syaikh Najmuddîn Kubrâ telah berkeliling ke berbagai negara untuk mendengar dan mempelajari Hadis, beliau menetap di kota Khawaris dan menjadi ulama terkemuka di daerah tersebut. Beliau adalah orang ahli Hadis yang suka mengembara yang memiliki derajat yang tinggi, yang tidak takut terhadap hujatan orang yang menghujat”.

Umam berkata lagi, “Ketika beliau menetap di Khawarasmi terjadi kejadian yang besar yaitu penyerbuan tentara Jengis Khan dari Tartar, Syaikh Najmuddîn al-Kubrâ berkata: Pergilah ke wilayah Kam, karena ada kobaran api dari arah timur yang bergerak ke arah wilayah barat, ini adalah fitnah yang besar yang tidak pernah terjadi di umat seperti kali ini”.

Sebagian pengikut syaikh Najmuddîn berkata: “Seandai Anda berdo’a untuk mencegah kejadian itu.”. Syaikh Najmuddîn menjawab: “Kejadian ini sudah ditentukan oleh Allah SWT. sehingga do’a tidak ada manfaatnya”. Mereka mengajak syaikh Najmuddîn untuk keluar menuju wilayah Kam tetapi beliau menolaknya dan berkata: ”Aku sudah ditakdirkan untuk mati di sini”. Kemudian seluruh pengikutnya keluar dari negara Khawarizm.

Ketika tentara tartar masuk ke negara Khawarizm. syaikh Najmuddîn mengumpulkan santri yang tertinggal untuk melakukan shalat jama’ah, lalu beliau berkata: “Majulah kalian semua ke medan perang”. Setelah itu beliau bergegas masuk ke rumah dan memakai khirqah (baju kebesaran sufi). Akhirnya syaikh Najmuddîn gugur di medan perang sebagai syuhada’, dan dimakamkan di pondok sufinya pada tahun 618 H., (Syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 80).

Beliau berdiskusi dengan beberapa `ulamâ’ tentang ma`rifat kepada Allah SWT. dan mentauhidkan-Nya, akhirnya beliau mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya ilmu ma`rifat adalah satu ilmu yang warid (datang langsung dari Allah SWT.) kepada hati yang tidak bisa menolaknya. Bagaimana jalan atau cara untuk bisa sampai mengetahui ilmu ma`rifat? Yaitu dengan cara meniggalkan dunia untuk menggali dan mendapatkannya. Karena hal ini di luar kemampuan manusia. Setelah itu Imâm Najmuddîn memulai memasuki dunia zuhud atau menyendiri dan berteman dengan Imâm Fakhruddîn al-Razi.

Berikut ini beberapa komentar tentang sosok Imâm Najmuddîn:

  1. Syaikh ‘Umar bin Ibnu Hâjib: “Syaikh Imâm Najmuddîn pada awalnya berdakwah dengan berkeliling di beberapa negara akhirnya beliau menetap di daerah Khawarizm dan menjadi `ulamâ’ besar serta sangat diagungkan di daerah itu. Beliau seorang pakar Hadis.”
  2. Ibnu Halalah: “Saya beberapa kali bersama dengan Imâm Najmuddîn pada saat berkhalwah, dan saya menyaksikan kejadian yang aneh serta saya mendengar sebuah percakapan Imâm Najmuddîn yang indah secara sirri.

Guru-guru dan Murid-muridnya

  • Guru-guru ilmu agama beliau antara lain:
    1. Imâm Subkidan Damat Ibrâhîm
    2. Abû Muhammad al-MubâRAk ibnu Thabakhidi Makkah
    3. Abû Thâhir al-Salafy
    4. Abû Diyain Badrin ibnu Abdillâh al-Haddâdidari Iskandariyah
    5. Abû al-Makarim Ahmad ibnu Muhammaddi Libanon
    6. Abû Sa’idin Khalili ibnu Badrin al-RAzidi negara Asbihan
    7. Abû Abdillâh Muhammad ibnu Abi Bakrin al-Kaizaniyyidi negara Asbihan
    8. Abû Ja’far ibnu Ahmad ibnu Nasri al-Shaydalanidi negara Asbihan
    9. Mas’ud ibnu Mas’ud al-Hamalidi negara Asbihan
    10. al-Hafidz Abi al-`Alaidi negara Hamzhan
    11. Abû al-FaRawidi negara NaisAbûr
  • Guru-guru tasawuf beliau yang tidak pernah bertemu langsung, antara lain:
    1. Abu Yazid al-Busthami
    2. Sahal ibnu Abdillâh al-Tustari
    3. Abû al-Qâsimal-Junaidi
    4. Abû Bakar al-Wasiti
    5. Samnûn al-Muhibbi
    6. Abû al-Najib al-SyuhRAwardidan lain-lain.
  • Guru-guru tasawuf beliau yang langsung bertemu, antara lain:
    1. Rauzabhan(seorang guru ilmu tarekat)
    2. Ibnu al-Ashri(seorang guru ilmu jiwa)
    3. Amar ibnu Yasir(seorang guru ilmu khalwat)
    4. Ismâ’il al-Kushra(seorang guru ilmu pakaian sufi)

Guru tarekat beliau yang pertama adalah syaikh Ismâ’il al-Kushra sedangkan guru Tarekat yang terakhir adalah Amar ibnu Yasir. Beliau adalah seorang guru yang paling dekat dan memberikan dampak yang paling besar dalam ilmu tasawuf.

  • Murid-murid beliau antara lain:
    1. Syaifudin al-Ma’ali Sa’id ibnu al-Muthahir al-BakhaRAzidari negara Bukhara
    2. Majdu al-Dîni Syarif ibnu Mu’ayyad ibnu Abi Abi al-Fatah al-Baghdadi
    3. Najmuddîn Abdillâh ibnu Muhammad ibnu Syahawar ibnu Abû Syarwanyang terkenal dengan sebutan Najmuddîn yang mengarang tafsir Alquran Bahrul Haqaiq wal Ma’ani fi Tafsiri Sab’il Ma’ani
    4. Sya’duddin Muhammad ibnu Muayyad ibnu Abdillâh ibnu Ali al-Hamawi al-Sufi al-Juwaini

Karangannya

  1. al-Ta’wîlati al-Najmiyyati(tafsri Alquran)
  2. Fawaihu al-Jamâli wa Fawatihu al-Jamali
  3. Al-ushûl al-AsRAatau yang terkenal dengan Bayân AqRAb al-Turuqi
  4. Risâlah al-Safînah
  5. Risâlah al-Khaifu al-Haimu min Laumati al-Lâimi
  6. Thawâliu al-Tanwîri
  7. Manâzil al-Sâirin
  8. Suknatus Shalihîn
  9. al-Rubâiyatiyaitu kumpulan syi’ir-syi’ir yang berbahasa Persi

Tarekat Najmuddîn dan Cabang-cabangnya

  1. al-Kubrâwiyah al-Hamdaniyah
  2. al-Kubrâwiyah al-Nûriyah
  3. al-Kubrâwiyah al-Rukniyah
  4. al-Kubrâwiyah al-Dzahâbiyyah al-Ightisyasiyah
  5. al-Kubrâwiyah al-Nura Najsiyyah
  6. al-Kubrâwiyah al-Idrusiyah
  7. al-Kubrâwiyah al-Firdausiyah

Sumber: Alif.ID

98. Tarekat Histiyah

Imam Tarekat Hisytiyyah (di judul ditulis Histiyah) adalah Khawaja Mu’inuddin Hasan Sanjari Hisyti. Terkadang  ia dikenal dengan julukan-julukan Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (Penyantun orang-orang Miskin), Khawâjai Khawajagân (Imam segala Imam), Khawâjai Buzur (Imam Agung), Athâ’ ar-Rasul (Pemberian Nabi), dan Khawajai Ajmeri (Wali dari Ajmer). Ia lahir pada tahun 1142 M, tapi sebagian ahli menyebut tahun 1136 M. Tempat kelahirannya adalah Sanjar, sebuah kota  di Sistan, daerah pinggiran Khurasan.

Ia menghabiskan masa-mudanya  di Sanjar. Ia adalah murid dari pengganti Khawaja ‘Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama dua puluh tahun, ia hidup bersama syaikh ini dan berkhidmat kepadanya. Ia sezaman dengan Syaikh Najmuddin Kubrâ, Syaikh Awhad al-Din al-Kirmânî, Syaikh Syihâbuddin Suhrawardi, dan Khawaja Yusuf Hamadani. Pertemuannya dengan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani juga dibuktikan oleh berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jum’at, di bulan Rajab, 632 H./1235 M. Makam atau kuburannya ada di Ajmer, India.

Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah mengatakan bahwa penghulu para wali, Sayyidina ‘Ali, bertanya kepada Rasulullah SAW. demikian:

“Ya Rasulullah! Tunjukkan kepadaku jalan mana yang paling dekat menuju Allah SWT. dan yang paling utama dalam pandangan Allah SWT. juga, serta yang paling mudah bagi segenap hamba-Nya.” Nabi SAW. Menjawab: “Terus-menerus melantunkan zikir secara diam-diam”. ‘Ali bertanya: “Bagaimana aku mesti melakukannya?” Nabi SAW. Menjawab: “Tutuplah matamu dan dengarkan dariku tiga kali”.

Lalu, beliau mengulang-ulang kalimat laa ilaaha illallah tiga kali dan ‘Ali mendengarkannya. Kemudian ‘Ali mengulangi kalimat laa ilaaha illallah dan Nabi SAW. mendengarkannya. Kelak, ‘Ali mengajarkannya kepada Hasan al-Bashri. Begitulah zikir itu akhirnya sampai kepada kita (Imam ‘Ali wafat pada tahun 661 H. dan Hasan al-Basri pada tahun 728 H).

Tentang hadîts ini, Syaikh Waliyullâh berkomentar sebagai berikut:

Dengan alasan Hadis ini diriwayatkan hanya oleh para Syaikh Hisytiyyah dan, menurut para `ulamâ’, Hadis ini lemah dan tidak shahîh, sebab pertemuan ‘Ali dengan Hasan al-Bashri bukanlah kenyataan sejarah. Karena susunan kata dalam Hadis tidak cukup bagus, maka sulit kiranya menerima keshahihannya. Akan tetapi, penghormatan yang tinggi oleh para wali Hisytiyyah menuntut agar kita tidak memandangnya sebagai Hadis yang tidak shahîh; sebab menurut Imam Abû Hanifah dan Imam Mâlik, sebuah Hadis mursal sekalipun, jika para perawinya terpercaya, tetap dipandang shahîh, (Syifâ’ al-‘Alîl fi al-Qiyâsi wa al-Ta’lîl Terjemahan ke dalam bahasa Urdu dari karya Syaikh Waliyullâh, Qaul al-Jami’, Nizami Press, Kawnpur, 1291 H, halaman: 44-45).

Dalam Tarekat Hisytiyyah, sebelum syaikh memberikan perintah lebih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian Syaikh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfâr dari durud sepuluh kali serta membaca ayat Alquran berikut ini:

….فَاذْكُرُواْ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ …. ﴿١٠٣﴾

Ingatlah Allah SWT. di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring, (QS An-Nisâ’: 103).

Syaikh kemudian menyuruh sang murid untuk terus melakukan perintah ini dengan membaca ayat di atas, dan tidak melewatkan sesaat pun tanpa zikir, seperti diungkapkan seorang penyair:

“Jalan pencarian ini tak pernah berhenti sesaat pun”

Sumber: Alif.ID

99. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (1)

Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah menganjurkan metode zikir sebagai berikut ini: sang murid mesti duduk dengan lutut terlipat, atau duduk bersila, dan menghadap kiblat (Ia tidak harus berwudu lebih dahulu, namun akan lebih baik jika berwudu). Ia mesti duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk bersila, ia harus menahan kima (urat nadi yang ada dalam kaki) atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya.

Posisi ini bisa membuat hati merasa hangat, mampu menghilangkan bisikan-bisikan jahat, dan bisa melarutkan lemak di sekitar hati, yang menjadi tempat khannas atau “yang membisikkan rasa was-was”. Dengan duduk seperti ini, sang murid mulai melakukan zikir jali atau dzikr khafi (zikir keras atau zikir diam).

Perlu kiranya diperhatikan tujuh macam kondisi zikir itu diungkapkan dalam sajak berikut ini:

“Keadaan antara “dzât”, “shifât”, “perpanjangan”, “penekanan”, “bawah”, dan “atas”,
Memberikan kepada sang murid semangat dalam setiap tarikan nafas

  1. Yang dimaksudkan dengan “Keadaan antara” (barzah) adalah bentuk kiasan syaikh (pembimbing spiritual). Ini diperlukan untuk mengobati kemunafikan dalam hati.
  2. Yang dimaksud dengan “dzat” adalah dzaWujud Mutlak.
  3. Yang dimaksud dengan “sifat” (shifát) adalah tujuh sifat utama Allah SWT., yakni Maha hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Berbicara. Sang murid harus merenungkannya, dan mesti memikirkan dzat Allah SWT.
  4. Yang dimaksud dengan “pemanjangan” (madd) adalah pemanjangan kata l(manakala dilakukan zikir Khafi dan itsbât), atau pemanjangan huruf alif dalam kata Allah (ketika dilakukan zikir seh-paya [tiga ketukan] dalam Tarekat Hisytiyyah).
  5. Yang dimaksud dengan “penekanan” (syadd) adalah penekanan yang dikenakan pada kata-kata illallah atau pada kata
  6. “Di bawah” (taht) menunjukkan bahwa, manakala sedang berlangsung zikir nama Allah, hamzah dalam kata Allah mestilah dimulai dengan kekuatan dan diucapkan dari bawah pusar, dan manakala sedang berlangsung zikir nafî wa itsbát, kata la mesti dimulai dengan kekuatan dari bawah pusar.
  7. Yang dimaksud dengan “atas” (fawq) adalah bahwa zikir nama Allah mestilah dirampungkan dalam otak. Dalam dzikr nafî wa itsbât, zikir ini disempurnakan di bahu kanan.

Dengan memperhatikan kesemuanya itu, zikir nafî wa itsbât chahârpaya (empat ketukan) dilakukan demikian:

Sambil duduk dalam posisi shalat atau duduk bersila, dengan penuh konsentrasi, seseorang harus menarik kata la dari pusar dengan cara memperpanjang suara dan membawanya ke bahu sebelah kanan. Kemudian, ia harus menarik kata ilâha dari pusat otak, dan berpikir bahwa ia telah mencabut segala sesuatu selain Allah SWT. dari hatinya dan membuangnya jauh-jauh. Lantas, sembari mengambil nafas baru, ia mesti mengetukkannya di hati kuat-kuat dengan kata-kata illallah, agar berhala-berhala yang ada dalam dirinya bisa dihancurkan dan diluluhkan, dan pada saat berlangsung zikir penegasan berpikir, bahwa realitas yang dicari-cari sesungguhnya ada di hadapannya, dan bahwa sang hamba sendiri telah lenyap dan lebur.

Sang Sahabat masuk ke dalam dan kami pergi keluar.

Dengan la penafian, sang murid menafikan segenap ma’budiyât (berbagai objek penyembahan) selain Allah SWT.; sang dzâkir yang tengah menempuh tahap pertengahan menafikan seluruh maqshûdiyât (tujuan akhir) selain Allah SWT.; dari sang dzâkir yang telah mencapai kesempurnaan menafikan wujud segala sesuatu selain Allah SWT. Syarat utama zikir ini adalah konsentrasi dan pemahaman makna agar sang dzâkir tidak tertimpa kesengsaraan dan kemurkaan hebat yang disebutkan dalam Hadis di bawah ini:Baca juga:  Kuntowijoyo Memantik Geliat Politik Umat

Aku mengingat dengan kutukan orang yang mengingat-Ku dengan kelalaian, dan manakala hamba-Ku mengingat-Ku dengan bersenda-gurau, maka singgasana-Ku berguncang dengan kemurkaan.

Syarat berikutnya adalah bahwa sang murid mesti memperhatikan bentuk kiasan syaikh atau pembimbing spiritualnya, ketika melakukan zikir. Syaikh Qadhi Khân Yûsuf menandaskan: Empat ribu pembimbing spiritual menuju Allah SWT. sepakat bulat bahwa diperlukan dua hal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. yang satu adalah zikir dan yang lainnya adalah lapar. Hanya saja, orang yang melakukan zikir keras jangan sampai kelewat lapar. Cukuplah kiranya kalau ia menyisakan seperempat perutnya kosong. Ia mesti makan lebih banyak mentega (ghee) yang lebih jernih agar otaknya tidak kacau lantaran usang.

Dalam Tarekat Hisytiyyah, Dzikri Haddâdi juga diamalkan sebagaimana dalam Tarekat Qâdiriyyah. Ini dituturkan dari Imam Abû Hafsh Haddâd. Metode mengamalkannya adalah sebagal berikut:

  1. Sang dzâkir mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah.
  2. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke angkasa.
  3. Ketika mengucapkan la ilaha, ia berdiri di atas kedua lututnya, dan kemudian kembali ke posisi semula.
  4. Lalu ia mesti meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat, dan seraya mengucapkan illallah memukul dadanya dengan kata-kata yang saRAt dengan makna keagungan dan kebesaran. Sebagian orang menarik kata-kata la ilaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kata-kata illallah pada hati. Sebagian lagi mengucapkan kata Allah dengan cara yang sama serta mengenakan ketukan hû pada dada.

Selama beberapa hari, sang murid mengamalkan chardharbi dzikr (atau chahar-páya, atau empat ketukan). Manakala cahaya zikir muncul dalam dirinya, yakni manakala ia mulai merasa giat dan bersemangat, maka ia pun diperintahkan untuk melakukan dzikr du dharbi damádam (zikir dua ketukan secara cepat dan beruntun). Prosedurnya ialah mengenakan satu ketukan la ilaha pada bahu kanan, dan ketukan kedua illallah dalam daerah hati dan mengucapkan Muhammadun Rasul Allah pada ketiga, kelima, ketujuh atau kesembilan kalinya. Ada sedikit perbedaan dalam zikir ini, disebabkan oleh sedikitnya ketukan. Manakala cahaya zikir ini mulai muncul,  la ilaha pun dihilangkan dan hanya zikir dua ketukan saja yang dilakukan dengan illallah.

Dalam zikir dua ketukan illalláh, sang dzâkir sesudah menggerakkan kepalanya ke kanan, mengenakan ketukan illallah di daerah hati. Setelah itu, biasa dilantunkan zikir nama Allah SWT. dalam Tarekat ini, yang dilakukan dengan menarik kata Allah dari pusar ke atas serta mengenakan ketukan hu pada hati.

Semua zikir yang disebutkan di atas, entah dengan suara keras atau diam dan dilakukan oleh lidah. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa zikir illallah dilakukan lebih bányak ketimbang la ilaha illallah.

Sumber: Alif.ID

100. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (2)

Kemudian sang murid diperintahkan untuk melakukan dzikr-i-laq-laqa. Ini adalah mengingat Allah SWT. secara diam-diam dan terus-menerus tanpa henti. Selama zikir ini berlangsung, sang dzâkir bebas membuka atau menutup mulutnya; ia boleh juga menahan napasnya atau tidak sama sekali. Zikir ini dilakukan dengan lidah hati.

Kemudian, sang dzâkir diperintahkan untuk melakukan zikir tiga ketukan: dzikr-i-seh-pâya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: nama Allah, perenungan atas sifat-sifat utama (yakni, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Tujuh syarat yang disebutkan di atas harus juga diperhatikan.

Zikir tiga ketukan mestilah dilakukan dengan cara demikian: sang dzâkir duduk bersila dan menarik huruf hamzah dalam kata Allah dari bawah pusar dengan amat kuat dan memanjangkannya, menahan napas dalam dada, mengucapkan Allah dengan hati, dan mengucapkan Samî’un (Maha Mendengar) secara serentak dengan memahami maknanya dan kemudian mengucapkan lagi Allah serta kemudian Bashîrun (Maha Melihat) dengan memahami maknanya dan kemudian ia mesti mengucapkan Allah dan `Âlimun (Maha Mengetahui) sembari memahami maknanya. Ini disebut ‘uruj atau “tangga-naik”.

Selanjutnya, sang dzâkir dengan memahami maknanya mengucapkan Allahu ‘alimun, Allahu bashirun, Allahu saimi’un. ini disebut nuzul atau “tangga turun”. Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau “sirkulasi”, yakni sebuah zikir yang terdiri atas ‘uruj dan nuzül. Rahasia ‘uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan.

Dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang jauh lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami’ lebih dahulu dan ketika, sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang lebih luas, ia pun menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika, sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap “kegaiban dalam kegaiban” yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan ‘alim, dan kemudian ia kembali.

Menurut sebagian kaum arif, Allahu sami’un, Allahu bashirun, Allahu ‘alimun; Allahu ‘alimun, Allahu bashirun, Allahu sami’un; Allahu sami’un, Allahu bashirun, Allahu ‘alimun adalah sebuah zikir yang terdiri atas dua ‘uruj dan satu nuzül pertengahan.

Hanya saja, dalam zikir tiga ketukan ini, sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak empat puluh atau lima puluh kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati, tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sang dzâkir diliputi oleh cinta Allah SWT. dari keadaan fana diri bisa dikembangkan.

Sesudah sang hamba berhasil melakukan zikir tiga sifat, sami’, bashir, dan ‘alim ini dengan cara yang ditetapkan di atas, ia bisa menambahkan lima sifat lagi, yakni dâ’im (Maha Abadi), qâ’im (Maha Berdiri Sendiri), hâdhir (Maha Hadir), názhir (Maha Melihat), dan Syakhid (Maha Menyaksikan). Manakala ia mampu mempertahankan ini juga, ia bisa menambahkan tujuh sifat utama selebihnya. Sang hamba terus melakukan zikir ini selama diperlukan. Jika cahayanya mulai muncul dalam dirinya, yakni ia mulai merasa giat dan bersemangat, maka bisa ditambahkan sifat-sifat gabungan lainnya: akram al-akramin (Maha Pemurah dari Yang Pemurah), arham ar-ráhimin (Maha Pengasih dari Yang Pengasih) ajwad al-ajwadîn (Maha Pemberi), dz’u al-fadhl al-’azhim (Pemilik Anugerah Terbesar), Rabb al-’arsy al-’azhim (Pemilik Singgasana Teragung).

Di sini, Syaikh Kalimullah menyuruh sang hamba bahwa meskipun sangat sulit menarik kuat-kuat huruf hamzah dalam kata Allah dari bawah pusar, zikir ini sangatlah bermanfaat, dan bahwa tanpanya, zikir itu kurang efektif. Karena itu, sang hamba mestilah melakukannya sebenar mungkin. Akan tetapi, hendaknya ia jangan terlalu terhambat.

Sang penempuh jalan spiritual (salik) mesti juga mengamalkan dzikrulláh empat dan enam ketukan. Zikir enam ketukan berupa mengetukkan Allah pada setiap sisi. Zikir empat ketukan dilakukan dengan duduk menghadap kiblat, meletakkan Alquran di hadapannya, atau duduk di depan makam seorang wali. Ia mesti mengenakan kètukan pertama pada sisi sebelah kanan, kedua pada sisi sebelah kiri, ketiga pada Alquran, dan keempat pada daerah hati. Sementara itu, ia mesti benar-benar tenggelam dalam zikir tersebut. Zikir ini mengungkapkan makna Alquran, dan jika makam itu ada di depannya, maka keadaan orang yang dikuburkan di situ akan terungkap. Dalam zikir ini diperlukan media, yakni Syaikh atau pembimbing spiritual. Tanpa media, zikir ini tidak berguna.

Sumber: Alif.ID

101. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (3)

Anggota-anggota Tarekat Hisytiyyah mengamalkan dzikr pas-i-anfas atau “zikir menjaga napas” sebagai berikut: Sang dzákir mengucapkan  la iláha dalam napas yang dihembuskan, dari illallah dalam napas yang dihirup dengan lidah hati. Artinya, penafian dilakukan ketika napas keluar, dan penegasan dilakukan ketika napas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini, pandangan diarahkan kepada pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar pernapasan itu sendiri menjadi dzákir, entah sang dzâkir itu tidur atau terjaga.

Zikir menjaga napas bisa juga dilakukan dengan nama dzat (Allah). Caranya ialah memperpanjang sedikit huruf terakhir h, agar ada huruf u, yakni sang dzâkir mestilah, dengan lidah hati, mengucapkan Allah dengan napas yang masuk, serta hu dengan napas keluar.

Jika bunyi dihasilkan dari lubang hidung dalam zikir menjaga napas, entah itu dilakukan dengan la ilâha illallah atau dengan Allah, maka yang demikian ini disebut dzikr Arra-Bini. Zikir ini menimbulkan keresahan dan perasaan terbakar. Zikir ini membuat otak jadi panas dan kering. Dalam keadaan seperti ini, para sufi mengusapkan minyak buah badam di kepala mereka.

Sang dzâkir mesti berusaha sebaik mungkin untuk mencapai kesempurnaan dalam zikir ini, dan kesempurnaan pun dicapai manakala pernapasan itu sendiri sudah menjadi dzâkir, tanpa kemauan dan kesadaran sang dzâkir. Mula-mula, zikir ini dilakukan seribu kali sesudah shalat ‘Isyâ’, dan lima ratus kali sesudah shalat Subuh. Jumlahnya semakin meningkat dan bertambah hingga zikir ini terucap dengan sendirinya.

Diriwayatkan oleh Jabir, mengenai para penghuni surga, bahwa Nabi Muhammad SAW.. bersabda:“Tasbih (Maha suci Allah) dan Tahmid (Segala puji bagi Allah), bagi mereka, sama biasanya seperti bernapas.

Dengan menjaga napas demikian, kondisi yang sama pun bisa diciptakan, dan sang dzákir menjadi aktif dengan setiap tarikan napas. Sebab, dengan amalan yang berlebih, ketika kebiasaan zikir itu terbentuk dalam setiap tarikan napas, maka zikir akan menjadi otomatis, dan bahkan sebelum kematian datang menjemput, keadaan seseorang akan sama seperti keadaan para penghuni surga. Dituturkan kepada kita bahwa, pada “hari perhitungan” kelak, setiap orang akan ditanya ihwal bagaimana ia menggunakan setiap tarikan napasnya.

Jika tarikan napas seseorang digunakan untuk mengingat Allah, maka ia bakal beroleh keselamatan. Itulah sebabnya Syaikh al-Akbar mengatakan: Rentang waktu kehidupan sangatlah singkat. Setiap tarikan napas adalah segala sesuatu yang baik. Apa yang sudah keluar tidak akan pernah kembali lagi.

Dari seorang penyair sufi mengatakan:

Setiap tarikan napas yang keluar adalah sepenggal masa,

Yang nilainya akan diperoleh di dunia dan di akhirat,

Janganlah memilih menghancurkan perbendaharaan ini,

Kalau tidak, engkau akan masuk kubur laksana orang Miskin terlunta-lunta dengan tangan kosong!

Jika menjaga napas sudah bisa dilakukan, maka sang hamba termasuk ke dalam orang-orang “yang banyak mengingat Allah”, sebagaimana diperintahkan oleh Alquran kepada kita:

Wahai orang-orang beriman! Sebut dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, …..

Zikir menjaga napas dilakukan dalam hati saja dan tidak dengan lidah jasmani. Sebagian ‘ulama fiqih menolak kesahihan zikir dalam hati (dzikr al-Qalb). Akan tetapi, zikir atau “mengingat Allah” dipertentangkan dengan kelalaian, yang karenanya hanya merupakan sebuah sifat khas hati. Oleh karena itu, tidaklah benar membatasi zikir pada mengingat Allah dengan lidah saja. Zikir mestilah dilakukan dengan lidah dan juga hati. Mengakui yang satu dan menolak yang lain jelas tidak benar sama sekali.

Dzikr Kasyf ar-Rüh (zikir menyingkap ruh) dilakukan Sebagai berikut: Pertama, sang dzákir mesti mengulang-ulang Ya Rabb (Ya Tuhan) dua puluh satu kali. Kemudian ia mesti mengenakan dharb Yá Ruh ar-Ruh (Wahai ruh dari segala ruh)! Kemudian ia mengangkat kepala tinggi-tinggi dan mengucapkan Ya Ruh. Sesudah menyelesaikan zikir ini, ia mesti merenungkan ruh-ruh yang sudah berpulang ke haribaan Allah. Ruh yang dikenangkan akan menampakkan diri, entah sang dzâkir tidur atau terjaga. Jika zikir ini diamalkan dua ribu kali, maka tujuan akan diraih dengan segera. Zikir ini sampai pada Sayyid Muhammad Gisu Darâz dan Khwâja Nashiruddin Chirâgh Dehlavi.

Dzikr Kasyf al-Qubür (Zikir menyingkap kubur):

Sang dzákir mesti duduk di dekat kuburan, menengadahkan kepalanya ke langit dan mengucapkan: Aksyif Ii yâ Nür (singkapkan kepadaku, wahai Cahaya), kemudian mengulangi aksyf li (singkapkan kepadaku), mengetukkannya di hati, serta menghadap ke arah orang yang mati di kubur, mengetukkannya dan mengucapkan “unbalihi” (singkapkan keadaannya kepadaku). Keadaan orang yang mati akan tersingkap dan terungkap baik dalam mimpi atau secara jelas ketika ia sedang terjaga.

Dalam Tarekat Hisytiyyah, Dzikr al-ijâbat ad-Da’awât atau zikirpengabulan doa-doa” sangatlah bermanfaat. Zikir itu dilakukan sebagai berikut: Pertama, sang dzákir mesti menerapkan dharb: Yâ Rabb! (Ya Tuhan) pada sisi sebelah kanan, kemudian menerapkannya pada sisi sebelah kiri dan kemudian pada hati. Lantas ia mesti mengucapkan Yâ aAbbi (Ya Tuhanku!). Zikir ini mesti diulangi sebanyak-banyaknya. Manakala sang dzâkir ingin menyelesaikan zikir ini, ia mesti mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan: Yâ Rabb, sambil mencamkan tujuan yang ingin diraihnya. Zikir ini dituturkan dari Syaikh Muhyiddin Ibn Al-’Arabi.

Zikir berikut ini sangat efektif untuk mengobati berbagai macam penyakit: Sang dzâkir memukul sisi sebelah kiri dengan Yâ Ahad (Wahai Yang Maha Esa!), pada sisi sebelah kanan dengan Yá Shamad (Wahai Zat tempat meminta) dan Yá Witr (Wahai Yang Maha ganjil) pada hati.

Sumber: Alif.ID

102. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (4)

Perlu kiranya mengetahui beberapa hal lagi tentang zikir menahan napas. Syekh Kalimullah Jahânâbâdi mengatakan bahwa dalam beberapa tarekat, menahan napas dipandang sebagai prinsip paling manjur untuk menghilangkan kemunafikan dalam jiwa. Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah, Kubnawiyyah, Syattâriyyah, dan Qadiriyyah menjadikannya sebagai syarat untuk menghilangkan kemunafikan dalam hati serta untuk kefanaan diri.

Akan tetapi, para syaikh dalam Tarekat Naqsybandiyyah tidak memandangnya sebagai sebuah syarat apa pun. Namun, mereka tidak menafikan kemujarabannya. Bertolak belakang dengan mereka, para syaikh dalam Tarekat Suhrawardiyyah menganjurkan agar napas hendaknya jangan ditahan. Sebagai akibatnya, Syaikh Bâhâ’uddin ‘Umar dan Syaikh Zaynuddin Khawafi, pendukung Tarekat Suhrawardiyyah, juga berpandangan serupa.

Syekh Kalimullah menegaskan bahwa ada dua hal yang mesti dicamkan. Yang satu ialah menahan napas, dan yang lain adalah menghentikan napas (habs al-nafs dan hashr al-nafs). Ada dua macam menahan napas: mengosongkan dan mengisi. Yang dimaksud dengan mengosongkan (takhalliyyah) ialah menarik napas dalam lambung dan menarik pusar menuju punggung, dan menahan napas dalam dada, dan menurut sebagian orang dalam otak.

Untuk mencegahnya, sebagian orang menutup lubang hidung, telinga dan mata mereka dengan jari-jemari. Hanya saja, ini tidak perlu. Konon, Khidhr menyuruh Syaikh ‘Abdul-Khaliq Ghijduwâni untuk menenggelamkan diri dalam sebuah bak air dan mengamalkan yang demikian itu.

Pengalaman para sufi ialah bahwa menahan napas banyak memberikan manfaat. Umpamanya saja, kemunafikan dalam jiwa bisa dihilangkan. Perasaan gembira dan bahkan ekstase bisa dialami.

Yang dimaksud dengan “mengisi lambung” (tamli’ah) adalah bahwa napas mesti ditarik dan ditahan dengan menggelembungkan perut. Dalam keadaan seperti ini, pusar lantaran perut menggelembung terpisah dari punggung. Dengan mengosongkan perut napas, panas yang dibutuhkan dalam sulük pun meningkat, dan dengan mengisi, makanan pun bisa dicernakan.

Menghentikan napas (hashr an-nafs), sering kali dilakukan oleh para yogi, ialah memutuskan napas dari kedua sisi, yakni secara berangsur-angsur mengurangi panjangnya menghirup dan menghembuskan napas sampai napas ranar-benar berhenti. Tak pelak lagi bahwa tindakan ini menghasilkan panas dalam hati. Akan tetapi, panas yang dihasilkan dengan menahan napas jauh lebih besar ketimbang yang dihasilkan dengan menghentikan napas.

Bisa diperhatikan bahwa tujuan menahan napas dalam zikir dua dari empat dharb dan zikir Haddadi serta yang lainnya ialah menghasilkan panas dalam hati sang hamba. Pada gilIrannya, ini menimbulkan semangat dan menyiapkan dirinya untuk mencintai Allah. Zikir ini juga mengipasi api cinta serta mengembangkan kemabukan spiritual dan kegembiraan bergejolak dalam diri sang hamba.

Selama periode ini, sang hamba diperintahkan untuk menjauhi makanan-makanan yang banyak mengandung kelembaban. Demikian juga, ia tidak boleh memakan makanan yang asam atau pedas. Ketika napas di hembuskan sesudah ditahan, maka napas itu mestilah dihembuskan pelan-pelan melalui hidung dan jangan melalui mulut. Jika tidak demikian, maka yang demikian itu sangat berbahaya.

Lagi-lagi, zikir ini jangan dilakukan ketika perut sedang penuh terisi makanan, atau ketika seseorang itu lapar. Menahan napas dengan segenap tindakan pencegahan ini diperlukan di awal suluk. Akan tetapi, ketika sang hamba mencapai kesempurnaan, ia boleh mengamalkannya atau tidak sama sekali. Syekh Kalimullah menyatakan bahwa kaum Sufi mempelajari praktik ini dari para pertapa Hindu.

Para Sufi terkemuka juga berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan inderawi, dan wujud batiniahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlah sebuah hubungan antara dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan adanya hubungan ini, hati sang hamba pun tercerahkan, dan ia pun melihat Zat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah.

Zikir juga memungkinkan sang hamba melihat berbagai ragam cahaya. Warna berbagai cahaya ini terkadang putih, terkadang hijau, dan kadang-kadang merah. Akhirnya, muncul warna hitam, yang disebut “cahaya kebingungan dan “cahaya zat”. Cahaya yang terlihat dekat dengan bahu kanan dipandang sebagai cahaya malaikat pencatat sebelah kanan.

Jika ini terputus, maka yang demikian ini dipandang sebagai cahaya syaikh, dan jika muncul di hadapan sang dzakir, maka hal itu dipandang sebagai cahaya Nabi Muhammad. Begitu juga, jika ia muncul dekat dengan bahu sebelah kiri, maka yang demikian adalah cahaya malaikat pencatat di sebelah kiri; dan jika terputus, maka hal itu dipandang sebagai tipu daya setan. Sama halnya, jika ada suatu bentuk muncul di sisi sebelah kiri, maka hal itu juga dipandang sebagai tipudaya setan. Jika cahaya itu muncul dari belakang dan atas kepala, maka hal itu dipandang sebagai cahaya malaikat-malaikat penjaga.

Jika cahaya itu muncul tanpa arah, dan sang dzâkir ketakutan olehnya, dan tidak dirasakan adanya kehadIran Allah sesudah cahaya itu lenyap, maka yang demikian itu juga harus dipandang sebagai tipu daya setan. Jika kehadIran Allah dirasakan ketika cahaya itu muncul dan timbul perasaan berpisah dan rindu kepada Allah sesudah cahaya itu lenyap, maka ia mesti memahami bahwa itulah cahaya Zat Mahabenar yang dicari.

Jika cahaya itu muncul di dada, dan di atas pusar, maka lagi-lagi yang demikian ini dipandang sebagai tipuan setan. Jika cahaya muncul dalam hati, maka hal itu dipandang sebagai cahaya yang dihasilkan dengan menyucikan hati.

Akan tetapi, sang pencari sejati Allah semestinya tidak perlu memperhatikan cahaya-cahaya ini, juga tidak boleh merasa puas dengannya, sebab kesemuanya itu bukanlah tujuan yang ingin diraihnya. Penghambaan sang pencari Allah yang menimbulkan cahaya dipandang sebagai yang paling aman, dan ia bisa berharap lebih jauh untuk mencapainya.

Sumber: Alif.ID

103. Macam-Macam Zikir Tarekat Histiyah (1)

Dalam karyanya berjudul Kasykül, Syakh Kalimullah juga berbicara tentang berbagai zikir yang diturunkan dari hati ke hati. Para syaikh mengajarkannya hal seperti itu  kepada murid-murid  hanya sesudah dibersihkan oleh perjuangan, penolakan diri, dan tobat mereka sendiri selama empat puluh hari (chillas).

  1. Satu zikir khusus seperti ini adalah dzikr-e-mâ’iyat, yang diamalkan dengan mengucapkan  ya ma’i, yâ ma’i, yâ hu (wahai Engkau yang bersamaku). Metode mengamalkanya adalah sebagai berikut: Sang dzakir duduk dengan lutut terlipat, dengan kedua paha di tanah, serta memegang kuat-kuat bahu kiri dengan tangan kanan dan bahu kanan dengan tangan kiri. Kemudian ia mengulang-ulang enam kata di atas sedemikian rupa sehingga setiap ketukan bisa dikenakan pada setiap kata. Ketukan pertama mestilah berada di antara kaki kanan dan lutut kanan, ketukan kedua ke arah langit, ketukan ketiga antara kaki kiri dan lutut kiri, ketukan keempat pada hati, dan ketukan kelima dengan energi penuh di daerah hati. Diucapkan dengan kesadaran jiwa seperti ini, kata hu bermakna “ketunggalan mutlak” (ahadiyyat muthlaqah).

Sesuai dengan firman Allah, “Tidak ada sesuatu menyerupai-Nya…. (QS. Asy-Syürâ, 42:11).

Lebih baik jika selama zikir ini berlangsung, makanan sang dzâkir adalah susu. Bisa juga ditambahkan kunyit. Ia mesti juga mengenakan wewangian. Boleh jadi, zikir terbatas hanya pada tiga kata saja, yakni hu, hu, ya ma’i, dan sang dzákir mengetukkan hu, hu ke arah lagit, dan ma’i ke hati.

  1. Zikir berikutnya disebut dzikr aI-kulliyat (zikirkeseluruhan) yang dilakukan sebagai berikut:

Kata-kata yang digunakan adalah: Bika al-kull, minka al-kull, ilayka al-kull, yâ kull al-kull! (Bersama-Mu segala sesuatu, dari-Mu segala sesuatu, kepada-Mu kembali segala sesuatu, Wahai Yang Mahasegalanya). Sang dzâkir duduk bersila. Ia mesti mengetukkan sekali ke hadapannya, sekali ke sisi sebelah kanan, dan sekali ke arah langit atau hati. Dengan dua zikir ini, dicapai penyaksian ihwal Zat berikut sifat-sifatnya.

  1. Zikir khusus ketiga ialah dzikr al-Ihâthah (zikir keserbameliputan), yakni: Ya Muhith Dhahirun wa Bathinan (Wahai Engkau yang meliputi segala sesuatu, secara lahir maupun batin). Zikir ini juga membimbing ke arah penyaksian. Cara melakukannya iàlah bahwa sang dzakir membuka matanya ketika mengucapkan dhairun dan menutupnya ketika mengucapkan
  2. Zikir keempat adalah Mawh-al-jihat. Kata-kata yang digunakan adalah: Anta fawqi, anta tahti, anta amami, anta khalfi, anta yamini, anta syimali, anta fiyya wa ana ma‘a al-jihat fika aynama tuwallu fa-tsamma wajhullah (Engkau ada di atasku, Engkau ada di bawahku, Engkau ada di depanku, Engkau ada di belakangku, Engkau ada di sebelah kananku, Engkau ada di sebelah kiriku, Engkau ada dalam diriku, dan aku dengan genap penjuru arah ada dalam diri-Mu. Ke mana pun kamu hadapkan wajahmu, di sana ada wajah Allah).

Berikut ini adalah cara mengamalkannya: Sang dzakir mesti berdiri, menengadahkan wajahnya ke langit, dan mengucapkan anta fawqi, kemudian memandang ke tanah dan mengucapkan anta tahti. Sambil berdiri, ia melihat ke depan dan mengucapkan anta amami. Kemudian ia bergerak ke sebelah kanan, menoleh ke belakang dan mengucapkan anta khalfi. Kemudian, seraya menoleh ke kanan, ia mesti mengucapkan anta syimali, dan ketika mengetukkan pada hati, ia mesti mengucapkan anta fiyya. Akhirnya, dengan menoleh ke kiri, ia berputar ke segala arah dan mengucapkan ana ma’a al-jihat fika, aynama tuwallu fa-tsamma wajhullah. Sebagian orang pergi ke gunung atau ke hutan untuk mengamalkan zikir ini agar tak ada seorang pun melihatnya.

  1. Dari semua zikir ini, ada satu yang disebut dzikr at-tajalliy al-anâniyyah (pencerahan diri) dan inilah zikir inni anallaha, la ilaha illa ana (sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Aku). Zikir ini dilakukan seratus kali sesudah tengah malam. Caranya ialah sebagai berikut: Sang dzakir menengadahkan kepalanya ke langit dan mengucapkan: inni anallaha, dan kemudian sambil menoleh ke kanan, ia mengucapkan la ilaha, dan akhirnya ia mengetukkan illa ana dengan kekuatan penuh di daerah hati.

Dalam semua zikir di atas, merasakan pembimbing spiritual dan memahami makna kata-kata dalam zikir adalah syarat yang mesti ada, asalkan syaikh atau pembimbing spiritual adalah seorang sufi yang “berkesadaran”. Jika tidak, memahami maknanya saja sudah dipandang cukup memadai.

Mestilah diperhatikan bahwa zikir-zikir itu berakar dalam, dan bergantung pada cinta. Semakin sang dzakir mencintai Allah, maka semakin efektif zikir itu. Akan tetapi, dengan terus-menerus mengamalkan zikirikatan cinta akan makin bertambah kuat dan api cinta pun tersulut dalam hati. Zikir menyalakan bara api cinta yang padam, dan sang hamba tidak bisa melangkah maju tanpa cinta.

Gagasan itu diungkapkan dengan indah dalam bait-bait syair berikut ini:

Awas jangan pandang keadaan manusia sebagai permainan,

Dengan tidak mengerjakan sesuatu, jangan berpikir telah merampungkan kewajiban.

Jika engkau tidak sepenuhnya ditahap api cinta,

Janganlah mencari kesatuan ilahi dengan sekadar bicara.

Jika zikir itu sudah selesai, sang dzakir mesti mengucapkan tiga kali:

Mahasuci Allah segala puji hanya bagi-Nya semata; Mahasuci Allah, Allah Mahabesar, dan segala puji hanya bagi-Nya semata.

Dan kemudian membaca doa berikut: Ya Allah, sungguh Engkau telah berfirman: “Ingatlah Aku dan Aku pasti akan mengingatmu.” Aku mengingat-Mu sesuai dengan akal dan pemahamanku, ingatlah aku sesuai dengan pengetahuan, rahmat, ampunan, dan kemurahan-Mu! Ya Allah, bukakan telinga-telinga hati kami dengan mengingat-Mu! Wahai Engkau, yang lebih baik dari semua yang berzikir!

Sumber: Alif.ID

104. Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (2)

Syaikh Kalimullah adalah seorang syaikh berkedudukan tinggi dalam Tarekat Hisytiyyah. Ia adalah khalifah dan murid Syaikh Yahyâ Madani Hisyti. Ia lahir pada tahun 1060 H/ 1460 M. Tanggal kelahIrannya diambil dari kata ghani. Ia meninggal pada tahun 1142 H/ 1720 M. Salah seorang muridnya mengambil tanggal kematiannya dari kata-kata dzât-i-pâk.

Dalam karyanya yang tak tertandingi, Kasykül, menjelang bagian akhir, ia menyuguhkan sebuah metode zikir khusus, yang menurut hematnya, cocok dan sesuai bagi murid yang bisa menggunakan “hak penafsIran individual”. Tujuan zikir ini ialah mencapai “pengetahuan yang serba meliputi” (‘ilm al-basith) dan kefanaan-diri di hadapan Zat Allah (fana’ fi Allah). Di sini kami suguhkan, secara sederhana dan bersahaja, inti dari apa yang telah dikatakan oleh Syaikh Kalimullah ini adalah anugerah tak ternilai bagi pencari yang bijak dan berilmu.

Katanya, “Sangat diharapkan bahwa jika seseorang beramal menurut metode di bawah ini, ia bakal keluar dari lubang “keterpisahan” (firâq) dan dalam waktu singkat akan mencapai puncak “kesatuan” (jam’).

  • Sang pencari mesti duduk dalam keadaan suci sempurna dalam tempat tersendiri. Ia mesti menutup matanya, menempelkan lidahnya ke langit-langitnya, dan berpikir bahwa hati jasmaninya menggumamkan Allah, Allah, bahwa ia tidak sedang mendengarkannya, tetapi bahwa ia akan berusaha mendengarkannya. Kemudian, ia mesti sepenuhnya berkonsentrasi untuk mendengarkannya. Dengan bantuan dan pertolongan Allah, ia akan merasakan ada sedikit gerakan dalam hati. Kini, ia tidak akan tahu apakah gerakan ini ada dalam hati, atau dalam napas, atau hanya sekadar dalam imajinasinya.Karena itu, ia harus lebih banyak berkonsentrasi lagi, agar gerakan ini bisa didengar dan keraguan bahwa yang demikian itu adalah gerakan pernapasan atau sekadar imajinasi yang bakal hilang sama sekali. Ia merasa pasti dan yakin bahwa hati itulah yang berdebar dan menggumamkan Allah, Allah. Dalam terminologi Tarekat Naqsybandiyyah, ini dipandang sebagai Lathifah al-Qalb yang menjadi aktif dengan mengingat Allah.Anugerah besar ini diperoleh sesuai dengan bakat dan amalan sang hamba. Sebagian memperolehnya dalam waktu singkat, sebagian lagi meraihnya dalam waktu lama. Sebagian memperolehnya dengan sedikit perhatian, sebagian lagi sesudah berusaha dengan keras. Akan tetapi, tak ada yang kecewa.
  • Manakala sang dzâkir telah mencapai tahap ini, ia mestilah memelihara dan mendengarkan gerakan ini, baik ketika sedang bersama orang lain ataupun sendirian. Ia harus diam, berusaha memeliharanya serta menjaganya agar terus bergerak. Sebab, mula-mula, gerakan ini sangat lemah, dan hambatan kecil saja bisa menghentikannya. Manakala anugerah besar ini telah diperoleh, ia tidak boleh meremehkannya, serta berusaha siang dan malam menjaga dan mengembangkannya.Untuk sementara waktu, shalat-shalat sunnah dan berbagai macam wirid bisa ditinggalkan, dan hanya shalat-shalat wajib saja yang dilakukan. Kadang-kadang, ia harus membuka matanya dan menikmati keadaan mistis ini, sampai akhirnya ia mengembangkan kemampuan itu. Bahkan ketika matanya terbuka, ia bisa memperhatikan hatinya yang bergumam. Keadaan ini disebut Khilwat dar anjuman (atau kemampuan menikmati kesendirian, meskipun sedang bersama orang banyak).Dengan rahmat Allah, keadaan ini makin bertambah kuat. Pada saat sedang lupa, keadaan ini mesti dibangkitkan kembali dengan sedikit perhatian. Sesudah ini, semuanya akan berlangsung lama dan tak ada satu rintangan pun bisa menghalanginya. Dalam keadaan ini, sang pencari memperoleh kelezatan dalam zikir, dan hatinya pun bakal damai dan tenang.
  • Ketika gerakan hati mencapai tahap bahwa sang dzákir mulai mendengar nama Allah yang penuh berkah dari lidah hatinya, dan mengetahui bahwa gerakan ini muncul dari hati, maka gerakan ini bisa disebarkan ke seluruh anggota badan lainnya. Demikianlah gerakan ini terjadi dan timbul pertama kali dalam sebuah anggota tubuh sang hamba: kadang-kadang di tangan, kadang-kadang di kepala, dan kadang-kadang di kaki, sekalipun sang hamba sama sekali tidak sengaja menggerakkan bagian anggota tubuh itu serta berkonsentrasi hanya pada hati saja.Ketika cahaya zikir mulai menyebar, maka cahaya ini pun menyelimuti seluruh tubuh dalam waktu sangat singkat, dan tubuh sang hamba pun (dari ujung kepala hingga ujung kaki) dipenuhi dengan Pada tahap ini, berbagai keadaan mistis pun dialami. Terkadang ia merasa bahagia, terkadang kesal dan bingung. Hanya saja, sang hamba mestilah berusaha untuk tidak memperhatikan keadaan-keadaan ini. Ia mesti terus-menerus melakukan zikir, yang merupakan tugas pentingnya.Dengan rahmat dan berkah Ilahi, zikir nama Allah pun memancar dari seluruh tubuhnya, dan segenap anggota tubuhnya berjalan selaras dengan hati. Dalam keadaan seperti ini, dominasi zikir bisa lebih besar pada satu bagian anggota tubuh dan lebih kecil pada anggota tubuh lainnya. Kadang-kadang, dominasi ini menembus semua anggota tubuh lainnya. Jika hal ini tersebar merata dalam seluruh tubuh, maka sang dzâkir merasa sangat gembira dan bahagia. Dalam terminologi kaum Sufi, yang demikian ini disebut sulthân adz-dzikr.
  • Pada tahap ini, Syaikh Kalimullahmengingatkan kita ihwal prinsip para sufi besar bahwa tujuan zikir adalah kefanaan-diri dalam Zat Mahabenar yang diingat, dan bukan kefanaan atas nama Zat Mahabesar yang diingat. Karena itu, sang hamba hendaknya tidak memusatkan perhatiannya pada sekadar mengucapkan kata Allah saja, entah kata ini diucapkan oleh lidah atau oleh hati.Meskipun mengamalkan yang demikian ini sangat bermanfaat dan seseorang memperoleh pahala, tak urung tanpa merasakan kehadIran Zat Mahabenar yang diingat, zikir ini tidak akan membimbing dan mengantarkan pada kehadIran Zat Mahabenar yang tengah dicari. Sebagaimana baru saja kami katakan, tujuan hakiki zikir itu adalah fana’ fi-Allah, atau kefanaan-diri dalam haribaan Zat Mahabenar; dan bukan menempel pada Nama-Nya.
  • Ketika sang hamba sampai pada tahap sulthân al-dzikr, kadang-kadang terjadi bahwa ia merasakan ada gerakan dalam nadi dan hatinya, yang sifatnya berbeda dari gerakan pertama. Misalnya saja, gerakan yang dihasilkan oleh zikir tidaklah bersifat terus-menerus, sementara gerakan baru ini bersifat terus-menerus.Dalam ungkapan lain, gerakan pertama menyerupai gerakan hu hu hu yang di situ ada jedanya, sementara gerakan kedua menyerupai hu yang dipanjangkan; dengan kata lain, gerakan pertama bersifât tidak teratur, Sementara gerakan kedua bersifat terus-menerus. Gerakan kedua lebih halus ketimbang gerakan pertama, dan bisa diRasakan sesudah banyak melakukan amalan.

Mesti juga kita perhatikan bahwa gerakan pertama, yang tidak bersifat terus-menerus, bisa diketahui dengan kata-kata hü, Allah atau Haqq, sebab setiap kata mempunyai bunyi yang memiliki awal dan akhir. Karena itu, setiap bunyi terputus yang memiliki awal dan akhir bisa diidentifikasi dengan sebuah kata yang terputus. Akan tetapi, gerakan kedua yang bersifat terus-menerus yang awal dan akhirnya tidak jelas, tidak bisa diidentifikasi dengan kata-kata yang terpisah atau terputus-putus. Oleh sebab itu, kita bisa mengidentifikasikannya dengan Zat Mahabenar yang diingat, dan bukan dengan zikir, yakni nama Zat Mahabenar yang diingat.

Sumber: Alif.ID

105. Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (3)

Dalam hubungan ini, timbul keragu-raguan. Zat Mahabenar yang diingat dan dicari, yakni Haqq atau “Tuhan” mengandung kemutlakan sedemikian, yang (dalam hubungan dengan-Nya) kemutlakan bisa dipandang sebagai ketakterhinggaan. Dalam bahasa teknis, posisinya adalah lá bi syarth asy-syay’ (tanpa syarat apa pun), dan bukan bi syarth al-lâ syay’ (dengan syarat bukan apa pun).

Hanya saja, apa pun yang dirasakan oleh sang hamba melalui gerakan kedua sepenuhnya termasuk dalam dunia jasmani, dan berkenaan dengan tahap bi syarth al-la syay’. Lantas, bagaimana ini bisa diidentifikasi dengan Zat Mahabenar yang diingat, atau yang dicari, yakni Tuhan Yang Mahakuasa?

Kita akui bahwa keragu-raguan itu, sejauh ini, memang benar. Hanya saja, kita mesti memperhatikan bahwa sebuah objek yang mempunyai “kemutlakan” tertentu ternyata lebih dekat dengan Zat Mahabenar yang dicari ketimbang objek yang mempunyai “keterbatasan” sebagai sifatnya. Karena tipe gerakan kedua, bila dibandingkan dengan tipe pertama, mempunyai kemutlakan di dalamnya, maka ia pun lebih menyerupai Zat Mahabenar yang dicari ketimbang tipe gerakan pertama.

Sesungguhnya, kedua tipe gerakan ini termasuk dalam alam tanazzulát, dan berbagai manifestasi semua nama dan sifat. Dalam perjalanan menuju Allah, tujuan hakiki adalah la bi syarth al-syay’, yang merupakan tahap paling tinggi dalam perjalanan menuju Allah. Yang demikian hanya mungkin dicapai manakala sang hamba mencapai tahap fana’ atau “kefanaan menyeluruh” dan kemudian baqá’ atau “menetap dalam diri Allah”.

  • Akan tetapi, ketika gerakan terus-menerus ini dirasakan oleh sang hamba, sebagian orang merasakannya menyebar ke seluruh tubuh, dan sebagiannya lagi merasakannya pada anggota tertentu. Betapapun, perasaan ini mengarahkan perhatian pada Zat Mahabenar yang dicari. Akan tetapi, jika tidak demikian halnya, dan perhatian tidak tertuju pada Zat Mahabenar yang dicari, maka konsentrasi mesti diarahkan pada hati jasmani tanpa memikirkan atau menyebut-nyebut nama.Sekiranya setelah ini perhatian tidak juga terarah pada ZatMaha benar yang dicari, maka perhatian mestilah dicamkan kepadanya dengan mengambil nama Allah. Akan tetapi, mesti juga diperhatikan bahwa perhatian kepada nama saja tanpa memikirkan Zat Mahabenar yang dinamai (Allah) sangat berbahaya lantaran mampu menaklukkan tujuan hakiki.

Kini, sang hamba mestilah menerapkan pengetahuan tentang gerakan terus-menerus ini pada gerakan terus-menerus itu sendiri, sebab kejauhan dan kedekatan, kehadiran dan ketidakhadiran, kemusnahan dan kefanaan adalah akibat-akibat yang pasti dari pengetahuan ini sendiri.

Karena sumber hakiki dari gerakan terus-menerus dan terputus-putus adalah hati saja, maka sang hamba mestilah memperoleh pengetahuan tentang gerakan-gerakan ini dari hati saja, dan bukan dari anggota tubuh lain mana pun. Manakala seluruh tubuh sang hamba diberkahi dengan gerakan ini, ia mesti mengenakan Zat Mahabenar yang diingat pada seluruh gerakan tubuh dan menerapkan pengetahuan ini pada Zat Mahabenar yang diingat. Dalam keadaan ini, kefanaan dan ekstase banyak terjadi dan sang hamba pun mencapai keadaan fana’ total.

  • Sesudah melakukan amalan yang lama dan intens, sang hamba pun mencapai tahap ini, yang di situ hampir setiap saat ada pengetahuan tentang gerakan ini, ia kemudian mesti mencoba bahwa kesadaran akan pengetahuan ini diperoleh tanpa perantara hati jasmani, dan tidak usah mengarahkan perhatian kepadanya.Dengan demikian, kemajuan berikutnya bisa dicapai, dan perhatian pun bisa ditingkatkan dari segumpal daging dan seluruh tubuh. Ini disebut ‘ilm al- bashir atau “pengetahuan serba meliputi”. Keberanian mesti dimiliki untuk memelihara “keadaan” ini dari mengubahnya dari waktu singkat ke waktu lebih lama dan akhirnya untuk selama-lamanya.
  • Jika kadang-kadang, lantaran kelemahan hubungan dengan Zat Mahabenar yang dicari, kehadIran tidak bisa dijaga tanpa perantaraan gerakán, maka melalui gerakan itu sendiri, perhatian mesti diarahkan pada hubungan, tetapi ghaflah (melupakan Allah) tidak boleh dibiarkan dan ditoleransi. Jika gerakan tubuh terus-menerus sama sekali berhenti, maka perhatian mesti diarahkan pada gerakan terus-menerus tertentu dalam hati.Jika yang ini juga hilang, maka sang hamba mesti mandi air dingin, atau menghembuskan napas dari otak dengan kuat, atau ia mesti mengulang-ulang nama Allah Fa’ ‘al beberapa kali dengan penuh kesadaran seraya memahami maknanya. Insya’ Allah, ia akan bisa menjalin kembali hubungannya dengan Zat Mahabenar dengan salah satu metode di atas.
  • Jika dengan rahmat Allah dan disebabkan oleh kesabaran dan amalannya, sang hamba mencapai tahap di mana hampir setiap saat ia merasakan kehadIran Tuhan yang diingatnya, tanpa mengarahkan perhatiannya pada gerakan seluruh tubuh, maka ia mesti berusaha untuk tidak melupakan anugerah besar ini barang sesaat pun, entah itu berupa gerakan-gerakan anggota tubuh atau gerakan-gerakan dalam hati. Dalam keadaan seperti ini tentang dirinya akan dikatakan bahwa ia telah mencapai kedudukan orang-orang yang tangannya sibuk bekerja dan yang hatinya sibuk mengingat sang Kekasih (Allah).

Wahai saudara, pikirkan rencana untuk meraih kekayaan (spiritual),

Jangan lewatkan hidup berharga ini dalam kelalaian.

Senantiasa, di mana pun, dan dalam setiap pekerjaan,

Tatapkan pandangan jiwa pada Sang Kekasih!

  • Sang hamba mestilah berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan bahwa pengetahuannya terbebas dari segenap penjuru arah, atau dari campuran kualitas apa pun sehingga keserupaan yang sempurna bisa dihasilkan antara pengetahuan dan yang diketahui. Hal ini bisa ditegaskan secara lebih jelas demikian: sang hamba, dari pusat hatinya, menemukan sebuah hubungan atau nisbat, yang seperti seutas benang dan membentang menuju Zat Mahabenar yang dicari, agar bersambung dengannya.Hanya saja, ketika pihak lainnya, yakni Zat Mahabenar yang dicari itu, bersifat mutlak dan tak tertentu, maka hubungan ini pastilah berkaitan dengan Zat Mutlak dan tak tertentu yang terbebas dari segenap gagasan tentang kualitas dan kuantitas. Keadaan ini ditafsirkan sebagai keadaan secara terus-menerus tertarik pada Allah, yang menyebabkan timbulnya semangat, ekstase, kegembiraan, kemabukan, ketakutan, dan ketakziman. Yang dimaksud dengan kewalian (wilayah) adalah mengalami keadaan seperti ini.

Sumber: Alif.ID

106. Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (1)

Tarekat ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh al-Tha’i al-Hatimi al-Andalusi al-Mursiyi yang bersaudara dengan Adi bin Hatim yang bersal dari suku al-Tha’i. Suku al-Tha’i merupakan salah satu suku yang terkenal dalam bidang pengembangan logika baik pada masa jahiliyah maupun masa Islam. Beliau dijuluki Abu Bakar dan lebih dikenal dengan sebutan Muhyiddin, atau dengan sebutan al-Hatim atau Ibnu Arabi. Sementara orang Timur menyebutnya dengan Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi.

Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Muḥammad Ibn ‘Ali Ibn Muḥammad Ibn Ahmad Ibn Abdullâh al-Tha’i al-Hatimi al-Andalusi, putera Abdullâh ibn Hatim, saudara Adiy ibn Hatim. Ia diberi gelar Abu Bakar, dan dijuluki dengan Muhyiddin, al-Hatimi, dan Ibnu Arabi.

Ibnu Arabi ini tanpa huruf Alif (ا) dan Lam (ل) seperti yang diistilahkan oleh orang masyrik untuk membedakan  antara dirinya dan al-Qadhi Abu Bakar Muhammad Ibn Arabi (1076-1148), kepala hakim Sevilla. Kelak Ibn ‘Arabi belajar kepada salah seorang sepupu dari tokoh ini, (al-Tasawuf al-Islâmi fi al-Adab wa al-Akhlâk, halaman: 119, al-Adab al-Sufi fi al-Maghrib wa al-Andalus fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, halaman: 251, syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 190, al-Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 3, al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman 5).

Ibn ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H., bertepatan dengan 28 Juli 1165 M., di Murcia, Spanyol bagian Tenggara. pada waktu kelahirannya Murcia diperintah oleh Muḥammad Ibn Sa’id Ibn Mardanisy dibawah Bani Umayyah, (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 5, al-Futûhât al-Makkiyyah, juz 1, halaman: 3).

Sebagai anak pertama dan satu-satunya laki-laki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tetapi, tujuh tahun pertama kehidupannya tampaknya dihabiskan ditengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibn Mardanisy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk berdiri sendiri dengan bantuan tentara bayaran Kristen.

Ibn Mardanisy berdiam di Murcia dan Valencia, oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu dengan raja-raja dari Castile dan Aragon. Selama 25 tahun dia membela kerajaannya melawan kekuatan baru dari al-Muwaḥḥidin, meskipun kekuasaannya semakin surut ketika Ibn ‘Arabi  lahir.

Dinasti al-Muwaḥḥidin berasal dari suku-suku Berber dari pegunungan Atlas Maroko, pengikut dari pemimpin keagamaan Ibn Tumart, dan muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibn ‘Arabi, al-Muwaḥḥidin telah membangkitkan dan merekonsolidasi persatuan muslim di Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Kristen di Utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai ibu kota lokal dan membangun stabilitas di seluruh daerah Afrika Utara.

Pada tahun 1172 Ibn Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap kekuasaan al-Muwaḥḥidin. Ayah Ibn ’Arabi bersama-sama dengan rombongan pengikut Ibn Mardanisy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiaannya pada Sultan al-Muwaḥḥidin, Abû Ya’qub Yusuf  I dan menjadi salah satu penasihat militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibu kota kerajaan al-Muwaḥḥidin di Spanyol.

Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh Sultan; seperti memulihkan kembali sistem air Romawi Kuno dan membuat Sevilla menjadi kota utama di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur di mana penyanyi serta penyair bergaul dengan para filosof dan teolog, dan para wali berdampingan dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibn ’Arabi tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agam, dan filsafat.

Masa Kanak-kanak dan Muda Ibn Arabi

Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada, lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla abad ke XII pada masa Ibn ’Arabi masih muda bisa disamakan dengan gabungan kota London, Paris, dan New York di masa sekarang sebuah campuran yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan, dan peristiwa

Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar di sekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Alquran oleh salah seorang tetangganya, Abû  ‘AbdAllah  Muḥammad al-Khayyat, yang kemudian sangat ia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 6).

Selama menetap di Sevilla, Ibn ’Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka.

Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusydi (w. 595 H). di Kordova. Ibn ’Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filosof besar Ibn Rusydi yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibn Rusydi, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, sebab ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles, astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, etika, logika, dan ulasan-ulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles.

Percakapan Ibn ’Arabi dengan filosof besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Perecakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal logis dan jalan imajinasi gnostik. Fakta bahwa sufi muda ini mengalahkan filosof peripatetik itu dalam tukar pikIran tersebut dengan tepat menunjukkan titik buhul pemikIran filosofis dan pengalaman mistik Ibn ’Arabi yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam pemikIran metafisikanya.

Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan erat dan disokong oleh pemikIran filosofisnya yang ketat. Ibn ’Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya secara tepat ke dalam suatu pandangan dunia metafisis yang sangat kompleks, (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 7).

Ibn ’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya. Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan al-Muwaḥḥidin selama beberapa waktu dan dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman pencerahan.

Setelah pertemuannya dengan Ibn Rusydi dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H. (1184 M.), Ibn ’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima al-Muwaḥḥidin bersama-sama shalat di Masjid Agung Kordova.

“Alasan aku menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut: Aku pergi bersama tuanku, Panglima (al-Muwaḥḥidin) Abû Bakr Yûsuf bin Abd al-Mu’min bin ‘Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon kepada Allah SWT”.

“Kemudian pikiran melintas (khâtir) menerpaku (sehingga) aku berkata pada diriku sendiri, “Jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana di hadapan Allah SWT., maka dunia ini tidak ada artinya.” Lalu aku meninggallkannya pada hari itu juga dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti jalan ini”.

Perlu dicatat di sini bahwa masa jahiliyah yang dialami Ibn ‘Arabi tak lain hanyalah sebuah fase ghaflah, fase kealpaan atau “kebingungan”. Begitulah, sejak saat itu Ibn ’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan dan penghambaan penuh terhadap Allah SWT. sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Îsâ, Mûsâ, dan Muḥammad SAW.

Ia memutuskan untuk mengambil jalan zuhud dengan meninggalkan seluruh kekayaan duniawinya, di mana ini menjadi titik perubahan penting dalam perjalanan hidup Ibn ‘Arabi. Ia telah memilih jalan kemiskinan dan tak akan pernah berpaling lagi darinya. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya salah satu sumber penghidupannya adalah pemberian dan sedekah yang diterimanya dari para sahabat di jalan spiritual dan dari sebagian kerabatnya semasih tinggal di Timur. Baginya hal itu merupakan wujud pengabdian murni (al-‘Ubûdiyyah al-Mahḍah) yang mengharuskan seorang wali meninggalkan semua hak dan harta yang akan membuatnya tetap ingat akan rububiyyah, ketuhanan.

Sumber: Alif.ID

107. Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (2)

Pada beberapa bagian karyanya, Ibn ‘Arabi menyebutkan secara tersurat maupun tersirat upayanya untuk kembali kepada Allah SWT. Kita dapat secara langsung mencatat pengulangan beberapa istilah kunci, yakni khalwat (penyendirian), fath (pencerahan), mubasysyirah, wâqi’ah (mimpi), tawbah (tobat), rujû’ (kembali). Semua istilah tersebut mewakili begitu banyak kepingan asimetris, yang jika dikumpulkan dan disusun secara koheren, memungkinkan kita membentuk kembali sebuah catatan logis mengenai rentetan fase dalam proses kembalinya Ibn ‘Arabi kepada Allah SWT.

Pada 590 H. (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama ia menuju kota Murur untuk menemui Syaikh Abû  Muḥammad al-Mawrûrî. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Kordova dan Granada. Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin menyebeRAngi laut dan menuju daratan lain.

Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syaikh Abû Madyân, seorang pendiri alIran tasawuf yang barangkali adalah syaikh paling terkemuka pada zamannya. Melalui Abû Madyânlah kecenderungan sufi yang khas di Maghrib benar-benar kentara. Berasal dari daerah Sevilla, Abû  Madyân tinggal sementara di Fez. Di sana dia bertemu dengan Abû Abdullâh al-Daqqâq, seorang sufi aneh yang luar biasa, demikian menurut para penulis hagiografi yang tampaknya mewariskan khirqah untuknya.

Abû  Madyân adalah seorang yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya. Keinginannya untuk bertemu dengan Abû  Madyân secara fisik tidak pernah tercapai, bahkan ajaran Abû  Madyân diperolehnya hanya dari murid-muridnya yang notabene adalah guru-gurunya, seperti al-Mawrûrî , al-Kûmî dan al-Sadrânî.

Akan tetapi Ibn ’Arabi meyakini bahwa Abû Madyân mengenalnya, bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual. Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibn ’Arabi dengan alIran Neoplatonisme.

Dari Bugia Ibn ’Arabi meneruskan kelananya ke Tunisia. Di sana ia mengkaji karya seorang sufi politisi, Abû  al-Qâsim Ibn Qushay, Khal’an Na’layn (melepas kedua sandal). Tokoh inilah yang terkenal pembelotannya terhadap dinasti al-Murâbitûn di Andalusia Barat. Selain mengkaji karya tersebut, pada tahun yang sama Ibn ’Arabi mengunjungi beberapa murid Abû  Madyân, seperti ‘Abd al-Azîz al-Mahdâwî dan Abû  Muḥammad ‘AbdAllah al-Kinânî. Kepada al-Mahdâwî ia mempelajari karya Ibn Barajân, yakni Kitab al-Hikmah.

Dituturkan bahwa selama berada di Tunisia, Ibn ’Arabi bertemu dengan Nabi Khidir As. Pertemuan kemudian terjadi lagi ketika pada akhir 1194 Ibn ’Arabi kembali ke Andalusia. Dengan demikian sebanyak tiga kali telah ditemui oleh Khiḍir As. dalam tingkatan yang berada secara fisik.

Pertemuan pertama berlangsung di daratan, di jalan kota pada siang hari, di mana ia menekankan kepasrahan lahiriah kepada guru duniawi. Pertemuan kedua terjadi di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Dan ketiga, Khiḍir memperlihatkan diri di atas udara.

Tampaklah bahwa ada tahapan dari ajaran Khiḍir As. dalam “bahasa yang khusus” untuk menuntun Ibn ’Arabi ke dalam pengetahuan misteri Ilahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dari pendidikan tersebut. Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi yang diterimanya ke dalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya.

Pada akhir tahun  1194, setelah kembali ke Andalusia, ia menulis salah satu karya besarnya, Maqâṣid al-Asrâr, untuk sahabat-sahabat dari Mahdawî. Pada sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbîrât al-Ilâhiyyah untuk al-Mawrûrî.

Perjalanan spiritual

Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan al-Muwaḥḥidin dan memasuki jalan rohani, Ibn ’Arabi melakukan perjalanan yang menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Ia memulai sebagai Isawi, kemudian menjadi Musawi. Setelah bertemu dengan Hud dan semua nabi, ia akhirnya sampai pada warisan Muḥammad SAW.

Terkadang proses ini berada di bawah bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari para nabi itu sendiri. Ibn ’Arabi dengan jelas melihat seluruh proses perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para nabi dan Rasul. Baginya, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah ekspresi integral dan menyatukan kebijaksanaan Muḥammad.

Warisan kenabian ini membentuk basis riil dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Îsâ, menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Mûsâ , saat cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masing-masing nabi, ia akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muḥammad.

Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan kemudian, Ibn ’Arabi menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudarinya, yakni Umm Sa’d dan Umm ‘Alā’[xxv], sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya.

Desakan duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara al-Muwaḥḥidīn di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibn ‘Arabi mendapat tawaran pekerjaan dalam pasukan pengawal Sultan. Karena teringat ucapan Sâliḥ al-Adawî, Ibn ‘Arabi menolak tawaran itu.

Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudarinya menuju Fez dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, tanggung jawab duniawinya selesai dan ia kembali mencurahkan diri pada jalan spiritual.

Fez tampaknya menandai periode kebahagiaan yang luar biasa dalam kehidupannya, di mana ia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris Muḥammad, dia sendiri juga semakin jauh masuk ke dalam warisan ini.

Di Masjid al-Azhar di Fez ia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya, visi cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahaya yang besar. Pada tahun berikutnya, pada usia 33 tahun, Ibn ‘Arabi mengalami suatu perjalanan yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’raj) yang mencerminkan perjalanan malam Nabi Muḥammad yang terkenal.

Perjalanan ini kemudian tertuang dalam Kitāb al-Isrâ’. Perjalanan ini merupakan perjalanan spiritual ke atas langit, perjalanan yang membawa peziarah melampaui sekat-sekat geografis menuju hadirat Ilahi, “yang berjarak dua busur atau lebih dekat”, (Al-Najm: 9). Bagi para wali, meneladani Nabi berpuncak dalam “perjalanan malam” ini.

Setelah dianugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibn ‘Arabi kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Pada bulan Desember tahun itu ia berada di Kordova daat pemakaman Ibn Rusydi. Kemudian dari Kordova, bersama sahabat dekatnya al-Habsyi mereka menuju ke Granada dan kembali bertemu dengan ‘AbdAllah  al-Mawrûrî.

Pada bulan Januari 1199 di Granada Ibn ‘Arabi mendapat visi yang memperkuat makna dari penutup para wali. Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negeri kelahIrannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah.

Sumber: Alif.ID

108. Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (3)

Pada akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibn ‘Arabi akhirnya tiba di Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwan pun sering menemuinya. Di antara mereka adalah Abû Syuja’ al-Imam al-Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibn ‘Arabi sehingga lahirlah karyanya terjemahan al-Asywaq (Futuhat al-Makkiyah, juz 1, halaman: 5, al-Risalah al-Wujadiyyah, halaman: 8).

Selama dua tahun di Makkah (1202–1204), Ibn ‘Arabi sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah Misykat al-Anwar, Ḥilyat al-Abdal, Ruḥ al-Quds, dan Taj al-Rasa’il. Namun karyanya yang paling monumental adalah Futuhat al-Makkiyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, tempat ia bertemu dengan sosok pemuda misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna esoterik dari Alquran .

Di samping itu, sebuah visi tentang nabi Muḥammad melengkapi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian. Pada periode Makkah ini juga terjadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majd al-Dîn Ishâq bin Yûsuf dari Anatolia (daerah Rum). Syaikh ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi penasihat Raja di Istana Saljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî, salah seorang tokoh kunci di antara murid-murid Syaikh al-Akbar (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 8).

Pada tahun 1204 (601 H.) Ibn ‘Arabi meninggalkan Makkah menuju Baghdad dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Selama tinggal di sini ia berhasil menyelesaikan tiga karya, yaitu Tanazzulât al-Mawṣiliyyah, al-Jalâl wa al-Jamâl, dan Kunh mâ lâ budda li al-Murîd Minhu.

Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H.) mereka (Ibn ‘Arabi dan Habasyî) berangkat ke Utara melalui Dyarbakir dan Malatya sampai Konya. Pada tahun ini Ibn ‘Arabi menyusun Risâlat al-Anwâr (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhubungan dengan Awhad al-Dîn al-Kirmânî, seorang guru spiritual dari Iran.

Pada tahun 1206 Ibn ‘Arabi menuju ke Yerussalem lalu Hebron di sini berhasil menulis Kitab al-Yaqîn dan menunaikan ibadah haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibn ‘Arabi dari Andalusia, yaitu al-Khayyâṭ dan al-Mawrûrî (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 8-9).

Akan tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak simpati pada Ibn ‘Arabi, karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir tahun 1207 Ibn ‘Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Ḥadis dan juga mengunjungi keluarga Abû Syujâ’ bin Rustâm.

Setelah tinggal di Makkah sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke Utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada tahun 1210 (607 H.) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang di sana.

Pada tahun 1212 (609 H.) Ibn ‘Arabi kembali mengunjungi Baghdad. Di sana dia bertemu dengan guru sufi terkenal Syihâb al-Dîn ‘Umar al-Suhrawardî, pengarang kitab ‘Awîrif al-Ma’ârif ( 539-632 H./1145-1238 M). Pada periode antara 1213-1221 Ibn ‘Arabi berkelana lagi ke Aleppo,  Makkah, Anatolia, Malatya dan kembali ke Aleppo lagi.

Sewaktu tinggal di Malatya Ibn ‘Arabi sempat menulis Iṣṭilâhât al-Shûfiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majd al-Dîn Ishâq wafat dan Ibn ‘Arabi mengambil tugas membesarkan dan mendidik putera Majd al-Dîn, Ṣadr al-Dîn Qûnawî yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa lama kemudian sahabatnya al-Habasyî juga wafat.

Pada tahun 1223 (620 H) Ibn ‘Arabi menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya.

Pada saat itu ia amat terkenal dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus al-Malik al-‘Adl menawarinya untuk tinggal di istana. Di sini Ibn ‘Arabi merampungkan karya besarnya Futuhât al-Makkiyyah dan juga Fushûṣ al-Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelesaikan puisinya Dîwân al-Akbar. Adapun Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî yang telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama dengan Awhad al-Dîn Kirmânî, sahabat Ibn ‘Arabi sekaligus guru Qûnawî.

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’ul Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun. Qaḍi ketua di Damaskus dan dua orang murid Ibn ‘Arabi melakukan upacara pemakamannya (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 9, al-Adab al-Sufi fi al-Maghrib wa al-Andalus fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, halaman: 87, Syadzarât al-Dzahab, juz 5, halaman: 190, Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 13).

Tentang istri-istrinya yang dapat diketahui ada tiga orang. Pertama,  Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali dalam Futûhât al-Makkiyyah, juz 2, halaman: 278, dan juz 3, halaman: 235.

Kedua, Fâṭimah binti Yûnus bin Yûsuf. Ia putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imâd al-Dîn (Futûhât al-Makkiyah, juz 4, halaman: 554).

Ketiga, seorang wanita yang tidak diketahui namanya, putri seorang kaḍi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futûhât al-Makiyyah, juz 4, halaman: 559). Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibn ‘Arabi) tidak diketahui namanya serta bagaimana nasibnya.

Sumber: Alif.ID

109. Corak Pemikiran dan Gaya Ibnu Arabi (Tarekat Akbariyah)

Secara tipikal Ibnu Arabi  dianggap sebagai seorang sufi. Anggapan ini relatif benar jika memahami istilah sufisme untuk menunjuk pada tambatan pemikiran dan praktik Islâm yang menekankan pengalaman langsung dari objek-objek iman.

Terlepas dari perbedaan mengenai asal-usul kata yang membentuk artinya, yaitu  ṣafa (suci); ṣaf (penghuni masjid); sophia (hikmah); atau sûf (bulu domba), tasawuf mengandung makna yang dalam yang merujuk pada kebersihan batin, mendekatkan diri pada Tuhan, menjauhkan diri dari kesombongan dan ketamakan terhadap daya tarik dunia.

Tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman hakikat realitas, dan kebahagian rohaniah.

Dari sekian pengertian tasawuf (sufisme) di atas adalah benar jika dikatakan bahwa Ibnu Arabi adalah seorang tokoh sufisme. Karena jika kita menyimak kembali riwayat hidupnya, adalah sosok yang memilih jalan ruhani yang penuh kesederhanaan pada saat kenikmatan duniawi mengelilinginya. Harta, jabatan, dan segala kemewahan ditinggalkannya demi mencari kebahagiaan hakiki.

Dalam banyak literatur, Ibnu Arabi memang lebih sering dimasukkan dalam ketegori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof, seperti hanya AE. Affifi yang memandang Ibnu Arabi  dari sudut pandang filsafat, maka tidaklah mudah untuk menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara tasawuf dan filsafat.

Dari segi epistemologi, sufisme, atau tasawuf adalah hasil dari proses mujâhadah (mengekang hawa nafsu), musyâhadah (pandangan bathin), dan intuisi. Sedangkan filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi yang kuat. Keduanya mempunyai objek yang sama, yakni alam beserta isinya, manusia serta perilakunya, dan eksistensi Tuhan.

Pemaduan kedua unsur ini, yakni filsafat dan tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berpikir rasional transendental. Inilah yang mewarnai corak pemikIran Ibn ‘Arabi. Hasilnya adalah sebuah sintesa antara perspektif nalar dan spiritual.

Dalam wacana ilmu tasawuf, dibedakan adanya tiga corak atau aliran pemikIran sufisme, yaitu: Tasawuf akhlaqi, tasawuf ‘amali dan tasawuf filosofis atau falsafi. Kemudian pembagian tiga corak ini disingkat oleh Prof. H.A. Rivay Siregar menjadi dua aliran yaitu tasawuf sunni (gabungan antara tasawuf akhlaqi dan tasawuf amali) dan tasawuf filosofi.

Keduanya mempunyai sejumlah kesamaan yang prinsipil di samping perbedaan-perbedaan yang mendasar. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengaku bersumber dari Alquran dan Sunnah dan sama-sama berjalan dalam maqâmât  dan aḥwâl. Perbedaanya adalah mengenai kedekatan antara sufi dengan Tuhannya.

Penganut tasawuf sunni mengatakan bahwa sedekat apapun antara seorang manusia dengan Tuhannya tidak mungkin tumbuh karena tidak satu esensi. Sedangkan penganut tasawuf filosofis mengatakan bahwa manusia berpadu dengan Tuhan karena manusia tercipta dari esensi-Nya. Selain itu perbedaan bersumber dari perbedaan instrumen yang digunakan dalam memecahkan persoalan.

Di satu pihak, tasawuf sunni cukup menggunakan dalil-dalil naql dari ajaran Islâm, cenderung ortodoks dan sederhana dalam pemikIran. Di lain pihak tasawuf filosofis sangat gemar terhadap ide-ide spekulatif dengan menggunakan analisis filsafat yang mereka kuasai, baik filsafat Timur maupun Barat.

Cikal bakal kemunculan dua aliran dalam tasawuf ini, terjadi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Pada saat itu muncul dua alIran dalam tradisi asketisme. Aliran pertama melandaskan diri pada Alquran dan sunnah dan memegang tradisi kalâm dan fiqih dengan kuat. Aliran inilah yang menjadi pangkal munculnya tasawuf sunni.

Aliran kedua adalah aliran yang selain berprinsip pada Alquran dan sunnah juga pada tradisi di luar Islam yang cenderung pada hal-hal yang metafisis yang disebut union mystica. AlIran ini sering menunjukkan keganjilan (syaṭahat) sehingga menimbulkan pertentangan dan dianggap menyimpang dari ajaran Islâm. Aliran inilah yang menjadi awal munculnya tasawuf filosofis.

Kemudian pada abad kelima Hijriyah, aliran sunni mengalami masa kejayaan di tangan Abû al-Ḥasan al-Asy’ârî (w. 324 H.) dengan teologi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan mengeritik keras terhadap keekstriman tokoh sufi seperti Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallâj, yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil.

Pada abad kelima Hijriyah ini tasawuf aliran filosofis tenggelam dan baru muncul kembali dalam bentuk lain, yaitu pada pribadi para sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya. Mulai saat itulah tasawuf filosofis berkembang lagi dan sampai pada puncaknya, aliran ini melahirkan sesosok sufi filosofis yang menggemparkan pada abad-abad berikutnya yakni Syaikh al-Akbar Ibn al-‘Arabi. Bahkan sampai saat ini terus menjadi bahan kajian yang aktual.

Umumnya para sufi filosofis begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islâm ke dalam ajaran mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran tasawuf mereka.

Para sufi yang juga filosof ini mengenal dengan baik filsafat Yunani seperti pemikiran-pemikiran Socrates, Plato, dan aliran Stoa (didirikan oleh Zeno), serta aliran Neoplatonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Selain itu mereka juga mempelajari filsafat-filsafat Timur Kuno, baik dari Persia maupun India, serta menelaah karya-karya filofos Islâm, seperti al-Farâbî, Ibn Sina, dan lain-lain. Begitu pula yang dilakukan Ibn ‘Arabi .

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabi  dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara murni. Jika dalam membahasnya kita menggunakan kaca mata tasawuf, maka pemikirannya dapat dikategorikan sebagai tasawuf filosofis. Jika menggunakan kaca mata filsafat, maka pemikirannya dikategorikan filsafat mistis.

Kita dapat melihat dari segi tasawuf karena ia menjalani laku kehidupan rohani seperti sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spriritual yang agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf (penyingkapan) dan zauq (rasa).

Sedangkan dari sudut pandang filsafat, Ibn ‘Arabi  dapat disebut seorang filosof, karena selain dia paham betul dengan teori-teori filsafat dari berbagai unsur sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa filsafat, tetapi juga pemikIrannya menambah pada objek-objek kajian filsafat, yaitu problem metafisika.

Menurut A.E. Affifi, secara keseluruhan Ibn ‘Arabi  dapat digambarkan sebagai filosof bertipe tidak beraturan dan eklektik. Ia mengatakan bahwa gaya Ibn ‘Arabi  yang ambiguity (mendua) disebabkan paling tidak oleh tiga hal. Pertama, Ibn ‘Arabi  menggunakan istilah-istilah yang diambilnya dari berbagai sumber, seperti The Good-nya Plato, The One-nya Plotinus, Substansi Universal-nya Asy’ari dan Allah-nya Islâm. Kadang-kadang ia menggunakan satu kata untuk beberapa makna, misalnya kakikat, diartikan sebagai realitas, kadang esensi, kadang suatu ide atau suatu ciri.

Kedua, bahwa Ibn ‘Arabi  selalu berusaha merekonsiliasikan dogma-dogma ortodoks Islam dengan pemikiran panteistik. Ketiga, ia menggunakan bahasa yang puitis dan fantastis sehingga mengaburkan pemikiran yang logis dan ketat.

Siapapun tidak menyangkal bahwa memahami pemikiran Ibn ‘Arabi bukanlah hal yang mudah. Meskipun karya-karyanya yang berjumlah ratusan dapat memberikan gambaran yang utuh buah pemikirannya, tetapi ungkapan-ungkapan yang digunakan bersifat simbolis dan mengandung makna yang begitu dalam sehingga sulit dimengerti oleh orang-orang yang mempelajarinya.

Tidak mengherankan jika pada suatu waktu di musim dingin di parlemen Mesir terjadi perdebatan seru di tengah para tokoh pemikir, mengenai boleh tidaknya salah satu karya Ibn ‘Arabi  diterbitkan secara bebas. Sebagian berpendapat boleh, sebagian melarangnya karena dikhawatirkan menyesatkan pembacanya.

Memang diperlukan sikap kritis dan ekstra hati-hati karena pembahasannya merambah hal-hal yang sangat fundamental dalam pemikIran, yaitu spekulasi tentang hakikat segala realitas. Itulah mengapa karya-karyanya cenderung dicurigai dan dianggap membahayakan keimanan, terutama di kalangan sunni yang notabene dianut oleh mayoritas umat Islâm.

Namun lain halnya bagi sejumlah sarjana, yang sebagian berasal dari kalangan Syi’ah dan sebagian dari luar Islâm. Mereka memiliki sikap yang lebih apresiatif terhadap konsep-konsep tasawuf filosofis, termasuk di dalamnya pemikIran Ibn ‘Arabi . Hal ini antara lain disebabkan karena pandangan para sufi dianggap lebih liberal dan mengandung pesan universal bagi bentuk agama apapun, sehingga adanya keragaman di dunia ini tidak menjadi halangan untuk terjalinnya harmoni kehidupan, karena hanya ada satu realitas yang mendasarinya.

Sumber: Alif.ID

110. Guru-guru dan Karya-karya Ibnu Arabi

Satu hal yang dapat kita pelajari dari ulama yang mumpuni adalah bahwa ia tidak hanya memiliki satu guru. Ia berguru pada banyak orang sehingga pikirannya tidak picik, termasuk syakih seperti Ibnu Arabi. Guru-guru Syaikh Ibnu Arabi adalah sebagai berikut:

  1. Abu Bakar bin Akhlaf al-Lakhami, Guru Alquran
  2. Abu al-Hasan Syarikh bin Muhammad bin Syuraikh al-Ra’idi, Guru Alquran
  3. Abu al-Qasin Abu Rahman bin Ghalib al-Syarati, Guru Alquran
  4. Abu Muhammad Abdullâh al-Bazari, Guru Alquran dan Qiro’ah
  5. Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Khamzah, Guru Qiro’ah Sab’ah
  6. Abu Abdillah Muhammad bin Said bin Darrabun, Guru Hadis
  7. Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdur Rahman bin Abdillah al-Isbidi, Guru Hadis
  8. Abd al-Shamad bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Fadhal al-Khurrastani, Guru Hadis
  9. Yunus bin YahyaAbi al-Hasan al-Abbasi al-Hasyimi, Guru Hadis
  10. Abu Suja’ Zahid bin Rastam al-Asbihani, Guru Hadis
  11. Nasr bi Abi al-Futhi bin Umar al-Hasr, Guru Hadis
  12. Salim bin Rizqullâh al-Afriki, Guru Hadis
  13. Muhammad Abu walid bin Muhammad bin Sabil, Guru Fiqih
  14. Abu Abdillah bin ‘azzi al-Fakhir, Guru Fiqih
  15. Abu Said Abdillah bin Umar bin Ahmad bin Mansur al-Shafa, Guru Fiqih
  16. Abu al-Wâbil bin Ibnu Arabi, Guru Fiqih
  17. Abu Sana’I Mahmud bin Mudhaffar al-Liban, Guru Fiqih
  18. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Bakri, Guru Tasawuf
  19. Dhiya’ al-Din Abd al-Wahabbin Ali bin Ali bin Sakinan
  20. Abu al-Khair Ahmad bin Ismail bin Yusuf al-Tharîqani al-Quzwaini
  21. Abu Thâhir Ahmad bin Muhammad bin Ibrâhim
  22. Abu Thâhir al-Salafi al-Asbihani
  23. Jabir bin Ayub
  24. Abu Qâsim Khalaf bin Basykawal
  25. al-Qâsim bin Ali bin Hasan bin Hibbatullâh bin Abdullâh bin Hasan al-Syafi’I
  26. Yusuf bin Hasan bin Abi al-Naqabi bin Hasan
  27. Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Rasnawial-Khaffafi
  28. Abu Hafs Umar bin Abd Najib bin Umar bin Hasan bin Umar al-Qarsi al-Mayasiti
  29. Abu Farj Abd al-Rahman bin Ali bin Jauzi al-Hafidz
  30. Abu Bakar bin AbilFatah al-Saikhani
  31. al-Mubarok bin Ali bin Hasan al-Thabaqi
  32. al-Rahman bin Ustadz (Ibn ‘Alwan)
  33. Jalil al-Zanjani
  34. Abul Qâsim Hibbatullâh bin Ali bin Mas’ud bin Sadaadin al-Musibi
  35. Ahmad bin Abi Mansur Muhammad bin Abi Ma’ali Abdillah bin Mauhib bin Jami’ bin Abd al-Baghdadi
  36. Muhammad bin Abi Bakar al-Tusi
  37. al-Muhadzdzab bin Ali bin Hibatullâh al-Tayibi al-Dzariri
  38. Rukn al-Din Ahmad bin Abdillah Ahmad bin Abd Qâhir al-Tusi
  39. al-Kirmani Baghdad
  40. Tsabit bin Quroh al-Hawi
  41. Abd al-Azizi bin Ahdhar
  42. Abu Umar Utsman bin Abi Ya’la bin Abi Umar al-Abhuri al-Syafi’i
  43. Said bin Muhammad bin Abi Ma’ali
  44. Abd al-Hamid bin Muhammad bin Ali bin Abi al-Mursyidal-Quzwaini
  45. Abu al-Najib al-Quzwaini
  46. Muhammad bin Abd.al-Rahman bin Abd al-Karim al-Fasi
  47. Abu al-Hasan Ali bin Abdillah bin Hasan al-Rozi
  48. Ahmad bin Mansur al-Jauzi
  49. Abu Nyhannad bin Ishaq bin Yusuf bin Ali
  50. Abu Abdillah Nuhammad bin Abdillah al-Hajari
  51. Abu al-Shabri ayub bin Muhammad al-Mukri
  52. Abu Bakar Muhammad bin Ubaid al-Saksaki
  53. Ibn Malik
  54. Abd al-Wadudu bin Samkhun
  55. Abd al-Mun’im al-Kharsi al-KhazRAji
  56. Ali bin Abd al-Wahid bin Jami’
  57. Abu Ja’far bin Ja’far al-Wara’i
  58. Ibn Hudzail
  59. Abu Zaid al-Suhaili
  60. Abu Ubaidillah bin Fakhar al-Malaqi
  61. Abu Hasan bin al-Shaigh al-Anshâri
  62. Abd al-Jalil
  63. Abu Abdillah bin Mujahid
  64. Abu Imron Musa bin Imron al-Muzaili
  65. Muhammad bin Ali
  66. Ali bin Nadhar

Karya-karya Ibnu Arabi

Dalam catatan sejarah  pemikiran umat Islam, Ibnu Arabi  adalah yang memberi konstribusi besar terhadap transisi intelektual secara tertulis. Separuh akhir dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual, dan spiritual yang tidak ternilai harganya. Memang ia adalah pemikir yang paling tinggi tingkat produktifitasnya dibanding pemikir lain. Namun sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para peneliti atas karya-karya Ibnu Arabi.

Berbagai angka telah disebukan oleh para sarjana. Louis Massingnon, seorang orientalis Perancis, mengemukakan bahwa Ibnu Arabi menulis sekitas 300 karya. Sementara C. Brockelman mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahya, dalam karya bibliografinya yang berbahasa Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan bahwa hanya sekitar 700 yang asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibn ‘Arabi  sendiri dalam Ijazah li al-Malik al-Muzaffar menyebutkan ada 289 judul.

Menurut S.H. Nashr, karya-karya Ibnu Arabi  beragam ukuran dan isinya, dari uraian-uraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman sampai karya ensiklopedik besar; dari risalah metafisika yang abstrak sampai puisi-puisi sufi yang mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu mencakup persoalan metafisika, kosmologi, psikologi, dan penafsIran terhadap Alquran yang semuanya bertujuan menjelaskan makna-makna esoterik.

Menurut Stephen Hirtenstein, Ibnu Arabi  menulis tidak kurang dari 350 buku. Karya-karya utamanya disebutkan sebanyak 30 buah, termasuk di dalamnya masterpiece Futûhât al-Makkiyyah dan Fushûsh al-Hikam.

Futûhât al-Makkiyyah adalah karya Ibnu Arabi  yang menjadi perbedebatan di parlemen Mesir. Di dalamnya berisi tentang kehidupan spiritual para sufi beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan iilmu-ilmu keagamaan seperti tafsîr Alquran, Ḥadis, dan fikih.

Menurut pengakuan Ibnu Arabi , karya ini merupakan hasil pendiktean dari Tuhan melalui malaikat-Nya. Mulai disusun di Makkah pada tahun 1202 (598 H). setelah Ibn ‘Arabi  menerima visi tentang pemuda dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk versi pertama dan pada tahun 1238 (636 H.) untuk versi kedua.

Karya monumental kedua adalah Fushûṣh al-Hikam (Untaian Permata Kebijaksanaan). Diakui oleh Ibn ‘Arabi, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi Saw untuk diajarkan pada umat manusia. Terdiri dari 27 bab, setiap bab mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap nabi, dimulai dari Nabi Adam As dan ditutup dengan Nabi Muḥammad.

Secara keseluruhan kitab ini mempresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda menuju kebijaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muḥammad. Karya ini dianggap sebagai intisari dari ajaran Ibn ‘Arabi , yang ditulis pada tahun 1229 (627 H.) di Damaskus, sekitar 10 tahun sebelum ia wafat.

Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya yang terhimpun dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika dan kosmologi ada tiga buah, yaitu Insyâ’ al-Dawâ’ir, Uqlah al-Mustawfiẓ, dan Tadbîrât al-Ilâhiyyah.

Suatu kumpulan karya Ibn ‘Arabi yang berisi tentang pengalaman-pengalaman spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun praktis bagi penempuh jalan ruhani, tergabung dalam Rasâ’il Ibn al-Arabi. Di antaranya adalah kitab-kitab sebagai berikut:

  1. Kitab al-Isrâ’(Perjalanan Malam). Ditulis pada tahun 1198 (594 H), menggambarkan pendakian mistik dan pertemuan dengan realitas spiritual nabi di tujuh lapis langit.
  2. Ḥilyat al-Abdâl (Perhiasan Para Pengganti). Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di Thaif. Mengajarkan empat penopang jalan yaitu : penyendirian, diam, lapar, dan terjaga.
  3. Risâlat al-Anwâr (Risalah Cahaya-cahaya). Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di Konya untuk memenuhi permintaan seorang sahabat. Mendeskripsikan persoalan-persoalan spiritual mengenai pendakian non-stop melalui berbagai tingkatan menuju kesempurnaan manusia.
  4. Kitab al-Fanâ’ fi al-Musyâhadah. Ditulis di Baghdad pada tahun 1212 (608 H). merupakan pemikIran mendalam atas Surat ke 98. Mendeskripsikan pengalaman visi mistik.
  5. Iṣṭilâhât al-Shûfiyyah. Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Maltya. Terdiri dari 199 definisi singkat dari ekspresi penting yang lazim digunakan di antara hamba-hamba Allah SWT.
  6. Karya-karya mengenai biografi para sufi yang didup di zamannya adalah Rûḥ al-Quds (Ruh-ruh Suci) dan al-Durrah al-Fâkhirah. Kedua kitab ini diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J Austin dan diberi judul Sufis of Andalusia.
  7. Tarjumân al-Asywâqadalah karya Ibnu Arabi  yang mengundang penafsiran negatif tentangnya, karena dianggap sebagai ekspresi dari cinta nafsu yang dipersembahkan untuk Niẓ Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa itu merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibnu Arabi  menulis Dzakhâ’ir al-‘Alaq.
  8. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya’, adalah seni karya-karya ringkas, menggunakan sistem penomoran alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204 (602 H), seri kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyah yang berbeda-beda seperti ketunggalan (aḥadiyyah), kasih (raḥman), dan cahaya (nur).
  9. Fihrist al-Mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibnu Arabi sendiri untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya yang ditulis pada tahun 1229/1230 (627 H) di Damaskus untuk muridnya Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî.

Selain karya-karya di atas, Ibnu Arabi  memiliki berbagai karya lain yang akan terlalu panjang untuk dituliskan semua. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: Maṣadiq al-Asrar al-Qudsiyyah (Kontemplasi Misteri Kudus), Anqa’ Mughrib (Burung Anqa’ di Barat), Misykât al-Anwâr (Relung Cahaya), Mawaqi’ al-Nujum (Letak Bintang-bintang), Tâj al-Rasâ’il (Mahkota Risalah-risalah), Kitab Jalal wa al-Jamal (Kitab Keagungan dan Keindahan), Kitab Tajalliyat (Kitab Teofani), dan Awrad al-Usbu’ (Do’a untuk Seminggu).

Sumber: Alif.ID

111. Ajaran-ajaran Akbariyah-Ibnu Arabi

Syaikh (mursyid) adalah orang sempurna dalam keilmuan syariat, tarekat, dan hakikat. Ia juga sampai pada batas kesempurnaan pengetahuan tentang kendala-kendala nafsu, penyakit-penyakitnya, dan metode penyembuhannya. Ia mengetahui  obat dan mampu melakukan pengobatan terhadap penyakit nafsu serta mampu  memberi petunjuk untuk antisipasi terhadap kendal-kendala nafsu.

Adapun kriteria-kriteria syaikh atau mursyid menurut Akbariyah ada 20 macam, yaitu: 1) menghadirkan sifat kehambaan pada dirinya, 2) bersiap menerima hakikat pemberian ilahi tanpa menggunakan perantara, 3) adanya sifat belas kasih yang tumbuh dari maqomul al-‘indiyah, 4) memuliakan ilmu-ilmu ilahiyah, 5) keilmuan itu didapat tanpa perantara.

Mursyid juga harus 6) memiliki pengetahuan tentang syariat menurut kadar kebutuhan, 7) beri’tiqad ahlu sunnah wal al-jama’ah, 8) berakal dengan logika agama dan sosial, 9) dermawan dan pemberani, 10) menjaga diri, 11) memiliki cita-cita yang luhur terhadap murid, 12) mengasihi mereka, 13) sabar dan pemaaf, 14) memiliki budi pekerti yang baik.

Selanjutnya, 15) memiliki sikap mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri (al-itsar/ngalah), 16) mulia dan terpercaya, 17) menerima dan pasrah dengan keputusan Allâh Swt, 18) memiliki ketenangan jiwa pada saat bergerak, 19) memiliki ketetapan jiwa dalam melangkah, dan 20) memiliki kewibawaan yang tinggi.

Syarat Murid dan Mursyid

Syarat murid dan mursyid adalah tawajjuh menghadapkan jiwa kepada Allâh Swt., zuhud, tajrid beri’tiqad dengan keyakinan ahlul haq, taqwa, sabar, mujahadah, pemberani, berusaha sekuat tenaga, menundukkan tingkatan-tingkatan nafsu, jujur, berpengetahuan, mencari,  dan berpolitik dengan musuh, (Syarh Hikam Syaikh Akbar, halaman: 159-160).

Persiapan bagi Salik sebelum Menemukan Syaikh (Mursyid)

Ada sembilan hal yang harus dipersiapkan bagi salik sebelum menemukan mursyid. Empat hal secara lahir yaitu lapar, tidak tidur malam, diam, dan `uzlah. Secara batin ada lima , yaitu sungguh-sungguh, tawakkal, sabar, mempunyai cita-cita yang luhur, dan berkeyakinan (Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 418).

Zikir

Zikir adalah sifat ketuhanan yaitu jika sâlik ingat kepada Allâh Swt dalam hati dan kesendiriannya, dan oleh karena itu Allâh Swt akan mengingat salik dalam dzat Allah. Apabila salik mengingat Allâh Swt dalam sebuah perkumpulan makhluk maka Allâh Swt akan mengingatnya bahwa dia adalah orang yang terbaik di antara perkumpulan tersebut. Zikir tidak hanya sekedar menyebut nama Allâh Swt akan tetapi menyebut dari sisi bahwa Allâh Swt adalah Dzat yang terpuji. Karena manfaat zikir akan hilang jika hanya menyebut nama Allâh Swt (Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 344).

Dalam berzikir, salik dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, zikir dengan menghadirkan hati dan bisa mencapai kekhusyukan. Kedua, zikir yang menghadirkan hati dengan cara menggunakan kekuatan imajinasi. Sementara yang paling sempurana adalah zikir dengan menggunakan dua kekuatan yaitu kekuatan akal, syari’at, dan mukasyafah (Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 345).

Adab

Ada empat macam adab, yaitu:

  1. Adab Syari’at adalah adab ilahi yang diberikan Allâh Swt. dengan cara wahyu dan ilham, seperti Alquran dan Hadis yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw.
  2. Adab Khidmat adalah mu’amalah kepada Allâh Swt tentang hal yang dikhususkan bukan muamalah kepada makhluk-Nya.
  3. Adab Haq adalah adab bersama Allâh Swt dengan melaksanakan semua perintah-Nya.
  4. Adab Haqiqah adalah adab meninggalkan adab dengan kefanaan kita dan mengembalikan semuanya kepada Allâh Swt.

Pembagian Salik

  1. Salik yang berjalan karena dijalankan oleh Tuhan, yaitu sâlik yang pendengaranya, penglihatannya, dan semua kekuatannya berasal dari Allâh Swt yang haq.
  2. Salik yang berjalan dengan dirinya sendiri, adalah sâlik yang melakukan pendekatan kepada Allâh Swt dengan melakukan semua kewajiban dan ibadah sunnah yang penuh dengan kebaikan dengan tujuan untuk mencintai Allâh Swt. Sâlik berusaha sekuat tenaga melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
  3. Salik yang berjalan dengan gabungan antara dijalankan Tuhan dan dirinya sendiri, yaitu setelah sâlik merasakan semua pendengaran, penglihatan, dan pengetahuannya berasal dari Allâh Swt. tanpa melihat sesuatu bagian atas dirinya.
  4. Salik yang bukan kategori sâlik, adalah sâlik yang melihat dirinya tidak sendirian dalam menempuh suluk selama kebenaran menjadi sifat bagi sâlik, sementara sifat sâlik tidak berdiri sendiri dalam suluk selama nafsu mukallaf masih ada, sâlik bagaikan tempat bagi sifat. Jika sudah demikian, maka tampaklah sâlik sebagai sâlik yang memadukan semua kategori salik yang ada empat. Wujud yang tampak tidak memiliki bentuk karena yang tampak adalah dzat yang menjadikan semua bentuk benda terlihat,

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـكِنَّ اللهَ رَمَى (الأنفال: 17)

(Futûhât al-Makkiyah, juz 4, halaman: 15-17).

Kaidah Pendidikan bagi Salik

  1. Ma’rifat (mengenal) kepada Dzat yang disembah.
  2. Qana’ah. Syaikh Ibnu Arabi menyebut kalimat qana’ah yang sempurna. Qana’ah ini bisa berhasil dengan sifat al-jud (dermawan) yaitu memberi sebelum diminta, karena tanda tanda qana’ah adalah al-jud
  3. Meninggalkan semua yang dilarang Allâh Swt.
  4. Menepati janji, yaitu janji manusia ketika berada di alam alastu (alam ruh, sebelum manusia diturunkan ke dunia) (Tafsîr al-Baghâwi, juz 1, halaman: 77).
  5. Sabar, memenjarakan nafsu, dan sabar atas kehilangan sesuatu. Salik tidak mengadu kepada selain Allah Swt Mengadu kepada Allah Swt dan mencari sesuatu yang hilang bukan terkategorikan mengadu dan mencari yang tercela secara syar’i dan wira’i. Salik saat ini mempunyai maqâm tapi tidak memiliki hal (keadaan jiwa), karena mengadu kepada selain Allâh Swt adalah tercela.

Sumber: Alif.ID

112. Ibnu Arabi Tentang Keadaan di Luar Keilmuan

Syaikh Ibnu Arabi berpendapat mengenai hal atau keadaan yang bukan berasal dari keilmuan atau pendengaran. Hal-hal tersebut meliputi banyak hal, seperti disebut di bawah ini.

  1. Kemuliaan dalam zuhud

Kemuliaan dalam zuhud adalah bersekutu di antara Allâh Swt, Rasul, dan orang orang mukmin.

وَلِلهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿المنافقون: ٨﴾

  1. Kekayaan dalam kefakiran

Tidak melihat sesuatu di dunia akhirat selain Allâh Swt, ketika Salik melihat sesuatu selain Allâh Swt maka salik membutuhkan sesuatu tersebut.

  1. Qana’ah dalam wira’i

Barang siapa yang tidak wira’i maka tidak dikatakan orang yang qana’ah. Qona’ah adalah rela terhadap tidak adanya sesuatu kecuali pada saat membutuhkannya.

  1. Kelonggaran dalam kesabaran

Sabar adalah meninggalkan keluh kesah dan mengadu kepada selain Allâh Swt, karena sabar merupakan separuh agama dan bisa menguatkan keyakinan

  1. Rezeki dalam tawakal

Rezeki merupakan pemberian dan pembagian dari Allâh Swt kepada semua makhluk, sehingga salik harus tawakal kepada Allâh Swt

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا ﴿هود: ٦﴾

  1. Kebenaran dalam kesungguhan

Salik membebaskan diri dari daya upayanya kepada kekuatan Allâh Swt, jika salik merasa mempunyai daya dan kekuatan dari diri sendiri maka salik tidak dikatakan orang yang shiddiq, bahkan salik adalah pembohong, karena salik mengakui sesuatu yang bukan miliknya

  1. Agama dalam takwa

Yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam yaitu agama yang sempurna yang meliputi iman dan taqwa yang sempurna, dan yang mampu menyandang gelar ini adalah wali Allâh Swt yang sejati. Takwa bisa diraih dengan zikir. Orang yang takwa adalah orang yang bersaksi bahwasannya Allâh Swt itu menjaga terhadap semua perbuatan syirik, sedangkan nafsu Salik tidak mampu menghindar terhadap apa yang tidak diridloi Allâh Swt

  1. Kenyamanan dalam menyendiri (‘uzlah)

Kenyamanan adalah sesutu yang tidak disertai dengan hal yang melelahkan dan memberatkan baik masa sekarang maupun akan datang.  ‘uzlah yang sempurna merupakan salah satu dari beberapa pokok yyang mencakup terhadap semua kebaikan, yaitu tidak tidur malam (al-sahar), lapar (al-ju`), dan berdiam diri (al-sumt). ‘uzlah juga bisa diartikan keluar dari semua sifat yang tercela dan akhlaq yang jelek (secara lahir). Sedangkan ‘uzlah secara batin (al-qalb) adalah menahan untuk menggantungkan diri kepada selain Allâh Swt atau hanya menggantungkan diri kepada Allâh Swt, sehingga salik merasa nyaman

  1. Petunjuk (huda) dalam memerangi nafsu (mujahadah al-nafs)

Petunjuk adalah cahaya (nur), mujahadah adalah ilmu dan amaliyah artinya melakukan amal berdasarkan keilmuannya (tasawuf falsafi dan amali). Barang siapa yang tidak mujahadah maka tidak akan menemukan tarekat ini

  1. Fana’ dalam Musyahadah

Fana’ adalah mengganti sifat-sifat basyariyah (kemanusiaan) dengan sifat-sifat hakikat (sifat-sifat tuhan). Musyahadah adalah suatu ungkapan tentang penampakan hakikat keyakinan tanpa keragu-raguan.

  1. Mahabbah dalam mengikuti nabi

Yang dimaksud mahabbah dalam hal ini adalah cinta kepada Allâh Swt, dan rasul-Nya, cinta Allâh Swt, dan rasul-Nya kepada salik.

Barang siapa yang mengingikan cinta dan berharap merasakan manisnya cinta maka hendaknya dia mengikuti Rasulullâh Saw.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (آل عمران: 31)

  1. Barokah dalam halal

Rizqi halal yang diterima oleh Salik meskipun sedikit disebut barokah jika di manfaatkan untuk taat kepada Allâh Swt

  1. Cahaya dalam ibadah

Barang siapa yang tidak beribadah maka dia tidak memiliki cahaya secara lahir. Cahaya ini bisa dilihat dalam budi pekerti.

  1. Rahasia (sirri) dalam menyimpan

Barang siapa yang tidak kuasa untuk menutupi, maka dia tidak memilik sirri. Rahasia tetap dikatakan sebagai rahasia selama ditutupi. Ketika salik keluar dari menutupi (kitman) maka dia keluar dari rahasia.

  1. Kebahagiaan dalam pertolongan

Apabila seorang salik mendapatkan pertolongan terlebih dahulu, maka dia mendapatkan keberuntungan di hari kiamat, sedangkan ketentuan keberuntungan salik sudah ditetapkan di zaman azali.

  1. Lemah lembut dalam kehidupan

Lemah lembut dan  penyebabnya ada dalam kehidupan dan penghidupan.

  1. Sabar dan pemaaf (al-hilm) dalam kekuatan

Sabar dibagi menjadi tiga, yaitu; a) sabar secara umum yaitu memberikan ampunan pada orang yang menyakiti tapi masih menyimpan rasa dendam dalam hati, b) sabar secara khâs yaitu memberikan ampunan pada orang yang menyakiti tanpa menyimpan rasa dendam dalam hati, dan c) sabar akhâs al-akhâs adalah memberikan ampunan dan membalas dengan kebaikan, ini merupakan kemulian yang tertinggi. Barang siapa yang mampu untuk menahan membalas kelaliman, maka sifat pemaafnya lebih besar daripada orang yang tidak mampu menahannya. Karena itu kesabaran bergantung kepada kadar kekuatan dalam menahan pembalasan kelaliman.

  1. Menepati janji dalam kepercayaan

Barang siapa yang berjanji maka akan tampak ketepatanya dalam memenuhi janji. Jika tidak, maka tidak akan diketahui apakah dia tergolong orang yang menepati janji ataukah sebaliknya.

  1. Kasih sayang dalam cinta

Barang siapa yang bisa bergaul dengan orang lain, maka dia mempunyai rasa cinta. Kebalikannya adalah barang siapa yang tidak bisa bergaul dengan orang lain maka dia tidak mempunyai rasa cinta kepadanya

  1. Rezeki dalam kerendahan hati

Barang siapa yang tawadhu’ maka mulya derajatnya. Salik harus bisa menghancurkan takabur (kesombongan) karena setiap orang yang takabur maka dia akan hancur.

Sumber: Alif.ID

113. Ibnu Arabi tentang Keadaan di Luar Keilmuan (2)

Melanjutkan edisi sebelumnya, masih ada sejumlah keadaan yang menurut Ibnu Arabi berada diluar (jalur) keilmuan dan pendengaran. Mari kita resapi. 

  1. Kemuliaan dalam ilmu

Kehidupan bisa tetap berlangsung dengan ilmu, kehidupan abadi (akhirat) diperoleh dengan ilmu. Ilmu kebalikan bodoh, kebodohan adalah kematian dan tiada wujud. Ilmu merupakan cahaya sedangkan kebodohan merupakan kegelapan.

أَوَ مَن كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا… (الأنعام: 122)

  1. Hikmah dalam diam

Hikmah ilahiah dalam diam artinya Salik tidak berbicara dengan mahluk kecuali karena darurat dan berbicara tidak disertai dengan nafsu. Salik tidak membicarakan dirinya dengan suatu ucapan yang diharapkan keberhasilannya walaupun keberhasilan itu dari Allâh Swt

Hikmah yang sempurna tidak akan bisa ditemukan kecuali dalam berdiam diri. Oleh karena itu, barang siapa yang diberi ilmu secara runtut dan berdiam diri atas perbedaan di antara ilmu tersebut itulah lebih utama-utamanya orang yang mengenal Allâh Swt Kelemahan dan pengakuan Salik terhadap ketidakmampuan menjelaskan ilmu, itu sesuai dengan ungkapan: “Tidak mampu menemukan penemuan adalah menemukan”.

  1. Kesehatan dalam pantangan

Kesehatan dan keselamatan badan itu tetap di dalam menghindari makanan dan segala sesuatu yang  membahayakan badan

  1. Penemuan itu dalam keadaan lapar

Mengetahui hakikat segala sesuatu itu bisa dihasilkan jika dalam keadaaan lapar yang tidak melewati batas. Maksudnya adalah lapar yang sudah biasa dan tidak dilarang oleh syari’at, karena mayoritas kebaikan itu diperoleh dalam keadaan lapar seperti diperolehnya kejelekan ketika kenyang.

  1. Murâqabah dalam tidak tidur malam

Murâqabah yang sempurna itu diperoleh  dalam keadaan tidak tidur malam secara rutin dan sebaliknya Murâqabah yang tidak sempurna diperoleh dalam keadaan tidak tidur malam seara tidak rutin, maka Murâqabah itu tidak diperoleh bagi orang yang tidur malam karena dia telah berpindah ke alam barzah. Sedangkan orang yang terjaga di malam hari untuk berzikir kepada Allâh Swt secara rutin, mata hatinya menjadi jelas, dan mampu melihat kebaikan yang dikehendaki Allâh Swt Lapar adalah kunci utama agar mampu tidak tidur malam. Makanan dan minuman mengakibatkan tidur apalagi minum  air, maka fatal sekali akibatnya.

  1. Lupa dalam kemalasan

Lupa kepada Allâh Swt itu disebabkan malas, menyibukkan diri dan lamban dalam hidmat kepada Allâh Swt Karena barang siapa yang berhidmat kepada seseorang maka selama itu tidak akan pernah lupa kepada yang dihidmati.

  1. Keberuntungan dalam kemurahan

Keberuntungan dan manfaat yang besar itu ada di dalam sikap toleran terhadap makhluk Allâh Swt dan dermawan kepada mereka.

  1. Takut itu di dalam hati

Takut kepada Allâh Swt dan siksanya itu ada di dalam hati karena hati itu sumber dan tempatnya iman, sedangkan takut kepada Allâh Swt itu sebagian dari iman. Takut kepada Allâh Swt itu bergantung kadar keilmuanya kepada Allâh Swt, artinya semakin banyak ilmunya maka semakin banyak takutnya.

  1. Lemah lembut dalam pergaulan

Lemah lembut kepada hamba Allâh Swt itu ada di dalam bergaul dengan mereka karena tidaklah mungkin lemah lembut kecuali terhadap orang-orang dekat yang ada di samping kita. Barang siapa mengasingkan diri dari manusia maka tidak akan bersikap lemah lembut kepada seorang dan tidak seorangpun lemah lembut kepadanya. Yang dimaksud bergaul adalah berkumpul selamanya, seperti bergaulnya seorang istri dengan suaminya. Begitu juga seorang hamba jika bergaul dengan Tuhannya secara terus menerus maka dia akan mengetahui lemah lembut dan kebaikannya

  1. Kecocokan dalam persahabatan

Kecocokan yang diharapkan dari makhluk itu ada dalam persahabatan dan pergaulan. Sedangkan perbedaan ada dalam permusuhan, karena barang siapa yang beersahabat dengan seseorang maka tidak akan berselisih.

  1. Mengambil pelajaran dalam berpikir

Mengambil pelajaran dari orang yang memiliki ilmu itu ada di dalam berpikir tentang kebaikan Allâh Swt seperti dikatakan barang siapa berpikir maka akan bisa mengambil pelajaran.

  1. Taubat dalam keadaan terjaga

Taubat yang benar dan tulus itu ada dalam terjaga dan khudhur kepada Allâh Swt dalam segala keadaan dengan cara keluar dari angan-angan dan hayalan. Orang yang bertaubat dengan sugguh-sungguh dan ihlas, maka akan terjaga ketika yang lain tidur karena dosa-dosa yang telah dilakukan.

  1. Keilmuan dalam kerendahan hati

Ilmu yang bermanfaat baik wahabi dan ladunni ada di dalam rendah hati.

  1. Memberi ada dalam kedermawanan

Memberi artinya pemberian setelah diminta sedangkan dermawan artinya pemberian sebelum adanya permintaan.

  1. Rahmat dalam menyayangi

Rahmat ilahiyah ada dalam usaha memperoleh kasih sayang dari Allâh Swt dengan menjahui sesuatu yang bertentangan dengan perintah-Nya dan menjalani segala sesuatu yang sesuai dengan perintah-Nya. Demikian juga kasih sayang dengan sesama hamba Allâh Swt itu timbul dari usaha memperoleh kasih sayang ketika marah yang menimbulkan kekerasan.

  1. Kekerasan dalam kemarahan

Kekerasan, penghukuman, sanksi, dan kebencian ada dalam kemarahan. Marah akan menimbulkan penghukuman dan sanksi maka hindarilah segala sesuatu yang mengakibatkan kebencian baik dari Allâh Swt atau dari makhluk.

  1. Cobaan dalam cinta

Apabila seorang Salik masuk dalam gelombang cinta, maka akan diberi cobaan sesuai dengan kadar kecintaanya, dan sesungguhnya cobaan bagi para nabi lebih berat dari cobaan para wali karena cintanya para nabi lebih besar.

  1. Khusyu’ dalam menangis

Khusu’ adalah berdiam diri dan merasa dirinya hina karena takut kepada Allâh Swt dan mengakui atas kelemahan dan kecerobohannya, menangis maksudnya adalah khusyu’, tenang, dan merasa rendah diri. Hal ini menyebabkan terangkatnya derajat di sisi Allâh Swt

  1. Kedekatan dalam kesunahan

Maksud mendekatkan diri kepada Allâh Swt ada di dalam ibadah sunnah adalah kedekatan sifati, karena kedekatan dzati ada dalam ibadah fardhu (Syarah Hikam al-Syaikh al-Akbar, halaman: 471-485).

Sumber: Alif.ID

114. Tarekat Alawiyah

Tarekat Alawiyah adalah tarekat yang pendirinya dinisbatkan kepada seorang ulama besar. Ia adalah  Ustaz Adzam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Murtadha bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Ali Zainal Abidin bin Sayid Husain as-Sibthi bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib bin Fathimah binti Rasulullah Saw.

Al-Faqih al-Muqaddam dilahirkan di kota Tarim pada tahun 574 H. Sejak kecil ia mendapat bimbingan agama yang sangat baik sehingga hafal Alquran dan disibukkan dengan mengkaji berbagai ilmu agama. Ia sangat pandai dalam Ilmu Bahasa Arab dan Ilmu-Ilmu Adab. Sebagaian ulama mengatakan bahwa ia telah sampai pada tingkatan al-Ijtihad al-Mutlaq.

Ia berguru ilmu tarekat kepada Imam Salim bin Bashri, Muhammad bin Ali al-Khatib, pamannya sendiri Syaikh Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath, dan juga kepada ulama besar bernama Sufyan al- Yamani.

Gurunya yang bernama Muhammad Bamarwan berkata, “Engkau sudah memiliki persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin besar”. Syaikh Abdurahman as-Segaf berkata: “Al-Faqih al-Muqaddam menduduki maqâm kutub selama 120 malam” (al-Masyra’u al-Rawi, juz 2, halaman: 8).

Al-Faqih al-Muqaddam berguru dan memperoleh mandat (ijazah) tasawuf dari ayahnya, dari kakek-kakeknya, sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. Ia juga memiliki guru lainnya yaitu Abu Madyan (yang mendapatkan ilmu) dari Ya’azza dari Abi Harazim dari Abu Bakar Ibnu al-Arabi dari Imam al-Ghazali dari Imam Haramain dari Imam al-Juwaini dari Abû Thâlib al-Makki dari Abu Bakar asy-Syibli dari al-Junaid aI-Baghdadi.

Perihal ibadahnya, bagai lautan yang tak bertepi. Ia selalu disibukkan dengan belajar, puasa, dan salat di waktu sahur. Ia senantiasa membaca Alquran dengan suara yang kadang pelan dan kadang nyaring. Jika sudah tamat, ia memulainya lagi dari awal. Untuk beberapa waktu lamanya ia beribadah di desa an-Nu’air.

Dikisahkan bahwa pada suatu malam putranya bernama Ahmad mengikutinya. Ketika sampai di sebuah desa, al-Faqih al-Muqaddam mulai melakukan zikir jahr (berzikir dengan suara yang dikeraskan). Tiba-tiba, semua yang ada di desa itu baik batu maupun kayu ikut berzikir. Menyaksikan kejadian yang aneh tersebut, si Ahmad jatuh pingsan sampai akhirnya al-Faqih al-Muqaddam mendatanginya.

Al-Faqih al-Muqaddam bisa melihat alam akhirat dan seluruh kenikmatnya, juga bisa melihat seluruh dunia dan isinya. Rumahnya sering didatangi oleh anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para janda.

Di antara karamahnya, pada suatu waktu salah seorang pembantunya yang pergi ke Afrika dan tinggal cukup lama di sana kemudian tersiar kabar bahwa ia telah meninggal dunia. Mendengar kabar tersebut, para keluarganya mendatangi Syaikh. Ketika itu Syaikh menundukkan kepala sebentar, lalu berkata, “Ia tidak meninggal di Afrika.” Tetapi kabarnya ia sudah meninggal, kata keluarganya.

Beliau berkata, “Aku mencarinya di surga namun tiada kujumpai, sedangkan muridku itu tidak akan masuk neraka”. Selang beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa ia masih hidup (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 173).

Al-Faqih al-Muqaddam wafat pada malam Jum’at bulan Dzulhijjah tahun 653 pada umur 79 tahun.

Sebagian ulama ada yang bermimpi bertemu dengan Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad setelah wafatnya. Beliau berkata, “Berziarahlah ke makam al-Faqih al-Muqaddam. Sebab, ada sebagian orang yang tidak memiliki amal ibadah yang banyak, namun ia sering berziarah ke makam al-Faqih al-Muqaddam. Lalu Allah Swt menyamakan amal ibadahnya dengan orang-orang yang ahli ibadah.”

Tarekat Alawiyah menyebar di Jazirah Arab, Tunisia Afrika Utara, Habasyiyyah, Yaman, Palestina, Suria, Saudi Arabia, Britania, Inggris, Prancis,  Indonesia, dan lain-lain.

Ajaran Tarekat Alawiyah

Pengikut Tarekat Alawiyah mendasari tarekatnya dengan mengikuti Alquran dan mengikuti Nabi Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan, dan ahwal sehingga salik Tarekat Alawiyah mencapai maqâm mahabbah dan menggabungkan antara ilmu, hal (keadaan hati), tahalli (menghiasi jiwa dengan adab yang sesuai syari’at), sehingga tarekat ini melaksanakan amal secara lahir dan batin dari berbagai macam sisi disertai dengan menjalankan syari’at dan hakikat secara sempurna.

Tarekat ini tidak mengajarkan tentang sakar (mabuk) karena bisa melewati batas adab syari’at. Mempermudah bagi salik untuk shahwu (kembalinya perasaan salik setelah hilangnya rasa) karena shahwu bisa membatasi hati dari melirik hakikinya tauhid dan rahasia-rahasia musyahadah (Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, halaman: 23-24).

Ajaran Dasar Tarekat Alawiyah

  1. Mengikuti Alquran, Hadis, ucapan shahabat, mengikuti tauladan ulama salaf yang mulia.
  2. Membagi waktu ibadah, mencari ilmu, dan membaca aurâd serta hizib.
  3. Lebih mengedepankan 5 hal yaitu:

1. Ilmu syari’at: ilmu tafsir, hadis, fikih dan alat-alatnya. Karena ilmu menjadi podasi dasar kebahagiaan dunia akhirat,                                  menjadi derajat utama bagi anak Adam untuk mejadi kebahagiaan abadi di akhirat, serta melihat Allâh Swt di akhirat.

2. Amal: merupakan ibadah yang menjadi buah ilmu, dan karena ibadah langit dan bumi diciptakan, seperti firman Allah                               Swt:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ (الذاريات: 56)

5. Ikhlas: bersihnya segala amal hati dari semua campuran, (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-                                        Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, halaman: 31-32).

Dasar-dasar Tarekat Alawiyah

  1. Mengikuti aqidah ulama salafu al-shâlih (ahli al-sunnah wa al-jama’ah)
  2. Bertakwa dengan sebenarnya
  3. Juhud di dunia
  4. Melanggengkan tawadhu’
  5. Menolong makhluk
  6. Istiqâmah dalam membaca uarâd
  7. Merasa takut
  8. Berkeyakinan dengan sempurna
  9. Husnul khuluq
  10. Memperbaiki niat
  11. Membersihkan hati
  12. Menjauhi perbuatan tercela baik yang samar atau jelas
  13. Mendekatkan diri kepada Allâh Swt dengan imân, yaqin, dan ihsân
  14. Menjalankan kewajiban dan memperbanyak ibadah sunnah
  15. Berakhlaq dengan akhlaq Nabi Saw. yang terbentuk dengan akhlaq Allâh Swt seperti kasih sayang, lemah lembut, membersihkan sifat-sifat yang tidak sempurna, memberikan rasa aman, melihat kepada hakikatnya sesuatu, dan segenap Asmâ’ al-Husnâ yang lainya, (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, halaman: 32-33).

Sumber: Alif.ID

115. Wiridan Tarekat Alawiyah

Wiridan Tarekat Alawiyah tidak sebanyak wirid-wirid tarekat lain. Mari kita lihat, seperti di bawah ini:

  1. Membaca Alquran pada setiap shalat shubuh dan maghrib
  2. Membaca surat al-Waqi’ah kemudian membaca :

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِّزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَ سَلامٌ عَلَى المُرْسَلِينَ وَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِينَ

  1. Kemudian membaca do’a yang di kehendaki sâlik, lalu membaca do’a:

اللَّهـُمّ يـَا مَنْ جَعلْتَ الصَّلَاةَ عَلَى النّبِيِّ مِنَ القُرُباتِ، أَتَقَرَّبُ إِلَيْكَ بِكُلِّ صَلَاةٍ صَلَّيْتَ عَلَيْهِ مِنْ أَوَّلِ الّنَشْأَةِ إِلَى مَا لَا نِهَايَةَ لِلْكَمَـالَاتِ (3×)

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِّزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَ سَلامٌ عَلَى المُرْسَلِينَ وَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِينَ

  1. Kemudian membaca:

أَعوذُ باللهِ مِنَ الشَيْطَانِ الّرَجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الَّرحْمَنِ اَّلَرحِيمِ ((وَ مَا تُقَدِّمُـوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْد اللهِ هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَم أَجْرًا ، واِسْتَغْفِرُواْ اللهَ ، إنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيـمٌ)) أسْتَغْفِرُ اللهَ (99×) أسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ الّذِي لا إله إلاّ هُوَ الحي القَيوم وَ أَتُوبُ إليهِ (1×)

  1. Kemudian membaca:

إنَّ اللهَ وَ مَلآئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الّنَبِيِّ، يَآأَيُّهَا الذِينَ آمَنُوا صَلُّواْ عَلَيْهِ وَ سَلِّمُواْ تَسْليمًا) اللـهـم صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ النَّبِيِّ الأُمِيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَ سَلِّمْ (99×)

الـَّهُـمَّ صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ النَّبِيِّ الأُمِيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَ سَلِّمْ تَسْلِيمًا (1×)

  1. Kemudian membaca:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إلاَّ هُوَ وَ المَلآئِكَةُ وَ أُولُواْ العِلْمِ قَآئِمًا بِالقِسْطِ ، لاَ إلَهَ إلاَّ هُوَ العَزِيزُ الحَكَيمُ ، إِنَّ الّدِينَ عِنْدَ اللهِ الإسْلاَمُ) لاَ إلَهَ إلاّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ المُلْكُ وَ لَهُ الحَمْدُ وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (99×) لاَ إلَهَ إلاّ اللهُ ، سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (1×)

  1. Kemudian membaca:

اَلحَمْدُ للهِ الّذِي هَدَانَا لهَذَا وَ مَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أَنْ هَدَانَا اللهُ ، لَقَدْ جَآءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالحَقِّ) الحمد لله و الشكر لله (100×)

  1. Kemudian sâlik membaca surat al-Ikhlâs:

ثُمَّ يقْرؤ المُريدُ سُورَةَ الإِخْلاَصِ (ثلاث مرّات) و يدعواللهَ سُبحانَهُ وَ تَعالى بما شاء من الدعاء

  1. Kemudian sâlik mengakhiri dengan memaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. :

الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِنَا يَا حَبِيْبَ اللهِ، الصَّلَاةُ و السَّلَامُ عَليكَ يَا سَيِّدنَا يَا نَبِيَّ اللهِ، الصَّلَاةُ و السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِنَا يَا رَسُولَ اللهِ ، ألفُ ألفِ صَلاةٍ و ألفُ ألفِ سَلامٍ ، صَلَّى اللهُ عَليكَ وَ عَلَى آلِ بَيْتِكَ وَ أَصْحَابِكَ يَا أَكْرَمَ اَلخَلْقِ عِنْدَ اللهِ ((سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِّزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَ سَلامٌ عَلَى المُرْسَلِينَ وَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِينَ((

Persahabatan

Dalam kitab ‘Awârif al-Ma’ârif, syaikh Suhrawardi berkata: “Bersahabat dengan sahabat pilihan (baik) memiliki dampak positif yang banyak, saling mengasihi, menyayangi yang bisa memperkuat persahabatan jalinan cinta”. Dikatakan bahwa bertemu teman merupakan proses laqâh (penyerbukan), tidak diragukan lagi bahwa batin juga ikut dalam proses penyerbukan memperkuat antara satu dengan yang lain.

Begitu juga bertemu, melihat orang-orang shaleh menimbulkan dampak keshalehan. Melihat terhadap gambar juga menimbulkan dampak peniruan perilaku orang yang dilihat seperti melihat orang yang susah akan merasa susah dan melihat orang yang senang akan merasa senang.

Salah satu fungsi shuhbah (berteman) dengan syaikh (mursyid):

  1. Bisa meleberkan relung-relung batin;
  2. Bisa mendorong manusia untuk mencari dan mengamalkan ilmu-ilmu yang baru;
  3. Bisa menghilangkan kesusahan dan himpitan masalah dari dalam hati;
  4. Perkataan mursyid mempunyai pengaruh terhadap sâlik, jika tidak maka mursyid akan menarik sâlik untuk diarahkan melakukan perjalanan menuju Allâh Swt.;
  5. Syaikh Abu Bakr bin Salim Ba’lawiberkata: “Pandangan sâlik kepada mursyid bisa menyampaikan sâlik ke maqâm yang tinggi di sisi Allâh”, (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 1, halaman: 58-59).

Râbithah kepada Mursyid

قال النبي صلعم: إن الله عبادا من نظر في احدهم نظرة سعد سعادة لايشقى بعدها ابدا

Rasûlullâh Saw. bersabda: Allâh Swt. memiliki hamba yang melihat salah satu di antara mereka (mursyid/syaikh) dengan satu pandangan yang menjadikannya bahagia selamanya.

Hal ini dinamakan râbithah dalam istilah tarekat. Râbithah ini kedudukannya lebih berdampak terhadap sâlik dibandingkan dzikir dengan menepati syarat-syarat yang telah ditentukan. Hal itu karena cahaya orang yang makrifat terpancar dalam kehidupannya. Walaupun mursyid sudah meninggal dunia, sâlik masih dapat menggunakan râbithah kepada mursyidnya dengan catatan sâlik mampu menggunakan râbithah yang sempurna.

Hal ini dikarenakan dua sebab yaitu kesungguhan cinta dan rasa rindu yang mendalam serta wasilah mutawasilah. Râbithah (menjadi rukun yang dalam bagi sâlik) adalah persambungan hati sâlik kepada syaikh (Mursyid) (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 1, halaman: 59).

Adab Sâlik terhadap Syaikh (Mursyid)

  1. Menghormati syaikh (mursyid) baik amal, maupun biografinya;
  2. Sâlik harus berkhusnudzan kepada syaikh (mursyid);
  3. Sâlik meminimalkan bertemu atau berhadapan dengan syaikh (mursyid);
  4. Sâlik harus bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuan untuk bertawajjuh kepada syaikh (mursyid);
  5. Sâlik harus menjaga râbithah syaikh (mursyid) dalam angan-angannya dengan cara menggambarkan ahwal bentuk syaikh (mursyid) dalam angan-angannya;
  6. Bersifat dengan sifat-sifat syaikh (mursyid), (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 1, halaman: 60).

Sumber: Alif.ID

116. Zikir dan Doa Tarekat Alawiyah

Zikir dan do’a dilakukan setiap hari. Zikir dan doa tersebut meliputi:

  1. lâ ilâ ha illallâh 25000 x
  2. ya Allâh 25000 x
  3. membaca saalawat 25.000 x
  4. setelah ashar membaca hizib bahr (imam al-Syadzili) kemudian membaca 7 surat,
  5. membaca do’a birrul walidain
  6. mandi, memakai wewangian, dan melakasanakan shalat maghrib
  7. mandi setiap shalat fardhu

Tata Cara Baiat atau Tahkim (Pengokohan) dan Talqin (Pemberian Pakaian Sufi)

1. Mursyid memerintahkan sâlik untuk membersihkan diri dari hadats dan najis untuk melakukan persiapan menerima talqin dan menghadap tawajjuh (menghadap kepada Allâh Swt.);
2. Mursyid menanyakan kepada sâlik tentang penerimaan talqin dan tawajjuh dengan menggunakan washilah Rasûlullâh Saw.;
3. Mursyid meletakkan tangan kanannya ke tangan kanan sâlik dan meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan sâlik, mursyid memegang ibu jari sâlik dengan jari-jari tangan mursyid;

4. Mursyid memerintahkan sâlik bertaubat dan membaca istighfâr, mursyid menuntun sâlik membaca:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ آمَنْتُ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَعَذَابِ الْقَبْرِ نَعِيْمِهِ وَسُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَالْبَعْثِ وَالْمِيْزَانِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ رَضِيْتُ بِاللهِ رَبَّا وَبِالْاِسْلَامِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا وَرَضِيْتُ بِكَ شَيْخًا وَوَاسِطَةِ اِلَى اللهِ تَعَالَى
5. Kemudian mursyid berkata kami bermadzhab fiqih Syafi’iyah, bermadzhab aqidah Abi Hasan al-Asy’ari, Tarekat kita adalah Tarekat ‘Alawiyah, (‘Aqdu al-Yawaqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 2, halaman: 147).

Tata Cara Pemberian Khirqah (Pakaian Sufi)

Jika mursyid menghendaki pemberian khirqah (pakaian sufi) kepada sâlik maka mursyid memerintahkan sâlik untuk:

  1. Bersuci dan bertawadhu’;
  2. Membaca surat al-Fatihah;
  3. Mursyid memakaikan pakaian (sufi) dengan tujuan pemakaian tersebut sebagai pengganti penyematan dari Allâh Swt. dan Rasul-Nya;
  4. Kemudian mursyid menyebutkan penisbatan khirqah Mursyid berkata: aku menyematkan pakaian ini kepadamu seperti aku menerimanya dari mursyidku (al-Syaikh) sampai pada akhir sanad.
  5. Jika mursyid menginginkan menalqin zikir maka mursyid memerintahkan sâlik untuk duduk di depannya kemudian memerintahkannya memejamkan kedua mata dan menuntunnya membaca lâ ilâ ha illallâh 3x.
  6. Membaca surat al-Ikhlâs dan mu’awwidatain, dan membaca tahlil sampai diberi petunjuk berhenti oleh Allâh Swt. Semua bacaan itu pahalanya dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw., para nabi, rasul, shalihin, dan seluruh orang muslim, (‘Aqdu al-Yawaqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 2, halaman: 147-148).

Sumber: Alif.ID

117. Tarekat Syadziliyah

Nama lengkap pendiri Tarekat Syadziliyah adalah Abu al-Hasan al-Syadzili ‘Ali bin ‘Abdillah bin ‘Abd al-Jabbar al-Syadzili. Ia lahir pada tahun 593 H/1197 M di sebuah desa bernama Ghamarah. Lokasinya tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al-Aqsha atau Maroko, Afrika Utara bagian ujung paling barat (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 18).

Daerah Maghribi merupakan satu bagian wilayah dunia Islam yang mempertahankan semangat spiritual, sekalipun pada akhir separuh abad ke-13 H./19 M. Perancis menancapkan kuku kolonialisme di Aljazair dan Tunisia. Tepat pada saat Perancis mulai menjajah Afrika Utara, suatu kebangkitan yang amat spiritual terjadi di Maghribi, (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, halaman: 60).

Al-Syadzili merupakan dzurriyat atau keturunan ke-22 dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. Urut-urutan sebagai berikut:

  1. Rasulillah Saw.,
  2. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Fathimah al-Zahra’,
  3. Sayyidina Hasan,
  4. Hasan al-Muthanna,
  5. Abdullah
  6.  Idris,
  7. ‘Umar,
  8. Idris,
  9. ‘Isa,
  10. Muhammad,
  11. Ahmad,
  12. ‘Ali,
  13. Bathal,
  14. Wardi,
  15. Yusya’,
  16. Yusuf,
  17. Qushayy,
  18. Khatim,
  19. Hurmuz,
  20. Tamim,
  21. Abd al-Jabbar,
  22. Abdullah.

Rujukannya banyak, yakni al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 11. Lathaif al-Minan wa al-akhlaq, halaman: 138. Lihat juga al-Tashawwuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 164. Lalu Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’, halaman: 146. Lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42. Rujukan lain adalah Thabaqat al-Syadziliyyah al-Kubra al-Musamma Jami’ al-Karamat al-‘Aliyyah fi Thabaqat al-Sadah al-Syadziliyyah, halaman: 19-20).

Sejak kecil Abu al-Hasan al-Syadzili biasa dipanggil dengan nama ‘Ali, ia dikenal sebagai orang yang memiliki akhlak yang amat mulia. Tutur katanya fasih, halus, indah, dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, al-Syadzili juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya al-Syadzili mendapat tempaan pendidikan akhlak serta cabang-cabang ilmu agama lainnya di bawah bimbingan langsung ayah-bundanya.Pada usia yang masih anak-anak itu al-Syadzili juga sudah menghafal Alquran serta menekuni sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw., (al-Tashawwuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 172).

Selain itu, sejak usia kanak-kanak al-Syadzili sudah terbiasa mengenakan pakaian yang indah, bersih, dan rapi. Namun, dalam hal makan dan minum al-Syadzili amat mudah pelayanannya dan tidak sampai menyusahkan orang lain, terutama ayah-bundanya.

Nilai-nilai keshalehan, ketakwaan, dan kebajikan sebagai seorang calon pemimpin umat yang agung, panutan bagi kaum muslimin, dan imam bagi para muttaqin, sudah tergambarkan dari kepribadian dan perilakunya sejak al-Syadzili masih usia kanak-kanak.

Al-Syadzili tinggal di desa kelahirannya sampai usia 6 tahun dengan mendapat tempaan pendidikan akhlak serta cabang-cabang ilmu agama lainnya di bawah bimbingan langsung ayah-bundanya (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 43).

Kehidupan dan Tantangan Abu al-Hasan al-Syadzili di Tunisia

Pada usia 6 tahun al-Syadzili sudah menghafal Alquran serta menekuni sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw. yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota Tunisia, Afrika Utara) pada tahun 599 H./1202 M. Kepindahan al-Syadzili adalah semata-mata untuk mencari ilmu di samping untuk menggapai cita-cita luhurnya menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah Swt.

Di Tunis al-Syadzili didatangi oleh Nabi Khidhir As. yang membawa kabar bahwa al-Syadzili diangkat menjadi wali agung. Kabar ini al-Syadzili laporkan kepada salah satu ulama’ besar Tunis saat itu, Syaikh Abi Sa’id al-Baji (w. 628 H) (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman 195). Untuk selanjutnya, al-Syadzili tinggal bersama Syaikh Abi Sa‘id kurang lebih 19 tahun untuk menimba berbagai cabang ilmu agama, di antaranya Alquran, Hadis, fiqh, akhlak, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat.

Bersama Syaikh Abi Sa‘id, al-Syadzili berkali-kali menunaikan ibadah haji, dan bersamaan dengan ibadah haji itu pula al-Syadzili tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dan menimba ilmu dari berbagai ulama’ di Makkah yang datang dari segala penjuru dunia, (Pengantar Sejarah Sufi dan Tashawwuf, halaman: 277. Lihat juga Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 58-59.)

Dalam perhelatan panjang al-Syadzili menimba pengetahuan, al-Syadzili merasa bahwa ilmu yang didapat dirasa hanyalah kulitnya saja belum isinya, sehingga al-Syadzili memutuskan untuk menyelami kedalaman hakikat untuk bisa mencapai ma‘rifat.

Tempat pertama yang dituju oleh al-Syadzili adalah kota Makkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama’ dan shalihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Makkah, al-Syadzili belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud.

Sampai akhirnya pada suatu saat al-Syadzili memperoleh keterangan dari beberapa ulama’ di Makkah bahwa Sang Quthub yang dicari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilometer dari kota Makkah.

Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah al-Syadzili bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang dicari kepada setiap ulama’ dan masyayikh yang berhasil ditemui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

Akhirnya, ia mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah tarekat Rifa‘iyah yaitu al-Syaikh al-Shalih Abu al-Fatah al-Wasithi Ra., (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 59). Syaikh Abu al-Fatah adalah sosok yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu.

Segeralah al-Syadzili sowan kepada Syaikh Abu al-Fatah dan mengemukakan bahwa al-Syadzili sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan ia mintai kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhaninya menuju ke hadirat Allah Swt.

Mendengar penuturan al-Syadzili, al-Syaikh Abu al-Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan,

“Wahai anak muda, Engkau mencari Quthub jauh-jauh sampai ke sini, padahal orang yang Engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Dia adalah seorang Quthub al-Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah Engkau ke Maghrib (Maroko) daripada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Pada saat ini dia sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang Engkau cari di sana”.

Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syaikh Abu al-Fatah al-Wasithi, al-Syadzili segera mohon diri sekaligus minta do‘a restu agar ia bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 59).

Sesampainya di Maroko, al-Syadzili langsung menuju ke desa Ghamarah, tempat ia dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, al-Syadzili segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang al-Syadzili temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20).

Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syaikh Abu al-Fatah tiada lain adalah Sayyid Syaikh al-Shalih al-Quthub al-Ghauts al-Syarif Abu Muhammad ‘Abd. al-Salam bin Masyisyi al-Hasani (w. 625 H./1228M.), yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathah. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Abu al-Fatah al-Wasithi al-Iraqi, segera saja al-Syadzili menuju ke tempat yang ditunjukkan itu (bersambung).

Sumber: Alif.ID

118. Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (1)

(sambungan) Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Al-Syadzili segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20, dan lihat juga Hayat Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 18-19).

Sebelum al-Syadzili melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, al-Syadzili berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya al-Syadzili lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini al-Syadzili lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kemuliaan dan keagungan di sisi Rabb al-‘alamin, di samping juga sebagai seorang calon guru al-Syadzili.

Begitu setelah selesai mandi, al-Syadzili merasakan betapa seluruh ilmu dan amalnya seakan luruh berguguran. Seketika itu pula al-Syadzili merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal.

Kemudian, setelah itu al-Syadzili lalu berwudhu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawaddhu’ dan rendah diri, al-Syadzili mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 20. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, 14).

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami.

Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat keshalihan dan ketakwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati al-Syadzili seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”.

Al-Syadzili, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa‘alaikum salam warakhmatullahi wabarakatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan al-Syadzili, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab al-Syadzili disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rasulullah Saw. Mendengar itu semua, al-Syadzili menyimaknya dengan penuh rasa takjub, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 19).

Belum sampai al-Syadzili mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya ‘Ali, Engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka Engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat”, (Thabaqat al-Auliya’, halaman: 458. Lihat juga Qadiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20. Lihat juga Hayat Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 19).

Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah ia kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar al-Syaikh al-Quthub al-Ghauts Sayyid Abu Muhammad ‘Abd. al-Salam bin Masyisy al-Hasani Ra. (w. 625 H./1228M.), orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah Swt. yang telah mempertemukan kita pada hari ini.”

Berkata lagi Syaikh ‘Abd al-Salam, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum Engkau datang ke sini, Rasulullah Saw. telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada Engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

Selanjutnya, al-Syadzili tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. al-Syadzili banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat keTuhanan dari Syaikh ‘Abd al-Salam, yang selama ini belum pernah al-Syadzili dapatkan.

Setelah cukup lama al-Syadzili tinggal bersama al-Syaikh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syaikh ‘Abd al-Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercintanya tentang hari-hari yang akan dilalui oleh al-Syadzili dengan mengatakan,

“Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini Engkau untuk beriqamah (melaksanakan). Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama Syadzilah. Untuk beberapa waktu tinggallah Engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, disana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi Engkau dengan sebuah nama yang indah, al-Syadzili.”

“Setelah itu,” lanjut al-Syaikh, “Kemudian Engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Disana Engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, Engkau akan pindah ke arah timur. Disana pulalah kelak Engkau akan menerima warisan al-Quthubah dan menjadikan Engkau seorang Quthub.”

Pada waktu akan berpisah, al-Syadzili mengajukan satu permohonan kepada al-Syaikh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku”, (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 197. Lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf, al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 25. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 15).

Al-Syaikh pun kemudian berkata, “Wahai ‘Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu dari menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

Lanjut al-Syaikh lagi, “Jangan Engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah wara‘mu.” “Dan berdo‘alah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah aku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikan-Mu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa” (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 25. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 15).

Sumber: Alif.ID

119. Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (2)

Al-Syadzili mulai menapaki perjalanan yang sesuai dengan apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah al-Syadzili di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia.

Pada saat al-Syadzili tiba di desa itu, yang mengherankan, al-Syadzili sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang al-Syadzili sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangannya. Tapi itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepadanya tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan seseorang yang sudah lama dinanti-nantikan.

Al-Syadzili tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, al-Syadzili telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. al-Syadzili ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk orang-orang. Memang tujuannya datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadahnya dengan cara menjauh dari masyarakat.

Akhirnya, al-Syadzili memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Lalu, berangkatlah al-Syadzili ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat beliau bernama Abu Muhammad ‘Abdullah bin Salamah al-Habibi, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 27). Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketakwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).

Di bukit itu, al-Syadzili melakukan riyadhah ruhaniyah dengan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, al-Syadzili gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhah, mujahadah dan menjalankan zikir dan wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh gurunya, al-Syaikh ‘Abd. al-Salam. Di bukit itu, al-Syadzili melakukan ‘uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqamah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 168).

Untuk kehidupannya, al-Syadzili bersama sahabat setianya, al-Habibi, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak al-Syadzili bermukim di bukit itu, Allah Swt. telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi keperluannya.

Pada suatu hari, al-Syadzili pernah menyaksikan gusi al-Habibi terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, al-Syadzili menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan.

Segera saja, setelah itu, al-Syadzili mengajak al- Habibi turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Sekiranya telah tercukupi, maka al-Syadzili bersama al-Habibi segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang semenjak ber‘uzlah di bukit itu, kadang-kadang ia berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 28).

Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al-Habibi, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat ‘alaihim al-shalah wa al-salam, mengerumuni al-Syadzili. Bahkan lanjut al-Habibi, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.”

Tidak jarang pula dilihat oleh al-Habibi arwah para waliyullah yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti al-Syadzili. Para wali-wali itu, rahimakumullah, dikatakan oleh al-Habibi, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan al-Syadzili, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 26-28).

Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan namanya, diceritakan olehnya, bahwa al-Syadzili pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah Swt., “Ya Rabb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku?” Lalu, dikatakan kepadaku, “Wahai ‘Ali, Aku tidak menamakan Engkau dengan nama al-Syadzili, tetapi al-Syadzili (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk-Ku dan demi cinta kepada-Ku.”

Al-Syadzili tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, al-Syadzili mendapatkan perintah dari Allah Swt. agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

Disebutkan olehnya, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, Hai ‘Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari dirimu. Lalu, aku pun mengatakan, Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka. Lalu dikatakan kepadaku, Turunlah, wahai ‘Ali! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan Engkau dari marabahaya. Aku katakan pula, Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai? Maka, dikatakan kepadaku, Hendaklah Engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib” (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 30).

Setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat ‘uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka al-Syadzili segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.

Baginya, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja al-Syadzili bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang ia saksikan pada saat kedatangannya kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan.

Namun demikian, sejak kedatangannya, al-Syadzili juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Dalam usahanya memberikan pertolongan kepada mereka, al-Syadzili sering didatangi Nabiyullah Khidhir ‘alaihi al-salam, guna membantunya sekaligus untuk menyelamatkan diri dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunannya.

Sumber: Alif.ID

120. Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (3)

Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang qadhi (hakim agama) yang bernama Ibnu al-Barra’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnu al-Barra’.

Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya, (al-Tashawwuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 169-170, lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 33).

Al-Syadzili datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru al-Syadzili, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan al-Syadzili melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatanginya. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang ‘alim, shalih dan ahli karamah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasihat-nasihatnya.

i antara mereka tampak, antara lain al-Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali bin Makhluf al-Siqli, Abu ‘Abdullah al-Shabuni, Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz al-Zaituni, Abu ‘Abdullah al-Bajja’i al-Khayyath, dan Abu ‘Abdullah al-Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman ruhani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci al-Syadzili. Padahal, pada waktu itu al-Syadzili masih berumur kurang lebih 30 tahun (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 32).

Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnu al-Barra’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan al-Syadzili di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan al-Syadzili ditangkap oleh telinga Ibnu al-Barra’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.

Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni al-Syadzili, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnu al-Barra’. Timbul prasangka buruk bahwa al-Syadzili telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnu al-Barra’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan al-Syadzili.

Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnah dari orang yang dengki kepadanya, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. al-Syadzili adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemuliaan al-Syadzili.

Setelah itu, terbetik dalam hati al-Syadzili untuk kembali menunaikan ibadah haji. al-Syadzili lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah al-Syadzili dengan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan jauh menuju ke negeri Mesir (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 33).

Dalam perjalanan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnu al-Barra’, sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran al-Syadzili di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menunjukkan bahwa al-Syadzili adalah kekasih-Nya.

Dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekertinya, akhirnya al-Syadzili bersedia memaafkan dan mendo‘akan Sultan Al-Kamil hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan al-Syadzili merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 37).

Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, al-Syadzili tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya al-Syadzili pun mohon diri kepada Sultan Al-Kamil untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Makkah.

Di sana al-Syadzili mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu al-Syadzili melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna berziarah ke makam Rasulullah Saw. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah al-Syadzili beserta rombongan ke negeri Tunisia (al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 30-31).

Sewaktu al-Syadzili kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangannya. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena al-Syadzili yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi.

Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnu al-Barra’. Bagi dia, kembalinya al-Syadzili berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu, dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar al-Syadzili, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.

Setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, al-Syadzili lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel ruhani yang al-Syadzili dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang ia dirikan di Tunisia adalah pada tahun 625 H./1228 M., ketika al-Syadzili berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatanginya, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.

Di antara murid-murid al-Syadzili yang datang dari luar negeri Tunisia, terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Maroko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran al-Syadzili sendiri, yang bernama Abu al-‘Abbas al-Mursi (w. 686 H./1289 M), (Mengenal dan memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 67).

Pertemuan al-Syadzili dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari al-Syadzili berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku”.

Menurut sebuah catatan, pemuda al-Marsi (al-Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula berguru secara langsung kepada al-Syaikh ‘Abd. al-Salam sampai meninggalnya tahun 625 H./ 1228 M. walaupun tidak terlalu lama.

Kembalinya al-Syadzili ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat al-Syadzili di gunung Barbathah dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu al-Syadzili jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh al-Syaikh ‘Abd. al-Salam bin Masyisyi. Pada saat pemetaan, guru al-Syadzili itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka al-Syadzili kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.

Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam al-Syadzili bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya ‘Ali, sudah saatnya kini Engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah Engkau ke negeri Mesir.’’ Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai ‘Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karamah. Selain itu, di sana pula kelak Engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin”.

Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya al-Syadzili dari puncak gunung Barbathah, Maroko, yang merupakan langkah pertama, adalah karena atas perintah gurunya, al-Syaikh ‘Abd al-Salam. Kemudian, pada waktu turunnya al-Syadzili dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah Swt. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya al-Syadzili dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah Saw., (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 37).

Sumber: Alif.ID

121. Kehidupan al-Syadzili di Mesir dan Perjalanannya

Beberapa hari al-Syadzili dan rombongan melakukan perjalanan, dan tibalah di negeri Mesir. Al-Syadzili langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu ia singgahi di setiap perjalanannya (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 200).

Pada saat al-Syadzili menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya‘ban (Nishfu Sya‘ban) 1227 M., bersamaan dengan wafatnya al-Syaikh Abû al-Hajjaj al-Aqsyary Ra. yang dikenal sebagai Quthub al-Zaman pada waktu itu. Di kemudian hari, para ulama’ al-shiddiqin Mesir, berkeyakinan bahwa al-Syadzili ditetapkan oleh Allâh Swt. sebagai Wali Quthub menggantikan al-Syaikh Abû al-Hajjaj al-Aqsyary (Tanwir al-Ma‘ali fî Manaqib al-Syaikh ‘Ali Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 17).

Kedatangan al-Syadzili di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir, Malik Shaleh (w. 1249 M.), maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar namanya (al-Thuruq al-Shufiyyah fî Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 200).

Tidak hanya orang-orang biasa, tapi juga segenap ulama, para shalihîn dan shiddîqîn, para ahli Hadis, ahli fiqh, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan! “

Pertemuan mereka dengan al-Syadzili tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama’ besar min al-shalihîn di wilayah itu.

Al-Syadzili diberi hadiah oleh sultan Mesir, Malik Shaleh (w. 1249 M.), sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Burûj al-Sûr, (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 200). Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah.

Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman al-Syadzili itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan disebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid tarekat untuk ‘uzlah atau suluk) (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 37).

Di tempat itu pula al-Syadzili menikah dan membangun bahtera rumah tangga. Lahirlah beberapa putera dan keturunan, di antaranya: al-Syaikh Syihâbuddin Ahmad, Abû al-Hasan ‘Alî (w. 761 H./1404 M.) (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 39), Abu Abdillah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan Arifatul Khair.

Sebagian putera-puterinya itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani al-Syadzili bersama ibunda mereka.

Seperti apa yang telah al-Syadzili lakukan selama di Tunisia, di negeri para ulama ini pun al-Syadzili juga tetap berdakwah dan mengajar. Al-Syadzili menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan tarekat pada tahun 642 H./1244 M (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 196).

Al-Syadzili kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu al-Syadzili menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai‘at murid-muridnya.

Adapun bagian menara yang lain ia pergunakan untuk menyalurkan hobinya selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, al-Syadzili juga memiliki aktifitas rutin mengajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian al-Syadzili dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka.

Orang-orang alim dan saleh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajiannya, yang datang dari barat maupun timur, mereka merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh al-Syadzili. Bahkan, tidak sampai berhenti disitu saja, mereka kemudian juga berbai‘at kepada al-Syadzili sekaligus menyatakan diri sebagai muridnya.

Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti Sulthan al-‘Ulamâ’ Sayyid al-Syaikh ‘Izzuddîn bin ‘Abd al-Salâm (w. 1262 M.), al-Syaikh Islâmî bi Mishral Makhrusah, al-Syaikh al-Muhadditsîn al-Hafîdz Taqiyyuddîn bin Daqîqil ‘Ied, al-Syaikh al-Muhadditsîn al-Hafidz ‘Abd. al-‘Azhîm al-Mundziri (w. 1258 M.), dan al-Syaikh Ibnu al-Shalah, al-Syaikh Ibnu al-Hâjib (w. 1248 M.).

Selain itu juga al-Syaikh Jamaluddîn ‘Ushfur, al-Syaikh Nabihuddîn bin ‘Auf, al-Syaikh Muhyiddîn bin Suraqah, dan al-‘Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al-Imâm al-Akbar Sayyid al-Syaikh Muhyiddîn Ibnu al-‘Arabî, radhiyAllâhu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 64).

Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh al-Syadzili, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan al-Syadzili untuk berdakwah adalah di perguruan “al-Kamilah”.

Selain dakwah, syi’ar al-Syadzili juga melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, tarekat yang ia dakwahkan pun semakin berkibar (Mazhab Sufi, halaman: 47). Orang-orang yang datang untuk berbai‘at dan mengambil berkah tarekatnya datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama’, para pejabat hingga rakyat jelata. zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan rûhanî yang al-Syadzili dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santrinya.

Tarekat yang ia terima dari gurunya, al-Syaikh ‘Abd. al-Salam bin Masyîsyi (w. 625 H/1228 M) (Mazhab Sufi, halaman: 46), ia dakwahkan secara luas dan terbuka (al-Tashawwuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman: 167). Sebuah tarekat yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribî, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan.

Dalam pandangan tarekat ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepada Allâh Swt.

Selain itu, tarekat yang al-Syadzili populerkan ini juga dikenal sebagai tarekat yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqâmilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allâh Swt. Di samping itu, tarekat ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan do‘a dan hizib-hizibnya, (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 38).

Di samping kiprah al-Syadzili dalam syi’ar dan dakwah serta pembinaan rûhanî bagi para murid-muridnya, al-Syadzili juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalam perjuangan di medan peperangan (al-Tashawwuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman 167).

Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara Salib bermaksud membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islâm dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Al-Syadzili, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan hilang penglihatan, meninggalkan rumah dan keluarga, berangkat ke kota al-Mansyurah.

Al-Syadzili bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujâhidîn dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota al-Mansyurah.

Tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain al-Imam Syaikh ‘Izzu al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm, Syaikh Majduddîn bin Taqiyyuddîn ‘Alî bin Wahhab al-Qusyairi, Syaikh Muhyiddîn bin Suraqah, dan Syaikh Majduddîn al-Ikhmimi.

Para shalihîn dan ulama’ min al-Shiddiqîn itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islâm. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allâh Swt., salat dan  berdo‘a dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan.

Setelah selesai mereka beristighatsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendalami kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihyâ’ ‘Ulûm al-DînQûth al-Qulûb, dan al-Risâlah (Thabaqât al-Syadziliyyah al-Kubrâ al-Musammâ Jâmi’ al-Karâmât al-‘Aliyyah fî Thabaqât al-Sâdah al-Syadziliyyah, halaman: 72).

Karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam al-Syadzili, dalam mimpinya, bertemu dengan Rasûlullâh Saw. Pada waktu itu, Rasûlullâh Saw. berpesan kepada al-Syadzili supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang zalim dan korup.

Rasûlullâh menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Pada pagi harinya al-Syadzili pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangannya. Kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, kemenangan pun datang.

Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu al-Syadzili lalu kembali ke Iskandaria. Al-Syadzili menjalankan dakwah dan mensyi‘arkan tarekatnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawwal 656 H./1258 M (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42).

Sumber: Alif.ID

122. Akhir Hayat Abu Hasan al-Syadzili

Pada awal bulan Dzulqa‘dah tahun 656 H./1258 M., terbetik di hati al-Syadzili untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati al-Syadzili (al-Tasawuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman 182). Maka, kemudian ia meminta keluarganya dan sebagian murid untuk turut menyertai.

Ketika itu al-Syadzili juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikutnya. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, al-Syadzili pun menjawab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”

Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al-Mukarramah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Humaitsarah, yaitu antara Gana dan Quseir, al-Syadzili memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat.

Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu al-Syadzili meminta agar mereka semua berkumpul di tendanya.

Setelah para keluarga dan murid al-Syadzili berkumpul, lalu al-Syadzili memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiatnya kepada mereka. Di antara wasiat yang ia sampaikan, al-Syadzili mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putera-puteramu agar mereka menghafalkan hizib Bahri (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 41). Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung ismullahil a‘zham, yaitu nama-nama Allâh Yang Maha Agung.”

Setelah menyampaikan pesan-pesannya itu, al-Syadzili bersama dengan murid terkemukanya, al-Syaikh Abû al-‘Abbas al-Mursî, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, kedua insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula. Waktu itu seluruh keluarga dan para murid al-Syadzili masih menunggunya.

Setelah al-Syadzili kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian al-Syadzili berkata, “Wahai putera-puteraku dan shahabat-shahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abû al-‘Abbas al-Mursi sebagai penggantiku.

Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridha Allâh Swt., telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqâm yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allâh Swt.”, (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasy’atuhâ wa Nadzmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 302).

Pada waktu antara maghrib dan isya, al-Syadzili tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu’. Kemudian ia memanggil Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad Syarafuddin Ra., salah satu puteranya, “Hai Muhammad, tempat itu (al-Syadzili menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.”

Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya memang tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai, (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasy’atuhâ wa Nadzmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 104).

Mengetahui air sumur itu asin, maka putera al-Syadzili itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syaikh Syarafuddîn menawarkan kepada al-Syadzili air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan.

Al-Syadzili lantas mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian”. Selanjutnya putera al-Syadzili itu mengambil air sumur sebagaimana yang ayahnya kehendaki. Setelah selesai berwudu,  al-Syadzili berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali.

Setelah itu al-Syadzili memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan izin Allâh Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50).

Kemudian al-Syadzili mengerjakan shalat isya lalu diteruskan dengan shalat-shalat sunnah. Tidak berapa lama  kemudian ia berbaring dan menghadapkan wajahnya kepada Allâh Swt. (tawajjuh) seraya berzikir sehingga kadang-kadang mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan shahabat-shahabatnya.

Pada malam itu tiada henti-hentinya al-Syadzili memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, “Ilâhî, Ilâhî,“ (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,….), (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42). Kadang-kadang pula al-Syadzili lanjutkan dengan mengucapkan, “Allâhumma matâ yakûnu al-liqâ’ ?” (“Ya Allâh, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid al-Syadzili dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampinginya.

Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah al-Syadzili sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa al-Syadzili sudah tertidur pulas. Al-Syaikh Syarafuddîn perlahan-lahan mendekatinya.

Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera al-Syadzili itu lalu menggerak-gerakkan tubuh al-Syadzili. Sedikit terkejut dan tertegun Syaikh Syarafuddîn mendapatinya, karena al-Syadzili al-Imam alQuthub Ra. ternyata sudah berpulang ke rahmatullah. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42). Ketika itu ia berusia 63 tahun sama dengan usia Rasûlullâh Saw (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 51).

Setelah shalat subuh pada pagi hari itu, jasad al-Syadzili nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para muridnya. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama’, shiddiqîn, dan auliyâ’ullah agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta‘ziyah dan turut menshalati jenazahnya.

Di antara mereka qadhi-nya para qadhi negeri Mesir, al-Syaikh al-Walî Badruddîn bin Jamâ‘ah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung.

Sumber: Alif.ID

123. Perjalanan Intelektual al-Syadzili

Suasana Haul Akbar “Qutbhul Aqthab Wa Kahfun Amnith Thullab” Al-Imam As-Syayyid Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili QS ke-783 di Zawiyah Arraudhah Tebet (Foto: aktual.com)

Pendidikan yang diperoleh diawali dari orang tuanya, kemudian dilanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi lagi di Tunisia kurang lebih 19 tahun. Setelah al-Syadzili belajar beberapa lamanya di Tunis, ia pergi ke negara-negara Islam bagian Timur, di antaranya mengunjungi Mekah. Ia beberapa kali melaksanakan ibadah haji sebelum bertolak ke Irak.

Al-Syadzili menceritakan,

“Tatkala aku masuk ke Irak, pertama kali aku bergaul dengan Abu Fath al-Wasithi (w. 632 H) (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 196). Di Arab terdapat banyak Syaikh yang bersedia mengajar.

Ketika aku minta ditunjukkan guru yang berkedudukan Quthb, Abu Fath al-Wasithi mengatakan kepadaku bahwa guru yang aku cari itu ada di negeriku sendiri. Maka aku kembali ke Maghribî. Setelah itu, aku bertemu dengan guruku ‘Abd. al-Salam ibn Masyîsyi, yang sedang bertapa di sebuah gunung.

Aku segera mandi pada suatu mata air di bawah gunung itu. Ketika aku keluar dari dalam telaga mata air itu, aku merasa ilmu dan amalku sudah hilang. Aku segera mendaki gunung itu untuk menemui guruku.

Ia lalu berkata, “Marhaban, yâ ‘Alî”. Kemudian ia menceritakan panjang lebar tentang silsilahku sampai kepada Rasûlullâh Saw (Thabaqât al-Auliyâ’, halaman: 458).

Menurut ‘Abd. al-Halîm Mahmûd, al-Syadzili pada usia mudanya pernah mempelajari ilmu-ilmu agama kendati dipelajarinya secara autodidak. Dia juga menghafalkan Alquran dan Hadis.

Masih menurut ‘Abd. al-Halîm Mahmûd, Ibnu Sabbagh tidak menyebutkan hubungan al-Syadzili dengan madrasah al-Azhar, yang di sana diajarkan bidang studi fikih dan teologi. Akan tetapi, madrasah ini sangat mungkin terpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya tentang haqiqah, atau antara eksoterik dan esoterik (al-Madrasah al-Syadziliyyah wa Imâmuhu, halaman: 32)

Boleh jadi pendapat al-Syadzili yang moderat dalam masalah hubungan syari‘at dan tasawuf ini, diperoleh juga dari guru sufinya, karena menurut data yang diberikan oleh Trimingham, Abu Madyan dan muridnya ‘Abd al-Salam ibn Masyisyi (guru al-Syadzili) adalah sufi yang kokoh mengenai syari‘at.

Pendapat ‘Abd. al-Halim Mahmud cukup masuk akal dan bisa diterima. Tidak mungkin tanpa pengetahuannya tentang syari‘ah, al-Syadzili berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara syari‘ah dan tasawuf.

Kitab-kitab tasawuf yang pernah dipelajari oleh al-Syadzili antara lain: (1) Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, karya Abu Hâmid al-Ghazâlî, (2) Qûth al-Qulûb (santapan hati), karya Abu Thâlib al-Makki (3) Khatm al-Auliyâ’, karya al-Hakim al-Tirmidzî, (4) al-Mawâqif wa al-Muhâtsabah, karya Muhammad ‘Abd al-Abrâr, (5) Al-Shifâ’, karya Qadhi al-‘Iyadh, (6) Al-Risâlah karya al-Qusyairi, dan (7) al-Muharrar wa al-Wajîz, karya Ibnu ‘Athiyyah (Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 59).

Al-Syadzili mempelajari ilmu-ilmu agama dan menghafalkan Alquran dan Hadis. Al-Syâdzilîi berpendapat, bahwa ilmu agama itu sangat penting, dan perlu dimiliki untuk menjaga diri dari kesesatan dan menjadikan dirinya bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh.

Agama merupakan perisai untuk menghadapi gangguan-gangguan jiwa yang senantiasa membisikkan setiap orang untuk menjerumuskan diri kepada kejahatan. Hanya ilmu agama yang mampu melawan kejahatan bagi setiap mukmin. Abu Madyan dan ‘Abd al-Salam guru al-Syadzili adalah sufi yang kokoh mengenai syari‘at, (The Sufi Orders in Islâm, halaman: 48).

Menentang Mu’tazilah

Al-Syadzili ialah seorang teolog atau ahli tauhid beraliran Sunni yang menentang kaum Mu‘tazilah. Ia menentang sistem pemikiran Mu‘tazilah yang sangat mengagungkan dan mengedepankan akal daripada wahyu, sekalipun mereka juga berpegang kepada wahyu, namun wahyu hanya digunakan untuk konfirmasi.

Abu Marwan ‘Abd. al-Malik yang dikenal dengan panggilan al-Qassat mengatakan, ketika ia berkunjung ke Alexandria, di Mesir menemui al-Syadzili, di rumah al-Syadzili beliau sedang berdiskusi tentang ilmu dengan beberapa orang di sekitarnya. Sewaktu saya masuk dan memperkenalkan diri kemudian ia menyuruh aku membaca ayat:

فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ

Maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada di atas kebenaran (agama) yang nyata, (Shafwah al-Tafâsîr, juz 2, halaman: 419).

وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِم بِمَا ظَلَمُوا فَهُمْ لَا يَنطِقُونَ

Dan telah tiba firman Allah (berupa azab) kepada mereka (kaum kuffar), karena mereka zalim (dengan mengingkari firman Allah), maka mereka tidak dapat berbicara apa-apa, (Shafwah al-Tafâsîr, juz 2, halaman: 420).

Al-Syadzili mengatakan kepada seluruh yang hadir di majlis itu, “Setelah ada penjelasan dari Allah Swt. yang jelas, maka tidak perlu lagi ada penjelasan”.

Abu Marwan mengatakan bahwa yang berdebat dengan al-Syadzili ialah kelompok Mu‘tazilah, yang berdiskusi tentang sistem kepercayaan mereka. Meskipun al-Syadzili pernah mempelajari teologi (ilmu tauhid), namun teologi yang mengedepankan akal baginya tidak ada pengaruhnya.

Al-Syadzili tetap menolak pemikiran kaum Mu’tazilah, sebab menurut pendapat al-Syadzili, Allah adalah sumber kesadaran yang asli. Allâh bukan objek ilmu pengetahuan, tetapi Allâh telah memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. yang terhimpun dalam Alquran dan Alquran inilah yang dijadikan sumber syari’at dan hukum bagi Nabi Muhammad Saw. dan umatnya.

Al-Syadzili dalam fikih mengikuti mazhab Maliki, demikian pula para pengikutnya juga mengikuti mazhab Maliki, kecuali pengikut-pengikut tarekat. Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghribî (Spanyol, Maroko dan Tunisia). Dinasti Murâbithûn di Spanyol (1056-1147 M.) menganut mazab ini dan mempraktikkannya secara kaku dan konservatif.

Praktik semacam ini mendapat kritik tajam dari dinasti berikutnya, Muwahhidûn (1130-1269 M.), sehingga ajaran Maliki baik di Spanyol, Maroko dan Tunisia tidaklah sesubur dulunya. Tetapi setelah Maroko dan Tunisia dikuasai oleh dinasti Mariniyah (akhir abad 13–awal abad 14) ajaran Maliki dipraktikkan kembali secara leluasa (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 62, lihat juga Ensiklopedi Islam, jilid 3, halaman: 166-167).

Tercatat di kalangan sufi bahwa yang selalu bersamanya baik dalam dialog maupun dalam pengajiannya antara lain Syaikh Abu al-Hasan ’Ali ibnu Makhlûf al-Shaqlî, Abu ‘Abdullah al-Shâbûnî, Abu Muhammad ‘Abdul ‘Azîz al-Zaitûnî, Abu ‘Abdullah al-Bajât al-Khayyâti, dan Abu ‘Abdullah al-Jârihî (Hayat Abî al-Hasan al-Syâdzilî, halaman 33).

Di sini ia mendapat sambutan yang luar biasa sehingga sampai menimbulkan kebencian dari Qadhî Tunisia, Ibnu al-Barrâ’, yang merasa tersisih. Akibat konflik yang berkepanjangan dengannya, al-Syadzili memutuskan untuk meninggalkan Tunisia menuju Mesir, padahal Sultan Tunisia Abu Zakariya al-Hafsi (1228-1259 M.) sangat berkeberatan atas perginya Al-Syadzili dari Tunisia, (Hayatu Abî al-Hasan al-Shadhilî, halaman: 33, lihat juga The Sufi Orders in Islâm, halaman: 48).

Pada kesempatan yang lain al-Syadzili menceritakan, tatkala ia mendatangi gurunya sebagai murid, lalu gurunya mengatakan kepadanya, “Engkau datang kepadaku karena ingin mendapatkan ilmu dan petunjuk dalam amal? Ketahuilah bahwa Engkau ini adalah salah seorang dari guru dunia dan akhirat yang terbesar!”

Al-Syadzili mengemukakan keheranannya. Lebih-lebih pula ia menjadi takjub, tatkala sesudah beberapa hari ia tinggal di tempat itu, ia melihat pemberian Tuhan mengenai kecerdasan yang luar biasa, di luar adat kebiasaan, dan merupakan keramat khusus baginya.

Tatkala pada suatu kali ia hendak menanyakan kepada gurunya tentang ismu al-a‘zham, (Pengantar Sufi dan Tasawuf, halaman: 278), dengan tiba-tiba seorang anak kecil datang kepadanya dan berkata dengan lancarnya: “Apa Engkau hendak menanyakan gurumu tentang ismu al-a‘zham, tidaklah Engkau ketahui bahwa Engkau sendiri ismu al-a‘zham itu”.

Di antara guru kerûhaniannya adalah ‘ulama’ besar ‘Abd. al-Salam Ibn Masyîsyi (w. 625 H./1228 M.), yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb para wali”, seperti halnya al-Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlanî (w. 561 H/1166 M), (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 37). Nama Lengkap ‘Abd al-Salam Ibn Masyîsyi adalah al-Syaikh Ibnu Masyîsyi ‘Abd. al-Salam bin Masyîsyi bin Mâlik bin ‘Alî bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad bin Idrîs al-Akbar bin ‘Abdullah al-Kâmil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sabth bin ‘Alî bin Abî Thâlib suami Fâthimah al-Zahrâ’ puteri Rasûlullâh Saw.

Syaikh Ibnu Masyîsyi lahir pada tahun 559 H. bertepatan dengan 1198 M. Syaikh Ibnu Masyîsyi memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (bacaan-bacaan zikir dan do‘a) sehingga dia sampai kepada jalan menuju ma‘rifah kepada Allâh Swt., maka Ibnu Masyîsyi mampu dalam bidang ilmu juga mendapatkan puncak kezuhudan.

Beberapa peninggalan ilmiah Syaikh Ibnu Masyîsyi yang sampai kepada kita melalui muridnya Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili adalah sekumpulan nasehat yang mengagumkan dengan ungkapan yang bersih, jernih selaras dengan Alquran dan al-Sunna

Ia wafat pada tahun 625 H. dengan cara dibunuh pada saat turun berkhalwah untuk berwudhu dan shalat subuh oleh kelompoknya Ibnu Abî al-Thawâjin al-Kattamî yang mengaku nabi.

Sumber: Alif.ID

124. Perjalanan Ruhani al-Syadzili

Pada suatu hari al-Syaikh berkata kepada al-Syadzili, “Wahai anakku, hendaknya Engkau senantiasa melanggengkan thaharah (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap Engkau berhadas, cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Setiap kali Engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu” (Qadhiyyah al-Tashawwûf al-Madrasah al-Shâdhiliyyah, halaman: 22-23).

Berkata Syaikh Ibn Masyîsyi kepada al-Syadzili, “Pertajam penglihatan imanmu, niscaya Engkau akan mendapatkan Allâh; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifat-Nya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaan-Nya” (al-Tasawuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 170).

Di lain waktu guru al-Syadzili, radhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : kecintaan demi untuk Allâh; ridha atas ketentuan Allâh; zuhud terhadap dunia; dan tawakkal atas Allâh.

Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni menegakkan fardhu-fardhu Allâh; menjauhi larangan-larangan Allâh; bersabar terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan wara‘ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.

Al-Syaikh juga pernah berpesan kepada al-Syadzili, “Wahai anakku, janganlah Engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allâh, sesuatu yang dapat mendatangkan keridhaan Allâh, dan jangan pula Engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allâh. Janganlah Engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu Engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih shahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allâh”.

Al-Syaikh ‘Abd. al-Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allâh dan al-Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syaikh Abu al-Hasan adalah muridnya, namun Syaikh ‘Abd. al-Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, di samping derajat keshalihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syaikh Abu al-Hasan (Qadhiyyah al-Tashawwûf al-Madrasah al-Shâdhiliyyah, halaman: 200).

Tetapi, dari semua yang al-Syadzili terima dari al-Syaikh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan al-Syadzili di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai‘at sebuah tarekat dari al-Syaikh ‘Abd al-Salam yang rantai silsilah tarekat tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allâh Swt. Silsilah tarekat ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

Al-Syaikh al-Imâm Abu al-Hasan ‘Alî al-Syadzili menerima bai‘at tarekat dari:

  1. Al-Syaikh al-Quthub al-Syarîf Abu Muhammad ‘Abd al-Salam bin Masyîsyi, beliau menerima talqin dan bai‘at dari
  2. Al-Quthub al-Syarîf ‘Abdurrahman al-Aththar al-Zayyat al-Hasani al-Madani, dari
  3. Quthb al-Auliyâ’ Taqiyyuddîn al-Fuqayr al-Shufî, dari
  4. Sayyid Syaikh al-Quthub Fakhruddîn, dari
  5. Sayyid Syaikh al-Quthub Nûruddîn Abî al-Hasan ‘Alî, dari
  6. Sayyid Syaikh Muhammad Tâjuddîn, dari
  7. Sayyid Syaikh al-Quthub Zainuddîn al-Qazwinî, dari
  8. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Ishaq Ibrahîm al-Bashri, dari
  9. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Qâsim Ahmad al-Marwani, dari
  10. Sayyid Syaikh Sa‘ad, dari
  11. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Muhammad Fath al-Su‘udi, dari
  12. Sayyid Syaikh al-Quthub Muhammad Said al-Ghazwanî, dari
  13. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Muhammad Jabir, dari
  14. Sayyidinâ Syarîf al-Hasan bin ‘Alî, dari
  15. Sayyidinâ ‘Alî bin Abî Thâlib, karramAllâhu wajhah, dari
  16. Sayyidinâ wa Habîbina wa Syafî‘inâ wa Maulanâ Muhammadin, Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam, dari
  17. Sayyidinâ Jibril, ‘alaihi al-Salam, dari
  18. Rabb al-‘Izzati rabb al-‘Âlamîn, (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 78-79).

Setelah menerima ajaran dan bai‘at tarekat ini, dari hari ke hari al-Syadzili merasakan semakin terbuka mata hatinya. Al-Syadzili banyak menemukan rahasia-rahasia ilâhiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula al-Syadzili semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakikat dan ma‘rifatullah, (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 26. Lihat juga al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 14).

Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran tarekat itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barakah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, al-Syaikh ‘Abd al-Salam bin Masyîsyi Ra. (w. 625 H./1228 M).

Tarekat ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu al-Syadzili bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, ia kembangkan dan sebar-luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-muridnya. Oleh karena al-Syadzili adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran tarekat ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur dimana-mana.

Maka al-Syadzili pun kemudian dianggap sebagai pendiri tarekat ini yang pada akhirnya menisbatkan nama tarekat ini dengan nama besarnya, dengan sebutan “Tarekat Syadziliyyah” (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 61-63. Lihat juga Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 65-72).

Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan tarekat ini. Sebuah tarekat yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Sumber: Alif.ID

125. Perkembangan Tarekat Syadziliyah Hingga ke Indonesia

Suasana Pembaiatan Tarekat Syadziliyah Maulana Syekh Abdul Mun’im bin Abdul Aziz bin Al Ghumari didampingi Khodim Zawiyah Arraudhah Muhammad Danial Nafis kepada peserta Halaqoh Shufiyah Wa Khotmul Kitab di Zawiyah Arraudhah, Jalan Tebet Barat VIII, No 50, Jakarta Selatan, 11-14 Mei 2017. Kajian kitab Al Anwaru Qudsiyah dan Ta’rif Mu’tasi Bi Ahwali Nafsi karya Syekh Abdul Azis bin Muhammad bin Shidiq Al Ghumari Al Hasani QS (Foto: aktual.com)

Sebagaimana tarekat muktabarah lainnya, tarekat Syadziliyah juga bersumber dari Rabb al-‘Izzah Rabb al-‘Alamin. Ajaran tarekat, atau jalan, atau cara, atau metode menuju kepada Allâh Swt tersebut kemudian disampaikan kepada Rasulullah Saw melalui malaikat Jibril As. Selanjutnya, oleh Rasulullah Saw metode itu lalu diajarkan kepada beberapa sahabat beliau.

Oleh sahabat-sahabat beliau, tarekat kemudian diajarkan kepada para muridnya. Lalu, oleh muridnya itu kemudian diajarkan kepada muridnya pula. Demikian seterusnya, turun-temurun sampai akhirnya kepada Syaikh Abdus Salam bin Masyisy.

Semenjak dari Rasulullah Saw sampai kepada Syaikh Abdus Salam, dalam kurun waktu sekitar 600 tahun, metode tersebut diajarkan dalam lingkup yang masih sangat terbatas. Tidak banyak orang yang bisa mengetahui dan mengenalnya. Di samping itu, selama itu pula ajaran tersebut masih belum memiliki nama atau sebutan.

Selanjutnya, oleh Syaikh Abdus Salam, ajaran tersebut kemudian diajarkan kepada Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili. Setelah ajaran ini diterima oleh Syaikh Abu al-Hasan, lalu oleh beliau, selang beberapa tahun kemudian, ajaran ini dikembangkan dan disebarluaskan kepada masyarakat umum berikut dengan ajaran-ajaran tasawufnya. Oleh karena itu, di kemudian hari murid-murid beliau mengaitkan ajaran tarekat tersebut dengan nama beliau dengan sebutan tarekat Syadziliyah.

Pada masa Syaikh Abu al-Hasan, terutama setelah beliau bermukim di Mesir, ajaran tarekat ini berkembang dengan amat pesat. Tarekat ini pun menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sampai kini, tarekat ini banyak memiliki pengikut di sebagian besar negara-negara di Afrika Utara, Kenya, Tanzania Tengah, sampai negara-negara di Amerika Barat dan Amerika Utara, serta negara-negara di Asia, termasuk Srilanka, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Sepeninggal Syaikh Abu al-Hasan, kekhalifahan tarekat ini kemudian dilanjutkan oleh murid terkemuka beliau bernama Syaikh Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Umar al-Anshari al-Mursi al-Syadzili atau lebih dikenal dengan nama Syaikh Abu al-‘Abbâs al-Mursî (w. 686 H./1288 M.).

Di masa hidupnya, Syaikh Abu al-‘Abbas al-Mursi banyak memiliki murid masyhur yang amat berpengaruh dalam dunia Islâm, di antaranya Shahibul Hikam Syaikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. tahun 709 H./1309 M.), Syaikh Yaqut al-‘Arsyi (w. 732 H./1331 M.), Syaikh Abu al-Fath al-Maidumi, Shahibul Burdah Syaikh Muhammad bin Sa’id al-Bushiri (wafat 649 H./1295 M.), dan Syaikh Najmuddin al-Isfahani (w. 721 H./1321 M.).

Tiga nama pertama di atas, yaitu Syaikh Ibnu ‘Atha’illah, Syaikh Yaqut al-‘Arsyi, dan Syaikh Abu al-Fath al-Maidumi di kemudian hari menggantikan kedudukan Syaikh Abu al-‘Abbâs al-Mursî sebagai khalifah tarekat Syadziliyah.

Tarekat Syadziliyah yang dibawa oleh Syaikh Ibnu ‘Atha’illah, secara umum lebih banyak berkembang ke wilayah barat Mesir, mulai dari kota Iskandaria sampai ke negara Libya, Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Selain itu juga ke sebagian besar negara-negara berpenduduk muslim lainnya di daerah Afrika Barat, hingga sampai ke Spanyol dan beberapa negara lainnya di Eropa dan Amerika.

Sedangkan perkembangan tarekat Syadziliyah yang dibawa Syaikh Yaqut al-‘Arsyi lebih mendominasi wilayah dalam negeri Mesir sendiri dan negara-negara di sebelah selatannya, seperti Sudan, Ethiopia, Kenya, Somalia, dan Tanzania, hingga ke daerah timur Mesir, antara lain Yordania, Syiria, Turki, Irak, Iran, ke utara sampai ke semenanjung Balkan.

Sementara itu, dakwah Syaikh al-Maidumi mendapat sambutan hangat di wilayah jazirah Arab, terutama di dua kota suci, Mekah dan Madinah. Justru dari kedua kota inilah pada akhirnya tarekat Syadziliyah menyebar dengan pesat ke negara-negara timur, mulai dari India, Pakistan, Afganistan, hingga sampai ke Malaysia dan Indonesia. Dari jalur Syaikh al-Maidumi inilah silsilah tarekat Syadziliyah sampai ke Indonesia, (Manaqib Sang Quthub Agung, halaman: 77-79).

Pokok-pokok  Ajaran Tarekat Syadiliyah

1. Taqwa kepada Allâh Swt. lahir batin, yaitu secara konsisten (istiqamah), sabar, dan tabah selalu menjalankan segala perintah Allâh Swt. serta menjauhi semua larangan-Nya dengan berlaku wara’ (berhati-hati terhadap semua yang haram, makruh, maupun syubhat), baik ketika sendiri maupun pada saat di hadapan orang lain.

2. Mengikuti sunnah-sunnah Rasûlullâh Saw. dalam ucapan dan perbuatan, yaitu dengan cara selalu berusaha sekuat-kuatnya untuk senantiasa berucap dan beramal seperti yang telah dicontohkan Rasûlullâh Saw., serta selalu waspada agar senantiasa menjalankan budi pekerti luhur (akhlakul karimah).

3. Mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allâh Swt., yaitu dengan cara tidak mempedulikan makhluk dalam kesukaan atau kebencian mereka diiringi dengan kesabaran dan berpasrah diri kepada Allâh Swt. (tawakkal).

4. Ridha kepada Allâh baik dalam kekurangan maupun kelebihan, yaitu dengan cara senantiasa ridha, ikhlas, qana’ah (tidak rakus, nrimo ing pandum: Jawa), dan tawakkal dalam menerima pemberian Allâh Swt., baik ketika pemberian itu sedikit atau banyak, ringan atau berat, maupun sempit atau lapang.

5. Kembali kepada Allâh dalam suka maupun duka, yaitu dengan cara secepatnya berlari kembali kepada Allâh Swt. dalam segala keadaan, baik dalam suasana suka maupun duka.

Kelima pokok tersebut bertumpu pada lima pokok berikut ini:

  1. Memiliki semangan tinggi, karena dengan semangat yang tinggi, maka akan naik pula tingkat derajat seseorang.
  2. Berhati-hati/waspada terhadap segala yang haram, karena barang siapa yang meninggalkan segala yang diharamkan, maka Allâh Swt. akan menjaga pula kehormatannya.
  3. Baik dalam khidmat/bakti sebagai hamba, karena barang siapa yang menjaga kebaikan dan kebenaran dalam taatnya kepada Allâh Swt., niscaya akan tercapailah tujuannya dalam menuju kepada kebesaran dan kemuliaan-Nya.
  4. Menunaikan segala yang difardhukan, karena barang siapa yang melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik, niscaya akan bahagia hidupnya.
  5. Menghargai dan menjunjung tinggi nikmat-nikmat dari Allâh Swt., karena barang siapa yang menjunjung tinggi nikmat Allâh, kemudian mensyukurinya, maka dia akan menerima tambahan-tambahan nikmat yang lebih besar.

Kaifiyah Zikir Syadziliyah

  1. Membaca surat al-Fatihah dan ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw.
  2. Membaca surat al-Fatihah dan ditujukan kepada Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili
  3. Membaca surat al-Fatihah dan ditujukan para silsilah guru mursyid tarekat Syadziliyah
  4. Beristighfar sebanyak 100 kali
  5. Membaca shalawat Syadziliyah sebanyak 100 kali. Berikut ini bacaan shalawat tersebut:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا بِقَدْرِ عَظَمَةِ ذَاتِكَ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ وَحِيْنٍ

  1. Membaca Lâ Ilâha Illalâh sebanyak 100 kali.
  2. Membaca kalimat berikut ini sekali.

سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

  1. Selanjutnya membaca do’a berikut ini:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ . يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَالْأَفَاتِ، وَتَقْضِيْ لَنَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ، وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ، وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ، وَتُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِى الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ. اللهم أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَمَعْرِفَتَكَ. اللهم افْتَحْ لِيْ بِفُتُوْحِ الْعَارِفِيْنَ. اللهم اخْتِمْ لَنَا بِخَاتِمَةِ السَّعَادَةِ. وَاجْعَلْنَا مِنَ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ الْحُسْنَى وَزِيَادَاتِ . بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذِي الشَّفَاعَةِ. وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ ذَوِى السِّيَادَةِ. وَسَيِّدِنَا أَبِى الْعَبَّاسِ الْخَضِرِ بَلْيَا بْنِ مَلْكَانِ ذِي الْاِسْتِقَامَةِ. سَيِّدِنَا الْغَوْثِ الْأَعْظَمِ الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِيْ ذِي الْكَرَامَةِ. رَبَّنَا اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. الفاتحة

(Durrah al-Sâlikîn, tanpa tahun, halaman: 8-12)

Di samping amalan zikir di atas, dalam tarekat Syadziliyah juga diajarkan beberapa bacaan hizb (wirid) seperti hizb Nashr, hizb Bahr, dan hizb Nawawi.

Sumber: Alif.ID

126. Tarekat Ahmadiyah

Tarekat ini dinisbatkan kepada seorang wali kutub (pemimpin wali) terkenal yang bernama al-Sayyid al-Hasib al-Nasib Abu al-Abbas Sayyid Ahmad al-Badawi al-Syarif Ra. Beliau masih keturunan Rasulullâh dari jalur Sayyidina Husain bin Ali.

Nasab beliau adalah sebagai berikut: Syaikh Ahmad al-Badawi bin Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakar bin Isma’il bin Umar bin Ali bin Utsman bin Husain bin Muhammad bin Musa al-Kâdzim bin Yahya bin Isa bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Ja’far bin Ali bin Musa bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Krw.

Sayyid Ahmad al-Badawi Ra. dilahirkan di kota Fes (dalam bahasa Arab Fas) Maroko pada tahun 596 H./1199 M. kakeknya hijrah dari kota Hijaz (Yaman) ke Maroko untuk menghindari penganiayaan al-‘Abasin untuk memuliakan al-‘Alawiyyin. Keluarganya menetap di negara Maroko dan bertempat tinggal di Fes pada tahun 535 H.

Kota Maroko sebagai saksi telah lahir Qutb al-Aqthâb Abi al-Fatyani Nadirat al-‘Ashri wa Ghauts al-Zaman (Sayyid Ahmad al-Badawi), (A’lâm as-Shûfiyah, halaman: 501). Kemudian pada tahun 603 H. Ali bin Ibrahim, ayahnya pergi meninggalkan Fez (Maroko) bersama dengan anak dan isterinya untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 607 H. Ketika itu Syaikh Ahmad al-Badawi baru berusia 11 tahun.

Kemudian Syaikh Ahmad al-Badawi tinggal di Makkah dan dikenal dengan sebutan al-Badawi karena biasa memakai cadar. Beliau memakai dua cadar yang tidak pernah dilepas, Ketika ditawari menikah oleh saudaranya, ia menolak dan tidak menikah sama sekali. Lalu ia bimbing saudaranya itu dan disuruh mempelajari Alquran. Pada saat tinggal di Mekah ia terkenal sebagai pemberani sehingga dijuluki si pemberani dan si watak keras.

Setelah menghafal Alquran Syaikh Ahmad al-Badawi disibukkan dengan mencari ilmu. Untuk beberapa tahun lamanya ia mengikuti madzhab Syafi’i sampai terjadi sesuatu hal padanya kemudian ia tinggalkan itu semua. Jika memakai baju atau sorban, ia tidak melepasnya baik di waktu mandi atau waktu yang lainnya sampai sorban tersebut basah, setelah sorban yang ia kenakanan hancur barulah ia melepasnya dan mengganti dengan baju yang lain.

Dia juga tidak membuka kain cadarnya, kemudian Abdul Majid bertanya kepada dia: berilah tahu wajahmu kepadaku, dia berkata: “Kami membuka setiap pandangan dengan orang laki-laki”, kemudian Abdul Majid bekata: “Ya aku telah mengetahuinya, maka ketika mati bukaklah cadar ini”, kemudian beliau mati seketika, (al-Thabâqat al-Kubra, Juz 1, halaman: 185 dan al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 145).

Lalu terjadi suatu hal pada dirinya sehingga tingkahnya berubah dan menjauhi orang-orang dan selalu berdiam diri. Ia tidak berkata kecuali dengan bahasa isyarat. Senantiasa berpuasa dan bangun malam selama 40 hari ia tidak makan, minum, dan tidur kemudian turun dari tempat tidurnya. Dari waktu ke waktu ia selalu memandang ke langit sampai kedua matanya merah membara.

Kemudian mendengar suara berkata tiga kali: “Berdirilah dan berhadaplah ketempat munculnya matahari, ketika sudah menemukannya maka berhadaplah ke tempat tenggelamnya matahari”. Dia berjalan sampai ke kota Thanta (Mesir) tempat makam as-Sayyid Ahmad al-Badawi. Beliau keluar dari daerah Faisya al-Munarah kemudian anak-anak kecil mengikut beliau diantaranya yaitu bernama Abdul ‘Al dan Abdul Majid, (Nûr al-Abshâr, halaman: 261 dan al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 144).

Sebagian ulama yang arif berkata bahwa ia berhasil menyatukan segala konsentrasinya hanya pada Allâh Swt. Hal ini ia lakukan dari waktu ke waktu selalu mengalami peningkatan (Nûr al-Abshâr, halaman: 262. Lihat juga al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 144).

Ibnu al-Laban pernah mengingkarinya, maka dicabutlah Alquran, ilmu, dan iman darinya. Maka Ibnu al-Laban tidak henti-hentinya meminta pertolongan kepada beberapa orang wali. Namun tak seorang pun dari mereka mampu menolong sehingga mereka menunjuk Sayyid Yaqut al-Arsyi.

Lalu Sayyid Yaqut al-Arsyi mengajak Ibnu al-Laban berziarah ke makam Syaikh Ahmad al-Badawi. Di depan makam Syaikh Ahmad al-Badawi, Sayyid Yaqut al-Arsyi berkata, “Wahai Syaikh Ahmad al-Badawi, kembalikan modal orang ini.”

Dari dalam kubur Syaikh Ahmad al-Badawi menjawab, “Akan aku kembalikan dengan syarat ia bertaubat.” Ibnu al-Laban segera melaksanakan syarat tersebut. Ia bertaubat dari kesalahannya sehingga akhirnya dikembalikanlah aI-Qur’an, ilmu dan iman yang telah dicabut darinya (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, Juz 1, halaman: 416).

Imam al-Matbuli berkata, “Rasulullâh Saw. bersabda kepadaku, ‘Tidak ada wali di Mesir setelah Imam Syafi’i yang sangat pemaaf melebihinya (Syaikh Ahmad al-Badawi), lalu Sayyidah Nafisah, Syaikh Syarifuddin al-Kurdi, dan al-Manufi’” (Nûr al-Abshâr, halaman: 266).

Dengan terbukanya tabir Syaikh al-Badawi, ia mengetahui anak-anaknya yang akan lahir. Hal itu beliau lakukan untuk menguatkan hujjah atas muridnya agar dapat mengambil keputusan sendiri. Namun, jiwa murid tidak sekuat jiwa guru. Syaikh Ahmad al-Badawi selalu mendoakan muridnya hingga khudur.

Kemudian al-Badawi berkata, bahwa sesungguhnya Syaikh Muhammad al-Sarawi Ra adalah gurunya dan khudur beliau tertunda satu tahun. Beliau berkata bahwa tempat khudur Rasulullâh Saw, para nabi, sahabat, dan para wali itu sebagaimana khudur murid-muridnya.

Syaikh Muhammad Ra pun keluar ke tempat kelahirannya, dan menyaksikan orang-orang yang sedang pulang. Beliau terlambat berkumpul, lalu beliau menyentuh pakaian mereka, kemudian beliau bersembunyi di belakang mereka.

Sayyid Abdul ‘Aziz ketika ditanya tentang Sayyid Ahmad al-Badawi Ra, beliau menjawab,  “Dia adalah lautan yang tidak ditemukan dasarnya, berita dan kedatangan beliau dengan perjalanan malam itu dari Eropa, menolong seseorang dari perampok dan aku”.

Sayyid Abdul ‘Aziz berkata, “Sungguh aku telah menyaksikan dengan mataku pada tahun 945 H, seseorang tawanan di menara Sayyid Abdul `Al Ra. Ia dibelenggu dan dirantai padahal dia adalah orang yang linglung”.

Syaikh Abdul ‘Aziz kembali berkata, “Pada suatu hari aku berada di Eropa pada akhir malam, aku menghadap kepada Sayyid Ahmad al-Badawi, tiba-tiba aku bersama beliau. Kemudian beliau membawa aku terbang dan menurunkan aku di sini, kemudian beliau diam selama dua hari, sedangkan kepala beliau terasa berputar di atasnya karena kuatnya sambaran” (at-Thabâqat al-Kubrâ, halaman: 264).

Sumber: Alif.ID

127. Karomah dan Hizib al-Badawi

Syaikh Ahmad al-Badawi wafat pada tahun 675 H. Ia telah menjalankan tugasnya dengan baik. Ia meramaikan banyak tempat dan beberapa menara, ia mempersiapkan makanan untuk orang-orang fakir dan orang yang memiliki tanda-tanda kefakiran.

Syaikh al-Badawi memerintahkan untuk mengecilkan takaran rotinya, disesuaikan dengan keadaan. Beliau juga memerintahkan kepada orang-orang fakir yang tingkah-lakunya dapat dipertanggungjawabkan, agar bermukim di beberapa tempat yang beliau telah tentukan. Tidak seorang pun bisa menentangnya.

Seorang murid, Sayyid Yusuf Ra, kemudian meminta ayahnya Sayyid Ismail al-Inbaby agar bermukim di Inbababah. Lalu Sayyid Ahmad Aba Thurthur agar bermukim di Tijah Inbabah, Sahara. Adapun Sayyid Abdullâh al-Jaizy bermukim di Sahara kota Jizah, sedangkan Sayyid Wahib bermukim di Barsyum al-Kubro.

Sayyid Yusuf Ra menjadi rujukan pemerintah dan tokoh-tokoh Mesir. Beliau hidangkan makanan yang tidak mampu dilakukan oleh umara (pemerintah). Pada suatu hari Syaikh Ahmad Abu Thurthur berkata kepada sahabatnya: “Marilah pergi kepada saudaraku Yusuf untuk melihat kegiatannya” (al-Thabâqat al-Kubrâ, halaman: 261).

Di antara karomah yang dimiliki oleh Syaikh Ahmad al-Badawi adalah:

  1. Beliau bisa mendengarkan ucapan ahli kubur, sebagimana redaksi di bawah ini:

أَنَّهُ شَاوَرَهُ شَيْخٌ مَقَامَهُ عَلَى السَّفَرِ بِحُضُوْرِ الشَّيْخِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الشَّعْرَاوِيْ، فَقَالَ لَهُ مِنَ الْقَبْرِ: سَافِرْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ. قَالَ الشَّيْخُ: هَكَذَا سَمِعْتُهُ بِأُذُنِيْ

Bahwasannya beliau mampu bermusyawarah dengan Syaikh Abd Wahab al-Sya’rawi yang berada dalam kubur, beliau berkata kepada Ahmad Badawi: “Pergilah dan tawakkallah kepada Allâh Swt.” kemudian Syaikh Ahmad Badawi berkata: “Hal ini mampu saya dengarkan dengan telingaku.”

  1. Mengetahui sesuatu yang belum diketahui oleh orang lain

أَنَّ رَجُلًا كَانَ عِنْدَهُ شَعِيْرٌ، فَطَلَبَ أَمِيْرُ طَنْدَتَا مَا يَعْشِى خَيْلُهُ لَهُ، فَلَمْ يَجِدْ، وَقِيْلَ لَهُ عَلَى ذَلِكَ الرَّجُلِ، فَأَتَى الشَّيْخُ وَهُوَ يَرْعَدُ فَقَالَ: قُلْ إِنَّهُ قَمَحٌ، فَقَالَ ذَلِكَ وَفَتَحَ الْحَاصِلُ فَوَجَدَ قَمَحَ كَمَا ذُكِرَ

Ada orang laki-laki yang mempunyai gandum. Lalu ada pemimpin Thondata mencari sesuatu untuk kudanya untuk menggembala, tapi  ia tidak menemukan sesuatu itu. Ia berkata bahwa sesuatu itu ada pada laki-laki tadi.

Pemimpin Thondata tadi lantas menemui Syaikh al-Badawi dan Syaikh berkata, “Katakanlah kepada mereka sesungguhnya sesuatu yang ia maksud itu gandum”. Kemudian, Amir tersebut  membuka barang milik laki-laki tadi, dan benar bahwa itu adalah gandum.

  1. Mengetahui sesuatu yang akan terjadi

أَنَّهُ قالَ لِرَجُلٍ: خَزِّنْ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ قَمْحًا، وَأَكْثَرُ مِنْهُ وَأَقْصَدَ التَّوْسِعَةَ عَلَى الْفُقَرَاءِ، فَإِنَّهُ يَغْلُوْ غَلَاءً مُفْرِطًا، فَفَعَلَ وَكَانَ ذَلِكَ

Syaikh berkata kepada orang laki-laki: “Timbunlah gandum pada tahun ini maka gandum tersebut akan lebih banyak”, bertujuan memperluas makanan bagi orang-orang fakir, maka sungguh gandum tersebut bertambah dengan tambahan melampaui batas, dan laki-laki tersebut mengerjakannya dan hasilnya sesuai apa yang dikatakan oleh beliau, (al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 146-147).

Pengganti Syaikh al-Badawi setelah beliau wafat yaitu Sayyid Abdul ‘Al

Malam al-Badawi

Silsilah Tarekat

Syaikh Ahmad al-Badawi adalah seorang waliyullah yang sangat terkenal di negara Mesir. Dia juga  adalah pendiri Tarekat Ahmadiyah, yang juga dikenal sebagai tarekat Badawiyah. Tarekat ini telah terbagi menjadi beberapa cabang dan ranting, yakni Tarekat Anbabiyah, Tarekat al-Bandariyah, Tarekat Bayumiyah, Tarekat Hababiyah, Tarekat Hammidiyah, Tarekat Kannasiyah, Tarekat Salamiyah, Tarekat Syinnawiyah, Tarekat Suthiyah, Tarekat Zahidiyah.

Syaikh Ahmad al-Badawi menerimah ijazah tarekat dari Syaikh al-Birri dari Syaikh ‘Abi Nu’aim al-Baghdadi dari Syaikh Abil Abbas Ahmad ibn Abi al-Hasan ‘Ali al-Rifa’i dari Syaikh Manshur al-Batha’i al-Robbani dari Syaikh ‘Ali al-Qari’ al-Wasithi dari Syaikh Abil Fadhl ibn Kamikh dari Syaikh Abi ‘Ali Ghulam Ibn Tarakan dari ‘Ali ibn Barbari (disebut juga sebagai ibn al-Baranbary) dari Syaikh ‘Ali al-‘Ajami (dikenal sebagai al-Syaikh Mahalli al-‘Ajami) dari Syaikh Abi Bakr Dulaf Ibn Jahdar al-Syibli dari Syaikh Abil Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdadi dari Syaikh Abi al-Hasan Sary ibn al-Mughalis As-Saqothi dari Syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi dari Syaikh Abi Sulaiman Dawud ibn Nasir at-Tha’i dari Syaikh Abi Muhammad Habib ibn ‘Isa al-‘Ajami dari Syaikh Abi Sa’id al-Hasan ibn Abi ‘Ali dari Bapaknya yakni al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Sepupunya yang juga adalah bapak mertuanya yakni junjungan kita Sayyidina Muhammad Rasulullâh Saw.

Salawat dan Hizib

Di antara amalan-amalan Syaikh Ahmad al-Badawi yang masih populer dan diamalkan oleh umat Islâm di seluruh dunia ialah salawat al-Nuraniyah, shalawat al-Anwar dan shalawat Nur al-Qiyamah dan beberapa hizib ringkas diantaranya hizib Dar’al Matin, hizib Kabir dan Hizib Shaghir yang diamalkan oleh para pengikut Tarekat al-Ahmadiyah

  1. Shalawat Nuraniyah:

أَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ شَجَرَةِ الْاَصْلِ النُّوْرَانِيَّةِ وَلُمْعَةِ الْقَبْضَةِ الرَّحْمَانِيَّةِ وَأَفْضَلِ الْخَلِيْقَةِ الْإِنْسَانِيَّةِ وَأَشْرَفِ الصُّوْرَةِ الْجِسْمَانِيَّةِ وَمَعْدِنِ الْاَسْرَارِ الرَّبَّانِيَّةِ وَخَزَائِنِ الْعُلُوْمِ الْاِسْطِفَائِيَّةِ صَاحِبِ الْقَبْضَةِ وَالْبَهْجَةِ السَّنِيَّةِ وَالرُّتْبَةِ الْعَلِيَّةِ مَنْ أَنْدَرَجَتِ النَّبِيُّوْنَ تَحْتَ لِوَئِهِ فَهُمْ مِنْهُ وَإِلَيْهِ وَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَمَا خَلَقْتَ وَرَزَقْتَ وَاَمَتَّ وَاَحْيَيْتَ إِلَى يَوْمِ تَبْعَثُ مَنْ أَفْنَيْتَ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

  1. Shalawat Nurul Anwar:

اَللهم صَلِّ عَلَى نُوْرِ الْأَنْوَارِ وَسِرِّ الْأَسْرَارِ وَتِرْيَاقِ الْأَغْيَارِ وَمِفْتَاحِ بَابِ الْيَسَارِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ الْمُخْتَارِ وَأَلِهِ الْأَطْهَارِ وَأَصْحَابِهِ الْأَخْيَارِ عَدَدَ نِعَمِ اللهِ وَإِفْضَالِهِ.

  1. Shalawat Nurul Qiyamah

أَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بَحْرِ أَنْوَارِكَ وَمَعْدَانِ أَسْرَارِكَ وَلِسَانِ حُجَّتِكَ وَعُرُوْشِ مَمْلَكَتِكَ وَإِمَامِ حَضْرَتِكَ وَطِرَازِ مُلْكِكَ وَخَزَائِنِ رَحْمَتِكَ وَطَرِيْقِ شَرِيْعَتِكَ الْمُتَلَذِّذِ بِتَوْحِيْدِكَ إِنْسَانِ عَيْنِ الْوُجُوْدِ وَالسَّبَبِ فِى كُلِّ مَوْجُوْدٍ عَيْنِ أَعْيَانِ خَلْقِكَ الْمُتَقَدِّمِ مِنْ نُوْرِ ضِيَائِكَ صَلَاةً تَدُوْمُ بِدَوَامِكَ وَتَبْقَى بِبَقَائِكَ لَامُنْتَهَى لَهَا دُوْنَ عِلْمِكَ صَلَاةً تُرْضِيْكَ وَتُرْضِيْهِ وَتَرْضَى بِهَا عَنَّا يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

128. Tarekat Maulawiyah, Tarekatnya Rumi

Tarekat Maulawiyah adalah sebuah tarekat yang didirikan oleh Maulana Jalaluddin al-Rumi (605 H/1207 M – 672 H/1273 M). Ia adalah keturunan Persia dan Balkha salah satu wilayah Afghanistan. Namun sejak kecil ia telah meninggalkan tanah airnya bersama perpindahan ayahnya. Ayahnya bernama Muhammad, bergelar Baha’uddin Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di masa itu, yang juga bergelar sulthanul ulama.

Menurut catatan, nasabnya sampai pada Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq R.a. Semasa hidupnya, Baha’uddin Walad banyak melancarkan kritik kepada ulama modern yang getol mempelajari dan mengajarkan berbagai ilmu logika sehingga mengakibatkan kecenderungan berpaling dari Alquran dan Hadis.

Sebagai guru berkharisma besar, baik bagi kaum awam maupun di mata kelompok tertentu (khâs), fatwa Baha’uddin senantiasa didengar orang di mana-mana. Banyak yang menaruh respek kepadanya. Namun, barangkali justru hal itulah yang membuat ulama lain menaruh rasa ini.

Mereka lalu mencoba melancarkan fitnah dan mengadukannya kepada penguasa. Itulah sebabnya penguasa waktu itu mengisyaratkan kepadanya agar meninggalkan negeri itu. Selanjutnya, Baha’uddin bersama keluarganya terpaksa hijrah. Dengan ajakan ‘Ala’uddin Kaiqibad, seorang penguasa Rum yang sangat hormat kepadanya, akhinnya ia memutuskan tinggal di Konya. Peristiwa itu tenjadi pada 626 H.

Setelah lama dalam pengembaraan, akhirnya keluarga ini dipanggil oleh Sultan Saljuq di Rum agar bersedia menempati suatu wilayah benama Iconium (kini, Konya), bagian wilayah Turki. Untuk menunjukkan penghormatan terhadap Baha’uddin, sang sultan seringkali mengajak Baha’uddin Walad bepergian ke luar kota untuk menjumpai seorang `ulamâ’ di Konya.

Ketika telah mendekati Konya, Sultan turun dari kudanya dan mempersilahkan Baha’uddin untuk menaiki kuda tersebut sampai tiba di kota. Negeri Byzantium di kalangan Turki disebut sebagai Rum maka sejak peristiwa tersebut, putra Baha’uddin yang bernama Jalaluddin disebut dengan nama Rumi (ar-Rumi), laki-laki dan Rum (Byzantium).

Gelar Pimpinan Maulawiyah

Pemimpin tertinggi tarekat Maulawiyah digelari dengan beberapa nama, yaitu Mulla Khunkar, Hadret-i Pir, Celebi Mulla, dan Aziz Efendi. Seorang pemimpin dibantu oleh seorang wakil. Orang yang ingin menjadi anggota Maulawiyah disyaratkan harus menjalani latihan selama 1001 hari, dibagi pada periode-periode 40 hari.

Selama latihan, calon anggota harus mempelajari al-Matsnawi dengan pembacaan yang benar, teknik tarian berputar, dan silsilah tarekat, mulai dari gurunya sampai ke generasi-generasi sebelumnya yang berakhir pada Rasulullâh Saw. Setelah latihan berakhir, pemula diberi pakaian resmi di tekye dan diperintahkan terus menjalankan praktek-praktek tarekat sampai ia yakin dirinya sanggup berhubungan dengan Tuhan melalui tarian putar, khalwat (pengasingan diri) dan musik.

Al-Matsnawi Karya Besar Rumi

Inti ajaran tasawuf Rumi, di samping termuat dalam Diwan Shamas-i Tibrizpaling banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang terkenal, al-MatsnawiBuku ini, yang terdiri dan enam jilid dan berisi 20.700 bait syair, berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya. Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis oleh para ahli dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki dan Arab.

Al-Matsnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sepertiga volume pertama diterjemahkan ke bahasa Jerman tahun 1849. Tenjemahan ke bahasa Inggris (oleh Sir James Redhouse) pertama kali diterbitkan pada tahun 1881. Kemudian sebanyak 3.500 baris puisi pilihan dan al-Matsnawi diterjemahkan lagi (oleh Whinfield) ke dalam bahasa Inggris.

Terjemahan puisi pilihan ini (terbit di London tahun 1887) ternyata mendapat perhatian besar dari masyarakat sehingga tahun itu juga dicetak ulang. Volume kedua diterjemahkan (oleh Wilson) dan diterbitkan di London tahun 1910. Reynold Alleyne Nicholson bekerja selama 25 tahun untuk menerjemahkan buku ini dan melengkapinya dengan uraian dan komentar. Hasilnya diterbitkan tahun 1925-1950. A.J. Arberry; salah seorang murid Reynold Alleyne Nicholson, menerjemahkan sejumlah kisah pilihan yang diterbitkan di London tahun 1961.

Terdapat keterangan yang menyatakan bahwa selama di Damaskus pada Tahun 618 H/1221 M, Jalaluddin sering berjalan-jalan di samping ayahnya bersama Ibnu Arabi (Abu Sa’id Ahmad ibn Siyad al-Basri al-Arabi (246-340 H/860-952 M), seorang tokoh sufi besar yang kemudian banyak mengajarkan doktrin-doktrin kesufian kepada Jalaluddin al-Rumi.

Ketika itu Ibnu ‘Arabi menyampaikan perkataan; “Segala puji bagi Allâh Swt, betapa sebuah samudera sedang mengikuti sebuah danau!” Di Konya, ar-Rumi menjadi guru agama dan ia telah menjadi seorang sufi dalam usia 39 tahun, ia berkawan dengan Syamsuddin at-Tibrizi (w. 645/1247 M), seorang pribadi yang misterius dan sangat berpengaruh dalam bidang syair.

Ia telah mendorong perkembangan spiritual Rumi dan ia juga seorang pujangga yang jenius. Akhirnya pada 5 Jumadil Akhir 672 H./1273 M., Jalaluddin al-Rumi wafat menjelang magrib.

Jalaluddin al-Rumi menjadi seorang spiritualis yang berpengaruh, tidak hanya di negeri-negeri yang berbahasa Persia termasuk Afghanistan dan Asia Tengah, melainkan juga berpengaruh di Turki dan India. Makamnya dikeramatkan dan menjadi tempat perziarahan. Selama delapan abad, ia senantiasa hidup dan berada pada kehidupan tertentu untuk hadir di kalangan pengikutnya, yakni Tarekat Madawiyah (Tarekat Maulawiyah). Banyak di antara pengikutnya yang menemukan berkahnya secara langsung yang menunjukkan bahwa dirinya masih bersama mereka.

Di dunia Barat, tarekat yang didirikan Jalaluddin al-Rumi dikenal dengan sebutan “lingkaran dervishes” dan pengikut tarekat ini sering disebut whirling dervishes (warga tarekat yang berputar-putar). Hal tersebut karena tarekat ini menggunakan tari-tarian dan musik seraya membunyikan seruling dan drum dengan syair-syair ilabis lagu-lagu sufi Turki sebagai pendukung metode spiritual mereka dan dijadikan sebagai sarana penyadaran spiritual. Dalam beberapa literatur, Tarekat Maulawiyah sering ditulis dengan Mevlevi (dalam bahasa Turki).

Tarekat Maulawiyah, kemudian dilembagakan oleh Sultan Walad putra dan sekaligus yang menjadi penerus Rumi. Tarekat ini dalam ritualnya banyak menyebarkan sajak-sajak Rumi, terutama melalui Kerajaan Turki Utsmani yang baru muncul. Di kemudian hari, pemimpin Tarekat Maulawiyah begitu erat hubungannya dengan istana Turki Utsmani, sehingga ia mendapat hak istimewa untuk memakaikan pedang pada sultan. Pusat Tarekat Maulawiyah selalu berada di Konya (pemimpinnya disebut dengan sebutan kehormatan Molki Hunkar dan Celebi).

Kegiatan dervishes (anggota Tarekat Maulawiyah) meliputi sejumlah latihan tari-tarian, yaitu dua  jari kaki memegang sebuah paku di atas lantai, sementara itu guru-guru dervish berada di sekitarnya.

Sumber: Alif.ID

129. Tarian Sufi Tarekat Maulawiyah

Kalangan dervish diwajibkan mengabdi kepada guru sufi, bahkan terdapat semacam pembekalan dalam penyelenggaraan pertemuan ritual mereka. Kehadiran sang pendiri, yakni Jalaluddin al-Rumi, dianggap benar-benar terjadi di dalam praktik ritual mereka, dan sejumlah dervish memiliki hubungan personal dengannya. Tarian sufi secara resmi dijadikan sebagai bagian dan metode ritual Tarekat Maulawiyah oleh Sultan Walad.

Meskipun terdapat larangan terhadap musik, bahkan hal ini berlangsung sejak masa awal Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang, namun kalangan sufi banyak yang menggunakan musik bersama dengan syair-syair keagamaan sebagai sarana menimbulkan sikap kontemplatif dalam jiwa. Secara khusus, musik digunakan untuk menciptakan keadaan jiwa dan pikiran yang sesuai untuk pelaksanaan hadhrah atau tarian suci.

Hal ini karena aspek esoterik musik diakui kebenarannya oleh kalangan sufi, meskipun dipandang terlarang oleh kalangan eksoteris (kalangan yang berpegang pada kenyataan lahiriyah). Tarian dengan menggunakan musik dalam Tarekat Maulawiyah di kalangan sufi terkenal dengan istilah sama’ yang dijadikan sebagai sarana pencarian Tuhan atau alat bantu kontemplatif.

Selama penyelenggaraan tarian (sama’), sebuah kulit domba berwarna merah diletakkan di atas lantai sebagai simbol kehadiran Syamsuddin at-Tibrizi, seorang tokoh sufi yang mengilhami Rumi terhadap kesadaran ketuhanan. Tarian yang memperagakan empat gerakan yang dinamakan salam berlangsung selama satu jam. Pada akhir tarian tersebut, pir atau guru spiritual, muncul ke tengah-tengah dervishes.

Getaran dan instrumen ibarat nafas, atau jiwa yang memberikan kehidupan, lentingan instrumen tersebut mendatangkan sebuah nostalgia keterpisahan dan keriuhan. Hal ini berasal dari syair-syair yang dibawakan Rumi. Dan jeritan instrumen untuk kembali kepada prinsip merupakan master spiritual, yakni Rumi sendiri.

Masalah sama’ merupakan penyebab utama perbedaan antar tarekat. Ada masalah-masalah rumit, yaitu apakah “mendengarkan musik” dan “gerakan tari” merupakan ungkapan jujur keadaan-keadaan mistik ataukah merupakan usaha di luar batas untuk secara sendiri mencapai keadaan yang hanya dapat dianugerahkan oleh Tuhan.

Tak dapat disangkal bahwa sama’ merupakan ungkapan kehidupan mistik Islam yang paling terkenal. Tarian mistik ini dicatat oleh pengunjung Eropa yang mendatangi biara-biara kaum Maulawi. Tarekat Maulawiyah adalah satu-satunya tarekat yang sejak awal sampai sekarang masih menggunakan tarian gerakan berputar, bahkan sama’ menjadi ciri khas tersendiri bagi penyelenggaraan ritual Tarekat Maulawiyah.

Upacara sama’, biasanya diadakan pada Jum’at tengah hari sesudah shalat jama’ah. Para darwis terlebih dahulu memakai pakaian yang khusus; sebuah tenure baju panjang putih tanpa lengan (destegul) jaket dengan lengan panjang sebuah ikat pinggang, dan sebuah khirqah hitam, dipakai sebagai mantel tetapi dicopot sebelum tarian keagamaan dimulai.

Kepala ditutupi topi tinggi dan bulu yang dililit sekitarnya dengan kain serban. Topinya, sikkeri, menjadi tanda khusus untuk anggota Maulawi. Banyak prasasti yang berisi do’a atau restu dituliskan dalam bentuk topi darwis, dan selalu dikenakan anggota Tarekat Maulawiyah, baik ketika penyelenggaraan ritual sama’ maupun di luar sama’.

Sama’ diatur dengan peraturan ketat. Syaikh berdiri di sudut yang paling terhormat di lokasi yang dijadikan sebagai tempat untuk melakukan tarian, dan para darwis melewati dia tiga kali dengan cara berputar-putar, setiap kali putaran mereka saling memberi salam, sampai akhirnya gerakan berputar-putar yang semakin cepat dimulai. Gerakan ini dilakukan dengan kaki tangan, dengan kecepatan yang semakin meningkat.

Apabila seorang darwis menjadi sangat bergairah, seorang sufi lain, yang bertugas mengatur penyelenggaraan, akan menyentuh perlahan-lahan bahunya agar gerakannya terkendali. Tarian darwis-darwis adalah salah satu ciri yang paling mengesankan dalam kehidupan mistik Islâm. Dan musik yang dimulai dengan nyanyian pujian untuk menghormati nabi (na’ti-i-sarif ditulis Jalaluddin sendiri) dan berakhir dengan nyanyian pendek penuh semangat, kadang-kadang dinyanyikan dalam bahasa Turki.

Bagi Jalaluddin al-Rumi, sama’ adalah makanan ruhani (seperti zikir) dengan disertai pembacaan syair-syair dan sajak karyanya. Ungkapan tersebut merupakan bagian sajak terakhir dalam upacara Tarekat Maulawiyah di Turki. Sajak tersebut diulang berkali-kali. Di mana pun pencinta menyentuhkan kakinya di tanah sambil menari, terbitlah anti kehidupan dan kegelapan. Dan bilamana kekasih terucap, orang mati pun mulai menari dengan kain kafannya.

Rumi mengumpamakan gerak putar para darwis dengan pembuat anggur yang menginjak buah anggun sehingga tercipta anggur ruhani. Pencinta menari lebih tinggi ketimbang bintang-bintang, sebab panggilan sama’ datang dari surga; ia dapat dimisalkan sebutir debu yang terbang mengelilingi matahari.

Dengan demikian, butir debu itu mengalami penyatuan yang ganjil secara terus menerus, sebab kalau matahani tidak bergerak, ia tidak dapat bergerak. Begitu pula manusia tidak dapat hidup tanpa berputar mengitari pusat gaya berat ruhani, yaitu Tuhan. Begitu belenggu jasmani putus oleh Tarian yang berapi-api, bebaslah jiwa dan sadarlah ia bahwa segenap penciptaan ikut serta dalam-tarian itu. Angin cinta menyentuh pohon sehingga dahan, kuncup, dan bintang-bintang mulai bergerak dalam gerak mistik yang meliputi semuanya.

Cinta yang mendalam bagi musik yang diwarisi para Maulawi dan guru mereka Jalaluddin al-Rumi telah mengilhami banyak ahli musik klasik dan penggubah-penggubah di kerajaan Utsmani. Pada kenyataannya, lagu-lagu terbagus dan musik klasik Turki, seperti yang digubah ‘ltri (abad XVII), digubah oleh seniman-seniman yang menjadi anggota Tarekat Maulawiyah, atau paling tidak mempunyai hubungan dekat dengan Tarekat Maulawiyah. Demikian juga halnya dengan ahli-ahli kaligrafi dan miniaturis, banyak di antara mereka tergabung dengan para Maulawi. Tarekat itu melengkapi masyarakat Turki dengan beberapa contoh seni muslim terbaik yang pernah diciptakan.

Begitu pentingnya nyanyian dan tarian yang diperagakan Rumi dan para pengikutnya dalam Tarekat Maulawiyah, sehingga dalam suatu kesempatan ia berkata:

Hayatilah, instrumen kesedihan ini. Sebuah nafas, dan lantaran itu menetes air mata. Dari tempat tidurnya yang tidak menenangkan, sebuah ketegangan gairah cinta dan derita. Rahasia nyanyianku tak seorang pun mengenalinya dan tak seorang pun mendengarnya walau sangat dekat sekalipun. Oh, untuk seorang kawan agar mengetahui perlambang dan agar seluruh jiwa bercampur dengan jiwaku, hingga kobaran api cinta tersebut membakarku Hingga secawan anggur cinta mengilhami diriku. Seharusnyalah engkau mempelajari bagaimana para pecinta terluka berdarah. Dengarkanlah, hayatilah instrumen ini.

Tarian yang sering dilakukan oleh pengikut Tarekat Maulawiyah dinamakan muqabalah (berhadap-hadapan). Istilah ini merupakan sebuah ungkapan terhadap doktrin pengikut Maulawi dimana jiwa menghadap dan bangkit kepada Yang Maha Nyata. Tarian tersebut bersifat universal dalam instrumen. Seorang penari memandang dirinya sendiri pada wajah penari lainnya.

Ibarat sebuah cermin untuknya, meskipun bayangan wajah tersebut menjadi wajahnya sendiri namun secara berulang-ulang, pada akhirnya pribadinya sendiri menjadi tidak nyata sehingga orang lain yang menjadi dirinya sendiri. Tarian tersebut bergerak semi memutar. Ia merupakan gambaran sebuah pusat penciptaan. Sebuah proses penurunan qausun nuzul yang berasal dan Allâh Swt.

Ketika tarian bergerak ke depan, syaikh masuk dan pancaran yang terjauh dan pusat pertama membawa para penari berhadapan muka dengan sang guru spiritual. Hal ini merupakan saat pergantian malam menjadi fajar, matahari terbit, dan merupakan pusat atas (qausul uruj) mulai membawa menuju kesadaran. Kemudian penari berputar ke sisi yang lain, yaitu Tarian seseorang menggambarkan penyempurnaan seluruh ciptaan kemudian kembali menuju Yang Satu.

Seorang guru Tarekat Maulawiyah kontemporer bernama Syaikh Sulaiman Loras mengatakan: “Jika kita tidak sungguh-sungguh dalam mencapai kesempurnaan batin, maka selamanya kita akan tetap bertahan dalam keadaan kita sekarang ini, yakni sebagai “binatang yang bercakap”.

Dunia tidak akan berlangsung tanpa kehadiran guru-guru sufi. Setiap zaman memiliki guru sufi. Yesus, Buddha, Nabi Muhammad Saw. merupakan guru-guru sufi yang terbesar, bahkan selain mereka terdapat sejumlah aqthab (jamak: quthub, yakni seseorang yang menjalankan peran sepenuhnya sebagai sumbu spiritual), manusia sempurna yang sejati berada di dalam setiap diri kita.

Pada awalnya, Tarekat Maulawiyah ini mendapat dukungan kuat dan kalangan penguasa Turki Utsmani dan kalangan seniman. Disebutkan bahwa semenjak 1648 M., pemimpin Tarekat Maulawiyah mendapat hak istimewa memakaikan pedang kepada seorang sultan yang baru dilantik. Para sultan nampaknya mendekati tarekat Maulawiyah untuk menghadapi penganut Tarekat Bektasyi (aliran tarekat yang tertua yang berpengaruh di Turki) yang mendukung Janissary untuk melawan pemerintahan.

Selain itu juga untuk menghadapi `ulamâ’ yang mendukung perlakuan istimewa masyarakat muslim yang lebih dari kaum Zimmi. Sultan Abdul Aziz (1861-1876) dan sultan Muhammad Rasyad (Muhammad V, memerintah 1909-1918), keduanya sultan kekhalifahan Utsmani (Ottoman), tercatat sebagai anggota Tarekat Maulawiyah. Pada 1634 Sultan Murad 1V (1623-1640 M) memberikan kharaj (dana yang dikumpulkan dari umat Islâm untuk membiayai kegiatan Tarekat Maulawiyah) Di Konya untuk Tarekat Maulawiyah.

Pelarangan pada Era Kamal Attarurk

Namun, akhirnya pada 1925 M., kegiatan Tarekat Maulawiyah di Turki dilarang oleh Kamal Attaturk, demikian juga segala jenis tarekat, sejak sekularisasi diberlakukan di negeri ini pada 1928 M. Pada tahap selanjutnya, sejumlah pengikut Tarekat Maulawiyah kemudian sering menampilkan pertunjukan musik dan tari-tarian mereka di Barat.

Tetapi, sejak 1954 M. mereka diperkenankan mengadakan sama’ pada peringatan ulang tahun wafatnya Jalaluddin al-Rumi pada 17 Desember di Konya. Walaupun tidak dalam ruang utama, mereka juga mengadakan pertunjukan di luar negeri.

Tarekat Maulawiyah beserta karya-karya Rumi mempunyai pengaruh terbesar di anak benua Indo-Pakistan. Tarekat Hisytiyah Nidzamuddin Auliya, misalnya, mendapatkan pengaruh nyata, ketika Hisyti membolehkan tarian mistik dan cenderung memberikan ungkapan terhadap jiwa penuh semangat dari sajak-sajak Rumi.

Para pengikut Maulawi juga terdapat di Syria, Mesir, dan negara-negara lainnya yang menjadi bagian wilayah kekuasaan Imperium Utsmani. Namun pada zaman sekarang ini, hanya terdapat beberapa cabang yang tetap aktif yakni di Istambul, Anatolia, dan Konya, serta belakangan ini juga sudah terdapat di Amerika Utara, dan Indonesia.

Sumber: Alif.ID

130. Tarekat Dasuqiyah

Perayaan maulid al-Dasuqi di Mesir (Wikipedia)

Pendiri Tarekat Dasuqiyah adalah Syaikh Ibrahim bin Abd al-‘Aziz al-Dasuqi al-Quraisyi. Beliau lahir di Dasûq, Mesir pada tahun  653 H/1255 M dan  wafat di Damaskus, Suriah pada tahun 696 H/1296 M pada usia sangat muda yaitu 43 tahun (A’lâm al-Shûfiyah, halaman 514-515).

Ibu beliau bernama Fâtimah binti Abû al-Fath al-Wasithi salah seorang waliyullah yang termasuk sahabat dari Syaikh Ahmad al-Rifa’i pendiri tarekat Rifa’iyah, salah seorang guru dari Abul Hasan al-Syadzili, (A’lâm al-Shûfiyah, halaman 514).

Secara lengkap silsilah beliau adalah Ibrahîm bin Abû al-Majd bin Quraisy bin Muhammad bin Abû al-Najâ’ bin Zain al-‘Abidîn bin ‘Abd al-Khâliq bin Abû al-Qâsim bin Ja’far al-Zaki bin ‘Ali bin Muhammad al-Jawâd bin ‘Ali al-Ridhâ bin Mûsa al-Kâzhim bin Imam Ja’far al-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali al-Zâhid bin ‘Ali Zain al-‘Abidîn bin Husain bin ‘Ali bin Abû Thâlib al-Qursyi al-Hasyimi, (al-Thabâqat al-Kubra, halaman 256).

Konon, semenjak dalam buaian ibunya, beliau sudah berpuasa. Pada usia tujuh tahun sudah mampu melihat Lauh Mahfudz, bahkan beliau juga mampu mencapai Sidratul Muntaha, (al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman 97).

Ikhwal Tarekat Dasuqiyah

Ibrahim al-Dasuqi mempelajari tarekat dari beberapa masyayikh imam tarekat besar diantaranya Nuruddîn ‘Abd al-Shamad al-Nazhari dan juga Abu Hasan al-Syadzili.

Tarekat Dasuqiyah biasa pula disebut Tarekat Ibrahimiyah, sebutan yang berasal dari nama pendirinya Ibrahim. Juga biasa disebut Tarekat Burhaniyah, sebutan yang berasal dari nama panggilan Ibrahim al-Dasuqi, yaitu Burhanuddin.

Pada mulanya Ibrahim al-Dasuqi adalah murid setia Abu al-Hasan Ali al-Syadzili (w. 1258 M), pendiri Tarekat Syadziliyah. Ia belajar kepada al-Syadzili bersama Abul Abbas al-Mursi (pengganti al-Syadzili, w. 1287 M) sampai memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat Syadziliyah.

Kehausan jiwanya untuk mereguk piala kerohanian membuat ia tidak puas mempelajari satu tarekat saja. Oleh sebab itu, ia pun mempelajari Tarekat Ahmadiyah kepada pendirinya, Sayyid Ahmad al-Badawi (Maroko, w. 1276 M), yang bertempat tinggal di Thanta (Mesir), sehingga ia pun memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat ini.

Bahkan ia mempelajari Tarekat Rifa’iyah yang sedang popular di Mesir ketika itu, terutama sekali karena keunikannya dalam mengajarkan permainan debus dan kekebalan terhadap benda-benda tajam. Tarekat Rifa’iyah dipelajari al-Dasuqi dari Abul Hasan Ali al-Syadzili, yang mempelajari tarekat ini dari kakek al-Dasuqi sendiri, yaitu Abul Fath al-Wasithi (w. 1234 M).

Di samping itu, al-Dasuqi juga mempelajari tarekat itu dari Sayyid Ahmad al-Badawi, yang menerima baiat tarekat ini secara langsung dari pendirinya Syaikh Ahmad bin Alî Abû al-‘Abbas al-Rifa’i. Menurut sebuah sumber, al-Dasuqi juga mempelajari Tarekat Suhrawardiyah dari Najmuddin Mahmud al-Isfahani, seorang sufi dari Isfahan.

Dari kajian panjang tentang tarekat yang telah dipelajarinya itu, al-Dasuqi merumuskan tarekat tersendiri, yang mengajarkan zikir, doa, dan hizib (sejenis wirid) yang dirangkainya sendiri. Ajaran inilah yang disebut Tarekat Dasuqiyah. Tarekat ini berkembang di Mesir dan pada abad ke-19 telah meluas ke Suriah, Hijaz, dan Hadhramaut.

Dari tarekat ini kemudian muncul sempalan, yaitu Syarnubiah dan Sa’idiyah Syarnubiyah. Dewasa ini Tarekat Dasuqiyah masih didapati di wilayah tersebut di atas dan masih mendapat banyak pengikut di Mesir.

Salawat Dasuqiyah

Syaikh Ibrahim al-Dasuqi juga meninggalkan beberapa shalawat di antaranya Shalawat Dzatiyah Ahadiyah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى الذَّاتِ الْمُحَمَّدِيَّةِ اللَّطِيْفَةِ الْأَحَدِيَّةِ شَمْسِ سَمَاءِ الْأَسْرَارِ وَمَظْهَرِ الْأَنْوَارِ وَمَرْكَزِ مَدَارِ الْجَلاَلِ وَقُطْبِ فَلَكِ الْجَمَالِ اللَّهُمَّ بِسِرِّهِ لَدَيْكَ وَبِسَيْرِهِ إِلَيْكَ أَمِنْ خَوْفِيْ وَأَقِلَّ عَثْرَتِيْ وَأَذْهِبْ حُزْنِيْ وَحِرْصِيْ وَكُنْ لِيْ وَخُذْنِيْ إِلَيْكَ مِنِّيْ وَارْزُقْنِيْ الْفَنَاءَ عَنِّيْ وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَفْتُوْنًا بِنَفْسِيْ مَحْجُوْبًا بِحِسِّيْ وَاكْشِفْ لِيْ عَنْ كُلِّ سِرٍّ مَكْتُوْمٍ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ

Nasihat-nasihatnya yang masyhur:

  1. Di antara yang wajib bagi murid adalah penelaahan terhadap sesuatu yang di dalamnya terdapat manâqib para shalihin dan peninggalan-peninggalan mereka berupa ilmu dan amal.
  2. Barangsiapa yang tidak bersifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri), bersih dan mulia, maka dia bukanlah anakku walau dari tulang rusukku
  3. Barangsiapa yang menetapi tarekat, agama, zuhud, wira’i dan sedikit tamak, maka dialah anakku sekalipun dari negeri yang jauh
  4. Demi Allah swt., tidaklah seorang murid itu benar-benar mahabbahnya kepada tarekat kecuali akan tumbuh hikmah di dalam hatinya.

Itulah antara lain wasiatnya kepada para muridnya, yang merupakan pondasi tarekatnya, di samping sejumlah zikir, wirid, dan doa untuk taqarrub kepada ‘Allâm al-Ghuyûb (Allah).

Sumber: Alif.ID

131. Sepuluh Ajaran Tarekat Dasuqiyah

Pertama, memelihara adab dan aturan syariat, yang didasarkan atas Alquran dan sunnah Nabi Saw. Mengenai hal ini, al-Dasuqi berkata, “Syariat adalah pohon dan hakikat adalah buahnya. Barangsiapa yang ingin menjadi anakku (maksudnya: pengikut tarekatnya) hendaklah ia mengekang nafsunya di dalam botol syariat, yang ditutupnya dengan tutup hakikat, dan dilemahkannya dengan mujahadah”.

Selain itu ia berkata pula, “Wahai buah hatiku, kuatkan cita-citamu untuk mengenal makna tarekat melalui ilmu, bukan hanya dengan sebutan bibir. Setiap makam yang engkau tempati akan mendindingimu dari Tuhan, jika tidak didasarkan atas petunjuk Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para tabi’in, dan Kitab Suci-Nya.”

Di tempat lain ia berkata, “Wahai anakku, lakukanlah cara ibadah menurut Kitab Allah dan sunnah Rasulullah Saw. yang diridhai, karena hal demikian akan mendatangkan cahaya terang dan menghilangkan kegelapan.”

Kedua, menjauhi segala yang haram dan syubhat. Mengenai hal ini al-Dasuqi berkata, “Makanan yang haram menghambat amal dan merendahkan agama; Perkataan yang haram merusak amal orang mubtadi’ (pemula dalam mengamalkan tasawuf). Selama alat perasaanmu merasakan yang haram, jangan engkau berharap akan dapat merasakan kelezatan hikmat dan ma’rifat.”

Dia juga berkata, “Pengikut ajaran Alquran tidak boleh mengisi rongganya dengan yang haram dan tidak boleh memakai pakaian yang haram. Karena jika ia berbuat demikian, niscaya ia akan dikutuk oleh Alquran”.

Ketiga, senantiasa waspada dalam menghadapi godaan hawa nafsu. Al-Dasuqi berkata, “Minuman ‘kaum ini’ (pengikut tarekatnya) tidak akan diminum oleh orang yang di dalam hatinya terdapat kekeruhan karena kotoran rohani, sisa-sisa kegelapan, gelora nafsu, godaan setan, kesombongan, dan dahaga jiwa kepada kebejatan”.

Keempat, senantiasa ingat akan Allah swt. Dalam keadaan bagaimanapun. Untuk itu, al-Dasuqi berkata, “Sang murid harus membersihkan dirinya dari kelalaian dan kelemahan dalam berzikir kepada Allah swt., sebagaimana ia harus membersihkan dirinya dari maksiat.

Wahai anakku, kalau kamu ingin dipanggil pada hari kiamat dengan panggilan ‘Wahai jiwa yang tenteram’, hendaklah kamu jadikan zikir sebagai makananmu, berpikir sebagai wacanamu, uns (keintiman dengan Tuhan) sebagai khalwat-mu, dan kamu harus menumpahkan perhatianmu kepada Allah”.

Kelima, membiasakan lapar karena lapar mempermudah pelaksanaan ibadah dan menghilangkan rasa malas. Al-Dasuqi berkata, “Bekal pemula tarekat ialah kesanggupannya menahan lapar sementara matanya basah oleh air mata, niatnya senantiasa kembali kepada Tuhan; ia memperbanyak puasa. Karena puasa dapat memperlembut tabiatnya sehingga hatinya menjadi sumber kasih sayang; puasa membuka pendengaran batinnya dan menghilangkan ketulian, maka dengan itu ia dapat mendengar kandungan terdalam dari Alquran secara lahir batin”.

Keenam, tidak terpesona oleh bunga-bunga dunia yang menyebabkan diri seseorang jatuh menjadi budaknya. Al-Dasuqi memperingatkan, “Wahai anakku, janganlah kamu terpesona oleh hiasan duniawi, alat transportasinya, busananya, perabotannya, aksesorisnya, dan keuntungannya, tetapi ikutilah cara hidup Nabimu. Kalau kamu tidak sanggup, ikutilah cara hidup gurumu. Jika tidak kamu ikuti, niscaya kamu menjadi binasa”.

Ketujuh, bergaul dengan orang yang berakhlak luhur. Mengenai hal ini al-Dasuqi berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kamu bergaul dengan penipu, pembohong dan orang panjang lidah, tetapi bergaullah dengan orang yang memperkenankan imbauan Tuhannya, sehingga kamu pun bisa mendapat petunjuk dari padanya, dapat meneladani kedisiplinan diri, dan suatu saat kamu akan berpisah dengannya secara benar”.

Kedelapan, ikhlas dalam melakukan segala amal. Al-Dasuqi berkata, “Jika engkau anakku dan pengikutku yang sebenarnya, maka ikhlaskanlah ibadahmu karena Allah swt., minta nasihatlah kepada kalbumu, dan jangan engkau campurkan amalmu dengan dirham. Sesungguhnya inilah tarekatku. Barangsiapa yang mencintaiku, dia akan berjalan di jalan ini bersamaku”.

Kesembilan, patuh terhadap perintah dan larangan syaikh mursyid (pimpinan tarekat). Al-Dasuqi berkata, “Sesungguhnya seorang Syaikh adalah bapak rohani, maka anak tidak boleh membantah terhadap orang tuanya. Adalah suatu hal yang tidak dapat kami mengerti jika ada yang masih membandel, padahal perintah demikian bersifat umum dalam segala hal. Dalam hal ini, hendaklah murid menjadikan dirinya laksana mayat di hadapan orang yang memandikannya. Oleh sebab itu, wahai anakku, taatlah kepada bapak rohanimu”.

Kesepuluh, tujuan akhir yang hendak dicapai dalam tarekat ini ialah fana’ dalam penyaksian wujud. Ini terkesan dari ucapan al-Dasuqi yang mengatakan bahwa tobat golongan istimewa (al-khawwash) merupakan penghapusan segala sesuatu selain Allah swt.

Adapun amalan yang dilakukan oleh penganut Tarekat Dasuqiyah ini mencakup, 1) shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah; 2) puasa, baik yang fardhu maupun yang sunnah; 3) zikir, doa, dan hizib

Zikir dan doa yang dilaksanakan meliputi zikir dan doa yang ma’tsur (berasal dari sabda Nabi Saw.) dan yang bebas. Zikir yang ma’tsur meliputi tahlil, tahmid, takbir, tasbih, dan taqdis. Sedangkan yang bebas ialah zikir yang dirumuskan oleh syaikh, dan dalam hal ini yang paling banyak diucapkan ialah zikir Ya Da’im (Wahai Tuhanku Yang Maha Kekal).

Syaikh ‘Abd al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi asal Mesir, menceritakan pengalamannya sebagai berikut, “Suatu kali aku melihat Syaikh Khalil al-Majdzûb (seorang sufi asal Mesir) naik ke sebuah bukit kecil, lantas aku berseru, ‘Siapakah orang itu, apakah dia seorang Ahmadi (penganut Tarekat Ahmadiyah) atau Burhani (penganut Tarekat Dasuqiyah)?’ Kudengar ia mengucapkan Ya Da’im, Ya Da’im sebagai isyarat bahwa ia adalah penganut Tarekat Dasuqiyah”.

Adapun hizib yang diamalkan dalam tarekat ini ialah hizib yang dikarang oleh Ibrahim al-Dasuqi sendiri, yang dinamai ‘Hizib Ibrahim’”. Kepada murid penganut Tarekat Dasuqiyah yang telah dipandang matang oleh syaikh mursyid untuk dapat mengembangkan ajaran tarekatnya, diberikan sehelai sobekan kain atau jubah, yang disebut khirqah.

Biasanya khirqah dalam Tarekat Dasuqiyah ini berwarna hijau. Dengan mendapat khirqah, seorang murid telah berhak menjadi khalîfah (wakil, pengganti) Syaikh mursyid, dan ia telah berhak mengajar di tempat lain secara mandiri tentang ajaran tarekatnya.

Sumber: Alif.ID

132. Silsilah dan Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah

Bahaudin Naqsyabandi
Sayyidi Shaykh Bahauddin Naqsyabandi

Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah secara lengkap sebagai berikut: (H.A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta 2005, halaman: 39).

  1. Rasulullah SAW.
  2. Abu Bakar al-Shiddiq RA
  3. Salmân al-Farisi
  4. Qâsim bin Muhammad
  5. Imam Ja’far al-Shâdiq
  6. Abu Yazid al-Busthami
  7. Abû Hasan Ali bin Ja’far al-Kharqani
  8. Abû Ali al-Fadhal bin Muhammad al-Thusi al-Farmadi
  9. Abu Ya’kub Yusuf al-Hamdanibin Ayyub bin Yusuf bin Husin
  10. Abdul Khaliq al-Fajduwani bin Imam Abdul Jamil
  11. Arif al-Riyukuri
  12. Mahmud al-Anjiru al-Faghnawi
  13. Ali al-Ramituniatau Syekh Azizan
  14. Muhammad Baba As-Samasi
  15. Amir Kulal bin Sayid Hamzah
  16. Baha’uddin Naqsyabandi

Menurut sebagian `ulamâ’, perbedaan antara tarekat Naqsyabandiyah dengan tarekat yang lain: Qadiriyah misalnya, adalah dari sanad yang menerima setelah Rasulullah SAW. Tarekat Naqsyabandiyah berasal dari ajaran yang disampaikan Nabi kepada Abû Bakar, sedangkan Qâdiriyah berasal dari ajaran Nabi kepada Ali bin Abî Thalib, hingga sampai pada Abdul Qâdir al-Jailani, (Martin van Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992, halaman: 49).

Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah

Kata Naqsyabandiyah atau Naqsyabandi atau Naqshabandi نقشبندی berasal dari Bahasa Persia, diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshbandi Bukhari, sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”, “pembuat hiasan”, sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai”, “Rantai Emas”, (Http://www.wikipedia.org/terekatnaqsabandiyah).

Pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi, yang juga sekaligus sebagai pendiri tarekat Naqsabandiyah. Beliau dilahirkan pada tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat dimana ia wafat pada tahun 1389.

Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya, Transoxiana. Ini dilakukan untuk menjaga prinsip:  “Melakukan perjalanan di dalam negeri”, yang merupakan salah satu bentuk “laku” seperti yang ditulis oleh Omar Ali-Shah dalam bukunya “Ajaran atau rahasia dari tarekat Naqsyabandiyah”. Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah haji dua kali.

Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata Rantai tarekat Naqsyabandiyah. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi.

Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam mempelajari ilmu tasawuf, tepatnya ketika ia menginjak usia 18 tahun, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371). Dari Kulal inilah ia pertama kali belajar tarekat yang didirikannya.

Gambaran Umum Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah

Dalam perkembangannya Tarekat Naqsabandiyah sudah menyentuh lapisan masyarakat muslim di berbagai wilayah. Dengan dampak dan pengaruhnya tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India.

Di Asia Tengah bukan hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai Zawiyah (padepokan shufi)  dan rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semaRAk, [Dr. Hj. Sri Mulyati Di samping itu tharâqah ini juga berkembang di Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.

Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan “Islâm bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.

Wiwi Siti Sajaroh, dalam ”Tarekat-tarekat Mu`tabaRah di Indonesia” memberikan  ciri-ciri yang menonjol dalam tarekat ini [ Ibid., h. 91-92] yaitu :

  1. Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah, menolak musik dan tari dalam ibadah, dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
  2. Upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnuya, tarekat naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya berusaha untuk mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
  3. membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaik masyarakat.

Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah dan Tokohnya

Bahaudin Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan aktivitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub al-Karkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Yang paling menonjol dalam perkembangan selanjutnya adalah ’Ubaidillah Ahrar. Ubaidillah terkenal dengan Syaikh yang memilki banyak lahan, kekayaan, dan harta.

Ia mempunyai watak yang sederhana dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap kesombongan dan keangkuhan merendahkan tingkat moral seseorang dan melemahkan tali pengikat spritual, [K.A Nizami.

Ia juga berjasa dalam meletakkan ciri khas tarekat ini yang terkenal dalam menjalin hubungan akrab dengan para penguasa saat itu sehingga ia mendapat dukungan yang luas jangkauannya. Pada tatanan selanjutnya tarekat ini mulai menyebarkan gerakannya diluar Islâm.

Tokoh lain yang berperan terbesar dalam penyebaran tarekat ini secara geografis adalah Said al-Din Kashghari. Ia juag telah membai’at penyair dan ulama besar ’Abd al-Rahman Jami’ ia yang kemudian mempopulerkan tarekat ini dikalangan istana. Kontribusi utama Jami’ adalah paparannya tentang pemikiran Ibnu ’Arabi dan mengomentari karya-karya Ibnu Arabi, Rumi, Parsa dan sebagainya, sehingga tersusun dalam gubahan syair yang mudah dipahami dari gagasan mereka tersebut.

Di India, Tarekat ini mulai tersebar pada tahun 1526. Baqi Billah, dilahirkan di Kabul merupakan syaikh yang menyebarkan ajaran tarekat ini di India. Ia mengembangkan ajaran Tarekat ini kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dakwahnya di India berlangsung selama 5 tahun. Hampir semua garis silsilah pengikut Naqsabandiyah di India mengambil garis spritual mereka melalui Baqi Biillah dan Khalifahnya Ahmad Sirhindi, [Dr. Hj. Sri Mulyati.

Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah [Http://www.wikipedia.org/terekatnaqsabandiyah].

Orientasi baru yang di bawa Sirhindi ini terlihat pada pemahamannya yang menolak paham Wahdatul Wujud yang dibawa Ibnu ’Arabi. Sirhindi sangat menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada al-Qu’ran dan tradisi-tradisi Nabi. (SI)

Sumber: Alif.ID

133. Tarekat Naqsyabandiyah

Pendirian Tarekat Naqsyabandiyah dinisbatkan kepada wali quthub bernama Muhammad Bahauddin bin Muhammad bin Muhammad al-Syarif al-Husaini al-Hasani al-Uwaissi al-Bukhari. Ia lebih dikenal dengan sebutan Syaikh an-Naqsyabandi, (Tanwir al-Qulub, halaman: 501).

Tarekat ini disebut dengan Naqsyabandiyah, karena dinisbatkan pada Naqsya Bandi (نَقْشَ بَنْدِ) yang artinya sambungan pahatan. an-Naqsy (النَّقْشُ) adalah sebentuk cap (stempel) yang dicapkan pada malam (sejenis lilin) dan sebagainya.

Rabitahnya (sambungannya) adalah tetapnya Naqsyabandi yang tidak lebur, maksudnya Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsyabandi itu selalu berzikir dengan hatinya sampai terukir dan tampak lafadz Allah Swt di luar hatinya, karena itulah (tarekat ini) disebut dengan Naqsyabandiyah. Dikisahkan dari beberapa khalifah (mursyid) an-Naqsyabandiyah yang berkata:

“Sungguh Rasulullah SAW. telah meletakkan telapak tangan mulia beliau di atas hati al-Syaikh (Bahauddin an-Naqsyabandi) ketika sedang muraqabah, sehingga terbentuklah ukiran (di atas hatinya)”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 539).

Biografi Syaikh Baha’uddin Al-Naqsyabandi

Syaikh an-Naqsyabandi berguru ilmu tarekat kepada Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi kemudian kepada Sayyid Amir Kulal, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 196). Sedangkan Sayyid Amir Kula juga berguru kepada Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi berguru kepada Ali al-ramitani yang lebih dikenal dengan nama Syaikh al-Azizan.

Syaikh al-Azizan berguru kepada Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi, Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi berguru kepada Syaikh Arif al-Riwikri yang berguru kepada Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani yang berguru kepada Syaikh Abi Ya’qub Yusuf al-Hamadani yang berguru kepada Syaikh Abi Ali al-Fadhal bin Muhammad ath-Thusi al-Faramadi yang berguru kepada Syaikh Abil Hasan Ali bin Abi Ja’far al-Kharqani.

Syaikh Abil Hasan Ali berguru kepada Abi Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami yang berguru kepada Syaikh Imam Ja’far al-Shâdiq yang berguru kepada kakeknya Sayyid al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq yang dari Salman al-Farisi yang memperoleh dari Abi Bakar ash-Shiddiq yang memperoleh dari Rasulullah Saw (Tanwir al-Qulub, halaman: 502).

Syaikh an-Naqsyabandi lahir di desa Qasrul Arifan di dekat Bukhara (Uzbekistan) pada bulan Muharam tahun 717 H. (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman: 11). Sebelum beliau dilahirkan, gurunya, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, telah mengisyaratkan akan kelahirannya. Setiap kali Syaikh as-Sammasi melewati desa Qasrul Arifan, selalu berkata kepada para muridnya, “Dari desa ini aku mencium bau seorang wali”.

Setelah bayi yang dimaksud dilahirkan dan berusia tiga hari, Syaikh as-Sammasi melewati desa itu seperti biasa. Lalu kembali berkata pada para muridnya, “Bau seorang wali yang telah aku ceritakan, sekarang ini semakin semerbak”.

Tak lama setelah itu, si bayi oleh kakeknya dibawa ke rumah Syaikh as-Sammasi. Ketika melihat bayi tersebut, Syaikh as-Sammasi spontan berteriak gembira seraya menoleh kepada muridnya, “Ini anakku. Inilah wali yang selama ini aku cium baunya. Insya Allah tidak lama lagi ia akan menjadi panutan banyak orang”.

Kemudian Syaikh as-Sammasi menemui Sayyid Amir Kulal untuk menyerahkan pendidikan anaknya itu. Ketika itu Syaikh as-Sammasi berkata, “Ini anakku”. Didiklah dengan sebaik-baiknya, jangan sampai engkau teledor dalam mendidiknya. Jika Engkau teledor, aku tak akan rela untuk selama-lamanya”.

Lalu Sayyid Amir Kulal berdiri dan berkata, “Aku akan melaksanakan perintahmu. Insya Allah aku tidak akan teledor dalam mendidiknya”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 207).

Syaikh an-Naqsyabandi mengisahkan, “Kakekku mengirimku ke desa Sammas dengan tujuan supaya aku mengabdi kepada Syaikh as-Sammasi. Ketika aku berhasil menemuinya, sebelum waktu Maghrib tiba aku telah mendapatkan keberkahannya sehingga aku merasakan ketenangan pada diriku, kekhusyu’an, tadharru’ serta kembali kepada Allah Swt.”, (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman: 12-13).

Lebih lanjut Syaikh an-Naqsyabandi berkata, “Ketika Syaikh as-Sammasi meninggal dunia, kakekku membawaku ke Samarqandi. Setiap kali mendengar ada orang shaleh, ia membawaku kepadanya. Kepada orang shaleh yang dikunjungi, ia memintakan doa untukku, ternyata permintaan doa betul-betul terkabul, aku mendapatkan keberkahan dari orang-orang shaleh tersebut”.

Syaikh an-Naqsyabandi juga berkata, “Di antara pertolongan Allah SWT. yang diberikan kepadaku adalah kopiah kakek guruku (Syaikh al-Azizan) telah sampai kepadaku sehingga keadaanku semakin baik dan harapanku semakin kuat, yang demikian itu membuatku dapat mengabdi kepada Sayyid Amir Kulal dan memberi tahuku bahwa Syaikh as-Sammasi mewasiatkan diriku kepadanya”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 196).

Semakin hari Sayyid Amir Kulal semakin memperhatikan dan bersungguh-sungguh dalam membimbingnya. Setelah bekal bimbingan yang diberikan dirasa sudah cukup, Sayyid Amir Kulal berkata, “Wahai anakku, aku telah melaksanakan wasiat Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi untuk membimbingmu”.

Seraya menunjuk ke arah susunya, Sayyid Amir Kulal berkata, “Engkau telah menyusu pendidikan padaku. Tingkat penyerapanmu terhadap apa yang aku ajarkan sangat tinggi dan keyakinanmu sangat kuat. Oleh karena itu, aku mengizinkan engkau mencari ilmu ke beberapa guru, engkau dapat mengambil ilmu dari mereka sesuai dengan kemauanmu yang besar”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 198).

Sejak saat itu, aku terus-menerus mendatangi ulama’ untuk memetik ilmu syariat dan mencari ilmu Hadis serta akhlak Rasulullah Saw dan para sahabat sebagaimana telah diperintahkan padaku. papar Syaikh an-Naqsyabandi.

Di antara akhlak Syaikh an-Naqsyabandi adalah apabila menjenguk salah seorang temannya, pasti akan menanyakan kabar keluarga dan anak-anaknya serta menghiburya dengan hiburan yang sepantasnya. Bukan hanya itu saja, Syaikh an-Naqsyabandi juga menanyakan apa yang berhubungan dengannya sampai bertanya tentang ayam-ayam peliharaannya.

Ditampakkannya rasa belas kasihan kepada semuanya seraya berkata, “Abu Yazid al-Busthami sekembalinya dari larut berzikir, melakukan hal seperti ini”.

Meski sangat sempurna dalam kezuhudannya, Syaikh an-Naqsyabandi senantiasa memberi dan mendahulukan orang lain. Bila ada orang memberinya, diterimanya. Lalu membalasnya dengan pemberian yang berlipat ganda. Demikian itu karena Syaikh an-Naqsyabandi mengikuti jejak Rasulullah Saw yang sangat terkenal kedermawanannya.

Keberkahan akhlaknya yang mulia ini menular kepada murid muridnya, (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman: 20-21).

Di antara karamahnya adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syaikh Alauddin al-Aththar. Suatu ketika Syaikh Ala’uddin al-Aththar bersama dengan Syaikh an-Naqsyabandi, ketika itu udara diliputi oleh mendung, lalu Syaikh an-Naqsyabandi bertanya, “Apa waktu dzuhur sudah masuk?” Syaikh Ala’uddin al-Aththar menjawab, “Belum”, lalu Syaikh an-Naqsyabandi berkata, “Keluarlah dan lihatlah langit”.

Lalu Syaikh Ala’uddin al-Aththar keluar dan melihat ke atas langit, tiba-tiba tersingkaplah hijab alam langit sehingga Syaikh Alauddin al-Aththar dapat melihat seluruh malaikat di langit tengah melaksanakan shalat Dhuhur, lalu Syaikh Ala’uddin al-Aththar masuk dan langsung ditanya oleh Syaikh an-Naqsyabandi, “Bagaimana pendapatmu, bukankah waktu dhuhur tiba?”

Syaikh Ala’uddin al-Aththar malu dibuatnya dan membaca istighfar dan sampai beberapa hari merasa masih terbebani dengan kejadian tersebut, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 201).

Syaikh Alauddin al-Aththar berkata: “Ketika Syaikh an-Naqsyabandi akan meninggal, aku dan yang hadir pada saat itu membaca Surat Yasin, ketika bacaan Surat Yasin sampai di tengah-tengah, tiba-tiba tampak seberkas cahaya terang yang menyinari seisi ruangan, maka aku membaca kalimat Lâ Ilâha IllAllah, lalu Syaikh an-Naqsyabandi wafat”.

Syaikh an-Naqsyabandi wafat pada malam Senin tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H. Kemudian dimakamkan di kebun miliknya yang memang sudah ditentukan oleh Syaikh an-Naqsyabandi sendiri. Para pengikutnya membangun kubah di atas makamnya dan di kebunnya dibangun masjid yang luas, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 205). (SI)

Sumber: Alif.ID

134. Pelopor dan Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara

Ajaran Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan oleh Syaikh Yusuf Al-Makassari (1626-1699). Syaikh Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Seperti disebutkan dalam bukunya Safinah al-Najah ia telah mendapat ijazah dari Syaikh Naqsabandiyah yaitu Muhammad ’Abd al Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani.

Pada tahun 1644, Syaikh Yusuf  pergi ke Yaman kemudian meneruskan lagi ke Makkah dan Madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengurungkan niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar dan menetap di Jawa Barat Banten hingga menikah dengan putri Sultan Banten.

Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai pusat pendidikan Islâm. Ia terkenal sebagai ulama Indonesia pertama yang menulis tentang tarekat ini.

Syaikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting. Kebanyakan risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan Bugis, [Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,1992), h. 53].

Di dalam tulisan-tulisannya, Syaikh Yusuf tetap konsisten pada paham Wahdatul Wujud dan menekankan akan pentingnya meditasi melalui seorang Syaikh (Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh tanpa banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan paripurna kepada syaikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi demi pencapaian spiritual, [ Ibid,.h. 42].

Tarekat Naqsabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok nusantara.

Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tarekat Naqsabandiyah di beberapa pelosok nusantara di antaranya adalah:

  1. Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai istana di Penyengat dan di Lingga.
  2. Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh Ismail Jabalyang merupakan teman dari Usman al-Puntani (“lamâ’ yang terkenal di Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan penerjemah tak shufi).
  3. Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Madura dan juga di bebeRapa tempat lain yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti Surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat.
  4. Di Dataran Tinggi Minangkabau Tarekat Naqsabandiyah adalah yang paling padat. Tokohnya adalah Jalaludindari Cangking, ’Abd al-Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking, Singkarak dan Bonjol.
  5. Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyasdari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.

Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora, Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar.

Tarekat ini merupakan satu-satunya Tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya.

Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.

Ajaran Pokok Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah

  1. Berpegang teguh pada akidah-akidah ahlu as-sunnah yaitu orang-orang yang selamat
  2. Meninggalkan rukhsah
  3. Mengambil hukum-hukum yang berat
  4. Melanggengkan muraqabah
  5. Selalu menghadap kepada Tuhannya
  6. Berpaling dari hiruk pikuk dunia bahkan segala sesuatu selain Allah SWT. dan bisa menghasilkan hadirnya hati agar terbiasa sehingga menjadi watak
  7. Merasa sepi dalam keramaian, dan melakukan sesuatu yang bisa diambil manfaatnya dan atau memberi manfaat dalam ilmu agama.
  8. Berpakaian dengan pakaian orang-orang mukmin pada umumnya.
  9. Menyembunyikan zikir
  10. Menjaga nafas sekiranya nafas yang keluar masuk itu tanpa melupakan Allah SWT.
  11. Berakhlak dengan akhlak Nabi SAW. yang agung, (Risâlah al-Îdhah, halaman: 11-15).

Tata Krama Zikir Tarekat Naqsyabandiyah

Berikut ini adalah tata krama zikir tarekat Naqsyabandiyah (zikir ismudz dzat):

  1. Suci dari hadats dan najis (berwudu);
  2. Shalat dua rakaat;
  3. Menghadap kiblat pada tempat yang sepi
  4. Duduk dengan posisi kebalikan dari duduk tawarruk (duduk di antara dua sujud), karena posisi ini dapat paling cepat untuk menyatukan seluruh indrawi;
  5. Membaca istighfar 5 kali, atau 15 kali, atau 25 kali;
  6. Membaca al-Fatihah satu kali, Surat al-Ikhlas 3 kali dan menghadiahkan pahalanya kepada Rasulullah SAW., dan kepada silsilah Tarekat Naqsyabandiyah;
  7. Memejamkan mata, kedua bibir tertutup, dan lidah dilekatkan ke langit-langit mulut. Dengan kondisi seperti ini, salik yang berzikir mampu untuk khusyu’, dan seluruh getaran hatinya menjadi hilang;
  8. Rabitah kubur, yaitu seakan-akan seorang salik telah mati, dimandikan, dikafani, disholati, dimasukkan ke dalam kubur, dan ditinggalkan sendirian di sana. Tiada yang menemaninya kecuali amal ibadahnya;
  9. Rabitah mursyid, yaitu seorang salik menghadapkan hatinya dengan hati mursyid, seraya menjaga wajah mursyid ada dalam angan-angannya;
  10. Mengumpulkan seluruh indrawi, dan menghilangkan seluruh bisikan hatinya, serta menghadapkannya kepada Allah Swt., lalu membaca do’a:

إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ 3×

Setelah itu dia berzikir  Ismudz Dzat dengan hatinya yaitu dengan cara mengalirkan lafadz Allah dalam hatinya seraya memperhatikan makna bahwa Allah adalah dzat yang tidak ada yang menyamai-Nya, dan Allah adalah dzat yang hadir, melihat, dan menguasai dirinya.

  1. Sebelum mengakhiri zikir dan membuka mata, hendaknya salik menunggu perintah untuk berhenti, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 511-513).

Sumber: Alif.ID

135. Macam-macam Zikir Tarekat Naqsyabandiyah

Zikir Tarekat Naqsyabandiyah bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan lisan (jahr) atau dengan sirri (qolbi). Kedua jenis zikir ini masing-masing mempunyai dasar yang diambil dari sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.

Zikir jahr menggunakan media lisan untuk berzikir. Hal ini terkadang tidak mudah untuk dilaksanakan setiap waktu. Berbeda dengan zikir sirr yang menggunakan media hati sebagai sarana zikirnya, sehingga meskipun dalam keadaan berdagang sekalipun, zikir masih tetap bisa dilaksanakan (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 508).

Dalil tentang Zikir Qolbi  atau Zikir Sirri

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa zikir terbagi menjadi dua macam yaitu zikir jahr dan zikir sirri. Zikir jahr dengan menggunakan lisan, sedangkan zikir sirri dengan menggunakan hati.

Tentang dasar nash yang menguatkan keutamaan zikir sirri ini sebagaimana yang termaktub dalam Hadis berikut ini:

وَقَالَ: «وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ» أَيْ فِيْ قَلْبِكَ …. وَرَوَى أَبُوْ عَوَانَةٍ وَابْنُ حِبَّانٍ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا وَالْبَيْهَقِيُّ: «خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِيْ». وَقَالَ: «الذِّكْرُ الَّذِيْ لاَ تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ يَزِيْدُ عَلَى الذِّكْرِ الَّذِيْ تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ سَبْعِيْنَ ضَعْفًا» رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. (تنوير القلوب، ص 509)

Allah berfirman: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu” maksud dari kata nafsika adalah dalam hatimu…. Dan diriwayatkan dari Abu Awanah dan Ibn Hibban dalam kedua kitab shohihnya, dan dari Imam Baihaqi: “Sebaik-baik zikir adalah yang samar, dan sebaik-baik rizki adalah yang cukup”.

Rasulullah bersabda: “Zikir yang tidak terdengar oleh malaikat Hafadzoh itu lebih (baik) dari zikir yang terdengar oleh malaikat Hafadzoh dengan 70 kali lipat” hadist riwayat Imam Baihaqi (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 509).

Guru Naqsyabandi memilih zikir dalam hati, karena hati itu tempat melihat Allah yang Maha Pengampun, tempat iman, tempat sumber Rahasia dan sumber cahaya. Dengan keadaan hati yang baik, maka seluruh jasad pun baik. Sebaliknya, jika hati rusak maka seluruh jasad pun rusak. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi SAW.

Seorang hamba tidak bisa dikatakan seorang mukmin kecuali dia mengikat hatinya atas kewajiban iman, dan tidak sah apabila beribadah tanpa disertai dengan niat (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 508).

Lafadz Zikir Qolbi

Sebagaimana disebutkan dalam Tanwîr al-Qulûb, halaman: 511 bahwa zikir qolbi terbagi menjadi dua macam; yang pertama adalah dengan menggunakan Ismudz Dzaat dan yang kedua dengan Nafi Itsbat. Zikir Ismudz Dzaat menggunakan lafadz الله, sesuai dengan firman Allah Swt.:

إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ (طه: 14)

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, (Qs. Thaha: 14).

قُلِ الله ثُمَّ ذَرْهُمْ فِيْ خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ (الأنعام: 91)

Katakanlah: Allah, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya, (Qs. al-An’am: 91).

Maqâm Zikir

Berikut ini adalah maqâm-maqâm zikir dalam tarekat:

  1. Lathifatul Qolbi, beRada di bawah payudara kiri dengan jarak kira-kira dua jari. Yang menjadi wilayah Nabi Adam As. Lathifatul Qolbi menjadi tempat nafsu lawwamah yang mempunyai 9 watak, yaitu;
  • اللَّوَّامَة : sifat yang suka mencela terhadap orang lain
  • اللَّهْوُ : sifat menyenangkan nafsu
  • الْمَكَر : menipu
  • الْعُجْب : memuji terhadap amal perbuatannya sendiri (meRasa dirinya yang lebih baik)
  • الْغِيْبَة : sifat suka mengguncing orang lain
  • الرِّيَاء : memamerkan perbuatan dirinya sendiri
  • الظُّلْم : berbuat aniaya
  • الْكِذْب : bohong
  • الْغَفْلَة : lupa dari Allah

TanbiihLathifatul qalbi ini selalu dilakukan untuk berzikir kepada Allah dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugRAh dari Allah SWT. semoga nafsu lawwamah bisa dikalahkan serta dihilangkan dengan mendapat syafaat Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatur Rûh, berada di bawah payudara kanan dengan jarak kira-kira dua jari, yang menjadi wilayah nabi Nuh As. dan nabi IbRahim As. Lathifatur Rûh menjadi tempat nafsu mulhimah yang mempunyai 7 watak, yaitu;
  • السَخَاوَة : dermawan
  • القَنَاعَة : menerima apa adanya
  • الْحِلْم : sabar dan pemaaf
  • التَّوَاضُع : tawadhu’
  • التَّوْبَة : meminta maaf atas perbuatan yang telah dilakukan dan menyesal terhadap perbuatan yang jelek
  • الصَّبْر : sabar
  • التَّحَمُّل : berani menanggung ujian dan sengsara

TanbihLathifatur Ruuh ini selalu dilakukan untuk berzikir kepada Allah SWT. dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah Allah SWT. semoga nafsu mulhimah bisa dilakukan dengan baik karena syafa’at Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatus Sirri, berada di atas payudara kiri dengan jarak kira-kira dua jari (jantung). Yang menjadi wilayah nabi Musa As. (tempat zikir yang menjadi alam amar nabi Musa as.). Lathifatus sirri menjadi tempatnya nafsu muthmainnah yang memiliki 6 watak, yaitu;
  • الْجُوْد : dermawan terhadap semua harta yang dimiliki
  • التَّوَكُل : pasrah kepada Allah SWT.
  • العِبَادَة : ibadah dengan ikhlâs
  • الشُّكْر : syukur atas apa yang diberikan oleh Allah SWT.
  • الرِّضَا : rela dengan apa yang menjadi kehendak Allah SWT.
  • الْخَشْيَة : takut melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Tanbih: Lathifatus Sirri ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.  Dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugRAh dari Allah SWT. semoga nafsu muthmainnah bisa abadi diamalkan sehingga husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatul Khafiy, berada di atas payudara kanan dengan jarak kira-kira dua jari (paru-paru). Yang menjadi wilayah nabi Isa As. (tempat zikir alam amar nabi Isa as.). Lathifatul Khafiy menjadi tempatnya nafsu mardhiyyah yang mempunyai 6 watak, yaitu;
  • حُسْنُ الْخُلُق (etika yang baik)
  • اللُّطْف (mengasihi terhadap sesama)
  • حَمْلُ الْخَلْقِ عَلَى الصَّلاَحِ (mengajak untuk melakukan kebaikan)
  • تَرْكُ مَا سِوَى اللهِ (meninggalkan segala sesuatu selain Allah SWT.)
  • الصَّفْحُ عَنْ ذُنُوْبِ الْخَلْقِ (memaafkan kesalahan sesama makhluk)
  • حُبُّ الْخَلْقِ وَالْمَيْلِ إِلَيْهِمْ لِإِخْرَاجِهِمْ مِنْ طَبَائِعِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ إِلَى أَنْوَارِ أَرْوَاحِهِمْ (cinta dan senang kepada sesama makhluk untuk membebaskan mereka dari segala kebiasaan buruk dan kesenangan hawa nafsu menuju sifat malakaniyah, mahmudah, dan akhlak yang mulia).

Tanbih: Lathifatul Khafy ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.  Dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah Swt semoga nafsu mardliyayah bisa abadi diamalkan sehingga husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah Saw Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatul Akhfâ, berada di tengah-tengah dada, tepatnya berada diantara hati sanubari dan lathifatur Rûh. Tempat Lathifatul Akhfâ ada di ginjal. Yang menjadi wilayah Rasulullah SAW. (tempat zikir alam amar Rasulullah SAW.). Lathifatul Akhfâ menjadi tempatnya nafsu kâmilah, maksudnya nafsu yang lebih sempurna, yang memiliki 3 watak, yaitu;
  • عِلْمُ الْيَقِيْن (pengetahuan yang nyata)
  • عَيْنُ الْيَقِيْن (keadaan yang nyata)
  • حَقُّ الْيَقِيْن (kebenaran yang nyata)

TanbihLathifatul Akhfâ ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.,  dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah SWT. semoga nafsu kâmilah bisa karamah dan istiqâmah sehingga husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatun Nafsi an-Nathiqah, berada di tengah kening tepatnya di antara dua alis, yaitu berada dalam otak (pusat berpikir). Lathifatun Nafsi an-Nathiqah menjadi tempat nafsu ammarah (nafsu yang mengarah pada keburukan) yang memiliki 7 watak, yaitu;
  • الْبُخْلُ (pelit atau kikir)
  • الْحِرْصُ (cinta dunia)
  • الْحَسَدُ (iri, dengki)
  • الْجَهْلُ (bodoh)
  • الْكِبْرُ (sombong)
  • الشَّهْوَةُ (mengikuti kesenangan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan syari’at)
  • الْغَضَبُ (maRah karena mengikuti hawa nafsu)

TanbihLathifatun Nafsi an-Nathiqah ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.,  dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah SWT. semoga nafsu amarah bisa berkurang dan musnah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatul Jâmi’ul Badan, berada di seluruh tubuh dari hati sanubari diarahkan ke kepala, kemudian diarahkan ke seluruh tubuh yang meliputi kulit, daging, tulang, sumsum, otot, darah dan rambut yang kesemuanya itu berzikir. Lathifatul Jâmi’ul badan menjadi tempat nafsu mardhiyah yaitu nafsu yang senantiasa ridha, yang memiliki 6 watak, yaitu;
  • الْكَرَمُ (dermawan)
  • الزُّهْدُ (menghindari urusan duniawiyah harta benda yang tidak sesuai dengan syari’at dan menerima yang halal meskipun sedikit)
  • الإِخْلاَصُ (mengatur niat yang lebih utama, melakukan kebaikan karena Allah SWT.)
  • الْوَرَعُ (menjaga diri dari barang syubhat dan haram)
  • الرِّيَاضَة (menjauhi perbuatan yang tidak terpuji dan melakukan perbuatan yang terpuji dan menggunakan akhlak malakaniyyah seperti khalwat menyendiri untuk beribadah, berzikir, muraqabahtafakkur, dan terjaga (tidak tidur), lapar, diam dan berbicara yang sesuai dengan syari’at)
  • الْوَفَاءُ (menepati janji baiat)

TanbihLathifatul jaami’ul badan ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.,  dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah Swt semoga nafsu mardhiyyah bisa istiqâmah dan husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

Allah berfirman: “Aku ada dalam pecahan-pecahan hati mereka”… Lalu (seorang Salik) berzikir lathifatul qolbi. Ketika cahaya dari lathifah tersebut telah keluar dari arah pundaknya dan naik, atau dia telah merasakan getaran atau gerakan kuat, maka lalu dia membisikkan pada latifatur ruuh yang berada di bawah payudara kanan dengan jarak kira-kira dua jari.

Gambar Lathif Naqsyabandi

Zikir di lathifatur ruuh, dan wuquf di hati, sebagaimana orang yang melihat dua arah dengan satu pandangan. Jika sudah terjadi gerakan pada lathifatur ruuh dan telah sibuk berzikir, maka dia bisikkan pada lathifatus sirri, yang berada di atas payudara kiri dengan jarak dua jari.

Berzikir di lathifatus sirri, dan juga wuquf di hati. Kemudian, jika lathifatus sirri telah sibuk dengan zikir, maka dia mulai bisikkan pada lathifatul khofiy yang berada di atas payudara kanan dengan jarak 2 jari. Lalu dia bisikkan pada lathifatul akhfaa, yang berada di tengah-tengah dada.

Dan jika dia telah sibuk dengannya sebagaimana sebelumnya, maka dia bisikkan pada lathifatun nafsi yang berada di antara dua mata dan dua alis beserta wuquf qolbi di seluruh zikir lathaif, lalu dilanjutkan pada lafhifatul jasad. Dengan demikian dia berzikir dengan seluruh badan setelah dia bentangkan wuquf pada seluruh anggota tubuhnya dan tempat tumbuhnya bulu.

Jika zikir telah berpengaruh pada seluruh tubuh, adakalanya dengan getaran kecil atau zikir yang berjalan di seluruh tubuhnya yang tebal. Dengan demikian, tubuhnya bagaikan hati yang bergerak dengan zikir, mulai dari bawah hingga ke atas tubuh, dan ini disebut sebagai sulthon zikir (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 25).

Sumber: Alif.ID

136. Lafal Zikir dan “Khotam Khowajikan” Naqsyabandiyah

Lafal atau kalimat yang digunakan dalam zikir itu beragam. Dalam tarekat Naqsyabandiyah lafal yang digunakan adalah lafal الله. Sedangkan dalam tarekat Syadziliyah adalah kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Masing-masing tarekat juga terkadang berbeda dalam kalimat atau lafal yang digunakan untuk berzikir yang kesemuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Namun, pada dasarnya seluruh perbedaan lafal zikir tersebut adalah sama, yaitu sama-sama untuk mengagungkan Allah Swt.

Ketahuilah, awal bentuk zikir menurut tarekat Naqsyabandiyah adalah lafal Allah dengan memperhatikan maknanya. Dan menurut tarekat Syadziliyah adalah kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Menurut tarekat lainnya (kalimat zikir itu) dari keduanya (lafal Allah dan Lâ Ilâha IllAllah), istighfâr dan shalawat dengan menghadirkan hati secara sempurna, serta bertata krama.

Firman Allah Ta’ala: “Aku bersama orang yang berzikir kepada-Ku, dan Aku bersama hamba-Ku ketika dia menyebut-Ku, dan ketika kedua bibirnya bergerak (karena berzikir kepada-Ku), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 23).

Zikir “Allah, Allah”, Zikir Ismudz Dzat

Zikir itu beragam bacaan dan jumlahnya. Di antara zikir-zikir tersebut adalah zikir ismudz dzaat, yaitu zikir dengan menyebut nama “Allah”. Hal ini didasarkan pada ayat pertama Surat al-Ikhlas; قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ .

Ketahuilah, bahwa nama yang luhur, agung dan hebat disebut dengan Ismudz Dzât yaitu lafadz Allah. Nama yang mulia ini diletakkan untuk dzat ketuhanan dengan berdasarkan dzat itu yang memiliki sifat-sifat dan nama-nama ketuhanan, keagungan, keindahan dan kesempurnaan.

Menurut sebagian ahli ma’rifat, nama itu adalah nama yang diletakkan hanya untuk dzat itu sendiri, bukan berdasarkan pada persifatan dengan sesuatu, karena firman Allah: “Katakanlah: ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”,  (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 170).

Cara Zikir Ismudz Dzat

Cara zikir Ismudz Dzât adalah seorang Salik yang berzikir menyebut nama Allah Swt dengan lisan hatinya. Karena dalam hati terdapat lisan, pendengaran dan penglihatan (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 179).

Nabi Muhammad Saw menegaskan dalam hadisnya bahwa majlis zikir menjadi sebuah penangkal akan datangnya hari kiamat. Mereka diibaratkan seperti caga’e dunyo (tiang dunia) yang meredakan murka Allah Swt ketika melihat kezaliman, perusakan bumi, dan kedurhakaan manusia di sekeliling mereka.

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: الله، الله. (فيض القدير، ج 6، ص 541)

Rasulullah Saw bersabda: “Tak akan terjadi hari kiamat, hingga tidak diucapkan lagi di muka bumi ini lafal Allah, Allah”, (Faidh al-Qadîr, juz 6, halaman: 541).

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ الله الله». رواه مسلم (تنوير القلوب، ص 511)

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat sampai tidak lagi di muka bumi ini orang yang mengucapkan Allah, Allah”. Hadis riwayat Muslim (Tanwîr al-Qulub, halaman: 511).

Khotam Khowajikan Tarekat Naqsyabandiyah

Kata khawajikan خَوَاجِكَان adalah bahasa Persia yang merupakan bentuk jamak dari kata khawajih خَوَاجِه yang berarti guru atau syaikh. Khatam khawajikan disebut dengan khatam karena para guru silsilah tarekat Naqsyabandiyah ketika berkumpul dengan para muridnya, mereka mengakhiri perkumpulan tersebut dengan zikir ini.

Imam Abdul Khâliq al-Ghujdawani dan para Imam silsilah sesudahnya hingga Syaikh Naqsyabandi bersepakat bahwa: jika seorang salik membaca zikir khatam ini, maka kebutuhannya akan terpenuhi, keinginannya akan tercapai, dirinya akan terjauhkan dari musibah, derajatnya akan diangkat.

Juga akan ditampakkan baginya berbagai keagungan Allah Swt setelah membaca zikir ini. Salik berdo’a kepada Allah Swt agar tujuan dan kebutuhannya dipenuhi, maka do’anya akan dikabulkan. Sebagaimana hal ini telah terbukti berkali-kali.

Khatam khawajikan adalah salah satu rukun utama setelah zikir ismudz dzât dan zikir nafi itsbat. Wirid ini adalah wirid yang agung yang khusus pada tarekat Naqsyabandiyah. Hal ini disebabkan karena ruh para syaikh silsilah tarekat Naqsyabandiyah dengan berkah wirid ini, akan menolong orang-orang yang meminta pertolongan (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 520).

Syarat-syarat Khataman Khawajikan

Syarat-syarat dalam khataman khawajikan adalah sebagai berikut:

  1. Suci dari hadats dan najis;
  2. Tempat yang sepi;
  3. Khusyu’ dan menghadirkan hati untuk menyembah Allah Swt seakan-akan anda melihat-Nya. Namun, jika anda tak bisa melihatnya, maka Allah Swt melihat anda;
  4. Orang-orang yang hadir di majlis zikir khawajikan tersebut adalah orang-orang yang telah diberi izin dari guru/mursyid;
  5. Menutup atau mengunci pintu;
  6. Memejamkan kedua mata mulai awal sampai akhir zikir;
  7. Bersungguh-sungguh dalam menolak segala hal yang dapat memalingkan hatinya untuk khusyu’ menghadap Allah Swt;
  8. Duduk kebalikan dari duduk tawarruk (duduk di antara dua sujud) (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 520-521).

Rukun Khataman Khawajikan

Adapun rukun khataman khawajikan adalah sebagai berikut:

  1. Membaca istighfâr 25 kali, atau 15 kali. Dan dianjurkan sebelum membaca istighfâr, Salik berdo’a dengan do’a berikut:

اللَّهُمَّ يَا مُفَتِحَّ اْلأَبْوَابِ وَيَا مُسَبِّبَ اْلأَسْبَابِ وَيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ وَاْلأَبْصَارِ وَيَا دَلِيْلَ الْمُتَحَيِّرِيْنَ وَيَا غِيَاثَ الْمُسْتَغِيْثِيْنَ أَغِثْنِيْ، تَوَكَّلْتُ عَلَيْكَ يَا رَبِّيْ وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ يَا فَتَّاحُ يَا وّهَّابُ يَا بَاسِطُ وَصَلّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

  1. Rabitah mursyid (caranya sama dengan zikir ismudz dzaat)
  2. Membaca al-Fatihah 7 kali
  3. Membaca shalawat 100 kali
  4. Membaca Surat Alam NasyRAh 79 kali
  5. Membaca Surat al-Ikhlâs 1001 kali
  6. Membaca al-Fatihah 7 kali
  7. Membaca shalawat 100 kali
  8. Membaca do’a khataman
  9. Membaca beberapa ayat Al-Qur’an (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 521-522).

Do’a setelah khataman khawajikan adalah sebagai berikut: (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 522-523).

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بِنُوْرِ جَمَالِهِ أَضَاءَ قُلُوْبَ الْعَارِفِيْنَ وَبِهَيْبَةِ جَلاَلِهِ أَحْرَقَ فُؤَادَ الْعَاشِقِيْنَ وَبِلَطَائِفِ عِنَايَتِهِ عَمَّرَ سِرَّ الْوَاصِلِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ اللَّهُمَّ بَلِّغْ وَأَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ وَنَوِّرْ مَا تَلَوْنَاهُ بَعْدَ الْقَبُوْلِ مِنَّا بِالْفَضْلِ وَاْلإِحْسَانِ إِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا وَطَبِيْبِ قُلُوْبِنَا وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

وَإِلَى أَرْوَاحِ جَمِيْعِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ صَلَوَاتَ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ، وَإِلَى جَمِيْعِ أَرْوَاحِ مَشَايِخِ سَلاَسِلِ الطُّرُقِ الْعَلِيَّةِ، خُصُوْصًا النَّقْشَبَنْدِيَّةِ وَالْقَادِرِيَّةِ وَالْكُبْرَوِيَّةِ وَالسَّهْرُوَرْدِيَّةِ وَالْجِشْتِيَّةِ قَدَّسَ اللهُ أَسْرَارَهُمْ الْعَلِيَّةَ خُصُوْصًا إِلَى رُوْحِ الْقَطْبِ الْكَبِيْرِ وَالْعِلْمِ الشَّهِيْرِ ذِي الْفَيْضِ النُّوْرَانِيِّ وَاضِعِ هَذَا الْخَتْمِ مَوْلاَنَا عَبْدِ الْخَالِقِ الْغُجْدَوَانِى،  وَإِلَى رُوْحِ إِمَامِ الطَّرِيْقَةِ وَغَوْثِ الْخَلِيْقَةِ ذِي الْفَيْضِ الْجَارِيِّ وَالنُوْرِ السّارِيِّ السَّيِّدِ الشَّرِيْفِ مُحَمَّدٍ الْمَعْرُوْفِ بِشَاهْ نَقْشَبَنْدِ الْحُسَيْنِى الْحَسَنِى اْلأُوَيْسِ الْبُخَارِي قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِى، وَإِلَى رُوْحِ قُطْبِ اْلأَوْلِيَاءِ

وَبُرْهَانِ اْلأَصْفِيَاءِ جَامِعِ نَوْعَيِ الْكَمَالِ الصُّوَرِيِّ وَالْمَعْنَوِيِّ الشَّيْخِ عَبْدِ اللهِ الدَّهْلَوِيِّ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ السَّارِيْ فِى اللهِ الرَّاكِعِ السَّاجِدِ ذِى الْجَنَاحَيْنِ فِي عِلْمَيِ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ ضِيَاءِ الدِّيْنِ مَوْلاَنَا الشَّيْخِ خَالِدٍ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ سِرَاجِ الْمِلَّةِ وَالدِّيْنِ الشَّيْخِ عُثْمَانَ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ الْقُطْبِ اْلأَرْشَدِ وَالْغَوْثِ اْلأَمْجَدِ شَيْخِنَا

وَأُسْتَاذِنَا الشَّيْخِ عُمَرَ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ دُرَّةِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ شَيْخِنَا وَمُرْشِدِنَا الشَّيْخِ مُحَمَّدٍ أَمِيْن قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ، وَإِلَى إِمَامِ الطَّائِفَتَيْنِ شَيْخِنَا وَمُرْشِدِنَا الشَّيْخِ سَلاَمَةِ الْعَزَامِى قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمَحْسُوْبِيْنَ عَلَيْهِمْ، وَمِنَ الْمَنْسُوْبِيْنَ إِلَيْهِمْ، وَوَفِّقْنَا لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اللَّهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ الْخَوَاطِرِ النَّفْسِيَّةِ، وَاحْفَظْنَا مِنَ الشَّهَوَاتِ

الشَّيْطَانِيَّةِ، وَطَهِّرْنَا مِنَ الْقَاذُوْرَاتِ الْبَشَرِيَّةِ، وَصَفِّنَا بِصَفَاءِ الْمَحَبَّةِ الصِّدِّيْقِيَّةِ، وَأَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا إِتْبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تُحْيِيَ قُلُوْبَنَا وَأَرْوَاحَنَا وَأَجْسَامَنَا بِنُوْرِ مَعْرِفَتِكَ وَوَصْلِكَ وَتَجَلِّيَاتِكَ دَائِمًا بَاقِيًا هَادِيًا يَا اللهُ، (تنوير القلوب، ص 522-523). (SI)

Sumber: Alif.ID

137. Dalil Ruangan Tertutup Saat “Tawajjuh” Naqsyabandiyah

Tawajjuh atau tawajjuhan adalah majelis zikir yang ada dalam tarekat. Dalam prakteknya, tawajjuhan dilaksanakan dalam ruangan yang tertutup. Hal ini bukan tanpa landasan atau dasar, akan tetapi hal ini sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Imam Hakim, dan juga Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.

Berikut ini hadisnya:

إِغْلاَقُ الْبَابِ وَيَعْضَدُهُ حَدِيْثُ الْحَاكِمِ عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَادٍ قَالَ: بَيْنَمَا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟ قُلْنَا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ وَقَالَ: اِرْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ، الْحَدِيْثَ وَأَصْرَحَ مِنْهُ حَدِيْثُ الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ فِى دُخُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَعْبَةَ حَيْثُ أَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ حِيْنَ دُخُوْلِهَا عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ مَعَهُ دُوْنَ مَنْ عَدَاهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُوْجُوْدِيْنَ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَلَفْظُ الْبُخَارِي فِى صَحِيْحِهِ، (تنوير القلوب، ص 521).

Termasuk tata krama berzikir adalah menutup pintu, hal ini dikuatkan dengan Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Hakim dari Ya’la bin Syadad, suatu ketika aku bersama Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah bertanya: “Apakah di antara kalian ada orang asing?” Aku menjawab: “Tidak wahai Rasulullah”. Maka Nabi memerintahkan untuk menutup pintu dan Beliau bersabda: “Angkatlah tanganmu (berdo’a)”.

Hadis Imam Bukhari dan Muslim lebih memperjelas tentang masuknya Nabi ke dalam Ka’bah sekiranya Nabi memerintahkan menutup pintu ketika masuk Ka’bah, dan orang-orang bersama Nabi bukan orang muslim lain yang ada di Masjidil Haram (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 521).

Dasar Tawajjuhan Tiga Kali dalam Sehari Semalam

Permulaan tawajjuhan dilaksanakan 3 kali dalam sehari semalam itu karena melihat tawajjuhan yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Saw itu sebanyak 3 kali dengan tujuan untuk:

  1. Menghilangkan sifat madzmûmah muhlikah (sifat yang jelek dan merusak)
  2. Menghiasi hati dengan sifat yang terpuji
  3. Memasukkan nûr wahyu dan risalah

Semua itu dilakukan di gua Hira’. Tawajjuh itu mulaqqan mu’an’an (ditalqinkan) dari Nabi Saw kepada Abu Bakar al-Shiddiq Ra, dan dari Abu Bakar al-Shiddiq Ra kepada guru-guru Naqsyabandi itu merupakan turunnya nûr yang menyebar.

Adapun hati para guru itu merupakan sumber hikmah dan ma’rifat. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh untuk menangkap nûr itu, maka dia yang akan berhasil. Adapun orang-orang yang tidak bersungguh-sungguh, maka dia tidak menghasilkan apapun kecuali bingung.

Tawajjuhan 3 kali itu dilakukan setelah shalat Isya’, waktu sahur, dan setelah shalat Dzuhur, (Keterangan ini dapat dilihat dalam kitab Nahjah as-Salikin, atau dalam kitab Majmû’ al-Risâlah, halaman: 26).

Tata Cara Tawajjuhan

  1. Membaca ayat al-Qur’an sekedarnya baik imam sendiri, atau salah seorang yang ikut tawajuhan;
  2. Membaca istighfar sebanyak 5, 15, atau 25;
  3. Membaca Surat al-Fatihah satu kali, Surat al-Ikhlas tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan kepada para guru tarekat yang ada salam silsilah;
  4. Zikir ismu dzât;

Bagi imam, bila bilangan zikirnya sudah sampai 300 atau 1.000, imam lalu berniat untuk menawajjuhi para murid. Di awal niat tersebut, membaca:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ فِى الْجَسَدِ ابْنِ آدَمَ لَمُضْغَةً اِذَا صَلُحَتْ الْمُضْغَةُ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَدَتْ الْمُضْغَةُ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ اَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ صَدَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jika murid berhenti putaran tasbih dan mendengarkan bacaan imam, jika sudah selesai maka berputar kembali tasbih tersebut, jika imam terus mentawajuhi para murid sesuai dengan kemampuannya dengan mujabahah (adu bathu’) dan jika murid ditawajuhi  dengan guru membaca di dalam hatinya:

اَفَاضَنِيْ اللهُ مِنْ نُوْرِ شَيْخِي إِلَى رُوْحِى عَلَى الدَّوَامِ

Semoga Allah Swt mencurahkan kepadaku dari cahaya guruku sampai kepada ruhku selamanya.

Amalan setelah Tawajjuhan

  1. Hadiah al-Fatihah kepada para guru
  2. Imam memimpin membaca shalawat, lalu makmum juga membaca shalawat berikut ini sebanyak 3 kali:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِالنَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ

  1. Imam membaca Surat al-Insyirah, lalu makmum juga membacanya sebanyak 3 kali

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ . وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ . الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ . وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ . فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ . وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

  1. Imam membaca Surat al-Ikhlâs, lalu makmum mengikutinya sebanyak 3 kali.
  1. Imam membaca اللهم يَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  2. Imam membaca اللهم يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ sebanyak 40 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  3. Imam membaca اللهم يَا رَافِعَ الدَّرَجَاتِ sebanyak 41 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  1. Imam membaca اللهم يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ sebanyak 40 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  2. Imam membaca اللهم يَا مُحِلَّ الْمُشْكِلَاتِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  3. Imam membaca اللهم يَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  1. Imam membaca اللهم يَا شَافِيَ الْاَمْرَاضِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  2. Imam membaca اللهم يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ sebanyak 41 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  3. Imam membaca shalawat di bawah ini sebanyak 3 kali, dan diikuti oleh makmum.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ نِالنَّبِىِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ ×3

  1. Menghadiahkan fatihah kepada Imam Khawajikan, Syaikh Abdul Qodir al-Jailani, dan Syekh Baha’uddin sebanyak 1 kali.
  2. Imam membaca يَا سَمِيْعُ يَا بَصِيْرُ sebanyak 100 kali.
  3. Imam membaca يَا مُبْدِئُ يَا خَالِقُ sebanyak 100 kali.
  1. Imam membaca يَا حَفِيْظُ يَا نَصِيْرُ يَا وَكِيْلُ يَا اللهُ sebanyak 10 kali.
  2. Imam membaca shalawat berikut ini sebanyak 3 kali, dan diikuti makmum:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ نِالنَّبِىِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ ×3

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Membaca حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
  3. Membaca tawajjuh sebentar.
  1. Membaca يَا اَللهُ يَا قَدِيْمُ
  2. Membaca يَا لَطِيْفُ
  3. Membaca do’a

Sumber: Alif.ID

138. Wuquf Zamani, Wuquf ‘Adadi, dan Wuquf Qalbi

Wuquf Zamani berarti seorang salik setelah dua atau tiga jam melihat bagaimana keadaan dirinya. Jika keadaannya hudhur (hadir) bersama Allah Swt, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya atas pertolongan yang telah diberikan oleh-Nya. Ketika merasa dirinya masih sembrono dalam ke-hudhur-annya ketika itu, ia memulai lagi untuk bisa hudhur dengan lebih sempurna.

Jika dalam dua atau tiga jam itu dia dalam keadaan lupa, maka hendaknya dia memohon ampunan atas kealpaan itu, dan bertaubat kepada-Nya serta kembali untuk bisa hudhur dengan sempurna.

Adapun Wuquf ‘Adadi adalah menjaga bilangan ganjil dalam zikir nafi itsbat, bilangan tiga atau lima, dan seterusnya sampai dua puluh lima kali.

Sedangkan Wuquf Qalbi sebagaimana yang diutarakan oleh al-Syaikh Ubaidillah Ahrar (semoga Allah SWT menyucikan jiwanya) adalah sebuah ungkapan tentang hadirnya hati bersama Allah Swt, yang dalam hatinya tidak ada tujuan lain kecuali Allah SWT dan tidak lengah dari makna zikir, karena hal tersebut termasuk syarat-syarat zikir.

Al-Syaikh Ubaidillah Ahrar juga menyatakan bahwa pengertian wuquf qalbi yaitu orang yang berzikir itu wuquf pada hatinya saat berzikir, memperhatikan hatinya dan menjadikannya sibuk dengan lafadz zikir dan maknanya, dan tidak meninggalkan hatinya dalam keadaan lupa dari zikir tersebut, serta lalai dari maknanya.

Pengarang kitab al-Rasyahât berkata: “Syaikh al-Khawajih Baha’uddin semoga Allah SWT membersihkan jiwanya tidak mewajibkan menahan nafas dan menjaga hitungan dalam zikir.

Adapun wuquf qolbi itu beliau jadikan sebagai hal yang penting dengan kedua maknanya yaitu menjaga hati sibuk zikir dan tidak lupa dari maknanya, serta beliau menjadikan zikir qalbi ini sebagai sebuah keharusan. Sesungguhnya inti  dan tujuan zikir adalah wuquf qalbi itu sendiri (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 507).

Wuquf Qalbi dengan Menjaga Nafas

Gemuruhnya hati yaitu menjaga keluar masuknya nafas dari lupa (untuk berzikir kepada Allah SWT) dengan tujuan agar hati salikselalu hadir bersama Allah SWT di setiap nafasnya. Karena ketika tiap nafas yang keluar dan masuk selalu hadir bersama Allah SWT, maka hati itu hidup serta bersambung dengan Allah SWT Dan ketika tiap nafas yang keluar dan masuk itu lupa (dari zikir kepada Allah SWT), maka hati itu mati serta putus dari Allah Swt (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 506).

Atsar Zikir dan Nikmat Zikir

Hasil dari wuquf qalbi adalah lupa dari wujud manusiawi dan semua bisikan alam, tenggelam dalam tarikan dzat Ilahi. Jika sudah demikian, maka tampaklah bekas perubahan dari tarikan ilahi itu, yaitu menghadapnya hati pada dzat Yang Maha Benar lagi Maha Suci dengan rasa cinta kepada-Nya.

Bekas (hasil) zikir itu berbeda-beda bergantung pemberian Allah Swt, yaitu sebuah pemberian Allah SWT pada ruh-ruh hamba-Nya, sebelum ruh-ruh itu dihubungkan dengan jasadnya, kemudian  Allah SWT  memuliakannya dengan qurb (kedekatan) yang bersifat dzat yang azali.

Di antara mereka (para salik), pertama kali yang mereka capai adalah ketiadaan selain Allah Swt, yaitu lupa dari selain Allah Swt Sebagian yang lain, yang pertama mereka capai adalah mabuk, bingung, dan ketiadaan selain Allah Swt secara bersamaan, yang selanjutnya akan tercapai hilangnya wujud sifat kemanusiaan (fana’).

Mereka lalu mendapatkan kemuliaan fana’, yaitu leburnya diri dalam tarikan-tarikan ilahi. Jika seorang salik belum tampak baginya hasil-hasil tersebut, maka dia masih belum memenuhi syarat-syarat zikir (dengan benar) (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 515).

Nikmat Zikir Awal Mula Dibukanya Hijab

Syaikh Abu Sa’iid al-Kharaz menyatakan bahwa ketika Allah SWT  menginginkan seorang hamba untuk dijadikan kekasih-Nya, maka akan dibuka baginya pintu zikir. Ketika dia telah merasakan nikmat zikir, maka akan dibuka baginya kedekatan dengan Allah Swt.

Selanjutnya, dia akan diberi ketentraman, dan dijadikan baginya ketauhidan yang kuat, dihilangkan pula darinya tabir-tabir Allah Swt, dia dimasukkan dalam wilayah kesendirian (bersama Allah SWT), dibuka baginya hijab keagungan Allah Swt.

Dan, ketika mata batinnya telah sampai pada keagungan tersebut, maka dia menyatu dengan Allah SWT Ketika inilah, dia menjadi lumpuh dan hancur, dia berada dalam penjagaannya, dan terbebas dari segala bisikan nafsunya (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 510).

Bilangan Zikir

Dalam tarekat, jumlah bilangan zikir minimal bagi seorang salik dalam sehari semalam adalah 25.000. tidak ada batas maksimal untuk jumlah bilangan zikir tersebut. Jumlah zikir tersebut sangat dianjurkan untuk diselesaikan dalam sekali duduk.

Namun, jika tidak mampu, maka boleh diselesaikan dalam tiga kali duduk, atau jika tidak dimungkinkan, maka dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang memungkinkan bagi diri salik (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 25). (SI)

Sumber: Alif.ID

139. Kaifiyah (Tata Cara) Suluk dan Uzlah Naqsyabandiyah

Suluk Naqsyabandiyah
Ritual Suluk di Daya Seuramoe Daraussalam, Braden, Peukanbada, Aceh Besar, Aceh (Foto: Antara/Ampelsa))

Syarat Suluk

  1. Memperoleh izin dari guru mursyid atau dari orang yang sudah diberi ijazah untuk memberikan izin manjing suluk.
  2. Khalwah: mencari tempat sepi yang sekiranya bisa jauh dari anak istri serta sudara dan teman.
  3. Niat manjing suluk

 Lafadz Niat Suluk

نَوَيْتُ أَنْ أَدْخُلَ فِى السُّلُوْكِ (عَشَرَ، عِشْرِيْنَ، أَرْبَعِيْنَ) يَوْمًا لاِقْتِدَاءِ السَّلَفِ الصَّالِحِيْنَ وَلِاتِّبَاعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلهِ تَعَالَى

Saya berniat manjing suluk (10, 20, 40) hari karena mengikuti `ulamâ’ salaf yang sholeh dan mengikuti nabi Muhammad Saw semata karena Allah ta’ala.

 Rukun Suluk

  1. Meninggalkan ucapan yang tidak ada manfaatnya
  2. Tidak banyak makan sehingga menyebabkan tidak mampu untuk berzikir atau beribadah yang lain.
  3. Tidak banyak tidur
  4. Malanggengkan zikir di hati, siang dan malam dengan zikir yang jumlahnya melebihi apa yang telah diperintahkan guru dengan tidak mengubah adab dan syarat zikir.

Khusus bagi murid yang mubtadi’ (orang yang baru belajar) di waktu manjing suluk sehari semalam jumlah zikirnya tidak boleh kurang dari 25.000 zikir ismu dzât.

Bagi yang mampu, sehari semalam jumlah zikirnya jangan sampai kuRang dari 70.000 zikir ismu dzât.

 Bagi murid ahli lathaif, maka zikir lathaif sekali pada pagi hari dan sekali pada sore hari kemudian menjalankan zikir hati di antara dua waktu dengan jumlah bilangan 70.000 atau lebih.

Bagi murid ahli nafi isbat dan wuquf dan murâqqabah, maka zikir lathaif dilakukan sekali pada pagi hari dan sekali pada sore hari, nafi isbat sebanyak 3.000.

  1. Tawajuhan tiga kali dalam sehari semalam, yakni:
  2. setelah Isya’, dengan diawali khataman khawajikan, selain malam Selasa dan malam Jum’at,
  3. waktu sahur, dengan diawali khataman khawajikan, selain malam Selasa dan malam Jum’at,
  4. setelah Dzuhur, tanpa khataman khawajikan, khawajikan dilakukan setelah shalat Ashar, tawajuhan dilakukan khusus bagi murid yang suluk.

CatatanBagi murid yang tidak suluk tidak boleh tawajuhan kecuali hari Selasa dan hari Jum’at.

Adab Suluk

  1. Memperoleh izin dari guru mursyid untuk manjing suluk
  2. Mandi taubat dengan niat taubat dari seluruh dosa kemudian wudhu’ dengan sempurna
  3. Shalat hajat dua rakaat dengan niat manjing suluk
  1. Memasuki tempat khalwat dengan membaca ta’awudz dan basmalah
  2. Dengan sungguh-sungguh berniat untuk memenjarakan nafsu (رياضة النفس)
  3. Melanggengkan wudhu’ (jika batal, wudhu’)
  1. Tidak berbicara, kecuali zikir kepada Allah Swt
  2. Melanggengkan Rabitah kepada guru mursyid
  3. Menjalankan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu, sunnah rawatib (qobliyah ba’diyah) dan shalat sunnah yang lain terlebih yang muakkad dengan bersungguh-sungguh.
  1. Melanggengkan semua jenis zikir (sirri, jahr, nafi isbat, dzikit ismu dzat)
  2. Membiasakan tidak tidur kecuali meRasakan kantuk yang sangat, dengan niat agar tubuh semangat untuk berzikir.
  3. Tidak bersandar pada tembok, dinding, dan tidak tidur terlentang di atas alas
  1. Ketika keluar harus menundukkan kepala serta tidak memandang kecuali memang perlu.
  2. Ketika berbuka tidak memakan daging hewan, atau segala sesuatu yang bernyawa.

Lama waktu suluk bagi seorang salik terkadang berbeda-beda, bergantung dari tingkatannya. Jika dalam 40 hari seorang salik melaksanakan suluk dengan berkhalwat (menyepi) dan penuh ikhlas, maka akan muncul berbagai hikmah pada diri seorang salik, baik dari hati atau lisannya.

Hendaknya, awal manjing suluk itu dilakukan pada pertengahan bulan Sya’ban dan selesai suluk pada akhir hari Raya `Idul fitri, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 207).

Uzlah

‘Uzlah adalah menjauhkan diri dari pergaulan manusia dengan tujuan tidak menyakiti mereka.

Bagi salik seharusnya melakukan ‘uzlah pada permulaan karena ‘uzlah merupakan pertanda wushûl kepada Allah SWT Kemudian diakhiri dengan khalwat untuk menyatakan damainya bersama Allah Swt, (Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’, halaman: 217).

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاء رَبِّي شَقِيًّا (المريم: ٤٨)

Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah Swt, dan aku akan berdo`a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo`a kepada Tuhanku, (Qs. al-Maryam: 48).

وَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النَّاسِ مَنْ يُجَاهِدُ فِى سَبِيْلِ  اللهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، ثُمَّ رَجُلٌ يَعْبُدُ اللهَ فِى شُعْبٍ مِنَ الشُّعَابِ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ (جامع الأصول فى الأولياء، ص 217)

Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang yang berjihad di jalan Allah Swt dengan jiwa Raga dan hartanya, dan orang yang menyembah kepada Allah SWT di puncak gunung serta meninggalkan manusia karena takut berbuat jelek kepada mereka, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 217).

Pembagian `Uzlah

‘Uzlah dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

  1. `Uzlah awwam: memisahkan diri secara jasmani untuk menyelamatkan manusia dari perbuatan buruknya, bukan mencari keselamatan diri dari perbuatan buruk manusia.

Menyelamatkan manusia dari perbuatan buruknya” adalah ciri muttaqin karena ‘uzlah sebagai akibat dari menganggap dirinya lebih hina dari orang lain (tawadhu’). Sedangkan yang dimaksud dengan ungkapan “bukan mencari keselamatan diri dari perbuatan buruk manusia” adalah sifat syaithoniyah karena menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain (sombong).

  1. Uzlah khawwas: memisahkan diri dari sifat basyariyah (manusia) menuju sifat malakiyah (malaikat) meskipun dia bergumul dengan manusia. Oleh karena itu, ulama’ taSawuf berpendapat bahwa orang yang makrifat itu secara dzahir bersama manusia, akan tetapi secara batin berpisah dari mereka, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: Lihat juga kitab al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 101-102). (SI)

Sumber: Alif.ID

140. Khalwat Tarekat Naqsyabandiyah

Asal mula disyaratkan khalwat selain mengikuti jejak Nabi Musa As yang bermunajat di bukit Tursina hingga 40 malam, juga mengikuti jejak Rasulullah Saw pada waktu menyendiri di gua Hira’ hingga berjalan sampai beberapa malam.

وَرُوِيَ مُكْثُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى جَبَلِ حِرَاءٍ أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا قَبْلَ الْوَحْيِ

Diriwayatkan bahwa khalwatnya Rasulullah SAW. di gua Hira’ selama 40 hari sebelum menerima wahyu.

قَالَ سَيِّدُنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اِسْتَأْذَنْتُ مِنَ الْبَوَّابِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَأَذِنَ لِيْ وَدَخَلْتُ فِيْهَا وَأَنَّهُ لَعَلَى حَصِيْرٍ فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِى جَنْبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوِسَادَةً مِنْ اَدَمٍ حَشْوُهَا مِنْ لِيْفٍ وَعِنْدَ رَأْسِهِ أُهُبٌ مُعَلَّقَةٌ. فَبَكَيْتُ فَقَالَ  مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ: إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ قُلْتُ رَضِيْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَذَلِكَ تَعْلِيْمٌ لِأُمَّتِهِ

Adapun dalil asal khalwatnya Nabi SAW. setelah ditetapkan menjadi Rasul, Nabi SAW. menyendiri di tempat khususiyahnya berada di kamar menyendiri di suatu tempat yang tinggi. Nabi SAW. menyendiri dengan menggunakan sumpah ila’ selama satu bulan penuh Nabi SAW. tidak tidur bersama istri-istrinya.

Perkataan Umar bin al-Khattab RA. selama Nabi SAW. menyendiri: “Suatu ketika saya meminta izin kepada penjaga pintu sampai tiga kali dan saya diizinkan untuk menghadap Nabi SAW. Dan ketika saya masuk, saya melihat Nabi Saw hanya beralaskan tikar, dan bantal dari kulit berisikan bulu, di atas kepala beliau terdapat kulit yang digantung.

Kemudian aku menangis. Lalu Rasulullah SAW. bersabda: “Kenapa kamu menangis?” Umar menjawab: “Wahai Rasulullah SAW. Raja Kisra dan kaisar itu sesuai dengan derajatnya”.

Padahal Nabi Muhammad SAW.. adalah Rasulullah Saw yang sangat mulia, namun tidur hanya menggunakan alas tikar. Lalu Nabi SAW. berkata: “Apakah kamu tidak terima apabila Raja Kisra dan kaisar dan lain-lainnya itu mendapatkan kemuliaan di dunia saja akan tetapi orang-orang mukmin itu mendapat bagian di akhirat bahkan akhirat itu lebih bagus daripada dunia?

Umar bin al-Khattab berkata: “Ya, saya menerima”. Adapun keadaan Nabi Saw yang demikian adalah bentuk pelajaran bagi umatnya.

Allah SWT berfirman:

فَأْوُوْا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ ويُهَيِّئْ لَكُم مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقاً (الكهف: ١٦)

Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yanga berguna bagimu dalam urusan kamu, (al-Kahfi: 16).

Nabi Saw bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  الْحِكْمَةُ عَشْرَةُ أَجْزَاءٍ تِسْعَةٌ فِى الْعُزْلَةِ وَوَاحِدَةٌ فِى الصُّمْتِ

Hikmah itu ada sepuluh bagian, yang 9 berada ketika uzlah dan yang 1 berada ketika diam.

Syarat-syarat khalwat

Agar musyahadah bisa tercapai, seorang salik harus melaksanakan khalwatKhalwat adalah menyepi secara dhohiriyah dengan cara menyepi di tempat khusus yang sekiranya orang yang tidak sedang melaksanakan suluk tidak bisa masuk ke tempat tersebut. Nabi SAW. pun melakukan khalwat di Gua Hira’ sampai akhirnya turun perintah untuk berdakwah.

Masa minimal khalwat adalah 3 hari 3 malam, kemudian 7 hari 7 malam, dan selama satu bulan, dan yang paling sempurna adalah 40 hari. Hal ini sesuai dengan Hadis: “Barangsiapa yang (berkhalwat) secara ikhlas selama 40 hari, maka akan memancar sumber-sumber hikmah dari hatinya atas lisannya”, (HR. Ahmad dalam kitab az-Zuhdi, dan Ibn ‘Addî).

Ada 20 syarat dalam khalwat:

  1. Niat yang ikhlâs dengan membuang semua unsur riya’ dan pamer, baik dhahir maupun batin.
  2. Meminta izin kepada mursyid, dan memohon do’anya, dan hendaknya dia tidak berkhalwat tanpa seizin mursyidnya selama dia masih dalam lingkungan tarbiyah/pendidikan.
  3. Ber’uzlah terlebih dahulu, membiasakan diri terjaga pada malam hari, membiasakan lapar dan zikir, sehingga nafsunya jinak dengan semua itu sebelum berkhalwat.
  4. Masuk pada tempat khalwat dengan kaki kanannya seraya memohon perlindungan kepada Allah SWT dari setan dengan membaca basmalah, dan juga membaca Surat an-Nâs tiga kali. Kemudian dia melangkahkan kaki kirinya seRaya membaca do’a:

اللَّهُمَّ وَلِيِّيْ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ كُنْ لِيْ كَمَا كُنْتَ لِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَارْزُقْنِيْ مَحَبَّتَكَ اللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ حُبَّكَ وَاشْغِلْنِيْ بِجَمَالِكَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُخْلِصِيْنَ . اللَّهُمَّ امْحُ نَفْسِيْ بِجَذْبَاتِ ذَاتِكَ يَا مَنْ لاَ أَنِيْسَ لَهُ . رَبِّ لاَ تَذَرْنِيْ فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ

Kemudian dia berdiri di tempat shalatnya, lalu berdo’a sebagai berikut sebanyak 21 kali:

إِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Kemudian dia shalat dua rakaat pada rakaat pertama dia membaca Surat al-Fatihah dan ayat al-Kursi, dan pada rakaat kedua dia membaca Surat al-Fatihah dan ayat:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ . لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (البقرة: 285-286)

Dan setelah salam membaca Yaa Fattâh (يَا فَتَّاحُ) sebanyak 500 kali, kemudian memulai zikirnya.

  1. Melanggengkan wudhu’
  2. Tidak menggantungkan niatnya untuk mendapatkan kaRamah (kemuliaan)
  3. Tidak menyandarkan punggung ke dinding
  4. Membayangkan wajah mursyid di hadapannya
  5. Berpuasa
  6. Tidak berbicara kecuali untuk berzikir kepada Allah Swt, atau perkataan yang mendesak menurut syari’at, agar khalwatnya tidak sia-sia dan cahaya hatinya tidak sirna
  7. Selalu waspada terhadap empat musuhnya, yaitu setan, dunia, hawa dan nafsu, dengan menyampaikan segala sesuatu yang pernah dilihat dan diketahui kepada mursyidnya
  8. Jauh dari keramaian
  9. Menjaga shalat Jum’at dan sholat jama’ah, karena inti dari khalwat adalah mengikuti sunnah Nabi Saw
  10. Jika dia keluar karena hal yang mendesak, maka harus menutup kepala sampai lehernya sambil menunduk
  11. Tidak tidur kecuali tertidur serta dalam keadaan suci, dan tidak tidur untuk melepas lelah, dan jika mampu hendaknya dia tidak tidur terlentang, tapi dengan duduk.
  12. Menjaga perutnya dengan tidak terlalu lapar dan tidak terlalu kenyang
  13. Tidak membuka pintu tempat khalwat bagi siapapun, kecuali bagi mursyidnya
  14. Meyakini bahwa segala kenikmatan yang didapat adalah semata-mata karena mursyidnya, dan beliau dari Rasulullah Saw
  15. Menghilangkan segala keinginan hati yang baik ataupun buruk, karena keinginan itu akan memisahkan hatinya dari segala yang diperoleh dengan zikir.
  16. Selalu berzikir sesuai dengan cara yang diperintahkan oleh mursyid, sampai sang mursyid menyuruhnya untuk keluar dari tempat khalwat, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 493-495).

Dalil Menghadap Qiblat ketika Berkhalwat

قَالَ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الْمَجَالِسِ مَا اِسْتَقْبَلَ بِهِ الْقِبْلَةَ (المتممات، ص 108)

Nabi bersabda: “Sebaik-baiknya majelis adalah majelis yang menghadap kiblat”, (Mutammimât, halaman: 108).

Sumber: Alif.ID

141. Dalil Menyedikitkan Bicara, Makan, dan Tidur

Tarekat apa pun, termasuk Naqsyabandiyah, mensyaratkan untuk menyedikitkan bicara, makan, dan tidur. Berikut ini dalil menyedikitkan bicara.

  • Al-Qur’an

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ (القصص: ٥٥)

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, (al-Qashash: 55).

  • Hadis Qudsi

يَا ابْنَ آدَمَ إِذَا وَجَدْتَ قَسَاوَةً فِى قَلْبِكَ وَسَقَمًا فِى بَدَنِكَ وَحِرْمَانًا فِى رِزْقِكَ فَاعْلَمْ أَنَّكَ تَكَلَّمْتَ فِيْمَا لَا يَعْنِيْكَ يَا ابْنَ آدَمَ لَا يَسْتَقِيْمُ لَكَ دِيْنُكَ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ لِسَانُكَ وَلَا يَسْتَقِيْمُ لِسَانُكَ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُكَ وَلَا يَسْتَقِيْمُ قَلْبُكَ حَتَّى يَسْتَحْيِى مِنِّى

Wahai anak Adam ketika hatimu keras, badanmu sakit, rizkimu terhalang, maka ketahuilah bahwa kamu berbicara yang tidak ada manfaatnya. Wahai anak Adam, tidak akan lurus agamamu hingga benar (jujur) ucapanmu dan hatimu pun lurus. Dan tidak akan lurus hatimu, hingga kamu malu kepada-Ku.

Dalil Menyedikitkan Makan

  • Al-Qur’an

وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ (الأعراف: ٣١)

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, (Qs. al-A’raf: 31)

  • Hadis Nabi

جَاهِدُوْا اَنْفُسَكُمْ بِالْجُوْعِ وَالْعَطْشِ فَإِنَّ الْأَجْرَ فِى ذَلِكَ كَأَجْرِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ. وَإِنَّ لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنَ الْجُوْعِ وَالْعَطْشِ

Perangilah hawa nafsumu dengan lapar dan dahaga, karena sungguh pahalanya seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah SWT Dan sesungguhnya tiada amal yang lebih dicintai Allah SWT kecuali lapar dan dahaga.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا شَبِعَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَهْلُهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ تِبَاعًا مِنْ خُبْزِ الْحِنْطَةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW dan keluarganya tidak pernah kenyang dari roti gandum selama tiga hari berturut-turut sampai beliau wafat.

Dalil Menyedikitkan Tidur

  • Al-Qur’an

وَالَّذِيْنَ يَبِيْتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (الفرقان: 64)

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka, (Qs. al-Furqân: 64)

وَمِنَ اللَّيلِ فَاسْجُدْلَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيْلًا (الإنسان: 26)

Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari, (Qs. al-Insân: 26)

  • Hadis Qudsi

عَبْدِيْ تَجِدُنِى فِى سَوَادِ اللَّيْلِ قَرِيْبًا مِنْكَ فَاطْلُبْنِىْ تَجِدُنِىْ. يَا ابْنَ آدَمَ كَيْفَ تَطْمَعُ فِى اِنْجِلَاءِ الْقَلْبِ مَعَ كَثْرَةِ النَّوْمِ فَأَخِّرْ نَوْمَكَ إِلَى الْقَبْرِ وَاطْلُبْ نُوْرَ قَلْبِكَ فِى قِلَّةِ النَّوْمِ وَسَهَرِ اللَّيْلِ.

Wahai hamba-Ku, carilah Aku dalam kegelapan malam, maka engkau menemukan-Ku dekat denganmu. Carilah Aku, maka akan kau dapati Aku. Wahai anak Adam, bagaimana engkau bisa mengharapkan hati yang terang dengan banyaknya tidur. Akhirkanlah tidurmu sampai datang ajalmu. Carilah cahaya hatimu dalam sedikit tidur dan terjaga pada malam hari.

  • Hadis Nabi

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنَ الرَّبِّ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ

Waktu yang lebih dekat antara seorang hamba dengan tuhannya adalah pada saat tengah malam.

Melanggengkan Wudu (Dawaam al-Wudhu’)

Di antara adab shufiyah adalah melanggengkan wudhu’. Adapun wudhu’ merupakan pedang orang mukmin, dan ketika seseorang mempunyai wudlu’ bisa mempersempit jalan syetan untuk menggodanya, (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 324).

Anas bin Malik RA berkata: “Nabi SAW datang ke Madinah dan ketika itu aku sedang berusia 8 tahun. Nabi SAW lalu bersabda kepadaku: ’Wahai anakku, jika Engkau mampu selalu dalam keadaan suci maka lakukanlah, karena sesungguhnya orang yang mati dalam keadaan mempunyai wudu maka matinya mati syahid”, (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 324).

وَقَالَ أَنَسُ بْنُ ماَلِكٍ: قَدِمَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْمَدِيْنَةَ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ ابْنُ ثَمَانِ سِنِيْنَ، فَقَالَ لِيْ: يَا بُنَىَّ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَاتَزَالَ عَلَى الطَّهَارَةِ فَافْعَلْ، فَإِنَّهُ مَنْ أَتَاهُ الْمَوْتُ وَهُوَ عَلَى الْوُضُوْءِ أُعْطِىَ الشَّهَادَةَ (عوارف المعارف، ص 324)

Meninggalkan Makanan yang Bernyawa (Tarkur Rûh)

Orang yang masuk suluk dilarang untuk memakan makanan yang berasal dari yang memiliki nyawa. Ini disebabkan karena makanan tersebut bisa membuat hati menjadi keras, membuat nafsu sabuiyah (hewan liar) semakin besar.

Sebaiknya untuk tidak selalu makan daging, Sayyidina Ali Krw. berkata: “Barangsiapa meniggalkan makan daging selama 40 hari maka jelek kejadiannya, dan barang siapa yang rutin memakan daging selama 40 hari, maka keras hatinya. Karena sesungguhnya melanggengkan makan daging menjadikan bahaya seperti bahayanya khamr, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 86).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا بَنِى تَمِيْمٍ لَا تُدِيْمُوْا أَكْلَ اللَّحْمِ فَاِنَّ لَهُ ضَرَاوَةً كَضَرَاوَةِ الْخَمْرِ (بستان العارفين هامش تنبيه الغافلين، ص 64)

Dari Aisyah RA. berkata: “Wahai bani Tamim, janganlah kalian terus menerus makan daging karena sesungguhnya daging mengandung bahaya seperti bahayanya khamr”, (Hamisy Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 64).

Macam-macam Khawathir (Getaran Hati)

Ada empat macam khatir (bisikan) yang masuk ke dalam hati, yaitu:

  1. Khatir Rabbani adalah khatir dari Allah, sifatnya kuat karena dia datang dari Allah Yang Maha Memaksa (al-Qahhar).
  2. Khatir Malaki adalah khatir yang diiringi dengan rasa nikmat disertai hembusan dingin. Orang yang dalam hatinya terdapat khatir ini tidak akan meRasakan sakit, dan tidak pula berubah. Khatir ini bagaikan penasihat baginya yang menunjukkan pada kebaikan.
  3. Khatir Nafsi adalah khatir yang diiringi dengan rasa sakit di hati, dada terasa sesak dan permintaannya bersifat memaksa. Ini disebabkan karena nafsu itu bagaikan anak kecil yang meminta dengan memaksa dan permintaannya tidak bisa diganti dengan yang lain.
  4. Khatir Syaithani, adalah khatir yang diiringi dengan rasa sakit. Jika kita memalingkannya pada yang lain, maka dia pun akan berpindah. Akan tetapi, sebagaimana watak setan, khatir ini berpaling hanya untuk melakukan tipu daya dan menjerumuskan ke jalan kesesatan dengan cara apa pun, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 550). (SI)

Sumber: Alif.ID

142. Kewajiban dan Syarat-syarat Mursyid

Ketika Anda ditanya tentang apa kewajiban mursyid atas hak-hak murid, dan tentang apa kewajiban murid atas hak mursyid, maka jawabnya adalah: ada tiga hal yang wajib bagi mursyid atas hak murid.

Tiga hal itu meliputi: memberi bimbingan suluk pada permulaannya, mengantarkan (menuju wushûl) pada akhirnya, dan melindungi dalam pemeliharaannya.

Adapun kewajiban murid atas hak mursyid ada tiga hal; mematuhi perintahnya, menjaga Rahasianya, dan menghormati kedudukannya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 163).

Sifat-sifat Guru Mursyid

Dalam kitab Mutammimat, halaman 74, Nabi SAW. mengajarkan kalimat thayyibah kepada para sahabat agar hati mereka jernih dan bersih jiwanya, dan selanjutnya bisa sampai kepada Allah SWT dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.

Akan tetapi,  orang yang berzikir itu tidak serta merta bisa menghasilkan hati yang jernih dan jiwa yang bersih, serta inti dari zikir, kecuali berguru kepada seseorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan sempurna serta memahami makna Al-Qur’an dan kitab-kitab agama.

Guru alim itu juga  memahami ilmu Hadis dan sunnah, juga mengerti tentang akidah dan ilmu wushûl. Serta silsilahnya sampai kepada Nabi SAW. Orang yang memiliki sifat seperti inilah yang harus dijadikan guru, karena mencari guru itu harus teliti dan serius.

Syarat-syarat Mursyid

Bagi seorang mursyid disyaratkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Memahami apa yang dibutuhkan oleh para salik, seperti ilmu fiqih dan akidah, yang sekiranya dapat memalingkan salik ketika mengawali suluknya sehingga salik tidak bertanya kepada selain mursyid.
  2. Mengetahui terhadap kesempurnaan-kesempurnaan hati, tata krama hati, kerusakan jiwa dan penyakit-penyakitnya, serta cara memelihara hati yang telah sehat dan stabil.
  3. Lemah lembut, penyayang terhadap muslim, khususnya pada para murid salikin. Ketika sang mursyid melihat para muridnya tidak mampu untuk melawan hawa nafsu dan meninggalkan kebiasaannya, maka hendaknya sang mursyid memberi toleransi kepada mereka setelah memberi nasihat, tidak memutus mereka dari bimbingannya, dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai penyebab celaka mereka di hari kemudian, serta selalu menemani mereka sampai mereka memperoleh hidayah.
  1. Menutupi aib-aib para murid yang diketahui oleh mursyid
  2. Menjaga diri dari harta Salik, dan tidak tamak pada apa yang dimiliki oleh mereka
  3. Melakukan apa yang diperintahkan oleh mursyid, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (uswah), sehingga ucapannya memiliki pengaruh pada hati para muridnya.
  1. Tidak duduk (bercakap-cakap) bersama-sama para muridnya, kecuali sesuai kadar kebutuhan, dan menyampaikan masalah tarekat dan syari’at seperti menelaah kitab ini (Tanwîr al-Qulûb), agar jiwa mereka bersih dari bisikan-bisikan yang kotor, dan mereka dapat beribadah dengan sempurna.
  2. Ucapannya harus murni dan bersih dari kejelekan hawa nafsu, gurauan, dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.
  3. Tolerir terhadap hak dirinya, yakni tidak mengharap untuk dihormati dan dimuliakan. Tidak pula memaksakan haknya yang tidak mampu dilaksanakan para muridnya, tidak menetapkan amal yang membuat mereka bosan, tidak terlalu menampakkan kebahagiaan dan kesedihan, dan tidak pula menyulitkan mereka.
  4. Jika sang mursyid menyaksikan dari salah seorang muridnya bahwa dengan sering duduk bersama murid, keagungan mursyid menjadi hilang dalam hati murid, maka sang mursyid memerintahkannya untuk berkhalwat menyendiri di tempat yang tidak terlalu jauh dari sang mursyid.
  1. Jika mursyid mengetahui bahwa harga dirinya dalam hati salah seorang muridnya runtuh, maka hendaknya sang mursyid memalingkan muridnya dengan lemah lembut.
  2. Tidak lengah untuk selalu membimbing muridnya menuju ahwal-nya yang baik.
  3. Jika salah seorang muridnya ada yang bermimpi sesuatu, atau mengalami mukasyafah atau musyahadah, maka hendaknya sang mursyid tidak membicarakannya dengan murid tersebut, namun memberinya amalan yang bisa melindungi dirinya dari keburukan mimpi tersebut, dan bisa mengangkat derajatnya menjadi lebih luhur dan mulia. Karena jika mursyid membicarakan dan menjelaskan hal tersebut kepada muridnya, maka sang mursyid telah melanggar hak murid, sehingga menjadikan murid melihat dirinya memiliki derajat yang luhur, dan bisa menjatuhkan deRajat diri murid sendiri.
  1. Melarang muridnya untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak termasuk kawan suluknya, kecuali sangat penting. Juga melaRang muridnya untuk tidak membicarakan dengan sesama kawan suluknya tentang kemuliaan-kemuliaan yang mereka peroleh. Karena jika mursyid membiarkan hal tersebut, maka sang mursyid telah melanggar hak murid sehingga menjadikan mereka takabbur.
  2. Membuat tempat khalwat untuk digunakan salik menyendiri di dalamnya, yang sekiranya tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya kecuali orang-orang tertentu. Sedangkan tempat khalwat lain untuk dijadikan tempat berkumpulnya murid dengan para murid suluk lainnya.
  3. Tidak memperlihatkan aktifitas-aktifitas dan rahasia-rahasia sang mursyid kepada muridnya, tidak pula tidur, makan, dan minum di depan muridnya. Karena dengan hal itu, bisa jadi kemuliaan sang mursyid menjadi berkurang di mata murid yang masih lemah dalam memahami orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan. Hendaknya, mursyid menahan muridnya yang bertindak memata-matai, dengan tujuan agar murid memperoleh kebaikan.
  4. Tidak memperkenankan murid untuk banyak makan sehingga meng-hancurkan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh sang mursyid bagi muridnya, karena kebanyakan manusia menuruti keinginan perutnya.
  5. Melarang teman-teman mursyid untuk duduk bersama dengan mursyid yang lain, karena hal ini sangat membahayakan bagi murid. Namun, jika mursyid berkeyakinan bahwa muridnya memiliki keteguhan cinta kepada dirinya dan tidak khawatir hati muridnya goncang, maka hal ini tidak apa-apa.
  6. Menjaga diri untuk tidak mondar-mandir mendatangi para pemimpin dan pejabat, agar para muridnya tidak menirunya, sehingga sang mursyid menanggung dosa dirinya dan dosa murid-muridnya, karena ini termasuk dalam Hadis:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا . رواه مسلم والترمذيBaca juga:  Sabilus Salikin (144): Fana’ dan Baqa’

“Barangsiapa melakukan tradisi yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya”.

Pada umumnya, orang yang dekat dengan para pemimpin dan pejabat, sulit baginya untuk mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat yang dilihatnya. Jika sudah demikian, dengan sering berkecimpungnya mursyid dengan mereka, seakan-akan dia menyetujui terhadap kemunkaran (yang mereka lakukan).

  1. Ucapannya kepada murid-muridnya harus lemah lembut, menjaga diri dari perkataan kotor dan perkataan yang mencela mereka, agar hati mereka tidak lari darinya.
  2. Ketika salah seorang murid memanggilnya, lalu sang mursyid menjawabnya, maka sebaiknya jawaban sang mursyid itu tetap menjaga kehormatan dan kewibawaannya.
  3. Jika sang mursyid duduk di antara murid-muridnya, maka hendaknya dia duduk dengan tenang penuh wibawa, tidak banyak menoleh pada mereka, tidak tidur di depan mereka, tidak menjulurkan kaki, menundukkan pandangan, melirihkan suara, dan tidak merendahkan etikanya pada mereka. Pada hakikatnya para murid itu meyakini terhadap semua sifat yang terpuji, dan mengambilnya (sebagai contoh).
  4. Jika seorang murid mendatanginya, maka mursyid tidak berwajah muram. Ketika hendak mengakhiri (perbincangannya dengan murid), hendaknya sang mursyid mendoakannya tanpa permintaan dari murid. Ketika mursyid mendatangi salah seorang muridnya, maka mursyid harus dalam keadaan dan kondisi yang paling sempurna.
  5. Ketika salah seorang muridnya tidak ada, maka mursyid mencarinya dan mencari tahu apa penyebabnya. Jika murid itu sakit, mursyid menjenguknya. Jika murid itu sedang membutuhkan bantuan, maka sang mursyid menolongnya. Jika murid itu memiliki masalah, maka mursyid mendoakannya.

Secara global, satu kalimat yang menyimpulkan seluruh etika mursyid di atas adalah mursyid harus mengikuti prilaku Rasulullah SAW yang ada pada diri sahabat-sahabat beliau SAW dengan sekuat tenaga, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 525).

Sumber: Alif.ID

143. Tata Krama Murid dan Cara Berteman Salik

Tata krama murid meliputi tata krama murid terhadap mursyid, terhadap dirinya sendiri, dan terhadap sesama muslim. Tata krama murid terhadap mursyid dirangkum menjadi 14 poin di bawah ini.

  1. Memuliakan gurunya lahir bathin
  2. Yakin bahwa tujuan murid tidak tercapai jika tidak melalui wasilah guru
  3. Pasrah, taat, dan rela (rida) atas perintah guru, dengan mengerahkan kemampuannya baik harta maupun raga.
  1. Tidak menentang apa yang dilakukan guru, meskipun secara dzahir tampak haram, namun hendaknya harus di-ta’wil.
  2. Memilih apa yang telah dipilihkan oleh sang guru, baik segi ibadah atau kebiasaan juz-iyyah atau kulliyah
  1. Tidak membuka aib atau cacat guru, meskipun itu sudah tampak di antara masyarakat.
  2. Tidak menikahi wanita yang sudah pernah dicintai guru, meskipun sudah tidak menjadi istrinya baik karena thalaq maupun thalaq mati.
  1. Tidak meyakini terhadap kekurangan maqâm guru
  2. Meninggalkan apa yang dibenci guru, dan melakukan hal yang disukainya
  1. Cepat melaksanakan perintah guru tanpa menunda-nunda, tidak berhenti sebelum terlaksana perintahnya.
  2. Murid tidak berkumpul dengan guru kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
  3. Tidak boleh menyembunyikan ahwal, getaran hati, masalah yang terjadi, terbukanya hati terhadap alam-alam gaib, karamah di hadapan guru.
  1. Tidak boleh mengambil perkataan guru di hadapan manusia kecuali menurut kadar pemahaman dan akal mereka.
  2. Menjaga rabitah guru dalam keadaan ada dan tiadanya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 528-531).

Tata Krama Murid terhadap Dirinya Sendiri

  1. Merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasinya dalam berbagai perbuatannya, agar hatinya bisa tersibukkan dengan lafal Allah, meskipun dalam keadaan sedang bekerja
  2. Bergaul dengan orang-orang yang shalih dan beretika baik, dan menjauhi orang-orang yang beretika buruk
  1. Meninggalkan cinta terhadap kedudukan dan kepemimpinan karena hal tersebut menjadi penghambat terhadap tarekat
  2. Tidak berlebih-lebihan dalam urusan sandang maupun pangan
  1. Tidak tamak atas rizki yang ada pada orang lain
  2. Tidak tidur dalam keadaan junub
  3. Melanggengkan wudhu’ (selalu dalam keadaan suci)
  1. Meninggalkan tidur, terutama pada waktu sahur
  2. Meninggalkan perdebatan tentang ilmu, karena itu menyebabkan bodoh, dan lupa kepada Allah SWT
  1. Bergaul dengan teman-temannya ketika sedang gundah hatinya, dan berbicara tentang etika salik
  2. Tidak tertawa berlebihan
  1. Tidak berghibah, atau membicarakan aib orang lain, dan tidak menyebarkan adu domba
  2. Tawadhu’ terhadap orang lain, dan tidak mencintai jabatan
  3. Takut pada siksaan Allah Swt, dan selalu beristighfâr, serta tidak menganggap zikir dan amal perbuatan telah baik.
  4. Ketika berziarah kubur para wali hendaknya mengucapkan salam kepada ahli kubur dan menjaga tata krama orang berzirah, seperti menemui orang yang masih hidup, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 531-534).

Tata Krama Murid terhadap Teman dan Orang-orang Muslim

  1. Mengucapkan salam ketika bertemu dengan teman, dan berbicara yang baik
  2. Tawadhu’ terhadap teman-temannya, dan menganggap dirinya lebih rendah dari mereka
  1. Saling menolong dengan teman-temannya dalam perbuatan baik, ketaqwaan, dan cinta kepada Allah SWT
  2. Husnudzân terhadap teman-temannya
  1. Menerima keluhan temannya
  2. Mendamaikan teman-temannya ketika sedang bertikai atau berbeda pendapat
  1. Menjenguk temannya ketika sakit, dan melayat ketika ada keluarga temannya yang meninggal dunia
  2. Memenuhi janji
  1. Senang terhadap sesuatu yang disenangi orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
  2. Menerima alasan temannya, walaupun alasan itu bohong, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 535-539).

Cara Berteman bagi Salik

Dalam tarekat dan perjalanan suluk, lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap proses suluk seorang salik, termasuk kawan yang menjadi teman pergaulan seorang salik.

Agar tujuan wushul bisa tercapai, seorang salik hendaknya memilih kawan atau teman yang memiliki karakter positif. Layaknya penjual minyak wangi, orang di sekitarnya pun turut merasakan aroma wangi dari minyak wangi yang dibawanya. Kawan yang baik adalah kawan yang bisa membantu dan memberikan motivasi positif demi perbaikan pribadi, baik keilmuan maupun lainnya.

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَثَلُ اْلأَخَوَيْنِ مِثْلُ الْيَدَيْنِ تَغْسِلُ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى) أَخْرَجَهُ أَبُوْ نَعِيْمٍ فِى الْحِلْيَةِ . وَقَالَ: (الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كِالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا) رواه الشيخان وغيرهما.

Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan dua orang kawan adalah bagaikan dua tangan, salahsatunya membasuh yang lain”. HR. Abu Na’îm dalam kitab al-Hilyah. Beliau SAW juga bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain bagaikan sebuah bangunan, sebagian yang satu menguatkan sebagian yang lain” HR. Bukhâri Muslim dan imam lainnya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 535).

Pembagian Waktu Salik

Abû al-‘Abbâs al-Mursî RA berkata: “Waktu seorang hamba itu terbagi menjadi empat, tidak ada yang kelima dari waktu-waktu itu. Empat waktu itu adalah nikmat, cobaan, taat dan maksiat. Kewajibanmu dalam tiap waktu itu adalah adanya bagian ubudiyah yang dituntut oleh Allah al-Haqq.

Barang siapa ketika itu waktunya adalah taat, maka jalannya adalah menyaksikan bahwa segala anugrah itu dari Allah Swt, Dia memberi petunjuk padanya dan memberinya pertolongan untuk bisa menjalankan ketaatan itu. Barang siapa ketika itu waktunya adalah maksiat, maka tuntutan Allah SWT atas seorang hamba adalah adanya permohonan ampun dan sesal. Barangsiapa ketika itu waktunya adalah nikmat, maka jalannya adalah syukur. Syukur adalah gembiranya hati terhadap Allah SWT BaRang siapa ketika itu waktunya adalah cobaan, maka jalannya adalah ridha terhadap qadha’, dan sabar, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 37).

Oleh karena itu, hendaknya seorang salik memanfaatkan waktu yang ada dengan maksimal, yaitu mengisinya dengan aktifitas yang dapat mendekatkan dirinya pada Allah ‘azza wa jalla.

Pemanfaatan Waktu

Para ahli ilmu hakikat berkata: “Seorang shufi adalah anak waktunya”. Maksudnya bahwa seorang salik sibuk dengan apa yang lebih utama pada saat itu, melaksanakan apa yang menjadi tuntutan pada saat itu. Dikatakan juga bahwa seorang fakir (shufi) itu tidak digelisahkan dengan waktunya yang telah lalu dan tidak pula waktunya yang akan datang, tapi dia digelisahkan dengan waktunya saat itu, (al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 55).

Dengan pertolongan Allah Swt, bagilah waktumu, gunakanlah semuanya terhadap sesuatu yang pantas dengan bersungguh-sungguh untuk beribadah kepada Allah SWT Maksudnya, bagilah waktumu dengan macam-macam ibadah, jangan jadikan waktumu menganggur tanpa ada ibadah. Janganlah engkau menganggap enteng waktumu, agar engkau tidak seperti hewan-hewan ternak yang tak tahu apa yang mereka sibukkan, sehingga sia-sialah banyak waktumu terbuang percuma. Jika demikian, maka engkau benar-benar rugi, (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 43).

Wushûl

Sampainya dirimu kepada Allah SWT adalah sampainya dirimu pada pengetahuan tentang diri-Nya. Karena jika tidak demikian, maka alangkah Maha Agung Allah Swt, apabila sesuatu bisa berhubungan dengan Allah Swt, atau Allah SWT berhubungan dengan sesuatu, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 39).

Ilmu Mukasyafah

Disebutkan dalam kitab Tatarkhaniyah: ilmu mukasyafah tidak bisa diperoleh dengan cara belajar dan mengajar tetapi ilmu mukasyafah bisa berhasil dengan jalan mujahadah yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai pendahuluan terhadap hidayah. Sebagaimana firman Allah SWT Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 142).

Sumber: Alif.ID

144. Fana’ dan Baqa’

Hakikat fana’ adalah hilangnya sifat-sifat yang hina, dan baqa’ adalah wujudnya sifat-sifat yang terpuji. Ketika seorang hamba (salik) mengganti sifat-sifatnya yang hina, maka tercapailah baginya fana’ dan baqa’.

Fana’ ada 2 macam; pertama, sebagaimana yang telah kami sebutkan, yaitu dengan banyak riyadhah. Kedua, tidak adanya pengindraan terhadap alam malakut, yaitu dengan menenggelamkan diri dalam keagungan Allah Sang Pencipta, dan musyahadah (melihat) kepada Allah Yang haq, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172, dan al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 67).

Macam-macam Fana’ dan Baqa’

Dalam ilmu tasawuf ada istilah fana’ yaitu hancur leburnya diri manusia dari sifat tercela. Fana’ ada dua macam yang pertama adalah dengan banyak melatih diri, dan yang kedua menenggelamkan diri dalam keagungan dzat Allah SWT

“Fana’ ada dua bagian: (pertama) sebagaimana telah dijelaskan yaitu dengan memperbanyak melatih diri, (kedua) tidak adanya pengindraan di dalam alam malaikat, yaitu menenggelamkan diri dalam keagungan dzat yang menciptakan makhluk dan mampu melihat Allah SWT dengan nyata, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172).

Perbedaan Hal dan Maqâm

Ahwal (hal) adalah pemberian (anugrah), dan maqâmat (maqâm) adalah usaha. Ahwal datang dari sifat kemurahan Allah SWT dan maqâm bisa diraih dengan mengerahkan segala kemampuan. Adapun orang yang mempunyai maqâm itu menempati pada posisinya, sedangkan orang yang mempunyai hal itu meningkat ahwal-nya, (al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 57).

Cara Mengatasi Hijab dan Cara Mujahadah

Seorang salik tidak bisa mencapai wushul karena adanya hijab yang menghalanginya. Hijab secara bahasa berarti tabir atau penghalang. Hijab ada 2 macam; hijab Nuraniyah dan hijab DzulmaniyahHijab Nuraniyah adalah hijab cahaya, sedangkan hijab Dzulmaniyah adalah hijab kegelapan.

Agar seorang salik hatinya terbebas dari hijab-hijab tersebut, dia harus bermujahadah memersangi dan melawan hawa nafsunya, dan membebaskan dirinya dari segala kesenangan nafsunya. Hal ini disebabkan karena nafsu adalah musuh terbesar bagi diri salik yang menjadi hijab dirinya dari Allah SWT

Mujahadah pun beragam caranya yang masing-masing mujahadah tersebut tidak seluruhnya cocok/sesuai bagi seorang salik. Semua itu bergantung pada kadar kekuatan dan kelemahan diri salik, serta pemahamannya terhadap sesuatu yang lebih membeRatkan dengan melihat pada keadaan dan waktu pelaksanaan mujahadah.

Sebagai contoh, mujahadah puasa dan shalat akan terasa lebih berat bagi orang-orang kaya dan penguasa, daripada mujahadah dengan shadaqah dan memerdekakan hamba sahaya. Sebaliknya, mujahadah dengan shadaqah itu lebih berat bagi orang fakir, dan mujahadah dengan memerdekakan hamba sahaya itu lebih beRat bagi orang yang rakus harta.

Mujahadah dengan meninggalkan perdebatan, meninggalkan menampakkan kewibawaan, meninggalkan sifat pamer di majelis, dan meninggalkan untuk menjadi pimpinan, itu lebih berat bagi orang-orang yang berilmu daripada mujahadah dengan puasa dan sholat.Baca juga:  Mencintai Syair Cinta Rumi

Demikian halnya dengan mujahadah puasa pada musim kemarau, akan terasa lebih berat daripada puasa pada musim penghujan. Dan sebaliknya, mujahadah dengan sholat malam pada musim kemarau, terasa lebih ringan daripada sholat malam pada musim penghujan.

Penentuan jenis mujahadah ini bukan ditentukan oleh diri salik sendiri, akan tetapi bergantung pada bimbingan dari mursyid. Karena menentukan mujahadah ini adalah hal yang sangat mengkhawatirkan dan membahayakan (jika ditentukan oleh murid sendiri).

Esensi (inti, pokok) dari mujahadah adalah menyapih nafsu dari hal-hal yang disukai dan memperdayakan nafsu untuk tidak mengikuti kesenangannya dalam setiap saat. Orang-orang arif berkata: “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan, namun kami mengambilnya dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kesenangan, menjalankan perintah, dan menjauhi larangan”.

Sebagian masyayikh tarekat Naqsyabandiyah berkata: “Barangsiapa masuk ke madzhab (tarekat) kami, maka dia harus menjadikan empat jenis mati dalam dirinya; yaitu mati merah, mati hitam, mati putih, dan mati hijau. Mati merah adalah melawan nafsu. Mati hitam adalah kuat dan sabar atas perlakuan buruk orang lain kepada dirinya. Mati putih adalah lapar. Dan mati hijau adalah meletakkan satu tambalan di atas tambalan yang lain”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 467).

Zikir Khafi, Muraqabah, dan Rabitah

Ahli tarekat berkata bahwa jalan yang menuju kepada Allah SWT ada tiga:

  1. Zikir khafi, yaitu zikir sirri di dalam lathaif yang dihadapkan kepada Allah SWT dengan meniadakan semua getaran hati (tidak mengingat perkara yang sudah terjadi dan akan terjadi), dan tidak mengingat selain Allah Swt

Baca juga:  Sabilus Salikin (84): Tata Cara Halaqah Zikir Rifa’iyah (3)

  1. Muroqobah, yaitu mengawasi hati terhadap Allah Swt, seperti mengawasinya kucing terhadap tikus, serta mengharap limpahan anugerah Allah SWT
  2. Melanggengkan hadir dan rabitah dan khidmah kepada guru yang memberikan pengaruh secara utuh dan tata caranya.

Syarat tiga ini tidak mudah dilakukan oleh seorang salik (orang yang menjalani tarekat yang haqq) kecuali menggunakan ilmu, amal dan riyadhah.

Sebagian dari syarat orang yang suluk mampu menjalani tiga perkara itu harus sabar dan ridha terhadap ketetapan Allah SWT dan lain-lainnya. Ketika sudah selesai dari zikir lathaif tujuh, dengan izin maka pindahlah guru kepada muraqabah dua puluh yang akan disebutkan.

Sumber: Alif.ID

145. Muraqabah (1)

Jumlah muraqabah ada dua puluh.

  1. مُرَاقَبَةٌ اَحَدِيَّةٌ yaitu memperhatikan dengan seksama terhadap dzat, sifat dan af’al Allah SWT Dan tidak ada yang menyerupai Allah Swt, tidak ada yang hakiki kecuali wujudnya, semua makhluk adalah pancaran wujud Allah SWT serta mengetahui sifat kesempurnaan Allah SWT tidak mungkin terdapat kekur Wajib mengetahui sifat wajib Allah SWT yang ada dua puluh dan muhal-Nya.

(وَالْفَيْضُ مِنَ الْجِهَّاتِ السِّتِّ يَرْجُوْهُ), artinya berharaplah terhadap limpahan anugeRah Allah Swt dari enam arah (atas, bawah, depan, belakang, kiri, kanan). Dalil yang menunjukkan sifat jaiznya Allah Swt adalah “قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ”, artinya Allah Swt adalah dzat yang satu.

  1. مُرَاقَبَةٌ مَعِيَّةٌ yaitu menancapkan kesadaran dengan seksama bahwa selalu melihat Allah SWT yang senantiasa menyertai hamba-Nya. Namun secara maknawi tidak bisa diketahui bagaimana Allah SWT bersama kita. (وَالْفَيْضُ مِنَ الْجِهَّاتِ السِّتِّ) dalilnya adalah “وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَمَا كُنْتُمْ”. Artinya Allah SWT bersama kita di manapun kita berada (secara maknawi)

مَعِيَّةٌ فِى عِلْمِهِ وَقَدَرِهِ وَقُدْرَتِهِ فِى عِلْمِهِ الْقَدِيْمِ عَلَى الْعِبَادِ الْجَارِى فِى الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ

Muraqabah ma’iyah adalah kesertaan Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya, melalui ilmu-Nya, ketentuan-Nya, dan kekuasan-Nya, yang kesertaan itu berada pada ilmu-Nya yang azali, yang selalu lestari baik di dunia maupun di akhirat.

  1. مُرَاقَبَةٌ أَقْرَبِيَّةٌ artinya memperhatikan secara seksama bahwasanya Allah SWT itu lebih dekat kepada kita dari pada otot yang berada di leher kita, dan lebih dekat daripada pendengaran telinga kita, dan lebih dekat daripada penglihatan mata kita, lebih dekat daripada penciuman hidung kita, dan lebih dekat daripada perasa lidah kita, dan lebih dekat dari fikiran hati kita.

Artinya Allah SWT itu lebih dekat pada kita daripada semua anggota badan kita. Dengan kedekatan secara bathin. Dan hati kita selalu mengingat atas pengaruh yang sudah dijadikan Allah SWT Seperti manusia dan semua hewan yang melata di atas bumi, dan yang terbang di udaRa, dan yang berenang di dalam lautan dan lain-lainnya.

Bertafakkur terhadap alam yang ada di atas rembulan, matahari, bintang, mega dan lain-lain. Dan bertafakkur lagi terhadap alam yang bawah lautan, pegunungan, pohon-pohon, daun-daun, dan tumbuhan yang bermacam-macam dan lain-lain.

Dalilnya:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

Aku (Allah) SWT lebih dekat kepada hambaku daripada otot lehernya.

وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ مَعَ شِرْكَةِ اللَّطَائِفِ الْخَمْسِ الْمُسَمَّاتِ بِعَالِمِ الْلأَمْرِ

Artinya berharaplah engkau terhadap anugerah Allah SWT yang diturunkan kepada otak dan bersamaan dengan Lathaif lima yang berada di dalam dada yang disebut dengan alamul amri, yaitu tempat ijazahnya seorang guru kepada muridnya

Adapun lafadz ijazah sebagai berikut:

اَلْبَسْتُكَ خِرْقَةَ الْفَقِيْرِيَّةِ الصُّوْفِيَّةِ وَاَجَزْتُكَ اِجَازَةً مُطْلَقَةً لِلْاِرْشَادِ وَالْإِجَازَةِ وَجَعَلْتُكَ خَلِيْفَةً.

Maka murid menjawab: قَبِلْتُ وَرَضِيْتُ عَلَى ذَلِكَ. Maka murid itu akan menjadi kholifah yang kecil. Ini adalah akhir wilayah sughro dan menjadi awal dari wilayah kubra.

CatatanWilayah shughra: ungkapan perjalanan tajalli af’alul ilahiyah, dan perjalanan dzilal asma’ dan sifat. Ketahuilah bahwa ungkapan dzilal asma’ dan sifat merupakan awal mengenal seluruh al-mumkinat (sesuatu yang wujud yang berawal dari tidak ada) keculai Nabi dan Malaikat. Bahwasannya satu bagian dari beberapa bagian alam itu bersambung kepada Allah SWT melalui sifat dan ini yang menjadi garis tengah antara makhluk dan dzat Allah SWT, meskipun demikian asma’ dan sifat tidak bisa mewujudkan alam yang awalnya tidak ada karena dzat Allah SWT yang disifati itu tidak membutuhkan alam.

إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (العنكبوت: ٦)

Sesungguhnya Allah SWT benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Ahli shufi mengungkapkan bahwa jalan menuju kepada Allah SWT banyak sekali dengan hitungan nafasnya makhluk-makhluk ini menjadi gambaran lafadz dzilal (naungan).

  • Ketika Tajalli al-fi’li masuk pada lathifatul qalbi disebut wilayah Nabi Adam. Artinya seorang Salik masuk pada fana’ dan menjadi mudah baginya untuk mengetahui asal-usul hakikatnya.
  • Ketika Tajalli as-sifat masuk pada lathifatur ruh maka dalam keyakinan salik terhadap ketetapan bahwa sifat-sifatnya Allah SWT berbeda dengan sifat-sifat makhluk dan Salik berkeyakinan bahwa semua makhluk merupakan pancaran dari Allah SWT, pada saat ini Salik merasa wujudnya dan wujud semua makhluk sirna di hadapan wujud Allah SWT, dan hal ini disebut wilayah nabi Nuh dan nabi Ibr
  • Fana’ yang terrjadi pada lathifatus sirri disebut wilayah nabi Musa, pada maqâm ini Salik menemukan dirinya sirna dalam dzat Allah SWT (secara maknawi).
  • Fana’ yang terjadi pada lathifatul khafy disebut wilayah nabi Isa, pada maqâm ini seorang salik berhadapan langsung dengan sifat keagungan Allah SWT yang tidak terkandung unsur materi.
  • Fana’ yang terjadi pada lathifatul akhfa membuat Salik berakhlak seperti akhlak Ilahi, (Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’, halaman: 26-27).

4. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي الدَّائِرَةِ الْأُوْلَى artinya mengawasi cintanya Allah SWT kepada orang mukmin dengan memberi ridha dan pahala dan cintanya seorang mukmin kepada Allah SWT dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Dekat terhadap Allah SWT dalam maqom yang pertama dengan mengingat terhadap asmaul khusna yang jumlahnya 99 dan mengingat terhadap indahnya ciptaan Allah SWT yang tidak ada akhirnya. Dalam muRaqabah ini hendaknya merenungkan rahmat Allah SWT yang agung dan senantiasa turun di lathifatun nafsi (وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ).

CatatanWilayah kubra adalah ungkapan perjalanan sang Salik pada maqâm Asma’ al-Husna, sifat dan dzat Allah SWT

Ketahuilah ketika rahasia-rahasia tauhid wujudi dan rahasia bersama Allah Swt terjadi pada sang salik, maka dia bisa melihat ke dalam hatinya terdapat satu cahaya yang berasal dari ‘Arsy yang agung, yang mengelilingi sang salik serta dikelilingi partikel-partikel al-Mumkinat (sesuatu yang ada didahului yang tiada).

Warna cahaya itu kelihatan, sekalipun demikian cahaya itu tidak berwarna. salik mempercayai bahwa Allah SWT berada di atas gumpalan awan yang tinggi. Sang salik melihat matahari terbit dari tempatnya dan menghapus warna hitam yang dianggap dzat Allah SWT Kejadian ini tidak membekas pada diri sang salik.

Lalu sang salik kembali melihat Wujud al-Mumkinat yang telah hilang di dalam sorot cahaya hitam, seperti hilangnya wujud bintang ditelan oleh sorot sinar matahari, tapi perjalanan hati tidak bisa didefinisikan oleh mata dengan memperkirakan perbedaan antara wujud barang Mumkin (baRang yang wujud didahului dengan yang tiada) dan sesuatu yang wajib wujudnya.

Ditanyakan tentang penyatuan “persatuan” ketika pada mursyid memberikan keterangan dengan pendekatan logika tentang perjalanan hati Wilayah al-Kubra, ini merupakan wilayah para Nabi, wilayah yang orang selalu terjaga dari lupa kepada Allah SWT, dan wilayah orang yang menerima peringatan lalu memperbaikinya.

Mereka meyakini bahwa wujud barang mumkin tetap ada tapi sang Salik menemukan wujudnya, segala sesuatu itu merupakan bayangan, terpengaruh oleh wujudnya Tuhan (Allah SWT menjadikan barang mumkin berasal dari tidak ada menjadi ada).

Begitu juga rahasia tauhid syuhudi yaitu sang salik melihat bahwa sifat-sifat mumkinat adalah sifat-sifat Allah SWT yang tidak bermateri. Sang salik mengalami hal ini di lathifatun nafsi.

Disinilah sang salik menemukan makna muraqabah aqrabiyyah dengan Allah  SWT Perbedaan antara ma’iyyah dan aqrabiyyah yaitu tingkat akhir dari ma’iyyah ada persatuan dan  menyembunyikan dua hal. wujudnya barang mumkinat terlihat tapi tercermin dari wujud Allah SWT, bukan dari dzat benda mumkin.

Begitu juga dengan sifat-Nya. Jika sifat Allah SWT didzahirkan secara hakiki maka tidak mungkin ada ungkapan untuk membahasnya. Maka dapat diketahui dari kenyataan ini bahwa wujud asal bisa dibandingkan terhadap wujud bayangan yang lebih dekat terhadap bayangnya itu sendiri.

Karena bayangan yang tampak dari asal bukan dari lainnya, ketika melihat wujud bayangannya maka dapat ditemukan pengaruh dari asal. Ketika melihat sifat bayangan maka ditemukan pengaruh sifat asal.

Akal tidak kuasa menemukan makna kedekatan terhadap dzat Allah SWT Karena hubungan ini berada dibalik akal, tidak mungkin akal bisa menyingkap tabir rahasia ini.

Tanda-tanda Kesempurnaan Maqâm Wilayah Kubra

  • Hubungan anugerah batin tersambung dengan otak adalah sambungan hati. Dalam keadaan ini dada menjadi lapang dan tempatnya ada pada lathifaatul akhfa secara khusus.
  • Hilangnya penolakan terhadap keputusan-keputusan yang tetap. Sehingga hati menjadi tentram dan bisa menerima dengan suka cita (ridaa) semua ketentuan-ketentuan dalam semua keadaan dan perbuatan.
  1. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي الدَّائِرَةِ الثَّانِيَةِ artinya mengawasi terhadap cintanya Allah Swt terhadap orang mukmin dan cintanya orang mukmin terhadap Allah Swt dalam maqom yang kedua dan bertafakur terhadap sifat maknawi dan maknawiyah Allah SWT(وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ).
  1. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي الدَّائِرَةِ الْقَوْسِ artinya mengawasi terhadap cintanya Allah Swt terhadap orang mukmin dan cintanya orang mukmin terhadap Allah SWT dalam maqom yang lebih dekat yang diperkirakan satu busur. Ini adalah isyarat menunjukkan eratnya kedekatan. (وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ).

Dalilnya muraqabah mahabbah tiga tadi adalah يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ Artinya Allah SWT cinta terhadap kaum yang beriman. dan kaum yang beriman juga cinta kepada Allah SWT

Sumber: Alif.ID

146. Muraqabah (2)

  1. مُرَاقَبَةُ وِلَايَةِ الْعُلْيَا artinya pengawasan terhadap Allah SWT yang menciptakan terhadap wilayahnya malaikat. Dalilnya “هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ”. Artinya Allah SWT itu dzat yang dahulu dan tanpa permulaan, dan dzat yang akhir tanpa ada akhirnya, dan dzat yang nampak pengaruh dan af’al-ya, dan dzat-Nya adalah maknawi.

Dan ayat “اِنَّ الّذِيْنَ عِنْدَ رَبِّكَ لَايَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُوْنَهُ وَلَهُ يَسْجُدُوْنَ”, artinya sesungguhnya para malaikat yang berada di sisi Allah SWT itu tidak sombong dari ibadah kepada Allah SWT dan mereka membaca tasbih dan bersujud kepada Allah SWT.

Oleh karena itu maka kamu semua seperti malaikat dalam hal memakai pakaian takwa, sifat malakaniyah, sifat mahmudah munjiyaat, dan meninggalkan terhadap sifat syaithaniyah, nafsiyah, bahimiyah, hayawaniyah, sifat mahdzmumah mahlukaat (sifat yang tercela yang merusak). والفيض على العناصر الثلاث air, api, dan angin.

  1. مُرَاقَبَةُ كَمَالَاتِ النُّبُوَّةِ artinya mengawasi terhadap Allah SWT yang menjadikan beberapa kesempurnaan sifat kenabian. Dalilnya “وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّيْنَ عَلَى بَعْضٍ”, artinya sesungguhnya Allah SWT itu mengunggulkan sebagian para nabi dari sebagian yang lainnya. (وَالْفَيْضُ عَلَى عُنْصُرِ التُّرَابِ)

9.مُرَاقَبَةُ كَمَالَاتِ الرِّسَالَةِ  artinya mengawasi terhadap Allah SWT yang menjadikan sifat kerasulan atau sifat utusan. Dalilnya “وَمَا اَرْسَلْنَاكَ اِلَّا رَحْمَةً لِلْعَلَمِيْنَ”, artinya kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk memberi rahmat terhadap seluruh alam semesta. Dan ayat “تِلْكَ الرُّسُوْلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ”, artinya rasul-rasul itu sebagian kami beri keutamaan melebihi yang lain.

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ), artinya terkumpulnya lathaif sepuluh.

  1. مُرَاقَبَةُ أُولِى الْعَزْمِ mengawasi terhadap Allah SWT yang menjadikan para rasul yang mempunyai gelar Ulul ‘Azmi yaitu Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Nuh As. Dalilnya “وَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ”, artinya bersabarlah (Muhammad) seperti sabarnya Rasul Ulul ‘Azmi,

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي دَائِرَةِ الْخُلَّةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ maksudnya pengawasan terhadap Allah SWT dzat yang menjadikan hakikatnya Nabi Ibrahim yang mempunyai gelar khalilullah (kekasih Allah Swt). Dalilnya “وَاتَّخَذَ اللهُ اِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلًا”, artinya Allah SWT telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai seorang kekasihnya,

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

12. مُرَاقَبَةُ دَائِرَةِ الْمَحَبَّةِ الصِّرْفَةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ سَيِّدِنَا مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ artinya pengawasan terhadap Allah SWT yang memurnikan menyayangi Nabi Musa yang bergelar kalimullah (kalam Allah Swt). Dalilnya “وَاَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّيْ”, artinya Aku telah menjadikan Musa kekasih yang murni.(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ الذَّاتِيَّةِ الْمُمْتَزِجَةِ بِالْمَحَبَّةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ الْمُحَمَّدِيَّةِ artinya pengawasan terhadap Allah SWT yang menjadikan hakikat Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih yang asli dan dianugerahi dengan sifat belas kasih dan kasih sayang. Dalilnya “وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌ”, artinya Muhammad SAW. itu tidak lain hanyalah seorang rasul (utusan), (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

14. مُرَاقَبَةُ الْمَحْبُوْبِيَّةِ الصِّرْفَةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ الْأَحْمَدِيَّةِ artinya pengawasan terahadap Allah SWT yang menjadikan hakikat Nabi Ahmad (Muhammad) yang dianugerahi sifat belas kasih dan kasih sayang yang tulus. Dalilnya “وَمُبَشِّرًا بِرَسُوْلٍ يَأْتِى مِنْ بَعْدِ اِسْمُهُ أَحْمَدُ”, artinya Nabi Isa akan merasa bahagia dengan diutusnya Nabi Ahmad SAW. pada akhir zaman, (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

15. مُرَاقَبَةُ الْحُبِّ الصِّرْفِ maksudnya meluangkan waktunya untuk merenungkan cinta yang murni (penuh kelembutan) terhadap orang mukmin yang cinta kepada Allah Swt, cinta kepada malaikat, nabi, rasul, para wali (auliya’), ulama’, dan seluruh orang Islâm. Dalilnya “وَالَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَشَدُّ حُبًّا لِلهِ”, maksudnya Orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah SWT (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ).

16. مُرَاقَبَةُ لَا تَعْيِيْنَ yaitu memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang dzat-Nya tidak bisa dilihat oleh mata telanjang dan makhluk tidak kuasa untuk menemukan-Nya, begitu juga malaikat, nabi, dan rasul. Dalilnya “لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ”, maksudnya tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

17. مُرَاقَبَةُ حَقِيْقَةِ الْكَعْبَةِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang telah menjadikan hakikat Ka’bah sebagai tempat sujud dan bermunajat para mumkinat (sesuatu ada yang diawali dengan tiada) yang telah disyariatkan oleh Allah SWT yang maha memiliki arah.

Sedangkan pengertian Ka’bah bagi salik adalah i’tiqad atau berkeyakinan tentang kesatuan arah yang merupakan perwujudan kesatuan tujuan dan azam yang kuat  demi menghadap Allah SWT yang Maha Esa. Ka’bah merupakan pusat arah tujuan ratapan hati seorang mukmin yang bergejolak karena merindukan Allah SWT Dalilnya,

“فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ (البقرة: 144)

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.

Maksudnya palingkanlah mukamu ke arah ka’bah yang berada di Masjidil Haram. (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ حَقِيْقَةِ الْقَرْآنِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang telah menjadikan hakikat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.. Hakikat Al-Qur’an adalah ungkapan tentang permulaan luasnya hadirnya dzat yang telah menjalankan, menjelaskan beberapa keadaan batin yang serupa secara luas. Pengungkapan itu bertujuan untuk melahirkan bahwa intisari kalamullah.

Keistimewaan Al-Qur’an, sebagai berikut;

  • Bernilai ibadah bagi pembacanya
  • Menjadi mukjizat Nabi Muhammad Saw atas pengakuan diri sebagai utusan Allah SWT walaupun dengan rurat-rurat pendek.
  • Menceritakan kisah-kisah yang berbeda-beda, perintah yang berbeda-beda, laRangan yang ditinggal, serta mengungkapkan beberapa rahasia, cahaya yang terpancar dari kekuasaan Allah SWT
  • Cerita-cerita para nabi untuk memberi pelajaran kepada kaumnya.
  • Menjadi petunjuk bagi manusia untuk menjalankan hukum yang telah ditentukan.
  • Penyembuh penyakit lahir dan batin, menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang gelap dan sakit.

Dalilnya:

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ (البقرة: 23)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW..), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu.

Maksudnya dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al- Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW, buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu. (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ حَقِيْقَةِ الصَّلَاةِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang telah mewajibkan hambanya untuk melaksanakn shalat. Shalat adalah ucapan, perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta mengikuti syarat rukunnya, adab shalat, menjauhi beberapa hal-hal yang membatalkan shalat, menjaga beberapa waktu shalat, khudlur (hadirnya hati menghadap kepada Allah Swt), dan khusyu’.

Dalilnya: (اِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا (النساء: 103)

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman, (Qs. an-Nisa’: 103).

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ دَائِرَةِ الْمَعْبُوْدَيَّةِ الصِّرْفَةِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang berhak untuk disembah oleh semua makhluk dengan cara menyembah yang tulus ikhlas karena dzatnya. Dalilnya “وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ”, maksudnya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku, (Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’, halaman: 81-92).

Tanbih: Wajib bagi salik menjalankan muraqabah mulai dari muraqabah pertama sampai muraqabah kedua puluh dengan memperoleh izin dari mursyid. Wallahu a’lam. 

Sumber: Alif.ID

147. Tarekat Matbuliyah

Matbuliyahpeta

Syaikh Ibrahim bin Ali bin Umar al-Matbuli dikenal sebagai imam para wali di masanya. Beliau hidup pada sekitar tahun 800 H, tergolong wali yang mempunyai pangkat al-Dawair al-Kubra. Beliau mempunyai ma’rifat yang sempurna. Meski ummi (tidak bisa baca tulis), beliau mempunyai akal yang cerdas dan kekuatan dari diri beliau sendiri, sehingga tidak ada tujuan-tujuan nafsu yang ada pada diri beliau. Alquran dijadikan oleh beliau sebagai imam.

Sehari-harinya ia bekerja sebagai penjual kacang rebus di dekat masjid Jami’ Amir Syarafuddin di daerah Husainiyah, Kairo Mesir. Mengenai gurunya Syaikh Ibrahim, ketika ditanya siapakah gurumu? Beliau menjawab, “Ibuku, karena beliaulah yang mendidikku pada waktu kecil”. Dan terkadang beliau menjawab, “Guruku adalah Muhammad SAW.”.

Ibu beliau adalah seorang yang salihah dan seorang ibu rumah tangga yang baik, jika Syaikh al-Matbuli dilanda masalah yang berat, maka beliau pergi ke makam ibunya dan menceritakan permasalahan tersebut di atas makam ibunya dan masalah tersebut menjadi tuntas.

Al-Matbuli juga pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Ia menceritakan mimpinya kepada ibunya. Lalu ibunya berkata, “Wahai anakku, seorang lelaki sejati adalah orang yang mampu berkumpul langsung dengan Rasulullah SAW. dalam keadaan sadar”. Beberapa waktu kemudian al-Matbuli mampu bertemu dan berkumpul serta bermusyawarah dengan Rasulullah SAW. dalam keadaan sadar. Lalu ibunya berkata, “Sekarang engkau benar-benar seorang laki-laki sejati”.

Mengenai gurunya syaikh Ibrahim al-matbuli juga disebutkan bahwa beliau pernah menimba ilmu pada Syaikh Yusuf al-Barlisi al-Ahmadi.

Al-Matbuli ketika bertemu dan berkumpul serta bermusyawarah dengan Rasulullah SAW, membicarakan tentang berbagai hal, bahkan al-Matbuli pernah menggali sumur yang ada di kebunnya akan tetapi tidak menemukan air, kemudian beliau melaporkan tentang hal tersebut pada Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW menjawab: “Besok aku akan mengutus Ali bin Abi Thalib putera pamanku agar memberi tanda pada sumur Nabi Syu’aib As yang pernah digunakan untuk memberi minum kambingnya”.

Lalu esok harinya al-Matbuli menemukan tanda sebagaimana yang dimaksud Rasulullah SAW. Kemudian ia gali, dan ternyata disitu benar-benar terdapat sumur yang memiliki mata air yang besar.

Selama hidupnya al-Matbuli tidak pernah menikah, selama hidupnya lebih banyak digunakan untuk beribadah baik siang maupun malam. Selama hidupnya lebih dari 80 tahun sampai meninggalnya beliau tidak pernah mimpi basah (ihtilam). Syaikh Ibrahim al-Matbuli selalu bersikap lembut kepada siapapun bahkan kepada orang yang menyakitinya sekalipun.

Karamah yang dimiliki Syaikh Ibrahim al-Matbuli sangat banyak sekali diantaranya pernah suatu ketika beliau didatangi seorang laki-laki yang ingin meredam syahwatnya, kemudian Syaikh Ibrahim berkata, “Kamu menginginkan sementara atau selamanya? Jika menginginkan sementara, maka ikatlah kemaluanmu maka selama terikat selama itu pula kau tidak merasakan syahwat”. Tapi jika laki-laki tersebut menginginkan untuk meredam syahwat untuk selamanya, diusaplah punggungnya maka selamanya dia tidak akan pernah syahwat kepada perempuan sampai mati.

Dan diantara karamahnya, jika Syaikh Ibrahim al-Matbuli masuk ke dalam kebun, maka semua yang ada di dalam kebun tersebut baik pepohonan atau rerumputan akan memanggilnya dan memberitahukan segala khasiat dan madharatnya.

Mengenai muridnya, Syaikh Ibrahim al-Matbuli pernah ditanya. “Siapa yang akan meneruskan tugasmu ini? Beliau menjawab, “Seorang pemuda yang bernama Muhammad bin Annan.

Adapun murid-murid dari Syaikh Ibrahim al-Matbuli adalah:  sayyid Syakh Ali al-Murshafi, syekh Abdul Qâdir al-Dastuty, sayyid Muhammad Munir, sayyid Muhammad bin Annan, syaikh Abu Bakar al-Hadidy, syaikh Muhammad Sarawy, syaikh Abdul Halim bin Muslih, syaikh Yusuf al-Haritsi, Muhammad Syanawy al-Ahmady, syaikh Zakaria, syaikh Burhanuddin bin Abi Syarif, syaikh Burhanuddin al-Qalqasnady, syaikh Kamaluddin al-Thowil, syaikh Abdul Haq al-Sinbaty, syaikh Yusuf al-Kurdy, syaikh Shalih Ahmad Zawawi.

Syaikh Ibrahim bin Ali bin Umar al-Matbuli wafat pada tahun 880 H pada usia 109. Ketika itu beliau sedang melakukan perjalanan menuju Yerusalem dan beliau di makamkan di desa Saduud di sisi makam Salman al-Farisi. Adapun daerah penyebaran tarekat ini kebanyakan berada di daerah mesir.

Matbuliyah
Imam Abdul Wahab, Mursyid Matbuliyah (YouTube)

Sumber: Alif.ID

148. Ajaran Tarekat Matbuliyah

  1. Salik harus istiqâmah dalam bertaubat. Taubat memiliki tingkatan-tingaktan yaitu (1) taubat dari dosa-dosa besar, (2) taubat dari dosa-dosa kecil, (3) taubat dari hal-hal yang dimakruhkan, (4) taubat dari melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan keutamaan (khilaf al-aula), (5) taubat dari anggapan salik bahwa dia melakukan kebaikan-kebaikan,

(6) taubat dari pandangan salik bahwa dia tergolong fuqara` al-Zaman (orang-orang fakir yang memiliki keutamaan              di hadapan Allah SWT.), (7) taubat dari anggapan Salik bahwa dia sudah benar dalam taubat, (8) taubat dari segala                  getaran hati kepada selain yang diridhoi oleh Allah Swt.,

(9) taubat ketika lupa musyahadah (melihat Allah SWT., sifat dan perbuatan dengan (bashiroh) mata hati) kepada                   Allah SWT. walau sekejap, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 2).

  1. Seyogyanya salik meneliti anggota dhohir dan batinnya pada waktu pagi dan sore apakah sudah melakukan taat atau tidak, jika salik melakukan taat maka dia bersyukur jika tidak melakukan taat maka salik haru bertaubat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 3).
  2. Salik harus meniggalkan hal-hal yang mubah untuk mencari maqâm-maqâm yang luhur, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 4).
  3. Salik harus menjauhkan diri dari perbuatan riya`. Karena riya` merupakan racun yang bisa membunuh, menghilangkan pahalanya amal. Hal-hal yang termasuk riya` adalah merasa nikmat dengan ibadah, meninggalkan amal karena manusia, mengaku telah sampai pada maqâm tertentu, sementara salik tidak diizinkan untuk menampakkannya, suka dilihat manusia dalam melakukan ibadah, mengehentikan senda gurau yang mubah ketika ada orang yang mampir karena merasa malu, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 5-6).
  1. Salik harus meninggalkan perbuatan yang bisa menyakiti orang lain, karena hal itu merupakan racun yang bisa membunuh, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 6).
  2. Meninggalkan makanan yang tidak halal, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 7).
  3. Salik harus meniggalkan malu secara wataknya, yaitu salik malu menyebut nama Allah SWT. dengan mengeraskan suara.
  4. Hendaknya salik menjauhkan diri dari penipuan dalam pekerjaan, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 8).
  5. Salik harus memerangi nafsunya dengan lapar dan menyedikitkan tidur, karena lapar merupakan pokok dari ajaran tarekat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 9).
  1. Menetapi ‘uzlah.
  2. Menetapi diam, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 10).
  1. Salik tidak diperkenankan meninggalkan Qiyam al-Lail karena merupakan cahaya mukmin di hari qiyamat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 11).
  2. Harus shalat berjama’ah, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 12).
  3. Menjauhi zalim terhadap mak

Zalim dibagi menjadi dua:

  • Zalim al-Nafsi: salik melakukan maksiat selain syirik kepada Allah SWT., Allah SWT. tidak memperdulikan buku catatan amal salik selama salik mau bertaubat.
  • Zalim al-‘Abdi: Zalim seorang salik dibagi menjadi tiga (1) zalim yang berhubungan dengan jiwa, (2) zalim yang berhubungan dengan harta, (3) zalim yang berhubungan dengan harga diri, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 13).
  1. Memperbanyak membaca istighfar, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 13-14).
  2. Salik menetapi malu, karena malu merupakan bagian dari Imân. Para `ulamâ’ berkata: “Ibadah itu terbagi menjadi tujuh puluh dua bagian semantara tujuh puluh satu badian berada pada Rasa malu kepada Allah SWT., yang satu bagian dibagi terhadap seluruh macam-macam amal kebaikan”. Dalam satu Hadis Nabi berkata: “Malulah kalian kepada Allah SWT. dengan sebenar-benarnya malu” sahabat menjawab: “Sesungguhnya kami malu (kepada Allah SWT.) dan memuji kepada Allah SWT. ya Rasul” Rasul menjawab: “Bukan seperti itu (malu kepada Allah SWT.) tetapi orang yang malu kepada Allah SWT. akan menjaga kepala (isi), perut (apa yang dimasukkan ke dalam perut), hendaknya dia ingat kepada kematian dan akhirat. Barangsiapa yang menginginkan akhirat maka harus meniggalkan keindahan kehidupan dunia. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia harus malu kepada Allah SWT. dengan senyata-nyatanya”, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 14).
  1. Salik harus menetapi etika yang bagus.
  2. Salik tidak lupa zikir kepada Allah SWT. Ibnu Hibaan meriwayatkan sebuah Hadis:

أَكْثَرُوْا ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى حَتَّى يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنٌ

Perbanyaklah zikir kepada Allah sampai (orang-orang) berkata (kamu) gila(al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 15).

Zikir adalah cetakan (derajat) kewaliyan yang ditetapkan oleh Allah SWT. untuk hambanya. Barangsiapa menetapi melanggengkan zikir kepada Allah SWT., maka Allah SWT. akan memberi derajat kewalian kepadanya. Sesungguhnya zikir itu mempercepat membuka (pintu) sekalian ibadah. Para mursyid tidak kuasa menemukan yang lebih cepat mengobati dan membuat hati cemerlang selain melanggengkan zikir.

Seorang salik tidak akan bisa sampai di hadapan Allah SWT. kecuali dengan zikir, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 16).

Salik tidak akan bisa terbuka tirai hijabnya dan mencapai maqâm Ikhlâs kecuali dengan zikir. Zikir bisa menghilangkan kesusahan, menurunkan rahmat, bisa memutus getaran hati yang berasal dari syetan, bisa membedakan antara getaran syetan dan getaran nafsu, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 16-17).

  1. Salik tidak mencampur aduk zikir dengan lainnya, karena hal itu bisa menghambat kecepatan perjalanan salik, dan terbukanya hati salik menurut kadar banyak sedikitnya campuran tersebut, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 18).

Kewajiban Mursyid

  1. Memberi perintah kepada murid untuk melakukan zikir lisan dengan kemantapan hati yang kuat.
  2. Jika point pertama berhasil, maka mursyid memerintahkan kepada murid untuk menyamakan antara zikir lisan dan qalbi, lalu mursyid memberi pesan kepada salik untuk melanggengkan kedua zikir ini,seakan-akan Allah SWT. berada di depan salik, tidak meninggalkan zikir sehingga mendapatkan jiwa (hal) dan seluruh anggota tubuh ikut berzikir.
  1. Mursyid berpesan kepada salik untuk tidak menambah kewajiban, sunah mu’akad, tidak sibuk membaca Alquran dan lainnya.
  2. Memerintahkan salik untuk melaksanakan lapar sedikit demi sedikit, meminimalkan tidur, meminimalkan perbuatan yang tidak berfaedah.
  1. Memberi perintah untuk melakukan ‘uzlah dari manusia umum.
  2. Memberi pengarahan kepada salik untuk memperbaiki perbuatan dan hal salik (keadaan jiwa) sehingga salik bisa melaksanakan rukun-rukun tarekat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 19).

Kewajiban Salik

  1. Wajib melaksanakan zikir jahr (lisan) jika salik belum mampu melakukan zikir sirri. Jika salik memaksakan zikir sirri, maka zikir itu tidak berfungsi.
  2. Salik wajib melakukan zikir dengan giat.
  1. Salik wajib melakukan zikir secara berjama’ah karena zikir berjama’ah lebih banyak memiliki dampak menghilangkan hijab.
  2. Salik harus banyak bertaubat dan bersyukur.
  1. Salik dilarang minum air setelah berzikir.
  2. Salik menghilangkan kesibukan terhadap seluruh hak-hak makhluk.

Aurâd

  1. Membaca istighfâr 70 kali tiap pagi dan sore
  2. Memperbanyak membaca lâ ilâha illAllah (tahlil saperti Tarekat Qadiriyyah)

Sumber: Alif.ID

149. Tarekat Syathariyah

Tarekat Syathariyah adalah tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdullah al-Syaththar (w.890 H/1485 M). Ulama ini masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama yang memopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.

Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syathariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.

Nisbah al-Syathar yang berasal dari kata Syathara artinya membelah dua dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbatLa ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washitah (mursyid).

Namun karena popularitas tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahIrannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Abdullâh al-Syathâr dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.

Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syathâriyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).

Sepeninggal Abdullah al-Syathar, Tarekat Syathâriyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syathiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syathariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri.

Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka yaitu Sibghatullâh bin Rûhullâh (1606), salah seorang murid Wajihudîn dan mendirikan zawiyah di Madînah.

Tarekat ini kemudian disebarluaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut yaitu seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi.

Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syathâriyah yang terkenal di wilayah Madînah.

Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Raûf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syathâriyah di Indonesia. Abdul Raûf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islâm di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643.

Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya.

Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syaikh Burhanuddîn dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syathâriyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani yaitu Yûsuf Tajul Khalwati (1629-1699).

Silsilah Tarekat Syathariyah

  1. Nabi Muhammad SAW.. (609-632 M)
  2. Imam Ali bin Abu Thalib (632-661 M)
  3. Imam Hasan al-Syahid (661-670 M)
  4. Imam Husain (670-684 M)
  5. Imam Zainal Abidin (684-718 M)
  6. Imam Muhammad al-Baqir (718-737 M)
  7. Imam Ja’far Shadiq (737-771 M)
  8. Imam Musa al-Kazhim (771-806 M)
  9. Imam Ali bin Imam Musa al-Kazhim (806-826 M)
  10. Imam Muhammad al-Jawad (826-843 M)
  11. Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (843-877 M)
  12. Imam Abu Yazid al-Busthami(W.874 M)
  13. Imam Hasan al-Asykari (877-883 M)
  14. Imam al-Mahdi al-Muntadzar (883-955 M)
  15. Syaikh Muhammad al-Maghrîbi (955-1007 M)
  16. Syaikh Araby al-Asyiqi (1007-1074 M)
  17. Syaikh Qutb Maulana Rumi al-Tushi (1074-1132 M)
  18. Syaikh Qutb Abu Hasan al-Hirqan (1132-1176 M)
  19. Syaikh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar (1176-1249 M)
  20. Syaikh Muhammad Asyiq (1249-1312 M)
  21. Syaikh Muhammad Arif (1312-1376 M)
  22. Syaikh Abdullah al-Syaththar (1376-1429 M)

Sumber: Alif.ID

150. Ajaran Tarekat Syathariyah (1)

Syathariyahpeta

Syaikh Ahmad Qusyairi menerangkan sesuatu yang mengharukan dalam kitab al-Simth al-Majid halaman 143-144 yang mengutip dari Risalah Raikhan al-Qulub Fi al-Wushul Ila al-Mahbub karya Syaikh Jamaluddin Abi al-Mahasin Yusuf bin Abdullah bin Umar bin Ali bin Khidzir al-Kurani. Disebutkan, Nabi Muhammad Saw mentalqin (menuntun) zikir لا اله إلا الله kepada sayyidina Ali Krw secara individu.

Syaikh Jamaluddin Abi al-Mahasin Yusuf bin Abdullah bin Umar bin Ali bin Khidzir al-Kurani menjadi mahaguru dalam rantai silsilah al-Hamdaniyah yang berasal dari tarekat al-Ghoust dan Uwaisiyah. Dalam satu naskah terdapat tulisan Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Qurasyi al-Syibrisyi yang menceritakan bahwa sayyidina Ali Krw bertanya kepada nabi Muhammad “Wahai Rasulullah Saw tunjukkanlah kepadaku jalan dekat menuju kepada Allah”.

Rasul bersabda, ‘Wahai Ali, tetapkanlah dirimu dengan melanggengkan zikir (ingat) kepada Allah dalam melakukan khalwat’, lalu sayyidina Ali berkata ‘Zikir itu mempunyai faidah yang banyak dan semua manusia melakukannya’, kemudian Rasul bersabda , “Jangan begitu wahai Ali, hari kiamat tidak akan melanda bumi selama ada seseorang yang berucap Allah Allah.

Sayyidina Ali bertanya lagi “Bagaimana caranya saya berzikir?”, Rasul menjawab, “Pejamkan kedua matamu lalu dengarkanlah ucapanku 3 kali, kemudian tirukanlah 3 kali’. Sementara aku mendengarkannya, Rasulullah berkata لا اله إلا الله لا اله إلا الله لا اله إلا الله sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan ucapannya. Sementara sayyidina Ali mendengarkannya, kemudian sayyidina Ali menirukan ucapan dan keadaaan (tindakan) nabi, sementara nabi mendengarkannya”.

سَالَ عَلِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ النَّبِىَّ صَلْعَمْ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى اَقْرَبِ الطُّرُقِ اِلَى اللهِ وَ اَسْهَلِهَا عَلَى عِبَادِهِ وَ اَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ. فَقَالَ يَا عَلِى عَلَىْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى فِي الْخَلْوَاتِ فَقَالَ عَلَى هَكَذَا فَضِيْلَةُ الذِّكْرِ وَ كُلُّ النَّاسِ ذَاكِرُوْنَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلْعَمْ يَا عَلِى لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اَللهُ اَللهُ فَقَالَ كَيْفَ اَذْكُرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاسْمَعْ مِنِّيْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قُلْ اَتَتْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَ اَنَا اَسْمَعُ فَقَالَ النَّبِىُّ صَلْعَمْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مَغْمَضًا عَيْنَيْهِ رَافِعًا صَوْتَهُ وَ عَلِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَسْمَعُ ثُمَّ قَالَ عَلِى لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مَغْمَضًا عَيْنَيْهِ رَافِعًا صَوْتَهُ وَ النَّبِىُّ صَلْعَمْ سَيْمَعُ.

Kemudian sayyidina Ali mentalqin kalimat dengan cara tersebut kepada Hasan Basri, kemudian Hasan Basri mentalqin Habib al-Ajami, kemudian al-Ajami mentalqin Daud Tho’i, Daud Tho’i mentalqin al-Ma’ruf al-Karkhi, al-Ma’ruf al-Karkhi mentalqin Sari al-Siqthi, Sari al-Siqthi mentalqin Abu Qasim al-Junaidi, Abu Qasim al-Junaidi mentalqin Mamsyud al-Dainuri, Mamsyud al-Dainuri mentalqin Ahmad Aswad al-Dainuri.

Ahmad Aswad al-Dainuri mentalqin Muhammad Suhrowardi, Muhammad Suhrowardi mentalqin Qadhi Wajihuddin, Qadhi Wajihuddin mentalqin Abu Najib al-Suhrowardi, Abu Najib al-Suhrowardi mentalqin syaikh Syihabuddin al-Suhrowardi, syaikh Syihabuddin al-Suhrowardi mentalqin syaikh Najihuddin Ali bin Buzghusy al-Syirozi, syaikh Najihuddin Ali bin Buzghusy al-Syirozi mentalqin syaikh Nuruddin Abdussomad al-Nadhmiri.

Syaikh Nuruddin Abdussomad al-Nadhmiri kepada syaikh Badruddin al-Thusi dan syaikh Najmuddin Muhammad al-Ashfihani, keduanya mentalqin syaikh Khusnan al-Syasyiri, syaikh Khusnan al-Syasyiri mentalqin syaikh Najmuddin, syaikh Najmuddin mentalqin syaikh Abu al-Mahasin Jamaluddin Yusuf bin Syaikh Abu Muhammad Abdullah al-Kurani (al-Simth al-Majîd, halaman 143-145)

Disamping harus ada izin dari guru yang berhak dan sah, bagi yang bersangkutan (yang berkehendak memperoleh ilmu), harus ada niat yang kuat dan mantab.

Maksud dan kandungan niat minta petunjuk ilmu Syathariyah, biasanya diniatkan dengan ungkapan sebagai berikut:

نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

atau

نَوَيْتُ أَنْ أَدْخُلَ طَرِيْقَ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

”Saya berniat untuk ‘masuk’ mohon petunjuk ilmunya guru yang shaleh fardhu karena Allah Ta’ala.”

Diterjemahkan sebagaimana di atas karena mempunyai maksud dan tujuan agar para pengamal ilmu ini akan menjadi orang-orang yang benar-benar bermujâhadah (memerangi hawa nafsunya sendiri) hingga membentuk diri menjadi orang yang sabar dan tawakkal supaya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.

Tingkat dan martabat rasa yaitu relanya hati untuk melaksanakan lakon (ibadah yang dapat dilaksanakan oleh jasad) dan pitukon (amal jariah, zakat, infaq dan sejenisnya) untuk tujuan mendekat kepada-Nya (berjuang, berkorban dan berbakti dalam memenuhi taatnya kepada guru) dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya. Rasa hati yang tulus ikhlas karena Allah SWT., dengan Allah SWT., di jalan Allah SWT., Untuk Allah SWT., sehingga dia” tidak merasa” bahwa dirinya berkorban dan berbakti.

Perlu diketahui bahwa yang demikian itulah perjalanan hidup hamba-hamba Allah SWT. yang shaleh. Perjalan hidup hamba yang dicintai oleh-Nya.

Perlu diketahui bahwa ilmu ini adalah ilmu tentang Tuhan, ilmu untuk mengenal diri-Nya, Dzat yang al-Ghaib wajib wujud-Nya, dekat sekali dalam Rasa hati, Allah asma’-Nya. Ilmu Syathariyah adalah ilmu yang menjadi pingitan  Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Jîn: 26-27.

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً ﴿٢٧﴾ (الجن: 26-27)

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya, (QS. al-Jîn: 26-27).

Bahwa hanya dialah yang mengetahui al-Ghaib itu, maka Dia tidak sama sekali memperlihatkan (dalam mata hati) tentang keberadaan dirinya yang al-Ghaib itu kepada seorang pun, kecuali bagi orang yang diridai-Nya (ilmu tersebut hanya diperoleh) dari Rasul-Nya.

Sumber: Alif.ID

151. Ajaran Tarekat Syathariyah (2)

Perlu diketahui bahwa keberadaan Rasul di kalangan ahli Syathariyah tidak terputus ketika Nabi Muhammad Saw wafat. Sebab, yang wafat hanyalah jasadnya saja, sedangkan nurnya (nur Muhammad) tetap bercaya. Ia adalah cahaya terpuji-Nya, Dzat yang wajib wujud. Antara cahaya dan Dzat bagaikan shifat dan maushûf, bagaikan kertas dan putihnya yang tetap menyatu dan menjadi satu, tidak ikut mati.

Nur yang selalu bercahaya dalam dada Nabi Muhammad Saw ini juga harus terus mengalir ke dalam dada hamba yang diridai oleh-Nya sampai hari kiamat. Dan yang ditugasi Allah Swt mengalirkan cahaya terpuji-Nya, Dzat yang wajib wujudnya ini adalah Rasul.

فَآمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنزَلْنَا وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (التغابن: 8)

Maka berimanlah kamu semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada nur yang telah kami turunkan. Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan, (QS.at-Taghâbun:8).

Nur yang dimaksud adalah nur Muhammad. Cahaya terpuji-Nya Dzat yang wajib wujudnya. Cahaya yang dengan Dzat selalu menyatu menjadi satu. Jadi Nur disini adalah al-ghaib itu sendiri. Sedangkan mahluk lain yang banyak sekali yang sama-sama tidak bisa dilihat mata kepala, namanya al-ghuyub. Beberapa hal yang digolongkan gaib tetapi bukan al-ghaib.

Bukan dirinya Ilahi yang al-ghaib.  Sebab al-ghaib adalah satu-satunya Dzat yang tidak akan pernah menampakkan diri di muka bumi dan ma’rifah, adalah jelas dan tertentu. Seandainya barang, maka ini barangnya. Sebab memang sudah seharusnya dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati keberadaan-Nya, apabila secara benar ditanyakan kepada ahli-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ  (الأنبياء: 7)

Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada ahli zikir jika kamu tidak mengetahui, (QS. al-Anbiyâ’:7).

Dzat Tuhan yang Allah asma-Nya (al-ghaib) karena tidak akan pernah ngejawantah (menampakkan Diri), sedang keberadaan diri yang al-ghaib itu seharusnya (atas kehendak-Nya) dapat dikenali dengan yakin agar hamba-Nya tidak masuk ke jurang dosa yang tidak ada ampun di hadapan-Nya (dosa syirik), sebagaimana hal ini termaktub dalam QS. Ali-Imrân: 179:

مَّا كَانَ اللهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى مَا أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيْزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِيْ مِنْ رُّسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُواْ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَإِن تُؤْمِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ (آل عمران: 179)

Allah tidak akan membiarkan orang-orang mukmin dalam keadaan seperti sekarang sehingga Dia menyisihkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah tidak akan memperlihatkan kepadamu keadaan yang al-ghaib. Akan tetapi Allah memilih rasul-rasul, siapa yang Dia kehendaki (untuk mengetahui tentang al-ghaib itu). Maka berimanlah Kepada Allah dan para rasul. Jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar, (QS. Âli-Imrân: 179).

Bahwa karena Dia sama sekali tidak akan mengajari kamu semua perihal al-ghaib-Nya, lalu Dia memilih utusan yaitu orang yang dikehendaki-Nya untuk mengajari perihal keberadaan-Nya yang  al-ghaib  itu, hingga syarat menjadi muttaqin (supaya menjadi hamba yang mendapat hidayah-nya) terpenuhi.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ (البقرة: 2-3)

Kitab (al-Qur’an) yang tidak disangsikan (kebenarannya). Menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada al-ghaib, mendirikan shalat dan dari sebagian rizki yang kami berikan, mereka nafkahkan, (QS. al-Baqarah: 2-3).

Di samping itu agar tidak menjadi hamba yang bernasib seperti jin dan iblis adalah termasuk dari golongan jin:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً (الكهف: 50)

Dan ingatlah (ketika) kami berfirman pada malaikat: ’Tunduklah (memberi hormatlah)  kepada Adam!, Maka tunduklah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, dia mendurhakai Tuhan-Nya. Adakah pantas kamu mengambil iblis itu dan anak cucumya menjadi pemimpin selain aku? Sedangkan mereka adalah musuhmu. Alangkah buruk tukaran (iblis sebagai pengganti Allah)bagi orang-oarang zalim, (QS. al-Kahfi: 50).

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ (سبأ: 14)

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan, (QS. Saba’: 14).

Juga supaya tidak mendapat kecaman dari Allah Swt bagi mereka yang tidak mempunyai ilmu (tentang) al-Ghaib, lalu merasa dan mengaku mengetahui, firman-Nya:

أَعِندَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى (النجم: 35)

Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang al-ghaib , maka dia dapat melihat-Nya, (QS. an-Najm: 35).

أَمْ عِنْدَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُونَ (القلم: 47)

Atau apakah mereka mempunyai al-ghaib lalu mereka (berani) menulis?, (QS. al-Qalam: 47).

Bahkan agar tidak akan menjadi hamba yang diancam dengan kerasnya azab karena ungkapan katanya “kami beriman kepada Allah”, padahal bagaimana mungkin mereka dapat mencapai keimanan dari tempat yang jauh?”.

وَقَالُوا آمَنَّا بِهِ وَأَنَّى لَهُمُ التَّنَاوُشُ مِن مَكَانٍ بَعِيدٍ ﴿٥٢﴾ وَقَدْ كَفَرُوا بِهِ مِن قَبْلُ وَيَقْذِفُونَ بِالْغَيْبِ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ ﴿٥٣﴾ (سبأ: 52-53)

Dan (di waktu itu) mereka berkata: “Kami beriman kepada Allah”, bagaimanakah mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu. Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka menduga-duga tentang yang gaib dari tempat yang jauh, (QS. Saba’: 52-53)

Kemudian bagi yang berkehendak kuat untuk memperoleh ilmu  harus mengetahui dan menyadari bahwa Allah SWT. itu adalah Asma’-Nya Dzat yang wajib wujud-Nya tetapi al-ghaib. Sebagaimana halnya asma’ (nama) dengan sendirinya tidak bisa apa-apa. Yang bisa berbuat apa-apa dan segala-galanya adalah Dzat-Nya yang al-ghaib itu.

Seperti halnya apabila seorang menikah, apakah akan puas dan menerima kalau hanya menikah dengan namanya saja, tetapi tidak dengan orangnya.

Karena itu perlu diketahui pula bahwa firman Allah SWT.:

وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ (التكوير: 24)

Dan dia (Rasul) tidaklah bakhil untuk menerangkan perihal al-Ghaib, (QS. at-Takwîr: 24).

Ayat ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW. masih hidup, tetapi berlaku bagi umat islam hingga kiamat. Meski ternyata sebagian tidak yakin, maka lalu azab Tuhan datang dan menghancurkan disaat dâbbah diberdayakan, sebagaimana firman-Nya dalam (QS. an-Naml: 82):

وَإِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِّنَ الْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لَا يُوقِنُونَ (النمل: 82)

Dan apabila telah putus hukuman mereka, kami keluarkan binatang melata (dâbbah) dari  bumi yang mengatakan kepada mereka bahwa manusia tidak mempercayai ayat-ayat kami, (QS. an-Naml: 82).

Kehadiran Rasulullah yang selalu berada di tengah-tengahmu sebagaimana firman Allah SWT.:

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللهِ وَفِيْكُمْ رَسُوْلُهُ وَمَنْ يَعْتَصِم بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (آل عمران: 101)

Kenapakah kamu kafir; padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan rasul-Nya bersama kamu? Dan barang siapa berpegang teguh kepada Allah sesungguhnya dia telah diberi petunjuk, (QS. Âli ‘Imrân: 101).

وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيْكُمْ رَسُولَ اللهِ …. (الحجرات: 7)

Dan ketahuilah bahwasanya Rasulullah berada diantara kamu, (QS. al-Hujurat: 7).

Ternyata oleh umat Islam ayat tersebut sudah tidak diyakini kebenarannya. Sehingga al-Haqq min rabbika, maunya mereka al-Haqq itu diganti harus dari golonganku, dari pendapatku, dari kepandaianku, dari usulanku, dari mazhabku, dari siasatku, dari kebijakan-kebijakanku, dari kekuasaanku, dari harga diri dan kehormatanku, dan seterusnya.

Sumber: Alif.ID

152. Tata Cara Baiat Tarekat Syathariyah

  • Niat meminta ilmu Syathariah

نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

  • Mandi bersuci, niatnya:

نَوَيْتُ غُسْلاً لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

  • Berpuasa tiga hari berturut-turut (paling sedikit)

Puasa pada hari ketiga menghadap guru yang berhak dan sah menunjukkan ilmu untuk memohon ijinnya.

Waktu pemberian petunjuk tentang ilmu ini biasanya sehabis shalat ‘Ashar.

Niat puasanya sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

  • Latihan mukaddimahnya ilmu Syathâriah

Yakni zikir tujuh macam yang disesuaikan dengan jumlah nafsu manusia yang juga ada tujuh macam. Pemahaman dan latihan mukaddimahnya ilmu ini biasanya dilakukan oleh pimpinan cabang atau perwakilan cabang warga yang membawa warga baru untuk dapatnya memperoleh ilmu ini dan akan dilatih lagi di pusat sebelum menghadap guru.

  • Membayar kifarat

Penjelasan yang langsung dari guru-guru (dengan lisan) yang dilakukan secara bergilir dan tidak pernah putus sejak Nabi Muhammad Sawhingga kini, kifarat ini adalah menebus dosanya sendiri.

Adapun besarnya kifarat adalah sesuai dengan kemampuan (layaknya sebesar biaya untuk kematian dirinya) dan diserahkan kepada yang berhak dan sah sebagai pelanjut guru wâsithah (yang kemudian ditasharrufkan pada berbagai kegiatan pendidikan, dakwah, sosial, pembangunan sarana dan prasarananya).

Adab Syaikh

Seorang guru wâsithah yang berhak dan sah (atas izin dan kehendak-Nya) dipusakai dengan empat martabat:

  • Martabat Mursyidûn

Memperoleh pelimpahan wewenang dan izin untuk menunjukkan ilmu tentang Dzat yang al-ghaib, yang Allah asma-Nya, serta jalan lurus-Nya supaya dapat selamat sampai kepada-Nya dari guru yang silsilahnya berantai tidak pernah putus (gilir gumantinya) sampai kepada Sayyidinâ ‘Âli bin Abû Thalib As. hingga Nabi Muhammad Saw.

Dan memberi petunjuk atas berbagai tingkat temuan si murid (yang berkehendak bertemu Tuhannya) agar tidak menjadi hambatan dan rintangan terhadap tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai yaitu ma’rifat billah.

  • Martabat Murabbiyûn

Tidak jemu-jemu mengingatkan dan membimbing si murid supaya mempunyai kesabaran (ketahan mental, tahan ujian dalam memberlakukan  jihâd al-nafs terhadap dirinya sendiri). Mengingat bahwa proses diri untuk mendekat kepada-Nya adalah semua hal yang tidak disukai oleh nafsu.

Ini adalah perjalanan yang pelik sekali, banyak pengorbanan dan besar gangguannya. Ini adalah proses yang suci dan kesucian itu yang akan dicapai. Keluhuran dan kesempurnaan tauhid (muwahid) yang akan dicapai.

  • Martabat Nashihûn

Memberi nasehat, dan isi nasehatnya sama sekali tidak akan bertentangan dengan firman-firman Allah SWT. dan tidak akan bertentangan dengan Hadis-Hadis Nabi. Sebab keduanya adalah saksi nyata kebenaran al-Haqq-Nya (kebenaran kelangsungan tugas dan fungsi kerasulan Nabi Muhammad Saw)

Karena itu, apabila segala nasehatnya dita’ati, maka buah dan manfaat yang diterima serta sampainya dengan selamat bertemu dengan-Nya, sama persis seandainya langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw sendiri.

  • Martabat Kâmilûn

Sempurna dan menyempurnakan (kâmil-mukammil). Sebab hakikat guru ini adalah Tuhan sendiri. Maka dari itu, jasad yang kebetulan diberi tugas dan disebut dengan ahl al-dzkr (ahli mengingat-ingat-Nya dalam hati nurani, ruh dan rasa yang selalu menghayati diri-Nya sehingga dengan seyakin-yakinnya telah mengenal Dia, Dzat yang al-ghaib dan Allah Asma’-Nya).

Sama sekali tidak akan berani mengaku dan merasa menjadi guru. Ahl al-dzikr takutnya luar biasa, seandainya muncul watak berani menyekutukan Allah Swt. Sebab, dia sendiri yang diwujudkan jasad sebagai manusia biasa, juga berusaha keras bagaimana seharusnya mengamalkan seluruh petunjuk dan perintah dari guru yang memberi tugas kepada dirinya.

Dan menyempurnakan (mukammil). Maksudnya bagi murid yang taat sepenuh hati kepadanya, ia juga  akan sempurna. Selamat dan bahagia bertemu dengan Dzat Yang Maha Sempurna.

Adab Salik

  1. Senang mujâhadah, melaksanakan amal perbuatan yang mudah dikerjakan oleh gerak tingkah lakunya jasad, seperti memperbanyak shalat, puasa, membaca Alquran, serta amal ibadah lain yang besar faedahnya baik untuk diri sendiri mupun untuk orang lain. Sebagaimana yang banyak disabdakan oleh Hadis-Hadis Nabi Muhammad Saw, termasuk perbuatan yang kebanyakan orang menganggap sepele. Seperti halnya menyingkirkan duri dari jalan.
  2. Senang melakukan mujahadah yang harus disertai dengan:
  • Budi pekerti yang baik (bi tahsîn al-akhlâq). Ahlak yang baik ini terbentuk dari seseorang yang ilmunya bermanfaat. Yaitu seseorang yang dengan ilmunya itu selalu mengetahui terhadap aib dirinya sendiri. Dengan demikian akan Allah Swt akan menjadikan seorang hamba pandai untuk dipandaikan mengadili dirinya sendiri.

Sadar bahwa ternyata aibnya selalu menyertai perbuatan salah dan dosa, yang selanjutnya perbuatan salah dan dosa itu akan ditutupi dengan perbuatan-perbuatan baik. Itulah sebabnya orang yang baik budi pekertinya maka ia tidak akan mementingkan dirinya sendiri, dengan rela hati meringankan beban orang lain serta gemar menolong atas derita sesama.

  • Sucinya jiwa raga (tazkiyah al-nafs), adalah hamba Allah Swt yang sangat berhati-hati agar apa yang dimakan, dipakai dan ditempati  berasal dari hasil yang benar-benar terjamin kehalalannya. Memenuhi wasiat guru kepada segenap muridnya yaitu:

“Urip ing ndunyo iki mosok angel, sauger gelem ukril ya gempil. Sing angel iku sejatine, yen ora merkuleh pitulungane Gusti Allah yaiku olehe tansah gelem merangi nafsune dewe supaya patuh lan tunduk didadekake  tunggangane atinurani, roh lan rasa bali maring Allah hingga tumeka”.

Hidup di dunia ini tidaklah sulit, asal ada kemauan untuk bekerja (kreatif) ya jadi mudah. Yang sulit adalah berusaha mendapatkan pertolongan Allah Swt. Yaitu, kemauan untuk memerangi hawa nafsunya sendiri agar dapat patuh dan tunduk untuk dijadikan kendaraan hati nurani, ruh dan rasa pulang kembali kepada Allah hingga sampai kepada-Nya.

  • Beningnya hati (tashfiyah al-qalb). Hati yang bening adalah hati yang dilatih dan dididik agar tidak digunakan bagi munculnya angan-angan dan gagasan (hiyal wahmi) yang terjadi karena mengikuti kehendak watak manusia. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar hati ini terlatih hanya untuk mengingat-ingat hal-hal yang diridhai oleh Tuhan.
  • Senang melakukan hal-hal bagi syi’arnya agama Allah Swt. Seperti membangun sumber-sumber pendidikan bagi penyiapan generasi yang ‘ârif billâh yang didukung oleh pendayagunaan sarana dan prasarana terhadap kesiapan dayanya cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
  1. Senang bersama-sama sesama saudara setujuan dan secita-cita untuk membuktikan rasa cintanya kepada Allah Swt supaya menjadi al-SyaththârYakni hamba yang ditarik fadhal dan rahmat-Nya telah dapat mengeluarkan dari dalam hatinya semua hal tentang dunia.

Hingga yang tetap dalam hatinya hanyalah Diri-Nya Tuhan Dzat Yang al-Ghaib dan wajib Wujud-Nya, Allah Asma’-Nya. Ini adalah satu-satunya jalan yang tetap bagi selamatnya mati dan sekaligus memenuhi wasiat Nabi Muhammad SAW.. “Mûtû qabla an tamûtû”.

Sumber: Alif.ID

153. Aurad Tarekat Syathariyah

Ada riwayat Hadis yang menjelaskan tentang tata cara talqin zikir dan penambahannya. Semua itu dijelaskan dalam kitab Raihan al-Qulûb Fî Tawashul Ila al-Mahbûb karangan syaikh Jamaluddin Abu Mahasin Yusuf bin Abdillah bin Umar bin Ali bin Khidhir al-Kurani.

Riwayat tersebut dari rantai silsilah sayyid Hibbatulloh bin Atho’illah al-Hasan al-Husaini al-Farisi yang dikenal dengan julukan syaikh Mir cucu al-Hafidz Nuruddin Abi al-Futukh Ahmad bin Abdillah bin Abu Futukh bin Abi al-Khoir bin Abdul Qodir al-Hakim yang menjadi salah satu guru dari syaikh Syamsuddin bin al-Jazri (al-Simth al-Majîd, halaman 145-146).

Syaikh Tajuddin AbDurrahman bin Syihabuddin Mas’ud bin Muhammad meriwayatkan sebuah riwayat dari syaikh Abu al-Futukh dengan sanad yang sampai pada syaikh Hibbatulloh (riwayat ini juga ditulis oleh syaikh Abu al-Mawahib Ahmad bin Ali al-Abbas al-Syinnawi).

Syaikh Hibbatullloh (syaikh Mir) berkata ”Metode zikir ini ada 6 tata cara”: 

  1. Zikir dengan tanpa tata cara khusus.

Zikir ini bisa dilakukan pada semua waktu, dengan mengikuti sunnah Nabi. Jenis zikir ini mirip dengan zikir yang umum dilakukan oleh mahluk. Seperti ungkapan syaikh Tajuddin AbDurrahman al-Mursyid al-Kuzruni yang berbunyi: “Ketahuilah bahwa zikir لا اله ألا الله ada dua macam:

(a) Zikir mutlak yang tidak dibatasi dengan keadaan tertentu dan (tidak) mengarah pada tekanan tertentu, jenis zikir ini bisa dilakukan tiap waktu, keadaan, dan tanpa hitungan. Zikir ini merupakan zikir yang dilakukan oleh kebanyakan mahluk karena (zikir semacam ini) lebih sempurna dan lebih meyakinkan.

(b) Zikir yang dibatasi dengan keadaan tertentu dan mengarah pada tekanan tertentu, dilakukan pada waktu, keadaan, dan hitungan yang ditentukan.”

  1. Zikir yang dibatasi dengan 2 pukulan, menurut Tarekat Khalwatiyah.

Jenis zikir ini sanad silsilahnya sampai pada nabi Muhammad. Cara melakukan zikir ini adalah dengan:

  1. Duduk bersila dengan meletakkan kedua telapak tangan di kedua paha;
  2. Memejamkan kedua mata;
  3. Memulai zikir dari arah tubuh sebelah kiri (dibawah puting payudara kiri) dengan tujuan mengambil segala sesuatu selain Allah dari dalam hati dengan (secara bersamaan) mengucapkan lafadz لاَ;
  4. Menjalankan dan mengarahkan lafadz اِلَهَ kearah atas bahu kanan (disebut juga al-Manfi);
  5. Menancapkan lafadz اِلَّا di atas bahu kanan;
  6. Dan mengarahkan lafadz الله dalam hati serta memalingkannya dari segala sesuatu selain Allah disertai dengan menancapkan lafadz Jalalah secara keras ke dalam hati, sehingga menyebabkan hati mengeluarkan cahaya zikir.

Metode zikir ini didapat oleh Syaikh Hibbatulloh (syaikh Mir) dari kakek dan gurunya yaitu syaikh Abu al-Futukh Abu Bakar al-Khowafi, Syaikh Abu al-Futukh Abu Bakar al-Khowafi mendapat dari syaikh Abdurrahman al-Qurasyi al-Bachri, syaikh Abdurrahman al-Qurasyi al-Bachri mendapat dari syaikh Jamaluddin Yusuf bin Abdulloh al-Kurani.

Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Abdulloh al-Kurani mendapat dari Syaikh Najmuddin Mahmud bin Sa’dulloh al-Ashfihani, syaikh Najmuddin Mahmud bin Sa’dulloh al-Ashfihani mendapat dari syaikh Abdul al-Shomad al-Nadzimi, syaikh Abdul al-Shomad al-Nadzimi mendapat dari syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi, syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi mendapat dari pamannya sendiri yaitu syaikh Dhiyauddin al-Suhrawardi.

Syaikh Dhiyauddin al-Suhrawardi mendapat dari syaikh Ahmad bin Muhammad al-Ghazali (saudara imam Ghazali), Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Ghazali mendapat dari syaikh Abu Bakar bin Muhammad al-Nasaj al-Thusi, syaikh Abu Bakar bin Muhammad al-Nasaj al-Thusimendapat dari Syaikh Abu Qosim bin Abdullah al-Kirkani, Syaikh Abu Qosim bin Abdullah al-Kirkani mendapat dari Abu Utsman Sa’id Salam al-Maghribi.

Abu Utsman Sa’id Salam al-Maghribi mendapat dari Ali al-Hasan bin Ahmad al-Katib al-Misri, Ali al-Hasan bin Ahmad al-Katib al-Misri mendapat dari Abi Ali al-Ruzbari, Abi Ali al-Ruzbari mendapat dari syaikh Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi, syaikh Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi mendapat dari pamannya sendiri yaitu Sari bin Mughlis al-Siqthi.

Sari bin Mughlis al-Siqthi mendapat dari Abu Mahfudz Ma’ruf bin Fairuz al-Karkhi, Abu Mahfudz Ma’ruf bin Fairuz al-Karkhi mendapat dari Abu Sulaiman Daud al-Tho’i, Abu Sulaiman Daud al-Tho’i mendapat dari syaikh Habib al-‘Ajami, syaikh Habib al-‘Ajami mendapat dari sayyid Hasan Basri, sayyid Hasan Basri mendapat dari Sayyidina Ali Krw., Sayyidina Ali Krw. mendapat dari nabi Muhammad SAW.

عَلِى بِنْ أَبِى طَالِبْ عَلَىْهِ رِضْوَانُ اللهِ الْمُلْكِ الْوَهَّابِ لَهُ (قَالَ) قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى أَقْرَبِ الطُّرُقِ إِلَى اللهِ وَ أَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ وَ أَشْمَلِهَا عَلَى عِبَادَةِ اللهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ عَلَىْكَ بِمَا وَصَلْتَ بِهِ إِلَيَّ النُّبُوَّةَ فَقُلْتُ وَ مَاذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ بِمُدَاوَمَةِ الذِّكْرِ فِي الْخَلْوَاتِ قُلْتُ هَكَذَا فَضِيْلَةُ الذِّكْرِ وَ كُلُّ النَّاسِ ذَاكِرُوْنَ قَالَ مُهَّ يَا عَلِى لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اللهُ اللهُ ثُمَّ قُلْتُ وَ كَيْفَ اَذْكُرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اِسْمَعْ مِنِّيْ حَتَّى اَقُوْلُهَا ثَلَاثًا وَ اَنْتَ تَسْمَعُ ثُمَّ قُلْهَا ثَلَاثًا وَ اَنَا اَسْمَعُ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ سَمِعْتُ مِنْهُ ثُمَّ قُلْتُ كَمَا سَمِعْتُ فَاَجَازَ لِيْ اِنَّ الْفَنَّ غَيْرِيْ (السمط المجيد، ص 147-148).

Menurut syaikh Tajuddin al-Karzuni metode zikir yang kedua ini memiliki tiga cara:

Pertama: Syaikh Hibbatulloh (guru syaikh Tajuddin al-Karzuni) menambahkan pergerakan zikir 2 tekanan yaitu:

  • Duduk bersila dengan meletakkan kedua telapak tangan di kedua paha;
  • Memejamkan kedua mata;
  • Memulai zikir dari arah tubuh sebelah kiri (dibawah puting payudara kiri) dengan tujuan mengambil segala sesuatu selain Allah dari dalam hati dengan (secara bersamaan) mengucapkan lafadz لاَ;
  • Menjalankan dan mengarahkan lafadz اِلَهَ kearah atas bahu kanan (disebut juga al-Manfi); Menjalankan lafadz اله sambil menjalankan ke arah pusar, kemudian mengembalikan ke paha kanan dengan tujuan menghilangkan segala pengaruh syahwat farji yang dijadikan wakil oleh syaitan. (tambahan ini tidak ada pada syaikh Hibbatulloh).
  • Menancapkan lafadz اِلَّا di atas bahu kanan;
  • Dan mengarahkan lafadz الله dalam hati serta memalingkannya dari segala sesuatu selain Allah disertai dengan menancapkan lafadz Jalalah secara keras ke dalam hati, sehingga menyebabkan hati mengeluarkan cahaya zikir. Penambahan ini berasal dari syaikh Zainuddin Abu Bakar al-Khowafi.Kedua: Metodenya adalah dengan menambahkan 3 tekanan seperti yang dilakukan oleh Thoriqoh al-Nuriyah al-Asfarayiniyah;
    Ketiga: Dan juga menambahkan 4 tekanan seperti yang dilakukan Tarekat al-Rukniyah.3. Zikir tahlil yang dibatasi dengan 2 tekanan tanpa menjalankan ke arah pusar.
    Tata cara zikir ini sebagai berikut:
    * Diawali dari arah kanan dan membaca panjang lafadz لَا اِلَهَ dari arah sisi kanan dengan niat meniadakan segala sesuatu selain Allah;
    * Kemudian menetapkan lafadz الا الله ke dalam hati yang letaknya dibawah puting susu kiri. Metode zikir ini adalah metode zikir Taekat Kholwatiyah.4. Zikir tahlil dengan 3 tekanan.Jenis zikir ini dilakukan oleh Tarekat al-Asfaraniyah dengan tatacara sebagai berikut:
    * Duduk bersila dengan meletakkan telapak kaki kanan di atas betis kaki kiri, dengan kedua tangan memegang betis
    kaki kanan;
    * Memejamkan kedua mata;
    * Zikir dimulai dari pusar dengan membaca lafadz لاَ dan menakankan bacaan tersebut di pusar;
    * Mengarahkan lafadz اِلَهَ ke arah bahu kanan;
    * Menancapkan lafadz اِلَّا ke arah bahu kanan;
    * Mengarahkan lafadz الله ke dalam hati dengan kuat dan memalingkan segala sesuatu selain Allah, sehingga hati
    menjadi bersinar.

Sumber: Alif.ID

154. Tujuh Macam Zikir Syathariyah

Persiapan untuk mendapatkan izin dari guru yang berhak dan sah menunjukkan ilmu Syathariyah adalah dilatih mukadimah ilmunya, yang diperagakan pada jagad pribadi. Mukadimah ini adalah sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam ilmu Syathariyah, yakni tujuh macam zikir, disesuaikan dengan jumlah nafsu manusia yang juga ada tujuh macam. Sebab “mlebu maring Allah” atau bercita-cita supaya dapat selamat pulang kembali bertemu dengan diri-Nya harus dengan mengendarai nafsu. 

Tujuh macam zikir Tarekat Syathariyah tersebut meliputi thawaf, nafi istbat, itsbat faqad, ismu dzat, zikir taraki, zikir tanazul, dan zikir ismu ghaib

  • Thawaf

Mengucap kalimah :لا إله إلا الله (3x) Dilakukan pada diri (jagad) pribadi. Caranya memutar kepala, mulai dari bahu kiri. Alat penunjuknya adalah dagu (simbol pena Allah Swt dengan tinta nur Muhammad). Dengan dagu tersebut lalu menggaris dada (mulai dari bahu kiri) menuju bahu kanan, berpusat pada pusar, membentuk Lam Alif dengan mengucap kalimah “Lâ ilâha” (zikir pertama), dengan menahan nafas.

Setelah sampai pada bahu yang kanan lalu menarik nafas, baru mengucapkan (zikir kedua) yaitu  kalimah itsbât ‘IllAllah yang dipukulkan (oleh dagu) tersebut ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah payudara kiri.

Bahu kanan sebagai tempat menarik nafas ketika hendak mengucap kalimah nafi “illAllah” adalah simbolnya “maqâm firâq”. Simbol pisahnya yang hak dan yang batal. Simbol nafinya dzat, sifat dan af’alnya hamba supaya dapat membuktikan bahwa satu-satunya yang wujud dan yang ada adalah yang diitsbatkan (ditetapkan) dalam hati.  Yaitu Diri-Nya Ilahi al-ghaib yang hanya dapat diketahui dari guru wasithah yang berhak dan sah menunjuki.

Maksud dan kandungan makna dari zikir mukaddimah (zikir pertama dan kedua), yang bertempat pada bahu kiri (tempat mulai thawaf) dan bahu kanan (tempat menarik nafas) adalah simbol hamba yang mempunyai keberanian dengan tekad, mantab, meski betapapun berat resiko yang harus ditanggung guna memenuhi amanat ilahi.

Jadi sebagai simbol keberanian memikul amanah dari Allah SWT. yaitu:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ

Sembahlah Tuhanmu hingga datang yaqin (mati)

Ayat tersebut mengandung makna supaya menyembah Tuhan yang asma’nya Allah dengan kesungguhan berjihâd an-Nafsi supaya dapat lulus dalam mengikuti watak dan jejak para malaikatul muqarrabin, rela sepenuh hati sujud (memperlakukan diri bagai mayit yang patuh dan taat di hadapan yang berhak dan sah mensucikannya) hingga akan ditarik fadhal dan rahmat-Nya dapat seyakinnya merasakan kehadIran yang disembah itu.

Ketika menjelajahi jagat (menjalani kehidupan dunia sebatas umur masing-masing sebagai ujian dan cobaan ini) supaya dapat lurus harus berani menahan nafas, karena menahan nafas merupakan lambang sesuatu yang amat sangat penting. Agar dapat menjadi hamba-Nya Ratu Adil, karena dapat dimengertikan  bagaimana cara mengadili diri sendiri supaya hidupnya tidak ditipu daya, apalagi hingga sampai diperintah dan dijajah oleh hawa nafsu.

Lalu menjadi hamba yang hurriyah tammah. Menjadi hamba yang rasa jiwanya merdeka sejati. Menjadi hamba cahaya-Nya Ilahi di muka bumi. Dijadikan oleh-Nya dapat mengaktualisasikan fitrahnya jati diri.

Karena itulah ketika melakukan zikir istbat (IllAllah), dagu dipukulkan ke arah hati sanubari supaya markas besarnya nafsu lawwamah ini tidak berfungsi (dapat dikendalikan).

  • Nafi Itsbât

Kalimah Nafi Istbât (kalimah Thoyyibah) yaitu “Lâ Ilâha IllAllah” (dilafalkan secukupnya).

Zikir ini dilakukan sebanyak mungkin dengan menghidupkan angan-angan, bahwa semua hal tentang dunia dan apa saja termasuk jiwa raganya, nafi, tidak ada. Dibarengi dengan hati mengintai-intai dirinya Ilahi. Dan apabila masih selalu merasakan ada terhadap apa saja (dan ternyata memang demikianlah yang terjadi), maka segeralah menyadari atas salah dan dosanya sendiri.

Masih banyaknya lakon dan pitukon yang belum dijalani. Masih banyak sekali keteledoran dan masih sangat kurang kesungguhannya dalam ber-jihâd al-nafs. Dengan demikian jiwa dan taubat nasuha-nya terus menghidupi diri. Itulah sebabnya warga Syathariyah apabila melakukan zikir nafi istbat suara yang dikeraskan adalah suara nafi-nyaSebab begitu mengucap “ill” (yang lengkapnya IllAllah) suara seperti dimasukkan ke dalam yang mempunyai asma’ Allah SWT.

  • Itsbat Faqad

Zikir ini berupa lafal “illAllah” (diucapkan sebanyak 7x). dipukulkan kedalam hati nurani dengan alat pemukul dagu. Bermaksud mempertegas bahwa hanya diri-Nya lah Dzat yang Wujud dan yang Ada. Sehingga hati yang menjadi markas besarnya nafsu lawwamah  ini benar-benar diam. Tidak akan mengganggu perjalanan dan cita-cita hati nurani, ruh dan rasa dalam tujuan mendekat sehingga sampai ma’rifat kepada-Nya.

  • Ismu Dzat

Zikir Ism Dzat yaitu “Allah” (diucapkan sebanyak 7x) Arah yang dipukul oleh  dagu tepat pada tengah-tengah dada. Mengarah  pada ruh yang keberadaannya di dalam hati nurani. Supaya benar-benar disadari dan dipahami bahwa ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan dengan keluar masuknya nafas dalam dada, lalu karena itu wujud jiwa raga mempunyai daya dan kekuatan, ini semua adalah  min rûhihi.

Daya dan kekuatan Allah Swt sama sekali bukan bukan daya dan kekuatan nafsu yang terbiasa telah diaku oleh wataknya nafsu. Sebab bila demikian diterus-teruskan sama saja dengan telah berani menjadi hamba yang menyekutukan Tuhannya.

  • Zikir Taraki

Zikir TaRAki yaitu “Allah huwa (dibaca Alla huw) dibaca sebanyak 7x atau ganjil. Ucapan Allah diambil dari dalam dada, dan “huw” dimasukkan ke dalam baitul makmur (markasnya berpikir). Maksudnya supaya markas besarnya berpikir ini selalu dicahayai oleh cahaya Ilahi, sehinga potensi pikir akan benar-benar dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah dunia.

Bagi mengelola garapan dunia yang oleh Allah dicipta tidak sia-sia dan tidak batal ini, namun karena markas berpikir selalu diterangi oleh cahaya-Nya, sama sekali tidak akan ditujukan untuk mengumpulkan harta benda dunia, bersenang-senang, mengumbar hawa nafsu dan syahwat.

Berbangga-bangga dan bermegah-megah dengan kehidupan dunia. Tetapi semata-mata demi untuk subhaanaka. Demi untuk mensucikan Dzat yang Maha Suci. Oleh karena itu, hasil kerja kerasnya semata-mata dijadikan sebagai pancatan yang kokoh, guna mensucikan diri supaya dapat sampai selamat dan bahagia bertemu kembali dengan Dzat yang Maha suci.

  • Zikir Tanazul

Zikir ini berupa lafad “Huw Allah” (sebanyak 7x). “Huw” diambil dari baitul makmur (otak), dan kalimah Allah dimasukkan ke dalam dada. Sebab akhirat itu pintu masukknya ada di dalam dada. Al-taqwa haahuna (tiga kali) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang dituding beliau adalah dadanya.

Sehingga akan senantiasa berkesadaran tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi, bahwa hidup dan kehidupan dunia dengan segala kewajiban hamba yang dilakukannya adalah merupakan proses nyata terhadap kandungan makna “inna lillaahi wa inna ilaihi rajiuun”

  • Zikir Ismu Ghaib

Zikir Isim Ghaib yaitu “Huwa” (dibaca huw dengan mulut tertutup, secukupnya)

Dengan mata terpejam dan mulut dikatupkan. Yang diarahkan tepat pada tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman Rasa yang telah diisi dengan zikir (ingatnya hati nurani pada al-ghaib, isinya Huw).

Zikir huw ini asalnya dari ha’ wawu di dhammah. Yaitu dhamir huwa. Dhamir yang maknanya adalah “sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang ada dan wujud diri-Nya Dzat al-ghaib yang Allah Asma’-Nya. Dan ini adalah makna kandungan firman Allah SWT. dalam Surat al-Ikhlas:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Sumber: Alif.ID

155. Talqin Zikir Syathariyah

Seorang salik di dalam mengamalkan Tarekat Syathariyah harus mengikuti talqin zikir terlebih dahulu oleh seorang mursyid, dan mengamalkan wirid tersebut sesuai dengan perintah mursyid. Caranya, mengucapkan kalimah  لا إله إلا اللهada yang 100 kali, atau 200 kali atau 1000 kali, atau 2000 kali, wirid tersebut dikerjakan satu kali duduk, atau di bagi berkali-kali sesuai kadar kelapangan waktu dan kemampuan.

Hendaklah salik melanggengkan apa yang telah diperintahkan mursyid  kepadanya dengan tidak melewati batasan yang telah diperintahkan agar mendapatkan kemanfaatan dengan seizin Allah. Apabila salik kosong dari kesibukan duniawi dan menyibukkan berzikir secara total kepada Allah, hingga Allah menetapkan kepadanya yaitu hakim yang sebaik-baiknya.

Mantalqin zikir kepada Allah sesuai perintah mursyidnya dengan mengambil secara sanad yang bersambung kepadanya baik dalam syariah dan tarekat. Sebagaimana Allah menetapkan dalam al-Qur’an yaitu:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿٣٧﴾

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ ﴿١٩﴾

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْراً كَثِيراً ﴿٤١﴾

Dan salik bersujud mulai sejak petang dan malam. Dia (Allah) dzat yang mendoakan terhadap kalian dan malaikatnya agar mengeluarkan dari perkara kegelapan kepada deRAng benderang (bercahaya) dan dia (Allah) bersama orang-orang yang beriman.

Maka dari itu orang yang berzikir harus melanggengkan zikirnya sesuai dengan pengetahuan dan setelah penetapan perintah. oleh karena itu seorang mursyid tidak akan memerintahkan kebenaran yang tidak diketahui tetapi dia memerintahkan sesuatu sesuai dengan pengetahuannya, hal ini sesuai dengan khithob pada zaman azali, karena qodimnya kalam Allah dan hubungan sifat kalam dengan sifat ilmu yang ghoib dan ilmu yang nyata.

Maka Allah telah memerintahkan sesuatu yang wujud dalam ilmunya Allah yang abadi, kapanpun yang Allah kehendaki, hendaklah engkau mengkiyaskan seluruh melakukan yang diperintah, sehingga tidak ada persamaan seperti perasangka orang yang menyamakan, baik berupa dahulunya alam karena qodimnya Alam dalam ilmunya Allah merupakan perintah untuk memulai, bukan untuk mengakhiri.

Maka tidak ada kesalahfahaman setelah ini, kecuali barunya alam dalam bentuk nyata bukan dalam ilmu Allah, maka tidak ada syubhat tapi justru hal ini adalah sesuatu yang benar dari Allah dan tidak ada jalan untuk perbedaan selamanya.

Adakalanya zikir dengan lisan dan zikir dengan hati, zikir lisan adalah zikir dengan menggunakan huruf tanpa kehadiran hati, jenis zikir ini disebut zikir dzohir yang memiliki keutamaan yang besar yang sudah disebutkan dalam al-Qur’an, Hadis, dan atsar diantaranya adalah al-Muthlak.

Ada zikir yang dibatasi dengan zaman atau tempat seperti zikir adalam sholatbaik setelah atau yang mengiringinya zikir dalam haji, zikir sebelum tidur, zikir sebelum saat akan tidur dan setelah tidur. Zikir sebelum dan sesudah makan dst. Diantaranya ada zikir yang tidak dibatasi dengan zaman, tempat, waktu dan keadaan. Zikir yang memuji kepada Allah seperti membaca tasbih, tahlil, hauqolah dan sebagainya.

Zikir hati, zikir yang sejati adalah hati dipenuhi dengan dzat yang zikiri hingga hilangnya zikir (karena nikmatnya zikir), Imam Ghazali berkata: zikir dengan hati memiliki 3 lapis, sebagiannya lebih dekat pada inti dibanding dengan yang lain sementara keberadaan inti ada di balik kulit, perumpamaan ini mengambil dari buah kelapa.

Kulit yang luar adalah zikir lisan saja, tidak henti-hentinya orang berzikir dengan lisannya dan berusaha untuk menghadirkan hati bersamnya karena hati membutuhkan tempat berlabuh yang sesuai sehingga hati bisa hadir dengan lisan. Jika seseorang meninggalkan walaupun dia meninggalkan dan melekatkan pastinya dia melepas dalam pemikIran yang terendah menuju terhadap keserasian hati dan lisan.

Ketika hal itu terjadi maka anggota dzohir dan anggota bathin dipenuhi berbagai cahaya, hati menjadi bersih dari kotoran, dan putus dari bisikan shetan, dan hati menjadi tempat al-Waridât (sesuatu yang ada sebagai akibat dari wirid), menjadi kaca yang bersih dan jernih bagi beberapa tajalli dan pengetahuan ilahiyah, ketika zikir itu mengalir menuju hati dan menyebar pada seluruh anggota tubuh, maka seluruh anggota tubuh akan berzikir menurut keadaannya, (al-Simthu al-Majid, halaman: 9-11).

Nabi Muhammad bersabda, Allah SWT. berfirman: “Lâ ilâha illâh itu kalam-Ku dan kami (Allah) itu dia (Lâ ilâha illâh), barangsiapa mengucapkan lafadz tersebut maka dia melindungi-Ku, barangsiapa yang melindungi-Ku maka dia aman/selamat dari siksaan-Ku yang baru” kemudian kitab al-Um menjelaskan yaitu lafadz Lâ ilâha illâh Muhammadar Rasulullah awal dan akhir itu dasar terhadap pembangunan syari’at.

Kemudian pembangunan syari’at tersebut di bagi dua, adakalanya perintah dan larangan dengan cara mengetahui makna yang mengandung lafadz amar, fi’il madly yang menunjukkan wajib, sunnah dan mubah, sedangkan yang menunjukkan  larangan dengan memakai shighot “La Taf’al” yang berarti menunjukkan haram dan makruh.

Sesuatu yang tidak patut dan khilâf al-aula ini menunjukkan pada makruh. Sesuatu yang benar itu termasuk perintah, sesuatu yang rusak itu haram yang dilarang, maka tidak ada perbedaan antara perintah dan larangan.

Lafadz tarekat tadi itu merupakan dasar dalam tarekat dengan melakukan ajaran yang bersanad  yang bersambung pada Nabi Muhammad Saw sebagaimana pohon yang baik hal ini seperti orang mukmin yang selalu berbicara yang baik dan amal yang baik pula dan selalu meningkat dengan baik.

Sebaliknya ucapan kotor seperti pohon yang buruk hal ini seperti orang kafir yang tidak meningkat pada ucapan baik dan tidak beramal baik. Diriwayatkan Ibnu hatim dari rabîh dari anas Allah berkata: “sesungguhnya Allah menjadikan taat kepadanya itu sebagai cahaya sedangkan ma’siat sebagai kegelapan, sesungguhnya Iman di dunia merupakan cahaya pada hari kiamat.

Kemudian Allah tidak menjadikan kalimat yang baik dan tidak beramal itu bukan dasar dan bukan cabang bagi-Nya karena Allah itu telah membuat perumpamaan iman dengan kufur. Sebagaimana Allah SWT. berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء ﴿٢٤﴾

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (Q.S. Ibrahim: 24).

Ayat ini merupakan perumpamaan iman dan kufur. Sesungguhnya hamba yang mukmin yang ikhlas dia bagaikan pohon yang akarnya teguh dalam bumi dan cabangnya sampai menjulang ke langit, karena akar yang teguh adalah ikhlas karena Allah semata dan beribadah kepadanya, tidak menyekutukannya.

Kemudian sesungguhnya cabang itu baik, hingga meningkat dengan baik waktu siang dan malam dan dia mampu makan dengan seizin tuhannya, kebaikan itu terbagi menjadi 4 perbuatan ketika hamba mengumpulkan ikhlas hanya kepada Allah yaitu  beribadah kepadanya, takut kepadanya, cinta kepadanya dan berzikir kepadanya, ketika ini dikumpulkan semuanya maka tidak ada bahaya fitnah baginya.

Ibnu Abi Hatim dari Qodatah sesungguhnya seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah orang pemalas itu pergi dengan tidak lalim, kemudian apakah kamu mengetahui kalau dia sengaja mencari harta dunia maka dia akan menaiki sebagian harta tersebut, apakah pertama akan sampai pada langit, saya beri kabar pada kamu tentang amal (perbuatan), dasar (akar) amal adalah di bumi, sedangkan cabangnya) menjulang ke langit. Karena mengucapkan lafadz Lâ Ilâha illâh wa Allahu akbar wa subhanAllah wal hamdulillah dengan 10 kali setiap selesai sholat maka hal ini merupakan dasarnya (akarnya) di bumi sedangkan cabangnya berada dilangit.

Dikatakan al-Shohihin dari Rasulullah SAW. Apa lafadz ringkas dari Inna al-Syajarah al-Thayyibah yaitu tabiat (al-nukhlah), dan khobitsah yaitu paria (sejenis labu Rasanya pahit).

Diriwayatkan dari ibnu Abbas  RA. Dalam firman Allah

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً   شَهَادَةً اَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ

Ini adalah orang mukmin, dasarnya kukuh (kuat) dengan mengucapkan lâ ilâha illAllah itu kuat (kukuh) didalam hati orang mukmin, cabangnya dilangit dengan mengucapkan lâ ilaha illâh dalam perbuatanya dengan mengangkatkan pada langit, masuh kalimat khobitsah yaitu syirik sebagaimana pohon buruk yakni orang kafir yang dicabut akarnya dari atas bumi.

Ibnu jarir dan ibnu abi hatim dari Ibnu Abbas RA. Dengan firman Allah:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً

Ibnu Abbas berkata al-Syajarah al-Thayyibah yaitu orang mukmin dengan dasarnya (akarnya) kukuh di bumi, dengan cabangnya di langit yaitu orang mukmin yang melakukan (beramal) di bumi.

Sedangkan Ucapan al-Sama’ yaitu dibumi dengan melakukan makan setiap hari dengan seizin tuhannya, yang berkata berzikirlah kepada Allah setiap waktu mulai dari siang dan petang.

Sumber: Alif.ID

156. Tarekat Aidrusiyah

Aidrusiyah adalah nama dari tarekat yang masyhur di kalangan bani Alawi. Nama tersebut berasal dari nama satu suku Arab Selatan (Yaman), yang banyak melahirkan sufi-sufi. Pendiri tarekat ini adalah Abu Bakar bin Syaikh Abdullah al-Aidrus bin Abi Bakar as-Sakran yang lahir dan wafat di Tarim Hadhramaut (851-914 H/1447-1509 M). Ia sangat shaleh, penghafal al-Qur’an, belajar ilmu lahir dan batin, serta memeroleh ijazah atau khirqah dari beberapa tokoh sufi.

Silsilah tarekatnya sambung sampai kepada Imam Syadzili, Imam Ibnu al-Maghribi, Imam Abû Madyân, Imam Abdul Qadir al-Jailani dan Imam Suhrawardi.

Pada usia 20 tahun Abu Bakar dididik dalam dunia tasawuf oleh saudaranya serta banyak bergaul dengan pamannya Syaikh Umar al-Muhdhar yang menuntunya menempuh jalan suluk. Pamannya ini banyak memberikan pengaruh kepada jiwanya. Ia mengatakan bahwa pamannya mengaruniakan kepadanya tiga tangan, yakni tangan Nabi Muhammad Saw mengenai Tarekat Kasyaf, tangan Syaikh Abdur Rahman as-Saqqaf dan tangan seorang rijal ghaib.

Tokoh lain dari Tarekat Aidrusiyah ini adalah Syaikh Abdur Rahman bin Musthafa al-Aidrusiyah (lahir di Tarim HadRAmaut 1135 H./1723 M-dan wafat di Mesir 1192 H./1778 M).

Syaikh Abdur Rahman pertama sekali mendapatkan ijazah dari ayah dan kakeknya. Ia belajar fikih kepada Abdur Rahman bin Abdullah bin Fakih. Pada 1153 H, ia berangkat ke India, berjumpa dengan tokoh Tarekat Aidrusiyah, yang kemudian mendidiknya dalam Tarekat zikir sampai ia mendapat ijazah pula.

Kemudian pada 1158 H, ia berangkat ke Mesir lalu mengajarkan Tarekat Aidrusiyah di sana. Salah seorang muridnya ialah seorang tokoh sufi yang ternama di Mesir, Abdur Rahman bin Sulaiman al-Misri.

Kewajiban Salik

Salik harus mengurutkan muamalahnya

  1. Zuhud, adalah memperkecil senang terhadap sesuatu, meninggalkan kebutuhan yang lebih. Ketergantungan zuhud batin lebih banyak dari pada zuhud lahir, tahapannya sebagai berikut:
  • Mempersedikit makan
  • Tidak menuruti kesenangan nafsu
  • Melaksanakan khalwat
  • Menjaga keadaan (ahwal) hati dan menjaganya dari was-was syetan, akhlak yang jelek
  • Selalu menjaga hubungan antara hati dengan Allah, sehingga hati selalu hudur dan tidak melupakan Allah walaupun sekejap mata, (îdhah Asrar Ulûm al-MuqarRAbin, halaman: 5).
  1. Menjaga adab bicara, hendaknya Salik beramal dulu sebelum berbicara, menjelaskan lisan di belakang hatinya (lebih banyak merasakan daripada membicarakannya), tidak berbicara sebelum ditimbang dengan timbangan akal, (îdhah Asrar Ulûm al-Muqarrabin, halaman: 7).
  2. Menjaga adab mendengarkan ucapan
  3. Selalu berusaha memperbaiki amal
  4. Selalu menjaga niat yang baik dalam segala amal, supaya terlepas dari riya’
  5. Tidak menyalahkan orang lain walaupun mereka berbuat salah
  6. Selalu mengajarkan amal yang baik.

Ajaran-ajaran Tarekat Aidrusiyah

Menjalankan tarekat yang sejati yaitu dengan ibadah, beberapa maqâm, hal, jiwa, pengetahuan, dengan mengambil kalam matsal (amtsal), menjaga hati dengan cinta dengan landasan khusnuzhan (prasangka yang baik) dengan zikir-zikir, dengan kesungguhan dan kejujuran, I’tiqad (keyakinan yang besar) dengan mencabut sesuatu yang jelek, hidmat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama.

Hal ini tidak akan terlaksana dengan baik kecuali dengan bimbingan Syaikh yang memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil nas (al-Qur’an dan Hadis) dan dalil-dalil akal (baik yang ijma’ atau yang tafsil), orang berpengetahuan terhadap Allah Swt atau dengan dirinya sendiri, berpengetahuan tentang alam musyahadah dan alam ghaib.

  1. Ahli sufi (tarekat) sepakat bahwa yang menjadi hijab hubungan antara hati salik dan Allah Swt adalah nafsu amarah, yang menjadi sumber-sumber perbuatan buruk. Terbukanya perilaku buruk bersumber pada ‘ujub, serta cinta dunia. perbuatan zhalim yang tinggi adalah hasud, adu domba. Para mursyid tarekat sepakat bahwa mencegah bergaul dengan orang-orang berbuat jelek, dengan orang fasik, orang-orang yang lupa kepada Allah Swt dalam kehidupan akhirat.
  2. Para syaikh sufi (tarekat) sepakat bahwa untuk membangun dan mendidik salik adalah dengan mempersedikit makan, berbicara, tidur, melakukan uzlah, riyadhah, khalwat, dan seluruh cita-cita salik tidak akan berhasil tanpa bimbingan syaikh atau mursyid.
  3. Berpedoman pada akidah ahlu as-Sunnah wal Jama’ah.
  4. Tentang ketauhidan, bahwa dzat Allah Swt tidak terbagi-bagi, tidak ada yang menyerupainya dalam dzat haq dan sifat-sifatnya dan
  5. Taqwa, merupakan sentral kebahagiaan, setiap kebahagiaan bertempat di akhir, seperti firman Allah SWT.: وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ semua bangunan bergantung pada fondasinya yaitu takwa kepada Allah SWT., firman Allah SWT.: اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ. Para ulama’ sufi berkata: yang dimaksud dengan kata takwa pada ayat di atas adalah (bangunan di atas) pondasi yang tidak akan bisa roboh selama akhir masa. Karena pokok agama adalah pemiliknya yang tiada henti-hentinya naik dalam latihan-latihan sirii, kenikmatan-kenikmatan dan salik naik derajat menuju alam keagungan. Untuk dapat melakukan hal itu salik harus melepaskan lima perkara dan memakai lima perkara yang lain:
  • Melepas baju yang melekat di badan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.
  • Melepas pakaian hati dengan membangun maqâm, yaitu taubat, wira’i, zuhud, sabar, fakir, syukur, khauf, raja’, tawakal, rida dengan jujur, terus-menerus susah karena Allah Swt, menghiasi hati (tahalli) dengan sifat-sifat yang baik dan membersihkan hati (takhalli) dari sifat-sifat yang jelek.
  • Melepas pakaian ruh dengan segenap rasa; cinta, rindu, takut, segan, merasa tentram, senang, merasa dekat, syukur, berusaha sampai kepada Allah Swt (washal), dihantarkan untuk sampai kepada Allah Swt (wushul), fana, dan baka
  • Melepas pakaian asrar dengan sifat keesaan Allah Swt. Pada tahap ini salik memakai pakaian insan al-kamil dengan melaksanakan syariat, tarekat, dan hakikat.
  • Melepas pakaian rahasianya rahasia yang tidak dapat dilihat kecuali Allah Swt yang haq.
    1. Yang menjadi salah satu konsentrasi tarekat ini adalah hati. Membersihkan hati dengan berbagai macam ibadah sehingga salik naik pada maqâm yang telah disiapkan terhadap ahwal (keadaan batin salik).
    2. Menjaga nafas bersama dengan Allah Swt karena para ulama’ sufi sepakat bahwa ibadah yang paling utama menjaga nafas, keluar masuknya nafas bersama lafadz Jalalah (Allah) atau kalimat zikir tahlil secara khafi tanpa menggerakkan lisan, (al-Kibrit al-Akhmar wal- Iksir al-Akbar fi Idhah Asrar Ulûm al-Muqarrabin, halaman: 66-68).

Sumber: Alif.ID

157. Maqam Salik dalam Tarekat Aidrusiyah

Setiap maqam bagi salik bisa menghasilkan ahwal aalik, berikut maqam-maqam salik:

  1. Taubat, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan mahabbah kepada Allah Swt.
  2. Wira’i, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan rindu.
  3. Zuhud, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan hal al-wahbi (keadaan hati yang dianugrahkan oleh Allah Swt).
  1. Sabar, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan ketenangan.
  2. Fakir, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan dekat dengan Allah Swt.
  3. Syukur, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan malu kepada Allah Swt.
  1. Khauf, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan keadaan jiwa yang luhur.
  2. Raja’, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan wushul kepada Allah Swt.
  1. Tawakal, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan fana.
  2. Rida, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan baqa’, (al-Kibrit al-Akhmar wal- Iksir al-Akbar fi Idhah Asrar Ulûm al-Muqarrabin, halaman: 70-72).

Tingkatan Perjalanan Salik

Ringkasan perjalanan salik, terbagi dalam tiga tingkatan:

  1. Perjalanan salik secara zhahir disebut dengan istilah syariat, yaitu mengikuti jalan yang lurus. Perjalanan ini merupakan persiapan salik masuk dalam kategori ilmu dhohir, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
  2. Perjalanan salik dari dirinya sendiri menuju ke hati yang diistilahkan dengan tarekat, yaitu berakhlak dengan akhlak yang agung, sebagaimana pujian Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw. Perjalanan ini memerlukan persiapan, yaitu ilmu batin: membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan menghiasinya dengan akhlak yang terpuji.
  3. Perjalanan salik dari hatinya menuju kepada tuhannya yang diistilahkan dengan hakikat, yaitu melebur segala sesuatu selain Allah Swt dalam hati dengan melanggengkan rasa tentram melalui ingat kepada Allah Swt

 Zikir Tarekat Aidrusiyah

  • Secara sirri
  1. لاإله إلا الله
  2. Zikir jalalah (الله) berfaidah membuka rahasia-rahasia
  3. Zikir ـهُ ـهُ (hu hu) untuk memperkuat asrar, menenggelamkan sirri, hati dan ruh
  • Secara jahri
  1. Membaca Alquran, minimal Surat yâsin, al-Waqi’ah, dan al-Mulk
  2. سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَر sebanyak 100 x
  3. لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وهُوَ عَلَى كل شيئ قدير sebanyak 100 x
  1. سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ
  2. مَا شٓاءَ اللهُ قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
  3. حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ sebanyak 7 x

Setelah membaca do’a di atas, kemudian membaca do’a setiap hari pada waktu subuh sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَايَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِى الْأَرْضِ وَلَا فِى السَّمٓاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. × 3

اللهم يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا حَيُّ حِيْنَ لَا حَيَّ يَا حَيُّ مُحْيِ الْمَوْتَى يَا حَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ وَبِنُوْرِ قُدْسِكَ وَعَظَمَةِ ظَهَارَتِكَ وَبَرَكَةِ جَلَالِكَ مِنْ كُلِّ آفَةٍ وَعَاهَةٍ، وَطَارِقِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَطَارِقِ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ إِلَّاطَارِقًا يَطْرُقُ مِنْكَ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنُ: اللهم أَنْتَ يَا غِيَائِيْ فَبِكَ أَسْتَغِيْثُ،  وَأَنْتَ عِيَاذِيْ فَبِكَ أَعُوْذُ، وَأَنْتَ مُلَاذِيْ فَبِكَ أَلُوْذُ، يَا مَنْ ذِلْتَ لَهُ رِقَابَ الْجَبَابَرَةِ وَخَضَعْتَ لَهُ أَعْنَاقَ الْفَرَاعَنَةِ أَعُوْذُ بِجَلَالِ وَجْهِكَ وَكَرَمِ جَلَالِكَ مِنْ خُزِّيْكَ وَكَشْفِ سَتْرِكَ وَنِسْيَانِ ذِكْرِكَ وَالْاِضْرَابِ عَنْ شُكْرِكَ، أَنَا فِى حِرْزِكَ وَكَنَفِكَ وَكَلَاءَتِكَ فِى لَيْلِى وَنَهَارِيْ وَنَوْمِى وَقِرَارِىْ وَظَعْنِى وَأَسْفَارِىْ وَحَيَاتِى وَمَمَاتِى، ذِكْرِكَ شَعَارِىْ، وَثَنَاؤِكَ دَثَارِىْ، لَاإِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ  تَشْرِيْفًا لِعَظَمَتِكَ وَتَكْرِيْمًا لِسَبْحَاتِ وَجْهِكَ أَجِّرْنِى مِنْ خُزِّيْكَ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِكَ  وَاضْرِبْ عَلَيَّ سَرَادَقَاتِ حِفْظِكَ وَأَدْخِلْنِى فِى حِفْظِ عِنَايَتِكَ وَجُدْ عَلَيَّ مِنْكَ بِخَيْرٍ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

وَهِيَ لَااِلهَ اِلَّا اللهُ الحَكِيْمُ الكَرِيْمُ سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبِّ االْعَرْشِ الْعَظِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، اللهم إِنِّي أَدْرَأُ بِكَ فِيْ نَحْرِهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَأَسْتَعِيْنُكَ عَلَيْهِ فَاكْفِنِيْهِ بِمَا شِئْتَ، لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ الْحَكِيْمُ الْكَرِيْمُ سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اللهم إِنِّي اَعُوْذُ بِكَ  مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ وَأَدْرَأُ بِكَ فِي نَحْرِهِ وَأَسْتَعِيْنُكَ عَلَيْهِ فَاكْفِنِي شَرَّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ بِمَا شِئْتَ وَكَيْفَ شِئْتَ وَأَنِّي شِئْتَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.

Dan diakhiri dengan zikir Asma’ al-Husna

” حزب السكران ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾ آمين (الفاتحة: 1-7). بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿٢٥٥﴾ (البقرة: 255) (بنا استدارات) 3× كَمَا اِسْتَدَارَتْ الْمَلَائِكَةُ تَمْدِيْنَةُ الرَّسُوْلِ بِلَا خَنْدَقٍ وَسُوْرٍ مِنْ اَمْرٍ مَخْدُوْفٍ وَقَدَرٍ مَقْدُوْرٍ وَمِنْ جَمِيْعِ الشُّرُوْرِ (تترست بدرب الله) 3× مِنْ عَدُوِّنَا وَعَدُوِّ اللهِ مِنْ سَاقِ عَرْشِ اللهِ إِلَى قَاعِ اَرْضِ اللهِ بِاَلْفِ اَلْفِ اَلْفِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَظِيْمِ. اللهم اِنَّ اَحَدًا اَرَادَنِى بِسُوْءِ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْوُحُوْشِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ مِنْ بَشَرٍ اَوْ شَيْطَانٍ اَوْ وَسْوَسٍ نَارِدٍ نَظْرِهِمْ فِى اِنْتِكَاسٍ وَقُلُوْبِهِمْ وَاَيْدِيْهِمْ فِى إِفْلَاسٍ وَاَوْبَقِهِمْ مِنَ الرِّجْلِ اِلَى الرَّأْسِ لَا فِى سَهْلٍ يَخْدَعُ وَلَا فِى جَدْرٍ يَطْلَعُ بِاَلْفِ اَلْفِ اَلْفِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

158. Tarekat Jalwatiyah

Tarekat ini dinisbatkan kepada Syaikh ‘Aziz Mahmud Hada’I (w.1628 M) dari Syaikh Muhammad Syahir, dari Syaikh al-Barwasawiyi, dari Syaikh al-Haj Birom al-Anqoridi, dari Syaikh Quthub al-Aqtab Humaid al-Din al-Aqsaroi, dari Syaikh Khowajah ‘Ali al-Ardabili, dari Syaikh Shofiyuddin al-Ardabili, dari Syaikh Ibrahim al-Zahid al-Kailani, dari Syaikh Syihabuddin Muhammad al-Tibrizi.

Syihabuddin Muhammad al-Tibrizi dari Syaikh Rukunuddin Muhammad al-Sanjani dari Syaikh Qutbuddin al-Abhari (w.590) dari Syaikh Najib al-Suhrawardi (w.563) dari Syaikh Wasiyuddin al-Qodhi Umar al-Bakri (w.532 H) dari Syaikh Muhammad al-Bakri (w.475 H) dari Syaikh Junaid (w.297 H) dari Syaikh Sari al-Siqti (w.253 H) dari syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi (w.199) dari Syaikh Dawud al-Thoi (165) dari Syaikh Hasan Bashri (w.110 H) dari Sayyid Hasan (w.50 H) dari Sayidina Ali bin Abi Thalib Krw (w.40 H), dan dari Nabi Muhammad Saw.

Nama Jalwatiyah berasal dari kata jala-yajli-jalwan yang bermakna keluarnya hamba dari khalwat dengan membawa dan memakai sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan). Pemakaian istilah خلوتية dengan huruf خ dan جلوتية degan huruf ج sebenarnya tidak ada bedanya, karena makna خلوة adalah meninggalkan pergaulan dengan manusia baik secara bentuk maupun maknawi, berkomunikasi secara langsung dengan Allah Swt secara sirri tanpa melalui perantara seseorang atau malaikat, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 20).

Turunnya titik huruf خ menjadi ج sebagai isyarat turunnya sirri nabi Muhammad Saw menjadi wujud alam semesta dan sebagai qutubnya. Dalam ajaran Jalwatiyah membagi perjalanan menjadi dua:

  1. Perjalanan pertama yang disebut fana’ al-kulli, ini adalah tingkatan لا إله إلا الله dibaca 100 x pada akhir bacaan ditambah محمد رسول الله. Penyebutan محمد رسول الله itu merupakan penjelasan kerasulan Nabi Muhammad Saw yang telah ditentukan oleh Allah Swt, begitu juga dengan pewaris-pewaris nabi diantara ahli Tarekat. Adakalanya penentuan itu tanpa melalui perantara (ini langka) adakalanya melalui perantara syaikh yang menjadi pengganti atau pewaris nabi, sementara nabi Muhammad Saw mendapat dari Allah Swt.
  2. Perjalanan kedua disebut dengan baqa’ (ini adalah maqam Nabi Muhammad yang disebut maqam Qab Qusain).

Dalam Tarekat Jalwatiyah, salik harus melaksanakan amal sesuai dengan hukum syariat sampai akhir hayatnya, karena ahli hakikat dalam pelaksanaan syari’at menganut pada ahli syariat. Sehingga salik tetap bergaul dengan manusia umum, berdagang, bertani, menikah, dan berbagai macam muamalah dan ibadah.

Nabi Muhammad Saw telah memberi isyarat ketika memberi perintah untuk merapatkan dan meluruskan barisan dalam shalat jamaah. Dalam hal ini nabi membedakan antara menghadap kepada Allah Swt secara individu dengan menghadap kepada Allah Swt secara berjama’ah atau kelompok. Karena sebagian orang dari kelompok pertama (individu) memetik buah kebahagiaan sebelum tujuannya berhasil.

Hal ini tidak terjadi pada golongan kedua (jama’ah/kelompok) sebagai tawajjuh (beribadah menghadap kepada Allah Swt) bagaikan selendang/surban bagi sebagian orang dan bahkan bisa menjadi penunjang untuk mendapatkan keutamaan. Seperti hujan bisa mempercepat aliran air yang sebelumnya lemah bukan malah memutus aliran air untuk sampai ke laut lepas, begitu juga dengan setiap tawajjuh yang dilakukan individu secara berkelompok itu bisa dibedakan dan menjadi penolong kesempurnaan tawajjuh di hadapan Allah Swt.

Tarekat Jalwatiyah mengenal konsep daur (memutar). Salik di masa awal harus melakukan khalwat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu keluar dari khalwat lalu bergaul dengan manusia umum dengan membawa perubahan dari sifat jelek menjadi baik, dari sifat manusia umum menjadi sifat-sifat uluhiyah. Dalam hal ini memiliki sirri yang lain yaitu menyatunya tahap awal (khalwat) dan tahap akhir (jalwat).

Sebagian mursyid Jalwatiyah ditanya apa itu pamungkas (nihayah)? Dijawab “kembali ke tahap awal, ketika salik sudah sampai tahap akhir maka menyatulah tahap pertama dan tahap akhir menjadi kesatuan lahir batin”.

Takutlah wahai salik melakukan amal yang tidak sesuai dengan syariat-syariat tarekat karena hal itu adalah penyakit dan pemiliknya berpenyakit. Jadilah anak zaman, kenalilah batas-batasmu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

Jangan engkau tidak menyesuaikan amal dengan bapak dan kakek (tirulah guru-guru tarekat yang menjadi bapak dan kakek ruhanimu). Jika engkau memilih untuk memutar atau daur (menyatunya tahap awal dan akhir) bergerak, hal itu adalah jalan tata kramanya, maka engkau akan menemukan kebaikan dan barokah, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 24-25).

Kewajiban

  1. Menjalankan amalan sesuai aturan syariat;
  2. Membaca Alquran dan menghayati makna-makna yang terkandung dan tersiratat dalam Alquran;
  3. Melaksanakan khalwat sebagai berikut (tata cara khalwat seperti Khalwatiyah):

Dilaksanakan selama 40 tahun atau kurang, menurut kebiasaan yang dilakukan oleh Allah (sunnatullah).

Perjalanan salik Jalwatiyah dalam menempuh tingkatan Asma` itu lambat dan mendaki karena membangun maqâm pada diri salik berbeda dengan membangun rumah, darah salik bukan batu bata bahan bangunan, kecuali setelah menempuh suluk dalam beberapa masa dengan benar maka bangunan maqâm salik bisa terwujud.

Salik Jalwatiyah memiliki dzauq (anugerah ilahi berupa pengetahuan yang ditancapkan ke dalam hati kekasih Allah Swt) yang sempurna, karena sang salik melaksanakan riyadhot al-nafs yang sempurna, selalu melaksanakan munajad kepada Allah Swt sepanjang siang dan malam, hati salik sudah mukasyafahmukasyafah qubur, melihat jin, malaikat, menyaksikan bentuk-bentuk amal, sifat-sifat yang biasa dilakukan manusia baik secara yaqdhoh (nyata), khisi (perasaan), mimpi, mengerti kalam matsal;

  1. Salik menyibukkan diri dengan zikir;
  2. Bersungguh secara ruhani dan jasmani, karena salik Jalwatiyah dalam melaksanakan tarekatnya akan mendapatkan mihnah (cobaan berupa kenikmatan). Yang sempurna diantaranya akan diberi pengetahuan tentang rahasia kehidupan seluruh cakrawala alam semesta dan tajalli, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 28-29).

Salik dalam menjalankan suluknya adakalanya di bawah naungan mursyid yang kamil, jika tidak maka akan sangat sulit untuk memahami dan mendalami asma` kecuali mendapatkan bimbingan langsung dari Allah Swt seperti Uwais al-Qarni RA.

Untuk bisa seperti Uwais harus mendapatkan persiapan yang sempurna, jika tidak maka akan sulit tetap ada di tarekatnya tanpa mendapatkan maqâm.

Bagaikan seorang anak yang meratapi kematian ibunya sehingga penuntun Tarekat Jalwatiyah lebih sedikit jika dinisbatkan kepada Tarekat Khalwatiyah.

Sumber: Alif.ID

159. Suluk Tarekat Jalwatiyah

  1. Bersungguh dalam kurun waktu 40 tahun;
  2. Memperbaiki watak, nafsu, ruh;
  3. Melakukan sayr (perjalanan) dalam tangga syariat, tarekat, makrifat, hakikat dengan jalan meninggalkan kesenangan;
  4. Menghilangkan kebodohan;
  5. Menghilangkan condong terhadap segala sesuatu selain Allah Swt, serta menerima tiada yang disembah, tiada yang dituju, tiada yang dikenal, tiada yang wujud selain Allah Swt.

لَا مَعْبُوْدَ وَ لَا مَقْصُوْدَ وَ لَا مَعْرُوْفَ وَ لَا مَوْجُوْدَ إِلَّا اللهُ

Setelah melakukan suluk, salik akan ditunjukkan penundukan jeleknya nafsu dan sifat-sifatnya yang rendah.

Kesungguhan (mujahadah) tidak akan tampak kecuali setelah keluar dari pintu kematian (yang dimaksud pintu kematian adalah hasil dari pendidikan watak dengan cara mengekang nafsu dari kesenangannya seperti makan, minum, tidur, melihat wanita yang menjadi jejaring setan), (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 30-31).

Ketahuilah bahwa syariat adalah tarekat yang harus ditempuh, awalnya melakukan amal sesuai dengan hukum dan berakhir sampai pada daerah al-Salam (surga tempat keselamatan). Sementera itu tarekat merupakan tata krama (adab), bermacam mujahadah, suluk, sayr (perjalanan hati untuk bertawajjuh dengan Allah Swt melalui zikir) dan thair (طير).

Perjalanan salik menurut ahli al-haqîqah adalah sebuah ungkapan tentang perjalanan hati ketika mengerjakan tawajjuh kepada Allah (al-Haqq) dengan berzikir,  perjalanan salik ini ada 4 macam:

  1. Menghilangkan banyak hijab dari dzat yang satu yaitu perjalan salik menuju Allah (ma’rifat Allah) dari derajat dirinya dengan menghilangkan kesenangan sesuatu yang nampak dan selain Allah sehingga hamba tersebut sampai pada kenaikan derajat yaitu Maqâm al-Qalbi
  2. Menghilangkan hijab yang maha satu (Allah) dari berbagai sisi keilmuan bathiniyah yaitu perjalanan salik kepada Allah dengan cara mengenal sifat-sifatNya dan nama-namaNya yang disebut perjalanan salik kepada Allah yang haq sampai memperolah derajat yang tinggi yaitu puncak bersimpuh dihadapan Allah yang maha satu.
  3. Menghilangkan ikatan dari dua jalur yang saling berbeda yaitu dzâhir dan bâthin yang sampai pada derajat mengumpulkan pandangan yang satu dan bersimpuh pada hadapan Allah yang satu yang disebut dengan Maqâm Qâba al-Qausani.
  4. Ketika kembali dari Allah kepada makhluk yaitu penyatuan dan pemisahan dengan menyaksikan perjalanan Allah pada makhluknya dan lenyapnya makhluk dari Allah sehingga pandangan dapat melihat beberapa bentuk didalam pandangan yang satu yaitu perjalanan salik dengan Allah dari Allah untuk menyempurnakan disebut dengan Maqâm al-Baqâ’ setelah maqam al-Fanâ’ dan pisah setelah kumpul.
  • Barangsiapa tidak bersyari’at maka dia tidak beragama.
  • Barangsiapa tidak berTarekat maka ia tidak mempunyai tata krama.
  • Bermujahadahnya suluk menempati kedudukan istinjaknya wudu. Barangsiapa yang tidak beristinjak maka dia tidak mempunyai wudu. Begitu juga barangsiapa yang tidak bermujahadah dalam suluknya maka dia tidak termasuk melakukan suluk. Lalu suluknya sayr (perjalanan hati) itu seperti kedudukan wudu dalam sa Sehingga barangsiapa yang tidak mempunyai wudhu` maka tidak sah shalatnya. Begitu juga barangsiapa yang tidak suluk maka dia tidak melakukan sayr. Dan akhir dari سير adalah طير yaitu sampainya salik pada maqâm qaf al-qurobah (قاف القربة).

Permulaan tarekat adalah adab dan yang terkait dengannya serta menjaga hukum-hukum syari’at. Dan akhir tarekat adalah مرتبة العندية (suatu derajat yang berada di atas surga dalam bentuknya). Oleh karena itu Allah Swt berfirman:

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوْا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ ﴿١٠٨﴾ [هود: 108]

Surga tidak bisa menampung insan kamil, tapi yang menampung insan kamil adalah surga hatinya. Hal ini yang dimaksud firman Allah Swt dalam Hadis qudsi:

لَا يَسَعَنِيْ اَرْضِيْ وَ لَا سَمَائِيْ وَ لَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِي التَّقِى (فيض القدير ،ج 2 حديث 4969)

Bumi dan langitku tidak bisa memuat aku, tetapi yang bisa memuat adalah hati hambaku yang bertaqwa

Karena bumi dan langit berada pada alam malak dan musyahadah, sementara hati berada di dalam alam malakut dan ghaib, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 33).

Tata Cara Baiat Dan Talqin Zikir

  1. Salik duduk seperti tasyahud dalam sholat dengan tenang, kedua tangan salik diletakkan di atas lututnya;
  2. Duduk di hadapan mursyid yang mentalqin zikir;
  3. Mursyid menuntun salik membaca istighfar;

أَسْتَغْفِرُ اللهَ (3×) مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ قَوْلًا وَ فِعْلًا وَ عَمَلًا وَ اعْتِقَادًا. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ. أَمَنْتُ بِاللهِ وَ مَلَئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْيَوْمِ الْأَخِرِ وَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ مِنَ اللهِ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.

  1. Mursyid memberi wasiat untuk:
  1. Membaca istighfar 100 x tiap hari;
  2. Membaca tahlil لا إله إلا الله 700 x tiap hari. Setiap membaca tahlil 20/30 diteruskan dengan membaca محمد رسول الله;
  3. Membaca Asma’ 12 dengan melalui bimbimgan petunjuk mursyid:
  • لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ
  • اَللهُ
  • هُوَ
  • اَلْحَقُّ
  • اَلْحَيُّ
  • اَلْقَيُّوْمُ
  • اَلْقَهَّارُ
  • اَلْوَهَّابُ
  • اَلْفَتَّاحُ
  • اَلْوَاحِدُ
  • اَلْاَحَدُ
  • اَلصَّمَدُ

Untuk mengetahui urutan bacaan Asma’ membutuhkan maratib suluk, sair, thair dan dilakukan dalam pengawasan dan bimbingan mursyid.

Tata cara membaca tahlil لا إله إلا الله ada dalam kitab, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 58).

Wazhifah Harian bagi Salik Tarekat Jalwatiyah

Salik diperintahkan mursyid untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat isyraq (shalat yang dilakukan saat matahari naik setinggi busur anak panah atau dua kalinya atau ½ sampai 1 meter) dua sampai empat rokaat (jika empat rakaat maka dengan dua salaman).

Rakaat pertama membaca Surat الشمس, rakaat kedua membaca Surat اليل, rakaat ketiga membaca Surat الضحى, rakaat keempat membaca Surat الم نشرح;

  1. Shalat dhuha 4/6/8/12 rakaat;
  2. Melakukan salat awabin (salat yang dilaksanakan setelah shalat maghrib);

مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ وَ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيْمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوْءٍ عَدَّلَنَّ بِعِبَادَةِ اثْنَى عَشَرَةَ سَنَةٍ، وَ يَقْرَءُ فِيْ كُلِّ رَكَعَةٍ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ قُلْ يَا اَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ مَرَّةً. وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. رواه الترمذ (535) و ابن ماجه (1157).

  1. Melakukan shalat tahajjut 12 Rakaat;
  2. Salik melaksanakan puasa-puasa sunnah sebagai berikut:
  1. Puasa sunnah hari senin dan kamis tiap minggu;
  2. Puasa sunnah pada bulan Dzulhijjah, yaitu tiap tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah;
  3. Puasa sunnah pada tanggal 10 Muharram;
  4. Puasa sunnah bulan Rojab;
  5. Puasa sunnah bulan Sya’ban;
  6. Puasa sunnah 6 hari pada bulan Syawal, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 63-70).

Syarat-syarat Syaikh (Mursyid) Tarekat Jalwatiyah

  1. Orang yang berilmu dan mampu membuka syubhat semua perkara dunia dan akhiratnya salik;
  2. Orang yang mampu memutus cinta dunia dan yang mencegah hawa nafsunya (zuhud);
  3. Orang yang tidak memiliki kepentingan terhadap harta murid-muridnya dan manusia;
  4. Seluruh perkataan, perbuatan, keadaan bathin (احوال) nya sesuai denga ketentuan-ketentuan syari’at. Karena seorang mursyid atau syaikh merupakan pengikut nabi Muhammad Saw (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 91).

Pakaian Salik

Pakaian mahluk dan al-Haq tidak bisa dikumpulkan bersama dalam satu tempat wujud. Ahli tarekat tidak mementingkan pakaian dhahir karena mereka lebih berkonsentrasi pada pakaian bathin, sehingga para guru sufi atau tarekat menyatakan bahwa makna takhalli (membersihkan jiwa atau hati dari sifat-sifat jelek, bisa merusak diganti dengan sifat-sifat yang baik) itu lebih diutamakan dari pada Tahalli (menghias hati dengan zikir), maka pemakai pakaian dosa (pelaku dosa) tidak berhak memakai pakaian shiddiqin. Sementara pakaian tahalli untuk orang-orang ahli yaqin.

Allah SWT. telah memberimu beberapa hal yaitu: watak, nafsu, hati, ruh, sirri dan khafi, semua hal itu membutuhkan pakaian yang pantas yang bisa menutupinya.

Sesungguhnya watak itu kebalikan syari’at. Watak mempunya beberapa perbuatan yang jelek lalu watak ini membutuhkan pakaian yang disebut syari’at dengan melaksanakan ketentuan hukum.

Nafsu kebalikan tarekat. Nafsu mempunyai sifat-sifat dan perangai yang liar dan buruk seperti sombong, marah, permusuhan, iri dan lain-lain. Semua kejelekan nafsu diberi pakaian Tarekat dengan cara melaksanakan pendidikan adab mujahadah terhadap nafsu.

Macam-macam Pakaian

  1. Pakaian lahir.

Bentuk pakaian dhahir berhubungan dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota badan yang terjadi di alam malak dan musyahadah (alam lahir).

  1. Pakaian batin.

Nafsu merupakan sumber lahirnya semua perbuatan yang merusak dan buruk. Sedangkan hati selalu berbolak-balik antara pengaruh Tuhan, keinginan mendapatkan dunia dan seisinya. Ketika hati condong ke keinginan duniawi, maka hati melupakan pengaruh Tuhan. Ahli tarekat menganggap hal ini hina. Maka pakaian hati (bagi salik) adalah bersungguh-sungguh dalam mencari (yang dicari) (الصدق في الطلب).

Ruh yang tidak berhubungan dengan Allah membutuhkan pakaian cinta kepada Allah Swt. Sirri yang tidak melirik kepada Allah membutuhkan pakaian (yaitu) melirik kepada Allah Swt bukan melirik dan melihat dunia, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 107).

Sumber: Alif.ID

160. Tarekat Bayumiyah

Tarekat Bayumiyah dinisbatkan pada Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin. Beliau  keturunan Rasulullah Saw.

Urutannya, Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin bin Sayyid Ali bin Sayyid Khijazi bin Sayyid Dawud bin Sayyid Misbah bin sayyid Umar bin Sayyid Kharfis bin Sayyid Abdur Rahim bin Sayyid Hasan bin Sayyid Hammad bin Sayyid Utsman bin Sayyid Atiyah bin Sayyid Mu’id bin Sayyid Isa.

Sayyid Isa bin Sayyid Hammad bin Sayyid Dawud bin Sayyid Turqi bin Sayyid Kharslah bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Ali bin Sayyid Musa bin Sayyid Yunus bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Idris bin Sayyid Idris Akbar bin Sayyid Abdullah al-Mahdi bin Sayyid Hasan al-Matsna bin Sayyid Imam Hasan bin Sayyidina Ali Krw bin Sayyidatina Fatimah Zahra Binti Sayyidi Rahmatil Alamin Sayyidina Muhammad Saw.

Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin lahir di Baiyum, daerah di Madiriyah Daqhaliyah. Masa kecil beliau hidup di tengah-tengah Ulama’ besar, beliau hafal Al-Qur’an  dan ilmu tafaqquh fi al-din dan majlis para syaikh dan beliau adalah pengikut Imam Syafi’i. Beliau belajar ilmu Hadis, lughah dari Ulama’-ulama’ terkemuka pada masanya.

Dalam kitab Tarih karangan Imam al-Jabaruti disebutkan bahwa beliau mendapat ilmu Hadis dari syaikh Umar bin Abdul Salam, dan mendapatkan ilmu syariah dari  beliau juga. Setelah itu beliau suluk menjalani mujahadah rahaniah dan riyadhah an-Nafsiyah sehingga beliau mencapai martabat yang sempurna.

Dalam kitab Tarih al-Jabariyah beliau mendapat ajaran Tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Husain al-Damardas dan beliau mendapatkan Tarekat Ahmadiyah dari para Ulama’ terkemuka pada masanya. Beliau juga baiat Tarekat Naqsyabandiyah dari para tokoh Naqsyabandiyah sehingga beliau mengarang kitab Risalatun fi-Tarekat Naqsyabandiyah.

Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin adalah pengagum Tarekat Ahmadiyah sehingga beliau termasuk salah satu tokoh Ahmadiyah, di sisi lain beliau juga menjadi pencetus Tarekat Bayumiyah, yang bersumber dari Tarekat Ahmadiyah, adapun penisbatan tersebut  berdasarkan adanya persamaan dalam amaliyah, munahajah, dan aurâdnya.

Di sisi lain Imam al-Bayumi dikenal sebagai seorang pengarang kitab dari berbagai macam fan ilmu sampai tidak terhitung jumlahnya , antara lain kitab Arbain an-Nawawiyahsyarhu Jami as-Shoghir,  syarh Insanul Kamil lil-JailiRisalah fi Khawasi Asmail al-IdrisiyyahSyarh al-Hukmi al-AthaiyahRisalah al-WahdaniyahSyarh ala Syighot al-AhmadiyahRisalah fil Hudud, dan kitab tarekat al-Khalwatiyah al-Damardasiyah.

Kitab lain adalah Risalah Tarekat an-NaqsabandiyahRisalah al-Tanziyyah al-MutlaqRisalah fi Talqini al-Asma’ as-Sab’ahRisalah fi Shalawat an-Nabiyyi SAW.., al-Muntakhaba an-Nafisi fil Fiqhi ‘ala Madzabi al-Arba’ahAn-Nuri as-Sathi’I fi Ismi al-Jami’Ial-Fauz wal IntibahSyarkhi al-Hukmi Abi MadyanaSyarhi al-Asma’ as-SuhrawardiyyahDa’watu Hasbuna Wani’ma al-Wakil, dan Risalah Ghariqin an-Nur.

Masih banyak lagi karangan-karangan beliau yang tidak mungkin disebutkan karena terlalu banyaknya. Beliau Syaikh al-Bayumi adalah orang yang terkenal di kalangan para wali ausat, orang-orang khas dan orang-orang umum, sehingga beliau diberi gelar Sulthan al-Muwahhidin.

Gelar tersebut menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang sudah mencapai puncak derajat tauhid kepada Allah Swt. pada masanya, karena beliau menghabiskan waktunya pada maqâm tauhid ini. Maqam ini merupakan puncak dari beberapa maqam tasawuf yang jumlahnya ada 70.000.

Seperti dikatakana oleh Syaikh Sayyid Ahmad Dhiyauddin al-Kamsakhanawiyi dalam kitabnya yang berjudul Jami’i al-Ushul fi al-Aulya’, tauhid merupakan puncak dari beberapa maqam yang jumlahnya 70.000, yang sebanding dengan jumlah hijab bagi manusia, karena manusia mempunyai 70.000 hijab kegelapan dan 70.000 hijab berupa cahaya. Maka barang siapa mampu mencapai maqâm menghancurkan hijab maka dia akan bisa wushul kepada Allah Swt.

Ajaran dan Dasar Amaliyah Tarekat Bayumiyah

Sebagaimana dikatakan syaikh Abdul Aziz Hamid Fadhal al-Bayumiyah seorang badal tarekat al-Bayumiyah, bahwa Imam al-Bayumiyah meletakkan tarekat ini dengan tujuan mengajar seorang murid  atau pengikut tarekat ini untuk membersihkan diri dari berbagai dosa, bahkan syaikh Abdul Aziz mengatakan: Seorang murid harus bisa menjadi seorang syaikh, maka apabila tidak bisa menjadi seorang syaikh, maka seperti pohon yang berdaun tapi tidak berbuah.

Dalam tarekat ini terdapat hizib dan aurad antara lain hizib syaikh Ali al-Bayumi yang harus dijalankan oleh seorang murid baik dalam keadaan terpaksa ataupun dalam keadaan longgar. Hal ini untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt. dan rasulnya.

Di antara aurad tarekat ini adalah hizib soghir dan hizib kabir dan shalawat kepada rasul, tawasul, istighfar. Adapun hizib ini mencakup tentang tauhid, tahlil, shalawat, dan do’a, dalam rangka untuk mengangkat ruh dan melebur sifat-sifat tercela.

Seorang yang ingin menjadi murid tarekat ini harus melalui janji dan baiat, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Abdul Aziz, wajib bagi seorang murid harus mempunyai seorang mursyid yang bisa menunjukkan dan mengarahkannya. Hendaklah seorang syaikh membaiat muridnya untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Diawali dengan berjabat tangan dengan seorang mursyid, dan sanadnya harus sambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Karena awal orang yang baiat adalah Nabi Muhammad saw. kemudian beliau membaiat para sahabat, sebagaimana firman Allah SWT.:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ ….(الفتح: 10)

Menurut keyakinan Tarekat al-Bayumiyah, sesungguhnya hizib yang dilakukan dengan cara yang ditentukan dan di dalamnya memuat tauhid dan tahlil yang diambil dari Al-Qur’an al-Karim, dan barang siapa yang membacanya maka dia akan selalu dalam perlindungan Allah Swt, yang  akan dikuatkan dan ditolong untuk mengalahkan musuh-musuhnya serta diselamatkan jiwa, harta dan keluarganya dan juga dijaga dari kejelekan sifat hasud serta dilapangkan rizkinya dan dimulyakan di atas orang lain.

Tata Krama Berzikir

  1. Memulai dengan membaca istighfar
  2. Merenungi dosa-dosanya pada waktu membaca istighfar dan merenungi atas segala kesalahan dan kecerobohannya.
  3. Berzikir dengan khusyu’ dan takut kepada Allah dan menghilangkan geteran-geteran hati selain getaran hati kepada Allah SWT.

Seorang murid tarekat terlebih dahulu mendahulukan hidmat kepada seorang guru dan semua pengikut tarekat, seperti mengubur orang yang meninggal, menghafal al-Qur’an, memahami dan mengerti terhadap orang yang dilayani (mursyid). Menurut syaikh Muhammad Hamid al-Fadhal mengatakan bahwa  hidmat merupakan sebuah ikatan yang sangat kuat dan penting antara seorang mursyid dan seorang murid.

Sumber: Alif.ID

161. Aurad dan Hizib Tarekat Bayumiyah

Di antara aurad-aurad dan hizib Tarekat Bayumiyah:

  1. Hizbu as-Shaghir
  2. Hizbu al-Kabir
  3. Shalawat dan tawasul
  4. Syi’ir-syi’ir pujian

Hizib Hisbul sayyid Ali al-Bayumiyyah ini memuat ayat-ayat tahlil yang terdapat dalam 37 tempat di dalam Alquran. Barang siapa membaca tahlil dengan tahlil yang ada dalam Alquran, maka Allah Swt. akan memenuhi hatinya dengan ilmu dan hikmah serta akan mendatangkan ketenangan dan nur, sifat wibawa dan Allah Swt. akan menurunkan rizki, sifat tawakal dan qana’ah.

Bahkan dikatakan tidaklah dibaca tahlil dari Alquran kecuali Allah Swt. memberikan kelapangan dan mengabulkan hajatnya. Hizib ini dibaca setiap pagi dan sore.

Hizib Hisbul Sayyid Ali al-Bayumiyyah adalah :

  1. Membaca Surat al-Fatihah 1x
  2. Membaca Surat al-Ikhlas 3x
  3. Membaca Surat al-Falaq 1x
  4. Membaca Surat an-Nas 1x
  5. Membaca do’a:
    • رَبَّنَا لَاتُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَاتَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَاتُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا (x3) أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَفِرِيْنَ.
    • وَإِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَاحِدٌ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ. اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ. الم. اَللهُ لَا إِلٰـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ. هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ ” لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “
    • اَللهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ
    • ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • اِتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهُ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُواْ إِلٰـهًا وَاحِدًا لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • آمَنتُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ
    • فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُواْ لَكُمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أُنزِلَ بِعِلْمِ اللهُ وَأَن لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • أَنْ أَنذِرُواْ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ
    • اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
    • إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي
    • إِنَّمَا إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَاحِدٌ لَاإِلٰهَ إِلَّا هُوْ
    • وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ
    • وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنتَ
    • فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
    • اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
    • وَهُوَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ
    • وَلَا تَدْعُ مَعَ اللهِ إِلٰهًا آخَرَ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُم مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ
    • يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • ذِي الطُّوْلِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • وَهُوَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ
    • فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ
    • هُوَ اللهُ الَّذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
    • هُوَ اللهُ الَّذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ
    • اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
    • رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلاً
    • اَللهم احْرُسْنَا بِعَيْنِكَ الَّتِى لَا تَنَامْ، وَاكْنِفْنَا بِكَنَفِكَ الَّذِى لَا يُرَامُ
    • وَارْحَمْنَا بِقُدْرَتِكَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر. يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ تَحَصَّنَا بِكَ فَارْحَمْنَا بِحِمَايَتِكَ يَاحَلِيْمُ يَا سَتَّارُ ، وَأَدْخِلْنَا يَا أَوَّلُ يَا آخِرُ فِى مَكْنُوْنِ غَيْبِ سِرِّكَ مَا شَاءَ اللهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِكَ مِنْ شَرِّ عِبَادِكََ ، وَاضْرِبْ عَلَيْنَا سُرَادِقَاتِ حِفْظِكَ ، وَأَدْخِلْنَا فِى حِفْظِ عِنَايَتِكَ ، وَجُدْ عَلَيْنَا بِخَيْرٍ مِنْكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن، 3×
    • بِسْمِ اللهِ وَ بِاللهِ وَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِى الْعَظِيْمِ. بِسْمِ اللهِ احْتَجَبْنَا، وَبِحَوْلِ اللهِ اعْتَصِمْنَا، وَبِقُوَّةِ اللهِ اسْتَمْسَكْنَا، فَمَنْ أَرَادَنَا بِسُوْءٍ أَوْ كَادَنَا بِكَيْدٍ كَانَ بِإِذْنِ اللهِ مَمْنُوْعًا وَمَدْفُوْعًا. يَا اَللهُ يَاوَاحِدٌ يَاأَحَدٌ يَاجَوَّادٌ. اِنْفَحْنَا مِنْكَ بِنَفَحَةِ خَيْرِ إِنَّكَ عَلَى كَلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 11×
    • يَا لَطِيْفٌ 129×
    • اللهم يَامَنْ لَطَفْتَ بِخَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَطَفْتَ بِالْأَجِنَّةِ فِيْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِهَا، اُلْطُفْ بِنَا فِي قَضَائِكَ وَ قَدَرِكَ، لُطْفًا يَلِيْقُ بِكَرَمِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 3×
    • يَا اَللهُ 66×
    • اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَ الْآفَاتِ وَ تَقْضِي لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ، وَ تُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَ تَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَ تُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَ بَعْدَ الْمَمَاتِ 3×
    • رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَ تُبْ عَلَىْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ، وَ اغْفِرْ لَنَا وَ ارْحَمْنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. وَ نَجِّنَا مِنَ الْهَمِّ وَ الْغَمِّ وَ الْكَرْبِ الْعَظِيْمِ 3×
    • وَ اخْتِمْ لَنَا مِنْكَ بِخَيْرٍ أَجْمَعِيْنَ، آمِينَ.
    • اَللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
    • سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Do’a Kasyfi al-Kurub bi al-Huruf Sayyid Ali al-Bayumi

نَسْأَلُكَ اللهم وَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ وَنَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ وَنَدْعُوْكَ بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِسَائِرِ اَلْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ (يَا اللهُ…3× ، يَا هُوْ … 3× ، يَا رَحْمَنْ… 3× ، يَا رَحِيْم… 3× ، يَاحَيُّ يَاقَيُّوْم)

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ يَا بَدِيْعَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ بِ(كهيعص) بِ(حم) (عسق) نَسْأًَلُكَ أَنْ تُصَلِّيَ وَتُسَلِّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاسْتَجِبْ جَمِيْعَ دَعَوَاتِنَا ، اَللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ باِلْأَلِفِ) اَلْأَزَلِّيَّةِ الْاَبَدَنِيَّةِ الْأَحَدِيَّةِ اَوْلِهَيَّتِكَ اُلْفَةٍ وَأَمِنًا وَأَمِنًا مِنْ عُقُوْبَاتِ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ وَبِالْبَاءِ بِدَايَةٌ بَدِيْعٌ بَقَاءَ بَهَائُكَ بَهَاءًُا وَبَهْجَةٌ وَيُسْرًا بِنَا وَبِالْوَلِدَيْنِ وَمَنْ مَعَنَا بِرَحْمَتِكَ يَأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

(وَبِالتَّاءِ) تَمْجِيْدٌ تَحْمِيْدٌ تَفْرِيْدٌ تَوْحِيْدٌ تَوَبَةٌ تَوْحِيْدًا دَائِمًا أَبَدًا (وَبِالثَّاءِ) ثَنَاءٌ بَهَاءٌ ثُبُوْتٌ جَلَالُ وَجْهِكَ (وَبِالْجِيْمِ) جَبَرُوْتٌ جَمَالُ جَلَالِكَ جَوَّدًا وَجَلَالَةُ زُجَلَاءِ هَمٌّ وَغَمٌّ عَنَّا (وَبِالْخَاءِ) خَيْرًا كَثِيْرًا فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِيْرَةِ (وَباِلدَّالِ) دَوَامٌ بَقَاءٌ دَيْمُوْمِيَّتُكَ دَوَامُ عِزِّكَ وَلُطْفِكَ وَنِعْمَتِكَ عَلَيْنَا وَطاَعَتِنَا لَكَ وَحَجَبْنَا مِنَ الْمَعَاصِى دَائِمًا أَبَدًا

(وَبِالذَّالِ) ذِكْرٌ ذَخِيْرَةٌ قَوَّةٌ بَطْشٌ جَلَالٌ كِرَامُ وَجْهِكَ ذِكْرًا كَثِيْرًا فِي أَلْسِنَتِنَا وَفِي قُلُوْبِنَا دَائِمًا أَبَدًا (وَبِالرَّاءِ) رَأْفَةٌ دِقَّةٌ رُوْحٌ رِفْعَةٌ رَحْمَةٌ رُبُوْبِيَّتُكَ رَأْفَةٌ فِي  قُلُوْبِنَا مِنْكَ فِيْنَا يَارَبِّ الْعَالَمِيْنَ (وَبِالزَّاِي) زُهَادَةٌ وَزِيْنَةٌ وَزِيَادَةٌ فِي الْخَيْرَاتِ (وَبِالسِّيْنِ) سَتْرٌ سِرٌّ أَسْرَارٌ سَلَامٌ سُبُوْحِيَّتُكَ سَتْرًا وَسَلَامَةً وَسِرًّا وَسُرُوْرًا وَسِيَاحَةً فِي مَحَبَّتِكَ

(وَبِالشِّيْنِ) شَؤْنُوْنَا طَبِيْبَةً وَشُكْرًا لَكَ وَشَهَادَةٌ فِي مَحَبَّتِكَ وَصِيَانَةٌ وَصَبْرًا عَلَى طَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ (وَبِالضَّادِ) ضَوْءٌ ضِيَاءٌ بَهَاءٌ نُوْرُ وَجِهِكَ ضِيَائًا مِنْ نُوْرِ وَجْهِكَ فِي قُلُوْبِنَا (بِالطَّاءِ) طَيِّبٌ طَيِّبَاتٌ طَهَارَتُكَ فَطَهِّرْنَا مِنْ كُلِّ دَنَسٍ وَطيِّبْنَا لَكَ فِي كُلِّ الْأُمُوْرِ وَطَيِّبُ مَعِيْشَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ (وَبِالظَّاءِ) يَقِيْنِي ظَوَاهِرُ ظُهُوْرِكَ إِلَهِي أَظْهَرُ مَحَبَّتِنَا لَكَ وَلِحَبِيْبِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَأَظْهَرُ فِي قُلُوْبِنَا  سُلْطَنٌ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَآلِهِ

(وَبِالْعَيْنِ) عِلْمٌ عِنَايَةٌ عِزٌّ عَزِيْزِيٌّ عِزَّةُ عَظَمَتِكَ عِزًّا وَعَزَّمًا وَعِلْمًا وَعَمَلًا صَالِحًا يُرْضِيْكَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مِنَّا فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ (وَبِالْغَيْنِ) غِنَاءٌ غُيُوْبٌ غَيْبُوْبٌ غَيْبُوْبِيَّةٌ شَهَادَةُ غَيْبِكَ (يَعْنِي) غِنَاءٌ عَنْ كُلِّ مَا سِوَى اللهِ وَغَيْبَةٌ فِي شُهُوْدِهِ وَحُبَّتِهِ سُبْحَنَهُ (وَبِالْفَاءِ) فَلَاحٌ فُتُوْحٌ فَرَادِنِيَّةُ فَضْلِكَ فَتْحًا مُبِيْنًا رَبَّانِيَّا وَتَجْلِيًّا وَفَيْضًا أَحْسَانِيًّا مِنْكَ لَنَا يَا فَتَّاحٌ يَاعَلِيْمٌ (وَبِالْقَافِ) قَدِمٌ قُوَّةٌ اَقْدَارٌ قَهْرٌ قُدْرَةٌ قَيْمُوْمِيَّتُكَ قُدْرَةٌ وَقُوَّةٌ وَطَاعَةٌ وَقُرْبًا مِنْكَ إِلَيْنَا وَقَهْرًا لِأَقْدَائِنَا يَاقَيُّوْمُ يَاقَهَّارُ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ

(وَبِالْكَافِ) كَيْنُوْنِيَّةٌ كَرَمٌ كِفَايَةٌ كَنْفُ كَلَامِكَ كِفَايَةٌ وَكَرَمًا وَكَمَالًا لَنَا فِي كُلِّ شَيْءٍ (كهيعص) كِفَايَتُنَا (حم * عسق) حِمَايَتُنَا فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ (وَبِالَّامِ) جَمَالٌ مَكْنُوْنٌ بَهِيٌّ سَنِيٌّ عَلِيٌّ خَفِيٌّ لُطْفُكَ  لُطْفًا خَفِيًّا مُبَارَكًا لَنَا فِي جَمِيْعِ الْأُمُوْرِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا (وَبِالْمِيْمِ) مَوَاهِبٌ مُهَيْمِنَةٌ مَحَبَّةٌ مَوَدَّةٌ مَجِيْدٌ مَالِكٌ مَلَكُوْتُكَ ، مَلِكًا عَظِيْمًا وَمِنًّا وَمِنْحًا وَمُنَاجَةً وَمَحَبَّةً وَمَوَدَّةً وَمُبَادَرَةً فِي كُلِّ طَاعَةٍ لَكَ (وَبْالْهَاءِ) بَهَاءٌ هَيْبَةٌ هِدَايَةٌ سِرُّ هِدَايَتِكَ وَهِيْبَةٌ وَهَبٌ لَنَا مَا تَقِرُّبِهِ أَعْيُنِنَا فِي دِيْنِنَا وَدُنْيَانَا وَأَخِرَتِنَا وَأَنْفُسِنَا وَذُرِّيَاتِنَا وَأَهْلِيْنَا وَمَنْ مَعَنَا بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

(وَبِالْوَاوِ) وِلَايَةٌ وَدَادٌ وُجُوْدٌ وَحْدَانِيَّةٌ وُجُوْدُكَ وِلَايَةٌ لَا قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا وَوُدًّا صَادِقًا وَوُجُوْدًا فِي مَحَبَّتِكَ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادِ (وَبِالنُّوْنِ) نُوْرًا مَشْرُقًا فِي قُلُوْبِنَا وَنِعْمَةً عَلَيْنَا مِنْكَ لَنَا (وَبِالْيَاءِ) اَلْيَقِيْنُ قِيْنَا كُلَّ أَمْرٍ نَخَافُهُ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ (اللهم) إِنَّا نَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ الْمَخْزُوْنُ المَكْنُوْنُ الطَاهِرُ المُطَهِّرُ الحَيٌّ القَيُّوْمُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

(يَا مَنْ) أَلْجَمَ الْبَحْرَ بِقُدْرَتِهِ وَقَهْرِ الْعِبَادِ بِحِكْمَتِهِ وَأَطْفَأَ نَارَ النَّمْرُوْذِ بِكَلِمَتِهِ وَاَلْقَى عَلَى مُوْسَى مَحَبَّتَهُ وَاَلِّفْ بَيْنَ جَمِيْعِ خَلْقِهِ بِقُدْرَتِهِ أَنْ تَجْعَلَ لَنَا طَلَعَةَ أَعْيُنِهِمْ وَمَحَبَّةً فِي قُلُوْبِهِمْ أَنْ تَأَلِّفَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِيَنَ يَا رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

(نَحْنُ) اَلَّذِيْنَ سَأَلْنَاكَ يَسِيْرًا فِي مَجْدِكَ غَيْرِ عَسِيْرٍ فِي رَحْمَتِكَ لَا تُرِدْنَا خَائِبِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَاحِمِيْنَ (اَللهم صَلِّى وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِ وَرَسُوْلِكَ الَّذِي جُمِعَتْ بِهِ شَتَّاتُ النُّفُوْسِ وَنَبِيِّكَ الَّذِي جُمِعَتْ بِهِ ظَلَامُ الْقُلُوْبِ وَحَبِيْبِكَ الَّذِي اخْتَرْتَهُ كُلَّ الْحَبِيْبِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ.

(A’lâm al-Shûfiyah, halaman: 593-604)

Sumber: Alif.ID

162. Tarekat Samaniyah

Samaniyah adalah nama tarekat yang pendiriannya dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin’ Abdul Karim al-Sammani al-Madani. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 1132 H dari keluarga Quraisy. Di kalangan murid-muridnya, ia lebih dikenal dengan sebutan al-Sammani.

Syaikh al-Sammani belajar hukum Islam kepada seorang ulama fikih yang terkenal yaitu Syaikh Muhammad ad-Daqqaq, Sayid Ali al-Aththar, Ali al-Kurdi, Abdul Wahab al-Thanthawi dan Sa’id Hilal al-Makki. Kemudian belajar ilmu Hadis kepada Muhammad Hayyat. Selain itu, juga berguru disiplin ilmu-ilmu keislâman lainnya kepada Muhammad Sulaiman al-Kurdi, Abu Thahir al-Kurani, dan Abdullah al-Bashri.

Adapun sanad tarekatnya adalah sebagai berikut; Ia berguru kepada Syaikh Mahmud al-Kurdi dari Hifni dari Sayyid Musthafa al-Bakri dari Sayyid Abdul Latif al-Khalwati dari Sayyid Musthafa Afandi al-Thabrani dari Ali Afandi dari Qirabasya dari Sayyid Ismail al-Jannidari Sayyid Umar al-Fua’di dari Sayyid Muhyiddin al-Qasthamuni dari Sayyid Sya’ban Afandi al-Qasthamuni dari Sayyid Khairuddin an-Naqqadi.

Sayyid Khairuddin an-Naqqadi dari Sayyid Jamal al-Khalwati dari Sayyid Baha’uddin al-Syarwani dari Sayyid Yahya al-Bakubi dari Sayyid Shadruddin al-Jayyani dari Sayyid Izzuddin. Sayyid Izzuddin dari Sayyid Muhammad Abram al-Khalwati dari Sayyid Umar al-Khalwati dari Sayyid Muhammad al-Khalwati dari Sayyid Ibrahim al-Kailani dari Sayyid Jamaluddin al-Tibrizi dari Sayyid Syihabuddin Muhammad al-Syirazi.

Sayyid Syihabuddin Muhammad al-Syirazi dari Sayyid Ruknuddin Muhammad an-Najasyi dari Sayyid Quthbuddin al-Abhari dari Sayyid Abu Najib as-Suhrawardi dari Sayyid Umar al-Bakri dari Sayyid Wajihuddin al-Qadhi dari Sayyid Muhammad al-Bakri dari Sayyid Junaid al-Baghdadi dari Sayyid sari Siqthi dari Sayyid Hasan Basri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. dari Rasulullah SAW.

Syaikh as-Sammani sangat produkif mengarang kitab di antaranya adalah: Ighatsah al-Lahafan wa Mu’anasah al-Walahan, al-Insan al-Kamil, Tuhfah al-Salik fi Kaifiyah Suluk lil-Malik, Tuhfah al-Qaum fi Muhimmat al-Ru’ya wal-Naum, Jaliyah al-KArab wa Munilah al-Arab, al-Futûhât al-Ilahiyyah fi al-Tawajjuhat al-Ruhiyah lil-Hadarah al-Muhammadiyah dan lainnya.

Syaikh as-Sammani terkenal sebagai seorang tokoh tarekat yang menjalani kehidupan zuhud dan kesalehan. Sejak masih kanak-kanak menunjukkan hal-hal yang aneh dalam perilakunya. Suatu ketika orang tuanya menghidangkan makanan untuknya, beberapa saat kemudian orang tuanya membuka tutup saji makanan. Ternyata makanannya masih utuh.

Kejadian tersebut berulang beberapa kali sehingga membuat orang tuanya cemas. Akhirnya orang tuanya melaporkan kejadian tersebut kepada guru yang mendidik anaknya. Sang guru berkata: “Jangan khawatir, anakmu akan menjadi seorang wali”.

Keanehan lainnya, jika tidur di bantal yang empuk ia selalu berkeluh kesah seperti orang sakit. Ketika orang tuanya tidur pulas, ia bangun di tengah malam, mengambil air wudu lalu shalat sampai menjelang waktu subuh.

Syaikh as-Sammani wafat pada tahun 1189 H. pada usia 57 tahun kemudian dimakamkan di Baqi’, Madinah.

Syaikh as-Sammani menggabungkan 5 tarekat menjadi tarekat Samaniyah, yaitu; tarekat Qadiriyah (yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qodir al-Jilani lahir 470 H, Wafat 560 H), tarekat Naqsyabandiyah (yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi, lahir 717 H, wafat 761 H), tarekat Khalwatiyah (yang dinisbatkan kepada Syaikh Musthofa al-Bakri, lahir 1099 H, wafat 1162 H), tarekat Anfas, tarekat al-Asmaiyah.

Rukun Tarekat Samaniyah

  1. Lapar, dengan makna menyedikitkan makan, hal ini memiliki faedah yang sangat besar, salah satunya adalah mempermudah hati untuk berkilauan cahaya dan melakukan kebaikan
  2. Berdiam diri dengan lisan dan hati

Dalam arti: sedikit bicara dengan lisan, mempersedikit hati untuk memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dengan ini salik akan menjaga dirinya dari barang haram dan dari barang mubah yang bisa mendatangkan kendala-kendala bagi salik

  1. Berjaga pada waktu malam

Dalam arti; menyedikitkan tidur. Dengan hal ini, hati salik terjaga dari lupa yang digambarkan sebagai tidur. Dengan mata yang terjaga pada malam hari salik dapat menggunakan waktu tersebut untuk mujahadat al-Nafsi sehingga salik menaiki tangga-tangga musyahadah

  1. Uzlah (menyendiri)

Salik memutuskan hubungan dengan manusia untuk menuju kepada Allah SWT., dengan uzlah semua cita-cita salik dapat tercapai, salik dapat naik ke derajat orang–orang dekat.

Pokok-pokok ajaran tarekat Samaniyah adalah taubat, memerangi nafsu, susah karena Allah Swt, do’a, takut kepada Allah Swt, berharap kepada Allah Swt, menjaga diri dari yang dilarang, taqwa, zuhud, sabar, syukur, qana’ah, dan tawakkal.

Setengah dari karamah sayyid syaikh Muhammad Samman r.a. yang menggabungkan antara syari’at dan tarekat sehingga menjadi wali quthub pada negeri Madinah. Pada masa itu beliau menjadi juru pintu makam Rasulullah saw.

Syaikh Muhammad Samman memiliki kasih sayang kepada orang yang menuntut ilmu, fakir miskin, suka berkhidmat kepada orang yang ‘âlim, salik tarekat dan haqiqah, para `auliyâ’ Allah Swt. Perilaku itu mulai dari masa kecilnya sampai beliau menjadi Mursyid. Beliau mencintai orang yang dicintai Allah Swt. dan membenci orang yang dimurkai Allah Swt.

Beliau selalu melazimkan musyahadah dan muraqabah pada tiap-tiap waktu, taat beribadah, meniggalkan adatnya yang jahat, selalu melawan hawa nafsunya meskipun terhadap barang halal, tidak tidur pada malam hari kecuali hanya sedikit, jika tidur di atas bantal maka beliau mengeluh seperti orang sakit, apabila masuk waktu sahur maka beliau bangun lalu ia beribadah hingga waktu subuh lalu shalat subuh kemudian mambaca ratib hingga terbit matahari lalu shalat sunnah isyraq sampai seperempat hari, lalu melaksanakan shalat  sunnah dhuha.

Beliau selalu melaksanakan puasa sunnah sejak belum baligh dengan tujuan melakukan riyâdhah al-nafsi. Pada saat beliau masih remaja selalu dihidangkan makanan oleh orang tuanya, makanan itu tidak disentuh karena beliau selalu puasa sunnah, kejadian ini dilaporkan kepada orang tuanya kepada guru beliau, maka gurunya menjawab jangan engkau khawatir terhadap anakmu itu, jangan ragu-ragu, sebenarnya anakmu itu adalah waliyullah.

Pada saat orang tuanya memberi pakaian kepada syaikh Muhammad Samman r.a.ketika belum baligh dengan kain putih yang halus disulami dengan benang emas, maka dicarinya benang emas itu lalu dibuangnya, katanya wahai ayah yang demikian itu dilarang oleh hukum syara’ dan tidak ridha Allah Swt.; ini adalah sikap zuhud syaikh Muhammad Samman r.a.

Beliau selalu zikir kepada Allah Swt. siang dan malam, senang  ‘uzlah yakni jauh dari manusia dan masuk khalwat, selalu berziarah kubur ke Baqiq dan pada waktu petang ziarah ke makam istri Nabi Muhammad saw. dan para sahabat-sahabat, lalu ia zikir kepada Allah Swt, membaca al-Qu’ran pada tempat itu. Hal ini adalah kebiasaan beliau sebelum masuk dan melaksanakan jalan tarekat.

Dalam khalwat datang syaikh Abdul Qâdir Jilani (secara Yaqdhah) dengan membawa baju jubah putih lalu syaikh Muhammad Samman r.a. memakai pakaian tersebut, dan menanggalkan pakaian yang lain. Ini sebagai isyarat فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ yakni menutupi ilmunya dengan menzhahirkan kebodohannya. Akhirnya datang perintah dari Rasulullah saw, memerintahkan untuk menzhahirkan ilmunya di dalam kota Madinah seperti kehadiran matahari ketika naik di ufuk.

Setelah itu datanglah beberapa orang dari manca negara ke kota Madinah karena mendengar kabar tentang syaikh Muhammad Samman dan mengambil tarekat dari syaikh Muhammad Sammman r.a.

Mereka yang datang kepada syaikh Muhammad Samman dengan membawa emas, perak dan berbagai macam hadiah yang mahal, semua hadiah dan pemberian itu dibagikan kepada fakir miskin tanpa sisa.

Sumber: Alif.ID

163. Wasiat-wasiat Syaikh Muhammad Samman kepada Para Murid

  1. Amalkanlah do’a ini secara terus menerus:

اللهم اغْفِرْ لِأُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اللهم ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اللهم اسْتُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اللهم اجْبُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Barangsiapa yang membaca empat kali doa tersebut secara berturut-turut kemudian melaksanakan salat subuh niscaya dia masuk jumlah quthub. Martabatku tidak akan naik kecuali sebab aku melazimkan membaca doa ini pada tiap-tiap selesai shalat subuh empat kali berturut-turut.

  1. Laksanakanlah selalu salat lima waktu dengan berjamaah, dan selalu melaksanakan shalat Jumat.
  2. Perbanyaklah zikir kepada Allah swt, musyahadah, muraqabah, membaca al-Qu’ran, membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw membaca istighfar dan bersedekah, karena hal-hal tersebut bisa memberi pengaruh positif pada kematian.
  3. Seorang guru bukan orang yang memberi perintah dengan keras kepada murid untuk beribadah, tapi seorang guru adalah orang yang menaikkan derajat salik dari pekerjaan dunia menuju ke derajat yang lebih tinggi yaitu akhirat.
  4. Barang siapa yang mengambil dan mengamalkan tarekat ini, maka dia akan hidup dalam lindungan dan pertolongan Allah swt. pada waktu sakaratul maut serta mendapatkan rizki yang luas.

Jika ingin  mengatahui keramatnya Syaikh Muhammad Samman r.a. Bisa dibaca di kitab Manaqib Kubra karena keramatnya tiada terhingga banyaknya.

Membaca dan mendengar manaqib kekasih Allah Swt. memiliki faedah tersendiri, seperti sabda Nabi saw:

ذِكْرُ الْاَوْلِيَاءِ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ

Bermula menyebut keramat auliyâ’ itu turun rahmat.

Maka memadailah sebagian ini bagi orang yang percaya setengah dari keramat tuan syaikh Muhammad Samman r.a. Dikeluarkan namanya itu dari Lauh al-Mahfûdz sebagaimana yang tersebut di kitab طبقات سيدي أحمد الشرنبى yaitu setengah dari wazir mahdi.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

  • اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ 3×
  • وَ أَتُوْبُ اِلَىْهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِى وَ الذُّنُوْبِ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ اَشْهَدُ اَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدُ الرَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ.
  • عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ وَ عَلَى كُلِّ نِيَّةٍ صَالِحَةٍ وَ اِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ صَحَابَةِ الْأَرْبَعَةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ سَادَاتِنَا اَبِيْ بَكْرٍ وَ عُمَرٍ وَ عُثْمَانَ وَ عَالِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ اِبْرَاهِيْمَ عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ مُوْسَى عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ يُوْسُفَ عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ حِيْضِرَعَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ سُلَيْمَانَ عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ سُلْطَانِ الْأَوْلِيَاءِ 185 حِكَيَةُ شَيْءٍ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ سُلْطَانِ عَاسِقٍ 185 حِكَيَةُ شَيْءٍ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ سُلْطَانِ الْمُجْتَهِدِيْنَ 185 حِكَيَةُ شَيْءٍ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ شَيْخِ لُقْمَانِ الْحَكِيْمِ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ شَيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ جِيْلَانِى شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ شَيْخِ مُحَمَّدْ سَمَّانْ يَا سَمَّانْ3× يَا مَهْدِيْ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ اَبِيْنَا اَدَامَ وَ اُمِّيْنَا هَوَى شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • ثُمَّ اِلَى اَرْوَاحٍ خُصُوْصًا اَهْلَ الْقُبُوْرِ … شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • ثُمَّ اِلَى اَرْوَاحِ كُلُّهُمْ اَجْمَعِيْنَ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ 11×
  • اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَىْهِ 11×
  • Membaca Surat al-Fatihah 1x
  • Membaca Surat al-Ikhâs 11x
  • Membaca Surat al-Falaq 11x
  • Membaca Surat al-Nâs 11x
  • Membaca ayat Kursi 11x
  • اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ 11×
  • لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ 11×
  • Membaca Surat al-Fatihah 1x
  • سُبْحَانَ اللهُ 170×
  • اَلْحَمْدُ لِلهِ 170×
  • اَللهُ اَكْبَرُ 170×
  • يَا لَطِيْفُ يَا حَفِيْظُ يَا حَكِيْمُ يَا وَكِيْلُ يَا اللهُ يَا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدُ الرَّسُوْلِ اللهِ 170×
  • حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَ نِعْمَ النَّصِيْرُ 170×
  • يَا فَتَّاحُ يَا رَزَّاقُ 170×
  • يَا عَدِيُّ يَا عَلِيُّ يَا خَبِيْرُ يَا مُبِيْنُ 170×
  • يَا كَبِيْرَ يَا مُنْطَهَى 170×
  • لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ 170×
  • سِرُّ اللهِ صِفَةُ اللهِ ذَاتُ اللهِ وُجُوْدُ اللهِ مُحَمَّدُ الرَّسُوْلِ اللهِ 170×
  • لَا إِلَهَ إِلَّا اَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ 170×
  • اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْأَوَّلِيْنَ اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْأَخِرِيْنَ وَ بَارِكْ وَ سَلِّمْ وَ رِضَي اللهُ تَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحاَبَةِ رَسُوْلِ اللهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمِيْنَ اَمِيْنَ اَمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
  • وَ اعْفُ عَنَّا يَا كَرِيْمُ وَ اغْفِرْ لَنَا يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
  • اللهم اجْعَلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ وَمَا هَدَيْنَاهُ لِنَبِيِّكَ الْكَرِيْمِ هَدِيَّةً بَالِغَةً نَازِلَةً زِيَادَةً فِي شَرَفِ النَّبِيِّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
  • اللهم آتِ الْوَصِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَالشَّرَفَ وَالدَّرَجَةَ الْعَالِيَّةَ الرَّفِيْعَةَ. وَابْعَثْهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُوْدَ الَّذِيْ وَعَدْتَهُ. اِنَّكَ لَاتُخْلِفُ الْمِيْعَادَ وَصَلَّى اللهُ عَنْ غَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ.
  • اللهم افْتَحْ عَلَيْنَا اَبْوَابَ الْخَيْرِ وَاَبْوَابَ الْبَرَكَةِ وَاَبْوَابَ الرِّزْقِ وَاَبْوَابَ الْقُوَّةِ وَاَبْوَابَ الصِّحَّةِ وَاَبْوَابَ السَّلَامَةِ وَاَبْوَابَ الْعَافِيَّةِ وَاَبْوَابَ الْجَنَّةِ.
  • اللهم عَافِيْنَا مِنْ كُلِّ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ وَاسْرِفْ عَنَّا بِحَقِّ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَبِيِّكَ الَكَرِيْمِ شَرِّ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْأَخِرَةِ. غَفَرَ اللهُ لَنَا وَلَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
  • اللهم احْيِنَا بِالْإِيْمَانِ وَ اَمِتْنَا بِالْإِيْمَانِ وَ اخْسُرْنَا بِالْإِيْمَانِ وَ ادْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْإِيْمَانِ
  • اللهم ثَبِّتْنَا مَعَ الْإِيْمَانِ وَ اخْرِجْنَا مِنَ الدُّنْيَا مَعَ الْإِيْمَانِ وَ خَدِّمْ لَنَا مِنَ الْجِنِّ مَعَ الْإِيْمَانِ
  • اللهم عَافِيْنَا مِنْ كُلِّ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَ عَذَابِ الْأَخِرَةِ شَرِّ الدُّنْيَا وَ شَرِّ الْأَخِرَةِ غَفَرَ اللهُ لَنَا وَ لَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
  • اللهم اجْعَلْ فِيْ قَلْبِيْ نُوْرًا وَ فِيْ لِسَانِيْ نُوْرًا وَ فِيْ بَصَرِيْ نُوْرًا وَ فِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا وَ عَنْ يَمِيْنِيْ نُوْرًا وَ عَنْ يَسَرِيْ نُوْرًا وَ مِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا وَ مِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا وَ مِنْ اَمَامِيْ نُوْرًا وَ مِنْ خَلْفِيْ نُوْرًا وَ اجْعَلْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ نُوْرًا وَ عَظِّمْنِيْ نُوْرًا
  • اللهم اِنِّيْ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ قَلْبِيْ لَا يَخْشَ وَ مِنْ دُعَائِيْ لَا يُسْمَعْ وَ مِنْ نَفْسِيْ لَا تُتْبَعْ وَ مِنْ عِلْمِيْ لَا يَنْفَعْ وَ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَؤُلآءِ الْأَرْبَعِ
  • اللهم كَمَا أَحْسَنْتَ خَلْقِيْ فَأَحْسِنْ خُلُقِيْ
  • اللهم يُحِبُّوْنَهُمْ لِحُبِّ اللهِ وَ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَشَدُّ حُبًّا لِلهِ زُيِّنًا لِلنَّاسِ حُبَّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَ الْبَنِيْنَا وَ الْقَنَاطِيْرِ وَ الْمُقَنْطَرِيْنَ
  • اللهم رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَىْنَا مَآئِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُوْدُ لَنَا عِيْدَ الْأَوَّلِيْنَ وَ الْأَخِرِيْنَ وَ اَيَاتٍ مِنْهُ وَارْزُقْنَا وَ اَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ
  • اللهم اِنْ كَانَ رِزْقُنَا فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَ اِنْ كَانَ رِزْقُنَا فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَ اِنْ كَانَ رِزْقُنَا مَضْحُوْمًا فَزِدْهُ وَ اِنْ كَانَ رِزْقُنَا أَسِيْرُهُ لَنَا وَ لَا تَقُوْلُ لَنَا اِلَىْهِ حَيْثُ مَا كَانَ بِفَضْلِكَ وَ جُوْدِكَ وَ كَرَامِكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
  • يَا اللهُ يَا اَحَدُ يَا مَوْجُوْدُ يَا جَوَّادُ يَا بَسِيْرُ يَا كَرِيْمُ يَا ذَاتَ اللهِ يَا غَنِيُّ يَا مُفْنِيُّ يَا فَتَّاحُ يَا رَزَّاقُ يَا عَلِيْمُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا رَحْمَنُ يَا رَحِيْمُ يَا بَدِيْعَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ يَا حَنَّانُ يَا مَنَّانُ اِنْفَعْنِيْ مِنْكَ بِنَفْحَةٍ خَيْرٍ تُغْنِيْ بِهَا عَنْ مَنْ سِوَاكَ اِنْ تَسْتَفْتِحْ فَقَدْ جَآءَكُمُ الْفَتْحُ اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِيْنًا نَصْرٌ مِنَ اللهِ وَ فَتْحٌ قَرِيْبٌ وَ بَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسِلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ الَأَمْوَاتِ
  • اللهم يَا غَنِيُّ يَا حَمِيْدُ يَا مُبْدِعُ يَا مُعِيْدُ أَغْنِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ كَرَامِكَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَنْ مَنْ سِوَاكَ وَ احْفَظْنِيْ بِمَا حَفَظْتَ بِهِ الذِّكْرَ وَ انْسُرْنِيْ لِمَا حَفَظْتَ بِهِ الرَّسُوْلَ اِنْ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ وَ زِنَةَ عَرْسِهِ وَ مِدَادَ كَلِمَاتٍ
  • اللهم ذِي السُّلْطَانِ الْعَظِيْمِ وَ ذِي الْمَنِّى الْقَدِيْمِ وَ ذِي الْوَجْهِ الْكَرِيْمِ وَ وَلِيِّ الْكَلِمَاتِ التَّآمَّاتِ وَ الدَّعَوَاتِ يُسْتَحَابَة وَ عَاقِلِ الْحَسَنِ وَ الْحُسْنِيْ مِنْ اَنْفُسِ الْحَقِّ وَ عَيْنِ الْقُدْرَةِ وَ النَّاظِرِيْنَ وَ عَيْنِ دَنَسٍ وَ الْجِنِّ وَ الشَّيَاطِيْنِ. وَ ان يكاد الذين كفرو لين لقومك بابصآرهم كما سمعوا الذكر و يقولون انه لمحنون
  • لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ وَ مَا هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِيْنَ وَ مُسْتَجَابُ لُقْمَنَ الْحَكِيْمِ وَ وَرَثَ سُلَيْمَانَ ابْنِ دَاوُدَ عَلَىْهِمَا السَّلَامُ الْوَدُوْدَ ذُو الْعَرْشِى الْمَجِيْدِ وَ وَرَثَ إِبْرَاهِيْمَ عَلَىْهِ سَلَامٌ وَ وَرَثَ مُوْسَى عَلَىْهِ سَلَامٌُ وَ وَرَثَ نَبِيَّ اللهِ يُوْسُفَ عَلَىْهِ سَلَامٌ وَ وَرَثَ نَبِيَّ اللهِ خِيْضِرَ عَلَىْهِ سَلَامٌ وَ وَرَثَ شَيْخَ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجِيْلَانِيِّ وَ وَرَثَ شَيْخَ مُحَمَّد سَمَّان يَا سَمَّانُ 3× وَ وَرَثَ أَوْلِيَاءَ اللهِ وَ وَرَثَ عَاشِقَ وَ وَرَثَ مُجَاهِدِيْنَ الْوَدُوْدُ ذُو الْعَرْشِى الْمَجِيْدِ طَوِّلْ عُمْرِيْ وَ صَحِّحْ جَسَدِيْ وَ اقْضِ حَاجَتِيْ وَ اكَثِرْ اَمْوَالِيْ وَ اَوْلَادِيْ وَ حَبِّبْ لِلنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ وَ تُبَاعِدْ الْعَدَاوَةَ وَ الْبَغْضَاءَ مِنْ نَبِيِّ آدَمَ عَلَىْهِ السَّلَامُ كُلِّهَا مَنْ كَانَ حَيًّا وَ يَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِيْنَ وَ قُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَ زَهَقَ الْبَاطِلُ اِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا وَ نُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ لَا يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا خَسَارًا سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
  • اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ سَلَامَةً فِي الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا وَ الْأَخِرَةِ وَ عَافِيَةً فِي الْجَسَدِ وَ زِيَادَةً فِي الْعِلْمِ وَ بَرَكَةً فِي الرِّزْقِ وَ تَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ
  • اللهم هَوِّنْ عَلَىْنَا فِي سَكَرَاتِ الْمَوْتِ وَ النَّجَاتِ مِنَ النَّارِ وَ الْعَفْوَى عِنْدَ الْحِسَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَىْتَنَا وَ هَبْلَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَاٌم عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم اِنَّا نَتَوَسَّلُ بِمَنْ يَتَوَسَّلُ إِلَىْكَ وَ بِآلِهِ. وَ اَصْحَابِهِ الذَّاكِرِيْنَ عَلَىْكَ وَ بِمَنْ تَلِيَتْ فِيْ هَذَا الْمَحَلِّ آثَارُهُ وَ لَاحَتْ عَلَى الْحَاضِرِيْنَ شُمُوْسُهُ وَ اَقْمَارُهُ، اَنْ تُوَفِّقَنَا فِي الْاَقْوَالِ وَ الْاَفْعَالِ لِخُصُوْصِ النِّيَّاتِ، وَ تُبَدِّلَ السَّيِّئآتِ الْحَسَنَاتِ، وَ اَنْ تُغَسِّلَ بِبَرْدِ عَوْفِكَ دَرَنَ نُفُوْسَنَا، وَ تُنَوِّرَ بِمِشْكَاتِ مَعْرِفَتِكَ حَنَادِسَ قُلُوْبِنَا وَ تَخَفَّنَا بِالْطَافِكَ الْخَفِيَّةِ عِنْدَ نُزُوْلِ هَادَمِ الَّلذَّاتِ. وَ تُطْلِقَ اَلْسِنَتِنَا بِتَوْحِيْدِكَ عِنْدَ خُلُوْلِ الْمَمَاتِ. وَ كَفَّ عَنَّا الْجَوْرَ وَ الْمَظَالِمِ. وَ اَوْكِفْ عَلَىْنَا وَ اكْفَ الْجُوْدِ وَ الْمَكَارِمِ وَ اَمَدَّنَا اللهم بِاَنْفَاسِ هَذَا الْعَارِفِ الْأَكْبَرِ. وَ الْبَحْرِ الْمُحِيْطِ الْأَنْوَرِ. وَ اَدْخِلْنَا فِيْ سِلْكِ جَاهِهِ الْعَظِيْمِ. وَ بِوِّئْنَا بِمُحَبَّتِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ. وَ انْشُرْ عَلَىْنَا بِهِ خِلَعِ الْمَوَاهِبِ وَ هَبْ لَنَا بْحُرْمَتِهِ عَلَىْكَ بُلُوْغِ الْمَآرِبِ. وَ امْنَحْنَا بِنَفَحَاتِ ذِكْرِكَ وَ ذِكْرِهِ الْجَمِيْلُ وَ عَرِّضْنَا لِحَشْرِ اَرْوَاحِنَا مَعَ الْكَمَالِ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ وَجِيْلٍ. وَ اغْفِرِ اللهم لِمَنْ اَسَّسَ هَذَا الْمَكَانَ السَّعِيْدُ وَ وَالِدَيْهِ وَ اَهْلِهِ وَ التَّابِعِيْنَ لَهُ مِنْ كُلِّ صَالِحٍ مَجِيْدُ وَ جَازِهِمْ بِالْإِحْسَانِ اِحْسَانًا. وَ بِالسَّيِّئآتِ غُفْرَانًا. وَ صَلِّ اللهم عَلَى خَيْرِ الْأَنَامِ وَ آلِهِ وَ صَحْبِهِ الْبَرَرَةِ الْكِرَامِ. مَا اَصْغَتْ اُذُنٌ لِسَمَاعِ ذِكْرِ الْكَمَالِ الْأَعْلَامِ. وَ فَازَ بِرُكُوْبِ جَوَادِ الْفَضْلِ فِي الْمِيْدَانِ. بِحُسْنِ الْخِتَامِ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ  بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ دَعْوَاهُمْ فِيْهَا سُبْحَانَكَ اللهم وَ تَحِيَّتُهُمْ فِيْهَا سَلَامٌ وَ اَخِرُ دَعْوَاهُمْ اَنِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

164. Tarekat Haddadiyah

Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan pada seorang wali quthub besar yaitu Abdullah bin Alwi aI-Haddad. Nasabnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.

Adapun garis keturunannya sebagai berikut : Abdullâh bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh bin Muhammad al-Haddad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullâh bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi pamannya Faqih al-Muqaddam bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullâh bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Krw.

Beliau dilahirkan pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044 H. di kota Tarim Hadramaut Yaman. Ia menghafaI Alquran lalu mencari ilmu pembersih hati dan berguru pada para `ulamâ’ besar. Sejak kecil matanya sudah buta, namun Allah Swt. menggantinya dengan sinar mata hati yang justru melebihi penglihatan mata biasa. Ia belajar ilmu fikih kepada Syaikh al-Qadhi Sahal bin Ahmad bin Hasan. Ia hafal kitab al-Irsyad atau sering membaca kitab al-Irsyad di hadapan gurunya.

Allah Swt. telah memberinya hafalan, pemahaman dan pemikIran yang sangat luar biasa. Ia berkata: “Di waktu kecil, setiap hari aku melaksanakan shalat di masjid Bani Alawi sebanyak 200 rakaat. Aku memohon kepada Allah SWT. agar diberi maqâm Habib Abdullâh al-Idrus”. Allah Swt. telah mengabulkan permohonannya itu.

Al-Haddad sering berziarah ke pemakaman Zambal, Furaith serta Akdar yang merupakan pemakaman para Habaib di Hadramaut.

Al-Haddad berguru dan memperoleh mandat (ijazah) Tarekat dari Sayyid Muhammad bin Alwi Makkah dari Imam Abdullâh bin Ali dari Sayyid Abdullâh al-Idrus dari Sayyid Umar bin Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Alwi dan Alwi dari saudaranya Abu Bakar al-Idrus dari ayahnya al-Idrus al-Kabir dari Syaikh Ali dari puteranya Syaikh Abi Bakar as-Sakran dan juga dari pamannya yaitu Syaikh Umar al-Mukhdhar dari ayah mereka Imam AbDurrahman as-Segaf dari ayahnya Syaikh Maula ad-Dawilah dari ayahnya Syaikh Ali dan pamannya Syaikh Abdullâh bin Syaikh Alawi dari ayahnya Syaikh al-Faqih al-Muqaddam dari ayahnya Syaikh Alawi bin al-Faqih dari kakeknya dan terus ke Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. (Ghayah al-Qashd wa al-Murad, juz 1, halaman: 219).

Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi bin Alawi mengisahkan bahwa Abdullâh al-Haddad berkata: “Sebagian murid-muridku ada yang memintaku mencatat sanad-sanadku, padahal aku memiliki kurang lebih seratus orang guru, seorang guru saja di antara mereka akan sulit mencari tandingannya karena hebatnya dalam urusan tarekat. Aku telah memperoleh mandat dari mereka menurut masing-masing pangkatnya”.

Dan Abdullâh al-Haddad berkata: “Aku tak pernah melakukan sesuatu kecuali atas petunjuk dari Allah SWT. atau Nabi SAW. atau al-Fagih al-Muqaddam Muhammad bin Ali ba Alawi”.

Di antara aurâdnya sehari-hari adalah setelah zhuhur membaca lâ ilâha illaAllah 1000 kali. Dan di setiap bulan Ramadan membaca lâ ilâha illallah setiap hari 2000 kali sehingga genap 70.000 kali pada tanggal 6 Syawwal. Abdullâh aI-Haddad juga juga membaca lâ ilâha illaAllah al-Malik al-Haq al-Mubin setiap hari 100 kali setelah zhuhur.

Ia sering berpuasa, lebih-lebih pada hari baik seperti Senin-Kamis, hari-hari putih yaitu tanggal 13, 14 dan 15, 10 Muharram, 9 Dzulhijjah, 6 hari pada bulan Syawal. Puasa tersebut ia jalani sehingga tidak kuat lagi karena usianya sudah tua.

Ketika dibacakan Hadis Nabi saw. yang berbunyi “Jangan engkau jadikan kuburanku seperti hari raya”, Abdullâh al-Haddad menjelaskan Hadis ini dari berbagai sudut pandang keilmuan. Secara mendalam ia membahas semuanya mulai dari seusai shalat ashar sampai menjelang maghrib. Kemudian ia berkata: “Aku mempunyai beberapa ilmu yang sekIranya aku tunjukan, jangankan manusia, bajuku pun akan mengingkarinya”.

Ia menyandang pangkat wali quthub mulai dari masa mudanya sehingga masa tua dalam rentang waktu ± 60 tahun. Di antara perkataannya adalah: “Dulu aku mencari sesuatu dan sekarang sesuatu mencariku”.

Ia juga berkata: “Pangkatku ini tak seorang pun yang mampu membawanya sendirian. Namun jika kelak aku hampir meninggal, akan aku berikan kepada sekelompok orang.”

Ia wafat pada malam Selasa 7 Dzul Qa’dah tahun 1132 H. dan dimakamkan di saat maghrib karena begitu banyaknya pelayat. Makamnya merupakan tempat yang mustajab untuk memanjatkan do’a dan bermanfaat bagi orang yang kesusahan. Orang yang duduk di sekitar makam akan merasa betah dan tak ingin beranjak karena merasakan kedamaian.

Di samping itu beliau juga seorang mushannif atau pengarang kitab terutama di bidang ilmu tasawuf di antara kitabnya :

  1. Al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah
  2. Al-Da’wah al-Tamah Wattadkir al-Amma
  3. Risalatu al-Muawanah Wa al-Mudhaharo Wa al-Muazarah al-Muraghabin Nimal Mu’minin Fi Suluk Tarekat al-Akhirah
  4. al-Fushul al-Ilmiyati Wa al-Ushul al-Khikmah
  5. Sabilu al-Iddikar Wa al-I’tibar bima Yamurru Bil Insân Wayanqadhi lahu Minal I’timar.
  6. Risalah al-Mudzakiroh Maa al-Ikhwan al-Mukhibbin min Ahli al-Khoir Waddin.
  7. Risâlah Adâb Sulûk al-Murid.
  1. Kitab al-Hikam.
  2. Adab Suluk al-Murid
  3. Al-Wirid al-Kabir
  4. Ithaf al-Sail

Sumber: Alif.ID

165. Ajaran-Ajaran Tarekat Haddadiyah

1. Berpegang teguh pada tali agama Allah Swt. dengan mengamalkan Al-Qur’an dan Hadis, kesepakatan para ulama, berpegang pada ahlu sunnah wal jamaah, dan mencegah keluar dari golongannya. Karena, jamaah merupakan rahmat sedangkan perpecahan adalah adzab (siksa).

Pertolongan Allah Swt. bersama dengan jamaah (persatuan yang kuat), persatuan merupakan dasar semua kebaikan. Begitu juga perpecahan dasar setiap kejelekan dan bencana (al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah, halaman: 5).

  1. Zikir

Zikir kepada Allah SWT. merupakan lebih utama-utamanya ibadah dan lebih cepat wushul kepada Allah Swt, zikir yang paling utama adalah dengan menggunakan hati dan lisan secara bersama sama kemudian zikir dengan hati saja, zikir dengan lisan saja.

Syaikh Abdullah Ba’lawi al-Haddad membagi urutan zikir menjadi 4 bagian seperti pembagianya Imam Ghazali: a) Zikir lisan saja. b) Zikir hati dan lisan yang dipaksakan. c) Hadirnya hati tanpa dipaksakan ketika zikir lisan. d) Hati tenggelam dalam Dzat yang di zikiri.

  1. Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan syiar agama yang agung, sesuatu yang penting bagi mu’min.  Allah Swt. Berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ… ” الأية ”

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ رَاءَ مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الْإِيْمَانِ.

Dengan demikian amar ma’ruf nahi munkar tidak ada kemurahan (rukhshah) bagi siapa pun untuk meninggalkannya. Barang siapa meremehkan amar ma’ruf nahi munkar maka dia termasuk orang yang meremehkan haknya Allah Swt. dan tidak menghormatinya, (al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah, halaman: 55).

Syaikh Abdullah al-Haddad mengingatkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar seharusnya dilakukan dengan lemah lembut, menampakkan jiwa kasih sayang karena hal itu merupakan lingkaransifat-sifat keagungan.

  1. Berpedoman terhadap aqidah ahlu sunnah wa al-jamaah.
  2. Tafakkur

Hendaknya salik melakukan wirid sambil melakukan tafakkur tiap malam, bertafakkur tentang kekuasaan dan nikmat-nikmat Allah Swt, bertafakkur terhadap ketedoran ibadah salik, tafakkur terhadap kehidupan dunia dan kesibukan salik meramaikan dalam meraih kehidupan dunia dan kerusakan-kerusakan dunia dengan memperhatikan kehidupan akhirat yang kekal abadi, (Risalah al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah, halaman: 37-39).

  1. Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis.
  2. Salik harus tetap menjaga kebersihan lahir batin.
  3. Salik harus menjaga dan membiasakan diri melakukan Adab al-Nibuwwah (adab tata krama Nabi Muhammad saw.
  4. Wirai yaiitu menjaga diri dari perbuatan yang diharamkan dan syubhat.
  5. Berbuat adil.
  6. Tetap melanggengkan taubat, roja’, khauf, sabar, syukur, zuhud, tawakkal kepada Allah Swt. dan mahabbah kepada Allah Swt. dan rasulnya.
  7. Ridho kepada Qadha’ dan Qadar Allah Swt. (Risalah al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah, halaman: 40-132).

Sebagian dengan perkara yang penting bagi seseorang yang berbuat amar ma’ruf nahi munkar yaitu menjahui dosa besar karena sesungguhnya perbuatan tersebut dapat menghapus atau menambah pahala dan menyebabkan siksa, (Nashaihu al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, halaman: 57).

Adab Zikir

  1. Salik harus menghadirkan hati dengan lisan ketika berzikir, karena hal ini sangat penting untuk salik bisa menerima faidah, buah dari zikir.
  2. Salik harus beradab dengan sebaik-baik adab, baik secara lahir atau batin.
  3. Salik harus dalam keadaan suci dari hadas,
  4. Salik harus khusyuk dan mengagungkan Allah Swt.
  5. Menghadap kiblat, semua anggota tubuhnya dalam keadaan tenang. Seperti dalam keadaan salat.
  6. Salik menggunakan segenap waktunya untuk berzikir dan tetap memegang adab dalam keadaan apapun, karena syaithan terus menunggu kelengahan salik, (al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, halaman: 49-50).

Macam-macam Zikir

Menurut Abdullâh bin Alwi al-Haddad Sebagaimana yang di tulis di kitab (Nashaihu al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, sebagai berikut :

  1. Membaca Al-Qur’an
  2. Membaca tahlil
  3. Membaca kalimat thayyibah
  4. Membaca tasbih, tahmid, dan takbir
  5. Membaca baqi’atus shalikha khauqala (la haula wala quwwata illa billah)
  6. Membaca istigfar
  7. Membaca shalawat pada Nabi
  8. Membaca doa (Nashaih al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, halaman: 52-53).

Berikut bacaan Ratib al-Haddad, Syaikh Alawi bin Ahmad bin Hasan bin Abdillah bin Alwi al-Haddad yang dijelaskan dalam kitab Mukhtashar Syarhu Ratib al-Haddad, halaman: 5-8.

أَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ،  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمِ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَللهُ لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ. لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ. لَهُ مَا فِي السَّمٰوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ. مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ. يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ. وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلَا يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ. آمَنَ الرَّسُولُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ. كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ. لَانُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ. وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ. لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا. لَهَا مَاكْتَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا. رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا. رَبَّنَا وَلَا تُـحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ. وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا. أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلىٰ كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ  ×3

سُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَلَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ اَللهُ اَكْبَرُ  ×3

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ ×3

رَبَّنَااغْفِرْلَنَاوَتُبْ عَلَيْنَااِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ ×3

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّم  ×3

اَعُوْذُبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّمَاخَلَقَ ×3

بِسْمِ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَالْـخَيْرُوَالشَّرُّبِمَشِيْئَةِ اللهِ  ×3

آمَنَّابِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ تُبْنَااِلَى اللهِ بَاطِنًاوَظَاهِر  ×3

يَارَبَّنَاوَعْفُ عَنَّاوَمْحُ الَّذِيْ كَانَ مِنَّا  ×3

يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ اَمِتْنَاعَلَى دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ  ×7

يٰاقَوِيُّ يٰامَتِيْنُ اكْفِ شَرَّالظَّالِمِيْنَ  ×3

اَصْلَحَ اللهُ اُمُرَالْمُسْلِمِيْنَ صَرَفَ اللهُ شَرَّالْمُؤْذِيْنِ  ×3

يَاعَلِيُّ يَاكَبِيْرُيَاعَلِيْمُ يَاقَدِيْرُيَاسَمِيْعُ يَابَصِيْرُيَالَطِيْفُ يَاخَبِيْرُ  ×3

يَافَرِجَ الْهَمِّ، يَاكَاشِفَ الْغَمِّ، يَامَنْ لِعَبْدِهِ يَغْفِرُوَيَرْحَمْ  ×3

اَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبَّ الْبَرَايَا اَسْتَغْفِرُاللهَ مِنَ الْخَطَاياَ ×3

لَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ لَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ ×25

لَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ مُحَمَّدٌرَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ وَمَـجَّدَ وَعَظَّمَ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالٰى عَنْ اَهْلِ بَيْتِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ وَاَصْحَابِهِ اْلاَكْرَمِيْنَ الْمُهْتَدِيْنَ، وَاَزْوَاجِهِ الطَّاهِرَةِ اُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلىٰ يَوْمِ الدِّيْنِ وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ وَفِيْهِمْ بِرَحْمَتِكَ يَآاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ. اَللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ ×3

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِن شَرِّ مَا خَلَقَ. وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ. وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ×1

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلٰهِ النَّاسِ. مِن شَرِّالْوَسْوَاسِ الْـخَنَّاسِ. الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ×1

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِسَيِّدنَا الْفَقِيْهِ الْمُقَدَّمِ مُحَمَّدِبْنِ عَلِيِّ بٰاعَلَوِى، وَاُصُوْلِهِ وَفُرُوْعِهِ وَجَمِيْعِ سَادَاتِنَا آلِ بٰاعَلَوِى، إِنَّ اللهَ يُقَدِّسُ أَرْوَاحَهُمْ فِي الْـجَنَّةِ، وَيُنَوِّرُ ضَرَائِحَهُمْ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ.

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِـجَمِيْعِ سَادَاتِنَا الصُّوْفِيَةِ إِنَّ اللهَ يُقَدِّسُ أَرْوَاحَهُمْ فِي الْـجَنَّةِ، وَيُنَوِّرُ ضَرَائِحَهُمْ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِمْ وَأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَيُلْحِقُنَا بِهِمْ فِي خَيْرٍ وَعَافِيَة.

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِصَاحِبِ الرَّاتِبِ، اَلْأُسْتَاذِ سَيِّدِنَا الشَّرِيْف، الْقُطْبِ الْغَوْثِ، عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلَوِيِّ اَلْحَدَّادِ بَاعَلَوِيِّ، إِنَّ اللهَ يُقَدِّسُ رُوْحَهُ فِي الْجَنَّةِ، وَيُنَوِّرُ ضَرِيْحَهُ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ وَأَسْرَارِهِ وَأَنْوَارِهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ.

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِوَالِدِيْنَ وَوَالِدِيْكُمْ، وَاَمْوَاتِنَا وَاَمْوَاتِكُمْ وَاَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ اَجْمَعِيْنَ، إِنَّ اللهَ يَغْفِرُلَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيُسْكِنُهُمُ فِي الْجَنَّةَ، وَيُصْلِحُ أُمُوْرَالْمُسْلِمِيْنَ، وَيَكْفِيْهِمْ شَرَّ الْمُوءْذِيْنَ، وَيَتَقَبَّلُ مِنَّا وَمِنْكُمْ، وَيَرْزُقُنَا وَإِيَّاكُمْ حُسْنَ الْخَاتِمَةِ عِنْدَ الْمَوْتِ فِي خَيْرٍ وَلُطْفٍ وَعَافِيَةٍ، وَاِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ. لَهُمُ الْفَاتِحَة

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِى مَزِيْدَهُ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَلىٰ اَهْلِ بَيْتِهِ وَسَلِّمْ، اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ بِحَقِّ الْفَاتِحَةِ الْمُعَظَّمَةِ وَالسَّبْعِ الْمَثَانِى اَنْ تَفْتَحَ لَنَا بِكُلِّ خَيْرٍ، وَاَنْ تَفَضَّلَ عَلَيْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ، وَاَنْ تُعَامِلَنَا مُعَامَلَتَكَ لِأَهْلِ الْـخَيْرِ، وَاَنْ تَجْعَلَنَا مِنْ اَهْلِ الْخَيْرِ، وَاَنْ تَحْفَظَنَا فِى دِيْنِنَا وَاَنْفُسِنَا وَاَوْلاَدِنَا وَاَهْلِيْنَا وَاَصْحَابِنَا وَاَحْبَابِنَا مِنْ كُلِّ مِحْنَةٍ وَفِتْنَةٍ وَبُؤْسٍ وَّضَيْرٍ، اِنَّكَ وَلِيُّ كُلِّ خَيْرٍ، وَمُعْطٍ لِكُلِّ خَيْرٍ يَآاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمِ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ رِضَاكَ وَالْجَنَّةَ وَنَعُوْذُبِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ ×3

يَا عَالِمَ السِرِّ مِنَّا لاَ تَهْتِكَ السِّتْرَ عَنَّا وَعَافِنَا وَاعْفُ عَنَّا وَكُنْ لَنَا حَيْثُ كُنَّا ×3

يَا اَللهُ بِهَا يَا اَللهُ بِهَا يَا اَللهُ بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ ×3

يَا لَطِيْفًا بِـخَلْقِهِ، يَاعَلِيْمًا بِـخَلْقِهِ، يَاخَبِيْرًا بِـخَلْقِهِ، اُلْطُفْ بِنَا يَا لَطِيْفُ يَاعَلِيْمُ يَا خَبِيْرُ  ×3

يَا لَطِيْفًا لَمْ يَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا فِيْمَا نَزَلْ اِنَّكَ لَطِيْفٌ لَمْ تَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ  ×3

جَزَاللهُ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَنَّا خَيْرًا، جَزَاللهُ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَنَّا مَا هُوَ اَهْلُهُ  ×3

بِبَرَكَةِ الْفَاتِحَة  اهــ

(Mukhtashar Râtib al-Haddâd, halaman:  5-8 ).

Sumber: Alif.ID

166. Wasiat-wasiat al-Haddad

Dalam memantapkan keyakinan dan ketakwaan pengikut tarekat, al-Haddad memberikan wasiat kepada mereka untuk diamalkan. Di antara wasiat beliau sebagaimana yang tertulis di kitab ”al-Nashaih al-Diniyah” dan kitab-kitab yang lain adalah sebagai berikut:

  • Iman

Al-Haddad senantiasa berpesan agar selalu menguatkan keimanan dan memperbaikinya karena hal ini menjadi pokok yang utama. Jika keyakinan seorang menjadi teguh dalam hatinya yang gelap menjadi terang. Ia memberikan alasan dengan ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib.

Keyakinan itu dapat diperoleh dengat mendengar ayat-ayat Al-Qur’an , Hadis dan atsar sahabat. Kemudian dengan melihat pada alam semesta yang menandakan kebesaran penciptanya. Ia membagi iman itu dalam tiga tingkatan :

  1. Derajat ashabul yamim, yaitu tingkat iman yang masih keragu-raguannya.
  2. Derajat muqarrabin, yaitu yang mempunyai iman yang kuat tidak bisa digoncangkan ke kanan dan ke kiri.
  3. Derajat nabiyyin, yaitu iman yang sudah mencapai tingkatan sempurna
  • Niat

Niat yaitu keinginan hati untuk menjalankan ibadah baik yang wajib atau yang sunnah dan keinginan akan sesuatu seketika itu atau waktu akan datang.

Arti Niat:

  1. Niat yaitu gambaran dari kesengajaan seseorang terhadap satu pekerjaan yang disertai pekerjaan dan ucapan.
  2. Niat yaitu yaitu gambaran melakukan sesuatu yang disertai dengan kesengajaan, (Risalah al-Muawanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah, halaman: 19).
  • Muraqabah

Yaitu merasa di awasi Tuhan, dan orang yang sedang melakukan suluk hendaknya selalu murâqabah dalam gerak dan diamnya, dalam segala perbuatan dan kehendak, dalam keadaan aman dan bahaya, di kala nampak maupun tersembunyi, selalu merasa dirinya berdampingan dengan Allah Swt. dan diawasi olehnya. Niscaya dia selalu memperhatikan segala amal ibadahnya.

Muqarrabah adalah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt. selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak gerik kita dan bahkan segala yang terlintas dalam hati di ketahiu Allah Swt, (Nashâih al-Dîniyyah wa al-Washâyâ al-îmâniyyah, halaman: 93).

Seorang tasawuf dalam kitab Risâlah al-Qusyairiyyah berkata: “Adapun harapan baik itu adalah menggerakkan kamu supaya berbuat amal saleh, khauf (takut) akan menjauhkan kamu dari maksiat.

Adapun muraqabah akan membawa kamu ke jalan yang benar. Wajib menghindari arogansi dan kekerasan”. Karena jihad adalah amal kebaikan yang Allah Swt. syariatkan dan menjadi sebab kokoh dari kemuliaan umat Islâm.

Jihat terbagi menjadi beberapa macam:

  1. Amar ma’ruf nahi munkar.
  2. Memerangi orang kafir dengan harta, tenaga, dan ucapan.
  3. Memerangi nafsu sendiri, (Nashâih al-Dîniyyah wa al-Washâyâ al-îmâniyyah, halaman: 57-58).
  • Mengisi seluruh waktu dengan ibadah

Yaitu mengisi seluruh waktu dengan ibadah, bukan saja ibadah yang fardhu dan sunnah, melainkan sampai pada menentukan waktu makan dan minum, serta berjalan dan duduk tidak terlepas dari pada salah satu amal ibadah.  Ia memberikan contoh kehidupan Rasulullah saw, para sahabat, dan orang-orang saleh yang menggunakan tiap detik untuk sujud zikir, dan beribadah kepada Allah Swt.

  • Amal perbuatan lainnya

Yaitu memperbanyak membaca Alquran, banyak mempelajari ilmu pengetahuan, memperbanyak berfikir tentang kebesaran Allah Swt. dan kekurangan diri, menjauhkan diri dari segala bid’ah dan dari menuruti hawa nafsu, serta mempelajari cara-cara ibadah dengan sempurna.

Begitu juga kebersihan bathin selalu dijaga dengan membersihkan diri dari perangai-perangai yang tercela, seperti takabur, riya’, hasud, cinta dunia, kemudian berlaku dengan akhlak yang mulia seperti tawadhu’ (rendah hati), ikhlâs, dermawan, dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Kewajiban Salik Tarekat Haddadiyyah

  1. Salik wajib melaksanakan taubat dari seluruh doa, meminta maaf, dan ridha kepada seseorang jika di aniaya terhadap makhluk (dhalim al-‘abd).
  2. Salik wajib menjaga hatinya dari gangguan hati, getaran hati yang jelek sehingga salik bisa muraqabah kepada Allah Swt. Salik harus menghilangkan kemaksiatan hati yang lebih jelek dari maksiat anggota tubuh lahir serta memperbaiki hati karena hati merupakan tempat makrifat dan muraqabah kepada Allah Swt.
  1. Salik harus menjaga anggota tubuh lahir dari semua jenis maksiat.
  2. Salik harus melanggengkan wudhu’, mengurangi makan, tidur, dan bicara.
  3. Seyogyanya salik menjahui manusia yang bisa menimbulkan kemaksiatan.
  4. Salik harus menjaga shalat 5 waktu dengan sungguh-sungguh dan melaksanakannya dengan sempurna.
  1. Salik dilarang meninggalkan shalat jum’at dan shalat berjama’ah.
  2. Salik harus harus menggunakan semua keadaan (hal), waktu, dan tempat untuk selalu berzikir dengan hati dan lisan.
  1. Salik harus melawan ajakan nafsu. Sesungguhnya awal tarekat adalah sabar dan diakhiri dengan syukur, awalnya adalah kesulitan,susah payah, dan diakhiri terbukanya hati, wushûl kepada Allah Swt. (ma’kifat).
  2. Hendaknya salik bersyukur dengan diberi cobaan faqir, kesulitan, dan kesusahan dalam penghidupan dunia karena Rasulullah saw. bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وْجَنَّةُ الْكَافِرِ

Dunia merupakan merupakan penjara orang mu’min dan surga bagi orang-orang kafir.

  1. Salik harus bersifat sabar dan memaafkan.
  2. Salik harus menetapi sifat sabar, ikhlas dalam amal, dan khusnuzhan.
  3. Salik wajib mencintai syaikh (mursyid), (Risalah Adab Sulak al-Murad, halaman: 7-47).

Adab Salik terhadap Syaikh (Mursyid)

  1. Taat dan patuh kepada syaikh (mursyid).
  2. Mengikuti semua perbuatan dan ucapan syaikh kecuali sesuatu hal yang dikhususkan bagi syaikh.
  1. Salik tidak melawan syaikh baik lahir dan batin. Jika getaran jiwa (khâtir) salik sedang melakukan perlawanan maka salik harus bersungguh-sungguh menghilangkannya. Jika usaha salik tidak berhasil maka salik menceritakan hal tersebut kepada syaikh (mursyid).
  2. Tidak mengambil tarekat syaikh (mursyid) yang lain tanpa seizin syaikh (mursyid)nya (Risalah Adab Suluk al-Murid, halaman: 51-58).

Sumber: Alif.ID

167. Tarekat Tijaniyah

Tijaniyahpeta

Nama al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suku yang hidup di sekitar wilayah Tilimsan, Aljazair. Tarekat ini dinisbatkatkan kepada wali besar Sayyid Ahmad al-Tijani atau dikenal dengan julukan Ibnu Umar atau Abu ‘Abbas Ahmad.

Nasab al-Tijani  dari ayah sampai kepada Rasulullah saw. Adapun nasab lengkapnya sebagai berikut: Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Mukhtar ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salam ibn Ahmad al-‘Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Jabbar ibn Idris ibn Ishak ibn Zainal Abidin ibn Muhamad Al-Nafs al-Zakiyyah ibn Abdullah al-Kamil ibn Hasan Musana ibn Hasan al-Sibti ibn Abi Thalib dari Sayyidah Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw. (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, juz 1, halaman: 25).

Nasab dari Ibu adalah sebagai berikut; ibu Syaikh al-Tijani bernama Aisyah Binti Sayyid Atsil ibn Abu Abdillah ibn Sanusi al-Tijani, (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa ual-Amani, juz 1, halaman: 25).

Ahmad al-Tijani dilahirkan (1150  H., 1737 M.) di ‘Ain Madhi masuk wilayah Tilimsan selatan Aljazair. Ahmad al-Tijani sejak kecil sudah digembleng dengan pendidikan yang ketat sehingga pada umur 7 tahun sudah hafal Alquran di bawah bimbingan syaikh sayyid Isa di daerah Ukaz Madi (Muhammad ibn Abdul Qadir; Manaqib al-Imam as-Syafi’i, halaman: 4),

Sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai macam cabang ilmu seperti Fiqh, Ushul Fiqh, dan sastra dari syaikh al-Mubarak ibn Rusyd dan syaikh al-Ahdhari. Beliau dikenal dengan kecerdasan, ketekunan, memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga pada usia 20 tahun telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama, (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, juz 1, halaman: 24).

Pada tahun 1171, saat usia Ahmad al-Tijani menginjak 21 tahun, beliau pindah ke kota Fez Maroko, yang pada saat itu menjadi pusat studi ilmu agama di wilayah barat sebagaimana kota Kairo. Di kota ini beliau mempelajari kitab Futuhat al-makkiyah karya Ibnu ‘Arabi (w. 638 H, 1240 M) di bawah bimbingan al-Thayyib ibn Muhammad al-Yamhali dari Hibthi dan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali (w.1185).

Syaikh al-Wanjali pernah berkata kepada Syaikh Ahmad al-Tijani waktu pertama kali bertemu, ”Engkau akan mencapai maqam sebagaimana maqam al-Syadzili”. Beliau juga pernah bertemu dengan Abdullâh ibn ‘Arabi al-Andalusia, mereka berbincang tentang berbagai macam hal dan sebelum berpisah, Abdullâh ibn ‘Arabi al-Andalusia berkata kepada syaikh Ahmad al-Tijani: “Allah Swt. akan membimbingmu,” kata-kata ini diulang tiga kali.

Ketika Syaikh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31  tahun, beliau mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan mengikuti beberapa tarekat, diantaranya adalah; tarekat Qadiriyah di bawah bimbingan syaikh Abdul aâdir al-Jilani, tarekat Nasiriyah yang diambil dari syaikh Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, tarekat Ahmad al-Habib Ibn Muhammad, tarekat Mulamatiyah  di bawah bimbingan syaikh Abi ‘Abbas Ahmad al-Thawwas, (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 35).

Beliau mendapat bimbingan persiapan untuk tahap atau fase selanjutnya. Ia menyarankan kepada syaikh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (bersunyi diri) dengan memperbanyak zikir, bersabar sampai Allah SWT. memberi keterbukaan hati (Futuh) karena menurut syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas, dia berkata syaikh Ahmad al-Tijani, ”Engkau akan mendapatkan maqâm yang agung (maqâm ‘adzîm)”.

Anjuran ini tidak segera dilaksanakan oleh syaikh Ahmad al-Tijani, dan syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas mengerti terhadap sikap syaikh Ahmad al-Tijani yang demikian, ahirnya syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas memberikan kelonggaran dengan berkata, ”Tetaplah berzikir kepada Allah Swt. tanpa harus berkhalwat nanti Allah Swt. akan memberi keterbukaan (futuh) kepadamu.

Kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren) syaikh Abdul Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh dan menetap beberapa saat kemudian kembali ke Tilimsan.

Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. di Madinah al-Munawwarah. Dalam menempuh perjalanan panjang ke Makkah, beliau menjumpai tokoh-tokoh sufi dan sekaligus mendalami ilmu tasawuf dan mengambil ilmu hikmah dari mereka.

Ketika sampai di di desa Azwari wilayah al-Jazair beliau menjumpai sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari (w.1198) seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah dan beliau mendalami tarekat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunisia dan menjumpai wali bernama syaikh Abd al-Samad al-Rakhawi (w.1196 H), di kota ini beliau belajar tarekat sambil mengajar ilmu tasawuf, diantara kitab yang diajarkan adalah al-Hikam yang dikarang oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Athaillah al-Sakandari, (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 36).

Kemudian beliau meneruskan perjalanan ke mesir, di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi dari Tarekat Khalwatiyah, syaikh Mahmud al-Kurdi (w.1208 H), dari syaikh ini beliau mendalami Tarekat Khalwatiyah.

Pada satu kesempatan syaikh Mahmud al-Kurdi berkata kepada Syaikh Ahmad al-Tijani, “Engkau kekasih Allah Swt. di dunia dan di akhirat”, lalu al-Tijani bertanya, ”Dari mana pengetahuan ini?”.

Syaikh Mahmud al-Kurdi menjawab: “Dari Allah Swt.” Pada kesempatan lain syaikh Mahmud al-Kurdi bertanya lagi kepada al-Tijani: “Apa cita-citamu?” al-Tijani menjawab: “Cita-cita saya menduduki maqâm al-Qutbaniyah al-‘Udzma”.

Syaikh Mahmud al-Kurdi berkata lagi: “Engkau akan mendapatkan maqâm lebih dari itu”. Berkata al-Tijani: “Apa Engkau yang menanggungnya?”. syaikh Mahmud al-Kurdi menjawab: “Ya”.

Pada bulan Syawal tahun 1187 H. sampailah beliau ke Mekah. Pada waktu di Mekah ada seorang wali bernama Syaikh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn Abdillah al-Hindi (w.1187 H) (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 36).

Sewaktu Syaikh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, beliau mengungkapkan kepada Syaikh Ahmad al-Tijani melalui Surat lewat khadimnya yang berisi: “Engkau pewaris ilmuku, ilmu rahasiaku, karuniaku, dan cahayaku”.

Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa dalam tradisi tasawuf atau kewalian, proses pendidikan ilmu batin bisa dilakukan seorang wali kepada yang lain tanpa harus melalui bimbingan langsung secara fisik.

Setelah melaksanakan ibadah haji, Syaikh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. Di kota Madinah beliau menjumpai seorang wali Qutub Syaikh Muhammad Ibn Abd al-Saman (w.1775 M.) yaitu seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah dengan maksud untuk mendapatkan ajaran-ajaran sebagai persiapan masa depan.

Dalam perjalanan pulang ke al-Jazair, Syaikh Ahmad al-Tijani menjumpai gurunya di Mesir yaitu Syaikh Mahmud al-Kurdi, dengan tujuan untuk mendiskusikan tentang masalah tasawuf yang sulit difahami (musykil).

Dalam waktu yang relatif lama beliau tiap hari berdiskusi dengan Syaikh Mahmud al-Kurdi, sampai akhirnya Syaikh Mahmud al-Kurdi mengangkat Syaikh Ahmad al-Tijani sebagai khalifah tarekat Khalwatiyah di wilayah Maroko (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 37-38 ). Syaikh Ahmad al-Tijani akhirnya diberi hak untuk menyebarkan dan mengajarkan tarekat Khalwatiyah dari gurunya syaikh Muhammad al-Qurdi, (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 49).

Pada tahun 1196 H. tepatnya syaikh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun. Beliau pergi ke pedalaman al-Jazair tepatnya di desa Abu Samghun. Beliau tinggal di tempat itu untuk melakukan khalwat. Pada saat sedang melakukan khalwat di Abu Samghun, syaikh al-Tijani mengalami keterbukaan (al-futuh).

Beliau bertemu Rasulullah saw. dalam keadaan sadar, terjaga bukan dalam keadaan mimpi. Selanjutnya Rasulullah saw membimbing (menalqin) syaikh Ahmad al-Tijani dengan membaca istighfâr 100 kali, Shalawat 100 kali dan selanjutnya Rasulullah saw. Bersabda:

لَا مُنَّةَ لِمَخْلُوْقٍ عَلَيْكَ مِنْ أَشْيَاخِ الطَّرِيْقِ فَاَنَا وَاسِطَتُكَ وَ مُمِدُّكَ عَلَى التَّحْقِيْقِ. فَاتْرُكْ عَنْكَ جَمِيْعَ مَا اَخَذْتَ مِنْ جَمِيْعِ الطَّرِيْقِ وَ قَالَ لَهُ: اِلْزَمْ هَذِهِ الطَّرِيْقَةَ مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ وَ لَا اعْتِزَالٍ عَنِ النَّاسِ حَتَّى تَصِلَ مَقَامَكَ الَّذِى وُعِدْتَ بِهِ وَ اَنْتَ عَلَى حَالِكَ مِنْ غَيْرِ ضَيْقٍ وَ لَا حَرَجٍ وَ لَا كَثْرَةِ مُجَاهَدَةٍ. وَ اتْرُكْ عَنْكَ جَمِيْعَ الْأَوْلِيَاءِ.

“Tidak ada karunia bagi seorang makhluk dari guru-guru tarekat atas kamu, maka akulah perantara dan pembimbingmu secara nyata (oleh karena itu) tinggalkanlah semua tarekat yang telah kamu ambil. Tekunilah tarekat ini tanpa kholwat dan menghindari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan kepadamu dan kamu tetap berada pada keadaanmu tanpa kesempitan, tanpa susah payah, tidak banyak mujahadah dan tinggalkanlah semua wali”., (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 40-41).

Semenjak itu syaikh Ahmad al-Tijani meninggalkan semua tarekat yang pernah diambil dan pindah kepada tarekat yang ditalqinkan oleh Rasulullah saw. Syaikh Ahmad al-Tijani berkata: “Rasulullah saw. bersabda kepadaku: bahwa Rasulullah saw. adalah guru, pembimbing, pendidikku dan Rasulullah saw. selalu mendampingi dan tampak terlihat dengan mata kepala”.

Dua macam wirid di atas yaitu Istighfâr 100 kali, shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun (1200 H). wirid itu disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang ditambah bacaan hailalah (Tahlil: lâ ilâha illa Allah) 100 kali yang pada kemudian hari menjadi amalan dasar tarekat al-Tijani (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 41).

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani pernah memberikan isyarat tentang hal ini kepada syaikh Ahmad al-Tijani ketika masih berada di Zawiyahnya, syaikh Abdul Qâdir al-Jilani berkata: “البيضة منا بالق”.

Pada tahun 1789 M, syaikh Ahmad al-Tijani pindah dan menetap di kota Fes Maroko. Syekh Ahmad al-Tijani mengajak Maulana Sulaiman untuk mengembangkan tarekat ini. Sampai syaikh Ahmad al-Tijani meninggal dunia pada hari Kamis tanggal 17 Sya’ban 1230 H. dan dimakamkan di kota Fes Maroko.

Beliau mempunyai dua orang putera yaitu; Sayyid Muhammad al-Habib dan Sayyid Muhammad al-Kabir.

Sumber: Alif.ID

168. Amalan Wirid Tarekat Tijaniyah

Amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu: istighfar, salawat, dan tahlil. Tiga unsur pokok tersebut dijabarkan dalam tiga jenis wirid yaitu sebagai berikut.

  • Wirid Lazimah

Cara melakukan wirid lazimah (pagi sore)

  1. Membaca Surat al-Fatihah 7 kali
  2. Membaca istighfar

أَسْتَغْفِرُ اللهَ 100x

3. Membaca salawat dengan berbagai macam shighat

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ 100x

atau lebih utama membaca Salawat Fatih

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَ الْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ 100 x

4. Membaca tahlil.

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ 99 x

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ عَلَىْهِ سَلَامُ اللهِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 1 x

Wirid lazimah ini dibaca 2 kali dalam sehari yaitu setelah subuh sampai waktu dhuha dan setelah ashar sampai isyak. Jika murid Tarekat Tijaniyah dalam keadaan sibuk, maka boleh dibaca sepanjang waktu.

Barang siapa yang sudah mengambil wirid ini tidak diperbolehkan meninggalkan secara menyeluruh, tidak boleh meremehkannya. Jika hal ini dilakukan maka akan mendapat siksa (uqubah) dan kerusakan (al-Halk) (Jauharul Ma’ani juz 1 hal 91).

  • Wirid Wadzifah

Cara melakukan wirid Wadzifah

  1. Membaca niat untuk melakukan wirid wazhifah
  2. Membaca Surat al-Fatihah 3 kali
  3. Membaca Salawat Fatih 3 kali
  4. Membaca istighfar

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ لَااِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ 30 x

5. Membaca Salawat Fatih 50 kali

6. Membaca tahlil

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ 99 x

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ عَلَىْهِ سَلَامُ اللهِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 1 x

7. Membaca Salawat Jauhar al-Kamal

اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ وَ الْيَقُوْتَةِ الْمُتَحَقِّقَةِ الْحَائِطَةِ بِمَرْكَزِ الْفُهُوْمِ وَالْمَعَانِى وَ نُوْرِ الْأَكْوَانِ الْمَكْتُوْبَةِ الْآدَمِىِّ صَاحِبِ الْحَقِّ الرَّبَّانِىِّ الْبَرْقِ الْأَسْطَعِ بِمُزُوْنِ الْأَرْيَاحِ الْمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ الْبُحُوْرِ وِ الْأَوَانِيْ وَ نُوْرِكَ اللَّامِعِ الَّذِيْ مَلَأْتَ بِهِ كَوْنِكَ الْحَائِطَ بِأَمْكَانَةِ الْمَكَانِ. اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الْحَقِّ اللَّتِىْ تَتَجَلَّى مِنْهَا عُرُوْسُ الْحَقَائِقِ عَيْنِ الْمَعَارِفِ الْأَقْوَامِ صِرَاطِكَ التَّامِّ الأَسْقَمِ. اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى طَلْعَةِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ الْكَنْزِ الْاَعْظَامِ إِفَاضَتِكَ مِنْكَ اِلَيْكَ اِحَاطَةِ النُّوْرِ المُطَلْسَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ صَلَاةً تُعَرِّفْنَا بِهَا إِيَّاهُ 12 x (جواهر المعاني و بلوغ الأماني في فيض سيدي أبي العبّاس التجاني، ج 2, ص 401)

Wirid Wazhîfah dibaca 2 kali (lebih utama), atau 1 kali. Jika seseorang melewatkan atau meninggalkan zikir Wazhîfah tidak harus diqodho’i.

  • Wirid Tahlil

Wirid Tahlîl dilaksanakan setiap hari Jum’at setelah shalat ashar di masjid dengan berjama’ah (jika mempunyai teman). Ini merupakan syarat pelaksanaan tarekat ini, (Jawahir al-Ma’ani, juz 1, halaman: 92).

  • Doa Setelah Melakukan Wirid

يَا سَيِّدَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذِهِ هَدِيَّةٌ مِنَّا اِلَىْكَ فَاقْبَلْهَا بِفَضْلِكَ وَ كَرَمِكَ يَا سَيِّدَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْكَ وَ عَلَى آلِكَ وَ اَصْحَابِكَ وَ اَزْوَاجِكَ وَ ذُرِّيَتِكَ وَ سَلَّمَ (جَزَاكَ اللهُ عَنَّا اَفْضَلَ مَا اَنْتَ اَهْلُهُ 3×) وَ جَزَى اللهُ عَنَّا اَصْحَابَكَ وَ عُلَمآءَ اُمَّتِكَ الَّذِيْنَ بَلَّغُوْنَا دِيْنَ الْإِسْلَامِ (رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَ بِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَ بِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَ رَسُوْلًا 3×) صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ وَ جَزَى اللهُ عَنَّا وَلَدَكَ سَيِّدَنَا وَ سَنَدَنَا وَ عُدَّتَنَا وَ عُمْدَتَنَا وَ اسْتِمْدَادَنَا دُنْيَا وَ اُخْرَى الْاِمَامَ الْقُطْبَ الْمَكْتُوْمَ سَيِّدَنَا الشَّيْخِ اَحْمَدْ اِبْنَ مُحَمَّدْ التِّجَانِى وَ اَزْوَاجَهُ وَ ذُرِّيَّتَهُ وَ خُلَفَائَهُ وَ مُقَدَّمِيْهِ وَ اَصْحَابَهُ وَ اَحْبَابَهُ مِنَ الْاِنْسِ وَ الْجَانِّ. اللهم غَمِّسْنَا وَ اِيَّاهُمْ فِيْ دَائِرَةِ الرِّضَى وَ الرِّضْوَانِ وَ اغْرِقْنَا وَ اِيَّاهُمْ فِيْ دَائِرَةِ الْفَضْلِ وَ الْاِمْتِنَانِ. اللهم آمِنْ دَوْعَتَنَا وَ دَوْعَتَهُمْ وَ اَقِلْ عَثْرَتَنَا وَ عَثْرَتَهُمْ وِ الْطُفْ بِنَا وَ بِهِمْ لُطْفًا عَامًّا وَ لُطْفًا خَاصَّةً وَ اَدِّمَالَهُمْ عَلَىْنَا مِنَ الْحُقُوْقِ وَ التَّبِعَاتِ مِنْ خَزَائِنِ رَحْمَتِكَ بِمَحْضِ فَضْلِكَ وَ مِنَّتِكَ يَا ذَا الْفَضْلِ الْجَسِيْمِ وَ يَا ذَا الْمَنِّ الْعَظِيْمِ آمِيْنَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Tata Cara Tarekat Tijaniyah

Tarekat Tijaniyah di dalam mendidik, mengarahkan dan membina para muridnya yang dalam istilah mereka disebut ikhwan Tarekat Tijaniyah atau Ikhwan Tijani mempunyai syarat-syarat dan aturan sebagai berikut:

  • Syarat Masuk

Untuk memasuki atau mengambil wirid zikir dari Tarekat Tijaniyah, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Calon murid Tarekat Tijaniyah tidak mempunyai wirid tarekat.
  2. Mendapat talqin wirid tarekat Tijaniyah dari orang yang mendapat izin yang sah untuk memberi wirid Tarekat
  • Kewajiban Murid Tarekat Tijaniyah

Setelah seseorang tercatat sebagai murid Tarekat Tijani, maka dia mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

  1. Harus menjaga syariat.
  2. Harus menjaga shalat lima waktu berjamaah bila mungkin.
  3. Harus mencintai Syaikh Ahmad al-Tijani selama-lamanya.
  4. Harus menghormati siapa saja yang ada hubungannya dengan Syaikh Ahmad al-
  5. Harus menghormati semua wali Allah dan semua tarekat.
  6. Harus mantap pada tarekatnya dan tidak boleh ragu-r
  7. Selamat dari mencela tarekat
  8. Harus berbuat baik kepada kedua orang tua.
  9. Harus menjauhi orang yang mencela tarekat
  10. Harus mengamalkan Tarekat Tijaniyah sampai akhir hayatnya.
  • Larangan bagi Murid Tarekat Tijaniyah

Adapun hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang murid Tarekat Tijaniyah adalah sebagai berikut:

  1. Tidak boleh mencaci, membenci, dan memusuhi Syaikh Ahmad al-
  2. Tidak boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani, khusus mengenai rabithah saja.
  3. Tidak boleh memberi wirid Tarekat Tijaniyah tanpa ada izin yang sah.
  4. Tidak boleh meremehkan wirid tarekat
  5. Tidak boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa izin syara’, terutama dengan murid Tarekat
  6. Tidak boleh merasa aman dari ma`rillah.
  • Aturan Melaksanakan Zikir

Seorang murid Tarekat Tijani yang akan melaksanakan wirid atau zikir Tarekat Tijaniyah, hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Dalam bacaan normal, suara bacaan zikir harus terdengar oleh dirinya sendiri.
  2. Harus suci dari najis, baik badan, pakaian, tempat dan apa saja yang dibawanya.
  3. Harus suci dari hadats, baik besar maupun kecil.
  4. Harus menutup aurat seperti shalat, baik pria maupun wanita.
  5. Tidak boleh berbicara.
  6. Harus menghadap kiblat.
  7. Harus dengan duduk.
  8. Harus ijtima’ dalam melaksanakan zikir wazhifah dan zikir hailalah sesudah Ashar pada hari Jumat apabila di daerahnya ada murid Tarekat Tijani lain.
  9. Istihdhar al-qudwah, yaitu saat melakukan wirid dari awal hingga akhir membayangkan seakan-akan berada di hadapan Syaikh Ahmad al-Tijani dan lebih utama membayangkan Sayyid al-Wujud Muhammad saw. dengan keyakinan bahwa beliaulah yang mengantarkan wushûl kepada Allah Swt.
  10. Mengingat dan memikirkan makna wirid dari awal sampai akhir. Kalau tidak bisa, hendaknya memperhatikan dan mendengarkan bacaan wiridnya.

Keterangan:

  • Kalau ada uzhur boleh berbicara asal tidak lebih dari dua kata. Kalau lebih dari itu, maka wiridnya batal, kecuali disebabkan oleh orang tuanya atau suaminya sekalipun bukan murid Tarekat Tijani.
  • Kalau ada udzur boleh tidak menghadap kiblat, seperti dalam perjalanan atau sedang berada dalam ijtima’ (perkumpulan).
  • Kalau ada udzur boleh tidak duduk, seperti sakit atau dalam perjalanan.

Sumber: Alif.ID

169. Aurad Tarekat Tijaniyah

Di dalam Tarekat Tijaniyah terdapat dua macam zikir yaitu:

  1. Zikir lazim (yang harus diamalkan).
  2. Zikir ikhtiyari (yang lebih baik kalau diamalkan).

Pada kesempatan ini hanya zikir lazim saja yang akan dijelaskan secara terperinci. Zikir lazim yang harus diamalkan oleh setiap murid Tarekat Tijani terdiri dari tiga macam:

  1. Wirid Lazim

Wirid lazim diamalkan dua kali sehari semalam, yaitu:

         Pertama: pagi hari (setelah subuh sampai waktu dhuha). Apabila ada uzur, maka waktunya bisa diundur sampai waktu maghrib. Lebih baik serta memperoleh keutamaan yang besar, jika diamalkan sebelum waktu suubuh dengan syarat harus selesai ketika waktu subuh telah tiba.

         Kedua: sore hari (setelah asar sampai waktu isyak. Apabila ada uzur, maka waktunya bisa diundur sampai waktu subuh.

Bacaan Wirid Lazim

  1. Hadiah al-Fatihah kepada Nabi Muhammad saw. dan Syaikh Abil Abbas Ahmad bin Muhammad al-Tijani.
  2. Membaca istighfar 100 kali.
  3. Membaca salawat Nabi 100 kali yang berupa Salawat Fatih yaitu sebagai berikut:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ

Atau shalawat yang lumrah digunakan:

اللهم صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

  1. Membaca tahlil/hailalah 100 kali, yang terakhir kalinya dipanjangkan lalu disambung dengan:

لَآ إله إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ سَلَامُ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّم

  1. Wirid Wazhifah

         Wirid Wazhifah dilaksanakan dua kali dalam sehari semalam, yaitu siang hari dan malam hari. Kalau tidak bisa dua kali, maka cukup sekali saja yaitu siang hari atau malam hari saja. Apabila dalam sehari semalam tidak melaksanakan sama sekali maka wajib mengqadha’. Demikian pula jika wirid lazim sudah habis tapi belum mengerjakannya, maka harus diqadha’ juga.

Bacaan Wirid Wazhifah

  1. Hadiah al-Fatihah sama dengan wirid lazim.
  2. Membaca Salawat Fatih sekali.
  3. Membaca istighfar 30 kali sebagai berikut:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَآ إله إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ

4. Membaca Salawat Fatih 50 kali.

5. Membaca tahlil atau hailalah 100 kali yang ditutup seperti pada wirid lazim.

6. Membaca salawat jauharah al-kamal 12 kali.

7. Membaca doa semampunya.

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

8. Diakhiri dengan membaca al-Fatihah sekali dan Salawat Fatih sekali.

9. Wirid Hailalah

         Wirid Hailalah dilakukan setelah shalat ‘Ashar hari Jum’at sampai waktu Maghrib. Apabila ada uzur dan tidak bisa melaksanakannya sampai waktunya habis, tidak perlu diqadha’.

Bacaan Wirid Hailalah

Yang dibaca pada saat melaksanakan wirid hailalah adalah لا اله إلا الله atau الله tanpa hitungan, mulai setelah melaksanakan sholat ‘Ashar sampai Maghrib. Kalau sendirian, maka membaca sebanyak 1600 kali, atau 1500 kali, atau 1200 kali, atau 1000 kali dan diakhiri dengan bacaan:

لَآ إله إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ سَلَامُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dengan suara keras dan memanjangkan wirid hailalah adalah لا اله إلا الله lalu membaca:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Syarat Membaca Jauharah al-Kamal

Dalam melaksanakan pembacaan wirid salawat Jauharah al-Kamal ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

  1. Harus dalam keadaan suci dari najis, baik pada badan, tempat, dan apa saja yang dibawanya.
  2. Harus dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats kecil atau besar.
  3. Bersucinya harus dengan air, tidak boleh dengan tayamum.
  4. Harus menghadap kiblat.
  5. Harus duduk dan tidak boleh berjalan.
  6. Tempatnya harus luas dan cukup dengan 7 orang.

Keterangan Aurad

  1. Bacaan Istighfar

Salah satu unsur masuk tarekat adalah taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Swt.), sebelum taqarrub murid harus membersihkan diri dari semua dosa dengan membaca Istighfâr (minta ampun) sehingga semua dosa dan noda-noda ruhaniyah hilang dan diganti dengan nilai-nilai yang baik.

وَ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللهَ يَجِدْ اللهَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا. (النسآء 110)

Hadis Rasulullah saw.

عَنْ اَنَسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلْعَمْ يَقُوْلُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى يَا ابْنَ اَدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَ رَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ وَ لَا اَبَالِى. يَا ابْنَ اَدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنِ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَ غَفَرْتُ لَكَ. يَا ابْنَ اَدَمَ لَوْ اَتَيْتَنِيْ يَقْرَبُ الْاَرْضُ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَنِيْ لَا تُشْرِكْ بِيْ شَيْئًا لَاَتَيْتُكَ يُقَارِبُهَا مَغْفِرَةً. رواه الترمذى

Dari Anas r.a.. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda: Allah Swt. berfirman: “Hai anak Adam a.s. selama kamu berdo’a kepadaku dan mengharap aku, maka aku mengampuni kamu atas apa saja yang ada padamu dan aku tidak peduli. Hai anak Adam As. andaikata dosa-dosamu sampai pada langit kemudian kamu beristighfâr, maka Aku mengampunimu. Hai anak Adam a.s. andaikata kamu datang kepadaku dengan membawa kesalahan-kesalahan sepenuh bumi kemudian kamu menjumpaiku dengan tidak menyekutukan aku sama sekali, maka pastilah aku datang kepadamu dengan membawa sebesar bumi pengampunan”.

  1. Bacaan Salawat

Shalawat al-Fatih:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وِ الْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ

Makna الفاتح لما اغلق adalah:

  1. Nabi Muhammad saw. (Haqiqat Muhammadiyah, Nur Muhammad SAW.) adalah pembuka belenggu ketertutupan segala yang maujud di alam (الكواكب) dari tidak ada menjadi ada.
  2. Nabi Muhammad saw. (Haqiqat Muhammadiyah, Nur Muhammad saw.) sebagai pembuka belenggu pintu-pintu rahmat ilahiyah bagi keberadaan makhluk di alam ini.
  3. Nabi Muhammad saw. (Haqiqat Muhammadiyah, Nur Muhammad saw.) sebagai pembuka hati yang terbelenggu syirik sehingga hati dipenuhi dengan keimanan dan hikmah.

Makna الخاتم لما سبق adalah:

  1. Nabi Muhammad saw. sebagai penutup kenabian dan ker
  2. Nabi Muhammad saw. sebagai kunci kenabian dan ker
  3. Tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya, (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 106).

Sanad Tarekat Tijaniyah (yang sampai ke Indonesia)

Sanad Tarekat Tijaniyah diterima langsung dari Rasulullah saw, melalui pertemuan syaikh Ahmad al-Tijani dengan Rasulullah saw. secara sadar (yaqdhah), dan Rasulullah saw. menalqin wirid Tijani kepada Syaikh Ahmad al-Tijani, (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 95-96).

Selengkapnya silsilah tarekat ini yaitu Rasulullah à Syekh Ahmad al-Tijani à Sayyid Muhammad al-Ghob à Sayyid Umar bin Sa’id al-Futi à Sayyid Sa’id bin Umar al-Futi à Sayyid Alfa Hasyim à Syekh Ali al-Thoyyibah dan Syekh Muhammad bin Abd. Hamid al-Futi. Dari kedua syekh terakhir inilah Tarekat al-Tijani dikembangkan di Indonesia.

Doktrin Syaikh Ahmad al-Tijani tentang Pemikiran Tasawuf

Syaikh Ahmad al-Tijani mengembangkan tarekat al-Tijani menggabungkan dua corak metode tasawuf yaitu; tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Hal ini dapat dilihat dari ajaran Syaikh Ahmad al-Tijani tentang maqâm Nabi Muhammad saw. sebagai haqiqat al-Muhammadiyah dan Wali Khatam. Lalu muncul shalawat Fatih dan shalawat Jauhar al-Kamal, (Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 75).

Sumber: Alif.ID

170. Tarekat Idrisiyah

Idrisiyahpeta

Tarekat Idrisiyah dinisbatkan kepada nama Syaikh Ahmad bin Idris al-Fasi al-Hasani (1172–1253 H./1758-1837 M). Ada beberapa nama diberikan kepada aliran tarekat ini. Terkadang disebut al-Idrisiyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut al-Khidiriyah, yang dikaitkan kepada Nabi Khidir a.s.

Bahkan, Sayyid Muhammad Ali al-Sanusi dalam kitabnya al-Manhalu aI-Râwî al-Râ’iq fî al-Sânîd al-‘Ulûm wa Ushûli al-Tharîq menyebut tarekat ini  dengan al-Muhammadiyah juga, ada pula catatan yang menyebut tarekat ini Ahmadiyah, nama yang dinisbatkan kepada Ahmad bin Idris.

Beliau dilahirkan di Naisabur, salah satu desa Kota Fas Maroko pada tahun (1173H./1760M). Nasab beliau sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau berasal dari keluarga yang taat beragama dan tumbuh di wilayah yang menjadi salah satu pusat kajian agama di Wilayah maghribi (Maroko).

Ini terbukti sejak kecil beliau sudah didik dengan pelajaran dan keilmuan agama, Fiqih, Tafsir, Hadis, Aqidah, dan berbagai macam ilmu lahir. Syaikh Ahmad bin Idrîs terkenal sangat cerdas sehingga guru-guru beliau memberikan perintah utuk mengajarkan semua ilmu yang telah dipelajari.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin Idris berguru ilmu tasawuf  (tarekat) kepada Syaikh Abdul Wahab al-Tazi (w. 1131 H.) yang menjadi penerus Tarekat Qadiriyah, yang merupakan murid Syaikh Abdul Aziz, Biografinya disebutkan di kitab al-Ibriz karangan Ibnu al-Mubarak.

Pada tahun 1214 H. tepat umur 41 tahun Syaikh Ahmad bin Idrîs pindah ke Makkah dan pada tahun 1246 H. Beliau  pindah ke Yaman dan menetap di daerah Shabyan sampai beliau wafat pada tahun 1253 H.

Menurut Syaikh Yûsuf al-Nabhani dalam kitabnya Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, secara umum beliau memadukan ilmu lahir (ilmu syari`at) dan ilmu batin (ilmu tasawuf), sehingga beliau sangat terkenal kemahiran yang sempurna dalam bidang ilmu Al-Qur’an, Hadis, riwayat, dan dirayat.

Syaikh Ahmad bin Idrîs mampu menyingkap tabir keilmuan dan menyatakannya secara umum dan khusus (Jâmi` Karâmât al-Auliyâ`, juz 1 halaman: 460-461 dan al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 8).

Diantara para ulama agung yang bertemu dan berguru kepada Syaikh Ahmad bin Idrîs adalah; Syaikh Sayyid Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal (seorang mufti yang berpengaruh di zamannya dan mempunyai pengaruh keilmuan dan amaliyah yang besar di kota Mesir), Syaikh Muhammad Abid al-Sanadi (seorang ulama besar dari kota Madinah al-Munawarah), dan Syaikh al-Arabi al-Darqawi.

Selain itu juga Syaikh Abu Abbas Ahmad al-Tijani (1737-1815 M), Syaikh Muhammad Sanusi (pendiri Tarekat Sanusiyah), Syaikh Muhammad al-Madani (ulama kota Madinah), Syaikh Muhammad al-Majdzub al-Sawakini (Wali dari Sudan), Syaikh Ibrahim al-Rasyid dan lain lain (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 463-464 dan al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 9).

Syaikh Ahmad bin Idrîs juga menerima awrad (wirid) tarekat Syadzîliyah, dan tarekat Taslikiyah yang diterima langsung dari Nabi Muhammad saw.  secara yaqdhah (pertemuan secara nyata dan fisik setelah Nabi Muhammad saw. wafat, bukan pertemuan dalam mimpi). Hal ini merupakan keistimewaan yang diberikan Allah Swt. kepada Syaikh Ahmad bin Idrîs.

Syaikh Ahmad bin Idrîs berkata: ”Aku berjumpa dengan Nabi Muhammad swa. yang sedang bersama dengan Nabi Khidir a.s. dengan pertemuan nyata. Lalu Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada Nabi Khidir a.s. untuk mengajariku zikir-zikir Tarekat Syadziliyah.

Kemudan Nabi Muhammad saw. bersabda kepada Nabi Khidir a.s.: “Wahai Khidir ajarkan kepadanya (Syaikh Ahmad bin Idrîs) untuk mengajarkan suatu amalan yang menggabungkan segala macam zikir, shalwat, dan istighfar”. Lalu Nabi khidir As. bertanya kepada Nabi Muhammad saw, “Bacaan apa itu wahai Rasulullah?” Nabi Muhammad saw. Bersabda: Ucapkanlah:

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ

Kemudian Nabi Khidir a.s. menirukannya dan aku menirukannya setelah beliau berdua. Rasulullah mengulanginya sampai 3 kali. Nabi saw. bersabda sampai akhir Salawat al-‘Azhimiyah: Wahai khidir ucapkanlah:

اَللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِي لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ، غَفَّارَ الذُّنُوْبِ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.

Kemudian Nabi Muhammad saw. bersabda kepadaku: ”Wahai Ahmad, aku telah memberimu kunci langit dan bumi yaitu zikir yang khusus, shalawat al-`Azhimiyyah, dan istighfâr al-Kabîr, membacanya sekali beratnya sama dengan isi dunia dan akhirat secara berlipat ganda”, (al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 10).

Pada kesempatan lain aku berjumpa dengan Nabi Muhammad saw dan beliau memerintahkan kepadaku untuk mengajarkan zikir tersebut (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 464).

Aurad dan Zikir

Kebiasaan zikir yang biasa dilakukan oleh jama’ah Tarekat Idrîsiyah adalah di setiap ba’da Maghrib hingga isya dan ba`da subuh hingga isyraq. Pelaksanaan zikir di tarekat ini dilakukan dengan jahr (suara keras), diiringi lantunan shalawat (terkadang dalam moment tertentu dengan menggunakan musik).

Kitab panduan awrad zikirnya bernama “Hadiqatur Riyahin” yang merupakan khulashah (ringkasan) berbagai macam awrad (wiridan/amalan) Syaikh Ahmad bin Idris dan Sadatut Tarekat lainnya. Awrad wajib harian bagi seorang salik Idrisiyah adalah:

  1. Membaca Al-Qur’an 1 juz
  2. Membaca Itighfâr Shagîr 100x
  3. Membaca Zikir Makhshûsh;

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ ….. ×300

  1. Membaca Shalawat Ummiyyah 100x
  2. Membaca Yâ Hayyu Yâ Qayyûm 1000x
  3. Membaca Zikir Mulkiyyah;

لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ….. ×100

  1. Memelihara Ketakwaan.

Aurad tambahan untuk taqârrub kepada Allah Swt. adalah menunaikan shalat tahajud dan membaca Saalawat `Azhimiyyah sebanyak 70 kali sesudah ba`da subuh hingga terbit fajar.

Gelar Pemimpin Tarekat Idrisiyah

Pemimpin Tarekat Idrisiyah ini mendapat gelar dari Rasulullah saw. (secara ruhani) yaitu: Syekh al-Akbar, kemudian pada masa kepemimpinan Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan r.a. mendapatkan tambahan muhyiddin dari Beliau saw. begitu pula pelimpahan mandat kekhalifahan Tarekat Idrisiyah selalu diinformasikan secara ruhaniyyah, dengan wasilah petunjuk Rasulullah saw. melalui guru mursyid sebelumnya.

Pengertian Muhyiddin

Istilah Muhyiddin dalam kepemimpinan Tarekat Idrisiyah ini diberikan oleh Rasulullah saw. melalui Nabi Khidhir a.s. Bahkan semua `Ulama’ yang dimasyhurkan namanya karena memperjuangkan nilai-nilai sunnah diberikan gelar itu dari Beliau saw.

Penyematan gelar itu ditandai dengan kondisi umat yang semakin jauh dari sunnah Nabi saw, yang dibawa oleh para pewarisnya. Ketika sunnah sudah dianggap asing dan aneh, maka muncullah sosok muhyiddin yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah tersebut.

Petikan Ungkapan al-Syaikh al-Akbar

Di antara petikan ungkapan Syaikh al-Akbar adalah bahwa Rasulullah saw. hanya diperintahkan menyampaikan ajaran Islâm, tetapi tidak bersifat memaksa orang untuk mengikuti ajarannya, karena petunjuk (hidayah) itu hanya milik Allah Swt.

Orang kafir belum tentu konsisten dengan kekafirannya, dan orang yang beriman belum tentu konsisten dengan keimanannya. Umat Islam tidak boleh egois dengan keislâmannya, karena dinul Islam bukan diperuntukkan buat umat Islam saja, tapi untuk seluruh umat.

Syaikh al-Akbar memandang perlunya pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis. Tafsir-tafsir ulama yang dahulu tidak cukup untuk mengatasi problem dunia saat ini, ia mengakui bahwa orang seperti Imam Syafi’i adalah manusia brilian di zamannya, tetapi zaman yang kita hadapi sekarang berbeda dengan zamannya.

Seorang muslim mesti membawa karakter dan perilaku agama yang dibawanya, yakni Islâm. Arti Islâm adalah keselamatan. Maka, orang Islâm mesti membawa nilai-nilai keselamatan dalam berbagai aspek kehidupannya. Islâm menghendaki keselamatan diri dan orang lain.

Inilah yang dinamakan konsep rahmatan lil alamîn. Islam membawa rahmat (kasih sayang) kepada seluruh makhluk alam. Jika seorang muslim membawa kecelakaan atau kebinasaan orang lain tanpa hak, maka tidak pantas istilah muslim itu disandarkan atas dirinya.

Sumber: Alif.ID

171. Sejarah Perkembangan Tarekat Idrisiyah

Sebagaimana Tarekat Sanusiyah, Tarekat Idrisiyah memiliki banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libya, dan Yaman serta daerah-daerah seperti Saudi Arabia dan Mesir. Para jamaah haji yang sekaligus memperdalam ilmu agama di Mekah berperan sangat besar dalam penyebaran tarekat ini.

Penyebaran itu terjadi karena selama kurang lebih 36 tahun Syaikh Ahmad bin Idris menjadi guru di Mekah yang setiap kali mengajar selalu diikuti banyak murid  yang berasal dari berbagai negara.

Masuknya Tarekat Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, dengan al-Syaikh al-Akbar Abdul Fatah sebagai tokoh pertamanya. Beliau lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke-3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan Hj. Rafi`ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa, yaitu Sunan Derajat.

Suatu hari guru dari Abdul Fatah, Haji Suja’i membahas Surat al-Kahfi ayat 17, yang artinya, “Barangsiapa diberi petunjuk Allah Swt, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang sesat maka tak akan mendapatkan wali mursyid (seorang pemimpin yang memberi petunjuk kepadanya)”.

Abdul Fatah bertanya: siapakah yang dimaksud waliyyan mursyidan dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk waliyyan mursyidan? “Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya,” jawab sang guru.

Sejak itu Abdul Fatah meminta izin sekaligus mencari orang yang disebut waliyyan mursyidan itu. Maka, pada tahun 1924 Abdul Fatah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura, kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun.

Barulah pada tahun 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Sampailah ia di Jabal Qubais dan di tempat ini beliau berguru kepada Syaikh Ahmad Syarif Sanusi. Dari Syaikh inilah ia peroleh ilmu tarekat yang dikembangkan oleh Syaikh Ahmad bin ldris.

Konsep Ihsan atau Tasawuf

Sumber ajaran tasawuf adalah Al-Qur’an dan perilaku Nabi Muhammad saw. dengan penekanan pada aspek:

  1. Pembersihan jiwa
  2. Pembentukan akhlak karimah
  3. Mensucikan hati

يَتَوَجَّهُ الْمُرِيْدُ إِلَى تَزْكِيَةِ النَّفْسِ وَتَهْذِيْبِ الْأَخْلاَقِ وَتَصْفِيَةِ الْقَلْبِ

Seorang murid harus berusaha dalam proses pembersihan jiwa, pembentukan akhlak dan penyucian hati.

Wiridan Khusus Syaikh Ahmad bin Idris (Hizib Idrisiyah)

Berikut ini adalah wiridan khusus yang biasa dilakukan oleh Syaikh Ahmad bin Idrîs atau yang dikenal dengan sebutan “Hizib Idrîsiyah”, yang dijelaskan di dalam kitab al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 17-20;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَللهم إِنِّي أُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ كُلِّ نَفَسٍ وَّلَمْحَةٍ وَّطَرْفَةٍ يَّطْرَفُ بِهَا أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وَأَهْلُ الْأَرْضِ وَكُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ فِيْ عِلْمِكَ كَائِنٌ أَوْ قَدْ كَانَ، أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ كُلِّهَا مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ …×3

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَايَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ … ×3

بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ لَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، بِسْمِ اللهِ عَلَى دِيْنِي وَنَفْسِي، بِسْمِ اللهِ عَلى أَهْلِي وَمَالِيْ، بِسْمِ اللهِ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ رَبِّيْ، بِسْمِ اللهِ خَيْرِ الْأَسْمَاءِ، بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ، بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَايَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ دَاءٌ، بِسْمِ اللهِ افْتَتَحْتَ وَبِاللهِ اخْتَتَمْتَ وَعَلَى اللهِ تَوَكَّلْتُ، لَا قُوَّةَ إِلَّابِاللهِ … ×3

اَللهُ أَكْبَرُ … ×3

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ الْحَلِيْمُ الْكَرِيْمُ لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ وَرَبُّ الْأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، عَزَّ جَارُكَ وَجَلَّ ثَنَائُكَ وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ، إِجْعَلْ نِيْ فِي جَوَارِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، إِنَّ وَلِييَّ اللهُ الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ،

فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ

﴿التوبة: 129﴾ …×7

اَللهُ عِدَّتِيْ فِي كُلِّ شِدَّةِ وَرَخَاءِ حَسْبُنَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا …×7

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَآ إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، عَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، مَاشَاءَ اللهُ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ…×1

اَعْلَمُ أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَديْرٍ، وَأَنَّ الله قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَدَدًا، أَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ وَمِنْ شَرِّ كُلِّ دَآبَّةٍ أَنْتَ أَخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا، إِنَّ رَبِّيْ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ ذٰلِكَ كُـلُّهُ أَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَوْلَادِي كُلُّهُمْ وَمَالِيْ كُلُّهُ وَإِخْوَانِيْ كُلُّهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِوَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ لَيْسَ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنْهُ ذِي الْعِزَّةِ وَالْـجَبَرُوْتِ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ، وَمِنْ شَرِّ الْـجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالشَّيَاطِيْنِ وَالسَّلَاطِيْنِ وَالْأَعْرَابِ وَالسِّبَاعِ وَالْهَوَامِ وَاللُّصُوْصِ وَكُلِّ مَا خَلَقَ اللهُ تَعَالٰى، وَمِنَ الْجُنُوْنِ وَالْـجُذَامِ وَالْبَرَصِ وَالْفَالِجِ وَالْبَاسُوْرِ وَالسَّلِسِ وَالصَّمَمِ وَالْعَمىَ وَالْبَكَمِ وَسُوْءِ الْخَلْقِ وَسُقُوْطِ الْأَسْنَانِ وَالْأَضْرَاسِ وَوَجَعِهَا وَتَكْسِيْرِهَا وَتَحْرِيْكِهَا وَاضْطِرَابِهَا، وَمِنْ جَمِيْعِ الْبَلَايَا كُلِّهَا وَالْفِتَنِ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَاتَّصَمْتُ بِرَبِّ الْمَلَكُوْتِ، وَتَوَكَّلْتُ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ … ×3

وَقُلِ الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَم يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا ﴿الإسراء: ١١١﴾ أَللهُ أكْبَرْ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ وَأُفَوِّضُ أَمْرِيْ إِلَى اللهِ إِنَّ اللهَ بَصِيْرٌ بِالْعِبَادِ …×3

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، فَسُبْحَانَ اللهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ وَلَهُ الْـحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُوْنَ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَيُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَكَذٰلِكَ تُخْرَجُونَ ﴿الروم: 17-١٩

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَوْدِعُكَ دِيْنِيْ وَنَفْسِيْ، وَعِرْضِيْ وَأَمَانَتِيْ، وَخَوَاتِمَ عَمَلِيْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ وَمَالِيْ كُلِّهِ وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا فِيْ خَزَائِنِ حِفْظِكَ يَا مَنْ لَاتُضِيْعُ لَدَيْهِ الْوَدَائِعُ،

… فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ ﴿يوسوف: ٦٤﴾

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، أَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَوْلَادِيْ كُلِّهِمْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ وَمَالِيْ كُلِّهِ وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ وَأَمْوَالِهِم دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِوَجْهِ الْكَرِيْمِ الَّذِيْ لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمُ مِنْهُ، وَبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ الَّتِيْ لَايُجَاوِزُهُنَّ بِرٌّ وَلَافَاجِرٌ، وَبِأَسْمَاءِ اللهِ الْحُسْنَى كُلِّهَا مَا عَلِمْتُ مِنْهَا وَمَا لَمْ أَعْلَمْ مِنْ شَرِّمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَشَرِّ مَايَعْرُجُ فِيْهَا، وَشَرِّمَا ذَرَأَ فِي الْأَرْضِ، وَشَرِّمَا يَخْرُجُ مِنْهَا، وَمِنْ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَمِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمٰنُ…×1

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، أَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَوْلَادِيْ كُلِّهِمْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ وَمَالِيْ كُلِّهِ وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ وَأَمْوَالِهِم دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِوَجْهِ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ لَيْسَ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنْهُ، وَبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ الَّتِيْ لَايُجَاوِزُهُنَّ بِرٌّ وَلَافَاجِرٌ، وَبِأَسْمَاءِ اللهِ الْحُسْنَى كُلِّهَا مَا عَلِمْتُ مِنْهَا وَمَا لَمْ أَعْلَمْ مِنْ شَرِّمَاخَلَقَ رَبِّيْ وَبَرَأَ أَوْ ذَرَأَ، أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ جَلَّ وَجْهُكَ لَا أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ، أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَخْضُرُوْنِ، رَبِّ أَعُوْذُبِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَعُوْذُبِكَ رَبِّ أَنْ يَخْضُرُوْنِ، أَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ …×10

بِسْمِ اللهِ ذِي الشَّأْنِي، عَظِيْمُ الْبُرْهَانِ، شَدِيْدُ السُّلْطَانِ، مَاشَاءَ اللهُ كَانَ، أَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ …×3

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ بِسْمِ الْإِلٰهِ الْخَالِقِ الْأَكْبَرِ، وَهُوَ حِرْزٌ مَانِعٌ مِنْ جَمِيْعِ مَانَخَافُ مِنْهُ وَنَحْذَرُ، لَاقُدْرَةَ لِمَخْلُوْقِ مَعَ قُدْرَةِ الْخَالِقِ يُلْجِمُهُ بِلِجَامِ قُدْرَتِهِ أَحْمَى حَمِيْثًا أَطْمَى طَمِيْثًا وَكَانَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيْزًا…×1

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، حٰم عسق حِمَايَتُنَا، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ كهيعص كِفَايَتُنَا فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَلَاحَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، أَحْوَنُ قَافِ آدَمَ حم هَاءِ آمِيْنُ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ قال: اِخْسَؤُوْا فِيْهَا وَلَا تُكَلِّمُوْنَ، إِنِّي أَعُوْذُ بِالرَّحْمٰنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيًّا، أَخَذْتُ بِعَظَمَتِ ذَاتِ اللهِ تَعَالَى وَسَمْعِهِ وَبَصَرِهِ وَقُوَّتِهِ وقُدْرَتِهِ وَعِزَّتِهِ وَسُلْطَانِهِ وَكَلَامِهِ وَقَهْرِهِ عَلَى جَمِيْعِ ذَوَاتِكُمْ وَأَسْمَاعِكُمْ وَأَبْصَارِكُمْ وَقُوَّتِكُمْ يَامَعْشَرَالْـجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالشَّيَاطِيْنِ وَالسَّلَاطِيْنِ وَالْأَعْرَابِ وَالسِّبَاعِ وَالْهَوَامِ وَاللُّصُوْصِ وَكُلِّ مَاخَلَقَ اللهُ تَعَالَى، سَتَرْتُ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ وَبَيْنَ أَهْلِيْ وَبَيْنَكُمْ، وَبَيْنَ مَالِيْ وَبَيْنَكُمْ، وَبَيْنَ إِخْوَانِيْ وَبَيْنَكُمْ بِسِتْرِ النُّبُوَّةِ الَّتِي اسْتَتَرُوْابِهَا مِنْ سَطْوَاتِ الْفَرَاعِنَةِ جِبْرِيْلُ عَنْ أَيْمَانِكُمْ وَمِيْكَائِيْلُ عَنْ شِمَالِكُمْ وَمُحَمَّدٌ أَمَامُكُمْ وَاللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْ فَوْقِكُمْ وَمُحِيْطٌ بِكُمْ يَمْنَعُكُمْ عَنِّيْ فِيْ نَفْسِيْ وَدِيْنِيْ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ وَمَا عَلَيَّ وَمَامَعِيْ وَمَافَوْقِيْ وَمَاتَحْتِيْ وَمُحِيْطٌ بِيْ، وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَّسْتُوْرًا  وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَفِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا  ﴿الإسراء: 45-٤٦

وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَفِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا، وَإِذَ ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا، اللّٰهُمَّ أَسْتَجِيْرُكَ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ خَلَقْتَ وَأَحْتَرِسَ بِكَ مِنْهُمْ وَأُقَدِّمُ مِنْ بَيْنِيْ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِيْ وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ وَمِنْ فَوْقِيْ وَمِنْ تَحْتِيْ وَمِنْ دَاخِلِيْ وَمِنْ خَارِجِيْ وَمُحِيْطًا بِيْ بِوُجُوْدِ شُهُوْدٍ جُنُوْدٍ لَهُ مُعَقِّبَاتُ مِنْ بَيْنِيْ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفُظُوْنَهُ مِنْ أَمْرِاللهِ كَمَاحَفَظْتَ نَبِيِّكَ سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدًا فِي كُلِّ ذٰلِكَ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ  اَللهُ الصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ﴿ الإخلاص :1-٤﴾ …×3

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، اَللهم إِنِّيْ أَعُوْذُ بِعَظَمَةِ ذَاتِكَ الَّتِيْ لَانِهَايَةَ لَهَا، اَلَّتِيْ لَا يَعْلَمُهَا سِوَاكٌ، وَأَعُوْذُ بِاسْمِكَ الْعَظِيْمِ الْأَعْظَمِ، وَأَعُوْذُ بِوَجْهِكَ الْكَرِيْمِ الْأَكْرَمِ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ أَسْمَائِكَ الْحُسْنٰى كُلِّهَا مَاعَلِمْتُ مِنْهَا وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ كَلِمَاتِكَ التَّامَّاتِ كُلِّهَا الْمُبَارَكَاتِ الَّتِيْ لَا يُجَوِّزُهُنَّ بِرٌّ وَلَا فَاجِرٌ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ مَا عَاذَ بِهِ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ مَا عَاذَتْ بِهِ أَنْبِيَاؤُكَ وَرُسُلُكَ وَمَلَائِكَتُكَ وَأَوْلِيَاؤُكَ كُلُّهُمْ مَاعَلِمْتُ مِنْهُمْ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، صَلَوَاتُ اللهُ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنُ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ مَا تَعَلَّمَ لِنَفْسِكَ مِمَّا لَايَعْلَمُهُ مِنْكَ غَيْرُكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ وَمِنْ شَرِّ الْـجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالشَّيَاطِيْنِ وَالسَّلَاطِيْنِ وَالْأَعْرَابِ وَالسِّبَاعِ وَالْهَوَامِ وَاللُّصُوْصِ وَكُلِّ مَاخَلَقَ اللهُ تَعَالٰى، وَمِنَ الْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ وَالْفَالِجِ وَالْبَارُوْسِ وَالسَّلِسِ وَالصَّمَمِ وَالْعَمَى وَالْبَكَمِ وَسُوْءِ الْخَلْقِ وَسُقُوْطِ الْأَسْنَانِ وَالْأَضْرَاسِ وَوَجَعِهَا وَتَكْسِيْرِهَا وَتَحْرِيْكِهَا وَاضْطِرَابِهَا وَمِنْ جَمِيْعِ الْبَلَايَا كُلِّهَا وَالْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَمِنْ كُلِّ سُوْءٍ وَمَكْرُوْهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اَللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾) [الإخلاص: 1-4] …×3

وَأَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ، وَمَالِيْ كُلِّهِ، وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ، وَأَمْوَالِهِمْ دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِجَمِيْعِ مَا أَعَذْتُ بِهِ مِنْ جَمِيْعِ مَا اِسْتَعَذْتُ مِنْهُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمَ اللهِ.

Sumber: Alif.ID

172. Aurad Tarekat Idrisiyah

Berikut ini adalah tata cara mengamalkan zikir Tarekat Idrisiyah yang dijelaskan di dalam kitab al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 21-22.

  1. Mukadimah aurad, membaca;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَللهم إِنِّي أُقدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ كُلِّ نَفَسٍ وَّلَمْحَةٍ وَّطَرْفَةٍ يَّطْرَفُ بِهَا أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وَأَهْلُ الْأَرْضِ وَكُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ فِيْ عِلْمِكَ كاَئِنٌ أَوْ قَدْ كَانَ، أُقدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ

  1. Membaca tahlil;

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ

  1. Membaca Salawat Azhimiyah;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ، الذَّيْ مَلَأَ أَرْكَانَ عَرْشِ اللهِ الْعَظِيْمِ، وَقَامَتْ بِهِ عَوَاِلمُ اللهِ الْعَظِيْمِ، أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ ذِي الْقَدْرِ الْعَظِيْمِ، وَعَلَى آلِ نَبِيِّ اللهِ الْعَظِيْمِ، بِقَدْرِ عَظَمَةِ ذَاتِ اللهِ الْعَظِيْمِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ الْعَظِيْمِ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ اللهِ الْعَظِيْمِ، تَعْظِيْماً لِـحَقِّكَ يَا مَوْلَانَا يَا مُحَمَّدُ يَا ذَاالْخَلْقِ الْعَظِيْمِ، وَ سَلِّمْ عَلَىْهِ وَعَلَى آلِهِ مِثْلِ ذَلِكَ، وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ كَمَا جَمَعْتَ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالنَّفْسِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، يَقَظَةً وَمَنَاماً، وَاجْعَلْهُ يَا رَبِّ رُوْحًا لِذَاتِيْ مِنْ جَمِيْعِ الْوُجُوْهِ فِيْ الدُّنْيَا قَبْلَ الْآخِرَةِ يَا عَظِيْمُ.

  1. Membaca istighfar kabir;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ، الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ، غَفَّارُ الْذُّنُوْبِ ذَاالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِيْ كُلِّهَا وَالذُّنُوْبِ وَالْآثَامِ وَمِنْ كُلِّ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، قَوْلاً وَفِعْلاً، فِيْ جَمِيْعِ حَرَكاَتِيْ وَسَكَنَاتِيْ، وَخَطَرَاتِيْ وَأَنْفَاسِيْ، كُلِّهَا دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا مِنَ الذَّنْبِ الَّذِيْ أَعْلَمُ وَمِنَ الذَّنْبِ الَّذِيْ لَا أَعْلَمُ، عَدَدَ مَا أَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ وَأَحْصَاهُ الْكِتَابُ، وَخَطَّهُ الْقَلَمُ، وَعَدَدَ مَا أَوْجَدَتْهُ الْقُدْرَةُ وَخَصَصَتْهُ الْإِرَادَةُ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِ اللهِ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِ رَبِّنَا وَجَمَالِهِ وَكَمَالِهِ وَكَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى.

Beberapa Salawat Idrisiyah

Berikut ini adalah beberapa kumpulan amalan shalawât yang terdapat pada Tarekat Idrisiyah. Salawat Idrisiyah ini berjumlah 14 salawat dan dijelaskan di dalam kitab al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 11-16. Namun kami hanya mencatumkan lima salawat, selebihnya bisa dilihat sendiri di kitab tersebut di atas. Berikut Salawat Idrisiyah;

بسم الله الرحمن الرحيم

متن الصلوات الأحمدية الإدرسيَّة

(الصلاة الأولى)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اَللهم صَلِّ عَلَى طَامَّةِ الْحَقَائِقِ الْكُبْرَى، سِرِّ الْخَلْوَةِ الْإِلَهِيَّةِ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ، تَاجِ الْمَمْلَكَةِ الْإِلَهِيَّةِ، يَنْبُوْعِ الْحَقَائِقِ الْوُجُوْدِيَّةِ، بَصْرِ الْوُجُوْدِ وَسِرِّ بَصِيْرَةِ الشُّهُوْدِ، حَقِّ الْحَقِيْقَةِ الْعَيْنِيَّةِ، وَ هَوِيَّةِ الْمُشَاهَدَةِ الْغَيْبِيَّةِ، تَفْصِيْلِ الْإِجْمَالِ الْكُلِّيِّ، اَلْآيَةِ الْكُبْرَى فِي التَّجَلِّيِّ وَ التَّدَلِّيِّ، نَفْسِ الْأَنْفَاسِ الرُّوْحِيَّةِ، كُلِّيَّةِ الْأَجْسَامِ الصُّوْرِيَّةِ، عَرْشِ الْعُرُوْشِ الذَّاتِيَّةِ، صُوْرَةِ الْكَمَالَاتِ الرَّحْمَانِيَّةِ، لَوْحِ مَحْفُوْظِ عِلْمِكَ الْمَخْزُوْنِ وَسِرِّ كِتَابِكَ الْمَكْنُوْنِ الَّذِيْ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهِّرُوْنَ، يَا فَاتِحَةَ الْمَوْجُوْدَاتِ، يَا مَجْمَعَ بَحْرِي الْحَقَائِقِ الْأَزَلِيَّاتِ وَ الْأَبْدِيَاتِ، يَا عَيْنَ جَمَالِ الْاِخْتِرَاعَاتِ وَ الْاِنْفِعَالَاتِ، يَا نُقْطَةَ مَرْكَزِ جَمِيْعَ التَّجَلِّيَاتِ، يَا عَيْنَ حَيَاةِ الْحَسَنِ الَّذِيْ طَارَتْ مِنْهُ رَشَاشَاتِ فَاقْتَسَمَّتْهَا بِحُكْمِ الْمَشِيْئَةِ الْإِلَهِيَّةِ جَمِيْعِ الْمُبْدِعَاتِ، يَا مَعْنَى كِتَابِ الْحَسَنِ الْمُطْلَقِ الَّذِي اعْتَكَفَتْ فِيْ حَضْرَتِهِ جَمِيْعِ الْمَحَاسِنِ لِتُقْرَأَ حُرُوْفٌ حَسَنَهُ الْمُقَيِّدَاتُ، يَا مَنْ أَرَخَتْ حَقَائِقُ الْكَمَالِ كُلِّهَا بِرَقْعِ الْحِجَابِ دُوْنَ الْخَلْقِ وَأَجْمَعَتْ أَنْ لَاتَنْظُرَ لِغَيْرِهِ إِلَّا بِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمُكَوَّنَاتِ، يَا مُصِبَّ يَنَابِيْعِ ثُجَاجِ الْأَنْوَارِ السَّبْحَاتِيَاتِ الشَّعْشَعَانِيَاتِ، يَا مَنْ تَعَشَقَتْ بِكَمَالِهِ جَمِيْعِ الْمَحَاسِنِ الْإِلَهِيَّاتِ، يَا يَاقُوْتَةِ الْأَزَلِ، يَا مَغْنَاطِيْسَ الْكَمَالَاتِ قَدْ اَيْسَتِ الْعُقُوْلُ وَالْفُهُوْمُ وَالْأَلْسِنُ وَجَمِيْعُ الْإِدْرَاكَاتِ أَنْ تُقْرَأَ رُقُوْمٌ مَسْطُوْرٌ كَنُهِيَاتِكَ الْمُحَمَّدِيَّاتِ أَوْ تَصِلَ إِلَى حَقِيْقَةِ مَكْنُوْنَاتِ عُلُوْمِكَ اللَّدُنِّيَاتِ، وَكَيْفَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمِنْ لَوْحِ مَحْفُوْظٍ كَنُهِكَ قَرَأَ الْمُقَرَّبُوْنَ كُلُّهُمْ حَقِيْقُةَ التَّجَلِّيَاتِ، صَلَّى اللهُ وَ سَلَّمَ عَلَيْكَ يَا زَيْنَ الْبَرَايَا، يَا مَنْ لَوْلَا هُوَ لَمْ تَظْهَرْ لِلْعَالَمِ عَيْنٌ مِنَ الْخَفَيَاتِ.

(الصلاة الثانية)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم صَلِّ عَلَى مُظْهِرِ الْعَظَمَةِ الذَّاتِيَّةِ، جَمْعِيَّةِ عُيُوْنِ الْحَقَائِقِ الرَّحْمُوْتِيَّةِ، سِرِّ مَلَكُوْتِ الْأَسْمَاءِ الْمُعَبَّرِ عَنْهُ بِالْعَمَاءِ قَبْلَ خَلْقِ أَرْضٍ وَ سَمَاءٍ، سَاذَجَ الذَّاتِ الْإِحَاطِيَّةِ الْوُجُوْدِ، نُقْطَةَ دَائِرَةِ الْكَمَالِ الْإِلَهِي فِي الْغَيْبِ وَالشُّهُوْدِ، نَفَخَ رُوْحَ النَّفْسِ الرَّحْمَانِيِّ فِي كُلِّيَّاتِ الْوُجُوْدِ الْعِيَانِيْ، غَيْبَ هُوَ فِيْ هُوَ هُوَ مَنْ هُوَ هُوَ، فَصَلِّ اللهم عَلَيْهِ بِهُوَ هُوَ فِيْ هُوَ هُوَ مَنْ هُوَ هُوَ يَا مَنْ هُوَ هُوَ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَ سَلِّمْ.

(الصلاة الثالثة)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظَمَةِ ذَاتِكَ وَكَمَالِ عِلْمِكَ وَجَمَالِ أَسْمَائِكَ وَصِفَاتِكَ، أَنْ تُصَلِّى عَلَى النُّوْرِ الذَّاتِيْ، وَالْمَنْظَرِ الصِّفَاتِيْ مَجَلَّى الْحَقَائِقِ الْقُرْآنِيَّةِ، صُوْرَةِ مَادَّةِ  التَّجَلِّيَاتِ الْفَرْقَانِيَّةِ، الرُّوْحِ الْقُدُوْسِيِّ وَالسِّرِّ السَّبُوْحِيْ، بَرْزَحِ الْعَظَمَةِ الذَّاتِيَّةِ، اَلْحَاجِزِ بَيْنَ خَلْقِكَ وَ سَبَحَاتِ وَجْهِكَ كُلَّ الْكُلِّ فِيْ سِرِّ كُلِّ الْكُلِّ حَيْثُ الْكُلِّ لِلْكُلِّ فَيُوْضَ الْجَمَالُ وَالْجَلَالُ وَالْكَمَالُ مِنْ حَيْثُ لَا حَيْثُ إِلَى حَيْثُ لَا حَيْثُ  فِيْ حَيْثُ لَاحَيْثُ، فَصَلِّ اللهم عَلَيْهِ وَسَلِّمِ مِنْ حَيْثُ لَا حَيْثُ  إِلَى حَيْثُ لَا حَيْثُ  فِيْ حَيْثُ لَاحَيْثُ كَمَا أَنْتَ حَيْثُ لَاحَيْثُ عَدَدَ الْأَعْدَادِ الْمُتَنَاهِيَّةِ كُلِّهَا مِنْ حَيْثُ انْتِهَاؤِهَا فِيْ عِلْمِكَ مِنْ جَمِيْعِ الْحَيْثِيَّاتِ، وَمِنْ حَيْثُ لَا أَعْدَادَ مِنْ وُجُوْهِ عَدَمِ الْحَيْثِيَّاتِ كُلِّهَا فِيْ مَكْنُوْنِ عِلْمِكَ مِنْ غَيْرِ انْتِهَاءٍ إِنَّكِ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ.

(الصلاة الرابعة)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم صَلِّ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ، نُوْرَكَ اللَّامِعُ وَمُظْهِرُ سِرَّكَ الْهَامِعِ،  الَّذِيْ طَرَّزَتْ بِجَمَالِهِ الْأَكْوَانِ، وَزَيَّنَتْ بِبَهْجَةِ جَلَالِهِ الْأَوَانِ، الَّذِيْ فُتِحَتْ ظُهُوُرُ الْعَالَمِ مِنْ نُوْرِ حَقِيْقَتِهِ وَخُتِمَتْ كَمَالُهُ بِأَسْرَارِ نُبُوَّتِهِ، فَظَهَرَتْ صُوَرُ الْحَسَنِ مِنْ فَيْضِهِ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ وَلَوْلَا هُوَ مَا ظَهَرَتْ لِصُوْرَةِ عَيْنٍ مِنَ الْعَدَمِ الرَّمِيْمِ، الَّذِيْ مَا اسْتَغَاثَكَ بِهِ جَائِعٌ إِلَّا شَبَعَ وَلَا ظَمَآنَ إِلَّارُوِيَ، وَلَا خَائِفَ إِلَّا أَمِنَ، وَلَا لَهْفَانَ إِلَّاأُغِيْثَ، وَإِنِّيْ لَهْفَانُ مُسْتَغِيْثُكَ أَسْتَمْطِرُ رَحْمَتُكَ الْوَاسِعَةُ مِنْ خَزَائِنِ جُوْدِكَ فَأَغِثْنِيْ يَا رَحْمَنُ، يَا مَنْ إِذَا نَظَرَ بِعَيْنِ حِلْمِهِ وَعَفْوِهِ لَمْ يَظْهَرْ فِيْ جَنْبِ كِبْرِيَاءِ حِلْمِهِ وَعَظَمَةِ عَفْوِهِ ذَنْبٌ، اِغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ وَتَجَاوَزْ عَنِّيْ يَا كَرِيْمُ.

(الصلاة الخامسة)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم صَلِّ عَلَى الذَّتِ الْكُنْهِ، قِبْلَةَ وُجُوْهِ تَجَلِّيَاتِ الْكُنْهِ عَيْنَ الْكُنْهِ فِي الْكُنْهِ، اَلْجَامِعَ لِحَقَائِقِ كَمَالِ كُنْهِ الْكُنْهِ، اَلْقَائِمِ بِالْكُنْهِ فِي الْكُنْهِ لِلْكُنْهِ، صَلَاةُ لَا غَايَةَ لِكُنْهِهَا دُوْنَ الْكُنْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ كَمَا يَنْبَغِيْ مِنَ الْكُنْهِ لِلْكُنْهِ، اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ الْأَنْوَارِ الَّذِيْ هُوَ عَيْنُكَ لَا غَيْرَكَ أَنْ تَرِيَنِيْ وَجْهَ نَبِيْكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا هُوَ عِنْدَكَ آمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

173. Tarekat Sanusiyah

Sanusiyahpeta

Pendiri tarekat ini adalah Syaikh Muhammad bin Ali bin Sanusi bin Arabi bin Muhammad bin Abdul Qadir bin Syahidah bin Khamim bin Yusuf bin Abdullah bin Khaottob bin Ali bin Yahya bin Rasyid bin Ahmad al-Murobith bin Mindas bin Abdul Qowi bin Abd. Al-Rohman bin Yusuf bin Zian bin Zainal Abidin bin Yusuf bin Hasan bin Idris bin Sa’id bin Ya’kub bin Daud bin Hamza bin Ali bin Imron bin Idris bin Idris bin Abdullah al-Kamil bin Hasan al-Mutsnna bin hasan bin Ali bin Abi tholib al-Hasyimi al-Quraisyi.

Syaikh Muhammad bin Ali bin Sanusi lahir di Mustagonim Negara Aljazair pada tahun (12 Rbiul Awal 1202 H./22 Desember 1787 M) pada waktu subuh hari senin, wafat pada tahun 1276 H./1858 M. Nasab beliau bersambung kepada nabi Muhammad saw. melalui Hasan bin ‘Ali dan Fatimah binti Rasul saw.  Julukan Sanusiyah merupakan sebutan kepada kakek ke empat beliau yaitu sayyid al-Sanusi yang menjadi ulama besar orang muslim yang di kebumikan di Timilsan-Fas-Maroko.

Pada usia dua tahun, orang tuanya wafat, kemudian beliau diasuh dan dididik oleh bibinya yang bernama Fatimah, yang menjadi orang yang memiliki banyak kelebihan pada zamannya, memiliki keilmuan yang dalam sehingga banyak yang menimba ilmu kepada beliau (Fatimah). Bibi beliau sangat menyayangi dan menghargai Syaikh Muhammad, sehingga beliau mendorong Syaikh Muhammad untuk mempelajari beberapa ilmu pada ulama di kota Mustaghonim dan sekitarnya.

Syaikh Muhammad belajar Al-Qur’an dan qiroah sab’ah pada Syaikh muhammad bin Kokmas al-Thohrowi (suami Fatimah), beliau belajar bersama dengan anak Fatimah yang bernama Abdul Qadir. Pada tahun 1209 beliau telah hafal Al-Qur’an dengan riwayat Qiro’ah Sab’ah, ilmu khot, muri al-Dhoman.

Lalu beliau meneruskan belajar ilmu Fikih pada Syaikh Muhammad al-Sanusi (Anak Pamannya) wafat tahun 1219 H lalu Syaikh Muhammad al-Sanusi melanjutkan pelajaran kepada Syaikh Muhyiddin bin Syalhabah, Muhammad bin Zawinah bin Abdul Qodir bin ‘Amur, Muhammad al-Kondur, Muhammad bin Abdullah, Ahmad Al-Thobuli al-Thurailisi.

Diawal tahun 1221 H (umur 19 th) beliau keluar dari kota Mustaghonim menuju ke kota Mazunah dan menetap disana selama 1 tahun, disana beliau belajar pada banyak Ulama diantaranya, Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Abi Tahalib, Abu Ra’si al-Ma’safari dan Abu al-Mahl, Abu Zawinah.

Pada Tahun 1222 H beliau mengembara ke kota Tilmisan Maroko dan menetap disana selama 7 tahun serta belajar kepada ulama-ulama terkemuka di kota tersebut. Diantaranya adalah Syaikh Khamudah bin Haj, Syaikh Hamdun bin Abd. Rahman, Syaikh Thoyyib al-Kiron, Syaikh Muhammad bin ‘Amir al-Ma’wani Syaikh Abu Bakar Al-Adrisi, Syaikh Idris bin Zian al-‘Iroki, Syaikh Muhammad bin Mansur, Syaikh Muhammad bin Umar al-Zarwali, Syaikh Muhammad Al-Baziri, Syaikh al-‘Arobi bin  Ahmad al-Darqawi (Ulama Thoriqah Syadziliyah)

Syaikh Muhammad Al-Sanusi mendalami Tarekat para sufi dan berhasil mendapatkan Ijazah dari ulama-ulama yang mendalam keilmuannya sehingga beliau diangkat menjadi pengajar di Madrasah kota Fas, pengajiannya diikuti oleh banyak peduduk dan mereka berpendapat bahwa keilmuan dan pemahaman syariat sangat mendalam, keilmuannya merupakan limpahan ilmunya Allah, akalnya cemerlang, pikirannya matang, hukum yang ditetapkan ditakuti oleh raja.

Ilmu-ilmu yang dipelajari di kota Faz (Maroko) diantaranya:

  1. Ilmu tarekat atau sufi karena di kota ini menjadi pusat perkembangan macam-macam tarekat Sehingga beliau pada akhir hayatnya mengarang kitab al-Sal Sabil al-Mu’in fi al-Thoroiq al-Arba’inyang membahas 40 thoriqah yang memiliki kretaria mengikuti sunah Nabi baik Ucapan, perbuatan, dan menggunakan waktu untuk bersalawat kepada Nabi.
  2. Mementingkan belajar Ilmu fikih, dalam bidang Fikih beliau mempelajari Mazhab Malikiyah, beliau belajar ulama, Syaikh Muhammad bin ‘Amir al-Ma’dani, syaikh Muhammad bin Abdu al-Salam al-Nashiri.
  3. Mementingkan gerakan perdamaian dan menghasilkan perdamian di Negara Maroko sehingga pada akhirnya beliau membentuk Negara Libiya.

Pada tahun 1235 H Syaikh Muhammad Sanusi keluar dari kota Faz Maroko menuju ke Aljazair dengan sebab:

  1. Karena ada fitnah yang besar di Kota Faz yaitu karena pemerintah dikota tersebut memaksakan kehendaknya kepada Ahlul Hilmi wal qodhi (parlemen). Kemudian terjadi fitnah yang lain disebabkan oleh perselisihan antara qodhi dan mufti dan kabar tersebut sampai pada Sultan Sulaiman, sehingga Sultan Sulaiman marah kepada mufti yang berakibat kepada para ulama, pengajar dan pelajar.

Lalu mereka melengserkan qodhi dengan menerbitkan pernyataan tentang kebodohan dan kelalimannya. Hal ini menimbulkan kejadian yang luar biasa sehingga penduduk kota Faz melakukan demo kepada Sultan Sulaiman.

Mereka menuntut mengangkat Ibrahim bin Yazid menantu Sultan Sulaiman untuk menjadi Qodhi. Pada awalnya sultan menolak, namun kemudian menerima tuntutan tersebut dengan ancaman, “Jika kami tidak mengangkatmu sebagai qodhi maka kami akan mengangkat keluarga Bani Idris”.

Ancaman ini membuatnya takut. Syaikh Al-‘Arabi al-Darqowi (salah satu Syaikh Muhamad Sanusi) menjadi salah satu yang menghadiri pengangkatan qodhi, yang pada akhirnya Syaikh Al-‘Arabi al-Darqowi dimasukkan penjara oleh Sultan dan hal ini yang menjadi penyebab utama pindahnya Syaikh Muhammad Sanusi dari Faz ke Kota AL-Jazair.

  1. Melaksanakan haji dan Ziarah ke Masjid Al-Nabawi dan melihat tanah kelahIrannya.

Ini merupakan perjalanan dari wilayah barat (maroko)-Sudan-Tunisia-Qobis-Torobilis-Zaliton-Masyriq(Al-Jazair). Syaikh Muhammad Sanusi belajar kepada ulama di daerah yang ditemui dan diminta untuk mengajarkan ilmu karena nama Syaikh Muhammad Sanusi sudah dikenal oleh sebagian masyarakat dan pemerintah daerah yang dilalui.

Pada tahun 1239 H/134 M Syaikh Muhammad Sanusi ke kota Mesir yang pada waktu itu kekuasaan dipegang oleh Muhammad Ali Basa pada tahun 1805 M dan ini merupakan kesempatan bagi Syaikh Muhammad Sanusi untuk mengenal ‘Ali Basa dengan dekat yaitu mengajak Ali Basya untuk melaksanakan berbagai macam aturan dan melaksanakan perdamaian.

Pada tahun 1240 H/1825 M  Syaikh Muhammad Sanusi pergi ke Makkah untuk ziarah dan perjalanan kali ini memiliki dampak yang besar dalam perkembangan tarekat sanusiah. Ada beberapa sebab yang menjadikan keberhasilan perjalanan kali ini:

  1. Syaikh Muhammad Sanusiberhasil membangun dasar-dasar hal dan akhlak orang muslim yang menjadi delegasi ke Mw
  2. Kesempatan yang bagus terbuka karena ulama’, ahli fiqih, dan para pemikir umat saling tarik-menarik tentang metode kebangkitan dan mengembalikan keluhuran umat ini.
  3. Makkah merupakan kota yang penting untuk berdakwah sehingga Syaikh Muhammad Imam Sanusi sibuk untuk menyebarkan, menghasilkan, bertukar pikIran tentang berbagai macam ilmu dan bersunngguh-sungguh mempelajari beberaapa madzhab yang berkembang sehingga bisa dirasakan oleh seluruh umat islam, (al-Harakah al-Sanusiyyah fi Libiya, halaman 40-48).

Guru-guru Syaikh Muhammad Imam Sanusi

Di Mekah ia berguru kepada:

a). Syaikh Abu Sulaiman ‘Abdul Hafid al-‘Ajami Mufti dan Qadhi di Mekah,

b). Syaikh Abu Hafs Umar bin ‘Abdur Rasul al-Athar (guru Hadis),

c). Syaikh Ahmad al-Dujjani (mursyid Syaikh Muhammad Imam Sanusi dalam beberapa tarekat),

d). Syaikh Ahmad bin Idris 1173-1213 H (mursyid Syaikh Muhammad Imam Sanusi dalam beberapa tarekat dan paling berpengaruh dalam kehidupan beliau)

(al-Harakah al-Sanusiyyah fi Libiya, halaman 48).

Sumber: Alif.ID

174. Kewajiban Salik Tarekat Sanusiyah

Kewajiban salik Tarekat Sanusiyah untuk melakukan dakwah berpegang pada beberapa pedoman. 

  1. Menyampaikan wahyu Allah kepada manusia, meliputi menjelaskan dasar-dasar dan kaidah agama kepada manusia, menjelaskan nash, Al-Qur’an dan Hadis dengan metode ulama salaf al-shalih.

Mengumpulkan manusia dalam Islam dan memberi pemahaman dan mendorong beramal, berdakwah pada semua lapisan masyarakat baik muslim atau non muslim, memberi penjelasan kepada masyarakat umum tentang bahaya-bahaya yang dihadapi.

  1. Mendidik manusia untuk membersihkan jiwa mereka yaitu mengganti amal jelek dengan amal yang baik.
  2. Mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu hikmah kepada manusia (al-Harakah al-Sanusiyyah fî Lîbiyâ, halaman 90-91).

Murid-murid Muhammad Sanusi

Murid-murid Syaikh Muhammad Sanusi yang memimpin zawiyah diantaranya adalah:

  1. Muhammad Abdullah al-Tawati, beliau diberi mandat untuk mengelola zawiyyah (pondok sufi) di Yaman, Libiya, dan Hija
  2. Ahmad Abû Qhasim al-Tawati, beliau berasal dari Aljazair, diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Siwah, Jaitun, Fazan.
  3. Syaikh Ali bin Abdul Maula, beliau dari Tunisia yang diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Jaghbub.
  4. Ahmad bin Farajullah, beliau dari Tha
  5. Muhammad bin Syafi’(w. 1324 H), beliau dari Sudan. Beliau diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Madinah dan orang yang mengawasi seluruh zawiyyah di wilayah Hijaz dan Libiya.
  6. Ahamd al-Mukrahi(w. 1263 H), beliau dari Tharablis yang menjadi hakim pada masa dinasti Bani U
  7. Imran bin Barakah al-Fituri(w. 1310 H), beliau dari Jali Beliau diberi wewenang mengelola Zawiyyah al-Baidha’.
  8. Abdul bin Muhammad al-Sinni, beliau dari Sudan diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Mazdah.
  9. Falih al-Zhahiri(w. 1328 H), beliau dari daerah al-Hamra.
  10. Abdur Rahim bin Ahmad al-Mahbûb(w. 1305 H).
  11. Husain al-Gharyani, beliau diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah al-Baidha’ kemudiam mengelolah Zawiyyah Janzur. Beliau wafat di Zawiyyah Janzur.
  12. Ahmad bin Abd al-Qadir al-Rifi(Jaghbub W.1329 H/1911 M) beliau dari Tilmisan kota Fas
  13. Muhammad al-Shodiqbeliau dari Thoif diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Tunisia
  14. Muhammad bin Musthofa Hamid al-Madanibeliau dari Tilmisan, diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Tazrobu
  15. Umar Muhammad al-Asyhabbeliau dari Zalithon, diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Darnah dan Marroh kemudian dipindah ke Zawiyah Musawwis dan dikebumikan di sini.
  16. Mushthofa al-Mahjubbeliau diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Baidlok pada tahun 1258 H, kemudian dipindah untuk mengelola Zawiyah Tîlamûn
  17. Ahmad bin Ali Abu al-Saif(W.1294 H), beliau bersal dari desa Thorobilis, diberi wewenang pekerjaan yang banyak diantaranya adalah mengajar, memimpin Zawiyah Musawwis, Ma
  18. Abu Qosim al-‘Isawi, beliau diberi wewenang Zawiyah Rojban.
  19. Muhammad Ibrahim al-Ghomaribeliau diberi kekuasaan Zawiyah Baidlok.
  20. Ibrohim Al-Ghomari, beliau diberi wewenang Zawayah Diryanah
  21. Musthofa al-Ghomari, beliau diberi wewenang Zawiyah Diryanah
  22. Umar Abu Hawak al-Fudhail Aujali, beliau diberi wewenang Zawiyah al-Jauf di wilayah Wahah
  23. Musthofa al-Dardafi, beliau diberi wewenang Zawiyah Syahat.
  24. Muhammad bin Hamdi al-Ilanibeliau diberi wewenang memimpin dibeberapa majlis
  25. Muhammad Ahmad al-Sakuribeliau diberi wewenang Zawiyah al-Wahat al-Bahriyah pada masa al-Mahdi Sanusi diberi wewenang Zawiyah al-Marot
  26. Al-Murtadlo Farkasybeliau diberi wewenang mengelolah Zawiyah satu ke Zawiyah lainnya.
  27. Abu Saif Muqrob
  28. Al-Hussen al-Halafibeliau diberi wewenang Zawiyah al-Mukhoili
  29. Al-Mukhtar bin Amrbeliau diberi wewenang Zawiyah Kofnathoh
  30. Umar Jalghof Khudusbeliau diberi wewenang memimpin Majlis di Zawiyah Baidlok
  31. Muhammad Jidar al-Ghunibeliau diberi wewenang mengajar Al-Qur’an.
  32. Al-Fudhail Abu Khoriz Al-Kuzzah

Putera Syaikh Muhammad bin Ali As-Sanusi Mustaghanim, bernama Sanusi Muhammad al-Mahdi (w.1901) memindahkan pusat tarekat ke Kufrah, karena letaknya lebih strategis, peristiwa ini terjadi pada tahun 1895. Kemudian pindah lagi ke daerah Guro setelah itu kembali lagi ke Kufrah. Setelah beliau wafat pimpinan Tarekat Sanusiyah digantikan oleh keponakannya yang bernama Ahmad al-Syarif.

Tarekat ini disebarluaskan melalui pondok atau surau yang dipimpin oleh muqaddim (kepala tarekat) dan wakilnya. Para pejabat ini mempunyai wibawa yang besar di hadapan anggotanya dan masyarakat luas.

Selain berdakwah, untuk masyarakat Islâm, Tarekat Sanusiayah juga berdakwah ke beberapa suku Afrika yang masih menyembah berhala, seperti suku Baele di Negeri Ennedi (sebelah timur Borku) dan suku Tedas di Tu atau Tibesti (Gurun Sahara selatan Fezzan). Tarekat ini juga berhasil mengislamkan masyarakat di negeri Galla.

Tarekat ini memiliki rumah peribadatan yang tersebar mulai dari Mesir sampai kepedalaman Maroko dan ke daerah Oase di Gurun Sahara dan Sudan. Pengikut baru juga datang dari luar Afrika Utara. Tarekat Sanusiyah juga masuk ke Senegal, Gambia dan Somalia melalui Sudan. Pengaruh tarekat ini juga terdapat di Mekah, Madinah, Irak, Iran, dan bahkan sampai Indonesia dan Malaysia.

Tarekat ini lebih mengedepankan akhlak di masyarakat, juga berusaha memajukan kondisi fisik dengan jalan mengembangkan penanaman oase yang lebih baik, menggali sumur-sumur baru, mendirikan tempat-tempat peristirahatan sepanjang jalan-jalan kafilah dan memajukan peniagaan. Disamping itu juga mendirikan sekolah-sekolah dan tempat tinggal di daerah oase.

Budak-budak yang sudah dimerdekakan dididik di Jagbub dan setelah dibekali ilmu pengetahuan agama mereka dipulangkan ke kampung halamannya untuk berdakwah di kalangan familinya.

Selain dibidang dakwah tarekat ini juga berperan dalam bidang politik. Lebih dari setengah abad tarekat ini menjadi kekuatan besar yang  diperhitungkan oleh berbagai kolonial barat, seperti  Inggris, Perancis, dan Italia.

Bahkan berdirinya negara Libya adalah merupakan hasil dari perjuangan dari tarekat Sanusiyah. Libya adalah satu-satunya negara yang dibentuk olah persudaraan tarekat (mistik).

Tarekat ini juga mengajak jutaan orang primitif Nigeria di bagian barat dan tengah Afrika untuk masuk Islam. Bahkan sampai di Afrika barat juga banyak orang-orang nasrani yang masuk Islam.

Sumber: Alif.ID

175. Sanad Tarekat Sanusiyah Melalui Enam Jalur Tarekat

Sanad Tarekat Hidiriyah Muhammadiyah yang diterima Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Ahmad al-Rifi al-Qal’i bin Abdu Qadir dari Syaikh Muhammad bin ‘Ali al-Syarif dari Syaikh Abi Abbas al-‘Aroisyi Ahmad bin Idris dari Abdul Wahab al-Tasi (W.1099 H) dari Abdul ‘Aziz al-Dibaghi (W.1131 H) dari Nabi Khidir a.s.

Sanad Tarekat Nashiriyah yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Salam (kota Fas/W.1173 H) dari Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Nashir (W.1129 H) dari Syaikh Muhammad Al-Syahir bin Nashir al-Dar’i (W.1035 H).

Sanad Tarekat al-Syadzili yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Abi al-Abbas al-‘Aroisyi dari Syaikh Abi Qasim al-Waziri (W.1213 H) dari Syaikh Abi Hasan ‘Ali Mu’ammir yang dijuluki Jamal bin Abd. Al-Rahman bin Muhammad bin Ibrahim bin Imran al-Idrisi al-Hasani al-Imrani (Kota Fas W.1194 H) dari Syaikh Muhammad al-‘Arabi bin Abdullah Al-Andalusi Spanyol (W.1133 H).

Syaikh Muhammad dari Syaikh Ahmad bin Abdullah dari Syaikh Qasim al-Khossos (W. 1083 H) dari Syaikh Muhammad bin Abdullah (W. 1062 H) dari Syaikh Abd. Al-Rahman Al-Fasi al-Fahri (W.1036 H) dari Syaikh Yusuf al-Fazi al-Fahri (W.1013 H) dari Syaikh Abd. Al-Rahman bin ‘Iyad yang dikenal dengan julukan al-Majdub dari Syaikh ‘Ali bin Ahmad al-Son Haji yang dikenal julukan al-Dawwar dari Syaikh Abu Nur bin Ilmi Amhan dari Syaikh Ahmad Zaruq (kota Dafin W.899 H) dari Syaikh Abu Al-Abbas ‘Ali bin Wafa.

Syaikh Abul Abbas dari Syaikh Yahya bin Ahmad al-Wafa dari Syaikh ‘Ali bin Wafa dari Syaikh Muhammad Wafa dari Syaikh Mahmud al-Bahili dari Syaikh Tajuddin Muhammad bin Athoillah dari Syaikh Abû al-‘Abbâs al-Mursî dari Syaikh Abu Hasan al-Syadzili (W. 654 H) dari Syaikh Abd. Al-Salam bin Masyisy al-Idrisi al-Hasani (W. 625 H) dari Syaikh Abd. Al-Rahman al-Madani dari Syaikh Taqiyuddin al-Faqir.

Syaikh Taqiyuddin dari Syaikh Fachruddin dari Syaikh Nuruddin dari Syaikh Tajuddin dari Syaikh Samsuddin dari Syaikh Zainuddin dari Syaikh Ibrahim al-Bashri dari Syaikh al-Marwani dari Syaikh Fathu al-Su’ud dari Syaikh Sa’id dari Syaikh Jabir dari Syaikh Sayyid al-Hasan dari Syaikh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dari Muhammad  saw.

Sanad Tarekat Qadiriyah yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Sidi Syarif Abd al-‘Aziz dari Syaikh Abd. Al-Razaq dari Syaikh Syaikh Abd. Qadir al-Jailani.

Sanad Tarekat Qadiriyah yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Abi al-Abbas al-‘Aroisyi dari Syaikh Abi al-Mawahib al-Tazi al-Hasani dari Syaikh Abi al-Abbas Al-Zarani dari Syaikh Abd. Al-Jailani dari Syaikh Abi Sa’id al-Mubarak bin ‘Ali al-Khin bin badatar al-Baghdadi dari Syaikh Abi Hasan dari Syaikh ‘Ali bin Ahmad bin Yusuf al-Bakari al-Qurasyi dari Syaikh Abi Faraz bin Abdullah al-Turosusi dari Syaikh Abi Fadhol.

Syaikh Abi Fadhol dari Syaikh Abd. Al-Wahid bin Ahmad bin al-Faraz dari Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Tursusi dari Syaikh Abi Fadhol dari Syaikh Abd. Al-Wahid bin Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Tamini dari Syaikh Abd al-‘Aziz bin Haris al-Tamini dari Syaikh Abi Bakar al-Fariz Dalfa bin Khalaf bin Muhammad Hajdar Al-Syibli (W. 394 H) dari Syaikh Abu Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Junaid al-Qawariri al-Baghdadi al-Juzazi (Kota Baghdad W. 928 H).

Syaikh Abu Qasim dari Syaikh Abi Hasan al-Sari bin al-Mughollis al-Siqthi (Kota Baghdad W. 253 H) dari Syaikh Abi Mahfud yang dikenal dengan Ibnu Fairus al-Karkhi (kota Baghdad W.200 H) dari Syaikh ‘Ali Ridha bin Musa al-Kadzim (kota Madinah W. 148 H) dari Syaikh Musa al-Kadzim (Kota Baghdad W. 183) dari Syaikh Sayyid Ja’far al-Shodiq (kota Madinah W. 80 H) dari Sayiid Muhammad al-Baqir dari Sayyid Zainal ‘Abidin ‘Ali bin Husain dari Sayyidina Husain bin ‘Ali dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Krw. dari Nabi Muhammad saw.

Sanad Tarekat Uwais yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Muhammad Abd. Al-Salam al-Nashiri dari Syaikh Abd. Al-Salam Al-Nashiri dari Syaikh Muhammad bin Abd. Al-Ghofur dari Syaikh Abd. Qadir al-Mufti al-Shiddiqi dari Syaikh Hasan al-‘Ajimi (W.1113 H) dari Syaikh Shofi al-Qosasi dari Syaikh Shibgotullah dari Syaikh al-Mulawijih al-Din al-‘Alawi al-Ghoz dari Syaikh Haji al-Khushur dari Syaikh ‘Ali al-Shiraji dari Syaikh Abdullah al-Mishri dari Syaikh Uwais al-Qarni.

Sanad Tarekat Naqshabandi yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Abi al-Wafa dari Syaikh Muhammad Arabi Syah dari Syaikh Haji Nur al-Haq dari Syaikh Abi Wafa yang dikenal dengan Kutub Syah al-Qadiri Muhammad Arabi Syah dari Syaikh Abi ‘Ali dari Syaikh Maula Abi ‘Ali dari Syaikh Mubarak dari Syaikh Mer Abdullah dari Syaikh Muhammad Yahya dari Syaikh Abd. Al-Haq Ubaidillah Kharor dari Syaikh Ya’qub al-Karkhi dari Syaikh Bahauddin Al-Naqsabandi.

Sanad Tarekat Naqshabandi yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Ni’matullah bin Syaikh Umar al-Naqsyabandi dari Syaikh Muhammad Faidh Khon dari Syaikh Muhammad Hasan Atto dari Syaikh Muhammad Shibghotullah (W. 1122 H) dari Syaikh Muhammad al-Ma’shum dari Syaikh Sir Hindi al-Mujaddadi (W.1134 H) dari Syaikh Khowajih Ubaidillah Akhror bin Mahmud bin Syihab al-Din Al-Syasyini al-Samarqandi (W.895 H).

Syaikh Khowajih dari Syaikh Khowajih Ya’kub al-Khoroji dari Syaikh al-Kutub al-Rabbani yang dijuluki Naqsabandi Syaikh Khowajih Bahauddin Muhammad (717-191 H) dari Syaikh Khowajah Amir Kulal bin Hamzah dari Syaikh Khowajih Baba Al-Samasi dari Syaikh Khowajih ‘Ali Rami Tamini al-Bukhori (Kota Bukhoro W.715 H) dari Syaikh Khowajah Muhammad al-Anjiri Faghnawi dari Syaikh Khowajih ‘Arif al-Riya Kari dari Syaikh Khowajah Abdul Kholiq bin Syaikh Abd. Jalil Ghujdawani dari Syaikh Yusuf al-Hamdani (W.535 H).

Syiakh Khowajah dari Syaikh Abi ‘Ali Al-Farmadzi dari Syaikh Abi Qasim al-Karkani dari Syaikh Abi Hasan al-Khorkoni dari Syaikh Abi Usman al-Maghrabi Sa’id bin Salam dari Syaikh Abu Yazid al-Bustomi dari Syaikh Ja’far al-Shodiq dari Syaikh Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar dari Syaikh Salman Al-Farisi dari Syaikh Abu Bakar Al-Shiddiq dari Nabi Muhammad saw.

Sumber: Alif.ID

176. Aurad Tarekat Sanusiyah

Aurad Tarekat Sanusiyah secara umum yaitu:

  1. Membaca Al-Qur’an al-Karim
  2. Membaca istighfar
  3. Membaca tahlil
  4. Membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw.

Aurad Tarekat Sanusiyah yang telah ditulis oleh Sayyid Muhammad al-Mahdi r.a. dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyah Muqaddimah al-Tarekat al-Sanusiyah sebagai berkut:

  • Al-Wirdu al-Muhammadi, terdapat 3 macam:
  1. أَسْتَغْفِرُ اللهَ 100 ×
  2. لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ

Lafadz ini dihadiahkan kepada 3 ahli:

  • لَاإلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ 300 × لِأَهْلِ التَّبَرُّك
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ 12000 × لِأَهْلِ الْإِرَادَةِ مِنَ الْمُنْتَسِبِيْن
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مَحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ 14000 × لِأَهْلِ التَّجْرِيْدِ مِنْ أَهْلِ الْعَكِفَاتِ
  1. Membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw. dengan macam-macam salawat yang telah ditentukan diantaranya:
    1. Salawat al-Ummiyah 100 x yang dihadiahkan kepada Ahli Tabarruk. Salawat ini Syaikh Muhammad al-Sanusibersanad dengan dua jalur:
  • Sayyid Ahmaddari Abi al-Mawahib al-Tazi dari Muhammad bin Ziyan dari Sayyid Muhammad Nashir.
  • Ibnu al-Sanusidari al-Hammam Sayyid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd. Al-Salam al-Binani dari Sayyid Ahmad dari Sayyid Muhammad bin Nashir al-Dar’i a.
    1. Salawat al-Fatihiyah 2000 x yang dihadiahkan kepada Ahli Iradah. Shalawat ini Syaikh Muhammad al-Sanusibersanad pada Sayyid Ahmad dari Abi al-Mawahib al-Tazi dari Abi al-Abbas al-Dani al-Fasi dari Sayyid Abd. Al-Qadhir al-Mufti al-Maki dari Sayyid ‘Abd. Al-Qadhir al-Jailani
    2. Salawat al-‘Adzimiyah 2000 x yang dihadiahkan kepada Ahli al-Tajrid. Shalawat ini Syaikh Muhammad al-Sanusibersanad pada Sayyid Ahmad bin Idris dari Sayyid Ahmad al-Khidir s.

Berdasarkan aurad tersebut dijelaskan menjadi 3 tingkatan yaitu:

  1. الورد الكبير
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ (100 ×)
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِمَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (300–3000– 24000)
  • الصَّلَاةُ الْعَظِيْمِيَّةُ ( أَللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ الَّذِى مَلَأَ أَرْكَانٍ لِلهِ الْعَظِيْمِ وَقَامَتْ بِهِ عَوَالِمُ اللهِ الْعَظِيْمِ، أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ ذِى الْقَدَرِ الْعَظِيْمِ، وَعَلَى أَلِ نَبِيِ اللهِ الْعَظِيْمِ، بِقَدْرِ عَظَمَةِ اللهِ الْعَظِيْمِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا فِى عِلْمِ اللهِ الْعَظِيْمِ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ اللهِ الْعَظِيْمِ، تَعْظِيْمًا لِحَقِّكَ يَامَوْلَانَا يَامُحَمَّدٌ يَا ذَا الْخَلْقِ الْعَظِيْمِ ،َوَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ مِثْلَ ذَلِكَ، وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ كَمَا جَمَعْتَ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا يَقَظَةً وَمَنَامًا، وَاجْعَلْهُ يَارَبِّ رُوْحًا لِذَاتِيْ مِنْ جَمِيْعِ الْوُجُوْهِ فِى الدُّنْيَا قَبْلَ الْاَخِرَةِ يَاعَظِيْمُ) (100-200-1000-2000)
  • الإِسْتِغْفَارُ الكَبِيْرُ (أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَّيُّوْمُ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِي كُلِّهَا وَالْاَثَامِ، وَمِنْ كُلِّ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ عَمْدًا وَخَطَأً ظَاهِرًا وَبَاطِنًا قَوْلًا وَفِعْلًا فِيْ جَمِيْعِ حَرَكَاتِيْ وَسَكَانَتِيْ وَخَطَرَاتِيْ وَاَنْفَاسِى كُلِّهَا دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا، مِنَ الذُّنُوْبِ الَّذِيْ اَعْلَمُ وَمِنَ الذُّنُوْبِ الَّذِيْ لَااَعْلَمُ، عَدَدِ مَا أَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ وَأَحْصَاهُ الْكِتَابُ وَخَطَهُ الْقَلَمُ وَعَدَدِ مَا أَوْجَدْتَهُ الْقَدْرَةُ وَخَصَّصَتَهُ الْاِرَادَةُ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِ اللهِ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِ رَبِّنَا وَجَمَالِهِ وَكَمَالِهِ، وَكَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى) (70 في السحر ومرة عقب الصلوات)
  • ذكر اللطيف (أَلَايَالَطِيْفُ يَالَطِيْفُ لَكَ اللُّطْفُ-فَاَنْتَ اللَّطِيْفُ مِنْكَ يَشْمِلُنَا اللُّطْفُ
  • لَطِيْفٌ لَطِيْفٌ اِنَّنِى مُتَوَسِّلٌ بِلُطْفِكَ-فَالْطِفْ بِي وَقَدْ نَزَلَ اللُّطْفُ بِلُطْفِكَ مَدَنِيْ يَالَطِيْفُ فَهَا نَحْنُ-دَخَلْنَا فِى وَسَطِ اللُّطْفِ وَانْسَدَلِ اللُّطْفُ) (116487 ×)
    1. الورد الأوسط
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ (100 ×)
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِمَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (300–3000– 24000(
  • الصلاة الفاتحية (أَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ اَلْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِيْ إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَعَلَى أَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ) (100 ×)
  • ذكر اللطيف (أَلَايَالَطِيْفُ يَالَطِيْفُ لَكَ اللُّطْفُ-فَاَنْتَ اللَّطِيْفُ مِنْكَ يَشْمِلُنَا اللُّطْفُ لَطِيْفٌ لَطِيْفٌ اِنَّنِى مُتَوَسِّلٌ بِلُطْفِكَ-فَالْطِفْ بِي وَقَدْ نَزَلَ اللُّطْفُ بِلُطْفِكَ مَدَنِيْ يَالَطِيْفُ فَهَا نَحْنُ-دَخَلْنَا فِى وَسَطِ اللُّطْفِ وَانْسَدَلِ اللُّطْفُ) (16641 ×)
    1. الورد الخفيف
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ (100 ×)
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِمَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (300 ×)
  • الصلاة الأمية (أَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ (100 ×)
  • ذكر اللطيف (أَلَايَالَطِيْفُ يَالَطِيْفُ لَكَ اللُّطْفُ-فَاَنْتَ اللَّطِيْفُ مِنْكَ يَشْمِلُنَا اللُّطْفُ لَطِيْفٌ لَطِيْفٌ اِنَّنِى مُتَوَسِّلٌ بِلُطْفِكَ-فَالْطِفْ بِي وَقَدْ نَزَلَ اللُّطْفُ بِلُطْفِكَ مَدَنِيْ يَالَطِيْفُ فَهَا نَحْنُ-دَخَلْنَا فِى وَسَطِ اللُّطْفِ وَانْسَدَلِ اللُّطْفُ) (129 ×)
  • Al-Wirid al-‘Umumi
    1. Membaca Al-Qur’an al-Karim yang disebut dengan Hizib al-Syahri, separuh juz dibaca setelah sholat shubuh, separuh juz dibaca setelah sholat Maghrib dan setelah membaca Al-Qur’an masing-masing waktu tersebut membaca surah al-Ikhlash 3 kali, setelahnya membaca kafarah al-Majalis 3 kali. Membaca Al-Qur’an dimulai pagi hari pada awal bulan, dan dikhatamkan pada malam hari pada akhir bulan.
    2. Membaca surah al-Kahfi setelah Ashar dan maghrib pada malam jum’at
  • Al-Wirdu Kanzu al-Sa’adah

Yang dibaca setelah sholat maghrib dan shubuh oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali al-Sanusi sebagai berikut:

  1. أَللهم إِنِّي أَقْدَمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ كُلَّ نَفَسٍ وَلَمْحَةٍٍ وَطَرْفَةٍ يَطْرَفُ بِهَا أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكُلَّ شَيْئٍ هُوَ فِيْ عِلْمِكَ كَائِنٍ أَوْ قَدْ كَانَ أَقْدَمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ ذَلِكَ كُلُّهُ الْإِخْلَاصُ (3 ×)
  2. بِالْبَسْمَلَةِ وَالْإِسْتِعَادَةِ أَوَّلًا ( أَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْْ (3 ×)
  3. لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (100 ×)
  4. لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ (100 ×)
  5. اَللهُ، اَللهُ (100 ×)
  6. هُوَ (100 ×)
  7. يَا عَظِيْمُ ( 100 ×)
  8. الصَلَاةُ الْعَظِيْمِيَّةُ (3 ×)
  9. يَاحَيُّ يَاقَيُّوْمُ (100 ×)
  10. يَا لَطِيْفُ (100 ×)
  11. الإِسْتِغْفَارُ الْكَبِيْرُ (3 ×)
  12. سُوْرَةُ الإْخْلَاصُ (3 ×)
  13. سُبْحَانَكَ اللهم وَبِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ عَمِلْتُ سُوْءًا وَظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اَنْتَ (3 ×)
  • Wirid 7 Nafsu dan Wirid Para Wali

Adapun wirid 7 nafsu dan wirid para wali yang telah ditulis oleh Sayyid Muhammad al-Sanusi dan gurunya Sayyid Muhammad al-Mahdi r.a. diantaranya:

  1. النَّفْسُ الْأَمَّارَةُ : وِرْدُهَا لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ
  2. النَّفْسُ اللَّوَّامَةُ : وِرْدُهَا اَللهُ
  3. النَّفْسُ الْمُلْهِمَةُ : وِرْدُهَا هُوَ، هَوَ
  4. النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ : وِرْدُهَا حَقٌّ، حَقٌّ
  5. النَّفْسُ الرَّاضِيَّةُ : وِرْدُهَا حَيٌّ، حَيٌّ
  6. النَّفْسُ الْمَرْضِيَّةُ : وِرْدُهَا القَّيُّوْمُ
  7. النَّفْسُ الْكَامِلَةُ : وِرْدُهَا القَّهَّارُ
  8. وَلِيْ النُّقَبَاءِ : وِرْدُهُمْ التَّوَّابُ الغَفَّارُ
  9. وَلِيُ النُّجَبَاءِ : وِرْدُهُمْ الحَسِيْبُ الرَّقِيْبُ
  10. وَلِيُ الْأَفْرَادِ : وِرْدُهُمْ الشَّكُوْرُ وَالْحَمِيْدُ وَالصَّمَدُ وَالنُّوْرُ
  11. وَلْيُ الْأَبْدَالِ : وِرْدُهُمْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ إِلَى غَيْرِ ذَالِكَ مِنَ الْأَسْمَاءِ
  12. وَلِيُ الْأَمْنَاءِ : وِرْدُهُمْ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
  13. وَلِيُ الْأَوْتَادِ : وِرْدُهُمْ الْمُحْيِ وَالْمُمِيْتُ وَالسَّلَامُ الْمُؤْمِنُ
  14. وَلِيُ الْأَمَامَانِ : وِرْدُهُمْ سُوْرَةُ الْإِخْلَاصِ
  15. وَلِيُ الْخُلَفَاءِ : وِرْدُهُمْ الْمُهَيْمِنُ وَالْعَزِيْزُ وَالْجَبَّارُ وَالْقَدِيْرُ
  16. وَلِيُ الْأَقْطَابِ : وِرْدُهُمْ الْمُظْهِرُ وَالْمَلِكُ وَالْعَزِيْزُ وَالْمُحِيْطُ وَالْوَاحِدُ وَالْمَاجِدُ

Sumber: Alif.ID

177. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan gabungan dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN) yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872 M.) yang dikenal sebagai penulis kitab Futûh al-‘Arifîn. Sambas merupakan sebuah nama kota di sebelah Utara Pontianak, Kalimantan Barat.

Syaikh Naqib al-Attas mengatakan bahwa Syaikh Sambas adalah seorang mursyid dari kedua tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang kemudian oleh beliau diajarkan dalam satu versi dengan mengajarkan dua jenis zikir sekaligus, yakni zikir dengan lisan (jahr) dalam tarekat Qadiriyah dan zikir dengan hati (khafi) dalam tarekat Naqsyabandiyah.

Setelah menyelesaikan pendidikan agama dasar di kampung halamannya pada usia 19 tahun, Syaikh Sambas berangkat ke Kota Mekah di Saudi Arabia untuk melanjutkan pendidikannya sekaligus menetap di sana sampai wafatnya pada tahun 1289 H./1872 M.

Di kota Mekah, Syaikh Sambas mempelajari ilmu-ilmu Islam, termasuk ilmu tasawuf yang sampai pada akhirnya mencapai kedudukan tinggi sehingga sangat disegani oleh teman-temannya saat itu. Beliau kemudian juga menjadi seorang tokoh yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Nusantara.

Diantara guru-guru Syaikh Sambas adalah Syaikh Daud bin Abdullâh bin Idris al-Fattani (1843), dan Syaikh Syamsuddin Muhammad Arsyad al-Banjari (1812). Diantara semua murid Syaikh Syamsuddin, Syaikh Khatib Sambas berhasil mencapai tingkat yang tertinggi yaitu Syaikh Mursyid Kamil Mukammil.

Selain itu, beliau juga pernah belajar kepada Syaikh Muhammad Shalih RAys (seorang mufti Syafi’i), Syaikh Umar bin Abdul Karim bin Abdur Rasul (w. 1249 H.), Syaikh Abdul Jami (w. 1235 H). Di samping itu, beliau juga pernah menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan langsung oleh Syaikh Bisri al-Jabbati (seorang mufti Maliki), Syaikh Ahmad al-Marzuqi (seorang mufti Hanafi), dan Syaikh Abdullah Muhammad al-Mirghani (w. 1273 H.) serta Usman bin Hasan Dimyati (w. 1266 H).

Dari keterangan guru-guru beliau di atas, dapat diketahui bahwa beliau telah belajar kepada tiga dari empat madzhab fiqih terkemuka. Kebetulan al-Attar, al-Jami, dan RAys, terdaftar sebagai guru dari teman beliau, yakni Muhammad bin Ali bin al-Sanusi (w. 1276 H). dan juga pendiri Tarekat Sanusiyah (Muhammad Utsman al-Mirghani) dan juga pendiri Tarekat Khatmiyah. Sehingga, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dikalangan ulama Nahdlatul Ulama diakui sebagai Tarekat Mu’tabarah.

Metode Zikir Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

  • Khataman

Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Tanwîr al-Qulûb fi Mu’amalati ‘Allimil Ghuyub menjelaskan berbagai pengertian dan proses khataman yang intinya sebagai berikut: khatam artinya penutup atau akhir.

Zikir dengan sistem khataman ialah sejumlah murid atau salik duduk dalam suatu majelis (majelis zikir), berbentuk lingkarandengan dipimpin oleh seorang syaikh (mursyid) dan duduk menghadap kiblat. Di sebelah kanan duduk khalifah-khalifah, adapun yang tertua duduk di sebelah kanan syaikh. Sistem zikir ini dikatakan khataman, karena selesai zikir, syaikh meninggalkan majelis itu, maka ditutuplah dengan zikir-zikir tertentu.

Kegiatan khataman ini biasanya juga disebut mujahadah atau hususiyah karena memang upacara dan kegiatan ini dimaksudkan untuk mujahadah bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas spiritual para salik, baik dengan melakukan zikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan bimbingan ruhaniyah oleh mursyid secara khusus.

  • Adab Khataman

Menurut Syaikh al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qu1ûb fi Mu’amalati ‘Alamil Ghuyub halaman 520 menyebutkan ada 8 adab khataman, yaitu:

  1. Suci dari hadats dan najis
  2. Di ruangan khusus, sunyi dari keramaian manusia
  3. Khusyu’ dan menghadirkan Allah Swt, dengan cara beribadah kepada-Nya seolah-olah anda melihat-Nya. Jika anda tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat anda.
  4. Peserta yang hadir harus dengan seijin syaikh.
  5. Pintu ditutup karena menurut Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ya’la bin Syidad:

بَيْنَمَا أَنَا عِنْدَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ، إِذْ قَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟، قُلْنَا: لَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ، وَ قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ الحديث.

Tatkala aku berada di sisi Rasulullâh saw. tiba-tiba beliau bertanya: Adakah orang asing di antara kamu? Kami menjawab: Tidak ada, Rasulullah saw. “Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda: “Angkat tangan kamu”.

دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ الْبَيْتَ هُوَ وَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَ بِلَالٌ وَ عُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ فَاَغْلَقُوْا عَلَىْهِمُ الْبَابَ فَلَمَّا فَتَحُوْا كُنْتُ اَوَّلَ مَنْ وَلِجَ فَلَقِيْتُ بِلَالًا فَسَأَلْتُهُ هَلْ صَلَّى فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ صَلَّى بَيْنَ الْعَمُوْدَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ

Rasulullâh saw. telah memasuki Baitullâh bersama dengan Usâmah bin Zaid, Bilâl, Utsman bin Thalhah. Mereka menutupkan pintu. Tatkala mereka membukanya, sayalah orang pertama masuk, kujumpai Bilal dan kutanyakan: Apakab Rasulullâh saw. salat di dalamnya? Bilal menjawab: “benar, di antara dua tiang Yamani”.

  1. Memejamkan mata mulai awal hingga selasai.
  2. Berusaha dengan sungguh-sungguh meniadakan segala sesuatu yang timbul di dalam hati, sehingga hatinya hanya disibukkan dengan berzikir kepada Allah.
  3. Duduk tawarruk, kebalikan dari duduk tawarruk dalam salat.

Sumber: Alif.ID

178. Proses Khataman Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Proses khataman biasanya dilaksanakan oleh mursyid atau wakil (khalifah) dalam posisi duduk berjamaah setengah lingkaran atau berbaris sebagaimana shaf-shaf jamaah salat. Setelah itu lantas mulai membaca berbagai bacaan.

Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrah al-Fikriyah halaman 26, proses khataman sebagai berikut:

  1. Hadiah al-Fatihah kepada Nabi saw, beserta keluarga dan sahabatnya
  2. Hadiah al-Fatihah untuk para nabi dan rasul, para malaikat muqarrabin, para syuhada’, para shalihin, setiap keluarga, setiap sahabat, dan kepada arwah bapak kita Adam a.s, dan ibu kita Hawa, dan semua keturunan dan keduanya sampai hari kiamat.
  3. Hadiah al-Fatihah untuk para Khulafa’ ar-Rasyidin (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali r.a.) semua sahabat awal dan akhir, para tabi’in, tabi’it tabi’in, dan semua yang mengikuti kebaikan mereka sampai hari kiamat.
  4. Hadiah al-Fatihah untuk para Imam Mujtahid dan para pengikutnya, para ulama dan pembimbing, para qari’, para mukhlisin, para imam Hadis, mufassir, semua tokoh-tokoh sufi yang ahli tarekat, para wali baik laki-laki maupun perempuan. Kaum muslimin dan muslimat di seluruh penjuru dunia.
  5. Hadiah al-Fatihah untuk para Syaikh Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khususnya Sulthan al-Auliya’ Syaikh Abdul Qâdir al-Jilani, Abu Qasim al-Junaidi, Sirri Saqathi Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi, Habib al-Ajami, Hasan al-Basri, Syaikh Ja’far Shadiq, Abu Yazid al-Busthami, Yusuf al-Hamdani, Burhanuddin al-Naqsyabandi, al-Sirhindi, berikut nenek moyang dan keturunan mereka, silsilah mereka dan orang yang mengambil ilmu dari mereka.
  6. Hadiah al-Fatihah kepada orang tua kita dan syaikh-syaikh kita, keluarga kita yang telah mati, orang yang berbuat baik kepada kita, dan orang yang mempunyai hak dari kita, orang yang mewasiati kita, dan orang yang kita wasiati, serta orang yang mendo’akan baik kepada kita.
  7. Hadiah al-Fatihah kepada semua mukminin-mukminat, muslimin-muslimat yang masih hidup maupun yang sudah mati di belahan barat maupun di belahan timur, Di belahan kanan dan kiri dunia, dan semua penjuru dunia, semua keturunan Nabi Adam a.s, sampai kiamat.

Kemudian secara bersama-sama membaca bacaan sebagai berikut;

  1. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  2. سورة الإنشراح 79×
  3. سورة الإخلاص 100×
  4. Fatihah kepada syaikh Abdul Qodir al-Jîlani dan syaikh Baha’uddin al-Naqsyabandi 1x
  1. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  2. اللهم يَا قَضِيَ الْحَاجَاتِ 100×
  3. اللهم يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ 100×
  4. اللهم يَا رَافِعَ الدَّارَجَاتِ 100×
  5. اللهم يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ 100×
  6. اللهم يَا مُحِلَّ الْمُشْكِلَاتِ 100×
  7. اللهم يَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ 100×
  8. اللهم يَا شَافِيَ الْأَمْرَاضِ 100×
  9. اللهم يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 100×
  10. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
    1. Fatihah kepada imam Khawajikan1x
    2. Fatihah kepada syaikh Abdul Qodir al-Jilani 1x
  11. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  12. حَسْبُنَا اللهِ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ 200×
  13. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
    1. Fatihah kepada syaikh Abdul Qodir al-Jîlani 1x
    2. Fatihah kepada imam al-Quthub syaikh Ahmad al-Fârûq al-Sarhandi1x
  14. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  15. لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 100×
  16. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×

Kemudian berhenti sejenak dengan rasa tunduk kepada Allah Swt. dengan memohon ampunan, keselamatan, kesehatan serta ketetapan iman di dunia dan akhirat, dan memohon dimudahkan memperoleh rezeki yang halal dengan merendahkan diri dari semua makhluk maksudnya tidak merasa mempunyai kelebihan dibandingkan orang lain. Dengan membaca doa:

اللهم أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَ رِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ

  1. Fatihah atas niat yang baik, 1x
  1. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  2. يَا لَطِيْفُ 16641×
  3. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
    1. Fatihah kepada nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat sebanyak 1x
    2. Doa khushushiyah (khatam)

اللهم يَا لَطِيْفُ يَا لَطِيْفُ يَا لَطِيْفُ يَا مَنْ وَسِعَ لُطْفِهِ أَهْلَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ نَسْأَلُكَ بِخَفِيِّ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ أَنْ تُخْفِيْنَا فِيْ خَفِيِّ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ إِنَّكَ قُلْتَ وَ قَوْلُكَ الْحَقُّ اللهُ لَطِيْفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيْزُ اللهم يَا قَوِيُّ يَا عَزِيْزُ يَا مُعِيْنُ بِقُوَّتِكَ وَ عِزَّتِكَ يَا مَتِيْنُ أَنْ تَكُوْنَ لَنَا عَوْنًا وَ مُعِيْنًا فِيْ جَمِيْعِ الْأَقْوَالِ وَ الْأَفْعَالِ وَ الْأَحْوَالِ وَ جَمِيْعِ مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرَاتِ وَ أَنْ تَدْفَعَ عَنْ كُلِّ شَرٍّ وَ نُقْمَةٍ وَ مِحْنَةٍ قَدِ اسْتَحْقَقْنَاهَا مِنْ غَفْلَتِنَا وَ ذُنُوْبِنَا فَإِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ وَ قَدْ قُلْتَ وَ قَوْلُكَ الْحَقُّ وَ يَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ اللهم بِحَقِّ مَنْ لَطَفَتْ بِهِ وِجْهَتُهُ عِنْدَكَ وَ جَعَلَتِ اللُّطْفَ الْخَفِيَّ تَابِعًا لَهُ حَيْثُ تَوَجَّهَ أَسْأَلُكَ أَنْ تَوَجَّهَنَا عِنْدَكَ وَ أَنْ تُخْفِيْنَا بِخَفِيِّ لُطْفِكَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Kemudian bersalaman dengan para jamaah yang hadir, dimulai dari syaikh (guru mursyid). Khataman tarekat ini dapat dilakukan secara sendirian (munfaridan) atau bersama-sama dengan orang banyak (jamaah), waktunya tidak ditentukan (bisa siang atau malam), tapi yang resmi dari mursyid dilaksanakan setelah salat asar.

Demikian prosesi khataman yang merupakan paket-paket zikir. Paket zikir tersbut merupakan perhatian terhadap pembacaan Al-Qur’an yang mengikat diri dengan berbagai zikir sunnah dan doa-doa ma’tsur dan Hadis–Hadis yang shahih.

Sumber: Alif.ID

179. Pembaiatan

Dalam pelaksanaan zikir, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah melakukan beberapa tata acara amaliyah yang sudah ditetapkan, seperti baiat. Prosesi pembaiatan dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah biasanya dilaksanakan setelah calon murid mengetahui terlebih dahulu hal ihwal tarekat tersebut, terutama menyangkut kewajiban-kewajiban,  termasuk tata cara berbaiatSetelah merasa mantap dan mampu, murid pun datang menghadap mursyid untuk dibaiat.

Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrah al-Fikriyah halaman 1-3, bahwa proses pembaiatan mursyid kepada muridnya dilakukan sebagai berikut:

  1. Dalam keadaan suci, murid duduk menghadap mursyid dengan posisi duduk tawarruk (kebalikan duduk tawarruk dalam shalat). Dengan penuh kekhusyukan, taubat, dan menyerah diri sepenuhnya kepada mursyid untuk dibimbing.
  2. Selanjutnya murid bersama-sama dengan mursyid membaca kalimat berikut ini;
  1. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اللهم افْتَحْ لِيْ بِفُتُوْحِ الْعَارِفِيْنَ 7×
  2. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى الْحَبِيْبِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلْهَادِيْ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
  3. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. أَسْتَغْفِرُ اللهِ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ 3×
  4. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ 3×
  5. Kemudian syaikh (mursyid) membaca;

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 3×

  1. Dan kemudian murid (salik) menirukan ucapan syaikh (mursyid);

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 3×

  1. Selanjutnya diakhiri dengan bacaan;

سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ

  1. Kemudian keduanya (mursyid dan murid) membaca Salawat Munjiyat seperti di bawah ini;

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَ الْآفَاتِ وَ تَقْضِى لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ وَ تُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَ تَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَ تُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَ بَعْدَ الْمَمَاتِ 1×

  1. Kemudian membaca ayat;

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً، (الفتح: 10) 1×

  1. Setelah itu menghadiahkan al-Fatihah kepada Rasulullâh saw, para masyayikh ahli silsilah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah khususnya kepada syaikh Abdul Qâdir al-Jailani dan syaikh Abu Qâsim al-Junaidi a1-Baghdadi, 1 x
  2. Kemudian syaikh (mursyid) berdoa untuk muridnya
  3. Selanjutnya syaikh (mursyid) memberikan tawajjuh kepada murid (salik) sebanyak 1000 x atau lebih.

Tawajjuh ini dilaksanakan dengan cara memejamkan kedua mata rapat-rapat, mulut juga ditutup rapat-rapat, dengan menyentuhkan lidah ke langit-langit mulut. Dengan menyebut nama Allah (Allah.Allah.Allah) dalam hati 1000 kali, dengan dikonsentrasikan (terfokus) ke arah sanubari. Demikian juga murid melaksanakan hal yang serupa.

Itulah prosesi pembaiatan yang merupakan pembelajaran (talqin) dua macam zikir sekaligus yaitu Nafi Itsbat (Qadiriyah) dan Zikir Latha’if (Naqsyabandiyah). Baru pembaiatan selanjutnya hanya untuk zikir latha’if saja, sampai tujuh kali. Dan pembaiatan untuk mengamalkan murâqabah.

Dari segi prosesinya, pembaiatan yang ada dalam tarekat ini jelas berbeda dengan prosesi yang ada dalam tarekat induknya. Di dalam Tarekat Qadiriyah, pembaiatan hanya untuk zikir nafi itsbat dengan didahului salat sunnah dua rakaat. Prosesi ijab qabul pun eksplisit, serta pemberian wasiat dan pesan-pesan yang berlaku kesufian oleh mursyid kepada murid (salik) yang menandai berakhirnya pembaiatan.

Demikian juga ritual tersebut berbeda dengan yang ada dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah.

Selain adanya perbedaan dalam proses pembaiatan antara ketiga tradisi tersebut, tentu terdapat banyak persamaan, yaitu:

  1. Murid harus duduk menghadap mursyid dalam keadaan suci
  2. Hadiah al-Fatihah dan istighfâr sebelum pentalqinan zikir
  3. Mendengarkan dan menirukan talqin zikir bagi murid, dalam keadaan mata terpejam
  4. Adanya kesetiaan murid terhadap semua aturan dan kebijaksanaan mursyid
  5. Doa mursyid untuk murid

Tata Cara Bertarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyyah

Seorang yang akan memasuki dan mengambil Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah ini maka dia harus melaksanakan kaifiah atau tata cara sebagai berikut:

  1. Datang kepada guru mursyid untuk memohon izin memasuki tarekatnya dan menjadi murid Hal ini dilakukan sampai memperoleh izinnya
  2. Mandi taubat yang dilanjutkan dengan salat taubat dan salat hajat
  3. Membaca istighfâr 100 kali
  4. Shalat istikharah, yang bisa dilakukan sekali atau lebih sesuai dengan petunjuk sang mursyid
  5. Tidur miring ke arah kanan dengan menghadap kiblat sambil membaca salawat Nabi sampai tidur.

Setelah hal tersebut di atas sudah dilakukan, selanjutnya adalah: pelaksanaan talqin zikir dan baiat dengan cara kurang lebihnya seperti tersebut di atas. Melakukan puasa (puasa sambil menghindari makanan yang bernyawa atau yang berasal dari yang bernyawa) selama 41 hari. Baru setelah itu, dia akan tercatat sebagai murid tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.

Adapun setelah menjadi murid tarekat ini, dia berkewajiban untuk mengamalkan wirid-wirid sebagai berikut:

  1. Diawali dengan membaca:

إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَ رِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 3×

  1. menghadiahkan al-Fatihah kepada Ahli Silsilah Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.
  2. Membaca Surat al-Ikhlâs 3 kali, a1-Falaq 1 kali dan al-Nâs 1 kali.
  3. Membaca Shalawat Ummi 3 kali.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ

  1. Membaca istighfâr 3 kali.

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

  1. Menghadirkan rupa wajah (rabitah) kepada guru mursyid sambil membaca:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ حَيٌّ بَاقٍ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ حَيٌّ مَوْجُوْدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ حَيٌّ مَعْبُوْدٌ

  1. Membaca zikir nafi itsbat 65

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

Setelah itu dilanjutkan dengan;

  1. Membaca;

إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَ رِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ وَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 3×

  1. Menenangkan dan mengkonsentrasikan hati, kemudian kedua bibir dirapatkan sambil lidah ditekan dan gigi direkatkan seperti orang mati, dan merasa bahwa inilah nafas terakhirnya sambil mengingat alam kubur dan kiamat dengan segala kerepotannya.
  2. Kemudian dengan hatinya mewiridkan zikir ismudz dzat sebanyak 1000

Keterangan:

  • Semua wirid tersebut dilakukan setiap kali setelah salat maktubah
  • Untuk zikir ismudz dzat, kalau sudah bisa istiqamah setelah salat maktubah maka ditingkatkan dengan ditambahi setelah qiyamul lail (salat malam) dan setelah salat dhuha.
  • Untuk zikir ismudz dzat boleh dilakukan sekali dengan cara dirapel 5000 kali (bagi yang masih ba’da maktubah) atau 7000 kali (bagi yang sudah ditingkatkan).
  • Sikap duduk waktu melaksanakan wirid tersebut tidak ada keharusan tertentu. Jadi bisa dengan cara duduk tawarruk, iftirasy atau bersila.
  • Bacaan-bacaan, aurad dan pelaksanaan amalan zikir lainnya yang ada dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah ini secara lebih detail dan terperinci, dapat diketahui apabila seseorang telah masuk dan menjadi anggotanya dan meningkat ajarannya.

Sumber: Alif.ID

180. Suluk Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Istilah suluk (merambah jalan kesufian) terdapat dalam Al-Qur’an Surat an-Nahl; 69.

فَاسْلُوْكِىْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً ) النحل: 69 (

…. dan tempuhlah jalan Tuhan-mu yang telah dimudahkan (bagimu).

Hakikat suluk adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela (madzmumah) dan kemaksiatan lahir batin kemudian mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dengan melakukan ketaatan lahir dan batin, (Syaikh Muhammad Ibrahim Ibnu Ibad, 1996. halaman: 504).

Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb fi Mu’amalati ‘Allamul Ghuyub, halaman: 493-495. Seorang salik ketika suluk atau khalwat  (menyendiri) hendaknya melaksanakan 20 langkah sebagai berikut;

  1. Berniat ikhlas, tidak riya’, dan sum’ah (tidak pamer atau bermegah-megahan) baik secara lahir dan batin.
  2. Meminta ijin doa dari guru mursyid dan tidak boleh memasuki tempat suluk tanpa seizin guru mursyid selama masa pendidikan.
  3. Mengasingkan diri (‘uzlah), mengurangi tidur (membiasakan terjaga), dan membiasakan lapar serta berzikir menjelang suluk.
  4. Memasuki tempat khalwat dengan melangkah kaki kanan, seraya memohon perlindungan kepada Allah Swt. dari godaan setan serta membaca basmalah dan Surat al-Nâs sebanyak 3 x, kemudian melangkah kaki kiri seraya membaca;

اَللّٰهُمَّ وَلِيِّ فِى الدُّنْيَا وَاْﻵخِرَةِ كُنْ لِيْ كَمَا كُنْتَ لِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْزُقْنِى مَحَبَّتَكَ، اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنِى حُبَّكَ وَاشْغُلْنِيْ بِـجَمَالِكَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُخْلِصِيْنَ، اَللّٰهُمَّ امْحُ نَفْسِى بِـجَذْبَاتِ ذَاتِكَ يَا مَنْ لاَ أَنِيْسَ لَهُ. رَبِّ لاَتَذَرْنِى فَرْدًا وَاَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ.

kemudian berdiri tegak seraya mengucapkan;

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ … ×١١

Setelah itu melaksanakan shalat dua rakaat, dengan membaca Surat al-Fatihah dan ayat kursi di Rakaat pertama dan di rakaat kedua membaca al-Fatihah serta kemudian dilanjutkan dengan membaca;

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾

Dan sesudah salam, membaca; يَافَتَّاحُ sebanyak 500 x, dan setelah itu barulah berzikir menurut yang diajarkan oleh guru mursyid.

  1. Senantiasa berwudu (selalu suci dari hadats)
  2. Tidak mengharap karamah (kemuliyaan)
  3. Tidak diperkenankan bersandar ke dinding
  1. Selalu membayangkan wajah guru mursyid
  2. Senantiasa berpuasa
  3. Diam, kecuali berzikir kepada Allah Swt. tidak berbicara kecuali karena dharurat syar’i
  1. Tetap terjaga dan waspada terhadap empat musuh; setan, dunia, hawa nafsu, dan syahwat. Dengan menyampaikan segala sesuatu yang di lihat kepada mursyid
  2. Jauh dari keramaian
  3. Tetap menjaga salat jum’at dan shalat berjama’ah, karena tujuan pokok ber-khalwat adalah mengikuti sunnah Rasul
  1. Jika terpaksa keluar, hendaklah menutupi kepala sampai leher dengan menunduk
  2. Tidak boleh tidur, kecuali tertidur dalam keadaan suci dari hadats dan tidak diperkenankan tidur untuk mengistirahatkan badan dari rasa lelah
  3. Menjaga pertengahan antara lapar dan kenyang
  1. Jangan membukakan pintu kepada orang yang meminta berkah kepadanya, kecuali kepada syaikh (mursyid)
  2. Semua nikmat yang diperoleh salik harus dianggap dari syaikh (mursyid), sedangkan syaikh (mursyid) berasal dari Rasulullâh Muhammad saw.
  1. Menghilangkan (menafikan) segala sesuatu yang timbul di dalam hati, baik ataupun buruk, karena hal itu akan memisahkan hati dari atsarnya zikir
  2. Salik senantiasa melanggengkan zikir dengan cara yang telah diperintahkan oleh syaikh (mursyid)

Adab sebelum Zikir

  1. Bertaubat yakni menjauhi segala sesuatu baik berupa ucapan, pekerjaan, dan kehendak yang tidak bermanfaat
  2. Mandi, seperti yang dilakukan Abu Yazid al-Busthami setiap hendak berzikir beliau wudu dan berkumur air mawar
  3. Tenang dan diam sehingga hati hanya disibukkan dengan berzikir Allah-Allah, kemudian lisan menyesuaikan dengan zikir Lâilâha illallah
  4. Memohon bantuan dengan hati ketika berzikir sesuai keinginan syaikh (mursyid)
  5. Meyakini bahwa memohon bantuan dari mursyid pada hakikatnya adalah memohon bantuan dari Nabi Muhammad saw.

Adab dalam Zikir

  1. Duduk ditempat yang suci sebagai mana duduk ketika salat
  2. Meletakkan dua telapak tangan di atas kedua paha
  3. Menggunakan wangi-wangian dalam majlis zikir
  4. Menggunakan pakaian bagus dan halal
  1. Memilih tempat yang gelap jika dimungkinkan
  2. Memejamkan mata karena ketika mata terpejam maka semua panca indra menjadi tertutup dan hal itu menjadi sebab terbukanya hati sebagai indra keenam
  3. Membayangkan rupa mursyid diantara kedua mata
  4. Sungguh-sungguh dalam berzikir sehingga menjadi sama bagi salik antara zikir sirri dan zikir jahri
  1. Ikhlas yakni membersihkan amal dari segala sesuatu yang mengotori karena dengan berzikir dan ikhlas salik bisa sampai pada derajat shiddiqiyah dengan syarat tidak menyimpan segala sesuatu yang timbul di dalam hati dari mursyid meskipun tercela
  2. Tidak memilih shighat zikir sendiri
  3. Merenungkan makna zikir dengan hatinya
  4. Menafikan segala sesuatu yang timbul didalam hati selain Allah

Adab sesudah Zikir

  1. Tenang, yakni ketika salik diam, khusyu’, dan hatinya hadir (muraqabah kepada Allah), maka apabila hendak berzikir salik dengan mudah dapat mewujudkan atsar zikir yang dihasilkan di dalam hatinya
  2. Mengikat dengan kuat jiwanya secara terus-menerus karena itu lebih mempercepat dalam memberikan penerangan mata hati, menghilangkan hijab, dan dapat mencegah nafsu dan setan.
  3. Mencegah minum air setelah berzikir karena zikir itu menimbulkan rasa rindu kepada Allah yang menjadi tujuan utama berzikir. Sedangkan minum bisa menghilangkan rasa rindu tersebut (Bahjah as-Saniyah, halaman: 75-77).

Sumber: Alif.ID

181. Rabitah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Pengertian rabitah atau wasilah adalah perantara guru (syaikh), yaitu murid berwasilah pada guru (syaikh). Menurut al-Khalidi dalam kitabnya Bahjah as-Saniyah halaman 64, rabitah adalah menghadirkan rupa guru atau syaikh ketika hendak berzikir.

Selanjutnya beliau menyebutkan 6 (enam) langkah cara rabitah, yaitu:

  1. Menghadirkan rupa guru (mursyid) didepan mata dengan sempurna
  2. Membayangkan kiri-kanan dengan memusatkan perhatian ruhaniah, sampai terjadi sesuatu yang ghaib
  3. Menghayalkan rupa guru (mursyid) di tengah-tengah dahi
  4. Menghadirkan rupa guru (mursyid) ditengah hati
  5. Membayangkan rupa guru di kening kemudian menurunkan di tengah hati
  6. Meniadakan (menafikan) dirinya dan menetapkan(menisbatkan) keberadaan guru (mursyid)

Disamping itu para ahli tarekat menggunakan dasar hukum rabitah dengan Firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surat al-Imrân: 200, sebagai berikut;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿ال عمران: ٢٠٠﴾

Hai orang-orang beriman, bersabarlah, teguhlah, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung

Cara Pengangkatan dan Kualifikasi Mursyid

Menurut al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb Fi Mua’amalati ’Alamil Ghuyub halaman  524 menyebutkan sebagai berikut;

  1. Seseorang yang alim yang dapat memenuhi kebutuhan murid dalam masalah fiqih dan akidah, minimal dalam hal-hal yang dapat menghilangkan kesamaran dan keraguan yang dapat rnenyelamatkan murid dalam suluk dan tidak bertanya kepada orang selainnya
  2. Seseorang yang ma’rifat, sempurna hati dan adabnya, bersih dari penyakit hati dan mengetahui bagaimana memelihara kesehatan hati
  1. Mempunyai sifat kasih sayang kepada orang Islam terutama kepada murid. Apabila ia melihat para murid tidak dapat memenuhi hasrat hatinya atau meninggalkan apa yang dicondonginya, maka ia akan memberi maaf setelah memberi nasehat, dan ia tidak memutuskan tarekatnya. Tidak mencari sebab untuk mencelakakan murid dan senantiasa merasa kasih sayang sampai mereka mendapat petunjuk
  2. Menutup aib para muridnya
  1. Membersihkan harta murid dan tidak tamak terhadap harta mereka
  2. Mengamalkan apa-apa yang diperintahkan Allah Swt. dan meninggalkan apa-apa yang dilarang sehingga ucapannya menghunjam ke hati
  3. Tidak duduk bersama-sama dengan murid kecuali sekedar ada hajat. Mengingatkan mereka tentang tarekat dan syariat seperti muthala’ah kitab, (diskusi, dan lain-lain) supaya hati mereka bersih dari segala kotoran dan bisikan hati, supaya mereka dapat beribadah dengan benar.
  1. Ucapannya selalu bersih dari campuran hawa nafsu dan bergurau, dan hal-hal yang tidak bermanfaat
  2. Merasa murah terhadap diri sendiri, tidak mengharap diagungkan dan dihormati, tidak memberi beban kepada murid dengan beban yang memberatkan mereka. Tidak terlalu banyak bersenang-senang atau bersusah-susah, dan tidak membuat mereka merasa sempit
  3. Apabila ada seorang murid yang terlalu sering duduk dekat dengannya dan hal itu dapat mengurangi atau menghilangkan kewibawaan, maka perintahkan kepadanya agar duduk tidak dekat dan tidak jauh dan dirinya, tetapi sedang saja.
  1. Apabila ia menyadari bahwa kehormatannya jatuh pada salah seorang murid, maka segera ia memalingkannya dengan pelan-pelan. Sebab dalam keadaan seperti itu murid adalah musuh yang paling besar
  2. Tidak lupa mengingatkan murid pada hal-hal yang membuat hati dan perilakunya bersih dan baik.
  1. Apabila ada seorang yang mengaku bermimpi atau mukasyafah atau musyahadah sesuatu, maka janganlah ia berkata tentang hal itu, tetapi ia memberikan keterangan kepada mereka keadaan yang dapat memalingkan hal tersebut, dan mengangkatnya pada yang lebih tinggi dan lebih mulia
  2. Apabila ia mengomentari apa yang ada pada murid dan menjelaskan keagungan hal itu maka ia melakukan kesalahan. Sebab murid merasa dirinya lebih tinggi. Terkadang hal ini dapat menjatuhkan kehormatan dirinya.
  1. Wajib melarang para murid berbicara dengan selain kawan-kawannya kecuali dalam keadaan darurat. Dan melarang mereka berbicara dengan sesama kawannya tentang keramat. Apabila ia membiarkannya maka ia telah berbuat kesalahan kepada mereka, sebab ia akan dianggap sombong dan merasa agung sendiri
  2. Mempunyai tempat menyendiri (khalwat) yang tidak memunkirikan muridnya masuk kecuali kepercayaannya, dan mempunyai tempat khalwat khusus untuk berkumpul dengan para sahabatnya.
  3. Diupayakan murid tidak dapat melihat segala gerak-gerik yang bersifat pribadi dan tidak menceritakan rahasia kepada mereka. Jangan sampai mereka tahu tidurnya, makannya, minumnya atau lainnya. Sebab seorang murid jika melihat sesuatu hal di atas terkadang berkurang rasa hormatnya karena mereka tidak mengetahui perilaku orang-orang yang sempurna itu. Tapi juga harus menghardik murid jika ia mengetahui ada muridnya yang meneliti gerak-geriknya yang bersifat pribadi demi menjaga kemaslahatan bagi muridnya.
  1. Jangan membiarkan jika ada murid yang banyak makan. Sebab jika dibiarkan maka hal itu dapat merusak murid. Sebab kebanyakan manusia adalah budak dari perutnya
  2. Melarang mereka duduk bergaul dengan murid guru yang lain. Sebab bahaya dan bergaul itu cepat menular pada murid. Tetapi apabila ia melihat dia tetap setia kepadanya dan tidak dikhawatirkan hatinya goyah maka tidak apa-apa.
  1. Menjaga diri dari mendatangi pemimpin (pemerintahan) supaya tidak diikuti oleh muridnya. Sebab jika ia mendapat dosa maka ia juga mendapat dosa dari muridnya. Sesuai dengan hadis, “Barang siapa yang membuat sesuatu yang buruk maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkannya. “(HR. Muslim dan Tirmidzi). Sebab lumrahnya orang yang dekat dengan penguasa, ia akan sulit ingkar dan mencegah jika mereka melakukan hal yang dilarang syara’, seakan-akan mereka melakukan itu atas kemurahan dan ketetapannya.
  1. Berkata dengan mereka dengan perkataan yang lemah lembut. Hindari mencela atau membenci atau memusuhi mereka supaya mereka tidak lari darinya
  2. Apabila ia memanggil salah seorang murid atau menjawab panggilan harus tetap memelihara kehormatan diri.
  3. Apabila duduk disamping murid maka duduklah dengan tenang, jangan banyak menoleh kepada mereka. Tidak tidur di depan mereka. Tidak menjulurkan kaki di depan mereka. Tidak memejamkan mata. Tidak merendahkan suaranya dan tidak melakukan akhlak yang buruk, sebab mereka meyakini bahwa semuanya adalah baik dan mereka akan menirunya.
  4. Apabila ada seorang murid masuk kepadanya maka janganlah cemberut. Dan apabila ia mohon diri dari hadapannya maka do’akanlah dia tanpa diminta. Apabila masuk atau menemui salah seorang murid, maka tetaplah menjaga tingkah laku yang baik.
  5. Apabila ada seorang muridnya yang pulang atau pergi maka telitilah apa sebabnya. Apabila sakit maka tengoklah, Apabila karena hajat maka bantulah, Atau ia mempunyai uzhur maka doakanlah dia.

Sumber: Alif.ID

182. Muraqabah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Muraqabah

Muraqabah memiliki perbedaan dengan zikir terutama pada obyek pemusatan kesadaran (kosentrasinya). Zikir memikili obyek perhatian pada simbol, yang berupa kata atau kalimat, sedangkan muraqabah menjaga kesadaran atas makna, sifat, qudrat, dan iradat Allah Swt.

Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrah al-Fikriyah halaman: 11 mengemukakan 20 macam Muraqabah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu;

  1. Muraqabah Ahadiyah, muraqabah ini adalah mawas diri atas sifat Maha esa Allah Swt. Ajaran muraqabah ini ada dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam mawas diri diimajinasikan datangnya al-Fayd al-Rahmani (pancaran karunia Allah Swt.) berasal dari enam arah, yaitu: atas-bawah, muka-belakang, dan kanan-kiri. Sedangkan dalam Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddadiyah (NM), muraqabah hati kesadaran dipusatkan dalam lima lathaif secara bertahap, yaitu Lathifatul qalbi, Lathifatul ruhi, Lathifatul sirri, Lathifatul khafi, dan Lathifatul akhfa.
  1. Muraqabah Ma’iyyah, Jenis muraqabah ini ada dalam kedua tarekat induknya (Qadiriyah dan Naqsyabandiyah). Akan tetapi dalam hal teknis lebih dekat dengan ajaran muraqabah yang ada pada Tarekat Qadiriyah. Muraqabah Ma’iyah mawas diri akan makna kebersamaan Allah Swt. dengan dirinya
  2. Muraqabah Aqrabiyah, Arti dari muraqabah ini adalah memperhatikan dengan seksama dalam kontemplasi akan makna dan hal kedekatan Allah Swt. Namanya sama dengan yang ada dalarn Tarekat Naqsyabandiyah, sedangkan filosofinya lebih dekat dengan yang ada dalam Tarekat Qadiriyah.
  1. Muraqabah Wilayatul ‘Ulya, Muraqabah jenis ini hanya ada dalam ajaran Tarekat Naqsyabandiyah. Walaupun menggunakan nama yang berbeda (terkadang juga disebut dengan nama yang sama), tetapi cara dan sasarannya sama. Sedangkan dalam Tarekat Qadiriyah jenis muraqabah ini terlaksana dalam muraqabah yang ketujuh (sama sasaran dan dalilnya)
  2. Muraqabah Kamalatun Nubuwwah, Yaitu muraqabah atas qudrat Allah Swt. yang telah menjadikan sifat-sifat kesempurnaan kenabian.
  1. Muraqabah Kamalatul Risalat, adalah kontemplasi atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan kesempurnaan sifat kerasulan
  2. Muraqabah Kamalatul Ulul Azmi, adalah muraqabah atas diri Allah Swt. yang telah menjadikan para Rasul yang bertitel ulul azmi. Ketiga jenis muraqabah di atas tersebut hanya terdapat dalam ajaran Naqsyabandiyah Mujaddidiyah (NM).
  1. Muraqabatul Mahabbah fi al-Dairat al-Khullat, Yaitu muraqabah atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan hakikat Nabi Ibrahim sebagai khalilullah (kekasih Allah Swt.).
  2. Muraqabatul Mahabbah fi al-Dairat al-Sirfa, Yaitu muraqabah atas Allah Swt. yang telah menjadikan hakikat Nabi Musa a.s, yang sangat dikasihi, sehingga bertitel
  1. Muraqabah al-Dzatiyah al-Muntazibal bil Mahabbah, Yaitu muraqabah kepada Allah Swt, yang telah menjadikan hakikat Nabi Muhammad saw. yang telah menjadikan kekasihnya yang asal dan dicampur dengan sifat pengasih
  2. Muraqabah al-Mahbubiyah al-Sirfah, Yaitu muraqabah kepada Allah Swt. yang telah menjadikan hakikat Nabi Ahmad yang memiliki sifat pengasih yang mulus. Keempat jenis muraqabah ini (no. 8, 9, 10, dan 11) merupakan pendalaman dari muraqabah ulul azmi yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah al-Mujaddadiyah.
  1. Muraqabah al-Hubb al-Sirfi, Yaitu muraqabah kepada Allah Swt. yang telah mengasihi orang-orang mukmin (dengan tulus) yang cinta kepada Allah Swt, para malaikat, para Rasul, para nabi dan wali, cinta pada para ulama dan kepada sesama mukmin. Muraqabah ini di dalam Tarekat Naqsyabandiyah disebut dengan Muraqabah al-Mahabbah.
  2. Muraqabah la Ta’yin, Adalah Muraqabah akan hak Allah Swt. yang tidak dapat dinyatakan dzat-Nya, oleh semua makhluk tanpa kecuali. Muraqabah jenis ini tidak terdapat dalam kedua tarekat induknya. Akan tetapi tehnik dan sasaran dan muraqabah sudah tercakup di dalam muraqabah ahadiyah pada Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah.
  1. Muraqabah haqiqatul Ka’bah, Adalah muraqabah kepada Allah Swt, dzat yang telah menciptakan hakikat ka’bah sebagai kiblatnya orang yang bersujud kepada Allah Swt.
  2. Muraqabah haqiqatul Al-Qur’an, Muraqabah ini adalah mawas diri atas Allah Swt. yang telah menjadikan hakikat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang merupakan ibadah bagi pembacanya.
  1. Muraqabah haqiqatul Sirfah, adalah muraqabah atas Allah Swt. yang telah mewajibkan kepada para hambanya untuk melakukan shalat, yang terdiri dari beberapa ucapan dan perbuatan
  2. Muraqabah Dairat al-Ma’budiyah al-Sirfah, adalah muraqabah dengan berkontemplasi akan Allah Swt. yang memiliki hak untuk disembah oleh semua makhluk-Nya
  3. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Dairat al-Ma, Yaitu muraqabah atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan hakikat Nabi Ibrahim sebagai Khalîlullâh.
  1. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Dairat al-Saniyah, yaitu muraqabah atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan hakikat Nabi Musa a.s. yang sangat dikasihi, sehingga bertitel kalimullâh
  2. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Dairat al-Qaus, Ketiga jenis muraqabah ini adalah jenis mawas diri atas kecintaan kepada Allah Swt. pada orang-orang yang beriman dan kecintaannya orang mukmin kepada Allah Swt. Ketiganya merupakan pendalaman dan perincian atas muraqabah al-Aqrabiyah dan al-Mahabbah yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah.

Adab dengan Sesama Teman

Prinsip-prinsip  ajaran etika (adab), antara sesama teman (ikhwan) ini diantaranya disebutkan oleh al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb Fi Mua’amalati ’Allamil Ghuyub halaman 535 dan Syaikh Abdul Qâdir al-Jailani dalam kitabnya yang berjudul al-Ghunyah LiThalib al-Thariq al-Haqsebagai berikut;

  1. Hendaknya kamu menyenangkan mereka dengan sesuatu yang menyenangkan dirimu, dan mengistimewakan dirimu sendiri
  2. Jika bertemu mereka, hendaknya bersegera mengucapkan salam, mengulurkan tangan (mengajak berjabat tangan), dan bermanis-manis kata dengan mereka.
  1. Menggauli mereka dengan akhlak yang baik, yaitu memperlakukan mereka sebagaimana kamu suka diperlakukan
  2. Merendahkan diri kepada mereka
  3. Usahakan agar mereka rela (suka), pandanglah bahwa mereka lebih baik dan dirimu. Bertolong menolonglah dengan mereka dalam kebaktian, takwa dan cinta kepada Allah Swt. Jika kamu lebih tua, bimbinglah mereka kepada kebajikan. Dan jika kamu lebih muda, maka mintalah bimbingan kepada mereka.
  1. Berlemah lembutlah dalam menasehati kawan, jika kamu melihat mereka menyimpang dari kebenaran
  2. Perbaikilah prasangkamu kepada mereka. Jika kamu melihat aib pada mereka katakan pada diri anda sendiri “Jangan-jangan ini juga ada pada saya”, karena seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lain.
  1. Jika ikhwan minta izin (keringanan), maka kabulkan. Walaupun kau tahu bahwa ia adalah pembohong
  2. Jika ada pertikaian antara sesama kawan, maka damaikanlah di antara keduanya. Dan jangan memihak salah satu di antara keduanya
  3. Jadikanlah kamu teman dalam semua keadaan. Jangan sampai melupakan berdoa untuk mereka, agar diampuni oleh Allah Swt.
  1. Hendaknya kalian memberi tempat duduk kepada kawan dalam majelis
  2. Hendaknya membatasi berpaling dari mereka, dan mendukung mereka secara moral, karena kehormatan adalah kewajiban
  3. Tunaikan janji, jika kamu berjanji, karena janji itu dihadapan Allah Swt. adalah hutang, dan menyalahi janji termasuk nifaq.

Adab kepada Diri Sendiri

Dalam menempuh jalan menuju Allah Swt. (suluk), seorang salik harus menjaga diri agar tetap beradab pada diri sendiri. Abdul Wahab al-Sya’rani menjelaskan panjang lebar tentang hal ini, demikian juga al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb fi Mua’amalat ’Allâmil Ghuyûb halaman: 531 yang secara garis besar seorang murid harus;

  1. Memegangi prinsip tingkah laku yang lebih sempurna jangan sampai seseorang bertindak yang menjadikan dia orang tercela, dan mengecewakan
  2. Untuk maksud sebagaimana tersebut di poin 1, maka apabila mempunyai janji hendaklah segera dipenuhi, apabila dipercaya jangan sampai berkhianat, dan apabila bergaul dengan yang lebih tua, hendaklah senantiasa memberi penghormatan, terhadap yang lebih muda harus mengasihi. Jika terpaksa terjerumus atau terjebak pada perkataan dan, atau perbuatan yang tidak pantas maka segera menjauhinya.
  1. Hendaklah para murid bertingkah laku dan menerapkan adab (tata krama), senantiasa meyakinkan dirinya, bahwa Allah Swt. senantiasa mengetahui semua yang diperbuat hamba-Nya, baik lahir maupun batin
  2. Para murid hendaknya berusaha untuk bergaul dengan orang-orang yang baik akhlaknya dan menjauhi orang-orang yang kurang baik akhlaknya.
  1. Bagi para murid juga tidak diperbolehkan untuk berlebih-lebihan dalam hal makan, minum, berbusana, dan berhubungan seksual
  2. Hendaknya bagi para murid senantiasa berpaling dari cinta duniawi, kepada mendambakan ketinggian derajat akhirat.
  3. Jika murid terbuai oleh hawa nafsu misalnya berat melaksanakan ketaatan maka hendaklah senantiasa merayu dirinya sendiri, dan meyakinkan diri bahwa payahnya hidup di dunia ini sangat pendek waktunya.

Sumber: Alif.ID

183. Tanya Jawab Tasawuf dan Tarekat

Tanya: Bagaimana hukum masuk tarekat dan mengamalkannya?

Jawab: Jikalau yang dikehendaki masuk tarekat itu belajar membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah, dan menghiasi sifat-sifat yang dipuji maka hukumnya fardhu ‘ain. Hal ini seperti Hadis Rasulullah saw, yang artinya: “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan”.

Akan tetapi kalau yang dikehendaki masuk tarekat mu’tabarah itu khusus untuk zikir dan wirid, maka termasuk sunnah Rasulullah saw.

Adapun mengamalkan zikir dan wirid setelah baiat, maka hukumnya wajib, untuk memenuhi janji. Tentang mentalqinkan (mengajarkan) zikir dan wirid kepada para murid, hukumnya sunnah. Karena sanad tarekat kepada Rasulullah saw, itu sanad yang sahih.

وَتَعَلَّمَنْ عِلْمًا يُصَحِّحُ طَاعَةً، البيت

Pelajarilah ilmu yang membuat sahnya ibadah, (al-Adzkiyâ’).

صَحَّتْ أَسَانِيْدُ الْأَوْلِيَاءِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ صَحَّ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلُّنِيْ عَلَى أَقْرَبِ طُرُقٍ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلِهَا عَلَى عِبَادِهِ وَأَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَعَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اللهُ . إهـ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَأَوْفُوْا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُوْلًا. (الإسراء: 34) إهـ (المعارف المحمدية، صحيفة: 81)

Sanad para wali kepada Rasulullah saw. itu benar (sahih), dan sahih pula Hadis bahwa Ali r.a. pernah bertanya kepada Nabi saw. Kata Ali, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan paling utama bagi Allah”.

Rasulullah saw. bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan Allah”. Dasar lainnya adalah firman Allah Swt. “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (al-Isrâ’: 34), (al-Ma`ârif al-Muhammadiyah, halaman: 81).

Murid Pindah Tarekat

Tanya: Apakah boleh seorang murid tarekat pindah dari satu tarekat kepada tarekat yang lain?

Jawab: Haram pindah dari satu tarekat kepada tarekat yang lain. Namun dapat dikatakan boleh pindah, apabila dia dapat menetapi kepada tarekat yang sudah dimasuki dan istiqamah (tekun) pada tuntunannya.

وَمَنْ ظَفَرَ بِشَيْخٍ بِالْوَصْفِ الْأَوَّلِ أَوِ الثَّانِيْ فَحَرُمَ عَلَيْهِ عِنْدَهُمْ أَنْ يَتْرُكَهُ وَيَنْتَقِلَ إِلَى غَيْرِهِ

Barangsiapa telah melaksanakan baiat kepada seorang mursyid, dan mampu melaksanakan isi baiatnya, dan telah mendapat pancaran rohani darinya dengan sifat yang pertama dan kedua, maka haram baginya – menurut mereka (para ulama) – meninggalkan mursyid tersebut dan beralih ke mursyid yang lain, (al-Fatâwa Hadisiyah, halaman: 50)

اِعْلَمْ أَنَّ الطَّرَائِقَ الْمَأْثُوْرَةَ الْمَشْهُوْرَةَ الْمُعَنْعَنَةَ الْوَاصِلَةَ مِنَ السَّلَفِ إِلَى الْخَلَفِ كَالْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ، يَجُوْزُ الْاِنْتِقَالُ مِنْ مَذْهَبٍ إِلَى آخَرَ بِشَرْطِ الْوَفَاءِ فِيْمَا دَخَلَ فِيْهِ وَالْاِسْتِقَامَةِ بِآدَابِهِ

Ketahuilah bahwa tarekat-tarekat yang ma’tsur, yang masyhur, yang sanadnya bersambung dari para guru tarekat terdahulu sampai belakangan adalah seperti empat madzhab dalam hal perpindahan dari satu madzhab ke madzhab yang lain. Boleh, namun dengan syarat bidang yang dimasuki oleh orang yang berpindah madzhab itu harus utuh dengan senantiasa menetapi tata kramanya (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 114)

Sumber: Alif.ID

184. Masuk Tarekat Secara Bersama

Tanya: Apakah boleh seorang masuk tarekat Naqsyabandiyah dan lainnya secara bersama? Apakah demikian itu tidak seperti sebutir telur dierami dua induk ayam, sehingga akhirnya menjadi rusak?

Jikalau yang dikehendaki dalam soal itu merangkai dua tarekat atau lebih banyak, maka boleh dan tidak mengapa.

وَأَجَازَهُ (أَيِ الشَّيْخُ الدَّهْلَوِيُّ إِيَّاهُ) بِالْإِرْشَادِ، وَخَلَّفَهُ (أَيْ جَعَلَهُ خَلِيْفَةً) الْخِلَافَةَ التَّامَّةَ فِى الطَّرِيْقَةِ الْخَمْسَةِ النَّقْشَبَنْدِيَّةِ وَالْقَادِرِيَّةِ وَالسُّهْرَاوَرْدِيَّةِ وَالْكُبْرَاوِيَّةِ وَالْجِسْتِيَّةِ

Syaikh Dahlawi menunjuknya sebagai mursyid dan khalifah dengan kekhalifahan yang sempurna dalam lima tarekat, yaitu Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah, dan Jistiyah, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 82)

Tanya: Apakah boleh orang yang tidak mempunyai sanad yang sambung kepada Rasulullah mengajarkan tarekat kepada murid? Apakah boleh memberi ijazah kepadanya?

Tidak boleh, kalau tarekat itu tarekat mu’tabarah seperti tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Khalidiyah dan sesamanya, yaitu tarekat yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah.

فَمَنْ لَمْ تَتَّصِلْ سِلْسِلَتُهُ إِلَى الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ الْفَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةُ وَالْإِجَازَةُ

Orang yang silsilah/sanadnya tidak bersambung ke hadirat Nabi saw itu terputus dari pancaran rohani dan ia bukanlah pewaris Rasulullah saw. serta tidak boleh membaiat dan memberi ijazah, (Khazînah al-Asrâr, halaman: 188)

وَقَدْ أَجْمَعَ السَّلَفُ كُلُّهُمْ عَلَى أَنَّ مَنْ لَمْ يَصِحَّ لَهُ نَسَبُ الْقَوْمِ وَلَا إِذْنَ فِى أَنْ يَجْلِسَ لِلنَّاسِ لَا يَجُوْزُ لَهُ الصَّدْرُ إِلَى إِرْشَادِ النَّاسِ وَلَا أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهِمْ عَهْدًا وَلَا أَنْ يُلَقِّنَهُمْ ذِكْرًا وَلَا شَيْئًا مِنَ الطَّرِيْقِ …إلخ

Semua ulama salaf sepakat bahwa orang yang silsilahnya tidak bersambung kepada guru-guru tarekat dan tidak mendapat izin untuk memimpin umat di majlis tarekat, tidak boleh menjadi mursyid, tidak boleh membaiat, tidak boleh mengajarkan zikir dan amalan-amalan lain dalam tarekat, (Ushûl al-Tharîq, halaman: 89).

وَلَا يَجُوْزُ التَّصَدُّرُ لِلْمَشِيْخَةِ وَالْإِرْشَادِ إِلَّا بَعْدَ التَّرْبِيَةِ وَالْإِذْنِ كَمَا قَالَتْ الْأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ إِذْ لَا يَخْفَى أَنَّ مَنْ تَصَدَّرَ لِلْمَشِيْخَةِ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَمَا يَضُرُّهُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُهُ وَعَلَيْهِ إِثْمُ قَاطِعِ الطَّرِيْقِ فَهُوَ بِمَعْزِلٍ عَنْ رُتْبَةِ الْمُرِيْدِيْنَ الصَّادِقِيْنَ فَضْلًا عَنِ الْمَشَايِخِ الْعَارِفِيْنَ

Tidak boleh menjadi guru tarekat dan mursyid kecuali setelah mendapat penempaan dan izin, sebagaimana kata para imam, karena sudah jelas bahwa orang yang menjadi guru tarekat tanpa mendapat izin itu bahayanya lebih besar daripada kemaslahatannya, dan ia memikul dosa sebagai pembegal/penjambret tarekat, serta jauh dari derajat murid yang benar, apalagi dari derajat guru tarekat yang arif, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 534).

Tanya: Apakah boleh diamalkan dan diikuti ucapan sebagian wali yang menyalahi hukum syara’?

Tidak boleh diamalkan dan tidak boleh dijadikan pedoman hukum.

وَالْخَطَأُ الْكَشْفِيُّ عِنْدَ الْأَوْلِيَاءِ بِمَنْزِلَةِ الْخَطَأِ الْاِجْتِهَادِيِّ إِلَّا أَنَّهُ لَا يُعْمَلُ بِهِ وَلَوْ صَحَّ لَا يُبْنَى عَلَيْهِ حُكْمٌ عِنْدَهُمْ مَا لَمْ يُسَاعِدْهُ الظَّاهِرُ فَاحْفَظْ هَذَا فَإِنَّهُ نَفِيْسٌ. إهـ

Ucapan para wali yang keliru menurut syariat yang diucapkan dalam keadaan kasyaf, kedudukannya seperti kekeliruan dalam ijtihad, hanya saja ucapan tersebut tidak boleh diamalkan. Seandainya benar, tidak boleh dijadikan dasar hukum selama tidak dikuatkan oleh dalil syara’. Demikian menurut para ulama. Ingat baik-baik, karena ini sangat penting, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 245).

Tanya: Bagaimana pendapat muktamirin tentang orang yang mengaku wushul kepada Allah, dan manunggal kepada Allah, serta melihat kepada Allah dengan mata kepalanya, sedangkan dia tidak mengamalkan perintah-perintah Allah dan tidak menjauhi larangan-Nya. Apakah dapat diterima pengakuannya, dan diambil ijazahnya?

Tidak boleh diterima pengakuannya dan tidak boleh diambil ijazahnya, karena orang tersebut adalah orang yang sesat menyesatkan, boleh dikatakan bahwa dia adalah orang fasik, bahkan dapat dikatakan bahwa dia adalah orang murtad.

فَمَنْ اِدَّعَى رُؤْيَةَ اللهِ يَقْظَةً بِعَيْنَىْ رَأْسِهِ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ وَقِيْلَ فَاسِقٌ وَقِيْلَ مُرْتَدٌّ. إهـ

Barangsiapa mengaku melihat Allah dalam keadaan jaga dengan kedua mata kepalanya, maka ia sesat dan menyesatkan. Menurut sebagai pendapat fasik, dan menurut sebagian lain murtad, (al-Farîdah al-Bahiyyah, halaman: 57).

Sumber: Alif.ID

185. Tidak Boleh, Memberi Baiat Kepada Anak Kecil

Tanya: Menurut keputusan kongres Jam`iyah Tarekat Mu’tabarah di Tegal Rejo, bahwa orang baiat tarekat “mu’tabarah” diwajibkan menjalaninya. Lalu bagaimana hukumnya orang yang memberi baiat kepada anak kecil? Bolehkah atau tidak? Jikalau wajib menjalani, tiba-tiba anak kecil tidak mau menjalani itu, siapa yang berdosa? Kalau anak kecil yang berdosa, padahal anak kecil itu belum “mukallaf”?

Memberi baiat kepada anaknya kecil, hukumnya tidak boleh.

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ حَدَّثَنَا سَعِيْدٌ هُوَ اْبنُ أَبِيْ أَيُّوْبٍ قَالَ حَدَّثَنِيْ أَبُوْ عُقَيْلٍ زَهْرَةٌ ابْنُ مَعْبَدٍ عَنْ جَدِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ هِشَامٍ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَتْ بِهِ أُمُّهُ زَيْنَبَ ابْنَةُ حُمَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ بَايِعْهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ صَغِيْرٌ. فَمَسَحَ رَأْسَهُ وَدَعَا لَهُ. وَكَانَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ عَنْ جَمِيْعِ أَهْلِهِ. إهـ

Kami (al-Bukhari) diberitahu oleh Ali bin Abdullah bin Zaid (Kata Ali): Kami diberitahu oleh Sa’id bin Abu Ayyub. Kata Sa’id: Saya diberitahu oleh Abu ‘Uqail, Zahrah bin Ma’bad, dari kakek Abdullah bin Hisyam yang pernah bertemu dengan Nabi SAW. dan diajak oleh ibunya, Zainab binti Humaid, menemui Rasulullah saw, kemudian ibunya berkata: Wahai Rasulullah, baiatlah anak ini! Beliau menjawab: Dia masih kecil. Kemudian beliau mengusap kepala anak itu, dan mendoakannya. Beliau pernah berkurban seekor kambing atas nama seluruh keluarganya, (al-Jâmi’ al-Shahîh al-Bukhâri, juz 4, halaman: 246).

Tanya: Bolehkah mengunjungi para wali baik yang masih hidup maupun yang telah wafat (ziarah kubur para wali) untuk mengharapkan keberkahan dari mereka?

Boleh, agar kita mendapatkan berkah dan pancaran rohani, doa yang dikabulkan dan turunnya Rahmat.

اِعْلَمْ يَنْبَغِيْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبِ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ أَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكَاتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ وَنُزُوْلَ الرَّحْمَاتِ فِىْ حَضْرَاتِ الْأَوْلِيَاءِ فِىْ مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِىْ زِيَارَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ. إهـ (جلاء الظلام فى عقيدة العوام)­

Ketahuilah bahwa seyogyanya setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan itu mencari berkah dan pancaran rohani, terkabulnya doa dan turunnya rahmat di hadirat para wali di majelis-majelis mereka, baik mereka itu masih hidup, maupun sudah wafat, di makam-makam mereka, pada saat mereka disebut-sebut, ketika banyak orang berkumpul dalam Rangka berziarah kepada mereka, dan ketika keutamaan serta manaqib mereka dibacakan dan dihayati, (Jalâ’ al-Zhalâm fî ‘Aqîdah al-‘Awâm).

Tanya: Bagaimana hukum rabithah dengan mengenangkan rupa guru mursyid?

Asal hukum rabithah adalah boleh, yang sama antara dua belah ujungnya, yakni tidak diberi pahala ketika dikerjakan, dan tidak disiksa ketika ditinggalkan. Tetapi rabithah itu kadang-kadang menjadi wajib atau disunnahkan karena datangnya sesuatu dari luar. Hal ini seperti menganggap bahwa sesuatu itulah yang bisa menjadikan wushul kepada Allah.

فَالرَّابِطَةُ بِاعْتِبَارِ الْأَصْلِ فِعْلُهَا جَائِزٌ وَبِاعْتِبَارِ مَا تَوَصَّلَ إِلَيْهِ فَمَنْدُوْبٌ

Rabithah menurut hukum asal adalah jaiz (boleh), sedangkan jika dianggap sebagai penyebab wushul kepada Allah, maka disunnahkan, (Tabshirah al-Fâshilîn ‘an Ushûl al-Wâshilîn).

Tanya: Bagaimana cara rabithah kepada Syaikh Mursyid yang disebut dalam tatasila kesembilan dalam kitab Tanwîr al-Qulûbtentang cara berzikir?

Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniah dalam gambar itu pada permulaan zikir, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.

اِعْلَمْ أَنَّ اسْتِحْضَارَ الرَّابِطَةِ عَلَى أَقْسَامٍ (الْأَوَّلُ) أَنْ يَتَصَوَّرَ صُوْرَةَ شَيْخِهِ الْكَامِلِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ثُمَّ يَتَوَجَّهُ إِلَى رُوْحَانِيَّةِ فِى تِلْكَ الصُّوْرَةِ وَلَا يَزُوْلُ عَنِ التَّوَجُّهِ إِلَيْهَا حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ الْغَيْبَةُ أَوْ آثَارُ الْجَذْبَةِ

Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacam-macam. Pertama, murid menggambarkan/membayangkan rupa gurunya yang sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada rohaniah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuh seperti itu sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 40).

Tanya: Bagaimana cara rabithah kepada Syaikh Mursyid yang disebut dalam tatasila kesembilan dalam kitab Tanwîr al-Qulûb tentang cara berzikir?

Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniah dalam gambar itu pada permulaan zikir, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.

اِعْلَمْ أَنَّ اسْتِحْضَارَ الرَّابِطَةِ عَلَى أَقْسَامٍ (الْأَوَّلُ) أَنْ يَتَصَوَّرَ صُوْرَةَ شَيْخِهِ الْكَامِلِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ثُمَّ يَتَوَجَّهُ إِلَى رُوْحَانِيَّةِ فِى تِلْكَ الصُّوْرَةِ وَلَا يَزُوْلُ عَنِ التَّوَجُّهِ إِلَيْهَا حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ الْغَيْبَةُ أَوْ آثَارُ الْجَذْبَةِB

Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacam-macam. Pertama, murid menggambarkan/membayangkan rupa gurunya yang sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada ruhaniyah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuh seperti itu sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 40).

Tanya: Apakah boleh seorang mursyid menjadikan orang yang saleh yang sedang jadzab menjadi khalifah dari padanya, sedangkan amal-amal yang lahir dari orang tersebut menyalahi syariat Islam?

Tidak boleh, karena ucapan orang jadzab tidak dapat dijadikan pedoman.

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِى الْجُمْلَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ، سَالِكُوْنَ فَقَطْ مَجْذُوْبُوْنَ فَقَطْ وَسَالِكُوْنَ ثُمَّ مَجْذُوْبُوْنَ. وَمَجْذُوْبُوْنَ ثُمَّ سَالِكُوْنَ. فَالْأَوَّلَانِ لَا يَصْلُحَانِ لِلتَّرْبِيَةِ وَالْإِرْشَادِ. أَمَّا السَّالِكُ فَلِأَنَّهُ ظَاهِرِيٌّ مَحْضٌ فَلَا نُوْرَ لَهُ فِى بَاطِنِهِ يَجْذُبُ بِهِ. وَأَمَّا الْمَجْذُوْبُ فَقَطْ، فَلَا سُلُوْكَ عِنْدَهُ يَسِيْرُ بِهِ وَالْآخِرَانِ يَصْلُحَانِ لِلتَّرْبِيَةِ مَعَ أَفْضَلِيَّةِ الْأَوَّلِ.

Ketahuilah bahwa orang-orang yang menuju Allah itu empat macam: (1) Salik saja/melaksanakan amalan di dalam tarekat secara zhahir saja. (2) Majdzub/jadzab saja. (3) Salik kemudian majdzub/jadzab. (4) Majdzub kemudian salik. Dua yang pertama tidak patut menjadi murabbi, dan mursyid, karena yang salik saja tidak ada cahaya kejadzaban dalam batinnya, sedangkan orang yang majdzûb saja tidak melaksanakan sulûk/amalan di dalam tarekat secara zhahir. Dua yang akhir (3 & 4), patut menjadi murabbi dan mursyid, namun yang lebih utama adalah no 3, (Îqâzh al-Humam fî Syarh al-Hikam).

Sumber: Alif.ID

186. Menggerakkan atau Menundukkan Kepala Ketika Berzikir

Tanya: Bagaimana hukum menggerak-gerakkan atau menundukkan kepala ketika berzikir?

Jika dengan menggerak-gerakkan atau menundukkan kepala itu bisa menjadikan diri orang yang berzikir lebih khusyuk, maka hal ini lebih baik baginya. Namun, jika dengan diam dia lebih khusyuk, tanpa menundukkan kepala atau menggerakkannya, maka zikir dengan keadaan diam itu lebih baik baginya.

Dan jika kedua keadaan tersebut, yaitu diam dan menggerakkan atau menundukkan kepala, dirasa sama-sama khusyuknya, maka bagi dia boleh memilih diam atau dengan gerakan. (Fatawi al-Khalili ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, 36).

(سُئِلَ) فِيْمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْمَيْلِ وَالتَّحْرِيْكِ فِيْ حَالِ الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ وَشِبْهِهِمَا كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ مِنْ جَمِيْعِ النَّاسِ هَلْ لِذَلِكَ أَصْلٌ فِى السُّنَّةِ أَوْلاَ. وَهَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ مَكْرُوْهٌ أَوْ مَنْدُوْبٌ وَهَلْ يُثَابُ عَلَيْهِ، وَهَلْ ثَبَتَ أَنَّهُ مَنْ تَشَبَّهَ بِالْيَهُوْدِ أَوْ لاَ؟ (أَجَابَ) إِذَا تَأَمَّلْتَ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ (آل عمران: 191) وَقَوْلَهُ تَعَالَى: وَالذَّاكِرِيْنَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ (الأحزاب: 35) …. عُمِلَتْ أَنَّ الْحَرَكَةَ فِى الذِّكْرِ وَالْقِرَاءَةِ لَيْسَتْ مُحْرَمَةً وَلاَمَكْرُوْهَةً بَلْ هِيَ مَطْلُوْبَةٌ فِيْ جُمْلَةِ أَحْوَالِ الذَّاكِرِيْنَ مِنْ قِيَامٍ وَقُعُوْدٍ وَجُنُوْبٍ وَحَرَكَةٍ وَسُكُوْنٍ وَسَفَرٍ وَحَضَرٍ وَغِنًى وَفَقْرٍ فَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا، يَقُوْلُ لاَ يَفْرُضُ اللهُ تَعَالَى لَمْ يَجْعَلْ لَهُ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ وَلَمْ يَعْذَرْ أَحَدٌ فِيْ تَرْكِهِ إِلاَّ مَغْلُوْبًا عَلَى عَقْلِهِ. فَقَالَ اذْكُرْ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فَي الْبَحْرِ وَالْبَرِّ فِى السَّفَرِ وَالْحَضَرِ فِى الْغِنَى وَالْفَقْرِ وَالصِّحَّةِ وَالسَّقَمِ وَالسِّرِّ وَالْعَلاَنِيَّةِ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ إِلَى أَنْ قَالَ: فَرُبَّ ذَاكِرٍ سَاكِنٍ غَافِلٍ فَإِذَا تَحَرَّكَ تَيَقَّظَ فَالْحَرَكَةُ أَوْلَى لَهُ، وَرُبَّ ذَاكِرٍ وَرُبَّ ذِكْرٍ مُتَحَرِّكٍ، الْحَرَكَةُ تَذْهَبُ خُشُوْعُهُ فَالسُّكُوْنُ أَوْلَى، وَرُبَّ ذَاكِرٍ أَوْ قَارِئٍ يَسْتَوِيْ عِنْدَهُ الْحَالاَنِ فَيَفْعَلُ مَا شَاءَ اللهُ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، وَلِكُلِّ وَجْهِةٍ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ. وَاللهُ أَعْلَمُ. (فتاوي الخليلي على مذهب الإمام الشافعي، ص 36)

Imam Kholili ditanya tentang apa yang dilakukan orang-orang seperti menundukkan dan menggerak-gerakkan (kepala) ketika membaca, zikir dan lain sebagainya, sebagaimana hal ini terlihat pada kebanyakan orang. Apakah hal ini ada dasarnya dalam sunnah atau tidak? Apakah haram, makruh, sunnah atau ada pahalanya? Apakah hal ini sama dengan orang yang menyerupai dengan Yahudi atau tidak?

(Imam Kholili menjawab) ketika engkau memahami firman Allah: “mereka adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (Qs. Ali Imran: 191). Dan firman Allah “laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah” (Qs. al-Ahzab:35).

Dilakukannya gerakan dalam zikir dan bacaan, bukanlah sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan, akan tetapi gerakan tersebut dianjurkan dalam beberapa keadaan orang-orang yang berzikir seperti berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, bepergian, berada di rumah, kaya dan miskin.

Ibnu Mundir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas dalam sabda Rasul: berzikirlah kalian dengan zikir (dalam segala keadaan), Rasul bersabda; Allah tidak mewajibkan, tidak pula menjadikan batasan baginya, dan tidak menerima alasan bagi seorang yang meninggalkannya kecuali akalnya telah dihilangkan.

Imam Kholili berkata berzikirklah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, malam dan siang, di lautan dan daratan, dalam bepergian maupun di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, sehat atau sakit, dalam keadaan sirri atau terang-terangan, dan dalam segala keadaan.

Selanjutnya dia berkata: betapa banyak orang yang berzirkir dengan diam yang lupa, namun ketika dia bergerak dia teringat (zikirnya), dengan demikian bergerak lebih utama baginya. Betapa banyak orang-orang yang berzikir dan betapa banyak zikir yang digerak-gerakkan sehingga gerakan itu menghilangkan kekhusyukannya, dengan demikian diam itu lebih baik (baginya).

Betapa banyak orang yang berzikir atau yang membaca, yang kedua keadaan tersebut (bergerak atau diam) menjadi sama baginya, maka dia melakukan apa yang dikehendaki Allah, dan Allah menunjukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya pada jalan yang lurus, dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Wallahu a’lam, (Fatawi al-Khalili ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, halaman: 36).

Hukum Mengamalkan Dua Tarekat

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tarekat itu bermacam-macam. Dengan beragamnya tarekat, hal tersebut memungkinkan bagi seseorang untuk bertarekat lebih dari satu.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah, “Bolehkah bagi seorang salik mengikuti tarekat lebih dari satu? Misalnya Tarekat Naqsyabandiyah dengan Tarekat Syadziliyah, atau Sathariyah, dan lain sebagainya?”

Hukum seseorang yang mengamalkan dua tarekat atau lebih adalah boleh, dengan tujuan bahwa dia mengikuti tarekat-tarekat tersebut untuk melaksanakannya secara bersamaan.

وَأَجَازَهُ (أَيِ الشَّيْخُ الدَّهْلَوِيُّ) بِاْلإِرْشَادِ، وَخَلَفَهُ (أَيْ جَعَلَهُ خَلِيْفَةً) الْخِلاَفَةَ التَّامَّةَ فِى الطَّرِيْقَةِ الْخَمْسَةِ النَّقْشَبَنْدِيَّةِ، وَالْقَادِرِيَّةِ، وَالسُّهْرَاوَرْدِيَّةِ، وَالْكُبْرَاوِيَّةِ، وَالْخَسْقِيَّةِ. (البهجة السنية، ص 82)

Syaikh al-Dahlawi memperbolehkan dengan syarat adanya petunjuk guru, dan menjadikan pimpinan yang sempurna dalam lima tarekat: Naqsabandiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah, Khashqiyah, (al-Bahjah as-Saniyah, halaman: 82).

Tanya: Bolehkah bagi seorang salik yang telah mengikuti satu tarekat, lalu berpindah ke tarekat lain?

Hukum berpindah dari satu tarekat ke tarekat lain adalah tidak boleh. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab al-Fatâwa Hadisiyah, hlm. 50:

وَمَنْ ظَفَرَ بِشَيْخٍ بِالْوَصْفِ اْلأَوَّلِ أَوِ الثَّانِي فَحَرَامٌ عَلَيْهِ عِنْدَهُمْ أَنْ يَتْرُكَهُ وَيَنْتَقِلُ إِلَى غَيْرِهِ . (الفتاوي الحديثية، ص 50)

Barangsiapa telah menemukan seorang guru seperti kriteria yang pertama atau yang kedua, maka tidak diperbolehkan baginya untuk meninggalkan-nya dan pindah kepada guru yang lain, (al-Fatâwa Hadisiyah, halaman: 50).

Hukum Mursyid Melarang Muridnya untuk Berbaiat ke Mursyid Lain

Diantara wewenang mursyid terhadap seorang murid (salik) adalah memberikan petunjuk dan pengarahan kepada muridnya terkait apa yang menjadi kebaikannya di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat. Termasuk kewenangan seorang mursyid adalah melarang muridnya untuk berbaiat tarekat kepada mursyid lain, apabila dengan berbaiat tarekat kepada mursyid lain sang murid tidak bisa sampai kepada Allah, atau masa depannya suram dan lain sebagainya.

الثَّانِى عَشَرَ أَنْ لاَ يَغْفُلَ عَنْ إِرْشَادِ الْمُرِيْدِيْنَ إِلَى مَا فِيْهِ صَلاَحُ حَالِهِمْ (تنوير القلوب، ص 526)

Yang keduabelas, seorang mursyid harus menunjukkan kepada muridnya terhadap hal-hal yang menjadikan kebaikan keadaan muridnya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 526).

Hukum Mengajarkan Tarekat bagi Orang yang Sanadnya tidak Bersambung sampai Rasulullah saw.

Di antara syarat syarat seorang mursyid adalah sanad tarekatnya bersambung sampai Rasulullah saw, dan diberi izin oleh gurunya untuk mengajarkan (mentalqin) tarekat. Karena jika seorang mursyid mengajarkan tarekat, sementara sanadnya terputus, dikhawatirkan murid tidak akan bisa wushul (sampai kepada Allah).

Dengan demikian, jika seorang mursyid terputus sanadnya, maka tidak diperkenankan baginya untuk mentalqin, dan atau diminta mentalqin para murid.

فَمَنْ لَمْ يَتَّصِلْ سِلْسِلَتُهُ إِلَى حَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ الْغَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  وَلاَ تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةُ وَاْلإِجَازَةُ. (خزينة الأسرار، ص 188)

Barangsiapa yang silsilahnya tidak bersambung kepada Rasulullah, maka seseorang itu adalah orang yang terputus sanadnya dan dia tidak dikategorikan penerus Rasulullah, maka dia tidak boleh membaiat dan mengijazahkannya, (Khazînah al-Asrâr, halaman: 188).

Hukum Suluk tanpa Guru

قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: فَإِنَّ قُلْتَ: هَلْ يَصِحُّ دُخُوْلُ الْخُلْوَةِ وَالسُّلُوْكُ عَلَى هَذَا الْأُسْلُوْبِ بِغَيْرِ الشَّيْخِ؟ قُلْنَا: نَعَمْ، وَلَكِنْ يَتَعَذَّرُ النَّجَاحُ لِقُوَّةِ الْعَوَارِضِ وَكَثْرَتِهَا, فَلِذَلِكَ قِيْلَ: إِنَّ الشَّيْخَ وَاجِبٌ فِي هَذِهِ الْمُجَاهَدَةِ دُوْنَ مُجَاهَدَةِ التَّقْوَى وَالْاِسْتِقَامَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 273).

Apakah sah, berkhalwat atau melakukan suluk dengan tanpa guru ? ya, akan tetapi prosentase keberhasilannya sangat minim karena kuat dan banyaknya hal-hal yang baru. Singkat kata, keberadaan seorang guru (syaikh) dalam bermujahadah adalah wajib adanya, bukan hanya mujahadah taqwa dan istiqomah, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 273).

Sumber: Alif.ID

187. Hukum Perempuan Menjadi Mursyid dalam Tarekat

Dalam dunia tarekat, yang menjadi mursyid atau khalifah semuanya adalah dari kalangan pria. Hal ini disebabkan karena syarat seorang mursyid adalah laki-laki. Oleh karena itu, jika ada seorang perempuan menjadi mursyid atau khalifah, maka hal ini tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh ulama ahli kasyaf bahwa syarat mursyid atau khalifah adalah seorang laki-laki.

وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْكَشْفِ عَلَى اشْتِرَاطِ الذُّكُوْرَةِ فِيْ كُلِّ دَاعٍ إِلَى اللهِ وَلَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّ أَحَدًا مِنْ نِسَاءِ السَّلَفِ الصَّالِحِ تَصَدَّرَتْ لِتَرْبِيَّةِ الْمُرِيْدِيْنَ أَبَدًا لِنَقْصِ النِّسَاءِ فِى الدَّرَجَةِ وَإِنْ وَرَدَ الْكَمَالُ فِيْ بَعْضِهِنَّ كَمَرْيَمَ ابْنَةِ عِمْرَانَ وَآسِيَةَ امْرَأِةِ فِرْعَوْنَ فَذَلِكَ كَمَالٌ بِالنِّسْبَةِ لِلتَّقْوَى وَالدِّيْنِ لاَ بِالنِّسْبَةِ لِلْحُكْمِ بَيْنَ النَّاسِ وَتَسْلِيْكِهِمْ فِيْ مَقَامَاتِ الْوِلاَيَةِ وَغَايَةُ أَمْرِ الْمَرْأَةِ أَنْ تَكُوْنَ عَابِدَةً زَاهِدَةً كَرَابِعَةِ الْعَدَوِيَّةِ وَبِالْجُمْلَةِ فَلاَ يُعْلَمُ بَعْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مُجْتَهِدَةٌ مِنْ جَمِيْعِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ كَامِلَةٌ تُلْحَقُ بِالرِّجَالِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. (الميزان الكبرى، ج 2، ص 189)

Menurut kesepakatan ahli kasyaf (orang-orang yang terbuka hatinya), syarat menjadi khalifah harus seorang laki-laki, dan belum pernah sama sekali ditemukan dari perempuan salaf dan salih yang mendidik murid-muridnya selamanya. Hal ini karena kurangnya seorang perempuan dalam segi derajat, walaupun ditemukan kesempurnaan terhadap perempuan seperti Maryam anaknya Imron dan Asiyah istri Fir’aun.

Kesempurnaan itu dinisbatkan terhadap takwa dan agama, bukan dinisbatkan dalam memberikan hukum di antara manusia dan menguasai tempat-tempat kekuasaan. Puncak dari seorang perempuan adalah ahli ibadah dan zuhud, seperti Rabiah al Adawiyah.

Secara umumnya tidak ada perempuan yang ahli ijtihad dari semua ummahatul mu’minin dan tidak ada kesempurnaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki, (al-Mizan al-Kubra, juz 2, halaman: 189).

Hukum Baiat Zikir Melalui Mimpi

Diantara syarat wajib untuk talqin atau baiat tarekat bagi seorang salik adalah talqin yang dilakukan oleh seorang mursyid tarekat mu’tabarah yang sanad atau silsilahnya bersambung kepada Rasulullah saw, serta mursyid tersebut diberi izin untuk mengajarkan tarekat tersebut kepada para murid.

Dengan demikian, jika ada seorang yang menyatakan telah dibaiat atau ditalqin sebuah zikir tarekat dalam mimpi, maka hal ini tidak sesuai dengan syarat talqin tersebut. Sebagaimana hal ini dikuatkan oleh para ulama yang telah menetapkan bahwa syarat wajib talqin yaitu murid harus ditalqin sendiri oleh seorang mursyid tarekat mu’tabarah yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah dan memiliki wewenang untuk mentalqin murid tarekat.

(وَأَّمَّا التَّلْقِيْنُ وَسَنَدُهُ) فَلَمَّا كَانَتْ الصُّحْبَةُ مِنْ لَوَازِمِهِ وَشُرُوْطِهِ وَكَانَ اْلاِنْتِسَابُ إِلَى شَيْخٍ إِنَّمَا يَحْصُلُ بِالتَّلْقِيْنِ وَالتَّعْلِيْمِ مِنْ شَيْخٍ مَأْذُوْنٍ إِجَازَتُهُ صَحِيْحَةٌ مُسْتَنِدَّةٌ إِلَى شَيْخٍ صَاحِبِ طَرِيْقٍ وَهُوَ إِلَى النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَكَانَ الذِّكْرُ لاَيُفِيْدُ فَائِدَةً تَامَّةً إِلاَّ بِالتَّلْقِيْنِ وَاْلإِذْنِ  بَلْ الأَكْثَرُ شَرْطًا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 31)

Ketika kebersamaan itu merupakan suatu keharusan dan syarat dan intisab kepada seorang guru, yang hanya bias dicapai dengan cara talqin dan pembelajaran dari guru yang diberi izin memberikan ijazah yang diperbolehkan mensanadkan kepada guru yang memiliki tarekat yaitu Nabi, maka zikir itu tidak memberikan manfaat yang sempurna kecuali dengan cara mentalqin dan izin, bahkan ini dijadikan syarat pada umumnya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 31).

Tanya: Lantas, jika perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi mursyid atau khalifah. Bagaimanakah hukum mewakilkan baiat tarekat kepada seorang perempuan?

Tentang hal ini, sama dengan apa yang menjadi syarat seorang mursyid atau khalifah, yaitu tidak boleh seorang mewakili seorang murid untuk berbaiat tarekat.

وَشُرِطَ فِى الْوَكِيْلِ صِحَّةُ مُبَاشَرَتِهِ مَا وُكِّلَ فِيْهِ كَالْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيْهِ لِنَفْسِهِ فَلِغَيْرِهِ أَوْلَى. (إعانة الطالبين، ج 3، ص 100)

Syarat wakil adalah kebolehannya melakukan sesuatu sebagaimana diperbolehkannya terhadap sesuatu yang diwakili seperti orang yang mewakilkan karena apabila wakil itu tidak mampu melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri maka untuk orang lain lebih tidak boleh, (I’anah at-Thalibin, juz 3, halaman: 100).

Tanya: Bagaimanakah pandangan para ulama tentang seseorang yang berhakikat tapi tidak bersyariat?

Dalam kitab Kifâyah al-Atqiyâ’, hlm. 12 disebutkan bahwa seorang mukmin yang tinggi maqamnya, hingga mencapai derajat kewalian sekalipun, dia masih memiliki kewajiban untuk menjalankan syariat yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Bahkan, jika seseorang mengaku telah mencapai derajat kewalian dan telah memahami hakikat, dia beranggapan bahwa taklif syariat telah gugur dari dirinya, maka orang tersebut adalah telah menyimpang dari ajaran agama.

Nabi sekalipun yang memiliki derajat yang lebih mulia dibandingkan para auliya’, mereka masih terkena taklif ibadah. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah saw. melaksanakan shalat hingga telapak kakinya bengkak. Padahal Allah Swt. telah mengampuni seluruh dosanya. Semua itu dilakukan oleh beliau semata-mata merupakan bentuk syukur seorang hamba kepada Allah Swt. (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 12).

فَالْمُؤْمِنُ وَإِنْ عَالَتْ دَرَجَتُهُ وَارْتَفَعَتْ مَنْزِلَتُهُ وَصَارَ مِنْ جُمْلَةِ اْلأَوْلِيَاءِ لاَ تَسْقُطُ عَنْهُ الْعِبَادَةُ الْمَفْرُوْضَةُ فِى الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ، وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مَنْ صَارَ وَلِيًّا وَوَصَلَ إِلَى الْحَقِيْقَةِ سَقَطَتْ عَنْهُ الشَّرِيْعَةُ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ مُلْحِدٌ وَلَمْ تَسْقُطْ الْعِبَادَاتُ عَنِ اْلأَنْبِيَاءِ فَضْلاً عَنِ اْلأَوْلِيَاءِ، فَلَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَتَوَرَّمَ قَدَمَاهُ، فَقِيْلَ لَهُ مَرَّةً أَلَمْ يَغْفِرِ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا (كفاية الاتقياء، ص 12).

Dengan berakhirnya bab tanya jawab ini, berakhir pula pemuatan bersambung kitab Sabilus Salikin, karya Pondok Pesantren Ngalah, Pasuruan, Jawa Timur. Terima kasih kepada pengasuh Ponpes Ngalah, KH Sholeh Bahruddin dan semua penyusun kitab yang telah menebarkan pengetahuan mengenai tarekat dan tasawuf dengan detail kepada publik. Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan kiai dan para santri.

Whatsapp Image 2020 06 08 At 3.16.36 Pm

الْإِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ

Mohon maaf atas keterbatasan kami. 

Sumber: Alif.ID

Bagikan postingan ini

Copy Title and Content
Content has been copied.

Baca lebih lanjut

Postingan Terkait

Temukan koleksi postingan blog yang penuh wawasan dan menarik.

Tanwirul Qulub

01. Pengantar Bismillâhirrahmânirrahim Segala puji bagi Allah Yang Menyendiri dengan keagungan malakut-Nya dan Manunggal dengan keindahan jabarut-Nya. Yang memiliki sifat-sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh siapa pun.

Post

December 4

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?