I. Pengantar Edisi Bahasa Indonesia
Syaikh Ibnu Arabi merupakan sosok pemikir yg sangat dikenal dalam jagad sufistik. Seseorang yg mengaku menggeluti dunia tasawuf, khususnya pemikiran sufistik, akan dipandang aneh ketika tidak kenal dengan Syaikh Ibnu Arabi. Sebab Syaikh Ibnu Arabi merupakan tokoh sufi garda depan yg dikenal sebagai penulis karya² sufistik sekaligus sebagai orang yg menjalani laku sufistik. Sebagai manusia jasmani Syaikh Ibnu Arabi tidak melupakan kehidupan sehari-hari, dia tetap terjun dan bergelut dengan berbagai hal yg terkait dengan aktivitas manusia secara umum, belajar dan ikut mengabdi kepada para ulama, menempuh perjalanan ke berbagai negara dalam rangka tafaqquh fiddin, berbicara dengan orang2 dari berbagai lapisan masyarakat.
Tetapi sebagai manusia ruhani, Syaikh Ibnu Arabi merupakan di antara sedikit orang yg mampu melakukan petualangan spiritual hingga ke puncak tertingginya, dia secara spiritual merupakan manusia istimewa yg mampu mendaki sebuah dunia murni spiritual, sebuah dunia yg otoritasnya hanya berada di bawah kekuasaan Rasulullah Muhammad Saw. Baginda Muhammad Saw. sebagai Rasul dan Nabi merupakan manusia yg sempurna pencapaian keruhaniannya. Puncak keruhanian Sang Nabi inilah yg dikuak oleh tokoh sufi ini.
Isra’-Mi’raj yg dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dalam perspektif sufistik merupakan sebuah perjalanan ruhani agung, yg hanya bisa dicapai oleh manusia istimewa. Inilah yg ditulis oleh Syaikh Ibnu Arabi. Terkait dengan ini, seluruh karya Syaikh Ibnu Arabi berbicara mengenai kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw. dan tentang kedudukan Sang Nabi sebagai satu²nya orang yg menempati tahta semesta kesempurnaan di kerajaan ruhani. Kitab al-Isra’ ila Maqam al-Asra yg dibahas oleh Syaikh Ibnu Arabi ini menjelaskan kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw. yg berada di atas puncak bangunan spiritual alam semesta tersebut.
Mi’raj keruhanian yg dicontohkan oleh Rasulullah Saw. tersebut menurut Syaikh Ibnu Arabi juga bisa dilakukan oleh para wali, tentu saja dengan kualitas yg berbeda dengan yg dicapai oleh Rasulullah Saw. Syaikh Ibnu Arabi memandang bahwa mi’raj seorang Sufi atau mi’rajnya seorang wali adalah sebuah keistimewaan sebagai pengikut Rasulullah Muhammad Saw. Selain arwah² para wali dari kalangan umat Rasulullah Muhammad Saw., dalam mimpi mereka, tidak akan mengalami peristiwa mi’raj ke langit ketujuh, ke surga, ataupun ke neraka.
Mi’raj Sufi itu sendiri adalah mi’raj taklidi. Bagaimana mungkin kita bisa tahu urutan keberadaan para Nabi Allah alaahimussalam di ketujuh langit itu atau memperoleh pengetahuan² lainnya seputar mi’raj, apabila Rasulullah Saw. sendiri tidak memberitahu kita dalam mi’raj Beliau?! Mi’raj seorang Wali —berdasarkan penjelasan kitab yg anda pegang sekarang adalah visi dalam mimpi yg memiliki dasar dan akarnya dalam riwayat² hadits tentang mi’raj. Untuk itulah terasa penting apabila kita mengkaji terlebih dahulu simbol² dan makna² seputar mi’raj Nabi, sebab ia adalah pangkal dan percontohan.
Buku ini merupakan karya penting karena membahas secara eksploratif dan intensif mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj yg pernah dialami oleh Nabi. Peristiwa agung dalam sejarah ini dikaji dalam perspektif tasawuf, sehingga sangat basah dengan spiritual. Apa yg ditulis oleh Syaikh Ibnu Arabi ini merupakan penjelasan mi’raj ruhani untuk menghadap “Tuhan”.
Selamat membaca dan mendaki tangga² spiritual yg disuguhkan oleh Syaikh Ibnu Arabi!
II. Pengantar
Bismillāhirrahmānirrahīm
Pada suatu hari, Harun al-Rasyid, seorang khalifah Arab dari bani Abbasiyah, menatap sepotong awan berarak di langit. Ia mengucapkan sepenggal kalimat yg terkenal, curahkanlah airmu di tanah mana saja, karena pajak, berkat kamu, tetap akan kembali padaku. Ini ungkapan hati yg menunjukkan kegembiraan, betapa luasnya pengaruh kepemimpinan umat Islam Arab terhadap negara² di berbagai penjuru dunia.
Sayangnya, ungkapan tersebut adalah ungkapan terakhir Sang Khalifah. Keesokan harinya, perang saudara pecah yg dikomandani kedua putra Harun al-Rasyid sendiri, yg bernama al-Amin dan al-Ma’mun. Fanatisme (‘ashabiyat) dan radikalisme (a’raq) bergejolak. Radikalisme Arab (al-‘Irq al-‘Arabi) menguasai keadaan dan kebijakan dunia Islam. Kita menyaksikan pemberontakan² yg memecah belah persatuan umat, sekaligus awal meredupnya cahaya kepemimpinan Arab.
Beragam peristiwa silih berganti. Radikalisme dan fanatisme berkobar di internal umat muslim sendiri, orang² Persia dan Turki saling menyerang. Serangan juga datang dari pihak luar, yaitu serbuan tentara Salib dari arah barat dan pasukan Mongol Tatar dari timur. Hasilnya sudah jelas: terbentuknya negara² kecil di Barat dan Timur. Kita melihat dulu wilayah yg luas kini terus-menerus menyusut, terkoyak dan pecah menjadi bagian² kecil. Perang² besar maupun kecil, yg berlangsung terus-menerus maupun yg putus², mempengaruhi tatanan militer dan percaturan politik Daulah Arab.
Akan tetapi Allah berkehendak lain. Gejolak politik tersebut tidak sampai menyentuh ranah agama. Begitu pula, ilmu² keislaman terus berkembang. Individu² genius semakin bersinar. Sungguh, gejolak pemberontakan tidak mempengaruhi dunia intelektualisme. Semangat belajar umat Islam tetap bertahan, tidak terbebani realitas sejarah, keruntuhan dan kemunduran politik. Sekalipun pusat kekuasaan terpecah belah, bangsa² tetap menikmati manisnya persatuan dan kesatuan hakiki. Terbukti, kaum intelektual berusaha keras dalam menempuh perjalanan dari Barat ke Timur.
Kaum intelektual ini bisa singgah di berbagai negeri manapun tanpa rasa takut, merasakan keterasingan kultural, peradaban, maupun mata pencaharian. Padahal negeri² itu sudah menjadi negara² lain, yg memiliki bangunan dan kebijakan hukum berbeda-beda. Muhyiddin Ibnu Arabi (560-638 H) hidup di masa² aman seperti ini, terbebas dari ancaman kecamuk politis, tepatnya pada masa Dinasti Ayyubiyah dan bani Saljuk berkuasa.
Syaikh Ibnu Arabi adalah seorang penulis, sufi, dan intuisionis. Dengan tubuh fisiknya, dia terjun ke dalam tetek bengek kehidupan sehari-hari, belajar dan ikut mengabdi ke para ulama, menempuh perjalanan ke Barat dan ke Timur, berbicara dengan orang² sesuai kapasitas akal mereka. Sedangkan dengan jiwanya, Syaikh Ibnu Arabi mendaki sebuah dunia murni, dimana kepemimpinan (al-siyadah) Rasulullah Muhammad Saw. adalah satu²nya otoritas yg memegang kendali. Tidak ada satu orang pun yg menduakan kepemimpinan Rasulullah Saw. Tentu saja, derajat Rasulullah Muhammad Saw. itu dipahami dalam konteks kepemimpinan (al-wilayah).
Seluruh karya Syaikh Ibnu Arabi berbicara mengenai kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw. ini, dan tentang kedudukan Sang Nabi sebagi satu²nya orang yg menempati tahta semesta kesempurnaan. Kitab al-Isra’ ila Maqam al-Asra yg kami bahas di sini —dengan beragam sanad yg disajikan oleh sang penulis sendiri, baik sanad yg berupa dalil² rasional maupun religius (Al-Qur’an dan Hadits), penalaran diskursif maupun intuitif menjelaskan kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw. yg berada di atas puncak bangunan spiritual alam semesta. Sang Nabi adalah satu²nya orang yg paling terhormat dalam Islam.
Di sinilah letak rahasia konsentrasi subjektif saya terhadap Syaikh Ibnu Arabi. Dalam hal ini, saya sependapat dengan pandangan sebuah organisasi Islam yg dirintis pada paruh kedua abad 19 oleh seorang tokoh besar, pembaharu Islam, imam sufi, reformis, Sayyid Muhammad al-Dandarawi. Beliau bersama para tokoh sufi pada umumnya dan Syaikh Ibnu Arabi pada khususnya bertemu dalam satu pandangan yg sama, yaitu mengenai kepribadian Rasulullah Muhammad Saw. dan kesempurnaannya.
Hanya saja Sayyid al-Dandarawi ini memiliki pandangan berbeda dengan para sufi lainnya dalam metode pembacaan atas makna/arti kesempurnaan Nabi Muhammad Saw. Menurut Sayyid al-Dandarawi, kesempurnaan Nabi Muhammad Saw. adalah kesempurnaan Islam yg universal. Bentuk konkret kesempurnaan ini adalah kerja dan usaha Sang Nabi dalam membentuk pribadi ideal, masyarakat, dan umat Islam. Yaitu, sebuah kesempurnaan yg saat ini wajib kita baca sesuai dengan konteks agama, masyarakat, dan umat Islam hari ini.
III. Mengenal Penulis Kitab Al-Isra’
Dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah jilid 1 halaman 229, Syaikh Ibnu Arabi mengatakan, “Aku jatuh sakit, parah sekali, sampai² aku disangka telah mati. Aku melihat sekelompok orang dengan penampilan buruk sekali, mereka hendak menyakitiku. Aku juga melihat ada seorang laki² tampan dengan aroma wangi semerbak, ia bergegas menolongku dengan cara mengalahkan mereka semua. Aku bertanya, ‘Siapa Anda?’ Dia jawab, ‘Aku surat Yasin. Aku mau menolongmu.’ Aku pun kemudian tersadar dari kondisi pingsanku itu. Sedangkan ayahku tampak sedang menangis, duduk di dekat kepalaku, Beliau membaca surat Yasin.”
Demikianlah, sejak awal, kehidupan spiritual Syaikh Ibnu Arabi memang telah dikehendaki menjadi tempat penampakan ilham², orang yg mukasyafah baik ketika terjaga maupun tatkala tertidur. Singkat kata, kami akan memperkenalkan Syaikh Ibnu Arabi sebagai orang yg mengalami dunia sadar (‘alam al-waqi’) ini, baik melalui simbol ataupun isyarat.
Dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah jilid 1 halaman 289, Syaikh Ibnu Arabi berkisah tentang ayahnya. Katanya, “Lima belas hari sebelum meninggal dunia, ayah memberitahuku tentang hari kematiannya, Beliau akan meninggal pada hari Rabu, dan ternyata kata²nya itu terbukti. Ketika hari kematian itu telah tiba, ayah dalam kondisi sakit yg sangat parah, Beliau duduk tegak tanpa bersandar. Ayah berkata kepadaku, “Wahai anakku, hari ini adalah hari perjalanan sekaligus perjumpaan.” Aku jawab, “Semoga Allah memberikan keselamatan dalam perjalananmu, dan memberkahi perjumpaanmu.””
Tahun demi tahun berlalu. Demikianlah Syaikh Ibnu Arabi menjalani hidup dengan melakukan amalan² agar dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dia berharap kelak mati dengan hati yg tulus dan rela hati untuk menempuh perjalanan menjumpai Tuhan, dengan perasaan tenang untuk menyambut keselamatan, dia betul² rindu akan sebuah perjumpaan dengan Tuhan.
1. Perjalanan Intelektual
Ayahanda Muhyiddin Ibnu Arabi, yg bernama Ali Ibnu Muhammad, berkebangsaan Arab dari garis keturunan Hatim al-Tha’i, lahir dan tumbuh dewasa di Andalusia. Ali Ibnu Muhammad adalah seorang Imam di bidang Hadits, Fiqih, ahli ibadah dan zuhud. Dia juga teman dekat Ibnu Rusyd, sang filsuf dari Cordoba.
Ayah Syaikh Ibnu Arabi tidak banyak tahu tentang tahapan² sufistik, ahwal dan maqam² kaum Sufi. Dia tidak terlalu mementingkan dunia batin sufisme melainkan lebih fokus mengerjakan ibadah dan menjalani kehidupan zuhud. Ali Ibnu Muhammad juga bergabung ke dalam halaqah2 orang² ahli ibadah dan zuhud, terus belajar untuk menguasai ilmu hadits dan ilmu fiqih. Jadi, dia adalah orang yg sangat alim, zahid, dan abid.
Ali Ibnu Muhammad menginginkan putranya kelak dapat mengikuti jejak langkahnya sendiri. Syaikh Ibnu Arabi diharapkan bergabung ke dalam halaqah orang² ahli ibadah dan zuhud. Dia pun sangat antusias dan serius dalam mempersiapkan semua pengajaran dan merancang ruang keilmuan bagi putranya, menjamin pendidikan keagamaannya dengan sempurna. Syaikh Ibnu Arabi, akhirnya, mulai menapaki jalan intelektualisme di bidang ilmu fiqih, hadits, dan sastra.
Pada suatu hari, Syaikh Ibnu Arabi ikut bersama ayahnya pergi meninggalkan tempat kelahirannya, Murcia, menuju Sevilla. Usianya pada waktu itu masih 8 tahun. Di Sevilla inilah, Syaikh Ibnu Arabi tumbuh dewasa dan belajar dengan tekun. Dia belajar membaca Al-Qur’an dengan tujuh macam qira’at, seperti dalam kitab al-Kafi, kepada Abu Bakar bin Khalaf, salah seorang ulama fiqih terkemuka di Sevilla. Dia pun menjadi mahir di bidang ini. Ketika telah menyelesaikan masa belajar Al-Qur’an, Ali bin Muhammad langsung menyerahkan putranya kepada guru² yg pakar di bidang hadits dan fiqih. Di usia yg masih sangat belia, Syaikh Ibnu Arabi sudah belajar kepada Ihnu Zarqun, al-Hafid Ibnu al-Jad, Abul Walid al-Hadhrami, dan Syaikh Abul Hasan Ibnu Nashr.
Semua jenis ilmu keislaman diperoleh Syaikh Ibnu Arabi pada usianya yg belum mencapai 20 tahun. Di usia inilah, kita melihat Syaikh Ibnu Arabi mulai melirik dunia khalwat, tasawuf, dan coba menjalani ahwal kaum Sufi. Khalwat adalah hal sufistik pertama yg dia coba. Seusai menjalani khalwat, dia turun gunung, menyampaikan seluruh ilmu yg dikuasainya, sesuai kapasitasnya. Masa pengajaran ini terjadi pada tahun 580 H/1184 M.
Tasawuf yg dijalani Syaikh Ibnu Arabi tidak menghancurkan ilmu² lain yg telah dipelajarinya. Sebaliknya, tasawuf menjadi tahapan pembuka yg mempermudah orientasi fiqih dan rasionalitasnya. Di sini, Syaikh Ibnu Arabi berbeda dengan Imam al-Ghazali. Bagi Imam al-Ghazali, tasawuf adalah penyelamat dari kesesatan. Sedang bagi Syaikh Ibnu Arabi, tasawuf adalah pelengkap.
Kita mungkin membagi periode kehidupan Syaikh Ibnu Arabi ke dalam empat periode: pertama, pembentukan cakrawala keilmuan selama tinggal di Andalusia, kedua, pengembaraan ke dunia Islam di Barat, ketiga, pengembaraan ke dunia Timur dan menetap di Mekkah, dan keempat, saat menetap di Damaskus.
A. Pertama, Pembentukan Cakrawala Keilmuan dan Amal
Dalam menapaki jalan intelektualitas, Syaikh Ibnu Arabi menempuh rute yg sama dengan ulama² hadits dan fiqih. Selain itu, kita juga tahu bahwa Syaikh Ibnu Arabi belajar dan menerima ahwal sufistik hanya dari ahlinya. Karena itulah, guru² Syaikh Ibnu Arabi sangat banyak, baik laki² maupun perempuan. Kita bisa mengetahui nama² mereka dalam karya² Syaikh Ibnu Arabi sendiri seperti al-Futuhat dan Risalah al-Quds.
Syaikh Ibnu Arabi belajar arti ‘ubudiyah kepada Abul Abbas al-‘Uryani, belajar menerima ilham² ilahiah dari Musa bin Imran al-Mirtali. Dia juga berguru kepada Abul Hujaj Yusuf al-Syubrabuli, salah seorang sufi yg bisa berjalan di atas air dan dikelilingi arwah² ghaib. Syaikh Ibnu Arabi belajar cara mengevaluasi diri kepada dua wali qutub: Abu Abdullah bin Mujahid dan Abu Abdullah bin Qaisum, belajar kesabaran menghadapi tekanan dari Abu Yahya al-Shanhaji al-Dharir.
Sedangkan Abu Abdullah mengajari Syaikh Ibnu Arabi tentang kemuliaan melakukan khalwat di dalam gelap, dengan menjauhi segala gangguan yg menyebabkan pikiran hilang fokus. Kebiasaan mengembara dan menempuh perjalanan jauh dipelajarinya dari Shaleh al-Barbari. Syaikh Ibnu Arabi juga mengabdi dan berkhidmat kepada seorang sufi perempuan bernama Fatimah bin Abul Mutsni selama dua tahun berturut-turut. Menurut ungkapan Syaikh Ibnu Arabi, Fatimah selalu bersama Allah, dan Allah Ta’ala menganugerahinya Surat al-Fatihah untuk menjadi khadamnya. Terakhir, Syaikh Ibnu Arabi belajar ilmu tawakkal kepada Abdullah al-Mauruni.
Begitulah kehidupan Syaikh Ibnu Arabi di Andalusia selama pernode pembentukan pengetahuan dan amal. Pembentukan cakrawala pengetahuan berarti mengabdi kepada orang² yg menjalani tarekat tersebut dalam rangka mempelajarinya. Sebab, pengabdian merupakan metode paling efisien untuk mencontoh karakter dan sifat guru yg dijadikan panutan dan teladan. Sedangkan amal berarti menjalankan khalwat, menjauhi keramaian, dan menempuh ahwal² sufistik yg dapat mendekatkan diri kepada Allah.
B. Kedua, Pengembaraan ke Dunia Islam di Barat
Syaikh Ibnu Arabi memulai pengembaraannya dari Afrika, suatu wilayah luas di luar batas negara Andalusia. Usianya pada waktu itu berkisar 30 tahun. Sekalipun ketenaran namanya di dunia tasawuf sudah tersebar luas, namun tujuan pengembaraan ini sebatas untuk berjumpa dengan orang² terkemuka di jamannya. Syaikh Ibnu Arabi ingin menyempurnakan sisi² Iain keilmuannya. Tidak ada batas akhir dalam menajamkan keilmuan, sebab di atas orang berilmu masih ada orang yg lebih berilmu.
Periode ini merupakan momen² istimewa. Syaikh Ibnu Arabi menempuh pengembaraan dan menemukan banyak pengalaman. Dimulai dari Fez, Bijaya, Tunis, kemudian kembali ke Sevilla dan Murcia. Perjalanannya yg kedua juga demikian. Selama masa pengembaraan ini, jiwa Syaikh Ibnu Arabi banyak mengalami visi² spiritual dan mendapat kabar² gembira. Sedangkan tangannya disibukkan dengan mencatat dan mengarang kitab.
C. Ketiga, Pengembaraan ke Timur (597-620 H)
Pada 597 H di usianya yg ke 37, Syaikh Ibnu Arabi memulai suatu tahapan penting dalam hidupnya. Dia akan kembali memulai pengembaraan, pengembaraan terakhir, yg pergi ke negara² Islam di Timur. Pengembaraannya ini adalah sebuah tafsiran atas suatu visi yg telah dilihatnya. Setelah melakukan perjalanan di Tunis, Kairo, dan Iskandariyah, kita melihat Syaikh Ibnu Arabi menempati kota² lain yg terpisah-pisah seperti Baghdad dan Konya, kemudian tinggal di Mekkah lebih lama. Dia sedang merampungkan eksiklopedi sufistiknya yg berjudul al-Futuhat al-Makkiyah.
Periode ini juga merupakan tahapan penting dalam kehidupan Syaikh Ibnu Arabi. Dia sempat berjumpa dengan tokoh² sufi terkemuka, termasuk Syaikh Syihabuddin al-Suhrawardi pada 608 H di Baghdad. Kehormatan dan penghargaan didapatnya dari para raja dan sultan. Bahkan, Raja Kaikawus I turun dari kursinya untuk menyambut kedatangan Syaikh Ibnu Arabi. Kata² Syaikh Ibnu Arabi didengar (dipatuhi) oleh al-Malik al-Dhahir, penguasa Kota Halb, putra Shalahuddin al-Ayyubi.
D. Keempat, Menetap di Damaskus (620-638 H)
Ketika usia Syaikh Ibnu Arabi mencapai 60 tahun, ketenarannya sudah tersebar luas di seluruh penjuru dunia Islam. Para raja berlomba-lomba untuk menemuinya. Orang² berdesak-desakan agar bisa duduk di depan pintunya untuk menimba ilmu dan belajar. Akan tetapi, kondisi kesehatan yg memburuk memaksa Syaikh Ibnu Arabi lebih banyak beristirahat. Tidak ada satu pun tempat yg lebih baik dan banyak memberi penghargaan kepada Syaikh Ibnu Arabi dibandingkan kota Damaskus.
Syaikh Ibnu Arabi berwasiat, “Jika kalian memiliki kemampuan untuk tinggal di Syam maka lakukanlah. Sebab Rasulullah Saw. bersabda agar kalian tinggal menetap di Syam. Karena di tanah Syam inilah Allah menurunkan kebaikan²Nya, dan di sana pula Allah menentukan hamba²Nya yg terpilih.”
Di Damaskus ini Syaikh Ibnu Arabi menikmati beragam penghargaan dan kehormatan. Ia disambut sebagai tamu al-Qadhi Muhyiddin Ibnu al-Zaki, yg dikenal memiliki hubungan akrab dengan Shalahuddin al-Ayyubi. Syamsuddin Ahmad al-Khuli, Qadhil Qudhat Mazhab Maliki juga mengabdikan diri kepada Syaikh Ibnu Arabi. Al-Malik al-Asyraf ibnu al-Malik al-Adil selalu mengikuti jam² pelajaran Syaikh Ibnu Arabi, dan pada 632 H dia mendapat ijazah langsung dari Syaikh Ibnu Arabi untuk meriwayatkan seluruh karya²nya.
Demikianlah kehidupan Syaikh Ibnu Arabi yg diliputi oleh beragam kehormatan dan kemuliaan. Dia pergi meninggalkan kehidupan dunia ini pada 638 H dengan membawa bermacam-macam keagungan.
2. Syaikh Ibnu Arabi: Intelektual dan Penulis Intuitif
Sejak menyelesaikan masa khalwatnya yg pertama pada 580 H di usia ke 20, Syaikh Ibnu Arabi sudah banyak memperoleh bermacam-macam ilham, kasyaf, pencerahan, dan visi dalam mimpi. Semua peristiwa ini terjadi semasa hidup ayahnya, yg sama sekali tidak mengingkari ahwal sufistik semacam itu. Akan tetapi sang ayah tidak mampu menafsiri pengalaman spiritual putranya tersebut. Salahsatu sahabat ayah Syaikh Ibnu Arabi, seorang filsuf terkenal, Ibnu Rusyd, meminta ayah Syaikh Ibnu Arabi untuk menunjukkan putranya. Syaikh Ibnu Arabi pun diutus untuk menjumpai, sowan kepada Ibnu Rusyd, demi sebuah kepentingan yg telah disepakati.
Syaikh Ibnu Arabi menuturkan kisahnya: “Ketika aku menemuinya (Ibnu Rusyd), dia bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan ke arahku dengan perasaan cinta dan penuh penghormatan. Dia memelukku sambil bertanya, ‘Betul?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Kebahagiaan yg dirasakannya semakin membuncah karena paham akan makna dari ucapanku. Selanjutnya, aku meminta penjelasan apa yg membuatnya bahagia, dan aku katakan lagi kepadanya, ‘Tidak.’ Dia pun tampak lesu dan warna kulitnya berubah. Dia ragu terhadap apa yg telah diyakininya sendiri selama ini. Dia bertanya padaku, ‘Bagaimana kalian memperoleh pengetahuan melalui kasyaf dan intuisi ilahiah, apakah hal seperti itu merupakan pengetahuan yg dapat dicapai melalui penalaran diskursif?’ Aku jawab, ‘Ya dan tidak. Di antara ya dan tidak, arwah² meninggalkan materi, dan leher² tanggal dari badan²nya.’”
Berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi, ini adalah momen dimana Ibnu Rusyd melihat dengan mata kepala ahwal ilmu kasyaf yg terdapat di dalam diri Syaikh Ibnu Arabi. Ibnu Rusyd berkata, “Ini adalah perkara yg kami yakini. Namun, kami belum sekali pun melihat langsung orang yg betul² menguasainya. Segala puji bagi Allah yg telah menghidupkan saya di suatu masa, dimana saya bisa berjumpa langsung dengan seseorang yg betul² menguasainya. Orang itu menjadi kunci pembuka bagi pintu² yg selama ini terkunci rapat. Segala puji bagi Allah yg telah memberiku kesempatan untuk berjumpa langsung dengan orang itu.”
Peristiwa tersebut adalah bukti kedudukan Syaikh Ibnu Arabi, yg sejak dini telah mampu melumpuhkan pikiran seorang filsuf besar dari Cordoba dan memaksa sang filsuf mengakui kehebatan dan skill khusus yg dimiliki Syaikh Ibnu Arabi. Peristiwa tersabut merupakan representasi kebangkitan era baru dalam pemikiran sufisme, yaitu era ilmu mukasyafah. Jenis pengetahuan ini akan menyaingi pengetahuan yg diperoleh melalui penalaran diskursif filosofis dalam dunia Islam. Syaikh Ibnu Arabi menghadirkan metode sufistik tersendiri dan melihat hal² metafisika dengan mata kepala, suatu realitas yg saling melengkapi tentang pemahaman mengenai konsep Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Pada mulanya berupa kabar² gembira, yaitu mimpi² yg secara simbolik membimbing Syaikh Ibnu Arabi meraih kedudukan tinggi, yg telah menunggunya di alam ‘irfani dan tasthir, alam Lauh dan Qalam. Berita² dan mimpi² ini membuat batinnya lebih berhati-hati, terlebih ketika mengalami mimpi penuh ilham. Tanpa keraguan sedikit pun Syaikh Ibnu Arabi menafsiri mimpi yg dialaminya di Bijaya, yg terjadi pada bulan Ramadhan 957 H. Dia bermimpi dirinya bersatu dengan seluruh bintang² di langit tanpa terkecuali. Sedang bintang² itu bertuliskan seluruh huruf² hija’iyah, lalu Syaikh Ibnu Arabi merasa menikahinya.
Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Aku menceritakan mimpiku itu kepada seseorang yg ‘arif dan pandai menafsiri mimpi. Setelah mimpi itu disampaikan kepadanya, dia kagum dan takjub. Dia berkata, “Orang yg mengalami mimpi seperti ini akan mendapatkan pengetahuan² tertinggi, rahasia² ghaib, dan pengetahuan tentang keistimewaan bintang². Yaitu, pengetahuan yg tak akan dimiliki oleh seorang pun pada masanya.
Menurut saya, mimpi tersebut menegaskan tentang dua hal: ilham dan pengalaman yg juga dialami oleh Syaikh Ibnu Arabi, tokoh terkemuka dan bijaksana dari Murcia. Orang arif, yg tahu banyak tentang mimpi dan menafsiri mimpi Syaikh Ibnu Arabi, bahwa si pemimpi akan memperoleh pengetahuan² tertinggi dan rahasia² ghaib, hanya memberikan penafsiran sepotong, yaitu pada bagian pertamanya. Si penafsir mengabaikan isyarat lain, yaitu adanya huruf² hija’iyah.
Isyarat tersebut, menurut saya, sangat penting. Isyarat tersebut menegaskan keistimewaan khusus ilham Syaikh Ibnu Arabi. Secara simbolik, isyarat tersebut mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi memiliki instrumen bahasa untuk mengungkapkan ide²nya. Syaikh Ibnu Arabi tidak sekadar memperoleh ilham berupa gagasan dan ide semata, melainkan juga memiliki alat dan media berupa kata dan kalimat. Arti mimpi ini akan lebih jelas lagi dalam dua poin berikut:
A. Intelektual Intuitif
Sebelum Syaikh Ibnu Arabi muncul, ahwal kaum sufi sangat beragam. Karenanya kitab, ilmu, dan ucapan² mereka juga bermacam-macam. Seorang pemula yg ingin mempelajari tasawuf dan berkepentingan untuk sampai pada puncak pengetahuan tentangnya, harus membaca seluruh karya tersebut dan mengumpulkan petuah² yg berserakan ke dalam satu buku. Imam Junayd al-Baghdadi misalnya, seorang syaikh thaifah, mengarahkan konsentrasi sufistiknya kepada ajaran tauhid. Al-Junayd adalah sufi yg pakar di bidang tauhid, mengalami fana’ dalam tauhid, dan hanya tahu tentang tauhid.
Berikutnya adalah al-Hallaj. Dia adalah tokoh sufi yg hatinya diselimuti kerinduan, syair²nya menegaskan tentang desah kerinduan yg mendalam. Kerinduan hati yg terbakar oleh cinta, wujud, dan fana’. Ada juga al-Naffari. Dia hanya berdiam saja, tidak mau beranjak pergi, matanya menatap benda², namun tidak melihatnya, karena dia takut berpalingan dari Allah, takut benda² itu menjadi penghalang bagi telinganya untuk mendengar bisikan suara² ilahiah. Dalam pandangan al-Naffari, jagad semesta tampak tiada. Yg ada hanyalah yg bicara (mukhathib), lawan bicara (mukhathab), dan isi pembicaraan (khithab).
Andaikan kami menghadirkan seluruh jenis ahwal kaum sufi yg mendahului Syaikh Ibnu Arabi maka niscaya tidak cukup ruang untuk itu. Di sinilah Syaikh Ibnu Arabi berbeda dengan seluruh kaum sufi. Dia tidak hanya memiliki satu jenis ahwal. Dia menempatkan seluruh aktivitas dan konsentrasi sufismenya ke dalam satu jalan, sehingga petuah² sufisme Syaikh Ibnu Arabi yg sangat subjektif dapat memasuki ruang² yg lebih luas di dalam ragam ilmu pengetahuan.
Betul, Syaikh Ibnu Arabi meninggalkan ahwal sufistik yg subjektif menuju tema² ilmu pengetahuan. Akan tetapi usaha itu sendiri adalah murni sufisme. Sebab jika kita meneliti lebih detail sumber² dan rujukan keilmuan Syaikh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf maka kita akan menemukannya dalam al-Futuhat al-Makkiyah, al-Musyahadat, al-Ilhamat, dan al-Ru’ya al-Manamiyah.
Ringkasnya, disiplin keilmuan Syaikh Ibnu Arabi merupakan disiplin keilmuan intuitif (ilhami) dan ladunni. Hal semacam ini tidak asing lagi bagi seseorang yg telah mendapatkan jubah kesufian dari Nabi Khidir as. sebanyak tiga kali. Menerima “jubah” adalah tindakan simbolik yg menjelaskan bahwa dirinya telah belajar dan ikut serta dalam ahwal dan jalan sufi. Sebagaimana Nabi Khidir as. sendiri mendapat ilmu langsung dari Allah Ta’ala secara ladunni, begitu pula Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi. Dia adalah salah satu orang terpilih, yg akan menerima ilmu ladunni dari Allah Ta’ala, yaitu, pengetahuan intuisi dalam beragam bentuknya.
Bagi Syaikh Ibnu Arabi, visi dalam mimpi menjadi pintu masuk ke dalam dunia rahasia, alam ghaib dan pengetahuan ladunni. Yg demikian ini bukan hal mustahil, baik secara rasional maupun agama, terlebih bagi orang² yg istiqamah dalam kesadaran dan membersihkan kotoran dari kedalaman jiwanya. Karena itulah, Allah memuliakan mereka dengan cara membiarkan ruh² mereka melepaskan diri dari kungkungan dunia materi, melepaskan ruh dari tubuh, selama dalam mimpi.
Ruh² itu, kemudian, terbang tinggi ke ufuk² langit, meninggalkan bumi, menyaksikan alam malaikat dan malakut. Dengan perasaan damai, ruh² itu kembali lagi, merasuk ke dalam tubuh² suci mereka. Ketika relung jiwa yg paling dalam telah bersih maka visi misterius akan terjadi.
Kitab yg kami sebar luaskan ini bersumber dari mimpi² Syaikh Ibnu Arabi. Dia melihat langsung tempat tertinggi, mimpi seorang muslim beriman, yg badannya suci, dan jiwanya bersih. Di dalam kitab ini, Syaikh Ibnu Arabi mencapai tempat tersebut. Dialah orang yg ditunjuk untuk menerima makrifat dan ‘irfani.
Demikianlah Syaikh Ibnu Arabi. Dia tidak sekadar memiliki satu jenis hal sufistik. Dia mengembara dalam beragam dunia intuisi ilahiah. Di sepanjang pengembaraan ini Syaikh Ibnu Arabi tidak pemah mengabaikan patokan rasionalitas religius. Dia selalu mengikuti jalan para sufi sesuai konteks keilmuan mereka. Ringkas kata, seperti yg diungkapkannya sendiri, “Setiap kali terbersit dalam hatiku bisikan yg pernah terlintas dalam hati mereka maka aku baru bisa menerimanya apabila didukung oleh dua saksi yg adil: Al-Qur’an dan Hadits.”
Inilah Syaikh Ibnu Arabi. Di samping tumbuh dewasa dalam lingkar orang² yg menguasai disiplin keilmuan fiqih dan hadits, ilmu pengetahuannya yg intuitif juga didasarkan pada dua saksi: Al-Qur’an dan Hadits. Kami tidak menemukan karya² Syaikh Ibnu Arabi yg tidak berisikan isyarat² Al-Qur’an dan Hadits.
B. Penulis Intuitif
Kita terbiasa melihat para penyair bermain dengan keindahan kata² dan para cendekiawan mengedepankan kedalaman makna serta suka meramal struktur alam semesta. Akan tetapi kaum sufi memperlihatkan kepada kita kemampuan mereka dalam menggabungkan ketinggian dan kedalaman makna sekaligus keindahan dan estetika bahasa bercita rasa tinggi. Karena itulah sepanjang perjalanan sejarah karya² sufistik terkenal dengan keagungan gagasan plus cita rasa estetikanya yg tinggi. Berpuluh-puluh buku ditulis untuk mengkajinya.
Seorang sufi dengan mata hati yg tercerahkan dan jiwa yg lembut tidak pernah mengungkapkan kata² kecuali ia merupakan buah makrifat, yg menyenangkan di mata dan telinga. Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang di antara mereka yg mampu menggabungkan keindahan kata dan kedalaman makna, yg berjuang untuk sampai pada puncak ketinggian tema dan kata².
Sejak semula Syaikh Ibnu Arabi sudah mendalami dunia kesusastraan, merangkai kata dalam bentuk prosa dan puisi. Dia suka membaca buku² sastra dan yg berisi kata² indah. Bahkan dia bertugas mengurusi penulisan kesusastraan Sevilla, dimana jabatan tersebut tidak diserahkan kepada sembarang orang, kecuali dia yg menguasai skill istimewa.
Syaikh Ibnu Arabi memulai kariernya dengan mengarang, sebab dia termasuk orang yg selalu mendapat ilham berupa ide dan gagasan, sehingga dia mencurahkan segala tenaga untuk menuangkan gagasan²nya itu. Demikianlah yg kami temukan dalam karya² awalnya, seperti kitab Mawaqi’ al-Nujum, Risalat al-Asfar, termasuk pula kitab yg Anda pegang ini. Kitab ini ditulis pada selang waktu dimana Syaikh Ibnu Arabi sedang mengarang tentang huruf² yg inspirasinya didapat dari berbagai tempat.
Akan tetapi setelah tahun 597 H, setelah mengalami mimpi menikahi huruf² hija’iyah, karya² Syaikh Ibnu Arabi secara berkelanjutan menampilkan struktur kepenulisan yg baru, dan simbol² yg disuguhkan dalam setiap pengantar karya²nya, seperti pada al-Futuhat al-Makkiyah misalnya, yg mulai ditulis sejak tahun 598 H di Mekkah, juga menghadirkan ilham baru, yaitu, ilham dalam struktur bangunan kitab, bukan sekedar pada tema² yg dibahasnya.
Dalam mukaddimah karya terakhirnya Fushush al-Hikam, kita memiliki bukti kuat berupa teks yg secara tegas menjelaskan tentang puncak ilham yg dicapai Syaikh Ibnu Arabi.
Kita punya landasan kokoh untuk menyatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi tiduk sekedar penulis yg mendapat ilham atau intuisi dalam hal gagasan dan ide melainkan juga seorang penulis yg kata² dan kalimatnya adalah ilham. Dalam mukaddimah kitab itu, halaman 4, Syaikh Ibnu Arabi mengatakan, “Aku melihat Rasulullah Saw. membawa kabar gembira pada tanggal 10 terakhir bulan Muharam tahun 627 H di wilayah Damaskus. Di tangan Beliau terdapat sebuah kitab. Beliau bersabda kepadaku, “Ini kitab Fushush al-Hikam, ambillah. Sampaikan kepada orang². Mereka akan banyak memetik manfaat dari kitab ini.” Aku jawab, “Kepatuhan dan ketundukan sepenuhnya untuk Allah, Rasul-Nya, dan ulul amri, sebagaimana kami diperintahkan berbuat demikian.’
Aku pun meluruskan niat, dan memfokuskan keinginan dan cita² untuk menghadirkan kitab ini untuk khalayak ramai seperti yg diperintahkan Rasulullah Saw. kepadaku, tanpa sedikitpun ada penambahan atau pengurangan. Aku memohon kepada Allah supaya mengistimewakanku dalam segala apa yg ditulis oleh jari jemari dan diucapkan oleh lidah, yaitu, keistimewaan berupa pancaran subuh (ilqa’ subuhi) dan tiupan jiwa, sehingga aku ini hanya sekadar penerjemah dan bukannya pengambil keputusan. Semua yg kuterima memang seperti apa adanya, dan semua yg kutulis dalam kalimat² ini memang demikianlah yg sampai kepadaku. Aku bukan seorang nabi apalagi rasul. Aku hanya seorang pewaris, dan penjaga kehidupan akhiratku.”
Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang penulis yg kata²nya adalah ilham, semua ide dan makna yg ditangkapnya dituangkan dalam kata² tanpa penambahan maupun pengurangan. Ilham pengetahuan tidak berarti pengingkaran terhadap wahyu kenabian. Sebab wahyu kenabian itu adalah wahyu untuk memberlakukan syariat. Sementara ilhamnya para wali dan kaum sufi tidaklah demikian. Ia hanya sejenis pencerahan (futuh) untuk lebih memahami wahyu kenabian, semacam pembacaan kritis dan hudhuri atas syariat nubuat.
III.A. Perjalanan Intelektual
Ayahanda Muhyiddin Ibnu Arabi, yg bernama Ali Ibnu Muhammad, berkebangsaan Arab dari garis keturunan Hatim al-Tha’i, lahir dan tumbuh dewasa di Andalusia. Ali Ibnu Muhammad adalah seorang Imam di bidang Hadits, Fiqih, ahli ibadah dan zuhud. Dia juga teman dekat Ibnu Rusyd, sang filsuf dari Cordoba.
Ayah Syaikh Ibnu Arabi tidak banyak tahu tentang tahapan² sufistik, ahwal dan maqam² kaum Sufi. Dia tidak terlalu mementingkan dunia batin sufisme melainkan lebih fokus mengerjakan ibadah dan menjalani kehidupan zuhud. Ali Ibnu Muhammad juga bergabung ke dalam halaqah2 orang² ahli ibadah dan zuhud, terus belajar untuk menguasai ilmu hadits dan ilmu fiqih. Jadi, dia adalah orang yg sangat alim, zahid, dan abid.
Ali Ibnu Muhammad menginginkan putranya kelak dapat mengikuti jejak langkahnya sendiri. Syaikh Ibnu Arabi diharapkan bergabung ke dalam halaqah orang² ahli ibadah dan zuhud. Dia pun sangat antusias dan serius dalam mempersiapkan semua pengajaran dan merancang ruang keilmuan bagi putranya, menjamin pendidikan keagamaannya dengan sempurna. Syaikh Ibnu Arabi, akhirnya, mulai menapaki jalan intelektualisme di bidang ilmu fiqih, hadits, dan sastra.
Pada suatu hari, Syaikh Ibnu Arabi ikut bersama ayahnya pergi meninggalkan tempat kelahirannya, Murcia, menuju Sevilla. Usianya pada waktu itu masih 8 tahun. Di Sevilla inilah, Syaikh Ibnu Arabi tumbuh dewasa dan belajar dengan tekun. Dia belajar membaca Al-Qur’an dengan tujuh macam qira’at, seperti dalam kitab al-Kafi, kepada Abu Bakar bin Khalaf, salah seorang ulama fiqih terkemuka di Sevilla. Dia pun menjadi mahir di bidang ini. Ketika telah menyelesaikan masa belajar Al-Qur’an, Ali bin Muhammad langsung menyerahkan putranya kepada guru² yg pakar di bidang hadits dan fiqih. Di usia yg masih sangat belia, Syaikh Ibnu Arabi sudah belajar kepada Ihnu Zarqun, al-Hafid Ibnu al-Jad, Abul Walid al-Hadhrami, dan Syaikh Abul Hasan Ibnu Nashr.
Semua jenis ilmu keislaman diperoleh Syaikh Ibnu Arabi pada usianya yg belum mencapai 20 tahun. Di usia inilah, kita melihat Syaikh Ibnu Arabi mulai melirik dunia khalwat, tasawuf, dan coba menjalani ahwal kaum Sufi. Khalwat adalah hal sufistik pertama yg dia coba. Seusai menjalani khalwat, dia turun gunung, menyampaikan seluruh ilmu yg dikuasainya, sesuai kapasitasnya. Masa pengajaran ini terjadi pada tahun 580 H/1184 M.
Tasawuf yg dijalani Syaikh Ibnu Arabi tidak menghancurkan ilmu² lain yg telah dipelajarinya. Sebaliknya, tasawuf menjadi tahapan pembuka yg mempermudah orientasi fiqih dan rasionalitasnya. Di sini, Syaikh Ibnu Arabi berbeda dengan Imam al-Ghazali. Bagi Imam al-Ghazali, tasawuf adalah penyelamat dari kesesatan. Sedang bagi Syaikh Ibnu Arabi, tasawuf adalah pelengkap.
Kita mungkin membagi periode kehidupan Syaikh Ibnu Arabi ke dalam empat periode: pertama, pembentukan cakrawala keilmuan selama tinggal di Andalusia, kedua, pengembaraan ke dunia Islam di Barat, ketiga, pengembaraan ke dunia Timur dan menetap di Mekkah, dan keempat, saat menetap di Damaskus.
A. Pertama, Pembentukan Cakrawala Keilmuan dan Amal
Dalam menapaki jalan intelektualitas, Syaikh Ibnu Arabi menempuh rute yg sama dengan ulama² hadits dan fiqih. Selain itu, kita juga tahu bahwa Syaikh Ibnu Arabi belajar dan menerima ahwal sufistik hanya dari ahlinya. Karena itulah, guru² Syaikh Ibnu Arabi sangat banyak, baik laki² maupun perempuan. Kita bisa mengetahui nama² mereka dalam karya² Syaikh Ibnu Arabi sendiri seperti al-Futuhat dan Risalah al-Quds.
Syaikh Ibnu Arabi belajar arti ‘ubudiyah kepada Abul Abbas al-‘Uryani, belajar menerima ilham² ilahiah dari Musa bin Imran al-Mirtali. Dia juga berguru kepada Abul Hujaj Yusuf al-Syubrabuli, salah seorang sufi yg bisa berjalan di atas air dan dikelilingi arwah² ghaib. Syaikh Ibnu Arabi belajar cara mengevaluasi diri kepada dua wali qutub: Abu Abdullah bin Mujahid dan Abu Abdullah bin Qaisum, belajar kesabaran menghadapi tekanan dari Abu Yahya al-Shanhaji al-Dharir.
Sedangkan Abu Abdullah mengajari Syaikh Ibnu Arabi tentang kemuliaan melakukan khalwat di dalam gelap, dengan menjauhi segala gangguan yg menyebabkan pikiran hilang fokus. Kebiasaan mengembara dan menempuh perjalanan jauh dipelajarinya dari Shaleh al-Barbari. Syaikh Ibnu Arabi juga mengabdi dan berkhidmat kepada seorang sufi perempuan bernama Fatimah bin Abul Mutsni selama dua tahun berturut-turut. Menurut ungkapan Syaikh Ibnu Arabi, Fatimah selalu bersama Allah, dan Allah Ta’ala menganugerahinya Surat al-Fatihah untuk menjadi khadamnya. Terakhir, Syaikh Ibnu Arabi belajar ilmu tawakkal kepada Abdullah al-Mauruni.
Begitulah kehidupan Syaikh Ibnu Arabi di Andalusia selama pernode pembentukan pengetahuan dan amal. Pembentukan cakrawala pengetahuan berarti mengabdi kepada orang² yg menjalani tarekat tersebut dalam rangka mempelajarinya. Sebab, pengabdian merupakan metode paling efisien untuk mencontoh karakter dan sifat guru yg dijadikan panutan dan teladan. Sedangkan amal berarti menjalankan khalwat, menjauhi keramaian, dan menempuh ahwal² sufistik yg dapat mendekatkan diri kepada Allah.
B. Kedua, Pengembaraan ke Dunia Islam di Barat
Syaikh Ibnu Arabi memulai pengembaraannya dari Afrika, suatu wilayah luas di luar batas negara Andalusia. Usianya pada waktu itu berkisar 30 tahun. Sekalipun ketenaran namanya di dunia tasawuf sudah tersebar luas, namun tujuan pengembaraan ini sebatas untuk berjumpa dengan orang² terkemuka di jamannya. Syaikh Ibnu Arabi ingin menyempurnakan sisi² Iain keilmuannya. Tidak ada batas akhir dalam menajamkan keilmuan, sebab di atas orang berilmu masih ada orang yg lebih berilmu.
Periode ini merupakan momen² istimewa. Syaikh Ibnu Arabi menempuh pengembaraan dan menemukan banyak pengalaman. Dimulai dari Fez, Bijaya, Tunis, kemudian kembali ke Sevilla dan Murcia. Perjalanannya yg kedua juga demikian. Selama masa pengembaraan ini, jiwa Syaikh Ibnu Arabi banyak mengalami visi² spiritual dan mendapat kabar² gembira. Sedangkan tangannya disibukkan dengan mencatat dan mengarang kitab.
C. Ketiga, Pengembaraan ke Timur (597-620 H)
Pada 597 H di usianya yg ke 37, Syaikh Ibnu Arabi memulai suatu tahapan penting dalam hidupnya. Dia akan kembali memulai pengembaraan, pengembaraan terakhir, yg pergi ke negara² Islam di Timur. Pengembaraannya ini adalah sebuah tafsiran atas suatu visi yg telah dilihatnya. Setelah melakukan perjalanan di Tunis, Kairo, dan Iskandariyah, kita melihat Syaikh Ibnu Arabi menempati kota² lain yg terpisah-pisah seperti Baghdad dan Konya, kemudian tinggal di Mekkah lebih lama. Dia sedang merampungkan eksiklopedi sufistiknya yg berjudul al-Futuhat al-Makkiyah.
Periode ini juga merupakan tahapan penting dalam kehidupan Syaikh Ibnu Arabi. Dia sempat berjumpa dengan tokoh² sufi terkemuka, termasuk Syaikh Syihabuddin al-Suhrawardi pada 608 H di Baghdad. Kehormatan dan penghargaan didapatnya dari para raja dan sultan. Bahkan, Raja Kaikawus I turun dari kursinya untuk menyambut kedatangan Syaikh Ibnu Arabi. Kata² Syaikh Ibnu Arabi didengar (dipatuhi) oleh al-Malik al-Dhahir, penguasa Kota Halb, putra Shalahuddin al-Ayyubi.
D. Keempat, Menetap di Damaskus (620-638 H)
Ketika usia Syaikh Ibnu Arabi mencapai 60 tahun, ketenarannya sudah tersebar luas di seluruh penjuru dunia Islam. Para raja berlomba-lomba untuk menemuinya. Orang² berdesak-desakan agar bisa duduk di depan pintunya untuk menimba ilmu dan belajar. Akan tetapi, kondisi kesehatan yg memburuk memaksa Syaikh Ibnu Arabi lebih banyak beristirahat. Tidak ada satu pun tempat yg lebih baik dan banyak memberi penghargaan kepada Syaikh Ibnu Arabi dibandingkan kota Damaskus.
Syaikh Ibnu Arabi berwasiat, “Jika kalian memiliki kemampuan untuk tinggal di Syam maka lakukanlah. Sebab Rasulullah Saw. bersabda agar kalian tinggal menetap di Syam. Karena di tanah Syam inilah Allah menurunkan kebaikan²Nya, dan di sana pula Allah menentukan hamba²Nya yg terpilih.”
Di Damaskus ini Syaikh Ibnu Arabi menikmati beragam penghargaan dan kehormatan. Ia disambut sebagai tamu al-Qadhi Muhyiddin Ibnu al-Zaki, yg dikenal memiliki hubungan akrab dengan Shalahuddin al-Ayyubi. Syamsuddin Ahmad al-Khuli, Qadhil Qudhat Mazhab Maliki juga mengabdikan diri kepada Syaikh Ibnu Arabi. Al-Malik al-Asyraf ibnu al-Malik al-Adil selalu mengikuti jam² pelajaran Syaikh Ibnu Arabi, dan pada 632 H dia mendapat ijazah langsung dari Syaikh Ibnu Arabi untuk meriwayatkan seluruh karya²nya.
Demikianlah kehidupan Syaikh Ibnu Arabi yg diliputi oleh beragam kehormatan dan kemuliaan. Dia pergi meninggalkan kehidupan dunia ini pada 638 H dengan membawa bermacam-macam keagungan.
III.B. Syaikh Ibnu Arabi: Intelektual dan Penulis Intuitif
Sejak menyelesaikan masa khalwatnya yg pertama pada 580 H di usia ke 20, Syaikh Ibnu Arabi sudah banyak memperoleh bermacam-macam ilham, kasyaf, pencerahan, dan visi dalam mimpi. Semua peristiwa ini terjadi semasa hidup ayahnya, yg sama sekali tidak mengingkari ahwal sufistik semacam itu. Akan tetapi sang ayah tidak mampu menafsiri pengalaman spiritual putranya tersebut. Salahsatu sahabat ayah Syaikh Ibnu Arabi, seorang filsuf terkenal, Ibnu Rusyd, meminta ayah Syaikh Ibnu Arabi untuk menunjukkan putranya. Syaikh Ibnu Arabi pun diutus untuk menjumpai, sowan kepada Ibnu Rusyd, demi sebuah kepentingan yg telah disepakati.
Syaikh Ibnu Arabi menuturkan kisahnya: “Ketika aku menemuinya (Ibnu Rusyd), dia bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan ke arahku dengan perasaan cinta dan penuh penghormatan. Dia memelukku sambil bertanya, ‘Betul?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Kebahagiaan yg dirasakannya semakin membuncah karena paham akan makna dari ucapanku. Selanjutnya, aku meminta penjelasan apa yg membuatnya bahagia, dan aku katakan lagi kepadanya, ‘Tidak.’ Dia pun tampak lesu dan warna kulitnya berubah. Dia ragu terhadap apa yg telah diyakininya sendiri selama ini. Dia bertanya padaku, ‘Bagaimana kalian memperoleh pengetahuan melalui kasyaf dan intuisi ilahiah, apakah hal seperti itu merupakan pengetahuan yg dapat dicapai melalui penalaran diskursif?’ Aku jawab, ‘Ya dan tidak. Di antara ya dan tidak, arwah² meninggalkan materi, dan leher² tanggal dari badan²nya.’”
Berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi, ini adalah momen dimana Ibnu Rusyd melihat dengan mata kepala ahwal ilmu kasyaf yg terdapat di dalam diri Syaikh Ibnu Arabi. Ibnu Rusyd berkata, “Ini adalah perkara yg kami yakini. Namun, kami belum sekali pun melihat langsung orang yg betul² menguasainya. Segala puji bagi Allah yg telah menghidupkan saya di suatu masa, dimana saya bisa berjumpa langsung dengan seseorang yg betul² menguasainya. Orang itu menjadi kunci pembuka bagi pintu² yg selama ini terkunci rapat. Segala puji bagi Allah yg telah memberiku kesempatan untuk berjumpa langsung dengan orang itu.”
Peristiwa tersebut adalah bukti kedudukan Syaikh Ibnu Arabi, yg sejak dini telah mampu melumpuhkan pikiran seorang filsuf besar dari Cordoba dan memaksa sang filsuf mengakui kehebatan dan skill khusus yg dimiliki Syaikh Ibnu Arabi. Peristiwa tersabut merupakan representasi kebangkitan era baru dalam pemikiran sufisme, yaitu era ilmu mukasyafah. Jenis pengetahuan ini akan menyaingi pengetahuan yg diperoleh melalui penalaran diskursif filosofis dalam dunia Islam. Syaikh Ibnu Arabi menghadirkan metode sufistik tersendiri dan melihat hal² metafisika dengan mata kepala, suatu realitas yg saling melengkapi tentang pemahaman mengenai konsep Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Pada mulanya berupa kabar² gembira, yaitu mimpi² yg secara simbolik membimbing Syaikh Ibnu Arabi meraih kedudukan tinggi, yg telah menunggunya di alam ‘irfani dan tasthir, alam Lauh dan Qalam. Berita² dan mimpi² ini membuat batinnya lebih berhati-hati, terlebih ketika mengalami mimpi penuh ilham. Tanpa keraguan sedikit pun Syaikh Ibnu Arabi menafsiri mimpi yg dialaminya di Bijaya, yg terjadi pada bulan Ramadhan 957 H. Dia bermimpi dirinya bersatu dengan seluruh bintang² di langit tanpa terkecuali. Sedang bintang² itu bertuliskan seluruh huruf² hija’iyah, lalu Syaikh Ibnu Arabi merasa menikahinya.
Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Aku menceritakan mimpiku itu kepada seseorang yg ‘arif dan pandai menafsiri mimpi. Setelah mimpi itu disampaikan kepadanya, dia kagum dan takjub. Dia berkata, “Orang yg mengalami mimpi seperti ini akan mendapatkan pengetahuan² tertinggi, rahasia² ghaib, dan pengetahuan tentang keistimewaan bintang². Yaitu, pengetahuan yg tak akan dimiliki oleh seorang pun pada masanya.
Menurut saya, mimpi tersebut menegaskan tentang dua hal: ilham dan pengalaman yg juga dialami oleh Syaikh Ibnu Arabi, tokoh terkemuka dan bijaksana dari Murcia. Orang arif, yg tahu banyak tentang mimpi dan menafsiri mimpi Syaikh Ibnu Arabi, bahwa si pemimpi akan memperoleh pengetahuan² tertinggi dan rahasia² ghaib, hanya memberikan penafsiran sepotong, yaitu pada bagian pertamanya. Si penafsir mengabaikan isyarat lain, yaitu adanya huruf² hija’iyah.
Isyarat tersebut, menurut saya, sangat penting. Isyarat tersebut menegaskan keistimewaan khusus ilham Syaikh Ibnu Arabi. Secara simbolik, isyarat tersebut mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi memiliki instrumen bahasa untuk mengungkapkan ide²nya. Syaikh Ibnu Arabi tidak sekadar memperoleh ilham berupa gagasan dan ide semata, melainkan juga memiliki alat dan media berupa kata dan kalimat. Arti mimpi ini akan lebih jelas lagi dalam dua poin berikut:
A. Intelektual Intuitif
Sebelum Syaikh Ibnu Arabi muncul, ahwal kaum sufi sangat beragam. Karenanya kitab, ilmu, dan ucapan² mereka juga bermacam-macam. Seorang pemula yg ingin mempelajari tasawuf dan berkepentingan untuk sampai pada puncak pengetahuan tentangnya, harus membaca seluruh karya tersebut dan mengumpulkan petuah² yg berserakan ke dalam satu buku. Imam Junayd al-Baghdadi misalnya, seorang syaikh thaifah, mengarahkan konsentrasi sufistiknya kepada ajaran tauhid. Al-Junayd adalah sufi yg pakar di bidang tauhid, mengalami fana’ dalam tauhid, dan hanya tahu tentang tauhid.
Berikutnya adalah al-Hallaj. Dia adalah tokoh sufi yg hatinya diselimuti kerinduan, syair²nya menegaskan tentang desah kerinduan yg mendalam. Kerinduan hati yg terbakar oleh cinta, wujud, dan fana’. Ada juga al-Naffari. Dia hanya berdiam saja, tidak mau beranjak pergi, matanya menatap benda², namun tidak melihatnya, karena dia takut berpalingan dari Allah, takut benda² itu menjadi penghalang bagi telinganya untuk mendengar bisikan suara² ilahiah. Dalam pandangan al-Naffari, jagad semesta tampak tiada. Yg ada hanyalah yg bicara (mukhathib), lawan bicara (mukhathab), dan isi pembicaraan (khithab).
Andaikan kami menghadirkan seluruh jenis ahwal kaum sufi yg mendahului Syaikh Ibnu Arabi maka niscaya tidak cukup ruang untuk itu. Di sinilah Syaikh Ibnu Arabi berbeda dengan seluruh kaum sufi. Dia tidak hanya memiliki satu jenis ahwal. Dia menempatkan seluruh aktivitas dan konsentrasi sufismenya ke dalam satu jalan, sehingga petuah² sufisme Syaikh Ibnu Arabi yg sangat subjektif dapat memasuki ruang² yg lebih luas di dalam ragam ilmu pengetahuan.
Betul, Syaikh Ibnu Arabi meninggalkan ahwal sufistik yg subjektif menuju tema² ilmu pengetahuan. Akan tetapi usaha itu sendiri adalah murni sufisme. Sebab jika kita meneliti lebih detail sumber² dan rujukan keilmuan Syaikh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf maka kita akan menemukannya dalam al-Futuhat al-Makkiyah, al-Musyahadat, al-Ilhamat, dan al-Ru’ya al-Manamiyah.
Ringkasnya, disiplin keilmuan Syaikh Ibnu Arabi merupakan disiplin keilmuan intuitif (ilhami) dan ladunni. Hal semacam ini tidak asing lagi bagi seseorang yg telah mendapatkan jubah kesufian dari Nabi Khidir as. sebanyak tiga kali. Menerima “jubah” adalah tindakan simbolik yg menjelaskan bahwa dirinya telah belajar dan ikut serta dalam ahwal dan jalan sufi. Sebagaimana Nabi Khidir as. sendiri mendapat ilmu langsung dari Allah Ta’ala secara ladunni, begitu pula Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi. Dia adalah salah satu orang terpilih, yg akan menerima ilmu ladunni dari Allah Ta’ala, yaitu, pengetahuan intuisi dalam beragam bentuknya.
Bagi Syaikh Ibnu Arabi, visi dalam mimpi menjadi pintu masuk ke dalam dunia rahasia, alam ghaib dan pengetahuan ladunni. Yg demikian ini bukan hal mustahil, baik secara rasional maupun agama, terlebih bagi orang² yg istiqamah dalam kesadaran dan membersihkan kotoran dari kedalaman jiwanya. Karena itulah, Allah memuliakan mereka dengan cara membiarkan ruh² mereka melepaskan diri dari kungkungan dunia materi, melepaskan ruh dari tubuh, selama dalam mimpi.
Ruh² itu, kemudian, terbang tinggi ke ufuk² langit, meninggalkan bumi, menyaksikan alam malaikat dan malakut. Dengan perasaan damai, ruh² itu kembali lagi, merasuk ke dalam tubuh² suci mereka. Ketika relung jiwa yg paling dalam telah bersih maka visi misterius akan terjadi.
Kitab yg kami sebar luaskan ini bersumber dari mimpi² Syaikh Ibnu Arabi. Dia melihat langsung tempat tertinggi, mimpi seorang muslim beriman, yg badannya suci, dan jiwanya bersih. Di dalam kitab ini, Syaikh Ibnu Arabi mencapai tempat tersebut. Dialah orang yg ditunjuk untuk menerima makrifat dan ‘irfani.
Demikianlah Syaikh Ibnu Arabi. Dia tidak sekadar memiliki satu jenis hal sufistik. Dia mengembara dalam beragam dunia intuisi ilahiah. Di sepanjang pengembaraan ini Syaikh Ibnu Arabi tidak pemah mengabaikan patokan rasionalitas religius. Dia selalu mengikuti jalan para sufi sesuai konteks keilmuan mereka. Ringkas kata, seperti yg diungkapkannya sendiri, “Setiap kali terbersit dalam hatiku bisikan yg pernah terlintas dalam hati mereka maka aku baru bisa menerimanya apabila didukung oleh dua saksi yg adil: Al-Qur’an dan Hadits.”
Inilah Syaikh Ibnu Arabi. Di samping tumbuh dewasa dalam lingkar orang² yg menguasai disiplin keilmuan fiqih dan hadits, ilmu pengetahuannya yg intuitif juga didasarkan pada dua saksi: Al-Qur’an dan Hadits. Kami tidak menemukan karya² Syaikh Ibnu Arabi yg tidak berisikan isyarat² Al-Qur’an dan Hadits.
B. Penulis Intuitif
Kita terbiasa melihat para penyair bermain dengan keindahan kata² dan para cendekiawan mengedepankan kedalaman makna serta suka meramal struktur alam semesta. Akan tetapi kaum sufi memperlihatkan kepada kita kemampuan mereka dalam menggabungkan ketinggian dan kedalaman makna sekaligus keindahan dan estetika bahasa bercita rasa tinggi. Karena itulah sepanjang perjalanan sejarah karya² sufistik terkenal dengan keagungan gagasan plus cita rasa estetikanya yg tinggi. Berpuluh-puluh buku ditulis untuk mengkajinya.
Seorang sufi dengan mata hati yg tercerahkan dan jiwa yg lembut tidak pernah mengungkapkan kata² kecuali ia merupakan buah makrifat, yg menyenangkan di mata dan telinga. Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang di antara mereka yg mampu menggabungkan keindahan kata dan kedalaman makna, yg berjuang untuk sampai pada puncak ketinggian tema dan kata².
Sejak semula Syaikh Ibnu Arabi sudah mendalami dunia kesusastraan, merangkai kata dalam bentuk prosa dan puisi. Dia suka membaca buku² sastra dan yg berisi kata² indah. Bahkan dia bertugas mengurusi penulisan kesusastraan Sevilla, dimana jabatan tersebut tidak diserahkan kepada sembarang orang, kecuali dia yg menguasai skill istimewa.
Syaikh Ibnu Arabi memulai kariernya dengan mengarang, sebab dia termasuk orang yg selalu mendapat ilham berupa ide dan gagasan, sehingga dia mencurahkan segala tenaga untuk menuangkan gagasan²nya itu. Demikianlah yg kami temukan dalam karya² awalnya, seperti kitab Mawaqi’ al-Nujum, Risalat al-Asfar, termasuk pula kitab yg Anda pegang ini. Kitab ini ditulis pada selang waktu dimana Syaikh Ibnu Arabi sedang mengarang tentang huruf² yg inspirasinya didapat dari berbagai tempat.
Akan tetapi setelah tahun 597 H, setelah mengalami mimpi menikahi huruf² hija’iyah, karya² Syaikh Ibnu Arabi secara berkelanjutan menampilkan struktur kepenulisan yg baru, dan simbol² yg disuguhkan dalam setiap pengantar karya²nya, seperti pada al-Futuhat al-Makkiyah misalnya, yg mulai ditulis sejak tahun 598 H di Mekkah, juga menghadirkan ilham baru, yaitu, ilham dalam struktur bangunan kitab, bukan sekedar pada tema² yg dibahasnya.
Dalam mukaddimah karya terakhirnya Fushush al-Hikam, kita memiliki bukti kuat berupa teks yg secara tegas menjelaskan tentang puncak ilham yg dicapai Syaikh Ibnu Arabi.
Kita punya landasan kokoh untuk menyatakan bahwa Syaikh Ibnu Arabi tiduk sekedar penulis yg mendapat ilham atau intuisi dalam hal gagasan dan ide melainkan juga seorang penulis yg kata² dan kalimatnya adalah ilham. Dalam mukaddimah kitab itu, halaman 4, Syaikh Ibnu Arabi mengatakan, “Aku melihat Rasulullah Saw. membawa kabar gembira pada tanggal 10 terakhir bulan Muharam tahun 627 H di wilayah Damaskus. Di tangan Beliau terdapat sebuah kitab. Beliau bersabda kepadaku, “Ini kitab Fushush al-Hikam, ambillah. Sampaikan kepada orang². Mereka akan banyak memetik manfaat dari kitab ini.” Aku jawab, “Kepatuhan dan ketundukan sepenuhnya untuk Allah, Rasul-Nya, dan ulul amri, sebagaimana kami diperintahkan berbuat demikian.’
Aku pun meluruskan niat, dan memfokuskan keinginan dan cita² untuk menghadirkan kitab ini untuk khalayak ramai seperti yg diperintahkan Rasulullah Saw. kepadaku, tanpa sedikitpun ada penambahan atau pengurangan. Aku memohon kepada Allah supaya mengistimewakanku dalam segala apa yg ditulis oleh jari jemari dan diucapkan oleh lidah, yaitu, keistimewaan berupa pancaran subuh (ilqa’ subuhi) dan tiupan jiwa, sehingga aku ini hanya sekadar penerjemah dan bukannya pengambil keputusan. Semua yg kuterima memang seperti apa adanya, dan semua yg kutulis dalam kalimat² ini memang demikianlah yg sampai kepadaku. Aku bukan seorang nabi apalagi rasul. Aku hanya seorang pewaris, dan penjaga kehidupan akhiratku.”
Adalah Syaikh Ibnu Arabi, seorang penulis yg kata²nya adalah ilham, semua ide dan makna yg ditangkapnya dituangkan dalam kata² tanpa penambahan maupun pengurangan. Ilham pengetahuan tidak berarti pengingkaran terhadap wahyu kenabian. Sebab wahyu kenabian itu adalah wahyu untuk memberlakukan syariat. Sementara ilhamnya para wali dan kaum sufi tidaklah demikian. Ia hanya sejenis pencerahan (futuh) untuk lebih memahami wahyu kenabian, semacam pembacaan kritis dan hudhuri atas syariat nubuat.
IV. Simbolisme Mi’raj Kenabian
Syaikh Ibnu Arabi melihat bahwa mi’raj sufi atau mi’rajnya seorang wali adalah sebuah keistimewaan bagi pengikut Nabi Muhammad Saw. Selain arwah² para wali dari kalangan umat Nabi Muhammad Saw., dalam mimpi mereka, tidak akan mengalami peristiwa mi’raj ke langit ketujuh atau ke surga atau ke neraka. Mi’raj Sufi itu sendiri adalah mi’raj taklidi. Bagaimana mungkin kita bisa tahu urutan keberadaan para nabi Allah alaihimussalam di ketujuh langit itu atau memperoleh pengetahuan² lainnya seputar mi’raj, apabila Rasulullah Saw. sendiri tidak memberitahu kita dalam mi’raj Beliau?! Mi’raj seorang wali –berdasarkan penjelasan kitab yg anda pegang sekarang– adalah visi dalam mimpi yg memiliki dasar dan akarnya dalam riwayat² hadits tentang mi’raj. Untuk itulah terasa penting apabila kita mengkaji terlebih dahulu simbol² dan makna² seputar mi’raj Nabi, sebab ia adalah pangkal dan percontohan.
Abu Thalib, paman Nabi Muhammad Saw., sekaligus pendukung Beliau, meninggal dunia. Beberapa hari berikutnya Sayyidah Khadijah ra., istri sekaligus sandaran terbaik Beliau dalam perjuangan dakwah, menyusul kepergian Abu Thalib. Sungguh, waktu itu adalah ‘amul huzn (tahun dukacita). Siksaan orang² Quraisy semakin keras dan upaya² mereka untuk membunuh Rasulullah Saw. semakin tampak jelas. Beliau pun pergi menuju Thaif mencari pertolongan. Akan tetapi Beliau pulang dengan membawa dukacita yg jauh lebih besar. Beliau mengadu kepada Allah Ta’ala tentang kelemahan dirinya, keterbatasan usahanya, dan kehinaannya di hadapan semua orang. Peristiwa Isra’ Mi’raj pun terjadi, seakan-akan Allah Ta’ala ingin menyampaikan kepada Rasulullah Saw. dengan tegas bahwa: “Engkau adalah makhluk mulia dan dimuliakan di hadapan manusia² terbaik di muka bumi ini, mereka adalah para Nabi. Engkau adalah makhluk mulia dan dimuliakan di hadapan para malaikat di langit. Engkau adalah makhluk mulia dan dimuliakan di sisi Tuhan Yang Maha Agung. Dia mendekatkan dirimu, mengangkat derajatmu di atas derajat para Nabi dan malaikat.”
Ringkasnya peristiwa Mi’raj Nabi merupakan sebuah perjalanan yg secara simbolik mengatakan kepada kita tentang maqam Nabi Muhammad Saw., dan keunggulan Beliau dalam ranah spiritual dibandingkan seluruh Nabi dan para malaikat.
Perjalanan kenabian tersebut memiliki riwayat² yg mutawatir dan banyak sekali jumlahnya. Kita bisa mengambil beberapa hadits –sesuai minhaj Ibnu Katsir– untuk mendapatkan gambaran jelas, yaitu kandungan hadits yg disepakati para ulama. Dan kita akan menerima pengertian² yg terkandung dalam berbagai pernyataan, yang sudah hidup bertahun-tahun, dan hanya singgah di tangan² orang yg terpercaya.
IV.A. Kehadiran Jasad Fisik
Isra’ Mi’raj adalah peristiwa istimewa dengan melibatkan kehadiran jasad fisik. Di Masjidil Haram, sebelum Isra’ terjadi, dada Rasulullah Saw. dibelah, hatinya dicuci kemudian di isi dengan hikmah dan keimanan. Peristiwa pembelahan dada Rasulullah Saw. kali ini adalah kali yg ketiga. Yg pertama, seperti dalam hadits riwayat Muslim dari Anas, terjadi ketika malaikat mengeluarkan segumpal darah dari dalam dada Rasulullah Saw. dan berkata kepada Beliau: “Ini bagiannya setan.” Sejak saat itulah Rasulullah Saw. terpelihara dari pengaruh setan. Yg kedua, ketika pengangkatan sebagai utusan. Sejak saat itulah hati Rasulullah Saw. menjadi mantap dan dapat menerima wahyu. Beliau berada dalam kesempurnaan suci. Yg ketiga, pembelahan dada terjadi sebelum Mi’raj, agar Beliau siap untuk melihat peristiwa agung.
IV.B. Nilai Penting ‘Isra
Peristiwa Isra’ adalah bagian pertama dalam perjalanan kenabian itu. Perjalanan di sini adalah sebuah perjalanan panjang yg ditempuh Rasulullah Saw. dengan mengendarai Buraq, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Peristiwa Isra’ yg lebih dahulu terjadi daripada Mi’raj adalah bukti bahwa perjalanan tersebut adalah peristiwa empiris dan nyata, yaitu sebuah perjalanan di dunia kasat mata, dimana Rasulullah Saw. menempuhnya dengan jasad dan ruh, dalam keadaan sadar di suatu malam, didampingi Jibril as. dari Mekkah ke Baitul Maqdis.
Nilai penting peristiwa Isra’ tersimpan di dalam bukti² empiris ini yg diajukan kepada orang² pengingkarnya. Jika tidak demikian lantas apa hikmah Isra’ yg mendahului perstiwa Mi’raj, dan mengapa pula Rasulullah Saw. tidak langsung saja menempuh perjalanan Mi’raj dari Mekkah menuju langit yg tujuh?
Peristiwa Isra’ terjadi demikian, sebagai bagian dari perjalanan kenabian, ia memiliki bukti empiris yg tampak di hadapan mata orang² muslim dan Quraisy. Andaikan Rasulullah Saw. berkata bahwa aku mengalami Mi’raj (dari Mekkah) langsung ke langit, maka niscaya tidak seorang pun layak membenarkan atau menolak ucapannya. Kabar dari Beliau itu akan selamanya menjadi bagian dari peristiwa yg menuntut keimanan mutlak tentang hal ghaib, sebab perjalanan ke langit merupakan peristiwa yg berada di luar batas pembuktian ilmiah. Untuk itulah, hikmah ilahiah dengan sengaja mengatur Isra’ terjadi lebih dulu (dibanding Mi’raj) supaya menjadi bahan bukti dan argumentasi untuk membenarkan perjalanan Rasulullah Saw. tersebut. Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan ciri² Masjidil Aqsha di hadapan orang² Quraisy —dan mereka yakin bahwa Beliau belum pernah tiba di sana sebelumnya— dan menceritakan tentang kafilah yg akan tiba (di Mekkah) esok paginya, maka bahan bukti untuk membenarkan perjalanan Rasulullah Saw. tersebut sudah mencukupi.
Isra’ adalah perjalanan di atas bumi, ia merupakan salah satu bahan cerita bagi orang² Quraisy yg sedang berada di perjalanan, dimana mereka harus menunggangi unta selama satu bulan penuh. Karena itulah percakapan antara orang Quraisy dan Rasulullah Saw. pada saat Isra’ menjadi terbatas.
Di sepanjang perjalanan Isra’, Rasulullah Saw. menunggangi Buraq, ia adalah seekor binatang melata (Dabbah). Beliau tidak menggunakan binatang yg bisa terbang. Sebaliknya Beliau menggunakan binatang yg melata dan bisa berjalan di atas tanah. Binatang itu dapat membalikkan sebuah wadah dengan tapak kakinya, seperti yg dilakukannya setelah kembali. Ini untuk mempertegas keempirisan peristiwa Isra’. Binatang bernama Buraq ini —sekalipun sebagian orang mengatakan bahwa kecepatannya adalah kecepatan cahaya, dan namanya (Buraq) mirip dengan kata barqun (kilat)— menurut kami, kecepatan Buraq dijelaskan oleh sabda Rasulullah Saw. yg mengatakan: “Ia meletakkan tapak kakinya di batas ujung matanya memandang.”
Artinya, langkah Buraq dapat mencapai tempat sejauh matanya memandang. Jadi, Buraq ini dapat melata secepat mata memandang. Kecepatan ini memungkinkan Rasulullah Saw. untuk melihat seluruh peristiwa yg terjadi di sepanjang perjalanan, juga dapat melihat bekas² tapak kaki orang. Rasulullah Saw. berpindah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, bukan dengan dilipatnya bumi ini melainkan dengan menempuh perjalanan biasa pada umumnya. Beliau juga melihat peristiwa² dan bekas² tapak kaki manusia di sepanjang perjalanan. Inilah mukjizat hakiki yg membuat orang² Qurasiy kebingungan, dimana Beliau mampu menempuh suatu perjalanan hanya dalam waktu singkat, padahal mereka sendiri membutuhkan waktu satu bulan penuh. Kekuasaan Allah mampu mengubah seluruh barometer ruang dan waktu.
IV.C. Pemandangan Selama Perjalanan
Di satu sisi, menurut kami, peristiwa Isra’ menyuguhkan dalil tentang keempirisan perjalanan kenabian tersebut. Di sisi lain, peristiwa² dan pemandangan² yg terjadi selama Isra’ dan dilihat langsung oleh Rasulullah Saw., mempertegas bahwa Isra’ tidak terjadi dengan dilipatnya bumi, dimana hal semacam ini adalah sesuatu yg mungkin merupakan karomah bagi seorang wali. Akan tetapi Rasulullah Saw. menempuh perjalanan panjang dalam rentang waktu yg sangat singkat. Ini adalah mukjizat ilahi.
Di sepanjang perjalanan Rasulullah Saw. menuju Baitul Maqdis, amal² perbuatan manusia dari kalangan umatnya sendiri ditampakkan kepada Beliau dalam rupa² yg dapat dilihat. Jika kami mengecualikan penampakan amal perbuatan para mujahidin fi sabilillah maka yang tersisa hanyalah pemandangan tentang dampak² dosa, perbuatan² haram, dan pengabaian terhadap perintah syariat. Dalam riwayat Baihaqi dari Ibnu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat (amal) para Mujahidin fi sabilillah sebagai suatu golongan yg menanam benih pada suatu hari dan di panen pada hari itu juga. Setiap kali mereka memanen maka tanamannya segera kembali ke bentuk semula. Rasulullah Saw. melihat orang yg suka menebar fitnah sebagai orang yg bibir dan lidahnya dipotong menggunakan gunting dari api. Orang yg meninggalkan shalat ditampakkan seperti orang yg kepalanya dipecah dengan menggunakan batu besar. Setiap kali kepala itu dipecahkan maka ia segera kembali ke bentuk semula. Rasulullah Saw. juga melihat orang yg berzina seperti orang yg meninggalkan daging baik dan lezat demi memakan daging busuk dan berulat, dan masih banyak pemandangan lain yg merepresentasikan amal baik dan amal buruk manusia. Penggambaran semacam ini bertujuan untuk memperlihatkan kebaikan dan keburukan kepada jiwa manusia, supaya mereka terpancing mengerjakan kebaikan dan menghindari keburukan.
Ketika angin surga berhembus dari suatu arah dengan sejuknya dan sangat memikat hati, sementara angin neraka berhembus dari arah lain dengan bau busuk dan menyengat, maka jiwa manusia akan tahu bahwa surga adalah suatu tempat yg menunggu para pemilik amal kebaikan, dan neraka adalah suatu tempat yg menanti kedatangan para pemilik amal buruk. Pemandangan² semacam ini secara simbolik ingin mengatakan bahwa, “Beginilah perbuatan kalian, dan begini pula hasilnya.”
IV.D. Mengimami Para Nabi
Rasulullah Saw. tiba di Baitul Maqdis dengan didampingi oleh malaikat Jibril as. Beliau mengikat Buraq di suatu tempat dimana para Nabi duduk melingkar di sana. Kemudian Beliau masuk ke dalam Masjidil Aqsha. Di dalam masjid Beliau berjumpa dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa as. yang berada di tengah² lingkaran para Nabi lainnya. Rasulullah Saw. pun mengerjakan shalat dengan menjadi imam bagi mereka semua.
Allah Ta’ala mengambil sumpah dari para Nabi tersebut, supaya mereka mau mengimani dan mendukung Rasulullah Saw. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثٰقَ النَّبِيِّۦنَ لَمَآ ءَاتَيْتُكُمْ مِّنْ كِتٰبٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِۦ وَلَتَنْصُرُنَّهُۥ ۚ قَالَ ءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلٰى ذٰلِكُمْ إِصْرِى ۖ قَالُوٓا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا۠ مَعَكُمْ مِّنَ الشّٰهِدِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: “Sungguh, apa saja yg Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yg membenarkan apa yg ada padamu, niscaya kamu akan sungguh² beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yg demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 81)
Mengerjakan shalat dan menjadi imam shalat bagi para Nabi lainnya adalah bukti nyata bahwa para Nabi tersebut mengimani Rasulullah Saw., sebagai pernyataan tegas bahwa mereka membenarkan Beliau, serta bukti bahwa mereka telah menepati perjanjian yg Allah ambil dari mereka.
IV.E. Disuguhkannya Jenis-Jenis Minuman
Rasulullah Saw. disuguhi dua gelas: satu yg berisi susu, dan satu lagi berisi arak (khamar). Beliau mengambil dan meminum isi gelas yg berisi susu, dengan membiarkan gelas berisi arak. Jibril as. berkata kepadanya: “Engkau membimbing kepada fitrah, dan engkau menjadi pembimbing pula bagi umatmu.” Inilah dia Rasulullah Saw., pemilik fitrah yg lurus di atas jalan syariat yg diwahyukan Tuhan.
IV.F. Mi’raj ke Langit Ketujuh
Dengan amat jelas Al-Qur’an menerangkan tentang peristiwa Isra’, seperti dalam firman Allah Ta’ala:
سُبْحٰنَ الَّذِىٓ أَسْرٰى بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا الَّذِى بٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yg telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yg telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda² (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra’ [17]: 1)
Akan tetapi berkaitan dengan peristiwa Mi’raj sendiri, Al-Qur’an menyatakannya sebagai sebuah konsekuensi logis (iltizaman). Hal itu dapat diketahui ketika Al-Qur’an berbicara mengena diri Rasulullah Saw. yg berjumpa dengan Allah Ta’ala dan malaikat Jibril as. –menurut beberapa kitah tafsir– di Sidratul Muntaha. Dari peristiwa perjumpaan tersebut dapat ditarik sebuah konsekuensi logis bahwa Rasulullah Saw. mendaki sampai ke Sidratul Muntaha yg berada di atas langit ketujuh. Allah Ta’ala berfirman:
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأٰىٓ
أَفَتُمٰرُونَهُۥ عَلٰى مَا يَرٰى
وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرٰى
عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى
“Hatinya tidak mendustakan apa yg telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekkah) hendak membantahnya tentang apa yg telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yg asli) pada waktu yg lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.” (QS. An-Najm [53]: 11-14)
Di masing² langit Rasulullah Saw. berjumpa dengan penghuninya. Di langit pertama Beliau berjumpa dengan Adam, di langit kedua bertemu dengan Isa dan Yahya, di langit ketiga berpapasan dengan Yusuf, di langit keempat dengan Idris, di langit kelima dengan Harun, di langit keenam dengan Musa, dan di langit ketujuh bertemu dengan Ibrahim as., yg sedang menyandarkan kepalanya di Baitul Makmur, menurut riwayat hadits dari Imam Muslim. Baitul Makmur bagi penghuni langit sama kedudukannya dengan Ka’bah bagi penghuni bumi. Setiap hari terdapat tujuh puluh ribu malaikat melaksanakan shalat di Baitul Makmur ini, kemudian keluar dan tidak pernah kembali lagi selamanya.
Menurut kami, Rasulullah Saw. tidak menanyakan para Nabi yg dijumpainya tentang keberadaan mereka di tengah² umatnya yg terdahulu, tidak pula tentang berbagai halangan dan rintangan yg dihadapi masing² Nabi selama berdakwah ke jalan tauhid. Percakapan hanya terbatas pada ucapan salam dan sambutan. Boleh jadi, tidak adanya percakapan antara Rasulullah Saw. dengan para Nabi yg lain, disebabkan karena Allah Ta’ala telah menceritakan segala hal yg berkenaan dengan para Nabi itu, sehingga hati Rasulullah Saw. merasa tidak butuh bercakap-cakap lagi dengan para utusan Allah itu. Inilah peristiwa Mi’raj dan kenaikan Rasulullah Saw. dalam rangka perjumpaan dengan Allah Ta’ala.
IV.G. Sidratul Muntaha & Suara Pena
Masing² Nabi mengambil bagian derajatnya dengan cara menerima nilai² Islam. Sekalipun kami tidak membeda-bedakan masing² utusan Allah itu, karena mereka semua berasal dari sisi Tuhan Yang Maha Mulia dan Bijaksana, namun Allah Ta’ala mengutamakan sebagian Nabi di atas sebagian yg lain. Ada Nabi yg dijadikan sebagai Khalilullah (Kekasih Allah), ada Nabi yg di anugerahi kekuasaan besar, ada Nabi yg diberi kemampuan untuk melunakkan besi, menundukkan gunung², dan mengendalikan jin, manusia dan angin, ada pula Nabi yg diberi kesaktian untuk menyembuhkan orang buta, penderita kusta, dan menghidupkan orang mati, dan ada pula Nabi yg diberi keistimewaan bisa berbicara langsung dengan Allah.
Isra’ Mj’raj mempertegas kedudukan Rasulullah Saw. Dialah yg menjadi imam shalat bagi seluruh para Nabi. Dia pula yg melampaui langit ketujuh: maqam dan kedudukannya Ibrahim as., sampai tiba di Sidratul Muntaha, lalu dilanjutkan ke suatu tempat dimana dia bisa mendengar suara pena takdir yg menuliskan takdir segala sesuatu.
Banyak sekali riwayat² yg kontradiktif dalam menceritakan perjalanan Rasulullah Saw. setelah melewati Sidratul Muntaha. Namun yg terpenting dalam tema pembahasan kita kali ini, semua itu adalah pengertian dan makna² Mi’raj. Karena itulah setiap kali riwayat² itu mengalami kontradiksi namun masing² tetap berbicara tentang Rasulullah Saw. sebagai satu²nya pemilik kedudukan yg tidak dimiliki oleh Nabi atau Rasul bahkan malaikat sekalipun. Jibril as., malaikat yg bertugas menyampaikan wahyu kepada para Nabi, tidak memiliki kedudukan tersebut, sehingga dia terpaksa berhenti di Sidratul Muntaha seraya membaca firman Allah Ta’ala:
وَمَا مِنَّآ إِلَّا لَهُۥ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ
“Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yg tertentu.” (QS. Ash-Saffat [37]: 164)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendaki dan terus naik ke atas, Beliau meninggalkan seluruh makhluk, baik dari golongan manusia, jin, bahkan malaikat. Beliau terus naik untuk menyandang sebuah maqam spesial. Dalam menjelaskan maqam Rasulullah Saw. tersebut, dengan cara membandingkan isyarat² Al-Qur’an, Syaikh Ibnu Arabi menuliskan kata² indahnya, seperti yg tertuang dalam buku yg Anda baca sekarang ini:
“Mana yg lebih tinggi derajatnya antara orang yg berkata:
‘Ajiltu ilaika Robbi litardho
‘Oh Tuhan, aku berlari menuju-Mu agar Engkau ridha’,
dibandingkan dengan orang yg mendapat penghargaan:
Walasaufa yu’thiika Robbuka fatardho
‘Dan sungguh Tuhanmu akan menganugerahi kamu, sehingga engkau rida.’
Dan mana pula yg lebih mulia derajatnya antara orang yg berkata:
Robbighfirlii khothii’atii yawmaddiini
‘Tuhan, ampuni dosa2ku pada hari pembalasan’,
dibandingkan dengan orang yg mendapat penghargaan:
Liyaghfirolakallaahu maa taqoddama min dzanbika wamaa ta’akhhoro
‘Agar Allah mengampuni dosa²mu yg terdahulu maupun yg akan datang.’
Semua yg dicari oleh para Nabi terdahulu, pada saat ini kami lihat, dengan sendiri mencari Rasulullah Saw. Sebab maqam dan bagian Beliau adalah kesempurnaan. Isra’ Mi’raj ini adalah teks mitsali yg membuktikan kedudukan Rasulullah Saw. dan status kepemimpinannya.
IV.H. Kedekatan & Khitab Ilahiah
Seorang makhluk dekat dengan Tuhan bukan dalam pengertian kedekatan secara tempat. Sebab Allah Ta’ala tidak dibatasi oleh tempat. Penisbatan banyak tempat kepada Allah adalah satu. Akan tetapi kedekatan yg dimaksudkan dalam ucapan² kaum Sufi adalah kedekatan maknawi, yaitu, kedekatan cinta dan ridha, dekatnya kedudukan, dan bukannya tempat.
Mi’raj adalah kedekatan (qurb), didekatkan (taqrib), dan pendakian (irtiqa’) ke suatu tempat yg suci dan disucikan, yg belum pernah diinjak kecuali oleh tapak kaki Rasulullah Saw. Jika Allah Ta’ala berbicara dengan Nabi Musa as. di Lembah Suci (al-Wadi al-Muqaddas) di muka bumi ini maka Allah Ta’ala mengangkat Rasulullah Saw. ke suatu tempat yg sangat tinggi, di atas langit ketujuh sebagai tempatnya para Nabi, di atas Sidratul Muntaha sebagai tempatnya Jibril as., bahkan jauh di atas suatu tempat yg di sana bisa mendengar suara pena yg digunakan para malaikat untuk menuliskan (takdir) pada lembaran² bernama Lauhul Mahfudz. Kemudian di situlah Allah Ta’ala berbicara dengan Rasulullah Saw., dengan suatu pembicaraan yg tidak bersuara dan tidak terekam oleh kata². “Maka Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yg Dia wahyukan….” Inilah suatu bentuk pembicaraan atau percakapan yg kami sendiri tidak bisa menggambarkannya. Kami tidak punya pengetahuan tentang isi pembicaraan itu kecuali apa yg diajarkan kepada kami.
Di sini kita dihadapkan pada kebingungan, jika Mi’raj adalah bentuk dimana Allah menghormati (takrim), memuliakan (tasyrif), mendekatkan (taqrib), dan menyayangi (iinas) Rasulullah Saw., lantas mengapa pada momen agung semacam itu, yg hanya sekali terjadi sepanjang hidup Rasulullah Saw. dan umatnya, harus ada beban berupa perintah shalat lima waktu? Perintah adalah amanat, beban berat yg harus kita tunaikan pada waktu² yg sudah ditentukan!
Kebingungan ini menghadirkan di depan mata kita hakikat nyata: jika kalimat syahadat adalah pembebasan dari siksa neraka, puasa adalah kepenatan yg mendatangkan sehat, haji adalah kepenatan yg mendatangkan ampunan, zakat adalah kewajiban yg mendatangkan berkah, maka ibadah shalat bebas dari segala macam paksaan dan kepenatan semacam itu. Shalat adalah tali penyambung antara manusia dan Tuhan, satu²nya jalan untuk menuju tempat yg diridhai Allah Ta’ala. Barang siapa yg shalatnya istiqamah dan benar maka seluruh perbuatannya akan benar pula. “Sungguh shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar….”
Di hadapan kita berjubel isyarat² yg meniadakan sifat beban dari ibadah shalat itu sendiri, dan menjadikan shalat sebagai sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Mulia untuk hamba²Nya. Isyarat² tersebut mendorong orang² beriman untuk bersegera –layaknya seseorang yg hatinya dipenuhi kerinduan mendalam untuk segera berjumpa dengan sang kekasih– duduk bersimpuh di hadapan Tuhan Yang Maha Mulia dan Agung, yaitu ketika seseorang terpanggil untuk berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Apakah ia akan bermalas-malasan atau lalai?! Inilah momen dimana manusia akan berkomunikasi langsung dengan Tuhan di dalam shalatnya, dan Sang Tuhan akan menjawabnya. Allah Ta’ala membagi bacaan sebagian surat al-Fatihah untuk Diri-Nya sendiri dan sebagian lagi untuk hamba-Nya.
Secara simbolik Mi’raj mengatakan kepada kita bahwa shalat bukanlah beban atau ibadah yg melelahkan, sebaliknya shalat adalah kesenangan total, dengan bukti bahwa shalat tidak gugur bagi orang mukmin yg berakal. Kesenangan ini dimulai sejak suara adzan dikumandangan. Ketika Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal ra. untuk mengumandangkan adzan, Beliau berkata: “Buatlah kami ini merasa senang, wahai Bilal.” Yaitu, suatu kesenangan yg tampak ketika sedang menghadap kepada Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala berada di hadapan orang yg mengerjakan shalat. Kesenangan itu juga tampak dalam “tahiyyat” dan turunannya yg berupa keselamatan dan ketenangan jiwa bagi seorang hamba beriman yg sedang mengerjakan shalat.
Peristiwa Mi’raj memberi kita pemahaman bahwa andaikan ibadah shalat bukan sebuah kesenangan dan kebahagiaan di mata kita maka niscaya Allah Ta’ala tidak akan membicarakan persoalan shalat tersebut di maqam ini. Shalat adalah bentuk penghormatan bukan beban. Shalat adalah tali penghubung antara seorang hamba dengan Tuhan. Shalat adalah kedekatan dan ridha. “Bersujudlah dan dekatkan dirimu.”
*
Kita telah membahas tentang makna² terpenting dari Mi’raj Nabi, yg menjadi kata pengantar untuk kajian buku Syaikh Ibnu Arabi di tangan pembaca saat ini. Membicarakan keseluruhan makna yg bersinar terang di setiap penjuru riwayat² Mi’raj, adalah perbuatan yg tidak mungkin dalam kesempatan kita kali ini.
Layak dikatakan bahwa tersebarnya riwayat² tentang Mi’raj tidak sampai menyentuh kalangan ahli hadits, ahli fiqih, dan alim ulama dari umat ini. Ia hanya tersebar di kalangan orang² awam dan para pendongeng, yg suka meriwayatkan nash² seputar Mi’raj dengan kalimat² yg aneh dan tidak patut. Hal ini menyebabkan orang² di zaman sekarang yg serba rasional menghindari keseluruhan riwayat tersebut, tanpa memilah-milahnya lebih dahulu. Mereka menjauhi hadits yg bicara soal Mi’raj. Di zaman sekarang, kami lihat tidak seorang pun yg mau mendekati hadits Mi’raj. Bahkan kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan alim ulama menempatkan posisi hadits Mi’raj ini sebatas sebagai bahan diskusi yg dipertanyakan, tak ubahnya golongan orang mukmin yg awam.
Dari sini kita dihadapkan pada puluhan buku dan risalah yg membicarakan tentang Mi’raj, sebagaimana kita dihadapkan pula pada ratusan artikel yg meriwayatkan dan menjelaskan serta menafsiri riwayat hadits tentang Isra’ dan Mi’raj, yg diriwayatkan lebih dari 26 sahabat. Kami menganjurkan pembaca yg ingin mendapatkan informasi lebih lengkap agar merujuk pada kitab² hadits shahih, buku² biografi seperti Sirah Ibnu Hisyam, penjelasan buku tersebut yg berjudul al-Raudh al-Anaf karya al-Suhaili, juga karya² ahli hadits, kritikus, mufasir terkemuka yg membahas soal Mi’raj ini, seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas Surat al-Isra’, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Isra’ wa al-Mi’raj min Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Ayat al-Kubra fi Syarh Qishshah al-Isra’, al-Qadhi ‘Iyadh dalam al-Syifa’, al-Qashthalani dalam al-Mawahib al-Ladunniyah, dan al-Zarquni dalam Syarh al-Mawahib.
Ketika tema Mi’raj ini sudah terlanjur menimbulkan kekacauan baik bagi umat Islam awam maupun kalangan akademikus, dan mengorbankan kebenaran sesungguhnya, maka kalangan akademik terdidik melakukan analisis dan kajian kritis, sementara orang awam di berbagai suku bangsa tetap suka menerima cerita² aneh tentang Mi’raj tersebut.
Dari sini kemudian kaum akademikus menolak dongeng² dan khurafat. Sehingga teks² hadits menjadi lebih bersih dibandingkan dengan cerita² tentang Mi’raj Nabi yg menyebar di tengah² masyarakat awam. Cerita di tangan masyarakat awam inilah dengan sendirinya berkolaborasi dan bercampur aduk dengan imajinasi² kesukuan, sebab kebenaran hakiki di kalangan mereka adalah keimanan terhadap kuasa Allah Ta’ala dan menerima kehendak-Nya yg berlaku atas hamba²Nya. Akan tetapi di antara imannya orang alim atau cendekiawan yg membenarkan adanya kuasa Allah terhadap fenomena apapun dan imannya orang awam yg membenarkan segala macam imajinasi dan khurafat, terdapat ruang bagi akal rasional. Dan kedua jenis keimanan tersebut tidak akan bertemu.
Tidak ada satu pun yg bisa membunuh hakikat kebenaran hanya lantaran ia bercampur aduk dengan dongeng² dan khayalan imajinatif. Sebab kebenaran hakiki menjadikan akal manusia berdiri di hadapannya dalam keadaan kebingungan, dan selanjutnya menolak semuanya, menolak yg benar dan yg imajinatif, karena khawatir terjerumus pada kesyirikan khurafat.
Dalam hal ini, secara pelan² kami ingin sampaikan kepada kaum rasionalis bahwa tindakan menolak keseluruhan (baik yg benar maupun yg imajinatif) bukanlah tindakan yg rasional. Sebaliknya, nilai² rasional seharusnya menempatkan diri di posisi sebagai kritikus, mengurai, mengkomparasikan, dan menangkis kebenaran dari lumut² kebohongan, supaya cahaya kebenaran hakiki terpancar di hadapan mata hati kita, lalu mengalir ke dalam lubuk hati kita yg terdalam, sehingga hati kita semua merasa damai dan tenteram. Seakan-akan kita melihat kebenaran hakiki tersebut.
Isra’ dan Mi’raj yg dialami oleh Rasulullah Saw. dengan jasad fisiknya terjadi dalam keadaan sadar, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, menuju ke langit yg tujuh, lalu ke Sidratul Muntaha, dari sana Beliau menjadi dekat dan semakin dekat, layaknya busur dan anak panahnya, bahkan lebih dekat lagi, kemudian Allah Ta’ala menyampaikan wahyu-Nya. Peristiwa semacam ini adalah salah satu kebenaran hakiki yg berkilau, sebab ia adalah riwayat dari Seorang yg Jujur nan Terpercaya, Rasulullah Saw., ia adalah tindakan langsung dari Tuhan Yang Maha Tinggi nan Maha Kuasa, Maha Suci nan Mulia.
V. Mi’raj Sufi
Mi’raj Kenabian menggerakkan seluruh aktivitas sufistik. Di satu sisi para penulis dari kalangan Sufi mengadopsi dan meminjam lafal Mi’raj ini. Di sisi lain visi dalam mimpi mereka merayakan pesta Mi’raj² ke langit yg tujuh, bahkan jauh lebih ke atas lagi.
Sejenak kita akan berhenti dan membahas kaum Sufi dalam mengadopsi dan menggunakan lafal Mi’raj dan nilai yg terkandung di dalamnya. Adopsi dan penggunaan di sini menunjukkan betapa pengaruh Mi’raj sangat kental dalam alam pemikiran sufisme.
V.A. Lafal Mi’raj
• Kata “Mi’raj” sebagai kata tunggal. Kaum Sufi melihat kata “Mi’raj” ini menggambarkan suatu gerakan naik ke atas (taraqqiy). Gerak naik ke atas ini tidak terbatas pada gerakan fisik, yaitu naik ke langit. Akan tetapi ia mengandung banyak makna, semisal adanya peningkatan dalam menyucikan jiwa atau adanya peningkatan dalam menyerap ilmu pengetahuan.
• Karya Imam al-Ghazali yg berjudul Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs menerangkan tentang meningkatnya (Mi’raj) pengetahuan (Ma’rifat) manusia tentang dirinya sendiri menuju makrifat tentang Allah Ta’ala. Rasulullah Saw. bersabda:
Man ‘arofa nafsahu ‘arofa robbahu
“Barang siapa yg kenal akan dirinya maka dia kenal akan Tuhannya.”
A’rofukum binafsihi a’rofukum birobbihi
“Orang yg paling mengenal dirinya sendiri di antara kalian adalah orang yg paling mengenal tentang Tuhannya.”
Demikian pula dengan karya al-Ghazali Mi’raj al-Salikin yg menjelaskan bahwa orang² yg mengucapkan kalimat syahadat terbagi kedalam tujuh golongan. Setiap akidah yg salah adalah hijab dan kegelapan. Sementara jagad semesta ini adalah tangga untuk mengenal Tuhan Yang Maha Pencipta lagi Maha Suci.
• Syaikh Ahmad Ibnu ‘Ajibah menggunakan kata “Mi’raj” untuk menggambarkan gagasannya yg menyatakan bahwa makna yg dikandung oleh satu kata — kata² sufistik khususnya — dapat melakukan Mi’raj bersama maqam² para salik. Dalam hal ini, makna itu sendiri dipahami oleh orang awam, didaki oleh orang khawas, dan hanya bisa digapai oleh khawashul khawash.
Karya Syaikh Ibnu ‘Ajibah yg berjudul Mi’raj al-Tasyawwuf ila Haqaiq al-Tashawwuf adalah karya ensiklopedi sufistik. Akan tetapi, karya ensiklopedia tersebut menyesuaikan Mi’raj sebuah makna dengan maqam seorang salik. Contohnya ketika Syaikh Ibnu ‘Ajibah ingin menguraikan makna dari kata al-Mujahadah, dia menuliskannya begini: “Mujahadah dhahir (mujahadahnya orang awam) adalah dengan langgeng mentaati perintah dan menjauhi larangan, Mujahadah bathin (mujahadahnya orang khawash) adalah dengan menghilangkan seluruh pikiran buruk dan menghadirkan diri secara terus-menerus di hadapan Sang Kudus, sedangkan Mujahadah Sarair (mujahadahnya orang khawashul khawash) adalah dengan menyaksikan terus-menerus akan Tuhan, tanpa sedikitpun berpaling dari-Nya.”
Banyak sekali karya² yg mengadopsi makna visi untuk kata “Mi’raj”, dan makna yg terangkum oleh ucapan Syaikh Ibnu Arabi dalam al-Futuhat jilid III halaman 54: “Setiap pandangan ke arah alam semesta dari diri seseorang maka ia disebut nuzul (turun), dan setiap pandangan ke arah Tuhan dari diri seseorang maka ia disebut ‘uruj (mi’raj/naik)”.
Dari sinilah kemudian macam² Mi’raj sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Sebab setiap kitab dan karya, masing² menawarkan cara Mi’raj tersendiri bagi para salik (penempuh jalan Tuhan), dengan beragam maqam dan ahwal. Contohnya karya terkenal dari Syaikh Fariduddin al-Atthar yg berjudul Manthiq al-Thair, dimana bagian kedua karya itu menggambarkan perjalanan para salik di sepanjang lembah², yg dimulai dari upaya mereka untuk mencari dan berakhir pada keadaan fana’.
V.B. Kandungan Mi’raj
Sedangkan dari sisi kandungan kata Mi’raj, ia merangkul gagasan tentang kenaikan dan gerak fisik. Di sini kami melihat adanya adab dan tata cara menempuh perjalanan Mi’raj Sufi dalam buku² yg secara panjang lebar menggambarkan tentang surga dan neraka, seperti Risalat al-Ghufran karya al-Mu’ri, juga buku² yg membahas tempat² dan wilayah² mimpi, seperti Risalat al-Tawabi’ wa al-Zawabigh karya Syaikh Ibnu Syuhaid al-Andalusi. Akan tetapi kita tidak akan membahas tentang adab dan tata cara tersebut atau amalan² lain yg serupa dengannya, yg terangkai dalam puisi dan syair² sebagai buah hasil peradaban dan budaya Islam, seperti qasidahnya Sinai yg berjudul Siyar al-‘Ubbad ila al-Ma’ad. Tujuannya adalah supaya kita lebih fokus membicarakan teks² yg membahas tentang Mi’raj, tanpa mengaitkannya dengan apapun, terkecuali ia berhubungan dengan adab dan tatacara tersebut.
• Teks pertama kali yg memperhatikan soal Kesadaran adalah karya dari Imam al-Junaid (w. 297 H), seorang Sufi, Guru spiritual (al-murabbi), yg sadar dari kemabukan (al-shahi) sekalipun sudah sampai pada Tuhan (al-Washil). Walaupun teks karya tersebut bersih dari maksud apapun namun kami merasakan adanya hembusan angin Mi’raj disana. Ia melesat cepat tanpa ada penjelasan. Di salah satu risalahnya Imam al-Junaid berkata kepada sahabat²nya, “Keindahan yg dapat memuliakanmu mengalir jernih dari Tuhan Yang Maha Agung nan Pemurah, Ia menyingkap hakikat untukmu yg bisa membuat-Nya tampak di hadapanmu, Ia mendekatkan dirimu kepada-Nya sedekat-dekatnya, Ia melimpahkan kenikmatan untukmu di tempat yg dekat dengan-Nya lalu berbicara denganmu, Ia mengokohkan dirimu di tempat agung itu, yg sangat dekat itu, dengan kekuatan, kemantapan, kedamaian, ketenangan, serta panggilan-Nya. Di manakah dirimu, sementara Ia menghadapkan keseluruhan dirimu kepada-Nya, la menghadirkan semua yg dikehendaki-Nya dari dirimu di sisi-Nya, Ia mempersiapkanmu untuk mendengarkan ucapan-Nya, Ia juga mempersiapkanmu untuk menjawab kata²Nya, pada saat itulah, engkau adalah orang yg berbicara sekaligus lawan bicara.”
• Sedangkan Mi’raj Sufi pertama kali sudah jelas, yaitu riwayat dari Syaikh Abu Yazid al-Busthami. Dia memulai penjelasannya dengan memperkenalkan kepada kita bahwa Mi’raj Sufi adalah visi dalam mimpi. Dia mengatakan, “Dalam aku merasa seakan-akan naik (mi’raj) ke langit yg tujuh, menuju Allah.”
Akan tetapi Mi’raj yg dialami Syaikh Abu Yazid al-Busthami berbeda dengan Mi’raj Rasulullah Saw., yg bertujuan untuk memuliakan dan menghormati Beliau. Di hadapan kita, Mi’raj Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah sebuah ujian (imtihan). Inilah Syaikh Abu Yazid al-Busthami, setiap kali dia sampai di satu langit maka kenikmatan dan kelezatan yg berlimpah ruah padanya mengajaknya untuk berpaling dan menetap di sana, meminta Syaikh Abu Yazid al-Busthami untuk meninggalkan niat dan tujuannya. Syaikh Abu Yazid al-Busthami tahu bahwa semua itu adalah ujian bagi dirinya.
Dia tetap tidak mau menoleh kemana pun untuk menghormati keagungan Allah Ta’ala. Setiap kali Syaikh Abu Yazid al-Busthami tiba di satu langit, dan pemandangan² indah diperlihatkan kepadanya, para malaikat berhias diri untuknya, dia tetap berpaling dari semua itu dan berseru kepada Tuhan, “Yg aku mau bukan yg diperlihatkan kepadaku ini.”
Ketika Syaikh Abu Yazid al-Busthami mengucapkan kata² tersebut, yg menegaskan akan ketulusan niatnya dalam mencari Allah Ta’ala, maka tangan malaikat menarik dan membawanya ke langit yg lebih tinggi. Menurut pandangan kami, di tujuh langit itu Syaikh Abu Yazid al-Busthami tidak berjumpa satu pun dari para Nabi atau Rasul. Berbeda dengan Mi’raj-nya Rasulullah Saw. Sebaliknya tujuh langit itu dipenuhi oleh para malaikat yg beribadah. Para malaikat itu mengajak Syaikh Abu Yazid al-Bushtami untuk tinggal bersama mereka, dan bersama-sama dalam bertasbih dan beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ketika Syaikh Abu Yazid al-Busthami tiba di langit yg ketujuh, ia mendengar suara yg berseru: “Wahai Abu Yazid, berhentilah, berhenti! Engkau telah tiba di batas terakhir (al-muntaha).” Akan tetapi Syaikh Abu Yazid al-Busthami tidak mempedulikan suara itu, dia tahu bahwa semua itu adalah ujian akan ketulusan niatnya untuk berjumpa dengan Allah Ta’ala. Ketika sudah menunjukkan akan ketulusan hatinya, dan melewati ujian di setiap tujuh langit itu dengan selamat, maka Allah Ta’ala mengubahnya menjadi seekor burung.
Syaikh Abu Yazid Al-Busthami terus-menerus terbang di al-Malakut, dan berjalan-jalan di al-Jabarut. Dia melampaui hijab demi hijab sampai kemudian tiba di al-Kursi. Dia terus terbang hingga kemudian sampai di tepi suatu samudra cahaya. Dia terus terbang melewati berbagai samudra cahaya, sampai kemudian tiba di satu samudra cahaya paling luas, yg di atasnya terdapat Arsy Tuhan. Syaikh Abu Yazid Al-Busthami sama sekali tidak mau berpaling kepada apapun, sebaliknya dia terus berseru: “Yg aku mau bukan apa yg ditampakkan kepadaku ini…” Ketika ketulusan niat dan kemauannya tampak jelas maka Tuhan memanggilnya, “Kemarilah… kemarilah… duduklah di atas permadani kekudusan-Ku, sampai engkau bisa melihat kelembutan² ciptaan-Ku.”
Di sinilah Syaikh Abu Yazid al-Busthami berada dalam satu keadaan yg tidak bisa dijelaskan, disambut oleh ruh para Nabi, dan Rasulullah Saw. berbicara kepadanya, “Wahai Abu Yazid, selamat datang. Ahlan wa sahlan. Allah mengutamakan dirimu lebih dari kebanyakan makhluk-Nya yg lain. Apabila engkau pulang maka sampaikanlah salamku kepada umatku. Berilah mereka nasehat semampumu. Ajaklah mereka kepada Allah Ta’ala.” Inilah puncak Mi’raj Syaikh Abu Yazid al-Busthami. Di tempat kedekatan paling tinggi Rasulullah Muhammad Saw. bercakap-cakap dengannya, dan menitipkan sepucuk surat untuk umatnya.
Dengan demikian unsur² Mi’raj Sufi sudah sempurna di tangan Mi’raj Syaikh Abu Yazid al-Busthami, sebab Mi ‘raj-nya di satu sisi adalah visi dalam mimpi, dan di sisi lain Allah Ta’ala tidak meminta Syaikh Abu Yazid menyampaikan syariat baru. Di akhir perjalanan Mi’rajnya, Syaikh Abu Yazid hanya berdiam di hadapan Nabinya umat ini, dan orang yg seperti itu hanya menunggu perintah² dari Sang Nabi. Dari teks ini kami memahami bahwa Dzat yg mengutamakan dan memilih seseorang dengan status kewalian hanyalah Allah Ta’ala. Ketika status kewalian sudah ditetapkan maka ia harus terjun ke tengah² masyarakat Islam untuk menempuh jalan spiritualitas. Inilah jalan yg lemah, dimana Rasulullah Saw. juga menjalaninya.
• Mi’raj Syaikh Ibnu Arabi
Di waktu malam setiap gerak menjadi terdiam, setiap langkah terhenti, dunia kita yg fana tertidur, sedangkan kedalaman jiwa kita tetaplah terjaga, supaya pancaran cahayanya membentang menerangi kegelapan malam, jiwa² terbang meninggalkan badan dan kerangkeng waktu, berjalan menempuh dunia yg hanya bisa disaksikannya sendiri saja. Jika di waktu siang manusia berjalan di atas muka bumi ini maka di waktu malam seluruh makhluk hidup dalam dunia masing². Inilah saat² dimana kita bisa menyendiri bersama diri kita sendiri, dan kita bisa tinggal di dalam hakikat diri kita.
Malam adalah waktu yg paling disukai kaum Sufi. Tubuh tertidur dan jiwa tetap jaga. Ruh menembus dunia yg sangat luas. Kesucian dan ridha meliputi para penghuni dan pengunjungnya. Pada saat tubuh terlelap kesadaran pergi meninggalkan alam kasat mata, dan detik demi detik memasuki alam mimpi. Baik mimpi itu berupa munculnya ketidaksadaran di hadapan “mata kesadaran”, atau berupa tersingkapnya tabir bagi mata hati sehingga dapat melihat apa saja yg tertulis di hari² ghaib, atau berupa terbukanya khazanah ingatan tentang susunan² baru di hadapan kesadaran. Apabila berupa hakikat dan kedalaman mimpi maka ia selamanya berupa kekerasan yg niscaya bagi orang yg tidur (Si Pemimpi), dan dalam hal itu tidak ada kebaikan bagi yg tidur.
Akan tetapi dunia mimpi terus bersambung dengan dunia nyata. Malam terlahir dari siang. Barang siapa yg bertakwa kepada Allah Ta’ala ketika bangun maka Allah akan menjaganya dalam tidurnya. Di sinilah letak nilai penting mimpi yg benar (ru’ya shahihah), yg dipuji langsung oleh Rasulullah Saw.
Demikianlah Mi’raj Syaikh Ibnu Arabi yg ditulisnya dalam kitab al-Isra ila Maqam al-Asra. Ia membawa kita di atas sayap² persahabatan (al-Shuhbah), menidurkan panca indra, dan mengajak kita ke dalam mimpi yg menyalakan dunia cahaya dan ‘irfan; mimpi yg menghidupkan huruf² yg bisa dirangkai dalam kata dan menunggu kelahirannya dalam realita. Mi’raj Sufi atau Wali –yg terjadi dalam mimpi, menuju langit yg tujuh bahkan jauh ke atas lagi, untuk mendengarkan perintah Tuhan sekalipun tanpa perintah membawa syariat baru– adalah salah satu macam ru’ya shahihah, yg banyak diperbincangkan oleh ulama² kita. Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) mengatakan, “Ru’ya shahihah bermacam-macam: pertama, ilham yg Allah sisipkan ke dalam hati seorang hamba. Ilham itu adalah firman yg digunakan oleh Allah sebagai media komunikasi dengan hamba-Nya dalam mimpi, seperti yg dikatakan oleh Ubadah bin as-Shamid dan lainnya. Kedua, sebuah perumpamaan yg diciptakan oleh malaikat, yg bertugas dalam urusan mimpi. Ketiga, perjumpaan antara ruh orang yg bermimpi dengan ruh² orang yg sudah mati, seperti ruh keluarganya, teman karib, atau sahabat²nya. Keempat, mi’raj ruhnya untuk berjumpa Allah Ta’ala dan bercakap-cakap dengan-Nya. Kelima, masuknya ruh ke surga, melihat-lihat kondisi surga, dan lain sebagainya.”
Perjumpaan antara ruhnya orang hidup dengan ruhnya orang² yg sudah mati adalah salah satu macam ru’ya shahihah, dimana ru’ya shahihah ini dipandang sebagai salah satu peristiwa empiris. Penjelasan semacam ini menunjukkan tentang keberadaan berbagai macam Mi’raj dalam mimpi yg pernah dialami oleh orang² ahli ibadah, ahli zuhud, dan ulama² beriman. Akan tetapi semua itu tidak pernah sampai kepada kita. Boleh jadi karena mereka sengaja menyimpannya, atau diceritakan saja tanpa ada satu pun buku tertulis yg bisa kita baca. Semisal Mi’raj yg dialami oleh Syaikh Abu Yazid atau Syaikh Ibnu Arabi.
Sejak awal Mi’raj Syaikh Ibnu Arabi menempati posisi sebagai visi dalam mimpi, yg tidak membawa syariat baru. Karena itulah tidak layak disamakan dengan Mi’rajnya Rasulullah Saw. Sebab peristiwa Mi’raj dengan tubuh fisik hanya dialami oleh Rasulullah Saw., tidak ada kemungkinan sedikitpun seorang wali dapat mencicipi maqam kenabian. Pada bab ke-462 dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah, Syaikh Ibnu Arabi menegaskan bahwa dirinya tidak layak berbicara tentang maqam kenabian, ia hanya dapat berbicara sesuai kadar dirinya sebagai pewaris semata. Sebab tidak seorang pun pengikut yg berhak memasuki maqam kenabian.
Pendapat serupa disampaikan dalam kitab Tarjuman al-Asywaq bahwa para pengikut dilarang memasuki maqam Rasulullah Saw. Puncak makrifat seorang pengikut hanya berada pada posisi sebagai penerima warisan. Memandang warisan tersebut layaknya orang yg berada di bawah surga sedang memandang kepada orang yg berada di atas ‘Illiyyin. Atau seperti orang yg berada di bumi melihat bintang di langit.
Ada sebuah riwayat dari Syaikh Abu Yazid al-Busthami bahwa maqam kenabian yg dibukakan kepada dirinya hanya sebesar lubang jarum, hanya tampak dan tidak boleh memasukinya. Dengan begitu saja Syaikh Abu Yazid merasa dirinya hampir terbakar.
Mi’raj dengan tubuh fisik dan untuk membawa syariat adalah keistimewaan yg khusus diberikan kepada Nabi. Sedangkan Mi’raj ruh dalam mimpi yg bersifat ‘irfani adalah warisan pusaka yg dialami oleh seorang waliyullah, pengikut Rasulullah Saw., dan selamanya Mi’raj jenis ini berbeda dengan Mi’rajnya Nabi. Syaikh Abdul Wahab Al-Sya’rani mengatakan, puncak akhir kewalian tidak sepadan dengan titik awal kenabian. Jika seorang wali melangkah maju untuk mengambil apa yg penah diambil oleh para Nabi maka wali itu akan terbakar. Puncak akhir perjuangan seorang wali adalah untuk beribadah kepada Tuhan sesuai syariat yg dibawa oleh Rasulullah Saw., baik sebelum maupun sesudah mata hati mereka mendapat pencerahan. Adalah mustahil para waliyullah mengambil syariat langsung dari Allah (al-Yawaqit wa al-Jawahir jilid III hal. 64).
Demikianlah berbagai derajat dapat dibedakan satu sama lain. Para waliyullah sekalipun lebih mulia dibanding orang awam, dengan diberinya pengetahuan ‘irfani, namun mereka tetap tertolak untuk mendekati silsilah suci dan disucikan nan maksum, manusia yg mendapat jaminan, yaitu silsilah yg berakhir di tangan Rasulullah Saw. Tidak ada syariat maupun Nabi lagi setelah syariat dan kenabian Rasulullah Saw. Seluruh umat manusia setelah Rasulullah Saw. hanya bisa berlomba untuk menjadi para pengikutnya (yg terbaik).
Penggambaran syar’iyah tentang Mi’raj Sufi hanya bisa sempurna di tangan Syaikh Ibnu Arabi, dimana Beliau mengalami berbagai macam Mi’raj dalam mimpinya. Dalam konteks kesusastraan dan kebudayaan, pengalaman Mi’raj Syaikh Ibnu Arabi yg paling penting tertuang dalam kitab al-Isra ila Maqam al-Asra.
VI. Kitab al-Isra ila al-Maqam al-Asra
Syaikh Ibnu Arabi mengarang bukunya al-Isra ila al-Maqam al-Asra di Fez, Maroko pada tahun 594 H. Usianya pada waktu itu 34 tahun, dan hal itu sebelum dia pergi dan menetap di daerah timur Arab.
Setiap huruf dan makna dalam buku al-Isra tersebut, di satu sisi menunjukkan jiwa muda Syaikh Ibnu Arabi, dan di sisi lain merupakan anugerah yg membukakan dunia ilham kepadanya.
Jiwa muda Syaikh Ibnu Arabi tampak dari keinginan kuatnya untuk merangkul kesempurnaan dalam karya tersebut. Dia mencurahkan segala kemampuannya dalam menyusun kata² tegas, dan berharap agar banyak orang menghapal karyanya itu sehingga dia menulisnya dalam bentuk sajak. Itulah jiwa muda yg memancar, mengalirkan prosa. Syaikh Ibnu Arabi membawa karyanya itu ke tingkatan sebagai karya² indah yg jarang ditemukan, yg mampu menggerakkan rasa² terpendam dalam jiwa pembacanya. Yg demikian belum pernah dilakukan oleh penulis sebelum dirinya.
Dalam jiwa Syaikh Ibnu Arabi tersimpan kekuatan bersyair. Dia sejak kecil sudah mulai bersenandung, mengarang banyak karya, dan ikut pula berperan dalam kebangkitan sastra yg sedang berkembang di Andalusia pada waktu itu. Dalam diri Syaikh Ibnu Arabi juga tersimpan nilai² kebudayaan Islam yg sangat luas, mencakup keihmuan² Al-Qur’an, Hadits, dan Fiqih. Semua itu tumpah ruah ketika Syaikh Ibnu Arabi mulai masuk ke dalam alam ruh dan dunia di balik kata.
Kitab al-Isra ini merepresentasikan seluruh kesempurnaan skill individu Syaikh Ibnu Arabi dari segi bentuk, isi, dan ilham² awalnya. Satu tahapan dalam hidup Syaikh Ibnu Arabi adalah bahwa kata² tidak menggelapkan makna, dan makna tidak melampaui kata. Sehingga pembacanya dapat menikmati sajian sastrawi, pikiran, dan spiritualitas dalam satu waktu.
Kitab al-Isra ini memiliki kelebihan dibanding karya² Syaikh Ibnu Arabi yg lain dari segi susunan dan kejelasan kata²nya. Ia terdengar seperti bunyi kalimat bersajak, kata²nya indah. Kandungan maknanya juga memiliki keistimewaan berupa adanya kesatuan tema dan saling berkaitan. Sebab jarang kita menemukan Syaikh Ibnu Arabi menekuni satu tema tanpa menghadirkan penjelasan, sisipan, dan uraian² lain yg berhubungan. Seakan-akan Syaikh Ibnu Arabi menginginkan kitab al-Isra ini sebagai karya yg bisa dihapal dalam ingatan. Dengan semangat jiwa mudanya, Syaikh Ibnu Arabi mempersenjatai karyanya ini dengan nilai² sastrawi, kebudayaan, dan spiritualitas. Semua itu dengan sempurna hadir dalam kesatuan tema dan bahasa.
Kandungan Kitab al-Isra
Kitab al-Isra ini menyajikan penjelasan² seputar perjalanan mimpi menuju langit ketujuh dan apa yg ada di atasnya, melalui lidah seorang salik bernama Syaikh Ibnu Arabi. Ketika kami mengurai kandungan riwayat dari Sang Salik ini maka kami akan membaginya ke dalam mukaddimah dan lima bagian.
1. Dalam bagian mukaddimah, Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan bahwa perjalanan yg ditempuhnya adalah Mi’raj ruh dalam mimpi yg bersifat maknawi. Berbeda total dengan Mi’raj yg dialami Rasulullah Saw., dimana Mi’raj Beliau bersifat empiris, dengan tubuh fisik, dan menempuh jarak dan tujuh langit.
2. Bagian pertama kitab al-Isra yg terdiri dari enam bab, menjelaskan kepribadian Rasul Pembawa Taufik (Muhammad), yg memungkinkan badan, perbuatan, dan akidah Sang Salik (Syaikh Ibnu Arabi) dapat melakukan Mi’raj. Dari situlah Rasulullah Saw. menyambutnya di langit yg tujuh. Kami perhatikan, persiapan Rasulullah Saw. untuk melakukan Mi’raj terbatas pada kehadiran Jibril as. dan terbelahnya dada Beliau. Berbeda dengan seorang wali –berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi dalam al-Isra ini– membutuhkan persiapan yg jauh lebih berat dan lebih keras. Sebab seorang wali harus belajar dan memahami hukum² akidah untuk persiapan badani tersebut, agar seorang salik dapat melepaskan diri dari empat unsur/anasir dirinya: tanah, api, udara, dan air.
Mi’raj Rasulullah Saw. sudah bisa sempurna tanpa harus mempelajari hukum² tersebut, sementara Mi’raj Sufi sebagai seorang pengikut masih berusaha menyamai maqam Rasulullah Muhammad Saw.
Seorang pengikut hanya bisa “duduk” bersama dengan orang yg di ikuti (Muhammad Saw.), bukan menyatu dengannya. Tidak seorang pun bisa memiliki apa yg dimiliki oleh Rasulullah Muhammad Saw. Akan tetapi bayang² anugerah ilahi kepada Rasulullah Saw. membentang sampai menaungi para pengikut Beliau. Dari sinilah apabila Mi’raj Rasulullah Saw. dilakukan dalam keadaan sadar dan dengan tubuh fisik maka Mi’raj para pengikutnya (kaum Sufi) berada dalam mimpi dan dengan ruh mereka ke dalam dunia, yg keberadan dunia itu didukung oleh hadits² shahih mutawatir.
3. Bagian kedua riwayat (Syaikh Ibnu Arabi) menjelaskan pengalaman seorang salik di tujuh langit. Di langit pertama ia berjumpa dengan ruhaniah Nabi Adam as. Setelah Sang Salik menimba banyak pengetahuan darinya maka dia terus mendaki ke langit kedua, yaitu langitnya para arwah. Di langit kedua ruh Sang Salik mendapat kenikmatan dengan menyaksikan ruhaniah Nabi Isa as. Ruh Salik mempelajari Zhahir al-Aman, yakni sebuah tulisan yg menegaskan status kewalian dirinya (Syaikh Ibnu Arabi). Tulisan itu ditulis atas perintah ruh al-arwah, yaitu Isa as., dan ditulis oleh juru tulis Beliau dan pembantunya. Menurut Syaikh Ibnu Arabi, ini sebuah bukti bahwa Isa as. adalah penutup sekaligus pusat kewalian umat Rasulullah Muhammad Saw. Tulisan tersebut adalah nash terpenting tentang kewalian, sebab ia menentukan macam² kebaikan dan kewajiban bagi seorang wali.
Di langit ketiga, yaitu langit keindahan dan tambang keagungan, Sang Salik meminta agar diperkenalkan dengan maqam Nabi Yusuf as.; maqamnya seorang amin al-umana’ (paling terpercaya di antara orang² yg terpercaya) dan jamal al-naba’ (keindahannya para Nabi). Barang siapa yg menyaksikan alam lahut kemudian menghapus unsur² nasut nya dan tergerak untuk meninggalkannya maka pada waktu itu ia sudah sempurna dan layak mendaki langit keempat.
Di langit keempat: langit kemuliaan (sama’ al-i’tila’), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Idris as.. Kami kira, ruh Salik di langit ini disambut dengan ucapan: “Selamat datang, wahai Sayyidil Auliya’ (tuannya para wali).” Yg kami pahami dari isyarat di atas, seseorang yg melewati langit kedua dan sudah ditetapkan sebagai seorang wali, jika ia bisa melewati ke-fana’-an di langit ketiga maka ia akan mendapatkan keabadian langit keempat, di sinilah ia menyandang gelar pemimpin dalam kewalian, sehingga ia layak disebut Sayyidil Auliya’.
Di langit kelima, langit pengawasan (sama’ al-syurthah), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya manusia yg menjadi pemimpin umat manusia, sekalipun kepemimpinannya belum tampak, yaitu Nabi Harun as.
Di langit keenam, langit kata² (sama’ al-kalam), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Musa as., yg menjelaskan puncak akhir dan buah dari Mi’raj Sufi. Nabi Musa as. berkata, “Ketahuilah, engkau bertamu kepada Tuhanmu, agar Dia membukakan rahasia hatimu untukmu, dan menyadarkanmu tentang rahasia kitab-Nya, supaya statusmu sebagai pewaris menjadi sempurna dan statusmu sebagai utusan menjadi sah. Namun janganlah engkau berharap memperoleh ajaran syariat yg menghapus (syariat Muhammad—penj.), atau berharap mendapat kitab wahyu. Pintu untuk itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya setelah engkau memperoleh maqam ini maka engkau akan pulang sebagai seorang utusan. Dari itulah hendaklah engkau bersikap lembut dalam membimbing makhluk.”
Demikianlah semuanya menjadi lebih jelas bagi Sang Salik di Sama’ al-Kalam ini, baik tentang arti Mi’raj-nya itu maupun batas akhir pencapaiannya. Mi’raj Sufi adalah pencapaian ‘irfani dan pengetahuan, dan pulang dengan membawa misi dakwah serta kelembutan sikap.
Di langit ketujuh, ruh Salik melihat ruhaniah Sang Khalilullah (Kekasih Tuhan), ia sedang mengelilingi Baitul Makmur dengan diliputi cahaya. Sang Salik meminta izin agar diperkenankan masuk ke Baitul Makmur tersebut. Seperti pembahasan di muka, kedudukan Baitul Makmur bagi para penghuni langit bagaikan Ka’bah bagi penduduk bumi. Mereka mengerjakan shalat dan berthawaf di sana. Sang Khalilullah (Nabi Ibrahim as.) itu mengajukan beberapa persyaratan… Kemudian Nabi Ibrahim as. memperkenalkan _maqam_ Nabi Muhammad Saw., yg diunggulkan oleh Allah Ta’ala di atas para Rasul lain dengan bukti adanya Al-Qur’an yg terpelihara.
Perhatikanlah mana yg lebih mulia antara Nabi Musa as. yg berkata:
‘Ajiltu ilaika Robbi litardho
“Aku bersegera kepada-Mu, wahai Tuhan, agar Engkau ridha.”
Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg untuknya ada firman berbunyi:
Walasawfa yu’thiika Robbuka fatardho
“Dan sungguh Tuhanmu akan memberi kamu, agar engkau ridha.”
Perhatikan pula antara Nabi Musa as. yg berkata:
Robbisyrohlii sodrii
“Tuhanku, lapangkanlah dadaku.”
Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg Allah Ta’ala berfirman untuknya:
Alam nasyroh laka sodroka
“Bukankah kami telah melapangkan dadamu?”
Rasulullah Muhammad Saw. tidak sekadar lebih mulia dibandingkan dengan Nabi Musa as., akan tetapi Nabi Ibrahim as. juga menerangkan bahwa maqam Rasulullah Muhammad Saw. lebih mulia dibandingkan maqam dirinya, sebagai bapak Islam dan bapaknya para Nabi. Nabi Ibrahim as. berkata kepada Sang Salik, “Bedakanlah antara orang yg menatap bintang² di langit seraya berkata:
Anaa saqiimu
“Aku menderita.”
Dan orang yg Allah Ta’ala sendiri berfirman tentangnya:
Maa kadzibal fu’aadu maa ro’a
“Hati tidak pernah dusta akan apa yg dilihatnya.”
Aku (Ibrahim as.) berdoa:
Robbighfirlii khothii’atii yawmaddiini
“Tuhan, ampuni kesalahanku pada hari pembalasan kelak.”
Dengan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:
Liyaghfirolakallaahu maa taqoddama min dzanbika wamaa ta’akh-khoro
“Agar Allah mengampuni dosa²mu terdahulu dan yg akan datang.”
Aku (Ibrahim as.) berdoa:
Waj’allii lisaana sidqin fil akhoriina
“Dan jadikanlah aku buah tutur yg baik bagi orang² (yg datang) kemudian.”
Sedangkan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:
Warofa’naa laka dzikroka
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”
Demikianlah Khalilullah Ibrahim as. memberi penjelasan kepada Sang Salik tentang bagaimana Allah Ta’ala menganugerahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. segala hal yg diharap-harapkan oleh para Nabi sebelumnya. Untuk itulah, tidak ada seorang Nabi pun yg menghalangi ruh Sang Salik untuk melihat kesempurnaan Rasulullah Muhammad Saw. dan para pengikutnya. Untuk itu pula, Khalilullah Ibrahim as. di akhir perkataannya tidak berhak mengucapkan kepada Salik: “Wahai anakku, lanjutkan perjalananmu ke tempat yg engkau dipanggil untuk mendatanginya….” Ruh Sang Salik pun meninggalkan tujuh lapis langit tersebut.
4. Setelah melewati ketujuh langit itu, Sang Salik tiba di Sidratul Muntaha. Dia tertunduk lemah di hadapan cahaya dan kebesaran yg menyelimutinya. Kemudian dia berusaha mendaki ke alam malaikat (al-mala’ al-a’la). Ada suara yg memanggilnya, “Antara dirimu dan diri-Nya ada Hadhrat al_Kursi.” Ruh Salik kemudian terbang menuju Kursi dengan sayap² ‘azam (kemauan keras). Di situlah dia berjumpa dengan Qutub Syari’at (Muhammad Saw).
Kami, sebagai pembaca sekaligus penulis, mendapati sebuah penjelasan yg mengakui bahwa Syaikh Ibnu Arabi adalah Guru Besar, yg menguasai berbagai instrumen yg digunakan para penulis sebelumnya, baik berupa nilai kebudayaan maupun kedalaman balaghah dan i’jaz.
Wasiat dari Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik mencakup seluruh wasiat yg pernah disampaikan para Nabi semasa hidup mereka. Karena itulah kita dapati wasiat² tersebut saling melebur, kadang saling bertentangan, namun sekaligus saling melengkapi; bersifat dialektis, yg belum pernah diterima oleh seorang pun. Sebab Salik belum mencapai cakrawala penalaran sufistik yg membuatnya kenal akan Allah Ta’ala melalui jalan kesalingberlawanan tersebut.
Demikian pula perintah² Allah Ta’ala datang dengan membawa pertentangan². Semua perintah itu tidak saling melentur, akan tetapi saling melebur. Salah satu wasiat Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik, “Jangan mengharap kekuasaan yg tidak akan pernah dimiliki oleh seorang pun sesudahmu. Tapi ucapkanlah begini: ‘Segala-galanya berasal dari sisi-Mu. Aku berharap mendapat kekuasaan yg tidak layak dimiliki oleh selain diri-Mu.’ Untuk itulah maka engkau harus mencontoh akhlak dan sifat Tuhanmu. Menetaplah di Mihrab maka rezeki akan datang tanpa hisab. Tapi jangan menetap di mihrab itu sebagai alasan (mendatangkan rezeki).
Carilah tangga untuk menggapai tauhid. Jangan suka menggoyang-goyang akar (tauhid), karena hal itu (menyebabkan) murka (Tuhan). Menggoyang akar (tauhid) adalah tanda orang² pendusta dan pendurhaka. Serahkan seluruh urusanmu kepada pemilik langit, maka engkau akan tahu hakikat asma². Tapi jangan serahkan (kepada-Nya) karena engkau bukan orang kedua. Jangan sampai engkau terhijab oleh makna berpasang-pasangan (al-Matsani). Jangan cari jubah selain diri-Nya, barang siapa bertawakkal kepada-Nya maka ia akan diberi kecukupan. Carilah jubah dari yg sejenis denganmu. Sebab Dia ingin sekali menjadi lebih kuat untuk dirimu. Lemparkan tabutmu ke laut. Karena ia pasti menjumpainya kembali, Tapi jangan lempar sekarang juga. Dan tulus ikhlaslah demi Tuhanmu.”
Demikianlah makna² itu saling bertolakan dengan sangat cepat, membawa kehadiran ingatan seorang pembaca ke derajat kekerasan paling tinggi. Senandung kata² mengalun dan memperhalus tajamnya kekerasan itu. Kita pun hidup dalam momen yg singkat, dimana kemabukan merayapi lidah² perasa kita.
Sang Salik merasa bahagia dengan adanya wasiat dari Qutub Syari’at (Muhammad Saw.), dan dia berharap ingin tinggal bersamanya lebih lama lagi. Sayangnya, Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. tidak tinggal bersama siapapun selain Tuhannya. Sebab itulah Sang Salik pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. karena telah menjelaskan panjang lebar tentang hakikat² maqamat dan rahasia² kesufian. Dia pun mengendarai paragraf² dalam rak² buku, dan terbang ke alam malaikat sembari menyaksikan keajaiban² alam ghaib. Dari situ dia mencoba untuk mendekat dengan lebih dekat lagi.
5. Bagian keempat buku ini (menjelaskan): bahwa Sang Salik melewati tahapan demi tahapan yg berjumlah lima: Qaba Qusain, Au Adna, al-Lauh al-A’la, al-Riyah wa Shalshal al-Jaras, dan Auha. Pada setiap tahapan ini Tuhan berkomunikasi, berfirman, mengajari, dan memberi pemahaman kepada Sang Salik.
a. Pada tahap pertama, yaitu di Qaba Qusain, Sang Salik dipanggil namanya, “Wahai mawarnya para pencinta (Tuhan), wahai keindahannya para pewaris (Nabi), apa saja yg engkau temukan di sepanjang perjalananmu menuju Kami? Dengan apa engkau bertamu kepada Kami?” Dia mulai bercerita tentang keindahan² pemandangan yg dilihatnya, sejak pertama kali dia meninggalkan unsur dirinya yg berupa air sampa tiba di langit pertama. Dia menyebutkan satu per satu manfaat yg dipetiknya dari perjumpaan bersama para Nabi di tujuh langit serta dengan Sang Qutub Syariat Muhammad Saw. di hadhrat al-Kursi. Setelah Sang Salik selesai menceritakan bermacam-macam pengalamannya, Tuhan melepaskannya dari segala macam pikiran, lalu memberinya pakaian ubudiyah.
Berangkat dari momentum semacam itu, kami melihat bahwa Sang Salik pada setiap percakapan dipanggil namanya dengan kata : “Wahai hamba-Ku.” Di situ pula ada isyarat tentang kenyataan bahwa Sang Salik mendapat keistimewaan berupa pengabdian (ubudiyah), “Wahai hamba-Ku, jangan berbicara, karena Akulah Yang Bicara (mukallim) sekaligus lawan bicara (mukallam). Dari diri-Ku lah sumber kata² (kalam). Jangan jadikan kata²Ku ini selain diri-Ku. Sebagaimana langit dan bumi tidak akan mampu menampung-Ku.”
b. Sang Salik, dengan sayap² fana’ terbang ke tahapan Au Adna. Ketika dia turun dari kendaraan fana’ itu, dan berhadapan dengan dinding² asmanya, dia pun mengadu kerinduannya, rasa cintanya, dan harapannya. Maka sambutan itu berbunyi: “Itu adalah kehendak-Ku, maka pasrahlah. Engkau harus menyerahkan dan menerima semua perkaramu kepada garis² takdir-Ku.”
Di sinilah pelajaran kedua diperoleh, setelah pelajaran tentang ubudiyah diperolehnya pada tahapan Qaba Qusain. Dan Sang Salik tulus ikhlas memasrahkan seluruh kehendaknya, menyerahkan segala urusannya, dan mau menerima apa adanya. Ini adalah pernyataan yg kami rasa bahwa Syaikh Ibnu Arabi melihat dirinya dengan cara melihat kehendak Allah Ta’ala. Tulisan² (Syaikh Ibnu Arabi) beralih dari penjelasan tentang kerinduan dan cinta kepada penjelasan tentang kehendak Tuhan Yang Maha Mulia nan Agung. Tuhan ingin bercakap-cakap dengan Syaikh Ibnu Arabi seperti yg dilakukan-Nya terhadap Imam Ibnu Hamid al-Ghazali. Adalah sebuah keharusan Salik betul² menyimak agar dapat menangkap rahasia² tersembunyi, dan mempertajam penglihatan mata hati agar dapat menangkap pancaran² cahaya.
c. Setelah melewati tahapan Au Adna, Sang Salik tiba di al-Lauh al-Mahfudz (al-A’la). Di al-Lauh itu dia melihat tulisan mengenai maqam² ahlu raihan dan ruh, mereka adalah ahli tauhid.
Yg jelas, Syaikh Ibnu Arabi mengikat firman Allah Ta’ala:
Innaa nahnu nazzalnadzdzikro wa innaa lahu lahaafidhuuna
“Sesungguhnya kami menurunkan al-Dzikr, dan kami pula yg akan menjaganya.”
Dengan ibarat dalam kata:
allauhul mahfuudhu
“Lauh Mahfudz (papan yg terpelihara)”
Dalam kedua kalimat di atas terdapat pengulangan makna dan pengulangan kata ( Ha Fa Dza: menjaga/ memelihara).
Mengingat tauhid adalah intisari Al-Qur’an dan Islam, dan Allah Ta’ala menjamin Al-Qur’an dari adanya perubahan dan penggantian, maka menurut kami, Syaikh Ibmu Arabi melihat tauhid tertulis di Lauh Mahfudz. Akan tetapi tauhid yg dimaksud Syaikh Ibnu Arabi di sini bukan akidah maupun pemikiran, sebagaimana dipahami ahli kalam. Tauhid di sini adalah praktek, hal, dan maqam. Selanjutnya, Syaikh Ibnu Arabi adalah seorang ahli tauhid yg mendaki tangga martabat dan maqamat. Mengingat Al-Qur’an menyebutkan 36 kata tauhid –yg kami maksud dengan tauhid adalah kalimat (laa ilaaha illa Allah)— maka untuk itulah Syaikh Ibnu Arabi membagi maqam² ahli tauhid ke dalam 36 sifat. Setiap kali Seorang Salik mampu menyingkap satu tabir maka tauhid akan benderang kepadanya.
Menurut kami, rahasia menghubung-hubungkan hijab dengan tauhid adalah bahwa kata tauhid itu sendiri adalah negasi (penyangkalan/nafyun) kemudian afirmasi (penetapan/itsbat), yaitu, menegasikan keberadaan Tuhan sebagai pengantar untuk menetapkan ke-Esa-an Allah. Sungguh Allah Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, berada di atas tabir² sifat, asma, dan af’al.
Setelah Syaikh Ibnu Arabi melihat maqam² ahli tauhid, dia kemudian mendapat panggilan, “Wahai Salik, dimanakah maqam² ini di antara mereka?” Kami sampaikan kepada Ibnu Arabi, “Engkau benar.” Andaikan tidak ada kesesuaian nama maka niscaya tidak akan ada penisbatan apapun di antara maqam² ahli tauhid –yakni orang² yg menyaksikan Tuhan, dimana tabir² telah tersingkap dari mata hati mereka -dan ahwal-nya ahli tauhid– yakni orang² yg menggenggam kuat akidah, mengimani alam ghaib, yg terhijab dari Tuhan akibat dunia dan jiwanya sendiri.
d. Setelah melewati al-lauh al-mahfudz, kuda tunggangan menurunkan ruh Sang Salik di Hadhrat Shalshal al-Jaras. Tiba² angin topan berhembus kencang, kilatan petir menggelegar, dan hati Sang Salik dipenuhi ketakutan. Setelah angin ribut mulai reda, ada suara memanggil Sang Salik, “Aku telah mengantarkanmu di tempat hatimu, kediaman nuranimu.” Dia menjawab, “Hati tidak memiliki tempat. Aku hanya ingin Allah. Dalam rububiyah, seorang hamba hanya bertauhid.”
e. Sang Salik terhempas, dia fana’ dalam dirinya sendiri, dia tidak lagi kekal bersama Tuhan, kecuali setelah dalam jiwanya dia menemukan makna yg pernah di angankannya jauh² sebelum itu, yaitu setelah menjadi lebih jelas apa yg dicarinya, yakni maqam sebagai pengikut Muhammad, pewaris Muhammad, menjadi orang paling sempurna di antara para waliyullah.
Menurut kami, seluruh pembicaraan setelah itu ditujukan kepada Sang Salik. Dalam realitasnya pembicaraan itu melewati Sang Salik, namun tujuan utamanya adalah pemilik maqam ini, yaitu Muhammad Saw. Setiap percakapan dan komunikasi yg dilakukan Allah Ta’ala dengan hamba-Nya, melewati Sang Salik yg fana’, namun lawan bicara yg sesungguhnya adalah Nabi Muhammad Saw.
Kami bisa meringkas gambaran soal ini. Begini: setiap Salik keluar dari dalam dirinya sendiri, mencari maqam Muhammadi. Jika kita boleh menganalogikannya, maka ketika Sang Salik tiba di maqam itu, dia serupa dengan partikel² kecil di alam semesta ini yg mengelilingi bulan. Pada dasarnya, partikel² itu sangat gelap. Ketika cahaya bulan menerpanya maka dia berbentuk dengan meniru bentuk cahaya bulan yg meliputinya. Hakikat partikel² kecil yg mengeliligi bulan ini, tidak pernah berubah: Namun partikel² kecil itu menerima cahaya bulan di permukaan dzatnya, dan dia menghilang dari dirinya sendiri karena terlalu dekat dengan cahaya.
Dari sinilah kami paham, mengapa setiap khitab (ucapan Tuhan) diarahkan kepada Sang Salik pada saat berada dalam maqam fana’. Khitab bergerak melewati Sang Salik menuju manusia sempurna (insan kamil), Muhammad Saw.
Dalam tahapan ini, tahapan Auha, rahasia² disingkapkan kepada Sang Salik, dimana sebagian rahasia itu dijelaskan ketika sedang munajat. Ringkasnya, memperkenalkan Sang Salik tentang dirinya sendiri, sebagai manusia, dan kedudukanya di hadapan alam semesta disebut munajat al-tasyrif (munajat pengagungan), memperkenalkan Sang Salik tentang Tuhannya Yang Maha Esa, yg tidak terbatasi oleh gagasan dan ide, tidak terlihat oleh mata kepala maupun mata hati disebut munajat al-taqdis (munajat pengkudusan), dan memperkenalkan Sang Salik tentang nikmat² Allah Ta’ala atas diri Sang Salik disebut munajat al-Minnat (munajat anugerah). Sedangkan memperkenalkan Sang Salik tentang tingginya maqam Muhammad Saw. dibanding seluruh maqam yg ada disebut munajat al-Durrat al-Baidha’ (munajat mutiara putih).
6. Bagian kelima: bagian kelima ini tampil sebagai ujian, Sang Salik setelah melewati setiap tempat² di atas, perkara² yg tersembunyi telah diungkapkan, rahasia² tersingkap, maka dia seakan-akan wajib menjadi orang yg bertanggung jawab. Ilmu pengetahuan, jika kita menganalisisnya lebih tajam lagi, adalah amanat. Kita menerima ilmu sebagai amanat, dan menyampaikannya sebagai amanat pula. Kita mengambil ilmu dengan syarat mampu menjaganya dari kelupaan, mengamalkannya, dan menyampaikan kepada orang lain yg layak dengan persyaratan yg sama pula. Untuk itulah, sangat logis apabila Mi’raj ‘irfani Syaikh Ibnu Arabi di akhiri dengan ujian kepada diri Sang Salik mengenai isyarat² nubuwat.
Dlm Al-Isra ila al-Maqam al-Asra aw Kitab al-Mi’raj:
NASKAH-NASKAH PATOKAN
Naskah (A)
1. Berupa manuskrip di Perpustakaan Waliyuddin, Istambul 1628.
2. 75 halaman, pada setiap halaman terdapat 13 baris yg ditulis dengan khat naskhi pada umumnya.
3. Tulisan yg terdapat pada halaman pertama berbeda dengan tulisan aslinya, boleh jadi ia tambahan dari Abul Hasan al-Rumi, sebagai pentashih, penyunting, dan penulis syarahnya.
4. Pada akhir tulisan terdapat keterangan yg membuat kita tahu bahwa manuskrip tersebut dibacakan langsung kepada pengarangnya al-‘Allamah Muhyiddin Ibnu Arabi pada 633 H di rumah Syaikh Ibnu Arabi, Damasqus. Keterangan ini membuat manuskrip tersebut setingkat dengan karya asli.
5. Di akhir tulisan kita juga menemukan keterangan bahwa pada 976 H., Syamsuddin Ismail Ibnu Saudakin mempelajari, mentashih, menyunting naskah dari awal sampai akhir, dan memberikan syarah atas tulisan Abul Hasan Mahmud Ibnu Muhammad al-Rumi, saat berada di Mekkah Musyarrafah.
6. Layak disebutkan bahwa naskah (A) ini didapat dalam bentuk file dari tempat penyimpanan manuskrip² milik Universitas Negeri Arab, Kairo.
Naskah (B)
1. Ini naskah yg dicetak di Haidar Abad pada 1948 M dari tulisan Ashif dengan nomor 376.
2. Sepertinya, cetakan Haidar Abad ini adalah tulisan yg menimbulkan banyak kesulitan bagi penerbit dalam hat pembacaan, sehingga terdapat banyak kalimat dan kata² tambahan untuk memperjelas beberapa teks asli (matan), atau dibiarkan kosong sama sekali dan di pinggirannya dicantumkan kata: demikian adanya.
3. Saya mencoba untuk tidak melakukan perbandingan atau komparasi antara naskah cetakan Haidar Abad dengan naskah (A), yg saya pegang sebagai naskah asli. Sebab pada naskah (B) ini terdapat banyak kesalahan, kekurangan, dan ketidakjelasan. Hanya saja saya merasa adanya sebuah keharusan untuk melakukan komparasi tersebut sebagai upaya memenuhi kewajiban dalam metodologi penelitian ilmiah. Karena itulah saya mendorong pembaca melihat daftar perbandingan manuskrip² agar pembaca dapat mempelajarinya sendiri kekurangan² pada cetakan Haidar Abad. Dengan mengakui kelebihan setiap penerbit maka pembaca akan menyadari sisi² warisan kebudayaan kami. Sekalipun kami sendiri tidak menuntut (para penulis) terdahulu menyertakan metodologi ilmiah seperti yg kita perlukan dari para peneliti di zaman sekarang.
Naskah (C)
Manuskrip Berlin, nomor we.1632, dari nomor panggil IB sampai 45A. Pada halaman 15 ditemukan baris kalimat tertulis dengan khat naskhi yg jelas. Penulisnya adalah Ahmad bin Muhammad, lebih terkenal dengan sebutan al-Bazuri. Penulisan manuskrip tersebut rampung pada Selasa Rabi’us Tsani 966 H.
Naskah (D)
Manuskrip Berlin, nomor pet.195, dari nomor panggil 25B sampai 61B. Pada halaman 17 ditemukan baris kalimat tertulis dengan khat naskhi yg jelas. Tanpa disertakan nama penulisnya. Tanggal penulisan 1259 H, sedangkan manuskrip itu berjudul Kitab al-Mi ‘raj.
Al-Najat min Hujub al-Isytibah
Karya ini ditulis oleh Ismail bin Saudakin, murid Syaikh Ibnu Arabi, memberi syarah atas dua kitab Gurunya al-Isra ila Maqam al-Asra dan Masyahid al-Asrar al-Qudsiyah. Karya ini menyebutkan kesalahan Syaikh Ibnu Arabi. Ibnu Saudakin dalam karyanya itu mengikuti alur penjelasan dan keterangan yg disampaikan oleh Syaikh Ibnu Arabi di madrasahnya. Dalam arti, syarah Ibnu Saudakin tidak menerjemahkan karya Syaikh Ibnu Arabi dan dia tetap menyerahkannya pada pembaca. Di satu sisi, sisipan² dan keterangan Ibnu Saudakin lebih cocok sebagai pintu masuk ke dalam keseluruhan alam pemikiran Syaikh Ibnu Arabi. Di sisi lain, catatan dari pensyarah (Ibnu Saudakin) tidak keluar dari batas lingkaran tema² sufistik dan kaum Sufi, sehingga kitab dan syarah tersebut bagaikan dua penjaga gawang alam tasawuf. Di samping karya Ibnu Saudakin tersebut mengandung banyak faedah penting bagi pembaca, dan bukan sekadar bagi kaum Sufi sendiri.
Saya merujuk kepada kitab al-Najat ini, terkadang sebagai perbandingan dan kadang pula untuk memperkuat beberapa penjelasan namun tanpa ada manfaat yg bisa disebutkan. Naskah yg saya gunakan adalah naskah dari perpustakaan negeri, Paris, dengan nomor 6613 Arabic. Naskah ini ditulis dengan khat naskhi yg jelas pada 970 H. Ia terdiri dari atas 137 halaman.
Dlm Al-Isra ila al-Maqam al-Asra aw Kitab al-Mi’raj:
METODOLOGI PENELITIAN YANG DIGUNAKAN
1. Teks Syaikh Ibnu Arabi ini adalah karya sastra yg melantunkan irama musik, mengalir, dan senada. Untuk itulah, sebagai upaya menjaga eksistensi irama musik teksnya, maka saya menghormati keselarasan sajak²nya. Sajak menjadi pemisah dan titik. Mengingat Syaikh Ibnu Arabi sendiri mempertahankan irama sajak² tersebut sepanjang karyanya ini maka kita sama sekali tidak melihat estetika prosanya itu gugur atau sia². Sebaliknya dia menampilkan kedalaman balaghah pada susunan kata²nya, berupa keberlimpahan bahasa, kebudayaan, dan gagasan.
2. Setiap gerakan huruf²nya sangat jelas, sehingga membacanya menjadi mudah, dan segala kerancuan musnah.
3. Sudah pasti terjadi perbedaan dalam hal kepenulisan antara teks lama dan teks baru. Untuk itulah saya membiarkan penulisan teks lama dan tidak melakukan komparasi antar naskah dalam hal yg berkaitan dengan penulisan lama tersebut. Saya mencukupkan diri dengan menyajikan teks yg sudah masyhur dengan gaya penulisan baru. Dari situlah saya tidak menyertakan nomor² pada matan atau daftar isi, sebab dianggap tidak perlu.
4. Syaikh Ibnu Arabi menulis karyanya al-Isra ini dengan gaya kepenulisan riwayat, dia tidak membaginya ke dalam bab² dan pasal², seperti yg dia terapkan pada karya²nya yg lain. Akan tetapi Syaikh Ibnu Arabi menulis kitab al-Isra ini beruntun dari awal sampai akhir tanpa jeda bab². Karenanya saya memandang perlu membagi karya tersebut ke dalam beberapa bagian sesuai tema pembahasannya; bagian mukaddimah, dan lima bagian pembahasan. Saya melakukan pembagian semacam itu ketika menguraikan kandungan kitab, seperti yg telah disampaikan di muka.
5. Kitab al-Isra ini meneguk habis ayat² Al-Qur’an, hampir setiap ibarat dan kalimat menyimpan bukti, isyarat, atau kandungan Al-Qur’an. Untuk itulah, di catatan pinggir saya menyertakan nomor ayat² Al-Qur’an yg terdapat pada matan teks. Tindakan ini saya tujukan untuk mempertahankan irama musik matan teks.
6. Hasil tahrij atas hadits² yg terdapat dalam teks, saya kumpulkan dalam satu daftar dan diurut sesuai abjad. Daftar tahrij hadits ini saya masukkan di antara beberapa daftar lainnya, yg berada di akhir kitab. Setiap ada satu hadits di matan teks, saya sebutkan nomor rujukannya yg terdapat pada daftar tahrij ini.
7. Makna² yg tersimpan di dalam kitab al-Isra ini berlesatan dengan cepat, sehingga kami tidak bisa mengikutinya. Setiap huruf yg ditulis, Syaikh Ibnu Arabi mengisinya dengan makna dan isyarat ayat Al-Qur’an. Tidak ada ruang untuk memberi catatan, tafsir, syarah, dan uraian dalam kitab ini. Inilah alasan mengapa sebagian orang merasa kitab tersebut sangat rumit dan ambigu. Akan tetapi menurut kami, ia bagai sebuah perjalanan dengan memanggul mutiara² kata. Dalam ungkapan orang lain, karya Syaikh Ibnu Arabi ini bagaikan perahu yg penumpangnya berpasang-pasangan. Dengan kata lain, karya ini adalah seorang ibu yg mengandung makna² tanpa pernah melahirkannya.
Inilah alasan mengapa saya berpendapat bahwa mendistribusikan karya Syaikh Ibnu Arabi ini tanpa menyertakan penjelasan dan sisipan apapun atau keterangan atas isyarat²nya adalah tindakan yg dapat mengurangi amanah keilmuan. Sebab sebuah teks menjadi kurang bermanfaat apabila hanya dipahami oleh kalangan cerdik pandai tertentu.
Dari argumen itulah saya mencurahkan sekuat tenaga untuk memberikan penjelasan atas kata² dalam al-Isra, mengurai isyarat²nya, dengan catatan penjelasan dan keterangan saya tersebut tidak menghalangi teks dari semesta makna yg absolut. Sebab menisbatkan bahasa yg digunakan Syaikh Ibnu Arabi kepada gagasan²nya bagaikan menisbatkan jasad kepada ruhnya. Syaikh Ibnu Arabi tidak pernah meminjam bahasa popular untuk mengungkapkan inti gagasan khasnya. Sebaliknya dia menciptakan bahasa sendiri dengan meniupkan ruh makna kepadanya. Sehingga bahasa Syaikh Ibnu Arabi menyimpan berbagai kandungan makna, dan masing² bisa muncul dan naik ke permukaan. Karena itulah saya membiarkan kalimat²nya bagaikan jendela terbuka untuk menatap semesta absolut yg berada di hadapan para pembaca. Di sini para pembaca dapat melihat dan melangkah, sesuai kapasitas, kapabilitas, dan hasrat masing².
Terakhir, kita bersimpuh di hadapan Syaikh Ibnu Arabi… Sebagian golongan dari ulama Salaf menolak Syaikh Ibnu Arabi, terutama setelah adanya serangan dari Syaikh Ibnu Taimiyah kepadanya. Golongan lain mencoba mencerabut Syaikh Ibnu Arabi dari akar keislamannya yg baik, lalu menggambarkannya sebagai orang yg kebingungan dalam bentara wujud, orang yg merasa menyatu dengan setiap manusia di berbagai ruang dan waktu, dan menilai Syaikh Ibnu Arabi sebagai orang yg mengajarkan wahdatul wujud, dimana ajaran ini menemukan akar pemikirannya dalam falsafah agama India.
Akan tetapi kaum terdidik kita terkait langsung dengan Syaikh Ibnu Arabi dengan beragam macam dan bentuk. Kita adalah generasi satu umat yg dalam perjalanan sejarah pemikirannya memiliki seorang Guru Besar seperti Syaikh Ibnu Arabi. Membaca karya²nya merupakan sebuah perjalanan menyenangkan dalam semesta pengetahuan. Sebelum kita menerima atau menolaknya, marilah kita bersama-sama melakukan perjalanan tersebut. Kita akan mengiringi kalimat²nya yg dapat di umpamakan dengan perahu atau bahtera yg sedang berlayar menuju semesta pengetahuan (ma’rifat). Pada akhirnya, kita tidak akan bisa berbuat apapun selain mengagungkan seorang ulama besar muslim ini, seorang ahli fiqih yg mampu menyimak rahasia² fiqih, seorang teolog yg mampu menemukan detail² akidah, dan seorang sufi yg tidak pernah puas dengan pecerahan dan visi² yg dialaminya. Setiap orang yg pernah memasuki semesta Syaikh Ibnu Arabi tidak mau keluar untuk menyimak ucapan² orang selain Beliau. Sebab teks² karya Syaikh Ibnu Arabi telah menampung seluruh pilar bangunan seorang pemikir besar: baik susunan kata²nya, keilmuannya, keseriusannya, maupun keberaniannya. Syaikh Ibnu Arabi mencela jagad semesta yg pintu² masuknya ditutup pada zamannya. Betul memang, terkadang muncul kesan bahwa Syaikh Ibnu Arabi menyombongkan dirinya sendiri. Akan tetapi bukankah Beliau telah meninggalkan banyak karya untuk kita, dimana karya² itu dapat menghapus kesan² negatif tersebut?!
Dr. Su’ad al-Hakim
Beirut, 27 Rajab 1408 H/16 Maret 1988 M
Dlm Al-Isra ila al-Maqam al-Asra aw Kitab al-Mi’raj:
PENGANTAR PENULIS
[Dalam pengantar ini Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan bahwa pengalaman Mi’rajnya adalah perjalanan ruh yg maknawi: rahasia² dan kandungan Al-Qur’an disingkap, ilmu² diberikan, dan hal² tersembunyi ditampakkan. Mi’raj ini betul² berbeda dengan Mi’rajnya Rasulullah Saw., yg dilakukan secara nyata dengan raga fisik, dimana Rasulullah Saw. menempuh jarak dan melintasi langit. Pada Mi’raj itu, Beliau diberi syariat ilahiah yg menghapus syariat² sebelumnya.]
Bismillāhirrahmānirrahīm
Seorang syaikh, imam, yg alim dan sempurna, pentahqiq yg keilmuannya luas, penegak agama, kemuliaan Islam, lidahnya hakikat kebenaran, yg sangat pandai, panutan para pembesar, sumber perintah, keajaiban suatu zaman, satu²nya orang pada masanya, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad Ibnu Arabi al-Tha-i al-Hatimi dari Andalusia, semoga Allah mengakhiri hidupnya dengan kebaikan, berkata:
Segala puji bagi Allah yg mengeluarkan siang-Nya dari malam-Nya yg gulita,
seperti dalam firman Allah Ta’ala:
وَءَايَةٌ لَّهُمُ الَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُّظْلِمُونَ
“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yg besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Ya Sin [36]: 37)
memancarkan matahari-Nya yg benderang dan bulan-Nya yg terang di waktu siang dan malam, menjadikan siang dan malam sebagai bukti pada saat gelap dan terang, yakni, pujian azali dengan lidah yg qadim, yg memberi bimbingan untuk menggapai puncak tertinggi keagungan dari keindahan sebuah kesempurnaan pada suara dan bunyi Qalam, di papan² kemunculan kata² (menurut ungkapan umum dari Syaikh Ibnu Arabi, kata² adalah wujud ini. Sebab wujud adalah penampakan luar dari kalimat penciptaan “Kun (Jadilah)!” Dalam ungkapan yg lebih spesifik, menurut Syaikh Ibnu Arabi, kata² adalah hakikat acau inti sifat yg dimiliki setiap Nabi. Yg dimaksudkan Syaikh Ibnu Arabi dengan ‘kata²’ dalam kitab ini adalah Nara nabi. Lihatlah Mu’jam al-Sufi tentang arti kata ‘Kalimat’.) yg ditandai dengan Nun-nya,
Seperti dalam firman Allah Ta’ala:
نٓ ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun, demi kalam dan apa yg mereka tulis,” (QS. Al-Qalam [68]: 1)
(menurut Syaikh Ibnu Arabi, Nun adalah tempat tinta yg secara universal tintanya menampung bentuk² jagad semesta; artinya, huruf². Lihat Mu’jam al-Sufi bagian huruf Nun.)
kemurahan dan kemuliaan, yg disucikan sejak kemunculan pertama peristiwa terbelahnya langit beserta seluruh isinya dari sebuah ketiadaan,
Seperti dalan firman Allah Ta’ala:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوٓا أَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang² yg kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yg padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yg hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30)
yg telah mengisra’kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan suatu tempat yg azali.
سُبْحٰنَ الَّذِىٓ أَسْرٰى بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا الَّذِى بٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yg telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yg telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda² (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra’ [17]: 1)
Ucapan terimakasih untuk-Nya persis seperti pujian² untuk-Nya yg pernah ada sebelumnya, yakni, ucapan terimakasih dengan Alif (Alif adalah dalil tentang Dzat Tuhan, berbeda dengan Ba’, ia adalah dalil Sifat. Yg dimaksud ‘ucapan terima kasih dengan Alif bukan Ba” adalah pujian yg ditujukan kepada Allah bukan kepada salah satu sifat. Lihat Mu’jam al-Sufi pada bagian Alif dan Ba’.), bukan Ba’. Sebab ucapan terima kasih dengan Ba’ terlalu berani.
Shalawat serta salam semoga dicurahkan kepada dia yg diciptakan pertama kali (yg pertama kali diciptakan adalah Muhammad Saw. Hal ini di isyaratkan dalam sebuah hadits Nabi: “Wahai Jabir, yg pertama kali Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu ini.” [lihat Kasyf al-Khafa’ karya al-‘Ajulani, hadits no. 827, jilid 1 hal. 265-266]), bukan kepada ia yg pertama kali muncul dan tampak di sana, lalu Allah menyebutnya perumpamaan, Allah menciptakannya sebagai satu yg tak terbagi, dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yg serupa dengan Dia.” (QS. Ash-Syura [42]: 11)
Dialah yg alim, satu²nya tanda, Allah memberdirikannya di hadapan cermin Dzat, namun dia tidak menyatu sekaligus tidak terpisah dari Dzat. Setelah bentuk perumpamaan (shurah al-mitsI) muncul padanya, dia pun percaya dan mengucapkan selamat kepada bentuk itu. Alah menyerahkan kunci² kerajaan-Nya, dan dia tunduk. Tiba² ada firman:
engkaulah (Muhammad) wujud paling mulia, Tanah Haram (dalam hal ini Syaikh Ibnu Arabi mengisyaratkan kehormatan Nabi Muhammad Saw., yg sangat dihormati dalam Islam) paling agung, Rukun Yamani dan Multazam (Multazam adalah tempat yg terletak di antara Rukun Yamani dan Ka’bah, ia adalah tempat berdoa bagi jama’ah haji, umrah, atau orang yg sekadar melintas untuk berdoa. Berdoa di Multazam akan terkabulkan oleh Allah Ta’ala. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Multazam adalah tempat berdoa yg mustajab. Setiap hamba Allah yg berdoa di sana maka Allah akan mengabulkan doa itu.” (Lihat kitab Mustafad al-Rihlah wa al-Ightirab karya Al-Qasim bin Yusuf al-Najibi Al-Sibti, hal. 276), Maqam Ibrahim, Hajar Aswad yg diciumi, rahasia dalam zamzam, pahamilah mengapa ia harus diminum, dia adalah orang yg di isyaratkan oleh sebuah kalimat “orang mukmin adalah cermin saudaranya.” Perhatikanlah dan rahasiakanlah apa yg tampak kepadanya dalam cermin itu. Shalawat serta salam juga semoga tercurah kepada keluarga dan para sahabat Rasulullah Saw.
Amma ba ‘d.
Saya persembahkan kepada kalangan Sufi, orang² yg mengalami mi’raj² akliah, yg memiliki maqam² ruh, rahasia² ilahiah, dan martabat² tinggi nan suci, sebuah ringkasan tentang runtutan perjalanan dari alam fisik ke tempat Tuhan, dalam satu kitab yg bab²nya indah sekali, yg berjudul Kitab al-Isra ila al-Maqam al-Asra.
Dalam kitab ini saya menjelaskan bagaimana hakikat bisa terungkap, dengan menanggalkan baju², bagi mereka yg memiliki mata hati dan akal pikiran. Saya juga menjelaskan penampakan hal menakjubkan dalam perjalanan Isra’ sampai tersingkapnya tabir², serta tentang nama beberapa maqam termasuk maqam yg tak bermaqam (station no-station), yg kemunculannya tak dapat diketahui melalui ilmu maupun hal. Yg demikian ini adalah Mi’rajnya arwah para pewaris sunnah Nabi dan Rasul (Pewaris adalah pengikut Nabi Muhammad Saw. dalam hal ucapan, perbuatan, dan ahwal. Kecuali dalam hal² tertentu yg hanya boleh dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw.. Pewaris di sini, sebagai orang mulia yg mengikuti jejak hidup Nabi Saw., adalah para ulama, seperti diterangkan dalam sebuah hadits: “Ulama adalah pewaris para Nabi.” Pewaris mengikuti orang yg memberikan warisan. Ada yg mewarisi Isa, ada pula yg mewarisi Musa, dan ada pewaris Muhammad. Dalam kitab ini oleh Syaikh Ibnu Arabi, mi’raj ruh dan isra’ maknawi menuju alam khayal ditujukan kepada pewaris Muhammad.)
Ini adalah mi’rajnya ruh, bukan raga fisik. Ini adalah Isra’nya asrar, bukan aswar, sebuah penglihatan oleh mata hati, bukan mata kepala; sebuah perjalanan makrifat oleh perasaan dan kenyataan, bukan perjalanan menempuh jarak dan jalan; menuju langit² makna, bukan tempat di langit sana. Saya mengurai mi’raj ruhani ini dengan gaya berprosa maupun dalam bentuk syair. Penjelasannya saya selipkan secara simbolik maupun jelas dan bisa dipahami. Kata²nya bersajak, agar lebih mudah bagi para penghapalnya. Saya terangkan jalan, dan pertegas kenyataan. Saya terangi dengan rahasia kejujuran, dan saya susun munajat rahasia dengan kata² padat dan terhitung. Hal ini (dilakukan) ketika saya ingin memberi kejelasan. Kepada-Nya saya bertawakkal, dan memohon hidayah.
VI.A. Kandungan Kitab al-Isra
Kitab al-Isra ini menyajikan penjelasan² seputar perjalanan mimpi menuju langit ketujuh dan apa yg ada di atasnya, melalui lidah seorang salik bernama Syaikh Ibnu Arabi. Ketika kami mengurai kandungan riwayat dari Sang Salik ini maka kami akan membaginya ke dalam mukaddimah dan lima bagian.
1. Dalam bagian mukaddimah, Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan bahwa perjalanan yg ditempuhnya adalah Mi’raj ruh dalam mimpi yg bersifat maknawi. Berbeda total dengan Mi’raj yg dialami Rasulullah Saw., dimana Mi’raj Beliau bersifat empiris, dengan tubuh fisik, dan menempuh jarak dan tujuh langit.
2. Bagian pertama kitab al-Isra yg terdiri dari enam bab, menjelaskan kepribadian Rasul Pembawa Taufik (Muhammad), yg memungkinkan badan, perbuatan, dan akidah Sang Salik (Syaikh Ibnu Arabi) dapat melakukan Mi’raj. Dari situlah Rasulullah Saw. menyambutnya di langit yg tujuh. Kami perhatikan, persiapan Rasulullah Saw. untuk melakukan Mi’raj terbatas pada kehadiran Jibril as. dan terbelahnya dada Beliau. Berbeda dengan seorang wali –berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi dalam al-Isra ini– membutuhkan persiapan yg jauh lebih berat dan lebih keras. Sebab seorang wali harus belajar dan memahami hukum² akidah untuk persiapan badani tersebut, agar seorang salik dapat melepaskan diri dari empat unsur/anasir dirinya: tanah, api, udara, dan air.
Mi’raj Rasulullah Saw. sudah bisa sempurna tanpa harus mempelajari hukum² tersebut, sementara Mi’raj Sufi sebagai seorang pengikut masih berusaha menyamai maqam Rasulullah Muhammad Saw.
Seorang pengikut hanya bisa “duduk” bersama dengan orang yg di ikuti (Muhammad Saw.), bukan menyatu dengannya. Tidak seorang pun bisa memiliki apa yg dimiliki oleh Rasulullah Muhammad Saw. Akan tetapi bayang² anugerah ilahi kepada Rasulullah Saw. membentang sampai menaungi para pengikut Beliau. Dari sinilah apabila Mi’raj Rasulullah Saw. dilakukan dalam keadaan sadar dan dengan tubuh fisik maka Mi’raj para pengikutnya (kaum Sufi) berada dalam mimpi dan dengan ruh mereka ke dalam dunia, yg keberadan dunia itu didukung oleh hadits² shahih mutawatir.
3. Bagian kedua riwayat (Syaikh Ibnu Arabi) menjelaskan pengalaman seorang salik di tujuh langit. Di langit pertama ia berjumpa dengan ruhaniah Nabi Adam as. Setelah Sang Salik menimba banyak pengetahuan darinya maka dia terus mendaki ke langit kedua, yaitu langitnya para arwah. Di langit kedua ruh Sang Salik mendapat kenikmatan dengan menyaksikan ruhaniah Nabi Isa as. Ruh Salik mempelajari Zhahir al-Aman, yakni sebuah tulisan yg menegaskan status kewalian dirinya (Syaikh Ibnu Arabi). Tulisan itu ditulis atas perintah ruh al-arwah, yaitu Isa as., dan ditulis oleh juru tulis Beliau dan pembantunya. Menurut Syaikh Ibnu Arabi, ini sebuah bukti bahwa Isa as. adalah penutup sekaligus pusat kewalian umat Rasulullah Muhammad Saw. Tulisan tersebut adalah nash terpenting tentang kewalian, sebab ia menentukan macam² kebaikan dan kewajiban bagi seorang wali.
Di langit ketiga, yaitu langit keindahan dan tambang keagungan, Sang Salik meminta agar diperkenalkan dengan maqam Nabi Yusuf as.; maqamnya seorang amin al-umana’ (paling terpercaya di antara orang² yg terpercaya) dan jamal al-naba’ (keindahannya para Nabi). Barang siapa yg menyaksikan alam lahut kemudian menghapus unsur² nasut nya dan tergerak untuk meninggalkannya maka pada waktu itu ia sudah sempurna dan layak mendaki langit keempat.
Di langit keempat: langit kemuliaan (sama’ al-i’tila’), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Idris as.. Kami kira, ruh Salik di langit ini disambut dengan ucapan: “Selamat datang, wahai Sayyidil Auliya’ (tuannya para wali).” Yg kami pahami dari isyarat di atas, seseorang yg melewati langit kedua dan sudah ditetapkan sebagai seorang wali, jika ia bisa melewati ke-fana’-an di langit ketiga maka ia akan mendapatkan keabadian langit keempat, di sinilah ia menyandang gelar pemimpin dalam kewalian, sehingga ia layak disebut Sayyidil Auliya’.
Di langit kelima, langit pengawasan (sama’ al-syurthah), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya manusia yg menjadi pemimpin umat manusia, sekalipun kepemimpinannya belum tampak, yaitu Nabi Harun as.
Di langit keenam, langit kata² (sama’ al-kalam), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Musa as., yg menjelaskan puncak akhir dan buah dari Mi’raj Sufi. Nabi Musa as. berkata, “Ketahuilah, engkau bertamu kepada Tuhanmu, agar Dia membukakan rahasia hatimu untukmu, dan menyadarkanmu tentang rahasia kitab-Nya, supaya statusmu sebagai pewaris menjadi sempurna dan statusmu sebagai utusan menjadi sah. Namun janganlah engkau berharap memperoleh ajaran syariat yg menghapus (syariat Muhammad—penj.), atau berharap mendapat kitab wahyu. Pintu untuk itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya setelah engkau memperoleh maqam ini maka engkau akan pulang sebagai seorang utusan. Dari itulah hendaklah engkau bersikap lembut dalam membimbing makhluk.”
Demikianlah semuanya menjadi lebih jelas bagi Sang Salik di Sama’ al-Kalam ini, baik tentang arti Mi’raj-nya itu maupun batas akhir pencapaiannya. Mi’raj Sufi adalah pencapaian ‘irfani dan pengetahuan, dan pulang dengan membawa misi dakwah serta kelembutan sikap.
Di langit ketujuh, ruh Salik melihat ruhaniah Sang Khalilullah (Kekasih Tuhan), ia sedang mengelilingi Baitul Makmur dengan diliputi cahaya. Sang Salik meminta izin agar diperkenankan masuk ke Baitul Makmur tersebut. Seperti pembahasan di muka, kedudukan Baitul Makmur bagi para penghuni langit bagaikan Ka’bah bagi penduduk bumi. Mereka mengerjakan shalat dan berthawaf di sana. Sang Khalilullah (Nabi Ibrahim as.) itu mengajukan beberapa persyaratan… Kemudian Nabi Ibrahim as. memperkenalkan _maqam_ Nabi Muhammad Saw., yg diunggulkan oleh Allah Ta’ala di atas para Rasul lain dengan bukti adanya Al-Qur’an yg terpelihara.
Perhatikanlah mana yg lebih mulia antara Nabi Musa as. yg berkata:
‘Ajiltu ilaika Robbi litardho
“Aku bersegera kepada-Mu, wahai Tuhan, agar Engkau ridha.”
Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg untuknya ada firman berbunyi:
Walasawfa yu’thiika Robbuka fatardho
“Dan sungguh Tuhanmu akan memberi kamu, agar engkau ridha.”
Perhatikan pula antara Nabi Musa as. yg berkata:
Robbisyrohlii sodrii
“Tuhanku, lapangkanlah dadaku.”
Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg Allah Ta’ala berfirman untuknya:
Alam nasyroh laka sodroka
“Bukankah kami telah melapangkan dadamu?”
Rasulullah Muhammad Saw. tidak sekadar lebih mulia dibandingkan dengan Nabi Musa as., akan tetapi Nabi Ibrahim as. juga menerangkan bahwa maqam Rasulullah Muhammad Saw. lebih mulia dibandingkan maqam dirinya, sebagai bapak Islam dan bapaknya para Nabi. Nabi Ibrahim as. berkata kepada Sang Salik, “Bedakanlah antara orang yg menatap bintang² di langit seraya berkata:
Anaa saqiimu
“Aku menderita.”
Dan orang yg Allah Ta’ala sendiri berfirman tentangnya:
Maa kadzibal fu’aadu maa ro’a
“Hati tidak pernah dusta akan apa yg dilihatnya.”
Aku (Ibrahim as.) berdoa:
Robbighfirlii khothii’atii yawmaddiini
“Tuhan, ampuni kesalahanku pada hari pembalasan kelak.”
Dengan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:
Liyaghfirolakallaahu maa taqoddama min dzanbika wamaa ta’akh-khoro
“Agar Allah mengampuni dosa²mu terdahulu dan yg akan datang.”
Aku (Ibrahim as.) berdoa:
Waj’allii lisaana sidqin fil akhoriina
“Dan jadikanlah aku buah tutur yg baik bagi orang² (yg datang) kemudian.”
Sedangkan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:
Warofa’naa laka dzikroka
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”
Demikianlah Khalilullah Ibrahim as. memberi penjelasan kepada Sang Salik tentang bagaimana Allah Ta’ala menganugerahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. segala hal yg diharap-harapkan oleh para Nabi sebelumnya. Untuk itulah, tidak ada seorang Nabi pun yg menghalangi ruh Sang Salik untuk melihat kesempurnaan Rasulullah Muhammad Saw. dan para pengikutnya. Untuk itu pula, Khalilullah Ibrahim as. di akhir perkataannya tidak berhak mengucapkan kepada Salik: “Wahai anakku, lanjutkan perjalananmu ke tempat yg engkau dipanggil untuk mendatanginya….” Ruh Sang Salik pun meninggalkan tujuh lapis langit tersebut.
4. Setelah melewati ketujuh langit itu, Sang Salik tiba di Sidratul Muntaha. Dia tertunduk lemah di hadapan cahaya dan kebesaran yg menyelimutinya. Kemudian dia berusaha mendaki ke alam malaikat (al-mala’ al-a’la). Ada suara yg memanggilnya, “Antara dirimu dan diri-Nya ada Hadhrat al_Kursi.” Ruh Salik kemudian terbang menuju Kursi dengan sayap² ‘azam (kemauan keras). Di situlah dia berjumpa dengan Qutub Syari’at (Muhammad Saw).
Kami, sebagai pembaca sekaligus penulis, mendapati sebuah penjelasan yg mengakui bahwa Syaikh Ibnu Arabi adalah Guru Besar, yg menguasai berbagai instrumen yg digunakan para penulis sebelumnya, baik berupa nilai kebudayaan maupun kedalaman balaghah dan i’jaz.
Wasiat dari Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik mencakup seluruh wasiat yg pernah disampaikan para Nabi semasa hidup mereka. Karena itulah kita dapati wasiat² tersebut saling melebur, kadang saling bertentangan, namun sekaligus saling melengkapi; bersifat dialektis, yg belum pernah diterima oleh seorang pun. Sebab Salik belum mencapai cakrawala penalaran sufistik yg membuatnya kenal akan Allah Ta’ala melalui jalan kesalingberlawanan tersebut.
Demikian pula perintah² Allah Ta’ala datang dengan membawa pertentangan². Semua perintah itu tidak saling melentur, akan tetapi saling melebur. Salah satu wasiat Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik, “Jangan mengharap kekuasaan yg tidak akan pernah dimiliki oleh seorang pun sesudahmu. Tapi ucapkanlah begini: ‘Segala-galanya berasal dari sisi-Mu. Aku berharap mendapat kekuasaan yg tidak layak dimiliki oleh selain diri-Mu.’ Untuk itulah maka engkau harus mencontoh akhlak dan sifat Tuhanmu. Menetaplah di Mihrab maka rezeki akan datang tanpa hisab. Tapi jangan menetap di mihrab itu sebagai alasan (mendatangkan rezeki).
Carilah tangga untuk menggapai tauhid. Jangan suka menggoyang-goyang akar (tauhid), karena hal itu (menyebabkan) murka (Tuhan). Menggoyang akar (tauhid) adalah tanda orang² pendusta dan pendurhaka. Serahkan seluruh urusanmu kepada pemilik langit, maka engkau akan tahu hakikat asma². Tapi jangan serahkan (kepada-Nya) karena engkau bukan orang kedua. Jangan sampai engkau terhijab oleh makna berpasang-pasangan (al-Matsani). Jangan cari jubah selain diri-Nya, barang siapa bertawakkal kepada-Nya maka ia akan diberi kecukupan. Carilah jubah dari yg sejenis denganmu. Sebab Dia ingin sekali menjadi lebih kuat untuk dirimu. Lemparkan tabutmu ke laut. Karena ia pasti menjumpainya kembali, Tapi jangan lempar sekarang juga. Dan tulus ikhlaslah demi Tuhanmu.”
Demikianlah makna² itu saling bertolakan dengan sangat cepat, membawa kehadiran ingatan seorang pembaca ke derajat kekerasan paling tinggi. Senandung kata² mengalun dan memperhalus tajamnya kekerasan itu. Kita pun hidup dalam momen yg singkat, dimana kemabukan merayapi lidah² perasa kita.
Sang Salik merasa bahagia dengan adanya wasiat dari Qutub Syari’at (Muhammad Saw.), dan dia berharap ingin tinggal bersamanya lebih lama lagi. Sayangnya, Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. tidak tinggal bersama siapapun selain Tuhannya. Sebab itulah Sang Salik pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. karena telah menjelaskan panjang lebar tentang hakikat² maqamat dan rahasia² kesufian. Dia pun mengendarai paragraf² dalam rak² buku, dan terbang ke alam malaikat sembari menyaksikan keajaiban² alam ghaib. Dari situ dia mencoba untuk mendekat dengan lebih dekat lagi.
5. Bagian keempat buku ini (menjelaskan): bahwa Sang Salik melewati tahapan demi tahapan yg berjumlah lima: Qaba Qusain, Au Adna, al-Lauh al-A’la, al-Riyah wa Shalshal al-Jaras, dan Auha. Pada setiap tahapan ini Tuhan berkomunikasi, berfirman, mengajari, dan memberi pemahaman kepada Sang Salik.
a. Pada tahap pertama, yaitu di Qaba Qusain, Sang Salik dipanggil namanya, “Wahai mawarnya para pencinta (Tuhan), wahai keindahannya para pewaris (Nabi), apa saja yg engkau temukan di sepanjang perjalananmu menuju Kami? Dengan apa engkau bertamu kepada Kami?” Dia mulai bercerita tentang keindahan² pemandangan yg dilihatnya, sejak pertama kali dia meninggalkan unsur dirinya yg berupa air sampa tiba di langit pertama. Dia menyebutkan satu per satu manfaat yg dipetiknya dari perjumpaan bersama para Nabi di tujuh langit serta dengan Sang Qutub Syariat Muhammad Saw. di hadhrat al-Kursi. Setelah Sang Salik selesai menceritakan bermacam-macam pengalamannya, Tuhan melepaskannya dari segala macam pikiran, lalu memberinya pakaian ubudiyah.
Berangkat dari momentum semacam itu, kami melihat bahwa Sang Salik pada setiap percakapan dipanggil namanya dengan kata : “Wahai hamba-Ku.” Di situ pula ada isyarat tentang kenyataan bahwa Sang Salik mendapat keistimewaan berupa pengabdian (ubudiyah), “Wahai hamba-Ku, jangan berbicara, karena Akulah Yang Bicara (mukallim) sekaligus lawan bicara (mukallam). Dari diri-Ku lah sumber kata² (kalam). Jangan jadikan kata²Ku ini selain diri-Ku. Sebagaimana langit dan bumi tidak akan mampu menampung-Ku.”
b. Sang Salik, dengan sayap² fana’ terbang ke tahapan Au Adna. Ketika dia turun dari kendaraan fana’ itu, dan berhadapan dengan dinding² asmanya, dia pun mengadu kerinduannya, rasa cintanya, dan harapannya. Maka sambutan itu berbunyi: “Itu adalah kehendak-Ku, maka pasrahlah. Engkau harus menyerahkan dan menerima semua perkaramu kepada garis² takdir-Ku.”
Di sinilah pelajaran kedua diperoleh, setelah pelajaran tentang ubudiyah diperolehnya pada tahapan Qaba Qusain. Dan Sang Salik tulus ikhlas memasrahkan seluruh kehendaknya, menyerahkan segala urusannya, dan mau menerima apa adanya. Ini adalah pernyataan yg kami rasa bahwa Syaikh Ibnu Arabi melihat dirinya dengan cara melihat kehendak Allah Ta’ala. Tulisan² (Syaikh Ibnu Arabi) beralih dari penjelasan tentang kerinduan dan cinta kepada penjelasan tentang kehendak Tuhan Yang Maha Mulia nan Agung. Tuhan ingin bercakap-cakap dengan Syaikh Ibnu Arabi seperti yg dilakukan-Nya terhadap Imam Ibnu Hamid al-Ghazali. Adalah sebuah keharusan Salik betul² menyimak agar dapat menangkap rahasia² tersembunyi, dan mempertajam penglihatan mata hati agar dapat menangkap pancaran² cahaya.
c. Setelah melewati tahapan Au Adna, Sang Salik tiba di al-Lauh al-Mahfudz (al-A’la). Di al-Lauh itu dia melihat tulisan mengenai maqam² ahlu raihan dan ruh, mereka adalah ahli tauhid.
Yg jelas, Syaikh Ibnu Arabi mengikat firman Allah Ta’ala:
Innaa nahnu nazzalnadzdzikro wa innaa lahu lahaafidhuuna
“Sesungguhnya kami menurunkan al-Dzikr, dan kami pula yg akan menjaganya.”
Dengan ibarat dalam kata:
allauhul mahfuudhu
“Lauh Mahfudz (papan yg terpelihara)”
Dalam kedua kalimat di atas terdapat pengulangan makna dan pengulangan kata ( Ha Fa Dza: menjaga/ memelihara).
Mengingat tauhid adalah intisari Al-Qur’an dan Islam, dan Allah Ta’ala menjamin Al-Qur’an dari adanya perubahan dan penggantian, maka menurut kami, Syaikh Ibmu Arabi melihat tauhid tertulis di Lauh Mahfudz. Akan tetapi tauhid yg dimaksud Syaikh Ibnu Arabi di sini bukan akidah maupun pemikiran, sebagaimana dipahami ahli kalam. Tauhid di sini adalah praktek, hal, dan maqam. Selanjutnya, Syaikh Ibnu Arabi adalah seorang ahli tauhid yg mendaki tangga martabat dan maqamat. Mengingat Al-Qur’an menyebutkan 36 kata tauhid –yg kami maksud dengan tauhid adalah kalimat (laa ilaaha illa Allah)— maka untuk itulah Syaikh Ibnu Arabi membagi maqam² ahli tauhid ke dalam 36 sifat. Setiap kali Seorang Salik mampu menyingkap satu tabir maka tauhid akan benderang kepadanya.
Menurut kami, rahasia menghubung-hubungkan hijab dengan tauhid adalah bahwa kata tauhid itu sendiri adalah negasi (penyangkalan/nafyun) kemudian afirmasi (penetapan/itsbat), yaitu, menegasikan keberadaan Tuhan sebagai pengantar untuk menetapkan ke-Esa-an Allah. Sungguh Allah Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, berada di atas tabir² sifat, asma, dan af’al.
Setelah Syaikh Ibnu Arabi melihat maqam² ahli tauhid, dia kemudian mendapat panggilan, “Wahai Salik, dimanakah maqam² ini di antara mereka?” Kami sampaikan kepada Ibnu Arabi, “Engkau benar.” Andaikan tidak ada kesesuaian nama maka niscaya tidak akan ada penisbatan apapun di antara maqam² ahli tauhid –yakni orang² yg menyaksikan Tuhan, dimana tabir² telah tersingkap dari mata hati mereka -dan ahwal-nya ahli tauhid– yakni orang² yg menggenggam kuat akidah, mengimani alam ghaib, yg terhijab dari Tuhan akibat dunia dan jiwanya sendiri.
d. Setelah melewati al-lauh al-mahfudz, kuda tunggangan menurunkan ruh Sang Salik di Hadhrat Shalshal al-Jaras. Tiba² angin topan berhembus kencang, kilatan petir menggelegar, dan hati Sang Salik dipenuhi ketakutan. Setelah angin ribut mulai reda, ada suara memanggil Sang Salik, “Aku telah mengantarkanmu di tempat hatimu, kediaman nuranimu.” Dia menjawab, “Hati tidak memiliki tempat. Aku hanya ingin Allah. Dalam rububiyah, seorang hamba hanya bertauhid.”
e. Sang Salik terhempas, dia fana’ dalam dirinya sendiri, dia tidak lagi kekal bersama Tuhan, kecuali setelah dalam jiwanya dia menemukan makna yg pernah di angankannya jauh² sebelum itu, yaitu setelah menjadi lebih jelas apa yg dicarinya, yakni maqam sebagai pengikut Muhammad, pewaris Muhammad, menjadi orang paling sempurna di antara para waliyullah.
Menurut kami, seluruh pembicaraan setelah itu ditujukan kepada Sang Salik. Dalam realitasnya pembicaraan itu melewati Sang Salik, namun tujuan utamanya adalah pemilik maqam ini, yaitu Muhammad Saw. Setiap percakapan dan komunikasi yg dilakukan Allah Ta’ala dengan hamba-Nya, melewati Sang Salik yg fana’, namun lawan bicara yg sesungguhnya adalah Nabi Muhammad Saw.
Kami bisa meringkas gambaran soal ini. Begini: setiap Salik keluar dari dalam dirinya sendiri, mencari maqam Muhammadi. Jika kita boleh menganalogikannya, maka ketika Sang Salik tiba di maqam itu, dia serupa dengan partikel² kecil di alam semesta ini yg mengelilingi bulan. Pada dasarnya, partikel² itu sangat gelap. Ketika cahaya bulan menerpanya maka dia berbentuk dengan meniru bentuk cahaya bulan yg meliputinya. Hakikat partikel² kecil yg mengeliligi bulan ini, tidak pernah berubah: Namun partikel² kecil itu menerima cahaya bulan di permukaan dzatnya, dan dia menghilang dari dirinya sendiri karena terlalu dekat dengan cahaya.
Dari sinilah kami paham, mengapa setiap khitab (ucapan Tuhan) diarahkan kepada Sang Salik pada saat berada dalam maqam fana’. Khitab bergerak melewati Sang Salik menuju manusia sempurna (insan kamil), Muhammad Saw.
Dalam tahapan ini, tahapan Auha, rahasia² disingkapkan kepada Sang Salik, dimana sebagian rahasia itu dijelaskan ketika sedang munajat. Ringkasnya, memperkenalkan Sang Salik tentang dirinya sendiri, sebagai manusia, dan kedudukanya di hadapan alam semesta disebut munajat al-tasyrif (munajat pengagungan), memperkenalkan Sang Salik tentang Tuhannya Yang Maha Esa, yg tidak terbatasi oleh gagasan dan ide, tidak terlihat oleh mata kepala maupun mata hati disebut munajat al-taqdis (munajat pengkudusan), dan memperkenalkan Sang Salik tentang nikmat² Allah Ta’ala atas diri Sang Salik disebut munajat al-Minnat (munajat anugerah). Sedangkan memperkenalkan Sang Salik tentang tingginya maqam Muhammad Saw. dibanding seluruh maqam yg ada disebut munajat al-Durrat al-Baidha’ (munajat mutiara putih).
6. Bagian kelima: bagian kelima ini tampil sebagai ujian, Sang Salik setelah melewati setiap tempat² di atas, perkara² yg tersembunyi telah diungkapkan, rahasia² tersingkap, maka dia seakan-akan wajib menjadi orang yg bertanggung jawab. Ilmu pengetahuan, jika kita menganalisisnya lebih tajam lagi, adalah amanat. Kita menerima ilmu sebagai amanat, dan menyampaikannya sebagai amanat pula. Kita mengambil ilmu dengan syarat mampu menjaganya dari kelupaan, mengamalkannya, dan menyampaikan kepada orang lain yg layak dengan persyaratan yg sama pula. Untuk itulah, sangat logis apabila Mi’raj ‘irfani Syaikh Ibnu Arabi di akhiri dengan ujian kepada diri Sang Salik mengenai isyarat² nubuwat.
VII. Naskah-Naskah Patokan
Naskah (A)
1. Berupa manuskrip di Perpustakaan Waliyuddin, Istambul 1628.
2. 75 halaman, pada setiap halaman terdapat 13 baris yg ditulis dengan khat naskhi pada umumnya.
3. Tulisan yg terdapat pada halaman pertama berbeda dengan tulisan aslinya, boleh jadi ia tambahan dari Abul Hasan al-Rumi, sebagai pentashih, penyunting, dan penulis syarahnya.
4. Pada akhir tulisan terdapat keterangan yg membuat kita tahu bahwa manuskrip tersebut dibacakan langsung kepada pengarangnya al-‘Allamah Muhyiddin Ibnu Arabi pada 633 H di rumah Syaikh Ibnu Arabi, Damasqus. Keterangan ini membuat manuskrip tersebut setingkat dengan karya asli.
5. Di akhir tulisan kita juga menemukan keterangan bahwa pada 976 H., Syamsuddin Ismail Ibnu Saudakin mempelajari, mentashih, menyunting naskah dari awal sampai akhir, dan memberikan syarah atas tulisan Abul Hasan Mahmud Ibnu Muhammad al-Rumi, saat berada di Mekkah Musyarrafah.
6. Layak disebutkan bahwa naskah (A) ini didapat dalam bentuk file dari tempat penyimpanan manuskrip² milik Universitas Negeri Arab, Kairo.
Naskah (B)
1. Ini naskah yg dicetak di Haidar Abad pada 1948 M dari tulisan Ashif dengan nomor 376.
2. Sepertinya, cetakan Haidar Abad ini adalah tulisan yg menimbulkan banyak kesulitan bagi penerbit dalam hat pembacaan, sehingga terdapat banyak kalimat dan kata² tambahan untuk memperjelas beberapa teks asli (matan), atau dibiarkan kosong sama sekali dan di pinggirannya dicantumkan kata: demikian adanya.
3. Saya mencoba untuk tidak melakukan perbandingan atau komparasi antara naskah cetakan Haidar Abad dengan naskah (A), yg saya pegang sebagai naskah asli. Sebab pada naskah (B) ini terdapat banyak kesalahan, kekurangan, dan ketidakjelasan. Hanya saja saya merasa adanya sebuah keharusan untuk melakukan komparasi tersebut sebagai upaya memenuhi kewajiban dalam metodologi penelitian ilmiah. Karena itulah saya mendorong pembaca melihat daftar perbandingan manuskrip² agar pembaca dapat mempelajarinya sendiri kekurangan² pada cetakan Haidar Abad. Dengan mengakui kelebihan setiap penerbit maka pembaca akan menyadari sisi² warisan kebudayaan kami. Sekalipun kami sendiri tidak menuntut (para penulis) terdahulu menyertakan metodologi ilmiah seperti yg kita perlukan dari para peneliti di zaman sekarang.
Naskah (C)
Manuskrip Berlin, nomor we.1632, dari nomor panggil IB sampai 45A. Pada halaman 15 ditemukan baris kalimat tertulis dengan khat naskhi yg jelas. Penulisnya adalah Ahmad bin Muhammad, lebih terkenal dengan sebutan al-Bazuri. Penulisan manuskrip tersebut rampung pada Selasa Rabi’us Tsani 966 H.
Naskah (D)
Manuskrip Berlin, nomor pet.195, dari nomor panggil 25B sampai 61B. Pada halaman 17 ditemukan baris kalimat tertulis dengan khat naskhi yg jelas. Tanpa disertakan nama penulisnya. Tanggal penulisan 1259 H, sedangkan manuskrip itu berjudul Kitab al-Mi ‘raj.
Al-Najat min Hujub al-Isytibah
Karya ini ditulis oleh Ismail bin Saudakin, murid Syaikh Ibnu Arabi, memberi syarah atas dua kitab Gurunya al-Isra ila Maqam al-Asra dan Masyahid al-Asrar al-Qudsiyah. Karya ini menyebutkan kesalahan Syaikh Ibnu Arabi. Ibnu Saudakin dalam karyanya itu mengikuti alur penjelasan dan keterangan yg disampaikan oleh Syaikh Ibnu Arabi di madrasahnya. Dalam arti, syarah Ibnu Saudakin tidak menerjemahkan karya Syaikh Ibnu Arabi dan dia tetap menyerahkannya pada pembaca. Di satu sisi, sisipan² dan keterangan Ibnu Saudakin lebih cocok sebagai pintu masuk ke dalam keseluruhan alam pemikiran Syaikh Ibnu Arabi. Di sisi lain, catatan dari pensyarah (Ibnu Saudakin) tidak keluar dari batas lingkaran tema² sufistik dan kaum Sufi, sehingga kitab dan syarah tersebut bagaikan dua penjaga gawang alam tasawuf. Di samping karya Ibnu Saudakin tersebut mengandung banyak faedah penting bagi pembaca, dan bukan sekadar bagi kaum Sufi sendiri.
Saya merujuk kepada kitab al-Najat ini, terkadang sebagai perbandingan dan kadang pula untuk memperkuat beberapa penjelasan namun tanpa ada manfaat yg bisa disebutkan. Naskah yg saya gunakan adalah naskah dari perpustakaan negeri, Paris, dengan nomor 6613 Arabic. Naskah ini ditulis dengan khat naskhi yg jelas pada 970 H. Ia terdiri dari atas 137 halaman.
VIII. Metodologi Penelitian yang Digunakan
1. Teks Syaikh Ibnu Arabi ini adalah karya sastra yg melantunkan irama musik, mengalir, dan senada. Untuk itulah, sebagai upaya menjaga eksistensi irama musik teksnya, maka saya menghormati keselarasan sajak²nya. Sajak menjadi pemisah dan titik. Mengingat Syaikh Ibnu Arabi sendiri mempertahankan irama sajak² tersebut sepanjang karyanya ini maka kita sama sekali tidak melihat estetika prosanya itu gugur atau sia². Sebaliknya dia menampilkan kedalaman balaghah pada susunan kata²nya, berupa keberlimpahan bahasa, kebudayaan, dan gagasan.
2. Setiap gerakan huruf²nya sangat jelas, sehingga membacanya menjadi mudah, dan segala kerancuan musnah.
3. Sudah pasti terjadi perbedaan dalam hal kepenulisan antara teks lama dan teks baru. Untuk itulah saya membiarkan penulisan teks lama dan tidak melakukan komparasi antar naskah dalam hal yg berkaitan dengan penulisan lama tersebut. Saya mencukupkan diri dengan menyajikan teks yg sudah masyhur dengan gaya penulisan baru. Dari situlah saya tidak menyertakan nomor² pada matan atau daftar isi, sebab dianggap tidak perlu.
4. Syaikh Ibnu Arabi menulis karyanya al-Isra ini dengan gaya kepenulisan riwayat, dia tidak membaginya ke dalam bab² dan pasal², seperti yg dia terapkan pada karya²nya yg lain. Akan tetapi Syaikh Ibnu Arabi menulis kitab al-Isra ini beruntun dari awal sampai akhir tanpa jeda bab². Karenanya saya memandang perlu membagi karya tersebut ke dalam beberapa bagian sesuai tema pembahasannya; bagian mukaddimah, dan lima bagian pembahasan. Saya melakukan pembagian semacam itu ketika menguraikan kandungan kitab, seperti yg telah disampaikan di muka.
5. Kitab al-Isra ini meneguk habis ayat² Al-Qur’an, hampir setiap ibarat dan kalimat menyimpan bukti, isyarat, atau kandungan Al-Qur’an. Untuk itulah, di catatan pinggir saya menyertakan nomor ayat² Al-Qur’an yg terdapat pada matan teks. Tindakan ini saya tujukan untuk mempertahankan irama musik matan teks.
6. Hasil tahrij atas hadits² yg terdapat dalam teks, saya kumpulkan dalam satu daftar dan diurut sesuai abjad. Daftar tahrij hadits ini saya masukkan di antara beberapa daftar lainnya, yg berada di akhir kitab. Setiap ada satu hadits di matan teks, saya sebutkan nomor rujukannya yg terdapat pada daftar tahrij ini.
7. Makna² yg tersimpan di dalam kitab al-Isra ini berlesatan dengan cepat, sehingga kami tidak bisa mengikutinya. Setiap huruf yg ditulis, Syaikh Ibnu Arabi mengisinya dengan makna dan isyarat ayat Al-Qur’an. Tidak ada ruang untuk memberi catatan, tafsir, syarah, dan uraian dalam kitab ini. Inilah alasan mengapa sebagian orang merasa kitab tersebut sangat rumit dan ambigu. Akan tetapi menurut kami, ia bagai sebuah perjalanan dengan memanggul mutiara² kata. Dalam ungkapan orang lain, karya Syaikh Ibnu Arabi ini bagaikan perahu yg penumpangnya berpasang-pasangan. Dengan kata lain, karya ini adalah seorang ibu yg mengandung makna² tanpa pernah melahirkannya.
Inilah alasan mengapa saya berpendapat bahwa mendistribusikan karya Syaikh Ibnu Arabi ini tanpa menyertakan penjelasan dan sisipan apapun atau keterangan atas isyarat²nya adalah tindakan yg dapat mengurangi amanah keilmuan. Sebab sebuah teks menjadi kurang bermanfaat apabila hanya dipahami oleh kalangan cerdik pandai tertentu.
Dari argumen itulah saya mencurahkan sekuat tenaga untuk memberikan penjelasan atas kata² dalam al-Isra, mengurai isyarat²nya, dengan catatan penjelasan dan keterangan saya tersebut tidak menghalangi teks dari semesta makna yg absolut. Sebab menisbatkan bahasa yg digunakan Syaikh Ibnu Arabi kepada gagasan²nya bagaikan menisbatkan jasad kepada ruhnya. Syaikh Ibnu Arabi tidak pernah meminjam bahasa popular untuk mengungkapkan inti gagasan khasnya. Sebaliknya dia menciptakan bahasa sendiri dengan meniupkan ruh makna kepadanya. Sehingga bahasa Syaikh Ibnu Arabi menyimpan berbagai kandungan makna, dan masing² bisa muncul dan naik ke permukaan. Karena itulah saya membiarkan kalimat²nya bagaikan jendela terbuka untuk menatap semesta absolut yg berada di hadapan para pembaca. Di sini para pembaca dapat melihat dan melangkah, sesuai kapasitas, kapabilitas, dan hasrat masing².
Terakhir, kita bersimpuh di hadapan Syaikh Ibnu Arabi… Sebagian golongan dari ulama Salaf menolak Syaikh Ibnu Arabi, terutama setelah adanya serangan dari Syaikh Ibnu Taimiyah kepadanya. Golongan lain mencoba mencerabut Syaikh Ibnu Arabi dari akar keislamannya yg baik, lalu menggambarkannya sebagai orang yg kebingungan dalam bentara wujud, orang yg merasa menyatu dengan setiap manusia di berbagai ruang dan waktu, dan menilai Syaikh Ibnu Arabi sebagai orang yg mengajarkan wahdatul wujud, dimana ajaran ini menemukan akar pemikirannya dalam falsafah agama India.
Akan tetapi kaum terdidik kita terkait langsung dengan Syaikh Ibnu Arabi dengan beragam macam dan bentuk. Kita adalah generasi satu umat yg dalam perjalanan sejarah pemikirannya memiliki seorang Guru Besar seperti Syaikh Ibnu Arabi. Membaca karya²nya merupakan sebuah perjalanan menyenangkan dalam semesta pengetahuan. Sebelum kita menerima atau menolaknya, marilah kita bersama-sama melakukan perjalanan tersebut. Kita akan mengiringi kalimat²nya yg dapat di umpamakan dengan perahu atau bahtera yg sedang berlayar menuju semesta pengetahuan (ma’rifat). Pada akhirnya, kita tidak akan bisa berbuat apapun selain mengagungkan seorang ulama besar muslim ini, seorang ahli fiqih yg mampu menyimak rahasia² fiqih, seorang teolog yg mampu menemukan detail² akidah, dan seorang sufi yg tidak pernah puas dengan pecerahan dan visi² yg dialaminya. Setiap orang yg pernah memasuki semesta Syaikh Ibnu Arabi tidak mau keluar untuk menyimak ucapan² orang selain Beliau. Sebab teks² karya Syaikh Ibnu Arabi telah menampung seluruh pilar bangunan seorang pemikir besar: baik susunan kata²nya, keilmuannya, keseriusannya, maupun keberaniannya. Syaikh Ibnu Arabi mencela jagad semesta yg pintu² masuknya ditutup pada zamannya. Betul memang, terkadang muncul kesan bahwa Syaikh Ibnu Arabi menyombongkan dirinya sendiri. Akan tetapi bukankah Beliau telah meninggalkan banyak karya untuk kita, dimana karya² itu dapat menghapus kesan² negatif tersebut?!
Dr. Su’ad al-Hakim
Beirut, 27 Rajab 1408 H/16 Maret 1988 M
IX. Pengantar Penulis
[Dalam pengantar ini Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan bahwa pengalaman Mi’rajnya adalah perjalanan ruh yg maknawi: rahasia² dan kandungan Al-Qur’an disingkap, ilmu² diberikan, dan hal² tersembunyi ditampakkan. Mi’raj ini betul² berbeda dengan Mi’rajnya Rasulullah Saw., yg dilakukan secara nyata dengan raga fisik, dimana Rasulullah Saw. menempuh jarak dan melintasi langit. Pada Mi’raj itu, Beliau diberi syariat ilahiah yg menghapus syariat² sebelumnya.]
Bismillāhirrahmānirrahīm
Seorang syaikh, imam, yg alim dan sempurna, pentahqiq yg keilmuannya luas, penegak agama, kemuliaan Islam, lidahnya hakikat kebenaran, yg sangat pandai, panutan para pembesar, sumber perintah, keajaiban suatu zaman, satu²nya orang pada masanya, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad Ibnu Arabi al-Tha-i al-Hatimi dari Andalusia, semoga Allah mengakhiri hidupnya dengan kebaikan, berkata:
Segala puji bagi Allah yg mengeluarkan siang-Nya dari malam-Nya yg gulita,
seperti dalam firman Allah Ta’ala:
وَءَايَةٌ لَّهُمُ الَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُّظْلِمُونَ
“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yg besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Ya Sin [36]: 37)
memancarkan matahari-Nya yg benderang dan bulan-Nya yg terang di waktu siang dan malam, menjadikan siang dan malam sebagai bukti pada saat gelap dan terang, yakni, pujian azali dengan lidah yg qadim, yg memberi bimbingan untuk menggapai puncak tertinggi keagungan dari keindahan sebuah kesempurnaan pada suara dan bunyi Qalam, di papan² kemunculan kata² (menurut ungkapan umum dari Syaikh Ibnu Arabi, kata² adalah wujud ini. Sebab wujud adalah penampakan luar dari kalimat penciptaan “Kun (Jadilah)!” Dalam ungkapan yg lebih spesifik, menurut Syaikh Ibnu Arabi, kata² adalah hakikat acau inti sifat yg dimiliki setiap Nabi. Yg dimaksudkan Syaikh Ibnu Arabi dengan ‘kata²’ dalam kitab ini adalah Nara nabi. Lihatlah Mu’jam al-Sufi tentang arti kata ‘Kalimat’.) yg ditandai dengan Nun-nya,
Seperti dalam firman Allah Ta’ala:
نٓ ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun, demi kalam dan apa yg mereka tulis,” (QS. Al-Qalam [68]: 1)
(menurut Syaikh Ibnu Arabi, Nun adalah tempat tinta yg secara universal tintanya menampung bentuk² jagad semesta; artinya, huruf². Lihat Mu’jam al-Sufi bagian huruf Nun.)
kemurahan dan kemuliaan, yg disucikan sejak kemunculan pertama peristiwa terbelahnya langit beserta seluruh isinya dari sebuah ketiadaan,
Seperti dalan firman Allah Ta’ala:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوٓا أَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang² yg kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yg padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yg hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30)
yg telah mengisra’kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan suatu tempat yg azali.
سُبْحٰنَ الَّذِىٓ أَسْرٰى بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا الَّذِى بٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yg telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yg telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda² (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra’ [17]: 1)
Ucapan terimakasih untuk-Nya persis seperti pujian² untuk-Nya yg pernah ada sebelumnya, yakni, ucapan terimakasih dengan Alif (Alif adalah dalil tentang Dzat Tuhan, berbeda dengan Ba’, ia adalah dalil Sifat. Yg dimaksud ‘ucapan terima kasih dengan Alif bukan Ba” adalah pujian yg ditujukan kepada Allah bukan kepada salah satu sifat. Lihat Mu’jam al-Sufi pada bagian Alif dan Ba’.), bukan Ba’. Sebab ucapan terima kasih dengan Ba’ terlalu berani.
Shalawat serta salam semoga dicurahkan kepada dia yg diciptakan pertama kali (yg pertama kali diciptakan adalah Muhammad Saw. Hal ini di isyaratkan dalam sebuah hadits Nabi: “Wahai Jabir, yg pertama kali Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu ini.” [lihat Kasyf al-Khafa’ karya al-‘Ajulani, hadits no. 827, jilid 1 hal. 265-266]), bukan kepada ia yg pertama kali muncul dan tampak di sana, lalu Allah menyebutnya perumpamaan, Allah menciptakannya sebagai satu yg tak terbagi, dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yg serupa dengan Dia.” (QS. Ash-Syura [42]: 11)
Dialah yg alim, satu²nya tanda, Allah memberdirikannya di hadapan cermin Dzat, namun dia tidak menyatu sekaligus tidak terpisah dari Dzat. Setelah bentuk perumpamaan (shurah al-mitsI) muncul padanya, dia pun percaya dan mengucapkan selamat kepada bentuk itu. Alah menyerahkan kunci² kerajaan-Nya, dan dia tunduk. Tiba² ada firman:
engkaulah (Muhammad) wujud paling mulia, Tanah Haram (dalam hal ini Syaikh Ibnu Arabi mengisyaratkan kehormatan Nabi Muhammad Saw., yg sangat dihormati dalam Islam) paling agung, Rukun Yamani dan Multazam (Multazam adalah tempat yg terletak di antara Rukun Yamani dan Ka’bah, ia adalah tempat berdoa bagi jama’ah haji, umrah, atau orang yg sekadar melintas untuk berdoa. Berdoa di Multazam akan terkabulkan oleh Allah Ta’ala. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Multazam adalah tempat berdoa yg mustajab. Setiap hamba Allah yg berdoa di sana maka Allah akan mengabulkan doa itu.” (Lihat kitab Mustafad al-Rihlah wa al-Ightirab karya Al-Qasim bin Yusuf al-Najibi Al-Sibti, hal. 276), Maqam Ibrahim, Hajar Aswad yg diciumi, rahasia dalam zamzam, pahamilah mengapa ia harus diminum, dia adalah orang yg di isyaratkan oleh sebuah kalimat “orang mukmin adalah cermin saudaranya.” Perhatikanlah dan rahasiakanlah apa yg tampak kepadanya dalam cermin itu. Shalawat serta salam juga semoga tercurah kepada keluarga dan para sahabat Rasulullah Saw.
Amma ba ‘d.
Saya persembahkan kepada kalangan Sufi, orang² yg mengalami mi’raj² akliah, yg memiliki maqam² ruh, rahasia² ilahiah, dan martabat² tinggi nan suci, sebuah ringkasan tentang runtutan perjalanan dari alam fisik ke tempat Tuhan, dalam satu kitab yg bab²nya indah sekali, yg berjudul Kitab al-Isra ila al-Maqam al-Asra.
Dalam kitab ini saya menjelaskan bagaimana hakikat bisa terungkap, dengan menanggalkan baju², bagi mereka yg memiliki mata hati dan akal pikiran. Saya juga menjelaskan penampakan hal menakjubkan dalam perjalanan Isra’ sampai tersingkapnya tabir², serta tentang nama beberapa maqam termasuk maqam yg tak bermaqam (station no-station), yg kemunculannya tak dapat diketahui melalui ilmu maupun hal. Yg demikian ini adalah Mi’rajnya arwah para pewaris sunnah Nabi dan Rasul (Pewaris adalah pengikut Nabi Muhammad Saw. dalam hal ucapan, perbuatan, dan ahwal. Kecuali dalam hal² tertentu yg hanya boleh dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw.. Pewaris di sini, sebagai orang mulia yg mengikuti jejak hidup Nabi Saw., adalah para ulama, seperti diterangkan dalam sebuah hadits: “Ulama adalah pewaris para Nabi.” Pewaris mengikuti orang yg memberikan warisan. Ada yg mewarisi Isa, ada pula yg mewarisi Musa, dan ada pewaris Muhammad. Dalam kitab ini oleh Syaikh Ibnu Arabi, mi’raj ruh dan isra’ maknawi menuju alam khayal ditujukan kepada pewaris Muhammad.)
Ini adalah mi’rajnya ruh, bukan raga fisik. Ini adalah Isra’nya asrar, bukan aswar, sebuah penglihatan oleh mata hati, bukan mata kepala; sebuah perjalanan makrifat oleh perasaan dan kenyataan, bukan perjalanan menempuh jarak dan jalan; menuju langit² makna, bukan tempat di langit sana. Saya mengurai mi’raj ruhani ini dengan gaya berprosa maupun dalam bentuk syair. Penjelasannya saya selipkan secara simbolik maupun jelas dan bisa dipahami. Kata²nya bersajak, agar lebih mudah bagi para penghapalnya. Saya terangkan jalan, dan pertegas kenyataan. Saya terangi dengan rahasia kejujuran, dan saya susun munajat rahasia dengan kata² padat dan terhitung. Hal ini (dilakukan) ketika saya ingin memberi kejelasan. Kepada-Nya saya bertawakkal, dan memohon hidayah.