0. Pengantar
Pengantar Penerbit
Segala puji milik Allah Ta’ala yg telah melimpahkan karunia-Nya sehingga kami bisa menerbitkan karya agung ini. Buku Dialog Jin dengan Sufi merupakan terjemahan dari buku Kasyfu al-Hijab wa al-Ran An Wajhi As’ilati al-Jan (Membuka Hijab Penghalang Melalui Pertanyaan² Jin) yg ditulis oleh Syaikh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa asy-Sya’rani al-Anshari asy-Syafi’i asy-Syadzili al-Mishri yg populer dengan nama Imam asy-Sya’rani.
Imam asy-Sya’rani merupakan sufi abad ke-16 yg juga merupakan ahli fiqih, ushul fiqih, dan juga ahli hadits. Banyak karya yg telah tercipta dari tangan Beliau, di antaranya ialah al-Lathaiful al-Minan, Mizan al-Kubra, al-Thabagat al-Kubro, dan sebagainya.
Salah satu karya dari Imam asy-Sya’rani yg patut dikaji ialah bukunya yg membahas dialog Imam asy-Sya’rani dengan jin yg menyamar sebagai seekor anjing berwarna kuning. Dalam mulut anjing tersebut terdapat kertas yg berisi 80 pertanyaan yg kemudian oleh Imam asy-Sya’rani ditulis dalam kitab ini.
Kitab ini pernah ditahkik oleh Muhammad Abdullah Abdur Razzaq Khalaf Nabuw al-Kurdi dari Universitas al-Azhar al-Syarif Mesir pada 10 Muharram 1357 H/12 Maret 1938. Mengingat pentingnya pembahasan dalam karya ini dan belum adanya versi terjemahan dalam bahasa Indonesia, kami mencoba mengemas sebaik mungkin karya agung ini ke hadapan pembaca.
Semoga buku ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan literasi Indonesia akan kitab Islam klasik. Tentu saja, karya ini belum sepenuhnya sempurna. Karena itu, kami selalu mengharapkan adanya saran dari pembaca untuk perbaikan buku ini di cetakan selanjutnya. Selamat membaca!
Pengantar Penulis
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Hanya kepada-Nya aku berpegang teguh
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita² tukang sihir yg mengembus pada buhul², dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki’.” (QS. al-Falaq (113): 1-5)
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yg memelihara dan menguasai) manusia, raja manusia, sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yg biasa bersembunyi, yg membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia’.” (QS. an-Nas (114): 1-6)
Segala puji adalah milik Allah, pemilik alam semesta. Semoga rahmat dan keselamatan tercurahkan kepada Tuan para Rasul, Nabi Muhammad Saw., dan kepada semua keluarga dan sahabatnya.
Buku ini berisi banyak pertanyaan unik yg pernah ditanyakan kepada aku oleh golongan jin mukmin – semoga Allah Ta’ala menjaga mereka. Mereka meminta agar aku memberikan jawaban terhadap pertanyaan² tersebut dengan jawaban yg disusun dalam syair oleh orang² yg ahli menempuh jalan Allah. Aku pun mengabulkan permintaan mereka sembari memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan menghirup kekuatan persiapan untuk jawaban² itu dari udara waktu sahur. Pertanyaan² itu merupakan pertanyaan pelik sebagaimana yg akan engkau lihat nanti, insya Allah.
Pertanyaan² tersebut datang kepadaku secara tertulis di sebuah kertas di dalam mulut jin yg berwujud seekor anjing berwarna kuning dan lembut seperti anjing gurun. Kertas itu seukuran kertas Eropa dengan tulisan Arab dan ditutup. Aku lalu membukanya. Ternyata isinya adalah, “Apa pendapat ulama manusia dan masyayikh mereka mengenai pertanyaan² yg tertulis ini dan telah sampai kepada kalian menyertai pembawanya? Kami belum mendapatkan jawaban pertanyaan² tersebut. Kami sudah bertanya kepada para masyayikh kami yg berasal dari golongan jin soal itu. Mereka hanya menjawab, “Yg bisa menjawabnya hanya ulama manusia.” Mereka pun menuturkan pertanyaan itu hingga yg terakhir.
Sedangkan sampainya pertanyaan² tersebut kepadaku adalah pada malam Selasa, 26 Rajab 955 H/9 September 1548 M. Saat itu, orang yg membawa pertanyaan² tersebut datang kepadaku melalui kolong aula yg menghadap ke sungai al-Hakimi, lalu keluar. Sebenarnya ia hendak datang kepadaku melalui pintu aula, tetapi para murid menghalanginya karena mereka menyangka bahwa ia benar² anjing, dan mereka menyucikan sudut tempat² itu. Setelah anjing itu pergi, aku memberitahukan hal itu kepada mereka. Mereka sangat terkejut dan menyesal karena telah membuat orang itu tidak nyaman.
Namun, segala puji adalah milik Allah karena Dia telah memberikan anugerah kepada kami untuk membimbing saudara² kami dari bangsa jin. Sekarang aku akan mulai menuliskan jawaban² yg telah aku berikan kepada mereka menurut sesuatu yg Allah bukakan pada waktu itu – dan Dia adalah Dzat Yang Mencukupiku dan sebaik-baik wakil. Sementara tulisan ini kuberi nama Kasyfu al-Hijab wa al-Ran An Wajhi As’ilati al-Jan. Semoga dengan tulisan ini Allah memberikan manfaat.
Kalau engkau telah tahu hal itu, aku katakan dengan memohon taufik hanya kepada Allah.
01. Tersingkir dari Syuhud (Melihat) dan Tanzih (Kesucian)
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-1
Tersingkir dari Syuhud (Melihat) dan Tanzih (Kesucian)
Mereka (Jin mukmin) bertanya kepadaku tentang penyebab mayoritas makhluk yg sudah mukalaf tersingkir dari syuhud (melihat) dan tanzih (kesucian) mutlak Allah Ta’ala ke sikap tasybih (menyerupakan)?
Aku (Imam asy-Sya’rani) menjawab, “Alasan mayoritas makhluk yg sudah mukalaf tersingkir dari itu adalah keberadaan mereka di dalam syuhud yg sangat jauh dari hadirat mutlak Allah Ta’ala. Seandainya mereka masuk ke hadirat ihsan, niscaya mereka tidak pernah mengalami dampak tasybih (penyerupaan) maupun taqyid (pembatasan) pada sisi Allah Ta’ala. Mereka juga pasti melihat keindahan yg mutlak itu suci dari sifat² manusia dan mereka pasti seperti malaikat yg tidak menyerupakan dan tidak membatasi. Allah adalah Dzat Yang Paling Tahu.”
02. Pengertian Ittihad (Kesatuan)
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-2
Pengertian Ittihad (Kesatuan)
Mereka bertanya kepadaku tentang ittihad (kesatuan) yg di isyaratkan oleh para penganut atheisme. Apakah yg dimaksud ittihad itu kembalinya wujud seorang hamba sebagai Dzat Allah Ta’ala atau selain Itu?
Aku menjawab, “Yg dimaksud dengan ittihad (kesatuan) di dalam istilah kaum sufi adalah kefana’an kehendak seorang hamba di dalam kehendak Allah Ta’ala. Bersama Allah, seorang hamba tidak bisa mempunyai kehendak selamanya, kecuali dengan hukum ketundukan (kehendak hamba tunduk kepada kehendak Tuhan). Sedangkan menurut para penganut atheisme, ittihad di dalam anggapan mereka adalah dzat mereka menjadi Dzat Allah, Hal itu merupakan kekafiran yg sangat besar, bahkan situasi para penyembah berhala lebih ringan daripada mereka.
Sebab para penyembah berhala hanya berkata, “Kami tidak menyembah berhala², kecuali agar berhala² itu membuat kami bisa sangat dekat dengan Allah.” Para penyembah berhala ini tidak berani menjadikan berhala² yg mereka sembah sebagai Tuhan yg independen. Sedangkan para penganut atheisme mengklaim mereka menjadi Dzat Allah dan hal ini merupakan kebathilan dan kedustaan. Bahkan, Rasulullah Saw. saja pada malam Isra’, saat Beliau berada di tingkat paling tinggi di antara banyak tingkat kedekatan dengan-Nya, tidak pernah mengalami ittihad. Beliau hanya berada di hadirat khusus Allah Ta’ala dengan jarak sekitar dua panah melengkung tanpa lengkungan wilayah kemakhlukan Beliau dan lengkungan wilayah kebenaran Allah Ta’ala itu tersambung. Apalagi seseorang yg terusir ke sisi Iblis yg mengklaim ittihad tersebut. Mengenai hal itu, para sufi bersenandung,
Putuslah bagian tengah garis melingkar hingga terlihat seperti dua panah melengkung.
Anggaplah itu sebagai kedekatan dengan Allah hingga keduanya lebih dekat.
Jika engkau telah melangkahi garis itu, apa yg tampak pasti terlihat jelas.
Mereka juga melantunkan syair,
Jarak sekitar dua panah melengkung itu tiada lain setengah garis melingkar yg engkau beri pemisah antara alam dan Allah.
Siapa pun yg melihat secara kasat mata tanpa ada mata lain yg berbeda, maka itulah kedekatan orang berilmu yg lupa.
Itulah tempat ia berada atau lebih dekat. Di sana ada banyak rahasia ilmu baginya, tetapi orang yg merasa cerdas itu tidak tahu apa itu.
Para wali paripurna dengan status sebagai ahli waris Rasulullah Saw. tidak pernah sampai, kecuali ke maqam ilmu dalam jarak sekitar dua panah melengkung ditambah perbedaan cara pandang mereka dengan cara pandang Rasulullah Saw. terhadap Allah. Itu karena Rasulullah Saw. menyaksikan hal itu dengan dua mata kepala Beliau, sementara para wali menyaksikan hal itu dengan dua mata hati mereka. Jadi, tidak ada seorang pun memiliki cara pandang yg sama dengan cara pandang Rasulullah Saw. dalam memandang Allah Ta’ala. Mereka juga melantunkan syair,
Jarak sekitar dua panah melengkung yg datang dari hati kami bagi kami adalah jarak sekitar dua panah melengkung bagi orang yg di-Isra’-kan.
Yg halal dan yg haram sudah jelas. Sesuatu yg ada di sini di antara keduanya adalah perkara tidak jelas.
Sementara ia tahu bahwa ia adalah pewarisnya. Orang yg tidak sadar tidak akan tahu hal itu.
Hanya saja, aku adalah ahli waris yg dijadikan sebagai pelayan. Dan demikian kami memperoleh itu darinya. Oleh karena itu, sadarlah!
Tasybih (penyerupaan) itu tiada lain adalah seorang yg berkata, “Aku adalah diri orang yg di-Isra’. Aku adalah ia.”
Mereka juga melantunkan syair,
Para Nabi Allah tidak pernah dididik oleh selain Dia. Mereka pun berpegang teguh pada adab.
Merekalah para tuan yg tidak akan Dia hinakan. Demikian diri mereka yg ada di dalam banyak kitab.
Orang yg menapaki jejak mereka terhitung sebaga bagian di antara orang² terpilih.
Kalau sudah begitu, maka saat itu ia akan terus berada di belakang tabir.
Orang itu akan menjadi manusia paling bahagia sebab mengikuti mereka. Engkau lalu melihat mereka sepadan di dalam keletihan.
Mereka terus berada di dalam mihrab hingga kaki mereka membengkak di dalam kedekatan.
Berikut ini adalah contoh jarak sekitar dua panah melengkung. Orang² ‘arif akan menyaksikan rahasia pada lingkaran bundarnya – bagian dari Allah Ta’ala.
Sedangkan, selain dari orang² ‘arif tidak akan menyaksikan rahasia tersebut. Bahkan, mereka akan berkata, bahwa itu adalah lingkaran murni. Akhirnya terjadi perselisihan di antara kedua golongan tersebut. Namun yg benar akan berpihak kepada golongan ‘arif. Jika tidak, berarti alam berdiri dengan sendirinya dan itu adalah perkara yg mustahil. Dan Allah adalah Dzat Yang Mengetahui.
03. Hulul dan Ittihad
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-3
Hulul dan Ittihad
Mereka juga bertanya kepadaku, “Apabila tidak ada hulul dan ittihad, lalu kekuatan (dzat atau sesuatu yg lain) apa yg membawa seorang hamba? Jika kita menjawab, bahwa kekuatan itu adalah sesuatu yg lain, hamba itu berarti berdiri dengan sendirinya dan itu tidak mungkin. Dan jika kita menjawab bahwa kekuatan itu adalah dzat, berarti itulah pernyataan hulul. Lalu apa makna hadits,
“Aku adalah pendengaran yg ia gunakan untuk mendengar, pandangan yg ia gunakan untuk memandang, tangan yg ia gunakan untuk memegang, dan kaki yg ia gunakan untuk berjalan.”
Berikan jawaban yg jelas kepada kami karena kami sangat kebingungan!”
Aku menjawab, “Itu adalah satu masalah dengan kerancuan di dalamnya yg tidak bisa dihilangkan secara keseluruhan, kecuali oleh kasyaf. Jadi, jalankan amal² yg tinggi dan watak yg diridhai menurut cermin hati kalian yg terang. Jika tidak, nalar akan bingung menghadapi hal itu.
Sungguh mereka melantunkan syair,
Apabila Engkau adalah diriku sekaligus inti kekuatanku, maka di manakah aku dan Engkau?
Bisa saja perkara itu adalah diriku, dan bisa saja perkara itu adalah Engkau.
Bisa saja aku adalah aku dari satu sisi, dan dari sisi yg lain, selain-Mu adalah Engkau.
Engkau adalah huruf yg tidak bisa terbaca, dan tidak bisa diketahui. Engkau juga Pencipta kebingungan atau teka-teki.
Aku melihat satu kelemahan dan kelemahan itu adalah diriku. Juga kebodohan tentang banyak kata. Lalu di mana Engkau?
Aku pun tidak sanggup mendapatkan pengetahuan ataupun makna yg ditunjukkan oleh-Mu.
Kami pun bingung mengenai wujud Yang Maha Benar sebagai satu kelemahan. Engkaulah Allah, dan Yang Maha Pengasih adalah Engkau.
Itulah aku, dan itu bukan Engkau. Perhatikan ucapanku ketika aku berkata, ‘Engkau’.
Siapa yg aku maksud dengan ‘Engkau?’, sementara engkau bukan diriku ataupun yg lain. Aku bingung mengenai kata ‘Engkau’.
Aku sungguh tidak bisa melihat maksud kata itu dan tidak mengetahui orang yg berkata ‘Engkau’.
Aku melihat satu perkara yg dikandung oleh wujudku, sementara Engkau cemburu terhadapnya. Itu bukan Engkau.
Lalu jika aku berhenti pada ucapan, “Engkau telah berbuat, wahai hamba-Ku,” maka tetapkanlah kami pada satu perkara yg bukan Engkau.
Lalu katakan kepadaku, siapa aku, agar aku bisa melihatnya, lalu aku tahu siapa aku, dan Engkau adalah Engkau.
Seandainya tidak ada Tuhan niscaya kami bukan hamba; dan seandainya tidak ada hamba niscaya Engkau bukan Engkau.
Tetapkanlah aku agar kami menetapkan kalian sebagai tuhan. Jangan sisakan ego agar Engkau tidak sirna.
Makna ‘agar kami menetapkan kalian’ adalah Engkau berada di sisi kami setelah Engkau menciptakan kami. Jika tidak, berarti Engkau tetap untuk Diri-Mu ketika kami hilang. Sedangkan ‘agar Engkau tidak sirna’ artinya Engkau tidak menghalangi manusia dari menyaksikan-Mu sampai tidak ada seorang pun yg menyaksikan-Mu. Maha Suci Allah dari kesirnaan yg merupakan ketiadaan. Jadi, pahamilah.
Sementara arti ‘Aku adalah pendengarannya yg ia gunakan untuk mendengar…’ adalah sesungguhnya Aku akan berbuat untuknya dengan sesuatu yg ia inginkan dengan segenap kekuatannya. Jadi, Dia mengungkapkan banyak makna pada organ² tersebut dengan kata “Dirinya sendiri’. Hal itu karena sesungguhnya Dialah yg berbuat dan mengadakannya di dalam diri hamba hingga seakan-akan makna² itu adalah Dia, padahal bukan. Allah Ta’ala bisa berbuat tanpa alat ataupun dengan alat, seperti firman-Nya:
قٰتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan²mu.” (QS. at-Taubah (9): 14)
Juga seperti firman Allah Ta’ala:
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللَّهَ رَمٰى
“Dan bukan kamu yg melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yg melempar.” (QS. al-Anfal (8): 17)
Jadi, pahamilah! Lebih dari itu, hal tersebut tidak bisa dikatakan kepada ulama manusia, apalagi kepada kaum jin mukmin. Namun, Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui.”
04. Bolehkah Seorang Hamba Menyatakan Diri Sebagai Yang Maha Benar?
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-4
“Bolehkah Seorang Hamba Menyatakan Diri Sebagai Yang Maha Benar?”
Mereka juga bertanya kepadaku, “Apabila seorang hamba memang tidak tahu dan bingung mengenai substansi dirinya, lalu kenapa ia memastikan keberadaan substansinya sebagai Yang Maha Benar, atau substansinya sebagai yg lain? Bolehkah ia berkata, “Aku adalah Yang Maha Benar di dalam wujudku?”
Aku menjawab, “Tidak ada seorang pun yg boleh mengatakan hal itu meskipun tingkat kedekatannya sangat tinggi. Sedangkan Allah Yang Maha Benar boleh berkata, ‘Sesuatu yg ada di sana bukan Aku dan kalian adalah ketiadaan di dalam keberadaan kalian sebagai entitas. Itu karena sesungguhnya Aku Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Aku bisa berbicara kepada sesuatu yg tidak ada, seperti berbicara kepada sesuatu yg ada. Aku bisa memberinya nikmat dan siksa di dalam ketiadaannya.’
Mereka juga melantunkan syair mengenai hal seperti itu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
Kalau kami terlihat oleh sesuatu, sesuatu itu berarti bukan kami dan yg bukan kami adalah sesuatu yg ada di sana. Di mana keterlihatan?
Aku adalah wujud itu sendiri. Sesuatu yg ada di sana adalah bukan Aku. Oleh karena itu, Aku adalah Tuhan Yang Maha Cemburu.
Jangan katakan, wahai hamba-Ku, bahwa engkau adalah benar² Aku. Aku kekal, sementara engkau fana lagi hancur.
Setiap waktu engkau adalah makhluk baru. Oleh karena itu, engkau mengalami kefanaan dan kebangkitan kembali.
Mereka juga melantunkan syair,
Apabila kita berhimpun, kita akan berseberangan: dan apabila kita terpisah, berarti kita sama.
Sebenarnya, alam itu bukan dzat lain dan bukan dzat yg sama.
Jadi, sampaikan ucapanku yg benar kepada orang² yg menyangkal. “Kalian buta hingga tidak bisa melihat kebutaan dan tidak bisa melihat dzat dengan banyak makhluk yg di dalamnya ada dan bentuknya seperti bentuk orang yg melihat.
Lalu rupa orang yg melihat dihalau melalui hukum sesuatu yg tetap pada setiap yg melihat.
Mereka juga melantunkan syair mengenai itu,
Sesungguhnya Allah tidak mempunyai sekutu, seumpama, lawan dan inti.
Jika engkau mendapatkan rahasia ilmu mengenai-Nya, raihlah ilmu dari-Nya dan jagalah.
Lalu apabila engkau berkata, “Aku tidak ada tanpa-Nya,” maka ungkapan yg sebaliknya datang darinya.
Apabila engkau berkata bahwa sifat adalah dzat, lalu di mana posisi Dzat Yang Satu dan logis darinya?
Apabila engkau benar² memahami ucapanku, wahai mitraku, engkau pasti tahu dan tidak akan pernah berkata, “Siapa Engkau, siapa Dia.”
Mereka juga melantunkan syair,
Sesungguhnya semua tokoh, para ‘arif, orang yg bertahan dan orang yg menyeberang,
tidak ada seorang pun di antara mereka yg mengetahui substansi-Nya, kecuali orang yg menghimpun ayat² dan surat² —penutup para Rasul— semoga mereka semua mendapatkan rahmat dan keselamatan.
Mereka juga melantunkan syair,
Aku selalu bersama dengan cinta di mana pun cinta itu berada, baik di masa yg akan datang, di masa Ialu maupun di masa sekarang.
Baik dibelenggu, dibebaskan, bersih, disucikan, serta tumbuh subur di tempatnya,
siapa pun yg berkata rindu dengan menginginkan Dzat-Ku agar bisa melihatnya, berarti ia bersikap buruk terhadap Kami.
Di manakah posisi-Ku darimu, wahai orang yg sangat bodoh! Tidakkah nalar mencatat bersama masa. Bagaimana mungkin ia bisa melihat keagungan-Ku, sementara orang yg pernah melihat Kami pingsan?
Dan Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Lebih Mengetahui.
05. Cara Menjangkau Allah Ta’ala
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-5
“Cara Menjangkau Allah Ta’ala”
Mereka juga bertanya kepadaku tentang menjangkau Allah Ta’ala. Mengapa Dia tidak bisa dijangkau dengan cara menegakkan banyak dalil?
Aku menjawab, “Allah Ta’ala tidak akan bisa dijangkau dengan dalil karena dalil seluruh perkara yg diciptakan itu bodoh. Orang yg pantas dikatakan bodoh adalah orang yg mengambil kesimpulan darinya. Akan tetapi, apabila Allah Ta’ala telah berkehendak untuk bisa dilihat oleh hati seorang hamba, maka Dia meminjaminya satu ilmu-Nya, hingga ia bisa menjangkau-Nya dengan jangkauan yg layak baginya, bukan yg layak bagi Allah, sebagaimana yg mereka katakan,
“Dalil² itu meminjaminya mata yg bisa ia gunakan untuk melihat. Seakan-akan dalil² itu mempunyai mata yg bisa melihat.”
Mereka juga melantunkan syair tentang itu,
Keesaan Tuhanmu tidak bisa direnungi melalui penyingkapan bukti argumentasi, karena Keesaan-Nya tidak menerima sesuatu yg kedua.
Setiap orang yg menerima sesuatu yg kedua berarti dalam hukumnya mengandung banyak sifat kelebihan dan kekurangan.
Wahai orang yg membangun bangunannya di atas fondasi dalil, sungguh engkau bodoh. Di mana fondasi bangunan itu, wahai orang yg membangun?
Yang Maha Benar Keesaan-Nya di esakan dengan pengesaan martabat, dan Yang Maha Benar menopangnya melalui pihak kedua.
Mereka juga melantunkan syair,
Penuntut ilmu tidak akan bisa menjangkau Dzat-Ku melalui dalil! karena hal itu merupakan sesuatu yg mustahil.
Lalu engkau melihatnya seperti melihat Aku pada setiap sesuatu, sementara ia melihat Aku menampakkannya keadaan demi keadaan.
Lantas ia melihat dirinya, sementara yg lain tidak ada dan petunjuk itu sama sekali tidak akan menjadi kesesatan.
Namun Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Lebih Mengetahui.”
06. Mengapa Jasad Tidak Bisa Melihat Ruh?
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-6
“Mengapa Jasad Tidak Bisa Melihat Ruh?”
Mereka juga bertanya kepadaku, “Kenapa jasad tidak bisa melihat ruh, padahal jasad ada pada ruh, dan ruh lebih dekat dengan jasad daripada segala sesuatu yg lain?”
Aku menjawab, “Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah seperti jawaban terhadap pertanyaan mereka: Mengapa makhluk tidak bisa menjangkau pencipta mereka di dalam kehidupan dunia ini dan tidak bisa melihat-Nya, padahal Dia lebih dekat kepada mereka daripada urat nadi. Itulah yg di isyaratkan oleh hadits:
“Siapa pun yg mengenal dirinya, ia pastl mengenal Tuhannya.”
Masalah Ini tidak akan bisa dijawab, kecuali oleh cahaya kasyaf dan syuhud. Sementara ungkapan tidak akan bisa menyusunnya sama sekali, Namun, Allah adalah Dzat Yang Lebih Mengetahui.
Mengenai hal itu, mereka melantunkan syair,
Bagaimana mungkin cahaya bisa terlihat oleh bayangan, sementara cahaya itu ada padanya. Sungguh ia berada di alam raya secara dzat ketika Ia bertajalli.
Ruh adalah bayangan, sementara materi jasad memperlihatkannya melalui cahaya dzat yg ia lihat ketika dzat itu bertajalli.
Tidak ada yg bisa mengetahui sesuatu yg telah kami katakan, kecuali seorang pemuda yg senantiasa berkhalwat. Pemuda itu melihatnya ketika ia ber-takhalli.
Mereka juga melantunkan syair,
Jasad adalah bayangan dzat yg mempunyai ruh. Ia tidak akan mengetahuinya melalui ilmu yg dibentuk oleh nalar ataupun mata.
Jika dzat itu berhenti, maka bayangannya juga berhenti; dan jika ia berjalan, maka bayangannya juga berjalan. Jadi, dzatnya bukan bayangannya dan keberadaannya adalah yg lain.
Lebih mengherankan lagi adalah wujud yg tidak mempunyai wujud dan tidak akan pernah sirna. Jika sirna, maka kemanfaatan dan kesulitan juga pasti sirna. Inilah yg aku katakan, “Akal membawanya secara keseluruhan tanpa ada yg mengetahuinya selain matahari dan bulan.
Matahari adalah perempuan dan purnama lebih sempurna jika dilihat oleh mata nalar yg di sana ada seorang hakim laki².
Lalu di antara keduanya ada banyak berita, sementara keduanya bukan selain keduanya. Oleh karena itu, ambillah pelajaran jika engkau mengambil pelajaran.
Aku heran kepada Dzat Yang Esa yg pada Dzat-Nya terlihat berbilangan. Di sana ada alam raya dan banyak pelajaran.
Artinya, itu merupakan maqam hadirat yg tidak bisa di ungkapkan dengan kata². Namun, Allah adalah Dzat Yang Lebih Mengetahui.”
07. Bagaimana Allah Ta’ala?
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-7:
“Bagaimana Allah Ta’ala?”
Mereka juga bertanya kepadaku tentang sebab akal bertanya, “Bagaimana Allah Ta’ala?” Padahal Allah Ta’ala secara Dzat tidak bisa ditanya “bagaimana”, tidak bisa di umpamakan, dan tidak bisa di serupakan. Lalu datang dari mana pertanyaan bagaimana itu kepada makhluk?
Aku menjawab, “Hal itu datang kepada mereka dari pendangan mereka terhadap diri mereka sendiri di dalam cermin makrifat Allah Ta’ala, seperti cermin material. Sungguh jika engkau melihat ke dalam cermin itu, engkau hanya akan melihat rupamu. Cermin itu mendahuluimu, lalu engkau dibentuk di dalamnya. Lalu, kalau engkau benar² melihat, engkau pasti mendapati bahwa rupamu benar² mendahuluimu.
Kemudian, rupamu itu menjadi tampak jelas di depanmu hingga yg menjadi sasaran pandanganmu hanya rupamu. Berusahalah untuk menghilangkan ketampakan itu hingga engkau bisa melihat cermin itu tanpa kekuasaan sama sekali selamanya. Pahamilah! Lalu ketahuilah, jika hati menjadi terlihat jelas cerminnya, didekatkan dengan cahaya Ilahi, isinya bersih dan di dekatkan ke hadirat Allah dengan kedekatan yg di syari’atkan, maka engkau tidak akan menemukan apa pun di sisi Allah Ta’ala, kecuali kesucian yg mutlak. Itu karena Allah Ta’ala sungguh berbeda dengan makhluk-Nya dalam seluruh level.
Allah Ta’ala tidak akan berhimpun dengan makhluk-Nya, baik di dalam satu batas, satu substansi, satu jenis, satu sosok, maupun satu ragam. Sedangkan sesuatu di dalam teks yg lahirnya diberi penyerupaan, itu bukan penyerupaan secara hakikat. Hal itu hanya penempatan Ilahi untuk kita dan menjadi rahmat terhadap akal kita agar mempelajari banyak makna yg datang melalui tangan para Rasul-Nya, tidak ada yg lain.
Seandainya Allah Ta’ala menuntut kita agar mempelajari sesuatu yg ada pada-Nya di dalam ketinggian Dzat-Nya sebagai suatu kesucian mutlak, niscaya kita tidak mengerti sedikit pun di antara hukum²Nya. Itu karena kita tidak akan bisa berpikir kecuali tentang sesuatu yg bentuknya sama dengan kita melalui sesuatu di maqam kita.
Kemudian ada yg berkata kepada salah satu di antara kita, ‘Pendengaran, tapi di mana posisi pendengarannya dari pendengaran Allah Ta’ala?’ Ada juga berkata kepada salah satu di antara kita, ‘Berbicara, tapi di mana posisi ucapannya dari ucapan Allah Ta’ala?’ Ada juga yg berkata kepada salah satu di antara kita, ‘Mengetahui, tapi di mana posisi pengetahuannya dari pengetahuan Allah Ta’ala?’ Ada juga yg berkata kepada salah satu di antara kita, ‘Santun, tapi di mana posisi kesantunannya dari kesantunan Allah Ta’ala?’ Juga ada yg berkata kepada salah satu di antara kita, ‘Pemurah, tapi di mana posisi kemurahannya dari kemurahan Allah Ta’ala.’
Jika bukan karena Allah Ta’ala berbicara kepada kita dengan membandingkan Nama² dan Sifat²Nya, niscaya kita tidak pernah tahu sedikit pun tentang Dia, apalagi sesuatu yg Dia bicarakan kepada kita. Allah Ta’ala juga telah menyandarkan perbuatan kepada hamba²Nya dan menjadikan mereka sebagai orang² yg berbuat. Padahal keberadaan mereka sebagai orang² yg berbuat lagi diperbuat oleh Allah Ta’ala. Lalu di mana letak perbuatan mereka dari perbuatan-Nya.
Apabila Allah Ta’ala adalah pencipta dzat mereka, bagaimana mungkin Dia bukan pencipta apa pun yg Dia kehendaki melalui tangan dzat mereka. Organ² manusia seperti pintu yg menjadi tempat keluar manusia. Jika manusia tidak pernah keluar dari dalam pintu itu, begitu juga dengan perkataan² makhluk. Meski secara artikulasi perkataan² itu di nisbatkan kepada mereka, mereka tidak pernah menciptakannya. Begitu juga perbuatan² para hamba.
Perbuatan² itu tidak diciptakan dari organ² mereka. Akan tetapi, karena sifatnya tidak tampak kecuali pada jasad, perbuatan² itu disandarkan pada organ² tersebut, seperti penyandaran hilangnya dahaga dan kenyang pada air dan makanan. Allah Ta’ala menciptakan hilangnya dahaga dan kenyang di sisi air dan makanan, bukan dengan air dan makanan.
Siapa pun yg ingin melihat hakikat masalah kasab (usaha hamba), silakan perhatikan lewat nalar makhluk pertama yg tiada satu makhluk pun mendahuluinya. Silakan dilihat, apakah di sana ada yg bersekutu dengar Allah Ta’ala dalam menciptakan. Niscaya hal itu menjadi jelas baginya. Allah Ta’ala menciptakan banyak perkara di sisi banyak perkara, bukan dengan banyak perkara. Dia menciptakan peniupan di dalam diri Isa dan menciptakan ruh di dalam burung.
Namun tidak bisa dikatakan, ‘Apabila Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Berbuat sendirian, lalu kenapa Dia berbicara dengan perkataan-Nya, ‘Lakukan’ atau ‘Jangan lakukan’? Itu karena di antara etika wajib terhadap Allah Ta’ala apabila seseorang di antara hamba²Nya melihat sesuatu di antara banyak isi ilmu-Nya, ia harus mematuhi etika terhadap-Nya.
Hadirat Allah Ta’ala tidak menerima kesalingberhakan karena hadirat itu termasuk rahasia takdir. Jadi, jangan sampai kalian beretika buruk. Kalian harus memperhatikan hadirat azal dan terus membawa pendidikan yg disucikan itu selamanya, niscaya kalian beruntung.
Mereka juga melantunkan syair,
Ketika seorang hamba memandangi Tuhannya di dalam kesucian, kemuliaan, dan ketinggian-Nya dari berbagai perangkat, perangkat² itu datang menyusul dengan membawa cara dan penyerupaan.
Itu adalah penunjukan yg memastikan kedudukan seorang hamba dan isyaratnya, juga sah tidaknya ilmu, penetapan, penyampaian yg baru dan pemutarbalikan.
08. Kedudukan Seorang Hamba di Dalam Wujud
Dialog Jin Dengan Sufi
Pertanyaan Ke-8:
“Kedudukan Seorang Hamba di Dalam Wujud”
Mereka juga bertanya kepadaku, “Apabila seorang hamba adalah sesuatu yg baru diciptakan dan tidak mempunyai kekekalan di masa dahulu yg azali, lalu setelah ia ada, ia pun bukan Dia; dan apabila tidak pernah ada, Dia adalah Dia, maka bagaimana etika terhadap Allah Ta’ala yg menghalangi kita untuk berkata, “Ia adalah Dzat Yang Maha Benar.” Lalu, jika perkaranya adalah sebagaimana yg kami paparkan, bagaimana dengan kedudukan seorang hamba di dalam wujud? Jelaskan hal itu kepada kami!”
Aku menjawab, “Seorang hamba adalah wujud yg mengambang di antara ada dan tidak ada. Ia tidak bisa dibawa pada salah satu di antara dua sisi. Oleh karena itu, para imam kalam di sisi kami menyebutnya sebagai sesuatu yg mungkin. Ia tidak bisa di ungkapkan sebagai makhluk lebih dari salah satu di antara kedua sisi dengan korelasi pengetahuan Ilahi mengenalnya, Tidak ada pula sisi lain yg ditunjukkan olah hadits,
“Allah ada, dan tidak ada apa pun bersama-Nya.”
(ada) di sini adalah ada secara wujud, bukan secara perbuatan. Jadi pahamilah!
Wujud seorang hamba di kelilingi oleh ketiadaan sebelum ia di adakan dan setelah ia musnah. Boleh saja dikatakan, Allah Ta’ala telah menempatinya. Namun tidak boleh dikatakan, bahwa seorang hamba menyatu dengan Tuhannya, Hal itu karena menurut ulama kami, baik hulul maupun ittihad itu tidak ada. Siapa pun yg mengatakan pendapat selain itu, berarti perkataannya palsu dan dusta.
Wahai golongan jin, jika Anda ingin berbagai perkara terungkap, dan kerancuan sirna, makanlah dengan makanan halal dan berhias diri dengan akhlak yg diridhai menurut cermin kalian yg mengkilap. Kalian pun akan meraih berbagai makrifat yg tidak bisa di goyahkan oleh banyak dalil. Jangan pula membuat lelah pikiran kalian dengan berupaya mengenal perkara ini, sementara kalian mengonsumsi barang² syubhat dan bersolek dengan perkara² hina karena kalian tidak akan bisa meraih pertolongan. Sebagian manusia yg kebingungan pernah melantunkan syair,
Aku bukan aku, dan aku bukan dia. Lalu siapa aku, dan siapa dia?
Duh aku! Engkau bukan aku. Duh dia! Engkau bukan dia. Seandainya dia adalah dia, mataku pasti tidak bisa memandanginya.
Di dalam wujud sama sekali tidak ada apa pun selain kami, sementara ia bukan Dia.
Mereka juga melantunkan syair dengan mawali:
Engkau membuatku terbenam di dalam-Mu hingga aku berkata, “Sesungguhnya Aku adalah Engkau.” Lisanku berseru bersama cobaan, “Engkau melihat, siapa engkau?”
Kerinduanku pun berkata, “Aku adalah kekasih.” Aku berkata, “Engkau benar, tetapi menurut hukum kesucianmu. Jadi ia bukan engkau.”
Mereka juga melantunkan syair,
Di dalam wujud tidak ada selain dia. Maka perhatikan dirinya sebagaimana aku memperhatikannya, niscaya kalian mendapati dia yg merupakan dia di dalam aku.
Siapa pun yg memberikan dalil padanya berarti ia orang yg senang berdebat di dalam hatinya. Dari hatinya pasti muncul banyak perumpamaan dan penyerupaan.
Seandainya bukan karenanya, mata pasti tidak bisa melihat pada yg melihatnya. Seandainya bukan karenanya, mulut pasti tidak bisa mengucapkan dzikir.
Jadi, hukumilah ia dengannya, karena engkau berada di dalam ketiadaan. Dan tetapkan padanya, karena di alam tidak ada kecuali Dia.
Demi Allah, seandainya bukan karena keberadaan Yang Maha Benar, perkataan²Nya tentang keberadaan pasti tidak diterima, seandainya bukan karenanya.
Mereka juga melantunkan syair tentang itu,
Jika aku berkata, “Sesungguhnya aku adalah satu,” niscaya satuku berkata kepadaku, “Bukankah kendaraanmu adalah konstruksi dan jasad.
Sungguh jangan katakan, “Di dunia ini tidak ada seorang pun.” Dunia ini sudah ramai, sedangkan yg tinggal adalah tujuan.
Ia tidak akan menghancurkan satu rumah dengan penghuni orang tanpa belenggu dan kedengkian.
Mereka juga melantunkan syair,
Itulah yg mereka katakan dan itulah yg mereka maksud. Di sana tidak ada apa pun kecuali Allah, tidak ada selain Dia. Sementara orang yg tahu mencari, di mana selain itu?
Dan Allah adalah Dzat Yang Lebih Mengetahui.