Abdullah bin Jarâd bertanya kepada Nabi saw, “Wahai Nabi Allah, apakah seorang mu‘min itu mungkin berzina?”
Beliau saw menjawab, “Itu mungkin saja terjadi.”
Abdullah bin Jarâd bertanya lagi, “Apakah seorang mu‘min itu mungkin mencuri?”
Beliau saw menjawab, “Itu mungkin saja terjadi.”
Abdullah bin Jarâd bertanya lagi, “Apakah seorang mu‘min itu mungkin berbohong?”
Beliau saw menjawab, “Tidak.”
Kemudian Rasulullah Muhammad saw melanjutkan dengan membaca ayat ini, “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS An-Nahl [16]: 105)”
(HR Al-Kharaithiy dalam kitab Masawi’ Al-Akhlâq no. 127)
: : :
Orang bisa saja terjatuh pada perzinaan karena terlena dan hanyut; orang bisa nekad mencuri karena desakan kebutuhan hidup, akan tetapi tidak ada yang berbohong karena tak sadar atau tak sengaja. Mengada-adakan kebohongan itu dilakukan secara sadar dan memanfaatkan seluruh kelihaian akal bulusnya untuk mengakal-akali. Ketika kebohongannya terancam terbongkar, maka dengan akal bulusnya dia membuat kebohongan lain untuk menutupi kebohongan di awal, dan demikian terus menerus, sehingga terjadilah rentetan kebohongan yang disusun dengan sengaja memanfaatkan kelihaian akal bulusnya secara sadar dan dipikirkan seksama.
Ada sebagian orang yang merasa dirinya sedemikian bersih dan lurus sehingga yakin tak akan terjatuh pada perbuatan dosa dari orang-orang yang dia pandang rendah. Namun, arogansi semacam itu bisa runtuh dengan Allah hadirkan ujian yang membuat dia terjatuh pada dosa dari orang-orang yang dia hakimi sebagai rendah (padahal orang terjatuh ke dalam dosa itu karena berbagai sebab yang tak orang lain ketahui), agar orang tersebut sadar bahwa hanya Allah saja yang bisa melindungi dia dari berbuat dosa, bukan keshalihan diri yang dikiranya dia bangun sendiri.
Wallahu a‘lam bishawwab.
: : : : : : : : : : : : : : : : :
“Bahwa bohong itu suatu pintu dari pintu-pintu nifaq.”
— Rasulullah Muhammad ﷺ