- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tanwirul Qulub

3 months ago

307 min read

01. Pengantar

Bismillâhirrahmânirrahim

Segala puji bagi Allah Yang Menyendiri dengan keagungan malakut-Nya dan Manunggal dengan keindahan jabarut-Nya. Yang memiliki sifat-sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Yang memiliki tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Dia tidak serupa dengan makhluk-Nya. Dialah Dzat Yang Mahasuci dari sesembahan yang membingungkan akal hingga akal tidak mampu memahami hakikat Dzat-Nya yang abadi, Mahasuci Dia dari sesembahan yang membingungkan hati hingga hati tidak bisa memahami keagungan sifat-sifat-Nya yang sempurna nan lestari. Dialah Yang dikenal dengan sifat rububiyyah dan disifati dengan sifat uluhiyyah. Barangsiapa telah merasakan manis keakraban dengan-Nya, niscaya dia akan melihat berbagai keajaiban dari kelembutanNya, akan memperoleh segala yang dia dambakan. Sedangkan orang yang mengharap selain Dia, niscaya akan dijauhi dan dicelakakan-Nya.

Aku memuji-Nya dengan pujian seorang hamba yang tenggelam dalam lautan nikmat-Nya. Aku bersyukur kepada-Nya dengan syukur seorang hamba yang ikhlash dalam ketaatan kepada-Nya serta larut dalam kecintaan kepada-Nya.

Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah semata, Dia Yang tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia Yang Mahasuci dari kesertaan dan keserupaan, dengan kesaksian yang karenanya aku bisa selamat dari berbagai petaka dan terus mendaki hingga mencapai derajat-derajat yang tinggi. Dan aku bersaksi bahwa Sayyidina Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya yang telah diutus Allah untuk membawa risalah yang terang nan jelas, agama yang lurus yang datang menyempurnakaan semua agama yang telah diturunkan sebelumnya. Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam dan keberkahan kepada Sayyidina Muhammad Sang Pemimpin para nabi, Sayyidina Muhammad yang menjadi mahkota orang-orang suci, Sayyidina Muhammad yang telah diutus membawa ayat-ayat yang terang dan mukjizat-mukjizat yang agung, Sayyidina Muhammad yang merupakan manusia sejati dan sebab segala maujud. Ya Allah, sampaikanlah balasan dan terima kasih kami kepada beliau, balasan yang lebih dari para nabi dari umat-umat terdahulu. Ya Allah, berilah kami manfaat dari cinta kami kepada beliau saw. yang tersimpan di dalam hati kami, juga cinta kami kepada keluarga dan para sahabat beliau, serta cinta kami kepada putra-putrinya, istri-istrinya dan orang-orang yang dicintainya. Ya Allah, limpahkanlah padanya shalawat dan salam yang kekal, shalawat dan salam yang senantiasa mengalir dan tidak terputus dengan berlalunya waktu dan hari-hari.

Amma ba’d. Seorang hamba yang fakir dan senantiasa mengharap ampunan Rabbul-‘alamin, Muhammad Amin al-Kurdi yang dinisbatkan kepada Thariqah an-Naqsyabandiyyah—mudah-mudahan Allah Ta’alâ menguatkan kedudukannya yang tinggi—berkata, “Salah satu hal yang tidak samar lagi bagi orang yang berakal cerdas adalah bahwa hamba yang paling tinggi kedudukannya, hamba yang paling agung dan paling utama adalah hamba Allah yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya yang lain, hamba yang paling banyak mengajak ke jalan Allah. Dan di antara mereka yang paling besar manfaatnya serta paling baik karyanya adalah orang-orang yang mengajak dan membimbing hamba kepada Allah, yang memberikan petunjuk untuk menempuh jalan-Nya serta mengerjakan amal-amal yang diridhai-Nya. Betapa tidak, hal itu merupakan kebiasaan Nabi Muhammad saw., manusia paling mulia, sang pemimpin para nabi. Sungguh, untuk hal itu Allah Ta’ãlâ telah mengutus dan menugasi para nabi dan rasul, menyemangati dan mendorong mereka. Pada tugas itu pula para ulama al-‘ãmilin dan wali-wali yang salih pewaris para nabi itu mengikuti dan meneladani mereka. Namun sudah maklum bahwa kebanyakan ulama yang benar-benar mumpuni seperti mereka telah tiada. Dan di zaman sekarang ini tiada Iagi yang tersisa dari mereka selain jejaknya saja, seperti diungkapkan dalam sebuah syair:

Kemah itu sungguh seperti kemah mereka
Tetapi kulihat kaum Perempuan di kemah itu bukan Perempuan dari kemah mereka

Maka Anda hanya akan mendapati sedikit sekali orang yang mau mengingatkan tentang Allah, atau mencegah orang-orang dari perbuatan yang dilarang syariat, karena amat lemahnya semangat untuk menempuh jalan petunjuk serta menahan hati untuk tidak melintasi jalan kesesatan. Karena itu, Anda pun akan menyaksikan, betapa kebanyakan orang lebih memperhatikan kekurangan duniawi mereka daripada kekurangan dalam hal keberagamaan dan akhirat mereka. Anda lihat bagaimana mereka senang memperturutkan hawa nafsu dan hampir tidak memiliki kesadaran untuk melakukan amal-amal ketaatan. Buktinya mereka larut mengerjakan berbagai perbuatan haram. rasa takut kepada Allah sudah dilipat, penghargaan terhadap syariat telah hilang dari hati mereka. Bencana pun timbul merata dan kesengsaraan telah demikian dominan, sehingga kebanyakan orang bahkan hampir tidak tahu apa itu kebenaran, tidak tahu apa itu iman, tidak kenal akhirat dan tidak paham bahwa kita sedang bergerak menuju Maharaja Yang akan meminta pertanggungjawaban. Bahkan orang yang mengenal hal-hal itu pun malah mengenyampingkannya, lalu sibuk mengurusi harta benda yang pasti akan segera lenyap, sibuk mencapai berbagai kesenangan dan mengumpulkan harta. Kalau pun dia berdakwah dan beramal, itu semata-mata untuk tujuan-tujuan duniawi, untuk kepentingan pribadi dan kesenangan-kesenangan nafsu yang tidak abadi. Sementara Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui apa yang tersimpan dalam hati mereka. Dia senantiasa bersama mereka di mana pun mereka berada, senantiasa mendengar dan memperhatikan mereka. Tıdakkah mereka sadar bahwa kelak mereka akan dibangkitkan untuk menerima murka yang amat dahsyat, yang terornya bisa membuat bayi langsung beruban, karena pada saat itu mereka akan dimintai pertanggung jawaban atas semua amal perbuatan yang telah mereka kerjakan. Allah Ta’âlâ berfirman, “Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali, ” (QS al-Syu’arâ [26]: 227)

Sudah demikian lama kita mengalami hari-hari penuh bencana ini, dan sebagian di antaranya telah melemahkan kekuatan Islam. Karena itu aku—yang telah diberi ijazah yang sah dan jelas untuk memberikan bimbingan oleh pembesar dan pemuka utama di dalam tarekat agung al-Naqsyabandiyyah, semoga Allah menyucikan mereka dan menerangi kuburnya—mulai melakukan pembimbingan. Aku melakukannya sebagai bentuk pengamalan dan pemenuhan akan ijazah yang aku terima, dengan tetap mengikuti jejak-jejak para guru agung dari pendahulu-pendahuluku, sehingga aku mendapat pertolongan kekuatan dari Allah untuk mengembangkan tarekat ini di wilayah Mesir.

Ketika mulai membimbing para murid di jalan agung ini, aku menulis satu kitab bagi mereka yang berniat mengikutinya. Kitab itu aku beri nama al-‘Uhud al-Watsiqah fi al-Tamassuki bi al-Syari’ati wa al-Haqiqati, berisi uraian tentang hal-hal yang wajib diketahui oleh setiap murid. Di antaranya adalah masalah ushuluddin (pokok-pokok aqidah) berikut cabang-cabangnya yang harus diketahui oleh setiap orang yang sudah akil baligh agar dia terhindar dari kekeliruan dalam keimanannya. uraian dalam buku tersebut kami lengkapi pula dengan sejumlah hikmah dari jejak para pemuka kaum sufi yang agung, agar menjadi teladan dan pijakan bagi para peminat thariqah ini, serta menjadi peringatan bagi mereka yang sering melanggar perintah Allah.

Segala puji bagi Allah, buku tersebut hadir dengan kadar yang cukup untuk memenuhi tujuan ini, dengan susunan yang menarik dan makna yang mendalam. Kitab ini baik untuk disebarluaskan. Selain susunannya sistematis, juga mudah diperoleh oleh orang yang berminat terhadapnya. Kitab ini cukup laris hingga orang yang berminat membelinya harus menunggu cetak ulang. Kitab ini dicetak ulang karena kami mengharap pahala yang banyak dari Allah dan manfaat materi yang diperoleh darinya. Setelah pembahasannya diperluas, isi dan susunannya menjadi lebih lengkap.

Kemudian aku menambahkan uraian dalam kitab ini dengan menjelaskan berbagai masalah furu’, seperti bab nikah, thalaq, farâ’idh (ilmu waris), bab jual beli dan tambahan yang lain. Juga uraian masalah-masalah yang penting dengan sederhana, tidak terlalu ringkas dan tidak terlalu panjang, agar enak dipelajari dan dapat memenuhi harapan pembaca. Pada bentuknya yang baru, aku menamai kitab ini Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘Allam al-Ghuyub. Aku susun kitab ini terdiri dari satu pendahuluan dan tiga bagian isi. Pendahuluan berisi tentang dakwah kepada Allah dan Rasulnya. Bagian pertama berisi uraian tentang masalah-masalah pokok agama (ushul). Bagian kedua berisi uraian tentang masalah-masalah  furu’ berdasarkan mazhab Imam Syâfi’i. Bagian ketiga berisi uraian tentang tasawuf. Sekarang kami akan langsung menguraikan satu demi satu bagian yang sudah kami susun. Aku memohon pertolongan kepada Allah. Cukuplah Allah bagiku, Dia sungguh wali terbaik. Hanya Allah yang memberiku petunjuk, kepada-Nya aku berserah diri dan kepada-Nya aku kembali.[]

02. Pendahuluan

Allah Ta’ala berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..” [QS. an-Nahl 16:125]

Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” ‘[QS. al-Fushshilat 41:33]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali ‘Imran 3:104]

Ayat-ayat di atas merupakan dalil tentang kewajiban melaksanakan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar (menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Kewajiban ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Kewajiban ini merupakan salah satu kewajiban syar’i terbesar, salah satu pokok syariat paling agung dan tiang yang paling kokoh. Dengan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar tatanan syari’at menjadi kokoh dan mulia. Menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan dua kebaikan sempurna. Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja orang yang mengajak (umat) ke jalan petunjuk, baginya pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, baginya dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tanpa sedikit pun mengurangi beban dosa mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibn Majah.

Kemudian mengajak umat untuk kembali kepada Allah, berdakwah ke jalan-Nya dan menyerukan agama serta ketaatan kepada-Nya merupakan sifat para nabi dan rasul. Itulah tugas yang diperintahkan dan diwasiatkan Allah kepada mereka. Hal ini pula yang diikuti oleh para pewaris mereka, yakni para ulama yang sungguh mengamalkan ilmunya dan para wali yang salih. Mereka senantiasa mengajak manusia ke jalan Allah dan menyerukan ketaatan kepada-Nya, dengan ucapan dan perbuatan yang penuh kesungguhan dan semangat demi mengharap ridha Allah Ta’ala. Mereka terus melakukannya karena rasa sayang mereka terhadap hamba-hamba-Nya, karena pahala yang dijanjikan-Nya dan demi meneladani rasul-Nya.

Dalam menjalankan tugas tersebut, para nabi dan rasul serta orang-orang yang mengikuti mereka, yakni para imam pemberi petunjuk telah mengalami banyak rintangan yang amat berat dari orang-orang bodoh dan para pembangkang, yang selalu menimpakan hal-hal menyakitkan kepada mereka. Namun mereka tetap sabar dan tabah, tidak patah semangat. Bahkan rintangan dan cobaan menyakitkan yang mereka hadapi itu justru membuat mereka semakin bersemangat untuk terus memberikan bimbingan dan petunjuk kejalan Allah Ta’ala serta memberikan nasihat tentang agama Allah. Mereka adalah ‘alim yang mengenal agama Allah, yang selalu mengingatkan hari-hari Allah serta menyerukan jalan-Nya. Melihat orang-orang bodoh yang lalai akan hari akhir dan hanya mengutamakan dunia, dia tidak memiliki pilihan selain memberikan penjelasan kepada mereka tentang hak-hak Allah yang wajib mereka penuhi, sebagai bentuk peneladanan terhadap Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. al-Ahzab 33:21]

Oleh karena itu, para da’i dan ulama yang melakukan tugas mengajak orang-orang ke jalan Allah Ta’ala mesti memiliki kesabaran dan ketabahan yang tinggi, berlapang dada, rendah hati dan lemah lembut.

Orang-orang di zaman ini telah didominasi dan diporakporandakan oleh kebodohan, sehingga kebanyakan dari mereka bahkan tidak tahu dan tidak paham kebenaran, tidak mengerti apa itu din. Mereka menganggap enteng masalah agama. Mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi, sibuk mengumpulkan dunia dan bersenang-senang dengan segala kenikmatannya. Mereka inilah yang digambarkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Mereka mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” [QS. ar-Rum 30:7]

Kenyataan itu telah menjadi bencana besar. Bahayanya meliputi semua orang, yang bodoh maupun ulama, masyarakat kebanyakan maupun kalangan khusus. Si bodoh mendapat bahayanya karena dia menjadi abai terhadap hal-hal fardhu yang telah diwajibkan Allah terhadap dirinya, terutama di dalam mengetahui agamanya dan mempelajari hukum-hukumnya. Dan sikap tidak peduli ini jelas merupakan bencana keagamaan yang akan menyebabkan bencana dunia dan akhiratnya. Ulama mendapat bahaya dari kenyataan itu karena kekurangannya di dalam berdakwah, karena ketidaksungguhannya mengajak umat kejalan Allah, karena ketidakseriusannya dalam mengajari orang-orang tentang hukum-hukum agama yang tidak mereka ketahui. Sementara si ulama menyaksikan bagaimana mereka melakukan berbagai hal yang dilarang Allah serta meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan-Nya, tanpa seorang pun berusaha mengingatkan dan mencegah mereka, tanpa seorang pun mengembalikan mereka kepada kebenaran dan mengajari mereka mana hal yang merupakan bagian dari agama dan mana yang bukan. Padahal semestinya ulama memiliki sifat sebagaimana para nabi yakni, melaksanakan kewajiban al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar. Apalagi Rasulullah saw. telah bersabda di dalam salah satu hadisnya, “Orang ‘alim (berilmu) mendapat bahaya dari si bodoh karena si ‘alim itu tidak mengajarinya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Seandainya mengajari orang yang bodoh itu bukan kewajiban si ‘alim, tentu si ‘alim tidak akan mendapat celaka hanya karena dia diam dan tidak mengajari si bodoh itu. Sungguh, Allah Ta’ala tidak akan menyiksa seseorang hanya karena meninggalkan yang sunnah, tetapi karena meninggalkan yang wajib. Dan hal ini bukan hanya bagi orang-orang ‘alim yang ilmunya mendalam sebagaimana dipahami orang banyak, tetapi ini berlaku bagi siapa saja yang mengetahui permasalahan agama, meski yang diketahuinya itu hanya satu masalah. Allah Ta’ala berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isra’il dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [QS. al-Ma’idah 5:78-79]. Mereka mendapat laknat itu karena tidak melaksanakan kewajiban mencegah perbuatan mungkar. Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari pada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” [QS. Hud 11:116]. Allah menjelaskan bahwa Dia telah membinasakan mereka semua selain beberapa gelintir orang dari mereka yang terbukti berusaha mencegah tindak pengerusakan.

Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka melupakan doa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” [QS. al-A’raf 7:165]

Di dalam satu hadis marfu’ dan mauquf diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, berarti dia adalah Khalifah Allah di bumi-Nya, khalifah rasul-Nya dan khalifah kitab-Nya.” Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Apabila tidak mampu mengubahnya dengan tangan, hendaklah dia mengubahnya dengan lisan. Apabila dengan lisan pun tidak mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan hati, dan ini merupakan iman yang paling lemah.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan an-Nasa’i.

Mengubah kemungkaran dengan tangan merupakan tugas penguasa, aparat penegak hukum dan yang sebangsanya. Mengubah kemungkaran dengan lisan merupakan tugas para ulama. Sedangkan mengubah kemungkaran dengan hati merupakan tindakan orang-orang awam atau orang kebanyakan yang lemah.

Rasulullah saw. bersabda: “Suatu kesalahan, apabila ia tersembunyi, hanya akan membahayakan pelakunya. Tetapi apabila nampak dan tidak ada yang berusaha mengubahnya, maka ia akan membahayakan orang banyak.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath. Mereka semua terancam bahaya karena mereka meninggalkan kewajiban yang mestinya mereka lakukan, yakni mencegah dan tidak membenarkan orang yang melakukan kemungkaran tersebut.

Rasulullah saw. juga bersabda, “Hendaklah kalian menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau Allah akan menguasakan kalian kepada seseorang yang paling kejam di antara kalian, lalu kalaupun orang-orang terbaik yang ada di antara kalian berdoa, mereka tidak akan dikabulkan.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dan at-Thabrani. Mereka dikuasakan kepada orang paling sadis dan doa mereka tidak diterima karena mereka meninggalkan kewajiban al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar. Di dalam hadis ini juga ada peringatan dan ancaman berat bagi orang yang tidak melaksanakan kewajiban mencegah kemungkaran, yakni siksanya tidak akan ditangguhkan dan doanya tidak akan dikabulkan.

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu kaum, apabila mereka diam saat melihat kemungkaran, tidak berusaha mengubahnya, Allah akan menimpakan siksa kepada mereka secara keseluruhan.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tarmidzi, Ibnu Majah dan an-Nasa’i. Redaksinya adalah redaksi dari an-Nasa’i.

Di dalam satu hadis yang diterima dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Ya Rasulullah, apakah suatu kaum akan dibinasakan sementara di antara mereka ada orang-orang salih?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” Dikatakan kepada beliau, “Mengapa?” Rasulullah saw. menjawab, “Sebab mereka menganggap enteng dan diam saja melihat berbagai pembangkangan terhadap Allah.”

Ketahuilah, manusia memiliki kewajiban mencegah orang lain dari kemungkaran. Demikian pula dia wajib mencegah dirinya sendiri dari kemungkaran, bahkan kewajiban ini lebih utama. Jangan sampai seperti seseorang yang melihat di balik bajunya ada ular dan kalajengking yang akan mengigitnya, tetapi sibuk mengambil kipas untuk mengusir lalat dari wajah orang lain. Tindakan mencegah orang lain dari kemungkaran akan efektif jika dirinya sendiri tidak melakukan kemungkaran itu. Allah Ta’ala befirman kepada ‘Isa ibn Maryam a.s., “Nasihatilah dirimu sendiri. Jika engkau telah melakukannya, nasihatilah orang-orang. Apabila tidak demikian, malulah kepada-Ku.”

Di dalam satu riwayat disebutkan, “Apabila seseorang duduk menasihati orang-orang, maka malaikat akan berseru kepadanya, ‘Nasihatilah dirimu dengan apa yang engkau nasihatkan kepada saudaramu! Apabila tidak, malulah engkau kepada Tuhanmu. Sungguh Dia memperhatikanmu.” 

Maka, wahai saudaraku, nasihatilah orang-orang dengan hati yang tulus dan qalbu yang penuh takwa. Jangan menasihati mereka dengan mempercantik penampilanmu sementara hatimu busuk. Sebab, bila hati terang, nasihat akan meresap. Apabila ungkapan itu keluar dari hati, maka hati pula yang akan menerimanya, sehingga nasihat itu dapat memberikan pengaruh, entah berupa rasa takut yang mencekam atau kerinduan yang menggelora. Sedangkan ungkapan yang hanya sebatas lisan, tidak bersumber dari hati, maka ia hanya akan sampai di telinga.

Ketahuilah bahwa melaksanakan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar itu, juga diperuntukkan bagi orang yang melakukan tindakan yang terlarang itu. Sehingga para ulama berkata, “…Tugas itu wajib, bahkan bagi si peminum arak. Si peminum arak itu wajib untuk tidak membenarkan orang-orang yang menjadi teman minumnya.”[]

03. Bagian Pertama: Aqidah Islam yang Wajib Diketahui Setiap Muslim

Bagian ini terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab isi dan satu bab penutup. Bab pendahuluan berisi penjelasan tentang macam-macam hukum akal, uraian tentang sifat-sifat Allah serta penjelasannya. Bab pertama berisi uraian tentang masalah-masalah ketuhanan, bab kedua tentang kenabian dan bab ketiga tentang sam’iyyat (hal-hal gaib yang wajib diimani). Sedangkan bab penutup menguraikan makna Iman, Islam, dan kaidah-kaidah agama dan yang lainnya. []

04. Muqaddimah: Hukum Akal

Hukum akal, yaitu menetapkan atau meniadakan sesuatu pada sesuatu tanpa perlu dipertimbangkan lagi kebenarannya karena tak terbantahkan menurut akal, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu wajibmustahil dan ja’iz atau mumkin. Yang dimaksud dengan perkara wajib di sini adalah sesuatu yang menurut akal tidak benar tiadanya (mesti adanya). Seperti Adanya Allah Ta’ala dan bahwa Allah Ta’ala itu Terdahulu serta Baqa’ (tidak fana). Sedangkan yang dimaksud dengan mustahil adalah sesuatu yang menurut akal tidak benar adanya. Misalnya, keberadaan sekutu bagi Allah Ta’ala adalah mustahil. Adapun yang ja’iz atau mumkin adalah sesuatu yang menurut akal bisa ada atau tiada, seperti keberadaan langit dan bumi, diutusnya para rasul dan diturunkannya Kitab-kitab. Begitu juga memberi pahala kepada orang yang berdosa dan menyiksa orang yang taat.

Adapun sifat (ash-shifah) yakni sesuatu yang tetap melekat pada yang disifati (maushuf), terbagi pada tujuh macam. Pertama, sifat nafsiyyah, yaitu sifat yang tanpanya sesuatu tidak masuk akal ada, seperti sifat wujud (Allah Ada, tidak mungkin tiada). Yang kedua adalah sifat salabiyyah, yaitu sifat yang meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi yang disifati, seperti sifat qidam (Allah Maha Terdahulu, tidak mungkin baru). Yang ketiga adalah sifat ma’ani, yaitu sifat yang secara nalar mesti ada pada yang disifati, seperti sifat qudrat (Allah Mahakuasa, tidak mungkin lemah). Yang keempat adalah sifat ma’nawiyyah, yakni sifat yang tetap yang merupakan kelaziman sifat ma’ani, seperti kaunuhu qadiran (kenyataan bahwa Allah Mahakuasa). Yang kelima adalah sifat filiyyah, yaitu sifat yang berkaitan erat dengan Qudrah dan Iradah (Kuasa dan Kehendak), seperti mencipta dan memberi rezeki. Yang keenam adalah sifat jami’ah, yakni sifat yang menghimpun sifat-sifat lainnya, seperti sifat al-Jalalal- ‘Uzhmah dan al-Kibriya’. Sedangkan yang ketujuh adalah sam’iyyah, yaitu ibarat makna yang disebutkan sama’, yakni Alqur’an dan Sunnah yang mutawatir.

Dilihat dari sudut pandang yang lain, sifat terbagi menjadi dua bagian, yakni muta ‘allaq dan ghair muta’allaq. Yang muta’allaq adalah sifat yang menuntut adanya hal yang mengikut atas keberadaannya, seperti sifat qudrat (Mahakuasa) dan Iradah (Maha Berkehendak). Sifat qudrah (Mahakuasa) menuntut adanya al-maqdur ‘alaih (sesuatu yang dikuasai), sedangkan sifat iradah (berkehendak) menuntut adanya murad (sesuatu yang dikehendaki). Sedangkan sifat ghair muta ‘allaq tidak menuntut adanya hal yang mengikut atas keberadaannya. Seperti sifat al-Hayat (Allah Mahahidup). Setelah anda memahami semua itu, kami akan melanjutkan pembahasan pada bab ketuhanan.[]

05. Bab I – Ketuhanan (Ilahiyyat)

Bab ini berisi uraian tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Ketuhanan. Setiap mukallaf wajib berma’rifah terhadap sifat-sifat yang wajib dan yang mustahil bagi Allah Ta’ala, juga sifat untuk tidak atau mengadakan sesuatu bagi-Nya. Mukallaf adalah semua yang mempunyai nalar, berakal dan sehat inderanya, walaupun hanya pendengaran atau penglihatannya saja, yang sudah menerima dakwah, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, dari golongan manusia maupun jin. Hanya saja jin sudah dihukumi mukallaf sejak awal penciptaan, seperti Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa’. Ma’rifah berarti keyakinan yang mantap yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Maka kita semua, orang-orang yang sudah bernalar dan berakal sehat, berkewajiban mengetahui sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang mustahil dan sifat yang ja’iz bagi Allah Ta’ala, baik secara global maupun terperinci.

Mengetahui secara global adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan yang luput dari segala kekurangan, dan wenang bagi-Nya untuk melakukan dan mengadakan semua yang mungkin atau tidak. Sedangkan mengetahui secara rinci adalah mengetahui sifat-sifat tersebut beserta dalilnya.

Sifat yang wajib ada pada Allah Ta’ala ada dua puluh. Maksudnya adalah sifat-sifat yang berdasarkan akal sehat, bahwa Allah Ta’ala pasti disifati dengan sifat-sifat tersebut, karena ketiadaannya merupakan kemustahilan dan kebatilan. Sifat-sifat yang musthail adanya pada Allah Ta’ala juga ada dua puluh, yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang wajib adanya bagi Dia.

Sifat-sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala adalah al-Wujud (Ada), al-Qidam (Terdahulu), al-Baqa’ (Kekal), Mukhalafatul-lil-hawadisi (berbeda dengan makhluk), qiyamu binafsihi (berdiri sendiri atau tidak bergantung kepada yang lain), al-Wahdaniyyah (Esa), al-Qudrah (Kuasa), al-Iradah (Berkehendak), al-Ilmu (Mengetahui), al-Hayat (Hidup), al-Sama’ (Mendengar), al-Bashar (Melihat), al-Kalam (Berfirman), Kaunuhu Qadiran (kenyataan-Nya yang Mahakuasa), Kaunuhu Muridan (kenyataan-Nya Maha Berkehendak), Kaunuhu ‘Aliman (kenyataan-Nya Maha Mengetahui), Kaunuhu Hayyan (kenyataan-Nya Mahahidup), Kaunuhu Sami’an (kenyataan-Nya Maha Mendengar), Kaunuhu Bashiran (kenyataan-Nya Maha Melihat) dan Kaunuhu Mutakalliman (kenyataan-Nya Berfirman).

Adapun kebalikan-kebalikannya yang dua puluh yakni, yang mustahil ada pada Allah Ta’ala adalah: al-Adam (tiada), al-Huduts (baru), al-Fana’ (rusak), al-Mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan makhluk), Ihtiyajila mahalllin wa mukhashashin (membutuhkan tempat dan pencipta), al-Ta’ddud (berbilang), al-‘Ajzu’an mumkinin (lemah dan tidak berdaya dari yang mumkin), al-Karahah (terpaksa), al-Jahl (tidak mengetahui), al-Maut (mati), ash-Shamam (tidak dapat mendengar), al-’Ama (tidak melihat), al-Bukm (bisu), Kaunuhu ‘ajizan (kenyataan-Nya lemah), Kaunuhu Karihan (kenyataan-Nya tidak berkehendak atau terpaksa), Kaunuhu Jahilan (kenyataan-Nya tidak mengetahui), Kaunuhu Mayyitan (kenyatann-Nya mati), Kaunuhu Ashamm (kenyataan-Nya tidak mendengar), Kaunuhu A’ma (kenyataan-Nya tidak melihat) dan Kaunuhu Abkam (kenyataan-Nya tidak berfirman). Mahasuci Allah dari semua sifat itu, sifat-sifat yang mustahil adanya pada Dia.

Sifat pertama yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah wujud. Makna wujud adalah ada secara nyata sekira dapat diindera. Wujud merupakan sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala karena Dzat-Nya, secara azali dan selama-lamanya. Kebalikannya adalah al-Adam (tiada). Dalil yang menunjukkan wajibnya Allah Ta’ala wujud dan mustahil Allah tiada berdasarkan akal adalah adanya semua makhluk di alam semesta ini. Semua makhluk, jika Anda perhatikan dengan seksama, niscaya akan Anda dapati bahwa semua itu mengalami perubahan dari tiada menjadi ada dan dari ada menjadi tiada, dari bergerak menjadi diam dan dari diam menjadi bergerak. Bermacam-macam rupa dan berbeda-beda bentuk. Ada yang putih, hitam, merah dan sebagainya. Sebagian ada di satu sudut dan tiada di sudut lain. Sebagian ada di satu tempat dan tiada di tempat lain. Sebagian ada di satu masa dan tiada di masa yang lain. Ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang terang dan ada yang gelap. Ada yang lembut dan ada yang kasar, dan lain sebagainya. Itu semua menunjukkan bahwa alam semesta ini adalah hadits (adanya didahului ketiadaan, atau menjadi ada dari tiada), dan al-hadits ini tentu merupakan sesuatu yang mumkin, karena semuanya membutuhkan Sang Pencipta Yang Menentukan, Yang wajib ada-Nya, Yang menentukan ada dari tiada, menentukan gerak dari diam, menentukan ukuran atau arah tertentu, waktu dan tempat tertentu atau sifat yang tertentu pula. Seandainya Allah tidak wajib ada-Nya, niscaya tidak sesuatu pun dari alam ini akan mengada. Sebab tidak tergambar dalam akal pikiran adanya sesuatu yang baru tanpa adanya pencipta yang azali. Kalaulah bukan karena adanya Sang Pencipta Yang menentukan beradaan dan karakter tertentu pada sesuatu yang dikehendaki-Nya, tentu sesuatu itu akan tetap berada dalam ketiadaannya, tidak mungkin menjadi ada, selamanya. Sesuatu menjadi ada karena Sang Pencipta menentukan keberadaannya, dengan karakter tertentu, zaman tertentu, tempat tertentu, arah tertentu, ukuran dan sifat tertentu.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan wajibnya Allah Ta’ala wujud adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi” (QS. Al-A’raf 7:54) dan firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)” (QS. Ath-Thur 52:35).

Sifat kedua yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah al-Qidam (Terdahulu). Makna qidam adalah tidak ada permulaan bagi wujud-Nya, yakni adanya Dzat Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya itu tidak berpermulaan. Kebalikannya adalah al-huduts, yakni ada permulaan wujud. Dalil aqli yang menunjukkan adanya wajibnya sifat qidam bagi Dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala serta mustahil Dia huduts adalah, bila Allah Ta’ala tidak terdahulu, Dia mesti baru dan tentu membutuhkan pencipta yang membuatnya mengada untuk baru. Perkara ini akan tasalsul tak berujung, dan itu batil. Atau dengan kata lain, jika sudah tegas bahwa alam semesta ini huduts dan membutuhkan pencipta yang meng-ada-kannya secara baru, lalu penciptanya itu ternyata tidak ada, tentu jelas-jelas mustahil. Karena alam semesta ini bukan ada dengan sendirinya, tidak pula bias menciptakan wujud lain sehingga ia menjadi yang mesti ada. Inilah makna Qidam. Lalu seandainya sifat-sifat Allah Ta’ala tidak qidam, pasti sifat-sifatn-Nya itu huduts, dan ini batil. Sebab, bila sifat-sifat-Nya huduts, tentu akan menuntut kebaharuan Dzat Allah Ta’ala. Karena, segala sesuatu yang dzatnya tidak menjadi nyata tanpa yang baru berarti ia baru. Sedangkan keterdahuluan Allah Ta’ala sudah terdahulu.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bersifat wajib Qidam adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,”(QS. Al-Hadid 57:3) dan firman Allah Ta’ala, “(Yang memiliki sifat-sfat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.”(QS. Al-An’am 6:102)

Sifat ketiga yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah al-Baqa’ (kekal abadi), yaitu tiada penghabisan wujud. Artinya, keberadaan Dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala tidak berakhir dan tidak berhenti. Kebalikannya adalah al-Fana’ (rusak, berakhir). Allah Ta’ala mesti bersifat baqa’ dalam Dzat dan sifat-sifat, dan Dia mustahil fana’. Dalil akalnya adalah, seandainya Dzat Allah Ta’ala bisa rusak dan berakhir, tentu Dia adalah yang baru. Sebab, sejatinya yang qadim itu mesti adanya serta tidak akan rusak dan berakhir. Demikian pula sifat-sifat-Nya. Jika sifat-sifat-Nya itu bisa rusak dan berakhir, tentu sifat-sifat-Nya itu adalah baru, dan kebaruan sifat ini menuntut kebaruan dzat, karena kelaziman bagi yang baru adalah kebaharuan. Sementara Allah sudah jelas qadim (terdahulu).

Adapun dalil naqlli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat baqa’ adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir..”(QS. Al-Hadid 57:3) dan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah..”(QS. Al-Qashash 28:88)

Sifat keempat  yang mesti ada pada Allah ta’ala adalah mukhalafah lil-hawaditsi (berbeda dari semua yang selain Dia). Artinya, Allah tidak serupa dengan sesuatu pun yang selain Dia, tidak dalam Dzat-Nya, tidak dalam sifat-sifat-Nya, dan tidak pula dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Dzat Allah bukan jisim, tidak pula menempati atau bersandar pada jisim. Allah tidak di atas atau di bawah sesuatu, tidak di belakang atau samping kiri dan kanan sesuatu. Tidak disifati dengan gerak atau diam dan bagian-bagian yang dimiliki oleh makhluk. Allah tidak mempunyai tangan, mata, telinga atau ciri-ciri makhluk yang lainnya. Adapun keterangan yang ada di dalam al-Qur’an atau hadis yang mengungkapkan seolah-olah Allah serupa dengan makhluk, seperti yadullah fauqa aydihim (tangan Allah di atas tangan mereka), harus ditakwil dari makna lahiriahnya yang bersifat umum.

Ilmu Allah tidak seperti ilmu kita. Pengetahuan Allah tidak diambil dari dalil, tidak pula muncul karena darurat. Allah tidak lupa atau lalai, tidak pula bodoh. Kuasa Allah tidak membutuhkan alat atau sarana. Allah berkehendak tidak karena maksud tertentu. Hidup Allah tidak dengan ruh (nyawa) seperti hidup kita. Pendengaran dan penglihatan Allah tidak dengan indera. Kalam Allah tidak dengan suara atau huruf sebagai lambang suara, dan Allah tidak diam. Perbuatan Allah Ta’ala tidak dengan anggota tubuh, tidak pula sekedar gurauan. Sungguh, Mahasuci Allah dari semua itu. Adapun kebalikan dari sifat mukhalafah lil-hawaditsi adalah mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan yang selain Dia).

Dalil aqli yang menunjukkan kemestian Allah bersifat tidak serupa dengan segala yang selain Dia adalah, bila Allah serupa dengan sesuatu dari yang selain Dia, entah Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya ataupun perbuatan-perbuatan-Nya, tentu Allah juga baru seperti sesuatu yang selain Dia itu. Dan ini sungguh batil.

Sedangkan dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura 42:11)

Sifat kelima yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri). Artinya, Allah Ta’ala tidak membutuhkan tempat atau dzat untuk mengada, tidak pula membutuhkan sesuatu pun untuk menegaskan keberadaan-Nya. Kebalikannya adalah Ihliyajuhu ila dzatin aw murajjahin (butuh terhadap dzat atau sesuatu yang mewujudkan). Dalil aqli yang menunjukkan kenyataan bahwa Allah Ta’ala mandiri adalah, seandainya Allah butuh tempat, berarti Allah adalah sifat. Sementara sifat tidak bisa disifati dengan sifat-sifat. Dan Allah sudah jelas disifati dengan sifat Qudrah (Kuasa), Iradah (Berkehendak) dan lainnya. Kemudian bila Allah butuh pada sesuatu yang membuatnya mengada, berarti Allah baru, dan ini sungguh keliru, karena Allah Ta’ala bersifat Qidam.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat Mandiri adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Al-Ankabut 29:6). Allah Ta’ala juga berfirman, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji).”(QS. Fathir 35:15)

Sebagaimana Allah tidak butuh terhadap tempat, Dia juga tidak membutuhkan segala bentuk kemanfaatan, tidak pula tujuan di dalam semua perbuatan dan ketetapan-Nya. Benar bahwa perbuatan dan ketetapan Allah mengadung berbagai hikmah dan kemaslahatan, tetapi manfaat semua hikmah dan kemaslahatan itu bagi makhluk, sebagai kemurahan dan kebaikan Allah kepada makhluk-Nya. Bukan berarti bahwa hikmah dan kemaslahatan itu bermanfaat bagi Allah Ta’ala. Ketaatan kita sama sekali tidak bermanfaat bagi Allah. Demikian juga maksiat kita tidak membahayakan Allah. Perintah dan larangan yang Allah gariskan kepada kita, manfaat dan bahayanya akan kembali kepada kita juga.

Allah sama sekali tidak membutuhkan manfaat dari semua perintah dan larangan-Nya terhadap kita. Betapa tidak, Allah sungguh tidak membutuhkan sesuatu pun dari makhluk. Ada banyak sekali kesaksian yang menunjukkan hal ini di dalam Alqur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang salih maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri.”(QS. Fushshilat 41:46). Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri..”(QS. Al-Isra’ 17:7), Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sungguh Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Al-‘Ankabut 29:6).

Allah sungguh Mahakaya dan tidak membutuhkan apa pun selain Dia. Dilihat dari sudut pandang akal, jika Allah membutuhkan manfaat dari ketaatan hamba-Nya, niscaya Allah hanya akan menciptakan ketaatan dan tidak menciptakan kemaksiatan. Jika tidak, berarti Allah tidak mampu menangkal sesuatu yang membahayakan-Nya, dan ini mustahil.

Kesimpulannya, Allah sungguh tidak membutuhkan seluruh bentuk kemanfaatan dari semua yang selain Diri-Nya. Dan Dialah yang menunjukkan makhluk yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Sifat keenam yang mesti ada pada Allah Ta’ala adlah al-Wahdaniyyah, yaitu tiada berbilang. Sifat wahdaniyyah atau ketidakberbilangan Allah ini terpilah dalam tiga bagian. Pertama, tidak berbilang dalam Dzat-Nya. Maksudnya, Dzat Allah tidak tersusun dari bagian-bagian dan tidak ada bandingan bagi Dzat-Nya. Kedua, tidak berbilang di dalam sifat-sifat-Nya. Maksudnya, Allah tidak bersifat dengan dua sifat sejenis atau lebih. Misalnya, Allah bersifat dengan dua sifat Qudrah, dua sifat Iradah atau dua sifat ‘Ilmu. Dan tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang sama seperti sifat Allah. Ketigatidak berbilang di dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Artinya, Allah-lah Yang menciptakan secara bebas segala sesuatu yang mungkin mengada, entah dzat, sifat maupun perbuatan. Allah Ta’ala berfirman, “..Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”(QS. Ash-Shaffat 37:96). Tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya di dalam semua itu. Matahati, bulan, bintang, air, debu, udara, api dan lainnya, semuanya tidak ada yang berpengaruh terhadap lainnya. Demikian juga makanan tidak akan membuat kenyang dan pisau tidak bisa memotong tanpa kehendak Allah.

Suatu tindakan bebas seorang hamba, adalah ciptaan Allah, bukan milik hamba. Allah menciptakan perbuatan itu dengan qudrah-Nya berbarengan dengan kemampuan hamba untuk melakukannya, bukan karena kemampuan hamba. Hamba sama sekali tidak memiliki kuasa, yang ada padanya hanya usaha (al-kasb). Al-kasb adalah keselarasan al-qudrah al-haditsah (kuasa yang baru muncul) terhadap al-maqdur (objek) ketika al-maqdur itu menjadi tujuan. Saat itu Allah memunculkan tidakan, dengan mewujudkan musabbab (akibat) ketika ada sebab. Meskipun yang tampak secara lahiriah sepertinya si hambalah yang menjadi pelaku, seperti api yang secara lahiriah tampak membakar. Dari sini dipahami bahwa sesungguhnya pahala merupakan kemurahan Allah Ta’ala, dan siksa murni merupakan keadilan-Nya. Allah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas pebuatan-perbuatan-Nya, kitalah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan kita. Sebab, Allah Ta’ala berbuat sesuatu dengan perbuatan hamba-Nya.

Apabila Anda memahami hal ini, Anda akan tahu bahwa perbuatan yang diupayakan hamba (ikhtiyariyyah) hanya merupakan tanda-tanda syara’ atas pahala atau siksa yang diciptakan Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, untuk menunjukkan apa yang Allah kehendaki bagi mereka di akhirat. Semua hamba dimudahkan oleh perbuatan Allah untuk mencapai tujuan mereka.

Jika ditanyakan, “Apabila Allah yang menciptakan perbuatan hamba, berarti Dialah yang berdiri, duduk, makan, minum dan lain sebagainya?” Jawabannya, “Pendapat ini sungguh bodoh dan tolol. Karena, yang disifati dengan sesuatu adalah ia yang dengan sesuatu itu menjadi, bukan yang menciptakan sesuatu itu. Apakah tidak Anda lihat, Allah-lah Yang menciptakan putih, hitam dan lain sebagainya, tetapi bukan berarti Allah disifati dengan putih atau hitam.

Kebalikan dari sifat wahdaniyyah adalah ta’addud (berbilang), dalam dzat, sifat maupun perbuatan. Dalil yang menunjukkan ketunggalan Allah dalam Dzat-Nya diambil dari dalil tentang kemestian Allah bersifat mukhalafah lil-hawaditsi. Sebab jika Dzat Allah itu tersusun, berarti ia serupa dengan hawadits dan membutuhkan sesuatu yang menyusunnya. Dengan demikian berarti Dia baru, dan itu mustahil.

Dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam sifat-sifat-Nya adalah kenyataan bahwa Allah tidak bersifat dengan dua sifat yang sejenis. Sebab jika sifat-Nya itu berbilang, tentu sifat-Nya itu baru, padahal sudah ditegaskan bahwa sifat-Nya itu terdahulu.

Dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam Dzat dan sifat-Nya adalah kenyataan bahwa Allah tidak berbanding di dalam Dzat-Nya dan tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bersifat dengan sifat-sifat-Nya. Adapun dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam perbuatan-Nya, yakni kenyataan tidak adanya sesuatu pun selain Dia yang bisa menciptakan perbuatan, itu karena keberbilangan di dalam perbuatan berarti persekutuan. Dan persekutuan merupakan aib serta kekurangan, karena menunjukkan kelemahan. Sedangkan ketunggalan dan ketidakberbilangan adalah sifat kesempurnaan. Semakin besar kuasa seorang raja, akan semakin besar pula kebenciannya terhadap sekutu yang menyainginya. Lalu bagaimana pendapat Anda berkenaan dengan kerajaan dan kekuasaan Allah Yang ketuhanan-Nya menuntut penguasaan mutlak? Bayangkan seandainya di dunia ini ada dua Tuhan dan salah satunya ingin mengalahkan yang lain. Apabila yang satu ini sanggup mengalahkan saingannya, berarti yang kalah itu lemah dan fakir, dan tentu dia bukan Tuhan. Lalu apabila yang satu itu tidak dapat mengalahkannya, berarti dia yang lemah, dan itu berarti dia bukan Tuhan, tetapi yang kedualah yang tuhan.

Selain dalil aqli, ada banyak dalil naqli yang disebutkan di dalam Alqur’an tentang ketidakberbilangan Allah Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah 2:163)

Allah Ta’ala berfirman, “Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan.”(QS. Al-Anbiya’ 21:22)

Allah Ta’ala berfirman, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) berserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.”(QS. Al-Mu’minun 23:91)

Semua rasul Allah dan kitab-kitab-Nya telah menyatakan kemestian Allah bersifat tidak berbilang. Seperti diungkapkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?””(QS. Az-Zukhruf 43:45). Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhak (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.”(QS. Al-Anbiya’ 21:25)

Sifat-sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala sudah enam sifat yang kami uraikan. Sifat yang pertama, yakni wujud, merupakan sifat nafsiyyah. Sedangkan lima sifat yang dibahas setelahnya merupakan sifat-sifat salabiyyah, karena sifat-sifat ini menunjukkan penafian perkara-perkara yang tidak layak adanya pada Allah Ta’ala. Sifat qidam (terdahulu) meniadakan sifat huduts (kebermulaan). Sifat Baqa’ (kekal tak berakhir) meniadakan sifat fana’ (rusak dan berakhir). Sifat al-mukhalafahh lil-hawaditsi (berbeda dengan yang selain Dia) meniadakan sifat al-mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan yang selain Dia). Sifat qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri) meniadakan iftiqar ilal-mahalli wal-fa’ili (membutuhkan tempat dan pencipta). Dan sifat wahdaniyyah (tunggal) meniadakan sifat ta’addud (berbilang), baik dalam dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya.

Sifat ketujuh yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah qudrah, yaitu sifat kuasa yang ada tanpa mula dan lekat pada dzat Allah Ta’ala. yang dengannya Allah mewujudkan atau meniadakan segala sesuatu yang mumkin sesuai dengan kehendak-Nya, entah hal yang mumkin itu umum maupun rinci, berupa jisim (materi) maupun sifat. Yang mumkin itu meliputi sesuatu yang bersebab. Misalnya, tingkah kita yang diupayakan, seperti gerak atau diam kita ketika adanya sabab (Sabab adalah hubungan antara al-qudrah al-haditsah (kemampuan makhluk) dan al-maqdir (objek kemampuan) menurut hukum keterkaitan). Atau peristiwa terbakar ketika api menyentuh sesuatu, atau kenyang setelah makan dan sejuk setelah minum. Selain meliputi sesuatu yang ber-sabab, hal mumkin juga meliputi sesuatu yang tidak ber-sabab, seperti adanya langit dan bumi. Sungguh, tidak ada sesuatu pun selain Allah Ta’ala yang memiliki pengaruh terhadap sesuatu, sebagaimana telah kami terangkan di muka.

Kami menggunakan kata dengan sifat itu…, bukan dengan kata karena sifat itu…, untuk menunjukkan bahwa pengaruh itu milik Dzat Allah, bukan milik qudrah. Barangsiapa menyandarkan pengaruh itu kepada qudrah secara hakiki, berarti dia kufur.

Ada sebagian orang awam yang berkata, “Al-Qudrah (kuasa) itu menentukan, maka lihatlah apa yang diperbuat qudrah.” Apabila pendapat itu muncul dari keyakinan dan kesengajaan, maka dia kafir karena keyakinan ini mengandung kemusyrikan, sebagaimana kafirnya orang yang berkeyakinan api ialah yang membakar, atau rotilah yang membikin kenyang dan pisaulah yang menimbulkan potongan. Namun bila tidak berkeyakinan seperti itu, dia tidak kafir.

Yang wajib bagi kita adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala bersifat qudrah yang qudrah-nya itu berkaitan dengan semua yang mumkin. Kebalikan dari sifat qudrah (kuasa) adalah ‘ajzu (lemah), yakni tidak kuasa atas segala yang mumkin.

Akal telah menunjukkan kemestian adanya sifat qudrah pada Allah Ta’ala, dan bahwa sifat qudrah-Nya itu berkaitan dengan semua maujud. Semua maujud selain Dia adalah hadits, yang didahului ketiadaan, sebagaimana telah kami kemukakan. Setiap yang baru sudah pasti harus ada yang menciptakan. Yang menciptakan sudah pasti harus mempunyai kuasa yang dengannya dia mewujudkan atau meniadakan. Sebab tidak mungkin ada pengaruh tanpa ada kuasa. Jika Dia tidak kuasa, tentu Dia lemah. Dan jika Dia lemah, tentu tidak ada sesuatu pun dari alam ini. Karena itu, Allah Ta’ala niscaya bersifat qudrah. Apabila qudrah Allah Ta’ala itu hanya berkaitan dengan sebagian yang mumkin dan tidak berkaitan dengan sebagian lainnya, berarti qudrah Allah itu hadits, karena membutuhkan mukhashshish (yang mengkhususkan). Hali itu tidak mungkin, sebab qudrah Allah Ta’ala itu terdahulu dengan ke-terdahulu-an Dzat-Nya.

Selain dalil akal, ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian adanya sifat qudrah pada Allah Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu [QS. Al-Baqarah 2:20].”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa [QS. Fathir 35:44].” Allah Ta’ala berfirman, “Adakah pencipta selain Allah?[QS. Fathir 35:3].” Dan Allah pun berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (bi-qadarin) [QS. Al-Qamar 54:49].” Para nabi a.s. pun tidak mengingkari hal ini.

Kesimpulannya, segala sesuatu pada mulanya bergantung kepada Allah Ta’ala tanpa perantara berdasarkan pilihan, baik menurut akal, dalil Al-Qur’an dan hadis, maupun menurut ijma’.

Sifat kedelapan yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah iradah (berkehendak). Iradah merupakan sifat wujud terdahulu yang ada secara nyata pada Dzat Allah Ta’ala. Dengan sifat-Nya in Allah Ta’ala memberi karakter khusus pada sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya, karakter yang berbeda dari karakter yang Dia khususkan pada sesuatu lainnya yang saling berlawanan. Maka, segala sesuatu yang diketahui ada dan tiadanya merupakan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sesuatu pun yang nyata di kerejaan Allah Ta’ala selain yang dikehendaki-Nya.

Kami menggunakan kata merupakan sifat yang dengannya…, bukan kata merupakan sifat yang karena…, itu untuk menunjukkan bahwa kuasa memberikan karakter khusus itu milik Dzat, bukan sifat.

Di alam ini, hal yang saling berlawanan itu ada enam. Yaitu, ada-tiada, ukuran, sifat, zaman, tempat dan arah. Segala sesuatu yang mumkin (semesta alam), memiliki kemungkinan untuk menerima secara sama masing-masing kategori berlawanan itu. Masing-masing pihak dari dua hal berlawanan itu tidak lebih utama untuk diterima daripada yang lainnya. Allah Ta’ala mengkhususkan sesuatu dengan ada sebagai ganti dari kebalikannya, yakni tiada, atau Dia mengkhususkannya dengan tiada sebagai ganti dari kebalikkannya, yakni ada. Hal mumkin memiliki potensi untuk menerima kekhususan tersebut secara sama, antara menerima ada dan tiada.

Allah juga mengkhususkan al-mumkin dengan ukuran tertentu seperti, panjang-pendek dan besar-kecilnya. Lalu mengkhususkannya dengan sifat tertentu sebagai ganti dari sifat kebalikannya, seperti hitam sebagai ganti dari putih atau merah, gerak sebagai ganti dari diam, atau mengetahui sebagai ganti dari tidak mengetahui. Allah juga mengkhususkannya dengan keberadaannya pada masa tertentu sebagai ganti dari keberadaannya pada masa sebelumnya atau sesudahnya. Misalnya, sesuatu itu ada pada jam sekian pada hari tertentu di bulan anu pada tahun tertentu, sebagai ganti dari keberadaannya pada masa sebelum atau sesudahnya. Selain itu, Allah juga mengkhususkan sesuatu itu dengan keberadaannya di tempat tertentu dan tidak di tempat lain, misalnya berada di Bolaq, tidak di Irak. Kemudian Allah juga mengkhususkannya dengan keberadaannya di arah tertentu, seperti di timur atau di barat.

Karena itu, kita wajib meyakini benar bahwa Allah Ta’ala berkehendak yang kehendak-Nya itu berkaitan dengan seluruh al-mumkinat (semesta selain Dia). Kebalikan dari sifat iradah adalah karahah (terpaksa).

Akal telah menunjukkan kemestian Allah Ta’ala memiliki sifat berkehendak dan mustahil terpaksa, dan bahwa kehendak-Nya itu berkaitan umum dengan seluruh makhluk. Seandainya Allah Ta’ala tidak berkehendak, tentu Dia terpaksa. Dalam hak Allah Ta’ala, terpaksa merupakan kekurangan (ketidaksempurnaan), sedangkan berkehendak merupakan kesempurnaan. Dan kekurangan merupakan sifat yang mustahil ada pada Allah. Selain itu, jika Allah Ta’ala tidak berkehendak dan tidak merdeka menentukan pilihan, berarti Dia terpaksa dan terjajah. Dan itu berarti Allah tidak kuasa. Padahal telah jelas dan tegas argumen kemestian Allah Ta’ala bersifat kuasa, dan bahwa kuasa-Nya itu meliputi seluruh mumkinat.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian adanya sifat iradah pada Allah Ta’ala adalah firman-Nya, “Dan jika Tuhanmu mengehendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?[QS. Yunus 10:99].”

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia [QS. An-Nahl 16:40].” Tidak ada perbedaan antara al-masyi’ah dan al-iradah.

Ketahuilah bawah qudrah dan iradah tidak berkaitan dengan hal yang wajib adanya atau yang musthil adanya. Qudrah dan iradah hanya berkaitan dengan segala sesuatu yang mumkin. Kami tidak akan menjelaskannya di sini karena terlalu bertele-tele.

Kesimpulannya, kita wajib meyakini dan menegaskan bahwa segala sesuatu yang digelar di kerajaan Allah dari ketiadaan menjadi ada adalah makhluk yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya di zaman azali. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, pasti tidak akan terjadi. Sungguh, Dia Sang Penguasa taufiq.

Sifat kesembilan yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah al-’ilmu (mengetahui). Sifat mengetahui merupakan sifat terdahulu yang ada bersamaan keberadaan Dzat-Nya. Pengetahuan Allah Ta’ala terhadap sesuatu apa adanya bersifat meliputi dan tidak terdahului oleh kesamaran. Yang dimaksud sesuatu di sini mencakup semua yang wajib adanya, yang mustahil adanya dan yang mungkin adanya, keseluruhannya dan bagiannya, secara umum maupun terperinci. Dengan ilmu-Nya yang terdahulu, Allah Ta’ala mengetahui Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya, mengetahui ketidakadaan hal yang mustahil bagi-Nya, seperti kemustahilan Dia bersifat baru, lemah dan mempunyai sekutu. Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu apa adanya di zaman azali serta kemenjadiannya di masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kebalikan dari al-’ilmu adalah al-jahl (tidak mengetahui) dan yang semakna dengannya, seperti zhann (menyangka), syakk (meragu), wahm (menduga), ghaflah (lalai), nisyan (lupa) dan sahwu (keliru).

Dalil yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui dan mustahil Dia bersifat tidak mengetahui adalah kenyataan bahwa tidak mengetahui merupakan sifat ketidaksempurnaan bagi Allah Ta’ala. Sifat ketidaksempurnaan merupakan hal yang mustahil ada pada Dzat Allah Ta’ala, Allah mesti suci darinya. Allah Ta’ala mesti disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan, yang di antaranya adalah sifat mengetahui. Selain itu, kita juga sungguh menyaksikan alam raya yang demikian agung dan indah, tertata dengan sistem-sistem hukumnya yang rumit, berikut aktivitas dan bentuk-bentuk yang sempurna dan indah. Di dalamnya banyak sekali kreasi yang amat menakjubkan, hukum-hukum, kemanfaatan-kemanfaatan dan berbagai keindahan yang bahkan tidak bisa ditelusuri akal secara menyeluruh. Itu semua pasti diciptakan oleh Sang Kreator Yang Mahatahu dan Mahabijaksana.

Ketika kita melihat tulisan yang bagus atau mendengar kata-kata yang indah, yang muncul dari makna-makna yang mendalam, kita tentu tahu bahwa yang membuatnya pasti orang yang pintar. Demikian pula ketika manusia memandang langit atau memandang dirinya sendiri, merenungi hubungan antara alam atas dan alam bawah, mengamati dunia binatang yang amat beragam, mengamati bagaimana perilaku mereka, bagaimana mereka membangun sarang, berburu makan di gunung-gunung dengan perangkat tubuh yang sesuai dengan kebutuhannya, tentu ia tidak akan ragu bahwa Dia Yang Menciptakan semua itu sungguh Mahatahu dan Mahabijaksana.

Allah mesti bersifat mengetahui, dan pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu secara seluruh, tidak sekadar meliputi sebagian tanpa sebagian lainnya. Sebab, jika pengetahuan-Nya tidak meliputi keseluruhan dan hanya sebagian, tentu Dia jahl (tidak mengetahui), dan ini sungguh batil.

Ada banyak sekali dalil  dari Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui. Di anatranya adalah firman Allah Ta’ala “…Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS. Al-Anfal 8:75].”

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan DIa Maha Halus lagi Maha Mengetahui? [QS. Al-Mulk 67:14]”

Allah Ta’ala berfirman, “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan, Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati [QS. At-Taghabun 64:4].”

Demikian pula para rasul telah bersepakat akan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui. Seperti ditegaskan di dalam Al-Qur’an, “(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka): “Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)-mu?” Para rasul menjawab: “Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib [QS. Al-Ma’idah 5:109].” Maksudnya adalah, pada Hari Kiamat Allah Ta’ala berfirman kepada para rasul, “Apa jawaban umat kalian terhadap kalian? Bagaimana penerimaan mereka terhadap kalian saat kalian mengajak mereka untuk mengesakan Aku dan menaati-Ku?” Lalu para rasul berkata, “Pengetahuan kami tentang mereka tidak seperti pengetahuan-Mu tentang mereka, Engkau sungguh Maha Mengetahui alam-alam gaib. Engkau sungguh mengetahui apa pun yang mereka sembunyikan dan apa pun yang mereka tampakkan, sedangkan kami hanya mengetahui apa yang mereka tampakkan. Pengetahuan-Mu tentang mereka lebih meliputi dan lebih sempurna daripada pengetahuan kami.”

Sifat kesepuluh yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah al-hayat (hidup)Al-hayat yang mesti adanya pada Allah Ta’ala merupakan sifat wujudi terdahulu yang ada dengan keberadaan Dzat-Nya, yang merupakan syarat mutlak bagi adanya sifat al-qudrah, al-iradah, al-’ilm, as-sama’, al-bashar dan al-kalam. Sifat hayat Allah Ta’ala tidak berkaitan dengan apa pun. Kebalikannya adalah al-maut (mati).

Dalil akal yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup dan mustahil mati adalah kenyataan bahwa hidup merupakan sifat kesempurnaan, sedangkan maut merupakan sifat kekurangan. Allah Ta’ala mesti suci dari semua sifat kekurangan dan mesti bersifat sempurna. Karena itu Allah Ta’ala mesti bersifat hidup. Lalu, seandainya Allah tidak bersifat hidup, niscaya tidak sah Dia bersifat kuasa dan memiliki sifat-sifat sempurna lainnya.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan selain Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam [QS. Al-Mu’min 40:65].”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa ham-hamba-Nya [QS. Al-Furqan 25:58].” Demikian pula para rasul dan seluruh orang berakal menyatakan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup.

Sifat kesebelas yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah as-sama’ (mendengar)as-sama’ merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah dan berkaitan dengan semua maujud secara utuh apa adanya, yang keterkaitannya dengan semua itu lain dari keterkaitan ilmu dan bashar-Nya. Kaitan sifat sama’ Allah dengan maujud bukan merupakan kaitan sifat ilmu-Nya dengan maujud, sebagaimana maklum kita saksikan sifat itu pada makhluk.

Kita wajib meyakini bahwa ilmu Allah mustahil tercemari kesamaran, pada semua segi. Dan keberlainan antara kaitan pendengaran-Nya dan kaitan pengetahuan-Nya dengan semua maujud, itu bukan seperti yang kita bayangkan, bahwa kejelasan yang dihasilkan dari penglihatan itu lebih banyak daripada kejelasan dengan ilmu, karena semua sifat Allah Ta’ala sungguh sempurna, mustahil tercemar oleh kesamaran, kekurangan dan tambahan. Apabila sifat Allah tidak sempurna demikian, tentu sifat-sifat-Nya itu serupa dengan sifat-sifat hawadits dan menuntut kebaharuan Dzat-Nya. Padahal sebagaimana telah kami jelaskan bahwa Allah Ta’ala bersifat qadim dan mustahil bersifat huduts.

Maksud ungkapan kami, “…berkaitan dengan semua maujud”, adalah bahwa pendengaran Allah berkaitan dengan semua maujud secara utuh dan menyeluruh, entah maujud itu terdahulu maupun baru, dzat maupun sifat. Dan pendengaran-Nya itu tidak hanya menangkap suara. Berbeda dengan pendengaran kita yang umumnya hanya menangkap suara, meskipun terjadinya perbedaan pendengaran di antara kita juga merupakan hal yang lazim terjadi. Seperti yang terjadi pada Rasulullah saw. yang mendengar kalam Allah Ta’ala yang qadim. Tidak diragukan bahwa kalam Allah Ta’ala yang didengar Rasulullah saw. itu bukan suara.

Allah Ta’ala mesti bersifat sama’, dan mustahil Dia bersifat kebalikannya, yakni al-shamam (tuli). Dalilnya menurut akal, setiap yang hidup pasti punya salah satu dari dua sifat berlawanan tersebut, mendengar atau tuli. Dan jika Allah disifati dengan sifat tuli, itu sungguh merupakan kekurangan dalam hak-Nya. Karena itu Allah Ta’ala mesti bersifat mendengar, karena mendengar merupakan sifat kesempurnaan dalam hak Allah Ta’ala.

Ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mendengar dan mustahil tuli. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [QS. Asy-Syura 42:11].”

Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat [QS. Thaha 20:46].”

Di dalam kitab ash-Shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Rendahkanlah suara kalian. Sungguh kalian tidak sedang berdoa kepada si tuli yang tiada. Kalian sedang berdoa kepada Dia Yang Maha Mendengar nan Maha Melihat.” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Dan para ahli Filosuf pun telah sepakat bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat sama’.

Sifat kedua belas yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah al-bashar (melihat)Al-bashar merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah dan berkaitan dengan semua maujud secara utuh apa adanya, yang berkaitannya dengan semua itu lain dari keberkaitan ‘ilmu dan sama’-Nya. Allah Ta’ala melihat semua maujud secara utuh dan menyeluruh, entah yang qadim maupun yang hadits, yang berupa dzat maupun sifat. Kebalikannya adalah al-’umyu (buta). Dalil yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat melihat dan mustahil buta, dalil aqli maupun naqli, telah kami ungkapkan di dalam penjelasan tentang sifat sama’-Nya. Kami tidak perlu mengulangnya di sini.

Sifat ketiga belas yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah al-kalam (berfirman). Al-kalam merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah Ta’ala, berkaitan dengan semua yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin. Keberkaitannya dengan semua itu adalah ta’alluq dilalah (penunjukkan).

Kami sudah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala berbeda dengan makhluk, dalam dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dan sifat kalam Allah tentu berbeda dengan sifat kalam makhluk. Sifat kalam Allah tidak dengan huruf, tidak pula dengan suara. Kalam Allah tidak bermula dan tidak berakhir. Kalam Allah tidak mengenal diam, tidak pula rusak seperti bicara anak kecil atau orang yang gagu atau seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk. Sebab, jika kalam Allah Ta’ala tidak sempurna, tentu sifat kalam-Nya baru seperti sifat-sifat kita. Padahal sebagaimana telah ditegaskan bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat qidam (terdahulu), Dzat-Nya maupun sifat-sifat-Nya.

Ketahuilah bahwa kalam Allah Ta’ala bersifat satu, seperti sifat-sifat Dia yang lainnya, sebagaimana telah kami terangkan pada penjelasan sifat wahdaniyyat-Nya. Hanya saja, sifat kalam Allah berargam dengan keragaman relasinya. Apabila berkaitan dengan tuntutan mengerjakan shalat atau menunaikan zakat misalnya, maka sifat kalam-Nya itu amar (perintah), seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.. [QS. Al-Baqarah 2:43].” Apabila berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan zina, membunuh tanpa hak dan menggunjing misalnya, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman nahyi (larangan). Seperti di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan jangalah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk [QS. Al-Isra 17:32].” Atau di dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar… [QS. Al-Isra 17:33].” dan di dalam firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, susungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…[QS. Al-Hujurat 49:2].”

Apabila berkaitan semisal Nabi Musa mengerjakan sesuatu, maka sifat kalam Allah memberi kefahaman khabar (berita). Seperti firman Allah Ta’ala, “Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata [QS. Asy-Syu’ara’ 26:32].”

Apabila berkaitan dengan ketentuan bahwa orang yang taat akan beroleh surga, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman al wa’d (janji). Seperti firman Allah Ta’ala, “…dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa [QS. Ali ‘Imran 3:133].”

Apabila berkaitan dengan ketentuan bahwa orang yang bermaksiat akan masuk ke neraka, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman al-wa’id (ancaman). Seperti firman Allah Ta’ala, “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir [QS. Ali ‘Imran 3:131].”

Selain ragam sifat kalam tersebut, masih ada ragam sifat kalam lainnya sesuai dengan keragaman relasinya.

Kebalikan dari sifat kalam adalah al-bukmu (bisu). Dalil akal yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat kalam dan mustahil bisu adalah kenyataan bahwa bisu merupakan sifat kekurangan yang tidak mungkin ada pada Allah Ta’ala. Allah mesti bersifat kalam yang merupakan sifat kesempurnaan. Dalil naqli-nya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung [QS. An-Nisa’ 4:164].” Dalil naqli ini sudah mayshur di kalangan para nabi dan para rasul. Demikian pula ulama sepakat bahwa Allah Ta’ala mutakallim (berfirman).

CATATAN

  1. Sifat yang tujuh dari dua puluh sifat yang mesti ada pada Allah Ta’ala, yakni al-qudrah (kuasa), al-iradah (berkehendak), al-’ilmu (mengetahui), al-hayat (hidup), as-sama’ (mendengar), al-bashar (melihat) dan al-kalam (berfirman) disebut sifat ma’ani, karena sifat-sifat itu nyata adanya, yang sekiranya penghalang antara kita dan Allah disingkapkan atau dihilangkan, niscaya kita dapat melihatnya. Telah jelas di muka bahwa sifat ma’ani adalah semua sifat yang nyata adanya.
  2. Dari penjelasan yang telah kami uraikan, Anda paham bawah sifat-sifat memiliki ta’alluq (kaitan dengan maujud) yang tidak sama. Sifat qudrah berkaitan dengan semua yang mumkin dari segi ta’tsir (pengaruh), sedangkan iradah berkaitan dengan semua yang mumkin dari segi takhshish (pengkhususan). Sifat ‘ilmu berkaitan dengan yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin dalam bentuk al-ihathah (meliputi) dan al-inkisyaf (ketersingkapan). Sedangkan sifat kalam berkaitan dengan yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin dalam bentuk dilalah (penunjukkan). Sifat sama’ (mendengar) dan bashar (melihat) berkaitan dengan semua yang maujud yang wajib dan mungkin dalam bentuk inkisyaf (ketersingkapan). Sedangkan sifat hayat (hidup) tidak berkaitan dengan segala sesuatu. Karena hayat tidak menuntut sesuatu yang lebih daripada Dzat-Nya.
  3. Adapun sifat kaunuhu qadiran (kenyataan Allah Mahakuasa), kaunuhu muridan (kenyataan Allah Berkehendak), kaunuhu ‘aliman (kenyataan Allah Mengetahui), kaunuhu hayyan (kenyataan Allah Hidup), kaunuhu sami’an (kenyataan Allah Mendengar), kaunuhu bashiran (kenyataan Allah Melihat) dan kaunuhu mutakalliman (kenyataan Allah berfirman), itu semua merupakan sifat-sifat ma’nawiyyah, yakni sifat-sifat yang dinisbatkan pada sifat ma’ani. Karena berdasarkan akal, penyifatan dengan sifat-sifat tersebut merupakan cabang dari penyifatan dengan sifat-sifat ma’ani. Penyifatan Dzat Allah dengan kaunuhu ‘aliman (kenyataan Dia Mengetahui) hanya akan sah bila Dia memiliki sifat ‘ilmu (mengetahui). Demikian pula sifat-sifat ma’nawiyah lainnya. Kami telah menjelaskan bahwa sifat-sifat ma’nawiyyah adalah semua sifat yang tetap dan menjadi kelaziman bagi sifat-sifat ma’ani.
  4. Kebalikan dari sifat-sifat ma’nawiyah tersebut (yang mesti adanya pada Allah Ta’ala) berikut dalilnya, diambil dari sifat-sifat ma’ani yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Kebalikan dari sifat kaunuhu qadiran adalah kaunuhu jahilan (kenyataan Allah tidak mengetahui). Kaunuhu jahilan merupakan sifat ma’nawiyah dari al-jahl yang merupakan sifat ma’ani. Demikian pula sifat-sifat ma’nawiyah lainnya, yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Kami tidak perlu mengulang dalilnya di sini.


Selain yang wajib dan yang mustahil, ada pula yang mungkin adanya pada Allah Ta’ala. Yang Ja’iz adanya pada Allah Ta’ala adalah fi’lu kulli mumkinin aw tarkuhu (melakukan semua yang mumkin atau tidak melakukan). Misalnya: menciptakan dzat, menciptakan sifat, menciptakan tindakan refleks atau tindakan bebas, menciptakan rezeki, menghidupkan, mematikan, memberi petunjuk, menyesatkan, menimpakan siksa, memberikan pahala dan lain sebagainya. Siksa semata-mata merupakan keadilan-Nya, dan pahala semata-mata merupakan kemurahan-Nya. Penerimaan pahala atas keimanan dan ketaatan serta penetapan siksa atas kekufuran dan kemaksiatan semata-mata merupakan pilihan bebas Allah Ta’ala. Kalaupun Allah memilih penetapan yang sebaliknya, pilihan-Nya itu tetap benar dan baik. Karena Allah Ta’ala tidak berkewajiban menciptakan sesuatu pun hal yang mumkin, tidak pula sesuatu pun hal yang mumkin itu mustahil bagi-Nya.

Dalil akal menunjukkan kenyataan tersebut. Apabila Allah Ta’ala berkewajiban menciptakan segala sesuatu yang mumkin, maka sesuatu yang mumkin itu menjadi yang wajib. Apabila sesuatu yang mumkin itu mustahil bagi Allah Ta’ala, tentu yang mumkin itu menjadi mustahil bagi-Nya. Ini sungguh batil, jelas-jelas batil.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kenyataan tersebut di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia) [QS. Al-Qashash 28:68].”

Sampai di sini tema hukum yang menjadi target uraian kami pada bab ini telah selesai. Dari uraian tersebut Anda sudah mendapat kejelasan bahwa Allah Ta’ala wajib ada-Nya sejak azali dan selama-lamanya. Telah jelas pula bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan apa pun yang selain Dia, dan bahwa segala sesuatu yang selain Dia itu sungguh membutuhkan-Nya. Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Allahlah yang memiliki pengaruh terhadap sesuatu. Sementara manusia, jin, malaikat atau makhluk-makhluk lainnya sama sekali tidak memiliki pengaruh tanpa pengaruh-Nya. Allah Mahasuci dari semua yang dirasa sebagai kekurangan, Allah suci dari sakit, lupa, ngantuk, terputus atau membutuhkan penolong, atau teman, anak, istana, kursi, pena, buku, pasukan, sekretaris, atau penjaga dan lain sebagainya. Sebaliknya, semua makhluk berada dalam kuasa paksa keagungan dan kuasa Allah Ta’ala. Allah Yang mengatur segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak sesuatu pun yang membuat Dia telah mengatur makhluk-Nya. Dia telah Ada saat sesuatu tidak ada bersama-Nya, dan Dia akan senantiasa ada apa Ada-Nya. Dia tidak berpindah, tidak berganti, tidak berubah oleh keadaan apa pun. “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan [QS. Yasin 36:82-83].”

Maka, wahai saudaraku, engkau mesti mengetahui semua yang telah kami paparkan, agar engkau menjadi bagian dari orang-orang yang selamat, bahagia, menang dan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Janganlah engkau sampai menyalahi sesuatu pun dari akidah tersebut. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi bagian dari mereka yang merugi, sesat dan menyesatkan.

Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menunjukkan kita ke jalan petunjuk dan menolong kita agar senantiasa berada pada jalan yang diridhai-Nya, sehingga kita menjadi bagian orang-orang yang bahagia di Hari panggilan Allah. Dan semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke surga bersama golongan hamba-hamba-Nya yang didekatkan, yang “doa mereka di dalamnya ialah, Subhanakallahuma, dan salam penghormatan mereka ialah ‘Salam’. Dan penutup doa mereka ialah, Alhamdulillah rabbil-’alamin [QS. Yunus 10:10].” Shalawat dan salam senantiasa melimpahi paduka kami yang mulia, Muhammad saw., serta keluarga dan para sahabatnya.[]

06. Bab II – Kenabian (Nubuwwah)

Bab ini berisi uraian tentang permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan para nabi, yang merupakan bagian kedua dari dua bagian iman. Iman tersusun dari dua bagian. Pertama, iman kepada Allah Ta’ala, yakni haditsun-nafsi yang mengikuti pengenalan sifat yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin bagi Allah Ta’ala. Uraian tentang bagian iman yang pertama ini sudah kami jelaskan pada Bab I. Adapun bagian iman yang kedua adalah iman kepada para rasul, yakni haditsun-nafsi yang mengikuti pengenalan sifat yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin bagi para rasul Allah. Yang dimaksud dengan haditsun-nafsi adalah penerimaan dan keyakinan hati akan apa yang diketahuinya walaupun kesombongan tidak bisa menghalangi dia untuk membenarkannya.

Ketahuilah bahwa rasul adalah manusia laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang diutus oleh Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, untuk menyampaikan hukum-hukum-Nya yang bersifat taklifi dan wadh’i kepada mereka. Yang dimaksud dengan hukum taklifi dan wadh’i ialah kewajiban syariat yang pasti, kenyataan sesuatu menjadi syarat, atau menjadi sebab, atau penghalang, atau sah, atau rusak, serta hal-hal lain yang menjadi ikutannya, seperti janji dan ancaman-Nya. Adapun nabi adalah manusia laki-laki merdeka yang diberi wahyu oleh Allah Ta’ala berupa syari’at yang harus diamalkannya, entah kemudian dia diperintah untuk menyampaikan syari’at yang diterimanya itu kepada yang lain maupun tidak.

Kerasulan para rasul merupakan kelembutan dan rahmat dari Allah Ta’ala yang dengannya Dia mengistimewakan hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan kenabian tidak bisa diupayakan, entah dengan riyadhah (latihan spiritual), dengan mujahadah (memerangi nafsu) maupun dengan upaya-upaya lainnya. Kenabian semata-mata merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, yang mengandung hikmah dan kemaslahatan.

Adapun jalan untuk menegaskan kerasulan, dilakukan dengan mukjizat. Mukjizat ialah perkara luar biasa yang menyalahi kebiasaan, dimunculkan untuk membenarkan dan memperkuat pengakuan kenabian para nabi. Seperti peristiwa keluarnya air dari jari-jari (Nabi Muhammad) dan peristiwa tidak terbakarnya Nabi Ibrahim saat dilempar ke dalam kobaran api. Mukjizat-mukjizat itu merupakan penegas yang amat jelas dari Allah Ta’ala akan kebenaran pengakuan kenabian para nabi.

Iman kita tidak akan sempurna sebelum kita mengenal para rasul Allah, dan iman kepada para rasul itu tidak akan didapat selain dengan mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang ja’iz bagi mereka. Karena itu di sini kami akan menguraikan sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang ja’iz adanya pada diri para rasul. 

Ada empat sifat yang mesti ada dalam diri para rasul Allah, dan empat sifat pula yang mustahil adanya pada diri mereka. Pertama, ash-shidqu (benar dan jujur) di dalam semua hal yang mereka sampaikan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Para rasul mustahil bersifat al-kidzbu (tidak benar, bohong) di dalam semua itu. Karena al-kidzbu merupakan kebalikan dari ash-shidiq.

Ash-shidq adalah kesesuaian berita yang disampaikan dengan kenyataan dan hakikat berita itu. Misalnya berita yang disampaikan mereka, “Sesungguhnya Allah Mahaesa, tidak ada selain Dia.” Mereka telah berkata benar dan jujur, karena apa yang mereka sampaikan itu sesuai dengan kenyataan. Sedangkan al-kidzbu adalah ketidaksesuaian berita dengan kenyataan dan hakikat berita itu. 

Dalil akal yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat jujur dan mustahil bersifat bohong adalah, apabila para rasul itu berbohong di dalam berita menyampaikan kepada orang lain, berarti berita dari Allah yang berupa mukjizat itu juga bohong. Karena, Allah menegaskan kebenaran seorang rasul dengan mukjizat yang Dia munculkan di tangannya. Penegasan kebenaran dengan pemunculan mukjizat ini menempati posisi penegasan kebenaran dengan firman yang tegas. Pemunculan mukjizat ini menempati posisi firman Allah Ta’ala, “hamba-Ku ini benar dan jujur di dalam setiap kabar yang disampaikannya dari-Ku.”

Apabila para rasul itu berbohong, berarti Allah Tabaraka wa Ta’ala juga berbohong dalam penegasan-Nya akan kebenaran diri mereka. Dan bohong, sungguh hal yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Sebab, berita dari Allah itu sesuai dengan ilmu-Nya, dan ilmu-Nya tidak megandung sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan, demikian pula firman-Nya. Maka nyatalah bahwa para rasul itu mustahil bersifat bohong. Karena itu mereka mesti bersifat benar dan jujur.

Selain dalil akal, ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat jujur dan mustahil bersifat bohong. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” [QS. Al.Ahzåb 33: 22] Allah Ta’ala berfirman, “Mereka berkata: ‘Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul-Nya.” [QS. Yasin 36: 52]

Sifat kedua yang mesti adanya di dalam diri para rasul Allah adalah al-amanah (terpercaya), mustahil mereka bersifat al-khiyanah (khianat)Amanah ialah menjaga diri lahir batin dari hal-hal yang terlarang, yang haram maupun yang makruh, seringan apa pun keterlarangan itu. Sedangkan khiyanah adalah kebalikannya.

Secara argumentatif akal menunjukkan kemestian para rasul bersifat amanah dan mustahil bersifat khiyanah. Kita tahu bahwa para rasul merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Allah Ta’ala, paling bertakwa kepada-Nya, paling mengenal-Nya dan paling takut kepada-Nya. Allah telah memilih dan mengistimewakan mereka lebih dari manusia lainnya. Allah menjadikan mereka sebagai duta untuk menyampaikan hukum-hukum syariat-Nya kepada umat manusia, disertai dengan penegasan kebenaran dari-Nya akan kebenaran hukum yang mereka sampaikan itu. Karena itu mereka mesti menjadi panutan bagi umat. Sungguh, Allah telah menegaskan kemestian mereka untuk diikuti tanpa komentar, dan kita diperintah untuk mengikuti semua perkataan, perbuatan dan perilaku mereka. Jika ternyata para rasul Allah itu berkhianat dengan melakukan perbuatan haram atau makruh, tentu perbuatan tersebut akan menjadi perbuatan yang diperintahkan sekaligus dilarang. Menjadi diperintahkan karena perbuatan tersebut dilakukan rasul yang menjadi panutan dan mesti kita ikuti, sekaligus dilarang karena rasul telah menyampaikan keterlarangannya. Dan ini sungguh batil, karena mengandung kontradiksi. Karena itu para rasul mestilah bersifat amanah, mustahil mereka bersifat khiyanah.

Dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu.” [QS. ad-Dukhan 44:18]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” [QS. al-Anfal 8:58]. Sebagaimana Anda ketahui, para rasul adalah orang-orang yang dicintai Allah Ta’ala, dan tentunya mereka bukan pengkhianat.

Para ulama telah sepakat tentang keterpercayaan para nabi dan rasul Allah. Mereka juga sepakat bahwa para nabi dan rasul disucikan dari segala kekurangan dan dosa. Karena itu kita wajib membenarkan keterpercayaan mereka.

Sifat ketiga yang wajib adanya dalam diri pada rasul adalah at-tabligh (menyampaikan semua yang diperintahkan Allah kepada mereka untuk mereka sampaikan kepada manusia). Mereka tidak menyembunyikan sesuatu pun dari semua yang telah Dia perintahkan kepada mereka untuk mereka sampaikan—sesuai perintah-Nya—kepada umat, entah dengan sengaja atau karena lupa, kepada sebagian umat ataupun kepada semua.

Dalil akal yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat tabligh dan mustahil menyembunyikan sesuatu dari yang telah diperintahkanNya untuk mereka sampaikan, sudah sangat jelas dari argumen kemestian mereka bersifat amanah. Sungguh, apabila mereka menyembunyikan sesuatu yang telah diperintahkan untuk disampaikan, berarti mereka telah berkhianat. Dan ini mustahil, sebab para rasul Allah sungguh terjaga dan terpelihara (ma’shum) dari sifat khianat. 

Dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.” [Qs. al-Ahzab 33:39]

Alqur’an suci telah menjelaskan kesempurnaan tabligh yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Qs. al-Ma’idah 5:3]

Sifat keempat yang mesti adanya dalam diri para rasul adalah al-fathanah (cerdas dan tidak lupa). Mustahil para rasul bersifat ghaflah (lupa) dan baladah (idiot). Rasul diutus untuk menegakkan hujjah (argumen), untuk mengatasi musuh dan membatalkan pengakuan mereka yang batil. Seandainya para rasul tidak mempunyai sifat fathanah, tentu mereka tidak akan mampu menegakkan hujjah untuk mengatasi musuh. Dan hal ini adalah keliru. 

Dalil naqli yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat fathanah adalah firman Allah Ta’ala, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [QS. al-An’am 6:83]

Allah Ta’ala juga berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. an-Nahl 16:125]. Membantah dengan cara yang terbaik hanya bisa dilakukan oleh orang yang cerdas, si tolol tentu tidak akan bisa melakukannya.

Kesimpulannya, sifat-sifat yang wajib ada dalam diri para rasul berjumlah empat sifat, yakni al-shidqal-amanahat-tabligh dan al-fathanah. Dan mereka mustahil tersifati dengan sifat-sifat kebalikannya, yakni al-kidzbual-khiyanahal-kitman dan al-baladah.

Adapun sifat yang wenang ada dalam diri para rasul adalah al-a’radh al-basyariyyah, yakni sifat-sifat manusiawi yang tidak sampai menafikan keluhuran derajat mereka. Di antaranya adalah mengalami sakit, lapar, fakir, makan, minum dan tidur. Hanya saja, meski mata para rasul itu kadang tidur, hati mereka tetap terjaga. Dalilnya sebagaimana disaksikan akal, sifat-sifat manusiawi itu nyata terjadi pada diri semua rasul Allah. Sedangkan dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” [QS. al-Furqan 25:20]. Yakni, “Engkau, wahai Muhammad, memiliki sifat manusiawi seperti mereka.”

Apa faedah kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi layaknya manusia lain? Faedahnya adalah untuk menambah kemuliaan mereka, menambah keluhuran derajat mereka dan menambah kebesaran pahala mereka. Hal ini didukung oleh kesaksian sabda Rasulullah saw., “Yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian para wali, kemudian mereka yang berderajat di bawahnya, lalu yang di bawahnya lagi.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani.

Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menimpakan ujian berat kepadanya, untuk mendengar tadharru’-nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Sya’b aliman, dan oleh ad-Dailamî di dalam Musnad al-Firdaus.

Faedah lainnya dari kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi adalah penghiburan hati dan pelipur lara bagi kita saat kita ditimpa derita yang serupa menimpa para rasul. Selain itu juga untuk memperingatkan kita akan ke-hina-an dunia dan kerendahan nilai duniawi.

Apabila seorang berakal sehat merenungi keadaan yang dialami para rasul: bagaimana rasa sakit yang mereka derita, bagaimana kemiskinan yang mereka alami dan tindakan menyakitkan yang mereka terima dari para penentangnya, tentu dia akan tahu betapa semua derita itu tidak berarti di hadapan Allah Ta’ala. Lalu dia akan berpaling dengan hatinya dari dunia ini serta menggatungkan qalbunya kepada Allah Ta’ala.

Kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi juga merupakan petunjuk dari Allah Ta’ala bahwa mereka adalah hamba-hamba-Nya. Sehingga orang-orang yang lemah tidak merasa lemah hati melihat mukjizat-mukjizat agung yang muncul di tangan para rasul.

Kami mengatakan bahwa yang mungkin adanya dalam diri para rasul itu adalah sifat-sifat manusiawi yang tidak menafikan keluhuran derajat mereka, untuk mengecualikan sifat-sifat yang dapat menghilangkan keluhuran derajat mereka, seperti buta, lepra, gila dan sifat lain yang membuat orang lari dari mereka. Atau seperti makan di tengah jalan dan perbuatan-perbuatan lain yang dinilai rendah. Atau mimpi (ihtilam) yang muncul dari setan.

07. Para Nabi dan Rasul Allah yang Wajib Diketahui

Salah satu bagian dari kewajiban orang mukallaf adalah mengetahui para nabi yang diriwiyatkan secara rinci juga berkenaan dengan para nabi yang ditutur secara rinci, mengetahui para nabi yang tidak diriwiyatkan secara rinci. Secara umum kita mesti meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai para rasul dan nabi. Tetapi kita tidak wajib mengetahui nama dan bilangan mereka secara keseluruhan, karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” [QS. al-Mu’min 40:78]

Ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahih-nya, dari Abu Dzarr al-Ghifari, yang mengisahkan bahwa Abu Dzarr pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, berapa banyak jumlah para nabi?” Rasulullah saw. menjawab, “Seratus dua puluh empat ribu.” Kemudian Abu Dzarr bertanya lagi, “Berapa banyak jumlah rasul?” dan Rasulullah saw. menjawab, “Tiga ratus tiga belas.”

Namun hadis ini tidak cukup untuk dijadikan dalil di sini. Karena kabar dari satu orang yang kesahihannya masih disangsikan dan hanya bisa sampai pada derajat zhann. Lagipula hadis ini diungkapkan bukan dalam masalah-masalah akidah, melainkan di dalam bab amaliah. 

Para rasul yang wajib kita ketahui secara rinci ada dua puluh lima. Mereka itu adalah, Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Ayyub, Syu’aib, Musa, Harun, Dzul-Kifli, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakariyya, Yahya, ‘Isa dan baginda Rasulullah Muhammad saw.

Adapun para rasul yang termasuk ulul-‘azmi, yakni yang memiliki tingkat kesabaran yang lebih dalam menanggung cobaan berat dari para penentangnya, ada lima. Penyebutan mereka terangkum dalam bait syair salah seorang ‘arif berikut ini:

Muhammad, Ibrahim, Musa Kalimullah, ‘Isa dan Nuh adalah ulul- ‘azmi. Ketahuilah!

Tingkatan keutamaan dari kelima rasul tersebut secara gradual sesuai dengan urutan penyebutan namanya. Al-Muhaqqiq al-Amir berpendapat dalam komentarnya terhadap kitab al-Jauhar, setelah merinci nama-nama nabi yang wajib diimani, “Ihwal Nabi Ilyasa’, kebanyakan orang awam tidak mengetahui namanya, apalagi kerasulannya. Secara lahir, dia seperti nabi-nabi lainnya yang diriwiyatkan secara mutawatir. Tidak mengetahuinya tidak dihukumi kafir. Tetapi menjadi kafir jika seseorang menentang kenyataan Ilyasa’ sebagai rasul setelah dia diberitahu.” Ini adalah hasil penelitian yang berharga, camkanlah!

08. Kerasulan Nabi Muhammad SAW

Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa Nabi Muhammad saw. telah mengaku diutus oleh Allah Ta’ala kepada semesta alam sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Kebenaran pengakuannya didukung oleh banyak mukjizat agung yang nampak pada diri beliau dan tidak seorang pun mampu menolaknya. Setiap orang yang mempunyai mukjizat demikian, tentu dia adalah rasul Allah. Dan itu secara tegas membuktikan bahwa Sayyidina Muhammad saw. adalah rasul Allah.

Ada banyak sekali mukjizat Nabi Muhammad saw. Di antaranya, beliau memberitahukan hal-hal ghaib yang akan terjadi di masa depan, seperti di dalam firman Allah Ta’ala, “Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” [QS. al-Rum 30:2-3]. Apa yang dikhabarkan itu benar-benar terjadi. Kerajaan Romawi mengalahkan kerajaan Persia setelah Romawi pernah dikalahkan oleh Persia. Atau seperti di dalam firman Allah Tal’ala, “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alqur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali” [QS. Al-Qasas 28:85], yakni ke Mekkah. Dan ternyata di kemudian hari memang Allah mengembalikan Nabi Muhammad saw. ke kota Mekkah.

Rasulullah saw. juga mengabarkan, sesuai firman Allah Ta’ala, “Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih.” [QS. Al-Fath 48:16].  Apa yang dikabarkannya itu benar-benar terjadi. Yang dimaksud dengan kaum yang mempunyai kekuatan besar di dalam ayat ini adalah Bani Hanifah. Abu Bakar telah mengajak kaum Muslimin untuk memerangi mereka.

Contoh lainnya adalah penyampaian kabar yang diungkapkan oleh Rasulullah saw. tentang kekhalifahan. Rasulullah saw. bersabda, “Kekhalifahan setelah aku selama 30 tahun.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya. Di kemudian hari sepeninggal Rasulullah saw., kekhalifahan Khulafa’ ar-Rasyidin memang berlangsung selama tiga puluh tahun.

Rasulullah saw. bersabda, “Ikutilah dua orang sesudah aku, Abu Bakr dan ‘Umar.” [Diriwayatkan al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, juga diriwayatkan Oleh at-Tirmidzi dan yang lainnya]. Ini adalah berita dari Rasulullah saw. bahwa Abu Bakr dan ‘Umar r.a. masih akan hidup setelah beliau wafat. Dan nyatanya memang Abu Bakr dan ‘Umar masih hidup saat Rasulullah saw. wafat. Apa yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. nyata terjadi.

Rasulullah saw. bersabda kepada ‘Umar r.a., “Nanti yang akan membunuhmu adalah golongan penentang.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya, dan diriwayatkan pula oleh yang lainnya]. Yang dimaksud sebagai golongan penentang adalah yang menyalahi kebenaran, meski mereka bukan merupakan pendosa.

Rasulullah saw. bersabda kepada al-‘Abbas r.a. saat para sahabat menawan al-‘Abbas sebelum dia masuk Islam, “Tebuslah dirimu, engkau mempunyai harta yang banyak.” Al-‘Abbas berkata, “Aku tidak mempunyai harta.” Rasulullah saw. bersabda, “Lalu di mana hartamu yang kau titipkan pada Ummu al-Fadhl, saat tidak ada orang selain kalian berdua dan engkau berpesan kepadanya, ‘Apabila aku mendapat musibah dalam perjalananku, maka sebagian dari harta itu untuk al-Fadhl dan sebagian lagi untuk ‘Abdullah.”‘ Al-‘Abbas berkata, “Demi Dia Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada yang mengetahui hal itu selain aku sendiri. Engkau sungguh Rasulullah.” Kemudian akhirnya al-‘Abbas masuk Islam.

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya adalah terbelahnya bulan di Mekkah ketika kaum Quraisy meminta beliau menunjukkan tanda kenabiannya. Bulan itu terbelah menjadi dua. Yang sebelah berada di atas gunung dan yang sebelah lagi di lereng gunung. Kejadian ini disaksikan tidak hanya oleh kaum Quraisy, tetapi oleh semua penduduk bumi. Tentang ini Allah Ta’ala berfirman, “Telah dekat Hari Kiamat dan bulan terbelah.” [QS. al-Qamar 54:1]

Dalam sebuah riwayat dari Anas disebutkan bahwa suatu hari, penduduk Mekkah meminta Rasulullah saw. memperlihatkan tanda kenabiannya. Kemudian Rasulullah saw. memperlihatkan keterbelahan bulan menjadi dua bagian. Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Kita mesti percaya dan yakin bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi, karena kesaksian Alqur’an agung tentang kejadiannya. Kesaksian itu merupakan dalil yang paling kuat yang menegaskan terjadinya peristiwa tersebut. Orang beriman tidak akan meragukan kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut setelah dikabarkan oleh orang yang paling jujur dan terpercaya. Sebab, bulan adalah makhluk Allah, Dia kuasa memperlakukannya sesuka Dia, sebagaimana Dia juga kuasa untuk menghilangkannya di akhir zaman. Tidak ada yang akan mengingkari kenyataan ini selain si pelaku bid’ah yang sesat dan menyesatkan, yang menyalahi agama yang lurus. Allah membutakan hati mereka sehingga mereka mengingkari kebenaran Al-qur’an agung dan hadis Nabi saw.

Mukjizat Rasulullah saw. yang lainnya antara lain: memancarnya air dari sela-sela jemari beliau dan memperbanyak air yang sedikit dengan berkahnya. Peristiwanya terjadi di berbagai waktu dan kesempatan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis-hadis yang shahih. Beliau juga dapat memberkahi makanan yang sedikit hingga bisa mencukupi orang banyak.

Mukjizat lainnya adalah kesaksian sebatang pohon yang berbicara dan menjawab panggilan beliau, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar r.a. Suatu ketika di dalam sebuah perjalanan, Rasulullah saw. bertemu dengan seorang Arab Badui, lalu beliau mengajaknya masuk Islam. Orang Arab Badui itu bertanya, “Siapa saksi yang bisa membuktikan kebenaran ucapanmu?” Rasulullah menjawab, “Pohon itu.” Kemudian beliau memanggil pohon tersebut. Pohon yang dipanggil itu bergerak membelah tanah menghampiri beliau sampai berada di hadapannya, lalu pohon itu berucap sebanyak tiga kali, “Aku bersaksi tidak Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau sungguh rasul Allah.” Setelah itu, pohon tersebut kembali ke tempatnya semula.

Mukjizat lainnya adalah rintihan batang pohon kurma. Rasulullah saw. biasa bersandar pada batang kurma saat berkhotbah. Namun setelah dibuatkan mimbar, beliau berkhotbah di atas mimbar. Tiba-tiba batang pohon kurma itu menangis. Orang-orang mendengar tangisannya hingga mereka pun ikut menangis. Tangisannya baru berhenti ketika beliau datang lalu mengelusnya seperti seorang ibu mengelus-elus anaknya yang menangis. Hadis tentang peristiwa ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya dari sepuluh orang pembesar sahabat.

Mukjizat lainnya adalah tasbih kerikil dan ucapan benda-benda. Di dalam satu riwayat disebutkan, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, “Kami tengah bersama Rasulullah saw. di Mekkah, lalu saat itu kami pergi menuju suatu tempat di pinggiran Mekkah. Setiap kali menjumpai pohon atau bukit, pohon dan bukit itu selalu mengucapkan, “Salam bagimu, wahai Rasulullah.”

Pada kali yang lain, ada seekor unta datang mengadu kepada Rasulullah saw. Unta itu mengatakan bahwa pemiliknya telah mempekerjakannya dalam waktu yang lama tanpa istirahat. Tetapi setelah unta itu tua, si pemilik hendak menyembelihnya. Unta itu minta perlindungan kepada Rasulullah saw., dan beliau menolongnya. Hadis tentang peristiwa ini diriwayatkan oleh banyak sahabat.

Mukjizat lainnya adalah ucapan daging kambing yang disuguhkan kepada Rasulullah saw. yang ternyata dibubuhi racun. Peristiwa itu terjadi saat seorang perempuan Yahudi di Khaibar memasakkan daging kambing dan menyuguhkannya kepada beliau.

Pada saat haji wada’, Rasulullah saw. sempat menemui seorang anak yang saat itu baru dilahirkan. Rasulullah saw. bertanya kepada anak yang baru lahir itu, “Siapa aku?” Si anak menjawab, “Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Engkau benar. Semoga Allah memberkahimu. ” Anak kecil itu kemudian diberi nama Mubarak al-Yamamah.

Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak mukjizat Rasulullah saw. lainnya yang tidak bisa kami tuliskan di sini. Riwayat yang kami tuliskan tentang mukjizat-mukjizat itu, juga yang tidak kami tuliskan di sini, dapat dilihat di dalam kitab-kitab para hafidz. Seperti kitab Dala’il an-Nubuwwah karya al-lmam al-Baihaqi, Mu’jam Abu Na’imMu’jam ath-Thabranial-Kutub as-Sittah, dan di dalam berbagai Musnad, seperti Musnad al-lmam Ahmad. 

Mukjizat Rasulullah saw. yang paling agung adalah Alqur’an al-Karim. Rasulullah saw. pernah menantang orang Arab untuk menandingi satu surah saja dari Alqur’ansurah yang terpendekDan ternyata mereka semua tidak ada yang sanggup. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alqur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alqur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakamya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” [Qs. al-Baqarah 2:23-24]

Seandainya mereka mampu, tentu mereka akan melakukannya. Saat Rasulullah saw. menantang mereka, nyata bahwa mereka tidak mampu, bahkan untuk membuat satu saja surah pendek. Padahal di kalangan orang-orang Arab yang memusuhi Rasulullah saw. itu ada banyak sekali ahli bahasa dan mereka amat fasih. Dengan demikian, tampak nyata bahwa Alqur’an merupakan mukijzat yang paling agung.

09. Rasulullah SAW sebagai Rahmat bagi Semesta Alam

Salah satu hal yang wajib kita yakini adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam. Buktinya antara lain: penangguhan siksa bagi kaum kafir di alam dunia; peniadaan siksa bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat; peniadaan hukum-hukum syari’at yang berat yang pernah diberlakukan bagi umat-umat sebelum beliau, semisal ketentuan hukum Qishash dalam pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, atau kemestian memotong anggota tubuh yang bersalah, memotong pakaian yang terkena najis dan bertobat dengan cara bunuh diri.

Suatu hari di masa lampau, seorang lelaki Bani Isra’il melakukan perbuatan dosa. Lalu di pagi hari setelah dia berbuat dosa itu, di pintu rumahnya terdapat tulisan: Untuk menebus dosa tersebut, engkau harus mencongkel kedua matamu. Kemudian si lelaki itu mencongkel kedua matanya.

Berkat diutusnya Nabi Muhammad saw., hukum-hukum yang berat seperti itu dihapuskan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. al-Anbiya’ 21:107]. 

Allah Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alqur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. al-A’raf 7:157]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Hajj 22:78] Semoga Allah memberi balasan terbaik bagi beliau.

Kita wajib meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah makhluk yang paling utama di antara seluruh makhluk, entah jin, manusia maupun malaikat. Ini adalah kesepakatan kaum muslimin. Dalilnya, umat Muhammad adalah umat yang paling utama (kami akan menguraikan pembahasannya nanti). Tidak diragukan lagi bahwa keunggulan suatu umat dihitung berdasarkan tingkat kesempurnaannya dalam agama, dan ini tentu mengikuti tingkat kesempurnaan nabi yang diikutinya. Pemuliaan terhadap suatu umat juga merupakan pemuliaan terhadap nabi umat tersebut.

Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah saw., “Dalam pandangan Allah, aku adalah orang yang paling mulia di antara semua, yang awal maupun akhir, bukan bangga.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam at-Tirmidzi.

Dalil yang lain adalah kenyataan bahwa beliau adalah sang empunya syafa’ah al-‘uzhma di akhirat, yang pada saat itu tidak seorang pun memiliki syafa’at selain Allah Ta’ala. Selain itu, kenabian Rasulullah Muhammad saw. juga lebih dahulu daripada semua nabi, sebagaimana masyhur di kalangan umum. Bahkan para nabi telah disumpah untuk mengikuti beliau bila mereka sempat berjumpa dengannya.

Allah Ta’ala telah memberlakukan semua kemaslahatan agama dan akhirat untuk hamba-hamba-Nya di tangan Rasulullah saw. Dialah manusia yang merupakan ‘ainul-wujud (inti wujud) dan as-sabab fi kulli maujud (yang menjadi sebab semua maujud). Semua nabi dan rasul selain beliau adalah wakil dan khalifahnya, seperti diungkapkan oleh al-Nabilsi di dalam syairnya,

Semua nabi dan rasul yang mulia datang

sebagai wakil darinya dalam menyampaikan dakwah

Dialah sang rasul yang diutus bagi semua makhluk

di sepanjang zaman, dan darinya tumbuh mulut-mulut

Sang Penyair yang terkenal dengan julukan Ibn al-Khathib berkata,

kalau bukan karena dirimu, tidak seorang pun akan diciptakan

Tidak, bahkan semesta ini tidak akan diciptakan kalau bukan karena engkau

 dari cahayamu bulan berjubah purnama

dan matahari bersinar dengan cahaya keindahanmu

engkau saat diangkat ke langit

langit berhias karena gembira menyambut kedatanganmu

disambut oleh Tuhanmu, ‘Selamat Datang’

Dia sungguh memanggilmu untuk dekat pada-Nya. Dia mencintaimu

Engkaulah yang mintakan syafa’at

tidak ada makhuk lain yang patut selain darimu. Tuhan memanggilmu

ketika Adam bertawassul melalui engkau dalam tobatnya

Adam berhasil mendapat ampunan, padahal dia bapakmu

Dengan wasilah dirimu al-Khalil berdoa hingga api menjadi dingin

api itu padam oleh cahaya keagunganmu

Ayyub menyerumu karena sakit yang dideritanya

hingga sakitnya dilenyapkan saat dia memanggil-manggilmu

Dan karena engkau pula al-Masih datang sebagai pembawa berita gembira

dia mengabarkan sifat-sifat baikmu sambil terus memuji keluhuranmu

Begitu pula Musa terus bertawassul denganmu

di hari kiamat dia beruntung karena panggilanmu

Para nabi dan makhluk di alam dunia

Para rasul dan malaikat, semua berada di bawah panjimu

Engkau mempunyai mukjizat yang melemahkan semua

dan bagimu keutamaan-keutamaan agung tak berbanding

Cahayamu, wahai Thaha, menerangi semua nabi

Mahasuci Dia Yang telah menyempurnakanmu

Demi Allah, wahai Yasin, di semesta ini tidak ada yang sepertimu

benar adanya orang bemunajat kepadamu

Para penyair, wahai yang berselimut, tak mampu menyifatimu

mereka terlalu lelah untuk bisa menyebut-nyebut keluhuranmu

Injil ‘Isa telah datang mengabarkan dirimu

Dan al-Kitab telah datang kepada kami membawa sanjungan akan kemuliaanmu

Apa yang dikatakan para penyanjung dan goresan pena para penulis tak sampai 

menghimpun maknamu

Demi Allah. kalau pun lautan jadi tinta mereka

dan pepohonan sebagai penanya

Niscaya manusia dan jin tidak akan mampu menghimpun secuil pun, selamanya

mereka tak kan mampu menemukan maknamu

Hatiku rindu kepadamu, wahai tuanku

mabuk kepayang ingin bertemu denganmu

saat aku diam, sungguh seluruh diamku padamu

dan bila aku bicara, aku penyanjung keagunganmu

Saat aku mendengar, yang kudengar puja-puji tentang dirimu

Dan saat aku mengarahkan pandangan, tidak ada yang kulihat selain engkau

Wahai makhluk paling mulia, wahai simpanan semesta

dermalah kepadaku dengan kedermawananmu dan ridhailah aku dengan ridhamu

Aku sungguh tamak akan derma darimu

bagi Ibn al-Khathib, tidak ada manusia yang lebih dermawan daripada engkau

Semoga engkau memberinya syafaat saat dia dihisab

Dia sungguh telah bersegera berpegang pada pertolonganmu

engkaulah pemilik syafaat yang paling mulia

siapa mengiba perlindunganmu, dia akan beroleh pemenuhan darimu

Maka jadikanlah sebutanku padamu sebagai syafa’at untukku kelak hingga di mahsyar aku tampak di bawah panjimu

Allah bersalawat kepadamu, wahai makhluk paling agung

betapa rindu si pencinta rumahmu

Dalam urutan keutamaan, setelah Rasulullah Muhammad saw. secara berurut ditempati oleh Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Musa, Nabi ‘Isa dan Nabi Nuh. Urutan selanjutnya adalah para rasul selain mereka, lalu para nabi, kemudian para penghulu malaikat (yakni Jibril, Mikail, Israfil dan Malaikat maut [‘Izrail]). Kemudian urutan selanjutnya adalah Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat, lalu para malaikat selain yang lima, baru manusia biasa lainnya.

Khalifah yang paling utama adalah Abu Bakr r.a. Beliau menjabat kekhalifahan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari. Kemudian ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau menjabat kekhalifahan selama sepuluh tahun enam bulan delapan hari. Kemudian ‘Utsman ibn ‘Affan r.a. yang menjabat kekhalifahan selama sebelas tahun sebelas bulan sembilan hari. Lalu Imam ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. yang menjabat kekhalifahan selama empat tahun sembilan bulan tujuh hari.

Keutamaan para khalifah ini diikuti secara gradual dan berurut oleh enam sahabat dari sepuluh sahabat yang digembirakan dengan kabar kepastian mereka masuk surga (yang empat adalah khulafa ar-rasyidin). Yakni: Thalhah ibn ‘Ubaidillah, az-Zubair ibn al-Awwam, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Sa’id ibn Zaid dan Abu ‘Ubaidah ‘Amir ibn al-Jarrah. Kemudian disusul oleh para syuhada yang gugur pada Perang Badar, mereka berjumlah 313 orang. Ada ulama yang berpendapat bahwa jumlah syahid di Perang Badar sebanyak 370 orang.

Setelah para syuhada Perang Badar, urutan selanjutnya ditempati para syuhada yang gugur pada Perang Uhud. Mereka berjumlah kurang lebih seribu orang. Kemudian para sahabat yang mengikuti Bai’ah ar-Ridhwan, berjumlah 1400 orang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah mereka 1500 orang. Peristiwa tersebut dinamakan peristiwa bai’ah ar-ridhwan karena firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” [QS. al-Fath 48:1]

Urutan selanjutnya baru ditempati semua sahabat yang tidak masuk dalam kategori di atas. Mereka semua adalah orang-orang yang adil. Kita mesti menangguhkan penilaian (jangan menilai buruk) setiap pertentangan yang terjadi di antara para sahabat, atau kita harus menakwilnya dengan takwil yang baik. Sebab pertentangan yang terjadi di antara mereka merupakan hasil ijtihad. Seperti yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a. Ketika itu para sahabat terpecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berijtihad dan tampak bagi mereka bahwa yang benar adalah Imam ‘Ali, lalu mereka berperang bersamanya. Kelompok yang kedua berijtihad dan nampak bagi mereka bahwa yang benar adalah Mu’awiyyah, maka mereka bergabung bersamanya. Sedangkan kelompok yang ketiga berijtihad mengambil sikap diam, tidak memihak. Karena itu, siapa pun di antara tiga golongan ini tetap mendapat pahala. Yang ijtihadnya tepat mendapat dua pahala, sedangkan yang ijtihadnya tidak tepat hanya mendapat satu pahala. 

Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah, Allah, tentang sahabat-sahabatku, kalian jangan sampai menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggal aku.” Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.

Rasulullah saw. juga bersabda, “Kalian jangan mencaci-maki sahabat-sahabatku. Barangsiapa yang mencaci-maki sahabat-sahabatku, maka laknat Allah, laknat para malaikat dan semua manusia. Dan Allah tidak akan menerima amal ibadahnya, tidak yang sunnah dan tidak pula yang fardhu.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan yang lainnya. 

Wanita paling utama adalah Siti Maryam binti ‘Imran—sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ar-Ramli—kemudian Siti Fathimah, Siti Khadijah, ‘A’isyah, dan Asiyah istri Fir’aun. Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” [QS. Ali ‘Imran 3:42]

Ath-Thabrani meriwayatkan, “Wanita terbaik di alam semesta ini adalah Maryam binti ‘Imran, kemudian Khadijah binti Khuwailid, lalu Fathimah binti Muhammad saw., lalu Asiyah istri Fir’aun.”

Di dalam riwayat tersebut, ath-Thabrani menempatkan penyebutan Khadijah sebelum Fathimah, berbeda dengan ar-Ramli. Tetapi ini tidak berarti bahwa riwayat ini bertentangan. Karena, pengutamaan Khadijah atas Fathimah dalam penyebutan di dalam riwayat tersebut lebih dikarenakan ke-ibu-an Khadijah, bukan dari sisi ke-penghulu-an.

Pendapat lain mengatakan bahwa urutan tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Dan pendapat ini yang lebih aman.

Hal lain yang merupakan bagian dari hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf adalah kenyataan bahwa kurun waktu yang paling utama adalah kurun waktu mereka yang sempat berkumpul bersama Nabi Muhammad saw. dalam keadaan iman. Kemudian kurun waktu mereka yang setelahnya, lalu kurun waktu selanjutnya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, “Generasi terbaik adalah generasiku, kemudian mereka yang setelahnya, lalu mereka yang sesudahnya.”

‘Imran ibn Hashin berkata, “Aku lupa apakah Rasulullah saw. mengucapkan setelah generasi beliau itu dua kali atau tiga kali.”

Yang jelas bahwa yang dimaksud dengan kurun (al-qarn) di sini adalah generasi. Kurun pertama adalah generasi para sahabat sampai mereka semua tiada. Kurun kedua adalah generasi para tabi’in sampai mereka semua tiada. Dan kurun ketiga adalah generasi tabi’it-tabi’in sampai mereka semua tiada.

Pendapat yang paling absah tentang interval waktu satu kurun adalah seratus tahun (satu abad). Pendapat ini berdasar pada sabda Rasulullah saw. ketika beliau mengusap kepala anak yatim, “Hiduplah engkau satu qarn.” Dan anak itu ternyata hidup selama seratus tahun. 

Setiap kurun itu lebih baik dari kurun sesudahnya, sebagaimana ditegaskan oleh beliau, “Tidak ada tahun, atau tidak ada hati, melainkan yang sesudahnya itu lebih buruk darinya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan at-Tirmidzi.

Kita juga wajib mengikuti para ulama salaf yang shalih di dalam perkataan dan perbuatan mereka, mengikuti ta’wil dan istinbath hukum mereka, serta mengikuti jejak-jejak mereka lahir batin. Barangsiapa mengikuti mereka hanya pada lahiriahnya saja, tidak beserta batinnya, berarti dia seorang penentang, bukan orang yang taat.

Al-‘Allamah al-Laqani berkata,

Jadilah engkau sebagaimana makhluk pilihan,

adil dan bijak mengikuti kebenaran

Setiap kebaikan ada dalam mengikuti salaf

dan setiap keburukan ada dalam bid’ah khalaf

Asy-Syaikh ‘Abdussalam menjelaskan bait tersebut, “Jangan sampai engkau mengikuti akhlak yang buruk dan perbuatan yang tidak diridhai seperti dilakukan orang khalf yang buruk. Sebab setiap keburukan muncul dari bid’ah jelek yang diada-adakan orang khalf yang mengabaikan shalat dan mengikuti syahwat.” Kata al-khalfu dalam kata-kata beliau dibaca dengan lam yang sukun (bukan khalaf tetapi khalf).

Hal lain yang wajib diimani setiap mukmin adalah adanya para wali Allah. Barangsiapa mengingkari keberadaan wali Allah, dia telah kafir, karena dia menolak keterangan yang ada dalam Alqur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS. Yunus 10:62]

Begitu juga kita wajib mengimani keberadaan karamah para wali Allah, dan karamah mereka itu ada di saat mereka masih hidup maupun setelah mereka wafat. Karamah adalah perkara luar biasa (menyalahi adat) yang muncul pada diri hamba Allah yang shalih dan tidak disertai dengan pengakuan kenabian. Hal ini diterangkan di dalam Alqur’an dan hadis. Umat juga telah sepakat atas keberadaan karamah mereka sebelum munculnya orang-orang yang melakukan penentangan.

Kita juga harus meyakini bahwa para imam dalam agama (a’immatuddin) adalah orang-orang yang adil. Siapa yang mengikuti salah seorang di antara mereka, maka ia akan selamat.

Para imam itu dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, imam yang menekuni dan mendalami bidang fikih, menggali dan menetapkan hukum-hukum dari Alqur’an dan hadis dalam masalah fikih. Di antara mereka yang paling masyhur adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Hanbali r.a. Mereka semua adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Mengikuti salah satu di antara imam yang empat tersebut hukumnya fardhu, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl 16:43]. Selain itu, juga karena sabda Rasulullah Muhammad saw., “Ingatlah, bertanyalah kalian apabila kalian tidak tahu.” 

Setelah ijma’ diputuskan, mengikuti selain dari madzhab yang empat itu tidak boleh. Karena mazhab-mazhab selain yang empat tidak tersusun secara sistematis, berbeda dengan mazhab yang empat.

Barangsiapa tidak mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan ia berkata, “Aku beramal menurut Alqur’an dan sunnah”, seraya mengaku diri faham hukum-hukum dari Alqur’an dan sunnah, dia tidak diterima. Karena dia telah keliru, sesat dan menyesatkan. Terutama di zaman ini, zaman yang penuh dengan kefasikan dan banyak pengakuan yang keliru. Dia keliru dan sesat karena telah tampil mengungguli para imam, padahal dia lebih rendah dari para imam, baik dalam derajat keilmuannya, amalnya, keadilannya maupun dalam ketelitiannya. Sebab belum terdengar ada dari selain para imam itu yang punya ilmu dan keadilan yang lebih unggul atau setingkat dengan mereka. Begitu juga dalam penguasaaan ilmu-ilmu bahasa Arab, penguasaan aqwal (ungkapan dan pendapat) para sahabat, ushuluddin, tafsir, hadis dan hal-hal lain yang menjadi syarat-syarat ijtihad.

Imam Abu Hanifah dari kalangan tabi’in, demikian pula Imam Malik. Sedangkan Imam asy-Syafi’i dan Imam Hanbali dari kalangan tabi’it tabi’in. Masa mereka hidup adalah masa orang-orang yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih, “Generasi terbaik adalah generasiku, kemudian mereka yang setelahnya, lalu mereka yang sesudahnya.”

Adanya perbedaan di dalam masalah furu’iyyah (syariat fikih) tidak menjadi soal, bahkan merupakan rahmat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw., “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.” (HR. al-Baihaqi)

Menurut para imam, sebaiknya kita menjaga dan tidak mempertentangkan perbedaan, lalu berusaha mengambil pendapat yang lebih berhati-hati.

Kategori kedua adalah imam yang menekuni dan menjelaskan masalah-masalah ushuluddin (ketauhidan). Di antara mereka adalah al-Asy’ari dan al-Maturidi. Mereka menetapkan dalil aqli dan dalil naqli untuk menjelaskan masalah-masalah tersebut, dan mereka telah berhasil menolak ketidakjelasan yang muncul dari orang-orang yang berkeyakinan sesat.

Kategori ketiga adalah imam di bidang tasawuf, yang menekuni pembersihan hati dan jiwa dari kotoran-kotoran batin dan penyakit-penyakit hati seperti sombong dan hasad. Mereka mewajibkan mukallaf agar menjaga kebersihan hati dan anggota badan dari semua hal yang tidak disukai, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak memberikan manfaat, kecuali orang-orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih.” [QS. as-Syu’ara’ 26:88-89]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. al-Isra’ 17:69].

Mereka yang menjadi imam di bidang tasawuf ini di antaranya adalah AbYazid al-Busthami, asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani, as-Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi, asy-Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, al-Junaidi al-Baghdadi, Hujatul-lslam Abu Hamid al-Ghazali, asy-Syaikh as-Suhrawardi, Ma’ruf al-Karkhi, asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan lainnya. Mereka itu adalah para sufi, demikian pula orang-orang yang mengikuti mereka menjalankan kewajiban bertakwa kepada Allah di dalam kesendirian maupun di keramaian. Para imam sufi itu berada dalam petunjuk Allah Ta’ala sebagaimana halnya imam-imam fikih. Mereka mendasari ajaran mereka dengan akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan fikih para Imam Mujtahid. Karena itu semua imam sufi itu juga ahli fikih. Dan yang menjadi langkah awal perjalanan mereka adalah melarikan diri kepada Allah Ta’ala dari segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman, “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” [QS. adz-Dzariyat 51:50].

Target urusan mereka adalah bergantung hanya kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan Penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia “. Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Alqur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” [QS. al-An’am 6:91]

Menaati imam merupakan hal yang wajib, selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Dengan dalil firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. an-Nisa 4:39]

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ulil-amri adalah ulama yang mengamalkan ilmunya serta memerintahkan berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ulil-amri adalah para pemimpin yang hak, yang mengamalkan perintah Allah dan perintah Rasulullah.

Namun demikian, tidak dibenarkan menaati mereka di dalam kemaksiatan. Karena sabda Rasulullah saw., ‘Tidak ada ketaatan bagi makhluk di dalam maksiat kepada Allah. ” (HR. al-lmam Ahmad dan al-Hakim)

Tentang tema ini, di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab pernah berkata, “Siapa saja di antara kalian yang melihat ada penyimpangan pada diriku—yakni melenceng dari kebenaran—maka ingatkanlah aku.” Lalu Bilal atau Salman maju dan berkata kepada ‘Umar, “Seandainya kami melihat ada penyimpangan pada dirimu, niscaya kami akan meluruskanmu dengan pedang kami. Kemudian ‘Umar memuji, “Alhamdulilah, segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan di antara umat ini orang yang mau meluruskan aku dengan pedangnya bila melihat ada penyimpangan pada diriku.”

Hal lain tentang kerasulan Muhammad saw. yang wajib diyakini adalah bahwa Allah Ta’ala mengutus Muhammad sebagai rasul bagi semua manusia dan jin, sesuai dengan sabda Rasulullah saw. di dalam hadis riwayat al-Bukhari dan yang lainnya, “Aku diutus untuk seluruh umat manusia.” Kenyataan ini juga ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. [QS. Saba’ 34:28]

Barangsiapa menafikan keumuman risalah Nabi Muhammad saw. dengan menganggap bahwa risalahnya hanya berlaku bagi sebagian orang, berarti dia telah kafir sebagaimana orang yang telah menafikan Islam. Bahkan pendapat lain yang lebih absah mengatakan bahwa selain diutus kepada seluruh manusia dan jin, Rasulullah Muhammad saw. juga diutus kepada para malaikat.

Selain mengimani keumuman kerasulan Muhammad saw., kita juga wajib mengimani kenyataan bahwa Allah Ta’ala telah menutup kenabian dan kerasulan dengan Nabi Muhammad saw. Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Ahzab 33:40]

Tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Semua hukum yang telah disyariatkannya, melalui Alqur’an maupun hadis, tidak bisa diganti atau dihapus oleh syari’at manapun, sebagiannya maupun keseluruhannya. Bahkan Nabi Muhammad-lah yang datang untuk menasakh syari’at yang turun sebelumnya. Adapun penggantian sebagian syari’at beliau dengan sebagian syari’at beliau yang lainnya, itu merupakan hal yang wenang. Misalnya tentang ‘iddah (masa tenggat) perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Pada syari’at yang awal, ‘iddah-nya adalah satu tahun, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah bewasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. al-Baqarah 2:240]] Kemudian ayat hukum ini di-nasakh dengan firman Allah Ta’ala, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” [QS. al-Baqarah 2:234]

Hal lain yang wajib kita imani adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala telah memperjalankan Nabi Muhammad saw. pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunggulınya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. al-Isra’ 17:1]

Kita wajib mempercayai bahwa peristiwa isra’ tersebut dialami Rasulullah saw. dengan jasad dan ruhnya. Ketika Rasulullah saw. sedang berada di rumahnya, dalam keadaan antara tidur dan terjaga di antara dua orang lelaki, yakni pamannya yang bernama Hamzah dan anak pamannya yang bernama Ja’far, tiba-tiba malaikat datang membangunkannya. Lalu Jibril membelah dadanya, mengeluarkan jantungnya, membasuhnya dengan air zam-zam, lalu mengembalikannya ke tempatnya semula setelah mengisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian Rasulullah naik Buraq yang dihias dan diberi tali kendali, lalu berangkat sampai tiba di Masjidil Aqsha. Beliau menyaksikan banyak keajaiban selama dalam perjalanan. Di Masjidil Aqsha, para nabi dihadirkan, lalu Rasulullah saw. shalat mengimami mereka dan para malaikat.

Selesai shalat di Masjidil Aqsha, mi’raj (tangga) pun dipasang untuknya. Rasulullah saw. naik sampai tiba di langit dunia. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Adam dan mengucap salam kepadanya. Lalu Rasulullah saw. naik ke langit kedua. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Yahya dan Nabi ‘Isa, dan beliau mengucap salam pada keduanya.

Setelah itu Rasulullah saw. naik ke langit ketiga. Di sana beliau bertemu Nabi Yusuf dan mengucapkan salam kepadanya. Dari langit ketiga, Rasulullah saw. naik lagi ke langit keempat. Di sana beliau bertemu Nabi Idris dan mengucapkan salam kepadanya. Dari sana Rasulullah saw .naik ke langit kelima, di sana beliau bertemu Nabi Harun dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian Rasulullah saw. naik ke langit keenam. Di sana beliau bertemu Nabi Musa dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu Rasulullah saw. naik ke langit ketujuh. Di sana beliau bertemu Nabi Ibrahim al-Khalil dan mengucap salam kepadanya.

Setelah itu Rasulullah saw. melihat al-Bait al-Ma’mur, Beliau menyaksikan al-Bait al-Ma’mur dimasuki tujuh puluh ribu malaikat tiap harinya, dan setelah masuk ke sana para malaikat itu tidak keluar lagi hingga Hari Kiamat. Posisi al-Bait al-Ma’mur itu tegak lurus dengan Ka’bah di bumi.

Lalu beliau ke Sidrah al-Muntaha. Semua yang naik dari bumi berhenti dan tertahan di sana, demikian pula semua yang turun dari atasnya. Sidrah al-Muntaha berupa pohon, di akarnya terdapat empat sungai. Dua sungai batin dan dua sungai lahir. Dua sungai yang batin itu ada dalam surga, sedangkan yang lahir adalah Sungai Nil dan Sungai Furat (Eufrat). Di Sidrah al-Muntaha Rasulullah saw. menyaksikan berbagai keajaiban yang luar biasa.

Dari Sidrah al-Muntaha, Rasulullah saw. terus ke Mustawa. Di sana beliau mendengar geritan pena, lalu diliputi awan berwarna warni. Sampai di situ, Jibril—yang sejak awal menemani beliau—berhenti, tidak ikut menyertai Rasulullah yang terus naik. Setelah awan itu lenyap, Rasulullah Muhammad saw. melihat Allah Ta’ala, tidak di arah tertentu dan tanpa batas, suci dari sifat-sifat makhluk. Rasulullah saw. menyaksikan tidak hanya dengan hati, melainkan juga dengan mata kepalanya. “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya.” [QS. al-Najm 53:17]

Kemudian Rasulullah bersujud dan Allah mengajak-Nya berdialog dikehendaki-Nya. Allah mewajibkan shalat kepada nabi dan umatnya sebanyak lima puluh kali tiap sehari semalam. Setelah menerima perintah shalat lima puluh waktu, beliau turun dan bertemu Nabi Musa. Musa bertanya, “Apa yang telah difardhukan Tuhanmu kepada umatmu?” Rasulullah saw. menjawab, “Lima puluh shalat.” Musa berkata’ “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah keringanan. Umatmu tidak akan kuat melaksanakannya.” Rasulullah saw. kembali menghadap Allah Ta’ala, lalu berkata, “Ya Rabbi, berilah keringanan untuk umatku.” Allah menguranginya lima. Rasulullah saw. terus bolak-balik menghadap Allah untuk meminta keringanan setelah disarankan oleh Musa. Dan setiap kali menghadap, Allah menguranginya lima hingga akhirnya tinggal lima dan Allah berfirman, “Ya Muhammad, itu adalah shalat lima waktu sehari semalam. Setiap satu shalat setara dengan sepuluh shalat. Jadi lima shalat itu setara dengan lima puluh shalat. Putusan-Ku ini tidak bisa diubah.”

Perjalanan Rasulullah saw. dari Mekkah ke Baitul Muqaddas dinamakan isra’. Barangsiapa tidak percaya (mengingkari) setelah mengetahui, berarti dia telah kafir. Dan naiknya beliau dari Baitul Muqaddas menuju tempat beliau bicara langsung dengan Allah Ta’ala dinamakan mi’raj. Barangsiapa mengingkarinya setelah tahu, berarti dia fasiq. [Siapa pun yang berminat mengetahui kisah Isra Mi’raj Rasulullah saw. dan hal yang berkaitan dengannya, silakan baca kitab Dhaw’ al-Siraj fi al-lsra’ wa al-Mi’raj, karya penulis kitab ini (asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi).]

Hal lain yang wajib diimani oleh setiap mukmin adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala berbicara kepada Nabi Musa di gunung (Thursina), berdasarkan firman Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan di dalam Al-qur’an, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. [QS. an-Nisa 4:164]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfiman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” [QS. al-A’raf 7:143]

Maksudnya, saat itu Allah menyingkapkan hijab antara Dia dan Nabi Musa, lalu Allah memperdengarkan firman-Nya yang qadim kepada Musa. Setelah itu hijab ditutup kembali. Bukan berarti bahwa Allah mulai berfirman lalu setelah berfirman itu Dia diam. Sebab Allah senantiasa bersifat kalam (berfirman), dan kalam-Nya qadim (tidak bermula dan tidak berakhir). Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa sekembalinya dari munajat itu, Musa menutup telinganya agar tidak sampai dia mendengar suara makhluk.

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adallah keterlarangan mencuri dengar tentang kebangkitan Rasulullah Muhammad saw. Allah Ta’ala berfirman, “… Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” [al-Jinn 72:9]

Kita juga mesti meyakini bahwa jasad Nabi Muhammad yang mulia itu tidak rusak. Demikian pula jasad para nabi dan rasul Allah lainnya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya. Selain itu, kita mesti yakin pula bahwa Rasulullah Muhammad saw. itu hidup di dalam kuburnya. Demikian pula halnya para nabi dan rasul selain beliau. Karena itu istri-istri Nabi saw. tidak mempunyai masa ‘iddah setelah menjanda dan tidak boleh dinikahi orang lain.

Kenyataan Rasulullah saw. hidup di kuburnya terbukti dengan adanya peristiwa dialog sejumlah orang ‘arif dengan beliau. Seperti riwayat mutawatir tentang al-Quthb ar-Rifa’i r.a. saat ia berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. , sebagaimana terungkap di dalam syairnya,

Dari jauh ruhku aku kirimkan

menciumi bumi itu mewakiliku 

Dan ini, negeri impian telah hadir 

Ulurkanlah tangan kananmu agar bisa kukecup

Kemudian Rasulullah saw. mengulurkan tangannya yang mulia kepada ar-Rifa’i, dan ar-Rifa’i pun menciuminya. Peristiwa tersebut disaksikan oleh para ‘arif yang hadir saat itu.

Kenyataan bahwa Rasulullah saw. serta para nabi dan rasul lainnya hidup di kubur mereka diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang pun hamba bershalawat kepadaku melainkan shalawatnya itu sampai kepadaku.” Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, walaupun setelah engkau wafat?” Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun setelah aku wafat. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi menghancurkan jasad para nabi.”

Al-‘arif billah al-Wafa’i berkata, “Aku mimpi bertemu Rasulullah saw., dan saat itu beliau bersabda kepadaku tentang dirinya yang mulia, ‘Aku bukan mayat. Karena sesungguhnya kematianku itu hanya merupakan ketertabiran aku dari orang yang tidak mengenal Allah. Adapun bagi orang yang mengenal Allah, inilah aku, aku melihat dia dan dia bisa melihat aku.”

Salah satu hal yang perlu diketahui tentang Rasulullah saw. adalah kelahirannya. Rasulullah saw. dilahirkan di Mekkah, di tempat yang dikenal sebagai Pasar Malam. Beliau lahir menjelang fajar pada hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul-Awwal. Malam kelahiran beliau ini lebih utama daripada Lailatul-Qadar. Karena itu, doa yang dipanjatkan pada setiap malam saat beliau dilahirkan (menjelang fajar) akan dikabulkan.

Rasulullah saw. dibangkitkan di Mekkah, lalu hijrah ke Madinah al-Munawwarah pada hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul-Awwal. Beliau wafat di Madinah pada usia enam puluh tiga tahun, dan di sana pula beliau dikuburkan.

Kita juga mesti mengetahui nasab Rasulullah saw. dari pihak ibu dan ayahnya. Dari pihak ayahnya, Sayyidina Muhammad adalah putra Abdullah ibn ‘Abdul-Muththallib ibn Hasyim ibn ‘Abdu Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn an-Nadhr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizaar ibn Ma’add ibn ‘Adnan. Setelah ‘Adnan sampai kepada nabi Adam tidak ada riwayat yang shahih. Hanya saja kita wajib mengetahui bahwa nasab ‘Adnan sampai ke Nabi Isma’il adz-Dzabih ibn Ibrahim Khalilullah.

Adapun nasab Rasulullah saw. dari pihak ibu adalah Muhammad ibn Aminah bint Wahab ibn ‘Abdu Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab. Nasab beliau dari pihak ibu bertemu dengan nasab beliau dari pihak ayahnya pada Kilab ibn Murrah.

Selain mengetahui nasab Rasulullah saw., kita juga harus mengetahui putra-putri beliau yang mulia. Putri-putri Rasulullah ada empat. Yang pertama bernama Zainab, yang kedua bernama Ruqayyah, yang ketiga bernama Ummu Kultsum dan yang keempat bernama Fathimah az-Zahra. Sedangkan putra-putranya ada empat, yakni al-Qasim, ‘Abdullah yang dijuluki ath-Thayyib, lalu ath-Thahir dan Ibrahim. Semua putra-putri Rasulullah saw. selain Ibrahim lahir dari rahim Siti Khadijah, Ibrahim lahir dari Mariyah al-Qibthiyyah.

Paman Rasulullah saw. dari pihak ibunya ada tiga, sedangkan bibinya ada dua. Nama-namanya sebagaimana disebutkan dalam syair,

Paman nabi dari ibu adalah Aswad, ‘Umair dan Abdu Yaghuts

tentang Paman-paman Nabi itu tidak ada perselisihan

Bibi nabi dari ibu adalah Furaidah dan Fakhitah

Semuanya meninggal dunia sebelum beliau diutus menjadi nabi

Para ibu kaum mukmin, yakni istri-istri Rasulullah saw., ada sebelas. Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah bint Abu Bakr, Hafshah binti ‘Umar, Ummu Salamah bint Abu Umayyah, Ummu Habibah bint Abu Sufyan, Saudah bint Zam’ah, Zainad bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Maimunah bint al-Harits, Juwairiyyah bint al-Harits dan Shafiyyah bint Huyay. Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah wafat semasa Rasulullah saw. masih hidup.

Paman Nabi saw. dari pihak ayah (Bani ‘Abdul Muththallib) ada dua belas. Mereka adalah al-Harits, Abu Thalib, az-Zubair, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaq, al-Muqawwim, Dhirar, al-‘Abbas, Qutsam, ‘Abdul Ka’bah dan Hajl.

Bibi Nabi saw. dari pihak ayah ada enam. Mereka adalah ‘Atikah, Umayyah, al-Baidha, Burrah, Shafiyyah dan Arwa.

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adalah bahwa Allah Ta’ala memuliakan dan mengunggulkan umat Nabi Muhammad saw. lebih dari umat-umat lain di dunia, sebagaimana firman Allah Ta’-ala, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali ‘Imran 3:110]

Di dalam kitab al-Hilyah, Abu Na’im meriwayatkan dari Anas r.a .bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah mewahyukan kepada Musa Sang Nabi Bani Isra’il, “Siapa saja yang menjumpai Aku dalam keadaan mengingkari Ahmad, akan Aku masukkan ke dalam neraka.” Musa bertanya, “Ya “Tuhanku, Siapakah Ahmad?” Allah berfirman, “Tidak Aku ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada dia. Aku tuliskan namanya beserta nama-Ku di ‘Arsy sebelum Aku menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya surga telah Aku haramkan bagi siapa pun sebelum dia dan umatnya masuk.” Musa bertanya lagi, “Ya Tuhanku, siapakah umatnya?” Allah berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memanjatkan puja dan puji kepada-Ku, saat mereka sendirian maupun dalam keramaian. Di dalam setiap keadaan mereka selalu mengingat-Ku. Mereka berpuasa di siang hari dan bermunajat di malam hari. Aku menerima (amal) yang sederhana dari mereka, dan Aku masukkan mereka ke dalam surga dengan hanya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku nabi umat itu.” Allah berfirman, “Nabi mereka berasal dari mereka.” Musa memohon, “Ya Tuhanku, jadikan aku bagian dari umat dari nabi itu.” Allah berfirman, “Engkau telah diutus lebih dahulu, sedangkan dia terakhir. Tetapi Aku akan menghimpunkan kamu dengannya di surga yang kekal.”

Selain hadis tersebut, ada banyak hadis masyhur lainnya yang meriwayatkan keutamaan umat Muhammad. Sungguh, Allah Ta’ala telah menjadikan umat Muhammad saw. sebagai ummatan wasathan (umat pilihan) [wasath asy-syai’ berarti bagian paling istimewa dari sesuatu] dan saksi bagi manusia di hari kiamat. Dalam hal ini Allah menempatkan mereka pada kedudukan para rasul yang menjadi saksi atas umat yang lain.

Di dalam hadis-hadis shahih dijelaskan bahwa di Hari Kiamat kelak para rasul dimintai pertanggungjawaban tentang apakah mereka telah menyampaikan kebenaran kepada umat mereka. Para rasul itu mengaku telah menyampaikan semua apa yang diwahyukan Allah. Lalu orang-orang yang kafir dari umat mereka membantah dengan berkata, “Tidak. Mereka tidak menyampaikan apa-apa kepada kami.” Kemudian umat Muhammad saw. bertindak menjadi pembela bagi para rasul dengan keterangan yang ada di dalam Alqur’an, mereka memberi kesaksian bahwa para rasul telah menyampaikan wahyu kepada umat mereka. Kebenaran kesaksian umat Muhammad saw. ini kemudian dikuatkan oleh kesaksian Muhammad saw. atas kebenaran mereka. Itulah firman Allah Ta’ala, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” [QS. al-Baqarah 2:143]

Allah menyebut umat Muhammad dengan sebutan hamba-hamba-Ku yang shalih. Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhmahfuz, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” [QS. al-Anbiya 21:105].  Yakni semua wilayah yang ditundukkan oleh kaum Muslimin, seperti Hijaz, Irak, Syam dan Mesir. Ada juga ulama yang menafsirkan bahwa al-ardh (bumi) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah surga. 

Allah Ta’ala berfirman, “…padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?” [QS. al-Ma’idah 5:84]. 

Allah Ta’ala menyifati umat Muhammad sebagai al-falah (yang beruntung), seperti di dalam firman-Nya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” [QS. al-Mu’minun 23:1]

Ketika Nabi Musa membaca al-alwah [papan-papan bertulisan perintah Allah Ta’ala yang diterima Musa.], dia mendapati keterangan tentang keunggulan umat Muhammad saw. Lalu dia bertanya kepada Allah, “Ya Tuhanku, siapa umat terkasih yang aku dapati di papan papan ini?” Allah menjawab, “Umat Muhammad saw. Mereka ridha menerima yang sedikit dari-Ku dan Aku memberi mereka banyak. Aku ridha dengan amal yang sedikit dari mereka. Bahkan ada di antara mereka yang Aku masukkan ke dalam surga hanya karena dia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Musa berkata Iagi, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku membaca ada umat yang kelak di Hari Kiamat akan dibangkitkan dengan wajah laksana bulan di malam purnama. Jadikanlah mereka itu sebagai umatku.” Allah Ta’ala berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. Aku bangkitkan mereka di Hari Kiamat dengan dahi bertanda putih bersinar”. Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang membawa perbekalan di punggung dan pedang di bahu mereka. Mereka amat bersemangat untuk berjihad di setiap penjuru hingga mereka membunuh Dajjal. Jadikanlah mereka umatku.” Allah Ta’ala berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati penduduk bumi yang mempunyai masjid dan kesucian, bahkan harta rampasan perang pun dihalalkan bagi mereka. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. ” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang menunaikan haji ke Baitul Haram bukan untuk memenuhi kebutuhan duniawi. Mereka menangis menjerit dan meneriakkan talbiyyah. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa bertanya, “Apa yang Engkau limpahkan kepada mereka atas semua itu?” Allah berfirman, “Aku memberi ampunan dan memberikan hak syafaat kepada mereka atas orang-orang yang ada di belakang mereka.” Musa berkata’ “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati kaum yang kurus kering memberi makan binatang-binatang ternak sambil memohon ampunan dari dosa. Salah seorang dari mereka mengangkat suapan mulutnya dengan senantiasa memohon ampunan. la memulainya dengan menyebut nama-Mu dan mengakhirinya dengan memuji-Mu. Jadikanlah mereka sebagai umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang di akhirat mereka lebih dahulu (masuk surga), padahal penciptaan mereka (diturunkan ke bumi) paling akhir. Jadikanlah mereka umatku.” Allah berfirman, “Itu adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang apabila mereka berniat melakukan kebaikan dan dia tidak melakukannya, baginya satu pahala. Dan apabila setelah niat itu mereka melakukannya, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Jadikanlah mereka umatku.” Allah befirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang apabila berniat melakukan suatu keburukan namun tidak jadi melakukannya, baginya tidak dituliskan satu keburukan. Tetapi bila setelah niat itu ia melakukannya, baginya hanya dicatatkan satu keburukan. Jadikanlah mereka umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. ” Musa berkata Iagi, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang merupakan umat terbaik, mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Itu adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, Engkau telah membentangkan semua ini untuk Ahmad dan umatnya, maka jadikanlah aku sebagai bagian dari umatnya.” Maka Allah berfirman, “Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [QS. al-A’raf 7:144]. Musa berkata, “Aku ridha, Wahai Tuhanku.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ahli hadis dengan redaksi yang beragam.

10. Mengimani Kitab-Kitab Samawi

Salah satu bagian dari kewajiban seorang mukallaf adalah mengimani kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah Ta’ala, secara global maupun rinci. Secara global kita harus meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai beberapa kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya, yang di dalam kitab itu Allah menerangkan perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya. Secara rinci pula kita harus mengenal kitab Allah yang empat. Yaitu, at-Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, az-Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud, al-lnjil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa dan Alqur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Kita juga harus meyakini bahwa Allah Ta’ala menjaga kitab-Nya yang mulia—Alqur’an—dari penggantian dan perubahan. Sebagaimana ditegaskan di dalam firman-Nya, “Yang tidak datang kepadanya (Alqur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” [QS. al-Fushshilat 41:42]

Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alqur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” [QS. al-Hijr 15:9]. Yakni Allah menjaganya dari perubahan, pengurangan dan penambahan. Seandainya ada seseorang di dunia ini yang mencoba mengubahnya dengan satu huruf saja, atau satu titik saja, niscaya penduduk bumi akan berkata, “Engkau sungguh pendusta.” Kalau pun yang menyetujui perubahan itu seorang syaikh yang sangat agung dan dihormati, niscaya anak kecil pun akan berkata kepadanya, “Engkau salah, wahai syaikh, yang benar adalah ini.”

Berbeda halnya dengan kitab-kitab selain Alqur’an. Sebab kitab-kitab samawi selain Alqur’an telah dirasuki berbagai penyimpangan dan perubahan dari ulama-ulama busuk (‘ulama as-su’). Alqur’an tetap terjaga, meskipun banyak sekali pemuka kaum kafir, Yahudi dan Nasrani yang berusaha membatalkan dan merusaknya.

Kita mesti meyakini bahwa Alqur’an telah mencakup semua kandungan kitab-kitab samawi terdahulu. Kita juga mesti yakin bahwa Allah telah memberikan kemudahan hafalan bagi orang mempelajarinya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alqur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” [QS. al-Qamar 54:32]. Sehingga Alqur’an mudah dihafal, bahkan oleh anak kecil dalam waktu yang singkat. Sedangkan umat-umat terdahulu tidak mampu menghafal kitab mereka. Selain itu, Alqur’an merupakan ayat yang akan tetap eksis selagi alam dunia ini masih ada. Alqur’an telah menasakh semua kitab samawi yang diturunkan sebelumnya. Karena itu semua mukallaf wajib mempelajari Alqur’an, mengamalkannya dan menjadikannya sebagai pegangan hidup.

Ya Allah, limpahkanlah taufiq dan hidayah kepada kami agar dapat mengamalkan Alqur’an dan berpegang padanya, wahai Yang Maha Mulia.[]

11. Bab III – Beriman kepada yang Gaib

Bab ini berisi uraian tentang sam’iyyat. Yakni hal-hal yang tidak bisa diketahui dan dipahami dengan akal semata, bahkan hanya bisa dikenal melalui informasi dari Alqur’an dan sunnah.

Wahai saudaraku, Anda sudah memahami dari bab terdahulu bahwa setiap orang mukallaf wajib mengimani semua yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Sungguh, tidak ada keraguan akan kerasulannya. Kerasulan Muhammad saw. bersifat umum bagi semua makhluk, dengan dalil-dalil yang pasti dan meyakinkan.

12. Malaikat

Setiap orang mukallaf wajib beriman kepada malaikat, secara global dan rinci. Malaikat adalah jisim lembut bersifat cahayaa dan mampu mewujud dalam beragam bentuk, ilmunya sempurna dan mampu melaksanakan amal-amal yang sangat berat. Kesaksian dari Alqur’an dan sunnah tentang keberadaan malaikat sungguh banyak, tidak terhitung.

Seperti firman Allah Ta’ala, “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” [QS. an-Nisa 4:172]

Allah Ta’ala berfirman, “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” [QS. al-Anfal 8:12]

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. al-Ahzab 33:56]

Beriman kepada malaikat secara total adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat, yang tidak berjenis kelamin, tidak makan, tidak minum, tidak tidur dan tidak menikah. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, …yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [QS. at-Tahrim 66:6]. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. [QS. al-Anbiya’ 21:20]. Dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. [QS. QS. al-Anbiya’ 21:28]. Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka selain Allah Ta’ala.

Para malaikat yang wajib diketahui secara rinci adalah Jibril sang penyampai wahyu, Mika’il yang diberi tugas mengatur rezeki, Israfil yang bertugas meniup sangkakala, Malaikat Maut yang bertugas mencabut ruh, Munkar dan Nakir yang bertugas menanyai mayit di dalam kubur, Raqib dan ‘Atid yang bertugas mencatat setiap yang dilakukan oleh hamba Allah [pada diri setiap hamba ada dua malaikat yang bertugas mencatat perbuatannya. Yang satu dinamakan raqib(yang mengawasi), dan satu lagi ‘atid(yang hadir)], Malik yang bertugas menjaga neraka, Ridhwan yang bertugas menjaga surga, dan malaikat penyangga ‘Arsy yang berjumlah delapan. Barangsiapa mengingkari keberadaan mereka, atau mengingkari keberadaan salah satu dari mereka, berarti dia telah kafir dan akan kekal di neraka. Hanya saja mengingkari malaikat Munkar dan Nakir tidak sampai membuat seseorang menjadi kafir, melainkan fasik, karena adanya perselisihan tentang keduanya.

Kita mesti percaya dan yakin bahwa malaikat adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, “Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. at-Tahrim 66:6]

Adapun cerita yang populer tentang Harut dan Marut, yang mengisahkan bahwa keduanya adalah malaikat yang mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, dengan bumbu kebohongan tukang dongeng yang mengatakan bahwa keduanya disiksa dan dialih rupa karena perbuatannya, itu merupakan cerita bohong dan sesat. Tidak boleh dipercaya.

Tentang Harut dan Marut yang perlu kita percaya adalah keberadaannya. Jika keduanya bukan malaikat, maka perkara mereka mengajarkan sihir sudah jelas. Sedangkan jika mereka berdua adalah malaikat, maka tindakan mereka mengajarkan sihir kepada manusia itu bukan untuk diamalkan, melainkan agar manusia yang diajarinya itu bisa menjaga diri dari serangan sihir, dengan mengetahui hakikat sihir dan memahami secara jelas keburukan dan siksanya. Karena itu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Harut dan Marut, tidak mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir” [QS. al-Baqarah 2:102]. Harut dan Marut mengajarkan sihir bukan untuk diamalkan, melainkan untuk menerangkan berbagai masalah seperti hakikat zina dan macam-macam riba, agar si mukallaf bisa menghindarkan diri darinya. Karena kejahatan dan keburukan dapat dihindari dengan pengetahuan tentangnya. Khudzaifah r.a. berkata, “Orang-orang bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang kebaikan. Tetapi aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut terjerumus ke dalamnya.”

13. Jin

Berdasarkan kesepakatan para ulama, selain beriman kepada malaikat, kita juga wajib mempercayai keberadaan jin. Sungguh, keberadaan jin telah ditegaskan di dalam Alqur’an dan sunnah. Seperti di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” [QS. ar-Rahman 55:1]

Allah Ta’ala berfirman, “Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” [QS. ar-Rahman 55:33]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alqur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan-(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya) “. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” [QS. al-Ahqaf 46:29]

Jin adalah jisim lembut yang bisa mewujud dalam beragam bentuk dan bisa melakukan pekerjaan yang berat dan sulit. Di antara mereka ada yang taat dan ada yang pembangkang. Ada yang beriman dan ada yang kafir. Di antara mereka juga ada yang setan, yang kerjaannya berbuat jahat dan menyesatkan, menjerumuskan manusia ke dalam kerusakan dengan merangsang sebab-sebab maksiat dan kenikmatan tubuh.

Tidak tertutup kemungkinan malaikat, jin dan setan itu bisa tampak pada waktu dan keadaan tertentu.

14. Al-‘Arsy, Al-Kursi, Al-Lauh Al-Mahfuzh dan Al-Qalam

Hal lain yang wajib diyakini keberadaannya adalah al-Arsy, al-Kursi, al-Lauh al-Mahfuzh dan al-QalamAl-Arsy adalah jisim yang besar nan agung bersifat cahaya, tinggi yang meliputi semua jisim. Menurut satu pendapat, bentuknya adalah bulat. Menurut hadis yang masyhur, al- ‘Arsy berupa Kubah yang amat besar yang sekarang disangga oleh empat malaikat, dan kelak di akhirat disangga oleh delapan malaikat, karena demikian agungnya tajalli Dzat Allah Ta’ala. Kita tidak perlu memastikan bentuk sejatinya, karena tidak ada pengetahuan tentangnya.

Al-Kursi adalah jisim yang besar nan agung bersifat cahaya, berada di bawah al-‘Arsy, di atas langit ketujuh. Jarak antara langit ketujuh dan al-Kursi tak terukur, hanya Allah yang mengetahuinya. Kita tidak perlu memastikan bentuk sejatinya, karena tidak ada pengetahuan tentangnya. Di dalam riwayat dari Abu Musa disebutkan bahwa al-Kursi itu berupa intan. Sayidina ‘Ali dan Muqatil berkata, “Panjang masing-masing kaki al-Kursi sepanjang langit yang tujuh dan bumi yang tujuh.”

Al-Lauh al-Mafuzh adalah jisim bersifat cahaya, yang padanya— dengan izin Allah—al-Qalam (pena) menuliskan semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi sampai Hari Kiamat. 

Al-Qalam adalah jisim yang besar nan agung bersifat cahaya. Allah menciptakannya dan memerintahnya untuk menuliskan semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi hingga Hari Kiamat.

Allah Ta’ala menciptakan keempat makhluk besar itu untuk hikmah dan faedah yang diketahui-Nya, meski akal kita terlalu kerdil untuk bisa memahaminya. Allah menciptakannya bukan karena Dia membutuhkannya. Allah menciptakan al-‘Arsy bukan untuk bernaung seperti kita bernaung di bawah atap, atau menciptakan al-Kursi untuk tempat duduk-Nya. Allah menciptakan al-Qalam dan al-Lauh al-Mahfuzh untuk menjaga yang hilang atau ghaib dari ilmu-Nya. Sungguh, Allah Mahasuci dari semua itu. Allah Mahatinggi nan Mahaagung.

15. Kematian, Barzakh dan Akhirat

Salah satu hal yang wajib diimani keberadaannya adalah al-maut (kematian). Kematian pasti akan menimpa setiap yang bernyawa, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” [QS. al-Anbiya’ 21:35] Allah Ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” [QS. az-Zumar 39:30]

Selain keterangan dari Alqur’an, banyak pula keterangan hadis yang menegaskan adanya kematian. Kematian merupakan hal yang wenang menurut akal dan dijelaskan oleh syara’. Karena itu keberadaannya wajib diimani.

Mati adalah keterputusan hubungan yang terjalin di dunia antara ruh dan badan, keterpisahan dan keterhalangan antara ruh dan badan, pergantian dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan perpindahan dari alam ke alam lain. Di dalam khotbah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz disebutkan, “Sesungguhnya kalian diciptakan untuk selamanya. Tetapi kalian akan berpindah-pindah dari satu alam ke alam yang lain.” Keterangan tersebut absah dari ‘Utbah bin Ghazwan, seorang sahabat agung Rasulullah saw.

Kita harus yakin bahwa malaikat yang mencabut ruh, yaitu ‘Izra’il pasti akan bisa mencabut semua ruh dengan izin Allah. Sungguh, Allah Ta’ala telah berfirman, Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” [QS. as-Sajdah 32:11]

Di dalam hadis tentang Malaikat Maut yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani disebutkan, “Demi Allah, kalaupun ruh seekor nyamuk yang hendak aku cabut, niscaya aku tidak akan sanggup mencabutnya sebelum Allah mengizinkan.”

Ada ulama yang berpendapat, Allah Ta’ala sendiri yang mencabut ruh malaikat maut dan ruh para syuhada, begitu juga ruh orang yang selalu membaca Ayat Kursi setiap usai shalat dan orang yang ahli lapar (berpuasa) di dunia. Pendapat ini berdasarkan hadis.

Apabila Anda berkata, “Di dalam Alqur’an ada keterangan yang menyandarkan langsung pencabutan ruh kepada Allah, sedangkan pada ayat lainnya pencabutan ruh itu disandarkan kepada malaikat. Sebagaimana tampak pada firman Allah Ta’ala, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” [QS. az-Zumar 39:42] Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “…Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” [QS. al-An’am 6:61]

Jawabannya adalah: proses mematikan disandarkan kepada Allah karena pada hakikatnya Dialah sang pelaku, yakni Dialah yang menciptakan perbuatan mematikan itu. Sedangkan penyandarannya kepada Malaikat Maut karena dialah yang dipercaya oleh Allah untuk melakukannya, karena para malaikat adalah pembantu-pembantu-Nya.

Apabila banyak orang mati secara bersamaan di tempat yang berbeda, bagaimana bisa Malaikat Maut mencabut semua ruh orang-orang yang mati itu sendirian? Tentu bisa. Karena baginya, dunia ini bagai piring di hadapan orang makan. Dia akan dengan mudah mengambil apa pun darinya yang dia kehendaki.

Anas ibn Malik berkata, “Suatu kali, Jibril menemui Malaikat Maut di sungai Faris (Persia), lalu bertanya, “Wahai Malaikat Maut, bagaimana engkau sanggup mencabut banyak nyawa ketika terjadi wabah penyakit. Pada waktu yang bersamaan, di sini ada sepuluh ribu manusia mati, di tempat lain juga demikian?” Malaikat Maut menjawab, “Bumi ini didekatkan kepadaku seakan-akan berada di kedua pahaku. Aku tinggal mengambilinya dengan tanganku.”

Makna ‘Izra’il di dalam bahasa Arab adalah ‘Abdul Jabbar. Malaikat ‘Izra’il adalah malaikat yang besar yang tampilannya amat menakutkan dan mengerikan. Makhluk yang ada dunia ini berada di depan matanya. la mempunyai pembantu yang sangat banyak. Jika mendatangi orang yang beriman, dia berwujud baik dan menyenangkan, tidak menakutkan. Tetapi bagi orang yang tidak beriman, dia tampak dalam rupa yang amat mengerikan. Dan kematian akan terasa ringan bagi orang yang shalih.

Hal lain yang dapat meringankan kematian adalah bersiwak, sebagaimana dituturkan oleh ulama. Pendapat ini didasari dengan hadis ‘A’isyah di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim tentang kisah Nabi Muhammad saw. bersiwak sebelum wafat. Hal lain yang dapat meringankan kematian dan semua teror setelah kematian—sebagaimana dituturkan oleh al-Muhaqqiq as-Sanusi dan lainnya—adalah shalat dua rakaat yang dilakukan tiap malam Jumat setelah maghrib, yang pada tiap rakaatnya membaca Surah az-Zalzalah lima belas kali usai membaca al-Fatihah.

Kita harus yakin bahwa dalam ilmu Allah Ta’ala, ajal semua yang bernyawa itu satu, tidak berbilang. Orang yang terbunuh tidak akan mati selain karena ajalnya yang—di dalam pengetahuan Allah Ta’ala— telah purna di saat dia terbunuh itu, yang kalaupun bukan karena sebab terbunuh, dia tetap akan mati pada waktu itu. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka (dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya.” [QS. an-Nahl 16:61]

Ketahuilah bahwa ruh merupakan hal yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, dan Dia tidak menyilakan seorang pun makhluk untuk bisa melihatnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” [QS. al-Isra’ 17:85] Yakni, ruh merupakan urusan yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, untuk menunjukkan betapa lemahnya manusia hingga tidak dapat melihat hakikat dirinya padahal nyata adanya. Allah mengembalikan pengetahuan tentang ruh itu kepada Diri-Nya disertai penegasan akan ketidakmampuan siapa pun untuk mengetahui sesuatu yang tidak Dia beri pengetahuan tentangnya.

Rasulullah saw. beranjak dari dunia ini setelah Allah Ta’ala memperlihatkan semua hal yang Dia samarkan bagi kita (termasuk di antaranya urusan ruh). Hanya saja Allah menyuruh beliau untuk menyembunyikan sebagian dan memberitahukan sebagian lainnya. Yang terbaik bagi kita adalah menahan diri agar tidak terlalu dalam membahas hakikat ruh. Kita tidak boleh membahasnya lebih dari sekadar mengetahui bahwa ruh itu nyata adanya, karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. al-ISra’ 17:36]. Ini adalah sikap yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas dan kebanyakan ulama salaf. Mereka juga tidak berusaha memastikan tempat tertentu (satu bagian tertentu) di dalam badan sebagai tempat menetap ruh.

Ada memang kelompok lain yang berbicara tentang ruh, bahkan berusaha meneliti hakikatnya. Tetapi an-Nawawi berkata, “Pendapat yang dianggap paling unggul mengenai masalah ruh adalah pendapat Imam al-Haramain. Beliau mengatakan bahwa ruh adalah jisim halus nan lembut yang hidup dan menubuh dijasad kasar seperti air menubuh di kayu yang segar.” 

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adalah kenyatan bahwa pada diri setiap hamba, sejak masa taklif, ada malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan dan perkataannya, meski sekadar rintihannya saat sakit. Allah memberi tanda-tanda bagi amal hatinya agar malaikat dapat membedakan antara amal hatinya yang baik dan yang buruk. Tanda-tanda itu berupa bau wangi bila amal hatinya baik dan bau busuk bila amal hatinya buruk.

Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya, “Bagaimana malaikat bisa mengetahui bahwa si hamba bermaksud melakukan perbuatan yang baik atau buruk?” Beliau jawab, “Apabila si hamba berniat melakukan amal yang baik, mereka mencium wangi misik. Namun apabila si hamba berniat melakukan keburukan, mereka mencium bau busuk.”

Kenyataan adanya malaikat pencatat amal pada diri setiap mukallaf berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi AlIah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. al-Infithar 82:10-12]. Keterangan ini juga diperkuat dengan hadis dan ijmak, kita wajib meyakininya. Barangsiapa mendustakannya atau meragukannya, berarti dia kafir. 

Bagi setiap orang ada dua malaikat, yang satu pencatat amal baik dan yang satu lagi pencatat amal buruk. Malaikat yang pertama (pencacat amal baik) sebagai pemimpin bagi yang kedua (pencatat amal buruk). Malaikat pencatat amal buruk hanya akan menuliskan amal buruk si hamba bila amal buruk tersebut sudah berlalu beberapa saat tanpa diikuti dengan pertobatan atau perbuatan-perbuatan lain yang bisa menjadi kifarat baginya. Apabila di sela-sela perbuatan buruk itu si hamba membaca istighfar, malaikat pencatat amal baik akan menuliskan satu kebaikan baginya. Tetapi apabila perbuatan buruk itu sama sekali tidak disertai istighfar atau hal-hal Iain yang bisa menjadi kifaratnya, maka malaikat pencatat amal baik akan berkata kepada malaikat pencatat amal buruk, “Catatlah (amal buruknya)! Semoga Allah mengistirahatkan kita darinya.”

Kedua malaikat itu tidak akan berpisah dari setiap hamba selama dia hidup, kecuali saat si hamba buang hajat dan menggauli istrinya. Karena itu si hamba dituntut meminta perlindungan kepada Allah ketika masuk kakus dan membaca basmallah ketika hendak bersetubuh.

Apabila seorang hamba mati dan dia mati dalam keadaan mukmin, kedua malaikat penyertanya itu akan duduk di atas kuburnya dan memohonkan ampun kepada Allah hingga Hari Kiamat. Apabila hamba yang mati itu mati dalam keadaan kafir, maka kedua malaikat itu akan duduk di atas kuburnya sambil terus mengutuknya hingga Hari Kiamat. 

Jika Anda bertanya, “Bukankah kita tahu bahwa Allah tidak membutuhkan catatan amal.” Saya jawab: ada dua faedah pencatatan itu. Pertama, bersifat duniawi, yakni mencegah maksiat di dunia. Apabila manusia tahu bahwa semua perbuatan dirinya akan dicatat oleh kedua malaikat itu, niscaya ia akan menjaga diri dari maksiat. Kedua, bersifat ukhrawi, yakni sebagai hujjah bagi mereka di Hari Kiamat kelak bila mereka mungkir dan berkata bahwa mereka tidak melakukan amal perbuatan itu.

Selain meyakini adanya dua malaikat pencatat amal hamba, kita juga mesti meyakini adanya pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir yang akan diterima si mayit di dalam kubur. Yakni, setelah usai penguburan dan para pengiring beranjak pergi. Allah akan mengembalikan ruh ke dalam mayat secara purna. Jalaluddin as-Suyuthi berkata di dalam salah satu syairnya, “Menurut jumhur ulama, semua(bagian diri)nya hidup, bukan hanya sebagian, berdasarkan hadits yang ma’tsur.”

Setelah mayit selesai dikubur, Allah Ta’ala akan mengembalikan panca inderanya, akalnya dan pengetahuannya, yang dengan semua itu dia bisa memahami pertanyaan dan memberi jawaban saat Munkar dan Nakir menanyainya.

Al-lmam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari sahabat Anas dengan status marfu’, “Sungguh, apabila seorang hamba telah diletakkan di dalam kubur dan orang-orang yang mengiringnya telah pulang, dua malaikat akan segera mendatanginya, lalu mendudukkannya dan berkata, ‘Apa yang telah engkau katakan tentang Nabi Muhammad saw?’ Hamba yang mukmin akan menjawab, ‘Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba dan rasul Allah.’ Lalu dikatakan kepadanya’ ‘Lihatlah tempat dudukmu di neraka, Allah telah menggantikannya untukmu dengan tempat duduk di surga.’ Kemudian si hamba yang mukmin itu melihat kedua-duanya. Sedangkan hamba yang kafir atau munafik akan menjawab, ‘Aku tidak tahu. Aku telah berkata sebagaimana orang-orang mengatakannya.’ Lalu dikatakan kepadanya, “Engkau tidak tahu dan tidak mengerti.” Kemudian dia dipukul dengan palu besi hingga menjerit-jerit karenanya, dan jeritannya itu bisa didengar oleh makhluk di sekelilingnya selain jin dan manusia.”

Abu Dawud meriwayatkan hadis serupa dengan redaksi yang berbeda. Abu Dawud meriwayatkan, “…lalu kedua malaikat itu bertanya kepadanya, ‘Siapa Tuhanmu, apa agamamu, dan siapa laki-laki yang telah diutus kepada kamu itu?” Hamba yang mukmin akan menjawab, ‘Tuhanku Allah, agamaku Islam, dan laki-laki yang telah diutus itu adalah Rasulullah saw.’ Sedangkan hamba yang kafir akan menjawab tiga pertanyaan tadi dengan jawaban, ‘Tidak tahu.”‘

Ketika menanyai mayit di dalam kubur, Munkar dan Nakir menyebut Rasulullah saw. dengan sebutan ‘hadzar-rajul (laki-laki ini)’, seperti tanpa penghormatan kepada beliau, karena dimaksudkan untuk menguji, guna membedakan antara orang yang benar imannya dan yang tidak benar. Hamba yang benar imannya akan bisa menjawab. Sedangkan yang tidak benar imannya akan berpikir, “Seandainya lelaki ini mempunyai derajat tinggi di sisi Allah Ta’ala sesuai pengakuannya di dalam kerasulannya, tentu malaikat ini tidak akan menyebutnya dengan sebutan seperti ini (tidak hormat).’ Dan saat itu dia akan berkata, “Aku tidak tahu.”—na’udzu billah. Kemudian dia akan disiksa dan mendapat kesengsaraan abadi.

Munkar dan Nakir menanyai mayit dengan bahasa si mayit. Keduanya pasti akan menanyai si mayit walaupun anggota tubuhnya telah remuk, atau dimakan binatang buas, atau diterbangkan angin. Sungguh, kuasa Allah Ta’ala bisa mengembalikan ruh ke tubuh si mayit meski anggota tubuhnya terpisah-pisah. Tidak sulit bagi Allah untuk melakukannya.

Keadaan mayit cli dalam kubur saat ditanyai malaikat itu beragam. Ada yang ditanyai oleh kedua malaikat secara bersamaan dan sangat menekan. Ada pula yang hanya ditanyai oleh salah satunya saja, sebagai keringanan. Apabila ada banyak orang meninggal di daerah berbeda dalam waktu yang bersamaan, Allah Ta’ala bisa saja memperbesar jasad kedua malaikat itu agar keduanya bisa menanyai semua mayit di kubur mereka masing-masing secara serempak dalam satu kali bertanya. Sementara al-Hafizh as-Suyuthi berkata, “Boleh jadi malaikat yang bertugas menginterogasi mayit itu banyak. Yang sebagian dinamakan Munkar, yang sebagian lain dinamakan Nakir. Lalu untuk masing-masing mayit dikirimkan dua malaikat dari mereka.

Proses interogasi di alam kubur ini tidak berlaku umum bagi semua mayit. Karena ada pengecualian bagi sejumlah orang yang disebutkan di dalam atsar bahwa bagi mereka tidak ada pertanyaan Munkar dan Nakir. Di antaranya adalah para nabi a.s., shiddiqun, orang-orang yang mati syahid, orang yang tiap malamnya membaca Surah Tabarak dan yang membaca Surah al-Mulk sejak ia mendapat kabar tentangnya, entah dia membacanya menjelang tidur atau sebelumnya. Juga orang-orang yang saat sakit menjelang kematiannya membaca Surat al-lkhlash. Demikian pula orang yang mati karena sakit perut, atau mati saat terjadi wabah tha’un dalam keadaan sabar dan mengharap pahala Allah, entah dirinya ikut terserang tha’un ataupun tidak. Atau mayit yang mati pada hari atau malam Jum’at, walaupun dikuburnya pada hari Sabtu. Demikian pula orang yang mengalami kegilaan atau idiot sejak sebelum menginjak masa taklif.

Hikmah adanya interogasi di alam kubur, Allah menampakkan apa yang disembunyikan hamba saat di dunia. Iman atau kafir, taat atau maksiat. Allah ridha terhadap kaum mukmin dan mencemarkan yang tidak beriman, na’udzu billah.

Hal lain yang wajib diyakini keberadaannya adalah siksa kubur dan nikmat kubur. Siksa kubur nyata adanya berdasarkan hadis Rasulullah saw. “Siksa kubur itu hak (nyata adanya).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala berfirman, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” [QS. al-Mu’min 40:46]. Yakni di dalam kubur, dengan dalil firman Allah Ta’ala, “.. .dan Pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras,” [QS. al-Mu’min 40:46] dan firman Allah Ta’ala, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” [QS. al-An’am 6:93]

Yang dimaksud dengan wal-mala’ikatu basithu aydihim adalah, malaikat memukulkan tangannya ke wajah dan pungung mereka seraya berkata kepada mereka, “Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan kepada Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”

Di dalam Shahih-nya, al-lmam al-Bukhari menggunakan ayat ini sebagai dalil untuk menegaskan adanya siksa kubur. Siksa yang akan dialami sejak kematian sampai selamanya.

Al-lmäm al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata saat melintasi dua kuburan, “Sungguh, kedua orang yang berada dalam kubur itu sedang disiksa, bukan karena melakukan dosa besar. Salah satu dari mereka disiksa karena tidak bersuci dari kencing. Yang satu lagi disiksa karena suka mengadu domba.”

Ath-Thabrani meriwayatkan hadis, “Bersucilah kalian sehabis kencing, karena siksa kubur kebanyakan timbul darinya (tidak bersuci sehabis kencing).”

Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Sa’id al. Khudri, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Allah menguasakan orang kafir di dalam kuburnya kepada sembilan puluh sembilan ekor ular berbisa yang akan terus menggigit dan menyengatnya hingga Hari Kiamat, yang kalau satu ekor saja dari ular-ular itu menyembur bumi, niscaya bumi ini tidak akan dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.” 

Siksa kubur itu tidak hanya menimpa ruh, tetapi juga badan si mayit. Tidak ada bedanya antara mayit yang jasadnya terpisah-pisah, hancur lebur atau dimakan binatang buas dan ikan di laut. Sebab, hal itu merupakan hal yang mungkin menurut akal, dan syari’at pun telah menegaskannya. Karena itu kita wajib meyakini dan menerima keberadaannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. [QS. al-Hajj 22:18]. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. [QS. Hud 11:4]

Siksa kubur ada dua macam. Pertama, yang langgeng, yakni siksaan bagi orang kafir, munafik dan sebagian pelaku maksiat. Kedua, yang terputus, yakni siksaan bagi pelaku maksiat yang dosanya ringan. Mereka disiksa sesuai kadar dosanya, kemudian siksanya dihilangkan berkat doa, bacaan Alqur’an, sedekah atau yang lainnya. Orang yang termasuk kategori orang yang tidak akan diinterogasi Munkar Nakir tidak akan mendapat siksa kubur. 

CATATAN

Salah satu bentuk siksa kubur berupa himpitan dinding kubur. Tidak ada seorang pun yang bebas dari himpitan ini, orang shalih maupun pendosa. Kecuali para nabi a.s., Fathimah bint Asad ibunda Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a., dan orang yang membaca Surat al-lkhlas saat menjelang kematiannya, sebagaimana dikabarkan Rasulullah saw.

Kenapa Fathimah binti Asad selamat dari jepitan kubur? Karena dia memperoleh berkah al-Mushthafa saw. Rasulullah saw. mengafani Fathimah binti Asad dengan gamisnya, beliau juga turun ke liang lahadnya dan berbaring di sana seraya berdoa, “Ya Allah, kasihilah Fathimah binti Asad dan luaskanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan para nabi yang sebelum aku.” (HR. ath-Thabrani)

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa himpitan kubur itu laksana pelukan seorang ibu yang penyayang kepada anaknya yang sakit demam, dia mengelus kepala anaknya dengan lembut. Ini bagi mayit yang taat. Adapun bagi si pendosa, sekalipun dia beriman, himpitannya amat keras dan dahsyat hingga tulang belulang si mayit berantakan. Ya Allah, kami memohon keselamatan kepada-Mu, dengan anugerah dan kemurahan-Mu, amin. 

Kita juga wajib meyakini adanya nikmat kubur, karena ada nash mutawatir yang menyebutkan keberadaannya. Nikmat kubur itu dirasakan oleh ruh dan badan setelah ruh dikembalikan ke dalam badan. Nikmat kubur tidak khusus bagi umat Nabi Muhammad saw. dan orang mukmin yang mukallaf, tetapi bagi semua orang yang beriman.

Salah satu bentuk nikmat kubur berupa perluasan ruang kubur hingga tujuh puluh hasta panjang dan lebarnya. Lalu dari kuburnya terbuka berkas ke surga. Bentuk lainnya berupa semerbak wewangian yang memenuhi kubur, sehingga kuburnya menjadi taman surga. Lalu di dalam kubur itu dinyalakan lentera yang meneranginya laksana bulan di malam purnama.

Di dalam atsar disebutkan, “Allah berfirman kepada Sayyidina Musa, ‘Belajarlah kebaikan dan ajarkanlah kepada manusia. Sebab, Aku akan menerangi kuburan orang yang mengajarkan ilmu dan orang yang mempelajarinya hingga mereka merasa betah di dalamnya

‘Umar ibn al-Khaththab berkata, “Barangsiapa menerangi masjid-masjid Allah, Allah akan memberi dia terang di kuburnya.”

Siksa dan nikmat tersebut disandarkan pada kubur (siksa dan nikmat kubur), karena umumnya orang mati dikuburkan. Tetapi tidak berarti bahwa orang yang mati dimakan binatang buas, atau yang mayatnya tidak dikuburkan tidak akan mengalami siksa atau nikmat kubur. Sungguh, semua mayit yang dikehendaki Allah mendapat siksa atau nikmat kubur, dia pasti akan mendapatkannya, dikubur maupun tidak.

Jika Anda berkata, “Kita bisa melihat keadaan mayit setelah dikubur, dan kita tahu dia tetap mayit, yang kafir dan yang mukmin kondisinya sama, pendosa maupun hamba yang taat. Lalu bagaimana maksudnya dia mengalami siksa atau nikmat di dalam kuburnya setelah ruh dikembalikan kepada tubuhnya?”

Kami jawab: pertanyan ini muncul hanya dari orang yang hatinya tidak kokoh mengimani semua yang telah dikhabarkan oleh Sang Nabi yang sungguh jujur nan terpercaya, yang tidak percaya bahwa rasul diberi keistimewaan berupa kemampuan melihat malaikat. Padahal, tentang iblis dan pasukannya saja Allah Ta’ala berfirman, “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan iłu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” [QS. al-A’raf 7:27]. Tidak ada keraguan akan kebenaran hal itu. Perhatikanlah bagaimana orang yang tidur merasakan kesenangan, kesusahan atau rasa sakit pada dirinya yang dia alami dalam mimpi. Seperti saat dia mimpi melihat ular yang menggigitnya dan ia merasakan sakit gigitannya hingga menjerit-jerit. Bahkan keningnya sampai berkeringat dan posisi tubuhnya berubah-ubah. Semua itu dia rasakan dałam mimpinya seperti orang yang sedang terjaga. Dan kita yang bahkan berada di sampingnya tidak menyadari sesuatu pun dari peristiwa yang dia alami di dalam mimpinya.

Kubur merupakan persinggahan pertama di akhirat, dan setiap yang berhubungan dengan akhirat merupakan alam malakut. Mata yang biasa kita gunakan untuk melihat tidak akan mampu melihat hal-hal yang bersifat malakut. Tidakkah Anda perhatikan bagaimana para sahabat mempercayai turunnya malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw., padahal mereka tidak melihatnya. Mereka juga percaya bahwa Rasulullah saw. melihat Jibril. Bila Anda tidak percaya akan hal ini, perbaharuilah iman Anda kepada Rasulullah saw. dan wahyu Allah. Dan jika Anda sudah percaya dan yakin akan Rasulullah saw. dan wahyu Allah kenapa Anda tidak percaya akan terjadinya berbagai hal yang menimpa si mayit di alam kubur, padahal tidak ada perbedaan di antara keduanya?

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menjadikan kita sebagai orang yang beriman kepada-Nya, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari akhir. Kita juga memohon agar Dia mematikan kita dengan akhir yang bahagia serta menjaga kita dari kelalaian dan kesesatan. Sungguh, Allah Mahamulia dan Maha Penyayang. 

Dalam masalah kubur ini, kita juga meyakini bahwa para syuhada hidup di dalam kuburan mereka dengan kehidupan yang sempurna, dengan alasan firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” [QS. Ali ‘Imran 3:169]

Hidup para syuhada di kubur merupakan kehidupan yang nyata, berdasarkan lahiriah ayat tersebut. Mereka sungguh dilimpahi rezeki yang mereka inginkan, sebagaimana orang hidup di dunia diberi rezeki makan, minum dan lain sebagainya. Al-Jazuli berkata, “Kehidupan mereka tidak dapat dipikirkan dan dibayangkan akal manusia. Kita wajib percaya bahwa mereka hidup tanpa perlu membahas bagaimana hakikat atau bentuk kehidupan mereka.”

Yang dimaksud syuhada’ adalah orang-orang beriman yang terbunuh dalam peperangan melawan orang kafir demi menegakkan kalimah Allah Ta’ala. 

KIAMAT

Kita wajib meyakini akan terjadinya as-sa’ah, yakni al-qiyamah (kiamat). Kiamat pasti terjadi setelah habisnya alam dunia. Kepastian akan terjadinya kiamat tidak perlu diragukan, dengan alasan firman Allah Ta’ala, ”Dan sesungguhnya Hari Kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” [QS. al-Hajj 22:7]. Allah Ta’ala juga berfirman, ”Bahkan mereka mendustakan Hari Kiamat. Dan Kami menyediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan hari kiamat.” [QS. al-Furqan 25:11]

Kiamat terjadi diawali dengan an-nafkhah ats-tsaniyah (tiupan sangkala yang kedua) sampai manusia berada di dua tempat, surga dan neraka. Tidak ada yang mengetahui kapan kiamat akan terjadi selain Allah Ta’ala. Tetapi kiamat itu ada tanda-tandanya, tanda-tanda yang kecil (ash-shughra) dan tanda-tanda besar (al-kubra).

Ada banyak tanda-tanda kecil akan kedatangan kiamat. Di antaranya adalah kebangkitan Nabi Muhammad saw. dan umatnya, orang yang khianat dipercaya dan orang yang dipercaya khianat, bermegah-megahan dalam membangun rumah dan gedung, menghias masjid-masjid dengan kemewahan, semakin banyaknya kebodohan, sedikit ilmu, ramainya anak-anak, banyaknya perempuan dan sedikitnya laki-laki hingga lima puluh berbanding satu, maraknya perzinaan, minuman keras, riba, banyaknya pertentangan antara kaum muslimin karena provokasi musuh dan terjadinya paceklik. Itu semua diterangkan oleh banyak hadis Nabi Muhammad saw.

Tanda-tanda besar akan terjadinya kiamat ada sepuluh: 

Satu, keluarnya Imam Mahdi. Dia adalah seorang lelaki agung keturunan Fathimah binti Rasulullah saw. Dia datang memenuhi bumi dengan kebaikan dan keadilan menggantikan kezaliman dan kemaksiatan yang sebelumnya memenuhi bumi.

Ar-Rauyani dan Abu Na’im meriwayatkan dari Khudzaifah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Al-Mahdi adalah seorang lelaki dari keturunanku. Warna kulitnya warna kulit seorang Arab. Badannya seperti badan seorang keturunan Isra’il. Di pipi sebelah kanannya ada tahi lalat laksana bintang yang terang. Dia datang memenuhi bumi dengan keadilan menggantikan kemaksiatan yang telah memenuhinya. Penduduk bumi dan langit ridha akan kekhalifahannya, bahkan burung di udara pun demikian.” 

Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dunia tidak akan lenyap, tidak pula akan berakhir sebelum diperintah oleh seorang lelaki dari ahli bait-ku, yang menjelajah bumi dan namanya adalah namaku.” Di dalam riwayat lain ditambahkan, “dan rupa lahirnya adalah rupa lahirku.”

Dua, kemunculan Dajjal di akhir zaman. Dengan kehadirannya Allah hendak menguji hamba-hamba-Nya. Allah memberi dia kemampuan dan kesanggupan untuk melakukan berbagai hal yang menakjubkan serta mengagumkan hati, sehingga banyak hamba yang terperdaya olehnya, kecuali hamba-hamba Allah yang telah ditetapkan akan beroleh kebahagian.

Tanda-tanda telah dekatnya masa kemunculan Dajjal adalah sedikitnya amar makruf nahi mungkar, terjadinya banyak pembunuhan, ulama condong kepada kezaliman dan mendekati penguasa. Dajjal muncul dari arah timur, dari salah satu dusun di wilayah Ishfahan. Bila dia berkata kepada awan, “Turunkan hujan!” dengan serta hujan akan turun. Saat dia memerintahkan agar hujan berhenti, hujan langsung berhenti. Dia tinggal di muka bumi selama empat puluh hari.

Di dalam hadis disebutkan, “Ya Rasulullah, berapa lama dia tinggal di muka bumi?” Rasulullah saw. menjawab, “Empat puluh hari. Satu hari pertamanya setara dengan satu tahun. Satu hari berikutnya setara dengan satu bulan, satu hari berikutnya setara dengan satu Jumat. Sisanya sama seperti hari-hari biasa.” Para sahabat bertanya, “Apakah pada satu hari yang setara dengan satu tahun itu kami cukup melakukan shalat sehari (yakni lima waktu)?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak. Setarakanlah ukurannya.”

Tiga, turunnya Nabi ‘Isa di atas Menara Hijau sebelah timur Damaskus. Saat turun, dia turun sambil meletakkan kedua telapak tangannya di sayap dua malaikat, pada waktu shalat subuh. Kemudian orang-orang mengundangnya untuk shalat mengimami mereka, namun dia tidak mau. Dia berkata, “Imamnya dari kalian.” Lalu al-Mahdi maju dan shalat mengimami Nabi ‘Isa dan mereka. Ini merupakan pemuliaan bagi umat ini dan nabinya (Muhammad saw.).

Pada saat yang bersamaan dengan turunnya Nabi ‘Isa, Dajjal sedang mengepung penghuni Baitul-Maqdis yang pintunya dikunci. Dajjal berkata, “Buka pintunya!” saat mereka membukakan pintu, Dajjal melihat ‘Isa, sehingga dia segera berbalik dan melarikan diri bersama para pengikutnya. Kemudian ‘Isa dan al-Mahdi keluar melakukan pengejaran. Allah mempersempit bumi bagi Daijal sehingga ‘Isa bisa menangkapnya bersama para pengikutnya di tempat yang berjarak sepuluh hasta dari Pintu masuk Ludd, sebuah desa dekat Ramallah. ‘Isa menatapnya seraya berkata, “Dirikanlah shalat!” Daijal menjawab, “Wahai Nabi Allah, shalat sudah dilaksanakan.” ‘Isa berkata, “Hai musuh Allah, engkau mengaku-aku sebagai Tuhan semesta alam. Lalu kepada siapa engkau shalat?” Kemudian ‘Isa menusuk Daijal dengan tombak hingga menembus badannya. Saat ‘Isa mencabutnya, tombak itu berlumur darah Dajjal. ‘Isa berkata, “Wahai kaum muslimin, lihatlah Daijal ini!” ‘Isa menjalankan hukum dengan syari’at Nabi Muhammad saw.

Pada masa kemunculan ‘Isa, alam dunia menjadi aman, subur, menyenangkan dan penuh keberkahan. Keadaan demikian itu berlangsung selama 40 tahun. ‘Isa menikah dan mempunyai dua orang anak. Imam Mahdi kemudian wafat. Nabi ‘Isa mengurusi jenazahnya, menyalatinya dan menguburnya di Baitul-Maqdis. Selanjutnya Nabi ‘Isa wafat dan dikuburkan di Madinah, di samping makam Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.

Empat, kemunculan Ya’juj dan Ma’juj. Mereka adalah anak keturunan Yafits ibn Nuh a.s. Mereka amat banyak dan bermacam-macam. Setelah mereka muncul dan melakukan berbagai kerusakan, Allah mewahyukan kepada ‘Isa, “Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba yang tidak seorang pun mampu membinasakan mereka. Karena itu, bawalah hamba-hamba-Ku berlindung di bukit Thur agar selamat.” Maka, ‘Isa pun segera membawa kaum mukmin ke bukit Thur. Lalu Allah Ta’ala mengirimkan Ya’juj dan Ma’juj dari setiap lereng. Mereka turun dan bergerak cepat mengepung ‘Isa dan pengikutnya di bukit Thur. Kemudian mereka mendatangi Baitul-Maqdis dan berkata, “Kita telah membunuh (menguasai) penduduk bumi. Sekarang, perangilah penduduk langit!” Lalu mereka melesatkan anak panah mereka ke atas, dan saat anak panah itu turun lagi ke bumi, warnanya telah memerah darah. 

‘Isa dan orang-orang yang bersamanya berdoa sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala hingga Allah mengabulkan doanya. Allah menghujani Ya’juj dan Ma’juj dengan ulat yang sangat banyak, dan ulat-ulat itu menggerogoti leher mereka. Mereka menjerit-jerit kesakitan sebelum akhirnya semua binasa. Setelah itu ‘Isa dan orang-orang yang bersamanya turun dari bukit Thur. Ternyata bumi dipenuhi bangkai Ya’juj dan Ma’juj, sehingga ‘Isa tidak mendapati satu tempat pun yang kosong dari bangkai. Kemudian Allah Ta’ala mengirimkan burung yang lehernya seperti leher unta. Burung itu melemparkan bangkai-bangkai ke tempat yang dikehendaki Allah.

 Lima, munculnya hewan yang di dalam satu riwayat disebut-sebut merupakan anak unta Nabi Shalih. Ketika induknya dibunuh oleh kaum Nabi Shalih, anak unta itu kabur dan masuk ke dalam batu yang saat itu tiba-tiba terbuka. Anak unta itu mendekam di sana, dan akan terus di sana sampai masa kemunculannya kelak.

Setelah muncul, hewan itu akan menuliskan kata mukmin di antara kedua mata orang mukmin, sehingga wajah mukmin itu bersinar. Sedangkan di antara kedua mata orang kafir, hewan itu akan menuliskan kata kafir, hingga wajah si kafir itu menghitam pekat. Hewan itu akan memanggil orang muslim dengan sebutan, “Hai Muslim.” Sedangkan terhadap orang kafir ia akan berkata, “Hai Kafir.”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami” [QS. an-Naml 27:82].

Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka (yakni apabila telah dekat saat kejadian yang telah dijanjikan kepada mereka, yaitu masa pembangkitan dan siksa), Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka (tentang kebatilan agama-agama selain Islam, dan binatang itu berkata, “Hai fulan, engkau bagian dari ahli surga. Hai fulan, engkau bagian dari ahli neraka) bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami (Kami keluarkan binatang itu kepada mereka karena mereka tidak meyakini ayat-ayat Kami).

Enam, Kiamat terjadi ditandai dengan terbitnya matahari dari barat. Itu terjadi setelah ‘Ísa a.s. wafat.

Di dalam riwayat disebutkan bahwa sebelum terbit dari barat, pada hari sebelumnya matahari itu tenggelam dan ditahan selama tiga hari tiga malam. Waktu untuk ibadah pada saat itu diukur dengan ijtihad. Manusia kebingungan karena panjangnya malam itu.

Abú Dzarr berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Ketika matahari saat itu tenggelam, apakah engkau tahu ke mana ia pergi?’ Aku menjawab, ‘Tidak. Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Saat itu, matahari pergi sampai bersujud di bawah ‘Arsy. la memohon izin, dan ia tidak diberi izin. Hampir saja sujudnya tidak diterima. la meminta izin lagi, tetapi tidak diberi izin. Lalu dikatakan padanya, ‘Kembalilah ke tempat dari mana engkau datang.’ Maka matahari pun muncul dari tempat dia terbenam. Pada saat itulah pintu tobat ditutup.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya)

Tujuh, terjadinya kiamat ditandai dengan kemunculan asap yang kemudian menyelimuti bumi. Asap itu keluar dari hidung orang-orang kafir, juga dari mata mereka, dari mulut dan dubur mereka. Kondisi itu berlangsung selama empat puluh hari dan membuat orang-orang yang beriman mengalami demam.

Delapan, tanda-tanda besar lain akan terjadinya kiamat adalah api yang keluar dari dasar ‘Adn. Api itu menggiring manusia menuju Syam. la tidur siang, dan bermalam bersama mereka.

Sembilan, terjadinya kiamat juga ditandai dengan lenyapnya Alqur’an dan ilmu yang bermanfaat dari kitab dan dada manusia, sehingga seluruh manusia di bumi menjadi kafir.

Sepuluh, menjelang terjadinya kiamat, Ka’bah roboh di tangan orang-orang Habasyah.

Hal lain yang wajib kita yakini kejadiannya adalah tiupan sangkakala. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ditiuplah sangkakala maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali tagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” [QS. az-Zumar 39:68]

Dan ditiuplah sangkakala [yakni terompet berbentuk tanduk yang ditiup oleh Israfil], maka matilah siapa yang di langit dan di bumi [yakni seketika itu semua yang masih hidup mengalami kematian, sedangkan yang sudah mati mengalami pingsan] kecuali siapa yang dikehendaki Allah [yakni, Jibril, Mika’il, Israfil dan Malaikat Maut. Karena mereka tidak seperti malaikat lainnya yang mati saat tiupan sangkakala yang pertama. Tetapi mereka mati setelah itu dan dihidupkan kembali sebelum tiupan yang kedua. Selain Jibril, Mika’il, Israfil dan ‘Izra’il, yang tidak ikut mati pada saat tiupan pertama adalah para malaikat pemanggul ‘Arsy, penjaga surga dan neraka, para bidadari, wildan (yang mati saat kanak-kanak) dan para syuhada. Sungguh, mereka sedang sibuk dalam kenikmatan mereka hingga tidak mengalami guncangan dahsyat yang muncul dari tiupan itu]*. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi [yakni tiupan yang kedua, yaitu setelah Allah memerintahkan langit menurunkan air hujan], maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing) [setelah turun hujan yang menumbuhkan mereka laksana tanaman]. Tenggang waktu antara dua tiupan itu adalah empat puluh tahun.

*Tentang firman Allah Ta’ala, “Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” [QS. al-Qashash 28:88] Apabila yang dimaksud dengan binasa itu adalah mengalami kesirnaan dzat (fisik), memang secara umum segala sesuatu mengalami kesirnaan. Karena semua yang selain Allah Ta’ala mungkin adanya dan bisa tiada. Sedangkan bila yang dimaksud binasa adalah lenyapnya manfaat yang disebabkan oleh kematian atau berpisahnya bagian-bagian, maka dari segala sesuatu itu ada yang dikecualikan, yaitu al-’Arsy, al-Kursi, al-Lauh, al-Qalam, surga, neraka dan ruh-ruh yang ada di dalamnya.

16. Kebangkitan, Mahsyar dan Hisab

Selain meyakini akan terjadinya Kiamat, kita juga wajib yakin bahwa Allah akan membangkitkan semua hamba-Nya dan menggiring mereka ke sebuah tempat yang datar (mahsyar) untuk memutuskan amal mereka. Keterangan ini berdasarkan Alqur’an, hadis dan kesepakatan ulama salaf. Pembangkitan merupakan hal mumkin yang telah diberitakan syara’. Barangsiapa mengingkarinya, maka dia kafir.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya, dan bahwasannya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” [QS. al-Hajj 22:7]

Allah Ta’ala juga berfirman, “…ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh ?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” [QS. Yasin 36:78-79]

Allah Ta’ala berfirman, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami lah yang akan melaksanakannya.” [QS. Anbiya’ 21:104]

Al-Ba’ts (bangkit) maksudnya adalah Allah Ta’ala menghidupkan orang yang sudah mati dan mengeluarkannya dari kubur setelah Allah mengumpulkan bagian-bagiannya yang asli (sosok utuh di awal penciptaan). Yakni, bagian-bagian dari keutuhan yang dengannya dia mengada dari awal sampai akhir usia, walaupun bagian-bagian itu ada yang terpisah sebelum dia mati.

Al-Hasyr maksudnya adalah Allah menggiring semua makhluk menuju suatu tempat (mahsyar) perhentian—tanah datar yang padanya tidak ada pembangkangan terhadap Allah Ta’ala—untuk menerima putusan pengadilan. Tidak ada perbedaan antara makhluk yang diberi balasan (yakni malaikat, manusia atau jin) dan makhluk yang tidak diberi balasan (seperti hewan ternak dan binatang buas).

Ketahuilah bahwa yang dibangkitkan dan digiring itu adalah badan lahir duniawi (badan asli yang menjadi sosoknya saat di dunia), bukan bayangannya (yang serupa aslinya). Jika tidak, maka yang mendapat pahala dan siksa itu bukan yang taat atau yang bermaksiat saat di dunia, dan hal ini adalah batil.

CATATAN

1. Orang yang paling awal dibangkitkan dan digiring menuju mahsyar adalah Sayyidina Muhammad saw., sebagaimana beliau juga adalah orang yang paling awal masuk ke surga.

2. Keadaan makhluk yang digiring ke mahsyar itu bermacam-macam. Ada yang naik kendaraan (hewan), yaitu orang yang bertakwa. Ada yang berjalan kaki, yaitu orang mukmin yang sedikit amal baiknya. Ada yang berjalan dengan mukanya, yaitu orang kafir.

Hal lain yang wajib diyakini setiap mukallaf adalah al-hisab (perhitungan). Allah Ta’ala akan mengadili hamba-hamba-Nya atas amal-amal mereka secara rinci, amal baik dan amal buruk, perkataan dan perbuatan, setelah mereka menerimam buku catatan amal. Hisab ini diberlakukan bagi semua mukmin dan kafir dari kalangan manusia dan jin, selain mereka yang dikecualikan.

Di dalam satu hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah telah memberikan janji kepadaku bahwa Dia akan memasukkan tujuh puluh ribu orang umatku ke dalam surga. Bersama tiap seribu orang dari yang tujuh puluh ribu itu disertakan pula tujuh puluh ribu orang lainnya dan tiga hatsayat Tuhanku. Tidak ada hisab dan siksa bagi mereka” (HR. At-Tırmidzi dan İbnu Hibban di dalam Shamh-nya)

Hatsayat artinya gelombang. Maksudnya, Allah memberikan janji kepadaku dengan jumlah bilangan yang tidak terhitung. Mereka masuk surga tanpa hisab dan siksa.

Adanya hisab ini telah ditegaskan di dalam Alqur’an, hadis dan ijma’ kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [QS. al-Baqarah 2:202]

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” [QS. al-Ghasyiyah 88:25-26]

‘Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata, “Hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung.”

Di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, semua hak akan dikembalikan kepada pemiliknya…”

Barangsiapa tidak percaya adanya hisab atau meragukannya, dia sungguh kafir. Saat hisab Allah Ta’ala memberi perhitungan terhadap hamba-hamba-Nya atas amal-amal mereka saat di dunia, dan hal itu terjadi sebelum mereka beranjak dari mahsyar. Allah berbicara kepada mereka tentang kenyataan diri mereka dan balasan yang harus mereka terima, pahala atau siksa. Allah berbicara langsung kepada mereka dengan menyingkapkan hijab yang menutupi mereka dan memampukan mereka mendengar kalam-Nya yang qadim atau mendengar suara— yang menunjukkan kalam-Nya yang qadim—yang Dia ciptakan pada setiap telinga mukallaf. Allah Ta’ala berfirman, “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” [QS. al-Hijr 15:92-93]

Di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari ‘Adi ibn Hatim bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap orang akan ditanyai langsung oleh Tuhannya jika tidak ada penerjemah antara dia dan Tuhannya. Karena itu, peliharalah dirimu dari neraka, meski hanya dengan sebiji korma.”

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa saat hisab, orang kafir mengingkari keburukan mereka, namun kemudian anggota tubuh mereka memberikan kesaksian atas semuanya.

CATATAN

1. Proses hisab yang dialami hamba bermacam-macam. Ada yang ringan, ada yang susah, ada yang terang-terangan, ada yang tersamar dan ada yang dipermudah, berdasarkan nilai amalnya masing-masing. Allah Ta’ala mengampuni orang yang dikehendaki-Nya dan menyiksa orang yang dikehendaki-Nya. Umat yang pertama kali di hisab adalah umat Muhammad.

2. Hikmahnya adalah menampakkan keragaman derajat kesempurnaan dan kebusukan orang-orang yang kurang amal.

Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adalah kenyataan bahwa setiap umat akan diberi lembaran catatan amal. Yakni catatan amalnya selama di dunia yang ditulis oleh malaikat. Orang yang beriman akan menerimanya dengan tangan kanan, sedangkan orang kafir akan menerimanya dengan tangan kiri. Kenyataan ini telah ditegaskan di dalam Alqur’an, hadis dan ijma’ ulama ahli hak.

Dalil Alqur’an tentang hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku ” [QS. al-Haqqah 69:19-20] dan firman Allah Ta’ala, “Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.” [QS. al-Haqqah 69:25-27]

Kelompok yang pertama berkata dengan gembira kepada mereka yang ada di padang mahsyar, “Ambillah dan bacalah kitabku. Aku tahu bahwa aku akan mendapatkan perhitungannya. ” Sedangkan kelompok yang kedua, ketika melihat akibat buruk yang akan mereka terima, berkata, “O alangkah baiknya jika tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Andai saja semuanya terputus dengan kematian dan aku tidak dibangkitkan setelahnya.”

Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya. Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya yang sama-sama beriman dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku!’ dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” [QS. al-Insyiqaq 87:7-12]

Orang kafir mengambil kitab dengan tangan kirinya dari belakang punggung karena tangan kanannya terbelenggu di leher. la mengulurkan tangan kirinya ke belakang punggungnya untuk menerima catatan amalnya.

Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” [QS. al-Isra’ 17:13]

CATATAN

1. Setiap manusia mengambil kitabnya, kecuali para nabi, para malaikat dan orang-orang yang masuk surga tanpa hisab yang dipimpin oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.

2. Apabila seorang hamba meninggal dunia, buku catatan amalnya disimpan di dalam lemari di bawah ‘Arsy. Kelak setelah semua manusia berkumpul di mahsyar, Allah mengutus angin yang akan membawa terbang buku catatan amal mereka dari lemari itu sampai bergantung di leher mereka masing-masing tanpa keliru. Kemudian malaikat memanggil dan mengambil buku catatan dari leher mereka, lalu memberikannya pada tangan mereka. Ketika menerima buku catatan masing-masing, yang mukmin akan mendapati huruf-huruf catatan amalnya ada yang terang dan ada yang gelap, sesuai amalnya. Sedangkan si kafir akan mendapati huruf-huruf catatan amalnya hitam semua. Kemudian dikatakan kepada mereka, “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” [QS. al-Isra’ 17:14]

Wajah orang mukmin akan bersinar saat membaca catatan amalnya, sedangkan wajah si kafir akan menghitam muram. Allah Ta’ala berfirman, “…pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” [QS. Ali ‘Imran 3:106]

3. Setiap orang akan membaca kitabnya dengan jelas, walaupun saat di dunia dia tidak dapat membaca.

Kita harus yakin bahwa amal buruk akan dibalas setara dengan keburukannya. Sedangkan balasan amal kebaikan akan dilipatgandakan, berdasarkan firman Allah Ta’ala di dalam Alqur’an, “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” [QS. al-An’am 6:160]. Hal ini semata-mata merupakan anugerah dan kemurahan dari Allah Ta’ala.

Pelipatgandaan pahala amal kebaikan beragam tingkatnya. Pertama, pahala dilipatgandakan hingga sepuluh kali. Ini untuk amal badan seperti berzikir. Dalilnya adalah ayat di atas dan hadis Nabi saw., “Barangsiapa membaca satu huruf saja dari Alqur’an, maka baginya satu kebaikan, dan balasan satu kebaikan itu adalah sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” Hadis ini diriwayatkan oleh at-Timidzi, dan dia mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih.

Kedua, pahala dilipatgandakan hingga lima belas kali lipat. Di dalam hadis disebutkan, “Berpuasalah dua hari, maka bagimu pahala hari-hari berikutnya [yakni, hari-hari dalam satu bulan itu].” Dengan puasa dua hari di awal bulan, seorang hamba bisa mendapatkan pahala puasa satu bulan. Yakni, pahalanya lima belas kali lipat. 

Ketiga, pahala dilipatgandakan hingga tiga puluh kali. Di dalam hadis disebutkan, “Berpuasalah satu hari, maka bagimu pahala hari-hari berikutnya.” Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Muslim. Satu kebaikan dibalas tiga puluh kali lipat.

Keempat, pahala dilipatgandakan hingga lima puluh kali. Di dalam hadis disebutkan, “Barangsiapa membaca Alqur’an dan dia meng-i’rab-nya, maka baginya lima puluh kebaikan atas setiap hurufnya.” Yang dimaksud meng-i’rab adalah mengetahui makna-makna lafadznya, bukan kebalikan dari lahn (cadel). Sebab membaca Alqur’an dengan lahn dianggap bukan membaca, tidak pula akan mendapat pahala.

Kelima, pahala dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali. Yakni pahala menafkahkan harta benda di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman’ “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. al-Baqarah 2:261]

Keenam, pahala dilipatgandakan sampai tak terhingga, yaitu pahala amalan hati seperti sabar. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [QS. az-Zumar 39:10]

Perlu diketahui bahwa keragaman tingkat pelipatangandaan pahala amal kebaikan itu disesuaikan dengan kadar keikhlasan dan niat. Ini sudah jelas.

17. Ampunan dan Siksa

Bagian dari kewajiban setiap mukmin adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala memberi anugerah ampunan bagi pelaku dosa besar yang bertobat, dan Dia mengampuni hamba atas dosa kecil karena dia meninggalkan dosa besar. Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” [QS. an-Nisa’ 4:31]

Perlu diyakini bahwa orang yang mati sebelum sempat bertobat dari dosa-dosa besar selain dosa kekafiran (syirik), ia berada dalam kehendak Allah. Jika menghendaki, Dia akan menyiksanya dengan adil. Jika menghendaki, Dia juga bisa mengampuninya dengan kemurahan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [QS. an-Nisa’ 4:48]

Kita juga mesti yakin bahwa Allah akan menyiksa sebagian hambaNya dari umat ini yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertobat, karena ada keterangan dari syara’. Yang dimaksud “umat ini” adalah ummatul-ijbah, yakni kaum mukminin, karena itu sebagian yang disiksa tersebut tentu dari kalangan mukminin. Namun kalaupun ancaman Allah terhadap pelaku dosa itu pasti berlaku, mereka tidak kekal di neraka. Setelah disiksa sesuai kadar dosanya, mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan kekal di dalamnya. Lain halnya dengan orang kafir yang akan tetap disiksa dan kekal di dalam neraka.

Kesimpulannya, manusia terbagi dua kelompok, mukmin dan kafir. Yang kafir akan kekal di dalam neraka. Sedangkan yang mukmin terbagi lagi dalam dua kelompok, yang taat dan yang bermaksiat. Yang taat akan masuk surga dan menetap selamanya. Yang bermaksiat terbagi dua golongan, yang tobat dan tidak tobat. Yang tobat pasti akan masuk surga. Sedangkan yang tidak bertobat, dia berada dalam kehendak Allah. Kalau pun disiksa, dia tidak akan kekal di dalam neraka.

18. Huru-hara Mahsyar

Harus diyakini bahwa huru-hara di alam mahsyar itu benar adanya. Berbagai kesengsaraan dan musibah akan dialami orang-orang di alam mahsyar. Di antaranya, perhentian yang sangat lama, banjir keringat yang hampir menenggelamkan (setinggi telinga) dan meresap ke bumi hingga sedalam tujuh puluh hasta; matahari merendah di atas kepala hingga tinggal berjarak satu mil; buku-buku catatan amal yang beterbangan lalu melilit di leher masing-masing; kesaksian lidah dan anggota badan seperti tangan, kaki, telinga, mata, kulit; kesaksian bumi, malam, siang dan malaikat pencatat amal; dan keberubahan warna serta rupa manusia.

Allah Ta’ala berfirman, “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan Hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras.” [QS. al-Hajj 22:1-2]

Allah Ta’ala berfirman, “Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban.” [QS. al-Muzzammil 73:17]

Allah Ta’ala berfirman, “…pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” [QS. Ali ‘Imran 3:106]

Namun para nabi dan para wali serta orang-orang shalih tidak mengalami berbagai kesengsaran itu. Allah Ta’ala berfirman di dalan Alqur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” [QS. Fushshilat 41:30] 

Allah Ta’ala juga berfirman, “Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada Hari Kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata): “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu.” [QS. al-Anbiya’ 21:103]

Ketakutan yang dialami para nabi dan para malaikat saat itu hanya berupa rasa dahsyat menghadapi wibawa dan keagungan Allah, bukan karena siksa. Sungguh, mereka aman dari siksa Allah ‘Azza wa Jalla.

Secara umum, huru-hara dan kesengsaraan yang dialami saat itu beragam sesuai keadaan masing-masing. Ya Allah, ringankanlah untuk kami kedahsyatan hari itu, dengan anugerah dan kemurahan-Mu.

CATATAN

Rasulullah saw. bersabda, “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah Ta’ala pada hari di mana tiada naungan selain naungan Allah. Yaitu: imam yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah; lelaki yang hatinya selalu terpaut ke masjid apabila keluar dari masjid sampai ia kembali lagi ke masjid, dua insan yang saling mencinta karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah; seseorang yang berzikir kepada Allah dalam kesunyian hingga menangis; lelaki yang diundang oleh seorang wanita cantik jelita untuk menemuinya (berzina), namun lelaki itu berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam’; dan seseorang yang bersedekah seraya menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya.

19. Timbangan Amal (Al-Mizan)

Kita wajib meyakini bahwa penimbangan amal itu benar adanya Allah Ta’ala berfirman, “Timbangan pada hari itu ialah benar…” [QS. al-A’raf 7:8]

Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” [QS. al-Anbiya’ 21:47]

Allah Ta’ala berfirman , “…maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” [QS. al-A’raf 7:8-9]

Timbangan amal itu sungguh nyata terindera, dengan satu tangkai dan dua neraca. Satu neraca terang bercahaya, yakni yang sebelah kanan dan disediakan untuk menaruh catatan amal baik. Sedangkan neraca yang satunya lagi, yakni yang sebelah kiri, gelap pekat, disediakan untuk amal buruk. Yang ditimbang adalah lembar-lembar catatan amal. 

Rasulullah saw. bersabda, “Pada Hari Kiamat, Allah mengadili seorang lelaki dari umatku di hadapan semua makhluk. Lalu dibentangkanlah sembilan puluh sembilan lembar catatan amalnya. Panjang tiap lembarnya sejauh mata memandang. Allah berfirman, ‘Apakah engkau akan mengingkarinya? Apakah dua malaikat-Ku yang mencatatkannya telah bertindak zalim kepadamu?’ dia jawab, ‘Tidak, ya Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Apakah engkau punya alasan?’ dia menjawab, ‘Tidak, ya Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Apakah engkau punya kebaikan?’ dia menjawab, ‘Tidak, ya Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Tentu. Engkau masih punya satu amal baik yang ada pada-Ku, dan saat ini tidak ada kezaliman terhadap dirimu.’ Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang berterakan tulisan: Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Kemudian Allah berfirman, “Coba letakkan di timbanganmu!’ dia berkata, “Ya Tuhanku, apalah artinya kartu ini bila ditimbang dengan lembaran-lembaran itu?’ Allah berfirman, ‘Sungguh, engkau tidak akan dizalimi.’ Kemudian lembar catatan amal yang sembilan puluh sembilan itu diletakkan di salah satu neraca, ditimbang bersama sehelai kartu di neraca lainnya. Ternyata lembaran yang sembilan puluh sembilan itu lebih ringan daripada sehelai kartu. Memang tidak ada sesuatu pun yang berat bila ditimbang bersama nama Allah.” (HR. Al-Imam Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi)

CATATAN

Allah Ta’ala menegakkan timbangan, walaupun Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dengan timbangan itu Allah Ta’ala menguji hamba-hamba-Nya, apakah hamba-hamba-Nya itu percaya akan timbangan tersebut selagi mereka berada di alam dunia atau tidak. Selain itu, keimanan akan adanya timbangan amal tersebut menjadi tanda siapa yang akan berbahagia dan siapa yang akan celaka di akhirat kelak.

20. Telaga Nabi SAW. (Al-Haudh)

Kita wajib yakin bahwa haudh (telaga) Nabi Muhammad saw. benar adanya. Telaga Nabi Muhammad saw. itu merupakan jisim tertentu yang besar dan luas. Umat Rasulullah Muhammad saw. akan mendatanginya setelah mereka keluar dari kubur dalam keadaan haus.

Di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim ada satu hadis dari ‘Abdullah ibn ‘Amru ibn al-‘Ash r.a., dengan status marfu’, yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Telagaku seluas perjalanan satu bulan. Kedua sisinya sama. Airnya lebih putih dari susu, baunya lebih wangi dari misik dan gayungnya lebih banyak dari bintang di langit. Barangsiapa minum darinya seteguk saja, dia tidak akan lagi merasa haus, selamanya.”

Dalam wahyu yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Nabi ‘Isa tentang sifat-sifat Nabi Muhammad disebutkan, “Dia (Muhammad) mempunyai telaga yang luasnya lebih jauh daripada jarak antara Mekkah sampai ke tempat terbit matahari. Di telaga itu ada wadah sebanyak bintang di langit. Airnya memiliki warna semua jenis minuman dan rasa semua buah-buahan surga.”

Ada banyak keterangan yang berbeda tentang seberapa luas telaga Nabi Muhammad saw. Tetapi riwayat-riwayat itu tidak saling menafikan. Sungguh, Allah Ta’ala telah menganugerahkan keutamaan dengan meluaskan telaga beliau secara bertahap. Mula-mula Rasulullah saw. dikabari bahwa luas telaganya sejarak perjalanan pendek. Lalu pada kali berikutnya beliau dikabari bahwa ukuran telaganya amat luas. Al-Imam an-Nawawi  mengisyaratkan bahwa riwayat yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang mengabarkan batasan yang paling luas.

Di dalam satu riwayat disebutkan pula bahwa anak-anak muslim berada di sekitar telaga itu. Mereka memakai pakaian sutra dan sapu tangan cahaya. Tangan mereka memegang kendi emas dan gelas perak. Mereka memberi minum bapak ibu mereka yang sabar atas kehilangan mereka saat mereka meninggal. Tetapi mereka tidak diizinkan memberi minum orang tua yang tidak rela saat ditinggal mati oleh mereka.

Ketahuilah, tidak semua orang dari umat ini mendatangi telaga Nabi saw. , melainkan hanya orang-orang yang berpegang teguh pada syari’at Nabi Muhammad saw. dan tidak menggantinya dengan yang lain, tidak pula mengubah atau mencampurnya dengan akidah lain yang tidak dianut oleh beliau dan para sahabatnya. Adapun orang-orang yang mengubah atau mengganti syariat Nabi Muhammad saw. , akan ditolak dari telaga Nabi saw., seperti orang yang murtad dan menyalahi kaum muslimin. Misalnya golongan Khawarij, Rafidhah dan Mu’tazilah beserta firqah-firqahnya. Demikian juga orang yang zalim dan pembangkang, orang yang terang-terangan melakukan dosa besar dan menganggap enteng maksiat, orang yang menyimpang, ahli bid’ah dan orang kafir.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan, “Umatku mendatangi telaga dan aku melindungi mereka seperti seorang lelaki yang melindungi untanya dari unta orang lain.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mengenali kami saat itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Tentu. Kalian mempunyai tanda khusus yang tidak dimiliki oleh umat lain. Kalian datang kepadaku dengan wajah bercahaya dari bekas wudhu. Lalu ada sekelompok orang dari kalian yang disingkirkan dariku hingga mereka tidak bisa sampai. Aku berkata, “Ya Tuhanku, sahabatku, sahabatku… ” Lalu Allah berfirman, “Apakah engkau tahu apa yang diperbuat mereka setelah kepergianmu?” 

Orang yang melakukan perubahan terhadap syariat beliau tetapi tidak sampai kafir masih akan mendapat minum dari telaga Nabi setelah dihalang-halangi, seperti para pelaku bid’ah yang tidak sampai derajat kekafiran. Adapun orang kafir sama sekali tidak akan mendapat minum dari telaga itu, selamanya.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadis marfu’ yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Semua nabi mempunyai telaga masing-masing. Mereka saling membanggakan siapa yang paling banyak pengunjungnya. Dan aku berharap akulah pemilik telaga yang paling banyak pengunjungnya.” 

21. Jembatan (Ash-Shirath)

Salah satu bagian yang wajib diyakini keberadaannya adalah ash-shirath (jembatan). Keberadaan ash-shirath itu benar adanya. Ash-shirath adalah jembatan atau titian panjang yang terbentang di atas neraka Jahanam, yang harus dilintasi oleh semua manusia, sejak manusia yang pertama sampai yang terakhir.

Jembatan itu lebih tipis dari helai rambut dan lebih tajam dari pedang. Terbentang dari mahsyar sampai ke satu lapangan yang luas dan datar tempat undakan pertama tangga menuju pintu surga. Jembatan itu sepanjang tiga ribu tahun perjalanan. Seribu tahun menaik, seribu tahun menurun dan seribu tahun lagi rata. Namun al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan di dalam syarahnya, Fathul-Bari ‘ala Shahih al-Bukhari, bahwa panjang jembatan itu lima belas ribu tahun perjalanan.

Di kedua sisi jembatan itu terdapat sejenis duri tajam seperti duri sa’dan [tumbuh-tumbuhan sejenis ilalang]. Para malaikat berbaris di sisi kiri dan kanannya untuk menjaga mereka dari duri-duri itu.

Kebenaran adanya ash-shirath telah ditunjukkan Alqur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman, “Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” [QS. al-Balad 90:11]. Mujahid dan adh-Dhahhak berkata, “Al-‘aqabah adalah jembatan yang dibentang di atas neraka Jahanam. ” Jadi makna ayat itu adalah, “Berhati-hatilah terhadap al-aqabah, nafkahkan harta pada sesuatu yang bisa membantu meringankan perjalanan untuk melintasinya, seperti memerdekakan budak dan yang lainnya.”

Di dalam Shahih Muslim ada satu hadis marfu’ yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jembatan itu dibentangkan di antara kedua sisi Jahanam. Aku dan umatku merupakan yang pertama melintasinya. Pada saat itu tidak ada yang berbicara selain para rasul, dan doa mereka saat itu adalah, “Ya Allah, selamatkanlah kami, selamatkanlah kami.” 

Waktu untuk melewati jembatan itu adalah setelah usai hisab (perhitungan amal). Barangsiapa mampu melintasi jembatan itu sampai ujung, dia tentu selamat dan beruntung. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai golongan orang yang selamat dan beruntung.

Tingkat keselamatan orang-orang saat itu bermacam-macam. Ada yang selamat tanpa sempat jatuh ke dalam neraka Jahanam, ada pula yang sempat jatuh dulu ke dalam neraka Jahanam. Dan yang jatuh itu ada yang sejenak dan ada yang lama, tergantung kehendak Allah. Mereka itu adalah orang-orang beriman yang berdosa. Lain halnya dengan orang kafir yang setelah jatuh ke dalam neraka itu tidak akan pernah diangkat lagi, selamanya.

Cepat lambatnya seseorang melewati jembatan tergantung kadar amalnya. Yang paling cepat melintasinya dalam keadaan selamat adalah orang yang paling unggul amal salihnya dan terbebas dari amal buruk, yakni orang-orang yang telah diistimewakan Allah dengan sabiqatul husna. Mereka melintasi jembatan dalam sekejap mata. Setelah mereka, ada orang-orang yang melintasi jembatan secepat kilat. Lalu ada yang secepat angin, ada yang secepat burung terbang, ada yang secepat kuda pacu. Di antara mereka juga ada yang melintasinya sambil berlari kecil, berjalan kaki dan ada pula yang merangkak.

Kesimpulannya, kemantapan mereka dalam melewati ash-shirath al-hisi (jembatan yang nyata) di akhirat sesuai kadar kemantapan mereka dalam menetapi ash-shirath al-ma’nawi (syariat Rasulullah) saat di dunia.

Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai, bukan pula jalan mereka yang sesat, amin.

Hikmah adanya jembatan itu untuk membuat sedih orang kafir dengan kebahagiaan orang mukmin setelah sama-sama berada di persinggahan mahsyar. Selain itu, juga untuk menampakkan bahwa selamat dari neraka bagi orang yang beriman itu merupakan anugerah dan kemurahan dari Allah. Sungguh, Allah Ta’ala Mahakasih terhadap orang-orang yang beriman.

22. Sungai di Surga (Al-Kautsar)

Salah satu hal yang wajib diyakini keberadaannya adalah al-kautsar, yakni sungai yang ada di surga. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-kautsar.” [QS. al-Kautsar 108:1]

Di dalam hadis shahih yang meriwayatkan kisah isra’, Rasulullah saw. bersabda, “Ketika aku berjalan di dalam surga, tiba-tiba aku dihadapkan pada sebuah sungai yang di kedua tepinya terdapat kubah-kubah intan. Aku bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, apa ini?” dan Jibril menjawab, “Ini adalah al-Kautsar yang telah Allah berikan kepadamu.” Lalu Jibril mengambil lumpur sungai itu, ternyata berupa misik yang sangat wangi.

Di dalam hadis dari Ibn ‘Umar disebutkan, “Al-Kautsar adalah sungai yang ada di surga, kedua tepinya adalah emas, tempat alirannya adalah intan dan mutiara, lumpurnya lebih wangi daripada misik, airnya lebih manis daripada madu, lebih putih daripada susu dan lebih sejuk daripada es.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi, dan ia berkata bahwa derajat hadis ini hasan shahih.

23. Syafa’at

Pada Hari Kiamat, Rasulullah saw. akan memberikan syafa’at kepada umatnya, kita wajib meyakininya. Syafa’at Rasulullah saw. sungguh diterima oleh Allah. Beliaulah yang terdepan di antara semua yang bisa memberi syafa’at kelak, yakni para nabi, para rasul dan para malaikat yang didekatkan (al-muqarrabun).

Rasulullah saw. bersabda, “Di Hari Kiamat kelak, aku adalah orang yang pertama memberi syafa’at dan menerima syafa’at, bukan sombong.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadis tentang syafa’at ini mutawatir. Saat Hari Kiamat terjadi, manusia bangkit dari kubur sambil mengirapkan debu dari kepala dan wajah. Lalu mereka membuka mata seperti orang mabuk, padahal tidak mabuk, melainkan sibuk dengan diri masing-masing. Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menugaskan malaikat kepada masing-masing mereka, untuk menggiring mereka menuju al-mauqif (persinggahan), didampingi oleh saksi dari dirinya, yakni anggota tubuh dan jasadnya. Kemudian mereka digiring menuju padang mahsyar, yakni dataran seputih perak yang disediakan oleh Allah untuk mengumpulkan seluruh umat sejak yang awal sampai yang terakhir. Setelah mereka berkumpul, matahari mendekat di atas kepala mereka hingga hanya berjarak sekitar satu mil, dan panasnya dilipatgandakan sampai tujuh puluh kali lipat. Kondisi itu membuat otak mereka mendidih. Mereka semakin menderita dan berdesakan, hingga di atas setiap kaki bertumpuk seribu kaki. Keringat pun demikian deras dan membanjir, seperti disabdakan Rasulullah saw., “Sesungguhnya pada Hari Kiamat, keringat merasuk ke dalam bumi hingga sedalam tujuh puluh hasta, dan keringat mereka membanjir hingga setinggi mulut dan telinga mereka.” (HR. Muslim)

Tetapi keadaan seperti itu berlaku tidak untuk semua. Karena, keringat masing-masing orang pada waktu itu berbeda sesuai kadar dosanya. Di antara mereka ada yang terendam keringat hanya sampai mata kaki, ada yang sampai lutut, sampai ketiak, ada yang sampai leher, dan ada yang sampai tenggelam. Ada juga yang sama sekali tidak tersentuh banjir keringat. Di antara mereka juga ada yang mendapat keteduhan naungan ‘Arsy, yakni mereka yang dimuliakan oleh Allah, sebagaimana ditunjukkan di dalam hadis-hadis shahih Nabi saw.

Kemudian manusia berdiam—ma sya’ Allah—demikian lama hingga kepayahan dan kesusahan semakin mendera. Mereka menengadahkan wajah ke atas tanpa berucap sepatah kata pun. Menurut satu pendapat, keadaan itu berlangsung selama empat puluh tahun waktu dunia.

Setelah demikian lama menunggu dan kepayahan semakin mendera mereka, mereka berusaha mencari orang yang dapat menolong mereka, agar mereka bisa istirahat dari diam dan derita. Mereka bicara satu sama lain, “Mari kita mendatangi Adam bapak moyang kita, kita minta syafa’atnya pada Allah.” Mereka mendatangi Adam a.s. dan berkata, “Engkau adalah bapak manusia, Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya sendiri, dan Dia telah memerintahkan malaikat bersujud kepadamu. Maka syafa’atilah kami, mohonkanlah kepada Allah agar Dia memindahkan kami dari tempat ini.” Adam menjawab, sungguhnya pada hari ini Allah Ta’ala amat murka, tidak pernah Dia semurka hari ini, tidak pula kelak. Sesungguhnya aku punya masalah vang membuatku amat khawatir dan tidak berani memohonkan syafa’at kepada Allah. Diriku, diriku, diriku,.. Pergilah kepada Nuh! Dia akan menyafa’ati kalian.”

Mereka mendatangi Nuh dan berkata, “Wahai Nuh, syafa’atilah kami, mohonkan kepada Allah agar Dia memindahkan kami dari tempat perhentian ini. Sungguh Allah telah menjadikanmu sebagai orang pilihan dan menamaimu dengan sebutan ‘abdan syakuran (hamba yang sungguh bersyukur).” Nuh memberikan jawaban kepada mereka sama seperti jawaban Adam. Nuh menyarankan mereka agar menemui Ibrahim a.s. Mereka pun mendatangi Ibrahim dan berkata kepadanya, “Engkau Khalilullah (kekasih Allah), syafa’atilah kami pada Allah.” Ibrahim memberikan jawaban kepada mereka sama seperti jawaban Adam dan Nuh. Ibrahim menyarankan mereka agar menemui Musa a.s. Mereka mendatangi Musa dan berkata, “Engkau kalimullah, syafa’atilah kami.” Namun Musa pun memberikan jawaban yang sama kepada mereka. Musa menyarankan mereka agar meminta syafa’at kepada ‘Isa a.s. Mereka pun mendatangi ‘Isa dan berkata, “Engkau adalah rasul Allah, engkau adalah kalimah-Nya yang telah dia titipkan di rahim Maryam, dan engkau pun adalah ruh dari-Nya. Berilah kami syafa’at.” Nabi ‘Isa memberikan jawaban yang sama kepada mereka. Lalu dia menyuruh mereka pergi kepada Sayyidina Muhammad saw.

Pada akhirnya mereka mendatangi Rasulullah Muhammad saw. Wajah beliau sungguh bercahaya menerangi seluruh makhluk. Lalu mereka memanggil-manggil beliau dari bawah mimbarnya yang tinggi, “Wahai sang kekasih Tuhan semesta alam, wahai sang penghulu para nabi dan rasul. Sungguh, masalah kami demikian berat. Telah lama kami berada di tempat ini, kepayahan dan kesusahan pun semakin dahsyat mendera kami. Berilah kami syafa’at, mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk memutus perkara kami, agar siapa di antara kami yang bakal menghuni surga segera diperintahkan masuk surga, dan siapa yang bakal menghuni neraka segera diperintahkan masuk neraka. Tolonglah kami…tolonglah kami, ya Muhammad. Engkaulah sang pemangku kebesaran yang telah diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Rasulullah saw. bersabda, “Ya. Aku akan memberi syafa’at, Insya Allah.”

Kemudian Rasulullah saw. berdiri di suatu tempat yang tidak seorang pun makhluk selain beliau bisa berdiri di tempat itu. Beliau bersujud kepada Allah Ta’ala. Beliau memuji-Nya dengan pujian yang Dia ilhamkan langsung saat itu kepada beliau, pujian yang tidak pernah diungkapkan siapa pun selain beliau. Lalu beliau diseru, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah syafa’at, engkau bisa memberi syafa’at. Mintalah, engkau pasti diberi. Berbicaralah, engkau pasti didengar.” Kemudian Rasulullah saw. mengangkat kepala dan memohonkan syafa’at untuk seluruh umat agar segera dipindahkan dari tempat penantian itu. Beliau berucap, “Ya Rabb, perintahkanlah hamba-hamba-Mu untuk segera menjalani hisab. Sungguh, derita sudah sangat dahsyat mendera mereka.” Permohonan beliau dikabulkan. Inilah syafa’at yang pertama digelar, untuk mengistirahatkan umat dari derita penantian. Inilah al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang disanjung-sanjung oleh semua makhluk, dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Mereka tidak langsung diilhami untuk mendatangi Muhammad saw. pada kali yang pertama, itu untuk menampakkan keunggulan dan kemuliaan beliau.

Ketahuilah bahwa syafa’at terdiri dari beberapa macam. Syafa’at terbesar adalah syafa’at untuk segera memutus perkara dan mengistirahatkan umat dari penantian yang amat lama. Syafa’at ini khusus dimiliki oleh Rasulullah Muhammad saw. Kedua, syafa’at untuk memasukkan ahli surga ke surga tanpa hisab. Al-lmam an-Nawawi mengatakan bahwa syafa’at ini juga khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. Ketiga, syafa’at untuk menahan orang dari neraka, padahal orang itu harus masuk neraka. Keempat, syafa’at untuk mengeluarkan ahli tauhid dari neraka. Selain dimiliki oleh Rasulullah saw., syafa’at yang keempat ini juga dimiliki oleh para nabi, para malaikat dan kaum mukmin. Kelima, syafa’at untuk memberikan tambahan derajat di dalam surga bagi yang berhak. Keenam, syafa’at untuk meringankan siksa bagi orang yang mendapat siksa abadi. Syafa’at ini khusus dimiliki RasuluIlah Muhammad saw.

24. Neraka

Neraka sungguh nyata adanya, kita wajib meyakini keberadannya. Kenyataan ini ditegaskan di dalam Alqur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. at-Tahrim 66:6]

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya api kalian di dunia ini hanya satu bagian dari tujuh puluh bagian api (neraka) Jahanam. Seandainya api yang hanya satu bagian itu tidak aku padamkan dua kali dengan air, niscaya kalian tidak dapat memanfaatkannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam Ahmad, Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya, dan al-Baihaqi. Ibnu Majah dan al-Hakim menilai hadis ini shahih, dan dalam riwayat mereka ada tambahan, “Dan api itu berdoa kepada Allah agar tidak dikembalikan lagi ke dalam neraka.”

Yang dimaksud dengan neraka adalah rumah penyiksaan dengan semua tingkatannya. Allah Ta’ala telah menciptakannya dan menyediakannya untuk orang-orang kafir yang akan abadi berada di dalamnya, juga untuk sebagian mukmin yang berdosa yang akan menghuni neraka dalam waktu tertentu dan kemudian dikeluarkan darinya, sesuai kehendak Allah Ta’ala.

Kesimpulannya, golongan yang selamat dari neraka ada dua. Pertama, yang selamat dari semua siksa neraka. Ini adalah kelompok muslim yang taat dan terbebas dari berbagai keburukan. Kedua, kelompok yang mendapat siksa ringan, seperti tergores duri. Kelompok ini adalah sebagian kaum muslim yang berdosa, tetapi kebaikannya masih lebih banyak daripada keburukannya.

Golongan yang tidak selamat dari neraka juga ada dua. Pertama, orang kafir yang akan kekal di dalam neraka. Kedua, orang mukmin yang amal buruknya melebihi amal baiknya. Mereka tidak kekal di dalam neraka.

Neraka yang merupakan rumah penyiksaan itu bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Mudah-mudahan Allah melindungi kita hingga tidak sampai terjerumus ke dalamnya.

Neraka terdiri dari tujuh tingkatan. Yang paling atas adalah Jahannam, diperuntukkan bagi orang mukmin yang dihisab sesuai kadar dosanya. Neraka ini kelak akan lenyap setelah semua kaum mukmin yang sempat memasukinya diangkat keluar. Di bawah Jahannam adalah Lazha, diperuntukkan bagi orang Yahudi. Kemudian di bawahnya lagi ada al-Huthamah, disediakan bagi orang Nasrani. Di bawahnya lagi adalah as-Sa’ir, disediakan untuk kaum Shabi’in, yakni kelompok Yahudi yang bertambah-tambah kesesatannya. Kemudian di bawahnya lagi adalah Neraka Saqar, diperuntukan bagi orang Majusi, yakni para penyembah api. Lalu al-Jahim, disediakan untuk para penyembah berhala. Yang terakhir adalah al-Hawiyah, disediakan untuk kaum munafiq.

25. Surga

Keberadaan surga sungguh benar, kita wajib meyakininya. Kenyataan ini telah ditegaskan di dalam Alqur’an dan hadis. Allah Ta’ala berfirman, “Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” [QS. Maryam 19:63]

Rasulullah saw. bersabda di dalam satu hadis riwayat Muslim, “Kita adalah umat terakhir, namun paling awal di Hari Kiamat. Akulah orang yang paling awal masuk surga.”

Allah Ta’ala telah menciptakan surga sebagaimana Dia juga telah menciptakan neraka. Surga diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, murni sebagai anugerah-Nya. Di dalam surga, mereka menikmati berbagai kesenangan yang wujudnya tak terbayangkan akal. Di dalamnya ada sesuatu yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terbesit di dalam hati manusia. Surga berada di atas langit ke tujuh, sedangkan neraka berada di bawah bumi ke tujuh.

Surga terdiri dari beberapa tingkatan. Yang paling sempurna dan utama adalah al-Firdaus. Itulah surga yang tertinggi. Atapnya adalah ‘Arsy ar-Rahman, dan dari ‘Arsy itu mengalir sungai-sungai surga. Surga mempunyai beberapa nama. Yaitu, Jannatul-Ma’wa, Jannatul-Khuld, Jannatu-‘Adn, Darus-Salam, Darul-Jalal dan Darun-Na’im.

Ketahuilah bahwa surga merupakan tempat yang suci dari segala kotoran dan najis seperti air kencing, berak, haid, nifas, ludah dan mani. Ampas makanan mereka yang keluar dari depan dan belakang laksana tetesan misik.

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa debu surga berupa misik dan za’faran. Di setiap istananya ada satu dahan dari pohon Thuba yang bisa mengeluarkan buah apa pun yang diinginkan. Apabila sang penghuni menginginkan makan misalnya, ia akan berucap, subhanakallahumma, serta merta di hadapannya akan tersedia hidangan berisi semua hal yang dia inginkan. Apabila selesai makan, ia akan berucap, Alhamdulillahi rabbil-‘alamin, dan hidangan itu pun diangkat.

26. Memandang Wajah Mulia Sang Kekasih

Di akhirat, Allah Ta’ala akan memuliakan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memberi mereka kesempatan untuk melihat wajah mulia-Nya dengan mata kepala, setelah mereka masuk surga dan sebelumnya. Tetapi, mereka melihat wajah-Nya tanpa bagaimana dan seperti apa. Alqur’an dan hadis telah menegaskan kenyataan ini. Allah Ta’ala berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” [QS. al-Qiyamah 75:22-23]

Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti kalian melihat bulan di malam purnama.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Yang diserupakan di dalam hadis ini adalah penglihatan, yakni tiadanya keraguan dan kesamaran dalam penglihatan, bukan penyerupaan objek penglihatan (sungguh, Allah tidak bisa diserupakan dengan sesuatu pun selain Dia). Dalil akal tentang mungkin-nya melihat Allah, itu karena melihat merupakan salah satu bentuk ketersingkapan dan ilmu bagi subjek yang melihat objek, ketersingkapan yang diciptakan Allah ketika indera berhadapan langsung dengan objek. Dan Allah bisa saja menciptakan ketersingkapan yang sama bagi subjek yang tidak berhadapan langsung dengan objek. Seperti kenyataan Rasulullah saw. yang dapat melihat orang yang berada di balik punggungnya seperti beliau melihat orang yang berada di hadapan matanya. Atau, seperti kenyataan bahwa Allah Ta’ala melihat kita bukan dengan berhadapan atau dari arah tertentu.

Telah maklum bahwa ‘melihat’ merupakan pertalian khusus antara yang melihat dan yang dilihat. Berdasarkan akal, bila salah satu di antara yang melihat dan yang dilihat itu ada di arah tertentu, maka yang satunya lagi juga demikian. Demikian pula bila salah satunya jelas tidak berada di arah tertentu, maka yang satunya lagi juga tidak di arah tertentu.

Kami mengatakan bahwa pemuliaan tersebut hanya bagi orang yang beriman, untuk menafikan orang kafir. Karena orang-orang kafir sungguh tidak akan pernah melihat Allah di Hari Kiamat. Allah Ta’ala berfirman, ”Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” [QS. al-Mutaffifin 83:15]. Tidak pula orang-orang kafir itu akan melihat Allah di surga, karena mereka sungguh tidak akan masuk surga. Bagi yang berminat mengetahui lebih jauh tentang pembahasan ini, silakan merujuk kitab kami yang berjudul Dhau’ as-Siraj fi al-lsra’ wa al-Mi’raj.

27. Bab IV – Iman, Islam, Ihsan, Din, Qadha dan Qadar (Bag. Iman)

Iman adalah membenarkan dengan hati. Yaitu tunduk patuh dan menerima perkara yang niscaya dari agama Sayyidina Muhammad saw. Yakni yang tampak dan masyhur yang diketahui oleh umum, seperti keesaan Sang Pencipta Yang Mahasuci, kenabian Muhammad saw., adanya kebangkitan manusia dari kubur, adanya balasan amal, wajibnya shalat, zakat dan haji, haramnya khamar, zina, riba dan lainnya.

Beriman secara utuh tentang hal-hal yang diterangkan secara menyeluruh dianggap cukup sebagai iman. Seperti mempercayai adanya para malaikat yang umum diketahui, mempercayai kitab-kitabnya dan para rasul-Nya. Namun untuk hal-hal yang diriwayatkan secara rinci, disyaratkan untuk beriman pula. Seperti mempercayai Jibril, Mika’il, Musa, ‘Isa, Taurat, Zabur, Injil dan yang lainnya. Sehingga orang yang tidak membenarkan salah satunya saja setelah dia mengetahui bahwa keterangannya ada di dalam Alqur’an dan hadis, maka dia kafir.

Beriman kepada Allah dan rasul-Nya adalah tunduk patuh dan menerima semua yang dikabarkan Allah Ta’ala melalui lidah rasul-Nya dan tunduk patuh serta menerima semua yang disampaikan sang rasul dari-Nya.

Iman adalah amalan hati yang tidak berkaitan dengan lisan dan anggota badan. Hanya saja, karena iman merupakan amal batin yang tidak dapat dilihat mata sehingga tidak bisa dikenai hukum-hukum syara, maka sang pemangku syariat membuat penanda bagi hal yang ada di hati seseorang, yaitu al-iqrar bil-lisan (pernyataan lisan). Pernyataan lisan ini menjadi penanda bagi keyakinan hati sekaligus menjadi syarat (landasan) untuk memberlakukan hukum-hukum dunia kepadanya. Seperti, shalat di belakangnya (boleh bermakmum kepadanya), boleh dishalati saat mati, dikubur di pekuburan muslim, darah dan harta bendanya dilindungi, boleh menikahi wanita muslimah dan lainnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka terpeliharalah darah dan harta benda mereka dariku, kecuali pelaksanaan kalimah itu, perhitungannya urusan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud mengucapkan la ilaha ilallah di dalam hadis itu bukan sekadar mengucapkan la ilaha ilallah, melainkan disambung dengan muhammad rasulullah. Sebab kesaksian la ilaha ilallah menjadi batal bila tidak disertai kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Simpulannya, iman adalah membenarkan dengan hati saja, dan baginya berlaku hukum-hukum akhirat. Sedangkan pernyataan lisan adalah syarat untuk memberlakukan hukum-hukum dunia. Barangsiapa mengungkapkan pernyataan dengan lisannya tetapi tidak membenarkan dengan hatinya (beriman dengan lisan tetapi tidak dengan hati), maka dia adalah mukmin menurut kita dan kafir menurut Allah Ta’ala, dan dia menjadi ahli neraka. Barangsiapa membenarkan dengan hati tetapi tidak mengungkapkan pernyataan dengan lisannya karena udzur, maka dia kafir menurut kita dan mukmin menurut Allah Ta’ala’ dan dia menjadi ahli surga. Sedangkan orang yang tidak mengungkapkan pernyataan dengan lisan dan tidak pula membenarkan dengan hatinya, maka dia adalah kafir menurut kita dan menurut Allah Ta’ala.

Para ulama telah sepakat bahwa bila pernyataan lisan itu dituntut, maka seseorang akan dihitung beriman hanya bila dia mengungkapkan pernyataan lisan. Apabila dia tidak mau mengungkapkan pernyataan lisannya karena sombong, dia sungguh kafir yang melawan. Inilah makna qaul ulama bahwa meninggalkan perlawanan merupakan syarat kebenaran iman.

Kesimpulannya, di dalam kebenaran dan ketegasan iman, pembenaran hati meliputi banyak hal yang bila dilanggar berarti melanggar iman. Di antaranya, bersujud kepada patung, membunuh nabi, menganggap remeh nabi, mushhaf atau Ka’bah. Apabila ada satu saja dari hal-hal itu di dalam diri seseorang, maka iman orang itu rusak, dalam pandangan kita dan Allah Ta’ala.

CATATAN

Ulama berbeda pendapat tentang kenyataan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Mazhab Jumhur Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan berkurang dengan berkurangnya ketaatan. Pendapat ini ditunjukkan oleh Alqur’An dan hadis-hadis yang shahih. Makna bertambah dan berkurangnya iman adalah menguatnya sebagian unsur iman hingga lebih kuat dari unsur iman lainnya di dalam tingkat keyakinan. Seperti, kenyataan bahwa satu sebagai setengah dari dua, lebih meyakinkan daripada kenyataan bahwa alam ini adalah sesuatu yang baru.

Allah Ta’ala berfrman, “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” [QS. al-Fath 48:4]

Allah Ta’ala berfirman, “…supaya orang yang beriman bertambah imannya…” [QS. al-Muddatsir 74:31]

Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Ibrahim, “Tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” [QS. al-Baqarah 2:260]. Maksudnya agar ketenangan hatinya bertambah. Sebab ketenangan itu sudah ada pada hati Ibrahim. Ayat ini juga menampakkan bahwa iman siapa pun tidak ada yang sesempurna iman Rasulullah Muhammad saw.

Iman Abu Bakr lebih kuat daripada iman umat Islam yang lain. Hal ini ditegaskan di dalam sebuah hadis mauquf, “Abu Bakr mengungguli kalian bukan karena shalat atau puasanya. Dia mengungguli kalian dengan apa (iman) yang tertanam kuat di dadanya.”

Ibnu ‘Umar r.a. ditanya, “Apakah iman bisa bertambah dan berkurang?” dan dia menjawab, “Ya. Iman bertambah sampai orang yang memilikinya masuk surga. Iman juga bisa berkurang sampai pemiliknya masuk neraka.”

Para ulama berbeda pendapat apakah seorang mukmin boleh atau tidak untuk berkata, “Saya seorang yang beriman, jika Allah menghendaki.” Yang jelas, jika yang dimaksud dengan iman adalah murni iman sebagai keyakinan, maka tidak boleh ta’liq (mengaitkannya dengan jika Allah menghendaki), sebab dalam ke-kini-annya iman itu sudah ada. Namun jika yang dimaksud iman di sini adalah penentu keselamatan dan pahala, maka ta’liq diperbolehkan. Sebab, saat itu belum diketahui kepastian hasilnya. Tentang hal ini terdapat dua kelompok pendapat sebagaimana diriwayatkankan oleh al-‘Allamah at-Taftazani.

Iman terdiri dari empat tingkatan. Pertama, iman orang-orang munafik, yakni iman yang hanya di lisan mereka, tetapi tidak dengan hati. Iman mereka hanya bermanfaat bagi mereka di dunia, untuk memelihara darah dan harta benda mereka. Sedangkan di akhirat, mereka seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka” [QS. an-Nisa 4:145]

Kedua, iman kebanyakan orang mukmin. Mereka beriman dengan hati dan lisan, tetapi mereka berperilaku tidak sesuai dengan tuntutan-tuntutan iman. Pada diri mereka tidak nampak buah keyakinan. Mereka tidak sepenuhnya pasrah pada pengaturan dari Allah. Mereka merasa takut dan berharap kepada yang selain Dia, mereka berani menyalahi perintah dan larangan-Nya.

Ketiga, iman orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-Muqarrabn). Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadirkan simpul-simpul keimanan, dan batin mereka tercetak demikian. Mata hati mereka menjadi seakan-akan melihat segala sesuatu muncul dari sumber kuasa azali. Buah iman pun tampak pada diri mereka. Mereka tidak melihat sesuatu pun lebih tinggi daripada Allah. Mereka tidak takut dan tidak berharap selain kepada-Nya. Sebab mereka mengetahui bahwa makhluk tidak memiliki kemanfaatan dan kemadharatan, tidak memiliki mati, hidup ataupun kebangkitan. Mereka tidak cinta kepada selain Allah. Sebab, bagi mereka tidak ada yang berbuat baik selain Allah. Karena itu asy-Syaikh Abu al-Hasan r.a. berdoa, “Anugerahilah kami iman sejati, hingga kami tidak lagi takut selain kepada-Mu, tidak berharap selain kepada-Mu, tidak mencintai selain diri-Mu dan tidak menghamba selain kepada-Mu.”

Mereka tidak sedikit pun menolak perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pula hukum-hukum-Nya. Sungguh, mereka yakin Dia adalah al-Hakim (Yang Mahabijak). Mereka melihat bahwa akhirat adalah tempat menetap abadi, maka mereka pun menempuh hidup dunia ini sebagai jalan menuju akhirat.

Keempat, iman orang-orang yang sudah fana di dalam tauhid dan tenggelam di dalam musyahadah (penyaksian Allah). Seperti yang tampak di dalam ungkapan Sayyidi ‘Abdussalam, “Allah telah menenggelamkan aku di samudera kesatuan, hingga aku tidak melihat, tidak mendengar, tidak mendapati dan tidak merasakan selain yang satu,” Sayyidi ‘Abdussalam juga berkata, “Kumpulkanlah antara aku dan Engkau, dan pisahkanlah antara aku dan selain Engkau.” Maqam ini kadang didapat dan kadang terputus.

Iman model yang keempat ini juga tampak dalam ungkapan salah seorang ‘arif, “Aku melihat Tuhanku dengan mata hatiku. Maka aku berkata: tidak ragu Iagi Engkau adalah Engkau.” Atau seperti yang tampak dari ungkapan asy-Syaikh Abu al-Hasan, “Sesungguhnya aku melihat Allah dengan mata keyakinan dan keimanan.”

Keterangan di atas sudah cukup bagi kami, sehingga tidak perlu lagi dalil dan bukti untuk menjelaskan kepada orang-orang. Apakah di dalam wujud ada sesuatu selain Allah Yang Haqq? Kita tidak melihatnya. Sekalipun ada, kita melihatnya laksana debu di udara yang saat Anda perhatikan dengan seksama, akan Anda dapati semua itu bukan apa-apa. Tentang kenyataan ini ada seorang ‘ãrif yang berkata, “Pemandangan itu tampak besar di hadapanku hingga seakan-akan dia sungguh nyata, padahal ia sekadar angan-angan.”

Seorang ‘arif lainnya berkata,

Sejak aku mengenal Tuhan, aku tidak melihat selain Dia

demikian pula yang selain Dia, bagiku terlarang

Sejak aku berkumpul, aku tidak khawatir berpisah

sungguh, sekarang aku telah sampai dan berkumpul

Ketahuilah bahwa iman merupakan anugerah nikmat yang paling utama di atas segalanya. Engkau mengerti bahwa Allah Ta’ala telah memuliakan Anda dengan nikmat iman hingga iman jadi menyenangkan bagimu,  dan engkau tidak menyukai kekufuran, kefasikan dan maksiat. Engkau juga paham bahwa nikmat ini murni merupakan anugerah dan nikmat dari-Nya, yang tidak seorang pun berhak mendapatkannya. Engkau mengerti bahwa dengan iman itu, Allah telah melebihkanmu dari kebanyakan orang sepertimu. Karena itu, nilailah nikmat iman sesuai dengan nilainya. Lalu laksanakan kewajiban mensyukurinya.

Sungguh, iman adalah modal dasar keselamatan dan kemuliaan. Iman sebagai modal keselamatan, sebab dengan iman akan diperoleh pertolongan Allah dari dahsyatnya siksa kubur, Hari Kiamat, timbangan amal, jembatan, neraka, pengusiran, pengasingan dan murka. Iman juga merupakan modal kemuliaan, karena dengan iman engkau akan memperoleh nikmat kubur, berupa perluasan ruang kubur, keramahan kubur dan pembukaan pintu ke surga untuk jalan ruhmu memasukinya dan menikmati berbagai kesenangannya. Dengan iman engkau bisa menikmati kesenangan surga: bidadari-bidadari, istana-istana, bermacam-macam pakaian, makanan dan minuman. Dengan iman pula engkau akan memperoleh kenikmatan puncak, yakni memandang Wajah Mulia Sang Kekasih.

Di dalam satu riwayat disebutkan, “Tidak ada kalimat yang lebih disukai oleh Allah dan tidak ada ungkapan syukur yang lebih besar dalam pandangan-Nya daripada ucapan seorang hamba, “Segala puji bagi Allah Yang telah melimpahkan nikmat dan membimbing kami kepada Islam.”

Sayyidina Yusuf a.s. berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takbir mimpi. (Ya Tuhan), Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” [QS. Yusuf 12:101]

Kalaupun dalam iman hanya ada keselamatan dari huru-hara Hari Kiamat, tentu hal itu sudah cukup dipandang sebagai nikmat terbesar. Sungguh, kedahsyatan pada Hari Kiamat telah membuat para nabi dan rasul selain Muhammad saw. berucap, “diriku… diriku… pada hari ini aku hanya bisa memohon untuk diriku kepada-Mu”, dan kalau pun seseorang memiliki amal sebanyak amal tujuh puluh nabi, dia akan mengira dirinya tidak akan selamat.

28. Islam

Islam adalah al-imtitsal wal-inqiyad (merealisasikan dan tunduk patuh) pada semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., yang telah diketahui dari agama secara pasti. Yang dimaksud dengan al-imtitsal adalah pengakuan dan pernyataan lisan akan kebenaran semua yang disampaikan Nabi Muhammad saw., meliputi tetapnya keesaan Allah Ta’ala dan kerasulan Muhammad saw. Pengakuan dan pernyataan lisan ini bisa dicapai (dianggap cukup) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Jadi, dalam kondisi apa pun, inti Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tetapi Islam akan menyelamatkan hanya jika diikuti dengan kepatuhan hati yang merupakan bagian dari iman. Maka ketahuilah bahwa islam yang menyelamatkan dan iman adalah dua hal yang saling berkaitan erat (tak terpisahkan).

Ikrar keislaman memiliki syarat yang jika tidak dipenuhi, keislamannya tidak diterima. Syarat itu adalah an-nafyi (penafian) dan al-itsbat (pengukuhan/penetapan). Dalam ikrar keislaman, seseorang dianggap tidak cukup islam bila hanya berucap, “Allah itu esa dan Muhammad adalah rasul-Nya.” Ini pendapat kebanyakan ulama, di antaranya para ulama Syafi’iyyah. Ada memang pendapat yang tidak mensyaratkan nafyi dan itsbat, yang penting pernyataan yang menunjukkan pengakuan akan keesaan Allah Ta’ala dan kerasulan Muhammad saw., dan ini pendapat yang dipegang oleh mazhab Maliki.

Menurut pendapat yang pertama, selain disyaratkan adanya nafyi dan itsbat, ikrar keislaman juga memiliki syarat sah lainnya. Di antaranya adalah menyertakan kata asyhadu (aku bersaksi) dan memahami makna ucapan yang dipersaksikannya, yakni dengan mengucapkan asyhadu al-la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar-rasulullah disertai pemahaman maknanya, meski hanya makna umumnya saja. Karena itu, bila seorang non Arab di-talqin mengucapkan dua kalimah syahadat dalam bahasa Arab, lalu dia mengucapkannya tanpa memahami maknanya, keislamannya belum bisa diterima.

Syarat lainnya adalah tertib. Pengucapan dua kalimah syahadat harus berurut secara tertib. Yakni, asyhadu al-la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar-rasulullah. Jika pengucapannya dibalik menjadi asyhadu anna muhammadar-rasulullah wa asyhadu al-la ilaha illallah, maka ikrar keislamannya tidak sah. Ini menurut pendapat yang paling kuat.

Selain menyertakan kata asyhadu, memahami maknanya dan tertib dalam pengucapannya, pengucapan dua kalimah syahadat sebagai ikrar keislaman juga harus beruntun. Apabila pengucapan kalimat syahadat yang kedua (asyhadu anna muhammadar-rasulullah) sampai terpaut dari syahadat yang pertama dalam jeda yang lama, maka keislamannya dianggap tidak sah, menurut pendapat yang paling kuat.

Syarat lainnya adalah baligh dan berakal. Ikrar syahadat keislaman seseorang yang belum baligh atau tidak berakal dianggap tidak sah. Statusnya hanya ikut-ikutan. Selain itu, orang yang melakukan ikrar disyaratkan untuk tidak menampakkan hal yang menafikan kesaksiannya. Ikrar tidak sah dilakukan oleh seseorang yang sedang bersujud kepada berhala.

Ikrar keislaman juga harus berdasarkan kemauan sendiri. Tidak sah ikrar keislaman orang yang dipaksa. Kecuali bila dia kafir harbi atau orang yang murtad. Itu pun dengan syarat dia harus mengakui kembali apa yang sempat dingkarinya dan kembali dari kesesatannya.

29. Ihsan

Hakikat ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis dari Jibril.

Al-Jalal al-Mahalli berkata, “Hakikat ihsan adalah merasa senantiasa diawasi Allah Ta’ala di dalam semua peribadatan yang meliputi iman dan islam, sehingga semua peribadatan sang hamba itu sampai pada tingkat kesempurnaan dalam keikhlasan.”

Ilmu (kesadaran) hamba akan kenyataan bahwa Allah senantiasa melihatnya, itu lebih sempurna di dalam tanzih (penyucian) daripada penyaksiannya terhadap al-Haqq. Sebab, hamba hanya akan menyaksikan-Nya sesuai kadar akalnya, padahal Allah Mahasuci dari semua citraan akal. Lain halnya dengan kesadaran hamba bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihatnya. Apabila hamba beribadah kepada Tuhannya seakan-akan dia melihat-Nya, tentu dia akan mendapati bahwa perbuatan itu milik Allah, hamba sama sekali tidak memiliki andil apa pun dalam perbuatan itu. Hamba dihukumi berbuat hanya karena dia menjadi tempat pemunculan perbuatan itu, tiada lain. Barangsiapa telah menyaksikan kesaksian ini, berarti dia telah memurnikan amalnya kepada Allah, tidak menyekutukan Dia dengan dirinya dalam perbuatan itu.

Ketahuilah bahwa orang yang menduduki maqam ihsan, pada diri mereka tidak akan terbersit kemaksiatan selagi mereka berada dalam keihsanan. Karena itu para nabi senantiasa ma’shum (terjaga dari perbuatan maksiat). Hal serupa terjadi pula pada diri para wali, karena kediaman mereka dalam ihsan. Bedanya, para nabi senantiasa ihsan di semua keadaannya, sedang para wali tidak di semua keadaannya, tetapi hanya di sebagian besar keadaannya.

30. Din (Agama)

Ad-din, asy-syar’, asy-syari’ah dan al-millah memiliki makna yang sama. Yakni, hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah Ta’ala melalui lisan Rasulullah Muhammad saw.

Apabila Anda bertanya, “Apakah orang yang menghina agama dihukumi kafir dan ikatan pernikahan dengan istrinya menjadi rusak (cerai)?” Kami jawab, “Ya. Demikianlah hukumnya. Seperti halnya orang yang mengingkari perkara-perkara agama yang niscaya diketahui.”

Jika Anda bertanya, “Bagaimana hukumnya jika dia bertobat dan kembali kepada Islam, apakah istrinya kembali berada dalam perlindungannya atau tidak?” Aku jawab, “Apabila dia bermazhab Syafi’i dan dia merujuk sang istri sebelum habis masa ‘iddah-nya, maka sang istri kembali menjadi istrinya. Apabila dia bermazhab Maliki atau Hanafi, dia hanya bisa mengembalikan istrinya dengan akad dan mahar baru, tidak bisa dengan sekadar rujuk. Tidak ada perbedaan antara yang murtad itu suami atau istri. Keduanya berada di dalam hukum yang sama.”

31. Qadha dan Qadar

Qadha’ adalah hubungan azali kehendak Allah dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan sesuai ilmu-Nya, dan ini merupakan sifat Dzat. Sedangkan qadar adalah pewujudan sesuatu dengan ukuran tertentu dan arah tertentu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala, dan ini merupakan sifat af’alQadha’ bersifat qadim, sedangkan qadar bersifat hadits.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli kebenaran tentang kenyataan qadha’ dan qadar sebagai bagian dari akidah yang wajib diimani. Karena itu, kita wajib meyakini bahwa ilmu dan kehendak Allah berhubungan di zaman azali dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan. Kita juga harus yakin bahwa kuasa Allah berhubungan dengan segala sesuatu dalam kesinambungan sesuai hubungan ilmu dan iradah-Nya dengan segala sesuatu itu di zaman azali. Dengan demikian, tidak ada hal baru (apa pun yang selain Dia), entah yang baik maupun yang buruk, melainkan keluar dari kehendak dan kuasa-Nya yang selaras dengan ilmu-Nya.

At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba tidak dikatakan beriman hingga dia beriman kepada qadar, terhadap yang baiknya maupun terhadap yang buruknya, dan hingga dia tahu bahwa apa yang telah menimpa dirinya itu menimpa dirinya bukan karena salah sasaran, dan apa yang tidak menimpa dirinya itu memang tidak untuk ditimpakan kepada dirinya.” 

Sayyidina ‘Ali r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba tidak dikatakan beriman hingga ia beriman pada empat hal. Yakni, menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; menyaksikan bahwa aku sungguh rasul Allah yang telah Dia utus membawa kebenaran; mengimani kebangkitan setelah kematian; dan beriman kepada qadar, yang baiknya maupun yang buruknya, yang manisnya maupun yang pahitnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam Ahmad di dalam Musnad-nya. Diriwayatkan pula oleh at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim.

Ada kalanya seorang hamba yang kerdil berdalih bahwa jika kenyataannya demikian, si hamba bisa beralasan, “Mengapa Engkau menyiksa aku, sementara semua perbuatan adalah perbuatan-Mu?” Alasan ini ditolak. Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu apa adanya di azali secara rinci. Sebelum makhluk mewujud, Dia tahu keburukan dan kebaikan yang akan diupayakan oleh hamba setelah mengada, dan Dia menuliskannya sesuai ilmu-Nya.

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abu al-Aswad ad-Duali berkata, “lmran ibn Hushain berkata kepadaku, ‘Perhatikanlah apa yang diperbuat manusia pada hari ini, yang mereka usahakan dengan sungguh-sungguh. Apakah itu sesuatu yang telah diputuskan untuk mereka dan telah berlaku pada mereka dari qadar yang sudah lewat atau yang akan datang, apakah merupakan hal yang telah dikabarkan Nabi saw. dan hujjahnya tegas atas mereka?’ Aku menjawab, ‘Itu adalah sesuatu yang sudah diputuskan dan telah berlaku pada mereka.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Dia (Allah) tidak zalim?’ Aku kaget alang kepalang mendapati pertanyaan itu, lalu aku berkata, ‘Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan merupakan milik-Nya. Dia tidak dituntut tanggung jawab atas apa yang diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban.’ Lalu dia berkata kepadaku, ‘Mudah-mudahan Allah memuliakanmu. Sesungguhnya apa yang aku tanyakan ini hanya untuk menguji akal dan pemahamanmu.” 

Abu Dawud dan Ibnu Majah menutur satu riwayat dari Ibnu ad-Dailami di dalam Sunan-nya. Ibnu ad-Dailami berkata, “Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatiku tentang qadar. Aku khawatir masalah ini akan merusak agamaku. Maka aku pun mendatangi Ubay ibn Ka’ab. Aku bertanya, ‘Wahai Abu al-Mundzir, ada yang mengganjal dalam hatiku, yakni masalah qadar. Aku khawatir masalah ini merusak agamaku. Ceritakanlah padaku sesuatu tentang qadar, mudah-mudahan Allah memberiku manfaatnya.’ Maka Ubay ibn Ka’ab pun berkata, ‘Seandainya Allah hendak menyiksa semua penduduk langit dan bumi, Allah tentu akan menyiksa mereka, dan Dia tidak berbuat zalim kepada mereka. Seandainya Allah menyayangi mereka, sungguh bagi mereka rahmat-Nya itu lebih baik daripada amal mereka[*]. Kalaupun engkau mempunyai emas segunung Uhud dan engkau nafkahkan semuanya dijalan Allah, itu tidak akan diterima sebelum engkau beriman kepada qadar dan engkau harus mengerti bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan yang luput darimu tidak akan menimpa dirimu. Sesungguhnya jika engkau mati tetapi tidak meyakini hal ini, engkau akan masuk neraka. Jika belum yakin, datanglah kepada saudara ‘Abdullah ibn Mas’ud dan tanyakanlah kepadanya.’ Aku mendatangi ‘Abdullah ibn Mas’ud dan menanyakan hal yang sama seperti yang aku tanyakan kepada Ubay. Dan ternyata ‘Abdullah ibn Mas’ud pun memberikan penjelasan seperti yang diuraikan oleh Ubay. Lalu dia berkata ‘Jika keyakinanmu belum mantap, datanglah kepada Khudzaifah.’ Aku mendatangi Khudzaifah dan bertanya tentang hal yang sama. Jawaban Khuzhaifah ternyata sama dengan Ubay dan ‘Abdullah. Lalu dia berkata, ‘Jika engkau belum mantap, datanglah kepada Zaid ibn Tsabit dan tanyakan kepadanya.’ Maka aku pun mendatangi Zaid ibn Tsabit dan bertanya kepadanya. Zaid ibn Tsabit menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Seandainya Allah hendak menyiksa semua penduduk langit dan bumi, Allah tentu akan menyiksa mereka, dan Dia tidak berbuat zalim kepada mereka. Seandainya Allah menyayangi mereka, sungguh rahmat-Nya itu lebih baik daripada amal mereka[*]. Kalaupun engkau mempunyai emas segunung Uhud dan engkau nafkahkan semuanya di jalan Allah, itu tidak akan diterima sebelum engkau beriman kepada qadar dan engkau mengerti bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan yang luput darimu tidak akan menimpa dirimu. Sesungguhnya jika engkau mati tetapi tidak meyakini hal ini, engkau akan masuk neraka.”‘

[*] Yakni, selamat dari siksa itu sungguh murni sebagai rahmat dari Allah, bukan karena amal mereka. Karena itu, bagi mereka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka.

Al-Imam asy-Syafi’i r.a. Berkata,

Apa yang Engkau kehendaki, pasti terjadi, walau aku tidak menghendakinya

Sedangkan apa yang aku kehendaki

tidak akan terjadi bila Engkau tidak menghendakinya

Engkau telah menciptakan hamba selaras dengan ilmu-Mu

Dan di dalam ilmu-Mu, si muda dan orang tua itu berjalan

Yang ini Engkau beri petunjuk, yang itu Engkau nistakan

Yang ini Engkau tolong, yang itu tak Engkau bantu

yang ini sengsara, yang itu bahagia

yang ini buruk, yang itu baik

yang ini kuat, yang itu lemah

semua dikendalikan oleh af’al-Nya

Rasulullah saw. bersabda, “Semua jiwa telah Allah tetapkan tempatnya di surga atau di neraka.”

An-Nawawi berkata dalam komentarnya tentang hadis tersebut, “Al-Imam Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani berkata, ‘Untuk memahami masalah ini harus bersumber pada Alqur’an dan hadis, tidak cukup dengan qiyas dan nalar akal. Barangsiapa mengesampingkan Alqur’an dan hadis, dia akan tersesat dan jatuh ke dalam samudera kebingungan, tidak sampai pada kepuasan jiwa dan tidak akan memperoleh ketenangan hati. Sebab qadar adalah salah satu rahasia Allah Ta’ala yang dibungkus berlapis tabir. Allah memonopolinya sendiri dan menabirinya dari akal dan pengetahuan makhluk, untuk hikmah yang diketahui-Nya. Kewajiban kita adalah tawaqquf, menerima batasan dari Alqur’an dan hadis untuk pemahaman kita, tidak perlu melangkahinya. Pengetahuan tentang qadar Allah telah Dia sembunyikan dari semua makhluk, bahkan nabi utusan pun tidak Dia beritahu, demikian pula para malaikat yang didekatkan.”

Pahamilah paparan yang telah kami suguhkan ini, dan yakinilah akidah yang telah kami jelaskan ini. Jangan sampai engkau tertipu ucapan manis orang yang sesat dan menyesatkan. Jika tidak, niscaya engkau akan binasa bersama mereka yang rusak binasa. “Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. [QS. al-Baqarah 2:213]. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. [QS. az-Zumar 39:37]. Dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun yang akan memberi petunjuk.” [QS. al-Mu’min 40:33]

Ketahuilah bahwa orang yang bahagia (as-sa’id) adalah orang yang dalam ilmu Allah yang azali telah ditentukan dia mati dalam keadaan Islam, walaupun sebelumnya dia sempat kafir. Sedangkan orang yang celaka (asy-syaqi) adalah orang yang dalam ilmu Allah yang azali telah ditentukan dia mati dalam keadaan kafir, walaupun sebelumnya dia sempat Islam. Bahagia adalah mati dalam keadaan Islam. Celaka adalah mati dalam keadaan kafir. Keduanya telah ditakdirkan Allah sejak azali. Bukan berarti bahwa yang bahagia itu mengalami perubahan takdir Allah dari kafir menjadi Islam, tidak pula yang sengsara itu mengalami perubahan takdir dari Islam menjadi kafir. Tetapi dalam ilmu Allah, yang tampak sebagai keberubahan itu adalah perjalanan yang sudah ditentukan dan tidak berubah dalam ilmu Allah yang azali, sebagaimana yang Anda maklumi. Dengan demikian, orang yang sudah diputuskan sebagai orang yang bahagia tidak akan menjadi orang yang celaka, dan orang yang telah diputuskan sebagai orang yang celaka tidak akan menjadi yang selamat. Keselamatan tidak berganti posisi dengan celaka atau sebaliknya, seperti yang telah ditetapkan. Bila tidak demikian, berarti Allah tidak bersifat ilmu, melainkan jahl (tidak tahu), dan ini sungguh mustahil.

Kondisi di akhir hayat (al-khatimah) menjadi petunjuk akan ketentuan Allah yang terdahulu (as-sabiqah). Apabila usia hamba ditutup dengan keislaman, itu menunjukkan bahwa dalam ketentuan azalinya dia tercatat sebagai orang yang bahagia, walaupun di dunia didahului kekufuran. Apabila usia hamba ditutup dengan kekafiran—na’udu billah min dzalik—itu menunjukkan bahwa di azalinya dia tercatat sebagai orang yang celaka, meskipun di dunianya sempat mengalami keislaman. Karena itu, ada ulama yang berkata,

Apabila seseorang dicipta tidak untuk bahagia

Prasangka pengasuhnya akan tertinggal, dan si pengharap pun jadi frustasi

Musa yang diasuh Jibril ternyata kafir

Sedang Musa yang diasuh Fir’aun ternyata rasul Allah

Allah Ta’ala akan memudahkan masing-masing orang untuk melakukan hal yang sesuai dengan penciptaan dirinya. Dengan anugerah-Nya Allah memudahkan orang yang bahagia untuk beriman dan melakukan ketaatan. Dan dengan keadilan-Nya Allah memudahkan orang yang celaka untuk melakukan kekafiran dan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” [QS. al-Lail 92:5-10]

Al-lmam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Suraqah ibn Malik berkata, “Ya Rasulullah, terangkan kepada kami tentang agama kami, seperti kenyataan bahwa kami telah diciptakan saat ini. Di mana posisi amal? Apakah pada kenyataan yang telah dicatat dan telah digariskan takdir, atau akan ditentukan kemudian?” Rasulullah bersabda, “Telah dicatat dan telah digariskan takdir. ” Suraqah berkata, “Lalu, untuk alasan apa amal dilakukan (jika takdir kita telah ditentukan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Beramallah. Sebab semua orang dimudahkan untuk berbuat hal yang untuknya dia diciptakan. Dan setiap orang akan melakukan apa yang harus diperbuatnya.”

Adapun tentang firman Allah Ta’ala, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan,” [QS. ar-Rahman 55:29] maksudnya adalah kesibukan yang tidak bermula.

Penulis kitab al-Kasysyaf berkata, “Suatu hari ‘Abdullah ibn Thahir berkata kepada al-Husain ibn al-Fadhl, ‘Aku menemukan kesulitan dalam memahami firman Allah Ta’ala, Setiap waktu Dia dalam kesibukan, sehubungan dengan adanya hadis shahih yang menyatakan bahwa pena telah kering dengan segala yang sudah ada sampai Hari Kiamat.’ Kemudian al-Husain berkata, ‘Kesibukan yang dimaksud adalah kesibukan menampakkan realitas (yang sudah tercatat) sesuai dengan ketentuan azali yang telah dicatat-Nya, bukan kesibukan mengerjakan sesuatu saat ini, karena takdir Allah telah terdahulu (sabiq).’ Setelah mendengar jawaban itu, ‘Abdullah pun berdiri, lalu mengecup kepala al-Husain.”

Salah seorang ulama berkata, “Suatu hari Ibnu al-Syajari duduk di kursi tempatnya biasa memberikan wejangan kepada murid-muridnya. Saat dia berbicara dan sampai pada ayat: setiap waktu Dia dalam kesibukan, tiba-tiba seorang laki-laki di hadapannya berdiri seraya bertanya, ‘Apa yang dikerjakan Tuhanmu saat ini?’ Beliau diam lalu menangis sedih. Malam harinya dia mimpi bertemu al-Mushthafa saw. Lalu dia bertanya kepada beliau tentang pertanyaan yang didapatnya siang tadi, dan Rasulullah saw. bersabda, ‘Lelaki yang bertanya kepadamu itu adalah Khidhir, dan dia akan kembali lagi kepadamu. Maka jawablah dia: Kesibukan mewujudkannya, bukan memulainya. Dia merendahkan kaum tertentu dan mengangkat kaum lainnya.’ Keesokan harinya ternyata Khidhir datang lagi dan bertanya seperti kemarin. Maka Ibn asy-Syajari pun menjawabnya sebagaimana disarankan Rasulullah saw. Setelah mendengar jawaban itu Khidhir pun berkata kepadanya, ‘Bershalawatlah pada beliau yang telah mengajarimu.”

Inilah akhir uraian kami pada bagian yang pertama. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. 

32. Bagian Kedua: Pencerahan Batin

Para Penempuh Jalan Ruhani

Ada enam kategori orang yang meladang akhirat dan menempuh jalan ruhani untuk mencapainya, yaitu ‘abid (ahli ibadah), ‘alim (ilmuwan), muta’allim (pelajar), wali (penguasa), muhtarif (kaum pekerja, profesional), dan muwahhid yang tenggelam dalam keesaan Dzat Yang Mahaesa, tempat bergantung seluruh makhluk.

Kategori yang pertama adalah ‘abid (ahli ibadah). Yaitu orang yang mengkhususkan diri dengan beribadah. Dia sama sekali tidak memiliki kesibukan selain ibadah. Jika dia meninggalkannya, dia tentu akan duduk menganggur. Yang paling pantas bagi orang seperti ini adalah menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah dan menghadiri majelis-majelis zikir. Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa suatu kali Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian melewati taman surga, gembalakanlah diri kalian.” Lalu beliau ditanya, “Ya Rasulullah, apa taman surga itu?” dan Rasulullah saw. menjawab, “Perkumpulan-perkumpulan zikir.” Hadis ini dikeluarkan oleh at-Tirmidzi.

Kategori yang kedua adalah ‘alim (ilmuwan). Yaitu orang yang memanfaatkan ilmunya pada masyarakat dalam bentuk pemberian fatwa, mengajar, atau menulis buku. Jika memungkinkan baginya menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan ini, sesungguhnya hal tersebut lebih utama dilakukan setelah menjalankan ibadah fardhu dan sunnah rawãtib. Itu pun dengan syarat bertujuan membantu orang-orang dalam menempuh jalan akhirat (suluk). Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang membuat orang-orang mencintai akhirat, membuat mereka bersikap zuhud dalam dunia, atau membantu mereka dalam menempuh jalan akhirat. Bukan ilmu yang justeru meningkatkan kecintaan kepada harta benda, kedudukan dan penghargaan dari manusia.

Kategori yang ketiga adalah muta’allim (pelajar). Yaitu orang yang belajar karena Allah Ta’ala semata. Bagi orang yang seperti ini, kegiatan belajar lebih utama daripada berzikir atau mengerjakan ibadah sunnah mutlak. Namun dia tidak perlu mengosongkan diri dari wirid sejumlah zikir setiap harinya. Karena hal tersebut akan sangat membantunya dalam menempuh jalan belajar yang ditekuninya. Akan tetapi, bila pelajar itu dalam ketegori awam, maka menghadiri majelis petuah dan majelis ilmu lebih utama daripada disibukkan dengan berbagai wirid.

Ka’ab al-Akhbar r.a. berkata, “Seandainya pahala majelis para ilmuwan tampak di mata orang-orang, tentu mereka akan berlomba-lomba menghadirinya. Orang yang berkekuasaan akan membiarkan kekuasaan mereka. Orang yang punya warung di pasar pun akan meninggalkan warungnya.”

‘Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata, “Seseorang keluar dari rumahnya dengan beban dosa segunung Tihamah. Bia dia mendengar seorang ‘alim, lalu dia merasa takut dan kemudian bertobat dari dosa-dosanya, maka dia akan kembali ke rumahnya tanpa beban dosa sedikit pun. Oleh karena itu, kalian jangan memisahkan diri dari majelis ulama. Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla tidak menciptakan di muka bumi ini sebidang lahan yang lebih utama dari majelis ulama.” 

Atha ibn Abu Ribah r.a. berkata, “Menghadiri majelis ilmu dapat menutupi tujuh puluh majelis senda gurau dan permainan.”

Kesimpulannya, sekecil apa pun hal yang membuat satu saja ikatan cinta dunia terlepas dari hati, yang disebabkan oleh perkataan seorang pemberi petuah yang santun dan berbudi luhur, itu lebih mulia dan lebih bermanfaat daripada banyaknya rakaat shalat sunnat yang dilakukan dalam kondisi hati yang penuh cinta dunia.

Kategori yang keempat adalah muhtarif (kaum pekerja, profesional). Yaitu orang yang membutuhkan materi untuk menafkahi keluarganya. Dia tidak bisa begitu saja menelantarkan keluarganya untuk kemudian menghabiskan waktu dalam pelaksanaan ritual-ritual ibadah. Orang yang seperti ini wiridnya di waktu bekerja, pergi ke pasar dan sibuk bekerja. Tetapi dia jangan sampai lupa berzikir kepada Allah di dalam hatinya pada waktu-waktu tersebut. Dia harus tekun bertasbih, berzikir dan membaca Alqur’an. Semua amalan itu bisa dilakukan sambil bekerja, tidak harus melewatinya. Lalu bila selesai kerja dan menghasilkan nafkah secukupnya, dia kembali lagi mengerjakan ritual-ritual ibadah.

Kategori yang kelima adalah wali (pemimpin), seperti imam, hakim dan setiap orang yang diserahi tanggung jawab untuk menciptakan berbagai kebijakan demi kemaslahatan kaum muslimin. Bagi orang seperti ini, melaksanakan tugas melayani kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin sesuai dengan tuntunan syara’ dan dengan niat ikhlas, itu lebih utama daripada dia menyibukkan diri dengan wirid. Kewajibannya adalah melayani dan memenuhi hak orang-orang. Untuk itu di siang hari dia cukup meringkas ritual ibadahnya dengan hanya melaksanakan yang fardhu dan sunnah rawatib. Baru di malam hari dia mengamalkan awrad-nya.

Kategori yang keenam adalah muwahhid. Yaitu orang yang tenggelam dalam keesaan Allah Ta’ala sehingga dia tidak lagi mempunyai kerinduan selain kepada-Nya, tidak lagi punya cinta selain kepada-Nya, dan tidak lagi memiliki ketakutan selain kepada-Nya. Dia tidak lagi mengandalkan rezeki selain dari-Nya. Orang yang sudah mencapai derajat ini, tidak lagi memerlukan berbagai awrad dan keragamannya. Awrad-nya setelah shalat fardhu dan sunnah rawatibnya hanya satu, yakni hadir hati bersama Allah Ta’ala dalam setiap keadaan. Baginya, semua hal yang terbersit di benaknya, terngiang di telinganya dan tampak di matanya, selalu memunculkan pelajaran dan kehadiran. Seluruh keadaan dirinya bisa menjadi sebab peningkatan kehadiran hatinya bersama Allah Ta’ala. Ini adalah puncak tingkatan shiddiqqun. Namun tingkatan ini bisa dicapai seseorang hanya bila sebelumnya dia telah mengamalkan berbagai awrad secara tertib dan sungguh-sungguh dalam tempo yang cukup lama. Oleh karena itu, seorang murid jangan sampai terperdaya dan mengaku diri telah mencapai tingkatan ini lalu bermalas-malasan dalam melaksanakan ritual ibadah. Ada sejumlah tanda pada diri orang yang telah mencapai tingkatan muwahhid. Antara lain, di hatinya tidak sedikit pun terbesit rasa waswas, tidak sedikit pun terbayang kemaksiatan, dan tidak sedikit pun merasa takut menghadapi berbagai hal yang mengerikan.

Ketahuilah bahwa amal salih mempunyai manfaat yang sangat besar dalam pembenahan dan penerangan hati. Tetapi hasilnya hanya akan muncul di hati jika amal shalih itu dilakukan terus-menerus (mudawamah). Sebab, orang yang membiasakan diri melakukan suatu amal kebaikan, lalu berhenti dan tidak melakukannya lagi, dia akan dimurkai. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda, “Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amal yang paling terus-menerus pelaksanannya, meskipun amal itu hanya sedikit.” Hadis ini dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim.

Karena itu, wahai saudara-sudaraku, kuatkanlah tanganmu dalam memelihara amal baik. Sungguh, orang yang memelihara amal baik akan merasakan manisnya iman dan iman akan menyatu dalam hatinya dengan sempurna. Saat seorang hamba mencapai kondisi ini, kesamaran dan keraguan akan lenyap darinya. Dan baginya, ibadah terasa demikian nikmat hingga dia lebih memilih sibuk beribadah daripada mengusahakan harta benda duniawi. Dalam keadaan seperti ini, iman meresap di hati seperti hasrat untuk minum air segar di hari yang sangat terik pada orang yang amat kehausan. Lelah dalam beribadah tergantikan oleh rasa nikmat yang dia dapat dalam beribadah. Bahkan ketaatan itu kemudian menjadi makanan bagi hatinya, menjadi penenang dan penentram hatinya, menjadi kenikmatan bagi ruhnya. Dan dia merasakan nikmat ibadah itu bahkan lebih nikmat daripada kesenangan-kesenangan jasmani.

Berbeda halnya dengan amal shalih, perbuatan-perbuatan dosa berbahaya bagi hati, seperti racun membahayakan tubuh, dengan beragam tingkat bahayanya. Tidak ada keburukan dan penyakit di dunia dan akhirat ini yang tidak disebabkan oleh perbuatan dosa dan maksiat. Maksiat mempunyai banyak pengaruh buruk yang membahayakan hati dan badan, di dunia dan akhirat, dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui berapa banyak pengaruh buruk yang ditimbulkan maksiat itu.

Salah satu pengaruh buruk maksiat adalah tertahannya ilmu yang bermanfaat bagi si pelaku maksiat. Karena, ilmu adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati hamba. Sementara laku maksiat akan memadamkan cahaya yang sudah tertanam atau akan menjadi penghalang masuknya cahaya ke dalam hati jika cahaya belum ada di hati si hamba. 

Pengaruh lain dari maksiat adalah derita keterasingan yang dirasakan si pelaku antara dirinya dengan Allah Ta’ala, keterasingan yang tak terhingga. Akibat lainnya adalah mengalami kesulitan dalam mengatasi semua problem yang dia hadapi. Dia tidak mendapati jalan keluar untuk penyelesaian masalahnya, dan kalaupun ada terasa demikian susah.

Pengaruh lainnya dari laku maksiat adalah gelap yang didapat si pelaku dalam hatinya, hingga dia merasa seolah-olah dunia ini gelap gulita. Semakin bertambah pekat gelap yang dia rasakan, semakin bertambah pula kebingungannya. Lalu gulita dalam hati itu nampak di wajahnya hingga jelas terlihat di mata para ahli bashirah.

Selain itu maksiat juga bisa melemahkan hati dan badan serta menghalanginya untuk melakukan ketaatan. Laku maksiat juga bisa melebur berkah umur, menjatuhkan harga diri dan membuat akal menjadi tumpul. Akal adalah cahaya, dan laku maksiat akan memadamkannya. Maksiat juga akan melenyapkan nikmat dan menimbulkan kefakiran. Suatu nikmat tidak akan lenyap dari seorang hamba selain karena dosa, dan siksa tidak akan menimpa seorang hamba selain karena dosa. Allah Ta’ala berfirman, “Dan musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura 42:30]

33. Bab V – Tasawuf

Ketahuilah bahwa tasawuf yang juga disebut ilmu batin merupakan ilmu yang paling besar nilainya dan paling agung posisinya, serta paling tinggi pancaran sinarnya. Orang yang menjalankannya dilebihkan oleh Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya yang lain setelah para nabi dan rasul a.s. Allah menjadikan qalbu mereka sebagai tempat menyimpan berbagai rahasia. Mereka dijadikan Allah sebagai kelompok elit umat, sebagai tempat terbitnya berbagai sinar Ilahiah di kalangan makhluk. Mereka adalah penolong bagi makhluk. Mereka juga merupakan poros bagi keumuman kondisi ruhani makhluk (ahwal) karena kehadiran mereka menyertai kebenaran (al-haqq).

Ath-Thayyibi berkata, “Seorang ulama, meskipun dia amat mendalam ilmunya hingga tidak ada yang menyamai zamannya, tidak pantas merasa puas dengan ilmunya sendiri. Dia mesti berkumpul bersama ahli thariqah (para penempuh jalan ruhani) agar mereka menunjukinya jalan istiqamah, hingga dia menjadi bagian dari mereka yang diajak bicara oleh al-Haqq di dalam sirr-nya karena batinnya menjadi amat bening dan bebas dari berbagai kotoran. Selain itu, agar dia bisa menjauhi berbagai residu hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan ego busuk yang mengotori ilmunya. Dengan begitu, qalbunya akan siap menerima pancaran berbagai ilmu ladunni dan pengutipan langsung (iqtibas) dari lentera cahaya kenabian (misykat anwar an-nubuwwah).”

Menurut ath-Thayyibi, biasanya predikat seperti itu tidak mudah dicapai, kecuali dengan bimbingan seorang syaikh yang sempurna, syaikh yang mengetahui cara-cara penyembuhan berbagai penyakit jiwa, mengetahui cara penyuciannya dari berbagai najis yang bersifat maknawi, serta memiliki hikmah (kemampuan supranatural) untuk mengolahnya, baik dengan ilmu maupun intuisi. Tujuannya agar nafsu yang memerintah kepada kejahatan dan racun-racunnya yang tersembunyi bisa keluar dari dalam dirinya.”

Para ulama ahli thariqah sepakat mengenai keharusan mengambil seorang syaikh untuk menjadi pembimbing guna menghilangkan sifat-sifat yang menghalangi masuknya hadhrah Allah ke dalam qalbu, agar kehadiran dan kekhusukan di dalam menjalankan berbagai ritual ibadah benar-benar nyata. Kesepakatan ini merupakan bagian dari bab ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib (sesuatu yang tanpanya menjadikan kewajiban tidak sempurna, berarti sesuatu itu wajib).”

Menyembuhkan penyakit-penyakit batin termasuk suatu kewajiban. Karena itu, orang yang mengidap berbagai penyakit batin itu harus mencari seorang syaikh yang dapat mengeluarkannya dari setiap dilema. Jika dia tidak mendapatkan syaikh tersebut di lingkungan tempat tinggalnya, dia harus pergi mencarinya ke daerah lain, meskipun jauh.

Al-lmam Ahmad ibn Hanbal r.a. pernah berkata kepada putranya, ‘Abdullah, “Wahai anakku, engkau harus mempelajari hadis, dan berhati-hatilah jangan sampai engkau duduk bersama mereka yang menamai dirinya sebagai kaum sufi. Tidak jarang di antara mereka ada yang bodoh terhadap hukum-hukum agamanya.” Namun setelah beliau bersahabat dengan Abu Hamzah al-Baghdadi dan mengetahui berbagai kondisi ruhani (ahwal) kaum sufi, al-lmam Ahmad ibn Hanbal berkata Iagi kepada putranya, “Wahai anakku, engkau harus duduk bersama kaum sufi karena mereka telah menambahkan banyak ilmu kepadaku, menambahkan kedekatan diri dengan Allah, rasa takut akan tertahannya rahmat, zuhud dalam dunia dan ketinggian semangat.”

Selain al-Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Imam asy-Syafi’i juga sering duduk bersama kaum sufi. Bahkan al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Seorang faqih (ahli fikih) perlu mengenal dan mengetahui benar istilah-istilah kaum sufi, agar mereka bisa memberinya manfaat ilmu yang tidak dia miliki.”

Al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal sering bolak-balik untuk menghadiri majelis orang-orang sufi. Beliau hadir untuk mengikuti majelis zikir mereka. Suatu hari, mereka ditanya, “Mengapa kalian sering bolak-balik mendatangi orang-orang bodoh seperti mereka?” Al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal memberikan jawaban, “Sesungguhnya mereka itu mempunyai dan mengetahui semua pokok urusan. Yaitu taqwallah (bertaqwa kepada Allah), mahabbatullah (mencintai Allah) dan ma’rifatullah (makrifat kepada Allah).” Sebagian ulama lain berkomentar, “Siapa pun Anda yang mempercayai ucapan ahli Thariqah, mintalah dia berdoa untukmu, sebab dia mujabud-da’wah (doanya dikabulkan).”

Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Tasawuf

Setiap orang yang hendak mendalami suatu disiplin ilmu, hendaklah terlebih dahulu memahami gambaran tentangnya sehingga dalam menjalankannya bisa benar-benar jelas dan terarah. Penggambaran itu hanya bisa didapat dengan mengenali prinsip dasar yang sepuluh (al-mabadi al-‘asyrah). Yaitu: defnisi, objek kajian, manfaat mempelajarinya, keunggulannya, korelasinya dengan ilmu-ilmu yang lain, peletak dasarnya, namanya, sumber-sumber pengambilannya, hukum mempelajarinya dan permasalahannya.

  1. Definisi Tasawuf

Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui berbagai kondisi jiwa (ahwal an-nafs) yang terpuji dan tercela, cara penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela, cara menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, cara menempuh suluk menuju Allah dan berlari kepada-Nya. Di dalam satu nazham disebutkan:

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang tidak bisa didapat

selain oleh si cerdas yang dikenal al-haqq

Bagaimana bisa orang yang tidak menyaksikannya dapat mengenalinya Bagaimana bisa si buta menyaksikan sinar mentari

  1. Objek Tasawuf

Objek kajian ilmu tasawuf adalah perbuatan-perbuatan hati dan indera lahir (af’al al-qalb wal-hawas) serta cara penyucian dan pemurniannya (tazkiyah wa tashfiyah).

  1. Hasil Tasawuf

Ada banyak hasil yang didapat dari tasawuf, di antaranya adalah mendidik hati dan mengetahui alam metafisika (alam gaib), dengan perasaan ruhani (dzauq) maupun dengan perasaan hati (wijdan). Hasil lainnya adalah keselamatan di akhirat, meraih ridha Allah Ta’ala, memperoleh kebahagian yang abadi, mengalami penyinaran dan pembeningan hati hingga bisa menyingkap berbagai perkara besar dan menyaksikan kondisi-kondisi ruhaniah yang mengagumkan, serta mampu melihat sesuatu yang tak tampak dalam penglihatan orang lain. 

  1. Keutamaan Tasawuf

Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang paling mulia karena hubungannya dengan makrifat dan cinta Allah Ta’ala. Makrifat dan cinta kepada Allah merupakan keutamaan yang bersifat mutlak.

  1. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu-ilmu yang Lain

Tasawuf merupakan pangkal dan syarat bagi ilmu-ilmu lainnya. Karena, tidak ada satu pun ilmu dan amal yang akan bermanfaat selain yang dimaksudkan untuk menghadap (tawajjuh) kepada Allah. Jika ilmu-ilmu yang lain adalah jasad, maka tawasuf laksana ruh baginya.

  1. Peletak Dasar Tasawuf

Tasawuf diciptakan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dan diwahyukannya kepada Nabi Muhammad saw. serta para nabi sebelumnya. Tasawuf adalah ruh bagi seluruh syariat agama yang diturunkan Allah. Berkaitan dengan ini, ada tiga istilah yang maknanya terkadang tidak jelas bagi orang awam, yaitu syari’ahthariqah dan haqiqah.

Syari’ah adalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasulullah saw. yang dipahami oleh para ulama dari Alqur’an dan sunnah, yang tekstual maupun melalui istinbath (analogi). Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum yang jelas tentang ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf.

Sedangkan yang dimaksud dengan thariqah adalah pengamalan syariat dengan sungguh-sungguh dan tidak sekadar mengamalkan yang gampang-gampangnya saja. Atau menjauhi semua larangan Allah Ta’ala, baik lahir maupun batin, serta menjalankan segala perintah-Nya secara maksimal. Atau menjauhi segala yang haram dan yang makruh, tidak berlebihan dalam hal yang mubah, serta menunaikan hal-hal yang fardhu dan amalan-amalan sunnah secara maksimal. Dalam menjalankan itu semua, seorang hamba seharusnya berada dalam pengawasan seorang al-‘arif billah (orang yang sungguh mengenal Allah).

Adapun haqiqah, terbagi tiga bagian, yaitu:

Pertama, tersingkapnya hijab antara si hamba dengan sesuatu yang diimaninya sebagai Allah, sifat-sifat-Nya, keagungan-Nya, kesempurnaan-Nya, kedekatan-Nya, hakikat kenabian, kesempurnaan-kesempurnaan para nabi a.s.—terutama kesempurnaan Rasulullah saw. yang menjadi pemuka para nabi dan rasul—serta segala hal yang telah diinformasikannya, antara lain: nikmat dan siksa kubur, kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksa yang ada di dalamnya, surga dan berbagai kenikmatannya. Ketersingkapan ini membuat si hamba melihat semua itu dengan jelas dan nyata. Ketersingkapan hijab ini diikuti dengan berbagai kondisi ruhani (ahwal) yang nampak pada orang yang berhasil menggapainya, antara lain zuhud dalam dunia, mabuk ketuhanan, kelinglungan (dzuhul), tergoncang, sangat rindu dan cinta kepada Allah. Selain itu, ketersingkapan ini juga mungkin disertai dengan ketersingkapan sesuatu—yang dikehendaki Allah—dari alam atas atau alam bawah serta kejadian-kejadian di masa lalu atau kejadian-kejadian di masa depan. 

Haqiqah model ini digambarkan dalam ungkapan Haritsah ibn Malik al-Anshari ketika Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Wahai Haritsah, apa kabarmu pagi ini?” Haritsah menjawab, “Pagi ini aku benar-benar menjadi seorang mukmin.” Rasulullah saw. berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya setiap perkataan itu memiliki hakikat. Apa hakikat keimananmu itu?” Haritsah menjawab, “Jiwaku berpaling dari dunia. Bagiku, batu dan emas dari dunia ini sama saja. Karena itulah aku tak tidur di malam hari dan menahan haus di siang hari. Aku seolah-olah melihat singgasana Tuhanku demikian nampak. Aku seolah-olah melihat ahli surga saling mengunjungi. Dan aku seolah-olah mendengar jeritan ahli neraka.” Kemudian Rasulullah saw. berkata lagi, “Aku tahu, maka tetaplah pada jalan ini.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa ingin melihat orang yang qalbunya telah disinari cahaya oleh Allah, maka lihatlah Haritsah ibn Malik.” Hadis ini diriwayatkan Oleh ath-Thabrani dan al-Bazzar serta yang lainnya.

Haqiqah model ini merupakan bagian haqiqah paling tinggi, jenis haqiqah paling agung dan merupakan induk bagi dua model haqiqah lainnya.

Kedua, kekosongan diri (takhalli) dari berbagai akhlak yang kotor serta memenuhinya dengan sifat-sifat yang diridhai dan akhlak yang terpuji (tahalli), sehingga dia benar-benar kokoh padanya serta sifat-sifat yang diridhai dan akhlak yang terpuji itu menjadi adat kebiasaannya. 

Ketiga, kemudahan menjalankan amal salih sehingga tidak diperoleh rasa berat dan rasa sukar. Bahkan apabila dia hendak meninggalkan amal salih itu, jiwanya tidak rela dan tidak patuh. Kelapangan dada untuk Islam telah benar-benar sempurna pada dirinya. Jiwanya benar-benar tenteram dalam menjauhi larangan Allah Ta’ala dan menjalankan perintah-Nya. Ketundukan sejati benar-benar sempurna melekat pada dirinya, sehingga dia seperti malaikat dalam rupa manusia.

Haqiqah merupakan buah dari thariqah. Oleh sebab itu penempuh jalan akhirat harus berupaya menghimpun ketiganya (syari’ah, thariqah dan haqiqah) dan tidak boleh mengabaikan satu pun darinya. Karena, al-haqiqah bila syari’ah bathilah wa asy-syari’ah bila haqiqah ‘athilah (Hakikat tanpa syariat adalah batil, dan syariat tanpa hakikat adalah sia-sia).” Al-Imam Malik r.a. berkata, “Barangsiapa bersyariat namun tidak berhakikat, berarti dia telah berbuat fasik. Barangsiapa berhakikat namun tidak bersyariat, berarti dia telah zindik. Dan barangsiapa telah menghimpun keduanya, dia sungguh telah berbuat benar.”

Syari’ah ibarat perahu karena menjadi media penghantar untuk mencapai tujuan dan meraih keselamatan dari kehancuran. Thariqah seumpama lautan yang menyimpan mutiara. Sedangkan haqiqah seumpama mutiara besar yang hanya bisa ditemukan di lautan. Seseorang tidak akan bisa sampai ke lautan selain dengan perahu.

Barangsiapa memandang hakikat segala sesuatu dengan Allah, dia akan mendapati bahwa syari’ah dan haqiqah merupakan dua hal yang korelatif dan inheren seperti air bagi sebatang kayu, dan ruh bagi jasad. Syari’ah bagaikan pohon, thariqah bagaikan rantingnya dan haqiqah adalah buahnya.

  1. Penamaan Tasawuf

Ilmu ini dinamai ilmu tasawuf (tashawwuf). Secara morfologis, tashawwuf terambil dari kata shafa’ (bersih, jernih, suci). Kata shufi berarti orang yang hatinya bersih, jernih dan suci dari kotoran serta penuh dengan berbagai keteladanan, dan bagi mereka emas tak lagi lebih berharga daripada tanah lempung.

Salah seorang ‘arif billah berkata, “Wahai orang yang menyifatiku, pada kenyataanya engkaulah yang kusifati. Wahai yang mengenal aku, janganlah engkau menipu. Engkau adalah yang kukenal. Sesungguhnya yang disebut pemuda itu ialah orang yang memenuhi janji azalinya. Ia seorang yang bersih (shafi) lalu menjadi yang jernih-suci (shufi), dan karena inilah ia dinamai shufi.”

Pokok tasawuf ada lima. Pertama, takwa kepada Allah Ta’ala di dalam kesendirian maupun di keramaian. Hal tersebut bisa direalisasikan dengan cara menjauhkan diri dari dosa (sikap wara’) dan istiqamahKedua, mengikuti sunnah, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Hal ini dapat direalisasikan dengan cara menghafalnya dan berakhlak baik. Ketiga, berpaling dari makhluk, tidak perduli dengan penyambutan maupun penolakan mereka. Hal tersebut bisa terwujud dengan cara sabar dan tawakal. Keempat, ridha kepada Allah, saat kekurangan maupun berkelimpahan. Hal ini bisa dicapai dengan bersikap qana’ah (merasa puas dengan sesuatu yang telah ada) dan pasrah kepada-Nya. Kelima, kembali kepada Allah dalam suka maupun duka, saat susah maupun senang. Hal ini bisa dicapai dengan cara bersyukur kepada Allah saat senang dan berlindung kepada-Nya saat susah.

  1. Sumber Pengambilan Tasawuf

Ilmu tasawuf bersumber pada Alqur’an, Sunnah dan qaul umat pilihan (khawashil-ummah).

  1. Hukum Mempelajari Tasawuf

Hukum mempelajari tasawuf adalah fardhu ‘ain, yaitu wajib bagi setiap individu orang muslim. Alasannya antara lain karena tidak ada seorang pun yang terlepas dari aib atau penyakit hati selain para nabi dan rasul. Salah seorang al-‘arif billah berkata, “Barangsiapa tidak ikut dalam jalan ini, yakni ilmu batin, aku khawatir dia tertimpa su’ al-khatimah. Tingkatan partisipasi terendah dalam ilmu ini adalah membenarkannya serta menyerahkannya kepada ahlinya.”

  1. Permasalahan Tasawuf

Permasalahan tasawuf ialah preposisi-preposisi (qadhaya) yang membahas sifat-sifat hati, termasuk penjelasan istilah-istilah yang beredar di antara kaum sufi, seperti zuhud (berpaling dari dunia), wara’ (waspada, menjaga diri dari dosa), mahabbah (cinta), fana’ (kesirnaan) dan baqa’ (keabadian).[]

34. Bab VI – Wali dan Karamah

Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah bahwa para wali Allah (awliya’ Allah) itu tiada ketakutan pada mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati.” [QS. Yunus 10:62]

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang membuat para nabi dan orang-orang yang mati syahid (syuhada) iri hati.” Kemudian ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka itu, ya Rasulullah? Biar kami bisa mencintai mereka.” Rasulullah saw. menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena cahaya Allah, bukan karena harta dan bukan pula karena keturunan. Wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar-mimbar cahaya. Mereka tidak merasa takut di saat orang lain merasa takut. Mereka juga tidak bersedih hati di saat orang lain bersedih hati.” [Hadis ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibn Hibban]. Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah Ta’ala, “Ingatlah bahwa para wali Allah (awliya’ Allah) itu tiada ketakutan pada mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati.”

Berdasarkan hukum akal, kemunculan karamah pada diri para wali merupakan hal yang mungkin adanya. Dalil naqli juga membenarkan terjadinya karamah ini. Kenyataan karamah sebagai hal yang mungkin adanya menurut akal karena karamah bukan hal mustahil bagi Allah Ta’ala yang MahaKuasa. Bahkan karamah termasuk hal-hal yang mungkin terjadi (al-mumkinat), seperti mukjizat para nabi. Ada dan terjadi karamah bukan hal mustahil. Karamah itu sudah tegas adanya bagi para waliyullah, baik di saat mereka masih hidup maupun setelah wafat, sebagaimana pendapat jumhur ulama Ahlus-Sunnah.

Di dalam empat mazhab populer, tidak ada yang menafikan kelangsungan karamah para wali setelah para wali tersebut wafat. Bahkan, penampakan karamah setelah mereka wafat lebih utama, sebab saat itu nafsu berada dalam kondisi bersih dari berbagai kotoran. Karena itulah ada ulama yang mengatakan, “Barangsiapa karamahnya tidak nampak setelah dia wafat sebagaimana dulu ketika masih hidup, maka dia itu bukan orang yang beriman sejati (shadiq).”

Sebagian syaikh sufi berkata, “Sesungguhnya Allah menugaskan malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat. Namun terkadang si wali itu keluar dari kuburnya untuk memenuhi sendiri hajat tersebut.”

Karamah ialah sesuatu yang luar biasa yang tidak disertai pengakuan kenabian dan bukan pula bagian dari kenabian. Karamah muncul pada hamba yang salih, teguh dalam mengikuti Nabi dan menjalankan syariatnya disertai dengan keyakinan yang benar dan amal salih.

Perlu diketahui bahwa wali tidaklah terpelihara dari dosa (ma’shum) karena keterpeliharaan dari dosa itu hanya bagi para nabi, bukan wali. Tetapi wali itu mahfuzh, yakni tidak melakukan perbuatan dosa. Kalau pun melakukannya, dia akan segera menyesal, lalu bertobat dengan tobat yang sempurna dan mengenal ketergelinciran dirinya. Adapun orang yang selalu melakukan perbuatan dosa atau perbuatan dosanya lebih dominan, tentu dia bukan dari komunitas wali, bukan pula pengikutnya, bahkan dia tidak akan mencium sedikit pun keharuman mereka.

Adanya karamah bagi para wali dibenarkan dalil naqli. Di antaranya kisah yang ditutur Alqur’an tentang Maryam dan kelahiran putranya, ‘Isa a.s. Juga tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Maryam selama berada dalam asuhan Nabi Zakariyya. Allah Ta’ala berfirman, “Ketika Zakariyya masuk ke mihrab menemuinya (Maryam), ia dapatkan di sisinya ada rizki (makanan). Dia berkata, ‘Wahai Maryam, dari manakah makananmu ini?’ ia menjawab, ‘Makanan ini dari Allah.” [QS. Ali-’Imran 3:37]

Begitu juga kisah Asif sang menteri sekretaris Nabi Sulaiman dalam pemindahan singgasana Ratu Balqis. Kisahnya, ketika para utusan Ratu Balqis kembali dari Nabi Sulaiman, Balqis berkata, “Aku benar-benar tahu. Demi Allah, dia bukan hanya seorang raja. Kita tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkannya.” Lalu Ratu Balqis mengutus kembali beberapa utusan kepada Nabi Sulaiman. Para utusan itu ditugaskan untuk menyampaikan pesan bahwa Ratu Balqis akan datang kepadanya dan bersedia menjadikan Nabi Sulaiman sebagai raja bagi kaumnya jika Ratu Balqis melihat sendiri bagaimana hebatnya kerajaan Nabi Sulaiman dan agama yang didakwahkannya.

Pada waktu yang dijanjikan tiba, sebelum meninggalkan istananya Ratu Balqis meminta agar singgasananya ditempatkan di ruangan dengan pintu tujuh lapis dalam ruang istana, sedangkan istananya berada di dalam tujuh istana. Lalu pintu-pintunya dikunci, dan setiap pintu dijaga beberapa orang penjaga. Ratu Balqis berkata kepada orang yang ditugaskan untuk menjaga istananya, “Jagalah apa yang aku percayakan kepadamu, yakni singgasana kerajaanku. Jangan biarkan seorang pun memasukinya sebelum aku datang.” Kemudian Ratu Balqis menyuruh juru panggil untuk memanggil keluarga kerajaan yang akan ikut bersamanya. Dia mempersiapkan perjalanan yang disertai dua belas ribu hamba sahaya Yaman. Dan setiap hamba sahaya dibantu banyak teman karibnya.

Nabi Sulaiman adalah seorang yang amat berwibawa. Sebelum dia memulai bicara, tidak ada seorang pun yang berani bicara di hadapannya. Pada suatu hari, dia duduk di singgasana kerajaannya. Saat itu dia melihat kepulan debu tebal mendekat ke arahnya. Lalu dia bertanya, “Apa itu?” Salah seorang pengawalnya menjawab, “Ratu Balqis dan rombongannya. Dia mungkin telah mendekati kita, sekitar satu farsakh.” Saat itulah Nabi Sulaiman memanggil para pembesar kerajaan, lalu berkata, “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orangyang berserah diri (islam).” [QS. an-Naml 27:38]. Tujuan pemindahan singgasana Ratu Balqis seperti yang dikehendaki Nabi Sulaiman itu untuk memperlihatkan beberapa keajaiban yang dikhususkan Allah kepadanya guna membuktikan bahwa ia adalah seorang nabi.

Menanggapi pertanyaan Nabi Sulaiman, Ifrit yang cerdik dari longan jin berkata, “Aku akan datang kepadamu membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” [QS. an-Naml 27:39]. Ifrit mengaku kuat untuk membawa singgasana itu dalam keadaan utuh dan dapat dipercaya untuk menjaga intan berlian yang ada padanya. Tetapi Nabi Sulaiman berkata, “Aku ingin yang lebih cepat dari itu.”

Kemudian berkatalah orang yang mempunyai ilmu dari Alkitab, yakni Ashif bin Barkhiya [*], “Aku akan membawa singgasana itu sebelum matamu berkedip.” [QS. an-Naml 27:40]. Lalu dia berkata kepada Sulaiman, “Bukalah kedua mata tuan sampai berkedip.” Nabi Sulaiman membuka lebar kedua matanya memandang ke arah Yaman. Kemudian Ashif berdoa hingga Allah Ta’ala mengutus para malaikat untuk membawa singgasana Balqis dari bawah tanah sampai tanahnya terbelah. Dengan kuasa Allah, dalam sekejap Asif menghadirkan singgasana Balqis di hadapan Sulaiman. Padahal jarak dari kerajaan Balqis sampai ke tempat Nabi Sulaiman berada sejarak dua bulan perjalanan.

[*] Asif adalah sekrtaris Nabi Sulaiman, terkenal jujur dan terpercaya. Dia menguasai al-ism al-a’zham yang apabila berdoa dan meminta dengan nama itu pasti dikabulkan.

Ketika Sulaiman melihat singgasana itu tiba-tiba sudah berada di hadapannya, dia berkata sebagai ungkapan syukur kepada Tuhannya Yang telah memberi dia sesuatu yang luar biasa, “Ini termasuk karunia Tuhanku.” [QS. an-Naml 27:40].

Ada pula kisah Ashhabul-Kahfi. Mereka adalah sekelompok orang beriman yang takut imannya rusak karena ancaman raja mereka. Mereka keluar melarikan diri dan bersembunyi di dalam gua. Lalu mereka tertidur di dalam gua itu selama tiga ratus sembilan tahun, tanpa makan dan minum, tetapi badan mereka tetap utuh dan tidak berubah.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya. “Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah: “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka. Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” [QS. al-Kahfi 18:17-25]

Karamah sungguh nyata adanya dan terjadi pula di kalangan para sahabat dan tabi’in, bahkan sampai saat kita sekarang ini. Di antaranya adalah karamah yang terjadi pada ‘Umar r.a.

Suatu hari saat sedang khutbah Jumat ‘Umar berkata, “Wahai Sariyah, awas ada musuh, awas ada musuh!” Suaranya sampai ke telinga Sariyah pada saat itu juga. Sehingga dia segera menyelamatkan diri dari musuh yang bersembunyi di salah satu bagian gunung itu. Dalam hal ini ada dua karamah bagi ‘Umar. Pertama, terbukanya hijab tentang keadaan Sariyah beserta para sahabatnya yang muslim dan keadaan musuh mereka. Yang kedua, sampainya suara beliau kepada Sariyah yang berada di tempat yang jauh.

Contoh lain adalah karamah yang terjadi pada Ibn ‘Umar. Suatu hari, Ibn ‘Umar berkata kepada Singa yang menghalangi jalan orang-orang, “Hai singa, menyingkirlah!” Singa itu mengibaskan ekornya lalu pergi, sehingga orang-orang pun bisa segera melintas. Kemudian Ibn ‘Umar berkata, “Sungguh benar sabda Rasulullah saw. Barangsiapa takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikan segala sesuatu takut kepadanya.” (HR. Abu asy-Syaikh, al-Hakim dan ar-Rafi’i)

Di dalam riwayat lain, Bukhari menyebutkan kisah Hubaib ketika ditawan dan dikerangkeng dengan besi. Orang-orang yang menawannya mendapati buah anggur di samping Hubaib, padahal ketika itu di tanah Mekkah tidak ada anggur.

Di dalam al-Hilyah, Abu Na’im menuturkan bahwa ‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah selalu dinaungi awan saat tidur di bawah terik matahari.

Contoh lain tentang karamah yang terjadi pada para sahabat dan tabi’in, seperti yang diceritakan Abu Na’im, adalah tasbih mangkuk yang sedang digunakan oleh Salman al-Farisi dan Abu ad-Darda’.

Karamah para wali sungguh tak terhitung jumlahnya. Siapa yang berminat mengetahui lebih banyak, silakan menelaah sejarah hidup mereka. Tidak ada yang mengingkari kenyataan karamah selain orang yang tertahan dan terusir dari pintu keutamaan dan pintu kebaikan. Al-Laqani berkata di dalam syairnya,

Yakinlah adanya karamah bagi para wali

Siapa menafikan karamah, buanglah ucapannya

Maksudnya, buanglah ucapan orang-orang Mu’tazilah yang menafikan adanya karamah, juga para pengikut mereka.

Apabila Anda bertanya, “Apa perbedaan karamah dengan sihir dan mukjizat?” Maka kami jawab, “Karamah berbeda dengan sihir. Sihir muncul di tangan orang fasik, zindik dan orang kafir yang tidak mengikuti syari’at. Sedangkan karamah hanya muncul pada orang yang sungguh-sungguh mengikuti syari’at. Karamah juga berbeda dengan mukjizat. Karamah muncul pada orang yang bukan nabi, sedangkan mukjizat muncul pada diri nabi. Selain itu, para rasul dituntut untuk menampakkan mukjizat demi memperkuat dakwahnya apabila iman kaumnya tergantung pada penampakan mukjizat itu. Lain halnya dengan wali, baginya tidak wajib menampakkan karamah. Bahkan wali dituntut untuk menyembunyikan karamahnya, karena pada umumnya penampakan karamah itu tidak diperlukan. Sebab posisi wali hanyalah pengikut. Dia mengajak orang-orang kepada Allah cukup dengan hikayat dakwah rasul yang telah tegas kerasulannya. Dia mengajak orang-orang dengan lisan rasul, bukan dengan lisan nafsunya. Sungguh, hukum syara’ telah ditetapkan oleh ulama, dan wali tidak perlu menampakkan tanda-tanda atau keterangan untuk membuktikan kebenarannya. Lain halnya dengan rasul. Seorang rasul perlu menampakkan bukti, karena dia bertugas menggelar hukum syara’ dan me-nasakh hukum-hukum yang telah diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Dia perlu menampakkan bukti yang menunjukkan kebenaran bahwa apa yang dikabarkannya itu berasal dari Allah Ta’ala.”

Ketahuilah bahwa di mata para pembesar sufı, karamah dipandang sebagai bagian dari residu jiwa, kecuali apabila dipergunakan untuk menolong agama Allah atau membuat kemaslahatan. Sebab bagi mereka, Dialah pelaku sejati, bukan mereka. Dan diam tanpa protes dalam berlakunya takdir Allah itu lebih beradab.

Ketahuilah pula bahwa para wali adalah orang-orang yang bermakrifat kepada Allah. Mereka berusaha sungguh-sungguh melaksanakan ketaatan, menjauhi kemaksiatan dan berpaling dari ketundukan pada hasrat nafsu.

Para wali terdiri dari beberapa kategori. Ada di antara mereka yang tidak termasuk dalam kategori jumlah terbatas, seperti diisyaratkan dalam hadis Nabi saw., “Al-Mufradun telah mendahului.” Ketika ditanya tentang siapa yang dimaksud al-mufradun, Rasulullah saw. menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang asyik dengan zikir kepada Allah (al-mustahtarun). Zikir telah menanggalkan beban-beban berat mereka, sehingga di Hari Kiamat mereka datang menemui Allah dengan beban yang sangat ringan.” [HR. Muslim dan at-Tirmidzi]

Ada pula wali yang masuk dalam kategori jumlah terbatas. ‘Abdullah ibn Mas’ud meriwayatkan bawa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai manusia pilihan. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai tiga ratus orang yang hatinya seperti hati Adam a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai tujuh orang yang hatinya seperti hati Ibrahim a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai empat puluh orang yang hatinya seperti hati Musa a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai lima orang yang hatinya seperti hati Jibril a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai tiga orang yang hatinya seperti hati Mika’il. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai satu orang yang hatinya seperti hati Israfil. Apabila yang satu itu mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang tiga. Apabila dari yang tiga itu ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang lima. Apabila dari yang lima ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang tujuh. Apabila dari yang tujuh ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang empat puluh. Apabila dari yang empat puluh ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang tiga ratus. Apabila dari yang tiga ratus itu ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari orang kebanyakan. Sebab merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan menolak bencana dari umatini.” ‘Abdullah ibn Mas’ud ditanya, “Bagaimana maksudnya sebab merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?” Ibn Mas’ud menjawab, “Karena, merekalah yang memohon kepada Allah agar umat diperbanyak, hingga umat ini menjadi banyak. Merekalah yang memohon agar para durjana dibinasakan, dan para durjana itu dibinasakan. Merekalah yang meminta hujan, hingga hujan diturunkan. Mereka memohon tanaman ditumbuhkan hingga tanaman menjadi tumbuh. Mereka memohon, dan dengan permohonan mereka Allah melenyapkan berbagai bencana.” (HR. Abu Na’im Ibn ‘Asakir dan para imam hadis lainnya) 

Abu Na’im meriwayatkan, “Umatku yang pilihan pada tiap kurun sebanyak lima ratus orang.” Jumlah mereka tidak berkurang sampai datang keputusan Allah seperti diisyaratkan di dalam hadis, “Di kalangan umatku akan senantiasa ada sekelompok orang yang menyelamatkan kebenaran, mereka tidak dibahayakan oleh orang-orang yang menentang mereka, hingga datang keputusan Allah.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Keputusan Allah itu seperti angin lembut yang padanya ruh setiap orang mukmin laki-laki dan perempuan dicabut, dan pada saat itu kiamat sudah sangat dekat, hampir tak berjarak.

Ketahuilah bahwa penghuni alam kubur itu hidup dengan kehidupan sesudah mati. Mereka berpikir, mendengar, melihat dan mengetahui orang yang berziarah serta menjawab orang yang mengucapkan salam. Mereka saling berkunjung sesama penghuni kubur. Mereka juga merasakan rasa sakit orang-orang yang masih hidup di dunia. Dari mereka muncul sesuatu yang hebat dengan kuasa Allah. Mereka merasakan nikmat kubur atau siksa kubur. Amal baik orang yang masih hidup diperlihatkan kepada mereka. Jika yang mereka lihat adalah amal kebaikan, mereka memuji Allah, merasa gembira dan mendoakan pelakunya agar bertambah-tambah kebaikan dan senantiasa berada dalam kebaikan. Apabila yang mereka lihat dari penghuni dunia itu adalah amal buruk, mereka berdoa untuk pelakunya, “Ya Allah, kembalikanlah mereka kepada ketaatan dan tunjukilah mereka sebagaimana Engkau telah menunjuki kami. Sungguh, mereka beramal bukan dengan amal baik.” Para penghuni kubur itu juga mengetahui keadaan mereka yang masih di dunia bukan sekadar amal-amalnya saja. Sungguh, mati hanyalah perpindahan dari satu tempat ke tampat lain. Apa yang kami uraikan ini berdasarkan sunnah dan kesepakatan umat.

Tentang ketegasan bahwa orang-orang yang telah mati itu hidup di alam lain, telah kami jelaskan dalam pasal ziarah. Kehidupan mereka tak ubahnya kehidupan orang yang hidup di dunia, mereka bisa mendengar. Al-Bukhari meriwayatkan hadis marfu’, “Sesungguhnya mayit apabila telah dikubur dan orang-orang yang mengantarnya beranjak pulang, ia mendengar suara sandal mereka saat mereka beranjak pergi.”

Di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa usai Perang Badar, Rasulullah saw. melemparkan orang-orang kafir yang mati saat peperangan itu ke dalam qalib (sumur yang tidak permanen). Beberapa hari setelah kematian mereka, Rasulullah mendatangi sumur itu, lalu memanggil mereka dengan menyebut masing-masing berikut nama bapaknya, “Hai fulan ibn fulan…(sampai selesai semuanya disebut), apakah kebenaran yang telah dijanjikan Tuhan kalian kepada kalian itu benar adanya? Karena sesungguhnya aku mendapati apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku itu sungguh benar adanya.” ‘Umar bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa engkau mengajak bicara mereka yang sudah mati?” Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dia Yang telah mengutusku membawa kebenaran, pendengaranmu tidak lebih tajam daripada mereka.”

Orang yang telah mati juga mengetahui orang-orang yang berkunjung menzirahinya, dan dia merasa senang dengan kedatangan mereka. ‘A’isyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba menziarahi kubur saudaranya dan duduk di sampingnya, melainkan saudaranya itu akan ramah dan menjawabnya, sampai dia beranjak pulang.” (HR. al-Khathib dan Ibnu ‘Asakir)

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang melewati kuburan orang yang ia kenal, lalu mengucap salam, yang dikubur itu menjawabnya, dan dia juga mengenalinya. Kemudian kalau ia melewati kuburan orang yang tidak ia kenal dan mengucap salam kepadanya, yang dikubur juga akan menjawab salamnya.” (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi ad-Dunya)

Para penghuni kubur hidup layaknya orang yang hidup di dunia, saling mengunjungi dan bertemu. Rasulullah saw. bersabda, “Perbaguslah kain kafan orang-orang yang mati di antara kalian, sebab mereka akan saling berbangga-bangga dan saling mengunjungi di dalam kubur mereka.” (HR. Al-Baihaqi)

Adapun tentang kenyataan bahwa mayit dapat merasakan kesakitan dari orang yang masih hidup di dunia, Rasulullah saw. telah bersabda, “Sesungguhnya si mayit dapat tersakiti di dalam kuburnya oleh kesakitan di rumahnya (saat masih di dunia).” (HR. Ad-Dailami)

Lebih dari itu, ada orang-orang yang sudah mati yang—dengan kuasa Allah Ta’ala—bisa berbuat dan punya akses kepada orang-orang Yang masih hidup di dunia. Rasulullah saw. bersabda setelah Ja’far wafat terbunuh, “Aku tahu, Ja’far sedang bercengkerama dengan para malaikat yang sedang menggembirakan penduduk Bisyah [*] dengan hujan.” (HR. Ibnu ‘Adi)

[*] Bisyah adalah nama suatu desa di negeri Yaman.

Nikmat dan siksa kubur sungguh nyata adanya. Berdasarkan banyak hadis Nabi saw. yang diriwayatkan secara mutawatir. Ahlus-sunnah wal-jama’ah sepakat, bahwa nikmat dan siksa kubur itu dialami ruh dan jasad. Karena laku maksiat dan tindak ketaatan dilakukan oleh ruh dan jasad. Mereka juga sepakat bahwa kenyataan ini merupakan bagian dari akidah yang harus diimani. Tentang nikmat yang dialami para nabi di dalam kubur telah kami jelaskan. Mereka hidup di kubur mereka dengan senang dan melakukan shalat. Di dalam hadis-hadis shahih juga disebutkan bahwa mereka juga berhaji. Allah telah memuliakan sebagian penghuni barzakh dengan kesenangan shalat dan berhaji, meskipun shalat dan hajinya itu tidak menghasilkan pahala bagi mereka karena keterputusan pahala amal dengan kematian. Namun Allah melestarikan amal itu bagi mereka agar mereka bersenang-senang dengan zikrullah dan menaatinya sebagaimana para malaikat dan ahli kebaikan bersenang-senang dengannya di dalam surga. Karena bagi mereka zikir dan amal ketaatan lebih nikmat dari semua kenikmatan duniawi bagi ahli dunia.

Adapun tentang hadis Nabi saw., “Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya, kecuali…”, maksudnya adalah keterputusan pahala amal, bukan keterputusan amal. Ini jelas sebagaimana tampak bagi orang yang benar-benar mendalami hadis dan tidak dikuasai hawa nafsu. Semoga Allah melindungi kita dengan anugerah-Nya.

Tentang siksa kubur bagi sebagian penghuninya, Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam di firman-Nya tentang keluarga Fir’aun, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” [QS. al-Mukmin 40:46]

Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian tidak saling bergegas pergi usai pemakaman, tentu aku akan memohon kepada Allah agar Dia memperdengarkan siksa kubur sebagaimana yang aku dengar.” (HR. Muslim) 

Amal-amal orang yang masih hidup akan diperlihatkan kepada orang yang telah mati. Tentang hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Amal-amal kalian akan diperlihatkan kepada orang yang telah mati. Jika mereka melihat amal kalian baik, mereka merasa senang. Jika mereka meihat amal kalian itu buruk, mereka berdoa, ‘Ya Allah, kembalikanlah mereka (kepada amal baik).” (HR. Ibnu al-Mubarak)

Selain melihat amal orang-orang yang masih hidup, mayit juga melihat keadaan-keadaan lain mereka di dunia. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya mayit mengetahui orang yang membawanya, yang memandikannya dan orang yang meletakkannnya ke dalam kubur.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya.[]

35. Bab VII – Tobat

Tobat adalah pokok pangkal dari setiap tingkatan dan kondisi ruhani (maqam dan hal) serta awal berbagai tingkatan spiritual (maqamat). Tobat bagaikan lahan bagi bangunan. Barangsiapa tidak bertobat, dia tidak akan memiliki tingkatan dan kondisi ruhani. Sebagaimana orang yang tidak memiliki lahan tidak akan memiliki bangunan. 

Tobat adalah kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji. Ada yang mengatakan bahwa orang yang kembali dari hal-hal yang bertentangan dengan syariat karena takut akan siksa Allah disebut ta’ib. Orang yang kembali karena merasa malu dilihat oleh Allah disebut munib. Sedangkan orang yang kembali karena menghormati keagungan Allah disebut awwab. [Istilah ta’ib, munib dan awwab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna yang sama, yaitu orang yang bertobat.]

Setiap hamba harus segera bertobat dan merealisasikan syarat-syaratnya agar terbebas dari kemarahan dan murka Allah, selamat dari neraka Jahannam, meraih kebahagiaan abadi serta memperoleh ridha dan surga-Nya. Selain itu, juga agar mendapat taufik untuk menjalankan ketaatan sehingga ketaatannya diterima, sebab tobat menjadi syarat baginya. Mayoritas ibadah hukumnya sunnah, sedangkan hukum tobat adalah wajib. Ibadah sunnah tidak akan diterima sebelum menunaikan ibadah wajib.

Kewajiban tobat telah ditetapkan di dalam Alqur’an dan hadis Nabi saw. Di dalam Alqur’an antara lain firman Allah Ta’ala, “Bertobatlah kalian seluruhnya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian berbahagia.” [QS. an-Nur 24:31]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kamu kepada Allah dengan tobat nashuha.” [QS. at-Tahrim 66:8]

Tobat nashuha adalah tobat lahir dan batin yang disertai tekad untuk tidak pernah mengulang kembali perbuatan dosa. Barangsiapa bertobat lahirnya saja, tidak ada bedanya dengan waduk tinja bertutup kain sutera. Orang-orang memandang dan merasa kagum dengannya. Tetapi saat tutupnya disingkapkan, mereka berpaling menjauhinya. Begitu pula cara manusia memandang orang-orang yang menjalankan ketaatan lahir saja. Ketika penutup yang menutupinya disingkapkan pada Hari Kiamat, yakni pada hari segala rahasia ditampakkan, [QS. at-Thariq 86:9] para malaikat akan berpaling menjauhinya. Karena itu Rasulullah saw. mengingatkan dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah tidak memperhitungkan rupa kalian, tidak juga harta kekayaan kalian, tetapi Dia memperhitungkan hati kalian.” (HR. Muslim)

Di antara ayat Alqur’an yang menunjukkan keutamaan tobat adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat, dan Dia juga mencintai orang-orang yang bersuci.” [QS. al-Baqarah 2:222]. Apabila mereka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka Allah akan mencintai mereka. Apabila Allah telah mencintai mereka, Dia akan iri apabila melihat suatu kekurangan dari mereka, sehingga Dia akan menutupinya. Bagian dari kemurahan Allah terhadap hamba-hamba-Nya adalah berupa penerimaan tobat. Bila mereka berbuat maksiat lalu bertobat, kemudian kembali berbuat maksiat, lalu bertobat lagi, Allah tetap akan menerima tobat mereka.

Di dalam satu riwayat disebutkan, ketika Allah memberi tangguh kehidupan kepada Iblis sampai Hari Kiamat, Iblis berkata kepada-Nya, “Demi kemuliaan-Mu, aku sungguh tidak akan keluar dari hati anak Adam selama ia masih memiliki ruh.” Allah Ta’ala berfirman, “Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan menghalangi manusia untuk bertobat selama ruh mereka berada di dalam tubuh.” Iblis berkata, “Aku sungguh akan menggoda mereka, semuanya.” Allah berfirman, “Aku pasti akan menutupi kejelekan-kejelekan mereka.” Iblis berkata, “Aku akan mendatangi mereka dari arah depan, arah belakang, arah kanan dan arah kirinya.”

Ketika Iblis mengungkapkan itu, dalam diri malaikat timbul rasa kasih kepada manusia. Kemudian Allah mewahyukan kepada malaikat bahwa sesungguhnya masih tersisa bagi manusia arah atas dan bawah. “Apabila manusia mengangkat tangannya untuk berdoa dengan penuh kerendahan hati, atau meletakkan mukanya di atas tanah bersujud penuh kekhusyukan, pasti dosa-dosanya akan Kuampuni, Aku tidak perduli.”

Rasulullah saw. bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima tobat dari si pendosa di siang hari, dan Dia membentangkan tangan-Nya pada waktu siang untuk menerima tobat dari si pendosa di malam hari, hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya.” (HR. Muslim dan an-Nasa’i)

Pada saat matahari terbit dari tempat terbenamnya, Allah tidak akan menerima iman orang kafir juga tobat orang mukmin. Itulah di antara makna firman Allah Ta’ala, “Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” [QS. al-An’am 6:158]

At-Tirmidzi dan al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Sesungguhnya di arah barat ada satu pintu yang luasnya sejarak empat puluh tahun atau tujuh puluh tahun perjalanan. Sejak penciptaan langit dan bumi, Allah ‘Azza wa Jalla membukakan pintu itu untuk tobat, dan Dia tidak menutupnya sampai matahari terbit dari arah itu.”

Di dalam riwayat lainnya Rasulullah saw. bersabda, ”Seorang hamba terjerumus dalam suatu dosa, lalu dia berkata, ‘Ya Rabb, aku telah terjerumus pada perbuatan dosa, ampunkanlah dosaku itu.’ Maka Tuhannya akan berkata, ‘Hamba-Ku tahu bahwa dia mempunyai Tuhan Yang Pengampun dan menghukum karena dosa. Aku sungguh telah mengampuninya.’ Kemudian dia berlaku sesuai dengan yang Allah kehendaki. Namun kemudian dia terjerumus dosa lagi, lalu berkata, ‘Ya Rabb, aku telah terjerumus pada perbuatan dosa yang lain. Ampukanlah dosaku.’ Tuhannya berkata, ‘Hamba-Ku tahu bahwa dia mempunyai Tuhan Yang Pengampun dan menghukum karena dosa. Aku sungguh telah mengampuninya. Maka berbuatlah sesukanya.”

Al-Hafizh Ibn Hajar r.a. berkata di dalam al-Fath, “Yang dimaksud dengan sabda Nabi saw., maka berbuatlah sesukanya, adalah selama sang hamba berdosa, beristigfar dan bertobat, Allah akan mengampuninya. Tobat dan istighfarnya merupakan kifarat bagi dosa-dosanya. Yang dimaksud bukan berarti dia berdosa, lalu beristighfar dengan lisannya tanpa melepaskan dosanya, kemudian kembali kepada dosa yang semisal. Hal seperti itu disebut tobat para pembohong.”

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menerima tobat seorang hamba selama dia belum sekarat.” [HR. Ahmad dan at-Tirmidzi]. Artinya tobat si hamba akan diterima Allah selama ruhnya belum sampai di tenggorokan. Karena bila ruh sudah sampai di tenggorokan, si hamba akan melihat dengan jelas tempat kembalinya, apakah rahmat Allah atau kegentingan dan kesulitan. Maka, pada saat itu tobat tidak lagi bermanfaat baginya, tidak pula beriman bila dia seorang kafir. Sebab salah satu syarat tobat adalah ketetapan hati untuk meninggalkan dosa dan tidak akan pernah kembali padanya. Hal tersebut hanya dapat tercapai bila ada kesempatan. Sementara dalam kondisi ruh sudah sampai di tenggorokan, si hamba tidak mungkin lagi memenuhi syarat itu.

Rasulullah saw. bersabda, “Kalaupun kalian telah melakukan kesalahan hingga sepenuh langit, lalu kalian menyesalinya, Allah pasti akan mengampuni kalian.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dengan sanad yang hasan

Rasullullah saw. bersabda, “Orang yang bertobat adalah kekasih Allah. Dan orang yang bertobat dari dosa-dosa seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir dan oleh al-Baihaqi di dalam asy-Sya’b.

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kebaikan dapat melebur dosa sebagaimana air menghilangkan kotoran.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Na’im di dalam al-Hilyah.

Di dalam salah satu atsar disebutkan, “Tidak ada suara yang lebih dicintai Allah Ta’ala daripada suara hamba yang bertobat dari dosanya seraya berucap, ‘Ya Rabb.’ Lalu Allah berfirman, ‘Labbaika. Wahai hamba-Ku, mintalah apa yang engkau kehendaki. Di hadapan-Ku engkau seperti sebagian malaikat-Ku. Aku berada di sebelah kananmu, di sebelah kirimu dan di atasmu. Aku dekat di lubuk hatimu. Wahai para malaikat-Ku, saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku telah memberikan ampunan untuknya.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang hamba bertobat, Allah menerima tobatnya dan membuat lupa malaikat hafadzah (pencatat amal) yang menuliskan amal buruknya. Allah membuat lalai anggota badannya yang melakukan kesalahan. Allah membuat lalai tempatnya di bumi dan maqamnya di langit, agar kelak di hari kiamat dia datang tanpa satu pun makhluk memberikan kesaksian yang memberatkannya.” (HR. Al-Ashbahani)

Ibnu ‘Abbas juga meriwayatkan, “Beberapa orang ahli syirik yang telah melakukan banyak pembunuhan dan perzinaan mendatangi Nabi saw., lalu berkata, ‘Sesungguhnya agama yang engkau ajarkan itu baik seandainya engkau mengabari kami akan adanya kifarat yang bisa menjadi penebus dosa-dosa yang telah kami lakukan.’ Lalu turun ayat, Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [QS. az-Zumar 39:53]. Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya.

Di dalam satu riwayat dari Makhul disebutkan, “Ketika Nabi Ibrahim a.s. mendapat penyingkapan hijab akan kerajaan langit dan bumi, dia melihat seorang hamba yang berzina, lalu Ibrahim memohonkan kebinasakan bagi si pezina itu, hingga orang itu dibinasakan oleh Allah. Kemudian dia melihat hamba yang mencuri, dia memohonkan kebinasaan bagi si pencuri itu hingga Allah membinasakannya. Kemudian dia melihat hamba yang melakukan maksiat lainnya, namun saat Ibrahim hendak memohonkan kebinasaan baginya, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Ibrahim, lepaskanlah [urusan] hamba-Ku itu darimu, sebab hamba-Ku berada di antara tiga hal: dia bertobat dan Aku menerima tobatnya, atau Aku keluarkan darinya keturunan yang kemudian beribadah kepada-Ku, atau dia dikuasai kesengsaraan dan di belakangnya Jahannam telah menanti.”

Syarat tobat adalah menyesali perbuatan dosa yang telah berlalu, bertekad untuk tidak akan mengulangnya kembali, mengembalikan mazhalim kepada pemiliknya atau ahli warisnya dan bersedekah atas nama orang yang telah dizhalimi, pelepasan permusuhan dan berbuat baik kepada mereka yang sempat dimusuhi jika memungkinkan. Selain itu, wajib meng-qadha ibadah fardhu yang telah ditinggalkan.

Setelah bertobat, si pelaku tobat harus mendidik diri dalam ketaatan sebagaimana dia telah mendidik diri dalam kemaksiatan, dan merasakan pahit ketaatan sebagaimana dia merasakan manis maksiat. Si pelaku tobat juga mesti meninggalkan teman yang buruk, menjaga kehalalan makanan dan minuman serta pakaian yang dikonsumsinya. Jangan sampai meninggalkan tobat hanya karena takut terjatuh kembali dalam dosa. Karena bila hamba bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Tidak perlu berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. [QS. Yusuf 12:87]. Sebaliknya, dia mesti bertobat kepada Allah Ta’ala di setiap waktu dan tidak melakukan dosa. Sebab, orang yang tidak lagi melakukan dosa, meskipun dia telah tujuh puluh kali berbuat dosa dalam sehari itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq bahwa Nabi Muhamad saw. bersabda, “Orang yang memohon ampun kepada Allah tidak dianggap pendosa, sekalipun dia mengulang dosa sampai 70 kali dalam sehari.” (HR. Abu dan at-Tirmidzi)

Seorang hamba tidak layak meninggalkan tobat hanya karena takut terjerumus ke dalam dosa yang lain. Sebab hal itu merupakan was-was setan yang ditiupkan ke dalam hati hamba agar dia menunda-nunda tobat. Sudah semestinya hamba segera bertobat dan tidak menunda-nundanya. Sebab ajal sungguh tersembunyi, hamba tidak tahu kapan kematian akan datang mengagetkannya, tidak pula dia tahu kapan sakit akan menimpanya, sakit yang mengantarkannya kepada kematian. Sudah semestinya hamba berusaha keras melakukan pertobatan. Sungguh, modal pokok orang beriman adalah iman, dan iman bisa lenyap bila tiada tobat dan terjerembab di lembah dosa. Sehingga dia abadi di neraka Jahanam.

Al-lmam al-Ghazali r.a. berkata, “Siapa yang tidak bersegera bertobat dengan menunda-nundanya, dia berada di antara dua bahaya besar yang amat mengkhawatirkan. Pertama, gelap semakin berlipat meliputi hatinya karena maksiat hingga berkarat dan tidak bisa dihapus. Kedua, didahului sakit atau mati hingga dia tidak memiliki keluangan untuk berusaha menghilangkan karat tersebut.”

Karena itu ada keterangan di dalam atsar, “Sesungguhnya jeritan penghuni neraka kebanyakan disebabkan oleh perilaku menunda-nunda tobat. Dan kebanyakanjeritan mereka adalah, ‘O… sungguh malang orang yang menunda-nunda.’ Orang yang hancur binasa tidak hancur binasa selain karena menunda-nunda. Tidak ada yang selamat selain orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih (qalbun salim).”

Maka segeralah bertobat sebelum menginjak tempat yang amat menakutkan. Oh, betapa tempat itu sungguh sempit, tak ada kelapangan, pasti berbahaya, jalannya sungguh pekat, tempat-tempat membinasakannya demikian samar, huniannya kekal, deritanya abadi, teriknya dipurnakan, jeritannya amat tinggi menyayat, minuman penghuninya timah panas, dan siksanya sungguh lestari. Zabaniyyah melebur jasad mereka, lalu Hawiyah menghimpun mereka. Di dalamnya mereka melolong, menjerit-jerit meneriakkan kesengsaraan. Jilatan api terus menyambar-nyambar, membakar mereka. Di sana mereka berangan-angan lalu menjadi lenyap dan tak lagi ada, tetapi sungguh mereka tak akan pernah lepas dari siksa. Kedua kaki mereka diikat hingga ke ubun-ubun, wajah mereka menghitam oleh kehinaaan maksiat. Mereka memanggil-manggil dari lorong-lorong dan labirinnya karena siksa tak henti mendera, “Wahai Malik, ancaman itu sungguh nyata telah menimpa kami. Wahai Malik, api sudah dinyalakan untuk kami. Wahai Malik, nanah sudah mengalir dari kami. Wahai Malik, besi belenggu telah memberati kami. Wahai Malik, kulit tubuh kami telah terkelupas. Wahai Malik, keluarkanlah kami darinya, kami sungguh tidak akan kembali (berbuat dosa)!” Namun setelah sekian lama, Malik hanya menjawab, “Tidak mungkin. Sudah terlambat. Tidak ada yang keluar dari tempat kesengsaraan ini. Tetap di sana, rasakanlah murka Dia.”

Ya Rabb, anugerahilah aku tobat hingga aku bertobat

dan ampunilah aku, sungguh dosa-dosa telah menyusahkan aku

Matikanlah diriku dalam pelukan agama Muhammad

Hidupkanlah hatiku di hari hati-hati menjadi hidup

Wahai Sang Penawar Penyakit, sembuhkanlah sakitku

Ya Ilahi, aku sungguh bermohon kepada-Mu

Obatilah hatiku dari penyakit yang telah menutupinya

sungguh, para tabib telah kebingungan dengan penyakitku

Wahai Sang Pengobat hamba, anugerahilah aku kedekatan

tak mungkin aku kecewa saat aku mengharap Engkau

hentikanlah ketetgelinciranku dan berdermalah kepadaku dengan kedekatan

sungguh penyakitku akan sembuh dengan kedekatan dari-Mu

betapa rusak malam saat aku bermaksiat kepada-Mu

ia telah berlalu menyisakan dosa untukku

Apalah muslihatku, aku sungguh telah bermaksiat kepada-Mu karena bodoh

bagaimana aku tidak malu, padahal Engkau sungguh senantiasa mengawasi

Allah mewahyukan kepada Nabi Dawud, “Wahai Dawud, rintih sedih dan sesal para pendosa lebih Aku sukai daripada jeritan para ‘abid (ahli ibadah).”

Allah Ta’ala berfirman di dalam salah satu kitab-Nya, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah seorang hamba menangis karena takut kepada-Ku melainkan akan Kugantikan tangisannya dengan tawa di dalam cahaya kudus-Ku. Katakanlah kepada orang-orang yang menangis karena takut kepada-Ku, ‘Bergembiralah kalian. Sebab kalian adalah orang pertama yang didatangi saat rahmat-Ku turun. Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang berbuat dosa agar mereka duduk bersama orang-orang yang menangis karena takut kepada-Ku, semoga Aku melimpahi mereka dengan rahmat-Ku saat Aku merahmati orang-orang yang menangis karena takut kepada-Ku.”

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih disukai Allah daripada dua tetesan, yakni tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang mengalir di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan adh-Dhiya’)

Wahai orang yang menyedihkan, sekaranglah waktunya bagimu untuk melepaskan diri dari hawa nafsumu? Sekaranglah saatnya engkau kembai ke pintu Tuhanmu? Apakah engkau telah melupakan Dia Yang telah memberimu anugerah? Apakah engkau melupakan Dia Yang telah menciptakan dan menyempurnakan pencitaanmu? Apakah engkau melupakan Dia Yang telah membuat banyak hati menaruh iba kepadamu dan dengan rezeki-Nya memberimu makan? Apakah engkau melupakan Dia Yang telah mengilhamkan Islam kepadamu dan memberimu petunjuk? Apakah engkau melupakan Dia Yang dengan anugerah-Nya telah mendekatkanmu? Sehingga engkau menerima semua itu dengan kelalaian dan memperturutkan syahwat, segera melakukan kesalahan dan dosa? Engkau merusak janjinya, membangkang dari perintah-Nya, terus-menerus melakukan dosa, memperturutkan hawa nafsu dan melawan Dia Yang Mahagagah? Kalau pun engkau masih terhalang dan jauh dari Tuhanmu, bila engkau segera kembali kepada-Nya, Dia akan menerimamu dan ridha kepada-Mu. Apabila engkau senantiasa berbakti kepada-Nya, Dia akan mendekat kepadamu.

Ibrahim ibn Adham berkata, “Hati orang mukmin bersih laksana kaca, dan dia akan melihat setiap hal yang ditimpakan setan kepadanya. Lalu jika dia melakukan satu perbuatan dosa, di hatinya itu akan muncul titik noda hitam. Apabila dia bertobat, titik noda itu akan lenyap. Apabila dia kembali melakukan maksiat dan tidak bertobat, noda hitam itu akan bertambah dan bertambah hingga menghitamkannya. Bila hati telah menghitam, sedikit sekali kemungkinan mendapat manfaat nasihat. Bahkan hati itu akan membuta, tidak bisa memahami kebenaran dan agama, akan menganggap remeh masalah akhirat dan mengagungkan masalah dunia. Sehingga saat urusan akhirat mengetuk telinganya, ia hanya akan mampir di telinganya, tidak sampai berbekas di hati dan tidak pula menggerakkannya untuk segera bertobat.”

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” [QS. al-Mumtahanah 60:13]

Apabila tubuh sakit, makanan tidak akan memberinya manfaat. Apa. bila hati sudah tenggelam dalam cinta dunia, nasihat tidak akan memberinya manfaat.

Apabila hati keras, nasehat tidak akan memberinya manfaat

seperti bumi bila asin, hujan tidak akan memberinya manfaat

Dari sini bisa diketahui bahwa istighfar tidak akan bermanfaat bagi hati yang lalai, mati dan menghitam karena banyaknya dosa dan lalai bertobat. Kalaupun dia beristighfar sepanjang hari sepenuh malam, bila hatinya seperti itu, sungguh istighfarnya tidak akan berbekas. Bahkan mungkin malah menjadi sebab siksa dan kesengsaraan.

Karena itu Rabi’ah al-‘Adawiyyah berkata, “Istighfar kita membutuhkan istighfar.”

Ciri tobat yang diterima tampak pada delapan perkara:

1. Setelah tobat si pelaku akan khawatir dalam perkara lisannya. Maka dia pun menjaga lisannya agar tidak sampai berbohong, menggunjing dan bicara berlebihan. Lalu dia menyibukkan lisannya dengan zikir dan membaca Alqur’an.

2. Dia akan mengkhawatirkan perkara perutnya. Maka dia menjaganya dengan tidak akan memasukkan makanan selain yang halal, walaupun hanya sedikit.

3. Dia akan mengkhawatirkan perkara matanya. Maka dia pun menjaganya agar tidak sampai melihat hal-hal yang haram, atau memandang dunia dengan penuh hasrat. Dia hanya akan melihat dunia untuk mengambil pelajaran.

4. Dia akan mengkhawatirkan perkara tangannya. Maka dia pun tidak mengulurkannya untuk hal-hal haram. Dia hanya akan mengulurkan tangannya dalam ketaatan.

5.  Dia akan mengkhawatirkan perkara kakinya. Maka dia tidak menggunakannya untuk berjalan dalam kemaksiatan. Dia hanya akan menggunakan kedua kakinya untuk melangkah di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.

6. Dia akan mengkhawatirkan perkara hatinya. Maka dia pun segera mengosongkannya dari permusuhan, kebencian dan kedengkian terhadap orang lain. Lalu dia mengisinya dengan nasehat dan rasa kasih terhadap sesama muslim.

7. Dia akan mengkhawatirkan perkara telinganya. Maka dia pun menggunakannya hanya untuk mendengar yang hak. 

8. Dia akan mengkhawatirkan perkara ketaatannya. Lalu dia menjadikan ketaatannya itu murni karena Allah Ta’ala, menjauhi riya dan kemunafikan.

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa dahulu ada seorang pemuda Bani Israil yang taat beribadah kepada Allah selama dua puluh tahun. Kemudian dua puluh tahun berikutnya dia bermaksiat. Saat memandang dirinya di cermin, dia melihat jenggotnya mulai memutih, dan itu membuatnya gelisah. Dia berkata, “Wahai Tuhanku, aku taat kepada-Mu selama dua puluh tahun, lalu aku membangkang kepada-Mu selama dua puluh tahun pula. Jika aku bertobat, akankah Engkau menerima tobatku?” Tiba-tiba dia mendengar suara tanpa rupa, “Dulu engkau mencintai-Ku, maka Aku pun mencintaimu, lalu kau meninggalkan Aku, maka Aku pun meninggalkanmu. Ketika engkau berpaling dari-Ku, Aku tidak mempedulikanmu. Namun jika engkau kembali kepada-Ku, Aku akan kembali menerimamu.”

Salah seorang ulama berkata, “Apabila seorang pemuda menangis karena dosa-dosanya, mengakui keburukan dirinya di hadapan Tuhan Sang Kekasih, lalu berkata, ‘Ya Tuhanku, aku telah melakukan kesalahan,’ maka Allah akan berfirman, ‘Aku telah menutupinya.’ Bila pemuda itu berkata, ‘Ya Tuhanku, aku sungguh menyesal,’ maka Allah berfirman, ‘Aku Tahu.’ Dan bila pemuda itu berkata, ‘Ya Tuhanku, aku kembali kepada-Mu,’ maka Allah berfirman, ‘Aku terima.”‘

Di dalam atsar disebutkan bahwa Allah Ta’ala befirman, “Wahai hamba-Ku, jika engkau bertobat kemudian engkau mengulangi dosa lagi, maka janganlah engkau malu kembali kepada-Ku untuk yang kedua kalinya. Lalu jika engkau langgar pula tobat yang kedua, maka jangan sampai rasa malu menghalangimu untuk datang kepada-Ku kali yang ketiga. Dan apabila engkau melanggar yang ketiga, maka kembalilah kepada-Ku untuk yang keempat kalinya. Sungguh, Aku Maha Pemurah, tidak bakhil, Aku Mahasantun, tidak ceroboh. Akulah Yang menutupi aib para pelaku maksiat dan menerima tobat orang-orang yang bertobat kepada-Ku. Akulah Yang mengampuni hamba yang bersalah. Dan Aku pula Yang Mahakasih terhadap hamba yang bersedih, yang menyesali dosa-dosanya. Akulah Yang paling penyayang dari semua yang penyayang. Siapakah yang datang ke pintu-Ku lalu ia Aku tolak?! Siapakah yang memelas kepada-Ku lalu Kuusir dia?! Siapakah yang bertobat kapada-Ku dan tidak Aku terima tobatnya?! Siapakah yang datang meminta kepada-Ku tanpa Aku kasih dia!? Siapakah yang memohon ampun kepada-Ku dari dosa-dosanya lalu tidak Aku ampuni dia?! Akulah Sang Pengampun dosa. Akulah Sang penutup aib. Akulah Sang Penghilang derita. Akulah Yang mengasihi orang-orang yang menangis dan menjerit. Aku Maha Mengetahui semua yang gaib. Wahai hamba-Ku, berdirilah di pintu-Ku, engkau akan Aku catat sebagai kekasih-Ku. Bersenang-senanglah dengan munajat kepada-Ku di waktu sahur, akan Kujadikan engkau sebagai pencari-Ku. Nikmatilah kehadiran di sisi-Ku, akan Kuberi engkau minum dari kelezatan minuman-Ku. Tinggalkanlah yang selain Aku. Tetapilah iftiqar [*] dan serulah Aku dengan lisan adz-dzillah wa al-inkisar [**].‘”

[*] Iftiqar, menampakkan rasa butuh yang sangat kepada Allah.

[**] Adz-dzillah wa al-inkisar, merasa diri hina dan pecah hati karena Allah.

Anas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam, selama engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampuni semua dosamu, Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, kalaupun dosamu sepenuh langit, bila engkau memohon ampun kepada-Ku, Aku akan memberikan ampunan kepadamu. Wahai anak Adam, kalaupun engkau datang kepada-Ku membawa kesalahan sepenuh bumi, asal engkau menemui-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu, maka Aku akan datang kepadamu dengan ampunan.” Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan dia menyatakan hadis ini berkualitas hasan. Hadis ini menunjukkan luasnya kemurahan dan rahmat Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. az-Zumar 39:53]

Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” [QS. Ali ‘Imran 3:135]

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Ashbahani dengan sanad dari Ibnu ‘Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang menyesali dosa-dosanya berarti sedang menanti rahmat dari Allah, sedangkan orang yang merasa bangga dengan amalnya berarti sedang menunggu murka dari Allah. Wahai hamba-hamba Allah, ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap pelaku suatu amal akan dibawa kepada amalnya, dan dia tidak akan keluar dari dunia ini sebelum melihat baik buruknya amal yang telah dia lakukan. Baik buruknya amal ditentukan pada penutupnya (saat menjelang kematian). Malam dan siang adalah kendaraan. Maka perhatikan perjalananmu mengarungi akhirat, jangan menunda-nunda kebaikan. Sebab kematian itu datang secara tiba-tiba. Jangan sampai engkau terperdaya dengan angananmu akan kemurahan Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, surga dan neraka itu lebih dekat daripada tali sandalmu.” Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” [QS. al-Zalzalah 99:7-8]

Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan bahwa “Ada seorang lelaki dari Bani Israil yang tidak menjaga diri dari perbuatan dosa. Suatu saat dia didatangi oleh seorang perempuan. Dia memberi uang sebesar 60 dinar kepada perempuan itu untuk menggaulinya. Ketika lelaki itu hampir melakukan niatnya, tiba-tiba badan perempuan itu bergetar hebat lalu menangis. Laki-laki itu bertanya keheranan, ‘Apa yang membuatmu menangis, apakah aku telah memaksamu?’ Perempuan itu menjawab, ‘Tidak, tetapi perbuatan ini belum pernah aku lakukan sama sekali. Aku terdorong melakukan hal ini karena terdesak kebutuhan hidup.’ Lalu lelaki itu berkata, ‘Engkau bersedia melakukannya (karena terdesak kebutuhan) padahal engkau belum pernah melakukannya sama sekali! Pulanglah dan ambillah uang itu. Demi Allah, mulai saat ini dan selamanya aku tidak akan melakukan dosa lagi.’ Kemudian pada malam harinya laki-laki itu meninggal dunia. Keesokan paginya di pintu rumah si lelaki tertulis: Sesungguhnya Allah telah mengampuni laki-laki pendosa ini.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Hakim dengan derajat shahih, sedangkan at-Tirmidzi meriwayatkannya dengan derajat hasan. Di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar r.a. mendengar hadis itu lebih dari tujuh kali, sedangkan di dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Ibn ‘Umar mendengar Rasulullah saw. mengungkapkan hadis ini lebih dari dua puluh kali.]

‘Uqbah ibn ‘Amir r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang yang melakukan dosa kemudian dia melakukan kebaikan ibarat seorang lelaki yang terbelenggu baju besi yang sangat sempit yang kemudian sedikit demi sedikit bertambah longgar setiap kali dia melakukan amal baik. Kemudian jika dia terus melakukan berbagai kebaikan, baju besi yang membelenggunya itu akan pecah hingga dia bisa melepaskannya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dengan sanad masing-masing, salah satunya berderajat shahih.

Abu Hurairah r.a. berkata, “Ada seorang laki-laki mengecup seorang perempuan” dalam riwayat lain disebutkan, “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Ya Rasulullah, aku telah memeluk seorang perempuan dan mengecupnya, tetapi tidak sampai melakukan zina. Aku melakukannya di pinggir kota Madinah. Maka hukumlah aku menurut hukummu.’ Lalu ‘Umar berkata kepadanya, ‘Allah menutupi aibmu jika engkau sendiri menutupinya.” Abu Hurairah berkata, “Nabi sendiri tidak menjawabnya. Namun ketika laki-laki itu berdiri dan pergi berlalu, Rasulullah saw. mengikutinya dan berdoa untuknya. Lalu beliau membaca ayat, ‘Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.’ [QS. Hud 11:114] Lalu ada seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah ayat ini khusus bagi dia saja?’ dan Rasulullah saw. menjawab, ‘Tidak. Ini berlaku untuk semua manusia.” (HR. Muslim)

Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada zaman dahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Lalu dia mencari-cari orang yang paling pintar di negeri itu. Dia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Maka si lelaki itu pun segera mendatanginya. Setelah sampai di hadapan sang pendeta, lelaki itu mengatakan bahwa dirinya telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, lalu bertanya apakah pintu tobat masih terbuka untuknya. Pendeta itu menjawab, ‘Tidak.’ Maka dibunuhlah pendeta itu dan genaplah menjadi seratus orang yang telah dia bunuh. Kemudian dia mencari lagi orang yang paling alim di zaman itu. Dia ditunjukkan kepada seorang alim yang lain, dan dia pun segera mendatanginya. Sampai di hadapannya dia mengatakan bahwa dia telah membunuh seratus orang, apakah pintu tobat masih terbuka untuknya. Orang alim itu menjawab, ‘Masih. Tidak ada yang dapat menghalangimu untuk bertobat. Pergilah ke negeri anu, di sana penduduknya adalah penyembah Allah. Beribadahlah bersama mereka dan janganlah engkau kembali lagi ke negerimu. Sungguh, negerimu adalah negeri yang buruk.’ Pemuda itu menuju negeri yang ditunjukkan sang alim. Di tengah perjalanan, malaikat maut datang dan mencabut nyawanya. Dia pun mati. Berselisihlah antara malaikat rahmat dan malaikat siksa. Malaikat rahmat berkata, ‘Dia datang dengan bertobat, hatinya menuju Allah.’ Malaikat siksa berkata, ‘Dia belum beramal kebaikan secuil pun.’ Kemudian datanglah malaikat lain dalam rupa manusia, menengahi malaikat rahmat dan malaikat siksa. Malaikat itu berkata, ‘Mari kita ukur jarak antara posisi saat dia mati dengan kedua negeri. Negeri yang terdekat itulah nasibnya.’ Mereka mengukur jarak antara keduanya. Dan ternyata lebih dekat ke negeri yang baik yang sedang dia tuju, dengan perbedaan jarak hanya sejengkal. Maka diputuskanlah malaikat rahmat yang menang.”

Di dalam riwayat lain ada tambahan, “Ketika sampai di pertengahan jalan, lelaki itu mengalami sekarat, tetapi dia terus bergerak dengan susah payah dengan dadanya menuju negeri yang dituju. Sehingga dia diputuskan sebagai ahli penduduk negeri itu.”

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Maka Allah Ta’ala mewahyukan kepada negeri yang buruk, ‘Menjauhlah kamu darinya!’ dan kepada negeri yang baik, ‘Mendekatlah kamu kepadanya!’ Lalu malaikat yang tampak dalam rupa manıısia berkata, ‘Ukurlah jarak antara keduanya!’”

Sudah sepatutnya orang yang berakal mengambil pelajaran dari kisah itu dan mengetahui bahwa rahmat Allah sungguh luas, tidak menjadi sempit oleh dosa, meski dosa itu bergunung-gunung. Sudah selayaknya pula orang berakal segera bertobat dengan sungguh-sungguh. Sebab bila Allah Ta’ala mengetahui sang hamba yang bertobat dengan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan mengampuninya. Sudah sepatutnya pula hamba bertobat sesuai kadar dosanya.

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ‘Umar ibn al-Khaththab berjalan-jalan di sebuah jalan kecil di kota Madinah. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang lelaki yang menyembunyikan sesuatu di dalam bajunya. ‘Umar bertanya kepada lelaki itu, “Wahai pemuda, apa yang engkau bawa di dalam bajumu?” Yang dibawa lelaki itu adalah khamr. Merasa malu karena yang dibawanya itu khamr, pemuda itu berdoa dalam hati, ‘Ya Allah, jika Engkau tidak membuatku malu di hadapan ‘Umar dan Engkau menutupi aibku, aku sungguh tidak akan pernah lagi minum khamr, selamanya.’ Lalu dia berkata kepada ‘Umar, ‘Wahai Amirul-Mu’minin, yang aku bawa ini adalah cuka.’ ‘Umar berkata, ‘Coba perlihatkan kepadaku!’ Ketika pemuda itu memperlihatkannya, ternyata minuman yang tadinya berupa khamr itu telah berubah menjadi cuka.”

Maka, wahai saudaraku, ambillah pelajaran dari berbagai peristiwa. Jika orang yang bertobat karena malu kepada ‘Umar, Allah Ta’ala berkenaan khamr-nya menjadi cuka. Apalagi bagi hamba yang bertobat dari dosa karena takut kepada Allah, niscaya Allah akan mengubah khamr keburukannya menjadi cuka ketaatan. Hal ini sungguh bukan sesuatu yang sulit bagi Allah, sebab Allah Ta’ala telah berfirman, “…kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal salih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Furqan 25:70] []

36. Bab VIII – Takhliyah dan Tahliyah

Takhliyah adalah mengosongkan diri dari akhlak dan sifat-sifat yang buruk. Sedangkan tahliyah adalah menghiasi diri dengan perilaku yang terpuji.

Wahai para murid, setelah engkau bertobat engkau harus mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela. Sebab, sifat tercela adalah najis maknawi. Seorang hamba tidak akan bisa mendekat ke hadirat Allah Yang Mahasuci dengan jiwa yang masih dilekati sifat-sifat tercela, sebagaimana dia tidak akan bisa mendekati (melaksanakan) ritual ibadah kepada Allah dengan badan yang bernajis. Oleh karena itu, seorang penempuh jalan spiritual harus membersihkan dirinya secara total dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji.

Sifat-sifat tercela itu di antaranya adalah dengki, dendam, sombong, bangga diri, bakhil, riya, cinta pangkat dan jabatan, bermegah-megahan, marah, menggunjing, mengadu domba, dusta, banyak bicara dan lain-lain.

  1. Dengki (al-hasad)

Hasad atau dengki adalah perasaan tidak senang terhadap nikmat Allah Ta’ala yang didapat orang lain dan merasa senang jika nikmat itu lenyap darinya. Dengki merupakan salah satu sifat tercela yang paling buruk. Sifat ini hanya bisa diputus dari batin secara total dengan menempuh jalan tasawuf. Rasulullah saw. bersabda, “Hasad akan melalap kebaikan laksana api membakar kayu bakar.” (HR. Ibnu Majah)

Tidak ada kejahatan yang lebih berbahaya daripada dengki. Sebab kedengkian akan menjerumuskan pelakunya ke dalam lima siksaan sebelum kesengsaraan menimpa orang yang didengkinya. Pertama, dia akan mengalami kegelisahan yang tidak berkesudahan. Kedua, mengalami musibah (kesengsaraan) yang tidak berpahala. Ketiga, tercela karena dengki sama sekali tidak terpuji. Keempat, dibenci Allah. Kelima, pintu hidayah tertutup untuknya.

Al-Hasan al-Bashri r.a. berkata, “Wahai anak Adam, mengapa engkau mendengki saudaramu. Jika yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya itu merupakan pemuliaan dari-Nya, mengapa engkau mendengki orang yang telah dimuliakan Allah Ta’ala. Dan kalaupun yang diberikankan Allah kepadanya itu bukan merupakan pemuliaan dari-Nya, mengapa pula engkau mesti mendengki orang yang natinya akan kembali ke neraka.”

Salah seorang ‘arif berkata, “Ada tiga orang yang doanya tidak akan dikabulkan, yakni orang yang makan makanan haram, orang yang banyak menggunjing dan orang yang di dalam hatinya penuh dengan kedengkian terhadap saudaranya sesama muslim.”

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai anakku, jika engkau mampu menjalani pagi dan hari tanpa sedikit pun ghisysy [pengkhianatan, penipuan atau pemalsuan] di dalam hatimu terhadap seorang pun, maka lakukan.” [at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan]. Hadis serupa diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih, juga oleh al-Baihaqi dan perawi lainnya.

‘Abdullah ibn ‘Umar berkata, “Rasulullah saw. ditanya, ‘Ya RasuluIlah, siapa manusia yang paling utama?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Setiap orang yang hatinya makhmum dan lisannya jujur.” Para sahabat bertanya, “Kalau lisan yang jujur kami paham. Tetapi apa yang dimaksud makhmum al-qalb, ya Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Dia yang bertakwa dan bersih, tidak jahat, tidak zalim dan tidak dengki.” 

Ketahuilah bahwa hasad yang tercela menurut syara ‘adalah berharap lenyapnya nikmat Allah Ta’ala dari orang lain. Selaras dengan firman Allah Ta’ala, “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” [QS. an-Nisa 4:54]

Adapun hasad yang hanya berupa keinginan untuk mendapatkan nikmat yang serupa didapat orang lain tanpa dibarengi dengan keinginan agar nikmat tersebut lenyap dari orang lain, itu tentu baik bila nikmat tersebut merupakan kebaikan ukhrawi. Allah Ta’ala berfirman, “…dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” [QS. an-Nisa 4:32]

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh hasad selain dalam dua hal. Iri terhadap lelaki yang telah dikaruniai Alqur’an oleh Allah lalu dia membacanya siang dan malam, dan iri terhadap lelaki yang dikaruniai harta yang banyak oleh Allah Ta’ala lalu dia menafkahkannya di dalam kebaikan sepanjang siang dan malam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ketahuilah bahwa mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela ini membutuhkan bimbingan seorang guru yang sempurna. Tanpa guru yang sempurna, seseorang tidak akan bisa mengosongkan diri dari sifat-sifat tersebut, meskipun telah demikian maksimal dalam beribadah. Kecuali bila Allah Ta’ala membimbingnya langsung dengan hembusan rahmat dari-Nya.

  1. Dendam (al-hiqd)

Al-hiqd atau dendam adalah menyimpan rasa permusuhan, kebencian, atau memutuskan hubungan persaudaraan. Ini sungguh merupakan sifat buruk yang tercela. Karena dendam akan memunculkan kedengkian, sikap menjauhi dan memusuhi serta mencari-cari aib orang lain.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari, dia akan mati lalu masuk neraka.” [HR. Abu Dawud]. Tentu selama orang yang dijauhinya itu bukan orang yang berbuat maksiat secara terang-terangan dan tidak mau berhenti setelah mencegahnya.

Ibnu ‘Umar r.a. berkata, “Rasulullah naik mimbar, lalu berucap dengan suara yang keras, “Wahai orang-orang yang berislam hanya dengan lisannya tanpa iman menancap di hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslim, jangan mengganggu mereka, jangan memata-matai aurat mereka. Sesungguhnya orang yang memata-matai aurat saudaranya yang muslim, Allah akan memata-matai auratnya. Kalau Allah memata-matai auratnya, maka orang yang auratnya dimata-matai Allah, tentu Allah akan mencemarkannya, meski dia berada di dalam rumahnya sendiri” (HR. at-Tirmidzi)

  1. Sombong (al-kibr)

Al-kibr atau sombong adalah rasa diri agung yang muncul karena memandang diri berada di atas orang lain. Allah Ta’ala berfirman, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.” [QS. al-A’raf 7:146].  Yakni, Allah akan mencegah mereka dari kesanggupan untuk merenungi penciptaan langit dan bumi serta tanda-tanda dan pelajaran yang ada padanya. 

Allah Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang menıperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” [QS. al-Mu’min 40:35]

Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan tidak akan masuk surga, meski kesombongannya itu hanya sebesar atom.” (HR. Muslim)

Di dalam satu ungkapan disebutkan, “Tidak akan sombong selain orang yang hina. Dan tidak ada yang tawadhu’ selain orang yang mulia.” Sungguh, sombong merupakan maksiat pertama yang dengannya Allah dimaksiati. Allah Ta’ala berfırman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia temasuk golongan orang-orang yang kafir.” [QS. al-Baqarah 2:34]

Barangsiapa bersikap sombong, hampir bisa dipastikan dia akan bersama-sama Iblis dalam menerima hukuman pengusiran dari rahmat Allah dan mengalami siksa yang tidak berkesudahan. Orang yang sombong juga terancam mengalami akhir yang buruk dan mati mengenaskan (su’ al-khatimah). 

  1. Bangga diri (al-‘ujb)

Al-‘ujb atau bangga diri adalah merasa diri agung yang muncul di dalam batin karena menghayal tentang kesempurnaan ilmu atau amal dirinya. Al-’ujb ditafsir dengan makna pengagungan nikmat dan merasa nyaman dengannya sambil melupakan penyandaran nikmat itu pada Allah Ta’ala.

Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang amat merusak: kikir yang dipelihara, hawa nafsu yang diikuti dan bangga diri.” (HR. ath. Thabrani, al-Bazzar dan al-Baihaqi)

  1. Bakhil (al-bukhl)

Al-bukhl atau bakhil adalah enggan memberi kepada yang lain karena takut hartanya berkurang. Allah Ta’ala berfirman, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di Hari Kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Ali ‘Imran 3:180]

Rasulullah saw. bersabda, “Berhati-hatilah kalian agar jangan sampai bakhil. Sungguh, kebakhilan telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, telah menyebabkan mereka mengalirkan darah (berperang/ membunuh) dan menghalalkan hal-hal yang haram.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil jauh dari surga, jauh dari manusia, dekat dengan neraka. Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah daripada tukang ibadah yang bakhil.” (HR. Al-Baihaqi, ath-Thabrani dan yang lainnya)

Al-Ashfahani meriwayatkan hadis marfu’, “Ingatlah, sesungguhnya semua orang yang dermawan pasti masuk surga, kepastian dari Allah, aku jamin. Dan ingatlah, sesungguhnya setiap orang yang bakhil akan masuk neraka, kepastian dari Allah, aku jamin.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa orang yang dermawan dan siapa orang yang bakhil?” Beliau menjawab, “Orang yang dermawan adalah orang yang dengan senang hati memenuhi hak-hak Allah di dalam harta bendanya. Orang yang bakhil adalah orang yang menahan hak-hak Allah dan bersikap kikir terhadap Allah. Orang yang dermawan itu bukan orang yang mengambil melalui cara yang haram dan menafkahkan harta secara berlebihan.”

Ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Sesungguhnya Allah telah memurnikan agama ini untuk diri-Nya, dan tidak ada yang cocok bagi agama kalian ini selain kedermawanan dan kebaikan budi pekerti. Ingatlah, hiasilah agamamu dengan kedermawanan dan kebaikan budi pekerti.”

Ath-Thabrani juga meriwayatkan hadis marfu’, “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala mengutus Jibril kepada Ibrahim a.s., “Wahai Ibrahim, sesungguhnya aku mengangkatmu sebagai khalil (kekasih) bukan karena engkau adalah hamba-Ku yang paling banyak beribadah. Tetapi Aku sudah meneliti hati orang-orang yang beriman, dan Aku tidak mendapati hati yang lebih dermawan dari hatimu.”

Asy-Syaikh Muhyiddin ibn al-‘Arabi ditanya tentang hakikat israf (berlebihan/boros), dia menjawab, “Israf adalah kemurahan yang luas melebihi batas dan ukuran. Namun karena biasanya pelaku israf ini tidak bisa konsisten dalam kemurahannya, bahkan dia sering menyesal atas harta yang telah dikeluarkannya ketika dia mengalami kondisi sulit, maka Allah Ta’ala menetapkan bahwa sikap israf merupakan perbuatan yang tercela. Sikap yang terpuji adalah sikap pertengahan, tidak pelit dan tidak boros. Barangsiapa ingin berakhlak dengan akhlak ini hendaklah dia menempuh suluk dengan sungguh-sungguh dan ikhlas dalam bimbingan seorang guru yang benar dan sempurna. Sang guru akan mendekatkannya ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan demikian keyakinannya kepada Allah akan bertambah kuat, dan dia akan menafkahkan setiap harta yang didapatnya. Berbeda halnya dengan orang yang jauh dari hadirat Allah. Karena lemahnya keyakinan kepada Allah, dia akan sanga sulit memberi sesuatu kepada orang lain. Allah Ta’ala memberikan petunjuk pada hamba yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.

  1. Pamer (ar-riya’)

Ar-riya’ atau pamer adalah usaha meraih tempat di hati manusia dengan menampakkan perilaku yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” [QS. al-Kahfi 18:110]. Maksudnya, jangan ingin dilihat orang dengan amalnya.

Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan akan menimpa diri kalian adalah syirik kecil, yakni riya. Di hari kiamat Allah berfirman kepada orang yang riya ketika Allah membalas amal manusia, ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang untuk mereka kalian pamerkan amal kalian ketika di dunia. Lihatlah, apakah kalian akan mendapati balasan kebaikan dari mereka.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad yang jayyid.

Orang yang ingin mengosongkan diri dari sifat riya yang amat tercela ini membutuhkan guru yang sempurna, untuk menuntunnya berjalan di jalan gaib lalu mengantarkannya ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, orang yang tidak menempuh jalan thariqah biasanya tidak akan bisa memasuki hadirat al-ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dia akan senantiasa bersama dirinya sendiri dan orang lain di dalam amal-amal ibadahnya.

Kalau saja seseorang telah memasuki hadirat al-ihsan, tentu dia akan menyaksikan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala, Dialah Sang Pelaku bagi semua amalnya. Dialah yang menciptakan dan mewujudkan amal-amal itu. Dengan demikian si hamba akan melihat bahwa dirinya hanyalah sekadar tempat sandaran amal-amal itu, dan dia diberi balasan karena mematuhi hukum dan kewajiban, bukan karena yang lain. Barangsiapa telah menyadari hal ini, dia tidak akan mendapati amal sebagai miliknya, dan dia akan terbebas dari riya dan bangga diri, bahkan tidak akan meminta pahala dari Allah Ta’ala untuk amalnya. Karena, dia menyaksikan ternyata anggota tubuhnya sekadar alat yang digerakkan, dan dia mendapati bahwa yang menggerakkannya itu adalah Allah Ta’ala, dengan memberinya potensi dan kekuatan. Bukan dirinya sendiri yang berbuat dan beramal. Oleh karena itu, jangan sampai engkau berbuat riya. Sebab riya akan merusak amal, membatalkan pahala, menghadirkan murka dan siksa.

Al-Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Sungguh, barangsiapa dari umat ini (umat Muhammad) yang beramal untuk kepentingan dunia, maka tidak ada baginya bagian di akhirat.”

Ath-Thabrani dan lainnya juga meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Barangsiapa berhias dengan amal akhirat padahal dia tidak menghendaki akhirat dan tidak pula mengusahakan akhirat, maka dia akan dilaknat di langit dan di bumi.”

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan hadis mursal, “Allah tidak akan menerima amal yang di dalamnya terdapat riya, walau hanya sebutir atom.” 

Riya ada dua macam. Pertama, riya murni, yaitu beramal dengan amal akhirat hanya untuk mendapat manfaat duniawi. Kedua, riya campuran, yaitu beramal untuk mendapatkan manfaat dunia dan manfaat akhirat. Kedua-duanya merupakan riya dan dapat melebur pahala, na’udzu billahi min dzalik.

  1. Cinta Pangkat dan Jabatan

Yang dimaksud cinta pangkat dan jabatan adalah bernafsu untuk menjadi populer dengan reputasi baik. Sifat ini sungguh tercela dan memutuskan jalan kebenaran. Lain halnya dengan orang yang dipopulerkan oleh Allah Ta’ala untuk menyebarkan agama-Nya. Tidak ada orang yang selamat dari cinta pangkat dan jabatan selain orang-orang yang benar imannya (ash-shiddiqun).

Rasulullah saw. bersabda, “Cukuplah keburukan bagi anak Adam bila sampai dia dituding dengan jari dalam agama dan dunianya, kecuali orang yang dijaga dari dosa oleh Allah Ta’ala.” (HR. Ath-Thabrani)

Abu Yazid al-Busthami berkata, “Aku telah menanggung beban beribadah selama tiga puluh tahun. Lalu aku melihat seseorang berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Yazid, sungguh lemari Allah telah penuh dengan ibadah. Jika engkau ingin sampai kepada-Nya, engkau mesti menempuh adz-dzillah wa al-iftiqar.” [adz-dzillah, senantiasa merasa diri hina di hadapan Allah. Al-iftiqar, senantiasa merasa butuh kepada Allah.]  

Al-Mutawalli r.a. berkata, “Kondisi si faqir di dunia ini laksana orang yang duduk di kamar kecil (wc). Jika pintunya ditutup, dia menunaikan hajatnya dan keluar dalam keadaan tertutup, sehingga tidak ada yang melihat auratnya. Apabila pintunya dibuka, tersebarlah auratnya dan rusaklah rahasianya, dan orang-orang yang melihatnya pun akan mengutukinya.

Dalam kondisi bagaimanapun, apabila hati si salik condong pada cinta pangkat dan jabatan, maka dia akan terputus dari jalan menuju Allah Ta’ala.

  1. Tafakhur

Tafakhur adalah berbangga diri dengan berbagai kemuliaan, entah kedudukan, nasab, ataupun yang lainnya. Ini adalah sifat tercela dan terlarang. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian semua berendah diri, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan diri di atas orang lain dan tidak seorang pun berbuat zalim terhadap siapa pun.” (HR. Muslim)

Berbangga diri ini bisa dengan banyaknya harta benda, atau dengan kehormatan orang tua, atau dengan amal ibadah.

  1. Marah (al-ghadhab)

Marah adalah didih darah hati untuk menuntut pelampiasan (pembalasan). Rasulullah saw. bersabda, “Marah berasal dari setan. Setan diciptakan dari api. Api dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah dia mandi.” (HR. Ibnu ‘Asakir)

Di dalam satu khabar disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, ingatlah Aku jika engkau marah, maka aku akan mengingatmu saat Aku marah, sehingga Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang binasa.” 

Amal yang paling utama adalah bermurah hati saat marah dan bersabar ketika sangat menginginkan sesuatu

Bemurah hati sejatinya bukan saat ridha

tetapi murah hati itu saat marah 

Rasa takut kepada Allah Ta’ala bisa meredakan marah. Perhatikanlah orang-orang! Mereka marah hanya karena mereka terhijab dan tidak menyaksikan Allah Ta’ala sebagai pelaku bagi semua yang muncul di alam wujud. Karena keterhijaban itu mereka hanya bisa melihat perbuatan sebagai perbuatan dari sesama jenisnya. Padahal bila saja mereka menempuh jalan tarekat, tentu mereka akan mendapati bahwa perbuatan adalah milik Allah Ta’ala. Dengan demikian dia tidak akan mendapati siapa pun yang layak dijadikan sasaran kemarahannya. Bahkan dia akan mendapati bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam wujud ini adalah sumber hikmah.

Seorang ‘arif berkata,

Jika engkau melihat Allah sebagai pelaku dalam segala,

engkau akan melihat semua yang wujud ini adalah bagus

dan jika engkau tiada melihat selain fenomena ciptaan-Nya

engkau sungguh tertabir, dan yang bagus menjadi tampak buruk

Benar, orang yang sempurna adalah orang yang tidak marah selain karena Allah Ta’ala, yakni apabila kehormatan-Nya dirusak. Tetapi bukan atas dasar keyakinan bahwa maksiat itu adalah perbuatan Allah Ta’ala, melainkan perbuatan itu dinisbatkan kepada si hamba. Dari sini Anda tahu bahwa seseorang tidak akan bisa membebaskan dirinya secara sekaligus, selamanya.

Al-‘Arif asy-Sya’rani menuturkan bahwa al-Imam asy-Syafi’i r.a. terkenal sebagai orang yang berakhlak mulia. Orang-orang yang dengki mencoba memancing kemarahannya, namun tidak ada yang mampu membuatnya marah. Suatu hari, mereka menyogok tukang jahit yang membuatkan baju untuk Imam asy-Syafi’i. Mereka menyuruh penjahit itu menyempitkan lengan kanannya agar asy-Syafi’i kesulitan mengeluarkan tangannya, sedangkan lengan kirinya dijahit amat longgar. Ketika melihat bajunya selesai dijahit seperti itu, asy-Syafi’i berkata, “Mudah-mudahan Allah memberimu balasan yang baik karena engkau telah menyempitkan lengan kanan bajuku, sehingga aku tidak perlu kerepotan menyingsingkannya saat menulis. Dan engkau telah melonggarkan lengan kiri bajuku agar aku bisa leluasa membawa kitab.”

Ada pula riwayat yang menceritakan tentang orang-orang dengki yang berusaha memancing kemarahan al-Junaid. Suatu ketika di hari Jum’at, para pendengki itu menyiramkan air bekas cucian ikan kepada al-Junaid yang hendak berangkat shalat Jumat, sehingga air itu membasahi seluruh tubuh dan bajunya, mulai dari kepala sampai ujung bawah bajunya. Namun beliau malah tertawa, lalu berkata, “Orang yang berhak masuk neraka layak disiram air seperti ini, tidak perlu marah.” Lalu beliau kembali ke rumahnya dan meminjam pakaian istrinya, kemudian melakukan shalat.

Para salaf shalih berkata, “Tingkatan-tingkatan derajat manusia dihitung berdasarkan akhlak baiknya. Maka, orang yang akhlak baiknya lebih dari dirimu, berarti derajatnya lebih luhur darimu.”

Simpulannya, semua berdasarkan akhlak ilahiah. Bila Allah Ta’ala marah, maka marah-Nya demi yang selain Dia, bukan karena diri-Nya. Sebab, seandainya Allah Ta’ala menuntut balas untuk diri-Nya, niscaya Allah akan menghancurkan seluruh makhluk dalam sekejap. Pahamilah!

  1. Menggunjing (al-ghibah)

Al-ghibah atau menggunjing adalah engkau menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang ada padanya, yang jika saudaramu itu mendengarnya tentu dia tidak akan menyukainya. Entah sesuatu itu tentang badannya, perkataannya, pekerjaannya, agamanya, masalah dunianya, bajunya, rumahnya atau kendaraannya. Apabila engkau menceritakan saudaramu dengan hal-hal itu dan sesuatu itu memang ada padanya, maka perbuatanmu itu disebut ghibah. Jika sesuatu yang engkau cerihkan itu ternyata tidak ada padanya, maka perbuatanmu disebut buhtan (tuduhan), dan ini lebih berat daripada ghibah. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.“ [QS. al-Hujurat 49:12]

Rasulullah saw. bersabda, “Berhati-hatilah jangan sampai kalian menggunjing. Sebab menggunjing itu lebih berat daripada zina. Seorang lelaki yang berzina lalu bertobat, tobatnya bisa langsung diterima Oleh Allah. Sementara orang yang menggunjing tidak akan diampuni oleh Allah sebelum orang yang dia gunjing memaafkannya.” (HR. İbnu Abi ad-Dunya)

Oleh karena itu berhati-hatilah agar jangan sampai engkau menganggap remeh perbuatan menggunjing, apalagi engkau sampai terjerumus pada buhtan. Engkau jangan berkata, walau di dalam hatimu, “Aku mempunyai amal salih yang dapat menghapus dosa menggunjing,” Sebab, bisa jadi di Hari Kiamat kelak orang yang pernah engkau gunjing atau engkau tuduh secara dusta tidak akan ridha meski engkau menebusnya dengan seluruh amal kebaikanmu. Itupun kalau semua amalmu itu bersih dari segala hal yang bisa merusaknya dan membuatnya tertolak, seperti riya, sum’ah [ingin terdengar baik di telinga orang-orang hingga orang-orang memberikan penilaian yang baik terhadap dirinya.] dan yang lainnya. Sungguh, tidak sedikitpun dari amal baik yang tercemar oleh riya atau sum’ah akan sampai ke akhirat sebagai bekal bagi pelakunya.

Sudah selayaknya seorang yang berakal untuk tidak membuat keruh amal kebajikannya dengan ghibah. Bila ada orang yang menggunjingnya, dia juga tidak perlu merasa sengsara. Sebaliknya dia perlu merasa senang. Sungguh, di Hari Kiamat Allah Ta’ala akan memberi kuasa si tergunjing untuk mengambil pahala amal orang yang menggunjingnya sesuka dia.

  1. Mengadu Domba (an-namimah)

An-Namimah atau mengadu domba adalah memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan memecah belah antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah.” [QS. al-Qalam 68:10-11]

Rasulullah saw. bersabda, “Seorang yang suka mengadu domba sungguh tidak akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Ahmad meriwayatkan hadis marfu’, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kalian kuberitahu siapa hamba Allah yang paling buruk?” lalu para sahabat menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda. “Yaitu orang yang suka mengadu domba, memecah belah orang-orang yang saling mencinta, dan suka mencela orang-orang yang bersih.”

Di dalam satu riwayat dari Abu asy-Syaikh disebutkan, “Al-Hammazunal-lammazun [al-hammazun adalah orang-orang yang suka mencela. Al-lammazun  adalah orang-orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain], orang-orang yang suka mengadu domba serta orang-orang yang suka menuduh buruk terhadap orang yang baik, kelak akan dibangkitkan oleh Allah dalam rupa anjing.”

Para ulama telah sepakat tentang keharaman mengadu domba. Mereka juga sepakat bahwa mengadu domba merupakan salah satu dosa terbesar dalam pandangan Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu sudah semestinya orang yang berakal menjauhi perilaku tercela ini dan berhati-hati terhadap semua orang yang senang mengadu domba, jangan sampai terpancing. Dia juga mesti tahu bahwa orang yang suka mengadu domba pasti akan diadu domba.

  1. Dusta (al-kidzb)

Dusta atau al-kidzb adalah memberitahukan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Dusta merupakan salah satu perbuatan dosa yang paling buruk. Allah Ta’ala berfirman, “…kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” [QS. Ali ‘Imran 3:61]

Rasulullah saw. bersabda, “Jujurlah, karena kejujuran menunjukkan pada kebaikan dan kebaikan mengantarkan ke surga. Seorang laki-laki yang bersikap jujur dan membiasakan diri berlaku jujur akan dicatat oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan hindarilah dusta, karena dusta menunjukkan kezaliman dan kezaliman itu mengantarkan kepada neraka. Seorang lelaki yang berbuat dusta dan membiasakan diri berbuat berdusta akan dicatat oleh Allah sebagai pendusta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Malik meriwayatkan hadis marfu’ bahwa Rasulullah saw. ditanya oleh para sahabatnya, “Ya Rasulullah, apakah seorang mukmin bisa menjadi pendusta?” dan Rasulullah saw. menjawab, “Tidak.”

Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan al-Baihaqi meriwayatkan satu hadis marfu’, “Celakalah orang yang bercerita bohong untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, sungguh celakalah dia.”

Ibnu Mas’ud r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perkataan yang paling benar adalah Kalamullah. Perkataan yang paling mulia adalah zikrullah. Buta yang paling buta adalah buta hati. Barang yang sedikit tapi mencukupi itu lebih baik daripada yang banyak tetapi tidak mencukupi. Penyesalan yang paling buruk adalah penyesalan di Hari Kiamat. Kaya yang terbaik adalah kaya jiwa. Bekal yang paling baik adalah takwa. Khamr adalah penghimpun dosa. Perempuan adalah tali-tali setan. Gejolak muda adalah cabang kegilaan. Usaha yang paling buruk adalah usaha riba. Kesalahan yang paling besar adalah lisan yang suka berdusta.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Berdusta itu tidak diperbolehkan kecuali dalam tiga hal: yaitu [1] berdusta dalam perang, karena perang adalah tipu daya, [2] seseorang yang sedang mendamaikan dua orang yang berselisih, dan [3] berdusta untuk memperbaiki hubungan antara dia dan istrinya.” (HR. Muslim)

Ketahuilah bahwa sika pjujur merupakan hiasan para wali. Sedangkan dusta merupakan ciri orang-orang yang celaka.

Allah Ta’ala berfirman, “Ini saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya.” [QS. al-Ma’idah 5:119]

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” [QS. at-Taubah 9:119]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik.” [QS. az-Zumar 39:33-34]

Allah Ta’ala telah mencela dan mengutuk para pendusta, sebagaimana tampak di dalam firman-Nya, “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta.” [QS. adz-Dzariyat 51:10]

Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. ash-Shaff 61:7]

  1. Banyak Bicara (katsratul-kalam)

Banyak bicara merupakan sifat tercela. Karena banyak bicara bisa melahirkan banyak hal haram atau makruh, seperti berbicara maksiat atau membicarakan keadaan orang lain.

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa banyak bicara, akan banyak pula ketergelincirannya. Barangsiapa banyak tergelincir, akan banyak pula dosanya. Barangsiapa banyak dosa, maka yang paling sesuai baginya adalah neraka.” (HR. Ath-Thabrani)

At-Tirmidzi dan al-Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Kalian jangan memperbanyak bicara tanpa berzikir kepada Allah. Sebab banyak bicara tanpa berzikir kepada Allah akan mengeraskan hati. Sungguh, hamba yang paling jauh dari Allah adalah hamba yang berhati keras.”

At-Tırmidzi dan Ibnu Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadis marfu’, “Semua bicara anak Adam akan menjadi beban bagi dirinya dan tidak akan memberinya manfaat, kecuali bicara dalam rangka menganjurkan kebaikan, menahan kemungkaran dan dzikrullah.”

Abu asy-Syaikh meriwayatan hadis marfu’, “Manusia yang paling banyak dosanya adalah mereka yang paling banyak bicara tentang hal yang tidak bermanfaat.”

Oleh karena itu hendaklah engkau lebih sering tidak bicara, dalam keadaan apa pun, dan jangan bicara selain yang mengandung kebaikan bagi agama dan duniamu. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. al-Infithar 82:10-12]

Allah Ta’ala berfirman, “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” [QS. al-Qaf 50:17-18]

Apakah engkau tidak malu bila saat lembaran catatan amalmu yang telah engkau penuhi sepanjang siang itu dibentangkan ternyata isinya lebih banyak hal yang tidak bermanfaat bagi agamamu dan tidak pula bermanfaat bagi duniamu?!

Oleh karena itu ar-Rabi’ ibn Khaitsam r.a. senantiasa menyiapkan pena dan kertas setiap kali memulai paginya. Lalu setiap ucapan yang dia ungkapkan dia catat dan dia jaga, sebagai bahan dirinya menghitung-hitung diri di waktu sore.

Anas ibn Malik r.a. berkata, “Ada seorang anak muda mati syahid dalam Perang Uhud, dan aku dapati di perutnya ada sebutir batu terikat untuk menahan lapar. Kemudian Ibunya (datang dan) mengelap debu dari wajahnya seraya berkata, ‘Surga akan merindukanmu, wahai anakku.’ Lalu Nabi saw. berkata, ‘Apa yang membuat engkau yakin tentang dia? Barangkali dia pernah bicara sesuatu yang tidak bermanfaat dan pernah menolak untuk berbicara padahal tidak membahayakannya.” (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Abi ad-Dunya)

Ibrahim ibn Adham berkata, ”Suatu hari ada beberapa orang tamu singgah di rumahku. Aku tahu mereka adalah para wali (abdal), akupun berkata, ‘Nasihatilah aku dengan nasihat yang bisa membuat aku merasa takut kepada Allah Ta’ala seperti rasa takut kalian kepada-Nya.’ Mereka berkata, ‘Kami nasihati engkau dengan tujuh perkara. Pertama, barangsiapa banyak bicara, jangan kau harap hatinya akan waspada. Kedua, barangsiapa banyak bicara, jangan kau harap hikmah akan sampai padanya. Ketiga, barangsiapa banyak bergaul dengan manusia, jangan kau harap dia memperoleh manisnya ibadah. Keempat, barangsiapa terlalu berlebihan dalam mencintai dunia, dikhawatirkan akan mengalami su’ al-khatimah (akhir hayat yang buruk). Kita berlindung kepada Allah Ta’ala darinya. Kelima, barangsiapa bodoh, jangan harap hatinya akan hidup. Keenam, barangsiapa memilih bergaul dengan orang yang zalim, jangan diharap bisa istiqamah dalam agama. Ketujuh, barangsiapa mencari ridha manusia, jarang sekali yang bisa memperoleh ridha Allah Ta’ala.”’ 

Perbuatan Tercela

Ada banyak sekali perbuatan tercela. Di antaranya adalah akidah yang rusak, melakukan maksiat, meninggalkan tobat, tidak mengetahui hal-hal yang fardhu dan yang sunnah, menganggur dan tidak bekerja karena malas, berbuat makar, menipu, berkhianat, tamak, cenderung mengikuti hawa nafsu dalam setiap kesenangan yang haram, mendengarkan hal-hal yang melalaikan, menyaksikan hal-hal tabu, sumpah palsu, mengutuk, menuduh zina kepada isteri, memusuhi orang islam, mencela, bicara cabul, mengolok-olok, menghina, bersikap kasar, mendebat, tidak sabaran, gembira yang melampaui batas, melawak, berhias, menyenangi perbuatan keji dan munkar, menunda-nunda kebaikan, berangan-angan, tidak punya rasa malu, pengecut, tidak bersemangat, senang memalsu dan merekayasa kebenaran.

Sifat-sifat Terpuji

Sifat-sifat terpuji juga banyak. Di antaranya adalah akidah yang benar, bertobat, berpaling dari kemaksiatan dan merasa menyesal jika terlanjur melakukan perbuatan dosa, malu kepada Allah, taat, sabar, wara’ (waspada menjaga diri dari dosa), zuhud, qana’ah, ridha, bersyukur, memuji, bicara benar dan jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah, tidak berkhianat, menjaga hak-hak tetangga, mendermakan makanan, menebar salam, memperbaiki perbuatan, cinta akhirat, benci dunia, merasa cemas terhadap perhitungan amal, rendah hati, menghindari perlakukan menyakiti orang lain, tabah menanggung beban derita, merasa senantiasa diawasi Allah, berpaling dari makhluk, tidak gelisah, menahan hawa nafsu dari berbagai kesenangannya, khaufraja’, dermawan, toleran dan memaafkan, cinta, bersemangat, melipur lara, supel, lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada diri sendiri, memberi nasihat, menjaga diri dari dosa, berserah diri kepada Allah, tawakkal, berani, menjaga kehormatan, cinta kepada Allah, berharap sampai ke hadirat-Nya serta takut berpisah dengan-Nya, beradab, merenungkan ciptaan Allah, berhati-hati, mawas diri, berbaik sangka, bersungguh-sungguh, meninggalkan riya dan perdebatan, mengingat mati, tidak melamun, berusaha memahami Alqur’an, menafikan pikiran-pikiran buruk, meninggalkan yang selain Allah, senantiasa merasa butuh Allah dan berlindung kepada-Nya, serta ikhlas dalam kondisi apa pun.

Apabila seorang murid telah berakhlak dengan sifat-sifat terpuji, maka dengannya dia akan bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya, dengan cara itu pula dia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela dan memenuhinya dengan sifat-sifat terpuji itu bukanlah melenyapkan sifat tercela dan memunculkan sifat terpuji secara baru. Tetapi si hamba menggunakan sifat-sifat terpuji dan meninggalkan sifat-sifat tercela. Karena watak manusia adalah watak tanah campuran. Manusia dicipta dari tanah campuran beragam substansi, beragam rasa, bau, mutu dan kadarnya. Apabila tanah campuran itu diaduk hingga larut dan menyatu, kemudian dibagi menjadi bagian-bagian kecil, maka di dalam masing-masing bagian itu terkandung semua unsur yang sama dimiliki bagian lainnya. Karena itu, di dalam tanah manusia terkandung sifat-sifat buruk yang tak terhingga, juga sifat-sifat baik yang tak terhingga. Di dalam diri orang-orang besar terkandung sifat-sifat buruk yang juga ada di dalam diri orang-orang kerdil, demikian pula sebaliknya. Hanya saja pada diri orang-orang besar sifat-sifat buruknya tertutup oleh sifat-sifat baik, sedangkan pada diri orang-orang kerdil sifat-sifat baiknya tertutup oleh sifat-sifat buruk.

Demikianlah watak semua manusia selain para nabi. Karena, Allah Ta’ala telah menyucikan tanah para nabi dengan pertolongan-Nya yang terdahulu, bukan karena amal mereka sendiri atau kebaikan yang mereka perbuat. Tanah yang menjadi bahan penciptaan para nabi baik secara keseluruhan, tidak mengandung unsur yang buruk, berbeda dengan tanah asal penciptaan selain mereka.

Oleh karena itu, orang yang bukan nabi tidak akan bisa melenyapkan sifat-sifat tercelanya selain dengan meniadakan dzat dirinya. Namun, selama pertolongan Allah menyertai hamba, sifat-sifat baiknya akan aktif dan sifat-sifat buruknya akan terlantar. Sedangkan bila pertolongan Allah tidak menyertainya, sifat-sifat buruknya akan bangkit dan sifat-sifat baiknya akan melemah, sehingga jadilah dia seperti setan.

Apabila jiwa hamba lebih condong kepada keburukan dan menghindar dari kebaikan, maka dia akan lebih dekat kepada kejahatan daripada kebaikan. Hamba yang seperti ini sungguh berada dalam bahaya besar dan mengidap banyak penyakit kronis. Karena itu, wahai saudaraku, engkau tahu bahwa dirimu memiliki watak kecenderungan pada keburukan, dan keenderunganmu kepada keburukan itu lebih dari kecenderunganmu pada kebaikan. Dan oleh karena itu, engkau sebenarnya sangat membutuhkan penanganan seorang dokter yang benar-benar mumpuni dan jujur, yang bisa melenyapkan derita keburukan dan kerusakan yang engkau alami, hingga kebaikan mendominasi dirimu.

Saudaraku, berhati-hatilah agar jangan sampai engkau melihat tabiat baik dan watak terpuji yang ada di dalam dirimu sambil mengandalkan ilmu dan ibadahmu. Sesungguhnya yang demikian ini merupakan tipu daya yang dihembuskan nafsu (an-nafsu al-ammarah bis-su’). Bila engkau tertipu, engkau bagai seorang lelaki yang selama hidupnya hanya makan buah labu yang pahit rasanya dan merasa yakin dirinya makan manisan yang lezat. Padahal seandainya dia mencicipi rasa madu, tentu dia akan menyadari pahitnya labu. Dan dia pun akan mengetahui bahwa selama ini tanpa sadar dirinya selalu menanggung derita. Maka, wahai orang yang berakal, berjuanglah dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan engkau memperoleh kesehatan batin dan terhindar dari kondisi ruhani yang buruk.[]

37. Bab IX – Ketercelaan Dunia dan Angan-Angan

Allah Ta’ala berfirman, “Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” [QS. Luqman 31:33]

Allah Ta’ala berfirman, “…dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” [QS. al-Hadid 57:14]

Al-gharur adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang sebenarnya tidak layak dijadikan pegangan. Seperti kebergantungan orang alim pada ilmunya, kebergantungan hakim pada kebijaksanaannya, kebergantungan seorang zahid pada kezuhudannya, kebergantungan si tukang maksiat pada penangguhan hukuman dari Allah terhadap dirinya, dan kebergantungan si kaya pada kekayaannya.

Di masyarakat umum sering terjadi kesalahpahaman antara al-ghurur (keterperdayaan) dan ar-raja’ (pengharapan). Misalnya, mereka terus menerus melakukan perbuatan buruk sambil bergantung pada keluasan rahmat Allah Ta’ala dan banyaknya nikmat karena tidak memahami perbedaan antara raja’ dan ghurur. Padahal raja’ hanya akan menjadi nyata saat ada sebab-sebab kebahagiaan dan kemenangan. Harusnya seorang hamba melakukan ketaatan, baru kemudian berharap amalnya diterima. Sedangkan al-ghurur terjadi saat tidak adanya sebab-sebab kebahagiaan dan kemenangan. Oleh karena itu, janganlah engkau menjadi bagian dari mereka yang mencari akhirat tanpa beramal salih, lalu menunda-nunda tobat dengan angan-angan kosong. Jangan sampai engkau bicara dunia bak seorang zahid tetapi berbuat dengan amalan para pecinta dunia yang kalau pun diberi dunia, dia tidak akan kenyang, dan jika tidak diberi, dia tidak merasa cukup.

Dia mengharap keselamatan, tetapi dia tidak menempuh jalan-jalannya

Padahal perahu takkan pernah bisa jalan di daratan

Keterperdayaan terbesar di antaranya adalah terus menerus melakukan perbuatan dosa karena memiliki harapan akan ampunan dari Allah, yang bahkan tidak disertai penyesalan. Yang lainnya adalah mengharap-harap dekat dengan Allah tanpa melakukan ketaatan. Mengharap panen surga dengan menanam benih neraka. Mencari tempat orang-orang yang taat dengan melakukan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” [QS. al-Jatsiyah 45:21]. Yakni, orang-orang yang melakukan dosa dan amalan tercela itu menyangka bahkan kelak di akhirat mereka akan disamakan dengan orang-orang yang beramal shalih? Tidak mungkin! Buruk sekali apa yang mereka sangka itu.

Di dalam hadis qudsi disebutkan, “Betapa tak punya rasa malu orang yang demikian rakus menginginkan surga-Ku tanpa beramal salih. Bagaimana Aku akan berderma dengan rahmat-Ku kepada orang yang bakhil menaati-Ku?”

Ketahuilah bahwa di dalam syariat manapun cinta dunia merupakan hal tercela. Cinta dunia merupakan biang kejahatan dan sebab semua fitnah. Para ‘arif berkata, “Cinta dunia adalah biang setiap kesalahan.” Apabila cinta dunia telah merasuki hati hamba, ia akan merusak dan menjadikan hati laksana tanah gersang yang tak menumbuhkan sedikitpun kebaikan.

Bila cinta dunia merupakan biang setiap kesalahan, maka benci dunia merupakan pokok pangkal ketaatan dan kebaikan. Karena itu jangan sampai urusan dunia membuat engkau jauh dari Allah. Barangsiapa kepentingan dunianya hanya sesuatu yang bisa mencukupinya, maka yang sedikit sudah bisa mencukupinya. Sedangkan orang yang mencari kekayaan dari dunia ini, sungguh tidak ada sesuatu pun darinya yang bisa membuat dia kaya.

Seorang hamba hendaklah bersikap zuhud dalam dunia dengan tidak merasa gembira mendapati harta yang ada di tangannya dan tidak merasa sedih dengan harta yang luput darinya. Jangan sampai kesibukan mencari dunia dan bersenang-senang dengannya membuat dia lupa mengerjakan amal (ibadah) yang lebih baik baginya menurut Allah Ta’ala. Hamba juga mesti membersihkan hatinya dari cinta kehormatan, sehingga baginya pujian dan celaan tiada beda, demikian pula penerimaan dan penolakan orang-orang terhadap dirinya.

Cinta kehormatan dan jabatan lebih berbahaya daripada cinta harta benda, meskipun keduanya merupakan penanda cinta dunia. Dunia adalah musuh manusia. Karena itu Allah tidak lagi memandang dunia sejak Dia menciptakannya.

Dunia menampakkan diri di mata para wali Allah dengan berbagai perhiasan dan gemerlapnya, sehingga para wali mesti rela menelan pahitnya kesabaran dalam memutuskan hubungan diri mereka darinya. Setiap hal yang menyibukkanmu hingga lalai dari Allah Ta’ala, itulah dunia. Sedangkan segala sesuatu yang membantumu menghadap kepada Allah itulah akhirat. Allah Ta’ala telah menerangkan hakikat dunia dengan firman-Nya, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, Perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [QS. al-Hadid 57:20]

Juwaibir meriwayatkan dari Adh-Dhahak, “Ketika Allah menurunkan Adam dan Hawa ke alam dunia, keduanya mendapati aroma dunia dan kehilangan aroma surga hingga pingsan selama empat puluh hari. Keduanya pingsan selama itu karena demikian busuknya bau dunia.” Maka alangkah anehnya orang yang meyakini dan menginginkan rumah keabadian malah mengusahakan dunia yang menipu.

Rasulullah saw. bersabda, ” Barangsiapa mencintai dunia, dia telah memadaratkan akhiratnya. Dan barangsiapa mencintai akhiratnya, dia telah membahayakan dunianya. Maka, kalian harus lebih mementingkan kehidupan yang akan kekal daripada kehidupan yang bakal sirna.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam musnad-nya, diriwayatkan pula oleh al-Hakim]. Maksudnya, dunia dan akhirat itu berlawanan. Keduanya bagaikan dua madu, apabila Anda lebih condong pada istri yang satu, maka yang lainnya akan cemburu. Dunia dan akhirat laksana dua neraca timbangan, bila yang satu lebih berat maka yang lainnya akan terangkat. Dunia dan akhirat seperti timur dan barat, bila yang satu mendekat yang lain akan menjauh. Dunia dan akhirat laksana dua ruang jam pasir, ruang yang satu akan terisi sebanyak pengurangan isi ruang yang satunya lagi.

Zaid ibn Tsabit r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa niatnya akhirat, Allah akan menghimpunkan kekuatannya, menjadikan hatinya kaya, dan dunia akan mendatanginya dengan hina dina. Barangsiapa niatnya dunia, Allah akan mencerai beraikan urusannya dan menjadikan kefakiran di depan matanya, dan tidak ada dunia yang akan mendatanginya selain yang telah ditetapkan Allah untuknya. ” (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi) 

Jundab meriwayatkan bahwa suatu hari ‘Umar r.a. masuk ke rumah Nabi saw. Saat itu beliau sedang duduk di atas tikar yang selalu berbekas di punggung mulianya. Melihat kondisi beliau, ‘Umar menangis. Lalu Rasulullah saw. bertanya, ”Apa yang telah membuatmu menangis, wahai Umar?” , Umar menjawab, ”Aku teringat Kisra dan Kaisar serta gemerlap dunia yang mereka miliki. Tetapi engkau, ya Rasulullah, di punggungmu bahkan mengecap tapak tikar.” Rasulullah saw. menjawab, ”Mereka adalah orang-orang yang nikmatnya disegerakan di dunia ini. Sedangkan kita adalah orang-orang yang nikmatnya diakhirkan untuk akhirat kelak,” (HR. Al-Bukhari)

Sayyidina ‘Ali r.a. berkata, “Aku mengkhawatirkan dua hal menimpa kalian, yaitu panjang angan-angan dan menuruti hawa nafsu. Sebab panjang angan-angan akan melalaikan kalian dari akhirat, sedangkan menuruti hawa nafsu akan menghalangi kalian dari kebenaran. Sungguh, dunia terus pergi dan berlalu, sedangkan akhirat datang menghadap. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anak. Dan kalian, jadilah sebagai anak-anak akhirat. Jangan menjadi budak-budak dunia. Karena di hari ini (dunia) hanya ada kesempatan beramal, tiada hisab. Sedangkan esok di akhirat hanya ada hisab, tiada lagi kesempatan beramal.”

Di dalam syair disebutkan, 

Sesungguhnya kehidupan dunia ini sekadar perhiasan

yang memilihnya hanya si bodoh bin tolol

yang telah berlalu tidak akan kembali, dan yang diangankan belum tentu ada

dan yang kau punya hanya kesempatanmu saat ini

Penyair lainnya berkata,

Waktu dan hari-hari terus berlalu menyisakan dosa untukku

utusan kematian datang menjemput saat hati lalai pada-Mu

Kesenanganmu di dunia adalah perdaya dan kesengsaraan

Dan hidupmu di dunia tak mungkin abadi

Ingatlah, segala sesuatu selain Allah adalah batil

dan semua kenikmatan yang tak bertempat pasti akan lenyap

Yang lain berkata,

Allah mempunyai hamba-hamba yang cerdas 

Mereka mencerai dunia dan mewaspadai fitnahnya

Mereka menatap dunia, dan saat mereka tahu

dunia bukan tempat menetap

mereka memandangnya sebagai lautan

lalu mereka jadikan amal salih sebagai perahu untuk mengarunginya

Amal salih inilah perahu yang akan membawamu. Keinginan yang kuat padanya adalah lautanmu. Hari-hari adalah ombaknya. Tawakal adalah naungannya. Alqur’an adalah petanya. Menahan hawa nafsu adalah tali-temalinya. Mati adalah pantainya. Kiamat adalah tanah niaga yang kau tuju, dan Allah adalah pemiliknya.

Sudah semestinya orang berakal menerima dengan rela hati bagian dunianya sekadar untuk menutupi kebutuhan. Jangan sibuk mengumpulkan dunia, tetapi sibuklah beramal untuk akhirat. Sebab akhirat adalah tempat menetap yang kekal, sedangkan dunia sungguh hina dan pasti berlalu. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluk yang lebih dibenci-Nya daripada dunia. Dan sejak menciptkannya, Allah tidak lagi memandangnya.” (HR. Al-Hakim)

Rasulullah saw. bersabda, “Seandainya dalam penilaian Allah dunia ini sebanding dengan sayap seekor nyamuk saja, tentu Dia tidak akan memberikan seteguk pun darinya kepada si kafir.” (HR. At-Tirmidzi dan adh-Dhiya’) 

Rasulullah saw. bersabda kepada Ibnu ‘Umar, “Jadilah engkau di dunia ini laksana orang asing atau pengembara. Hitunglah dirimu di antara orang-orang yang telah mati. Saat berada di pagi hari, jangan kau ajak dirimu bicara tentang sore hari. Bila dirimu berada di sore hari, jangan kau ajak dirimu bicara tentang pagi hari. Ambillah bekal dari masa sehatmu untuk masa sakitmu, dari masa mudamu untuk masa tuamu, dari keluanganmu untuk kesempitanmu, dan dari hidupmu untuk matimu. Sebab engkau tidak tahu bagaimana keadaanmu esok hari?” (HR. At-Tirmidzi)

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang beriman berada di antara dua hal yang mengkawatirkan, yakni di antara waktu yang telah berlalu dan tempo waktu yang masih tersisa yang tidak dia ketahui apa yang akan diperbuat Allah padanya (masa datang). Oleh karena itu, hamba seyogianya mengambil bekal dari dunianya untuk akhiratnya, dari masa mudanya untuk masa tuanya, dan dari hidupnya untuk matinya. Demi Dia Yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, setelah kematian tidak ada lagi orang yang menegur, dan setelah dunia ini tidak ada lagi rumah selain surga dan neraka.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Syu’ab.

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memasuki pagi hari dan dunia menjadi perhatian terbesarnya, maka tidak sesuatu pun akan didapatnya dari Allah. Selain itu, Allah akan membuat hatinya menderita empat hal: kegelisahan yang tiada terputus selamanya, kesibukan yang tiada henti, kefakiran yang tak berujung kaya dan cita-cita yang tidak akan pernah tercapai.” (HR. Ath-Thabrani)

Ada syair mengatakan,

Tinggalkan kerakusan akan dunia

jangan tamak dalam hidup ini

Jangan kau kumpulkan harta

Sungguh engkau tidak tahu untuk siapa engkau mengumpulkannya

Sebab rezeki itu sudah dibagi

Sementara berburuk sangka itu tidak bermanfaat

Setiap orang yang tamak tentu fakir

Dan semua orang yang qana’ah pasti kaya

Wahai orang yang sibuk dalam urusan dunianya

Panjang angan telah menipunya

Dan dia selalu dalam kelalaian

sampai ajal semakin mendekat kepadanya

kematian datang tiba-tiba

dan kuburan adalah peti amal

Bersabarlah menghadapi gonjang-ganjing dunia

Tidak datang kematian selain ajalnya telah purna

Suatu hari ada seorang lelaki berkata kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, ”Terangkanlah kepada kami ihwal dunia!” Imam ‘Ali menjawab, ”Apa yang perlu aku terangkan kepada kalian tentang rumah tempat si sehat tidak aman di dalamnya, tempat si sakit menyesal di dalamnya, tempat si fakir berduka dan orang yang merasa kaya tetap dicoba. Yang halalnya saja akan dihisab, sementara yang haramnya jelas menjadi siksa.”

‘Usman r.a. berakata, ”Gelisah dunia adalah gelap di hati. Gelisah akhirat adalah cahaya di hati.”

‘Umar r.a. berkata, ”Kemuliaan dunia dengan harta benda. Sedang kemuliaan akhirat dengan amal shalih.”

Ada syair mengungkapkan,

Kulihat pencari dunia

meski usianya panjang

serta telah memperoleh kesenangan dan kenikmatan dunia

dia seperti orang yang mendirikan bangunan,

yang setelah tegak berdiri bangunannya itu hancur

Ingatlah, dunia hanya serupa mimpi orang tidur

Tiada kebaikan hidup yang tidak akan pernah kekal

Renungilah, bila kemarin engkau telah memperoleh nikmat

dan engku telah pula memurnakannya

bukankah engkau hanya serupa pemimpi?

Rasulullah saw. bersabda, ”Barangsiapa mengeluhkan kesulitan hidupnya dia seakan-akan mengeluhkan Tuhannya. Barangsiapa bersedih untuk urusan-urusan dunia, berarti dia telah menjadi orang yang marah kepada Allah. Barangsiapa berendah diri kepada orang kaya karena kekayaannya, maka dua pertiga agamanya telah lenyap.” (HR. ath-Thabrani)

Rasulullah saw. bersabda, “Dunia sungguh terkutuk, demikian pula semua yang ada di dalamnya, kecuali yang diperuntukkan kepada Allah.” (HR Abu Na’im dan ath-Thabrani)

Bagi orang yang Allah kehendaki menjadi seorang wali, Dia akan membuatnya benci terhadap dunia, akan menolongnya melakukan berbagai amal shalih dan memudahkannya melakukan kebajikan. Seperti yang terjadi pada salah seorang di antara mereka. Suatu hari, dia pergi berburu di hutan. Tiba-tiba dia bertemu seorang pemuda yang mengendarai singa dan dikelilingi binatang buas. Ketika binatang buas itu melihatnya dengan cepat binatang itu menyerbu ke arahnya. Lalu si pemuda segera menenangkan binatang buas itu dan berkata, “Kelalaian macam apa ini? Apakah engkau sibuk dengan hawa nafsumu lalu meninggalkan urusan akhiratmu. Apakah engkau sibuk dengan kesenangan hingga lupa mengabdi kepada Tuanmu. Dia memberimu dunia untuk kau gunakan sebagai penopangmu dalam pengabdian kepada-Nya. Tetapi engkau malah menjadikannya sebagai media untuk bersenang-senang hingga lupa Tuanmu.” Kemudian muncul seorang perempuan tua membawa segelas air untuk si pemuda. Setelah minum, si pemuda itu menarik lelaki yang tadi berburu. Si pemburu bertanya kepada si pemuda tentang perempuan tua renta itu. Si pemuda menjawab, “Dia adalah dunia. la telah disuruh melayani aku. Apakah belum sampai kepadamu bahwa saat menciptakan dunia, Allah berfirman kepada dunia, “Siapa yang mengabdi kepada-Ku, maka layanilah dia. Dan barangsiapa berkhidmat kepadamu, perbudaklah dia.”

Setelah peristiwa tersebut, si pemburu itu keluar dari dunia dan menempuh jalan spiritual hingga menjadi seorang wali abdal.

Tidakkah kau lihat bagaimana siang dan malam membuat kita usang

Sementara kita terus bermain-main dalam sepi di keramaian

Jangan sampai engkau merasa senang dengan dunia dan kenikmatannya

Sebab negeri kita di dunia bukan negeri abadi

Beramallah untuk dirimu sebelum datang kematian

Banyak kawan dan saudara jangan sampai menipumu

Di dalam satu riwayat atsar disebutkan, “Perumpamaan seorang mukmin di dunia seperti janin di perut ibunya. Saat keluar dari perut ibunya, dia menangis karena harus keluar dari dunia lamanya. Namun ketika sudah melihat terang cahaya, dia tidak ingin kembali ke perut ibunya. Demikian pula halnya seorang mukmin, dia menderita teror maut. Namun ketika sampai kepada Tuhannya, dia tidak akan mau kembali ke dunia, seperti janin yang tidak akan mau kembali ke dalam perut ibunya.” Ini bagi mukmin yang berpaling dari dunia dan menyongsong akhirat.

Suatu ketika Ibrahim ibn Adham r.a. dimintai nasihat, “Berilah kami nasihat yang bermanfaat untuk kami.” dia menjawab, “Apabila kalian melihat orang-orang sibuk dengan urusan dunia, sibukkanlah diri kalian dengan urusan akhirat. Apabila mereka sibuk menghiasi lahiriah mereka, sibuklah kalian menghiasai batin kalian. Apabila mereka sibuk meramaikan kebun dan gedung, sibuklah kalian meramaikan kuburan. Apabila mereka sibuk dengan aib orang lain, maka sibuklah kalian dengan aib diri kalian masing-masing. Apabila mereka sibuk mengabdi kepada makhluk, maka sibuklah kalian mengabdi kepada Sang Pencipta, Tuhan semua makhluk.”

Saudaraku, ketahuilah bahwa malam dan siang terus berlalu dan takkan kembali. Kesempatan beramal takkan terulang, si pencarinya demikian begegas. Siang dan malam silih berganti demikian cepat merusak dirimu, menggerogoti usiamu dan menghabiskan tempo ajalmu. Janganlah engkau merasa tenang sebelum engkau tahu di mana tempat tinggalmu kelak, ke mana engkau kembali dan menetap. Lihatlah dirimu, tunaikanlah kewajiban yang telah engkau tinggalkan, laksanakanlah urusanmu yang mesti engkau penuhi di kekinianmu seakan-akan kiamat sudah terjadi.

Esok semua jiwa akan memenuhi apa yang diusahakannya

Si penanam kan menuai tanamannya

Apabila mereka telah berbuat baik, sungguh mereka telah berbuat baik untuk diri mereka sendiri

Dan jika mereka telah berbuat buruk, sungguh buruk apa yang mereka perbuat

Allah mempunyai rahmat dan kemurahan, meski kita tidak tahu

sungguh rahmat-Nya amat luas 

ya Rabb, catatlah kami hari ini dalam golongan mereka

Yang berpegang teguh kepada Alkitab dan mengambil manfaat darinya

Berilah kami kecukupan dan ampunan dari kejahatan kami

Anugerahilah kami keamanan, karena kami sungguh berendah diri pada-Mu

Saudaraku, selagi hidup, usahakanlah bekal yang akan kau dapati manfaatnya setelah engkau mati. Sebab jika orang sudah mati, terputuslah pahala amalnya, terputus pula angan-angannya, sementara penyesalannya menjadi nyata, lalu kesedihan dan kesusahannya berlarut-larut. Maka dahulukanlah amal shalih yang bermanfaat bagimu.

Saudaraku, ketahuilah bahwa dirimu akan ditikam masa yang amat panjang saat engkau berada di bawah tanah. Dan engkau tidak bisa mendekatkan diri kepada Tuhanmu dengan sesuatu pun. Sungguh, masa itu hadir di hadapanmu, meski usiamu demikian panjang. Sepanjang apa pun usiamu, ia berlalu bahkan lebih cepat dari kedipan, membawa pergi semua kenikmatannya. Seakan-akan usia panjangmu itu sekadar kilasan mimpi.

Jiwa menangisi dunia, padahal dia tahu bahwa selamat dari dunia adalah dengan meninggalkan apa yang ada di dalamnya

Tidak ada tempat tinggal bagi seseorang setelah mati selain apa yang telah dia bangun sebelum mati

Bila dia membangunnya dengan kebaikan, maka rumahnya akan baik

Jika dia membangunnya dengan keburukan, maka rugilah orang yang membangunnya

Mana para raja yang sok kuasa hingga dia diminumi gelas kematian

Harta kita, untuk para pewaris kita kumpulkan

Dan rumah-rumah kita, kita bangun untuk dihancurkan waktu

Berapa banyak kota di jagat ini telah dibangun untuk kemudian hancur dan penghuninya dibinasakan maut

bagi setiap jiwa, meski ia takut akan mati, ada cita dari angan yang ditunaikannya

manusia menggelar angan-angan, sementara masa akan mencekalnya

jiwa membentangnya, sementara kematian melipatnya

Mengingat Mati

Wahai saudaraku, ingatlah bahwa kematian pasti terjadi pada kita semua, lalu kuburan akan mengurung kita, kiamat akan menghimpunkan kita, dan Allah akan menghakimi kita. Sungguh, Dia hakim terbaik.

Pada pasal ini kami akan menyampaikan sekelumit riwayat tentang mengingat mati untuk melembutkan hati kalian. Agar kalian mengingat yang tidak akan melupakan kalian, agar kalian merenungkan hal-hal yang pasti akan menjumpai kalian. Agar kalian tahu bahwa kuburan adalah tempat kembali kalian, agar kalian segera waspada hingga tidak terperdaya dunia, dan agar kalian bisa mengambil pelajaran darinya. Allah Yang telah menyempurnakan penciptaan kalian telah mengingatkan, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” [QS. al-Anbiya’ 21:35]

Allah Ta’ala berfirman, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” [QS. al-Qashash 28:88]

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. al-Jumu’ah 62:8]

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” [QS. as-Sajdah 32:11]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Luqman 31:34]

Allah Ta’ala berfirman, “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” [QS. Thaha 20:55]

Rasulullah saw. bersabda, “Perbanyaklah mengingat mati. Sebab mengingat mati dapat melebur dosa dan menghasilkan zuhud di dunia.” (HR. Ibnu Abi ad-Dunya)

Rasulullah saw. bersabda, “Perbanyaklah mengingat penghancur kesenangan.”'[*] Rasulullah saw. juga bersabda, “Cukuplah maut sebagai penasihat.” (HR. Ath-Thabrani) 

[*] HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan yang lainnya. Yang dimaksud penghancur kesenangan adalah maut.

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang orang yang paling cerdas, dan beliau menjawab, “Mereka yang paling banyak mengingat mati, yang paling serius mempersiapkan diri menyongsong maut. Mereka itulah orang yang cerdas. Mereka pergi membawa kemuliaan dunia dan akhirat.” Makna hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan yang lainya.

Al-Hasan berkata, “Kematian telah mencemarkan dunia, dan ia tidak menyisakan kegembiraan bagi orang yang cerdas.” 

‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz r.a. mengumpulkan para ulama. Lalu mereka saling mengingatkan diri tentang kematian dan kiamat, hingga mereka semua menangis seakan-akan di hadapan mereka ada jenazah.

Orang yang banyak mengingat mati akan dimuliakan dengan tiga perkara. Yakni, segera bertobat, hati yang selalu menerima dan bersemangat ibadah. Sedangkan orang yang melalaikan kematian akan ditimpa tiga musibah. Yakni, menunda-nunda tobat, tidak memiliki kerelaan untuk menerima yang sekadar cukup untuk menutupi kebutuhan, dan malas beribadah.”

Rasulullah saw. bersabda, “Wahai sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah sebelum kalian mati. Segeralah beramal salih sebelum kalian sibuk. Sambunglah antara diri kalian dan Tuhan kalian dengan banyak mengingat-Nya dan banyak bersedekah, di tempat yang tersembunyi dan di keramaian. Maka kalian akan dikaruniai rezeki, akan diberi pertolongan dan diberi ganti atas segala sesuatu yang hilang dari kalian.” (HR. Ibnu Majah)

Bersiaplah menyongsong ia yang pasti datang

Sesungguhnya kematian adalah miqat hamba

Apakah engkau rela menjadi teman mereka yang mempunyai bekal

sementara engkau tiada berbekal? 

Di dalam satu atsar diriwayatkan, “Penyakit dan kelaparan merupakan pengantar kabar kematian, utusan maut. Lalu apabila ajal telah purna, malaikat akan datang dan berkata, ‘Wahai hamba, berapa banyak kabar telah datang silih berganti, berapa banyak utusan telah tiba bertubi-tubi. Aku adalah kabar terakhir, tidak ada lagi kabar setelah aku. Aku adalah utusan penutup, tidak ada lagi utusan setelah aku. Jawablah Tuhanmu, dengan suka rela maupun terpaksa.”

Apabila ruh seorang hamba telah dicabut dan keluarganya menangis meratapinya, malaikat berkata kepada mereka yang meratap dan menangisinya, “Demi Allah, aku tidak menzaliminya, tidak mengurangi tempo ajalnya, tidak pula aku makan rezekinya. Dia mati karena Allah telah memanggilnya. Maka, menagislah kalian yang menangisinya. Karena aku juga akan kembali mendatangi kalian, menjemput kalian satu persatu hingga tidak tersisa seorang pun dari kalian.”

Al-Hasan r.a. berkata, “Demi Dia Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya keluarga si mayit itu dapat melihat tempat malaikat atau mendengar ucapannya, niscaya mereka akan melupakan mayit yang sedang mereka tangisi dan beralih menangisi diri sendiri. Kemudian saat mayit itu dibawa ke tempat pemandian, ruhnya akan melayang berputar-putar di atas tempat pemandiannya sambil berseru-seru, ‘Wahai isteriku, wahai anakku, jangan sampai dunia mempermainkan kalian sebagaimana dunia telah mempermainkan aku. Aku telah mengumpulkan harta benda dari yang halal maupun yang tidak, lalu aku tinggalkan harta itu buat orang lain. Harta benda itu menjadi bagian kalian, menyisakan siksa untukku. Maka, waspadalah kalian! Jangan sampai kalian terperdaya seperti diriku.”‘

Saudaraku, bangkitlah dan sadarilah dirimu sebelum sang penyeru memanggilmu. Kenakanlah zirah kesabaran dan berjuanglah tanpa henti. Bersungguh-sungguhlah mencari selamat dan tembuslah semua rintangan yang menghadang. Kerjakanlah amal yang akan bermanfaat dan menyelamatkanmu di Hari Kiamat.

Apa yang terjadi padamu hingga nasihat dan teguran tak lagi berpengaruh

seakan-akan engkau sekadar benda mati

Engkau akan menyesal bila engkau beranjak pergi tanpa bekal

dan engkau akan sengsara saat penyeru memanggilmu

Jika kau mempercayai si pemilik dunia akan damai

Sungguh kedamaian dunia itu sejatinya kerusakan

Engkau jangan senang dengan harta benda yang engkau simpan

sebab yang kau harap padanya akan terbalik

Bertobatlah dari dosa yang telah kau perbuat selagi engkau hidup

dan sadarlah engkau sebelum mati

Apakah engkau rela menjadi teman mereka yang mempunyai bekal

sementara engkau tiada berbekal?

Wahai sekalian manusia, ingatlah hari kepergianmu

Aku melihatmu lalai pada kematian yang akan mencerai beraikanmu

Janganlah engkau menahan mereka yang pergi pada kelusuhan 

Mereka telah meninggalkan dunia apa adanya

dan mereka keluar hanya berbekal kafan 

Rumah yang mereka bangun tinggal atap tanpa penghuni

sementara mereka di perut bumi terbaring sepi

ditinggal kawan dan kekasih yang dulu menyambut penuh kehangatan

esok lusa engkau akan berada di samping mereka

sendiri, di dalam kubur tiada kawan 

Orang yang kau harap kasihnya beranjak meninggalkanmu

Tidak pula kau lihat orang yang mau menunaikan janjimu 

Maka, bersiaplah menyongsong kematian, sebab ia sungguh dekat

Tinggalkan angan-angan dan lamunanmu

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa bila ruh telah berpisah dari badan, ia diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, apakah engkau yang telah meninggalkan dunia atau dunia yang telah meninggalkanmu? Apakah engkau yang telah mengumpulkan dunia atau dunia yang telah mengumpulkanmu? Apakah engkau yang membunuh dunia ataukah dunia yang membunuhmu?”

Ketika mayit telah diletakkan di atas pemandian, ia akan diseru dari langit, “Wahai anak Adam, mana tubuhmu yang kuat, apa yang telah membuatmu lemah! Mana lidahmu yang fasih, apa yang telah membuatmu bungkam! Mana telingamu yang tajam, apa yang telah membuatmu tuli! Mana kekasih-kekasihmu yang tulus, apa yang telah membuatmu asing!”

Apabila mayit sudah diletakkan di kain kafan, ia akan diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, engkau sungguh beruntung bila ridha Allah yang menemanimu, dan celakalah engkau bila murka Allah yang mengawanimu. Wahai anak Adam, engkau sungguh beruntung bila surga-surga tempat menetapmu, dan celakalah engkau jika tempat menetapmu adalah neraka. Wahai anak Adam, engkau beranjak pergi untuk perjalanan jauh tanpa bekal. Engkau keluar dari nunahmu tanpa bisa kembali untuk selamanya, dan engkau dalam perjalanan menuju rumah petaka.”

Apabila mayit telah dibawa untuk dishalati, ia akan diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, engkau sungguh beruntung jika amalmu baik, engkau sungguh beruntung jika engkau orang yang bertobat, engkau sungguh beruntung jika engkau adalah orang yang taat kepada Allah.” 

Apabila mayit sudah diletakkan untuk dishalati, ia akan diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, semua amal yang telah engkau lakukan, pada saat ini akan kau lihat semua. Jika amalmu baik, maka engkau akan melihatnya baik. Jika amalmu buruk, maka engkau akan melihatnya buruk.”

Apabila mayit telah diletakkan di tepi kubur, ia akan diseru dari langit dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, apa yang kau bawa dari keramaian untuk bekalmu di kesunyian ini? Apa yang engkau bawa dari kekayaan untuk kefakiran ini? Apa yang engkau bawa dari cahaya untuk kegelapan ini?”

Apabila mayit diletakkan di liang lahad, ia akan diseru dengan tiga teriakan, “Wahai anak Adam, engkau tertawa-tawa saat masih berada di punggungku, sekarang engkau di dalam perutku menangis-nangis. Engkau riang gembira saat di atas punggungku, sekarang di dalam perutku engkau sedih merana. Engkau bisa bicara saat di atas punggungku, sekarang engkau di dalam perutku menjadi bungkam.” 

Apabila orang-orang yang mengiringnya telah bubar, Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku, sekarang engkau tinggal sendiri. Mereka telah meninggalkanmu dalam gulita kubur, padahal engkau telah membangkang kepada-Ku demi mereka. Hari ini, Aku akan mengasihimu dengan rahmat yang mengagumkan orang-orang. Aku mengasihimu lebih dari kasih seorang ibu terhadap anaknya.”

Hassan ibn Sinan r.a. ditanya, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “Aku dalam keadaan baik jika aku selamat dari siksa neraka.” Dia ditanya lagi, “Apa yang engkau inginkan?” dia menjawab, “Malam yang panjang, yang sepenuhnya akan aku gunakan untuk shalat.”

Abu Bakr al-Kattani r.a. berkata, “Ada seorang lelaki yang menghitung-hitung keburukan dirinya. Suatu hari dia menghitung usianya, ternyata dia dapati dirinya telah berumur 60 tahun. Lalu dia menghitung jumlah harinya, ternyata berjumlah 21.240 hari, dan tiba-tiba dia pingsan. Setelah siuman dia berkata, ‘O.. .sungguh celaka aku. Aku harus menghadap Tuhanku dengan 21.240 dosa. Ini jika dalam tiap harinya hanya melakukan satu dosa. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa yang tak terhitung.” Lalu dia berkata, “Ah, aku telah memakmurkan duniaku dan menghancurkan akhiratku. Aku telah membangkang kepada Tuhanku Yang Maha pemurah, dan aku tidak ingin pindah dari keramaian ke tempat sunyi. Bagaimana aku akan datang pada hari perhitungan amal, menerima catatan dan siksa, tanpa amal dan pahala.” Kemudian dia menjerit histeris, lalu jatuh ke tanah dan kembali pingsan lagi. Orang-orang yang melihatnya menggoyang-goyangkan tubuhnya, ternyata dia telah mati. Semoga rahmat Allah tercurah kepadanya.

Salah seorang ulama sufi bercerita, “Suatu hari, kami menjenguk ‘Atha’ as-Silmi yang sedang mengalami sakit keras menjelang wafatnya. Kami bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ dia menjawab, ‘Maut sudah berada di pundakku. Kuburan sudah di depan mataku. Kiamat adalah tempat perhentianku. Jembatan di atas Jahanam adalah jalanku, dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadap diriku.’ Kemudian dia menangis demikian sangat hingga pingsan. Setelah siuman, dia berkata, ‘Ya Allah, rahmatilah aku, rahmatilah kesendirianku di dalam kubur dan tempat jatuhku saat mati. Rahmatilah keberadaanku di hadapan-Mu, wahai Yang Paling Penyayang di antara semua yang penyayang.”‘ 

Abu Hurairah r.a. menangis pilu ketika menghadapi maut. Lalu dia ditanya, “Apa yang membuat engkau menangis?” Dia menjawab, “Aku takut kalau aku ternyata telah melakukan dosa yang aku anggap ringan padahal ia dosa besar dalam pandangan Allah.”

Suatu hari, asy-Syaikh al-Muzanni menjenguk al-Imam asy-Syafi’i r.a. ketika beliau sakit keras. Lalu al-Muzanni bertanya, “Bagaimana keadaanmu, ya Abu ‘Abdillah?” dan asy-Syafi’i menjawab, “Aku sedang beranjak pergi dari dunia, berpisah dari saudara-saudara, menjumpai amal burukku, meminum air dari gelas kematian, datang menghadap Tuhanku, dan aku tidak tahu apakah ruhku akan kembali ke surga hingga aku bisa bersenang-senang di dalamnya, atau kembali ke neraka hingga aku menderita kesengsaraan di dalamnya.” Kemudian beliau mengungkapkan syair,

Ketika hatiku keras membatu dan jalan-jalanku membeku 

kujadikan pengharapan sebagai tangga untuk meraih ampunan-Mu

dosa-dosaku demikian besar meliputiku

tetapi saat kusandingkan dengan ampunan-Mu, ya Rabb

sungguh ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku

Selama Engkau Pemilik ampunan bagi dosa-dosa hamba

Engkau akan senantiasa berderma dan memberi maaf

Sebagai anugerah dan kemurahan dari-Mu

Bila Engkau memaafkan hamba yang merasa sakit karena dosa-dosanya

yang sungguh zalim dan pengkhianat,

dia kan berpisah dari dunia tanpa dosa membelit

Dan kalaupun diriku Kau tuntut balas

aku sungguh takkan putus asa dari rahmat-Mu 

Meski karena dosaku Kau masukkan aku ke dalam Jahanam

Dosaku dari lampau hingga kini sungguh menggunung

Namun ampunan-Mu lebih besar nan agung, wahai Sang Pemilik anugerah 

Semoga Dia yang bagi-Nya kebaikan mengampuni kesalahan

dan menutupi dosaku dan mereka yang telah berlalu

Allah Ta’ala berfirman, “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…” [QS. an-Nisa’ 4:78]

Ketika seorang hamba menjelang maut, semua hal yang dia senangi selama masa hidupnya akan kembali terkenang di hatinya. Apabila kecenderungannya selama hidup lebih banyak kepada ketaatan, maka yang paling banyak hadir saat menjelang kematiannya adalah ingatan tentang ketaatan kepada Allah. Apabila kecenderungannya selama hidup lebih banyak kepada maksiat, maka ingatan akan maksiat itu akan mendominasi hatinya menjelang kematian. Bisa jadi saat ruhnya dicabut dia sedang berada dalam dominasi syahwat duniawi atau maksiat, sehingga yang menjadi beban kesedihan dan kesusahannya adalah keterpisahannya dari dunia dan segala kenikmatan yang disenanginya. Hatinya terikat pada dunia hingga terhijab dari Allah.

Sudah selayaknya orang yang berakal menanggalkan dunia, menyibukkan diri dengan akhiratnya dan mengambil nasihat dari kematian. 

Ingatlah ubanmu, ingatlah tempat kembali

Ingatlah, kalau pun engkau gagah perkasa saat hidup di dunia

setelah ajal engkau akan dipendam di dalam tanah

Bila engkau telah memasuki kubur

engkau akan berada di dalamnya sampai hari perhitungan

seluruh persendian tubuh yang dahulu kukuh

kan terputus terpatah-patah

kalau saja bukan karena kuburan menjadi tirai penutup tubuhmu

tentu bangkaimu akan membuat kerikil dan asi berbau busuk

Engkau diciptakan dari tanah, lalu hidup

dan engkau pun, tahu mana wicara yang fasih 

kemudian engkau kembali ke tanah

hingga seakan-akan engkau belum pernah keluar dari tanah 

Maka ceraikanlah dunia dengan talak tiga

dan segeralah bertobat sebelum ajal menjemput

Aku menasihatimu, maka dengarkanlah kata-kata dan nasihatku

Orang sepertimu tidak bisa menunjukkan kebenaran

Kita diciptakan untuk kemudian mati

seandainya kita dibiarkan hidup terus, niscaya bumi akan sesak oleh kita

Setiap pagi selalu ada seruan memanggil

Carilah penangkal untuk menghadapi ulat

Dan dirikanlah rumah untuk masa kehancuran

Apabila manusia mau merenung ihwal keadaan saudara-saudaranya yang telah berlalu—bagaimana mereka terputus dari sanak saudara dan kekasih; bagaimana amal mereka terputus, harta benda mereka tidak lagi bermanfaat bagi mereka; bagaimana tanah menghapus ketampanan wajahnya dan ulat-ulat memangsa jasadnya; bagaimana mereka kesepian dalam kubur, sendirian di dalam kesusahan, menjadi bangkai yang berantakan, biji mata meleleh, warna kulit berubah, kefasihan hilang, kepala berlumur debu dan tak lagi tegak; lalu dalam kondisi itu malaikat menginterogasi mereka tentang keyakinan, kemudian disingkapkan pada mereka surga atau neraka yang akan menjadi tempat mereka di hari kebangkitan—niscaya dia akan menghadap kepada Allah Ta’ala dengan hati yang luluh dan khusyuk. 

Wahai saudaraku, lihatlah dirimu! Dengan badan yang mana engkau akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala, dengan lidah yang mana engkau akan menjawab pertanyaan Allah, apa yang akan engkau katakan saat Dia meminta pertanggung jawabanmu tentang hal yang sedikit dan yang banyak? Persiapkanlah jawaban untuk pertanyaannya, dan persiapkanlah kebenaran untuk jawabannya.

Kurenungi bagaimana kondisiku di alam mahsyar dan Hari Kiamat

Bagainłana peletakan pipiku di dalam kubur nan sunyi

sepi dan sendiri berbantal tanah

setelah kemuliaan dan kehormatanku tergadai dosa

Kerenungi lamanya perhitungan amal

dan hinanya kedudukanku saat aku diberi catatan amal

Tetapi harapanku kepada-Mu, ya Rabb Penciptaku

Kau ampunkan kesalahan-kesalahanku, ya Ilahi

Suatu hari, Sayyidina ‘Ali ibn Abu Thalib k.w. memasuki komplek pekuburan Madinah, lalu berseru, ”Wahai penghuni kubur, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah. Apakah kalian yang akan terlebih dahulu mengabari kami tentang keadaan kalian, atau kami yang mengabari kalian?” Kemudian beliau mendengar suara tanpa rupa menyahut, ”Alaikas-salam wa rahmatullah wa barakatuh. Kabarilah kami apa yang terjadi setelah kepergian kami.” Lalu Imam ‘Ali berkata, ”lstri-istri kalian telah menikah lagi. Harta benda milik kalian telah dibagi-bagi. Anak-anak kalian telah menjadi yatim dan bangunan-bangunan yang kalian dirikan telah dihuni musuh-musuh kalian. Inilah kabar dariku. Lalu apa kabar yang ada dari kalian?” Kemudian ada mayit yang menjawab, ”Kain-kain kafan telah robek. Rambut-rambu telah terurai. Kulit-kulit telah koyak. Pipi yang kencang telah meleleh busuk. Lubang hidung mengeluarkan nanah dan berlendir busuk. Apa yang telah kami persembahkan dahulu kini kami dapati akibatnya. Harta benda yang telah kami tinggalkan telah merugikan kami. Dan kami tergadai dengan amal perbuatan kami.”

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa sesungguhnya arwah orang-orang beriman selalu mendatangi langit dunia setiap hari, dan mereka berhenti pada posisi yang tegak lurus dengan rumah tempat tinggal mereka saat di dunia. Lalu masing-masing mereka berseru berkali-kali dengan suara pilu dan sedih, ”Wahai istriku, wahai kerabatku, wahai anak-anakku. Wahai orang-orang yang menempati rumah kami, wahai yang memakai pakaian kami dan telah membagi-bagi harta kami, adakah di antara kalian yang mengingat kami dan memikirkan kami yang sekarang dalam keterasingan? Saat ini kami berada di penjara untuk waktu yang amat lama, di balik dinding yang amat kokoh. Kasihanilah kami, semoga Allah mengasihi kalian. Janganlah kalian pelit terhadap kami sebelum kalian menjadi seperti kami. Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya anugerah yang sekarang ada di tangan kalian, dahulu berada di tangan kami, tetapi kami tidak menafkahkannya di jalan Allah. Hisab dan perhitungannya menjadi tanggung jawab kami, sementara manfaatnya tidak bagi kami.” Jika engkau tidak memberi sesuatu pun kepada mereka, mereka akan kembali dengan kerugian dan nasib buruk.

Malik ibn Dinar r.a. berkata, “Suatu hari aku mendatangi pekuburan, untuk melihat orang-orang yang telah mati dan mengambil pelajaran darinya. Di pekuburan itu aku merenung, tetapi aku tercegah, sehingga akhirnya aku bersenandung: 

Kudatangi kubur-kubur, kupanggil-panggil

Di manakah kau yang dulu dihormati dan berbangga diri

Di manakah kau yang dulu sombong dengan kekuasaan

Di manakah kau yang dulu gagah perkasa menguasai negeri

Di mana pula kau yang dulu bila diseru segera memenuhi panggilan

Di mana kalian yang bersuci diri saat hadir

Tiba-tiba ada suara menjawabku:

Semuanya telah punah, tak ada yang bisa memberi kabar

Mereka semua telah mati, inilah kabar

Pagi dan petang cacing dan ulat bergiliran makan 

Memupus keindahan rupa mereka

Mereka telah bersandang amal di dunia 

Bisa jadi mendapat nikmat, bisa pula mendapat sengsara

Mereka menuju Maharaja Yang Mahakuasa lagi Mahaagung

Yang mesti ditaati bila Dia memerintah

Wahai orang yang bertanya kepadaku tentang mereka yang telah pergi

Tiadakah pelajaran bagimu dari mereka yang telah mati?

Malik berkata, “Sejenak aku tercenung. Lalu tiba-tiba aku melihat Bahlul al-Majnun tengah duduk di antara kuburan. Dia tampak memandang ke arah langit seraya berdoa penuh ketundukan. Sesaat kemudian dia menundukkan pandang ke bumi dan tampak merenung. Lalu dia menengok ke arah kanan, lalu tertawa. Kemudian menengok ke arah kiri, kemudian menangis. Aku berucap kepadanya, ‘Assalãmu-‘alaika, ya Bahlul.’ Dia menjawab, ‘Wa ‘alaikassalam, wahai Malik ibn Dinar.’ Aku berkata, ‘Kulihat engkau duduk-duduk di antara pekuburan.’ Dia menjawab, ‘Aku duduk-duduk di antara mereka yang tidak akan menyakitiku, dan mereka tidak akan menggunjingiku saat aku pergi.’ Aku berkata lagi, ‘Aku melihat engkau menengadah ke langit sambil memohon penuh ketundukan, sesaat kemudian kulihat engkau mengarahkan pandangan ke bumi dan merenung. Kulihat pula engkau menengok ke arah kanan lalu kau tertawa, dan kemudian menengok ke arah kiri lalu menangis?’ Dia menjawab, “Wahai Malik, bila aku memandang ke arah langit, aku teringat firman Allah Ta’ala, (Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu) [QS. adz-Dzariyat 51:22], dan sudah semestinya orang yang mendengar ayat ini berdoa memohon sepenuh hati. Apabila memandang ke bumi, aku teringat firman Allah Ta’ala, (Dari bumi [tanah] itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain) [QS. Thaha 20:55], dan sudah semestinya orang yang mendengar ayat ini merenung. Apabila aku menengok ke arah kanan, aku teringat firman Allah Ta’ala, (Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu) [QS. al-Waqi’ah 56:27]. Sudah selayaknya orang yang mendengar ayat ini tersenyum. Jika aku memandang ke arah kiri, aku teringat firman Allah Ta’ala, (Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu. Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam) [QS. al-Waqi’ah 56:41-43]. Sudah sepantasnya orang yang mendengar ayat ini menangis. Kita memohon kepada Allah agar kita dijadikan bagian dari golongan kanan. 

38. Tafsir Surah At-Takasur

Allah Ta’ala berfirman di dalam Alqur’an agung:

  1. Bermegah-megahan telah membuatmu lalai.

Yang dimaksud adalah: memperbanyak harta benda dan anak-anak, atau bermegah-megahan dengan banyak harta benda dan anak-anak serta keturunan telah membuat kalian sibuk hingga lalai akan hari perhitungan dan pembalasan.

  1. Sampai kamu masuk dalam kubur.

Kelalaian itu terus berlangsung sampai saat kalian memasuki kubur, berpisah dari karib kerabat dan kekasih, lalu tergadai di antara lapisan-lapisan tanah sampai hari perhitungan amal tergolek tak berdaya.

  1. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu).

Berhentilah dan menghindarlah, jangan sampai engkau bermegah-megahan dan memperbanyak harta benda. Sungguh, kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatanmu setelah usai dari dunia, bila engkau telah masuk ke dalam kubur dan janji Allah Tuhan semesta alam telah datang kepadamu.

  1. Jangan begitu, kelak kamu akan mengetahui.

Kelak engkau akan mengetahui, yakni saat kiamat datang dengan segala kedahsyatannya, ketika langit terbelah dan menumpahkan semua isinya, saat bumi memuntahkan semua kandungannya, ketika ibu-ibu yang sedang menyusui lupa akan bayi-bayinya, saat anak-anak seketika beruban karena kengeriannya, ketika matahari amat dekat di atas kepala dengan panas yang berlipat-lipat.

  1.  Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.

Janganlah begitu, kalimat ini diulang lagi untuk menguatkan dan menegaskan peringatan. Wahai sekalian manusia, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin tentang apa yang akan engkau dapat dari Allah atau yang akan engkau tanggung dari-Nya ketika hati telah sampai di tenggorokan dan buku catatan amal telah dibentangkan tanpa menghapus amal yang kecil maupun yang besar, tentu engkau akan sibuk hingga tidak sempat lagi bermegah-megahan. Apa yang akan terjadi padamu nanti bila timbangan telah ditegakkan, lembar-lembar catatan amal telah dibentangkan, orang-orang yang teraniaya menuntut balas kepada si penganiaya, para malaikat turun, Jibril berdiri memimpin mereka, para malaikat berbaris bershaf-shaf tanpa berkata-kata selain mereka yang telah diberi izin oleh Allah Yang Maha Pengasih. Segenap manusia berada dalam penantian yang amat lama.

  1. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim.

Allah Ta’ala bersumpah, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim saat kalian berada di rumah-rumah kubur. Sebab bagi setiap anak Adam yang telah berada di dalam kubur akan diperlihatkan tempatnya di neraka. Apabila ia orang yang beruntung, neraka itu akan ditampakkan sesaat kepadanya, lalu ia digembirakan dengan lenyapnya neraka itu dari pandangannya. Sedangkan bila dia orang yang celaka, neraka itu akan terus tampak setelah diperlihatkan kepadanya.

  1.  Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul-yaqin (pandangan mata yang nyata)

Yakni ketika neraka Jahim didatangkan oleh para malaikat yang bengis dan kejam, yang kemarahannya hampir-hampir membuat para penghuni neraka porak-poranda; ketika jembatan telah dibentangkan di atas neraka, engkau mendengar suara gemuruhnya, engkau lihat jelas kengeriannya, lalu engkau lihat para penghuninya, kau dengar jeritan mereka di dasar neraka, dari lapisan-lapisannya, juga mereka yang terikat di belenggu-belenggunya. Lalu kau dengar saat neraka itu ditanya, “Apakah engkau telah penuh?”, neraka balik bertanya, “Apakah masih ada tambahan?”

  1. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). Yakni, tentang semua yang engkau nikmati di dunia. 

Wahai orang-orang yang menyedihkan, renungkanlah pelajaran yang berharga itu, sungguh di dalamnya ada peringatan dan nasihat yang hebat. Bila ungkapan ayat itu mengetuk-ngetuk telinga yang orang yang benar keislamannya, niscaya ia akan membuatnya mencicipi rasa ngeri dan segera bersiap-siap menyongsong tempat keabadian. Tetapi karena mata hati telah menjadi buta, sedikit sekali yang terkesan oleh peringatan itu.

Maka, wahai orang yang telah didahului mereka dan tertinggal di dalam syahwat; wahai orang yang menghabiskan kesempatannya dengan menunda-nunda dan menganggur; wahai orang yang hatinya menjadi keras karena maksiat dan matanya membeku tak lagi bisa mengambil pelajaran; wahai orang yang rambutnya telah memutih tetapi dia masih terus-menerus berbuat durhaka, berapa banyak lagi maksiat yang akan kalian lakukan untuk melawan Dia Yang Mahatahu rahasia tersembunyi? Bermegah-megahan telah membuat kalian lalai, sampai kalian masuk ke dalam kubur.

Sungguh aneh, setiap kali Tuhanmu menghamparkan kenikmatan untukmu, engkau menerimanya dengan kemaksiatan. Padahal betapa sering Dia menyeru dirimu, “Wahai hamba-Ku, kau tinggalkan duduk bersama-Ku lalu kau duduk bersama setan. Sudah berapa banyak aku berbelas kasih kepadamu dengan berbagai nikmat, Aku sungguh pemurah dengan anugerah-Ku. Wahai hamba-Ku, Aku senang menghubungimu, tetapi engkau suka menjauh dan meninggalkan Aku. Apa upayamu jika roda kematian menimpamu, bila murka-Ku menimpa dirimu, bila sanak keluarga dan teman karib menjauh meninggalkanmu tergadai dengan amalmu sendiri di bawah tumpukan tanah. Wahai miskin, bagaimana keadaanmu bila lembar catatan amalmu telah dibentangkan, timbangan amalmu sangat ringan, angan-anganmu meleset dan rahasiamu terbongkar? Tidakkan engkau tahu siapa yang engkau maksiati dan kepada siapa engkau telah berbuat lancang? Engkau telah menjauhkan diri dari tobat, kau lalaikan perhitungan amal, kau sebarkan kejahatan, engkau abaikan perintah-Nya, kau perbuat berbagai dosa kau langgar larangan-larangan-Nya. Tidakkah engkau tahu bahwa Dia senantiasa melihatmu dan Dia Yang Mahaagung tidak akan melupakanmu? Siapa yang akan menyelamatkanmu jika engkau telah berada di hadapan-Nya dan Dia meminta pertanggung jawaban amal buruk dan kelancanganmu kepada-Nya? Apabila engkau mengakuinya, berarti engkau telah memberikan pengakuan. Dan kalaupun engkau mengingkarinya, pengingkaranmu itu tidak akan bermanfaat. 

Celaka nian engkau, wahai miskin! Kelalaian macam apa yang kau idap?! Sungguh, setiap saat engkau sedang bergerak untuk menghadap kepada-Nya. Kebingungan macam apa yang kau derita, padahal umur duniamu sungguh pendek? Kemabukan apa yang kau alami, padahal kain kafan telah digelar untukmu, saat keberangkatan dan perpisahanmu telah tiba? Demi Allah, perjalanan yang kau jelang itu sungguh panjang, dan sergapan Tuhanmu sungguh dahsyat.

Wahai miskin, engkau telah menjual akhirat demi duniamu. Engkau larut menuruti syahwat hingga lupa taat kepada Tuanmu. Maksiatmu telah mencipta gulita, menghijab menelikungmu. Hawa nafsu telah menutup pintu-pintu di hadapanmu. Pagi dan senja silih berganti memperingatkanmu, tetapi engkau tak pula beranjak dari dosa, padahal kubur telah demikian dekat. Semakin panjang usiamu semakin bertambah pula dosamu. Dan setiap kali engkau hendak meninggalkan kesalahan, syahwat selalu datang menghalangimu, hingga cacat dirimu semakin bertumpuk. Sungguh merugi dirimu. Ratapilah dirimu, barangkali senandung kematian bisa bermanfaat untukmu.

Sungguh, lalai dan durhaka bukan prilaku hamba Allah. Tidakkah engkau takut kedahsyatan kiamat, yang karena demikian dahsyatnya bayi yang baru lahir langsung beruban? Apakah janji Allah tidak membuatmu bangkit melakukan ketaatan? Apakah ancaman-Nya tidak pula membuat engkau terperingatkan? Apakah engkau tidak tahu bahwa engkau akan dimintai pertanggungjawaban untuk setiap saat yang kau lalui di dunia ini? Tidakkah engkau tahu bahwa tiap langkah kaki dan ucapan lisanmu akan diperhitungkan? Apakah engkau tidak tahu bahwa wa kematian memburumu sebagaimana ia memburu yang lain? Sung. guh, kematian lekat padamu lebih dari urat lehermu sendiri? Tidakkah sang penghancur kesenangan membuatmu cemas? Tidakkah sang pemutus jamaah membuatmu takut? Tidakkah engkau sadar bahwa kita akan dijemput dan mendatangi sumur kematian satu persatu? Lalu sesaat kemudian kenyataan tersingkap dan tempat kembali kita tampak jelas?

Saudaraku, betapa banyak kematian telah merenggut jiwa. Betapa banyak kematian telah menistakan pipi mulia ke atas tanah. Betapa banyak kematian telah merenggut sang kekasih dari kekasihnya. Betapa banyak kematian membuat anak-anak jadi yatim, membuat mereka sibuk menangis dan meratap. Betapa banyak kematian telah membuat sepi rumah-rumah yang mulanya terang benderang. Betapa banyak burung-burung arwah telah terbang dari sangkarnya.

Mana orang yang telah membangun rumah kokoh dan gedung-gedung pencakar langit? Mana orang yang sombong dan melampaui batas, yang suka memperbudak sesama dan mengira diri tidak akan berpindah ke dalam kubur? Mana orang yang tidak mau mendengar peringatan maut dan senang menunda-nunda tobat? Mana orang yang suka membangga-banggakan keturunan? Mana orang yang suka bermegah-megahan dengan harta bendanya? Mana orang yang suka memerintah dan melarang? Mana orang yang suka menghakimi dan memaksa? Mana raja-raja yang kejam nan bengis? Mana penguasa yang suka memecah belah umat?

Sang pemusnah kesenangan telah mengejutkannya, lalu mengeluarkannya tanpa dia kehendaki, bahkan tanpa penangguhan sesaat pun. Maut telah memutusnya dari angan-angan dan menghalanginya dari kawan dan para pembantunya. Sanak keluarganya telah bubar. Kekasih, istri dan sahabatnya telah berpaling sekan-akan mereka belum pernah mengenalnya. Mata kasar mereka tak bisa melihatnya. Kemuliaannya berganti kehinaan, berumah di tempat menakutkan, gelap dan sempit, tanpa seorang pun mengasihinya, tidak pula seorang pun sudi duduk di dekatnya. Biji mata meleleh di pipi. Seluruh persendiannya terputus dan tubuh dimakan ulat. Darinya mengalir nanah dan darah busuk. Wajah cantik dan tampan berubah busuk dan menjijikkan, disambut binatang-binatang dalam tanah. Di dalamnya, dia dihujani panah petaka bertubi-tubi.

Sementara harta bendanya dibagi-bagi para pewaris. Rumahnya dihuni orang lain. Istrinya dinikahi musuh. Tinggallah dia sendiri, tergadai dengan amal perbuatannya, di bawah putusan Sang Hakim Yang Mahaadil, Yang Mahasuci nan Mahaagung. Dia dimintai perhitungan atas semuanya, yang sedikit maupun yang banyak, yang berharga maupun yang remeh. 

Apakah dalam kondisi demikian para kekasih akan memberinya manfaat? Atau ratap tangis orang-orang yang ditinggalkannya akan memberi kecukupan? Tidak! Demi Allah, semua itu tidak akan memberinya manfaat, tidak akan membuatnya terlihat, tidak pula akan membuatnya kembali.

Sesungguhnya di dalam kematian itu ada peringatan bagi mereka yang sadar dan pelajaran bagi mereka yang berpikir.

Maka, wahai saudaraku, bersiaplah menyongsong ia yang pasti akan kau jumpai, bersiagalah untuk menyambut kematian dan segala bencananya. Sebentar lagi ajalmu akan tiba, dan engkau segera menempati tempat itu. Bangunlah dari tidur lelapmu. Sesungguhnya dunia itu laksana kembang tidur. Tempat yang fana ini sungguh tak layak untuk dijadikan tempat menetap.

Lepaskanlah dirimu dari kungkungan dosa, karena sesungguhnya engkau diburu untuk menjadi bahan bakar neraka. Ingatlah hari ketika hati terombang ambing, orang-orang kebingungan, lisan tertahan, pengetahuan lenyap, kain kafan dihamparkan, kemuliaan sirna dan perjalanan panjang hadir di hadapanmu. Sadarlah, sebelum Munkar dan Nakir datang, sebelum jeritan dan rintih sakit menjadi-jadi. Ingatlah saat tiada beda antara budak dan raja, ketika harus menyusul mereka yang telah mendahului dan dilupakan orang-orang yang ditinggalkan, lalu menetap di sana sebagai tawanan sampai saat dibangkitkan dan terbangun dengan perasaan penuh sesal. Di sana semua dosa akan digelar, hak si teraniaya diambil dari orang yang telah menzaliminya, musibah demikian dahsyat, tempat melangkah menjadi sempit. Lalu keanehan-keanehan bermunculan, wajah-wajah menghitam kelam, para pelaku maksiat kehilangan harapannya, kaki kaki terpeleset, dan hakimnya adalah Diraja Yang Mahatahu.

Apakah dalam kondisi itu engkau akan mendapat manfaat dari perilaku menggunjing, mengadu domba atau menyakiti saudara-saudaramu yang beriman dengan perilakumu yang buruk dan tidak terpuji? Apakah engkau akan mendapat manfaat dari minum arak, mengisap ganja dan opium? Atau dari kesaksian palsu, kebohongan dan pengkhianatan? Apakah engkau akan mendapat manfaat dari tindakan menghalalkan yang haram, menyia-nyiakan amanat, menghinakan Alqur’an, mengagungkan perbuatan buruk dan batil? Apakah engkau akan mendapat manfaat dari persahabatan dengan musuh-musuh Allah, atau membantu orang zalim berbuat aniaya terhadap korban? Apakah engkau akan mendapat manfaat dari perilaku saling membenci, mendengki, saling menjauhi, berbangga-bangga dengan keturunan atau nasab serta harta benda? Apakah engkau juga akan mendapat manfaat dengan perilaku meremehkan hal-hal fardhu dan meninggalkan sunnah syariat yang mulia? Apakah engkau akan mendapat manfaat dari perilaku-perilaku buruk lainnya yang berakibat kerusakan, kebinasaan dan kesengsaraan?

Faedah

Ketahuilah bahwa derita maut sungguh sangat menyakitkan, tidak ada yang mengetahuinya selain orang yang mengalaminya dan pernah mencicipinya. Derita maut lebih dahsyat daripada tebasan pedang, lebih nyeri daripada sayatan gergaji atau gunting. Derita karena tebasan pedang masih menyisakan kekuatan di dalam badan, sehingga orang yang mengalaminya masih bisa berteriak, atau menjerit dan meminta pertolongan. Lain halnya dengan derita yang ditimpakan maut. Orang yang disergap kematian menjadi amat lemah, bahkan suaranya pun terputus karena nyeri dan derita maut yang dirasakannya

Derita maut meremukkan seluruh sel dan merontokkan semua anggota tubuh hingga tidak tersisa kekuatan sedikit pun untuk meminta tolong. Sementara akal tertutup waswas, lidah menjadi kelu dan pandangan mata juga buram. Dia berharap mendapat kekuatan untuk sekadar merintih dan menangis, tetapi dia tidak mampu. Kalaupun masih tersisa kekuatan pada dirinya, saat naza’ dan ruh tercerabut dari tubuh, hanya akan terdengar lenguh dan ghargharah dari tenggorokan dan dadanya. Warna kulit berubah, tubuh menggigil dan kelopak mata membelalak. Buah pelirnya terangkat ke atas, jari-jarinya memucat dan bagian demi bagian anggota badannya pun mati seluruhnya. Yang pertama kali mati adalah kedua telapak kaki, lalu diikuti kedua betis, terus ke paha. Bagian demi bagian anggota tubuhnya mengalami sekarat dan rasa sakit yang sangat pedih hingga ruh sampai di tenggorokan. Dan saat ruh sudah sampai di tenggorokan, dia tidak bisa lagi melihat dunia dan penghuninya, dan dia diliputi perasaan merugi dan penyesalan yang luar biasa. 

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. menjenguk salah seorang sahabatnya yang sakit menjelang kematian. Lalu beliau bersabda, “Aku sungguh tahu apa yang dia rasakan. Tidak satu pun pembuluh darahnya yang luput merasakan kepedihan puncak yang dibawa maut.” 

Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa saat Rasulullah saw. menjelang wafat, di samping beliau ada segelas air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam air, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata, “La ilaha illallah, sesungguhnya pada kematian itu ada sakarat.” Perawi lain mengatakan bahwa saat itu beliau berucap, “Ya Allah, ringankanlah sakaratul-maut untukku.” Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau berdoa, “Ya Allah, bantulah aku untuk mengatasi sekaratul-maut.”

Fathimah binti Rasulullah berkata saat beliau menjelang wafat, “O betapa pedih deritamu, wahai Abah.” Kemudian Rasulullah saw. berucap, “Tak ada lagi kesusahan bagi ayahmu setelah hari ini.” [Riwayat ini ditutur oleh al-Bukhari dan Muslim.]

Ibnu Abi ad-Dunya meriwayatkan bahawa Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mencabut ruh dari seluruh urat saraf, pembuluh darah dan ujung-ujung jemari. Maka bantulah aku untuk mengatasinya dan ringankanlah untukku.”

Syaddad ibn Aus berkata, “Kematian merupakan derita paling pedih

di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Rasa sakitnya lebih dahsyat daripada digergaji, digunting, atau direbus di air mendidih dalam panci. Seandainya mayit dibangunkan dan memberitahukan betapa sakit derita kematian yang dialaminya kepada penduduk dunia, niscaya mereka tidak bisa menikmati hidup, tidak pula akan bisa menikmati tidur.”

39. An-Nafs

Mengenali nafs [*] merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Sebab barangsiapa telah mengenal dirinya berarti dia mengenal Tuhannya. Maksudnya, orang yang mengenali bahwa dirinya hina, tidak berdaya, lemah dan fana, maka dia akan mengenal bahwa Tuhannya Mahamulia, Mahakuasa dan kekal. Sedangkan orang yang tidak mengenal diri pribadinya, tentu lebih tidak kenal lagi kepada Tuhannya.

[*] An-nafs‘aqlqalb, ruh, dan sirr adalah nama-nama untuk satu hal, yang lembut, bersifat ketuhanan, bersifat cahaya, disimpan pada objek yang bersifat jasmani dan gelap. Munculnya perbedaan nama disebabkan oleh perbedaan ahwal dan pergeseran kondisi. Misalnya air hujan yang turun ke dasar pohon, kemudian naik ke cabang, lalu itu memunculkan daun, bunga dan kembang selanjutnya memunculkan buah. Pohon itu tumbuh sempurna, air yang menumbuhkannya satu, sedangkan namanya berbeda-beda sesuai dengan kondisinya. Demikian penjelasan as-Sahili di dalam karyanya, al-Bugyah. Menurut Ibn Atha’illah selama ruh pekat dengan maksiat, dosa, keinginan dan aib, ia disebut nafsu. Jika ruh tercegah dan terikat, ia disebut akal. Ruh senantiasa bolak-balik antara lalai dan hadir, karena itu disebut hati (qalb). Jika ruh tenang, tentram dan istirah dari dari letih kemanusiaan, maka disebut ruh. Jika ruh bersih dari kegelapan indera maka ia disebut sirr(rahasia/jiwa) karena keberadaannya menjadi rahasia dari rahasia-rahasia Allah, tepatnya ketika ruh kembali kepada asalnya, yaitu sirral-jabarut (rahasia jabarut).

Oleh karena itu, hendaklah orang yang berakal segera mengusahakan makrifat dengan sungguh-sungguh dan tidak menunda-nunda, agar saat dijemput maut dia dalam keadaan makrifat, tidak menderita ketidaktahuan. Sungguh, bila hati telah buta, tak ada jalan baginya untuk sampai bisa melihat setelah mati. Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” [QS. al-Isra’ 17:72]

Ketahuilah bahwa an-nafs adalah lathifah rabbaniyah, yakni ruh sebelum dilekatkan pada tubuh. Allah menciptakan ruh-ruh sebelum menciptakan jasad, dan sebelum dilekatkan pada tubuh, ruh itu berada di sisi-Nya. Ketika ruh itu diperintahkan untuk melekat di tubuh, ia segera mengenali yang lain dan terhijab dari hadirat Allah karena sibuk dengan yang lain. Karena itu ia membutuhkan pengingat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” [QS. adz-Dzariyat 51:55]

An-nafs adalah substansi yang menyinari (menghidupi) badan. Apabila ia menyinari badan lahir dan batin, maka dihasilkan kondisi terjaga. Apabila ia hanya menyinari badan bagian dalam, maka dihasilkan kondisi tidur. Apabila penyinarannya terputus secara total dari badan, maka dihasilkan kondisi mati. 

Biang semua maksiat, kelalaian, syahwat dan syirik adalah keridhaan pada nafs. Perhatikanlah bagaimana Fir’aun ketika benar-benar meridhai dirinya, dia melampaui batas hingga berkata, “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.” [QS. an-Nazi’at 79-24]

Pokok semua ketaatan, kesadaran, keterjagaan dan musyahadah adalah ketidakridhaan terhadap nafs. Karena itu tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba selain mendidik nafs-nya. 

Dilihat dari keterpengaruhannya oleh mujahadah (perjuangan ruhani melawan nafs), nafs terdiri dari tujuh tingkatan, yaitu: 

Pertamaan-nafsu al-ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan), yakni jiwa yang cenderung kepada tabiat badaniah, memerintahkan pemenuhan kesenangan-kesenangan dan syahwat yang terlarang menurut syara’, serta menarik-narik hati kepada hal-hal yang hina. An-nafs al-ammarah ini merupakan tempat berbagai keburukan dan sumber akhlak tercela, seperti sombong, tamak, syahwat, dengki, marah, bakhil dan dendam. Tingkatan ini merupakan kondisi umum nafs manusia sebelum mujahadah.

Keduaan-nafs al-lawwamah (jiwa yang mencela), yakni jiwa yang sudah mendapat terang cahaya hati, sehingga kadang menuruti kekuatan akal dan terkadang membangkang, namun setelah membangkang itu ia merasakan penyesalan dan lalu mencela dirinya sendiri. Pada tingkatan ini, jiwa menjadi sumber penyesalan, tempat bermula hasrat nafsu, kelalaian dan ketamakan.

Ketigaan-nafs al-muthmainnah, yakni jiwa yang telah mendapat terang cahaya hati hingga kosong dari sifat-sifatnya yang tercela lalu merasa nyaman dan tenteram terhadap sifat-sifat kesempurnaan. Maqam-nya merupakan tempat bermula kesempurnaan. Jika seorang salik sudah menapakkan kakinya pada maqam ini, dia dianggap sebagai ahli thariqah, karena keberpindahannya dari talwin (keterpilahan dan keberpendaran) kepada tamkin (keberhimpunan dan kemapanan). Orang yang jiwanya sudah berada pada tingkatan ini akan mengalami mabuk ketuhanan. Padanya berhembus angin sepoi ketersambungan. Dia berbicara seperti biasa dengan sesama manusia sementara hatinya jauh dari mereka, karena demikian kuat keterkaitannya kepada Allah Ta’ala.

Keempatan-nafs al-mulhimah (jiwa yang terilhami), yakni jiwa yang telah diberi ilham oleh Allah berupa ilmu, tawadhu’, qana’ah dan sakha’ (kedermawanan). Karenanya dalam tingkatan ini jiwa menjadi pemancar kesabaran, kesanggupan menanggung derita dan rasa syukur.

Kelimaan-nafs ar-radhiyah (jiwa yang ridha), yakni jiwa yang senantiasa ridha kepada Allah Ta’ala, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala, “ …dan mereka pun ridha kepada-Nya.” [QS. al-Bayyin 98:8]. Pada tingkatan ini, jiwa dalam kondisi berserah dan menikmati mabuk kerinduan kepada Allah. Sebagai terungkap dalam sebuah syair:

Tambahi aku mabuk cinta kepada-Mu

Aku sungguh tergila-gila kepada-Mu

Kasihilah hatiku dengan api cinta kepada-Mu

Keenaman-nafs al-mardhiyyah (jiwa yang diridhai Allah), yakni jiwa yang diridhai Allah Ta’âlâ, danjejak ridha-Nya itu muncul pada jiwanya dalam rupa karamah, keikhlasan dan zikir (senantiasa dalam kondisi ingat Allah). Pada tingkatan ini, seorang salik menjejakkan kakinya yang pertama dalam pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) dengan pengenalan sejati. Pada tingkatan ini muncul tajalli af’al (manifestasi perbuatan perbuatan Allah).

Ketujuhan-nafs al-kamilah (jiwa yang sempurna), yakni jiwa yang padanya kesempurnaan telah menjadi tabiat dan watak, dan dalam kesempurnaan ini ia terus mendaki. Lalu ia diperintahkan untuk kembali kepada hamba-hamba Allah, untuk melakukan pembimbingan dan penyempurnaan terhadap mereka. Maqam jiwa yang seperti ini adalah maqam tajalli al-asma’ wa as-sifat (manifestasi nama-nama dan sifat-sifat). Sedangkan hal-nya adalah al-baqa’ billah, berjalan dengan Allah, kepada Allah, kembali dari Allah, dan menuju kepada Allah. Tiada tempat baginya selain Dia, dan ilmu-ilmunya diambil dari Allah. Seperti diungkapkan dalam sebuah syair,

Dan setelah fana dalam Allah, jadilah sebagaimana engkau kehendaki 

Karena ilmumu tiada mengandung kebodohan

pun perbuatanmu tiada mengandung dosa

Ketahuilah, bahwa pendakian dari satu maqam ke maqam selanjutnya hanya bisa ditempuh dengan bimbingan guru yang makrifat, yang mengetahui maqamat dan ahwal jalan spiritual. Jangan kau kira bahwa penyucian jiwa bisa dengan mudah dilakukan melalui jalan akal seperti diduga oleh para filsuf, kaum empirisme dan kelompok-kelompok lainnya yang menempuh cara penyucian jiwa dengan latihan spiritual yang serampangan, tanpa bimbingan guru yang ‘arif. Sehingga mereka jatuh ke dalam kerusakan, kesamaran dan kesesatan.

Penyucian jiwa seperti pengobatan badan lahir. Orang yang badan fisiknya sakit tidak boleh minum obat selain atas petunjuk dokter yang ahli dan berpengalaman melakukan pengobatan. Demikian pula penyucian jiwa tidak mudah dilakukan kecuali dengan petunjuk dan tuntunan nabi atau wali yang mempunyai keahlian dalam masalah ini.

Ketahuilah bahwa jiwa memiliki banyak hijab yang bersifat cahaya dan hijab yang bersifat kegelapan. Jalan bagi seorang murid untuk sampai pada pembebasan diri dari hijab-hijab tersebut bisa ditempuh dengan memerangi dan menentang nafsu dan keluar dari hasrat nafsu. Sungguh, nafsu merupakan penghalang terbesar antara seorang hamba dan Tuhannya.

Ada banyak ragam mujahadah (perjuangan memerangi nafsu), dan setiap murid mempunyai jalan mujahadah-nya sendiri yang cocok untuk diri masing-masing. Kecocokan model mujahadah bagi setiap murid disesuaikan dengan kadar kemampuannya dan kadar pengenalannya tentang mana yang paling berat, dengan melihat keadaan dirinya, tempo mujahadah-nya serta hal-hal lainnya.

Bagi seorang raja, mujahadah yang berupa puasa dan shalat itu lebih berat daripada mujahadah berupa sedekah atau memerdekaan budak. Sedangkan bagi si miskin dan orang-orang yang rakus justeru sebaliknya. Bagi sejumlah ilmuwan, mujahadah dengan meninggalkan perberdebatan, perselisihan, menampakkan kelebihan dan bersaing di dalam forum, itu lebih berat daripada mujahadah dengan puasa atau shalat. Mujahadah dengan puasa di musim panas tentu lebih berat daripada di musim dingin. Sedangkan mujahadah dengan shalat malam justru lebih berat di musim dingin daripada di musim panas.

Penentuan berbagai jenis mujahadah bagi para murid diserahkan kepada pendapat syaikh yang menjadi pembimbing dan penuntun mereka di jalan spiritual, bukan pada pilihan murid sendiri. Sebab jika pemilihan model mujahadah itu ditentukan oleh murid bisa sangat membahayakan.

Pokok mujahadah adalah penyapihan jiwa dari segala bentuk kesenangannya serta mendorongnya untuk melawan semua keinginan pada keseluruhan waktu. Salah seorang ‘arif berkata, “Kami mengambil tasawuf bukan dari pendapat ini dan itu, tetapi kami mengambilnya dari rasa lapar, meninggalkan dunia, menyapih segala kebiasaan jiwa, menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Seorang syaikh sufi berkata, “Barangsiapa memasuki mazhab kami (yakni jalan tasawuf), hendaklah dia menjadikan empat kematian dalam dirinya. Yakni, kematian merah, kematian hitam, kematian putih dan kematian hijau. Kematian merah adalah melawan hawa nafsu. Kematian hitam adalah menanggung derita menyakitkan yang ditimpakan orang lain kepada dirinya. Kematian putih adalah rasa lapar dan kematian hijau adalah membuang keutamaan yang telah disematkan orang lain kepadanya satu persatu.”

Ibrahim ibn Adham berkata, “Seseorang tidak akan mencapai derajat keshalihan sebelum melampaui enam penderitaan. Pertama, menutup pintu kesenangan dan membuka pintu kesusahan. Kedua, menutup pintu mulia dan membuka pintu hina. Ketiga, menutup pintu istirahat dan membuka pintu lelah. Keempat, menutup pintu tidur dan membuka pintu terjaga. Kelima, menutup pintu kaya dan membuka pintu fakir. Keenam, menutup pintu angan-angan dan membuka pintu bersiap menghadapi kematian.” 

Jiwa (nafs) memiliki kecenderungan alamiah pada perangai buruk. Sementara hamba diperintahkan untuk terus menerus berperangai baik. Dengan kecenderungan alamiahnya itu jiwa berjalan di medan penentangan. Sementara hamba dituntut untuk menarik dirinya dari segala permintaan nafsu yang buruk. Barangsiapa melepas tali kendalinya, berarti dia adalah temannya dalam melakukan kerusakan. Nafsu adalah musuh abadi manusia, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw., “Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang berada di antara kedua sisimu.” (HR. al-Baihaqi)

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada salah seorang wali-Nya di dalam mimpi, “Musuhilah nafsumu! Sungguh, di kerajaan-Ku ini tidak ada yang memusuhi-Ku selain dia.” Yakni, nafsu menuntut apa yang menjadi milik Allah, yaitu kesombongan dan keagungan, dan ia menuntun manusia untuk mengikuti dan menaatinya. Padahal di dalam riwayat disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Maka barangsiapa merebutnya dari-Ku, akan Aku siksa dia, dan Aku tidak perduli.”

Apabila engkau ingin menguasai jiwa atau nafsu, maka jangan kau jadikan ia sebagai raja. Persempitlah ruang geraknya, jangan diberi keleluasaan. Jika engkau menjadikannya sebagai raja, ia akan menguasaimu. Jika engkau tidak mempersempit ruang geraknya, maka ia akan leluasa. Apabila engkau ingin lebih kuat dari dia, maka lemahkanlah dia dengan memutuskan sebab-sebabnya. Jika tidak, dia akan menjadi lebih kuat darimu dan akan membantingmu. Gunakanlah lapar sebagai bantuan bagimu untuk mengalahkan nafsu. Sebab lapar merupakan tali kendali yang ampuh untuk melemahkannya. 

Seorang ahli hikmah ditanya, “Dengan tali apa nafsu bisa diikat?” dan dia menjawab, “Ikatlah dengan lapar dan haus. Hinakanlah dia dengan pembasmian kemuliaan dan pemadaman syahwat. Kecilkanlah dia dengan meletakkaannya di bawah kaki anak-anak akhirat. Pecahkanlah dia dengan cara tidak mengenakan perhiasan orang kaya. Selamatkanlah dirimu dari berbagai petaka yang ditimbulkannya dengan cara terus menerus berprasangka buruk kepadanya. Dan temanilah dia dengan cara menolak semua keinginannya.” 

At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan, “Suatu hari, seorang lelaki bersendawa di majlis Rasulullah saw., lalu beliau bersabda, Kurangilah sendawa kenyangmu itu, sebab orang yang paling lama rasa laparnya nanti di Hari Kiamat adalah orang yang paling banyak kenyang saat di dunia.” Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadis serupa, dia menyebutkan bahwa lelaki yang dimaksud adalah Abu Juhaifah. Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa Abu Juhaifah berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah lagi memenuhi perutku dengan makanan sejak saat itu sampai sekarang, dan aku berharap Allah ‘Azza wa Jalla menjagaku sampai sisa hari-hariku.”

Pada kenyataannya, urusan jiwa dan cara penanganannya merupakan hal yang sulit, tidak cukup satu atau dua kali, melainkan harus berkali-kali, sedikit demi sedikit. Jiwa itu serupa binatang tunggangan yang keras kepala, tidak bisa dituntun selain dengan tali kendali. Ada tiga hal yang harus dilakukan untuk merendahkan dan menjinakkannya. Pertama, menghalangi berbagai hasrat dan keinginannya. Sebab binatang tunggangan yang keras kepala juga akan melunak bila dikurangi kebiasaannya. Kedua, memikulkan beban-beban ketaatan. Seperti binatang tunggangan yang keras kepala, bila kebiasaannya dikurangi dan muatannya ditambah, kekuatannya akan menjadi rendah, kecil dan lemah sehingga akhirnya menjadi tunduk dan penurut. Ketiga, memohon pertolongan dan berendah diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk melawannya. Sahl ibn ‘Abdullah berkata, “Ibadah kepada Allah tidak ada yang seberat melawan nafsu.”

Di dalam satu cerita disebutkan, alkisah di negeri Mesir ada seorang rahib yang amat terkenal karena mukasyafah. Lalu ada seorang ulama muslim berkata, “Dia harus dibunuh, karena dikhawatirkan akan membahayakan kaum muslimin.” Si orang alim yang muslim itu mendatanginya sambil membawa sebilah pisau beracun. Ketika dia mengetuk pintu rumah sang rahib, dari dalam terdengar sang rahib berkata, “Letakkan pisau itu, wahai orang alim muslim.” Sang alim yang muslim itu pun meletakkan pisau beracunnya dan masuk ke rumah sang rahib. Setelah berhadapan, sang alim yang muslim bertanya, “Dari mana engkau memperoleh cahaya mukasyafah itu?” dan sang rahib menjawab, “Dengan melawan nafsu.” Lalu sang alim yang muslim itu bertanya, “Apakah engkau kemudian memeluk Islam?” dia menjawab, “Ya. Asyhadu al-la ilaha illallah wa asyhadu anna mummmadar-rasulullah.” Sang alim yang muslim itu bertanya lagi, “Apa yang membawamu padanya?” sang rahib menjawab, “Aku menawarkan Islam kepada diriku dan dia tidak mau menerimanya. Maka aku pun melawannya.”

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Abu Yazid berkata, “Aku melihat Rabbul-‘izzah di dalam tidurku. Lalu aku berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana cara untuk sampai kepada-Mu?’ dan Dia berflrman, ‘Tinggalkanlah nafsumu dan kemarilah.”

Untuk melihat lebih jelas masalah nafsu, dengan senang hati di sini kami akan menuturkan ungkapan al-Imam al-Ghazali tentang cara menegur dan mencerca nafsu. Apa yang diungkapkan beliau sungguh mengandung banyak manfaat berharga dan faedah yang berlimpah. Al-Imam al-Ghazali r.a. Berkata,

“Cara untuk mengalahkan diri pribadi adalah dengan menolaknya serta menegaskan kebodohan dan ketololannya. Katakanlah kepadanya: 

Hai diri, sungguh besar kebodohanmu. Engkau mengaku-ngaku bijak, mengaku cerdas dan pintar, padahal engkau manusia paling bodoh. Tidakkah engkau tahu surga dan neraka ada di hadapanmu, dan sebentar lagi engkau akan menjadi penghuni salah satunya!? Apa yang engkau pikirkan hingga engkau bergembira, tertawa-tawa dan sibuk melampiaskan hasrat nafsu, padahal engkau adalah buruan bencana besar itu!? Kulihat engkau menganggap kematian masih jauh, padahal Allah melihatnya sangat dekat. Tidakkah engkau paham bahwa yang jauh itu bakal datang, sementara semua yang pasti akan datang itu dekat sekali. Tidakkah engkau tahu bahwa kematian itu datang tiba-tiba, tanpa utusan yang mengabarkannya atau menjalin kesepakatan lebih dulu. Sungguh, kematian tidak memandang keadaan, atau musim, siang atau malam, tua atau muda. Setiap yang berjiwa bisa didatangi maut secara tiba-tiba. Kalau pun bukan kematian yang tiba-tiba datang mengejutkan, sakit bisa datang tiba-tiba, lalu mengantarkanmu pada kematian. Mengapa engkau tidak bersiap-siap menyongsong kematian Sementara kematian berada di depanmu demikian dekat, amat lekat!? Tidakkah engkau merenungi firman Allah Ta’ala, Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amal mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling dari padanya. Tidak datang kepada mereka satu ayat Alqur’an pun yang baru diturunkan dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bemain-main, lagi hati mereka dalam keadaan lalai. [QS. al-Anbiya’ 21:1-3]

“Sungguh celaka engkau, wahai diri! Bila kelancanganmu kepada Allah karena anggapanmu bahwa Allah itu tidak melihatmu, sungguh besar kekufuranmu. Dan bila kelancanganmu kepada-Nya itu kau perbuat padahal engkau tahu bahwa Allah memperhatikanmu, alangkah beraninya engkau, betapa engkau tidak tahu malu. Apakah engkau sanggup menahan pedih siksa-Nya? Tidak, tidak mungkin sanggup. Coba saja sesaat kau berjemur di terik matahari, atau berendam di pemandian air panas, atau dekatkan jarimu ke perapian, agar jelas seberapa besar kadar kemampuanmu. Atau, apakah engkau telah terperdaya oleh kemurahan Allah Ta’ala, oleh kebaikan-Nya, oleh ketidak buruan-Nya akan ketaatan dan ibadahmu!? Mengapa engkau tidak berpegang pada kemurahan Allah Ta’ala dalam urusan-urusan duniamu? Kenapa engkau selalu berusaha menolak udzur dan memenuhi hasrat-hasrat nafsumu, lalu kau bantah ruh dan memenuhi nafsumu dengan berbagai cara!? Apakah engkau mengira bahwa Allah Ta’ala hanya pemurah di akhirat, tidak di dunia, padahal engkau tahu bahwa ketentuan Allah tidak tergantikan, dan bahwa Sang Penguasa akhirat adalah juga Sang Penguasa dunia!? 

“Sungguh celaka engkau, wahai diri! Betapa aneh kemunafikan dan pengakuanmu yang batil itu. Engkau mengaku iman dengan lidahmu, sementara jejak kemunafikan demikian nampak dalam dirimu. Apakah Tuanmu belum berfirman kepadamu: Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. [QS. Hud 11:6]. Dan di dalam urusan akhirat Dia berfirman, Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. [QS. an-Najm 53:39]. Allah telah memberi jaminan untukmu dalam urusan duniamu hingga engkau tidak perlu mengusahakannya, tetapi dengan tindakan-tindakanmu engkau menganggap Dia bohong dalam jaminan-Nya. Buktinya, engkau demikian rakus dan mati-matian berusaha mencari dunia. Sementara untuk urusan akhirat yang telah Dia kuasakan kepada amalmu, engkau malah berpaling, terperdaya dan meremehkannya. Ini sungguh bukan ciri orang yang beriman. Seandainya iman cukup di lisan saja, kenapa orang-orang munafik berada di dasar neraka!

“Sungguh celaka engkau, wahai diri! Seakan-akan engkau tidak percaya kepada Hari Kiamat dan engkau menyangka bahwa seandainya engkau mati engkau akan lepas bebas begitu saja!? Jauh sekali dugaanmu itu. Apakah engkau menyangka bahwa engkau terabaikan tanpa diurus? Jika sangkaanmu itu muncul dari hatimu, engkau sungguh kafir dan tolol. Apakah engkau tidak menyadari dari apa engkau diciptakan? Allah telah menciptakanmu dari setetes mani, lalu Dia menentukan takdirmu dan memudahkan jalan bagimu memenuhi takdirmu. Kemudian Dia mematikanmu dan menguburmu. Apakah engkau mendustakan firman-Nya: Kemudian bila Dia menghendaki, Dia akan membangkitkannya kembali [QS. ‘Abasa 80:22] ?! Kalaulah engkau tidak mendustakannya, mengapa engkau tidak berhati-hati?! Padahal seandainya saat engkau sakit kemudian ada orang Yahudi menyampaikan informasi kepadamu bahwa makananmu yang paling enak itu bisa membahayakanmu, niscaya engkau akan bersabar untuk tidak memakannya dan berusaha keras melawan nafsumu. Apakah ucapan para nabi yang diperkuat dengan mukjizat dan firman Allah di dalam kitab-Nya yang diturunkan itu tidak lebih berkesan dalam dirimu daripada ucapan seorang Yahudi yang bahkan hanya bersumber dari keraguan dan prasangka, bahkan dengan kekerdilan akan dan kelemahan ilmunya.

“Wahai diri, jika engkau benar-benar mengetahui itu semua dan mengimaninya, kenapa engkau menunda-nunda amal kebaikan, sementara kematian selalu mengincarmu dan mungkin akan menyergapmu tiba-tiba?! Apa yang mencegahmu segara beramal? Apa yang mendorongmu untuk selalu menunda-nunda? Adakah, karena dalam peperangan melawan nafsu ada lelah dan beban berat yang harus dipikul?! Apa yang tidak mampu kau pikul hari ini, maka esok hari engkau lebih tidak mampu lagi memikulnya. Sungguh, syahwat itu laksana pohon yang tertancap kuat ke dalam bumi dan sulit dicabut. Apabila hamba tidak segera mencabutnya, dan malah menangguhkannya, dia seperti seorang pemuda kuat yang tidak akan terlalu kelelahan mencabutnya di hari ini tetapi dia malah menangguhkannya sampai tahun depan, padahal dia tahu bahwa semakin bertambah usia, dirinya akan semakin lemah, sementara pohon itu akan semakin kuat mengakar di bumi. Apa yang tidak sanggup dipikul saat muda, akan lebih berat saat dia telah beruban. Pendidikan akhlak di usia renta sungguh lebih sulit dilakukan. Menjinakkan serigala merupakan penyiksaan. Dahan yang muda bisa mudah kau lengkungkan, tetapi ranting tua yang telah kering dan kaku hanya bisa kau patahkan.

“Hai diri, jika engkau tidak memahami urusan yang demikian jelas itu dan engkau cenderung untuk terus menunda-nunda amal, lalu apa pikirmu hingga engkau mengaku bijak, ketololan apa lagi yang bertumpuk melapisi ketololanmu. Mungkin engkau berkata, ‘Tiada yang menghalangiku untuk istiqamah selain ketamakanku pada kenikmatan nafsu dan ketidak sabaranku menanggung derita dan kesusahan.’ O… alangkah tololnya dirimu, betapa buruk alasanmu. Jika engkau benar dalam pengakuanmu itu, carilah kenikmatan dan bersenang-senanglah dengan hasrat suci yang bebas dari kotoran dan bisa bertahan untuk selamanya, bukan kenikmatan sesaat! Di surga, hanya di surga nikmat seperti itu bisa didapat. Jika engkau berpikir untuk syahwatmu, berpikirlah dalam kebalikannya. Karena banyak kejadian satu suapan berakibat tercegahnya banyak suapan.

“Apa pendapatmu tentang si cerdik yang sedang sakit, yang oleh dokternya disarankan untuk tidak minum air dingin selama tiga hari agar dia sembuh dan kemudian bisa menikmati minuman dingin untuk seumur hidupnya, bahkan dokternya memberitahu dia bahwa jika dalam tiga hari itu dia meminumnya, maka dia akan sakit untuk selamanya dan tidak bisa lagi minum minuman dingin tersebut? Bagaimana putusan akal sehat tentang hal syahwat? Apakah dia harus bersabar selama tiga hari supaya merasa nikmat di sepanjang sisa usianya? Atau penuhi saja hasrat minum air dingin itu karena takut menderita penentangan nafsu selama tiga hari, sehingga kemudian dia harus menanggung derita penentangan hasratnya tiga ribu tiga ratus hari? 

“Bila sepenuh usiamu di dunia diukur dengan masa keabadian yang merupakan masa kenikmatan penghuni surga dan siksa penghuni neraka, sungguh tidak lebih lama dari tiga hari yang diukur dengan ukuran hidup di dunia, sepanjang apa pun usia dunianya. Apakah derita bersabar menahan hasrat nafsu lebih dahsyat dan lebih lama dibanding derita siksa neraka di lembah Jahannam? Orang yang tidak kuat menahan derita mujahadah bagaimana dia akan kuat menahan derita siksa Allah!

“Sungguh celaka engkau, wahai diri! Kehidupan dunia ini tidak perlu memperdayakanmu. Jangan sampai setan memperdayamu dalam ketaatan kepada Allah. Lihatlah dirimu! Engkau tidak diperintah untuk kepentingan orang lain. Jangan menyia-nyiakan waktumu. Nafas di dunia ini terbatas. Jika satu nafasmu telah berlalu, itu berarti sebagian dirimu telah lenyap. Manfaatkanlah sehat sebelum engkau sakit. Manfaatkanlah keluangan sebelum engkau sibuk. Manfaatkanlah kekayaan sebelum engkau jatuh miskin. Manfaatkanlah kemudaan sebelum engkau beruban. Manfaatkanlah hidup sebelum engkau mati. Bersiaplah untuk kehidupan akhirat sesuai kadar keabadianmu di sana. Apakah engkau tidak mempersiapkan diri untuk menyongsong musim dingin dengan bekal secukupnya, dengan mengumpulkan bahan makanan, pakaian, kayu bakar dan kebutuhan lain dalam kadar yang cukup untuk selama musim dingin itu? Apakah engkau menduga bahwa dinginnya Jahanam lebih ringan dan lebih pendek sejenak daripada dinginnya musim dingin? Tidak. Tidak demikian kenyataannya. Dingin dan dahsyatnya musim dingin tak bisa dibandingkan dengan neraka.

“Apakah kau kira seorang hamba bisa selamat dari neraka tanpa berusaha menyelamatkan diri darinya? Tidak. Janganlah berpikir demikian! Sebagaimana dinginnya musim dingin tidak bisa dihindari tanpa jubah, api dan sarana-sarana lain yang bisa menghangatkan tubuh, demikian pula panas dan dinginnya neraka tidak dapat ditolak tanpa benteng tauhid dan parit ketaatan.

“Sungguh celaka engkau, wahai diri! Kulihat engkau selalu menghimpun dunia dan tergila-gila pada dunia, sampai engkau demikian susah berpisah darinya. Apakah engkau tidak tahu bahwa orang yang melirik kesenangan dunia dan akrab dengan dunia, sementara kematian menguntit di belakangnya, berarti telah memperbanyak kesengsaraan saat berpisah dengannya (saat kematian), dan tanpa sadar dia telah mengumpulkan racun membinasakan dalam dirinya. 

“Wahai diri, tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang telah berlalu sebelummu!? Mereka membangun gedung-gedung yang tinggi, lalu mereka pergi meninggalkannya dan mengosongkannya. Lalu Allah mewariskan tanah dan rumah mereka kepada musuh-musuh mereka. Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana mereka mengumpulkan harta yang tidak mereka makan, membangun rumah-rumah yang tidak mereka huni dan mengangankan sesuatu yang tidak mereka jumpai!? Masing-masing mereka membangun istana, gedung pencakar langit, padahal tempat tinggalnya dalam kubur di perut bumi. Apakah di dunia ini ada yang lebih tolol dari orang seperti itu? Seseorang memakmurkan dunianya, sementara dia sedang dalam perjalanan meninggalkannya, pasti. Dia menghancurkan akhiratnya, padahal dia pasti akan menghuninya!

“Wahai diri, alangkah aneh perkaramu, betapa tolol dirimu dan sungguh tampak kelalimanmu. Bagaimana engkau bisa buta tentang hal yang terang dan jelas ini!? Wahai diri, sepertinya cinta pangkat telah memabukkanmu dan membuatmu linglung hingga tidak bisa memahami perkara-perkara yang jelas itu. Tidakkah engkau berpikir bahwa sebenarnya jabatan itu bila kau raih, orang-orang yang condong kepadamu karena jabatan yang ada padamu. Karena itu, anggaplah misalnya seluruh penduduk bumi ini bersujud kepadamu dan taat kepadamu. Lalu bayangkan lima puluh tahun setelahnya. Sungguh, engkau sudah tidak lagi di dunia ini, tidak pula seorang pun dari mereka yang menyembahmu itu akan abadi di dunia ini. Lalu datang masa ketika tak ada lagi orang-orang yang mengingatmu, tidak pula orang yang mengingat mereka yang mengingatmu. Seperti yang terjadi pada para raja sebelummu. Dan berapa banyak telah Kami binasakan bangsa-bangsa sebelum mereka. Adakah kamu lihat seorang saja dari mereka atau kamu dengar suaranya yang samar-samar? [QS. Maryam 19:98]. Wahai diri, kenapa engkau rela menjual yang akan abadi selamanya dengan sesuatu yang tidak akan bertahan lebih dari lima puluh tahun. 

“Wahai diri, sungguh celaka engkau bila tidak meninggalkan dunia demi mengharap akhirat hanya karena ketidaktahuanmu dan kebutaan mata hatimu. Mengapa engkau tidak meninggalkan dunia demi menghindari kehinaan para sekutunya, membersihkan diri dari kesulitan-kesulitannya dan menjaga diri dari percepatan kehilangannya? Mengapa engkau tidak zuhud dalam sedikitnya dunia, walaupun ia telah menghindar darimu. Kenapa engkau merasa gembira dengan dunia. Kalaupun dunia membahagiakanmu, sungguh negerimu tidak pernah kosong dari orang-orang Yahudi dan Majusi yang menyaingimu dalam dunia, yang harta benda dan kekayaannya lebih darimu. Maka, hindarilah dunia! Sungguh, dengan dunia itu orang-orang celaka dan hina telah mendahuluimu.

”Hai diri, kenapa engkau begitu bodoh, lemah dan picik sehingga engkau tidak suka berada di dalam golongan orang-orang yang didekatkan—yakni, para nabi dan shiddiqun—di sisi Allah Sang Penguasa semesta alam. Alangkah ruginya engkau bila dunia akhirat engkau juga merugi. Segeralah engkau beramal!

”Hai diri, celaka engkau! Engkau hampir binasa, sementara kematian sudah amat dekat dan pemberi peringatan pun telah datang. Siapa yang akan shalat untukmu setelah engkau mati? Siapa yang akan berpuasa untukmu? Siapa yang akan memohonkan ridha-Nya bagimu setelah engkau mati? Wahai diri, adakah engkau mengetahui bahwa kematian adalah kepastian yang telah dijanjikan akan menimpamu, bahwa kuburan adalah rumahmu, tanah adalah alas tidurmu, ulat menjadi temanmu dan teror yang amat dahsyat di hadapanmu!?

”Hai diri, apakah engkau tidak malu menghiasai lahirmu untuk makhluk, sementara kepada Allah kau menghadap dengan hati penuh kebusukan. Mengapa engkau malu kepada makhluk tetapi tidak kepada Sang Pencipta!? Sungguh celaka engkau! Engkau menganggap enteng pengawasan Sang Pencipta terhadap dirimu. Engkau memerintahkan orang-orang berbuat baik sementara dirimu berlumur noda. Engkau mengajak orang-orang mendekatkan diri kepada Allah sementara engkau sendiri berlari menjauh dari-Nya. Engkau mengingatkan orang-orang kepada Allah sementara dirimu lupa dan lalai kepada-Nya. Tidakkah engkau tahu bahwa pendosa itu lebih busuk daripada tahi manusia, dan tahi manusia tidak bisa menyucikan apa-apa!? Lalu kenapa engkau demikian rakus menyucikan yang lain sementara dirimu sendiri tidak suci!?

”Wahai diri, sungguh celaka engkau! Seandainya engkau benar-benar mengetahui dirimu sendiri, tentu engkau akan mengira bahwa orang-orang tidak akan tertimpa bencana selain karena keburukanmu. Sungguh aneh, engkau merasa bangga dengan bertambahnya harta bendamu tetapi engkau tidak merasa sedih dengan berkurangnya umurmu. Apalah artinya harta bertambah sementara umur terus berkurang.

“Wahai diri, celaka engkau! Engkau berpaling dari akhirat sementara ia terus menghampirimu, dan engkau menghadap ke dunia sementara ia terus berpaling darimu. Berapa banyak orang yang memiliki harinya tapi tidak sampai menghabiskannya. Berapa banyak orang yang berangan-angan untuk besok hari, namun dia tak sampai hari esok. Engkau telah sering menyaksikan keadaan saudara, kerabat serta tetanggamu saat dijemput maut yang membuat engkau bersedih hati. Tetapi engkau tidak juga mau kembali dari kebodohanmu.

“Wahai diri, sungguh celaka engkau! Apa yang membuatmu terus beralasan, apa yang membuatmu tidak punya malu, apa yang membuatmu demikian tolol dan apa pula yang membuatmu sungguh lancang berbuat maksiat!? Wahai diri, berapa banyak janji telah kau jalin lalu kau rusak dan kau abaikan!? Wahai diri, tidakkah bagimu ada pelajaran dari orang-orang yang telah berlalu mendahuluimu!? Apakah engkau mengira bahwa mereka dipanggil ke akhirat sementara engkau akan kekal di dunia?! Tidak. O… alangkah buruk prasangkanmu itu! Maka, wahai diri, ambillah pelajaran pada nasihat ini, terimalah nasihat ini. Sungguh, orang yang berpaling dari nasihat berarti telah merelakan dirinya untuk neraka. Kulihat engkau tidak rela dirimu masuk neraka, tetapi engkau tidak pula rela menerima nasihat ini!”

Demikain uraian ringkas dari al-Imam al-Ghazali tentang cara mengatasi nafsu.[]

40. Bab X – Tawakal, Tafwidh* dan Ikhlas

[*]Tafwidh (pemasrahan pengaturan) biasa dilawankan dengan tabdir (pengaturan). Maksudnya adalah memasrahkan pengaturan diri kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati.” [QS. al-Furqan 25:58]. “Dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” [QS. at-Taubah 9:51] “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [QS. al-Ma’idah 5:23] “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” [QS. ath-Thalaq 65:3]. “Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” [QS. al-Mu’min 40:44] 

‘Umar r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, pasti Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada para burung. Burung-burung itu berangkat pagi dalam keadaan perut yang kempis dan pulang di waktu sore dalam keadaan perut kenyang.”  (HR. al-Imam Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Hakim)

Al-Imam ath-Thabrani, Abu Ya’la, al-Hakim dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa ingin menjadi orang yang paling kuat, maka hendaklah dia bertawakal kepada Allah.”

Di dalam riwayat lain ath-Thabrani dan al-Baihaqi juga meriwayatkan bahwa apabila keluarga Rasulullah saw. sedang mengalami kesempitan, beliau menyuruh mereka mendirikan shalat, kemudian beliau membacakan ayat, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” [QS. Thaha 20:132]

Al-Imam Ahmad di dalam kitab az-Zuhd, dan Ibn Abi Hatim meriwayatkan di dalam kitab asy-Syu’ab, bahwa Tsabit berkata, “Apabila keluarga Nabi saw. sedang mengalami kemiskinan, beliau menyeru mereka untuk mendirikan shalat: Shalat! Shalat!” Tsabit juga berkata, “Para nabi meminta pertolongan dengan shalat bila menghadapi suatu masalah.” 

Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah saw. membicarakan orang-orang yang masuk surga tanpa hisab, lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah saw., siapakah mereka itu?” dan beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak memakai guna-guna atau mantera, tidak mencarinya, tidak meramal dengan burung, tidak berobat dengan besi panas, dan mereka bertawakal kepada Allah.” Yakni mereka yang beriman sempurna, yang tidak memiliki satu pun perilaku jahiliyah, seperti memakai mantera, meramal dengan burung atau lainnya, dan berlebihan dalam meyakini cara berobat dengan besi yang dipanaskan. Intinya, berlindung kepada sesuatu yang memiliki unsur kemusyrikan. Adapun orang yang memakai mantera atau mencarinya dalam Alqur’an dan hadis Nabi saw., atau berobat dengan besi yang dipanaskan dengan keyakinan bahwa hal itu hanya merupakan sebab wasilah dan hakikat kesembuhannya dari Allah Ta’ala, maka insya Allah tidak akan membahayakan.

Tawakal merupakan hal yang mesti adanya bagi kesempurnaan iman, karena tawakal berarti berserah diri kepada Sang Pencipta tanpa memandang makhluk. Barangsiapa bertawakal kepada Allah, Allah akan memberinya kecukupan. Dan barangsiapa mencurahkan semua perhatiannya kepada Allah, niscaya Allah akan melindunginya. Allah Ta’ala berfirman, “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” [QS. az-Zumar 39:36]

Allah Ta’ala menyampaikan wahyu kepada Nabi Dawud a.s., “Wahai Dawud, barangsiapa berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barangsiapa meminta pertolongan kepada-Ku, Aku akan menolongnya. Barangsiapa meminta bantuan kepada-Ku, Aku akan membantunya. Dan barangsiapa bertawakal kepada-Ku, Aku akan memberinya kecukupan.”

Seorang ulama menulis hikmah tawakal dalam bait-bait syairnya, 

Bertawakallah kepada Sang Pengasih dalam semua urusan

Sungguh hamba tidak akan merugi bila benar-benar bertawakal kepada-Nya

Jadilah sebagai orang yang benar-benar percaya kepada Allah

dan ridhalah pada semua keputusan-Nya

Pasti engkau akan memperoleh karunia yang engkau harap dari-Nya

Tawakal menjatuhkan badan dalam penghambaan diri kepada Allah (‘ubudiyyah), menempatkan hati pada pengasuhan Tuhan (rububiyyah) dan merasa tenteram dengan jaminan kecukupan dari Allah (kifayah). Bila diberi, dia bersyukur. Dan bila tertahan dari pemberian, dia bersabar.  Dzunnun berkata, “Tawakal ialah meninggalkan pengaturan diri dan melepaskan upaya dan kekuatan dengan cara memandang bahwa seseorang tidak memiliki upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala.”

Obat yang dapat menghasilkan tawakal adalah terus menerus mengingat lima hal, yaitu:

  1. Senantiasa meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui kondisi dirinya (sedang lapar atau kenyang dan sebagainya), walaupun dia berada di bawah lapisan bumi ketujuh atau di ujung dunia.
  2. Meyakini benar bahwa Kuasa Allah sungguh sempurna.
  3. Senantiasa meyakini bahwa Allah Mahasuci dari lalai dan lupa.
  4. Senantiasa meyakini bahwa Allah Mahasuci dari pengkhianatan janji. 
  5. Meyakini bahwa lemari harta Allah tidak akan pernah berkurang isinya, dan Dia sungguh Maha Pemurah dan Maha Penderma, tidak pernah melupakan hamba-Nya.

‘Umar ibn Sanan berkata, “Suatu hari, kami betemu Ibrahim al-Khawash, dan kami berkata kepadanya, ‘Ceritakanlah kepada kami hal yang paling menakjubkan yang engkau jumpai di dalam perjalananmu.’ Lalu Ibrahim al-Khawash berkata, ‘Suatu hari, Khidir a.s. menjumpaiku, dia meminta aku menemaninya. Namun kemudian aku merasa khawatir hal itu akan merusak tawakalku, karena rasa tentramku padanya. Maka aku pun memisahkan diri darinya.”’

Seorang ‘arif berkata, “Suatu hari di dalam pengembaraan, aku berjalan mendahului kafilah. Lalu kulihat di depanku ada seseorang, maka aku pun segera menyusulnya. Ternyata orang yang kulihat iłu seorang perempuan, dia berjalan perlahan tersaruk-saruk dengan sebatang tongkat di tangan. Aku mengira ia kelelahan, lalu aku memasukkan tanganku ke dalam saku dan mengeluarkan dua puluh dirham.Aku berkata kepadanya, ‘Ambillah dan tunggu dulu di sini sampai kafilah menyusulmu. Dengan uang ini, sewalah kendaraan, lalu datang kepadaku malam nanti agar aku dapat memperbaiki keadaanmu.’ perempuan itu memberi isyarat dengan tangannya ke udara. Tiba-tiba di telapak tangannya tergenggam setumpuk dinar. Kemudian dia berkata, ‘Engkau mengambil beberapa dirham dari saku, sedang aku mengambil beberapa dinar dari alam gaib.”‘

Abu Sulaiman ad-Darani meriwayatkan bahwa di Makkah dia pernah melihat seseorang yang tidak memakan apapun selain seteguk air zamzam selama beberapa hari. Suatu hari, Abu Sulaiman bertanya kepadanya, “Bagaimana menurutmu jika air zamzam kering. Apa yang akan engkau minum?” Dia berdiri dan mencium kepala Abu Sulaiman seraya menjawab, “Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberimu balasan kebaikan, sebab engkau telah memberiku bimbingan. Ternyata sejak berhari-hari aku menghamba pada zamzam.” Setelah itu dia pun pergi.

Ibrahim al-Khawash bercerita bahwa di perjalanan menuju kota Syam dia melihat seorang pemuda yang baik budi. Si pemuda bertanya kepada Ibrahim, “Persahabatan apa yang engkau perlukan dariku?” Ibrahim menjawab, “Aku lapar.” Si pemuda berkata, “Bila engkau lapar, aku akan lapar bersamamu.” Empat hari berlalu, kemudian mereka mendapat sesuatu. Ibrahim berkata kepadanya, “Kemarilah!” Si pemuda menjawab, “Aku akan menahan lapar. Aku tidak akan mengambil perantara.” Ibrahim berkata lagi kepadanya, “Wahai anak muda, perutmu telah tipis.” Si pemuda menjawab, “Wahai Ibrahim, jangan bersikap sombong, karena sesungguhnya yang berhak menilai adalah Maharaja Yang Maha Melihat. Tawakallah!” Si pemuda melanjutkan, “Tingkat tawakal yang paling rendah adalah: engkau mengembalikan segala sumber kefakiran kepada dirimu. Janganlah engkau meninggikan dirimu kecuali kepada Dzat Yang pada-Nya terdapat kecukupan.”

Abu ‘Ali ar-Rudzabari menuturkan, “Bila baru lima hari tidak makan dan minum sang fakir berkata aku lapar, suruh agar pergi ke pasar, dan suruh juga dia agar bekerja dan berusaha.”

Abu Turab an-Nakhsyabi pernah melihat seorang sufi yang sedang menjulurkan tangannya ke karung gandum untuk makan, padahal dia baru tiga hari tidak makan. Maka Abu Turab pun berkata kepadanya, “Tasawuf tidak pantas untukmu, pergilah ke pasar!”

Khudzaifah al-Mar’asyi pernah berkhidmat kepada Ibrahim ibn Adham dan menemaninya. Dia pernah ditanya, “Apa yang membuat engkau kagum kepada Ibrahim ibn Adham?” lalu dia bercerita, “Selama beberapa hari kami berada di jalanan kota Makkah. Kami sama sekali tidak mendapatkan makanan. Kemudian kami memasuki kota Kufah, lalu beristirahat di masjid yang agak rusak. Ibrahim ibn Adham memandangku dan berkata, ‘Wahai Khudzaifah, kulihat engkau lapar.’ Aku menjawab, ‘Sebagaimana yang syaikh lihat.’ Dia berkala lagi, ‘Coba ambilkan tinta dan kertas.’ Aku pun segera mengambilkannya. Lalu dia menulis:

Bismillahirrahmanirrahim

Engkaulah yang dituju dalam segala kondisi

dan Engkau pula yang diisyaratkan dengan semua makna

Aku orang yang memuji, bersyukur dan berzikir

Aku orang yang lapar, tersia-sia dan telanjang

Itu semua berjumlah enam, dan aku menjamin setengahnya

Maka jadilah engkau sebagai penjamin yang setengah lagi, wahai Sang Pencipta

Sanjunganku pada selain engkau terbakar nyala api,

Maka jauhkan hamba kecil-Mu dari api neraka 

Bagiku, neraka seperti pertanyaan

Maka apakah engkau ingin untuk tidak membebaniku masuk neraka?

Kemudian Ibrahim ibn Adham memberikan tulisannya kepadaku. Dia berkata, ‘Pergilah, dan jangan kau ikatkan hatimu kepada selain Allah. Lalu berikanlah tulisan ini pada orang yang pertama engkau jumpai.’ Lalu aku pergi. Orang yang pertama aku jumpai adalah seorang pengendara keledai betina. Aku pun memberikan tulisan itu kepadanya. setelah mengambil dan membacanya, dia bertanya sambil menangis, Apa yang dilakukan oleh si pemilik tulisan ini?’ Aku menjawab, ‘Dia berada di masjid si fulan.’ Kemudian dia memberiku sekantung berisi enam ratus dinar. Kemudian aku bertemu dengan seorang lelaki lainnya, dan aku bertanya kepadanya, ‘Siapakah penunggang keledai betina itu?’ lelaki itu menjawab, ‘Seorang Nasrani.’ Kemudian aku kembali menemui ibrahim ibn Adham dan menceritakan kisahnya. Ibrahim ibn Adham berkata, ‘Engkau jangan menyentuh uang itu, sebab satu jam kemudian pemiliknya akan datang.’ Setelah satu jam berlalu, si Nasrani pemilik keledai betina itu datang dengan tiba-tiba. Dia menundukkan kepala di depan Ibrahim ibn Adham, lalu masuk Islam.”

Ciri orang yang tawakal adalah tidak meminta, tidak menolak pemberian, dan tidak kikir. Kondisi ruhani paling sempurna orang yang bertawakal adalah berada di hadapan Allah seperti mayit di tangan orang yang memandikannya, tidak memiliki gerak dan pengaturan sendiri, melainkan tergantung Sang Pengatur. Abu ad-Darda’ berkata, “Puncak keimanan adalah ikhlas, tawakal dan berserah diri secara total kepada Allah ‘Azza wa Jall.”

Di dalam maqamat (tingkatan-tingkatan ruhaniah), tidak ada satu pun tingkat yang lebih mulia daripada tawakal. Sungguh, tawakal kepada Allah dapat membuat hamba dicintai. Sementara penjaminan diri (tafwidh) kepada Allah, dapat membuatnya mendapat hidayah. Dengan hidayah Allah, hamba akan selaras dengan ridha-Nya. Dan kalau hamba sudah selaras dengan ridha-Nya, dia berhak menerima kemuliaan (karamah) dari Allah. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, berserah diri kepada segala keputusan (qadha)-Nya, menjaminkan segala urusan kepada-Nya, dan ridha kepada ketentuan (qadar)-Nya, maka dia dianggap sebagai orang yang telah benar-benar menegakkan agama, memperindah iman dan keyakinan, menyempurnakan kedua tangan dan kakinya untuk mengupayakan kebaikan dan menegakkan akhlak-akhlak yang salih yang berfungsi memperbaiki urusan hamba. Sebaliknya, orang yang diragukan dalam hal tawakal, diragukan pula keimanannya, karena keimanan selalu bersama-sama dengan tawakal. Barangsiapa mencintai ahli tawakal, sungguh dia telah mencintai Allah Ta’ala.

Awal tawakal adalah mengenal bahwa al-Wakil [Dia Yang diserahi dan diberi kepercayaan] sungguh Mahaagung dan Mahabijaksana. Apabila hamba yang hina menyaksikan bahwa Sang Maharaja nan Mahamulia sungguh bijak—melakukan pengaturan dan menentukan ukuran; di sisi-Nya gudang segala sesuatu, dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya [QS. ar-Ra’d 13:8], dan tidaklah Dia menurunkannya ke dunia melainkan dengan ketentuan yang telah diketahui; lalu dia menyaksikan bahwa al-Wakil itu menggenggam semua ubun-ubun para raja; bagi-Nya semua gudang langit, meliputi semua hukum dan ketentuan gaib; dan bagi-Nya pula semua gudang kerajaan bumi, meliputi seluruh tangan, hati, sebab-sebab dan segala yang terlihat [gudang-gudang langit adalah rezeki yang dibagikan Allah, sedang gudang-gudang bumi adalah harta yang sudah dijadikan-Nya berada di tangan makhluk], dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan, [QS. adz-Dzariyat 51:22-23]—tentu si hamba akan yakin bahwa kerajaan segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya, bahwa Dialah yang menguasai seluruh pendengaran dan penglihatan, Dialah yang membolak-balikkan semua hati dan tangan sebagaimana membolak-balikkan malam dan siang. Bagi orang-orang yang yakin, Dia sungguh sang pengatur dan penentu hukum yang paling baik. Dan Dia adalah hakim yang paling bijak dan pemberi rezeki yang paling baik. Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. al-Ma’idah 5:50]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya.” [QS. Yunus 10:3]

Apabila hamba telah menyaksikan semua itu, dia akan memandang Tuannya Yang Maha Perkasa, lalu dengan pandangannya itu dia menjadi kuat. Kemudian dengan kekuatannya karena Dia hamba akan menjadi perkasa. Dia akan menjadi kaya dengan kedekatan kepada-Nya. Dia akan menjadi mulia dengan kehadiran di sisi-Nya. Dia memandang-Nya dalam segala hal, teguh hati kepada-Nya, meggantungkan diri kepada-Nya, merasa puas dengan pemberian dari-Nya dalam batas paling minimal, serta tabah dan ridha kepada-Nya. Dalam kondisi seperti itu, si hamba yakin bahwa segala hal semestinya berasal dari Allah. 

Orang yang tidak menginginkan sesuatupun selain Dia, tidak berharap kecuali kepada-Nya, senantiasa melihat tangan-Nya dalam setiap pemberian, senantiasa melihat kebijaksanaan-Nya dalam setiap penghukuman, senantiasa melihat kuasa-Nya dalam setiap al-qabdh dan al-basth [*],  dia sungguh telah benar dalam penghambaannya kepada Allah dan sudah memurnikan tauhidnya. Maka dia pun mengenal makhluk dari mengenal Penciptanya. Dia mencari rezeki dari Dia Yang disembahnya. Dia tidak memuji dan mencela makhluk. Dia tidak memuji seseorang karena orang itu memberinya, atau mencela karena orang itu tidak memberinya. Dia tahu bahwa Allah, Dialah Yang Mahaawal nan Maha Pemberi. Dia berterima kasih kepada makhluk hanya karena Allah memerintahnya untuk berterima kasih dan berakhlak dengan akhlak-Nya serta mengikuti sunnah Rasulullah saw. 

[*] Secara etimologis, kata qabdh(sempit) adalah lawan dari kata basth(luas). Allah Ta’ala berfirman, “Allah menyempitkan dan meluaskan…” Sedangkan di kalangan sufi, qabdh berarti “rasa takut telah menguasai hati”, dan basth berarti “rasa harap telah menguasai hati”. Jika sufi merasa takut akan ancaman Allah, berarti ia qabdh, sedangkan jika penuh harap pada janji dan nikmat Allah, berarti ia basth. Sebagian imam sufi memandang bahwa Allah Ta’ala, jika menyingkapkan sifat-sifat keperkasaan-Nya kepada hamba, Dia menyempitkan/menahan-Nya, sedangkan jika menyingkapkan sifat keindahan-Nya, Dia meluaskannya. (Imam Qusyairi, al-Tahbir fi al-Tadzkir, hal. 45). Tentang makna qabdh dan basth, Imam al-Junaid bekata, “(Qabdh dan basth) adalah khauf dan raja’Raja’ akan meluaskan pada ketaatan, sedangkan khauf akan menahan dari maksiat” (Lihat Abu Khizam, Mu’jam al-Musthalahat al-Shufiyyah, hal. 140; dan al-Syarqawi, Mu’jam Alfazh al-Shufiyyah, hal. 231.

Seorang ‘arif berkata, “Salah satu dosa paling buruk dalam pandangan Allah adalah meminta kepada-Nya untuk mendapatkan sesuatu lalu setelah mendapatkannya, kemudian berlepas diri dari-Nya. Kemudian jika Allah memberinya, dia pun memperoleh sesuatu dari-Nya, dia berkeluh kesah dan bersusah payah meminta agar Allah mengalihkan sesuatu yang telah diterimanya itu darinya. Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Pemurah, dan kemurahannya itu memancar meliputi semua hamba-Nya. Dia memiliki waktu-waktu di mana Dia tidak menolak permintaan hamba, meski sang hamba itu kafir. Allah Ta’ala tidak berada di bawah perintah dan ketaatan kita, sehingga misalnya kita berkata kepada-Nya pada pagi dini hari, ‘berikanlah perbuatlah bagi kami sesuatu.’ Kemudian di penghujung hari kita menyesal dan berkata lagi kepada-Nya, ‘Alihkanlah dari kami sesuatu yang telah Engkau berikan kepada kami pada pagi hari itu.”‘

Seorang ulama sufi berkata, “Bila Allah memberimu pilihan dalam sesuatu, engkau harus memilih. Dan tambatkanlah pilihanmu itu kepada pilihan-Nya, karena sesungguhnya engkau tidak tahu akibat dari segala sesuatu.”

Nabi Dawud a.s. pernah berkata kepada anaknya, Sulaiman a.s., “Wahai anakku, aku hanya akan menunjukkan tiga hal yang menjadi indikasi ketakwaan seseorang, yaitu:

  1. Tawakal yang baik terhadap sesuatu yang akan diperoleh.
  2. Keridhaan yang baik terhadap sesuatu yang telah diperoleh.
  3. Kesabaran yang baik terhadap sesuatu yang tidak diterima.

Luqman al-Hakim juga pernah menasihati anaknya, “Wahai anakku, sesungguhnya dunia itu samudera yang amat dalam, dan sudah banyak orang yang tenggelam di dalamnya. Karena itu, jadikanlah takwa kepada Allah sebagai perahumu untuk mengarunginya dan tawakal kepada Allah sebagai layarnya. Mudah-mudahan engkau selamat, dan aku tidak bisa memperkirakan keselamatanmu.” Di dalam Taurat tertulis, “Terkutuklah orang yang berpegang kepada manusia lainnya.”

Di dalam syair disebutkan:

Bila dengan kemuliaan-Nya Sang Pengasih memuliakan hamba

takkan ada satu makhluk pun yang mampu menghinakannya, tidak seharipun

dan siapa saja yang dihinakan oleh Dia Yang Maha Perkasa

takkan ada yang mampu membantunya menjadi mulia, tidak seharipun 

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memasrahkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Dia pasti mencukupkan segala perbekalannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak dia perhitungkan. Dan barangsiapa mencurahkan dirinya kepada dunia, Allah akan menguasakan dirinya kepada dunia.” (HR. ath-Thabrani dan al-Baihaqi)

Asy-Syibli r.a. berkata, “Barangsiapa bersandar kepada dunia, dia akan menjadi debu yang diterbangkan angin. Barangsiapa bersandar pada akhirat, dia akan terbakar oleh cahaya-Nya sehingga menjadi emas merah yang bermanfaat baginya. Barangsiapa bersandar kepada Allah, dia akan terbakar oleh cahaya tauhid sehingga menjadi mutiara yang harganya tiada banding.”

Para ulama sufi berkata, “Barangsiapa berlindung kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya, maka Allah akan membuatnya dibutuhkan oleh manusia, kata-kata hikmah keluar dari mulutnya dan menjadikannya di antara raja dunia dan akhirat. Dan barangsiapa berlindung kepada makhluk, maka Allah akan menguasakannya kepada dunia, menyiksanya serta memutuskan semua sababnya untuk dunia dan akhirat.”

Yahya ibn Mu’adz pernah ditanya, “Kapankah seseorang dikatakan berlindung kepada Allah?” dia menjawab, “Bila hatinya terputus dari segala hubungan yang ada atau tidak ada, dan dia ridha Allah menjadi wakil-nya.”

Di dalam satu riwayat diceritakan bahwa suatu hari sekelompok orang masuk menemui al-Junaid r.a., lalu mereka berkata kepadanya, “Kami mencari rezeki kami.” Al-Junaid berkata, “Bila kalian tahu di mana rezeki kalian, maka carilah ia.” Mereka berkata, “Kami memohon hal tersebut kepada Allah.” Al-Junaid berkata, “Bila kalian tahu bahwa Allah melupakan kalian, maka ingatkanlah Dia.” Mereka berkata, ‘Kalau begitu kami akan coba masuk ke rumah dan bertawakal kepada Allah.” Al-Junaid berkata, “Coba-coba terhadap Allah sungguh merupakan keraguan yang amat membahayakan.” Mereka berkata, “Lalu bagaimana triknya?” Al-Junaid menjawab, “Meninggalkan muslihat.” Dalam syair dikatakan, 

Tinggalkan penyanggahan, sebab rezeki bukan urusanmu

tidak pula aturan pergerakan jagat raya

Jangan bertanya kepada Allah tentang perbuatan-Nya

siapa menyelami gelombang samudera pasti binasa

Hatim al-Ashamm adalah murid Syaqiq al-Balkhi. Suatu hari, Syaqiq al-Balkhi bertanya kepadanya, “Sudah berapa lama engkau bersahabat denganku?” Hatim al-Ashamm menjawab, “Tiga puluh tiga tahun.” Syaqiq al-Balkhi bertanya lagi, “Apa yang telah engkau pelajari selama itu?” Hatim al-Ashamm menjawab, “Delapan perkara.” Syaqiq al-Balkhi berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Usiaku lenyap bersamamu, namun engkau hanya mempelajari delapan perkara. Lalu apa delapan perkara itu?” Hatim al-Ashamm menjawab, “Pertama, aku perhatikan manusia dan kudapati masing-masing mereka mencintai sesuatu, namun yang dicintainya itu tidak selalu bersamanya. Bila dia masuk ke dalam kubur, yang dicintainya itu meninggalkannya. Karena itulah aku menjadikan kebaikan sebagai kekasihku. Bila aku masuk ke dalam kubur, maka kekasihku akan selalu bersamaku. Kedua, aku perhatikan firman Allah, Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). [QS. an-Nazi’at 79:40-41]. Aku tahu bahwa firman Allah itu sungguh benar. Karena itu aku memaksa diriku memerangi hawa nafsu hingga kokoh dalam ketaatan kepada Allah. Ketiga, aku perhatikan manusia dan kudapati masing-masing dari mereka memiliki sesuatu yang dianggapnya berharga dan bernilai sehingga selalu ia jaga. Kemudian aku perhatikan firman-Nya, Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. [QS. an-Nahl 16:96]. 01 Ketika aku memiliki sesuatu yang berharga dan bernilai, aku menghadapkannya kepada Allah Ta’ala, agar ia tetap abadi bagiku. Keempat, aku perhatikan manusia dan kudapati masing-masing dari mereka merujuk kepada harta, kecukupan, kemuliaan dan keturunan. Saat kuperhatikan, ternyata semua itu tiada berharga. Kemudian aku memperhatikan firman Allah, Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. [QS. al-Hujurat 49:13]. Maka akupun menuju taqwa agar mulia di sisi Allah. Kelima, aku perhatikan manusia dan kudapati mereka saling mencela dan mengutuk. Aku tahu bahwa asal mula semua itu adalah hasud. Kemudian aku memperhatikan firman-Nya, Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. [QS. az-Zukhruf 43:32]. Karena itulah aku meninggalkan sifat hasud dan permusuhan. Aku tahu bahwa yang Allah bagikan untukku merupakan sesuatu yang semestinya. Keenam, aku perhatikan manusia saling menzalimi dan bermusuhan satu sama lain. Namun aku perhatikan bahwa musuhku yang sebenarnya adalah setan, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu. [QS. Fathir 35:6]. Lalu aku memusuhinya dan aku mencintai manusia seluruhnya. Ketujuh, aku memperhatikan manusia dan kudapati mereka selalu mencari harta yang banyak hingga karena harta itu mereka menghinakan diri sendiri. Kemudian aku perhatikan firman Allah, Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. [QS. Hud 11:6]. Aku menyadari bahwa aku termasuk makhluk yang tentunya diberi rezeki. Karena itulah aku sibuk dengan Allah ‘Azza wa Jalla dan meninggalkan segala sesuatu selain Dia. Kedelapan, aku memperhatikan makhluk dan kudapati mereka bertawakal kepada sesama makhluk. Yang ini bertawakkal kepada niaganya, yang ini kepada industrinya, yang ini kepada kesehatan badannya. Setiap makhluk bertawakal kepada makhluk yang lainnya. Kemudian aku merujuk firman Allah Ta’ala, Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. [QS. ath-Thalaq 65:3]. Karena itulah aku bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Syaqiq al-Balkhi akhirnya berkata, “Mudah-mudahan Allah memberimu taufik. Engkau benar-benar telah menghimpun semua perkara.” 

Al-Imam as-Suyuthi berbicara mengenai kata al-marjan, “Ibn ‘Abbas berkata, ‘Setiap tahun Khidir dan Ilyas selalu bertemu pada suatu musim. Lalu (setelah pertemuan) keduanya berpisah dengan meninggalkan kalimat-kalimat ini: “Bismillahi, ma sya’ Allahu la yasuqul-kahira illallah, ma sya’ Allah, la yashrifus-su’a illallah, ma sya’ Allah ma kana min ni ‘matin fa minallah, ma sya’ Allah wa la haula wa la quwwata illa billah” [*] Kemudian Ibn ‘Abbas berkata, ‘Barangsiapa membacanya di waktu pagi dan sore hari sebanyak tiga kali, Allah akan menyelamatkannya dari ketenggelaman, kebakaran, pencurian, dari setan dan raja, serta dari ular dan kalajengking.”‘ Karena itu setiap murid perlu mengamalkan ini. Amalan ini bisa menjadi sebab lahirnya tawakal. 

[*] Dengan menyebut nama Allah, apa pun yang Allah kehendaki, maka tiada yang menggiring kebaikan selain Allah. Apa pun yang Allah kehendaki, maka tiada yang yang memalingkan keburukan selain Allah. Apa pun yang Allah kehendaki, maka apa yang merupakan kenikmatan berasal dari Allah. Apa pun yang Allah kehendaki, maka tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

Sebagai pelengkap, kami ingin memberi penegasan tentang ikhlas. Allah Ta’ala berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” [QS. al-Bayyinah 98:5]

Dalam atsar diceritakan, “Sesungguhnya apabila hari kiamat telah terjadi, maka datanglah ikhlas dan syirik. Keduanya berkumpul di hadapan Allah Ta’ala. Allah berfirman kepada ikhlas, ‘Pergilah engkau dan ahlimu ke dalam surga.’ dan Dia berfirman kepada syirik, ‘Pergilah engkau dan ahlimu ke dalam neraka.”

Ikhlas adalah perbuatan hati yang tidak bisa dilihat selain oleh Allah. Ikhlas adalah engkau beribadah kepada Allah dengan totalitas dirimu dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Dia berfirman, “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” [QS. al-Kahfi 18:110]

Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas ialah pembeningan hati dari seluruh campuran. Rasulullah saw. bersabda, “Aku bertanya kepada Jibril mengenai ikhlas, dan Jibril berkata, ‘Aku bertanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai ikhlas, dan Allah berfirman, Ikhlas adalah satu rahasia dari rahasia-rahasia-Ku yang aku letakkan di dalam hati hamba-Ku yang Aku cintai.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Qusyairi di dalam ar-Risalah dengan sanad yang lemah. Diriwayatkan pula oleh sejumlah hafizh di dalam musalsalah mereka, dan masing-masing perawi yang berada dalam silsilah periwayatannya menggunakan redaksi, “Aku bertanya kepada si fulan tentang apa yang disebut ikhlash…”

Lawan dari ikhlas adalah riya. Jadi barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan tanpa disertai riya, berarti ia ikhlas.[]

41. Bab XI – Cinta, Rindu dan Ekstase (Bag. Cinta (Mahabbah))

Umat Islam sepakat bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya merupakan fardhu ‘ain (kewajiban bagi setiap individu). Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” [QS. al-Baqarah 2:165]. Allah Ta’ala berfirman, “Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” [QS. al-Ma’idah 5:54]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” [QS. Ali-Imran 3:31]

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa pun kalian tidak dikatakan beriman (sempurna) sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada keluarganya, hartanya, dan semua manusia.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya]

Cinta (mahabbah) adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu karena sesuatu itu dianggap lezat oleh si pecinta. Bila kecenderungannya kuat, dinamai curahan hati (shababah) sebab hati tercurah padanya secara total. Bila kecenderungannya lebih kuat lagi, disebut cinta membara (gharam), karena cintanya mengharuskan hati seperti orang yang berhutang. Bila lebih kuat lagi, disebut cinta yang meluap-luap (‘isyqun). Bila lebih kuat lagi dinamai cinta yang mendalam (syaghaf), karena cintanya sampai menusuk ke bagian dalam hati. Bila lebih kuat lagi, disebut cinta sempurna (tatim) atau penghambaan, karena si pecintanya menjadi hamba bagi yang dicintainya. Dia menjadi orang yang diuji, diperintah, berpiutang, dipenjara dan tidak memiliki keputusan. Dan dia tidak lagi bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya.

Hakikat cinta kepada Allah tidak dapat dicapai hamba sebelum hatinya bersih dan selamat dari berbagai kotoran jiwa. Bila cinta kepada Allah telah menetap dalam hati, maka cinta pada yang lain akan keluar, sebab cinta itu bersifat membakar, menghanguskan segala sesuatu yang bukan jenisnya.

Tanda cinta kepada Allah ialah memenggal semua hasrat terhadap dunia dan akhirat. Yahya ibn Mu’adz berkata, “Kesabaran para pecinta Allah lebih hebat daripada kesabaran para zahid. Aku heran kepada orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak menjauhi larangan-larangan-Nya. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah tetapi tidak menjauhi syahwatnya, dia sungguh pendusta. Begitu juga orang yang mengaku cinta kepada surga tetapi tidak menginfakkan sebagian harta miliknya, dia sungguh pendusta.”

Rabi’ah al-‘Adawiyah berkata,

Engkau mendurhakai Tuhan sambil menampakkan kecintaan kepada-Nya

demi usiaku, ini sungguh analogi mengherankan 

Seandainya cintamu sejati, engkau tentu akan menaati-Nya

karena si pecinta senantiasa menaati dia yang dicintainya

Seorang syaikh sufi berkata, “Lahiriah cinta adalah ridha kepada yang dicintai. Sedang batin cinta adalah memberikan hati kepada yang sang kekasih hingga tak tersisa sedikitpun bagi yang lain.” 

Dalam bait-bait syairnya, seorang sufi mengungkapkan:

Semoga Engkau senantiasa manis, walau hidup terasa pahit

Semoga Engkau senantiasa ridha, walau manusia berjiwa sulit

Semoga yang ada antara aku dan Engkau kemakmuran

dan yang ada antara aku dan semesta alam kehancuran

Andai kasih cinta darimu sejati, semuanya terasa rendah

Dan semua yang ada di atas tanah adalah jua tanah.”

Ulama sufi lainnya berkata,

Demi hak cinta, hai ahli cintaku, pahamilah 

Lisan wujudku dalam wujud sungguh menakjubkan

Haram bagi hati yang dipersembahkan untuk cinta

Ada bagian untuk yang selain Allah

Ulama sufi lainnya berkata,

Aku mencintai-Mu bukan karena mengharap surga

Bukan jua takut neraka, sebab Engkaulah yang menjadi tujuan

Bila engkau memang maula bagiku, maka surga mana

dan neraka mana yang kau takuti dan kau kehendaki

Sahal ibn ‘Abdullah berkata, ”Tiada satu hari pun berlalu tanpa Yang Mahaagung nan Mahasuci berseru, ‘Wahai hamba-Ku, apa yang engkau perbuat kepada-Ku? Aku mengingatmu, tetapi engkau malah melupakan Aku. Aku menyerumu kepada-Ku, tetapi engkau malah pergi kepada selain Aku. Aku lenyapkan darimu banyak malapetaka, tetapi engkau malah berdiam diri dalam dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan kau katakan esok saat engkau datang kepada-Ku?”

Seorang ‘arif bercerita tentang Allah Ta’ala bahwa Dia berfirman “Wahai hamba-Ku, Aku telah menciptakan segala sesuatu untukmu, dan Aku telah menciptakan dirimu untuk-Ku. Lalu engkau sibuk dengan hal-hal yang Aku ciptakan untukmu hingga lupa pada-Ku. Wahai hamba-Ku, jika engkau sibuk dengan nikmat hingga lupa pada Sang Pemberi nikmat, dan engkau sibuk dengan pemberian hingga lupa pada Sang Pemberi, engkau tidak akan bisa mensyukuri nikmat itu, tidak pula bisa menjaga larangan Pemberinya. Setiap nikmat yang membuat engkau lupa dari-Ku, sungguh ia merupakan niqmah (siksa), dan semua pemberian yang membuat engkau lalai dari-Ku, sungguh ia merupakan petaka.” Dalam syair dijelaskan, 

Jadikanlah ketaatan kepada Tuhan sebagai jalan

Kau akan sukses meraih surga dan engkau selamat

Tinggalkanlah perbuatan dosa dan keji tanpa kecuali

Maka Allah akan memberimu semua yang kau tuju dan kau harap 

Ketahuilah bahwa orang-orang yang mencintai Allah (al-muhibbin) terbagi tiga kelompok, yaitu ‘awam (umum), khawash (khusus) dan khawash al-khawash (elit). Kecintaan kelompok awam kepada Allah itu lebih tertuju pada keberlimpahan anugerah dan kebaikan-Nya. Sedangkan kecintaan kelompok khawash kepada-Nya, murni (terbebas) dari segala ketercelaan. Adapun kecintaan kelompok khawash al-khawash merupakan ungkapan tentang luapan cinta (al-‘isyq) ketika orang yang jatuh cinta sirna di hadapan cahaya kekasihnya. Apabila sang kekasih tahu kesejatian cinta orang yang jatuh cinta kepadanya, maka hijab di antara keduanya akan lenyap. Lalu orang yang jatuh cinta akan melihat segala rahasia sang kekasih. Baginya akan tersingkap ilmu yang tersembunyi dan segala rahasia yang tinggi. Seperti dilukiskan dalam syair, 

Di antara para pecinta ada rahasia

tak ada tulisan yang sanggup menggambarkannya

Juga tak ada pena yang dapat bercerita tentangnya

Neraka bandingannya, keramahan campurannya

Cahaya memberi tahu sebagian yang ada padanya

Rinduku padanya hingga ku tak mau penggantinya 

Inilah rahasia tersembunyi yang menyelamatkannya

Dalam syair disebutkan, 

Wahai Sang Pencipta, wahai yang tiada sekutu bagi-Nya

Sungguh bahagia orang yang hidup di tengah manusia tetapi mencintai-Mu

Aku heran pada orang yang melihat satu sisi kelembutan-Mu

bagaimana dia lupa kepada-Mu, ya Rabb 

Demi Allah, ruhku tak bisa bergembira, tak bersuka cita, tak pula bisa bertahan

selain dengan zikir kepada-Mu sepanjang masa 

Bagaimana ruh orang-orang ‘arif bisa merasa senang gembira 

Sedang gembira mereka hanya bila bertemu dengan-Mu

Syair lainnya mengungkapkan,

Bagaimana bisa bagi si ‘asyiq masih tersisa dosa

sementara dosa-dosa mencair karena pembakaran dalam dada

Bagaimana bisa si pecinta lupa mengingat sang kekasih

sementara nama sang kekasih tertanam di hatinya

Di dalam satu riwayat dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada Malaikat Maut saat Malaikat Maut hendak mencabut ruhnya, ‘Apakah engkau pernah melihat seorang kekasih mematikan kekasihnya?” Lalu Allah Ta’ala menyampaikan wahyu sebagai jawaban kepadanya, “Apakah engkau pernah melihat seorang pecinta enggan bertemu kekasihnya?” Maka Nabi Ibrahim pun berkata seketika, “Wahai Malaikat maut, cabutlah ruhku sekarang juga!”

‘Abdul Bari pernah bercerita, “Suatu hari, aku pergi bersama saudaraku, Dzun-Nun. Pada saat itu tiba-tiba kami berada di tengah kerumunan anak-anak yang sedang melempari seseorang dengan batu. Dzun-Nun bertanya kepada mereka, ‘Saudaraku, apa yang kalian lakukan kepadanya?’ Mereka menjawab, ‘Dia itu orang gila, sebab dia mengira sedang melihat Allah Ta’ala.’ Kemudian kami mendekati orang itu. Ternyata dia seorang pemuda tampan, dan di wajahnya tampak jelas tanda-tanda orang ‘arif. Maka kami pun mengucapkan salam kepadanya dan berkata, ‘Mereka mengatakan bahwa engkau mengaku telah melihat Allah Ta’ala.’ Pemuda itu berkata, ‘Menjauhlah dariku, wahai pahlawan! Jika aku sampai lenyap dari-Nya sekejap saja, saat ini juga aku mati.’ Lalu dia bersenandung: 

Sang kekasih mencari ridha dari kekasihnya

Sang kekasih mengharap-harap perjumpaan dengan kekasihnya

Dengan mata hati dia selalu memandanginya

Sebab hati mengenal Tuhan dan melihat-Nya

Kekasih ridha sang kekasih ada di dekatnya

Bukan menjauh, lalu siapa yang menginginkan selain dia

“Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau gila?’ dia menjawab, ‘Menurut penduduk bumi, ya. Sedang menurut penduduk langit, tidak.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana keadaan-Mu bersama Tuhan?’ dia menjawab, ‘Sejak aku mengenal-Nya, aku tidak pernah lagi menjauh dari-Nya.’ Aku bertanya lagi, ‘Sejak kapan engkau mengenal-Nya?’ Dia menjawab, ‘Sejak namaku dicantumkan dalam dewan orang-orang gila.’”

Di dalam khabar Nabi Dawud a.s. diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Wahai Dawud, sampaikan kepada penduduk bumi bahwa Aku adalah kekasih orang-orang yang mencintai-Ku; Aku adalah teman duduk bagi orang-orang yang duduk bersama-Ku; Aku penghibur bagi orang-orang yang merasa terhibur dengan mengingatKu; Aku penyerta bagi orang-orang yang menyertai-Ku, Aku pilihan bagi orang-orang yang memilih-Ku; Aku taat kepada orang-orang yang menaati-Ku. Tidaklah hamba mencintai Aku dan Aku tahu cintanya itu sungguh sejati dari hatinya, melainkan Aku terima cintanya untuk-Ku, dan Aku pun akan mencintainya dengan cinta yang tak pernah diberikan oleh seorang pun dari makhluk-Ku. Barangsiapa mencari-Ku dengan sungguh, Dia akan mendapati-Ku. Barangsiapa mencari selain Aku, dia tidak akan mendapati-Ku. Wahai penduduk bumi, tolaklah semua tipuan dunia yang ada padamu. Lalu kemarilah, datanglah pada kemuliaan dan persahabatan dengan-Ku. Tunduklah kepada-Ku, pasti Aku akan santun dan lekas mencintaimu. Sesungguhnya Aku telah menciptakan tanah kekasih-kekasih-Ku dari tanah Ibrahim kekasih-Ku, Musa rahasia-Ku dan Muhammad suci pilihan-Ku. Sesungguhnya Aku telah menciptakan hati para perindu dari cahaya-Ku, lalu Kunikmatkan ia dengan keagungan-Ku.”

42. Rindu (Syauq)

Rindu adalah ketertarikan hati untuk menyaksikan sang kekasih. Ada yang menyebutkan bahwa rindu adalah api Allah yang dinyalakan-Nya dalam hati para wali-Nya, sehingga api itu menghanguskan semua hal yang selain Dia yang ada di dalamnya, entah berupa khawathir (bisikan-bisikan ghaib), kehendak, pendapat maupun kebutuhan. Rindu tumbuh dari cinta. Jika rindu telah muncul di hati hamba, maka si hamba akan merasa kematian datang demikian lambat, karena sangat rindu kepada Tuhannya. Lalu dia akan mulai ber-ekstasi (tawajud) dan melayang-layang ke hadirat Tuhannya. 

Ada seorang bijak pernah ditanya, “Kenapa Allah tidak berkehendak melestarikan para wali-Nya di dunia?” Sang bijak menjawab, “Allah enggan menjadikan keabadian bagi para wali-Nya di dunia, tetapi Dia memilih banyak karamah yang ada di sisi-Nya bagi para wali dan kekasihNya. Tidakkah kalian tahu bahwa sang kekasih selalu merindu kekasihnya? Bahagialah orang yang ruh dan rehatnya dalam pertemuan dengan Allah.”

Ketika Sayyidah Nafisah menjelang maut, dia sedang berpuasa dan orang-orang menyuruhnya untuk berbuka. Namun dia berujar, “Betapa mengherankan! Aku telah tiga puluh tahun meminta kepada Allah agar aku menemui-Nya dalam keadaan berpuasa, lalu sekarang aku harus berbuka? Ini tidak mungkin.” Kemudian dia bersenandung, 

Menjauhlah dariku, hai tabibku

Tinggalkan aku bersama kekasihku

Dia akan menambahkan rinduku pada-Nya

ratap dan cintaku yang membara

Lalu Sayyidah Nafisah mulai membaca Surah al-An’am. Ketika sampai pada firman-Nya, “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya” [QS. al-An’am 6:127], keluarlah as-sirr al-ilahi (ruh) darinya.”

Al-Junaid berkata, “Aku masuk menemui Sari as-Saqathi ketika beliau sakit. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ dan dia menjawab dengan senandungnya,

Bagaimana aku mengadukan penyakitku kepada dokterku

sementara derita yang menimpaku sungguh dari dokterku

Tiada rehat bagiku, tiada pula penawar deritaku

selain sampai kepada kekasihku

Ada cerita bahwa seorang penduduk Bashrah menangis karena kerinduannya yang memuncak kepada Allah hingga kedua matanya menjadi buta. Kemudian dia berkata, “Tuhanku, sampai kapan aku tidak bertemu dengan-Mu? Demi kemuliaan-Mu, kalau pun di antara aku dan Engkau ada api yang menyala-nyala, aku tidak akan surut dari-Mu, dengan pertolongan dan taufik-Mu, hingga aku sampai kepada-Mu, dan aku tidak rela jauh dari-Mu.”

Ibrahim ibn Adham berkata, “Suatu hari, aku memasuki Libanon. Ketika sampai, aku bertemu seorang pemuda yang sedang berdiri sambil berkata, ‘Wahai Dia yang pada-Nya hatiku mencinta, wahai Dia yang pada-Nya diriku menghamba, wahai Dia yang pada-Nya kerinduanku sangat membara, kapankah aku dapat bertemu dengan-Mu?’ lalu aku berkata kepadanya, ‘Mudah-mudahan Allah merahmatimu, apakah tanda cinta kepada Allah?’ sang pemuda menjawab, ‘Senang mengingat-Nya.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa tanda orang yang merindu kepada-Nya?” pemuda itu menjawab, “Tidak melupakan-Nya dalam kondisi apa pun.” 

Ahmad ibn Hamid al-Aswad pernah datang kepada ‘Abdullah ibn al-Mubarak, lalu berkata, “Aku bermimpi bahwa engkau akan mati setahun yang akan datang. Sebaiknya engkau bersiap-siap untuk pergi ‘Abdullah ibn al-Mubärak berkata kepadanya, “Engkau sungguh telah memberi tempo yang amat panjang, aku harus hidup hingga satu tahun lagi. Padahal aku sungguh telah dibuat senang dengan sebait syair yang pernah aku dengar dari sang budayawan, Abu ‘Ali, 

Wahai orang yang mengadu rindu karena lama berpisah 

bersabarlah, barangkali besok engkau bisa berjumpa dengan dia yang kau cinta.”

Seorang sufi Persia berkata, “Hati orang-orang yang rindu diterangi cahaya Allah Ta’ala. Bila kerinduan mereka bergerak, cahayanya menerangi semua yang ada di antara langit dan bumi. Lalu Allah Ta’ala memperlihatkan mereka kepada para malaikat seraya berfirman, ‘Saksikanlah oleh kalian, wahai para malaikatku, mereka yang merindu kepada-Ku itu, Aku merindu mereka lebih dari rindu mereka kepada-Ku.”

Ada juga sufi yang berkata, “Barangsiapa rindu kepada Allah, segala sesuatu pasti akan merasa rindu kepadanya.”

43. Ekstase (Al-Wajd)

Al-Wajd (ekstase) ialah warid[*] yang merasuki hati dari ketersingkapan rahasia-rahasia Dzat dan cahaya-cahaya-Nya hingga membuat ruh merasa dahsyat, kemudian meluap pada anggota tubuh hingga akal tampak linglung dan badan pun bertindak aneh.

[*] Warid adalah cahaya Ilahi yang dipancarkan oleh Allah ke dalam hati orang yang Dia cintai dari hamba-hamba-Nya. Menurut Ibn ‘Atha’illah, warid terbagi menjadi tiga kategori: awal, tengah dan akhir. Bagian awal, warid al-‘intibah (inspirasi kewaspadaan), yakni cahaya yang mengeluarkan hamba dari gelap kelalaian menuju kesadaran yang terang. Warid jenis ini diberikan kepada kelompok awal para pesuluk. Jika dia bangun dari tidurnya dan sadar dari kelalainnya, maka dia mantap di atas kakinya untuk mencari Tuhannya sehingga ia menghadap kepada-Nya dengan hati dan badannya, kemudian dia mendekat kepada-Nya secara total. Bagian tengah, warid al-iqbal (inspirasi penerimaan), yaitu cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati hamba-Nya. Cahaya itu menggerakkannya untuk mengingat Tuhannya dan melenyapkan yang selain-Nya. Dia senantiasa sibuk dengan zikir kepada-Nya. Lenyap dari yang selain-Nya, sehingga hatinya dipenuhi cahaya, dan lenyap dari segala sesuatu selain yang dizikirkan. Dia hanya melihat cahaya. Dia keluar dari penjara selain Tuhan dan bebas dari perbudakan makhluk. Bagian akhir, warid al-wishal (inspirasi pertemuan), yaitu cahaya yang menguasai hati seorang hamba, zahir dan batinnya. Cahaya itu mengeluarkannya dari penjara nafsu dan melenyapkannya dari penyaksian akan penampakannya.

Kebenaran al-wajd diisyaratkan di dalam Alquran dan sunnah. Allah Ta’ala mengisyaratkan dalam firman-Nya, ”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” [QS. al-Hadid 57:16]. Di dalam ayat lain Allah Ta’ala mengisyaratkan, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.” [QS. al-Anfal 8:2]. Sungguh, orang yang khusyuk hati dan bergetar saat mengingat Allah Ta’ala, kadang akalnya lenyap dari pemuliaan manusia dan anggapan ahli majelis. Karena itu, dia kemudian berdiri misalnya, atau duduk, berputar-putar, sangat bergembira, atau kadang jatuh di atas lantai, sesuai kadar kesiapannya memikul inspirasi-insprirasi ilahiah yang merasukinya. Bagi setiap orang muslim dan orang yang beriman, tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengalami kondisi tersebut berada dalam ketaatan dan ibadah.  Jangan berprasangka buruk kepadanya. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” [QS. az-Zumar 39:22]. Di dalam atsar disebutkan, ”Satu keterpikatan spiritual (jadzbah) dari keterpikatan-keterpikatan oleh Yang Maha Pengasih, setara dengan amal semua manusia dan jin.”

Di dalam Musnad al-Imam Ahmad disebutkan, dari ‘Ali ibn Abi Thalib k.w., dia berkata, ”Aku datang kepada Nabi saw. bersama Ja’far dan Zaid. Lalu Nabi saw. berkata kepada Zaid, ‘Engkau adalah maula-ku, maka berjenggetlah (berjalan dengan satu kaki).’ Lalu beliau berkata kepada Ja’far, ‘Engkau telah menyerupai perangai dan akhlakku, maka berjenggetlah.’ Lalu beliau berkata kepadaku, ‘Engkau dariku, maka engkau juga berjengget.”‘ Berjengget adalah mengangkat satu kaki dan berjalan dengan satu kaki lainnya. Ini merupakan salah satu luapan ekstase. Kondisi ekstase benar-benar pernah dialami sebagian sahabat. Karena itu kita tidak diperkenankan berburuk sangka kepada ahli ekstase, karena berburuk sangka kepada sesama muslim sungguh dilarang. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” [QS. al-Hujurat 49:12]

Menghadapi perkataan dan perbuatan orang yang dalam kondisi ekstase harus dengan takwil. Dalam kondisi jadzbah, seorang murid terkadang berteriak, bertingkah tak karuan, menjatuhkan diri dan menangis. Etika bagi orang yang berada dalam kondisi tersebut adalah menyerahkan diri secara total kepada warid yang merasukinya dan bertindak mengikutinya. Jangan sampai dia tercegah dari jeritan atau tangisan misalnya, agar tidak tertimpa bahaya.

Murid yang beriman sejati hendaklah berusaha ekstase untuk mencari hakikat dengan belajar menangis. Ada hadis yang disandarkan secara mauquf kepada Abu Bakr, Abu Musa dan ‘Abdullah ibn ‘Umar, “Menangislah kalian. Bila kalian belum bisa menangis, maka berpura-puralah menangis.” [Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam az-Zuhd.]

Salah seorang ‘arif berkata, “Sesungguhnya kedua mata tidak dapat menangis sampai datang malaikat dari Allah. Lalu malaikat itu mengusap hati dengan sayapnya sehingga kedua mata hati dapat menangis, kemudian tangis itu meluap di kedua bola mata.”

Apabila kondisi ekstase telah kokoh, ia akan membuatmu tecengang. Bila telah membuatmu tercengang, ia akan membuatmu linglung. Di sini, engkau adalah murid (yang menghendaki). Bila kelinglunganmu itu berlanjut dan tak putus, ia akan merenggut dan merampasmu dari dirimu, hingga engkau berada dalam kondisi terampas (maslub), lalu terpikat (majdzub). 

Asy-Syaikh Abu Madyan r.a. mengisyaratkan beberapa kondisi ektase di dalam bait-bait syairnya:

Katakan kepada orang yang melarang ekstase bagi ahlinya

bila engkau belum mengecap arti minuman cinta, tinggalkan kami

jika ruh-ruh bergetar bergerak karena rindu perjumpaan

berbagai bayangan menari-nari, wahai orang tak tahu arti

tidakkah kau lihat burung yang dikurung, hai anak muda

bila ingat alamnya ia rindu dan bernyanyi

yang ada di hatinya membuat ia bersiul-siul

lalu tubuhpun bergoyang dalam rasa dan makna

ia bergetar dalam kurung karena rindu perjumpaan

dan menyenangkan orang-orang berakal bila bernyanyi

Begitu juga ruh para pecinta, wahai anak muda

ia digerakkan limpahan kerinduan pada alam yang terindah

apa kita harus menahannya dalam sabar padahal mereka sedang merindu

dan apakah orang yang menyaksikan makna mampu bersabar

Wahai yang ‘asyiq dalam rindu, berdirilah kau sendiri

dendangkanlah nama kekasih pada kami dan ruh kami

bentengi sirr kami dari para pendengki di dalam kemabukan kami 

Bila kedua matamu mengingkari sesuatu, hapuskanlah kami

sebab kami, bila telah nyaman dan hati merasa betah

arak cinta membuat kami mabuk terkoyak

Maka janganlah engkau mencerca si mabuk saat dia mabuk

sebab saat kami mabuk, tanggung jawab syara terangkat dari kami

serahkan saja pada kami apa yang telah kami nyatakan

sebab bila kami tengah dimabuk rindu, mungkin kami menyingkap

kami minum, kami bergembira, lalu tiba-tiba kami cemas karena rindu

maka demi Allah, hai orang-orang yang hampa isi, jangan kejam pada kami

Ada seorang ‘arif berkata, “Penyebab manusia merasakan getaran jiwa saat mendengar suara yang indah adalah keterkenangan ruh pada kelezatan pesan yang diterimanya di masa perjanjian primordial, saat diseru: Bukankah Aku ini Tuhanmu. Yakni ketika ruh keluar dari tulang rusuk Adam dan menerima khitab itu. Bila ruh teringat akan hal itu, ia merindu.” 

Al-Imam Syaikhul-lslam al-‘Izz ibn ‘Abdussalam berkata,

dalam kondisi ekstase, bila benar, sungguh tiada dosa

tiada pula kecenderungan akan membahayakan, bila sungguh murni

bunyi itu sungguh bening, namun cahaya beningnya

tertutup nan terhijab bagi orang yang berhati keras 

ia adalah cahaya bagi orang yang berhati lapang oleh cahaya

namun ia api bagi yang berdada sesak oleh waswas

ia menerbangkan ruh-ruh dari sangkar

dengan tajam ia mengingatkanmu pada janji terdahulu

walau janji telah lama, si perindu tak seperti si pelupa

bukan cela bila baginya didendangkan nyanyian

ia merintih sedih, bukan karena takut pada manusia 

Sayyidi ‘Abdul Ghani an-Nabilsi r.a. Berkata,

Gelas tauhid bagi orang yang meminumnya

mengalirkan ilmu dan pengetahuan 

Jadilah orang bemata hati 

jangan mencela si pemabuk yang teler minuman takwa

sebab engkau akan menjadi tercela

Dia minum al-gharb bergelas matahari, lalu bangun malam [*]

dia mabuk, kemudian memuntahkan banyak bintang

[*] Al-gharb, vitalitas atau kesigapan. 

Al-Junaid berkata, “Saat kondisi penyimakan, bagi murid diperkenankan melepaskan atau menahan kondisi mabuk rindunya. Itu pun bila dia menghendaki.” 

Salah satu tanda kemabukan yang benar adalah tambahan kekuataan yang muncul saat sama’ (penyimakan), sehingga kekuatannya menjadi lebih besar daripada saat dia dalam kondisi sadar. Misalnya, menjadi mampu memikul batu besar atau mencabut pohon besar dari akarnya, atau sejenisnya. Dulu, asy-Syaikh ‘Abdul Hama’il r.a. dapat memikul drum penampung air berisi penuh di usianya yang sudah renta, sekitar seratus tahun. Saat sama’, dia mampu memutar drum itu ke atas dengan sebelah tangannya, padahal bila dalam kondisi sadar, mengangkat kendi air tempatnya berwudhu pun dia tak mampu.[]

44. Bab XII – Khalwat

Seseorang tidak akan sampai kepada pengetahuan tentang hal-hal prinsip (ushul) dan pencerahan hati untuk dapat musyahadah dengan Sang Kekasih tanpa melalui khalwat, khususnya bagi orang yang hendak membimbing hamba-hamba Allah kepada tujuan. Nabi saw. dulu berkhalwat di Gua Hira hingga datang perintah untuk berdakwah, sebagaimana dijelaskan dalam Shahih al-Bukhari.

Lama khalwat minimal tiga hari tiga malam. Tahap berikutnya adalah tujuh hari tujuh malam, kemudian sebulan. Ini sesuai dengan Nabi saw. Dan yang paling sempurna bagi orang yang menghendaki pembiasaan perilaku spiritual (sair) dan penempuhan jalan ruhani (suluk) ialah empat puluh hari, diambil dari jumlah total hari-hari tersebut, Yakni 3+7+30=40. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mengikhlaskan empat puluh subuhnya karena Allah, maka sumber-sumber hikmah akan memancar dari hatinya dan muncul melalui lisannya [diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam az-Zuhd. Diriwayatkan pula oleh Ibn ‘Adi]. Jadi sungguh keliru orang yang beranggapan bahwa khalwat itu hal baru yang diada-adakan (biďah) dan tidak ada dasar yang jelas dalam hukum syara’.

Bagi orang yang hendak melakukan khalwat diharuskan memenuhi dua puluh syarat, yaitu: 

  1. Berniat tulus ikhlas, yaitu dengan cara memutuskan segala materi riya’ dan sum’ah, lahir batin.
  2. Meminta izin dan doa dari syaikh. Janganlah berkhalwat tanpa seizin Syaikh selama masih berada dalam masa pendidikan.
  3. Sebelum memulai khalwat, si murid harus terlebih dahulu melakukan ‘uzlah (pengasingan diri), membiasakan diri berjaga (tidak tidur), melatih diri dalam lapar dan berzikir. Sehingga jiwanya terbiasa dengan hal-hal tersebut sebelum memasuki khalwat.
  4. Memasuki tempat khalwat dengan kaki kanan sambil meminta perlindungan kepada Allah dari godaan-godaan setan (dengan cara membaca ta’awwudz) dan membaca basmallah. Lalu membaca Surah an-Nas sebanyak tiga kali. Kemudian melangkahkan kaki kiri sambil berucap: Allahumma waliyyi fid-dunya wal-akhirah kun li kama kunta lisayyidina muhammadin shallallah ‘alaihi wa sallam warzuqni mahabbataka, allahummarzuqni hubbaka wasyghilni bi jamalika waj’alni minalmukhlishin, allahummamhu nafsi bi hadzbati dzatika ya anis man la anisa lahu. Rabbi la tadzarni fardan wa anta khairul-waritsin. [Artinya: Ya Allah penolongku di dunia dan akhirat. Jadilah Engkau bagiku sebagaimana Engkau bagi Nabi Muhammad saw. dan beri aku rezeki kecintaan kepada-Mu. Ya Allah beri aku rezeki cinta-Mu dan sibukkanlah aku dengan keindahan-Mu. Jadikanlah aku bagian dari mereka yang berpredikat ikhlash. Ya Allah, hapuskanlah jiwaku dengan keterpikatan-keterpikatan kepada Dzat-Mu, Wahai Dzat Yang Mahalembut nan Pengasih. Ya Rabb, jangan telantarkan aku sendirian, Engkau sungguh pemberi warisan terbaik.]. Setelah itu dia berdiri di mushalla dan membaca doa berikut sebanyak dua puluh satu kali: inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas-samawati wal ardhi hanifan wa ma ana minal-musyrikin. [Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku dengan lurus kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi, sedang aku tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan.]. Setelah itu kemudian shalat dua rakaat. Pada rakaat pertama membaca al-Fatihah dan ayat al-kursi. Pada rakaat kedua dibaca al-Fatihah dan dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, yaitu ayat 285-286. Setelah membaca salam, bacalah Ya Fattah sebanyak 500 kali. Kemudian sibuklah dengan zikir yang diajarkan oleh syaikh.
  5. Terus-menerus dalam keadaan suci dari hadats (bila batal segera wudhu).
  6. Tidak mengaitkan perhatian dan semangatnya pada karamah.
  7. Tidak menyandarkan tubuh ke dinding.
  8. Terus menerus membayangkan kehadiran syaikh di hadapannya.
  9. Berpuasa selama khalwat.
  10. Diam, tidak berkata-kata selain dengan zikir kepada Allah (zikrullah) Sebab, berkata-kata selain dengan zikir selama khalwat bisa menyianyiakan khalwat dan melenyapkan cahaya hati.
  11. Selalu waspada terhadap musuh yang empat, yaitu setan, dunia, keinginan (hawa) dan nafsu, dengan cara melaporkan segala hal spiritual yang dilihatnya kepada syaikh.
  12. Menjauhi suara-suara yang indah.
  13. Menjaga shalat Jumat dan shalat berjama’ah, karena tujuan terbesar dari khalwat adalah mengikuti Nabi saw.
  14. Bila dia terpaksa harus keluar dari tempat khalwatnya, dia harus menundukkan kepalanya ke arah lutut dan mengarahkan pandangannya ke tanah.
  15.  Tidak tidur kecuali karena tersaput kantuk yang tak tertahankan, itu pun harus dalam keadaan suci dari hadats. Jangan tidur dengan tujuan mengistirahkan badan. Bahkan jika mampu, hendaklah tidak membaringkan tubuh di lantai. Kalaupun terpaksa tidur, tidurlah sambil duduk.
  16. Menjaga kondisi pertengahan antara kenyang dan lapar.
  17. Tidak membukakan pintu kepada orang yang ingin meminta berkah padanya. Dia hanya boleh membukakan pintu bagi syaikhnya.
  18.  Memandang bahwa setiap nikmat yang diperolehnya itu berasal dari syaikhnya, dan syaikhnya menerimanya dari Nabi Muhammad saw.
  19. Menghilangkan berbagai bisikan hati, entah bisikan yang baik maupun yang buruk, karena bisikan-bisikan itu akan memecah belah hati dari keutuhan yang telah diraih melalui dzikir.
  20. Senantiasa berzikir dengan cara-cara yang diperintahkan oleh gurunya sampai saat sang syaikh menyuruhnya keluar dari tempat khalwat.[]

45. Bab XIII – Bersaudara dalam Ikatan Allah Ta’ala

Wahai saudaraku, semoga Allah memberi kami dan kalian taufik untuk menjalankan berbagai kebaikan dan melenyapkan segala kelalaian dari dalam hati kita. Saling mencintai dalam ikatan Allah dan persaudaraan dalam agama-Nya merupakan salah satu kekerabatan yang paling utama. Oleh karena itu, setiap muslim yang benar-benar bertauhid harus saling menyatukan hati dalam cinta dan menyamakan kata untuk meninggikan kalimat Allah. Juga harus menghimpun diri dalam kelompok (berjamaah) untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. 

Ada beberapa ayat Alqur’an dan juga banyak hadis Nabi saw. yang memerintahkan kaum muslimin agar saling mencintai dan bersaudara dalam ikatan agama Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bemusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” [QS. ali-Imran 3:103]. Di dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu ‘min, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS. al-Anfal 8:62-63].

Rasulullah saw. bersabda, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana telah diperintahkan pada kalian.” [Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dan yang lainnya.]

Rasulullah saw. bersabda, “Yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla di antara kalian adalah orang-orang yang menyatukan hati dan orang-orang yang hatinya mau disatukan. Sedang orang yang paling dimurkai Allah ‘Azza wa Jalla di antara kalian adalah orang-orang yang berupaya mengadu domba dan memecah belah antara saudara.” [Diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Awsath dan aslı-Shaghir.]

Rasulullah saw. bersabda, “Perbanyaklah saudara, karena di akhirat nanti setiap orang mukmin akan memiliki syafa’at.” (HR. Ibn an-Nazzar) 

Di dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, engkau akan mendapatkan apa yang kau niatkan. Kamu juga akan bertanggung jawab atas apa yang telah kamu usahakan. Dan engkau akan bersama-sama dengan orang yang kau cintai.”

Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin itu mencintai dan dicintai. Karena itu tiada kebaikan pada orang yang tidak dicintai dan tidak mencintai.” [Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan al-Hakim. Diriwayatkan pula oleh perawi lainnya.]

Abdullah ibn ‘Umar mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mencintai seseorang karena Allah, lalu dia berkata, ‘Aku mencintaimu karena Allah,’ maka keduanya akan masuk surga. Dan di antara kedua orang itu yang cintanya lebih besar itulah yang derajatnya lebih tinggi, dan dia lebih berhak untuk lebih dicintai Allah.” [Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan isnad hasan.]

Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang bila ada pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manis iman. Yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada yang lain; mencintai seseorang hanya karena Allah Ta’ala; dia tidak mau kembali kepada kekufuran sebagaimana dia tidak mau dilemparkan ke dalam neraka.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya.

Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku telah memastikan cinta-Ku bagi orang-orang yang saling mencintai, saling berkawan, saling mengunjungi dan saling berkorban dalam ikatan-Ku.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan malaikat yang setengahnya dari api dan setengahnya lagi dari salju. Dan malaikat itu berdoa, ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menyatukan antara salju dan api (dalam penciptaan-Ku), satukanlah hati hamba-hamba-Mu yang salih dalam ketaatan kepada-Mu.” [Diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam Musnad-nya, oleh Abu asy-Syaikh dan Ibn Hibban di dalam Kitab al-‘Udhmah.]

Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang menjalin satu ikatan persaudaraan dalam Allah melainkan Allah akan menjadikan baginya satu tingkatan di surga.” (HR. Ibn Abi ad-Dunya dan ad-Dailami)

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kelak seseorang yang berada di surga akan berkata, ‘Apa yang diperbuat si fulan, sahabatku,’ sementara sahabatnya itu berada di neraka Jahim. Lalu Allah Ta’ala berfirman, ‘Keluarkanlah si fulan untuk menjadi temannya di surga.’ si fulan berkata, ‘Siapa yang masih tersisa? Padahal kami tidak lagi mempunyai siapa pun yang akan memberi syafa’at, tiada pula teman karib.” (HR. ad-Dailami)

Al-Imam ‘Ali k.w. menuturkan, “Kalian harus bersaudara, karena saudara merupakan bekal hidup di dunia dan akhirat.” Abu as-Su’ud berkata, “Barangsiapa ingin diberi derajat teratas, maka bersahabatlah dalam ikatan Allah.” 

Anas ibn Malik r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba yang pada Hari Kiamat nanti akan diberi mimbar. Di atas mimbar-mimbar itu mereka duduk. Mereka adalah orang-orang yang pakaiannya adalah cahaya dan wajahnya pun bercahaya. Mereka bukan dari kalangan para nabi, bukan pula dari kalangan orang-orang yang mati syahid. Bahkan mereka membuat iri para nabi dan syuhada.’ Para sahabat bertanya, ‘Siapakah mereka, ya Rasulullah?’ Rasululluah saw. menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai, saling mengunjungi dan duduk bersama dalam ikatan Allah.”‘ [Diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Ausath.] 

Abu Hurairah r.a. mengatakan Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luar. Kamar-kamar tersebut disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang saling mencintai, saling mengunjungi dan saling berkorban dalam ikatan-Nya.” (HR. ath-Thabrani)

Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang yang saling mencintai dalam ikatan Allah berada di atas tiang-tiang penyangga yang terbuat dari yaqut merah, dan di puncak tiang-tiang penyangga itu ada tujuh puluh ribu kamar. Mereka dimuliakan dari penghuni surga lainnya. Ketampanan mereka menyinari penghuni surga seperti matahari menyinari bumi. Para penghuni surga berkata, ‘Mari kita pergi melihat orang-orang yang saling mencinta dalam ikatan Allah.’ Ketampanan mereka menyinari penghuni surga seperti matahari yang bersinar terang. Mereka mengenakan pakaian dari tenunan sutera hijau, dan pada jubah mereka tertulis: “Orang-orang yang saling mencinta dalam ikatan Allah.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hakim dan at-Tirmidzi di dalam an-Nawadir.]

Ath-Thabrani mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang yang saling mencinta dalam ikatan Allah berada di kursi-kursi yang terbuat dari yaqut di sekeliling ‘Arsy.”

Al-Hakim meriwayatkan hadis marfu’ bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiadalah dua orang yang saling mencintai dalam ikatan Allah lebih mulia salah satunya dari yang lain selain karena kadar cintanya yang lebih besar.”

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Mu’adz ibn Jabal secara marfu’ bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dua orang saling mencinta dalam ikatan Allah Ta’ala melainkan Dia akan akan menyediakan kursi bagi keduanya, lalu Dia mendudukkan mereka di kursi itu hingga Allah selesai melakukan hisab.”

Rasulullah saw. bersabda bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Cinta-Ku sungguh diperuntukkan bagi orang-orang yang saling mencinta karena Aku, juga bagi orang-orang yang saling menyambung tali silaturahim dan orang-orang yang saling berkorban dalam ikatan-Ku. Orang-orang yang saling mencintai itu berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya hingga membuat iri para nabi, shiddiqun dan para syuhada’.” [Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad dan al-Hakim, dan mereka men-shahihkan-nya. Diriwayatkan pula oleh selain mereka dengan derajat marfu’.]. Di dalam riwayat lain ada tambahan, “…dan cinta-Ku sudah tentu bagi orang-orang yang duduk bersama dalam ikatan-Ku, cintaku sudah tentu bagi orang-orang yang saling bersua dalam ikatan-Ku.”

Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian tahu mana iman murni yang paling kokoh?” Ada sahabat yang menjawab, “Shalat.” Lalu Rasulullah bersabda, “Shalat adalah kebaikan. Bukan itu.” Lalu ada yang menjawab lagi, “Puasa.” Rasulullah bersabda lagi seperti tadi, sampai ada yang mengungkapkan jawaban, “Jihad,” dan Rasulullah pun masih memberikan jawaban yang sama. Akhirnya beliau bersabda, “Iman murni yang paling kokoh adalah mencinta dan marah karena Allah Ta’ala.” Di dalam riwayat lain beliau bersabda, “Iman murni yang paling kokoh adalah melayani karena Allah, mengasihi dan mencintai karena Allah dan marah karena Allah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, ath-Thayalisi dan ath-Thabrani) 

Orang yang bersaudara hendaknya memelihara berbagai etika persaudaraan. Di sini kami akan menuturkan beberapa hal tentangnya. Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang tidak dikatakan beriman sempurna hingga dia menyukai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana sesuatu itu dia sukai untuk dirinya sendiri.” [HR. al-Bukhari dan Muslim.]. Yang dimaksud sesuatu di sini adalah hal-hal yang berupa amal-amal ketaatan dan hal-hal duniawi yang diperbolehkan, entah yang tampak berupa harta benda, maupun hal-hal yang bersifat maknawi seperti ilmu. Dengan demikian, dia dan saudaranya itu menjadi seperti satu tubuh, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw., “Kaum mukmin laksana satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, seluruh anggota tubuhnya akan merasa demam dan tidak bisa tidur.” [HR. Muslim dan al-Imam Ahmad.]

Ada seorang ‘arif yang berkata tentang etika persaudaraan, “Bila seorang sahabat meninggal, maka sahabat yang ditinggalkannya itu berarti kehilangan satu anggota tubuh. Seluruh malapetaka selain berpisah dengan saudara adalah ringan, seperti diungkapkan dalam sebuah syairnya, ‘Kudapati semua petaka zaman seringan kayu bakar kecuali berpisah dengan saudara.”’

Seorang ‘arif yang lain berkata, “Aku mengerti perasaan orang-orang yang sejak tiga puluh tahun lalu berpisah denganku. Aku tak dapat membayangkan kesedihan mereka.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling hasud, saling menyalakan permusuhan, saling memurkai, saling membelakangi, dan menjual dagangan dengan merusak dagangan orang lain. Dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)

Janganlah kalian saling hasud, saling menyalakan permusuhan, yakni dengan menaikkan harga dagangan dari harga umum karena menginginkan harga itu baik bagi dagangannya. Seandainya hal tersebut ditujukan untuk mempermainkan harga, maka berdasarkan kesepakatan ulama, hal tersebut termasuk perbuatan terlarang.

Jangan saling memurkai, yakni jangan saling memarahi dengan mencari-cari sebab yang dapat menimbulkan kebencian, seperti mencela, menolak pemberian, atau tidak mengucapkan salam.

Jangan saling membelakangi. Yang dimaksud membelakangi adalah keberpalingan yang dapat menyebabkan keterputusan hubungan dan menimbulkan permusuhan. Antara lain berpaling dari kewajiban dirinya sebagai saudara sesama muslim, seperti enggan memberi pertolongan dan bantuan, serta enggan berbicara lebih dari tiga hari, kecuali karena alasan yang dibenarkan syara’.

Jangan menjual dagangan dengan merusak dagangan orang lain. Misalnya dengan berkata kepada pembeli yang sedang bertransaksi dengan pedagang lain, “Batalkanlah pembelian ini, aku akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih murah, atau barang yang lebih baik dengan harga yang sama atau lebih murah.”

Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Usahakanlah sesuatu yang bisa membuat kalian saling bersaudara, antara lain melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengikat hubungan dan menjauhi hal-hal yang merusaknya, seperti bermuka manis, bersalaman, menengok orang sakit, dan lain-lain. 

Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Karena itu dia tidak menganiayanya, tidak menelantarkannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinakannya. Takwa tempatnya di sini (Rasulullah menunjuk dadanya tiga kali). Seseorang dianggap berbuat jahat bila dia menghinakan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya atas sesama muslim, demikian pula harta dan harga dirinya.” (HR. Muslim).

Seorang muslim tidak boleh menganiaya muslim lainnya, yakni tidak menimpakan bahaya kepadanya, entah dalam jiwanya, agamanya, kehormatannya ataupun hartanya. Tidak pula dia menelantarkannya dengan tidak menolongnya dalam kebenaranan. Karena salah satu hak islam adalah saling menolong dan saling membantu di dalam kebenaran. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” [QS. al-Ma’idah 5:2]. Rasulullah saw. juga bersabda, “Bantulah saudaramu sesama muslim, yang zalim maupun yang teraniaya.” Menolong muslim yang zalim adalah dengan menghindarkannya dari perbuatan zalim. Sedangkan menolong muslim yang teraniaya adalah dengan menyingkirkan si zalim dari dirinya.

Seseorang dianggap berbuat jahat bila dia menghinakan saudaranya sesama muslim. Ini merupakan peringatan keras. Sungguh, Allah Ta’ala telah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum menghinakan kaum lainnya…” Yakni, jangan sampai engkau menghinakan orang lain, karena bisa jadi orang yang kau hinakan itu dalam pandangan Allah Ta’ala lebih mulia daripada dirimu. Atau barangkali kemudian dia menjadi mulia dan terhormat sementara engkau menjadi hina, lalu dia menuntut balas padamu.

Di dalam hadisnya yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa melegakan nafas orang mukmin dari kesempitan dunia, maka Allah akan melegakan nafasnya dari kesulitan Hari Kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang sedang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan membuat gampang jalan ke surga untuknya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid guna membaca Kitabullah dan saling memberikan pelajaran di antara mereka, melainkan mereka akan dituruni ketenteraman, diliputi rahmat, dikelilingi malaikat, dan Allah menyebut-nyebut mereka di sisi-Nya.” (HR. Muslim) []

46. Bab XIV – Mengenal Nasab dan Silsilah Guru sampai ke Rasulullah SAW.

Para murid tarekat semestinya mengenal garis keturunan (nasab) guru mereka dan semua pemangku mata rantai kemursyidan dari sang guru sampai ke Rasulullah saw. Sebab apabila sang murid hendak mencari bantuan dari spirit mereka, dan dan hubungan si murid dengan mereka itu benar, dia akan mendapatkan bantuan yang dicarinya itu dari spirit mereka. Sedangkan orang yang silsilahnya tidak sampai ke hadirat nabawi, pancaran emanasinya akan terputus dan tidak bisa menjadi pewaris dari Rasulullah saw. Dan karenanya dia tidak sah mengambil bai’at dan memberi ijazah.

Saya pribadi—al-faqir yang selalu mengharap curahan rahmat Allah Yang Mahakuasa—Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili, telah mendapat kehormatan dengan mengambil janji setia dan menerima ijazah dengan tawajjuh—kemudian melakukan pembimbingan dan penuntunan zikir setelah bertahun-tahun menempuh suluk di dalam Thariqah Naqsyabandiyah—dari [mata rantai ijazah ditutur berurut dari penulis sampai ke Rasulullah saw.]:

  1. Al-quthb al-arsyad wal-ghauts al-amjad syaikhuna asy-Syaikh ‘Umar q.s. 
  2. Sirajul-millah wad-din asy-Syaikh ‘Utsman r.a. [Ayahanda asy-Syaikh ‘Umar q.s.]
  3. Dhiya’uddin Maulana asy-Syaikh Khalid al-Utsmani q.s [Beliau masih anak turunan amirul-mu’minin Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan r.a]
  4. Al-‘arif billah asy-Syaikh ‘Abdullah ad-Dahlawi al-‘Alawi r.a [Beliau masih anak turunan amirul-mu’minin Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a]
  5. Al-‘arif billah asy-Syaikh Syamsuddin Habibullah Jan Janan Muzhhar al-‘Alawi q.s.
  6. Al-‘arif billah asy-Syaikh asy-Syarif Nur Muhammad al-Badwani q.s
  7. Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad Saifuddin q.s.
  8. Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad Ma’shum q.s. [Ayahanda asy-Syaikh Muhammad Saifuddin q.s.]
  9. Al-imam ar-rabbani asy-syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi q.s. [Ayahanda asy-Syaikh Mulrammad Ma’shum q.s. Beliau masih anak turunan amirulmu ‘minin khalifatur-rasul Sayyidina ‘Umar al-Faruq r.a.]
  10.  Al-‘arif billah asy-syaikh muayyiduddin Muhammad al-Baqi Billah q.s.
  11. Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad al-Khawajiki al-Amakani as-Samarqandi q.s. [Ayahanda asy-Syaikh Muhammad al-Khawajiki q.s.]
  12. Al-‘arif billah asy-Syaikh Darwis Muhammad as-Samarqandi q.s.
  13.  Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad az-Zahid q.s. [Beliau adalah paman asy-Syaikh Darwis Muhammad as-Samarqandi q.s]
  14. Al-‘arif billah asy-Syaikh Nashiruddin ‘Ubaidillah al-Ahrar as-Samarqandi ibn Mahmud ibn Syihabuddin q.s.
  15.  Al-‘arif billah asy-Syaikh Ya’qub aj-Jarkhi q.s.
  16. Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad ‘Ala’uddin al-‘Aththar al-Bukhari al-Khawarizmi q.s.
  17. Al-‘arif billah imamuth-thariqah wa ghautsul-khaliqah as-Sayyid Baha’uddin Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syarif al-Husaini al-Hasni al-Uwaisi al-Bukhari q.s. [Beliau dikenal sebagai Syah Naqsabandi, Guru Besar Sang Pemuka Tarekat Naqsabandi]
  18. Al-‘arif billah asy-Syaikh as-Sayyid Amir Kalal ibn as-Sayyid Hamzah q.s.
  19.  Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad Baba as-Simasi q.s.
  20.  Al- ‘arif billah asy-Syaikh ‘Ali ar-Ramitani q.s. (terkenal dengan sebutan al—’Uzaizan)
  21.  Al-‘arif billah asy-Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi q.s
  22.  Al-‘arif billah asy-Syaikh ‘arif ar-Rayukari q.s.
  23.  Al-‘arif billah asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghajdawani ibn al-Imam ‘Abdul Jamil q.s. [Beliau masih anak turunan Imam-Daril-Hijrah Malik ibn Annas r.a.] 
  24.  Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu Ya’qub Yusuf al-Hamdani ibn Ayyub ibn Yusuf ibn al-Husain q.s.
  25.  Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu ‘Ali al-Fadhl ibn Muhammad ath-Thusi al-Faramidi q.s. 
  26.  Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abu Ja’far al-Khirqani q.s.
  27. Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu Yazid Thaifur ibn ‘Isa ibn adam ibn Sarwasyan al-Bisthami q.s.
  28.  Al-‘arif billah al-Imam Ja’far ash-Shadiq r.a., cucu al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.
  29.  Al-‘arif billah Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr ash-Shiddiq r.a
  30.  Sahabat yang agung, Salman al-Farisi r.a.
  31.  Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq al-Akbar r.a.
  32.  Rasulullah Muhammad saw.

Faedah

Ayahku yang agung [Asy-syaikh Fathullah Jadah, ayahanda asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi] telah menuliskan sejumlah hal yang baik tentang para syaikh pemangku silsilah ini, tentang perjalanan dan sejarah hidup mereka, serta beberapa ucapan hikmah mereka yang sungguh indah di dalam kitab yang dia namai al-Mawahib as-Sarmadiyyah fi Manaqibi as-Sadah an-Naqsabaniyyah. Ketika aku mengkaji kitab ini, aku berpikir untuk menerbitkannya kembali. Lalu aku menelaah kitab-kitab lain yang memuat berbagai uraian tambahan dan aku menyertakannya pada kitab ayahku. Pada beberapa bagian kitab ayahku, aku juga melihat beberapa hal yang dirasa tidak perlu karena sudah ada uraiannya pada kitab-kitab lain, karena itu aku menghapusnya. Kemudian aku sertakan pula biografi ayahku yang ditulis oleh Maulana asy-Syaikh Salamah al-Azami r.a. yang wafat pada tanggal 12 Muharam tahun 1376 H. Aku menamai kitab tersebut Khulashah al-Mawahib (Ringkasan Kitab al-Mawahib). Kami persilahkan Anda menelaahnya.

Thariqah Naqsyabandiyah

Ketahuilah bahwa Thariqah Naqsyabandiyah merupakan thariqah yang paling dekat dan paling mudah bagi murid untuk mencapai derajat tauhid, meskipun kemampuan penerimaan si murid kurang baik dan tidak memiliki kesiapan yang sempurna untuk meraih derajat tinggi itu. Syaikh yang menjadi guru di dalam thariqah ini akan berupaya melakukan pengaturan pada sang murid dengan menambahkan rasa cinta kepadanya. Karena thariqah ini berpondasi pada pengubahan perilaku (tasharruf) dan pemberian keterpikatan ruhani (jadzbah) yang lebih didahulukan daripada penempuhan jalan ruhani (suluk) dari seorang mursyid yang sudah masuk dalam kategori pewaris Nabi saw. dalam kondisi-kondisi ruhaninya yang khusus (al-ahwal al-khashshah). Dari ahwal yang khusus itu syaikh mursyid mampu memancarkan cahaya-cahaya ketuhanan ke hati para pencari Tuhan Yang Mahabenar (al-Haqq). Bagian terbesar para pengikut sempurna thariqah ini adalah pewarisan kondisi ruhani sang pembenar agung, Abu Bakr r.a. yang menjadi perantara ikatan silsilah ini. Di dalam thariqah ini, pemberian keterpikatan ruhani (jadzbah) lebih didahulukan daripada pemberian suluk, mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah—yakni bid’ah yang buruk yang tidak diridhai Allah Rasul-Nya—dengan pemantapan hati, menjauhi rukhshah, dan mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (takhalla) dan memenuhi diri dengan akhlak-akhlak yang baik dan terpuji (tahalla).

Yang dimaksud rukhshah di sini adalah sesuatu yang semestinya dijauhi oleh pencari Tuhan Yang Mahabenar, seperti terlalu berlebihan menikmati kesenangan-kesenangan yang diperbolehkan, tertawa lepas, senda gurau, tenggelam dalam kelalaian dan terus menerus dalam kondisi kenyang. Bukan hukum-hukum yang disebutkan oleh para ahli fiqih sebagai kemudahan syariat bagi manusia, seperti mengusap sepatu dan tayammum pada saat sakit, serta shalat qasar dan berbuka puasa pada saat berada dalam perjalanan. Sebab, Allah senang engkau mengambil keringanan yang telah diberikan-Nya untukmu sebagaimana dia senang engkau mengambil kemantapan yang telah ditetapkannya untukmu, sebagaimana telah ditegaskan di dalam sabda Rasulullah saw. Perhatikanlah perbedaan tersebut, agar engkau tidak terjerumus dalam kekeliruan.

Di dalam thariqah ini keterpikatan lebih didahulukan daripada penempuhan jalan ruhani. Dan orang yang terpikat lalu menempuh jalan ruhani (al-majdzub as-salik) lebih tinggi derajatnya daripada penempuh jalan ruhani yang kemudian mengalami keterpikatan (as-salik al-majdzub)  Keduanya sama-sama mengalami pelintasan jenjang-jenjang spiritual. Namun al-majdzub as-salik memiliki kelebihan, karena dia menyaksikan segala sesuatu dengan Allah. Dan ini tentu lebih tinggi daripada orang yang penyaksian segala sesuau karena Allah (as-salik al-majdzub). Selain itu, as-salik al-majdzub hanya akan berujung pada fana’ (lenyap dalam Allah), sedangkan al-majdzub as-salik akan berujung pada baqa (lestari bersama Allah) dan sadar setelah fana’ (ash-shahwu ba’dal fana’). Dari sini diketahui bahwa titik mula al-majdzub as-salik merupakan ujung perjalanan as-salik al-majdzub. Orang yang mengenakan kondisi ruhani ini (majdzub) tentu akan lebih cepat sampai kepada Allah daripada orang yang mengenakan suluk.

Thariqah ini berbeda dengan thariqah-thariqah lain. Karena di dalam thariqah lain, untuk tahap permulaan si murid akan memasuki pengkhidmatan dan pelatihan-pelatihan yang berat untuk mengendalikan hawa nafsu dan memperoleh penyucian jiwa (tazkiyah). Karena bagi mereka, tazkiyah lebih didahulukan daripada tashfiyah (pembeningan).

Para tokoh terkemuka Thariqah Naqsyabandiyah berkata, “Setelah seorang murid diarahkan pada tashfiyah dan menghadapkan diri kepada al-Haqq dengan penuh kesungguhan, maka dengan bantuan tarikan spiritual dari tarikan-tarikan Allah Yang Mahakasih, dalam waktu yang singkat dia akan memperoleh tazkiyah yang bahkan tidak bisa dicapai orang lain melalui latihan-latihan spiritual selama bertahun-tahun. Karena bagi mereka, keterpikatan ruhani lebih didahulukan daripada suluk, dan suluk mereka seperti lingkaran, tidak memanjang.”

Abu Manshur al-Maturidi r.a. menegaskan, “Panjang pendeknya thariqah ini tidak seperti jarak perjalanan yang harus ditempuh jiwa hingga bisa dilintasi dengan penempuhan langkah kaki sesuai kadar kekuatan jiwa. Thariqah ini merupakan jalan ruhani yang ditempuh oleh hati, maka pelintasannya adalah dengan pikiran-pikiran sesuai kadar keyakinan dan kemampuan mata hatinya. Sumbernya adalah cahaya samawi dan pandangan ilahi yang jatuh di hati hamba, lalu dengan cahaya itu dia melihat hakikat dunia dan akhirat. Seorang hamba mungkin mencarinya selama seratus tahun sambil berteriak-teriak minta tolong dan menangis, namun dia tidak menemukannya, tidak juga mendapatkan jejaknya. Ada pula yang berhasil mendapatkannya dalam waktu enam puluh tahun. Sebagian lagi ada yang mendapatkannya dalam waktu dua puluh tahun, ada yang dalam waktu sepuluh tahun, ada yang dalam waktu satu tahun, ada yang dalam waktu satu bulan, ada yang dalam waktu satu minggu, ada yang dalam waktu satu jam, dan ada pula yang mendapatkannya dalam tempo sekejap, sesuai kadar keyakinan.” 

Langkah pertama yang diterapkan oleh para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah adalah adz-dzikr al-qalbi (zikir hati) yang pada thariqah Iain merupakan tingkatan zikir kedua. Sebagian ulama yang sungguh ahli di dalam ilmu lahir dan batin, yang mengomentari al-Hikam Ibn ‘Atha’illah, berkata tentang kata-kata beliau: Janganlah engkau meninggalkan dzikir hanya karena ketidakhadiran bersama Allah Ta’ala di dalam dzikirmu itu, “Hakikat zikir adalah mengusir kelalaian, dan zikir itu memiliki beberapa tingkatan. Tingkat pertama adalah zikir lisan. Zikir lisan ini ada dalilnya dalam Alqur’an dan sunnah. Karena itu, wahai saudaraku, tekunilah zikir lisan hingga engkau bisa sampai dan mendapat kemuliaan zikir dengan hati. Zikir hati di dalam thariqah lain merupakan dzikir tingkatan kedua. Sedangkan bagi para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah, zikir hati merupakan langkah awal. Langkah pertama yang diterapkan para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah adalah zikir hati, namun hal ini hanya dikenal dari mereka. Karena itu, seorang salik tidak akan dapat teguh berada dalam maqam ini selain melalui mereka.” 

Asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi berkata, “Permulaan di dalam thariqah kami merupakan penghujung di thariqah-thariqah lain.”

Thariqah Naqsyabandiyah adalah thariqah para sahabat yang tetap kokoh berada pada pangkalnya tanpa ditambah dan dikurangi. Thanqah ini adalah formulasi ibadah lahir batin yang terus menerus. Semua orang bisa mengikutinya dan semua orang bisa mengambil manfaatnya, orang tua maupun anak-anak, yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karena itu, tujulah mereka serta ciumlah keharuman mereka. Mudah-mudahan engkau beruntung mendapati salah seorang di antara mereka, mendapatkan mutiara yang suci ini, dan bisa mencium wewangi thariqah yang belum pernah terbersit di hatimu, sehingga kekacau-balauan lenyap dari dirimu. Mereka adalah orang-orang yang bersih dari segala kotoran. Khalwat mereka berada dalam jalwat (keramaian), dan jalwat mereka berada dalam khalwat. Bagi mereka, semua perkumpulan menjadi zawiyah (ordo Sufi). Mereka hadir di majelis-majelis, sementara hati mereka hadir bersama Allah dan kosong dari selain Dia. Mereka sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah.” [QS. an-Nur 24:37]

Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyah bersenandung tentang makna ini:

Kujadikan Engkau berada dalam hati denganku berbincang

Sementara jasadku kuizinkan bagi siapa saja yang ingin duduk bersamaku

Jasadku jadi penghibur bagi orang yang duduk bersamaku

Sedangkan Kekasih hatiku dalam qalbu penghiburku

Abu Sa’id al-Kharraz r.a. berkata, “Orang yang sempurna bukanlah orang yang darinya lahir banyak jenis keramat. Akan tetapi, orang yang sempurna adalah orang yang duduk bersama orang-orang, jual-beli, menikah dan bergaul bersama mereka namun tidak sesaat pun dia lalai dari Allah.”

Dengan hatimu, jadilah engkau tenggelam dalam cinta Sang Kekasih

dan dengan tubuhmu yang tampak tampillah, dalam pakaian asing

Inilah jalan ruhani yang langka, sehingga ahlinya amat mulia

sebab mereka memperoleh tempat minum paling tawar

Bangunan Thariqah Naqsyabandiyah yang luhur ini didirikan di atas pengamalan sebelas kata bahasa Persia. Delapan kata didapat secara turun temurun dari Hadrat asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghajdawani. Yaitu: husy dardam, nazhar barqadam, safar dar wathan, khalwat dar anajuman, yad karad, baz kasyat, nakah dasyat, yad dasyat. Tiga berikutnya terambil secara turun temurun dari asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi. Yaitu: wuquf zamani, wuquf ‘adadi, dan wuquf qalbi. Di sini kami akan mengemukakan terjemahan dan penjelasannya agar saudara sekalian dapat mengamalkannya, insya’ Allah.

Husy dardam adalah menjaga nafas dari kelalaian, saat nafas keluar, saat masuk, dan saat di antara keluar dan masuk. Agar hatinya senantiasa hadir bersama Allah di dalam setiap nafas. Sebab setiap nafas yang masuk dan keluar disertai kehadiran Allah, dia hidup dan sampai kepada Allah. Sedangkan setiap nafas yang keluar dan masuk tanpa disertai kehadiran Allah (lalai), dia mati dan terputus dari Allah.

Nazhar barqadam, artinya seorang salik harus melihat ke arah kakinya saat berjalan. Begitu juga saat duduk, dia hanya diperbolehkan melihat apa yang ada di kedua tangannya. Sebab melihat berbagai macam benda dan warna dapat merusak kondisi ruhaninya dan mencegatnya dari tujuan yang sedang ditempuhnya. Karena pezikir tingkat pemula, bila pandangannya berhubungan dengan banyak perkara yang dilihatnya, hatinya akan sibuk dengan keterpecahan yang dihasilkan dari penglihatannya terhadap berbagai pemandangan itu, karena belum memiliki kemampuan untuk menjaga hati.

Safar dar wathan, artinya perpindahan dari sifat-sifat manusiawi yang jelek kepada sifat-sifat malakuti yang mulia. Seorang pesuluk harus menelisik dirinya: apakah di dalam hatinya masih tersisa kecintaan pada makhluk? Bila dia mengetahui masih ada tersisa sedikit saja kecintaan kepada makhluk, dia harus segera berjuang melenyapkannya.

Khalwat dar anajuman, artinya pengosongan hati dari makhluk (khalwat) di keramaian makhluk (jalwat). Yang dimaksud adalah hati si pesuluk harus selalu hadir bersama Allah al-Haqq di dalam segala keadaan. Dia gaib dari makhluk sementara dirinya berada di tengah-tengah mereka. Khalwat ada dua. Pertama, khalwat lahir, yaitu penyepian diri si pesuluk di sebuah rumah yang sunyi dari manusia. Kedua, khalwat batin, yaitu batin senantiasa berada dalam penyaksikan asrar Allah meskipun lahiriahnya berinteraksi dengan makhluk. 

Yad karad adalah mengulang-ulang zikir secara terus menerus, baik zikir dengan asma Dzat (lafazh Allah) maupun dengan kalimah tahlil (la ilaha illallah), sampai dia memperoleh kehadiran Dia Yang dizikirkannya.

Baz kasyat adalah kembali kepada munajat di dalam penafian dan penegasan—dengan kalimat mulia berikut: ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi [artinya: Ya Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan ridha-Mu buruanku.]—setelah pembebasan jiwanya. Munajat ini bisa menguatkan penafian dan penegasan, dan akan meresapkan inti tauhid hakiki ke dalam hati si pezikir hingga wujud seluruh makhluk sirna dari pandangannya.

Nakah dasyat adalah menjaga hati agar tidak sesaat pun dimasuki bisikan-bisikan haib. Karena hal ini merupakan masalah besar menurut para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah. Asy-Syaikh Abu Bakr al-Kattani r.a. berkata, “Aku telah menjaga pintu hatiku selama empat puluh tahun. Aku tidak membukanya selain untuk Allah Ta’ala, sampai hatiku tidak mengenal selain Allah Ta’ala.” Sebagian pemuka lainnya berkata, “Aku menjaga hatiku selama sepuluh malam, dan hatiku menjaga diriku selama dua puluh tahun.”

Yad dasyat adalah penghadapan murni—yang kosong dari berbagai lafazh zikir—kepada penyaksian cahaya-cahaya Dzat Ahadiyat. Namun sejatinya hal ini hanya bisa dilakukan secara istiqamah setelah mencapai fana’ yang sempurna dan baqa’ yang penuh.

Wuquf zamani adalah menilik kondisi diri setiap dua atau tiga jam sekali, untuk melihat apakah dalam dua atau tiga jam terakhir itu dirinya hadir bersama Allah atau tidak. Bila pesuluk mendapati kondisi dirinya hadir bersama Allah Ta’ala, maka bersyukurlah kepada-Nya atas taufik ini. Namun kalaupun demikian, dia harus tetap menganggap dirinya masih sangat kurang di dalam kehadirannya bersama Allah, lalu memulai kembali kehadiran yang lebih sempurna. Apabila ternyata dirinya lalai, segeralah beristighfar atas kelalaiannya, dan kembali pada kehadiran yang sempurna.

Wuquf ‘adadi adalah memelihara hitungan ganjil dalam zikir nafyi dan itsbat (la ilaha illallah). Misalnya hitungan tiga atau lima, sampai hitungan dua puluh satu.

Wuquf qalbi, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh ‘Ubaidillah Ahrar q.s., “…adalah istilah bagi kehadiran hati bersama al-Haqq Ta’ala hingga tak tersisa sesuatu pun untuk tujuan hati selain al-Haqq, dan hati tidak lalai dari makna lafazh zikir, sebab hal ini merupakan syarat zikir yang harus dipenuhi.” Asy-Syaikh ‘Ubaidillah juga berkata dalam menafsirkan wuquf qalbi, “…yaitu kenyataan si pezikir hadir hatinya saat berzikir, yaitu dia menghadap pada hatinya dan membuatnya sibuk dengan lafazh zikir dan maknanya serta tidak sampai meninggalkannya karena lupa zikir atau lalai dari maknanya.” Penulis ar-Rasyahat yang merupakan salah seorang murid asy-Syaikh ‘Ubaidillah Ahrar berkata, “Khawajah Baha’uddin tidak menjadikan menahan nafas dan memelihara bilangan sebagai suatu keharusan dalam berzikir. Namun beliau menjadikan wuquf qalbi sebagai hal penting dan menganggapnya sebagai suatu keharusan, karena intisari zikir yang menjadi tujuan dzikir adalah wuquf qalbi.”

Zikir Qalbi

Zikir dibagi menjadi dua, zikir qalbi dan zikir lisan. Masing-masing memiliki dalil dalam Alqur’an dan sunnah. Zikir lisan adalah zikir dengan lafazh yang tersusun dari suara dan huruf. Zikir lisan tidak mudah dilakukan setiap saat oleh si pezikir, karena jual beli dan kegiatan lain bisa menghalanginya dari zikir ini. Berbeda halnya dengan zikir qalbi. Zikir qalbi dilakukan dengan cara pengawasan hati terhadap Dia yang dinamai dengan lafazh zikir, Dia Yang sepi huruf dan suara. Karena itu, tidak ada hal yang bisa menghalangi si pezikir dari zikir qalbi.

Zikirlah kepada Allah dengan hati tersembunyi dari makhluk 

tanpa huruf dan bunyi suara

Sungguh, zikir ini merupakan zikir paling utama dari semua zikir

begitulah pendapat para tokoh suci

Karena alasan tersebut para pemuka kami di Thariqah Naqsyabandiyah memilih zikir hati. Selain itu, juga karena hati merupakan tempat memandang Allah Yang Maha Pengampun, tempat iman bersarang, kotak penyimpanan rahasia, tempat memancar segala cahaya. Bila hati baik, seluruh jasad bisa baik. Bila hati rusak, seluruh jasad bisa berperilaku busuk, sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw. Bahkan seseorang hanya akan menjadi mukmin jika hatinya yakin dan percaya pada Dia yang wajib diimaninya, demikian pula ibadah hanya akan sah bila dengan niat dalam hati.

Para ulama bersepakat bahwa perbuatan anggota badan tidak akan diterima tanpa disertai perbuatan hati. Sedangkan perbuatan hati bisa diterima meski tanpa tindakan anggota badan, walaupun perbuatan hati juga tidak akan diterima sebelum ada iman. Dan iman adalah pembenaran dengan hati. Allah Ta’ala berfirman, “Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka. [QS. al-Mujadilah 58:22]

Allah Ta’ala berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa.” [QS. al-Hujurat 49:3]

Allah Ta’ala berfirman, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam dirimu,” [QS. al-A’raf 7:205] yakni, di dalam hatimu, dengan dalil firman Allah Ta’ala, “Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” [QS. al-Mujadilah 58:8]

Allah Ta’ala juga berfirman, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” [QS. al-A’raf 7:55]

‘A’isyah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda. “Zikir yang ini (yakni, zikir yang tersembunyi) melebihi zikir yang itu (yakni, zikir yang terbuka) sebanyak tujuh puluh kali lipat. Nanti pada hari kiamat Allah menggiring seluruh makhluk ke tempat penghitungan amal, dan para malaikat pencatat memberikan apa yang mereka jaga dan mereka catat, Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah oleh kalian, apakah masih ada yang belum tercatat?’ lalu para malaikat itu menjawab, ‘Tidak ada yang tertinggal sedikit pun dari yang kami ketahui dan kami jaga. Seluruhnya benar-benar telah kami hitung dan kami catat.’ Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada hamba-Nya, ‘Sesungguhnya engkau masih menyimpan satu kebaikan pada-Ku, dan Aku akan memberimu balasannya, yaitu zikir tersembunyi.” (HR. al-Baihaqi)

Di dalam kitab Shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku seperti sangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya saat dia berzikir kepada-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya, Akupun mengingatnya dalam diri-Ku. Bila dia berzikir kepada-Ku di dalam perkumpulan, maka Aku akan menyebut-nyebutnya di dalam perkumpulan yang lebih baik dari perkumpulannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw. bersabda, “Zikir yang paling baik adalah yang tersembunyi. Sedangkan rezeki yang paling baik adalah yang mencukupi.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu ‘Awunah dan Ibn Hibban di dalam kitab shahih mereka, diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi.

Rasulullah saw. bersabda, “Zikir yang tidak didengar oleh malaikat Hafazhah nilainya lebih dari tujuh puluh kali lipat.” [HR. al-Baihaqi]

Selain keterangan di atas, masih banyak hadis yang menjelaskan keutamaan zikir qalbi atas zikir lisan.

Salah seorang ‘arif berkata, “Zikir hati adalah pedang para murid. Dengannya mereka memenggal musuh dan dengannya pula mereka menolak berbagai wabah yang akan menuju mereka. Sesungguhnya bila bencana akan masuk kepada seorang hamba, sementara sang hamba meminta tolong dengan hatinya kepada Allah Ta’ala, maka seketika itu pula Dia akan menghalangi segala sesuatu yang tidak dia sukai darinya.” 

Para ‘arif sufi juga berkata, “Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, Dia akan membukakan penutup hatinya dan menumbuhkan keyakinan di dalam hatinya.” 

Asy-Syaikh Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Apabila Allah menghendaki salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka untuknya Dia akan membukakan pintu zikirnya. Apabila sang hamba sudah menikmati zikir, maka Allah akan membukakan baginya pintu kedekatan. Lalu Dia akan menaikannya ke majelis keramahan, kemudian mendudukannya di kursi tauhid. Berikutnya Dia akan mengangkat hijab darinya, memasukkannya ke taman fardaniyah, menyingkapkan tirai keagungan (jalal) dan kebesaran (‘azhamah). Apabila pandangannya telah terantuk ada keagungan dan kebesaran-Nya, dia akan abadi tanpa dirinya. Pada saat itulah si hamba akan memasuki masa kesirnaan (fana’). Maka tibalah dia pada penjagaan-Nya dan terbebas dari pengakuan-pengakuan egonya.”

Khalid ibn Ma’dan berkata, “Setiap hamba memiliki dua mata kasar yang melihat masalah dunia. Dia juga memiliki dua mata hati yang melihat urusan akhirat. Apabila Allah menghendaki seorang hamba baik, Dia akan membukakan mata hatinya. Dengannya dia akan melihat apa yang Allah janjikan secara gaib. Apabila Allah menghendakinya tidak demikian, maka Dia akan membiarkannya sebagaimana adanya.”

Ahmad ibn Hadhrawaih berkata, “Hati itu adalah wadah. Bila ia penuh dengan kebenaran, maka luapan cahaya kebenaran akan muncul pada anggota badan. Bila ia penuh dengan kebatilan, luapan gulita kebatilannya pun akan muncul pada anggota badan.”

Dzun-Nun al-Mishri berkata, “Kelurusan hati sesaat lebih utama daripada ibadah semua manusia dan jin. Apabila malaikat tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar atau patung, maka bagaimana fakta-fakta kebenaran akan memasuki hati yang di dalamnya ada sifat-sifat selain Allah Ta’ala.” 

Al-‘arifal-kabir Abu al-Hasan asy-Syadzili berkata, “Secuil perbuatan hati setimbang dengan segunung perbuatan anggota badan.”

Tata Cara Berzikir Menurut Para Pemuka Naqsyabandiyah

Ketahuilah bahwa zikir qalbi terbagi dua. Pertama, dengan nama zat. Kedua, dengan penafian yang selain Allah dan penegasan Dzat Allah (an-nafyi wa al-itsbat). Nama Dzat adalah lafazh Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah.” [QS. Thaha 20:14]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Katakanlah: “Allah”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” [QS. al-An’am 6:91]. Dan Rasulullah saw. bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi selama di muka bumi ini masih ada orang yang berucap Allah, Allah.” (HR. Muslim)

Katakanlah Allah! lalu tinggalkanlah wujud dan apa yang dimilikinya

Bila dulu engkau terbalik hingga puncaknya

pada hakikatnya, segala sesuatu selain Allah itu tiada

rinci maupun umum

Ketahuilah bahwa engkau dan seluruh alam 

bila bukan karena-Nya, tentu lenyap terhapus 

siapa pun yang tiada wujud dengan sendirinya

tentu wujudnya berasal dari Dzat-Nya

bila bukan karena-Nya, adanya sungguh mustahil 

Orang-orang ‘arif sirna pada-Nya 

hingga mereka tak melihat sesuatu pun selain Dia 

Yang Mahabesar nan Mahatinggi

Mereka melihat segala selain Dia sungguh sirna binasa

Sekarang, dahulu kala dan juga di masa yang akan datang

Menurut para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah, adab berzikir ada 11, yaitu:

  1. Berzikir dalam keadaan suci dari hadats, dengan cara berwudhu setiap kali batal. Dengan alasan sabda Rasulullah saw., “Wudhu itu menutupi dosa-dosa.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya. Diriwayatkan pula oleh selain beliau.]
  2. Mengawalinya dengan shalat dua raka’at.
  3. Menghadap kiblat di tempat yang sunyi, dengan alasan sabda Nabi saw., “Majelis yang paling baik adalah yang menghadap kiblat.” [HR. ath-Thabrani]. Selain itu juga Rasulullah saw. bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu … dan seseorang yang berzikir kepada Allah dalam sunyi hingga air matanya mengalir.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
  4. Duduk tawarruk dalam posisi balik tawarruk shalat. Dengan alasan riwayat yang menyebutkan bahwa dahulu bila para sahabat duduk di hadapan Rasulullah saw., mereka duduk dengan cara seperti itu. Cara duduk seperti itu lebih dekat pada sikap tawadhu’ dan lebih efektif untuk menghimpun seluruh indera. 
  5. Memohon ampunan dari seluruh maksiat yang telah dilakukannya, dengan cara membayangkan seluruh kejelekan berada di hadapannya, disertai kesadaran bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihat dan mengawasinya. Kemudian setelah mengosongkan diri dari semua pikiran duniawi, dia menghadirkan keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, kedahsyatan pukulan dan kuasa paksa-Nya. Pada saat itulah dia akan memperoleh rasa malu di hadapan Allah, lalu akan memohon ampun kepada-Nya dengan kesadaran bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengampun. Memohon ampun dilakukan oleh lisan dengan berucap astaghfirullah lalu hati menyadari maknanya. Istighfar diucapkan sebanyak lima kali, atau lima belas kali, atau dua puluh lima kali. Jumlah yang terakhir ini yang paling sempurna, dengan alasan sabda Nabi saw., “Barangsiapa senantiasa istighfar, Allah akan memberinya jalan keluar dari segala kesempitan, akan memberinya solusi dari semua kebingungan, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak dia perhitungkan.” [HR. Ahmad dan al-Hakim]. Di dalam beberapa riwayat lain ada perkataan yang secara tegas menyebutkan jumlah bilangan istighfàr sebanyak dua puluh lima kali.
  1. Membaca Surah al-Fatihah satu kali dan Surah al-lkhlash sebanyak tiga kali untuk dihadiahkan kepada Rasulullah saw. dan kepada arwah semua Syaikh Thariqah Naqsyabandiyah. 
  2. Memejamkan kedua mata, merapatkan bibir atas dan bibir bawah, serta merapatkan lidah ke atap tenggorokan. Tujuannya agar dia memperoleh kekhusyukan yang sempurna dan memutus bisikan-bisikan jiwa yang pasti muncul dari pandangan mata.
  3. Berhubungan dengan kubur (rabithah al-qabri), yaitu pengawasan hati terhadap kematian. Caranya antara lain dengan membayangkan diri seolah-olah telah mati, dimandikan, dikafani, dishalati, dibawa ke kuburan, diletakkan dalam kubur dan ditinggalkan seluruh keluarga dan teman, seorang diri di dalam kubur. Pada saat itu engkau akan tahu bahwa tiada yang akan bermanfaat bagimu selain amal shalih. Cara ini dilakukan dengan alasan sabda Rasulullah saw., “Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang asing atau orang yang sedang dalam perjalanan. Anggaplah dirimu sebagai bagian dari penghuni kubur.” (HR. at-Tirmidzi)
  4. Pertalian dengan syaikh mursyid, yaitu penghadapan hati murid kepada hati syaikhnya. Lalu si murid memelihara citra sang mursyid di dalam imajinasinya walaupun sang mursyid tidak berada di hadapannya. Selain itu, dia harus menyadari bahwa hati syaikh bagaikan saluran air yang memancarkan pancaran ilahi dari samuderanya yang terhubung ke hati murid yang berasosiasi. Si murid juga hendaknya meminta berkah darinya karena dia adalah media untuk bisa sampai kepada Allah. Tentang hal ini ada banyak keterangan yang jelas dari Alqur’an dan hadis Nabi saw. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya…” [QS. al-Ma’idah 5:35] Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” [QS. at-Taubah 9:119]. Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang akan bersama-sama dengan orang yang dicintainya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Salah seorang ‘arif berkata, “Jadilah engkau bersama Allah. Jika tak mampu, hendaklah engkau bersama dia yang bersama Allah.” Kaum ‘arif juga berkata, “Fana’ di dalam syaikh merupakan pendahuluan bagi fana’ di dalam Allah.”

Jika pada saat penghadiran bayangan malah terjatuh pada kondisi mabuk atau hilang kesadaran, tinggalkanlah pelirikan bayangan, lalu menghadaplah pada kondisi tersebut. 

  1. Menghimpun seluruh indera badan dan memutuskan segala kesibukan dan bisikan jiwa darinya, lalu menghadapkan diri kepada Allah Ta’ala dengan seluruh idrak-nya (daya pemahaman), kemudian berucap tiga kali, “Ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi.” Setelah itu mulai menzikirkan nama Dzat dengan hati, dengan cara mengalirkan lafzhul-jalalah (Allah) di hatinya, disertai konsentrasi terhadap maknanya (yakni, Dzat tanpa misal), serta menyadari bahwa Allah Ta’ala Mahahadir, melihat dan meliputinya. Hal ini dilakukan berdasarkan sabda Nabi saw. dalam penjelasannya tentang ihsan, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, Dia sungguh melihatmu.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].  Di dalam hadis yang lain disebutkan, “Iman yang paling utama adalah engkau menyadari bahwa sesungguhnya Allah menyaksikanmu di manapun engkau berada.” [HR. ath-Thabrani]
  2. Sejenak menanti warid zikir manakala usai zikir, sebelum membuka kedua kelopak mata. Apabila tampak sesuatu yang gaib atau jadzbah (tarikan spiritual), maka berhati-hatilah agar tidak sampai memutuskannya. 

Catatan

Jika di saat berzikir itu si pelaku mendapat penampakan atau bisikan-bisikan gaib yang memecah kesatuan hatinya, hendaklah dia membuka kedua matanya. Dengan demikian penampakan itu akan lenyap. Bila dengan cara seperti itu tidak lenyap, ucapkanlah sebanyak tiga kali: Allahu nazhiri Allahu hadhiri. Jika penampakan itu masih juga belum lenyap, tinggalkanlah berzikir lalu fokuskan perhatian pada rupa guru mursyid. Bila masih tetap tidak hilang juga, ambillah wudhu, atau mandi, kemudian shalat dua raka’at, lalu beristighfar dan berdoa, “Ya kasyifa kulli karbin wa ya mujiba kulli da’watin wa ya jabara kulli kasirin wa ya muyassira kulli ‘asirin wa ya shahiba kulli gharibin wa ya muannisa kulli wahidin wa ya jami’a kulli syamlin wa ya muqalliba kulli qalbin wa ya muhawwila kulli hal la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin asa’aluka an taj’ala li farjan wa makhrajan wa an taqdzifa hubbaka fi qalbi hatta la yakunu li hammun wa la fi qalbi ‘ammun wa an tahfazhani wa tarhamani bi rahmatika ya arhamar-rahimin.”[*]. Dengan demikian semua penampakan dan bisikan gaib iłu akan menyingkir darinya, insya Allah Ta’ala.

[*]Wahai Penyingkap segala kesusahan, wahai Pengabul segala permohonan, wahai Perekat semua yang terpecah, wahai Pemberi kemudahan dari segala yang sulit, wahai Sahabat setiap yang terasing, wahai Pelipur semua yang sendiri, wahai Penghimpun segala yang tercerai-berai, wahai Yang membolak-balik setiap hati, wahai Pengubah segala keadaan, tiada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, aku sungguh termasuk orang yang zhalim. Aku memohon kepada-Mu agar Engkau menjadikan kegembiraan dan jalan keluar bagiku, agar Engkau melekatkan cinta-Mu di hatiku, sehingga tak ada lagi kebingungan dalam diriku, tidak pula kebutaan di hatiku. Dan kumohon Engkau menjagaku dan mengasihaniku dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih di antara semua yang pengasih.

Mengenal dan Mengolah Lathifah

Para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah telah memperkenalkan lathifah-lathifah manusia guna mempermudah penempuhan jalan ruhani bagi para pesuluk. Dengan lathifah-lathifah itu mereka menzikirkan lafzhul-jalalah (Allah) agar diperoleh tarikan spiritual tertentu yang bersifat dzati.

Lathifah yang pertama adalah al-qalb. Ia terletak sekitar dua jari di bawah payudara sebelah kiri dengan posisi condong ke sisi luar berbentuk sanubari. Ia berada di bawah telapak kaki[*] Adam a.s. Cahayanya berwarna kuning. Apabila cahaya lathifah ini telah keluar dari depan pundak dan melaju ke atas, atau padanya diperoleh getaran atau gerakan kuat, maka hendaknya ia menuntun lathifah ar-ruh.

[*] Yang dimaksud dengan al-qadam (telapak kaki) di sini adalah sunnah dan thariqah. Telapak kaki Adam berarti sunnah dan thariqah Adam.

Lathifah ruh terletak sekitar dua jari di bawah payudara sebelah kanan dengan posisi miring ke dada. Ia berada di bawah telapak kaki Nuh a.s. dan Ibrahim a.s. Cahayanya berwarna merah. Zikir berada dalam ruh, sedang wuquf berada dalam hati. Apabila padanya terjadi gerakan dan menyala, hendaklah ia menuntun lathifah as-sirr.

Lathifah as-sirr terletak sekitar dua jari di atas payudara sebelah kiri dengan posisi miring ke arah dada. Ia berada di bawah telapak kaki Musa a.s. Cahayanya berwarna putih. Zikir berada padanya, sedang wuquf berada dalam hati. Bila ia telah menyala, hendaklah ia menuntun lathifah al-khafi.

Lathifah al-khafi terletak sekitar dua jari di atas payudara sebelah kanan dengan posisi miring ke dada. Ia berada di bawah telapak kaki ‘Isa a.s. Cahayanya berwarna hitam. Bila menyala, hendaklah ia menuntun lathifah al-akhfa.

Lathifah al-akhfa terletak di tengah-tengah dada. Ia berada di bawah telapak kaki Nabi Muhammad saw. Cahayanya berwarna hijau. Karena itu, sibukkanlah dirimu untuk mengolahnya dengan zikir sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Barangsiapa berhasil mendaki sampai ke salah satu lathifah tersebut, dan nampak kepadanya formulasi serta kondisi ruhani sebagaimana di atas, berarti dia berada pada tempat minum Nabi yang di bawah telapak karena lathifah itu berada di bawah telapak kakinya.

Kemudian hendaklah ia menuntunkan an-nafyu wa al-itsbat, yakni kalimah: “la ilaha illallah.” Tata caranya sebagai berikut:

Si pezikir menempelkan lidahnya pada langit-langit tenggorokan. Lalu setelah mengambil nafas, tahanlah nafas itu di rongga mulut dan mulai mengambil kalimat ”la” dengan imajinasi la itu dia ambil dari bawah pusar dan membentangkannya di tengah-tengah lathifah al-akhfa sampai berhenti pada lathifah an-nafs an-nathiqah yang terletak di bagian dalam otak pertama yang dikenal sebagai selaput otak. 

Setelah itu, mulailah mengambil hamzah kalimat ilaha dari otak sambil membayangkannya turun hingga berhenti di bahu sebelah kanan, lalu mengalirkannya ke dalam lathifah ar-ruh. Tahap berikutnya adalah mulai mengambil hamzah kalimat illallah dari bahu dan membentangkannya secara menurun ke ambang tengah-tengah dada sampai berhenti di lathifah qalb. Lalu imajinasikanlah memukul bagian hitam di tengah-tengah hati dengan lafdzul-jalalah melalui kekuatan nafas yang tertahan sehingga pengaruh dan panasnya muncul di seluruh tubuh, sehingga panasnya menghanguskan seluruh bagian-bagian badan yang jelek dan menerangi bagian-bagian baik yang ada di dalamnya dengan cahaya keagungan Allah.

Selain itu, si pezikir juga harus selalu memperhatikan makna la ilaha illallah, yakni tiada yang disembah, tiada yang dituju dan tiada wujud selain Allah. Yang terdiri dari tiga makna. Makna yang pertama, yakni tiada yang disembah selain Allah, diperuntukan bagi pemula. Makna yang kedua, yakni tiada yang dituju selain Allah, adalah untuk kelas menengah. Sedangkan makna yang ketiga, yakni tiada maujud selain Allah, diperuntukan bagi kelompok akhir.

Ketika mengucapkan kalimat penafian, yakni la ilaha, si pezikir harus menafikan seluruh wujud makhluk dari pandangan mata dan nalar, serta memandangnya sebagai sesuatu yang tiada. Lalu ketika mengucapkan nutur kalimat penegasan, yakni illallah, dia harus menetapkan di dalam hati dan pikirannya akan wujud Dzat Yang Mahabenar, serta memandang-Nya sebagai Yang Abadi dan Nyata Ada.

Di akhir kalimat tauhid, yakni la ilaha illallah, saat berhenti pada bilangan ganjil, imajinasikanlah Muhammadur-Rasulullah mulai dari lathifah qalb sampai ke bagian di bawah payudara sebelah kanan, dengan kehendak untuk mengikuti Nabi saw. dan mencintainya. Kemudian lepaskanlah nafas ketika diperlukan, pada hitungan ganjil (tiga, lima, tujuh, sebelas, atau dua puluh satu). Menurut para tokoh Thariqah Naqsyabandiyah, itulah yang disebut dengan wuquf ‘adadi. Ketika melepaskan nafas, ucapkanlah dengan lisan secara perlahan, atau dengan hati: ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi.

Apabila dengan pelepasan nafas yang ditahan itu si pezikir mengambil istirah (bukan nafas akhir hitungan zikirnya), hendaklah dia segera mengambil nafas berikutnya, menahannya dan melakukan apa yang dilakukannya pada nafas pertama. Dan dalam tiap masa pergantian nafas tersebut dia harus benar-benar menjaga imajinasinya agar tidak pudar. Jika dia sudah sampai pada hitungan kedua puluh satu, akan nampak padanya hasil zikir qalbi-nya. Hasil zikir itu berupa ketenggelaman dari wujud kemanusiaan dan bisikan-bisikan alam ciptaan, serta peleburan diri dalam tarikan ilahiah yang bersifat dzat. Lalu di dalam hatinya akan muncul pengaruh formulasi tarikan ilahiah tersebut, yaitu penghadapan hati kepada al-Haqq Yang Mahakudus dengan mahabbah dzatiyah.

Pengaruh tarikan ilahiah tersebut beragam tingkat sesuai potensi masing-masing murid. Potensi ini merupakan pemberian Allah Ta’ala yang Dia berikan kepada ruh sebelum ruh melekat di badan. Karena itu, sebagian dari mereka ada yang pencapaian pertamanya berupa ketak-hadiran kesadaran, yakni ketenggelaman dari segala sesuatu selain Allah Ta’ala. Sebagian lagi ada yang pencapaian pertamanya berupa kemabukan, yakni kelinglungan sekaligus ketak-hadiran kesadaran. Lalu setelah itu dia memperoleh wujud ketiadaan, yaitu kesirnaan wujud kemanusiaan. Kemudian, pada tingkat berikutnya dia mendapat kehormatan berupa kondisi fana’, yakni ketenggelaman di dalam tarikan ilahiah.

Apabila hasil yang telah dipaparkan di atas tidak diperoleh si murid dari zikir qalbinya, itu lebih disebabkan oleh kekurangannya di dalam memenuhi persyaratan. Persyaratan yang dimaksud adalah shidqul-iradah (kehendak yang benar dan sungguh-sungguh), jalinan keterikatan pada syaikh, ketaatan mengikuti perintahnya, kepasrahan diri dalam segala urusannya kepada syaikh, meleburkan pilihannya ke dalam pilihan syaikh dan selalu mencari ridhanya dalam segala keadaan. Dengan memelihara syarat-syarat tersebut, pancaran atau iluminasi ketuhanan akan datang beruntun dari batin syaikh ke dalam batin murid, karena baginya syaikh merupakan jalan pancaran ketuhanan. Karena itulah pemeliharaan persyaratan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Wa billah at-taufiq.

Jalan Menuju Allah Ta’ala

Para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah—mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka dan memberi kita manfaat dari mereka—adalah para dokter agung yang membuka penutup-penutup hati. Mereka juga orang-orang bijak yang mulia karena keahliannya menerima ilmu-ilmu dan rahasia dari Dzat Yang Mahatahu hal-hal gaib. Mereka diciptakan Allah dengan watak welas asih kepada hamba-hamba-Nya. Allah juga mencurahkan kemuliaan bisikan-bisikan hati mereka kepada penempuh jalan petunjuk-Nya. Jika engkau merenungi perhatian dan interaksi mereka dalam memberi petunjuk dan melakukan pembimbingan, dan engkau memiliki pandangan dan perhatian, tentu engkau akan mendapati kreasi mereka yang amat langka serta kesan-kesan yang paling indah.

Berikut ini kami akan memaparkan setetes dari samudera kebaikan mereka. Kami juga akan menyuguhkan secuil rahasia dari keberlimpahan rahasia mereka yang tersembunyi. Mudah-mudahan hal ini bisa menyucikan hatimu dari pikiran-pikiran kotor sehingga engkau tidak binasa bersama orang-orang fasik yang hanyut dalam dosa.

Para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah—semoga Allah merahmati mereka dan memberi kita manfaat melalui mereka—telah memilah dan menimbang dengan keluhuran pandangan dan kemuliaan perhatian mereka, lalu mereka memilih cara zikir khafi dengan alasan yang telah dikemukakan di atas.

Mereka menyadari bahwa tujuan yang paling mulia dari wasilah zikir adalah sampai ke hadirat al-Haqq Tabaraka wa Ta’ala. Dan sudah maklum bahwa wasilah tidak ada artinya jika tidak berakibat pada pencapaian tujuan. Mereka juga menyadari bahwa hati kebanyakan manusia telah dipenuhi al-aghyar (yang selain Allah), dipenuhi kecintaan terhadap dunia, perhiasannya, kemewahannya, harta kekayaannya dan bangunan-bangunannya. Hati kebanyakan manusia telah larut dalam hasrat duniawi, suka memerintahkan pengerusakan, berpaling dari jalan kebenaran, lari dan membelakangi akhirat. Sementara anggota badan seharusnya hanya merupakan pasukan dan pelayan hati terus bertindak sesuai kecenderungan buruk hati.

Sesuai hukum ilahi, hati hanya cukup lapang untuk satu tujuan. Dalam kondisi dipenuhi cinta dunia, hati tidak bisa menjadi wadah bagi kecintaan kepada Allah.

Karena kondisi hati hamba kebanyakan seperti ini, ia tidak bisa menerima zikir khafi yang merupakan wasilah untuk sampai kepada-Nya, para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah memilih satu lagi wasilah. Wasilah ini dimaksudkan untuk menyucikan hati dari berbagai kotoran dan membersihkannya dari segala kedekilan yang merintangi pencapaian kedekatan, rahmat dan tajalli dari hadirat Yang Mahaagung, tanpa harus mengalami penderitaan, perjuangan ruhani melawan hawa nafsu, derita berjaga malam dan lapar di siang hari, serta latihan-latihan spiritual lainnya.

Mereka memasuki rumah melalui pintunya, lalu memberikan sesuatu yang menjadi wasilah bagi pengosongan hati dari berbagai kotoran. Sehingga hati menjadi bersih dan terpisah darinya, kemudian menjadi tempat bagi kehadiran segala rahasia. Lalu ia dihadapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Wasilah yang menjadi pilihan mereka ini adalah mengingat kematian. Sungguh, tidak ada seorang pun yang bisa melarikan diri dari maut. Mereka menjadikan wasilah ini sebagai pendahuluan zikir, dan mereka menyebutnya rabithah al-qabri (pertalian kubur).

Umumnya hamba tidak bisa mencapai maqam agung ini dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan seorang pembimbing yang sempurna yang telah sampai pada maqam musyahadah dan telah menyandang hakikat sifat-sifat dzatiyah. Oleh karena itu seorang murid harus mencari bantuan dari spirit gurunya yang sempurna dan telah fana’ di dalam Allah. Selain itu, dia juga harus banyak menjaga (mengingat) rupa gurunya. Selain karena alasan etika, hal itu juga dimaksudkan agar dia tetap bisa mendapat pancaran dari gurunya saat sang guru tidak ada di hadapannya. Kehadiran kesadaran dan cahaya akan sempurna baginya dengan menjaga bayangan syaikh dalam imajinasinya sambil menghadap ke hati sanubari hingga sampai pada kegaiban dan fana’ dari diri. Fana’ di dalam syaikh merupakan pendahuluan fana di dalam Allah Ta’ala, karena hati menjadi tempat segala rahasia, maka melalui pewarisan dari guru ke guru inilah mereka sampai ke Rasulullah saw. Inilah yang mereka sebut dengan rabithah al-mursyid.

Pada prinsipnya, perhatian murid terhadap syaikh mursyid bukan karena pribadi sang mursyid semata, bukan pula untuk mencari sesuatu darinya secara otonom, melainkan karena anugerah Allah Ta’ala yang mengalir pada dirinya. Itupun harus disertai keyakinan bahwa yang berbuat dan yang memberi efek pada hakikatnya adalah Allah. Seperti si fakir yang berdiri di depan pintu orang kaya dan meminta sesuatu darinya. Dia meyakini bahwa yang memberi dan yang berderma adalah Allah Ta’ala. Dialah yang pada genggaman tangan-Nya gudang-gudang langit dan bumi, tidak ada pelaku selain Dia. Murid berdiam di pintu syaikh karena tahu bahwa sang syaikh adalah salah satu pintu nikmat Allah Ta’ala. Allah berwenang untuk memberinya melalui dia.

Kenyataan tersebut merupakan hal yang tak terbayangkan penyangkalannya, kecuali di benak mereka yang telah ditetapkan Allah menjadi orang-orang yang merugi. Mereka itulah orang-orang yang amal-amalnya sangat rugi, orang-orang yang tersesat dalam kehidupan dunia. Mereka menduga bahwa amal mereka itu baik. Padahal amal-amal mereka terhapus di dunia dan akhirat. Dan mereka sama sekali tidak memiliki penolong. Kalaulah dia orang yang percaya kepada para wali, sungguh para wali telah menjelaskan kebaikan dan manfaat besar rabithah al-mursyid. Mereka bersepakat dan mengatakan bahwa rabithah al-mursyid memiliki pengaruh yang lebih dahsyat dari zikir dalam pencapaian jadzbah ilahiyah (tarikan ilahiah) dan pendakian salik di tangga-tangga kesempurnaan.

Dari sejumlah pemuka Thariqah Naqsyabandiyah ada yang hanya memberlakukan rabithah al-mursyid bagi murid dalam suluk dan taslik. Ada pula yang memantapkannya sebagai keharusan bagi setiap murid, dengan alasan firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” [QS. at-Taubah 9:119]

Asy-Syaikh al-Akbar Maulana ‘Ubaidillah, yang terkenal dengan sebutan Khawajah Ahrar, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabithah.

Jika orang tidak percaya kepada para wali, hendaklah dia percaya kepada pendapat para imam syara’ serta pemangku hukum ushul dan furu’. Beberapa imam dari masing-masing mazhab yang empat telah menegaskan kebenaran rabithah al-mursyid. Bahkan tentang firman Allah, “Andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya,” [QS. Yusuf 12:24], mayoritas mufassir mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya pengaturan dan pemberian bantuan ruhaniah. Di antaranya adalah penyusun Tafsir al-Kasysyaf. Padahal dia dianggap menyimpang dari pendapat umum karena penyanggahan dan kemu’tazilahannya.

Al-Imam al-‘Allamah Ahmad ibn Muhammad asy-Syarif al-Hamawi menukil di dalam kitabnya, Nafahat al-Qurb wa al-lttishal, mengenai kenyataan adanya pengaturan dan karamah bagi para wali setelah mereka berpindah alam (wafat). Inti pendapatnya adalah, “Sesungguhnya para wali bisa nampak dalam banyak rupa karena penguasaan ruhaniah mereka terhadap jasad.” Begitu juga al-Imam al-‘Allamah asy-Syarif al-Jurjani q.s., di akhir Syarh al-Mawaqif sebelum membagi ragam keislaman, dia membenarkan kebenaran adanya penampakkan sosok para wali kepada murid mereka serta pengambilan pancaran ruhaninya, bahkan setelah para wali itu wafat. Demikian pula dia memberikan komentarnya dalam catatan pinggir Syarh al-Mathali’.

Ketika menjelaskan ragam jalan menuju Allah Ta’ala, al-‘arif billah asy-Syaikh Tajuddin al-Hanafi berkata di dalam risalahnya yang terkenal dengan nama an-Najiyah, “Jalan yang ketiga untuk sampai kepada Allah Ta’ala adalah pertalian dengan syaikh yang telah mencapai maqam musyahadah dan telah menyandang hakikat sifat-sifat dzatiyah, karena syaikh yang seperti ini termasuk kalangan mereka yang bila melihatnya menjadi ingat Allah. Dengan demikian, melihatnya bisa memberi manfaat sebagaimana manfaat zikir. Sedangkan menyertainya bisa mengantarkan si murid kepada persahabatan dengan Allah. Karena mereka (para wali) adalah julasa’ Allah Ta’ala (teman duduk Allah).”

Kemudian al-’arif asy-Syaikh Tajuddin meneruskan ungkapannya, “Karena itu, seorang murid hendaklah menjaga sosok syaikh di dalam imajinasinya…” demikian pula ditegaskan oleh asy-Syaikh al-‘arif ‘Abdul Ghani an-Nabilsi sang pemangku para ahli hakikat yang juga bermadzhab Hanafi, di dalam kitabnya, Syarh an-Najiyah.

Al-Imam al-‘arif asy-Sya’rani mengungkapkan di dalam kitab an-Nafahat al-Qudsiyyah, ketika memaparkan adab berzikir, “Yang ketujuh, seorang murid hendaknya membayangkan syaikhnya berada di hadapannya. Karena menurut ulama sufi, hal ini merupakan merupakan adab yang paling kuat.”

Hal serupa dikemukakan pula oleh pemuka ulama Syafi’iyah, al-Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, ketika berbicara mengenai keharusan menghadirkan hati dalam setiap rakaat shalat, “Hadirkanlah di dalam hatimu Nabi saw. dan pribadinya yang mulia. Lalu katakanlah: as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyy…”

Syaikh asy-Syihab al-Khafaji menukil dari al-‘Allamah asy-Syihab ibn Hajar al-Makki di dalam kitabnya, Syarh al-Ibab, ketika menjelaskan makna-makna kalimat tasyahhud, “(Di dalam bacaan tasyahhud) Rasulullah saw. dijadikan mukhathab (orang kedua yang diajak bicara secara langsung) ini, seakan-akan ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menyingkapkan beliau bagi umatnya yang sedang shalat, sehingga beliau seakan hadir bersama mereka untuk mempersaksikan amal-amal mereka yang paling utama, dan agar ingatan akan kehadiran beliau menjadi sebab bertambahnya kekhusyukan.” Hal senada diungkapkan pula oleh Sang Guru para syaikh, al-‘arif Suhrawardi asy-Syafi’i, di dalam kitabnya al-Awarif, pada bab Shalat Ahlul-Qarb.

Bila engkau bertanya, “Bisa saja setan menampakkan diri dalam rupa dan sosok seorang wali.” Aku katakan, “Tidak. Salah seorang pemuka ulama Syafi’iyyah, yakni Al-‘Allamah as-Safiri al-Halabi, berkata di dalam Syarh al-Bukhari ketika mengomentari hadis: ...kemudian beliau (Rasulullah saw.) sangat senang berkhalwat…, “Sesungguhnya setan tidak bisa menyamar dalam rupa seorang wali yang sempurna sebagaimana ia tidak bisa menyamar dalam rupa Rasulullah saw.”

Kesimpulannya, teks-teks yang memberikan penjelasan ihwal rabithah al-mursyid ini amat banyak dan terkenal. Tidak perlu berpanjang lebar menyebutkannya di sini. Yang kami kutip di atas sudah cukup untuk menjadi dalil yang kuat akan kebenaran bahwa para wali memiliki izin dan kesanggupan untuk melakukan pengaturan ruhaniah, bahkan setelah mereka wafat. Para ulama ahli hakikat sudah menyusun banyak kitab mengenai hal tersebut. Karena itu, sudah selayaknya para murid berakhlak taslim (memiliki kepasrahan), sebagai bentuk peniruan terhadap akhlak para pembesar ulama.

Doa Khatam Para Syaikh[*]

[*] Penulis menggunakan kata Khojikan untuk menyebut para syaikh. Khojikan bentuk majemuk dari kata Khojah, bahasa Persia, maknanya adalah syaikh.

Alasan penamaan doa dan zikir berikut dengan nama Doa Khatam Para Syaikh adalah karena doa dan zikir tersebut biasa dibaca saat syaikh hendak beranjak dari majlis usai pertemuan dengan murid-muridnya.

Al-Imam ‘Abdul Khaliq al-Ghazdawani dan orang-orang setelahnya, hingga Syah Naqsyabandi, sepakat bahwa orang yang membaca doa khatam ini segala kebutuhannya akan terkabul, keinginannya akan tercapai, malapetakanya akan tertolak, derajatnya akan naik, dan dia akan melihat berbagai penampakkan gaib. Setelah membaca doa khatam, hendaklah dia mengangkat tanganmu dan meminta kebutuhannya. Karena permohonan itu pasti akan dipenuhi, dengan izin Allah Ta’ala. Sudah banyak orang yang telah membuktikannya.

Doa khatam ini merupakan pilar terbesar dan wirid paling utama setelah zikir Allah dan kalimat la ilaha illallah, khususnya di dalam Thariqah Naqsyabandiyah. Karena dengan berkat wirid ini, arwah para syaikh akan membantu murid yang meminta bantuan mereka. Untuk membaca doa khatam ini harus memenuhi delapan etika, yaitu:

  1. Suci dari hadats dan najis.
  2. Menempati ruang yang sunyi dari manusia.
  3. Dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan kehadiran hati, beribadahlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan bila engkau tidak melihat-Nya, Dia sungguh melihatmu.
  4. Orang-orang yang ikut hadir dalam majlis ini semuanya telah mendapat ijin dari syaikh Thariqah Naqsyabandiyah.
  5. Mengunci pintu. Dengan alasan hadis riwayat al-Hakim dari Ya’la ibn Syadad, “Suatu hari ketika kami bersama Rasulullah saw., beliau bertanya, ‘Apakah di antara kalian ada orang asing?’ Para sahabat menjawab, ‘Tidak ada, ya Rasulullah.’ Lalu beliau memerintahkan untuk mengunci pintu dan bersabda, ‘Angkatlah tangan kalian…”‘ Lebih jelas lagi disebutkan di dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang menceritakan bagaimana Rasulullah saw. masuk ke dalam Ka’bah. Ketika Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya telah masuk ke dalam Ka’bah, beliau menyuruh seseorang untuk mengunci pintu, sehingga tidak diganggu oleh orang-orang yang memusuhi kaum muslimin yang berkeliaran di sekitar Masjid al-Haram.[*]
  6. Memejamkan mata dari awal bacaan doa khatam sampai selesai.
  7. Berusaha semaksimal mungkin mengusir semua bisikan dari hati, agar hati tidak disibukkan oleh yang selain Allah.
  8. Duduk tawarruk dalam posisi balik tawarruk shalat.

[*] Redaksi yang diriwayatkan al-Bukhari di dalam Shahih-nya, bab ighlaq al-bait, menyebutkan, “…Kemudian beliau shalat di sisi-sisi dalam dinding Ka’bah yang dikehendakinya.” Al-Bukhari menegaskan penyandaran riwayat hadisnya kepada ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. Di dalam riwayat ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata, “Rasulullah saw, memasuki al-Bait (Ka’bah) bersama Usamah ibn Zaid, Bilal dan ‘Utsman ibn Abu Thalhah. Kemudian mereka mengunci pintunya. Saat mereka membuka pintu, aku orang pertama yang mendekat. Lalu aku menemui Bilal dan bertanya kepadanya, ‘Apakah Rasulullah saw. shalat di dalam Ka’bah?’ dan Bilal menjawab, ‘Ya. Beliau shalat di antara dua tiang Yamani.”’ Dua tiang Yamani yang dimaksud adalah dua tiang di dinding Ka’bah yang menghadap ke arah Yaman, yang sekarang dikenal dengan sebutan ar-rukn al-yamani. Al-Imam Nawawi berkata di dalam Syarh Muslim, “Rasulullah saw. mengunci pintu itu agar lebih terasa nyaman bagi hatinya, dan lebih menghimpun kekhusyukannya.”

Rukun doa khatam ada sepuluh, yaitu:

  1. Membaca istighfar sebanyak dua puluh lima kali, atau lima belas kali, yang didahului dengan membaca doa, “Allahumma ya muftihal-abwab wa ya musabbibal-asbabl wa ya muqallibal-qulub wal-abshar wa ya dalilal-mutahayyirin wa ya ghiyatsal-mustaghitsin aghitsni tawakkaltu ‘alaika ya rabbi wa fawwadhtu amri ilaika ya fattah ya wahhab ya basith wa shallallahu ‘ala khairi khalqihi sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.” [Ya Allah, wahai Dzat Yang membukakan segala pintu, wahai Dzat Penyebab segala sebab, wahai Pembolak-balik hati dan mata, Wahai Penunjuk orang-orang yang bingung, Wahai Penolong orang-orang yang menninta pertolongan, tolonglah aku. Ya Tuhanku, hamba bertawakal kepada-Mu, hamba serahkan segala urusan hanya kepada-Mu, wahai Sang Pembuka, wahai Sang Pemurah, wahai Mahaluas. Dan Allah bershalawat atas makhluk-Nya yang paling mulia, Sayyidina Muhammad saw., juga kepada keluarga dan para sahabatnya semua.]
  2. Berasosiasi kepada syaikh (rabithah asy-syaikh), seperti yang telah dijelaskan dalam adab berzikir.
  3. Membaca Surah al-Fatihah sebanyak tujuh kali.
  4. Membaca shalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali dengan redaksi apa pun. Misalnya: allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammadin an-nabiiyil-ummiyyi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
  5. Membaca Surah al-Insyirah dengan basmallah sebanyak tujuh puluh sembilan kali.
  6. Membaca Surah al-Ikhlash sebanyak seribu satu kali.
  7. Membaca Surah al-Fatihah sebanyak tujuh kali.
  8. Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
  9. Membaca Doa Khatam Para Syaikh.
  10. Membaca Alqur’an yang dirasa mudah (surat-surat pendek).

Redaksi Doa Khatam Para Syaikh:

Alhamdulillahil-ladzi bi nuri jamalihi adha’a qulubal-‘arifin wa bi haibati jalalihi ahraqa fu’adal-‘asyiqin wa bi latha’ifi ‘inayatihi ‘ammara sirral-washilin, wash-shalatu was-salamu ‘ala khairi khalqihi sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Allahumma balligh wa awshil tsawaba ma qara’nahu wa nura wa talaunahu ba’al-qabul minna bil-fadhli wal-ihsan ila ruhi sayyidina wa thabibi qulubina wa qurrati a’yunina muhhammad al-mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ila arwahi jami’il-anbiya’i wal-mursalin shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim ajma’in, wa ila jami’i arwahi masyayikhi salasilith-thuruqil-‘aliyah khushushan an-naqsyabandiyah wal-qadiriyah wal-kubrawiyah was-suhrawardiyah wal-jistiyah qaddasallahu asrarahum al-‘aliyah, khushushan ila ruh al-quthubil-kabir wal-‘alimisy-syahir dzil-faidhin-nurani wadhi’ hadzal-khatam maulana ‘abdul-khaliq al-ghajdawani, wa ila ruhi imamith-thariqah wa ghautsil-khaliqah dzil-faidhil-jari wan-nuris-sari as-sayyid asy-syarif muhammad al-ma’ruf bi syah naqsyabandi al-uwaisi al-bukhari qaddasallah sirrahul-‘ali, wa ila ruhi quthbil-awliya wa burhanil-ashfiya’ jami’i nau’ayil-kamal ash-shuwari wal-ma’nawi asy-syaikh ‘abdullah ad-dihlawi qaddasallahu sirrahul-‘ali, wa ila ruhis-sari fillah ar-raki’ as-sajid dzil-janahaini fi ilmizh-zhahir wal-bathin dhiya’ ad-din maulana asy-syaikh khalid qaddasallahu sirrahul-‘ali, wa ila ruhi sirajil-millah wad-din asy-syaikh ‘utsman qaddasallahu sirrahul-‘ali, wa ila ruhil-quthub-arsyad wal-ghautsil-amjad syaikhina wa ustadzina as-syaikh ‘umar qaddasallahu sirrahul-‘ali (Menurutku perlu ada tambahan berikut: wa ila ruhi dzurrati tajil-‘arifin syaikhina wa maulana wa mursyidina asy-syaikh muhammad amin qaddasallahu sirrahu, wa ila imamith-tha’ifin syaikhina wa mursyidina asy-syaikh salamah al-‘azami qaddasallahu sirrahu). Allahummaj’alna minal-mahsubina ‘alaihim wa minal mansubina ilaihim wa waffiqna lima tuhibbuhu wa tardhahu ya arhamar-rahimin, allahumma ajirna minal-khawatiin-nafsaniyyah wahfizhna minasy-syahwatisy-syaithaniyyah wa thahhirna minal-qadzuratil-basyariyyah washfina bi shifa’il-mahabbah ash-shiddiqiyyah, wa arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba’ah wa arinal-bathila bathilan warzuqnajtinabah ya arhamar-rahimin, allahumma inna nas’aluka an tuhyiya qulubina wa arwahana wa ajsamana bi nuri ma’rifatika wa qashlika wa tajalliyatika da’iman baqiyan hadiyan ya allah.

(Segala puji bagi Allah Yang dengan cahaya keindahan-Nya menerangi hati para ‘arif, Yang dengan wibawa keperkasaan-Nya membakar hati para pecinta, Yang dengan kelembutan pertolongan-Nya memakmurkan hati para washil [Al-washil, sebutan bagi mereka yang telah mencapai tingkat tersambung kepada Allah.]. Shalawat dan salam senantiasa melimpahi makhluk paling mulia, junjungan kami Muhammad saw., juga kepada keluarga dan para sahabatnya semua. Ya Allah, sampaikanlah pahala dan cahaya bacaan yang telah kami baca setelah diterima dari kami dengan karunia dan kebaikan-Mu, kepada ruh junjungan kami, sang penawar hati dan pujaan kami, Muhammad sang makhluk pilihan saw., serta kepada segenap ruh para nabi dan rasul, shalawat dan salam Allah bagi mereka semua. Sampaikan pula kepada segenap ruh para syaikh dalam silsilah thariqah-thariqah yang tinggi, khususnya Naqsyabandiyah, Qadariyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah dan Jisytiyah q.s., khususnya kepada ruh Sang Kutub agung, ilmuwan terkenal pemilik pancaran cahaya, yang telah menyusun doa khatam ini, yakni Maulana Abdul Khalik Ghajdawani. Ya Allah, sampaikan pula pahala dan cahaya bacaan kami itu kepada ruh imam thariqah dan penolong makhluk, sang pemilik pancaran yang mengalir dan cahaya yang menjalar, as-Sayyid asy-Syarif Muhammad, yang masyhur sebagai Syah Naqsabandi al-Uwaisi al-Bukhari q.s. Sampaikan pula kepada ruh sang kutub para wali dan penerang orang-orang suci, penghimpun dua kesempurnaan bentuk dan makna, asy-Syaikh ‘Abdullah ad-Dahlawi q.s. Sampaikan pula kepada ruh sang pejalan dalam Allah, yang senantiasa rukuk dan sujud, sang pemilik dua sayap ilmu lahir dan ilmu batin, Maulana asy-Syaikh Khalid q.s. Sampaikan juga kepada sang pelita agama, asy-Syaikh ‘Utsman q.s., dan kepada ruh sang kutub yang paling bijak dan penolong yang paling luhur, Syaikhuna asy-Syaikh ‘Umar q.s. [Lalu kepada ruh sang permata dan mahkota kaum ‘arif, guru besar kami, pembimbing kami, asy-Syaikh Muhammad Amin q.s., dan kepada sang pemimpin dua kelompok, guru dan pembimbing kami, asy-Syaikh Salamah al-‘Azami q.s.]. Ya Allah, jadikanlah kami di antara orang-orang yang dihitung dan dinisbatkan kepada mereka, berilah kami petunjuk untuk mengikuti apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai, wahai Yang paling penyayang di antara semua yang penyayang. Ya Allah, jauhkanlah kami dari bisikan-bisikan hawa nafsu. Jagalah kami dari hasrat-hasrat setan. Sucikanlah kami dari kotoran-kotoran kemanusiaan. Beningkanlah hati kami dengan kebeningan cinta sejati. Perlihatkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Perlihatkanlah pula kepada kami yang batil itu batil, dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya, wahai Yang paling penyayang di antara semua yang penyayang. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu agar Engkau menghidupkan hati kami, ruh kami dan jasad kami dengan cahaya ma’rifat, kesambungan kepada-Mu, dan penampakan-penampakan-Mu, selalu, selamanya dan senantiasa mendapat petunjuk, ya Allah).

Doa khatam tersebut dinisbatkan kepada Hadhratusy-Syaikh ‘Abdul Khalik al-Ghazdawani. Jika murid yang hadir dalam majlis itu banyak, membacanya lebih utama. Sedangkan jika hanya sedikit, lebih baik membaca Doa Khatam asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin asy-Syah Naqsyabandi q.s. Redaksinya sebagai berikut:

  1. Beristighfar dua puluh lima kali, atau lima belas kali, atau sepuluh kali, atau lima kali.
  2. Berasosiasi kepada syaikh (rabithah asy-syaikh).
  3. Membaca shalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
  4. Membaca: ya khafiyyal-althaf adrikni bi luthfikal-khafi (lima ratus kali).
  5. Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
  6. Membaca Alqur’an yang dirasa ringan (surah-surah pendek).

Atau bisa juga membaca doa khatam asy-Syaikh Ahmad al-Faruqi yang terkenal dengan sebutan al-Imam ar-Rabbani. Redaksinya sebagai berikut:

  1. Membaca istighfar dua puluh lima kali, atau lima belas kali, atau sepuluh kali, atau lima kali.
  2. Berasosiasi kepada mursyid. 
  3. Membaca al-Fatihah tujuh kali.
  4. Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
  5. Membaca hauqalah (la haula wa la quwwata illa billah) sebanyak lima ratus kali.
  6. Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
  7. Membaca bagian akhir dari doa khatam Hadhratusy-Syaikh ‘Abdul Khalik al-Ghazdawani.
  8. Membaca Alqur’an yang dirasa ringan (surah-surah pendek).

Jika seorang syaikh hendak menghadapi murid-muridnya di dalam majelis, hendaklah dia membacakan al-Fatihah secara sembunyi untuk arwah para syaikh pemangku silsilah thariqahnya serta meminta bantuan dari mereka. Baru kemudian dia menghadapi murid-muridnya dengan cara yang mereka kenal. Apabila telah usai dan hendak beranjak dari hadapan mereka, sebaiknya dia mengucapkan wa shallallahu ‘ala sayyidina muhammad. Shalawat ini semacam permohonan ijin untuk meninggalkan majelis. Namun hendaknya dia membaca shalawat itu tidak semata-mata berniat memohon ijin, tetapi juga disertai niat bershalawat kepada Rasulullah saw.

Kami pernah mendapat khabar yang dapat dipercaya bahwa ayah kami—semoga Allah menyucikan jiwanya—suka membaca khatam al-Faruqi saat mengalami kondisi sulit. Namun pada bagian bacaan la haula wa la quwwata illa billah,  beliau menggantinya dengan bacaan: ya muhawwilal-haul wal-ahwal hawwil halana ila ahsanil-ahwal [Wahai Dzat Yang mengubah-ubah daya dan keadaan, alihkanlah kondisi kami kepada kondisi yang paling baik.], dan beliau membacanya sebanyak lima ratus kali.

Begitu juga guru kami, asy-Syaikh Salamah al-‘Azami. Beliau suka mengamalkan doa khatam Syaikh al-Faruqi, terutama dalam masa-masa sulit. Namun beliau mengganti bacaan la haula wa la quwwata illa billah dengan bacaan la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin, dan beliau membacanya sebanyak lima ratus kali. 

Kualifikasi Syaikh Mursyid

Orang yang benar-benar menghendaki jalan untuk sampai kepada Allah, hendaklah dia menemui seorang syaikh (guru) di zamannya saat dia kembali dari bertaubat dan bangun dari lelap kelalaiannya. 

Guru yang harus ditemuinya itu adalah syaikh yang sudah mendaki maqamat para tokoh spiritual yang sempurna secara syariat dan hakikat. Yakni seorang syaikh yang perilaku ruhaniahnya didasarkan pada Al-quran dan sunnah serta berpegang teguh meneladani para ulama; Perjalanan ruhaninya menuju Allah telah sempurna dengan bimbingan syaikh mursyid yang telah mencapai maqamat tersebut dan mata rantai silsilah jalan ruhaninya sampai kepada Rasulullah saw.; selain itu dia juga telah mendapatkan ijin dari syaikhnya untuk melakukan pembimbingan jalan menuju Allah; bukan dari kebodohan dan ambisi pribadinya.

Seorang syaikh yang telah mencapai derajat ma’rifat dan sampai kepada Allah (al-‘arifal-washil) adalah wasilah atau perantara bagi murid untuk sampai kepada Allah, menjadi pintu masuknya untuk menjumpai Allah. Barangsiapa tidak memiliki guru yang memberinya bimbingan ruhani, maka gurunya adalah setan. Dari sini engkau paham bahwa orang yang diperkenankan tampil untuk mengambil sumpah dan melakukan pembimbingan terhadap murid hanyalah orang yang telah mengikuti pendidikan dan mendapat izin dari syaikhnya. Sedangkan orang yang tidak mendapat izin, tidak diperkenankan melakukannya. Demikian pendapat para imam thariqah. Ini bukan rahasia. Orang yang melakukan pengambilan sumpah dan pembimbingan tanpa mendapat izin dari syaikhnya akan menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan, karena dia bukan ahlinya. Dan jika seseorang terbukti demikian, maka dia harus menanggung dosa seperti dosa penyamun. Dia akan dijauhkan dari derajat para murid sejati, apalagi dari derajat para syaikh yang telah mencapai tingkat ma’rifat.

Karena itu, kami uraikan tentang siapa yang sah dan pantas dijadikan sebagai syaikh mursyid. Berikut ini beberapa syarat yang harus dipenuhinya:

  1. Mengetahui hukum fıkih dan akidah yang diperlukan oleh para murid sekedar untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seorang murid kelas awal, sehingga dia tidak perlu bertanya kepada yang lain.
  2. Mengenal berbagai kesempurnaan hati, etika-etikanya, wabah dan berbagai penyakit jiwa, serta cara menjaga kesehatan dan kestabilannya.
  3. Bermurah hati dan berbelas kasih kepada kaun muslimin, khususnya kepada para murid. Misalnya,jika dia tahu bahwa mereka tidak mampu melakukan penolakan terhadap hasrat nafsu dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaanya, dia bersikap toleran dan tidak membuat mereka putus asa dari penempuhan jalan ruhani. Dia juga tidak menyebabkan mereka tercatat dalam urutan orang-orang yang celaka. Dia harus sabar dan bijak bergaul dengan mereka dalam keramahan sampai mereka mendapat petunjuk.
  4. Menutup aib para murid yang terlihat olehnya.
  5. Bersih hati terhadap hati para murid dan tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki.
  6. Menyampaikan perintah Allah dan mencegah apa yang dilarang-Nya, sampai perintah ini berkesan di jiwa mereka.
  7. Tidak duduk bersama para murid, kecuali sekadar yang diperlukan. Selalu mengingatkan murid tentang beberapa segi menyangkut thariqah dan syariat, seperti mendiskusikan buku kami ini. Tujuannya agar para murid bersih dari kejelekan bisikan hawa nafsu dan bisa beribadah dengan cara yang benar.
  8. Perkataannya bersih dari campuran hawa nafsu, senda gurau dan sesuatu yang tidak bermakna.
  9. Sangat toleran terhadap hak-hak dirinya serta tidak berharap untuk dimuliakan atau dihormati. Dia juga tidak menuntut haknya dari para murid dengan sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan. Tidak mempersiapkan amalan-amalan yang membuat mereka jemu. Tidak banyak beristirahat bersama mereka dan tidak membuat mereka merasa kesulitan karena dirinya. 
  10.  Jika dia melihat salah seorang muridnya kehilangan rasa hormat dan ta’zhim terhadap dirinya karena terlalu sering duduk bersama dalam keakraban, hendaklah dia menyuruhnya duduk berkhalwat di tempat yang tidak jauh dan tidak juga dekat, tetapi jarak pertengahan.
  11. Jika dia mengetahui bahwa penghormatan berlebihan terhadap dirinya muncul dari hati seorang murid, dia menolaknya dengan penuh kasih sayang, sebab hal tersebut merupakan musuh yang paling besar.
  12. Tidak lalai dalam membimbing para murid menuju sesuatu yang dapat memperbaiki kondisi ruhani mereka. 
  13. Jika seorang murid melaporkan mimpi atau ketersingkapan (mukasyafah) atau penyaksian gaib (musyahadah) yang didapatinya, syaikh tidak perlu memberitahukan rahasia yang didapat muridnya itu, tetapi hendaklah dia memberinya tambahan amalan yang dapat mendorong dan menaikkannya pada tahapan ruhani yang lebih tinggi dan lebih mulia. Bila syaikh membicarakannya atau menjelaskannya, itu sungguh merupakan kesalahan seorang syaikh, karena si murid akan memandang dirinya tinggi sehingga tingkatan ruhaninya justru akan jatuh. 
  14. Seorang syaikh harus mencegah murid-muridnya berbicara dengan orang lain selain sesama murid thariqah, kecuali untuk hal darurat. Selain itu, dia juga harus mencegah mereka bicara dengan sesama murid tentang karamah dan waridat yang mereka dapat. Jika dalam hal tersebut syaikh bersikap toleran, dia benar-benar melakukan kesalahan, sebab dia bisa membuat mereka arogan dan angkuh sehingga menyebabkan mereka terlambat.
  15. Seorang syaikh harus memiliki dua khalwat. Khalwat untuk menyendiri dan tidak mengijinkan seorang murid pun masuk menemuinya, kecuali orang yang khusus baginya. Dan khalwat untuk berkumpul bersama para sahabatnya.
  16. Tidak mengizinkan murid-muridnya mengintip setiap gerakannya, rahasianya, mencari tahu tentang cara tidurnya, cara makannya, cara minumnya dan lain-lain. Sebab jika dia membiarkan murid mengintipnya, lalu si murid mendapati sesuatu yang tampak sebagai kekurangan dari dirinya, bisa jadi rasa hormat si murid kepadanya akan berkurang. Karena ketidakmampuan si murid di dalam memahami kondisi ruhani orang-orang besar yang sempurna. Jika syaikh melihat seorang murid memata-matai dirinya guna mencari tahu tentang hal tersebut, dia harus melarangnya demi kemaslahatan si murid.
  17. Tidak memberikan toleransi kepada murid untuk banyak makan, sebab toleransinya dapat merusak semua hal yang sedang dia lakukan bagi sang murid. Sungguh, mayoritas manusia adalah hamba perut.
  18. Melarang murid bergaul dengan para sahabat syaikh, sebab bahayanya akan sangat cepat menyerang para murid. Kecuali jika syaikh melihat mereka sudah benar-benar mencintainya dan tidak dikhawatirkan mengalami goncangan.
  19. Menjaga diri dan tidak mondar-mandir kepada penguasa, agar tidak dicontoh oleh para murid. Sebab jika para muridnya itu mencontoh dia bolak-balik menemui penguasa, dia harus menanggung dosanya dan dosa mereka yang mencontohnya. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membiasakan satu kebiasaan buruk, maka dia harus menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikuti kebiasaannya.” [HR. Muslim dan at-Tirmidzi]. Alasannya karena orang yang mendekati penguasa, biasanya akan sulit menyampaikan penolakan terhadap perbuatan haram yang dilakukan si penguasa, seolah-olah mondar-mandirnya dia kepada penguasa menjadi bentuk persetujuannya terhadap kemungkaran.
  20. Berhati-hati saat berbicara kepada murid, penuh kasih dan tidak mencaci maki, agar jiwa mereka tidak lebih menjauh darinya. 
  21. Jika diundang oleh salah seorang muridnya, dia memenuhinya dan melakukannya dengan cara terhormat serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak santun.
  22. Jika duduk bersama muridnya, dia duduk dengan tenang dan berwibawa. Dia tidak banyak melirik mereka, tidak tiduran dan tidak membentangkan kaki di hadapan mereka, menahan pandangan dan merendahkan suaranya, tidak menjelek-jelekkan akhlaknya di hadapan mereka. Sebab pada kenyataannya mereka meyakini seluruh sifat-sifat terpuji ada dalam dirinya dan mereka akan menirunya. 
  23.  Jika seorang murid masuk menemuinya, dia tidak bermuka masam. Dan jika berpamitan pulang, dia mendoakannya tanpa diminta terlebih dahulu. Sebaliknya jika dia masuk menemui salah seorang dalam muridnya, dia hendaknya dalam keadaan paling sempurna dan kondisi jiwa paling baik.
  24. Jika salah seorang muridnya tidak hadir, dia bertanya tentangnya dan mencari alasan tentang ketidakhadirannya. Jika ternyata sakit, dia menengoknya. Jika berada dalam hajat, dia membantunya. Dan jika karena ada uzur, dia mendoakannya.

Itulah beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang syaikh. kesimpulannya, ungkapan yang paling menghimpun untuk menerangkan adab-adab syaikh adalah: ”Dia harus meneladani perilaku Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya, semaksimal mungkin.”

47. Adab Murid terhadap Syaikh

Ada banyak adab yang harus dipenuhi murid terhadap syaikh yang menjadi gurunya. Namun di sini kami akan meringkasnya dengan hanya mengemukakan adab-adabnya yang paling penting. Di antaranya yang harus diperhatikan adalah menghormati dan mengagungkan syaikh lahir batin, serta meyakini bahwa tujuan dirinya hanya akan tercapai melalui bantuan dan bimbingan syaikhnya. Apabila perhatian dirinya terpecah kepada syaikh lain yang bukan gurunya, dia akan terhalang dari syaikhnya, dan pancaran sang syaikh pun akan tertutup bagi dirinya.

Adab-adab lainnya yang harus dipenuhi murid terhadap syaikhnya sebagai berikut:

🔹 1. Pasrah, teguh dan rela menerima pengaturan yang dilakukan syaikh terhadap dirinya. Melayani syaikh dengan harta dan jiwanya. Sebab, mutiara kehendak dan cinta hanya akan menjadi jelas melalui cara ini. Kadar kesungguhan dan keikhlasan hanya akan diketahui melalui timbangan ini.

🔹 2. Tidak protes terhadap syaikh menyangkut perbuatan yang dilakukannya, meski secara lahiriah tampak perbuatan yang dilakukannya itu tampak haram. Jangan sampai dia berkata kepada syaikhnya, “Mengapa Anda melakukan ini?” Karena murid yang berkata mengapa kepada gurunya tidak akan berhasil selamanya. Terkadang dari seorang syaikh muncul sesuatu yang secara lahiriah tampak tercela, padahal secara batin ia terpuji. Seperti yang terjadi antara Khidir dan Musa. Tentang makna ini ada sebagian tokoh sufi bersenandung:

Jadilah engkau di hadapannya bagai mayit di tangan yang memandikannya

selalu patuh, apa pun yang dia lakukan terhadap dirinya

Jangan membantahnya mengenai urusannya yang tidak kau ketahui

karena membantah berarti menantang

serahkanlah kepadanya apa yang kau lihat

meski dia tampak bertindak tidak sesuai syari’at, nanti engkau akan tercela

Di dalam kisah Khidir yang mulia terdapat pelajaran

dia membunuh bocah dan Musa al-Kalim menentangnya

Ketika subuh datang menerangkan rahasia yang disembunyikan malam

dan pedang memutus tali si peminta alasan

Musa pun mengajukan udzur padanya

demikian pula ilmu kaum sufi tentangnya

🔹 3. Berkumpul dengan syaikh hanya untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

🔹 4. Melebur pilihan dirinya kepada pilihan syaikhnya, dalam urusan ibadah maupun adat, yang global maupun rinci. Salah satu ciri murid sejati adalah taat kepada syaikhnya, sekira syaikhnya berkata, “Masuklah ke perapian!” ia memasukinya tanpa tanya.

🔹 5. Tidak memata-matai kondisi atau tingkah laku syaikh secara mutlak. Sebab perilaku memata-matai guru bisa menyebabkan dirinya hancur, seperti terjadi pada banyak orang. Murid harus senantiasa berbaik sangka kepada syaikhnya dalam segala keadaan.

🔹 6. Senantiasa menjaga syaikh di ketidak hadirannya seperti menjaga dia di kehadirannya. Selalu mengingat syaikh saat dengan hatinya dalam setiap keadaan, sedang bepergian ataupun tidak, agar dia memperoleh berkahnya.

🔹 7. Memandang bahwa berkah dunia dan akhirat yang diperolehnya itu didapat melalui berkah syaikhnya.

🔹 8. Tidak menyembunyikan sesuatu pun dari syaikhnya, entah itu keadaan, bisikan gaib, peristiwa yang mengejutkan, ketersingkapan, karamah dan apa pun yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya melalui syaikh.

🔹 9. Tidak mengira-ngira sendiri makna peristiwa atau mimpi atau ketersingkapan yang didapatnya, meskipun jelas. Tidak pula berpegang teguh padanya. Dan bila sudah melaporkan semuanya kepada syaikh, dia tinggal menunggu jawaban sang syaikh tentangnya, tanpa meminta syaikh memberikan jawabannya. Apabila ada salah seorang sahabat syaikh yang bertanya tentang sesuatu, hati-hatilah jangan sampai engkau serta merta menjawabnya.

🔹 10. Tidak membeberkan rahasia syaikh, walau tubuhnya sampai digergaji.

🔹 11. Tidak menikahi perempuan yang hendak dinikahi syaikhnya, atau perempuan yang dicerai syaikhnya, tidak pula janda syaikhnya.

🔹 12. Tidak memberikan pendapat bila diajak bermusyawarah meninggalkan sesuatu atau mengerjakan sesuatu oleh syaikhnya. Mengembalikan semua pendapatnya kepada syaikhnya dengan keyakinan bahwa syaikh lebih tahu daripada dirinya dan dia tidak butuh saran dari dirinya. Syaikh mengajaknya musyawarah hanya untuk membuatnya senang. Kecuali bila jelas ada alasan yang kuat yang mengharuskan dirinya menyampaikan pendapat, itu pun tetap harus disertai etika yang sempurna terhadap syaikhnya.

🔹 13. Tetap memperhatikan keluarga syaikhnya ketika sang syaikh pergi, dengan terus berbuat baik kepada mereka, misalnya dengan tetap melayani dan membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan. Sungguh, sikap ini bisa membuat hati syaikh senang kepadanya. Dalam hal ini, syaikh juga seperti saudara sesamanya. 

🔹 14. Apabila murid mendapati diri merasa bangga dengan amalnya (‘ujub), atau merasa hebat dengan kondisi dirinya, hendaklah dia segera melapor kepada syaikhnya, agar syaikh memberikan penawarnya. Jika dia menyembunyikan hal itu dari syaikhnya, akan tumbuh riya dan kemunafikan dalam dirinya.

🔹 15. Menghargai sesuatu yang diberikan oleh syaikh, tidak menjualnya kepada seseorang, apa pun yang diberikannya. Karena bisa jadi di dalam sesuatu yang diberikannya itu sang syaikh menyertakan salah satu rahasia para faqir (sufi) untuknya, yang bisa membantunya di dunia dan akhirat serta mengantarnya ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla.

🔹 16. Yang lebih penting lagi adalah kesungguhan dalam perjuangan mencari syaikh. Karena para syaikh telah sepakat, bila seorang murid benar-benar sempurna kesertaannya bersama syaikh, bisa jadi manis ma’rifatullah akan sampai ke lubuk hatinya hanya dalam satu pertemuan, di awal perjumpaannya dengan sang syaikh.

🔹 17. Tidak mengurangi keyakinan terhadap syaikhnya jika melihat sang syaikh kurang (turun) dari maqam-nya. Misalnya karena syaikh banyak tidur di waktu sahur, atau kurang wara’, atau hal-hal lainnya yang merupakan sifat kekurangan. Sebab, Allah kadang memberlakukan kekurangan itu terjadi pada wali-Nya di saat sang wali lalai atau lupa. Kemudian Allah mengingatkannya hingga dia sadar dari kelalaiannya dan segera menyusulnya dengan perbuatan lain yang patut dan mampu menutup kekurangan tersebut. Semua itu sebagai pembimbing bagi muridnya, agar dari fenomena yang tampak pada diri gurunya si murid menjadi tahu cara melepaskan diri dari ketergelinciran bila mengalami hal yang serupa. Selain itu, bisa jadi dengan kekurangan yang ditimpakan kepada wali-Nya, Allah membimbing sang wali untuk melihat besar kecilnya kadar kesungguhan dan kejujuran dia di maqam ridha bi qadha’illah wa qadarihi [Rela hati menerima qadha dan qadar Allah.]. Dengan perubahan-perubahan kondisi itu Allah mengenalkan para waliNya akan kenyataan diri mereka, agar mereka bersyukur atau memohon ampun kepada Allah Ta’ala di saat mereka sudah sadar. Karena itu, murid harus melestarikan keyakinan terhadap syaikhnya. Sungguh, para pemuka kaum ‘arif telah berkata, “Ketergelinciran kaum muqarrabun merupakan peninggi kedudukan mereka.” Ungkapan ini mereka landasi dengan kenyataan Adam. Dia melanggar larangan Allah hingga diusir, tetapi kemudian dia dijadikan makhluk pilihan dan dimuliakan.

🔹 18. Tidak banyak berbicara di hadapan syaikhnya, meskipun syaikh memberinya keleluasaan untuk berbicara. Mengetahui kapan saat untuk berbicara dengan syaikh. Berbicara kepada syaikh hanya saat suasana syaikh lapang, disertai adab yang baik, khusyuk, khudhu’ dan tidak berlebihan menurut tingkat derajatnya. Bila syaikh berbicara memberi jawaban atas pertanyaannya, dengarkanlah secara seksama dengan wajah yang dihadapkan. Jika tidak, dia akan dicegah dari futuh. Dan barangsiapa telah dicegah dari futuh, dia akan sulit mendapatkan kedua. Hanya orang istimewa yang mendapat kesempatan kedua.

🔹 19. Merendahkan suara di majlis syaikh. Sebab meninggikan suara di hadapan para pembesar merupakan kelancangan, tidak sopan.

🔹 20. Tidak duduk bersila atau duduk di atas sajadah ketika berada di hadapan syaikh. Duduklah di hadapannya dengan penuh kerendahan dan rasa hina diri. Seorang ‘arif berkata, “Menurut kaum sufi, berkhidmat merupakan amal shalih yang paling utama.”

🔹 21. Bersegera melaksanakan perintahnya, tidak menunda-nunda atau berleha-leha sebelum selesai melaksanakannya.

🔹 22. Menghindari hal-hal yang tidak disenangi syaikhnya. Tidak menyukai hal-hal yang tidak disukai syaikhnya. 

🔹 23. Tidak berteman dengan orang yang tidak disenangi syaikhnya dan mencintai orang yang dicintai syaikhnya.

🔹 24. Bersabar menerima kemarahan dan keberpalingan syaikhnya, entah dari dirinya maupun dari orang lain. Jangan sampai bertanya, “Mengapa syaikh bersikap demikian kepada si fulan?” atau “Mengapa syaikh bersikap demikian kepada saya?”

🔹 25. Tidak duduk di tempat yang disediakan khusus untuk syaikhnya. Tidak bepergian, tidak menikah dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan yang penting tanpa izin syaikhnya. Ketahuilah bahwa syaikh yang ‘arif terkadang memberi keleluasaan kepada santri-santrinya. Lalu apabila telah mencium aroma kejujuran dan keseriusan dari mereka, dia mulai ketat terhadap mereka, kadang berpaling dari mereka dan menampakkan kemarahan, supaya jiwa mereka mati dari syahwat dan lebur dalam kecintan kepada Allah. Dengan sikap-sikap tersebut syaikh menguji kesetiaan murid-muridnya.

🔹 26. Tidak memindai ucapan syaikhnya untuk diungkapkan kepada orang-orang selain yang sesuai dengan kadar pemahaman dan akal mereka.

48. Adab Murid terhadap Diri Sendiri

Adab paling utama seorang murid terhadap dirinya sendiri adalah menyadari kenyataan bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihat dan mengawasi dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu hendaklah dia selalu sibuk mengingat-Nya dengan hati, entah dia sedang duduk, berjalan maupun saat sibuk dengan pekerjakannya. Sebab semua aktifitas keseharian tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk senantiasa berzikir dalam makna untuk mengalirkan lafazh Allah di hatinya. Selain itu ada sejumlah adab yang harus dipenuhi murid berkenaan dengan dirinya sendiri, di antaranya:

🔹 1. Meninggalkan para pelaku keburukan dan berkawan dengan orang-orang pilihan. Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Allah mewahyukan kepada Musa, “Janganlah engkau duduk bersama (bergaul) dengan orang-orang yang senang memperturutkan hawa nafsu, sebab mereka akan memunculkan sesuatu yang belum ada di hatimu.” Bergaul dengan orang-orang pilihan bisa mewariskan kebaikan, sedangkan bergaul dengan orang-orang jahat dapat mewariskan kejahatan. Seperti diungkapkan dalam syair:

Ruh laksana angin, bila melewati minyak wangi ia mewangi

Bila melewati bangkai, ia menjadi berbau busuk

Majelis orang-orang salih bagaikan eliksir bagi hati. Namun dampaknya tidak disyaratkan nampak seketika. Dampak persahabatan dengan mereka bisa jadi akan muncul setelah berselang waktu cukup lama. Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan teman yang salih seperti si pedagang minyak wangi. Entah dia memberimu atau engkau membeli darinya pasti engkau mendapatinya bau wangi.” (HR. al-Bukhari)

🔹 2. Apabila dia mempunyai anak istri, hendaklah dia menutup pintu saat hendak berzikir. Sebab tidak ada mudharat bagi murid yang lebih berbahaya daripada berteman dengan orang yang berlawanan, yakni orang yang tidak senang terhadap hal yang engkau senangi. Jika tempat zikir itu sempit dan gelap, itu justru lebih bisa menghimpun getaran hati daripada tempat yang luas dan mendapat terang cahaya matahari atau lampu. Contoh prilaku anak istri yang mengingkari jalan kaum sufi adalah sikap mereka yang memperolok dirimu saat engkau berzikir engkau sampai menyingkap tutup kepala, mondar-mandir dan bersuara gaduh hingga membuat engkau marah. Lalu karena itu tekad hatimu untuk berzikir menjadi lemah.

🔹 3. Tidak berlebihan dalam segala hal, tetapi alakadarnya. Seperti dalam hal makan, minum, pakaian, menikah dan lainnya. Al-Imam al-Ghazali berkata, “Allah menjadikan sikap berlebihan dalam makan dan minum di dunia sebagai sebab hati menjadi sekeras batu, anggota badan menjadi kendur tak mau melakukan ketaatan, dan tuli dari nasihat.”

🔹 4. Tidak cinta dunia dan selalu memandang akhirat. Sebab cinta kepada Allah tidak akan merasuk ke dalam hati yang cinta dunia. Rasulullah saw. bersabda, “Cukuplah keburukan bagi anak Adam bila sampai dia dituding dengan jari dalam agama dan dunianya, kecuali orang yang dijaga dari dosa oleh Allah Ta’ala.” [Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi di dalam asy-Syu’ab.]

Ketika meriwayatkan hadis tersebut, al-Hasan ditegur oleh seseorang, “Apabila orang-orang melihat Anda, mereka menuding Anda dengan jemari mereka.” Lalu dia berkata, “Bukan ini maksudnya. Yang dimaksud adalah para pelaku bid’ah di dalam agama dan pelaku kefasikan di dalam urusan dunia.” Penjelasan hadits ini dengan derajat marfu’.

🔹 5. Tidak tidur dalam keadaan junub (berkewajiban mandi besar). Hendaklah dia senantiasa dalam keadaan suci dari hadats.

🔹 6. Tidak mengharap-harap harta benda milik orang lain serta selalu menutup pintu hasrat mendapatkan perhatian makhluk. Tidak berpaling kepada siapa pun makhluk, entah mereka menerima maupun menolak dirinya.

🔹 7. Apabila rezekinya sempit dan orang-orang tidak berbelas kasih kepadanya, hendaklah ia bersabar dan tidak gelisah. Sebab banyak murid yang saat mulai menapaki thariqah, dunia berpaling dari dirinya. Jangan sampai kondisi itu membuatnya berkata, “Aku tidak membutuhkan thariqah,” Karena ini berarti dia telah merusak janji setianya sehingga dia tidak akan bahagia untuk selamanya. Apabila mengalami kesempitan dalam urusan dunia, hendaknya dia menyadari bahwa Allah hendak menjadikan dia sebagai wali-Nya dan membukakan mata hatinya.

🔹 8. Senantiasa mawas diri. Mendorong diri untuk terus berjalan meniti thariqah setiap kali terantuk nafsu dan kesenangan-kesenangannya. Katakalah pada diri sendiri, “Bersabarlah! Masa rehat sudah dekat di depanmu. Aku membuatmu lelah demi kesenanganmu di akhirat.”

🔹 9. Menyedikitkan tidur, terutama di waktu sahur. Sungguh, waktu sahur merupakan waktu ijabah.

🔹 10. Menjaga diri untuk hanya makanan makanan yang halal.

🔹 11. Membiasakan diri makan hanya sedikit, yakni dengan berhenti makan sebelum kenyang dan cukup dengan makanan yang sedikit. Kondisi ini bisa menumbuhkan semangat untuk melakukan ketaatan dan menghilangkan kemalasan.

🔹 12. Menjaga lisan dari omongan yang tidak berguna dan menjaga hati dari semua khawathir. Sungguh, siapa yang lidahnya terjaga dan hatinya lurus, rahasia-rahasia ilahi akan tersingkap untuknya.

🔹 13. Berusaha maksimal mungkin menjaga mata agar tidak sampai melihat hal-hal yang diharamkan. Sebab melihat hal haram laksana racun mematikan, anak panah yang menusuk hati hingga mati. Apalagi jika memandangnya disertai syahwat. Al-Junaid berkata, “Salah satu perompak paling kejam yang memutus murid dari thariqah adalah bergaul dengan anak muda dan kaum perempuan.” Karena itu seyogyanya seorang murid tidak duduk bersama anak muda yang cantik, apalagi berduaan di tempat sepi. 

 🔹 14. Tidak bergurau, karena bergurau dapat mematikan hati dan menyelimutinya dengan gelap. Kalaulah seorang salik tahu seberapa besar kemerosotan diri akibat bergurau, tentu dia tidak akan mengulanginya. Orang yang hatinya bercahaya mengetahui hal itu. Tetapi orang yang hatinya berselimut gelap, bahkan tidak merasakan bahayanya sedikit pun. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu membenci saudaramu, jangan pula bersenda gurau dengannya.” [HR. At-Tirmidzi]. Utamanya adalah meninggalkan senda gurau, kecuali pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika mengalami kondisi amat sulit dan hati amat sempit.

🔹 15. Meninggalkan perdebatan dengan para pelajar. Sebab berdebat bisa mewariskan kelupaan dan membuat hati menjadi keruh. Apabila sampai terjebak dalam perdebatan, segeralah memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada lawan debatnya, bila dia di pihak yang benar.

🔹 16. Menghampiri saudaranya sesama murid ketika hati sedang susah. Duduklah bersama mereka sambil membahas adab-adab thariqah, sampai dadanya terasa lapang dan beban di hatinya lenyap.

🔹 17. Tidak tertawa terbahak-bahak, sebab tawa terbahak-bahak (lapat mematikan hati. Karena itu Rasulullah saw. tidak pernah tertawa terbahak-bahak, beliau cukup tersenyum.

🔹 18. Tidak membahas keadaan orang lain dan tidak pula berbantahan dengan mereka. 

🔹 19. Tidak cinta pangkat dan jabatan, karena dapat memutus dari jalan kebenaran. Rasulullah saw. bersabda, “Dua serigala lapar nan rakus yang bermalam di kadang kambing, daya rusaknya terhadap kambing tidak lebih besar daripada daya rusak ketamakan seseorang akan kemuliaan dan harta terhadap agamanya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)

🔹 20. Rendah hati (tawadhu’), karena rendah hati akan menambah derajat seorang hamba.

🔹 21. Senantiasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berharap mendapat ampunan-Nya. Tidak memandang peribadatan dirinya bernilai. Dia harus sadar bahwa kalaulah bukan karena anugerah dari Allah Ta’ala, tentu dia layak mendapat siksa. [Keterbebasannya dari siksa bukan karena ibadahnya, tetapi murni karena anugerah Allah Ta’ala.]

🔹 22. Membiasakan diri menggantungkan semua ucapan dan perbuatannya pada kehendak Allah. Yakni dengan berkata, misalnya, “Aku akan melakukan anu, insya’ Allah.”

🔹 23. Merahasiakan asrar yang dilihatnya dalam tidur ataupun terjaga. Tidak mengungkapkannya kepada siapa pun selain gurunya. Menceritakan asrar kepada orang lain dapat membuatnya terusir dari hadirat Allah Ta’ala dan tertutup dari pintu ke-murid-an. Seperti orang yang mengaku diri telah mencapai maqam tertentu padahal nyatanya belum, dia akan tercegah dari maqam tersebut, sebagai hukuman baginya. Jika terpaksa harus menceritakan asrar tersebut agar menjadi pelajaran dan adab, hendaklah dia menisbatkannya pada orang lain. Misalnya dengan berkata, “Aku mendengar salah seorang ‘arif berkata…bla bla bla,” sekira orang yang mendengarkannya tidak paham asrar yang diceritakannya itu merupakan pengalaman pribadinya.

🔹 24. Menyempatkan waktu khusus untuk menyendiri dan berzikir dengan zikir yang diajarkan oleh gurunya, tanpa menguranginya dan tidak pula menambahnya.

🔹 25. Tidak kendur melaksanakan ibadah karena menunggu-nunggu futuh. Beribadahlah kepada Allah dengan ikhlash karena-Nya, entah kemudian mata hatinya mendapat futuh dan hijab terangkat darinya maupun tidak.

Faedah

Apabila seorang murid hendak berziarah ke kuburan para wali dan meminta bantuan dari ruhaniah mereka, seyogyanya dia mengucap salam kepada penghuni kubur yang diziarahinya. Kemudian berdiam menghadap wajah sang wali dengan posisi membelakangi kiblat (posisi bermuka-muka dengan sang wali). Lalu membaca al-Fatihah satu kali, al-ikhlash sebelas kali dan ayat al-kursi satu kali, serta menghadiahkannya kepada sang wali. Setelah itu duduklah di hadapannya seraya mengosongkan diri dari segala sesuatu hingga kemudian dirinya menjadi laksana sehelai papan yang polos. Lalu bayangkanlah ruhaniahnya laksana cahaya. Jagalah cahaya itu di dalam hati, sampai didapat satu pancaran atau kondisi ruhani dari sang wali. Dan dalam hal ini, semestinya seorang murid terlebih dahulu meminta bantuan dari ruhaniah syaikh yang menjadi gurunya, serta menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dan ruhaniah sang wali yang diziarahinya. 

Mengecup nisan kuburan para wali seperti dilakukan banyak orang awam tidak perlu dipermasalahkan, karena bukan hal yang membahayakan bila mereka melakukannya dengan niat tabarruk (mencari berkah). Tidak perlu melarang-larang mereka, karena mereka berkeyakinan bahwa pada hakikatnya Allah-lah Sang Pelaku Yang bisa memberikan manfaat dan madharat kepada mereka. Mereka melakukan itu hanya sebagai ungkapan rasa cinta mereka kepada orang yang dicintai Allah Ta’ala. Sebagaimana ungkapan salah seorang ‘arif,

Aku melintas di satu rumah, rumah Laila

Lalu kukecup dinding ini dan dinding itu

Bukan cinta pada rumah itu yang memabukkan hatiku

tetapi cinta pada dia yang menjadi penghuninya

Seorang ‘arif lainnya berkata,

Apalah artinya rumah-rumah itu bila engkau tak di sana

Apalah artinya rumah, puing-puning dan kemah 

kalau bukan karena engkau, rumah dan puing-puing itu tak membuatku merindu

sungguh, tidak pula kaki kan membawaku melangkah ke kemah itu

49. Adab Murid terhadap Sesama Murid dan Kaum Muslimin

Saudara-saudaraku, ketahuilah — semoga Allah memberi kita petunjuk untuk cinta dan ridha-Nya — bahwa ikatan persaudaraan adalah pertalian di antara dua individu. Rasulullah saw. berabda, “Perumpamaan dua orang yang bersaudara laksana dua belah tangan yang saling mencuci satu sama lain.” [Hadis ini dikeluarkan oleh Abu Na’im di dalam al-Hilyah]

Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin bagi mukmin lainnya laksana sebuah bangunan, masing-masing bagian saling menguatkan.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan perawi lainnya.]. Salah seorang ahli ilmu berkata, “Tidaklah seorang sahabat menemani sahabatnya, walau sesaat, melainkan akan dimintai pertanggungjawaban akan persahabatannya: apakah di dalam persahabatannya itu dia memenuhi hak-hak Allah atau malah menyia-nyiakannya.” 

Apabila satu ikatan persahabatan telah terjalin, ada sejumlah hak persahabatan yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah: 

🔹 1. Engkau mencintai mereka seperti mencintai diri sendiri. Tidak mengistimewakan diri sendiri atas mereka.

🔹 2. Setiap kali menjumpai mereka, engkau harus bersedia memulai salam, mengajak bersalaman dan berbicara manis. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila dua orang muslim bersalaman, telapak tangan keduanya tiada lepas sebelum Allah memberikan ampunan pada keduanya.” (HR. ath-Thabrani)

🔹 3. Memperlakukan mereka dengan akhlak yang baik. Engkau harus memperlakukan mereka dengan perlakuan yang kau senangi bila mereka memperlakukanmu dengan perlakuan itu, dengan cinta dan kasih sayang. Akhlak yang baik itu merupakan penghimpun kebaikan. Cukuplah pujian Allah terhadap Rasulullah saw. sebagai buktinya, “Sesungguhnya engkau benar-benar berada dalam akhlak yang agung.” [QS. al-Qalam 68:43]. Rasulullah saw. bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Salah seorang ‘arif bekata, “Tidaklah seorang mulia menjadi mulia karena banyak shalat atau banyak puasa, tidak pula karena banyak mujahadah. Dia menjadi mulia dengan akhlak yang baik.” Al-Junaid berkata, “Ada empat hal yang bisa mengangkat seorang hamba mencapai derajat paling tinggi, meskipun amal dan ilmunya amat sedikit. Yakni: bijaksana, berendah diri (tawadhu), dermawan dan berbudi pekerti yang baik.”

🔹 4. Rendah hati terhadap saudara sesama muslim. Allah Taala berfirman, “Rendahkanlah dirimu kepada orang-orang mukmin.” [QS. al-Hijr 15:88]

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa rendah hati karena Allah, Allah akan meninggikannya. Dalam pandangan dirinya dia kecil, namun di mata orang-orang dia sungguh mulia. Dan barangsiapa bersikap sombong, Allah akan merendahkannya. Dalam pandangan dirinya dia besar, tetapi dalam pandangan orang-orang dia sungguh kecil, bahkan engkau akan melihat dia lebih hina dari anjing atau babi.” (HR. Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani)

Al-Imam asy-Syafi’i r.a. berkata, “Rendah hati merupakan akhlak orang-orang mulia, sedangkan sombong merupakan akhlak orang-orang tercela. Manusia yang paling tinggi derajatnya adalah orang yang tidak melihat dirinya berderajat. Dan orang yang paling besar keutamaannya adalah orang yang tidak melihat dirinya memiliki keutamaan.”

Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta’ala mewahyukan kepadaku, ‘Berendah dirilah kalian hingga seseorang tidak bersikap angkuh terhadap seorang pun, tidak pula seseorang berbuat lalim terhadap seorang pun.’” [Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dan Abu Dawud serta yang lainnya.]

Seorang penyair berkata, “Apakah dia tidak berpikir bahwa ia mulanya sekedar mani dan akhirnya menjadi bangkai tetapi dia bersikap sombong.”

Di dalam satu ungkapan disebutkan, “Karena hukum Allah Ta’ala berlaku bahwa setiap tumbuhan hanya akan berbuah bila ditanam di tanah yang bahkan lebih rendah dari sandal, maka orang-orang pilihan menjadikan diri mereka sebagai tanah bagi saudara-saudaranya.” Sungguh indah ungkapan sang penyair,

Rendah hatilah, engkau akan menjadi laksana bintang

di kedalaman air bayangnya tampak berkilau-kilau

padahal nyatanya dia luhur di langit tinggi

Jangan seperti asap membumbung tinggi ke udara

padahal dia sungguh rendah

Akhlak paling mulia dan agung seorang pemuda

adalah rendah hati di hadapan orang-orang, padahal dia luhur

dan sesuatu yang paling buruk

seseorang merasa diri mulia, padahal di mata semesta dia sungguh hina

Guru para guru kami, Al-Imam ar-Rabbani, bersenandung,

Jadilah engkau bumi agar padamu tumbuh mawar 

Sungguh, tempat tumbuh mawar adalah tanah

🔹 5. Adab lainnya adalah meminta ridha mereka dan memandang mereka lebih lebih baik daripada dirimu. Saling membantu di dalam kebaikan, takwa dan mencintai Allah. Mendorong mereka untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai dan diridhai Allah. Membimbing meteka kepada kebenaran jika engkau lebih tua dari mereka, dan belajar kepada mereka bila engkau lebih muda.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” [QS. al-Ma’idah 5:2]

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila Allah menghendaki seorang penguasa menjadi baik, Allah akan menjadikan menterinya seorang yang jujur. Apabila sang penguasa itu lupa, sang menteri akan mengingatkannya, dan apabila sang raja tidak lupa, sang menteri akan membantunya. Apabila Allah menghendakinya tidak demikian, Dia akan menjadikan menterinya seorang yang buruk. Apabila sang raja lupa, sang menteri tidak akan mengingatkannya. Apabila sang raja ingat, sang menteri tidak akan membantunya.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan kategori sanad jayyid.]

🔹 6. Mengasihi dan menyayangi semua saudaramu sesama muslim. Yakni dengan cara menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, serta melayani mereka meski dengan sekadar menyodorkan sandal yang hendak dipakainya. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang tidak menghormati yang lebih besar dan tidak menyayangi yang lebih kecil bukanlah golonganku. ” (HR. At-Tirmidzi)

Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang yang penyayang disayang oleh Yang Maha Penyayang Tabaraka wa Ta’ala. Maka sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.’ (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Di dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Jika kalian menginginkan kasih-Ku, maka sayangilah makhluk-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

🔹 7. Bersikap lembut dalam menasihati mereka apabila engkau melihat mereka menyalahi aturan. Al-Imam asy-Syafi’i r.a. berkata, “Barangsiapa menasihati saudaranya dalam sembunyi, dia sungguh telah menasihatinya dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihati saudaranya di keramaian, dia sungguh telah mencemarkan dan melecehkannya.” Asy-Sya’rani berkata, ”Orang yang tidak menutupi kekeliruan yang dia lihat dari saudara-saudaranya, berarti dia telah membukakan pintu ketersingkapan aib dirinya sendiri dari sekadar ketersingkapan aib mereka.”

Rasulullah saw. bersabda, ”Barangsiapa menutupi aib saudaranya, Allah akan menutup aib dirinya. Dan barangsiapa menyingkapkan aib saudaranya, Allah akan menyingkapkan aib dirinya hingga karenanya dia menjadi tercemar bahkan di dalam rumahnya sendiri.” (HR. Ibnu Majah)

Suatu hari, seorang lelaki yang telah bersahabat dengan Ibrahim ibn Adham, ketika hendak berpisah, berkata kepada Ibrahim ibn Adham ”Sayyidi, kenapa anda tidak pernah mengingatkan aku akan aib yang ada pada diriku?” lalu Ibrahim ibn Adham menjawab, ”Saudaraku, aku tidak pernah melihat satu pun aib dalam dirimu, karena aku melihatmu dengan mata cinta. Bertanyalah kepada selain aku tentang aibmu.”

Sebagai sahabat, semestinya engkau menginginkan saudaramu selamat dari kekeliruan yang kau lihat padanya. Jangan meninggalkannya hanya karena kau lihat dia keliru. Itu akan lebih baik bagi dirimu daripada engkau meninggalkannya.

🔹 8. Selalu berprasangka baik kepada mereka. Apabia engkau melihat ada aib pada mereka, berucaplah dalam diri, ”Sungguh, aib itu ada pada diriku. Karena seorang muslim adalah cermin bagi muslim lainnya. Yang dilihat seseorang pada cermin hanyalah bayangan dirinya sendiri.

Alangkah buruk orang yang melupakan aib diri sendiri

sementara aib saudaranya yang tersembuyi dia ingat-ingat

andai punya akal, tentu dia tidak akan mencela orang lain

sementara di dalam dirinya aib bertumpuk-tumpuk

🔹 9. Menerima permintaan maaf saudaramu apabila dia meminta maaf, walaupun dia berbohong. Sebab orang yang meminta kerelaanmu secara lahir, walapun batinnya membencimu, ia sungguh telah mentaatimu dan menghormatimu, sekira dia tidak terang-terangan menentangmu. Tentang hal ini seorang ‘arif berkata,

Terimalah udzur orang yang datang meminta maaf kepadamu

tulus maupun dusta permohonannya itu

sungguh, orang yang lahirnya ridha kepadamu telah menaatimu

dan yang membantahmu dalam sembunyi pun telah menghormatimu

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa saudaranya datang meminta maaf dari kesalahannya, hendaklah dia menerimanya, entah dia bersungguh-sungguh maupun berpura-pura. Siapa yang tidak melakukannya, dia tidak akan sampai ke telagaku di Hari Kiamat.” [Diriwayatkan oleh al-Hakim, dan beliau menshahihkannya. Diriwayatkan pula oleh perawi lainnya.]

🔹 10. Mendamaikan saudara yang terlibat perselisihan tanpa keberpihakan pada salah satunya. Tidak mendukung salah satu pihak dalam pertikaian mereka. Bersikap adil dan bijak dalam mendamaikan mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah di antara dua saudaramu.” [QS. al-Hujurat 49:10]

Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah yang paling utama adalah mendamaikan orang yang berselisih.” [HR. Ath-Thabrani dan al-Baihaqi]. Rasulullah saw. bersabda di dalam satu hadis marfu’, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan damaikanlah orang-orang yang berselisih di antara kalian. Kelak pada Hari Kiamat, Allah akan mendamaikan orang-orang yang beriman.” Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang mendamaikan orang-orang berselisih tidak dipandang sebagai pendusta kalaupun dia berbohong dengan menceritakan kebaikan kepada masing-masing pihak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

🔹 11. Senantiasa bersikap jujur dan benar bersama mereka, dalam kondisi apa pun. Tidak melupakan mereka dalam doa, memohon ampunan mereka kepada Allah, dalam ketidakhadiran mereka.

🔹 12. Memberi kelapangan kepada mereka di dalam majelis, dengan alasan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya seorang muslim memiliki hak. Jika dia melihat saudaranya, hendaklah menyingkir lalu memberikan tempat untuknya.” (HR. Al-Baihaqi)

🔹 13. Menanyakan nama dirinya dan nama bapaknya, dengan alasan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan di dalam al-Syu’ab dengan sanad lemah, “Apabila engkau menjalin persaudaraan dengan seseorang, tanyalah namanya dan nama bapaknya. Sehingga saat dia tidak hadir, engkau bisa menjaganya. Jika ia sakit, engkau menjenguknya. Dan jika dia mati, engkau bersaksi terhadap dirinya.”

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mencintai saudaranya karena Allah, maka kenalilah dia. Karena hal itu dapat mengabadikan rasa persahabatan dan mengokohkan rasa kasih sayang.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya, al-Imam Ahmad dan al-Bukhari di dalam al-Adab. Diriwayatkan pula oleh perawi Iainnya.]

🔹 14. Menjaga kehormatan mereka di dalam ketidakhadiran mereka sehingga kehormatan mereka tidak tercemar. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim berpaling dari kehormatan saudaranya yang muslim melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam kelak di hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) 

🔹 15. Menunaikan janji jika engkau berjanji. Menurut ahli Allah, janji adalah hutang, dan menyalahi janji merupakan kemunafikan.

Di zaman sekarang, kaum muslim telah mengidap banyak kekeliruan. Sehingga ada di antara mereka yang saling membenci, tidak menyukai kebaikan bagi yang lain, saling mendengki, menyimpan dendam dalam hati, bermuka manis berhati busuk. Saat bersua tampak senang dan ceria, namun di belakang dia membicarakannya dengan hal yang tidak diridhai Allah dan Rasulullah saw. Mereka itulah orang yang tidak disukai Allah. Allah tidak akan melihat mereka dengan mata kasih-Nya, tidak pula akan menyucikan mereka. Bahkan bagi mereka telah disediakan azab yang sangat pedih, akibat pebuatan buruk yang telah mereka lakukan ,jika mereka tidak bertobat. Kita memohon kepada Allah agar Dia mengamankan kita dari petaka zaman ini. 

Keutamaan Membaca Silsilah

Abu Sa’id Muhammad al-Khadimi berkata, “Barangsiapa membaca silsilah para syaikh setelah membaca doa khatam Khojikan, atau saat menuntunkan zikir, atau saat memulai zikir dan seusai wirid, dia akan memperoleh taraqqi (peningkatan dalam pendakian spiritual) dan mukasyafah (ketersingkapan realitas gaib).”

Penyusun wirid dan zikir khatam Khojikan juga suka membacanya, khususnya ketika ruhaniah meliputinya. Beliau juga membacanya untuk menghilangkan keprihatinan, kesusahan, keresahan, memudahkan pemenuhan kebutuhan dan mengobati orang yang sakit. Selain dibaca, silsilah ini juga kadang ditulis dan dibawa-bawa (serupa wifik). Silsilah ini telah kami kemukanan pada bab terdahulu. [Lihat bab: Menganal Nasab dan Silsilah Guru sampai ke Rasulullah saw.]

Catatan:

Penamaan silsilah ini dibagi dalam beberapa julukan sesuai kurun. Dari Hadhrah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. sampai Syaikh Thayfur bin ‘Isa Abu Yazid al-Busthami qs. dinamakan Shiddiqiyah.

Dari Syaikh Abu Yazid sampai Khwaja Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs. dinamakan Thayfuriyah.

Dari Khwaja Syaikh Abdul Khaliq sampai Sayyid Syaikh Muhammad Baha’uddin al-Husaini al-Uwaisi al-Bukhari qs. disebut Khwajaganiyah.

Dari Sayyid Syaikh Muhammad Baha’uddin sampai Hadhrah Syaikh ‘Ubaidillah al-Ahrar qs. disebut Naqsyabandiyah, dinisbatkan pada naqsya band, artinya adalah ikatan naqsyNaqsy adalah gambar cap (stempel) bila dicapkan pada lilin atau lainnya. Ikatan naqsy ini akan tetap utuh, tidak hilang atau lebur. Karena Sayyid Syaikh Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi qs. berdzikir dengan hati hingga lafadz jalalah mengecap dan timbul di luar hatinya. Karena itu dinamakan Naqsyabandiyah.

Kami pernah mendengar beberapa khalifah Naqsyabandiyah berkata, “Rasulullah Saw. meletakkan tangannya yang mulia di hati Syaikh Baha’uddin ketika Syaikh Baha’uddin dalam kondisi muraqabah. sehingga hatinya hanya bercap.”

Selanjutnya dari Syaikh ‘Ubaidillah sampai Hadhrah Imam Rabbani Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qs. disebut Ahrariyah.

Dari lmam ar-Rabbani sampai Hadhrah Maulana Syaikh Dhiya’uddin Khalid qs. disebut Mujaddidiyah.

Dari Syaikh Dhiya’uddin Khalid sampai sekarang ini dinamakan masa Khalidiyah.

Semoga Allah mengekalkan penyebutannya sampai akhir masa, memuliakan ahlinya dan menyediakan akhir yang baik bagi kita, dengan pangkat dan kedudukan mereka di hadapan-Nya (berkah madad dan syafa’at Guru Mursyid kita, serta sekalian Masyayikh Ahli Silsilah Thariqah Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Khalidiyah).[]

50. Penutup

Pasal penutup ini meliputi paparan sejumlah ayat Alquran dan hadis nabi yang suci. Kami memaparkannya sebagai bentuk tabarruk kami dengan firman Tuhan semesta alam dan hadis sang penghulu para rasul.

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa ‘Umar ibn al-Khaththab berkata, “Apabila turun wahyu kepada Rasulullah saw., di wajah beliau terdengar dengung seperti dengung suara lebah. Suatu hari Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah. Beberapa saat beliau terdiam, hingga kesusahan lenyap darinya, lalu beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa: ‘Ya Allah, tambahkan untuk kami dan janganlah Engkau mengurangi dari kami. Muliakanlah kami dan jangan Kau hinakan kami. Berilah kami dan janganlah Engkau menahan pemberian kepada kami. Utamakanlah kami dan jangan Kau telantarkan kami. Ya Allah, buatlah kami ridha dan ridhalah kepada kami.‘ Kemudian beliau bersabda, ‘Telah turun kepadaku sepuluh ayat. Barangsiapa mengamalkannya, pasti akan masuk surga.’ Lalu beliau membaca: qad afla hal-mu’minun… sampai tuntas sepuluh ayat.” [HR. at-Tirmidzi]

Allah Ta’ala berfirman, [al-Mu’minun 23:1-11]

  1. qad aflahal-mu’minun  (Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman). Ibnu ‘Abbas menafsir ayat tersebut, “Sungguh berbahagia orang-orang yang membenarkan dan meyakini tauhidullah, dan mereka abadi di dalam surga.” Di dalam satu keterangan disebutkan bahwa al-falah berarti mendapatkan apa yang dikehendaki dan terbebas dari hal yang dihindari. Jadi maknanya, orang-orang beriman itu berhasil mendapatkan hal yang dicarinya dan terbebas dari hal yang dihindarinya.
  2. al-ladzina hum fi shalatihim khasyi’un ([yaitu] orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya), yakni hati mereka ketakutan tetapi anggota badan mereka tetap tenang. Al-Hakim meriwayatkan, “Rasulullah saw. pernah melakukan shalat dengan pandangan mata terarah ke langit. Namun setelah turun ayat ini, beliau mengarahkan pandangannya ke tempat sujudnya.” ‘A’isyah berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang menoleh di dalam shalat, beliau menjawab, ‘Itu adalah ikhtilas (pencurian). Setan mencuri shalat hamba.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan yang lainnya. Ikhtilas berarti ikhtithaf (perampasan).

Abu Dzarr mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah senantiasa menghadap kepada hamba yang sedang shalat selagi dia tidak menoleh-noleh. Apabila dia menoleh, maka Allah berpaling darinya.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Ath-Thabrani meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ub dan ‘Imran bin Hashin, “Barangsiapa shalatnya tidak membuat dia tercegah dari perbuatan keji dan munkar, maka dia tidak akan mendapat tambahan dari Allah selain jarak yang semakin jauh.”

Salah seorang ulama salaf meriwayatkan, “Barangsiapa mengenali orang yang berada di sebelah kanan dan sebelah kirinya saat dia sedang shalat, maka tidak ada shalat untuknya.” 

  1. wal-ladzina hum ‘anil-laghwi mu’ridhun (dan orang-orang yang menjauhkan diri dari [perbuatan dan perkataan] yang tiada berguna). Yakni orang-orang yang meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna bagi agama dan dunianya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang masuk dalam kategori makruh maupun mubah. Seperti bergurau, bermain, membuang-buang waktu untuk hal yang tiada berguna, larut dalam syahwat dan hal-hal lainnya yang dilarang oleh Allah.

Kesimpulannya, manusia harus berusaha dalam setiap gerak dan diamnya untuk hal-hal yang bermanfaat, mengusahakan surga yang tinggi untuk tempat kembalinya atau mengusahakan dirham yang halal untuk penghidupan dan bekal ibadahnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Salah satu tanda baik keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya)

  1. wal-ladzina hum liz-zakati fa’ilun (dan orang-orang yang menunaikan zakat).  Yakni orang-orang yang menunaikan zakat wajib. Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang menunaikan zakat setelah menyifati mereka sebagai orang-orang yang khusyuk dalam shalat untuk menunjukkan bahwa mereka telah mencapai puncak pelaksanaan ketaatan yang behubungan dengan badan dan harta.
  2.  wal-ladzina hum lifurujihim hafizhun (dan orang-orang yang menjaga kemaluannya). Yakni senantiasa menjaga diri dari jima’ (persetubuhan) dan semua yang dapat menimbulkannya, dalam setiap keadaan.
  3.  illa ‘ala azwajihim aw ma malakat aimanuhum fainnahum ghairu maluminKecuali terhadap istri-istri mereka,  yakni perempuan yang telah menjadi hak mereka melalui akad nikah. Atau budak yang mereka miliki, yakni budak perempuan atau jariyah yang berada dalam kuasa mereka. Namun ini tidak berlaku bagi budak laki-laki, tuan perempuan tidak boleh bersenang-senang dengan kemaluan budak laki-lakinya. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, yakni mereka tidak menjadi tercela bila melakukannya terhadap istri yang sah atau budak perempuan mereka, selama dalam batas-batas yang diperbolehkan syara’ dan sesuai adab. Tidak melakukannya dalam keadaan terlarang, seperti saat isteri sedang haid atau nifas. Sebab hal itu merupakan kezaliman dan melampaui batas. Barangsiapa melakukannya, dia sungguh tercela.
  4. faman ibtagha wara’a dzalika fa’ula’ika humul-‘adun  (barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas). Yakni meyalurkan syahwatnya bukan dengan istri atau budaknya, entah dengan zina, sodomi, onani atau dengan binatang, maka mereka itu sungguh telah zalim dan melampaui batas dari halal ke haram.
  5. wal-ladzina hum li’amanatihim wa ‘ahdihim ra’un (dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat [yang dipikulnya] dan janjinya). Yakni mereka menjaga hal yang dipercayakan kepada mereka dan janji yang disepakatinya dengan orang lain. Mereka menjaganya dengan menunaikan amanat dan memenuhi janji terebut. Amanat terdiri dari beberapa macam, di antaranya adalah amanat yang terjalin di antara hamba dan Allah Ta’ala, seperti shalat, puasa dan ritual ibadah lainnya yang telah diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Amanat yang terjalin antara hamba dan hamba, seperti barang titipan atau pekerjaan. Amanat lainnya ada yang bersifat maknawi batini, seperti ikhlas dan jujur. Pemenuhan amanat dan janji itu wajib dilakukan, semuanya.
  6. wal-ladzina hum ‘ala shalawatihim yuhafizhun (dan orang-orang yang menjaga shalatnya). Yakni mereka senantiasa melaksanakan kewajiban shalat, tepat waktu, menyerpurnakan syarat dan rukunnya, menyempurnakan rukuk dan sujudnya. Penyebutan kembali shalat di dalam ayat ini menunjukkan betapa pentingnya shalat. Selain itu, yang diungkapkan pada ayat kedua adalah masalah khusyuk di dalam shalat, dan itu bukan merupakan bagian dari menjaga shalat yang diungkapkan pada ayat ini.
  7.  ula’ika humul-waritsun (Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi). Yaitu mereka yang telah menghimpun dan membuktikan sifat-sifat tersebut di dalam dirinya. Merekalah yang akan mengambil alih (mewarisi) tempat-tempat penghuni neraka di dalam surga. Rasulullah saw. bersabda, “Masing-masing diri kalian mempunyai dua tempat, satu tempat di neraka dan satu tempat lagi di surga. Apabila dia mati lalu masuk neraka, maka penghuni surga akan mewarisi tempatnya [di surga].” (HR. Ibnu Majah)
  8. al-ladzina yaritsunal-firdausa hum fiha khalidun  (yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya). Surga firdaus adalah surga yang paling tinggi. Diriwayatkan dari ‘Ubadan ibn ash-Shamit r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di surga ada seratus tingkat. Jarak tiap tingkatnya sejarak antara langit dan bumi, dan surga Firdaus adalah tingkat yang paling tinggi. Dari Firdaus mengalir sungai. Di atasnya adalah ‘Arsy ar-Rahman. Apabila engkau berdoa memohon kepada Allah, mohonlah surga Firdaus.” [HR. At-Tirmidzi dengan redaksinya. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari di dalam Shahih-nya.]. Mereka kekal di dalamnya, yakni tidak akan keluar dan tidak akan mati.

Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” [QS. an-Nazi’at 79:37-39]. Yakni orang yang melampaui batas dalam permusuhan serta lebih memilih dan mengutamakan kehidupan dunia, tidak mempersiapkan diri untuk akhirat dengan beribadah dan mengekang nafsu, maka tempat baginya adalah Jahim (neraka yang sangat panas dan menyala-nyala).

Allah Ta’ala berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” [QS. an-Nazi’at 79:40-41]

Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya [yakni takut menghadapi hari di saat dia harus berdiri di hadapan-Nya. Rasa takut ini muncul karena dia tahu tempat mula dan tempat kembali dirinya, dan dia tahu bahwa dirinya pasti akan diadili. Mujahid berkata, “Ketakutan mereka kepada Allah Ta’ala saat di dunia itu terjadi ketika terlanjur melakukan dosa, dan karenanya mereka menghentikan perbuatan dosanya] dan dia menahan diri dari keinginan hawa nafsunya [yakni menahan nafsu yang menyuruh kepada tindakan mengikuti hasrat-hasrat terlarang, lalu memerangi nafsunya dengan kesabaran dan lebih mengutamakan akhirat] maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya [yakni, rumah nikmat tempat segala sesuatu yang diinginkannya terwujud].

Allah Ta’ala berfirman, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-A’raf 7:55-56]

Berdoalah kepada Tuhanmu. Ini merupakan perintah kepada semua hamba agar sungguh-sungguh menghadapkan diri kepada Allah Ta’ala dalam berdoa. Maksudnya, “Hadapkanlah hatimu kepada Allah dan mintalah kepada-Nya dengan lisanmu.” Karena, doa adalah permintaan dan permohonan. Doa merupakan salah satu bentuk ibadah. Sebab orang yang berdoa kepada Allah itu berdoa karena dirinya membutuhkan sesuatu yang tidak sanggup dia capai dan dia tahu bahwa Allah Ta’ala akan mendengar doanya serta mengetahui kebutuhan dirinya. Dia juga tahu bahwa Allah Mahakuasa untuk mengabulkan hajat itu kepada si pemohon. Dalam kondisi ini si hamba yang berdoa tahu bahwa dirinya bersifat lemah dan kekurangan, sementara Allah Mahakuasa dan sempurna.

Dengan berendah diri [yakni berdoalah kepada Tuhanmu dengan menampakkan kehinaan dan kerendahan di dalam diri] dan suara yang lembut [yakni suara lembut di dalam batin, bukan suara yang keras].

Salah satu adab berdoa adalah berdoa dengan suara lembut, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ini. Selain dalil ayat ini, ada pula riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari, “Kami sedang bersama Rasulullah saw. saat kami mendengar orang-orang menyaringkan suara takbir mereka. Lalu beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, rendahkanlah suara kalian. Sebab kalian tidak sedang berdoa kepada si tuli dan gahib. Sesungguhnya Allah bersama kalian, Dia mendengar dan dekat.” [Hadis muttafaq ‘alaih.]. Abu Musa berkata, “Aku yang tepat berada di belakang beliau berucap dalam batin, la haula wala quwwata illa billah. Tiba-tiba Rasulullah bertanya, ‘Wahai Abdullah ibn Qais, maukah kutunjukkan salah satu pusaka surga?’ Aku menjawab, ‘Tentu, ya Rasulullah?’ Lalu beliau bersabda, ‘La haula wala quwwata illa billah.”‘ 

Al-Hasan berkata, “Di antara doa sirri (dengan suara lembut) dan doa jahr (dengan suara keras) terdapat tujuh puluh lipatan perbandingan.” 

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Yakni mereka yang melewati batasan-batasan yang telah ditetapkan, dalam berdoa dan bentuk peribadatan lainnya. Dengan ayat ini Allah memperingatkan hamba yang berdoa agar dia tidak memohon sesuatu yang tidak layak baginya, seperti memohon derajat kenabian, atau minta naik ke langit dan hal-hal serupa lainnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan melewati batas di dalam ayat tersebut adalah menjerit-jerit dalam berdoa.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.“‘ [QS. al-A’raf 7:56]

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi [dengan syirik dan maksiat] sesudah (Allah) memperbaikinya [dengan mengutus rasul dan memberlakukan hukum-hukum syara’] dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut [yakni takut kepada Allah dan siksa-Nya] dan harapan [mendapat ampunan dan pahala dari-Nya. Ibnu Juraij berkata, “yang dimaksud adalah: takutlah kamu pada keadilan-Nya dan berharaplah mendapatkan anugerah-Nya.”

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik [yakni orang-orang yang taat, walaupun rahmat Allah itu diperoleh mereka melalui tobat]. Yang dituntut adalah mendahulukan tobat daripada doa, agar doa muncul dari hati yang bersih sehingga lebih dekat untuk dikabulkan.

Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Jabir ibn ‘Abdullah r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya anak Adam berada dalam kelalaian terhadap ketentuan dia diciptakan. Apabila Allah hendak menciptakan anak Adam, Dia berfırman kepada malaikatnya: Tuliskanlah rezekinya, tuliskanlah amalnya, tuliskanlah ajalnya, tuliskanlah bahagia atau celakanya. Kemudian malaikat itu naik. Lalu Allah menugaskan dua malaikat untuk menulis amal baik dan buruknya. Apabila orang itu menjelang ajal, malaikat maut datang untuk mencabut ruhnya, sementara dua malaikat pencatat amalnya naik. Apabila anak Adam itu sudah diletakkan di dalam kubur, ruhnya dikembalikan ke dalam tubuhnya. Kemudian dua malaikat kubur datang untuk mengujinya. Setelah usai mengujinya, kedua malaikat itu naik. Apabila Hari Kiamat tiba, dua malaikat pencatat amal baik dan amal buruknya turun lagi. Lalu megikatkan buku catatan amal di lehernya. Kedua malaikat itu terus mendampinginya. Yang satu menjadi penuntut sedangkan yang satu menjadi saksi.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya di depan kalian ada perkara yang amat besar yang tidak akan bisa kalian ukur. Maka mintalah perlindungan kepada Allah Yang MahaAgung.” (Dikeluarkan Oleh Ibnu Abi ad-Dunya’ dan Abu Na’im).

At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa ‘Abdurrahman ibn Samurah berkata, “Suatu hari Rasulullah saw mendatangi kami yang sedang berada di Masjid Madinah, lalu beliau bersabda, “Tadi malam aku bermimpi melihat hal yang menakjubkan. Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang dikelilingi malaikat adzab dari segala arah. Tiba-tiba wudhunya datang dan menyelamatkannya.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku mendatangi para nabi yang berada dalam halaqah-halaqah. Setiap kali melewati dia selalu ditolak dan diusir. Tiba-tiba mandi junub-nya datang dan menarik tangannya, lalu mendudukkannya di sampingku.

“Kemudian aku melihat seorang lelaki dari umatku yang sudah hampir ditimpa siksa kubur. Tetapi tiba-tiba shalatnya datang dan menyelamatkannya dari siksa kubur itu.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang menjulurkan lidahnya karena sangat haus, lalu puasa ramadhan-nya datang dan memberinya minum.

“Aku melihat seorang laki-laki dari umatku yang diliputi kegelapan. Di hadapannya ada kegelapan, di belakangnya ada kegelapan, si samping kirinya ada kegelapan, di samping kanannya ada kegelapan, di atasnya ada kegelapan dan di bawahnya juga ada kegelapan. Lalu haji serta umrah-nya datang dan mengeluarkannya dari kegelapan itu.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku didatangi malaikat maut yang hendak mencabut ruhnya, namun tiba-tiba datang bakti-nya kepada kedua orang tua yang kemudian menghindarkan dia darinya. [Yakni, pada saat itu lelaki tersebut dihindarkan dari maut. Karena birrul-walidain (berbakti kepada orang tua) dapat menambah umur. Namun hal ini dinisbatkan dengan ketentuan yang telah tercantum di LauhMahfuzh.]

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang berkata kepada Orang-orang mukmin, tetapi dia tidak dihiraukan mereka. Lalu sillaturahim datang kepadanya dan berkata, ‘Lelaki ini suka menyambung tali kasih, maka ajaklah dia bercengkerama!’ Maka merekapun mengajaknya bercengkerama dan jadilah dia bersama mereka.

“Aku melihat seorang lelaki yang sedang menangkis-nangkis api yang menyambar-nyambar wajahnya, lalu sedekahnya datang dan menjadi pelindung di atas kepalanya dan menjadi benteng di hadapannya. 

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang sedang duduk bertumpu dengan kedua lututnya. Di antara dia dan Allah ada hijab. Lalu datang akhlak baiknya yang kemudian meraih tangannya dan memasukkannya ke hadirat Allah Ta’ala.

“Aku melihat seorang lelaki umatku yang didatangi oleh zabaniyah (juru siksa). Namun tiba-tiba datang amar ma’ruf nahyi munkar-nya dan menyelamatkannya.

“Aku juga melihat seorang lelaki dari umatku yang sedang turun ke neraka, lalu tiba-tiba datang tetes-tetes air mata dari tangisnya saat di dunia karena takut kepada Allah. Kemudian tetes-tetes air mata itu mengeluarkannya dari neraka.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang buku catatan amalnya jatuh di tangan kirinya. Lalu rasa takutnya kepada Allah saat di dunia datang dan mengalihkan buku itu ke tangan kanannya.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang timbangan amal baiknya lebih ringan dari timbangan amal buruknya, lalu datang anak-anaknya yang mati sebelum baligh dan dia merasakan derita kehilangan mereka namun tetap bersabar. Kemudian anak-anak itu memberatkan timbangan amal baiknya.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang berada di tepi Jahanam, lalu rasa takutnya kepada Allah saat di dunia datang dan menyelamaatkannya. 

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang badannya gemetar menggigil seperti pelepah kurma, lalu datang prasangka baiknya kepada Allah dan meredakan gigilnya.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku yang saat melintasi di atas shirath kadang beringsut dan kadang merangkak. Tiba-tiba shalawatnya atas diriku datang dan memegang tangannya, lalu menegakkannya berdiri di atas shirath hingga dia dapat melewatinya dengan selamat.

“Aku melihat seorang lelaki dari umatku, sudah sampai di ambang pintu surga, namun pintu itu ditutup baginya. Lalu syahadat tauhidnya datang dan meraih tangannya, kemudian memasukkannya ke dalam surga.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh berbahagia orang yang tawadhu’ dalam agama, berendah diri pada selain kehinaan dan kenistaan, menafkahkan hartanya pada selain maksiat, bergaul dengan ahli fikih dan ahli hikmah, serta mengasihi orang-orang jelata dan miskin. Berbahagialah orang yang berendah diri, usahanya baik, nuraninya bersih (dengan memurnikan tauhid, percaya akan janji-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya), penampilannya mulia (yakni cahaya nuraninya muncul pada anggota tubuh dalam rupa takwa dan akhlak yang mulia), dan menghindarkan kejahatan dirinya kepada orang-orang. Sungguh berbahagia orang yang beramal dengan ilmunya, menafkahkan kelebihan hartanya dan menahan kelebihan omongannya (dengan meninggalkan omongan yang tidak bermanfaat).” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam At-Tarikh, diriwayatkan pula oleh perawi lain.

Abu Dzarr r.a. berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa yang terdapat pada shuhuf Ibrahim a.s.?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘[Seluruhnya berupa amsal. Di antaranya, Wahai raja yang berkuasa dan diuji lagi diperdaya, sesungguhnya Aku mengutusmu bukan dengan tugas mengumpulkan dunia bagian demi bagian, tetapi Aku mengutusmu agar engkau menolak doa si teraniaya dariku-Ku, sebab Aku tidak akan menolak doa si teraniaya, walaupun dari orang kafir. Orang yang berakal, selagi akalnya masih sehat, harus mempunyai beberapa saat: saat untuk menyempatkan diri bermunajat kepada Tuhannya, saat untuk mengoreksi diri, saat untuk merenungkan ciptaan Allah, saat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Orang berakal juga semestinya tidak beramal selain untuk tiga hal: berbekal untuk akhirat, atau untuk penghidupan yang baik, atau untuk kesenangan yang tidak haram. Orang berakal juga mesti waspada terhadap zamannya, menghadapi permasalahnya dan menjaga lidahnya. Barangsiapa menimbang perkataannya atas perbuatannya, maka dia akan menyedikitkan perkataannya hanya untuk yang bermanfaat.’

“Aku bertanya lagi, ‘Ya Rasulullah, apa yang terdapat pada shuhuf Musa a.s.?’ dan Rasulullah saw. menjawab, ‘[Seluruhnya berupa pelajaran. Di antaranya] Aku heran kepada orang yang meyakini adanya kematian kemudian dia bergembira. Aku heran kepada orang yang meyakini adanya neraka lalu dia tertawa-tawa. Aku heran kepada orang yang meyakini ketentuan qadar, lalu dia bersusah payah. Aku heran kepada orang yang melihat dunia selalu membolak-balik ahlinya kemudian dia merasa nyaman dengannya. Aku heran kepada orang yang meyakini akan adanya hisab di hari esok kemudian dia tidak beramal.’

“Kemudian aku berkata, ‘Ya Rasulullah, berilah aku wasiat (pesan)!’ Beliau bersabda, ‘Aku berwasiat kepadamu agar senantiasa bertakwa kepada Allah. Sesungguhnya takwa adalah pokok semua urusan.’ Aku berkata lagi, ‘Ya Rasulullah, tambahlah nasihat untukku!’ lalu beliau bersabda, ‘Hendaklah engkau membaca Alqur’an. Sesungguhnya membaca Alqur’an merupakan cahaya bagimu di bumi dan sebutan buatmu di langit.’

“Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tambahkanlah nasihat untukku!’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Hindarilah banyak tawa. Sungguh, tertawa dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tambahkanlah nasihat untukku!’ dan Rasulullah saw. bersabda, ‘Hendaklah engkau tidak bicara, kecuali tentang kebaikan. Sebab diam bisa menjadi penolak setan dan penolong bagimu dalam urusan agama.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tambahkanlah nasihat untukku!’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Berjihadlah! Sesungguhnya jihad merupakan kerahiban umatku.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tambahlah nasihat untukku!’ Rasulullah saw. berabda, ‘Cintailah orang-orang miskin dan duduklah bersama mereka.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tambahkanlah nasihat untukku!’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Pandanglah orang yang ada di bawahmu dan jangan memandang orang yang ada di atasmu, itu lebih layak bagimu agar engkau tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.’

“Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tambahkanlah nasihat untukku!’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Katakanlah yang benar, meski kebenaran itu terasa pahit.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, tambahkanlah nasihat untukku!’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Hendaklah (aib dan keburukan) yang kau ketahui ada pada dirimu bisa memalingkanmu dari (aib dan keburukan) orang lain [yakni, semestinya engkau sibuk dengan aib dan kejelekan yang ada pada dirimu, tidak perlu mencari tahu keburukan orang lain yang tidak kau ketahui, tidak perlu mencari-cari dan memata-matai cacat dan aib orang lain]. Jangan marah kepada mereka karena kesalihan yang telah engkau perbuat[*]. Cukuplah sebagai aib bagi dirimu bila engkau mengetahui aib orang lain yang tidak kau dapati pada dirimu sendiri, atau engkau merasa lebih tinggi dari orang lain karena amal salih yang telah engkau lakukan.’ Kemudian Rasulullah menepuk dadaku dengan tangannya seraya berkata, ‘Tidak ada akal sebaik at-tadbir, tidak ada wara’ sebaik al-kaff, dan tidak ada kemuliaan sebaik husnul-khuluq.”’ [At-Tadbir, disiplin penyelarasan diri dengan aturan-aturan syari’at. Al-kaff, menahan diri dari keburukan dan perbuatan buruk terhadap orang lain. Husnul-khuluq, berakhlak baik dan terpuji.] Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dengan redaksinya. Diriwayatkan pula olah Al-Hakim di dalam shahih-nya.

[*] Jangan memandang mereka dengan pandangan menghinakan karena engkau merasa telah melakukan berbagai ketaatan dan pengorbanan yang tidak diperbuat mereka. Jika engkau sibuk dengan aib orang lain karena engkau tidak mendapati aib pada dirimu sendiri yang membuatmu sibuk hingga tidak sempat melihat aib orang lain, atau engkau berbangga diri seraya menghinakan mereka sebab engkau memandang mereka tidak sesalih dirimu, ini sungguh merupakan cacat yang paling besar. Karena jika engkau sibuk dengan aib orang lain, berarti engkau telah melanggar kehormatan dan harga diri mereka. Sedang bila engkau sombong dan menghinakan orang lain, berarti di dalam dirimu ada kecintaan terhadap nafsu, rasa senang terhadap nafsu dan sifat riya yang dapat melebur amal, na’udzu billahimin dzalik.

Wahab ibn Munabbih berkata, “Di dalam hikmah Abu Dawud disebutkan, ‘Orang yang berakal tidak boleh lalai dari empat saat. Yakni, saat untuk bermunajat kepada Tuhannya, saat untuk mengoreksi diri sendiri, saat untuk mendatangi saudara-sudaranya yang telah memberitahunya tentang aib-aib dirinya lalu mereka meluruskannya, dan terakhir adalah saat untuk memenuhi kebutuhannya yang halal dan baik. Saat yang terakhir ini dapat membantu saat-saat lainnya dan dapat menenteramkan hati.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn al-Mubarak di dalam kitab Az-Zuhd, dan diriwayatkan pula oleh Abu Bakr ibn Abi ad-Dunya.

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari kesalahan yang tidak disengaja, kelupaan dan keterpaksaan.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya. Hadis ini memiliki fungsi umum, karena ketiga hal tersebut bisa terjadi dalam semua bab fikih, dan karenanya sah disebut sebagai setengah dari hukum syari’at. 

Abu Dzarr r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. meriwayatkan dari Allah ‘Azza wa Jalla, “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan Aku juga telah mengharamkannya di antara sesama kalian, maka kalian jangan saling menzhalimi. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan tersesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan lapar, kecuali orang yang aku beri makan, maka minta makanlah kepada-Ku, Aku akan memberi kalian makan. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan telanjang, kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua berbuat salah di siang dan di malam hari, dan Aku adalah pengampun semua dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tidak bisa mempunyai bahaya-Ku hingga membahayakan Aku, tidak pula kalian bisa mempunyai manfaat-Ku hingga bisa memberi-Ku manfaat. Wahai hamba-hamba-Ku, kalaupun kalian semua—sejak yang pertama sampai yang terakhir, dari golongan manusia dan jin—sehati dengan orang yang paling bertakwa di antara kalian, sungguh tidak akan memberikan tambahan sedikit pun pada kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, kalaupun kalian semua—sejak yang pertama sampai yang terakhir, dari golongan manusia dan jin—sehati dengan orang yang paling durhaka di antara kalian, sungguh tidak akan mengakibatkan kerajaan-Ku berkurang sedikit pun. Wahai hamba-hamba-Ku, kalaupun kalian semua— sejak yang pertama sampai yang terakhir, dari golongan manusia dan jin—bersama-sama meminta secara serempak, lalu aku memberi permintaan masing-masing, sungguh itu tidak akan mengurangi kekayaan-Ku sedikit pun, laksana sebuah jarum yang dicelupkan ke dalam samudera. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya amal perbuatan kalian Aku hitung untuk kalian, lalu Aku beri kalian balasannya. Maka siapapun kalian yang mendapati amal dirinya baik, hendaklah dia memuji Allah. Dan siapapun kalian yang mendapati amalnya tidak baik, maka jangan pernah mencela selain kepada dirinya sendiri.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Barangsiapa menyakiti seorang wali-Ku, Aku sungguh menyatakan perang terhadap dia [orang yang diperangi Allah tentu tidak akan menang, selamanya. Pernyataan tersebut merupakan peringatan paling puncak, sebab orang yang diperangi Allah pasti akan sengsara dan hancur binasa.]. Hamba-ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada sesuatu yang telah Aku wajibkan atas dirinya. Dan hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia menggenggam dan menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan (yakni, Aku jadikan kuasa cinta-Ku mendominasinya dan merampas seluruh perhatiannya terhadap segala sesuatu selain yang dengannya dia mendekatkan diri kepada-Ku. Lalu jadilah dia sebagai orang yang menyepi dari kenikmatan duniawi dan berpaling dari syahwat nafsunya. Kemudian aku serasikan dia dengan amal-amal yang berkaitan langsung dengan anggota tubuhnya itu[*]). Jika dia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Apabila dia berlindung kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.” (HR. Al-Bukhari)

[*] Maksudnya: Allah memudahkan jalan untuk dirinya melakukan hal-hal yang dicintai-Nya. Dan Dia menjaganya dari semua perbuatan yang tidak disukai-Nya, seperti mendengar dengan penuh perhatian hal-hal yang melalaikan yang sempat terdengar di telinganya, atau melihat hal-hal yang dilarang syara’, atau menggunakan tangannya untuk sesuatu yang tidak halal, atau melangkah menuju kebatilan dengan kakinya.

Ibnu ‘Abbas r.a. meriwayatkan hadis qudsi dari Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah Ta’ala menuliskan kebaikan dan keburukan, kemudian Dia menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan satu kebajikan namun dia tidak melakukannya, maka Allah akan mencatatkan baginya satu kebaikan sempurna. Apabila dia berniat melakukan satu kebaikan lalu dia melakukannya, maka Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih banyak lagi. Apabila dia berniat melakukan satu keburukan dan dia tidak jadi melakukannya, maka Allah akan mencatatkan satu kebaikan sempurna. Jika dia berniat melakukan satu keburukan dan dia sungguh melakukannya, maka akan dicatatkan baginya satu keburukan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bisikan-Bisikan Gaib

Ketahuilah bahwa bisikan-bisikan (khawathir) yang datang ke dalam hati ada empat macam. Pertama, bisikan rabbani (dari Rabb). Kedua, bisikan malaki (dari malaikat). Ketiga, bisikan syaithani (dari setan). Keempat, bisikan nafsi (dari nafsu). Ciri bisikan rabbani adalah tidak bisa ditolak, ia meresap dengan kuat laksana terkaman harimau, karena ia datang dari Tuhan Yang Maha Memaksa. Ciri bisikan malaki adalah perasaan nikmat dan sejuk yang datang menyertainya. Pemiliknya tidak merasakan kepedihan dan perubahan di dalam dada, dan bisikan ini seperti penasihat. Ciri bisikan nafsu adalah diikuti perasaan pedih di hati dan rasa sesak di dada, serta ada ledakan hasrat untuk melampiaskannya, sebab nafsu itu seperti anak kecil yang memaksa jika punya suatu keinginan dan tidak bisa dipalingkan pada yang lain. Sedangkan ciri bisikan setan adalah perasaan pedih yang muncul sesudahnya, dan bila engkau mengalihkannya pada sesuatu yang lain, ia ikut pindah. Sebab setan hendak menyesatkanmu dari arah mana pun engkau berada. 

Bisikan setan dan bisikan nafsu harus ditolak sejak pertama kali muncul, agar ia tidak mondar mandir datang ke dalam hati. Sebab jika berlarut-larut ia akan menjadi kuat dan tak tertahankan. Jadilah engkau bagai pedang melintang di pintu hatimu. Karena bila tidak ada bisikan rabbani dan bisikan malaki yang melintas dalam hati, hati akan selalu diserbu bisikan setan dan nafsu. Tolaklah ia setiap kali ia datang, jangan menerimanya. Lalu jangan berpikir selain tentang bisikan kemalaikatan, agar bisikan kemalaikatan itu menjadi kuat. Adapun bisikan rabbani, secara mutlak tidak mungkin dihambat dan diragukan, tidak pula si hamba bisa menahannya, karena bisikan rabbani ini amat cepat.

Tingkatan al-qashd (maksud hati) ada lima:

Pertama, hajis (kilasan), yaitu yang datang memaksa hati namun langsung lenyap dalam sekilas.

Kedua, khathir (bisikan), yang datang dengan paksa dan lenyap setelah sempat menetap sejenak dalam hati. 

Kedua jenis maksud hati tersebut tidak berakibat siksa—bila berkaitan dalam perbuatan maksiat dan kekufuran—dan tidak pula menghasilkan pahala bila berkaitan dengan ketaatan. Karena kedua-dua tidak termasuk dalam kategori kehendak pilihan (ikhtiyar).

Ketiga, hadits al-nafs (perang batin), yaitu keragu-raguan untuk melakukannya atau tidak. Jenis yang ketiga ini berakibat siksa apabila berkenaan dengan kekufuran. Oleh karena itu orang yang meragu, seketika itu pula dia kufur. Karena syarat iman adalah berketatapan hati sejak awal dan seterusnya. Namun bila keragu-raguan itu berkenan dengan perbuatan maka dosa, tidak akan berakibat siksa, sebagaimana ia tidak berpahala bila berkenaan dengan ketaatan. 

Keempat, al-hamm (cita-cita), yaitu kecenderungan untuk berbuat. Maksud hati yang jenis ini berakibat siksa bila terjadi dalam kekufuran, namun tidak bila sekadar dalam kemaksiatan, ini sebagai anugerah dari Allah Ta’ala. Sedang bila terjadi dalam ketaatan, maksud hati jenis ini bisa menghasilkan pahala. 

Kelima, al-‘azm wa at-tashmim ‘aqd an-niyyah (keinginan kuat, keteguhan hati dan ketetapan niat) terhadap sesuatu. Maksud hati jenis kelima ini berakibat siksa bila dalam keburukan dan menghasilkan pahala bila dalam kebaikan. 

Catatan

Catatan ini tentang perbedaan antara Hadis Qudsi, Alqur’an dan Hadis Nabawi. Alqur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. dengan lafazh dan makna, membacanya adalah ibadah. Hadis Qudsi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. yang umumnya tanpa perantaraan malaikat, melainkan lewat ilham atau mimpi. Ada kalanya wahyu ini diberikan dengan lafadz beserta maknanya, dan ada kalanya hanya makna, lalu Rasulullah saw. mengungkapkan dengan lafadznya sendiri dan menyandarkannya kepada Allah Ta’ala. Wahyu Allah jenis ini tidak menjadi berpahala bila membacanya. Sedangkan Hadis Nabawi adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi saw. hanya maknanya saja, sementara redaksinya dari beliau dan tidak disandarkan kepada Allah Ta’ala. Yang paling mulia dari semuanya adalah Alqur’an, kemudian Hadis Qudsi.

Sampai di sini, purnalah kitab yang kami tulis ini, dengan pertolongan Allah, Maharaja Yang Maha Memberi. Alhamdulillah hamdan yuwafi ni’amahu yukafi mazidah.

(Penyusunan kitab ini selesai pada bulan Ramadhan tahun 1322 H.) ***

Bagikan postingan ini

Copy Title and Content
Content has been copied.

Baca lebih lanjut

Postingan Terkait

Temukan koleksi postingan blog yang penuh wawasan dan menarik.

December 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?