- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Index

Naqsyabandiyah Khalidiyah

Mengenal Para Masyaikh Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah

Author

Disusun oleh Seorang Petoto YM Ayahanda Guru

Reading Time

216 Minutes

Share

Facebook
WhatsApp

Index

Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum wr. wb.

Buku ini berisi kumpulan kisah Para Masyaikh Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, dari Rasulullah SAW dilanjutkan pewaris silsilah yang pertama Sayidina Abu Bakar ash Shiddiq RA sampai ke Sayyidisy Syaikh YM Ayahanda Guru Al Khalidi QS.

Kisah dari Rasulullah SAW sampai ke Syaikh Dhiyauddin Khalid Al Utsmani Al Kurdi QS diambil dari situs naqsybandi.com tanpa ada pengubahan yang berarti. Situs di atas adalah situs resmi Tarekat Naqsybandiyya Nazimiyya Indonesia yang pada hakekatnya adalah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang diajarkan oleh Syekh Muhammad Nazim Adil al Haqqani. Sehingga isi materi kisah dari beberapa ahli silsilah dikutip dari penuturan Syekh Nazim atau Grandsyaikh di atasnya. Syekh Nazim memberi nomor silsilah yang pertama untuk Nabi Muhammad SAW dan mencantumkan Syekh Abul Abbas al-Khidr sebagai ahli silsilah di antara Syekh Abu Yaqub Yusuf al-Hamadani dan Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani. Silsilah Tarekat Naqsybandiyya Nazimiyya, setelah Syaikh Dhiyauddin Khalid, berturut-turut adalah:
(32) Syekh Ismail Muhammad asy-Syirwani, (33) Syekh Khas Muhammad Syirwani,
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi, (35) Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al- Husayni, (36) Syekh Abu Ahmad as-Sughuri, (37) Syekh Abu Muhammad al-Madani,
(38) Syekh Syarafuddin ad-Daghestani, (39) Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani, dan (40) Syekh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani.

Catatan: Pohon Sanad Tarekat Haqqani & Lainnya. Gambar ini tidak ada dalam redaksi, namun ditambahkan oleh editor (Albali Studio) sebagai penambah wawasan.

Sedangkan YM Ayahanda Guru dan kebanyakan Syekh Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah lainnya memberi nomer silsilah yang pertama untuk Sayidina Abu Bakar ash Shiddiq RA dan tidak ada ahli silsilah di antara Syekh Abu Yaqub Yusuf al- Hamadani dan Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani.

Data-data pada kisah Syekh Abdullah al Affandi sampai dengan Syekh Ali Ridha banyak diambil dari buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia karya Martin van Bruinessen dengan ditambah beberapa informasi dari internet. Sedangkan kisah Syekh Muhammad Hasyim Buayan dan YM Ayahanda Guru diramu dari berbagai sumber, di antaranya:
• Sufimuda.net
• Baitulamin.org
• Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah Al Khalidiyah (Kh. A.R.R. St. Hidayat)

Mengetahui silsilah dari Syekh nya sampai ke Rasulullah Nabi Muhammad SAW adalah kewajiban bagi setiap murid tarekat. Sedangkan mengenal atau mengetahui kisah para Masyaikh Ahli Silsilah diharapkan dapat menambahkan rasa kedekatan murid dengan para Masyaikh tersebut.

Semoga kita selalu dapat limpahan barokah dari para Masyaikh Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah khususnya Guru Mursyid kita, amiin ya robbal alamin.

Dan semoga buku ini bermanfaat. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Petoto YM Ayahanda Guru

Sejarah Penamaan

Tarekat ini berhulu pada diri Nabi Muhammad SAW yang kemudian mengalir kepada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A, sahabat kesayangan Nabi Muhammad SAW dan khalifahnya yang pertama, yang telah menerima ilmu istimewa seperti diterangkan Nabi Muhammad SAW sendiri, “Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar”.

Pola hidup bersahaja yang ditampilkan Abu Bakar ditiru para sufi pada periode selanjutnya. Menurut riwayat, Abu Bakar pernah hidup dengan sehelai kain saja. Ia pernah memegang lidahnya sendiri, seraya berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku“. Kemudian untuk menjaga dari berkata-kata yang tidak bermanfaat, Abu Bakar lazim mengulum batu kerikil.

Kedermawanan Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A juga tak terukur nilainya. Misalnya pada Perang Tabuk, Rasulullah SAW meminta kepada kaum Muslim agar mengorbankan hartanya. Maka datanglah Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A membawa hartanya dan diletakkannya di antara dua tangan Rasulullah SAW, seraya Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Apalagi yang engkau tinggalkan bagi anak-anakmu, wahai Abu Bakar?” Jawabnya sambil tertawa, “Saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya”.

Sikap kedermawanan Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A ini merupakan kerelaan berkorban di jalan Allah. Dia hanya menyandarkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal ini merupakan sikap kepasrahan yang tinggi yang kemudian dijadikan sebagai teladan bagi para sufi. Di mata para sufi, sikap-sikap Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A seperti itu merefleksikan ahwal (keadaan) yang selalu disandarkan kepada Allah semata. Inilah, yang oleh kaum sufi dianggap sebagai benih-benih akhlak para sufi.

Oleh sebab itu, kendatipun di abad ke-1 Hijriah orang Islam belum mengenal istilah tasawuf, tetapi benih-benihnya sudah tampak, seperti pada diri Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A. Dan pada masa itu banyak sekali ditemui perilaku atau sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, yang mencirikan pengajaran dan amalan ilmu tasawuf. Sikap kepasrahan Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A yang tinggi dijadikan sebagai teladan bagi para sufi.

Tarekat yang diterima Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A yang nantinya populer dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah telah mengalami pergantian penyebutan beberapa kali. Dalam silsilah keguruan tarekat ini, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq R.A berada pada urutan pertama. Periode antara Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq sampai Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Bistami, yang nama aslinya Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Bistami dan berada pada urutan kelima, dinamakan “Shiddiqiah“. Periode antara Syaikh Tayfur sampai Sayyidi Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani, silsilah kesembilan, dinamakan “Tayfuriah“. Periode antara Khawajah Abdul Khaliq al-Ghujdawani yang lahir di daerah Uzbekistan itu sampai Sayyidi Syaikh Bahauddin Naqsyabandi, silsilah ke-15, dinamakan “Khawajakaniah“. Diambil dari istilah Khwajagan (tuan guru yang bersilsilah). Periode antara Syaikh Bahauddin Naqsyabandi sampai Sayyidi Syaikh Nashiruddin Ubaidullah Al-Ahrar, silsilah ke-18, dinamakan “Naqsyabandiyah”.

Dalam tahun-tahun terakhir abad ke-10 Hijriah atau 16 Masehi, pusat aktivitas Naqsyabandiyah dan daya tarik intelektualnya bergeser ke India. Sayyidi Syaikh Muaiyiduddin Muhammad Baqibillah, silsilah ke-22, yang lahir di Kabul (971-1012 H/1563-1603M), berpetualang di Transoxiana, Samarqand, Bukhara, Kashmir dan sekitarnya, kemudian datang ke India.

Dalam suatu catatan, dikatakan “tengah membawa benih kesucian (dalam tarekat) dari Samarqand dan Bukhara dan menyemaikannya di tanah subur India.” Dalam waktu singkat, lima tahun, dia mencurahkan perhatian yang sama kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dia sampaikan pesan silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para malik (tuan tanah) dan manshabdar (pejabat) dengan tingkat keefektifan yang sama. Penglihatannya tajam dalam memilih bakat terbaik di pelbagai area – dari kalangan tokoh politik Nawab Murtadha Khan, di kalangan kaum sufi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, dan dari kalangan ulama Syaikh Abd Al-Haqq – adalah murid-murid terkemuka Khawajah Muhammad Baqi.

Tarekat Naqsyabandiyah pada periode antara Syaikh Ubaidullah Al- Ahrar sampai Sayyidi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, silsilah ke-23, dinamakan “Ahrariah“. Periode antara Syaikh Ahmad Al-Faruqi sampai Sayyidi Syaikh Dhiyauddin Khalid Kurdi Al Usmani, silsilah ke-29, dinamakan “Mujaddidiah“.

Lalu periode antara Syaikh Khalid Kurdi Al Usmani sampai dewasa ini dinamakan “Khalidiah“, atau dikenal dengan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah.

Setelah itu, tarekat ini tidak mengalami perubahan penyebutan nama. Karena bagi para pengamal tasawuf di masa berikutnya, yang menjadi pusat perhatian adalah ilmu yang diajarkan dan sumber ilmu yang ditunjukkan pada untaian silsilah keguruan. Lalu, setelah Maulana Syaikh Khalid, silsilah keguruan berikutnya berturut-turut adalah Sayyidi Syaikh Abdullah Afandi, Sayyidi Syaikh Sulaiman Qarimi, kemudian Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi.

Pada Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi, yang berkedudukan di Jabal Qubaisy dan berada pada silsilah ke-32, berguru murid-murid yang nanti menjadi penerusnya, yakni Syaikh Usman Fauzi (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh M. Hadi (Girikusumo-Jawa Tengah), putra beliau sendiri Sayyidi Syaikh Ali Ridho (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh Sulaiman (Huta Pungkut-Sumatera Barat), dan Sayyidi Syaikh Abdul Wahab Rokan (Babussalam-Aceh). Silsilah keguruan selanjutnya berada pada Sayyidi Syaikh Ali Ridho.

Sekembali dari Jabal Qubaisy, Sayyidi Syaikh Sulaiman mengembangkan tarekat ini yang berpusat di Huta Pungkut-Sumatera Barat, dan mendapatkan murid yang sangat cemerlang, yakni Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Al-Khalidi (Buayan-Sumatera Barat). Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim melawat ke Jabal Qubaisy dan mendapatkan ijazah keguruan pada silsilah ke-34. Selanjutnya kepada Sayyidi Syaikh Hasyim Al-Khalidi inilah Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berguru dan mendapatkan ijazah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dan pemegang silsilah ke-35.

Selain dari Sayyidi Syaikh Hasyim, Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya juga mendapatkan ijazah keguruan dari Syaikh Abdul Majid (Batusangkar) dan Syaikh Syahbuddin (Sayurmatinggi) yang keduanya juga pemegang silsilah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah namun dari alur silsilah yang berbeda dengan Sayyidi Syaikh Hasyim.

Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah yang diwarisi dan diteruskan oleh Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berkembang pesat di Indonesia, Malaysia bahkan juga ada Amerika Serikat. Rumah-rumah wirid yang lazim disebut surau tumbuh berkembang hampir di 700 tempat. (Baca Mozaik edisi April 2008).

Untuk mengelola tempat-tempat wirid yang tersebar itu, berikut mewadahi aktivitas sosial kemasyarakatannya, maka didirikan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya yang berpusat di Medan. Yayasan ini menaungi bidang ketarekatan dan lembaga pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

Selanjutnya ijazah keguruan Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, yang oleh para gurunya dijuluki “guru para cerdik pandai,” diteruskan oleh putra pertama beliau Sayyidi Syaikh Drs. H. Iskandar Zulkarnain, SH.MH. Kemudian sekarang ini ijazah keguruan tersebut sampai pada putra kedua, Sayyidi Syaikh H. Abdul Khalik Fajduani, SH. Semenjak itu, nama tarekat dari jalur silsilah ini, lazim disebut Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dalam naungan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya. Setelah Sayyidi Syaikh H. Abdul Khalik Fajduani, SH berpulang, kemursyidan saat ini diteruskan oleh putra terakhir Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, yakni Sayyidi Syaikh Drs. H. Ahmad Farqi al-Khalidi qs. Selain sebagai Guru Mursyid & Pembina pada surau-surau yg bernaung dalam Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya, Beliau juga sebagai Guru Mursyid pada jajaran surau-surau Baitul yg tersebar di seluruh Indonesia, dan di mancanegara.

Menurut uraian K.A. Nizami dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi (2003), Editor: Seyyed Hossein Nasr, sepanjang sejarahnya, Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua karakteristik menonjol yang menentukan peranan dan pengaruhnya; (1) Ketaatan yang ketat dan kuat pada Hukum Islam (syariat) dan Sunnah Nabi. (2) Upaya tekun untuk mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.

Tidak seperti tarekat-tarekat sufi lainnya, lanjut Nizami, Tarekat Naqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Sebaliknya, ia gigih melancarkan ikhtiar dengan pelbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pandangan mereka. “Raja adalah jiwa dan masyarakat adalah tubuh. Jika sang Raja tersesat, rakyat akan ikut tersesat.” Demikian kutipan pesan yang dikatakan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi. []

Nabi Muhammad ibn Abd Allah, Shalla Allahu `alayhi wa alihi wa sallam

Syekh-Syekh dari Tarekat Naqsybandi dikenal sebagai Silsilah Keemasan karena koneksi mereka terhadap manusia paling sempurna, Nabi Muhammad (s), manusia paling agung, yang pertama diciptakan, yang pertama disebutkan, yang pertama dimuliakan.

Ketika Allah memerintahkan Qalam untuk menulis, ia bertanya, “Apa yang harus kutulis?” dan Allah berfirman, “Tulislah ‘La Ilaha Ill-Allah.’” Kemudian Qalam menulis, “La Ilaha Ill-Allah” selama tujuh puluh ribu tahunnya Allah dan kemudian berhenti. Satu tahun dalam perhitungan Allah setara dengan seribu tahun menurut perhitungan kita. Kemudian Allah memerintahkan Qalam untuk menulis kembali dan Qalam bertanya, “Apa yang harus kutulis?” dan Allah menjawab, “Tulislah ‘Muhammadun Rasul-Allah.’” Kemudian Qalam bertanya, “Ya Allah, siapakah Muhammad ini yang Kau sandingkan Nama-Mu dengan namanya?” Allah berfirman, “Kau harus tahu bahwa jika bukan untuk Muhammad, aku tidak akan menciptakan apa-apa di antara Makhluk.” Demikianlah, lalu Qalam menulis ‘Muhammadun Rasul-Allah’ selama tujuh puluh ribu tahun lagi.

Kapankah Allah memerintahkan Qalam untuk menulis? Kapan Qalam menulis? Kapankah penulisan “La ilaha ill-Allah Muhammadun Rasul-Allah” terjadi? Tidak ada yang tahu. Penyebutan nama Nabi (s) oleh Allah (swt) adalah sesuatu yang terjadi sebelum penciptaan segala sesuatu dan hakikatnya terjadi pada zaman pra azali. Itulah sebabnya Nabi (s) bersabda, “kuntu Nabiyyan wa adamu bayni-l-ma’i wa-t-tin” – “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih berada di antara air dan tanah.”

Beliau adalah Insan Kamil. Beliau adalah Penutup seluruh Nabi dan Rasul. Apa yang dapat dikatakan oleh seorang hamba yang lemah untuk menghormati Junjungan seluruh Rasul? Jika bukan untuk beliau, tidak ada seorang pun yang akan mengenal Allah (swt). Tidak ada kain di alam semesta ini yang akan ditenun menjadi nyata sebagaimana ia telah ditenun. Oleh sebab itu Qalam tidak dapat mendeskripsikan manusia yang paling sempurna, Junjungan dari seluruh junjungan, Raja dari semua raja, Sultan dari semua sultan di Hadratillah.

Beliau adalah Kalbu Hadratillah. Beliau adalah Kalbu Inti yang Khas. Beliau adalah Tanda untuk Keesaan dan Tanda bagi Keesaan. Beliau dikenal sebagai Rahasia bagi semua Rahasia. Beliaulah satu-satunya yang akan dituju (diajak berbicara) oleh Allah (swt), karena beliaulah satu-satunya yang dianggap Bertanggung Jawab di Hadratillah, sebagaimana Allah berifirman, “Jika bukan untuknya, Aku tidak akan menciptakan satu pun makhluk.” Seluruh makhluk diberikan kepada Nabi (s) sebagai isyarat penghormatan yang diberikan oleh Allah (swt). Oleh sebab itu Nabi (s) bertanggung jawab atas ciptaan itu, yang merupakan kehormatan dan amanat baginya. Untuk itulah beliau menjadi satu-satunya yang akan ditanya di Hadratillah.

Status tunggal dari Nabi (s) adalah kalbu dan Dzat dari kalimat tauhid [La ilaha ill- Allah Muhammadun Rasul-Allah] dan fondasi Sufisme. Nabi (s) adalah “satu jiwa” sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat Qur’an, “[Wahai manusia] tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur itu) melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” [31:28]. Nabi

(s) pulalah yang dikatakan seabgai “satu kehidupan” yang direpresentasikan di dalam ayat, ”Barang siapa membunuh seorang manusia… seolah-olah ia telah membunuh seluruh manusia: dan jika seseorang memelihara kehidupan satu manusia, seolah-olah ia telah menyelamatkan seluruh manusia.” [5:32]

Lebih jauh, tanggung jawab Nabi (s) disebutkan di dalam hadits, a`malakum tu`radu `alayya kulla yawm, “Seluruh perbuatan kalian ditunjukkan kepadaku setiap hari. Jika amal itu baik, aku akan berdoa untukmu, jika buruk, aku memintakan ampunan kepada Allah untukmu.” Itu berarti Nabi (s) adalah orang yang mempertanggungjawabkan umatnya terhadap Allah (swt). Itulah sebabnya, sebagaimana yang kami katakan, beliau adalah “satu-satunya yang akan diajak berbicara oleh-Nya.” Itulah makna dari syafaat. Allah merujuk syafaat ini di dalam ayat, “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati bahwa Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” [4:64].

Biografinya yang mulia dan ucapan-ucapannya dan perbuatannya yang penuh berkah tidak akan pernah cukup dituliskan di dalam sebuah buku. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa beliau adalah Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim dan bahwa silsilahnya kembali kepada Nabi Ibrahim (s). Beliau dilahirkan di kota Mekah al-Mukarrama pada hari Senin, tanggal 12 Rabi`ul Awwal, 570 M. pada tahun Gajah. Ibunya, Sayyida Amina, ketika melahirkannya melihat seberkas cahaya dari dalam dirinya yang menerangi seluruh kegelapan hingga Persia. Ketika beliau dilahirkan, yang pertama beliau lakukan setelah keluar dari rahim ibunya adalah melakukan sujud. Ayahnya telah wafat sebelum beliau dilahirkan. Beliau disusui oleh Tsuayba dan kemudian oleh Halima as-Sa`diyya, beliau tinggal bersamanya hingga empat tahun.

Ketika kembali dari mengunjungi pamannya di Madinat al-Munawwarah (pada saat itu disebut Yatsrib), ibunya jatuh sakit dan kemudian wafat. Beliau masih berusia enam tahun. Beliau kemudian dibesarkan oleh kakeknya selam dua tahun, sampai beliau juga wafat. Menjadi yatim tiga kali, akhirnya beliau tinggal bersama pamannya, Abu Thalib. Allah (swt) memerintahkan Malaikat Israfil menemaninya sepanjang waktu hingga berumur sebelas tahun. Kemudian Allah memerintahkan malaikat Jibril (a) untuk menemaninya dan menjaganya di dalam pengawasannya, serta mengirimkan Kekuatan Surgawi dan Kekuatan Spiritual ke dalam kalbunya.

Beliau melakukan perjalanan bersama pamannya ke Syam (Damaskus). Di tengah perjalanannya, mereka melewati Basra dan bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhaira, yang tinggal di sebuah biara di sekitar sana. Pendeta itu berkata kepada sang paman, “Bawalah ia kembali, itu lebih aman baginya.” Pada saat itu beliau berumur dua belas tahun. Bertahun-tahun kemudian beliau kembali bepergian ke Syam bersama Maysara, untuk berdagang atas nama Siti Khadija (r). Mereka sangat sukses. Maysara bercerita kepada Khadija (r) mengenai keistimewaannya dan ketajaman dagangnya, sehingga Khadija (r) menjadi tertarik kepadanya dan mengajaknya untuk menikah. Beliau (s) menerimanya dan akhirnya mereka menikah ketika Nabi (s) berumur 25 tahun sementara Khadija (r) empat puluh tahun.

Di lingkungan sukunya, beliau dikenal sebagai ash-Shadiq al-Amin, Orang yang Jujur dan Dapat Dipercaya. Ketika beliau (s) berusia 35 tahun, suku Quraisy ingin merenovasi Baitullah, Ka’bah. Mereka berselisih satu sama lain mengenai siapa yang akan meletakkan hajaru-l-aswad di tempatnya. Akhirnya mereka setuju bahwa orang yang paling terpercayalah yang akan melakukannya, dan orang itu adalah Nabi (s).

Pada saat itu sebuah ilham dan wahyu datang ke dalam kalbunya. Beliau selalu berada dalam keadaan penglihatan dan pencerahan spiritual, tetapi beliau tidak diberi otorisasi untuk membicarakannya. Beliau lebih senang menyendiri dan menggunakan sebuah gua di sebuah gunung yang disebut al-Hira untuk bertafakur dan merenung. Beliau melakukan pengasingan sebagai jalan untuk meraih Hadirat Allah `Azza wa Jalla.

Beliau menghindari segala jenis keterikatan, bahkan dengan keluarganya. Beliau selalu dalam keadaan meditasi dan tafakur, melayang di Samudra Zikir Kalbu.

Beliau memutuskan dirinya sepenuhnya terhadap segala sesuatu, hingga tampak padanya cahaya Allah `Azza wa Jalla, yang menghiasi dirinya dengan kondisi kedekatan dan kebahagiaan yang lengkap. Kedekatan itu membuat cermin wahyu semakin murni dan cerah, sampai beliau mencapai maqam kesempurnaan tertinggi, di mana beliau dapat mengamati munculnya makhluk yang baru. Tanda-tanda primordial keindahan bersinar, tersebar mengiasi seluruh alam. Pepohonan, batu- batuan, tanah, bintang-gemintang, matahari, bulan, awan, angin, hujan, dan binatang-binatang akan menyapanya dengan bahasa Arab yang fasih dan mengucapkan, “as-Salam `alayka Ya Rasul-Allah” — “Salam sejahtera bagimu, wahai Utusan Allah.”

Pada usia empat puluh tahun, ketika beliau berdiri di Gunung Hira, di cakrawala tampak sebuah sosok yang tidak dikenalinya berbicara kepadanya, “Wahai Muhammad, aku adalah Jibril dan engkau adalah Nabi Allah yang diutus kepada umat ini.” Kemudian ia membawakan sehelai kain sutra yang dihiasi dengan permata. Ia letakkan kain itu ditangannya dan berkata kepadanya, “Bacalah!”

Beliau bertanya, “Apa yang harus kubaca?” Ia memeluk Nabi (s) dan berkata, “Bacalah!” Kemudian beliau berkata lagi, “Apa yang harus kubaca?” Malaikat Jibril kemudian memeluknya lagi dan berkata,

Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu, yang Menciptakan, Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah,

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah Yang mengajar (manusia) dengan Kalam,

Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya! [96:1-5]

Kemudian ia memerintahkannya untuk turun gunung menuju dataran di bawahnya; ia lalu menempatkannya pada sebuah batu putih yang besar dan memberinya dua jubah hijau. Kemudian Jibril menghantam tanah dengan kakinya. Dengan segera air memancar dari tempat itu dan Jibril melakukan wudu dan memerintahkannya untuk melakukan hal yang sama. Kemudian Jibril (a) mengambil segenggam air dan memercikannya ke wajah Nabi (s). Para awliya mengatakan bahwa air yang dipercikkan itu merupakan tanda bahwa Nabi (s) telah diberi otoritas untuk menyebarkan Ilmu mengenai Rahasia Hadratillah kepada manusia, baik dengan jalan fisik maupun spiritual. Kemudian Jibril (a) melakukan salat dua rakaat dan mengatakan kepada Nabi (s), “Beginilah caranya beribadah,” kemudian ia menghilang.

Nabi (s) kemudian kembali ke Mekah dan berkata kepada istrinya apa yang telah terjadi. Ia mempercayainya dan menjadi Muslim pertama. Kemudian ia pergi bersama Nabi (s) ke rumah sepupunya, Waraqah bin Nawfal, yang dipandang sebagai orang yang berilmu dalam hal spiritualitas. Nabi (s) menceritakan apa yang telah terjadi. Ia pun mempercayainya dan ia menjadi pria pertama yang percaya kepada Nabi (s). Ia berkata, “Ini adalah Roh Kudus yang datang kepada Musa (a).” Ia berkata, “Apakah aku masih hidup ketika umatmu mengusirmu dari Mekah?” Nabi (s) bertanya, “Apakah umatku akan mengusirku dari Mekah?” Ia berkata, “Ya, itulah yang tertulis.”

Kemudian Abu Bakar (r) menyusul menjadi seorang mukmin dan diikuti oleh Ali (r). Di hadapan umum Nabi (s) memberi nasihat yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, dan di lingkungan privat beliau memberi nasihat untuk mencapai Maqamul Ihsan. Itulah sebabnya mengapa Abu Huraira (r) berkata di dalam sebuah hadits sahih yang disebutkan di dalam Bukhari bahwa, “Nabi (s) telah mencurahkan dua macam ilmu ke dalam kalbuku, yang pertama aku sebarkan kepada orang-orang, tetapi yang lain jika aku ungkapkan, mereka akan memenggal leherku.”

Ilmu yang dimaksud oleh Abu Huraira (r) itu adalah ilmu rahasia, ilmu yang tersembunyi yang diberikan oleh Nabi (s) kepada para Sahabat. Beliau (s) tidak mengizinkannya untuk menyebarkan ilmu itu, karena itu adalah ilmu rahasia kalbu. Dari rahasia-rahasia semua mursyid dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi dan semua tarekat lainnya menerima ilmu mereka. Ilmu ini ditransmisikan hanya dari kalbu ke kalbu, baik melalui Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r) maupun Sayyidina `Ali (r).

Selama tiga tahun, seiring dengan bertambahnya jumlah Muslim, mereka menggunakan Dar al-Arqam sebagai masjid untuk menyampaikan pengajaran, untuk beribadah dan sebagai tempat bersembunyi.  Kemudian Nabi (s) diperintahkan untuk memproklamirkan agamanya secara terbuka. Allah menurunkan sebuah surat dari al-Qur’an yang menantang semua orang untuk menulis sesuatu yang menyerupainya. Para penyair, pemimpin dan orang-orang terkenal berusaha melakukannya sampai mereka sendiri secara terbuka menerima kenyataan bahwa jelas itu adalah mustahil. Namun demikian tetap saja orang-orang kafir mendatangi paman Nabi (s), untuk mengeluh dan berkata, “Serahkan Muhammad (s) kepada kami, agar kami dapat membunuhnya.” Beliau berkata, “Tidak ada orang yang boleh menyentuhnya selama aku masih hidup.” Orang-orang kafir itu menyiksa semua orang yang percaya kepada Nabi (s). Mereka menculikistri-istrinya, membunuh anak-anak mereka dan memperkosa putri-putri mereka. Muslim-muslim baru itu menderita berbagai kesulitan di tangan orang-orang kafir.

Selama tiga belas tahun Nabi (s) tinggal di Mekah, berdakwah menyeru orang-orang kepada agama Allah.

Orang-orang kafir meminta mukjizat atau sebuah tanda di langit. Nabi Suci (s) membelah bulan purnama menjadi dua di depan mata mereka. Sebagian dari mereka percaya tetapi sebagian lagi tidak. Setelah ini penyiksaan masih terus berlangsung dan sebagian Muslim meminta izin untuk hijrah. Mereka hijrah ke Ethiopea, di mana raja di sana memberi mereka suaka dan melalui pengaruh mereka, raja menjadi percaya kepada Nabi (s). Mereka tinggal di sana selama lima tahun sebelum sebagian dari mereka kembali ke Mekah. Paman Nabi (s) dan kemudian istri beliau, Khadija al-Kubra (r) wafat. Keduanya merupakan pendukung yang setia. Itu adalah tahun yang penuh dengan kesedihan.

Satu setengah tahun kemudian, beliau (s) diundang ke Hadratillah, `Azza wa Jalla. Dari Mekah ke Jerusalem (Quds), beliau ditemani oleh Malaikat Jibril (a). Dari Jerusalem beliau naik ke langit dengan mengendarai Buraq. Semua Nabi dalam tingkatan langit yang berbeda-beda menyambut kedatangannya. Beliau naik dan naik lebih tinggi lagi, sampai beliau mendengar guratan Kalam, yang menulis Qadha Allah. Beliau (s) mendekati Hadratillah, lebih dekat dan dekat lagi sampai Jibril (a) berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa melanjutkan perjalananku, bila terus aku akan musnah.” Nabi (s) berkata, “Wahai Jibril, temani aku!” Ia berkata, “Aku tidak bisa menemanimu, aku akan terbakar di dalam Nurullah, Cahaya Allah.” Jadi, Nabi Muhammad (s), yang paling sempurna dari yang sempurna, melanjutkan perjalannya sendiri. Didorong oleh cintanya kepada Hadratillah, beliau (s) mendekat dan mendekat, mencapai Maqamul Fana yang lengkap dalam lima tahap yang berbeda.

Dari satu tahap ke tahap berikutnya, Nabi (s) bergerak ke dalam Sirrullah, Rahasia Ilahiah Allah. Antara satu tahap dengan tahap berikutnya berjarak lima ratus ribu tahun. Beliau menembus Samudra Ilmu Ilahiah yang luas ini, yang telah diciptakan Allah, sampai beliau benar-benar larut di dalam Eksistensi Allah, tidak melihat yang lain kecuali Allah. Kemudian Allah memanggilnya agar kembali ke alam nyata setelah beliau mencapai Maqamul Fana. Beliau (s) kembali dan Allah berfirman kepadanya, “Wahai Muhammad, Mendekatlah.” Dari sini dapat dipahami bahwa ketika Nabi (s) mencapai Maqamul Fana sepenuhnya, beliau (s) dipanggil namanya oleh Allah, dan itu menunjukkan bahwa beliau (s) muncul lagi dengan Penampilan Ilahiah. Beliau sampai begitu dekat dengan Cahaya Ilahi, di mana beliau sampai pada maqam “Qaaba Qawsayni aw Adnaa” “Sejarak Dua Busur atau lebih dekat lagi.” [53:9]. Allah bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wahai Muhammad?” Pada saat itu Nabi (s) tidak menyadari dirinya dan beliau (s) menjawab, “Engkau, wahai Tuhanku.” Ini adalah kesempurnaan dari maqam tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu. Itu merupakan tanda kesempurnaan Tauhid, ketika tidak ada yang ada kecuali Kemulian-Nya, Dzat-Nya, Dia Sendiri.

Dari ilmu rahasia para Awliya, Syekh Nazim al-Haqqani menceritakan tentang beberapa kejadian yang terjadi dalam perjalanan Nabi (s) yang menakjubkan. Ini adalah ilmu dari Nabi (s) yang dirujuk oleh Abu Hurayrah (r) di dalam hadits yang diriwayatkannya, ilmu yang diturunkan dari kalbu Abu Bakr as-Siddiq (r). Nabi (s) bersabda, “Apapun yang Allah tuangkan ke dalam kalbuku, aku tuangkan ke dalam kalbu ash-Shiddiq.” Ilmu ini kemudian diteruskan kepada para Syekh Sufi Naqsybandi dan menjadi warisian spiritual mereka.

Syekh Nazim al-Haqqani berkata, “Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) pada malam Isra Mi’raj, ‘Wahai Muhammad, Aku telah menciptakan seluruh makhluk demi engkau, dan Aku serahkan semuanya untukmu. Pada saat itu Allah mengaruniai Nabi (s) kekuatan untuk melihat semua ciptaan-Nya, dengan seluruh cahaya mereka dan semua nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka dengan menghiasi mereka dengan Atribut-Nya dan dengan Cinta dan Keindahan Ilahiah-Nya.

“Muhammad (s) terpikat dan terpesona karena Allah telah memberinya pemberian berupa seluruh makhluk itu. Allah berkata kepadanya, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau senang dengan ciptaan ini?’ Beliau (s) berkata, ‘Ya, wahai Tuhanku.’ Dia berkata, ‘Aku serahkan mereka kepadamu sebagai amanat untuk dijaga, dan untuk dikembalikan kepada-Ku sebagaimana ketika Aku menyerahkan mereka kepadamu.’ Muhammad (s) melihat mereka dengan suka cita karena mereka diterangi dengan cahaya-cahaya yang indah, dan beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku terima.’ Allah bertanya, ‘Apakah kau menerima?’ Beliau (s) menjawab, ‘Aku menerima, aku menerima.’ Setelah beliau menjawab ketiga kalinya, Allah memberinya sebuah ru’ya, pemandangan spiritual di mana mereka akan jatuh ke dalam berbagai dosa, kesedihan, kegelapan dan kelalaian.

“Ketika Muhammad (s) melihat hal ini, beliau (s) menjadi khawatir, memikirkan bagaimana beliau akan mengembalikan mereka kepada Tuhannya dalam keadaan suci seperti keadaan awalnya. Beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, apakah ini?’ Allah menjawab, ‘Wahai Kekasih-Ku, ini adalah tanggung jawabmu. Kau harus mengembalikan mereka kepada-Ku dalam keadaan suci seperti ketika Aku menyerahkannya kepadamu.’ Kemudian Muhammad (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikan aku penolong untuk membantuku membersihkan mereka, untuk mensucikan ruh mereka, dan membawa mereka dari kegelapan dan kealpaan menuju maqam ilmu, kesalehan, kedamaian dan cinta.’

“Kemudian Allah `Azza wa Jalla memberinya penglihatan spiritual di mana Allah memberitahu Nabi (s) bahwa Dia telah memilih di antara umatnya 7.007 Wali Naqsybandi. Dia berkata kepadanya, ‘Wahai Kekasih-Ku, wahai Muhammad, para wali ini berasal dari Wali-Wali yang paling mulia yang Aku ciptakan untuk membantumu menjaga ciptaan ini agar tetap suci. Di antara mereka terdapat 313 Wali yang tingkatannya tertinggi, dengan Maqam yang paling sempurna di Hadratillah. Mereka adalah para pewaris rahasia dari 313 Rasul. Kemudian Aku memberimu empat puluh, yang membawa kekuatan paling tinggi, dan mereka dianggap sebagai Pilar bagi semua wali. Mereka akan menjadi Penghulu di masanyadan mereka akan menjadi Pewaris Rahasia Hakikat.’

“‘Di tangan para wali ini, setiap orang akan disembuhkan dari luka-lukanya baik lahir maupun batin. Para wali ini akan mampu membawa seluruh umat dan seluruh makhluk tanpa tanda-tanda kelelahan. Setiap orang di antara mereka akan menjadi Ghawts di masanya, dan di bawahnya akan ada lima Qutub.’

“Nabi (s) gembira dan beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikan aku lebih banyak! Kemudian Allah menunjukkan kepadanya 124.000 wali dan Dia berkata, ‘Wali-wali ini merupakan pewaris dari 124.000 Nabi. Masing-masing merupakan pewaris dari satu Nabi. Mereka juga akan berada di sana untuk membantumu membersihkan umat ini.’

“Ketika Nabi (s) melakukan mi’raj ke Hadratillah, Allah membuatnya dapat mendengar suara manusia. Suara itu adalah suara Sahabat terdekatnya, Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Allah (swt) meminta Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakr ash- Shiddiq (r) untuk memanggil semua Wali Naqsybandi: yang 40, 313, dan 7.007, serta seluruh pengikut mereka, dalam wujud spiritual, untuk datang ke Hadratillah.

Semuanya menerima Cahaya dan Berkah yang istimewa itu.

“Kemudian Allah memerintahkan Nabi (s), yang kemudian memerintahkan kepada Abu Bakr (r) untuk memanggil 124.000 wali dari 40 tarekat lainnya dan para pengikut mereka untuk diberi Cahaya dalam Hadratillah itu. Semua Syekh mulai muncul dalam pertemuan itu dengan seluruh pengikutnya. Allah lalu meminta Nabi (s) untuk memandang mereka dengan kekuatan dan cahaya kenabiannya, untuk mengangkat mereka semua ke Maqam Ash-Shiddiqin. Kemudian Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) dan kemudian Nabi (s) menyampaikannya kepada para wali, ‘Kalian semua dan pengikut kalian akan menjadi bintang yang bersinar di antara seluruh manusia, untuk menyebarkan cahaya yang telah Kuberikan kepada kalian pada zaman pra Azali kepada seluruh manusia di bumi.’”

Mawlana Syekh Nazim (q) berkata, “Itu hanyalah satu rahasia yang telah diungkapkan mengenai Laylatul Isra wal Mi’raj kepada kalbu para awliya melalui transmisi Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi.” Banyak lagi ru’ya (penglihatan) yang diberikan kepada Nabi (s), tetapi belum ada izin untuk mengungkapkannya.

Pada malam itu, Nabi (s) diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan salat 50 kali sehari. Atas nasihat Nabi Musa (a), Nabi (s) memohon untuk menguranginya hingga 5 kali sehari. Beliau (s) kembali dari Isra Mi’raj itu dan orang yang mempercayainya adalah Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Orang-orang kafir berharap dapat mempermalukannya dengan bertanya mengenai gambaran kota Jerusalem. Nabi (s) lalu menggambarkannya secara mendetail sehingga malah membuat mereka dipermalukan.

Penganiayaan terhadap Nabi (s) dan Sahabatnya semakin meningkat. Kemudian Allah mengirimkan orang-orang Anshar dari Madinah kepadanya. Islam mulai tersebar di antara suku-suku dari oasis kecil yang tak jauh dari Mekah ini. Allah mengizinkan kaum Mukmin untuk hijrah ke Madinah, kampungnya kaum Anshar. Abu Bakr (r) ingin melakukan hijrah, tetapi Nabi Muhammad (s) berkata kepadanya, “Jangan pergi dulu, tunggulah, kau akan berangkat denganku. Ada sebuah peristiwa penting yang akan terjadi.”

Nabi (s) berangkat di malam hari bersama Abu Bakr (r) dan meninggalkan `Ali (r) di tempat tidurnya untuk berpura-pura sebagai dirinya. Dalam perjalanannya, beliau berhenti untuk bersembunyi di Gua Tsur. Abu Bakr (r) berkata, “Wahai Nabi (s), jangan masuk dulu, aku akan memeriksanya dulu.” Di dalam hatinya ia berpikir bahwa barangkali ada sesuatu yang berbahaya di dalam gua itu dan ia memilih untuk menghadapinya duluan. Ia menemukan sebuah lubang di dalam gua. Ia lalu memanggil Nabi (s) untuk datang dan ia menutupi lubang itu dengan kakinya. Nabi (s) datang dan membaringkan kepalanya pada paha Abu Bakar (r). Seekor ular di dalam lubang itu mulai menggigit kaki Abu Bakar (r). Ia berusaha untuk tidak bergerak meskipun ia sangat kesakitan. Air mata mengalir ke pipinya. Setetes air matanya yang hangat jatuh mengenai wajah Nabi (s) yang diberkati. Saat itu, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, “Beliau (s) berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.’” [9: 40] dan beliau (s) juga berkata, “Bagaimana menurutmu terhadap keduanya bila Allah menjadi yang Ketiga di antara mereka?” [57: 4]. Abu Bakar (r) berkata kepada Nabi (s), “Wahai Nabiullah (s), aku bukannya sedih, tetapi aku kesakitan. Seekor ular menggigit kakiku dan aku khawatir bahwa ia akan menggigitmu. Aku menangis karena hatiku mendidih memikirkan keselamatanmu.” Nabi (s) sangat senang mendengar jawaban Sahabat terdekatnya, lalu beliau (s) memeluk Abu Bakar ash- Shiddiq (r), menempelkan tangannya pada kalbu Abu Bakar (r) dan menuangkan semua ilmu yang Allah berikan kepadanya ke dalam kalbu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Itulah sebabnya beliau (s) bersabda di dalam sebuah hadits, “Apapun yang Allah tuangkan ke dalam kalbuku, aku tuangkan ke dalam kalbu Abu Bakar (r).”

Grandsyekh kita Muhammad Nazim al-Haqqani (q) berkata, “Kemudian Nabi (s) meletakkan tangannya yang lain pada kaki Abu Bakar ash-Shiddiq (r) dan membaca, “Bismillah ir-Rahman ir-Rahim,” kemudian kaki itu menjadi sembuh. Beliau (s) lalu memerintahkan ular itu untuk keluar, dan ia pun keluar, menggulung dirinya di hadapan Nabi (s). Kamudian Nabi (s) bersabda kepada ular itu, ‘Apakah engkau tidak tahu bahwa menggigit daging seorang Shiddiq diharamkan bagimu? Mengapa engkau menggigit daging Sahabatku?’ Ular itu menjawab dalam bahasa Arab yang murni dan fasih, ‘Wahai Nabiullah, bukankan semua makhluk diciptakan untuk dirimu dan sebagai kecintaan terhadapmu? Wahai Nabi, aku juga sangat mencintaimu. Ketika aku mendengar bahwa Allah `azza wa Jalla berfirman bahwa umat terbaik adalah umatmu, aku berdoa agar Allah memanjangkan umurku dan mengaruniaiku kehormatan untuk menjagi bagian dari umatmu dan memberiku kesempatan untuk melihat wajahmu. Dan Allah mengabulkan permintaanku.

Ketika Abu Bakar (r) meletakkan kakinya di lubang itu, ia menutupi pandanganku. Aku ingin agar ia memindahkan kakinya agar aku dapat memandangmu. Nabi (s) bersabda, “Sakarang, pandangilah aku dan penuhi keinginanmu.” Nabi itu memandangi wajah Nabi (s); setelah itu ia wafat. Nabi (s) memerintahkan jin untuk membawanya dan menguburkannya.”

Mawlana Syekh Nazim berkata, “Ini adalah rahasia-rahasia yang telah diberikan ke dalam kalbu para Wali Naqsybandi.” Beliau melanjutkan ceritanya, “Kemudian Nabi

(s) berkata kepada Abu Bakar (r), ‘Tidak perlu berhenti di gua ini, kecuali bahwa ada suatu peristiwa penting yang akan terjadi di sini. Cahaya dari akar Pohon spiritual yang akan menyebar ke seluruh penjuru manusia, Cahaya yang langsung berasal dari Hadratillah itu akan muncul di sini. Allah telah memerintahkan aku untuk menyampaikannya kepadamu dan kepada seluruh pengikut Tarekat Naqsybandi.’

“Silsilah ini tidak disebut Naqsybandi pada saat itu, tetapi dikenal sebagai Bani Abu Bakar ash-Shiddiq (r), dan beliau dikenal sebagai ‘Ayah’ bagi garis silsilah ini.

“Kemudian Allah meminta Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakar ash-Shiddiq untuk memanggil seluruh Mursyid Silsilah Keemasan yang merupakan para pewaris Abu Bakar (r). Kemudian beliau memanggil seluruh Grandsyekh dari Silsilah Keemasan ini, mereka semua, dari zaman beliau hingga zaman Mahdi (a). Mereka semua dipanggil melalui ruh mereka dari Alam Arwah. Kemudian beliau diperintahkan untuk memanggil 7007 Wali Naqsybandi. Kemudian Nabi (s) memanggil 124.000 Nabi.

“Abu Bakar ash-Shiddiq (r), atas perintah Nabi (s) memerintahkan setiap Grandsyekh untuk memanggil semua pengikutnya untuk muncul secara spiritual (rohani). Kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq (r) memerintahkan semua Syekh untuk memegang tangan para pengikutnya untuk menerima bay’at. Beliau meletakkan tangannya di atas mereka semua, dan kemudian Nabi Muhammad (s) meletakkan tangannya di atas tangan mereka semua, kemudian Allah meletakkan Tangan-Nya, Tangan Kekuasaan (Qudrah) di atas mereka semua. Allah Sendiri memberikan talqiin adz-Dzikir kepada setiap orang yang hadir, dan Dia mengatakan kepada Nabi untuk memerintahkan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) untuk memerintahkan seluruh wali yang hadir bersama para pengikutnya untuk membaca apa yang mereka dengar dari Suara Kekuasaan:

Semua yang hadir mengikuti Syekh mereka dan mengikuti apa yang mereka dengar dari apa yang dibaca oleh Nabi (s). Kemudian Allah (swt) mengajarkan rahasia zikir yang dikenal dengan Khatm-il-Khwajagan, kepada `Abdul Khaliq al-Ghujduwani, yang kemudian memimpin zikir untuk pertama kalinya di antara para wali dari Tarekat ini. Nabi (s) mengumumkan kepada Abu Bakar (r), yang kemudian mengumumkan kepada seluruh wali, bahwa `Abdul Khaliq al-Ghujdawani adalah imam Khatm-i-Khwajagan. Setiap orang mendapat kehormatan untuk menerima rahasia dan cahaya dari Khwaja `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), dalam hadirat seluruh wali, dalam hadirat Abu Bakar ash-Shiddiq (r), dalam hadirat Nabi (s), dalam Hadratillah.

Mawlana Syekh Nazim berkata, “Setiap orang yang menerima bay’at dari kami atau menghadiri zikir kami harus tahu bahwa ia berada di dalam gua pada saat yang diberkati itu, dalam hadirat Nabi (s), dan bahwa ia kemudian menerima semua rahasia ini. Rahasia-rahasia ini telah ditransmisikan kepada kita dari para mursyid dalam Silsilah Keemasan melalui Abu Bakar ash-Shiddiq (r).”

Abu Bakar ash-Shiddiq (r) sangat bergembira dan terkejut dengan apa yang terjadi di gua itu, dan beliau mengerti bahwa Nabi (s) telah memilihnya untuk menjadi pendampingnya dalam hijrahnya. Para Syekh Naqsybandi menganggap bahwa peristiwa di gua itu sebagai fondasi dari Tarekat. Bukan hanya itu menjadi sumber bagi wirid harian, tetapi juga bahwa ruh dari seluruh pengikut Tarekat ini hadir secara bersama-sama pada saat itu.

Setelah kejadian di dalam gua itu, mereka melanjutkan perjalanannya ke Madinat al- Munawwarah. Ketika mereka sampai di Quba, sebuah desa dekat Madinah, pada hari Senin di bulan Rabi’ul Awwal, mereka singgah selama beberapa hari. Di sana Nabi (s) membangun masjid pertamanya. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka pada hari Jumat, setelah salat Jumat di Quba. Itu adalah Jumat pertama yang beliau lakukan. Beliau (s) lalu memasuki Madinah dengan sahabatnya, di antara teriakan takbir (ALLAHU AKBAR) dan tahmid (AL-HAMDU LILLAH) serta keceriaan dan kegembiraan setiap orang yang menyambutnya. Beliau lalu pergi ke tempat di mana untanya berhenti, dan di sanalah beliau membangun masjid dan rumahnya. Beliau tinggal sebagai tamu di rumah Abu Ayyub al-Anshari (r) sampai masjidnya selesai dibangun.

Ketika Nabi (s) datang ke Madinah, banyak wabah penyakit di sana. Segera setelah beliau tiba, wabah penyakit itu lenyap. Berikut ini adalah beberapa kejadian utama selama sepuluh tahun berikutnya.

Tahun Pertama

Nabi (s) terinspirasi untuk memanggil orang-orang untuk salat melalui suara manusia (adzan).

Tahun Kedua

Beliau (s) diperintahkan untuk melembagakan bulan puasa Ramadan, dan beliau (s) mengarahkan wajahnya ke Ka`bah di Mekah ketika salat, tidak lagi menghadap ke Jerusalem sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya. Pada tahun ini beliau (s) memerangi kaum kafir dalam sebuah pertempuran yang penting, yaitu Perang Badar.

Tahun Ketiga

Nabi (s) memerangi kaum kafir di Jabal Uhud.

Tahun Keempat

Terjadi Perang Bani Nadiir, dan diperbolehkan untuk memendekkan salat selama dalam perjalanan dan ketika perang. Alkohol dilarang. Tayammum, atau ritual bersuci dengan debu ketika tidak ada air diperbolehkan dan “Salat Khauf (salat dalam keadaan perang atau ketakutan)” diperbolehkan.

Tahun Kelima

Perang Khandaq terjadi dan terjadi pembelotan Banu Quraizah dan Mustaliq.

Tahun Keenam

Perjanjian Hudaibiyyah berlangsung di bawah pohon, sebagaimana Ikrar Kesetiaan– seperti bay’at di kalangan Sufi. Rukun kelima dari agama, yaitu kewajiban menunaikan ibadah haji (bagi yang mampu) juga muncul pada tahun ini.

Tahun Ketujuh

Terjadi Perang Khaibar.

Tahun Kedelapan

Peristiwa Mu’ta, penaklukan damai Mekah dan pertempuran Hunayn terjadi.

Tahun Kesembilan

Perang Tabuk dan Hajinya ash-Shiddiq berlangsung. Ini disebut Tahun Wufud.

Tahun Kesepuluh.

Nabi (s) melakukan apa yang dikenal sebagai Haji Wada atau Haji Perpisahan.

Tahun Kesebelas

Nabi (s) wafat.

Deskripsi mengenai Ciri-Ciri Nabi Suci (s)

Allah (swt) menghiasi Nabi (s) dengan Nurillah dan Akhlakul Karimah, kemudian Dia menambahkannya lagi dengan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” [68:4].

Nabi (s) tidak tinggi maupun pendek, tinggi beliau sedang. Beliau mempunyai bahu yang lebar. Warna kulitnya terang, tidak gelap maupun putih. Beliau mempunyai dahi yang lebar dengan alis yang tebal dan tidak tersambung, namun terdapat sebuah bagian yang bersinar bagaikan perak di antara kedua alisnya itu. Matanya besar. Giginya sangat putih, bagaikan mutiara. Rambutnya tidak ikal dan tidak pula lurus, tetapi di antaranya. Lehernya panjang. Dadanya lebar, tanpa banyak daging. Warna dadanya terang, dan antara tulang dada dengan pusarnya terdapat sebaris rambut. Beliau tidak mempunyai rambut lain di dadanya selain sebarin rambut tersebut. Bahunya lebar dan berambut. Pada bahu tersebut terdapat dua tanda Nubuat. Semua Sahabatnya biasa melihat tanda itu. Pada bahu kanan terdapat tanda hitam yang indah, dan di sekelilingnya ditumbuhi rambut-rambut yang halus, seperti rambut pada seekor kuda. Lengan bawahnya besar. Pergelangan tangannya panjang. Jari-jemarinya juga panjang. Telapak tangannya lebih lembut daripada sutra. Setiap kali beliau meletakkan tangannya di atas kepala seorang anak atau pria dewasa, wangi yang harum terpancar darinya. Ke mana pun beliau pergi, segumpal awan senantiasa menaunginya dari panasnya matahari. Keringatnya bagaikan mutiara, dan wanginya bagaikan amber dan kesturi. Para Sahabat berkata bahwa mereka tidak pernah melihat sesuatu yang seperti itu sebelumnya.

Nabi Suci (s) lebih banyak merendahkan pandangannya daripada mengangkat kepalanya. Siapapun yang melihatnya dari kejauhan akan terpesona dengannya dan siapapun yang mengenalnya dengan baik akan jatuh cinta kepadanya. Beliau adalah makhluk yang paling tampan, baik dalam penampilan eksternal maupun internalnya.

Amr ibn al-`As said (r) berkata, “Tidak ada orang yang lebih kusayangi daripada Nabi Suci (s) dan tidak ada pula orang yang lebih mulia daripada beliau di mataku. Begitu cemerlangnya kemuliaan beliau sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya untuk beberapa saat, sehingga bila aku diminta untuk menggambarkannya aku tidak akan mampu karena aku tidak dapat memandangnya cukup lama.”

Nabi (s) adalah yang paling berani di antara semua orang, beliau juga yang paling adil dan yang paling dermawan. Beliau biasa berjalan sendiri di antara para musuhnya di malam hari tanpa kehadiran seorang pengawal. Beliau tidak pernah merasa takut terhadap sesuatu di dunia ini. Beliau juga adalah orang yang paling sederhana, paling tulus, dan paling saleh. Beliau tidak pernah bicara hanya untuk mengisi waktu. Beliau lebih senang diam daripada bicara, dan tidak pernah memperlihatkan kesombongan, walaupun beliau adalah orang yang paling fasih dalam berbicara.

Allah memberi Nabi (s) keahlian di bidang politik dan keahlian dalam kepribadian. Meskipun beliau tidak menulis atau membaca, Allah mengangkatnya dari tanah jahiliah, mengajarinya akhlak dan perilaku terbaik.

Beliau adalah orang yang paling lembut, paling toleran dan paling penyang, sebagaimana Allah (swt) sendiri menyebutnya, “ar-Raufu ‘r-Rahiim” [9:128]. Beliau tersenyum kepada setiap orang dan senang bergurau dengan setiap orang dengan cara yang pantas. Ketika sendiri beliau selalu menangis dan memohon ampunan kepada Allah bagi umatnya. Beliau selalu melakukan kontemplasi dan tafakur.

Beliau selalu duduk untuk mengingat Allah dengan membaca Zikir.

Beliau sering berjalan bersama janda-janda dan anak-anak yatim. Beliau menunjukkan kerendahan hati kepada orang-orang kafir dan mendoakan mereka untuk menjadi orang yang beriman. Seseorang pernah memintanya, “Berdoalah pada Allah untuk mengutuk orang-orang kafir.” Beliau berkata, “Aku tidak diutus untuk mengutuk, tetapi sebagai Rahmat. Aku akan berdoa agar mereka mendapat hidayah karena mereka tidak mengetahui (apa yang mereka lakukan).”

Beliau menyeru semua orang kepada Allah. Beliau tidak pernah menghina orang miskin. Beliau tidak pernah takut terhadap seorang raja. Beliau selalu memilih jalan yang mudah, sesuai dengan Kehendak Allah [2:185, 20:2]. Beliau tertawa tetapi tidak terbahak-bahak. Beliau selalu berkata, “Layani orang-orangmu.” Beliau biasa memerah susu kambingnya, dan melayani keluarganya, menambal pakaiannya, kadang berjalan tanpa alas kaki, menjenguk orang yang sakit, bahkan jika mereka adalah orang kafir atau seorang yang munafik, berziarah ke makam orang-orang yang beriman dan memberi salam pada mereka, berlatih menggunakan pedang, belajar memanah, mengendarai kuda, unta, dan keledai. Beliau biasa makan dengan orang-orang miskin dan yang sedang ditimpa kemalangan. Beliau selalu menerima hadiah dengan senang hati, bahkan jika itu hanya sesendok yoghurt, dan beliau selalu menghargainya. Beliau tidak pernah makan dari sedekah, tetapi segera menyalurkannya kepada fakir miskin. Beliau tidak pernah menyimpan satu dinar atau satu dirham di dalam rumahnya, kecuali beliau berikan kepada fakir miskin.

Beliau tidak pernah pulang ke rumah sampai beliau habiskan semua yang telah Allah berikan kepadanya.

Beliau sangat baik kepada keluarga dan sahabatnya. Beliau mendesak sahabat-sahabatnya untuk berjalan di depan beliau dan beliau berjalan di belakang mereka. Beliau berkata, “Tinggalkan punggungku untuk para malaikaat.” Persahabatannya adalah persahabatan dengan kesabaran dan rasa malu. Siapa yang berdebat dengannya akan melihat kesabarannya, dan beliau tidak membalas orang-orang yang menghinanya. Beliau tidak pernah menentang seseorang dengan kemarahan atau menggunakan kata-kata yang kasar. Beliau tidak pernah marah untuk dirinya sendiri, beliau hanya marah demi Allah. Beliau biasa makan bersama para pelayannya. Beliau tidak pernah menampar seseorang dengan tangannya. Beliau tidak pernah memberi hukuman untuk suatu kesalahan, melainkan selalu memaafkan. Seorang pelayannya, Anas (r) berkata, “Sepanjang hidupku, beliau tidak pernah sekalipun bertanya padaku: mengapa kau melakukan ini, atau mengapa kau tidak melakukan itu?”

Busana Nabi Suci (s)

Beliau biasa memakai apapun yang beliau dapati, katun atau wol, tetapi kebanyakan beliau mengenakan busana berbahan katun. Beliau menyukai pakaian berwarna hijau. Abu Huraira (r) mengatakan, “Beliau memakai gamis panjang yang longgar, dengan burdah dan habrah serta jubbah, dan beliau memakai turban dengan sebuah cadar dan ujung yang longgar, izar dan rida’.” Jabir ibn Samurah (r) mengatakan, “Aku melihat Nabi (s) pada malam purnama. Beliau (s) memakai mantel berwarna merah yang menutupi seluruh tubuhnya, dan aku melihatnya dengan penuh perhatian ke arahnya dan ke arah bulan. Tentu saja, bagiku beliau lebih indah daripada bulan itu sendiri.” Beliau (s) biasa memakai turban putih dan hitam serta kadang-kadang turban merah. Beliau (s) biasa meninggalkan ekor di bagian belakang turbannya. Imam Tabari berkata, “Beliau (s) biasa mempunyai turban sepanjang tujuh hasta.” Beliau mempunyai sebuah turban yang dinamakan Sihaab (Awan) yang diberikan kepada `Ali (r). Beliau (s) biasa memakai cincin perak pada tangan kanannya dan bertuliskan kalimat, “Muhammadun Rasul-Allah.” Beliau (s) biasa memakai khuff (kaos kaki kulit) di kakinya. Beliau (s) menyukai minyak wangi dan wewangian lainnya.

Beliau (s) tidak pernah melihat kemudahan dan beliau (s) tidak memiliki apa-apa, bahkan sebuah tempat tidur pun tidak, karena beliau (s) ingin membangun tempat tinggalnya di akhirat. Kasurnya terbuat dari dedaunan. Beliau (s) mempunyai sebuah mantel yang besar di mana beliau (s) sering meletakkannya di lantai dan kemudian duduk di atasnya. Kadang-kadang beliau (s) tidur di atas tikar atau langsung di atas lantai.

Mukjizat Nabi Suci (s)

Beliau (s) adalah seorang tabib baik bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Beliau (s) biasa menyembuhkan penyakit dengan membacakan al-Qur’an kepada orang yang sakit. Beliau (s) memberi peringatan kepada orang-orang agar tidak makan secara berlebihan. Beliau (s) menunjukkan begitu banyak mukjizat. Beliau (s) berdoa agar `Ali (r) tidak merasakan cuaca panas dan dingin, dan nyatanya beliau tidak pernah merasakannya. Beliau (s) berdoa untuk Ibn `Abbas (r) agar menjadi seorang yang pintar dalam agama, fiqh dan tafsir Qur’an dan itu menjadi kenyataan. Ketika mata Qutada (r) keluar dari tempatnya, beliau (s) mengembalikannya kembali, dan Qutada (r) mampu melihat seperti semula. Beliau (s) menggosok kaki Ibn Abi `Atiq (r) ketika patah, dan dengan segera kakinya sembuh. Bulan terbelah atas perintahnya sebagai suatu tanda bagi orang-orang kafir. Air memancar dari jari-jemarinya di mana seluruh pasukan dapat minum dan melakukan wudu darinya. Dari secangkir kecil air, air mengalir dan menjadikan padang pasir menjadi sebuah oasis. Cabang pohon di mana beliau (s) duduk menunduk sebagai isyarat cinta ketika beliau (s) berdiri hendak pergi. Mimbar di mana beliau (s) biasa memberikan khotbah sering mengeluarkan suara erangan seolah-olah menangis untuknya. Batu- batuan memuji Allah di tangannya hingga setiap orang dapat mendengarnya.

Binatang-binatang mengeluh kepadanya. Rusa dan serigala bersaksi untuk kenabiannya. Beliau (s) memprediksikan bahwa putrinya Fatima (a) akan menjadi yang pertama menyusul kematiannya. Beliau (s) meramalkan bahwa Utsman Dzu-n- Nurayn, khalifah ketiganya dan juga menantunya akan dibunuh. Beliau (s) mengumumkan pembunuhan al-Aswad bin Annasi (r) pada malam kematiannya di Sana’a jauh di luar Yaman. Beliau (s) menyebutkan kematian dari Raja Persia kepada para Sahabatnya tepat ketika saat itu terjadi. Beliau (s) makan daging yang penuh dengan racun, tetapi tidak terjadi apa-apa padanya meskipun orang yang makan bersamanya tewas seketika. Tak terhitung lagi mukjizat lainnya yang bisa disebutkan.

Kata-Kata Nabi Suci (s)

Tidak ada seorang pun yang dapat membuat catatan lengkap mengenai perkataannya. Bahkan jika samudra di dunia ini menjadi tinta dan pepohonan menjadi kalamnya, tidak ada yang dapat menuliskan seluruh perkataan Nabi Muhammad (s). Ribuan dan ratusan ribu ahadits (riwayat perkataan) telah dituliskan dari apa yang beliau (s) katakan dan ini dikenal sebagai `Ilm al-Hadits atau Ilmu mengenai Sabda Nabi (s).

Beliau (s) bersabda,

“Allah menghargai orang-orang sesuai dengan apa yang mereka capai.”

“Allah berfirman, ‘Barang siapa yang menentang satu di antara wali-Ku, Aku akan menyatakan perang terhadapnya.’”

“Wali-wali Allah berada di bawah Kubah-Nya. Tidak ada yang mengetahui tentang mereka kecuali Dia.”

“Dekatlah dengan orang yang fakir [dalam arti fakir secara spiritual] karena mereka mempunyai pemerintahannya sendiri.”

“Jadilah kamu di dunia ini laksana orang asing atau seorang musafir, jadikanlah masjid sebagai rumahmu, dan ajari kalbumu untuk toleran dan lemah lembut, perbanyak zikir dan banyak menangis.”

“Berapa banyak orang yang menyambut datangnya suatu hari tetapi pada akhirnya mereka tidak lagi hidup untuk melihat, dan berapa banyak yang mengharapkan datangnya esok hari tetapi mereka tidak dapat mencapainya?”

“Katakanlah yang benar, walaupun itu pahit.”

“Jadikanlah segala sesuatu mudah dan jangan dipersulit. Berikan kabar gembira dan jangan membuat orang menjadi pergi.”

“Allah berfirman, ‘Wahai Bani Adam, kau akan meraih apa yang kau niatkan, dan kau akan bersama dengan orang yang lebih kau cintai.’”

“Jagalah Allah dan Dia akan menjagamu. Jagalah Allah di hadapanmu. Jika engkau memerlukan pertolongan, mintalah Pertolongan-Nya.”

“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya orang akan mencintaimu.”

“Orang yang mempunyai pikiran sempurna adalah orang yang paling bertakwa keapda Allah.”

“Waspadalah terhadap dunia karena itu adalah ilmu hitam.” “Tahanlah dirimu kecuali dari kata-kata yang baik.” “Kembalikan amanat dan jangan mengkhianatinya.”

“Ketika Allah mencintai seseorang, Dia akan menempatkannya pada kesulitan.”

“Ketika Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, Dia akan membimbingnya kepada seseorang yang dapat menunjukkan jalan baginya.”

“Berilah maaf, dan Allah akan memaafkanmu.”

“Jadilah orang yang pemurah, Allah akan bermurah hati padamu.”

“Orang yang berada di bawah hukuman terberat pada Yaumil Hisab adalah seorang ulama yang garang.”

“Orang yang berada di bawah hukuman terberat pada Yaumil Hisab adalah seorang ulama yang ilmunya tidak bermanfaat baginya.”

“Mintalah ampunan dan kesehatan kepada Allah.” “Jagalah apa yang engkau lakukan dengan rahasia.”

“Orang yang paling berdosa adalah orang yang lidahnya selalu berbohong.”

“Seluruh makhluk adalah hamba Allah. Yang paling dicintai-Nya di antara mereka adalah orang yang membantu saudara-saudaranya.”

“Amal terbaik adalah ketika orang selamat dari lidah dan tanganmu.”

“Selama dirimu mengucapkan, ‘La ilaha ill-Allah’ itu akan mengangkat Hukuman Allah darimu dan mengubahmu dengan kebaikan.”

“Wahai manusia, apakah engkau tidak malu bahwa engkau mengumpulkan lebih banyak dari yang kau makan, dan kau membangun rumah-rumah lebih dari yang kau perlukan untuk tinggal di dalamnya?”

Wafatnya Nabi Suci (s)

Ketika Allah `Azza wa Jalla telah menyempurnakan umatnya dan telah mencukupkan nikmat-Nya pada Nabi (s), Dia memindahkan beliau (s) ke sebuah rumah yang lebih baik daripada rumah beliau, dan kepada Sahabat yang lebih baik daripada sahabat-sahabatnya. Allah memanggil ruhnya pada akhir hayatnya.

Sebagai hasilnya, penyakit terakhirnya dimulai pada sepuluh hari terakhir di bulan Shafar, di rumah istrinya Maimuna (r). Ketika sakitnya semakin parah, beliau (s) dipindahkan ke rumah `A’isyah (r). Beliau (s) mengalami sakit selama dua belas hari. Beliau (s) biasa menugaskan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) untuk memimpin salat sebagai tanda bagi para Sahabat bahwa beliau (s) telah menunjuknya sebagai penerusnya.

Beliau wafat pada hari Senin, tanggal 12 Rabi`ul Awwal. Berbalut gamis malamnya, beliau (s) dimandikan oleh Sayyidina`Ali (r), `Abbas ibn `Abd al-Muththalib (r) dan kedua putranya, Qutham (r) dan Fadl (r). `Usama bin Zaid (r) dan Syakran menuangkan air yang dibawa dari sumur oleh Awwas Khazraji (r). Ketika mereka memandikan beliau, jenazahnya memancarkan wangi yang sangat harum, sehingga

`Ali (r) terus berkata, “Demi Allah, apa yang telah kuberikan padamu! Betapa manisnya engkau dan betapa baik dirimu, baik semasa hidup maupun ketika wafat!” Para Sahabatnya memasuki rumahnya satu per satu untuk berdoa untuknya, kemudian kaum wanita dan disusul anak-anak. Beliau (s) dimakamkan di tempat yang sama dengan tempat wafatnya, di rumah `A’isya (r). Abu Thalhah Zayd ibn Sahl menggali kuburnya dan orang-orang yang memandikannya menurunkan jenazahnya yang diberkati ke dalamnya. Kemudian makam itu ditutup, diratakan dan mereka menyirami air ke sana.

Orang-orang terdiam, lidah menjadi kelu. Dunia seakan-akan menjadi gelap.

Orang-orang tidak tahu harus berkata apa. Ruhul Qudus–Malaikat Jibril (a) tidak lagi datang untuk membawa wahyu. Wafatnya Nabi (s) merupakan bencana terbesar bagi para Sahabat. Banyak orang yang menangis dan meraung. Tetapi Allah mengirimkan para pendukung untuk agama-Nya. Karena beliau (s) adalah Khatamul Anbiya, Allah (swt) mengirim seorang Mujaddid (pembangkit) agama ini dari satu abad ke abad lainnya. Wali demi wali, kita mendapati bahwa setiap Grandsyekh dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi adalah bagaikan bayang- bayang Nabi (s), mereka membangkitkan agama dan melatih para salik untuk menemukan Tuhan mereka sebagaimana para Sahabat telah digembleng.

Rahasia dukungan Allah yang kuat dan bimbingan yang murni diteruskan dari Nabi Muhammad (s) kepada sahabatnya tercinta, Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Apa yang dituangkan oleh Nabi (s) ke dalam kalbu Abu Bakr (r) tidak ada orang yang mengetahuinya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan Cahaya-Nya kepada Nabi kita (s)! Beliau (s) diutus sebagai Rahmat bagi manusia dan rahasianya diteruskan dari satu wali kepada wali lainnya untuk mendukung agama ini dan membawa rahasianya kepada kalbu manusia.

1. Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (RA)

Rahasia diteruskan dan mengalir dari Guru seluruh umat, Rasulullah kepada Khalifah Pertama, Imam dari semua Imam Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Melalui beliau agama mendapat dukungan dan Kebenaran dilindungi. Allah menyebut dan memujinya di dalam banyak ayat kitab suci al-Qur’an:

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah ) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami sediakan jalan yang mudah.” (al-Lail, 92: 5-7)

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling bertaqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah ) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi dia (memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.” (al-Lail, 92: 17-20)

Ibn al-Jawzi menyatakan bahwa seluruh ulama Muslim dan para Sahabat yakin bahwa ayat-ayat tersebut merujuk kepada Abu Bakar (r). Di antara orang banyak, beliau dipanggil dengan sebutan “Al-`Atiq,” artinya “yang paling saleh dan dibebaskan dari azab api neraka.”

Ketika ayat 56 Surat al-Ahzab diturunkan, yaitu bahwa, “Allah dan malaikatnya bershalawat kepada Nabi (s),” Abu Bakar (r) bertanya apakah beliau termasuk yang mendapat berkah tersebut. Kemudian ayat 43 diturunkan dan dinyatakan bahwa,

“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (al-Ahzab, 33: 43)

Ibn Abi Hatim menerangkan bahwa ayat ke-46 dari Surat Ar-Rahman merujuk kepada Abu Bakar ash-Shiddiq (r),

“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua Surga.” (Ar- Rahman, 55:46)

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku; dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baiknya dan Kami ampuni kesalahan- kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni Surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka (di dalam kehidupan ini).” (Al-Ahqaaf, 46: 15- 16)

Ibn `Abbas (r) mengatakan bahwa ayat ini merupakan deskripsi tentang Abu Bakar ash-Shiddiq (r), di mana Allah memuliakan dan mengangkat kedudukannya di antara seluruh Sahabat Nabi (s). Selanjutnya Ibn `Abbas (r) juga mencatat bahwa ayat 158 dari Surat Al-Imran diturunkan dengan merujuk kepada Abu Bakar (r) dan ‘Umar (r),

“Mintalah nasihat mengenai masalah-masalah penting kepada mereka.” (Al- Imran, 3: 158)

Akhirnya, kehormatan terbesar bagi Abu Bakar (r), yaitu dalam menemani Nabi Suci

(s) dalam hijrahnya dari Mekah ke Madinah ditunjukkan oleh ayat:

“Ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) beliau hanya ditemani oleh seorang Sahabat. Ketika keduanya berada di dalam gua, beliau berkata kepada Sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita.” (At-Tawbah, 9:40)

Sebagai tambahan terhadap pujian Allah kepadanya, Abu Bakar ash-Shiddiq (r) juga menerima pujian dari Nabi Suci (s) dan para Sahabatnya. Hal ini dicatat dalam banyak riwayat hadits yang terkenal.

Nabi Suci (s) bersabda,

“Allah akan menunjukkan Keagungan-Nya kepada orang-orang dengan cara yang umum, tetapi Dia akan menunjukkannya kepada Abu Bakar (r) dengan cara yang istimewa.”

“Tidak pernah matahari terbit atau tenggelam pada seseorang selain para Nabi, lebih besar daripada Abu Bakar (r).”

“Tidak ada satu pun yang diturunkan kepadaku yang tidak kutuangkan ke dalam kalbu Abu Bakar (r).”

“Tidak ada seseorang pun di mana aku berkewajiban tetapi belum membayar utangku kecuali Abu Bakar (r), karena aku berhutang banyak kepadanya dan Allah akan menggantinya di Hari Kiamat nanti.”

“Jika aku akan mengangkat seorang Sahabat karib (khalil) selain Tuhanku, aku akan memilih Abu Bakar (r).”

“Abu Bakar (r) tidak mengunggulimu karena banyak melakukan salat atau puasa, tetapi karena rahasia yang tersimpan di dalam kalbunya.”

Bukhari meriwayatkan dari Ibn `Umar bahwa, “Di masa Nabi (s) kami tidak mengenali seseorang yang lebih tinggi daripada Abu Bakar ash-Shiddiq (r), lalu `Umar (r), dan kemudian `Utsman (r).”

Bukhari juga meriwayatkan dari Muhammad ibn al-Hanafiya (putra ‘Ali (r)) bahwa, “Aku bertanya kepada ayahku, ‘Siapakah orang terbaik setelah Rasulullah (s)?’ Beliau menjawab, ‘Abu Bakar (r).’ Aku bertanya, ‘Siapa lagi?’ Beliau berkata, ‘Umar (r)’ Aku takut berikutnya beliau akan mengatakan ‘Utsman (r), jadi aku berkata, ‘lalu bagaimana dengan engkau sendiri?’ Beliau menjawab, ‘Aku hanya orang biasa saja.’”

Tabarani meriwayatkan melalui Mu`adz bahwa Nabi (s) bersabda,

“Aku mempunyai penglihatan spiritual di mana aku diletakkan pada salah satu sisi timbangan sementara umatku berada di sisi yang lain dan ternyata aku yang lebih berat. Kemudian Abu Bakar (r) di tempatkan pada satu sisi sementara umatku pada sisi yang lain, ternyata Abu Bakar (r) lebih berat. Kemudian ‘Umar (r) diletakkan pada satu sisi dan umatku di sisi yang lain, ternyata ‘Umar (r) lebih berat. Kemudian ‘Utsman (r) diletakkan pada satu sisi dan umatku di sisi yang lain, ternyata ‘Utsman (r) lebih berat. Kemudian timbangan itu diangkat.”

Hakim meriwayatkan bahwa `Ali (r) pernah ditanya,

“Wahai Amirul Mukminin, jelaskanlah kepada kami tentang Abu Bakar (r).” Beliau menjawab, “Beliau adalah orang yang Allah panggil dengan sebutan ash-Shiddiq di lidah Nabi (s) dan beliau adalah seorang khalif (penerus) Nabi (s). Kami menerimanya untuk agama kami dan kehidupan dunia kami.”

Banyak hadits lainnya yang menunjukkan kelebihan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) dibandingkan Sahabat yang lain.

Abu Bakar (r) merupakan teman terbaik dan Sahabat tercinta Nabi Suci (s). Sepanjang hidupnya beliau diberkati untuk menjadi orang yang pertama dan utama, baik dalam hal keyakinan, dukungan, maupaun cinta terhadap Nabi Suci (s). Untuk itu beliau diberi kehormatan dengan gelar ash-Shiddiq, atau yang berkata benar.

Beliau adalah pria dewasa merdeka pertama yang menerima Islam dari tangan Nabi (s). Beliau tidak pernah bergabung dalam praktik penyembahan berhala yang dilakukan oleh para leluhurnya. Beliau masuk Islam tanpa ada jejak keraguan sedikit pun.

Bertahun-tahun kemudian Nabi Suci (s) mengingatkan, “Setiap kali aku menawarkan Islam kepada seseorang, orang itu selalu menunjukkan keengganan atau keraguan dan berusaha untuk masuk ke dalam suatu perdebatan. Hanya Abu Bakar (r) yang menerima Islam tanpa keraguan dan argumen apapun.”

Beliau adalah yang pertama dalam hal dukungan spiritualnya. Beliau selalu teguh dalam memberi dukungannya selama masa-masa sulit di Mekah. Beliau yang pertama berbicara ketika terjadi kejadian-kejadian di luar pemahaman akal, khususnya di antara Muslim baru, seperti halnya dalam kasus Isra’ dan Mi’raj.

Kemudian di Madinah ketika perjanjian Hudaybiya ditandatangani, hanya Abu Bakar (r) yang kokoh imannya. Beliau menasihati para Sahabatnya, “Jangan bersifat kritis, tetapi berpeganglah dengan teguh dan setia kepada Nabi Suci (s).”

Beliau juga yang pertama dalam hal dukungan materi. Ketika Muslim lain memberi banyak harta untuk memperkuat keimanan mereka, Abu Bakar (r) adalah orang pertama yang memberikan seluruh harta miliknya. Ketika ditanya apa yang ditinggalkan untuk anak-anaknya, beliau menjawab, “Allah dan Nabi-Nya (s).” Mendengar hal ini ‘Umar (r) berkata, “Tidak ada yang bisa menandingi Abu Bakar (r) dalam berkhidmah kepada Islam.”

Beliau adalah yang pertama dalam hal keramahan dan kasih sayang kepada sesama Mukmin. Sebagai pedagang yang sangat kaya, beliau selalu memperhatikan orang yang lemah dan miskin. Beliau membebaskan 7 orang budak sebelum meninggalkan Mekah, dan di antaranya termasuk Bilal (r). Beliau bukan hanya membelanjakan uangnya yang sangat banyak untuk membebaskan mereka tetapi beliau juga membawa mereka ke rumahnya dan mendidik mereka.

Ketika beliau menjabat sebagai khalifah, beliau berkata,

“Tolonglah aku, jika aku benar dan koreksilah aku jika aku salah. Orang-orang yang lemah di antara kalian harus menjadi kuat bersamaku sampai insya Allah, hak-haknya telah disyahkan. Orang- orang yang kuat di antara kalian harus menjadi lemah bersamaku sampai, insya Allah, Aku akan mengambil apa yang harus dibayarnya. Patuhilah aku selama aku patuh kepada Allah dan Nabi-Nya (s), bila aku tidak mematuhi Allah dan Nabi-Nya (s), jangan patuhi aku lagi.”

Di masa-masa awal agama Islam, penafsiran mimpi dianggap sebagai praktik spiritual. Hanya orang-orang yang mempunyai kalbu yang suci dan penglihatan spiritual yang bisa mengalami mimpi yang bermakna, dan hanya mereka yang kalbunya suci dan mempunyai penglihatan spiritual yang dapat menafsirkan mimpi tersebut. Abu Bakar (r) merupakan penafsir mimpi yang terkenal. Nabi (s) sendiri hanya akan berkonsultasi dengan beliau dalam mencari kejelasan tentang mimpi kenabiannya.

Sebelum perang Uhud, Nabi Suci (s) bermimpi bahwa beliau mengembalakan hewan ternak, tetapi beberapa di antaranya telah disembelih. Pedang yang beliau pegang patah. Abu Bakar (r) menafsirkan bahwa binatang yang telah disembelih menunjukkan adanya kematian beberapa Muslim, dan pedang yang patah menandakan akan ada salah satu kerabat Nabi (s). Sayangnya kedua prediksi ini menjadi kenyataan di dalam perang Uhud.

Abu Bakar (r) juga adalah seorang penyair sebelum menjadi Muslim. Beliau dikenal dengan deklamasinya yang luar biasa dan ingatannya yang sempurna terhadap puisi yang panjang yang menjadi kebanggaan bangsa Arab. Kualitas ini menjadikan beliau menonjol dalam Islam. Bacaan Qur’annya begitu liris dan menyentuh perasaan sehingga banyak orang yang masuk Islam hanya karena mendengar bacaan beliau ketika berdoa. Orang-orang Quraisy berusaha melarang beliau berdoa di halaman rumahnya untuk menghindari agar orang-orang tidak mendengarnya.

Karena ingatannya pula, banyak Hadits penting yang sampai pada kita sekarang. Di antara Hadits-Hadits itu adalah Hadits mengenai tata-cara salat yang benar dan yang menjelaskan secara spesifik mengenai proporsi yang tepat dalam zakat. Tetapi tetap saja di antara ribuan Hadits yang telah dibuktikan kesahihannya, hanya 142 saja yang berasal dari Abu Bakar (r). Putri beliau, `A’isyah (r) menyatakan bahwa ayahnya mempunyai kitab berisi lebih dari 500 Hadits tetapi pada suatu hari beliau menghancurkannya. Ilmu yang tetap disembunyikan oleh Abu Bakar (r) adalah yang berhubungan dengan ilmu surgawi, `ilmu-l-ladunni, yang menjadi sumber bagi pengetahuan para Wali, ilmu yang hanya dapat ditransmisikan dari kalbu ke kalbu.

Meskipun pendiam dan lemah lembut, tetapi beliau adalah yang pertama di medan pertempuran. Beliau memberi dukungan kepada Nabi (s) dalam semua kampanyenya baik dengan pedang maupun dengan nasihatnya. Ketika yang lain gagal atau melarikan diri, beliau tetap berada di sisi Nabinya tercinta. Diriwayatkan bahwa suatu ketika `Ali (r) bertanya kepada para Sahabatnya siapa yang mereka anggap paling berani. Mereka menjawab bahwa `Ali (r) adalah yang paling berani. Tetapi beliau membalas, “Bukan! Abu Bakar (r) lah yang paling berani. Dalam perang Badar di mana tidak ada satu pun yang berdiri untuk menjaga Nabi Suci (s) salat, Abu Bakar (r) berdiri dengan pedangnya dan tidak membiarkan musuh datang mendekat.”

Sudah tentu beliau adalah yang pertama mengikuti Nabi Suci (s) sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin. Beliau mendirikan Baitul Mal untuk merawat fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Beliau juga yang pertama dalam menyusun seluruh al-Qur’an dan menyebutnya sebagai “Mushaf.”

Dalam hal transmisi spiritual, beliau adalah orang pertama yang memberi instruksi dalam metode membaca Kalimat Suci (La ilaha ill-Allah) untuk memurnikan kalbu dengan cara berzikir, dan sampai sekarang, metode itu masih dilakukan dalam Tarekat Naqsybandi.

Meskipun Allah memuliakan Abu Bakar (r) dengan menjadikannya orang yang pertama dalam segala hal, Allah bahkan memberinya kemuliaan lebih banyak lagi ketika Dia menjadikannya sebagai orang kedua (ketika hijrah). Karena Abu Bakar (r) adalah satu-satunya Sahabat Nabi Suci (s) dalam hijrahnya dari Mekah ke Madinah. Mungkin sebutan akrab baginya adalah “yang kedua di antara berdua ketika mereka berada dalam gua,” seperti yang telah disebutkan di dalam Surat 9:40. `Umar (r) berkata, “Aku berharap suatu hari nanti, seluruh amal dalam hidupku akan setara dengan amalnya pada satu hari itu.”

Ibn `Abbas (r) berkata bahwa pada suatu hari Nabi (s) jatuh sakit. Beliau pergi ke masjid dengan kepala yang ditutupi sehelai kain. Beliau duduk di mimbar, dan berkata, “Jika Aku harus mengangkat seseorang sebagai teman akrabku (khalil), Aku akan memilih Abu Bakar (r), tetapi teman terbaik bagiku adalah persahabatan dalam Islam.” Kemudian beliau (s) memerintahkan agar semua pintu rumah di sekitar masjid yang terbuka ke arah masjid Nabawi agar ditutup kecuali pintu milik Abu Bakar (r). Dan pintu itu tetap terbuka sampai hari ini.

Keempat Imam dan para Syekh Tarekat Naqsybandiyya memahami dari Hadits tersebut bahwa seseorang yang mendekati Allah melalui ajaran dan teladan Abu Bakar (r) akan mendapati dirinya melewati satu-satunya pintu yang tetap terbuka ke Hadirat Rasulullah (s).

Dari Kata-katanya

“Tidak ada pembicaraan yang baik jika tidak diarahkan untuk memperoleh rida Allah. Tidak ada manfaat dari uang jika tidak dibelanjakan di jalan Allah. Tidak ada kebaikan dalam diri seseorang jika kebodohannya mengalahkan kesabarannya. Dan jika seseorang tertarik dengan pesona dunianya yang rendah, Allah tidak akan rida kepadanya selama ia masih menyimpan hal itu dalam hatinya.”

“Kita menemukan kedermawanan di dalam Taqwa, kekayaan di dalam Yaqin, dan kemuliaan di dalam kerendahan hati.”

“Waspadalah terhadap kesombongan sebab kau akan kembali ke tanah dan tubuhmu akan dimakan oleh cacing.”

Ketika beliau dipuji oleh orang-orang, beliau akan berdoa kepada Allah dan berkata,

“Ya Allah, Engkau mengenalku lebih baik daripada diriku sendiri, dan aku lebih mengenal diriku daripada orang-orang yang memujiku.

Jadikanlah aku lebih baik daripada yang dipikirkan oleh orang-orang ini mengenai diriku, ampunilah dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah jadikan aku menanggung apa yang mereka katakan.”

“Jika kalian mengharapkan berkah Allah, berbuatbaiklah kepada hamba-hamba-Nya.”

Suatu hari beliau memanggil `Umar (r) dan menasihatinya sampai `Umar (r) menangis. Abu Bakar (r) berkata kepadanya, “Jika engkau memegang nasihatku, kau akan selamat, dan nasihatku adalah ‘Harapkanlah selalu kematian dan hidup sesuai dengannya.’”

“Mahasuci Allah yang tidak memberi hamba-hamba-Nya jalan untuk mendapat ilmu mengenai-Nya kecuali dengan jalan ketidakberdayaan mereka dan tidak ada harapan untuk meraih pencapaian itu.”

Abu Bakar (r) berpulang ke Rahmatullah pada hari Senin (seperti halnya Nabi (s)) antara Maghrib dan ‘Isya pada tanggal 22 Jumadil Akhir, 13 AH. Semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian. Nabi Suci (s) pernah berkata kepadanya, “Abu Bakar (r), kau akan menjadi yang pertama di antara umatku yang masuk Surga.”

Rahasia Nabi (s) diteruskan dari Abu Bakar (r) kepada penerusnya, Salman al-Farsi (r).

2. Sayyidina Salman al-Farisi (RA)

Salman al-Farisi (r) dikenal sebagai Imam, Bendera dari Bendera-Bendera, Sang Pewaris Islam, Hakim yang Bijaksana, Ulama yang Alim, dan seorang Ahlul Bait Nabi (s). Ini semua adalah sebutan yang diberikan oleh Nabi (s) kepadanya. Ia teguh dalam menghadapi kesulitan yang ekstrim untuk membawa Cahaya dari Cahaya-Cahaya dan menyebarkan rahasia-rahasia kalbu untuk mengangkat manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ia adalah seorang Sahabat Nabi (s) yang mulia. Ia melaporkan enam puluh hadits Nabi (s).

Ia berasal dari keluarga Majusi yang terpandang dari kota di dekat Ispahan. Suatu hari ketika ia melewati sebuah gereja, ia tertarik dengan suara orang-orang yang sedang berdoa di sana. Tertarik dengan ibadah mereka, ia memberanikan diri untuk masuk dan ia mendapati bahwa ternyata ibadah mereka lebih baik daripada agama yang dianutnya. Mengetahui bahwa agama itu berasal dari Suriah, ia meninggalkan rumahnya dan tidak mengikuti keinginan ayahnya. Ia pergi ke Suriah dan bergabung dengan pewaris otoritas Kristen. Dari mereka ia mengetahui tentang kedatangan Nabi terakhir (s) dan tanda-tanda yang mendahului kedatangannya. Ia kemudian pergi ke Hijaz di mana ia kemudian ditangkap dan dijual sebagai budak.

Ia kemudian dibawa ke Madinah di mana akhirnya ia bertemu dengan Nabi (s). Ketika ia mendapati bahwa Nabi (s) memenuhi semua tanda yang telah diberikan oleh guru Kristennya, ia kemudian mengucapkan Syahadat, menyatakan kesaksian keimanannya. Sebagai budak, ia tidak bisa ikut serta dalam Perang Badar dan Uhud. Kemudian Nabi (s) membantu membebaskannya dari perbudakan dengan menanam tiga ratus pohon kurma dengan tangannya sendiri dan memberinya sejumlah besar emas. Setelah menjadi orang yang bebas, ia selalu mengambil bagian dalam setiap pertempuran bersama Nabi (s).

Di dalam Kitab Sirat Rasul Allah dari Ibn Ishaq, kita menemukan hal-hal berikut di dalam catatan Salman kepada Nabi (s) dalam perjalanannya mencari agama sejati:

“`Asim ibn `Umar ibn Qatada berkata bahwa ia diberitahu bahwa Salman al-Farsi mengatakan kepada Nabi (s) bahwa gurunya di ‘Ammuriya mengatakan kepadanya untuk pergi ke beberapa tempat di Suriah di mana di sana ada seseorang yang tinggal di antara dua semak belukar. Setiap tahun sebagaimana ia biasa bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain, orang-orang yang sakit biasa berdiri di jalan yang dilewatinya dan setiap orang yang didoakannya akan sembuh. Gurunya berkata, ‘Tanyakanlah kepadanya tentang agama yang kau cari ini, karena beliau dapat menjelaskannya kepadamu.’ Jadi, aku pun pergi dan sampai ke tempat yang telah ditunjukkan kepadaku. Aku melihat orang-orang berkumpul di sana dengan keluarganya yang sakit hingga akhirnya beliau keluar menemui mereka malam itu dan mulai berjalan dari satu rumpun ke rumpun berikutnya. Orang-orang mendatanginya dengan keluarga mereka yang sakit dan setiap orang yang didoakan memperoleh kesembuhan. Orang-orang itu menghalangiku untuk menemuinya sehingga aku tidak bisa mendekatinya sampai beliau masuk ke rumpun yang dibuatnya, tetapi aku memegang pundaknya. Beliau bertanya kepadaku siapa diriku dan aku berkata, ‘Semoga Tuhan memberkatimu, jelaskan kepadaku tentang Hanifiya, agama Ibrahim.’ Beliau menjawab, ‘Kau bertanya tentang sesuatu yang tidak lagi ditanyakan oleh orang-orang sekarang ini; waktunya telah dekat di mana seorang Nabi akan diturunkan dengan agama ini dari orang-orang di daerah haram. Pergilah kepadanya, karena ia akan membawamu kepadanya.’ Kemudian beliau masuk ke dalam rumpunnya. Nabi (s) berkata kepada Salman, ‘Jika engkau berkata benar, maka kau telah bertemu dengan ‘Isa putra Maryam.’”

Di dalam salah satu pertempuran Nabi (s) yang dinamakan al-Ahzab atau al- Khandaq, Salman mengusulkan kepada Nabi (s) untuk menggali parit di sekeliling Madinah untuk mempertahankan kota. Usul itu diterima oleh Nabi (s) dengan senang hati. Beliau (s) kemudian maju dan ikut membantu menggali dengan tangannya sendiri. Selama penggalian ini, Salman menghantam sebuah batu yang tidak bisa dihancurkannya. Nabi (s) mengambil kapak dan menghantamnya.

Hantaman pertama menimbulkan percikan api. Beliau kemudian menghantamnya lagi dan menimbulkan percikan api kedua. Beliau kemudian menghantamnya untuk ketiga kalinya dan menimbulkan percikan api ketiga. Beliau (s) kemudian bertanya kepada Salman (r), “Wahai Salman, apakah engkau melihat percikan api itu?” Salman (r) menjawab, “Ya, wahai Nabi (s), aku melihatnya.” Nabi (s) berkata, “Percikan pertama memberiku penglihatan (ru’ya) di mana Allah telah membukakan Yaman untukku. Percikan kedua, Allah membukakan Syam dan al-Maghrib (daerah Barat). Dan percikan ketiga, Allah membukakan Timur bagiku.”

Salman (r) melaporkan bahwa Nabi (s) bersabda, “Tidak ada yang dapat mengubah takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat meningkatkan kehidupan kecuali ketakwaan,” dan, “Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan bila ada seorang hamba yang mengangkat tangannya untuk berdoa kepada-Nya, Dia malu bila menolaknya dengan tangan hampa.” Kedunya diriwayatkan oleh Tirmidzi.

At-Tabari menceritakan bahwa pada tahun 16 A.H. pasukan Muslim beralih ke front Persia. Untuk menghadapi raja Persia di satu titik, pasukan Muslim kemudian sampai di tepi di sebrang Sungai Tigris yang besar. Pemimpin pasukan, Sa`d Ibn Abi Waqqas, mengikuti mimpinya, memerintahkan agar seluruh pasukan terjun ke sungai yang mengalir deras. Banyak orang yang merasa takut dan menahan diri.

Sa`d, dengan Salman di sisinya berdoa, “Semoga Allah memberikan kemenangan kepada kami dan semoga Allah mengalahkan musuh-Nya.” Kemudian Salman berdoa, “Islam membawa keberuntungan. Demi Allah, menyebrangi sungai akan menjadi mudah bagi Muslim seperti menyebrangi gurun pasir. Demi Dia yang nyawa Salman berada di tangan-Nya, semoga semua pasukan akan keluar dari sungai dengan jumlah yang utuh sejumlah orang-orang yang terjun ke sana.” Sa`d dan Salman kemudian terjun ke sungai Tigris. Dilaporkan bahwa sungai itu dipenuhi dengan kuda-kuda dan manusia. Kuda-kuda itu berenang dan ketika mereka kelelahan, dasar sungai tampak terangkat dan menyokong mereka sampai mereka mendapatkan napasnya kembali. Bagi sebagian orang, terlihat bahwa kuda- kuda itu berjalan dengan mudah melewati gelombang air. Mereka tiba di tepi sebrang dengan utuh sebagaimana yang didoakan oleh Salman, tidak ada orang yang tenggelam dan semua perlengkapan utuh, kecuali sebuah cangkir kaleng.

Mereka melanjutkan perjalanannya untuk merebut ibu kota Persia. Salman (r) bertindak sebagai juru bicara dan berbicara kepada bangsa Persia yang telah ditaklukkan, “Aku mempunyai asal yang sama dengan kalian. Aku akan berbelas kasih kepada kalian. Kalian mempunyai tiga pilihan. Kalian bisa memeluk Islam, sehingga menjadi saudara kami dan kalian akan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti kami. Atau kalian dapat membayar pajak Jizyah dan kami akan memerintah kalian dengan adil. Atau kami akan menyatakan perang terhadap kalian.” Orang-orang Persia yang menyaksikan keajaiban pasukan Muslim memilih alternatif kedua.

Salman Al-Farsi (r) akhirnya ditunjuk sebagai gubernur untuk daerah itu. Ia adalah komandan bagi 30.000 pasukan Muslim, namun demikian ia sangat tawaduk. Ia hidup dari hasil keringatnya sendiri. Ia tidak mempunyai rumah dan beristirahat di bawah naungan pohon. Ia sering mengatakan bahwa ia terkejut melihat begitu banyak orang menghabiskan umur mereka untuk dunia yang rendah, tanpa memikirkan bahwa kematian yang tak terelakkan akan menjemput mereka pada suatu hari nanti.

Salman (r) adalah orang yang sangat ketat dan adil. Di antara beberapa barang rampasan yang dibagikan pada suatu hari adalah bahan pakaian. Suatu hari `Umar berdiri dan berkata, “Pelankan suara kalian agar aku dapat mendengar kalian.” Beliau memakai dua potong kain itu. Salman (r) berkata, “Demi Allah, kami tidak akan mendengarmu, karena kau lebih mementingkan dirimu daripada umatmu.” “Apa maksudmu?” tanya `Umar. Salman (r) berkata, “Kau memakai dua potong kain sementara yang lainnya hanya satu.” `Umar (r) berteriak, “Ya `Abdullah!” Tidak ada yang menyahut. Beliau berteriak lagi, “Ya `Abdullah ibn `Umar!”

`Abdullah, putranya menjawab, “Naam!” `Umar (r) berkata, “Aku bertanya demi Allah, bukankan kau mengatakan bahwa potongan kain kedua itu milikmu?”

`Abdullah menjawab, “Ya.” Kemudian Salman (r) berkata, “Sekarang kami akan mendengarmu.”

Di malam hari Salman (r) mulai melakukan salat. Bila beliau merasa lelah, beliau akan melakukan zikir dengan lidahnya. Ketika lidahnya lelah, beliau akan bertafakur dan memikirkan Kekuasaan dan Kebesaran Allah pada makhluknya. Kemudian beliau akan berkata pada dirinya, “Wahai egoku, kau telah beristirahat, sekarang bangunlah dan lakukan salat.” Setelah itu beliau akan kembali berzikir, lalu tafakur, dan seterusnya sepanjang malam.

Bukhari meriwayatkan dua hadits yang menunjukkan pertimbangan Nabi (s) untuk Salman (r),

Abu Hurayrah (r) mengatakan, “Ketika kami sedang duduk bersama Nabi Suci (s), Surat al-Jumu`ah diturunkan kepadanya. Ketika Nabi (s) membaca ayat, ‘Dan Dia (Allah) telah mengutusnya (Muhammad) juga kepada kaum yang lain (selain kepada orang Arab)…” [62:3]. Aku bertanya, ‘Siapakah mereka, wahai Rasulullah (s)?’ Nabi tidak menjawab sampai aku mengulangi pertanyaanku tiga kali. Pada saat itu Salman al-Farisi (r) bersama kami. Rasulullah (s) meletakkan tangannya kepada Salman (r) dan berkata, ‘Jika iman berada di ats-Tsurayya (Pleiades, gugus bintang yang sangat jauh), bahkan beberapa orang di antara orang-orang ini (yakni orang- orang dari sukunya Salman) akan dapat mencapainya.”

Abu Juhayfa mengatakan, “Nabi (s) membuat ikatan persaudaraan antara Salman (r) dengan Abu ad-Darda al-Anshari (r). Salman (r) mengunjungi Abu ad-Darda’ (r) dan melihat bahwa Um ad-Darda’ (istrinya) berpakaian dengan pakaian yang lusuh. Beliau bertanya mengapa ia berada dalam kondisi semacam itu. Ia berkata, ‘Saudaramu Abu ad-Darda’ (r) tidak tertarik dengan kemewahan dunia ini.’ Sementara itu Abu ad-Darda’ (r) datang dan menyiapkan makanan untuk Salman (r). Salman (r) meminta Abu ad-Darda’ (r) untuk makan bersamanya, tetapi Abu ad- Darda’ (r) mengatakan bahwa ia sedang berpuasa. Salman (r) berkata, “Aku tidak akan makan kecuali bersamamu.” Akhirnya Abu ad-Darda’ (r) makan bersama Salman (r). Di malam hari ketika sebagian malam telah berlalu, Abu ad-Darda’ (r) bangun (untuk melaksanakan salat malam), tetapi Salman (r) mengatakannya untuk tidur, sehingga kemudian Abu ad-Darda (r) tidur. Setelah beberapa saat Abu ad- Darda’ (r) bangun lagi tetapi lagi-lagi Salman (r) menyuruhnya untuk tidur. Ketika sampai pada saat-saat terakhir malam, Salman (r) menyuruhnya untuk bangun, dan mereka berdua melakukan salat. Salman (r) mengatakan kepada Abu ad-Darda’ (r), “Tuhanmu mempunyai hak atas dirimu, ruhmu mempunyai hak atas dirimu, dan keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Abu ad-Darda’ (r) mendatangi Nabi (s) dan menceritakan seluruhnya dan Nabi (s) bersabda, ‘Salman telah mengatakan hal yang benar.’

3. Sayyidina Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq (RA)

Syekh Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar ash-Shiddiq (q) mempunyai jalur keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) dari sisi ayah dan dari `Ali ibn Abi Thalib (r) dari sisi ibunya. Beliau lahir pada hari Kamis, di bulan suci Ramadan.

Diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Kakekku, Abu Bakar ash-Shiddiq (r), sendiri bersama Nabi (s) di Gua Tsuur selama hijrah dari Mekah ke Madinah, dan Nabi (s) berkata kepadanya, ‘Kau telah menemaniku sepanjang hidupmu dan kau telah menanggung banyak kesulitan. Dan sekarang aku ingin berdoa memohon nikmat Allah untukmu.’ Abu Bakar (r) kemudian berkata, ‘Wahai Nabiullah (s), engkau adalah rahasia jiwaku dan rahasia kalbuku. Engkau lebih tahu apa yang kuperlukan.’”

Nabi (s) mengangkat tangannya dan berdoa, ‘Ya Allah, selama Syariah-Mu berdiri tegak hingga Yawmil Hisab, semoga Engkau mengaruniai di antara keturunannya, orang-orang yang menegakkan Syariah itu dan yang mewarisi rahasia di dalamnya, dan mengaruniai di antara keturunannya orang-orang yang berada di Jalan Yang Lurus dan orang-orang yang menunjukkan jalan kepadanya.”

Jawaban pertama terhadap doa tersebut dan yang pertama menerima keberkahan itu adalah Sayyidina Qasim (q). Di masanya beliau dikenal di Madinah sebagai Abu Muhammad. Orang-orang datang untuk mendengar nasihatnya (shuhba) dan pelajarannya mengenai makna yang tersirat dalam al-Qur’an. Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar ash-Shiddiq (q) adalah satu di antara tujuh fuqaha terkenal di Madinah, dan menjadi yang paling luas ilmunya di antara mereka.

Melalui ketujuh Imam besar itulah hadits, fiqh awal dan tafsir Qur’an disebarluaskan kepada orang-orang.

Beliau bertemu dengan beberapa Tabi’in (Penerus para Sahabat), termasuk Salim ibn Abd Allah ibn Umar (r).

Beliau adalah seorang Imam yang saleh dan sangat dalam ilmunya dalam narasi Hadits. Abu Zannad berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih baik darinya dalam mengikuti Sunnah Nabi (s). Di zaman kami tidak ada orang yang dianggap sempurna sampai ia sempurna dalam mengikuti Sunnah Nabi (s), dan Qasim adalah salah seorang yang sempurna.”

Abdur-Rahman ibn Abi Zannad berkata bahwa ayahnya berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang mengetahui Sunnah lebih baik daripada Qasim.”

Abu Nuaym berkata mengenainya di dalam bukunya Hilyat al-Awliya: “Beliau mampu mengekstrak aturan fiqh terdalam dan beliau adalah yang tertinggi dalam perilaku dan adabnya.”

Imam Malik meriwayatkan bahwa `Umar ibn `Abd ul-Aziz (r), yang dianggap sebagai Khulafaur-Rasyidin kelima, berkata, “Jika wewenang itu ada di tanganku, aku akan menjadikan al-Qasim sebagai khalifah di zamanku.”

Sufyan berkata, “Beberapa orang mendatangi al-Qasim dengan sedekah yang kemudian dibagikannya. Setelah beliau membagikannya, beliau lalu salat. Ketika sedang salat, orang-orang mulai menggunjing mengenainya. Putranya berkata kepada mereka, ‘Kalian berbicara di belakang seseorang yang telah membagikan sedekah kalian tanpa mengambil satu dirham pun untuk dirinya.’ Dengan segera ayahnya menegurnya dan berkata, ‘Jangan bicara, diam saja.’” Beliau ingin mengajari putranya agar tidak membelanya, karena yang diinginkannya hanyalah meraih rida Allah. Beliau tidak peduli dengan omongan orang-orang.

Yahya ibn Sayyid berkata, “Di masa kami di Madinah, kami tidak pernah menemukan orang yang lebih baik daripada al-Qasim.”

Ayyub as-Saqityani (r) berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih baik daripada Imam Qasim. Beliau mewariskan 100.000 dinar untuk fakir miskin ketika beliau wafat, dan itu semua berasal dari pendapatan yang halal.”

Salah Satu dari Keramatnya

Grandsyekh Syarafuddin (q) dan penerusnya, Grandsyekh `Abd Allah ad-Daghestani (q) (Syekh ke-38 dan 39 dalam Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi) meriwayatkan kisah berikut:

Pada tahun di mana Abu Muhammad Qasim (q) meninggalkan dunia fana ini, pada tanggal tiga Ramadan beliau menunaikan umrah. Ketika beliau tiba di al-Qudayd, di mana para peziarah biasa berhenti, Allah membukakan suatu penglihatan baginya di mana para malaikat turun dari langit dan kemudian naik dalam jumlah tak terhingga. Mereka turun, lalu mengunjungi tempat itu dan kemudian kembali ke atas. Beliau melihat bahwa para malaikat ini membawa berkah yang diberikan Allah bersama mereka, seolah-olah bahwa cahaya dan kekuatan yang padat dituangkan ke dalam kalbunya secara langsung, mengisinya dengan keikhlasan dan takwa.

Segera setelah penglihatan itu terjadi, beliau tertidur. Di dalam mimpinya beliau melihat Abu Bakar ash-Shiddiq (r) mendatanginya. Beliau berkata, “Wahai kakekku, siapakah makhluk langit yang bercahaya ini yang naik-turun dan mengisi kalbuku dengan takwa?”

Abu Bakar ash-Shiddiq (r) menjawab, “Yang kau lihat naik-turun adalah malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk makammu. Mereka terus-menerus mendatanginya. Mereka memperoleh keberkahan dari tempat di mana tubuhmu akan dimakamkan di bumi ini. Untuk menghormatimu, Allah telah memerintahkan mereka untuk naik-turun dan memohonkan keberkahan untukmu. Wahai cucuku, jangan lalai dengan kematianmu; ia akan segera datang dan kau akan diangkat menuju Hadratillah dan meninggalkan dunia ini.”

Segera setelah itu Qasim (q) membuka matanya dan beliau melihat kakeknya di hadapannya. Beliau berkata, “Aku baru saja bertemu denganmu di dalam mimpi.” Abu Bakar ash-Shiddiq (r) menjawab, “Ya, aku diperintahkan untuk menemuimu.” “Itu artinya aku akan meninggalkan dunia ini?” jawab Qasim (q). “Ya, kau akan meninggalkan dunia ini dan menemani kami di Akhirat,” jawab Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (r).

“Amal apa yang kau anjurkan untuk kulakukan pada saat-saat terakhir hidupku di bumi?” tanya Qasim (q) kepada kakeknya. Abu Bakar ash-Shiddiq (r) menjawab, “Wahai anakku, basahi lidahmu dengan zikrullah dan jadikan kalbumu senantiasa siap dan hadir bersama zikrullah. Itulah hal terbaik yang dapat kau raih di dunia ini.”

Kemudian Abu Bakar (r) menghilang dan Qasim (q) mulai berzikir dengan lidah dan kalbunya. Beliau melanjutkan pergi ke Mekah dan turut mengikuti wuquf di Jabal Arafat (yang terjadi setiap tahun pada tanggal 9 Dzul-Hijjah). Pada tahun itu banyak awliya, pria dan wanita, secara spiritual hadir di Arafat dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq (q) bertemu mereka.

Ketika mereka berdiri, mereka semua mendengar Jabal Arafat dan menangis dengan sedih. Mereka bertanya kepada Jabal Arafat, “Mengapa engkau menangis seperti ini?” dan Jabal Arafat menjawab, “Aku dan semua malaikat menangis karena hari ini bumi akan kehilangan salah satu pilarnya.”

Mereka bertanya, “Siapakah pilar yang kau maksudkan itu?” Jabal Arafat menjawab, “Abu Muhammad Qasim (q) akan meninggalkan dunia ini, dan dunia ini tidak lagi dimuliakan dengan langkahnya, dan aku tidak akan lagi melihatnya di dataranku, di mana semua peziarah berkumpul, dan aku akan merindukannya. Itulah sebabnya aku menangis seperti ini. Bukan hanya dari diriku, tetapi kakeknya Muhammad (s), dan kakeknya Abu Bakar (r), dan kakeknya `Ali (r), dan seluruh dunia menangis.

Mereka berkata bahwa kematian seorang ulama adalah kematian bagi dunia ini.”

Pada saat itu Nabi (s) dan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) hadir secara spiritual di Jabal Arafat, di mana mereka menangis. Nabi (s) berkata, “Dengan kematian Qasim (q) korupsi terbesar akan muncul di bumi, karena beliau adalah salah satu pilar yang mampu mencegahnya.”

Sebelumya, tangis duka Jabal Arafat hanya terjadi ketika Nabi (s) meninggalkan dunia ini, kemudian ketika Abu Bakar (r) wafat, kemudian ketika Salman (r) wafat, dan ketika Qasim (q) wafat. Salah satu di antara para awliya, Rabia al-Adawiyya (q), bertemu Qasim (q) di dalam diwan awliya dan beliau berkata, “Semua benda mati dan dan makhluk hidup, aku mendengar mereka menangis. Mengapa hal ini terjadi, wahai Rabia?” Ia menjawab, “Wahai Abu Muhammad, aku tidak bisa mengatakan apa-apa mengenai tangisan itu, kau harus menanyakannya kepada kakekmu, Abu Bakar (r).”

Abu Bakar (r) muncul secara rohaniah di antara mereka dan berkata, “Tangisan dari segala penjuru itu disebabkan karena engkau akan meninggalkan dunia fana ini, sebagaimana yang kuberitahukan dalam hajimu.” Kemudian Qasim (q) mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Allah, “Karena aku akan meninggalkan dunia ini sekarang, ampunilah semua orang yang berdiri bersamaku di Jabal Arafat.” Kemudian mereka mendengar sebuah suara yang mengatakan, “Demi engkau, Allah telah mengampuni semua yang berdiri di Jabal Arafat bersamamu di dalam ibadah haji ini.” Pada saat itu Allah membukakan ilmu makrifat yang tak terhingga ke dalam kalbu Qasim (q).

Kemudian beliau pergi dari Jabal Arafat dan berkata, “Wahai Jabal Arafat, jangan lupakan aku pada Yawmil Hisab. Semua Wali dan Nabi berdiri di sini sehingga aku memintamu untuk tidak melupakan aku pada Yawmil Hisab.” Jabal besar itu menjawab dengan suara keras sehingga semua orang dapat mendengarnya, “Wahai Qasim, jangan lupakan aku di Yawmil Hisab. Jangan lupakan aku. Izinkan aku menjadi bagian dari syafaat Nabi (s).”

Pada saat itu Qasim (q) meninggalkan Jabal Arafat dan tiba di Mekah al- Mukarramah, di Ka’bah. Kemudian beliau mendengar tangisan yang berasal dari Baitullah yang semakin jelas ketika beliau mendekatinya, dan setiap orang dapat mendengarnya. Itu adalah tangisan Ka’bah yang sedih atas kepergian Qasim (q) meninggalkan dunia ini. Dan tangisan itu keluar begitu derasnya hingga membanjiri seluruh daerah di sekitar Ka’bah.

Baitullah berkata, “Wahai Qasim (q), aku akan kehilanganmu dan aku tidak akan melihatmu lagi di dunia ini.” Kemudian Ka’bah melakukan tawaf 500 kali mengelilingi Qasim (q) sebagai penghormatan kepadanya. Setiap kali seorang wali mengunjungi Ka’bah, ia menjawab salam dari wali itu, “Wa `alayka as-salam ya wali- Allah.”

Qasim (q) kemudian mengucapkan salam perpisahan kepada Hajar al-Aswad, lalu Jannat al-Mualla, makam di mana Khadijat al-Kubra (r), istri pertama Nabi (s) dimakamkan, dan kemudian kepada seluruh Mekah. Beliau kemudian pergi ke al- Qudayd, suatu tempat di antara Mekah dan Madinah, pada tanggal 9 Muharram, di mana beliau wafat. Tahunnya adalah 108 (atau 109) H/726 M, dan beliau berusia 70 tahun. Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi kepada cucunya, yaitu Imam Ja`far ash-Shadiq (q).

4. Sayyidina Ja’far ash-Shodiq (RA)

Ja’far ibn Imam Muhammad al-Baqir (a) ibn al-Imam Zain al-`Abidin (a) ibn al- Husayn (a) ibn `Ali bin Abi Thalib (r) dilahirkan pada tanggal 8 Ramadan tahun 83 H. Ibunya adalah putri al-Qassim, yang leluhurnya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (r).

Beliau mengisi hidupnya dengan ibadah dan dalam kesalehan demi Allah (swt). Beliau menolak semua posisi yang dapat membuatnya termasyhur dan lebih memilih melakukan `uzlah atau mengasingkan diri dari dunia yang rendah. Salah seorang yang hidup di zamannya, `Umar ibn Abi-l-Muqdam, berkata, “Ketika aku melihat Ja`far bin Muhammad (a), aku melihat silsilah dan rahasia Nabi Muhammad (s) menyatu pada dirinya.”

Beliau menerima dua jalur pewarisan dari Nabi (s), yaitu: rahasia Nabi (s) melalui

`Ali (r) dan rahasia Nabi (s) melalui Abu Bakar (r). Pada dirinya kedua jalur tersebut bertemu dan itulah sebabnya beliau dikenal sebagai Pawaris dari Maqam an- Nubuwwa dan Pewaris dari Maqam ash-Shiddiqiyya. Pada dirinya tercermin cahaya ilmu Kebenaran dan Hakikat. Cahaya terpancar dan ilmu tersebar luas melalui beliau sepanjang hidupnya.

Ja`far (a) meriwayatkan dari ayahnya, Muhammad al-Baqir (a), bahwa seseorang mendatangi kakeknya, Zain al-`Abidin (a), dan berkata, “Katakan padaku mengenai Abu Bakar!” Beliau berkata, “Apakah yang kau maksud ash-Shiddiq?” Orang itu berkata, “Bagaimana mungkin kau menyebutnya ash-Shiddiq sedangkan ia menentangmu, Ahlul Bait Nabi (s)?” Beliau menjawab, “Celakalah kamu. Nabi (s) memanggilnya ash-Shiddiq, dan Allah menerima gelarnya sebagai ash-Shiddiq. Jika engkau ingin datang kepadaku, jagalah kecintaanmu pada Abu Bakar (r) dan `Umar di dalam hatimu.”

Ja`far (a) berkata, “Pertolongan terbaik yang kuharapkan adalah pertolongan dari Abu Bakar ash-Shiddiq (r).” Dari beliau diriwayatkan pula mengenai doa berikut, “Ya Allah, Engkau adalah Saksiku bahwa aku mencintai Abu Bakar (r) dan aku mencintai `Umar (r) dan jika apa yang kukatakan itu tidak benar, semoga Allah mencabutku dari syafaatnya Nabi Muhammad (s).”

Beliau mengambil ilmu hadits dari dua sumber: dari ayahnya melalui `Ali (r) dan dari kakek dari jalur ibunya, yaitu al-Qassim (q). Kemudian beliau tingkatkan lagi ilmu haditsnya dengan belajar melalui `Urwa, `Aata, Nafi` dan Zuhri. Kedua Sufyan, yakni Sufyan ats-Tsawri dan Sufyan ibn `Uyayna, Imam Malik, Imam Abu Hanifa, and al-Qattan semuanya meriwayatkan hadits melalui beliau, sebagaimana yang dilakukan pula oleh banyak ulama hadits setelahnya. Beliau juga adalah seorang mufassir al-Qur’an, seorang ahli fiqh, dan salah seorang mujtahid terbesar (yang memenuhi syarat untuk memberikan fatwa) di Madinah.

Ja`far (r) memperoleh ilmu agama secara lahiriah maupun batiniah. Hakikat ilmu batiniah itu tercermin dalam banyak penglihatan dan keramatnya yang sangat banyak untuk diungkapkan.

Suatu hari seseorang mengeluh kepada al-Mansur, gubernur Madinah, mengenai Ja`far (a). Mereka membawanya ke hadapan al-Mansur dan bertanya kepada orang yang mengeluh tadi, “Apakah kau bersumpah bahwa Ja`far (a) melakukan apa yang kau katakan?” Ia menjawab, “Aku bersumpah ia melakukannya.” Ja`far (a) berkata, “Biarkan dia bersumpah bahwa aku melakukan apa yang dia tuduhkan dan biarkan dia bersumpah bahwa Allah akan menghukumnya bila dia berbohong.” Orang itu tetap ngotot dengan keluhannya sementara Ja`far (a) ngotot agar ia berani bersumpah. Akhirnya orang itu mau bersumpah. Tidak lama setelah kata-kata sumpah itu keluar dari mulutnya, ia pun jatuh tersungkur dan mati.

Suatu ketika beliau mendengar bahwa al-Hakim bin al-’Abbas al-Kalbi menyalib pamannya sendiri, Zaid pada sebuah pohon kurma. Beliau sangat tidak senang mendengarnya hingga beliau mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah kirimkanlah salah satu anjing-Mu untuk memberinya pelajaran.” Tak lama kemudian al-Hakim diterkam oleh seekor singa di gurun.

Imam at-Tabari meriwayatkan bahwa Wahb berkata, “Aku mendengar bahwa Laits ibn Sa`d berkata, ‘Aku pergi haji pada tahun 113 H., dan pada suatu hari setelah aku melakukan salat al-`Ashar, aku membaca beberapa ayat al-Qur’an dan aku melihat seseorang duduk di sampingku sambil berzikir, “Ya Allah, Ya Allah…” berulang-ulang sampai ia kehabisan napas. Kemudian ia melanjutkannya dengan mengucapkan, “Ya Hayy, Ya Hayy…” sampai ia kehabisan napas lagi. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, aku ingin memakan buah anggur, ya Allah, berilah beberapa anggur untukku. Dan jubahku sudah sangat tua dan compang-camping, tolong ya Allah berilah aku jubah yang baru.” Laits bin Sa`d berkata bahwa ia nyaris belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sekeranjang buah anggur muncul di hadapannya, padahal pada saat itu bukanlah musimnya. Di samping keranjang itu ada dua jubah yang lebih indah daripada yang pernah kulihat sebelumnya. Aku berkata, “Wahai temanku, bolehlah engkau berbagi denganku.” Ia berkata, “Bagaimana engkau menjadi temanku?” Aku menjawab, “Kau berdoa dan aku mengucapkan Amiin.” Kemudian Imam Ja`far berkata, “Kalau begitu, mari sini makan denganku,” dan beliau memberiku salah satu jubahnya. Kemudian beliau berjalan sampai bertemu dengan seseorang yang berkata, “Wahai putra Nabi (s), berilah aku pakaian karena aku hanya mempunyai pakaian yang compang-camping ini.” Beliau segera memberikan jubah yang baru saja didapatkannya. Aku bertanya, ‘Siapa orang itu?’ Orang itu berkata, ‘Itu adlah Imam Ja`far ash-Shadiq (a) yang agung.’ Aku segera berlari mengejarnya tetapi beliau sudah hilang.’

Ini hanyalah sebuah contoh dari banyaknya anekdot dan kisah mengenai keramat Ja`far ash-Shadiq (a).

Dari ilmunya beliau sering berkata kepada Sufyan ats-Tsawri, “Jika Allah memberimu suatu kenikmatan, dan engkau ingin tetap mendapat kenikmatan itu, maka kau harus banyak memuji dan bersyukur kepada-Nya, karena Dia berfirman, “Jika engkau bersyukur, Allah akan menambahkan nikmat-Nya untukmu.” [14:7].

Beliau juga berkata, “Jika pintu rezeki tertutup bagimu, maka perbanyaklah istighfar, karena Allah berfirman, “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, dan bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang deras kepadamu.” [11:52].

Dan beliau berkata kepada Sufyan, “Jika engkau merasa kesal dengan penindasan seorang Sultan atau orang-orang lain yang berbuat zalim, katakan, “La hawla wa la quwwata illa-billah, karena itu adalah kunci datangnya bantuan dan merupakan salah satu Harta Surgawi.”

Dari Kata-Katanya

“Huruf Nun pada awal Surat ke-68 (Surat al-Qalam) melambangkan cahaya pra azali, yang darinya Allah menciptkan seluruh makhluk, dan cahaya itu adalah Cahaya Muhammad (s). Itulah sebabnya Dia berfirman di dalam surat yang sama, pada ayat ke-4, ‘Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung’ — yaitu bahwa, engkau dimuliakan dengan cahaya dari pra-azali tersebut.”

“Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada dunia, “Layanilah orang yang melayani-Ku (berkhidmah kepada Allah) dan lelahkanlah orang yang melayanimu.”

“Salat adalah tiang bagi setiap orang saleh; Haji adalah jihad bagi setiap orang yang lemah; zakat bagi tubuh adalah puasa; dan orang yang meminta karunia Allah tanpa melakukan amal baik laksana orang yang berusaha menembak dengan panah tetapi tanpa busur.”

“Bukalah pintu rezeki dengan memberi sedekah; lindungi uangmu dengan membayar zakat.”

“Yang terbaik adalah orang yang tidak boros.”

“Perencanaan adalah fondasi kehidupan kalian, dan bertindak dengan hati-hati adalah dasar bagi kepandaian.”

“Barang siapa yang membuat orang tuanya sedih, berarti ia telah menyangkal hak- hak mereka pada dirinya.”

“Para fuqaha adalah wakil Nabi (s). Jika kalian menemukan fuqaha yang hubungannya dekat dengan Sultan, katakan pada mereka, ‘Ini adalah haram,’ karena fuqaha tidak bisa menyatakan opininya dengan jujur bila berada di bawah tekanan karena kedekatannya dengan Sultan.”

“Tidak ada makanan yang lebih baik daripada takwa dan tidak ada yang lebih baik daripada diam; tidak ada musuh yang lebih kuat daripada kebodohan; dan tidak ada penyakit yang lebih parah daripada berbohong.”

“Jika engkau melihat sesuatu yang tidak kau sukai pada saudaramu, berusahalah untuk menemukan satu hingga 70 alasan baginya. Jika engkau tidak dapat menemukan sebuah alasan, maka katakanlah, ‘Barangkali ada suatu alasan, tetapi aku tidak mengetahuinya.’”

“Jika engkau mendengar sebuah kalimat dari seorang Muslim yang bernada menyerang, berusahalah untuk menemukan sebuah makna yang baik untuknya. Jika engkau tidak dapat menemukan sebuah makna yang baik untuk itu, katakan pada dirimu sendiri, ‘Aku tidak mengerti apa yang ia katakan,’ untuk tetap menjaga keharmonisan di antara Muslim.”

Ja’far (a) wafat pada tahun 148 H./765 M. Beliau dimakamkan di Jannat al-Baqi, di makam yang sama dengan makam ayahnya, Muhammad al-Baqir (a), kakeknya, Zain al-Abidin (a), dan paman dari kakeknya, Hasan ibn `Ali (a). Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada penerusnya, Thayfur Abu Yazid al-Bisthami (q), atau yang lebih dikenal dengan Bayazid al-Bisthami (q).

5. Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Busthami (QS)

Aku telah menanamkan cinta di dalam hatiku yang tidak akan terusik hingga Hari Kiamat.

Kau telah melukai hatiku ketika Engkau datang mendekatiku. Hasratku tumbuh, cintaku bergejolak.

Ia telah menuangkan seteguk minuman untukku. Ia telah memacu jantungku dengan secangkir cinta Yang telah diisinya pada samudra persahabatan.

— Bayazid

Kehidupannya

Kakek Bayazid adalah seorang Majusi (Penyembah Api) dari Persia. Bayazid melakukan studi mendetail mengenai Syariah dan menerapkan zuhud dengan ketat dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang hidupnya ia tekun menjalani kewajiban agamanya dan melakukan ibadah-ibadah nawafil.

Beliau menganjurkan murid-muridnya untuk menyerahkan urusan mereka kepada Allah dan mendorong mereka untuk menerima akidah tauhid yang murni dengan ikhlas. Akidah ini terdiri dari lima prinsip, yaitu: menjaga kewajiban sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, selalu mengatakan yang haqq, menjaga kalbu dari kebencian, menghindari makanan yang haram dan menjauhi bid`ah.

Perkataannya

Salah satu pekataannya adalah, “Aku telah sampai pada posisi mengenal Allah melalui Allah, dan aku telah sampai pada posisi mengenal apa-apa selain Allah melalui cahaya Allah.”

Beliau berkata, “Allah telah mengaruniai hamba-hamba-Nya berbagai nikmat dengan maksud untuk membawa mereka lebih dekat kepada-Nya; bukannya malah membuat mereka terpesona dengan nikmat itu dan menjauhkan mereka dari-Nya.”

Dan beliau berkata, berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan makhluk ini tanpa sepengetahuan mereka dan Engkau telah meletakkan amanat pada mereka tanpa keinginan mereka. Jika Engkau tidak menolong mereka, siapa lagi yang akan menolongnya?”

Bayazid berkata bahwa tujuan akhir dari Sufi adalah mengalami penglihatan terhadap Allah di Akhirat. Dampak hal itu beliau katakan, “Ada hamba-hamba Allah yang jika Allah menghijab Diri-Nya dari pandangan mereka di Surga, mereka akan memohon kepada-Nya untuk dikeluarkan dari Surga, seperti halnya para penghuni Neraka yang memohon kepada-Nya agar dikeluarkan dari Neraka.”

Beliau mengatakan tentang bagaimana cinta Allah terhadap hamba-hamba-Nya, “Jika Allah mencintai hamba-Nya, Dia akan mengaruniai tiga atribut sebagai bukti cinta-Nya: kemurahan seperti kemurahannya lautan, dan kenikmatan seperti kenikmatan yang diberikan matahari dalam memberi cahayanya, dan ketawadukan seperti tawaduknya bumi. Pecinta sejati tidak pernah menganggap setiap penderitaan terlalu besar dan tidak pernah menurunkan ibadahnya karena imannya yang murni.”

Seseorang bertanya pada Bayazid, “Tunjukkan padaku amal apa yang dapat mendekatkan aku dengan Tuhanku.” Beliau berkata, “Cintailah wali-wali Allah agar mereka mencintaimu. Karena Allah melihat pada kalbu wali-wali-Nya dan Dia akan melihat namamu terukir di dalam kalbunya dan Dia akan mengampunimu.” Untuk itulah para pengikut Naqsybandi telah diangkat melalui cinta mereka terhadap Syekhnya. Cinta ini mengangkat mereka menuju maqam kebahagiaan terus- menerus dan kehadiran terus-menerus di dalam kalbu Syekh yang mereka cintai.

Banyak ulama Muslim di zamannya, dan banyak ulama setelahnya yang berkata bahwa Bayazid al-Bisthami (q) adalah yang pertama yang menyebarkan Haqiqat Fana’. Bahkan ulama yang paling ketat, Ibn Taymiyya, yang muncul pada abad ke-7 H. mengagumi Bayazid untuk hal ini dan menganggapnya sebagai salah satu gurunya. Ibn Taymiyya mengatakan tentangnya, “Ada dua kategori fana‘: yang pertama adalah untuk para Nabi dan Wali yang kamil (sempurna), dan kedua untuk para salik di antara para Wali dan Shalihiin. Bayazid al-Bisthami (q) tergolong pada kategori pertama dari yang mengalami fana’, yang artinya penolakan mutlak terhadap segala sesuatu selain Allah. Beliau tidak menerima apapun kecuali Allah. Beliau tidak menyembah apapun kecuali Allah, dan beliau tidak meminta kepada siapapun kecuali Allah.” Ia meneruskan kutipan kata-kata Bayazid, “Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali apa yang Dia inginkan.”

Dilaporkan mengenai Bayazid bahwa beliau berkata, “Aku menceraikan dunia tiga kali agar aku tidak dapat kembali kepadanya dan aku bergerak menuju Tuhanku sendiri, tanpa orang lain, dan aku menyebut-Nya sendiri untuk meminta pertolongan, dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ya Allah, tidak ada lagi yang tersisa untukku kecuali Engkau.’ Pada saat itu aku mengetahui keikhlasan doa di dalam kalbuku dan hakikat ketidakberdayaan egoku. Kalbuku segera dapat mengetahui penerimaan doa itu. Ini membuka suatu penglihatan padaku bahwa aku tidak lagi ada dan diriku telah lenyap sepenuhnya dan fana’ ke dalam Diri-Nya. Dan Dia membawa semua yang telah aku ceraikan sebelumnya ke hadapanku, dan membusanaiku dengan Cahaya dan Sifat-Nya.”

Bayazid berkata, “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” Dan beliau terus berkata, “Aku sudah berada di lautan ketika para Nabi sebelumnya masih berada di pantai.”

Dan beliau berkata, “Wahai Tuhanku, Kepatuhan-Mu terhadapku lebih besar daripada kepatuhanku terhadap-Mu.” Artinya, “Wahai Tuhan, Engkau telah mengabulkan permintaanku walaupun aku belum mematuhi-Mu.”

Beliau berkata, “Aku membuat empat kesalahan dalam tahap-tahap awalku di jalan ini: aku berpikir bahwa aku mengingat-Nya dan aku mengetahui-Nya dan aku mencintai-Nya dan aku mencari-Nya; tetapi ketika aku telah mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatnya Dia terhadapku mendahului ingatnya aku terhadap-Nya, dan pengetahuan-Nya mengenaiku mendahului pengetahuanku mengenai-Nya dan cinta-Nya terhadapku lebih dahulu daripada cintaku terhadap-Nya, dan Dia telah mencariku agar aku mulai mencari-Nya.”

Adz-Dzahabi banyak mengutipnya dalam banyak hal besar, di antaranya “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” dan “Tidak ada apa-apa di dalam jubah yang kupakai kecuali Allah.” Guru Adz-Dzahabi, yaitu Ibn Taymiyya menjelaskan, “Beliau tidak lagi melihat dirinya sendiri ada, tetapi beliau hanya melihat eksistensi Allah, karena zuhud yang diterapkannya.”

Lebih lanjut Adz-Dzahabi meriwayatkan, “Beliau berkata, ‘Ya Allah, mana Neraka- Mu? Itu bukan apa-apa. Biarkan aku menjadi satu-satunya orang yang masuk ke dalamnya agar yang lainnya selamat. Dan mana Surga-Mu? Itu hanya mainan bagi anak-anak. Dan mana orang-orang kafir yang ingin Kau siksa? Mereka adalah hamba-Mu. Ampunilah mereka.”

Ibn Hajar berkata, merujuk pada ungkapan Bayazid yang termasyhur, “Allah mengetahui rahasia dan Allah mengetahui isi kalbu. Apapun yang dikatakan oleh Aba Yazid dari Ilmu Hakikat, orang-orang di zamannya tidak dapat memahaminya. Mereka mengutuknya dan mengusirnya tujuh kali dari kotanya. Setiap kali beliau diusir, bencana yang mengerikan akan menimpa kota itu sampai orang-orang memanggilnya kembali, kemudian berbay’at kepadanya, dan menerimanya sebagai seorang Wali sejati.”

Attar dan Arusi meriwayatkan bahwa ketika Bayazid diusir dari kotanya, beliau berkata, “Wahai kota yang diberkati, yang dibuang adalah Bayazid!”

Suatu ketika Bayazid berkata, “Allah Yang Maha Adil memanggilku ke Hadirat-Nya dan berkata kepadaku, ‘Wahai Bayazid, bagaimana engkau sampai ke Hadirat-Ku?’ Aku menjawab, ‘Melalui zuhud, dengan meninggalkan dunia.’ Dia berkata, ‘Nilai dunia adalah seperti sayap seekor nyamuk. Zuhud seperti apa yang kau lakukan untuk datang kepada-Ku?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui tawakkul, dengan berserah diri kepada-Mu.’ Kemudian Dia berkata, ‘Pernahkah Aku melanggar amanat yang Aku janjikan kepadamu?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui-Mu.’ Pada saat itu Allah berkata, ‘Sekarang Kami menerimamu.’”

Beliau berkata, “Aku berdiri bersama orang-orang saleh, tetapi aku tidak mendapat kemajuan bersama mereka. Aku berdiri bersama para prajurit dalam gerakannya tetapi aku tidak menemukan kemajuan satu langkah pun bersama mereka. Aku berdiri bersama mereka yang banyak melakukan salat dan puasa tetapi aku tidak membuat satu pun kemajuan. Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?’ dan Allah menjawab, ‘Tinggalkan dirimu dan datanglah.’”

Ibrahim Khawwas berkata, “Jalan yang Allah tunjukkan kepadanya, dengan kata- kata yang sangat halus dan penjelasan yang sangat sederhana adalah ‘tinggalkan ketertarikanmu terhadap dua alam, dunia dan akhirat, tinggalkan semuanya selain Aku.’ Itu adalah jalan terbaik dan termudah untuk datang kepada Allah `Azza wa Jalla, maqam tertinggi dan yang paling sempurna dalam menegaskan Keesaan Allah, tidak menerima apapun atau siapapun kecuali Allah Ta`ala.”

Salah seorang dari pengikut Dzul Nun al-Misri mengikuti Bayazid. Bayazid bertanya kepadanya, “Siapa yang kau inginkan?” Ia menjawab, “Aku menginginkan Bayazid.” Beliau berkata, “Wahai anakku, Bayazid menginginkan Bayazid selama 40 tahun tetapi masih belum menemukannya.” Murid Dzul Nun itu kemudian mendatangi gurunya dan menceritakan peristiwa ini kepadanya. Mendengar cerita itu, Dzul Nun jatuh pingsan. Beliau kemudian menjelaskan, “Guruku Bayazid telah fana dalam Cinta Allah. Hal itu menyebabkan ia berusaha untuk mencari dirinya kembali.”

Orang-orang memintanya, “Ajari kami bagaimana engkau mencapai Hakikat sejati.” Beliau berkata, “Dengan melatih diriku, melalui khalwat.” Mereka bertanya, “Bagaimana?” Beliau berkata, “Aku memanggil diriku untuk menerima Allah `Azza wa Jalla, tetapi ia menolaknya. Kemudian aku bersumpah bahwa aku tidak akan minum air dan aku tidak akan merasakan tidur sampai aku dapat membawa diriku (nafs) di bahwa kendaliku.”

Beliau juga berkata, “Ya Allah, tidak aneh bila aku mencintai-Mu karena aku adalah hamba yang lemah, tetapi aneh bahwa Engkau mencintaiku karena Engkau adalah al-Malik al-Mulk, Raja dari semua Raja.”

Beliau berkata, “Selama tiga puluh tahun, ketika aku ingin mengingat Allah dan melakukan zikir, aku biasa membersihkan mulut dan lidahku untuk bertasbih mengagungkan-Nya.”

Beliau berkata, “Selama seorang hamba berpikir bahwa ada di antara umat Muslim yang lebih rendah darinya, hamba itu masih mempunyai kesombongan.”

Orang-orang bertanya kepadanya, “Gambarkan mengenai siangmu dan gambarkan tentang malammu.” Beliau berkata, “Aku tidak mempunyai siang dan aku tidak mempunyai malam, karena siang dan malam adalah untuk mereka yang mempunyai karakteristik sebagai makhluk. Aku telah melepaskan diriku sebagaimana ular melepaskan kulitnya.”

Mengenai Sufisme, Bayazid berkata, “Itu adalah meninggalkan istirahat dan menerima penderitaan.”

Mengenai kewajiban untuk mengikuti seorang mursyid, beliau berkata, “Barang siapa yang tidak mempunyai syekh, maka syekhnya adalah Setan.”

Dalam mencari Tuhan, beliau berkata, “Lapar adalah awan hujan. Jika seorang hamba lapar, Allah akan mencurahkan kalbunya dengan hikmah.”

Mengenai perantaraannya, beliau berkata, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat bagi semua orang di zamanku, aku tidak akan merasa sombong, karena aku hanya memberi syafaat bagi sekeping tanah,” dan, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat, pertama aku akan memberikannya kepada orang-orang yang telah menyakitiku dan orang-orang yang telah mengingkariku.”

Kepada seorang anak muda yang menginginkan sepotong jubah tuanya untuk keberkahan, Bayazid berkata, “Seandainya engkau mengambil semua kulit Bayazid dan memakaikannya pada dirimu, itu tidak akan memberi manfaat apa-apa kepadamu, kecuali engkau mengikuti teladannya.”

Orang-orang berkata kepadanya, “Kunci Surga adalah, ‘La ilaha ill-Allah.” Beliau berkata, “Itu benar, tetapi kunci itu adalah untuk membuka gemboknya; dan kunci syahadat semacam itu hanya akan bekerja dengan kondisi sebagai berikut:

  1. dengan lidah yang tidak berbohong dan bergunjing;
  2. kalbu yang tidak berkhianat;
  3. perut tanpa rezeki yang haram atau meragukan;
  4. amal tanpa pamrih atau bid’ah.”

Beliau berkata, “Ego atau nafs selalu melihat pada dunia, ruh selalu melihat pada akhirat dan makrifat selalu melihat Allah `Azza wa Jalla. Orang yang dikalahkan oleh egonya tergolong orang-orang yang dihancurkan, dan orang yang ruhnya menguasai egonya termasuk orang yang saleh, dan orang yang makrifatnya menguasai egonya termasuk orang yang bertakwa.”

Ad-Dailami berkata, “Suatu ketika aku bertanya kepada `Abdur Rahman bin Yahya mengenai maqam berserah diri kepada Allah (tawakkul). Beliau berkata, “Jika engkau meletakkan tanganmu di mulut singa, jangan takut pada siapapun kecuali Allah.” Di benakku aku ingin menanyakan hal ini kepada Bayazid. Aku lalu mengetuk pintunya dan aku mendengar suara dari dalam, “Tidakkah yang dikatakan oleh `Abdur Rahman cukup untukmu? Kau datang hanya untuk bertanya, dan bukan dengan niat untuk berkunjung kepadaku.” Aku mengerti dan aku datang lagi pada tahun berikutnya dan mengetuk pintunya. Kali ini beliau menjawab, “Selamat datang wahai anakku, kali ini engkau datang sebagai orang yang berkunjung, bukan sebagai penanya.”

Orang-orang bertanya kepadanya, “Kapankah seseorang dikatakan dewasa?” Beliau berkata, “Ketika ia tahu kesalahan dirinya dan ia menyibukkan diri untuk memperbaikinya.”

Beliau berkata, “Selama dua belas tahun aku menempa diriku, dan lima tahun memoles cermin dalam kalbuku, dan selama satu tahun aku memandang pada cermin itu dan aku melihat korset orang kafir di perutku. Aku berusaha untuk memotongnya dan aku menghabiskan dua belas tahun untuk melakukannya. Kemudian aku melihat cermin itu lagi dan aku melihat korset itu di dalam tubuhku. Aku menghabiskan lima tahun untuk memotongnya. Kemudian aku menghabiskan waktu satu tahun untuk melihat apa yang telah kulakukan. Dan Allah membukakan padaku penglihatan kepada semua makhluk. Dan aku melihat mereka semua mati. Dan aku melakukan empat kali takbir jenazah (salat jenazah) bagi mereka.”

Suatu ketika beliau berkata, “Jika Arasy dan semua yang berada di sekitarnya dan apa yang berada di dalamnya diletakkan di sudut kalbu seorang Arifin, semua akan lenyap sepenuhnya di dalamnya.”

Mengenai maqam Bayazid, al-`Abbas ibn Hamza meriwayatkan hal berikut, “Aku melakukan Salat Zhuhur di belakang Bayazid, dan ketika beliau mengangkat kedua tangannya untuk mengucapkan, ‘Allahu Akbar’ beliau tidak sanggup untuk mengucapkan kalimat itu karena takutnya terhadap Nama Suci Allah, dan seluruh tubuhnya gemetar dan suara tulang-belulang yang patah terdengar darinya; aku merinding ketakutan.”

Munawi meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Bayazid menghadiri kelas seorang faqih yang sedang menjelaskan hukum waris, “Ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anu dan anu, anak-anaknya akan mewarisi anu dan anu dan seterusnya.” Bayazid berseru, “Wahai faqih, wahai faqih! Apa yang akan kau katakan mengenai orang yang mati tetapi tidak meninggalkan apa-apa kecuali Allah?” Orang-orang mulai menangis, dan Bayazid melanjutkan, “Seorang hamba tidak memiliki apa-apa; ketika ia mati, ia tidak meninggalkan apa-apa kecuali tuannya. Ia akan kembali seperti ketika Allah menciptakannya pada mulanya.” Kemudian beliau membacakan ayat, “Kau akan kembali kepada Kami sendiri- sendiri, sebagaimana yang Kami ciptakan pada mulanya.” [6:94].

Sahl at-Tustari mengirim sebuah surat kepada Bayazid yang berbunyi, “Ini adalah seorang pria yang minum minuman yang membuatnya segar sepanjang masa.” Bayazid menjawab, “Ini adalah seorang pria yang telah meminum semua eksistensi, tetapi mulutnya kering dan terbakar dengan kehausan.”

Wafatnya

Ketika Bayazid wafat, beliau berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Sebelum beliau wafat, seseorang bertanya mengenai umurnya. Beliau berkata, “Aku berumur empat tahun. Karena selama tujuh puluh tahun aku terhijab. Aku baru menyingkirkan hijabku empat tahun yang lalu.” Syekh ke-39 dalam Silsilah Keemasan, Sulthan al- Awliya Syekh `Abdullah Daghestani (q), merujuk pada ucapan ini dalam pertemuannya dengan Khidr (a), yang mengatakan kepadanya sambil menunjuk makam beberapa ulama besar di kompleks pemakaman Muslim, “Yang ini berumur tiga tahun, yang itu tujuh, yang itu dua belas.”

Bayazid wafat pada tahun 261 H./875 M. Dikatakan bahwa beliau dimakamkan di dua tempat yang berbeda, satu di Damaskus dan satu lagi di Bistham, Iran. Rahasia Silsilah Keemasan diteruskan dari Bayazid al-Bisthami (q) kepada Abul Hasan al- Kharqani (q).

6. Sayyidi Syaikh Abu Hasan ‘Ali bin Abu Ja’far al-Kharqani (QS)

Beliau adalah seorang Ghawts di zamannya dan unik dalam maqamnya. Beliau adalah kiblat para pengikutnya dan Samudra Ilmu yang memancarkan gelombang cahaya dan ilmu spiritual bagi para awliya lainnya.

Beliau mengosongkan dirinya dari segala sesuatu kecuali Keesaan Allah, menolak semua gelar dan aspirasi bagi dirinya. Beliau tidak dikenal sebagai pengikut ilmu tertentu, bahkan ilmu spiritual, dan beliau berkata, “Aku bukan seorang rahib. Aku bukan seorang zahid. Aku bukan seorang penceramah. Aku bukan seorang Sufi. Ya Allah, Engkau adalah Esa, dan aku satu di dalam Keesaan-Mu.”

Mengenai ilmu dan praktik, beliau berkata:

Ulama dan hamba di dunia ini banyak tetapi mereka tidak bermanfaat bagimu, kecuali engkau terlibat di dalam meraih rida Allah, dan sejak pagi hingga malam menyibukkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang Allah terima.

Mengenai menjadi seorang Sufi, beliau berkata,

Sufi bukanlah orang yang selalu membawa sajadah, dan bukan pula orang yang memakai pakaian bertambal, bukan pula orang yang membuat kebiasaan dan penampilan tertentu; tetapi Sufi adalah orang di mana fokus semua orang tertuju padanya, walaupun ia menyembunyikan dirinya.

Sufi adalah orang yang di siang hari tidak memerlukan matahari dan di malam hari tidak memerlukan bulan. Esensi Sufisme adalah non eksistensi multak yang tidak memerlukan eksistensi karena tidak ada eksistensi selain eksistensi Allah.

Beliau ditanya mengenai Shiddiq. Beliau berkata, “Shiddiq adalah berbicara dengan hati nuranimu.”

Mengenai Bayazid beliau berkata,

Ketika Abu Yazid berkata, “Aku tidak menginginkan apa-apa’ sesungguhnya itu adalah keinginan yang nyata (iradah).

Beliau ditanya, “Siapakah orang yang tepat untuk berbicara mengenai fana’ dan baqa’?” Beliau menjawab, “Itu adalah ilmu untuk orang yang seolah-olah tergantung pada sehelai benang sutra dari langit ke bumi kemudian datang angin puting beliung yang membawa semua pohon, rumah, dan gunung-gunung lalu melemparkannya ke dalam lautan hingga memenuhinya. Jika angin puting beliung itu tidak dapat menggerakkan orang yang tergantung pada benang sutra itu, maka ia adalah orang yang dapat berbicara mengenai fana’ dan baqa’.”

Suatu ketika Sultan Mahmoud al-Ghazi mengunjungi Abul Hassan (q) dan meminta pendapatnya mengenai Bayazid al-Bisthami (q). Beliau berkata, “Siapa pun yang mengikuti Bayazid, ia akan terbimbing. Dan siapa pun yang melihatnya atau merasakan cinta padanya di dalam hatinya, ia akan meraih khusnul khatimah.

Pada saat itu Sultan Mahmoud berkata, “Bagaimana hal itu mungkin, Abu Jahl saja yang melihat Nabi (s) tidak dapat meraih khusnul khatimah dan malah berakhir dalam penderitaan?” Beliau menjawab, “Hal itu karena Abu Jahl tidak melihat Nabi melainkan ia melihat Muhammad bin `Abdullah. Bila ia melihat Rasulullah (s), ia akan diangkat dari penderitaannya dan meraih kebahagiaan. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan kamu melihatnya memandang kamu tetapi tanpa penglihatan yang jernih.” [7:198]. Beliau lalu melanjutkan dengan perkataan yang sudah dikutip sebelumnya, “Penglihatan dengan mata kepala…”

Perkataan lainnya dari beliau,

“Mintalah kesulitan agar air mata keluar dari matamu, karena Allah mencintai orang-orang yang menangis,” merujuk pada nasihat Nabi (s) untuk banyak menangis.

Dalam berbagai cara kalian meminta sesuatu kepada Allah, tetap saja Qur’an adalah yang terbaik. Jangan meminta kepada Allah keculai melalui al-Qur’an.

Pewaris Nabi (s) adalah orang yang mengikuti jejaknya dan tidak pernah meninggalkan tanda hitam di dalam Catatan Amalnya.

Wafatnya

Abul Hasan al-Kharqani (q) wafat pada hari Selasa, tanggal 10 Muharam 425 H./1033 M. Beliau dimakamkan di Kharqan, sebuah desa di kota Bistham, Iran. Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Abu Ali al-Fadl ibn Muhammad al-Farmadi at-Tusi (q).

7. Sayyidi Syaikh Abu ‘Ala al-Fadhal bin Muhammad ath-Thusi al-Farmadi (QS)

Beliau dipanggil sebagai seorang arif yang dermawan dan penjaga Cinta Ilahi. Beliau adalah seorang ulama dari Mazhab Syafi’i dan seorang arif yang unik (diberkati dengan ilmu spiritual). Secara mendalam beliau terlibat dalam Madrasah Salaf (para ulama dari abad pertama dan kedua) dan Madrasah Khalaf (ulama di masa berikutnya), tetapi beliau lebih dikenal di dalam Ilmu Tasawwuf. Darinya beliau mampu mengekstrak ilmu-ilmu surgawi yang disebutkan di dalam al-Qur’an ketika merujuk pada al-Khidr (a), “dan Kami telah mengajarkan kepadanya dari Ilmu Surgawi Kami.” [18:65].

Percikan cahaya jihad an-nafs (jihad melawan diri sendiri) dibukakan dalam kalbunya. Pada zamannya, beliau dikenal di mana-mana, sampai ia menjadi seorang syekh yang sangat terkenal di bidang Syariah dan teologi. Syekh yang paling terkenal di zaman beliau, yaitu as-Simnani berkata tentang dirinya,

“Ia adalah Lidah Khurasan dan syekhnya dan guru dalam mengangkat dan meninggikan maqam para pengikutnya. Asosiasinya bagaikan taman yang penuh bunga, ilmu mengalir dari kalbunya dan menarik hati para pendengarnya ke dalam maqam yang penuh kebahagiaan dan sukacita.”

Di antara guru-gurunya adalah al-Qusyairi, seorang Guru Sufi, dan al-Ghazali al- Kabir yang berkata mengenai beliau,

“Ia adalah Syekh di zamannya dan ia mempunyai cara yang unik untuk mengingatkan orang. Tidak ada yang melampauinya dalam hal kefasihan, kelezatan, etika, sopan santun, moralitas, maupun caranya dalam mendekati orang.”

Putra al-Ghazali al-Kabir, yakni Abu Hamid al-Ghazali, yang dijuluki Hujjat ul- Islam, banyak mengambil dari Syekh al-Farmadi dalam bukunya Ihya `Ulum ad- Din.

Suatu ketika beliau berkata, “Aku masuk di belakang guruku, al-Qusyairi ke sebuah pemandian umum, dan dari sumurnya aku mengambilkan seember air untuknya. Ketika guruku datang, beliau berkata, ‘Siapa yang membawa air dalam ember ini?’ Aku tetap diam karena aku merasa telah melakukan sesuatu yang kurang berkenan. Beliau bertanya lagi, ‘Siapa yang membawa air ini?’ Aku terus diam. Dan beliau bertanya sekali lagi, ‘Siapa yang telah mengisi ember ini dengan air?’ Akhirnya aku berkata, ‘Aku yang melakukannya wahai guruku.’ Beliau berkata, ‘Wahai anakku, apa yang aku terima selama tujuh puluh tahun, aku teruskan kepadamu dengan seember air.’ Itu artinya ilmu surgawi dan ilmu laduni yang telah beliau perjuangkan selama tujuh puluh tahun untuk mendapatkannya, beliau tuangkan ke dalam kalbuku hanya dalam sekilas pandangan mata.”

Mengenai perilaku terhadap guru, beliau berkata,

“Jika cintamu benar terhadap syekhmu, kau harus tetap menjaga penghormatan terhadapnya.”

Mengenai ru’ya, penglihatan spiritual, beliau berkata,

“Bagi seorang arif, akan tiba suatu waktu di mana cahaya ilmu akan mencapainya dan matanya akan melihat hal-hal yang luar biasa dari alam gaib.”

“Bagi yang berpura-pura bahwa ia dapat mendengar, namun ia tidak mampu mendengar tasbih burug-burung, pepohonan dan angin, maka ia adalah seorang pembohong.”

“Kalbu para ahlul Haqq adalah terbuka, dan pendengaran mereka juga terbuka.”

“Allah memberi kebahagiaan kepada hamba-hamba-Nya ketika mereka melihat para Awliya-Nya.”

Hal ini karena Nabi (s) bersabda, “Barang siapa yang memandang wajah Arifbillah (orang yang mengenal Allah), maka ia melihatku” dan juga “Barang siapa yang melihatku, berarti telah melihat Hakikat.” Oleh sebab itu para Guru Sufi menggunakan praktik berkonsentrasi pada wajah Syekh (tasawwur) untuk mencapai penglihatan terhadap Hakikat tersebut.

“Siapapun yang mengurusi perbuatan orang lain, ia akan kehilangan jalannya.”

“Siapapun yang lebih menyukai bergaul dengan orang-orang kaya daripada dengan orang-orang miskin, Allah akan mengirimkan kematian kepada kalbunya.”

Imam Ghazali melaporkan bahwa,

“Aku mendengar bahwa Abul Hasan al-Farmadi (q) berkata, ‘Sembilan puluh sembilan Sifat Allah akan menjadi sifat dan gambaran seorang salik di jalan Allah.’

Beliau wafat pada tahun 447 H./1084 M. Beliau dimakamkan di desa Farmad, sebuah desa di pinggir kota Tus. Beliau meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Abu Yaqub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn Husayn al-Hamadani.

8. Sayyidi Syaikh Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani (QS)

Beliau adalah salah seorang Arif Billah yang langka, seorang Penegak Sunnah Nabi

(s) dan seorang wali yang unik. Beliau adalah seorang imam, seorang `alim dan seorang `arif. Beliau adalah mursyid di zamannya, yang mengangkat maqam para pengikutnya. Para ulama dan orang-orang saleh biasa membanjiri khaniqahnya di kota Merv, kini Turkmenistan, untuk mendengar nasihatnya.

Beliau dilahirkan di Buzanjird dekat Hamadan pada tahun 440 H., beliau pindah dari Hamadan ke Baghdad ketika beliau berumur delapan belas tahun. Beliau mempelajari Mazhab Syafi’i di bawah pengawasan mursyid di zamannya, Syekh Ibrahim ibn `Ali ibn Yusuf al-Fairuzabadi. Beliau terus berkumpul dengan seorang ulama besar di Baghdad, Abu Ishaq asy-Syirazi, yang lebih mengistimewakannya di antara murid-murid lainnya, walaupun beliau adalah yang termuda.

Beliau adalah seorang ahli fiqih yang sangat brilian, sehingga pada masa itu beliau menjadi marja` (referensi) bagi seluruh ulama di bidangnya. Beliau terkenal di Baghdad yang merupakan pusat pengetahuan Islam, di Isfahan, Bukhara, Samarkand, Khwarazm, dan seluruh Asia Tengah.

Kemudian di dalam hidupnya beliau mengucilkan dirinya dan meninggalkan kehidupan duniawi. Beliau menjadi seorang zuhud dan mengisi waktunya dalam ibadah yang konstan dan mujahadah (perjuangan spiritual). Beliau berkumpul dengan Syekh Abdullah Ghuwayni dan Syekh Hasan Simnani, tapi rahasianya diberikan oleh Syekh Abu `Ali al-Farmadi (q). Beliau membuat kemajuan dalam penyangkalan diri dan tafakur hingga beliau menjadi Ghawts di zamannya. Beliau dikenal sebagai Hujannya Hakikat dan Kebenaran serta Pengetahuan Spiritual.

Beliau akhirnya tinggal di Merv. Melalui dirinya berbagai peristiwa ajaib terjadi.

Dari Keramatnya

Beliau mencerminkan Sifat al-Qahhar terhadap orang-orang yang menentang penyebaran spiritualitas. Berikut ini adalah dua keramatnya terkait hal tersebut:

Suatu hari beliau sedang mengadakan sebuah asosiasi di mana beliau mencerahkan pendengarnya dengan pengetahuan surgawi. Dua ulama harfiah yang hadir berkata, “Diamlah, karena engkau sedang merancang suatu bid’ah.” Beliau berkata kepada mereka, “Jangan bicara tentang hal-hal yang kalian tidak mengerti. Lebih baik bagi kalian untuk mati daripada tetap hidup.” Ketika beliau mengucapkan kata-kata tersebut, tiba-tiba mereka jatuh tersungkur dan tewas.

Ibn Hajar al-Haytsami menuliskan di dalam kitabnya, Al-Fatawa al-Haditsiyya, “Abu Sa`id Abdullah ibn Abi `Asrun (w.585 H.), seorang Imam dari Mazhab Syafi’i berkata, ‘Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan sahabatku, Ibn as-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiya, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Kami mendengar bahwa di Baghdad ada seseorang yang bernama Yusuf al-Hamadani, yang dikenal sebagai al-Ghawts, dan bahwa ia bisa muncul dan menghilang kapan saja, sesuka hatinya. Jadi, aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn as-Saqa dan Syekh `Abdul Qadir al-Jilani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn as-Saqa berkata, ‘Apabila kita bertemu Syekh Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak akan beliau ketahui.’ Aku berkata, ‘Aku juga akan menanyakannya sebuah pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan beliau katakan.’ Sementara itu Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani berkata, ‘Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang wali seperti Syekh Yusuf Hamadani (q), tetapi aku akan menghadapnya untuk memohon berkah dan Ilmu Ilahiahnya.’

‘Kami memasuki majelisnya. Beliau sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya lagi hingga satu jam berikutnya. Beliau memandang Ibn as-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberi tahu namanya sebelumnya, ‘Wahai Ibn as-Saqa, bagaimana kau berani menanyakan pertanayaan kepadaku dengan niat untuk merendahkan aku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabanmu adalah ini!’ Kemudian beliau berkata kepada Ibn Saqa, ‘Aku melihat api kekufuran menyala di dalam kalbumu.’ Beliau memandangku dan berkata, ‘Wahai `Abdullah, apakah engkau ingin bertanya kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang merasa sedih terhadap dirimu karena mereka tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.’ Kemudian beliau mamandang pada Syekh `Abdul Qadir al-Jilani dan berkata kepadanya, ‘Mendekatlah wahai anakku, aku akan memberkatimu. Wahai `Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara dan memberi petunjuk kepda orang-orang dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihatmu bahwa setiap wali di zamanmu akan menghormatimu karena ketinggian maqam dan kehormatanmu.’”

Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran `Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syekh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika beliau mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di leher semua awliya,’ dan beliau menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang di zamannya menuju tujuan akhir mereka.”

“Berbeda keadaannya dengan Ibn as-Saqa. Ia menjadi seorang ahli hukum Islam yang menonjol. Ia mengungguli semua ulama di zamannya. Ia sering berdebat dengan para ulama di zamannya dan mengalahkan mereka, hingga khalifah memanggilnya untuk menjadi salah satu anggota dewan peradilannya. Pada suatu hari khalifah mengutusnya untuk menemui Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Kristen untuk berdebat dengannya. Ibn as-Saqa mampu mengalahkan mereka semua di dalam debat itu. Mereka semua tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia memberi mereka berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolah di hadapannya.

“Kecemerlangannya mempesona Raja Bizantium sehingga ia mengundangnya ke dalam acara pertemuan pribadi keluarganya. Di sana mata Ibn as-Saqa bertemu dengan putri Raja. Ia jatuh cinta kepadanya dan melamar sang putri untuk dinikahinya. Putri itu menolak, kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk Kristen, agama sang putri. Setelah menikah, Ibn Saqa menderita sakit parah. Mereka lalu mengeluarkannya dari istana. Jadilah ia menjadi pengemis di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang, namun demikian tidak ada orang yang ingin memberinya. Kegelapan menutupi wajahnya.

Suatu hari ia melihat seseorang yang telah dikenalnya sebelumnya. Orang itu berkata, ‘Aku bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu?” Ia menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.” Orang itu bertanya, “Apakah engkau mengingat sesuatu dari kitab suci al-Qur’an?” Ia menjawab, “Aku hanya ingat rubbama yawaddu-l-ladziina kafaru law kanu muslimiin (‘Seringkali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi Muslim’ [15:2]).

‘Ia gemetar seolah-olah sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke arah Ka’bah (ke Barat), tetapi ia terus berpaling ke arah Timur.

Kemudian aku kembali menghadapkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia kembali lagi ke Timur. Aku lalu mencoba untuk ketiga kalinya, tetapi lagi-lagi ia memalingkan wajahnya ke Timur. Kemudian bersamaan dengan ruhnya meninggalkan jasadnya, ia berkata, “Ya Allah, ini adalah akibat aku tidak menghormati Ghawts-Mu, Yusuf al- Hamadani.’”

Imam Haytsami melanjutkan, “Ibn `Asrun berkata, ‘Aku pergi ke Damaskus dan Raja di sana, Nuridin asy-Syahiid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerimanya. Sebagai hasilnya, dunia datang dari segala penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.’”

Dari Perkataannya

Pembukaan kekuatan indera Pendengaran Spiritual pada Awliyaullah adalah seperti sebuah Pesan dari Hakikat, sebuah Bab dalam Kitab Allah, sebuah berkah dari Ilmu Alam Gaib. Ini adalah awal dari pembukaan Kalbu dan penyingkapannya — kabar gembira dari Maqam-Maqam Surgawi! Ini adalah fajar pemahaman Makna Ilahi.

Pendengaran ini adalah rezeki bagi ruh dan kehidupan bagi kalbu. Ini adalah Kekekalan (baqa) bagi Rahasia (sirr). Allah membuat Diri-Nya sendiri sebagai Penglihatan bagi Hamba-Nya yang Terpilih, dan membusanai mereka dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang diberkati dan menghiasi mereka dengan Sifat-Nya.

Dari para Awliya-Nya, Dia membuat satu kelompok yang mendengar melalui Syuhada at-tanzih-Nya; Dia membuat kelompok lain mendengar melalui Wahdaniyyah-Nya; Dia juga membuat kelompok lain mendengar melalui Rahmat- Nya. Dan Dia membuat beberapa di antaranya mendengar melalui Qudrah-Nya.

Ketahuilah wahai manusia, bahwa Allah telah menciptakan dari Cahaya Tajali-Nya,

70.000 malaikat dan menugaskan mereka ke berbagai maqam antara `Arasy dengan Kursi. Dalam Hadirat yang Intim (uns), mereka berbusana dengan wol hijau, wajah mereka bagaikan bulan purnama, mereka berdiri dalam Hadirat-Nya dengan rasa kagum, pingsan, mabuk dengan Cinta-Nya, berlari tanpa henti dari `Arasy ke Kursi dan sebaliknya karena emosi dan rahmat yang terbakar di dalam kalbu mereka. Mereka adalah para Sufi dari Langit dan Israfil (malaikat yang akan meniup sangkakala pada Hari Kiamat) adalah panglima mereka dan mursyid mereka, sementara Jibril adalah kepala dan pembicara mereka, dan al-Haqq (Allah) adalah Sultan mereka. Berkat Allah tercurah pada mereka.

Inilah bagaimana Yusuf al-Hamadani (q), Bayang-Bayang Tuhan di Bumi sering menggambarkan hakikat surgawi dan maqam-maqam terpuji dari para Sufi. Semoga Allah memberkati ruhnya dan mensucikannya.

Beliau wafat di Khorasan, antara Herat dan Bakshur, pada tanggal 12 Rabi`ul- Awwal, 535 H., dan dimakamkan di Merv. Di dekat makamnya dibangun sebuah masjid dan madrasah yang besar.

Beliau meneruskan rahasianya kepada Abul `Abbas yang kemudian meneruskannya kepada `Abdul Khaliq al-Ghujdawani, di mana beliau juga menerimanya secara langsung dari Yusuf al-Hamadani.

Catatan: Syekh Nazim Haqqani mencantumkan Syekh Abul ‘Abbas al Khidr dalam silsilahnya antara Syekh Abu Yaqub Yusuf Al Hamadani dan Syekh ‘Abdul Khaliq al Ghujdawani, sementara YM Ayahanda Guru dan kebanyakan Syekh Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah lainnya tidak mencantumkan Syekh Abul ‘Abbas al Khidr dalam silsilahWallahu A’lam Bishawab.

9. Sayyidi Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (QS)

Beliau dikenal sebagai Syekh yang Keramat, Seorang yang Bersinar bagaikan Matahari, dan beliau adalah Penguasa Maqam-Maqam Spiritual yang tinggi di zamannya. Beliau adalah seorang `Arif Kamil di bidang Sufisme dan hidup dalam zuhud. Beliau dianggap sebagai Pancuran utama dari tarekat yang mulia ini dan merupakan Mata Air bagi para Khwajagan (Guru-Guru di Asia Tengah).

Ayah beliau adalah Syekh `Abdul Jamil, salah seorang ulama yang termasyhur di bidang ilmu lahiriah dan batiniah di zaman Bizantium. Ibunya adalah seorang putri keturunan Raja Seljuk Anatolia.

Abdul Khaliq (q) lahir di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhara yang kini dikenal sebagai Uzbekistan. Sepanjang hidupnya beliau tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Beliau juga dimakamkan di sana. Beliau adalah keturunan dari Imam Malik (r). Di masa kanak-kanak beliau mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya, ‘ilm al- Hadits, bahasa Arab, dan Fiqh bersama Syekh Sadruddin. Setelah menguasai ilmu Syari`ah, beliau mendalami jihad an-nafs, hingga beliau mencapai suatu maqam kemurnian yang tinggi. Beliau kemudian pindah ke Damaskus dan mendirikan sebuah madrasah dan melahirkan banyak lulusannya. Mereka menjadi ahli fiqh dan hadits serta tasawwuf dan menyebar ke kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah.

Penulis kitab al-Hada’iq al-Wardiyya memberitahu kita bagaimana beliau sampai pada maqam yang tinggi dalam Silsilah Keemasan, “Beliau bertemu Khidr (a) dan menemaninya. Beliau memperoleh ilmu laduni darinya melengkapi ilmu spiritual yang beliau peroleh dari gurunya, Syekh Yusuf al-Hamadani (q).”

“Suatu hari ketika beliau sedang membaca Al-Qur’an di hadapan Syekh Sadruddin, beliau sampai pada ayat berikut “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas-batas.” [7:55]. Ayat ini mendorongnya untuk bertanya pada Syekh Sadruddin mengenai hakikat Zikir Khafi dan metodenya. Abdul Khaliq bertanya, “Di dalam Zikir Jahar, kau harus menggunakan lidahmu dan orang bisa mendengar dan melihatmu, sedangkan pada Zikir Khafi dalam hati, Setan mungkin dapat mendengarmu karena Nabi (s) bersabda dalam hadits suci, ‘Setan dapat bergerak dengan bebas dalam pembuluh nadi anak cucu Adam.’ Lalu bagaimana hakikat ‘Berdoalah dalam kerahasiaan hatimu?’” Syekhnya menjawab, ‘Wahai anakku, ini adalah hal yang tersembunyi, ini adalah ilmu laduni, dan aku berharap bahwa Allah `Azza wa Jalla mengirimkan salah seorang wali-Nya kepadamu untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai hakikat dari zikir rahasia ini.’

“Sejak saat itu Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) menunggu doa itu dikabulkan. Suatu hari beliau bertemu Khidr (a) yang mengatakan kepadanya, “Sekarang wahai anakku, aku mempunyai izin dari Nabi (s) untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai zikir yang tersembunyi dengan jumlahnya.” Khidr (a) memerintahkannya untuk menenggelamkan dirinya ke dalam air dan mulai berzikir di dalam hatinya (LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL ALLAH). Beliau melakukan bentuk zikir ini setiap hari hingga Cahaya Ilahi, Hikmah Ilahi, Cinta Ilahi dan Daya Tarik Ilahi dibukakan dalam kalbunya. Karena karunia-karunia ini, orang-orang mulai tertarik pada Abdul Khaliq dan berusaha untuk mengikuti jejaknya, dan ia membawa mereka untuk mengikuti jejak Nabi (s).

“Beliau adalah yang pertama dalam Tarekat yang mulia ini yang menggunakan Zikir Khafi dan beliau dianggap sebagai penghulu dari bentuk zikir tersebut. Ketika syekh spiritualnya, al-Ghawts ar-Rabbani, Yusuf al-Hamadani (q) datang ke Bukhara, beliau menghabiskan waktunya untuk berkhidmah kepadanya. Beliau berkata mengenai Syekh Yusuf al-Hamadani (q), ‘Ketika aku berumur 22 tahun, Syekh Yusuf al-Hamadani (q) memerintahkan Khidr (a) untuk terus membesarkan aku dan mengawasiku hingga akhir hayatku.’”

Syekh Muhammad Parsa, seorang sahabat dan penulis biografi Syah Naqsyband (q) mengatakan di dalam kitabnya Faslul-Kitab, bahwa metode Khwaja Abdul Khaliq al- Ghujdawani (q) dalam zikir dan ajarannya tentang Delapan Prinsip dianut dan diagungkan oleh keempatpuluh tarekat sebagai jalan kebenaran dan kesetiaan, jalan kesadaran dalam mengikuti Sunnah Nabi (s), dengan meninggalkan bid’ah dan dengan hati-hati menentang keinginan rendah (dari ego). Karena hal itu beliau menjadi Mursyid di zamannya dan Yang Pertama di jalan spiritualitas ini.

Reputasinya sebagai seorang Guru spiritual yang cemerlang semakin meluas. Berbondong-bondong orang datang mengunjunginya dari segala penjuru. Beliau mengumpulkan murid-murid yang tulus dan setia di sekelilingnya untuk dibimbing dan dilatih dalam pengawasannya. Terkait hal ini, beliau menulis surat kepada putranya, al-Qalb al-Mubarak Syekh al-Awliya Kabir, untuk menentukan adab para pengikut tarekat ini. Beliau berkata,

“Wahai anakku, aku mendorongmu untuk memperoleh ilmu dan adab serta takwa kepada Allah. Ikuti jalannya para Salafus saleh (generasi awal). Berpegang teguh pada Sunnah Nabi (s), dan menjaga hubungan dengan para Mukhlisin. Bacalah kitab fiqh, Sirah Nabawiyah dan tafsir Qur’an. Hindari para penipu yang bodoh, dan jagalah salat berjamaah. Waspadalah terhadap ketenaran dan bahayanya.

Bergaullah dengan orang-orang biasa dan jangan mencari jabatan. Jangan menjalin kedekatan dengan raja-raja dan anak-anak mereka atau dengan orang-orang yang melakukan bid’ah. Jangan banyak bicara, jangan makan dan tidur berlebihan.

Menjauhlah dari orang-orang seperti halnya engkau lari dari singa. Jaga khalwatmu. Makanlah dari makanan yang halal dan tinggalkan perbuatan yang meragukan kecuali dalam keadaan darurat. Jauhi cinta dunia yang rendah karena mungkin ia dapat membuatmu takjub. Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan menjadi kematian bagi kalbu. Jangan mempermalukan siapapun. Jangan memuji diri sendiri. Jangan berdebat dengan orang-orang. Jangan meminta kepada siapapun kecuali Allah. Jangan meminta siapapun untuk melayanimu. Layani syekhmu dengan uangmu, kekuatanmu, dan jangan mengkritik tindakan mereka. Siapapun yang mengkritik mereka tidak akan selamat, karena ia tidak memahami mereka. Jadikan perbuatanmu tulus dengan niat hanya untuk Allah. Berdoalah kepada-Nya dengan kerendahan hati. Jadikan fiqh sebagai urusanmu, masjid sebagai rumahmu, dan Sahabatmu sebagai tuanmu.”

Prinsip-Prinsip Tarekat Naqsybandi

‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mengemukakan frasa-frasa berikut ini yang sekarang dianggap sebagai prinsip-prinsip Tarekat Naqsybandi:

1. Bernapas dengan Sadar (“Hosh dar dam”)

Hosh artinya “pikiran.” Dar artinya “di dalam.” Dam artinya “napas.” Itu artinya, menurut `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q),

“Seorang pencari yang bijaksana harus menjaga napasnya dari kelalaian, ketika menarik dan menghembuskan napasnya, ia menjaga agar kalbunya senantiasa dalam Hadirat Ilahi; dan ia harus menghidupkan napasnya dengan ibadah dan pengabdian serta mempersembahkan ibadahnya itu kepada Tuhannya dengan penuh gairah, karena setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan Kehadiran adalah hidup dan terhubung dengan Hadirat Ilahi. Setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan kelalaian adalah mati, dan tidak tersambung dengan Hadirat Ilahi.”

Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata, “Misi terpenting bagi seorang salik dalam Tarekat ini adalah untuk menjaga napasnya, dan orang yang tidak dapat menjaga napasnya, akan dikatakan bahwa ‘ia telah kehilangan dirinya.’”

Syah Naqsyband (q) berkata, “Tarekat ini dibangun dengan napas. Jadi seorang salik wajib menjaga napasnya pada saat menarik dan menghembuskannya dan lebih dari itu, menjaga napasnya dalam interval antara saat menarik dan menghembuskan napasnya.”

Syekh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan di dalam kitabnya, Fawatih al- Jamal, “Zikir mengalir di dalam tubuh setiap makhluk hidup dengan kebutuhan akan napas mereka—bahkan tanpa disengaja—sebagai sebuah tanda kepatuhan, yang merupakan bagian dari penciptaan mereka. Melalui napas mereka, bunyi huruf “Ha” dari Asmaullah Allah dikeluarkan dalam setiap tarikan dan hembusan napas dan itu merupakan sebuah tanda dari Esensi Gaib mengungkapkan penekanan pada Keesaan Tuhan. Oleh sebab itu diperlukan kehadiran dalam napas itu, untuk menyadari (merasakan) Esensi Sang Pencipta.”

Asma ‘Allah’ yang mencakup kesembilan puluh sembilan Asma wal Sifat terdiri atas empat huruf: Alif, Lam, Lam dan Ha yang sama (ALLAH). Para pengikut Sufisme mengatakan bahwa Esensi Gaib Mutlak dari Allah `Azza wa Jalla diekspresikan oleh huruf terakhir yang diberi harakat Alif, yaitu “Ha.” Itu merepresentasikan Kegaiban Mutlak “Dia” dari Allah `Azza wa Jalla (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah `azza wa jall). Huruf Lam pertama adalah untuk identifikasi (ta`rif) dan huruf Lam kedua untuk penekanan (mubalagha).

Menjaga napas kalian dari kelalaian akan mengantarkan kalian pada Hadirat penuh, dan Hadirat penuh akan mengantarkan kalian pada Penglihatan penuh, dan Penglihatan penuh akan mengantarkan kalian pada Tajali Asmaul Husna wal Sifat sepenuhnya. Allah mengantarkan kalian menuju Tajali Asmaul Husna wal Sifat dan Sifat-Sifat-Nya yang lain, karena “Sifat-Sifat Allah adalah tak terhingga, sejumlah bilangan napas manusia.”

Hendaknya diketahui oleh semua orang bahwa menjaga napas dari kelalaian merupakan hal yang sulit bagi seorang salik. Oleh sebab itu mereka harus menjaganya dengan beristighfar karena itu akan memurnikan dan mensucikannya dan mempersiapkan dirinya bagi Tajali Allah yang hakiki di mana-mana.

2. Perhatikan Langkahmu (“Nazar bar qadam“)

Itu artinya seorang salik ketika berjalan harus mengarahkan pandangan matanya ke kakinya. Ke mana pun kakinya melangkah, matanya harus tertuju ke sana. Ia tidak diperkenankan untuk menoleh ke sana ke sini, melihat ke kiri atau ke kanan, atau ke depannya, karena pandangan yang tidak perlu akan menutupi kalbunya.

Kebanyakan hijab di dalam kalbu tercipta oleh gambar-gambar yang ditransmisikan dari mata kalian ke dalam pikiran dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat mengganggu kalbu kalian dengan turbulensi karena berbagai macam keinginan yang telah tercetak di dalam pikiran kalian. Gambaran-gambaran ini bagaikan hijab di dalam kalbu. Mereka menghalangi Cahaya dari Hadirat Ilahiah. Itulah sebabnya mengapa para Awliya tidak membolehkan para pengikut mereka, yang telah memurnikan kalbu mereka melalui zikir yang konstan, untuk melihat selain daripada kaki mereka. Kalbu mereka bagaikan cermin, yang memantulkan dan menerima setiap gambar dengan mudah. Ini dapat mengganggu mereka dan membawa pengotor ke dalam kalbu mereka. Jadi seorang salik diperintahkan untuk merendahkan pandangannya agar tidak diserang oleh panah-panah Setan.

Merendahkan pandangan juga merupakan tanda ketawadukan, orang yang bangga akan dirinya dan juga sombong tidak pernah melihat pada kaki mereka. Itu juga merupakan tanda bahwa seseorang mengikuti jejak Nabi (s), di mana ketika beliau berjalan, beliau tidak pernah menoleh ke kiri atau ke kanan, tetapi hanya melihat pada kakinya, bergerak dengan mantap menuju tujuannya. Itu juga merupakan tanda bagi ketinggian maqam ketika seorang salik tidak melihat ke mana-mana, kecuali hanya kepada Tuhannya. Seperti seseorang yang berniat untuk mencapai tujuannya dengan cepat, begitu pula dengan seorang salik di Jalan Allah, ia akan bergerak dengan cepat tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan, tidak melihat pada kesenangan duniawi, tetapi memandang pada Hadirat Ilahi.

Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) berkata di dalam surat ke-295 di dalam Maktubat-nya:

“Pandangan mata mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan mata. Kenaikan menuju maqam yang tinggi pertama dengan Penglihatan, diikuti oleh Langkah. Ketika Langkah mencapai level Kenaikan Pandangan, maka Pandangan akan diangkat menuju level berikutnya, yang pada gilirannya akan diikuti oleh Langkah. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai level Kesempurnaan di mana ia akan menarik Langkahnya. Kita katakan, ‘Ketika Langkah mengikuti Pandangan, murid telah mencapai keadaan Siap untuk mendekati Jejak Nabi (s).

Jadi Jejak langkah Nabi (s) dapat dianggap sebagai Asal dari semua langkah.’”

Syah Naqsyband (q) berkata, “Jika kita melihat pada kesalahan teman-teman kita, maka kita tidak akan mempunyai teman, karena tidak ada orang yang sempurna.”

3. Perjalanan Pulang (“safar dar watan”)

Itu artinya perjalanan kembali ke kampung halaman. Itu artinya seorang salik menempuh perjalanan dari alam ciptaan menuju alam Sang Pencipta. Diriwayatkan bahwa Nabi (s) bersabda, “Aku menuju Tuhanku dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik dan dari satu maqam menuju maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa seorang salik harus menempuh perjalanan dari hawa nafsu untuk hal-hal yang terlarang menjadi nafsu yang baik, yaitu keinginan untuk mencapai Hadirat Ilahi.

Tarekat Naqsybandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori: perjalanan eksternal dan perjalanan internal. Perjalanan eksternal adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam mencari seorang mursyid yang sempurna untuk membawa dan mengantarkan kalian menuju tujuan kalian. Perjalanan ini membuat kalian beranjak ke kategori kedua, yaitu perjalanan internal. Seorang salik ketika sudah menemukan seorang mursyid yang sempurna dilarang untuk melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal banyak kesulitan yang tidak dapat dihadapi oleh para pemula sehingga mereka jatuh ke dalam perbuatan yang dilarang, karena mereka lemah dalam ibadahnya.

Kategori kedua adalah perjalanan internal. Seorang salik harus meninggalkan perilaku rendahnya dan beranjak menuju perilaku yang terpuji, membuang semua nafsu duniawi dari dalam kalbunya. Ia akan diangkat dari keadaan yang belum suci menuju keadaan yang suci dan murni. Pada saat itu ia tidak lagi memerlukan perjalanan internal lainnya. Ia telah memurnikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air, transparan bagaikan kristal, mengkilap bagaikan cermin, memperlihatkan hakikat dari semua hal yang penting dalam kehidupan sehari- harinya, tanpa perlu melakukan perbuatan eksternal dari dirinya. Dalam kalbunya akan muncul segala yang diperlukan di dalam kehidupannya dan bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya.

4. Khalwat di dalam Keramaian (“khalwat dar anjuman“)

Khalwat” artinya mengasingkan diri. Itu artinya tampak luar bersama orang-orang, tetapi batinnya selalu bersama Tuhan. Ada dua kategori khalwat, yaitu: khalwat eksternal dan khalwat internal.

Di dalam khalwat eksternal seorang salik mengasingkan diri di dalam sebuah tempat pribadi yang kosong, tidak ada orang di sana. Ia tinggal sendiri di sana, berkonsentrasi dan bertafakur pada zikrullah untuk mencapai keadaan di mana Alam Surgawi menjadi terwujud. Ketika kalian membelenggu indera eksternal, maka indera internal (batin) kalian menjadi bebas untuk mencapai Alam Surgawi.

Ini akan membawa kalian pada kategori kedua, yaitu khalwat internal.

Khalwat internal maksudnya khalwat di antara orang-orang. Di sana kalbu seorang salik harus hadir dengan Tuhannya dan absen dari makhluk lainnya ketika secara fisik ia hadir bersama mereka. Dikatakan, “Seorang salik akan begitu dalam terlibat dengan zikir khafi di dalam kalbunya sehingga bahkan jika ia memasuki keramaian orang, ia tidak mendengar suara mereka. Keadaan zikir melingkupinya. Tajali dari Hadirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak menyadari yang lain selain Tuhannya. Ini adalah keadaan khalwat tertinggi dan dianggap sebagai khalwat yang sebenarnya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [24:37]. Inilah jalan Tarekat Naqsybandi.

Khalwat utama dari para syekh dalam Tarekat Naqsybandi adalah khalwat internal. Mereka bersama Tuhan mereka dan sekaligus bersama orang banyak. Sebagaimana Nabi (s) bersabda, “Aku mempunyai dua sisi: satu menghadap Penciptaku dan yang satunya menghadap ciptaan.” Syah Naqsyband (q) menekankan kebaikan dalam kebersamaan ketika beliau mengatakan, “Thariqatuna ash-shuhbat wa ‘l-khayru fi ‘l-jam`iyyat (“Jalan kita adalah persahabatan dan kebaikan ada di dalam jemaah). Dikatakan bahwa seorang mukmin yang dapat bergaul dengan masyarakat dan memikul kesulitan mereka adalah lebih baik daripada yang seorang mukmin yang menyendiri dari orang-orang. Mengenai hal yang sensitif ini, Imam Rabbani (q) berkata, “Patut diketahui bahwa seorang salik pada awalnya dapat menggunakan khalwat eksternal untuk mengasingkan diri dari orang-orang, untuk beribadah dan berkonsentrasi pada Allah (swt), sampai ia mencapai keadaan yang lebih tinggi.

Pada saat itu ia akan dinasihati oleh syekhnya, yang dalam kata-kata Sayyid al- Kharraz dikatakan, ‘Kesempurnaan itu bukan dilihat dari peragaan karamah, tetapi kesempurnaan adalah untuk duduk di antara orang banyak, melakukan jual beli, menikah dan mempunyai anak; namun tidak pernah meninggalkan kehadiran Allah bahkan dalam sekejap.’”

5. Zikir Esensial (“yad kard”)

Makna dari ‘yad’ adalah Zikir. Makna dari ‘kard’ adalah esens dari zikir. Seorang salik harus melakukan zikir dengan negasi/penyangkalan dan afirmasi/penegasan di lidahnya sampai ia mencapai keadaan kontemplasi di dalam kalbunya (muraqaba). Keadaan itu akan dicapai dengan membaca setiap hari negasi (LA ILAHA) dan afirmasi (ILLALLAH) di lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan

elemen-elemen yang menodai dan membuat karat pada kalbu. Zikir ini memoles kalbu dan membawa sang salik ke dalam keadaan Tajali. Ia harus menjaga zikir harian itu, baik dengan kalbu maupun dengan lidahnya, mengulangi Asma ALLAH, Asma esens/utama dari Tuhan yang mencakup seluruh Asmaullah wal Sifaat, atau melalui negasi dan afirmasi dengan mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH.

Zikir harian ini akan membawa sang salik ke dalam hadirat sempurna dari Dzat yang Mahasuci.

Zikir dengan negasi dan afirmasi, dalam tata cara guru-guru Tarekat Naqsybandi menghendaki sang salik untuk menutup matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, mengelem lidahnya pada langit-langit mulutnya dan menahan napasnya. Ia harus melakukan zikir melalui kalbunya, dengan negasi dan afirmasi, memulainya dengan kata LA (“Tidak”). Ia mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusarnya hingga ke otaknya. Ketika sampai di otak, kata “Tidak” mengeluarkan kata ILAHA (“tuhan/ilah”), bergerak dari otaknya ke pundak kiri dan menabrak kalbu dengan kata ILLALLAH (“kecuali Allah”). Ketika kata itu menabrak kalbu energi dan panasnya tersebar ke seluruh tubuh. Seorang salik yang telah menyangkal semua yang ada di dunia ini dengan kata LA ILAHA, lalu menegaskan dengan kata ILLALLAH bahwa semua yang ada telah lenyap dalam Hadirat Ilahi.

Sang salik mengulangi ini dalam setiap napasnya, termasuk ketika menarik dan menghembuskan napas, selalu memasukannya ke dalam kalbu sesuai dengan jumlah bilangan yang telah ditentukan oleh syekhnya. Pada akhirnya sang salik akan mencapai keadaan di mana dalam satu napas ia dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH dua puluh tiga kali. Seorang syekh yang sempurna dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH tak terhingga banyaknya dalam setiap napas. Makna dari praktik ini adalah bahwa tujuan satu-satunya adalah ALLAH dan tidak ada tujuan lain bagi kita. Dengan melihat Hadirat Ilahi sebagai satu-satunya eksistensi yang ada, ini akan memasukkan kecintaan pada Nabi (s) ke dalam kalbu murid dan pada saat itu ia akan mengucapkan, “MUHAMMADUN RASULULLAH” (“Muhammad adalah Utusan Allah”) yang merupakan kalbu dari Hadirat Ilahi.

6. Kembali (“baz gasht”)

Ini adalah suatu keadaan di mana seorang salik, yang berzikir dengan negasi dan afirmasi (penyangkalan dan penegasan), sampai pada pemahaman akan ungkapan Nabi Suci (s), “ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi” (“Wahai Tuhanku, Engkau adalah tujuanku dan Rida-Mu adalah yang kudambakan). Pembacaan dari ungkapan ini akan meningkatkan kesadaran sang salik tentang Keesaan Allah, sampai ia mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluk) lenyap dari pandangan matanya. Semua yang dilihatnya, ke manapun ia memandang, adalah Allah ash-Shamad. Murid Naqsybandi membaca zikir semacam ini untuk mengekstrak rahasia Al-Ahad dari kalbunya, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadirat Allah yang Unik. Para pemula tidak berhak untuk meninggalkan zikir ini bila ia tidak mendapati kekuatan itu muncul di dalam kalbunya. Ia harus tetap membaca zikir ini mengikuti (meniru) Syekhnya, karena Nabi (s) telah mengatakan, “Barang siapa meniru suatu golongan, ia akan menjadi bagian dari golongan itu.” Dan barang siapa meniru gurunya, suatu hari akan mendapati rahasia itu terbuka bagi kalbunya.

Arti dari kata “baz gasht” adalah kembali kepada Allah `Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan diri sepenuhnya dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan kerendahan hati sepenuhnya dengan memberikan puji-pujian kepada-Nya. Itulah alasan Nabi (s) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat-Mu sebagaimana Engkau patut diingat, Ya Madzkur, Wahai Dzat Yang Patut Diingat.”). Sang salik tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam zikirnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam zikirnya, bila ia tidak melakukan zikirnya itu dengan Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bayazid [al- Bisthami]: “Ketika aku mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku) mendahului ingatanku terhadap-Nya.” Sang pencari tidak dapat melakukan zikir oleh dirinya sendiri. Ia harus mengetahui bahwa Allah justru yang sedang melakukan Zikir melalui dirinya itu.

7. Perhatian (“nigah dasht“)

Nigah” artinya pandangan. Itu artinya bahwa seorang salik harus mengawasi kalbunya dan menjaganya dengan mencegah pikiran buruk masuk ke dalamnya. Kecenderungan buruk akan menghalangi kalbu dari penyatuan diri dengan Hadirat Ilahi. Di dalam Naqsybandiyya diakui bahwa jika seorang salik dapat menjaga kalbunya dari kecenderungan yang buruk selama lima belas menit, maka itu adalah suatu pencapaian yang besar. Untuk ini ia akan dianggap sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk menjaga kalbu dari pikiran buruk dan melindunginya dari kecenderungan yang rendah. Barang siapa yang mencapai kedua sasaran ini, ia akan mengenal kalbunya, dan barang siapa yang mengenal kalbunya maka ia akan mengenal Tuhannya. Nabi Suci (s) bersabda, “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Seorang syekh Sufi berkata, “Karena aku menjaga kalbuku selama sepuluh malam, kalbuku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”

Abu Bakr al-Qattani berkata, “Aku adalah seorang penjaga di pintu kalbuku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membukanya untuk siapapun kecuali untuk Allah

`Azza wa Jalla, hingga kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah `Azza wa Jalla.”

Abul Hassan al-Kharqani berkata, “Sudah 40 tahun Allah melihat ke dalam kalbuku dan tidak mendapati siapapun kecuali Diri-Nya sendiri. Dan tidak ada ruangan dalam kalbuku kecuali untuk Allah.”

8. Ingatan (“yada dasht“)

Itu artinya bahwa seorang yang melakukan zikir menjaga kalbunya dengan negasi dan afirmasi di dalam setiap napasnya tanpa meninggalkan Hadirat Allah `Azza wa Jalla. Seorang salik harus menjaga kalbunya agar tetap berada dalam Hadirat Allah secara terus-menerus. Ini akan membuatnya dapat menyadari dan merasakan Cahaya Esensi yang Unik dari Allah (anwar adz-dzat al-Ahadiyya). Ia kemudian akan membuang tiga dari empat bentuk pikiran: pikiran egoistik, pikiran jahat, pikiran malaikat dan mempertahankan dan menegaskan bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini akan mengantarkan sang salik kepada kondisi kesempurnaan tertinggi dengan membuang semua khayalannya dan hanya merangkul hakikat, yaitu: Keesaan Allah, `Azza wa Jalla.

‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Syekh Ahmad ash-Shiddiq, yang berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Awliya Terbesar”), Syekh Arif Awliya al-Kabir (q) yang berasal dari Bukhara, beliau adalah seorang ulama besar baik dalam ilmu lahiriah maupun batiniah. Khalifah ketiga adalah Syekh Sulayman al-Kirmani (q). Khalifah keempat adalah Syekh `Arif ar-Riwakri (q). Kepada khalifah keempatnyalah `Abdul Khaliq

(q) meneruskan rahasia dari Silsilah Keemasan sebelum beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 575 H.

10. Sayyidi Syaikh ‘Arif ar-Riwkari (QS)

Beliau adalah seorang Arif yang pada dirinya tampak Kebenaran Batin dengan segala cahaya dan kecemerlangannya. Beliau adalah Sang Suryanya Ilmu yang menerangi langit kegelapan di zamannya. Beliau dijuluki sebagai Cahaya di Taman Hakikat dan Cahaya di Taman Nabi (s).

Arif (q) dilahirkan di desa Riwakar, enam mil dari Bukhara dan satu mil dari Ghujdawan. Beliau berdiri di pintu Syekhnya, Abdul Khaliq (q), dan berkhidmah kepadanya sampai Syekh memberi izin untuk memberikan irsyad (bimbingan).

Beliau mengambil Rahasia Tarekat ini dari Syekhnya yang menyaksikan pencapaiannya ke maqam kesempurnaan. Beliau memenuhi negeri-negeri di sekitar Bukhara dengan wangi dari keberkahannya. Beliau membuka kalbu dan pikiran orang-orang di zamannya kepada rahasia-rahasia ilmunya.

Murid-murinya merekam beberapa perkataannya. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:

Percayalah kepada Allah sampai Dia menjadi Gurumu. Jadikanlah Mengingat Mati sebagai temanmu.

Terlalu banyak menaruh harapan di masa depan akan menghijabmu dari kebaikan yang kau temukan di Jalan Allah.

Barang siapa yang mengucapkan “Ya Allah bimbinglah umat Muhammad (s), ya Allah berkatilah umat Muhammad (s), ya Allah hilangkanlah penderitaan umat Muhammad (s),’ sepuluh kali dalam sehari, ia akan dituliskan tergolong ke dalam kelompok wali yang dikenal sebagai Abdal.

Barang siapa yang memohon Surga tanpa melakukan amal baik, akan dituliskan baginya sebagai dosa dari dosa-dosa. Barangsiapa yang menantikan syafaat tanpa suatu alasan, ia mempunyai suatu bentuk kesombongan.

Betapa mengejutkan melihat begitu banyak shalihiin, namun begitu jarang yang termasuk shadiqiin.

Untuk mencapai penyembuhan dari suatu penderitaan, rahasiakan penderitaanmu dari orang-orang karena mereka bisa tidak bermanfaat bagimu. Mereka mungkin tidak dapat menolongmu dan tidak bisa pula mencegah penderitaan itu darimu.

Ada tiga macam kalbu: kalbu seperti gunung, yang tidak dapat digerakkan oleh apapun, kalbu seperti pohon kurma, yang akarnya kuat tetapi dahan-dahannya bergerak; dan kalbu seperti bulu, yang diterbangkan angin ke kiri dan ke kanan.

Barang siapa yang berharap untuk melindungi agamanya, hindari berkumpul dengan orang-orang.

Ya Allah, setiap kali Engkau ingin menghukumku, lakukanlah, tetapi jangan jauhkan aku dari Hadirat-Mu.

Arif ar-Riwakri (q) wafat di kota yang sama dengan tempat kelahirannya, yaitu Riwakar, dan dimakamkan di sana pada tahun 636 H./1239 M. Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Khwaja Mahmud al-Injir al-Faghnawi (q).

11. Sayyidi Syaikh Mahmud al-Injir Faghnawi (QS)

Beliau adalah seorang Guru yang dari kalbunya memancar Air Pengetahuan dan Hikmah. Kalbunya dipoles dengan Kilauan Ilahiah, membuatnya menjadi salah satu makhluk terbaik di antara hamba-hamba Pilihan-Nya, yang telah disucikan dari kegelapan dan kesengsaraan, sehingga menjadi bening bagaikan kristal.

Beliau dilahirkan di desa Anjir Faghna, tiga mil dari Bukhara. Pada masa mudanya, beliau bekerja di bidang konstruksi. Beliau mengabdikan dirinya untuk membimbing orang-orang menuju Hadirat Ilahi. Beliau adalah yang pertama di dalam tataran para Khwajagan (guru) yang memperkenalkan metode zikir jahar (dengan suara keras) sesuai dengan keperluan waktu dan sesuai dengan kondisi para salik. Ketika beliau ditanya mengapa beliau menggunakan zikir jahar, beliau menjawab, “Untuk membangunkan orang-orang yang tertidur.”

Diterimanya Praktik Zikir Jahar

Suatu hari Khwaja Mahmud (q) menghadiri pertemuan para ulama dan Syekh Syams al-Halwani berkata kepada Syekh Hafiz ad-Din, seorang otoritas dalam ilmu lahiriah, untuk bertanya kepada Syekh Mahmud Faghnawi (q), mengapa beliau melakukan zikir jahar. Syekh Mahmud Faghnawi (q) berkata, “Itu adalah zikir terbaik untuk membangunkan seseorang yang berada di luar dari kondisi tidurnya dan menarik perhatian orang yang lalai sehingga ia mengarahkan dirinya kepada Allah mengikuti syekh yang berzikir, memperkuat dirinya di jalan ini, dan membuat tobatnya kepada Allah menjadi murni, yang merupakan kunci bagi semua kebaikan dan kebahagiaan. Jika niatmu benar, kau akan menemukan kewenangan untuk menggunakan zikir jahar.”

Syekh Hafiz ad-Din meminta beliau untuk menjelaskan kepadanya siapa saja yang diperkenankan dan diizinkan untuk melakukan zikir jahar. Hal ini untuk menjelaskan kepada orang-orang yang menentangnya bahwa praktik ini dibenarkan. Beliau berkata, “Zikir jahar adalah untuk siapa saja yang ingin mencapai maqam penyucian lidahnya dari berbohong dan menggunjing, dan membebaskan perbuatan pribadinya dari hal-hal yang diharamkan, dan membersihkan kalbunya dari kesombongan dan mencintai ketenaran.”

Suatu hari Syekh Ali Ramitani (q), mengatakan bahwa ada seseorang yang bertemu Khidr (a) dan bertanya kepadanya, “Katakan padaku di mana aku dapat menemukan seseorang yang menjaga Syariah Nabi (s) dan Jalan yang lurus, agar aku dapat mengikutinya.” Beliau berkata, “Orang yang kau cari adalah Syekh Mahmud al-Injir al-Faghnawi (q).”

Dikatakan bahwa Syekh Mahmud (q) berjalan mengikuti jejak Nabi Muhammad (s) pada Maqam Makrifat dan beliau juga mengikuti jejak Sayiddina Musa (a) pada Maqam Kalimullah, maqam orang yang berbicara dengan Allah.

Syekh Mahmud (q) memancarkan ilmunya dari masjidnya yang dibangunnya di desa Wabiqni, dekat Bukhara. Beliau wafat di desa Qilit, dekat Bukhara, pada tanggal 17 Rabiul Awal tahun 717 H. Beliau meneruskan rahasia Tarekat Naqsybandi kepada khalifahnya, Ali ar-Ramitani (q).

12. Sayyidi Syaikh ‘Ali ar-Ramitani (QS)

Beliau adalah seorang Penjunjung Panji Islam yang mulia dan seorang ulama besar yang membuka kunci-kunci perbendaharaan kalbu dan menjelaskan rahasia-rahasia dari yang gaib. Beliau menerima dari Kesultanan Makrifat, Karunia, Penghargaan dan Kehormatan. Beliau membimbing orang-orang yang membutuhkan menuju Maqam Ilmu Spiritual. Namanya menjulang ke langit-langit Bimbingan dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan ilmu atau rasanya. Bagi kita, beliau dapat digambarkan seperti halnya Ummul Kitab (kitab suci al-Qu’ran), sebagai “orang yang ditulis pada maqam yang tinggi.”

Beliau dilahirkan di desa Ramitan, dua mil dari Bukhara. Beliau tinggal di sana, dan beliau gemar mempelajari ilmu Syariah, sampai beliau menjadi terkenal di bidang Ilmu Hadits, Qur’an, Fiqh dan Sunnah. Beliau menjadi rujukan (marja`) bagi orang-orang yang ingin meminta fatwa.

Kemudian beliau menghubungi Syekh Mahmud al-Injir al-Faghnawi (q) untuk mendapatkan bimbingan spiritual. Dalam hadirat Syekh, beliau diangkat ke maqam yang tinggi dari Tajali Cinta Ilahi dan Tajali Hadratillah. Beliau menjadi terkenal dengan sebutan Azizan, sebuah kata dalam bahasa Persia yang digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai maqam yang tinggi.

Berikut ini adalah beberapa perkataannya:

Lakukan dan jangan menghitung-hitung.

Akui kekuranganmu dan lanjutkan pekerjaanmu.

Raihlah Hadratillah, terutama ketika engkau sedang makan dan ketika engkau sedang berbicara.

Allah `Azza wa Jalla berfirman di dalam kitab suci al-Qur’an, “Wahai orang-orang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” Ayat ini memberi kabar gembira bagi kita. Karena Allah meminta tobat, itu artinya Dia akan menerimanya, karena jika Dia tidak akan menerima tobat kita, Dia tidak akan mengatakan kepada kalian untuk bertobat.

Nabi (s) bersabda, ‘Allah melihat pada kalbu orang-orang beriman 360 kali sepanjang siang dan malam.’ Ini artinya kalbu mempunyai 360 pintu masuk. Dan setiap organ mempunyai 360 akar, dan semuanya terhubung dengan kalbu. Jadi, jika kalbu itu, di bawah pengaruh Zikrullah, diantarkan kepada Maqam Tatapan Allah, ini akan mengantarkan semua organ tubuh kepada Tatapan Allah. Hasilnya, setiap organ akan menjadi patuh kepada Allah dan dari cahaya kepatuhan itu, setiap organ akan terkoneksi kepada Curahan Ilahi. Inilah yang menarik Tatapan Rahmat dari Allah kepada kalbu orang-orang yang berzikir.

Lebih Jauh mengenai Zikir Jahar

Mawlana Sayfuddin Fidda, seorang ulama besar di zamannya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mengeraskan suara ketika berzikir?” Syekh Ali (q) mengatakan,

“Wahai saudaraku, para ulama Muslim selama berabad-abad, sejak zaman Tabi`in (generasi setelah Sahabat) hingga sekarang telah mengizinkan zikir jahar pada akhir hayat. Pada saat-saat ini orang-orang yang sedang mengalami sakaratul maut dianjurkan untuk mengulangi syahadatnya. Nabi (s) bersabda, ‘laqqina mawtakum syahadatan LA ILAHA ILLALLAH (“buatlah agar orang-orang yang sedang sakaratul maut di antara kalian mengucapkan: Tiada tuhan selain Allah.’) Di dalam ilmu Sufisme, para ulama menekankan bahwa setiap detik bisa jadi adalah saat-saat terakhirmu. Ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa engkau boleh mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH dengan suara keras pada setiap saat dalam kehidupanmu.”

Beliau ditanya oleh Syekh Mawlana Badruddin al-Midani, yang merupakan seorang ulama besar di zamannya, “Allah telah memerintahkan kita di dalam al-Qur’an untuk memperbanyak zikir melalui firman-Nya, “Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya” [33:41]. Apakah zikir itu dilakukan dengan lidah atau dalam hati?”

Syekh `Ali Ramitani (q) menjawab,

Bagi pemula lebih baik dengan lidahnya, dan bagi yang sudah mahir dapat melakukannya dalam hati.” Beliau melanjutkan, “Hal ini karena bagi pemula untuk berzikir, ia harus mengerahkan banyak upaya. Karena kalbunya terganggu dan tidak stabil dan upayanya tidak merata, sehingga lebih baik baginya untuk melakukan dengan lidahnya. Tetapi yang mahir telah memoles kalbunya dan dengan mudah terpengaruh dengan zikir. Seluruh organnya menjadi dzakiriin (turut berzikir) sehingga seluruh tubuh orang yang sudah terampil itu senantiasa mengingat Allah secara lahir dan batin setiap saat. Satu hari zikirnya orang yang mahir adalah setara dengan satu tahun zikir bagi seorang pemula.

Beliau melanjutkan,

Tugas seorang mursyid yang pertama adalah mengetahui kemampuan para salik. Kemudian ia akan meletakkan metode zikir yang paling sempurna di lidahnya (talqin) untuk mengangkatnya ke maqam tertinggi.

Jika ada satu pengikut Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) di zamannya Hallaj (q), Hallaj (q) tidak akan dieksekusi.” Ini artinya akan ada seseorang yang mampu membelanya dari tuduhan orang-orang yang tidak mengetahui.

Syekh Fakhruddin an-Nuri, ulama terpandang lainnya di zamannya bertanya kepadanya, “Allah menyebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an bahwa pada Hari Perjanjian, Dia bertanya, “Alastu bi Rabbikum, qala bala [7:172] (“Bukankah Aku Tuhanmu? — Mereka berkata, “Ya!”), sedangkan pada Hari Kiamat Dia akan bertanya, liman al-mulk ul-yawm [40:16] (‘kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’) dan tidak ada seorang pun yang menjawab. Mengapa mereka menjawab pertanyaan ‘Bukankah Aku Tuhanmu’ tetapi pada Hari Kiamat mereka tidak menjawab?” Dalam jawabannya, Syekh Ali Ramitani (q) mendemonstrasikan kedalaman pemahamannya yang luar biasa terhadap al-Qur’an dan Hadits Suci sebagaimana yang dimiliki oleh para Guru Naqsybandi. Beliau berkata,

Ketika pertanyaan pertama, ‘Bukankah Aku Tuhanmu?’ diberikan kepada manusia, itu adalah hari di mana Allah menempatkan kewajiban Syariah kepada semua manusia. Menjawab ketika ditanya adalah suatu kewajiban menurut Syariah. Itulah sebabnya mereka menjawab pertanyaan itu. Namun pada Hari Kiamat, semua kewajiban telah berakhir, dan pada saat itu, kesadaran akan Kebenaran dan alam spiritual dimulai. Di dalam spiritualitas tidak ada ucapan yang lebih baik daripada diam, karena spiritualitas adalah suatu aliran dari dan menuju kalbu dan tidak ada hubungannya dengan lidah. Itulah sebabnya pada pertanyaan kedua tidak perlu memberikan jawaban. Allah Sendiri yang menjawab Pertanyaan-Nya, ‘Kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’ dengan mengatakan, ‘lillah il-Wahid il-Qahhar, ‘Itu adalah milik Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.’

Setelah menerima perintah surgawi, beliau pindah dari Bukhara ke Khwarazm. Ketika beliau sampai di Khwarazm, beliau tidak memasuki kota, tetapi tinggal di gerbangnya dan mengirim utusannya menemui raja untuk mengatakan,

Seorang tukang tenun yang miskin telah datang untuk memasuki kerajaanmu dan tinggal di dalamnya. Apakah engkau memberi izin atau tidak? Jika engkau memberi izin, ia akan masuk. Jika tidak ia akan pulang kembali.

Beliau meminta utusannya untuk mendapat surat tertulis yang ditandatangani oleh raja, memberikan izinnya. Ketika beliau menerima surat itu Syekh masuk ke dalam kota dan mulai menyebarkan Tarekat Naqsybandi. Setiap hari beliau pergi ke pusat kota, berbicara dengan orang-orang, meminta mereka untuk datang ke majelisnya dan membayar upah mereka untuk hari itu. Beliau menjadikan seluruh kota sebagai pengikutnya, menjadi orang-orang yang taat beribadah dan senantiasa berzikir.

Beliau menjadi sangat terkenal di kota itu. Orang-orang sering mengunjunginya dari berbagai penjuru. Reputasinya yang baik membuat raja dan menteri-menterinya mengkhawatirkan pengaruhnya kepada orang-orang. Mereka berusaha untuk mengusirnya dari kota itu. Beliau telah memprediksi hal ini, sehingga beliau mengirimkan kembali surat dari raja itu kepadanya. Mendapati hal ini raja mendatangi syekh dan meminta maaf. Ia kemudian menjadi salah satu muridnya yang utama.

Syekh Ali wafat pada hari Senin, 18 Dzul Qa’idah tahun 715 H./1315 M. atau 721 H./1321 M. pada usia 130 tahun.

Beliau mempunyai dua anak yang sangat terkenal dalam mengikuti jejaknya. Namun beliau tidak meneruskan rahasianya kepada mereka, melainkan kepada Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q).

13. Sayyidi Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi (QS)

Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) adalah seorang murid utama dari al-Azizan (Syekh Ali ar-Ramitani (q)). Beliau juga adalah seorang Ulama bagi para Wali dan Wali dari para Ulama. Beliau adalah orang yang unik di dalam ilmu lahir dan batin. Keberkahannya meresap ke setiap bangsa di zamannya. Dari keinginannya belajar, beliau membuat setiap ilmu gaib dan rahasia-rahasia menjadi terungkap. Beliau adalah puncak Sang Suryanya Ilmu Lahir dan Batin pada abad ke-8 Hijriah. Salah satu tanda keramatnya adalah naiknya beliau dari Kubah Batu, yang merupakan kalbunya, menuju Maqam Arif dari para Arifin. Dari segala penjuru orang-orang yang berpengalaman dalam hikmah spiritual berziarah ke Taman Ilmunya dan bertawaf mengelilingi Ka’bah Bimbingannya.

Beliau dilahirkan di Sammas, sebuah desa di pinggiran Ramitan, tiga mil dari Bukhara. Beliau mengalami kemajuan dalam perjalanannya dengan membaca dari Ilmu Qur’an, menghafalkan Qur’an dan Hadits, dan menjadi ulama besar Fiqh.

Kemudian beliau mulai mempelajari Teologi, Logika dan Filosofi (‘ilm al-Kalam), begitu pula Sejarah, sampai beliau menjadi seorang ensiklopedia berjalan untuk berbagai ilmu dan seni. Beliau mengikuti Syekh Ali Ramitani al-`Azizan (q) dan terus menjalani kehidupan zuhud. Beliau mempraktikkan khalwat dalam kehidupan sehari-harinya, hingga beliau mencapai suatu tingkat kesucian yang membuat syekhnya diizinkan untuk mentransfer Ilmu Surgawi ke dalam kalbunya. Keramat dan tingginya maqam beliau menjadi terkenal. Sebelum wafatnya Syekh `Ali Ramitani (q) memilihnya sebagai penerusnya dan memerintahkan seluruh muridnya untuk mengikutinya.

Ketika beliau melewati desa Qasr al-`Arifan, beliau sering berkata, “Dari tempat ini aku dapat mencium wangi seorang Arif yang akan muncul dan seluruh tarekat ini akan dikenal melalui namanya.” Suatu hari beliau melewati desa itu dan berkata, “Aku dapat mencium wanginya begitu kuat seolah-olah Sang Arif tadi telah lahir.” Tiga hari berlalu, dan kakek dari seorang anak mendatangi Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) dan berkata, “Ini adalah cucuku.” Beliau berkata kepada para pengikutnya, “Bayi ini adalah Sang Arif yang telah kuceritakan kepada kalian. Aku melihat bahwa kelak ia akan menjadi seorang pembimbing bagi seluruh manusia.

Rahasianya akan mencapai semua orang yang saleh dan ikhlas. Ilmu Surgawi yang Allah curahkan padanya akan mencapai setiap rumah di Asia Tengah. Asma Allah akan terukir (naqsy) pada kalbunya. Dan tarekat ini akan mengambil namanya dari ukiran ini.”

Dari Kata-Katanya

Seorang salik harus selalu menegakkan Perintah Ilahi, dan ia harus senantiasa dalam keadaan suci (mempunyai wudu). Pertama-tama ia harus mempunyai kalbu yang murni yang tidak pernah melihat pada sesuatu selain Allah `Azza wa Jalla. Kemudian ia harus menjaga kemurnian batinnya, dengan tidak pernah mengungkapkannya kepada siapapun. Itu mempersepsikan penglihatan (ru’yah) yang benar. Kemurnian dada (shadr), terdiri dari harapan dan kepuasan terhadap Kehendak-Nya. Kemudian kemurnian rohani, yang terdiri dari tawaduk dan penghormatan. Kemudian kemurnian perut, yang tergantung pada hanya makan makanan yang halal, dan penghematan. Ini diikuti dengan kemurnian tubuh, yaitu dengan meninggalkan syahwat. Ini diikuti dengan kemurnian tangan, yang terdiri dari kesalehan dan usaha. Kemudian kemurnian dari dosa, yaitu menyesali kesalahan di masa lalu. Selanjutnya kemurnian lidah, yang terdiri dari zikir dan istighfar. Lalu ia harus mensucikan dirinya dari kelalaian dan kelambanan, dengan mengembangkan ketakwaannya.

Kita harus selalu memohon ampun, berhati-hati dalam semua urusan kita, mengikuti jejak orang-orang yang baik dan saleh, mengikuti ajaran batin mereka, dan menjaga kalbu dari segala bisikan.

Jadilah orang yang mendapat hidayah dari ajaran syekh kalian, karena mereka merupakan obat yang lebih mujarab dibandingkan dengan membaca buku.

Kalian harus menjaga asosiasi dengan seorang syekh. Dalam asosiasi tersebut kalian harus menjaga kalbu kalian dari tindakan menggunjing, dan kalian tidak boleh berbicara dalam kehadiarannya dengan suara keras, dan tidak pula menyibukkan diri dengan salat dan ibadah sunnah dalam kehadiran mereka. Jagalah hubungan dengan mereka dalam segala hal. Jangan bicara ketika mereka bicara. Dengarkan apa yang mereka katakan. Jangan melihat apa yang mereka lakukan di rumah mereka dan di dapur mereka. Jangan melihat pada syekh lainnya tetapi jagalah kepercayaan bahwa syekh kalian akan membuat kalian sampai. Dan jangan pernah menghubungkan kalbu kalian dengan syekh lainnya, karena hal itu bisa membahayakan kalian. Tinggalkan bagaimana pun kalian telah dibesarkan semasa kanak-kanak kalian.

Dalam menjaga syekh kalian, kalian tidak boleh menyimpan apapun di dalam kalbu kalian kecuali Allah dan Asma-Nya.

Suatu ketika aku pergi menemui syekhku, Syekh `Ali ar-Ramitani (q). Ketika aku memasuki hadiratnya, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, aku melihat suatu keinginan untuk Mi’raj di dalam kalbumu.’ Segera setelah beliau mengatakan hal itu beliau menempatkan aku dalam keadaan ru’yah (mendapat suatu penglihatan) di mana aku melihat diriku berjalan siang dan malam, dari negeriku untuk sampai di Masjid al-Aqsha. Ketika aku sampai di Masjid al-Aqsa, aku masuk ke dalam masjid dan aku melihat seseorang di sana, berbusana serba hijau. Beliau berkata kepadaku, ‘Selamat datang, kami telah menunggumu lama sekali.’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, aku meninggalkan negeriku pada tanggal sekian. Tanggal berapa sekarang?’ Beliau menjawab, ‘Hari ini adalah tanggal 27 Rajab.’ Aku menyadari bahwa aku memerlukan waktu tiga bulan untuk sampai ke masjid itu, dan yang mengejutkan aku, aku sampai pada malam yang sama dengan malam Mi’rajnya Nabi (s).

Beliau (s) berkata kepadku, ‘Syekmu, Sayyid `Ali ar-Ramitani (q) telah menunggumu di sini sejak lama.’ Aku masuk ke dalam, dan syekhku siap untuk memimpin salat.

Beliau memimpin salat malam. Setelah selesai salat, beliau memandangku dan berkata, ‘Wahai anakku, aku telah diperintahkan oleh Nabi (s) untuk menemanimu pergi dari Masjid al-Aqsha ke Sidratul Muntaha, ke tempat yang sama dengan mi’rajnya Nabi (s).’ Ketika beliau selesai bicara, orang yang berbusana hijau membawa dua makhluk yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kami menunggangi makhluk itu dan melesat ke angkasa. Setiap kali kami naik, kami memperoleh ilmu dari maqam-maqam yang kami lewati antara Bumi dan Langit.

Mustahil untuk menggambarkan apa yang kami saksikan dan kami pelajari dalam mi’raj tersebut, karena kata-kata tidak dapat mengekspresikan apa yang berhubungan dengan kalbu, dan itu tidak akan tersampaikan kecuali melalui rasa dan pengalaman. Kami melanjutkan hingga sampai pada Maqam al-Haqiqat al- Muhammadiyya, yang berada di Hadirat Ilahi. Setelah kami sampai di maqam ini, syekhku lenyap dan aku pun lenyap. Kami melihat bahwa di sana tidak ada yang ada di alam semesta ini kecuali Nabi (s). Dan kami merasa bahwa tidak ada apapun di luar itu kecuali Allah `Azza wa Jalla.

Kemudian aku mendengar suara Nabi (s) kepadaku, ‘Ya Muhammad Baba as- Samasi, wahai anakku, jalan di mana kau berada adalah salah satu di antara jalan yang paling mulia, dan orang-orang yang telah terpilih untuk menjadi bintang dan mercu suar bagi manusia akan diterima di jalan itu. Kembalilah, dan aku akan mendukungmu dengan semua kekuatanku, sebagaimana Allah mendukungku dengan Kekuatan-Nya. Dan jagalah khidmah terhadap syekhmu.” Setelah suara Nabi (s) berakhir, aku mendapati diriku berdiri di hadapan syekhku. Itu adalah sebuah berkah yang luar biasa, untuk berada dalam asosiasi syekh yang sangat kuat, yang dapat membawa kalian pada Hadirat Ilahi. Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) wafat di Samas pada tanggal 10 Jumada al- Akhir tahun 755 H. Beliau mempunyai empat orang khalifah, tetapi Rahasia Silsilah Keemasan diteruskan kepada Syekh Sayyid Amir Kulal ibn as-Sayyid Hamza (q).

14. Sayyidi Syaikh Amir Kullal bin Sayyid Hamzah (QS)

Sayyid Amir Kulal (q) dikenal sebagai Mawarnya Akhlak dan Sifat Nabi (s),Pohon Lotus Terjauh bagi Hasrat untuk Maqam-Maqam Pamungkas, Pemilik Singgasana al-Irsyad (Bimbingan) dan Sang Penarik Berkah Surgawi, dan Sang Guru dengan napas sucinya yang berupa Rahasia-Rahasia Ilahi. Beliau adalah seorang mujaddid atau Sang Pembaharu dalam Syari`ah, seorang Guru Tarekat, seorang Pembangun Hakikat, dan seorang Mursyid bagi makhluk. Beliau dihormati atas penguasaan ilmunya di antara wali-wali di zamannya, yang menjulukinya sebagai “Wali bagi suatu Keahlian adalah Guru bagi semua Wali.”

Beliau dilahirkan di desa Sukhar, dua mil dari Bukhara. Keluarganya adalah sayyid, keturunan Nabi Suci (s). Ibunya berkata, “Ketika aku sedang mengandungnya, setiap kali tanganku ingin memegang makanan yang meragukan kehalalannya, aku tidak mampu mengangkatnya ke mulutku. Hal ini seringkali terjadi. Aku tahu bahwa aku sedang mengandung seorang anak yang istimewa di dalam rahimku. Aku sangat berhati-hati dan memilih makananku dari yang terbaik dan terjamin kehalalannya.”

Di masa kanak-kanak ia adalah seorang pegulat. Beliau sering melatih semua seni dalam olah raga ini sehingga beliau menjadi salah seorang pegulat yang paling terkenal di zamannya. Semua pegulat akan berkumpul untuk belajar darinya. Pada suatu hari, seorang pria yang menyaksikannya bergulat mempunyai pikiran yang terlintas di dalam benaknya, “Bagaimana seseorang yang merupakan keturunan Nabi (s) dan yang sangat dalam terpelajar dalam ilmu syari`ah dan tarekat melakukan olah raga semacam ini?” Ia tiba-tiba merasa mengantuk lalu tertidur lelap; ia bermimpi tentang Hari Kiamat, di sana ia merasa kesulitan dan akan tenggelam. Kemudian Syekh Sayyid Amir al-Kulal (q) muncul dan menyelamatkannya. Ia lalu terbangun dan Sayyid Amir al-Kulal (q) memandangnya dan berkata, “Apakah engkau menyaksikan kekuatanku dalam gulat dan kekuatanku dalam memberi syafaat (pertolongan)?”

Suatu ketika Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) yang kelak menjadi syekhnya, melewati arena gulatnya bersama para pengikutnya. Beliau berhenti dan berdiri di sana. Sebuah bisikan jahat masuk ke dalam kalbu salah satu pengikutnya, yang berkata, “Bagaimana ini, mengapa seorang syekh berdiri di sini, di arena gulat?” Syekh segera menatap pengikutnya itu dan berkata, “Aku berdiri di sini demi orang itu. Ia akan menjadi seorang Arif besar. Setiap orang akan mendatanginya untuk mendapatkan bimbingan dan melalui dirinya orang-orang akan mencapai maqam- maqam tertinggi dari Cinta Ilahi dan Hadirat Ilahi. Niatku adalah untuk membawa orang ini di bawah sayapku.” Pada saat itu Amir Kulal (q) memandang beliau, dan langsung tertarik sehingga beliau meninggalkan olah raga gulatnya. Beliau mengikuti Syekh Muhammad Baba As-Samasi (q) ke rumahnya. Syekh Samasi (q) mengajarinya zikir dan prinsip-prinsip tarekat yang mulia ini dan berkata kepadanya, “Sekarang engkau adalah anakku.”

Syekh Kulal mengikuti Syekh Samasi selama 20 tahun, mengisi waktunya dengan zikir, khalwat, ibadah dan praktik zuhud. Tidak ada yang melihatnya selama 20 tahun itu kecuali senantiasa mendampingi syekhnya. Beliau biasa menjumpai syekhnya di Samasa setiap Senin dan Kamis, meskipun jaraknya lima mil dan perjalanannya sulit, hingga beliau akhirnya mencapai maqam mukasyafa. Pada saat itu kemasyhurannya mulai tersebar ke mana-mana hingga akhir hayatnya.

Beliau mempunyai empat anak, as-Sayyid al-Amir Burhanuddin, as-Sayyid al-Amir Hamza, as-Sayyid al-Amir Syah, dan as-Sayyid al-Amir ‘Umar. Beliau juga mempunyai empat orang khalifah, tetapi beliau meneruskan rahasianya hanya kepada salah satu di antara mereka, yaitu kepada Sayyida ‘s-Sadaat, Arif dari orang- orang arif, al-Ghawts al-A`zham, Sulthan al-Awliya, Syekh Muhammad Baha’uddin Syah Naqsyband (q).

Syekh Sayyid Amir Kulal (q) wafat di desa yang sama dengan tempat kelahirannya, yaitu Sukhar, pada tanggal 8 Jumada al-Awwal 772 H.

15. Sayyidi Syaikh Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi al-Bukhari (QS)

Beliau adalah Samudra Ilmu yang tak bertepi. Ombaknya dianyam dengan mutiara Ilmu Laduni. Beliau mensucikan manusia dengan Samudra Fitrah dan Kesalehannya. Beliau memuaskan dahaga jiwa dengan air dari dukungan spiritualnya. Seluruh dunia, termasuk samudra-samudra dan benua-benuanya berada dalam genggamannya Beliau adalah bintang yang dihiasi dengan mahkota Petunjuk. Beliau mensucikan seluruh jiwa manusia tanpa kecuali melalui napas sucinya. Beliau menghiasi bahkan semua sudut yang sulit terjangkau dengan rahasia dari Muhammadun Rasul-Allah (s). Cahayanya menembus semua setiap lapisan kegelapan. Hujah-hujahnya yang luar biasa menyingkirkan semua bisikan keraguan dari kalbu manusia. Keramatnya yang hebat membawa kembali kehidupan kepada kalbu-kalbu yang mati dan memberi makanan bagi jiwa-jiwa untuk kehidupan spiritualnya. Beliau dipelihara dalam Maqam Ghawtsul A`zham sejak beliau masih kanak-kanak dalam buaian. Beliau mengisap saripati Ilmu Gaib dari cangkir Makrifat. Jika Nabi Muhammad (s) bukanlah Nabi terakhir, pastilah beliau akan menjadi seorang Nabi. Segala puji bagi Allah yang telah mengirim seorang Pembangkit Agama (mujaddid) seperti beliau. Beliau mengangkat kalbu manusia, membuatnya mengangkasa ke langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya. Beliau menyebarkan bimbingannya dari Utara ke Selatan dan dari Timur ke Barat. Beliau tidak meninggalkan seorang pun tanpa dukungan surgawi–bahkan bintang-binatang liar di hutan belantara. Beliau adalah Ghawts al-A`zham, Sulthan al-Awliya, Sang Kalung bagi semua Mutiara spiritual yang telah dianugerahkan di dunia ini dari Hadratillah. Melalui cahaya bimbingannya, Allah menjadikan yang baik menjadi yang terbaik dan mengubah hal buruk menjadi kebaikan.

Beliau adalah Imam bagi Tarekat ini dan Syekh dari Silsilah Keemasan dan yang terbaik dalam membawa silsilah para Khwajagan.

Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 H./1317 M, di desa Qasr al-`Arifan di dekat Bukhara. Allah mengaruniainya kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari mengenai rahasia dari tarekat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi (q). Kemudian beliau diberi rahasia dan penguasaan tarekat ini oleh Syekhnya, Sayyid Amir al-Kulal (q). Beliau juga mempunyai koneksi secara Uwaysi terhadap Nabi (s), karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), yang telah mendahuluinya selama 200 tahun.

Awal Mula Bimbingannya dan Bimbingan bagi Awal Mulanya

Syah Naqsyband (q) berusia delapan belas tahun ketika beliau dikirim ke desa Samas untuk berkhidmah kepada Syekh Muhamad Baba as-Samasi (q), Syekh tarekat pada saat itu yang telah memintanya. Sejak awal khidmahnya kepada Syekh, beliau melihat keberkahan yang tak terhitung pada dirinya, dan dorongan yang tinggi untuk pengabdian dengan ikhlas. Dari masa mudanya beliau bercerita,

Aku bangun lebih awal, tiga jam sebelum Salat Subuh, mengambil wudu, dan setelah melakukan Salat Sunnah, aku lalu bersujud dan berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah hamba kekuatan untuk menghadapi kesulitan dan rasa sakit dari Cinta-Mu.” Kemudian aku melakukan Salat Subuh bersama Syekh. Pada suatu hari ketika beliau hendak keluar rumah, beliau memandangku dan berkata–seolah-olah beliau bersamaku ketika aku memanjatkan doa itu, “Wahai anakku, kau harus mengubah cara berdoamu. Katakanlah, ‘Ya Allah, karuniakanlah rida-Mu kepada hamba yang lemah ini.’ Allah tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Merskipun Allah dalam hikmah-Nya dapat memberi suatu kesulitan kepada hamba-Nya untuk menguji mereka, namun demikian seorang hamba tidak boleh berdoa untuk berada dalam kesulitan. Ini tidak menghormati Tuhanmu.”

Ketika Syekh Muhammad Baba as-Samasi wafat, kakekku membawaku ke Bukhara dan aku menikah di sana. Aku tinggal di Qasr al-`Arifan, dan ini merupakan cara Allah yang istimewa merawatku, karena aku tinggal dekat dengan Sayyid Amir Kulal (q). Aku tinggal dan bekhidmah padanya, dan beliau berkata bahwa Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) sejak lama telah mengatakan kepadanya, ‘Aku tidak akan senang bila engkau tidak merawatnya dengan baik.’ Pada suatu hari aku sedang duduk bersama seorang teman di dalam khalwat, kemudian Surga terbuka bagiku dan sebuah penglihatan yang besar muncul padaku dan aku mendengar sebuah suara yang mengatakan, ‘Apakah tidak cukup bagimu untuk meninggalkan semua orang dan datang sendiri ke Hadirat-Ku?’ Suara ini membuatku gemetar dan lari dari rumah itu. Aku berlari ke arah sungai dan menyeburkan diri di sana. Aku mencuci pakaianku dan salat dua rakaat dengan cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya, aku merasa melakukannya di Hadratillah. Segala sesuatu terbuka dalam kalbuku dengan kondisi kasyf. Seluruh alam semesta lenyap dan aku tidak menyadari apa-apa selain daripada salat di Hadirat-Nya.

Pada awal Maqam Ketertarikanku, aku ditanya, ‘Mengapa engkau memasuki Jalan ini?’ Aku menjawab, ‘Agar apapun yang kukatakan dan apapun yang kuinginkan akan terjadi.’  Aku dijawab, ‘Hal itu adalah mustahil. Apapun yang Kami katakan dan apapun yang Kami inginkan akan terjadi.’ Kemudian aku menjawab, ‘Aku tidak bisa melakukannya. Aku harus diizinkan untuk berkata dan melakukan apapun yang kusukai, kalau tidak, aku tidak menginginkan Jalan ini.’ Kemudian aku menerima jawaban, ‘Tidak, yang berlaku adalah apapun yang Kami ingin katakan dan apapun yang ingin Kami lakukan itu harus dikatakan dan dilakukan.’ Dan aku katakan lagi, ‘Apapun yang aku katakan dan apapun yang aku lakukan harus terjadi.’ Kemudian aku ditinggalkan sendiri selama lima belas hari, hingga aku mengalami depresi luar biasa. Kemudian aku mendengar suara, ‘Wahai Baha’uddin, apapun yang kau inginkan akan Kami berikan.’ Aku sangat bergembira. Aku berkata, ‘Aku ingin diberikan tarekat (jalan) yang akan mengantarkan setiap orang yang menjalaninya sampai langsung ke Hadratillah.’ Dan aku mengalami penglihatan spiritual dan mendengar suara yang mengatakan, ‘Apa yang kau minta sudah dikabulkan.’

Kemajuan dan Perjuangannya dalam Tarekat

Syah Naqsyband (q) mengatakan,

Pada suatu ketika aku sedang mengalami ekstase dan dalam keadaan tanpa kesadaran, bergerak ke sana ke mari, tidak menyadari apa yang aku lakukan. Kakiku robek dan berdarah akibat terkena duri-duri ketika malam tiba. Aku merasa diriku tertarik ke rumah Syekhku, Sayyid Amir Kulal (q). Saat itu malam sungguh gelap, tanpa bulan dan tanpa bintang. Udara sangat dingin dan aku tidak mempunyai apa- apa kecuali sebuah jubah kulit yang sudah usang. Ketika aku tiba di rumahnya, aku mendapati beliau sedang duduk dengan sahabat-sahabatnya. Ketika beliau melihatku, beliau berkata kepada murid-muridnya, ‘Bawa dia pergi, aku tidak menginginkannya di rumahku.’ Mereka membawaku keluar dan aku merasa bahwa egoku berusaha untuk menguasaiku dan mengambil alih kalbu dan perasaanku, berusaha meracuni kepercayaanku kepada syekhku. Pada saat itu hanya Rahmat Allah dan Kasih Sayang-Nya yang menjadi satu-satunya pendukungku dalam menerima penghinaan ini Demi Allah dan Demi Syekhku. Aku berkata kepada egoku, ‘Aku tidak akan membiarkan engkau meracuni kepercayaanku kepada Syekhku.’ Aku merasa sangat lelah dan tertekan sehingga aku meletakkan keadaan tawaduk di depan kesombongan, dengan menempatkan kepalaku di ambang pintu guruku, dan aku bersumpah bahwa aku tidak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali. Salju mulai turun dan udara beku mulai menembus tulangku, membuatku menggigil di tengah gelapnya malam. Saat itu bahkan tidak ada cahaya bulan untuk menghangatkankut. Aku tetap berada dalam posisi itu hingga aku membeku. Tetapi cinta di dalam kalbuku, cinta bagi Syekhku, cinta bagi pintunya membuatku tetap hangat. Subuh pun tiba dan Syekhku melangkahkan kakinya dari pintunya tanpa melihatku secara fisik. Beliau meletakkan kakinya di kepalaku yang masih berada di ambang pintunya. Merasakan adanya kepalaku, beliau segera menarik kakinya, membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, engkau telah dibusanai dengan Busana Kebahagiaan. Kau telah dibusanai dengan Busana Cinta Ilahi. Kau telah dibusanai dengan busana yang belum pernah kudapat, begitu pula dengan Syekhku. Allah rida denganmu. Nabi (s) rida denganmu. Semua Syekh dalam Silsilah Keemasan rida denganmu…’ Kemudian dengan telaten dan hati-hati beliau mencabuti duri-duri di kakiku dan membersihkan luka-lukaku. Pada saat yang sama beliau mencurahkan ilmu yang belum pernah kualami sebelumnya ke dalam kalbuku. Hal ini membukakan bagiku suatu penglihatan di mana aku melihat diriku memasuki rahasia MUHAMMADUN RASULULLAH. Aku melihat diriku memasuki rahasia ayat yang merupakan Haqiqat Muhammadiyya yang mengantarkan aku memasuki rahasia LA ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahasia dari Wahdaniyyah (Keunikan Allah). Kemudian ini mengantarkan aku untuk memasuki rahasia Asmaullah wal Sifaat yang diekspresikan oleh Rahasia Ahadiyya (Keesaan Allah). Maqam-maqam itu tidak dapat digambarkan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat diketahui melalui rasa di dalam kalbu.

Pada awal perjalananku di tarekat ini, aku sering bepergian di malam hari dari satu tempat ke tempat lainnya di pinggiran Bukhara. Sendirian di gelapnya malam, terutama di musim dingin, aku mengunjungi pemakaman untuk memetik pelajaran dari orang-orang yang telah meninggal. Pada suatu malam aku dibimbing untuk mengunjungi makam Syekh Ahmad al-Ajgharawa (q) untuk membacakan Surat al- Fatihah untuknya. Ketika aku tiba, aku mendapati dua orang pria yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor kuda. Mereka lalu menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan dua bilang pedang di sabukku.

Merka lalu mengarahkan kudanya ke makam Syekh Mazdakhin (q). Ketika kami tiba, kami semua turun dari kuda dan masuk ke dalam kompleks makam dan masjid Syekh tersebut. Aku duduk menghadap kiblat, bertafakur dan menyambungkan kalbukukepada kalbu syekh itu. Selama muraqabah ini sebuah penglihatan spiritual dibukakan bagiku dan aku melihat sebuah dinding yang menghadap kiblat tiba-tiba runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seorang yang sangat besar, begitu besarnya sehingga tidak ada kata-kata yang dapat melukiskannya–duduk di singgasana itu. Aku merasa bahwa aku mengenalinya. Ke manapun aku palingkan wajahku di alam semesta ini, yang kulihat adalah wajahnya. Di sekelilingnya ada sekelompok orang termasuk syekhku, Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) dan Sayyid Amir Kulal (q). Kemudian aku merasa takut pada sosok yang tinggi besar itu, tetapi pada saat yang sama aku juga merasakan cinta padanya. Aku merasa takut akan hadiratnya yang mulia tetapi cinta dengan keindahan dan daya tariknya. Aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Siapa gerangan manusia yang agung itu?’ Aku mendengar suara di antara kerumunan orang itu yang mengatakan, ‘Manusia agung yang telah membesarkanmu di jalur spiritualmu ini adalah Syekhmu. Beliau melihat jiwamu ketika masih berupa atom di Hadratillah. Engkau berada di bawah bimbingannya. Beliau adalah Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) dan kerumunan orang yang engkau lihat adalah khalifah-khalifah yang membawa rahasia besarnya, rahasia dari Silsilah Keemasan.’ Kemudian Syekh itu mulai menunjuk pada setiap syekh di sana sambil berkata, ‘Ini adalah Syekh Ahmad (q); ini adalah Kabir al-Awliya (q); ini adalah `Arif Riwakri (q); ini adalah Syekh Ali Ramitani (q); ini adalah syekhmu, Muhammad Baba as-Samasi (q), yang semasa hidupnya pernah memberikan jubahnya kepadamu. Apakah kau mengenalinya?’ Aku menjawab, ‘Ya.’

Kemudian beliau berkata lagi padaku, ‘Jubah yang diberikan kepadamu dulu masih ada di rumahmu, dan dengan keberkahannya, Allah telah menghilangkan banyak penderitaan dari kehidupanmu.’ Kemudian suara lainnya berkata, ‘Syekh yang berada di singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau perlukan dalam perjalanan di jalan ini.’ Aku bertanya apakah aku diperbolehkan untuk bersalaman dengannya. Mereka mengizinkannya dan menyingkirkan hijab di antara kami, dan aku mengambil tangannya. Beliau lalu mengatakan kepadaku mengenai suluk, bagian awal, tengah, dan akhirnya. Beliau berkata, ‘Kau harus membenahi sumbu yang ada di dalam dirimu sehingga cahaya dari alam gaib dapat diperkuat di dalam dirimu dan rahasia-rahasinya dapat terlihat. Kau harus menunjukkan isitiqamah dan kau harus teguh dalam menjalani Syari`at Nabi (s) dalam seluruh keadaanmu. Kau harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. [3:110, 114] dan menjaga standard tertinggi bagi Syari`at, meninggalkan keringanan (rukshah) dan menyingkirkan bid`ah dalam semua bentuk, dan menjadikan Hadits Nabi (s) sebagai kiblatmu. Kau harus mempelajari sirahnya (kehidupan Nabi (s)) dan sirah para Sahabatnya, dan mendorong orang untuk mengikuti hal itu dan untuk membaca al-Qur’an siang dan malam, dan melakukan salat dengan semua salat nawafilnya. Jangan mengabaikan bahkan hal terkecil dari kebaikan dan perbuatan-perbuatan yang mulia yang telah ditunjukkan oleh Nabi (s) kepada kita.

Segera setelah Syekh `Abdul Khaliq (q) selesai, khalifahnya berkata kepadaku, ‘Agar yakin dengan kebenaran penglihatan ini, beliau mengirimkan sebuah tanda bagimu. Besok pergilah dan temui Mawlana Syamsuddin al-Ambikuti, yang akan menghakimi dua orang. Katakanlah bahwa si Turki adalah yang benar, sedangkan si Saqqa adalah yang salah. Katakan kepadanya, ‘Kau berusaha untuk membantu si Saqqa, tetapi kau keliru. Perbaiki dirimu dan bantulah si Turki.’ Jika si Saqqa menyangkal apa yang kau katakan, dan hakim terus membantu si Saqqa, katakan padanya, ‘Aku mempunyai dua bukti. Yang pertama kau harus mengatakan kepada si Saqqa, ‘Wahai Saqqa, engkau haus.’ Ia akan mengerti apa maksudnya. Untuk bukti kedua, kau harus mengatakan kepada si Saqqa, ‘Kau telah berzina dengan seorang wanita dan ia menjadi hamil, kau gugurkan bayi dalam kandungan itu dan kau kuburkan di bawah pohon pinus.’ Dalam perjalananmu menemui Mawlana Syamsuddin, bawalah tiga butir kismis kering dan singgahlah di rumah syekmu, Sayyid Amir al- Kulal (q). Dalam perjalanan itu kau akan menemui seorang syekh yang akan memberimu roti. Ambillah roti itu tetapi jangan berbicara dengan orang itu.

Lanjutkan perjalananmu sampai engkau menemui sebuah karavan. Seorang pegulat akan menghampirimu. Nasihati dia dan dekati dia. Ia akan bertobat dan menjadi salah satu pengikutmu. Pakailah qalansuwa (topi turban) dan bawalah jubah `Azizan kepada Sayyid Amir Kulal (q).

Setelah itu mereka memindahkan aku dan penglihatan itu berakhir. Aku kembali pada diriku. Keesokan harinya aku pergi ke rumahku dan menanyakan tentang jubah yang disebutkan di dalam penglihatan itu kepada keluargaku. Mereka lalu membawakan jubah itu dan berkata, ‘Jubah ini sejak lama ada di situ.’ Ketika aku melihat jubah itu keharuan mendalam melanda diriku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa Ambikata, di pinggiran Bukhara, ke masjid Mawlana Syamsuddin. Aku melakukan salat Subuh bersamanya dan aku mengatakan mengenai tanda- tanda itu dan hal itu membuatnya terheran-heran. As-Saqqa hadir di sana dan ia menyangkal bahwa si Turkilah yang benar. Kemudian aku mengatakan kepadanya mengenai bukti-bukti itu. Ia menerima yang pertama tetapi menyangkal yang kedua. Kemudian aku mengajak orang-orang yang berada di dalam masjid untuk pergi ke sebuah pohon pinus di dekat masjid. Mereka menggali dan menemukan seorang bayi terkubur di sana. Si Saqqa menangis dan memohon maaf atas apa yang telah dilakukannya, tetapi hal itu sudah berakhir. Mawlana Syamsuddin dan orang lain yang berada di masjid sungguh sangat terheran-heran.

Aku lalu bersiap-siap untuk pergi keesokan harinya ke kota Naskh dan aku telah menyiapkan tiga butir kismis kering. Mawlana Syamsuddin berusaha menahanku dengan mengatakan, ‘Aku melihat di dalam dirimu ada rasa sakit akibat merindukan kami dan hasrat yang membara untuk menggapai Ilahi. Obatmu berada di tangan kami.’ Aku katakan, ‘Wahai Syekhku, aku adalah putra seseorang yang lain dan aku adalah muridnya. Bahkan jika engkau menawariku untuk memeliharaku dari maqam yang lebih tinggi lagi, aku tidak dapat menerimanya, kecuali dari orang yang telah kuserahkan kehidupanku dan darinya aku mengambil bay’at.’ Ia lalu terdiam dan mengizinkan aku untuk pergi. Aku lalu berangkat sesuai dengan petunjuk yang telah kuterima sampai aku bertemu dengan soerang syekh dan ia memberiku roti.

Aku tidak berbicara dengannya. Aku mengambil sebantal roti darinya sebagaimana yang telah diperintahkan. Kemudian aku bertemu dengan sebuah karavan. Mereka bertanya kepadaku, dari mana aku berasal. Aku jawab, ‘Ambikata.’ Mereka bertanya kepadaku kapan aku berangkat. Aku jawab, ‘Saat matahari terbit.’ Mereka terkejut dan berkata, ‘Desa itu terletak bermil-mil dan memerlukan waktu yang panjang untuk menempuhnya. Kami meninggalkan desa itu kemarin malam sedangkan engkau pergi saat matahari terbit, tetapi engkau sudah sampai sekarang.’ Aku lalu melanjutkan perjalanan hingga aku bertemu dengan seorang penunggang kuda. Ia bertanya kepadaku, ‘Siapa engkau? Aku merasa takut padamu!’ Aku berkata kepadanya, ‘Aku adalah seseorang di mana engkau akan bertobat di tanganku.’ Ia turun dari kudanya, menunjukkan ketawadukannya dan kemudian bertobat. Ia membuang semua khamar yang dibawanya. Ia lalu menemani aku menemui syekhku, Sayyid Amir Kulal (q). Ketika aku bertemu dengannya, aku menyerahkan jubah itu kepadanya.

Beliau berdiam diri selama beberapa saat dan kemudian beliau berbicara, ‘Ini adalah jubah `Azizan. Tadi malam aku diberitahu bahwa engkau akan membawakannya kepadaku, dan aku diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lembar kain penutup.’ Kemudian beliau memerintahkan aku untuk masuk ke kamar pribadinya. Beliau mengajariku dan meletakkan dzikir khafi di dalam kalbuku. Beliau memerintahkanaku untuk menjaga zikir itu siang dan malam. Sebagaimana aku telah diperintahkan di dalam penglihatanku ketika bertemu dengan Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) yang memintaku untuk menghindari keringanan (rukshah), maka aku menjaga zikir khafi itu–yang merupakan bentuk zikir tertinggi. Sebagai tambahan, aku juga sering menghadiri majelis para cendikiawan ilmu lahir untuk mempelajari Ilmu Syari`ah dan Hadits Nabi (s), serta mempelajari akhlak Nabi (s) dan para Sahabat. Aku melakukannya sebagaimana yang dikatakan dalam penglihatan itu, dan hal ini menghasilkan perubahan yang sangat besar di dalam kehidupanku. Semua yang telah diajarkan oleh Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani

(q) di dalam penglihatan itu menghasilkan buah yang penuh berkah di dalam kehidupanku. Ruh beliau selalu mendampingiku dan mengajariku.

Mengenai Zikir Khafi dan Zikir Jahar

Disebutkan di dalam kitab al-Bahjat as-Saniyya bahwa sejak zaman Syekh Mahmud al-Faghnawi (q) hingga zaman Sayyid Amir al-Kulal (q) mereka melakukan zikir jahar (dengan suara keras) pada saat mereka berada di dalam suatu majelis, dan zikir khafi ketika mereka sendiri. Namun ketika Syah Bahaudin Naqsyband (q) menerima rahasia ini, beliau hanya melakukan zikir khafi. Bahkan di dalam majelisnya Sayid Amir Kulal (q), ketika mereka mulai melakukan zikir jahar, beliau biasanya pergi ke kamarnya dan melakukan zikir khafi di sana. Hal ini membuat beberapa murid kecewa; meskipun syekhnya melakukan zikir jahar, beliau melakukan zikir khafi. Namun demikian beliau tetap berkhidmah kepada syekhnya sepanjang hidupanya.

Pada suatu hari, ketika Syah Baha’uddan (q) dan semua murid Sayyid Amir Kulal (q) sedang beristirahat dari pekerjaan membangun masjid baru, Sayyid Amir Kulal (q) berkata, “Barang siapa yang mempunyai prasangka buruk mengenai putraku Baha’uddin, ia adalah salah. Allah telah memberinya suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada orang lain sebelumnya. Bahkan aku pun tidak mengetahuinya.” Dan beliau berkata kepadanya, “Wahai anakku, aku telah memenuhi wasiat dan nasihat Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) ketika beliau memerintahkan aku untuk merawatmu dan melatihmu hingga engkau melebihiku.

Hal ini telah kulakukan, dan engkau mempunyai kapasitas untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Jadi, wahai anakku tercinta, sekarang aku memberimu izin sepenuhnya untuk pergi ke manapun yang engkau inginkan dan meraih ilmu dari siapapun yang kau temui.”

Mengenai Syekh-Syekh Berikutnya

Beliau berkata,

Pada suatu ketika aku mengikuti Mawlana `Arif ad-Dik Karrani (q) selama tujuh tahun. Kemudian aku mengikuti Mawlana Kuthum Syekh selama bertahun-tahun. Pada suatu malam aku tertidur dalam hadirat syekhku dan aku melihat Syekh al- Hakim `Aththar (q), yang merupakan salah satu syekh termasyhur di Turki, mengatakan sesuatu kepada seorang darwis yang bernama Khalil Ghirani. Ketika aku terbangun, sosok darwis itu masih melekat di dalam pikiranku. Aku mempunyai seorang nenek yang saleh dan kepadanyalah kusampaikan mimpi itu. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, kau juga akan mengikuti banyak Syekh dari Turki.’ Jadi di dalam perjalananku aku mencari Syekh-Syekh dari Turki dan aku tidak pernah melupakan sosok darwis itu. Kemudian pada suatu hari di kampung halamanku di Bukhara, aku melihat ada seorang darwis dan ternyata ia adalah orang yang ada di dalam mimpiku. Aku tanyakan siapa namanya dan beliau berkata, ‘Aku adalah Khalil Ghirani.’ Aku harus meninggalkannya tetapi aku merasa sangat berat melakukannya. Pada saat Maghrib seseorang mengetuk pintuku. Aku menjawab dan seseorang yang asing mengatakan, ‘Darwis Khalil Ghirani sedang menunggumu.’ Aku sangat terkejut. Bagaimana orang itu dapat menemukan aku? Aku lalu menerima hadiah darinya dan kemudian pergi bersamanya. Ketika aku sampai di hadapannya, aku mulai menceritakan mimpiku. Beliau berkata, ‘Tidak perlu kau ceritakan mimpi itu. Aku sudah mengetahuinya.’ Hal ini membuat kalbuku semakin tertarik kepadanya. Bersamanya, ilmu gaib yang baru dibukakan di dalam kalbuku. Beliau selalu merawatku, memujiku dan mengangkatku. Orang-orang di Transoxiana menempatkan beliau sebagai raja bagi mereka. Aku terus menemaninya, bahkan dalam kegiatan Kerajaannya, dan cinta di dalam kalbuku untuknya semakin bertambah dan kalbu beliau mengangkatku kepada ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi. Beliau mengajariku jalan berkhidmah kepada syekh. Aku menemaninya selama enam tahun. Baik ketika bersamanya maupun ketika sendiri, aku terus menjaga hubunganku dengannya.

Di awal perjalananku di dalam Tarekat ini, aku bertemu dengan seorang kekasih Allah dan beliau berkata kepadaku, ‘Tampaknya engkau berasal dari kami.’ Aku berkata kepadanya, ‘Aku berharap bahwa engkau berasal dari kami dan aku berharap dapat menjadi sahabatmu.’ Pada suatu ketika beliau bertanya kepadaku, ‘Bagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri?’ Aku menjawab, ‘Bila aku mendapatkan sesuatu, aku bersyukur kepada Allah tetapi bila tidak, aku bersabar.’ Ia tersenyum dan berkata, ‘Itu adalah mudah. Jalan bagimu adalah membebani egomu dan mengujinya. Jika ia tidak mendapat makanan selama satu minggu, kau harus mampu menjaganya agar ia tetap mematuhimu.’ Aku sangat senang dengan jawabannya dan aku meminta dukungannya. Beliau menyuruhku untuk membantu orang yang membutuhkan dan melayani orang yang lemah dan membesarkan hati orang yang putus asa. Beliau menyuruhku untuk tetap tawaduk dan bersikap toleran. Aku menjaga nasihatnya dan menjalani kehidupanku selama berhari-hari dengan cara seperti itu. Kemudian beliau menyuruhku untuk merawat binatang, menyembuhkan penyakit mereka, membersihkan luka-lukanya, dan membantunya untuk mendapatkan makanan mereka. Aku menjalankan hal ini sampai aku mencapai suatu keadaan di mana ketika aku melihat seekor binatang di jalanan, aku akan berhenti dan memberi jalan baginya.

Kemudian beliau menyuruhku untuk memelihara anjing-anjing dari kelompok ini (anjing berhubungan dengan karakter ikhlas dan setia) dengan kejujuran dan ketawadukan, dan meminta dukungan dari mereka. Beliau berkata kepadaku, ‘Karena khidmahmu kepada salah satu di antara mereka, kau akan meraih kebahagiaan.’ Aku menjalani perintah itu dengan harapan bahwa aku akan menemui seekor anjing dan melalui khidmahku kepadanya aku akan meraih kebahagiaan itu. Pada suatu hari aku sedang berada dalam kelompok salah satu di antara mereka dan aku merasakan kebahagiaan yang sangat besar. Aku mulai menangis di depannya sampai ia berposisi telentang dan mengangkat kaki depannya ke langit. Aku mendengar suara yang amat lirih darinya sehingga aku pun mulai mengangkat tanganku untuk mengucapkan ‘amin’ mendukung doanya sampai ia terdiam. Apa yang kemudian dibukakan bagiku adalah suatu penglihatan di mana aku merasa bahwa aku adalah bagian dari setiap manusia dan bagian dari seluruh makhluk di bumi ini.

Setelah Memakai Jubah

Beliau berkata,

Pada suatu hari aku sedang berada di kebunku di Qasr al-Arifan (di mana masjid dan makam beliau berada sekarang), dengan memakai jubah Azizan dan di sekelilingku berkumpul para pengikutku. Tiba-tiba aku terhanyut dengan Daya Tarik dan Berkah Surgawi, dan aku merasa bahwa aku telah dibusanai dengan Sifat-Nya. Belum pernah aku segemetar ini sebelumnya, dan aku tidak kuat lagi berdiri. Aku berdiri menghadap kiblat dan aku memasuki suatu penglihatan besar di mana aku melihat diriku melebur sepenuhnya dan aku tidak melihat wujud lain kecuali Tuhanku.

Kemudian aku melihat diriku keluar dari Hadratillah-Nya memantul melalui Cermin MUHAMMADUN RASULULLAH, dalam sosok sebuah bintang di Samudra Cahaya tanpa awal dan tanpa akhir. Kehidupan lahirku berakhir dan aku hanya melihat makna dari LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASULULLAH. Hal ini mengantarkan aku menuju makna inti sari Asma ‘Allah’ yang kemudian membawaku kepada Ghaib Mutlak, yang merupakan inti sari dari Asma ‘Huwa’ (Dia). Ketika aku memasuki samudra itu kalbuku berhenti berdenyut dan seluruh kehidupanku berakhir, membuatku berada dalam keadaan mati. Ruhku meninggalkan tubuhku dan semua orang yang berada di sekitarku berpikir bahwa aku telah meninggal dunia dan mereka semua menangis. Kemudian setelah enam jam aku diperintahkan untuk kembali ke tubuhku. Aku merasakan ruhku kembali memasuki tubuhku dan penglihatan itu berakhir.

Menyangkal keberadaanmu dan mengacuhkan dan mengabaikan egomu adalah yang berlaku di dalam Tarekat ini. Dengan keadaan ini aku memasuki setiap level eksistensi sehingga membuatku menjagi bagian dari seluruh makhluk dan mengembangkan keyakinan dalam diriku bahwa setiap orang lebih baik daripada aku. Aku melihat bahwa setiap orang memberikan manfaat dan hanya aku sendiri yang tidak bermanfaat. Pada suatu hari aku mengalami suatu keadaan yang mengejutkan. Aku mendengar Hatif Rabbani, Suara Ilahiah yang mengatakan, ‘Mintalah apapun yang kau inginkan dari Kami.’ Jadi aku meminta dengan rendah hati, ‘Ya Allah, karuniakanlah aku setetes dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu.’ Jawaban yang muncul, ‘Kau hanya meminta setetes dari Kemahamurahan Kami?’ Hal ini bagaikan tamparan keras di wajahku dan sengatannya terasa di pipiku hingga beberapa hari. Kemudian pada suatu hari aku berkata, ‘Ya Allah, karuniakanlah aku dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu Kekuatan untuk membawanya.’ Pada saat itu sebuah penglihatan dibukakan bagiku di mana aku duduk di sebuah singgasana dan samudra itu berada di atas Samudra Rahmat. Dan sebuah suara berkata kepadaku, ‘Samudra Rahmat itu adalah untukmu. Berikan kepada hamba-hamba-Ku.’

Aku menerima rahasia dari berbagai sisi, terutama dari Uwais al-Qarani (r), yang sangat mempengaruhiku untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan merekatkan diriku kepada urusan spiritual. Aku melakukan hal ini dengan menjaga Syari`ah dan perintah Nabi (s), hingga ku mulai menyebarkan Ilmu Gaib dan rahasia-rahasia yang dianugerahkan dari Tuhan Yang Maha Esa, yang belum pernah diberikan oleh siapapun sebelumnya.

Keajaiban dari Perkataannya dan Perkataan mengenai Keajaibannya Mengenai Perbedaan di antara Imam

Dalam sebuah pertemuan ulama-ulama besar di Baghdad, beliau ditanya mengenai perbedaan dalam perkataan keempat khalifah Nabi Suci (s). Beliau lalu berkata,

Pada suatu hari Ash-Shiddiq (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat segala sesuatu kecuali bahwa Allah di depannya,’ dan Umar al-Faruq (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali bahwa Allah di belakangnya,’ dan `Utsman (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat segala sesuatu kecuali bahwa Allah di sampingnya,’ dan `Ali (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat segala sesuatu kecuali bahwa Allah di dalamnya.’” Beliau mengomentari bahwa “Perbedaan di antara perkataan-perkataan ini didasari pada perbedaan situasi pada saat mereka bicara, bukannya perbedaan dalam keyakinan atau pemahaman.”

Mengenai Berjalan dalam Tarekat

Beliau berkata,

Apakah yang ada di balik makna hadits Nabi (s), ‘Menghilangkan sesuatu yang membahayakan dari jalan adalah bagian dari iman’? Apa yang beliau maksud dengan ‘sesuatu yang membahayakan’ adalah ego (nafs), dan yang beliau maksud dengan ‘Jalan’ adalah Jalan menuju Allah, sebagaimana Dia mengatakan kepada Bayazid al-Bisthami (q), ‘Tinggalkanlah egomu dan datanglah kepada Kami.’

Pada suatu ketika beliau ditanya, “Apa yang dimaksud dengan Suluk?” Beliau berkata, “Detailnya dalam ilmu spiritual.” Mereka bertanya, “Apakah ‘detail dalam ilmu spiritual?’” Beliau menjawab, “Orang yang mengetahui dan menerima apa yang ia ketahui akan diangkat dari maqam hujah dan bukti menuju maqam penglihatan.”

Beliau berkata,

Barang siapa yang ingin berada di Jalan Allah berarti ia telah meminta jalan yang penuh penderitaan. Diriwayatkan oleh Nabi (s) bahwa, “Barangsiapa yang mencintaiku, aku akan membebaninya.” Seseorang datang menemui Nabi (s) dan berkata, ‘Wahai Nabi, aku mencintaimu,’ dan Nabi (s) menjawab, “Maka siapkanlah dirimu untuk menjadi fakir.’ Kemudian di waktu yang lain ada seseorang yang mendatangi Nabi (s) dan berkata, ‘Wahai Nabi, aku mencintai Allah,’ kemudian Nabi (s) bersabda, ‘Maka persiapkan dirimu untuk penderitaan.’ Beliau membacakan sebuah syair,

Setiap orang mendambakan kebaikan, Tetapi tidak ada yang meraih Kenaikan, Kecuali dengan mencintai Sang Pencipta kebaikan. Beliau berkata,

Setiap orang yang menyukai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan selain dirinya, pada hakikatnya ia hanya menginginkan dirinya sendiri.

Mengenai Latihan Spritual

Beliau berkata,

Ada tiga jalan di mana orang-orang Arif mencapai ilmu mereka:

  1. Muraqabah – Kontemplasi
  2. Musyahadah – Penglihatan
  3. Muhasabah – Introspeksi diri

Dalama keadaan muraqabah, seorang salik melupakan makhluk dan hanya mengingat Sang Pencipta.

Dalam keadaan musyahadah, seorang salik memperoleh ilham dari alam gaib yang masuk ke dalam kalbunya dengan dua keadaan, yaitu: kontraksi dan ekspansi.

Dalam kondisi kontraksi, penglihatannya dari al-Jalaal, sedangkan dalam keadaan ekspansi dari al-Jamaal.

Dalam keadaan muhasabah, seorang salik mengevaluasi setiap waktu yang telah ia lewati, apakah ia hadir sepenuhnya bersama Allah atau hadir sepenuhnya bersama dunia?

Beliau berkata,

Seorang salik dalam tarekat ini harus menyibukkan diri dalam menolak bisikan setan dan godaan egonya. Ia dapat menolaknya sebelum mereka sampai padanya; atau ia menolaknya setelah mereka sampai padanya tetapi sebelum mereka dapat menguasainya. Namun demikian ada juga salik yang tidak menolaknya setelah mereka sampai padanya dan menguasainya. Ia tidak akan memperoleh buahnya, karena pada saat itu mustahil untuk mengeluarkan bisikan itu dari dalam kalbunya.

Mengenai Maqam-Maqam Spiritual

Pada suatu ketika beliau ditanya,

Bagaimana orang-orang di jalan Allah melihat pada amal tersembunyi dan bisikan kalbu? Beliau menjawab, “Melalui cahaya penglihatan yang Allah berikan kepada mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam Hadits Suci, ‘Waspadalah dengan penglihatan orang yang beriman, karena ia dapat melihat dengan Cahaya Ilahi.’

Beliau ditanya mengenai menunjukkan kekuatan keramat. Beliau berkata,

Kekuatan keramat apa lagi yang kau inginkan melebihi kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan segala dosa pada diri kita dan di sekitar kita.

Beliau ditanya, “Siapakah si pembaca dan siapakan yang dimaksud Sufi dalam ucapakan Junaid, ‘Putuskan hubungan dirimu dengan si pembaca kitab, dan bertemanlah dengan orang-orang Sufi?’”

Beliau berkata,

Si pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, sedangkan Sufi adalah orang yang sibuk dengan inti dari nama-nama itu.

Beliau memperingatkan,

Jika seorang murid, seorang syekh, atau siapapun berbicara mengenai suatu maqam yang belum pernah dicapainya, Allah akan mengharamkannya untuk meraih maqam tersebut.

Beliau berkata,

Cermin setiap syekh mempunyai dua arah. Tetapi cermin kita mempunyai enam arah.

Beliau berkata,

Yang dimaksud dengan Hadits Suci, ‘Aku bersama orang yang mengingat-Ku,’ merupakan hujah dan bukti yang jelas untuk mendukung orang yang kalbunya selalu mengingat-Nya. Dan hadits lain dari Nabi (s) yang bersabda atas nama Allah, ash- shawmu li (‘puasa adalah untuk-Ku’) merupakan sebuah penegasan bahwa puasa yang sesungguhnya adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah.

Mengenai Kemiskinan Spiritual

Beliau ditanya,

Mengapa mereka disebut al-fuqara’? Beliau berkata,

Karena mereka miskin, tetapi mereka tidak perlu meminta. Seperti halnya Nabi Ibrahim (a), ketika beliau dilempar ke dalam api, kemudian Jibril (a) datang dan bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau memerlukan pertolongan?’, jawab beliau, ‘Aku tidak perlu meminta, Dia sangat mengerti keadaanku.’

Beliau berkata,

Kemiskinan merupakan suatu tanda fana dan penghapusan atribut keberadaan. Beliau berkata pada suatu ketika,

“Siapakah orang yang fakir?” Tidak ada orang yang menjawabnya. Beliau lalu berkata, “Orang yang fakir adalah orang yang di dalam dirinya selalu dalam keadaan berjuang tetapi di luarnya selalu dalam keadaan damai.”

Mengenai Adab dengan Syekh

Beliau berkata,

Para pengikut perlu menyadari bahwa bila ia merasa bingung atau tidak mengerti terhadap sesuatu yang dikatakan atau dilakukan oleh Syekhnya, ia harus sabar dan tetap menjalankannya dan tidak menaruh kecurigaan. Jika ia seorang pemula, ia mungkin akan bertanya; tetapi bila ia seorang murid, ia tidak punya alasan untuk bertanya dan ia harus tetap bersabar terhadap apa yang belum ia pahami.

Beliau berkata,

Mustahil untuk meraih cinta para Awliyaullah hingga kalian keluar dari diri kalian sendiri.

Beliau berkata,

Dalam tarekat kita ada tiga kategori adab:

  1. Adab karimah terhadap Allah `azza wa jalla, yang menuntut murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik lahir maupun batin, menjauhi semua larangan- Nya dan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain daripada Allah.
  2. Adab karimah terhadap Nabi Muhammad (s), yang menuntut murid untuk terbang tinggi pada maqam in kuntum tuhibbun Allah fa-t-tabi`unii (‘Jika kamu ingin mencintai Allah, maka ikutilah aku’) [3:31]. Ia harus mengikuti seluruh keadaan Nabi (s). Ia harus tahu bahwa Nabi (s) adalah jembatan antara Allah dengan ciptaan-Nya dan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawah perintahnya.
  3. Adab karimah terhadap Syekh merupakan suatu persyaratan bagi setiap salik. Syekh merupakan asbab dan wasilah untuk mengikuti jejak Nabi (s). Merupakan tugas bagi setiap salik, baik dalam kehadiran maupun dalam ketidakhadirannya, untuk selalu menjaga perintah dari Syekh.

Pada suatu ketika seorang pengikutku memberi salam padaku. Aku tidak membalasnya, walaupun merupakan suatu keharusan menurut Sunnah untuk membalas orang yang memberi salam padamu. Hal ini membuat pengikutku kecewa. Aku mengutus seseorang untuk meminta maaf padanya, mengatakan kepadanya bahwa ‘Pada saat itu, ketika engkau memberi salam padaku, pikiranku, kalbuku, ruhku, tubuhku, jiwaku seluruhnya sedang lenyap di dalam Hadratillah, mendengarkan apa yang Allah katakan kepadaku. Hal ini membuatku begitu terpesona dengan Kalamullah sehingga aku tidak mampu untuk memberi respons pada orang lain.’

Mengenai Niat

Beliau berkata,

“Meluruskan niat adalah sangat penting, karena niat berasal dari Alam Gaib, bukan dari dunia materi.” Untuk itu beliau mengatakan, “Ibn Siriin (seorang penulis kitab takwil mimpi) tidak melakukan salat jenazah terhadap Hasan al-Basri. Beliau berkata, ‘Bagaimana aku dapat melakukan salat ketika niatku belum sampai padaku untuk menghubungkan aku dengan Alam Gaib?’”

Beliau melanjutkan,

Niat (niyyah) itu sangat penting, karena ia terdiri dari tiga huruf: Nun, yang melambangkan nurullah, Cahaya Ilahi; ya, yang melambangkan yadullah, Tangan Allah; dan ha, yang melambangkan hidayatullah, Petunjuk Allah. Niat adalah Hembusan Jiwa.

Mengenai Tugas para Awliya

Beliau berkata,

Allah menciptakan aku untuk menghancurkan kehidupan materialistik tetapi orang- orang menginginkan aku untuk membangun kehidupan materialistik mereka.

Beliau berkata,

Para Awliyaullah menanggung beban penciptaan agar makhluk itu belajar dari mereka. Allah melihat kalbu Awliya-Nya dengan Cahaya-Nya, dan barang siapa yang berada di sekitar wali itu, ia akan mendapat berkah dari cahaya itu.

Seorang Syekh harus mengetahui keadaan murid-muridnya dalam tiga kategori: masa lalu, masa sekarang dan masa depan, agar ia dapat menaikkan maqamnya.

Siapapun yang telah mengambil bay’at dengan kami, mengikuti kami dan mencintai kami, baik dekat atau jauh, bahkan jika ia berada di Timur sedangkan kami di Barat, kami memeliharanya dari aliran cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan sehari-harinya.

Mengenai Zikir Jahar dan Zikir Khafi

Sejak kehadiran al-`Azizan, terdapat dua metode zikir: zikir jahar dan zikir khafi. Aku lebih menyukai zikir khafi karena ia lebih kuat dan lebih disarankan.

Ijazah untuk melakukan zikir harus diberikan oleh seorang Insan Kamil, agar ia dapat memberikan pengaruh kepada orang yang menggunakannya, sebagaimana panah dari seorang Ahli Memanah lebih baik daripada panah yang dilepaskan dari busur orang biasa.

Beliau menambahkan Tiga Prinsip ke dalam Delapan Prinsip Syekh `Abdul Khaliq (q):

9.  Kesadaran akan Waktu (“wuquf zamani“)

Itu artinya memperhatikan ketenangan dan mengecek kecenderungan seseorang terhadap kelalaian. Seorang salik harus mengetahui berapa lama waktu yang ia habiskan dalam terus berkembang menuju kematangan spiritual dan ia harus mengenali di mana ia telah sampai dalam perjalanannya menuju Hadratillah.

Seorang salik harus membuat kemajuan dengan segala upayanya. Ia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk satu tujuan, yaitu sampai di maqam Cinta Ilahi dan Hadratillah. Ia harus menyadari bahwa di dalam semua upaya dan segala tindakannya Allah menyaksikan hingga sedetail-detailnya.

Seorang salik harus mengevaluasi semua perbuatan dan niatnya baik siang dan malam, dan menganalisa perbuatannya setiap jam, setiap detik dan setiap saat. Jika semuanya baik, ia harus bersyukur kepada Allah untuk itu. Tetapi bila buruk, ia harus bertobat dan memohon ampunan Allah.

Ya’qub al-Charki (q) mengatakan bahwa Syekhnya, Ala’uddin al-Aththar (q) berkata, “Dalam keadaan tertekan kalian harus banyak beristighfar, sementara dalam keadaan gembira, perbanyaklah memuji Allah.” Dan beliau berkata, “Mempertimbangkan kedua keadaan ini, yaitu kontraksi dan ekspansi, itu adalah makna dari wuquf zamani.”

Syah Naqsyband (q) menjelaskan keadaan itu dengan mengatakan, “Kalian harus menyadari tentang diri kalian. Jika kalian mengikuti Syari`ah, maka kalian harus bersyukur kepada Allah, bila tidak kalian harus memohon ampun.”

Yang penting bagi seorang salik dalam keadaan ini adalah menjaga periode waktu terkecil. Ia harus menjaga dirinya dan menilai apakah ia berada dalam Kehadiran Allah atau kehadiran egonya, dalam setiap saat kehidupannya.

Syah Naqsyband (q) berkata, “Kalian harus mengevaluasi bagaimana kalian mengisi setiap waktu kalian: dengan Kehadiran atau dalam Kelalaian.”

10.  Kesadaran akan Jumlah (“wuquf `adadi“)

Ini berarti bahwa seorang salik yang melakukan zikir harus memperhatikan jumlah pasti dalam pengulangan yang diperlukan dalam zikir khafi di dalam kalbu. Menjaga hitungan zikir ini bukan demi perhitungan itu sendiri tetapi demi menjaga keamanan kalbu dari pikiran buruk dan untuk lebih meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah pengulangan yang telah ditetapkan oleh Syekh secepat mungkin.

Pilar zikir melalui perhitungan adalah membawa kalbu kepada Hadirat Ilahi yang disebutkan dalam zikir tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu, untuk membawa perhatian seseorang kepada hakikat bahwa setiap orang membutuhkan Dia yang Tanda-Tanda (Kebesaran)-Nya tampak pada setiap makhluk.

Syah Naqsyband (q) berkata, “Memperhatikan jumlah zikir adalah langkah pertama dalam tahap mendapatkan Ilmu Surgawi (`ilm ul-ladunni).” Ini berarti perhitungan itu mengantarkan orang untuk mengenali bahwa hanya Satu yang dibutuhkan dalam hidup. Semua persamaan matematis memerlukan nomor Satu. Seluruh makhluk membutuhkan Dzat Yang Maha Esa.

11.  Kesadaran Kalbu (“wuquf qalbi“)

Ini berarti mengarahkan kalbu sang salik menuju Hadirat Ilahi, di mana ia tidak akan melihat sesuatu yang lain daripada Yang Paling Dicintainya. Itu artinya mengalami Tajali-Nya dalam semua keadaan. Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata, “Keadaan Kesadaran Kalbu berarti keadaan hadir dalam Hadirat Ilahi sedemikian rupa sehingga kalian tidak bisa melihat yang lain kecuali Dia.”

Dalam keadaan demikian seseorang memusatkan tempat zikirnya dalam kalbu sebab ini adalah pusat kekuatan. Semua pikiran dan inspirasi, baik dan buruk, terasa dan muncul satu demi satu, berputar dan mengalir, bergerak di antara terang dan gelap, dalam perputaran yang konstan di dalam hati. Zikir diperlukan untuk mengontrol dan mengurangi turbulensi kalbu itu.

Makna dari Umat Muhammad (s)

Beliau berkata,

Ketika Nabi (s) bersabda, ‘Bagian umatku yang ditakdirkan untuk Neraka adalah seperti bagian Ibrahim (a) yang ditakdirkan untuk api Namrud,’ beliau memberi kabar gembira tentang keselamatan bagi umatnya sebagaimana Allah telah menuliskan keselamatan bagi Ibrahim (a), “Ya naru kunii bardan wa salaman `ala Ibraham (‘Wahai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim’) [21:69] Hal ini karena Nabi (s) bersabda, ‘Umatku tidak akan pernah setuju dengan suatu kesalahan,’ menegaskan bahwa umat tidak akan pernah mau menerima kesalahan, sehingga Allah akan menyelamatkan Umat Muhammad (s) dari Neraka.

Syekh Ahmad Faruqi (q) mengatakan bahwa Syah Naqsyband (q) berkata, “Umat Muhammad (s) termasuk siapapun yang muncul setelah Nabi (s). Umat ini terdiri dari tiga macam:

1. Ummatu-d-Da`wah: yaitu setiap orang yang secara mutlak muncul setelah Nabi (s) dan mendengar risalah beliau. Dari banyak ayat di dalam al-Qur’an, sudah jelas bahwa Nabi (s) datang kepada semua orang tanpa kecuali; lebih jauh lagi, umatnya cukup menjadi saksi bagi umat yang lain, dan Nabi (s) adalah saksi bagi setiap orang, termasuk umat lainnya dan saksi-saksi yang mewakili mereka masing-masing.

2. Ummatu-l-Ijaba: yaitu orang-orang yang menerima risalahnya.

3. Ummatu-l-Mutaba`a: yaitu orang-orang yang menerima risalahnya dan mengikuti jejak Nabi (s).

Semua kategori umat Nabi (s) ini selamat. Jika mereka bukan diselamatkan karena amal mereka sendiri, mereka akan diselamatkan melalui Syafaat Nabi (s), sebagaimana sabda beliau, “Syafaatku adalah untuk para pendosa besar di antara umatku.”

Mengenai Mencapai Hadratillah

Beliau berkata,

Apakah makna hadits Nabi (s), “Ash-shalatu mi`raj ul-mu’min (“Salat adalah kenaikan bagi Mukmin”)? Itu merupakan tanda yang jelas mengenai tingkatan Salat Sejati, di mana orang yang melakukan salat naik ke Hadratillah dan di dalam dirinya terwujud rasa kagum, penghormatan, ketaatan dan kerendahan hati saat kalbunya mencapai keadaan muraqabah melalui salatnya. Hal ini akan mengantarkannya kepada musyahadah pada Rahasia-Rahasia Ilahi. Itulah gambaran mengenai salatnya Nabi (s). Di dalam Sirah Nabawiyyah dikatakan bahwa ketika Nabi (s) mencapai keadaan tersebut, bahkan orang-orang di luar kota dapat mendengar suara yang berasal dari dadanya yang menyerupai dengungan lebah.

Salah seorang ulama di Bukhara bertanya kepadanya, “Bagaimana seseorang dapat mencapai Hadratillah melalui salatnya?” Beliau menjawab, “Dengan memakan dari hasil jerih payahnya dan melalui Zikrullah di dalam salatmu dan di luar salatmu, dalam setiap wudumu dan dalam setiap saat kehidupanmu.”

Mengenai Syirik Tersembunyi

Syekh Salah, pelayannya melaporkan, “Syah Naqsyband (q) pada suatu ketika berkata kepada para pengikutnya, Hubungan antara kalbu kalian dengan sesuatu selain Allah adalah hijab terbesar bagi seorang salik,’ setelah itu beliau membaca syair puisi berikut ini:

Hubungan dengan selain Allah Adalah hijab yang terkuat, Dan meninggalkannya,

adalah Pembuka bagi suatu Pencapaian.

Segera setelah beliau membaca syair ini, sesuatu terlintas di dalam kalbuku bahwa beliau merujuk pada hubungan antara Iman dan Islam. Beliau memandangku dan tertawa, lalu beliau berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh Hallaj? “Aku menolak agama Allah, dan penolakan itu adalah wajib bagiku meskipun tampak mengejutkan bagi Muslim.” Wahai Syekh Salah, apa yang terlintas dalam kalbumu–bahwa hubungan itu adalah antara Iman dan Islam — bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah Iman Sejati, dan Iman Sejati bagi para Shiddiqin yaitu dengan membuat kalbu menyangkal segala sesuatu selain Allah. Itulah yang membuat Hallaj mengatakan, “Aku menolak agama-Mu dan penolakan ini adalah wajib bagiku, meskipun tampak mengejutkan bagi Muslim.” Kalbunya tidak menginginkan yang lain kecuali Allah.”

“Tentu saja Hallaj, tidak menyangkal keimanannya dalam Islam, tetapi menekankan ikatan kalbunya kepada Allah saja. Jika Hallaj tidak menerima segala sesuatu kecuali Allah, bagaimana orang dapat mengatakan bahwa ia sebenarnya menyangkal agama Allah? Pernyataannya tentang hakikat musyahadahnya mencakup segalanya dan membuat kesaksian awam dari kebanyakan Muslim menjadi tidak ada apa- apanya.”

Syekh Salah melanjutkan bahwa Syah Naqsyband (q) berkata, “Orang-orang di Jalan Allah tidak mengagumi apa yang mereka lakukan; mereka melakukannya hanya karena cintanya kepada Allah.”

Syah Naqsyband (q) berkata,

Rabi’a al-’Adawiyya (q) berkata, ‘Ya Allah, aku tidak beribadah dengan mengharapkan balasan Surga-Mu, dan tidak pula takut akan siksa-Mu, namun aku menyembah-Mu hanya demi Cinta-Mu.’ Jika ibadah kalian hanya untuk menyelamatkan diri kalian sendiri atau untuk mendapat balasan tertentu bagi diri kalian, maka itu adalah syirik tersembunyi, karena kalian telah menyekutukan sesuatu dengan Allah, baik berupa pahala atau dosa. Inilah yang dimaksud oleh Hallaj.

Syekh Arslan ad-Dimasyqi (q) mengatakan–sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syah Naqsyband (q),

Ya Allah, Agama-Mu bukanlah apa-apa, melainkan syirik tersembunyi dan tidak mengimaninya merupakan kewajiban bagi setiap hamba sejati. Orang-orang beragama tidak menyembah-Mu, mereka hanya menyembah-Mu untuk meraih Surga atau agar selamat dari Neraka. Merereka menyembah keduanya sebagai berhala, dan itu adalah seburuk-buruknya kemusyrikan. Kau mengatakan, “man yakfur bi ’t-taghuuti wa yu’min bi ‘l-Laahi faqad istamsaka bi ‘l-`urwati ‘l- wutsqa (“Barang siapa yang ingkar kepada thagut (berhala) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada Tali yang Kokoh”) [2:256].

Untuk mengingkari berhala-berhala ini dan untuk beriman kepada-Mu merupakan suatu kewajiban bagi para Shiddiqin.

Syekh Abul-Hasan asy-Syadzili (q), salah seorang Syekh Sufi besar ditanya oleh Syekhnya, “Wahai anakku, dengan apa engkau akan bertemu dengan Tuhanmu?” Beliau berkata, “Aku datang kepada-Nya dengan kemiskinanku.” Syekhnya berkata,

“Wahai anakku, jangan pernah kau ulangi lagi hal ini. Ini adalah berhala terbesar, karena engkau masih datang kepada-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu dari segala sesuatu kemudian datanglah kepada-Nya. Para fuqaha dan pemegang ilmu lahir (eksternal) memegang teguh pada amal mereka dan pada asas tersebut, mereka mengembangkan konsep pahala dan dosa. Jika mereka baik, mereka akan mendapati kebaikan tetapi bila mereka buruk, mereka akan mendapati keburukan; yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah amalnya dan yang menyakitinya adalah amalnya juga. Bagi para ahli tarekat, ini adalah syirik tersembunyi, karena orang itu menyekutukan sesuatu dengan Allah. Meskipun merupakan suatu kewajiban untuk melakukan (amal baik), namun demikian kalbu tidak boleh terikat dengan amal- amal itu. Amal itu hanya dilakukan karena Allah dan demi Cinta-Nya, tanpa mengharapkan sesuatu  sebagai balasannya.”

Mengenai Tarekat Naqsybandi

Syah Naqsyband (q) berkata,

Tarekat kita sangat langka dan sangat berharga. Ia merupakan `urwati ‘l-wutsqa (“Memegang Teguh”), jalan untuk memegang jejak Nabi (s) dan para Sahabat dengan teguh dan kokoh. Mereka membawaku ke tarekat ini dari pintu Nikmat, karena pada awal dan akhirnya, aku tidak menyaksikan apa-apa kecuali Nikmat Allah. Dalam tarekat ini pintu-pintu besar dari Ilmu Surgawai akan dibukakan bagi para salik yang mengikuti jejak Nabi (s).

Mengikuti Sunnah Nabi (s) merupakan jalan terpenting yang akan membukakan pintu kepada kalian. Beliau berkata, “Barang siapa yang tidak masuk ke dalam tarekat kita, agamanya berada dalam bahaya.” Beliau ditanya, “Bagaimana seseorang dapat memasuki tarekatmu?” Beliau menjawab, “Dengan mengikuti Sunnah Nabi (s).”

Beliau berkata,

Kita telah menanggung penghinaan dalam tarekat ini dan sebagai balasannya Allah memberkati kita dengan Kemuliaan-Nya.

Beberapa orang mengatakan mengenai beliau bahwa kadang-kadang beliau terlihat arogan. Beliau mengatakan, “Kita bangga karena Dia, karena Dia adalah Tuhan kita, yang memberikan Dukungan-Nya kepada kita!”

Beliau berkata,

Meraih Rahasia-Rahasia Tauhid kadang-kadang mungkin, tetapi untuk mencapai Rahasia-Rahasia Makrifat hal itu sungguh sangat sulit.

Beliau berkata,

Ilmu Spiritual bagaikan air, ia mengambil warna dan bentuk cangkirnya. Ilmu Allah begitu luar biasa, sehingga berapapun kita ambil, itu seperti setetes dari samudra yang luas. Ia seperti taman yang sangat luas sehingga berapapun yang kita pangkas, seolah-olah kita hanya memotong sekuntum bunga saja.

Pandangannya mengenai Makanan

Syah Naqsyband (q), semoga Allah mensucikan jiwanya, berada pada tingkatan tertinggi dalam menolak keinginan duniawi. Beliau mengikuti jalan zuhud, khususnya dalam hal makan. Beliau mengambil semua tindakan pencegahan terkait masalah makanan. Beliau hanya makan dari jelai yang beliau tanam sendiri. Beliau yang memanennya, menggilingnya dan membuat adonan, dan membakarnya sendiri. Semua ulama dan para salik di zamannya biasa mampir ke rumahnya untuk makan di mejanya dan mengambil keberkahan dari makanannya.

Beliau mencapai suatu kesempurnaan dalam penghematan sehingga di musim dingin beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya, dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Di musim panas, beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau mencintai orang miskin dan yang membutuhkan. Beliau mendoroang para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan bekerja keras dengan keringatnya sendiri. Beliau menganjurkan kepada mereka untuk membagi uangnya kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan mendorong mereka untuk senantiasa berada di Hadratillah. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan lalai, beliau akan menegurnya melalui penglihatan spiritualnya dan mengingatkan kepada mereka untuk tetap menjaga zikrullah ketika sedang makan.

Beliau mengajarkan bahwa,

Salah satu dari pintu terpenting menuju Hadratillah adalah makan dengan Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan dengan kesadaran memberikan kesucian bagi tubuh.

Pada suatu hari beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah seorang pengikutnya telah menyiapkan makanan untuknya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi terkejut. Syah Naqsyband (q) berkata, “Wahai anakku, aku ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan dan memasaknya sampai engkau menyajikannya engkau berada dalam keadaan marah. Makanan itu bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakannya, Setan akan menemukan jalan masuk melaluinya dan menyebarkan sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.”

Di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, yaitu Raja Hussain. Beliau sangat gembira menyambut kedatangan Syah Naqsyband (q) dan mengadakan jamuan besar untuknya. Beliau mengundang semua menterinya, syekh-syekh di kerajaannya dan semua tokoh terpandang. Beliau berkata, “Makanlah dari makanan ini. Ini adalah makanan yang murni yang kubuat dari uang yang halal dari warisan ayahku.” Semua orang makan kecuali Syah Naqsyband (q). Hal itu membuat Syekh ul-Islam pada saat itu, Qutb ad-din, bertanya, “Wahai Syekh kami, mengapa engkau tidak makan?” Syah Naqsyband (q) berkata, “Aku mempunyai seorang hakim tempat aku berkonsultasi. Aku bertanya padanya dan ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, ada dua kemungkinan mengenai makanan ini.

Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya engkau bisa mengatakan, “Aku datang ke meja seorang raja tetapi aku tidak makan,” maka engkau aman karena engkau tidak makan. Tetapi bila engkau makan dan engkau ditanya, lalu bagaimana engkau akan menjawabnya? Artinya engkau tidak aman.’ Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu terkesan dengan kata-kata ini sehingga ia mulai gemetar. Ia harus meminta izin raja untuk berhenti makan. Raja menjadi sangat kebingungan dan bertanya, “Apa yang harus kami lakukan dengan semua makanan ini?” Syah Naqsyband (q) berkata, “Jika masih ada keraguan mengenai kemurnian makanan ini, lebih baik membagikannya kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka (akan makanan ini) akan menjadikannya halal bagi mereka. Jika makanan ini halal, sebagaimana yang kau katakan, maka akan lebih berkah untuk memberikannya sebagai sedekah kepada orang-orang yang memerlukannya daripada memberikannya dalam jamuan bagi orang-orang yang tidak memerlukannya.”

Sebagian besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu untuk ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk bersamanya, membatalkan puasanya dan makan bersamanya.

Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa para Sahabat Nabi (s) biasa melakukan

Syekh Abul Hasan al-Kharqani (q) mengatakan di dalam kitabnya, Prinsip-Prinsip Tarekat dan Prinsip-Prinsip dalam Meraih Makrifat, “Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa.” Ini artinya bahwa jika engkau berpuasa, kemudian ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk dan makan bersamanya demi menjaga adab berteman dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika ia membukanya, misalnya dengan mengatakan kepada tamu itu bahwa ‘Aku sedang berpuasa,’ maka kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya dan merusak puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.”

Suatu hari beliau diberi seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Bersamanya ada banyak orang miskin yang di antaranya ada seorang anak yang sangat saleh yang sedang berpuasa. Syah Naqsyband (q) memberi ikan itu kepada mereka dan berkata, “Silakan duduk dan makanlah.” Beliau juga berkata kepada anak yang sedang berpuasa itu, “Silakan duduk dan makanlah.” Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, “Batalkan puasamu dan makanlah,’ tetapi ia tetap menolak. Beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana jika akau memberimu salah satu hariku di bulan Ramadan? Apakah engkau akan duduk dan makan?” Sekali lagi ia menolak. Beliau berkata kepadanya, “Bagaimana jika aku memberimu seluruh hariku di bulan Ramadan?

Apakah engkau akan duduk dan makan?” Lagi-lagi ia menolak. Beliau berkata, “Bayazid al-Bisthami (q) pernah dibebani orang sepertimu.” Sejak saat itu anak itu terlihat berpaling mengejar kehidupan duniawi, tidak pernah puasa dan tidak pernah lagi beribadah.

Insiden yang dimaksud oleh Syah Naqsyband (q) terjadi ketika pada suatu hari Syekh Abu Turab an-Naqsybandi (q) mengunjungi Bayazid al-Bisthami (q).

Pelayannya menawarinya makanan. Syekh Abu Turab berkata kepada pelayan itu, “Mari sini duduk dan makan denganku.” Pelayan itu berkata, “Tidak, aku sedang berpuasa.” Ia berkata, “Makanlah, dan Allah akan memberimu pahala puasa selama satu tahun.” Ia tetap menolaknya. Syekh Abu Turab berkata lagi, “Ayo makanlah, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia memberimu pahala dua tahun berpuasa.” Kemudian Hadhrat Bayazid (q) berkata, “Biarkan dia. Allah tidak lagi memeliharanya.” Hari-hari berikutnya kehidupannya semakin buruk dan ia menjadi seorang pencuri.

Keramat dan Kemurahannya

Maqam Syah Naqsyband (q) di luar jangkauan untuk dapat dilukiskan dan pengetahuannya pun tidak dapat digambarkan. Salah satu dari keramatnya yang terbesar adalah keberadaannya sendiri. Beliau sering menyembunyikan perbuatannya untuk tidak memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Namun demikian banyak murid yang mencatat keramatnya tersebut.

Syah Naqsyband (q), semoga Allah memberkati jiwanya, berkata,

Pada suatu hari aku pergi bersama Muhammad Zahid (q) ke gurun. Ia adalah seorang murid terpercaya dan kami mempunyai sebuah beliung untuk menggali. Ketika kami sedang bekerja dengan beliung itu, kami membahas tentang maqam ilmu yang dalam, sehingga kami letakkan beliung itu dan melanjutkan pembahasan kami mengenai ilmu spiritual. Kami masuk semakin dalam dan dalam hingga percakapan kami sampai pada sifat-sifat ibadah. Ia bertanya kepadaku, ‘Wahai Syekhku, sampai batas mana yang dapat dicapai melalui ibadah?’ Aku berkata, ‘Ibadah mencapai tingkat kesempurnaan di mana orang yang beribadah dapat mengatakan kepada seseorang ‘mati,’ dan orang itu menjadi mati.’ Tanda sadar, tanganku menunjuk pada Muhammad Zahid. Dengan segara ia pun meninggal dunia. Ia mengalami keadaan itu sejak matahari terbit hingga tengah hari. Saat itu sangat panas. Aku sangat khawatir tubuhnya akan rusak akibat kondisi yang panas sekali. Aku lalu menariknya ke bawah pohon dan aku duduk di sana merenungkan persoalan ini. Saat itu datanglah sebuah ilham ke dalam kalbuku dari Hadratillah yang mengatakan kepadaku untuk berkata kepadanya, ‘Ya Muhammad, hiduplah!’ Aku mengatakannya tiga kali. Alhasil ruhnya perlahan-lahan mulai memasuki tubuhnya, dan kehidupan mulai kembali kepadanya. Secara perlahan ia kembali pada keadaannya semula. Kemudian aku pergi menemui syekhku dan mengatakan apa yang terjadi. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, Allah memberimu rahasia yang tidak pernah diberikan-Nya kepada orang lain.’

Syekh Alauddin al-Aththar (q) berkata,

Pada suatu ketika raja Transoxiana, yaitu Sultan Abdullah Kazgan, datang ke Bukhara. Ia memutuskan untuk pergi berburu di sekitar Bukhara dan banyak orang yang mendampinginya. Syah Baha’uddin Naqsyband (q) berada di desa sekitarnya. Ketika orang-orang pergi berburu, Syah Naqsyband (q) pergi ke puncak bukit dan duduk di sana. Ketika beliau duduk di sana, terpikir olehnya bahwa Allah sangat memuliakan para awliya, sehingga semua raja di dunia ini akan membungkuk pada mereka. Belum lagi pikiran itu berlalu dari kalbunya, tiba-tiba seorang penunggang kuda dengan sebuah mahkota di kepalanya, seperti seorang raja, mendatanginya dan turun dari kudanya. Dengan sangat rendah hati, ia memberi salam pada Syah Naqsband (q) dan berdiri di sana dengan penuh adab. Ia membungkuk pada syekh, tetapi syekh tidak melihatnya. Raja pun tetap berdiri selama satu jam. Akhirnya Syah Naqsyband (q) melihatnya dan berkata, ‘Apa yang kau lakukan di sini?’ Ia berkata, ‘Aku adalah seorang raja, Sultan Kazgan. Aku sedang berburu, kemudian aku mencium wangi yang sangat indah. Aku mengikuti wangi itu hingga ke sini dan aku menemukan engkau sedang duduk di tengah cahaya yang sangat kuat.’ Pikirannya tadi, bahwa ‘Semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada para awliya,’ langsung menjadi kenyataan. Dan itulah cara Allah memuliakan pikiran para awliya-Nya.

Salah seorang pengikutnya yang melayaninya di kota Merv melaporkan,

Suatu hari aku ingin menemui keluargaku di Bukhara setelah aku menerima kabar bahwa saudaraku Syamsuddin telah meninggal dunia. Aku perlu meminta izin dari syekhku untuk pergi. Aku bicara dengan Amir Hussain, Pangeran dari Herat untuk memintakan izin atas namaku kepada Syah Naqsyband (q). Sekembalinya dari Salat Jumat, Amir Hussain menyampaikan kabar mengenai wafatnya saudaraku dan bahwa aku mau meminta izin untuk menemui keluargaku. Beliau berkata, ‘Tidak, itu mustahil. Bagaimana engkau mengatakan bahwa ia telah wafat sedangkan aku melihatnya masih hidup. Lebih dari itu, aku bahkan dapat mencium wanginya. Aku akan membawanya ke sini.’ Baru saja beliau mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba saudaraku muncul. Ia mendekati syekh, mencium tangannya dan menyapa Amir Hussain. Aku memeluk saudaraku dan kami sangat bahagia saat itu. Syekh Alauddin al-Aththar (q) berkata,

Pada suatu ketika Syah Naqsyband (q) menghadiri sebuah pertemuan besar di Bukhara yang membicarakan tentang Penyingkapan Maqam Musyahadah. Beliau berkata, ‘Sahabatku, Mawla `Arif, yang tinggal di Khwarazm, (400 mil dari Bukhara) telah meninggalkan Khwarazm untuk mendatangi gedung pemerintah, dan ia tiba di stasiun kereta kuda dan tinggal beberapa saat di sana. Sekarang ia kembali ke rumahnya di Khwarazm. Ia tidak melanjutkan perjalanannya ke Saray. Beginilah cara seorang wali dapat melihat dalam maqam makrifatnya.’ Setiap orang terkejut dengan cerita ini, tetapi kami semua tahu bahwa beliau adalah seorang wali besar, jadi kami mencatat hari dan waktunya. Pada suatu hari Mawla `Arif datang dari Khwarazm ke Bukhara dan kami menceritakan insiden itu kepadanya. Ia sangat terkejut dan ia berkata, ‘Sejujurnya, itulah yang sesungguhnya terjadi.’”

Beberapa ulama dari Bukhara melakukan perjalanan ke Irak bersama sejumlah murid Syah Naqsyband (q) ketika mereka tiba di kota Simnan. Mereka mendengar bahwa ada seorang yang diberkati yang bernama Sayyid Mahmud yang merupakan seorang murid Syah Naqsyband (q). Mereka mengunjungi rumahnya dan bertanya, “Bagaimana engkau dapat terhubung dengan Syekh?” Beliau berkata, “Pada suatu hari, aku bertemu Nabi (s) di dalam mimpi, beliau duduk di tempat yang sangat indah, dan di sebelahnya duduk seseorang dengan penampilan yang megah. Aku bertanya kepada Nabi (s) dengan penuh hormat dan dengan rendah hati, ‘Ya Rasulallah (s), aku tidak mendapat kehormatan untuk menjadi Sahabatmu di zamanmu. Apa yang dapat kulakukan semasa hidupku agar dapat mendekati kehormatan itu?’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, jika engkau ingin mendapat kehormatan menjadi sahabat kami dan duduk bersama kami dan diberikati, kau harus mengikuti putraku, Syah Baha’uddin Naqsyband (q).’ Kemudian aku bertanya, ‘Siapakah Syah Baha’uddin Naqsyband itu?’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Apakah engkau melihat orang yang duduk di sampingku?

Beliaulah orangnya. Jagalah kebersamaanmu dengannya.’ Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ketika aku bangun aku menuliskan namanya dan ciri- cirinya yang dijelaskan di dalam sebuah kitab yang kumiliki di perpustakaanku. Setelah itu hari-hari pun berlalu hingga pada suatu hari, ketika aku berdiri di sebuah toko, aku melihat seseorang yang penampilannya sangat megah dan berkilau. Beliau datang ke toko itu dan duduk di sebuah kursi. Ketika aku melihatnya, aku ingat kembali dengan mimpiku dan apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Dengan segera aku bertanya apakah beliau berkenan untuk memberikan kehormatan kepadaku dengan mampir ke rumahku. Beliau menerimanya dan mulai berjalan di depanku, sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku malu untuk berjalan di depan beliau, bahkan untuk mengantarkannya ke rumahku. Beliau sama sekali tidak menoleh padaku, tetapi langsung mengarahkan langkahnya menuju rumahku. Baru saja aku ingin mengatakan, ‘Ini rumahku,’ ketika beliau berkata, ‘Ini rumahmu.’

Beliau masuk ke dalam dan langsung menuju kamarku. Beliau berkata, ‘Ini kamarmu.’ Beliau menuju ke lemari dan mengambil sebuah kitab di antara ratusan kitab. Beliau menyerahkannya kepadaku dan bertanya, ‘Apa yang kau tulis di dalam kitab ini?’ Apa yang kutulis adalah apa yang kulihat di dalam mimpiku. Tiba-tiba aku menjadi tidak sadar dan pingsan akibat cahaya yang dicurahkan ke dalam kalbuku. Ketika aku terbangun aku bertanya kepadanya apakah beliau mau menerimaku. Beliau adalah Syah Baha’uddin Naqsyband (q).”

Syekh Muhammad Zahid (q) berkata,

Di awal perjalananku dalam Tarekat ini pada suatu hari di musim semi aku duduk di samping beliau. Tiba-tiba pikiran untuk memakan semangka masuk ke dalam kalbuku. Beliau memandangku dan berkata, ‘Muhammad Zahid, pergilah ke sungai di dekat sana, bawakan apa yang kau temui dan kita akan memakannya.’ Aku segera pergi ke sungai itu, airnya sangat dingin. Aku masuk ke dalamnya dan menemukan sebuah semangka yang sangat segar di dalam air, seolah-olah ia baru saja dipotong dari dahannya. Aku sangat gembira dan aku membawa semangka itu dan berkata, ‘Wahai Syekhku, terimalah aku.

Dilaporkan bahwa salah satu muridnya pergi menemuinya. Sebelum kunjungan itu, ia meminta nasihat dari Syekh Shadi, seorang murid senior, “Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai saudaraku, ketika engkau mengunjungi syekh atau ketika engkau berada dalam hadiratnya, berhati-hatilah jangan sampai engkau meletakkan kakimu sedemikian rupa sehingga kakimu menghadapnya.’ Segera setelah aku meninggalkan Ghaziut dan berjalan menuju Qasr al-`Arifan, aku menemukan sebuah pohon dan aku beristirahat di bawahnya dengan kaki berselonjor. Sayangnya ada seekor bintang yang datang dan menggigit kakiku. Kemudian aku tertidur lagi dengan rasa nyeri, dan ketika aku tidur, binatang itu menggigitku lagi. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku telah melakukan sebuah kesalahan besar, aku telah menghadapkan kakiku ke arah syekh. Aku segera bertobat dan binatang yang menggigitku pun pergi.”

Suatu ketika beliau didesak untuk menunjukkan keramatnya untuk membela seorang penerusnya di Bukhara, yaitu Syekh Muhammad Parsa. Peristiwa ini terjadi ketika Syekh Muhammad Syamsuddin al-Jazari datang ke Samarkand, pada masa Kesultanan Mirza Aleg Beg, untuk menentukan pembenaran sanad dalam riwayat Hadits. Beberapa ulama yang korup dan iri mengeluh bahwa Syekh Muhammad Parsa memberikan riwayat hadits yang sanadnya tidak diketahui. Mereka mengatakan kepada Syamsuddin, “Jika engkau mencoba memperbaiki masalah itu, Allah akan memberimu pahala yang besar.” Syekh Muhammad Syamsuddin meminta kepada Sultan untuk memanggil Syekh Muhammad Parsa. Syekh al-Islam di Bukhara, Husamuddin an-Nahawi, berada di sana, bersama banyak ulama dan imam dari daerah itu.

Syah Naqsyband (q) datang bersama Muhammad Parsa (q) ke pertemuan itu. 100

Kemudian Syekh Husamuddin bertanya kepada Muhammad Parsa mengenai sebuah hadits. Muhammad Parsa meriwayatkan hadits tersebut dengan mata rantai transmisinya. Syekh Muhammad al-Jazari berkata, “Tidak ada yang salah dalam haditsnya, tetapi sanadnya tidak benar.” Mendengar hal ini para ulama yang iri menjadi gembira. Mereka meminta Muhammad Parsa untuk memberi sanad lain untuk hadits tersebut. Ia melakukannya, dan sekali lagi dinyatakan tidak benar.

Kemudian mereka meminta lagi untuk sanad yang lain, tetapi lagi-lagi mereka menemukan kesalahan di dalamnya.

Syah Naqsyband (q) kemudian turun tangan, karena beliau tahu bahwa apapun sanad yang diberikan, mereka tetap akan mengatakan tidak benar. Beliau mengilhami Muhammad Parsa untuk mengarahkan sebuah pertanyaan kepada Syekh Husamuddin dan mengatakan kepadanya, “Engkau adalah Syekh ul-Islam, dan mufti. Dari apa yang telah kau pelajari mengenai ilmu lahir dan Syari`ah dan ilmu hadits, bagaimana menurutmu tentang periwayat tersebut?” Syekh Husamuddin berkata, “Kami menerima orang itu dan kami mendasarkan banyak ilmu hadits kami dari riwayatnya, dan kitabnya dapat kami terima, dan silsilahnya adalah salah satu yang diterima oleh para ulama, dan tidak ada perdebatan mengenai hal itu.” Muhammad Parsa berkata, “Kitab orang itu yang kau terima ada di rumahmu, di perpustakaanmu, antara kitab ini dan ini dan ia berisi 500 halaman dan warnanya adalah ini, dan sampulnya seperti ini, dan hadits yang kalian tolak ditulis oleh orang itu pada halaman ini dan ini.”

Syekh Husamuddin menjadi bingung dan keraguan muncul di dalam kalbunya, karena ia tidak mengingat ada kitab semacam itu di perpustakaannya. Setiap orang terkejut bahwa Syekh tahu mengenai kitab itu sedangkan yang punya saja tidak mengetahui mengenai hal itu. Tidak ada alternatif lain kecuali mengirim seseorang untuk memeriksanya. Hadits tersebut dapat ditemukan sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Parsa. Ketika Sultan mendengar cerita ini, para ulama yang membawa masalah ini dihinakan, sementara Syah Naqsyband (q) dan Muhammad Parsa mendapat kemuliaan.

Keadaannya ketika Meninggalkan Dunia Fana Ini

Syekh Ali Damman, salah seorang pelayan Syekh berkata, “Syekh memerintahkan aku untuk menggali kuburnya. Ketika aku selesai, aku bertanya dalam hati, ‘Siapa yang akan menjadi penerusnya?’ Beliau mengangkat kepalanya dari bantal dan berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, jangan melupakan apa yang telah kukatakan padamu ketika engkau dalam perjalanan ke Hijaz. Siapapun yang ingin mengikutiku, ia harus mengikuti Syekh Muhammad Parsa (q) dan Syekh Ala’uddin al-Aththar (q).’

Pada hari-hari terakhirnya, beliau tinggal di dalam kamarnya. Orang-orang berdatangan mengunjunginya dan beliau memberi nasihat kepada mereka. Ketika beliau memasuki sakitnya yang terakhir, beliau mengunci dirinya di kamarnya. Gelombang demi gelombong pengikutnya berdatangan silih berganti dan beliau memberi mereka nasihat yang mereka perlukan. Pada satu saat beliau memerintahkan mereka untuk membaca Surat Ya Siin. Kemudian ketika mereka menyelesaikannya, beliau mengangkat tangannya berdoa kepada Allah. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuk kanannya untuk mengucapkan syahadat. Tak lama kemudian ruhnya kembali kepada Allah (swt).

Beliau wafat pada hari Ahad malam, 3 Rabiul Awal 791 H. (1388 M). Beliau dimakamkan di halaman rumahnya, sebagaimana permintaannya. Penerus Sultan Bukhara merawat madrasah dan masjidnya, memperluas dan meningkatkan waqafnya.

Abdul Wahhab asy-Sya`arani, sang Qutub di zamannya berkata, “Ketika Syekh dikuburkan di makamnya, sebuah jendela Surga dibukakan baginya, menjadikan kuburnya sebagai Rawdhatul Jannah. Dua makhluk spiritual yang indah memasuki hadiratnya, memberi salam padanya dan berkata kepadanya, “Sejak Allah menciptakan kami hingga sekarang, kami telah menunggu saat ini untuk melayanimu.’ Beliau berkata kepada kedua makhluk spiritual itu, “Aku tidak menginginkan apapun kecuali Dia. Aku tidak memerlukan kalian, tetapi aku memerlukan Tuhanku.’

Syah Naqsyband (q) meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syekh Muhammad bin Muhammad Ala’uddin al-Khwarazmi al- Bukhari al-Aththar dan Syekh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis kitab Risala Qudsiyya. Kepada yang pertamalah Syah Naqsyband (q) meneruskan rahasia dari Silsilah Keemasan.

16. Sayyidi Syaikh Muhammad ‘Alauddin Al-Aththar Al-Bukhari Al-Khawarizmi (QS)

Di pelupuk mataku, selalu hadir bayangan dirimu

pada setiap gerak bibirku, menggetar kenangan akan dirimu abadi dalam hatiku, pikiran tentangmu

Di manakah Kau dapat bersembunyi dariku?

— Diambil dari Hallaj (Abu Abdullah Husain bin Mansur al-Hallaj, editor)

Ia adalah sebuah Bintang di antara para Awliya yang sempurna. Ia adalah seorang ulama yang perbuatannya berdasarkan apa yang diketahuinya (`alimun `amil). Ia dikenal sebagai buah dari pohon Ilmu Ilahi, Cahaya bagi Ilmu Spiritual, Penghapus Kegelapan, Pembimbing bagi orang-orang yang mulia maupun orang-orang kebanyakan, Sang Mata Air yang tidak pernah mengering, Pembimbing Terbaik bagi Pencerahan di Jalan Tuhan. Ia adalah yang pertama dalam menghilangkan duri-duri kebatilan dari Jalan Kebenaran. Ia berdiri di Pusat Qutub (Aqtab) dan menanggung beban kekhalifahan spiritual. Ia mengangkat jiwa saudara-saudaranya hingga seluruh semesta memanggilnya dan mengingatnya. Ilmu agama lahir dan batin bersemi karena kejujurannya.

Ia dilahirkan pada tanggal 18 Rajab tahun 802 H. Ia meninggalkan semua warisan dari ayahnya kepada kedua saudaranya dan mendedikasikan dirinya untuk belajar di sebuah madrasah di Bukhara. Ia menjadi ahli di segala bidang ilmu, khususnya Ilmu mengenai Sufisme dan Sains Islami. Ia kemudian melamar putri Syah Naqsyband (q), dan memintanya untuk dinikahkan dengannya. Jawaban Syah Naqsyband (q) muncul pada suatu hari, lewat tengah malam, ketika beliau terbangun dari tidurnya di Qasr al-’Arifan, beliau segera pergi ke madrasah di Bukhara di mana Alauddin tinggal. Di sana beliau mendapati semua orang tertidur, kecuali Alauddin, yang sedang membaca al-Qur’an dengan penerangan seadanya dari sebuah lampu minyak kecil. Beliau mendatanginya dan menepuk bahunya, tetapi Alauddin tidak merespon. Beliau kembali menepuknya tetapi ia tetap tidak bereaksi. Kemudian, melalui penglihatan spiritualnya, Syah Naqsyband (q) melihat bahwa Alauddin tidak ada di sana, melainkan berada di Hadratillah. Beliau kemudian memanggilnya secara spiritual dan dengan segera Alauddin melihat dan menjawabnya, “Oh Syekhku.” Syah Naqshband (q) berkata, “Aku bermimpi di mana Nabi (s) telah menerima pinanganmu untuk putriku. Untuk itulah aku sendiri datang di tengah malam ini untuk menyampaikan kabar gembira ini.” Alauddin berkata, “Wahai Syekhku, aku tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan kepada putrimu karena aku sangat miskin, aku telah menyerahkan semua warisanku kepada saudara- saudaraku.” Syah Naqsyband (q) menjawab, “Wahai anakku, apapun yang telah Allah tuliskan bagimu pada Hari Perjanjian, itu akan tetap menjadi milikmu. Jadi, jangan khawatir, Allah akan menyediakan rezeki bagimu.”

Ia berkata, “Pada suatu hari seorang Syekh bertanya kepadaku, ‘Bagaimana kalbumu?’ Kujawab, ‘Aku tidak tahu bagaimana keadaan kalbuku.’ Syekh itu berkata, ‘Aku tahu kalbuku, dan ia bagaikan rembulan pada sepertiga malam.’ Aku lalu menyampaikan cerita ini kepada Syah Naqsyband (q), yang kemudian berkata, ‘Ia berkata berdasarkan keadaan kalbunya.’ Ketika beliau mengatakan hal ini, beliau meletakkan kakinya pada kakiku dan menekannya. Dengan segera aku kehilangan diriku dan aku melihat bahwa segala sesuatu di dunia ini dan seluruh alam semesta ada di dalam kalbuku. Ketika aku terjaga dari keadaan tidak sadar itu, beliau masih menginjakkan kakinya pada kakiku, dan beliau berkata, ‘Jika kalbu seperti itu, maka tidak ada orang yang dapat menggambarkannya. Sekarang bagaimana menurutmu tentang hadits yang berbunyi, ‘Bumi-Ku dan Langit-Ku tidak dapat memuat Diri-Ku, tetapi kalbu hamba-Ku yang beriman dapat memuat Diri-Ku.’ Ini adalah salah satu rahasia tersembunyi yang harus kau pahami.’”

Selanjutnya Syah Naqsyband (q) mengambil tanggung jawab sepenuhnya untuk dirinya. Beliau mengangkatnya dari satu maqam ke maqam berikutnya dan mempersiapkannya untuk hadir dalam Hadratillah dan untuk mendaki menara ilmu spiritual yang agung dan meninggalkan segala macam kelalaian untuk mencapai maqam Haqiqat. Ia menjadi unik di antara para pengikut Syah Baha’uddin Naqsyband (q). Selama hidupnya Syah Naqsyband (q) juga memerintahkannya untuk memberi pencerahan bagi para pengikutnya yang lain. Begitu pula dengan Syekh Muhammad Parsa yang menulis bahwa ia mendengar dari Syekh Alauddin, “Aku diberi kekuatan oleh Syekhku, Syah Naqsyband (q), sehingga bila aku memfokuskan diri pada setiap orang di alam semesta ini, aku dapat mengangkat mereka semua menuju Maqamul Ihsan.”

Pada suatu ketika para ulama di Bukhara mempunyai perselisihan mengenai kemungkinan melihat Allah di dunia ini. Sebagian dari mereka menolak kemungkinan itu, sedangkan sebagian lagi meyakininya. Mereka semua adalah pengikut Syekh Alauddin (q). Mereka lalu datang kepadanya dan berkata, “Kami memintamu menjadi hakim dalam urusan ini.” Ia berkata, “Di antara kalian yang menyangkal kemungkinan untuk melihat Allah di dunia ini, tinggallah bersamaku selama tiga hari, dengan tetap menjaga wudu sepanjang waktu dan diam.” Ia menjaga mereka selama tiga hari, dan mengarahkan kekuatan spiritualnya pada mereka, hingga mereka semua melihat suatu maqam yang sangat kuat dan menyebabkan mereka jatuh pingsan. Ketika mereka siuman, mereka mendatanginya dengan menangis, amanna wa shadaqna (“Kami percaya dan kami menegaskan bahwa itu benar!”) dan mencium kakinya. Mereka berkata kepadanya, “Kami menerima apa yang kau katakan, bahwa melihat Allah di kehidupan ini adalah hal yang mungkin.” Mereka mengabdikan diri mereka kepadanya, tidak pernah meninggalkannya dan menjadikan kebiasaan untuk mencium ambang pintunya.

Mereka menggubah syair berikut.

Karena buta mereka bertanya,

Bagaimana kami dapat mencapai Hadratillah?

Masukan tangan-tangan mereka ke dalam lilin kemurnian.

Mereka akan mengatahui kemungkinan untuk melihat itu bukanlah mustahil.

Syekh Alauddin (q) sangat disayang dan sangat diistimewakan oleh Syah Naqsyband (q), sebagaimana Nabi Yusuf (a) yang sangat disayang oleh ayahnya, Nabi Ya`qub (a).

Dari Pancaran Cahaya Kata-Katanya

Ia berkata,

Niat untuk berkhalwat adalah meninggalkan segala hubungan duniawi dan mengarahkan diri kepada Kebenaran Surgawi.

Dikatakan bahwa seorang salik dalam ilmu lahir harus berpegang teguh dengan Tali Allah, sedangkan seorang salik dalam ilmu batin harus berpegang teguh kepada Allah.

Ketika Syah Naqsyband (q) mendapat sebuah baju baru, beliau akan memberikannya kepada orang lain untuk dipakai. Setelah mereka memakainya, beliau akan meminjamnya kembali.

Tingkatan Fana

Ketika Allah membuat kalian lupa akan kekuatan duniawi maupun Kerajaan Surgawi, ini adalah Fana yang Mutlak. Dan jika Dia membuat kalian melupakan Fana yang Mutlak, itu adalah Inti dari Fana yang Mutlak.

Mengenai Perilaku yang Baik

Kalian harus berada pada tingkat yang sesuai dengna orang-orang di sekitar kalian dan menyembunyikan maqam kalian yang sebenarnya dari mereka, karena Nabi (s) bersabda, ‘Aku telah diperintahkan untuk berbicara kepada orang-orang sesuai dengan apa yang bisa dimengerti oleh kalbu mereka.’

Waspadalah dalam menyakiti kalbu para Sufi. Jika kalian menginginkan persahabatan dengan mereka, pertama kalian harus belajar bagaimana bertingkah laku di hadapan mereka. Kalau tidak, kalian akan menyakiti diri sendiri, karena jalan mereka adalah jalan yang sangat lembut. Dikatakan bahwa, ‘Tidak ada tempat di Jalan Kami bagi orang-orang yang tidak mempunyai perilaku yang baik.’

Jika kalian berpikir bahwa kalian telah berperilaku baik, berarti kalian salah, karena memandang diri kalian baik merupakan suatu bentuk kesombongan.

Mengenai Ziarah Kubur

Manfaat yang dapat dipetik dari menziarahi makam-makam Syekh kalian tergantung pada pengetahuan kalian tentang mereka.

Berada di dekat makam orang-orang yang saleh mempunyai pengaruh yang baik terhadap diri kalian, meskipun lebih baik untuk mengarahkan diri kalian kepada jiwa mereka dan itu dapat memberi pengaruh spiritual yang tinggi. Nabi (s) bersabda, ‘Kirimkanlah shalawat kepadaku di manapun engkau berada.’ Ini menunjukkan bahwa kalian dapat mencapai Nabi (s) di manapun kalian berada, dan itu juga berlaku kepada para awliya-Nya, karena mereka mendapat kekuatan dari Nabi (s).

Adab dalam berziarah adalah dengan mengarahkan diri kalian kepada Allah dan menjadikan ruh-ruh ini sebagai jalan (wasilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah `azza wa jalla, merendahkan diri kalian pada Ciptaan-Nya. Kalian merendahkan diri secara lahir kepada mereka dan secara batin kepada Allah.

Membungkukan diri kepada orang lain tidak diperbolehkan kecuali kalian memandang mereka sebagai manifestasi dari Kebesaran Tuhan, sehingga kerendahan hati itu bukan ditujukan kepada mereka, tetapi ditujukan kepada Yang Maha Esa yang tampak pada mereka, dan itu adalah Allah.

Zikir Terbaik

Jalan Meditasi (muraqbah) dan Tafakur adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada Jalan Zikir dengan menyebut La ilaha illAllah. Melalui tafakur dan muraqabah, seorang salik dapat mencapai ilmu batin dan mampu memasuki Kerajaan Surgawi. Ia akan diberi otoritas untuk melihat pada makhluk Allah dan mengetahui apa yang terlintas di dalam kalbunya, bahkan gosip atau bisikan terkecil pun dapat diketahuinya. Ia akan diberi otoritas untuk mencerahkan kalbu mereka dengan cahaya dari intinya inti Maqam at-Tauhid.

Melindungi Kalbu

Diam adalah keadaan terbaik, kecuali terhadap tiga kondisi: kalian tidak boleh berdiam diri dalam menghadapi gosip yang menyerang kalbu; kalian tidak boleh berdiam diri dalam mengarahkan kalbu kalian untuk mengingat Allah; dan kalian tidak boleh diam ketika penglihatan spiritual di dalam kalbu kalian memerintahkan kalian untuk bicara.

Melindungi kalbu kalian dari pikiran buruk adalah sangat sulit, dan aku melindungi kalbuku selama dua puluh tahun tanpa membiarkan ada satu godaan pun yang memasukinya.

Perbuatan terbaik di Jalan ini adalah menghukum godaa dan gosip di dalam kalbu.

Aku tidak senang dengan beberapa muridku, karena mereka tidak berusaha untuk menjaga maqam penglihatan spiritual yang muncul bagi mereka.

Cinta kepada Syekh

Jika kalbu seorang murid penuh dengan cinta kepada Syekh, cinta ini mengalahkan semua cinta lainnya di dalam kalbu, kemudian kalbunya akan mampu menerima transmisi Ilmu Surgawi, yang tidak berawal dan berakhir.

Murid harus menceritakan semua keadaannya kepada Syekhnya, dan ia harus percaya bahwa ia tidak akan pernah mencapai tujuannya kecuali melalui rida dan cinta Syekhnya. Ia harus mencari keridaan itu dan ia harus tahu bahwa semua pintu terkunci, baik lahir maupun batin, kecuali pintu itu, yaitu Syekhnya. Ia harus mengorbankan dirinya demi Syekhnya. Bahkan jika ia mempunyai ilmu tertinggi dan mujahadah (usaha) tertinggi, ia harus meninggalkan itu semua dan merasa seolah-olah ia tidak mempunyai apa-apa di hadapan Syekhnya. Seorang salik harus memberikan otoritas penuh kepada Syekhnya dalam segala urusannya, baik urusan duniawi maupun urusan akhirat, sedemikian rupa sehingga ia tidak mempunyai kehendak atas kehendak Syekhnya. Tugas Syekh adalah melihat aktivitas harian murid, memberi nasihat dan memperbaikinya dalam kehidupannya dan agamanya, untuk membantunya menemukan jalan terbaik dalam meraih tujuannya.

Mengunjungi awliya adalah suatu Sunnah Wajiba, sebuah tugas bagi setiap salik, paling tidak setiap hari, atau setiap hari lainnya, sambil menjaga batasan-batasan dan penghormatan antara kalian dengan Syekh. Jika jarak antara kalian dengan Syekh cukup jauh, kunjungilah beliau setiap satu atau dua bulan. Jangan hanya bergantung pada koneksi kalian dengan kalbu mereka, jangan sampai hubungan kalian terputus dengannya.

Aku menjamin bagi setiap orang yang mengikuti Tarekat ini, bahwa bila ia meniru Syekhnya dengan tulus, pada akhirnya ia akan menemukan hakikatnya. Syah Naqsyband (q) memerintahkan aku untuk menirunya dan apapun yang kutiru darinya dengan segera memberikan hasilnya.

Namun demikian, ia juga memperingatkan,

Para guru di Tarekat kita tidak dapat dipahami kecuali pada Maqam at-Talwin (Maqam yang penuh warna dan perubahan). Barang siapa yang meniru perilaku mereka pada maqam itu, ia akan berhasil. Namun demikian, barang siapa yang meniru perilaku mereka pada Maqamul Ihsan (Maqam kesempurnaan), ia akan tersesat. Dan ia hanya akan selamat dari kesesatan itu bila gurunya memberi rahmat dengan membukakan hakikat dari Maqam itu kepadanya.

Yang beliau maksud, dan sesungguhnya Allah Mahatahu, adalah bahwa seorang salik tidak dapat meraih Kesempurnaan sampai ia telah disempurnakan. Maqam at- Talwin yang penuh warna dan perubahan adalah maqam di mana salik berjuang keras melalui puasa, ibadah, khalwat dan mempertahankan keteguhan cinta dan penghormatannya kepada gurunya dari satu kesulitan menuju kesulitan lainnya.

Meniru gurunya dalam perilaku ini akan memberinya kesuksesan, karena gurunya sangat ahli dalam urusan ini. Namun demikian, jika ia meniru gurunya ketika beliau berada dalam Maqam Kesempurnaan, murid akan berada dalam bahaya, seperti jika ia berusaha terbang tanpa mengembangkan sayapnya terlebih dahulu. Seorang salik perlu mendaki gunung dulu sebelum ia dapat menikmati pemandangan di atas puncak.

Untuk mendaki gunung, seorang salik harus menempuh perjalanan dari dunia yang Rendah menuju Hadratillah. Ia harus menempuh perjalanan dari dunia ego yang penuh dengan realitas sensual menuju kesadaran jiwa akan Hakikat Ilahi. Untuk meraih kemajuan dalam perjalanan ini, seorang salik harus membawa gambaran Syekhnya ke dalam kalbunya (tasawwur), karena itu adalah jalan terkuat untuk memisahkan diri dari cengkraman indera. Di dalam kalbunya, Syekh menjelma menjadi cermin bagi Esensi atau Inti yang Mutlak. Jika ia berhasil, maqam al- ghayba atau “absen” dari dunia indera akan muncul pada dirinya. Ketika maqam ini semakin meningkat dalam dirinya, keterikatannya dengan dunia indera ini akan melemah dan lenyap, dan maqam Ketiaadaan Mutlak untuk Tidak Merasakan Selain Allah akan bersemi dalam dirinya.

Derajat tertinggi dari maqam ini disebut fana’. Jadi Syah Naqsyband (q) menasihati murid-muridnya, “Ketika Maqam al-Ghayba terjadi padaku, tinggalkan aku sendiri dan serahkan diri kalian pada maqam itu dan terima hak-haknya pada kita.”

Mengenai perjalanan ini, Syekh Alauddin (q) berkata kepada murid-muridnya,

Jalur terpendek menuju tujuan kita, yaitu Allah `azza wa jalla, adalah bila Allah mengangkat hijab dari Inti Wujud Keesaan-Nya yang tampak pada semua makhluk. Dia melakukannya dengan Maqam al-ghayba dan Maqam al-fana’, hingga Inti-Nya yang Megah mulai muncul dan menghilangkan kesadaran akan segala sesuatu selain Dia. Ini adalah akhir dari Perjalanan Mencari Allah dan awal dari Perjalanan yang lain.

Pada akhir Perjalanan Pencarian dan Maqam Daya Tarik, muncullah Maqam al-ghayba dan Maqam al-fana’. Ini adalah tujuan bagi seluruh manusia sebagaiman Allah menyebutkannya di dalam al-Qur’an, “Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Ibadah di sini artinya Ilmu yang sempurna (Makrifat).

Pada tanggal 2 Rajab tahun 802 H., Alauddin berkata, “Aku akan meninggalkan kalian menuju kehidupan yang lain dan tidak ada yang dapat menghentikan aku.” Beliau wafat pada tanggal 20 Rajab tahun 802 H. Beliau dimakamkan di kota Jaganyan, salah satu daerah di pinggir Bukhara.

Beliau meneruskan rahasianya kepada seorang di antara banyak khalifahnya, yaitu kepada Syekh Yaqub al-Charkhi (q).

17. Sayyidi Syaikh Ya’kub al-Charkhi (QS)

Ulama bagi para Awliya dan Awliya bagi para ulama.

Beliau tampil di antara manusia dibusanai dengan dua ilmu: ilmu lahir dan batin. Akhlak dan perilakunya begitu halus sehingga beliau mencerminkan Sifat-Sifat Allah kepada seluruh manusia. Beliau membangkitkan spiritualitas dalam Syari`ah dan beliau membangkitkan Syari`ah di dalam spiritualitas. Orang-orang mengikutinya karena jalannya adalah yang terbaik, karena beliau mewarisi Ilmu Gaib dari Nabi (s).

Beliau dilahirkan di kota Jark, sebuah daerah pinggiran Garnin, antara kota Kandahar dan Kabul, di Transoxiana. Di masa mudanya beliau pergi ke kota Herat untuk belajar. Beliau kemudian pergi ke Mesir untuk mempelajari Ilmu Syari`ah dan Logika. Beliau menghafal Qur’an dan juga 500,000 hadits, baik hadits yang sahih maupun yang palsu. Salah satu gurunya adalah Syihabuddin asy-Syirawani, yang dikenal sebagai Sang Ensiklopedia di zamannya. Beliau melanjutkan pendidikannya hingga mencapai level di mana beliau dapat memberi fatwa mengenai berbagai hal yang dialami oleh umat Muslim. Beliau adalah seorang mujtahid mutlaq (mempunyai kecakapan dalam penalaran hukum secara independen) dalam ilmu lahir dan batin. Beliau kemudian kembali ke daerah asalnya dan mengikuti Baha’uddin Naqsyband (q) kemudian Alauddin al-Aththar (q) untuk mengasah dirinya dalam ilmu tasawwuf.

Mengenai Guru di bidang Ilmu Spiritualnya, beliau berkata,

Cintaku terhadap Syekh Baha’uddin loyal dan tulus bahkan sebelum aku mengenal beliau. Ketika aku mendapat ijazah untuk menjadi seorang mujtahid mutlaq dan memberi fatwa, aku kembali ke negeriku dan aku pergi untuk mengunjunginya dan memberi penghormatanku. Aku berkata kepadanya, dengan kepatuhan dan ketawadukan penuh, “Aku mohon jagalah aku senantiasa di dalam Inti dari Penglihatanmu.” Beliau berkata, “Kau datang padaku dalam perjalananmu pulang kembali ke negerimu, Jarkh?” Aku berkata, “Aku mencintaimu dan aku adalah hambamu karena engkau yang paling termasyhur dan diterima oleh setiap orang.” Beliau berkata, “Itu bukan alasan yang cukup baik bagiku untuk menerimamu.” Kemudian aku menjawab, “Wahai Syekhkhu, Nabi (s) bersabda di dalam hadits autentik, ‘Jika Allah mencintai seseorang, Dia akan mempengaruhi kalbu orang- orang untuk mencintainya juga.’” Kemudian Bahauddin tersenyum dan berkata, “Aku adalah pewaris spiritual dari Azizan. Apa yang kau katakan adalah benar.” Ketika beliau mengatakan hal ini, aku sangat terkejut karena aku mendengar di dalam mimpiku satu bulan sebelumnya, sebuah suara yang berkata kepadaku, “Jadilah murid dari Azizan.” Pada saat itu aku tidak mengetahui siapa Azizan itu.

Tetapi beliau menyebutkan kata itu seolah-olah beliau telah mengetahui mimpi itu. Setelah itu aku pun mohon pamit. Beliau berkata, ‘Kau boleh pergi, tetapi aku ingin memberimu sebuah hadiah yang akan mengingatkan engkau padaku.’ Beliau memberiku turbannya. Beliau berkata, ‘Ketika engkau melihatnya atau memakainya kau akan ingat padaku, dan ketika kau mengingatku, kau akan menemukan aku dan kau akan menemukan Jalanmu kepada Allah.’

Beliau berkata kepadaku, ‘Dalam perjalananmu pulang ke negerimu di Balkh, jika engkau bertemu Mawlana Tajuddin al-Kawlaki, jagalah kalbumu dari menggunjing dalam hadiratnya karena beliau adalah seorang wali besar dan beliau akan menegurmu.’ Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Aku akan kembali ke Herat melalui Balkh, tetapi aku tidak akan melewati Kawlak, di mana Mawlana Tajuddin tinggal. Jadi aku pikir aku tidak akan bertemu dengannya.’ Tetapi dalam perjalanan terjadi sesuatu pada karavan yang kunaiki dan mengharuskan kami untuk melewati Kawlak. Aku ingat kata-kata Syekh Bahauddin, ‘Jika engkau melewati Kawlak, maka kunjungilah Syekh Tajuddin al-Kawlaki.’ Dalam benakku terpikir bahwa Syekh Bahauddinlah yang menyebabkan peristiwa itu terjadi sehingga aku harus mengunjungi Syekh. Ketika kami tiba di Kawlak, saat itu sangat gelap, tidak ada bintang-gemintang di langit. Aku pergi ke masjid untuk menanyakan tentang Mawlana Tajuddin Kawlaki. Seorang pria mendatangiku dari balik tiang dan berkata kepadaku, ‘Apakah engkau Ya`qub al-Charki?’ Aku terheran-heran. Ia berkata, ‘Jangan terkejut. Aku sudah mengetahui tentang dirimu sebelum engkau sampai di sini. Syekhku, Syekh Bahauddin, mengirimku untuk membawamu menemui Syekh Tajuddin al-Kawlaki.’ Dalam perjalanan menemuinya, kami bertemu dengan seorang orang tua yang berkata, ‘Wahai anakku, jalan kita penuh dengan kejutan.

Siapapun yang memasukinya, ia tidak bisa memahaminya. Seorang salik harus meninggalkan pikirannya.’ Kemudian kami memasuki hadirat Mawlana Mawlana Tajuddin dan sangat sulit untuk menjaga kalbuku bebas dari gunjingan. Mawlana Tajuddin memberiku sepotong ilmu spiritual yang beliau miliki tetapi belum pernah kudengar sebelumnya. Semua yang pernah kepelajari tidak ada apa-apanya dibanding ilmu ini. Aku sangat bahagia dengan Syekhku, Syekh Bahauddin, dan jalan yang beliau atur agar aku dapat bertemu dengan Mawlana Tajuddin, sehingga cintaku padanya meningkat dengan pesat.

Setelah aku tiba di negeriku, waktu demi waktu aku sering pergi ke Bukhara untuk mengunjungi Syekh Bahauddin. Di Bukhara ada seorang majdub–seorang yang hilang di dalam Cinta Ilahi, yang sangat terkenal dan banyak orang yang mendatanginya untuk mendapatkan keberkahan. Suatu hari ketika aku berniat untuki mengunjungi Syekh Bahauddin, aku memutuskan untuk melewati orang itu dan ingin tahu apa yang ia katakan. Ketika ia melihatku ia berkata kepadaku, ‘Cepat pergilah ke tujuanmu dan jangan berhenti. Apa yang telah kau putuskan adalah yang terbaik.’ Ia mulai menggambar garis-garis pada debu. Terlintas dalam kalbuku untuk menghitung garis itu. Jika jumlah garisnya ganjil, itu adalah tanda baik untukku, karena Nabi (s) bersabda, ‘Allah adalah Satu dan Dia menyukai bilangan ganjil.’ Aku menghitung jumlah garisnya dan mendapati jumlahnya ganjil dan itu membuatku gembira. Aku lalu mengunjungi Syekh Bahauddin dan memintanya untuk memberiku bay’at dan mengajariku zikir. Jadi beliau mengajariku tentang wuquf `adadi (Kesadaran akan Jumlah), dan beliau berkata kepadaku–seolah-olah beliau telah bersamaku ketika aku bertemu dengan sang majdub, ‘Wahai anakku, peganglah selalu bilangan yang ganjil, seperti halnya engkau mengharapkan jumlah garis akan menjadi ganjil, dan itu memberimu sebuah tanda, jadi jagalah kesadaran itu ketika engkau melakukan zikir.’

Aku begitu tenggelam di dalam pancuran cahaya dan cinta syekhku sehingga aku lebih sering mengunjunginya dan cintaku padanya semakin berkembang di dalam kalbuku. Suatu hari aku membuka kitab suci al-Qur’an hingga ayat, ula’ik alladziina hada-l-Lahu fa bi hudahum uqtadih (‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, jadi ikutilah petunjuk mereka.’) [6:90]. Aku sangat gembira membaca ayat itu. Pada saat itu aku tinggal di kota yang disebut Fatahabad. Pada penghujung hari aku memutuskan untuk mengunjungi masjid dan makam Syekh al- Bakharazi. Dalam perjalanan ada pikiran yang mengusikku sehingga aku memutuskan untuk mengunjungi Syekh Bahauddin. Ketika aku tiba di hadapannya, aku melihat seolah-olah beliau telah menunggu kedatanganku. Beliau memandang mataku dan berkata, ‘Waktu salat telah masuk, nanti kita akan bicara.’ Setelah salat ‘Lihat aku.’ Aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa di wajahnya, yang mengguncang kalbuku. Aku tetap menutup mulutku dan beliau berkata kepadaku, ‘Ilmu ada dua macam: ilmu kalbu, dan ini adalah ilmu yang bermanfaat dan merupakan ilmunya para Nabi dan Rasul; yang kedua adalah ilmu lidah, ilmu lahir, dan ini adalah semua ajaran yang terlihat dan terdengar, Bukti Allah kepada makhluk-Nya. Aku berharap bahwa Allah akan memberimu keberuntungan dalam Ilmu Batin. Dan hal itu berasal dari hadits, ‘Jika engkau duduk bersama para Shadiqiin, duduklah bersama mereka dengan kalbu yang benar, karena mereka adalah mata-mata kalbu. Mereka bisa masuk dan melihat apa yang berada di dalam kalbumu.’

Beliau melanjutkan,

Aku diperintahkan oleh Allah `Azza wa Jalla, dan oleh Nabi (s) dan oleh Syekhku, untuk tidak menerima seseorang di jalanku kecuali Allah, Nabi (s) dan Syekhku menerima orang itu. Jadi nanti malam aku akan melihat apakah engkau dapat diterima.’ Ini adalah hari tersulit di dalam hidupku. Aku merasa aku akan meleleh karena takut mereka tidak menerimaku di jalan ini. Aku melakukan salat Subuh bersamanya dan aku merasa takut. Ketika beliau melihat ke dalam kalbuku segala sesuatunya lenyap dan beliau muncul di mana-mana. Aku mendengar suaranya yang berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu, Dia menerimamu dan aku menerimamu.’ Kemudian beliau mulai membaca nama-nama Syekh dalam Silsilah Keemasan, mulai dari Nabi (s) kepada Abu Bakar (r), Salman (r), Qassim (q), Ja`far (a), Tayfur (q), Abul Hassan (q), Abu `Ali (q), Yasuf (q), Abul `Abbas (a), `Abdul Khaliq (q). Setiap syekh yang beliau sebutkan muncul di hadapannya. Ketika beliau menyebutkan `Abdul Khaliq (q), beliau berhenti dan `Abdul Khaliq (q) muncul di hadapanku. Beliau berkata, ‘Serahkan ia kepadaku sekarang,’ dan beliau mengajariku lebih banyak mengenai ilmu wuquf al-`adadi, Ilmu mengenai Angka-Angka. Beliau berkata kepadaku bahwa ilmu itu berasal dari Khidr (a). Kemudian Syekhku meneruskan membaca nama-nama dalam silsilah, `Arif (q), Mahmoud (q),

`Ali Ramitani (q), Muhammad Baba as-Samasi (q), Sayid Amir Kulal (q). Mereka semua muncul secara bergiliran dan memberiku bay’at. Aku melanjutkan khidmahku kepadanya, berdiri di pintunya, belajar darinya, hingga beliau memberiku izin untuk menjadi mursyid untuk membimbing orang-orang ke jalan ini. Beliau berkata kepadaku, ‘Jalan ini akan menjadi kebahagiaan terbesar bagimu.’

Ubaydullah al-Ahrar (q) melaporkan bahwa Ya`qub (q) berkata kepadanya, “Wahai anakku, aku menerima sebuah perintah dari Syah Naqsyband (q) untuk menemani Syekh Ala’uddin al-`Attar setelah wafatnya beliau [Syah Naqsyband]. Atas perintah Syekhku, aku mendampinginya sebagai muridnya, sejak saat wafatnya Syah Baha’uddin (q) di Jaganyan, Bukhara. Dengan keberkahan dari mendampinginya maqamku dinaikkan dan latihanku diselesaikan.”

Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata bahwa Syekh Ya`qub al-Charkhi (q) dan Syekh Zainuddin al-Khawafi bagaikan dua saudara ketika mereka belajar di bawah bimbingan Syekh Syihabuddin as-Syirwani. Seykh Zainuddin berkata bahwa Syekh Ya`qub al-Charkhi (q) seringkali menghilang kemudian muncul kembali ketika beliau sedang mengajar. Keramat ini menandakan maqam fana yang lengkap di Hadratillah. Ini adalah maqamnya di Mesir, sampai beliau datang dan mengikuti Syah Naqsyband (q), dan kemudian beliau mencapai Maqamul Ishan.

Beliau wafat di desa Hulgatu, pada tanggal 5 Shafar 851 H. Beliau mempunyai banyak khalifah. Beliau meneruskan Rahasia dari Tarekat ini kepada Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q), semoga Allah memberkati rahasianya.

18. Sayyidi Syaikh Nashiruddin ‘Ubaidillah as-Samarqandi (QS)

Ia adalah Kutub bagi Lingkaran para Ahli Makrifat, Samudra Ilmu yang tak pernah habis, walaupun seluruh makhluk minum darinya untuk memuaskan dahaga spiritual mereka. Ia adalah seorang Raja yang memiliki cahaya murni dari Essens yang Unik dan dilepaskan dari penangkarannya dari Yang Tersembunyi untuk disebarkan kepada semua orang yang Arif. Ia menyingkap sisi gelap bulan dari Sifat- Sifat Ilahi mulai dari buaian sampai ia mencapai keadaannya yang sempurna. Ketika masih muda, ia telah diberi otoritas dan mulai bekerja untuk menerima Rahasia dari Rahasia dan untuk menyingkap Hijab. Ia tidak pernah melirik pada keinginan duniawi. Ia terus maju sampai ia mencapai maqam kewalian tertinggi, di mana ilmu mengenai Intisari Yang Gaib diberikan, dan rahasia mengenai Kenihilan Mutlak diungkapkan. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dari Kenihilan Mutlak menuju Cahaya Mutlak. Allah membangkitkan Tarekat ini melalui dirinya di zamannya dan Dia mendukungnya dengan Nikmat-Nya. Dia menjadikannya sebagai satu tautan keemasan di dalam Silsilah Keemasan ini, dan Dia menjadikannya salah satu dari pewaris Nabi (s) yang tertinggi.

Syekh Ubaydullah (q) berusaha melakukan yang terbaik untuk membersihkan kotoran dan kegelapan yang telah menutupi kalbu manusia. Ia menjadi matahari untuk menyinari jalan untuk para salik menuju Maqam Keyakinan dan Perbendaharaan Ilmu Spiritual yang tersembunyi.

Ia lahir di desa Shash pada bulan Ramadan tahun 806 H. Dilaporkan bahwa sebelum ia dilahirkan, ayahnya mulai menunjukkan keadaan penolakan yang luar biasa, yang membuatnya meninggalkan semua perbuatan duniawi dan membuatnya memasuki khalwat. Selama berkhalwat ia hampir meninggalkan makan dan tidur, memutuskan hubungan dengan orang-orang, dan menjalani praktik-praktik dalam tarekat. Dalam keadaan spiritual ini, istrinya hamil. Itulah salah satu alasan bahwa kemudian bayinya mempunyai maqam yang tinggi; di mana latihan spiritualnya telah dimulai ketika ia masih di dalam kandungan ibunya. Ketika ibunya mengandung, keadaan spiritual ayahnya yang tidak biasa ini berakhir dan kembali ke kehidupan normalnya.

Sebelum Ubaydullah dilahirkan, peristiwa berikut ini terjadi di mana maqam besarnya telah diramalkan. Syekh Muhammad as-Sirbili berkata, “Ketika Syekh Nizamuddin al-Khamush as-Samarqandi sedang duduk di rumah ayah saya, bertafakur, tiba-tiba ia berteriak dengan suara yang sangat keras; membuat semua orang ketakutan. Ia berkata, ‘Aku melihat sebuah visi di mana banyak orang yang datang kepadaku dari timur, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di dunia kecuali dirinya. Orang itu bernama Ubaydullah dan ia akan menjadi Syekh terbesar di zamannya. Allah akan membuat seluruh dunia tunduk padanya, dan aku berharap bahwa aku dapat menjadi bagian dari pengikutnya.’”

Awal Mula Maqamnya dan Maqam Awalnya

Tanda-tanda kebahagiaan telah tampak pada dirinya ketika ia masih kanak-kanak. Cahaya al-Irsyad tampak di wajahnya. Salah satu kerabatnya mengatakan, “Ia tidak mau menyusu dari ibunya selama masa nifasnya.”

Ia berkata,

Aku masih ingat apa yang kudengar ketika aku berusia satu tahun. Sejak umur tiga tahun, aku sudah berada di Hadratillah. Ketika aku mempelajari Qur’an dengan guruku, kalbuku berada di Hadratillah. Aku dulu berpikir bahwa semua orang memang seperti itu.

Ia berkata,

Suatu hari di musim dingin, aku pergi keluar dan saat itu hujan turun sehingga sepatuku masuk ke dalam genangan lumpur. Cuaca sangat dingin. Aku berusaha menarik kakiku dari genangan lumpur itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa kalbuku berada dalam bahaya besar, karena pada saat itu aku telah lalai dalam mengingat Allah. Aku pun segera beristighfar.

Ia dibesarkan di rumah pamannya, Ibrahim asy-Syashi, yang merupakan ulama terbesar di zamannya. Beliau mengajarinya dengan sangat baik dan ketika ia telah menyelesaikan latihannya, pamannya mengirimnya dari Tashkent ke Samarqand.

Ia berkata kepada pamannya, “Setiap kali aku pergi belajar, aku merasa sakit.” Beliau menjawab, “Wahai anakku, aku tahu di mana maqammu sekarang, jadi aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apapun. Lakukanlah apa yang kau inginkan. Kau bebas melakukannya.”

Ia meriwayatkan,

“Suatu hari ketika dalam keadaan itu, aku berziarah ke makam Syekh Abi Bakr al- Kaffal. Aku sempat tidur dan saat itu aku mendapat sebuah penglihatan spiritual. Aku melihat Nabi `Isa (a) di dalam penglihatan itu. Aku segera berlutut dan mencium kakinya. Beliau mengangkatku dan berkata, ‘Wahai anakku, jangan bersedih, aku bertangung jawab untuk membesarkanmu dan mendidikmu.’ Setelah itu penglihatan itu berakhir. Aku lalu menceritakan peristiwa itu kepada beberapa orang dan di antaranya adalah seorang yang ahli dalam menafsirkan keadaan spiritual. Ia menjelaskan, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.’ Aku tidak menyukai penjelasannya, dan aku berkata kepadanya, ‘Aku tahu lebih baik mengenai penglihatan itu, Nabi `Isa (a) dalam ilmu spiritualnya melambangkan maqam al-Hayat. Orang yang dapat mencapai maqam itu di antara para awliya akan mendapat predikat `Isawi, yang artinya Orang yang Hidup. Allah menyebutkannya di dalam kitab suci al-Qur’an sebuah ayat yang menggambarkan mereka, bal ahya’un `inda rabbihim yurzaqun (“Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya, dan mendapatkan rezekinya”) [3:169]. Karena beliau berjanji untuk membesarkan aku di jalur tersebut, itu artinya aku akan mencapai maqam Kalbu yang Hidup. Tak lama kemudian aku menerima maqam itu dari Nabi `Isa (a) di kalbuku.”

“Aku melihat Nabi Muhammad (s), di dalam suatu penglihatan spiritual yang luar biasa. Beliau (s) ditemani oleh sejumlah besar orang, berdiri di kaki gunung. Beliau (s) melihatku dan berkata, ‘Ya Ubaydullah, angkat gunung ini dan bawa ke gunung lainnya.’ Aku tahu bahwa tidak ada orang yang mampu mengangkat gunung, tetapi itu adalah perintah langsung dari Nabi (s). Aku lalu mengangkat gunung itu dan aku membawanya ke tempat yang ditunjukkan beliau (s). Kemudian Nabi (s) memandangku dan berkata, ‘Aku tahu bahwa kekuatan itu ada padamu. Aku ingin agar orang mengetahuinya dan melihat kekuatan yang kau miliki.’ Hal itu membuatku tahu bahwa aku akan menjadi jalan untuk membimbing banyak orang di Jalan ini.”

“Suatu malam aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku dan melakukan sesuatu pada sisi batinku. Ketika beliau pergi, aku mengikutinya. Beliau berhenti dan memandangku. Beliau berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu wahai anakku. Kau akan memiliki sebuah posisi yang sangat tinggi.’”

“Aku mengikuti Qutub Nizamuddin al-Khamush di Samarqand. Kemudian aku pergi ke Bukhara, saat usiaku 22 tahun, di mana aku bertemu dengan seorang ulama besar, Syekh Sirajuddin al-Birmisi. Beliau tinggal empat mil dari Bukhara. Ketika aku mengunjunginya, beliau memandangku dengan penuh perhatian dan beliau ingin agar aku tinggal bersamanya. Tetapi hatiku mengatakan agar aku melanjutkan perjalananku ke Bukhara. Aku hanya tinggal sebentar bersamanya. Beliau biasa membuat gerabah di siang hari dan pada malam harinya beliau akan duduk di ruang salatnya, di lantai. Setelah melakukan Salat ‘Isya, beliau akan duduk hingga Fajar.

Aku tidak pernah melihatnya tidur baik siang maupun malam. Aku tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan aku tidak pernah melihatnya tidur. Beliau termasuk salah seorang yang unggul di dalam ilmu lahir dan batin.”

“Kemudian aku pergi ke Bukhara, di sana aku bertemu dengan Syekh Amiduddin asy-Syashi dan Syekh `Alauddin al-Ghujdawani. Mereka adalah para pengikut Syah Naqsyband, `Alauddin al-Aththar dan Ya`qub al-Charkhi. Syekh `Alauddin al- Ghujdawani kadang-kadang menghilang begitu saja tanpa memberi pelajaran, kemudian beliau akan muncul kembali. Beliau memiliki gaya bicara yang baik sekali. Beliau tidak pernah berhenti dalam berzikir dan berjuang melawan egonya. Aku bertemu dengannya ketika beliau berusia 90 tahun dan sering menemaninya.

Suatu hari aku berjalan ke makam Syah Naqsyband. Ketika aku kembali, aku melihat Syekh `Alauddin al-Ghujdawani menghampiriku. Beliau berkata, ‘Aku pikir sebaiknya engkau tinggal bersama kami malam ini.’ Kami melakukan Salat `Isya, beliau menawariku makan malam, beliau lalu berkata, ‘Wahai anakku, mari kita hidupkan malam ini.’ Beliau duduk bersila dan aku duduk di belakangnya. Beliau duduk dalam meditasi dan zikir yang sempurna dan beliau tidak pernah bergerak ke kiri atau ke kanan. Melalui ilmu spiritualku, aku tahu bahwa orang yang berada dalam keadaan seperti itu pasti berada dalam Hadratillah sepenuhnya. Aku terkejut bahwa di usianya yang mencapai 90 tahun, beliau tidak merasa lelah. Aku sendiri mulai merasa kelelahan ketika mencapai tengah malam. Jadi aku mulai mengeluarkan sedikit suara, berharap beliau akan mengizinkan aku untuk berhenti. Ternyata beliau mengabaikan aku. Kemudian aku berdiri untuk menarik perhatiannya, tetapi beliau tetap mengabaikan aku. Aku merasa malu dan kemudian aku kembali ke tempatku dan duduk kembali. Pada saat itu aku mengalami suatu penglihatan spiritual di mana beliau mencurahkan Ilmu tentang Keteguhan dan Ketabahan Hati (at-tamkin) ke dalam kalbuku. Sejak saat itu, setiap kali menghadapi kesulitan aku merasa mampu menjalaninya tanpa ada gangguan. Aku menyadari bahwa Tarekat ini sepenuhnya berdasarkan pada dukungan yang diberikan oleh Syekh kepada murid. Beliau mengajari aku bahwa seseorang harus berusaha untuk tetap teguh dan istikamah dalam zikir, karena apapun yang dapat diraih dengan mudah, tanpa kesulitan, ia tidak akan bertahan lama bersamamu.

Sedangkan apapun yang kau raih dengan keringatmu maka ia akan tinggal bersamamu.”

“Suatu hari aku mengunjungi Syekh Sayyid Qassim at-Tabrizi di Herat. Di sana aku mengikuti gaya hidup zuhud dan meninggalkan semua urusan duniawi. Ketika beliau makan, beliau akan memberiku sisa makanannya, dan aku akan memakannya tanpa mengatakan apa-apa. Suatu hari beliau memandangku dan berkata, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat kaya. Aku memprediksikan hal ini untukmu.’ Pada saat itu aku tidak mempunyai apa-apa. Ketika aku kembali ke negeriku, aku menjadi seorang petani. Aku mempunyai satu hektar tanah dan di sana aku memelihara beberapa ekor sapi. Dalam waktu singkat prediksinya menjadi kenyataan, tanahku semakin bertambah hingga aku mempunyai pertanian dan peternakan yang besar.

Semua kekayaan ini tidak mempengaruhi kalbuku. Aku mendedikasikannya untuk Allah.”

Keunggulan dalam Khidmah

Kebaikannya secara pribadi maupun di depan umum menjadikan ciri bagi jalannya. Ia berkata,

Suatu hari aku pergi ke Madrasah Qutb ad-Din as-Sadr di daerah Samar. Aku melihat ada empat orang di sana yang menderita demam tinggi. Aku mulai berkhidmah untuk mereka, membersihkan pakaian mereka dan memberi makan mereka sampai aku juga terinfeksi demam yang sama. Hal ini tidak membuatku berhenti berkhidmah untuk mereka. Demamku semakin parah sampai aku merasa bahwa aku akan meninggal dunia. Aku bersumpah pada diriku sendiri, ‘Biarkan aku mati, tetapi biarkan keempat orang ini kulayani dulu.’ Aku terus melayani mereka. Keesokan harinya aku mendapati diriku sudah sembuh sepenuhnya, sementara keempat orang itu masih tetap sakit.

Ia berkata,

Menolong dan melayani orang, dalam pemahaman Tarekat ini lebih baik daripada zikir dan tafakur. Sebagian orang berpikir bahwa melakukan ibadah sunnah adalah lebih baik daripada berkhidmah dan menolong orang-orang yang membutuhkan.

Namun dalam pandangan kami, membantu orang dan menolong mereka dan menunjukan cinta kepada mereka adalah lebih baik daripada yang lainnya.

Terkait dengan hal ini, Syah Naqsyband (q) biasa berkata, “Kami senang untuk melayani bukan untuk dilayani. Ketika kami melayani, Allah rida dengan kami, dan ini membuat kami lebih dekat ke Hadirat Ilahi dan Allah membukakan lebih banyak bagi kami. Di lain pihak, dilayani dapat menimbulkan kebanggaan dan kalbu menjadi lemah dan menyebabkan kami menjauh dari Hadirat Ilahi.”

Syekh Ubaydullah (q) berkata,

“Aku tidak mengambil tarekat ini dari buku-buku, tetapi aku menjalani tarekat ini dengan berkhidmah pada orang lain.” “Setiap orang masuk melalui pintu yang berbeda-beda; aku memasuki tarekat ini melalui pintu khidmah.”

Beliau sangat ketat dalam menjaga adab baik eksternal maupun internal, baik di dalam khalwatnya maupun di antara masyarakat. Abu Sa`ad al-Awbahi berkata, “Aku menemaninya selama 35 tahun terus-menerus. Selama itu, aku tidak pernah melihatnya membuang kulit atau biji buah dari mulutnya, dan beliau tidak pernah membuka mulutnya ketika ada makanan di dalamnya. Ketika beliau mengantuk, beliau tidak pernah menguap. Aku tidak pernah melihatnya meludah. Aku tidak pernah melihatnya melalukan sesuatu yang membuat orang merasa jijik. Aku tidak pernah melihatnya duduk dengan menyilangkan kakinya. Beliau hanya duduk dengan posisi berlutut dalam adab yang sempurna.”

Perkataannya yang Luar Biasa mengenai Kebesaran Al-Qur’an

Ia berkata,

Aku akan mengatakan kepada kalian mengenai banyak rahasia dari Alhamdulillahi Rabbi-l-`alamiin (‘Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam’) [1:2]. Pujian yang sempurna adalah pujian dari Allah kepada Allah. Kesempurnaan dalam pujian itu terjadi ketika hamba yang memuji-Nya tahu bahwa ia bukan apa-apa. Hamba itu harus tahu bahwa ia benar-benar kosong, tidak ada tubuh atau bentuk yang terwujud untuknya, tidak ada nama, tidak ada perbuatan yang merupakan miliknya, tetapi ia bahagia karena Allah (swt) membuat Sifat-Nya muncul pada dirinya.

Apakah makna dari firman Allah di dalam al-Qur’an, wa qaliilan min `ibadi asy- syakur (‘Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur’) [34:13]?

Hamba yang sungguh ‘bersyukur’ adalah orang yang dapat melihat Sang Pemberi Nikmat kepada manusia.

Apakah makna dari ayat, f’a`rid `an man tawalla `an dzikrinaa (‘Dan tinggalkanlah orang yang berpaling dari Mengingat Kami‘) [53:29]? Itu menunjukkan bahwa bagi orang yang melakukan kontemplasi mendalam terhadap Hadirat Ilahiah Kami, dan telah mencapai maqam tidak melihat apa-apa kecuali Kami, maka tidak perlu lagi tindakan mengingat itu. Jika ia berada dalam maqam penglihatan sepenuhnya, jangan memerintahkannya untuk melafalkan zikir karena itu mungkin akan menyebabkan kedinginan di dalam kalbunya. Ketika ia sepenuhnya sibuk dengan maqam musyahadah, segala sesuatu yang lain merupakan gangguan dan dapat mengganggu maqam tersebut.

Muhyiddin Ibn `Arabi (q) berkata, mengenai hal ini, ‘Dengan zikrullah, Mengingat Allah, dosa-dosa meningkat, dan penglihatan dan kalbu akan terhijab.

Meninggalkan zikir adalah keadaan yang lebih baik karena matahari tidak pernah terbenam.’ Apa yang beliau maksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang Arif berada di Hadirat Ilahi dan dalam keadaan Penglihatan Mutlak terhadap Keesaan Allah, pada saat itu segala sesuatu fana fillaah. Baginya zikir menjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Seorang Arif hadir dalam Eksistensi-Nya. Ia berada dalam keadaan Fana dalam Hadratillah, sedangkan dalam zikrullah ia berada dalam keadaan absen, yaitu perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada Allah di sana.

Apakah makna dari ayat, kunu ma`a-sh-shadiqiin (‘Bersamalah dengan orang-orang yang benar’) [9:119]? Ini artinya menjaga pertemanan baik secara fisik maupun spiritual. Seorang salik dapat duduk dalam suatu majelis bersama para shadiqin, melihat sosok mereka, mendengar mereka dan Allah akan menerangi kalbu mereka dan akan mengajari mereka agar menjadi seperti para shadiqin itu. Untuk menjaga hubungan secara spiritual dengan para shadiqin, seorang salik harus mengarahkan kalbunya menuju kalbu spiritual mereka. Seorang salik harus menjaga hubungan itu dalam kalbunya hingga mereka dapat merefleksikan semua rahasia mereka dan maqam-maqam mereka kepadanya. Ia tidak boleh memalingkan wajahnya kepada yang lain di dunia ini kecuali kepada gurunya yang akan membawanya ke Hadratillah.

Cintai dan ikuti para pecinta. Dengan demikian, kalian akan menjadi seperti mereka dan cinta mereka akan tercermin pada kalian.

Mereka bertanya tentang zikir dengan LA ILAHA ILLALLAH. Ia berkata,

Beberapa guru mengatakan, LA ILAHA ILLALLAH adalah zikirnya orang awam, sedangkan ALLAH adalah zikirnya orang-orang pilihan (al-Khawas), dan HUWA adalah zikirnya orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan. Tetapi bagiku LA ILAHA ILLALLAH adalah zikir dari orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan karena ia tidak ada akhirnya. Sama seperti Allah adalah Sang Pencipta setiap saat, sehingga setiap saat ilmu akan meningkat untuk orang-orang Arif. Bagi seorang Arif, maqam sebelumnya bukan apa-apa ketika ia telah memasuki maqam baru yang lebih tinggi. Seorang Arif menyangkal suatu maqam ketika ia meninggalkannya dan mengafirmasi maqam yang baru ketika ia memasukinya. Ini adalah tajali dari LA ILAHA ILLALLAH pada diri hamba Allah.

Yang dimaksud dengan ayat Ya ayyuha-l-ladziina amanu, aminu (‘Wahai orang- orang yang beriman, berimanlah!’) [4:136] adalah, ‘Wahai orang-orang beriman, kalian selamat’. Kalian selamat karena kalian telah menghubungkan kalbu kalian dengan Allah `Azza wa Jalla, dan setiap orang yang menghubungkan kalbunya dengan Allah akan dijamin keselamatannya.

Mengenaia ayat, limani-l-Mulku-l-yawm, lillahi-l-Wahidi-l-Qahhar (‘kepada siapa pemilik Kerajaan sekarang? [40:16], ia berkata,

Ayat ini mempunyai banyak penjelasan, tetapi kunci unut memahami bahwa kerajaan yang di maksud di sini adalah Kalbu Sang Saik. Jika Allah melihat kalbu sang salik dengan cahaya Penglihatan-Nya dan kemudian Dia menghapus eksistensi segala sesuatu kecuali Allah (swt) di dalam kalbunya. Itulah sebabnya mengapa Bayazid sering mengucapkan subhanii ma a`zhama sya’nii (‘Mahasuci aku untuk Kebesaranku!’) dan Hallaj, ana-l-haqq (‘Aku adalah Sang Kebenaran’). Pada maqam itu kalbu yang berbicara, kalbu di mana Allah telah menghapus segalanya kecuali Dia Sendiri.

Apa makna dari ayat kulla yawmin Huwa fi sya’n (‘Setiap hari (waktu) Dia dalam kesibukan (memanifestasikan Diri-Nya dalam berbagai cara yang menakjubkan)’ [55:29]? Ayat ini terkait dengan dua aspek Baqa setelah Fana.

Pertama, seorang salik, setelah ia menyadari Kebenaran dalam kalbunya dan mapan dalam penglihatannya tentang Dzat Allah `Azza wa Jalla yang Khas, kembali dari Maqamul Fana’ menuju Maqam Hadir Sepenuhnya. Inderanya menjadi tempat munculnya Asma dan Perbuatan Allah. Di dalam dirinya, ia menemukan jejak-jejak Atribut Duniawi dan Surgawi. Ia kini mampu membedakan antara kedua level atribut tersebut, dan mampu meraih manfaat dari setiap Atribut dan Ilmu.

Makna kedua dari ayat tersebut adalah bahwa seorang salik menemukan di dalam dirinya, pada setiap saat dan setiap partikel terkecil dari waktu, sebuah Jejak dari Dzat Allah Yang Khas, yang tidak dapat ditemui di luar Maqamul Fana’ dalam Penglihatan terhadap Yang Maha Esa. Dari satu fraksi waktu menuju fraksi lainnya, ia akan memvisualisasikan bagian-bagian dari Maqam Dzat Allah Yang Khas dan mampu memahami ‘keterkaitkan’ segala sesuatu dalam Kesatuan Ilahiah. Keterkaitan ini bervariasi dalam warna dan pengaruhnya terhadap seseorang, karena itu akan dapat dibedakan sesuai dengan waktu kemunculannya. Maqam ini adalah maqam yang sangat langka dan hanya beberapa wali yang mampu mencapainya.

Beberapa wali yang mencapainya tersebut pada setiap abad berada pada maqam yang sangat mulia, dan mereka sadar akan makna dari ayat, kulla yawmin Huwa fi sya’n.

Apakah makna dari hadits, ‘Tutuplah semua pintu yang menghadap ke masjidku kecuali pintu Abu Bakar?’ Abu Bakar ash-Shiddiq (r) hidup dalam maqam cinta yang sempurna terhadap Nabi (s). Seluruh pintu menuju Nabi (s) tertutup kecuali pintu cinta, sebagaimana yang direpresentasikan oleh pintu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Jalan guru-guru Tarekat Naqsybandi terhubung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq (r) menuju Nabi (s). Cinta kepada guru akan membawa seorang salik menuju pintu Abu Bakar (r) yang akan mengantarkannya menuju cinta pada Nabi (s), dan dari sana menuju cinta pada Allah `Azza wa Jalla.

Makna dari Shiddiq

Jika seorang Shiddiqin yang menempuh perjalanan di Jalan Allah mengalami kelalaian dalam waktu sesaat, ia telah kehilangan lebih dari apa yang telah dicapainya selama ribuan tahun. Jalan kita adalah jalan di mana seluruh maqam dilipatgandakan dengan cepat dalam setiap saat. Satu detik dapat dilipatgandakan dengan nilai seribu tahun.

Ada sekelompok orang di antara para pengikutku yang dilaporkan kepada sang khalifah sebagai orang-orang yang munafik. Khalifah diberi masukan bahwa jika ia membunuh mereka, maka ia akan dihargai, karena orang-orang akan selamat dari kesesatan mereka. Ketika mereka dibawa ke hadapan sang khalifah, ia memerintahkan agar mereka dibunuh. Sang eksekutor mendekat untuk membunuh orang pertama, tetapi sahabatnya menyela dan mengatakan, ‘Tinggalkan ia dan bunuh aku dulu.’ Ketika eksekutor itu mendekati orang kedua, orang ketika memanggilnya dan berkata, ‘Bunuh aku dulu.’ Hal ini terjadi berulang kali terhadap mereka berempat.

Sang eksekutor sangat terkejut. Ia bertanya, ‘Dari kelompok mana kalian ini? Seolah-olah kalian mencintai kematian.’ Mereka berkata, ‘Kami adalah kelompok yang mengutamakan orang lain daripada diri kami sendiri. Kami telah mencapai suatu maqam di mana untuk setiap perbuatan yang kami lakukan, pahala kami digandakan dan kami mengalami peningkatan dalam ilmu spiritual. Masing-masing dari kami berusaha melakukan yang terbaik untuk orang lain, bahkan jika hanya untuk sesaat, agar diangkat lebih tinggi dalam pandangan Allah.’ Sang eksekutor mulai gemetar untuk tidak dapat mengeksekusi mereka. Ia pergi menghadap khalifah dan menjelaskan kondisinya. Sang khalifah segera melepaskan mereka dan berkata, ‘Jika orang-orang seperti mereka dikatakan munafik, maka tidak ada lagi orang-orang shiddiqiin yang tersisa di bumi.’

Adab Syekh dan Murid

Ia berkata,

Sufisme mengharuskan kalian untuk membawa beban semua orang dan tidak menempatkan beban kalian pada seseorang.

Ia berkata,

Waktu terbaik dalam suatu hari adalah satu jam setelah salat `Ahsar. Pada saat itu murid harus meningkatkan ibadahnya. Salah satu bentuk ibadah terbaik pada saat ini adalah duduk dan mengevaluasi perbuatan yang dilakukan pada hari itu. Jika seorang salik menemukan bahwa apa yang telah dilakukannya baik, ia harus bersyukur kepada Allah. Jika ia menemukan sesuatu yang salah, ia harus memohon pengampunan.

Salah satu perbuatan terbaik adalah mengikuti seorang Syekh yang kamil (sempurna). Mengikuti dan berkumpul bersamanya akan membuat salik mencapai Hadratillah Allah ‘Azza wa Jalla. Berkumpul dengan orang-orang dengan kondisi mental yang berbeda-beda menyebabkan orang mengalami kondisi yang berbeda- beda.

Suatu hari Bayazid al-Bisthami (q) sedang duduk di suatu majelis dan beliau mendapati adanya ketidaksetujuan di dalam kelompok itu. Beliau berkata, ‘Lihatlah dengan cermat di antara kalian. Adakah orang yang tidak berasal dari kelompok kita?’ Mereka saling memandang tetapi tidak dapat menemukannya. Beliau berkata, ‘Lihat lagi, apakah ada seseorang yang bukan dari kita.’ Mereka melihat lagi dan menemukan sebuah tongkat yang bukan milik seseorang di antara mereka. Beliau berkata, ‘Buang tongkat itu segera, karena itu mencerminkan pemiliknya dan cerminan itu menyebabkan ketidaksetujuan.’

Syekh harus muncul dalam kehadiran murid-muridnya dengan mengenakan busana terbaik dan rapi. Melalui rabithah (koneksi kalbu) murid menghubungkan diri mereka dengan Syekh. Jika ia kotor atau berantakan, akan sulit bagi murid-murid untuk mempertahankan kualitas rabithah mereka. Untuk itulah Nabi (s) memerintahkan para pengikutnya untuk menyisir rambut mereka dan mengenakan busana terbaik selama beribadah.

Allah memberiku kekuatan untuk mempengaruhi orang lain. Bahkan jika aku mengirimkan surat ke Raja Khata, yang mengklaim bahwa ia adalah Tuhan, ia akan datang dengan merangkat tanpa alas kaki untuk menemuiku. Namun demikian, aku tidak pernah menggunakan kekuatan itu, karena di dalam tarekat ini keinginan kita harus mengikuti Kehendak Allah `Azza wa Jalla.

Salah seorang pengikut Ubaydullah (q) berkata, “Kami duduk dalam hadiratnya dan beliau meminta tinta, kertas dan kalam. Beliau menulis banyak nama. Kemudian beliau menulis sebuah nama pada potongan kertas lainnya, dan nama itu adalah Abu Sa`id. Beliau mengambil kertas itu dan meletakkannya di dalam turbannya. Kami bertanya padanya, “Siapakah orang yang namanya kau letakkan di dalam turban itu?” Beliau berkata, ‘Itu adalah orang yang akan diikuti oleh orang-orang di Tashkent, Samarqand dan Bukhara.’ Setelah satu bulan kami mendengar bahwa Raja Sa`id datang untuk mengambil alih Samarqand. Tidak ada seorang pun yang pernah mendengar namanya sebelemnya.”

Diriwayatkan bahwa, “Pada suatu hari Raja Abu Sa`id bermimpi di mana beliau bertemu dengan Imam Besar Ahmad al-Yasawi, salah seorang khalifah dari Syekh Yusuf al-Hamadani (q). Beliau meminta Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk membaca al- Fatiha dengan niat bahwa Allah akan memberi dukungan kepada Abu Sa’id. Di dalam mimpinya Abu Sa`id bertanya, ‘Siapakah Syekh itu?’ dan dijawab bahwa itu adalah ‘Ubaydullah al-Ahrar (q).’ Ketika beliau bangun, masih terbayang-bayang wajah Syekh di pikirannya. Beliau lalu memanggil penasihatnya di Tashkent dan bertanya padanya, ‘Adakah orang yang bernama Ubaydullah?’ Ia berkata, ‘Ya’, maka Sultan kemudian berangkat menuju Tashkent untuk bertemu dengannya dan beliau menemukannya di desa Farqa.

“Syekh keluar untuk menemuinya dan Sultan langsung mengenalinya. Dengan segera hatinya tertarik. Beliau turun dari kudanya dan berlari menemui Syekh, mencium tangan dan kakinya. Beliau meminta Syekh untuk membacakan al-Fatihah untuknya. Syekh berkata, ‘Wahai anakku, ketika kita memerlukan sesuatu, kita membaca al-Fatihah sekali dan itu sudah cukup. Kita sudah melakukannya sebagaimana yang kau lihat di dalam mimpimu.’ Sultan terkejut karena Syekh mengetahui mimpinya. Beliau lalu meminta izin untuk pindah ke Samarqand dan Syekh berkata, ‘Jika niatmu adalah untuk mendukung Syari`ah Nabi (s0 maka aku bersamamu dan Allah akan mendukungmu.’ Sultan menjawab, ‘Ini adalah niatku.’ Syekh berkata, ‘Ketika kau melihat musuh datang menentangmu, bersabarlah dan jangan langsung menyerang. Tunggu hingga kau melihat burung-burung gagak datang dari belakangmu, barulah kau menyerang.’ Ketika hal ini terjadi dan kedua pasukan saling berhadapan, Abu Sa`id menunggu sementara pasukan `Abdullah Mirza yang lebih besar menyerang. Para jenderal mendesak agar Abu Sa`id membalas serangannya. Beliau berkata, ‘Tidak. Tunggu hingga burung-burung hitam datang, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syekhku. Barulah kita akan menyerang.’ Ketika beliau melihat burung-burung gagak berdatangan, beliau memerintahkan pasukan untuk menyerang. Kuda `Abdullah Mirza menjadi terperangkap di dalam lumpur, dan ia dapat ditangkap dan ditawan. Kemudian Abu Sa`id mampu menguasai seluruh wilayah itu.

“Beliau lalu memanggil Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk pindah dari Samarqand ke Tashkent. Syekh Ubaydullah (q) menerimanya dan pindah ke sana dengan seluruh pengikutnya. Beliau menjadi penasihat Sultan. Setelah beberapa tahun Sultan Abu Sa`id menerima kabar bahwa Mirza Babar, keponakan dari

`Abdullah Mirza, bergerak menuju Khorasan dengan 100,000 pasukan untuk membalas kekalahan pamannya dan menguasai kembali kerajaannya. Sultan Abu Sa`id menemui Syekh Ubaydullah (q) dan menceritakan hal ini dengan berkata, ‘Kami tidak mempunyai tentara yang cukup.’ Syekh Ahrar (q) berkata, ‘Jangan khawatir.’ Ketika Mirza Babar tiba di Samarqand, Sultan Abu Sa`id berkonsultasi dengan para penasihatnya. Mereka menyarankannya untuk mundur ke Turkestan. Beliau lalu mempersiapkan diri untuk kembali ke Turkestan. Syekh datang menemuinya dan berkata, ‘Mengapa engkau mengabaikan perintahku? Aku berkata agar kau tidak perlu takut. Dengan diriku sendiri, sudah cukup untuk menghadapi 100,000 pasukan.’

Pada hari berikutnya, wabah penyakit menyerang pasukan Sultan Mirza Babar, menyebabkan ribuan dari mereka tewas. Sultan Mirza Babar membuat perjanjian damai dengan Abu Sa`id. Kemudian Mirza Babar meninggalkan Samarqand dalam kekalahan dengan sisa pasukannya.”

Syekh Ubaydullah (q) wafat setelah salat `Isya pada hari Sabtu, 12 Rab’i ul-Awwal, 895 H./1489 M. di kota Kaman Kashan, di Samarqand. Beliau meninggalkan banyak kitab, termasuk Anas as-Salikin fit-Tasawwuf, dan al-`Urwatu-l-wutsqa li Arbaba-l- i`tiqad. Beliau mendirikan sebuah madrasah dan masjid besar yang sampai sekarang masih digunakan.

Putranya Muhammad Yahya dan banyak orang yang hadir pada saat wafatnya melihat seberkas cahaya yang sangat terang yang bersinar dari matanya yang membuat semua lilin terlihat remang-remang. Seluruh Samarqand, termasuk Sultan, terguncang dan berduka atas wafatnya. Sultan Ahmad dan seluruh pasukannya menghadiri pemakamannya. Sultan turut menganggkat kerandanya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di dunia fana ini.

Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Muhammad az-Zahid al-Qadi as- Samarqandi (q).

19. Sayyidi Syaikh Muhammad az-Zahid (QS)

Ia adalah Kesempurnaannya Orang-Orang yang Saleh, Kejeniusannya para Mursyid dan Intinya Kewalian. Padanya tercurah al-Khilafa al-Rabbaniyyah, dan Kerajaan Spiritual adalah naungannya. Ia menggabungkan Ilmu Surgawi dengan Ilmu Syari`ah di dalam dirinya, dan ia menggenggam tarekat dan hakikat terbaik, sampai ia menjadi lokus bagi semua Wahyu dan Ilham Spiritual. Di dalam dirinya muncul Ilmu dari para Arifiin. Ia terkenal sebagai Orang yang Unik dalam Ilmunya dan dalam Menggunakan Kalam. Di dalam kalbunya ia membawa rahasia yang mempunyai daya tarik bagi kalbu manusia. Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan Wahyu Surgawi di dalam dirinya, dan Yang memberikan Keramat di dalam setiap masalah yang penting. Dia menghiasi dirinya dengan Cahaya Sempurna Sayyidina Muhammad (s) pada awal kenaikannya menuju Maqam Ilmu Spiritual. Ia adalah Rahasia Syekhnya, Qiblat bagi para pengikut Syekhnya, dan Pewaris Ilmu Syekhnya.

Ia menulis sebuah kitab yang dinamakan Silsilat al-`Arifiin wa Tadzkirat ash- Shiddiqiin yang mengenai penanda spiritual Syekhnya, Syekh `Ubaydullah (q). Di dalamnya ia mengatakan,

“Aku berkhidmah pada Syekhku selama 12 tahun sampai beliau wafat, yaitu sejak 883 hingga 895 H. Latar belakang hubungan dan bay’atku kepadanya berawal dari suatu hari di mana aku pergi dengan sahabatku, Syekh Ni`matullah dari Samarqand menuju Herat untuk melanjutkan sekolah kami. Ketika kami sampai di desa Syadiman, kami tinggal selama beberapa hari di sana untuk beristirahat karena saat itu sedang musim panas. Suatu hari Syekh `Ubaidullah al-Ahrar (q) datang ke kota yang sama, dan kami menemuinya pada saat `Ashar.

Beliau bertanya kepadaku darimana aku berasal. Aku berkata, ‘Dari Samarqand.’ Beliau berbicara kepada kami dengan penuh adab. Melalui ucapannya, beliau membuka masalah-masalah pribadi yang ada di dalam hatiku, satu demi satu, hingga beliau mengatakan mengapa aku pergi ke Herat. Itu sangat luar biasa sehingga membuat hatiku tersambung kepadanya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jika tujuanmu adalah untuk menuntut ilmu, kau dapat menemukannya di sini, tidak perlu pergi ke Herat.’ Aku akui bahwa setiap gosip kecil dan inspirasi yang ada di dalam kalbuku terbuka baginya bagaikan halaman-halaman sebuah buku; namun demikian aku masih berniat untuk pergi ke Herat.

Salah satu pengikutnya yang tidak senang dengan niatku berkata, ‘Syekh sedang sibuk menulis, kau boleh pergi.’ Aku tidak pergi, tetapi menunggu sampai Syekh kembali muncul. Akhirnya Syekh kembali dan berkata kepadaku, ‘Sekarang ceritakan kisahmu yang sebenaranya. Mengapa kau ingin pergi ke Herat? Apakah kau ingin mencari jalur spiritual atau kau ingin menuntut ilmu eksternal (ilmu duniawi)’ Temanku menjawab mewakiliku, ‘Ia mencari ilmu spiritual, tetapi ia mengejar ilmu eksternal sebagai pembungkusnya.’ Beliau berkata, ‘Jika seperti itu, bagus.’ Kemudian beliau membawaku ke sebuah taman pribadi dan kami berjalan bersama sampai kami lenyap dari pandangan orang-orang. Beliau menggandeng tanganku dan aku segera mengalami keadaan fana’ yang panjang. Aku memahami bahwa beliau menghubungkan aku dengan Syekhnya dan dari Syekhnya kepada Syekh seterusnya hingga kepada Nabi (s) dan dari Nabi (s) kepada Allah (swt).

Ia lalu mengatakan kepadaku bahwa aku akan mampu membaca dan mamahami tulisannya. Beliau membungkusnya dan memberikannya kepadaku sambil mengatakan bahwa di dalamnya teradapat hakikat ibadah melalui ketaatan, kesalehan dan ketawadukan. Melalui manuskrip ini, jika engkau mengikutinya, kau akan menyadari suatu penglihatan Allah (swt).

Jalan ini adalah berdasarkan cinta kepada Allah, yang berdasarkan pada Sunnah Nabi (s), yaitu mengikuti jejaknya. Nabi (s) bersabda, ‘Kalian harus mengikuti jalanku dan jalan para khalifah setelahku.’ Untuk ini kau harus berkumpul bersama ulama-ulama yang saleh yang merupakan para pewaris Ilmu Agama dan Pewaris Ilmu Surgawi; Pewaris Ilmu Gaib dan Ilmu Sifatullah; Pewaris Cinta Hadratillah.

Dengan berkumpul bersama mereka kau akan dibimbing untuk mewujudkan Ilmu Ilahi dan untuk mengikuti jalan Nabi (s) yang murni.

Kau harus menjauhi ulama yang korup, yang menggunakan agama sebagai jalan untuk mengumpulkan kesenangan duniawi dan mendapatkan ketenaran dan jabatan. Hindari Sufi-Sufi yang Menari; mereka bagaikan anak-anak, tidak bertanggung jawab. Jangan dengarkan orang yang berbicara tanpa pemahaman mengenai segala hal yang tidak masuk akal, mengenai halal dan haram tanpa pernah berbicara mengenai pentingnya tidak menyimpang dari Akidah Ahl as-Sunnah wal- Jama`ah.

Jangan dengarkan argumen para filsuf dan orang-orang yang tidak mengerti tentang tasawuf kecuali hanya namanya saja, namun berpura-pura sebagai Sufi. Wahai anakku, semoga Allah menyambutmu dengan salam Islam.

Beliau kemudian kembali ke majelisnya, membacakan Fatihah untukku dan mengizinkan aku untuk pergi ke Herat. Aku lalu meninggalkan hadiratnya dan mengarahkan langkahku ke Bukhara. Beliau mengutus seseorang kepadaku, membawakan sebuah surat untuk Syekh Kallan, putra Mawlana Sa`d ad-din al- Kashgari. Di dalam surat itu tertulis, ‘Kau harus merawat putraku yang membawa suratku ini dan menjaganya dari ulama-ulama yang buruk.’ Ketika aku melihat isyarat baik darinya, cintaku terhadapnya tertanam dalam kalbuku. Tetapi aku tidak kembali kepadanya, namun tetap melanjutkan perjalan ke Herat.

Jalan menuju Bukhara memakan waktu yang lama, karena tungganganku lemah. Aku harus berhenti setiap satu atau dua mil. Aku telah menempuh perjalanan dengan enam keledai ketika akhirnya tiba di Bukhara. Ketika aku tiba mataku sakit sehingga aku tidak dapat melihat selama beberapa hari. Ketika kondisiku membaik dan aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke Herat, aku mengalami demam yang tinggi. Aku merasa sangat sakit sampai terpikir olehku bahwa jika aku melanjutkan perjalananku, mungkin aku akan mati. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan kemudian kembali untuk berkhidmah kepada Syekh.

Setelah aku sampai di Tashkent, aku memutuskan untuk mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi. Aku meninggalkan buku-bukuku, pakaianku, dan tungganganku pada seseorang. Salah satu pembantu Syekh `Ubaydullah (q) melihatku di jalan. Aku berkata, ‘Mari kita mengunjungi Syekh.’ Ia berkata, ‘Di mana tungganganmu?

Bawalah ke rumahku setelah itu baru kita pergi.’ Ketika aku akan mengambil tungganganku itu sebuah suara datang kepadaku, ‘Hewan tungganganmu sudah mati dan semua barang yang ada di sana sudah hilang.’ Aku menjadi sangat bingung.

Aku menyadari bahwa Syekh tidak senang dengan rencanaku mengunjungi Syekh Ilyas. Suatu pikiran terlintas di dalam hatiku, ‘Lihatlah bagaimana Syekh telah mengarahkan semua kekuatannya untuk mengangkatku sementara aku memutuskan untuk mendatangi orang lain.’ Aku memutuskan untuk tidak mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi tetapi langsung mendatangi Syekh `Ubaidullah al-Ahrar. Ketika hal ini masuk ke dalam hatiku, seorang pria mendatangiku dan berkata, ‘Kami menemukan hewan tungganganmu beserta barang-barangmu di sana.’ Aku mendatangi orang yang kutitipkan hewan dan barang-barangku padanya dan ia berkata kepadaku, ‘Aku mengikat hewan tungganganmu di sini, tetapi ketika aku melihatnya kembali ia telah lenyap. Aku lalu mencarinya ke mana-mana.

Seolah-olah bumi telah menelannya. Kemudian aku kembali lagi, ternyata aku menemukannya di sana, tepat di tempat aku mengikatnya semula.’ Aku lalu mengambil hewan itu dan pergi menuju Samarqand untuk menemui Syekh

`Ubaidullah al-Ahrar (q). Ketika aku tiba, beliau keluar menyambutku, ‘Selamat datang, selamat datang.’ Aku tinggal bersama Syekh dan tidak pernah meninggalkannya lagi sampai akhir hayatnya.

Ia mempunyai keyakinan yang sempurna. Ia menerima apapun yang dikatakan oleh Syekhnya dan tidak ada yang dapat mengubah keyakinannya itu. Ia berkata,

Syekhku sering berbicara mengenai spiritualitas dan ilmu rahasia. Beliau selalu mengarahkan bicaranya kepadaku dan bertanya kepadaku, ‘Ketika kau mendengarku berbicara tentang Hakikat Ilahiah, apakah hal itu menimbulkan konflik terkait dengan keyakinan yang kau dapat dari orang tuamu atau gurumu?’ Aku berkata, ‘Tidak wahai Syekhku.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu engkau adalah orang yang dapat kami ajak bicara.’

Suatu hari Syekhku sakit dan beliau memintaku untuk memanggil seorang dokter dari Herat. Mawlana Qassim datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, lakukan perjalananmu dengan cepat karena Syekh tidak tahan untuk sakit yang lama.’ Aku lalu menempuh perjalanan dengan cepat dan kembali dengan seorang dokter tetapi aku mendapati Syekh dalam keadaan sehat, sementara Mawlana Qassim telah wafat. Perjalananku memakan waktu tiga puluh lima hari. Aku bertanya kepada Syekhku, ‘Bagaimana Mawlana Qassim wafat padahal beliau masih muda?’ Beliau berkata, ‘Ketika kau pergi Mawlana Qassim mendatangiku dan berkata, ‘Aku memberikan hidupku untukmu.’ Aku berkata padanya, ‘Wahai anakku, jangan lakukan itu, karena begitu banyak orang yang mencintaimu.’ Ia berkata, ‘Wahai Syekhku, aku datang ke sini bukan untuk berkonsultasi padamu.

Aku telah mengambil keputusan dan Allah telah menerimanya dariku.’ Apapun yang kukatakan, aku tidak bisa mengubah keputusannya. Hari berikutnya ia menjadi sakit dan penyakit yang sama denganku, yang terefleksi padanya. Ia wafat pada tanggal 6 Rabi’ul Awwal dan dengan cepat aku menjadi pulih tanpa memerlukan seorang dokter.’”

Syekh Muhammad az-Zahid wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 926 H/1520 M. di Samarqand. Ia meneruskan rahasianya kepada keponakannya, Syekh Darwisy Muhammad as-Samarqandi (q).

20. Sayyidi Syaikh Darwisyi Muhammad as-Samarqandi (QS)

Ia adalah seorang Ghawts dari para Awliya yang termasyhur dan Berkah dari para Ulama Islam. Ia adalah Fajar dan Cahaya bagi Timur dan Barat. Ia adalah Master bagi Kerajaan Bimbingan. Ia dibesarkan di rumah pamannya yang mengajarinya akhlak terpuji, mendidiknya dengan ilmu agama dan spiritualitas, dan merawatnya dari keran moralitas dan etika. Ia memuaskan dahaganya dengan Hakikat Surgawi dan Ilmu Gaib, sampai kalbunya menjadi Rumah bagi Wahyu Ilahi, sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Langit dan bumi tidak bisa menampung Aku, tetapi kalbu hamba-Ku yang Mukmin dapat menampung-Ku.”

Ia dikenal di zamannya sebagai Wali Darwisy. Ia memahami semua pemahaman tentang agama dan ia mampu untuk menghapus kejahatan dan kesesatan dari guru- guru palsu di zamannya. Ia membangkitkan kembali kalbu-kalbu yang telah layu dan ia mengobati kalbu yang terluka, sampai ia menjadi keberkahan bagi zamannya dan menjadi Bimbingan bagi Esensi Manusia. Ia mempunyai banyak pengikut di seluruh negeri. Rumah dan masjidnya senantiasa penuh dengan orang yang ingin meminta dan mencari nasihatnya.

Suatu ketika setelah shuhba yang diadakan Syekhnya bersama murid-murid lainnya, Syekh Muhammad az-Zahid (q) memintanya untuk naik ke atas sebuah bukit di kejauhan dan memintanya untuk menunggu kedatangannya. Syekh mengatakan bahwa ia akan datang kemudian. Darwisy Muhammad begitu mematuhi Syekhnya sehingga ia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Adabnya sempurna. Ia pergi ke bukit itu dan menunggu Syekhnya di sana, tanpa menggunakan pikirannya untuk bertanya, “Bagaimana aku akan pergi ke sana, apa yang harus aku lakukan setibanya di sana, dan seterusnya.” Ia segera pergi dan ketika tiba, ia mulai menunggu. Waktu salat `Ashar tiba dan Syekh belum muncul. Kemudian matahari terbenam. Egonya berkata kepadanya, “Syekhmu tidak akan datang. Kau harus pulang. Mungkin Syekh lupa.” Namun demikian keyakinannya yang tulus berkata, “Wahai Darwisy Muhammad, percayalah pada Syekhmu dan percayalah bahwa beliau akan datang, sebagaimana yang dikatakannya. Kau harus menunggu.”

Bagaimana kalbu Darwisy Muhammad bisa mempercayai egonya ketika kalbunya telah diangkat untuk bersama Syekhnya? Ia menunggu dan bersiap-siap. Malam pun tiba dan sangat dingin di sana. Ia membeku. Ia terjaga sepanjang malam dan satu-satunya sumber kehangatan adalah zikirnya “la ilaha illallah”. Hingga Subuh Syekh masih belum muncul juga. Ia merasa lapar dan mulai mencari sesuatu untuk dimakan. Ia menemukan beberapa pohon buah, makan, dan kembali menunggu Syekhnya. Satu hari berlalu, kemudian hari berikutnya. Ia kembali berjuang melawan egonya, tetapi ia tetap teguh dengan pikirannya, “Jika Syekhku adalah seorang Syekh sejati, beliau tahu apa yang dilakukannya.”

Satu minggu berlalu kemudian satu bulan. Syekh belum datang juga. Satu-satunya selingan dalam menunggu Syekhnya adalah melakukan zikrullah, dan salat-salat hariannya adalah kegiatan lainnya sehari-harinya. Ia terus melakukannya hingga kekuatan dari zikirnya membuat binatang-binatang berdatangan dan duduk di sekitarnya untuk berzikir bersamanya. Ia menyadari bahwa kekuatan istimewa itu berasal dari Syekhnya.

Musim dingin tiba dan Syekh belum datang juga. Salju mulai turun. Suhu sangat dingin dan tidak ada makanan lagi di sana. Ia mulai memotong kulit kayu dan memakan lapisan yang lembab di dalamnya, begitu pula dari akar dan daun-daunan yang dapat ia temukan. Rusa-rusa mendatanginya dan ia mulai mengambil susu dari biri-biri betina. Ini adalah keajaiban lain yang muncul darinya. Biri-biri itu tidak bergerak ketika ia memerahnya, kemudian biri-biri lainnya pun datang. Ia telah diangkat dari satu level spiritual ke level yang lebih tinggi, dan gurunya mengirimkan ilmu spiritual melalui keajaiban dan penglihatan ini. Khidr (a) mendatanginya dan mengajarinya.

Satu tahun lewat, lalu tahun berikutnya, lalu tahun ketiga dan tahun keempat. Syekh belum datang juga dan Darwisy Muhammad terus naik ke level kesabaran yang lebih tinggi. Ia terus berpikir, “Syekhku tahu.” Pada akhir tahun ketujuh ia mulai mencium wangi Syekhnya memenuhi udara di sekitarnya. Ia berlari untuk menemui Syekhnya bersama semua binatang liar yang menemaninya selama ini. Saat itu rambutnya sudah menutupi seluruh tubuhnya.

Syekh Muhammad az-Zahid (q) tiba. Ketika Darwisy Muhammad melihatnya, kalbunya diliputi kebahagiaan dan kecintaan yang sangat kuat. Ia berlari padanya dan mencium tangan Syekhnya dengan terharu, sambil berkata, “Salamu `alaykum, wahai Syekhku! Betapa aku mencintaimu wahai Syekhku!”

Syekhnya berkata, “Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak turun?” Ia berkata, “Wahai Syekhku, kau memintaku untuk datang ke sini dan menunggumu, jadi aku menunggumu di sini.” Syekh berkata, “Bagaimana jika aku mati atau mungkin aku lupa?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana mungkin kau akan lupa sementara engkau adalah wakil dari Nabi (s)?” Beliau berkata, “Bagaimana jika terjadi sesuatu pada diriku?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, wahai Syekhku, jika aku tidak datang ke sini, menunggumu dan mematuhimu, kau tidak akan datang kepadaku atas izin Nabi (s)!” Darwisy Muhammad telah mendeteksi di dalam kalbunya bahwa Syekhnya datang atas perintah Nabi (s).

Syekhnya tertawa dan berkata, “Ayo ikut aku.” Saat itu beliau menuangkan kepadanya rahasia dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi yang ada di dalam kalbunya. Kemudian beliau memerintahkannya untuk menjadi Syekh bagi murid- muridnya. Darwisy Muhammad tetap berkhidmah pada Syekhnya hingga Syekh Muhammad az-Zahid wafat.

Darwisy Muhammad sendiri wafat pada tanggal 19 Muharram 970 H. Ia meneruskan rahasia Tarekat ini pada putranya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q).

21. Sayyidi Syaikh Muhammad al-Khawajiki Alamkanis-Samarqandi (QS)

Ia adalah Pewaris Rahasia-Rahasia Nabi (s) dan yang Utama di antara para Awliya Terpilih. Ia adalah seorang Imam yang kemegahannya diketahui oleh semua orang dan yang keberkahannya menjangkau tempat yang luas.

Ia dilahirkan di daerah Amkana, sebuah desa di Bukhara. Ia dibesarkan oleh ayah dan pamannya. Selama masa kanak-kanaknya ia mendapat bimbingan yang sangat baik, sampai ia menjadi seperti orang yang berada di bawah sebuah kubah mulia, yang melindunginya dari segala noda. Ia tidak pernah menemukan suatu karakteristik yang baik kecuali kemudian ia mendapatkannya. Kesalahan apapun, bahkan yang terkecil akan dibuangnya. Ia tidak pernah menjumpai suatu maqam yang tinggi tanpa mencakupnya, begitu pula dengan rahasia yang berharga tanpa ia menjaganya, dan juga rasa spiritual yang lezat tanpa menikmatinya. Ia mengikuti ayahnya seperti matahari di hari yang cerah dan bagaikan bulan purnama di malam yang gelap. Ia duduk di Singgasana Penerus dan ia berusaha melakukan yang terbaik untuk mengangkat kalbu para pengikutnya. Ia mengenakan Burdah (Mantel) Qutub dan setiap atom di dunia ini, termasuk pada manusia atau binatang, tumbuhan atau benda-benda tak bergerak mendapat dukungan dari spiritualitasnya. Cahaya dari kekuatannya menerangi Jalan dari Tarekat ini, sehingga kemasyhurannya tersebar luas, dan orang-orang berdatangan untuk menimba ilmunya, mendapat bimbingan melalui cahayanya dan mendapat pencerahan melalui bimbingannya. Pintunya menjadi tujuan bagi setiap Arifin dan Qiblat bagi kalbu para Shalihin. Ia dibusanai dan dihiasi dengan Atribut Ilahi, membuktikan posisinya yang tinggi di Dimensi Surgawi.

Berikut ini adalah beberapa ucapannya yang diberkati,

“Setiap orang harus tahu bahwa agar seorang salik mengalami kemajuan di dalam Tarekat ini, pertama ia harus memanaskan gambaran Syekhnya ke dalam kalbunya, sampai jejak-jejak panas dari koneksi itu menjadi dapat terlihat. Ia harus mengarahkan panas itu menuju Kalbu yang Mendasar (Hakiki, Esensial) dan Universal. Ini adalah level kalbu di mana terdapat hakikat gabungan dari seluruh manusia dan seluruh makhluk, baik duniawi maupun surgawi. Meskipun tidak ada inkarnasi fisik, semua leluhur dan pada akhirnya seluruh makhluk hadir di dalam kalbu Esensial. Sorang salik tidak boleh terganggu oleh detail-detail pada makhluk, tetapi haru mengarahkan kekuatan kalbunya menuju Dzat yang Hakikat-Nya mencakup segala sesuatu. Ia harus terbebas dari segala keraguan terkait manifestasi Dzat yang selalu Hadir, dan harus tahu bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali Allah (swt). Ia harus melihat dengan Mata Kebenaran bahwa semua makhluk muncul dan menjadi nyata semata-mata hanya melalui Allah.”

“Yang diminta dari Tarekat ini adalah mengarahkan diri kalian menuju Maqam Pengikisan Diri dan Maqamul Fana, yang merupakan Maqam Pertama dari Kebingungan. Ini akan mengantarkan kalian menuju Maqam Penerimaan Cahaya Murni dari Esens. Pada maqam itu tidak ada elemen lain yang ada kecuali Esens yang Murni tersebut. Bahkan Nama dan Sifat tidak bisa muncul di dalam Maqam Esens yang Murni tersebut. Orang yang dapat mencapai Maqam Esens yang Murni lebih tinggi daripada orang yang berada pada Maqam Asma wal Sifat.”

Ia wafat pada tahun 1016 H. Ia meneruskan rahasianya kepada Syekh Muayyidu-d- Din Muhammad al-Baqi (q).

22. Sayyidi Syaikh Mu’ayyiduddin Muhammad al-Baqi Billah (QS)

Ia adalah seorang Arif, seorang yang fana billah dan baqa billah, yang telah diangkat ke Maqam Penglihatan tertinggi. Ia adalah Rahasia (sirr) dari Rahasia-Rahasia Allah dan Keramat dari Keramat-Keramat Allah. Di dalam dirinya ia menggabungkan dua tipe ilmu, yaitu ilmu lahir dan ilmu batin. Allah mengaruniainya dari dua Samudra, dan memberinya Otoritas dari dua alam, yaitu alam manusia dan jin.

Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) mengatakan, “Muhammad al-Baqi adalah orang yang duduk di Singgasana seluruh Syekh, dan ia adalah Deputi dari seluruh Syekh di dalam Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi, yang telah mencapai batas Tak Hingga, yang telah mencapai Maqam-Maqam Kewalian tertinggi. Ia adalah seorang Qutub yang menyokong setiap makhluk di bumi ini. Ia menyingkap rahasia-rahasia yang hakiki. Ia adalah yang membenarkan Maqam Hakikat dari Nabi Muhammad (s). Ia adalah Pilar bagi Ahlul Irsyad. Ia adalah Esens dari Orang-Orang Arif dan seorang Muhaqqiqin.”

Ia lahir pada tahun 972 H. di kota Kabul, di negeri `Ajam yang merupakan daerah koloni Kesultanan India. Ayahnya adalah seorang hakim bernama, Abdu-s-Salam. Ia pergi ke India pertama kalinya dalam urusan pribadi. Di sana ia tertarik oleh suatu Daya Tarik Ilahiah. Ia lalu meninggalkan kehidupan duniawi dan mengejar ilmu spiritual dari Syekh di zamannya. Ia terus berkumpul dengan para syekh dan awliya sampai ia sendiri menjadi sebuah samudra keilmuan dan menjadi seorang wali. Ia kemudian sering bepergian sampai ia tiba di kota Samarqand. Di sana ia menghubungkan diri dengan Syekh di zamannya, yaitu Muhammad Khwaja al- Amkanaki (q). Dari beliau ia menerima Tarekat Naqsybandi.

Dalam waktu yang sangat singkat ia menerima apa yang memerlukan waktu seumur hidup bagi seorang salik untuk dapat menerimanya. Ia juga diangkat melalui bimbingan spiritual dari Syekh Ubaidullah al-Ahrar (q). Kehormatannya menjadi terkenal di mana-mana. Syekhnya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q), memberinya otoritas untuk membimbing para pengikutnya dan melatih mereka untuk menjalankan tarekatnya. Beliau memerintahkannya untuk kembali ke India. Beliau memprediksikan, “Kau akan mempunyai seorang murid yang akan menjadi seperti matahari.” Kelak murid yang dimaksud adalah Imam Rabbani Ahmad al- Faruqi (q).

Ia kembali ke India dan tinggal di kota Delhi-Jahanabad, yang diisinya dengan iman, ilmu, rahasia-rahasia dan cahaya. Melaluinya Tarekat Naqsybandi tersebar ke seluruh penjuru Sub Benua India dan jutaan orang terhubung kepadanya melalui para deputinya. Seluruh bangsa di Sub Benua India tertarik terhadap ilmu dan kekuatan Surgawinya dan mereka tertarik terhadap akhlak kenabian yang disandangnya. Menjadi termasyhur di seluruh Sub Benua India bahwa setiap orang yang datang kepadanya lalu memandang matanya, atau duduk di dalam majelisnya, melakukan zikir, ia akan memasuki suatu keadaan peniadaan diri (gaib) yang dengannya ia akan mencapai keadaan fana, melalui sekali pertemuan. Dengan keramatnya ini, ia menarik jutaan orang hingga Tarekat Naqsybandi menjadi buah bibir setiap orang di zamannya.

Ia wafat pada hari Rabu, 14 Jumadil-Akhir 1014 H. di kota Delhi dalam usia 40 tahun dan empat bulan. Makamnya berada di sebelah barat kota Delhi.

23. Sayyidi Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi (QS)

Ia adalah Mutiara dari Mahkotanya para Awliya yang Berilmu. Ia adalah Harta bagi mereka yang Muncul Sebelumnya dan yang Lahir Setelahnya. Di dalam dirinya tergabung seluruh nikmat dan kemurahan mereka. Ia adalah Bukit Sinainya dari Tajali Ilahi, Pohon Lotus Terjauh dari Ilmu yang Khas, dan Mata Air dari Ilmu Kenabian yang Tersembunyi. Ia adalah Sang Jenius di antara para Ulama, dan ia adalah Sultan bagi bumi, yang tersenyum ketika ia dilahirkan dan dimuliakan dengan kehadirannya. Ia adalah seorang Mursyid Kamil Mukammil. Ia adalah Sang Penyeru menuju Hadirat Allah, seorang Qutub dan Imam yang Unik. Ia adalah Sang Mujahid bagi Milenium Kedua, Sayyidina wa Mawlana (Junjungan dan Guru kami) asy-Syekh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, ibn asy-Syekh `Abdul Ahad, ibn Zainu-l-`Abidin, ibn `Abdulhayy, ibn Muhammad, ibn Habibullah, ibn Rafi`uddin, ibn Nur, ibn Sulayman, ibn Yusuf, ibn `Abdullah, ibn Ishaq, ibn `Abdullah, ibn Syu`ayb, ibn Aad, ibn Yusuf, ibn Syihabuddin, yang dikenal sebagai Farq Syah al-Qabidi, ibn Nairuddin, ibn Mahmud, ibn Sulayman, ibn Mas`ud, ibn `Abdullah al-Wa`i al- Asghari, ibn `Abdullah al-Wa`i al-Akbar, ibn Abdu-l-Fattah, ibn Ishaq, ibn Ibrahim, ibn Nair, ibn Sayyidina `Abdullah (r), ibn Amir al-Mu’minin, Khalifah Nabi (s), Sayyidina `Umar al-Faruq (r).

Ia dilahirkan pada hari `Asyura, 10 Muharram tahun 971 H., di desa Sihar Nidbasin. Dalam beberapa terjemahan desa itu disebut Sirhind di kota Lahore, India. Ia menerima ilmu dan pendidikannya melalui ayahnya dan melalui banyak syekh di zamannya. Ia mengalami kemajuan di dalam tiga tarekat: Suhrawardiyya, Qadiriyya, dan Chistiyya. Ia diberi izin untuk melatih para pengikutnya di dalam ketiga tarekat itu pada usia 17 tahun. Ia sibuk dalam menyebarkan ajaran tarekat ini dan dalam membimbing para pengikutnya, namun ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya dan ia terus-menerus mencarinya. Ia merasa tertarik dengan Tarekat Naqsybandi, karena melalui rahasia dari ketiga tarekat yang dijalaninya ia dapat melihat bahwa Tarekat Naqsybandi adalah yang terbaik dan tertinggi.

Kemajuan spiritualnya akahirnya membawanya ke hadirat Ghawts dan Qutub di zamannya, yaitu asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q), yang telah diutus dari Samarqand ke India atas perintah Syekhnya, yaitu Syekh Muhammad al-Amkanaki (q). Ia lalu mengambil Tarekat Naqsybandi dari asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q) dan tinggal bersamanya selama dua bulan dan beberapa hari, hingga Sayyidina Muhammad al-Baqi (q) membukakan bagi kalbunya rahasia dari tarekat ini dan memberinya otoritas untuk melatih murid-murid dalam tarekat ini. Beliau berkata mengenai Syekh Ahmad al-Faruqi (q), “Ia adalah Qutub tertinggi di zaman ini.”

Nabi (s) memprediksikan kemunculannya di dalam salah satu haditsnya, di mana beliau (s) bersabda, “Akan ada di antara umatku, seorang pria yang dipanggil Silah. Melalui syafaatnya banyak orang yang akan diselamatkan.” Hal ini disebutkan di dalam koleksi Suyuti, Jam`ul-Jawami`. Yang menegaskan mengenai kebenaran dari hadits ini adalah apa yang ditulis oleh Imam Rabbani mengenai dirinya sendiri, “Allah telah menjadikan aku sebagai Silah di antara dua Samudra.” Silah artinya “hubungan.” Jadi yang ia maksudkan adalah bahwa Allah menjadikannya sebagai penghubung antara dua samudra–dua ilmu, yaitu ilmu lahir dan batin. Syekh Mir Husamuddin berkata, “Aku melihat Nabi (s) di dalam sebuah mimpi di mana beliau (s) berdiri di atas minbar dan memuji Syekh Ahmad as-Sirhindi. Nabi (s) bersabda, ‘Aku bangga dan senang dengan kehadirannya di antara umatku. Allah menjadikannya sebagai seorang mujahid, yang membangkitkan agama.’”

Banyak awliya yang memprediksikan kemunculannya. Salah satu di antara mereka adalah Syekh Ahmad al-Jami (q). Beliau berkata, “Setelah aku akan muncul tujuh belas orang Ahlullah, semuanya bernama Ahmad dan yang terakhir di antara mereka akan menjadi kepala dari mileniumnya. Ia akan menjadi yang tertinggi di antara mereka semua dan ia akan menerima Maqamul Kasyf. Ia akan membangkitkan agama ini.”

Selain itu yang memprediksikan kedatangannya adalah Mawlana Khwaja al- Amkanaki (q). Beliau berkata kepada khalifahnya, “Seorang pria dari India akan muncul. Ia akan menjadi imam bagi abad ini. Ia akan dilatih olehmu, jadi bergegaslah untuk bertemu dengannya, karena para Ahlullah menanti kedatangannya.” Muhammad al-Baqi (q) berkata, “Itulah sebabnya aku pindah dari Bukhara ke India.” Ketika mereka bertemu beliau berkata kepadanya, “Kau adalah orang yang kemunculannya telah diprediksikan oleh Syekh Muhammad Khwaja al- Amkanaki (q). Ketika aku melihatmu, aku tahu bahwa engkau adalah Qutub di zamanmu. Ketika aku memasuki daerah Sirhindi di India, aku menemukan sebuah lampu yang sangat besar dan sangat terang hingga cahayanya sampai ke langit.

Setiap orang mengambil dari cahaya lampu itu. Dan engkau adalah lampu itu.”

Dikatakan bahwa Syekh ayahnya, yaitu Syekh `Abdul Ahad, yang merupakan seorang syekh dari Tarekat Qadiri telah memberikan sebuah jubah dari syekhnya yang diwariskan dari Ghawts al-Azham, Sayyidina `Abdul Qadir al-Jilani (q).

Sayyidina `Abdul Qadir mengatakan kepada penerusnya, “Simpanlah untuk seseorang yang akan muncul pada akhir dari milenium pertama. Namanya adalah Ahmad. Ia akan membangkitkan agama ini. Aku telah membusanainya dengan seluruh rahasiaku. Di dalam dirinya terpadu ilmu lahir dan batin.”

Pencarian Raja-Raja dan Raja-Raja Pencari

Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) berkata,

“Ketahuilah bahwa Penjaga Langit menarikku karena mereka ingin agar aku tertarik, dan mereka memfasilitasiku dengan jalan untuk melintasi ruang dan waktu (at- tayy) dalam berbagai maqam salik yang berbeda-beda. Aku mendapati bahwa Allah adalah Inti bagi semua hal, sebagaimana yang telah dikatakan oleh para Ahli Tasawuf. Kemudian aku mendapati Allah di dalam semua hal tanpa inkarnasi (hulul). Lalu aku mendapati Allah bersama semua hal. Kemudian aku melihat-Nya di depan semua hal dan kemudian aku melihat-Nya mengikuti semua hal. Akhirnya aku sampai pada maqam di mana aku melihat-Nya dan aku tidak melihat yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan istilah Musyahadah, yang juga merupakan Maqamul Fana’. Itu adalah tahap pertama dalam Kewalian, dan merupakan maqam tertinggi dalam Memulai Tarekat ini. Penglihatan ini pertama muncul di cakrawala, kemudian yang keduanya di dalam Diri. Kemudian aku diangkat ke Maqamul Baqa’ yang merupakan tahap kedua dalam Kewalian.

“Ini adalah sebuah maqam yang jarang dibicarakan oleh para Awliya, karena mereka tidak mencapainya. Mereka semua berbicara mengenai Maqamul Fana’, tetapi maqam berikutnya adalah Maqamul Baqa’. Pada maqam itu sekali lagi aku mendapati semua makhluk tetapi aku melihat bahwa inti dari semua makhluk ini adalah Allah, dan Dzat Allah adalah Inti dari diriku. Lalu aku mendapati Allah di dalam semua hal, tetapi pada hakikatnya di dalam diriku. Aku diangkat ke maqam yang lebih tinggi, untuk melihat bahwa Allah bersama segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia bersama dengan diriku. Lalu aku diangkat untuk melihat bahwa Dia mendahului segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mendahului diriku. Lalu aku diangkat ke suatu maqam di mana Dia mengikuti segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mengikuti diriku. Lalu aku melihat-Nya di dalam segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia berada di dalam diriku. Lalu aku melihat segala hal tetapi aku tidak melihat Allah. Dan ini adalah akhir dari semua maqam di mana mereka telah membawaku sejak awal. Singkatnya, mereka mengangkatku ke Maqamul Fana’, lalu ke Maqamul Baqa’ dan mereka membawaku kembali bersama orang-orang, pada Maqam orang-orang awam. Ini adalah maqam tertinggi dalam membimbing orang ke Hadratillah. Itu adalah Maqamul Irsyad yang sempurna, karena cocok dengan pemahaman manusia.”

Ia berkata, “Hari ini aku menemani orang yang telah mencapai Ujung dari Ujung, Qutub bagi seluruh makhuk, seorang Insan Kamil, Syekh Muhammad al-Baqi (q). Melalui dirinya aku menerima berkah yang luar biasa, dan dengan berkahnya aku dikaruniai Haqiqatul Jadzbah, kekuatan daya tarik yang membuatku dapat mencapai setiap manusia yang telah diciptakan Allah. Aku diberi kehormatan untuk mencapai suatu maqam yang menggabungkan Maqamul Awwal dengan Maqamul Akhir. Aku mencapai semua maqam Pencarian dan aku mencapai Maqamul Akhr, yang merupakan makna dari ‘Mencapai Nama ar-Rabb’, melalui dukungan Sang Singa Allah, Asadullah, `Ali ibn Abi Thalib karamallaahu wajhah, semoga Allah memuliakan wajahnya. Aku diangkat ke Maqamul Arasy, yang merupakan Hakikat dari Kebenaran Muhammad (s), dengan dukungan (madad) dari Syah Baha’uddin Naqsyband. Kemudian aku diangkat lebih tinggi lagi, ke Maqamul Jamaal, yang merupakan maqam Kebenaran dari Qutub-Qutub Muhammad (s) dengan dukungan dari Ruh Nabi yang suci.

“Aku mendapat dukungan dari Syekh `Ala’uddin al-`Aththaar, yang darinya aku menerima Maqam-Maqam Qutub Spiritual Terbesar (al-qutubiyyati-l-`uzhma) dari Hadirat Nabi Muhammad (s). Kemudian Perhatian Ilahiah Allah menarikku dan aku naik menuju ke suatu Maqam di atas Qutub-Qutub itu, suatu Maqam Asal yang Istimewa. Di sini dukungan dari al-Ghawts al-A`zham, `Abdul Qadir Jilani (q) mendorongku ke atas menuju Maqam Asal dari Asal. Kemudian aku diperintahkan untuk turun kembali, dan ketika aku kembali aku melewati ke-39 tarekat selain Naqsybandiyyah dan Qadiriyyah. Aku melihat maqam-maqam dari syekh mereka dan mereka menyapa dan menyalamiku dan mereka memberikan semua harta perbendaharaan mereka dan semua ilmu pribadi mereka yang membuatku dapat menyingkap hakikat yang belum pernah tersingkap bagi orang lain di zamanku.

“Kemudian dalam perjalanan turunku, aku bertemu dengan Khidr (a), dan beliau menghiasi diriku dengan Ilmu Surgawi (`ilmu-l-ladunni) sebelum aku mencapai maqam para Qutub.”

“Abu Dawud mengatakan di dalam sebuah hadits autentik bahwa Nabi (s) bersabda, ‘Pada setiap awal abad Allah akan mengirimkan seseorang yang akan membangkitkan agama,’ tetapi ada perbedaan antara Mujahid bagi suatu abad dengan Mujahid bagi suatu milenium. Hal itu seperti perbedaan antara seratus dengan seribu.”

“Di dalam suatu penglihatan spiritual, Nabi (s) memberiku kabar gembira, ‘Kau akan menjadi pewaris spiritual dan Allah akan memberimu otoritas untuk memberi syafaat atas nama ratusan ribu orang pada Yawmil Hisab.’ Dengan tangan sucinya beliau (s) memberiku otoritas untuk membimbing orang dan beliau (s) berkata kepadaku, ‘Aku tidak pernah memberi otoritas itu sebelumnya.’”

“Ilmu yang muncul dariku berasal dari maqam Kewalian, tetapi aku menerimanya dari Cahaya Nabi Muhammad (s). Para Wali tidak dapat membawa ilmu semacam itu, karena itu di luar ilmu mereka. Itu adalah Ilmu dari Inti Agama ini dan Inti dari Ilmu tentang Dzat Allah wal Sifat. Tidak ada orang yang membicarakan hal semacam itu sebelumnya dan Allah telah mengaruniaiku untuk membangkitkan agama ini pada milenium kedua.”

“Allah menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia dari Tauhid yang Unik dan Dia mencurahkan ke dalam kalbuku segala macam Ilmu Spiritual dan pemurniannya. Dia menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia ayat-ayat suci al-Qur’an sehingga aku dapat menemukan samudra ilmu di bawah setiap huruf dari al-Qur’an yang semua menunjukkan Maha Tingginya Dzat Allah (swt). Jika aku mengungkapkan satu kata dari rahasia tersebut, mereka akan memenggal leherku, sebagaimana yang mereka lakukan kepada Hallaj dan Ibn `Arabi. Ini adalah makna dari hadits Nabi (s) di dalam Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah (r), “Nabi (s) mencurahkan dua macam ilmu ke dalam kalbuku, yang pertama aku ungkapkan kepada orang, tetapi yang kedua jika aku mengungkapkannya mereka akan menggorok leherku.”

“Allah (swt) telah menunjukkan kepadaku semua nama yang masuk ke dalam tarekat kita, sejak zaman Sayyidina Abu Bakr (r) hingga Yawmil Hisab, baik pria maupun wanita, dan mereka semua akan masuk ke dalam Surga, dengan syafaat dari para syuyukh dalam tarekat ini.”

“Al-Mahdi (a) akan menjadi salah satu pengikut tarekat ini.”

“Suatu hari aku sedang berzikir bersama para pengikutku, kemudian suatu inspirasi masuk ke dalam kalbuku bahwa aku telah melakukan suatu hal yang salah.

Kemudian Allah membukakannya kepada mataku, ‘Aku telah mengampuni orang yang duduk bersamamu dan orang yang meminta syafaat melalui dirimu.’”

“Allah telah menciptakan aku dari residu Nabi-Nya (s).” “Ka`bah selalu datang dan melakukan tawaf di sekelilingku.”

“Allah (swt) berkata kepadaku, ‘Siapapun orang yang kau salati jenazahnya, ia akan diampuni, dan jika orang mencampurkan tanah dari makammu dengan tanah dari makam mereka, mereka pun akan diampuni.”

“Allah berkata, ‘Aku telah memberimu karunia dan kesempurnaan yang istimewa yang tidak pernah diterima oleh seseorang sampai zamannya Mahdi (a).’”

“Allah memberiku kekuatan irsyad (memberi bimbingan) yang luar biasa. Bahkan jika aku mengarahkan bimbinganku kepada sebuah pohon yang mati, ia akan menghijau kembali.”

Seorang syekh besar menulis surat kepadanya, “Maqam-maqam yang telah kau raih dan kau bicarakan, apakah para Sahabat mendapatkannya, dan jika ya, apakah mereka menerimanya pada sekali waktu atau dalam waktu yang terpisah?” Ia menjawab, “Aku tidak dapat memberimu jawaban kecuali jika engkau datang ke hadiratku.” Ketika syekh itu datang, dengan segera ia menyingkapkan hakikat spiritualnya dan membersihkan kegelapan dari kalbunya sampai syekh itu berlutut dan berkata, “Aku percaya, aku percaya! Sekarang aku melihat bahwa maqam- maqam ini semunya tersingkap kepada para Sahabat hanya dengan melihat Rasulullah (s).”

Suatu ketika di bulan Ramadan, ia diundang oleh sepuluh orang muridnya untuk berbuka puasa bersama mereka. Ia menerima undangan mereka satu per satu.

Ketika waktu berbuka puasa tiba, ia hadir di setiap rumah, berbuka puasa, dan mereka melihatnya bersama mereka di rumah mereka masing-masing pada saat yang bersamaan.

Suatu saat ia melihat ke langit yang saat itu sedang hujan. Ia berkata, “Wahai hujan, berhentilah sampai jam anu dan anu.” Hujan itu lalu berhenti tepat sampai waktu yang ia sebutkan, setelah itu hujan kembali turun.

Suatu ketika Raja memerintahkan seorang pria untuk dieksekusi. Orang itu mendatangi Syekh Ahmad dan berkata, “Mohon tulislah surat untuk menghentikan eksekusiku.” Ia lalu menulis surat kepada Sultan, “Jangan eksekusi orang ini.” Sultan merasa takut terhadap Sayyidina Ahmad al-Faruqi dan mengampuni orang itu.

Suatu ketika seorang murid berniat untuk mengunjungi Syekh Ahmad al-Faruqi (q). Dalam perjalanan ia diundang untuk menjadi tamu seseorang yang tidak menyukai syekh. Namun demikian murid itu tidak mengetahui hal ini. Setelah makan malam, tuan rumah mulai mencaci Syekh. Menjelang tidur pada malam itu, dalam hatinya ia berkata, “Ya Allah, aku datang untuk mengunjungi Syekh, bukannya mendengar seseorang yang mengutuk Syekh. Ampunilah aku.” Ia lalu tidur dan ketika ia bangun ia mendapati bahwa orang itu sudah meninggal dunia. Ia lalu segera pergi menemui Syekh dan menceritakan semuanya. Sayyidina Ahmad al-Faruqi mengangkat tangannya dan berkata, “Berhenti! Tidak perlu menceritakan apa yang terjadi. Akulah yang menyebabkan kejadian itu.”

Ia berkata,

“Aku diberi otoritas untuk memberi tarekat dalam tiga tarekat yang berbeda: Naqsybandi, Suhrawardi dan Chistiyyah.”

Ia begitu terkenal hingga membuat iri para ulama ilmu lahiriah di zamannya. Mereka datang kepada Raja dan berkata, “Ia mengatakan hal-hal yang tidak dapat diterima dalam agama.” Mereka mendesak Raja untuk memasukannya ke dalam penjara. Akhirnya ia dimasukkan ke dalam penjara selama tiga tahun. Putranya, Syekh Sayyid berkata, “Ia berada dalam pengawasan yang sangat ketat di penjara. Para penjaga ditempatkan di sekeliling selnya. Namun demikian setiap hari Jumat ia akan terlihat di masjid jami. Tidak peduli pengawasan seketat apapun yang diberikan, ia tetap dapat meloloskan diri dari penjara dan muncul di masjid.” Dari sini mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menempatkannya di dalam penjara dan akhirnya mereka pun membebaskannya.

Ia menuliskan banyak buku, salah satu yang paling terkenal adalah Maktubat. Di dalamnya ia berkata,

“Harus diketahui bahwa Allah telah menempatkan kita di bawah Perintah dan Larangan-Nya. Allah berfirman, ‘Apapun yang diberikan oleh Nabi kepadamu, ambillah, apapun yang telah dilarangnya, tinggalkanlah.’ [59:7] Jika kita ikhlas dalam hal ini, kita harus mencapai Fana’ dan cinta pada Dzat-Nya. Tanpa ini kita tidak bisa meraih derajat kepatuhan. Jadi, kita berada di bawah kewajiban lainnya, yaitu mencari Jalan Sufisme, karena Jalan ini akan membimbing kita menuju Maqamul Fana’ dan Cinta pada Dzat-Nya. Setiap tarekat berbeda satu sama lain dalam hal maqam-maqam kesempurnaannya, begitu pula dalam hal menjaga Sunnah Nabi (s) dan memiliki definisi sendiri mengenai apa yang diperlukan. Setiap tarekat mempunyai jalan masing-masing dalam menjaga Sunnah Nabi (s). Tarekat kita, melalui para syuyukh meminta kita untuk menjaga seluruh perintah Nabi (s) dan meninggalkan hal-hal yang dilarangnya. Syekh kita tidak mengikuti jalan yang mudah (rukshah) tetapi berusaha keras menjaga jalan yang sulit (azimah). Dalam semua langkah mereka, mereka selalu ingat ayat Qur’an, ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau jual beli dari Mengingat Allah’ [24:37].

“Dalam perjalanan menuju penyingkapan Hakikat Ilahiah, seorang salik bergerak melalui tahapan-tahapan ilmu dan kedekatan yang beragam terhadap Tuhannya:

  1. “Bergerak menuju Allah adalah gerakan vertikal dari maqam-maqam yang lebih rendah menuju maqam-maqam yang lebih tinggi; sampai gerakannya melampaui ruang dan waktu dan seluruh maqam melebur menjadi apa yang disebut `Ilm ul-wajib Allah. Ini juga disebut Fana’.
  2. “Bergerak di dalam Allah adalah tahapan di mana seorang salik bergerak dari maqam Asma wal Sifat menuju sebuah maqam yang tidak dapat digambarkan oleh kata ataupun tanda. Ini adalah Maqam Baqa bi’l-Lah.
  3. “Bergerak dari Allah adalah tahapan di mana seorang salik kembali dari alam surgawi ke dunia sebab dan akibat, turun dari maqam ilmu tertinggi ke maqam terendah. Di sini ia melupakan Allah oleh Allah, dan ia mengenal Allah dengan Allah dan ia kembali dari Allah kepada Allah. Ini disebut Maqam Yang Terjauh dan Terdekat.
  4. “Bergerak di dalam sesuatu adalah bergerak di dalam makhluk. Ini melibatkan pengetahuan yang erat semua elemen dan maqam-maqam di dunia ini setelah lenyap dalam Maqamul Fana’. Di sini seorang salik dapat mencapai Maqamul Irsyad, Maqam Bimbingan, yang merupakan maqam para Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak Nabi (s). Ia membawa Ilmu Ilahi ke dunia makhluk untuk membangun Bimbingan.

“Seluruh proses bagaikan memasukkan benang ke dalam jarum. Benang mencari lubang jarum, melewatinya kemudian kembali lagi ke asalnya. Ada dua ujung yang bertemu, membentuk sebuah simpul dan mengamankan benang itu seluruhnya.

Mereka membentuk satu keseluruhan, benang, lubang dan jarumnya, dan benda- benda lainnya yang mereka tangkap dijahit dalam satu kesatuan pada kain.”

“Harus diketahui oleh setiap orang bahwa para Syekh Naqsybandi memilih untuk membimbing murid-muridnya pertama melalui gerakan dari Allah, berjalan dari maqam tertinggi ke maqam terendah. Atas alasan ini mereka mempertahankan hijab-hijab awam murid-muridnya dari penglihatan spiritual dan hanya menghilangkan hijab-hijab itu pada tahap terakhir. Tarekat yang lain memulainya dengan pegerakan menuju Allah, bergerak dari maqam terendah menuju maqam tertinggi dan mereka menghilangkan hijab-hijab awam terlebih dahulu.”

“Disebutkan di dalam Hadits Nabi (s) bahwa ‘Para ulama adalah pewaris Nabi-Nabi.’ Ilmu para Nabi ada dua macam: ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia. Seorang ulama tidak bisa disebut sebagai seorang pewaris bila ia tidak mewarisi kedua ilmu tersebut. Jika ia hanya mengambil satu macam ilmu, maka ia belum lengkap. Oleh sebab itu para pewaris sejati adalah orang-orang yang mengambil ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia, dan hanya para Awliya yang sungguh menerima dan menjaga warisan ini.”

Ia meninggalkan banyak buku lainnya. Ia wafat pada tanggal 17 Shafar 1034 H. dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di desa Sirhind. Ia adalah seorang syekh dalam empat tarekat: Naqsybandi, Qadiri, Chisti dan Suhrawardi. Ia lebih menyukai Naqsybandi karena ia berkata, “Ia adalah induk bagi semua tarekat.” Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Syekh Muhammad Ma`shum (q).

24. Sayyidi Syaikh Muhammad Ma’shum (QS)

Ia adalah Tali Allah (`Urwat-il-Wutsqa), seorang Mursyid yang Saleh yang menggabungkan Syari`ah dan Hakikat di dalam dirinya dan yang menunjukan perbedaan antara Kebodohan dengan Bimbingan Sejati. Ia dilahirkan pada tahun 1007 H. Ia dididik oleh ayahnya dengan ilmu para Awliya yang istimewa. Ia menduduki Singgasana al-Irsyad di dalam Tarekat Naqsybandi dalam usia 26 tahun setelah Syekhnya wafat. Ia menjadi terkenal di mana-mana. Namanya menjadi buah bibir, bahkan raja-raja pun mengakui kebesarannya di zamannya. Orang- orang datang dari segala penjuru untuk bertemu dengannya.

Sejak kecil ia sudah menjadi seorang wali. Ia tidak pernah mau disusui di bulan Ramadan. Ia berbicara mengenai Ilmu Tauhid pada usia tiga tahun, dengan mengatakan, “Aku adalah tanah, aku adalah langit, aku adalah Tuhan… Aku adalah ini, aku adalah itu.” Ia menghafal Qur’an dalam waktu tiga bulan ketika berumur enam tahun. Ia berusaha untuk mempelajari ilmu sejati, Syari`at dan Hakikat melalui kalbunya dan ia mencapai maqam yang tinggi dari ilmu-ilmu ini. Pada usia 17 tahun ia sudah dianggap sebagai ulama terbesar di zamannya. Fatwanya sangat terpercaya. Ia tidak menerima bid’ah maupun penyimpangan.

Ketika ia masih muda, ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q) menyatakan bahwa akan muncul kekuatan besar dalam dirinya. Suatu ketika ia berkata kepada ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q), “Aku melihat diriku sebagai kehidupan yang bergerak di setiap atom dari alam semesta ini. Dan alam semesta ini mengambil cahaya darinya sebagaimana bumi mendapatkan cahaya dari matahari.” Ayahnya berkata, “Wahai anakku, itu artinya engkau akan menjadi seorang Qutub di zamanmu. Ingatlah itu dariku.”

Suatu saat ayahnya berkata kepadanya, “Kau telah dicetak dari residu dari residuku, yang merupakan residu dari tanahnya Nabi (s).”

Ayahnya berkata, “Aku telah menuangkan kepada putraku, Muhammad Ma`shum segala sesuatu yang telah diberikan kepadaku.”

Ia berkata, “Seorang Arif yang sempurna yang dimulikan untuk berada di dalam Maqamul Wujud Sepenuhnya akan menyaksikan dan mengamati Keindahan Allah dalam cermin alam semesta ini dan ia akan melihat dirinya dalam segala hal. Alam semesta ini akan menjadi dirinya dan ia akan menjadi alam semesta ini. Ia akan melihat dirinya bergerak di dalam setiap individu dari alam semesta ini, mencakup Keseluruhan dari Bagian dan Bagian dari Keseluruhan.”

Dari Keramatnya

Suatu ketika salah satu wakilnya, Khwaja Muhammad ash-Shiddiq sedang berjalan dengan menunggangi kuda. Kakinya terpeleset dari kudanya dan ia tergantung pada salah satu pijakan kaki kudanya. Kuda itu berlari hingga ia berpikir bahwa ia akan mati, tetapi ia teringat untuk mengatakan, ‘Wahai Syekhku, madad, tolonglah aku.’ Ia melihat Syekhnya muncul, mengambil tali kekang kuda itu dan menghentikannya.

Salah satu muridnya berkata, “Aku tenggelam ke dalam laut dan aku tidak bisa berenang. Aku memanggil namanya dan beliau muncul dan mengeluarkan aku.”

Suatu saat ia sedang duduk bersama para pengikutnya di khaniqah (pondok untuk salat, berdoa dan bertafakur) dan mereka mulai melihat air keluar dari tangan dan lengannya. Mereka terkejut dan bertanya padanya, “Apakah itu wahai Syekh kami?” Ia berkata, “Tadi salah seorang muridku berada di kapal dan kapal itu dihantam badai dan tenggelam. Ia memanggilku dan aku segera menarik tangannya dan menyelamatkannya dari tenggelam.” Kami mencacat waktu kejadian itu dan beberapa bulan kemudian seorang pedagang datang kepada kami. Kami bertanya tentang peristiwa itu dan ia berkata, “Ya, pada saat itu Syekhku datang dan menyelamatkan aku.”

Pernah terjadi di mana seorang pesulap biasa membuat api, lalu ia akan memasuki api itu dan api itu tidak mengenainya. Hal itu menimbulkan fitnah dan kebingungan di antara masyarakat. Kemudian Syekh membuat api yang sangat besar di tengah kota dan ia berkata kepada pesulap itu, “Masuklah ke dalam apiku!” Pesulap itu ketakutan. Kemudian ia menarik salah satu muridnya, “Masuklah ke dalam api itu, dan ketika kau berjalan, ucapkan, “LA ILAHA ILLALLAH.” Murid itu masuk ke dalam api itu dan api itu menjadi dingin dan menyelamatkan dirinya, sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Ibrahim [21:69] ketika ia dilemparkan ke dalam api.

Ketika pesulap itu melihat hal ini, ia segera mengucapkan Syahadat: asy-hadu an la ilaha illa-l-Lah, wa asy-hadu anna Muhammadan rasulu-l-Lah dan masuk Islam.

Suatu ketika Syekh `Abdur Rahman at-Tirmidzi berkata, “Aku datang bersama saudaraku untuk mengunjungi Syekh Muhammad Ma`shum (q). Ia menghadiahkan baju-bajunya kepada setiap orang kecuali kepadaku. Ketika kami kembali ke negeri kami, aku merasa sangat sedih karena aku tidak mendapatkan apa-apa darinya. Tak lama beredar kabar bahwa Syekh akan berkunjung ke kota kami. Semua orang menyambutnya dan aku pun bergabung dengan mereka. Aku melihat Syekh datang dengan seekor kuda putih. Ia memandang padaku dan berkata, ‘`Abdur Rahman, jangan sedih. Aku mengujimu dan aku menyimpan jubah istimewaku yang aku warisi dari ayahku, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) untukmu.’ Aku lalu mengambil jubah itu darinya dan memakainya. Dengan segera segala sesuatu lenyap dan Syekhku muncul di hadapanku: dalam setiap atom, dalam setiap partikel, beliau muncul. Aku mengalami keadaan yang sangat membahagiakan dan aku memasuki Hadirat Ilahi.”

Suatu hari seorang tuna netra datang kepadanya dan memohon, “Mohon doakan aku agar Allah mengembalikan penglihatanku.” Ia lalu menggosokkan air ludahnya ke mata orang itu dan berkata, Pulanglah ke rumahmu dan jangan membuka matamu sampai kau tiba di sana.’ Ketika orang itu tiba di rumahnya dan membuka matanya, ia dapat melihat.

Orang-orang berkata kepadanya, “Ada seseorang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Ia menjadi resah dan di tangannya ia memegang sebuah pisau untuk memotong semangka. Ketika ia memotong semangka itu, ia berkata, “Sebagaimana aku memotong semangka ini, aku memotong leher orang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Tiba-tiba orang itu pun mati.

Ia berkata,

“Ketika aku menunaikan Haji, aku melihat Ka`bah memeluk dan menciumku dengan penuh semangat dan penuh emosi. Kemudian Allah menyingkapkan suatu penglihatan spiritual bagiku, cahaya dan keberkahan memancara dariku, dan jumlahnya semakin bertambah dan bertambah; sampai ia memenuhi gurun; lalu semua pegunungan dan semua samudra; kemudian ia memenuhi alam semesta dan memasuki setiap atom di alam ini. Kemudian semua atom ini ditarik kembali menuju cinta pada Inti Ka`bah. Aku melihat banyak makhluk spiritual, di antara mereka adalah para malaikat dan awliya, mereka semua berdiri di hadiratku seolah- olah aku adalah Sultan mereka. Kemudian aku menerima surat tertulis yang disampaikan oleh malaikat, dan di sana tertulis, ‘dari Tuhan Surgawi, Alam Semesta dan Seluruh Makhluk, Aku menerima Hajimu.’”

“Kemudian aku melanjutkan perjalananku untuk mengunjungi Madinati’l- Munawwarah, kotanya Nabi (s). Aku memasuki kota Nabi (s) dan aku pergi mengunjungi makam beliau (s). Ketika aku mengarahkan wajahku kepada wajahnya, aku melihat Nabi (s) keluar dari makamnya, dan beliau (s) memeluk dan menciumku. Kemudian aku melihat diriku dalam suatu keadaan di mana kalbuku seolah-olah berpadu dengan kalbunya, lidahku dengan lidahnya, telingaku dengan telinganya, sampai aku melihat diriku sendiri, aku melihat Nabi (s) dan ketika aku melihat Nabi (s) aku melihat diriku sendiri. Penglihatan itu membawaku ke Maqam Kenaikan (Mi’raj) menuju ke tempat di mana Nabi (s) mengalami kenaikan pada malam Isra Mi’raj. Aku menerima semua ilmu yang Nabi (s) ingin aku menerimanya.

“Kemudian aku menuju kedua khalifah Nabi (s). segera setelah aku berada di hadirat Sayyidina Abu Bakr (r), aku melihat sebuah jubah merah di pundakku. Kemudian aku berpindah ke makam Sayyidina `Umar (r) dan aku melihat jubah kuning di pundakku. Ketika aku meninggalkan mereka, aku melihat jubah hijau disandangkan di pundakku, yang aku tahu bahwa itu adalah jubah Nabi (s).

Kemudian aku melihat suatu penglihatan di mana Allah menyingkapkan semua hijab dari kalbuku, dan aku melihat bahwa semua yang telah diciptakan oleh Allah dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, semuanya memerlukan Habibullah Sayyidina Muhammad (s), dan beliau (s) adalah pusat dari semua cahaya yang bergerak di dalam setiap atom.”

“Apa yang diberikan oleh Nabi (s) kepadaku pada saat itu, jika aku mengatakannya, orang-orang akan memotong leherku. Kemudian aku melihat bahwa setiap shalawat atas Nabi (s), setiap pujian pada Nabi (s) dan setiap puisi yang ditulis atas nama Nabi (s), seolah-olah itu untukku. Kemudian aku melihat bahwa semua alam semesta, dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, telah diterangi dan bersinar dengan cahayaku. Ketika saatnya tiba untuk kembali ke negeriku, aku kembali mengunjungi Nabi (s) untuk terakhir kalinya dan aku menangis pada saat perpisahan itu dan aku melihat Nabi (s) keluar dari maqamnya. Beliau (s) membusanaiku dengan busana yang belum pernah kulihat sebelumnya dan beliau

(s) memberikan sebuah mahkota di kepalaku. Mahkota itu berasal dari Raja Diraja, dari Hadirat Ilahi, yang dihiasi dengan berbagai macam batu permata yang tidak bisa digambarkan di dunia ini. Dan aku tahu bahwa Mahkota itu dan Busana- Busana itu telah diberikan kepadaku dari Busana-Busana Allah (swt), yang Dia berikan kepada Nabi-Nya (s) pada malam Isra Mi’raj dan yang telah disimpan oleh Nabi (s) untukku dan kemudian diberikan kepadaku pada malam itu.”

Syekh Muhammad Ma`shum (q) merupakan Keramat dari Keramat-Nya allah dan Cahaya yang Allah curahkan ke dunia ini untuk membimbing manusia. Dikatakan bahwa ia telah memberi bay’at kepada lebih dari 900.000 orang ke dalam tarekat ini dan ia mempunyai 7.000 wakil, dan mereka semua adalah wali. Hal itu disebabkan karena dalam seminggu shuhbah (asosiasinya), ia dapat membawa para pengikutnya ke Maqamul Fana’, dan dalam satu bulan ke Maqamul Baqa’. Dikatakan pula bahwa ia dapat membawa para pengikutnya menuju Maqamul Wujud dengan sekali duduk di dalam majelisnya.

Ia wafat pada tanggal 9 Rabiul Awal 1079/1668 M. Ia meneruskan rahasia dari Tarekat ini kepada Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi (q).

25. Sayyidi Syaikh Muhammad Syaifuddin (QS)

Ia adalah seorang Mujahid bagi tarekat ini dan Mujahid bagi jalur sejati dari Sunnah Nabi (s). Ia mendapat manfaat spiritual yang besar dari leluhurnya, yaitu Sayyidina

`Umar al-Faruq (r), dan dari kakeknya, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q). Dengan berkah dari Nabi (s), ia mampu menyebarkan tarekat ini lebih jauh dan lebih luas.

Ia dilahirkan pada tahun 1055 H./1645 M. Ia dibesarkan di rumah ayahnya, Muhammad Ma`shum (q), dan ia disusui dengan susu dari ilmu ayahnya, kakeknya dan leluhurnya yang diberkati. Semasa ayahnya masih hidup ia duduk di Singgasana Bimbingan dan ia mengikuti jejak para pendahulunya. Rumahnya menjadi cahaya bagi para ulama yang datang bagaikan ngengat dari segala penjuru. Ketika ilmu halusnya berkembang, ia menjadi semakin terkenal bahkan di langit, mencapai orbit dari orang-orang yang arif sampai ia mampu menguraikan Simbol-Simbol dari Ilmu yang tersembunyi dan membuka Perbendaharaan dari Urusan-Urusan Surgawi. Ia menyebarkan ilmu lahir dan batin, dan ia memadukan para pemula dengan orang- orang yang sudah ahli dan ia mengajarkan Ilmu tentang Rasa (dzawq).

Atas perintah ayahnya ia pindah ke kota Delhi untuk menyebarkan ilmu Syari`ah dan cahaya Hakikat. Sultan sendiri, Muhammad Alamagir, menjadi muridnya, sehingga orang-orang di Dewan, menteri-menteri, dan semua pangeran menjadi muridnya. Dengan dukungan Sultan, tak lama seluruh kerajaan pun menerimanya. Ia mewujudkan Sunnah Nabi (s) dan menginspirasikan cinta untuk Syari`ah ke seluruh bangsa. Dengan ilmu yang mendalam yang memenuhi kalbunya, ia mengangkat bendera Islam dan menghilangkan jejak-jejak kebodohan dan tirani dari kerajaan.

Melalui berkah dari pertemanan dengan Syekh Sayfuddin (q), Allah menjadikan Sultan berhasil dalam segala urusannya dan mencegah terjadinya hal-hal yang berbahaya dan melanggar hukum di wilayahnya. Sultan membasmi para penindas dan orang-orang yang berbuat zalim. Ia terus menjaga hubungannya dengan Syekh, mengikutinya sebagai murid. Melalui dorongan Syekh, ia mampu menghafal kitab suci al-Qur’an. Ia mengisi waktu-waktu malamnya dengan melakukan amalan tarekatnya, dengan berzikir, sementara siang harinya ia mengurusi urusan-urusan di kerajaannya.

Syekh berusaha untuk menghapuskan segala bentuk penderitaan dan penindasan dari kerajaan melalui Sultan, dan usahanya berhasil dengan gemilang, hingga seluruh India hidup dalam damai. Syekh mendapat posisi yang begitu terhormat di mana seluruh sultan dan pangeran akan berdiri untuk menghormatinya.

Suatu hari seseorang berdiri bersama pangeran-pangeran lain dan sultan dalam hadirat Syekh, kemudian sebuah bisikan menyindir masuk ke dalam kalbunya, mengatakan, “Sombong sekali Syekh ini.” Syekh lalu memandangnya dan berkata, “Kau benar, karena Keangkuhanku berasal dari Keangkuhan Allah.”

Suatu ketika seorang pria menyangkal kata-kata Syekh. Malamnya ia bermimpi di mana sekelompok orang datang dan menyerangnya. Mereka memukulinya berkali- kali dan bertanya, “Beraninya kau menyangkal ucapan Syekh, padahal ia adalah Pecinta Allah?” Orang itu bangun dan mendapati dirinya luka-luka, ia segera mendatangi Syekh dan memohon ampun.

Di dalam khaniqahnya (pondok untuk berkhalwat), setiap hari sekitar 6000 salik tinggal di sana dan mereka makan makanan yang disediakannya.

Suatu hari ia mendengar suara ney (flute dari bambu) dari rumah tetangganya. Ia begitu terpesona dengan alunan suaranya sehingga membuatnya jatuh pingsan.

Setelah sadar ia berkata, “Apakah menurut kalian aku hampa dengan gairah dan emosi? Tidak, mereka yang mendengar ney tetapi tidak merasakan gairah dan emosilah yang hampa. Tetapi ketika kita mendengar sesuatu yang indah, kita begitu tersentuh sehingga kita segera ditransfer menuju Hadirat Ilahi.”

Bagi para Awliya, panggilan Allah terdengar tanpa ada campuran dari “debu kesengsaraan” dan itulah sebabnya mereka jatuh pingsan ketika mereka mendengarnya.

Suatu hari seorang penderita kusta datang dan meminta doanya agar ia bisa disembuhkan. Syekh lalu meniupnya dan dalam waktu singkat penyakitnya lenyap.

Syekh Muhammad Sayfuddin wafat pada tahun 1095 H./1684 M. dan ia dimakamkan di kota Sirhind. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Grandsyekh Nur Muhammad al-Badawani (q).

26. Sayyidi Syaikh asy-Syarif Nur Muhammad al-Badwani (QS)

Ia adalah seorang keturunan Nabi (s). Cahayanya bersumber dari Maqam Surgawi. Ia menuangkan kedamaian dan kebahagiaan ke dalam kalbu-kalbu yang bingung dan menjadikannya sebagai Sosok bagi setiap nikmat dan jalan menuju Allah (swt) bagi semua orang di zamannya. Melalui dirinya Allah telah memperbarui Syari`ah dan Hakikat seperti bulan purnama di gelapnya malam. Berapa banyak Sunnah yang telah dilupakan kemudian dihidupkan kembali dan berapa banyak bid’ah yang telah menghasut kemudian dihilangkannya?

Ia dilahirkan pada tahun 1075 H./1664 M. Ia dibesarkan di sebuah rumah yang diberkati, memuaskan dahaganya terhadap ilmu lahir dan batin di mata air Tarekat Naqsybandi sejak masa kanak-kanaknya. Ia menerima berkah dari Syekhnya, dan mereka bangga dengan kemajuannya. Ia terus mengalami kemajuan hingga di negeri India ia menjadi Lampu yang bersinar. Orang-orang berdatangan menemuinya dari segala penjuru, mereka mendapatkan berkah dari rahasianya dan berkah dari para leluhurnya. Ia menduduki Singgasana Tarekat ini mengikuti Syekhnya dan ia bagaikan mercusuar yang membimbing dengan cahayanya bagi mereka yang mencari di Jalannya. Ia meninggalkan nama yang termasyhur, dan bagaimana tidak, bila Nabi Muhammad (s) adalah leluhurnya? Ia adalah Cabang dari Pohon Ilmu Kenabian dan Keturunan Murni dari Keluarga Nabi (s). Tidak heran bila ia menjadi kiblat bagi para Awliya dan gerbangnya menjadi tujuan bagi semua orang di Jalan Allah.

Ia begitu saleh hingga ia menghabiskan waktunya dalam membaca dan mempelajari adab Nabi (s) dan para Awliya. Ketaatannya yang ketat terhadap Bentuk dan Niat mengikuti Nabi (s) dalam semua perbuatannya diilustrasikan dalam peristiwa berikut. Suatu hari ia masuk ke dalam kamar mandi dengan kaki kanannya, yang bertentangan dengan kebiasan Nabi (s). Hal itu mengakibatkan ia mengalami sembelit selama tiga hari, karena ia telah menyimpang dari kepatutan mengikuti Sunnah dengan satu langkahnya itu. Ia memohon ampun kepada Allah dan Allah melepaskannya dari kesulitannya itu.

Ia memulai hidupnya dalam keadaan meniadakan diri. Ia tetap dalam keadaan itu selama lima belas tahun. Dalam periode itu ia selalu berada dalam keadaan fana ini, dan tidak pernah keluar dari keadaan tersebut kecuali ketika melakukan ritual salat. Ketika salat ia akan kembali ke dalam keadaan sadar diri. Setelah selesai ia akan kembali ke keadaannya semula. Ia berhati-hati untuk makan hanya dari pendapatan yang diperoleh dari keringat di dahinya. Ia hanya makan roti yang dipanggangnya sendiri, dan ia memakannya hanya dalam potongan-potongan yang sangat kecil. Ia menghabiskan seluruh waktunya dalam bertafakur dan kontemplasi. Ketika rotinya habis, ia akan kembali untuk mempersiapkannya, setelah itu ia akan kembali pada tafakur dan kontemplasinya. Akibat seringnya berkontemplasi, punggungnya menjadi bungkuk. Ia berkhidmah terhadap Syekhnya selama bertahun-tahun. Ia juga berkhidmah pada Syekh Muhammad Muhsin, putra dari narator hadits besar di zamannya, Syekh `Abdul Haqq, salah satu khalifah dari Syekh Muhammad Ma`shum (q), hingga melalui khidmahnya ia mencapai maqam kesempurnaan yang tinggi.

Ia pernah berkata, “Selama tiga puluh tahun terakhir bertafakur, ‘Bagaimana aku akan mendapatkan penghasilan’ tidak pernah terlintas di dalam kalbuku. Subjek mengenai rezeki tidak pernah masuk ke dalam kalbuku, tetapi aku makan ketika aku merasa perlu.” Ia tidak pernah makan dari makanan yang disediakan oleh orang yang sombong. Ia berkata, “Makanan dari orang kaya yang sombong berisi kegelapan.”

Jika ia meminjam sebuah buku, ia akan membacanya dalam tiga hari, karena ia berkata, “Refleksi dari kegelapan dan kelalaian dari pemilik buku akan tercermin kepadaku.” Ia sangat berhati-hati dalam hal itu. Khalifahnya, Sayyidina Habibullah (q) akan menangis bila mengingatnya, dan ia akan mengatakan kepada para pengikutnya, “Kalian tidak melihatnya. Jika kalian hidup di zamannya, kalian akan memperbarui iman kalian atas Kekuasaan Allah yang telah menciptakan manusia sepertinya.”

Sayyidina Habibullah (q) juga mengatakan, “Penglihatan Syekh Nur Muhammad al- Badawani (q) sangat detail dan akurat. Ia dapat melihat lebih baik dengan kalbunya dibandingkan dengan apa yang bisa dilihat orang dengan matanya. Ketika aku berada di hadiratnya, beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat jejak-jejak perzinaan dalam dirimu. Apa yang telah kau lakukan pada hari ini?’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, ketika aku mendatangimu mataku melihat seorang wanita di jalan.’ Beliau berkata, ‘Lain kali berhati-hatilah dalam melindungi matamu.’”

Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu ketika aku sedang dalam perjalanan menemui Syekh, aku melihat seorang pecandu alkohol di jalan. Ketika aku bertemu dengan Syekh, beliau berkata kepadaku, ‘Aku melihatmu dalam jejak-jejak alkohol.’  Dari sini aku menyadari bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini memantul dari satu orang kepada orang yang lain, dan karakter seseorang memantul kepada orang lain. Itulah sebabnya kita harus menjaga diri kita agar senantiasa bersih sepanjang waktu, dan selalu berkumpul dengan orang-orang di Jalan Allah.

Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu hari seorang wanita datang kepadanya dan berkata, ‘Wahai Syekhku, jin menculik putriku dan aku telah mencoba berbagai cara untuk mendapatkannya kembali, tetapi tidak membantu.’ Beliau lalu bertafakur mengenai hal itu selama hampir satu jam. Kemudian beliau berkata, ‘Putrimu akan kembali besok sekitar waktu Ashar, jadi sekarang pulanglah dan istirahat.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sangat menanti-nantikan datangnya waktu itu, dan menantikan putriku kembali sehingga sulit sekali aku beristirahat. Tepat pada waktu yang dikatakan oleh Syekh, aku mendengar ada ketukan di pintu dan ternyata itu adalah putriku. Aku bertanya apa yang terjadi. Ia berkata, ‘Aku telah diculik dan dibawa ke gurun oleh seorang jin. Ketika aku berada di sana, kemudian seorang Syekh datang dan membawaku ke sini.’”

Syekh Nur Muhammad al-Badawani (q) wafat pada tahun 1135 H./1722-23 M. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada penerusnya, Syekh Syamsuddin Habib Allah Jan-i-Janan al-Mazhar (q).

27. Sayyidi Syaikh Syamsuddin Habibullah (QS)

Ia adalah Matahari dari Kebahagiaan Abadi. Ia adalah Kekasih Allah (swt). Ia adalah Ruh bagi Ahlul Haqq, dan ia adalah Inti dari Ruh Ahlul Dzawq. Ia adalah salah satu Panji dari Rasul yang Mulia. Ia mengangkat Agama Nabi Muhammad (s). Ia membangkitkan Tarekat Naqsybandi.

Ia dilahirkan pada tahun 1113 H./1701 M. di India. Sejak kanak-kanak cahaya Bimbingan dan jejak Kesalehan bersinar dari keningnya. Karakternya dicetak dengan Tajali Keindahan Ilahiah (tajalli-l-jamal). Ia terkenal akan ketampanannya, seperti Nabi Yusuf (a), dan setiap orang mencintainya karena ia melambangkan keindahan. Itu adalah Sifat Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi (s), “Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan,” dan itu juga merupakan sifat Nabi (s), sebagaimana Anas (r) berkata, “Nabimu (s) adalah sosok yang paling indah penampilannya dan suaranya adalah yang terindah di antara semua Nabi.” Karena hal ini, Syekh `Abdur-Ra’uf al-Munawi berkata, “Nabi (s) tidak ada duanya dalam hal keindahannya.”

Ketika Syekh Mazhar (q) berusia sembilan tahun, ia melihat Sayyidina Ibrahim (a) yang memberikan kekuatan keramat melalui transmisi spiritual. Pada usianya ini, jika seseorang menyebutkan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dalam kehadirannya, ia akan melihatnya muncul dengan mata fisiknya. Ia juga mampu melihat Nabi (s) dan seluruh Sahabat Nabi (s) dan para Syekh Tarekat Naqsybandi, khususnya Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q).

Ayahnya membesarkannya dan mendidiknya dalam semua cabang ilmu agama. Pada usia yang masih muda kalbunya tertarik dengan cahaya spiritual yang muncul dari Syekhnya, yaitu as-Sayyid Nur Muhammad (q). Syekhnya membukakan mata kalbunya dan menyuapinya dengan nektar dari bunga Ilmu yang tersembunyi.

Syekh membawanya keluar dari Maqam Kesadaran Diri dan mengangkatnya ke Maqam-Maqam yang lebih tinggi yang membuatnya sangat takjub dan akhirnya jatuh pingsan. Ketika ia sadar, ia menemani Syekh Nur Muhammad (q) dalam mi’raj berikutnya. Syekh mengizinkannya untuk mengamati Misteri dari Dunia yang Tersembunyi dan memberinya hadiah-hadiah berupa Kekuatan Keramat dan Maqam-Maqam yang Tinggi.

Seseorang melihat Syekhnya membukakan Sembilan Titik, yang merupakan lokus dari Rahasia-Rahasia Naqsybandi pada dirinya. Dari ilmu sembilan titik ini, ia menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam lima titik yang lebih kuat, hingga Syekhnya memberinya otoritas untuk “mengaktifkan” Kesembilan Titik itu setiap saat dan untuk menggunakannya. Kemudian Syekh membawanya kembali ke hadiratnya dan hanya hadiratnya. Beliau membawanya naik-turun, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan membungkusnya dengan cahayanya dan melindunginya dengan pandangannya, sampai ia mencapai kesempurnaan tertinggi dan membangkitkan dirinya dari Kebodohan.

Dengan teguh dan tulus ia berkhidmah kepada Syekhnya. Ia terus mengalami kemajuan dengan melaksanakan khalwat di gurun dan hutan atas perintah Syekhnya. Dalam khalwat ini makanannya hanya rumput dan dedaunan dan yang dipakainya hanyalah apa yang menutupi auratnya. Suatu hari setelah berkali-kali khalwat, ia memandang cermin tetapi ia tidak melihat dirinya, yang dilihat adalah Syekhnya.

Pada tahap ini Syekh memberinya otoritas untuk membimbing hamba Allah menuju tujuan mereka, membimbingnya ke Jalan yang Lurus, dan beliau menempatkannya pada Singgasana Penerus, dan melalui dirinya Matahari Bimbingan naik ke Menara Kebahagiaan.

Ketika gurunya wafat, ia terus berziarah ke makamnya selama dua tahun dan ia menerima cahaya dan ilmu yang dapat ditransmisikan oleh Syekhnya dari makamnya. Kemudian melalui hubungan spiritual ia diperintahkan untuk terhubung dengan seorang syekh yang masih hidup.

Ia sampai di Pintu seorang Mursyid Kamil di zamannya, Syekh Muhammad Afzal, Syekh Safi Sa`dullah, dan Syekh Muhammad `Abid. Ia merapatkan diri kepada Syekh Syah Kalsyan dan kepada syekh lain yang bernama Muhammad az-Zubair. Ia sering menghadiri sesi Syekh Muhammad Afzal, salah satu khalifah dari putra Syekh Muhammad Ma`sum (q). Ia datang dan belajar dari Syekh `Abdul Ahad dan menerima ilmu hadits Nabi (s) darinya. Selama di kelas, setiap kali Syekh menyebutkan sebuah hadits, ia akan lenyap melalui mahuwa dzat (menarik diri), dan sebuah penglihatan akan muncul kepadanya di mana ia akan mendapati dirinya sedang duduk bersama Nabi (s) dan mendengar hadits itu secara langsung dari Nabi (s). Ia akan mengoreksi setiap kesalahan yang mungkin terjadi dalam narasi hadits yang disampaikan, sehingga ia dikenal sebagai seorang yang jenius di dalam ilmu hadits.

Ia terus menemanis Syekh-Syekh ini selama dua puluh tahun. Ia terus mengalami kemajuan dalam Maqam Kesempurnaan, sampai ia menjadi Samudra Ilmu. Ia diangkat menuju Cakrawala Qutub sampai ia menjadi Qutub di zamannya, bersinar seperti matahari di siang hari. Syekh Muhammad Afzal berkata, “Syekh Mazhar Habibullah diberi Maqam Qutub dan ia adalah poros tengah dari tarekat ini di masa kini.”

Kesempurnaan spiritualnya menarik orang dari segala penjuru di Sub Benua India. Dalam hadiratnya, setiap salik akan menemukan apa yang ia perlukan, sampai- sampai dengan berkahnya Sub Benua India menjadi seperti Ka`bah yang dikelilingi oleh kumpulan malaikat.

Di dalam dirinya yang mulia berpadu kekuatan dari empat tarekat. Ia adalah mursyid bagi Tarekat Naqsybandi, Qadiri, Suhrawardi dan Chisti. Ia sering berkata, “Aku menerima rahasia-rahasia dan ilmu dari tarekat-tarekat ini dari Syekhku, Sayyid Nur Muhammad Badawani (q), sampai aku menerima kekuatan yang istimewa dalam tarekat-tarekat ini. Beliau mengangkatku dari Tahap Ibrahimiah ke Tahap Muhammadiah, yang membuatku dapat melihat Nabi (s) duduk di tempatku sementara aku duduk di tempat beliau. Kemudian aku menghilang dan aku melihatnya duduk di kedua tempat itu. Kemudian aku melihatnya menghilang dan aku melihat diriku sendiri duduk di kedua tempat itu.”

Berikut ini adalah beberapa perkataan dari Syekh Mazhar (q):

“Suatu ketika aku sedang duduk dalam hadirat Syekh Muhammad `Abid dan Syekh berkata, “Kedua matahari pada kedua ujung bertemu, dan jika cahaya keduanya dipadukan dan dipancarkan ke seluruh alam semesta ini, ia akan membakar segala sesuatu.”

“Syekh Muhammad Afzal lebih tua dariku tetapi beliau biasa berdiri ketika aku masuk ke ruangan, dan beliau berkata kepadaku, ‘Aku berdiri untuk menghormati silsilah mulia yang kau miliki.’”

“Dunia dan segala isinya serta alam semesta dan segala isinya ada dalam genggamanku, dan aku dapat melihat mereka sejelas aku dapat melihat tanganku.”

Ia mempunyai pengalaman ajaib yang tak terhitung dan penglihatan spiritual yang sangat banyak tentang alam Surgawi begitu juga dengan dunia yang lebih rendah.

Suatu ketika ia berjalan dengan beberapa pengikutnya tanpa membawa perbekalan. Mereka berjalan dan setiap mereka merasa lelah, mereka akan beristirahat. Syekh akan memanggil mereka dan berkata, “Makanan ini untuk kalian,” dan semeja makanan muncul di hadapan mereka.

Suatu hari dalam perjalanan terjadi badai yang sangat mengerikan, angin menerbangkan semua yang ditemuinya. Cuaca sangat dingin dan orang-orang menggigil karena kedinginan. Situasi mereka bertambah buruk hingga seolah-olah mereka akan mati di gurun yang membeku itu. Kemudian Syekh Mazhar mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah ia mengelillingi kami tetapi tidak mengenai kami.” Dengan segera awan diangkat dari mereka, dan meskipun hujan yang dingin terus berlangsung selama satu mil ke depan, di sekeliling mereka suhunya meningkat hingga ke suhu yang nyaman bagi mereka.

Ia berkata, “Suatu ketika aku berziarah ke makam Syekh Muhammad Hafiz Muhsin. Aku mengalami keadaan fana dan dalam penglihatan spiritualku aku melihat tubuhnya. Tubuhnya utuh, tidak terurai, dan kain kafannya masih utuh dan bersih, hanya sedikit kotor di bagian kakinya. Melalui kekuatan spiritualku, aku bertanya mengenai hal itu. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku akan menceritakan sebuah kisah kepadamu. Suatu hari aku mengambil sebuah batu dari halaman tetanggaku dan meletakkannya pada sebuah lubang di halamanku, dan aku berkata kepada diriku, ‘Besok pagi akan kukembalikan padanya,’ tetapi aku lupa. Akibatnya muncul kotoran di kafanku. Perbuatan tadi mencemari kafanku.’”

Ia berkata, “Sepanjang kalian diangkat dalam kesalehan, kalian akan diangkat dalam kewalian.”

Suatu hari ia menjadi marah pada seorang tiran, dan ia berkata, “Sebuah penglihatan spiritual datang kepadaku di aman aku melihat semua Syekh, dari Abu Bakr ash-Shiddiq (r) hingga Syekh yang sekarang, mereka semua tidak senang dengan tiran itu.” Hari berikutnya tiran itu meninggal dunia.

Seseorang datang kepadanya dan berkata, “Wahai tuanku, saudaraku telah dipenjara di desa sebelah. Mohon doanya agar Allah menyelamatkannya.” Ia berkata, “Wahai anakku, saudaramu tidak dipenjara, tetapi ia telah melakukan sesuatu yang salah dan besok kau akan menerima surat darinya.” Apa yang dikatakannya menjadi kenyataan.

Ia menginformasikan kepada para pengikutnya mengenai kabar gembira dan beberapa orang yang iri menolak untuk menerima apa yang ia katakan. Ia berkata, “Jika kalian tidak percaya, mari kita bawa seorang hakim. Kita akan menyampaikan sudut pandang kita masing-masing dan biarkan ia menilai di antara kita.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima hakim lain kecuali Nabi (s) dan di Yawmil Hisab kami akan meminta penilaiannya mengenai hal ini.” Kemudian ia berkata, “Tidak perlu menunggu sampai Hari Kiamat. Kita akan meminta Nabi (s) memberikan penilaiannya sekarang.” Ia kemudian bertafakur secara mendalam dan ia diminta untuk membaca Surat al-Fatihah. Setelah ia melakukannya, tiba-tiba Nabi (s) muncul ke hadapan semua orang dan beliau (s) berkata, “Al-Mazhar Habibullah adalah benar dan kalian semua salah.”

Mengenai Penciptaan

Ia berkata, “Wujud hanyalah Sifat Allah sendiri. Dunia ini semata-mata hanyalah bayangan dari hakikat yang wujudnya ada di Hadriat Ilahi. Hakikat dari semua makhluk yang mungkin (haqa’iq al-mumkinat) adalah hasil dari perbuatan Sifat dan Kualitas Ilahiah pada Sesuatu yang Hampa (`adm). Wujud Sejati dari semua yang termanifestasi dalam makhluk fisik yang ditegaskan dalam bentuk cahaya dalam Hadirat Ilahi.

“Segala sesuatu yang muncul dalam penciptaan fisik semata-mata hanyalah bayangan dari hakikatnya yang bercahaya yang diproyeksikan oleh Kualitas Ilahiah terhadap kekosongan dari yang tak berwujud. Alam dari Sifat Ilahiah merupakan Asal dari Mata Air bagi Alam Semesta yang tercipta (mabadi’ ta`ayyunat al-a`lam). Karena semua makhluk fisik muncul dari kombinasi Kualitas Ilahiah Allah dengan Kekosongan, dengan demikian makhluk mempunyai bagian dari dua asal yang sifatnya berbeda. Dari sifat kehampaan yang tak berwujud dan bukan apa-apa muncul kualitas yang kental dari substansi fisik di mana dalam lingkup perbuatan manusia ia menghasilkan kegelapan, kebodohan dan kejahatan. Dari Sifat Ilahiah muncul Cahaya, Ilmu, dan Kebaikan. Dengan demikian seorang Sufi ketika ia melihat pada dirinya sendiri, melihat semua kebaikan di dalam dirinya sebagai cahaya dari Sifat Ilahi yang terrefleksikan padanya, tetapi itu bukan berasal darinya. Sebuah perumpamaan mengenai hal itu bisa berupa sebuah setelan bagus yang dipinjam membuat orang terlihat menawan, tetapi sesungguhnya itu bukan miliknya dan untuk itu ia tidak patut menerima pujian. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai substansi dasar, penuh kegelapan dan kebodohan, dengan sifat yang lebih buruk daripada binatang. Dengan persepsi ganda ini, ia melepaskan keterikatannya dari tarikan ego dan tidak menonjolkan dirinya, dan berpaling ke arah tobat terhadap Sumber Ilahiah untuk semua Kebaikan. Dengan berpalingnya ini, Allah mengisi kalbunya dengan cinta dan rindu terhadap Hadirat Ilahi. Sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa; dan jika ia mendatangi-Ku berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”

Menjelang wafatnya, Syekh Mazhar (q) berada dalam keadaan beremosi tinggi dan dalam cinta yang intens kepada Allah. Ia mengalami perasaan yang sangat tidak membahagiaan karena begitu lama berada di dunia yang fana ini. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan bertafakur, dan ketika ditanya, ia akan selalu mengatakan bahwa ia berada dalam Maqamul Fana dan Wujud dalam Allah (swt). Ia meningkatkan zikirnya pada hari-hari terakhirnya, dan sebagai hasilnya muncul cahaya yang mempunyai daya tarik yang kuat sehingga ribuan salik masuk ke dalam tarekat. Setiap hari ada tiga ribu orang yang datang ke pintunya, dan ia tidak akan membiarkan seorang pun di antara mereka yang tidak bertemu dengannya.

Akhirnya, ia menjadi begitu kelelahan sehingga ia dijadwalkan hanya 2 kali sehari bertemu dengan orang-orang.

Suatu hari, salah seorang pengikutnya, yaitu Syekh Mullah Nasim, meminta izin untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi orang tuanya di kampung halamannya. Ia berkata, “Wahai anakku, jika engkau ingin pergi, silakan. Tetapi mungkin aku tidak ad di sini ketika engkau kembali.” Jawaban ini beredar dari mulut ke mulut, dan mengguncangkan hati orang-orang, karena itu menandakan bahwa eranya akan berakhir. Dengan tetesan air mata dan hati yang luka, orang- orang di sekitar Punjab mulai bersedih. Rumahnya penuh dan tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi bila ia wafat. Kemudian ia mengambil sehelai kertas dan menulis kepada salah seorang penerusnya, Mullah Abdur-Razzaq, “Wahai anakku, kini aku sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan ajalku sudah dekat.

Ingatlah aku di dalam doamu.” Ia mengirim surat itu padanya dan ia juga mengirim surat yang sama kepada banyak orang lainnya.

Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya, ia berkata, “Tidak ada yang tersisa di dalam hatiku apapun yang ingin kuraih atau sesuatu yang belum tercapai. Tidak ada sesuatu yang kuminta kepada Allah yang belum kuterima. Keinginanku sekarang hanyalah meninggalkan dunia ini dan berada dalam Hadirat-Nya seterusnya. Allah telah memberiku segala sesuatu, kecuali izin untuk bertemu dengan-Nya. Aku memohon kepada Allah untuk membawku kepada-Nya pada hari ini, sebelum besok. Tetapi aku tidak ingin menemui-Nya sebagai orang biasa. Aku ingin menemui-Nya sebagaimana yang digambarkan Allah di dalam kitab suci al- Qur’an, sebagai seorang syahid yang selalu hidup. Jadi, ya Allah, jadikanlah aku seorang syahid di dunia ini dan bawalah aku kepada-Mu sebagai seorang syahid.

Kematian semacam ini akan memberi kebahagiaan bagi hatiku dan akan menjadikan aku berada di hadirat Nabi-Mu (s) dan Ibrahim (a) dan Musa (a) bersama 124.000 Nabi-Mu; dan bersama semua Sahabat Nabi (s), dan bersama dengan al-Junayd (q) dan mursyid tarekat ini, Syah Naqshband (q), dan bersama mursyid seluruh tarekat. Ya Allah, aku ingin menggabungkan antara menyaksikan kesyahidan fisik dengan kematian spiritual dalam Maqam Penyaksian, dalam Maqamul Fana’.”

Sore harinya, pada hari Rabu, tanggal tujuh Muharram 1195 H/1780 M. seorang pelayannya mendatanginya dan berkata, “Ada tiga orang di pintumu. Mereka ingin bertemu denganmu.” Ia berkata, “Biarkan mereka masuk.” Ketika mereka masuk, ia keluar dari kamarnya dan menyalami mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah engkau Mirza Jan Janan Habibullah?” Ia menjawab, “Ya.” Kemudian orang kedua berkata kepada orang ketiga, “Ya, ini orangnya.” Salah seorang di antara mereka mengambil pisau dari kantongnya dan menikamnya dari belakang, menusuk ginjalnya. Karena usianya, ia tidak mampu menahan beratnya tusukan itu sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Ketika waktunya salat Subuh, Raja mengirim seorang dokter. Ia meminta dokter itu untuk pulang dan berkata, “Aku tidak memerlukannya. Dan untuk orang yang telah menikamku, aku memaafkannya, karena aku senang untuk mati sebagai seorang syahid dan mereka datang sebagai jawaban atas doaku.”

Ia wafat pada hari Jumat. Ketika sampai pada tengah hari, ia membaca Surat al- Fatihah dan Ya Sin sampai waktu `Ashar. Ia bertanya pada muridnya, berapa jam lagi sampai matahari terbenam. Mereka berkata, “Empat jam.” Ia menjawab, “Masih lama sampai aku bertemu Tuhanku.” Ia berkata, “Aku telah melewatkan 10 salat dalam hidupku, semuanya terjadi dalam dua hari terakhir ini, karena tubuhku penuh dengan darah dan aku tidak dapat mengangkat kepalaku.” Mereka bertanya kepadanya, “Jika seorang yang sakit dalam kondisi yang lemah seperti itu, apakah ia wajib untuk salat dengan gerakan matanya dan dahinya atau menunda salatnya?” Ia menjawab, “Keduanya benar.” Ia menunggu dengan sabar hingga matahari terbenam, kemudian ia wafat. Saat itu adalah malam `Asyura, 1195 H./1781 M.

28. Sayyidi Syaikh ‘Abdullah ad-Dahlawi (QS)

Ia adalah Puncak bagi orang-orang Arif dan Raja bagi Mursyid al-Kamil, Sang Penyingkap Ilmu Agama dan Penyingkap Rahasia Keyakinan; Yang Membenarkan Maqam Kesempurnaan, Syekh dari semua Syekh di Sub Benua India, Pewaris Ilmu dan Rahasia Tarekat Naqsybandi. Ia dikenal sebagai seorang Penyelam dan Perenang yang Unik dalam Samudra Keesaan; seorang Musafir di Gurun Maqamul Zuhud; Qutub bagi semua tarekat dan Qibrit al-Ahmar (Belerang Merah “Yang Paling Langka di antara yang langka) bagi semua kebenaran.

Ia menyempurnakan dirinya sendiri dan menghiasi dirinya dengan adab terbaik. Ia mengangkat dirinya hingga ke Langit Ilmu Spiritual yang Tinggi dan menghiasi dirinya dengan bintang-bintangnya. Ia menjadi bintang dalam segala ilmu. Ia tumbuh menjadi bulan purnama dan ia melihat cahaya muncul dari Matahari gurunya, sampai gurunya menerimanya untuk melatihnya secara formal dan merawatnya.

Syekh mendukungnya dengan kekuatan spiritualnya dan mengangkatnya menuju tingkat keberkahan tertinggi yang telah diraihnya, sampai ia mencapai maqam Haqqul Yaqiin dan maqam dari Pohon Lotus Terjauh. Kemudian ia mengirimnya kembali ke dunia ini, sampai ia menjadi mursyid bagi setiap umat manusia. Ia diberi izin untuk memberi bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Ia mendukung Syari`ah dan menegakkan Sunnah, dan membangkitkan Kebenaran dari lima tarekat: Qadiri, Suhrawardi, Kubrawi, Chishti dan Naqsybandi. Ia meneruskan rahasia-rahasia dari lima tarekat kepada para penerusnya, dan melaluinya kepada semua Syekh dalam Silsilah Keemasan. Ia mengangkat semua muridnya ke maqam-maqam yang terpuji dari Wali Abdal (Wali Pengganti) dan Awtad (Wali Pasak atau Tiang).

Ia dilahirkan pada tahun 1158 H./1745 M. di desa Bitala di Punjab. Ia adalah seorang keturunan dari Ahlul Bait. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan zuhud, yang mendapat pelatihan dalam Tarekat Qadiri melalui Syekh Nasir ad-Din al- Qadiri, yang dilatih oleh Khidr (a). Sebelum ia dilahirkan, ayahnya melihat di dalam mimpi di mana Sayyidina `Ali, khalifah keempat, mengatakan kepadanya, “Panggilah ia dengan namaku.” Ibunya bermimpi bertemu dengan seorang yang saleh yang berkata, “Kau akan mempunyai seorang anak laki-laki. Panggillah ia dengan nama `Abdul Qadir.” Kemudian ayah dan ibunya mempunyai mimpi yang sama di mana Nabi (s) mengatakan kepada mereka untuk menamai anaknya dengan nama `Abdullah. Karena perintah Nabi (s) lebih utama untuk didahulukan, maka beliau menamai anaknya `Abdullah Syah Ghulam `Ali.

Ia mampu menghafal al-Qur’an dalam satu bulan karena kejeniusannya. Ia mendidik dirinya sendiri dalam ilmu lahir dan batin, sampai ia menjadi yang tertinggi di antara para ulama. Ketika masa kanak-kanak, ia sering pergi ke gurun, berzikir di sana selama berbulan-bulan sekaligus; dengan memakan apapun yang bisa didapatkannya. Suatu ketika ia tinggal selama 40 hari tanpa tidur dan tanpa memakan apapun. Zikirnya tidak berhenti. Syekh ayahnya memerintahkan ayahnya untuk membawa anaknya kepadanya untuk diberi bay’at dalam Tarekat Qadiri.

Malam di mana ia tiba di rumah Syekh itu, ternyata ia sudah wafat. Ayahnya berkata, “Kami ingin memberimu Tarekat Qadiri, tetapi sekarang kau bebas untuk menempuh jalan apapun yang cocok bagimu.”

Ia terus menemani Syekh dari Tarekat Chisti di Delhi, di antaranya adalah Syekh Dia’ullah, Syekh `Abdul `Addad, khalifah dari Syekh Muhammad Zubair, Syekh Mirdad, Mawlana Fakhruddin, dan banyak lagi lainnya, sampai ia berusia dua puluh dua. Ia datang sendiri ke Khaniqah Syekh Jan Janan Habibullah (q). Ia meminta izinnya untuk memasuki Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Syekh Habibullah berkata kepadanya, “Lebih baik bagimu untuk berada dalam tarekat-tarekat itu yang mempunyai cita rasa dan gairah, karena di dalam tarekat kami tidak ada yang lain kecuali menjilati batu tanpa garam.” Ia berkata, “Itulah tujuan tertinggiku.” Syekh Habibullah menerimanya dan berkata, “Semoga Allah memberkatimu. Tinggallah di sini.”

Ia berkata, “Setelah aku menerima ilmu hadits dan menghafal Qur’an dan mempelajari tafsirnya, aku berdiri di hadapan Syekhku. Beliau memberi bay’at dalam Tarekat Qadiri melalui tangan sucinya. Beliau juga memberiku bay’at dalam Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Aku sedang berada di hadirat majelis zikir dan dalam asosiasinya selama 15 tahun. Kemudian beliau memberiku otoritas untuk membimbing dan melatih murid-murid. Pada awalnya aku merasa ragu karena aku takut bahwa Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) tidak akan memberiku izin untuk mengajar dalam Tarekat Naqsybandi. Suatu hari aku melihatnya dalam penglihatan spritual selama masa-masa keraguanku, beliau duduk di sebuah singgasana. Syah Naqsyband (q) lalu masuk. Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) segera berdiri dan mempersilakan Syah Naqsyband (q) untuk duduk di singgasana itu dan beliau tetap berdiri dalam hadiratnya. Dalam hatiku terlintas pikiran bahwa ini adalah sebuah tanda untuk menghormati Syah Naqsyband (q). Beliau berkata kepadaku, ‘Pergilah kepada Syah Naqsyband (q). Yang menjadi tujuan adalah Allah. Jalur apapun yang kau pilih, kau dapat mencapai-Nya.’”

Ia berkata, “Aku hidup dengan pendapatan dari sebuah properti yang aku miliki. Tetapi kemudian aku melepaskannya demi Allah. Setelah itu aku mengalami banyak kesulitan karena tidak mempunyai pendapatan. Aku hanya memiliki sebuah tikar tua untuk tidur dalam cuaca yang dingin dan sebuah bantal kecil untuk menyangga kepalaku. Aku menjadi sangat lemah. Aku mengunci diriku di kamarku dan berkata kepada diriku sendiri, ‘Wahai diriku, ini adalah kuburanmu. Aku tidak akan membuka pintu itu untukmu. Apapun yang Allah sediakan untukmu, kau boleh mengambilnya. Kau akan tinggal di sini tanpa makanan dan tanpa apa-apa kecuali tikar dan bantal itu. Air akan menjadi makananmu. Wahai ruhku, zikrullah akan menjadi makanan untukmu.’ Aku tinggal dalam kondisi seperti itu selama 40 hari, aku menjadi sangat lemah, sampai Allah mengirimkan seseorang mengetuk pintuku. Ia melayaniku dengan memberi makanan dan pakaian selama 50 tahun.”

Ia berkata, “Ketika aku mengunci pintu kamarku dan aku mengatakan apa yang kukatakan, Perlindungan Allah datang kepadaku. Suatu hari seseorang datang dan berkata, ‘Buka pintunya.’ Aku berkata, ‘Aku tidak ingin membukanya.’ Ia berkata, ‘Bukankah engkau memerlukan aku?’ Aku berkata, ‘Tidak, aku memerlukan Allah (swt).’ Pada saat itu aku mengalami penglihatan spiritual di mana aku diangkat ke Hadratillah dan seolah-olah aku telah menghabiskan waktu seribu tahun di Hadirat- Nya. Kemudian aku kembali dan Dia berkata, ‘Bukalah pintu itu.’ Setelah itu aku tidak pernah mengalami kesulitan lagi.”

Orang-orang berdatangan dari mana-mana. Kemasyhurannya sampai ke Byzantium, Iraq, Khorasan, Transoxiana, dan Suriah. Ketenaranny juga mencapai Afrika Utara. Ia mengirimkan khalifah dan deputinya ke mana-mana atas perintah Sayyidina Muhammad (s). Di antara mereka adalah Sayyidina Khalid Baghdadi (q). Ia mencapai orang-orang melalui mimpi dan membimbing orang-orang di negeri- negeri yang jauh. Orang-orang menempuh perjalanan jauh untuk menemuinya, mengatakan kepadanya, “Kau memanggilku melalui mimpiku.”

Khaniqahnya biasanya memberi makanan untuk 2000 orang setiap hari dan selalu penuh. Ia tidak pernah menyimpan makanan untuk keesokan hari. Karena kesederhanaannya ia tidak pernah berselonjor, karena ia takut kalau-kalau itu akan terarah kepada Nabi (s) atau kepada Wali tertentu yang berada di Hadratillah. Ia tidak pernah melihat pada cermin. Jika seekor anjing memasuki rumahnya untuk mencari makan, ia akan berkata, “Ya Allah, siapakah aku menjadi wasilah bagi-Mu dengan Pecinta-Mu? Dan siapakah aku hingga memberi makan mereka ketika Engkau memberiku makan dan memberi mereka makan? Ya Allah, aku berdoa demi makhluk-Mu, makhluk yang ini, dan semua orang yang datang padaku meminta kasih sayang, kirimkanlah aku Rahmat demi mereka dan bawalah aku lebih dekat dengan-Mu dan tolonglah aku untuk memegang Sunnah Nabi (s) dan menerima apa yang telah Kau tetapkan dan meninggalkan apa yang Kau larang.”

Ia berkata, “Suatu ketika Isma`il al-Madani datang mengunjungiku, atas perintah Nabi (s). Dari negerinya, Hijaz, ia telah menempuh ribuan mil. Beliau membawa beberapa relik peninggalan Nabi (s) sebagai hadiah untukku. Aku meletakkannya di Masjid Jami di Delhi.”

Ia berkata, “Suatu ketika Raja Nabdilkahand mendatangiku dan beliau memakai busana orang-orang kafir. Ketika aku melihatnya, aku marah terhadapnya dan aku katakan, ‘Kau tidak bisa duduk di hadiratku dengan pakaian semacam itu.’ Raja itu menjawab, ‘Jika kau mengecamku sedemikian rupa, aku tidak akan datang ke majelismu.’” Syekh berkata, “Itu lebih baik.” Raja itu lalu berdiri dengan marah dan kemudian pergi. Ketika ia sampai di pintu, sesuatu terjadi padanya, tidak ada yang tahu apa itu. Ia lalu melemparkan busana ala kafir itu dan segera kembali dan mencium tangan Syekh lalu mengambil bay’at darinya. Raja itu kemudian menjadi salah satu pengikutnya yang paling setia. Orang-orang bertanya apa yang terjadi padanya dan ia menjawab, “Ketika aku pergi keluar, aku melihat Syekh datang ke pintu bersama Nabi (s), padahal beliau berada di dalam! Itulah yang membuatku kembali kepadanya.”

Ia sangat jarang tidur. Ketika ia bangun untuk melakukan salat Tahajud, ia akan membangunkan setiap orang untuk duduk bertafakur bersamanya dan membaca al- Qur’an. Yang menjadi amalannya setiap hari adalah membaca sepertiga al-Qur’an kemudian salat Fajar bersama jemaahnya. Kemudian ia akan duduk dalam majelis zikir dan tafakur hingga matahari terbit. Ia akan salat Isyraq kemudian memberikan shuhba. Ia akan duduk membaca Hadits dan membaca tafsir Qur’an. Ia lalu salat Duha kemudian duduk untuk makan bersama para pengikutnya. Ia makan sedikit dan setelah makan ia akan membaca buku religius atau buku-buku spiritual dan menulis beberapa surat. Setelah Zhuhur ia akan duduk dan membaca tafsir dan hadits sampai waktu `Ashar. Setelah `Ashar ia akan berbicara mengenai Sufisme dan tokoh-tokoh terkemuka, seperti: al-Qusyayri, atau Ibn ‘Arabi atau Syah Naqsyband (q). Kemudian ia akan duduk di dalam majelis zikir sampai Maghrib.

Setelah Maghrib ia akan duduk dalam majelis privat bersama pengikutnya. Kemudian ia akan makan malam dan salat `Isya. Setelah `Isya ia akan mengisi waktu dengan zikir dan tafakur. Ia akan tidur selama satu atau dua jam, lalu ia akan bangun untuk melakukan Tahajud.

Masjidnya terlalu kecil untuk para pengikutnya, karena ia hanya bisa menampung 2.000 orang. Jadi, ia biasa membaca zikir untuk para pengikutnya secara bergiliran, setiap giliran, masjidnya penuh.

Siapapun yang memberinya donasi, pertama ia akan membayarkan zakat dari donasi itu. Menurut Mazhab dari Imam Abu Hanifa, tanpa menunggu waktu berjalan selama setahun, karena memberi zakat segera lebih baik daripada memberi sedekah. Ia akan menggunakan sisa dari donasi itu untuk mempersiapkan makanan dan manisan untuk fakir miskin dan membelanjakan untuk kebutuhan zawiyah dan kebutuhan pribadinya.

Beberapa orang pernah mencuri uang itu, tetapi ia tidak menegur mereka, tetapi akan menyerahkan urusannya kepada Allah. Suatu hari seseorang mencuri sebuah buku darinya kemudian mengembalikannya dengan menjualnya. Ia memuji orang itu dan memberinya sejumlah uang. Seorang muridnya berkata, “Wahai guruku, buku ini adalah buku yang dicuri dari perpustakaanmu sendiri dan di dalamnya ada tanda tanganmu.” Ia berkata, “Jangan menggunjing, urusan itu adalah antara dia dengan Allah.”

Ia selalu duduk dengan posisi berlutut, tidak pernah bersila atau berselonjor, tetapi dengan posisi menghormati Nabi (s) dan ia wafat dalam posisi seperti ini. Ia menyembunyikan apa yang ia berikan sebagai sedekah. Ia tidak pernah melihat berapa banyak yang ia berikan dan kepada siapa ia memberikannya. Ia memakai pakaian lama. Jika ia diberi pakaian baru, ia akan menjualnya dan membeli banyak pakaian tua dari hasil penjualannya. Ia berkata, “Lebih baik bagi orang banyak mempunyai beberapa baju daripada hanya seorang mempunyai baju yang bagus.”

Asosiasinya seperti asosiasi Sufyan ats-Tsawri, seorang Sahabat Nabi (s): tidak pernah bersuara keras, tidak ada gunjingan, dan tidak ada urusan duniawi yang didiskusikan. Tidak ada yang terdengar di sana kecuali tentang spiritualitas dan agama.

Suatu hari Syekh berpuasa dan salah seorang pengikutnya berbicara kasar tentang Raja India. Ia berkata kepadanya, “Sayang sekali bagiku, aku kehilangan puasaku.” Mereka berkata kepadanya, “Wahai guru kami, kau tidak melakukan apa-apa; orang yang bicaralah yang bertanggung jawab.” Ia berkata, “Tidak, orang yang bicara dan yang mendengar membagi dosa itu bersama.”

Ia sangat mencintai Nabi (s) sehingga setiap kali nama sucinya disebutkan ia akan terguncang dan pingsan. Ia sangat teliti dalam mengikuti Nabi (s) dalam perbuatan dan menjaga Sunnahnya.

Kata-Kata mengenai Kesempurnaannya dan Kesempurnaan dari Kata- Katanya

Ia berkata,

“Tarekat Naqsybandi dibangun atas empat prinsip, yaitu: menjaga Hadirat Allah; ilham Ilahiah, daya tarik dan mengabaikan bisikan-bisikan.”

“Siapa pun yang meminta Rasa dan Kerinduan, ia tidak benar-benar meminta Hakikat dari Hadratillah.”

“Seorang salik harus sangat waspada bagaimana ia melewati setiap momen hidupnya. Ia harus tahu bagaimana ia salat; ia harus tahu bagaimana ia membaca Qur’an; ia harus tahu bagaimana ia membaca Hadits; ia harus tahu bagaimana ia melantunkan Zikir; ia harus tahu berapa banyak kegelapan yang ia dapatkan dari makanan yang meragukan.”

“Makanan ada dua macam; yang pertama adalah untuk memuaskan diri dan yang kedua untuk memelihara diri. Yang pertama tidak dapat diterima, tetapi yang kedua dapat diterima karena ia memberikan kekuatan yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kalian dan menjaga Sunnah Nabi (s).”

“Sebagaimana meminta yang halal (hal-hal yang dibolehkan) adalah kewajiban bagi setiap Mukmin; menolak yang halal juga merupakan kewajiban bagi setiap Arif, Seorang yang Arif, seorang Sufi adalah orang yang menolak dunia dan akhirat, meskipun keduanya adalah halal. Ia tidak menerima yang lain kecuali Allah (swt).”

“Harus dimengerti oleh setiap orang bahwa semua kesempurnaan berpadu pada diri Nabi (s). Penampilan kesempurnaannya pada setiap abad dan waktu yang berbeda adalah berdasarkan pada kesiapan dan keadaan dari abad dan waktu pada saat itu. Itulah sebabnya penampilan dari kesempurnaannya di masa hidupnya dan di masa para Sahabat berada dalam bentuk Jihad dan perjuagan dalam berdakwah.

Penampilannya kepada para awliya di abad berikutnya melalui hadirat sucinya adalah dalam bentuk Gaib (Peniadaan Diri), Fana, Cita Rasa, Gairah, Emosi, Rahasia Tauhid dan keadaan spiritual lainnya. Itulah yang telah muncul ke dalam kalbu dan pada lidah para Awliya.”

“Bagi kita malam yang lapar adalah malam Mi’raj. Malam yang lapar adalah malam yang menginginkan Allah.”

Bay`ah (Inisiasi) ada tiga kategori: yang pertama adalah untuk perantaraan Syekh; kedua untuk tobat dari dosa-dosa; dan yang ketiga untuk terpaut atau terhubung dengan dan menerima silsilah.”

“Semua kesempurnaan manusia kecuali Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q), sementara Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Syah Naqsyband (q).”

“Manusia ada empat kategori: mereka yang tidak seperti manusia, karena semua yang mereka minta hanyalah dunia; lalu mereka yang meminta Akhirat; manusia yang matang yang meminta Akhirat dan Allah; dan manusia istimewa yang hanya meminta Allah.”

“Ruh manusia akan diambil oleh Malaikat Maut, tetapi ruh orang yang terpilih tidak dapat didekati oleh Malaikat; Allah sendiri yang mengambilnya dengan Tangan Suci-Nya.”

“Pikiran Ilahi adalah pikiran yang tahu tujuannya tanpa sebuah mediator, sedangkah Pikiran Duniawi adalah pikiran yang perlu melihat jalannya melalui seorang pemandu dan seorang wali.”

“Barang siapa yang ingin berkhidmah, ia harus berkhidmah pada Syekhnya.”

Dari Penglihatan Spiritualnya

Mengenai penglihatan spiritualnya, ia berkata,

“Suatu ketika aku mempunyai sebuah penglihatan spiritual di mana aku melihat al- Mir Ruhullah, salah satu pengikut Jan Janan Habibullah (q), yang berkata kepadaku, ‘Nabi (s) sedang menantimu.’ Di dalam penglihatan itu aku bergerak ke tempat di mana Nabi (s) menunggu. Beliau memelukku dan dengan pelukan itu aku berubah seperti dirinya. Kemudian aku berubah seperti sosok Syekhku, Jan Janan Habibullah (q). Kemudian aku berubah seperti Syekh Amar Kulal (q). Kemudian aku berubah seperti Syah Naqsyband (q), dan kemudian aku berubah seperti `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q). Kemudian aku berubah seperti Sayyidina Abu Bakr ash- Shiddiq (r), Sahabat Nabi (s).”

“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual mendekati waktu salat `Isya di mana aku melihat Nabi (s) mendatangiku dan berkata, ‘Aku mempunyai nasihat untukmu dan murid-muridmu; jangan tidur sebelum `Isya.’”

“Suatu ketika aku mendapat penglihatan spiritual di mana aku bertanya kepada Nabi (s), ‘Kau bersabda bahwa ‘Barang siapa yang melihatku, maka ia telah melihat Kebenaran.’ Beliau (s) berkata, ‘Ya, dan ia akan melihat Allah (swt).”

“Suatu hari aku mempunyai penglihatan spiritual di mana aku melihat Nabi (s) datang kepadaku dan beliau (s) berkata kepadaku, “Jangan melewatkan membaca Qur’an dan melakukan zikir, kau dan murid-muridmu, dan kirimkanlah selalu pahalanya sebagai hadiah untukku; dengan begini kau akan memperolah pahala yang besar.”

“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual dan aku berkata kepada Nabi (s), ‘Aku sungguh takut dengan api neraka.’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Siapapun yang mencintai kami, ia tidak akan masuk neraka.’”

“Suatu ketika aku mempunyai suatu penglihatan spiritual dan aku melihat Allah (swt) berbicara padaku. Dia berkata, “Wahajahmu adalah wajah Sulthan al-Awliya, dan engkaulah orangnya.’”

“Di dalam penglihatan spiritualku aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku, memelukku, dan memasuki pakaianku. Kami menjadi satu. Aku bertanya padanya, ‘Siapakah engkau?’ Beliau menjawab, ‘Syah Bahauddin Naqsyband, dan kau adalah aku dan aku adalah engkau.’”

Suatu ketika ia berada di tepi laut dan ombak sedang mengamuk dan ia melihat sebuah kapal sedang berlayar. Kapal itu terancam tenggelam, tetapi segera setelah ia memandangnya, kapal itu berhenti terombang-ambing dan laut menjadi tenang.

Suatu ketika salah seorang pengikutnya, Syekh Ahmad Yar, sedang menempuh perjalanan dagang dalam sebuah karavan. Karavan itu berhenti untuk beristirahat. Ia tertidur dan di dalam mimpinya ia melihat Syekhnya berkata, “Pergilah segera dari sini, ada perampok yang akan menyerang.” Ia terbangun dan bercerita kepada orang-orang, tetapi mereka tidak mau percaya. Akhirnya ia pergi sediri dan perampok itu datang dan membunuh semua orang.

Suatu hari Syekh Zul Syah bersiap-siap untuk mengunjungi Syekh `Abdullah dari tempat yang sangat jauh. Ia tersesat di jalan. Seorang pria mendatanginya dan menunjukkan arah yang benar. Ia bertanya kepadanya siapa dia. Ia menjawab, “Aku adalah orang yang akan kau datangi.”

Syekh Ahmad Yar berkata, “Suatu ketika Syekh `Abdullah pergi untuk melayat seorang wanita salehah yang putrinya meninggal dunia. Wanita itu dan suaminya menjamunya. Syekh berkata kepada wanita itu dan suaminya, ‘Allah akan memberi kalian seorang anak laki-laki menggantikan putri kalian.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sudah berusia enam puluh tahun dan aku telah melewati masa usia suburku, dan suamiku sudah berusia 80 tahun. Bagaimana mungkin kami bisa mempunyai anak?’ Beliau berkata, ‘Jangan bertanya bagaimana Allah dapat melakukannya! Itu adalah suatu keberkahan untuk kalian dan restuku untuk kalian.’ Kemudian beliau pergi keluar, mengambil wudu dan salat dua rakaat di masjid. Kemudian beliau mengangkat tangannya untuk berdoa, ‘Ya Allah karuniakan seorang anak kepada mereka sebagaimana yang telah Kau janjikan kepadaku.’ Kemudian beliau memandangku dan berkata, ‘Doa itu telah diterima.’ Berikutnya, wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki.”

Suatu hari seorang wanita yang merupakan saudara dari Mir Akbar `Ali dan seorang murid dari Syekh jatuh sakit. Mir Akbar `Ali mendatangi Syekh dan memintanya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan penyakitnya, tetapi Syekh menolak untuk memberikan doa. Mir Akbar`Ali tetap bersikeras. Syekh berkata, “Itu mustahil, karena wanita itu akan meninggal dunia dalam lima belas hari.” Mir `Ali pulang ke rumah dan dua minggu kemudian wanita itu meninggal dunia.

Suatu ketika di daerah sekitar Delhi terjadi kekeringan dan tidak ada tanaman yang bisa tumbuh. Orang-orang menjadi putus asa. Pada suatu hari yang sangat panas Syekh `Abdullah pergi keluar halaman masjid dan di bawah matahari yang menyengat, ia berkata, ‘Ya Allah, aku tidak akan bergerak dari sini sampai Engkau menurunkan hujan kepada kami.’ Belum lagi doanya selesai, langit dipenuhi awan dan hujan mulai turun. Hujan itu terus berlangsung selama 40 hari.

Ia berkata, “Aku ingin mati seperti Syekhku, Mirza Jan Janan Habibullah, sebagai seorang syahid. Tetapi aku ingat bahwa setelah beliau wafat orang-orang menderita kekeringan selama tiga tahun dan banyak terjadi pembunuhan dan masalah karena Allah murka dengan orang yang membunuhnya. Oleh sebab itu ya Allah, aku tidak ingin mati seperti itu, tetapi aku meminta-Mu untuk membawaku kepada-Mu.”

Ia wafat pada tanggal 12 Shafar 1241 H./1825 M. Ia wafat dengan buku Hadits Nabi (s), Jami` at-Tirmidzi, di tangannya. Ia dimakamkan di sebelah makam Syekhnya di Khaniqah Jan Janan Habibullah di Delhi.

Ia meninggalkan banyak buku, termasuk Maqamat an-Naqsybandiyya, Risalat al-Isytighal bi Ismi-l-Jalal, Manahij at-Tahqiq, dan Minatu-r-Rahman.

Ia meneruskan rahasianya kepada Mawlana Syekh Khalid al-Baghdadi al-`Utsmani as-Sulaymani (q).

29. Mawlana Syaikh Dhiya’uddin Khalid Utsmani al-Kurdi (QS)

Ia adalah Ulama dari para Ulama dan Wali dari para Wali dan Arif dari para Arifin dan Cahaya dan Bulan Purnama dari Tarekat ini di zamannya. Ia adalah Pemegang Rahasia dari Hakikat dan Hakikat dari Rahasia. Rahasianya bergerak ke dalam setiap manusia sebagaimana ruh bergerak ke dalam tubuh. Jika Nabi Muhammad (s) bukanlah Khatamul Anbiya, mungkin saja kata-katanya merupakan wahyu Ilahi. Ia menyebarkan ilmu Syari`ah dan Tasawuf. Ia adalah seorang mujtahid (penguasa) dalam Syari`ah dan Hakikat. Ia adalah Ulama dari Mursyid Kamil dan Wali dari Ulama Kamil. Ia mencapai semua ilmu spiritual dan ilmu duniawi. Ia mempelajari batang dan cabang-cabangnya. Ia adalah Pusat dari Lingkaran Qutub di zamannya dan ia merupakan jalan untuk menggabungkan akhir dengan awal dan awal dengan akhir.

Ia adalah seorang Mujaddid, Pembangkit Nilai-Nilai Agama dari abad ke-13 Hijriah. Alam semesta bangga akan kehadirannya. Ia dilahirkan pada tahun 1193 H./1779 M. di desa Karada, di kota Sulaymaniyyah, Iraq. Ia dibesarkan dan dilatih di kota itu, di mana ada banyak sekolah dan masjid di sana. Bahkan kotanya dianggap sebagai kota pendidikan utama pada masa itu. Kakeknya adalah Pir Mika’il Chis Anchit, yang artinya Mika’il, Wali dengan enam jari. Gelarnya adalah `Utsmani karena ia adalah keturunan Sayyidina `Utsman ibn `Affan (r), khalifah ketiga Rasulullah (s).

Ia mempelajari Qur’an dan penjelasan dari Imam Rifai menurut Mazhab Syafi’ii. Ia terkenal akan puisinya. Ketika ia berusia lima belas tahun ia menganut zuhud sebagai akidahnya, lapar sebagai tunggangannya, keterjagaan sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi sebagai cahayanya.

Ia adalah seorang salik di Dunia Allah dan ia mencapai berbagai jenis ilmu yang ada di zamannya. Ia belajar dari dua ulama besar di zamannya, yaitu Syekh `Abdul Karam al-Barzinji dan Syekh Abdur al-Barzinji, dan ia membaca bersama Mullah Muhammad `Ali. Ia kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana ia mempelajari ilmu matematika, filosofi, dan logika. Kemudian ia datang ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia mengenai Prinsip-Prinsip Fikih.

Kemudian ia mempelajari karya Ibn Hajar, Suyuti, dan Haythami. Ia mampu menghafal tafsir Qur’an dari Baydhawi. Ia mampu menemukan pemecahan bahkan bagi pertanyaan-pertanyaan tersulit di bidang fikih. Ia mampu menghafal Qur’an dalam empat belas Qiraat yang berbeda, dan ia menjadi sangat terkenal di mana- mana karena kemampuannya ini. Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, yang merupakan gubernur daerah Baban berusaha membujuknya untuk mengurus sekolah di kerajaannya. Namun ia menolaknya dan ia pindah ke kota Sanandaj, di mana ia mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Gurunya dalam disiplin ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandaji. Setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu sekuler ia kembali ke kota Sulaymaniyyah. Menyusul terjadinya wabah penyakit pada tahun 1213 H/1798 M. ia mengambil alih madrasah Syekh `Abdul Karam Barzinji. Ia mengajarkan ilmu-ilmu modern, dan memverifikasi persamaan- persamaan yang rumit dalam astronomi dan kimia.

Ia kemudian melaksanakan khalwat, meninggalkan semua yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala ibadah dan banyak zikir, baik zikir jahar maupun khafi. Ia tidak lagi mengunjungi sultan, tetapi ia tetap berkumpul bersama murid-muridnya sampai tahun 1220 H./1806 M. ketika ia memutuskan untuk menunaikan ibadah Haji dan mengunjungi Nabi (s). Ia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melalui kota Mosul dan Yarbikir dan ar-Raha dan Aleppo dan Damaskus, di mana ia bertemu para ulama di sana dan mengikuti Syekh di sana, yang merupakan syekh bagi ilmu qadim dan modern, serta guru ilmu hadits, asy- Syekh Muhammad al-Kuzbara. Ia menerima otoritas dalam Tarekat Qadiri dari Syekh al-Kuzbari dan deputinya, Syekh Mustafa al-Kurdi, yang turut menemaninya pergi hingga sampai di kota Nabi (s).

Ia memuji Nabi (s) dalam puisi Persia sedemikian rupa sehingga orang-orang merasa takjub akan kefasihannya. Ia menghabiskan waktu yang panjang di Kota Nabi (s). Ia melaporkan:

“Aku sedang mencari seorang saleh yang langka untuk mendengarkan nasihat darinya ketika aku melihat seorang Syekh di sebelah kanan dari Rawdhatu-sy- Syarifa. Aku memintanya untuk memberikan nasihat, dari seorang ulama yang bijak kepada seorang yang bodoh. Beliau menasihatiku agar tidak merasa keberatan ketika aku memasuki Mekah, terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dan bertentangan dengan Syari`ah. Beliau menasihati agar aku tetap diam. Aku lalu mencapai Mekah dan aku menjaga nasihat itu di dalam hatiku. Aku pergi ke Masjidil Haram dini hari pada hari Jumat. Aku duduk di dekat Ka’bah membaca Dala’il al- Khayrat, ketika aku melihat seorang pria dengan janggut hitam bersandar pada sebuah tiang dan memandangku. Dalam hatiku terlintas bahwa orang itu kurang memperlihatkan penghormatan kepada Ka’bah, tetapi aku tidak mengatakan apa- apa mengenainya dan mengenai persoalan itu.

“Ia memandangku dan memarahiku dengan berkata, ‘Hei bodoh, tidakkah kau tahu bahwa kemuliaan hati orang beriman lebih berharga daripada keistimewaan Ka’bah? Mengapa engkau mengkritikku di dalam hatimu karena aku berdiri membelakangi Ka’bah dan wajahku mengarah padamu. Apakah kau tidak mendengar nasihat Syekh di Madinah yang mengatakan kepadamu untuk tidak mengkritik?’ Aku mengejarnya dan meminta maaf, mencium tangan dan kakinya dan memohon bimbingannya menuju Allah. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hartamu dan kunci untuk kalbumu bukan di daerah ini, tetapi di India. Syekhmu berada di sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kau lakukan.’ Aku tidak menjumpai seseorang yang lebih baik darinya di seluruh Masjidil Haram. Ia tidak mengatakan kepadaku India mana yang harus kutuju, sehingga aku kembali ke Syam dan berkumpul bersama ulama-ulama di sana.”

Ia kemudian kembali ke Sulaymaniyyah dan melanjutkan ajarannya mengenai penyangkalan diri. Ia selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, ada seseorang yang datang ke Sulaymaniyyah. Beliau adalah Syekh Mawlana Mirza Rahimullah Beg al-M`aruf, yang dikenal dengan nama Muhammad ad-Darwish `Abdul `Azim al-Abadi, salah seorang khalifah dari Qutub al-A`zham,

`Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berjumpa dengannya dan memberinya penghormatan dan bertanya mengenai mursyid kamil yang dapat menunjukkan jalan baginya.

Beliau mengatakan, “Ada seorang Syekh kamil, seorang Ulama dan Arifin, yang menunjukkan jalan pada salik menuju Raja Diraja, seorang yang ahli dalam urusan- urusan pelik, mengikuti Tarekat Naqsybandi, membawa akhlak Nabi (s), seorang mursyid dalam Ilmu Spiritual. Ikutlah denganku untuk berkhidmah kepadanya di Jehanabad. Sebelum aku berangkat, beliau berkata kepadaku, ‘Kau akan bertemu seseorang, ajaklah ia bersamamu.’”

Syekh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H./1809 M. melalui kota Ray, kemudian Tehran, dan beberapa provinsi di Iran di mana ia bertemu dengan seorang ulama besar Isma`il al-Kashi. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapur. Ia mengunjungi Master dari semua induk Tarekat di Bistham, Syekh Bayazid al-Bisthami, dan ia memujinya di makamnya dengan puisi Persia yang sangat fasih. Kemudian ia bergerak ke Tus, di mana ia mengunjungi as- Sayyid al-Jalal al-Ma’nas al-Imam `Ali Rida, dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya yang membuat semua penyair di Tus menerimanya. Kemudian ia memasuki kota Jam dan ia mengunjungi asy-Syekh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya. Kemudian ia memasuki kota Herat di Afghanistan, kemudian Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini, ulama- ulama besar yang ditemuinya akan menguji pengetahuannya mengenai Syari`ah dan Makrifat, begitu pula di bidang logika, matematika, dan astronomi. Mereka mendapati bahwa ia bagaikan sungai yang luas, yang mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tak bertepi.

Kemudian ia pindah ke Lahore, di mana ia bertemu dengan Syekh Tsana’ullah an- Naqsybandi dan meminta doa restunya.

Ia mengingat,

“Malam itu aku tidur di Lahore dan aku bermimpi di mana Syekh Tsana’ullah an- Naqsybandi menarikku dengan giginya. Ketika aku bangun, aku ingin menceritakan mimpi itu padanya, tetapi beliau berkata, ‘Jangan menceritakan mimpimu kepadaku. Kami sudah mengetahuinya. Itu adalah tanda untuk melanjutkan perjalanan menuju saudaraku dan Syekhku, Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi (q).

Pembukaan kalbumu ada di tangannya. Kau akan mengambil bay’at dalam Tarekat Naqsybandi.’ Kemudian aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syekh. Aku meninggalkan Lahore, menyeberangi gunung dan lembah dan gurun sampai aku sampai di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad. Perlu satu tahun untuk mencapai kota ini. Empat puluh hari sebelum aku sampai, beliau mengatakan kepada murid-muridnya, ‘Penerusku akan datang.’”

Malam ketika ia memasuki kota Jehanabad ia menulis puisi dalam bahasa Arab, menelusuri tahun-tahun perjalanannya dan memuji Syekhnya. Kemudian ia memujinya dengan puisi dalam bahasa Persia yang memukau orang-orang karena kefasihannya. Ia memberikan segala yang dibawanya dan semua yang ada di sakunya kepada fakir miskin. Kemudian ia dibay’at oleh Syekhnya, `Abdullah ad- Dahlawi (q). Ia berkhidmah di zawiyahnya dan membuat perkembangan pesat dalam berjuang melawan diri (nafs). Lima bulan belum berlalu ketika ia menjadi salah seorang di antara orang-orang dari Hadratillah dan yang mempunyai Visi Ilahiah.

Ia memohon izin dari Syekh `Abdullah untuk kembali ke Iraq. Syekh kemudian memberinya otoritas tertulis terhadap lima tarekat.

Yang pertama adalah Tarekat Naqsybandi, atau Silsilah Keemasan, yang menjadi subjek dari buku ini.

Yang kedua adalah Tarekat Qadiri melalui Syekh dari Sayyidina Ahmad al-Faruqi, Syah as-Sakandar dan dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani, al-Junayd, as-Sirra as-Saqati, Musa al-Kazim, Ja`far ash-Shadiq (a), Imam al-Baqir (a), Zain al-`Abidiin (a), al-Husayn (a), al-Hasan (a), `Ali ibn Abi Thalib (r), dan Sayyidina Muhammad (s).

Tarekat ketiga adalah as-Suhrawardiyya, mata rantai silsilahnya serupa dengan Silsilah Qadiriyyah sampai al-Junayd, yang kembali kepada Hasan al-Basri dan setelah itu kepada Sayyidina `Ali (r) dan Nabi (s).

Beliau juga memberinya otoritas dalam Tarekat Kubrawiyyah, yang mempunyai jalur yang sama seperti Qadiriyyah, tetapi melalui Syekh Najmuddin al-Kubra.

Terakhir, ia diberi otoritas dalam Tarekat Chisti melalui suatu jalur dari `Abdullah ad-Dahlawi (q) dan Jan Janan (q) kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) dan kemudian melalui banyak syekh kepada Syekh Mawrad Chishti, Nasir Chishti, Muhammad Chishti, dan Ahmad Chishti kepada Ibraham ibn Adham, Fudayl ibn al-`Iyad, Hasan al-Basri, Sayyidina `Ali (r), dan Nabi (s).

Beliau memberinya otoritas untuk mengajar semua Ilmu Hadits, Tafsir, Sufisme, dan Awrad. Ia mampu menghafal Kitab Itsna `Asyari (Dua Belas Imam), yang merupakan sumber rujukan mengenai ilmu dari keturunan Sayyidina `Ali (r).

Ia lalu pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H./1813 M. untuk kedua kalinya dan ia tinggal di Madrasah Ahsa’iyya Isfahaniyyah. Ia mengisi waktunya dengan memperdalam ilmu-ilmu Allah dan memperbanyak Zikrullah. Kemudian beberapa orang yang iri menulis surat berisi kritikan kepadanya dan mengirimkannya kepada Sultan, Sa`id Pasha, gubernur Baghdad. Mereka menuduhnya kufur dan mengkritiknya dengan tuduhan-tuduhan lain yang tidak dapat diulangi. Ketika gubernur membaca surat itu, ia berkata, “Jika Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bukan seorang yang beriman, lalu siapa yang beriman?” Ia lalu mengusir musuh-musuh yang iri tersebut dari hadapannya dan memenjarakan mereka.

Syekh meninggalkan Baghdad untuk beberapa waktu dan kemudian kembali lagi untuk ketiga kalianya. Ia kembali ke madrasah yang sama yang saat itu telah direnovasi untuk menyambutnya. Ia mulai menyebarkan berbagai ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Ia menyingkap rahasia-rahasia Hadratillah, menerangi kalbu manusia dengan cahaya yang Allah berikan ke dalam kalbunya, sampai gubernur, para ulama, guru-guru, para pekerja dan orang-orang dari berbagai latar belakang menjadi pengikutnya. Baghdad pada zamannya sangat terkenal akan ilmunya, sehingga kota itu disebut “Tempat bagi Dua Macam Ilmu,” dan “Tempat bagi Dua Matahari.” Serupa dengan hal itu, ia juga dikenal sebagai “Yang Mempunyai Dua Sayap” (dzu-l-janahayn), sebuah kiasan bagi penguasaan ilmu lahir dan batin yang dimilikinya. Ia mengirimkan khalifah-khalifahnya ke mana-mana, dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Suriah) ke Turki, dari Iran ke India, dan Transoxania (wilayah sekitar Uzbekistan sekarang), untuk menyebarkan jalan para pendahulunya di Tarekat Naqsybandi.

Ke mana pun ia pergi, orang-orang akan mengundangnya ke rumah-rumah mereka, dan rumah mana pun yang ia masuki, rumah itu menjadi makmur. Suatu hari ia mengunjungi Kubah Batu (Qubbat ash-Shakhrah) di Yerusalem bersama banyak pengikutnya. Ia sampai di Kubah Batu dan khalifahnya, `Abdullah al-Fardi, keluar untuk bertemu dengannya bersama sekelompok orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke dalam Gereja Kumama untuk memberkatinya dengan kehadirannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kotanya Nabi Ibrahim (a), ayah dari semua Nabi, dan ia disambut oleh orang-orang di sana. Ia masuk ke dalam Masjid Ibrahim al-Khalil dan ia mengambil keberkahan dari dindingnya.

Ia pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah (Ka`bah suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Sekelompok besar khalifah dan murid-muridnya turut menemaninya. Kotanya Masjidil Haram beserta para ulama dan Awliyanya keluar untuk menemuinya dan semuanya mengambil bay’at darinya. Mereka memberinya kunci- kunci kedua Kota Suci dan mereka menganggapnya sebagai Syekh Spiritual bagi Dua Kota Suci. Ia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi pada hakikatnya Ka’bah yang memutarinya.

Setelah hajinya dan berziarah ke makam Nabi (s), ia kembali ke Syam asy-Syarif (Suriah yang diberkati). Ia diterima dengan hangat oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, di mana ketika ia memasuki Syam, sebuah parade yang sangat besar diadakan dan 250.000 orang menyambutnya di gerbang kota. Semua ulama, menteri, Syekh, orang kaya dan miskin datang untuk turut mengambil keberkahan dan meminta doanya. Itu bagaikan sebuah hari raya. Para penyair melantunkan puisi mereka dan orang-orang kaya memberi makan pada fakir miskin. Semua orang sama di hadapannya ketika ia memasuki kota. Ia membangkitkan ilmu Spiritual dan ilmu lahir dan menyebarkan cahaya itu sehingga orang-orang, baik Arab dan non-Arab menerima Tarekat Naqsybandi dari tangannya.

Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tahun 1242 H./1827 M. ia memutuskan untuk mengunjungi Quds (Yerusalem) dari Damaskus. Murid-muridnya sangat senang dan ia berkata, “Alhamdulillah, kita akan melakukannya jika Allah memanjangkan umur kita, setelah Ramadan, pada awal Syawal.” Itu merupakan tanda bahwa ia mungkin akan meninggalkan dunia fana ini.

Pada hari pertama di bulan Syawal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu muridnya memintanya untuk mendoakan dirinya agar selamat dari wabah itu, dan ia menambahkan, “Dan untukmu juga Syekhku.” Ia berkata, “Aku merasa malu di hadapan Tuhanku, karena niatku ketika datang ke Syam adalah untuk mati di Tahan Suci ini.”

Yang pertama meninggal dunia adalah putranya, Bahauddin, pada malam Jumat dan ia berkata, “Alhamdulillah, ini adalah jalan kami,” dan ia menguburkannya di Jabal Qasiyun. Putranya berumur lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu fasih dalam tiga bahasa: Persia, Arab, dan Kurdi, dan ia biasa membaca Qur’an.

Kemudian, pada tanggal 9 Dzul-Qaidah, putrnya yang lain, Abdur Rahman juga meninggal dunia. Ia lebih tua setahun dari adiknya. Mawlana Khalid (q) memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam untuk menguburkan putra keduanya. Ia berkata, “Di antara murid-muridku, banyak yang akan meninggal dunia.” Ia memerintahkan mereka untuk menggali lebih banyak untuk murid- muridnya, termasuk istri dan putrinya, dan ia memerintahkan mereka untuk mengairi daerah itu. Kemudian ia berkata, “Aku memberi otoritas sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi kepada Syekh Isma`il asy-Syirwani.” Ia mengatakan hal ini pada tahun kematiannya, 1242 H./1827 M.

Suatu hari ia berkata, “Aku mendapat suatu penglihatan spiritual yang luar biasa kemarin: aku melihat Sayyidina `Utsman Dzun-Nurayn (r) seolah-olah beliau wafat dan aku melakukan salat untuknya. Beliau membuka matanya dan berkata, ‘Ini adalah dari keturunanku.’ Beliau menggandeng tanganku dan membawanya kepada Nabi (s), dan berkata kepadaku agar membawa seluruh murid Naqsybandi di zamanku dan di zaman setelahku hingga zamannya Mahdi (a), dan beliau memberkati mereka. Kemudian aku keluar dari penglihatan itu, dan aku melakukan salat Maghrib bersama anak-anak dan murid-muridku.

“Rahasia apapun yang kumiliki telah kuberikan kepada deputiku, Isma`il asy-Syirwani. Siapa yang tidak menerimanya, berarti ia bukan bagian dariku. Jangan berdebat, jadilah satu pikira dan ikuti pendapatnya Syekh Isma`il. Aku menjamin siapapun di antara kalian yang menerima dan mengikutinya, ia akan bersamaku dan bersama Nabi (s).”

Ia memerintahkan mereka agar tidak menangisinya, dan ia meminta mereka untuk menyembelih hewan dan memberi makan fakir miskin demi kecintaan kepada Allah dan demi kehormatan Syekh. Ia kemudian meminta mereka untuk mengirimkan bacaan Qur’an dan doa. Ia memerintahkan mereka untuk tidak menulis apa-apa di makamnya, kecuali “Ini adalah makam Sang Ghariib (orang asing) Khalid.”

Setelah `Isya‘ ia masuk ke dalam rumahnya, memanggil semua keluarganya, dan menasihati mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam. Sebelum Fajr, ia bangun, berwudu dan salat sebentar. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan berkata, “Tidak ada yang boleh memasuki kamar ini kecuali atas perintahku.” Ia berbaring di sisi kanan, menghadap Qiblah, dan berkata, “Aku telah terkena wabah dan aku akan menanggung semua wabah yang diturunkan di Damaskus.” Ia mengangkat tangannya dan berdoa, “Siapapun yang terkena wabah, biarkan wabah itu mengenaiku dan selamatkan semua orang di Syam.”

Hari Kamis tiba, dan semua Khalifahnya masuk ke kamarnya. Sayyidina Isma`il asy-Syirwani bertanya, “Bagaimana perasaanmu?” Ia berkata, “Allah telah mengabulkan doaku. Aku akan membawa semua wabah dari semua orang di Syam dan aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka menawarinya air, tetapi ia menolak, dan berkata, “Aku meninggalkan dunia untuk bertemu Tuhanku. Aku telah menerima untuk membawa semua wabah dan membebaskan orang-orang yang terinfeksi di Syam. Aku akan meninggal pada hari Jumat.”

Ia membuka matanya dan berkata, “Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq,” ikrar yang dibaca dalam bay’at Tarekat Naqsybandi, dan ia membaca ayat 27-30 dari Surat al-Fajr: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya! Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku!

Masuklah ke dalam Surga-Ku!” Kemudian ia menyerahkan jiwanya kepada Tuhannya dan ia pun wafat, seperti yang telah diprediksikannya, pada tanggal 13 Dzul Qaidah, 1242 H./1827 M. Mereka membawanya ke madrasahnya dan memandikannya dengan air yang penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sambil berzikir, khususnya Syekh Isma`il asy-Syirwani, Syekh Muhammad, dan Syekh Aman. Mereka membaca Qur’an di sekelilingnya dan di pagi harinya, mereka membawanya ke sebuah masjid di Yulbagha.

Syekh Isma`il asy-Syirwani meminta Syekh Aman `Abdin untuk melakukan salat jenazah untuknya. Masjid tidak mampu mengakomodasi semua orang yang hadir. Dikatakan bahwa lebih dari 300.000 orang melakukan salat di belakangnya. Syekh Isma`il berjanji kepada orang-orang yang tidak bisa melakukan salat di masjid bahwa ia akan melakukan salat jenazah kedua kalinya di makam. Orang-orang yang memandikannya membawa jenazahnya ke kuburnya. Hari berikutnya, Sabtu, seolah-olah suatu keajaiban terjadi di Syam, wabah itu tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia.

Mawlana Khalid meneruskan Rahasianya kepada penerusnya di Makkah al-Musyarafah Syekh ‘Abdallah Al-Arzinjani, Wallahu A’lam Bishawab

30. Sayyidi Syaikh ‘Abdullah Affandi (QS)

Maulana Khalid mengangkat dan mengutus khalifahnya, ‘Abdallah Al-Arzinjani (yaitu seorang Kurdi atau Turki dari Erzincan di Turki tengah), untuk menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Makkah. ‘Abdallah Al-Arzinjani, selanjutnya dikenal dengan nama Syekh Abdullah al Affandi al Makki, kemudian membangun sebuah zawiyah di Jabal Abu Qubais yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Ka’bah.

Jabal Qubais menjadi tempat bertahta Syekh Abdullah al Afandi, beliau dikenal sebagai wali Allah yang zuhud akan dunia dan sangat kasih akan zat Allah ta’ala dan menjadi kepala sekalian guru-guru di dalam negeri Makkah al Musyarrafah

Syekh Abdullah Affandi mempunyai beberapa murid dari Indonesia, salah satu muridnya yang terkenal adalah Syekh Ismail Minangkabawi al Khalidi penyebar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Tanah Melayu. Syekh Ismail Minangkabawi al Khalidi sering pula disebut dengan Syekh Ismail al Barusi (Burusi), namanya sering dimunculkan sebagai ahli silsillah dari beberapa Syekh Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di nusantara

Syekh Abdullah Affandi mengangkat 2 khalifah yang menonjol di Makkah, yaitu:

  1. Syekh Sulaiman al Qarimi, yang melanjutkan sebagai pimpinan di Jabal Qubais.
  2. Syekh Yahya al Daghistani, yang selanjutnya mengangkat anaknya, Syekh Khalil Hamdi sebagai penerusnya. Syekh Khalil Hamdi menulis kitab berjudul Irsyad Al-Raghibin dan diterbitkan di Istanbul pada tahun 1307/ 1889-90. Syekh Khalil Hamdi hidup sezaman dengan Syekh Sulaiman Zuhdi.

Dari Syekh Abdullah Affandi rahasia suci turun kepada penghulu sekalian khalifah yang mempunyai keramat yang nyata yaitu, Syekh Sulaiman al-Qarimi.

31. Sayyidi Syaikh Sulaiman al-Qarimi (QS)

Syekh Sulaiman al-Qarimi berasal dari Krim, di sebelah utara Laut Hitam.

Sebagai penerus Syekh Abdullah al Affandi, Syekh Sulaiman al-Qarimi bertahta pula di Jabal Abu Qubais yang tetap menjadi pusat Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan menjadi tempat para haji dari nusantara menuntut ilmu tarekat.

Dari Syekh Sulaiman Al-Qarimi turun kepada menantunya yang alim lagi saleh, yang senantiasa tafakkur dan muraqabah, baqa billah siang dan malam kepada Tuhan Kaliqul ‘alam, yaitu: Syekh Sulaiman Zuhdi.

32. Sayyidi Syaikh Sulaiman az-Zuhdi (QS)

Dari Syekh Sulaiman Zuhdi nyata kebesaran serta kemuliaan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, dan Beliau adalah penghulu sekalian khalifah dan ikutan sekalian orang yang suluk.

Syekh Sulaiman Zuhdi menjadi dikenal di antara orang Indonesia sebagai “Syaikh Jabal Abu Qubais” atau disingkat “Syaikh Jabal“, sebab Beliau bertempat tinggal di zawiyah ‘Abdallah Arzinjani di Bukit Abu Qubais. Pada zaman Beliau inilah Jabal Qubais sebagai Pusat Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah mencapai zaman puncak keemasannya.

Banyak para haji Indonesia yang bersuluk di Jabal Qubais diangkat sebagai khalifah-khalifah untuk wilayah nusantara. Kebanyakan para khalifah tersebut pulang ke Indonesia dengan membawa kitab karya Syaikh Sulaiman Al-Zuhdi, Majmu’atur Rasa’il ‘an Ushulil Khalidiyyah ad-Dhiya’iyah al-Mujaddidiyah an- Naqsyabandiyah, yaitu kitab yang berisi kumpulan 18 risalah penting dan surat- surat Syekh Sulaiman Zuhdi mengenai asas-asas pokok Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Kitab ini dicetak di Mekah, tanpa menyebutkan tahun. Setidak-tidaknya empat dari risalah-risalah ini khusus ditulis untuk pembaca-pembaca Indonesia.

Karya ini menjadi satu risalah yang begitu penting mengenai Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah, dimana keberadaannya saat ini langka dan yang hanya mungkin dimiliki oleh Syekh-syekh berusia tua. Diantara risalah-risalah penting dalam bundel ini ialah:

  1. Shahifatus Shafa li Ahlil Wafa (tentang 17 tingkatan zikir dalam Naqsyabandi),
  2. Nahjatus Salikin wa Bahjatus Salikin,
  3. Mahsiratus Salikin ‘ala Sairatus Sa’irin dan
  4. Tubshiratul Fashilin ‘an Ushulil Washilin (tentang Rabithah).

Beberapa khalifah dari Syekh Sulaiman Zuhdi, yang penting disebutkan di sini adalah:

  1. Syekh Ali Ridha, Jabal Qubais Makkah
  2. Syekh Ustman Fauzi, Jabal Qubais Makkah
  3. Syekh Husein, Jabal Qubais Makkah
  4. Syekh Abdul Wahab Rokan, Babusalam
  5. Syekh Sulaiman, Hutapungkut
  6. Syekh Muhammad Hadi, Girikusuma, dekat Semarang (selain khalifah- khalifahnya yang meneruskan tarekat di Girikusuma, putra tertua Syekh Hadi, Syekh Mansyur, mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Popongan Tegalgondo Wonosari Klaten).
  7. Syekh Muhammad Ilyas, Sokaraja Banyumas
  8. K.H. Syarqowi, Tanggung Purwodadi Grobogan
  9. K.H. Abdurrahman, Jetis Kutosari Kebumen
  10. K.H. Ahmad ibn Munada, Rowobayan Padangan Bojonegoro. (selain khalifah- khalifahnya yang meneruskan tarekat di Rowobayan, K.H. Ahmad mengangkat K.H. Zainal Abidin sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Talokwohmojo Ngawen Blora)

Dari Syekh Sulaiman Zuhdi (q) rahasia suci diturunkan kepada anaknya/ menantunya yang alim lagi saleh, yang senantiasa tafakkur dan muraqabah, baqa billah siang dan malam dan ikutan sekalian orang yang suluk, yaitu Sayyidi Syekh Ali Ridla (q).

33. Sayyidi Syaikh ‘Ali Ridha (QS)

Syekh Ali Ridla (q) adalah ahli tasawuf dan Syekh Tarekat Naqsyabandiyah yang sangat pintar dan alim, seorang sufi yang mashyur.

Syekh Ali Ridha (q) mengangkat beberapa khalifah dari Indonesia, di antaranya yang penting disebutkan di sini adalah:

  1. Syekh Muhammad Hasyim, Buayan
  2. K.H. Muhammad Yahya, Baran Mojo Kediri
  3. K.H. Abdul Gaffur, Mantenan Udanawu Blitar
  4. K.H. Abdul Hadi bin Ahmad, Rowobayan Padangan Bojonegoro

Tokoh besar tarekat dari Bukittinggi yang kontraversial, Haji Jalaluddin pendiri PPTI (Persatuan/ Partai Pengamal Tarekat Indonesia), juga mengaku menerima keabsahannya sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari Syekh Ali Ridha ketika naik haji di Makkah.

Syekh Ali Ridha menjadi Syekh Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang terakhir bertahta di Jabal Abu Qubais setelah hampir semua jalur tarekat di Hijaz berakhir pada permulaan abad kedua puluh. Sebagian berakhir sama sekali, sisanya lenyap dari Kota Suci Makkah dan Madinah setelah penaklukan ‘Abd Al-‘Aziz Ibn Sa’ud pada tahun 1924.

Pada saat itu Syekh Ali Ridha dikabarkan telah meninggalkan Makkah menuju Baghdad dan kemudian ke India dan disana beliau meninggal dunia. Sebuah silsilah dari seorang pengikut Haji Jalaluddin dari Bukittinggi, mencatat tahun wafat Syekh Ali Ridha tahun 1934. Seorang informan penganut Khalidiyah Sumatera yang lain, sebaliknya berkeyakinan bahwa Syekh Ali Ridha telah wafat sebelum 1924.

Rahasia suci dan kasih sayang Syekh Ali Ridla penuh ditumpahkan kepada muridnya dari nusantara yang kemudian menjadi khalifah Rasul yang ke 34, yaitu Syekh Muhammad Hasyim Al Khalidi Buayan.

34. Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim al-Khalidi (QS)

Maulana Lahir Tahun 1863 di Padang, merupakan seorang Wali Qutub yang membawa Thareqat Naqsyabandi dari Jabbal Qubais Mekkah ke Nusantara.

Takluknya Sang Pendekar

Muhammad Qessah adalah seorang pendekar ahli silat tak terkalahkah yang terkenal mulai dari Muara Sipongi di Sumatera Utara sampai ke Teluk Bayur di Sumatera Barat. Begitu hebatnya ilmu silat yang dimilikinya sehingga banyak orang berguru kepadanya terutama dari kalangan anak-anak muda di masa itu. Tidak kecuali pihak Belanda pun mengangkat Beliau sebagai pegawai untuk mengamankan daerah dan tentu saja tidak ada orang yang berani melawan Beliau. Beliau punya prinsip kalau kalah akan berguru tapi kalau menang orang yang kalah tersebut harus berguru kepada Beliau.

Suatu hari tersiar kabar ada seorang Syekh Tarekat yang mempunyai ilmu tinggi yang tidak bisa terkalahkan juga dan murid-murid Muhammad Qessah yang semula berguru kepada Beliau berpindah berguru kepada Syekh Tarekat tersebut. Hal ini membuat Muhammad Qessah penasaran dan ingin sekali menantang Syekh Tarekat tersebut berkelahi, mengadu ilmu sesuai dengan prinsip Beliau kalau kalah akan berguru kepada orang yang bisa mengalahkan Beliau.

Beliau mengunjungi Syekh Tarekat tersebut dengan menunggang kuda. Ketika mau sampai ke rumah Tuan Syekh, Beliau berhenti di tepi sebuah telaga untuk beristirahat sejenak sambil mencuci muka dan memperbaiki letak penutup kepala Beliau dengan maksud ketika mengunjungi Tuan Syekh pakaian dan penampilan Beliau akan kelihatan rapi.

Ketika sampai di rumah Tuan Syekh yang tidak lain adalah seorang ulama Tasawuf terkenal didaerah Hutapungkut dan sekitarnya, Beliau bernama Syekh Sulaiman Hutapungkut, khalifah dari Saidi Syekh Sulamaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah, seperti sudah mengetahui kedatangan Muhammad Qessah.

Syekh Sulaiman Hutapungkut menunggu di serambi rumah dengan hanya ditemani oleh istri Beliau.

“Assalamu’alaikum,” kata Muhammad Qessah dengan suara lantang. “Wa’alaikum salam,” jawab Syekh Sulaiman Hutapungkut.

Muhammad Qessah dipersilahkan duduk dengan jarak lebih kurang 2 meter dari tempat duduk Syekh Sulaiman Hutapungkut.

Kemudian Syekh Sulaiman Hutapungkut bertanya, “Apa maksud kedatangan Tuan kemari?” dengan tanpa basa basi, Muhammad Qessah menjawab, “Saya ingin menantang Tuan Syekh mengadu ilmu!”

Syekh Sulaiman Hutapungkut dengan tenang menjawab, “Saya perhatikan, sorban tuan agak miring.”

“Ah tidak,” jawab Muhammad Qessah.

“Sebaiknya tuan bercermin dulu untuk memastikannya,” kata Syekh Sulaiman Hutapungkut.

Kemudian Syekh Sulaiman Hutapungkut meminta istri Beliau untuk mengambil sebuah cermin dan kemudian cermin itu diberikan kepada Muhammad Qessah. Ketika Muhammad Qessah melihat cermin alangkah terkejutnya karena di cermin itu dilihat wajahnya penuh dengan coretan luka. Dalam hati Beliau berfikir kapan Tuan Syekh tersebut melukai mukanya padahal dari tadi Tuan Syekh tidak bergerak sedikitpun dari kursinya.

Kemudian Muhammad Qessah dengan penasaran bertanya, “Ilmu apakah ini Tuan Syekh?”

Syekh Sulaiman Hutapungkut menjawab, “inilah ilmu antara diam dan gerak, ilmu sebelum berperang sudah menang.”

Akhirnya Muhammad Qessah mengakui kehebatan dari Syekh Sulaiman Hutapungkut dan berguru kepada Beliau.

Muhammad Qessah adalah nama kecil dari Maulana Saidi Syekh Muhammad Hasyim al-Khalidi.

Belajar Tarekat di Hutapungkut dan Jabal Qubais

Seperti kisah di atas, guru tarekat pertama Syekh Hasyim adalah Saidi Syekh Sulaiman Hutapungkut di kota Nopan, Tapanuli Selatan.

Syekh Hutapungkut adalah khalifah dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Makkah. Setelah Syekh Hasyim menjadi murid kepala dan khalifah yang dituakan di Hutapungkut, maka Beliau disuruh oleh Syekh Hutapungkut untuk berhaji dan berguru kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Makkah.

Maka berangkatlah Syekh Hasyim ke Makkah tahun 1918, sesampainya di Makkah kiranya Syekh Sulaiman Zuhdi telah berlindung dan yang didapati Syekh Hasyim ialah Syekh Ali Ridha, khalifah dan menantu Syekh Sulaiman Zuhdi, kepada Syekh Ali Ridha itulah seterusnya Syekh Hasyim berguru di Jabal Qubais.

Beberapa tahun di Jabal Qubais, maka Syekh Hasyim diangkat pula sebagai murid kepala dan khalifah yang tertua. Syekh Hasyim pernah 2 tahun memimpin langsung Suluk Sentral seluruh dunia tersebut, karena Syekh Ali Ridha sedang uzur di masa itu. Bahwa sesungguhnya Syekh Hasyim adalah murid yang terpercaya dan tahkiq, kiranya Beliau telah menerima waris muthlak dari guru Beliau, Syekh Ali Ridha.

Selama di Jabal Qubis Mekkah dengan tekun menuntut dan mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, mendalami syariat dan hakikat serta memperoleh makrifat. Pada Kesempatan itu pula beliau berpuluh puluh kali berziarah ke makam Rasulullah SAW dan melaksanakan ibadat Haji.

Disamping berguru kepada Syekh Ali Ridha, Syekh Hasyim juga berguru kepada Syekh Husin yang mendampingi Syekh Ali Ridho di Jabal Qubaisy Makkah.

Sampai saatnya Syekh Hasyim meminta izin untuk kembali dan pulang ke Sumatera, maka Syekh Ali Ridha memberi izin dan disuruh membawa sekalian pusaka-pusaka yang telah diwariskan.

Rupanya Syekh Ali Ridha telah arif akan apa yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang dan dengan takdir Allah SWT, sesampianya di Sumatera Syekh Hasyim tidak bisa lagi kembali ke tanah suci Makkah karena terjadi 2 hal, yaitu:

  1. Terjadinya perang dunia pertama
  2. Di Tanah Suci Makkah terjadi pengambil alihan kekuasaan oleh kaum Wahabi yang tidak mengerti akan suluk dan melarang dibukanya Jabal Qubais.

Kembali ke Sumatera

Setelah kembali ke Indonesia, Beliau menetap di Buayan Sumatera Barat, sebagai seorang Syekh tarekat yang mashyur dan juga seorang pendekar ulung, jago silat kawakan yang tak ada tolok bandingnya.

Sebagai seorang perintis kemerdekaan, beliau pernah dibuang di Boven Digul tahun 1928-1932dan menjadi penasehat beberapa pembesar Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Syekh Muhammad Hasyim mempunyai 3 buah alkah atau surau tempat suluk, yaitu:

  1. Buayan/ Lubuk Alung (Padang)
  2. Kubang Sirakuk (Sawahlunto)
  3. Ranjau Batu (Muara Sipongi)

Di mana suluk-suluk besarnya masing-masing adalah Suluk Haji di Buayan, Suluk Puasa di Sawahlunto dan Suluk Maulid di Ranjau Batu. Pada saat itu usia Syekh Hasyim sudah sangat lanjut, digendong kian kemari kemana Beliau akan pergi.

Walaupun keadaan fisik Beliau kelihatan sudah uzur tetapi wajah Beliau tetap bulat penuh, bercahaya dan berseri-seri. Beliau tetap bersih dan tidak hilat sedikitpun.

Pantun Syekh Hasyim

Mengenai peramalan dari Dzikrullah menurut Beliau harus diamalkan secara berkesinambungan sesuai syairnya:

Kalau ingin tahu diparak ganting Lihatlah dari guguk pelana

Kalau ingin tahu dilemaknya emping Kunyalah dahulu lama-lama

Agar Tuhan dengan kita harus di upayakan dengan amal yang sungguh-sungguh, sehingga lebih dekat dengan urat leher kita sendiri, seperti Fatwanya:

Payah-payah mencari bilah Bilah ada di dalam buluh Payah-payah mencari Allah

Allah sangat dekat dengan tubuh

Cintanya kepada Allah, Rasul dan Guru dikiaskannya dalam pantunnya :

Guruh petir menuba limbat Pandan serumpun di seberang Tujuh ratus carikan obat Badan bertemu maka senang

Dendang dua dendang tiga Pecah periuk pembuat rendang Biar makan biar tidak

Asal duduk berpandangan

Baginya menguasai ilmu metafisik bukan tujuan, tdk ada artinya metafisik tanpa Allah, tujuannya adalah “ilahi anta makasudi waridhoka matlubi “ dan bagi orang yang beserta Allah tidak akan dapat dicederai dengan ilmu metafisik jenis apa pun, sesuai kias Beliau :

Pucuk sijali si jalintas Pucuk sijali si jali muda Di langit tuan melintas Kami dibalik itu pula

Segala derita diseluruh dimensi alam adalah masalah, dan segala masalah hanya dapat diatasi dengan dimensi yang dapat mengatasi masalah, Mengembalikan semua masalah pada dimensi absolute dengan teknik tertentu yaitu Allah SWT secara realita (bukan khayalita) membuat masalah akan selesai,denegan memberi hikmah kepada siapa saja yang terlibat dalam masalah tersebut, seperti petuah Beliau:

Padi pulut tiga tangkai Dibawa orang indrapura Dunia kusut akan selesai

Ujung dan pangkal telah bersua

Akhir Hayat Syekh Hasyim

Menjelang Syeikh Hasyim wafat pada tahun 1954 beliau sudah secara diam-diam menurunkan dan mewariskan segala ilmunya kepada YM Ayahanda Guru, begitu juga sekalian pusaka yang beliau terima dari Jabal Kubis, Statuten, bendera-bendera kerasulan serta pusaka-pusaka lainnya termasuk cincin kesayangan.

Akhirnya Syeikh Hasyim wafat, dan keluarga serta murid-muridnya bertangisan. Tetapi lebih kurang empat jam kemudian ia bangun lagi dan menyuruh orang mencari YM Ayahanda Guru. Ketika YM Ayahanda Guru datang, Syeikh Hasyim berkata:

“Aku tadi telah meninggal empat jam, tetapi aku permisi pada Tuhan Allah untuk hidup kembali agak sebentar, karena ada lagi yang lupa yang belum aku turunkan pada anak”.

Beberapa hari lagi setelah ilmu terakhir ini diturunkan, Syeikh Hasyim berpulang ke rahmatullah.

Maulana Saidi Syekh Muhammad Hasyim al-Khalidi berpulang ke rahmatullah pada hari rabu, tgl 07 April 1954 jam 13.05 siang, dan dimakamkan di Buayan, Lubuk Alung, Sumatra Barat.

Dari Syekh Muhammad Hasyim rahasia suci turun kepada muridnya yang pilihan yang sangat kasih akan gurunya, akan Allah SWT dan Rasul-Nya, yang kuat menjalani jalan hakikat dan kuat mengerjakan jalan berkhidmat, yang dikenal oleh orang banyak sebagai seorang tabib besar, yang mengobati orang banyak, dari penyakit batin dan zahir dengan kekuatan zikrullah, dan menjadi ikutan dari segala orang yang terpelajar yang suluk, yang bertarikat dengan Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah Khalidiyah yaitu: Mursyiduna, wa rabiituna, wa maulana, Al ‘Arif Billah Sayyidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al Khalidi q.s.

35. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi (QS)

Allahyarham Al Mukarram Prof.Dr.H.Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya M.A., M.Sc. dilahirkan di Pangkalan Berandan,Sumatera Utara, pada hari Rabu tanggal 20 Juni 1917 Masehi/ 30 Sya’ban 1335 Hijriyah dari seorang ibu yang bernama Siti Dour Siregar. Ayahanda beliau bernama Sutan Sori Alam Harahap, seorang pegawai perminyakan (BPM) Pangkalan Berandan yang berasal dari kampung Sikarang- karang, Padang Sidempuan. Beliau dilahirkan dari keluarga Islamis religius. Nenek beliau dari pihak ayahanda dan nenek beliau dari pihak ibunda adalah dua orang Syaikh Tarekat, yaitu Syaikh Yahya dari pihak ayah dan Syaikh Abdul Manan dari Pihak ibu. Keluarga ini selalu dikunjungi oleh para syaikh pada zaman itu.

Tarekat Naqsyabandiyah yang dikembangkan Beliau sangat berkembang pesat di dalam maupun luar negeri. Lebih dari 700 tempat zikir/ surau/ halkah telah didirikan, dalam tiap tahunnya dilakukan i’tikaf/suluk sebanyak 10 kali di berbagai tempat. Beliau sangat berkepentingan terhadap dunia pendidikan, untuk hal tersebut beliau mendirikan Taman Kanak sampai dengan Perguruan Tinggi (Universitas Panca Budi) di Medan.

Beliau wafat dan dimakamkan di Arco, Bogor pada hari Rabu tanggal 9 Mai 2001 Masehi/ 15 Shafar 1422 Hijriyah.

Riwayat Pendidikan

Secara Kronologis pendidikan yang ditempuh beliau adalah :

  1. I.S tahun 1924-1931 (tamat)
  2. MULO-B tahun 1931-1935 (tamat dengan voorklasse)
  3. AMS-B tahun 1935-1938 (tamat dengan bea siswa)
  4. Kuliah Umum Ketabiban tahun 1938-1940
  5. Kuliah Ilmu Jiwa,Amsterdam tahun 1940-1942 (tamat)
  6. Belajar Tasawuf/Sufi tahun 1947-1954 mendapat 3 buah ijazah
  7. Kuliah Indologie dan Bahasa Inggeris tahun 1951-1953
  8. O Bahasa Inggeris le gedeelte tahun 1953 di Bandung
  9. Lulus Ujian Sarjana Lengkap (Drs) dalam Ilmu Filsafat Kerohanian dan Metafisika tahun 1962
  10. Doktor dalam Ilmu Filsafat Kerohanian dan Metafisika Tahun 1968
  11. Lulus Ujian Sarjana Lengkap (Drs) dalam Ilmu Fisika-Kimia,tahun 1973
  12. Lulus Ujian Sarjana Lengkap (Drs) dalam Bahasa Inggeris tahun 1975

Sejarah Belajar Tarekat/Sufi

Pada tahun 1942, Al Mukarram Prof. DR. H. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya menyelesaikan pendidikan tinggi di negeri Belanda. Beliau kembali ke tanah air dan mempelajari ilmu tasawwuf dari para guru besar ahli sufi. Langkah pengabdian agung Beliau dalam Thareqat Naqshabandiyah Al Khalidiyah pun mulai tercatat dengan tinta emas.

Beliau mengenal Tarekat pada tahun 1943 melalui seorang khalifah dari Syaikh Syahbuddin Aek Libung Tapanuli Selatan. Pada tahun 1947, Beliau hadir di rumah murid Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan di Bukittinggi Sumatera Barat. Saat itu akan dimulai pelaksanaan tawajuh yang dipimpin oleh Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan. Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan sangat disiplin dalam melaksanakan ketentuan tawajuh, dan karenanya siapa saja yang belum masuk thareqat disuruh keluar.

Tetapi pada waktu tawajuh hendak dilaksanakan, Sayyidi Syaikh M. Hasyim Buayan melihat Prof. DR. H. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya, dan membolehkan beliau ikut tawajuh dengan diajarkan kaifiat singkat oleh khalifahnya pada saat itu juga.

Tahun 1949, saat agresi Belanda, Beliau mengungsi ke pedalaman Tanjung Alam Batu Sangkar Sumatera Barat dan bertemu dengan sekelompok orang yang akan melaksanakan i’tikaf atau suluk, yang dipimpin oleh seorang khalifah dari Syaikh Abdul Majid Tanjung Alam. Singkat cerita,khalifah tersebut meminta Beliau memimpin i’tikaf. Pada mulanya Beliau menolak, tetapi setelah berkonsultasi selanjutnya Beliau bersedia, dengan syarat ada izin dari Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan. Lalu khalifah tersebut minta izin dulu kepada Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan. Setelah didapatkan izin barulah Beliau memimpin i’tikaf tersebut.

Ketika itu, Beliau belum pernah suluk, namun sudah mensulukkan orang. Setelah peristiwa itu, Beliau menemui Sayyidi Syaikh Abdul Majid Tanjung Alam untuk minta suluk.

Kemudian Beliau dan Syaikh Abdul Majid melaksanakan suluk bersama. Setelah suluk berakhir, Beliau dianugerahi satu ijazah yang isinya sangat memberikan kemuliaan pada Beliau. Sebagai seorang yang masih muda dan tidak memiliki apa- apa, Beliau merasa tidak berhak menerima kemuliaan itu.Tetapi Syaikh Abdul Majid mengatakan bahwa hal itu telah digariskan dari atas. Apalagi gurunya pernah berkata bahwa ia akan memberikan ijazah kepada seorang yang dicerdikkan Allah SWT.

Menurut menantu sekaligus wakil dan penjaga suluk yaitu khalifah H. Imam Ramali, Syaikh Abdul Majid pernah berkata bahwa Beliau adalah orang yang benar-benar mampu melaksanakan suluk dan akan dikenal sebagai pembawa Thareqat Naqsyabandiyah. Selanjutnya Beliau menjumpai Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan beliau yang “di luar prosedur” tersebut dan sekaligus memohon suluk. Hal ini diperkenankan oleh Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan dengan langsung membuka suluk.

Prof. DR. H. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahyasangat erat hatinya dengan guru Beliau, Sayyidi Syaikh M.Hasyim Buayan. Selama guru Beliau hidup, setiap minggu beliau ziarah kepadanya (tahun 1950 – 1954). Setelah Beliau wafat, ziarah tetap dilanjutkan antara satu sampai dengan tiga kali dalam setahun. Sayyidi Syaikh M. Hasyim Buayan memberikan pujian tinggi kepada Prof. DR. H. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya, antara lain dari segi ketakwaan, kualitas pribadi dan kemampuan melaksanakan suluk sesuai dengan ketentuan akidah dan syariat Islam.

Dalam ijazah Beliau dicantumkan kata-kata “Guru dari orang-orang cerdik pandai.” Beliau diberi izin untuk melaksanakan dan menyesuaikan segala ketentuan Tarekat Naqsyabandiyah dengan kondisi zaman, sebab semua hakikat ilmu telah dilimpahkan gurunya kepada Beliau. Beliau adalah orang yang benar-benar mampu melaksanakan suluk sesuai dengan pesan guru Beliau yang disampaikan kepada menantu serta penjaga suluk yaitu khalifah Anwar Rangkayo Sati.

Sebagaimana pada awalnya begitu pulalah pada akhirnya. Begitulah pada suatu saat kemudian Tarekat Naqsyabandiyah dipaparkan secara keseluruhan oleh Syaikh Syahbuddin kepada Beliau. Syaikh Syahbuddin pernah berkata kepada anak kandungnya yang menjaga suluk yaitu Syaikh Husin, bahwa yang benar-benar dapat menegakkan suluk adalah Prof. DR. H. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya.

Pada tahun 1971, Beliau bertemu dengan Syaikh Mohammad Said Bonjol. Setelah Tawajuh, Syaikh Mohammad Said memutuskan untuk memberikan sebuah Mahkota yang dititipkan gurunya, dengan pesan agar diberikan kepada seseorang yang pantas. Puluhan tahun berlalu, barulah “orang yang pantas” tersebut ditemukan oleh Syaikh Mohammad Said, yaitu Prof. DR. H. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya.

Pantaslah kalau guru-guru Beliau para wali Allah SWT menyampaikan pujian dan mengabarkan di masa lalu bahwa Beliau mendapatkan pujian tinggi dalam pelaksanaan Akidah Islam, guru dari cerdik pandai dan ahli mengobat, mampu melaksanakan suluk secara paralel di seantero negeri dan mancanegara. Perjalanan keguruan Beliau adalah catatan tinta emas dalam lembaran sejarah.

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?