0. Mukaddimah
Mukaddimah Risalatul Qusyairiyah
Bismillaahir RahmaanirRahiim.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Tunggal dengan Keagungan Diraja-Nya, dan Maha Esa dengan Keindahan Kekuasaan-Nya, Perkasa dengan Keluhuran Ahadiyah-Nya, Maha Suci dengan Ketinggian Shamadiyah-Nya. Maha Besar dalam Dzat-Nya dari segala cakrawala setiap yg memandang-Nya, dan bersih dalam Sifat²Nya dari segala bentuk dan proyeksi.
Bagi-Nya, Segala Sifat² yg khusus bagi Diri-Nya, dan ayat² yg terucap, bahwasanya sifat dan ucapan itu tidak sama dengan makhluk-Nya.
Maha Suci Allah Yang Perkasa. Tak ada batas untuk meraih-Nya, dan ayat² yg terucap, bahwasanya sifat dan ucapan itu tidak sama dengan makhluk-Nya.
Maha Suci Allah Yang Perkasa. Tak ada batas untuk meraih-Nya, tak ada bilangan untuk mengukur-Nya, tak ada jarak untuk membatasi-Nya, dan tak seorang pun memberi pertolongan pada-Nya, tak ada seorang anak yg memberi syafa’at pada-Nya, tak ada bilangan untuk mengumpulkan-Nya, tak ada tempat untuk tinggal-Nya, tak ada waktu yg menemukan-Nya, tak ada kepahaman untuk mengukur-Nya dan tak ada khayalan untuk memproyeksikan-Nya.
Maha Luhur Allah untuk ditanyakan: Bagaimana Dia? Atau, di mana Dia? Atau ciptaan-Nya diupayakan oleh periasan, atau kreasi-Nya dipertaruhkan dari kekurangan dan keburukan. Sebab bagi-Nya, tak satu pun yg menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dia tidak dikalahkan oelh kehidupan, dan Dia Maha Waspada lagi Maha Kuasa.
Saya memuji-Nya atas segala yg di delegasikan dan diciptakan. Dan saya bersyukur atas apa yg terangkum dalam genggaman dan tertolak, saya bertawakal kepada-Nya dan saya menerima, saya ridha terhadap apa yg telah diberikan dan apa yg tidak diberikan.
Saya bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dengan Keesaan-Nya. Tak ada sekutu bagi-Nya. Suatu kesaksian yg diyakini lewat tauhid kepada-Nya, dan berjalan melalui kebajikan Abadi-Nya.
Dan saya bersaksi bahwa Muhammad Saw. adalah hamba-Nya yg terpilih dan menjadi kepercayaan-Nya yg terpilih, menjadi Rasul-Nya yg diutus untuk seluruh umat manusia. Semoga, Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepadanya, dan kepada seluruh keluarganya yg menjadi lampu penerang tak kunjung padam. Begitu juga kepada para sahabatnya yg menjadi pintu² pembuka hidayah. Semoga salam-Nya senantiasa tercurah, dalam yg berlipat ganda banyaknya.
Kitab ini ditulis oleh al-Faqih ila-Llah, Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi untuk para jamaah Sufi di negeri² Islam, pada tahun 437 H. yg bertepatan Tahun 1045 M.
1. Golongan Sufi
Allah telah menjadikan golongan ini sebagai barisan kekasih²Nya. Dan Dia telah mengutamakan mereka di atas seluruh hamba²Nya, setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada mereka. Allah menjadikan hati mereka sebagai sumber rahasia-Nya, dan memberikan keistimewaan di antara para umat melalui kecemerlangan cahaya-Nya.
Mereka adalah para penolong bagi makhluk. Mereka memerankan tingkah lakunya bersama dan dengan Al-Haqq. Allah menjaga mereka di tempat² musyahadah, ketika ditempatkan hakikat² Ahadiyah-Nya pada mereka. Allah menolong mereka dalam menegakkan adab ubudiyah, dan Allah menempatkan secara nyata kepada mereka jalan² hukum rububiyah.
Lalu mereka menegakkan sesuai dengan kewajiban dan tugas, dan mereka mewujudkan apa yg telah di anugrahkan Allah Ta’ala melalui kreasi dengan segala kejujuran fakir dan sifat leburnya jiwa. Mereka sama sekali tidak mengandalkan apa yg telah dihasilkan itu, sebagai buah amalnya. Atau kejernihan ilmu yg lahir dari tingkah laku, sebagai ilmu mereka. Segalanya dari Keagungan dan Keluhuran Allah Ta’ala. Yg berbuat sesuai dengan kehendak-Nya, memilih siapa yg di inginkan-Nya, di antara para hamba. Dia tidak dihukumi oleh makhluk. Pahala-Nya merupakan awal dari fadhal, dan siksa-Nya merupakan hukum keadilan, sedangkan amar-Nya merupakan qadha’.
2. Problematika Kita
Kemudian, ketahuilah, semua, bahwa ahli² hakikat dari golongan Sufi ini, mayoritas telah tiada, yg tersisa hanya bekasnya saja. Seperti dikatakan penyair:
Sedangkan kemah²
Sungguh seperti kemah mereka
Aku melihat wanita² yg hidup
Bukanlah wanita kemah itu
Yg terjadi adalah melemahnya thariqat tersebut, bahkan tergusur. Sementara para Syaikh yg membimbing mereka telah berlalu. Generasi muda sangat sedikit yg mengikuti petunjuk dan tradisi mereka. Sehingga hilanglah wara’i, cakrawalanya menjadi sempit, justru sikap tamak dan ikatannya yg menguat. Hati mereka semakin jauh dari citra syariat. Bahkan mereka menganggap remeh dan acuh tak acuh terhadap persoalan agama, sehingga mereka terhempas pada pandangan yg tidak memisahkan halal dan haram.
Selain menganggap enteng dalam melaksanakan ibadah, mereka juga meremehkan puasa dan shalat. Mereka terjerumus dalam medan kealpaan, menancapkan tonggak² syahwat, tanpa peduli menerjang larangan². Mereka bangga atas apa yg mereka peroleh dari rakyat, wanita² dan orang² yg memiliki kekuasaan.
Kemudian mereka membiarkan apa yg telah mereka langgar itu. Sehingga mereka mengisyaratkan pada hakikat² tertinggi dengan ihwalnya, lalu mengaku bahwa mereka telah bebas dan merdeka dari belenggu, mereka telah mewujudkan hakikat bertemu dengan Allah Ta’ala (wasilah). Dan mereka merasa bahwa dirinya telah berdiri di atas kebenaran, dengan aturan² hukum sendiri. Allah Ta’ala tidak lagi memberi beban pada diri mereka. Hal² yg diutamakan atau dilarang-Nya, begitupun Allah tidak mencaci dan mengecam mereka.
Mereka menyangka ketika dibukakan rahasia² Ahadiyah dan bertransenden kepada universalitas, maka segala aturan manusia bisa tidak berlaku. Mereka menganggap telah abadi setelah melampaui fana’nya melalui cahaya² Shamadiyah. Orang yg mempunyai pendapat berbeda dengan mereka, dianggap bukan sebanding atau setahap dengan mereka. Orang yg ingin mengganti pandangan merreka malah dianggap sebagai golongan yg harus disingkirkan di mata mereka.
3. Motivasi Penulis Risalah Ini
Di saat cobaan panjang melanda kita dewasa ini – secara sepintas kita melihat kisah tersebut – saya sangat terdorong untuk membeberkan kemungkaran mereka dengan thariqat seperti itu, bahwa para pengikutnya telah berbuat keburukan, atau orang yg berbeda dengan mereka selalu di caci, bahkan suatu bencana di negeri ini menimpa orang² yg kontra dengan thariqat mereka, disamping mendapatkan ancaman dan siksaan.
Ketika saya renungkan secara mendalam atas bencana kelemahan ini, ingin rasanya membongkar dan mengikis habis pandangan mereka itu. Semoga Allah memberikan kedermawanan melalui Maha Lembut-Nya dalam menggugah orang yg mengingkari sunnah yg luhur, yg telah menelantarkan etika thariqat yg hakiki.
Ketika waktu yg tersisa hanya dipenuhi dengan kesulitan, sementara generasi zaman di negeri ini telah terseret pada kebiasaannya, terbujuk oleh kemurtadannya, tiba² hasrat saya menghentak dalam kalbu untuk meluruskan secara total dengan dasar² yg perlu di bangun, dan kembali pada generasi Salafnya. Kemudian saya tuangkan Risalah ini pada Anda sekalian (Semoga Allah memberikan kemuliaan kepada Anda).
Saya juga menguraikan sebagian perjalanan para syaikh thariqat ini, adab dan akhlak mereka, pekerjaan dan akidah dalam kalbunya. Serta isyarat² kerinduan mereka, metode dalam menapaki tahap² dari awal hingga puncaknya, agar orang yg hendak menempuh (al-murid) thariqat ini memiliki kekuatan hati. Dan untuk saya, dari Anda sekalian mengharapkan adanya suatu koreksi, sebagai kesaksian. Tentu saja, keluhan ini merupakan hiburan bagi saya. Dan dari Allah Yang Maha Mulia kita mendapatkan fadhal dan pahala. Saya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala terhadap apa yg saya tuturkan, dan saya senantiasa menyerahkan semuanya kepada-Nya. Saya memohon agar dijaga dari kekeliruan dalam Risalah ini, serta memohon ampunan dan pertolongan-Nya. Dia-lah Yang memberi fadhal secara layak, dan Kuasa terhadap apa saja yg dikehendaki-Nya. 438 H. / 1046 M.
Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy
01. Prinsip² Tauhid Dalam Pandangan Kaum Sufi
Bab 1.
1. Prinsip² Tauhid Dalam Pandangan Kaum Sufi
Ketahuilah, para Syaikh golongan Sufi telah membangun kaidah² mereka di atas prinsip tauhid yg shalih. Mereka telah membuat kaidah ini jauh dari bid’ah, relevan dengan ajaran tauhid yg telah diwariskan oleh generasi Salaf dan Ahli Sunnah. Tak ada rekayasa atau penyimpangan di dalamnya. Mereka mengetahui yg menjadi Hak Allah, dan mereka telah membuktikan hal² yg menjadi predikat Wujud, dari segala yg tiada.
Karena itu Syaikh Junayd al-Baghdadi qs. pemuka thariqat ini berkata: “Tauhid adalah menunggalkan Yang Maha Dahulu (qadim) dari yg datang kemudian (huduts). Para Syaikh itu membangun aturan dasar tauhid dengan argumentasi yg jelas dan bukti yg layak. Sebagaimana dikatakan Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Jurairy qs. “Siapa yg berpijak pada ilmu tauhid yg tidak di dasari oleh pembuktian dari bukti argumentasinya, akan disirnakan oleh bujuk yg mendahului dalam hasrat kebinasaan.”
Maksud Syaikh ini, barang siapa bertaklid dan tidak merenungkan dalil²/bukti tauhid, ia gugur dari tradisi yg menyelamatkannya. Ia akan terjerumus dalam jurang kehancuran. Sementara orang yg mau merenungkan tulisan dan keunggulan kalimat² mereka; ia akan menemukan kumpulan ucapan dan rinciannya yg memberikan kekuatan kontemplatif; bahwasanya kalangan mana pun tidak bisa membatasi diri lewat angan² dalam pembuktian, dan tidak memasuki tahapan pencarian secara menyimpang.
02. Makrifatullah
2. Makrifatullah
Abu Bakr asy-Syibly berkata: “Allah adalah Yang Esa, yg dikenal sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yg difardhukan Allah Ta’ala terhadap makhluk-Nya. Ia berkata: “Makrifat.” Karena firman Allah Ta’ala: “Aku tidak menciptakan jin manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56).
Ibnu Abbas’ menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan adalah Illa liya’rifuuun (kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku).
Al-Junayd berkata: “Haat hikmah pertama yg dibutuhkan oleh hamba adalah Makrifat makhluk terhadap Khalik, mengenal Sifat² Pencipta dan yg tercita bagi sang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak mengakui terhadap raja, kepada siapa kewajiban² harus diberikan.
Abu Thayib Maraghy berkata: “Akal mempunyai bukti, hikmah mempunyai isyarat, dan Makrifat mempunyai Syahadat. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan makrifat menyaksikan bahwasanya kejernihan ibadat tidak akan tercapai kecuali melalui kejernihan tauhid.”
Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya: “Menunggalkan Yang Maha Tunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat keparipurnaan Ahadiyah-Nya. Bahwa Dia-lah Yang Esa yg tiada beranak dan tidak diperanakkan. Dengan kontra terhadap antagoni, keraguan dan keserupaan tanpa upaya menyerupakan dan bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan pemisalan tidak ada sesuatu pun yg menyamai-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Makrifat. Jawabnya: “Makrifat adalah nama. Artinya, wujud pengagungan dalam kalbu yg mencegah dirimu dari penyimpangan dan penyerupaan.”
03. Sifat-Sifat
3. Sifat-Sifat
Abul Hasan al-Busyanjy ra. Berkata : “Tauhid berarti tahu bahwa Allah Ta’ala tidak serupa dengan makhluk dan tidak kontra pada Sifat-sifat.”
Husain bin Mansur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam” hanyalah bagi-Nya. Segala yg fisikal adalah Penampilan-Nya, yg tampak bendawi menetapkan-Nya, yg piranti mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada di genggaman-Nya. Hal² yg tersusun waktu, waktulah yg memisahkannya, dan yg ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yg menyentuhnya. Hal² yg terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan tahapan kepada-Nya.
Siapa yg berbicara soal tempat, maka akan berjumpa dengan kata di mana. Sungguh Maha Suci Allah Ta’ala. Dia tidak dilindungi oleh sesuatu di atas, dan tidak pula dikecilkan oleh yg di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yg ada, juga tidak dihilangkan oleh tiada. Sifat-Nya tidak memiliki sifat, pekerjaan-Nya tidak memiliki cacat. Adanya tak terjangkau. Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nya dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yg memasuki-Nya. Dia menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk itu mengenal penjelasan-Nya melalui kejadian baru (hudus)-Nya.”
Huruf adalah ayat-Nya. Wujud adalah ketetapan-Nya. Ma’rifat adalah tauhid-Nya, dan tauhidnya adalah perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya. Segala yg tergambar oleh khayal, selalu berbeda dengan-Nya. Bagaimana bisa, Dia menempati sesuatu, yg dari-Nya sesuatu itu bermula? Atau dia kembali pada sesuatu, padahal Dia-lah yg memunculkannya? Dia tidak bisa dibandingkan dengan dugaan, kedekatan-Nya adalah karamah-Nya, ketinggian-Nya adalah sesuatu yg tidak berukuran ketinggian, kedatangan-Nya tanpa berpindah, Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin, Yang Dekat dan Yang Jauh, Yang tiada sesuatu pun menyamai-Nya, Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Yusuf bin al Husain berkata: “Ada seseorang berdiri di antara dua sisi Dzun Nun al-Mishsry, orang itu bertanya, “Berilah aku kabar tentang Tauhid, apa sebenarnya tauhid itu? Dzun Nun menjawab: “Tauhid berarti Anda tahu bahwa Kekuasaan Allah Ta’ala terhadap segala hal tanpa campur tangan, ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dari sebab langsung bagi segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada sebab langsung bagi ciptaan-Nya. Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yg mengaturnya kecuali Allah Ta’ala. Segala bentuk yg terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah justru berbeda dengannya.”
Al-Junayd mengatakan: “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar Anda behwa sesungguhnya Allah Ta’ala, adalah Tunggal dalam Azali-Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yg mengerjakan pekerjaan-Nya.”
04. Iman
4. Iman
Abu Abdullah bin Khafifi berkata: Iman berarti penetapan kalbu terhadap apa yg telah dijelaskan oleh Allah Al-Haqq mengenai hal² yg ghaib.”
Abul Sayyary berkata: “Pemberian Allah itu ada dua macam: Karamah dan istidraj. Segala hal yg menerap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala yg sirna dari dirimu adalah istidraj. Maka katakan saja, “Aku beriman, insya Allah!”
Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan: “Orang² yg beriman melihat Allah Ta’ala dengan mata hati, tanpa pangkal batasan dan kawasan.”
Abul Husain an-Nury berkata: “Kalbu adalah tempat penyaksian Allah al-Haqq. Kami tidak pernah melihat Kalbu yg lebih rindu kepada-Nya, dibandingkan Kalbu Muhammad Saw. Lalu Allah Ta’ala memuliakannya lewat Mi’raj, sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah Ta’ala dan penyempurnaan.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata: “Aku meyakini sesuatu seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu dari kalbuku. Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di Mekkah, “Aku sekarang masuk Islam, dengan Islam yg baru (sebenarnya).”
Abu Utsman ditanya soal makhluk. Jawabnya: “Cetakan dan bayangan, yg berjalan di atasnya hukum² Kekuasaan Ilahi.”
Al-Wasithy berkata: “Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin Allah, dan keduanya pun tampak dengan ijin-Nya, maka keduanya pun tegak tidak dengan zatnya. Begitu juga hasrat² dan gerak, berdiri tegak, tidak dengan zatnya, seijin Allah. Sebab gerakan² dan hasrat itu merupakan cabang bagi jasad dan arwah.”
05. Rezeki
5. Rezeki
Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepada Allah. Jawabnya: “Kufur dan iman, dunia dan akhirat, dari Allah kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagi tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa’ dan fana’, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan.
Dikatakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab oleh al-Junayd: “Tauhid adalah keyakinan.” “Jelaskan padaku apa tauhid itu? Demikian kata si penanya. “Tauhid adalah ma’rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah Ta’ala, Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila Anda sudah berpandangan demikian, Anda telah mentauhidkan-Nya.” Jawab Junayd.
Seseorang datang kepada Dzun Nun minta didoakan: “Doakan aku!.” Kata orang tersebut. “Kalau Anda benar² mantap dalam ilmu ghaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian, suatu doa tidak mungkin bisa menyelamatkan orang tenggelam.” Jawab Dzun Nun.
Abul Husain an-Nury berkata: “Tauhid adalah segala bisikan yg mengisyaratkan kepada Allah, bahwa dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan.”
Sedangkan Abu Ali ar-Ridzbary ketika ditanya soal tauhid, menjelaskan: “Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid melebur dalam satu kalimat, yaitu: Setiap yg tergambar oleh khayal dan pikiran, maka Allah Ta’ala pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena firman Allah Ta’ala:
“Tidak ada sesuatu pun yg menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura : 11).
Abul Qasim an-Nashr Abadzy berkata: “Surga abadi dengan keabadian yg diabadikan-Nya, ingatan-Nya kepadamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya, dua hal yg berbeda, sesuatu yg abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yg abadi karena diabadikan oleh-Nya.
Ahlul Haq berkata: “Sifat² Dzat Yang Qadim abadi karena abadi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yg bukan ahlul Haq.
Nashr Abadzy menandaskan: “Anda bersimpang siur antara sifat² (fi’l) dengan sifat² Dzat. Keduanya adalah sifat Allah Ta’ala secara esensial. Apa bila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka Anda di integrasi oleh sifat fi’l. Jika Anda sampai pada tahap al-ja’u Anda akan terintegrasi oleh sifat² Dzat-Nya.
Syaikh Imam Bin Ishaq al-Isfirayainy ra. mengatakan: “Ketika aku datang dari Baghdad, aku belajar di masjid Naisabur perihal ruh. Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim Abadzy duduk berjauhan dengan kami mendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu beberapa hari, kemudian ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra’, ‘Aku bersaksi sesungguhnya kau seorang Muslim baru di tangan laki² ini,’ katanya sambil menunjuk ke arahku.”
Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang telah berkata kepadanya: “Tolong beritahu aku mengenai Allah Ta’ala?” Yahya menjawab: “Tuhan Yang Esa”. Lalu dikatakan kepada Yahya: “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha Kuasa”. Jawab Yahya. Orang itu kembali bertanya: “Di mana Dia?” “Dia benar² mengawasi.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang ini.” Tandas si penanya. Maka Yahya menjawab: “Tidak ada lagi selain itu.”
Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna: ma’a. Junayd menjawab, bahwa ma’a mengandung dua makna: ma’al anbiyaa’ (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.”
(Qs.Thaaha: 46).
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah Ta’ala berfirman:
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yg keempat.”
(QS. Al-Mujaadilah)
Ibnu Syahin berkomentar: “Orang seperti Anda benar² layak untuk menyampaikan petunjuk kepada umat, mengenai Allah Ta’ala.”
06. Arasy
Dlm Risalatul Qusyairiyah:
6. Arasy
Dzun Nun ditanya mengenai firman Allah Ta’ala:
“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayan di atas Arasy.”
(QS.Thaha: 5)
Jawabnya: “Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy itu dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap Yang Maha Pemurah (ar-Rahmaan) menjadi semayam(-Nya).”
Ja’far bin Nashr ditanya soal ayat tersebut. “Ilmu-Nya bersemayam terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu tidak ada yg lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yg lain.”
Ja’far ash-Shadiq berkata: “Barangsiapa berpandangan bahwa Allah Ta’ala ada di dalam sesuatu, atau di atas sesuatu, maka orang itu benar² musyrik. Sebab apabila ada di dalam sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari sesuatu, Allah pasti baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah mengandung sesuatu.”
Ja’far ash-Shadiq menafsiri Kalamullah: “Kemudian Dia mendekat, lalu tambah mendekat lagi.” (QS. An-Najm: 8), bahwa: Barangsiapa mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa mendekat, maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal mendekat yg dimaksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia merasa jauh dari segala ma’rifat. Karena tidak ada dekat dan tidak ada jauh.”
Al-Kharraz berkata: “Hakikat mendengar adalah hilangnya sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada Allah Ta’ala.”
Ibrahim al-Khawwas menegaskan: “Suatu ketika secara tidak sengaja aku mendapati seorang laki² yg direkadaya setan, sehingga aku harus mengumandangkan adzan ke telinganya. Tiba² terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya. “Biarkan ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata: Al-Qur’an adalah makhluk.”
Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala ketika menciptakan huruf² Dia membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam as. Diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia itu tidak tersebar di kalangan Malaikat-Nya satu pun. Kemudian huruf2 itu meluncur dari lisan Adam as. Melalui struktur yg berlaku dan struktur bahasa. Kemudian Allah menjadikan bentuk pada huruf tersebut.”
Ibnu Atha’ menjelaskan bahwa huruf² tersebut adalah makhluk. Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan ucapan perbuatan, bukan ucapan substansi (dzat). Sebab huruf tersebut merupakan perbuatan dalam obyek yg diperbuat.
Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgent: “Tawakkal adalah perbuatan kalbu, dan tauhid merupakan ucapan kalbu.”
Al-Husain bin Mansur berkata: “Siapa yg mengenal hakikat dalam tauhid, maka gugurlah pertanyaan: Mengapa dan bagaimana.”
Al-Wasithy menegaskan bahwa, tidak ada yg lebih mulia dari makhluk Allah ketimbang ruh.”
07. Allah Dzat Yang Haqq
Dlm Risalatul Qusyairiyah:
7. Allah Dzat Yang Haqq
Para Syaikh dari thariqat ini mengatakan soal tauhid. Sesungguhnya Al-Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Kasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Maha Agung, Maha Luhur,Maha Bicara, Maha Melihat, Maha Besar, Maha Hidup, Maha Tinggi, Maha Abadi dan segalanya bergantung kepada-Nya.
Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Maha Kuasa dengan sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Iradat, Maha Mendengar dengan sifat Sama’, Maha Melihat dengan sifat Bashar, Maha Bicara dengan Kalam, dan Maha Hidup dengan Hayat, serta Maha Abadi dengan Baqa’.
Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yg merupakan sifat² yg dengannya menciptakan apa yg dikehendaki-Nya. Maha Suci Allah dari segala keharusan menentukan, dan hanya bagi-Nya wajah yg bagus.
Sifat² Dzat-Nya hanya khusus bagi Dzat-Nya, tidak bisa dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula sifat² tersebut sebagai bujukan bagi-Nya. Tetapi adalah sifat-Nya Yang Azali dan Abadi.
Allah adalah Tunggal Dzat-Nya. Yg tidak disamai oleh segala ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.
Allah bukan jasad, materi, benda dan bukan sifat baru, tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru dan bertempat. Tiada waktu dan zaman yg berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada penambahan dan pengurangan bagi sifat²Nya.
Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh pangkal dan batas, tidak ditempati yg baru, tidak didorong ketika berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk menolong-Nya.
Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yg terkira, dan dari hukum-Nya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari Ilmu-Nya tidak tersembunyi oleh yg diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-Nya, bagaimana dia mencipta dan apa yg dicipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya: Di mana Dia, dan bagaimana Dia? Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya, sehingga muncul kata² Kapan ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya, sehingga dikatakan: “Melampaui kekinian dan zaman.” Tetapi Allah tidak bisa dikatakan: “Mengapa Dia berbuat terhadap sesuatu?” Kenapa, tidak ada sebab langsung terhadap pekerjaan-Nya.”
Allah juga tidak bisa dipertanyakan: Apakah Dia? Karena Allah bukanlah jenis yg ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya. Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.
Dia memiliki Asma’ul Husna dan Sifat² Luhur. Dia melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi kehinaan kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada yg berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan yg telah didahului Qada’. Apa yg diketahui dari ciptaan-Nya, maka hal itu dikehendaki-Nya. Dan apa yg diketahui sebagai sesuatu yg tidak terjadi dari apa yg wenang. Dia berkehendak untuk tidak terjadi.
Allah adalah Pencipta rezeki hamba²Nya, kebaikan dan keburukan rezeki itu. Allah pula yg menciptakan alam dari materi dan submateri. Allah yg mengutus utusan untuk para umat bukan sebagai kewajiban bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang disembah manusia melalui lisan Para Nabi as, tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan menentang-Nya. Dan Nabi kita Muhammad Saw. ditetapkan melalui mukjizat yg nyata dan ayat² yg cemerlang, yg tidak memberi keuzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana yg mungkar.
Khulafaur Rasyidin yg menjaga kemilaunya Islam setelah wafat Nabi Saw. selanjutnya dijaga oleh generasi yg memagari kebenaran dan penolongnya yg menjelaskan lewat hujjah agama melalui lisan para Auliya-Nya. Umat Nabi Saw. terjaga dari kesesatan ketika melakukan “IJMA”. Dan rekayasa kebatilan sirna melalui dalil² yg ditegakkan. Semuanya dilakukan oleh para pejuang agama, karena firman Allah Ta’ala:
“Agar Dia memenangkannya di atas segala agama², meskipun orang² musyrik benci.” (QS. As-Shaff: 9)