- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Index

162 Masalah Sufistik

Author

Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad qs.

Reading Time

73 Minutes

Share

Facebook
WhatsApp

Index

Masalah 01

162 Masalah Sufistik (Masalah 1):

Habib Abubakar bin Syeikh Asseggaf ra. bertanya: “Bagaimanakah perasaan yg timbul dalam hati seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala. Apakah ia harus membuangnya jauh² dan hanya bersandar kepada perasaan Rabbani saja atau apa yg seharusnya ia kerjakan?

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Seseorang yg telah sampai kepada Allah atau seseorang yg mengenal Allah dengan ilmu yg ia miliki, sebagaimana yg dimiliki pula oleh para ulama, memiliki berbagai tingkatan yg tidak terhitung banyaknya.

Seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala mempunyai dua keadaan: Pertama, yg dikenal dengan nama al-Jam’u, dan yg kedua adalah yg dikenal dengan nama al-Farqu.

al-Jam’u adalah tingkatan atau keadaan yg dicapai oleh seorang yg telah mengenal Allah secara terus menerus tanpa terputus sesaat pun di dalam keadaan yg sedemikian ini. la adalah seseorang yg akan terus-menerus fana’ dan tenggelam di alam ketuhanan secara keseluruhan secara terus-menerul tanpa terputus sesaat pun.

Sehingga ia tidak lagi mengenali dirinya maupun yg lain selain Allah Ta’ala. Tentang keadaan atau tingkatan seperti ini pernah diucapkan oleh seorang penyair: “Andaikata hatiku pernah mengingat selain-Mu karena kelalaianku, maka aku rela jika dihukum dengan kemurtadan.”

Penyair lain mengatakan: “Dahulu hatiku mencintai-Mu, akan tetapi tidak terus-menerus. Namun setelah aku mengenal-Mu lebih jauh, maka aku tidak dapat melupakan diri-Mu sedetikpun.”

Adanya perasaan kepada selain Allah Ta’ala bagi seseorang yg telah mengenal Allah Ta’ala dengan baik tidak mungkin akan terjadi. Karena perasaannya telah benar² menyatu dengan Dzat Allah Ta’ala, sehingga ia tidak dapat memalingkan perasaan tersebut sesaatpun daripada-Nya. Keadaan yg seperti ini pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

“Aku mempunyai waktu yg tidak cukup bagiku, kecuali hanya untuk Tuhanku.”

Perasaan semacam ini sulit didapat oleh seseorang. Akan tetapi jikalau perasaan ini telah hadir pada diri seseorang secara terus-menerus, maka ia akan melihat berbagai keajaiban dan kemisterian alam ghaib yg menakjubkan.

Perasaan semacam ini pernah dialami seorang tokoh sufi di Irak. Ia pernah tenggelam dalam perasaan seperti ini selama tujuh tahun dan selama itu ia tidak sadar. Kemudian ia sadar dalam waktu pendek, tetapi ia tenggelam kembali dalam perasaan ketuhanannya itu selama tujuh tahun lagi. Dan selama itu ia tidak pernah makan, minum, tidur maupun shalat, ia hanya berdiri di sebuah tempat dan matanya selalu memandang ke langit.

Disebutkan juga bahwa salah seorang tokoh sufi di Mesir pernah juga mengalami keadaan atau perasaan seperti itu. Ia berwudhu, kemudian ia berbaring dan ia berkata kepada pembantunya: “Jangan engkau membangunkan aku, sampai aku bangun sendiri.”

Maka, ia tidak sadarkan diri selama tujuh belas tahun. Dan selama itu pula ia tidak makan dan tidak minum. Kemudian ia bangun dan ia melakukan shalat dengan wudhu’nya yg dahulu. Perlu diketahui, para ‘arifin billah selalu merindukan untuk mendapatkan keadaan seperti itu.

Tetapi Allah Ta’ala jarang sekali memberikan perasaan semacam itu kepada hamba²Nya, karena Allah Ta’ala kasihan kepada mereka dan agar hambanya yg terdekat dapat mengerjakan segala kewajibannya kepada Allah Ta’ala, agar pahala mereka senantiasa bertambah serta agar tubuh mereka tidak rusak karenanya.

Sebab, jika perasaan ketuhanan telah mempengaruhi hati seseorang dan ia tenggelam dalam perasaan seperti itu, maka kekuatannya sebagai manusia tidak akan dapat menanggulanginya. Sebab, Gunung Tursina menjadi terbakar dan meletus ketika cahaya Allah Ta’ala tumbuh di puncaknya, maka bagaimana jika cahaya Allah Ta’ala itu telah bersemayam di hati seseorang.

Karena itu, tidak pantas jika kita percaya kepada sebagian orang yg telah disesatkan oleh setan yg mengaku bahwa mereka telah mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, sehingga mereka meninggalkan semua kewajiban agama, seperti puasa, shalat, serta mereka melakukan segala bujuk rayu hawa nafsunya dan larangan² Allah Ta’ala.

Andaikata mereka termasuk wali² Allah, tentunya mereka akan dipelihara oleh Allah dari segala perbuatan yg tidak baik. Dan secara logika, andaikata mereka benar² mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, tentunya mereka tidak akan terpengaruh oleh hal² selain Allah Ta’ala.

Kiranya kami cukupkan sampai disini keterangan kami tentang keadaan atau masa ketenggelaman seseorang di alam ketuhanan yg memfana’kan dirinya dari selain Allah Ta’ala. Kini, mari kita bicarakan tentang keadaan al-Farqu, yaitu keadaan atau perasaan yg di alami oleh seseorang yg telah tenggelam di alam ketuhanan, tetapi tidak terus-menerus.

Seseorang yg telah mencapai tingkatan ini, maka Allah Ta’ala akan senantiasa memeliharanya dan memperhatikannya. Untuk selamanya, ia akan merasa selalu diawasi dan diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala, sehingga ia tidak berani berbuat sesuatu, kecuali yg telah diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Yg menurut istilah kaum sufi, perasaan semacam itu disebut perasaan malaki atau ilham Rabbani.

Adapun perasaan setan, tidak akan timbul dan tidak akan berpengaruh sedikitpun kepada seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala. Sebab, setan yg terkutuk tidak akan dapat mendekati hati seorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala.

Karena Allah Ta’ala akan senantisa meneranginya dengan cahaya petunjuk-Nya. Mungkin setan dapat mempengaruhi seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala, tetapi orang itu akan diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari gangguan setan. Hal ini sebagaimana yg disabdakan oleh Rasulullah Saw.:

“Aku mempunyai setan, tetapi Allah memenangkan aku daripadanya, sehingga aku selamat dari godaannya, sehingga ia tidak menyuruhku kecuali yg baik.”

Adapun perasaan nafsu tidak mungkin dapat mempengaruhi hati seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala, karena hatinya telah tunduk dan telah dekat kepada Allah Ta’ala. Bahkan nafsunya pun dapat ia kendalikan, sehingga ia taat kepada Tuhannya dan telah dimasukkan dalam golongan hamba²Nya yg pantas menghuni surga-Nya yg luasnya seluas langit dan bumi, yg disediakan hanya bagi orang² yg bertakwa.

Masalah 02

162 Masalah Sufistik (Masalah 2):

Habib Abubakar bin Syeikh Asseggaf ra. bertanya:
“Bagaimanakah hukumnya keburukan yg dilakukan oleh seorang ‘arif billah?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab:

“Menurut istilah kaum sufi, seorang ‘arif billah adalah seseorang yg beriman kepada Allah Ta’ala dan ia benar² mengerti segala kewajiban serta larangan Allah Ta’ala, dan ia menjalankan segala kewajiban-Nya serta menjauhi larangan-Nya dengan baik.

Selain itu, ia gemar memperbanyak amalan² sunnah yg dapat semakin mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Semuanya itu ia lakukan demi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala, sehingga ia mendapat cahaya Allah Ta’ala dan sehingga apa saja yg misteri akan menjadi nyata, hingga ia akan mendapat petunjuk, furqan, dan ilmu dari Allah Ta’ala.

Selanjutnya, seorang ‘arif billah, meskipun ia telah mencapai tingkatan terdekat di sisi Allah Ta’ala, ada kemungkinan ia melakukan pelanggaran atau kekeliruan yg menyebabkan ia terkena sangsi dari Allah Ta’ala baik secara syari’at maupun secara akal. Sebab, tujuan seorang ‘arif billah ingin menjadi seorang wali Allah Ta’ala dan seorang wali akan terpelihara dari perbuatan dosa.

Disebutkan bahwa di antara para Nabi ada juga yg melakukan kesalahan, misalnya kesalahan yg telah dilakukan Nabi Adam as., ketika ia makan buah dari pohon yg dilarang, Nabi Daud as. ketika ia mempunyai keinginan yg salah, demikian pula ketika Nabi Sulaiman as. melakukan perbuatan yg salah. Akan tetapi semua yg mereka lakukan itu tidak sengaja.

Karena itu, para tokoh ulama berpendapat bahwa para Nabi terpelihara dari segala dosa yg besar maupun yg kecil. Adapun kalau ada kesalahan yg mereka lakukan, tidak lebih dari kekeliruan yg tidak disengaja atau karena faktor lupa.

Telah diketahui secara umum, bahwa segala perbuatan kebajikan yg dilakukan oleh para ‘arif billah akan diberi pahala yg berlipat ganda, demikian pula segala kesalahannya akan dinilai dosa secara berlipat ganda.

Ada kemungkinan dosa kecil yg mereka lakukan akan dinilai sebagai dosa besar, karena mereka telah berada di lingkungan terdekat dengan Allah Ta’ala, dimana lingkungan tersebut tidak boleh dinodai oleh dosa sekecil apapun. Hal ini sebagaimana yg disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

يٰنِسَآءَ النَّبِىِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضٰعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا. وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتَعْمَلْ صٰلِحًا نُّؤْتِهَآ أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا

“Hai istri² Nabi, siapa² di antaramu yg mengerjakan perbuatan keji yg nyata, niscaya akan di lipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yg demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri² Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yg saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yg mulia.” (QS. al-Ahzab (33): 30 31)

Disebutkan bahwa ‘arif billah al-Imam Ibnul Jala’ ra. pernah melihat seorang pemuda yg berwajah tampan, maka dikatakan kepadanya: “Pasti engkau akan segera mendapat sangsinya.” Maka Al-Qur’an yg telah dihafalkannya menjadi hilang dari ingatannya.

Disebutkan pula, bahwa ada seorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala pernah mempunyai perasaan ingin berbuat maksiat ketika ia sedang dalam shalatnya, maka Allah Ta’ala menjadikan hitam seluruh tubuhnya dan hal itu berlangsung cukup lama sampai setelah dimohonkan ampun oleh orang² shaleh lainnya.

Disebutkan juga bahwa Imam Junaid ra. pernah melihat seorang miskin yg sedang minta². Maka ia berkata dalam hatinya: “Andaikata orang ini bekerja dan ia tidak minta², pasti akan lebih baik baginya.” Maka ketika ia bangun untuk beribadah di malam hari, ia tidak akan mendapatkan kenikmatan dan kegunaannya untuk beribadah menjadi hilang dan ia pun tertidur pulas.

Dalam tidurnya ia melihat orang miskin tersebut mengulurkan sepotong daging kepadanya seraya berkata: “Makanlah daging ini, karena engkau telah menggunjing diriku.” Maka ia berkata: “Aku hanya berkata dalam hatiku.” Maka dikatakan kepadanya: “Seorang yg sepertimu tidak pantas melakukan hal seperti itu.”

Disebutkan juga bahwa ada seorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala mendapat sangsi dari Allah Ta’ala ketika ia mempunyai perasaan ingin makan sesuatu yg dihalalkan. Hal itu terjadi karena ia berlaku tidak sopan kepada Allah Ta’ala.

Disebutkan juga bahwa al-lmam asy-Syaikh Abu Thurab an-Nahsyabi ra. pernah mempunyai perasaan ingin makan roti dan telur, sehingga ia pergi ke pasar untuk mewujudkan keinginannya. Maka di saat itu ada seorang yg menarik baju al-lmam asy-Syaikh Nahsyabi ra. dan ia berkata: “Lelaki ini adalah teman para pencuri.”

Maka ia dipukuli oleh penduduk yg ada di pasar itu. Untungnya ada seorang yg mengenalnya, sehingga mereka dilerai. Setelah itu ia di antarkan ke rumahnya dan diberikan kepadanya roti serta telur yg ia inginkan.

Maka asy-Syaikh an-Nahsyabi ra. berkata kepada dirinya: “Makanlah roti dan telur yg menyebabkan aku dipukuli oleh orang banyak.”

Disebutkan juga bahwa ada seorang ‘arif billah yg ingin makan ikan, sehingga ia mengulurkan tangannya kepada seekor ikan yg telah terhidang di depannya, maka dengan izin Allah Ta’ala, tangan si ‘arif billah tersebut terkena duri ikan sampai terluka.

Disebutkan juga bahwa al-Imam asy-Syaikh Abul Ghaits ra. pernah mencium istrinya tanpa niat, sehingga ia turun dari kedudukannya di sisi Allah Ta’ala selama setahun. Dan kisah² tentang mereka masih banyak lagi. Andaikata kami menukilkan kisah² semacam itu, maka kami telah menyimpang dari maksud kami yg sebenarnya, yaitu ingin meringkas keterangan kami.

Masalah 03

162 Masalah Sufistik (Masalah 3):

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah al-Khatib Baraja’ ra. pernah bertanya: “Apakah seorang wali quthub termasuk wali al-ghauts ataukah termasuk wali lainnya. Dan apakah yg dimaksud dengan wali al-autad dan wali al-abdal?”

aI-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya dalam masalah ini, ada beberapa kabar dari Baginda Rasulullah Saw. secara marfu’, dun beberapa atsar yg datangnya dari para wali Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, saya ingin menerangkan sebagian daripadanya:

Diriwayatkan oleh Syaikh al-Yafi’i di dalam Kitab ar-Raudhah dari Sahabat lbnu Mas’ud ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Allah menciptakan di bumi-Nya sebanyak tiga ratus orang wali yg hatinya seperti hati Nabi Adam as., dan sebanyak empat puluh orang wali yg hatinya seperti hati Nabi Musa as., dan sebanyak tujuh orang wali yg hatinya seperti hati Nabi Ibrahim as.

Dan lima orang wali yg hatinya seperti hati Malaikat Jibril as. dan tiga orang wali yg hatinya seperti hati Malaikat Mikail as. serta seorang wali yg hatinya seperti hati Malaikat Israfil as.

Jika seorang di antara mereka ada yg wafat, maka Allah akan menggantinya dengan tiga orang wali. Jika seorang di antara tiga wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan lima orang wali. Jika seorang di antara lima orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan tujuh orang wali.

Jika seorang di antara tujuh orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan empat puluh orang wali. Jika seorang di antara empat puluh orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan tiga ratus orang wali.

Jika seorang di antara tiga ratus orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan orang ‘awam. Karena mereka itu, Allah Ta’ala menyelamatkan umat ini dari segala bencana.”

Masalah 04

162 Masalah Sufistik (Masalah 4):

Syaikh Abdul Kadir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya: “Bagaimanakah hukumnya seseorang yg bergaul dengan orang² yg suka berbuat maksiat dan bagaimana pula hukumnya mengkonsumsi makanan dari orang² yg pekerjaannya tidak baik?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya seorang mukmin yg sangat perhatian kepada agamanya dan yg berharap memperoleh kebahagiaan di akhiratnya, hendaknya ia tidak bergaul kecuali dengan orang yg baik, yg taat, yg takut kepada Allah Ta’ala, serta kepada orang² yg meninggalkan segala perbuatan maksiat secara total atau yg bertaubat dengan sesungguhnya dari perbuatan maksiat.”

Adapun seseorang yg bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat karena darurat dan ia membenci perbuatan maksiat mereka, jikalau dapat ia berusaha mengajak mereka untuk bertaubat dan ia dapat menjaga agamanya dari pengaruh mereka, serta ia berharap untuk menasehati mereka ke jalan yg benar, maka hal itu tidak mengapa baginya.

Adapun jika seseorang bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat dan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, meskipun ia mampu melakukannya, hanya saja ia tidak melakukan perbuatan maksiat bersama mereka dan tidak pula menolong mereka dalam kemaksiatannya. Maka orang semacam ini tidak selamat dari dosa. Bahkan ada kemungkinan ia mendapat murka Allah Ta’ala, karena ia bergaul dengan mereka tidak karena darurat atau karena terpaksa.

Adapun seseorang yg bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat, atau bahkan ia memuji perbuatan mereka dan membantu mereka untuk berbuat maksiat, maka menurut pandangan Allah Ta’ala, ia lebih jahat dari mereka dan murka Allah Ta’ala akan lebih cepat menimpanya daripada mereka.

Pokoknya, seorang yg berakal, tidak akan bergaul erat dengan siapapun yg terang²an berani berbuat maksiat, tidak akan duduk dengan mereka, kecuali jika pertemuannya dengan mereka secara kebetulan, misalnya bertemu dengan mereka di tempat² berkumpulnya orang banyak, seperti di masjid² atau di pasar².

Seseorang dilarang bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat, karena perbuatan itu dapat mematikan hatinya dan juga dapat melemahkan frekuensi ketaatannya, bahkan dapat menyeretnya ke dalam perbuatan maksiat pula. Dan orang yg telah mencoba melakukannya, maka ia akan mengetahui hasilnya.

Adapun mengkonsumsi makanan dari seseorang yg perbuatannya tidak baik, atau berbisnis dengannya, asalkan dengan cara yg benar atau mengetahui bahwa hartanya yg halal lebih banyak dari hartanya yg syubhat atau yg haram, maka menurut para ulama diperbolehkan mengkonsumsi makanannya dan juga berbisnis dengannya, namun menjaga diri dari perbuatan semacam itu lebih utama.

Masalah 05

162 Masalah Sufistik (Masalah 5):

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:
“Bagaimanakah cara mengobati seseorang yg malas melakukan amal² kebajikan dan condong kepada hawa nafsu. Padahal ia cinta kepada kebajikan dan para pelakunya, serta ia benci kepada kejahatan begitu pula dengan para pelakunya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya penyebabnya ada empat macam:

Pertama: Bodoh. Adapun cara menghilangkannya adalah dengan mempelajari ilmu yg bermanfaat.

Kedua: Lemah iman. Adapun cara memperkuatnya adalah dengan cara memperhatikan kejadian langit dan bumi, serta selalu melakukan amal² shaleh.

Ketiga: Banyak berangan². Adapun cara menghilangkannya adalah banyak mengingat kematian yg dapat mendatanginya secara tiba² pada setiap waktu.

Keempat: Sering mengkonsumsi makanan yg syubhat. Adapun cara menghindarinya adalah menjauhinya dan hanya mengkonsumsi yg halal.

Seseorang yg dapat mengobati dirinya dari keempat penyebab tersebut dengan cara melakukan terapinya masing², maka ia tidak akan bosan, apalagi enggan dari melakukan amal² kebajikan di setiap waktunya.

Dan ia tidak akan condong sedikitpun kepada hawa nafsu dan segala kelezatannya yg fana. Semua itu tidak dapat ia peroleh, kecuali setelah berjuang dengan sungguh² dan itulah sunnah Allah Ta’ala. Ketahuilah bahwa sunnah Allah Ta’ala tidak akan berubah sedikitpun.

Hendaknya setiap orang pada awal langkahnya, menjauhi segala yg dilarang oleh agama, menekan hawa nafsunya, dan juga senantiasa melakukan amal² kebajikan secara paksa, hingga Allah Ta’ala mengetahui kesungguhannya untuk membersihkan hatinya.

Jika hal itu telah dicapai oleh seseorang, maka di saat itu Allah Ta’ala akan memberinya kelezatan untuk beribadah dan sekaligus membenci hawa nafsunya. Yg sedemikian itu dapat terjadi adalah karena bantuan dan karunia Allah Ta’ala kepadanya. Hal itu seiring dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan orang² yg bersungguh² menempuh jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan jalan Kami.”

Dalam ayat-Nya yg lain, Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah disempurnakan janji Tuhanmu yg baik untuk memberi kemenangan bagi Bani Israil, karena mereka bersabar.”

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah menjanjikan bagi orang² beriman di antara kalian dan beramal shaleh bahwa mereka akan diberi kedudukan di muka bumi.”

Masalah 06

162 Masalah Sufistik (Masalah 6):

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya;
“Manakah yg lebih baik bagi seseorang. Apakah ia harus menyembunyikan amal² ibadahnya ataukah ia harus menampakkannya. Dan manakah yg lebih baik baginya, merasa takut lebih banyak ataukah berharap lebih banyak?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Perlu diketahui, bahwa jika seseorang menunjukkan amal² ibadahnya secara terang²an agar bisa ditiru atau di ikuti oleh orang lain, maka hal itu lebih baik baginya, asalkan tidak menyebabkan riya’ dalam dirinya. Sebaliknya, menyembunyikannya lebih baik baginya jika hatinya bisa menjadi riya,’ dan perbuatannya tidak diharapkan ditiru oleh orang lain. Jika ia merasa dirinya tidak akan riya’ dan tidak berharap perbuatannya ditiru oleh orang lain, maka menyembunyikannya lebih utama baginya.”

Sedangkan mengenai rasa takut dan rasa berharap, ketahuilah bahwa rasa takut lebih utama bagi seseorang yg kuat nafsunya dan kecondongannya cukup besar untuk berbuat maksiat, sampai setelah hatinya menjadi lurus.

Sebaliknya, rasa berharap lebih utama bagi seseorang yg saat kematiannya telah dekat, agar ia mati dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Adapun seseorang yg sehat jasadnya dan teguh agamanya, maka hendaknya ia menyamakan antara rasa takut dan rasa berharapnya. Sehingga keduanya menjadi seimbang, bagai keseimbangan dua sayap seekor burung. Dan hal itu lebih utama baginya.

Masalah 07

162 Masalah Sufistik (Masalah 7):

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:
“Bagi seseorang yg memilih wirid bagi dirinya. Manakah yg lebih baik baginya, apakah banyak membaca al-Qur’an ataukah banyak mengucapkan kalimat tasbih atau tahlil?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa tidak ada amalan yg lebih utama dari membaca al-Qur’an, asalkan membacanya dengan tartil dan merenungi kandungannya.

Akan tetapi, karena perasaan setiap orang suka bosan, maka sebaiknya ia berpindah² dalam wiridnya, sesekali ia membaca al-Qur’an, sesekali ia melakukan shalat, sesekali ia berdzikir serta sesekali ia merenungi kematiannya dan apa saja yg akan terjadi setelahnya.”

Masalah 08

162 Masalah Sufistik (Masalah 8):

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:
“Manakah yg lebih baik bagi seseorang dalam shalat. Memanjangkan berdirinya, ruku’nya, sujudnya, ataukah memendekkannya agar dapat memperbanyak bilangan raka’atnya dalam shalat sunnahnya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa Rasulullah Saw. memanjangkan berdirinya, ruku’nya dan sujudnya dalam shalat malamnya, dan Beliau tidak pernah menambah bilangan raka’atnya lebih dari sebelas atau tiga belas raka’at.

Para ulama berbeda pendapat tentang mana yg lebih utama, apakah memanjangkan berdiri, ruku’ dan sujud ataukah memendekkannya. Sebagian di antara mereka ada yg memilih pendapat yg kedua.

Akan tetapi, Imam al-Ghazali ra. dan kawan²nya memilih langkah yg dapat membuat seseorang lebih khusyuk dan lebih berkonsentrasi, dan itulah yg lebih utama. Namun hal itu bisa berubah tergantung perbedaan situasinya.”

Masalah 09

162 Masalah Sufistik (Masalah 9):

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:
“Bagaimanakah seseorang yg merenung di waktu malam dan di waktu² tertentu?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya berfikir atau merenung di waktu apapun merupakan modal yg paling besar untuk memperbaiki dan meluruskan hati seseorang, serta untuk menimbulkan niat yg baik dan kemauan yg besar untuk melakukan berbagai amal kebajikan.

Akan tetapi, bukan setiap pemikiran atau perenungan dapat menimbulkan perasaan semacam itu. Sebaliknya, adalah pemikiran atau perenungan tentang tanda² dan keajaiban kekuasaan Allah Ta’ala serta besarnya karunia-Nya bagi Wali²Nya, dan juga besarnya siksa-Nya bagi musuh²Nya, termasuk juga pemikiran tentang dunia dan kehancuran-Nya, serta besarnya kekacauannya dan keburukannya.

Adapun pemikiran tentang hawa nafsu dan kelezatannya yg menyebabkan seseorang dapat menghindari hawa nafsunya, maka pemikiran semacam itu termasuk pemikiran yg berguna bagi seseorang. Akan tetapi, jika pemikirannya mengarah kepada hal² untuk berbuat maksiat, maka pemikiran semacam itu termasuk pemikiran yg tidak berguna yg harus dijauhi oleh setiap muslim.”

Masalah 10

162 Masalah Sufistik (Masalah 10):

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya:
“Tentang ucapan Syaikh Abu Yazid al-Busthami ra.: ‘Sejauh-jauh orang dari Allah Ta’ala adalah seseorang yg paling banyak menggunakan nama Allah dalam pembicaraannya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Maksud dari ucapan Syaikh Abu Yazid ra. adalah jika seorang banyak menyebut nama Allah Ta’ala dalam pembicaraannya dengan maksud riya’.

Tentunya, banyak menyebut nama Allah Ta’ala dalam pembicaraannya tidak salah, sebab orang² shaleh selalu menyebut nama Allah Ta’ala dalam pembicaraannya. Namun jika niat orang itu untuk riya,’ maka niatnya itu yg dicela, karena niatnya tidak ikhlas.”

Masalah 11

162 Masalah Sufistik (Masalah 11):

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya;
“Tentang ucapan seorang: “Jiwa berkata kepada hati: ‘Ikutilah semua kebiasaanku sampai aku mengikutimu di dalam berbagai ibadah.’”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ucapan semacam itu adalah ucapan nafsu muthma’innah kepada hati yg bercahaya. Jika hati mau hadir bersama jiwanya di dalam berbagai kebiasaan yg semestinya, seperti ketika makan, minum dan sebagainya, maka jiwa akan sejajar di dalam segala kebiasaan dengan hati dan ia dapat bersikap lebih baik serta lebih utama.”

Adapun kehadiran jiwa bersama hati di dalam berbagai ibadah akan menambah semangat, serta di dalam lahir dan batin akan menyatu. Jika keduanya telah menyatu dalam segala tindak-tanduk seseorang, maka segala tindak-tanduknya akan menjadi lurus dan baik. Jika sebaliknya, maka segala tindak-tanduknya akan tercela.

Masalah 12

162 Masalah Sufistik (Masalah 12):

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya:
“Apakah seseorang boleh mencintai dzat seseorang ataukah hanya diperbolehkan mencintai sifatnya saja?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Mencintai sifat² yg baik dari seseorang bisa diterima oleh akal dan ia dapat bermanfaat di dunia serta di akhirat kelak. Akan tetapi mencintai sifat² seseorang, maka nilainya lebih tinggi dan lebih bermanfaat.

Adapun mencintai dzat seseorang adalah perbuatan yg tidak pantas, yg pantas adalah mencintai Dzat Allah Ta’ala. Meskipun pengertian mencintai Dzat Allah Ta’ala cukup rumit dan misteri bagi orang awam. Namun setiap orang harus mencintai Dzat Allah Ta’ala lebih dari yg lain.”

Adapun jika ada yg berkata: “Kami tidak membenci dzat sebagian orang dari keluarga Rasulullah Saw. yg sifatnya tidak bagus, tetapi kami hanya tidak menyenangi sifat²nya yg buruk. Sebab pada diri mereka mengalir darah suci Rasulullah Saw.” Ketahuilah masalah ini tidak termasuk dalam pembahasan kita.

Masalah 13

162 Masalah Sufistik (Masalah 13):

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya:
“Apakah maksud doa yg diucapkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. untuk Sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra.: ‘Ya Allah, berilah ia pengertian dalam agama dan ajarilah ia ilmu takwil.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Adapun maksud dari doa Rasulullah Saw. berilah ia pengertian dalam agama, adalah pengertian tentang ilmu² agama, termasuk juga hikmah² dan rahasia²nya, sehingga ia dapat mempraktekkan setiap ajarannya dengan penuh pengertian dan dengan dasar² yg kuat.

Adapun pengertian doa Rasulullah Saw. dan ajarilah ia ilmu takwil, adalah ilmu yg dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Memang Sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra. termasuk seorang pakar dalam ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan Beliau dikenal dengan nama “Penerjemah al-Qur’an.” Hal ini karena berkah doa Rasulullah Saw. tersebut.

Doa Rasulullah Saw. seperti yg kami sebutkan di atas, biasa dibaca oleh orang² shaleh dengan tambahan “Dan berilah kami petunjuk ke jalan lurus yg menuju kepada ridha Allah Ta’ala dan surga-Nya dengan mudah dan selamat.” Seorang yg berdoa semacam itu, pasti akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala dan doa tersebut akan bermanfaat.

Masalah 14

162 Masalah Sufistik (Masalah 14):

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya:
“Tentang makna hadits qudsi: “Seorang yg sibuk mengingat-Ku lebih dari memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberikan sesuatu yg lebih baik baginya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “ Maksud dari hadits qudsi tersebut, adalah seseorang yg senantiasa mengingat Allah Ta’ala (dzikrullah) dan pekerjaan semacam itu menjadi rutinitasnya setiap saatnya, sehingga ia tidak sempat berdoa.

Maka menurut Allah Ta’ala, orang itu akan diberi berbagai karunia yg lebih banyak dan lebih baik dari segala permohonan yg diminta oleh mereka yg suka berdoa. Karena ia selalu sibuk mengingat Allah Ta’ala, sehingga ia tidak sempat berdoa.

Perlu diketahui, meskipun hadits qudsi diatas mengisyaratkan bahwa seseorang yg senantiasa mengingat Allah Ta’ala lebih utama dari mereka yg senantiasa berdoa, tetapi ia tidak boleh hanya mengingat Allah Ta’ala tanpa berdoa sedikit pun. Sebab, berdoa termasuk bagian mengingat Allah Ta’ala.

Karena seseorang yg berdoa, hatinya terasa butuh, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Ta’ala, lebih dari berbagai rurinitas ibadah lainnya. Tentunya perasaan tersebut merupakan modal ter besar untuk diterimanya ibadah seseorang. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. bersabda:

“Doa adalah pokok dari segala ibadah.”

Masalah 15

162 Masalah Sufistik (Masalah 15):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:
“Tentang ucapan Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra.: ‘Seorang tidak pantas menjadi syaikh mursyid sampai setelah ia mengetahui pokok² agama dan cabang²nya. Adapun pokok² agama ada tujuh dan cabang²nya ada tujuh puluh.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra. sebagaimana yg Anda sebutkan di atas adalah benar. Seseorang tidak pantas menjadi seorang tokoh agama yg berdakwah sampai setelah ia mengerti dan mengetahui pokok² agama dan cabang²nya. Baik secara global maupun secara terperinci, baik dari hasil mempelajarinya dan mendalaminya maupun dari hasil pemberian ataupun ilham dari Allah Ta’ala.

Sebagaimana yg diperoleh oleh Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra., seorang yg buta huruf ataupun seperti yg diperoleh oleh Syaikh Ahmad ash-Shayyad, Syeikh Ali al-Ahdal ra., Syaikh Abul Ghaits ra., dan lain²nya.

Adapun pengertian ucapan Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra.: “Pokok² agama ada tujuh dan cabang²nya ada tujuh puluh.” Sebenarnya tidak ada satu dalil pun yg menyebutkan jumlahnya sebagaimana yg telah disebutkan oleh Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra.

Mungkin pengertian seperti itu merupakan suatu kesimpulan dari ucapan sebagian ulama yg mengatakan hal itu, seperti ucapan seorang ulama: “Seorang tokoh agama diwajibkan melakukan hal² yg wajib dan sunnah. Hal² yg wajib adalah mencintai Allah Ta’ala, sedangkan yg sunnah adalah zuhud atau hidup sederhana di dunia.”

Adapun kesimpulan dari ucapan Syeikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra. diatas, seorang tokoh agama harus mengetahui segala permasalahan agama, baik yg pokok maupun cabangnya secara lahir maupun batin. Hal ini sebagaimana yg telah disebutkan dalam sebuah hadits:

“Allah tidak akan memilih seorang yg bodoh sebagai wali-Nya, andaikata Allah Ta’ala berkehendak memilih seseorang untuk menjadi wali-Nya, maka Allah Ta’ala akan memberikannya ilmu.”

Masalah 17

162 Masalah Sufistik (Masalah 17):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:
“Apakah seorang yg mengingkari karamah para wali Allah Ta’ala akan membawa orang tersebut menjadi kafir?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Pendapat ulama seperti itu dapat dijadikan dasar, karena pendapat mereka ada dasarnya dalam syari’at.

Di dalam Kitab al-Lathaif al-Minan disebutkan bahwa Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi ra. berkata: “Seorang yg mengingkari karamah para wali Allah Ta’ala menjadi seorang kafir, sebab ia telah mengingkari kekuasaan Allah Ta’ala.”

Adapun yg menganggap karamah sebagai bagian dari mu’jizat, maka anggapan itu boleh diterima, meskipun pada dasarnya karamah berbeda dengan mu’jizat. Sebab, mu’jizat sengaja diberikan kepada seorang Nabi sebagai tanda bahwa ia adalah benar² utusan Allah Ta’ala.

Sedangkan karamah sengaja diberikan kepada seorang wali, sebagai tanda bahwa ia adalah seorang wali yg mengikuti syari’at seorang Nabi dengan benar. Karena itu, tidak salah apabila ada yg menganggap bahwa karamah adalah bagian dari mu’jizat.

Karena seorang wali adalah seseorang yg mengikuti syari’at seorang Nabi dengan sungguh², hingga Allah Ta’ala memberikan kepadanya sebuah karunia yg disebut dengan karamah.

Masalah 18

162 Masalah Sufistik (Masalah 18):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:
“Apakah pertanyaan kedua malaikat, Munkar dan Nakir bagi penghuni kubur itu ada? Kalau ada, maka pertanyaannya dengan bahasa apa? Apakah jumlah mereka hanya dua ataukah lebih? Apakah mereka berbentuk menurut keadaan yg mati?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya pertanyaan dua malaikat bagi penghuni kubur adalah benar dan pasti adanya. Tentang adanya pertanyaan dalam kubur tidak perlu diragukan, sebab dalil²nya cukup jelas dan kita hanya diharuskan mempercayai adanya pertanyaan kubur.

Tentang masalah ini, pernah diterangkan secara luas oleh Imam as-Suyuthi ra. dalam kitabnya yg berjudul asy-Syarh ash-Shudur Fii Ahwaali Ahlil Qubur. Jika engkau ingin mengetahuinya lebih terperinci lagi, maka bacalah masalah ini dalam kitab tersebut.

Masalah 19

162 Masalah Sufistik (Masalah 19):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:
“Apakah surga berada di langit dan neraka berada di dasar bumi yg paling bawah. Apakah langit dan bumi akan berubah pada hari kiamat? Apakah Allah Ta’ala akan menggantikan langit dan bumi dengan yg lain? Apakah surga bertingkat-tingkat? Berapa jumlahnya? Apa yg mendorong orang² beriman ingin melihat Allah Ta’ala di alam akhirat kelak?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang surga dan neraka telah diterangkan dengan jelas oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara global maupun secara terperinci, dan akal manusia tidak dapat mencernanya dengan baik. Karena itu sebaiknya kita menyakini adanya dengan keimanan.”

Surga menurut al-Qur’an berada di langit dunia dan mempunyai tingkatan². Menurut sebagian riwayat, surga mempunyai seratus tingkatan. Namun menurut riwayat yg lain, surga mempunyai lebih dari enam ribu tingkatan atau sebanyak ayat² yg ada di dalam al-Qur’an.

Selain itu, masih ada delapan surga yg di dalam setiap surga tersebut terdapat surga² yg tiada terhitung jumlahnya dan yg paling tinggi tingkatannya adalah Surga Firdaus dan tepat di atasnya terdapat Arsy Allah Ta’ala.

Adapun penghuni Surga Firdaus adalah para Nabi, Rasul, serta orang² mukmin dan muslim yg shaleh. Perbedaan tingkatan di antara mereka tergantung kepada perbedaan keimanan dan amal² kebajikan mereka. Di antara mereka ada yg menempati tempat tertinggi, bahkan ada pula yg menempati lebih tinggi, tidak ada yg menempati di tingkat bawah, sebab semua tingkatan di surga amat tinggi.

Adapun yg mendorong orang² beriman ingin melihat Allah Ta’ala di dalam surga adalah kekuatan Allah Ta’ala yg diberikan kepada mereka, yaitu pada waktu mereka dihidupkan kembali dari kuburnya, pada waktu itu mereka tidak diberi unsur² kelemahan dan kefana’an.

Adapun keadaan bumi dan langit pada hari kiamat, menurut sumber² yg ada, akan diganti oleh Allah Ta’ala dalam bentuk yg lain. Hal ini sebagaimana yg diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Pada hari itu, bumi akan diganti dengan bentuk yg lain.”

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan ketika langit telah terbelah.”

Kemudian langit dan bumi dibentuk kembali seperti sediakala, akan tetapi keadaannya berbeda dengan keadaan pada waktu sebelumnya.

Adapun neraka menurut sebuah riwayat, sekarang ini berada di dasar bumi yg paling bawah, yaitu berada di lapisan ketujuh. Adapula yg mengatakan berada di bawah laut. Neraka mempunyai tujuh tingkatan. Yg paling atas adalah Neraka Jahannam. Neraka ini yg disediakan bagi orang² yg bertauhid yg pernah melakukan maksiat.

Dan yg paling bawah adalah Neraka Hawiyah, ia tidak mempunyai dasar. Di hari kiamat kelak, setelah Allah Ta’ala menghakimi umat manusia dan makhluk² yg lain, maka Arsy serta surga diletakkan di sebelah kanan Allah Ta’ala dan api neraka diletakkan di sebelah kiri-Nya, kemudian semua makhluk dipanggil, di antara mereka ada yg dimasukkan ke dalam surga dan adapula yg dimasukkan ke dalam neraka.

Al-Qur’an dan as-Sunnah telah banyak menerangkan adanya surga dan neraka, beserta suka dukanya. Maka bacalah keterangannya dan renungilah baik². Kemudian yakinilah dengan baik, agar engkau mendapat petunjuk. Sebab hanya orang yg berada dalam maqam yaqin yg akan mendapatkan petunjuk Allah Ta’ala.

Masalah 20

162 Masalah Sufistik (Masalah 20):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:
“Apakah mendahulukan kepentingan orang lain itu termasuk untuk urusan dunia dan akhirat ataukah hanya berkaitan dengan urusan dunia saja?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya mendahulukan kepentingan orang lain di dalam urusan dunia dan kesenangannya termasuk perbuatan yg bagus.

Kaum salafunasshalihin terdahulu senantiasa melakukan hal itu dan tentang hal itu banyak kisah² yg mengagumkan. Imam al-Ghazali ra. pernah menyebutkan kisah orang² yg lebih mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadinya di dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin dalam bab Dzammul Maali.

Adapun mendahulukan kepentingan orang lain dalam urusan akhirat termasuk juga amal² taqarrub kepada Allah Ta’ala. Namun sebagian salafunasshalihin tidak melakukan hal ini. Sebab mereka berpedoman, untuk urusan akhirat, setiap orang dianjurkan berlomba-lomba dalam memperbanyak amal² kebajikan. Jadi, tidak ada yg boleh mendahulukan orang lain untuk melakukan amal² kebajikan.

Di antara amal² taqarrub ada yg mengandung resiko. Karena itu, sebagian orang ada yg mendahulukan orang lain untuk melakukannya, karena merasa bahwa orang lain lebih mampu dan lebih pantas untuk melakukannya. Misalnya menjadi imam dalam shalat, menjadi pimpinan umat atau menjadi pengajar ilmu pengetahuan.

Tentunya dalam masalah² yg kami sebutkan tadi, tidak semua orang mempunyai kemampuan yg sama. Karena itu, masalah ini tidak boleh diperlombakan, karena semuanya akan berjalan menurut kemampuannya masing². Jika engkau perhatikan baik², dapat kami lihat bahwa mereka yg mendahulukan kepentingan orang lain hanya ingin mendapat ridha Allah Ta’ala dan selamat dari murka-Nya.

Masalah 21

162 Masalah Sufistik (Masalah 21):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:
“Tentang waktu yg lebih utama untuk berdzikir. Apakah di waktu pagi ataukah di waktu sore?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya waktu pagi dimulai pada tengah malam atau pada sepertiga terakhir dari waktu malam. Adapun waktu sore adalah dimulai sejak tergelincirnya matahari di siang hari.

Adapun berdzikir pada waktu sore sampai malam hari dan melakukannya pula di awal malam, maka nilainya lebih utama. Demikian pula berdzikir di waktu pagi yg dimulai sebelum terbitnya waktu fajar hingga naiknya matahari, nilainya cukup bagus.”

Masalah 22

162 Masalah Sufistik (Masalah 22):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:
“Tentang mengusap seluruh anggota badan setelah membaca doa dan meniupkannya kepada kedua telapak tangan sebelum tidur. Apakah diharuskan mengusap seluruh bagian badan, meskipun sulit melakukannya ataukah boleh semampunya? Karena di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mengusap bagian tubuhnya semampunya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa meskipun Rasulullah Saw. mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh bagian tubuhnya setelah membaca doa dan meniupnya.

Akan tetapi nampaknya Rasulullah Saw. tidak dapat mengusap seluruh bagian badannya. Karena itu, Rasulullah Saw. hanya mengusap bagian² yg dapat diusap oleh kedua telapak tangannya. Yaitu mulai dari kepalanya, wajahnya, dan bagian depan tubuhnya.

Masalah 23

162 Masalah Sufistik (Masalah 23):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Apakah yg dimaksud dengan berjalan menuju kepada Allah Ta’ala?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa yg dimaksud berjalan menuju kepada Allah Ta’ala, menurut hakekat dan maknanya adalah membersihkan jiwa serta anggota tubuh dari budi pekerti dan tindak-tanduk yg tidak baik.

Kemudian menghiasinya dengan budi pekerti yg luhur serta dengan berbagai amal kebajikan. Memang hanya dengan cara seperti itulah seseorang dapat sampai kepada Allah Ta’ala.

Makin banyak ia membersihkan jiwa dan jasadnya dari segala dosa, maka ia akan semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Selanjutnya, ia masih harus menempuh jalan lain yg lebih lembut dan lebih tajam. Hanya saja, jalan itu tidak perlu kami jelaskan disini, karena sulit dimengerti oleh kaum awam.

Masalah 24

162 Masalah Sufistik (Masalah 24):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Tentang ucapan sebagian ahli tarekat yg melarang kaum awam membicarakan keadaan dan kedudukan para wali Allah Ta’ala.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Memang larangan semacam itu boleh diterima, khususnya bagi seorang murid yg sedang berjalan menuju Allah Ta’ala dan ia masih dalam tahapan pemula yg belum mendapat anugrah apapun dari kesungguhannya dalam menuju kepada Allah Ta’ala.

Sehingga jikalau ia membicarakan masalah² yg masih misteri baginya, tentunya bisa menyebabkannya riya’, yg adakalanya dapat menurunkan kedudukannya di sisi Allah Ta’ala.

Karena itu, sebaiknya ia tidak menanyakan kepada Guru pembimbingnya atau kepada orang lain, kecuali sebatas masalah² yg sedang ia hadapi atau sebaiknya ia merujuk kembali kepada buku panduannya.

Masalah 25

162 Masalah Sufistik (Masalah 25):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Bagaimanakah kedudukan seseorang yg menghadirkan hadirat Ilahi dalam shalatnya, namun ia takut kalau perasaan itu dapat merusak shalatnya serta juga ia tidak dapat berlaku sopan kepada Allah Ta’ala ketika perasaan itu datang?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah, jika seseorang takut kalau shalatnya akan terpengaruh oleh perasaannya ketika ia menghadirkan hadirat Ilahi, maka sebaiknya ia menghadirkan hadirat Ilahi menurut kemampuan hatinya, sehingga ia tidak terbebani oleh sesuatu yg tidak mampu ia tanggung.

Yg kedua, hendaknya ia menghadirkan perasaannya bahwa Allah Ta’ala sedang melihatnya dan jangan sampai ia berperasaan bahwa ia sedang melihat Allah Ta’ala. Hal itu bertujuan agar ia selamat dari segala pemikiran yg keliru tentang Dzat Allah Ta’ala, sebab ia belum mengenal Allah Ta’ala dalam tahapan yg prima dan paripurna.”

Masalah 26

162 Masalah Sufistik (Masalah 26):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Bolehkah seseorang menilai buruk seorang murid yg beribadah dengan harapan agar ia mendapatkan karamah dan mukasyafah sebagaimana yg disebutkan dalam Kitab ar-Risaalah al-Muriid?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Menilai buruk bagi seorang murid yg gemar beribadah dengan harapan diberi karamah dan mukasyafah diperbolehkan. Sebab, seorang murid yg melakukan hal itu tidak berbeda dengan seseorang yg beribadah dengan harapan mendapat kekayaan dan keuntungan duniawi.

Sebab karamah atau mukasyafah yg mereka harapkan hanya bersifat sementara dan bukan karamah yg sebenarnya. Lain halnya jika ia berharap mendapatkan karamah yg sebenarnya, seperti bertambahnya keimanan dan keyakinannya, dapat hidup sederhana di dunia, serta banyak berharap ridha Allah Ta’ala dan kebahagiaan di akhirat, maka harapan semacam itu adalah logis dan terpuji.

Karena setiap orang yg beragama dianjurkan hanya berharap ridha Allah Ta’ala dan kebahagiaan di akhirat, bukan berharap mendapat kesenangan duniawi semata.”

Masalah 27

162 Masalah Sufistik (Masalah 27):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Tentang ucapan al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. yg tertulis di dalam bab Syukur dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin: ‘Sesungguhnya para malaikat yg terdekat lebih banyak bersyukur kepada Allah Ta’ala daripada para Nabi.” Dalam tulisan tersebut, seolah-olah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. menilai para malaikat lebih mulia daripada para Nabi. Bagaimana pendapat Anda akan hal ini?”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan seperti itu adalah ucapan sebagian ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dan al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. juga berpendapat seperti itu, meskipun ada beberapa ulama yg menentang pendapat itu.

Menurutku, pendapat al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. itu hanya menilai dari segi tertentu, namun aku tidak akan mengomentarinya, sebab masalah mana yg lebih utama, hanya Allah Ta’ala yg mengetahui. Sebaiknya kita serahkan penilaiannya kepada Allah Ta’ala, sebagaimana yg disepakati oleh sebagian besar Ahlussunnah wal Jama’ah, termasuk juga al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. dalam berbagai keterangannya di tempat lain.

Masalah 28

162 Masalah Sufistik (Masalah 28):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Bagaimanakah pendapat Anda tentang seorang yg berdzikir dan berdoa dengan menyebutkan berbagai nama Allah Ta’ala dalam bahasa selain Bahasa Arab bagi yg tidak mengerti artinya. Bagaimana hukumnya seorang yg berdzikir dengan menyebut kalimat Yaa Hu, Yaa Hu?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Dahulu pernah kami terangkan kepada Anda secara lisan bahwa seorang yg mengucapkan doa² karya para tokoh ulama yg menggabungkan ilmu dan keyakinan.

Di antara mereka adalah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra., al-Imam asy-Syaikh Suhrawardi ra., al-Imam asy-Syaikh Abul Hasan asy-Syadzali ra., serta beberapa ulama lainnya. Sebab yg membaca doa² karya mereka hanya meniru yg telah ada.

Sedangkan seorang yg membaca doa dari bahasa selain Bahasa Arab dan ia tidak mengetahui artinya, sebaiknya ia segera meninggalkannya, karena ditakutkan kalau ada kata² yg mengandung arti kekafiran atau yg mendekati arti seperti itu.

Adapun seorang yg mengucapkan kalimat: “Yaa Hu, Yaa Hu.” Menurut al-Imam asy-Syaikh Zarruq ra. tidak boleh, kecuali bagi mereka yg telah tenggelam dalam lautan dzikirnya. Tetapi, menurut ulama lainnya tidak mengapa, karena ia hanya mengikuti contoh para ulama terdahulu, bukan menciptakannya tersendiri.

Masalah 29

162 Masalah Sufistik (Masalah 29):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Tentang maksud ucapan al-Imam al-Habib Abubakar bin Abdullah bin Abubakar al-Aydrus ra yg menyebutkan pada awal bait puisinya: Seseorang yg mencintai telah mabuk dalam cintanya, meskipun ia sadar (hingga pada ucapannya): “Allah berbuat apa saja yg mungkin atau yg mustahil sekehendak-Nya.”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Yg sulit dimengerti adalah ucapan ‘yg mustahil.’ Sebab, menurut ulama tauhid kata mustahil mempunyai arti tidak dapat dibayangkan dan tidak akan terjadi.

Padahal yg kami mengerti dari ucapan Beliau ra. bahwa andaikata kehendak Allah Ta’ala terkait dengan sesuatu yg mustahil, pasti akan terjadi. Kekuasaan Allah Ta’ala dapat menguasai apa saja yg tidak dapat diatasi oleh siapapun.

Menurutku, arti dari ucapan Beliau ra. diatas adalah Allah Ta’ala akan melakukan apa saja yg dikehendaki-Nya. Karena andaikata Allah Ta’ala menghendaki sesuatu, pasti Allah Ta’ala akan melakukan apa saja yg dikehendaki-Nya.

Akan tetapi Allah Ta’ala tidak akan berkehendak sesuatu yg mustahil. Karena jikalau Allah Ta’ala tidak berkehendak melakukan sesuatu yg mustahil, pasti sesuatu itu tidak akan terjadi. Hal ini sebagaimana yg disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

“Andaikata Allah Ta’ala berkehendak mempunyai seorang anak, pasti Dia akan memilih seorang anak.” [lihat Surah Az-Zumar (39): 4]

Memiliki seorang anak adalah mustahil bagi Allah Ta’ala, sebab Allah Ta’ala tidak pernah menghendakinya. Akan tetapi ada kemungkinan pengucapan itu adalah apa saja yg dinilai mustahil terjadi oleh akal, maka bagi Allah Ta’ala bukanlah sesuatu yg mustahil.

Menurut Bahasa Arab kata mustahil, biasa diucapkan dengan kata muhal. Sedangkan ucapan muhal sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari, tetapi ada kemungkinan ucapan itu mempunyai arti lain yg tidak boleh diterjemahkan untuk kaum awam yg sulit menerima pengertiannya.

Masalah 30

162 Masalah Sufistik (Masalah 30):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Tentang ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.: Hidupkanlah majelis² taat dengan kehadiran seorang yg malu kepada Allah Ta’ala.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Seolah-olah kesulitannya timbul dari arti malu dan riya’. Meskipun ada sebagian orang yg enggan melakukan amal kebajikan karena malu atau karena takut riya’, akan tetapi riya’ berbeda jauh dengan malu.

Sebab, riya’ mengandung arti seseorang berbuat amal kebajikan karena ingin pamer dihadapan orang banyak, sedangkan malu adalah perasaan yg timbul dari hati seorang yg mulia untuk mengerjakan amal kebajikan, karena ia takut diketahui orang banyak dan ia takut mempunyai perasaan riya’. Kejadian semacam ini banyak terjadi di majelis² orang² shaleh.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

“Malulah engkau kepada Allah seperti engkau malu kepada seorang yg shaleh.”

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syaikh Ibnu Sirin ra. berkata: “Aku lihat sangat jelek duduk di majelis orang² yg tidak mempunyai rasa malu kepada Allah Ta’ala.”

Disebutkan bahwa Sayyidina Anas bin Malik ra. berkata kepada seorang yg berkata kepadanya bahwa ia merasa malu jika keterlambatannya menghadiri Shalat Jum’at diketahui orang lain: “Seorang yg tidak malu kepada Allah Ta’ala, maka ia tidak boleh malu kepada manusia.”

Mungkin ia menisbahkankan ucapan tersebut kepada Rasulullah Saw. Namun aku ragu tentang masalah ini, karena itu aku tidak mau menilai ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah Saw., karena aku takut ancaman siksa Allah Ta’ala bagi yg berdusta atas nama Rasulullah Saw.”

Masalah 31

162 Masalah Sufistik (Masalah 31):

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: “Jika seorang anak kecil berbuat riya’,” apakah pahala amal kebajikannya akan gugur? Serta bagaimanakah hukumnya?”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah seorang anak kecil yg masih di bawah umur, segala perbuatannya tidak akan dicatat oleh Allah Ta’ala sebelum ia mencapai usia akil baligh. Namun pahala amal²nya akan gugur jika ia berbuat riya’. Meskipun demikian, ia akan diberi pahala jika amal kebajikannya ikhlas.

Dikatakan bahwa pahala amal² kebajikan yg dilakukan oleh seorang anak kecil akan dicatat dalam catatan pahala kedua orang tuanya dan andaikata ia perbuatan riya’, maka yg dilakukan olehnya akan dibebankan pada ayahnya atau walinya yg tidak pernah mengajarinya ikhlas dalam segala amal kebajikannya dan hal itu bisa saja terjadi.

Karena itu, diwajibkan bagi orang tua untuk mengajari anak²nya melaksanakan amal² yg diwajibkan, seperti berpuasa, shalat, serta melarang mereka melakukan hal² yg dilarang, seperti berbuat zina, minum arak, riya’, dan perbuatan yg dilarang lainnya.

Masalah 32

162 Masalah Sufistik (Masalah 32):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Bagaimana hukumnya seorang yg melakukan amal² kebajikan karena semata-mata ingin mendapatkan balasan pahala?”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya mengharapkan pahala dari amal² kebajikan yg dilakukan oleh seseorang adalah perbuatan yg terpuji dan hal itu dilakukan juga oleh salafunas shalihin yg terdahulu. Sebab, manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan miskin. Karena itu setiap orang membutuhkan mendapat karunia Allah Ta’ala, apalagi dari amal² kebajikan yg telah ia lakukan.”

Sebenarnya jawaban diatas dapat dimengerti, adapun untuk membicarakannya lebih jelas diperlukan waktu yg cukup lama. Akan tetapi perlu kami terangkan sedikit tentangnya sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para pelaku amal² kebajikan ada tiga kelompok.

Di antaranya ada yg melakukan amal² kebalikan karena takut disiksa apabila tidak melakukannya. Kelompok ini disebut al-khaaifun, atau kelompok yg takut dari siksa Allah Ta’ala.

Adapula yg disebut kelompok ar-raajun. Mereka adalah orang² yg melakukan amal² kebajikan karena berharap pahala dari Allah Ta’ala. Adapula yg disebut kelompok al-aarifun. Mereka adalah orang² yg melakukan amal² kebajikan karena menjalankan perintah Allah Ta’ala.

Akan tetapi, kelompok al-aarifun juga mempunyai rasa takut mendapat siksa dan berharap mendapat pahala. Demikan pula kelompok al-khaaifun juga mempunyai perasaan yg sama dengan kelompok al-aarifun. Akan tetapi, seseorang akan dinilai menurut kecondongan perasaannya masing².

Ahli tasawuf menilai cukup rendah atas seseorang yg melakukan amalan kebajikan karena berharap mendapat pahala atau karena takut siksa. Penilaian mereka mengisyaratkan bahwa yg melakukan amal² kebajikan hanya semata-mata menjalankan perintah Allah Ta’ala, maka nilainya lebih utama dari seseorang yg melakukan amal² kebajikan karena mengharap pahala dan takut siksa.

Akan tetapi kedudukan sebagian orang adakalanya lebih tinggi dari kedudukan yg lain. Yg dapat menentukan kedudukan seseorang di sisi Allah Ta’ala hanya Allah Ta’ala semata, bukan yg lain.

Sebagai seorang hamba, ia hanya diwajibkan menjalani perintah²Nya, ia boleh berharap pahala dan takut siksa dan ia pun boleh tidak mempunyai kedua perasaan tersebut, karena hanya menjalankan perintah yg hanya diwajibkan baginya. Tetapi ketiga kelompok tersebut diharuskan menjalani seperti yg diperintahkan kepadanya.

Sebagian ahli ma’rifat menilai rendah seseorang yg melakukan amal kebajikan karena mengharap pahala dan takut siksa. Andaikata tidak ada keduanya, pasti mereka tidak akan melakukan amal kebajikan sedikitpun, bahkan di hatinya tidak ada rasa hormat sedikitpun kepada Allah Ta’ala, yg menyebabkan ia mau menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Penilaian semacam itu masih misteri kebenarannya, kalau tidak kita katakan penilaian semacam itu adalah salah. Menurutku, melakukan amal² kebajikan karena menjalankan perintah dan berharap pahala dan takut siksa merupakan perbuatan yg baik dan cukup terpuji. Bahkan para wali Allah Ta’ala melakukan amal² kebajikan dengan didasari tiga perasaan tersebut.

Hendaknya setiap orang mengetahui kewajibannya dan melaksanakannya dengan baik. Janganlah ia seperti pegawai yg buruk perangainya, ia tidak akan bekerja jika ia tidak diberi upah dan janganlah pula ia seperti budak sahaya yg buruk perangainya, ia tidak akan berlaku baik jika ia tidak takut dipukul.

Sebaiknya ia melakukan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi Iarangan-Nya dengan sebaik-baiknya, karena hanya Allah Ta’ala lah Tuhan yg berhak memerintah dan melarang. Adapun mengharap pahala daripada-Nya ataupun takut akan siksa-Nya, boleh saja ia lakukan. Karena cara seperti itu cukup bagus serta adil. Dan cara seperti itu juga dilakukan oleh orang² shaleh dan kaum ulama terdahulu.

Masalah 33

162 Masalah Sufistik (Masalah 33)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Apakah yg lebih utama, berdzikir secara rahasia ataukah berdzikir dengan suara yg keras?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa para ulama al-‘arifin pernah membicarakan masalah ini.

Kesimpulannya, berdzikir dengan suara rendah atau secara rahasia lebih utama bagi orang² yg takut berbuat riya’ jika mengeraskan suara dzikirnya atau takut mengganggu orang lain ketika ia sedang melakukan shalat atau ketika ia sedang tidur.

Akan tetapi jikalau ia tidak takut riya’ atau tidak takut mengganggu orang lain, maka berdzikir dengan mengeraskan suaranya nilainya lebih utama. Sebab, manfaatnya bagi orang lain lebih banyak dan lebih berpengaruh pada hati orang lain yg hatinya lalai.

Namun bagi yg hatinya tidak dapat meresapi dzikir seseorang dan pelaku dzikirnya tidak konsentrasi, maka berdzikir dengan suara rendah lebih bagus daripada mengeraskan suaranya. Hal itu didasari oleh sebuah hadits Rasulullah Saw.:

“Sebaik-baik dzikir adalah dengan suara rendah.”

Dalam hal ini, al-Qur’an juga memerintahkan kita untuk merendahkan suara ketika berdzikir. Hal ini sebagaimana yg terdapat dalam firman Allah Ta’ala:

“Dan sebutlah nama Tuhanmu di dalam dirimu.”

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa bagi kedua cara berdzikir mempunyai keutamaan masing² menurut keadaannya masing². Oleh karena itu, para pelaku dzikir hendaknya memperhatikan baik² masalah ini. Wallaahu a’lam

Masalah 34

162 Masalah Sufistik (Masalah 34):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Hadits Rasulullah Saw. yg menyatakan bahwa ada sebuah lembah di Neraka Jahannam yg mana Neraka Jahannam itu sendiri mohon perlindungan Allah Ta’ala dari lembah tersebut sebanyak tujuh puluh kali dalam setiap harinya dan lembah itu disediakan bagi para qari’ yg riya’. Bagaimanakah pendapat Anda dalam hal ini?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa yg dimaksud orang² yg berbuat riya’ dalam hadits di atas adalah riya’ yg dilakukan oleh seseorang yg munafik, ia suka memperlihatkan iman dan amal² kebajikannya kepada orang lain, padahal di dalam hatinya tidak ada iman sedikitpun.

Dan ia melakukan demikian agar dihormati dan tidak dilecehkan oleh orang² yg beriman. Kelak orang semacam ini akan ditempatkan di Neraka Jahannam untuk selama-lamanya.”

Adapun maksud dari ucapan Neraka Jahannam yg mohon perlindungan Allah Ta’ala dari lembah tersebut sebanyak tujuh puluh kali dalam setiap harinya, adalah menunjukkan betapa kerasnya siksa yg ada di dalamnya dan betapa besarnya dosa riya’ yg dilakukan oleh orang² munafik.

Adapun para qari’ yg riya’ padahal mereka masih mempunyai iman seperti yg disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Saw. di atas, ada kemungkinan mereka dimasukkan ke dalam lembah di Neraka Jahannam itu dan ia akan kekal di dalamnya jika ia ditetapkan mati dalam keadaan akhir yg buruk, sebagaimana halnya orang munafik.

Atau ada kemungkinan ia akan dimasukkan ke dalam lembah di neraka itu, namun ia akan dikeluarkan kembali setelah ia mendapat rahmat dari Allah Ta’ala. Sebab menurut sebuah hadits, seseorang tidak akan kekal di dalam neraka kalau di hatinya masih ada iman walau sekecil atom. Sedangkan riya’ termasuk syirik kecil, karena itulah dosa bagi pelakunya cukuplah besar.

Masalah 35

162 Masalah Sufistik (Masalah 35):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang seseorang yg senantiasa berdzikir, akan tetapi ia tidak mendapat kenikmatan berdzikir sebagaimana halnya yg didapatkan oleh mereka yg senantiasa berdzikir dengan penuh konsentrasi. Apakah penyebabnya hal ini?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa penyebab utamanya adalah karena hatinya tidak bagus dan tidak bersih dari budi pekerti serta perasaan yg buruk ketika ia berdzikir dan ia juga tidak berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah Ta’ala serta tidak menekuni petunjuk² syaikh mursyidnya, baik yg lahir maupun yg batin ketika ia berdzikir.

Siapapun yg tidak mampu melakukan hal² yg kami utarakan di atas, sebaiknya ia terus-menerus berdzikir dan memperbanyaknya lewat lisannya, serta berusaha sekuat mungkin untuk mengkonsentrasikan hatinya kepada Allah Ta’ala dan berharap penuh mendapatkan rahmat Allah Ta’ala.

Sampai pada suatu saat, pasti Allah Ta’ala akan memberinya kenikmatan ketika ia berdzikir, sebagaimana yg diperoleh wali² Allah Ta’ala yag suka berdzikir. Akan tetapi jika ia tidak mendapat kenikmatan berdzikir, maka janganlah heran, karena segala persyaratannya yg kami sebutkan diatas tidak dipenuhinya.

Masalah 36

162 Masalah Sufistik (Masalah 36):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang seseorang yg mendapat kenikmatan dalam dzikirnya dengan lisan dan hati, kemudian dalam dzikirnya dengan hatinya tanpa lisannya. Kemudian dalam dzikirnya tanpa hatinya, meskipun makna dzikirnya tetap hidup, sehingga ia selalu merindukan keadaan seperti itu, yaitu ketika dzikirnya tetap berjalan, meskipun tidak lewat lisan dan hatinya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa keadaan seseorang semacam itu cukuplah langka.

Adapun jika ada seseorang yg telah mencapai tingkatan itu, maka ia akan mencapai tingkatan berikutnya, yaitu tingkatan fana’. la tidak akan merasa ada dan alam sekitarnya pun akan dirasa tidak ada. Yg ia rasa ada hanyalah Allah Ta’ala Yang Maha Mulia.

Tingkatan ini merupakan tingkatan yg paling puncak, yaitu tingkatan ihsan, dan tingkatan ini telah melewati batas tingkatan Islam dan iman. Adapun seseorang yg telah mencapai tingkatan ini adalah seseorang yang paling beruntung.”

Masalah 37

162 Masalah Sufistik (Masalah 37):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang seseorang yg fana’ dalam dzikirnya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa seseorang yg telah tenggelam di dalam lautan dzikirnya, maka ia akan fana’. Ia tidak akan merasa ada, bahkan ia tidak merasa jikalau alam semesta ini ada.

Ia hanya merasa yg ada hanyalah Allah Ta’ala, karena ia hanya menyaksikan Dzat Allah Ta’ala Yang Maha Esa. Dan kefana’an semacam ini merupakan kefana’an paling puncak dan jumlah pelakunya hanya sedikit serta kelangsungannya juga jarang.”

Masalah 38

162 Masalah Sufistik (Masalah 38):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang seseorang yg merasa di dalam hatinya ada penyakit, tetapi ia tidak tahu penyebabnya. Bagaimanakah pendapat Anda dalam hal ini?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah, jika penyakitnya telah diketahui, maka menurut para ‘arifin billah, pasti penyebabnya akan segera dapat diketahui pula.

Akan tetapi jika seseorang tidak mengetahui penyakit hatinya, maka obatilah penyakit hatinya dengan obat yg umum dan bermanfaat yg dapat menghilangkan segala macam penyakit hati.

Misalnya dengan cara banyak membaca al-Qur’an serta meresapi kandungan artinya, banyak berdzikir dengan penuh konsentrasi, banyak mengingat kematian serta apa² saja yg akan terjadi setelahnya, banyak duduk dengan orang² shaleh, dan lain sebagainya.

Ataupun dengan cara mengkaji atau membaca kitab² yg bermanfaat, di antaranya adalah membaca kitab² karya tulis al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. atau para ulama salafunasshalihin lainnya. Itulah salah satu contoh obat yg paling mujarab untuk mengobati hati yg sedang sakit.”

Masalah 39

162 Masalah Sufistik (Masalah 39):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang seseorang yg merasa telah mendapat sebagian dari hasil amal² kebajikannya. Di antaranya adalah merasakan lezatnya ketika ia bermunajat kehadirat Allah Ta’ala dan ia ingin menambah frekuensi amal² kebajikannya. Apakah hal itu merupakan cacat bagi amal² kebajikannya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ya, memang hal itu merupakan cacat bagi amal² kebajikannya. Karena itu, seseorang harus selalu waspada dan mendeteksi hal² yg tidak ia inginkan, agar ia tidak merasa angkuh dengan berbagai karunia Allah Ta’ala yg ia terima.

Sebaliknya, ia juga harus banyak terima kasih atas berbagai nikmat yg ia terima, serta semakin memperbanyak amalan ibadah dan dzikirnya kehadirat Allah Ta’ala agar ia selamat.

Masalah 40

162 Masalah Sufistik (Masalah 40):


Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang seseorang yg susah ketika ia mengingat dosa²nya, sampai ia ingin segera mati agar dosa²nya tidak makin bertambah atau ia ingin ditunda saat kematiannya agar ia dapat memperbanyak amal kebajikannya dan dapat menambah taubatnya agar dosa²nya yg terdahulu dapat di ampuni oleh Allah Ta’ala. Di antara keduanya, manakah yg lebih utama keadaannya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa dua keadaan tersebut cukup baik dan sangat bagus. Siapapun yg mempunyai salah satu dari perasaan semacam itu, maka ia termasuk orang yg beruntung.

Sehubungan dengan pertanyaan Anda diatas, kami ingat suatu kisah bahwa ada tiga orang shaleh di masa lalu, ketika ketiganya berkumpul, maka salah satu di antara mereka berkata, “Aku Ingin segera mati, karena aku takut kalau agamaku terkena cobaan.”

Sedangkan yg kedua berkata, “Aku ingin hidup lebih lama agar aku dapat bertaubat dan menambah pahala amal² kebajikanku.” Dan yg ketiga berkata, “Aku tidak ingin segera mati dan tidak ingin hidup lama, aku hanya ingin apa yg dikehendaki oleh Allah Ta’ala bagiku.”

Maka ucapan orang yg ketiga lebih mengagumkan dari kedua temannya terdahulu. Sebenarnya, ketiga orang itu cukup baik dan mulia keadaannya. Akan tetapi, orang yg ketiga lebih unggul karena ia lebih pasrah kepada kehendak Allah Ta’ala dan itulah cara terbaik bagi setiap mukmin agar ia tidak bingung memilih pilihannya.

Masalah 41

162 Masalah Sufistik (Masalah 41):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang kehendak seseorang. Apakah hal itu termasuk pilihan yg dipaksakan?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasannya para murid dan para salik mempunyai dua pendapat:

Pertama: Ada seorang salik yg dengan senang hati memuja kepada Allah Ta’ala, maka hal itu bisa ia lakukan sebelum jadzab.

Kedua: Ada seorang salik yg telah mencapai jadzab sebelum ia menempuh suluk.

Sebagian ahli tarekat berpendapat bahwa seorang salik sebelum jadzab, maka ia lebih utama dari seorang jadzab sebelum ia menempuh perjalanan suluk. Ada juga yg berpendapat bahwa seseorang yg jadzab sebelum ia menempuh perjalanan suluk, maka ia lebih utama dari seseorang yg menempuh perjalanan suluk sebelum jadzab.

Masalah 42

162 Masalah Sufistik (Masalah 42):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang rasa panas yg didapati oleh sebagian orang yg suka berdzikir yg mana rasa panas itu berpusat di batinnya, kemudian tersebar di seluruh anggota tubuhnya bagian luar.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah rasa panas tersebut adalah salah satu hasil yg diperoleh bagi orang yg suka berdzikir. Rasa panas itu dapat berpengaruh di bagian luar dan dalam jasad orang² yg suka berdzikir.

Keadaan semacam itu cukup baik bagi mereka. Akan tetapi, jika seseorang yg berdzikir takut berefek negatif, maka sebaiknya ia pindah dari dzikirnya kepada shalawat atau kepada ucapan Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billaah.


Keterangan tambahan dari alfaqir:

Dzikir yg kita terima dari Guru kita, wajib kita amalkan sesuai kaji suluk kita masing². Sesuai kaifiat yg sdh diajarkan, tidak menambah & mengurangi.

Penjelasan masalah 42 diatas sering sekali alfaqir jelaskan dlm banyak kesempatan. Efek dzikir khusus, terlebih lagi dzikir tarekat, memang terasa panas, oleh sebab itu ada kaidah utk menahan minum air setelah selesai berdzikir (jika hendak minum, tunggulah setidaknya 15 menit setelah berdzikir, minum sedikit² dengan air suhu ruangan, bukan air dingin)

Untuk mendinginkan paska dzikir, perbanyak Sholawat, silahkan Sholawat apa saja. Imbangi dzikir tarekat yg biasa kita lazimkan, dengan melazimkan Sholawat.

Wallaahu a’lam

Masalah 43

162 Masalah Sufistik (Masalah 43):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Apa maksud dari sabda Rasulullah Saw.: “Seseorang yg mengucapkan kalimat tauhid dengan ucapan yg benar dan ikhlas, maka ia akan mendapat surga. Padahal setiap muslim pasti ucapannya benar dan ikhlas ketika ia mengucapkan kalimat tauhid.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Memang benar, setiap mukmin ucapannya selalu benar dan ikhlas ketika mengucapkan kalimat tersebut. Namun maksud dari ucapan tersebut adalah prakteknya, yaitu setelah seorang mukmin mengucapkan kalimat tauhid, maka hendaknya ia benar dan ikhlas untuk meninggalkan segala perbuatan dosa.

Menurut pendapat sebagian ulama, maksud dari sabda Beliau diatas adalah tidak mementingkan dunia lebih dari akhirat. Seorang mukmin harus berharap sepenuhnya untuk memperoleh rahmat Allah Ta’ala serta takut mendapat siksa Allah Ta’ala dan ia tidak boleh bangga dengan amal kebajikan yg telah ia lakukan.

Adapun keterangan yg menyebutkan bahwa seseorang yg menyebutkan kalimat tauhid maka ia akan selamat di akhirat. Maksud dari hadits tersebut adalah seseorang yg telah mengucapkan kalimat tauhid, maka ia harus memperbanyak amal² kebajikannya, sehingga timbangan amal2 kebajikannya lebih unggul dari pada timbangan dosa²nya.

Masalah 44

162 Masalah Sufistik (Masalah 44):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya tentang ‘uzlah dan bagaimana hukumnya?

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Engkau telah menanyakan tentang ‘uzlah atau tentang mengasingkan diri, serta bagaimana hukumnya pada masa yg penuh kebejatan ini, yg kebanyakan manusianya banyak yg melupakan akhirat dan sibuk dengan masalah keduniaan.

Sehingga siapapun yg bergaul erat dengan mereka, maka akan banyak membicarakan kesalahan orang lain dan masalah² yg tidak penting, sehingga tidak sempat memperhitungkan kesalahan²nya sendiri.

Menurutku, seseorang yg peduli kepada keselamatan agamanya, maka sebaiknya ia tidak bergaul erat dengan mereka, agar tidak rugi dan binasa. Jika ia sampai bergaul erat dengan mereka, sebaiknya ia menjaga lidahnya baik² serta berusaha menasehati mereka dengan nasehat yg lemah lembut dan bijaksana.

Karena pada saat seperti itu, tidak seorang pun dibenarkan untuk meninggalkan dan membiarkan masyarakatnya yg bejat begitu saja tanpa menasehati mereka. Menurutku, jikalau seseorang merasa mampu menasehati masyarakatnya yg bejat dan mampu pula mengajak mereka ke jalan yg baik, maka seharusnya ia melakukannya.

Akan tetapi jikalau ia tidak mampu melakukannya, maka sebaiknya ia meninggalkan mereka dan meninggalkan kampung halamannya, agar agamanya dapat ia selamatkan. Tentang masalah ini pernah dibicarakan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. dalam Kitab al-Minhaj al-‘Abidin.

Masalah 45

162 Masalah Sufistik (Masalah 45):

Syaikh Abdulah Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang hukum seseorang yg mencintai seorang tokoh agama, namun ia tidak melakukan apa yg diajarkan olehnya. Apakah ia akan dikumpulkan bersama orang² yg ia cintai, sebagaimana yg disebutkan dalam sebuah hadits bahwa seseorang akan dikumpulkan bersama orang² yg dicintainya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya komentar sebagian ahli hakekat tentang maksud kebersamaan yg disebutkan dalam hadits diatas mengandung sebagian saja bukan secara keseluruhannya.

Seseorang yg mencintai orang lain, hendaknya ia mempunyai kesamaan dengannya dalam segala urusan. Misalnya kesamaan tauhid, kesamaan menjaga hal² yg wajib, menjauhi hal² yg diharamkan, serta kesamaan dalam mengerjakan amal² kebajikan.

Pokoknya seseorang yg mencintai orang lain, hendaknya ia mempunyai kesamaan tindak-tanduk dengan orang yg dicintainya. Tidak dibenarkan jika seseorang mengaku cinta kepada orang lain, akan tetapi tindak-tanduknya dan kemauannya berbeda jauh dengan orang yg dicintainya. Kalau tidak mempunyai kesamaan dengan orang yg dicintainya, maka pengakuannya adalah dusta.

Imam Hasan al-Bashri ra. berkata, “Janganlah engkau tertipu dengan seseorang yg mengaku cinta, padahal ia tidak berbuat kebajikan apapun dan ia mengaku bahwa seseorang yg cinta kepada orang lain akan dikumpulkan dengan orang² yg dicintainya.

Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani mengaku cinta kepada Nabi² mereka, padahal keyakinan dan tindak-tanduk mereka, berbeda dengan keyakinan dan tindak-tanduk para Nabi.”

Adapun di antara orang² ahli bid’ah di kalangan umat ini ada yg mengaku sangat cinta kepada para Sahabat Rasulullah Saw. dan mereka berani berbuat apa saja demi cinta mereka.

Akan tetapi mereka tidak merasa bahwa kecintaan mereka hanya ungkapan di lisan saja, karena tindakan mereka berbeda jauh dengan tindakan para sahabat. Jika mereka berbuat bid’ah, tentunya ada pula kelompok lain yg berbuat fasik dan ada pula kelompok lain yg berbuat maksiat.

Perlu diketahui bahwa kebaikan dan keburukan mempunyai tingkatan² yg sama. Keburukan yg paling buruk adalah kekafiran dan keburukan dalam masalah ini bertingkat-tingkat. Demikian pula bid’ah, kefasikan dan kemaksiatan juga mempunyai tingkatan².

Demikian juga kebaikan mempunyai tingkatan² yg sama. Oleh karenanya perhatikanlah baik² masalah ini, sebab hanya dengan cara seperti ini, seseorang akan mengerti maksudnya. Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala akan memberi petunjuk kepada siapapun yg dikehendaki-Nya.”

Masalah 46

162 Masalah Sufistik (Masalah 46):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang cara bertata krama kepada Allah Ta’ala?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Menurutku di dalam kitab tersebut terdapat berbagai masalah yg menyebutkan tentang keutamaan sebagian masalah di atas yg lain, yaitu tentang ketetapan yg ditetapkan oleh Allah Ta’ala kepada sebagian hamba-Nya.

Perlu diketahui bahwa ketetapan apapun, seperti yg ditetapkan oleh Allah Ta’ala terhadap seseorang, misalnya kaya atau tidaknya seseorang, terkenal atau tidaknya seseorang, hal itu merupakan ketetapan yg tidak bisa ditolak oleh siapapun.

Seseorang yg telah mendapatkan ketetapan yg tidak ia inginkan, sebaiknya ia menerima saja dengan ikhlas tanpa menentang kehendak Allah Ta’ala, agar ia tidak termasuk orang yg tidak bertata krama kepada Allah Ta’ala.

Adapun pertanyaanmu tentang siapa saja yg lebih utama, orang yg terkenal ataupun yg tidak? Menurutku semuanya tergantung kepada orangnya. Adakalanya sifat terkenal cocok bagi seseorang dan tidak cocok bagi yg lain, maka disaat itu sifat tersebut lebih utama baginya.

Adakalanya pula sifat tidak terkenal cocok bagi seseorang dan tidak cocok bagi orang lain, maka disaat itu sifat tersebut lebih utama baginya. Dan seseorang yg tidak terkenal, maka ia tidak dapat menjadi terkenal, demikian pula sebaliknya.

Pokoknya setiap orang harus memahami keadaanya masing² dan menerimanya dengan baik dan penuh ikhlas, agar ia termasuk seorang yg bertata krama kepada Allah Ta’ala.

Masalah 47

162 Masalah Sufistik (Masalah 47):

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: “Tentang nafsu dan dzikir.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Tentang nafsu yg lupa, berpaling dan suka mengulur-ulur waktu, berbuat congkak, lupa pada kematian, dan tidak menyiapkan bekal untuk akhirat, meskipun ia percaya kepada Allah Ta’ala serta kepada Rasul-Nya dan juga kepada hari kemudian.

Ketahuilah bahwasanya yg engkau sebutkan diatas itu, tidak akan menjadi seperti yg engkau sebutkan sifat²nya tanpa penyebab.

Menurut al-Imam Hujatul Islam al-Ghazali ra., seseorang harus memerangi nafsunya dan menekankannya dengan berbagai latihan, serta selalu berusaha meneranginya dengan melakukan berbagai macam ibadah dan membaca wirid².

Ketahuilah bahwa seseorang yg suka berdzikir sebagaimana yg engkau sebutkan sifat²nya, pasti akan mengalami berbagai keadaan dan akhir dari keadaan tersebut adalah ketika ia dapat memfana’kan dirinya dari alam semesta, sehingga ia tidak merasa apapun ada di hadapannya atau di sekitarnya selain hanya Dzat Allah Ta’ala.

Menurutku, seseorang yg gemar berdzikir seperti yg engkau sebutkan sifat²nya itu, hendaknya ia terus menerus berdzikir dengan kesungguhan hati dan ikhlas, bukan karena sesuatu.

Dan hendaknya ia terus menerus mengabdi kepada Allah Ta’ala tanpa tujuan apapun, selain hanya ikhlas untuk-Nya. Jika ia telah berbuat demikian, pasti Allah Ta’ala akan membuka jalan keluar baginya, sampai ia dapat menjadi seseorang yg terdekat di sisi Allah Ta’ala.”

Masalah 48

162 Masalah Sufistik (Masalah 48):

Syaikh Abdullah bin Haitsam ra. bertanya: “Tentang arti al-Badihah dan arti Bihaqqil Itsnaini Miftahul Babaini.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Dahulu pernah kami kirimkan sebuah surat untukmu wahai Abdullah. Di dalam surat itu terdapat jawaban yg engkau tanyakan lagi pada saat ini, atau mungkin surat itu tidak sampai kepadamu.

Adapun arti al-‘Atabar ar-Raj’i, artinya: “Aku kembali kepada-Mu untuk mengharap ridha-Mu dan sampai Engkau menjadi ridha kepadaku.”

Adapun arti al-Badihah adalah perbuatan atau tutur kata yg dilakukan oleh seseorang secara tiba² tanpa dipikir lebih dahulu. Misalnya seseorang yg melakukan sesuatu yg benar dan baik, maka ia disebut seorang yg berkelakuan baik.

Sebaliknya, seseorang yg melakukan sesuatu yg buruk dan jahat, maka ia disebut seorang yg berkelakuan buruk dan jahat, apalagi ia melakukannya secara spontan tanpa dipikir lebih dahulu.

Adapun arti ucapan kaum awam Bihaqqil Itsnaini Miftahul Baabaini, sebenarnya ucapan mereka tidak dapat dinilai menurut aturan syari’at maupun akal. Akan tetapi jika seseorang ingin mengetahui pengertiannya, mungkin ia akan mendapatkannya. Ketahuilah bahwa Hari Senin adalah saat dihaturkannya amal² kepada Allah Ta’ala.

Adapun arti Baabaini, salah satunya adalah pintu yg terbuka, sedangkan yg kedua mempunyai arti pintu rahmat Allah Ta’ala yg terbuka pada saat diturunkannya rahmat kepada orang² yg beramal kebajikan atau mempunyai arti saat kelahiran Baginda Nabi Muhammad Saw. dan saat wafatnya Beliau yg secara kebetulan masing²nya terjadi pada Hari Senin.

Masalah 49

162 Masalah Sufistik (Masalah 49):

Syaikh Isa bin Ahmad Bahadhrami ra. bertanya: “Tentang miskin dan kaya, serta apa yg lebih utama di antara keduanya dan bagaimana dalil²nya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Dengan menyebut nama Allah Ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Ta’ala yg menjadikan kemiskinan sebagai perhiasan bagi hamba²Nya yg shaleh. Yg beruntung yaitu mereka yg menerima kemiskinan dengan rela, pasrah, syukur dan sabar.

Tetapi apabila mereka menerimanya dengan murka dan menentang, maka sikap seperti itu menyebabkan ia akan menerima siksa yg abadi. Banyak ayat² al-Qur’an dan hadits² Rasulullah Saw. yg memuji orang² miskin yg bersifat sabar, rela dan bertata krama kepada Allah Ta’ala, di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw.:

“Kemiskinan adalah perhiasan yg lebih mahal bagi seorang mukmin dari perhiasan yg ada pada diri seekor kuda yg mahal.”

Sebaliknya Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mencibir seorang miskin yg tidak menerima keadaannya dengan sabar dan pasrah. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw.: “Hampir saja kemiskinan dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir.”

Karena kemiskinan lebih dapat mendekatkan seseorang kepada keselamatan dan kesuksesan daripada kekayaan, maka para Nabi dan para Wali Allah Ta’ala yg terdahulu banyak yg lebih memilih kemiskinan dari pada kekayaan.

Seorang fakir yg rela dan bersyukur atas kemiskinannya, maka ia mendapat kedudukan lebih tinggi dari seorang kaya yg suka menafkahkan hartanya dan jiwanya di jalan Allah Ta’ala.

Sebaliknya seorang fakir yg tidak rela dengan kemskinannya, maka nilainya lebih buruk dari orang kaya yg hidupnya suka berfoya-foya. Kiranya itulah jawaban kami bagi persoalan yg Anda ajukan kepada kami.”

Masalah 50

162 Masalah Sufistik (Masalah 50):

Syaikh Isa bin Ahmad Bahadhrami ra. bertanya: “Tentang keutamaan panjang umur sebagaimana yg disebutkan di dalam hadits Nabi Muhammad Saw.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Sebenarnya usia seseorang telah ditetapkan dalam ketentuan Allah Ta’ala, usia seseorang tidak akan berkurang dan tidak akan bertambah. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang arti bertambahnya usia seseorang, sebagaimana yg disebutkan dalam sebagian hadits Nabi Muhammad Saw.

Ada yg berpendapat bahwa berkurang atau bertambahnya usia seseorang dapat terjadi berdasarkan sebab²nya. Misalnya seseorang akan bertambah usianya karena ia melakukan amal kebajikan tertentu ataupun seseorang dapat berkurang usianya karena melakukan perbuatan dosa tertentu.

Menurut Sayyidina Ibnu Abbas ra: “Setiap orang mempunyai usia tertentu ketika ia masih di dunia, yaitu sejak ia dilahirkan sampai ia mati. Selain itu, ia masih mempunyai usia tertentu di alam barzahnya, yaitu sejak ia mati, sampai ia dibangkitkan kembali. Semuanya sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala.

Jika seseorang taat kepada Allah Ta’ala, maka usianya di alam barzah akan ditambahkan pada usianya ketika di alam dunia. Sebaliknya, jikalau seseorang suka berbuat dosa, maka usianya di dunia akan diperpendek dan akan ditambahkan pada usianya di alam barzah. Ketetapan ini merupakan ketetapan yg tidak dapat dirubah.”

Menurutku pendapat ini lebih shahih. Ada yg berpendapat pula bahwa maksud ditambahnya usia seseorang, adalah ditambahnya berkah dalam usianya, sehingga ia dapat menambah amal² kebajikannya, meskipun usianya relatif pendek.

Yg dimaksud panjang umur adalah bertambahnya usia demi untuk memperbanyak amal² kebajikan, bukan untuk menambah dosa. Kiranya hanya orang² shaleh yg dapat menambah amal² kebajikannya, meskipun usianya tidak relatif panjang.”

Masalah 51

162 Masalah Sufistik (Masalah 51):

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah ‘Ibad any-Syibami ra. bertanya: “Tentang ucapan Syaikh Abu Abdillah ra: ‘Biasanya jiwa seseorang takut kepada adat-istiadat ketika menyalami masa-masa sulit’.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa yg dimaksud jiwa disini adalah jiwa yg suka bersenang-senang, sehingga jika terjadi kesulitan maka jiwa seseorang yg seperti itu akan merasa resah dan bingung. Sebab jiwanya tidak mempunyai landasan yg kuat, sehingga mudah digoncang oleh kesulitan apapun.

Adapun jiwa seseorang yg shaleh, apalagi jiwa seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala, maka jiwanya akan tenang dan tetap prima ketika menghadapi kesulitan apapun. Karena jiwa seseorang semacam itu selalu dipelihara oleh Allah Ta’ala.

Menurut ilmu yaqin, jiwa seseorang yg kuat keyakinannya pada umumnya takut kembali pada kebiasaannya ketika mendapat kesulitan. Akan tetapi pada umumnya mereka segera kembali kepada Allah Ta’ala, sehingga jiwanya menjadi tenang kembali.

Kembalinya seseorang kepada Allah Ta’ala ketika mendapat kesulitan merupakan tindakan spontan tanpa dipikir lebih dahulu. Sebab, kembalinya seseorang kepada Allah Ta’ala akan menjadikannya tenang. Sebab, hanya Allah Ta’ala yg memegang rahasia segala sesuatu. Hanya Allah Ta’ala yg memiliki segala kebaikan dan sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Masalah 52

162 Masalah Sufistik (Masalah 52):

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra. bertanya, “Seseorang yg belum mencapai tingkatan tertinggi di sisi Allah Ta’ala, bolehkah ia memaksakan dirinya sekuat tenaga untuk meraih kedudukan tersebut?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa seseorang yg tidak ditakdirkan oleh Allah Ta’ala mencapai sesuatu, maka ia tidak akan memperolehnya, meskipun ia telah berusaha dengan sekuat tenaganya. Seseorang hanya dapat berusaha menurut ketentuan yg telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala baginya.

Tentang masalah ini, al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. pernah menerangkannya secara panjang lebar dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin. Menurutnya, seseorang boleh berusaha sekuat tenaganya untuk mencapai tingkatan tertinggi di sisi Allah Ta’ala dengan hal² yg diketahuinya, kemudian ia boleh mempraktekkannya sebaik mungkin.

Adakalanya ilham Allah Ta’ala akan masuk di hati sebagian orang tanpa sebab. Jika ilham Allah Ta’ala telah masuk ke dalam hati seseorang, maka orang tersebut akan melakukan segala macam kebajikan secara suka maupun terpaksa menurut petunjuk dan tuntunan-Nya.”

Masalah 53

162 Masalah Sufistik (Masalah 53):

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra. bertanya, “Seseorang yg takut riya’ bolehkah ia meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Seseorang tidak boleh meninggalkan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar dalam keadaan apapun. Seseorang harus memerangi nafsunya sampai ia dapat meninggalkan riya’ dan bersamaan itu pula, ia harus menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, meskipun ia mendapat tantangan yg kuat dari setan.

Dalam hal ini, Syaikh al-Fudhail bin ‘Iyyadh ra. berkata: “Meninggalkan sesuatu amal kebajikan karena manusia sama dengan berbuat riya’ dan melakukan amal kebajikan karena manusia sama dengan berbuat syirik.”

Selama seseorang takut berbuat riya’, meskipun pada umumnya perbuatan itu jauh dari pribadinya. Kalaupun perasaan itu masuk ke dalam hatinya, maka cara menghilangkannya adalah dengan cara membencinya, meskipun ada perasaan berdosa.

Masalah 54

162 Masalah Sufistik (Masalah 54):

Syaikh Abdurrahman bin Abdillah ‘Ibad ra. bertanya: “Apakah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. pernah menyebutkan tentang ilmu yaqin, ‘ainul yaqin, haqqul yaqin, sebagaimana yg dikatakan oleh sebagian orang?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Menurutku Beliau tidak pernah menyebutkan hal² itu, baik dalam Kitab Ihya’ ‘Ullumuddin, maupun dalam kitab² lainnya secara terperinci. Hanya saja, Beliau pernah menyebutkannya secara terpisah-pisah dalam berbagai keterangannya.

Masalah 55

162 Masalah Sufistik (Masalah 55):

Syaikh Abdurrahman bin Abdillah ‘Ibad ra. bertanya, “Bolehkah seseorang berharap mendapatkan berbagai kedudukan dan karunia Allah Ta’ala dengan merenungi dalil²nya serta hasilnya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Boleh saja, seseorang merenung untuk mengharapkan serta mendapat kedudukan dan karunia di sisi Allah Ta’ala, akan tetapi ia diharuskan juga untuk berusaha sebaik mungkin.

Di antaranya dengan memperbanyak amal² kebajikan yg sesuai dengan perenungannya atau memperbanyak amal² yg dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sebab, hanya dengan cara seperti itu seseorang dapat mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala.

Adapun untuk mendapatkan karunia Allah Ta’ala yg diberikan kepada orang² yg dekat di sisi-Nya, adakalanya diberikan bagi siapapun yg mempunyai kesiapan untuk menerimanya. Tetapi adapula yg tidak memperolehnya, meskipun ia mempunyai kesiapan untuk menerimanya. Semua itu hanya dapat diperoleh karena rahmat Allah Ta’ala semata.

Masalah 56

162 Masalah Sufistik (Masalah 56):

Syaikh Abdurrahman bin Abdillah ‘Ibad ra. bertanya: “Tentang ucapan Syaikh Abu Abdillah al-Qurasyi ra.: “Mendengar, memahami, meresapi kemudian merasakan”.”

aI-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Kedudukan meresapi dan menyentuhnya sama dengan kedudukan mendengar dan memahaminya. Misalnya seseorang mengunjungi suatu kota kemudian ia menceritakannya kepadamu tentang keadaannya dan segala keajaiban yg ada di dalamnya.

Kisahnya kepadamu merupakan pendengaran untukmu, sedangkan pemahaman yg engkau lakukan merupakan pemahaman darimu. Kemudian kepergianmu ke tempat itu merupakan pembuktian, dan kesaksianmu tentang berbagai hal yg menakjubkan yg ada di dalamnya merupakan perasaanmu tentangnya.”

Masalah 57

162 Masalah Sufistik (Masalah 57):

Syaikh Abdurrahman bin Abdillah ‘Ibad ra. bertanya: “Tentang bimbingan seorang Syaikh Mursyid bagi seorang murid, namun ia tidak merasakannya.”

al-‘Allamah al Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Memang pada dasarnya, seorang murid butuh bimbingan Syaikhh Mursyid yg dapat membimbingnya dengan perhatiannya yg baik dan pandangannya yg lurus. Selanjutnya ia masih membutuhkan bimbingan dua guru pembimbing lainnya.

Yg satu untuk memberikan berbagai latihan ruhani dan pendidikan, sedangkan yg kedua untuk memberikan pengetahuan yg diperlukan olehnya pada saat menempuh jalan menuju kehadirat Allah Ta’ala.

Adapun sifat² Syaikh Mursyid yg membimbing murid hendaknya seperti al-Imam asy-Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra., ketika ia berkata kepada muridnya, yaitu al-Imam asy-Syaikh Abul Abbas al-Mursi ra., ketika ia datang untuk pertama kalinya: “Namamu telah diperlihatkan kepadaku sejak sepuluh tahun yg lalu.”

Hal yg serupa terjadi juga pada al-Imam asy-Syaikh Yusuf al-Fasi ra. dengan al-Imam asy-Syaikh Abu Bakar bin Salim al-‘Alawi ra. Dikisahkan, telah lewat bertahun-tahun al-Imam asy-Syaikh Yusuf al-Fasi ra. berkelana dari satu syaikh kepada syaikh yg lain.

Akan tetapi di akhir perjalanannya menuju kehadirat Allah Ta’ala, ia diberitahu oleh salah seorang syaikh yg ada di Maghrib/Maroko, “Sesungguhnya guru pembimbingmu tidak ada di negeri ini.” Selanjutnya ia melanjutkan perjalanan tarekatnya ke berbagai negeri sampai berakhir di Hadhramaut dan bertemulah ia dengan al-Imam asy-Syaikh Abu Bakar bin Salim al-‘Alawi ra.

Adakalanya ketiga sifat yg kami sebutkan diatas terkumpul pada diri seorang Syaikh Mursyid, meskipun hal itu jarang terjadi. Jika ketiga sifat tersebut terkumpul pada diri seorang Syaikh Mursyid, maka ia adalah seorang syaikh sejati dalam masalah pembimbingan ke jalan Allah Ta’ala. Tetapi jumlahnya tidak banyak, karena itu jika ia ada, maka wujudnya termasuk salah satu karunia Allah Ta’ala.

Meskipun masa keemasan tarekat dan orang²nya telah pudar. Tetapi untuk membimbing seorang murid ke jalan Allah Ta’ala cukup luas kemungkinannya dan tidak mustahil adanya seorang Syaikh Mursyid atau seorang guru pembimbing yg mempunyai sifat istimewa seperti yg kami sebutkan diatas.

Kemudian ia berhasil membimbing para muridnya hingga mereka menjadi wali² Allah Ta’ala. Tentunya hal itu tidak mungkin terjadi jikalau tidak karena luasnya rahmat Allah Ta’ala.”

Masalah 58

162 Masalah Sufistik (Masalah 58):

Syaikh Abdurrahman bin Abdillah Ibad ra. bertanya: “Tentang penghapusan berbagai ilmu yg dikenal orang. Sebagaimana yang diucapkan oleh al-Imam asy-Syaikh as-Sudi ra.: Hapuslah semua ilmu dan apa yg telah engkau catat, sesungguhnya menghapusnya merupakan kewajiban.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Yg dimaksud dengan menghapus ilmu² pengetahuan bukanlah seperti yg dimaksudkan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra.

Adapun ilmu yg disebutkan dalam bait² diatas, tidak lain adalah perasaan dan gambaran yg ada di dalam hati seseorang agar ia dapat berkonsentrasi sepenuhnya dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala.

Cara ini adalah langkah pertama yg harus ia tempuh dan ia tidak akan sampai kepada Allah Ta’ala secara sempurna kecuali hanya dengan cara itu. Selanjutnya, ketika perjalanannya sudah sampai pada tingkatan fana’, maka ia dapat menghapus semua ingatan, pikiran dan gambaran yg pernah tergerak di hatinya, sehingga ia dapat mengkonsentrasikan pandangan hatinya hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Yg dimaksud menghapus segala perasaan dan ingatan diatas, adalah menghilangkan segala ingatan dan perasaannya kepada selain Allah Ta’ala secara paksa, agar hatinya kosong dari hal² selain Allah Ta’ala.

Jika seseorang telah mengosongkan dirinya dari hal² selain Allah Ta’ala, maka ia akan fana’, sehingga ia tidak lagi merasa bahwa dirinya dan apapun selain Allah Ta’ala ada. Ia fana’ lewat perasaannya bukan lewat ilmunya. Ia akan senantiasa fana’ untuk selamanya. Ia fana’ karena Allah Ta’ala telah menjadikannya sebagai orang pilihan-Nya. Pada saat itu, ia tidak akan ingat kepada yg lain, selain Allah Ta’ala.

Adapun yg disebutkan oleh al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra., ada juga hati yg tetap tertutup. Maksudnya, ada juga hati yg tidak dapat menerima mukasyafah secara jelas, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menempuh jalan Allah Ta’ala, namun Allah Ta’ala sengaja tidak memberinya karena alasan tertentu.

Jika ia termasuk seorang yg dikehendaki oleh Allah Ta’ala untuk mendapatkan mukasyafah, maka ada kemungkinan ia akan mmembicarakan sebagiannya kepada orang lain, meskipun ada kemungkinan pula ia tetap merahasiakannya dari orang lain.”

Masalah 59

162 Masalah Sufistik (Masalah 59):

Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi ra. bertanya: “Tentang maksud sabda Rasulullah Saw.: ‘Seseorang akan dikumpulkan dengan orang² yg dicintainya.’ Apakah hadits tersebut mengandung arti yg mutlak, sampai bagi seseorang yg tidak mengikuti perjalanan orang² yg dicintainya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Hadits di atas mengandung arti anjuran dan ancaman. Seseorang akan dikumpulkan dengan orang² yg ia cintai, baik yg dicintainya itu tergolong orang² baik, maupun tergolong orang² yg tidak baik.

Maka bagaimanakah kalau seseorang yg selama hidupnya hanya mencintai dunia, tentunya ia akan dikumpulkan bersamanya?

Ketahuilah bahwa kebersamaan dengan seseorang yg dicintainya adalah karena ia mencintainya. Tetapi kebersamaannya dengan orang² yg dicintainya tidak akan terwujud, kalau tindak-tanduk dan tutur katanya tidak cocok dengan tindak-tanduk dan tutur kata orang² yg dicintainya.

Pengakuan cinta tidak dapat dibuktikan, kecuali dengan bukti yg konkrit, yaitu adanya kecocokan kehendak dan tindak tanduk antara yg mengaku cinta dengan yg dicintainya. Secara akal, jika seseorang mengaku cinta kepada orang lain, tetapi kehendaknya dan tindak-tanduknya bertentangan dengan orang yg dicintainya, mana mungkin cintanya bisa murni?

Dan persyaratan untuk mendapatkan kebersamaan dengan orang² yg dicintainya, tidak mengharuskan kehendak dan tindak-tanduk yg mencintainya cocok secara seratus persen dengan kehendak dan tindak-tanduk orang yg dicintainya.

Sebab hal itu tidak mungkin akan terjadi. Meskipun demikian, untuk mendapat kebersamaan dengan orang² yg dicintainya, seseorang harus menyamakan kehendaknya dan tindak tanduknya dengan mereka, tanpa itu tidak mungkin bisa terjadi.”

Masalah 60

162 Masalah Sufistik (Masalah 60):

Habib Isa bin Muhammad al-Habsyi ra. bertanya: “Tentang maksud ucapan al-Imam asy-Syaikh al-Muhasibi ra.: ‘Bahwa setiap ‘abid pasti akan mengalami masa kosong yg mengarah kepada sunnah atau yg mengarah kepada bid’ah’.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Tentang masalah ini, aku pernah mendengar sebuah hadits yg maksudnya bahwa seorang ‘abid pada tahapan pertama kalinya. Adakalanya ia akan melebihi batas² kewajaran yg diajarkan syari’at bagi kaum awam, meskipun ia diperbolehkan melakukannya, asalkan tidak sampai menyengsarakan akal dan jasadnya.

Selanjutnya si ‘abid tersebut akan menurun kemauannya. Jika kemauannya menurun sampai pada batas yg diajarkan, maka ia kembali kepada sunnah. Namun jika kemauannya menurun secara drastis, sampai meninggalkan ibadahnya secara keseluruhan, maka ia kembali kepada bid’ah.

Contohnya ada seorang ‘abid di awal tahapan ibadahnya ia beribadah di malam hari semalam suntuk. Setelah berselang beberapa waktu, kemauannya menurun. Jika ia mengurangi ibadah malamnya sebanyak separuhnya atau sebanyak dua pertiganya.

Sehingga ia beribadah malam mulai pertengahan malam atau mulai dua pertiga malam, maka penurunannya semacam itu masih berada dibatas wajar, yaitu masih berada dibatas yg di sunnahkan. Akan tetapi jikalau ia meninggalkan ibadah malamnya secara keseluruhan, maka ia melakukan bid’ah, yaitu bertentangan dengan perilaku salafunasshalihin.

Nampaknya, menurunnya kemauan seorang ‘abid seperti itu tidak di alami oleh semua ‘abid yg ada, akan tetapi, kebanyakannya memang demikian. Meskipun demikian, tidak sepantasnya seseorang meninggalkan wirid²nya secara keseluruhan karena takut mengalami masa penurunan kemauannya, karena hal itu termasuk tindakan bodoh.”

Masalah 61

162 Masalah Sufistik (Masalah 61):

Syaikh Ahmad bin Ali bin Du’fah ra., salah seorang penduduk Kota Syihr bertanya: “Tentang hukumnya ber’uzlah dan berkhalwat.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya ber’uzlah lebih umum pengertiannya dari berkhalwat, maksudnya adalah menjaga dan menjauhkan diri dari segala bentuk kejahatan, agar dirinya selamat dan hal itu mempunyai berbagai persyaratan.

Di antaranya adalah mencari ilmu² yg terkait dengan Iman dan Islam, tidak berburuk sangka kepada seorang muslim, bahkan selalu memandang orang lain lebih baik dari dirinya, tidak menyakiti seorang muslim agar dirinya selamat.

Selain itu ia tidak boleh meninggalkan shalat berjama’ah dan Shalat Jum’at, tidak boleh meninggalkan sedikitpun kewajiban Allah Ta’ala atas dirinya dan atas keluarganya, serta tidak boleh meninggalkan pergaulan dengan orang² baik yg dapat memperbaiki agamanya.

al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. pernah menyebutkan masalah ‘uzlah dalam Kitab Minhajul ‘Abidin secara panjang lebar, Anda dapat membacanya dari kitab tersebut.

Adapun berkhalwat mempunyai pengertian yg lebih spesifik dari ber’uzlah. Maksudnya adalah untuk mendidik jiwa atau nafsu seseorang dan mencemerlangkan cermin hatinya, agar tabir yg menutup hatinya dari Tuhannya dapat terbuka serta agar ia dapat memutuskan segala hubungannya dengan selain Allah Ta’ala, sehingga ia tidak lagi memikirkan yg selain Allah Ta’ala.

Adapun syarat²nya adalah tidak berbeda dengan persyaratan ‘uzlah, hanya saja seseorang tidak akan berhasil dalam khalwatnya, tanpa bimbingan Syaikh Mursyid yg piawai. Jika ia tidak mendapatkannya, sedangkan ia adalah seorang murid yg cukup cemerlang pemikirannya, cukup tinggi kemauannya dan cukup mantap keyakinannya barulah ia diperbolehkan ber’uzlah dan berkhalwat.

Adapun masa berlangsungnya tidak boleh lebih dari empat puluh hari. Karena itu, ia diberi nama empat puluh harian. Akan tetapi adakalanya juga hanya berlangsung sepuluh hari atau tujuh hari atau tiga hari. Bahkan sebagian ahli tarekat, ada berkhalwat hingga seratus dua puluh hari.

Semuanya itu tergantung kepada petunjuk Syaikh Mursyidnya masing². Syaikh Syuhrawardi ra. pernah menyebutkan masalah berkhalwat dalam Kitab al-‘Awarif secara panjang lebar, Anda dapat mempelajarinya dari kitab tersebut.

al-Imam al-Habib Abu Bakar al-Aydrus ra. sering menganjurkan orang untuk berkhalwat dalam masa pendek, misalnya berkhalwat pada malam Jum’at dan pada siang harinya, yaitu dengan menahan makan, minum, tidur, berbicara dan bergaul dengan orang lain. Dan selama itu, seseorang yg berkhalwat diharuskan memusatkan seluruh ingatannya dan hatinya hanya kepada Allah Ta’ala dengan cara berdzikir dan membaca wirid atau membaca al-Qur’an.

Jika engkau telah mengerti masalah ini, maka engkau boleh melakukannya, sebab cara ini cukup bagus bagi seseorang yg ingin menempuh jalan kepada Allah Ta’ala, apalagi jika ia dibimbing oleh Syaikh Mursyid yg dapat mengetahui rahasia² jalan menuju Allah Ta’ala.

Masalah 62

162 Masalah Sufistik (Masalah 62):

Syaikh Ahmad bin Ali bin Du’fah ra. bertanya: “Apakah kefana’an dan mukasyafah para ‘arifin billah akan berlangsung terus-menerus ataukah hanya sementara saja?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Nampaknya mukasyafah tidak bersifat terus-menerus. Kalau hal itu pernah di alami oleh sebagian orang secara terus-menerus, maka orang itu termasuk orang yg langka, sebab ia selalu fana’ dari dirinya dan dari alam sekitarnya, sehingga ia tidak mengenal yg lain kecuali hanya Allah Ta’ala semata.”

Jika seseorang yg fana’ dari dirinya dan dari alam sekitarnya sampai meninggalkan shalat atau puasa selama dalam kefana’annya, maka ia akan mengulanginya, karena ia mengetahui mana yg benar dan mana yg tidak dan ia terus-menerus dalam keadaan yg seperti itu sampai ia menjadi senior.

Jika ia telah menjadi senior, maka ia tidak akan lupa kepada Allah Ta’ala sesaat pun, ia tidak akan keluar dari garis syari’at dan hakikat. la akan melihat sebagian hakikat secara terus-menerus. Dan adakalanya ia tidak dapat melihatnya untuk sementara waktu, tetapi ia akan melihatnya dalam waktu yg lain.

Seseorang yg telah mencapai tingkatan mukasyafah, maka sedikitpun ia tidak akan meninggalkan pekerjaannya sehari-hari dan hal itu tidak akan menghalanginya dari Tuhannya.”

Masalah 63

162 Masalah Sufistik (Masalah 63):

Syaikh Ahmad bin Ali bin Du’fah ra. bertanya: “Apakah seorang murid tarekat akan lebih baik, jika ia melazimi Syaikh Mursyidnya dan berdiam diri dengannya ataukah ia hanya menghubunginya dalam waktu² tertentu saja?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Seorang murid harus menjalankan apa saja yg di perintahkan oleh Syaikh Mursyidnya. Baik ketika ia disuruh menetap bersamanya ataukah ketika ia disuruh menjauh darinya dan hendaknya ia memberitahukan kepada Syaikh Mursyidnya segala permasalahan dirinya.

Baik merupakan hal yg rahasia maupun yg terang, khususnya yg berkaitan erat dengan masalah tarekat dan masalah hatinya dan jangan sampai ia tidak mengkonsultasikan segala permasalahannya kepada Syaikh Mursyidnya, meskipun keagungan dan kehebatannya dapat menyebabkan ia takut kepadanya.

Jika Syaikh Mursyidnya tidak menyuruhnya menetap bersamanya dan tidak pula menyuruhnya menjauh, sebaiknya ia bersikap dan berprasangka baik serta menghormati Syaikh Musyidnya sambil menunggu perintahnya. Seorang murid yg lebih mengutamakan pilihan Syaikh Mursyidnya dari pilihannya sendiri, maka ia akan lebih sukses dan lebih selamat.

Jika si murid melihat tanda² yg buruk dari keyakinan Syaikh Mursyidnya, sebaiknya ia segera bertanya kepada Syaikh Mursyidnya. Jika ia mengetahui bahwa apa yg dilihatnya tidak perlu ditanyakan kepadanya, maka sebaiknya ia menafsirkannya dengan penafsiran yg baik dan yg pantas bagi seorang wali Allah Ta’ala.

Andaikata si murid melihat perbuatan Syaikh Mursyidnya jelas bertentangan dengan hukum syari’at, sehingga ia tidak dapat menafsirkan perbuatan tersebut, misalnya ia berbuat zina atau merampas harta orang lain dengan cara yg tidak baik, maka sebaiknya ia menimpakan hukum Allah Ta’ala atas Syaikh Mursyidnya secara lahir dan batin.

Jika ia membayangkan bahwa Syaikh Mursyidnya yg seperti itu mempunyai sejumlah murid yg menerima bai’at tarekat dari padanya secara wajar, maka sebaiknya ia yakin bahwa perbuatan buruknya merupakan suratan takdir baginya dan hendaknya ia yakin bahwa ia akan bertaubat dan menyesali perbuatannya, semoga segala kesalahannya dapat dimaafkan oleh Allah Ta’ala.

Tetapi jika si murid melihat perbuatan buruk Syaikh Mursyidnya dengan jelas dan ia melakukannya secara terang serta terus-menerus, maka sebaiknya, ia beranggapan bahwa Allah Ta’ala telah mengusirnya dari pintu rahmat-Nya dan sebaiknya ia segera menjauhinya.

Akan tetapi jangan sampai ada seorang murid yg mengira bahwa perbuatan² buruk akan dilakukan oleh seorang Syaikh Mursyid yg terkenal sebagai wali Allah Ta’ala. Sebab, Allah Ta’ala akan memelihara setiap wali-Nya dari segala perbuatan buruk, karena Allah Ta’ala telah mencintainya dan memilihnya sebagai wali-Nya.

Bahkan sebaiknya si murid berkeyakinan bahwa Syaikh Mursyidnya adalah seorang wali Allah Ta’ala yg hatinya bersih bercahaya, dapat melihat dengan pandangan mukasyafah dan memiliki berbagai ilmu dan hikmah yg tidak terbilang banyaknya.

Meskipun ada beberapa kekurangan yg terlihat pada bagian luarnya, Namun hal itu adalah ibarat setitik debu di tengah padang pasir yg luas atau ibarat setetes air di tengah lautan yg luas. Sebab, hanya dengan perasaan yg baik, seorang murid dapat sukses dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala.

Masalah 64

162 Masalah Sufistik (Masalah 64):

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Baraja’ ra. bertanya: “Tentang ucapan al-Imam asy-Syaikh Abu Ali ar-Rudzabadi ra. seperti yg tertera dalam bait² puisinya yg artinya sebagai berikut: ‘Kata mereka, besok adalah hari raya, apa yg akan engkau pakai pada hari itu?’ Maka aku pun menjawabnya: ‘Pakaian seorang khalifah yg suka memberi minum dan yg suka menentang segala kesulitan. Kemiskinan dan kesabaran adalah pakaianku dan dibawah keduanya ada hati yg mengetahui pakaian apa saja yg biasa dipakai orang pada hari raya dan pada hari² besar.’ Pakaian yg cocok dipakai untuk menemui seorang kekasih, yaitu pada hari pertemuan. Masa bagiku adalah hari kematian, jika engkau tidak mengerti wahai harapanku. Adapun hari lebaran yg sesungguhnya aku belum pernah melihatnya maupun mendengarnya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Mungkin yg bertanya kepadanya adalah kawan²nya yg sama² menempuh perjalanan tarekat menuju Allah Ta’ala. Adapun ucapan mereka ‘besok pagi adalah hari raya’, ucapan ini mengisyaratkan bahwa esok ia akan bergembira, karena ia akan bertemu dengan Allah Ta’ala.”

Adapun maksud ucapannya ‘pakaian seorang khalifah’, mengisyaratkan bahwa ia memakai pakaian kebesaran, yaitu pakaian seorang khalifah. Adapun arti ia ‘suka memberi minum’, maksudnya ia adalah seorang ‘arif billah yg senantiasa menuangkan ilmunya kepada orang lain.

Adapun maksud ucapannya ‘ia senang menantang segala kesulitan’, mengisyaratkan bahwa ia telah menanggung berbagai kesulitan ketika menempuh perjalanannya menuju Allah Ta’ala, tetapi ia tidak perduli, karena ia mengharap sukses dalam perjalanannya.

Adapun maksud ucapannya ‘pakaian yg cocok untuk menemui seorang kekasih,” adalah seperti yg di isyaratkan dalam sebuah hadits qudsi: “Tidak seorang pun mendekat kepada-Ku dengan amal² kebajikan yg Aku wajibkan kepadanya dan ia melakukannya dengan baik, maka Aku akan menjadi telinganya, matanya, tangannya dan kakinya.”

Adapun maksud ucapannya ‘kemiskinan adalah pakaianku’, mengisyaratkan bahwa ia telah menemui berbagai kesulitan ketika melakukan pengabdiannya kepada Allah Ta’ala. Adapun yg dimaksud ‘kesabaran adalah pakaianku’, mengisyaratkan bahwa ia selalu bersabar jika ada kekasihnya yg meninggal dunia.

Adapun maksud ucapannya ‘hati melihat kebiasaannya yaitu hari raya dan hari² besar’, kemungkinan mengandung dua arti. Arti yg pertarna, mungkin mengandung arti melindungi syari’at lewat hakikat dan kemungkinan hari² besar dan hari raya cukup dikenal oleh kaum muslimin.

Sedangkan arti yg kedua, ada kemungkinan maksudnya adalah saat² mereka bertemu dengan Allah Ta’ala, yaitu saat² mereka wukuf di Bukit Shafa. Menurut seorang ‘arif billah, hal itu jauh lebih baik dari melakukan seribu kali ibadah haji yg diterima.

Menurut Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari ra. dalam Kitab al-Hikam, kesenangan meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi yg paling menyenangkan adalah pada saat seseorang bertaqarrub dan bertemu dengan Allah Ta’ala, pada saat ia sedang fana’. Adapun kesulitan meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi yg lebih sulit adalah ketika seseorang sedang tertutup dari Allah Ta’ala.

Syaikh Abu Yazid al-Busthami ra. berkata, “Di dalam surga kelak, ada sejumlah orang yg andaikata tertutup dari Allah Ta’ala, walau hanya sesaat, pasti mereka akan mohon pertolongan Allah Ta’ala, sebagaimana ketika penduduk neraka mohon pertolongan Allah Ta’ala dari siksa neraka.”

Yg paling aneh adalah secara kebetulan aku pernah menerangkan masalah ini kepada sebagian wali² Allah Ta’ala, beberapa hari sebelum surat Anda tiba kepada kami.

Perlu diketahui, bahwasanya Allah Ta’ala mempunyai orang² yg senantiasa berhari raya, karena hati dan ruh mereka senantiasa dekat dengan Allah Ta’ala. Sebab pengertian hari raya menurut mereka, adalah ketika seseorang sedang berada di sisi Allah Ta’ala dan ketika menjauhi segala dosa dan maksiat.”

Masalah 65

162 Masalah Sufistik (Masalah 65):

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra. bertanya: “Tentang berbagai perasaan yg hadir kepadanya dan ia merasa takut akan keselamatan dirinya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya engkau tidak dapat mengobati perasaanmu yg resah kecuali jika engkau berusaha sekuat tenaga untuk melupakan segala keresahannya dengan memperbanyak ucapan:

Subhaanalmalikul khollaaq, iyyasyaa’ yudzhibkum waya’ti bikholqin jadiid, wamaa dzalika ‘alallaahi bi’aziiz.

“Maha Suci Allah, Maha Pencipta segala sesuatu. Jika Allah Ta’ala berkehendak, maka Allah Ta’ala mampu untuk melenyapkan kalian dan mendatangkan makhluk yg baru. Dan hal itu tidaklah sulit bagi Allah Ta’ala untuk melakukannya.”

Ketahuilah bahwa segala perasaan yg meresahkan, termasuk cobaan bagi seseorang yg beriman dan ia akan diberi pahala jika ia menerimanya dengan penuh tata krama yg baik. Perasaan semacam itu sengaja di datangkan oleh Allah Ta’ala bagi seseorang yg beriman agar ia kembali kepada Allah Ta’ala. Dan jika telah kembali kepada Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala akan menolongnya.

Adakalanya berbagai keresahan yg hadir di hati seorang yg beriman di karenakan ia telah mengkonsumsi makanan² yg sumbernya tidak halal ataupun karena ia telah bergaul dengan sebagian orang yg suka berbuat dosa. Sebaiknya ia memeriksa dirinya, apakah ia telah melakukan berbagai kesalahan.

Jika ia telah mendapati kesalahan²nya, maka sebaiknya ia segera bertaubat daripadanya. Namun jika ia tidak mendapati kesalahan²nya, maka sebaiknya ia bertaubat dari segala dosa yg pernah ia ketahui maupun yg tidak pernah ia ketahui.

Akan tetapi jika ia mengetahui bahwa keresahan yg ada dalam dirinya bukan dikarenakan kesalahan² yg pernah ia lakulan, maka ketahuilah bahwa hal itu adalah cobaan dari Allah Ta’ala. Sebaiknya ia bersabar dan berharap pahala dari Allah Ta’ala, hingga Allah Ta’ala menghilangkannya dan memberinya pahala atas kesabarannya.”

Masalah 66

162 Masalah Sufistik (Masalah 66):

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra. bertanya: “Tentang duduk berdzikir di mushalla setelah melakukan Shalat Subuh sampai matahari naik. Apakah pahala yg dijanjikan sebagaimana yg disebutkan dalam sebuah hadits hanya di peruntukkan bagi mereka yg duduk di mushallanya ataukah diberikan juga bagi mereka yg telah meninggalkan mushallanya dan mereka tetap berdzikir serta bertasbih?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa pahala yg disebutkan dalam hadits tersebut memang dijanjikan bagi mereka yg tetap duduk berdzikir di mushallanya, agar mereka tidak segera meninggalkan mushallanya setelah melakukan Shalat Subuh.

Akan tetapi menurutku, pahala yg dijanjikan akan diberikan juga bagi mereka yg tetap berdzikir, baik di mushallanya, maupun bagi mereka yg telah meninggalkan mushallanya, apalagi kalau alasan meninggalkan mushallanya dapat dibenarkan, misalnya karena takut riya’.

Demikian pula, jika alasan keluarnya untuk memperoleh kebajikan lebih banyak, maka ia tetap mendapat pahala sebagaimana seseorang yg tetap berdzikir di mushallanya. Namun jika alasan keluarnya untuk memperoleh kesenangan duniawi, misalnya untuk minum kopi atau yg lainnya, nampaknya ia tidak akan mendapatkan pahala sebagaimana yg dijanjikan oleh hadits tersebut.”

Masalah 67

162 Masalah Sufistik (Masalah 67):

Syaikh Abdurrahman bin Abdillah ‘Ibad ra. bertanya: “Tentang bedanya ketidakmampuan dengan lemah.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa tidak mampu melakukan sesuatu merupakan pertanda hilangnya kekuatan seseorang. Jadi lawan tidak mampu adalah mampu. Akan tetapi lain halnya dengan lemah, lawan lemah adalah kuat dan kuat termasuk dalam bagian mampu.

Kalau begitu, lemah merupakan kemampuan yg tidak sempurna. Seseorang yg mampu melakukan sesuatu dari salah satu sisinya, tetapi ia tidak mampu melakukannya dari sisi yg lain, maka ia disebut seorang yg lemah.

Adakalanya, seseorang yg tidak mampu melakukan sesuatu mengandung arti malas menurut bahasa tertentu. Misalnya, seseorang yg malas melakukan sesuatu atau yg malas meninggalkannya, meskipun ia dapat melakukannya, tetapi karena ia malas, maka akan terlihat pada dirinya seolah-olah ia tidak mampu.”

Masalah 68

162 Masalah Sufistik (Masalah 68):

Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra. bertanya: “Manakah yg lebih utama, Sayyidina al-Imam asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ra. ataukah Sayyidina al-Imam al Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi ra.?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa al-Imam asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ra., termasuk seorang wali yg diberi kekuatan untuk menggabungkan antara ilmu lahir dan batin, menempuh suluk tarekat serta mendidik para muridnya.

Bahkan karena istiqamahnya, sampai ia mendapatkan tingkatan musyahadah hakekat, sehingga ia merupakan wali quthub dan al-ghauts di masanya. Dan ia wafat setahun sebelum Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam dilahirkan. Adapun Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam termasuk syaikh tarekat dan hakekat, imam ahli lahir dan batin, serta seorang al-quthub ar-Rabbani.

al-Imam asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ra. dan Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam ra. termasuk dua imam yg agung, dua wali yg mulia, dua tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah yg terpandang. Akan tetapi kami sebagai anak cucu dari Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Alawi Ba’alawi ra. lebih banyak bergantung kepadanya dari pada kepada al-Imam asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ra., sebab Beliau adalah pusat ruhani kami.

Demikian pula al-Imam asy-Syaikh Abu Madyan al-Maghribi ra., termasuk salah satu wali quthub yg kami tokohkan. Tingkatan wali quthub berpindah dari al-Imam asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ra. kepada al-Imam asy-Syaikh Abu Madyan al-Maghribi ra.

Kemudian setelah itu berpindah kepada Sayyidina al-Imam asy-Syaikh al-Faqih al-Muqaddam ra., meskipun antara masa al-Imam asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ra. dengan masa Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam ra. ada beberapa wali quthub lainnya, hal ini dikarenakan terpisahnya antara kedua masa tersebut cukup lama.

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syaikh al-Habib Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra. berkata: “Kami tidak akan menilai keutamaan Sayyidina al-Imam al-Faqih al-Muqaddam ra. setelah berakhirnya masa sahabat, kecuali kalau ada dalil yg menyatakan keutamaannya, seperti keutamaan Sayyidina Uwais bin Amir al-Qarani ra.”

Masalah 69

162 Masalah Sufistik (Masalah 69):

Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra. bertanya: “Tentang seorang murid, seorang sufi, tasawuf serta apa sajakah yg harus dilakukan oleh seseorang agar ia menjadi seorang sufi?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa seorang murid adalah seseorang yg mengabdikan dirinya, jiwa raganya, serta amal² kebajikan untuk Allah Ta’ala semata serta untuk mendapatkan kesenangan di kampung akhirat kelak.

Seorang sufi menurut istilah sebagian ahli, adalah seseorang yg membersihkan jiwa raganya dari segala dosa dan noda, serta selalu berhati-hati, selalu berharap kepada Allah Ta’ala, sehingga ia tidak butuh kepada yg lain dan lahir batinnya mempunyai kesamaan.

Sedangkan tasawuf menurut sebagian ahli, adalah cara mengeluarkan diri seseorang dari budi pekerti yg buruk menuju budi pekerti yg mulia, meskipun istilah ini masih diperdebatkan oleh para ahli, akan tetapi keterangan kami cukup baik dan bisa dimengerti.

Seseorang yg senantiasa membersihkan dirinya, tutur katanya, niatnya, tindak-tanduknya dan budi pekertinya dari riya’ dan dari segala noda, serta ia selalu memusatkan lahir batinnya untuk Allah Ta’ala dan berpaling dari segala sesuatu yg selain Allah Ta’ala.

Bahkan sampai berpaling dari keluarganya, hartanya, kesenangannya dan hawa nafsunya, serta ia melakukan semua itu berdasarkan pengetahuan yg ia miliki dan ia selalu mengikuti petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah serta petunjuk dari salafunasshalihin yg terdahulu. Jikalau demikian, maka ia adalah seorang sufi yg sempurna.”

Masalah 70

162 Masalah Sufistik (Masalah 70):

Habib Ahmad bin Awadh Bahsin ra. bertanya: “Tentang suluk, munazalah, dan istilam.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa suluk adalah perjalanan hati untuk memperbaiki iman, untuk mengokohkan keyakinan dengan menempuh perjalanan yg panjang dan penuh rintangan setingkat demi setingkat untuk membersihkan batinnya.

Adapun munazalah adalah karunia² Allah Ta’ala yg hadir di dalam hati seseorang yg dekat kepada Allah Ta’ala sehingga ia dapat mengetahui berbagai rahasia² Ilahiyah.

Sedangkan istilam adalah karunia Allah Ta’ala yg dapat menyebabkan seseorang yg senantiasa mendekat kepada-Nya & senantiasa mengingat-Nya menjadi fana’, sehingga ia tidak dapat mengenali dirinya maupun lainnya.

Dan karunia semacam ini bisa berlaku dalam waktu yg lama dan bisa juga berlaku dalam waktu singkat. Namun kebanyakannya, ia tidak akan berlangsung lama dan hal itu jarang terjadi. Jika seseorang telah mendapat karunia semacam ini, maka ia termasuk orang² yg selalu fana’ di sisi Tuhannya.”

Masalah 71

162 Masalah Sufistik (Masalah 71):

Habib Abdul Qadir bin Ahmad al-Ahdal ra. bertanya: “Tentang bershalawat setelah adzan. Apakah diucapkan dengan keras ataukah dengan suara yg rendah?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Kami telah menerima surat Anda yg membicarakan tentang bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. sesudah adzan, dengan suara yg keras seperti yg biasa dilakukan oleh sebagian banyak orang.

Dan berikutnya telah kami terima pula keterangan dari al-Imam asy-Syaikh Ibnu Hajar ra. dalam Kitab asy-Syarh al-‘Ubab dan fatwa al-Imam asy-Syaikh Ahmad Ibnu Umar al-Hubaisyi ra., maka pendapat kami adalah: “Ketahuilah bahwa hak Rasulullah Saw. dari umatnya cukup besar dan hak itu harus dipenuhi oleh mereka.

Meskipun mereka tidak dapat memenuhinya menurut cara yg semestinya. Karena itu mereka wajib mengikuti sunnahnya, membela agamanya, memperbanyak bershalawat kepadanya dan mencintai Rasulullah Saw. beserta segenap keluarganya dan para sahabatnya yg mulia.

Ketahuilah bahwa bershalawat kepada Rasulullah Saw. diperintahkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya. Demikian pula cukup banyak hadits² dan ucapan ulama salaf dan khalaf tentang keutamaan bershalawat kepada Rasulullah Saw. Bahkan hal itu sulit dihitung jumlahnya.

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syaikh Ibnu Hajar al-Haitsami ra. pernah menulis sebuah kitab tentang keutamaan dan anjuran bershalawat kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. yg berjudul ad-Durrul Mandhud fis ash-Shalaati Wa as-Salaami ‘Alaa Shaahibil Maqaamil Mahmuud.

Demikian pula yg dilakukan al-Imam asy-Syaikh as-Sakhawi ra. Beliau menulis sebuah buku tentang keutamaan dan anjuran bershalawat yg karya tulisnya tersebut diberi judul al-Qaulul Badii’ fi ash-Shalaati ‘Ala an-Nabi asy-Syaafi’. Dan banyak pula tokoh² ulama lainnya, terutama para tokoh hadits yg menulis sebuah buku tentang keutamaan dan anjuran bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw.

Adapun pengucapan shalawat yg biasa dilakukan oleh para mu’adzin sehabis adzan dimanapun ia berada, adalah termasuk perbuatan bid’ah hasanah dan mardhiyah (hal yg diridhai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya) yg kita tidak mengingkarinya setelah kita mengetahui anjuran² bershalawat menurut al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw., tanpa ikatan waktu, keadaan, maupun tempat.

Meskipun anjuran bershalawat dalam waktu² dan keadaan² tertentu untuk menambah pahala dan keutamaannya, namun anjuran bershalawat pada waktu² dan keadaan² yg umum, baik membacanya secara rendah maupun keras, secara pribadi maupun secara berjama’ah, masih mempunyai keutamaan tertentu.

Karena itu, pendapat orang² yg mengingkarinya tidak mempunyai dasar yg kuat. Karena bershalawat setelah adzan merupakan anjuran dari agama. Adapun seorang mu’adzin yg mengucapkannya setelah adzan dengan suara keras, merupakan perbuatan yg baik dan ia akan diberi pahala, asalkan niatnya untuk menyadarkan orang² yg lupa yg suka mengakhirkan shalat.

Adapun kebiasaan membaca shalawat dengan suara keras setelah adzan, merupakan kebiasaan para mu’adzin di Kota Mekkah dan Madinah. Mereka melakukannya setiap sehabis adzan, kecuali sehabis adzan Maghrib, karena waktunya sangat sempit dan sehabis adzan Subuh, karena mereka melakukannya sebelum adzan.

Kebiasaan seperti ini dilakukan juga oleh sebagian mu’adzin di Negeri Hadhramaut, meskipun hanya pada sebagian waktu dan pada sebagian tempat. Andaikata perbuatan itu dilakukan oleh setiap mu’adzin pada setiap waktu, tentunya tidak ada yg akan menyingkarinya.

Menurutku, siapapun yg mengingkari perbuatan baik, seperti bershalawat setelah adzan ataupun mengingkari yg baik apa saja bentuknya, maka hal itu termasuk perbuatan dosa. Sebab, bershalawat ataupun mengingatkan orang² yg lupa merupakan amal² kebajikan yg amat tinggi nilainya di sisi Allah Ta’ala.

Bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan perbuatan yg dapat mengokohkan iman seseorang dan menambah kecintaannya kepada Rasulullah Saw. Karena itu, mereka yg mengingkarinya termasuk orang² yg munafik, bahkan dapat juga termasuk orang² yg kafir.

Mengapa mereka mengingkari orang² yg bershalawat, padahal mereka tahu bahwa orang² yg bershalawat cukup besar pahalanya. Bukankah seseorang yg bershalawat satu kali diberi pahala sepuluh kali?

Seseorang yg mengingkarinya karena mengucapkannya dengan suara yg keras sudah termasuk seorang yg bodoh dan salah. Ia seperti seorang yg mengaku pintar, tetapi ia minta dalil tentang adanya siang hari.

Tetapi jika ia mengingkarinya karena di ucapkan setiap setelah adzan, maka perbuatannya itu hanya mengingkari kebiasaan yg biasa dilakukan di sebagian tempat dan masalah itu hanya biasa.

Jika ia mengingkarinya karena pengucapannya dengan suara keras dapat mengganggu seseorang yg sedang shalat dan lainnya, maka alasannya itu tidak dapat diterima, karena di antara sebagian shalat ada yg bacaannya dibaca dengan keras.

Di antara yg ingkar kepada yg mengucapkan shalawat itu mungkin karena alasan ta’asub atau hasut pada pribadi yg mengucapkannya, mungkin karena bodoh dan mungkin pula pura² bodoh atau juga mungkin pula ada yg bersikap kasar dan bengis.

Jika yg mengingatkannya tidak bersikap lemah lembut dan bijaksana, maka pelakunya akan berdosa. Tetapi jika yg mengingatkannya telah bersikap lemah lembut dan bijaksana, sedang yg mengingkarinya masih tetap bersikap kasar, maka yg mengingatkannya telah selesai tugasnya dan ia telah melakukan hal yg terbaik. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:

“Tidaklah sikap lemah lembut pada sesuatu, melainkan akan menghiasinya dan tidaklah sikap kasar pada sesuatu melainkan akan memperburuknya.”

Dalam hadits lainnya, Rasulullah Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala Maha lemah lembut dan Allah Ta’ala suka kepada hal² yg bersifat lemah lembut.”

Dan sikap lemah lembut akan menyebabkan segala sesuatu menjadi baik dan positif.

Masalah 72

162 Masalah Sufistik (Masalah 72):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang menggunjing keburukan orang lain, yg menurut Islam dinilai lebih berat dari tiga puluh kali berbuat zina. Padahal menggunjing keburukan orang lain tidak termasuk dalam salah satu dosa besar sebagaimana perbuatan zina.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Secara lahiriyah, perbuatan menggunjing kesalahan orang lain tidak sekeji perbuatan zina yg dapat mengacaukan jalur keturunan manusia dan menimbulkan kerusakan² lainnya.

Akan tetapi yg menyebabkan perbuatan zina hanyalah rangsangan nafsu seks, seperti yg ada pada binatang. Namun yg menimbulkan perbuatan menggunjing kesalahan orang lain adalah rasa dengki dan hasud kepada seorang muslim, padahal perbuatan itu termasuk perbuatan setan yg kejelekannya tiga puluh kali lebih buruk dari kejelekan binatang, sebagaimana yg telah disebutkan dalam sebuah hadits.

Di lain riwayat disebutkan, menggunjing kesalahan orang lain, nilainya lebih berat dari berzina, karena perbuatan itu merusak hak asasi manusia. Padahal menurut sebuah riwayat dikatakan, menganiaya seorang hamba satu kali dapat diambil daripadanya tujuh ratus pahala shalat yg diterima dan menganiaya hak² orang lain termasuk perbuatan yg pasti akan dituntut di persidangan Allah Ta’ala.

Masalah 73

162 Masalah Sufistik (Masalah 73):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang jin yg beriman. Apakah mereka akan diberi ilmu tertentu dan apakah mereka akan diberi kesempatan melihat Allah Ta’ala jika mereka masuk surga?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya al-Imam asy-Syaikh al-Arif Abdul Wahab asy-Sya’rani al-Mishri ra. pernah menyatakan dalam kitabnya al-Kasyf ar-Raani ‘An Wajhi as ilah al-Jaan, bahwasanya jin akan diberi ilmu yg khusus.

Apakah jin yg beriman akan dimasukkan ke dalam surga atau tidak, sampai sekarang aku belum mendapatkan satu dalil pun yg menyatakan bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga. Tetapi menurutku, jika mereka beriman kepada Allah Ta’ala, maka mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan mereka akan diberi kesempatan melihat Tuhannya di dalamnya.”

Masalah 74

162 Masalah Sufistik (Masalah 74):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang seseorang yg tidak mempunyai keturunan.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa yg dimaksud keturunan adalah generasi mendatang yg dilahirkan oleh generasi terdahulu dan mereka masih terkait dengan generasi terdahulu.

Adapun firman Allah Ta’ala yg menyebutkan adanya keturunan:

وَءَايَةٌ لَّهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah yg besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yg penuh muatan.” (QS. YaaSin [36]: 41)

Jika seseorang mengaku tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka artinya mereka tidak mempunyai keterkaitan darah dengan generasi terdahulu maupun dengan generasi di bawahnya dan hal ini tidak mungkin terjadi. Akan tetapi jika ia mengatakan tidak mempunyai anak dan cucu, maka hal itu mungkin terjadi.

Sebab pada masa lain, mungkin ia akan mendapat anak serta cucu dan kemungkinan itu bisa terjadi sebelum ia mati. Tidak mengapa seseorang yg tidak mempunyai anak untuk mengasuh anak saudaranya atau anak kaum kerabatnya yg terdekat.

Masalah 75

162 Masalah Sufistik (Masalah 75):

Syaikh Ahmad bin Abu Bakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang kebangkitan makhluk sebelum dibangkitkan ke padang mahsyar.”

‘al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Kebangkitan mereka terkait erat dengan panggilan yg menyeru mereka untuk bangkit kembali. Hal ini sebagaimana dengan firman Allah Ta’ala:

ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِّنَ الْأَرْضِ إِذَآ أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ

“Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (QS. Ar-Rum [30]: 25)

Demikian pula ketika mereka berdiri di atas shirath* setelah bumi dirubah bentuknya dan semua itu akan mudah terjadi dengan kehendak serta kekuasaan Allah Ta’ala. Pada saat itu Allah Ta’ala akan merubah bumi yg luas menjadi sempit dan tajam untuk menguji manusia berjalan di atasnya.

Dan seseorang boleh menafsirkan shirath dengan penafsiran yg lain, yaitu bukan jembatan yg terbentang diatas Neraka Jahannam. Semua itu bisa terjadi dengan kehendak dan kekuasaan Allah Ta’ala, sebab kekuasaan Allah Ta’ala Maha Luas.”

*shirath: mayoritas ulama mengatakan bahwa shirath adalah jembatan atau titian yg terbentang diatas neraka, yg setiap orang pasti melewatinya.

Masalah 76

162 Masalah Sufistik (Masalah 76):

Syaikh Ahmad bin Abu Bakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang bagaimanakah jika seseorang dipersilahkan masuk surga melalui delapan pintu.”

‘al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa dipersilahkannya seseorang masuk ke dalam surga lewat delapan pintu yg ada, bisa diartikan sebagai penghormatan baginya dan ia dipersilahkan masuk ke dalam surga lewat salah satu dari kedelapan pintu yg ada.

Hal ini sebagaimana yg disebutkan dalam sebuah hadits: “Seseorang yg berdoa setelah berwudhu, maka akan dibuka delapan pintu surga baginya dan ia dipersilahkan masuk ke dalamnya lewat salah satunya.”

Pengertian semacam ini lebih mudah dimengerti dan dapat diterima akal. Tetapi ada juga yg mengartikan bahwa surga mempunyai delapan tingkatan dan pada setiap tingkatannya ada pintu gerbangnya masing².”

Masalah 77

162 Masalah Sufistik (Masalah 77):

Syaikh Ahmad bin Abu Bakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang bentuk orang² yg sombong akan dijadikan seperti makhluk yg paling kecil dan paling hina ketika mereka dikumpulkan di padang mahsyar.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Masalah bentuk apapun yg dikehendaki oleh Allah Ta’ala untuk makhluk-Nya yg berdosa, tidak perlu dipermasalahkan. Allah Ta’ala berwenang menjadikan mereka dalam bentuk apapun menurut kehendak-Nya.

Ketika Rasulullah Saw. ditanya: “Bagaimanakah orang² yg berdosa akan diperjalankan di atas wajah² mereka ke dalam api neraka?”

Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Allah Ta’ala mampu menjalankan manusia bertumpu di atas kedua kakinya, maka Dia pula pun mampu menjalankan mereka di atas wajah² mereka.”

Untuk mengartikan masalah² seperti itu, sebaiknya dengan bahasa yg dimengerti menurut redaksi yg memberi pengertian tentang luasnya kekuasaan Allah Ta’ala, asalkan tidak mengarah kepada hal² yg mustahil yg bertentangan dengan akal dan syariat.

Masalah 78

162 Masalah Sufistik (Masalah 78):

Syaikh Ahmad bin Abu Bakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang ucapan al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra.: ‘Tidak semua orang mempunyai hati.’”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya hati yg sebenarnya adalah hati seseorang yg dapat memikirkan dan mengingat Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yg disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ

“Sesungguhnya kejadian itu dapat diambil pelajaran oleh siapapun yg mempunyai hati (yg sehat).” (QS. Qaf [50]: 37)

Maksudnya adalah, hati seseorang yg dapat memikirkan dan mengingat Dzat Allah Ta’ala. Selain itu masih ada firman Allah Ta’ala yg lain yg menyebutkan bahwa mereka mempunyai hati, tetapi bukan hati yg sehat, karena tidak dipakai untuk memikirkan dan mengingat Dzat Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana yg disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا

“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat² Allah).” (QS. Al-A’raf [7]: 179)

Kiranya hanya itulah pengertian yg dapat kami sampaikan tentang hati yg sehat pada saat ini, meskipun kami dapat menerangkannya lebih luas. Akan tetapi karena keterangan tentang hati memerlukan pembicaraan yg lebih luas dan kalau itu yg di inginkan, tentunya butuh waktu dan kesempatan yg lebih luas.

Jangan sampai engkau malu bertanya, sebab kami masih siap menjawab pertanyaan apapun yg perlu ditanyakan, agar Anda dan kami dapat selalu berhubungan dalam berbagai kesempatan yg baik.”

Masalah 79

162 Masalah Sufistik (Masalah 79):

Syaikh Ahmad bin Abu Bakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang dikembalikannya ruh Baginda Nabi Muhammad Saw. pada setiap kali Beliau menjawab salam dari umatnya, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Hadits yg mengatakan tentang pengembalian ruh Rasulullah Saw. ke jasadnya adalah benar. Pokoknya hal itu benar² terjadi, hanya saja tentang bagaimana caranya, itu adalah rahasia Allah Ta’ala. Rasulullah Saw. benar² dapat menerima salam dari umatnya dan Rasulullah Saw. pula menjawabnya.

Ada pendapat sebagian ulama yg mengatakan: “Ruh Nabi Muhammad Saw. senantiasa bersemayam di jasadnya. Sebab tidak satu detik pun berlangsung, melainkan sebagian orang dari umatnya ada yg memberi salam kepada Rasulullah Saw. dan Rasulullah Saw. pun akan menjawabnya.” Menurutku pendapat itu benar, tetapi masalah ruh tidak perlu dibahas, karena ruh adalah urusan Allah Ta’ala semata.”

Masalah 80

162 Masalah Sufistik (Masalah 80):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang penduduk surga dan penduduk neraka, serta kapankah wajah mereka menjadi baik atau buruk?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Menurutku Allah Ta’ala akan merubah wajah mereka menjadi bagus bertepatan pada waktu mereka masuk ke dalam surga, demikian juga penduduk neraka, wajah mereka akan berubah menjadi buruk bertepatan pada waktu mereka masuk ke dalam neraka.”

Masalah 81

162 Masalah Sufistik (Masalah 81):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Bolehkah seseorang mempunyai beberapa Syaikh Mursyid?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Sesungguhnya jawaban untuk pertanyaan Anda memerlukan waktu yg cukup luas, padahal kami tidak memilikinya pada saat ini. Meskipun demikian, kami sempatkan juga menjawab pertanyaan Anda dengan jawaban yg singkat, agar semua permasalahan yg Anda tanyakan dapat terjawab.

Seseorang dibolehkan mempunyai beberapa Syaikh Mursyid, asalkan di antara mereka tidak ada perbedaan pendapat. Sebab setiap petunjuk dari seorang Syaikh Mursyid cukup dapat dijadikan bimbingan hidup bagi seorang murid. Karena mereka adalah orang² yg jujur dan shaleh.

Akan tetapi jikalau seorang murid memiliki beberapa Syaikh Mursyid yg saling berbeda pendapat, maka murid itu akan hidup dalam lembah kebingungan yg berakibat celaka bagi si murid.

Sebab, jika ia menuruti pendapat salah seorang dari mereka, tentunya ia akan berbeda pendapat dengan Syaikh Mursyid yg lain.

Dan kalau ia sudah berbeda pendapat dengan seorang Syaikh Mursyid, maka ia akan binasa, karena ia termasuk seorang yg menentang pendapatnya. Seorang murid akan sukses perjalanan tarekatnya, kalau ia taat sepenuhnya kepada Syaikh Mursyidnya, khususnya jika seorang murid masih di awal perjalanannya. Dan keterangan ini pernah kami terangkan dalam buku kami yg berjudul ar-Risalah al-Murid.”

Masalah 82

162 Masalah Sufistik (Masalah 82):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang hukumnya mendengar bait² puisi dihadapan seorang Syaikh Mursyid?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Mendengar bait² puisi di majelis seorang Syaikh Mursyid beserta jama’ahnya diperbolehkan, asalkan yg hadir telah diperkenankan olehnya dan mereka tidak ada yg mengingkarinya.

Apabila hal itu terpenuhi semua persyaratannya, maka mereka yg hadir akan terpelihara dan akan mendapat berkah dari Allah Ta’ala. Namun apabila ada yg mengingkarinya, maka ia akan celaka dan binasa.”

Masalah 83

162 Masalah Sufistik (Masalah 83):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basyaban ra. bertanya: “Tentang langkah pertama yg harus ditempuh oleh seorang murid di awal perjalanan tarekatnya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Langkah pertama yg harus ditempuh oleh seorang murid di awal perjalanan tarekatnya adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala. Dan tentang masalah ini, ada beberapa keterangan pendahuluan dan penghabisannya, silahkan Anda membaca keterangan ini di bagian awal buku kami yg berjudul ar-Risalah al-Murid.”

Masalah 84

162 Masalah Sufistik (Masalah 84):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang seorang murid yg menyerahkan perjalanan tarekatnya sepenuhnya kepada petunjuk² seorang Syaikh Mursyid.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Jikalau ada seorang murid yg pasrah sepenuhnya kepada petunjuk² seorang Syaikh Mursyid, sebaiknya seorang Syaikh memperhatikannya baik² tentang apa saja yg terbaik bagi si murid, karena ia adalah amanah Allah Ta’ala yg dititipkan kepadanya.

Perlu diketahui, bahwa keadaan setiap murid tidak akan sama dengan murid² yg lain. Pokoknya, setiap murid harus mentaati dan mengikuti petunjuk² Syaikh Mursyidnya dengan baik dan benar.”

Masalah 85

162 Masalah Sufistik (Masalah 85):

Syaikh Ahmad bin Abubakar Basya’ban ra. bertanya: “Tentang alam ghaib dan alam nyata.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa alam yg terang adalah alam yg dapat dirasa oleh kelima panca indera kita. Adapun alam ghaib adalah alam yg ada dibalik alam nyata.

Keberadaannya hanya bisa dirasakan oleh akal yg sehat dan diyakini oleh hati yg penuh iman. Dan kemisterian alam ghaib dapat dilihat oleh para Nabi dan para Wali Allah Ta’ala, karena mereka melihatnya dengan pandangan hati.

Alam ghaib terbagi menjadi 3 bagian:

  1. Alam Lahut, yaitu alam ketuhanan dan segala yg terkait dengannya.
  2. Alam Nasut, yaitu alam kemanusiaan, yg mana di dalamnya terlihat berbagai hal yg berkaitan dengan manusia, khususnya berkaitan dengan ruhaninya yg lembut.
  3. Alam Jabarut, yaitu alam ketuhanan, di dalamnya terlihat sifat² keperkasaan dan keagungan Allah Ta’ala, serta di dalamnya juga terlihat pula sifat² kekerasan siksa Allah Ta’ala dan ketidakbutuhan Allah Ta’ala kepada semua makhluk-Nya. Itulah kesimpulan dari keterangan para ulama tentang masalah ini.”

Masalah 86

162 Masalah Sufistik (Masalah 86):

Syaikh Ahmad bin Abdillah Basyarahil ra. bertanya: “Tentang melakukan sesuatu yg baik maupun yg buruk tanpa adanya petunjuk dari seorang ahli.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah, menurut kaum sufi, nafsu adalah tabiat seseorang yg condong kepada hal² yg menyenangkan yg bersifat sementara dan fana.

Adapun cara mengendalikannya adalah dengan menekannya dan mempersempit ruang geraknya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadits. Dan cara ini merupakan syarat utama yg harus dipenuhi oleh seorang murid yg ingin menempuh perjalanan tarekatnya menuju kepada Allah Ta’ala.

Dan cara inilah yg dapat menyebabkan seorang murid senantiasa condong kepada hal² yg benar dan menjauhi hal² yg buruk. Dan jika cara ini telah ditempuh, maka lama-kelamaan seorang murid akan merasa nikmat dan senang karena ia dapat mengendalikan dan mengontrol nafsunya.

Mengikuti jejak Rasulullah Saw. merupakan realisasi cara pengendalian dan pengontrolan nafsu. Semua kelompok yg mengikuti jejak Rasulullah Saw. merupakan orang² yg dapat mengendalikan dan mengontrol nafsunya. Adapun mereka yg tidak mengikuti jejak Rasulullah Saw., maka nafsunya akan senantiasa bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadits.

Ucapan Syaikh Sahl at-Tustari ra. mengisyaratkan bahwa tidak mengikuti petunjuk seseorang, meskipun dalam hal² yg dibenci oleh nafsu, misalnya petunjuk mengerjakan amal² kebajikan, dapat membangkitkan birahi nafsu itu sendiri.

Sebaliknya, dengan mengikuti petunjuk seseorang, meskipun kepada perbuatan² yg disenangi oleh nafsu, merupakan hal yg berat bagi nafsu itu sendiri. Sebab, mengikuti jejak Rasulullah Saw. merupakan hal yg benar, padahal kebenaran adalah musuh hawa nafsu, sedangkan nafsu terkungkung oleh berbagai keinginannya sendiri.

Karena itu satu²nya jalan untuk melepaskan keterkungkungannya adalah dengan jalan menekannya dan mempersempit ruang geraknya, yaitu dengan mengikuti petunjuk² yg baik dari Rasulullah Saw.

Perlu diketahul bahwa nafsu tidak senang tunduk atau dipaksa oleh seseorang. Ia ingin tetap bebas mengerjakan apa saja yg ia ingini, karena itu ia tidak senang mengikuti jejak orang lain walaupun cocok dengannya, bahkan nafsu tidak ingin mengikuti jejak siapapun.

Jika kebiasaan nafsu suka mengikuti jalan yg buruk, maka di sana ada pula nafsu yg suka mengikuti jalan yg baik, yaitu taat kepada Allah Ta’ala dan juga mengerjakan semua petunjuk²Nya berdasarkan ilmu serta tata krama kepada Allah Ta’ala secara lahir dan batin.

Adapun cara pengendalian nafsu untuk mengikuti hal² yg diperbolehkan adalah dengan cara memimpinnya kepada hal² yg baik. Sebaliknya, cara pengendalian nafsu untuk meninggalkan hal² yg dilarang adalah dengan cara meninggalkan semua yg dilarang karena malu kepada Allah Ta’ala dan karena takut kepada siksa-Nya.

Adapun jika nafsu mengajak seseorang untuk melakukan hal² yg tidak baik dan ia telah melakukannya, maka sebaiknya ia segera membencinya dan menghentikannya serta menutupi kejahatannya dari orang lain.

Kemudian hendaknya ia segera bertaubat dan menyesali dosa²nya karena takut kepada siksa Allah Ta’ala. Meskipun keterangan kami ini singkat, namun kami kira cukup dimengerti. Semoga hal ini memberi manfaat bagi orang banyak.”

Masalah 87

162 Masalah Sufistik (Masalah 87):

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru ra. bertanya, “Tentang nafsu yg condong kepada makhluk dan bagaimanakah cara mengatasinya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa penyebab utamanya adalah lemahnya keyakinan seseorang. Sedangkan cara mengobatinya adalah dengan cara menguatkan keyakinannya kepada Allah Ta’ala. Dan hal itu dapat dicapai dengan dua cara:

  1. Memperhatikan ayat² Al-Qur’an.
  2. Memperhatikan dan memikirkan segala ciptaan Allah Ta’ala yg ada di alam semesta.

Adapun cara lain yg harus dilakukan adalah dengan cara mengendalikan nafsu, membersihkan cermin hati dengan berbagai latihan dan kesungguhan, sampai seseorang dapat melihat kebenaran menurut yg semestinya. Cara inilah yg dipilih oleh kaum sufi.

Jangan engkau kira bahwa keyakinan yg dimaksud adalah keyakinan yg biasa dimengerti oleh kaum awam. Sebaliknya, yg dimaksud keyakinan disini adalah cahaya Ilahi yg menerangi dan yg mengontrol hati seorang mukmin, sehingga ia dapat melepaskan diri dari keterkaitannya dengan semua makhluk dan ia hanya yakin sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.

Cara yg paling efektif untuk mengalihkan kecenderungan hati seseorang kepada makhluk adalah, hendaknya setiap orang selalu ingat bahwa makhluk tidak dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesusahan baginya.

Jika seseorang telah mengetahui hal ini baik², maka tidak logis baginya kalau ia masih cenderung kepada makhluk. Sebab hal itu akan menyebabkannya kecewa. Maka untuk mengobatinya adalah dengan cara menguatkan keyakinannya kepada Allah Ta’ala sampai kecenderungannya kepada makhluk itu hilang.”

Masalah 88

162 Masalah Sufistik (Masalah 88):

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru ra. bertanya: “Tentang kecintaan seseorang kepada orang² shaleh, meskipun ia tidak mengikuti jejak mereka.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa kecintaan seseorang kepada orang lain tidak mengharuskannya mengikuti jejak orang yg dicintainya sepenuhnya. Cukup banyak orang² shaleh yg dicintai oleh para muridnya, namun tidak semuanya dapat mengikuti jejak mereka.”

Adapun penyebab keengganan seseorang yg cinta kepada orang lain untuk mengikuti jejaknya adalah karena ia tidak mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala, sehingga ia merasa berat untuk melaksanakannya dan yg memiliki petunjuk hanya Allah Ta’ala semata, karena itu mohonlah selalu untuk mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala.”

Masalah 89

162 Masalah Sufistik (Masalah 89):

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bamazru’ ra. bertanya: “Mengapa kebanyakan orang senang dipuji, walaupun sebenarnya tidak pantas untuk dipuji. Dan sebaliknya, mengapa mereka membenci celaan orang walaupun sebenarnya mereka pantas mendapatkannya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa pada dasarnya semua orang akan merasa senang jika dipuji, tidak seorang pun yg dapat selamat dari perasaan semacam itu, kecuali jika ia telah keluar dari nafsu kemanusiaannya dan ruhaninya telah naik nilainya sampai ke tingkat malaikat.

Adapun cara mengeluarkan nafsu seseorang dari kemanusiaannya pernah kami terangkan ketika kami menjawab pertanyaan Anda yg terdahulu, sehingga pujian dan celaan tidak berpengaruh sedikit pun bagi orang² yg nafsu kemanusiaannya telah lenyap.

Perlu diketahui bahwa membenci celaan dan menyenangi pujian adakalanya diperbolehkan dan adakalanya diharamkan, hal ini menurut dasar yg dipakai untuk membenci atau menyenangi. Seseorang yg mempunyai perasaan senang jika ia dipuji dan merasa benci jika ia dicela, maka menurut kalangan orang² yg dekat dengan Allah Ta’ala, ia bukan termasuk kalangan orang² istimewa.

Adakalanya seseorang merasa senang jika ia dipuji dan merasa benci jika ia dicela, karena lidah manusia merupakan pena yg benar. Karena itu Allah Ta’ala suka memperlihatkan amal² kebajikan seseorang dan suka menutupi dosa²nya.

Ada seseorang yg bergembira ketika disebut perbuatan baiknya dan ia berharap pahala dari Allah Ta’ala serta ia senang dicela ketika disebut perbuatan buruknya, karena ia takut mendapat siksa dari Allah Ta’ala di akhirat kelak.

Untuk menerangkan masalah ini lebih luas, dibutuhkan waktu dan kesempatan yg cukup panjang. Akan tetapi Hujjatul Islam Imam al-Ghazali ra. telah menerangkannya secara panjang lebar dalam bab Dzammil Jaah Wa ar-Riya’ (membenci kedudukan dan riya’) dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin.”

Masalah 90

162 Masalah Sufistik (Masalah 90):

Seseorang bertanya: “Tentang maksud sabda Nabi Muhammad Saw.: ‘Seseorang yg mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan tersebut termasuk salah satu sabda Baginda Nabi Muhammad Saw. Meskipun ucapan tersebut pendek, tetapi isinya cukup padat, karena mengandung pengertian yg cukup luas dan ucapan tersebut menunjukkan bahwa Beliau diberi jawami’ul kalim.

Maksudnya, meskipun ucapan Beliau itu singkat, namun kandungan maknanya sangat dalam dan luas. Perlu diketahui, meskipun ucapan diatas mempunyai makna yg banyak, tetapi kami akan menyebutkan dua makna saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan yg ada pada diri mereka, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fussilat [41]: 53)

Dalam ayat yg lain, Allah Ta’ala berfirman:

وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Az-Zariyat [51]: 21)

Makna yg pertama mengandung arti bahwa seseorang yg mengenali dirinya dengan sebaik-baiknya, maka pengenalan itu akan menyebabkannya mengenal Tuhannya. Misalnya jika engkau memperhatikan baik² dirimu yg serba tidak mampu melakukan sesuatu, maka engkau akan merasa bahwa disana ada Tuhan yg mampu memberimu kekuatan, sehingga engkau hidup dan dapat berbuat apa saja sekehendakmu.

Seorang ‘arif billah pernah bertanya kepada seseorang: “Bagaimana engkau dapat mengenal Tuhanmu?” Lalu orang tersebut menjawabnya: “Aku mengenal Tuhanku karena keinginanku untuk mengerjakan segala sesuatu cukup banyak, tetapi aku tidak dapat melakukannya dan aku ingin mencegah segala sesuatu yg akan terjadi. Akan tetapi aku tidak dapat melakukannya, maka sejak saat itu aku merasa bahwa disana ada kekuatan yg menentukan terjadinya segala sesuatu dan itulah kekuasaan Tuhanku Yang Maha Mulia.”

Makna yg kedua mengandung arti, jika dirimu sedang condong kepada kejahatan dan berpaling dari kebenaran serta ingin menikmati kelezatan dunia dan melupakan kesenangan akhirat, maka di saat itu engkau sadar bahwa tidak ada yg dapat menyelamatkanmu dari kecondonganmu semacam itu, selain Tuhan Yang Maha Kuasa dan pada saat itu pula engkau kembali berharap pertolongan-Nya.

Jika engkau telah mengenal Allah Ta’ala dari lubuk hatimu dan engkau telah berharap untuk menemui-Nya, maka pada saat itu Allah Ta’ala akan memberimu berbagai cahaya dan membuka bagimu berbagai rahasia.

Dan nafsumu yg penuh angkara murka akan diganti dengan nafsu yg tenang, yg tunduk kepada kebenaran dan yg cinta kepada segala kebaikan serta kepada orang² yg suka berbuat kebaikan dan akan dihilangkan dalam hatimu segala halangan yg menghalangimu untuk mendekati Tuhanmu.

Maka di saat itu engkau akan mengenal kelembutan pertolongan Allah Ta’ala dan besarnya perhatian-Nya kepadamu. Seseorang tidak akan mengenal Tuhannya sebelum ia mengenal keburukan dirinya. Karena itu perhatikan baik² keterangan diatas agar engkau mengenal Tuhanmu.”

Masalah 91

162 Masalah Sufistik (Masalah 91):

Syaikh Abdurrahman bin Abdillah ‘Ibad ra. bertanya: “Tentang mendengar ucapan orang² yg keadaannya dan tingkatan taqarrubnya telah mencapai puncak.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa mendengarkan ucapan mereka yg keadaannya dan tingkatan ketaqarrubannya telah paripurna pernah diterangkan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali ra. dalam karya agungnya, Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin pada bab kedua, yaitu Kitabus Simaa.’ Beliau menerangkan bahwa seseorang dibolehkan mendengarkan ucapan seseorang yg mengalami fana’ dari segala sesuatu selain Allah Ta’ala.”

Masalah 92

162 Masalah Sufistik (Masalah 92):

Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Ghusyam az-Zaidi ra. bertanya: “Tentang berbagai perbuatan hamba Allah Ta’ala.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa perbuatan apapun yg dilakukan oleh manusia, baik perbuatan yg baik maupun yg buruk menurut keyakinan kami semuanya adalah telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Dan apapun yg telah ditentukan oleh Allah Ta’ala pasti akan terjadi dan apa yg tidak ditentukan oleh Allah Ta’ala tidak akan pernah terjadi.

Untuk keyakinan semacam ini, kami mempunyai dalil² yg kuat dan cukup banyak dari al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dari akal pikiran/logika kita. Para tokoh ulama kami cukup banyak hanya menulis tentang masalah ini dalam karya² tulis mereka. Pendapat kami merupakan pemisah di antara dua pendapat:

Pendapat pertama, pendapat Madzhab Jabariyah yg mengatakan bahwa perbuatan seseorang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Dan seorang makhluk tidak mempunyai pilihan apapun untuk menerimanya atau menolaknya. Pendapat madzhab ini tidak bisa diterima oleh akal kita.

Pendapat kedua, pendapat Madzhab Mu’tazilah yg mengatakan bahwa perbuatan seseorang merupakan pilihannya sendiri. Ia boleh mengerjakan sesuatu jika ia mau dan ia boleh meninggalkannya jika ia mau.

Semua orang mengerti bahwa segala usaha yg dilakukan deh seseorang berasal dari pilihannya sendiri. Semua orang mengerti bahwa perbuatan manusia ada yg bersifat keharusan dan adapula yg bersifat pilihan. Dalam hal yg bersifat keharusan, maka ia terpaksa harus melakukannya. Sebaliknya, dalam hal yg bersifat pilihan, maka ia bebas sekehendaknya.

Menurut madzhab kami, yg harus diyakini oleh setiap orang dan seseorang tidak sempurna imannya jika ia tidak meyakini keyakinan seperti itu, yaitu keyakinan yg menyatakan bahwa segala sesuatu akan terwujud jika dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Tetapi jika tidak dikehendaki oleh-Nya, maka ia tidak akan terwujud.

Meskipun demikian, kami wajib mencintai seseorang yg taat, memujinya dan menganjurkannya untuk tetap taat dan menjauhi semua larangan-Nya. Sebaliknya, kami wajib membenci dan melarang orang dari berbuat maksiat, serta kami wajib mengajaknya untuk berbuat baik.

Dan kami menilai sebagai dosa terbesar bagi jawaban seseorang yg ketika ia ditanya: “Mengapa engkau berbuat dosa?” Maka ia berkata: “Aku berbuat maksiat karena takdir dari Allah Ta’ala.”

Rela dengan ketetapan Allah Ta’ala, menurut madzhab kami adalah wajib dan pantas. Setiap orang harus rela menerima ketetapan Allah Ta’ala yg baik maupun yg buruk, karena semua ketetapan Allah Ta’ala mempunyai nilai utama dan adil.

Seseorang yg rela menerima segala ketetapan Allah Ta’ala, maka hatinya menjadi tenang ketika menerima ketetapan yg buruk dan segala kesulitan. Seseorang yg rela melihat berbagai perbuatan maksiat, menurut madzhab kami, termasuk perbuatan dosa.

Masalah 93

162 Masalah Sufistik (Masalah 93):

Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Ghusyam az-Zaidi ra. bertanya: “Tentang orang² yg berperang melawan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya orang² yg pernah keluar untuk memerangi Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. di masa pemerintahannya ada tiga kelompok:

Kelompok pertama, kelompok pasukan unta, di antaranya terdapat Sahabat Zubair bin ‘Awwam ra., Sahabat Talhah ra., Sayyidah Aisyah ra., serta penduduk Basrah yg dulunya pernah memberi bai’at kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw., kemudian mereka keluar dengan alasan menuntut balas atas Sayyidina Utsman bin ‘Affan ra.

Tentang kelompok Basrah, Sayyidina Ali kw. tidak pernah memeranginya, tidak pernah menyuruh orang untuk memeranginya dan ia pun tidak merestuinya. Akan tetapi ia mau menerima bai‘at dari mereka yg ikut membunuh Sayyidina Utsman bin ‘Affan ra. dan ia tidak menyerahkan mereka kepada orang² yg menuntut darah Sayyidina Utsman bin ‘Affan ra.

Hal itu adalah demi untuk kepentingan agama dan kesatuan umat Islam pada waktu itu. Namun sayangnya, mereka yg keluar menuntut balas Sayyidina Utsman bin ‘Affan ra. tidak memahami keadaan itu.

Kelompok kedua, adalah kelompok Shiffin, di antaranya adalah sahabat Mu’awiyah ra., Amru bin ‘Ash ra., dan penduduk Syam, mereka tidak mau berbai’at kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dan mereka keluar menuntut balas atas wafatnya Sayyidina Utsman bin ‘Affan ra.

Kelompok ketiga, adalah penduduk Nahrawan, mereka adalah kaum Khawarij, mereka pernah berbai’at kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dan pernah berperang bersamanya. Akan tetapi kemudian mereka keluar untuk menentangnya, karena mereka menuntut hasil majelis tahkim pada hari dimana digelarnya Perang Shiffin.

Tentang mereka, Sayyidina Ali kw. tidak pernah memerangi seorang pun di antara mereka sebelum mengajak mereka kepada perdamaian dan mentaati kembali pemerintahan Islam yg sah.

Kami yakin bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui tentang niat mereka masing². Bagi kami, sebaiknya kita tidak membicarakan sedikitpun tentang mereka, karena masa mereka telah lewat.

Menurut ulama kami tentang Sahabat Zubair ra. dan kawan²nya, termasuk juga Sahabat Mu’awiyah ra. dan kawan²nya, mereka telah berpendapat sebaik mungkin, tetapi tindakan mereka keliru, karena itu mereka bisa dimaafkan. Pokoknya, ahli tauhid yg memerangi Sayyidina Ali kw. dan ia masih mau mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka ia termasuk seorang yg berbuat salah dan ia tidak boleh dikutuk atau dicaci maki.

Menurut kami, mereka bukan orang kafir yg boleh dikutuk, kecuali telah diketahui secara terang bahwa mereka mati dalam keadaan kafir. Siapapun yg mati dan ia bukan orang kafir, seperti iblis, maka ia tetap akan mendapat rahmat Allah Ta’ala, dan kita tidak boleh mengutuknya.

Adapun Sayyidina Hasan ra. dan Sayyidina Husein ra., keduanya adalah dua insan yg benar dan keduanya memenuhi syarat untuk dipilih sebagai khalifah bagi kaum muslimin. Adapun Sayyidina Hasan ra., ia telah dipilih oleh ahlil halli wal ‘aqli, yg pernah memilih Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. sebagai khalifah pada waktu sebelumnya. Sayyidina Hasan ra. dipilih sebagai khalifah setelah Sayyidina Ali kw. telah terbunuh.

Ketika Sahabat Mu’awiyah ra. datang dengan pasukannya untuk memeranginya dan ia pun datang dengan pasukannya dari penduduk Irak dan keduanya telah saling mendekat, maka Sayyidina Hasan ra. melihat mereka dengan pandangan penuh kasih sayang demi untuk membenarkan ucapan Kakeknya, yaitu Baginda Rasulullah Saw.:

“Kelak cucuku ini akan menjadi orang terkemuka. Aku berharap semoga Allah Ta’ala menjadikannya sebagat juru damai di antara dua kelompok Islam yg berperang.”

Ketika ia ingat sabda Baginda Nabi Saw. tersebut, maka ia rela melepaskan jabatannya sebagai khalifah dan ia segera membai’at Sahabat Mu’awiyah ra. sebagai khalifah, asalkan setelah Sayyidina Mu’awiyah ra. wafat, maka kursi kekhalifahan harus dikembalikan kepada kaum muslimin.

Tetapi Sayyidina Hasan ra. wafat sebelum Sahabat Mu’awiyah ra. Kemudian Sahabat Mu’awiyah ra. menurunkan kursi kekhalifahannya kepada Yazid, putranya, dan kaum muslimin membai’atnya secara sukarela maupun secara paksa.

Sedang Sayyidina Husein ra., tidak mau berbai’at kepada Yazid. Pada waktu itu, kebetulan penduduk Irak menulis surat kepada Sayyidina Husein ra. dan ia diminta datang ke Irak untuk dijadikan khalifah disana. Akhirnya Sayyidina Husein ra. pun berangkat menuju Irak.

Ketika mengetahui keberangkatan Sayyidina Husein ra. ke Irak, maka Yazid menulis surat kepada Ubaidillah bin Ziyad untuk memerangi Sayyidina Husein ra. dan rombongannya. Akhirnya Sayyidina Husein ra. dan beberapa keluarga Nabi Saw. lainnya terbunuh oleh tentara Ubaidillah di Medan Karbala sebagai syahid.

Menurut kami, siapapun yg membunuh Sayidina Husein ra. beserta keluarganya, termasuk juga yg menyuruhnya dan yg menolongnya, termasuk orang² fasik yg berbuat dosa, dan kelak Allah Ta’ala akan menghakimi mereka.

Menurut kami, Yazid tidak sama kedudukannya dengan Sayyidina Mu’awiyah ra. Sayyidina Mu’awiyah ra. adalah seorang Sahabat Nabi Saw., ia tidak pernah meninggalkan amal² fardhu dan ia tidak pernah melanggar larangan Allah Ta’ala sebagaimana yg telah dilakukan oleh Yazid.

Menurut kami, Yazid adalah seorang fasik yg tidak perlu diragukan kefasikannya, karena ia berani meninggalkan shalat. Membunuh orang² yg tidak bersalah, berbuat zina dan minum arak. Maka perhitungannya kami serahkan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.”

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?