- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Index

100 Langkah

Author

Sayyidi Syaikh Abdalqadir As-Sufi qs.

Reading Time

73 Minutes

Share

Facebook
WhatsApp

Index

01. Tasawuf

Sufisme adalah ilmu berjalan menuju Sang Raja.

Yang lebih disukai secara etimologi berasal dari kata suf, wol – bulu domba. Shaykh Hasan al-Basri* berkata, ’Aku menjumpai 40 orang Sahabat ahli Badar dan mereka semua mengenakan bulu domba.’ Ini berarti bahwa si sufi – tasawafa (orang yang bertasawuf) – telah mengenakan pakaian dari bulu domba. Ini tentunya berbeda dengan mereka yang membenarkan din Islam dengan lisannya dan belajar dari buku semata. Si sufi mengambil jalan asali, jalan setapak purba pengalaman langsung tentang Al- Haqq.

Imam Junayd** berkata: ‘Si sufi seperti bumi, sekalipun kotoran najis ditimpakan kepadanya bunga mawar tetap tumbuh darinya.’ Ia juga berkata: ‘Si sufi seumpama bumi yang menopang si benar dan si salah, laksana langit yang menaungi segala, seperti hujan yang membersihkan semua.’

Si sufi bersemesta. Ia telah mempreteli dan menghilangkan ciri-ciri keakuannya untuk memperoleh wawasan nyata hakikat semesta. Selanjutnya ia telah menggulung semesta dan meleburnya. Ia telah melampauinya. Si sufi telah menyebut ’Allah’ – hingga ia memahaminya. Semua pria dan wanita di dunia bermain bak kanak-kanak. Tugas si sufi adalah mengenali akhir di awalnya, menerima awal di akhirnya, hingga tiba pada wawasan tauhid. Ketika pertentangan lahiriah sudah serupa, dan saat itu hadir, hati tenang, kosong namun penuh, cahaya atas cahaya, dia yang berpakaian bulu domba telah dikenakan jubah kemuliaan dan telah rampung.

Imam Junayd juga berkata: ‘Seandainya aku tahu ada ilmu lain yang lebih tinggi dari tasawuf tentu aku akan pergi mencarinya, sekalipun harus dengan merangkak.’

Catatan :
*)Shaykh Imam Al-Hasan Al-Basri, wafat 110 H di Basrah adalah seorang Tabiin – generasi setelah Sahabat semoga Allah meridai mereka semua. Lahir di Madinah di masa kekhalifahan Amir Al-Mukminin, Umar ibn Khattab semoga Allah meridainya. Amir Al-Mukminin mendoakan agar beliau diberi kepahaman atas din dan disukai orang. Beliau adalah sahabat karib Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, semoga Allah meridainya. Selama puluhan tahun Imam Al-Hasan Al-Basri memakai pakaian dari wol.

**)Imam al-Junayd al-Baghdadi al-Shafi’i wafat 297 H di Baghdad dan dikenali sebagai ‘Imam Dunia di masanya.’ Walaupun beliau seorang alim fikih, beliau lebih terkenal sebagai Imamnya para Sufi. Beliaulah yang memformalkan ilmu kenabian perihal penyucian diri dan Ihsan bagi generasi-generasi berikutnya dan berbagai tarekat sahih merujuk sanad dan jalannya kepada beliau.

Sumber: 100 Langkah

02. Syariat

‘Tak ada jalan menuju hakikat, kecuali melalui syari’at,’
Shaykh al-Akbar*.”

Syari’at Islam adalah pengakuan bahwa tak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Melaksanakan shalat lima waktu sehari. Melaksanakan shaum di bulan Ramadan. Membayar zakat. Melaksanakan Haji, jika mampu, ke Rumah Allah dan padang ‘Arafah. Seluruhnya didasarkan pada kelimanya (Rukun Islam, Pen.) dan menegaskan bahwa seseorang yang mengikuti syari’at telah memilih untuk hidup dalam batasan-batasan luas yang telah diturunkan dalam perintah-perintah Allah Qur’an dan sesuai dengan bimbingan teladan Sunnah, cara hidup Muhammad, shalallahu ‘alaihi wassalam. Penerimaan atas syari’at adalah suatu bentuk kesadaran mendalam bahwa makhluk manusia terbatas, berada dalam satu jasad, sehingga layaknya semua jasad di alam fisik, tunduk pada hukum-hukum yang berlaku. Tak ada paksaan dalam transaksi kehidupan (din), sehingga tak mungkin disebut sebagai “agama yang diorganisasi” – tak mungkin – karena hal ini sebenarnya adalah pola hidup yang dipilih secara pribadi dijalankan untuk memperoleh kedalamaman ilmu hingga seseorang tiba pada asal-muasalnya sendiri, mata air kehidupan dirinya, untuk meminum air berbinar-binar. Syari’at menuntut pengakuan atas hukum-hukum biologis yang bekerja di setiap tingkat kehidupan.

Karenanya kita lihat bahwa kafirun – mereka yang menolak – sesungguhnya menjalani syari’atnya sendiri. Setiap individu menempuh suatu syari’at, walau seadanya namun berfungsi. Syari’at kita seluruhnya adalah rahmat, sedangkan syari’at mereka pada kenyataanya kejam, menindas dan sempit. Syari’at kita berasal dari Insan Kamil, kekasih jutaan manusia. Syari’at mereka adalah bayangan gelap dari khayalan-khayalannya sendiri.

Catatan:
*)Shaykh Al-Akbar, adalah gelar yang menurut riwayat diberikan oleh Shaykh Abu Madyan kepada Shaykh Muhyiddin ibn-Arabi. Lahir di Murcia, Spanyol dan wafat di Damaskus, Suriah pada 638 H. Beliau bersafar, menuntut ilmu dan mengajar di berbagai persada Islam pada masanya. Menulis ratusan kitab tasawuf, karyanya kerap disalahpahami, meski beliau telah mewanti-wanti  pembaca kitabnya bahwa para Sufi memiliki dan memakai istilah-istilah yang diberikan arti berbeda dengan makna yang pada umumnya digunakan para ulama. Sedang dalam fikih, disebutkan bahwa beliau memiliki derajad mujtahid (ahli ijtihad) yang shahih.

Sumber: 100 Langkah

03. Thariqah

Jalannya terletak di antara dua kutub, syari’at dan hakikat. Ia dapat dikenali secara lahiriah, dan diakui secara batiniah. Sebagaimana syari’at dapat disebut sebagai Islam, maka tariqat dapat disebut sebagai Iman penerimaan.

Iman adalah penerimaan. Iman adalah penerimaan pada Allah, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Malaikat-malaikat-Nya, Hari Kiamat, Mizan, dan Takdir. Ia adalah suatu penghayatan batin atas tataran jagat raya, dari berbagai penjelmaan kenyataan-kenyataan dalam peristiwa, menjadi sebuah penyaksian di tataran jagat pribadi. Semuanya menjelaskan dan menerjemahkan makna-makna sifat ganda kehidupan dan rahasia kesatuannya.

Tariqat adalah berjalan keluar dari amannya kehidupan awam menuju kehidupan pencarian yang tidak lazim. Artinya meninggalkan proyek pribadi yaitu keluarga sebagai satu-satunya makna kehidupan. Allah Ta’ala telah memperingatkan bahwa itu adalah perangkap bagimu. Artinya meninggalkan proyek sosial berupa masyarakat dan janji-janji hadiahnya di masa depan dengan menjadi budaknya. Balasan masa depan bagi si pencari kini berada di Gaib dan setelah wafat, bukan di ujung hidup. Artinya meninggalkan proyek otobiografi ketenaran dan terpenuhinya segala keinginan, karena keakuan nafsu telah menjadi musuh bagi si pencari. Keakuan nafsu adalah musuh hingga berubah menjadi wujud sejati bercahaya berupa jiwa yang bersih, ruh.

Syari’at adalah ketundukan. Tariqat adalah melintas. Hakikat adalah kemenangan.

Sumber: 100 Langkah

04. Haqiqah (Hakikat)

Haqiqat, kebenaran-kenyataan, adalah pencerahan ilmu batiniah yang memenuhi hati sang Pencari.

Tariqat adalah arena maknawi, sebagaimana syari’at adalah arena indrawi. Syari’at adalah ilmu lahiriah, sedangkan tariqat adalah ilmu batiniah. Tidak ada cara untuk mencapai pemahamannya, kecuali dengan berserah diri atas fakta bahwa diri adalah insan manusia, insan fana, makhluk ciptaan dalam waktu.

Sesudah mematuhi syari’at, sang Pencari Jalan menyadari bahwa ia berasal dari ketiadaan dan menuju ketiadaan. Waktunya singkat, dan harus direbut. Diterabas! Di dunia yang sejatinya adalah pergelaran semata, seluruh penghuninya buta. Mereka tidak bisa menerima bahwa imbalan dunia ini tidak bisa memuaskan penghuninya. Masa ini bukanlah waktu bagi arena penyaksian, itu terjadi di dunia selanjutnya, sesudah kematian.

Masa ini adalah arena amal. Untuk mencapai derajat manusia paripurna tidak mungkin dicapai tanpa keramat (karomah)*. Terjadinya keramat itulah Jalannya. Buahnya adalah penyaksian dan pencerahan. Namun, hal-hal ini hanya bisa dialami setelah kematian indrawi. Sehingga untuk menggapai penyaksian di arena maknawi berarti harus mengalami kematian, kematian maknawi sebelum kematian indrawi.

“Matilah engkau, sebelum engkau mati”, sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadis terkenal. Hal ini ditegaskan lagi dalam banyak hadis lain dari kumpulan Sahih, seperti perintah berikut; “Jadikan dirimu seperti penghuni kubur.” Ini bukanlah saran untuk mengorbankan kehidupan, hanya saja untuk menggapai ilmu tertinggi harus ada praktiknya dan begitulah perintahnya.

Jika engkau menginginkan haqiqat, berdamailah dengan dirimu sendiri, hidupmu tidak akan sama lagi seperti dulu. Manusia sedang tidur. Ketika ia mati, ia terjaga! Haqiqat adalah terjaga. Ihsan.

Catatan
*)ke·ra·mat a 1 suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kpd Tuhan (tt orang yg bertakwa); 2 suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain (tt barang atau tempat suci);
me·nge·ra·mat·kan v menganggap keramat;

Kata karomah tidak dikenal dalam kamus bahasa Indonesia. Dalam KBBI hanya ada kata “keramat” –diadaptasi dari kata karomah (Arab).
Pengertian karomah secara bahasa berasal dari kata karoma – karim (mulia). Karomah adalah kemuliaan atau penghormatan, yakni kemuliaan/penghormatan dari Allah Swt.
Secara istilah, karomah adalah hal atau kejadian yang luar biasa di luar nalar (logika) dan kemampuan manusia awam yang terjadi pada diri seseorang (wali Allah).

Karomah dimiliki oleh sebagian orang yang menjalankan kebaikan, sunnah, dan memiliki keistiqomahan yang sempurna. Allah Swt memberikan kemuliaan dengan karomah ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Sumber: 100 Langkah

05. Adab

Adab adalah tata krama spiritual, kesantunan tulus. Adab menyiratkan keikhlasan dan itu menyiratkan kerendahan-hati. Sebab jika seseorang menyadari kesantunan-kesantunannya sendiri maka ia dimotivasi nafs keakuannya maka ekspresinya tidak lagi spontan.

Adab di dunia ini hampir tak mungkin. Tata krama yang sesuai diterapkan di dunia. Adab diberlakukan di kalangan para Sufi. Begitu berada di kalangan ahli Sufi yang terpelihara maka seseorang telah masuk sebuah arena amanah. Maka kini engkau dituntut beradab. Engkau menyudutkan keakuan saat berada di dalam zawiya, di dalam lingkaran majelis, di antara para Rijal Allah, di hadapan Shaykh. Inilah arena adab.

Tariqat itu seluruhnya adalah adab.
Ada adab kepada orang asing dan tamu. Ada adab kepada para fakir. Ada adab kepada mereka yang mulia dan khusus. Ada adab kepada Shaykh. Sempurnanya adab adalah dengan adab kepada dirimu sendiri.

Yang pertama dicapai melalui kedermawanan dan hadiah saat datang dan pergi. Yang selanjutnya dicapai melalui pengutamaan. Engkau harus mengutamakan saudaramu dibanding dirimu sendiri dalam apa yang kau miliki atau peroleh. Yang selanjutnya dicapai melalui pelayanan, menanti, bersabar, dan mendengarkan. Yang selanjutnya yaitu dengan menginginkan apa yang diinginkan Shaykh-mu, seakan engkau-lah yang menginginkannya. Yang terakhir, di tahap awalnya yaitu menghindari tindakan seperti memukul paha, mengepalkan tinju, dan menghindari kata-teriakan kasar. Di pertengahannya menghindari terlalu gembira atau sedih. Di akhirnya melupakan semuanya karena suka cita di hadirat Al-Haqq.

Sumber: 100 Langkah

06. Istiqamah

Istiqamah berarti teguh lurus. Penjelasannya yaitu melaksanakan sunnah Rasulullah, perkataannya, perilakunya, dan hal-ahwalnya sesuai ilmumu tentangnya dan kemampuanmu untuk mengikutinya. Ingatlah bahwa tidak seorangpun mampu mencapai derajat ma’rifat dan kecemerlangannya, sedangkan wajib bagi kita mengikuti debu-debu jejak langkahnya.

Istiqamah adalah menyerap sifat seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban. Jika mereka berwudhu dan shalat, ketika shaum dan bersedekah, ketika berkumpul diantara para ulama, ketika mengunjungi Baitullah, dan pusara Rasulullah serta duduk di Rawdah, mereka menyerap nuansa khalayak pelaku semua itu. Dengan melaksanakan berbagai perilaku itu bahkan tulang belulang pun menjadi bercahaya. Karena hal-ahwal tersebut, yang dirasakan saat berada dalam kumpulan itu, hati pun menjadi bercahaya.
Secara lahiriah, kumpulan itu bisa saja tampak sempit sedangkan ahli dunia ini lahirnya tampak lapang namun lihatlah betapa sempitnya kondisi batin mereka, dan betapa lapangnya kondisi batin mereka yang istiqamah.

Istiqamah menjadikan kondisi lahiriah seseorang seolah-oleh gelap, akan tetapi kondisi batiniahnya terang benderang, sebaliknya para ahli ilusi, kebebasan lahiriahnya seolah terang tetapi kondisi batiniahnya gelap.

Buah istiqamah adalah ketenangan, sedangkan buah perilaku tanpa batas adalah kengerian. Yang satu kewarasan, yang lain kegilaan.

Sumber: 100 Langkah

07. Suluk

Suluk adalah ilmu tentang semua unsur-unsur batiniah perjalanan. Si salik ialah dia yang teguh kukuh di atas hikmah yang dibutuhkan baginya, untuk dapat mencegah dirinya dari kegilaan ketika telah tiba saatnya hati bergerak dan cinta terbangkitkan padanya dan jati diri sang makhluk dikuasai oleh angin hasrat dan badai kerinduan. Ketika dunia dan seisinya menjadi siksa dan cobaan bagi si pencari maka suluklah yang memelihara si penempuh dalam hikmah, sehingga pada saat dirinya tercebur, maka dia dapat terhindar melalui pengendalian yang dibutuhkan dan tindakan berani bisa muncul pada saat dia tertarik dari godaan-godaan.

Suluk merupakan sarana yang memungkinkan untuk memperoleh manfaat-manfaat jadhb (keterpikatan) tanpa perlu menjadi majdub, -gila dalam Allah-, sehingga keterpikatan (yang benar, Peny.) dapat berlangsung -karena itu penting- dan keterpikatan yang tak bermanfaat dapat dihindari.
Hal ini dapat dikatakan bahwa seseorang bisa memperoleh pengalamannya tanpa harus terjebak dalam maqamnya.
Jalan kita adalah menjadi salik/majdub. Lahiriahnya waras dan batiniahnya gila dalam Allah. Lahirnya sadar, batinnya mabuk.

Suluk, lahiriahnya mengganti perkataan buruk dengan perkataan baik, perilaku buruk dengan perilaku baik, niat buruk dengan niat baik, sehingga seseorang hidup dengan niat, perkataan, dan perilaku yang benar. Tanda yang terlihat dari si salik ialah bahwa orang lain terlindungi dari perbuatan tangan dan perkataan lidahnya. Adapun buktinya, si salik terpelihara dari perbuatan tangan dan perkataan lidahnya sendiri.

Suluk membantu seseorang mendapatkan manfaat dari maqamnya melalui penyerapan ajarannya, lalu bertolak dari maqamnya dengan harapan memperoleh berbagai hadiah tambahan dari Rabb Yang Maha Pemurah. Batasnya, yaitu kembali pada ikrar bagi si pencari dan menghindari diri dari klaim, kecuali di lidah Al-Haqq.

Sumber: 100 Langkah

08. Yakin

Yakin, sungguh-sungguh percaya, memiliki tiga tahapan:
Ilm al-yaqin keyakinan karena ilmu.
Ayn al-yaqin keyakinan karena penyaksian.
Haqq al-yaqin keyakinan karena kebenaran.

Hal ini dapat dipandang sebagai pendalaman atas tiga unsur dasar, yaitu syari’at, tariqat, dan haqiqat.
Kini, kita telah melangkah dari tatanan konsep menuju derajat berikutnya, yakni pengalaman. Selanjutnya, kita sudah siap untuk melihat bahwa Islam, Iman, dan Ihsan bukan sebagai dalil-dalil semata, melainkan sebagai tahapan-tahapan dalam pengalaman hidup yang sebenarnya.

Tahapan pertama dari yakin adalah kemampuan untuk memercayai wahyu dan sang Pembawa Wahyu. Inilah landasan kemanusian seseorang dalam kemampuannya untuk mengenali dan memercayai rasul sejati. Kepercayaan atas kebenarannya manusia lain adalah cerminan kepercayaan atas diri sendiri. Kondisi ini yang akan kemudian membimbing seseorang kepada pengakuan batin atas keaslian bagaimana keadaan diri dan sejatinya, dirinya-sendiri.

Tahapan kedua dari yakin merupakan tahapan penting bagi perjalanan selanjutnya. Anda harus memastikan keberadaan batiniah Anda sendiri. Inilah masa ujian dan arena keberangkatan. Karena manusia itu lemah dan tahapan kedua ini sulit. Bagi seseorang yang memiliki keberanian, mereka akan sampai pada pengesahan batin langsung tentang haqiqat semesta alam raya dan sekaligus permata jati-diri kekal abadi yang sejatinya adalah Cahaya, dan bukan lagi sebuah bayangan yang tinggal dalam objek membusuk, yaitu jasad ini.

Adapun tahapan yang terakhir, kita tiba di Haqq al-yaqin. Apakah itu? Al Qur’an menyatakan hal tersebut sebagai kematian itu sendiri. Matilah dalam kematian maknawiyah maka Anda akan tiba pada keyakinan dalam kehidupan.

Raja Mahmudabad menjelaskannya sebagai berikut:
Anda dikabari ada kebakaran hutan.
Anda tiba di kebakaran hutan, dan menyaksikannya.
Anda-lah kebakaran hutan itu sendiri.

Sumber: 100 Langkah

09. Faqir

Pada lembar awal sebelum menjelaskan daftar isi buku The Hundred Steps, Sayyidina Shaykh Abdalqadir as-Sufi dalam huruf kapital menulis BUKU INI DITUJUKAN BAGI FUQARA dan mengutip sya’ir pertama Diwan Shaykh Abu Madyan al-Ghawth, semoga Allah meridhainya, tentang para faqir.

Hal ini dapat disimak di :
https://100langkah.com/blog/2020/09/11/mukadimah-kitab-the-hundred-steps/

Karena itu, kami yakin bahwa makna Fuqara (bentuk jamak dari Faqir) harus sungguh-sungguh dipahami dan menjadi landasan serta bekal yang amat penting bagi umumnya pembaca buku beliau ini dan khususnya bagi mereka yang berjalan kepada Rabb-nya. Bismillah.


LANGKAH KESEMBILAN – FAQIR

Wali dari Bahlil*) berkata: “Para faqir adalah sekumpulan duri”. Shaykh Abu Madyan berkata: “Kenikmatan hidup hanya jika berkumpul dengan para faqir merekalah para sultan, para tuan dan para pangeran”.

Sang faqir ialah dia yang telah berpaling dari kesia-siaan pencarian dunia ini dan telah melangkah pada pencarian atas al-Haqq, yaitu rahasia atas keberadaan dirinya sendiri. Syarat pertama bagi pencarian ini adalah dia harus berkumpul dengan khalayak yang juga ingin memperoleh ilmu ini. Untuk masuk ke kalangannya berarti harus disibukkan dengan berbagai kesulitan mereka dan ikut merasakan keriangan mereka. Awalnya sang faqir melihat kesalahan-kesalahan para faqir lainnya. Ketika ia menyadari bahwa mereka menyerupai sebuah cermin baginya, sebagaimana makna dalam sebuah hadist masyhur, maka ia berhenti bergumul dengan mereka lalu cinta mulai bersemi di hatinya kepada para pecinta Allah. Dengan cara inilah ia mendekati sang Shaykh.

Sangfaqir itu miskin kepada Allah, dan cukuplah Allah baginya dalam kemiskinannya.
Sang faqir telah memilih berperang atas ke-akuannya. Sehingga ia harus melangkah menuju bagian tersulit dalam perjalanannya. Bahkan keberhasilan di sini membahayakan, karena kepuasan memperolehi perilaku baik adalah sebuah kekeliruan. Tak bisa dihindari. Ia harus membongkar kaidah-kaidah ruhani, seperti apa yang telah dilakukannya pada yang lahiriahnya.

Perilaku-perilaku salah hilang sudah. Mereka harus digantikan perilaku-perilaku saleh. Demikian pula dengan niat-niatnya. Si faqir tetap harus berjaga dari mengira bahwa tujuannya adalah etika. Jangan lepaskan tatapan dari tujuannya yaitu penyaksian langsung Rabb Yang Maha Hidup.


Catatan :

*) Nama lengkap Wali dari Bahlil adalah Muhammad ibn Ali rahimahullah. Beliau salah seorang murid dan fuqara Sayyidina Shaykh Muhammad ibn al-Habib rahimahullah.

Beliau juga termasuk salah seorang murid yang mengkonfirmasi Shaykh Abdalqadir as-Sufi sebagai seorang Shaykh dan penerus Sayyidina Shaykh Muhammad ibn al-Habib rahimahullah. Alhamdulillah wa shukrulillah.

Sekitar tahun 1980-an rombongan murid dan fuqara Sayyidina Shaykh Abdalqadir as-Sufi, semoga kita memperoleh keuntungan darinya, sowan kepada Sidi Muhammad ibn Ali. Pada akhir pertemuan tersebut beliau mendoakan para murid dan fuqara yang hadir dengan menyebut nama negeri asal mereka: Inggris, Spanyol, Jerman, Malaysia, dan lain-lain.
Lalu yang mengejutkan para fuqara itu, beliau juga menyebut Indonesia! Padahal pada saat itu belum ada satu pun fuqara dan murid asal Indonesia. Fuqara dan murid dari Indonesia baru ada dan hadir di tahun 1999. Demikianlah, betapa waskitanya para wali Allah.

Sumber: 100 Langkah

10. Taubat

Taubat, berpaling dari perilaku salah merupakan awal dari proses perubahan diri. Pertengahannya yaitu berpaling dari akhlak buruk ke pada akhlak mulia. Akhirnya yaitu berpaling dari makhluk untuk sibuk menyerap penyaksian al-Haqq.
Tindakan taubat diteguhkan dalam sunnah dengan mengulangi sebanyak seratus kali permohonan:
“Astaghfirullah!”
Sufyan ath-Thawri berkata: Taubat hakiki memiliki empat tanda: qilla, illa, dhilla, dan ghurba. Masing-masing berarti: berkurangnya (ke-akuan), kelemahan, kerendah-hatian, dan pengasingan (dari kesalahan).

Taubat adalah isyarat kepada sang faqir dari dirinya sendiri bahwa ia telah memulai pertempuran. Selama sang faqir masih terus-menerus mencari kesalahan pada diri orang lain dan gagal menemukan kesalahan pada dirinya sendiri berarti perjalanan belumlah dimulai. Pertemuan pertama dengan perilaku-perilaku buruknya sendiri saat taubat adalah sebuah kemenangan besar. Dalam satu langkah saat tersulit dalam perjalanan telah dilewati.

Mereka yang awam bertaubat atas kesalahan-kesalahan; mereka yang khusus bertaubat karena amal baik dan puji-pujian karenanya; mereka yang khusus di antara yang khusus bertaubat atas kelupaan mereka pada Allah di tiap-tiap saat.

Bukti-bukti dari sahihnya Tariqat ini ada pada konfirmasi pengesahan diterimanya pahala taubat, yang kian menegaskan kasih sayang Rabb Yang Maha Penyayang bagi si pencari yang sedang meniti perjalanan maupun bagi mereka yang telah tiba.

Sumber: 100 Langkah

11. Wara’

Wara’ adalah kehati-hatian. Tahapan terendahnya, yaitu menghindari yang haram dan yang meragukan. Di pertengahannya, yaitu berpaling dari yang meragukan untuk memilih segala yang pasti mendatangkan manfaat. Artinya, menghindari segala sesuatu yang mungkin menggelapkan hati. Adapun tahapan tertingginya, yaitu menghindari segala hasrat, kecuali hasrat kepada Allah.

Hasan al-Basri radhiallahu’anhu suatu hari ditanya, apakah pokok dari Din (transaksi kehidupan) ini? Ia menjawab, wara’.

Jika anda penuh kehati-hatian memeriksa diri anda sendiri dan lapang atas penilaian pada orang lain, itu lebih baik bagi anda daripada anda begitu berhati-hati dalam menilai orang lain dan berlapang-lapang menilai perilaku anda sendiri.

Sang faqir harus berjaga dari mentafakuri kehati-hatiannya sendiri, atau berbangga atasnya, atau menikmatinya, karena itu bisa saja berubah jadi cobaan baginya. Ingatlah, bahwa ada orang-orang yang melaksanakan segala amal saleh dan berhati-hati atas segala sesuatu, namun hatinya tetap saja mengeras. Pelaksanaan wara,’ yaitu dengan membebaskan diri dalam pencarian mendesak atas pencerahan dan ilmu. Itulah biaya yang harus dibayar dan pajak yang harus ditanggung dengan gembira seraya menyadari bahwa tidak ada apapun padanya, selain manfaat bagi diri anda dan orang lain. Maka, tidak ada apapun dalam hal ini yang dapat digunakan untuk membenarkan berpuas diri, karena semuanya demi kebaikan diri anda.

Jika anda berhenti di wara’, khalayak terpelihara, namun diri anda sendiri tidak terpelihara. Jika anda menjadikannya sebagai jalan, anda aman dan orang lain pun terdidik.

Sumber: 100 Langkah

12. Zuhud

Zuhud berarti berlaku cukup. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Hakim, dan Bayhaqi menyatakan, “Berlaku cukuplah dengan dunia, maka Allah akan mencintaimu. Berlaku cukuplah atas apa yang ada di tangan orang-orang, maka orang-orang akan mencintaimu.”

Zuhudnya para sufi yaitu zuhud dengan cara mengosongkan hati mereka dari hasrat-hasrat atas dunia ini. Alat bantunya yaitu mengosongkan tangan mereka dengan sedekah dan hadiah-hadiah mulia. Istilah asket (pelaku asketisme*) tidak berhubungan dengan zuhud sebagaimana yang dimaksud dalam Islam. Zuhud adalah meninggalkan sesuatu hanya ketika anda sadari bahwa keinginan anda adalah sebuah keinginan ilusif. Zuhud itu bukanlah dengan berpakaian compang-camping dan terlalu banyak shaum. Perilaku zuhud yang sebenarnya yaitu jika anda merawat pakaian anda dan menambalnya, atau makan lebih sedikit dan tidak makan sekenyangnya.

Zuhud itu sama sekali bukan suatu pengekangan atas selera-selera. Zuhud yaitu meninggalkan selera berlebihan ketika nafsu telah terbina hingga tidak lagi membutuhkannya.

Menjadi zahid** atas benda-benda mudah. Menjadi zahid atas perkataan, atau perhatian orang lain, dan ketenaran lebih sulit. Zuhud pada pujian. Zuhud pada reputasi. Zuhud dari merasa benar. Zuhud jadi perhatian. Seringkali lebih mudah bagi seorang raja untuk menjadi zahid daripada seorang miskin yang berusaha zuhud. Berhati-hatilah!

Zahid sejati yaitu berzuhud terhadap kerlingan yang hanya melihat ciptaan dan bukan Sang Raja.

Zuhud itu mudah. Lawannya zuhud itu yang sulit. Ingatlah bahwa perjalanan ini menuju tempat dimana segala yang berlawanan menjadi sama saja bagi dirinya. Wahai pengembara, jangan menetap di cara-caranya. Apakah kalian mau terus hidup di dalam istal-istal***?


Catatan:
*) asketisme adalah gaya hidup yang bercirikan perilaku berpantang pada kenikmatan jasmani demi mewujudkan maksud-maksud rohani. Para asket (pengamal asketisme) menyepi dari keramaian dunia agar dapat bertapa, atau dapat pula hidup di tengah-tengah masyarakat, dengan mengadopsi suatu gaya hidup yang sangat bersahaja. Perilaku ini bercirikan penolakan terhadap harta benda dan kenikmatan-kenikmatan jasmani, serta melewatkan waktu dengan berpuasa sambil tekun beribadah atau sambil merenungkan perkara-perkara maknawi (Peny.)

**) Zahid adalah sebutan bagi seseorang yang mengamalkan zuhud.

***) Istal, is·tal n kandang kuda.

Sumber: 100 Langkah

13. Tawakal

Tawakal artinya bergantung. Sangat dianjurkan zikirnya untuk menggapai kaifiat*) ini bagi faqir yang ingin bersegera melintasi Jalan ini.
Hasbunallahu wa ni’mal wakil. Allah cukup bagi kami dan Dia-lah Penjaga Terbaik.
Ibn ‘Ajiba**) berkata, tawakal memiliki tiga derajat, yaitu:

  1. Seperti seorang sewaan dengan si penyewanya; begitulah sikap seseorang dengan si penyewa, serupa pula hubungannya dengan Allah, yaitu waspada dan risau atas berbagai kepentingannya.
  2. Seperti anak kepada ibunya; yaitu senantiasa berharap pada ibunya dalam segala perkara.
  3. Seperti jasad mayat ditangan pemandinya.

Yang pertama mengandung kebutuhan, yang kedua adalah ketergantungan, sedangkan yang ketiga, bebas dari kebutuhan dan ketergantungan. Yang terakhir ialah maqam mereka yang nafsunya telah tersapu habis, mereka hanya menantikan apa yang akan dilakukan Allah padanya. Merekalah manusia merdeka.

Tawakal memberikan kekuatan kepada sang faqir sebagaimana zuhud melemahkan nafsu dari berbagai daya untuk berbuat keburukan. Tawakal merupakan sara***), pendorong, dan kasih sayang berlimpah dari Allah bagi hamba-Nya di bagian sulit dalam perjalanannya.
Inilah zikir di saat sang faqir merasa tak mampu lagi berjalan. Inilah zikir di saat krisis, ketika sang faqir merasa ingin menyerah. Inilah zikir keyakinan pada saat sang faqir terhuyung-huyung. Jelas ia telah melakukan suatu kekeliruan karena mengira ia mampu mencapai al-Haqq.

Jika anda melangkah maka anda akan tiba. Cukuplah Allah bagi anda. Di awalnya. Di pertengahannya. Di akhirnya.
Serukan dalam kalbu guna memperoleh kekuatan. Keraskan ucapannya untuk maju terus. Teriakkan, hantamkan kedua tangan ke meja, untuk menghancurkan berbagai keraguan dan bisikan, sekaligus menaklukkan nafsu tak terkendali. Ucapkan 73 kali.


Catatan :
*) kai·fi·at Ar n 1 keadaan menurut sifatnya; sifat (tabiat) yang asli; 2 cara yang khusus (baik).

**) Shaykh Ibn ‘Ajiba ialah Shaykh Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ajiba al-Hasani. Lahir di Tetuan, Maroko pada 1747. Wafat karena wabah yang terjadi pada 1809.
Beliau adalah muqadim Shaykh Darqawi di bagian utara daerah Jbala.
Beliau menulis syarah berjudul Al Futuhat Al Ilahiyya fi Sharh Al Mabaahith al-Asliya atas karya Ibn al-Banna al-Saragossa.
Ketika menyerahkan naskah kitab syarah itu kepada Shaykh Abdalqadir as-Sufi, Shaykh Muhammad ibn al-Habib rahimahullah berkata, “Inilah satu-satunya buku yang engkau perlukan atas sepenuhnya ilmu tasawwuf. Seluruhnya dapat dibaca sebagai sebuah syarah atas Diwan-ku.”

***) sa·ra n 1 sesuatu yang dipakai untuk memelihara atau menyelamatkan hidup (seperti bekal, ransum, uang sokongan): — hidup; 2 uang sara;

Sumber: 100 Langkah

14. Sabar

Sabar adalah obat pahit yang manis buahnya. Imam kita (Imam al-Junayd radhiallahu’anhu) berkata bahwa sabar adalah bersabar dengan kesabaran.
Kesabaran pertama yang harus dipelajari, yaitu bersabar terhadap orang-orang lain. Ini yang tersulit, dan jika bisa digapai, maka diperoleh keuntungan yang besar dan kemenangan. Terkandung padanya benih-benih pemaafan bagi orang-orang lain, yang maknanya adalah sifat mulia kasih sayang terhadap kelemahan insani.

Kesabaran kedua, yaitu bersabar terhadap diri sendiri. Jika seseorang berlaku kasar kepada dirinya sendiri maka dirinya akan lumpuh. Diri itu tidak suka dikasari, apalagi diubah. Seorang faqir lugu akan segera mengubah perilaku buruknya pada kesempatan pertama. Adapun faqir cendekia yang biasa berdebat dan merasionalkan segala sesuatu, dapat mengulangi amal buruknya berkali-kali sebelum menyudahinya.

Sang faqir harus gigih, untuk lagi dan lagi menghadapi nafsunya. Jika ia bersabar, akan terbuka jalan untuk menyiasati nafsunya itu. Seseorang yang mampu melakukan hal itu telah menemukan satu jalan pintas dan sebuah kemenangan yang pasti.

Kesabaran ketiga, yaitu kesabaran terhadap Takdir Allah dan inilah yang dimaksud oleh Imam al-Junayd di atas. Ini merupakan pergumulan dengan intisari tauhid. Tidak lagi sekadar terkait atas kesengsaraan dan kesakitan, karena yang demikian bisa terbukti sesuatu yang biasa dan mudah. Yang sulit dan amat penting adalah bersabar dalam lingkup kejadian. Allah menghendaki sesuatu. Anda menghendaki sesuatu. Yang Anda kehendaki bukanlah kehendak Allah, tetapi sadarilah, bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Sabar yang sempurna adalah menghendaki apa yang dikehendaki Allah setiap saat.

Sumber: 100 Langkah

15. Shukur/Syukur

Shukur, berterimakasih, ialah sebentuk ilmu dan suatu pendorong. Ia menyadarkan anda akan sumber hidup anda dan mengingatkan anda bahwa Dia-lah Sang Pengabul doa-doa.

Tingkat pertamanya ialah berterimakasih dengan lidah, yaitu dhikir. Tingkat keduanya ialah berterimakasih dengan seluruh tubuh, yaitu beribadah kepada Allah, baik dalam amal yang telah diwajibkan maupun dengan membantu makhluk-makhluk-Nya. Tingkat ketiga ialah berterimakasih dengan kalbu, yaitu berterimakasih di Hadirat Rabbi, dengan disertai pengenalan di ruang perjumpaan.

Shukur merupakan suatu kewajiban bagi hamba. Menurut kami tidak sepantasnya diutarakan, kecuali jika didahului dengan hamd. Karena hamd, pujian, ialah mutlak milik Allah, bagi-Nya semata, dan si hamba tak punya andil apapun padanya. Sehingga sudah selayaknya mempersembahkan pada Allah apa yang padanya tidak ada andil si hamba secuil pun, sebelum mempersembahkan apa yang seluruhnya berasal dari si hamba.

Jika doa telah diucapkan sebelumnya, maka shukur mengikuti pengabulan-Nya. Jika sebelumnya tidak ada doa, maka Dia telah memberi si hamba, bahkan sebelum diminta.
Karena itu, dhikir shukur setiap saat dimulai dengan hamd. Ulangi 100 kali.
Al-hamdu lillahi wa-sh-shukrulillah.

Sumber: 100 Langkah

16. Taqwa

“Tiada daya, tiada kekuatan kecuali dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar.”

Shaykh Ibn ‘Ajiba berkata bahwa tingkatan pertama dari taqwa (memelihara diri) ialah menghindari amal-amal buruk. Tingkatan keduanya ialah membersihkan kesalahan-kesalahan, dan tingkatan ketiganya ialah berpaling dari segala sesuatu selain Allah agar bisa tiba di Hadirat Yang Maha Mengetahui Kegaiban.
Dapat dikatakan bahwa, awal taqwa ialah mengikuti batas-batas kewajiban syari’at, sedangkan bagian tengahnya ialah penerimaan menyeluruh atas diri, sebagaimana yang telah dijatahkan oleh Allah, sehingga pengembangan dan penyempurnaan diri ialah batas keterlibatannya di dunia ini. Sedangkan akhir taqwa dapat dilihat sebagai tibanya di inti, atau pusat jati diri. Karenanya akhir taqwa tidak lain ialah khalwa, undur diri, perenungan batin mendalam, dan kegembiraan penyaksian Nur Sifat dan Asma-Nya.

Taqwa tidak menjadikan seseorang penyendiri atau enggan bergiat di dunia, bahkan sebaliknyalah yang benar. Anak panahnya tepat kena sasaran. Manusia bertaqwa didengar ketika bicara, ditiru ketika bertindak, dan menerangi orang lain ketika muncul. Manusia taqwa tidak takut pada makhluk, sehingga dunia jadi miliknya dan unsur-unsur dunia menjadi pembantu-pembantu setianya. Seluruh ketakutannya dipersembahkan kepada Allah, Yang Maha Besar Yang Menyaksikan seluruh urusannya dan Penggerak semua tindakannya.

Dhikirnya khusus dianjurkan jika sedang bepergian. Dhikir ini sangat sesuai bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan dan gerakan bersama yang melibatkan khalayak ramai, seperti perang.

“La hawla wala quwwata ila billahil aliyyul adhim.”

Sumber: 100 Langkah

17. Ikhlas

Ikhlas yaitu kemurnian yang suci bersih. Mukhlisin ialah mereka yang selalu menyaksikan perjumpaan dengan Rabb-nya. Maknanya terkandung dalam Surat al-Ikhlas. ‘Katakanlah: Dia-lah Allah, Dia-lah Yang Ahad. Allah, Dia-lah Ash-Shomad (Yang Kepada-Nya bergantung segala sesuatu). Dia tidak beranak dan Dia tidak diperanakan. Dan tidak ada sesuatupun setara dengan Dia.’

Inilah penjelasan tentang Allah dalam pernyataan Yang Maha Benar dan tidak ada sesuatu pun hal si hamba padanya. Yang ada hanya Allah.
Di saat si faqir mampu melihat bahwa pada diri makhluk manusia terkandung dimensi ruhaniah yang sedemikian luhur – ketika ia menyadari bahwa dia bukanlah sekedar anak zamannya, bahkan sebenarnya ia adalah seorang rijal Waktu itu sendiri, ketika ia mengerti bahwa dengan karunia akal budinya terbentang ihwal yang tak terbatas maka ia menyadari bahwa rupa diri sejatinya seharusnya adalah seorang mukhlis.

Jalan cepat menuju keadaan ini adalah dengan terus menerus membaca Surat al-Ikhlas sambil mentafakuri maknanya secara mendalam.
Bacalah 3 kali, 111 kali, 1000 kali.

“Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Qul huwa’llahu ahad. Allahu samad. Lam yalid wa lam yulad. Wa lam yakun lahu kufu’an ahad.”

Sumber: 100 Langkah

18. Sidq/Shidiq/Sidiq

Mereka yang sidq berada diderajat tertinggi para ahli tauhid. Di bawah mereka ialah para muqarrabun*. Sang sidq itu benar. Sidq adalah kebenaran. Seseorang yang benar, telah menghalau seluruh kemunafikan dan kompromi. Ia benderang, jelas dan tidak bisa dirusak.

Ahli sidq menyebarkan keharuman bukan karena kebersihan atau minyak wangi, melainkan langsung berasal dari Hadirat Taman-Nya. Kenali seorang rijal seperti itu jika kalian berjumpa dengannya. Duduklah di hadiratnya. Ambil seluruh bimbingan dan nasehat yang diberikannya. Tundukkan matamu. Jangan berdebat. Jangan pertontonkan hasil belajarmu. Apa yang kau miliki tidak sebanding dengan apa yang telah dikaruniakan kepadanya. Sebuah hadiah.
Rasulullah sallallahu ‘alayhi wassalam, berkata tentang Abu Bakr, bahwa dialah yang paling utama di antara para Sahabatnya, ‘bukan karena amal yang dilakukannya, tetapi karena sesuatu yang telah Allah karuniakan ke dalam hatinya.’

Ciri-ciri lahiriahnya adalah keyakinan mustaid** pada Allah, pada para Rasul, pada Kitab-Kitab, pada Para Malaikat, pada Hari Akhir, pada Mizan dan pada Takdir. Ini menimbulkan keyakinan mustaid pada orang-orang lain. Selanjutnya melahirkan sahabat-sahabat yang kukuh, lalu membentuk masyarakat yang mulia.

Majelis sang sidq adalah tempat paling sesuai untuk bertafakur dan penyaksian. Dhikir untuk menguatkan kualitas tertinggi ini padamu adalah dhikir untuk berserah diri menerima Allah dan Kekuasaan-Nya Yang Maha Luas. Ia harus terus membasahi lidah (dengan dhikir ini, Peny.) kepada siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin menuju maqam ini.
Tabarakallah.


Catatan :

*) muqarrabun, berarti juga karib, yang didekatkan (Peny.)
**) mus·ta·id a siap-sedia; selesai: setelah semuanya — berangkatlah kafilah itu

Sumber: 100 Langkah

19. Murid

Mursyid kami, Shaykh al-Kamil, Sayyidi Muhammad ibn al-Habib berkata, ‘Murid berasal dari akar kata iradat (kehendak/kemauan) dan ia bergantung kepada Ikhlas’. Makna sebenarnya dari murid ialah dia yang telah melucuti kehendaknya sendiri dan menerima segala kehendak Allah baginya, yaitu beribadah kepada Allah Yang Maha Tinggi, karena Ia telah berfirman, “Dan tidak Ku-ciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku.”
Jika si murid lemah dalam mengendalikan dirinya karena batinnya dikuasai nafsu dan setan, ia menyerahkan dirinya di bawah pengaturan dan daya perlindungan Shaykhnya. Sang Shaykh akan membantu si murid untuk taat dan beribadah kepada Allah melalui himma** nya yang bekerja atas izin Allah, juga melalui perkataannya yang dijadikan berkesan atas karunia Allah. Karena itu seorang murid haruslah bergantung kepada kebaikan yang disampaikan oleh Shaykh zamannya kepadanya.

Sidi Abd al-Wahab Ibn Ashir***) berkata, ‘Si murid berkumpul bersama seorang Shaykh yang paham jalan-jalan akhlak, dan yang melindunginya dari berbagai bahaya di jalan-jalan itu. Si murid diingatkan kepada Allah jika melihat Shaykhnya, yang kemudian akan menuntun sang hamba kepada Rajanya.’

Ibn Atha’illah, semoga Allah ridha padanya, berkata dalam Hikam, ‘Jangan berkumpul dengan seseorang yang keadaannya tidak mengubahmu dan yang ucapannya tidak menuntunmu kepada Allah’. Peningkatan keadaan anda dan bimbingan pada perkataannya adalah hasil dari berkumpul itu. Jadi siapa saja yang tidak menemukan hal ini dari teman sekumpulannya segeralah tinggalkan dia kepada Allah dan carilah teman yang sesuai dengan paparan ini.

Murid akan memperoleh seorang Mursyid sesuai dengan keikhlasan dan keteguhan niatnya. Kepada Allah kita memohon pertolongan.


Catatan :

*) iradat /ira·dat/ n kehendak, kemauan (Tuhan): Tuhan telah mene-tapkan dengan — Nya

**) Himma berarti aspirasi yang kuat. Aspirasi yang kuat menurut KBBI:
aspirasi /as·pi·ra·si/ n harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang: Garis-Garis Besar Haluan Negara pada hakikatnya adalah — bangsa2 ilham yang timbul dalam mencipta;

***) Imam Abd al-Wahid ibn ‘Ali ibn ‘Ashir, Abu Muhammad, rahimahullah, ialah seorang Imam Besar, lautan ilmu, mujahid, keturunan Ansari, berasal dari Andalusia dan dibesarkan di Fes, tempat tinggalnya.

Memiliki berbagai ilmu: mulai dari qiraat (bacaan Al Qur’an), rasm wa dabt (menulis Al Qur’an), nahwu (tata bahasa), sarf (morfologi), i’rab (sintaksi), tafsir (tafsir Al Qur’an), hadist, kalam (ilmu tauhid), fiqh (fikih), tasawwuf, bayan (kefasihan), ‘arud (matra irama syair), tawqit (perhitungan waktu), mantiq (logika), hisab (aritmetika), usul al-fiqh (dasar-dasar fikih), fara’id (hukum waris), tibb (pengobatan), dan lain-lain.

Beliau berhaji ke Mekkah, turut serta dalam serangkaian jihad bersenjata, kerap beriktikaf di masjid dan melaksanakan salat tahajud.

Karya utamanya adalah al-Murshid al-Mu’in ‘ala ad-Daruri min ‘Ulum ad-Deen, kitab tentang akidah Ash’ari, fikih Malik, dan tasawuf al-Junayd.

Beliau wafat di Fes pada 1040 H.

Sumber: 100 Langkah

20. Ubudiyya/Ubudiyah

Ubudiyya berarti penghambaan. Ada tiga derajat menurut ahli Darqawa.

  1. Ibada. Berada di arena ketaatan sederhana, yaitu mengenali seluruh kewajiban hamba kepada Rabbnya dalam seluruh urusan ibadah.
  2. Ubudiyya. Inilah penghambaan. Di sini ketaatan berbinar oleh kenikmatan dalam ibadah kepada Sang Rabb. Dalam ketaatannya terkandung adab, tata krama spiritual yang mendalam. Ada kegembiraan dan peneguhan pada segala perilaku yang perlu. Muncul keinginan untuk melakukan lebih dari yang wajib dan kehendak besar untuk ibadah-ibadah tambahan seperti shalat malam, shaum sunat, sedekah, dan yang serupa.
  3. Ubuda. Inilah penghambaan sepenuhnya. Shaykh Ibn Ajiba menyatakannya sama seperti dengan kebebasan spontan itu sendiri.

Dengan sampainya kita pada tiga pengertian ini, maka kita makin mendalami tiga serangkai istilah dasar yang ternyata menjadi suatu wawasan YAKIN yang semakin kuat. Di sini apa yang diyakini namun tetap batini, mengejawantah menjadi sikap hidup si pencari.

Si faqir telah mengambil tanggungjawab sebagai seorang murid dan telah memahami bahwa seluruh urusan di Jalan ini bergantung kepada sekuat apa niatnya untuk tiba. Dan tanpa amal tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Amal-amal si pencari telah dijelaskan di atas.

Yang pertama digapai jika dia telah menjadikan apa yang wajib sebagai bagian kebiasaan hidupnya. Yang kedua jika wudhu (membersihkan diri sebelum shalat) telah terasa manis baginya. Yang ketiga jika apa yang paling dicintai di dunia ini ialah sejuknya mata saat melaksanakan shalat.

Sumber: 100 Langkah

21. Dhikir/Dzikir

Dhikir, mengingat Allah, ialah amalan utama para Sufi. Ada tiga derajatnya. Bagi kalangan awam adalah dhikir lidah. Bagi kalangan khusus adalah dhikir hati. Bagi para khususnya khusus adalah dhikir sir, dhikir rahasia. Yang pertama sudah masyhur. Yang kedua adalah dhikir yang disertai kesadaran, sehingga hati menjadi ajang tafakur di Hadirat Rabbi. Yang terakhir adalah peristiwa dahsyat. Padanya lidah kelu dan hati tenang.

Yang pertama adalah dhikir Huwa, kata ganti ketidakhadiran. Yang kedua adalah dhikir Anta, kata ganti kehadiran. Yang ketiga adalah dhikir Ana, kata ganti tauhid.

Pergerakan dari tahap pertama ke tahap kedua ditandai oleh terangsangnya tubuh, seperti berayun dengan teratur, cetusan tiba-tiba, bangkit berdiri, dan lain-lain. Pergerakan dari tahap kedua ke tahap yang terakhir ditandai oleh mati rasa-nya anggota tubuh, dan kelunya lidah sehingga dhikirnya hilang.

Mursyidku, Sang penuang anggur, Shaykh al-Fayturi berkata tentang hal ini, “Sungguh luar biasa! Engkau mencari-cari dhikir! Lihatlah, dhikirnya mencari dirimu!”

Dalam Hikam dikatakan, “Jangan meninggalkan dhikir karena engkau gagal merasakan Kehadiran Allah padanya. Lupanya dirimu untuk berdhikir pada-Nya lebih buruk daripada ke-alpaanmu saat berdhikir pada-Nya. Mungkin saja Dia meninggikanmu dari dhikir yang alpa kepada dhikir yang penuh perhatian, dan dari dhikir yang penuh perhatian kepada dhikir yang disertai Kehadiran, dan dari dhikir yang disertai Kehadiran kepada dhikir dimana segala sesuatu hilang, kecuali Yang Disebut. Semuanya mudah bagi Allah.”

Azasi bagi perjalanan menuju Allah ada tiga perkara.
DHIKIR adalah yang pertama.

Sumber: 100 Langkah

22. Fikir

Fikir. Tafakur. Shaykh Ibn Atha’illah telah berkata dalam kitab Hikam: “Fikir adalah perjalanan hati pada arena ciptaan. Fikir adalah pelita hati, jika ia hilang, hatipun kehilangan cahaya.”

Ada dua jenis fikir, pertama fikir tentang pengesahan dan iman, dan kedua, fikir tentang penyaksian dan penyingkapan. Yang pertama bagi para penyidik dan yang kedua bagi mereka yang telah tersingkap dan berpenglihatan batin.

“Banyak tanda-tanda di segenap penjuru dan pada dirimu sendiri” (Surat Fussilat ayat 53). Maka tafakur pertama adalah pengenalan atas Tauhid Allah pada ciptaan dan Amar-Nya yang harus diakui di semesta alam. Tafakur kedua haruslah selalu tentang pengenalan mendalam tentang jati diri manusia, kesatuan anggota-anggotanya, hierarki panca indra, kesadaran inti yang senantiasa hidup, dan ke-akuan yang tidak terjangkau. Tafakur ketiga terjadi pada khalwa, dalam tahapan muraqabah berjaga-jaga yang terdalam. Di sinilah terjadinya perubahan letak pusat penyaksian, ketika dihadapan kebenaran, ketidakmampuan kita menyaksikan-Nya luluh dalam kekuasaan penyaksian-Nya atas diri kita.

Dhikir adalah indrawi, fikir adalah maknawi. Dhikir adalah lahir, fikir adalah batin.
Azas perjalanan kepada Allah ada tiga perkara. FIKIR adalah yang kedua.

Sumber: 100 Langkah

23. Himma

Azas perjalanan kepada Allah ada tiga perkara. Himma adalah yang ketiga. Shaykh ibn al-Habib berkata dalam Diwan-nya yang terkenal: “Barang siapa memiliki dhikir, fikir, dan himma tiap saat selalu naik melampaui yang selainnya. Ia akan mencapai makrifat, melampaui apa yang diidamkannya, dan segera memahami rahasia-rahasia kehidupan.”

Ia juga berkata: “Hidupkan himma-mu dengan kemauan keras dan kerinduan, dan jangan puas dengan selain Yang Maha Kekal!” Ia berkata pula: “Dan, wahai para sahabatku, himma adalah harta yang harus dimiliki, kemudian jika kau mengidamkan tujuan seluruh ahli makrifat, maka kini kau boleh menapakinya!”

Himma, aspirasi, dijelaskan oleh Shaykh al-Akbar sebagai: “Ia diterapkan sebagai membebaskan hati melalui idamannya. Diterapkan sebagai awal keikhlasan si murid. Diterapkan bagi seluruh himma melalui penyucian kerinduan.”
Shaykh ibn al-Habib menyebutnya (himma) sebagai tunggangan, karena dengan himma-lah engkau menempuh jalan setapak ini.

Inilah apa yang pertama kali mendetakkan hati yang menggerakkan si pencari untuk mencari seorang pembimbing lalu mempelajari asas-asas keahlian ini. Kemudian, ketika ia telah mahir dalam perilaku ini, suatu letargi* mengendap dalam hati si pencari, karena ia telah keliru memandang caranya sebagai tujuannya. Himma-lah yang kembali membangkitkan si pencari, di pertengahan lintasan jalan setapak yang sulit itu. Di pertengahan jalan harus diingat bahwa apa yang sebelumnya adalah himma akan berubah sepenuhnya, karena akhirnya ia berubah menjadi hasrat untuk kembali ke ruang audiensi demi arak penyaksian dan salam Sang Kekasih.

Di awalnya adalah aspirasi untuk memperoleh keahliannya. Di tengahnya adalah aspirasi untuk tiba pada berbagai pengalaman langsung. Di akhirnya adalah aspirasi untuk dikaruniai lanjutan makrifat dalam menyaksikan dan mencerap penyingkapan Rabbi.


Catatan :

*) le·tar·gi /létargi/ n Dok keadaan lemah badan dan tidak ada dorongan untuk melakukan kegiatan, nafsu tidur berlebihan (apabila dibangunkan langsung tertidur kembali), muncul pada penderita penyakit otak atau keracunan.

Sumber: 100 Langkah

24. Nafsu

Tiga serangkai pengertian berikut mendefinisikan makhluk manusia dalam semesta kearifan mereka. Tingkat pengalaman pertama bagi insan hewani adalah nafsu. Keinsafan atas diri adalah syarat asasi yang diperlukan bagi perjalanannya. Tanpa itu, yakni jika majnun (gila), maka anda tidak mungkin mulai bertolak. Hanya jika ada suatu arena pengalaman yang berfungsi maka dimungkinkan terjadinya dislokasi melalui suatu ikhtiar pengenalan diri sendiri.

Shaykh al-Akbar menyatakan nafsu sebagai: “Apa yang disebabkan oleh sifat-sifat si hamba.” Begitulah adanya diri itu, terpenjara oleh elemen-elemen utama yang dibayangkannya memerdekakan dirinya melalui berbagai amal. Semakin banyak sang diri bertindak, semakin banyak ia membangun suatu ilusi kelanggengan dan sejarah. Kejadian-kejadian itu memperkuat mitos tentang sang diri sendiri. Inilah mengapa Shaykh al-Kamil berkata bahwa segala sesuatu pada nafsu itu amat buruk. Tidak masuk akal untuk membayangkan bahwa anda bisa menempa nafsu yang baik. Itu jelas berhala yang lebih buruk daripada nafsu yang buruk.

Nafsu adalah berhala besar, yang mana sembari ia mendirikan berhala-berhala lain, ia tidak dapat menghancurkan dirinya sendiri. Inilah alasan mengapa seseorang mengikuti seorang Shaykh. Sang Shaykh sederhananya bertindak sebagai sebuah cermin diri yang akan membantu seseorang meloloskan diri dari tipu daya diri yang senantiasa berusaha melanggengkan dirinya.

Tujuan dari para Ahli Tariqat adalah fananya diri yang merasakan ini. Amalan dari Ahli Tariqat adalah dhikir yang membuat hati bersih sehingga apa yang sebelumnya nafsu yang mampat dan buram, berubah menjadi lembut dan bercahaya. Jika dhikir dan berkumpul bersama telah menaklukkan nafsunya, si pencari menjadi mampu memahami bahwa lokus makhluk manusia itu tidak seperti apa yang tampak. Sebagai ganti dari narasi fiksi ini, ia mampu melihat satu jati diri hayati asli. Di tahap ini ia tidak lagi mengacu kepada nafsu, melainkan kepada ruh.

Sumber: 100 Langkah

25. Ruh

Ruh berarti nyawa. Shaykh al-Akbar menyatakannya: Ruh, diterapkan pada apa yang mencurahkan ilmu tentang yang Gaib kepada hati dalam sebuah aspek khusus. Kita catat bahwa organ bagi pengalaman di kedua contoh ini (nafsu dan ruh), dan yang berikutnya (langkah keduapuluh enam), adalah hati. Tetapi kini, lokusnya dipandang dalam bentuk alamiahnya, bukan dalam bentuk kesejarahannya. Ia bukan lagi sekadar diperhatikan sebagai lokus-peristiwa, tetapi sebagai sebuah layar penglihatan. Sehingga apa yang semula adalah arena tindakan berubah menjadi arena penyaksian.

Shaykh ibn al-Habib dalam diwannya berkata: “Ruhku berkata padaku dan katanya, ‘Hakikatku adalah nur dari Allah, maka jangan melihat selain-Nya. Jika aku bukan cahaya maka aku adalah selain-Nya, padahal yang selain itu adalah ketiadaan, maka jangan merasa puas dengan itu.”

Ketika pengenalan itu telah terbit, tetaplah bagi si pencari untuk menginsafi rahasia ruh. Ia harus menemukan jati dirinya, wajah asli adami-nya. Inilah tahapan akhir makrifat, dan di tahapan ini ruh haruslah dinyatakan dengan nama lain, yang lebih sesuai dengan makna-maknanya.

Maka kita lihat disini bahwa tiga serangkai istilah yang digunakan untuk menyatakan arena diri tempat pengalaman yang paling akrab dan pribadi, tidak lain dari apa yang telah dinyatakan terdahulu sebagai hanya berbagai konsep dan pola-pola keyakinan.

Sumber: 100 Langkah

26. Sir

Langkah Keduapuluh Enam – Sir

Sirr, sir, berarti rahasia. Inilah penggambaran ketiga dari lokus diri. Perhatikan dan pahamilah takrif* dari Shaykh al-Akbar. Beliau berkata:
“Ini diterapkan, dan mereka berkata bahwa sir ilmunya bersesuaian dengan makrifatnya seorang yang mengetahuinya, dan sir hal-nya bersesuaian dengan makrifat yang dikehendaki Allah padanya, dan sir hakikatnya ialah atas indikasi yang diberikan.”

Haruslah kini menjadi jelas bagi si pencari bahwa apa yang dimulai sebagai sebuah pencarian otobiografis untuk menemukan makna historis keberadaannya, telah disapu bersih. Ia tidak mampu lagi melihat dirinya sebagai seorang yang berkisah. Ia terbenam dalam sebuah penelitian alami atas dirinya sendiri dimana ia memperhatikan berbagai keadaan dirinya sebagaimana seorang ahli biologi menaklik** organisme dalam lingkungan hidupnya. Apa yang ditemukan pada dirinya sendiri adalah seseorang yang tahu, seorang yang tahu, yang kapasitasnya dapat diperdalam dan makin diperdalam sehingga pada setiap tahapan perjalanan ia harus membuang apa yang telah diketahui sebelumnya. Maka hidupnya dapat dikatakan sampai pada akhirnya saat ilmunya berawal.

Sang sufi hidupnya anumerta***. Tidak tersampir**** pada apapun, ia mampu merasakan kehalusan dan semakin halusnya makna-makna dari lokus diri/semesta. Wilayah pertama sir itu aktif, hidup, dan melibatkan kemampuan untuk memahami apa yang diperlihatkan dan berpegang kepada himma hanya bagi Allah semata. Wilayah keduanya pasif. Disini semua pembimbing ditinggalkan. Ilmu dicapai di kedalaman muraqabah, menyaksikan. Wilayah ketiga begitu halus, tidak bisa dibincangkan kecuali dalam bahasa isyarat seperti yang dipakai oleh Sultannya para Pecinta, Shaykh Ibn al-Farid. Ia aktif atau pasif. Itu mengutarakan perjumpaan tauhidnya. Disebut sebagai sirr-as-sirr. Sirnya sir. Shaykh al-Akbar menyatakannya: “Sesuatu yang dengannya Allah diisolasi dari si hamba.”

Sumber: 100 Langkah

27. Mulk

Mulk merupakan kerajaan berbagai bentuk padat. Sekarang di sisi tiga serangkai istilah yang menyatakan lokus diri, kita tempatkan sebuah tiga serangkai istilah yang menguraikan keberadaan tiga alam kehidupan, atau bisa disebut sebagai, tiga bentuk kehidupan di Semesta Alam.

Alam pertama ialah mulk, yaitu alam yang terlihat. Mulk adalah apa yang dialami pada indra (hiss) dan khayal (wahm). Sesuai sifatnya, mulk selain padat dan indrawi juga ruang-khalis* dan ilusif. Keberadaannya itu yang kini dikonfirmasi oleh sains kafir. Jalinan keterlihatan unsur-unsur pembentuk mulk yang menakjubkan itu, menabiri kebanyakan orang dari alam makna yang dengannya intelek dibangkitkan, sehingga mulk dijadikan sebagai alam tujuan karena ia ada di alam yang nyata dan seakan-akan paripurna pada dirinya sendiri. Ia tidak nyata, tapi diciptakan dengan Yang Maha Benar (bil Haqq), seperti dinyatakan dalam Al-Quran. Sehingga untuk memahaminya kita harus menembus kepadatan yang melingkupinya. Karena kita berada padanya dan bagian darinya, maka dapat dimengerti bahwa dengan hancurnya batas mulk, maka lokus yang mengalami pada diri juga akan hancur.

Kini kita dapat menyatakan bahwa yang berhadapan dengan mulk adalah nafsu. Dengan nafsu berarti sang makhluk tetap berada padanya dan menjadi bagiannya. Kita tidak menafikan mulk karena ialah bukti langsung dari Sang Raja. Pencarian kita akan mengembalikan kita padanya. Yang kita inginkan adalah suatu ilmu yang menyeluruh karena kita tidak sedang berusaha untuk memahami semesta seperti si kafir yang menyedihkan, yang berusaha mencatat segala sesuatu yang ada dalam kehidupan! Rabia al-Adawiyya mengatakan, “Jangan cari tamannya, cari pemilik tamannya.”

Dengan menggunakan kemampuan kognisi**, kita menyadari bahwa segala sesuatu di mulk adalah isyarat bermakna. Ini membukakan diri kepada alam selanjutnya. Batas-batasnya mulk adalah batas-batasnya berbagai konsep dan bentuk-bentuk pikiran.


Catatan :

kha·lis suci; bersih; murni; 2 jujur

kog·ni·si kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dan sebagainya) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri; Sos proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang; 3 hasil pemerolehan pengetahuan

Sumber: 100 Langkah

28. Malakut

Malakut merupakan kerajaan bentuk/wujud Gaib. Inilah kerajaan unsur berbagai wujud keberadaan ciptaan berbagai kristal, atom, organisme, sekaligus kerajaan kenyataan-kenyataan spiritual, seperti Sidratul Muntaha, Mizan, Arasy dan lain-lain. Malakut adalah alam visi, sebagaimana mulk adalah alam kejadian. Sebagaimana ciri mulk adalah ke-ajekan* atau seolah-olah ajek, maka ciri malakut ialah mengalir dan berubah atau seolah-olah mengalir. Bahkan dapat dikatakan kenyataan kedua alam ini berlawanan, bahwa sesungguhnya bentuk-bentuk padat semuanya selalu berubah, sedangkan pada berbagai visi, semuanya adalah pembentangan pola-pola ajek asali** yang mendasari segalanya di alam yang tampak.

Begitu malakut membuka khazanahnya bagi si pencari, ia harus waspada agar tidak menjadi seorang kanak-kanak yang terpesona pada kehebatannya, seperti si kafir yang tetap menjadi seorang kanak-kanak yang terpesona kehebatan mulk. Seseorang tidak akan bisa puas dengan segala sesuatu kecuali dengan kehadiran di ruang pertemuan Al-Haqq.

Malakut adalah apa yang dialami dalam ilmu dan dhawq (rasa, merasai). Semua yang di malakut adalah tersingkap (indrawi). Sehingga visi tentang Taman adalah houri*** (bidadari), muda-remaja, sungai-sungai dan taman-taman. Yang indrawi pada mulk dirasakan secara intelektual melalui kognisi level rendah. Di alam yang berikutnya sesudah mati dirasai melalui berbagai persepsi tingkat tinggi .

Batasan-batasannya malakut adalah berbagai batasan penyaksian.


Catatan :

*) ajek Jw a tetap; teratur; tidak berubah

**) asa·li Ar a 1 bersifat asal; 2 berasal; berbangsa

***) Houri, Bidadari ( / h ʊər i z / ; dari bahasa Arab : حورية, حوري , diromanisasi : ḥūriyy, ḥūrīya , [catatan 1] kata sifat dan feminin pembentukan tunggal dari حور , jamak dari ahwar أحور atau ḥawrā’ حوراء “memiliki mata dengan ditandai kontras hitam dan putih”) adalah wanita yang akan menemani orang percaya yang setia di surga.

Sumber: 100 Langkah

29. Jabarut

Jabarut, yaitu kerajaan daya upaya kekuatan. Inilah kerajaaan nur cahaya. Shaykh Al-Akbar mencatat: “Bagi Abu Talib inilah alam Maha Besar. Bagi kita inilah alam tengah-tengah.” Dengan ini ia mengisyaratkan bahwa muluk itu bersebrangan dengan malakut dan jabarut, tepatnya adalah alam nur cahaya, Hadirat Ilahi yang merekahkan antara dua alam yang mendasari keberadaan makhluk ciptaan. Ini berarti bahwa Cahaya adalah barzah*, parak** yang tampak dan yang tidak tampak.

Pada hakikatnya keberadaan-hidup itu tunggal, tiga kerajaaan itu sebenarnya satu kerajaan dengan Raja Ahad. Melalui penyusunan berbagai limit dengan pembatas-pembatas serta pelbagai perbedaan maka keberadaan-hidup alam semesta metagalaksi itu bisa diwujudkan. Yang menciptakan pembatas-pembatas, dan ialah pembatasnya, tidak lain adalah Hakikat Ahad dalam kesempurnaan keagungan yang tidak terkait suatu wujud apapun. Pembatas-pembatas itu bukanlah hakikat wujud itu sendiri, tetapi tanpa mereka (pembatas-pembatas, Peny.), tidak ada yang bisa didefinisikan dan tidak ada satupun yang dapat mendefinisikannya.

Pada Al-Quran dinyatakan bahwa Allah, Yang Maha Suci, Wujud Zahir dan Gaib Batin: “Yang Awal dan Akhir” [Surat Al Hadiid ayat 3]. “Kemanapun engkau hadapkan wajahmu disitulah wajah Allah” [Surat Al Baqarah ayat 115]. “Allah ialah (pemberi) nur langit dan bumi” [Surat An Nur ayat 35]. Dengan cahaya kita bisa membedakan dan karena cahaya kita terbutakan atas ketiadaan-pembedaan. Baik pemisahan dan penyatuan bergantung pada cahaya.

Jabarut adalah cahaya di atas cahaya. Dalam shalawatnya bagi Rasulullah, Shaykh al-Mashish*** mengucapkan: “Ya Allah berkatilah Baginda yang darinya rahasia-rahasia telah memancar dan limpahan cahaya membanjir. Karena Baginda pelbagai hakikat terbit, dan ilmunya Junjungan kita Adam, salallaahu alayhi salam, tercurah kepadanya. Karena itu, tidak ada makhluk-ciptaan yang bisa sebanding dengannya, dan kepahaman adalah hal sepele bagi Baginda. Tidak seorangpun dari kita dapat mencapai derajat Baginda, baik sebelum atau sesudahnya. Taman-taman malakut amat bergembira dengan berbagai bunga jamal****nya Baginda, dan kolam-kolam jabarut berlimpahan dengan pancaran cahaya Baginda.”


Catatan :

*) alam1 n 1 segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang, kekuatan): — sekeliling2 lingkungan kehidupan: — akhirat3 segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan (golongan dan sebagainya) dan dianggap sebagai satu keutuhan: — pikiran; — tumbuh-tumbuhan; 4 segala daya (gaya, kekuatan, dan sebagainya) yang menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini: hukum –; ilmu –; 5 yang bukan buatan manusia: karet –; 6 dunia: — semesta; syah –; kerajaan; daerah; negeri: — Minangkabau;
— barzakh alam dari waktu mati sampai dibangkitkan dari mati pada hari kiamat; alam samar; alam kubur;

**) pa·rak n perpisahaan; beda: kelakuanmu tidak berapa — nya dengan kelakuan ayahmu;
ber·pa·rak v berpisah; bercerai: mereka ~ bukan karena benci;
me·ma·rak·kan v membedakan

***) Tentang Shaykh Abdassalam Al-Mashish rahimahullah :
Shaykh Abdassalam Al-Mashish Al-Alami rahimahullah. Lahir di lingkungan Banu Arous di Jabal Al-Alam, sebuah gunung di selatan kota Tetouan, Maroko. Beliau ialah Murshid kepada Shaykh Abul Hasan Shadhili rahimahullah – satu-satunya muridnya. Beliau wafat pada 1227 Masehi dan dimakamkan di dekat puncak Jabal Al-Alam itu. Salawat beliau, Salawat Mashishiyah, terus dibaca oleh para fuqara dan faqirat dimana-mana.

****) ja·mal Ar n keelokan; keindahan

Sumber: 100 Langkah

30. Khawf/Khauf

Khawf berarti takut, rasa gentar kepada Sang Pencipta dan Penguasa Hari Perhitungan. Dalam masanya si faqir bertafakur tentang bagaimana bekerjanya berbagai kenyataan kehidupan ini. Ia mencermati keadaan manusia, tidak sebagai sebuah legenda atau sejarah, tetapi sesuai wawasan Qur’an tentang umat yang membangun pelbagai masyarakat besar yang semuanya tersapu habis oleh berjalannya gelombang waktu yang tidak tertahankan terbentang di ruang jagat raya, yang sedemikian banglas*nya dari pada apa yang bisa dijangkau akal.

Ia menyadari bahwa musibah yang terjadi di jalanan tidak akan jelas terlihat dari sebuah gedung tinggi apalagi dari sebuah pesawat terbang. Ia menyadari bahwa gairah hasrat masa muda orangtuanya kini tidak lagi nyata dan tidak mungkin lagi dijangkau oleh mereka sekalipun. Ia menyadari betapa kecilnya karavannya dan betapa luas padang pasirnya. Dari tafakur ini kegentaran akan Kemahakuasaan Sang Pencipta bangkit di hatinya. Seraya merebaknya khawf, maka rasa takut pada makhluk lesap**. Tidak mungkin takut kepada Allah tanpa mengenali janji-Nya pada hamba-hamba-Nya. Ini terkait pada kaifiat*** selanjutnya, karena keduanya tidak terpisahkan dan harus setimbang.

Melimpahnya khawf menjadikan seseorang tidak berani berkata atau bertindak. Ini berarti ditanggalkannya ilmu. Dia yang kita takuti adalah Sang Raja Yang Maha Pengasih. Ketakutan di awalnya adalah ilmu. Ketakutan di pertengahannya adalah kejahilan. Ketakutan di akhirnya adalah kegembiraan. Sebagaimana api kompatibel terhadap sifat asli kadal salamander, demikian pula kekuasaan Maha Dahsyat Sang Rabb terhadap si hamba yang tiada berdaya dan rida.

Diseberang khawf adalah raja’, keduanya menggerakan si pencari melalui sebuah dinamika sehingga karena keduanya ia melaju di Jalan setapak ini.


Catatan :

*) bang·las tidak terhalang, luas, lepas (tentang pandangan)

**) le·sap hilang; lenyap; lucut: air itu — diisap tanah; menghilang secara berangsur-angsur (suara, gambar); 3 Ling hilang satu dari dua unsur atau bagian konstruksi yang koreferensial, seperti subjek anak kalimat pada sebelum pergi, dia menulis surat

***) kai·fi·at Ar n keadaan menurut sifatnya; sifat (tabiat) yang asli; 2 cara yang khusus (baik)

Sumber: 100 Langkah

31. Raja’

Raja’ adalah harapan. Pria saleh yang membawa Shaykh Ibn Al-Habib ke Jalan Sufi, biasa meniti tangga-tangga curam ditempat mereka berteduh di Fez sambil berkata, “Khawf! Raja’! Khawf! Raja’!” di setiap langkahnya. Dengan ini ia mengisyaratkan pendekatan sempurna dan setimbang terhadap ilmu bagi sang ulama muda yang masih hidup di arena beku tentang konsep-konsep dan wacana. Harapan, di awalnya adalah merindukan kebaikan yang akan tiba setelah kematian berupa pahala Taman (surga, Peny.). Di tengahnya adalah keridaan Allah pada hamba-Nya. Di akhirnya adalah benderangnya penyaksian atas Sang Raja dan masuk kedalam rahasia-rahasia ilmu-Nya.

Shaykh Ibn Al-Habib berkata dalam Diwannya, “Engkau harus memakai dua terompah kembar, takut dan harap (khawf dan raja’, Peny.). Pertemuan dengan hal berlawanan seperti itu adalah sebuah tahap yang diperlukan di jalan ini. Tidak dapat dihindari. Jangan coba mengurangi keagungan Allah yang tidak tertandingi dan menakutkan, karena Dia sebenarnya telah melindungimu dari keagungan ketetapan-kehendak-Nya yang lain. Jangan tergelincir kepada pemahaman kanak-kanak tentang apa itu kasih sayang. Pisaunya si ahli bedah juga bermakna kasih sayang. Penderitaan di dunia ini adalah sebentuk kasih sayang jika melalui pengajarannya kita menghindari penderitaan di dunia berikutnya.

Si faqir haruslah teguh dalam khawf dan raja’. Akan tiba masa ketika kedua ilmu ini akan berubah menjadi suatu pengalaman lebih mendalam dan lebih benderang.

Sumber: 100 Langkah

32. Rida/Ridha

Rida, berarti kepuasan menentramkan. Inilah kondisi sangat penting seseorang yang telah menyeimbangkan ketakutan dan harapannya. Seseorang yang telah mencapai rida ialah dia yang telah berhasil menembus pertarungan antara hal-hal berlawanan di alam indrawi. Orang awam tertawa ketika gembira dan menangis ketika sedih. Mereka menyeru Allah jika memperoleh kesulitan dan melupakan-Nya ketika semua baik-baik saja. Atau, mereka menaati-Nya ketika keadaannya mudah dan di awal tanda-tanda kesukaran, mereka pontang-panting kesana kemari mencoba mengendalikan berbagai perkaranya.

Berhati-hati, jangan sampai engkau mengira bahwa si ahli rida sebagai orang yang pasif dan lelet. Ini tuduhannya mereka yang kafir dan orang-orang jahil. Rida membebaskan seseorang untuk bertindak saat tindakannya akan berpengaruh. Rida akan membimbing seorang manusia untuk berbicara, ketika ucapannya akan diperhatikan dan dilaksanakan. Demikian pula, itu akan membimbingnya untuk bungkam atau diam jika tidak ada manfaat membahasnya. Seseorang yang rida kepada Allah tidak akan ambil pusing pada opini-opini orang lain, baik berupa persetujuan atau tidaknya mereka. Betapa hebatnya langkah ini bagi pembebasan diri.

Shaykh Ibn Ajiba menjelaskan tiga tingkatan rida, yaitu:

  1. Bagi yang awam, maknanya adalah bersabar dan pergumulan batin.
  2. Bagi yang khusus, maknanya adalah berakhirnya pikiran-pikiran pahit dan bergolak.
  3. Bagi yang khususnya khusus, maknanya adalah suka cita, sirnanya agitasi dan ketentraman.

Sumber: 100 Langkah

33. Hiss

Hiss atau indrawi, adalah keberadaan kehidupan sebagai suatu yang padat, ketebalannya. Sedangkan makna atau arti, adalah kehidupan sebagai kehalusan, oleh karenanya benda-benda itu sendiri tidak memiliki ke-benda-an, karena bukanlah demikian, hingga mereka dikenali. Sekali dikenali mereka diubah oleh mereka yang mengenalinya. Maka hiss senantiasa terus menerus berubah menjadi makna. Yang satu tidak bisa diperhatikan tanpa yang lain.

Shaykh Moulay Abdalqadir al-Jaylani pernah membandingkan alam semesta sebagai salju, yang bentuk terpisah tidak terhingga individualnya itu, sebenarnya adalah satu air. Setiap keadaan adalah benar, dan semua bersesuaian terhadap hukum-hukum yang mengatur apa yang tampak dari sudut pandangnya itu. Sidi Ali al-Jamal berkata pada kitabnya The Meaning of Man :

“Ketahuilah bahwa benda-benda indrawi terdiri dari dua: benda-benda dan segala yang berlawan dengannya. Demikian pula perihal makna, juga ada dua: maknanya dan segala yang berlawanan dengannya. Masing-masing adalah keberadaan sesuatu itu…”

Rabb benda-benda indrawi adalah Rabb maknawi. Ketetapan hukum atas benda-benda indrawi adalah ketetapan hukum atas maknawi. Obatnya untuk makna-makna adalah obatnya untuk benda-benda indrawi, walaupun makna-makna itu adalah suatu penyatuan dan benda-benda indrawi adalah pemisahan. Penyatuan dari penyatuan menyatukan semua. Penyatuan yang menyatukan apa yang disatukan adalah benar, dan apa yang memisahkan apa yang dipisahkan adalah benar dalam sebuah kebenaran dalam sebuah kebenaran dalam sebuah kebenaran.

Di tahap ini, si faqir haruslah mengenali bahwa benda-benda dan karenanya kejadian (interaksi benda-benda), tidak bisa dijelaskan dalam ihwal* mereka sendiri namun harus dibaca kedalam makna-maknanya. Sebagaimana dengan tiga serangkai utama syari’at, tariqat, dan haqiqat, si faqir akan bergerak dari dua hal berlawanan ini kepada sebuah terminologi yang semakin mendalam, ketika ia bergerak laju dari doktrin ke pengalaman.


Catatan :

*) ih·wal n hal; perihal

Sumber: 100 Langkah

34. Makna

Makna adalah arti. Sidi Ali al-Jamal berkata:

“Setiap ciptaan, baik dan buruk, menyaksikan Allah. Namun, mereka tidak mengenali-Nya, dan mereka tidak melihat al Haqq sebagai al Haqq dan mengenali-Nya, kecuali dia yang dalam kalbunya memiliki cahaya makna-makna. Cahaya maknawi yang dengannya Allah dilihat dan dikenali, hanya muncul dalam kalbu dengan memuliakan indra-indra dengan niat mencari Allah. Begitu pula, kegelapan makna-makna hanya muncul dengan bercahayanya indra-indra, karena hikmah tidak berada pada penyaksian. Ia berada dalam makrifat, karena Allah mengejewantah bagi setiap orang, tersembunyi bagi semua orang.

Sang arifin adalah dia yang mengenali-Nya secara lahiriah sebagaimana ia mengenali-Nya secara batiniah. Dan mengenali-Nya secara batiniah sebagaimana ia mengenali-Nya secara lahiriah. Sedangkan dia yang mengenali-Nya secara lahiriah dan tidak secara batiniah, atau mengenali-Nya secara batiniah dan tidak secara lahiriah, dia-lah yang jahil. Si jahil tidak disebut sebagai si arif. Shaykh ash-Shushtari, semoga Allah merahmatinya, berkata:
Jangan lihat kepada kapal-kapalnya.
Menyelamlah kedalam lautan makna-makna.
Mungkin engkau akan melihat-Ku .
Dalam majelis para sufi.

Makna-makna menjadi syarat menyaksikan, dan pemuliaan indra-indra menjadi syarat dalam pengejawantahan makna. Mengarahkan kesadaran untuk mencari Allah adalah syarat dalam menggelapnya indra. Allah pemberi sukses!”

Sekarang harus menjadi jelas bahwa si faqir sudah menempuh menuju satu proses ilmu yang dengannya ia bisa menyadari tekstur sejati keberadaan kosmis/diri. Di tahap ini ia haruslah melengkapi dirinya dengan serangkaian doktrin yang akan memperjelas baginya berbagai zona penggunaan akal dan makrifat mereka, ketika itu membentangkan baginya melalui peningkatan prakteknya dalam mengarahkan kesadaran untuk mencari Allah.

Sumber: 100 Langkah

35. Lubb

Lubb, inti adalah sebuah istilah Qur’ani. Shaykh al-Akbar menyatakannya sebagai: “Perihal cahaya Ilahi.”

Pada taraf pertama Jalan kita, maka kita menyaksikan seluruh bentuk luar diri sebagaimana ia ketika itu dirasakan, sekumpulan kain cabik usang dan sampah. Diri itu dilawan dengan persenjataan penyucian shalat, shaum, amal baik, yang terutama, sedekah. Ia dibersihkan dari kotorannya dengan berjalan di jalan Allah dan berkumpul dengan mereka yang telah tersucikan. Kini, si faqir telah memusatkan perhatian pada hati yang menjadi pusat kumpulan daya-daya bertentangan dan tidak berguna ini. Dengan dhikir dan fikir, himma-nya telah membawanya ke arena pemusatan perhatian. Di mana di awalnya ia duduk dalam sama’a (menyimak) layaknya seperti pada sebuah tontonan, memperhatikan adab-adabnya, dan menikmati keindahannya. Kini, matanya ditundukkan, pikirannya diheningkan, dan ia memusatkan perhatian atas detak kalbunya (“karena tidak ada dua kalbu di dalam dada”, Surat Al Ahzab ayat 4) saat ia menantikan rangkaian cahaya memasukinya.

Di tahap inilah ia bergerak dari sebuah pandangan statis atas kalbu sebagai segumpalan, seaktif, dan sepeka apapun, ke sebuah pandangan berbeda tentang sifat-sifatnya. Sebagai alat makrifat, ia kini harus melihatnya sebagai lubb-nya, inti dirinya. Apakah inti itu? Ia bukanlah semata pusat bendanya, tetapi ia sebenarnya memuat seluruh pola organisme paripurna itu. Sebagaimana, inti apel mengandung biji, yaitu pohon, bunga, buah, dan biji itu sendiri. Hadits Qudsi: “Seluruh semesta tidak dapat mengandung-Ku, namun kalbu mukmin mengandungi-Ku.”

Sumber: 100 Langkah

36. Isyarat

‘Ishara atau isyarat, berarti petunjuk. Dinyatakan oleh Shaykh al-Akbar sebagai: “Bisa saja berupa kedekatan, dan kehadiran Yang Gaib, bisa juga dengan berjarak.”

Dengan ini sang guru menyatakan bahwa untuk mengalami secara penuh isyarat, haruslah terjadi pencerahan tentang ilmu yang ditunjuknya, jika tidak maka ia hanya jadi sekedar perumpamaan dan konsep. Isyarat dengan demikian adalah sebuah kejadian makrifat jika ia tercapai tujuannya. Shaykh Ibn ‘Atha-illah berkata dalam Hikamnya: “Sang arifin bukanlah dia yang, jika ia membuat isyarat menyadari bahwa Allah lebih dekat kepadanya dari pada isyaratnya itu. Malahan sang arifin adalah dia yang tidak lagi memiliki isyarat karena fananya diri dalam keberadaan-Nya dan absorpsi diri dalam tafakur pada-Nya.” Dengan ini kita menyadari bahwa isyarat-isyarat adalah sarana untuk memperjelas pemahaman, penajaman mata, penyucian tafakur, pelenyapan batas-batas, penyempurnaan makna-makna. Mereka adalah kapal penyeberang melintas sungai fikir dari tepian indrawi ke tepian maknawi.

Dikatakan bahwa: “Ilmu kita seluruhnya adalah isyarat. Jika ia diungkapkan, lenyaplah ia.”

‘Ishara, isyarat adalah bahasa perlambang yang digunakan para pencinta untuk merayu si pencari menuju arena kegembiraan dan penyaksian, digunakan untuk membangkitkan ruh agar kembali ke tanah air cinta. Inilah bahasa Diwan-diwan yang mulia: “Ia bicara tentang Layla, bulan, cangkir dan anggur.” Inilah ilmu yang baru kini bisa didekati oleh si pencari yang sudah bangun ketika tujuannya semakin mendekat jua.

Sumber: 100 Langkah

37. Waktu

Waqt yaitu waktu, berarti saatnya. Shaykh Al-Akbar menyebutnya: “Ia menentukan keadaanmu pada saat keadaan itu. Ia tidak terikat masa lalu atau masa depan.” Dengan penjelasan mendalam dan khusus ini dapat dipahami bahwa waktu bukanlah ‘sekarang ini’. Ia adalah saat ketika Al-Haqq dikenali. Waktu adalah sisi tajam pedang tetapi bukanlah bidang kanan atau kirinya pedang itu sendiri. (Disini si faqir haruslah diperingatkan untuk tidak menggunakan kosakata Ilmu Tasawuf di luar arena tindakannya pada kejadian sehari-hari umumnya karena ini dapat merusakkan perkembangannya).

Dikatakan bahwa: “Si Sufi adalah hamba saatnya.” Maknanya adalah ia selalu sadar dan siap untuk mengenali Al-Haqq dalam apa-apa yang diberikan Al-Haqq kepadanya, pada saat itu. Oleh karenanya tidak ada ketidaksengajaan, bahkan yang ada hanya Al-Haqq, sehingga ketika saatnya dikenali, seakan-akan si pencari terbangun dari tidurnya wawasan umumnya. Istilah ini digunakan secara jamak dalam arti ‘waktu-waktu yang disiapkan’: kita berkata -menyusun waktu. Ini artinya menyiapkan lebih banyak waktu untuk dhikir dengan fikir. Tingkatkan himma sehingga senantiasa waspada atas Kehadiran segera.

Sejak kini yang terjadi adalah si pencari semakin waspada pada betapa pentingnya kenyataan dari waktu yang dijalani. Masa depan adalah kutub positif dan masa lalu adalah kutub negatifnya, jika digabungkan mereka berterusan berubah wujud menjadi pengisian arus listrik saat ini. Kesadaran seperti ini didasari oleh dhikir dan fikir dan himma. Sarana terkuat pada jenjang ini adalah hadra yang panjang (atau raqs : tarian nafas).

Sumber: 100 Langkah

38. Hal

Hal berarti keadaan. Shaykh Al-Akbar menyebutnya: “Itulah apa yang terjadi pada hati tanpa ketergantungan atau usaha. Jika terus berlanjut, kesukaan mungkin tidak akan mengikutinya. Sesiapa yang menjadikan kesukaan mengikutinya, berbicara tentang kelanggengannya. Sesiapa yang menjadikan kesukaan tidak mengikutinya, berbicara tentang ketidaklanggengannya. Dikatakan bahwa hal keadaan itu mengubah sifat-sifat bagi sang hamba.”

Di tahapan pengalaman ini, si faqir telah memasuki arena perenungan dan berbagai hasilnya. Hal itu tidak berasal dari kejadian, atau dari luar, atau dari perasaan, atau dari semua bentuk penjelmaan nafsu. Hal turun ke hati, dan seperti telah kita ketahui, ia sendiri selalu bergerak, berubah setiap saat. Si faqir harus belajar bergerak dengan gerakannya, sebagaimana si pelaut mengatur ubah layar karena angin. Jangan menceritakan apa yang tiba di dalam hati kepada orang lain. Sejak saat ini, si faqir harus melaporkan pengalaman batinnya hanya kepada Shaykhnya, atau kepada seseorang yang terpandang di antara salihin.

Telah dikatakan: “Dimulai sebagai sebuah kegilaan, di tengahnya ialah ilmu, di akhirnya ialah keheningan.” Yaitu: jununfununsukun*).

Hal menggerakkan apa yang diam, lalu ia menenangkannya dan akhirnya mengistirahatkannya. Inilah pengaruh-pengaruh cinta. Sekarang, baru sekarang, kita bisa bicara tentang cinta untuk pertama kali.


Catatan :

*) Jununfunun, Pepatah Arab, al-junun funun (kegilaan itu banyak modelnya). Maka beruntunglah orang-orang yang gila, yaitu orang-orang yang tenggelam dalam zikrullah. Dan merugilah orang-orang yang tergila-gila dengan dunia yang fana. http://ikmalonline.com/level-cinta-tertinggi-perbedaan-antara-hubb-dan-isyq/

Sukun, sukun (سكون), adalah harakat yang berbentuk bulat layaknya huruf ha (ه) yang ditulis di atas suatu huruf Arab. Sukun dimaknai “diam” atau “tenang”.
https://emariferha.wordpress.com/tag/makna-sukun/

Sumber: 100 Langkah

39. Maqam

Maqam, yaitu tingkatan stasiun. Shaykh Al-Akbar berkata: “Itu menyatakan terpenuhinya hak-hak peraturan-peraturannya secara menyeluruh.”

Dapat dikatakan, maqam dicapai jika si hamba telah teguh dalam suatu tingkat adab, baik dalam khidmat, pengabdian kepada Allah, maupun ketika ia telah mendapatkan kedudukan yang kukuh dalam keyakinan batiniah. Maqam-maqam itu awalnya mewujud, melintas sekilas, dalam bentuk ahwal (bentuk jamak dari hal), lalu menjadi tetap bagi si murid. Serupa dengan mewarnai kain, maka ia dicelupkan dalam warna yang sama lalu dijemur, dicelup dan dijemur, hingga warnanya pada suatu saat menjadi tetap. Saat pewarnaan menetap, maka maqamnya terwujud.

Si pencari bergerak dari maqam ke maqam. Dengan demikian ia mengalami peningkatan ilmu dan makrifat, itulah derajat tingkatan-tingkatan yang disebut dalam Al-Quran. Selanjutnya, maqamat orang-orang besar dapat menjadi suatu perangkap dan godaan. Jika berbagai tingkatan itu ialah godaan untuk para pencinta, bayangkan sebuah kata istilah musibah seperti apa yang bisa dipakai untuk menggambarkan kondisi si ulama yang tidak pernah mencium wanginya. Kami mohon kepada Allah untuk memelihara kalian agar selalu berada dalam golongan mereka yang beramal. Jika si pencari berada dalam genggaman tangan seorang Shaykh yang arifin maka ia tidak akan membiarkan muridnya berlama-lama di berbagai tingkatan itu, ia akan menyegerakannya pergi ke tempat pertemuan, sebagaimana para haji yang harus bersegera kepada syiar-syiar Allah di lembah yang suci. Saat engkau mendengar sedesah nafas dari bahasa maqamat, maka dekaplah Shaykhmu, jangan lagi melihat dengan mata, awasi dengan hati. Minumlah dari sumbernya, ambil gelas cangkirnya jika ia tiba padamu. Kini kobarkan kerinduanmu pada Sang Kekasih.

Sumber: 100 Langkah

40. Mawqif

Mawqif berarti tempat berhenti. Ini istilah yang paling berguna dan bermanfaat. Inilah tempat berhenti. Mawqif adalah tempat berhenti diantara maqamat. Sebagaimana Muzdalifa ialah tempat berhenti antara Arafat dan Mina, maka mawqif adalah tempat berhenti antara dua maqamat. Sebagaimana engkau tidak berlama-lama istirahat di Muzdalifa, begitu pula engkau di mawqif. Tugas-tugas di Muzdalifa ada dua. Yang pertama ialah mengumpulkan batu-batu kecil, untuk melempari setan-setan sesampainya di Mina. Yang kedua ialah berdoa ketika matahari terbit sebelum berangkat ke Mina. Karenanya, tanpa berhenti di sana, engkau tidak akan punya batu-batu untuk melempari setan, juga engkau tidak akan bisa memohon kepada Allah apa yang sangat diharapkan dalam hati. Ia adalah sebuah tempat istirahat dan berkumpul, dan sebuah tempat ketidakberdayaan.

Dikatakan bahwa di mawqif, si faqir kehilangan segala apa yang telah diperolehnya hingga saat itu, dan belum lagi memperoleh apa yang akan tiba baginya di tahapan berikutnya. Serupa seperti seseorang di kamar mandi yang telah melepaskan pakaian kotornya, telanjang, dan tergantung pada pengurus kamar mandi untuk memberinya pakaian bersih, maka si faqir tidak berdaya dalam kekuasaan Ke-Maha Murah-an Rabbnya.

Persyaratannya ialah kerendahan hati, peningkatan adab, membaca Al Quran dan banyak-banyak berdoa.

Di mawqif, si faqir menyadari keadaannya. Ia menyadari sejauh mana Allah, segala puji bagi-Nya, telah membawanya. Kerinduannya meningkat. Ia sungguh-sungguh berhitung. Membuatnya memperbanyak pujian dan syukur. Ia mengetahui, saat itu, nilai segala yang telah dialaminya, dan ia kembali ke perjalanannya sambil merindukan tujuannya.

Sumber: 100 Langkah

41. Warid

Warid ialah apa yang turun ke hati berupa Nur-Nur yang mengisyaratkan hadiah-hadiah dari Rabb Yang Maha Gagah dan Pemurah. Ya dhul jalali wal-ikram!

Warid berlimpahan, yang membanjiri hati si pencari, sehingga batas-batas diri yang mengalami, meluber, dan ia tahu bahwa dirinya tidak terbungkus oleh batasan-batasan kulitnya sendiri tetapi mencerap segala yang berada dalam pandangannya, benda-benda, orang-orang dan tempat. Ia sadar tidak ada pemisahan antara mereka dan dia, semua ini tanpa perasaan, karena dirinya kebanjiran cahaya. Apa yang berlimpah di hati ialah isyarat pertama dari cinta yang ia kira mengalir darinya ke kehidupan, tetapi yang sebenarnya, mengalir melimpahi kehidupan yang menyelimutinya. Semua tindakan menjadi tindakannya, semua yang lain memiliki ruhnya. Inilah awal runtuhnya batas-batas perpisahan. Ia untuk sementara tidak berwaktu, ruang meleleh, dan ia mencicipi dari lautan Tawhid.

Ketika si pencari dikunjungi warid dan telah melaporkannya kepada Shaykhnya, ia akan mendapati hal itu diremehkan oleh Junjungannya, ini untuk melindunginya dari mengagumi diri sendiri dan arogansi. Hasil-hasil dari warid masih berada di depan dan kini saatnya berkonsolidasi. Allah melimpahi kita sehingga kita harus berpaling pada Salat an-NabiyAllahumma salli wa salam ala Sayyidina Muhammadin wa alihi bi adadi kulli maalumin lak. Allah berkati Junjungan kami Muhammad dan keluarganya sebanyak-banyak jumlah makhluk ciptaan, 1000 kali.

Dalam Hikam: “Janganlah meragukan kebenaran satu warid yang buahnya belum engkau ketahui. Tujuan awan hujan bukan hujan itu sendiri: tujuan satu-satunya ialah agar menghasilkan buah-buahan.”

Sumber: 100 Langkah

42. Futuwwa

Futuwwa berarti kemuliaan. Futuwwa adalah berfikir lahiriah bukan bagi dirimu sendiri tetapi hanya bagi muslimin. Batiniahnya peduli hanya untuk Allah. Inilah kebajikan sejati Rasul, salallahu alaihi wasalam.

Abul Husayn Al-Warraq dari Nishapur berkata: “Kemuliaan memiliki lima ciri khas: memenuhi perjanjian, kejujuran, kesyukuran, kesabaran dan rida.”

Futuwwa mengisyaratkan bahwa si faqir mewujud sebagai seorang manusia semesta. Kesetiaannya tidak lagi bersifat lokal, tidak juga pada keluarga, pada kawan, atau pada negeri. Keluarganya adalah umat, yakni seluruh masyarakat, dan manusia lain adalah para tamunya. Dengan wawasan atas dunia semacam ini, ia telah bebas menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.

Si faqir telah tiba di pertengahan Jalan.

Sumber: 100 Langkah

43. Qabd

Qabd berarti Penyempitan. Shaykh Al-Akbar berkata tentangnya: “Ini ialah keadaan takut. Inilah saatnya (Waqt).” Disebut sebagai tibanya warid dalam hati. Ia menuntut gelagat berupa teguran dan disiplin. Dikatakan: “Saatnya warid mencela.” Qabd ialah keadaan takut. Sebagaimana khawf adalah pengalaman si pemula di Jalan, kini si pencari telah memperdalam pemahamannya atas proses kehidupan. Ketakutan ditimbulkan oleh perjumpaan dengan dunia, dan segala kekejamannya, yang seakan asing bagi diri. Kini setelah si faqir menyadari bahwa dunia dihadapannya layaknya sekeping cermin dan apa yang muncul darinya berasal dari hatinya maka ketakutannya bukanlah pada bagaimana Allah akan berhubungan dengannya melalui KeMaha Kuasaan Allah dalam ciptaan, tetapi dengan qabd, si pencari mengalami penyempitan batiniah dan itu bisa saja atau sama sekali tidak terkait dengan apa-apa yang ada di luar.

Qabd adalah makna. Ia adalah sisa-sisa harapan yang telah terbakar habis menguap. Seluruh qabd, sebagai pengalaman, ialah penghayatan langsung atas kematian. Azreal (Izrail, peny.) pencabut nyawa, tentunya ialah malaikat. Para malaikat itu nur. Sehingga dapat dikatakan bahwa qabd adalah satu kealpaan dan melemahnya keyakinan. Oleh karenanya Shaykh Al-Akbar mengingatkan bahwa ia memerlukan teguran dan disiplin.

Qabd kadang diklaim karena ketidakmampuan si pencari untuk merasakan cahaya, tetapi sebenarnya ada alasan untuk hal ini, yaitu karena dia masih tetap berada dalam berbagai pertentangan dan belum berhasil melihat Rabb Yang Ahad pada apa yang telah dikaruniakan baginya dari Rabbnya. Shaykh Ibnu Atha’illah berkata pada Hikamnya: “Ia melapangkanmu supaya kamu tidak sibuk dalam kesempitan dan menyempitkanmu supaya engkau tidak berterusan dalam kelapangan, dan Ia mencabutmu dari keduanya supaya engkau tidak menjadi bagian yang terpisah dari-Nya.”

Sumber: 100 Langkah

44. Bast

Bast berarti Kelapangan. Shaykh Al-Akbar menyatakan sebagai berikut: “Bagi kita ia adalah sesiapa yang cukup lapang bagi benda-benda, dan tidak ada sesuatu yang cukup lapang baginya.” Dikatakan bahwa itu adalah keadaan harapan. Dikatakan bahwa itu ialah sebuah warid, dan ia menuntut adanya kasih sayang dan keintiman.

Seperti qabd adalah makna dari ketakutan maka bast adalah makna dari harapan. Penting menyadari pergerakan dalam kesadaran bahwa si faqir telah melangkah dari indrawi ke maknawi. Karena ketika indrawi masih terkait pada nafsu dan peristiwa, maka maknawi membawa dia ke ruh dan penyaksian.

Setiap keadaan menuntut satu adab padanya dan satu adab untuk selanjutnya.

Shaykh Ibn Atha’illah berkata dalam Hikam: “Lebih menakutkan bagi arifin jika dilapangkan daripada disempitkan, karena hanya sedikit yang mampu bertahan dalam batasan-batasan adab saat dilapangkan.”

Dhikir padanya adalah:
Subhanallahi wa bi-hamdihi
Subhanallahi al-adhim. 21 kali.

Dhikir dalam qabd senantiasa setiap kali ialah hadra dan membaca Al Quran yang panjang.

Sumber: 100 Langkah

45. Wajd

Wajd adalah derajat awal ekstase*). Istilah ini berasal dari akar huruf w – j – d. Artinya ialah untuk menemukan diri sendiri, untuk menemukan, untuk sungguh-sungguh menginginkan, untuk ada. Karenanya bisa dikatakan bahwa akar kehidupan itu sendiri adalah ekstase.

Shaykh al-Akbar menyebutnya, “Ia adalah apa yang tiba-tiba dijumpai hati pada keadaan-keadaan gaibnya terlepas dari penyaksian.”

Tahapan kedua ekstase disebut wijdan. Shaykh ibn Ajiba menyatakannya sebagai keadaan ketika kemanisan penyaksian berlangsung, biasanya diikuti dengan kemabukan dan kekaguman.

Pada dua keadaan ini sesuatu yang berasal dari keadaan batin, tumpah, dan membanjiri pertemuan. Meskipun beberapa sufi mengizinkan meniru perilaku pada saat ekstase dengan niat supaya mereka bisa tiba pada keadaan itu, perilaku ini sungguh terlarang pada kumpulan Shaykh al-Kamil yang menyatakan bahwa orang-orang di masa kini sudah benar-benar rentan terhadap gangguan keadaan neurotik. Jika hal-nya itu benar-benar asli, maka tugas salihun di antara para Sufi untuk menenangkan dan membimbing orang itu untuk kembali tenang, tanpa paksaan, atau kekerasan. Dengan mengulang-ulang menyebut Asma-asma penuh Rahmat saja dapat mengakibatkan hasil yang menakjubkan atas hati yang kacau. Kami pernah menjumpai seorang majdhouba (seorang wanita majdhoub, Peny.) di dinding Ka’bah dalam keadaan wijdan, kekuatan jalali yang begitu besar dari Ka’bah telah meliputinya dan dia begitu kebingungan. Dengan membacakan kepadanya, “Yaa Rahman, Yaa Rahim” berkali-kali, ia segera terlepas dari keadaan yang menghancurkan itu. Pembacaan Al Quran senantiasa menenangkan mereka yang sedang kebingungan, namun Allah-lah yang Maha Tahu.


Catatan :

*) eks·ta·se /ékstase/ n keadaan di luar kesadaran diri (seperti keadaan orang yang sedang khusyuk bersemadi)

Sumber: 100 Langkah

46. Wujud

Wujud adalah derajat ketiga ekstase. Dalam wujud, kesadaran menguasai kekaguman dan tafakur menerangi kekuatan. Tanda dari wujud ialah bahwa seseorang yang mengalaminya cukup sadar untuk berusaha menyembunyikannya dari saudaranya yang lain dan untuk mencegah ketertarikan perhatian bukan semata-mata karena adab pada mereka yang lain, melainkan karena adab atas keadaan itu sendiri sehingga ia bisa semakin dalam dirasakan dan dinikmati.

Hal yang sangat penting bahwa si pencari tidak perlu merasa malu atau berusaha membendung sebuah keadaan wajd apapun derajatnya. Kita tidak mengizinkan simulasi mengada-ada wajd (disebut tawajud). Begitu pula kita tidak mencuri keadaan orang lain. Jika wajd turun, menyisihlah. Sungguh tidak mungkin untuk merasakan keadaan-keadaan ini karena padanya Si Pengawas sama merusaknya dengan Si Pencerca, yang akan mencelanya sebagai tak berharga. Inilah dua peran yang dipakai oleh nafsu untuk mencegah si pencari dari cahaya-cahaya makrifat. Begitu juga jika wujud datang, maka sudah terlambat untuk berdhikir. Untuk inilah dhikir dan sama’a*) itu dilangsungkan. Inilah suatu Kehadiran, dan didalam Kehadiran sudah tidak perlu lagi memanggil-manggil, karena adab untuk Kehadiran ialah bersujud dan sujudnya wujud ialah sujudnya hati.

Pimpinan kita, Imam Junayd, berkata: “Wujudi an aghiba anil-wujud bima yabdu alayya minal-shuhud” – “Wujudku ialah aku memangkirkan diriku sendiri dari kehidupan karena apa yang disajikan padaku dalam penyaksian.”

Maka Shaykh al-Akbar menyimpulkannya sebagai “Wujud (menemukan) ialah merasakan al-Haqq dalam wajd (ekstase).”


Catatan :

Sama’a; Fi’il madhinya سَمِعَ (sami’a)
Fi’il mudhari dari sami’a adalah يَسْمَعُ (yasma’u)
Arti sami’a/yasma’u adalah mendengar.
Sumber: https://bahasaarabdanartinya.blogspot.com/2017/08/mufradat-b-arabpenjelasan-fi-mudhari.html

Sumber: 100 Langkah

47. Jadhb/Jadzab

Jadhb berarti daya tarik. Si majdhoub ialah penjelmaan daya tarik Ilahiah. Istilah ini umum dipakai di tariqat Darqawi dan seringkali digunakan dengan terlalu mudah. Si faqir harus takut kepada kekuatan Allah dan daya tarik-Nya. Seseorang itu tertarik kepadanya, namun dicegah karena khawatirnya Rasulullah atas kesintingan. Padahal sebenarnya akal-lah sarana yang diperlukan untuk makrifat. Oleh karena itu, Wali dari Bahlil mengingatkan bahwa adab kepada si majdhoub sampaikan, “As-salamualaikum – lalu tinggalkan dia!”

Seseorang yang berkumpul dengan si majdhoub akan menjadi majdhoub atau pelayan si majdhoub, karena begitu besarnya kekuatan mereka. Adapun akal mereka tidak berada pada tempatnya, karena tentunya ada di mana-mana. Namun, pertemuan singkat dengan para majdhoub besar sangat bermanfaat dan akan mendorong si pencari menuju tujuannya. Ada majdhoub yang salik/majdhoub, menaati syari’at dan memelihara batas-batas sambil menyelam ke kedalaman lautan Ilahi, tetapi mereka ini sangat jarang.

Berhati-hatilah terhadap cerita-cerita tentang majdhoub, seraya tidak berkeinginan kepada jadhb dengan ilmu. Jalan Junaydi kita adalah sadar lahiriah dan mabuk batiniah. Shaykh al-Fayturi berkata kepada kami, “Adakah jadhb yang lebih besar daripada pergi melintasi dunia untuk berkhalwa di bawahku. Karena jadhb-mu membawamu kepada makrifat, penyaksian dan wilayat. Itulah jadhb yang harus dimiliki. Gairah berkobar kepada si penuang anggur.”

Shaykh Ibn al-Habib berkata, “Banyak yang disebut-sebut sebagai majdhoub, namun majdhoub yang asli ialah dia yang shalat dzuhur di Masjid Agung di Meknes, shalat ashar di Makkah depan Ka’bah, dan kembali berada di Meknes untuk shalat maghrib!”

Sumber: 100 Langkah

48. Lawa’ih

Lawa’ih berarti pancaran-pancaran cahaya lahiriah. Shaykh al-Akbar menyebutnya sebagai “Ialah apa yang memancar dari rahasia-rahasia lahiriahnya, dari ketinggiannya, dari satu keadaan ke satu keadaan. Bagi kita, ialah apa yang bersinar ke mata, ketika ia tidak terbatasi oleh apa yang ada pada lahirnya dan dari cahaya-cahaya merasakan, bukan berasal dari arah hati.”

Inilah isyarat pertama tertembusnya kesadaran. Bentuknya seperti kilatan-kilatan, semburan-semburan kemilau yang seakan menyerbu masuk dalam suatu kancah yang gelap. Mereka harus diabaikan dengan cara apapun. Dalam perubahan awal apa yang kita sebut sebagai perubahan posisi si pengawas maka terjadilah berbagai pengaruh fisiologis. Mata lahir haruslah berhenti mengirimkan gambar-gambar jika ingin mata batin bekerja dalam hati. Namun, dahsyatnya kecepatan perubahan dari indra lahir duniawi kepada indra batin ruhani, meninggalkan jejak-jejak seakan seperti suatu aliran yang amat deras, berbagai impuls dari tubuh dan sistem syaraf. Namun, ini belumlah -bagaimanapun juga- makna batin ruhani, yang menjadi tujuan kita.

Inilah yang dimaksud dalam Diwan Shaykh Ibn al-Habib, ketika ia berkata, memakai istilah lain, “Jangan berhenti pada pancaran-pancaran lahiriah pertama, ataupun dengan segala sesuatu yang mungkin kau rasakan dalam keadaan ini.”

Shaykh Ibn Atha’illah berkata dalam Hikam, “Kadang kala cahaya-cahaya mendatangimu dan engkau dapati hati penuh berbagai citra makhluk lain sehingga cahaya itu kembali ke tempat asalnya.”

Sumber: 100 Langkah

49. Al-Lawami’

Al-Lawami’ berarti pancaran-pancaran cahaya. Disebut Shaykh al-Akbar sebagai: “Apa yang yang ajek* dari cahaya-cahaya tajalli selama dua saat atau yang mendekatinya.”

Jika cahaya-cahaya lawa’ih disebut sebagai berasal dari keadaan dasar di tubuh, maka cahaya-cahaya lawami’ dikenali, bukan secara indrawi, tetapi secara maknawi, sehingga dipahami dalam ruh pada layar indrawi, oleh ruhnya.

Pada tahap ini si faqir yang telah matang menyadari bahwa dalam kebersinaran ini adalah isyarat-isyarat awal tentang untuk apakah manusia itu, manusia ialah suatu arena cahaya-cahaya. “Kami tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah pada Kami”, firman Al-Haqq, segala puji bagi-Nya. Rasul kita telah menegaskan bahwa beribadah dengan ilmu lebih tinggi daripada ibadah tanpa ilmu, dan penyaksian adalah ilmu yang lebih tinggi dari pengetahuan. Cahaya-cahaya asli awal yang tiba pada hati yang penuh kerinduan si hamba adalah isyarat-isyarat bahwa kenyataan-kenyataan di Jalan telah dimenangkan, dan perjumpaan sudah dekat, dan penyaksian tidak terhindarkan, dan Allah mengabulkan do’a-do’a hamba-Nya. Maka berdo’alah untuk memohon-Nya saja dan bukan buah-buah-Nya, baik di dunia yang tampak ini atau yang Gaib. Cari Wajah Allah semata. Ayo terus.


Catatan :

*) ajek Jw a tetap; teratur; tidak berubah

Sumber: 100 Langkah

50. At-Tawali’

At-Tawali’ berarti kesemarakan*. Mereka dinyatakan oleh Shaykh al-Akbar sebagai : “Cahaya-cahaya tawhid yang menyinari hati-hati ahli makrifat yang melenyapkan semua cahaya lain.”

Cahaya tawali’ adalah hasil dari muraqaba, yaitu berjaga. Di tahapan ini cukuplah diketahui bahwa dari cahaya lawami’, anda pasti akan menuju ke cahaya tawali’ yang besar. Dikatakan bahwa cahaya lawa’ih seperti meteor, cahaya lawami’ seperti Galaksi Bimasakti terlihat menembus awan, dan cahaya tawali’ seakan Cahaya Bintang Selatan yang terlihat penuh ketika merebak di langit malam.

Kini, perhatian tunggal si faqir, dengan seluruh tuntutan gairahnya, adalah Rabbnya. Allah, segala puji bagi-Nya, tidak jauh, Ia dekat. Kedekatan-Nya lebih dekat dari urat nadi, bahkan lebih dekat, dari urat itu padanya. Ia-lah kehadiran. Kehidupan ialah kehadiran, Kehadiran Sang Penguasa. Dan itu cahaya. Allah ialah cahaya langit dan bumi. Itu maknanya lahiriah dan batiniah. Yakni indrawi dan maknawi. Di langit dan di hati, yakni langitnya batin. Cahaya di atas cahaya.

Allah membimbing sesiapa yang dikehendaki-Nya kepada cahaya-Nya. Allah berada sesuai sangka hamba-Nya, maka bersangka baiklah kepada Allah.

Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.


Catatan :

*) ke·se·ma·rak·an n kemegahan; kemeriahan: kehadiran ratu kecantikan akan menambah – pesta itu

se·ma·rak n 1 seri; cahaya: — bunga-bunga yang embun tampak dari sela-sela daun yang hijau2 ki kemuliaan; kemegahan: untuk — tumpah darah yang tercinta3 keelokan; perhiasan: hilang — nya karena penderitaan batin dan kesukaan hidup; — negara;

Sumber: 100 Langkah

51. Shawq

Shawq berarti gairah, yaitu hasrat hati untuk berjumpa dengan Sang Kekasih dan keceriaan hati saat menuju kepada Rabbnya. Gairah berakhir dengan ketibaan, namun kerinduan dan hasrat tidak pernah pudar, karena hati si pencinta tidak akan puas hanya dengan satu lirikan. Lebih banyak rahasia yang dicari, lebih banyak penyingkapan, lebih banyak ilmu. Dan karunia Sang Kekasih berterusan melampaui harapan atau kepantasan, dan rahasia-rahasia Sang Kekasih tidak berakhir.

Setelah si faqir merasakan hasrat dan gairah di hati, maka segera disadari bahwa apa yang tadinya telah mati, hidup kembali. Hatinya tidak lagi sekedar gumpalan daging sebagaimana saat ia memulai perjalanan. Kini ia adalah sarana perubahan, arena berbagai cahaya, dan layar penyaksian. Ia menanti dan berjaga. Ia memanggil dan memanggil. Ia bernyanyi kepada Sang Kekasih. Ia bangkit dengan kekuatan dhikir. Ia bergoyang. Ia bergerak maju dalam lingkaran. Ia memasuki pusat Tarinya. Ia menari untuk Sang Kekasih. Kesemestaan dirinya dipenuhi gairah. Segala alasan dibuat untuk menyebut Nama-Nya. Setiap jejak dalam kehidupan menunjukkan bukti Sang Kekasih. Burung-burung, makhluk-makhluk, lautan-lautan, semuanya isyarat bermakna yang menampakkan keindahan Sang Kekasih atau keagungan Sang Kekasih. Kini tidak lagi mungkin melihat kepada seekor elang atau seekor tikus, seekor kucing atau seekor ikan, apalagi seorang pecinta Allah, tanpa linangan air mata cinta dan pengenalan mengalir dari sebuah hati yang hidup.

Sumber: 100 Langkah

52. Dhawq/Dzauq

Dhawq berarti merasakan. Buahnya shawq ialah dhawq. Shaykh al-Akbar menyebutnya : “Yang pertama dari berbagai awal tajalli Illahi.”

Dhawq pertama akan terjadi dalam kumpulan sang Shaykh melalui tafakur intens atas Allah di hadapannya. Dhawq akan terjadi pada si faqir ketika dalam sama’a, menyenandungkan Diwan dan Hadra. Saat hati merasakan bukti-bukti pertama dari sumbernya, maka ia kehilangan seluruh kesadaran kehidupan indrawi. Ia menetap dalam makna selama makna itu berlangsung. Tidak ada waktu, tidak ada Pengawas yang akan mengganggu dengan pengamatan palsunya dan rasa ‘ketidaksatuan’. Si Pengawas telah teralihkan perhatiannya. Si Pencerca tidak berdaya. Nafsunya tertawan. Hatinya terbebas. Bergerak. Hidup. Merasakan. Ketika Wali dari Bahlil berjumpa Shaykh al-Alawi, dia berkata padanya, “Dapatkah engkau membuat sebuah hati bagiku?” Inilah gelora gairah si faqir yang merindukan makrifat. Dengan dhawq, hati kembali menjadi sebuah organ hidup kesadaran spiritual dan berbagai ilmu.

Dhawq ialah kehidupan itu sendiri, yang menerobos masuk untuk pertama kali. Atau jika engkau berkenan, inilah denyut pertama kebangkitan setelah tidur malam yang panjang. Si penidur terjaga. Tidur lagi. Menggeliat. Geliat ini mendahului bangun dan pengalaman menyeluruh benderang di pagi hari setelah malam kejahilan.

Sumber: 100 Langkah

53. Ash-Shurb

Ash-Shurb berarti minumannya. Merasakan yang terus meningkat menjadi minuman.

Shaykh al-Kamil dalam Diwannya berkata, “Kekasihku memberiku satu minuman dari cinta suci, maka aku menjadi yang dikasihi di semua jalan.” Ia juga berkata, “Sang Kekasih memberi kita minuman cinta untuk diteguk yang memaksa segalanya, kecuali Sang Kekasih, lenyap. Kita melihat berbagai makhluk ciptaan sebagai partikel debu murni, kita saksikan Cahaya-cahaya muncul terang-terangan.”

Sifat minuman ialah meningkatnya makna, dan karenanya, penurunan dalam indra. Ketika dirimu lenyap, cahaya nampak. Tentang keadaan ini, Sidi Ali al-Jamal menasehati, “Rileks inteleknya dan belajarlah berenang!”

Tidak ada yang mencegah si kekasih kembali dari merasakan dan minuman kecuali ketidaksucian. Jika ketidaksucian itu dihilangkan maka seakan pikiran itu sendiri menjadi satu tanda yang harus dihapus, bagaimanapun buruk atau tepatnya. Seperti kata Sultan para Pecinta berkata: “Dalam mengenang Sang Kekasih, kita dengan cepat meneguk arak antik yang membuat kita mabuk sebelum penciptaan anggurnya!”

Shaykh al-Akbar berkata, “Pertengahan tajalliyat yang akhirnya berada pada setiap maqam.”

Sumber: 100 Langkah

54. Sukr/Sakr

Sukr berarti mabuk, kemabukan. Meminum yang semakin meningkat menjadi kemabukan. Didefinisikan oleh Shaykh al-Akbar sebagai : “Penarikan oleh sebuah warid yang kuat.”

Shaykh al-Harraq* berkata pada Diwannya yang mulia :
“Keteguhan tidak menjadi sia-sia ketika engkau menjadi mabuk karena anggurnya. Ia mencurahkan air kelapangan kepadamu dalam sebuah badai.

Engkau bergoyang, bergetar, menari dalam bahagia. Hanyut. Hari-harimu senantiasa menyegarkan dengan anggur.

Ketika matahari bersinar di akal si peminumnya, ia menjadikan makhluk ciptaan disebut sebagaimana zat aslinya.

Ketika cangkirnya meninggalkan anggurnya, deraian para kekasih menyusunnya. Seluruh warnanya bersinar.

Yang pandai menyadari batasnya karena adat, saat ia merasai dari dalam cerek. Itu suci.

Mereka jadi pemabuk. Mereka tidak menerobos segelnya karena keadaan para cendekia begitu indah saat mereka mabuk.

Tidak ada seorang peminum pun diantara mereka pernah memecahkan gelas di antara kawanan peminum, atau pun mereka jadi sembrono.

Jika yang lain membocorkan rahasia, itu melindungi mereka dari kejahatan kesalahan, lahiriah dan batiniah.

Mereka tidak mengakui atau menolak apa yang mereka miliki.

Mungkin mereka akan mencari naungan dalam urusan hakikinya.

Zatnya menolak mereka dalam kenyataan, sedang cahaya sifatnya meneguhkan mereka. Mereka mati dan hidup.

Mereka menyentuh minumannya dengan semua gelas-gelasnya.

Langit berawan dan terang akan mendatangi mereka.

Merekalah para Rijal itu. Semoga Allah menjadikan kejayaan mereka abadi! Demi Allah, yang lain ialah rongsokan dan sampah!”


Catatan :

*) Shaykh al-Harraq ialah Abu Abdillah, Sayyidi Muhammad ibn Muhammad al-Harraq al-Hasani rahimahullah. Seorang murid, pewaris sir dan khalifahnya Sayyiduna al-‘Arabi ad-Darqawi. Beliau menjalani tarekatnya, membuka dan memudahkannya. Jalan beliau didasari empat aturan: zikir, mengajar, ilmu dan cinta. Beliau mengajar selama sekitar 30 tahun. Dan wafat di usia 75 atau 76 tahun di tahun 1261 Hijrah dan dimakamkan di zawiyyanya di Bab al-Maqabir, dalam kota Tetouan, Maroko. Semoga Allah melanggengkannya dan semoga Allah memberi kita manfaat darinya. Amin.

55. Khamr

Khamr yaitu anggur. Shaykh al-Harraq berkata dalam Diwannya: “Dengan jahil, engkau menyalahkan anggurnya. Jika kesadaran seseorang tersapu, maka dia menjadi anggur.”

Anggur indrawi adalah perumpamaan bagi kenyataan-maknawinya. Anggur dan kemabukkan itu sama. Keterangan masyhurnya menurut Sultannya Para Pecinta yang ada pada kitab Khamriyya ialah: “Mereka berkata pada-ku, ‘Uraikan dia, karena engkaulah yang tahu uraiannya.’ Baik, karena saya tahu sifat-sifatnya. Suci – namun bukan air; halus – namun bukan udara; benderang – namun bukan api; jiwa – namun bukan jasmani.”

Shaykh Ibn al-Habib berkata dalam Diwannya: “Ia tidak pergi sebelum ia memperoleh minuman dari kendinya. Tidak ada celaan. Minumlah, karena anggur itu ialah perkataannya.

Dan ialah Hadirat Kebenaran, sendiri, yang menjelmakan dirinya dalam berbagai bentuk yang tiap-tiap cahayanya berbeda.”

Shaykh al-Fayturi berkata pada Fayturiyyanya: “Mendekatlah kepada piala-anggur kebahagiaan. Meminumnya diizinkan! Engkau pasti rida dengannya, engkau akan menyaksikan Wajah Allah!”

Sumber: 100 Langkah

56. Ka’s

Ka’s berarti cangkirnya. Seorang sufi berkata, “Cangkirnya ialah hati sang Shaykh.” Shaykh al-Fayturi berkata dalam kitab Fayyturiyya:

“Al-Alawi, (ialah) sang Ghawth zaman ini.
Ketibaanku telah disempurnakan olehnya. Dia-lah kemuliaan rahasia-rahasianya.
Dia-lah gelas dan anggurnya.
Dia-lah penyaji cangkir anggur kesempurnaan bagi mereka yang terpelajar.
Al-Fayturi hilang akal dengan cinta darinya – ia meminum kemabukan dari anggurnya.”

Bahasa ini telah menimbulkan kebingungan besar di antara mereka yang jahil, yang tidak mau berusaha memahami makna-maknanya yang demikian halus sehingga mereka harus diperlambangkan dalam bahasa ‘Ishara dalam berbagai Diwannya para Arifin itu. Seluruh bahasanya jelas membentengi keistimewaan indah yang bertambah indah antara cangkir dan anggur, bentuknya dan cahayanya. Kita berbicara tentang ‘cangkir-cangkir yang terus-menerus berkeliling’ – maka para sufi muncul di berbagai kedai arak, semua wajah berubah jadi wajah sang Shaykh. Selanjutnya wajah sang Shaykh pun berubah menjadi sebuah cermin yang dengannya seseorang menatap rahasianya sendiri. Minum-minum berlangsung terus hingga ekstase membuat si peminum kelabakan. Hingga mataharinya terbit.

Sumber: 100 Langkah

57. Sahwa

Sahwa yaitu kesadaran. Shaykh al-Akbar menyebutnya: “Kembali ke sensasi setelah tersingkir karena warid yang kuat.” Sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Imam kita, al-Junayd. Para ulama yang membicarakan dan tidak merasakan telah membuat penggolongan semaunya dalam masalah-masalah ini sehingga timbul satu pendapat palsu tentang adanya mazhab kesadaran yang lebih dominan yang berlawanan dengan mazhab kemabukan. Sang sufi itu lahirnya sadar dan batinnya mabuk. Ia tidak menampilkan dirinya sebagai orang yang lahirnya mabuk sedang batinnya sadar, Karenanya adab senantiasa hadir berkat latihan dan niat. Saat minum-minum dan ekstase, Allah melindungi kekasih-kekasih-Nya dengan keberadaan majelis mulia para sidiqin-Nya. Maka dia yang tidak mampu menjaga ekstasenya, tidak tersingkap kepada pandangan mereka yang jahil dan suka mencela, dan perkecualian tidak membatalkan aturan umumnya. Imam al-Junayd menolak Hallaj dari majelisnya, namun khalifnya ialah ash-Shibli, majdhoub besar, terlatih untuk menyembunyikan ekstasenya di kedalaman suluk gurunya yang mulia. Ahli Darqawi menyiapkan hatinya menjadi dia yang berkesadaran lahiriah, hanya saja sudah jelas bahwa para pengikut Mawlay al-Arabi ad-Darqawi adalah mabuk/sadar, sebagaimana mereka itu agung/indah. Mereka adalah pengemis/raja-raja sebagaimana mereka mujahid/wali.

Sumber: 100 Langkah

58. Farq

Farq berarti pemisahan. Sudah tiba saatnya untuk memperkenalkan sepasang istilah berlawanan yang penting dan membawanya pada kumpulan pengertian baru yang lebih mendalam. Dengan pasangan ini maka pasangan terdahulu, yakni hiss dan mana diberi pengertian yang lebih kaya dan lebih pelik. Definisinya menurut Shaykh al Akbar adalah: “Ia menerangkan ciptaan tanpa al-Haqq. Disebut bahwa inilah tafakur kepada yang disembah.”

Ia adalah kesadaran tentang makhluk oleh makhluk. Inilah diri itu sendiri yang merasakan dirinya karena keragaman dan dengan demikian terjabarkan menjadi keragaman.

Sidi ‘Ali al Jamal berkata bahwa sakit adalah farq, sebagaimana sehat adalah kesatuan. Dalam kesakitan seseorang menjadi sadar tentang tubuhnya dalam berbagai fungsinya, tempatnya, tanggapan syaraf, dsb. Semakin sakit seseorang maka semakin banyak kesadaran terkungkung dalam perpisahan, semakin membumi, diturunkan, dibentangkan.

Para sufi melakukan penarikan diri dari pemisahan – bukan untuk jadi zahid dan berpaling selamanya dari dunia – tetapi untuk mengetahui apa sebenarnya pemisahan ini dalam kenyataan-Nya. Ketika si faqir tiba pada kesatuan ilmu, maka seperti kami katakan, pemisahan tidak menutupinya dari penyatuan dan penyatuan tidak menutupinya dari pemisahan, dan ini bukanlah sekadar suatu kesadaran konsepsi melainkan bahwa kedua tataran pikiran dan pengalaman telah menyatu sebagaimana spons ialah arena kesatuan dari spons dan air, tanpa spons harus menjadi air atau airnya jadi spons. Yaitu tanpa, perembesan kedalam atau penyatuan atau penggabungan atau penyerupaan. Penarikan diri ini mensyaratkan awalnya berpaling dari segala yang tampak sebagai ghayr (selainnya, Peny.) hingga akhirnya engkau berpaling dari dirimu sendiri.

Sumber: 100 Langkah

59. Jam’

Jam’ berarti penyatuan. Shaykh al-Akbar berkata: “Ia menerangkan Allah tanpa makhluk.”

Penarikan diri dari pemisahan akan memaksa dia yang bertafakur untuk menarik diri, selangkah demi selangkah dari keberagaman. Pertama-tama, dengan menarik diri dari apa yang tidak mengikat dan menarik, kemudian dari apa yang mengikat dan menarik, yang artinya berbagai bentuk dari keberadaan makhluk ciptaan, baik yang mencolok dan subtil*, yaitu pelbagai benda dan berbagai pikiran, hingga samuderanya pantulan mereka menjadi bersih dari berbagai bentuk serpihan kapar** dan berbagai bahan buangan tidak berguna, dan berbagai arus diri telah reda sehingga mereka melihat pada samudera tenang yang memantulkan dengan jelas. Ketika samuderanya telah tenang akan muncul dari kedalamannya, mula-mula bentuknya, kemudian cahaya-cahayanya, lalu, rahasia-rahasianya. Dimensi kedua pengalaman ini – yang pertamakali ditemukan dalam perasingan dan keheningan – kita sebut sebagai penyatuan. Selanjutnya keadaan penyatuan ini akan memasuki ke dalam kondisi pemisahan. Tujuannya ialah agar keduanya harus bergabung sehingga dalam segala sesuatu baik yang lahir dan batin berlangsung tafakur terus menerus pada sang Kekasih.

Sidi Ali al-Jamal berkata dalam The Meaning of Man: “Keterpilihan itu ada dalam dua bagian: keterpilihan pada pemisahan dan keterpilihan pada penyatuan. Keterpilihan pada pemisahan ialah keterpilihan dari ciptaan. Keterpilihan pada penyatuan ialah keterpilihan oleh Sang Raja, al-Haqq. Dia yang melalui pemisahan memperoleh kerajaannya al-Haqq karena al-Haqq.”


Catatan :

sub·til 1 halus; lembut: banyak bunga yang berbau harum dan —2 perbedaan yang tidak kentara: ia telah berhasil mengungkapkan rahasia hidup manusia secara outentik dan —3 cerdik; bijaksana: dengan cara yang — , ia berhasil membujuknya

ka·par n kayu atau sampah dan sebagainya yang hanyut di sungai dan sebagainya;
ber·ka·par v ki terletak (terhantar, berhanyutan) berserak-serak tidak keruan: pada dini hari itu, ditemukan beberapa sosok mayat ~ di sungai;

Sumber: 100 Langkah

60. Jam’ al-Jam’

Jam’ al-Jam’ yaitu penyatuan atas penyatuan. Disebut oleh Shaykh al-Akbar sebagai: “Sepenuhnya terkonsumsi dalam Allah.”

Maka setelah dua istilah farq dan jam’ haruslah kini ditambahkan istilah ketiga. Si faqir kini berada dalam keadaan untuk memahami bahwa jika ajaran tauhid mendalam yang sedang didekatinya harus menjadi menyeluruh maka harus ada satu jalan, yang pada tahap ini belum terjelaskan dan terpahami, dimana dengannya kita dapat mengesahkan kenyataan itu tanpa diri kita berada padanya melalui tiap-tiap cara pengalaman apapun. Allah mengesahkan Allah dengan lidah Allah dan bukan sekedar Allah disahkan dengan lidah hamba-Nya. Namun harus disadari bahwa ini bukan suatu penambahan kepada pengalaman, satu ‘perapihan’ ajaran tauhid, atau satu pemaksaan keadaan atas ‘kesimpulan logisnya’. Sudah jelas bahwa ajaran yang sedang kita hampiri tidak terkait dengan logis atau tidak-logis. Tidak ada paradoks dan pertentangan yang bisa muncul dari pengajaran ini. Ia dikenali dalam hati dia yang mengenalinya, dan kosong pada lidah dia yang membincangkannya. Jam’ al-Jam’ ialah asma suci Al-Alim di lidah si alim, ialah asma suci Al-Waliu di lidah si wali, dan ia berasal dari arena ilmu dan kumpulan sahabat, tidak bisa dimasuki, tidak bisa ditembus, tertutup rapi, azimatnya kebenaran.

Sumber: 100 Langkah

61. Tauhid

Tauhid berarti ketunggalan, tasdik*nya. Imam kita (Imam al-Junayd) berkata: “Ia ialah sebuah makna yang menghilangkan guratan batas-batas dan menyatukan ilmu-ilmunya: Allah adanya kini sebagaimana Ia senantiasa ada. Tauhid memiliki lima tiang: terdiri dari terbukanya tirai pada kesatuan, menegaskan sifat keabadian hanya bagi Allah semata, meninggalkan kawan-kawan, meninggalkan negerinya sendiri, dan dia melupakan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui.”

Pernyataan terindah beliau atas tauhid, yang oleh Shaykh al-Akbar disebut sebagai pernyataan tertinggi yang bisa dikatakan atas perkaranya, ialah: “Warna airnya ialah warna gelasnya.” Menjelaskan hal ini, Shaykh Ibn Ajiba berkata: “Ini maknanya bahwa Dzat Yang Agung begitu subtil, tersembunyi dan cemerlang. Ia muncul pada batas-batasnya dan berbagai bentuknya, ia mengambil warna-warna mereka. Akui ini dan pahaminya jika engkau tidak merasakannya.”

Tauhid itu sendiri ialah sebuah penjelasan yang maknanya tidak lengkap bagi dia yang berpegang padanya hingga ia meninggalkannya atau sudah kecapaian atas pelbagai isyarat-isyaratnya lalu meninggalkannya demi suatu keintiman lengkap pada Yang Ahad.


Catatan :

tas·dik n pernyataan atau pengakuan sah (benar, yakin).

Sumber: 100 Langkah

62. Tafrid

Tafrid berarti isolasi. Makna tafrid ialah ajaran pengalaman sebagaimana tauhid ialah ajaran ilmu tentangnya. Tauhid dimiliki ahli ilmu. Tafrid dimiliki ahli dhawq. Namun sekali lagi kita melihat pergerakan dari kedalaman menyelam dalam pengajaran kepada kedalaman menyelam dalam pengalaman. Maka darinya muncul suatu pengajaran yang selanjutnya merangkum hidupnya mereka atau lebih tepatnya pengalaman kehidupan para arifin.

Shaykh Ibn al-Habib berkata dalam Diwannya:

“Cinta atas isolasi akan memberinya kepastian bantuan kontinu yang datang dengan sakinah.

Ia akan mulai benar-benar mencintai Allah, tanpa keraguan, dengan senantiasa melihat ihsan di setiap saat. Kesabaran dan cinta suci tanpa noda mengandung seluruh Maqam-maqam Yakin.”

Beliau juga berkata:

“Kekuatan hanya diberikan kepada dia yang telah mengisolasi diri dengan-Nya, dan yang, setelah banyak memuji, dihiasi dengan apa-apa yang diridai-Nya.

Selanjutnya ia akan terus membumbung di gurun-gurun Dzat-Nya sehingga ia benar-benar fana dalam sebuah fana yang tidak mengandungi apapun kecuali kehilangan.

Jika ia kembali ke jejak-jejak kehidupan, ia membawa sebuah jubah kemuliaan yang menyatakan wilayat dan kejayaannya.”

Sumber: 100 Langkah

63. Af’al

Af’al berarti tindakan-tindakan, yaitu tindakan Allah. Af’al adalah tindakan-tindakan Allah pada ciptaan dan Perintah-Nya. Artinya baik dalam arena partikel-partikel, atau istilah apapun yang dipakai untuk menyatakan bahan-bahan dasar Semesta, juga berbagai ciri khas organisme, yang dikaruniai kehidupan. Dalam kosmologinya sufi, yakni psikologi yang lebih besar dari diri si sufi sendiri, organisme tidak dipandang berbeda dari peristiwa. Dengan kata lain setiap ciptaan adalah satu peristiwa/organisme sebagaimana dia adalah sebuah tempat/organisme, karena setiap makhluk hidup ialah satu makhluk dalam waktu sebagaimana satu makhluk dalam ruang. Walaupun juga berguna untuk menjelaskan ‘berbagai perang’ dan ‘masyarakat-masyarakat’ hal-hal tersebut tidak memiliki kenyataan yang serupa dengan organisme pribadi itu.

Karena seluruh ciptaan berada di bawah perintah Ilahi, Kun! maka seluruh tindakan adalah aktivitas Pelaku Ahad. Qur’an menyatakan: “Allah adalah Penciptamu dan tindakan-tindakanmu.” Sementara, di satu sisi, engkau bertanggungjawab bagi perilaku-perilakumu, dari sisi lain, tindakanmu bergantung pada penempatanmu dalam waktu dan kenyataan ketentuan dari sel-selmu. Tidak seorangpun merdeka hingga mereka menginginkan apa yang diinginkan Allah. Kemudian mereka berkehendak, dan apa yang mereka kehendaki selalu terjadi. Memahaminya membutuhkan penghapusan dari segala harapan yang dinyatakan dalam kenyataan semesta tentang konsep-konsep dan berbagai struktur nilai seperti ‘kebebasan memilih’, ‘ketidakterdugaan’ dan seluruh rekaan naif dari manipulasi matematis dan ilusi tentang ‘keacakan’nya. Hanya satu hal yang terjadi, jika engkau menginginkan peristiwa, dan itulah Semesta.

Sidi Muhammad Ibn al-Habib berkata dalam Diwannya:

“Engkau akan melintas dari semesta ke Hadirat Suci, dan engkau akan menyaksikan Tindakan Allah dalam ciptaan dan Perintah-Nya.”

Sumber: 100 Langkah

64. Sifat

Sifat yaitu sifat-sifat Allah. Ketika si pencari mendalami pemahaman atas tidak berhingganya tindakan-tindakan maka dapat disaksikan bahwa seluruh tindakan berasal dari sifat-sifat kemampuan dan kebisaan. Sifat utamanya ada tujuh: pembicaraan, pendengaran, penglihatan, ilmu, keinginan, kekuatan, dan hidup. Inilah sifat-sifat utama makhluk manusia dan dalam proses perubahan wawasan kita yang dengannya kita berusaha menembus rahasia kehidupan kita mengembalikan seluruh sifat kita, seluruh sifat kemakhlukan dan yang wujud kepada sumbernya Yang Satu. Maka penglihatan adalah milik Yang Maha Melihat, bicara milik Yang Maha Bicara, ilmu milik Yang Maha Tahu, keinginan milik Yang Maha Berkehendak, kekuatan milik Yang Maha Kuat, dan hidup milik Yang Maha Hidup.

Si pencari harus menyerap kedalam kesadarannya pengenalan bahwa tindakan-tindakan sebagaimana adanya itu terkandung dalam sifat-sifat, berasal darinya, muncul darinya, sebab mereka ternyatakan di dalamnya melalui kemunculannya itu. Ketika Yang Maha Tahu mewujud Ia hanya bisa mewujud dengan mengetahui, oleh karenanya, si pencari bergerak dari apa yang secara lahir terjelma di kehidupan kepada apa yang tersembunyi di dalamnya, dari tindakan kepada sifat. Tauhid mengesahkan bahwa Allah Ahad dan karenanya si pencari harus menggenggam dengan satu wawasan kesadaran mendalam bahwa Allah itu Ahad dalam tindakan-tindakan-Nya dan sifat-sifat-Nya. Apa yang kini sedang diteliti dan berusaha dipahami segera akan terlihat dengan jelas dalam penyaksian.

Shayk Ibn al-Habib berkata dalam Diwannya:

“Engkau akan bangkit ke Asma-Asma-Nya dan meminum cahayanya, sehingga sifat-sifat akan tampak padamu tanpa sebuah tabir pun.”

65. Zat/Dhat/Dzat

Dhat atau Zat, yaitu Zat Allah. Allah Ahad. Sebelum penciptaan Semesta, Allah telah ada dan tidak ada yang bersama-Nya. Saat mendengar ini, Imam Junayd menyatakan, “Ada, sebagaimana Ia ada sebelumnya!” Allah Ahad dalam tindakan-tindakan-Nya, sifat-sifat-Nya dan Dhat-Nya, jika tidak begitu tidak ada tauhid. Sebagaimana sifat adalah sumber tindakan, maka Dhat adalah sumber sifat. Dhat hadir dalam setiap tingkatan. Suatu kesalahan menuduh para sufi itu mengaku-mengaku bahwa mereka hanya tahu tentang Dhat saja. Allah tidak mungkin dibagi-bagi karena jika demikian, hancurlah tauhid. Yang kita kenali adalah bahwa pada setiap sisi keberadaan memiliki suatu wahana yang dapat dipahami, dan wahana-wahana ini berbeda. Si arifin mencari satu tempat berhenti dari perbedaan yang bisa memberinya pencerapan langsung dari Al Haqq. Pada rahasia Dhat itulah terletak hati dari pencariannya si arifin. Itulah yang menyatukan berbagai yang berlawanan. Ajaran ini bukan panteisme*, karena semesta tidak memiliki kekekalan kenyataan, walaupun ia adalah arena kenyataan yang dipahami melalui wahana dalam-waktunya. Ajarannya bukan monisme** karena si hamba adalah hamba dan Sang Rabb adalah Rabb, dalam wahana dalam waktunya. Jika tidak ada dalam waktunya maka tidak ada Kekuasaan Rabb.

Tauhid ialah pernyataan Allah dalam Kesempurnaan-Nya. Sebagaimana dinyatakan Imam Junayd: “Ketika yang di-luar waktu muncul, maka yang di-dalam waktu tertelan padanya.” Sehingga makna Dhat mewujud dari sempurnanya fana namun ingati bimbingan Shaykh al-Kamil yang berkata:
“Kenali keindahan Dhat dalam segala perwujudannya. Karena jika tanpanya, keberadaan Perwujudan-Nya tidak akan terbentuk.”


Catatan :

*) pan·te·is·me /pantéisme/ n 1 ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta; 2 penyembahan (pemujaan) kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan

**) mo·nis·me 1 pandangan bahwa semesta itu merupakan satu satuan tunggal; 2 pandangan bahwa materi dan alam pikiran itu satu

Sumber: 100 Langkah

66. Makrifat/Ma’rifat

Makrifat berarti tahu benar. Makrifat adalah pengetahuan di mana bertumpu seluruh pengetahuan lain. Seluruh pengetahuan lain bersifat sangkaan, walaupun bisa diperiksa kebenarannya di ranah kemungkinan. Makrifat ini benar, namun tidak bisa dipertunjukkan. Hanya saja pengetahuan-pengetahuan lain itu tidak menerangi mereka yang mengetahuinya, tidak juga menghapus penderitaannya, tidak memberinya kebijaksanaan dalam segala perkara, dan tidak juga menanamkan cahaya dan kecemerlangan di keberadaannya. Dia yang berpengetahuan senantiasa memiliki kebutuhan-kebutuhan dan ketergantungan pada ciptaan. Dia yang arif tidak lagi butuh apapun, kecuali ketergantungan pada Rabb-nya yang memberinya apa yang diperlukannya dari ciptaan. Pengetahuan-pengetahuan lain, sebagai gagasan-ide tiada bertapak, semuanya tidak beralasan. Makrifat, pengetahuan inti, karena berupa pengetahuan tentang jati diri, adalah sebuah burhan*) bagi dia yang mengetahuinya dan inilah keagungan dan keunggulannya di atas semua pengetahuan yang lain. Dengannya si pemilik pengetahuan mengenal Alam Semesta, bagaimana susunannya dan aturan-aturan yang mendasari perilakunya, sifat-sifatnya dan esensi-pokoknya. Pengetahuannya tentang Alam Semesta adalah pengetahuan atas dirinya sendiri, sedangkan pengetahuannya tentang dirinya sendiri adalah wawasan langsung dari realitas keasliannya sendiri, identitas bani Adamnya. Segala yang dimilikinya berasal dari Allah. Ia tidak melihat apapun kecuali melihat Allah padanya, sebelumnya, sesudahnya. Hanya Allah saja tampak di matanya seperti dalam hatinya.

Siapapun yang memperoleh ini telah memperoleh sulfur merah**). Dengannya ia bisa mengubah hati-hati sesiapa yang mendatanginya karena kehadirannya sendiri adalah satu petunjuk dari satu peringatan. Ia membimbing ke Allah karena Allah.


Catatan :

*) bur·han n tanda yang nyata; barang bukti

**) Sulfur merah (Kibrit Ahmar). Istilah ini digunakan untuk mengisyaratkan sebuah perwujudan ruhani pribadi yang tinggi atau sebuah penyaksian yang amat jarang. Sulfur merah itulah yang dicari dan suatu asas yang berfungsi amat langka yang mengubah logam dasar menjadi emas. Menemukan pembimbing ruhani/mursyid sering disebut sebagai ‘menemukan sulfur merahnya’. Menemukan khazanah tersembunyi pada sir dirinya sendiri itulah Sulfur merahnya. Menemukan sulfur merahnya itu langka, namun beberapa wali Allah yang mulia menemukannya berlimpah-limpah! Makna umum dari sulfur ialah Amar Ilahi.
Diterjemahkan dari : http://www.almirajsuficentre.org.au/qamus/app/single/802

Sumber: 100 Langkah

67. ‘Ism al-‘Adham

‘Ism al-‘Adham berarti Nama Teragung. Ialah “ALLAH” yang diucapkan berulang-ulang dengan cara yang sesuai dengan pengajaran Tariqat Darqawi. Caranya, yaitu dengan memanjangkan pengucapan Nama itu, visualisasi huruf-huruf Nama itu dalam hati pada maqam awalnya, keheningan, dan penangguhan pikiran. Semua ini hanya bisa dengan idhn, izin, dari seseorang yang diberi wewenang.

Nama itu akan membawa si pencari ke Pemilik Nama. Pengucapan Nama itu dilakukan sendirian, tetapi puncaknya ialah dengan isolasi, baik menyendiri di gua maupun dalam khalwa. Di maqam awal si murid akan dibimbing oleh sang Shaykh, tetapi setelah ia mencapai derajat tertentu ia harus maju sendirian dan sejak saat itu sang Shaykh membuntuti si murid, sebagaimana adanya, menjelaskan apa yang terjadi hingga urusannya tuntas, yakni penyaksian langsung Rabb-nya seluruh makhluk. Ilm al-laduni, ilmu dari wajah ke wajah.

Inilah Nama Zat, dan Nama Terbesar dari seluruh Asma. Jika dari A-L-L-A-H yaitu alif lam lam ha engkau sisihkan alif pertama maka yang ada bagimu adalah lilah. Jika engkau sisihkan lam pertama maka yang ada adalah lahu. Jika engkau sisihkan lam kedua, maka yang ada adalah Hu yang sebenarnya ialah Nama Zat, Huwa. Di setiap tahapan engkau temui Allah.

Shaykh al-Alawi memberi nasihat dalam Diwannya:
“Dawamkan zikir ‘Ism al-‘Adham, dan menyeberanglah melintasi semesta, engkau akan memperoleh ganimahnya. Selami dalamnya samudera tak berwaktu. Inilah samudera Allah.”

Sumber: 100 Langkah

68. Ghurba

Ghurba berarti pengasingan. Sebuah hadis menjelaskan: “Pencarian al-Haqq ialah satu pengasingan.”

Dalam Diwan, Shaykh Ibn al-Habib berkata: “Dengan berdo’a pada Maha Penguasa Kursi, engkau akan menjadi seorang zahid di antara para manusia, dan engkau akan fana dari nafsu yang menghambat di perjalananmu.” Pada bait itu, beliau mengisyaratkan maqam kerinduan amat mendalam yang pada puncaknya, ketika tiba saatnya, yakni waktunya Allah dan bukan selainnya – dan waktu itu tidak bisa dipercepat atau ditahan oleh insan manapun – mendorong si pencari berpaling dari segala sesuatu yang telah menyibukkannya hingga saat itu. Di tahap itu ia harus mengesampingkan dari dirinya, segala sesuatu yang merupakan dunia dalam bentuk-bentuknya sebagai kewajiban, apa-apa yang menarik, keterlibatannya, dan amal. Setelah melepaskan semua komitmen lahiriahnya, dia bebas untuk melanjutkan kembali penyelesaian tugasnya. Hanya jika dia sungguh-sungguh bebas dalam pemutusannya ini, dan karena pemutusannya itu, yang selanjutnya bisa jadi tidak menghasilkan apa pun, dan Allah ialah Hakim terbaik dan satu-satunya Yang Maha Tahu atas berbagai rahasia. Dalam urusan ini si murid menerima nasihat Shaykhnya, memenuhi perintahnya apakah itu berupa khalwa atau menerima penundaan dan bimbingannya, walaupun kerinduan atas perjumpaan seakan tak-tertahankan kuatnya.

Kini, bagi si pencari, keyakinan pada Shaykhnya itu amat vital. Di akhirnya, seluruh keraguan atas dirinya harus ditempatkan kepada sang Shaykh sebagai sebuah keraguan besar. Inilah yang kemudian akan menjelmakan diri sebagai keyakinan bahwa seseorang itu tidak bisa tiba. Ini adalah penolakan atas izin yang dimiliki sang Shaykh. Penerimaan menjadi pengesahan atas diri berada dalam al-Haqq karena al-Haqq. Sang Shaykh sejak semula hanyalah sebuah cermin. Ini tidak akan dipahami kecuali setelah tiba. Terimalah pengasingan, inilah sunnahnya hijrah.

Sumber: 100 Langkah

69. Khalwa/Khalwat

Khalwa atau khalwat*) adalah mengundurkan diri dari dunia, untuk memfokuskan perhatian pada amal berzikir ‘Ism ‘al-Adhim agar tiba di penyaksian Wajah-Nya. Pembimbingnya ialah Sang Shaykh. Di maqam inilah nasihat Shaykh Mawlay Abdal-Qadir al-Jilani harus sepenuhnya ditaati. Mereka yang jahil menyalahartikan nasihat itu sebagai sebentuk pengendalian sosial palsu Sang Shaykh atas muridnya. Bukan demikian. Dalam kerangka maqam inilah beliau berkata: “Jadilah dirimu bersama Shaykhmu sebagai sesosok jasad mati di tangan mereka yang memandikannya.”

Dalam khalwa, seluruh adab untuk duduk dengan benar, memusatkan perhatian, semua bentuk ubuda terdahulu, akan membantu si pencari. Tapi tidak satupun yang akan demikian membantunya, selain harapan besar kepada Rabb-Nya, satu keyakinan mendalam atas kekuasaan dan keindahan Dia, yang berkuasa menutupi keburukan-keburukanmu dengan kesucian-Nya, dan kegelapanmu dengan cahaya-Nya.

Shaykh Abul Abbas al-Mursi, Sang Qutb, berkata, “Betapa sukar untuk menggapai Sang Shaykh. Begitu mudah untuk menggapai Allah.” Inilah rahasia khalwa dan pintu menuju keberhasilan. Bergantunglah kepada Sang Shaykh dan ceritakan padanya segala sesuatu yang terjadi dengan jujur dan hati-hati. Ikuti bimbingannya dengan sungguh-sungguh, sampai kata terakhir dalam perintah dan peringatannya. Khalwa berasal dari sepatah kata yang artinya hutan belantara atau ruang luas terbuka. Bahkan sesungguhnya bagi si arifin, inilah ruang terbukanya ruang terbuka.


Catatan :

khal·wat n pengasingan diri (untuk menenangkan pikiran dan sebagainya);

ber·khal·wat v 1 mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur, beribadah, dan sebagainya: selama bulan Ramadan ulama itu ~ di kampung yang terpencil; 2 berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat sunyi atau tersembunyi

Sumber: 100 Langkah

70. Ghuzla

Ghuzla berarti rehat. Setelah khalwa, hadir ghuzla.

Ghuzla adalah pengunduran diri setelah khalwa untuk meneguhkan dalam hati makna-makna dan rahasia-rahasia dahsyat yang telah terpancar atas diri yang bercahaya. Seringkali dalam khalwa, karena kekuatan tajaliyat*) yang telah terpancar, dan kekuatan makna-makna yang telah memancar di dalam hati, menyebabkan si arifin remuk atau masih mengalami mabuk. Satu keruntuhan akibat pengaruh fana.

Ghuzla adalah sebuah perlindungan bagi si faqir atas apa yang pasti terjadi selanjutnya, namun Allah-lah yang lebih tahu. Apapun kejadiannya, ghuzla, memberikan satu pengertian jelas tentang apa yang telah terjadi, dan membantu si arifin kembali ke dunia dengan kerendah-hatian dan menabiri rahasianya dari orang awam.

Shaykh Ibn Atha’illah berkata dalam Hikam: “Kuburlah keberadaanmu di dalam tanah keterasingan, karena apapun yang bertunas tanpa terlebih dahulu ditanam, akan mekar tidak sempurna.”

Ghuzla harus sering dilatih, oleh dia yang mampu, setelah khalwa. Aturan-aturannya tidaklah setegas kurungannya khalwa, dibolehkan untuk bicara sedikit dan berjalan-jalan terisolasi, juga boleh menelaah singkat.


Catatan :

ta·ja·li Ar v 1 tersingkap atau terbuka (selubung, tudungnya); nyata dan terang (tentang sesuatu yang gaib); 2 wahyu (kebenaran yang diperlihatkan Allah).

Sumber: 100 Langkah

71. Simsima

Simsima berarti sesam*)!

Shaykh al-Akbar menyatakan simsima adalah “Makrifat yang terlalu halus untuk diungkap.” Dalam makrifat -dalam makna paripurna tentang ilmu mengenal Allah dan rahasia-rahasiaNya- terdapat, baik tahapan-tahapan kejernihan luar biasa dan derajat-derajat kehalusan. Sedangkan yang pernah diisyaratkan oleh mereka yang telah menempuhnya sebelum ini, hanyalah ikhtisar dari perjalanannya itu. Bahkan, hanya sebagian yang bisa dibicarakan, yang lainnya tidak bisa disebut-sebut. Diamnya para arifin lebih dalam secara maknawi dari perkataan mereka. Sedangkan apa yang telah ditulis hanyalah isyarat-isyarat semata. Dan sebagian besarnya dalam bahasa isyarat seperti yang kita ketahui dalam berbagai Diwan utama.

Sang arifin akan menemukan dan harus waspada atas berbagai makrifat yang datang dan pergi. Sekali pergi mereka berlalu dan tidak dapat ditahan pada semua bentuk formalisasi batiniah, namun mereka datang dan pada kedatangannya, sebagaimana dengan seluruh makrifat, mereka mengubah dia yang bisa menangkap sayap-sayapnya. Maka, sang arif pun menyadari bahwa rahasia-rahasia cinta mengalir, dan mengalir tanpa henti. Dalam keberserahdirian atas aliran berbagai makrifat yang akan tiba pada sang arifinlah, yang membuat seseorang menemukan keberadaan pahala-pahala besar.

“Di Taman terdapat kurma-kurma yang begitu besarnya hingga dibutuhkan satu tahun perjalanan untuk memutarinya, namun ketika tangan diulurkan, dengan mudah kurmanya diambil dan dimakan.”


Catatan :

*) se·sam /sésam/ n bijan; wijen

Sumber: 100 Langkah

72. Tajalli

Tajalli berarti perwujudan. Pembukaan penglihatan Allah bagi hamba-Nya. Iluminasi.

Tajalliyat, kadang disebut kasyaf, adalah pembukaan-pembukaan yang tiba pada sang arifin, ketika ia bergerak melalui alam Malakut, dan cahaya-cahaya Jabarut menerobosinya. Sebagaimana dinyatakan Shaykh al-Akbar, pada hakikatnya Jabarut bukanlah kerajaan tertinggi, ia kerajaan tengah, barzakh atau ruang antara berbagai cahaya, yang terletak antara arena bentuk yang tersembunyi dan arena bentuk yang terlihat oleh mata. Karena dalam kehidupan biasa sehari-hari, yaitu sebuah tidur, kita tidak punya akses kepada yang gaib sehingga si pencari harus berupaya untuk berpaling dari segala yang (kelihatannya) selain dari Allah. Sedangkan ini, tujuannya agar mampu melihat seluruh semesta kehidupan di dua alam dan menyaksikan Allah padanya. Ketika usaha batin menguasai usaha lahirnya, maka alam gaib mengambil alih dari alam nyata.

Tahap kerja selanjutnya adalah menyelaraskan yang batin dan yang lahir dalam kepentingannya. Jika tidak, seseorang akan menjadi batinis dan menolak lahiriah dan membatasi Allah. Oleh karenanya tahap akhir menjelang iluminasi sedemikian sulitnya tanpa bimbingan, bahkan tidak mungkin. “Tidak ada jalan menuju fana pada Allah kecuali di tangan seorang Shaykh dan pengecualiannya tidak menafikan aturannya”, kata Shaykh al-Hashimi dari Damaskus. Jika keduanya selaras, yaitu setara, maka mereka tidak lagi bertentangan dan karenanya, lenyap, karena yang satu tidak lagi mendominasi yang lain. Di fase ini cahaya-cahaya sifat muncul secara terbuka. Saat pengenalan menyingsingkan cahaya-cahaya agung Zat muncul. Tajalli Zat. Wajah Sang Kekasih.

Sumber: 100 Langkah

73. Takhalli

Takhalli berarti pelepasan.
Inilah kekalahan terakhir dunya’ / dunia sebagai ilusi. Saat arifin merasakan tajalliyat dan mabuk oleh berbagai cahayanya maka apa yang mulanya penting, menjadi kecil dalam pandangannya. Setelah masa dis-intoksikasi yang singkat atau panjang yang dibawa melalui rahasia Takdir, si arifin mulai merindukan penyingkapan-penyingkapan yang lebih besar dan inisiasi yang lebih besar atas rahasia-rahasia, pada saat ia telah berkomunikasi dengan jati diri terdalamnya, ketika ia telah memasuki ruang audiensi dan bisa berbicara dengan Sang Kekasih. Akibat dari ini, apa yang menimpa dirinya dalam urusan lahiriah dunia, mengecil kepentingannya, saat lemari-lemari harta kebatinan dirinya sendiri menampakkan hartanya.

Karena ini ketidaksukaan baru pada pengajaran yang hampa makrifat, pria ahli ilmu melakukan pelepasan. Buahnya adalah hikmah, kemudahan hidup, rejeki yang ajaib, pengikut tanpa perlu mencari mereka dan cinta dari makhluk, baik manusia maupun hewan. Bukannya terputus dari dunia, bahkan ia dapati bahwa kini dunia mencari dan mendatanginya sebagaimana dulu ia pernah mencari dunia dan dunia menjauhinya, seperti dinyatakan Junjungan kita, Mawlay al-Arabi. Tetapi dalam segala hal, ia menyaksikan Rabbnya. Ia menempatkan segala sesuatu sesuai tempatnya. Hatinya merdeka.

Sumber: 100 Langkah

74. Al-‘Ama

Al-‘Ama berarti halimun*) agung.

Dalam riwayat Tirmidhi terdapat hadis mulia ketika Rasulullah ditanya: “Di mana Allah sebelum penciptaan Semesta Alam?” Beliau menjawab: “Ia berada di ‘Ama.” Dijelaskan bahwa ‘Ama tidak memiliki sifat atas dan bawah. Dengan kata lain ia adalah ruang-ketiadaan asasi di ketidakadaan waktu. Sayyidina Ali, semoga Allah memuliakan wajahnya, juga ditanya hal yang sama dan setelah lama diam, ia menjawab: “Bertanya di mana Allah adalah menanyakan tempat. Sedang, Allah ada, namun tidak ada tempat. Lalu Dia menciptakan waktu/tempat dan Dia ada kini, sebagaimana Dia ada sebelum waktu/tempat.”

Maka ‘Ama ialah sebuah kekosongan tanpa bentuk-bentuk padanya, benar-benar hampa, tidak ada. Kehampaan asali. Pada suatu tahapan dalam tafakur mendalam arifin di perjalanan menuju Allah, mereka akan memasukinya, jika Allah kehendaki, ke dalam kabut gelap besar yang tidak bisa dibedakan. Sebelum keberadaan waktu.

Shaykh Ibn al-Habib menasihati:
“Wahai engkau yang merindukan kehadiran sebagai saksi mata, engkau harus bangkit di atas arwah dan berbagai bentuk.

Dan bergantunglah pada kehampaan asali, dan jadilah dirimu seakan engkau belum fana, wahai yang telah fana!

Pastilah engkau akan melihat sebuah rahasia yang makna-maknanya telah menyebar di setiap zaman.”


Catatan :

*) ha·li·mun n kabut

Sumber: 100 Langkah

75. Muraqaba

Muraqaba yaitu berjaga.

Penjagaan ini dimulai saat si faqir menjaga diri dari berbagai perbuatan keliru nafsunya. Kemudian berjaga ini menjadi semakin dalam, berupa satu perhatian dalam fikir yang mencegah segala selainnya memasuki ke dalam kesadaran. Lalu terdapat satu tahap akhir berjaga yang merupakan puncak makrifat. Ia melingkupi perpindahan kesadaran, yakni pengalaman tauhid itu.

Mari kita perhatikan kembali. Di tahap pertama engkau mendirikan seorang Pengawas untuk mengawasi lahiriahmu dan menjadikannya murni. Di tahap kedua si Pengawas mengawasi nafsu, dalam berbagai tipu daya batinnya. Dari sini muncul satu tahap mulia di mana si Pengawas dihampakan dari mengawasi apapun atau bentuk apapun, ditahan hanya oleh zikir menyebut Nama-Nya. Ini membawa kepada Kehampaan Asali. Maka si pencari bergerak di antara alam-alam, menarik yang indrawi dan maknawi mendekat, semakin mendekat, kepada kesetimbangan yang semakin halus dan halus. Saat cahaya-cahaya menyeruak, engkau tahu bahwa engkau tidak melihat Allah, namun Allah melihatmu. Ihsan. Ini bukanlah monisme murni atau posisi penyederhanaan filosofi apapun. Ini adalah satu keadaan yang tidak bisa diutarakan dalam ekspresi linear atau rumusan, karena ia begitu halus, dinamis dan rahasia. Wirid di saat ini ialah Wird as-Sahl.

Allahu maee. Allahu nadhirun alayya. Allahu shahidun alayya. 66 kali.

Sumber: 100 Langkah

76. Musyahada

Musyahada berarti Penyaksian.

Shaykh al-Fayturi berkata: “Rahasia dari muraqaba ialah musyahada.” Shaykh Ibn al-Habib berkata dalam Diwannya:
“Yang Maha Pengasih hanya bisa dilihat dalam berbagai perwujudan seperti Arsy, Kursi, Lawh Mahfuz dan Shajarat al Kawn.”

Beliau juga berkata:
“Al-Haqq hanya terlihat dalam perwujudannya, baik oleh seorang malaikat atau makhluk manusia.

Perwujudan pertamanya ialah Nur Ahmad, semoga salawat paling sempurna tercurah padanya selamanya.”

Beliau melanjutkan, dan perhatikan dengan hati-hati :
“Dengannya, Al-Haqq telah memenuhi setiap makhluk dan segala yang ada dan pernah ada,

Maka saksikan dia pada dirimu, dan pada cakrawala, dan gabungkan itu pada penalaran atas Sang Pencipta.

Maka penyaksian itu akan memperbaiki setiap kerusakan pada nafsumu, hati dan sir-nya sir. Maka si arifin bergerak dari tajalliyat Sifat pada tajalli Zat.

Akhirnya adalah pandangan langsung pada Wajah-Nya.”

Shaykh Ibn al-Habib berkata:
“Wajah Sang Kekasih muncul dan bersinar di awal fajar.”

Sumber: 100 Langkah

77. Wilayat/Wilayah

Wilayat. Persahabatan dengan Allah, penerimaan. Wilayat ialah maqam sang wali -dia yang didudukan dalam ilmu. Shaykh Ibn al-Habib berkata dalam Diwan:
“Engkau akan menjadi seseorang yang duduk bersama Allah, tanpa upacara, dan engkau akan aman dari keraguan, syirik, dan yang selainnya.”

Shaykh Ibn`Ajiba berkata tentang ini:
“Buahnya adalah tercapainya fana dalam Zat setelah hilangnya yang indrawi. Apa yang telah dihapus, tidak pernah ada sebelumnya, dan apa yang tersisa, tidak akan berakhir.”

Ibrahim bin Adham pernah bertanya pada seseorang: “Apa engkau berharap jadi seorang wali?” Orang itu menjawab, “Ya.” “Maka jangan inginkan apapun dari alam ini dan alam akhirat. Hambakan dirimu pada Allah, palingkan wajahmu menghadap pada-Nya. Dia akan memperlakukanmu dengan kelembutan dan membantumu.”

Sumber: 100 Langkah

78. Fana’

Fana’ berarti punah dalam Allah.

Shaykh al-Akbar berkata, “Si hamba melihat dengan tindakannya bahwa Allah memelihara itu.” Ketiga tahap fana’ dirangkum dalam Diwan Shaykh Ibn al-Habib:

Maka ketunggalan tindakan muncul di awal zikir kepada Allah.

Dan ketunggalan sifat muncul dari cinta kepada Allah.

Dan ketunggalan Zat-Nya memberikan baka dalam Allah.

Yaitu: fana’ dalam Tindakan, fana’ dalam Sifat, fana’ dalam Zat.

Shaykh al-Alawi membimbing dalam Diwannya:
“Mulk dan Malakut maupun Jabarut seluruhnya adalah Sifat, dan Zat menetapkanNya. Undur dirilah dari Sifat dan fana’kan dirimu dalam zatnya zat. Inilah berbagai isyarat yang akhirnya membawa ke Allah.”

Fana’ benar-benar memiliki arti seperti apa yang dinyatakan. Inilah kematian dalam makna, didasari pada hilangnya sifat-sifat, bahkan kehidupan itu sendiri. Ia akan dicapai melalui rangkaian proses indah pengunduran diri dari indrawi, melalui zikir Ism al-Adhim hingga bahkan Asma-nya, hubungan terakhir dengan kesadaran lenyap. Dari kedalaman Kehampaan Asali rahasia-rahasia dan cahaya-cahaya bermunculan. Si pencari akan melintas melalui berbagai langit, masing-masing dengan warnanya sendiri dan makna-maknanya. Nur ala Nur. Hingga tajalli agung yang menyingkap rahasia dan mengindikasikan Allah.

“Makna Zat akan terwujud dari kesempurnaan fana’, maka engkau akan memperoleh baka, kaya bersama Allah sepanjang sisa hidupmu!”

Sumber: 100 Langkah

79. Bala

Bala berarti ujian.

Setelah fana datanglah bala. Setelah fana datanglah ujian. Akibat iluminasi makrifat yang demikian membinasakan, dan dengan begitu terbakarnya intisari diri, hingga mungkin saja pengaruh itu bisa membuat dia yang telah kembali, tergelincir. Ia bisa saja mengkhayalkan bahwa seluruh pengalaman itu adalah hasil usahanya, bahwa ada sesuatu yang telah dicapai, dan bahwa inti makna penyingkapan akan berbalik menjadi suatu kilah karena mendadak memasuki lagi yang indrawi. Maka dengan selalu bergantung kepada ketidakberdayaan dan tidak pernah melepas keyakinan dasar -bahwa si hamba ialah hamba dan Sang Rabb ialah Rabb- maka si pejalan akan memperoleh kemenangan. Urusan ini tidak berakhir dengan fana walaupun ia adalah puncak dan kuncinya.

Imam Junayd telah mengingatkan bahwa hadiah selanjutnya ialah bala, guna memurnikan si hamba pada keadaan barunya dan membantu mengatur lensa wawasan barunya. Bagi dia yang telah menyatukan wawasan berlawanan, sebuah pendidikan ulang dibutuhkan untuk mulai melakoni kehidupan berbagai makna itu seraya tetap berfungsi secara indrawinya. Allah-lah hadiah dari berbagai ujian pada hamba-Nya, untuk perlindungan si hamba, dan pemulihannya. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dia-lah Yang Maha Dekat. Kini, seketika, tibalah ujian pertama bagi si pencinta untuk tidak menolak-Nya ketika Dia muncul dalam Keagungan yang mengerikan.

Sumber: 100 Langkah

80. Baqa’

Baqa’ berarti berkekalan. Senantiasa kekal dalam Allah.

Shaykh al-Akbar berkata, “Si hamba melihat bahwa Allah melestarikan segalanya.” Setelah bala, yaitu baqa’. Kata ini diambil dari salah satu Asma Allah, al-Baqi’u, karena Dia ialah yang Maha Kekal. Maka si hamba kembali pada kehambaan. Dalam kata-kata indah Shaykh Ibn Atha’illah mengatakan,

Allahumma, Engkau telah mengamar kami kembali kepada makhluk ciptaan, maka kembalikan kami kepada mereka dengan berjubah cahaya dan bimbingan mata hati, sehingga aku dapat kembali dari mereka kepada-Mu, sebagaimana aku masuk kepada-Mu dari mereka, dengan sirku terlindungi dari melihat kepada mereka dan himmaku terangkat di atas ketergantungan kepada mereka. Karena sebenarnya, Engkau-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.”

Inilah deklarasi agungnya baqa‘.

Baqa’ ialah kembalinya ke awal kehambaan, dengan sebuah konfirmasi lahiriah atas awalnya, Tariqatnya, dan ketibaannya, dengan sirnya tersembunyi dan ilmunya terbungkus dalam sebuah jimat. Rijal baqa’ itu lahirnya hamba, batinnya merdeka, lahirnya gelap, batinnya terang, lahirnya sadar, batinnya mabuk. Dialah barzakh dua lautan syari’at dan haqiqat. Pemisahan tidak menabirinya dari kesatuan, dan kesatuan tidak menabirinya dari pemisahan.

Sumber: 100 Langkah

81. Sahq

Sahq berarti pelumatan. Shaykh al-Akbar menyatakan, “Hilangnya strukturmu karena paksaan kekuatan.” Ia menyebut Mahq sebagai, “Fananya dirimu dalam sumber-Nya.” Maksudnya yaitu kebinasaan. Sa’iqa atau halilintar. “Fana dalam tajalli ilahi.”

Ketiga istilah ini secara berbeda menatap langsung kejadian utama fana yang tidak boleh diremehkan, karena kekuatan Allah yang Maha Kuat. Dan fananya jati diri pengalaman, atau intisarinya, adalah hal menghancurkan, dimana istilah-istilah tersebut itu tepat persis dan bukan sesuatu yang berlebihan. Di dalam tafakur mendalam si arifin, ketika saatnya tiba dan ia diperintah untuk bergerak karena satu detak batin kalbu, maka pada waktu itu -yang bukan waktu itu- pengaruh pecahnya batasan waktu itu ialah sambaran halilintar yang tidak dapat dihindari. Walaupun dijelaskan dengan istilah ini, pelumatan dan kehancuran, haruslah diingat bahwa Dia yang Aziz itu juga Ar-Rahman. Di tahap ini kerinduan si pencinta tidak lain adalah keingin-matian, ingin segera beres dengan bayangan dirinya dan akhirnya berhadap-hadapan wajah dengan Al Haqq –Ilm al-laduni– Ilmu langsung. Inilah harganya, wahai arifin! namun ingatlah ketika engkau kembali ke dunia, itulah hakikatmu, maka apalagi yang hendak engkau kerjakan kini selain senantiasa memuji Dia.

“Segala sesuatu yang ada padanya akan musnah. Dan yang kekal hanyalah Wajah Rabbmu yang Maha Gagah dan Maha Mulia.” (Surat Ar-Rahmaan ayat 26-27).

Sumber: 100 Langkah

82. Nasut

Nasut berarti keinsanan.

Kita telah tiba pada tiga serangkai istilah yang menyatakan kehidupan dari wawasan baru ilmu yang dimiliki sang arifin. Sebelum makrifat Semesta ada di luar dirinya, berlawanan dengannya. Dalam kerahasiaan muraqaba-nya, ia telah menggulung Semesta dalam dirinya dan melampauinya. Ia telah menegaskan pernyataan mulia Shaykh Sidi Ali al-Jamal, “Kehidupan ialah separasimu dan engkau ialah penyatuannya.” Sudah tidak mungkin bagi cara pandangnya untuk bicara tentang semesta sebagai dia yang berada di luarnya.

Nasut adalah istilah yang menyatakan insan manusia sebagai satu penyatuan semesta. Kini si insan manusia ialah insan/semesta. Sang arifin ialah seorang insan semesta. Maka keinsanannya ada dalam sisi yang melingkupi seluruh kesadarannya. Ia tidak lagi memiliki sebuah psikologi namun ia tetap terus hidup. Demikian pula, dunia tidak lagi memiliki satu kosmologi karena ia mengetahui hakikat semesta dalam batiniahnya. Baginya, perjalanan lahiriah dalam ruang adalah sebentuk kejahilan jika dilakukan hanya semata untuk itu, karena perjalanan lahiriah itu untuk mengenali diri, sebagaimana ia temukan bahwa perjalanan batiniah ialah untuk menemukan peristiwa kejadian semesta.

Maka bisa kita katakan bahwa nasut adalah bagian pertama dari tiga serangkai mengetahui, satu cara mengenali kehidupan dimana si pengenal dan arenanya bukanlah dua, atau tersambung, namun satu hakikat bilateral.

Sumber: 100 Langkah

83. Lahut

Lahut berarti keilahian.

Inilah istilah kedua dalam rangkaian baru ini. Dengan istilah ini dijelaskan alam kekuasaan dan penguasaan Allah, keRajaan-Nya, rububiyyat, atas kehidupan pada sisi batin. Lahut, yaitu alam berbagai makna dan sumber-bentuk ciptaannya Allah, ‘ayn ath-thabitah, ialah juga alam sumber asli si arifin dan sumber dari sumbernya. Maka penyatuan -penyatuannya dalam ilmu- ialah hakikat dimana sumber dirinya berada, begitu juga sumbernya dari seluruh hal yang diketahui dan hal yang tidak diketahui. Hanya saja tidak ada yang tersembunyi darinya, namun tetap saja ia hanya memperoleh ilmu yang diijinkan baginya sesuai kemampuannya dan hadiah kemampuannya itu. Inilah bukti kehambaannya dan keRajaan-Nya.

Namun sang arifin dalam ketidakmampuannya itu, berenang di lautan ilmu dan menggenggam pedang hikmah. Ia gagah dalam kelemahannya dan bijaksana dalam kejahilannya. Ia bercahaya dan diberi sebuah lidah dari keinsanannya sendiri dan kediam-heningannya. Lahut adalah penyatuannya, dan itulah satu lautan dari rahasia-rahasia tanpa suatu pemisahan atau pembagian.

Sumber: 100 Langkah

84. Rahamut

Rahamut berarti sumbernya. Hadirat Rahmat.

Inilah istilah ketiga. Sebagaimana yang kedua mengisyaratkan sang arifin dalam aspeknya atas lahut-nya yang tersembunyi, yaitu alam segala sumber-sumber bentuk dan berarti juga dirinya, maka harus ada istilah dimana kedua aspek itu menyatu. Maka sumber keberadaan dari diri/semesta ialah rahasia penyatuan yang menyatukan keagungan dan keindahan dalam Tauhid. Inilah hakikat kasih sayang dan kelembutan, yang demikian amat sangat meluas. Dengan kata lain, kita telah mengganti sebuah konsep tentang dhat dengan satu makrifat pada Al-Haqq.

Hanya dari rahamut, sang arifin yang kembali, dapat menyatakan dengan bukti langsung dari perjalanannya bahwa Rabb yang Penyayang tidak terpisah dari Qadar-Nya (Takdir-Nya) dan rahasianya. “Aku memasukkan orang-orang ke Taman dan Aku tidak peduli. Aku memasukkan orang-orang ke Api dan Aku tidak peduli.”

Dalam nasutlahut dan rahamut, makrifat dikumpulkan, pengertian mendalam dikonfirmasi, dan alam-alam dunia hilang ke dalam satu sama lain, ditelan, tidak lagi ada. Allah senantiasa wujud dan tidak ada selain bersama-Nya. Sebagaimana ada senantiasa ada-Nya.

Sumber: 100 Langkah

85. Mahabba

Mahabba berarti cinta.

Sang arifin memasuki cinta dalam kesempurnaannya. Awalnya ialah suluk, pertengahannya jadhb dan fana. Akhirnya adalah baqa’.

Rahasia-rahasia cinta mengalir tiada henti. Sang arifin memperoleh hadiah dan tambahan hadiah dari Kekasih. Seperti di awal urusannya, Allah menutupi perilaku buruknya dan menyembunyikannya dengan Kasih-Nya, kini Sang Raja membuka kepada khalayak, cahaya dan ilmunya, sehingga khalayak mencarinya sebagaimana ia pernah berpaling dari khalayak. Sebagaimana cinta pernah mengalir dalam qalbunya bagi para fuqara dan orang-orang yang memperoleh ujian, kini Allah menyebabkan cinta mengalir dalam qalbu mereka, baginya. Sebagaimana Dia dulu membuatnya kewalahan dengan barakah maka kini Dia melakukannya, dengan lebih banyak barakah.

Apa yang dulunya ia hakimi dengan keras pada orang lain kini ia memaafkan, dan qalbunya mengalir dengan kasih sayang. Dahulu ketika ia tidak bisa membimbing khalayak kepada amal salih bahkan dengan nasihat yang baik pun, kini ia memurnikan qalbu dari apa-apa yang membuatnya sakit dengan kerlingannya. Tauhid yang dulunya ada di batinnya kini terwujud pada lahirnya.

Tentang ini Shaykh Ibn Atta’illah berkata, “Cahaya-cahaya sang bijak mendahului perkataannya, sehingga, dimanapun kejadian benderang berlangsung, ekspresinya hadir di sana.”

Sumber: 100 Langkah

86. Qurb

Qurb berarti keakraban.

Dalam kasidahnya yang lembut dan tidak tertandingi, berjudul ‘Kerinduan Murid Yang Bersuluk dan Permata Safarnya Arifin’, penulisnya berkata, “Mendefinisikan Maqam Kedekatan.”

“Menyebut-nyebut Sang Kekasih memakaikan pada kami keindahan, kecemerlangan, kemuliaan dan suka cita.”

“Ketika mendekat, kami membuang semua pengekangan dan memproklamasikan Yang Ahad, yang begitu kami cintai untuk dipuja-puji. Sang Kekasih memberi kami seteguk cinta untuk diminum yang menjadikan semua, kecuali Sang Kekasih, lenyap.”

“Kami lihat bahwa makhluk ciptaan sebagai partikel-partikel debu yang murni, kami melihat cahaya-cahaya jelas-jelas bermunculan. Setelah dilenyapkan dan fana dalam suatu anggur pemberi cahaya, kami kembali ke ciptaan. Dengan karunia Allah, kami diberi baqa dan dengan sabar kami sembunyikan Yang Ahad yang kami cintai.”

“Betapa sering kami menatap seorang salik sehingga dia terus naik ke berbagai maqam mereka yang telah mencebur ke dalam lautan.”

Dengan kasidahnya itu Shaykh Ibn al-Habib menjabarkan hadiah-hadiah yang disiapkan bagi mereka yang masuk ke dalam keintiman maqam qurb. Inilah maqam dari berjarak dua busur panah – sebuah istilah yang dipahami oleh arifin sebagai pertanda keakraban dan pertemuan wajah dengan wajah, pusat sir Tauhid itu sendiri. Dia yang berada di maqam ini kini aktif secara batiniah sebagaimana ia sebelumnya aktif secara lahiriah. Sebelumnya ia berkelana mencari para pencinta Allah, kini ia berjalan ruhani, berusaha kembali pada Sang Kekasih.

Kasidahnya berlanjut :
“Kami sibukkan diri kami sendiri dengan sesuatu yang rahasia, dan demikianlah, dan Dia yang kami pilih untuk dicintai telah datang kepada kami.”

Sumber: 100 Langkah

87. Taraqqi

Taraqqi berarti kebangkitan. Talaqqi adalah penerimaan.

Yang pertama dirinci Shaykh al-Akbar sebagai, “Berkelana dalam berbagai hal, maqam, dan makrifat.” Yang kedua sebagai, “Engkau menerima apa yang tiba kepadamu dari Allah.”

Sang arifin tidak berhenti dalam safarnya, namun kini safarnya ialah dalam Allah dan karena Allah, dengan kesadaran dan merasai, meminum dan ekstasi, serta penemuan dan penyingkapan atas penyingkapan, sesuai permohonan dan hadiah dari Sang Kekasih.

Dalam hal-hal itulah sang arifin menjumpai akhirnya satu kegembiraan yang tidak ada dalam hal-hal yang sangat ia inginkan atau pun pernah diharapkan, karena kegembiraan ini merupakan sebuah hadiah dari Allah yang keberadaannya tidak diketahuinya, dan pasti tidak bisa diketahui. Karena tidak ada sarana kepada pertandanya dan tidak ada cara kepada pengenalannya. Ia dikenali oleh mereka yang kenal padanya dan kesenangan bagi dia yang senang padanya. Itulah penemuan terus-menerus. Itulah pembaruan yang langgeng. Itulah penyaksian yang senantiasa segar atas keindahan dan ketundukan, yang senantiasa segar atas keagungan.

Maka tibalah masa bagi sang arifin ketika ia menyadari bahwa manusia dirinya sendiri tidaklah seperti yang ia pernah pikirkan, dalam hal keburukannya dan kepicikannya dan kelalimannya. Insan manusia itu begitu lapang, amat mampu atas hal yang tidak terbatas. Ini membawa kepada kelahiran terhadap kerinduan dan suka cita baru bagi sang arifin, untuk menyampaikan kepada bani Adam kabar gembira dan peringatan. Dan untuk mengajak khalayak ke jalan ilmu tentang dirinya sendiri, penyaksian dan keajaiban-keajaiban.

Sumber: 100 Langkah

88. Lisan

Lisan, lidah.

Shaykh al-Akbar menyebutnya, “Yang darinya kefasihan ilahi terjadi pada telinga para arifin.”

Bagi para pencinta, hadiah-hadiah Allah mengalir tiada henti. Sang arifin yang kuat yang langgeng kembali ke ruang audiensi penyaksian, akan mengetahui bahwa Allah memuliakan hamba-Nya dengan ucapan-Nya sebagaimana dalam menyibakkan tabir-Nya. Maka Allah berkata secara langsung dan sesuai dengan isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an. Sebagaimana adanya adab saat penyaksian, yang amat tegas, antara Rabb dan hamba, begitu pula dalam audiensi.

Ini kadangkala disebut sebagai pelucutan sandal, karena si hamba harus menyingkirkan dua dunia sebelum ia bicara dengan Sang Kekasih dan mendengar Sang Kekasih. Inilah sebuah tempat – dan tempat itu adalah sebuah kehadiran – Hadrat ar-Rabbani – hadirat Rabbi. Hadirat-hadirat ini bertambah dan makna-maknanya meningkat hingga sang arifin besar segera saja menjabarkan pesan demi pesan dari Sang Kekasih. Maka apa yang mulanya keintiman yang terjadi di khalwa dan ghuzla, segera terjadi di alun-alun dan di pasar. Allah Maha Mendengar. Allah Maha Berfirman. Allah Rabb Semesta Alam.
Maha Suci Allah.

Sumber: 100 Langkah

89. Tamkin

Tamkin berarti tetap.

Shaykh Akbar menyatakan, “Dengan kami, ialah tetap kokoh dalam talwin.”

Dikatakan inilah hal-nya mereka yang sudah sampai. Ketika sang arifin telah mapan dalam maqamnya, dan padanya itu, telah semakin dalam dan memperkaya makrifatnya dengan banyaknya kembali dan banyak minum dari sumbernya dan meningkatnya terima kasih dan pujian, muraqaba dan mushahada, dan mengambil dari berbagai hadiah Sang Pemberi, maka makhluk lapang dan istimewa ini, yang sifat kemanusiaannya perlahan lenyap dan runtuh karena cemerlangnya baqanya, kaya dalam Allah, menjadi tetap dalam dinamika baru hal menerima hadiah-hadiah Rabb. Ia senantiasa berada dalam daya penerimaannya, tetap dalam penerimaan karunia berlimpah Rabb yang karunia dan kedermawanan-Nya tidak terbatas. Inilah kejernihan dari mereka yang gigih dalam mengenali Allah pada segala yang tiba, baik ujian maupun suka cita, dan mengakui hanya ada satu kebenaran dalam semuanya itu. Bagi dia ahli tamkin kehidupan ini hanya berlangsung satu jam saja, dan kelapangannya dalam waktu ditelan setiap saat oleh yang diluar waktu.

Rasakan tetapnya manusia tamkin dan itu akan mendorongmu maju dalam safarmu ke Allah. Semoga Allah mendatangkanmu ke maqam mulianya dan hadiah-hadiah agungnya. Allahu Akbar.

Sumber: 100 Langkah

90. Talwin

Talwin berarti perubahan.

Shaykh al-Akbar menyebutnya dengan, “Bergeraknya hamba dalam hal-hal-nya.” Bagi kaum awam, itulah maqam penurunan. Bagi kami inilah maqam tersempurna.

Hal-nya si hamba padanya ialah hal-nya firman Allah Ta’ala, “Setiap hari Dia dalam kesibukan.” (Surat Ar-Rahmaan ayat 29). Shaykh ash-Shustari berkata, “Tujuanku dalam mencinta ialah agar senantiasa dalam perubahan.” Perubahan adalah rahasia Allah dalam kehidupan, maqam agungnya Barzakh. Itulah berserah sempurna. Itulah maqam shalat di lahirnya dan maqam al-uns* di batinnya. Lahirnya doa, batinnya keintiman. Artinya ketika memperhatikan kepada dirimu maka engkau saksikan rahasia-rahasia ciptaan. Inilah keadaan tidak berdaya yang sebenar-benarnya di maqam kekuasaan. Inilah maqam Aisha yang menyatakan, “Andainya aku ini daun di pohon itu.” Hakikat lengkapnya ialah menjadi dalam talwin bersama tamkin dan kebalikannya. Keduanya ialah maqam yang satu. Inilah yang disebut Rumi, tutup berputar yang tampak diam kepada yang menyaksikannya, karena ia bergerak sedemikian cepat.

Jika engkau telah menggapai ini maka engkau telah menggapai batasan apa yang bisa dicapai manusia. Engkau termasuk yang khusus diantara yang khususnya khusus. Kaum bercahaya ini adalah satu masyarakat, sebagian dikenal, sebagian tersembunyi.


Catatan :

*) uns adalah suatu keadaan yang sangat dekat (intimmate) dari seorang sufi kepada yang Tuhannya. Sumber : https://www.google.com/amp/s/insantri.com/uns-yaqin-ittihad-hulul-dan-wahdatul-wujud/%3famp

Sumber: 100 Langkah

91. Afrad

Afrad berarti pribadi-pribadi keseorangan.

Mereka dinyatakan oleh Shaykh al-Akbar sebagai: “Itu merujuk kepada orang-orang yang berada di luar lingkup wilayah Sang Qutb.”

Kini kita tiba pada akhir yang harus dikenali atau dapat dikenali tentang kondisi manusia dalam ilmu di sisi pandang Al Haqq dan petunjuk-petunjuk dari Al Haqq bagi mereka yang mulia, semuanya bersesuaian dengan rahasia-rahasia yang terjabarkan dalam Qur’an di lidah Rasulullah, sallallahu alaihi wassalam.

Ketahuilah sebagaimana pada semut terdapat perkauman seperti dirimu, maka pada ruhaninya, manusia ditata dengan struktur dan corak bersesuaian dengan keindahan Ilahi dan susunan raut dan fluks* yang sama. Namun karena segala sesuatu dalam ciptaan berada dalam gerak turbulensi, maka susunan ini tidaklah kaku ketat seperti jumlah kelopak dedaunan itu. Ada kaidah tatanannya dan ada pula perbedaan-perbedaan.

Afrad adalah mereka yang bekerja diluar pemekaran Ilahi atas makrifat dan kodrat para manusia tuntas dan mulia ini. Afrad adalah mereka yang luhur, yang tidak masuk kelompok yang wajib taat dalam ketaatan, atau ketidakberdayaan dan pengakuan sukarela atas Rijal jamannya. Tidak seorang pun menolak atau bisa menolak afrad walaupun afrad bisa menolak Sang Qutb. Shaykh al-Fayturi menjelaskan pada Fayturiyya, “Akulah seorang pribadi zaman ini, seorang hamba tanpa sela**.”


Catatan :

*) fluks n 1 cucuran cairan dari tubuh (diare); 2 gerakan bersinambung atau gerakan terus-menerus (misalnya arus); 3 Fis jumlah besaran (misalnya massa, bahang) yang mengalir melalui luasan tertentu yang tegak lurus terhadap aliran itu per satuan waktu

**) se·la n 1 tempat (ruang) di antara dua benda (barang): terletak di — gunung; 2 celah: ia melihat dari — dinding; 3 sesuatu yang tersisip (terletak) di antara benda-benda dan sebagainya; selang: nanas boleh juga digunakan sebagai tanaman — di antara tanaman rambutan;

Sumber: 100 Langkah

92. 300 Nuqaba

300 Nuqaba, para pimpinannya.

Shaykh al-Akbar berkata, “Merekalah yang menyarikan hal-hal tersembunyi dalam jiwa-jiwa. Mereka berjumlah tiga ratus insan.”

Merekalah khalayak yang mengubah insan manusia jahil menjadi insan manusia yang menarik khalayak dari kegelapan kepada hadiah Allah, yakni cahaya dari-Nya dan karena-Nya bukan karena mereka atau dari mereka. Merekalah ahli sulfur merah*, para ahli kimia pengubah emas.

Sebagian mengubah kalbu melalui keahliannya dan yang lain mengubah logam dasar menjadi emas, dan yang lain lagi melakukan keduanya. Di antara mereka berlaku pengakuan dan diam diri. Terdapat adab dan kekaguman pada perbedaan-perbedaan yang Allah ciptakan diantara hamba-hamba berilmunya, dan kegembiraan atasnya. Tidak ada apa pun dan siapa pun bisa memisahkan mereka dari maqam adabnya. Adab mereka satu sama lain amat masyhur. Komunikasi mereka, yang sedemikian halus indah seringkali tidak ketahuan. Sebagian tersembunyi di padang-padang pasir dalam kemiskinan dan kebutuhan. Yang lainnya ditempatkan di hadapan khalayak agar bisa disaksikan seantero dunia. Namun tidak seorang pun diantara mereka yang tidak senantiasa berdiang** dalam penyaksian Allah sebagaimana singa-singa laut besar yang berjemur di pantai sebagai pertanda antara daratan dan lautan. Semuanya memiliki zikir yang sama :
Hu! Hu! Hu!


Catatan :

*) lihat Langkah Keenampuluh Enam, Makrifat.

**) di·ang vber·di·ang v memanaskan diri di dekat api: mereka duduk-duduk ~ mengelilingi api unggun;sambil ~ nasi masak, pb sekali menggarap suatu tugas, dua tiga maksud sekaligus tercapai.

Sumber: 100 Langkah

93. 40 Nujaba

40 Nujaba, para bangsawannya.

Dari nuqaba, terdapat empat puluh ningratnya. Tentang mereka Shaykh al-Akbar menyebut, “Mereka itu berjumlah empat puluh insan. Mereka disibukkan dengan mendengar kesulitan-kesulitan makhluk ciptaan, dan mereka hanya bergerak semata karena hak yang lain.”

Saksikanlah di sini kasih sayang Rabbi atas ciptaan-Nya. Rasul kita Muhammad, salallahu ‘alayhi wassalam, arifin pertama, berkata, “Akan senantiasa ada empat puluh orang dari umatku yang memiliki sifat Ibrahim.” Maka jati diri ruhani nuqaba ditandai dengan kepedulian dan tabiat merendah pelayanan mereka terhadap yang lain. Merekalah pelayan orang-orang miskin. Mereka begitu miripnya dalam meniru sunnah Rasulullah dalam mencintai mereka yang miskin, yang lemah, dan yang bermasalah.

Tanda yang menjadi lambang pengenal mereka adalah ketergantungan sepenuhnya atas doa-doanya melebihi ibadah-ibadah lain dan itulah sunnah mereka, zikir mereka, dan tafakur mereka. Dengannya mereka hidup dan dengannya mereka membantu. Sebagian mereka menyelami satu ayat, dan yang lain menyelami satu surat, dan yang lain berenang dalam Al-Qur’an. Sebagian lagi khusus hidup pada rahasia-rahasia Al-Fatihah.

Sumber: 100 Langkah

94. 7 Abdal

Para badal, para pengganti.

Shaykh al-Akbar berkata, “Mereka bertujuh. Sesiapa berjalan dari satu tempat sedangkan tubuhnya tetap tinggal dalam bentuknya, sehingga tidak seorang pun menyadari bahwa ia telah pergi, dia itulah sang badal dan bukan yang lain. Ia dimodelkan pada kalbu Ibrahim, ‘alayhissalam.”

Tentang ketinggian maqam mereka, Shaykh Ibn al-Habib berkata, “Jalan setapak pengabdian Abdal kepada Allah adalah kelaparan, arik*, diam, khalwat dan zikir.” Ini sebuah pernyataan yang disepakati semua wali-wali besar.

Sebagaimana orang awam tidak henti bicara tentang berbagai keramat, padahal itu perkara umum biasa di kalangan orang-orang saleh, maka ilmu dan pengenalan terhadap sang abdal dan mereka yang melampauinya, dibicarakan dan disangkal oleh mereka yang sidik. Namun tidak ada keraguan. Mereka ada. Di sini dan di sana. Terhadap semesta, mereka layaknya kalbu terhadap jasad. Jika mereka punah, maka jasad pun punah karena merekalah kehidupan dan maknanya. Namun tidak berarti tidak ada kabar berita tentang mereka. Ada. Tetapi itu berasal dari si sidik, pada si sidik, atas firman Al Haqq, bukan dari si jahil di lidah gosip. Sang abdal, bahkan mereka ini pun tidak mengisyaratkan batas kemampuan spiritual.


Catatan :

arik2 v 1 tidak tidur sepanjang malam; begadang; 2 tidak dapat tidur

95. 4 Awtad

Awtad. Empat pilar.

Merekalah empat pilar, soko guru, dipilih dari tujuh abdal.

Shaykh al-Akbar berkata tentang mereka, “Itu menyatakan empat insan manusia yang hal mereka bersesuaian dengan hal dari keempat pilarnya. Jika terdapat timur, barat, utara dan selatan di dunia ini, maka setiap orang dari mereka ini memiliki maqam sesuai arah tersebut.”

Inilah intisari kebijakan sufisme. Jumlah mereka ada empat orang, dan jika salah seorang wafat, yang lain akan berpindah menggantikan tempatnya. Mereka mashyur. Saya bersaksi bahwa tidak saja mereka ini menunjang di keempat penjuru bumi, dalam Gaib merekalah penyokong Ka’bah – Bait Allah itu. Karena Bait itu lahiriahnya adalah Bait Allah, sedangkan pada ruhaniahnya Bait Allah adalah kalbu, atau kalbu-kalbunya, mukminin. Allahu ‘alim.

Sumber: 100 Langkah

96. 2 Imam

2 Imam.

Shaykh al-Akbar berkata, “Mereka adalah dua pribadi perorangan. Salah satu berada di sisi kanan Ghawth, dan wilayah tanggungjawabnya di Malakut. Yang satunya di sisi kirinya dan wilayah tanggungjawabnya di Mulk. Ia ini lebih tinggi dari pasangannya. Ialah yang akan menggantikan Sang Ghawth.”

Saksikanlah kesempurnaan pada corak di dalam sisi gaib segala sesuatu, sebagaimana engkau melihat kesempurnaan sisi terlihatnya segala sesuatu. “Engkau tidak akan menemukan ketidaksempurnaan pada ciptaan Allah.” (Surat Al Mulk ayat 4). Di sini, pada dua penguasa kenyataan ruhaniah itu, masing-masing berkuasa di salah satu sisi. Sehingga yang satu punya tugas ini, dan yang lain tugas itu.

Penyaksian adalah pengesahan, dan tidak menyaksikan bukanlah hujjah bagi mereka. Jika engkau tidak bisa menyerap corak lahiriah yang telah ditata dengan keindahan-Nya, maka engkau tidak akan pernah bisa menyaksikannya pada batiniahnya. Tidak ada perbedaan. Setiap alam berada berseberangan alam yang lain. Arena manusia terletak diantara dua alam itu, maka satu sisinya nyata terlihat dan bisa ditelaah, tetapi yang lain tersembunyi dan hanya bisa disaksikan dengan ilmu-ilmu dia yang mengenal Jalan setapak ini. Dan hanya Allah-lah Yang Maha Tahu.

Sumber: 100 Langkah

97. Qutb

Kutub – Sang Poros. Soko Guru.

Dan dari keduanya ada satu. Dialah Sang Kutub. Shaykh Al Akbar berkata: “Dialah Sang Ghawth. Ini menjelaskan mengenai orang yang ‘menjadi tempat’ Allah mengamati dunia di setiap zaman. Dia dibentuk berdasarkan kalbu Israfil, alayhissalam.”

Sultan Para Pencinta menyatakan, “Dengan demikian atas diriku-lah lelangitan beredar, penuh takjub atas Kutub mereka yang melingkupi mereka, padahal dia itulah sebuah titik pusat.” Jagat berputar mengelilinginya, semesta bintang-bintang memperoleh makna dan kedudukan dari kedudukan, kemuliaan, keheningan, dan pemujaannya. Dengannya, kemuliaan Allah tampak nyata. Lisannya hanya menyuarakan kebijakan dan kekuasaan Allah. Ia mensucikan Allah dalam setiap keadaan.

Ia memaklumkan, “Hubungan antara Sang Khatam dan Para Kutub terhadap Cahaya-nya, layaknya setetes terhadap samudera-samudera cahaya dan kenyamanan.” Di sini Shaykh Ibn al-Habib, Kutub zamannya, mengisyaratkan hubungan antara arifin-arifin mulia dengan nur Rasulullah Muhammad. Beliau juga mengesahkan shalawat Mashishiyya :
“Oh Allah, dia-lah Rahasia-Mu yang meliputi segalanya, membimbing kepada-Mu, karena-Mu, dan tabir terkuat-Mu terpancang di hadapan-Mu.”

Sumber: 100 Langkah

98. Sukun

Sukun. Keheningan. Tanda baca dalam tata bahasa yang menyatakan tidak ada vokal setelah sebuah konsonan, yaitu hening. Inilah kalbu sang Qutb. Tentu saja ada aqtab dan sang Qutb. Yaitu, ada mereka yang telah mencapai maqam sukun dan ada dia yang melampaui mereka semua di zamannya sebagaimana Shaykh Ibn al-Habib menyatakan, “Baik mereka tahu atau tidak.” Jika seseorang berkata dia adalah si qutb, maka dialah si qutb. Namun dia yang Qutb-nya aqtab pasti memiliki mahkamah sebagaimana milik seorang raja, dan wilayah kekuasaan sebagaimana halnya seorang raja dalam hakikat spiritual, walaupun tentunya bukan yang duniawi. Dia-lah yang dermawan dengan rahasianya.

Sukun itu, keheningan ini bukan satu hal, melainkan keadaannya, yang memenuhinya baik saat berjihad dan saat tafakur. Kalbunya bisa saja berdebar keras, ia bisa saja merasakan ketegangan pertempuran, tapi keheningan menguasainya dan ia meminum penyaksian Wajah-Nya dan dia memuja-puji Allah. Betapa agung pujian dan puja yang bisa tercurah dari kalbu seseorang. Mengingkari Qutb, artinya mengingkari kemampuanmu atas inti dari rahasia-rahasia kehidupan. Itulah tanda bukti kejahilan, sebagaimana pengakuannya atas setiap dan semua orang adalah pertanda cahaya-cahaya dan makrifatnya.

Ya Allah karuniakan kami cinta kepada para wali Allah dan para elit-nya. Amin.
Sultan-nya Para Pencinta berkata:
“Karenanya berjuanglah dengan dirimu sehingga dapat engkau saksikan pada dirimu, dari dirimu, satu kedamaian melampaui apa yang baru saya jabarkan – sebuah ketentraman yang lahir dari kekosongan.”

Sumber: 100 Langkah

99. Tajrid

Tajrid. Melucuti.

Manusia kaffah dan kamal tidak dapat dikenali kecuali jika engkau lihat padanya konfirmasi atas berbagai awalnya. Dia-lah suara berbagai awalnya sebagaimana dia-lah rahasia berbagai akhirnya. Kesederhanaan pengajarannya ialah kedalaman ilmunya. Hakikatnya demikian karena dia menyeru pada tajrid, karena itulah Tarekatnya dan begitulah senantiasa Tarekatnya, dan tidak ada yuridiksi baru pada yang gaib sebagaimana tidak ada yuridiksi baru dalam yang terlihat.

Sidi Ali al-Jamal berkata tentang ini, “Seseorang yang zahid di dunia ini adalah dia yang mengenali Allah dimundurnya dan dimajunya.”

Maka kita katakan bahwa para ahli Tarekat mulia ini senantiasa ditandai oleh akhlak mulianya dia, yang menjadi pembimbing dan Cahaya mereka, Nabi Muhammad sallalahu ‘alayhi wa sallam, sebanyak jumlah makhluk ciptaan. Karena inilah sesiapa yang menempuh jalan ini disebut faqir dari awal hingga akhir. Jika engkau mengingini kekuasaan, ketenaran dan balasan dari manusia melalui Tarekat ini, maka ketahuilah bahwa yang ada hanyalah penderitaan bagimu. Jika engkau memulainya demi melihat Wajah Allah maka ketahuilah bahwa Allah-lah yang mengabulkan doamu dan rahmat-Nya melampaui kasih kita atau pengertian kita, tentang rahmat itu.

Tarekat ini ialah kasih sayang murni di awalnya dan di akhirnya. Dia yang mengerti itu akan rida dengan tajridnya dan kaya di dalamnya, seorang raja walaupun Allah memberinya baju compang-camping, seperti juga ia tetap seorang faqir walaupun Allah menjubahinya dengan jubah seorang raja. Setiap raja meninggal seperti seorang faqir sedangkan setiap faqir wafat layaknya seorang raja.

Sumber: 100 Langkah

100. Kamal

Kamal – sempurna.

Manusia Kamal itu tidak sempurna dalam cara apapun selain bahwa makrifatnya sempurna dan karena itu, hidupnya dilestarikan oleh Allah. Ketika ditanya apakah manusia seperti itu terbebas dari melakukan perbuatan buruk, Imam Junayd memberi jawaban bijak : “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Surat Al Ahzab ayat 38).

Sultannya Para Pencinta berkata tentang dia yang sempurna : “Karena perjumpaanku adalah perpisahanku, dan kedekatanku adalah menjauhnya aku, dan kegandrunganku adalah kebencianku, dan akhirku adalah awalku.” Shaykh Ibn ‘Atha-illah berkata tentangnya : “Ia terus meneguk dan bertambah kesadarannya. Ia absen dan bertambah kehadirannya. Kebersamaannya tidak mentabirinya dari keterpisahannya, begitu pula perpisahannya tidak mentabirinya dari kebersamaannya. Kefanaannya tidak memalingkannya dari kebakaannya, begitu pula kebakaannya tidak memalingkannya dari kefanaannya. Ia bertindak adil kepada siapapun dan memberi pada siapapun dengan benar.”

Inilah kemungkinan dari makhluk manusia. Inilah kapasitas dia yang memiliki jati diri. Kenali kesempurnaanmu dari tempat syahadatnya. Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung.

Sumber: 100 Langkah

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?