- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Index

Al-Hikam 101-200

Beserta Syarah oleh Syaikh Abdullah asy-Syarqawi, Syaikh Fadhala Hairi dan Ustadz Salim Bahreisy

Author

Sayyidi Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari qs.

Reading Time

115 Minutes

Share

Facebook
WhatsApp

Index

101. Amal Dan Balasan Dari Allah (2)

Hikmah 101 dlm Al-Hikam:

كَفىَ من جَزَاءهِ اِيَّاكَ علىَ الطاَّعةِ اَنْ رَضِيكَ لها اَهْلاً

Cukuplah menjadi balasan Allah atas ketaatanmu jika Allah ridho menjadikan engkau ahli taat beribadah.

Apabila tidak ada Ridho Allah, pasti sifat manusia itu malas melakukan taat dan tidak memperhatikan ibadahnya.

Jadi apabila Allah memberi kemudahan bisa melaksanakan ibadah, hakikatnya itu suatu pembalasan dan anugerah yg sangat besar yg ada di dunia.

Ingatlah! Kita itu makhluk yg hina, tidak berhak dan pantas mengabdi/khidmah kepada Raja diRaja (ALLAH), jadi kalau Allah mendekatkan kita bisa mengabdi kepada-Nya, dan Allah ridho kepada kita menjadi ahli khidmah, itu suatu nikmat yg sangat besar.

Taufiq dan hidayah dari Allah yg diberikan kepada seorang hamba itu sebagai karunia yg sebesar-besarnya bagi seorang hamba, sebab dengan hidayah dan taufiq itulah seorang hamba dapat menerima nikmat dan bahagia dunia akhirat. Wallaahu a’lam

102. Amal Dan Balasan Dari Allah (3)

Hikmah 102 dlm Al-Hikam:

كفىَ العاَمِلِينَ جَزَاءً ماَهوَ فاَتِحُهُ على قلوبِهِمْ فِي طاَعَتِهِ وَماَ هُوَ مُورِدُهُ عليهِمْ من وُجُودِ موءَانَسَتِهِ

Cukuplah sebagai balasan dari Allah pada orang² yg beramal, apa yg telah dibukakan Allah dalam hati mereka dari kebiasaan melakukan taat dan apa yg di berikan Allah pada mereka berupa kesenangan berdzikir, kepuasan berkhalwat, menyendiri dengan Allah.

Tidak ada nikmat di dunia ini yg menyamai/menyerupai nikmat surga, kecuali nikmat yg dirasakan oleh ahli dzikir, dalam perasaan hati. Wallaahu a’lam

103. Beribadah Jangan Mengharap Sesuatu Selain Allah

Hikmah 103 dlm Al-Hikam:

“Beribadah Jangan Mengharap Sesuatu Selain Allah”

مَنْ عَبَدَهُ لِشىءٍ يَرْجُوهُ مِنْهُ اَوْلِيَدْفَعَ بِطاَعَتِهِ وُرودُ العُقُوبَتِ عَنْهُ فَماَ قَاَمَ بِحَقِّ اَوْصَافِهِ

Barang siapa menyembah Allah karena mengharap sesuatu, atau untuk menolak siksa atas dirinya, maka dia belum menunaikan kewajiban terhadap sifat² Allah.

Sebagai hamba Allah kita wajib menghamba dan beribadah hanya kepada-Nya, yg kita tuju juga hanya Allah, bukan karena pahala surga-Nya, atau siksa neraka-Nya. ILAAHI ANTA MAQSHUUDII-WA-RIDHOOKA MATHLUUBII.

Allah telah menurunkan wahyu pada Nabi Dawud as.: Sesungguhnya orang yg sangat aku kasihi ialah orang yg beribadah bukan karena upah pemberian-Ku, tetapi semata-mata karena Aku yg berhak untuk disembah. Dalam kitab zabur disebutkan: Dan siapakah yg lebih kejam dari orang yg menyembah-Ku karena surga atau neraka, apakah seandainya Aku tidak membuat surga atau neraka, Aku tidak berhak untuk disembah?

Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah berlaku sebagai seorang hamba yg busuk jika takut, lalu bekerja/beribadah. Dan jangan berbuat sebagai buruh yg busuk jika tidak di bayar tidak bekerja.

Sebab sebenarnya pemberian Allah kepada hamba itu sudah lebih dari yg diharapkan yaitu hidupnya, nafasnya, panca indranya dan kesehatannya dan lain²nya.

Abu Hazim berkata: Saya malu menyembah Allah karena pahala, seperti buruh yg busuk jika tidak di bayar tidak bekerja, atau menyembah karena takut siksa, seperti budak yg curang jika tidak takut siksa, tidak bekerja, tetapi saya menyembah Allah karena cinta kepada-Nya.

Sufyan as-Tsauri minta nasehat kepada Rabi’ah al-Adawiyyah, maka Rabi’ah berkata: Engkau seorang yg baik, andaikan engkau tidak cinta kepada dunia. Wallaahu a’lam

104. Memahami Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (1)

Hikmah 104 dlm Al-Hikam:

“Memahami Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah”

مَتىَ اَعْطاَكَ اَشْهَدَكَ بِرَّهُ وَمتىَ مَنَعَكَ اَشْهَدَكَ قَهْرَهُ فَحُوَ فىِ كُلِّ ذٰلكَ مُتَعَرِّفٌ اِليكَ وَمُقَبِّلٌ لِوُجوُدِ لُطْفِهِ عليْكَ

Apabila Allah memberi karunia kepadamu, maka Dia akan menunjukkan kepadamu karunia belas kasih-Nya, dan apabila Allah menolak pemberian-Nya atasmu, maka Dia akan menunjukkan kepadamu kekuasaan-Nya, maka Dia dalam semua itu memperkenalkan diri kepadamu, dan menghadapkan kepadamu dengan kehalusan pemberian pemeliharaan-Nya kepadamu.

Kewajiban bagi tiap hamba harus mengenal Tuhannya, dengan segala sifat² kebesaran-Nya. Maka siapa yg tidak mau mengenal dengan sifat Mu’thi Wahhab (pemberi) maka ia harus mau mengenal dengan sifat Mani’ (menolak), Muntaqim (membalas), Qohhar (memaksa). Tetapi apabila telah mengenal hikmah Rahmat Allah, maka terasa bahwa semua itu semata-mata karunia dari Allah kepada hamba-Nya.

Sufyan as-Tsauri bertemu dengan Abu Habib al-Badri, dan memberi salam, Abu Habib bertanya: Engkaukah Sufyan as-Tsauri yg terkenal itu? Jawabnya: Benar, semoga Allah memberkahi apa yg dikatakan orang² itu. Lalu Abu Habib berkata: Hai Sufyan, tidak ada suatu kebaikan melainkan berasal dari Tuhan. Jawab Sufyan, Benar. Ditanya lagi: Mengapa kamu tidak suka bertemu pada siapa yg tidak ada kebaikan kecuali pada-Nya. Hai Sufyan: Penolakan Allah kepadamu itu berarti pemberian karunia-Nya padamu, sebab Dia tidak menolak karena bakhil atau tidak ada, hanya Dia menolak permintaanmu karena kasih-Nya kepadamu. Hai Sufyan, Sesungguhnya aku masih suka duduk dengan engkau tetapi bersamamu itu ada kesibukan, kemudian Abu Habib menuju ke kambingnya dan membiarkan Sufyan as-Tsauri. Wallaahu a’lam

105. Memahami Rahasia Pemberian Dan Penolakan Allah (2)

Hikmah 105 dlm Al-Hikam:

اِنَّمَا يوُءَلِّمكَ المَنْعُ لِعَدَمِ فَهْمِكَ عَنِ اللهِ فيهِ

Sesungguhnya sebab terasa pedihnya penolakan Allah kepadamu itu, karena engkau tidak mengerti hikmah rahmat Allah dalam penolakan (tidak memberikan keinginan/harapanmu) itu.

Sebagian dari tanda memahami penolakan (tidak mengabulkan doa) dari Allah yaitu:

1. Kita bisa memahami bahwasanya Allah menghendaki kita menghadap kepada-Nya, selalu bergantung kepada-Nya, dan tanda dikasihi Allah, karena apabila Allah mencintai hamba-Nya maka hamba itu akan di jaga dari kesenangan dunia.

2. Kita bisa memahami bahwasanya Allah akan menapakkan kita ke jalan orang² yg dekat dengan Allah. Seperti kata Syaikh al-Fudhail dalam munajatnya : Ya Tuhanku, Engkau memberi lapar padaku dan keluargaku, dan Engkau tidak memberi pakaian padaku dan keluargaku, yg itu semua biasanya diperuntukkan untuk orang² pilihan, lalu kenapa aku bisa mendapatkan kedudukan yg seperti itu?

3. Kita bisa memahami bahwasanya dunia itu rusak, hina dan akan musnah, dan kita merasa senang dengan simpan untuk kita besok di akhirat.

Dengan memahami itu semua akan membuka hati kita. Dan apabila hati kita telah terbuka maka kita bisa memahami bahwa penolakan dari Allah itu lebih menyenangkan. Jadi Allah tidak memberi itulah hakikatnya pemberian Allah.

Tiada sempurna iman dan keyakinan seseorang kepada Allah sebelum ia memiliki dua sifat:

1. Percaya penuh kepada Allah, yakni bersandar dan berharap hanya kepada Allah.

2. Bersyukur kepada Allah karena dihindarkan dari padanya apa yg di ujikan pada orang lain yaitu berupa kekayaan dunia.

Juga tidak sempurna iman keyakinan hamba sebelum ia mengerti bahwa pemberian Allah sesuatu yg manfaat. Dan penolakan Allah itu karena madhorot/bahaya. Wallaahu a’lam

106. Jangan Menyombongkan Amalmu (1)

Hikmah 106 dlm Al-Hikam:

“Jangan Menyombongkan Amalmu”

رُبَّماَ فَتَحَ لكَ باَبَ الطَّاعةِ وَماَ فَتَحَ لكَ بَابَ القَبُولِ. وَرُبَّمَا قَضىَ عليكَ بالذ َّنْبِ فَكانَ سَبَباً فِي الوُصوُلِ

Terkadang Allah membukakan untukmu pintu taat, tetapi belum dibukakan pintu kabul (penerimaan), sebagaimana adakalanya ditaqdirkan engkau berbuat dosa, tetapi menjadi sebab wushul (sampaimu) kepada Allah.

Taat itu terkadang dibarengi dengan penyakit hati yg bisa menghilangkan ikhlas, seperti ujub (bangga dengan amalnya dll.), sedangkan dosa itu terkadang di ikuti dengan merasa hina dirinya dan menganggap baik orang yg tidak melakukannya, dan menjadikan dia meminta ampun kepada Allah sehingga menjadi sebab Allah mengampuni dosanya, dan bisa wushul kepada Allah.

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah yg jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan kamu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menyingkirkan (mematikan) kamu, dan diganti dengan orang² yg berbuat dosa lalu minta ampun kepada Allah, lalu di ampuni oleh Allah. Wallaahu a’lam

107. Jangan Menyombongkan Amalmu (2)

Hikmah 107 dlm Al-Hikam:

مَعْصِيَة ٌ اَورَثـْتَ ذُلاًّ واَفـْتِقَاراً خَيرٌ من طاَعةٍ اَوْرَثـْتَ عِزًّ واسْتِكباَراً

Maksiat (dosa) yg menjadikan rendah diri dan membutuhkan rahmat dari Allah, itu lebih baik dari perbuatan taat yg membangkitkan rasa sombong, ujub dan merendahkan orang lain.

Merasa hina, rendah diri itu bagian dari sifatnya seorang hamba kepada Allah. Syaikh Abu Madyan berkata: inkitsarun lil-‘aashi khoirun min wushuulil-muthiiI. Perasaan rendah diri telah berbuat dosa, itu lebih baik dari kesombongan seorang yg taat.

Ada kalanya seorang hamba berbuat kebaikan yg menimbulkan rasa ujub, sombong, sehingga menggugurkan amal yg di kerjakan sebelumnya. Dan ada kalanya seorang berbuat dosa yg menyedihkan hatinya, sehingga timbul rasa takut kepada Allah, yg menyebabkan keselamatan pada dirinya.

As-Sya’bi meriwayatkan dari al-Khalil bin Ayyud, bahwasanya seorang ‘abiid (ahli ibadah) bani israil, ketika ia berjalan ia selalu dinaungi oleh awan, tiba² ada seorang pelacur bani israil tergerak hatinya, ingin mendekat kepada si ‘Abid. Maka ketika pelacur itu mendekat pada si ‘abid, tiba² si abid itu mengusirnya dengan berkata: pergi kau dari sini. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi, bahwa Aku (Allah) telah mengampuni dosa pelacur itu dan membatalkan amal ‘abid itu. Maka berpindahlah awan dari atas kepala ‘abid ke atas kepala pelacur itu.

Al-Harits al-Muhasibi berkata: Allah menghendaki supaya anggota lahir ini sesuai dengan batinnya (hati), maka apabila sombong congkak seorang alim/’abid, sedangkan pelacur itu tawadhu’ merendahkan diri, maka ketika itu pelacur itu lebih taat kepada Allah dari si ‘abid dan alim.

Ada pula kisah: seorang ‘abid bani israil sedang sujud, tiba² kepalanya di injak oleh orang, maka ‘abid itu berkata: angkat kakimu, demi Allah aku tidak akan mengampunkan engkau. Maka Allah menjawab: Hai orang yg bersumpah atas nama-Ku, bahkan engkau tidak diampunkan karena kesombonganmu. Al-Harits berkata: Dia bersumpah karena merasa diri besar di sisi Allah, maka kesombongan, ujub itulah yg tidak di ampuni Allah. Wallaahu a’lam

108. Nikmat Iijad dan Nikmat Imdad (1)

Hikmah 108 dlm Al-Hikam:

“Nikmat Iijad (Diciptakan) dan Nikmat Imdad (Kelanjutan)”

نِعْمَتاَنِ ماَ خَرَجَ موْجُودٌ عَنْهاَ ولاَ بُدَّ لِكُلِّ مُكـَوِّنٍ مِنْهُما نِعْمةُ الاِيْجادِ وَنِعْمة ُالاِمْداَدِ

Ada dua nikmat yg tidak ada satu makhlukpun yg terlepas dari keduanya, yaitu nikmat ciptaan (diwujudkan) dan nikmat kelanjutan.

Karena tiap makhluk asalnya tidak ada, maka nikmat yg diterima pertama kali adalah nikmat iijad/diciptakan Allah yg menjadikannya ada. Kemudian dilanjutkan dengan nikmat imdad/kelanjutan hidup, yakni melengkapi kebutuhan hidup, sebab bila tidak dilengkapi kebutuhan hidup maka tidak akan dapat bertahan hidup. Wallaahu a’lam.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kedua nikmat ini dirasakan oleh setiap yg berwujud. Setiap yg ada, awalnya tidak ada dan nihil. Nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan itu darinya sehingga ia menjadi ada. Tanpa nikmat itu, niscaya ia tetap tidak ada. Sesuatu yg tidak ada itu tentu tidak berharga.

Ketika keberadaannya membutuhkan pertolongan Ilahi agar sosok dan rangka fisiknya tetap ada, Allah membantunya dengan memberinya manfaat dan melindunginya dari bahaya. Oleh karena itu, nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan sebelumnya, sedangkan nikmat pemenuhan atau bantuan Ilahi dapat menghilangkan ketiadaan sesudahnya dan menggantinya dengan wujud yg berkesinambungan.

Tanpa nikmat penciptaan, segala sesuatu tidak akan keluar dari ketiadaan menuju wujud. Ia akan tetap ma’dim (tidak ada). Kemudian, tanpa nikmat pemenuhan dan bantuan Allah, wujud segala yg ada tidak akan sempurna. Ia tidak akan kekal, bahkan ia akan cepat rusak dan luluh lantak dalam waktu yg singkat. Semuanya berlaku pada seluruh makhluk, yg tinggi maupun yg rendah. Wallaahu a’lam.

109. Nikmat Iijad dan Nikmat Imdad (2)

Hikmah 109 dlm Al-Hikam:

اَنْعَمَ عليكَ اوَّلاً بِالاِيجَادِ واثاَنياً بِتَوالى الاِمدادِ

Pada mulanya Allah memberi nikmat kepadamu berupa iijad/diwujudkan, kemudian nikmat yg kedua: melengkapi kebutuhan² wujudmu yg terus-menerus (bantuan/pertolongan Allah).

Allah berfirman: wa-asbagho ‘alaikum ni’mahuu-dhohirotan-wa-baathinah.(Allah menuangkan kepadamu nikmat lahir batin yg terang dan samar, dan yg tidak terasa.)

Dan firman Allah: “Tetapi Allah yg mencintakan kamu kepada iman, dan Allah menghias iman itu dalam hatimu, dan Allah yg membencikan kamu kepada kufur (kekafiran) dan pelanggaran dan maksiat dosa. Merekalah orang yg dapat petunjuk, itu semua karunia dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hujurat: 8)

Dzun-Nun al-Mishri berkata: Siapa yg dalam tauhid itu merasa seolah-olah sebagai hasil kecerdasannya sendiri, maka tauhid itu, tidak dapat menyelamatkannya dari api neraka, sehingga merasa bahwa tauhidnya itupun karunia dari Allah Ta’ala.

Seseorang apabila telah merasa asal kejadiannya dari Allah dan kelanjutannya pun dari Allah, merasa bahwa sifat fakirnya itu memang asli pada kejadiannya, dan ia tidak dapat melepaskan diri dari Tuhan yg di hajatkannya pada tiap detik dalam wujudnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sekiranya seorang hamba mengetahui bahwa awal dan kesinambungan wujudnya dari Allah, niscaya dia mengetahui bahwa kebutuhan adalah sifat aslinya. Maka dari itu, ia amat membutuhkan pertolongan Allah karena setelah berwujud, setiap saat ia teramat miskin dan papa. Ia amat membutuhkan pertolongan dan pemenuhan kebutuhan.

Berikutnya, pertolongan Ilahi ini pun datang berturut-turut kepadanya. Ada yg berupa makanan untuk membuatnya kenyang dan menguatkan tubuhnya. Ada pula yg berupa makanan untuk ruhnya, seperti keimanan, ilmu, dan pengetahuan.

Pertolongan Ilahi yg pertama meliputi seluruh makhluk, mukmin maupun kafir, seperti halnya nikmat penciptaan. Namun, pertolongan kedua khusus untuk kaum mukmin saja. Wallaahu a’lam

110. Sifat Asli Manusia Dan Waktu Terbaik Untuk Hamba

Hikmah 110 dlm Al-Hikam:

“Sifat Asli Manusia Dan Waktu Terbaik Untuk Hamba”

فاَقَتُكَ لكَ ذاتِيَةٌ وَوُروُدُ الاَسباَبِ مُذَكِراَتٌ لكَ بماَ خَفىَ عليكَ منهَا وَالفاقَةُ الذ ّاَتِيَةٌ لاَتَرْفَعُهاَ العَوَارِضُ

Kefakiran/kebutuhanmu itu adalah sifat asli dalam dzat kejadianmu, sedang sebab²/kejadian yg menghinggapi dirimu itu untuk mengingatkan kamu apa yg tersembunyi bagimu dari sifat aslimu, sedangkan kebutuhan/sifat asli itu tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yg sementara.

Hikmah ini menjadi kelanjutan dari hikmah sebelumnya, yg menerangkan nikmat pemberian dari Allah.

Jadi jelas sudah, bahwa wujud/kejadianmu itu pemberian/ciptaan Tuhan, demikian pula hajat kebutuhan tiap detik untuk kelanjutan hidup, itupun pemberian Tuhan, maka jelas bahwa kebutuhan/kefakiran itu asli dalam kejadianmu.

Jadi apabila kamu lupa dengan kefakiranmu, seolah-olah kamu tidak berhajat karena sudah hidup, dalam kondisi sehat, punya harta maka itu suatu hal yg hinggap sementara ketika engkau lupa asal kejadianmu, maka Allah memberi padamu peringatan berupa penyakit, kekurangan harta, dll, untuk mengingatkan kamu asal kejadianmu (fakir). Sehingga kamu mau kembali lagi menjadi seorang hamba.

Sebagian ulama’ mengatakan: mengapa Fir’aun mengatakan “ANA ROBBUKUMUL-A’LAA” (akulah tuhan yg maha tinggi), itu dikarenakan Fir’aun itu kaya dan selalu sehat tidak pernah sakit. Fir’aun dalam waktu 40 tahun itu tidak pernah sakit sekalipun, seumpama dia pernah sekali saja sakit kepala atau panas badannya, tentu dia tidak akan mengaku menjadi Tuhan.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika kau mengerti bahwa kau tidak mungkin ada tanpa adanya bantuan Allah, berupa nikmat penciptaan dan pemenuhan semua kebutuhanmu, maka sudah semestinya kau sadar bahwa ketergantungan kepada Allah adalah hakikat atau substansi dirimu.

Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat diri mereka, terutama ketika mereka sedang diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya lupa terhadap hakikat diri mereka tetapi juga lupa terhadap Tuhan mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan kepada mereka “Sebab² ketergantungan kepada Allah”, agar mereka kembali sadar dan ingat. “Sebab² ketergantungan kepada Allah” itu bisa berupa penyakit, rasa lapar, haus, panas, dingin, dan sebagainya.

“Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” itu akan membuatmu sadar dan ingat kembali akan hakikat dirimu, yang sebelumnya tertutup oleh kesehatan dan kekayaan. Sehingga di saat itu pula kau akan melaksanakan hak-hak ‘ubudiyah kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya agar memenuhi kebutuhanmu dan menghapus segala deritamu.

Sebagian orang mengatakan, “Yang membuat Firaun berani mengaku sebagai tuhan adalah karena ia selalu dalam keadaan sehat dan segar bugar selama empat puluh tahun. Ia tidak pernah sakit, meskipun itu sakit kepala. Kekayaannya melimpah dan kekuasaannya tak terbatas. Karena itulah ia merasa seperti tuhan. Seandainya ia sakit, sekali saja, atau merasa bosan dengan kehidupan, niscaya itu akan menghalanginya untuk mengaku diri sebagai tuhan.”

Dan ini pula yang terjadi pada mayoritas manusia. Kecuali orang-orang yang ‘arif. Karena mereka selalu menyadari hakikat diri mereka. Dan mereka tidak perlu lagi diingatkan. “Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” yang Allah timpakan kepada mereka hanyalah untuk memperlihatkan kesungguhan penghambaan mereka.

Cobaan dan penderitaan hidup justru semakin membuat mereka merasa tergantung kepada Allah, semakin membuat mereka taat dan kembali kepada-Nya. Dan dengan keridhaan dan kepasrahan yang mereka perlihatkan itu, pahala mereka semakin bertambah dan kedudukan mereka di mata Allah pun semakin mulia.

“Ketergantungan kepada Allah” yg merupakan hakikat atau substansi manusia ini tidak mungkin bisa dihilangkan oleh sesuatu yg bersifat sementara atau nisbi. Dengan kata lain, walaupun kau kaya, sehat atau berkuasa, tetap saja kau tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah. Kekayaan, kesehatan ataupun kekuasaan hanyalah relatif dan sementara. Bukan perkara yg sulit bagi Allah untuk menghilangkan itu semua dari dirimu dan menggantinya dengan sebaliknya, sehingga kau benar² merasa betapa hidup ini tergantung kepada Allah Ta’ala saja. Wallaahu a’lam

111. Waktu Terbaik Untuk Hamba

Hikmah 111 dlm Al-Hikam:

“Waktu Terbaik Untuk Hamba”

خَيْرُ اَوقاَتِكَ وَقْتٌ تَشْهَدُ فيهِ وُجُودُ فاَقَتِكَ وَتُرَدُّ فيِهِ اِلٰى وُجُودِ ذِلَّتِكَ

Sebaik-baik waktu dalam hidupmu, ialah saat² dimana engkau merasa dan mengakui kefakiran/kebutuhanmu, dan kembali pada adanya kerendahan dirimu.

Sebaik-baik waktu dalam masa hidupmu, ialah saat ingat kepada Allah dan putus hubungan dengan segala sesuatu selain-Nya. Yaitu disaat merasakan benar² kebutuhanmu kepada Allah, sedang segala sesuatu yg lainnya tidak dapat menolong meringankan kebutuhanmu. Dan tidak ada pengharapan selain pada Allah. Maka pada saat itu murnilah pengertian tauhidmu kepada Allah.

Diceritakan: Syaikh ‘Atha’ as-Sulami selama tujuh hari tidak merasakan makanan sama sekali dan dia tidak bisa berbuat apa², tapi dalam kondisi seperti itu hati Beliau tambah senang, dan berkata (berdoa): “Ya Tuhanku, jika Engkau tidak memberi makanan kepadaku tiga hari lagi tentu aku akan shalat seribu raka’at.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ini dianggap waktu terbaik karena pada waktu ini kau merasa hadir dengan Tuhanmu. Kau palingkan pandanganmu dari segala media, sarana, dan sebab² yg membuatmu semakin jauh dari-Nya. Lain halnya ketika kau merasa kaya dan mulia, maka itu adalah waktu terburuk bagimu.

Diceritakan bahwa suatu malam, Syaikh Fatah al-Mushili pulang ke rumahnya. Ia tidak mendapati hidangan makan malam, lampu penerang, dan tidak pula kayu bakar. Ia tetap memuji Allah dengan mengucap Alhamdulillah seraya beribadah kepada-Nya. Ia berdoa,

“Tuhanku, dengan sebab dan wasilah (perantara) apalagi agar Engkau memperlakukanku seperti memperlakukan para wali-Mu?”

Demikian pula yg terjadi pada Fudhail ibn Iyyadh. Ia berkata, “Dengan amal apa lagi supaya aku layak mendapatkan hal ini dari-Mu agar aku terus mengalaminya?”

Banyak kejadian serupa yg terjadi pada orang² yg dekat dengan Allah. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Kebutuhan adalah hari raya para murid.” Wallaahu a’lam

112. Al-Unsu (Ketenangan Jiwa)

Hikmah 112 dlm Al-Hikam:

“Al-Unsu (Ketenangan Jiwa)”

مَتٰى اَوحَشكَ من خَلقِهِ فاَعْلم اَنَّهُ يُرِيدُ ان يَفتحَ لك باَبَ الاُنْسِ بِهِ

Apabila Allah telah menjemukan kamu dari makhluk, maka ketahuilah bahwa Allah akan membukakan untukmu pintu ketenangan dan senang kepada Allah.

Pada hikmah² sebelumnya menjelaskan tentang karunia pemberian Allah kepada kita, sehingga kita tahu tentang kefakiran dan kehinaan kita.

Pada hikmah ini Syaikh Ibnu Atha’illah menjelaskan tanda orang² yg sudah bergantung kepada Allah akan diberi Unsu (ketenangan hati). Yaitu ketika Allah telah membuka pintu ketenangan menghadap Allah, maka kita benar² menjadi hamba Allah, dan kita akan merasa jemu dengan selain-Nya (makhluk), karena merasa makhluk tidak bermanfaat, bahkan adakalanya mudharat bagi kita.

Diceritakan: Syaikh Abu Yazid al-Busthami ketika ia diperlihatkan oleh Allah alam malakut dan makhluk² yg ada di langit, kemudian ditanya: Adakah sesuatu yg menyenangkan engkau? Jawabnya: Tidak. Maka dikatakan kepadanya: Engkau hamba Allah yg sesungguhnya. Wallaahu a’lam

113. Rahasia Berdoa

Hikmah 113 dlm Al-Hikam:

“Rahasia Berdoa”

مَتٰى اَطـْلَقَ لِساَنَكَ بِاالطَلَبِ فَاعلمْ اَنَّهُ يُرِيدُ ان يُعْطِيكَ

Ketika lisanmu digerakkan untuk meminta, berarti Dia hendak memberimu.

Yakni ketika Allah melepaskan lidahmu dari diam (tidak meminta) yg timbul karena kamu merasa kaya dan tidak butuh dan tidak melihat kefakiranmu, sehingga kamu mau meminta/berdoa dengan lisanmu kepada Allah, itu disebabkan kamu sadar dengan kefakiranmu, pasti Allah akan memberi kepadamu. Karena Allah telah berjanji akan mengijabah doa orang² yg sangat berhajat.

Abdullah bin Umar ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Siapa yg telah mendapatkan izin berdoa, berarti telah dibukakan baginya pintu rahmat, dan tiada dimintai sesuatu yg lebih disukai oleh Allah dari pada dimintai ampunan dan selamat dunia akhirat.

Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda: Siapa yg telah diberi kesempatan berdoa, maka tidak akan diharamkan dari ijabah (diterimanya doa).

Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Apabila Allah kasih sayang kepada seorang hamba, maka diturunkan kepadanya bala’, maka bila ia berdoa, Malaikat berkata: Suara yg sudah terkenal, Jibril berkata: Tuhanku, hamba-Mu Fulan, sampaikan hajatnya. Allah menjawab: Biarkan saja hamba-Ku, Aku suka mendengar suaranya, maka apabila hamba berkata: Ya Robbi.. Allah menjawab: Labbaika hamba-Ku, tiada engkau berdoa kecuali Aku sambut, dan tiada engkau meminta melainkan pasti Aku berikan, ada kalanya aku segerakan pemberian-Ku untukmu, atau Aku simpan untukmu yg lebih baik bagimu. Atau Aku tolak dari padamu bala’ yg lebih besar dari itu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Diam adalah sifat yg dituntut dari seorang hamba yg tak lagi membutuhkan perkara duniawi dan tidak lagi memperhatikan berbagai kebutuhannya.

Namun, Allah bisa saja melepas tuntutan diam itu darimu. Misalnya, dengan memberimu kemiskinan dan kebutuhan sehingga kau pun terdorong untuk berdoa kepada-Nya. Maka pada saat itulah lisanmu digerakkan untuk meminta kepada-Nya dengan lisan keterdesakan. Ini berarti juga bahwa keinginanmu akan terwujud, sebab janji Allah untuk mengabulkan doa seseorang yg terdesak kebutuhan pasti akan ditepati-Nya. Allah tidak pernah melanggar janji-Nya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yg diberi kesempatan berdoa maka pengabulannya tidak akan terhalang.” Pengabulan doa itu bisa berupa sesuatu yg dimintanya, bisa pula selainnya; bisa langsung atau tidak langsung:

Seseorang berkata, “Pengabulan ini terjadi bila doa itu bersumber dari ikhtiar dan niat baik. Adapun jika ia mengalir saja dari lisan tanpa disertai niat dan tujuan, pengabulannya yg berupa sesuatu yg diminta mungkin agak sedikit telat.” Wallaahu a’lam

114. Kebutuhan Orang ‘Arif Terhadap Allah Tidak Pernah Hilang

Hikmah 114 dlm Al-Hikam:

“Kebutuhan Orang ‘Arif Terhadap Allah Tidak Pernah Hilang”

العاَرِفُ لاَ يَزوُلُ اِضْطرَارُهُ ولاَ يَكُوْنُ معَ غَيْرِالله قرَارةٌ

Seorang ‘arif selalu merasa butuh pada-Nya dan hanya merasa tenang jika bersama-Nya.

Seorang ‘Arif mempunyai hati yg sangat halus dan adab sopan santun yg sangat tinggi terhadap Allah. Dia mengenali karunia dan kekuasaan Allah, pada nikmat penciptaan (ijaad) dan nikmat kelanjutan kewujudan (imdaad) yg diciptakan Allah. Dia meyakini bahwa tiada satu detik pun makhluk bisa terlepas dari ketergantungan kepada Allah.

Seorang ‘Arif selalu merasa berhajat kepada Allah, sebab memang tidak ada sesuatu yg bisa memuaskan kepadanya selain Allah. Juga karena sadar benar² terhadap kekuasaan Allah disamping kelemahan dan kebutuhan diri sendiri kepada Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kebutuhan seorang ‘Arif selalu ada karena ia melihat kuasa Allah yg Maha Menyeluruh, mengenali dirinya sendiri dengan baik, dan menyadari kebutuhannya setiap saat. Lain halnya dengan orang yg tidak ‘Arif, ia terkadang butuh, lalu berdoa, terkadang pula berdoa, namun tidak butuh. Hal itu dikarenakan kebutuhan orang² awam bergantung pada adanya dorongan sebab². Mereka terlalu di dominasi oleh indra dalam penyaksiannya. Jika sebab² itu hilang dari mereka, kebutuhan mereka pun akan sirna.

Sekiranya mereka melihat kuasa Allah yg menyeluruh niscaya mereka mengetahui bahwa kebutuhan mereka kepada Allah bersifat abadi. Mereka tidak akan tenang dan hati mereka tidak akan bergantung kecuali kepada Allah semata, karena sesekali mereka merasa butuh kepada sesuatu, tetapi hati mereka menolak sesuatu itu. Ini menandakan bahwa “kebutuhan akan bantuan-Nya” dan “tergeraknya lisan untuk meminta kepada-Nya” merupakan dua sifat orang² ‘Arif. Wallaahu a’lam

116. Sikap Menghadapi Bala’ & Ujian

Hikmah 116 dlm Al-Hikam:

“Sikap Menghadapi Bala’ & Ujian”

لِيُخَفِّفْ اَلَمَ البَلاَءِ عليكَ عِلمُكَ بِاَنَّهُ سُبْحانهُ هُوَ المُبْلى لكَ. فالذِىواجْهَتكَ منهُ الاقدارُ هُوَالذيْ عَوَّدَكَ حُسنُالاِخِتِياَرِ

Seharusnya bala’ yg menimpa padamu terasa ringan, karena engkau mengetahui bahwa Allah yg menguji (memberi bala’) padamu. Maka Tuhan yg menimpakan kepadamu takdir-Nya itu, Dia pula yg telah biasa memberi sebaik-baik apa yg dipilihkan-Nya untukmu. (Dialah yg membiasakan kau merasakan sebaik-baik pilihan-Nya/pemberian-Nya).”

Ketahuilah, bahwa Dzat yg memberi nikmat kepadamu punya kebiasaan senang memberi sesuatu yg terbaik untukmu, maka di lain waktu bila memberi sesuatu yg dirasakan tidak baik, tentu kau bisa yakin bahwa itu juga terbaik untukmu.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata: “Suatu tanda seseorang itu mendapat taufiq karunia Allah, ialah terpeliharanya iman (Tauhid) diwaktu menghadapi bala’, ujian bencana. Wa-‘asaa -an-takrohuu syai-an-wahuwa khoirul-lakum (Mungkin kamu tidak suka pada sesuatu, padahal itu baik untukmu).

Syaikh Abu Thalib al-Makki berkata: Manusia itu tidak suka miskin, hina dan penyakit, padahal itu semua baik baginya untuk bekal di akhirat, sebaliknya ia suka kaya, sehat dan terkenal padahal itu semua bahaya di sisi Allah, dan jelek akibatnya.

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata: Ketika saya tidur di tempat Syaikh Sary as-Saqathy, tiba² saya di bangunkan, lalu dia berkata: Ya Junaid, saya telah bermimpi seolah-olah berhadapan dengan Allah, lalu Allah berkata kepadaku: Hai Sary, ketika Aku membuat makhluk maka semua mengaku cinta kepadaku, kemudian aku membuat dunia, maka lari dari pada-Ku sembilan puluh persen (90%) dan tinggal sepuluh persen (10%), kemudian Aku membuat surga, maka lari dari pada-Ku sembilan puluh persen dari sisanya itu, kemudian Aku membuat neraka, maka lari dari pada-Ku sembilan puluh persen dari sisanya itu, kemudian Aku membuat bala’, maka lari dari padaku sembilan puluh persen dari sisa²nya itu.

Maka Aku berkata pada sisa yg tinggal itu: Dunia kamu tidak mau, surga kamu tidak suka, neraka kamu tidak takut, bala’ musibah juga kamu tidak lari, maka apakah keinginanmu? Jawabnya: Engkau telah mengetahui keinginan kami. Aku berkata: Aku akan menurunkan kepadamu bala’ yg tidak akan sanggup menanggungnya walaupun bukit yg besar. Sabarkah kamu? Jawab mereka: Apabila Engkau yg menguji, maka terserahlah kepada-Mu (berbuatlah sekehendak-Mu), maka mereka itulah hamba-Ku yg sebenarnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kau harus sadar bahwa Allah yg mengujimu, bukan yg lain. Dia yg lebih mengetahui maslahatmu daripada dirimu sendiri. Kesadaran ini akan menjadi sebab kebahagiaan, kesenangan, hiburan, ketawakkalan, dan kesabaranmu. Dzat yg menetapkan berbagai perkara yg ditakdirkan untukmu, seperti penyakit, hilangnya harta dan anak, atau yg lainnya, adalah Dzat yg memilihkan untukmu perkara terbaik yg sesuai denganmu.

Dalam kehidupan ini pun kau kerap menyaksikan bahwa orang yg selalu berbuat baik kepadamu bisa saja sewaktu-waktu bersikap buruk dan berbuat kasar kepadamu. Sekalipun demikian, kau tetap sabar menghadapi sikap buruknya karena mungkin saja kekasaran dan keburukan sikapnya itu didasari oleh niat baik dari dalam lubuk hatinya.

Demikian pula seorang hamba, jika ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala Maha Pemurah, Maha Lembut, dan Maha Melihat kepadanya, setiap petaka dan ujian yg dijatuhkan kepadanya tidak perlu dipedulikan karena Allah tidak menghendaki darinya kecuali kebaikan. Dengan kesadaran itu, ia akan berbaik sangka kepada Allah dan yakin bahwa itu adalah pilihan-Nya untuknya. Ia harus yakin bahwa dalam ujian itu terkandung maslahat tersamar bagi dirinya yg tidak diketahui, kecuali oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Syaikh Abu Thalib al-Makki berkata tentang ayat ini, “Seorang hamba benci kemiskinan, kekurangan, kelemahan, dan bahaya, padahal itu lebih baik baginya di hari akhir. Mungkin ia suka kekayaan, kesehatan, dan popularitas, padahal di sisi Allah itu lebih buruk baginya dan lebih jelek akibatnya.” Wallaahu a’lam

117. Salah Satu Tanda Lemahnya Iman adalah Tidak Melihat Lembutnya Takdir

Hikmah 117 dlm Al-Hikam:

“Salah Satu Tanda Lemahnya Iman adalah Tidak Melihat Lembutnya Takdir”

مَنْ ظَنَّ اِنفِكَاَكُ لُطْفِهِ عن قَدَرِهِ فَذاَكَ لِقُصُورِنَظْرِهِ

Barangsiapa yg mengira terlepas kasih sayang Allah sebab turunnya bala’ ujian yg ditakdirkan Allah, maka yg demikian itu disebabkan karena piciknya (dangkalnya) pandangan imannya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan menuduh tidak baik terhadap segala apa yg telah ditakdirkan Allah untukmu.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Jika Allah belas kasih pada seorang hamba, maka diuji dengan bala’, jika sabar maka dipilih-Nya, jika telah ridho maka di istimewakan.”

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yg dikehendaki Allah untuknya kebaikan, maka diujinya dengan musibah bala.”

Abu Hurairah ra. dan Abu Said ra. keduanya berkata: Bersabda Rasulullah Saw., “Tiada sesuatu yg mengenai seorang mukmin berupa penderitaan, kelelahan atau risau hati/fikiran melainkan kesemua itu akan menjadi penebus dosanya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ibnu Mas’ud ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Tiada seorang muslim yg terkena musibah bala’ gangguan atau penyakit, dan yg lebih ringan dari itu melainkan Allah menggugurkan dosanya, bagaikan gugurnya daun pohon.”

Kita jangan menjadi orang yg dangkal/piciknya pandangan, sehingga tidak dapat melihat adanya nikmat rahmat karunia dari Allah dalam takdir musibah bala’ itu hanya karena lemahnya iman keyakinan, dan tidak adanya husnudzan terhadap Allah Ta’ala yg Maha Bijaksana.

Sebab kalau kita mau berhusnudzan kepada Allah, banyak sekali karunia Allah yg diberikan bersamaan dengan bala’/ujian itu di antaranya:

Sebab bala’, Allah menempatkan kita di pintu rahmat-Nya.

Sebab bala’, nafsu kita jadi lemah, hilang kekuatannya, hilang sifat²nya nafsu yg menjatuhkan kita ke pintu maksiat dan mencintai dunia.

Sebab bala’, hati mudah untuk taat seperti sabar, ridho, tawakkal, zuhud dan ingin bertemu dengan Allah.

Sebab bala’, dosa² hamba akan di ampuni oleh Allah.

Imran bin Husain ra. menderita penyakit buang air selama tiga puluh tahun tidak dapat bergerak dari tempat tidurnya, sehingga dibuatkan lubang dibawah tempat tidur untuk kencing dan buang airnya, suatu hari datang saudaranya Al alaa’ atau Muthorrif bin Assyikhir, lalu menangis melihat penderitaan Imran bin Husain, maka ditanya oleh Imron, “Mengapakah engkau menangis?” Jawabnya, “Karena aku melihat keadaanmu.” Imran berkata, “Jangan menangis, karena aku suka pada apa yg disukai Allah untukku.” Kemudian Imran berkata, “Saya akan berkata kepadamu semoga bermanfaat bagimu, tetapi jangan kau buka kepada orang lain sehingga aku mati. Sesungguhnya para malaikat berziarah padaku dan memberi salam padaku, sehingga aku merasa senang dengan adanya mereka.”

Urwah bin az-Zubair ra. ketika sakit yg oleh dokter diputuskan harus di potong betisnya, maka ketika akan dilaksanakan, oleh dokter akan diberi obat tidur supaya tidak terasa sakitnya dipotong betisnya itu. Urwah berkata, “Jangan diberi obat tidur, tetapi teruskan potong betis tanpa obat tidur.” Dan ketika di gergaji betisnya tidak terdengar keluhan kecuali ucapan Hasby (cukup bagiku yakni rahmat Allah).

Dan setelah selesai operasinya, ia menyuruh pembantunya supaya mencuci dan membungkus potongan betisnya itu dan menguburnya di kuburan kaum muslimin, lalu ia berkata, “Allah telah mengetahui bahwa kaki itu tidak pernah saya gunakan berjalan kepada maksiat.” Lalu ia berkata, “Ya Allah, jika Engkau ambil, masih banyak sisanya, jika engkau memberi bala’, masih banyak selamatnya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kemahakuasaan Allah terlihat saat Allah menimpakan petaka dan ujian kepadanya. Jika ia mengira bahwa kelembutan Allah itu terpisah dari kekerasan-Nya, hal itu menandakan pandangannya sempit. Sekiranya pandangannya sempurna, ia akan menyadari bahwa dalam petaka dan ujian itu ia banyak mendapat kelembutan Allah. Misalnya, dengan ujian itu, ia bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Ujian yg ditimpakan Allah kepada hamba²Nya pasti bertolak belakang dengan keinginan mereka dan membuat nafsu syahwat mereka meronta. Tentu setiap hal yg mengganggu atau menyakiti nafsu pasti akan berbuah baik, bahkan sebelum hamba itu kembali kepada Allah dan mengetuk pintu-Nya. Ini adalah faedah terbesar dari ujian dan cobaan. Hamba yg mendapatkan ujian akan mendapati bahwa jiwanya lemah, kekuatannya terbatas, dan sifat² yg telah mendorongnya melakukan dosa atau maksiat serta menguatkan keinginannya terhadap dunia adalah bathil.

Dengan ujian itu, biasanya seorang hamba akan meraih ketundukan hati, sabar, ridha, tawakkal, zuhud, dan ingin bertemu Allah. Bagaimanapun, sebiji sawi amalan hati lebih baik daripada segunung amalan anggota tubuh. Dengan ujian itu pula, ia akan mendapatkan penghapusan dosa dan kesalahan serta meraih kelembutan Ilahi lainnya. Wallaahu a’lam

115. Hati Diterangi Dengan Nur Sifat-Nya

Hikmah 115 dlm Al-Hikam:

“Hati Diterangi Dengan Nur Sifat-Nya”

اَناَرَالظواَهِر بِاَنواَرِ اَثاَرِهِ وَاَناَرَالسَّرَاءرَ اَوْصافِهِ لاَجْلِ ذٰلكَ اَفَلَتْ اَنْوَارُالظَّواهِرِ وَلمْ تأفـُلْ اَنْوَارُالقلوبِ واَالسرَاءرِ ،ولذَٰلكَ قِيلَ : انَّ شَّمسَ النَّهاَرِ تـَغْرُبُ بِليلٍ وَشَمْسَ القلوبِ ليسَتْ تغيْبُ

Allah telah menerangi alam (lahir) ini dengan cahaya makhluk (atsar)Nya, dan menerangi hati (sirr) dengan Nur sifat-Nya. Maka karena itu cahaya alam itu bisa terbenam, dan tidak dapat terbenam/hilang cahayanya hati dan sirr. Kata syair: “Sesungguhnya mataharinya siang itu terbenam waktu malam, tetapi mataharinya hati tidak pernah terbenam.”

Allah menerangi alam dengan Nur/cahaya bulan, bintang dan matahari yg semua itu makhluk yg rusak dan berubah, tetapi Allah menerangi hati (sirr) dengan Nur, ilmu dan ma’rifat yg langsung dari sifat² Allah, maka karenanya tidak dapat suram dan terbenam.

Syair ini mengingatkan pada kita tentang pentingnya memperhatikan sesuatu yg abadi dari pada yg bisa rusak dan sirna.

Sahl bin Abdullah ra. ketika ditanya tentang makanan (qut) jawabnya: Huwa-alhayyul-ladzii laa-yamuut. (Ia yg hidup dan tiada mati). Penanya berkata: Saya tidak bertanya tentang makanan itu, tapi makanan yg menguatkan, jawabnya: Ilmu, ketika ditanya: Makanan sehari-hari yg lazim? Jawabnya: Dzikir, ditanya: makanan jasmani? Jawabnya : apa urusanmu dengan jasmani, biarkan/serahkan pada yg membuat pada mulanya, Dia akan mengurusi selanjutnya, jika ada kerusakan kembalikan pada yg membuat, tidakkah itu sudah lazim, buatan sesuatu jika rusak kembalikan pada yg membuat untuk diperbaiki.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala menerangi seluruh langit dan bumi dengan cahaya dari jejak sifat²Nya atau dengan cahaya matahari, bulan, dan bintang, yg kesemuanya mencerminkan sifat qudrah dan iradah Allah. Seluruh fenomena alam nyata ini menjadi terbuka bagi kita dengan cahaya bintang². Saat itu, kita bisa melihat seluruh alam semesta dan mengambil manfaat darinya atau menghindari bahayanya.

Allah menerangi relung batin dengan ilmu pengetahuan yg bersumber dari penampakan sifat²Nya pada hati orang² ‘arif. Relung batin orang² ‘arif itu menjadi terbuka dengan cahaya ilmu pengetahuan yg bersumber dari sifat² Allah Ta’ala atau meresapnya sifat² itu dalam hati mereka. Saat itulah, orang² ‘arif akan bisa melihat berbagai sifat yg ada dalam batin mereka sehingga mereka akan menghindari bahayanya dan mengambil manfaatnya.

Alam semesta bisa nyata dengan cahaya makhluk-Nya dan relung batin bisa nyata dengan cahaya sifat²Nya. Cahaya makhluk bersumber dari sesuatu yg hadits (baru), sedangkan cahaya sifat²Nya bersumber dari Dzat yg Qadim (terdahulu). Semua Cahaya lahir (yg berasal dari makhluk) itu akan redup.

Cahaya matahari akan hilang di malam hari. Cahaya bintang dan bulan akan hilang di siang hari. Namun, cahaya hati yg bersumber dari penyaksian terhadap sifat² Allah yg Qadim tidak akan pernah hilang dan redup. Tentu saja cahaya yg bersumber dari Yang Maha Qadim tidak akan sirna.

Yg membuat cahaya itu tidak tampak adalah sifat² kemanusiaan yg ada pada diri orang² ‘arif, sehingga cahaya itu seolah-olah tak ada. Padahal, cahaya itu tetap ada dalam hati mereka. Oleh sebab itu, seorang penyair berkata,

“Sesungguhnya, matahari siang terbenam menjelang malam, namun matahari hati tiada pernah tenggelam.”

Syair lain mengatakan:

“Matahari pencinta Tuhan akan terbit di malam hari.

Ia akan memancarkan sinarnya dan tak pernah terbenam.”

Di sini terkandung peringatan bahwa perkara² yg abadi itulah yg harus disukai, disenangi, perlu dilestarikan, dan dijaga kondisinya. Lain halnya dengan perkara² fana yg bisa terbenam, ia tak perlu digandrungi. Bila demikian, seorang hamba akan mengikuti keyakinan dan prinsip Ibrahim saat ia berkata, “Saya tidak suka sesuatu yg terbenam dan hilang.” Wallaahu a’lam

118. Khawatir Dengan Hawa Nafsu

لاَ يُخاَفُ عليكَ اَنْ تَلْتَبِسَ الطُرُقُ عليكَ وَاِنَّماَ يُخَافُ عليكَ مِنْ غَلبَةِ الهَوَى عليكَ

Tidak dikuatirkan padamu salah jalan, tetapi yg dikuatirkan atasmu yaitu menangnya hawa nafsu mengalahkan akal dan imanmu.

Apabila kamu dalam perjalanan suluk mengalami berbagai hal seperti: berbuat taat, atau maksiat, mendapat nikmat atau bala’, itu semua jalan menuju Allah yg sudah jelas, sudah cukup tuntunan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Jika berbuat taat hendaknya merasa itu sebagai karunia dari Allah, jika berbuat dosa lekas bertaubat, jika menerima nikmat harus bersyukur, jika mendapat ujian bala’ harus bersabar. Tetapi yg di khawatirkan padamu yaitu merajalelanya hawa nafsu, sehingga mengalahkan akal dan iman.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

“Ketidakjelasan jalan” bermakna ketidakjelasan jalan ‘ubudiyah yg dapat mengantarkanmu ke hadirat Tuhanmu saat kau mengalami satu ahwal. Padahal, jalan ‘ubudiyah ini telah dijelaskan syari’at. Siapa yg menelaah Al-Qur’an dan sunnah maka ia akan mendapatkan bimbingan gamblang dalam meniti jalan itu.

‘Ubudiyah-mu dalam ketaatan adalah dengan menyaksikan karunia ketaatan itu. ‘Ubudiyah dalam maksiat adalah dengan beristighfar dan bertaubat. Adapun ‘ubudiyah-mu dalam kenikmatan adalah dengan mensyukuri nikmat tersebut dan ‘ubudiyah dalam cobaan adalah dengan bersabar.

Dalam semua kondisi di atas, yg dikhawatirkan dari dirimu adalah kemenangan hawa nafsu atas dirimu sendiri sehingga ia membutakan matamu sampai kau tidak bisa melihat jalan tujuanmu. Ia bisa membuatmu bersikap sombong dan ‘ujub atas ketaatanmu, mendorongmu untuk selalu bermaksiat, mengabaikan nikmat dan tidak mensyukurinya, atau gelisah dan sedih saat menerima musibah.

Bisa jadi makna hikmah di atas adalah yg dikhawatirkan darimu, bukan ketidaktahuanmu tentang mana di antara sekian amal yg harus kau utamakan. Ini akan kau alami jika kau tidak dibimbing oleh seorang Syaikh atau Guru. Yg dikhawatirkan darimu justru adalah saat hawa nafsu mengalahkanmu. Hawa nafsu akan menghalangimu untuk melakukan amalan² tersebut sehingga kau malah mengurungkan niat meniti jalan menuju Tuhan. Bahkan, kau meninggalkan jalan yg semestinya kau gunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Jika kau tidak mengetahui mana yg lebih utama di antara semua amal itu, sebaiknya kau mencari seorang Syaikh pembimbing agar kau diajari dan dibimbingnya. Wallaahu a’lam

119. Allah Menutupi Rahasia Kewalian

Hikmah 119 dlm Al-Hikam:

“Allah Menutupi Rahasia Kewalian”

سُبْحاَنَ من سَتَرَ سِرَّالخُصُوصيَّةِ بِظُهُورِ البَشَرِيَّةِ وَظَهرَ بِعَظَمةِ الرُّبُوْبِيَّةِ فِى اِظهاَرِالعُبُودِيَّةِ

Maha Suci Allah yg telah menutupi rahasia² keistimewaan seorang wali dengan tampaknya sifat² yg umum bagi menusia, dan telah jelas terlihat keagungan ke-Tuhanan Allah dengan menunjukkan kepada manusia sifat² kehambaan dan kerendahan mahluknya.

Rahasia² kebesaran ilmu makrifat yg diberikan oleh Allah pada para wali-Nya ditutupi oleh Allah dengan tampaknya sifat dan kebiasaan yg umum bagi semua manusia, seperti bekerja, bertani, berdagang, dll, tetapi dalam hatinya penuh dengan ilmu dan makrifat. Sebaliknya Allah memperlihatkan dengan sangat jelas kebesaran Ketuhanan-Nya dengan menunjukkan sifat² ‘Ubudiyah, kelemahan dan kefakiran hamba kepada-Nya.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: AL-‘UBUDIYYATU JAUHAROTUN ADH-HAROTHAR-RUBUBIYYAH. (‘Ubudiyah/penghambaan itu berlian yg diperlihatkan oleh Allah).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Di antara “keistimewaan” yg dimaksud dalam hikmah di atas adalah ilmu pengetahuan dan rahasia² Ilahi yg diberikan dan dilimpahkan Allah ke dalam hati para wali-Nya.

“Sifat² kemanusiannya” ialah hal² duniawi yg biasa dialami dan dihadapi manusia secara umum. Terkadang, sebagian wali berprofesi sebagai pengemudi keledai tunggangan atau penenun. Bisa jadi tak ada seorang pun yg mengetahui bahwa ia adalah seorang wali karena keistimewaan mereka tertutup profesi yg digeluti atau tersamar oleh sikap² mereka yg tidak berbeda dengan kebanyakan manusia lainnya, seperti bertengkar atau beradu mulut dengan orang.

Namun, terkadang pula, Allah menampakkan tanda² keistimewaan itu pada sebagian manusia, seperti pada para da’i. Allah menampakkannya pada para da’i agar dengan peran mereka seluruh manusia menjadi baik dan sempurna.

Dan keagungan rububiyah-Nya terlihat ketika Dia memperlihatkan kehambaan makhluk. Artinya, keagungan rububiyah Allah akan tampak manakala Dia memperlihatkan tanda kehambaan seluruh makhluk. Yg dimaksud dengan tanda kehambaan makhluk adalah kondisi² yg membuat seorang makhluk membutuhkan Tuhan, seperti penyakit atau kemiskinan. Seorang hamba, jika mengalami salah satu kondisi itu, ia akan berlindung kepada Tuhannya dan memohon agar diselamatkan dari kondisi itu.

Di sinilah rububiyah Allah akan ditampakkan-Nya kepada hamba-Nya itu. Allah ingin menegaskan bahwa hamba itu memiliki Tuhan yg Maha Kuasa dan bisa menghilangkan kondisi yg dialaminya. Tanpa hal itu, Allah tidak akan mengenalkan keagungan rububiyah-Nya. Tanpa hal itu juga, keagungan rububiyah Allah hanya akan terselubung dan tidak akan tampak ke permukaan.

Oleh sebab itu, Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata, “’Ubudiyah adalah isi. Ia akan ditampakkan oleh rububiyah.”

Maha Suci Tuhan Yang Maha Lembut dan Maha Meliputi segala sesuatu. Wallaahu a’lam

120. Jangan Menuntut Tuhanmu

Hikmah 120 dlm Al-Hikam:

“Jangan Menuntut Tuhanmu”

لاَ تُطَالب رَبَّكَ بِتأَخرِ مطلَبكَ وَلٰكِن طِالب نَفْسَكَ بِتأَخِيرِ اَدَبِكَ

Jangan menuntut Tuhan karena ditundanya permintaan yg telah engkau minta kepada Allah. Tetapi hendaknya engkau koreksi dirimu, tuntut dirimu yg belum bisa bertata krama (supaya tidak terlambat melaksanakan kewajiban²mu terhadap Allah.

Jika belum tercapai hajat permintaanmu, jangan engkau su’udzan kepada Allah, dan menuntut kepada Allah untuk segera mengabulkan permintaanmu, sebab Allah tidak dapat dituntut terhadap apa saja yg dikehendaki.

Akan tetapi hendaknya permintaanmu itu semata-mata untuk menunjukan sifat kehambaanmu kepada Allah, dan hajat kebutuhanmu kepada Allah. Sebab terhadap kebutuhanmu, Allah tidak usah di ingatkan, bahkan Allah telah melengkapi segala kebutuhanmu sebelum kau mengerti apa hajat kebutuhanmu yg sebenarnya. Maka sebaiknya kau menyerah bulat² kepada Allah tanpa memaksa, tanpa usul apa² kepada Allah.

Dan lagi apabila kamu meyakini Allah tidak akan mengabulkan doamu itu berarti kamu tidak punya adab, karena Allah telah berjanji akan mengabulkan semua doa hamba-Nya. Tetapi cara mengabulkannya tidak harus mewujudkan seperti keinginanmu, semua terserah Allah, yg semua itu terbaik bagimu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jangan protes kepada Tuhan dan berburuk sangka kepada-Nya jika permintaanmu terlambat dipenuhi-Nya, baik yg batin, seperti keistimewaan tertentu, maupun yg lahir, seperti kebutuhan² duniawimu.

Jika kau meminta sesuatu dari-Nya dan jawaban-Nya tidak diberi langsung, jangan kau berburuk sangka kepada-Nya dan jangan memaksa-Nya untuk menunaikan permintaanmu itu karena Dia melakukan apa saja yg dikehendaki-Nya tanpa dimintai pertanggungjawaban atas apa yg dilakukan-Nya. Jika permintaanmu ditunda, tuntutlah dirimu atas keterlambatan pengabulan doamu itu karena kau telah meminta agar disegerakan jawaban doamu. Tentu ini merupakan sikap yg tidak sopan dan kurang ajar terhadap Tuhan.

Tuntutanmu agar Tuhan segera mengabulkan doamu merupakan bukti bahwa kau berdoa hanya untuk dikabulkan. Doamu hanya memiliki tendensi tertentu. Inilah yg mengurangi kesempurnaan ‘ubudiyah-mu. Demikian pula halnya dengan keyakinanmu bahwa Dia tidak akan mengabulkan doamu. Ini adalah sikap yg tidak sopan karena belum tentu pengabulan doa itu berupa sesuatu yg kau inginkan langsung. Allah berhak menahannya darimu karena bisa jadi tindakan itu lebih baik bagimu.

Syaikh Ibnu Atha’illah mengisyaratkan sebuah etika. Jika dipegang oleh seorang hamba, ia akan mendapatkan tujuan dan maksudnya, yaitu sikap istiqamah dan berjalan pada jalan yg lurus, seperti dalam firman Allah, “Tunjukilah kami jalan yg lurus.” (QS. Al-Fatihah (1): 6). Wallaahu a’lam

121. Nikmat Karunia Terbesar Dari Allah

Hikmah 121 dlm Al-Hikam:

“Nikmat Karunia Terbesar Dari Allah”

مَتىَ جَعَلكَ فِى الظَّاهِرِ مُمتـَثِلاً لاَمْرِهِ وَرَزقكَ فِى البَاطِنِ الاِسْتِسْلاَمِ لِقَهْرِهِ فَقَد اَعْظَمَ المِنَّةَ عَلَيْكَ

Apabila Allah telah menjadikan engkau pada lahirnya taat menurut perintah-Nya dan dalam hatimu menyerah/tawakkal kepada-Nya, maka berarti Allah memberi kepadamu nikmat karunia yg sebesar-besarnya.

Jika Allah telah memberi taufiq hidayah kepada hamba untuk melakukan segala perintah-Nya, dan di dalam hati/batinnya diberi kekuatan bisa menyerah/tawakkal pada sifat qohrinya Allah (selalu ridho atas apa yg terjadi atas dirinya), itu berarti Allah telah memberi karunia nikmat yg sangat besar. Karena Allah telah mengumpulkan ‘Ubudiyyah (penghambaan) lahir dan ‘Ubudiyyah batin.

Sebab tugas manusia hanya untuk beribadah kepada Allah lahir batin, dengan ikhlas, tentang semua kebutuhan dan hajatnya telah dicukupi oleh Allah, maka jangan menuruti hawa nafsu yg tidak ada puasnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ketika Allah menjadikanmu taat, dengan memberimu taufiq untuk melaksanakan berbagai ketaatan, dan membuatmu ridho dengan putusan Tuhanmu, berarti Dia telah melimpahkan karunia yg paling besar kepadamu. Dalam karunia itu, Dia telah menghimpun ‘ubudiyah batin dan ‘ubudiyah lahir pada dirimu.

Kedua perkara inilah yg menuntutmu untuk menghambakan diri kepada Allah semata. Lantas, mengapa kau masih tamak? Apa lagi yg kau cari setelah mendapat dua perkara itu jika kau seorang hamba sejati? Ketahuilah, tak ada kedudukan yg sempurna, kecuali saat kau berjuang dalam ‘ubudiyah lahir dan ‘ubudiyah batin. Wallaahu a’lam

122. Kekeramatan Bukan Jaminan Kesempurnaan

Hikmah 122 dlm Al-Hikam:

لَيْسَ كُلُّ مَنْ ثَبَتَ تَخْصِيْصُهُ كـَمُلَ تَخـْـلِيْصُهُ

Tidak semua orang yg telah tampak jelas kekeramatannya itu berarti telah sempurna pembersihannya (dari penyakit² hati dan hawa nafsu).

Keramat (perkara yg luar biasa/tidak masuk akal) yg diberikan Allah kepada para hamba-Nya, yg tujuannya untuk menambah keyakinan dan keimanan hamba, dan untuk memperkenalkan bukti kekuasaan Allah itu tidak tergantung pada sebab dan kebiasaan, bahkan kebiasaan itu bisa menjadi sebab terhijabnya manusia dari Qudratnya Allah. Dan juga bisa menjadi fitnah, bagaikan awan yg menutupi sinar matahari keesaan Allah. Maka dari itu menurut ajaran thariqah, siapa yg terterikat/silau pada keramat maka dia terhina.

Seorang sahabat Sahl bin Abdullah ra. berkata: “Adakalanya jika saya wudhu’ tiba² air yg mengalir di tanganku menjadi lantakan emas dan perak.” Jawab Sahl: “Apakah engkau tidak mengerti bahwa anak kecil jika menangis dihibur dengan boneka/mainan supaya diam.”

Abu Nashr as-Sarraj berkata: “Saya bertanya kepada Hasan bin Salim: apakah arti kekeramatan, sedang mereka telah dimuliakan oleh Allah sehingga sanggup mengabaikan dunia dan meninggalkannya dengan suka rela, tetapi bagaimana lalu kemuliaan (keramat) batu berubah menjadi emas, apakah artinya itu?” Jawabnya: “Bukannya Allah memberikan karena kotornya, tetapi diberi untuk menjadikan hujjah mengalahkan bisikan hawa nafsu, yg selalu goncang kuatir tidak dapat rizki, sehingga oleh Allah diperlihatkan yg demikian, sehingga dapat berkata: Bahwa Allah yg dapat merubah batu menjadi emas, dapat mendatangkan rizki dan memberi dari jalan yg tidak disangka.”

Ishaq bin Ahmad berkata pada Sahl: “Nafsuku ini selalu merasa kuatir tidak dapat makan.” Maka Sahl berkata: “Engkau ambil batu itu dan minta kepada Allah supaya dijadikan makanan untuk kau makan.”

Ishaq bertanya: “Jika berbuat demikian, maka siapa tauladan dalam berbuat demikian?” Jawab Sahl: “Bertauladanlah pada Nabi Ibrahim as. ketika berkata: “Wahai Tuhan, tunjukkan perlihatkan kepadaku bagaimana caranya Engkau menghidupkan sesuatu yg telah mati, supaya tentram hatiku, sebenarnya aku telah percaya tetapi nafsuku ini tidak puas, kecuali jika telah melihat dengan mata kepala.””

Seorang wali Ibrahim al-Khawwas pada suatu hari berkenalan dengan orang Yahudi di dalam kapal, keduanya membicarakan tentang agama, lalu Yahudi tadi berkata: “Kalau agamamu ini benar, berjalanlah diatas laut bersamaku.”

Lalu si Yahudi turun dari kapal dan berjalan diatas laut bersama dengan Ibrahim, sesampainya di daratan Yahudi berkata : “Aku ingin berteman dan bersamamu, tapi dengan syarat kita tidak boleh masuk masjid dan gereja, mari kita masuk ke hutan dan padang, tidak boleh bawa bekal.” Dan disanggupi oleh Ibrahim, lalu keduanya berjalan ke padang yg tidak ada tumbuhan dan tidak ada air sama sekali. Sampai tiga hari keduanya tidak makan dan minum, ketika keduanya duduk² tiba² ada anjing datang dengan menggigit roti tiga biji, dan ditaruh di depan Yahudi lalu anjingnya pergi, si Yahudi lalu makan roti tadi tanpa mengajak Ibrahim ikut makan, tidak berapa lama ada pemuda yg tampan dan berbau harum datang dengan membawa nampan yg dipenuhi dengan makanan dan minuman yg sangat enak dan lezat, dan ditaruh di depan Ibrahim lalu dia pergi. Lalu Ibrahim mengajak Yahudi untuk ikut makan, tapi Yahudi tidak mau karena malu, akhirnya Allah memberi hidayah kepada si Yahudi sehingga masuk Islam dan menjadi murid Ibrahim al-Khawwas.

Syaikh Abu Yazid al-Busthami qs berkata: “Kamu jangan sampai tertipu dengan keadaan yg luar biasa/tidak masuk akal, yg dialami seseorang, tapi lihatlah bagaimana taatnya pada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tidak setiap orang yg mendapatkan perkara luar biasa, seperti dapat mempersingkat perjalanan, terbang di udara, atau berjalan di atas air, sepenuhnya terbebas dari gejolak nafsu, dorongan syahwat, kesalahan, dan pelanggaran.

Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Tidak semua orang yg mendapat karamah terbebas dari salah.” Bahkan mungkin, sebagian orang yg mendapatkan karamah itu tidak mampu istiqamah.”

Karamah sejati adalah sikap istiqamah yg dimiliki seseorang. Lain halnya dengan karamah yg berupa perkara² luar biasa yg kadang kala terjadi pada orang yg tidak beristiqamah dengan sempurna. Bahkan, karamah seperti ini banyak terjadi pada para pemula dan tidak tampak pada orang yg sudah benar² istiqamah dan tawakkal. Sekalipun demikian, keduanya termasuk orang² yg dekat dengan Allah. Oleh karena itu, kita harus tetap menghormati mereka dan memuliakannya. Namun, ahli istiqamah lebih harus dimuliakan daripada ahli karamah. Wallaahu a’lam

123. Menghendaki Langgengnya Wirid Lebih Baik Daripada Langgengnya Karamah (1)

Hikmah 123 dlm Al-Hikam:

“Menghendaki Langgengnya Wirid Lebih Baik Daripada Langgengnya Karamah”

لاَيَسْتَحْقِرُ الوِرْدُ الاَّ جَهُولٌ. الوَارِدُ يُوجَدُ في الدَّارِ الاَخِراَةِ. الوِرْدُ يَنْطَوِي بِانْطواَءِ هٰذِهِ الدّاَرِ وَاَولٰى ماَ يُعْتَنىَ بِهِ ماَلاَ يَخْلُفُ وُجُودُهُ، ثُمَّ الوِرْدُ هُوَ طَالِبُهُ مِنْكَ واَالوَارِدُ اَنْتَ تَطْلُبُهُ

Tidak akan meremehkan wirid, kecuali orang yg sangat bodoh, warid (karunia Allah buah dari wirid) itu akan wujud di akhirat. Wirid itu akan habis/hilang bersama habisnya dunia,. Dan sebaik-baik yg harus diperhatikan oleh seseorang yaitu perkara yg apabila hilang tidak ada gantinya (wirid). Wirid itu sebagai perintah Allah padamu (haknya Allah yg harus kau penuhi), sedangkan warid itu hajat keperluanmu yang kau minta kepada Allah, maka apa imbang antara perintah Allah kepadamu (hak Allah) dengan pengharapanmu dari Allah.

Wirid adalah segala macam bentuk ibadah lahir batin baik yg wajib maupun yg sunnah, sedangkan warid (pemberian Tuhan dalam hati hamba) yg berupa pemahaman, nur/cahaya, kesenangan/manisnya dalam beribadah, taufiq dan hidayah-Nya.

Maka sebaiknya seorang hamba menjalankan kewajibannya, karena wirid itu hanya berlaku ketika masih hidup di dunia ini saja, sedang warid akan lanjut sampai di akhirat.

Rasullullah Saw. bersabda, “Amal yg paling disukai Allah ialah yg istiqamah (terus-menerus) meskipun sedikit.”

Imam Hasan al-Bashri berkata, “Siapa yg hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia rugi, dan siapa hari ini lebih buruk dari kemarinnya, maka dia mahrum (tidak dapat rahmat), dan siapa yg tidak bertambah berarti berkurang, dan siapa yg makin berkurang amalnya, maka mati lebih baik baginya.”

Ketika Imam Junaid ditegur orang karena memegang tasbih di tangannya, “Tuan dalam kedudukan yg demikian itu masih menggunakan tasbih.” Jawab Imam Junaid, “Alat yg telah menyampaikan kami, maka tidak saya tinggalkan.”

Imam Junaid berkata, “Orang ’arif menerima semua amal (wirid) itu sebagai tugas dari Allah, karena itu mereka kembali menghadap pada Allah dengan kebiasaan wirid (ibadah) yg ditugaskan Allah itu. Dan andaikata seribu tahun tidak akan mengurangi sedikitpun amal wiridku, kecuali jika terhalang untuk melakukannya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Wirid ialah amal shaleh yg mengisi waktu² dan membuat seluruh anggota tubuh menjauhi hal² yg dibenci-Nya. Orang bodoh akan meremehkan wirid, padahal di dalamnya terkandung ubudiyah kepada Allah, rasa hadir bersama-Nya, dzikir, pembersihan batin, serta dapat menarik cahaya karunia Ilahi. Menjalani wirid tanpa mempedulikan hasilnya termasuk kebodohan.

Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan, wirid lebih utama daripada warid bila ditinjau dari dua sisi. Pertama, wirid ialah karunia yg masuk ke dalam batin seorang hamba, berupa makrifat Tuhan dan kelembutan jiwa atau cahaya² yg membuat hati lapang dan bersinar terang. Warid ini tetap akan ada hingga di negeri akhirat, sedangkan wirid akan musnah dengan musnahnya dunia. Oleh karena itu, yg perlu mendapat perhatian adalah yg wujudnya akan sirna. Artinya seorang hamba harus memperbanyak wirid sebelum tertinggal karena ia tidak mungkin mengganti wirid yg hilang dan tertinggal.

Kedua, wirid merupakan sesuatu yg dituntut Allah darimu. Adapun warid, kaulah yg memintanya dari Allah. Oleh karena itu, yg kau minta dari-Nya tidak sebanding dengan yg Dia minta darimu. Tentu, yg diminta-Nya darimu lebih utama daripada yg kau minta dari-Nya. Wirid adalah hak Allah atasmu, sedangkan warid (karunia) adalah hakmu atas-Nya. Melaksanakan hak-Nya tentu lebih utama dan lebih patut daripada meminta keuntungan dan bagian dari-Nya.

Syaikh Ibnu Atha’illah ingin mengingatkan para murid yg tamak terhadap warid (karunia), namun mengabaikan wirid. Tindakan itu merupakan akibat kebodohan dan ketidaktahuannya tentang buah dan hasil wirid. Oleh karena itu, orang² ‘arif tidak meninggalkan wirid, padahal ahwal mereka lebih baik daripada para murid. Wallaahu a’lam.

124. Menghendaki Langgengnya Wirid Lebih Baik Daripada Langgengnya Karamah (2)

Hikmah 124 dlm Al-Hikam:

وُروُدُ الاِمدادِ بِحَسْبِ الاِستِعْداَدِ وَشُرُوقُ الاَنواَرِ عَلَى حَسَبِ صَفاءِ الاَسْرَارِ

Datangnya bantuan/pertolongan dari Allah itu menurut kadar kesiapannya, dan terbitnya/cahaya ilahi itu menurut/tergantung pada bersih/jernihnya hati.

Bersihkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan mengisi/memenuhi hatimu dengan pengertian² makrifat dan rahasia² keyakinan. Karena itu tiap² warid (pemberian karunia dari Allah) itu tergantung pada wirid, apabila wiridnya banyak maka waridnya juga banyak, apabila wirid itu timbul dari hati yg bersih, maka datangnya warid demikian terang jernihnya, demikian pula jika wiridnya tetap terus, maka waridnya pun demikian tidak berhenti begitu seterusnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Datangnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya bergantung pada kesiapan seorang hamba membersihkan hatinya dan seberapa sering ia melakukan wirid. Oleh sebab itu, dikatakan, “Bersihkan hatimu dari dunia maka Kami akan mengisinya dengan makrifat dan rahasia.”

Setiap warid akan selalu mengikuti wirid, sesuai kondisinya. Jika wiridnya sempurna, misalnya bersumber dari hati yg bersih, warid-nya pun akan sempurna. Jika wirid kurang, warid pun akan kurang. Jika wiridnya banyak, warid-nya akan banyak. Setiap warid akan bergantung pada wiridnya. Jika wiridnya dilakukan terus-menerus, warid pun akan mengalir terus-menerus.

Oleh sebab itu, amal yg paling dicintai Allah adalah yg paling sering dilakukan walaupun sedikit. Jika amal itu sering dilakukan, bantuan Allah pun akan sering diberikan.

Kalimat “terbitnya cahaya sesuai dengan kadar kejernihan jiwa” merupakan penegas dan penjelas ungkapan sebelumnya. Maknanya, terbitnya cahaya keyakinan dan makrifat bergantung pada kejernihan batin dari kekotoran yg di akibatkan sikap bergantung pada dunia. Kejernihan batin itu sendiri tidak akan terjadi, kecuali dengan seringnya melakukan wirid. Wallaahu a’lam

125. Sikap Orang yang Lupa Pada Allah

Hikmah 125 dlm Al-Hikam:

“Sikap Orang Yang Lupa Pada Allah”

الغَافِلُ اِذاَ اَصْبَحَ نَظَرَ فيماَ يَفْعَلُ، والعاَقِلُ يَنْظُرُ ماَذاَ يَفْعَلُ اللهُ بِهِ

Orang yg lupa/lalai dalam tauhidnya (bahwa segala sesuatu itu berjalan menurut ketentuan takdir Allah), jika pagi hari dia selalu berangan-angan apakah yg harus aku kerjakan hari ini (yakni mengatur dirinya sendiri), sedangkan orang yg sempurna akal tauhidnya memikirkan apakah yg akan ditakdirkan Allah bagi dirinya hari itu.

Jadi, pandangan org yg lalai pada Allah itu, selalu mengatur dan memandang dirinya dan kemampuan atau rencananya, maka dari itu Allah menyerahkan urusannya itu pada dirinya sendiri. Sehingga tidak akan berhasil apa yg direncanakan.

Sedangkan orang yg berakal, selalu memandang Allah, selalu mengingat kekuasaan dan kebijaksanaan Allah, maka Allah mencukupi apa yg menjadi kebutuhannya. Permulaan pemikiran yg bergerak dalam hati itu menjadi timbangan dan ukuran tauhid dan imannya kepada Allah.

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Kini aku tidak merasa senang kecuali dalam ketentuan² takdir Allah.”

Abu Madyan berkata, “Usahakan dengan sungguh² bila dapat, supaya hatimu tiap pagi dan sore menyerah bulat² kepada Allah, semoga Allah melihat padamu dengan pandangan Rahmat-Nya. Niscaya kamu termasuk orang yg bahagia dunia akhirat.

Siapa yg melihat kepada Allah, maka tidak akan terlihat dirinya sendiri, dan siapa yg melihat dirinya sendiri maka tidak terlihat Allah. Karena itu jika engkau menghadapi sesuatu hal, perhatikan hatimu, kemana condongnya, jika langsung pada kekuatanmu sendiri, maka terputus dengan Allah. Dan jika langsung pada kekuasaan Allah, berarti engkaulah yg telah sampai kepada Allah, sedang alam ini semua dalam genggaman Allah.

Dan tiap pagi sebaiknya berdo’a: Allahumma-inni-ash-bahtu laa-amliku linafsii dharra’u-walaa-naf‘aa, walaa mautau-walaa nusyuraa, walaa-as-tathii’u an-aakhudza illaa-maa-a’thaitanii, walaa-at-taqii illa maa-waqaitanii. Allahumma innaka-dzul-fadhlil-‘adhiim.

“Ya Allah, kini aku berada di waktu pagi, tiada menguasai diriku untuk kebaikan atau menolak bahaya, atau mati atau hidup atau bangkit sesudah mati, dan aku tidak dapat mengambil kecuali yg engkau beri, dan tidak dapat menghindari sesuatu kecuali yg engkau hindarkan. Ya Allah, pimpinlah aku kepada jalan yg engkau ridhai baik dalam perkataan atau amal perbuatan di dalam taat kepada-Mu, sungguh engkau Dzat yg maha besar karunia-Nya.”

Doa Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra., “Allahumma innal amra ‘indaka wahuwa mahjuubun ‘annii walaa a’lamu amran akhtaa-ruhu linafsii fakun antal-mukhtaaralii, wah-milnii fii-ajmalil umuuri ‘indaka wa-ahmadihaa ‘aa-qibatan fid-diini wad-dun-ya wal aakhirah, innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir”.

“Ya Allah sungguh segala sesuatu ada di tangan-Mu, dan tertutup dari padaku, dan aku tidak mengetahui apa yg harus aku pilih untuk diriku, maka pilihkanlah apa yg baik bagiku, dan bawalah aku dalam hal yg amat baik serta terpuji akibatnya dalam agama, dunia dan akhirat, sesungguhnya engkau berkuasa atas segala sesuatu.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Orang yg lalai ialah yg lupa tauhid dan lupa bahwa segala sesuatu terjadi atas ketetapan dan takdir Allah. Di pagi hari, orang seperti ini akan menisbahkan semua amalnya kepada dirinya sendiri, biasanya, ia berkata, “Apa yg akan kulakukan hari ini?”

Sementara itu, seorang yg berakal, saat bangun pagi, ia tidak lalai dari tauhid dan tidak lupa bahwa segala sesuatu terjadi dengan ketentuan dan takdir Allah. Ia juga menisbahkan semua amalnya hanya kepada Allah. Orang seperti ini akan berkata, “Apa yg akan dilakukan Allah terhadapku hari ini?”

Orang lalai akan selalu melihat kemampuan dirinya sendiri. Saat Allah membebaninya dengan sebuah pekerjaan, pekerjaan itu tidak akan berhasil. Sementara itu, orang yg berakal hanya akan melihat kepada Tuhannya. Oleh karena itu, Allah akan mencukupi keinginannya dan memudahkan semua permintaannya. Ini adalah sebuah patokan agar murid bisa mengenali kondisi dirinya.

Hal pertama yg harus terdetik dalam hati seorang murid adalah kadar tauhidnya. Seberapa besar kadar tauhidnya? Itu bisa dilihat melalui kadar cahaya yg datang kepadanya. Jika sejak pertama hatinya hanya memandang pada daya dan kekuatannya, ia akan terputus dari Allah. Jika ia sadar dan kembali kepada Allah, tentu ia pun akan sampai kepada-Nya. Wallaahu a’lam

126. Jangan Terpengaruh Dengan Makhluk

Hikmah 126 dlm Al-Hikam:

“Jangan Terpengaruh Dengan Makhluk”

٭ اِنَّماَ يَسْتوحِشُ العِباَدُ وَالزُّهاَدُ مِنْ كُلِّ شيءٍ لِغَيْبَتِهِمْ عَنِ اللهِ فِى كُلِّ شىءٍ فَلَو شَهِدوُهُ فِى كُلِّ شىءٍ لَمْ يَسْتوحِشُوا مِنْ شَىءٍ ٭

Sesungguhnya yg menyebabkan kerisauan/kesusahan hati para ‘abid (ahli ibadah) dan zahid (ahli zuhud) dari segala sesuatu itu karena mereka masih terhijab/tidak melihat Allah dalam apa yg mereka lihat itu. Tetapi andaikan mereka melihat Allah dalam segala sesuatu (makhluk), pasti mereka tidak akan risau dari/terhadap segala sesuatu.

Yg dinamakan ‘abid/ahli ibadah ialah: orang² yg bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam amal ibadah. Sedangkan zahid/ahli zuhud ialah orang yg bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan tawakkal/menyerahkan diri hanya kepada Allah. Kedua golongan ini selalu ingin menjauh dari masyarakat/sesama makhluk, itu dikarenakan mereka merasa bahwa masyarakat/makhluk menjadi perintang mereka dalam mendekatkan diri kepada Allah, tapi sekiranya mereka lebih mendalam dalam makrifat kepada Allah, tentu mereka tidak dapat terhalang oleh suatu apapun, sebab Allah berada dalam segala sesuatu, maka tidak ada sesuatu yg melupakan dari Allah, bahkan sebaliknya masyarakat/makhluk itu bisa mengingatkan kepada Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

‘Abid adalah orang² yg menuju Allah melalui jalan amal dan ibadah, sedangkan zahid ialah orang² yg menuju Allah dengan jalan tawakkal. Kedua golongan ini cenderung menjauhi makhluk karena mereka terputus dari Allah, terhalang, dan belum bisa melihat-Nya. Itu di akibatkan oleh sikap mereka yg terlalu memandang diri sendiri dan selalu memperhatikan kemaslahatan pribadinya. Mereka lari dari segala hal duniawi (baik itu manusia maupun materi) yg menghantui pandangan mereka. Mereka takut jika hal duniawi menghalangi tujuan mereka dan menyimpangkan maksud mereka. Mereka khawatir terlena dan tertipu olehnya.

Sekiranya mereka melihat Allah dalam segala sesuatu, sebagaimana orang² ‘Arif dan para muhibbin (kaum pencinta), mereka tidak akan khawatir atau takut terhadap segala hal duniawi karena mereka melihat Allah ada di dalamnya. Tentu mereka tidak akan lagi sibuk memandang dan memperhatikan kemaslahatan diri sendiri. Buahnya, mereka tidak akan merasa risau dan takut tertipu olehnya. Wallaahu a’lam

127. Lihatlah Alam Ini Untuk Mengenal Allah

Hikmah 127 dlm Al-Hikam:

“Lihatlah Alam Ini Untuk Mengenal Allah”

اَمَرَكَ فِى هٰذِهِ الدَّارِ بِالنَّظَرِ فِى مُكَوَّناَتِهِ وَسَيَكـْشِفُ لَكَ فِى تِلْكَ الدَّارِ عَنْ كمَال ذاَتِهِ

Allah memerintahkan kepadamu semasa hidup di dunia ini memperhatikan alam ciptaan-Nya (memikirkan makhluk di dunia ini sehingga menjadikan ingat pada Allah). Dan kelak di akhirat, Allah akan mamperlihatkan kepadamu kesempurnaan Dzat-Nya.

Allah telah memerintahkan memperhatikan dan memikirkan makhluknya Allah. Ada juga yg secara isyarah seperti firman Allah yg artinya: “Dan di bumi itu ada bagian² tanah yg berdekatan satu sama lainnya, ada kebun² kurma dan anggur, ada tanaman yg sejenis dan beda jenis, yg kesemuanya itu disirami dengan satu macam air, sesungguhnya yg demikian itu mengandung tanda² keagungan Allah, yg manfaat bagi orang² yg mau berfikir.”

Satu macam air itu (air hujan) tetapi pohon yg disiram beda², daunnya tidak sama, buahnya tidak sama, adakalanya sama tapi rasanya berbeda, itu semua pasti ada yg menetapkan, yaitu Allah.

Apabila mau memperhatikan alam semesta (makhluk), maka kelak di akhirat, Allah akan membukakan hijab sehingga langsung bisa melihat Dzat-Nya.

Firman Allah Ta’ala: WUJUUHUY-YAUMA-IDZIN-NAADHIROH, ILAA-ROB-BIHAA NAADHIROH. (beberapa wajah pada hari kiamat itu berseri-seri, (bercahaya), karena ia dapat melihat Tuhannya).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah memerintahkanmu di dunia ini untuk memperhatikan ciptaan-Nya agar dengan mata batinmu kau melihat-Nya tampak sana.

Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yg ada di langit dan di bumi’.” (OS. Yunus (10): 101)

Dengan begitu, di akhirat kelak, Dia akan menyingkapkan untukmu kesempurnaan Dzat-Nya agar kau melihat-Nya dengan mata batinmu. Kemampuan seorang hamba melihat Tuhannya bergantung pada kadar penampakan-Nya di hadapan mereka.

Di dunia, mereka melihat-Nya tampak di alam semesta dengan cahaya mata batin mereka karena Allah menampakkan Diri kepada mereka dari balik hijab mereka sendiri, yaitu alam semesta tersebut. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan hamba²Nya untuk mengamati dan merenungkan ciptaan-Nya. Di akhirat, mereka akan melihat-Nya langsung tanpa hijab dengan cahaya mata kepala mereka. Itu tak mustahil terjadi.

Inilah puncak dari tajalli (penampakan Allah) dan kasyaf (ketersingkapan Allah) di dunia yg di alami khusus oleh orang² ‘arif. Di akhirat, tajalli dan kasyaf ini akan di alami oleh seluruh kaum mukmin. Wallaahu a’lam

128. Tidak Sabar ingin Menyaksikan Allah

Hikmah 128 dlm Al-Hikam:

عَلِمَ مِنكَ اَنَّكَ لاَ تَصْبِرُ عَنْهُ فاَشـْهَدَكَ ماَ بَرَثَ مِنْهُ

Allah mengetahui bahwa engkau tidak sabar ingin menyaksikan Allah, maka Allah memperlihatkan kepadamu yg bersumber dari-Nya.

Orang yg berfikir tentang makhluk buatan Allah, dan mengetahui semua atas ketentuan Allah, tentu tidak sabar ingin mengetahui Dzat yg membuat dan menentukan yaitu Allah. Berhubung itu tidak mungkin, maka Allah memperkenalkan Diri-Nya lewat makhluk buatan-Nya.

Kerinduan yg berupa ingin melihat Allah itu, termasuk karunia yg agung dari Allah, dan ini termasuk maqam ihsan.

Dawuh mu’allif ini untuk orang² yg mencari Allah, yg dalam pikirannya sudah jauh dari selain Allah.

Ahli fikir itu ada dua:

1. Ahli fikir yg punya maksud mencari Allah/taqarrub kepada Allah, ini akan menghasilkan cinta dan rindu bertemu Allah.

2. Ahli fikir yg untuk urusan dunia seperti mencari ilmu alam yg tidak ada maksud mencari Allah, ini tidak akan membuka mata hati.

Maka terhadap orang yg telah sampai ke maqam ihsan ini, Allah menganjurkan sabar melihat ciptaan² Allah terlebih dahulu untuk diperlihatkan Dzat Allah di akhirat nanti.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Maha Mengetahui jika kau tidak bisa bersabar untuk dapat melihat-Nya langsung, sebagaimana seorang pencinta yg tak tahan ingin segera melihat kekasihnya. Namun, penglihatanmu kepada Allah tanpa hijab di dunia ini tidak mungkin bisa dilakukan. Maka dari itu, Allah memperlihatkan kepadamu segala jejak, tanda, dan ciptaan-Nya agar kau melihat-Nya pada semua itu dengan mata batinmu.

Namun, jika semua ciptaan itu menghalangi pandanganmu kepada-Nya, sebenarnya kau telah melihat-Nya dari balik hijab. Itulah karunia dan perhatian Allah untukmu karena di dunia pun Dia tidak menghijabmu dari memandang-Nya. Wallaahu a’lam

129. Beragamnya Bentuk Ketaatan Agar Tidak Membosankan

Hikmah 129 dlm Al-Hikam:

“Beragamnya Bentuk Ketaatan Agar Tidak Membosankan”

لمّا علم الحق منك وجود الملل لَوّن لك الطاعات وعلم مافيك من وجود الشرّه فحجرهاعليك فى بعض الاوقات ليَكون همّك اِقمامة الصلاةِلاوجودالصلاةِفماكلُّ مصَلٍّ مُقِيمٌ

Karena Allah mengetahui bahwa engkau mudah jemu, Dia membuat bermacam-macam cara taat untukmu. Karena Allah mengetahui bahwa engkau rakus, Dia membatasi ketaatan itu hanya pada waktu² tertentu. Agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat, bukan pada adanya shalat. Karena tidak semua orang yg shalat dapat menyempurnakan shalatnya.

Allah Ta’ala berfirman: Wa-aqiimus-shalaata (dan kamu semua supaya mendirikan shalat), firman-Nya tidak: SHALLUU (shalatlah kamu semua).

Cara mendirikan shalat (iqamatus-shalah) itu harus dengan menyempurnakan adab/tata kramanya shalat;
1. Adab lahir seperti: menjaga syarat², rukun² dan sunnah²nya shalat.
2. Adab batin seperti: menjaga khusyuk dalam shalat dengan menghadapkan hati hanya kepada Allah Ta’ala, sehingga hati tidak mengingat sesuatu melainkan kepada Allah Ta’ala, dan merasa bahwa shalatnya itu semata-mata karunia dari Allah Ta’ala.

Shalat dengan menyempurnakan adab/tata kramanya ini yg akan menimbulkan bekas, seperti bertambah baik budi pekertinya, dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar ( INNAS-SHALAATA-TANHAA ‘ANIL-FAKHSYA-I WAL MUNKAR)

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala mengetahui bahwa kau mudah bosan dan jemu. Beratnya amal akan mengakibatkanmu meninggalkan amal itu. Oleh karena itu, Dia membuat untukmu bermacam cara dan bentuk ketaatan. Itu adalah rahmat dan kemudahan-Nya untukmu. Jika kau bosan dengan satu cara ketaatan, kau bisa menggunakan cara lainnya. Sekiranya ketaatan itu hanya satu macam, tentu jiwamu akan jemu dan akan meninggalkannya lantaran merasa berat melakukannya. Lain halnya dengan ketaatan yg beragam, tentu dapat membuatmu ringan dan mudah sehingga kau bisa berpindah dari satu ketaatan ke ketaatan lainnya.

Tabiat jiwa biasanya tidak sanggup berada dalam satu kondisi secara terus-menerus. Ia akan mencari bermacam kondisi lainnya.

Tidakkah kau lihat bahwa manusia, jika terus-menerus memakan satu jenis makanan, ia akan merasa bosan? Sebagaimana yg pernah terjadi pada Bani Israil ketika hidup terasing di tengah hamparan gurun. Makanan yg bisa mereka temukan saat itu hanyalah manna dan salwa.

Allah Ta’ala juga mengetahui bahwa kau begitu tamak, rakus, dan melampaui batas. Kau selalu ingin cepat beramal sehingga membuatmu tidak melaksanakannya secara sempurna. Maka dari itu, Dia pun melarangmu untuk melakukannya pada beberapa waktu tertentu. Hal itu juga dimaksudkan demi meringankanmu.

Kewajiban terlarang dilakukan di luar waktu²nya yg telah ditentukan. Sementara itu, ibadah atau amal sunnah terlarang dilakukan pada waktu² yg dibenci (makruh). Allah membuat setiap ketaatan memiliki waktu khusus dan tidak membuatnya setiap waktu agar kau tidak tamak dan berlebihan, yg akan berakibat pada ditinggalkannya amal itu.

Kesimpulannya, ketaatan dibuat beragam karena adanya rasa bosan. Ketaatan dilarang di waktu² tertentu karena adanya ketamakan pada dirimu. Keragaman dan ketentuan waktu ketaatan ini merupakan dua nikmat yg diberikan Allah kepada hamba-Nya. Di sisi lain, rasa bosan dan sifat rakus adalah dua bencana besar yg dapat memutus amal.

Rutinitas ibadah yg sama dapat mendatangkan rasa bosan sehingga jiwa akan jemu dan merasa berat melakukannya. Namun, jika jiwa diberikan bentuk² amal yg beragam, ia akan merasa ringan dan menikmatinya.

Jika ibadah diperbolehkan di setiap waktu, tentu akan melahirkan rasa rakus karena ibadah itu dilakukan dengan penuh ketamakan. Saat tamak itulah, pelaksanaan ibadah akan kurang sempurna, seperti orang yg tamak membaca Al-Qur’an, namun tidak menghayati maknanya dan kalbunya tidak hadir bersama Tuhannya ketika membacanya. Oleh sebab itu, Allah menentukan waktu² khusus untuk ibadah dan ketaatan. Itulah hikmah mengapa Allah melarang beribadah pada waktu² tertentu.

Allah membatasi shalat dengan waktu tertentu agar tekadmu adalah bagaimana mendirikan shalat dengan baik, bukan bagaimana shalat itu terlaksana begitu saja.

Allah mewarnai dan membuat variasi ketaatan untukmu agar kau tidak bosan. Dia melarangmu beribadah pada waktu² tertentu agar kau tidak rakus. Itu semua dimaksudkan agar tekadmu adalah mendirikan shalat dengan baik, bukan sekadar ada dan terlaksana.

Mendirikan shalat dengan benar adalah dengan menjaga batasan²nya seraya menjaga hati agar tetap khusyuk dan hadir bersama Allah sehingga tidak gelisah dan gusar dalam shalat.

Dalam hikmah di atas, shalat disebut secara khusus, tak lain karena ia merupakan ibadah yg di dalamnya seorang hamba sering melakukan kesalahan. Wallaahu a’lam

130. Manfaat² Shalat

Hikmah 130 dlm Al-Hikam:

“Manfaat² Shalat”

الصلاةطهرة للقلوب من ادناس الذنوب واستفتاح لباب الغيوب

Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan shalat itu bagaikan sungai yg mengalir di depan pintu rumah salah seorang, maka ia mandi di sungai itu tiap hari lima kali, apakah masih ada sisa kotorannya?” Jawab sahabat, “Tidak ada sisa kotoran sedikitpun.” Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Demikian pula shalat lima waktu yg menghapuskan dosa.”

Shalat juga sebagai pemuka pintu ghaib, sebab bila hati telah bersih dan selalu berhubungan dengan Tuhannya, pasti lambat laun akan terbuka baginya tirai/pintu ghaib.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Shalat yg sesungguhnya ialah yg menjadi pembersih hati dari pengaruh dan kotoran duniawi dan dosa, serta sifat² lain yg menjauhkan pelakunya dari pandangan kepada Tuhan Yang Maha Perkasa.

Shalat juga merupakan pembuka pintu sesuatu yg tak pernah kau miliki, yaitu berupa makrifat dan rahasia² Ilahi. Makrifat dan rahasia Ilahi ini di umpamakan dengan harta karun yg tertutup rapat. Jika hati sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat sehingga ia bisa melihat rahasia² ghaib yg tak bisa dilihatnya. Wallaahu a’lam

131. Shalat Adalah Tempat Munajat & Kerinduan

Hikmah 131 dlm Al-Hikam:

الصلاة محل المناجاةومعدن المصافات تتسع فيهاميادين الاسرار وتشرق فيها شوارق الانوار

Shalat adalah tempat munajat dan kerinduan. Di dalamnya ruang rahasia meluas dan cahaya bersinar.

Allah Ta’ala berfirman: “Aqimis-shalaata li-dzikrii.” (Dirikanlah/tegakkanlah shalat itu untuk dzikir ingat kepadaKu.)

Sesungguhnya seorang hamba bila ia berdiri shalat, maka Allah Ta’ala membukakan untuknya tirai hijab, dan langsung dihadapinya, dan berdiri tegak para malaikat dari atas bahunya hingga langit, mengikuti shalatnya dan mengaminkan doanya.

Dan seorang yg shalat itu ditaburi rahmat dari langit hingga ubun² kepalanya. Dan dipanggil oleh suara: Andaikata orang yg munajat ini mengetahui siapakah yg diajak bicara, maka tidak akan berhenti shalatnya, dan sesungguhnya pintu² langit terbuka untuk orang yg shalat.

Dan sesungguhnya Allah Ta’ala membanggakan barisan orang² yg shalat di hadapan malaikat-Nya.

Muhammad bin Ali at-Tirmidzi berkata, “Allah Ta’ala telah memanggil orang² yg bertauhid supaya shalat lima waktu, karena rahmat kasih kepada mereka, dan menyediakan berbagai macam hidangan, supaya seorang hamba bisa merasakan pada tiap² bacaan dan gerak itu karunia pemberian-Nya. Maka gerakan itu bagaikan makanan dan minuman. Dan hidangan itu disediakan oleh Allah tiap hari lima kali, supaya tidak ada lagi sisa kotoran ataupun debunya.

Dalam kitab Taurat disebutkan: Hai anak Adam, jangan malas untuk mendirikan shalat di hadapan-Ku sambil menangis, maka Akulah Allah yg telah mendekat dari hatimu, dan karena ghaib engkau telah dapat melihat cahaya-Ku.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Munajat bermakna keintiman dan percakapan lembut seorang hamba dengan Tuhannya. Shalat adalah media munajat hamba kepada Tuhannya. Dengan munajat itu, Allah menampakkan sifat²Nya yg indah sebagai rahmat-Nya kepada para hamba dan seluruh alam semesta. Dengan munajat itu pula, Allah memasukkan ke dalam batin hamba, ilmu² laduni dan rahasia² pengetahuan.

Shalat juga menjadi sarana pertemuan dan pelepas rindu hamba dengan Tuhannya. Dengan shalat, hamba menghadap-Nya dengan segenap jiwa raga dan mendatangi-Nya secara lahir dan batin sehingga dalam relung batinnya tak ada yg tersimpan selain-Nya. Dengan shalat juga, Allah Ta’ala akan membersihkan hamba-Nya dengan memberinya kemampuan syuhud dan mencurahkan karunia dan kebaikan-Nya. Inilah pembersihan yg paling tinggi. Semakin seorang hamba mendekati-Nya maka Allah pun akan semakin lebih mendekatinya lagi.

Di dalam shalat, ruang hati menjadi luas, sehingga bisa menerima rahasia² yg berlimpah.

Di dalam shalat pula cahaya bersinar terang. Jika cahaya menyinari hati, hati itu akan lapang dan terbuka menerima berbagai ilmu dan makrifat. Itulah buah munajat dan pembersihan yg disebut di atas. Semuanya adalah penegasan dari hikmah sebelumnya bahwa yg dituntut dari hamba adalah mendirikan shalat secara sungguh², bukan sekedar melaksanakannya. Wallaahu a’lam

132. Kebutuhan Hamba Terhadap Karunia Allah

Hikmah 132 dlm Al-Hikam:

علم وجود الضعف منك فقلل اعدادها وعلم احتياجك الى فضله فكثرامدادها

Allah mengetahui kelemahan dirimu sehingga menyedikitkan bilangan (shalat). Dia juga mengetahui kebutuhanmu terhadap karunia-Nya sehingga melipatgandakan pahala-Nya.

Allah Ta’ala itu mengetahui kalau hamba itu butuh sekali anugerah dari-Nya, maka Allah memperbanyak asror-nya shalat, yakni Allah memperbanyak anugerah berupa ilmu dan makrifat di dalam hatinya.

Dalam kitab ini disebutkan Amdadahaa itu mempunyai dua arti:

1. Untuk orang yg bermaksud wushul kepada Allah/salik, itu bermakna Asror (yaitu anugerah ilmu makrifat).

2. Untuk orang yg tidak bermaksud wushul kepada Allah, itu bermakna tsawab (pahalanya), yakni Allah melipat gandakan pahalanya shalat, shalatmu yg lima waktu tapi diberi pahala lima puluh waktu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala mengetahui kelemahanmu, wahai murid, karena kemampuan dan energi manusia tak akan sanggup menyaksikan penampakan Ilahi. Oleh karena itu, Dia mengurangi bilangan shalat dari yg sebelumnya lima puluh waktu menjadi lima waktu saja. Allah juga mengetahui rasa butuhmu kepada karunia-Nya, karena itu Dia memberikan ilmu², rahasia² (asror), dan pengetahuan-Nya ke dalam hati seseorang yg shalat. Ungkapan ini ditujukan untuk para murid.

Untuk selain murid, Allah mengetahui kelemahanmu karena kau malas dan sibuk dengan duniawi sehingga tak sanggup melakukan shalat yg banyak. Allah juga mengetahui kebutuhanmu akan karunia-Nya. Oleh karena itu, Dia memperbanyak pahala-Nya dengan memberikan sebanyak lima puluh pahala untuk shalat lima waktu. Wallaahu a’lam

133. Jangan Minta Balasan Atas Amalmu (1)

Hikmah 133 dlm Al-Hikam:

“Jangan Minta Balasan Atas Amalmu”

متى طلبت عواضا على عمل طولبت بوجود الصدق فيه ويكفي المريب وجدان السلامة

Ketika kau meminta balasan atas sebuah amal, sebenarnya kau dituntut untuk tulus di dalamnya. Sudah cukup beruntung bila seseorang selamat dari siksa-Nya.

Hikmah ini menjelaskan kejelekan orang yg beramal karena mengharap balasan/upah dari amalnya. Padahal seharusnya orang itu beramal yg baik, bersih hanya karena menghamba pada Allah Ta’ala.

Karena hanya Allah lah Dzat yg wajib disembah dan diagungkan, dan menjadi tujuan kita dunia dan akhirat. Hal ini sudah banyak dibahas dalam kitab ini dengan berbagai bahasan yg berbeda.

Syaikh Khair an-Nassaj ra. berkata, “Timbangan amalmu itu sesuai dengan perbuatanmu, karena itu mintalah kemurahan karunia-Nya. Dan itu lebih baik bagimu.”

Syaikh al-Washity ra. berkata, “Amal ibadah lebih dekat kepada minta/mengharap ampunan dan maaf, dari pada mengharap pahala dan upah.”

Syaikh an-Nashrabadzy ra. berkata, “Amal ibadah itu bila diperhatikan kekurangan²nya, lebih dekat kepada mengharap maaf dari pada mengharap pahala dan balasan.”

Firman Allah Ta’ala: QUL-BI-FADH-LILLAAHI-WA-BIROHMATIHII-FA-BIDZAALIKA FAL-YAF-ROCHUU-HUWA KHOIRUM-MIMMAA YAJ-MA’UUN.”

Katakanlah: “Hanya karena karunia dan rahmat Allah mereka boleh bergembira, sebab itu lebih baik bagi mereka dari segala apa yg dapat mereka kumpulkan sendiri.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ketika kau meminta balasan atas shalatmu atau ibadah lainnya, misalnya dengan berharap pahala langsung di dunia dan akhirat, padahal Allah menuntutmu agar ikhlas dan tulus dalam amalmu, Allah akan menyatakan kepadamu bahwa kau belum tulus dalam amalmu untuk-Nya. Kau hanya beramal untuk kepentingan dan keuntungan dirimu.

Ketulusan dan keikhlasan adalah kesesuaian batin dengan lahir. Sifat inilah yg tidak ada pada diri seorang ‘amil (orang yg beramal). Secara lahir, ia memang beramal untuk Allah dan ingin melaksanakan hak² ketuhanan-Nya. Namun, di dalam batinnya, ia beramal untuk keuntungan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sangat beruntunglah dia bila Allah membebaskannya dari siksa.

Lebih beruntung lagi bila orang yg kurang sempurna dalam amalnya itu diberi pahala oleh Tuhannya, secara langsung maupun tak langsung. Sekiranya ia bertekad dan berniat untuk menyempurnakan amalnya serta yakin atas keluasan rahmat Allah Ta’ala, niscaya di hatinya tak akan pernah terpikir pahala saat ia beramal. Justru ia akan mengikhlaskan amalnya karena Allah. Sekalipun amalnya kurang sempurna, beruntungnya, ia tetap terselamatkan dari siksa Allah. Tuhannya akan berkata kepadanya, “Amal yg kau kerjakan ini tidak layak mendapat pahala-Ku, tetapi cukuplah bagimu jika kau selamat dan tidak Ku-siksa.”

Hikmah di atas sebetulnya adalah celaan bagi para pencari pahala atas amal yg dilakukannya. Ia menjelaskan bahwa sebaiknya seorang hamba menyembah Allah berdasarkan keyakinannya atas kebesaran, ketuhanan, dan sifat² rububiyah-Nya, bukan karena balasan yg akan di dapatnya di dunia dan akhirat. Wallaahu a’lam

134. Jangan Minta Balasan Atas Amalmu (2)

Hikmah 134 dlm Al-Hikam:

لاتطلب عواضا على عمل لست له فاعلا، يكفى من الجزاءلك على العمل ان كان له قابلا

Jangan mengharap upah atas amal yg tidak kau lakukan. Sudah cukup sebagai balasan untukmu jika Allah menerimanya.

Firman Allah Ta’ala:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yg menciptakan kamu dan apa yg kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Saffat [37]: 96)

Jadi, kita hanya menjadi lalu lintas qadha’ dan qadar-nya Allah Ta’ala, tidaklah pantas kalau kita minta balasan/upah sedangkan kita tidak ikut mengerjakan, yakni semua pekerjaan yg kita kerjakan itu yg menjadikannya adalah Allah Ta’ala, ini hukum ‘Aqli.

Kalau menurut hukum syar’i, hamba yg membuat pekerjaan yg dikerjakannya. Dalilnya:

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yg telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 32)

Tapi ketahuilah bahwa makhluk tidak bisa mengerjakan kalau tidak digerakkan oleh Allah Ta’ala.

Syaikh Ibrahim al-Laqqany ra. berkata, “Dan Allah yg menjadikan hamba, dan segala perbuatannya, Dia pula yg memberi taufiq untuk siapa yg akan sampai (wushul) kepada-Nya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jangan mengharap upah atas amal yg tidak kau lakukan karena yg melakukan sesungguhnya adalah Allah. Kau hanyalah objek penampakan-Nya. Jika yg melakukan adalah Allah, betapa lancang kau meminta pahala atas amal itu!

Dengan kata lain, pencipta sesungguhnya dari amal para hamba adalah Allah semata, sedangkan hamba hanya berusaha. Lantas, apakah pantas ia meminta pahala atas amal yg sebenarnya tidak dilakukannya?

Cukuplah bagimu jika Allah sudah menerimanya. Maksudnya, jika Allah sudah menerima amalmu, Allah tidak lagi meminta pertanggunganjawabmu atas amalmu yg kurang sempurna, bukan atas amalmu yg tidak kau niatkan untuk mencari pahala. Wallaahu a’lam

135. Karunia Allah Atas Adanya Amal (1)

Hikmah 135 dlm Al-Hikam:

“Karunia Allah Atas Adanya Amal”

اذا اراد ان يظهرفضله عليك خلق فنسب اليك

Apabila Allah hendak memperlihatkan karunia-Nya kepadamu, Dia akan mencipta (amal), lalu menisbatkannya kepadamu.

Sebagaimana firman² Allah: Hai hamba-Ku yg beriman, Hai orang² yg beriman.

Padahal Allah yg memberikan iman itu, karena itu jawaban hamba: Engkau ya Allah yg memberikan karunia iman kepadaku, sehingga aku berbuat taat, padahal aku sendiri tiada berdaya dan tidak berkekuatan kecuali semata-mata dengan pertolongan-Mu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika Allah Ta’ala ingin menganugerahimu karunia-Nya, Allah akan menciptakan amal pada dirimu, lalu menisbatkannya kepadamu. Dia akan menyatakan kepadamu melalui malaikat-Nya bahwa kau adalah orang yg taat, bertakwa, gigih, dan gemar beramal. Dengan cara lain, Allah akan menisbatkan amal itu kepadamu melalui lisan para hamba-Nya, seperti perkataan orang² kepadamu, “Kau adalah orang yg taat, bertakwa, dan rajin beribadah.”

Jika seorang hamba menyaksikan karunia yg amat agung ini dan merasa malu kepada Tuhannya, ia tidak akan menisbatkan sifat² terpuji atau amal² baik kepada dirinya karena ia tidak memiliki kelayakan sama sekali untuk itu. Adapun sifat² tercela dan amal yg buruk, menurut etika, sepatutnya ia nisbatkan kepada diri sendiri. Ia harus mengakui bahwa itu akibat kezaliman dan kebodohannya.

Sahal ibn Abdullah ra. berkata, “Jika seorang hamba melakukan kebaikan, lalu ia berkata, “Tuhanku, dengan karunia-Mu aku beramal, Engkau yg membantuku dan memudahkannya”, berarti ia telah bersyukur kepada Allah atas karunia itu. Lalu, Allah pun akan menjawabnya, “Hamba-Ku, melainkan kau sendiri yg taat dan kaulah yg mendekati-Ku.”

Namun, jika seorang hamba hanya memandang dirinya sendiri, lalu bergumam, “Aku yg beramal, aku yg taat, dan aku yg mendekat”, maka Allah akan berpaling darinya. Dia akan berkata kepadanya, “Hamba-Ku, Akulah yg membimbingmu, Aku pula yg membantumu, dan Aku yg memudahkan jalanmu.”

Sekiranya hamba melakukan keburukan, lalu berkata, “Tuhanku, Engkau yg mentakdirkannya, Engkau yg menetapkannya, dan Engkau pula yg memutuskannya”, maka Tuhan akan murka kepadanya. Dia akan berkata kepada hamba itu, “Justru kau yg telah berbuat buruk. Kau bodoh dan kau durhaka.”

Sekiranya hamba itu berkata, “Tuhanku, aku telah berlaku zalim, bodoh, dan buruk.” Tuhan pun akan mendatanginya dan berkata, “Hamba-Ku, Akulah yg memutuskannya, Aku yg menetapkannya, dan kau pun telah Ku-ampuni, Aku maafkan, dan Kututupi aibmu.”” Wallaahu a’lam

136. Karunia Allah Atas Adanya Amal (2)

Hikmah 136 dlm Al-Hikam:

لانهاية لمذامّك ان ارجعك اليك ولا تفرغ مداءحك ان اظهر جوده عليك

Tiada terhingga keburukanmu jika Allah membiarkanmu. Sebaliknya, tiada pernah berakhir kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan kemurahan-Nya atas dirimu.

Apabila Allah mengembalikan amal pada kamu sendiri, artinya Allah tidak memberi bantuan, taufiq, hidayah dan pertolongan-Nya padamu, maka kamu akan selalu (tidak ada akhirnya) melakukan pekerjaan yg dicela oleh syara’. Sehingga tidak ada amal yg di anggap baik menurut Allah, walaupun kelihatannya ibadah dan amal kebaikan.

Rasulullah Saw. bersabda dalam doanya: “ASHLIH-LII- SYA’NII-KULLAHU, WALAA-TAKILNII- ILAA-NAFSII-THORFATA ‘AINII.” (Ya Allah, perbaikilah urusanku semuanya, dan jangan Kau serahkan urusanku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.)

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Keburukanmu tidak akan pernah berakhir jika Allah membiarkanmu sendiri, karena nafsumu selalu terdorong untuk melakukan keburukan. Jika Allah membiarkanmu dan tidak mengaturmu dalam mengontrol hawa nafsu, niscaya nafsu akan menguasai dan mengendalikanmu. Ia akan menjerumuskanmu ke jurang keburukan sehingga tak satu pun amal dan ahwal-mu yg baik. Itulah tanda² jika kau terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah.

Jika Allah menampakkan wujud-Nya kepadamu, misalnya dengan memberimu pertolongan dan perlindungan-Nya dalam mengendalikan hawa nafsumu sehingga tidak menguasaimu, maka tak terhitung pujian orang terhadapmu. Dengan begitu, amal dan ahwal-mu akan menjadi baik dan indah. Kebaikanmu pun tidak akan pernah habis. Itulah tanda bahwa Allah telah memilihmu. Ketahuilah, tak ada jalan selamat dari hawa nafsu dan gejolaknya, kecuali dengan bergantung dan berlindung kepada Allah Ta’ala. Wallaahu a’lam

137. Larangan Mengakui Sifat Rububiyah Allah (1)

Hikmah 137 dlm Al-Hikam:

“Larangan Mengakui Sifat Rububiyah Allah”

كن باوصاف ربوبيته متعلقا، وباوصاف عبود يّـتك متحققا

Bersandarlah selalu kepada sifat² Rububiyah Allah (ketuhanan-Nya) dan wujudkanlah sifat² ‘ubudiyah-mu (kehambaanmu).

Arti bersandar/bergantung pada sifat² ke-Tuhanan (Rububiyah) ialah: Ingatlah selalu sifat² ke-Tuhanan Allah, yaitu: Maha Kaya, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Mulia, Maha Kuat dan sifat² sempurna lainnya.

Sedangkan memperlihatkan sifat² kehambaan (Ubudiyah) ialah: Menyadari sifat² hamba seperti: fakir/miskin, lemah, bodoh, hina, tak berdaya. Maka hamba harus bergantung/bersandar diri pada sifat² ke-Tuhanan Allah, sehingga Allah memberi pertolongan dan bantuan dan menitipkan sifat² Rububiyah-Nya pada hamba-Nya, seperti: menjadi kaya billah (karena Allah), kuasa billah, ‘alim/pandai billah, mulia billah, kuat billah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bersandarlah selalu kepada sifat² Rububiyah-Nya dan jangan berusaha mewujudkan sifat² itu pada dirimu karena seorang hamba tak mampu melakukannya. Ia hanya bisa bergantung pada sifat² Tuhannya. Maka dari itu, wujudkanlah pada dirimu sifat² ‘ubudiyah-mu kepada-Nya.

“Bersandar kepada sifat² Rububiyah” bermakna memandang atau memperhatikan maslahat sifat² itu. Namun demikian, tidak layak bagimu untuk bersifat dengan salah satunya.

“Mewujudkan sifat² ubudiyah” bermakna melihat dan memperhatikan sifat² itu atau mengamati pembentukannya untuk dirinya. Sifat inilah yg harus dimiliki seorang hamba dengan sempurna, bukan sifat² Rububiyah-Nya.

Sifat Rububiyah yg didapat seorang hamba yg ada pada dirinya tak lain hanyalah pinjaman Allah padanya, bukan miliknya pribadi. Jika seorang hamba mendapati sifat kaya dan mampu, mulia dan kuat pada dirinya, tak lain itu hanyalah milik Allah. Ia harus melihat bahwa sifat² asli yg dimilikinya adalah kebalikan dari semua sifat Allah, yaitu miskin, lemah, hina, dan tak berdaya. Kemudian, Allah menyokongnya dengan sifat²Nya sehingga ia menjadi kaya, mampu, tahu, mulia, dan kuat karena Allah. Wallaahu a’lam

139. Kejadian² Luar Biasa akan Muncul Dari Orang Yang Mujahadah-nya Luar Biasa

Hikmah 139 dlm Al-Hikam:

“Kejadian² Luar Biasa akan Muncul Dari Orang Yang Mujahadah-nya Luar Biasa”

كيف تخرق لك العواءـد وانت لم تخرق من نفسك العواءــد

Bagaimana mungkin kau mendapat hal luar biasa, sedangkan kebiasaanmu belum luar biasa?

Kharqul-awaa’id ialah: perkara yg tidak masuk akal, kejadian² yg luar biasa seperti: berjalan di atas air, melipat jarak dan waktu, sehingga bisa pergi ke ujung barat dan timur dengan satu langkah kaki, dll.

Bagaimana kau akan dapat mencapai yg demikian (kharqul-awaa’id), padahal kau sendiri belum bisa mengekang hawa nafsu dan keinginanmu, padahal kau belum dapat melepaskan kehendakmu untuk menyerah pasrah pada kehendak Allah Ta’ala.

Keramat/Kharqul-awaa’id itu tidak diberikan oleh Allah, kecuali pada orang yg sudah bisa melenyapkan kehendak diri sendiri dan menentang keinginan hawa nafsunya sendiri.

Kharqul-awaa’id itu ada beberapa macam: kalau keluar dari seorang Nabi disebut mu’jizat. Kalau keluar dari seorang wali disebut karamah, kalau keluar dari orang shalih disebut ma’unah. Tapi kalau keluar dari orang yg menentang hukum Allah Ta’ala disebut istidraj (panglulon).

Karamah itu ada dua macam;

  1. Karamah maknawiyyah, yakni karamah yg tidak di ketahui orang lain, seperti: bertambahnya iman dan keyakinan, bertambah baik akhlaqnya kepada Allah Ta’ala dan kepada makhluk.
  2. Karamah dhohiriyyah, yakni: keramat yg bisa diketahui orang lain, seperti Toyyil Ardhi (melipat jarak yg jauh menjadi dekat) dan melakukan perkara yg luar biasa yg tidak masuk akal.

Futuh yaitu: terbukanya tabir/hijab yg menutupi mata lahir dan mata hati.

Macam futuh itu banyak sekali, termasuk bagian dari futuh yaitu Kasyaf.

Antara kasyaf dan futuh itu sama artinya. Dan keduanya ada yg dari malaikat, ada yg dari setan, dan yg dari setan itu bukan karamah tapi dinamakan istidraj.

Kasyaf itu ada dua macam:

  1. Kasyaf hissi, yakni mengetahui perkara/kejadian yg jauh dari pandangan mata kepala. Seperti kisah Sayyidina Umar bin Khattab ra. ketika khutbah jum’ah di Madinah, tiba² memerintahkan pada panglima perang bernama Sariyyah yg sedang bertempur di tanah Nahawand yg jauhnya kira² perjalanan dua bulan dari Madinah. Sayyidina Umar ra. berkata, “Ya Sariyyah al-Jabal! (Hai Sariyyah! Awas, musuh ada di atas gunung).”

Diceritakan saat itu pasukan Islam baru bertempur di bawah gunung melawan sebagian pasukan musuh. Dan tidak tahu kalau ada sebagian pasukan musuh yg ada di atas gunung yg mau menyerang. Seumpama tidak ada komando dari Sayyidina Umar ra. yg bisa didengar oleh panglima perang Sariyyah, tentu pasukan Islam akan kalah. Dan akhirnya pasukan Islam dapat kemenangan. Setelah pasukan kembali ke Madinah, komando dari Sayyidina umar ra. dicocokkan dengan penduduk Madinah ternyata benar.

  1. Kasyaf ma’nawi, yakni mengetahui perkara yg diluar dari alam syahadah (alam nyata).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bagaimana kau begitu antusias untuk mendapatkan sesuatu yg luar biasa, misalnya karamah dan kemampuan mempersingkat jarak bumi, sedangkan kau terbiasa melakukan kesombongan dan keangkuhan serta sifat buruk lainnya? Hal² luar biasa terjadi dengan kuasa Allah Ta’ala. Dan itu tidak akan diberikan Allah kecuali kepada orang yg membuat kebiasaannya menjadi luar biasa, memusnahkan keinginan dan maslahat pribadinya.

Barang siapa yg belum mencapai maqam ini maka ia tidak boleh berhasrat mendapatkannya. Jika terlihat padanya sebentuk karamah, ia harus takut tertipu dan hendaknya ia tidak mengharapkan dan mencarinya. Jika ia masih mengharapkan atau mencarinya, itu menjadi bukti bahwa ia tetap terkungkung dalam keinginan, maslahat, dan kebiasaannya. Bagaimana bisa hal² luar biasa didapat oleh orang² yg sifatnya selalu ingin mendapatkan karamah?

Wallaahu a’lam

138. Larangan Mengakui Sifat Rububiyah Allah (2)

Hikmah 138 dlm Al-Hikam:

منعك ان تدّعي ماليس لك مما للمخلوقين افيبيح لك ان تدعي وصفه وهو ربّ العلمين

Allah melarangmu mengakui hak orang lain yg bukan milikmu. Lalu, mungkinkah Dia membolehkanmu mengakui memiliki sifat-Nya, padahal Dia Tuhan Pemelihara alam semesta?

Pangakuanmu terhadap apa yg bukan menjadi sifat²mu itu bagian dari kedhaliman yg besar. Dan bagian dari paling jeleknya perkara yg jelek menurut para ‘arifin yaitu: Menyekutukan Allah di dalam hatinya hamba, dengan mengakui sebagian dari sifat² ke-Tuhanan Allah, dengan i’tiqad dan ucapan. Itu berarti merebut kedudukan Allah dan sombong kepada Allah.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Tiada seorang yg lebih cemburu dari Allah, karena itu Allah mengharamkan segala perbuatan keji, dan karena itu pula Allah takkan mengampuni orang yg menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena itu pula sifat² kesempurnaan Allah, tidak boleh dikurangi walaupun sedikit.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah mengharamkanmu untuk mengaku-aku sesuatu yg bukan milikmu, misalnya mengaku-aku kepemilikan harta yg diberikan-Nya kepada makhluk-Nya yg lain. Tindakan ini disebut Allah sebagai ‘udwan (tindakan melampaui batas) dan kezaliman. Jika tindakan ini dilarang-Nya, apakah Dia membolehkanmu mengaku-aku sifat² yg dimiliki-Nya?

Apabila tindakan mengaku-aku hak milik orang lain saja diharamkan, tentu saja tindakan mengaku-aku sifat Allah lebih dilarang lagi. Tindakan ini merupakan ‘udwan dan kezaliman yg lebih besar dan lebih berat.

Jika kau mengaku kaya, berkuasa, terhormat, kuat, dan alim, sebagaimana yg terjadi pada sebagian orang, itu termasuk maksiat dan dosa besar. Bahkan, menurut pandangan orang² ‘arif, itu merupakan tindakan menyekutukan Tuhan dan kekejian yg paling keji. Hal itu dikarenakan di dalam hati hamba, ada sekutu Allah, yaitu dirinya yg mengaku sifat² rububiyah Allah, baik dengan keyakinan maupun dengan ucapan. Itu sama dengan tindakan menandingi Allah dan sombong di hadapan-Nya.

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Kesombongan adalah surban-Ku dan kebesaran adalah sarung-Ku, siapa yg menandingi-Ku dalam salah satu sifat itu, maka Aku akan menjerumuskannya ke dalam neraka.”

Makna “menandingi” di sini ialah mengaku-aku dengan ungkapan dan keyakinan. Wallaahu a’lam

141. Hubungan Antara Pengabulan dengan Kehinaan dan Kebutuhan

Hikmah 141 dlm Al-Hikam:

“Hubungan Antara Pengabulan dengan Kehinaan dan Kebutuhan”

ماطلب لك شيء مثل الاضطرار ولا اسرع بالمواهب اليك مثل الذلة والافتقار

Tiada sesuatu yg lebih menuntutmu, kecuali kebutuhan mendesak. Tidak ada pula yg dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kebutuhan mendesak seorang hamba merupakan sifat terkhusus ‘ubudiyah-nya kepada Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, tak ada sesuatu pun yg lebih menuntut seorang hamba, kecuali perasaan mendesak itu. Maknanya, sebaik-baik peminta adalah kebutuhan mendesak, Syaikh Ibnu Atha’illah mengumpamakan kebutuhan mendesak ini dengan sosok “peminta”.

Kebutuhan mendesak adalah sikap menampakkan kefakiran yg sangat sehingga berkonotasi bahwa kau tak memiliki daya dan upaya apa², serta tidak menemukan satu pun sebab yg bisa kau jadikan sandaran untuk mendapatkannya. Keadaanmu sama dengan keadaan orang yg tenggelam di laut atau yg tersesat di hutan. Kau tak mendapati sesuatu pun yg dapat mensejahterakanmu, kecuali Tuhanmu dan tak berharap keselamatan dari kebinasaanmu, kecuali dari-Nya.

Tak ada yg dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh karena kehinaan dan rasa butuh merupakan dua sifat yg ada pada seseorang yg terdesak. Keduanya tentu akan mempercepat pemberian Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yg memiliki sifat itu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang² yg lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 123)

Karena kondisi itulah, mereka pun akhirnya mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Ta’ala. Wallaahu a’lam

140. Adab Berdoa

Hikmah 140 dlm Al-Hikam:

“Adab Berdoa”

ماشاءن وجودالطلب انّما الشاءن ان ترزق حسن الاداب

Yg harus diperhatikan bukan sekedar meminta, melainkan bagaimana kau di anugerahi adab yg baik.

Sebab karena adab, kamu bisa memperlihatkan ‘ubudiyahmu, dan mencukupi hak²nya ke-Tuhanan Allah Ta’ala. Dan juga bisa menerima apa yg diberi oleh Allah Ta’ala, tanpa merasa kurang atau kecil. Sebagai kebiasaannya seorang tuan (majikan) itu mencukupi semua kebutuhan hambanya, demikian pula kewajiban seorang hamba menyerah dan pasrah kepada kebijaksanaan aturan Tuhannya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Yg harus diperhatikan bukan sekadar berdoa dengan lisan. Sebaliknya, menurut para muhaqqiq (ahli hakikat), yg penting bukanlah berdoa dengan mengarahkan semua permintaan dan kebutuhanmu kepada-Nya semata. Cara itu belum memenuhi etika² dan kesopanan berdoa.

Namun, yg paling penting menurut para muhaqqiq adalah kau meminta seluruh permintaanmu itu dari-Nya semata, bukan bertujuan mendapatkan bagian dan keinginanmu saja, melainkan memintanya sebagai perwujudan dari ‘ubudiyah-mu kepada-Nya dan pelaksanaan terhadap hak² rububiyah-Nya. Dengan begitu, kau akan mendapatkan adab yg baik dari-Nya. Permintaanmu dan adab baikmu itu menjadi pelaksanaan yg sesungguhnya dari hak² etika dalam berdoa.

Maksud “meminta” dalam hikmah di atas adalah permintaan dengan hati atau hasrat hati kepada suatu tujuan. Jadi, yg harus diperhatikan bukanlah kau meminta sesuatu dari Tuhanmu dengan hatimu, baik disertai dengan permohonan lisan maupun tidak, namun yg paling penting adalah bagaimana kau diberikan adab yg baik oleh-Nya, yaitu tidak meminta kepada-Nya karena kau merasa cukup dengan pandangan Allah terhadapmu.

Etika yg baik dalam berdoa pada ungkapan pertama adalah agar berdoa kepada Allah sebagai bentuk ‘ubudiyah dan pelaksanaan terhadap hak² rububiyah-Nya, bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi saja. Sementara itu, pada ungkapan kedua adalah meninggalkan doa karena puas dengan bagian yg telah diberikan-Nya dan cukup dengan kehendak-Nya serta sibuk dengan berdzikir kepada-Nya. Wallaahu a’lam

142. Wushul itu Sebab Karunia dari Allah dan Ditutupinya Cela Kita (1)

Hikmah 142 dlm Al-Hikam:

“Wushul Itu Sebab Karunia Dari Allah Dan Ditutupinya Cela Kita”

ولولا انك لاتصل اليه الابعد فناء مساويك ومحودعاويك لم تصل اليه ابدا ولكن اذااراد ان يوصلك اليه غطى وصفك بوصفه ونعتك بنعته فوصلك اليه منه اليك لابمامنك اليه

Jika kau yakin bahwa kau hanya akan sampai kepada-Nya setelah lenyapnya semua keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, kau selamanya tak akan sampai kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya dan watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yg diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaikan yg kau persembahkan kepada-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kau tidak akan sampai kepada-Nya sekalipun kau melakukan riyadhah (olah batin) dan mujahadah berusaha menghilangkan aib dan semua keinginan yg tak layak bagimu, seperti keinginan untuk meraih kekuatan, kehormatan, kekayaan, dan kekuasaan. Itu adalah sifat² inti dan watak yg sudah melekat pada seorang hamba dan tak bisa terlepas darinya. Sampainya kau kepada Allah adalah anugerah-Nya kepadamu, bukan karena usahamu sendiri.

Hal itu di isyaratkan Syaikh Ibnu Atha’illah dengan ucapannya, “Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya.” Allah akan menutup dan menghapus sifat² buruk darimu. Dia juga akan mengabadikan ketiadaan sifat² burukmu itu dengan menampakkan sifat² yg baik padamu.

Hal itu di isyaratkan Allah dalam sebuah hadits qudsi, “Hamba-Ku terus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ibadah² sunnah sampai Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yg digunakannya untuk mendengar, penglihatannya yg digunakannya untuk melihat, tangannya yg digunakannya untuk memukul, dan kakinya yg digunakannya untuk berjalan.”

Allah akan membawamu sampai kepada-Nya dengan anugerah-Nya kepadamu, yaitu berupa sifat²Nya yg ditampakkan-Nya pada dirimu, bukan dengan usahamu dalam beramal.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra berkata, “Seorang wali tidak akan pernah sampai kepada Allah selama ia memiliki syahwat, keinginan, dan pilihan. Walaupun Allah sudah memberi jalan baginya, ia tetap tidak akan sampai kepada-Nya. Namun, jika Allah menginginkan untuk mendekatkan hamba itu kepada-Nya, Dialah yg akan mengaturnya, yaitu dengan menampakkan sifat²Nya yg tinggi dan suci sehingga akan menghilangkan sifat² hamba-Nya yg buruk. Saat itu, hamba tersebut tidak lagi memiliki keinginan dan pilihan, kecuali yg dipilihkan dan diinginkan Tuhannya.” Wallaahu a’lam

143. Wushul itu Sebab Karunia dari Allah dan Ditutupinya Cela Kita (2)

Hikmah 143 dlm Al-Hikam:

لولا جميل ستره لم يكن عمل اهلا للقبول

Kalau bukan karena keindahan tutup-Nya, tentulah tiada amal yg layak diterima.

Sebab syarat untuk diterimanya amal itu adalah ikhlas, tulus kepada Allah, tetapi manusia diuji dengan sombong diri, merasa sudah cukup amalnya, dan lebih jelek lagi bila ia riya’ dengan amalnya,dan mengharap pujian atas amal perbuatannya. Karena demikian watak tiap hamba, maka sulit untuk diterima amal perbuatannya, kecuali hanya mengharap rahmat karunia Allah semata.

Syaikh Abu Abdullah al-Quraisyi berkata, “Jika Allah menuntut mereka tentang keikhlasan, maka lenyaplah semua amal perbuatan mereka, maka apabila telah lenyap semua amalnya, bertambahlah hajat kebutuhan mereka, maka dengan itu mereka lalu melepaskan diri dari bergantung kepada segala sesuatu, dan apabila ia telah bebas dari segala sesuatu, kembalilah mereka kepada Allah dalam keadaan bersih dari segala sesuatu.”

Jadi para murid/salik dalam perkara wushul kepada Allah, itu harus bergantung pada anugerah dan pemberian Allah. Jangan sampai mengandalkan amal ibadahnya sendiri.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kalau bukan karena tirai-Nya yg indah, tentu tidak satu pun amal yg diterima-Nya karena seorang hamba selalu diuji dengan pandangannya terhadap diri sendiri dan kebahagiaannya dengan amalnya. Selain itu, ia juga selalu menisbatkan amalnya itu kepada diri dan kemampuannya. Terkadang ia membuka hijabnya di depan orang sehingga ia menjadi riya’ dan mengharap pujian manusia. Semua ini akan menjadi syirik tersamar yg dapat merusak keikhlasan. Sementara itu, keikhlasan adalah syarat diterimanya sebuah amal.

Dengan demikian, sampainya seorang murid kepada Allah bergantung pada karunia dan kemuliaan-Nya, bukan atas perjuangan dan kerja kerasnya. Sekiranya ia berkata, “Jika bukan karena karunia Allah,” tentu akan lebih utama baginya daripada bersikap sombong. Wallaahu a’lam

144. Wushul itu Sebab Karunia dari Allah dan Ditutupinya Cela Kita (3)

Hikmah 144 dlm Al-Hikam:

انت الى حلمه اذا اطعته احوج منك الى حلمه اذاعصيته

Ketika taat, kau lebih membutuhkan belas kasih-Nya daripada ketika melakukan maksiat.

Kemuliaan seorang hamba hanya ketika bersandar diri kepada Tuhannya. Dan hina/jatuhnya seorang hamba bila ia telah melihat dan berbangga dengan dirinya sendiri. Sedang manusia ketika berbuat taat, merasa dirinya sudah baik lalu bangga dengan amal perbuatannya sendiri, sombong dan merendahkan orang lain. Padahal amal perbuatannya jika dikoreksi keikhlasannya tidaklah mungkin akan diterima, bahkan amal itu semua hanyalah amal yg palsu dan tidak ada harganya di sisi Allah.

Allah telah menurunkan wahyu kepada seorang Nabi-Nya, “Beritahukan kepada hamba²Ku yg shiddiqin (sungguh² dalam beribadah kepada-Ku), janganlah kamu tertipu oleh kesombongan dengan amal perbuatanmu itu, karena apabila Aku menegakkan benar² keadilan-Ku pasti Aku akan menyiksa mereka, dan bukan suatu kedholiman terhadap mereka. Dan katakan kepada hamba²Ku yg telah berbuat dosa, ‘Jangan kamu berputus asa dari rahmat-Ku, sebab tidak ada suatu dosa yg tidak dapat Ku ampunkan.’”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami ra. berkata, “Taubat karena berbuat maksiat itu cukup hanya sekali, sedangkan taubat setelah berbuat taat harus seribu kali, sebab taat yg diliputi oleh ‘ujub, sombong, itu berubah menjadi maksiat yg besar, dan orang tidak akan menyadarinya. Sebagaimana jatuhnya iblis dari singgasananya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Seorang yg taat biasa mengalami berbagai keadaan, seperti sombong, ‘ujub, meremehkan orang lain, menganggap dirinya layak mendapat pahala, dan kondisi lainnya yg mencerminkan kesombongan. Lain halnya dengan seorang pemaksiat, boleh jadi maksiatnya akan mendorongnya untuk berhati-hati, takut kepada Tuhannya, berlindung kepada-Nya, tunduk dan membutuhkan-Nya.

Oleh sebab itu, seorang hamba lebih membutuhkan belas kasih Allah saat ia taat, melebihi kebutuhannya terhadap belas kasih-Nya saat ia bermaksiat kepada-Nya. Hikmah ini merupakan peringatan tambahan bagi orang yg merasa mampu sampai kepada Allah dengan amalan²nya. Sikap ini adalah kesalahan dan kebodohan. Wallaahu a’lam

145. Dua Macam Perlindungan Allah (1)

Hikmah 145 dlm Al-Hikam:

“Dua Macam Perlindungan Allah”

الستر على قسمين ستر عن المعصية وستر فيها، فالعامّة يطلبون من الله تعالى الستر فيها خشيــة سقوط مرتبتهم عندالخلق، والخاصة يطلبون من الله السترعنهاخشية سقوطهم من نظرالملك الحقّ

Tutup (perlindungan) Allah ada dua: tutup yg menghalangi perbuatan maksiat dan tutup ketika melakukan maksiat. Manusia pada umumnya berharap supaya ditutupi dalam melakukan maksiat karena khawatir derajat mereka jatuh di mata makhluk. Adapun kalangan khusus berharap ditutup (dicegah) dari perbuatan maksiat karena khawatir kedudukan mereka jatuh dalam pandangan Allah.

Manusia pada umumnya meminta pada Allah Ta’ala supaya ditutupi maksiatnya pada waktu mengerjakannya, sehingga mereka meminta pada Allah supaya di tutupi karena takut kedudukannya di masyarakat/sesama manusia jatuh sebab maksiat itu.

‘Ady bin Hatim ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Kelak pada hari kiamat ada beberapa orang yg dibawa ke surga, tetapi setelah melihat segala kesenangan yg tersedia dan merasakan hawa enaknya surga, tiba² diperintahkan mengusir mereka dari surga, sebab mereka tidak punya bagian dalam surga itu, maka kembalilah mereka dengan penuh penyesalan, sehingga mereka berkata, ‘Ya Allah, andaikan Engkau memasukkan kami ke neraka sebelum memperlihatkan kepada kami surga dan segala yg disediakan untuk para wali-Mu, niscaya akan lebih bagi kami.’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Memang Aku sengaja demikian, kamu dulu jika sendirian berbuat segala dosa² besar, tetapi jika bertemu dengan orang², berlagak khusyuk bermuka-muka pada manusia, berlawanan dengan apa yg ada dalam hatimu, kamu takut pada manusia dan tidak takut pada-Ku, mengagungkan manusia tidak condong pada-Ku, maka hari ini rasakan siksa-Ku yg sepedih-pedihnya, dan diharamkan atas kamu segala rahmat-Ku.’”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tirai Allah Ta’ala ada dua macam. Pertama, tirai yg menghalangi seorang hamba dari kemaksiatan, misalnya dengan tidak memberinya sebab² untuk melakukan maksiat. Kedua, tirai penutup saat hamba melakukan maksiat, misalnya dengan menutupi aibnya di hadapan semua orang saat ia melakukan maksiat atau sesudahnya.

Manusia awam yg tidak memiliki hakikat keimanan selalu di dominasi oleh pandangan mereka terhadap makhluk. Mereka selalu berharap dari makhluk berbagai manfaat dan keselamatan dari bahaya, karena itu mereka bersikap riya’ dan berpura-pura di hadapan semua makhluk. Mereka selalu tamak dan sombong di hadapan manusia. Mereka juga tidak suka jika manusia mengetahui hal² buruk yg ada pada diri mereka yg dapat menjatuhkan kedudukan mereka.

Oleh sebab itu, manusia cenderung meminta agar Allah menutupi aib mereka saat mereka melakukan maksiat atau bahkan saat menyukainya. Hal itu dikarenakan, mereka takut martabatnya jatuh di mata makhluk. Jika makhluk mengetahui kondisi mereka, tentu mereka tidak akan mendapatkan apa yg mereka harapkan, yaitu manfaat dan keselamatan dari bahaya. Mereka itulah orang² yg bersandar kepada selain Allah. Mereka adalah ahli syirik tersamar yg dapat mengeluarkan pemiliknya dari hakikat keimanan. Tentang mereka, Allah Ta’ala berfirman,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضٰى مِنَ الْقَوْلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yg Allah tidak ridlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yg mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 108)

Adapun orang² khusus yg mendapatkan hakikat keimanan, mereka tidak pernah menoleh kepada makhluk, tidak memuji, tidak pula mencela. Mereka juga tidak berharap dari makhluk manfaat atau takut terhadap bahaya mereka. Mereka tidak pernah bersandar kepada makhluk karena mereka hanya puas dengan pandangan Allah Ta’ala kepada diri mereka.

Orang² khusus ini meminta agar Allah Ta’ala menutupi aib mereka dari pandangan manusia dan menjaga bisikan hati mereka untuk tidak melakukan maksiat. Hal itu dikarenakan, mereka takut kedudukannya jatuh di mata Allah akibat pelanggaran dan perbuatan mereka yg memicu murka-Nya.

Inilah yg sering terjadi pada dua kelompok manusia tersebut. Tentu ada perbedaan yg besar di antara keduanya. Terkadang orang² awam meminta agar Allah Ta’ala menutupi aibnya. Ini dilakukannya karena ingin melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menutupi aib orang yg diuji dengan maksiat. Pada diri mereka tak ada rasa penghinaan terhadap maksiat, tidak pula rasa cinta kepadanya. Sesekali orang khusus juga meminta agar Allah Ta’ala menutupi maksiat yg mereka lakukan, tidak membongkarnya di tengah makhluk, tidak pula di hadapan Allah Ta’ala karena mereka malu telah jatuh ke jurang maksiat. Juga karena manusia sering berburuk sangka kepada orang² yg dekat dengan Allah Ta’ala jika mereka mengetahui keburukannya. Wallaahu a’lam

146. Dua Macam Perlindungan Allah (2)

Hikmah 146 dlm Al-Hikam:

من اكرمك فانمااكرم فيك جميل ستره فالحمد لمن سترك ليس الحمد لمن اكرمك وشكرك

Orang yg menghormatimu sebenarnya menghormati indahnya tutup Allah yg diberikan kepadamu. Oleh karena itu, pujian hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi (aibmu); bukan kepada orang yg menaruh hormat dan berterima kasih kepadamu.

Sudah menjadi sifat manusia bahwa tiap orang pasti mempunyai cela/aib dan kebusukan yg andaikan diketahui oleh orang lain, pasti orang lain akan membenci dan tidak suka padanya. Kenyataannya ada orang yg memuji, menghormatinya, adapun yg menyebabkan adanya orang yg memuji dan menghormati padanya, bukan semata-mata karena kebaikannya, tetapai karena Allah menutupi kebusukan dan cacatnya, maka pujian itu seharusnya kembali pada Allah yg menutupi kebusukan dan aibnya. Karena itu ia wajib bersyukur dan memuji kepada Allah yg menutupi aibnya, tidak pada manusia yg memujinya karena tidak tahu kejelekannya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Orang yg mendekati dan mencintaimu atau berterima kasih kepadamu tak lain dikarenakan keindahan tirai Allah yg diberikan kepadamu. Tanpa tirai itu, mereka tidak akan datang kepadamu, tidak mencintaimu, dan tidak pula melihat kepadamu dengan keramahan. Hal itu dikarenakan jika mereka mengetahui apa yg ada padamu, niscaya mereka akan merendahkanmu dan menganggap dirimu buruk, bahkan mereka akan menghindar darimu.

Saat itulah segala puji hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi aibmu, bukan kepada orang yg menghormati dan berterima kasih kepadamu. Jangan kau berterima kasih kepada orang itu, kecuali atas kebaikan yg diberikannya, bukan karena ia orang yg menghormatimu dengan sebenar-benarnya karena tak ada yg memuliakanmu dengan sebenarnya, kecuali Allah Ta’ala semata.

Orang yg didatangi, dicintai, dan dimuliakan oleh manusia kadang melakukan kesalahan sehingga pujian dan sanjungan kepadanya tidak tepat. Manusia yg memujinya sama saja dengan zalim. Ia juga kadang salah dengan melihat pada dirinya sifat² terpuji yg layak mendapat kemuliaan. Maka dari itu, mereka yg memujinya termasuk orang² yg bodoh. Mereka bodoh karena hanya melihat kepada amalnya dan lupa kepada karunia Allah atasnya. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha’illah mengingatkan dari dua kesalahan ini. Wallaahu a’lam

147. Sahabat Sejati

Hikmah 147 dlm Al-Hikam:

“Sahabat Sejati”

ماصحبك الامن صاحبك وهوبعيبك عليم وليس ذٰلك الامولك الكريم خيرمن تصحب من يطلبك لالشيءيعودمنك اليه

Sahabat sejatimu adalah yg bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Tidak lain Ia adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yg tidak mengharap keuntungan darimu.

“Dan sebaik-baik sahabatmu ialah yg selalu memperhatikan/membantu kepentinganmu, bukan karena sesuatu kepentingan yg diharap daripadamu untuk dirinya.”

Sudah menjadi watak manusia akan menjauhi/membenci orang lain ketika jelas² mengetahui kebusukan dan kejelekan orang tersebut, dan tidak mau bersahabat dengannya, kecuali hanya Allah Ta’ala. Dan juga orang² yg bersandar pada sifat² Ketuhanan, yaitu orang² yg sudah makrifatullah, yg masih mau menolong dan membantu. Sedangkan orang tua itu masih juga ada kepentingan dan pengharapan atas dirimu, sedang di dunia ini tidak ada orang yg kasih sayangnya sebagaimana ayah ibumu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tiada yg menjadi sahabatmu dengan sebenar-benarnya, kecuali Dzat yg memberimu kebaikan-Nya. Dia mengetahui aib dan celamu, namun Dia tidak pernah terhalang untuk mendekatimu dan menjadi sahabatmu, padahal ia mengetahui rincian kekurangan dan aibmu itu. Teman seperti itu ialah Tuhanmu Yang Maha Mulia. Seperti itu pulalah persahabatan kaum sufi dan orang² ‘Arif yg memiliki akhlak seperti sifat² Tuhannya.

Adapun orang² yg menemanimu dengan kebodohannya, ia bukanlah sahabatmu sejati karena ia tak kuasa melihat kekurangan dan aibmu. Ia takkan mampu bersabar menanggungnya. Meskipun bersabar, pasti ada tendensi dan tujuan yg di inginkannya.

Sebaik-sebaik sahabatmu adalah orang yg tidak menuntut apa2 darimu. Itu hanyalah Tuhanmu atau orang yg berakhlak seperti akhlak-Nya. Adapun orang yg bersahabat denganmu karena kebaikanmu dan manfaat yg kau berikan kepadanya, ia bukanlah sahabat sejati karena tujuannya hanyalah menunaikan kebutuhannya darimu. Jika tujuan itu telah terlaksana, ia akan meninggalkanmu.

148. Nur Yaqin Akan Mendekatkan Akhirat dan Memperlihatkan Kefanaan Dunia

Hikmah 148 dlm Al-Hikam:

“Nur Yaqin Akan Mendekatkan Akhirat dan Memperlihatkan Kefanaan Dunia”

لواشرق لك نوراليقين لرايت الاخرةاقرب اليك من ان ترحل اليها ولرايت محاسن الدنيا قدظهرت كسفةالفناء عليها

Andaikan cahaya keyakinan menerangi dirimu, tentu kau akan melihat akhirat lebih dekat denganmu daripada kau berjalan menujunya, dan tentu kau akan menyaksikan keindahan dunia telah diliputi selubung kebinasaan.

Sebab dengan Nurul-yaqin, semua hakikat perkara itu kelihatan yg semestinya dan apa adanya. Apabila hamba sudah bercahaya hatinya dengan Nurul-yaqin dia bisa mengetahui yg benar dan yg salah sedangkan akhirat itu perkara yg haqq/benar, tetap wujudnya, sedangkan dunia itu akan rusak.

Anas ra. berkata: Ketika Rasulullah Saw. sedang berjalan dan berjumpa dengan seorang pemuda dari sahabat Anshor, Rasulullah Saw. bertanya, “Bagaimanakah keadaanmu hai Haritsah pada pagi ini?”

Jawabnya, “Saya kini menjadi seorang mukmin yg sungguh².

Rasulullah Saw. bersabda, “Hai Haritsah, perhatikan perkataanmu, sebab tiap kata itu harus ada bukti hakikinya.”

Maka Haritsah ra. berkata, “Ya Rasulullah, jiwaku jemu dari dunia, sehingga aku bangun malam dan puasa siang hari, kini seolah-olah aku berhadapan dengan ‘Arsy, dan seolah-olah aku melihat neraka yg penghuninya sedang menjerit-jerit di dalamnya.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau telah melihat, maka tetapkanlah (jangan berubah). Seorang hamba, yg telah diberi Nur iman dalam hatinya.”

Haritsah ra. berkata, “Ya Rasulullah, doakan aku mati syahid.”

Maka Rasulullah Saw. berdoa untuknya. Dan ketika pada suatu hari ada panggilan untuk berjihad, maka dialah orang pertama yg menyambutnya, dan akhirnya dia yg pertama mati syahid.

Dan ketika ibunya mendengar berita bahwa anaknya telah mati syahid, ia datang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang Haritsah putraku, jika ia di surga aku tidak akan menangis atau menyesal, tapi jika lain dari itu, maka aku akan menangis selama hidup di dunia!”

Jawab Rasulullah Saw., “Haritsah, bukan hanya satu surga tetapi surga di dalam surga². Dan Haritsah telah mencapai Firdaus yg tertinggi.”

Maka kembalilah ibu Haritsah sambil tertawa dan berkata, “Untung.. untung bagimu hai Haritsah.”

Anas ra. juga berkata: Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal ra. masuk ke tempat Rasulullah Saw. sambil menangis, maka ditanya oleh Rasulullah Saw., “Bagaimanakah keadaanmu pagi ini hai Mu’adz?”

Jawab Mu’adz ra., “Aku pagi ini mukmin benar² kepada Allah.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Tiap kata² yg benar harus ada bukti hakikatnya. Maka apakah bukti pernyataanmu itu?”

Jawab Mu’adz ra., “Ya Nabiyallah, kini jika aku berada di waktu pagi merasa mungkin tidak sampai sore, dan jika sore, aku merasa tidak akan sampai pagi. Dan tiap melangkahkan kaki merasa mungkin tidak dapat melangkah yg lain, dan terlihat kepadaku seolah-olah manusia semua telah dipanggil untuk menerima suratan amal bersama dengan Nabi² dan berhala²nya yg disembah selain Allah, dan juga seolah-olah aku melihat siksa ahli neraka dan pahala ahli surga.”

Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau telah mengetahui, maka tetapkanlah.”

Rasulullah Saw. ketika memberi tahu kepada para sahabat hal gugurnya Zaid bin Haritsah ra. dan Ja’far bin Abi Thalib ra., dan Abdullah bin Rowahah ra. bersabda, “Demi Allah, mereka tidak akan senang, andaikan mereka masih berada di antara kami.”

Rasulullah Saw. memberitakan demikian dengan air mata yg berlinang-linang.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sekiranya hatimu diterangi cahaya keyakinan atau ilmu pengetahuan tentang Allah dan janji-Nya yg disampaikan melalui lisan Nabi-Nya, niscaya kau akan melihat akhirat lebih dekat denganmu saat kau berjalan menuju-Nya. Kau juga akan melihat keindahan dunia telah diliputi oleh selubung kebinasaan. Karena dengan cahaya keyakinan dan ilmu itu, hakikat segala sesuatu akan terlihat sesuai kondisi aslinya.

Jika cahaya itu menyinari hati, seorang hamba akan melihat yg benar tetap benar dan yg bathil tetap bathil; akhirat adalah benar, sedangkan dunia adalah bathil. Dia akan melihat akhirat yg tadinya ghaib seakan hadir di hadapannya, seakan akhirat itu tidak sirna dari hadapannya dan amat dekat kepadanya untuk ia tuju.

Dengan begitu, ia akan lebih siap lagi untuk menyongsongnya. la melihat dunia yg hadir di matanya telah redup cahayanya, segera musnah dan sirna dari pandangannya. Di matanya, tampaklah kebathilan dunia itu sehingga seakan ia tidak ada. Dengan pandangan penuh keyakinan ini, ia terdorong untuk ber-zuhud meninggalkan dunia dan perhiasannya, serta lebih mengutamakan akhirat dan bersiap menyongsongnya.

Keadaan ini menandakan kelapangan dada seorang hamba dengan cahaya tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Sesungguhnya cahaya jika masuk ke dalam hati, dada akan lapang dan terbuka karenanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal itu ada tanda²nya?” Beliau menjawab, “Ya, tandanya ialah sikap menjauhi tempat tipu daya, berlindung ke negeri keabadian, dan bersiap menghadapi kematian sebelum datang.”

Saat cahaya masuk ke dalam kalbu seorang hamba, syahwatnya akan mati dan dorongan jiwanya akan sirna sehingga ia hanya terdorong untuk melakukan kebaikan dan tidak pernah tertarik untuk melanggar. Hamba yg mendapatkan cahaya tidak memiliki tekad, kecuali untuk segera melakukan kebaikan dan menggunakan waktu dan kesempatan karena saat itu ia merasa ajal sudah dekat, sedangkan kebaikan banyak terlewatkan. Wallaahu a’lam

149. Allah Ta’ala Tidak Terhijab Oleh Segala Sesuatu (1)

Hikmah 149 dlm Al-Hikam:

“Allah Ta’ala Tidak Terhijab Oleh Segala Sesuatu”

ماحجبك عن الله وجود موجود معه ولٰـكن حجبك عنه توهّم موجود معه

Bukan keberadaan benda yg menghijab dirimu dari Allah Ta’ala. Akan tetapi, yg menghijabmu dari-Nya adalah sangkaan adanya wujud selain Allah Ta’ala.

Segala sesuatu selain Allah Ta’ala itu pada hakikatnya tidak maujud/tidak ada, sebab yg wajib wujud/ada itu hanya Allah Ta’ala, sedang yg lainnya terserah belas kasih Allah Ta’ala, untuk di adakan atau ditiadakan.

Jadi apabila kita tidak bisa melihat/mengenal Allah Ta’ala, itu bukan karena ada perkara/sesuatu yg di adakan Allah Ta’ala yg menghalangi/menghijab kita, akan tetapi yg menghalangi kita dari Allah Ta’ala yaitu adanya prasangka kita bahwa ada sesuatu yg wujud selain Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bukanlah perkara² duniawi dan ukhrawi yg menghijab kita dari Allah Ta’ala karena tak ada wujud pada sesuatu selain wujud-Nya. Akan tetapi, yg menghijab kita dari-Nya adalah anggapan kita bahwa sesuatu selain-Nya memiliki wujud, padahal menurut orang² ‘Arif, aslinya sesuatu itu tidak berwujud. Wujud segala sesuatu laksana bayangan pepohonan di atas air. Ia tidak dapat menghalangi perjalanan perahu di air tersebut. Dengan demikian, tak ada hijab antara diri kita dengan Allah, kecuali sangkaan kita bahwa ada wujud lain selain Allah Ta’ala.

Seperti seorang lelaki yg ingin buang air kecil di dekat sebuah gua, ketika ia mendengar suara deru angin dari mulut gua itu, ia menyangkanya suara auman singa. Hal itu menghalanginya untuk buang air. Namun, ketika ia tidak mendapati seekor pun singa di sana, ia akhirnya memberanikan diri untuk menunaikan hajatnya. Tentu saja singa bukan sesuatu yg menghalanginya buang air, melainkan sangkaannya tentang wujud seekor singa di sana. Wallaahu a’lam

150. Allah Ta’ala Tidak Terhijab Oleh Segala Sesuatu (2)

Hikmah 150 dlm Al-Hikam:

لولاظهوره في المكونات ماوقع عليها وجود ابصار، لوظهرت صفاته اضمحلّـت مكوّناته

Andaikan Allah Ta’ala tidak tampak di alam, tidak akan ada pandangan yg tertuju pada-Nya. Andaikan sifat²Nya terlihat, pasti alam menjadi lenyap.

Yakni dhahirnya Allah Ta’ala kepada kita itu dari belakang tabir berupa semua makhluk, ini yg menjadikan dhahirnya semua makhluk, dan menjadi sebab kita bisa melihat wujudnya makhluk, seperti juga dhahirnya sinar matahari yg ada di kaca cermin.

Seumpama Allah Ta’ala tidak dhahir di belakang tabir makhluk artinya Allah Ta’ala dhahir dengan sifat Dzat-Nya secara langsung, maka semua makhluk akan hancur.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Sekiranya bukan karena penampakan Allah Ta’ala di alam wujud, tidak akan ada pandangan yg tertuju pada-Nya. Jika tidak ada, tentu pandangan itu tidak akan pernah melihat wujud-Nya.

Wujud alam semesta itu tak lain hanya pinjaman Allah Ta’ala semata. Penampakan Yang Maha Haqq di dalamnya seumpama pantulan matahari di dalam lentera kaca karena pada hakikatnya, alam semesta ini tidak ada dan tak berwujud, sebagaimana telah dijelaskan.

Penampakan Allah Ta’ala kepada kita dari balik hijab alam semesta itulah yg membuat alam semesta berwujud dan semua pandangan tertuju padanya. Tanpa ada penampakan Allah di alam semesta ini, niscaya semua alam lenyap dan musnah, serta tak satu pun pandangan yg melihatnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَمَّا جَآءَ مُوسٰى لِمِيقٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرٰىنِى وَلٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرٰىنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسٰى صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yg telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yg pertama-tama beriman.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)

Ayat ini menyatakan bahwa sekiranya sifat²Nya terlihat, seluruh alam semesta akan luluh lantak, bahkan tak akan ada wujud di sana dan tak ada yg melihatnya. Sebagaimana dalam hadits “Hijab-Nya adalah cahaya.” Dalam riwayat lain, “Hijab-Nya adalah api.” Sekiranya hijab itu terbuka, Allah Ta’ala akan membakar semua yg ada. Wallaahu a’lam

151. Segala Sesuatu Tidak Ada, Allah-lah Yang Menjadikannya Ada

Hikmah 151 dlm Al-Hikam:

“Segala Sesuatu Tidak Ada, Allah-lah Yang Menjadikannya Ada”

اظهركلّ شيءلانه الباطن وطوى وجودكلّ شيءلانه الظاهر

Allah menampakkan segala sesuatu karena Dia Maha Tersembunyi. Dia menutupi keberadaan segala sesuatu karena Dia Maha Tampak.

Yakni sebab Allah mempunyai sifat Bathin maka Allah mendhohirkan semua makhluk, sebab makhluk itu tidak bisa terlihat kecuali dengan Nur Allah, dan Allah melipat/menyembunyikan makhluk sebab Allah bersifat dhohir, tidak ada makhluk yg menyekutukan Allah dalam Sifat, Dzat dan Af’al-nya Allah. Artinya Allah tidak menjadikan sifat wujud dengan dzatnya/hakiki pada selain Allah. Semua makhluk itu ‘adam yg hakiki, dan semua makhluk itu tidak wujud kecuali dengan wujudnya Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah memiliki nama baik “Al-Bathin” (Yang Maha Tersembunyi). Tak satu pun yg dapat menandingi-Nya dalam hal ketersembunyian. Oleh sebab itu, Dia menampakkan segala sesuatu dan membuatnya lahir. Di dalamnya tidak ada lagi yg tersembunyi, kecuali Dzat-Nya.

Allah juga memiliki nama baik “Az-Zhahir” (Yang Maha Tampak). Tak satu pun yg menyamai-Nya dalam hal kelahiran. Oleh sebab itu, Dia menutupi wujud segala sesuatu atau tidak membuat selain-Nya berwujud dengan sendirinya. Bahkan, seluruh alam semesta ini tidak berwujud, kecuali karena wujud-Nya.

Lahir bermakna tersembunyinya segala sesuatu selain-Nya. Sehingga tak satu pun yg menandingi penampakan-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tertutup dan lenyap.

Batin bermakna tampaknya segala sesuatu sehingga tak satu pun yg menandingi ketersembunyian-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tampak dengan wujud-Nya.

Intinya, Allah Yang Maha Haqq adalah Dzat Yang Mawjud, dan tak ada wujud selain-Nya, kecuali secara dependen (mengikuti wujud-Nya). Wallaahu a’lam

152. Lihat dan Pelajari Alam Ini (1)

Hikmah 152 dlm Al-Hikam:

“Lihat Dan Pelajari Alam Ini”

اباح لك ان تنظر في الممكوّنات وما اذن لك ان تقف مع ذوات المكوّنات قل انظروا ماذافى السماوات؟ فتح لك باب الافهام ولم يقل: انظرواالسماوات لـءلا يدلك على وجودالاجرام

Allah memperbolehkan kamu melihat alam sekitarmu (makhluk), tetapi Allah tidak mengizinkan engkau berhenti pada benda² di alam ini (makhluk). Sebagaimana firman Allah; Katakanlah: perhatikanlah apa² yg di langit. Semoga Allah membuka kefahaman padamu, Allah tidak berfirman: Perhatikan langit² itu. Supaya tidak menunjukkan padamu adanya benda² itu.

Pada hikmah sebelumnya mushonnif menerangkan tentang wujud/adanya alam (bisa terlihat) itu karena Nur dari Allah. ALLAAHU-NUURUS-SAMAAWATI WAL-ARDHI (Allah itulah yg menerangi langit dan bumi). Dan pada hikmah ini kita dituntun untuk bisa melihat dan mempelajari alam ini.

Allah mengizinkan kita untuk melihat ciptaannya supaya kita bisa melihat bahwa semua itu ciptaan Allah, jangan sampai kita terjebak/berhenti hanya melihat/memperhatikan bendanya, sehingga kita tidak melihat Allah dibalik benda² itu.

Dalam ayat ini menggunakan Fi’iI dengan makna dhorof, yg berarti: yg harus diperhatikan yaitu apa yg ditempatkan, bukan tempatnya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah memerintahkanmu untuk melihat alam semesta sebagai bukti keindahan Allah Ta’ala atau menyapukan pandangan hatimu ke sana agar kau menyaksikan bahwa Allah ada di alam semesta dan tampak di sana. Allah melarangmu untuk menghijab dirimu dengan alam sehingga kau tidak bisa melihat-Nya di sana. Allah Ta’ala berfirman, “Katakan, perhatikan apa yg terdapat di langit!”

Dalam Lathaif Al-Minan disebutkan, “Alam semesta yg ditampakkan di hadapanmu bukan untuk kau lihat, tetapi aga kau lihat wujud Tuhan di dalamnya. Kehendak Tuhanmu adalah agar kau melihat alam semesta dengan mata orang yg tidak melihatnya. Kau melihatnya dari sisi penampakan Allah di dalamnya, bukan melihatnya dari sisi wujud alam semesta itu sendiri.”

Allah membukakan pintu pemahaman atau mengingatkan dan menyadarkanmu atas apa yg dituntut darimu, yaitu melihat yg ada di alam semesta.

Allah tidak mengatakan kepadamu, “Lihatlah langit²!” agar tidak menunjukkan kepadamu benda² langit saja sehingga dengannya kau menjadi terhijab dan tidak menyaksikan wujud Allah di dalamnya. Hal itu juga dimaksudkan agar alam semesta tidak menjadi fokus dan tujuanmu karena ia hanyalah wasilah (perantara) dan media. Ia hanyalah benda yg dapat dilihat. Bagi para ahli syuhud, alam semesta adalah wahana penampakan Allah Ta’ala. Namun, bagi para ahli hijab, alam adalah bukti keberadaan-Nya. Wallaahu a’lam

153. Lihat dan Pelajari Alam Ini (2)

Hikmah 153 dlm Al-Hikam:

الاكوان ثابتة بإثباته وممحوّة باحد يّة ذاته

Alam ini ada dengan penetapan Allah dan ia lenyap dengan keesaan Dzat-Nya.

Siapa saja yg memandang Sifat Esa Dzat-Nya Allah, pasti tidak akan menemukan sifat tetap dan nyata pada semua makhluk. Semua makhluk itu bisa mempunyai sifat tetap kalau memandang sifat WAHID-nya Allah.

Sifat Ahadiyyah menurut para ‘Arifin adalah Dzat yg bersih dari sifat tetap/nyata pada semua makhluk. Sedangkan sifat Wahidiyyah itu Dzat-Nya Allah yg nyata ada pada semua makhluk, dan semua makhluk mempunyai sifat tetap (ada) sebab memandang adanya Allah pada semua makhluk, sehingga para ‘Arifin mengatakan “AL-AHADIYYATU BAHRUN-BILA MAUJIN WAL WAA-HIDIYYATU BAHRUN MA’A MAUJIN. (Ahadiyyah itu umpama laut tanpa ombak, sedangkan Wahidiyyah itu umpama laut beserta ombaknya).

Yakni: menurut pandangan para ‘Arifin, Allah itu di ibaratkan laut, maka makhluk di ibaratkan ombak yg di gerakkan oleh laut. Jadi jelasnya semua makhluk itu bukan Allah.

Ke-Esaan Dzat Allah yg tidak bersekutu itu melenyapkan apa saja (makhluk), yakni tetap Allah yg tunggal dan segala sesuatu yg selain-Nya itu hanya bayangan belaka yg di ciptakan/di wujudkan oleh Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Pada mulanya, alam semesta ini tidak ada. Alam semesta memiliki sifat wujud dengan penetapan Allah Ta’ala terhadapnya atau dengan penampakan-Nya di dalamnya. Ketetapan alam ini bersifat relatif karena tak ada yg mutlak, kecuali Dia. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Alam lenyap dengan keesaan Dzat-Nya.”

Siapa yg melihat kepada keesaan Dzat-Nya maka ia tidak akan mendapati alam ini tetap dan berwujud. Alam memiliki sifat tetap dengan memandang kepada keesaan-Nya. Menurut orang² ‘arif, keesaan maknanya adalah kemurnian, kemutlakan, dan keterbebasan dari penampakan pada alam semesta. Keesaan dalam arti itu berbeda dengan ke-satu-an karena kesatuan ialah penampakan dzat yg lahir di alam semesta sehingga alam semesta menjadi ada berdasarkan adanya Yang Maha Haqq di sana. Oleh sebab itu, mereka berkata, “Keesaan umpama lautan tanpa gelombang, sedangkan kesatuan umpama lautan dengan gelombang.”

Bagi mereka, Allah Ta’ala seumpama lautan dan alam semesta ini seperti gelombang yg digerakkan oleh lautan itu. Gelombang tentu berbeda dengan lautan. Inilah tauhid orang² ‘arif.

Di dalam kitab ini, Syaikh Ibnu Atha’illah mengulang-ulang ungkapannya tentang hal ini. Ia mengatakannya dengan berbagai ungkapan berbeda untuk mewujudkan yg benar dan menyingkirkan yg bathil dari dirimu. Sebagian orang membahasnya secara khusus dalam satu karya tersendiri atau membahasnya dalam pembahasan tentang wahdatul wujud (kesatuan wujud). Wallaahu a’lam

154. Sikap Kita Ketika Dipuji Orang (1)

Hikmah 154 dlm Al-Hikam:

“Sikap Kita Ketika Dipuji Orang”

الناس يمدحونك لمايظنونه فيك فكن انت ذامّالنفسك لماتعلمه منها

Orang² memujimu atas apa yg mereka sangka ada pada dirimu. Karena itu, celalah dirimu atas apa yg kau ketahui ada pada dirimu.

Jangan sampai terpengaruh/tertipu dengan pujian orang² yg tidak mengetahui hakikatnya dirimu, tetapi kamu harus kembali melihat dirimu dengan mencela dirimu sebab perbuatanmu yg terbalik/tidak sama dengan prasangka orang lain pada dirimu.

Dan siapa yang merasa senang dengan pujian orang lain terhadap dirinya, berarti dia telah memberi kesempatan pada setan untuk masuk dan merusak imannya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Manusia memujimu atas sifat² terpuji yg ada padamu. Oleh karena itu, jangan kau tertipu dan terpesona oleh pujian mereka kepadamu, tetapi celalah dirimu sendiri. Celalah dirimu karena apa yg tidak sesuai dengan sangkaan manusia kepadamu.

Oleh sebab itu, Sayyidina Ali kw. sering berdoa, “Ya Allah, jadikan kami lebih baik daripada apa yg mereka kira dan jangan tuntut kami dengan apa yg mereka katakan tentang kami. Ampuni dosa kami atas apa yg tidak mereka ketahui.”

Ucapan Syaikh Ibnu Atha’illah: “Celalah dirimu!” bukan berarti bahwa kau disuruh untuk mendustakan perkataan manusia atau mencoba mengubah sangkaan mereka terhadapmu. Akan tetapi, maksudnya, kau tidak boleh tertipu atau terpesona dan tidak mengutamakan pengetahuanmu atas sangkaan mereka.

Jika seorang pemuji berbohong, misalnya dengan terlalu berlebihan dalam memuji, dan kebohongannya telah diketahui, laksanakanlah sabda Rasulullah Saw., “Lemparkan debu di wajah para pemuji.”
Pujian seperti itu dilarang.

Demikian pula jika pujian dapat mendorong orang yg dipuji tertipu dan membuatnya melakukan kesalahan terhadap dirinya sendiri maka laksanakan perintah Rasulullah Saw., “Jauhilah pujian karena ia sama dengan tindakan menyembelih seseorang.”

Wallaahu a’lam.

155. Sikap Kita Ketika Dipuji Orang (2)

Hikmah 155 dlm Al-Hikam:

الموءمن اذامدح استحيٰى من الله ان يثنى عليه بوصف لايشهده من نفسه

Seorang mukmin, jika dipuji, akan malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yg tidak ia dapati pada dirinya.

Jadi apabila orang lain memuji dirinya dan menyebut kebaikannya, dia merasa malu kepada Allah, karena dia merasa tidak mempunyai sifat² yg layak dipuji, sebab ia merasa hanya mendapat karunia Allah jika ia bisa berbuat sesuatu yg baik, dan bukan dari usaha dan kemampuannya sendiri.

Seorang salik itu harus tidak percaya dengan pujian orang lain, tetapi dia juga tidak diperintah untuk merubah/menolak supaya orang lain tidak memuji atau berprasangka baik padanya, dia hanya di perintah untuk tidak terpengaruh, dan supaya mendahulukan apa yg diketahui terhadap dirinya sendiri, mengalahkan prasangka orang lain. Yg penting tidak keterlaluan pujiannya, kalau keterlaluan maka harus ditolak.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Mukmin sejati adalah mukmin yg tidak mendapati pada dirinya sifat² terpuji sehingga layak untuk dipuji. Dia hanya memandang bahwa sifat itu datang dari Allah. Jika manusia memujinya dan menyebut-nyebut kebaikannya, ia akan malu kepada Allah karena ia tidak mendapati sifat yg dipuji itu ada pada dirinya.

Rasa malunya kepada Allah adalah rasa malu penuh takzim dan pengagungan kepada-Nya dengan sifat² yg tak ada padanya. Dengan begitu, ia akan bertambah benci dan jijik kepada dirinya sendiri, pandangannya terhadap kebaikan dan karunia Allah semakin besar. Inilah kesyukuran yg dengannya ia akan mendapatkan yg lebih dan selamat dari sikap nyaman dengan pujian manusia. Wallaahu a’lam

156. Sikap Kita Ketika Dipuji Orang (3)

Hikmah 156 dlm Al-Hikam:

اجهل الناس من ترك يقين ما عنده لظن ماعند الناس

Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yg meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang².

Orang yg dipuji orang lain dan terpengaruh dengan pujiannya, dan menganggap baik pada dirinya sendiri, orang seperti ini adalah orang paling bodoh, karena yg yakin ia ketahui yaitu kekurangan² dan dosa² yg telah dilakukannya atau rendahnya akhlaknya dan kelemahan imannya sendiri.

Al-Harits Al-Muhasiby mengumpamakan pada orang yg senang dipuji orang lain, itu bagaikan orang yg senang dengan ejekan orang padanya. Seumpama ada orang berkata, “Kotoranmu itu berbau harum.” Lalu engkau gembira dengan pujian yg demikian, padahal engkau sendiri jijik dan tahu kotoran itu berbau busuk. Ketahuilah bahwa kotoran dosa dan jiwa itu lebih busuk daripada kotoran (tinja) orang.

Seorang Hakim dipuji oleh orang awam/biasa, maka ia menangis, lalu ditanya: “Mengapa engkau menangis? Padahal orang itu memujimu.”

Jawabnya: “Ia tidak memujiku, melainkan setelah dia mengetahui bahwa yg ada padaku sifat² yg sama dengan sifat²nya.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Orang yg paling bodoh adalah orang yg meninggalkan keyakinan atau pengetahuannya tentang kelemahan dan aib diri serta kekurangan hubungannya dengan Allah karena sangkaan orang² bahwa dirinya baik sehingga mereka memujinya. Jika orang yg dipuji itu tertipu dan yakin bahwa dirinya layak mendapat pujian tersebut serta terperdaya oleh kesaksian seluruh makhluk tentangnya, ia menjadi manusia terbodoh karena ia mengabaikan keyakinannya dan lebih mengutamakan sangkaan tentangnya. Ia lebih mengutamakan sesuatu yg ada pada orang lain daripada yg ada pada dirinya. Wallaahu a’lam

157. Orang Zahid Merasa Risih dengan Pujian Manusia, Berbeda dengan Orang ‘Arif (1)

Hikmah 157 dlm Al-Hikam:

“Orang Zahid Merasa Risih dengan Pujian Manusia, Berbeda dengan Orang ‘Arif”

اذااطلق الثناء عليك ولست باهل فاَثن عليه بما هو اهلهُ

Jika kau mendapat pujian, sedangkan kau tidak layak atasnya, pujilah Allah sebagai Dzat yg memang layak menyandangnya.

Kenyataannya apa yg disanjungkan orang² padamu itu tidak ada pada dirimu, atau kau mempunyai cacat/aib, sehingga kau tidak berhak menerima pujian itu, maka kau harus memuji kepada Allah, yg telah menutupi aib² dan kekuranganmu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Kau tidak layak mendapat pujian karena pujian mereka sesungguhnya tidak ada padamu. Orang² memujimu karena Allah menutupi aib dan celamu itu. Sekiranya bukan karena karunia Allah kepadamu dan tirai-Nya yg menutupi aibmu, niscaya kau tidak layak mendapat pujian tersebut.

Oleh karena itu, etikanya, kau harus memuji Tuhanmu yg memang layak dipuji agar hal itu menjadi kesyukuranmu atas nikmat ditutupnya tirai darimu dan banyaknya lisan yg memuji kendati kau tidak layak mendapatkannya. Oleh sebab itu, jangan tertipu dan terpesona oleh ucapan orang² yg memujimu. Wallaahu a’lam

158. Orang Zahid Merasa Risih dengan Pujian Manusia, Berbeda dengan Orang ‘Arif (2)

Hikmah 158 dlm Al-Hikam:

الزهّاد اذامدحواانقبضوالشهودهم الثناءمن الخلق ، والعارفون اذامدحوا انبسطوا لشهودهم ذالك من الملك الحقّ

Jika kaum zuhud mendapat pujian, hati mereka resah karena mereka melihat pujian tersebut berasal dari makhluk. Ketika kaum ‘arif dipuji, hati mereka senang karena mereka melihatnya berasal dari Allah Yang Maha Haqq.

Orang ‘arif itu selalu hadir ke hadhratullah, tidak pernah memandang selain Allah, mereka menganggap pujian² itu datang dari Allah, sehingga mereka gembira, dan pujian itu bisa menambah kekuatan hatinya dan kedudukannya di hadapan Allah, karena mereka tidak memandang pada dirinya, tidak membanggakan amalnya, dan tidak terpengaruh dengan pujian ataupun celaan orang lain.

Rasulullah Saw. sendiri pernah dipuji dengan qasidah oleh Hassan dan Ka’ab bin Zuhair. Rasulullah Saw. menunjukkan kegembiraan bahkan memberikan mantel kepada Ka’ab bin Zuhair.

Orang yg mempunyai maqam ini, antara dihina dan dipuji orang tidak akan ada bekasnya dalam hati, karena mereka tidak memandang itu semua dari makhluk, tapi mereka melihat itu semua dari Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika orang² zuhud dipuji, mereka akan gelisah karena merasa pujian itu dari makhluk, bukan dari Allah. Mereka gelisah karena takut tertipu oleh pujian itu sehingga kedudukan mereka di sisi Allah akan hilang. Sebaliknya, jika orang² ‘arif dipuji, mereka akan senang karena merasa bahwa pujian itu dari Allah Yang Maha Haqq.

Mereka selalu hadir bersama Tuhannya dan tidak menyaksikan kecuali Dzat-Nya. Jika mereka dipuji, mereka menganggap pujian itu dari Allah, karena itu mereka senang dan bahagia. Itu yg membuat tinggi ahwal dan kedudukannya karena mereka tidak lagi menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa ujub dan tertipu.

Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., “Jika seorang mukmin dipuji di hadapannya, keimanan akan bertambah dalam hatinya.”

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Atha’illah memuji Syaikhnya, Syaikh Abul Abbas al-Mursi, dan Beliau tetap diam. Pada dirinya, pujian itu menduduki tempat yg agung. Seperti itulah yg di alami kaum ‘arif lainnya. Para pemilik maqam ini, jika dicela dan dihina, mereka tidak akan merasa resah, kecewa, atau sakit hati karena tidak merasa bahwa celaan itu berasal dari orang yg mencelanya. Wallaahu a’lam

159. Sifat Ke-Kanak-Kanakan

Hikmah 159 dlm Al-Hikam:

“Sifat Ke-Kanak-Kanakan”

متى كنت اذا اُعطيتَ بسطك العطاءُوإذامنعت قبضك المنع فاستدلّ بذالك على ثبوت طفوليّتك وعدم صدقك في عبوديتك

Apabila kau gembira ketika diberi karunia oleh-Nya dan kecewa saat ditolak-Nya, simpulkanlah bahwa itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.

Ketika suasana hatimu masih selalu berubah-ubah ketika menerima nikmat atau mendapat balak/ujian. Maka nyata bahwa engkau masih dipengaruhi oleh hawa nafsu, dan belum sungguh² dalam kedudukan kehambaan kepada Allah Ta’ala, dan pengertian terhadap hikmah rahmat Allah terhadap semua makhluk-Nya.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Itu adalah sikap kekanak-kanakanmu di tengah orang² yg dekat dengan Allah. Maksudnya, kau masih belum termasuk golongan mereka. Kau hanya ikut-ikutan dalam perkara yg tak layak kau ikuti. Seperti halnya anak² yg tidak mempunyai rasa malu mendekati tamu yg belum dikenalnya. Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan penghambaanmu kepada-Nya.

Saat seseorang merasa sempit karena tidak diberi dan merasa lapang saat diberi, ini pertanda bahwa ia masih mempedulikan kepentingan dan maslahatnya. Menurut kaum ‘arif, bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan maslahat pribadi bertentangan dengan ‘ubudiyah. Siapa yg mendapati kondisi itu pada dirinya, hendaknya ia mengerti bahwa ‘ubudiyah-nya masih belum tulus. Sepatutnya juga ia sadar bahwa ia sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang² yg dekat dengan Allah. Terlebih lagi bila ia mengaku-aku memiliki kedudukan seperti mereka, padahal tidak demikian.

Lain halnya jika kekecewaan saat ditolak Allah itu timbul karena ia takut tidak sabar dan takut melawan kuasa Ilahi, akan terjadilah padanya rasa bosan. Lain halnya jika kebahagiaan saat diberi Allah itu terjadi karena ia tidak lagi mengalami rasa takut untuk tidak bersabar. Ini adalah bukti perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya karena ia tidak dijerumuskan-Nya ke dalam perkara yg mengganggu kondisinya. Ini bukanlah bukti sifat kekanak-kanakan dan ketidaktulusan yg disebutkan di atas. Bagaimanapun, orang² ‘arif pasti tetap memiliki sisa² sifat kemanusiaan yg ada pada dirinya. Dengan sisa² sifat itu, mereka mampu bergaul dengan manusia dan makhluk lainnya. Itu adalah kebutuhan manusiawi pada dirinya. Wallaahu a’lam

160. Jangan Putus Asa

Hikmah 160 dlm Al-Hikam:

“Jangan Putus Asa”

إذا وقع منك ذنب فلا يكن سببالياءْسك من حصول الاستـقامة مع ربّك فقد يكون ذٰلك اٰخرذنب قدّر عليكَ

Jika kau terjatuh pada dosa, janganlah hal itu membuatmu putus asa untuk beristiqamah bersama Tuhanmu karena bisa jadi itulah dosa terakhir yg ditetapkan atasmu.

Engkau jangan putus asa dengan merasa tidak mungkin bisa istiqomah dalam menghamba pada Allah Ta’ala, (sehingga mendorongmu melakukan dosa² yg lainnya) karena engkau terlanjur melakukan dosa.

Perbuatan dosa itu tidak menyalahi istiqamah dalam kehambaan, kalau semata-mata terlanjur, dengan tidak ada sifat gembira dalam melakukan dosa itu, sebab manusia tidak mungkin mengelak dari takdir yg telah ditulis baginya. Kewajiban kamu ketika terlanjur berbuat dosa yaitu harus segera bertobat.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika kau melakukan dosa sesuai dengan maqam dan kedudukanmu, hal itu jangan sampai membuatmu putus asa dari kelurusan dan keseimbangan ahwal -mu dengan Tuhanmu, misalnya dengan meyakini bahwa karena timbulnya dosa itu, kau merasa mustahil untuk beristiqamah. Sikap itu akan mendorongmu untuk melakukan dosa lainnya. Ini tentu langkah yg salah karena istiqamah dalam ‘ubudiyah tidak mesti terhalang oleh perbuatan dosa yg dilakukan akibat lalai dan alpa jika kau telah ditakdirkan untuk itu.

Yg menghalangi istiqamah adalah keinginanmu yg terus menerus untuk melakukan dosa dan bertekad untuk kembali melakukannya lagi. Oleh karena itu, yg wajib bagimu adalah bertobat langsung kepada Tuhanmu dan kembali kepada-Nya, jangan putus asa dari rahmat-Nya. Bisa jadi itu adalah dosa terakhir yg ditetapkan Allah untukmu sehingga setelah itu, Allah akan menerimamu dengan taufik dan kebaikan-Nya. Wallaahu a’lam

161. Roja’ dan Khouf

Hikmah 161 dlm Al-Hikam:

“Roja’ dan Khouf”

اذااَرادْتَ ان يفْتحَ لك باب الرجاءِ فاشهد مامنه اليكَ، واذا اردت ان يفتح لك باب الخوف فاشهد مامنك إليهِ

Jika kau ingin dibukakan pintu roja’/asa/harapan, lihatlah karunia-Nya kepadamu. Namun, jika kau ingin dibukakan pintu khouf/takut, lihatlah amal yg kau persembahkan untuk-Nya.

Hikmah ini menjelaskan dua cara untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, yaitu:

  1. Roja’ (berharap hanya kepada Allah Ta’ala), caranya: selalu memperhatikan apa yg ada pada dirimu dari nikmat pemberian Allah Ta’ala, macam²nya manfaat yg diberikan kepadamu, dan dihindarkan dari macam²nya bala’ bencana mulai dari kamu dalam kandungan ibumu sampai saat ini. Sehingga hati kamu bisa berharap secara optimis dan husnudzan kepada Allah Ta’ala dan tidak akan putus asa.
  2. Khouf (takut hanya kepada Allah Ta’ala), caranya: selalu memperhatikan apa² dari dirimu tentang kekurangan dan kecuranganmu dalam menghamba kepada Allah Ta’ala, adab yg kurang baik terhadap Allah Ta’ala. Sehingga timbul dalam hatimu rasa takut kepada Allah Ta’ala. Kedua sifat ini harus dimiliki oleh setiap mukmin.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Jika kau ingin Allah Ta’ala membukakan pintu harap untukmu, rasakanlah dalam dirimu kehadiran nikmat-Nya kepadamu, baik yg berupa manfaat maupun perlindungan-Nya dari bahaya, sejak kau masih dalam perut ibumu sampai waktu kau hidup sekarang. Jika kau merasakan hal itu, kau akan dihiasi dengan harapan yg besar dan tak pernah putus asa dari rahmat-Nya walaupun saat kau terjerumus ke lembah dosa. 

Jika kau sudah dikuasai rasa harap dan kau takut hal itu akan membuatmu melanggar perintah Allah Ta’ala, kau akan merasa ingin dibukakan pintu takut kepada-Nya agar bisa menjagamu dari yg kau takutkan. Oleh karena itu, sadarilah apa yg sudah kau berikan kepada-Nya, baik berupa kesalahan, pelanggaran, maksiat, maupun kekurangsopananmu di hadapan-Nya. Jika kau merasakan hal itu, kau akan dikuasai rasa takut kepada-Nya sehingga kau pun akan berhenti melanggar perintah-Nya.

Rasa harap dan takut merupakan dua kondisi yg timbul dari dua kesadaran di atas; kesadaran atas nikmat Allah dan kesadaran atas amal perbuatan yg kau persembahkan kepada-Nya. Wallaahu a’lam

162. Manfaat Al-Qobdh Dan Al-Basthu

Hikmah 162 dlm Al-Hikam:

“Manfaat Al-Qobdh Dan Al-Basthu”

ربّما افادك في ليل القبض مالم تستفده في إشراق نهارالبسط لاتدْرُون ايّهُمْ اَقرَبُ لكم نفعًا

Boleh jadi Allah memberimu manfaat pada saat malam kesempitan yg tidak kau dapatkan pada saat siang kelapangan. “Kalian tidak mengetahui mana yg lebih bermanfaat bagi kalian,” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Dalam hikmah yg lalu telah diterangkan tentang al-qobdhu dan al-basthu, bahwa orang yg diberi kesenangan/kelapangan (basth) yg nafsunya ikut mendapatkan bagiannya, yg terkadang menjadikan sebab terhijab dengan Allah. Berbeda ketika orang yg dalam kondisi susah, sedih hatinya, nafsunya akan lemah dan merasa sangat berhajat kepada Allah, yg menjadikan sebabnya Allah memberikan suatu kenikmatan yg hakiki, yaitu ilmu dan ma’rifat. Sebagaimana diterangkan lagi pada hikmah ini. Sehingga orang² ‘Arif lebih memilih keadaan qobdh daripada basth. Tapi pada umumnya manusia memilih kesenangan daripada kesempitan.

Karena kita tidak mengetahui maka sebaiknya menyerahkannya kepada Allah, dan rela terhadap pemberian dan kehendak Allah kepada kita.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

“Kesempitan” di umpamakan dengan malam hari karena pada kedua keadaan tersebut terdapat kesunyian. “Manfaat” yg dimaksud adalah manfaat ilmu dan pengetahuan. Adapun “kelapangan” di umpamakan dengan siang hari karena pada kedua kondisi tersebut manusia bertebaran ke seluruh penjuru.

Siapa yg mendapatkan kelapangan maka jiwanya akan bergejolak untuk menampakkan pengetahuan dan hal lain yg dimilikinya. Mungkin ini akan menjadi sebab ia dihijab. Beda halnya dengan orang yg mengalami kesempitan, jiwanya akan lelah dan merasa hina. Ini akan menjadi sebab Allah akan menganugerahinya bermacam kebaikan. Oleh karena itu, orang² ‘arif lebih mengutamakan masa sempit daripada masa lapang.

Saat sempit, jiwa tidak memiliki kesenangan dan keuntungan. Ia lebih mampu untuk menunaikan hak² Allah dan etika-Nya. Saat sempit, terkadang jiwa juga mengalami ketakutan dan ketidaksabaran dalam melawan kuasa Ilahi. Oleh karena itu, seorang hamba harus sadar dan tahu kadar nikmat Allah kepadanya saat sempit, sebagaimana ia harus mengetahuinya saat lapang. Pada dua kondisi itu, ia harus tetap bersandar kepada Tuhannya dan berbaik sangka kepada-Nya karena ia tidak mengetahui mana yg lebih bermanfaat baginya.

Allah Ta’ala berfirman: “Kalian tidak mengetahui mana yg lebih bermanfaat bagi kalian,” (QS. An-Nisa [4]: 11). Wallaahu a’lam

163. Hati Menjadi Sumbernya Nur (1)

Hikmah 163 dlm Al-Hikam:

“Hati Menjadi Sumbernya Nur”

مطالعُ الانوارالقلوب والاسرارُ

Tempat terbitnya cahaya Ilahi adalah hati dan relung batin.

Hati dan sirr-nya para ‘Arifiin itu ibaratnya seperti langit yg menjadi tempat berjuta-juta bintang, bulan dan matahari. Seperti yg sudah diterangkan pada hikmah yg terdahulu bahwa nur yg keluar dari hati ‘Arifin itu lebih terang dibandingkan sinarnya bintang, bulan dan matahari.

Sebagian ‘Arifin berkata: “Andaikan Allah membuka Nur hatinya para waliyullah, niscaya cahaya matahari, bulan akan suram (kalah). Sebab cahaya matahari dan bulan bisa tenggelam dan gerhana, sedangkan Nur hati para wali itu tidak bisa tenggelam dan gerhana.”

Dalam hadits qudsi, Rasulullah Saw. bersabda, firman Allah Ta’ala: “Tidak cukup untuk-Ku bumi dan langit-Ku, tetapi yg cukup bagi-Ku hanya hati hamba-Ku yg beriman.”

Jadi kalau kita tidak mengetahui nurnya ‘Arifin, itu bagian dari belas kasihnya Allah Ta’ala.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Tempat terbitnya cahaya maknawi yg berupa bintang² pengetahuan, bulan ilmu, dan matahari tauhid adalah hati dan relung batin. Hati orang ‘arif seumpama langit yg di dalamnya seluruh bintang bersinar.

Cahaya² maknawi itu lebih terang sinarnya daripada cahaya² bintang sesungguhnya. Seorang ‘arif berkata, “Jika Allah membukakan tempat² bersinarnya cahaya di hati para wali-Nya, niscaya cahaya matahari dan bulan akan redup oleh pancaran cahaya hati mereka. Cahaya matahari dan bulan tak sebanding dengan cahaya hati karena cahaya keduanya masih bisa dihalangi oleh gerhana, selain juga akan tenggelam di malam atau siang hari. Sementara itu, cahaya hati wali Allah tidak pernah tenggelam atau mengalami gerhana.

Syaikh Abul Hasan Ali asy-Syadzili berkata, “Jika Allah menyingkap cahaya seorang mukmin yg bermaksiat, cahaya itu menyinari semua yg ada di antara langit dan bumi. Lantas, bagaimana halnya dengan cahaya mukmin yg taat?”

Di antara bukti kelembutan Allah untuk seluruh makhluk adalah, Dia tidak menyingkap cahaya² kaum ‘arif. Syaikh Abul Abbas al-Mursi berkata, “Jika Allah membukakan hakikat para wali-Nya, niscaya wali² itu akan disembah karena sifat² dan watak²nya sama dengan sifat² Allah Ta’ala.” Wallaahu a’lam

164. Hati Menjadi Sumbernya Nur (2)

Hikmah 164 dlm Al-Hikam:

نَورمستودعٌ فى القلوبِ مددهُ من النورالواردِمن خزاءن الغيوبِ

Cahaya yg tersimpan di dalam kalbu bersumber dari cahaya yg datang dari perbendaharaan ghaib.

Sebagaimana diterangkan dalam hikmah terdahulu, bahwa Allah Ta’ala menerangi alam semesta ini dengan cahaya benda (matahari, bulan) buatan-Nya. Sedangkan Allah Ta’ala menerangi hati dengan nur sifat²Nya. Selanjutnya dalam hikmah ini mejelaskan bahwa Nur cahaya keyakinan dalam hati para ‘Arifin itu salurannya langsung dari Nur yg berasal dari perbendaharaan alam ghaib. Sehingga Nur yg ada dalam hati ‘Arifin semakin bertambah terang memancar.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Cahaya yg tersimpan dalam hati disebut nurul yaqin (cahaya keyakinan), yaitu yg tersimpan dalam hati orang² ‘Arif. Cahayanya bertambah terang dengan cahaya sifat² azali yg bersumber dari perbendaharaan ghaib. Jika Allah menampakkan diri dan sifat²Nya kepada mereka, cahaya yg masuk ke dalam hati mereka akan bertambah. Itu adalah bukti perhatian Allah Ta’ala kepada mereka.

Dalam Lathaif Al-Minan disebutkan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala, jika mengangkat seorang wali, Dia akan menjaga hatinya dari segala kebendaan dan menjaganya dengan cahaya² yg terus meneranginya.”

Syaikh Ibnu Atha’illah mengisyaratkan bahwa cahaya yg tersimpan dalam hati terbagi menjadi dua, sebagaimana dijelaskan hikmah berikutnya. Wallaahu a’lam

165. Hati Menjadi Sumbernya Nur (3)

Hikmah 165 dlm Al-Hikam:

نوريكشفُ لك بهِ عن اٰثاره، ونوريكشف لك به عن اوصافه

Ada cahaya yg menyingkap jejak²Nya dan ada cahaya yg menyingkap sifat²Nya.

Hikmah ini juga bisa di artikan:

  1. Nur yg ada dihati ‘Arifin itu bisa membuka/mengetahui keadaan makhluk, mengetahui apa yg ada diatas dan dibawah langit, apa yg ada dibawah bumi, dll. Yg seperti ini dinamakan Kasyaf Shuwari. Menurut ulama’ ahli hakikat, Kasyaf Shuwari itu tidak dipentingkan.
  2. Dan Nur itu juga bisa membuka sifat² keagungan, dan keindahan Allah Ta’ala. Nur yg seperti ini tidak akan bisa berhasil kecuali Allah Ta’ala memperlihatkan sifat² keagungan-Nya pada hamba. Hal seperti ini disebut Kasyaf Maknawi. Dan inilah yg terpenting menurut para ‘Arifin.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Ada cahaya yg menyingkap keadaan makhluk² sehingga ia menyinari ahwal para hamba dan menyinari yg ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq.

Ada pula cahaya yg menyingkap sifat² Allah Ta’ala dan keindahan-Nya. Cahaya ini tidak akan terlihat, kecuali pada orang² yg darinya tampak sifat² Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yg dicari oleh para muhaqqiq.

Syaikh Ibnu Atha’illah tidak mengatakan, “Ada cahaya yg menyingkap Dzat-Nya,” karena penampakan Dzat Allah yg murni dan bersih dari sifat² masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikannya. Sebagian lagi membenarkan kemungkinannya.

Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyebut penampakan Dzat Allah yg murni ini dengan bawâriq (kilat) karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama. Wallaahu a’lam

166. Hati Menjadi Sumbernya Nur (4)

Hikmah 166 dlm Al-Hikam:

ربّما وقفتِ القلوبُ مع الانوار كماحجبت النفوس بكثاءِف الاغيارِ

Bisa jadi hati terhenti pada cahaya², sebagaimana terhijabnya jiwa oleh gelapnya bayang² ciptaan.

Ada dua perkara yg bisa menghijab/menghalangi manusia berjalan menuju Allah Ta’ala, yaitu:

  1. Hijab/penghalang yg berupa Nur, yaitu macam²nya cahaya ilmu dan makrifat. Apabila hati hamba selalu silau melihat dan condong kepada Nur ilmu dan makrifatnya, dan menjadikan ilmu dan makrifatnya sebagai tujuan ibadahnya, bukan karena Allah Ta’ala yg memberi ilmu dan makrifat.
  2. Hijab berupa kegelapan, yaitu kesenangan nafsu syahwat dan adat kebiasaan nafsu.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Bisa jadi hati tertutup oleh cahaya² dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah Ta’ala, sebagaimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah Ta’ala.

Hijab yg menghalangi dari Allah Ta’ala itu ada dua macam. Pertama, hijab yg bersumber dari cahaya, yaitu ilmu dan pengetahuan. Jika hati berhenti padanya, ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud.

Kedua, hijab yg bersumber dari kegelapan, yaitu nafsu syahwat dan kebiasaannya. la digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan karena tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan. Wallaahu a’lam

167. Hati Menjadi Sumbernya Nur (5)

Hikmah 167 dlm Al-Hikam:

ستر انوار السراءـربكثاءـف الظواهر،إجلالالها ان تبتذل بوجودالاظهار وان ينادٰى عليها بلسان الاِشتهارِ

Dia menutup cahaya batin dengan tebalnya perbuatan lahir untuk memuliakannya, sehingga tidak menjadi murah lantaran mudah terlihat orang dan tidak diseru dengan lisan yg menyebutkan ketenarannya.

Nur cahaya kewalian itu sangatlah agung dan mulia, maka Allah Ta’ala mengagungkannya dari kehinaan sebab diperlihatkan, dan dijaga oleh Allah Ta’ala dari keterkenalan di kalangan makhluk.

Hikmah ini juga sudah diterangkan pada hikmah terdahulu, dan juga Allah Ta’ala menutupi nur kewalian karena rahmat/kasih sayang dari Allah Ta’ala terhadap orang² mukmin, sebab sekiranya nur kewalian terbuka pada seseorang, orang tersebut berkewajiban mencukupi hak²nya wali, yg mungkin tidak dapat melaksanakannya. Dan dengan demikian berarti telah berbuat dosa durhaka.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Allah Ta’ala menutup cahaya hati para wali-Nya dengan perbuatan lahir mereka dan profesi yg mereka geluti dalam kehidupan sehari-hari karena perbuatan lahir para wali itu dapat menghalangi orang lain untuk melihat cahaya hati mereka. Allah Ta’ala melakukan itu demi memuliakan cahaya batin mereka sehingga tidak murah dan tidak tergoda oleh popularitas karena ia memiliki kedudukan tinggi dan rawan godaan.

Allah Ta’ala memuliakannya agar ia tidak di obral karena mudah dilihat. Allah Ta’ala menjaganya dari ketenaran di antara makhluk agar tidak menyebabkannya terhina di tengah mereka. Hal ini sudah dijelaskan Syaikh Ibnu Atha’illah dalam hikmahnya, “Maha Suci Allah yg telah menutup rahasia keistimewaan dengan ditampakkannya sifat² kemanusiaan.”

Allah Ta’ala menutup cahaya dan rahasia keistimewaan itu tak lain sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kaum mukmin. Hal itu disebabkan, jika rahasia kewalian itu ditampakkan pada seseorang, niscaya orang itu akan dituntut untuk melaksanakan kewajiban² yg tak mampu dilakukannya. Jika ia kurang dalam melaksanakan kewajiban² itu, ia akan terjebak pada sesuatu yg dilarang. Wallaahu a’lam

168. Allah Tidak Membuat Tanda Kewalian (1)

Hikmah 168 dlm Al-Hikam:

“Allah Tidak Membuat Tanda Kewalian”

سبحان من لم يجعل الدليلَ علىٰ اولياعه الامن حيث الدليلُ عليه، ولم يوصل اليهم الا من اراد ان يوصله اليه

Maha Suci Allah yg tidak membuat penanda atas para wali-Nya, kecuali dengan penanda atas Diri-Nya. Dia juga tidak mempertemukan dengan mereka, kecuali orang yg Dia kehendaki untuk sampai (wushul) kepada-Nya.

Sebagaimana telah diterangkan pada hikmah sebelumnya, yaitu Allah menutupi Nur cahaya kewalian, begitu juga Allah menutupi para wali-Nya, dengan amal² lahir, seperti bekerja, makan, minum, sakit dan lain². Jadi sangatlah sulit untuk mengenali waliyullah itu, karena mereka juga seperti kita keadaan lahirnya.

Syaikh Abul Abbas al-Mursi berkata: “Untuk mengenal Waliyullah itu lebih sulit dari pada mengenal Allah, sebab Allah mudah dikenal dengan adanya bukti² kebesaran, kekuasaan dan keindahan ciptaan-Nya. Tetapi untuk mengetahui seorang yg sama dengan kamu, makan, minum menderita segala penderitaanmu sungguh sangat sukar. Tetapi jika Allah memperkenalkan kamu dengan seorang wali, maka Allah menutupi sifat² manusia biasanya dan memperlihatkan kepadamu keistimewaan² yg diberikan Allah kepada wali itu.”

Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:
“Para wali-Ku dibawah naungan-Ku, tiada yg mengenal mereka dan mendekat pada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan taufiq hidayah-Nya. Supaya ia juga langsung mengenal kepada Allah dan kebesaran-Nya yg diberikan Allah kepada seorang hamba yg dikehendaki-Nya.”

Syaikh Abu Ali al-Jurja’i berkata:
“Seorang wali itu orang yg fana’ lupa pada dirinya dan tetap baqa’ dalam musyahadah dan melihat Tuhan. Allah mengatur segala-galanya, maka karena itu terus-menerus datang kepadanya Nur Ilahi.”

Maka jika Allah menghendaki memperkenalkan kamu dengan wali-Nya, itu suatu anugerah yg sangat besar yg wajib kamu syukuri, karena dengan itu berarti Allah menghendaki kamu agar bisa wushul kepada Allah. Karena wali itu kekasih Allah, Allah tidak menghendaki selain kekasih-Nya berkumpul dengan Kekasih-Nya. (Laa ya’riful waliy illal-waliy).

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Maha Suci Allah yg sengaja menjadikan penanda diri-Nya sebagai penanda para wali-Nya. Sulit bagi kita untuk mengenali seorang wali, sebagaimana sulit mengenali Allah.

Karena Allah terhijab dengan alam semesta, jalan untuk sampai kepada-Nya dan mengenali-Nya merupakan perkara yg amat sulit. Jika hijab tersebut tersingkap di hadapan seseorang, tentu itu adalah karunia besar dan anugerah agung yg harus disyukurinya.

Demikian pula seorang wali, ia terhalang oleh tebalnya ciptaan² lahir, makanan dan minuman yg ia konsumsi, dan perbuatan manusiawi lainnya sehingga untuk mengenalinya pun perkara yg sulit. Jika seseorang bisa mengenali seorang wali, berarti ia telah mendapatkan anugerah dan karunia besar yg harus ia syukuri.

Kesimpulannya, mendapat makrifat dan mengenali Allah secara khusus adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada seorang hamba, bukan karena permohonan atau karena sebab tertentu. Demikian pula mengenali seorang wali. Bahkan, mengenali seorang wali itu lebih sulit daripada mengenali Allah karena Allah Ta’ala sudah dikenal dengan kesempurnaan dan keindahan-Nya. Sementara itu seorang wali sama dengan kita. Ia biasa makan dan minum serta melakukan aktivitas manusia biasa seperti kita.

Jika Allah ingin memperkenalkanmu dengan seorang wali-Nya agar kau mendapatkan manfaat darinya, Dia akan menutupi wujud kemanusiaannya dan memperlihatkan padamu wujud keistimewaannya. Tak ada yg dapat mengenali para wali atau berkumpul bersama mereka, kecuali yg dikehendaki Allah untuk sampai kepada-Nya karena mereka adalah para kekasih Allah. Allah akan cemburu jika mereka dikerumuni manusia. Barang siapa yg akan dikenalkan Allah kepadanya maka Allah akan menghimpunnya dengan mereka dalam sebuah persahabatan khusus.

Para Wali ini ada dua kelompok. Kelompok pertama, yg terlihat di mata orang awam dan orang khusus. Kelompok kedua, yg hanya terlihat di mata orang khusus. Di samping itu, ada juga hamba² Allah yg tak seorang pun makhluk-Nya mampu melihat mereka, bahkan para malaikat yg bertugas mencabut nyawa sekalipun. Yg mencabut nyawa mereka adalah Allah langsung, dan badan mereka tak sedikit pun tersentuh debu. (Ulasan Syaikh Abdullah Asy-Syarqawi). Wallaahu a’lam

169. Allah Tidak Membuat Tanda Kewalian (2)

Hikmah 169 dlm Al-Hikam:

رُبّمَا اطلعك على غيب ملكوته وحجب عنك الإستشراف على اسرارالعباد

Adakalanya Allah memperlihatkan rahasia malakut-Nya, namun Dia menghijabmu dari mengetahui rahasia para hamba-Nya.

Adakalanya Allah memperlihatkan alam malakut kepada wali-Nya, sehingga ia bisa mengetahui segala sesuatu yg ghaib dalam alam malakut, tetapi karena rahmat Allah kepadanya, tidak dibukakan padanya jalan untuk mengetahui rahasia² hati sesama manusia, itu supaya tidak ikut campur dalam urusan dan kebijaksanaan Allah yg berlaku pada hamba-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Mungkin Allah sesekali menampakkan rahasia kerajaan-Nya yg ghaib dan tak bisa kau lihat, yg ada di atas langit dan di bawah bumi. Namun, Dia menghijabmu dari melihat rahasia para hamba-Nya atau yg ada di hati mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Itu termasuk bentuk kasih sayang Allah kepadamu. Wallaahu a’lam

170. Mengetahui Rahasia Hamba adalah Cobaan, Bila Tidak Dikaruniai Sifat Rahmat-Nya

Hikmah 170 dlm Al-Hikam:

“Mengetahui Rahasia Hamba adalah Cobaan, Bila Tidak Dikaruniai Sifat Rahmat-Nya”

منِ اطلع على اسرار العباد، ولم يتخلق بالرحمة الإ لهيّة كان اطلاعه فتـنة عليه، وسببا لجر الوبال اليه.

Siapa yg mengetahui rahasia para hamba, namun tidak meniru sifat kasih sayang Tuhan maka pengetahuannya menjadi ujian baginya dan sebab datangnya bencana.

Orang yg tidak dibukakan kasyaf untuk bisa melihat rahasia dalam hati sesama manusia itu termasuk karunia belas kasih dari Allah, sebab apabila dia dibukakan kasyaf sehingga bisa mengetahui rahasia hati orang lain, tapi dia tidak meniru sifat rahmat dan ampunan Allah, seperti tidak mau menutupi aib orang lain, tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, tidak kasihan pada orang yg berbuat dosa/kesalahan, maka kasyaf yg demikian akan menjadi fitnah bagi yg diberi, dan menjadi ujian yg berat baginya, bahkan akan menjadi sebab datangnya bencana bagi dirinya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak akan dicabut sifat rahmat belas kasih kecuali dari hati orang yg celaka.”

Dan Rasulullah Saw. juga bersabda:

الراحمونَ يَرْحمهمُ الرَحْمن، اِرحَمُوامَنْ فى الارضِ يَرْحمكُم من فى السمَاءِ.

“Orang yg belas kasih, dikasihi oleh Allah (ar-Rahman), karena itu kasihanilah orang yg di bumi niscaya kamu dikasihi orang yg di langit.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Siapa yg mengetahui rahasia para hamba, tetapi tidak meniru sifat rahmat (kasih sayang) Tuhan, seperti menutupi aib orang² yg berdosa, bersabar atas orang² yg zalim, memaafkan orang² yg bodoh, berbuat baik kepada orang yg berlaku buruk, dan menyayangi para hamba Allah, maka pengetahuannya tentang rahasia hamba itu akan menjadi fitnah atau ujian baginya. Hal itu dapat mendorongnya untuk melihat dirinya sendiri dan mengagungkan keadaannya, sombong dengan amalnya, dan congkak di hadapan orang lain. Inilah ujian paling besar baginya. Bahkan, dapat menjadi sebab datangnya bencana kepadanya karena ia telah mengaku-aku memiliki sifat Tuhan dan menandingi-Nya dalam hal kesombongan dan keagungan. Inilah bencana paling besar, kehinaan, dan peringatan yg paling keras.

Diriwayatkan bahwa ketika Allah memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepada Nabi Ibrahim as., ia mendatangi seorang laki² yg sedang melakukan maksiat terhadap Allah. Nabi Ibrahim as. pun mendoakan celaka orang itu hingga ia pun binasa. Nabi Ibrahim as. lalu mendoakan orang lain yg berbuat sama dengannya maka semuanya pun binasa.

Allah lalu berfirman kepada Nabi Ibrahim as., “Wahai Ibrahim, kau adalah orang yg doanya selalu dikabulkan. Jangan kau doakan celaka hamba²Ku karena lalai dari-Ku, mereka akan terbagi ke dalam tiga keadaan: seorang hamba dari mereka bertobat kepada-Ku dan Aku pun menerima tobatnya; Ku keluarkan darinya nyawa yg bertasbih kepada-Ku; atau Ku bangkitkan ia dan Ku hadapkan kepada-Ku. Jika Aku mau, Aku akan memberinya maaf. Jika aku berkehendak, Aku akan menghukumnya.”

Ada yg mengatakan, inilah sebab kenapa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anaknya, yaitu karena Allah begitu menyayangi hamba²Nya, seperti Nabi Ibrahim as. menyayangi anaknya. Kesimpulannya, mukasyafah adalah nikmat Allah Ta’ala atas seorang murid. Cara mensyukurinya adalah dengan menutupi aib hamba atau memaafkannya. Wallaahu a’lam

171. Peran Samar Nafsu dalam Ketaatan

Hikmah 171 dlm Al-Hikam:

“Peran Samar Nafsu dalam Ketaatan”

حظ النفس فى المعصية ظاهرٌجليٌّ، وحظها فى الطاعة باطن خفيٌّ ومدواة ما يخفى صعبٌ علاجهُ

Andil nafsu dalam perbuatan maksiat tampak jelas, sedangkan andilnya dalam perbuatan taat samar tersembunyi. Mengobati yg tersembunyi itu amatlah sulit.

Ketahuilah bahwa hawa nafsu itu selalu ambil bagian/peran baik dalam maksiat atau dalam taat (ibadah). Kepentingan nafsu dalam maksiat itu jelas, seperti zina, minum-minuman keras, dia jelas merasakan enaknya dan kepuasannya. Karena nafsu mengajak maksiat itu tujuannya hanya ingin merasakan kenikmatan dan kepuasan, dan akhirnya terjadi bencana dan kehinaan.

Sedangkan bagian nafsu dalam taat/ibadah, sangatlah halus dan samar untuk diketahui dan disadari. Karena dalam taat/ibadah itu nafsu akan merasa berat, karena semua ibadah itu selalu bertentangan dengan hawa nafsu. Jadi apabila nafsu memerintahkan untuk ibadah maka waspadalah! Dan telitilah apakah ada kepentingan nafsu di dalam ibadah tersebut, taat dan ibadah seharusnya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, tapi nafsu mempunyai kepentingan lain seperti riya’ (supaya dilihat/diketahui orang) bahwa dia orang yg ahli ibadah, yg selanjutnya orang lain memujinya, dan terkenal di kalangan manusia. Dan masih banyak contoh yg lain apabila kita mau meneliti pergerakan nafsu kita.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Andil nafsu dalam maksiat, seperti zina, amat jelas, yaitu bagaimana ia menikmati kemaksiatan tersebut. Nafsu tidak pernah memintamu untuk melakukan maksiat, kecuali untuk menikmatinya sehingga kau akan mengalami bencana dan hukuman. Sementara itu, andilnya dalam ketaatan itu samar dan tersembunyi, tak bisa dilihat, kecuali oleh para pemilik mata batin. Hal itu dikarenakan, ketaatan merupakan perkara yg amat berat bagi nafsu.

Jika nafsu menyuruhmu melakukan ketaatan, kau tidak akan pernah mengetahui perannya di dalamnya, kecuali setelah diteliti dan di amati. Secara kasat mata, nafsu seakan-akan terlihat berperan menggiringmu untuk dekat dengan Allah. Namun di balik itu sebenarnya nafsu ingin membuatmu berharap pada penghargaan manusia dan membanggakan keshalehanmu di hadapan orang banyak.

Maka dari itu, barang siapa yg menilai diri sendiri, mengevaluasi, dan memperhatikan suara hatinya, akan tampak baginya kebenaran tentang hal ini.

Mengobati sesuatu yg tersembunyi atau menghilangkan peran²nya yg tersembunyi amatlah susah karena membutuhkan ketelitian, pemahaman, dan pengetahuan.

Para pemilik mata batin mencela diri mereka sendiri jika cenderung kepada salah satu ibadah. Kemudian, mereka meneliti sebab mengapa mereka cenderung kepada ibadah itu. Jika itu dikarenakan peran nafsunya, mereka akan meninggalkannya atau mengobati nafsu mereka saat melakukannya agar ia benar² tulus dan ikhlas karena Allah.

Ini terjadi pada seseorang yg nafsunya ingin pergi berperang di jalan Allah. Namun kemudian, setelah ditelitinya, ternyata nafsu itu berperang untuk tujuan mendapat istirahat dari letihnya perjuangan. Setiap hari, orang itu berkali-kali membunuh nafsunya dengan cara menahan hasratnya. Hingga akhirnya, nafsu menginginkan tuannya itu mati langsung. Dengan demikian, ia akan beristirahat selamanya. Kemungkinan lain setelah diteliti, ternyata nafsu itu berperang hanya agar didengar orang² bahwa ia mati syahid sehingga menjadi mulia di mata mereka. Ia juga ingin disebut-sebut sebagai orang yg rela mati. Oleh karena itu, ia memilih meninggalkan perang demi mendapatkan keinginannya itu.

Terkadang seseorang memiliki semangat dan merasa nikmat pada satu macam ibadah yg tidak didapatnya pada jenis ibadah lain. Hal itu tak lain karena keuntungan nafsu di dalam ibadah itu lebih besar daripada dalam ibadah lainnya. Jika orang itu termasuk pemilik mata batin, ia akan beralih dari kecenderungan nafsunya kepada hal lain. Jika nafsu mengalahkannya, dalam kesibukannya beribadah itu, nafsu tidak memiliki andil apa², kecuali untuk keuntungannya sendiri. Wallaahu a’lam

172. Riya’ Masuk Dari Tempat Yang Tak Terlihat Oleh Makhluk

Hikmah 172 dlm Al-Hikam:

“Riya’ Masuk Dari Tempat Yang Tak Terlihat Oleh Makhluk”

ربّما دخل الرياءُ عليك من حيث لاينظرالخلقُ اليكَ

Kadang kala penyakit riya’ masuk ke dalam dirimu dari tempat yg tak terlihat oleh makhluk.

Riya’ yg masuk dalam amal perbuatan ketika di depan orang banyak itu dinamakan riya’ jaliy (terang). Riya’ juga bisa masuk pada amal ketika sendirian, dan tidak ada orang yg mengetahuinya. Dan dengan amalnya itu dia berharap akan di sanjung orang, di muliakan orang, seumpama dia berilmu, supaya orang lain mencukupi hak²nya, dan apabila tidak, dia berharap supaya orang lain disiksa oleh Allah sebab tidak menghormati orang yg berilmu.

Apabila hal seperti ini ada dalam diri seseorang, itu tandanya dia riya’ dengan ilmunya, yg seperti ini dinamakan riya’ khafiy (samar).

Dan tidak akan selamat dari riya’ jaliy dan riya’ khafiy kecuali orang yg sudah ma’rifat billah, dan kuat tauhidnya. Karena Allah sudah menjaganya dari syirik dan menutup pandangannya dari melihat makhluk sebab Nur keyakinan dan Nur ma’rifat yg sudah terang bersinar dalam hatinya. Para ‘Arifin itu sudah tidak berharap dapat manfaat dari orang lain (makhluk), dan juga tidak takut bahaya dari makhluk. Dan amalnya para ‘arif itu bersih dari riya’ walaupun di kerjakan di depan orang banyak.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Syirik itu ada yg lebih samar dari jalannya semut hitam di atas batu hitam di malam yg gelap gulita.” (dan riya’ itu termasuk syirik yg samar, yaitu beramal tidak karena Allah)

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. berkata: “Kelak di hari kiamat, Allah akan berkata kepada orang² yg zahid dan fakir: “Tidakkah telah dimurahkan (diturunkan) harga barang² untuk kamu, tidakkah jika kamu berjalan lalu diberi salam terlebih dahulu, tidakkah jika kamu berhajat segera disampaikan (dibantu) semua hajatmu.” Di dalam hadits lain diterangkan: “Kini tidak ada lagi pahala bagimu, sebab semua pahalamu telah kamu terima semasa hidup di dunia.””

Syaikh Yusuf bin al-Husain ar-Razy berkata: “Sesuatu yg amat berharga di dunia ini ialah ikhlas, beberapa kali aku bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dalam hatiku, tiba² tumbuh lagi dengan lain corak (model).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Kadang, sifat riya’ menelisik ke dalam dirimu dari arah yg tak terlihat oleh makhluk lain atau saat kau di tempat yg tak dilihat oleh manusia. Biasanya, riya’ dapat masuk ke dalam amal jika pelakunya melakukan amal itu di hadapan manusia. Riya’ ini disebut dengan riya’ lahir.

Namun, riya’ juga bisa masuk ke dalam amal saat pelakunya melakukan amal sendirian dan tak dilihat orang, yaitu ketika seseorang melakukan amal dengan tujuan agar manusia menghormati dan mengagungkannya atau agar orang lain segera menunaikan hak untuknya dan memenuhi kebutuhannya. Jika hak dan kebutuhan si pelaku amal ini tidak dipenuhi secara maksimal oleh orang lain, ia akan menjauhinya atau mengancamnya dengan hukuman Allah atasnya.

Jika seorang hamba menemukan tanda² ini pada dirinya, sadarlah bahwa sebenarnya ia telah bersikap riya’ dengan amalnya.

Jika ia tutupi amalnya dari manusia, sifat riya’ itu disebut riya’ batin (tersamar). Tak seorang pun yg selamat dari riya’ lahir dan riya’ batin, kecuali orang² ‘arif yg mengesakan Allah. Allah Ta’ala membersihkan mereka dari segala macam kemusyrikan dan menjauhkan mereka dari keinginan agar cahaya keyakinan dan makrifatnya dilihat makhluk.

Orang² ‘arif tidak akan berharap manfaat dan takut mudharat apa pun dari makhluk. Amal mereka murni dan tulus karena Allah walaupun mereka melakukannya di hadapan manusia. Barang siapa yg tidak memiliki sifat ini atau lebih suka memandang makhluk, mengharap manfaat dan takut mudharatnya, berarti ia telah bersikap riya’ dengan amalnya walaupun ia beribadah kepada Allah di atas gunung yg tak bisa dilihat dan didengar oleh seorang pun. Wallaahu a’lam

173. Ingin Dikenal Istimewa adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan Dalam Penghambaan

Hikmah 173 dlm Al-Hikam:

“Ingin Dikenal Istimewa adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan Dalam Penghambaan”

استشرافك ان يعلم الخلقُ بخصوصيّـتكَ ، دليل على عدم صدقك في عبوديّـتك

Keinginanmu agar orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidaktulusanmu dalam ‘ubudiyahmu.

Yg dinamakan Sidqul ‘Ubudiyyah yaitu: membuang segala sesuatu selain Allah, dan tidak memandang pada selain Allah dalam beribadah.

Jadi apabila engkau benar² beribadah kepada Allah, pasti akan menerima perhatian dari Allah kepadamu, sehingga engkau tidak senang diketahui orang lain dalam menghamba kepada Allah.

Syaikh Abu Abdullah al-Qurasyi berkata: “Siapa yg tidak puas dengan pendengaran dan penglihatan Allah dalam amal perbuatannya, maka pasti dia kemasukan riya’.”

Allah Ta’ala berfirman:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda² (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat [41]: 53)

Syaikh Abul Khair al-Aqtha’ berkata: “Siapa yg ingin amalnya diketahui orang, maka itu riya’, dan siapa yg ingin diketahui orang hal keistimewaannya, maka itu pendusta.”

Hikmah ini untuk pelajaran orang yg memulai perjalanan suluk (murid), tapi bagi orang yg sudah ‘arif dan hanya melihat sifat wahdaniyyah-nya Allah, antara tekenal dan tersembunyi itu sama saja. Seperti kata hikmah dari Syaikh Abul Abbas al-Mursyi:

“Barang siapa yg ingin terkenal, maka ia budak (hamba)nya terkenal, dan siapa yg ingin tersembunyi, maka ia budak (hamba)nya tersembunyi, dan siapa yg benar² merasa sebagai hamba Allah, maka terserah pada Allah apakah dia diterkenalkan atau disembunyikan, yakni sama saja, yg penting beramal karena Allah.”

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Keinginanmu agar keistimewaan atau kelebihan yg diberikan Allah kepadamu yg berupa ilmu, amal shaleh, atau ahwal batin diketahui orang lain adalah bukti ketidakikhlasanmu dalam ‘ubudiyahmu.

Keikhlasan dalam ‘ubudiyah bermakna kau menyingkirkan segala hal yg bernuansa kemakhlukan dan tidak pernah menoleh ke arahnya. Sekiranya kau tulus dalam menyembah Tuhanmu, niscaya kau cukup puas dengan hanya kau diketahui-Nya. Kau juga tidak akan suka jika orang lain mengetahuimu sebab hal itu dapat membuatnya iri hati kepadamu atas kondisimu akibat pandangannya yg besar terhadap kemakhlukan.

Sebagian orang ada yg suka jika amalnya dilihat manusia. Orang seperti ini riya’ dalam amalnya. Barang siapa yg kondisinya ingin dilihat manusia, berarti ia pembohong. Ini biasanya terjadi di awal upayanya meniti jalan Allah (suluk). Akan tetapi, jika seorang hamba telah mendapat makrifat dan musyahadah, tak masalah untuk memberitahukan amal²nya dan menampakkan kebaikan ahwal -nya karena hal itu bertujuan untuk menunaikan hak syukurnya kepada Allah serta agar banyak orang yg mengikuti jejaknya.

Pada awalnya, ahli tarekat membangun perilaku mereka atas sikap menjauh dari makhluk, menyendiri dengan Yang Maha Haqq, dan menyembunyikan amal dan ahwal -nya untuk mewujudkan kefana’an mereka, mengukuhkan kezuhudannya, menjaga keselamatan hati mereka, dan ingin mengikhlaskan amal mereka untuk Tuhan semata. Sampai ketika keyakinan telah merasuki diri mereka dengan kuat dan mereka telah mendapatkan hakikat kefana’an, jika Allah berkehendak, Dia akan menampakkan mereka di hadapan manusia. Jika Dia berkehendak, Dia akan menutupinya dari mereka. Keinginan ahli tarekat tidak bergantung pada tampak atau tidaknya amal mereka di hadapan manusia. Mereka hanya mengembalikan segala urusan dan perkaranya kepada Allah Ta’ala semata. Wallaahu a’lam

174. Penghambaan Yang Sebenarnya

Hikmah 174 dlm Al-Hikam:

“Penghambaan Yang Sebenarnya”

غيّبْ نَظَرَالخلقِ اِليْكَ بِنَظَرِاللهِ اِليْكَ، وَغِبْ عَنْ اِقْبالهِمْ عَلَيْكَ بِشُهودِ اِقْبالِهِ عَلَيْكَ

Hilangkan pandangan makhluk padamu dengan pandangan Allah. Lupakan sambutan mereka dengan menyaksikan sambutan-Nya padamu.

Sebagai murid jangan terpengaruh dengan penglihatan, perhatian dan pujian orang lain, karena Allah selalu melihat dan memperhatikanmu. Sebagai gambaran: sebagai seorang murid ketika kita dilihat dan di awasi oleh Guru kita, tentu kita lupa dan tidak memperhatikan kalau kita sedang dilihat dan di awasi oleh orang lain. Begitu juga ketika Guru kita berada dihadapan kita, tentu kita tidak akan memperdulikan orang lain yg menghadap kita. Apalagi yg melihat, mengawasi dan menghadapi kita itu Allah, tentunya semua makhluk tidak ada artinya.

Syaikh Sahl bin Abdullah at-Tustary qs. berkata kepada kawan²nya: “Seseorang tidak akan dapat mencapai hakikat kewalian sehingga menghilangkan pandangan orang dari fikirannya, sehingga tidak melihat apa² di dunia ini, yg ada hanya ia dan Tuhan yg menciptakannya, sebab tidak ada seorang pun (makhluk) yg dapat menguntungkan atau merugikannya, dan menghilangkan perasaan diri dan hawa nafsunya sehingga tidak menghiraukan orang lain, dan tidak segan atau takut kepada mereka, apa saja yg akan terjadi.”

Syaikh Harits al-Muhasiby qs. ketika ditanya tentang tanda orang yg ikhlas, yaitu: “Yg tidak menghiraukan dinilai apa saja oleh sesama manusia, asalkan ia sudah benar hubungannya dengan Allah dan tidak ada orang yg mengetahui walau sekecil debu dari amal kebaikannya, dan tidak takut jika ada orang yg mengetahui perbuatannya yg tidak baik. Sebab jika ia takut diketahui kejelekannya, berarti ia ingin dipuji atau besar dalam pandangan orang, dan itu tidak termasuk kelakuan atau akhlak orang yg benar² ikhlas.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Singkirkan pandangan makhluk kepadamu. Jangan menoleh kepada pandangan mereka terhadapmu. Jangan mencarinya. Jangan pula pernah terpikir olehmu untuk mendapatkannya. Jauhkan pandangan mereka itu dari dirimu. Jauhkan ia dengan pandangan Allah terhadapmu! Hendaknya yg kau harap dan kau cari hanyalah pandangan Allah terhadapmu.

Lupakan sambutan mereka kepadamu dengan menyaksikan sambutan Allah kepadamu. Jangan pernah menoleh kepada kehangatan sambutan mereka, apalagi mencarinya. Namun, jadikan tolehan dan pencarianmu hanya kepada sambutan Allah karena sambutan makhluk kepada seorang murid sebelum ia mencapai kesempurnaan justru akan mendorongnya untuk berpura-pura dan sok alim di hadapan mereka. Tentu itu akan membuat derajatnya turun dan jatuh di mata Allah Ta’ala, na’udzu billaah.

Tak ada yg ridha dengan sambutan makhluk kepada dirinya, kecuali orang yg berakal sempit dan bertekad rendah. Hal itu dikarenakan, keridhaan manusia merupakan sesuatu yg tak bisa diketahui dengan pasti. Manusia terbodoh adalah orang yg mencari sesuatu yg tidak diketahuinya. Adapun orang yg berakal cerdas dan luas, ia tidak akan cenderung, kecuali kepada sambutan Allah terhadapnya, tanpa peduli dengan celaan atau hinaan orang² kepadanya.

Seorang bijak berkata, “Orang yg tulus adalah orang yg tidak peduli jika seluruh kehormatannya sirna dari hati makhluk demi memperbaiki hatinya. Ia tidak suka jika manusia mengetahui sebiji sawi keshalehan amalnya dan tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika ia benci keburukannya diketahui, itu pertanda bahwa ia berharap lebih dari manusia. Ini bukanlah keikhlasan para shadiqin.” Wallaahu a’lam

175. Maqam Fana’, Makrifat, Dan Cinta

Hikmah 175 dlm Al-Hikam:

“Maqam Fana’, Makrifat, Dan Cinta”

مَنْ عَرَفَ الْحَقَّ شَهِدَهُ فِي كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ فَنِيَ بِهِ غَا بَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَمَنْ أَحَبَّهُ لَمْ يُؤْ ثِرْ عَلَيْهِ شَيْئًا.

Siapa yg mengenal Allah, ia akan menyaksikan-Nya dalam segala sesuatu. Siapa yg fana’ dengan-Nya, ia akan lenyap dari segala sesuatu. Siapa yg mencintai-Nya, ia tidak akan mengutamakan selain-Nya.

Orang yg sudah berada di maqam fana’, mereka sudah tidak melihat apa yg ada di alam ini kecuali hanya Allah, dan orang tersebut sudah lupa pada dirinya, tidak merasakan apa yg ada pada dirinya, mereka sudah tidak melihat sifat wujud dan nyata pada apa yg dilihat. Berbeda dengan orang yg berada di maqam makrifat, mereka melihat makhluk dan juga melihat Allah yg menciptakan makhluk, mereka dengan jelas melihat Allah pada setiap perkara yg wujud (makhluk), jadi para ‘arif itu masih merasa dirinya ada, dan masih melihat adanya makhluk.

Siapa saja yg mengaku cinta pada Allah, tetapi masih memilih selain Allah, dan mementingkan kepentingannya dan kepentingan selain Allah, dan mengalahkan kepentingan pada Allah, maka pengakuan cintanya itu bohong.

Keterangan lain dari hikmah ini:
Siapa yg benar² mengenal Allah (makrifatullah), pasti ia selalu ingat pada Allah, pada tiap sesuatu apapun yg ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan. Sebab tidak ada sesuatu melainkan menunjukkan keindahan, kekuasaan dan ciptaan Allah.

Dan orang yg sudah fana’ kepada Allah, mereka sungguh² yg di ingat hanya Allah, sehingga segala sesuatu yg dilihat dan yg ada di depannya, seolah-olah kosong dan hanya bayangan belaka.

Dan orang² yg benar² cinta kepada Allah, ia tidak akan mengutamakan sesuatu apapun selain Allah yg dicintainya, bahkan ia sanggup mengurbankan segala kepentingannya dan hawa nafsunya, demi mendapatkan keridhaan dari Allah.

Syaikh Abdullah asy-Syarqawi mensyarah:

Siapa yg mendapatkan makrifat Allah, ia akan melihat Allah tampak dalam segala sesuatu. Ia tidak akan merasa terasing, tidak pula merisaukan segala hal, sebagaimana sifat² orang ‘arif.

Siapa yg merasakan kefana’an dengan wujud Allah, ia tidak lagi melihat fenomena wujud, kecuali Allah, dan dia akan mengabaikan diri dan inderanya sendiri. Ia tidak akan melihat dirinya berwujud.

Lain halnya dengan orang² ‘arif, mereka telah mendapatkan maqam keabadian. Mereka melihat makhluk sekaligus melihat Sang Khaliq. Mereka melihat Sang Khaliq tampak pada segala sesuatu dan berada disana, tetapi mereka tidak merasakan kefana’an diri dan inderanya. Orang yg kehendak dan syahwatnya hanya kepada Allah adalah orang yg telah meraih maqam² tersebut. Wallaahu a’lam

176. Hijabnya Makhluk (1)

Hikmah 176 dlm Al-Hikam:

“Hijabnya Makhluk”

إِنَّمَا حَجَبَ اْلحَقَّ عَنْكَ شِدَّةَُ قُرْبِهِ مِنْكَ

Yg membuat Allah terhijab darimu adalah karena kedekatan-Nya yg amat sangat kepadamu.

Bisa di maklumi, bahwa panca indera manusia itu sangatlah terbatas, contohnya mata untuk bisa melihat, haruslah tepat pada ukurannya, terlalu jauh tidak akan kelihatan begitu juga terlalu dekat, juga tidak akan kelihatan. Seperti kalau kita baca tulisan yg kita dekatkan dan menempel pada mata tentu tidak akan bisa terbaca.

Begitu juga Allah, kita tidak bisa melihat Allah, karena terlalu dekatnya Allah, Allah meliputi kita dengan cara yg sangat sempurna.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan Aku lebih dekat (kepada mayit) dari pada kamu semua, akan tetapi kamu semua tidak tahu.”

Hikmah ini tidak bisa difahami dengan sempurna kecuali orang² yg mata hatinya sudah terbuka terang, yg bisa melihat pendhohiran Allah pada makhluk-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Karena Allah Ta’ala begitu dekat denganmu, kau pun terhijab dari melihat-Nya. Adanya hijab, selain akibat jarak yg jauh, juga akibat jarak yg terlalu dekat. Telapak tangan, jika didekatkan ke mata, mata takkan dapat melihatnya. Lain halnya jika ia dijauhkan dan mata.

Demikian pula Tuhan, kita tidak bisa melihat-Nya karena Dia meliputi kita dan mendekatkan Diri-Nya kepada kita. Tak ada yg menyadari hal itu, kecuali para pemilik mata batin karena di mata mereka Allah amat tampak. Oleh sebab itu, Allah mengangkat hijab dari mereka sehingga mereka melihat-Nya ada pada segala sesuatu dan meliputinya. Wallaahu a’lam

177. Hijabnya Makhluk (2)

Hikmah 177 dlm Al-Hikam:

إنَّمَا احْتَجَبَ لِشِدَّة ِظُهُرِهِ، وَخَفِيَ عَنِ الاَبْصَارِ لِعَظِيمِ نُورِهِ

Dia terhijab lantaran sangat jelas dan Dia tersembunyi dari pandangan makhluk lantaran cahaya-Nya yg agung.

Sebagaimana keterangan hikmah sebelumnya, tentang keterbatasan/kelemahan panca indera manusia yg tidak bisa melihat karena terlalu dekat, begitu juga tidak akan bisa melihat terlalu terang. Pada hakikatnya semua benda itu bisa terlihat karena adanya cahaya/nur, tanpa cahaya takkan bisa terlihat, begitu juga terlalu terangnya cahaya, mata pun tidak akan kuat melihat karena terlalu silau. Seperti contoh matahari, yg cahayanya paling terang dari cahaya yg lain yg bisa dilihat mata, sebab dari kuatnya sinar matahari, mata kita tidak mampu menembus/melihat dzatnya matahari itu sendiri, sehingga kita bisa tahu matahari hanya lewat sinarnya saja, dan mata tidak kuat/bisa melihat hakikatnya matahari itu. Artinya: matahari itu tidak terhijab oleh dzatnya sendiri tapi cahayanyalah yg menghijab matahari itu.

Begitu juga Allah, yg tidak terhijab oleh Dzat-Nya, tapi terhijab oleh makhluk-Nya, sebab terlalu jelas, terang dan besar Nur-Nya. Jadi yg menghijab sesuatu itu bukan Dzat-Nya, tapi kelemahan kita yg menjadikan hijab itu sendiri.

Jadi hakikat/dzat itu tidak akan bisa dicapai dengan panca indera, tapi bisa dicapai dengan mata hati yg terang.

Maka apabila engkau melihat dengan mata hatimu, tidak akan menemukan sesuatu yg terlukis pada benda² (makhluk) itu selain daripada-Nya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Allah terhalang dari pandangan dan tak bisa diketahui karena cahaya-Nya yg dahsyat. Seperti halnya matahari, ia tak bisa dilihat karena cahayanya lebih kuat daripada cahaya lain. Kekuatan cahaya itulah yg membuatnya tak bisa dilihat oleh mata yg lemah sehingga inti dan hakikatnya tidak diketahui.

Penampakan matahari yg ditimbulkan oleh cahayanya yg kuat menjadi hijab tersendiri baginya. Hijab di sini bukan hijab sesungguhnya karena sesuatu yg lahir, tentu tidak akan terhalang. la terhijab karena lemahnya pandangan orang yg melihat pancaran cahayanya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya. Wallaahu a’lam

178. Doa Bukan Penyebab Allah Memberi

Hikmah 178 dlm Al-Hikam:

“Doa Bukan Penyebab Allah Memberi”

لا يَكُنْ طَلَبُكَ تَسَـبُّـبًا اِلى العَطَاءِ مِنْهُ فَيَقِلَّ فَهْمُكَ عَنْهُ وَاليَكُنْ طَلَبُكَ لاِظْهارِ العُبُودِ يَّةِ وَقياماً بِحُقُوقِ الرُّبُوبيَّةِ

Jangan sampai doa permintaanmu itu engkau jadikan alat/sebab untuk mencapai pemberian Allah (jangan punya i’tikad bahwa pemberian Allah itu sebab doamu), niscaya akan kurang pengertianmu (makrifatmu) kepada Allah, tetapi hendaknya doa permintaanmu itu semata-mata untuk menunjukkan kerendahan, kehambaanmu dan menunaikan kewajiban terhadap keTuhanannya Allah.

Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya, tujuan utamanya hanya supaya hamba benar² menunjukkan sifat fakir, hina dan bodohnya dihadapan Allah, bukan untuk sebab/alat menghasilkan apa yg diminta.

Hikmah dan pemahaman ini bagi orang yg sudah ‘arif billah, yg mereka tidak pernah berhenti dan bosan meminta kepada Allah, walaupun tidak diberikan apa yg diminta, bagi mereka antara diberi atau tidak itu sama saja, sehingga mereka selalu menjadi hamba Allah dalam segala keadaan.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Janganlah yg menjadi tujuan dari doamu itu tercapainya hajat kebutuhanmu, maka jika demikian berarti engkau terhijab dari Allah, tetapi seharusnya tujuan doa itu untuk munajat kepada Allah, yg memeliharamu, menciptakan dirimu. Dan bala’ dan bencana yg memaksa engkau berdoa kepada Allah, itu lebih baik daripada menerima nikmat kesenangan yang melupakan kepada Allah dan menjauhkan daripada-Nya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jangan kau tujukan permintaan dan amal shalehmu kepada-Nya untuk mendapatkan karunia-Nya. Jangan pula kau yakini bahwa semua permintaan dan amal shalehmu itu adalah sebab datangnya karunia sehingga pemahamanmu tentang Allah dan hikmah-Nya dalam memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa menjadi berkurang.

Akan tetapi, jadikanlah permintaanmu sebagai bentuk penghambaanmu kepada-Nya atau untuk menampakkan status kehambaanmu yg hina, lemah, dan amat membutuhkan pertolongan Tuhan. Permintaan juga bisa merupakan pelaksanaan hak² rububiyah-Nya karena rububiyah menuntut kerendahan diri dan ketundukan orang yg menyembah-Nya.

Maksudnya, Allah Ta’ala tidak memerintahkan hamba-Nya meminta dan berdoa, kecuali untuk menampakkan rasa butuh mereka kepada-Nya dan menyatakan kehinaan dan kelemahan mereka di hadapan-Nya, bukan untuk menjadikan doa itu sebagai sebab mendapatkan permintaan dan keinginan mereka. Inilah pemahaman para ‘arifin tentang Allah.

Siapa yg keadaannya seperti itu, permintaannya tak akan pernah terputus dan keinginannya tak akan pernah terhenti walaupun Allah selalu mewujudkan semua permintaannya dan mengaruniakan semua keinginannya. Orang seperti ini tidak pernah membeda-bedakan antara ketika Allah memberi dan ketika Allah menahan pemberian-Nya. Dengan begitu, dalam semua keadaan tersebut, ia tetap menjadi hamba Allah dan Allah pun tetap sebagai Tuhannya.

Amat buruk jika seorang hamba memalingkan wajahnya dari pintu Tuhannya setelah Dia memenuhi segala keinginannya. Wallaahu a’lam

179. Mana yang Baik, Meminta Atau Diam? (1)

Hikmah 179 dlm Al-Hikam:

“Mana yang Baik, Meminta Atau Diam?”

كَيْفَ يَكُونُ طَلَبُكَ اللاَّحِق سَبـبًا فى عَطَاءِـهِ السَّابِقِ؟

Bagaimana mungkin permintaanmu yg datangnya kemudian menjadi sebab bagi pemberian-Nya yg sudah ditentukan sebelumnya?

Keputusan Allah dalam menentukan peraturan alam sudah ditentukan dalam azali sebelum adanya alam ini, dan termasuk juga segala kebutuhan hajat hidup semua makhluk tidak kecuali manusia, karena itu jangan mengira bahwa Allah seolah-olah lupa terhadap hajat kebutuhanmu, sehingga sekiranya tidak engkau ingatkan mungkin tidak diberi, kalau demikian kepercayaanmu terhadap Allah, berarti benar² engkau belum mengenal Allah dalam sifat kesempurnaan-Nya.

Contohnya:
Jika ada seorang ayah yg dianggap oleh anaknya, andaikan tidak di ingatkan oleh anaknya niscaya ia melupakan kebutuhan anaknya itu, maka bagaimanakah ayah yg demikian itu?

Sedangkan Allah tidak dapat di umpamakan dengan ayah itu sebab Allah Maha Sempurna, Maha Mengetahui, Maha Mencukupi, Maha Bijaksana dalam memelihara seisi alam.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bagaimana mungkin permintaanmu sekarang ini menjadi sebab pemberian Allah atas sesuatu yg sudah ditetapkan-Nya sejak zaman azali? Pemberian Allah merupakan hubungan antara kehendak-Nya di masa azali dengan pelaksanaannya yg juga sejak azali. Di dalamnya, permintaan tidak menjadi sebab karena permintaan itu datang belakangan setelah pemberian. Padahal, sebab seharusnya datang terlebih dahulu daripada akibatnya. Wallaahu a’lam

180. Mana yang Baik, Meminta Atau Diam? (2)

Hikmah 180 dlm Al-Hikam:

جَلَّ حُكْمُ الْأَزَلِ أَ نْ يَنْضَا فَ إِلَى الْعِلَلِ

Terlalu agung bila putusan Allah yg azali disandarkan kepada rangkaian sebab.

Sungguh tidak masuk akal kalau permintaan kita yg baru sekarang, itu menjadi sebab pemberian Allah yg sudah lalu. Sesungguhnya keputusan Allah dalam menentukan peraturan alam ini sudah ditentukan/ditetapkan dalam zaman ‘azal sebelum adanya alam ini, dan termasuk juga segala kebutuhan hajat hidup semua makhluk termasuk kita manusia, artinya sebelum kita meminta sesungguhnya Allah sudah menentukan apa yg diberikan kepada kita. Yakni Allah sudah memberi sebelum kita meminta. Sebagai contoh kita tidak/belum pernah meminta hidup tapi Allah sudah memberi kehidupan, sewaktu kita masih dalam alam kandungan sampai kita lahir, dan di masa kanak², kita belum pernah meminta bahkan belum tahu caranya meminta hajat kebutuhan kita, Allah sudah terlebih dahulu memberikan semua hajat kebutuhan kita sehingga kita bisa hidup sampai sekarang, dan itu sama berlaku seterusnya.

Karena itu jangan mengira seolah-olah Allah lupa dengan hajat kebutuhanmu, sehingga kamu harus mengingatkan Allah supaya memberikan hajat kebutuhanmu. Kalau memang demikian kepercayaanmu terhadap Allah, berarti benar² engkau belum mengenal Allah dalam sifat kesempurnaan-Nya.

Segala sesuatu yg terjadi di alam ini, semata-mata dari qudrat dan iradatnya Allah secara mutlak, sehingga tidak disandarkan pada ‘ilat/sebab musabab (karena ini dan itu).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Adalah sikap mengecilkan putusan Allah bila kita menghubungkan putusan yg telah ada di masa azali, yaitu karunia Allah, dengan sebab².

Jika ada yg berkata, “Terkadang, pemberian bergantung pada permintaan. Dengan demikian, permintaan menjadi sebab adanya pemberian.” Jawabannya: sebab hakiki datangnya karunia adalah penangguhan kehendak Allah di waktu azali. Kau meminta-Nya atas sesuatu yg sudah ditetapkan, namun belum dilaksanakan. Wallaahu a’lam

181. Mana yang Baik, Meminta Atau Diam? (3)

Hikmah 181 dlm Al-Hikam:

عِنَايَـتـُهُ فِيْـكَ لالِشَْىءٍ مِنْكَ وَايْنَ كُنْتَ حِينَ وَاجَهَـتـْكَ عِنَـَايَتـُهُ وَقَا بَلَتـْكَ رِعَايَتـُهُ لَمْ يَكُنْ فِى اَزَلِهِ اِخلاََصُ اَعْماَلٍِ وَلاَ وُجُدُ اَحْوَالٍ بَلْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ الاَّ مَحْضُ الاِفْضال وَعَظيمُ النَّوّال

Perhatian Allah kepadamu bukanlah karena sesuatu yg timbul dari dirimu. Di manakah kau ketika perhatian dan pemeliharaan-Nya menemuimu, padahal di zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun ahwal. Bahkan, belum ada apa² selain banyaknya karunia dan pemberian semata.

Allah sudah melengkapi dan memenuhi hajat kebutuhan kita di saat kita sendiri belum mengerti apa saja kebutuhan kita, maka dari itu coba kita pikirkan dan perhatikan perhatian dan pemberian Allah pada kita semenjak kita masih berupa air mani, sama sekali kita belum bisa berdoa dan beramal, tetapi perlengkapan yg diberikan Allah kepada kita tidak berkurang sedikitpun, dan selanjutnya hingga kita lahir, masa kanak², dewasa dan tua, karunia dan pemberian serta perhatian Allah kepada kita tidak berubah. Dan semua itu tidak bersandar pada amal atau doa kita. Tapi semata-mata kekuasaan dan kehendak Allah yg mutlak.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Perhatian atau pemberian Allah kepadamu bukan karena doa atau amal shaleh yg kau lakukan. Coba ingat, di mana dirimu ketika Allah memberimu perhatian dan perlindungan-Nya? Maknanya, di masa azali kau sendiri tidak ada. Tentu saja, itu menafikan semua yg bersumber darimu. Jika dirimu dahulu tidak ada, berarti tak ada pula sesuatu yg bersumber darimu, baik doa maupun amal shaleh. Meskipun demikian, Allah tetap memberimu perhatian dan karunia.

Di masa azali, belum ada amal yg ikhlas, seperti doa, shalat, dan puasa, tidak pula ada ahwal. Bahkan, belum ada apa² selain karunia dan pemberian Allah semata. Oleh karena itu, doa bukanlah sebab terwujudnya sesuatu yg diminta. Demikian pula amal shaleh, itu bukanlah sebab yg mempengaruhi pemberian dan perhatian Allah atau sebab seseorang masuk surga dan selamat dari neraka. Wallaahu a’lam

182. Keinginan Mendapatkan Sirrul ‘Inayah (1)

Hikmah 182 dlm Al-Hikam:

“Keinginan Mendapatkan Sirrul ‘Inayah”

عَلِمَ اَنَّ الْعِبَادَ يَتَشَوَّقـُونَ اِلىَ ظُهُورِ سِـرِّالعِنَـَايَةِ فَقاَلَ :يَـخْتـَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَّـَشَـاءُ. وَعَلِمَ اَنّـَهُ لَوْ خَلاَّ هُمْ وَذَالكَ لَتَرَكُواالعملَ إعْتِمَادًا علىْ الاَزَلِ فَقاَلَ: إنَّ رَحْمَة َ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ المُحْسِنِيـْنَ

Allah mengetahui bila hamba ingin agar rahasia pertolongan-Nya tampak. Dia berfirman, “Dia yg menentukan rahmat-Nya untuk siapa yg Dia kehendaki.” Allah juga mengetahui bila mereka dibiarkan begitu saja, tentu mereka tidak akan beramal karena bersandar pada keputusan azali. Oleh karena itu, Dia berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang² yg berbuat baik.”

Sirr itu berarti: semua perkara yg ditutupi, karena itu sirr dirahasiakan pada kita.

‘Inayah berarti: bersambungnya Iradah (kehendak Allah) dengan berhasilnya Sirr di masa yg akan datang.

Berhubung Allah mengetahui bahwa kita itu sangat menginginkan dapat mengetahui masa depan kita, apa celaka apa bahagia, sehingga kita ingin tahu rahasia pemberian/karunia Allah (sirrul ‘inayah), lalu kita meminta dengan berdoa dan beramal shaleh, dan kita beri’tikad bahwa dengan doa dan amal shaleh itu bisa menarik sirrul ‘inayah, maka Allah Ta’ala berfirman : “Allah sendiri yg menentukan (mengkhususkan) rahmat dan karunia pada siapa yg dikehendaki.” (QS. Al-Baqarah [2]: 105) untuk mencegah kita dan menghilangkan keinginan kita, karena Allah sendiri lebih mengetahui dimana Dia meletakkan risalah-Nya.

Dan Allah juga mengetahui bila para hamba dibiarkan mengetahui rahasia pertolongan-Nya, dan terus menerus melihat bahwa sirrul ‘inayah ‘azaliyyah itu khusus pada sebagian orang, yakni tidak umum, bisa jadi para hamba meninggalkan amal dan berdoa, karena mengandalkan pada keputusan di zaman ‘azal, (kalau di zaman ‘azal aku sudah ditetapkan menjadi orang yg dapat ‘inayah dan menjadi orang khusus, pasti aku akan masuk surga, walaupun tidak beramal, jadi tidak perlu beramal, begitu pula sebaliknya). Karena itu Allah menunjukkan tanda² orang yg mendapatkan ‘inayah/karunia, yaitu orang² yg berbuat baik dan memperbaiki perbuatannya. Yakni bukan amal kebaikan itu yg menyebabkan datangnya ‘inayah/karunia, ia hanya sebagai tanda adanya ‘inayah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

“Rahasia” adalah sesuatu yg tertutup karena ia tersembunyi dari kita. Ketika Allah mengetahui bahwa kita menghendaki pertolongan itu terjadi dan kita memintanya dengan doa dan amal shaleh serta yakin bahwa keduanya berpengaruh pada datangnya pertolongan yg kita inginkan itu, Dia langsung berfirman, “Dia yg menentukan rahmat-Nya untuk siapa yg dikehendaki-Nya.”

Firman Allah ini menghentikan kita dan memutus ketamakan kita karena mungkin pertolongan Allah itu khusus diberikan kepada beberapa manusia saja. Sebagaimana halnya kenabian, ketika orang² merindukan datangnya Nabi di akhir zaman, banyak orang yg mengaku sebagai Nabi. Namun, Allah mematahkan klaim mereka dengan firman-Nya, “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan,” (QS. Al-An’am [6]: 124)

Allah juga mengetahui bahwa jika mereka dibiarkan begitu saja setelah mendapati bahwa pertolongan azali itu khusus diterima sebagian orang saja dan bukan untuk umum, niscaya mereka tidak akan beramal karena hanya bersandar kepada putusan azali itu. Mereka akan berkata, “Jika di masa azali telah ditetapkan bahwa kami adalah orang² khusus yg mendapat pertolongan Allah, niscaya kami akan selamat dari neraka dan akan masuk surga. Maka dari itu, kami tidak perlu lagi beramal atau berdoa.”

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang² yg berbuat baik.” Orang yg berbuat baik adalah orang yg sering beramal shaleh. Kedekatan rahmat Allah itu adalah tanda pertolongan azali Allah. Walaupun tidak menjadi sebab yg mendatangkan pertolongan itu, amal shaleh tidak patut ditinggalkan hanya karena bersandar pada putusan azali. Wallaahu a’lam

183. Keinginan Mendapatkan Sirrul ‘Inayah (2)

Hikmah 183 dlm Al-Hikam:

إلى المشِيْـءَـةِ يَسْـتَـنِدُ كُلَّ شَىءٍ وَلاَ تَسْـتـنِدُ هِي الَى شَىءٍ

Segala sesuatu tergantung Kehendak-Nya, bukan Kehendak-Nya bergantung pada segala sesuatu.

Segala yg ada ini muncul karena kehendak Azali-Nya. Doa, amal ibadah, dan usaha tidak memiliki pengaruh apa pun pada munculnya keinginan hamba. Semua bergantung pada hukum Azali.

Lalu aturan kehambaan kita, adalah aturan yg harus dilakukan, yaitu berusaha, beramal ibadah, taat dan patuh dan senantiasa butuh kepada Allah Ta’ala sebagai perwujudan kepatuhan hamba kepada-Nya.

Namun, bila Allah Ta’ala menghendaki hamba-Nya untuk meraih anugerah-Nya, maka si hamba pun ditakdirkan untuk berikhtiar, patuh dan beramal shaleh serta ibadah yg benar, tetapi seluruh tindakan hamba itu tidak menjadi penyebab yg mengharuskan turunnya anugerah, namun amal ibadah dan kepatuhan itulah anugerah yg sesungguhnya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Setiap yg memiliki wujud bersandar kepada kehendak Allah karena kehendak Allah sudah ditetapkan sejak azali. Sementara itu, kehendak Allah tidak bergantung pada sesuatu yg memiliki wujud.

“Kehendak Allah” bermakna sesuatu yg diputuskan sejak azali dan padanya bergantung keinginan hamba yg sudah diketahui Allah karena permintaan hamba dengan doa dan amal shaleh tidak menjadi sebab yg mempengaruhi kehendak Allah itu.

Ungkapan Syaikh Ibnu Atha’illah di atas adalah ungkapan yg amat tepat. Di dalamnya terkandung isyarat adanya ketergantungan segala sesuatu pada putusan² azali dan di kesampingkannya sebab². Oleh karena itu, seorang hamba harus senantiasa melakukan ‘ubudiyah, merasa butuh kepada-Nya, dan mengabaikan pengaturan dan pilihan dirinya.

Syaikh Abu Bakar al-Wasithi berkata, “Sesungguhnya, Allah tidak mendekati seorang fakir karena kefakirannya dan tidak menjauhi seorang kaya karena kekayaannya. Allah tidak peduli dengan berbagai keadaan hamba untuk memberi atau menahan karunia-Nya. Sekiranya dunia dan akhirat dikerahkan untuk bisa sampai kepada-Nya, niscaya tidak akan membuatmu sampai kepada-Nya. Jika kau singkirkan keduanya pun, niscaya tidak akan memutus jalanmu kepada-Nya, tidak memutus jalan orang² yg mendekati-Nya tanpa sebab, dan tidak menjauhkan orang yg menjauhi-Nya tanpa sebab. Allah Ta’ala berfirman, “Barang siapa yg tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun,” (QS. An-Nur [24]: 40). Wallaahu a’lam

184. Lebih Utama Mana Antara Berdoa Atau Tidak (1)

Hikmah 184 dlm Al-Hikam:

“Lebih Utama Mana Antara Berdoa Atau Tidak”

رُبَّمَا دَلَّهُمُ الْأَدَبُ عَلَى تَرْ كِ الطَّلَبِ , اعْتِمَا دًا عَلَى قِسْمَتِهِ , وَاشْتِغَا لًا بِذِكْرِهِ عَنْ مَسْأَ لَتِهِ.

Terkadang, adab membuat orang² ‘Arif tidak meminta karena mereka telah bersandar kepada pembagian-Nya dan sibuk berdzikir mengingat-Nya sehingga lupa meminta kepada-Nya.

Ada sebagian ‘Arifin yg mereka terkadang terpaksa untuk tidak meminta, dan menyerah pada Allah dan hanya mengandalkan pembagian yg sudah ditetapkan Allah di zaman ‘azal.

Para ulama ada yg berbeda pendapat tentang lebih utama mana antara meminta/berdoa atau diam/tidak meminta.

Ada yg berpendapat: lebih utama berdoa, karena berdoa itu bagian dari ibadah, dan mengerjakan perkara yg disebut ibadah itu lebih utama daripada meninggalkannya.

Sebagian berpendapat: diam dan tidak berdoa dan merasa puas dan ridha dengan berlakunya hukum (qadha) itu lebih sempurna dan diridhai, karena sesuatu yg sudah dipilihkan Allah untuk kita itu lebih utama daripada pilihan kita.

Dan ada yg berpendapat: waktu itu berbeda-beda, adakalanya lebih utama berdoa dan adakalanya lebih baik diam, sebagaimana yg dikatakan Syaikh Abul Qasim Al-Qusyairi ra.

Apabila hati lebih condong kepada doa, maka lebih baik berdoa, dan apabila hati lebih condong diam, maka diam dan tidak berdoa lebih baik. Apabila hati lebih condong kepada ridha, dan puas dengan pembagian dan pilihan dari Allah, dan lebih memperbanyak dzikir itulah adab tata krama yg utama.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Maksudnya, orang ‘arif terkadang diliputi sikap pasrah dan tawakkal sehingga tidak mau meminta kepada Allah karena merasa cukup dengan pembagian dan ketetapan azali. Di antara orang yg kita lihat benar² meraih maqam ini adalah Syaikh Mushthafa Afandi At-Turki Al-Qasthimuni Al-Jarkasi.

Orang² berbeda pendapat, manakah yg lebih utama: berdoa kepada Allah ataukah hanya diam dan rela dengan pembagian-Nya? Di antara mereka ada yg berkata, “Doa lebih utama karena di dalam doa terkandung ibadah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., ‘Doa adalah inti ibadah.’ Melaksanakan sesuatu yg mengandung unsur ibadah lebih utama daripada meninggalkannya.”

Ada pula yg berpendapat bahwa diam dan pasrah terhadap hukum dan ketetapan Allah lebih utama dan lebih sempurna karena hal yg sudah dipilihkan Allah untukmu lebih baik daripada pilihanmu sendiri. Dalam hadits qudsi disebutkan, “Siapa yg dzikirnya kepada-Ku membuatnya sibuk sehingga tidak meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yg lebih baik daripada yg Ku berikan kepada orang yg meminta.”

Sebagian orang berkata, “Waktu itu bermacam-macam. Jika seseorang merasakan dorongan untuk berdoa di hatinya, seperti kelapangan dan kekhusyukan, doa baginya lebih utama. Namun, jika ia merasakan di hatinya dorongan untuk diam, seperti tidak khusyuk atau gelisah, diam baginya lebih baik. Apabila ia tidak mendapati dorongan apa pun di hatinya, berdoa ataupun tidak berdoa sama saja baginya. Namun, jika yg mendominasi kala itu adalah makrifat, diam lebih baik.”

Syaikh Ibnu Atha’illah menegaskan ucapannya tentang adab di atas dengan menyatakan bahwa terkadang adab itu terpelihara pada saat seseorang tidak meminta. Wallaahu a’lam

185. Lebih Utama Mana Antara Berdoa Atau Tidak (2)

Hikmah 185 dlm Al-Hikam:

إِ نَّمَا يُذَ كَّرُ مَنْ يَجُوْ زُ عَلَيْهِ الْإِغْفَا لُ، وَإِ نَّمَا يُنَبَّهُ مَنْ يُمْكِنُ مِنْهُ الْإِهْمَالُ.

Yg perlu di ingatkan adalah yg bisa lupa dan yg perlu ditegur adalah yg mungkin teledor.

Apakah mungkin Allah itu lupa? Kok harus di ingatkan dengan meminta. Dan apakah mungkin Allah itu teledor, sehingga tidak memperhatikan hamba-Nya? Itu tidak mungkin, dan itu muhal bagi Allah. Maka bagi para ‘Arif, meninggalkan meminta itu bagian dari adab tata krama kepada Allah.

Syaikh Abu Bakar Al-Wasithi ra. ketika diminta mendoakan muridnya, lalu ia berkata: ‘Aku khawatir jika aku berdoa, lalu ditanyakan kepadaku begini: ‘Jika engkau meminta kepada-Ku apa yg menjadi hakmu, berarti engkau curiga kepada-Ku, dan bila engkau meminta apa yg bukan menjadi hakmu, berarti engkau telah menyalahgunakan kewajibanmu untuk memuji kepada-Ku, dan bila kau ridha maka Aku akan menjalankan padamu apa yg sudah Aku tetapkan pada masa yg sudah lalu (zaman ‘Azal).’

Syaikh Abdullah bin Munazil berkata: ‘Sejak lima puluh tahun saya tidak pernah berdoa meminta kepada Allah, juga tidak ingin di doakan oleh orang lain. Sebab segala sesuatu berjalan menurut apa yg telah ditetapkan oleh Allah di zaman ‘azal, dan saya sudah merasa puas dengan itu.’

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Yg perlu di ingatkan dengan doa dan permintaan adalah yg bisa lupa dan tidak menyadari ada yg meminta. Yg perlu ditegur adalah yg mungkin teledor dan tidak teliti. Sifat lupa dan teledor ini amat mustahil bagi Allah. Oleh sebab itu, tidak meminta kepada Allah, menurut orang² ‘arif, adalah adab karena tanpa diminta dan di ingatkan pun Allah tidak akan lupa dan teledor. Wallaahu a’lam

186. Hari Rayanya Murid (1)

Hikmah 186 dlm Al-Hikam:

“Hari Rayanya Murid”

وُرُوْدُ الْفَاقَاتِ أَعْيَادُا لْمُرِيْدِيْنَ.

Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi para murid.

Seorang murid itu ketika kedatangan kesulitan, kefakiran, bala’, sehingga merasa rendah diri dihadapan Allah, itu adalah saat yg terbaik untuk mendapat belas kasih Allah, dan mempercepat tercapainya tujuan yaitu taqarrub kepada Allah. Sebagaimana diterangkan pada hikmah yg lalu bahwa dengan kefakiran, nafsu tidak dapat bagian apa², yakni dengan kefakiran itu sebagai kemenangan melawan hawa nafsu, sehingga saat yg demikian itu sebagai hari raya yg sangat menggembirakan, sebab tunduknya hawa nafsu, hilangnya rasa kesombongan, ujub atau besar diri.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Hari raya adalah hari di saat kebahagiaan meliputi seluruh orang. Bagi para murid, kesukaran adalah hari raya yg mendatangkan kebahagiaan. Para murid merasa bahagia dengan kesukaran karena kesukaran dapat mempercepat sampainya mereka kepada tujuan. Selain itu, di dalam kesukaran terkandung penghinaan dan pembatasan hawa nafsu. Orang² awam amat senang dengan kedatangan hari raya karena mereka bisa mendapatkan keinginan hawa nafsunya, berupa makanan lezat, pakaian baru, dan lain sebagainya. Wallaahu a’lam

187. Hari Rayanya Murid (2)

Hikmah 187 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا وَجَدْتَ مِنَ الْمَزِيْدِ فِي الْفَاقَا تِ مَا لَا تَجْدُ هُ فِي الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ.

Barangkali, pada saat sulit, kau mendapatkan tambahan karunia yg tidak kau temukan dalam puasa dan shalat.

Itu bisa terjadi sebab puasa dan shalat terkadang karena kesenangan dan kepentingan hawa nafsu, sehingga ibadahnya tidak bisa selamat dari afatnya ibadah seperti riya’, takabbur, ujub dan lain². Berbeda ketika dalam kondisi fakir, akan hilang kesenangan dan kepentingan hawa nafsu. Dan lagi hikmah ini bisa di artikan bahwa datangnya kefakiran, bala’ itu sebagai nikmat batin (samar).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Wahai murid, barangkali saat kau mengalami kesulitan, kau mendapatkan tambahan karunia berupa kesucian batin, cahaya, dan makrifat yg tidak kau dapatkan pada puasa dan shalat karena bisa jadi puasa dan shalat yg kau lakukan lebih didasari keinginan nafsumu dan keuntungannya.

Ibadah seperti ini adalah ibadah yg tidak terbebas dari kekurangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menyucikan hati. Di saat sulit, hawa nafsu dan syahwat tertahan. Oleh karena itu, saat sulit, karunia yg didapat seorang hamba lebih banyak daripada yg didapatnya dalam puasa dan shalat. Wallaahu a’lam

188. Hari Rayanya Murid (3)

Hikmah 188 dlm Al-Hikam:

اَلْفَاقَاتُ بُسُطُ الْمَوَاهِبِ.

Ragam ujian merupakan hamparan anugerah.

Dengan datangnya kefakiran, hakikatnya Allah mendudukkan kamu di hadapan-Nya, dan cukuplah bagi kamu apa yg ada dari macam² anugerah dari Allah.

Dan lagi apabila Allah akan memberi anugerah yg besar kepada hamba, akan tetapi amal ibadah lahiriahnya tidak mencukupi sebagai tebusan karunia Allah, maka Allah menguji padanya dengan bala’ sebagai tebusan berbagai dosa, kemudian diberikannya anugerah karunia dari Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ragam ujian seumpama hamparan permadani yg dipenuhi karunia dan pemberian Ilahi bagi yg duduk di atasnya. Sebagaimana halnya orang yg duduk di atas permadani raja, ia tentu akan mendapatkan kenikmatan yg diberikan raja kepadanya.

Ujian yg berupa kesulitan membuatmu selalu hadir bersama Tuhanmu dan mendudukkanmu di permadani ketulusan. Pada saat hadir itulah, kau akan diberi karunia Rabbani dan hembusan kasih sayang-Nya. Wallaahu a’lam

189. Hari Rayanya Murid (4)

Hikmah 189 dlm Al-Hikam:

إِ نْ أَرَدْتَ وُرُوْدَ الْمَوَاهِبِ عَلَيْكَ, صَحِّحِ الْفَقْرَ وَالْفَاقَةَ لَدَيْكَ (إِنَّمَا الصَّدَقَا تُ لِلْفُقَرَاءِ)

Jika kau mengharapkan datangnya karunia, luruskan rasa papa dan butuh pada dirimu karena “Sedekah hanya diberikan kepada mereka yg fakir (butuh).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Jika kau ingin mendapatkan karunia Allah, luruskan rasa miskin dan butuh pada dirimu. Caranya adalah dengan mewujudkan keduanya pada dirimu secara total sehingga kau tidak lagi membutuhkan selain-Nya dengan cara apa pun. Saat itulah, karunia Ilahi akan datang kepadamu. Ini sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya zakat² itu hanyalah untuk orang² fakir…, ” (QS. At-Taubah [9]: 60)

Wallaahu a’lam

190. Hari Rayanya Murid (5)

Hikmah 190 dlm Al-Hikam:

تَحَقَّقْ بِأَوْصَا فِكَ يُمِدُّ كَ بِأَوْصَافِهِ, تَحَقَّقْ بِذَ لِكَ يَمُدُّ كَ بِعِزِّ هِ. تَحَقَّقْ بِعَجْزِكَ يَمُدُّ كَ بِقُدْرَتِهِ , تَحَقَّقْ بِضَعْفِكَ يَمُدُّكَ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ.

Tampakkan sifat²mu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat²Nya. Tampakkan kehinaanmu, niscaya Dia membantu dengan kemuliaan-Nya. Tampakkan kelemahanmu, niscaya Dia membantu dengan kekuasaan-Nya. Tanpakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantu dengan daya dan kekuatan-Nya.

Hikmah ini mengajarkan kepada kita supaya menempati posisi kita yg semestinya, yaitu sebagai hamba, yg mempunyai sifat asli yaitu: fakir, kurang, lemah, hina, dan bodoh. Apabila kita mengakui dan memposisikan diri sebagai hamba, niscaya Allah akan menolong kita, memberi kemudahan dan karunia-Nya kepada kita. Dan ketika Allah memberikan kekayaan, kemuliaan, kekuasaan dan kekuatan, kita akan sadar dan merasa bahwa itu semua dari Allah, bukan dari diri sendiri, dan bukan dari selain Allah. Itulah tauhid yg murni, yg tidak ada tuhan, tidak ada daya kekuatan, melainkan Allah, dan semata-mata bantuan dan pertolongan-Nya, tanpa ada perantara dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Sebaliknya apabila kita tidak mau menempati kedudukan kita sebagai hamba, dan lupa akan sifat kehambaan, yg akan menjadikan murka Allah, dan menyaingi sifat² Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Tunjukkan sifat²mu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat²Nya. Wujudkan sifat kehinaanmu, niscaya Dia akan memberimu kemuliaan-Nya sehingga kau akan menjadi mulia, bukan dengan dirimu sendiri. Wujudkan sifat kelemahanmu, niscaya Dia akan membantumu dengan kekuatan-Nya sehingga kau mampu berbuat apa saja, bukan dengan dirimu sendiri. Tampakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantumu dengan kekuatan dan daya-Nya sehingga kau menjadi kuat dengan kekuatan-Nya, bukan dengan kekuatan dirimu sendiri.

Demikian pula jika kau tampakkan kebutuhan dan kemiskinanmu, Dia akan membantumu dengan kekayaan-Nya. Seandainya kau duduk di permadani kehinaan, lalu kau katakan, “Wahai Yang Maha Mulia, siapa lagi yg memberi kemuliaan kepada yg hina selain diri-Mu?” kau duduk di permadani kelemahan, lalu kau katakan, “Wahai Yang Maha Kuasa, siapa yg memberi kuasa kepada yg lemah selain diri-Mu?” kau duduk di atas permadani ketidakberdayaan, lalu kau katakan, “Wahai Yang Maha Kuat, siapa yg memberi kekuatan kepada yg lemah selain Diri-Mu?” kau duduk di permadani kemiskinan dan kesulitan sambil berkata, “Wahai Yang Maha Kaya, siapa yg memberi kekayaan kepada orang yg miskin selain diri-Mu?” niscaya kau akan mendapatkan jawaban seakan jawaban itu datang berdasarkan kehendak dan keinginanmu. Wallaahu a’lam

191. Hakikat Karamah

Hikmah 191 dlm Al-Hikam:

“Hakikat Karamah”

رُبَّما رُزِقَ الكرَامة َمن لم تَكـْمُلْ لهُ الاِسْتِقَامةُ

Bisa jadi, karamah diberikan kepada orang yg belum benar beristiqamah.

Seorang murid sebaiknya tidak mengharapkan karamah, dan tidak tertipu dengan munculnya karamah pada dirinya. Karena keistimewaan yg diberikan pada murid yg belum sempurna istiqamahnya, bisa jadi hanya berupa ma’unah, atau bahkan istidraj. Karena hakikat karamah itu ialah Istiqamah. Dan kesempurnaan istiqamah itu ada pada dua perkara yaitu: sungguh²nya iman, dan benar² mengikuti apa yg di ajarkan Rasulullah Saw. secara lahir batin.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Tiap kekeramatan yg tidak disertai keridhaan terhadap Allah, berarti orang itu tertipu dan akan binasa.”

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Bukannya kebesaran (karamah) itu bagi orang yg bisa melipat dunia ini sehingga dalam satu detik bisa sampai ke Mekkah dan negara lain². Tetapi kebesaran itu ialah orang yg dilipatkan baginya sifat² hawa nafsunya, sehingga ia langsung di sisi Tuhannya.”

Syaikh Sahl bin Abdullah ra. berkata: “Sebesar-besar karamah yaitu berubahnya akhlaq yg jelek menjadi akhlaq yg baik. Dan ada yg mengatakan: kamu jangan heran dengan seseorang yg tidak menaruh apa² dalam sakunya, tetapi ketika ia ingin sesuatu dimasukkan tangannya dalam sakunya dan mendapat apa yg di inginkan. Tapi kamu boleh heran dengan seseorang yg menaruh apa² dalam sakunya, ketika ia ingin sesuatu dimasukkan tangannya dalam saku dan tidak mendapat apa², dan tidak berubah imannya kepada Allah.”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami ra. berkata: “Andaikata ada orang berjalan diatas air, atau duduk di udara, maka jangan kau tertipu olehnya sehingga kau perhatikan ia, bagaimana terhadap perintah dan larangan Allah dan Rasulullah Saw. Sebab setan dapat bergerak dari timur ke barat dalam sekejap mata, dan dia tetap dilaknat (terkutuk).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bisa jadi, karamah atau perkara luar biasa diberikan kepada orang² yg belum sempurna istiqamahnya. Oleh sebab itu, seorang murid tidak layak mempedulikannya dan mengharap kemunculannya. Mungkin, keistimewaan yg diberikan tersebut hanyalah pertolongan, bukan karamah sebenarnya. Karamah sebenarnya adalah kesempurnaan istiqamah. Sumbernya ada dua: kebenaran iman kepada Allah dan pelaksanaan terhadap apa yg dibawa Rasulullah Saw. secara lahir maupun batin.

Oleh karena itu, yg wajib bagi seorang murid adalah tidak mempedulikan dan mengharap, kecuali dua hal itu. Ia tidak boleh memiliki tekad lain, kecuali untuk meraihnya. Adapun karamah, yg berarti kemampuan luar biasa, tak pernah dibincangkan oleh para muhaqqiq. Wallaahu a’lam

192. Tanda² Kedudukan/Maqam

Hikmah 192 dlm Al-Hikam:

“Tanda² Kedudukan/Maqam”

مِنْ عَلَا مَا تِ إِقَا مَةِ الْحَقِّ لَكَ فِي الشَّيْءِ إِقَامَتُهُ إِيَّاكَ فِيْهِ مَعَ حُصُوْ لِ النَّتَائِجِ.

Di antara tanda Dia menempatkanmu pada satu kedudukan adalah ketika Dia menempatkanmu di dalamnya disertai buah yg nyata.

Sebagaimana sudah dijelaskan pada hikmah kedua tentang maqam tajrid dan maqam kasab, hikmah ini kembali menerangkan tentang tanda² orang yg berada di salah satu maqam tersebut.

Tanda orang yg di maqam tajrid yaitu:
Apabila Allah memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yg tidak disangka-sangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban².

Tanda orang yg berada di maqam kasab yaitu:
Apabila Allah memudahkan kamu dalam usaha/bekerja mencari ma’isyah, dan dalam bekerja itu bisa selamat agamamu (ibadahmu).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Di antara tanda bahwa Allah menempatkanmu dalam satu keadaan, antara bekerja atau menyucikan diri dengan ibadah, adalah ketika Dia memudahkanmu untuk mendapatkan sebab²nya dan melestarikanmu di sana. Dia menempatkanmu di sana dengan memberimu buah yg nyata dari perbuatanmu itu, seperti selamatnya agama atau adanya keuntungan dari hasil pekerjaanmu. Wallaahu a’lam

193. Tarekat Ahli Taklif (Sekadar Melaksanakan Kewajiban) dan Ahli Ta’rif (Berupaya Mengenal Allah) (1)

Hikmah 193 dlm Al-Hikam:

“Tarekat Ahli Taklif (Sekadar Melaksanakan Kewajiban) dan Ahli Ta’rif (Berupaya Mengenal Allah)”

من عَبَّرَ مِن بِساطِ احْسانِه اصْمَتـَتْهُ الاِساءةُ ومنْ عَبَّرَ مِن بِساطِاِحْساَنِ اللهِ اليهِ لم يَصْمُتْ اذاأساءَ

Siapa yg berbicara (mengajar) karena memandang kebaikan dirinya, ia akan berhenti ketika berbuat salah. Namun, siapa yg berbicara karena memandang anugerah Allah padanya, ia tidak akan berhenti ketika berbuat salah.

Hikmah ini menerangkan tentang orang yg mengajar/memberi nasihat tentang kebaikan dengan merasa bahwa dirinya sudah baik, dan merasa bahwa keterangannya itu hasil dari kebaikannya sendiri (yakni dia masih memandang dirinya sendiri), maka bila suatu saat dia tergelincir dalam dosa, dia akan merasa malu untuk memberi nasihat/mengajar orang lain, akan tetapi bila ia ketika memberi nasihat/mengajarkan ilmu pada orang lain itu hanya memandang bahwa ilmunya itu karunia dari Allah, ia tidak memandang dirinya, maka dia tidak merasa malu untuk menerangkan ilmu/memberi nasihat jika suatu saat ia tergelincir dalam dosa. Sebab berbuat kebaikan itu hanya semata-mata karunia dari Allah.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Manusia itu terbagi menjadi tiga golongan. Pertama: golongan yg selalu memperhatikan apa² yg dari dirinya kepada Allah. kedua: Golongan yg selalu hanya ingat pemberian dan karunia dari Allah kepda dirinya. Ketiga: Golongan yg hanya memandang bahwa semua dari Allah kembali pada Allah.”

Golongan pertama: selalu memikirkan kekurangan diri dalam menunaikan kewajibannya, sehingga selalu berduka cita.

Golongan kedua: selalu melihat semua itu adalah karunia dari Allah, maka ia selalu gembira.

Dan golongan ketiga: telah lupa pada dirinya sendiri, hanya teringat bahwa semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah, maka semua terserah Allah.

Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili ra. berkata: “Pada suatu malam saya membaca surat Qul-a’udzu birobbinnas hingga akhir surat. Tiba² terasa bagiku bahwa: Syarril was-waasil-khonnaas, yg berbisik dalam hati itu ialah yg menyusup antara kau dengan Allah, untuk melupakan engkau dari karunia² Allah, yg halus dan samar, dan mengingatkan engkau pada perbuatan²mu yg jahat/dosa. Tujuannya untuk membelokkan engkau dari khusnudzan kepada su’udzan terhadap Allah. Maka waspadalah.”

Beliau juga berkata: “Seorang ‘Arif itu ialah seorang yg telah mengetahui rahasia² karunia Allah di dalam berbagai macam ujian bala’ yg menimpanya sehari-hari. Dan juga menyadari/mengakui kesalahan²nya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.”

Beliau berkata lagi: “Sedikitnya amal dengan mengakui karunia Allah, itu lebih baik dari banyaknya amal dengan merasa kekurangan diri sendiri. Yakni seolah-olah mempunyai kekuatan sendiri untuk bikin baik, hanya sekarang belum baik, sehingga ia selalu berduka cita memikirkan bagaimana ia dapatnya lebih baik. Padahal seharusnya ia menyerah dan hanya meminta kepada Allah saja.”

Sebab jika Allah belum memberi maka tetap tidak ada perubahan pada dirinya, berdasarkan pengertian ayat:

وَمنْ يَتَوكـَّلْ عَلى اللهِ فـَهُوَ حَسْبُهُ

Dan siapa yg berserah diri kepada Allah, maka Allah sendiri yg akan mencukupi/ melengkapi kekurangannya.

لاحَوْل ولاقُوَّة َالا بِاللهِ

Dan tiada daya upaya atau kekuatan, kecuali atas bantuan dan pertolongan Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Siapa yg berbicara tentang ilmu satu kaum dan memberitahukannya kepada murid karena memandang kebaikan dirinya atau karena melihat bahwa ungkapannya tentang ilmu itu bersumber dari kebaikan atau amal shalehnya, ia akan berhenti ketika berbuat salah. Ia akan berhenti bicara ketika ia bermaksiat karena malu dengan maksiatnya. Penyebabnya adalah karena ia memandang kebaikan dirinya saat berbicara. Saat kebaikan diri itu hilang, bicaranya pun terhenti.

Namun, siapa yg berbicara karena memandang hamparan kebaikan Allah atau memandang bahwa ungkapan dan pemberitahuannya tentang ilmu itu bersumber dari kebaikan Allah dan tidak memandang diri sendiri, ia tidak akan diam ketika berbuat salah. Ia tidak akan berhenti bicara ketika ia melakukan maksiat. Hal itu dikarenakan sikapnya yg tidak memandang diri sendiri dan hanya melihat keesaan dan kekuasaan Tuhannya, membuatnya berani untuk terus bicara. Wallaahu a’lam

194. Tarekat Ahli Taklif (Sekadar Melaksanakan Kewajiban) dan Ahli Ta’rif (Berupaya Mengenal Allah) (2)

Hikmah 194 dlm Al-Hikam:

تَسْبِقُ أَنْوَارُ الْحُكَمَا ءِ أَقْوَا لَهُمْ، فَحَيْثُمَا صَا رَ التَّنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ.

Cahaya orang bijak mendahului ucapan mereka. Ketika cahaya terpancar, nasihat itu pun akan sampai.

Ulama’ ahli hikmah (ahli makrifat) itu bila memberikan nasihat/keterangan akan bisa diterima oleh hati orang yg mendengarkan, sebagaimana tanah yg tandus dan mati yg disirami dengan air hujan yg lebat, lalu orang yg mendengar bisa mengambil manfaat dari nasihatnya, itu semua dikarenakan mereka (‘arifin) selalu berhubungan dengan Allah, dan minta taufiq dan hidayah dari Allah, dan hanya Allah yg mengatur kalimat yg keluar dari perkataannya, dan Allah yg mengatur pendengaran orang yg mendengarkan.

Rasulullah Saw. bersabda:

رأ ْسُ الحِكمةِ مَخافَةاللهِ

Pokok dari segala hikmah itu ialah takut kepada Allah.

Ulama’ yg tidak takut kepada Allah, adalah ulama’ suu’ (penipu umat). Siapa yg bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayah imannya, maka tidak bertambah dekatnya kepada Allah, bahkan bertambah jauh.

Allah Ta’ala berfirman:

إنَّماَ يَخْشىَ اللهَ مِنْ عِباَدهِ العُلماءُ

“Sesungguhnya yg benar² takut kepada Allah hanyalah para ulama’.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Cahaya orang² bijak atau ‘arif yg mengenal Allah mendahului ucapan mereka. Cahaya orang² ‘arif maksudnya adalah cahaya makrifat mereka, yaitu kekuatan keyakinan mereka bahwa semua perkara ada di tangan Allah dan tiada sekutu bagi-Nya. Jika mereka ingin membimbing seorang hamba Allah dan memberi nasihat kepadanya dengan izin Allah, mereka segera menghadap Allah dan meminta bantuan-Nya untuk mengatur hati hamba itu supaya siap menerima apa yg di nasihatkan kepada mereka. Saat itulah, dari kalbu orang² ‘arif itu akan keluar cahaya yg bersumber dari batin mereka dan sampai ke hati hamba tersebut.

Ketika cahaya masuk ke dalam hati hamba Allah yg ingin di nasihatinya, nasihat dan ungkapan mereka akan mudah diterima oleh hatinya, seumpama bumi tandus yg menerima curah hujan. Dengan begitu, ia akan mendapatkan manfaat yg sempurna dari mereka. Wallaahu a’lam

195. Ucapan Dari Hati yang Bersih akan Menorehkan Kesan yang Dalam

Hikmah 195 dlm Al-Hikam:

“Ucapan Dari Hati Yang Bersih Akan Menorehkan Kesan Yang Dalam”

كُلُّ كَلَا مٍ يَبْرُ زُ وَعَلَيْهِ كِسْوَةُ الْقَلْبِ الَّذِي مِنْهُ بَرَزَ.

Setiap ungkapan yg terucap dibungkus oleh corak kalbu yg menjadi tempat keluarnya.

Jadi apabila hati bersinar nurnya, maka perkataannya pasti membawa nur juga, sehingga bisa diterima oleh hati orang yg mendengarkannya, berbeda dengan orang yg hanya mengaku-ngaku (ahli hikmah), perkataan yg keluar itu membawa kegelapan, yakni tidak bisa di ambil manfaatnya (masuk telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri).

Dan lagi tiap² tempat (wadah) itu pasti akan mengeluarkan yg terisi di dalamnya, sebagai contoh: gelas atau lainnya yg terisi kopi, itu pasti yg dikeluarkan juga kopi, tidak mungkin air putih.

Ada seseorang yg berkata: “Mengapa sekarang hati orang² tidak bisa khusyu’ dan matanya tidak bisa mencucurkan air mata?” Maka di jawab oleh Syaikh Muhammad bin Wasi’: “Kemungkinan yg demikian itu penyebabnya dari kamu sendiri, sebab bila nasihat itu keluar dari hati yg ikhlas pasti masuk ke dalam hati juga. Sebaliknya kalau hanya berupa kata² di lidah dan fantasi belaka, maka ia akan masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.”

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Keadaan hamba itu hanya ada empat macam: nikmat, bala’, taat, maksiat. Maka jika di dalam nikmat, kewajiban hamba bersyukur kepada Allah, dan jika menerima bala’ maka hamba harus bersabar, dan jika dapat melakukan taat harus merasa itu taufiq dan hidayah dari Allah, dan bila tergelincir dalam dosa/ maksiat maka harus meminta ampun (beristighfar).”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Setiap ungkapan yg terucap akan dibungkus oleh pakaian hati. Jika hati bersinar oleh cahaya, setiap ucapan yg keluar akan dibungkus oleh cahaya itu sehingga semua pendengaran tidak akan menolaknya dan seluruh hati tidak mengingkarinya. Pakaian yg membungkus ungkapan itulah cahaya yg keluar dari hati.

Ucapan orang bijak muncul dengan dibungkus oleh cahaya sehingga hati manusia yg tertutup akan terbuka dan mereka dengan mudah menerima seruannya. Sebaliknya, ucapan orang² yg mengaku bijak disertai kegelapan, sehingga tak seorang pun yg mengambil manfaat darinya. Manfaat bisa saja di dapat hanya dari isi ucapannya, bukan dari siapa yg mengucapkannya, karena Allah menguatkan agama kita ini dengan ucapan seorang lelaki yg durjana sekalipun. Wallaahu a’lam

196. Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia yang Disembunyikannya (1)

Hikmah 196 dlm Al-Hikam:

“Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia Yang Disembunyikannya”

مَنْ أُذِنَ لَهُ فِي التَّعْبِيْرِ فُهِمَتْ فِي مَسَا مِعِ الْخَلْقِ عِبَارَتُهُ وَجُلِّيَتْ إِلَيْهِمْ إِشَارَتُهُ.

Barang siapa sudah mendapat izin dari Allah untuk mengajar (menerangkan ilmu makrifat), maka keterangannya itu bisa difahami oleh pendengarnya, dan isyarat petunjuknya bisa diterima dengan jelas.

Maksud dari orang yg sudah mendapat izin dari Allah yaitu: orang yg mengajar/memberi nasihat itu Lillahi (karena Allah) wa Billahi (dan sebab bantuan/pertolongan Allah, wa Fillahi (dalam tuntunan hukum Allah).

Syaikh Abul Qasim Junayd al-Baghdadi ra. berkata: “Kalimat/perkataan yg benar itu hanya yg di ucapkan setelah mendapat izin, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لاَيَتَكَـلمُونَ إلاَّ من اَذِنَ لَهُ الرّ َحمٰنُ وَقَالَ صَواَباً

“Mereka tidak berkata-kata, kecuali yg di izinkan oleh Ar-Rahman (Allah) dan berkata dengan benar.”

Syaikh Hamdun bin Ahmad bin Umarah al-Qasshar ra. ketika ditanya: “Mengapa kata² orang dahulu jauh lebih berguna dari ajaran kita ini?” Jawabnya: “Karena mereka bicara/berkata untuk kemuliaan Islam, dan keselamatan jiwa dan untuk mendapat keridhaan Allah. Sedangkan kita bicara untuk kemuliaan diri, dan mencari dunia, dan keridhaan penerima/pendengar (makhluk).

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Orang ‘Arif yg di izinkan berbicara tentang hakikat-makrifat, yaitu berupa ilmu² yg diberikan Allah tanpa perantara, maka penjelasannya akan mudah dipahami. Tanda seorang ‘arif di izinkan berbicara ialah, ia merasa mudah mengungkapkan apa yg ingin di ungkapkannya tanpa perlu bersusah payah. Lidahnya lancar mengungkap kata² tentang ilmu² itu. Ia juga mendapatkan dorongan kuat untuk mengungkapkan ilmu² itu tanpa kekurangan dalam berbicara.

Tanda lainnya yg bisa dilihat ialah, penjelasannya mudah dipahami dan amat jelas sehingga tidak perlu di ulang². Keterangannya lebih lembut daripada ungkapan yg biasa digunakan ahli tarekat dalam memberitakan tentang ilmu² batin dan hakikat makrifat. Lain halnya dengan orang yg tidak di izinkan berbicara. Wallaahu a’lam

197. Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia yang Disembunyikannya (2)

Hikmah 197 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا بَرَزَتِ الْحَقَائِقُ مَكْسُوْ فَةَ الْأَ نْوَارِ إِذَالَمْ يُؤْذَنْ لَكَ فِيْهَا بِإِظْهَارِ.

Bisa jadi cahaya hakikat meredup apabila kau belum diberi izin untuk menampakkannya.

Yg dimaksud ilmu hakikat disini yaitu ilmu yg berhubungan dengan makrifatullah.

Barang siapa yg belum sempurna sifat²nya, dan belum mendapat izin untuk menerangkan hakikat, dan bila ia menerangkannya pasti akan terlihat suram cahayanya, karena keluar dari lisan yg masih tertutupi kegelapan yaitu selain Allah. Dan ia sendiri masih diliputi sesuatu yg berlawanan dengan hakikat itu, yg akibatnya orang yg mendengarkan tidak faham dan bahkan yg mendengar akan ingkar dan menolak.

Syaikh Abul Abbas al-Mursyi ra. berkata: “Seorang Wali itu lebih dahulu telah dipenuhi oleh ilmu dan pemahaman makrifat, sehingga hakikat itu menjadi keyakinan dan terlihat terang baginya. Karena itu jika mengeluarkan kalimat/perkataan seolah-olah mendapat izin dari Allah, dan kalimat/perkataan yg dikeluarkannya itu berhias keindahan yg bukan buatan, maka langsung diterima oleh pendengarnya.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Apabila kau tidak diberi izin untuk menampakkan hakikat, bisa jadi hakikat yg berupa ilmu dan makrifat itu akan meredup dan diselimuti kegelapan akibat pandanganmu terhadap kebendaan. Akibatnya, telinga para pendengar akan menolaknya dan hati mereka mengingkarinya.

Syaikh Abul Al-Abbas al-Mursyi ra. berkata, “Ucapan orang yg diberi izin untuk berbicara diselimuti keindahan, sedangkan ucapan orang yg tidak diberi izin bercahaya redup. Jika kedua orang itu berbicara tentang satu hakikat, ucapan orang yg pertama diterima, sedangkan ucapan orang yg kedua ditolak.” Wallaahu a’lam

198. Orang yang Berbicara Karena Allah Akan Mudah Dipahami, Dan Orang Yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri Akan Terkuak Rahasia yang Disembunyikannya (3)

Hikmah 198 dlm Al-Hikam:

عِبَارَاتُهُمْ إِمَّا لِفَيَضَا نِ وَجْدٍ أَوْلِقَصْدِ هِدَ ايَةِ مُرِيْدٍ, فَا لْأَوَّل ُحَالُ السَّالِكِيْنَ وَالثَّانِي حَا لُ أَرْبَابِ الْمَكِنَةِ وَالْمُحَقِّقِيْنَ.

Kata²/keterangan orang yg menerangkan (ilmu makrifat), itu ada kalanya muncul karena luapan perasaan dalam hatinya yg tidak dapat ditahan, atau karena tujuan memberi petunjuk pada murid. Yg pertama itu hal keadaan seorang salik, sedang yg kedua hal keadaan orang yg sudah matang dan mendalam dalam makrifatnya kepada Allah (ahli tahqiq).

Jika seorang salik (berjalan menuju Allah), itu berkata-kata/menerangkan ilmu makrifat, yg bukan karena luapan apa yg dirasakan dalam hatinya, berarti ia hanya merupakan pengakuan yg palsu belaka, demikian pula orang yg mendalam ilmu makrifatnya, jika bicara tidak untuk memberi petunjuk kepada murid, berarti ia telah membuka rahasia yg tidak di izinkan. Yg seharusnya ia diam tidak bicara sebab ia selalu dalam adab terhadap Allah.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ungkapan para peniti jalan Allah tentang ilmu dan makrifat yg mereka temukan dalam batin mereka bisa jadi keluar karena luapan perasaan yg mereka alami di dalam hati. Mungkin, hati mereka sempit sehingga tanpa mereka sadari, dari sana mengalir dengan deras apa yg bersemayam di dalamnya. Persis seperti sebuah bejana kecil yg dipenuhi air, tentu air itu akan tumpah ruah keluar. Bisa jadi juga, ungkapan itu keluar karena mereka ingin memberikan petunjuk kepada murid. Walaupun hati mereka luas, mungkin mereka akan menahan isinya sehingga tak satu pun yg keluar dari hati itu.

Kondisi pertama adalah kondisi yg dialami seorang salik atau orang yg baru mulai meniti jalan menuju Allah. Di sini mereka tidak diberi izin untuk mengungkapkan isi hatinya karena mereka masih dikuasai luapan perasaan. Sementara itu, yg kedua adalah kondisi para muhaqqiq atau orang yg sudah sampai kepada Allah. Mereka diberi izin untuk mengungkapkannya karena ungkapan mereka mengandung bimbingan dan hidayah bagi orang lain.

Jika seorang salik mengungkapkan isi hatinya tanpa dikuasai perasaan, ungkapannya itu sama saja dengan sebentuk pengakuan. Jika seorang muhaqqiq mengungkapkannya tanpa niat memberi hidayah kepada murid, tindakannya itu sama dengan menyebarkan rahasia terlarang. Seorang muhaqqiq harus bersikap diam tak banyak bicara karena ia sedang berada di hadirat Allah, menerima yg datang ke dalam hatinya, berupa keajaiban ilmu dan pemahaman. Wallaahu a’lam

199. Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain (1)

Hikmah 199 dlm Al-Hikam:

“Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain”

الْعِبَا رَتُ قُوْتٌ لِعَا ئِلَةِ الْمُسْتَمِعِيْنَ , وَلَيْسَ لَكَ إِلَّا مَا أَنْتَ لَهُ آ كِلٌ.

Keterangan (kata² yg berhubungan dengan ilmu makrifat), itu bagaikan makanan bagi yg mendengarkan (membutuhkannya), dan engkau tidak mendapat apa² kecuali apa yg engkau makan.

Pada kenyataan lahir bahwa warna dan bentuk makanan itu bermacam-macam (berbeda-beda), dan makanan yg cocok dengan seseorang kadang tidak cocok bagi yg lainnya karena bedanya watak dan selera, dan makanan itu yg berguna bagi tiap² orang itu hanya yg dimakan. Begitu juga makanan yg bangsa maknawi, yg difahami dari ilmu makrifat itu juga berbeda-beda. Apa yg cocok dengan seseorang kadang tidak cocok untuk orang lainnya, sehingga suatu keterangan yg disampaikan kepada orang banyak/jama’ah, itu terkadang berbeda juga pemahaman satu dengan yg lainnya, itu karena berbeda tujuannya.

Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi ra. berkata: “Pada suatu hari kami mendapat undangan dari teman di Zuqoqil-qonadil di Mesir, dan disitu bertemu dengan Guru², dan setelah hidangan dikeluarkan, disitu ada satu wadah dipakai untuk tempat kencing, tetapi karena sudah tidak terpakai lagi, maka dipakai juga untuk tempat makanan, maka setelah selesai orang² makan tiba² wadah itu berkata: ‘Karena kini aku telah mendapat kehormatan dari Allah untuk tempat makanan Guru² ini maka mulai saat ini aku tidak rela dipakai tempat kotoran.’ Kemudian ia terbelah menjadi dua.”

Syaikh Ibnu Arabi bertanya kepada hadirin semua: “Apakah kalian semua telah mendengar?” Jawab mereka: “Ya, kami mendengar. Ia berkata, ‘Sejak aku dipakai tempat makanan Guru², maka aku tidak mau menjadi tempat kotoran lagi.’”

Syaikh Ibnu Arabi berkata: “Tidak begitu katanya.” Para hadirin bertanya: “Lalu ia berkata apa?” Jawab Syaikh Ibnu Arabi: “Demikian pula hatimu setelah mendapat kehormatan dari Allah dijadikan tempat Iman, maka janganlah rela ditempati najis², syirik, maksiat dan cinta dunia.”

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Ungkapan yg diucapkan oleh ahli tarekat tentang ilmu dan makrifat adalah makanan ruh bagi para pendengarnya atau mereka yg membutuhkan nasihat dan hikmah, persis seperti makanan yg dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Apa yg kau peroleh tak lain adalah apa yg telah kau makan. Tidak setiap orang cocok dengan satu makanan tertentu karena perbedaan kebiasaan dan kesukaan. Demikian pula dengan makanan ruh, makanan ruh untuk seseorang belum tentu cocok untuk orang lain karena perbedaan kecenderungan dan keinginan mereka masing².

Bahkan, terkadang satu ungkapan yg dilontarkan kepada satu kelompok pun, tiap² anggota kelompok itu akan berbeda dalam memahaminya dengan yg dipahami anggota lainnya. Mungkin sebagian orang ada yg memahami sebuah ucapan dengan makna yg berbeda dengan yg di inginkan si pembicara, namun batinnya terpengaruh oleh hal itu secara menakjubkan. Wallaahu a’lam

200. Hikmah dan Nasihat adalah Makanan Hati yang Berbeda Rasa dan Porsinya dari Satu Orang ke Orang Lain (2)

Hikmah 200 dlm Al-Hikam:

رُبَّمَا عَبَّرَ عَنِ الْمَقَا مِ مَنِ اسْتَشْرَفَ عَلَيْهِ, وَرُبَّمَا عَبَّرَ عَنْهُ مَنْ وَصَلَ إِلَيْهِ, وَذَلِكَ مُلْتَبِسٌ إِلَّا عَلَى صَا حِبِ بَصِيْرَةٍ.

Bisa jadi, yg menjelaskan perihal maqam adalah orang yg belum sampai kesana. Bisa jadi pula, yg menjelaskannya adalah orang yg telah sampai kesana. Semuanya samar, kecuali bagi orang yg memiliki ketajaman bashirah/mata hati.

Hikmah ini sebagai lanjutan hikmah ke sebelumnya, yg perlu kita perhatikan, ada orang yg menerangkan suatu maqam karena mengambil dari keterangan kitab, atau menghafal kata² para ulama’ shufiyyah, lalu diterangkan pada orang lain. Berbeda dengan orang² yg sudah sampai pada maqam itu, yg berbicara tentang maqam itu biasa saja, seperti berbicara tentang lainnya.

Syarah Syaikh Abdullah asy-Syarqawi:

Bisa jadi, orang yg menjelaskan perihal maqam, seperti maqam zuhud, maqam wara’, dan maqam tawakkal, adalah orang yg belum sampai ke maqam tersebut, bisa jadi pula orang yg memang sudah sampai. Kedua kondisi itu amat sulit dibedakan, kecuali oleh orang yg memiliki bashirah/mata hati karena ia mampu melihat gambaran batin seseorang.

Orang yg belum mencapai maqam biasanya senang membicarakan maqam. la menganggapnya sebagai sesuatu yg luar biasa. Ia juga merasa dirinya hebat karena sebentar lagi akan sampai kesana. Lain halnya dengan orang yg sudah mencapai maqam. Ia membicarakan maqam-nya dengan biasa² saja, seperti berbicara tentang hal lain.

Mungkin juga, orang yg menjelaskan perihal maqam ini adalah orang yg menukilnya dari sebuah kitab sembari menjaga ahwal-nya dari kebiasaan bicara orang² sehingga tak heran jika akhirnya ia dianggap sebagai orang yg sudah mendapatkan maqam itu. Untuk mengenali orang seperti ini, kita harus menerapkan kaidah² ilmu. Jika ia selalu banyak menjawab, cenderung fanatik dan egois, berarti ia hanya seorang pendusta yg mengaku-aku telah mendapatkan sebuah maqam. Wallaahu a’lam

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?