- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Index

Sabilus Salikin (Jilid 2)

Ensiklopedia 30 Thariqah

Author

Tim Ponpes Ngalah Pasuruan

Reading Time

298 Minutes

Share

Facebook
WhatsApp

Index

94. Cara Mursyid Mentalqin Masuk Tarekat Khalwatiyah

Tata cara mursyid mentalqin atau mengajarkan/memahamkan/membimbing murid-murid yang akan masuk ke dalam Tarekat Khalwatiyah adalah sebagai berikut:

  1. Mursyid membaca ta’awudz sambil menggenggam ibu jari murid
  2. Mursyid memerintahkan murid memejamkan kedua mata
  3. Mursyid berkata “Dengarkan ucapanku: لا اله الا الله” sementara murid diam sampai mursyid menyelesaikan ucapannnya, lalu murid menirukannya tiga kali sementara mursyid diam dan mendengarkan
  4. Mursyid membaca al-Fatihah satu kali untuk mendo’akan keadaan hati murid
  5. Mursyid membaca al-Fatihah satu kali dihadiahkan untuk Nabi Muhammad SAW..
  6. Mursyid membaca al-Fatihah satu kali dihadiahkan kepada syaikh ahli silsilah Tarekat Khalwatiyah
  7. Mursyid memerintahkan murid untuk bertaubat, memperbanyak zikir secara terus-menerus
  8. Mursyid memerintahkan murid untuk melakukan zikir fida’ (Zikir Fida’ adalah zikir dangan kalimat tahlil dengan hitungan 70 ribu kali dengan tujuan untuk menebus diri sendiri atau orang lain dari siksa api neraka) untuk dirinya sendiri sejumlah 70 ribu kali, kemudian membaca do’a:

اللهم ان هذه السبعين ألفا نويت بها فداء نفسي من النار

Ya Allah zikir fida’ 70 ribu ini, aku niatkan untuk menebusku dari api neraka

  1. Membaca Ayat Kursi tiga kali
  2. Membaca Ayat Q.S. al-Baqarah: 285–286 3 kali :

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾

  1. Membaca ayat 26 – 27 Surat Ali Imran 3 kali :

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٦﴾ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي الْنَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الَمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٢٧﴾

  1. Membaca Surat An-Nâs 3 kali

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ ﴿٦﴾

(Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 66-69)

  1. Membaca wirid tambahan yaitu:
  2. membaca kitab shalawat Dalâil al-Khairât karangan Syaikh Muhammad Jazuli(w. 870 H.)
  3. membaca doa-doa dan zikir seperti yang diterangkan dalam kitab sunnah, seperti kitab al-Adzkâr karangan imam Nawawi, dan membaca hizib lain seperti hizib bahr karangan Syaikh Abu Hasan al-Syadzili, hizib Falah karangan Syaikh Abdul Hafidz al-Hanaqi, atau hizib-hizib karangan Syaikh Musthofa al Bakri

Dasar-dasar dan Ajaran Tarekat Khalwatiyah

Pada dasarnya Tarekat Khalwatiyah adalah dinisbahkan pada suatu golongan yang menyendiri oleh karena itu dasar berzikir yang dipakai dengan menggunakan kalimat thayyibah yang sesuai dengan sifat khalwah, yaitu Duduk bersila kemudian membaca kalimat لا اله dari bahu sisi sebelah kanan sambil menafikan apa saja selain Allah SWT. dan memukulkan kalimat الا الله ke dalam hati yang berada di bawah payudara sebelah kiri, beserta menetapi keadaan tersebut beberapa saat setelah itu berzikir dengan lafadz Jalalah (الله) dilanjutkan dengan membaca zikir asmâ’ 10 secara berurutan yaitu:

هُوَ، حَقٌّ، حَيٌّ، قَهَّارٌ، وَهَّابٌ، فَتَّاحٌ، وَاحِدٌ، اَحَدٌ، صَمَدٌ، قَيُّوْمٌ

Dengan ketentuan :

  1. Seorang murid tidak melewati asmâ’ yang kedua sebelum Allah SWT. membuka hati seorang murid pada asmâ’ yang pertama, begitu juga seterusnya pada 10 asmâ’ tersebut
  2. Hendaklah seorang murid membaca al-Fatihah 100 kali setiap akan melakukan zikir
  3. Membaca:

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَحَبِيْبِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ  × 100

Apabila seorang murid telah berhasil memenuhi derajat intiha’ (pamungkas) dari 10 asmâ’ tersebut maka dia termasuk orang yang maftuh (terbuka hatinya), oleh karena itu dia harus menambah bacaan Surat al-Kautsar 100 kali dan kalimat لا اله الا الله حق المبين

sebanyak 100 kali setelah bacaan al-Fatihah 100 kali dan shalawat:

اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَحَبِيْبِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ  × 100

Terkadang para salik duduk melingkar di aula pondok untuk membaca zikir هو, dalam melakukan zikir, para salik mendahulukan sisi kanan lalu memasukkan ke tenggorokan, ke sisi kiri kemudian ke belakang. Hal ini dilakukan baik secara individu maupun berkelompok, sebagaimana yang dilakukan oleh pemimpin tarekat KubRawiyah (pengikut syaikh Najmuddin kubrâ), (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 314)

Sumber: Alif.ID

95. Ajaran dan Adab Murid Pengikut Tarekat Khalwatiyah

Berikut ini wasiat yang disampaikan oleh syaikh Quthbuddîn Musthafâ bin Kamâluddin al-Bakwi al-Khalwati bagi murid pengikut tarekat Khalwatiyah, yang terkumpul dalam kitab al-Wasiyatul Jaliyah lis-Salikin Thariqil Khalwatiyah :

  1. Tidak boleh menyimpang dari syari’at Nabi Muhammad SAW. Karena sesungguhnya orang yang menyimpang dari syar’iat Nabi Muhammad maka dia termasuk orang yang tersesat dari jalan (tarekat) yang diridhoi Allah SWT.
  2. Harus mempunyai bekal (taqwa)
  3. Harus meninggalkan sesuatu hal yang dicintai dengan tujuan hanya mencari keridaan Allah SWT.
  4. Harus mencari teman yang bisa mendukung kemajuan tarekatnya
  5. Harus menjalani tarekat ini dengan sungguh-sungguh, mengendalikan hawa nafsu dan selalu merendahkan diri di hadapan Allah
  6. Harus selalu bersyukur, sabar, dan rida terhadap qadha’
  7. Harus selalu mengembalikan segala urusannya kepada Allah, apabila seorang murid bisa menghiasi hatinya dengan tujuh sifat di atas maka akan muncul cahaya hikmah di dalam hatinya (kebajikan) yang merupakan awal dari sebuah karamah yang diturunkan Allah SWT. kepada murid
  8. Wajib menjalani aurad yang sudah diajarkan
  9. Harus berprilaku dengan akhlak yang mulia dan menjauhi sifat-sifat tercela
  10. Menepati syarat-syarat tarekat yaitu: a) Diam, b) Lapar, c) Terjaga (menyedikitkan tidur), d) Uzlah (menyendiri), e) Suci lahir dan batin, f) Melanggengkan zikir, g) Menafikan/membuang getaan hati yang muncul yang bisa mengganggu kekhusyu’an dan hadirnya hati, h) Selalu menyambung hati dengan guru (Rabitah), (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, hal:298-306).

Adab Berzikir Tarekat Khalwatiyah

Adab berzikir dalam Tarekat Khalwatiyah ada 20, dengan rincian 5 dilakukan sebelum berzikir, 12 pada waktu berzikir, dan 3 setelah berzikir:

  • Adab Sebelum Berzikir:
    a. Bertaubat
    b. Mandi untuk berzikir
    c. Tenang dan diam
    d. Menyandarkan hati pada kehendak guru sambil mengucapkan:دُسْتُوْرُ يَا شَيْخِيْ دُُسْتُوْرُ يَا اَهْلَ السِّلْسِلَةِ دُسْتُوْرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ
    e. Membayangkan gurunya ketika menyandarkan hati pada kehendak guru yang pada hakikatnya bersandar kepada nabi Muhammad . yang menjadi perantara antara dia dengan Allah SWT.
  • Adab Pada Waktu Berzikir
    a. duduk ditempat yang suci
    b. meletakkan kedua telapak tangan diatas dua lutut
    c. memberi wangi-wangian pada tempat zikir
    d. memakai pakaian yang bagus dan halal
    e. diusahakan di tempat yang gelap
    f. memejamkan kedua mata
    g. menggambarkan wajah gurunya diantara kedua matanya
    h. bersungguh-sungguh di dalam berzikir baik dibaca pelan (sirri) maupun keras (jahr)
    i. ikhlâs di dalam berzikir
    j. memilih kalimat zikir لا اله الا الله karena kalimat tersebut memberi pengaruh yang tidak ditemukan pada kalimat yang lain
    k. menghadirkan makna zikir di dalam hati
    l. meniadakan segala sesuatu yang maujud pada waktu zikir
  • Adab Setelah Zikir
    a. tenang dan diam serta khusyu’ dan hadir
    b. mengendalikan nafsunya secara terus menerus
    c. menjauhi minum air setelah berzikir, (Adhwâ’ ‘ala al-Tarekat al-Rahmaniyah al-Khalwatiyah, halaman: 306-314).
    Aurâd ‘Ammah
    1. Menetapi hukum-hukum syariah lahir batin, melatih nafsu dengan melanggengkan sholat dan puasa sunnah, membaca Alquran, dan membaca zikir nabawiyah, selain itu juga melakukan amal ibadah, dan akhlak yang sesuai dengan kitab syariah
    2. Menetapi zikir di bawah ini setiap hari, pagi dan sore:
    3. Membaca Surat Muhammad ayat 19 yaitu:فَاعْلَمْ اَنَّهُ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ، 1 ×Kemudian membaca   “  لَا اَلَهَ اِلَّا الله “ paling sedikit 300 X setiap pagi dan sore hari, dimulai pada waktu ashar hari jum’at sampai dengan pada waktu ashar hari kamis.
    Kemudian dilanjutkan pada waktu ashar hari kamis sampai dengan waktu ashar hari jum’at dengan membaca Surat al Ahzab ayat 7:
    اِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِي يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَا، 1 ×kemudian membaca salawat sesuai dengan riwayat yang ma’tsuroh (datang dari nabi)“اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَسَلِّمُ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا”dibaca sesuai hitungan zikir لَا اِلَهَ اِلَّا الله
  • Sebelum berdiri dari majlis sholat ashar pada hari jum’at salik terlebih dahulu membaca salawat ummy.

)اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِ الْأُمِّيِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِمْ(، 80 ×

  • Membaca zikir-zikir lain yang tidak tetap (seyogyanya dilaksanakan) dan yang paling utama adalah :
    • Zikir musabbi’at (مُسَبِّعَاتْ) dibaca pagi dan sore yaitu:
      1. ayat kursi sampai kalimat “الخَالِدُوْن” (3 kali)
      2. akhir Surat al-Baqarah (3 kali) :
        لِلهِ مَا فِي السَّمَاواتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِن تُبْدُواْ مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللهُ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٨٤﴾ آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿٢٨٦﴾membaca Surat ali Imrân ayat 26 dan 27 (3 kali) :
        قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٦﴾ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الَمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَن تَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ ﴿٢٧﴾
      3. Surat al-Fatihah (3 kali)
      4. Surat al Ikhlas (3 kali)
      5. Surat al Falaq (3 kali)
      6. Surat an Nas (3 kali)
      7. kemudian diakhiri membaca shalawat kamilah dibaca 3 kali yaitu :
      8. للَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ صَلاَةَ اَهْلِ السَّمَوَاتِ وَالأَرَضِينَ عَلَيْهِ وَأَجِرْ يَا رَبِّ لُطْفَكَ الْخَفِيِّ فِي أُمُورِي
        • kemudian membaca
          سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسلَامٌ عَلَى اْلمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَcatatan: sebaiknya wirid ini dibaca setelah shalat subuh dan shalat ashar
        • membaca kitab shalawat Dalailu al-KhaiRAt karangan imam jazuli pendiri tharikah Jazuliyah as Syadzili
        • sebaiknya bagi yang bisa membaca wirid Alquran secara rutin paling sedikit dua hizib disertai do’a-do’a dan zikir nabawiyah, seperti yang terangkum dalam kitab sunnah seperti kitab al-Adzkâr an Nawawi karangan imam Nawawi, atau juga membaca hizib lain seperti hizib bahr karangan Syaikh Abu Hasan al- Syadzili, lebih khusus lagi membaca hizib bakri karangan Syaikh Musthofa al-Bakri
        • membaca wirid yang telah dipilihkan oleh mursyid, dan diantara pilihan tersebut adalah Qasidah Bahjatus Syaiqin (بَهْجَةٌ الشَّائِقِيْن) karangan syaikh Musthofa bin Azuz, Qasidah Asma’ul Husna karangan syaikh Muhammad bin Abi al-Qasim al-Hamili, Hizib Falah karangan Syaikh Abdul Hafidz al-Hanaqi, atau salah satu dari hizib-hizib karangan Syaikh Musthofa al-Bakri, atau juga membaca wirid terkenal bagi pengikut tharekat Azuziyah Rohmaniyah yang dibaca setelah subuh, yaitu:
        • membacaيَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ لَا إلهَ إِلَّا اَنْتَ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ  40 kali
        • Membaca سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ 100 kali
        • Membaca sholawat kamilah 3 kali
        • Membacaاللهم  رَبِّ جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَاِسْرَافِيْلَ وَعِزْرَائِيْلَ وَمُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ أَجْرَنِي مِنَ النَّارِ، 3 ×
          Setelah subuh setelah Ashar membaca لا إله إلا الله 300 kali, seratus kali yang pertama dibaca panjang, seratus yang kedua dibaca sedang, dan seratus yang ketiga dibaca pendek.
        • khusus hari kamis setelah ashar tidak membaca لا إله إلا الله diganti dengan salawat nabi:
          اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.  300 X
          >setelah jumat, membaca sholawat nabi :اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِ الْأُمِّيِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ 80 x,kemudian membaca wirid yang biasa dibaca setelah sholat, setelah itu membaca لاإله إلا الله sesuai dengan kebiasaannya
          setelah itu membaca sholawat nabi 10 kali :اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ

Sumber: Alif.ID

96. Ajaran dan Adab Murid Pengikut Tarekat Khalwatiyah (2)

Aurad Khusus (Adzkâr al-Sulûk)

Adzkaru al-Suluk ini bisa dibaca atau diamalkan jika mendapat bimbingan atau ajaran serta mendapat izin dari mursyid pada waktu tarbiyah, dan diakhir suluk. Seorang salik melakukan khalwat dengan menempuh tujuh tingkatan yang disesuaikan dengan perjalanan nafsu, yaitu nafsu amarah, kemudian nafsu lawwamah, kemudian nafsu muthmainnah, kemudian nafsu rodiyah, kemudian nafsu mardiyah, kemudian nafsu mulhimah, kemudian nafsu kamilah.

Hal ini dilakukan dengan membaca zikir asma’ul Husna. Dan asmaul Husna dibagi menjadi 7 macam yang disesuaikan dengan tujuh tahapan nafsu, yaitu:

لَاإلهَ اِلَّا الله، الله، هُوَ ، حَيُّ، قَيُّوْم، حَقٌّ، قَهَّارْ

Dan setiap asma’ tersebut mempunyai 10 asma’ furu’ (cabang) sehingga terkumpul menjadi 77 asma’ yang bisa menjadikan salik sempurna pada semua tingkatan kemudian disempurnakan dengan 22 asma’, sehingga tekumpul 99 asma’.

نظم أسـمـاءالله الحسنـى للـشيخ مـحمـد بن أبـي القاسـم الـهـاملي (ت. 1315 هــ)

صَـلَاتُـكَ رَبـِّي وَالسَّـــلَامُ عَلَى النَّبِيصَلَاةً بِــهَا يَشْفِـى قَلِـيْبِـي مِـنَ الـضَّرِّ
وَيَـا بَـارِي اتَّـخِفْنِي بِخَفَـائِـكَ الْـوَدِيوَأَجـِـرْنِي مِـنْ خـَـنَاسِي وَوَسْـوَاسِ نَفْسِي
فَـهَا أَنَـا عُـبَيـْدُكَ فِي غَـايَـة الْـفَـقْـرِوَمَـعَ اضْـطِـرَارِ لِحَـضْـرَتِـكَ يَا مُـغْنِـي
فَـيَا حَيُّ يَا عَلِيْمُ اجْـبُرْنِي مِـنْ كَـسْرِيوَيَـا عَـادِلُ يَا لَطِيفُ اتَّـحِفْنِـي بِللُّطْفِ
وَيَـا هُوَ يَا قَيُـومُ أَمْـدِدْنِي بِـالْـفَـضْـلِوَيَـا اللهُ يَا رَحـْـمٰنُ ابْــعِدْ نِي مِنْ مُكْرِي
وَيَـا بَـاعِـثُ سَــمِيْعُ أَمْـدِدْنِي بِالْــوُدِّوَيَـا خـَبِيْـرُ بَـصِيْـرُ يَـسِّـرْ عَنِّي عُسْرِى
وَيَـا عَـزِيْـزُ وَهَّــابُ وَفَاتِـحُ ذُو وَهْبٍوَيَـا صَـمَـدُ حـَـنَّـانُ بِـالْـمَـدِّ لِلْــكُـلِّ
وَيَــا بَـدِيْـعُ وَكِيْلًا بِإِطْـعَـامِ الْـخَلْـقِكَبِـيْـرٌ وَمَـتَـعَـالٍ مُنَـزَّهُ عَـنِ الْـجَـمْـعِ
يَـا مُـقْـتَـدِرُ مُعِـيْدٌ قَـاهـِـرٌ ذُوْ مَـجْدٍوَيَـا عَـظِيْمُ جـَـبَّارُ وَمُــخْتَـرِعُ الْـكُـلِّ
وَيَا وَاحِدُ أَحـَدٌ فِي الصِّفَـاتِ وِفِي الْفِعْلِفَـذَاتُـكَ يَا مَكِيْـنُ فَـرْدَانِـي فِي الْإِسْــمِ
فَأَقِـلْنِـي يِـا رَحـِـيْمُ فِــي كُـلِّ عُثْـرَةٍوَقَـدْسَنِـيَ يَا قُدُوْسُ مِنَ الشَّـكِّ وّالشِّرْكِ
وَاكْـلَأَنِي يَا كَالِئُ مِـنْ كُلِّ عَـدُوٍّ حَسَدٍوَافْـتَـحْ عَنِّـي رَبِّي بَـصِـيْـرَتِي لِلْـفِـكْـرِ
وَارْزُقْـنِي يَـا رَزَّاقُ شَـرَابَ حـُـبّ الدُنِوَامْنُـنْ عَنِّـي يَا مَنَّـانُ بِإِلْـهَامِكَ السَّرِي
وَيَـا مَـاحَيُ امْحُ عَنِّي وَصِـفْ  كُلَّ أَسِىوَيَا بَـرُّ فِـي الْأَلْطَافِ وَلَطِـيْفٌ فِي الْقَهْرِ
يَا جَمِيْلًا فِي الْجَلَالِ وَبِالْعَكْسِ فِي الضَّدِّوَيَا بَاطِنُ فِي الظُّـهُورِ وَالظَّاهِرُ فِي الْخَفِـي
وَيَـا وَلِـيُّ حـَــمِـيْـدُ جـَـوَادُ حـَـلِـيْــمُوَيَـا قَــوِيُ مَـتِـيـْنُ مُـعِـزُّ لـذلـتـــي
وَيَـا حَـسِـيْـبُ رَقِـيْـبُ الْأَوَّلُ الْآخِـرُاَلْـقَـابِـضُ الـْبَـاسِـطُ فَابْـسُطْ نِعْمَتِـي
وَيَـا فَـتَّـاحُ الْـغُـيُوبِ افْـتَـحْ أَقْـفَـالِيبِـرَفْعِكَ لِلسُّـتُورِ عَـنْ سُـوَيْدَاءِ قَـلْبِـي
وَتَـعْـمِيـرِ الْـقُـلُـوبِ بِـالْعِلْــمْ اللَّدُنِيوَحَـضْـرَةِ الْــعَـمَـارِ وَسِـرِّكَ الْـمَصُـونِ
وَيَـا وَالِـيُّ الْمُـجِـيْـبُ الْبَـرُّ التـَّـوَّابُأَقْـسَـمْـتَ بِـالْجَبَّـارِ وَحَضْرَةِ الْـوَصَــالِ
أَنْ تَـشْرَبَنِـي شَرَابَ حَضْرَتِكَ يَـا عَلِيبِـطَـلْـعَـةِ شَـمُـوسِ أَنْـوَارِكَ يَـا هَـادَي
فَـيَا رَافِـعُ خَـافِضُ أَرْفِعْ عَنِّي أَضْرَارِيوَأَمْـرَاضِ قَـلْــبِـي بِـشُـهُـوْدِ أَقْــمَارِي
وَاغْـفِـرْلِـي يِـا غَـفَّارُ خَطِيْئَةِ الْـفَرْقِوَمُـسَـاوِي الْـجَـمْـعِ فِي خَـزَائِنِ فِكْرِي
يَا مُـقِـيْـتُ فَـقْـتَنِـي بِصَبَابَـةِ وَجْدِيوَجَـوَاءُ كَـالْفَـيْضِ مِـنْ كَـوْثَـرِ الْغَـيْبِ
وَيَـا جَـلِـيْلُ كَـرِيْـمُ رَفِـيْقًـا بِالْعِـبَادِوَيَـا وَاسِـعُ حَـكِـيْـمُ يَـا وَدُوْدُ مَـاجِــدُ
يَا مُـهَيْمِـنُ سَـلَامُ الْـمُقْسِـطِ لِلْجَـمْعِفَارْزُقْـنِـي بِالْـوَقَـارِ وَتَهْذِيْـبِ أَخْلَاقِـي
وَاغْـفِـرْلـِي يِـا رَؤُوْفُ أَوْزَارَ اللَّـمَــمِوَحُــوْبَــةَ الْآثَــامِ فَـاقْـبَــلْ تَــوْبَــتِي
يَا حَفِيظُ احْفَظْنِـي مِنَ الْمُكْرِ وَالْخَدْعِوَيَــا مُـدَبِّـرُ صَـبُـوْرُ مُـتَكَبّـِرُ ذُو حَـقٍّ
وَيَا مُــذِلُّ شَـكُـورُ مُـقَـدِّمُ مُـؤَخِّــرُيَـا ذَا الْمُـلْكِ وَالنُّـورِ مُصَـوِّر كُلّ الْخَـلْقِ
يَا بَاقِـيُ يَا وَارِثُ يَـا رَاشِـدُ طُـرَّ الْخَلْقِيَا مُـنْتَقِـمُ مَـنِيعَ امْـنَعْـنِـي مِـنْ بُؤْسِـي
يِا ذَا الـنَّفْعِ وَالضَّرِّ يَا ذَا الْإِكْـرَامِ الْجَلِييَا مُـغْنِيُ كُـلَّ الْخَلْقِ اَغْنِنِي بِكُـلِّ فَضْلٍ
وَيَا مُـحْيِيُ فِي الْإِطْلَاقِ وِيِا مُحْصِيُ الْكُلِّفَمَلَكَنِـي يَا مَـلَاكُ فِـي غَـايَةِ الْـحُـبِّ
وَيَا مُـبْدِئُ مُـمِـيْتُ الْـوَاجِــدُ الْقَادِرُاَلْمُـومِنُ الْـخَالِـقُ ذُو الْـحُكْمِ الْـغَفُورِ
وَيَا عَـفُـوُّ جَـامِـعُ اجْـمَـعْنِـي بِالرُّسُلِوَيَا غَنِـيُ عَـنْ كُـلٍّ اغْنِنِـي بِـالـوَصْـلِ
لَا تَحْرِمْنَا يَا شَهِيدُ عَنْ فَيْضِكَ الْجَبْرِيوَاتِّـبَـاعِ الْـمُـخْـتَـارِ وَحُـبِّـهِ الْـــوَدِي
فَـالْأَسْـمَاءُ الْـكُلِّ وَبِالْـمُصْطَفَى النَّبِـيوَبِـالْـخَـفَـاءِ الْـخَفِي زَوِّلْ عَنِّـي حِجَبِي
فَـيَـا صَـاحِبِـي لِلهِ حُــبِّ وَاعْـتَـقِـدْوَجِدْ فِي شَوقِ الْأَذْكَارِ وَحُضُورِهَا الْفِكْرِي
يَـكُـنْ لَكَ اضْمِحْـلَالُ وَتُلَاشِي بِالْكُلِّوَتَلْـبِسُ خَلْعَـةٍ مِـنْ حَـضْـرَةِ الْـغَيْـبِ
وَتُصَلِّي يَا مُرِيْدُ صَـلَاتُـكَ فِي الْـفَجْـرِوَتَـنْضَـحُ بَـرُّكَ مِـنْ فَـيْـضِـهِ الْـبَحْرِي
وَتَـقَـدَّمَ إِمَـامًـا كُـــنْـتَ لَـهُ إِمَـامًـافَـهٰـذِهِ صَــلَاةً إِنْ كُـنْتَ عَارِفًا بِالْغَيْبِ
فَـيَـرْضَـاكَ الْإِلٰـهُ لِإِرْشَــادِ الْـخَـلْـقِبِسَــطْـوَةِ الْـمَـقَادِيْـرِ وَجَـلْـبَةِ الْقَـهْـرِ
فَـيَكْـرَمُـكَ الْـقَهَّـارُ بِخَـلْعِ الْـعِـذَارِ  وَتَـلَاشِـي الْحِـجَابُ عَـنْ أُمِّ الْكِـتَـابِ
فَاقْرَأْهَـا بِصِدْقٍ يَا حَبِيبِي عَقِبَ الذِّكْرِ  تَـكُنْ لَكَ أَنِـيْـسًا مِـنْ وَحْشَةِ الْـقَبْرِ
وَتُطْـرَدُ كُلِّ هَـمٍّ وَالْبُـؤْسِ مَعَ الْـفَـقْـرِ  وَصَـوْلَـةِ عَـدُوٍّ وَحِــرْزًا مِـنَ الـضَّـرِّ
وَاغْـفِرْ يَا غَـفَّارُ لِجَـامِـعِ ذَا الـنَـظْـمِ سَـلِيْـلِ ذِي الْأَنْـوَارِ أَبِي الْقَاسِـمِ نَسَـبِي
مُحـَمَّـدٌ يَا حَـضَّـارُ ابْـنُ أَبِـي الْقَاسِـمِاَلْهَامِلُ فِي الْأَقْـطَارِ بِـلَادِي وَمَـسْـكَـنِي
وَاغْفِرْ لِلْمُخْتَارِ وَابْنَ عَـزُوْزِ الْبَـرْجِـيوَالـسَّـنَدِ الْأَخْـيَـارِ وَجَـمِـيْعِ إِخْـوَانِـي
وَارْحَــمِ الْـوَالِـدَيْـنِ طَـرًّا يَـا عَلِـيُّوَأَسْـكِـنْهُـمْ جَـنَةَ الْـفِـرْدَوْسِ يَا رَبـِّـي
وَصَـلِّ يَا جَـبَّـارُ عَلَـى خَيْـرِ  الـرُّسُلِمَـا قَـدْ غِـنَـي وَرْشَـانِ فِي أَبْـرَاجِ عَلِـي
وَآلـِـهِ الْأَصْــحَـابِ ثُـمَّ كُـلِّ  تَـالـِيوَأَهْـلِ بَـيْعَـةِ الـرِّضْـوَانِ وَشُهَدَاءِ الْبَدْرِ

بهجة الشائقين للشيخ مصطفى بن محمد بن عزوز (ت. 1283)

بِسْــمِ اْلإِلٰــه بـَـادِي ذَا النِّــظَامِبِالْـحَـمْدِ وَالـشُّكْرِ عَلَى الــدَّوَامِ
ثُـمَّ الـصَّلاَةُ عَلَـى الْمَـاحِي لِلـزّلَلْمُحَمَّــدٍ أَزْكَى رَسُوْلٍ فِـى اْلعَمَـــلْ
وآلِـــهِ أَهـْـــلِ الْــوَفَاءِ وَالْــوَرَعْوَكُـلُّ قُـطْبٍ لِـمَـنَاهِـجِهِم تَــبَعْ
بِجَــاهِ نُــورِ الْعَــرْشِ يَـا مَجِـــيْدُوَاللَّــوْحِ واْلكُـرْسِـيِّ يَا حَمِـــيْدُ
بِمَـــسْجِــدِ مَكَّـــةَ وَالْـبَقِـــيْعِأَدْخـِـلْنَا فِي حـِـزْبِ النَّـبِيِّ الشَّفِيْعِ
إِنَّ ذُنُــوبِــي يَـا إِلٰـهِي عَظُمَــتْصَـحِـيْفَتِــي بِالسَّـيِّئَاتِ مُلِـئَتْ
وَهِـيَ فِي جـَــنْبِ عَفْــوِكَ صَـغِيرَةْوَعِـنْدَ عَـبْدِكَ الْمُسِيْءِ كَـــبِيْرَةْ
بِـأَسْـمَائِكَ الْحُـسْنَـى رَبِّ رَقِّــيْنَاوَنَــوِّرَنْ قُلُــوْبـَـنَا وَاهْــدِيْنَــا
بِـأَنْ نَكُــوْنَ مِـنْ أَهـْـل الطّرِيْـقِوَالصِّـدْقِ وَالْإِخْلَاصِ وَالتَّحْقِـيْقِ
بِــفـَضْلِ اللهِ الْـمَالِكِ الـــدَّيَّـانِوَبِـالْــقُرْآنِ وَالـسَّـبْعِ الْـــمَثَانِي
رَبِّ بِــنُورِكَ الْـمَــضِـي يَـا وَالِـياِرْفَــعْ عَلَــيْنَا الْحُـجْبَ يَـا عَالِي
وَثَــبِّتَــنْ اِيْـمَانَنَــا وَاسْــقِــيْنَـامِــنْ كُـلِّ عِلْـمٍ نَـافِعٍ وَاكْــفِينَا
بِكُــلِّ شَـيْخٍ صَحِــيحِ الْإِسْــنَادِمِـنْ شَـيْخِنِا إِلَـى الرَّسُولِ الْهَادِي
يَــا رَبِّ صَــلِّ عَــنْهُ بِــالــدَّوَامِوَارْحـَـمْ أَشْـيَاخـَـنَا يَـا  ذَا الْإِكْرَامِ
وَاغْفِــرْ لَــنَا الذُّنُـوبَ يَــا رَفِــيْعُفَـمَـا لَــنَا سِــوَاكَ يَـا سَـرِيْـــعُ
طَهِّــرْ قُلُــوبَــنَـا مِــنَ الْآفَــاتِوَاَسْـبِلْ عَلَـيْنَا السِّـتْرَ فِـيْمَا يَاتِي
تَــوَسَّـلْـنَا لَــكَ بِـأُولِـي الْـعَـزْمِأَهـْـلِ الْــوَفَا وَالْـكَـرَمِ وَالْــحِلْمِ
بِـخَــاتَمِ الـرُّسُلِ الْكَـرِيمِ العَاقِبْوَبِـالْـخَلِيْــلِ وْإِدْرِيـْسِ الثَّـاقِبْ
لِـلسَّـمَاوَاتِ كُـلِّهَا حَتَـى وَصَــلْمَـقَـامَــةً عَـالِـيَـةً بَـهَـا نَـــزَلْ
مُوسَى بْنِ عِمْرَانَ مَنْ نَاجَاهُ الْكَرِيمْوَعِيسٰى رُوْحُ اللهِ الزَّاهِدِ الْحَكِيمْ
وَنُـوحُ مَـنْ لَـهُ الْـمَعَالِـي ثَـبَتَـتْفِي سَايِـرِ الْكُتُبِ يَا صَاحِ رَسَمَتْ
يَـــا اللهُ يَـا مَـــالِـكُ يَــا قَــادِرُكُـنْ لِلْـقُلُوبِ حـَـافِظًـا وَنَـاصِـرُ
إِلٰـهَــنَــا يَــا أَحـَـــدُ يَـا وَاحـِــدُيَـا جـَـوَّادُ يَـا بَـاسِـطُ يَـا مَاجـِـدُ
وَيَـا وَهـَّـابُ يَـا ذَا الـطُّولِ يَا كَرِيمُوَيَـا غَنِـيُّ وَيَـا مُغْنِـيُّ وَيَا حَلِيْمُ
وَيَـا فَــاتِـحُ يَـا رَزَّاقُ يَـا عَلِــيْـمُيَـا حـَـيُّ يَا قَـيُّومُ رَحـْـمَانُ رَحـِـيْمُ
وَيَـا بَـــدِيْـعَ السَّـمَـوَاتِ كُـلِّهَــاوَالْأَرَضِيْنَ أَنْـتَ الَّــذِي دَحَوْتَهَا
يَا ذَا الْـجَلَالِ وِالْإِكْـرَامِ يَا حـَـنَّانُمِـنْ كُـلِّ خَيْرٍ سَأَلْـنَاكَ يَا مَــنَّانُ
اِتَّـحِفْــنَا يَا رَبِّ بِـمَقَـامِ الــرِّضَـاوَهـُوَ سُرُورُ الْقَلْبِ فِـي مَرِّ الْقَضَا
وَيَــا سَـلَامُ سَـلِّـمِ الْأَنْـــفَــاسَفِـي الْخَطْـرَاتِ وَانْزِعِ الْـوَسْوَاسَـا
وَيَـا صَـدُوقُ فِي الْأَقْـوَالِ وَالْأَخـْبَارِاِجْعَلْـنَا رَبِّ صَـادِقِيْنَ فِي الْأَذْكَارِ
اِجـْـعَلْـنَا رَبِّ فِي حِزْبِ الصِّـدِّيْقِينَوَزُمْـرَةِ الْأَبْـــرَارِ وَالْـمُقَـرَّبِــيْنَ
يَـــا بَـــاقِـيًــا بَـقَـاءً لَا يَــزُوْلُأَبْقِــيْنَـا فِـي كَــمَالِكَ نَـــجُولُ
يَـا دَائِــمًـا دَوَامًــا لَا يَفْـنَـى وَلَايَــكُـنْ سِــوَاهُ أَحـَـدٌ إَلَّا بَــلٰـى
أَدِمْ سُــرُورَنَـا بِلُطْـفِـكَ الْـخَفِـيبِنَـا فِـي الدَّارَيْنِ وَاكْفِنَا يَا كَافِـي
شِـرُّ الْعَـدَا وَكِـيدُ الـحَاسِدِ الَّـذِيفِـي كُـلِّ نِـعْمَةٍ نَصِـيْبُـهَا يُـوْذِي
وَيَـا لَطِـيْفُ الْطُفْ بِعَبْدِكَ الْمُسِيفِي كُلِّ الْأَحْوَالِ اِذْ يُصْبِحُ أَوْ يُمْسِي
فِـيْ  كُـلِّ لَـحْظَةٍ كَـذَاكَ الحْرَكَاتِوَالسَكَنَاتُ فِي الْمَحْيَا وَفِي الْمَمَاتِ
تَـجَاوَزْ بِالْـحِـلْمِ عَلَـى مَا صَـدَرَامِـنْـهُ مِـمَّـا بَـطَنَ أَوْ مَـا ظَـهَـرَا
اِسْـمَـعْ نِـدَا الْـمُضْـطَرِّ يَـا قَـرِيْبُأَجـِــبْ دُعَـاءَهُ فَــلَا يُـخِـيْــبُ
أَبْـصِـرْ أَحـْـوَالَـهُ حـَـيْـثُ تَـقَـلَّبَـاوَاجـْـعَـلْـهُ لِـنَوَاهـِيْـكَ مُـجْتَنَـبَـا
اِرْحـَـمْــنَا رَبِّ بِـرَحـْـمَـتِكَ الَّـتِـيوَسِـعَـتِ الْأَرَاضِـي وَالسَّمَــوَاتِ
أَيِّـدْنَــا بِـالْـقُـدْرَةِ يَــا قَـدِيـْــرُفَـلَـمْ نَـجِـدْ سِـوَاكَ يَـا نَـصِــيْرُ
بِـسَيِّـدِ الـرُّسُـلِ وَجـَـمْـعِ الْأَنْــبِيَافِـي جـَـنَّةِ عَـدْنٍ اِجـْـعَلْ إِخـْوَانِيَا
اَحـْـضِـرْ لَــنَـا يَـا سَــيِّدَ الْأَنَــامِفِـي السَّـكَرَاتِ وَعِـنْدَ الْـخِـتَامِ
يَـا رَبِّ اَسْــبِلْ سِـتْـرَكَ عَـلَــيْنَـابِـفَـضْــلِكَ وَكُـلِّ مَــا لَـدَيْـنَـا
اِحـْـفَظْنَا وَانْـصُـرْنَا عَـنْ كُلِّ ظَـالِمٍبِـالْأَسْـمَاءِ الْعَـظِـيْمَةِ يَـا دَايِـــمُ
وَبِـالْوُصُـولِ جـُـدْ عَــلَى إِخـْـوَانِنَـاوَكُـلِّ مَـنْ دَخـَــلَ فِي طَـرِيْقِـــنَا
بُـشْـرَى الَّـذِي دَخـَـلَ فِي الطَّرِيْـقِنَـالَ الـرِّضَـا وَغَـايَـةَ التَّـحْقِيْـقِ
حـَـازَ الــضَّــمَانَـةَ مِـنَ الـرَّسُـولِكَـذَا الــشَّفَاعَـاةُ يَـوْمَ الرُّحـُــوْلِ
وَبِـالْـكِـرَامِ الْـكَـاتِبِينَ اعْفُ عَنَّاوالْطُـفْ بِنَا لُطْفَ الْـحَبِيْبِ رَبَّنَا
يَـا سَـامِـعَ الْأَصْـوَاتِ مِنَّـا فَاقْبَـلْدُعَـاءَنَـا بِهٰـذَا النِّـظَامِ الْأَكْمَــلِ
وَاجـْعَلْـهُ خـَـالِصًا لِوَجـْهِكَ الْكَرِيْـمِوَجـُـدْ عَلـَى قَارِيْهِ بِالْخَيْرِ الْـعَمِيْمِ
اَلْـــحَمْـــدُ لِلهِ عَلَـى الـتَّـمَــامِلَــهُ الشُّـكْرُ فِـى الْبَدْءِ وَالْـخِتَامِ
اِغْــفِــرْ لِـوَالِـدَيَّ وَالْإِخـْــــوَانِفِـي جـَـنَّـةِ الْـفِـرْدَوْسِ يَسْـكُنَانِ
وَكُـلُّ مَـنْ دَخـَـلَ حـِـزْبَ الْـوَالِــدِوَأَخـَـذَ الْـعَهْــدَ عَـنْهُ يَـا مَاجـِـدُ
اِجـْـعَلْ مَـقَــامَـهُ يَـا ذَا الْــجَلَالِفِـي جـَـنَّـةِ عَـدْنٍ يَـا مُـتَعَـالِـي
سَــمَّـيْتُـهُ بَـهْـجَـةَ الـشَّائِـقِـيْـنَرَوْضَــــةَ أَنْــوَارِ الْـعَــارِفِـيْـنَ
يَــشُـوقُ الــنُّفُـوسُ لِـلْـمَعَـالِـيوَيُـرْفَــعُ الْأَرْوَاحُ لِــلْكَـمَـــالِ
مَـنْ دَامَ عَـنْهُ فَي الصَّبَاحِ وَالمَسَـايَـكُــنْ لَـهُ فِـي قَـبْـرِهِ مُـؤَنَّسَـا
وَيَـبْـسُـطُ اللهُ عَـلَـيْـهِ الـرِّزْقَـــاوَيَـنْـدَفِـعُ عَــنْهُ الْـبَلَا وَيَرْقَـى
اِغْفِـرْ إِلَـى مَنْ جـََـمَّعَ هـٰذَا الـنَّظَامِاِبْـنُ عَـزُوزِ مُـصْطَفٰى عَلَى الدَّوَامِ
خـَتَمْتُ نَـظْمِـي بِالصَّلَاةِ وَالسَّـلَامُعَلَـى النَّبِـيِّ الْهَاشِمِي بَدْرِ التَّمَامِ
عَلَـيْــهِ مِنِّـي أَفْـضَــلُ الـصَّـلَاةِمَـا صَـبَّتِ الْأَمْـطَارُ فِـي الْفَـلَاةِ

حزب الفلاح للشيخ عبد الحفيظ الخنقي

بِسْمِ اللهِ الْعَظِيْمِ الْأَعْظَمِ الَّذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ. اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اللهم نَوِّرْ قُلُوْبَنَا بِجَلَالِ هَيْبَتِكَ، وَاشْرَحْ صُدُوْرَنَا لِسِرِّ حِكْمَتِكَ، وَطَهِّرْ أَبْدَانَنَا بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِأَمْرِكَ، وَنَوِّرْ أَبْصَارَنَا بِالْإِعْتِبَارِ فِيْ مَصْنُوْعَاتِكَ، يَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ يَا مُقِيْلَ الْعَثَرَاتِ يَا اللهُ، اللهم كَمَا خَلَقْتَنَا بِقُدْرِكَ الصَّالِحَةِ وَرَزَقْتَنَا بِإِرَادَتِكَ الْفَالِحَةِ وَبَسَطْتَ نِعْمَتَكَ عَلَيْنَا بِرَحْمَتِكَ الْمَانِحَةِ حَسِّنْ خُلُقَنَا بِحُسْنِ اخْتِيَارِ تَدْبِيْرِكَ، وَأَطِبْ مَطْعَمَنَا بِمَا تَرْضَاهُ أَنْتَ لَنَا لَدَيْكَ، وَأَتْمِمْ لَنَا بَسْطَ الْإِنْعَامِ بِفَضْلِكَ وُجُوْدِكَ يَا خَالِقُ يَا رَزَّاقُ يَا بَاسِطُ، سُبْحَانَكَ اللهم رَبِّ لَا إِلٰهَ أَنْتَ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ أَسْمَائِكَ الصَّمَدَانِيَّةِ وَأَوْصَافِكَ الْوَحْدَانِيَّةِ وَأَفْعَالِكَ الْاِلٰهِيَّةِ أَنْ تَمَنَّ عَلَيْنَا بِالدُّخُوْلِ فِيْ حَضْرَتِكَ الْجَمَالِيَّةِ، وَالتَّمَتُّعِ فِيْهَا بِالْغَيْبَةِ عَنِ الْأَغْيَارِ الْكَوْنِيَّةِ، وَأَنْ تَشْهَدَنَا بَهَاءَ جَمَالِ حَضْرَةِ الْاُنْسِ الْقُدْسِيَّةِ، الْمُنْفَرِدَةِ بِوَحْدَانِيَّةِ عَظَمَةِ الرُّبُوْبِيَّةِ، الدَّائِمَةِ فِيْ وُجُوْدِكَ الْبَاقِيَّةِ فِيْ دَيْمُوْمِيَّتِكَ الظَّاهِرَةِ فِيْ مُلْكِكَ الْبَاطِنَةِ فِيْ مَلَكُوْتِكِ الْأَوَّلِيَّةِ فِي مَشِيْئَتِكَ الْآخِرِيَّةِ فِي قَيُّوْمِيِّكَ الْمُحْتَجِبَةِ عَنْ خَلْقِكَ الْمُنْكَشِفَةِ لِعِزَّتِكَ الْمُنْهَلَكِ فِيْهَا كُلُّ الْكُلِّ بِقَهْرِيَّتِكَ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَّةٌ وَلَا نَوْمٌ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُوْنَ مَالِكُ مُلْكٍ وَالْمَلَكُوْتِ، أَسْأَلُكَ يَا مَوْلَانَا بِحَقِّ نُوْرِكَ الْعَظِيْمِ وَنَبِيِّكَ الْكَرِيْمِ وَالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ أَنْ تَمَنَّ عَلَيْنَا بِتَوْبَةٍ نَصُوْحٍ تَرْضَاهَا مِنَّا وَتَقِيْمُهَا لَدَيْكَ وَتَخْتَارَهَا لَنَا بِاخْتِيَارِ فَضْلِكَ وَكَرَمِكَ فَضْلًا عَنِ اخْتِيَارِنَا نَحْنُ لِنفُوْسِنَا، يَا تَوَّابُ يَا رَحِيْمُ ارْحَمْنَا بِرَحْمَتِكَ الْوَاسِعَةِ الْجَلْبَابِ، وَأَقِمْ اَعْوِجَاجِ أَحْوَالِنَا بِفَضْلِكَ يَا تَوَّابُ، وَافْتَحْ لَنَا سَرَادِقَ رَحْمَتِكَ الْمَكْنُوْنَةِ فِيْ عِزِّ جُوْدِكَ كَمَا فَتَحْتَهَا لِأُوْلِى الْأَلْبَابِ، وَلَا تَكِلْنَا إِلَى تَدْبِيْرِ نُفُوْسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ فِي كُلِّ الْأَسْبَابِ، وَاجْعَلْ اَسْبَابَنَا مُطَابِقَةً لِرِضَاكَ وَمِفْتَاحًا لِخَيْرِ الْأَبْوَابِ، وَأَسْبِلْ عَلَيْنَا سَتْرُكَ الْجَمِيْلَ فِي الدَّارَيْنِ بِحَقِّ آلِ عِمْرَانَ وَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَامْنَحْنَا بِرِضَاكَ، وَوَفِّقْنَا لِطَاعَتِكَ، وَاخْلِصْ لَنَا الْعَمَلَ حَتَّى لَا نَعْلَمَ مِنْهُ مَعَكَ مَا يَدْخُلُ عَلَيْنَا الْخِلَلَ فِيْهِ وَيَخْرُجُنَا مِنْهُ يَا عَلِيْمُ يَا حَكِيْمُ، نَحْنُ الْعَبِيْدُ الضُّعَفَآءُ وَأَنْتَ الْقَوِيُّ فَإِنْ لَمْ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ. اللهم اكْشِفْ لَنَا الْحِجَابَ وَافْتَحْ لَنَا الْأَسْبَابَ وَوَضَّحْ لَنَا الْمِهَابَ حَتَّى نَشْهَدَ مِنْكَ مَا يُقَرِّبُنَا إِلَيْكَ يَا قَرِيْبُ. اللهم كَمَا كُنْتَ أَنْتَ لِعِبَادِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ كُنْ لَنَا لِطَاعَتِكَ نَاصِرًا وَمُعِيْنًا حَتَّى تَكُوْنَ الطَّاعَةُ شَاهِدَةً لَنَا عِنْدَكَ مِنْ غَيْرِ أَنْ نَكُوْنَ نَحْنُ شُهَدَآءَ عَلَيْهَا إِلَيْكَ. اللهم اجْعَلْ مُشَاهَدَتَنَا لِلطَّاعَةِ غَيْبَةٍ عَنْهَا وَحُضُوْرًا بَيْنَ يَدَيْكَ. اللهم كَمَا أَشْهَدْتَنَا طَاعَتَكَ وَوَفَّقْتَنَا لَهَا وَأَلْهَمْتَ الْجَوَارِحَ لِلتَّحَرُّكِ لِأَفْعَالِهَا وَأَبْصِرْتَ الْعَقْلَ سِرَّ مَعْقُوْلَاتِهَا اِجْذَبْهَا مِنَّا إِلَيْكَ وَاحْفَظْهَا بِسِرِّ الْعِنَايَةِ فِي بَرْزَخِ أَرْوَاحِ أَوْلِيَائِكَ وَأثْبُتْهَا فِي لَوْحِ الْكَمَالِ بِدَوَامِ رِعَايَتِكَ حَتَّى لَا نَبْصِرَ مِنْهَا سِرًّا وَلَا عَلَانِيَّةً سِوَى التَّوْفِيْقِ مِنْكَ إِلَيْكَ يَا سَمِيْعُ يَا بَصِيْرُ يَا اللهُ. اللهم ثَبِّتْ أَقْدَامَنَا عَلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَاهْزَمْ جَيْشَ الْأَعْدَاءِ عَنَّا لِنَكُوْنَ عَلَى طَاعَتِكَ مُقِيْمِيْنَ وَفَرِّجْ هُمُوْمَنَا فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ يَا كَرِيْمُ بِحَقِّ يٰسٓ وَالطَّوَاسِيْمَ وَاٰلٓمّٓ. اللهم ثَبِّتْ سُرُوْرَ عِنَايَتِكَ فِيْ قُلُوْبِنَا وَاخْرِقْ السُتُوْرَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ فِي سِرِّنَا وَأَعْظِمِ الشُّهُوْدَ فِيْ مُشَاهَدَتِكَ لِأَرْوَاحِنَا مَا أَطِيْقُهُ فِيْ سِرِّ التَّجَلِّيَاتِ فِيْ مُنَاجَاتِنَا. رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ. رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ. رَبِّ ادْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ فِي الرُّبُوْبِيَّةِ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ فِي الْعُبُوْدِيَّةِ حَتَّى لَا نَعْلَمَ الدُّخُوْلَ وَلَا الْخُرُوْجَ إِلَّا مِنْكَ وَإِلَيْكَ يَا صَادِقَ الْوَعْدِ يَا نَاجِزَ الْقَصْدِ يَا مُوْفِي الْعَهْدِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ يَا اللهُ. اللهم يَسِّرْ أُمُوْرَنَا وَاكْشِفْ كُرُوْبِنَا وَاغْفِرْ ذُنُوْبَنَا وَاجْبُرْ أَحْوَالَنَا يَا مُيَسِّرَ الْأُمُوْرِ يَا جَابِرَ الْمَكْسُوْرِ يَا كَاشِفَ الضَّرِّ عَنِ الْمَعْسُوْرِ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ اِسْتَجِبْ لَنَا فِيْمَا تَخْتَارُهُ أَنْتَ لَنَا وَتَرْضَاهُ. يَا لَطِيْفُ بِالْمُؤْمِنِيْنَ يَا رَؤُوْفُ يَا رَحِيْمُ اِلْطَفْ بِنَا وَارْحَمْنَا حَتَّى نُشَاهِدَ مِنْكَ مُسَاعَدَةَ الْأَقْدَارِ فِيْنَا وَقْتَ حُلُوْلِ مَصَائِبِكَ بِنَا مَا دَامَتِ الْأَيَّامُ سَائِرَةً بِنَا فِي فُلْكِ الْأَعْيَارِ وَنَحْنُ فِيْهَا لَا نَعْلَمُ الشَّرَ مِنَ الْمُخْتَارِ فَأَنْتَ أَعْلَمُ مِنَّا بِأَحْوَالِنَا وَأَلْطَفْ بِأُمُوْرِنَا وَأرْحَمْ بِنَا مِنَّا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ يَا اللهُ، وَلَوْ كُنَّا نَعْرِفُ مَصَالِحَ نُفُوْسِنَا لَاخْتَرْنَا مُرَادَكَ عَلَى مُرَادِنَا وَلَكِنْ عَمَّنَا حِلْمُكَ الْوَاسِعُ فَأَمْطُرْنَا بِسَحَائِبِ الْإِفْضَالِ فَتَعَاظَمَتْ عَلَيْنَا إِحْسَانُ الْإِنْعَامِ حَتَّى غِبْنَا فِيْهَا عَنْكَ يَا مُنْعِمُ يَا خَيْرَ الْمُحْسِنِيْنَ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا بِمَا نَسِيْنَا وَلَا تُرْهِقْنَا مِنْ أَمْرِنَا عُسْرًا. بِسْمِ اللهِ الشَّافِي اللهم يَا شَافِي اِشْفِ، بِسْمِ اللهِ الْكَافِي اللهم يَا كَافِي اِكْفِ، بِسْمِ اللهِ الْعَافِي اللهم يَا مُعَافِي اِعْفِ، بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا في السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ. تَحَصَّنْتَ بِعِزَّتِكَ يَا عَزِيْزُ فِي جَبَرُوْتِهِ، وَاعْتَصَمْتَ بِرُبُوْبِيَّتِكَ يَا رَبِّ فِي مَلَكُوْتِ أَحَدِيَّتِهِ، وَتَوَكَّلْتُ عَلَيْكَ يَا حَيُّ فِي قُدْرَةِ أَزَلِيَّتِهِ، اِصْرِفْ عَنَّا كُلَّ بَلَاءٍ وَسُوْءٍ وَشَرٍّ تَكْرِهُهُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَقِّنَا شَرَّ كُلِّ فَاجِرٍ وَعَانِدٍ وَحَاسِدٍ بِحَقِّ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ.

Sumber: Alif.ID

97. Tarekat Kubrawiyah

Pendiri Tarekat Kubrâwiyah adalah al-Imâm al-Zâhid al-Qudwah al-Muhaddits al-Syâhid Shâni al-Auliyâ’ Abû al-Jannâbi Ahmad Ibn ‘Umar Ibnu Muhammad Najmu al-Dîn Kubrâ al-Khawarasmi al- Khauwaqiyi yang lahir tahun 540 H. dan wafat pada tahun 618 H. Beliau mempunyai empat julukan, antara lain adalah; Shani’ul Auliyâ’, Abûl Jannabi, al-Kubrâ, dan al-Khawarasmi al-Khawwaqi.

Beliau dijuluki Shani’ul Auliyâ’ karena ada dua pandangan; pertama, secara ma’qul (rasional) dan kedua, secara manqul (irrasional). Secara rasional, karena murid beliau banyak yang menjadi wali dan menjadi orang-orang salih. Sebab yang irrasional, ketika beliau melihat seseorang yang dalam kondisi mabuk (jadzâb) maka orang tersebut akan menjadi seorang wali.

Adapun sebab dijuluki Abû Jannâb karena beliau menjauhi urusan-urusan dunia, zuhud, dan melaksanakan suluk tarekat sufiyah. Sedangkan beliau dijuluki al-Kubrâ sebagaimana pendapat Imâm ibn `Ammat al-Hambali dalam kitabnya Syatrâd al-Dahhat karena ketika beliau masih kecil sudah mampu memahami perkara-perkara yang musykil dan sulit.

Sedangkan beliau dijuluki al-khuwaarasmi al-khaywaqiy adalah beliau dinisbatkan terhadap khuwaarasmi yaitu suatu daerah yang besar di negara persi (pendapat Imâm Yaqut al-Hamami). Pada saat beliau datang kepadanya pada tahun 600 H. beliau pergi belajar ilmu-ilmu syari’at, ilmu Hadis, ilmu fiqih, dan lain-lainnya yang membawanya ke dunia tasawuf, (syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 79).

Beliau hidup pada masa sultan Jalâl al-Dîn bin Khawaarizmi. Beliau masuk menjadi prajurit dan ikut berperang melawan tentara Jengis Khan (Mongol) dan bersama prajuritnya beliau berhasil mengkocar-kacirkan dan menawan pasukan Jengis Khan. Hal ini membuat Jengis Khan marah dan mengirim pasukan yang besar untuk menyerbu tanah Sindi.

Pertemuan pasukan besar tersebut terjadi pada bulan Syawal pada tahun 618 H. Pasukan sultan menjadi gentar karena jumlah pasukan tartar yang sangat besar. Pasukan Jengis Khan berhasil membuat gentar pasukan sultan, dan akhirnya mereka menawan putra sultan Jalâl al-Dîn bin Khawaarizmi, (syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 78).

Beliau mencari ilmu-ilmu agama dan ilmu Hadis di kota Naisabûr, Hamdan Asbihana dan Makkah, kemudian dia pulang ke negaranya setelah  mahir ilmu Hadis. Kemudian dia berangkat lagi kedua kalinya untuk mencari ilmu tarekat sufiyah menuju Mesir untuk bertemu dengan syaikh Ismâ’il al-Kusrâ dan Syaikh Syihâb al-Dîn Abû Hafsh ‘Umar bin Abdillâh bin Muhammad al-Taimi al-Suhrawardi pengarang ‘Awârif al-Ma’ârif (539-632 H./1145-1238 M).

Beliau menetap beberapa waktu bersamanya untuk tabarruk (mengambil barokah), kemudian dia juga menemui seorang guru yang bernama Amar ibnu Yasir di daerah Bedlis, kemudian dia juga pergi ke mesir lalu pindah ke kota al-Iskandariyah. Di kota Mesir beliau belajar ilmu tasawuf kepada seorang guru yang bernama Syaikh Rauzabhân. Beliau juga belajar ilmu Hadis kepada seorang guru yang bernama al-hafidz Abi Thahir al-Salafi pada tahun 575 H.

Setelah menetap di sana beliau pergi ke kota Damaskus bertemu dengan seorang guru yang bernama Syaikh Ibnu Ubay Isyruna. Kemudian pergi ke Baghdad dan menetap beberapa saat di sana kemudian pergi lagi ke Bedlis bertemu dengan seorang guru bernama syaikh Amar ibnu Yasir kemudian kembali ke Baghdad tepatnya di daerah Khawaq. Beliau meninggal di sana pada tahun 618 H.

Sebagian riwayat menceritakan sesungguhnya Syaikh Najmuddîn al-Kubrâ pada mulanya adalah seorang mufassir yang bermadzhab Syafi’i bahkan beliau pernah menafsiri Alquran dalam 12 jilid, beliau juga pernah bertemu dengan Imâm Fakhruddin al-Razi dan dia mengakui keunggulan syaikh Imâm Najmuddîn Kubro.

Umam bin al-Hajb berkata: “Syaikh Najmuddîn Kubrâ telah berkeliling ke berbagai negara untuk mendengar dan mempelajari Hadis, beliau menetap di kota Khawaris dan menjadi ulama terkemuka di daerah tersebut. Beliau adalah orang ahli Hadis yang suka mengembara yang memiliki derajat yang tinggi, yang tidak takut terhadap hujatan orang yang menghujat”.

Umam berkata lagi, “Ketika beliau menetap di Khawarasmi terjadi kejadian yang besar yaitu penyerbuan tentara Jengis Khan dari Tartar, Syaikh Najmuddîn al-Kubrâ berkata: Pergilah ke wilayah Kam, karena ada kobaran api dari arah timur yang bergerak ke arah wilayah barat, ini adalah fitnah yang besar yang tidak pernah terjadi di umat seperti kali ini”.

Sebagian pengikut syaikh Najmuddîn berkata: “Seandai Anda berdo’a untuk mencegah kejadian itu.”. Syaikh Najmuddîn menjawab: “Kejadian ini sudah ditentukan oleh Allah SWT. sehingga do’a tidak ada manfaatnya”. Mereka mengajak syaikh Najmuddîn untuk keluar menuju wilayah Kam tetapi beliau menolaknya dan berkata: ”Aku sudah ditakdirkan untuk mati di sini”. Kemudian seluruh pengikutnya keluar dari negara Khawarizm.

Ketika tentara tartar masuk ke negara Khawarizm. syaikh Najmuddîn mengumpulkan santri yang tertinggal untuk melakukan shalat jama’ah, lalu beliau berkata: “Majulah kalian semua ke medan perang”. Setelah itu beliau bergegas masuk ke rumah dan memakai khirqah (baju kebesaran sufi). Akhirnya syaikh Najmuddîn gugur di medan perang sebagai syuhada’, dan dimakamkan di pondok sufinya pada tahun 618 H., (Syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 80).

Beliau berdiskusi dengan beberapa `ulamâ’ tentang ma`rifat kepada Allah SWT. dan mentauhidkan-Nya, akhirnya beliau mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya ilmu ma`rifat adalah satu ilmu yang warid (datang langsung dari Allah SWT.) kepada hati yang tidak bisa menolaknya. Bagaimana jalan atau cara untuk bisa sampai mengetahui ilmu ma`rifat? Yaitu dengan cara meniggalkan dunia untuk menggali dan mendapatkannya. Karena hal ini di luar kemampuan manusia. Setelah itu Imâm Najmuddîn memulai memasuki dunia zuhud atau menyendiri dan berteman dengan Imâm Fakhruddîn al-Razi.

Berikut ini beberapa komentar tentang sosok Imâm Najmuddîn:

  1. Syaikh ‘Umar bin Ibnu Hâjib: “Syaikh Imâm Najmuddîn pada awalnya berdakwah dengan berkeliling di beberapa negara akhirnya beliau menetap di daerah Khawarizm dan menjadi `ulamâ’ besar serta sangat diagungkan di daerah itu. Beliau seorang pakar Hadis.”
  2. Ibnu Halalah: “Saya beberapa kali bersama dengan Imâm Najmuddîn pada saat berkhalwah, dan saya menyaksikan kejadian yang aneh serta saya mendengar sebuah percakapan Imâm Najmuddîn yang indah secara sirri.

Guru-guru dan Murid-muridnya

  • Guru-guru ilmu agama beliau antara lain:
    1. Imâm Subkidan Damat Ibrâhîm
    2. Abû Muhammad al-MubâRAk ibnu Thabakhidi Makkah
    3. Abû Thâhir al-Salafy
    4. Abû Diyain Badrin ibnu Abdillâh al-Haddâdidari Iskandariyah
    5. Abû al-Makarim Ahmad ibnu Muhammaddi Libanon
    6. Abû Sa’idin Khalili ibnu Badrin al-RAzidi negara Asbihan
    7. Abû Abdillâh Muhammad ibnu Abi Bakrin al-Kaizaniyyidi negara Asbihan
    8. Abû Ja’far ibnu Ahmad ibnu Nasri al-Shaydalanidi negara Asbihan
    9. Mas’ud ibnu Mas’ud al-Hamalidi negara Asbihan
    10. al-Hafidz Abi al-`Alaidi negara Hamzhan
    11. Abû al-FaRawidi negara NaisAbûr
  • Guru-guru tasawuf beliau yang tidak pernah bertemu langsung, antara lain:
    1. Abu Yazid al-Busthami
    2. Sahal ibnu Abdillâh al-Tustari
    3. Abû al-Qâsimal-Junaidi
    4. Abû Bakar al-Wasiti
    5. Samnûn al-Muhibbi
    6. Abû al-Najib al-SyuhRAwardidan lain-lain.
  • Guru-guru tasawuf beliau yang langsung bertemu, antara lain:
    1. Rauzabhan(seorang guru ilmu tarekat)
    2. Ibnu al-Ashri(seorang guru ilmu jiwa)
    3. Amar ibnu Yasir(seorang guru ilmu khalwat)
    4. Ismâ’il al-Kushra(seorang guru ilmu pakaian sufi)

Guru tarekat beliau yang pertama adalah syaikh Ismâ’il al-Kushra sedangkan guru Tarekat yang terakhir adalah Amar ibnu Yasir. Beliau adalah seorang guru yang paling dekat dan memberikan dampak yang paling besar dalam ilmu tasawuf.

  • Murid-murid beliau antara lain:
    1. Syaifudin al-Ma’ali Sa’id ibnu al-Muthahir al-BakhaRAzidari negara Bukhara
    2. Majdu al-Dîni Syarif ibnu Mu’ayyad ibnu Abi Abi al-Fatah al-Baghdadi
    3. Najmuddîn Abdillâh ibnu Muhammad ibnu Syahawar ibnu Abû Syarwanyang terkenal dengan sebutan Najmuddîn yang mengarang tafsir Alquran Bahrul Haqaiq wal Ma’ani fi Tafsiri Sab’il Ma’ani
    4. Sya’duddin Muhammad ibnu Muayyad ibnu Abdillâh ibnu Ali al-Hamawi al-Sufi al-Juwaini

Karangannya

  1. al-Ta’wîlati al-Najmiyyati(tafsri Alquran)
  2. Fawaihu al-Jamâli wa Fawatihu al-Jamali
  3. Al-ushûl al-AsRAatau yang terkenal dengan Bayân AqRAb al-Turuqi
  4. Risâlah al-Safînah
  5. Risâlah al-Khaifu al-Haimu min Laumati al-Lâimi
  6. Thawâliu al-Tanwîri
  7. Manâzil al-Sâirin
  8. Suknatus Shalihîn
  9. al-Rubâiyatiyaitu kumpulan syi’ir-syi’ir yang berbahasa Persi

Tarekat Najmuddîn dan Cabang-cabangnya

  1. al-Kubrâwiyah al-Hamdaniyah
  2. al-Kubrâwiyah al-Nûriyah
  3. al-Kubrâwiyah al-Rukniyah
  4. al-Kubrâwiyah al-Dzahâbiyyah al-Ightisyasiyah
  5. al-Kubrâwiyah al-Nura Najsiyyah
  6. al-Kubrâwiyah al-Idrusiyah
  7. al-Kubrâwiyah al-Firdausiyah

Sumber: Alif.ID

98. Tarekat Histiyah

Imam Tarekat Hisytiyyah (di judul ditulis Histiyah) adalah Khawaja Mu’inuddin Hasan Sanjari Hisyti. Terkadang  ia dikenal dengan julukan-julukan Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (Penyantun orang-orang Miskin), Khawâjai Khawajagân (Imam segala Imam), Khawâjai Buzur (Imam Agung), Athâ’ ar-Rasul (Pemberian Nabi), dan Khawajai Ajmeri (Wali dari Ajmer). Ia lahir pada tahun 1142 M, tapi sebagian ahli menyebut tahun 1136 M. Tempat kelahirannya adalah Sanjar, sebuah kota  di Sistan, daerah pinggiran Khurasan.

Ia menghabiskan masa-mudanya  di Sanjar. Ia adalah murid dari pengganti Khawaja ‘Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama dua puluh tahun, ia hidup bersama syaikh ini dan berkhidmat kepadanya. Ia sezaman dengan Syaikh Najmuddin Kubrâ, Syaikh Awhad al-Din al-Kirmânî, Syaikh Syihâbuddin Suhrawardi, dan Khawaja Yusuf Hamadani. Pertemuannya dengan Syaikh Abdu al-Qadir al-Jilani juga dibuktikan oleh berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jum’at, di bulan Rajab, 632 H./1235 M. Makam atau kuburannya ada di Ajmer, India.

Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah mengatakan bahwa penghulu para wali, Sayyidina ‘Ali, bertanya kepada Rasulullah SAW. demikian:

“Ya Rasulullah! Tunjukkan kepadaku jalan mana yang paling dekat menuju Allah SWT. dan yang paling utama dalam pandangan Allah SWT. juga, serta yang paling mudah bagi segenap hamba-Nya.” Nabi SAW. Menjawab: “Terus-menerus melantunkan zikir secara diam-diam”. ‘Ali bertanya: “Bagaimana aku mesti melakukannya?” Nabi SAW. Menjawab: “Tutuplah matamu dan dengarkan dariku tiga kali”.

Lalu, beliau mengulang-ulang kalimat laa ilaaha illallah tiga kali dan ‘Ali mendengarkannya. Kemudian ‘Ali mengulangi kalimat laa ilaaha illallah dan Nabi SAW. mendengarkannya. Kelak, ‘Ali mengajarkannya kepada Hasan al-Bashri. Begitulah zikir itu akhirnya sampai kepada kita (Imam ‘Ali wafat pada tahun 661 H. dan Hasan al-Basri pada tahun 728 H).

Tentang hadîts ini, Syaikh Waliyullâh berkomentar sebagai berikut:

Dengan alasan Hadis ini diriwayatkan hanya oleh para Syaikh Hisytiyyah dan, menurut para `ulamâ’, Hadis ini lemah dan tidak shahîh, sebab pertemuan ‘Ali dengan Hasan al-Bashri bukanlah kenyataan sejarah. Karena susunan kata dalam Hadis tidak cukup bagus, maka sulit kiranya menerima keshahihannya. Akan tetapi, penghormatan yang tinggi oleh para wali Hisytiyyah menuntut agar kita tidak memandangnya sebagai Hadis yang tidak shahîh; sebab menurut Imam Abû Hanifah dan Imam Mâlik, sebuah Hadis mursal sekalipun, jika para perawinya terpercaya, tetap dipandang shahîh, (Syifâ’ al-‘Alîl fi al-Qiyâsi wa al-Ta’lîl Terjemahan ke dalam bahasa Urdu dari karya Syaikh Waliyullâh, Qaul al-Jami’, Nizami Press, Kawnpur, 1291 H, halaman: 44-45).

Dalam Tarekat Hisytiyyah, sebelum syaikh memberikan perintah lebih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian Syaikh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfâr dari durud sepuluh kali serta membaca ayat Alquran berikut ini:

….فَاذْكُرُواْ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ …. ﴿١٠٣﴾

Ingatlah Allah SWT. di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring, (QS An-Nisâ’: 103).

Syaikh kemudian menyuruh sang murid untuk terus melakukan perintah ini dengan membaca ayat di atas, dan tidak melewatkan sesaat pun tanpa zikir, seperti diungkapkan seorang penyair:

“Jalan pencarian ini tak pernah berhenti sesaat pun”

Sumber: Alif.ID

99. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (1)

Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah menganjurkan metode zikir sebagai berikut ini: sang murid mesti duduk dengan lutut terlipat, atau duduk bersila, dan menghadap kiblat (Ia tidak harus berwudu lebih dahulu, namun akan lebih baik jika berwudu). Ia mesti duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk bersila, ia harus menahan kima (urat nadi yang ada dalam kaki) atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya.

Posisi ini bisa membuat hati merasa hangat, mampu menghilangkan bisikan-bisikan jahat, dan bisa melarutkan lemak di sekitar hati, yang menjadi tempat khannas atau “yang membisikkan rasa was-was”. Dengan duduk seperti ini, sang murid mulai melakukan zikir jali atau dzikr khafi (zikir keras atau zikir diam).

Perlu kiranya diperhatikan tujuh macam kondisi zikir itu diungkapkan dalam sajak berikut ini:

“Keadaan antara “dzât”, “shifât”, “perpanjangan”, “penekanan”, “bawah”, dan “atas”,
Memberikan kepada sang murid semangat dalam setiap tarikan nafas

  1. Yang dimaksudkan dengan “Keadaan antara” (barzah) adalah bentuk kiasan syaikh (pembimbing spiritual). Ini diperlukan untuk mengobati kemunafikan dalam hati.
  2. Yang dimaksud dengan “dzat” adalah dzaWujud Mutlak.
  3. Yang dimaksud dengan “sifat” (shifát) adalah tujuh sifat utama Allah SWT., yakni Maha hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Berbicara. Sang murid harus merenungkannya, dan mesti memikirkan dzat Allah SWT.
  4. Yang dimaksud dengan “pemanjangan” (madd) adalah pemanjangan kata l(manakala dilakukan zikir Khafi dan itsbât), atau pemanjangan huruf alif dalam kata Allah (ketika dilakukan zikir seh-paya [tiga ketukan] dalam Tarekat Hisytiyyah).
  5. Yang dimaksud dengan “penekanan” (syadd) adalah penekanan yang dikenakan pada kata-kata illallah atau pada kata
  6. “Di bawah” (taht) menunjukkan bahwa, manakala sedang berlangsung zikir nama Allah, hamzah dalam kata Allah mestilah dimulai dengan kekuatan dan diucapkan dari bawah pusar, dan manakala sedang berlangsung zikir nafî wa itsbát, kata la mesti dimulai dengan kekuatan dari bawah pusar.
  7. Yang dimaksud dengan “atas” (fawq) adalah bahwa zikir nama Allah mestilah dirampungkan dalam otak. Dalam dzikr nafî wa itsbât, zikir ini disempurnakan di bahu kanan.

Dengan memperhatikan kesemuanya itu, zikir nafî wa itsbât chahârpaya (empat ketukan) dilakukan demikian:

Sambil duduk dalam posisi shalat atau duduk bersila, dengan penuh konsentrasi, seseorang harus menarik kata la dari pusar dengan cara memperpanjang suara dan membawanya ke bahu sebelah kanan. Kemudian, ia harus menarik kata ilâha dari pusat otak, dan berpikir bahwa ia telah mencabut segala sesuatu selain Allah SWT. dari hatinya dan membuangnya jauh-jauh. Lantas, sembari mengambil nafas baru, ia mesti mengetukkannya di hati kuat-kuat dengan kata-kata illallah, agar berhala-berhala yang ada dalam dirinya bisa dihancurkan dan diluluhkan, dan pada saat berlangsung zikir penegasan berpikir, bahwa realitas yang dicari-cari sesungguhnya ada di hadapannya, dan bahwa sang hamba sendiri telah lenyap dan lebur.

Sang Sahabat masuk ke dalam dan kami pergi keluar.

Dengan la penafian, sang murid menafikan segenap ma’budiyât (berbagai objek penyembahan) selain Allah SWT.; sang dzâkir yang tengah menempuh tahap pertengahan menafikan seluruh maqshûdiyât (tujuan akhir) selain Allah SWT.; dari sang dzâkir yang telah mencapai kesempurnaan menafikan wujud segala sesuatu selain Allah SWT. Syarat utama zikir ini adalah konsentrasi dan pemahaman makna agar sang dzâkir tidak tertimpa kesengsaraan dan kemurkaan hebat yang disebutkan dalam Hadis di bawah ini:Baca juga:  Kuntowijoyo Memantik Geliat Politik Umat

Aku mengingat dengan kutukan orang yang mengingat-Ku dengan kelalaian, dan manakala hamba-Ku mengingat-Ku dengan bersenda-gurau, maka singgasana-Ku berguncang dengan kemurkaan.

Syarat berikutnya adalah bahwa sang murid mesti memperhatikan bentuk kiasan syaikh atau pembimbing spiritualnya, ketika melakukan zikir. Syaikh Qadhi Khân Yûsuf menandaskan: Empat ribu pembimbing spiritual menuju Allah SWT. sepakat bulat bahwa diperlukan dua hal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. yang satu adalah zikir dan yang lainnya adalah lapar. Hanya saja, orang yang melakukan zikir keras jangan sampai kelewat lapar. Cukuplah kiranya kalau ia menyisakan seperempat perutnya kosong. Ia mesti makan lebih banyak mentega (ghee) yang lebih jernih agar otaknya tidak kacau lantaran usang.

Dalam Tarekat Hisytiyyah, Dzikri Haddâdi juga diamalkan sebagaimana dalam Tarekat Qâdiriyyah. Ini dituturkan dari Imam Abû Hafsh Haddâd. Metode mengamalkannya adalah sebagal berikut:

  1. Sang dzâkir mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah.
  2. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke angkasa.
  3. Ketika mengucapkan la ilaha, ia berdiri di atas kedua lututnya, dan kemudian kembali ke posisi semula.
  4. Lalu ia mesti meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat, dan seraya mengucapkan illallah memukul dadanya dengan kata-kata yang saRAt dengan makna keagungan dan kebesaran. Sebagian orang menarik kata-kata la ilaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kata-kata illallah pada hati. Sebagian lagi mengucapkan kata Allah dengan cara yang sama serta mengenakan ketukan hû pada dada.

Selama beberapa hari, sang murid mengamalkan chardharbi dzikr (atau chahar-páya, atau empat ketukan). Manakala cahaya zikir muncul dalam dirinya, yakni manakala ia mulai merasa giat dan bersemangat, maka ia pun diperintahkan untuk melakukan dzikr du dharbi damádam (zikir dua ketukan secara cepat dan beruntun). Prosedurnya ialah mengenakan satu ketukan la ilaha pada bahu kanan, dan ketukan kedua illallah dalam daerah hati dan mengucapkan Muhammadun Rasul Allah pada ketiga, kelima, ketujuh atau kesembilan kalinya. Ada sedikit perbedaan dalam zikir ini, disebabkan oleh sedikitnya ketukan. Manakala cahaya zikir ini mulai muncul,  la ilaha pun dihilangkan dan hanya zikir dua ketukan saja yang dilakukan dengan illallah.

Dalam zikir dua ketukan illalláh, sang dzâkir sesudah menggerakkan kepalanya ke kanan, mengenakan ketukan illallah di daerah hati. Setelah itu, biasa dilantunkan zikir nama Allah SWT. dalam Tarekat ini, yang dilakukan dengan menarik kata Allah dari pusar ke atas serta mengenakan ketukan hu pada hati.

Semua zikir yang disebutkan di atas, entah dengan suara keras atau diam dan dilakukan oleh lidah. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa zikir illallah dilakukan lebih bányak ketimbang la ilaha illallah.

Sumber: Alif.ID

100. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (2)

Kemudian sang murid diperintahkan untuk melakukan dzikr-i-laq-laqa. Ini adalah mengingat Allah SWT. secara diam-diam dan terus-menerus tanpa henti. Selama zikir ini berlangsung, sang dzâkir bebas membuka atau menutup mulutnya; ia boleh juga menahan napasnya atau tidak sama sekali. Zikir ini dilakukan dengan lidah hati.

Kemudian, sang dzâkir diperintahkan untuk melakukan zikir tiga ketukan: dzikr-i-seh-pâya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: nama Allah, perenungan atas sifat-sifat utama (yakni, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Tujuh syarat yang disebutkan di atas harus juga diperhatikan.

Zikir tiga ketukan mestilah dilakukan dengan cara demikian: sang dzâkir duduk bersila dan menarik huruf hamzah dalam kata Allah dari bawah pusar dengan amat kuat dan memanjangkannya, menahan napas dalam dada, mengucapkan Allah dengan hati, dan mengucapkan Samî’un (Maha Mendengar) secara serentak dengan memahami maknanya dan kemudian mengucapkan lagi Allah serta kemudian Bashîrun (Maha Melihat) dengan memahami maknanya dan kemudian ia mesti mengucapkan Allah dan `Âlimun (Maha Mengetahui) sembari memahami maknanya. Ini disebut ‘uruj atau “tangga-naik”.

Selanjutnya, sang dzâkir dengan memahami maknanya mengucapkan Allahu ‘alimun, Allahu bashirun, Allahu saimi’un. ini disebut nuzul atau “tangga turun”. Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau “sirkulasi”, yakni sebuah zikir yang terdiri atas ‘uruj dan nuzül. Rahasia ‘uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan.

Dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang jauh lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami’ lebih dahulu dan ketika, sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang lebih luas, ia pun menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika, sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap “kegaiban dalam kegaiban” yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan ‘alim, dan kemudian ia kembali.

Menurut sebagian kaum arif, Allahu sami’un, Allahu bashirun, Allahu ‘alimun; Allahu ‘alimun, Allahu bashirun, Allahu sami’un; Allahu sami’un, Allahu bashirun, Allahu ‘alimun adalah sebuah zikir yang terdiri atas dua ‘uruj dan satu nuzül pertengahan.

Hanya saja, dalam zikir tiga ketukan ini, sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak empat puluh atau lima puluh kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati, tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sang dzâkir diliputi oleh cinta Allah SWT. dari keadaan fana diri bisa dikembangkan.

Sesudah sang hamba berhasil melakukan zikir tiga sifat, sami’, bashir, dan ‘alim ini dengan cara yang ditetapkan di atas, ia bisa menambahkan lima sifat lagi, yakni dâ’im (Maha Abadi), qâ’im (Maha Berdiri Sendiri), hâdhir (Maha Hadir), názhir (Maha Melihat), dan Syakhid (Maha Menyaksikan). Manakala ia mampu mempertahankan ini juga, ia bisa menambahkan tujuh sifat utama selebihnya. Sang hamba terus melakukan zikir ini selama diperlukan. Jika cahayanya mulai muncul dalam dirinya, yakni ia mulai merasa giat dan bersemangat, maka bisa ditambahkan sifat-sifat gabungan lainnya: akram al-akramin (Maha Pemurah dari Yang Pemurah), arham ar-ráhimin (Maha Pengasih dari Yang Pengasih) ajwad al-ajwadîn (Maha Pemberi), dz’u al-fadhl al-’azhim (Pemilik Anugerah Terbesar), Rabb al-’arsy al-’azhim (Pemilik Singgasana Teragung).

Di sini, Syaikh Kalimullah menyuruh sang hamba bahwa meskipun sangat sulit menarik kuat-kuat huruf hamzah dalam kata Allah dari bawah pusar, zikir ini sangatlah bermanfaat, dan bahwa tanpanya, zikir itu kurang efektif. Karena itu, sang hamba mestilah melakukannya sebenar mungkin. Akan tetapi, hendaknya ia jangan terlalu terhambat.

Sang penempuh jalan spiritual (salik) mesti juga mengamalkan dzikrulláh empat dan enam ketukan. Zikir enam ketukan berupa mengetukkan Allah pada setiap sisi. Zikir empat ketukan dilakukan dengan duduk menghadap kiblat, meletakkan Alquran di hadapannya, atau duduk di depan makam seorang wali. Ia mesti mengenakan kètukan pertama pada sisi sebelah kanan, kedua pada sisi sebelah kiri, ketiga pada Alquran, dan keempat pada daerah hati. Sementara itu, ia mesti benar-benar tenggelam dalam zikir tersebut. Zikir ini mengungkapkan makna Alquran, dan jika makam itu ada di depannya, maka keadaan orang yang dikuburkan di situ akan terungkap. Dalam zikir ini diperlukan media, yakni Syaikh atau pembimbing spiritual. Tanpa media, zikir ini tidak berguna.

Sumber: Alif.ID

101. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (3)

Anggota-anggota Tarekat Hisytiyyah mengamalkan dzikr pas-i-anfas atau “zikir menjaga napas” sebagai berikut: Sang dzákir mengucapkan  la iláha dalam napas yang dihembuskan, dari illallah dalam napas yang dihirup dengan lidah hati. Artinya, penafian dilakukan ketika napas keluar, dan penegasan dilakukan ketika napas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini, pandangan diarahkan kepada pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar pernapasan itu sendiri menjadi dzákir, entah sang dzâkir itu tidur atau terjaga.

Zikir menjaga napas bisa juga dilakukan dengan nama dzat (Allah). Caranya ialah memperpanjang sedikit huruf terakhir h, agar ada huruf u, yakni sang dzâkir mestilah, dengan lidah hati, mengucapkan Allah dengan napas yang masuk, serta hu dengan napas keluar.

Jika bunyi dihasilkan dari lubang hidung dalam zikir menjaga napas, entah itu dilakukan dengan la ilâha illallah atau dengan Allah, maka yang demikian ini disebut dzikr Arra-Bini. Zikir ini menimbulkan keresahan dan perasaan terbakar. Zikir ini membuat otak jadi panas dan kering. Dalam keadaan seperti ini, para sufi mengusapkan minyak buah badam di kepala mereka.

Sang dzâkir mesti berusaha sebaik mungkin untuk mencapai kesempurnaan dalam zikir ini, dan kesempurnaan pun dicapai manakala pernapasan itu sendiri sudah menjadi dzâkir, tanpa kemauan dan kesadaran sang dzâkir. Mula-mula, zikir ini dilakukan seribu kali sesudah shalat ‘Isyâ’, dan lima ratus kali sesudah shalat Subuh. Jumlahnya semakin meningkat dan bertambah hingga zikir ini terucap dengan sendirinya.

Diriwayatkan oleh Jabir, mengenai para penghuni surga, bahwa Nabi Muhammad SAW.. bersabda:“Tasbih (Maha suci Allah) dan Tahmid (Segala puji bagi Allah), bagi mereka, sama biasanya seperti bernapas.

Dengan menjaga napas demikian, kondisi yang sama pun bisa diciptakan, dan sang dzákir menjadi aktif dengan setiap tarikan napas. Sebab, dengan amalan yang berlebih, ketika kebiasaan zikir itu terbentuk dalam setiap tarikan napas, maka zikir akan menjadi otomatis, dan bahkan sebelum kematian datang menjemput, keadaan seseorang akan sama seperti keadaan para penghuni surga. Dituturkan kepada kita bahwa, pada “hari perhitungan” kelak, setiap orang akan ditanya ihwal bagaimana ia menggunakan setiap tarikan napasnya.

Jika tarikan napas seseorang digunakan untuk mengingat Allah, maka ia bakal beroleh keselamatan. Itulah sebabnya Syaikh al-Akbar mengatakan: Rentang waktu kehidupan sangatlah singkat. Setiap tarikan napas adalah segala sesuatu yang baik. Apa yang sudah keluar tidak akan pernah kembali lagi.

Dari seorang penyair sufi mengatakan:

Setiap tarikan napas yang keluar adalah sepenggal masa,

Yang nilainya akan diperoleh di dunia dan di akhirat,

Janganlah memilih menghancurkan perbendaharaan ini,

Kalau tidak, engkau akan masuk kubur laksana orang Miskin terlunta-lunta dengan tangan kosong!

Jika menjaga napas sudah bisa dilakukan, maka sang hamba termasuk ke dalam orang-orang “yang banyak mengingat Allah”, sebagaimana diperintahkan oleh Alquran kepada kita:

Wahai orang-orang beriman! Sebut dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, …..

Zikir menjaga napas dilakukan dalam hati saja dan tidak dengan lidah jasmani. Sebagian ‘ulama fiqih menolak kesahihan zikir dalam hati (dzikr al-Qalb). Akan tetapi, zikir atau “mengingat Allah” dipertentangkan dengan kelalaian, yang karenanya hanya merupakan sebuah sifat khas hati. Oleh karena itu, tidaklah benar membatasi zikir pada mengingat Allah dengan lidah saja. Zikir mestilah dilakukan dengan lidah dan juga hati. Mengakui yang satu dan menolak yang lain jelas tidak benar sama sekali.

Dzikr Kasyf ar-Rüh (zikir menyingkap ruh) dilakukan Sebagai berikut: Pertama, sang dzákir mesti mengulang-ulang Ya Rabb (Ya Tuhan) dua puluh satu kali. Kemudian ia mesti mengenakan dharb Yá Ruh ar-Ruh (Wahai ruh dari segala ruh)! Kemudian ia mengangkat kepala tinggi-tinggi dan mengucapkan Ya Ruh. Sesudah menyelesaikan zikir ini, ia mesti merenungkan ruh-ruh yang sudah berpulang ke haribaan Allah. Ruh yang dikenangkan akan menampakkan diri, entah sang dzâkir tidur atau terjaga. Jika zikir ini diamalkan dua ribu kali, maka tujuan akan diraih dengan segera. Zikir ini sampai pada Sayyid Muhammad Gisu Darâz dan Khwâja Nashiruddin Chirâgh Dehlavi.

Dzikr Kasyf al-Qubür (Zikir menyingkap kubur):

Sang dzákir mesti duduk di dekat kuburan, menengadahkan kepalanya ke langit dan mengucapkan: Aksyif Ii yâ Nür (singkapkan kepadaku, wahai Cahaya), kemudian mengulangi aksyf li (singkapkan kepadaku), mengetukkannya di hati, serta menghadap ke arah orang yang mati di kubur, mengetukkannya dan mengucapkan “unbalihi” (singkapkan keadaannya kepadaku). Keadaan orang yang mati akan tersingkap dan terungkap baik dalam mimpi atau secara jelas ketika ia sedang terjaga.

Dalam Tarekat Hisytiyyah, Dzikr al-ijâbat ad-Da’awât atau zikirpengabulan doa-doa” sangatlah bermanfaat. Zikir itu dilakukan sebagai berikut: Pertama, sang dzákir mesti menerapkan dharb: Yâ Rabb! (Ya Tuhan) pada sisi sebelah kanan, kemudian menerapkannya pada sisi sebelah kiri dan kemudian pada hati. Lantas ia mesti mengucapkan Yâ aAbbi (Ya Tuhanku!). Zikir ini mesti diulangi sebanyak-banyaknya. Manakala sang dzâkir ingin menyelesaikan zikir ini, ia mesti mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan: Yâ Rabb, sambil mencamkan tujuan yang ingin diraihnya. Zikir ini dituturkan dari Syaikh Muhyiddin Ibn Al-’Arabi.

Zikir berikut ini sangat efektif untuk mengobati berbagai macam penyakit: Sang dzâkir memukul sisi sebelah kiri dengan Yâ Ahad (Wahai Yang Maha Esa!), pada sisi sebelah kanan dengan Yá Shamad (Wahai Zat tempat meminta) dan Yá Witr (Wahai Yang Maha ganjil) pada hati.

Sumber: Alif.ID

102. Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (4)

Perlu kiranya mengetahui beberapa hal lagi tentang zikir menahan napas. Syekh Kalimullah Jahânâbâdi mengatakan bahwa dalam beberapa tarekat, menahan napas dipandang sebagai prinsip paling manjur untuk menghilangkan kemunafikan dalam jiwa. Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah, Kubnawiyyah, Syattâriyyah, dan Qadiriyyah menjadikannya sebagai syarat untuk menghilangkan kemunafikan dalam hati serta untuk kefanaan diri.

Akan tetapi, para syaikh dalam Tarekat Naqsybandiyyah tidak memandangnya sebagai sebuah syarat apa pun. Namun, mereka tidak menafikan kemujarabannya. Bertolak belakang dengan mereka, para syaikh dalam Tarekat Suhrawardiyyah menganjurkan agar napas hendaknya jangan ditahan. Sebagai akibatnya, Syaikh Bâhâ’uddin ‘Umar dan Syaikh Zaynuddin Khawafi, pendukung Tarekat Suhrawardiyyah, juga berpandangan serupa.

Syekh Kalimullah menegaskan bahwa ada dua hal yang mesti dicamkan. Yang satu ialah menahan napas, dan yang lain adalah menghentikan napas (habs al-nafs dan hashr al-nafs). Ada dua macam menahan napas: mengosongkan dan mengisi. Yang dimaksud dengan mengosongkan (takhalliyyah) ialah menarik napas dalam lambung dan menarik pusar menuju punggung, dan menahan napas dalam dada, dan menurut sebagian orang dalam otak.

Untuk mencegahnya, sebagian orang menutup lubang hidung, telinga dan mata mereka dengan jari-jemari. Hanya saja, ini tidak perlu. Konon, Khidhr menyuruh Syaikh ‘Abdul-Khaliq Ghijduwâni untuk menenggelamkan diri dalam sebuah bak air dan mengamalkan yang demikian itu.

Pengalaman para sufi ialah bahwa menahan napas banyak memberikan manfaat. Umpamanya saja, kemunafikan dalam jiwa bisa dihilangkan. Perasaan gembira dan bahkan ekstase bisa dialami.

Yang dimaksud dengan “mengisi lambung” (tamli’ah) adalah bahwa napas mesti ditarik dan ditahan dengan menggelembungkan perut. Dalam keadaan seperti ini, pusar lantaran perut menggelembung terpisah dari punggung. Dengan mengosongkan perut napas, panas yang dibutuhkan dalam sulük pun meningkat, dan dengan mengisi, makanan pun bisa dicernakan.

Menghentikan napas (hashr an-nafs), sering kali dilakukan oleh para yogi, ialah memutuskan napas dari kedua sisi, yakni secara berangsur-angsur mengurangi panjangnya menghirup dan menghembuskan napas sampai napas ranar-benar berhenti. Tak pelak lagi bahwa tindakan ini menghasilkan panas dalam hati. Akan tetapi, panas yang dihasilkan dengan menahan napas jauh lebih besar ketimbang yang dihasilkan dengan menghentikan napas.

Bisa diperhatikan bahwa tujuan menahan napas dalam zikir dua dari empat dharb dan zikir Haddadi serta yang lainnya ialah menghasilkan panas dalam hati sang hamba. Pada gilIrannya, ini menimbulkan semangat dan menyiapkan dirinya untuk mencintai Allah. Zikir ini juga mengipasi api cinta serta mengembangkan kemabukan spiritual dan kegembiraan bergejolak dalam diri sang hamba.

Selama periode ini, sang hamba diperintahkan untuk menjauhi makanan-makanan yang banyak mengandung kelembaban. Demikian juga, ia tidak boleh memakan makanan yang asam atau pedas. Ketika napas di hembuskan sesudah ditahan, maka napas itu mestilah dihembuskan pelan-pelan melalui hidung dan jangan melalui mulut. Jika tidak demikian, maka yang demikian itu sangat berbahaya.

Lagi-lagi, zikir ini jangan dilakukan ketika perut sedang penuh terisi makanan, atau ketika seseorang itu lapar. Menahan napas dengan segenap tindakan pencegahan ini diperlukan di awal suluk. Akan tetapi, ketika sang hamba mencapai kesempurnaan, ia boleh mengamalkannya atau tidak sama sekali. Syekh Kalimullah menyatakan bahwa kaum Sufi mempelajari praktik ini dari para pertapa Hindu.

Para Sufi terkemuka juga berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan inderawi, dan wujud batiniahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlah sebuah hubungan antara dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan adanya hubungan ini, hati sang hamba pun tercerahkan, dan ia pun melihat Zat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah.

Zikir juga memungkinkan sang hamba melihat berbagai ragam cahaya. Warna berbagai cahaya ini terkadang putih, terkadang hijau, dan kadang-kadang merah. Akhirnya, muncul warna hitam, yang disebut “cahaya kebingungan dan “cahaya zat”. Cahaya yang terlihat dekat dengan bahu kanan dipandang sebagai cahaya malaikat pencatat sebelah kanan.

Jika ini terputus, maka yang demikian ini dipandang sebagai cahaya syaikh, dan jika muncul di hadapan sang dzakir, maka hal itu dipandang sebagai cahaya Nabi Muhammad. Begitu juga, jika ia muncul dekat dengan bahu sebelah kiri, maka yang demikian adalah cahaya malaikat pencatat di sebelah kiri; dan jika terputus, maka hal itu dipandang sebagai tipu daya setan. Sama halnya, jika ada suatu bentuk muncul di sisi sebelah kiri, maka hal itu juga dipandang sebagai tipudaya setan. Jika cahaya itu muncul dari belakang dan atas kepala, maka hal itu dipandang sebagai cahaya malaikat-malaikat penjaga.

Jika cahaya itu muncul tanpa arah, dan sang dzâkir ketakutan olehnya, dan tidak dirasakan adanya kehadIran Allah sesudah cahaya itu lenyap, maka yang demikian itu juga harus dipandang sebagai tipu daya setan. Jika kehadIran Allah dirasakan ketika cahaya itu muncul dan timbul perasaan berpisah dan rindu kepada Allah sesudah cahaya itu lenyap, maka ia mesti memahami bahwa itulah cahaya Zat Mahabenar yang dicari.

Jika cahaya itu muncul di dada, dan di atas pusar, maka lagi-lagi yang demikian ini dipandang sebagai tipuan setan. Jika cahaya muncul dalam hati, maka hal itu dipandang sebagai cahaya yang dihasilkan dengan menyucikan hati.

Akan tetapi, sang pencari sejati Allah semestinya tidak perlu memperhatikan cahaya-cahaya ini, juga tidak boleh merasa puas dengannya, sebab kesemuanya itu bukanlah tujuan yang ingin diraihnya. Penghambaan sang pencari Allah yang menimbulkan cahaya dipandang sebagai yang paling aman, dan ia bisa berharap lebih jauh untuk mencapainya.

Sumber: Alif.ID

103. Macam-Macam Zikir Tarekat Histiyah (1)

Dalam karyanya berjudul Kasykül, Syakh Kalimullah juga berbicara tentang berbagai zikir yang diturunkan dari hati ke hati. Para syaikh mengajarkannya hal seperti itu  kepada murid-murid  hanya sesudah dibersihkan oleh perjuangan, penolakan diri, dan tobat mereka sendiri selama empat puluh hari (chillas).

  1. Satu zikir khusus seperti ini adalah dzikr-e-mâ’iyat, yang diamalkan dengan mengucapkan  ya ma’i, yâ ma’i, yâ hu (wahai Engkau yang bersamaku). Metode mengamalkanya adalah sebagai berikut: Sang dzakir duduk dengan lutut terlipat, dengan kedua paha di tanah, serta memegang kuat-kuat bahu kiri dengan tangan kanan dan bahu kanan dengan tangan kiri. Kemudian ia mengulang-ulang enam kata di atas sedemikian rupa sehingga setiap ketukan bisa dikenakan pada setiap kata. Ketukan pertama mestilah berada di antara kaki kanan dan lutut kanan, ketukan kedua ke arah langit, ketukan ketiga antara kaki kiri dan lutut kiri, ketukan keempat pada hati, dan ketukan kelima dengan energi penuh di daerah hati. Diucapkan dengan kesadaran jiwa seperti ini, kata hu bermakna “ketunggalan mutlak” (ahadiyyat muthlaqah).

Sesuai dengan firman Allah, “Tidak ada sesuatu menyerupai-Nya…. (QS. Asy-Syürâ, 42:11).

Lebih baik jika selama zikir ini berlangsung, makanan sang dzâkir adalah susu. Bisa juga ditambahkan kunyit. Ia mesti juga mengenakan wewangian. Boleh jadi, zikir terbatas hanya pada tiga kata saja, yakni hu, hu, ya ma’i, dan sang dzákir mengetukkan hu, hu ke arah lagit, dan ma’i ke hati.

  1. Zikir berikutnya disebut dzikr aI-kulliyat (zikirkeseluruhan) yang dilakukan sebagai berikut:

Kata-kata yang digunakan adalah: Bika al-kull, minka al-kull, ilayka al-kull, yâ kull al-kull! (Bersama-Mu segala sesuatu, dari-Mu segala sesuatu, kepada-Mu kembali segala sesuatu, Wahai Yang Mahasegalanya). Sang dzâkir duduk bersila. Ia mesti mengetukkan sekali ke hadapannya, sekali ke sisi sebelah kanan, dan sekali ke arah langit atau hati. Dengan dua zikir ini, dicapai penyaksian ihwal Zat berikut sifat-sifatnya.

  1. Zikir khusus ketiga ialah dzikr al-Ihâthah (zikir keserbameliputan), yakni: Ya Muhith Dhahirun wa Bathinan (Wahai Engkau yang meliputi segala sesuatu, secara lahir maupun batin). Zikir ini juga membimbing ke arah penyaksian. Cara melakukannya iàlah bahwa sang dzakir membuka matanya ketika mengucapkan dhairun dan menutupnya ketika mengucapkan
  2. Zikir keempat adalah Mawh-al-jihat. Kata-kata yang digunakan adalah: Anta fawqi, anta tahti, anta amami, anta khalfi, anta yamini, anta syimali, anta fiyya wa ana ma‘a al-jihat fika aynama tuwallu fa-tsamma wajhullah (Engkau ada di atasku, Engkau ada di bawahku, Engkau ada di depanku, Engkau ada di belakangku, Engkau ada di sebelah kananku, Engkau ada di sebelah kiriku, Engkau ada dalam diriku, dan aku dengan genap penjuru arah ada dalam diri-Mu. Ke mana pun kamu hadapkan wajahmu, di sana ada wajah Allah).

Berikut ini adalah cara mengamalkannya: Sang dzakir mesti berdiri, menengadahkan wajahnya ke langit, dan mengucapkan anta fawqi, kemudian memandang ke tanah dan mengucapkan anta tahti. Sambil berdiri, ia melihat ke depan dan mengucapkan anta amami. Kemudian ia bergerak ke sebelah kanan, menoleh ke belakang dan mengucapkan anta khalfi. Kemudian, seraya menoleh ke kanan, ia mesti mengucapkan anta syimali, dan ketika mengetukkan pada hati, ia mesti mengucapkan anta fiyya. Akhirnya, dengan menoleh ke kiri, ia berputar ke segala arah dan mengucapkan ana ma’a al-jihat fika, aynama tuwallu fa-tsamma wajhullah. Sebagian orang pergi ke gunung atau ke hutan untuk mengamalkan zikir ini agar tak ada seorang pun melihatnya.

  1. Dari semua zikir ini, ada satu yang disebut dzikr at-tajalliy al-anâniyyah (pencerahan diri) dan inilah zikir inni anallaha, la ilaha illa ana (sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Aku). Zikir ini dilakukan seratus kali sesudah tengah malam. Caranya ialah sebagai berikut: Sang dzakir menengadahkan kepalanya ke langit dan mengucapkan: inni anallaha, dan kemudian sambil menoleh ke kanan, ia mengucapkan la ilaha, dan akhirnya ia mengetukkan illa ana dengan kekuatan penuh di daerah hati.

Dalam semua zikir di atas, merasakan pembimbing spiritual dan memahami makna kata-kata dalam zikir adalah syarat yang mesti ada, asalkan syaikh atau pembimbing spiritual adalah seorang sufi yang “berkesadaran”. Jika tidak, memahami maknanya saja sudah dipandang cukup memadai.

Mestilah diperhatikan bahwa zikir-zikir itu berakar dalam, dan bergantung pada cinta. Semakin sang dzakir mencintai Allah, maka semakin efektif zikir itu. Akan tetapi, dengan terus-menerus mengamalkan zikirikatan cinta akan makin bertambah kuat dan api cinta pun tersulut dalam hati. Zikir menyalakan bara api cinta yang padam, dan sang hamba tidak bisa melangkah maju tanpa cinta.

Gagasan itu diungkapkan dengan indah dalam bait-bait syair berikut ini:

Awas jangan pandang keadaan manusia sebagai permainan,

Dengan tidak mengerjakan sesuatu, jangan berpikir telah merampungkan kewajiban.

Jika engkau tidak sepenuhnya ditahap api cinta,

Janganlah mencari kesatuan ilahi dengan sekadar bicara.

Jika zikir itu sudah selesai, sang dzakir mesti mengucapkan tiga kali:

Mahasuci Allah segala puji hanya bagi-Nya semata; Mahasuci Allah, Allah Mahabesar, dan segala puji hanya bagi-Nya semata.

Dan kemudian membaca doa berikut: Ya Allah, sungguh Engkau telah berfirman: “Ingatlah Aku dan Aku pasti akan mengingatmu.” Aku mengingat-Mu sesuai dengan akal dan pemahamanku, ingatlah aku sesuai dengan pengetahuan, rahmat, ampunan, dan kemurahan-Mu! Ya Allah, bukakan telinga-telinga hati kami dengan mengingat-Mu! Wahai Engkau, yang lebih baik dari semua yang berzikir!

Sumber: Alif.ID

104. Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (2)

Syaikh Kalimullah adalah seorang syaikh berkedudukan tinggi dalam Tarekat Hisytiyyah. Ia adalah khalifah dan murid Syaikh Yahyâ Madani Hisyti. Ia lahir pada tahun 1060 H/ 1460 M. Tanggal kelahIrannya diambil dari kata ghani. Ia meninggal pada tahun 1142 H/ 1720 M. Salah seorang muridnya mengambil tanggal kematiannya dari kata-kata dzât-i-pâk.

Dalam karyanya yang tak tertandingi, Kasykül, menjelang bagian akhir, ia menyuguhkan sebuah metode zikir khusus, yang menurut hematnya, cocok dan sesuai bagi murid yang bisa menggunakan “hak penafsIran individual”. Tujuan zikir ini ialah mencapai “pengetahuan yang serba meliputi” (‘ilm al-basith) dan kefanaan-diri di hadapan Zat Allah (fana’ fi Allah). Di sini kami suguhkan, secara sederhana dan bersahaja, inti dari apa yang telah dikatakan oleh Syaikh Kalimullah ini adalah anugerah tak ternilai bagi pencari yang bijak dan berilmu.

Katanya, “Sangat diharapkan bahwa jika seseorang beramal menurut metode di bawah ini, ia bakal keluar dari lubang “keterpisahan” (firâq) dan dalam waktu singkat akan mencapai puncak “kesatuan” (jam’).

  • Sang pencari mesti duduk dalam keadaan suci sempurna dalam tempat tersendiri. Ia mesti menutup matanya, menempelkan lidahnya ke langit-langitnya, dan berpikir bahwa hati jasmaninya menggumamkan Allah, Allah, bahwa ia tidak sedang mendengarkannya, tetapi bahwa ia akan berusaha mendengarkannya. Kemudian, ia mesti sepenuhnya berkonsentrasi untuk mendengarkannya. Dengan bantuan dan pertolongan Allah, ia akan merasakan ada sedikit gerakan dalam hati. Kini, ia tidak akan tahu apakah gerakan ini ada dalam hati, atau dalam napas, atau hanya sekadar dalam imajinasinya.Karena itu, ia harus lebih banyak berkonsentrasi lagi, agar gerakan ini bisa didengar dan keraguan bahwa yang demikian itu adalah gerakan pernapasan atau sekadar imajinasi yang bakal hilang sama sekali. Ia merasa pasti dan yakin bahwa hati itulah yang berdebar dan menggumamkan Allah, Allah. Dalam terminologi Tarekat Naqsybandiyyah, ini dipandang sebagai Lathifah al-Qalb yang menjadi aktif dengan mengingat Allah.Anugerah besar ini diperoleh sesuai dengan bakat dan amalan sang hamba. Sebagian memperolehnya dalam waktu singkat, sebagian lagi meraihnya dalam waktu lama. Sebagian memperolehnya dengan sedikit perhatian, sebagian lagi sesudah berusaha dengan keras. Akan tetapi, tak ada yang kecewa.
  • Manakala sang dzâkir telah mencapai tahap ini, ia mestilah memelihara dan mendengarkan gerakan ini, baik ketika sedang bersama orang lain ataupun sendirian. Ia harus diam, berusaha memeliharanya serta menjaganya agar terus bergerak. Sebab, mula-mula, gerakan ini sangat lemah, dan hambatan kecil saja bisa menghentikannya. Manakala anugerah besar ini telah diperoleh, ia tidak boleh meremehkannya, serta berusaha siang dan malam menjaga dan mengembangkannya.Untuk sementara waktu, shalat-shalat sunnah dan berbagai macam wirid bisa ditinggalkan, dan hanya shalat-shalat wajib saja yang dilakukan. Kadang-kadang, ia harus membuka matanya dan menikmati keadaan mistis ini, sampai akhirnya ia mengembangkan kemampuan itu. Bahkan ketika matanya terbuka, ia bisa memperhatikan hatinya yang bergumam. Keadaan ini disebut Khilwat dar anjuman (atau kemampuan menikmati kesendirian, meskipun sedang bersama orang banyak).Dengan rahmat Allah, keadaan ini makin bertambah kuat. Pada saat sedang lupa, keadaan ini mesti dibangkitkan kembali dengan sedikit perhatian. Sesudah ini, semuanya akan berlangsung lama dan tak ada satu rintangan pun bisa menghalanginya. Dalam keadaan ini, sang pencari memperoleh kelezatan dalam zikir, dan hatinya pun bakal damai dan tenang.
  • Ketika gerakan hati mencapai tahap bahwa sang dzákir mulai mendengar nama Allah yang penuh berkah dari lidah hatinya, dan mengetahui bahwa gerakan ini muncul dari hati, maka gerakan ini bisa disebarkan ke seluruh anggota badan lainnya. Demikianlah gerakan ini terjadi dan timbul pertama kali dalam sebuah anggota tubuh sang hamba: kadang-kadang di tangan, kadang-kadang di kepala, dan kadang-kadang di kaki, sekalipun sang hamba sama sekali tidak sengaja menggerakkan bagian anggota tubuh itu serta berkonsentrasi hanya pada hati saja.Ketika cahaya zikir mulai menyebar, maka cahaya ini pun menyelimuti seluruh tubuh dalam waktu sangat singkat, dan tubuh sang hamba pun (dari ujung kepala hingga ujung kaki) dipenuhi dengan Pada tahap ini, berbagai keadaan mistis pun dialami. Terkadang ia merasa bahagia, terkadang kesal dan bingung. Hanya saja, sang hamba mestilah berusaha untuk tidak memperhatikan keadaan-keadaan ini. Ia mesti terus-menerus melakukan zikir, yang merupakan tugas pentingnya.Dengan rahmat dan berkah Ilahi, zikir nama Allah pun memancar dari seluruh tubuhnya, dan segenap anggota tubuhnya berjalan selaras dengan hati. Dalam keadaan seperti ini, dominasi zikir bisa lebih besar pada satu bagian anggota tubuh dan lebih kecil pada anggota tubuh lainnya. Kadang-kadang, dominasi ini menembus semua anggota tubuh lainnya. Jika hal ini tersebar merata dalam seluruh tubuh, maka sang dzâkir merasa sangat gembira dan bahagia. Dalam terminologi kaum Sufi, yang demikian ini disebut sulthân adz-dzikr.
  • Pada tahap ini, Syaikh Kalimullahmengingatkan kita ihwal prinsip para sufi besar bahwa tujuan zikir adalah kefanaan-diri dalam Zat Mahabenar yang diingat, dan bukan kefanaan atas nama Zat Mahabesar yang diingat. Karena itu, sang hamba hendaknya tidak memusatkan perhatiannya pada sekadar mengucapkan kata Allah saja, entah kata ini diucapkan oleh lidah atau oleh hati.Meskipun mengamalkan yang demikian ini sangat bermanfaat dan seseorang memperoleh pahala, tak urung tanpa merasakan kehadIran Zat Mahabenar yang diingat, zikir ini tidak akan membimbing dan mengantarkan pada kehadIran Zat Mahabenar yang tengah dicari. Sebagaimana baru saja kami katakan, tujuan hakiki zikir itu adalah fana’ fi-Allah, atau kefanaan-diri dalam haribaan Zat Mahabenar; dan bukan menempel pada Nama-Nya.
  • Ketika sang hamba sampai pada tahap sulthân al-dzikr, kadang-kadang terjadi bahwa ia merasakan ada gerakan dalam nadi dan hatinya, yang sifatnya berbeda dari gerakan pertama. Misalnya saja, gerakan yang dihasilkan oleh zikir tidaklah bersifat terus-menerus, sementara gerakan baru ini bersifat terus-menerus.Dalam ungkapan lain, gerakan pertama menyerupai gerakan hu hu hu yang di situ ada jedanya, sementara gerakan kedua menyerupai hu yang dipanjangkan; dengan kata lain, gerakan pertama bersifât tidak teratur, Sementara gerakan kedua bersifat terus-menerus. Gerakan kedua lebih halus ketimbang gerakan pertama, dan bisa diRasakan sesudah banyak melakukan amalan.

Mesti juga kita perhatikan bahwa gerakan pertama, yang tidak bersifat terus-menerus, bisa diketahui dengan kata-kata hü, Allah atau Haqq, sebab setiap kata mempunyai bunyi yang memiliki awal dan akhir. Karena itu, setiap bunyi terputus yang memiliki awal dan akhir bisa diidentifikasi dengan sebuah kata yang terputus. Akan tetapi, gerakan kedua yang bersifat terus-menerus yang awal dan akhirnya tidak jelas, tidak bisa diidentifikasi dengan kata-kata yang terpisah atau terputus-putus. Oleh sebab itu, kita bisa mengidentifikasikannya dengan Zat Mahabenar yang diingat, dan bukan dengan zikir, yakni nama Zat Mahabenar yang diingat.

Sumber: Alif.ID

105. Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (3)

Dalam hubungan ini, timbul keragu-raguan. Zat Mahabenar yang diingat dan dicari, yakni Haqq atau “Tuhan” mengandung kemutlakan sedemikian, yang (dalam hubungan dengan-Nya) kemutlakan bisa dipandang sebagai ketakterhinggaan. Dalam bahasa teknis, posisinya adalah lá bi syarth asy-syay’ (tanpa syarat apa pun), dan bukan bi syarth al-lâ syay’ (dengan syarat bukan apa pun).

Hanya saja, apa pun yang dirasakan oleh sang hamba melalui gerakan kedua sepenuhnya termasuk dalam dunia jasmani, dan berkenaan dengan tahap bi syarth al-la syay’. Lantas, bagaimana ini bisa diidentifikasi dengan Zat Mahabenar yang diingat, atau yang dicari, yakni Tuhan Yang Mahakuasa?

Kita akui bahwa keragu-raguan itu, sejauh ini, memang benar. Hanya saja, kita mesti memperhatikan bahwa sebuah objek yang mempunyai “kemutlakan” tertentu ternyata lebih dekat dengan Zat Mahabenar yang dicari ketimbang objek yang mempunyai “keterbatasan” sebagai sifatnya. Karena tipe gerakan kedua, bila dibandingkan dengan tipe pertama, mempunyai kemutlakan di dalamnya, maka ia pun lebih menyerupai Zat Mahabenar yang dicari ketimbang tipe gerakan pertama.

Sesungguhnya, kedua tipe gerakan ini termasuk dalam alam tanazzulát, dan berbagai manifestasi semua nama dan sifat. Dalam perjalanan menuju Allah, tujuan hakiki adalah la bi syarth al-syay’, yang merupakan tahap paling tinggi dalam perjalanan menuju Allah. Yang demikian hanya mungkin dicapai manakala sang hamba mencapai tahap fana’ atau “kefanaan menyeluruh” dan kemudian baqá’ atau “menetap dalam diri Allah”.

  • Akan tetapi, ketika gerakan terus-menerus ini dirasakan oleh sang hamba, sebagian orang merasakannya menyebar ke seluruh tubuh, dan sebagiannya lagi merasakannya pada anggota tertentu. Betapapun, perasaan ini mengarahkan perhatian pada Zat Mahabenar yang dicari. Akan tetapi, jika tidak demikian halnya, dan perhatian tidak tertuju pada Zat Mahabenar yang dicari, maka konsentrasi mesti diarahkan pada hati jasmani tanpa memikirkan atau menyebut-nyebut nama.Sekiranya setelah ini perhatian tidak juga terarah pada ZatMaha benar yang dicari, maka perhatian mestilah dicamkan kepadanya dengan mengambil nama Allah. Akan tetapi, mesti juga diperhatikan bahwa perhatian kepada nama saja tanpa memikirkan Zat Mahabenar yang dinamai (Allah) sangat berbahaya lantaran mampu menaklukkan tujuan hakiki.

Kini, sang hamba mestilah menerapkan pengetahuan tentang gerakan terus-menerus ini pada gerakan terus-menerus itu sendiri, sebab kejauhan dan kedekatan, kehadiran dan ketidakhadiran, kemusnahan dan kefanaan adalah akibat-akibat yang pasti dari pengetahuan ini sendiri.

Karena sumber hakiki dari gerakan terus-menerus dan terputus-putus adalah hati saja, maka sang hamba mestilah memperoleh pengetahuan tentang gerakan-gerakan ini dari hati saja, dan bukan dari anggota tubuh lain mana pun. Manakala seluruh tubuh sang hamba diberkahi dengan gerakan ini, ia mesti mengenakan Zat Mahabenar yang diingat pada seluruh gerakan tubuh dan menerapkan pengetahuan ini pada Zat Mahabenar yang diingat. Dalam keadaan ini, kefanaan dan ekstase banyak terjadi dan sang hamba pun mencapai keadaan fana’ total.

  • Sesudah melakukan amalan yang lama dan intens, sang hamba pun mencapai tahap ini, yang di situ hampir setiap saat ada pengetahuan tentang gerakan ini, ia kemudian mesti mencoba bahwa kesadaran akan pengetahuan ini diperoleh tanpa perantara hati jasmani, dan tidak usah mengarahkan perhatian kepadanya.Dengan demikian, kemajuan berikutnya bisa dicapai, dan perhatian pun bisa ditingkatkan dari segumpal daging dan seluruh tubuh. Ini disebut ‘ilm al- bashir atau “pengetahuan serba meliputi”. Keberanian mesti dimiliki untuk memelihara “keadaan” ini dari mengubahnya dari waktu singkat ke waktu lebih lama dan akhirnya untuk selama-lamanya.
  • Jika kadang-kadang, lantaran kelemahan hubungan dengan Zat Mahabenar yang dicari, kehadIran tidak bisa dijaga tanpa perantaraan gerakán, maka melalui gerakan itu sendiri, perhatian mesti diarahkan pada hubungan, tetapi ghaflah (melupakan Allah) tidak boleh dibiarkan dan ditoleransi. Jika gerakan tubuh terus-menerus sama sekali berhenti, maka perhatian mesti diarahkan pada gerakan terus-menerus tertentu dalam hati.Jika yang ini juga hilang, maka sang hamba mesti mandi air dingin, atau menghembuskan napas dari otak dengan kuat, atau ia mesti mengulang-ulang nama Allah Fa’ ‘al beberapa kali dengan penuh kesadaran seraya memahami maknanya. Insya’ Allah, ia akan bisa menjalin kembali hubungannya dengan Zat Mahabenar dengan salah satu metode di atas.
  • Jika dengan rahmat Allah dan disebabkan oleh kesabaran dan amalannya, sang hamba mencapai tahap di mana hampir setiap saat ia merasakan kehadIran Tuhan yang diingatnya, tanpa mengarahkan perhatiannya pada gerakan seluruh tubuh, maka ia mesti berusaha untuk tidak melupakan anugerah besar ini barang sesaat pun, entah itu berupa gerakan-gerakan anggota tubuh atau gerakan-gerakan dalam hati. Dalam keadaan seperti ini tentang dirinya akan dikatakan bahwa ia telah mencapai kedudukan orang-orang yang tangannya sibuk bekerja dan yang hatinya sibuk mengingat sang Kekasih (Allah).

Wahai saudara, pikirkan rencana untuk meraih kekayaan (spiritual),

Jangan lewatkan hidup berharga ini dalam kelalaian.

Senantiasa, di mana pun, dan dalam setiap pekerjaan,

Tatapkan pandangan jiwa pada Sang Kekasih!

  • Sang hamba mestilah berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan bahwa pengetahuannya terbebas dari segenap penjuru arah, atau dari campuran kualitas apa pun sehingga keserupaan yang sempurna bisa dihasilkan antara pengetahuan dan yang diketahui. Hal ini bisa ditegaskan secara lebih jelas demikian: sang hamba, dari pusat hatinya, menemukan sebuah hubungan atau nisbat, yang seperti seutas benang dan membentang menuju Zat Mahabenar yang dicari, agar bersambung dengannya.Hanya saja, ketika pihak lainnya, yakni Zat Mahabenar yang dicari itu, bersifat mutlak dan tak tertentu, maka hubungan ini pastilah berkaitan dengan Zat Mutlak dan tak tertentu yang terbebas dari segenap gagasan tentang kualitas dan kuantitas. Keadaan ini ditafsirkan sebagai keadaan secara terus-menerus tertarik pada Allah, yang menyebabkan timbulnya semangat, ekstase, kegembiraan, kemabukan, ketakutan, dan ketakziman. Yang dimaksud dengan kewalian (wilayah) adalah mengalami keadaan seperti ini.

Sumber: Alif.ID

106. Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (1)

Tarekat ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh al-Tha’i al-Hatimi al-Andalusi al-Mursiyi yang bersaudara dengan Adi bin Hatim yang bersal dari suku al-Tha’i. Suku al-Tha’i merupakan salah satu suku yang terkenal dalam bidang pengembangan logika baik pada masa jahiliyah maupun masa Islam. Beliau dijuluki Abu Bakar dan lebih dikenal dengan sebutan Muhyiddin, atau dengan sebutan al-Hatim atau Ibnu Arabi. Sementara orang Timur menyebutnya dengan Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi.

Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Muḥammad Ibn ‘Ali Ibn Muḥammad Ibn Ahmad Ibn Abdullâh al-Tha’i al-Hatimi al-Andalusi, putera Abdullâh ibn Hatim, saudara Adiy ibn Hatim. Ia diberi gelar Abu Bakar, dan dijuluki dengan Muhyiddin, al-Hatimi, dan Ibnu Arabi.

Ibnu Arabi ini tanpa huruf Alif (ا) dan Lam (ل) seperti yang diistilahkan oleh orang masyrik untuk membedakan  antara dirinya dan al-Qadhi Abu Bakar Muhammad Ibn Arabi (1076-1148), kepala hakim Sevilla. Kelak Ibn ‘Arabi belajar kepada salah seorang sepupu dari tokoh ini, (al-Tasawuf al-Islâmi fi al-Adab wa al-Akhlâk, halaman: 119, al-Adab al-Sufi fi al-Maghrib wa al-Andalus fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, halaman: 251, syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 190, al-Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 3, al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman 5).

Ibn ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H., bertepatan dengan 28 Juli 1165 M., di Murcia, Spanyol bagian Tenggara. pada waktu kelahirannya Murcia diperintah oleh Muḥammad Ibn Sa’id Ibn Mardanisy dibawah Bani Umayyah, (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 5, al-Futûhât al-Makkiyyah, juz 1, halaman: 3).

Sebagai anak pertama dan satu-satunya laki-laki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tetapi, tujuh tahun pertama kehidupannya tampaknya dihabiskan ditengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibn Mardanisy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk berdiri sendiri dengan bantuan tentara bayaran Kristen.

Ibn Mardanisy berdiam di Murcia dan Valencia, oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu dengan raja-raja dari Castile dan Aragon. Selama 25 tahun dia membela kerajaannya melawan kekuatan baru dari al-Muwaḥḥidin, meskipun kekuasaannya semakin surut ketika Ibn ‘Arabi  lahir.

Dinasti al-Muwaḥḥidin berasal dari suku-suku Berber dari pegunungan Atlas Maroko, pengikut dari pemimpin keagamaan Ibn Tumart, dan muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibn ‘Arabi, al-Muwaḥḥidin telah membangkitkan dan merekonsolidasi persatuan muslim di Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Kristen di Utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai ibu kota lokal dan membangun stabilitas di seluruh daerah Afrika Utara.

Pada tahun 1172 Ibn Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap kekuasaan al-Muwaḥḥidin. Ayah Ibn ’Arabi bersama-sama dengan rombongan pengikut Ibn Mardanisy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiaannya pada Sultan al-Muwaḥḥidin, Abû Ya’qub Yusuf  I dan menjadi salah satu penasihat militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibu kota kerajaan al-Muwaḥḥidin di Spanyol.

Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh Sultan; seperti memulihkan kembali sistem air Romawi Kuno dan membuat Sevilla menjadi kota utama di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur di mana penyanyi serta penyair bergaul dengan para filosof dan teolog, dan para wali berdampingan dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibn ’Arabi tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agam, dan filsafat.

Masa Kanak-kanak dan Muda Ibn Arabi

Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada, lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla abad ke XII pada masa Ibn ’Arabi masih muda bisa disamakan dengan gabungan kota London, Paris, dan New York di masa sekarang sebuah campuran yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan, dan peristiwa

Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar di sekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Alquran oleh salah seorang tetangganya, Abû  ‘AbdAllah  Muḥammad al-Khayyat, yang kemudian sangat ia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 6).

Selama menetap di Sevilla, Ibn ’Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka.

Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusydi (w. 595 H). di Kordova. Ibn ’Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filosof besar Ibn Rusydi yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibn Rusydi, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, sebab ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles, astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, etika, logika, dan ulasan-ulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles.

Percakapan Ibn ’Arabi dengan filosof besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Perecakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal logis dan jalan imajinasi gnostik. Fakta bahwa sufi muda ini mengalahkan filosof peripatetik itu dalam tukar pikIran tersebut dengan tepat menunjukkan titik buhul pemikIran filosofis dan pengalaman mistik Ibn ’Arabi yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam pemikIran metafisikanya.

Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan erat dan disokong oleh pemikIran filosofisnya yang ketat. Ibn ’Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya secara tepat ke dalam suatu pandangan dunia metafisis yang sangat kompleks, (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 7).

Ibn ’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya. Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan al-Muwaḥḥidin selama beberapa waktu dan dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman pencerahan.

Setelah pertemuannya dengan Ibn Rusydi dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H. (1184 M.), Ibn ’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima al-Muwaḥḥidin bersama-sama shalat di Masjid Agung Kordova.

“Alasan aku menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut: Aku pergi bersama tuanku, Panglima (al-Muwaḥḥidin) Abû Bakr Yûsuf bin Abd al-Mu’min bin ‘Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon kepada Allah SWT”.

“Kemudian pikiran melintas (khâtir) menerpaku (sehingga) aku berkata pada diriku sendiri, “Jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana di hadapan Allah SWT., maka dunia ini tidak ada artinya.” Lalu aku meninggallkannya pada hari itu juga dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti jalan ini”.

Perlu dicatat di sini bahwa masa jahiliyah yang dialami Ibn ‘Arabi tak lain hanyalah sebuah fase ghaflah, fase kealpaan atau “kebingungan”. Begitulah, sejak saat itu Ibn ’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan dan penghambaan penuh terhadap Allah SWT. sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Îsâ, Mûsâ, dan Muḥammad SAW.

Ia memutuskan untuk mengambil jalan zuhud dengan meninggalkan seluruh kekayaan duniawinya, di mana ini menjadi titik perubahan penting dalam perjalanan hidup Ibn ‘Arabi. Ia telah memilih jalan kemiskinan dan tak akan pernah berpaling lagi darinya. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya salah satu sumber penghidupannya adalah pemberian dan sedekah yang diterimanya dari para sahabat di jalan spiritual dan dari sebagian kerabatnya semasih tinggal di Timur. Baginya hal itu merupakan wujud pengabdian murni (al-‘Ubûdiyyah al-Mahḍah) yang mengharuskan seorang wali meninggalkan semua hak dan harta yang akan membuatnya tetap ingat akan rububiyyah, ketuhanan.

Sumber: Alif.ID

107. Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (2)

Pada beberapa bagian karyanya, Ibn ‘Arabi menyebutkan secara tersurat maupun tersirat upayanya untuk kembali kepada Allah SWT. Kita dapat secara langsung mencatat pengulangan beberapa istilah kunci, yakni khalwat (penyendirian), fath (pencerahan), mubasysyirah, wâqi’ah (mimpi), tawbah (tobat), rujû’ (kembali). Semua istilah tersebut mewakili begitu banyak kepingan asimetris, yang jika dikumpulkan dan disusun secara koheren, memungkinkan kita membentuk kembali sebuah catatan logis mengenai rentetan fase dalam proses kembalinya Ibn ‘Arabi kepada Allah SWT.

Pada 590 H. (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama ia menuju kota Murur untuk menemui Syaikh Abû  Muḥammad al-Mawrûrî. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Kordova dan Granada. Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin menyebeRAngi laut dan menuju daratan lain.

Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syaikh Abû Madyân, seorang pendiri alIran tasawuf yang barangkali adalah syaikh paling terkemuka pada zamannya. Melalui Abû Madyânlah kecenderungan sufi yang khas di Maghrib benar-benar kentara. Berasal dari daerah Sevilla, Abû  Madyân tinggal sementara di Fez. Di sana dia bertemu dengan Abû Abdullâh al-Daqqâq, seorang sufi aneh yang luar biasa, demikian menurut para penulis hagiografi yang tampaknya mewariskan khirqah untuknya.

Abû  Madyân adalah seorang yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya. Keinginannya untuk bertemu dengan Abû  Madyân secara fisik tidak pernah tercapai, bahkan ajaran Abû  Madyân diperolehnya hanya dari murid-muridnya yang notabene adalah guru-gurunya, seperti al-Mawrûrî , al-Kûmî dan al-Sadrânî.

Akan tetapi Ibn ’Arabi meyakini bahwa Abû Madyân mengenalnya, bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual. Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibn ’Arabi dengan alIran Neoplatonisme.

Dari Bugia Ibn ’Arabi meneruskan kelananya ke Tunisia. Di sana ia mengkaji karya seorang sufi politisi, Abû  al-Qâsim Ibn Qushay, Khal’an Na’layn (melepas kedua sandal). Tokoh inilah yang terkenal pembelotannya terhadap dinasti al-Murâbitûn di Andalusia Barat. Selain mengkaji karya tersebut, pada tahun yang sama Ibn ’Arabi mengunjungi beberapa murid Abû  Madyân, seperti ‘Abd al-Azîz al-Mahdâwî dan Abû  Muḥammad ‘AbdAllah al-Kinânî. Kepada al-Mahdâwî ia mempelajari karya Ibn Barajân, yakni Kitab al-Hikmah.

Dituturkan bahwa selama berada di Tunisia, Ibn ’Arabi bertemu dengan Nabi Khidir As. Pertemuan kemudian terjadi lagi ketika pada akhir 1194 Ibn ’Arabi kembali ke Andalusia. Dengan demikian sebanyak tiga kali telah ditemui oleh Khiḍir As. dalam tingkatan yang berada secara fisik.

Pertemuan pertama berlangsung di daratan, di jalan kota pada siang hari, di mana ia menekankan kepasrahan lahiriah kepada guru duniawi. Pertemuan kedua terjadi di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Dan ketiga, Khiḍir memperlihatkan diri di atas udara.

Tampaklah bahwa ada tahapan dari ajaran Khiḍir As. dalam “bahasa yang khusus” untuk menuntun Ibn ’Arabi ke dalam pengetahuan misteri Ilahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dari pendidikan tersebut. Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi yang diterimanya ke dalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya.

Pada akhir tahun  1194, setelah kembali ke Andalusia, ia menulis salah satu karya besarnya, Maqâṣid al-Asrâr, untuk sahabat-sahabat dari Mahdawî. Pada sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbîrât al-Ilâhiyyah untuk al-Mawrûrî.

Perjalanan spiritual

Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan al-Muwaḥḥidin dan memasuki jalan rohani, Ibn ’Arabi melakukan perjalanan yang menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Ia memulai sebagai Isawi, kemudian menjadi Musawi. Setelah bertemu dengan Hud dan semua nabi, ia akhirnya sampai pada warisan Muḥammad SAW.

Terkadang proses ini berada di bawah bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari para nabi itu sendiri. Ibn ’Arabi dengan jelas melihat seluruh proses perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para nabi dan Rasul. Baginya, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah ekspresi integral dan menyatukan kebijaksanaan Muḥammad.

Warisan kenabian ini membentuk basis riil dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Îsâ, menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Mûsâ , saat cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masing-masing nabi, ia akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muḥammad.

Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan kemudian, Ibn ’Arabi menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudarinya, yakni Umm Sa’d dan Umm ‘Alā’[xxv], sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya.

Desakan duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara al-Muwaḥḥidīn di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibn ‘Arabi mendapat tawaran pekerjaan dalam pasukan pengawal Sultan. Karena teringat ucapan Sâliḥ al-Adawî, Ibn ‘Arabi menolak tawaran itu.

Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudarinya menuju Fez dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, tanggung jawab duniawinya selesai dan ia kembali mencurahkan diri pada jalan spiritual.

Fez tampaknya menandai periode kebahagiaan yang luar biasa dalam kehidupannya, di mana ia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris Muḥammad, dia sendiri juga semakin jauh masuk ke dalam warisan ini.

Di Masjid al-Azhar di Fez ia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya, visi cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahaya yang besar. Pada tahun berikutnya, pada usia 33 tahun, Ibn ‘Arabi mengalami suatu perjalanan yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’raj) yang mencerminkan perjalanan malam Nabi Muḥammad yang terkenal.

Perjalanan ini kemudian tertuang dalam Kitāb al-Isrâ’. Perjalanan ini merupakan perjalanan spiritual ke atas langit, perjalanan yang membawa peziarah melampaui sekat-sekat geografis menuju hadirat Ilahi, “yang berjarak dua busur atau lebih dekat”, (Al-Najm: 9). Bagi para wali, meneladani Nabi berpuncak dalam “perjalanan malam” ini.

Setelah dianugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibn ‘Arabi kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Pada bulan Desember tahun itu ia berada di Kordova daat pemakaman Ibn Rusydi. Kemudian dari Kordova, bersama sahabat dekatnya al-Habsyi mereka menuju ke Granada dan kembali bertemu dengan ‘AbdAllah  al-Mawrûrî.

Pada bulan Januari 1199 di Granada Ibn ‘Arabi mendapat visi yang memperkuat makna dari penutup para wali. Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negeri kelahIrannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah.

Sumber: Alif.ID

108. Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (3)

Pada akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibn ‘Arabi akhirnya tiba di Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwan pun sering menemuinya. Di antara mereka adalah Abû Syuja’ al-Imam al-Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibn ‘Arabi sehingga lahirlah karyanya terjemahan al-Asywaq (Futuhat al-Makkiyah, juz 1, halaman: 5, al-Risalah al-Wujadiyyah, halaman: 8).

Selama dua tahun di Makkah (1202–1204), Ibn ‘Arabi sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah Misykat al-Anwar, Ḥilyat al-Abdal, Ruḥ al-Quds, dan Taj al-Rasa’il. Namun karyanya yang paling monumental adalah Futuhat al-Makkiyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, tempat ia bertemu dengan sosok pemuda misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna esoterik dari Alquran .

Di samping itu, sebuah visi tentang nabi Muḥammad melengkapi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian. Pada periode Makkah ini juga terjadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majd al-Dîn Ishâq bin Yûsuf dari Anatolia (daerah Rum). Syaikh ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi penasihat Raja di Istana Saljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî, salah seorang tokoh kunci di antara murid-murid Syaikh al-Akbar (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 8).

Pada tahun 1204 (601 H.) Ibn ‘Arabi meninggalkan Makkah menuju Baghdad dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Selama tinggal di sini ia berhasil menyelesaikan tiga karya, yaitu Tanazzulât al-Mawṣiliyyah, al-Jalâl wa al-Jamâl, dan Kunh mâ lâ budda li al-Murîd Minhu.

Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H.) mereka (Ibn ‘Arabi dan Habasyî) berangkat ke Utara melalui Dyarbakir dan Malatya sampai Konya. Pada tahun ini Ibn ‘Arabi menyusun Risâlat al-Anwâr (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhubungan dengan Awhad al-Dîn al-Kirmânî, seorang guru spiritual dari Iran.

Pada tahun 1206 Ibn ‘Arabi menuju ke Yerussalem lalu Hebron di sini berhasil menulis Kitab al-Yaqîn dan menunaikan ibadah haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibn ‘Arabi dari Andalusia, yaitu al-Khayyâṭ dan al-Mawrûrî (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 8-9).

Akan tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak simpati pada Ibn ‘Arabi, karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir tahun 1207 Ibn ‘Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Ḥadis dan juga mengunjungi keluarga Abû Syujâ’ bin Rustâm.

Setelah tinggal di Makkah sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke Utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada tahun 1210 (607 H.) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang di sana.

Pada tahun 1212 (609 H.) Ibn ‘Arabi kembali mengunjungi Baghdad. Di sana dia bertemu dengan guru sufi terkenal Syihâb al-Dîn ‘Umar al-Suhrawardî, pengarang kitab ‘Awîrif al-Ma’ârif ( 539-632 H./1145-1238 M). Pada periode antara 1213-1221 Ibn ‘Arabi berkelana lagi ke Aleppo,  Makkah, Anatolia, Malatya dan kembali ke Aleppo lagi.

Sewaktu tinggal di Malatya Ibn ‘Arabi sempat menulis Iṣṭilâhât al-Shûfiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majd al-Dîn Ishâq wafat dan Ibn ‘Arabi mengambil tugas membesarkan dan mendidik putera Majd al-Dîn, Ṣadr al-Dîn Qûnawî yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa lama kemudian sahabatnya al-Habasyî juga wafat.

Pada tahun 1223 (620 H) Ibn ‘Arabi menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya.

Pada saat itu ia amat terkenal dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus al-Malik al-‘Adl menawarinya untuk tinggal di istana. Di sini Ibn ‘Arabi merampungkan karya besarnya Futuhât al-Makkiyyah dan juga Fushûṣ al-Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelesaikan puisinya Dîwân al-Akbar. Adapun Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî yang telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama dengan Awhad al-Dîn Kirmânî, sahabat Ibn ‘Arabi sekaligus guru Qûnawî.

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’ul Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun. Qaḍi ketua di Damaskus dan dua orang murid Ibn ‘Arabi melakukan upacara pemakamannya (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 9, al-Adab al-Sufi fi al-Maghrib wa al-Andalus fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, halaman: 87, Syadzarât al-Dzahab, juz 5, halaman: 190, Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 13).

Tentang istri-istrinya yang dapat diketahui ada tiga orang. Pertama,  Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali dalam Futûhât al-Makkiyyah, juz 2, halaman: 278, dan juz 3, halaman: 235.

Kedua, Fâṭimah binti Yûnus bin Yûsuf. Ia putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imâd al-Dîn (Futûhât al-Makkiyah, juz 4, halaman: 554).

Ketiga, seorang wanita yang tidak diketahui namanya, putri seorang kaḍi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futûhât al-Makiyyah, juz 4, halaman: 559). Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibn ‘Arabi) tidak diketahui namanya serta bagaimana nasibnya.

Sumber: Alif.ID

109. Corak Pemikiran dan Gaya Ibnu Arabi (Tarekat Akbariyah)

Secara tipikal Ibnu Arabi  dianggap sebagai seorang sufi. Anggapan ini relatif benar jika memahami istilah sufisme untuk menunjuk pada tambatan pemikiran dan praktik Islâm yang menekankan pengalaman langsung dari objek-objek iman.

Terlepas dari perbedaan mengenai asal-usul kata yang membentuk artinya, yaitu  ṣafa (suci); ṣaf (penghuni masjid); sophia (hikmah); atau sûf (bulu domba), tasawuf mengandung makna yang dalam yang merujuk pada kebersihan batin, mendekatkan diri pada Tuhan, menjauhkan diri dari kesombongan dan ketamakan terhadap daya tarik dunia.

Tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman hakikat realitas, dan kebahagian rohaniah.

Dari sekian pengertian tasawuf (sufisme) di atas adalah benar jika dikatakan bahwa Ibnu Arabi adalah seorang tokoh sufisme. Karena jika kita menyimak kembali riwayat hidupnya, adalah sosok yang memilih jalan ruhani yang penuh kesederhanaan pada saat kenikmatan duniawi mengelilinginya. Harta, jabatan, dan segala kemewahan ditinggalkannya demi mencari kebahagiaan hakiki.

Dalam banyak literatur, Ibnu Arabi memang lebih sering dimasukkan dalam ketegori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof, seperti hanya AE. Affifi yang memandang Ibnu Arabi  dari sudut pandang filsafat, maka tidaklah mudah untuk menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara tasawuf dan filsafat.

Dari segi epistemologi, sufisme, atau tasawuf adalah hasil dari proses mujâhadah (mengekang hawa nafsu), musyâhadah (pandangan bathin), dan intuisi. Sedangkan filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi yang kuat. Keduanya mempunyai objek yang sama, yakni alam beserta isinya, manusia serta perilakunya, dan eksistensi Tuhan.

Pemaduan kedua unsur ini, yakni filsafat dan tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berpikir rasional transendental. Inilah yang mewarnai corak pemikIran Ibn ‘Arabi. Hasilnya adalah sebuah sintesa antara perspektif nalar dan spiritual.

Dalam wacana ilmu tasawuf, dibedakan adanya tiga corak atau aliran pemikIran sufisme, yaitu: Tasawuf akhlaqi, tasawuf ‘amali dan tasawuf filosofis atau falsafi. Kemudian pembagian tiga corak ini disingkat oleh Prof. H.A. Rivay Siregar menjadi dua aliran yaitu tasawuf sunni (gabungan antara tasawuf akhlaqi dan tasawuf amali) dan tasawuf filosofi.

Keduanya mempunyai sejumlah kesamaan yang prinsipil di samping perbedaan-perbedaan yang mendasar. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengaku bersumber dari Alquran dan Sunnah dan sama-sama berjalan dalam maqâmât  dan aḥwâl. Perbedaanya adalah mengenai kedekatan antara sufi dengan Tuhannya.

Penganut tasawuf sunni mengatakan bahwa sedekat apapun antara seorang manusia dengan Tuhannya tidak mungkin tumbuh karena tidak satu esensi. Sedangkan penganut tasawuf filosofis mengatakan bahwa manusia berpadu dengan Tuhan karena manusia tercipta dari esensi-Nya. Selain itu perbedaan bersumber dari perbedaan instrumen yang digunakan dalam memecahkan persoalan.

Di satu pihak, tasawuf sunni cukup menggunakan dalil-dalil naql dari ajaran Islâm, cenderung ortodoks dan sederhana dalam pemikIran. Di lain pihak tasawuf filosofis sangat gemar terhadap ide-ide spekulatif dengan menggunakan analisis filsafat yang mereka kuasai, baik filsafat Timur maupun Barat.

Cikal bakal kemunculan dua aliran dalam tasawuf ini, terjadi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Pada saat itu muncul dua alIran dalam tradisi asketisme. Aliran pertama melandaskan diri pada Alquran dan sunnah dan memegang tradisi kalâm dan fiqih dengan kuat. Aliran inilah yang menjadi pangkal munculnya tasawuf sunni.

Aliran kedua adalah aliran yang selain berprinsip pada Alquran dan sunnah juga pada tradisi di luar Islam yang cenderung pada hal-hal yang metafisis yang disebut union mystica. AlIran ini sering menunjukkan keganjilan (syaṭahat) sehingga menimbulkan pertentangan dan dianggap menyimpang dari ajaran Islâm. Aliran inilah yang menjadi awal munculnya tasawuf filosofis.

Kemudian pada abad kelima Hijriyah, aliran sunni mengalami masa kejayaan di tangan Abû al-Ḥasan al-Asy’ârî (w. 324 H.) dengan teologi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan mengeritik keras terhadap keekstriman tokoh sufi seperti Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallâj, yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil.

Pada abad kelima Hijriyah ini tasawuf aliran filosofis tenggelam dan baru muncul kembali dalam bentuk lain, yaitu pada pribadi para sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya. Mulai saat itulah tasawuf filosofis berkembang lagi dan sampai pada puncaknya, aliran ini melahirkan sesosok sufi filosofis yang menggemparkan pada abad-abad berikutnya yakni Syaikh al-Akbar Ibn al-‘Arabi. Bahkan sampai saat ini terus menjadi bahan kajian yang aktual.

Umumnya para sufi filosofis begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islâm ke dalam ajaran mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran tasawuf mereka.

Para sufi yang juga filosof ini mengenal dengan baik filsafat Yunani seperti pemikiran-pemikiran Socrates, Plato, dan aliran Stoa (didirikan oleh Zeno), serta aliran Neoplatonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Selain itu mereka juga mempelajari filsafat-filsafat Timur Kuno, baik dari Persia maupun India, serta menelaah karya-karya filofos Islâm, seperti al-Farâbî, Ibn Sina, dan lain-lain. Begitu pula yang dilakukan Ibn ‘Arabi .

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabi  dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara murni. Jika dalam membahasnya kita menggunakan kaca mata tasawuf, maka pemikirannya dapat dikategorikan sebagai tasawuf filosofis. Jika menggunakan kaca mata filsafat, maka pemikirannya dikategorikan filsafat mistis.

Kita dapat melihat dari segi tasawuf karena ia menjalani laku kehidupan rohani seperti sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spriritual yang agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf (penyingkapan) dan zauq (rasa).

Sedangkan dari sudut pandang filsafat, Ibn ‘Arabi  dapat disebut seorang filosof, karena selain dia paham betul dengan teori-teori filsafat dari berbagai unsur sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa filsafat, tetapi juga pemikIrannya menambah pada objek-objek kajian filsafat, yaitu problem metafisika.

Menurut A.E. Affifi, secara keseluruhan Ibn ‘Arabi  dapat digambarkan sebagai filosof bertipe tidak beraturan dan eklektik. Ia mengatakan bahwa gaya Ibn ‘Arabi  yang ambiguity (mendua) disebabkan paling tidak oleh tiga hal. Pertama, Ibn ‘Arabi  menggunakan istilah-istilah yang diambilnya dari berbagai sumber, seperti The Good-nya Plato, The One-nya Plotinus, Substansi Universal-nya Asy’ari dan Allah-nya Islâm. Kadang-kadang ia menggunakan satu kata untuk beberapa makna, misalnya kakikat, diartikan sebagai realitas, kadang esensi, kadang suatu ide atau suatu ciri.

Kedua, bahwa Ibn ‘Arabi  selalu berusaha merekonsiliasikan dogma-dogma ortodoks Islam dengan pemikiran panteistik. Ketiga, ia menggunakan bahasa yang puitis dan fantastis sehingga mengaburkan pemikiran yang logis dan ketat.

Siapapun tidak menyangkal bahwa memahami pemikiran Ibn ‘Arabi bukanlah hal yang mudah. Meskipun karya-karyanya yang berjumlah ratusan dapat memberikan gambaran yang utuh buah pemikirannya, tetapi ungkapan-ungkapan yang digunakan bersifat simbolis dan mengandung makna yang begitu dalam sehingga sulit dimengerti oleh orang-orang yang mempelajarinya.

Tidak mengherankan jika pada suatu waktu di musim dingin di parlemen Mesir terjadi perdebatan seru di tengah para tokoh pemikir, mengenai boleh tidaknya salah satu karya Ibn ‘Arabi  diterbitkan secara bebas. Sebagian berpendapat boleh, sebagian melarangnya karena dikhawatirkan menyesatkan pembacanya.

Memang diperlukan sikap kritis dan ekstra hati-hati karena pembahasannya merambah hal-hal yang sangat fundamental dalam pemikIran, yaitu spekulasi tentang hakikat segala realitas. Itulah mengapa karya-karyanya cenderung dicurigai dan dianggap membahayakan keimanan, terutama di kalangan sunni yang notabene dianut oleh mayoritas umat Islâm.

Namun lain halnya bagi sejumlah sarjana, yang sebagian berasal dari kalangan Syi’ah dan sebagian dari luar Islâm. Mereka memiliki sikap yang lebih apresiatif terhadap konsep-konsep tasawuf filosofis, termasuk di dalamnya pemikIran Ibn ‘Arabi . Hal ini antara lain disebabkan karena pandangan para sufi dianggap lebih liberal dan mengandung pesan universal bagi bentuk agama apapun, sehingga adanya keragaman di dunia ini tidak menjadi halangan untuk terjalinnya harmoni kehidupan, karena hanya ada satu realitas yang mendasarinya.

Sumber: Alif.ID

110. Guru-guru dan Karya-karya Ibnu Arabi

Satu hal yang dapat kita pelajari dari ulama yang mumpuni adalah bahwa ia tidak hanya memiliki satu guru. Ia berguru pada banyak orang sehingga pikirannya tidak picik, termasuk syakih seperti Ibnu Arabi. Guru-guru Syaikh Ibnu Arabi adalah sebagai berikut:

  1. Abu Bakar bin Akhlaf al-Lakhami, Guru Alquran
  2. Abu al-Hasan Syarikh bin Muhammad bin Syuraikh al-Ra’idi, Guru Alquran
  3. Abu al-Qasin Abu Rahman bin Ghalib al-Syarati, Guru Alquran
  4. Abu Muhammad Abdullâh al-Bazari, Guru Alquran dan Qiro’ah
  5. Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Khamzah, Guru Qiro’ah Sab’ah
  6. Abu Abdillah Muhammad bin Said bin Darrabun, Guru Hadis
  7. Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdur Rahman bin Abdillah al-Isbidi, Guru Hadis
  8. Abd al-Shamad bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Fadhal al-Khurrastani, Guru Hadis
  9. Yunus bin YahyaAbi al-Hasan al-Abbasi al-Hasyimi, Guru Hadis
  10. Abu Suja’ Zahid bin Rastam al-Asbihani, Guru Hadis
  11. Nasr bi Abi al-Futhi bin Umar al-Hasr, Guru Hadis
  12. Salim bin Rizqullâh al-Afriki, Guru Hadis
  13. Muhammad Abu walid bin Muhammad bin Sabil, Guru Fiqih
  14. Abu Abdillah bin ‘azzi al-Fakhir, Guru Fiqih
  15. Abu Said Abdillah bin Umar bin Ahmad bin Mansur al-Shafa, Guru Fiqih
  16. Abu al-Wâbil bin Ibnu Arabi, Guru Fiqih
  17. Abu Sana’I Mahmud bin Mudhaffar al-Liban, Guru Fiqih
  18. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Bakri, Guru Tasawuf
  19. Dhiya’ al-Din Abd al-Wahabbin Ali bin Ali bin Sakinan
  20. Abu al-Khair Ahmad bin Ismail bin Yusuf al-Tharîqani al-Quzwaini
  21. Abu Thâhir Ahmad bin Muhammad bin Ibrâhim
  22. Abu Thâhir al-Salafi al-Asbihani
  23. Jabir bin Ayub
  24. Abu Qâsim Khalaf bin Basykawal
  25. al-Qâsim bin Ali bin Hasan bin Hibbatullâh bin Abdullâh bin Hasan al-Syafi’I
  26. Yusuf bin Hasan bin Abi al-Naqabi bin Hasan
  27. Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Rasnawial-Khaffafi
  28. Abu Hafs Umar bin Abd Najib bin Umar bin Hasan bin Umar al-Qarsi al-Mayasiti
  29. Abu Farj Abd al-Rahman bin Ali bin Jauzi al-Hafidz
  30. Abu Bakar bin AbilFatah al-Saikhani
  31. al-Mubarok bin Ali bin Hasan al-Thabaqi
  32. al-Rahman bin Ustadz (Ibn ‘Alwan)
  33. Jalil al-Zanjani
  34. Abul Qâsim Hibbatullâh bin Ali bin Mas’ud bin Sadaadin al-Musibi
  35. Ahmad bin Abi Mansur Muhammad bin Abi Ma’ali Abdillah bin Mauhib bin Jami’ bin Abd al-Baghdadi
  36. Muhammad bin Abi Bakar al-Tusi
  37. al-Muhadzdzab bin Ali bin Hibatullâh al-Tayibi al-Dzariri
  38. Rukn al-Din Ahmad bin Abdillah Ahmad bin Abd Qâhir al-Tusi
  39. al-Kirmani Baghdad
  40. Tsabit bin Quroh al-Hawi
  41. Abd al-Azizi bin Ahdhar
  42. Abu Umar Utsman bin Abi Ya’la bin Abi Umar al-Abhuri al-Syafi’i
  43. Said bin Muhammad bin Abi Ma’ali
  44. Abd al-Hamid bin Muhammad bin Ali bin Abi al-Mursyidal-Quzwaini
  45. Abu al-Najib al-Quzwaini
  46. Muhammad bin Abd.al-Rahman bin Abd al-Karim al-Fasi
  47. Abu al-Hasan Ali bin Abdillah bin Hasan al-Rozi
  48. Ahmad bin Mansur al-Jauzi
  49. Abu Nyhannad bin Ishaq bin Yusuf bin Ali
  50. Abu Abdillah Nuhammad bin Abdillah al-Hajari
  51. Abu al-Shabri ayub bin Muhammad al-Mukri
  52. Abu Bakar Muhammad bin Ubaid al-Saksaki
  53. Ibn Malik
  54. Abd al-Wadudu bin Samkhun
  55. Abd al-Mun’im al-Kharsi al-KhazRAji
  56. Ali bin Abd al-Wahid bin Jami’
  57. Abu Ja’far bin Ja’far al-Wara’i
  58. Ibn Hudzail
  59. Abu Zaid al-Suhaili
  60. Abu Ubaidillah bin Fakhar al-Malaqi
  61. Abu Hasan bin al-Shaigh al-Anshâri
  62. Abd al-Jalil
  63. Abu Abdillah bin Mujahid
  64. Abu Imron Musa bin Imron al-Muzaili
  65. Muhammad bin Ali
  66. Ali bin Nadhar

Karya-karya Ibnu Arabi

Dalam catatan sejarah  pemikiran umat Islam, Ibnu Arabi  adalah yang memberi konstribusi besar terhadap transisi intelektual secara tertulis. Separuh akhir dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual, dan spiritual yang tidak ternilai harganya. Memang ia adalah pemikir yang paling tinggi tingkat produktifitasnya dibanding pemikir lain. Namun sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para peneliti atas karya-karya Ibnu Arabi.

Berbagai angka telah disebukan oleh para sarjana. Louis Massingnon, seorang orientalis Perancis, mengemukakan bahwa Ibnu Arabi menulis sekitas 300 karya. Sementara C. Brockelman mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahya, dalam karya bibliografinya yang berbahasa Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan bahwa hanya sekitar 700 yang asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibn ‘Arabi  sendiri dalam Ijazah li al-Malik al-Muzaffar menyebutkan ada 289 judul.

Menurut S.H. Nashr, karya-karya Ibnu Arabi  beragam ukuran dan isinya, dari uraian-uraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman sampai karya ensiklopedik besar; dari risalah metafisika yang abstrak sampai puisi-puisi sufi yang mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu mencakup persoalan metafisika, kosmologi, psikologi, dan penafsIran terhadap Alquran yang semuanya bertujuan menjelaskan makna-makna esoterik.

Menurut Stephen Hirtenstein, Ibnu Arabi  menulis tidak kurang dari 350 buku. Karya-karya utamanya disebutkan sebanyak 30 buah, termasuk di dalamnya masterpiece Futûhât al-Makkiyyah dan Fushûsh al-Hikam.

Futûhât al-Makkiyyah adalah karya Ibnu Arabi  yang menjadi perbedebatan di parlemen Mesir. Di dalamnya berisi tentang kehidupan spiritual para sufi beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan iilmu-ilmu keagamaan seperti tafsîr Alquran, Ḥadis, dan fikih.

Menurut pengakuan Ibnu Arabi , karya ini merupakan hasil pendiktean dari Tuhan melalui malaikat-Nya. Mulai disusun di Makkah pada tahun 1202 (598 H). setelah Ibn ‘Arabi  menerima visi tentang pemuda dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk versi pertama dan pada tahun 1238 (636 H.) untuk versi kedua.

Karya monumental kedua adalah Fushûṣh al-Hikam (Untaian Permata Kebijaksanaan). Diakui oleh Ibn ‘Arabi, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi Saw untuk diajarkan pada umat manusia. Terdiri dari 27 bab, setiap bab mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap nabi, dimulai dari Nabi Adam As dan ditutup dengan Nabi Muḥammad.

Secara keseluruhan kitab ini mempresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda menuju kebijaksanaan universal yang dicakup oleh kenabian Muḥammad. Karya ini dianggap sebagai intisari dari ajaran Ibn ‘Arabi , yang ditulis pada tahun 1229 (627 H.) di Damaskus, sekitar 10 tahun sebelum ia wafat.

Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya yang terhimpun dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika dan kosmologi ada tiga buah, yaitu Insyâ’ al-Dawâ’ir, Uqlah al-Mustawfiẓ, dan Tadbîrât al-Ilâhiyyah.

Suatu kumpulan karya Ibn ‘Arabi yang berisi tentang pengalaman-pengalaman spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun praktis bagi penempuh jalan ruhani, tergabung dalam Rasâ’il Ibn al-Arabi. Di antaranya adalah kitab-kitab sebagai berikut:

  1. Kitab al-Isrâ’(Perjalanan Malam). Ditulis pada tahun 1198 (594 H), menggambarkan pendakian mistik dan pertemuan dengan realitas spiritual nabi di tujuh lapis langit.
  2. Ḥilyat al-Abdâl (Perhiasan Para Pengganti). Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di Thaif. Mengajarkan empat penopang jalan yaitu : penyendirian, diam, lapar, dan terjaga.
  3. Risâlat al-Anwâr (Risalah Cahaya-cahaya). Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di Konya untuk memenuhi permintaan seorang sahabat. Mendeskripsikan persoalan-persoalan spiritual mengenai pendakian non-stop melalui berbagai tingkatan menuju kesempurnaan manusia.
  4. Kitab al-Fanâ’ fi al-Musyâhadah. Ditulis di Baghdad pada tahun 1212 (608 H). merupakan pemikIran mendalam atas Surat ke 98. Mendeskripsikan pengalaman visi mistik.
  5. Iṣṭilâhât al-Shûfiyyah. Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Maltya. Terdiri dari 199 definisi singkat dari ekspresi penting yang lazim digunakan di antara hamba-hamba Allah SWT.
  6. Karya-karya mengenai biografi para sufi yang didup di zamannya adalah Rûḥ al-Quds (Ruh-ruh Suci) dan al-Durrah al-Fâkhirah. Kedua kitab ini diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J Austin dan diberi judul Sufis of Andalusia.
  7. Tarjumân al-Asywâqadalah karya Ibnu Arabi  yang mengundang penafsiran negatif tentangnya, karena dianggap sebagai ekspresi dari cinta nafsu yang dipersembahkan untuk Niẓ Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa itu merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibnu Arabi  menulis Dzakhâ’ir al-‘Alaq.
  8. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya’, adalah seni karya-karya ringkas, menggunakan sistem penomoran alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204 (602 H), seri kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyah yang berbeda-beda seperti ketunggalan (aḥadiyyah), kasih (raḥman), dan cahaya (nur).
  9. Fihrist al-Mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibnu Arabi sendiri untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya yang ditulis pada tahun 1229/1230 (627 H) di Damaskus untuk muridnya Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî.

Selain karya-karya di atas, Ibnu Arabi  memiliki berbagai karya lain yang akan terlalu panjang untuk dituliskan semua. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: Maṣadiq al-Asrar al-Qudsiyyah (Kontemplasi Misteri Kudus), Anqa’ Mughrib (Burung Anqa’ di Barat), Misykât al-Anwâr (Relung Cahaya), Mawaqi’ al-Nujum (Letak Bintang-bintang), Tâj al-Rasâ’il (Mahkota Risalah-risalah), Kitab Jalal wa al-Jamal (Kitab Keagungan dan Keindahan), Kitab Tajalliyat (Kitab Teofani), dan Awrad al-Usbu’ (Do’a untuk Seminggu).

Sumber: Alif.ID

111. Ajaran-ajaran Akbariyah-Ibnu Arabi

Syaikh (mursyid) adalah orang sempurna dalam keilmuan syariat, tarekat, dan hakikat. Ia juga sampai pada batas kesempurnaan pengetahuan tentang kendala-kendala nafsu, penyakit-penyakitnya, dan metode penyembuhannya. Ia mengetahui  obat dan mampu melakukan pengobatan terhadap penyakit nafsu serta mampu  memberi petunjuk untuk antisipasi terhadap kendal-kendala nafsu.

Adapun kriteria-kriteria syaikh atau mursyid menurut Akbariyah ada 20 macam, yaitu: 1) menghadirkan sifat kehambaan pada dirinya, 2) bersiap menerima hakikat pemberian ilahi tanpa menggunakan perantara, 3) adanya sifat belas kasih yang tumbuh dari maqomul al-‘indiyah, 4) memuliakan ilmu-ilmu ilahiyah, 5) keilmuan itu didapat tanpa perantara.

Mursyid juga harus 6) memiliki pengetahuan tentang syariat menurut kadar kebutuhan, 7) beri’tiqad ahlu sunnah wal al-jama’ah, 8) berakal dengan logika agama dan sosial, 9) dermawan dan pemberani, 10) menjaga diri, 11) memiliki cita-cita yang luhur terhadap murid, 12) mengasihi mereka, 13) sabar dan pemaaf, 14) memiliki budi pekerti yang baik.

Selanjutnya, 15) memiliki sikap mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri (al-itsar/ngalah), 16) mulia dan terpercaya, 17) menerima dan pasrah dengan keputusan Allâh Swt, 18) memiliki ketenangan jiwa pada saat bergerak, 19) memiliki ketetapan jiwa dalam melangkah, dan 20) memiliki kewibawaan yang tinggi.

Syarat Murid dan Mursyid

Syarat murid dan mursyid adalah tawajjuh menghadapkan jiwa kepada Allâh Swt., zuhud, tajrid beri’tiqad dengan keyakinan ahlul haq, taqwa, sabar, mujahadah, pemberani, berusaha sekuat tenaga, menundukkan tingkatan-tingkatan nafsu, jujur, berpengetahuan, mencari,  dan berpolitik dengan musuh, (Syarh Hikam Syaikh Akbar, halaman: 159-160).

Persiapan bagi Salik sebelum Menemukan Syaikh (Mursyid)

Ada sembilan hal yang harus dipersiapkan bagi salik sebelum menemukan mursyid. Empat hal secara lahir yaitu lapar, tidak tidur malam, diam, dan `uzlah. Secara batin ada lima , yaitu sungguh-sungguh, tawakkal, sabar, mempunyai cita-cita yang luhur, dan berkeyakinan (Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 418).

Zikir

Zikir adalah sifat ketuhanan yaitu jika sâlik ingat kepada Allâh Swt dalam hati dan kesendiriannya, dan oleh karena itu Allâh Swt akan mengingat salik dalam dzat Allah. Apabila salik mengingat Allâh Swt dalam sebuah perkumpulan makhluk maka Allâh Swt akan mengingatnya bahwa dia adalah orang yang terbaik di antara perkumpulan tersebut. Zikir tidak hanya sekedar menyebut nama Allâh Swt akan tetapi menyebut dari sisi bahwa Allâh Swt adalah Dzat yang terpuji. Karena manfaat zikir akan hilang jika hanya menyebut nama Allâh Swt (Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 344).

Dalam berzikir, salik dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, zikir dengan menghadirkan hati dan bisa mencapai kekhusyukan. Kedua, zikir yang menghadirkan hati dengan cara menggunakan kekuatan imajinasi. Sementara yang paling sempurana adalah zikir dengan menggunakan dua kekuatan yaitu kekuatan akal, syari’at, dan mukasyafah (Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 345).

Adab

Ada empat macam adab, yaitu:

  1. Adab Syari’at adalah adab ilahi yang diberikan Allâh Swt. dengan cara wahyu dan ilham, seperti Alquran dan Hadis yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw.
  2. Adab Khidmat adalah mu’amalah kepada Allâh Swt tentang hal yang dikhususkan bukan muamalah kepada makhluk-Nya.
  3. Adab Haq adalah adab bersama Allâh Swt dengan melaksanakan semua perintah-Nya.
  4. Adab Haqiqah adalah adab meninggalkan adab dengan kefanaan kita dan mengembalikan semuanya kepada Allâh Swt.

Pembagian Salik

  1. Salik yang berjalan karena dijalankan oleh Tuhan, yaitu sâlik yang pendengaranya, penglihatannya, dan semua kekuatannya berasal dari Allâh Swt yang haq.
  2. Salik yang berjalan dengan dirinya sendiri, adalah sâlik yang melakukan pendekatan kepada Allâh Swt dengan melakukan semua kewajiban dan ibadah sunnah yang penuh dengan kebaikan dengan tujuan untuk mencintai Allâh Swt. Sâlik berusaha sekuat tenaga melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
  3. Salik yang berjalan dengan gabungan antara dijalankan Tuhan dan dirinya sendiri, yaitu setelah sâlik merasakan semua pendengaran, penglihatan, dan pengetahuannya berasal dari Allâh Swt. tanpa melihat sesuatu bagian atas dirinya.
  4. Salik yang bukan kategori sâlik, adalah sâlik yang melihat dirinya tidak sendirian dalam menempuh suluk selama kebenaran menjadi sifat bagi sâlik, sementara sifat sâlik tidak berdiri sendiri dalam suluk selama nafsu mukallaf masih ada, sâlik bagaikan tempat bagi sifat. Jika sudah demikian, maka tampaklah sâlik sebagai sâlik yang memadukan semua kategori salik yang ada empat. Wujud yang tampak tidak memiliki bentuk karena yang tampak adalah dzat yang menjadikan semua bentuk benda terlihat,

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـكِنَّ اللهَ رَمَى (الأنفال: 17)

(Futûhât al-Makkiyah, juz 4, halaman: 15-17).

Kaidah Pendidikan bagi Salik

  1. Ma’rifat (mengenal) kepada Dzat yang disembah.
  2. Qana’ah. Syaikh Ibnu Arabi menyebut kalimat qana’ah yang sempurna. Qana’ah ini bisa berhasil dengan sifat al-jud (dermawan) yaitu memberi sebelum diminta, karena tanda tanda qana’ah adalah al-jud
  3. Meninggalkan semua yang dilarang Allâh Swt.
  4. Menepati janji, yaitu janji manusia ketika berada di alam alastu (alam ruh, sebelum manusia diturunkan ke dunia) (Tafsîr al-Baghâwi, juz 1, halaman: 77).
  5. Sabar, memenjarakan nafsu, dan sabar atas kehilangan sesuatu. Salik tidak mengadu kepada selain Allah Swt Mengadu kepada Allah Swt dan mencari sesuatu yang hilang bukan terkategorikan mengadu dan mencari yang tercela secara syar’i dan wira’i. Salik saat ini mempunyai maqâm tapi tidak memiliki hal (keadaan jiwa), karena mengadu kepada selain Allâh Swt adalah tercela.

Sumber: Alif.ID

112. Ibnu Arabi Tentang Keadaan di Luar Keilmuan

Syaikh Ibnu Arabi berpendapat mengenai hal atau keadaan yang bukan berasal dari keilmuan atau pendengaran. Hal-hal tersebut meliputi banyak hal, seperti disebut di bawah ini.

  1. Kemuliaan dalam zuhud

Kemuliaan dalam zuhud adalah bersekutu di antara Allâh Swt, Rasul, dan orang orang mukmin.

وَلِلهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿المنافقون: ٨﴾

  1. Kekayaan dalam kefakiran

Tidak melihat sesuatu di dunia akhirat selain Allâh Swt, ketika Salik melihat sesuatu selain Allâh Swt maka salik membutuhkan sesuatu tersebut.

  1. Qana’ah dalam wira’i

Barang siapa yang tidak wira’i maka tidak dikatakan orang yang qana’ah. Qona’ah adalah rela terhadap tidak adanya sesuatu kecuali pada saat membutuhkannya.

  1. Kelonggaran dalam kesabaran

Sabar adalah meninggalkan keluh kesah dan mengadu kepada selain Allâh Swt, karena sabar merupakan separuh agama dan bisa menguatkan keyakinan

  1. Rezeki dalam tawakal

Rezeki merupakan pemberian dan pembagian dari Allâh Swt kepada semua makhluk, sehingga salik harus tawakal kepada Allâh Swt

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا ﴿هود: ٦﴾

  1. Kebenaran dalam kesungguhan

Salik membebaskan diri dari daya upayanya kepada kekuatan Allâh Swt, jika salik merasa mempunyai daya dan kekuatan dari diri sendiri maka salik tidak dikatakan orang yang shiddiq, bahkan salik adalah pembohong, karena salik mengakui sesuatu yang bukan miliknya

  1. Agama dalam takwa

Yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam yaitu agama yang sempurna yang meliputi iman dan taqwa yang sempurna, dan yang mampu menyandang gelar ini adalah wali Allâh Swt yang sejati. Takwa bisa diraih dengan zikir. Orang yang takwa adalah orang yang bersaksi bahwasannya Allâh Swt itu menjaga terhadap semua perbuatan syirik, sedangkan nafsu Salik tidak mampu menghindar terhadap apa yang tidak diridloi Allâh Swt

  1. Kenyamanan dalam menyendiri (‘uzlah)

Kenyamanan adalah sesutu yang tidak disertai dengan hal yang melelahkan dan memberatkan baik masa sekarang maupun akan datang.  ‘uzlah yang sempurna merupakan salah satu dari beberapa pokok yyang mencakup terhadap semua kebaikan, yaitu tidak tidur malam (al-sahar), lapar (al-ju`), dan berdiam diri (al-sumt). ‘uzlah juga bisa diartikan keluar dari semua sifat yang tercela dan akhlaq yang jelek (secara lahir). Sedangkan ‘uzlah secara batin (al-qalb) adalah menahan untuk menggantungkan diri kepada selain Allâh Swt atau hanya menggantungkan diri kepada Allâh Swt, sehingga salik merasa nyaman

  1. Petunjuk (huda) dalam memerangi nafsu (mujahadah al-nafs)

Petunjuk adalah cahaya (nur), mujahadah adalah ilmu dan amaliyah artinya melakukan amal berdasarkan keilmuannya (tasawuf falsafi dan amali). Barang siapa yang tidak mujahadah maka tidak akan menemukan tarekat ini

  1. Fana’ dalam Musyahadah

Fana’ adalah mengganti sifat-sifat basyariyah (kemanusiaan) dengan sifat-sifat hakikat (sifat-sifat tuhan). Musyahadah adalah suatu ungkapan tentang penampakan hakikat keyakinan tanpa keragu-raguan.

  1. Mahabbah dalam mengikuti nabi

Yang dimaksud mahabbah dalam hal ini adalah cinta kepada Allâh Swt, dan rasul-Nya, cinta Allâh Swt, dan rasul-Nya kepada salik.

Barang siapa yang mengingikan cinta dan berharap merasakan manisnya cinta maka hendaknya dia mengikuti Rasulullâh Saw.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (آل عمران: 31)

  1. Barokah dalam halal

Rizqi halal yang diterima oleh Salik meskipun sedikit disebut barokah jika di manfaatkan untuk taat kepada Allâh Swt

  1. Cahaya dalam ibadah

Barang siapa yang tidak beribadah maka dia tidak memiliki cahaya secara lahir. Cahaya ini bisa dilihat dalam budi pekerti.

  1. Rahasia (sirri) dalam menyimpan

Barang siapa yang tidak kuasa untuk menutupi, maka dia tidak memilik sirri. Rahasia tetap dikatakan sebagai rahasia selama ditutupi. Ketika salik keluar dari menutupi (kitman) maka dia keluar dari rahasia.

  1. Kebahagiaan dalam pertolongan

Apabila seorang salik mendapatkan pertolongan terlebih dahulu, maka dia mendapatkan keberuntungan di hari kiamat, sedangkan ketentuan keberuntungan salik sudah ditetapkan di zaman azali.

  1. Lemah lembut dalam kehidupan

Lemah lembut dan  penyebabnya ada dalam kehidupan dan penghidupan.

  1. Sabar dan pemaaf (al-hilm) dalam kekuatan

Sabar dibagi menjadi tiga, yaitu; a) sabar secara umum yaitu memberikan ampunan pada orang yang menyakiti tapi masih menyimpan rasa dendam dalam hati, b) sabar secara khâs yaitu memberikan ampunan pada orang yang menyakiti tanpa menyimpan rasa dendam dalam hati, dan c) sabar akhâs al-akhâs adalah memberikan ampunan dan membalas dengan kebaikan, ini merupakan kemulian yang tertinggi. Barang siapa yang mampu untuk menahan membalas kelaliman, maka sifat pemaafnya lebih besar daripada orang yang tidak mampu menahannya. Karena itu kesabaran bergantung kepada kadar kekuatan dalam menahan pembalasan kelaliman.

  1. Menepati janji dalam kepercayaan

Barang siapa yang berjanji maka akan tampak ketepatanya dalam memenuhi janji. Jika tidak, maka tidak akan diketahui apakah dia tergolong orang yang menepati janji ataukah sebaliknya.

  1. Kasih sayang dalam cinta

Barang siapa yang bisa bergaul dengan orang lain, maka dia mempunyai rasa cinta. Kebalikannya adalah barang siapa yang tidak bisa bergaul dengan orang lain maka dia tidak mempunyai rasa cinta kepadanya

  1. Rezeki dalam kerendahan hati

Barang siapa yang tawadhu’ maka mulya derajatnya. Salik harus bisa menghancurkan takabur (kesombongan) karena setiap orang yang takabur maka dia akan hancur.

Sumber: Alif.ID

113. Ibnu Arabi tentang Keadaan di Luar Keilmuan (2)

Melanjutkan edisi sebelumnya, masih ada sejumlah keadaan yang menurut Ibnu Arabi berada diluar (jalur) keilmuan dan pendengaran. Mari kita resapi. 

  1. Kemuliaan dalam ilmu

Kehidupan bisa tetap berlangsung dengan ilmu, kehidupan abadi (akhirat) diperoleh dengan ilmu. Ilmu kebalikan bodoh, kebodohan adalah kematian dan tiada wujud. Ilmu merupakan cahaya sedangkan kebodohan merupakan kegelapan.

أَوَ مَن كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا… (الأنعام: 122)

  1. Hikmah dalam diam

Hikmah ilahiah dalam diam artinya Salik tidak berbicara dengan mahluk kecuali karena darurat dan berbicara tidak disertai dengan nafsu. Salik tidak membicarakan dirinya dengan suatu ucapan yang diharapkan keberhasilannya walaupun keberhasilan itu dari Allâh Swt

Hikmah yang sempurna tidak akan bisa ditemukan kecuali dalam berdiam diri. Oleh karena itu, barang siapa yang diberi ilmu secara runtut dan berdiam diri atas perbedaan di antara ilmu tersebut itulah lebih utama-utamanya orang yang mengenal Allâh Swt Kelemahan dan pengakuan Salik terhadap ketidakmampuan menjelaskan ilmu, itu sesuai dengan ungkapan: “Tidak mampu menemukan penemuan adalah menemukan”.

  1. Kesehatan dalam pantangan

Kesehatan dan keselamatan badan itu tetap di dalam menghindari makanan dan segala sesuatu yang  membahayakan badan

  1. Penemuan itu dalam keadaan lapar

Mengetahui hakikat segala sesuatu itu bisa dihasilkan jika dalam keadaaan lapar yang tidak melewati batas. Maksudnya adalah lapar yang sudah biasa dan tidak dilarang oleh syari’at, karena mayoritas kebaikan itu diperoleh dalam keadaan lapar seperti diperolehnya kejelekan ketika kenyang.

  1. Murâqabah dalam tidak tidur malam

Murâqabah yang sempurna itu diperoleh  dalam keadaan tidak tidur malam secara rutin dan sebaliknya Murâqabah yang tidak sempurna diperoleh dalam keadaan tidak tidur malam seara tidak rutin, maka Murâqabah itu tidak diperoleh bagi orang yang tidur malam karena dia telah berpindah ke alam barzah. Sedangkan orang yang terjaga di malam hari untuk berzikir kepada Allâh Swt secara rutin, mata hatinya menjadi jelas, dan mampu melihat kebaikan yang dikehendaki Allâh Swt Lapar adalah kunci utama agar mampu tidak tidur malam. Makanan dan minuman mengakibatkan tidur apalagi minum  air, maka fatal sekali akibatnya.

  1. Lupa dalam kemalasan

Lupa kepada Allâh Swt itu disebabkan malas, menyibukkan diri dan lamban dalam hidmat kepada Allâh Swt Karena barang siapa yang berhidmat kepada seseorang maka selama itu tidak akan pernah lupa kepada yang dihidmati.

  1. Keberuntungan dalam kemurahan

Keberuntungan dan manfaat yang besar itu ada di dalam sikap toleran terhadap makhluk Allâh Swt dan dermawan kepada mereka.

  1. Takut itu di dalam hati

Takut kepada Allâh Swt dan siksanya itu ada di dalam hati karena hati itu sumber dan tempatnya iman, sedangkan takut kepada Allâh Swt itu sebagian dari iman. Takut kepada Allâh Swt itu bergantung kadar keilmuanya kepada Allâh Swt, artinya semakin banyak ilmunya maka semakin banyak takutnya.

  1. Lemah lembut dalam pergaulan

Lemah lembut kepada hamba Allâh Swt itu ada di dalam bergaul dengan mereka karena tidaklah mungkin lemah lembut kecuali terhadap orang-orang dekat yang ada di samping kita. Barang siapa mengasingkan diri dari manusia maka tidak akan bersikap lemah lembut kepada seorang dan tidak seorangpun lemah lembut kepadanya. Yang dimaksud bergaul adalah berkumpul selamanya, seperti bergaulnya seorang istri dengan suaminya. Begitu juga seorang hamba jika bergaul dengan Tuhannya secara terus menerus maka dia akan mengetahui lemah lembut dan kebaikannya

  1. Kecocokan dalam persahabatan

Kecocokan yang diharapkan dari makhluk itu ada dalam persahabatan dan pergaulan. Sedangkan perbedaan ada dalam permusuhan, karena barang siapa yang beersahabat dengan seseorang maka tidak akan berselisih.

  1. Mengambil pelajaran dalam berpikir

Mengambil pelajaran dari orang yang memiliki ilmu itu ada di dalam berpikir tentang kebaikan Allâh Swt seperti dikatakan barang siapa berpikir maka akan bisa mengambil pelajaran.

  1. Taubat dalam keadaan terjaga

Taubat yang benar dan tulus itu ada dalam terjaga dan khudhur kepada Allâh Swt dalam segala keadaan dengan cara keluar dari angan-angan dan hayalan. Orang yang bertaubat dengan sugguh-sungguh dan ihlas, maka akan terjaga ketika yang lain tidur karena dosa-dosa yang telah dilakukan.

  1. Keilmuan dalam kerendahan hati

Ilmu yang bermanfaat baik wahabi dan ladunni ada di dalam rendah hati.

  1. Memberi ada dalam kedermawanan

Memberi artinya pemberian setelah diminta sedangkan dermawan artinya pemberian sebelum adanya permintaan.

  1. Rahmat dalam menyayangi

Rahmat ilahiyah ada dalam usaha memperoleh kasih sayang dari Allâh Swt dengan menjahui sesuatu yang bertentangan dengan perintah-Nya dan menjalani segala sesuatu yang sesuai dengan perintah-Nya. Demikian juga kasih sayang dengan sesama hamba Allâh Swt itu timbul dari usaha memperoleh kasih sayang ketika marah yang menimbulkan kekerasan.

  1. Kekerasan dalam kemarahan

Kekerasan, penghukuman, sanksi, dan kebencian ada dalam kemarahan. Marah akan menimbulkan penghukuman dan sanksi maka hindarilah segala sesuatu yang mengakibatkan kebencian baik dari Allâh Swt atau dari makhluk.

  1. Cobaan dalam cinta

Apabila seorang Salik masuk dalam gelombang cinta, maka akan diberi cobaan sesuai dengan kadar kecintaanya, dan sesungguhnya cobaan bagi para nabi lebih berat dari cobaan para wali karena cintanya para nabi lebih besar.

  1. Khusyu’ dalam menangis

Khusu’ adalah berdiam diri dan merasa dirinya hina karena takut kepada Allâh Swt dan mengakui atas kelemahan dan kecerobohannya, menangis maksudnya adalah khusyu’, tenang, dan merasa rendah diri. Hal ini menyebabkan terangkatnya derajat di sisi Allâh Swt

  1. Kedekatan dalam kesunahan

Maksud mendekatkan diri kepada Allâh Swt ada di dalam ibadah sunnah adalah kedekatan sifati, karena kedekatan dzati ada dalam ibadah fardhu (Syarah Hikam al-Syaikh al-Akbar, halaman: 471-485).

Sumber: Alif.ID

114. Tarekat Alawiyah

Tarekat Alawiyah adalah tarekat yang pendirinya dinisbatkan kepada seorang ulama besar. Ia adalah  Ustaz Adzam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Murtadha bin Sayid Ja’far ash-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Ali Zainal Abidin bin Sayid Husain as-Sibthi bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib bin Fathimah binti Rasulullah Saw.

Al-Faqih al-Muqaddam dilahirkan di kota Tarim pada tahun 574 H. Sejak kecil ia mendapat bimbingan agama yang sangat baik sehingga hafal Alquran dan disibukkan dengan mengkaji berbagai ilmu agama. Ia sangat pandai dalam Ilmu Bahasa Arab dan Ilmu-Ilmu Adab. Sebagaian ulama mengatakan bahwa ia telah sampai pada tingkatan al-Ijtihad al-Mutlaq.

Ia berguru ilmu tarekat kepada Imam Salim bin Bashri, Muhammad bin Ali al-Khatib, pamannya sendiri Syaikh Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath, dan juga kepada ulama besar bernama Sufyan al- Yamani.

Gurunya yang bernama Muhammad Bamarwan berkata, “Engkau sudah memiliki persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin besar”. Syaikh Abdurahman as-Segaf berkata: “Al-Faqih al-Muqaddam menduduki maqâm kutub selama 120 malam” (al-Masyra’u al-Rawi, juz 2, halaman: 8).

Al-Faqih al-Muqaddam berguru dan memperoleh mandat (ijazah) tasawuf dari ayahnya, dari kakek-kakeknya, sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. Ia juga memiliki guru lainnya yaitu Abu Madyan (yang mendapatkan ilmu) dari Ya’azza dari Abi Harazim dari Abu Bakar Ibnu al-Arabi dari Imam al-Ghazali dari Imam Haramain dari Imam al-Juwaini dari Abû Thâlib al-Makki dari Abu Bakar asy-Syibli dari al-Junaid aI-Baghdadi.

Perihal ibadahnya, bagai lautan yang tak bertepi. Ia selalu disibukkan dengan belajar, puasa, dan salat di waktu sahur. Ia senantiasa membaca Alquran dengan suara yang kadang pelan dan kadang nyaring. Jika sudah tamat, ia memulainya lagi dari awal. Untuk beberapa waktu lamanya ia beribadah di desa an-Nu’air.

Dikisahkan bahwa pada suatu malam putranya bernama Ahmad mengikutinya. Ketika sampai di sebuah desa, al-Faqih al-Muqaddam mulai melakukan zikir jahr (berzikir dengan suara yang dikeraskan). Tiba-tiba, semua yang ada di desa itu baik batu maupun kayu ikut berzikir. Menyaksikan kejadian yang aneh tersebut, si Ahmad jatuh pingsan sampai akhirnya al-Faqih al-Muqaddam mendatanginya.

Al-Faqih al-Muqaddam bisa melihat alam akhirat dan seluruh kenikmatnya, juga bisa melihat seluruh dunia dan isinya. Rumahnya sering didatangi oleh anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para janda.

Di antara karamahnya, pada suatu waktu salah seorang pembantunya yang pergi ke Afrika dan tinggal cukup lama di sana kemudian tersiar kabar bahwa ia telah meninggal dunia. Mendengar kabar tersebut, para keluarganya mendatangi Syaikh. Ketika itu Syaikh menundukkan kepala sebentar, lalu berkata, “Ia tidak meninggal di Afrika.” Tetapi kabarnya ia sudah meninggal, kata keluarganya.

Beliau berkata, “Aku mencarinya di surga namun tiada kujumpai, sedangkan muridku itu tidak akan masuk neraka”. Selang beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa ia masih hidup (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 173).

Al-Faqih al-Muqaddam wafat pada malam Jum’at bulan Dzulhijjah tahun 653 pada umur 79 tahun.

Sebagian ulama ada yang bermimpi bertemu dengan Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad setelah wafatnya. Beliau berkata, “Berziarahlah ke makam al-Faqih al-Muqaddam. Sebab, ada sebagian orang yang tidak memiliki amal ibadah yang banyak, namun ia sering berziarah ke makam al-Faqih al-Muqaddam. Lalu Allah Swt menyamakan amal ibadahnya dengan orang-orang yang ahli ibadah.”

Tarekat Alawiyah menyebar di Jazirah Arab, Tunisia Afrika Utara, Habasyiyyah, Yaman, Palestina, Suria, Saudi Arabia, Britania, Inggris, Prancis,  Indonesia, dan lain-lain.

Ajaran Tarekat Alawiyah

Pengikut Tarekat Alawiyah mendasari tarekatnya dengan mengikuti Alquran dan mengikuti Nabi Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan, dan ahwal sehingga salik Tarekat Alawiyah mencapai maqâm mahabbah dan menggabungkan antara ilmu, hal (keadaan hati), tahalli (menghiasi jiwa dengan adab yang sesuai syari’at), sehingga tarekat ini melaksanakan amal secara lahir dan batin dari berbagai macam sisi disertai dengan menjalankan syari’at dan hakikat secara sempurna.

Tarekat ini tidak mengajarkan tentang sakar (mabuk) karena bisa melewati batas adab syari’at. Mempermudah bagi salik untuk shahwu (kembalinya perasaan salik setelah hilangnya rasa) karena shahwu bisa membatasi hati dari melirik hakikinya tauhid dan rahasia-rahasia musyahadah (Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, halaman: 23-24).

Ajaran Dasar Tarekat Alawiyah

  1. Mengikuti Alquran, Hadis, ucapan shahabat, mengikuti tauladan ulama salaf yang mulia.
  2. Membagi waktu ibadah, mencari ilmu, dan membaca aurâd serta hizib.
  3. Lebih mengedepankan 5 hal yaitu:

1. Ilmu syari’at: ilmu tafsir, hadis, fikih dan alat-alatnya. Karena ilmu menjadi podasi dasar kebahagiaan dunia akhirat,                                  menjadi derajat utama bagi anak Adam untuk mejadi kebahagiaan abadi di akhirat, serta melihat Allâh Swt di akhirat.

2. Amal: merupakan ibadah yang menjadi buah ilmu, dan karena ibadah langit dan bumi diciptakan, seperti firman Allah                               Swt:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ (الذاريات: 56)

5. Ikhlas: bersihnya segala amal hati dari semua campuran, (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-                                        Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, halaman: 31-32).

Dasar-dasar Tarekat Alawiyah

  1. Mengikuti aqidah ulama salafu al-shâlih (ahli al-sunnah wa al-jama’ah)
  2. Bertakwa dengan sebenarnya
  3. Juhud di dunia
  4. Melanggengkan tawadhu’
  5. Menolong makhluk
  6. Istiqâmah dalam membaca uarâd
  7. Merasa takut
  8. Berkeyakinan dengan sempurna
  9. Husnul khuluq
  10. Memperbaiki niat
  11. Membersihkan hati
  12. Menjauhi perbuatan tercela baik yang samar atau jelas
  13. Mendekatkan diri kepada Allâh Swt dengan imân, yaqin, dan ihsân
  14. Menjalankan kewajiban dan memperbanyak ibadah sunnah
  15. Berakhlaq dengan akhlaq Nabi Saw. yang terbentuk dengan akhlaq Allâh Swt seperti kasih sayang, lemah lembut, membersihkan sifat-sifat yang tidak sempurna, memberikan rasa aman, melihat kepada hakikatnya sesuatu, dan segenap Asmâ’ al-Husnâ yang lainya, (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, halaman: 32-33).

Sumber: Alif.ID

115. Wiridan Tarekat Alawiyah

Wiridan Tarekat Alawiyah tidak sebanyak wirid-wirid tarekat lain. Mari kita lihat, seperti di bawah ini:

  1. Membaca Alquran pada setiap shalat shubuh dan maghrib
  2. Membaca surat al-Waqi’ah kemudian membaca :

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِّزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَ سَلامٌ عَلَى المُرْسَلِينَ وَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِينَ

  1. Kemudian membaca do’a yang di kehendaki sâlik, lalu membaca do’a:

اللَّهـُمّ يـَا مَنْ جَعلْتَ الصَّلَاةَ عَلَى النّبِيِّ مِنَ القُرُباتِ، أَتَقَرَّبُ إِلَيْكَ بِكُلِّ صَلَاةٍ صَلَّيْتَ عَلَيْهِ مِنْ أَوَّلِ الّنَشْأَةِ إِلَى مَا لَا نِهَايَةَ لِلْكَمَـالَاتِ (3×)

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِّزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَ سَلامٌ عَلَى المُرْسَلِينَ وَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِينَ

  1. Kemudian membaca:

أَعوذُ باللهِ مِنَ الشَيْطَانِ الّرَجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الَّرحْمَنِ اَّلَرحِيمِ ((وَ مَا تُقَدِّمُـوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْد اللهِ هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَم أَجْرًا ، واِسْتَغْفِرُواْ اللهَ ، إنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيـمٌ)) أسْتَغْفِرُ اللهَ (99×) أسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ الّذِي لا إله إلاّ هُوَ الحي القَيوم وَ أَتُوبُ إليهِ (1×)

  1. Kemudian membaca:

إنَّ اللهَ وَ مَلآئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الّنَبِيِّ، يَآأَيُّهَا الذِينَ آمَنُوا صَلُّواْ عَلَيْهِ وَ سَلِّمُواْ تَسْليمًا) اللـهـم صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ النَّبِيِّ الأُمِيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَ سَلِّمْ (99×)

الـَّهُـمَّ صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ النَّبِيِّ الأُمِيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَ سَلِّمْ تَسْلِيمًا (1×)

  1. Kemudian membaca:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إلاَّ هُوَ وَ المَلآئِكَةُ وَ أُولُواْ العِلْمِ قَآئِمًا بِالقِسْطِ ، لاَ إلَهَ إلاَّ هُوَ العَزِيزُ الحَكَيمُ ، إِنَّ الّدِينَ عِنْدَ اللهِ الإسْلاَمُ) لاَ إلَهَ إلاّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ المُلْكُ وَ لَهُ الحَمْدُ وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (99×) لاَ إلَهَ إلاّ اللهُ ، سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (1×)

  1. Kemudian membaca:

اَلحَمْدُ للهِ الّذِي هَدَانَا لهَذَا وَ مَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أَنْ هَدَانَا اللهُ ، لَقَدْ جَآءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالحَقِّ) الحمد لله و الشكر لله (100×)

  1. Kemudian sâlik membaca surat al-Ikhlâs:

ثُمَّ يقْرؤ المُريدُ سُورَةَ الإِخْلاَصِ (ثلاث مرّات) و يدعواللهَ سُبحانَهُ وَ تَعالى بما شاء من الدعاء

  1. Kemudian sâlik mengakhiri dengan memaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. :

الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِنَا يَا حَبِيْبَ اللهِ، الصَّلَاةُ و السَّلَامُ عَليكَ يَا سَيِّدنَا يَا نَبِيَّ اللهِ، الصَّلَاةُ و السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِنَا يَا رَسُولَ اللهِ ، ألفُ ألفِ صَلاةٍ و ألفُ ألفِ سَلامٍ ، صَلَّى اللهُ عَليكَ وَ عَلَى آلِ بَيْتِكَ وَ أَصْحَابِكَ يَا أَكْرَمَ اَلخَلْقِ عِنْدَ اللهِ ((سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِّزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَ سَلامٌ عَلَى المُرْسَلِينَ وَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِينَ((

Persahabatan

Dalam kitab ‘Awârif al-Ma’ârif, syaikh Suhrawardi berkata: “Bersahabat dengan sahabat pilihan (baik) memiliki dampak positif yang banyak, saling mengasihi, menyayangi yang bisa memperkuat persahabatan jalinan cinta”. Dikatakan bahwa bertemu teman merupakan proses laqâh (penyerbukan), tidak diragukan lagi bahwa batin juga ikut dalam proses penyerbukan memperkuat antara satu dengan yang lain.

Begitu juga bertemu, melihat orang-orang shaleh menimbulkan dampak keshalehan. Melihat terhadap gambar juga menimbulkan dampak peniruan perilaku orang yang dilihat seperti melihat orang yang susah akan merasa susah dan melihat orang yang senang akan merasa senang.

Salah satu fungsi shuhbah (berteman) dengan syaikh (mursyid):

  1. Bisa meleberkan relung-relung batin;
  2. Bisa mendorong manusia untuk mencari dan mengamalkan ilmu-ilmu yang baru;
  3. Bisa menghilangkan kesusahan dan himpitan masalah dari dalam hati;
  4. Perkataan mursyid mempunyai pengaruh terhadap sâlik, jika tidak maka mursyid akan menarik sâlik untuk diarahkan melakukan perjalanan menuju Allâh Swt.;
  5. Syaikh Abu Bakr bin Salim Ba’lawiberkata: “Pandangan sâlik kepada mursyid bisa menyampaikan sâlik ke maqâm yang tinggi di sisi Allâh”, (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 1, halaman: 58-59).

Râbithah kepada Mursyid

قال النبي صلعم: إن الله عبادا من نظر في احدهم نظرة سعد سعادة لايشقى بعدها ابدا

Rasûlullâh Saw. bersabda: Allâh Swt. memiliki hamba yang melihat salah satu di antara mereka (mursyid/syaikh) dengan satu pandangan yang menjadikannya bahagia selamanya.

Hal ini dinamakan râbithah dalam istilah tarekat. Râbithah ini kedudukannya lebih berdampak terhadap sâlik dibandingkan dzikir dengan menepati syarat-syarat yang telah ditentukan. Hal itu karena cahaya orang yang makrifat terpancar dalam kehidupannya. Walaupun mursyid sudah meninggal dunia, sâlik masih dapat menggunakan râbithah kepada mursyidnya dengan catatan sâlik mampu menggunakan râbithah yang sempurna.

Hal ini dikarenakan dua sebab yaitu kesungguhan cinta dan rasa rindu yang mendalam serta wasilah mutawasilah. Râbithah (menjadi rukun yang dalam bagi sâlik) adalah persambungan hati sâlik kepada syaikh (Mursyid) (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 1, halaman: 59).

Adab Sâlik terhadap Syaikh (Mursyid)

  1. Menghormati syaikh (mursyid) baik amal, maupun biografinya;
  2. Sâlik harus berkhusnudzan kepada syaikh (mursyid);
  3. Sâlik meminimalkan bertemu atau berhadapan dengan syaikh (mursyid);
  4. Sâlik harus bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuan untuk bertawajjuh kepada syaikh (mursyid);
  5. Sâlik harus menjaga râbithah syaikh (mursyid) dalam angan-angannya dengan cara menggambarkan ahwal bentuk syaikh (mursyid) dalam angan-angannya;
  6. Bersifat dengan sifat-sifat syaikh (mursyid), (‘Aqdu al-Yawâqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 1, halaman: 60).

Sumber: Alif.ID

116. Zikir dan Doa Tarekat Alawiyah

Zikir dan do’a dilakukan setiap hari. Zikir dan doa tersebut meliputi:

  1. lâ ilâ ha illallâh 25000 x
  2. ya Allâh 25000 x
  3. membaca saalawat 25.000 x
  4. setelah ashar membaca hizib bahr (imam al-Syadzili) kemudian membaca 7 surat,
  5. membaca do’a birrul walidain
  6. mandi, memakai wewangian, dan melakasanakan shalat maghrib
  7. mandi setiap shalat fardhu

Tata Cara Baiat atau Tahkim (Pengokohan) dan Talqin (Pemberian Pakaian Sufi)

1. Mursyid memerintahkan sâlik untuk membersihkan diri dari hadats dan najis untuk melakukan persiapan menerima talqin dan menghadap tawajjuh (menghadap kepada Allâh Swt.);
2. Mursyid menanyakan kepada sâlik tentang penerimaan talqin dan tawajjuh dengan menggunakan washilah Rasûlullâh Saw.;
3. Mursyid meletakkan tangan kanannya ke tangan kanan sâlik dan meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan sâlik, mursyid memegang ibu jari sâlik dengan jari-jari tangan mursyid;

4. Mursyid memerintahkan sâlik bertaubat dan membaca istighfâr, mursyid menuntun sâlik membaca:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ آمَنْتُ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَعَذَابِ الْقَبْرِ نَعِيْمِهِ وَسُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَالْبَعْثِ وَالْمِيْزَانِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ رَضِيْتُ بِاللهِ رَبَّا وَبِالْاِسْلَامِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا وَرَضِيْتُ بِكَ شَيْخًا وَوَاسِطَةِ اِلَى اللهِ تَعَالَى
5. Kemudian mursyid berkata kami bermadzhab fiqih Syafi’iyah, bermadzhab aqidah Abi Hasan al-Asy’ari, Tarekat kita adalah Tarekat ‘Alawiyah, (‘Aqdu al-Yawaqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 2, halaman: 147).

Tata Cara Pemberian Khirqah (Pakaian Sufi)

Jika mursyid menghendaki pemberian khirqah (pakaian sufi) kepada sâlik maka mursyid memerintahkan sâlik untuk:

  1. Bersuci dan bertawadhu’;
  2. Membaca surat al-Fatihah;
  3. Mursyid memakaikan pakaian (sufi) dengan tujuan pemakaian tersebut sebagai pengganti penyematan dari Allâh Swt. dan Rasul-Nya;
  4. Kemudian mursyid menyebutkan penisbatan khirqah Mursyid berkata: aku menyematkan pakaian ini kepadamu seperti aku menerimanya dari mursyidku (al-Syaikh) sampai pada akhir sanad.
  5. Jika mursyid menginginkan menalqin zikir maka mursyid memerintahkan sâlik untuk duduk di depannya kemudian memerintahkannya memejamkan kedua mata dan menuntunnya membaca lâ ilâ ha illallâh 3x.
  6. Membaca surat al-Ikhlâs dan mu’awwidatain, dan membaca tahlil sampai diberi petunjuk berhenti oleh Allâh Swt. Semua bacaan itu pahalanya dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw., para nabi, rasul, shalihin, dan seluruh orang muslim, (‘Aqdu al-Yawaqit al-Jauhariyyah wa Samth al-‘Ain al-Dzahabi bi Dzikri al-Thariq al-Sadad al-‘Alawiyah, juz 2, halaman: 147-148).

Sumber: Alif.ID

117. Tarekat Syadziliyah

Nama lengkap pendiri Tarekat Syadziliyah adalah Abu al-Hasan al-Syadzili ‘Ali bin ‘Abdillah bin ‘Abd al-Jabbar al-Syadzili. Ia lahir pada tahun 593 H/1197 M di sebuah desa bernama Ghamarah. Lokasinya tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al-Aqsha atau Maroko, Afrika Utara bagian ujung paling barat (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 18).

Daerah Maghribi merupakan satu bagian wilayah dunia Islam yang mempertahankan semangat spiritual, sekalipun pada akhir separuh abad ke-13 H./19 M. Perancis menancapkan kuku kolonialisme di Aljazair dan Tunisia. Tepat pada saat Perancis mulai menjajah Afrika Utara, suatu kebangkitan yang amat spiritual terjadi di Maghribi, (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, halaman: 60).

Al-Syadzili merupakan dzurriyat atau keturunan ke-22 dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. Urut-urutan sebagai berikut:

  1. Rasulillah Saw.,
  2. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Fathimah al-Zahra’,
  3. Sayyidina Hasan,
  4. Hasan al-Muthanna,
  5. Abdullah
  6.  Idris,
  7. ‘Umar,
  8. Idris,
  9. ‘Isa,
  10. Muhammad,
  11. Ahmad,
  12. ‘Ali,
  13. Bathal,
  14. Wardi,
  15. Yusya’,
  16. Yusuf,
  17. Qushayy,
  18. Khatim,
  19. Hurmuz,
  20. Tamim,
  21. Abd al-Jabbar,
  22. Abdullah.

Rujukannya banyak, yakni al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 11. Lathaif al-Minan wa al-akhlaq, halaman: 138. Lihat juga al-Tashawwuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 164. Lalu Jami’ al-Ushul fi al-Auliya’, halaman: 146. Lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42. Rujukan lain adalah Thabaqat al-Syadziliyyah al-Kubra al-Musamma Jami’ al-Karamat al-‘Aliyyah fi Thabaqat al-Sadah al-Syadziliyyah, halaman: 19-20).

Sejak kecil Abu al-Hasan al-Syadzili biasa dipanggil dengan nama ‘Ali, ia dikenal sebagai orang yang memiliki akhlak yang amat mulia. Tutur katanya fasih, halus, indah, dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, al-Syadzili juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya al-Syadzili mendapat tempaan pendidikan akhlak serta cabang-cabang ilmu agama lainnya di bawah bimbingan langsung ayah-bundanya.Pada usia yang masih anak-anak itu al-Syadzili juga sudah menghafal Alquran serta menekuni sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw., (al-Tashawwuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 172).

Selain itu, sejak usia kanak-kanak al-Syadzili sudah terbiasa mengenakan pakaian yang indah, bersih, dan rapi. Namun, dalam hal makan dan minum al-Syadzili amat mudah pelayanannya dan tidak sampai menyusahkan orang lain, terutama ayah-bundanya.

Nilai-nilai keshalehan, ketakwaan, dan kebajikan sebagai seorang calon pemimpin umat yang agung, panutan bagi kaum muslimin, dan imam bagi para muttaqin, sudah tergambarkan dari kepribadian dan perilakunya sejak al-Syadzili masih usia kanak-kanak.

Al-Syadzili tinggal di desa kelahirannya sampai usia 6 tahun dengan mendapat tempaan pendidikan akhlak serta cabang-cabang ilmu agama lainnya di bawah bimbingan langsung ayah-bundanya (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 43).

Kehidupan dan Tantangan Abu al-Hasan al-Syadzili di Tunisia

Pada usia 6 tahun al-Syadzili sudah menghafal Alquran serta menekuni sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw. yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota Tunisia, Afrika Utara) pada tahun 599 H./1202 M. Kepindahan al-Syadzili adalah semata-mata untuk mencari ilmu di samping untuk menggapai cita-cita luhurnya menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah Swt.

Di Tunis al-Syadzili didatangi oleh Nabi Khidhir As. yang membawa kabar bahwa al-Syadzili diangkat menjadi wali agung. Kabar ini al-Syadzili laporkan kepada salah satu ulama’ besar Tunis saat itu, Syaikh Abi Sa’id al-Baji (w. 628 H) (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman 195). Untuk selanjutnya, al-Syadzili tinggal bersama Syaikh Abi Sa‘id kurang lebih 19 tahun untuk menimba berbagai cabang ilmu agama, di antaranya Alquran, Hadis, fiqh, akhlak, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat.

Bersama Syaikh Abi Sa‘id, al-Syadzili berkali-kali menunaikan ibadah haji, dan bersamaan dengan ibadah haji itu pula al-Syadzili tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar dan menimba ilmu dari berbagai ulama’ di Makkah yang datang dari segala penjuru dunia, (Pengantar Sejarah Sufi dan Tashawwuf, halaman: 277. Lihat juga Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 58-59.)

Dalam perhelatan panjang al-Syadzili menimba pengetahuan, al-Syadzili merasa bahwa ilmu yang didapat dirasa hanyalah kulitnya saja belum isinya, sehingga al-Syadzili memutuskan untuk menyelami kedalaman hakikat untuk bisa mencapai ma‘rifat.

Tempat pertama yang dituju oleh al-Syadzili adalah kota Makkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama’ dan shalihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Makkah, al-Syadzili belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud.

Sampai akhirnya pada suatu saat al-Syadzili memperoleh keterangan dari beberapa ulama’ di Makkah bahwa Sang Quthub yang dicari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilometer dari kota Makkah.

Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah al-Syadzili bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang dicari kepada setiap ulama’ dan masyayikh yang berhasil ditemui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

Akhirnya, ia mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah tarekat Rifa‘iyah yaitu al-Syaikh al-Shalih Abu al-Fatah al-Wasithi Ra., (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 59). Syaikh Abu al-Fatah adalah sosok yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu.

Segeralah al-Syadzili sowan kepada Syaikh Abu al-Fatah dan mengemukakan bahwa al-Syadzili sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan ia mintai kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhaninya menuju ke hadirat Allah Swt.

Mendengar penuturan al-Syadzili, al-Syaikh Abu al-Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan,

“Wahai anak muda, Engkau mencari Quthub jauh-jauh sampai ke sini, padahal orang yang Engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Dia adalah seorang Quthub al-Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah Engkau ke Maghrib (Maroko) daripada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Pada saat ini dia sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang Engkau cari di sana”.

Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syaikh Abu al-Fatah al-Wasithi, al-Syadzili segera mohon diri sekaligus minta do‘a restu agar ia bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 59).

Sesampainya di Maroko, al-Syadzili langsung menuju ke desa Ghamarah, tempat ia dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, al-Syadzili segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang al-Syadzili temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20).

Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syaikh Abu al-Fatah tiada lain adalah Sayyid Syaikh al-Shalih al-Quthub al-Ghauts al-Syarif Abu Muhammad ‘Abd. al-Salam bin Masyisyi al-Hasani (w. 625 H./1228M.), yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathah. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Abu al-Fatah al-Wasithi al-Iraqi, segera saja al-Syadzili menuju ke tempat yang ditunjukkan itu (bersambung).

Sumber: Alif.ID

118. Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (1)

(sambungan) Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Al-Syadzili segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20, dan lihat juga Hayat Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 18-19).

Sebelum al-Syadzili melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, al-Syadzili berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya al-Syadzili lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini al-Syadzili lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kemuliaan dan keagungan di sisi Rabb al-‘alamin, di samping juga sebagai seorang calon guru al-Syadzili.

Begitu setelah selesai mandi, al-Syadzili merasakan betapa seluruh ilmu dan amalnya seakan luruh berguguran. Seketika itu pula al-Syadzili merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal.

Kemudian, setelah itu al-Syadzili lalu berwudhu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawaddhu’ dan rendah diri, al-Syadzili mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 20. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, 14).

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami.

Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat keshalihan dan ketakwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati al-Syadzili seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”.

Al-Syadzili, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa‘alaikum salam warakhmatullahi wabarakatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan al-Syadzili, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab al-Syadzili disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rasulullah Saw. Mendengar itu semua, al-Syadzili menyimaknya dengan penuh rasa takjub, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 19).

Belum sampai al-Syadzili mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya ‘Ali, Engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka Engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat”, (Thabaqat al-Auliya’, halaman: 458. Lihat juga Qadiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20. Lihat juga Hayat Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 19).

Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah ia kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar al-Syaikh al-Quthub al-Ghauts Sayyid Abu Muhammad ‘Abd. al-Salam bin Masyisy al-Hasani Ra. (w. 625 H./1228M.), orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah Swt. yang telah mempertemukan kita pada hari ini.”

Berkata lagi Syaikh ‘Abd al-Salam, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum Engkau datang ke sini, Rasulullah Saw. telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada Engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

Selanjutnya, al-Syadzili tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. al-Syadzili banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat keTuhanan dari Syaikh ‘Abd al-Salam, yang selama ini belum pernah al-Syadzili dapatkan.

Setelah cukup lama al-Syadzili tinggal bersama al-Syaikh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syaikh ‘Abd al-Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercintanya tentang hari-hari yang akan dilalui oleh al-Syadzili dengan mengatakan,

“Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini Engkau untuk beriqamah (melaksanakan). Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama Syadzilah. Untuk beberapa waktu tinggallah Engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, disana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi Engkau dengan sebuah nama yang indah, al-Syadzili.”

“Setelah itu,” lanjut al-Syaikh, “Kemudian Engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Disana Engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, Engkau akan pindah ke arah timur. Disana pulalah kelak Engkau akan menerima warisan al-Quthubah dan menjadikan Engkau seorang Quthub.”

Pada waktu akan berpisah, al-Syadzili mengajukan satu permohonan kepada al-Syaikh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku”, (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 197. Lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf, al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 25. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 15).

Al-Syaikh pun kemudian berkata, “Wahai ‘Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu dari menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

Lanjut al-Syaikh lagi, “Jangan Engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah wara‘mu.” “Dan berdo‘alah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah aku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikan-Mu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa” (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 25. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 15).

Sumber: Alif.ID

119. Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (2)

Al-Syadzili mulai menapaki perjalanan yang sesuai dengan apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah al-Syadzili di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia.

Pada saat al-Syadzili tiba di desa itu, yang mengherankan, al-Syadzili sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Syadzilah, sedang al-Syadzili sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangannya. Tapi itu sebuah kenyataan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepadanya tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan seseorang yang sudah lama dinanti-nantikan.

Al-Syadzili tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, al-Syadzili telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. al-Syadzili ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk orang-orang. Memang tujuannya datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadahnya dengan cara menjauh dari masyarakat.

Akhirnya, al-Syadzili memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Lalu, berangkatlah al-Syadzili ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat beliau bernama Abu Muhammad ‘Abdullah bin Salamah al-Habibi, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 27). Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketakwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).

Di bukit itu, al-Syadzili melakukan riyadhah ruhaniyah dengan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, al-Syadzili gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhah, mujahadah dan menjalankan zikir dan wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh gurunya, al-Syaikh ‘Abd. al-Salam. Di bukit itu, al-Syadzili melakukan ‘uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqamah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 168).

Untuk kehidupannya, al-Syadzili bersama sahabat setianya, al-Habibi, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak al-Syadzili bermukim di bukit itu, Allah Swt. telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi keperluannya.

Pada suatu hari, al-Syadzili pernah menyaksikan gusi al-Habibi terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, al-Syadzili menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan.

Segera saja, setelah itu, al-Syadzili mengajak al- Habibi turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Sekiranya telah tercukupi, maka al-Syadzili bersama al-Habibi segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang semenjak ber‘uzlah di bukit itu, kadang-kadang ia berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 28).

Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al-Habibi, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat ‘alaihim al-shalah wa al-salam, mengerumuni al-Syadzili. Bahkan lanjut al-Habibi, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.”

Tidak jarang pula dilihat oleh al-Habibi arwah para waliyullah yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti al-Syadzili. Para wali-wali itu, rahimakumullah, dikatakan oleh al-Habibi, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan al-Syadzili, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 26-28).

Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan namanya, diceritakan olehnya, bahwa al-Syadzili pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah Swt., “Ya Rabb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku?” Lalu, dikatakan kepadaku, “Wahai ‘Ali, Aku tidak menamakan Engkau dengan nama al-Syadzili, tetapi al-Syadzili (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk-Ku dan demi cinta kepada-Ku.”

Al-Syadzili tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, al-Syadzili mendapatkan perintah dari Allah Swt. agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

Disebutkan olehnya, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, Hai ‘Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari dirimu. Lalu, aku pun mengatakan, Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka. Lalu dikatakan kepadaku, Turunlah, wahai ‘Ali! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan Engkau dari marabahaya. Aku katakan pula, Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai? Maka, dikatakan kepadaku, Hendaklah Engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib” (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 30).

Setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat ‘uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka al-Syadzili segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.

Baginya, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja al-Syadzili bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang ia saksikan pada saat kedatangannya kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan.

Namun demikian, sejak kedatangannya, al-Syadzili juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Dalam usahanya memberikan pertolongan kepada mereka, al-Syadzili sering didatangi Nabiyullah Khidhir ‘alaihi al-salam, guna membantunya sekaligus untuk menyelamatkan diri dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunannya.

Sumber: Alif.ID

120. Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (3)

Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang qadhi (hakim agama) yang bernama Ibnu al-Barra’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnu al-Barra’.

Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya, (al-Tashawwuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 169-170, lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 33).

Al-Syadzili datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru al-Syadzili, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan al-Syadzili melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatanginya. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang ‘alim, shalih dan ahli karamah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasihat-nasihatnya.

i antara mereka tampak, antara lain al-Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali bin Makhluf al-Siqli, Abu ‘Abdullah al-Shabuni, Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz al-Zaituni, Abu ‘Abdullah al-Bajja’i al-Khayyath, dan Abu ‘Abdullah al-Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman ruhani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci al-Syadzili. Padahal, pada waktu itu al-Syadzili masih berumur kurang lebih 30 tahun (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 32).

Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnu al-Barra’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan al-Syadzili di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan al-Syadzili ditangkap oleh telinga Ibnu al-Barra’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.

Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni al-Syadzili, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnu al-Barra’. Timbul prasangka buruk bahwa al-Syadzili telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnu al-Barra’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan al-Syadzili.

Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnah dari orang yang dengki kepadanya, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. al-Syadzili adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemuliaan al-Syadzili.

Setelah itu, terbetik dalam hati al-Syadzili untuk kembali menunaikan ibadah haji. al-Syadzili lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah al-Syadzili dengan para pengikutnya untuk melakukan perjalanan jauh menuju ke negeri Mesir (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 33).

Dalam perjalanan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnu al-Barra’, sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran al-Syadzili di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menunjukkan bahwa al-Syadzili adalah kekasih-Nya.

Dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekertinya, akhirnya al-Syadzili bersedia memaafkan dan mendo‘akan Sultan Al-Kamil hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan al-Syadzili merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 37).

Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, al-Syadzili tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya al-Syadzili pun mohon diri kepada Sultan Al-Kamil untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Makkah.

Di sana al-Syadzili mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu al-Syadzili melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna berziarah ke makam Rasulullah Saw. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah al-Syadzili beserta rombongan ke negeri Tunisia (al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 30-31).

Sewaktu al-Syadzili kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al-Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangannya. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena al-Syadzili yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi.

Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnu al-Barra’. Bagi dia, kembalinya al-Syadzili berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu, dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar al-Syadzili, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.

Setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, al-Syadzili lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel ruhani yang al-Syadzili dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang ia dirikan di Tunisia adalah pada tahun 625 H./1228 M., ketika al-Syadzili berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatanginya, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.

Di antara murid-murid al-Syadzili yang datang dari luar negeri Tunisia, terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Maroko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran al-Syadzili sendiri, yang bernama Abu al-‘Abbas al-Mursi (w. 686 H./1289 M), (Mengenal dan memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 67).

Pertemuan al-Syadzili dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari al-Syadzili berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku”.

Menurut sebuah catatan, pemuda al-Marsi (al-Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula berguru secara langsung kepada al-Syaikh ‘Abd. al-Salam sampai meninggalnya tahun 625 H./ 1228 M. walaupun tidak terlalu lama.

Kembalinya al-Syadzili ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat al-Syadzili di gunung Barbathah dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu al-Syadzili jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh al-Syaikh ‘Abd. al-Salam bin Masyisyi. Pada saat pemetaan, guru al-Syadzili itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka al-Syadzili kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.

Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam al-Syadzili bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya ‘Ali, sudah saatnya kini Engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah Engkau ke negeri Mesir.’’ Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai ‘Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karamah. Selain itu, di sana pula kelak Engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin”.

Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya al-Syadzili dari puncak gunung Barbathah, Maroko, yang merupakan langkah pertama, adalah karena atas perintah gurunya, al-Syaikh ‘Abd al-Salam. Kemudian, pada waktu turunnya al-Syadzili dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah Swt. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya al-Syadzili dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah Saw., (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 37).

Sumber: Alif.ID

121. Kehidupan al-Syadzili di Mesir dan Perjalanannya

Beberapa hari al-Syadzili dan rombongan melakukan perjalanan, dan tibalah di negeri Mesir. Al-Syadzili langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu ia singgahi di setiap perjalanannya (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 200).

Pada saat al-Syadzili menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya‘ban (Nishfu Sya‘ban) 1227 M., bersamaan dengan wafatnya al-Syaikh Abû al-Hajjaj al-Aqsyary Ra. yang dikenal sebagai Quthub al-Zaman pada waktu itu. Di kemudian hari, para ulama’ al-shiddiqin Mesir, berkeyakinan bahwa al-Syadzili ditetapkan oleh Allâh Swt. sebagai Wali Quthub menggantikan al-Syaikh Abû al-Hajjaj al-Aqsyary (Tanwir al-Ma‘ali fî Manaqib al-Syaikh ‘Ali Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 17).

Kedatangan al-Syadzili di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir, Malik Shaleh (w. 1249 M.), maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar namanya (al-Thuruq al-Shufiyyah fî Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 200).

Tidak hanya orang-orang biasa, tapi juga segenap ulama, para shalihîn dan shiddîqîn, para ahli Hadis, ahli fiqh, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan! “

Pertemuan mereka dengan al-Syadzili tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama’ besar min al-shalihîn di wilayah itu.

Al-Syadzili diberi hadiah oleh sultan Mesir, Malik Shaleh (w. 1249 M.), sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Burûj al-Sûr, (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 200). Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah.

Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman al-Syadzili itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan disebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid tarekat untuk ‘uzlah atau suluk) (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 37).

Di tempat itu pula al-Syadzili menikah dan membangun bahtera rumah tangga. Lahirlah beberapa putera dan keturunan, di antaranya: al-Syaikh Syihâbuddin Ahmad, Abû al-Hasan ‘Alî (w. 761 H./1404 M.) (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 39), Abu Abdillah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan Arifatul Khair.

Sebagian putera-puterinya itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani al-Syadzili bersama ibunda mereka.

Seperti apa yang telah al-Syadzili lakukan selama di Tunisia, di negeri para ulama ini pun al-Syadzili juga tetap berdakwah dan mengajar. Al-Syadzili menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan tarekat pada tahun 642 H./1244 M (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 196).

Al-Syadzili kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu al-Syadzili menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai‘at murid-muridnya.

Adapun bagian menara yang lain ia pergunakan untuk menyalurkan hobinya selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, al-Syadzili juga memiliki aktifitas rutin mengajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian al-Syadzili dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka.

Orang-orang alim dan saleh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajiannya, yang datang dari barat maupun timur, mereka merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh al-Syadzili. Bahkan, tidak sampai berhenti disitu saja, mereka kemudian juga berbai‘at kepada al-Syadzili sekaligus menyatakan diri sebagai muridnya.

Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti Sulthan al-‘Ulamâ’ Sayyid al-Syaikh ‘Izzuddîn bin ‘Abd al-Salâm (w. 1262 M.), al-Syaikh Islâmî bi Mishral Makhrusah, al-Syaikh al-Muhadditsîn al-Hafîdz Taqiyyuddîn bin Daqîqil ‘Ied, al-Syaikh al-Muhadditsîn al-Hafidz ‘Abd. al-‘Azhîm al-Mundziri (w. 1258 M.), dan al-Syaikh Ibnu al-Shalah, al-Syaikh Ibnu al-Hâjib (w. 1248 M.).

Selain itu juga al-Syaikh Jamaluddîn ‘Ushfur, al-Syaikh Nabihuddîn bin ‘Auf, al-Syaikh Muhyiddîn bin Suraqah, dan al-‘Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al-Imâm al-Akbar Sayyid al-Syaikh Muhyiddîn Ibnu al-‘Arabî, radhiyAllâhu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 64).

Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh al-Syadzili, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan al-Syadzili untuk berdakwah adalah di perguruan “al-Kamilah”.

Selain dakwah, syi’ar al-Syadzili juga melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, tarekat yang ia dakwahkan pun semakin berkibar (Mazhab Sufi, halaman: 47). Orang-orang yang datang untuk berbai‘at dan mengambil berkah tarekatnya datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama’, para pejabat hingga rakyat jelata. zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan rûhanî yang al-Syadzili dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santrinya.

Tarekat yang ia terima dari gurunya, al-Syaikh ‘Abd. al-Salam bin Masyîsyi (w. 625 H/1228 M) (Mazhab Sufi, halaman: 46), ia dakwahkan secara luas dan terbuka (al-Tashawwuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman: 167). Sebuah tarekat yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribî, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan.

Dalam pandangan tarekat ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepada Allâh Swt.

Selain itu, tarekat yang al-Syadzili populerkan ini juga dikenal sebagai tarekat yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqâmilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allâh Swt. Di samping itu, tarekat ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan do‘a dan hizib-hizibnya, (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 38).

Di samping kiprah al-Syadzili dalam syi’ar dan dakwah serta pembinaan rûhanî bagi para murid-muridnya, al-Syadzili juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalam perjuangan di medan peperangan (al-Tashawwuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman 167).

Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara Salib bermaksud membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islâm dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Al-Syadzili, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan hilang penglihatan, meninggalkan rumah dan keluarga, berangkat ke kota al-Mansyurah.

Al-Syadzili bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujâhidîn dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota al-Mansyurah.

Tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain al-Imam Syaikh ‘Izzu al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm, Syaikh Majduddîn bin Taqiyyuddîn ‘Alî bin Wahhab al-Qusyairi, Syaikh Muhyiddîn bin Suraqah, dan Syaikh Majduddîn al-Ikhmimi.

Para shalihîn dan ulama’ min al-Shiddiqîn itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islâm. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allâh Swt., salat dan  berdo‘a dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan.

Setelah selesai mereka beristighatsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendalami kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihyâ’ ‘Ulûm al-DînQûth al-Qulûb, dan al-Risâlah (Thabaqât al-Syadziliyyah al-Kubrâ al-Musammâ Jâmi’ al-Karâmât al-‘Aliyyah fî Thabaqât al-Sâdah al-Syadziliyyah, halaman: 72).

Karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam al-Syadzili, dalam mimpinya, bertemu dengan Rasûlullâh Saw. Pada waktu itu, Rasûlullâh Saw. berpesan kepada al-Syadzili supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang zalim dan korup.

Rasûlullâh menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Pada pagi harinya al-Syadzili pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangannya. Kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, kemenangan pun datang.

Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu al-Syadzili lalu kembali ke Iskandaria. Al-Syadzili menjalankan dakwah dan mensyi‘arkan tarekatnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawwal 656 H./1258 M (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42).

Sumber: Alif.ID

122. Akhir Hayat Abu Hasan al-Syadzili

Pada awal bulan Dzulqa‘dah tahun 656 H./1258 M., terbetik di hati al-Syadzili untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati al-Syadzili (al-Tasawuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman 182). Maka, kemudian ia meminta keluarganya dan sebagian murid untuk turut menyertai.

Ketika itu al-Syadzili juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikutnya. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, al-Syadzili pun menjawab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”

Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al-Mukarramah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Humaitsarah, yaitu antara Gana dan Quseir, al-Syadzili memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat.

Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu al-Syadzili meminta agar mereka semua berkumpul di tendanya.

Setelah para keluarga dan murid al-Syadzili berkumpul, lalu al-Syadzili memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiatnya kepada mereka. Di antara wasiat yang ia sampaikan, al-Syadzili mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putera-puteramu agar mereka menghafalkan hizib Bahri (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 41). Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung ismullahil a‘zham, yaitu nama-nama Allâh Yang Maha Agung.”

Setelah menyampaikan pesan-pesannya itu, al-Syadzili bersama dengan murid terkemukanya, al-Syaikh Abû al-‘Abbas al-Mursî, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, kedua insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula. Waktu itu seluruh keluarga dan para murid al-Syadzili masih menunggunya.

Setelah al-Syadzili kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian al-Syadzili berkata, “Wahai putera-puteraku dan shahabat-shahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abû al-‘Abbas al-Mursi sebagai penggantiku.

Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridha Allâh Swt., telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqâm yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allâh Swt.”, (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasy’atuhâ wa Nadzmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 302).

Pada waktu antara maghrib dan isya, al-Syadzili tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu’. Kemudian ia memanggil Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad Syarafuddin Ra., salah satu puteranya, “Hai Muhammad, tempat itu (al-Syadzili menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.”

Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya memang tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai, (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasy’atuhâ wa Nadzmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 104).

Mengetahui air sumur itu asin, maka putera al-Syadzili itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syaikh Syarafuddîn menawarkan kepada al-Syadzili air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan.

Al-Syadzili lantas mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian”. Selanjutnya putera al-Syadzili itu mengambil air sumur sebagaimana yang ayahnya kehendaki. Setelah selesai berwudu,  al-Syadzili berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali.

Setelah itu al-Syadzili memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan izin Allâh Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50).

Kemudian al-Syadzili mengerjakan shalat isya lalu diteruskan dengan shalat-shalat sunnah. Tidak berapa lama  kemudian ia berbaring dan menghadapkan wajahnya kepada Allâh Swt. (tawajjuh) seraya berzikir sehingga kadang-kadang mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan shahabat-shahabatnya.

Pada malam itu tiada henti-hentinya al-Syadzili memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, “Ilâhî, Ilâhî,“ (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,….), (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42). Kadang-kadang pula al-Syadzili lanjutkan dengan mengucapkan, “Allâhumma matâ yakûnu al-liqâ’ ?” (“Ya Allâh, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid al-Syadzili dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampinginya.

Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah al-Syadzili sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa al-Syadzili sudah tertidur pulas. Al-Syaikh Syarafuddîn perlahan-lahan mendekatinya.

Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera al-Syadzili itu lalu menggerak-gerakkan tubuh al-Syadzili. Sedikit terkejut dan tertegun Syaikh Syarafuddîn mendapatinya, karena al-Syadzili al-Imam alQuthub Ra. ternyata sudah berpulang ke rahmatullah. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42). Ketika itu ia berusia 63 tahun sama dengan usia Rasûlullâh Saw (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 51).

Setelah shalat subuh pada pagi hari itu, jasad al-Syadzili nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para muridnya. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama’, shiddiqîn, dan auliyâ’ullah agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta‘ziyah dan turut menshalati jenazahnya.

Di antara mereka qadhi-nya para qadhi negeri Mesir, al-Syaikh al-Walî Badruddîn bin Jamâ‘ah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung.

Sumber: Alif.ID

123. Perjalanan Intelektual al-Syadzili

Suasana Haul Akbar “Qutbhul Aqthab Wa Kahfun Amnith Thullab” Al-Imam As-Syayyid Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili QS ke-783 di Zawiyah Arraudhah Tebet (Foto: aktual.com)

Pendidikan yang diperoleh diawali dari orang tuanya, kemudian dilanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi lagi di Tunisia kurang lebih 19 tahun. Setelah al-Syadzili belajar beberapa lamanya di Tunis, ia pergi ke negara-negara Islam bagian Timur, di antaranya mengunjungi Mekah. Ia beberapa kali melaksanakan ibadah haji sebelum bertolak ke Irak.

Al-Syadzili menceritakan,

“Tatkala aku masuk ke Irak, pertama kali aku bergaul dengan Abu Fath al-Wasithi (w. 632 H) (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 196). Di Arab terdapat banyak Syaikh yang bersedia mengajar.

Ketika aku minta ditunjukkan guru yang berkedudukan Quthb, Abu Fath al-Wasithi mengatakan kepadaku bahwa guru yang aku cari itu ada di negeriku sendiri. Maka aku kembali ke Maghribî. Setelah itu, aku bertemu dengan guruku ‘Abd. al-Salam ibn Masyîsyi, yang sedang bertapa di sebuah gunung.

Aku segera mandi pada suatu mata air di bawah gunung itu. Ketika aku keluar dari dalam telaga mata air itu, aku merasa ilmu dan amalku sudah hilang. Aku segera mendaki gunung itu untuk menemui guruku.

Ia lalu berkata, “Marhaban, yâ ‘Alî”. Kemudian ia menceritakan panjang lebar tentang silsilahku sampai kepada Rasûlullâh Saw (Thabaqât al-Auliyâ’, halaman: 458).

Menurut ‘Abd. al-Halîm Mahmûd, al-Syadzili pada usia mudanya pernah mempelajari ilmu-ilmu agama kendati dipelajarinya secara autodidak. Dia juga menghafalkan Alquran dan Hadis.

Masih menurut ‘Abd. al-Halîm Mahmûd, Ibnu Sabbagh tidak menyebutkan hubungan al-Syadzili dengan madrasah al-Azhar, yang di sana diajarkan bidang studi fikih dan teologi. Akan tetapi, madrasah ini sangat mungkin terpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya tentang haqiqah, atau antara eksoterik dan esoterik (al-Madrasah al-Syadziliyyah wa Imâmuhu, halaman: 32)

Boleh jadi pendapat al-Syadzili yang moderat dalam masalah hubungan syari‘at dan tasawuf ini, diperoleh juga dari guru sufinya, karena menurut data yang diberikan oleh Trimingham, Abu Madyan dan muridnya ‘Abd al-Salam ibn Masyisyi (guru al-Syadzili) adalah sufi yang kokoh mengenai syari‘at.

Pendapat ‘Abd. al-Halim Mahmud cukup masuk akal dan bisa diterima. Tidak mungkin tanpa pengetahuannya tentang syari‘ah, al-Syadzili berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara syari‘ah dan tasawuf.

Kitab-kitab tasawuf yang pernah dipelajari oleh al-Syadzili antara lain: (1) Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, karya Abu Hâmid al-Ghazâlî, (2) Qûth al-Qulûb (santapan hati), karya Abu Thâlib al-Makki (3) Khatm al-Auliyâ’, karya al-Hakim al-Tirmidzî, (4) al-Mawâqif wa al-Muhâtsabah, karya Muhammad ‘Abd al-Abrâr, (5) Al-Shifâ’, karya Qadhi al-‘Iyadh, (6) Al-Risâlah karya al-Qusyairi, dan (7) al-Muharrar wa al-Wajîz, karya Ibnu ‘Athiyyah (Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 59).

Al-Syadzili mempelajari ilmu-ilmu agama dan menghafalkan Alquran dan Hadis. Al-Syâdzilîi berpendapat, bahwa ilmu agama itu sangat penting, dan perlu dimiliki untuk menjaga diri dari kesesatan dan menjadikan dirinya bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh.

Agama merupakan perisai untuk menghadapi gangguan-gangguan jiwa yang senantiasa membisikkan setiap orang untuk menjerumuskan diri kepada kejahatan. Hanya ilmu agama yang mampu melawan kejahatan bagi setiap mukmin. Abu Madyan dan ‘Abd al-Salam guru al-Syadzili adalah sufi yang kokoh mengenai syari‘at, (The Sufi Orders in Islâm, halaman: 48).

Menentang Mu’tazilah

Al-Syadzili ialah seorang teolog atau ahli tauhid beraliran Sunni yang menentang kaum Mu‘tazilah. Ia menentang sistem pemikiran Mu‘tazilah yang sangat mengagungkan dan mengedepankan akal daripada wahyu, sekalipun mereka juga berpegang kepada wahyu, namun wahyu hanya digunakan untuk konfirmasi.

Abu Marwan ‘Abd. al-Malik yang dikenal dengan panggilan al-Qassat mengatakan, ketika ia berkunjung ke Alexandria, di Mesir menemui al-Syadzili, di rumah al-Syadzili beliau sedang berdiskusi tentang ilmu dengan beberapa orang di sekitarnya. Sewaktu saya masuk dan memperkenalkan diri kemudian ia menyuruh aku membaca ayat:

فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ

Maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada di atas kebenaran (agama) yang nyata, (Shafwah al-Tafâsîr, juz 2, halaman: 419).

وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِم بِمَا ظَلَمُوا فَهُمْ لَا يَنطِقُونَ

Dan telah tiba firman Allah (berupa azab) kepada mereka (kaum kuffar), karena mereka zalim (dengan mengingkari firman Allah), maka mereka tidak dapat berbicara apa-apa, (Shafwah al-Tafâsîr, juz 2, halaman: 420).

Al-Syadzili mengatakan kepada seluruh yang hadir di majlis itu, “Setelah ada penjelasan dari Allah Swt. yang jelas, maka tidak perlu lagi ada penjelasan”.

Abu Marwan mengatakan bahwa yang berdebat dengan al-Syadzili ialah kelompok Mu‘tazilah, yang berdiskusi tentang sistem kepercayaan mereka. Meskipun al-Syadzili pernah mempelajari teologi (ilmu tauhid), namun teologi yang mengedepankan akal baginya tidak ada pengaruhnya.

Al-Syadzili tetap menolak pemikiran kaum Mu’tazilah, sebab menurut pendapat al-Syadzili, Allah adalah sumber kesadaran yang asli. Allâh bukan objek ilmu pengetahuan, tetapi Allâh telah memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. yang terhimpun dalam Alquran dan Alquran inilah yang dijadikan sumber syari’at dan hukum bagi Nabi Muhammad Saw. dan umatnya.

Al-Syadzili dalam fikih mengikuti mazhab Maliki, demikian pula para pengikutnya juga mengikuti mazhab Maliki, kecuali pengikut-pengikut tarekat. Mazhab ini sangat dominan di daerah Maghribî (Spanyol, Maroko dan Tunisia). Dinasti Murâbithûn di Spanyol (1056-1147 M.) menganut mazab ini dan mempraktikkannya secara kaku dan konservatif.

Praktik semacam ini mendapat kritik tajam dari dinasti berikutnya, Muwahhidûn (1130-1269 M.), sehingga ajaran Maliki baik di Spanyol, Maroko dan Tunisia tidaklah sesubur dulunya. Tetapi setelah Maroko dan Tunisia dikuasai oleh dinasti Mariniyah (akhir abad 13–awal abad 14) ajaran Maliki dipraktikkan kembali secara leluasa (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 62, lihat juga Ensiklopedi Islam, jilid 3, halaman: 166-167).

Tercatat di kalangan sufi bahwa yang selalu bersamanya baik dalam dialog maupun dalam pengajiannya antara lain Syaikh Abu al-Hasan ’Ali ibnu Makhlûf al-Shaqlî, Abu ‘Abdullah al-Shâbûnî, Abu Muhammad ‘Abdul ‘Azîz al-Zaitûnî, Abu ‘Abdullah al-Bajât al-Khayyâti, dan Abu ‘Abdullah al-Jârihî (Hayat Abî al-Hasan al-Syâdzilî, halaman 33).

Di sini ia mendapat sambutan yang luar biasa sehingga sampai menimbulkan kebencian dari Qadhî Tunisia, Ibnu al-Barrâ’, yang merasa tersisih. Akibat konflik yang berkepanjangan dengannya, al-Syadzili memutuskan untuk meninggalkan Tunisia menuju Mesir, padahal Sultan Tunisia Abu Zakariya al-Hafsi (1228-1259 M.) sangat berkeberatan atas perginya Al-Syadzili dari Tunisia, (Hayatu Abî al-Hasan al-Shadhilî, halaman: 33, lihat juga The Sufi Orders in Islâm, halaman: 48).

Pada kesempatan yang lain al-Syadzili menceritakan, tatkala ia mendatangi gurunya sebagai murid, lalu gurunya mengatakan kepadanya, “Engkau datang kepadaku karena ingin mendapatkan ilmu dan petunjuk dalam amal? Ketahuilah bahwa Engkau ini adalah salah seorang dari guru dunia dan akhirat yang terbesar!”

Al-Syadzili mengemukakan keheranannya. Lebih-lebih pula ia menjadi takjub, tatkala sesudah beberapa hari ia tinggal di tempat itu, ia melihat pemberian Tuhan mengenai kecerdasan yang luar biasa, di luar adat kebiasaan, dan merupakan keramat khusus baginya.

Tatkala pada suatu kali ia hendak menanyakan kepada gurunya tentang ismu al-a‘zham, (Pengantar Sufi dan Tasawuf, halaman: 278), dengan tiba-tiba seorang anak kecil datang kepadanya dan berkata dengan lancarnya: “Apa Engkau hendak menanyakan gurumu tentang ismu al-a‘zham, tidaklah Engkau ketahui bahwa Engkau sendiri ismu al-a‘zham itu”.

Di antara guru kerûhaniannya adalah ‘ulama’ besar ‘Abd. al-Salam Ibn Masyîsyi (w. 625 H./1228 M.), yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb para wali”, seperti halnya al-Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlanî (w. 561 H/1166 M), (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 37). Nama Lengkap ‘Abd al-Salam Ibn Masyîsyi adalah al-Syaikh Ibnu Masyîsyi ‘Abd. al-Salam bin Masyîsyi bin Mâlik bin ‘Alî bin Harmalah bin Salam bin Mizwar bin Haidarah bin Muhammad bin Idrîs al-Akbar bin ‘Abdullah al-Kâmil bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan as-Sabth bin ‘Alî bin Abî Thâlib suami Fâthimah al-Zahrâ’ puteri Rasûlullâh Saw.

Syaikh Ibnu Masyîsyi lahir pada tahun 559 H. bertepatan dengan 1198 M. Syaikh Ibnu Masyîsyi memiliki kesungguhan dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu serta menjaga awrad (bacaan-bacaan zikir dan do‘a) sehingga dia sampai kepada jalan menuju ma‘rifah kepada Allâh Swt., maka Ibnu Masyîsyi mampu dalam bidang ilmu juga mendapatkan puncak kezuhudan.

Beberapa peninggalan ilmiah Syaikh Ibnu Masyîsyi yang sampai kepada kita melalui muridnya Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili adalah sekumpulan nasehat yang mengagumkan dengan ungkapan yang bersih, jernih selaras dengan Alquran dan al-Sunna

Ia wafat pada tahun 625 H. dengan cara dibunuh pada saat turun berkhalwah untuk berwudhu dan shalat subuh oleh kelompoknya Ibnu Abî al-Thawâjin al-Kattamî yang mengaku nabi.

Sumber: Alif.ID

124. Perjalanan Ruhani al-Syadzili

Pada suatu hari al-Syaikh berkata kepada al-Syadzili, “Wahai anakku, hendaknya Engkau senantiasa melanggengkan thaharah (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap Engkau berhadas, cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Setiap kali Engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu” (Qadhiyyah al-Tashawwûf al-Madrasah al-Shâdhiliyyah, halaman: 22-23).

Berkata Syaikh Ibn Masyîsyi kepada al-Syadzili, “Pertajam penglihatan imanmu, niscaya Engkau akan mendapatkan Allâh; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifat-Nya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaan-Nya” (al-Tasawuf wa al-Hayat al-‘Ishriyyah, halaman: 170).

Di lain waktu guru al-Syadzili, radhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : kecintaan demi untuk Allâh; ridha atas ketentuan Allâh; zuhud terhadap dunia; dan tawakkal atas Allâh.

Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni menegakkan fardhu-fardhu Allâh; menjauhi larangan-larangan Allâh; bersabar terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan wara‘ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.

Al-Syaikh juga pernah berpesan kepada al-Syadzili, “Wahai anakku, janganlah Engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allâh, sesuatu yang dapat mendatangkan keridhaan Allâh, dan jangan pula Engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allâh. Janganlah Engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu Engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih shahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allâh”.

Al-Syaikh ‘Abd. al-Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allâh dan al-Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syaikh Abu al-Hasan adalah muridnya, namun Syaikh ‘Abd. al-Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, di samping derajat keshalihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syaikh Abu al-Hasan (Qadhiyyah al-Tashawwûf al-Madrasah al-Shâdhiliyyah, halaman: 200).

Tetapi, dari semua yang al-Syadzili terima dari al-Syaikh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan al-Syadzili di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai‘at sebuah tarekat dari al-Syaikh ‘Abd al-Salam yang rantai silsilah tarekat tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allâh Swt. Silsilah tarekat ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

Al-Syaikh al-Imâm Abu al-Hasan ‘Alî al-Syadzili menerima bai‘at tarekat dari:

  1. Al-Syaikh al-Quthub al-Syarîf Abu Muhammad ‘Abd al-Salam bin Masyîsyi, beliau menerima talqin dan bai‘at dari
  2. Al-Quthub al-Syarîf ‘Abdurrahman al-Aththar al-Zayyat al-Hasani al-Madani, dari
  3. Quthb al-Auliyâ’ Taqiyyuddîn al-Fuqayr al-Shufî, dari
  4. Sayyid Syaikh al-Quthub Fakhruddîn, dari
  5. Sayyid Syaikh al-Quthub Nûruddîn Abî al-Hasan ‘Alî, dari
  6. Sayyid Syaikh Muhammad Tâjuddîn, dari
  7. Sayyid Syaikh al-Quthub Zainuddîn al-Qazwinî, dari
  8. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Ishaq Ibrahîm al-Bashri, dari
  9. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Qâsim Ahmad al-Marwani, dari
  10. Sayyid Syaikh Sa‘ad, dari
  11. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Muhammad Fath al-Su‘udi, dari
  12. Sayyid Syaikh al-Quthub Muhammad Said al-Ghazwanî, dari
  13. Sayyid Syaikh al-Quthub Abî Muhammad Jabir, dari
  14. Sayyidinâ Syarîf al-Hasan bin ‘Alî, dari
  15. Sayyidinâ ‘Alî bin Abî Thâlib, karramAllâhu wajhah, dari
  16. Sayyidinâ wa Habîbina wa Syafî‘inâ wa Maulanâ Muhammadin, Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam, dari
  17. Sayyidinâ Jibril, ‘alaihi al-Salam, dari
  18. Rabb al-‘Izzati rabb al-‘Âlamîn, (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 78-79).

Setelah menerima ajaran dan bai‘at tarekat ini, dari hari ke hari al-Syadzili merasakan semakin terbuka mata hatinya. Al-Syadzili banyak menemukan rahasia-rahasia ilâhiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula al-Syadzili semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakikat dan ma‘rifatullah, (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 26. Lihat juga al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 14).

Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran tarekat itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barakah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, al-Syaikh ‘Abd al-Salam bin Masyîsyi Ra. (w. 625 H./1228 M).

Tarekat ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu al-Syadzili bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, ia kembangkan dan sebar-luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-muridnya. Oleh karena al-Syadzili adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran tarekat ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur dimana-mana.

Maka al-Syadzili pun kemudian dianggap sebagai pendiri tarekat ini yang pada akhirnya menisbatkan nama tarekat ini dengan nama besarnya, dengan sebutan “Tarekat Syadziliyyah” (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 61-63. Lihat juga Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman: 65-72).

Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan tarekat ini. Sebuah tarekat yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Sumber: Alif.ID

125. Perkembangan Tarekat Syadziliyah Hingga ke Indonesia

Suasana Pembaiatan Tarekat Syadziliyah Maulana Syekh Abdul Mun’im bin Abdul Aziz bin Al Ghumari didampingi Khodim Zawiyah Arraudhah Muhammad Danial Nafis kepada peserta Halaqoh Shufiyah Wa Khotmul Kitab di Zawiyah Arraudhah, Jalan Tebet Barat VIII, No 50, Jakarta Selatan, 11-14 Mei 2017. Kajian kitab Al Anwaru Qudsiyah dan Ta’rif Mu’tasi Bi Ahwali Nafsi karya Syekh Abdul Azis bin Muhammad bin Shidiq Al Ghumari Al Hasani QS (Foto: aktual.com)

Sebagaimana tarekat muktabarah lainnya, tarekat Syadziliyah juga bersumber dari Rabb al-‘Izzah Rabb al-‘Alamin. Ajaran tarekat, atau jalan, atau cara, atau metode menuju kepada Allâh Swt tersebut kemudian disampaikan kepada Rasulullah Saw melalui malaikat Jibril As. Selanjutnya, oleh Rasulullah Saw metode itu lalu diajarkan kepada beberapa sahabat beliau.

Oleh sahabat-sahabat beliau, tarekat kemudian diajarkan kepada para muridnya. Lalu, oleh muridnya itu kemudian diajarkan kepada muridnya pula. Demikian seterusnya, turun-temurun sampai akhirnya kepada Syaikh Abdus Salam bin Masyisy.

Semenjak dari Rasulullah Saw sampai kepada Syaikh Abdus Salam, dalam kurun waktu sekitar 600 tahun, metode tersebut diajarkan dalam lingkup yang masih sangat terbatas. Tidak banyak orang yang bisa mengetahui dan mengenalnya. Di samping itu, selama itu pula ajaran tersebut masih belum memiliki nama atau sebutan.

Selanjutnya, oleh Syaikh Abdus Salam, ajaran tersebut kemudian diajarkan kepada Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili. Setelah ajaran ini diterima oleh Syaikh Abu al-Hasan, lalu oleh beliau, selang beberapa tahun kemudian, ajaran ini dikembangkan dan disebarluaskan kepada masyarakat umum berikut dengan ajaran-ajaran tasawufnya. Oleh karena itu, di kemudian hari murid-murid beliau mengaitkan ajaran tarekat tersebut dengan nama beliau dengan sebutan tarekat Syadziliyah.

Pada masa Syaikh Abu al-Hasan, terutama setelah beliau bermukim di Mesir, ajaran tarekat ini berkembang dengan amat pesat. Tarekat ini pun menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sampai kini, tarekat ini banyak memiliki pengikut di sebagian besar negara-negara di Afrika Utara, Kenya, Tanzania Tengah, sampai negara-negara di Amerika Barat dan Amerika Utara, serta negara-negara di Asia, termasuk Srilanka, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Sepeninggal Syaikh Abu al-Hasan, kekhalifahan tarekat ini kemudian dilanjutkan oleh murid terkemuka beliau bernama Syaikh Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Umar al-Anshari al-Mursi al-Syadzili atau lebih dikenal dengan nama Syaikh Abu al-‘Abbâs al-Mursî (w. 686 H./1288 M.).

Di masa hidupnya, Syaikh Abu al-‘Abbas al-Mursi banyak memiliki murid masyhur yang amat berpengaruh dalam dunia Islâm, di antaranya Shahibul Hikam Syaikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. tahun 709 H./1309 M.), Syaikh Yaqut al-‘Arsyi (w. 732 H./1331 M.), Syaikh Abu al-Fath al-Maidumi, Shahibul Burdah Syaikh Muhammad bin Sa’id al-Bushiri (wafat 649 H./1295 M.), dan Syaikh Najmuddin al-Isfahani (w. 721 H./1321 M.).

Tiga nama pertama di atas, yaitu Syaikh Ibnu ‘Atha’illah, Syaikh Yaqut al-‘Arsyi, dan Syaikh Abu al-Fath al-Maidumi di kemudian hari menggantikan kedudukan Syaikh Abu al-‘Abbâs al-Mursî sebagai khalifah tarekat Syadziliyah.

Tarekat Syadziliyah yang dibawa oleh Syaikh Ibnu ‘Atha’illah, secara umum lebih banyak berkembang ke wilayah barat Mesir, mulai dari kota Iskandaria sampai ke negara Libya, Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Selain itu juga ke sebagian besar negara-negara berpenduduk muslim lainnya di daerah Afrika Barat, hingga sampai ke Spanyol dan beberapa negara lainnya di Eropa dan Amerika.

Sedangkan perkembangan tarekat Syadziliyah yang dibawa Syaikh Yaqut al-‘Arsyi lebih mendominasi wilayah dalam negeri Mesir sendiri dan negara-negara di sebelah selatannya, seperti Sudan, Ethiopia, Kenya, Somalia, dan Tanzania, hingga ke daerah timur Mesir, antara lain Yordania, Syiria, Turki, Irak, Iran, ke utara sampai ke semenanjung Balkan.

Sementara itu, dakwah Syaikh al-Maidumi mendapat sambutan hangat di wilayah jazirah Arab, terutama di dua kota suci, Mekah dan Madinah. Justru dari kedua kota inilah pada akhirnya tarekat Syadziliyah menyebar dengan pesat ke negara-negara timur, mulai dari India, Pakistan, Afganistan, hingga sampai ke Malaysia dan Indonesia. Dari jalur Syaikh al-Maidumi inilah silsilah tarekat Syadziliyah sampai ke Indonesia, (Manaqib Sang Quthub Agung, halaman: 77-79).

Pokok-pokok  Ajaran Tarekat Syadiliyah

1. Taqwa kepada Allâh Swt. lahir batin, yaitu secara konsisten (istiqamah), sabar, dan tabah selalu menjalankan segala perintah Allâh Swt. serta menjauhi semua larangan-Nya dengan berlaku wara’ (berhati-hati terhadap semua yang haram, makruh, maupun syubhat), baik ketika sendiri maupun pada saat di hadapan orang lain.

2. Mengikuti sunnah-sunnah Rasûlullâh Saw. dalam ucapan dan perbuatan, yaitu dengan cara selalu berusaha sekuat-kuatnya untuk senantiasa berucap dan beramal seperti yang telah dicontohkan Rasûlullâh Saw., serta selalu waspada agar senantiasa menjalankan budi pekerti luhur (akhlakul karimah).

3. Mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allâh Swt., yaitu dengan cara tidak mempedulikan makhluk dalam kesukaan atau kebencian mereka diiringi dengan kesabaran dan berpasrah diri kepada Allâh Swt. (tawakkal).

4. Ridha kepada Allâh baik dalam kekurangan maupun kelebihan, yaitu dengan cara senantiasa ridha, ikhlas, qana’ah (tidak rakus, nrimo ing pandum: Jawa), dan tawakkal dalam menerima pemberian Allâh Swt., baik ketika pemberian itu sedikit atau banyak, ringan atau berat, maupun sempit atau lapang.

5. Kembali kepada Allâh dalam suka maupun duka, yaitu dengan cara secepatnya berlari kembali kepada Allâh Swt. dalam segala keadaan, baik dalam suasana suka maupun duka.

Kelima pokok tersebut bertumpu pada lima pokok berikut ini:

  1. Memiliki semangan tinggi, karena dengan semangat yang tinggi, maka akan naik pula tingkat derajat seseorang.
  2. Berhati-hati/waspada terhadap segala yang haram, karena barang siapa yang meninggalkan segala yang diharamkan, maka Allâh Swt. akan menjaga pula kehormatannya.
  3. Baik dalam khidmat/bakti sebagai hamba, karena barang siapa yang menjaga kebaikan dan kebenaran dalam taatnya kepada Allâh Swt., niscaya akan tercapailah tujuannya dalam menuju kepada kebesaran dan kemuliaan-Nya.
  4. Menunaikan segala yang difardhukan, karena barang siapa yang melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik, niscaya akan bahagia hidupnya.
  5. Menghargai dan menjunjung tinggi nikmat-nikmat dari Allâh Swt., karena barang siapa yang menjunjung tinggi nikmat Allâh, kemudian mensyukurinya, maka dia akan menerima tambahan-tambahan nikmat yang lebih besar.

Kaifiyah Zikir Syadziliyah

  1. Membaca surat al-Fatihah dan ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw.
  2. Membaca surat al-Fatihah dan ditujukan kepada Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili
  3. Membaca surat al-Fatihah dan ditujukan para silsilah guru mursyid tarekat Syadziliyah
  4. Beristighfar sebanyak 100 kali
  5. Membaca shalawat Syadziliyah sebanyak 100 kali. Berikut ini bacaan shalawat tersebut:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا بِقَدْرِ عَظَمَةِ ذَاتِكَ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ وَحِيْنٍ

  1. Membaca Lâ Ilâha Illalâh sebanyak 100 kali.
  2. Membaca kalimat berikut ini sekali.

سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

  1. Selanjutnya membaca do’a berikut ini:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ . يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَالْأَفَاتِ، وَتَقْضِيْ لَنَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ، وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ، وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ، وَتُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِى الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ. اللهم أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَمَعْرِفَتَكَ. اللهم افْتَحْ لِيْ بِفُتُوْحِ الْعَارِفِيْنَ. اللهم اخْتِمْ لَنَا بِخَاتِمَةِ السَّعَادَةِ. وَاجْعَلْنَا مِنَ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ الْحُسْنَى وَزِيَادَاتِ . بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذِي الشَّفَاعَةِ. وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ ذَوِى السِّيَادَةِ. وَسَيِّدِنَا أَبِى الْعَبَّاسِ الْخَضِرِ بَلْيَا بْنِ مَلْكَانِ ذِي الْاِسْتِقَامَةِ. سَيِّدِنَا الْغَوْثِ الْأَعْظَمِ الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِيْ ذِي الْكَرَامَةِ. رَبَّنَا اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. الفاتحة

(Durrah al-Sâlikîn, tanpa tahun, halaman: 8-12)

Di samping amalan zikir di atas, dalam tarekat Syadziliyah juga diajarkan beberapa bacaan hizb (wirid) seperti hizb Nashr, hizb Bahr, dan hizb Nawawi.

Sumber: Alif.ID

126. Tarekat Ahmadiyah

Tarekat ini dinisbatkan kepada seorang wali kutub (pemimpin wali) terkenal yang bernama al-Sayyid al-Hasib al-Nasib Abu al-Abbas Sayyid Ahmad al-Badawi al-Syarif Ra. Beliau masih keturunan Rasulullâh dari jalur Sayyidina Husain bin Ali.

Nasab beliau adalah sebagai berikut: Syaikh Ahmad al-Badawi bin Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakar bin Isma’il bin Umar bin Ali bin Utsman bin Husain bin Muhammad bin Musa al-Kâdzim bin Yahya bin Isa bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Ja’far bin Ali bin Musa bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Krw.

Sayyid Ahmad al-Badawi Ra. dilahirkan di kota Fes (dalam bahasa Arab Fas) Maroko pada tahun 596 H./1199 M. kakeknya hijrah dari kota Hijaz (Yaman) ke Maroko untuk menghindari penganiayaan al-‘Abasin untuk memuliakan al-‘Alawiyyin. Keluarganya menetap di negara Maroko dan bertempat tinggal di Fes pada tahun 535 H.

Kota Maroko sebagai saksi telah lahir Qutb al-Aqthâb Abi al-Fatyani Nadirat al-‘Ashri wa Ghauts al-Zaman (Sayyid Ahmad al-Badawi), (A’lâm as-Shûfiyah, halaman: 501). Kemudian pada tahun 603 H. Ali bin Ibrahim, ayahnya pergi meninggalkan Fez (Maroko) bersama dengan anak dan isterinya untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 607 H. Ketika itu Syaikh Ahmad al-Badawi baru berusia 11 tahun.

Kemudian Syaikh Ahmad al-Badawi tinggal di Makkah dan dikenal dengan sebutan al-Badawi karena biasa memakai cadar. Beliau memakai dua cadar yang tidak pernah dilepas, Ketika ditawari menikah oleh saudaranya, ia menolak dan tidak menikah sama sekali. Lalu ia bimbing saudaranya itu dan disuruh mempelajari Alquran. Pada saat tinggal di Mekah ia terkenal sebagai pemberani sehingga dijuluki si pemberani dan si watak keras.

Setelah menghafal Alquran Syaikh Ahmad al-Badawi disibukkan dengan mencari ilmu. Untuk beberapa tahun lamanya ia mengikuti madzhab Syafi’i sampai terjadi sesuatu hal padanya kemudian ia tinggalkan itu semua. Jika memakai baju atau sorban, ia tidak melepasnya baik di waktu mandi atau waktu yang lainnya sampai sorban tersebut basah, setelah sorban yang ia kenakanan hancur barulah ia melepasnya dan mengganti dengan baju yang lain.

Dia juga tidak membuka kain cadarnya, kemudian Abdul Majid bertanya kepada dia: berilah tahu wajahmu kepadaku, dia berkata: “Kami membuka setiap pandangan dengan orang laki-laki”, kemudian Abdul Majid bekata: “Ya aku telah mengetahuinya, maka ketika mati bukaklah cadar ini”, kemudian beliau mati seketika, (al-Thabâqat al-Kubra, Juz 1, halaman: 185 dan al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 145).

Lalu terjadi suatu hal pada dirinya sehingga tingkahnya berubah dan menjauhi orang-orang dan selalu berdiam diri. Ia tidak berkata kecuali dengan bahasa isyarat. Senantiasa berpuasa dan bangun malam selama 40 hari ia tidak makan, minum, dan tidur kemudian turun dari tempat tidurnya. Dari waktu ke waktu ia selalu memandang ke langit sampai kedua matanya merah membara.

Kemudian mendengar suara berkata tiga kali: “Berdirilah dan berhadaplah ketempat munculnya matahari, ketika sudah menemukannya maka berhadaplah ke tempat tenggelamnya matahari”. Dia berjalan sampai ke kota Thanta (Mesir) tempat makam as-Sayyid Ahmad al-Badawi. Beliau keluar dari daerah Faisya al-Munarah kemudian anak-anak kecil mengikut beliau diantaranya yaitu bernama Abdul ‘Al dan Abdul Majid, (Nûr al-Abshâr, halaman: 261 dan al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 144).

Sebagian ulama yang arif berkata bahwa ia berhasil menyatukan segala konsentrasinya hanya pada Allâh Swt. Hal ini ia lakukan dari waktu ke waktu selalu mengalami peningkatan (Nûr al-Abshâr, halaman: 262. Lihat juga al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 144).

Ibnu al-Laban pernah mengingkarinya, maka dicabutlah Alquran, ilmu, dan iman darinya. Maka Ibnu al-Laban tidak henti-hentinya meminta pertolongan kepada beberapa orang wali. Namun tak seorang pun dari mereka mampu menolong sehingga mereka menunjuk Sayyid Yaqut al-Arsyi.

Lalu Sayyid Yaqut al-Arsyi mengajak Ibnu al-Laban berziarah ke makam Syaikh Ahmad al-Badawi. Di depan makam Syaikh Ahmad al-Badawi, Sayyid Yaqut al-Arsyi berkata, “Wahai Syaikh Ahmad al-Badawi, kembalikan modal orang ini.”

Dari dalam kubur Syaikh Ahmad al-Badawi menjawab, “Akan aku kembalikan dengan syarat ia bertaubat.” Ibnu al-Laban segera melaksanakan syarat tersebut. Ia bertaubat dari kesalahannya sehingga akhirnya dikembalikanlah aI-Qur’an, ilmu dan iman yang telah dicabut darinya (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, Juz 1, halaman: 416).

Imam al-Matbuli berkata, “Rasulullâh Saw. bersabda kepadaku, ‘Tidak ada wali di Mesir setelah Imam Syafi’i yang sangat pemaaf melebihinya (Syaikh Ahmad al-Badawi), lalu Sayyidah Nafisah, Syaikh Syarifuddin al-Kurdi, dan al-Manufi’” (Nûr al-Abshâr, halaman: 266).

Dengan terbukanya tabir Syaikh al-Badawi, ia mengetahui anak-anaknya yang akan lahir. Hal itu beliau lakukan untuk menguatkan hujjah atas muridnya agar dapat mengambil keputusan sendiri. Namun, jiwa murid tidak sekuat jiwa guru. Syaikh Ahmad al-Badawi selalu mendoakan muridnya hingga khudur.

Kemudian al-Badawi berkata, bahwa sesungguhnya Syaikh Muhammad al-Sarawi Ra adalah gurunya dan khudur beliau tertunda satu tahun. Beliau berkata bahwa tempat khudur Rasulullâh Saw, para nabi, sahabat, dan para wali itu sebagaimana khudur murid-muridnya.

Syaikh Muhammad Ra pun keluar ke tempat kelahirannya, dan menyaksikan orang-orang yang sedang pulang. Beliau terlambat berkumpul, lalu beliau menyentuh pakaian mereka, kemudian beliau bersembunyi di belakang mereka.

Sayyid Abdul ‘Aziz ketika ditanya tentang Sayyid Ahmad al-Badawi Ra, beliau menjawab,  “Dia adalah lautan yang tidak ditemukan dasarnya, berita dan kedatangan beliau dengan perjalanan malam itu dari Eropa, menolong seseorang dari perampok dan aku”.

Sayyid Abdul ‘Aziz berkata, “Sungguh aku telah menyaksikan dengan mataku pada tahun 945 H, seseorang tawanan di menara Sayyid Abdul `Al Ra. Ia dibelenggu dan dirantai padahal dia adalah orang yang linglung”.

Syaikh Abdul ‘Aziz kembali berkata, “Pada suatu hari aku berada di Eropa pada akhir malam, aku menghadap kepada Sayyid Ahmad al-Badawi, tiba-tiba aku bersama beliau. Kemudian beliau membawa aku terbang dan menurunkan aku di sini, kemudian beliau diam selama dua hari, sedangkan kepala beliau terasa berputar di atasnya karena kuatnya sambaran” (at-Thabâqat al-Kubrâ, halaman: 264).

Sumber: Alif.ID

127. Karomah dan Hizib al-Badawi

Syaikh Ahmad al-Badawi wafat pada tahun 675 H. Ia telah menjalankan tugasnya dengan baik. Ia meramaikan banyak tempat dan beberapa menara, ia mempersiapkan makanan untuk orang-orang fakir dan orang yang memiliki tanda-tanda kefakiran.

Syaikh al-Badawi memerintahkan untuk mengecilkan takaran rotinya, disesuaikan dengan keadaan. Beliau juga memerintahkan kepada orang-orang fakir yang tingkah-lakunya dapat dipertanggungjawabkan, agar bermukim di beberapa tempat yang beliau telah tentukan. Tidak seorang pun bisa menentangnya.

Seorang murid, Sayyid Yusuf Ra, kemudian meminta ayahnya Sayyid Ismail al-Inbaby agar bermukim di Inbababah. Lalu Sayyid Ahmad Aba Thurthur agar bermukim di Tijah Inbabah, Sahara. Adapun Sayyid Abdullâh al-Jaizy bermukim di Sahara kota Jizah, sedangkan Sayyid Wahib bermukim di Barsyum al-Kubro.

Sayyid Yusuf Ra menjadi rujukan pemerintah dan tokoh-tokoh Mesir. Beliau hidangkan makanan yang tidak mampu dilakukan oleh umara (pemerintah). Pada suatu hari Syaikh Ahmad Abu Thurthur berkata kepada sahabatnya: “Marilah pergi kepada saudaraku Yusuf untuk melihat kegiatannya” (al-Thabâqat al-Kubrâ, halaman: 261).

Di antara karomah yang dimiliki oleh Syaikh Ahmad al-Badawi adalah:

  1. Beliau bisa mendengarkan ucapan ahli kubur, sebagimana redaksi di bawah ini:

أَنَّهُ شَاوَرَهُ شَيْخٌ مَقَامَهُ عَلَى السَّفَرِ بِحُضُوْرِ الشَّيْخِ عَبْدِ الْوَهَّابِ الشَّعْرَاوِيْ، فَقَالَ لَهُ مِنَ الْقَبْرِ: سَافِرْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ. قَالَ الشَّيْخُ: هَكَذَا سَمِعْتُهُ بِأُذُنِيْ

Bahwasannya beliau mampu bermusyawarah dengan Syaikh Abd Wahab al-Sya’rawi yang berada dalam kubur, beliau berkata kepada Ahmad Badawi: “Pergilah dan tawakkallah kepada Allâh Swt.” kemudian Syaikh Ahmad Badawi berkata: “Hal ini mampu saya dengarkan dengan telingaku.”

  1. Mengetahui sesuatu yang belum diketahui oleh orang lain

أَنَّ رَجُلًا كَانَ عِنْدَهُ شَعِيْرٌ، فَطَلَبَ أَمِيْرُ طَنْدَتَا مَا يَعْشِى خَيْلُهُ لَهُ، فَلَمْ يَجِدْ، وَقِيْلَ لَهُ عَلَى ذَلِكَ الرَّجُلِ، فَأَتَى الشَّيْخُ وَهُوَ يَرْعَدُ فَقَالَ: قُلْ إِنَّهُ قَمَحٌ، فَقَالَ ذَلِكَ وَفَتَحَ الْحَاصِلُ فَوَجَدَ قَمَحَ كَمَا ذُكِرَ

Ada orang laki-laki yang mempunyai gandum. Lalu ada pemimpin Thondata mencari sesuatu untuk kudanya untuk menggembala, tapi  ia tidak menemukan sesuatu itu. Ia berkata bahwa sesuatu itu ada pada laki-laki tadi.

Pemimpin Thondata tadi lantas menemui Syaikh al-Badawi dan Syaikh berkata, “Katakanlah kepada mereka sesungguhnya sesuatu yang ia maksud itu gandum”. Kemudian, Amir tersebut  membuka barang milik laki-laki tadi, dan benar bahwa itu adalah gandum.

  1. Mengetahui sesuatu yang akan terjadi

أَنَّهُ قالَ لِرَجُلٍ: خَزِّنْ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ قَمْحًا، وَأَكْثَرُ مِنْهُ وَأَقْصَدَ التَّوْسِعَةَ عَلَى الْفُقَرَاءِ، فَإِنَّهُ يَغْلُوْ غَلَاءً مُفْرِطًا، فَفَعَلَ وَكَانَ ذَلِكَ

Syaikh berkata kepada orang laki-laki: “Timbunlah gandum pada tahun ini maka gandum tersebut akan lebih banyak”, bertujuan memperluas makanan bagi orang-orang fakir, maka sungguh gandum tersebut bertambah dengan tambahan melampaui batas, dan laki-laki tersebut mengerjakannya dan hasilnya sesuai apa yang dikatakan oleh beliau, (al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman: 146-147).

Pengganti Syaikh al-Badawi setelah beliau wafat yaitu Sayyid Abdul ‘Al

Malam al-Badawi

Silsilah Tarekat

Syaikh Ahmad al-Badawi adalah seorang waliyullah yang sangat terkenal di negara Mesir. Dia juga  adalah pendiri Tarekat Ahmadiyah, yang juga dikenal sebagai tarekat Badawiyah. Tarekat ini telah terbagi menjadi beberapa cabang dan ranting, yakni Tarekat Anbabiyah, Tarekat al-Bandariyah, Tarekat Bayumiyah, Tarekat Hababiyah, Tarekat Hammidiyah, Tarekat Kannasiyah, Tarekat Salamiyah, Tarekat Syinnawiyah, Tarekat Suthiyah, Tarekat Zahidiyah.

Syaikh Ahmad al-Badawi menerimah ijazah tarekat dari Syaikh al-Birri dari Syaikh ‘Abi Nu’aim al-Baghdadi dari Syaikh Abil Abbas Ahmad ibn Abi al-Hasan ‘Ali al-Rifa’i dari Syaikh Manshur al-Batha’i al-Robbani dari Syaikh ‘Ali al-Qari’ al-Wasithi dari Syaikh Abil Fadhl ibn Kamikh dari Syaikh Abi ‘Ali Ghulam Ibn Tarakan dari ‘Ali ibn Barbari (disebut juga sebagai ibn al-Baranbary) dari Syaikh ‘Ali al-‘Ajami (dikenal sebagai al-Syaikh Mahalli al-‘Ajami) dari Syaikh Abi Bakr Dulaf Ibn Jahdar al-Syibli dari Syaikh Abil Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Baghdadi dari Syaikh Abi al-Hasan Sary ibn al-Mughalis As-Saqothi dari Syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi dari Syaikh Abi Sulaiman Dawud ibn Nasir at-Tha’i dari Syaikh Abi Muhammad Habib ibn ‘Isa al-‘Ajami dari Syaikh Abi Sa’id al-Hasan ibn Abi ‘Ali dari Bapaknya yakni al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Sepupunya yang juga adalah bapak mertuanya yakni junjungan kita Sayyidina Muhammad Rasulullâh Saw.

Salawat dan Hizib

Di antara amalan-amalan Syaikh Ahmad al-Badawi yang masih populer dan diamalkan oleh umat Islâm di seluruh dunia ialah salawat al-Nuraniyah, shalawat al-Anwar dan shalawat Nur al-Qiyamah dan beberapa hizib ringkas diantaranya hizib Dar’al Matin, hizib Kabir dan Hizib Shaghir yang diamalkan oleh para pengikut Tarekat al-Ahmadiyah

  1. Shalawat Nuraniyah:

أَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ شَجَرَةِ الْاَصْلِ النُّوْرَانِيَّةِ وَلُمْعَةِ الْقَبْضَةِ الرَّحْمَانِيَّةِ وَأَفْضَلِ الْخَلِيْقَةِ الْإِنْسَانِيَّةِ وَأَشْرَفِ الصُّوْرَةِ الْجِسْمَانِيَّةِ وَمَعْدِنِ الْاَسْرَارِ الرَّبَّانِيَّةِ وَخَزَائِنِ الْعُلُوْمِ الْاِسْطِفَائِيَّةِ صَاحِبِ الْقَبْضَةِ وَالْبَهْجَةِ السَّنِيَّةِ وَالرُّتْبَةِ الْعَلِيَّةِ مَنْ أَنْدَرَجَتِ النَّبِيُّوْنَ تَحْتَ لِوَئِهِ فَهُمْ مِنْهُ وَإِلَيْهِ وَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَمَا خَلَقْتَ وَرَزَقْتَ وَاَمَتَّ وَاَحْيَيْتَ إِلَى يَوْمِ تَبْعَثُ مَنْ أَفْنَيْتَ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

  1. Shalawat Nurul Anwar:

اَللهم صَلِّ عَلَى نُوْرِ الْأَنْوَارِ وَسِرِّ الْأَسْرَارِ وَتِرْيَاقِ الْأَغْيَارِ وَمِفْتَاحِ بَابِ الْيَسَارِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ الْمُخْتَارِ وَأَلِهِ الْأَطْهَارِ وَأَصْحَابِهِ الْأَخْيَارِ عَدَدَ نِعَمِ اللهِ وَإِفْضَالِهِ.

  1. Shalawat Nurul Qiyamah

أَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بَحْرِ أَنْوَارِكَ وَمَعْدَانِ أَسْرَارِكَ وَلِسَانِ حُجَّتِكَ وَعُرُوْشِ مَمْلَكَتِكَ وَإِمَامِ حَضْرَتِكَ وَطِرَازِ مُلْكِكَ وَخَزَائِنِ رَحْمَتِكَ وَطَرِيْقِ شَرِيْعَتِكَ الْمُتَلَذِّذِ بِتَوْحِيْدِكَ إِنْسَانِ عَيْنِ الْوُجُوْدِ وَالسَّبَبِ فِى كُلِّ مَوْجُوْدٍ عَيْنِ أَعْيَانِ خَلْقِكَ الْمُتَقَدِّمِ مِنْ نُوْرِ ضِيَائِكَ صَلَاةً تَدُوْمُ بِدَوَامِكَ وَتَبْقَى بِبَقَائِكَ لَامُنْتَهَى لَهَا دُوْنَ عِلْمِكَ صَلَاةً تُرْضِيْكَ وَتُرْضِيْهِ وَتَرْضَى بِهَا عَنَّا يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

128. Tarekat Maulawiyah, Tarekatnya Rumi

Tarekat Maulawiyah adalah sebuah tarekat yang didirikan oleh Maulana Jalaluddin al-Rumi (605 H/1207 M – 672 H/1273 M). Ia adalah keturunan Persia dan Balkha salah satu wilayah Afghanistan. Namun sejak kecil ia telah meninggalkan tanah airnya bersama perpindahan ayahnya. Ayahnya bernama Muhammad, bergelar Baha’uddin Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di masa itu, yang juga bergelar sulthanul ulama.

Menurut catatan, nasabnya sampai pada Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq R.a. Semasa hidupnya, Baha’uddin Walad banyak melancarkan kritik kepada ulama modern yang getol mempelajari dan mengajarkan berbagai ilmu logika sehingga mengakibatkan kecenderungan berpaling dari Alquran dan Hadis.

Sebagai guru berkharisma besar, baik bagi kaum awam maupun di mata kelompok tertentu (khâs), fatwa Baha’uddin senantiasa didengar orang di mana-mana. Banyak yang menaruh respek kepadanya. Namun, barangkali justru hal itulah yang membuat ulama lain menaruh rasa ini.

Mereka lalu mencoba melancarkan fitnah dan mengadukannya kepada penguasa. Itulah sebabnya penguasa waktu itu mengisyaratkan kepadanya agar meninggalkan negeri itu. Selanjutnya, Baha’uddin bersama keluarganya terpaksa hijrah. Dengan ajakan ‘Ala’uddin Kaiqibad, seorang penguasa Rum yang sangat hormat kepadanya, akhinnya ia memutuskan tinggal di Konya. Peristiwa itu tenjadi pada 626 H.

Setelah lama dalam pengembaraan, akhirnya keluarga ini dipanggil oleh Sultan Saljuq di Rum agar bersedia menempati suatu wilayah benama Iconium (kini, Konya), bagian wilayah Turki. Untuk menunjukkan penghormatan terhadap Baha’uddin, sang sultan seringkali mengajak Baha’uddin Walad bepergian ke luar kota untuk menjumpai seorang `ulamâ’ di Konya.

Ketika telah mendekati Konya, Sultan turun dari kudanya dan mempersilahkan Baha’uddin untuk menaiki kuda tersebut sampai tiba di kota. Negeri Byzantium di kalangan Turki disebut sebagai Rum maka sejak peristiwa tersebut, putra Baha’uddin yang bernama Jalaluddin disebut dengan nama Rumi (ar-Rumi), laki-laki dan Rum (Byzantium).

Gelar Pimpinan Maulawiyah

Pemimpin tertinggi tarekat Maulawiyah digelari dengan beberapa nama, yaitu Mulla Khunkar, Hadret-i Pir, Celebi Mulla, dan Aziz Efendi. Seorang pemimpin dibantu oleh seorang wakil. Orang yang ingin menjadi anggota Maulawiyah disyaratkan harus menjalani latihan selama 1001 hari, dibagi pada periode-periode 40 hari.

Selama latihan, calon anggota harus mempelajari al-Matsnawi dengan pembacaan yang benar, teknik tarian berputar, dan silsilah tarekat, mulai dari gurunya sampai ke generasi-generasi sebelumnya yang berakhir pada Rasulullâh Saw. Setelah latihan berakhir, pemula diberi pakaian resmi di tekye dan diperintahkan terus menjalankan praktek-praktek tarekat sampai ia yakin dirinya sanggup berhubungan dengan Tuhan melalui tarian putar, khalwat (pengasingan diri) dan musik.

Al-Matsnawi Karya Besar Rumi

Inti ajaran tasawuf Rumi, di samping termuat dalam Diwan Shamas-i Tibrizpaling banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang terkenal, al-MatsnawiBuku ini, yang terdiri dan enam jilid dan berisi 20.700 bait syair, berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya. Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis oleh para ahli dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki dan Arab.

Al-Matsnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sepertiga volume pertama diterjemahkan ke bahasa Jerman tahun 1849. Tenjemahan ke bahasa Inggris (oleh Sir James Redhouse) pertama kali diterbitkan pada tahun 1881. Kemudian sebanyak 3.500 baris puisi pilihan dan al-Matsnawi diterjemahkan lagi (oleh Whinfield) ke dalam bahasa Inggris.

Terjemahan puisi pilihan ini (terbit di London tahun 1887) ternyata mendapat perhatian besar dari masyarakat sehingga tahun itu juga dicetak ulang. Volume kedua diterjemahkan (oleh Wilson) dan diterbitkan di London tahun 1910. Reynold Alleyne Nicholson bekerja selama 25 tahun untuk menerjemahkan buku ini dan melengkapinya dengan uraian dan komentar. Hasilnya diterbitkan tahun 1925-1950. A.J. Arberry; salah seorang murid Reynold Alleyne Nicholson, menerjemahkan sejumlah kisah pilihan yang diterbitkan di London tahun 1961.

Terdapat keterangan yang menyatakan bahwa selama di Damaskus pada Tahun 618 H/1221 M, Jalaluddin sering berjalan-jalan di samping ayahnya bersama Ibnu Arabi (Abu Sa’id Ahmad ibn Siyad al-Basri al-Arabi (246-340 H/860-952 M), seorang tokoh sufi besar yang kemudian banyak mengajarkan doktrin-doktrin kesufian kepada Jalaluddin al-Rumi.

Ketika itu Ibnu ‘Arabi menyampaikan perkataan; “Segala puji bagi Allâh Swt, betapa sebuah samudera sedang mengikuti sebuah danau!” Di Konya, ar-Rumi menjadi guru agama dan ia telah menjadi seorang sufi dalam usia 39 tahun, ia berkawan dengan Syamsuddin at-Tibrizi (w. 645/1247 M), seorang pribadi yang misterius dan sangat berpengaruh dalam bidang syair.

Ia telah mendorong perkembangan spiritual Rumi dan ia juga seorang pujangga yang jenius. Akhirnya pada 5 Jumadil Akhir 672 H./1273 M., Jalaluddin al-Rumi wafat menjelang magrib.

Jalaluddin al-Rumi menjadi seorang spiritualis yang berpengaruh, tidak hanya di negeri-negeri yang berbahasa Persia termasuk Afghanistan dan Asia Tengah, melainkan juga berpengaruh di Turki dan India. Makamnya dikeramatkan dan menjadi tempat perziarahan. Selama delapan abad, ia senantiasa hidup dan berada pada kehidupan tertentu untuk hadir di kalangan pengikutnya, yakni Tarekat Madawiyah (Tarekat Maulawiyah). Banyak di antara pengikutnya yang menemukan berkahnya secara langsung yang menunjukkan bahwa dirinya masih bersama mereka.

Di dunia Barat, tarekat yang didirikan Jalaluddin al-Rumi dikenal dengan sebutan “lingkaran dervishes” dan pengikut tarekat ini sering disebut whirling dervishes (warga tarekat yang berputar-putar). Hal tersebut karena tarekat ini menggunakan tari-tarian dan musik seraya membunyikan seruling dan drum dengan syair-syair ilabis lagu-lagu sufi Turki sebagai pendukung metode spiritual mereka dan dijadikan sebagai sarana penyadaran spiritual. Dalam beberapa literatur, Tarekat Maulawiyah sering ditulis dengan Mevlevi (dalam bahasa Turki).

Tarekat Maulawiyah, kemudian dilembagakan oleh Sultan Walad putra dan sekaligus yang menjadi penerus Rumi. Tarekat ini dalam ritualnya banyak menyebarkan sajak-sajak Rumi, terutama melalui Kerajaan Turki Utsmani yang baru muncul. Di kemudian hari, pemimpin Tarekat Maulawiyah begitu erat hubungannya dengan istana Turki Utsmani, sehingga ia mendapat hak istimewa untuk memakaikan pedang pada sultan. Pusat Tarekat Maulawiyah selalu berada di Konya (pemimpinnya disebut dengan sebutan kehormatan Molki Hunkar dan Celebi).

Kegiatan dervishes (anggota Tarekat Maulawiyah) meliputi sejumlah latihan tari-tarian, yaitu dua  jari kaki memegang sebuah paku di atas lantai, sementara itu guru-guru dervish berada di sekitarnya.

Sumber: Alif.ID

129. Tarian Sufi Tarekat Maulawiyah

Kalangan dervish diwajibkan mengabdi kepada guru sufi, bahkan terdapat semacam pembekalan dalam penyelenggaraan pertemuan ritual mereka. Kehadiran sang pendiri, yakni Jalaluddin al-Rumi, dianggap benar-benar terjadi di dalam praktik ritual mereka, dan sejumlah dervish memiliki hubungan personal dengannya. Tarian sufi secara resmi dijadikan sebagai bagian dan metode ritual Tarekat Maulawiyah oleh Sultan Walad.

Meskipun terdapat larangan terhadap musik, bahkan hal ini berlangsung sejak masa awal Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang, namun kalangan sufi banyak yang menggunakan musik bersama dengan syair-syair keagamaan sebagai sarana menimbulkan sikap kontemplatif dalam jiwa. Secara khusus, musik digunakan untuk menciptakan keadaan jiwa dan pikiran yang sesuai untuk pelaksanaan hadhrah atau tarian suci.

Hal ini karena aspek esoterik musik diakui kebenarannya oleh kalangan sufi, meskipun dipandang terlarang oleh kalangan eksoteris (kalangan yang berpegang pada kenyataan lahiriyah). Tarian dengan menggunakan musik dalam Tarekat Maulawiyah di kalangan sufi terkenal dengan istilah sama’ yang dijadikan sebagai sarana pencarian Tuhan atau alat bantu kontemplatif.

Selama penyelenggaraan tarian (sama’), sebuah kulit domba berwarna merah diletakkan di atas lantai sebagai simbol kehadiran Syamsuddin at-Tibrizi, seorang tokoh sufi yang mengilhami Rumi terhadap kesadaran ketuhanan. Tarian yang memperagakan empat gerakan yang dinamakan salam berlangsung selama satu jam. Pada akhir tarian tersebut, pir atau guru spiritual, muncul ke tengah-tengah dervishes.

Getaran dan instrumen ibarat nafas, atau jiwa yang memberikan kehidupan, lentingan instrumen tersebut mendatangkan sebuah nostalgia keterpisahan dan keriuhan. Hal ini berasal dari syair-syair yang dibawakan Rumi. Dan jeritan instrumen untuk kembali kepada prinsip merupakan master spiritual, yakni Rumi sendiri.

Masalah sama’ merupakan penyebab utama perbedaan antar tarekat. Ada masalah-masalah rumit, yaitu apakah “mendengarkan musik” dan “gerakan tari” merupakan ungkapan jujur keadaan-keadaan mistik ataukah merupakan usaha di luar batas untuk secara sendiri mencapai keadaan yang hanya dapat dianugerahkan oleh Tuhan.

Tak dapat disangkal bahwa sama’ merupakan ungkapan kehidupan mistik Islam yang paling terkenal. Tarian mistik ini dicatat oleh pengunjung Eropa yang mendatangi biara-biara kaum Maulawi. Tarekat Maulawiyah adalah satu-satunya tarekat yang sejak awal sampai sekarang masih menggunakan tarian gerakan berputar, bahkan sama’ menjadi ciri khas tersendiri bagi penyelenggaraan ritual Tarekat Maulawiyah.

Upacara sama’, biasanya diadakan pada Jum’at tengah hari sesudah shalat jama’ah. Para darwis terlebih dahulu memakai pakaian yang khusus; sebuah tenure baju panjang putih tanpa lengan (destegul) jaket dengan lengan panjang sebuah ikat pinggang, dan sebuah khirqah hitam, dipakai sebagai mantel tetapi dicopot sebelum tarian keagamaan dimulai.

Kepala ditutupi topi tinggi dan bulu yang dililit sekitarnya dengan kain serban. Topinya, sikkeri, menjadi tanda khusus untuk anggota Maulawi. Banyak prasasti yang berisi do’a atau restu dituliskan dalam bentuk topi darwis, dan selalu dikenakan anggota Tarekat Maulawiyah, baik ketika penyelenggaraan ritual sama’ maupun di luar sama’.

Sama’ diatur dengan peraturan ketat. Syaikh berdiri di sudut yang paling terhormat di lokasi yang dijadikan sebagai tempat untuk melakukan tarian, dan para darwis melewati dia tiga kali dengan cara berputar-putar, setiap kali putaran mereka saling memberi salam, sampai akhirnya gerakan berputar-putar yang semakin cepat dimulai. Gerakan ini dilakukan dengan kaki tangan, dengan kecepatan yang semakin meningkat.

Apabila seorang darwis menjadi sangat bergairah, seorang sufi lain, yang bertugas mengatur penyelenggaraan, akan menyentuh perlahan-lahan bahunya agar gerakannya terkendali. Tarian darwis-darwis adalah salah satu ciri yang paling mengesankan dalam kehidupan mistik Islâm. Dan musik yang dimulai dengan nyanyian pujian untuk menghormati nabi (na’ti-i-sarif ditulis Jalaluddin sendiri) dan berakhir dengan nyanyian pendek penuh semangat, kadang-kadang dinyanyikan dalam bahasa Turki.

Bagi Jalaluddin al-Rumi, sama’ adalah makanan ruhani (seperti zikir) dengan disertai pembacaan syair-syair dan sajak karyanya. Ungkapan tersebut merupakan bagian sajak terakhir dalam upacara Tarekat Maulawiyah di Turki. Sajak tersebut diulang berkali-kali. Di mana pun pencinta menyentuhkan kakinya di tanah sambil menari, terbitlah anti kehidupan dan kegelapan. Dan bilamana kekasih terucap, orang mati pun mulai menari dengan kain kafannya.

Rumi mengumpamakan gerak putar para darwis dengan pembuat anggur yang menginjak buah anggun sehingga tercipta anggur ruhani. Pencinta menari lebih tinggi ketimbang bintang-bintang, sebab panggilan sama’ datang dari surga; ia dapat dimisalkan sebutir debu yang terbang mengelilingi matahari.

Dengan demikian, butir debu itu mengalami penyatuan yang ganjil secara terus menerus, sebab kalau matahani tidak bergerak, ia tidak dapat bergerak. Begitu pula manusia tidak dapat hidup tanpa berputar mengitari pusat gaya berat ruhani, yaitu Tuhan. Begitu belenggu jasmani putus oleh Tarian yang berapi-api, bebaslah jiwa dan sadarlah ia bahwa segenap penciptaan ikut serta dalam-tarian itu. Angin cinta menyentuh pohon sehingga dahan, kuncup, dan bintang-bintang mulai bergerak dalam gerak mistik yang meliputi semuanya.

Cinta yang mendalam bagi musik yang diwarisi para Maulawi dan guru mereka Jalaluddin al-Rumi telah mengilhami banyak ahli musik klasik dan penggubah-penggubah di kerajaan Utsmani. Pada kenyataannya, lagu-lagu terbagus dan musik klasik Turki, seperti yang digubah ‘ltri (abad XVII), digubah oleh seniman-seniman yang menjadi anggota Tarekat Maulawiyah, atau paling tidak mempunyai hubungan dekat dengan Tarekat Maulawiyah. Demikian juga halnya dengan ahli-ahli kaligrafi dan miniaturis, banyak di antara mereka tergabung dengan para Maulawi. Tarekat itu melengkapi masyarakat Turki dengan beberapa contoh seni muslim terbaik yang pernah diciptakan.

Begitu pentingnya nyanyian dan tarian yang diperagakan Rumi dan para pengikutnya dalam Tarekat Maulawiyah, sehingga dalam suatu kesempatan ia berkata:

Hayatilah, instrumen kesedihan ini. Sebuah nafas, dan lantaran itu menetes air mata. Dari tempat tidurnya yang tidak menenangkan, sebuah ketegangan gairah cinta dan derita. Rahasia nyanyianku tak seorang pun mengenalinya dan tak seorang pun mendengarnya walau sangat dekat sekalipun. Oh, untuk seorang kawan agar mengetahui perlambang dan agar seluruh jiwa bercampur dengan jiwaku, hingga kobaran api cinta tersebut membakarku Hingga secawan anggur cinta mengilhami diriku. Seharusnyalah engkau mempelajari bagaimana para pecinta terluka berdarah. Dengarkanlah, hayatilah instrumen ini.

Tarian yang sering dilakukan oleh pengikut Tarekat Maulawiyah dinamakan muqabalah (berhadap-hadapan). Istilah ini merupakan sebuah ungkapan terhadap doktrin pengikut Maulawi dimana jiwa menghadap dan bangkit kepada Yang Maha Nyata. Tarian tersebut bersifat universal dalam instrumen. Seorang penari memandang dirinya sendiri pada wajah penari lainnya.

Ibarat sebuah cermin untuknya, meskipun bayangan wajah tersebut menjadi wajahnya sendiri namun secara berulang-ulang, pada akhirnya pribadinya sendiri menjadi tidak nyata sehingga orang lain yang menjadi dirinya sendiri. Tarian tersebut bergerak semi memutar. Ia merupakan gambaran sebuah pusat penciptaan. Sebuah proses penurunan qausun nuzul yang berasal dan Allâh Swt.

Ketika tarian bergerak ke depan, syaikh masuk dan pancaran yang terjauh dan pusat pertama membawa para penari berhadapan muka dengan sang guru spiritual. Hal ini merupakan saat pergantian malam menjadi fajar, matahari terbit, dan merupakan pusat atas (qausul uruj) mulai membawa menuju kesadaran. Kemudian penari berputar ke sisi yang lain, yaitu Tarian seseorang menggambarkan penyempurnaan seluruh ciptaan kemudian kembali menuju Yang Satu.

Seorang guru Tarekat Maulawiyah kontemporer bernama Syaikh Sulaiman Loras mengatakan: “Jika kita tidak sungguh-sungguh dalam mencapai kesempurnaan batin, maka selamanya kita akan tetap bertahan dalam keadaan kita sekarang ini, yakni sebagai “binatang yang bercakap”.

Dunia tidak akan berlangsung tanpa kehadiran guru-guru sufi. Setiap zaman memiliki guru sufi. Yesus, Buddha, Nabi Muhammad Saw. merupakan guru-guru sufi yang terbesar, bahkan selain mereka terdapat sejumlah aqthab (jamak: quthub, yakni seseorang yang menjalankan peran sepenuhnya sebagai sumbu spiritual), manusia sempurna yang sejati berada di dalam setiap diri kita.

Pada awalnya, Tarekat Maulawiyah ini mendapat dukungan kuat dan kalangan penguasa Turki Utsmani dan kalangan seniman. Disebutkan bahwa semenjak 1648 M., pemimpin Tarekat Maulawiyah mendapat hak istimewa memakaikan pedang kepada seorang sultan yang baru dilantik. Para sultan nampaknya mendekati tarekat Maulawiyah untuk menghadapi penganut Tarekat Bektasyi (aliran tarekat yang tertua yang berpengaruh di Turki) yang mendukung Janissary untuk melawan pemerintahan.

Selain itu juga untuk menghadapi `ulamâ’ yang mendukung perlakuan istimewa masyarakat muslim yang lebih dari kaum Zimmi. Sultan Abdul Aziz (1861-1876) dan sultan Muhammad Rasyad (Muhammad V, memerintah 1909-1918), keduanya sultan kekhalifahan Utsmani (Ottoman), tercatat sebagai anggota Tarekat Maulawiyah. Pada 1634 Sultan Murad 1V (1623-1640 M) memberikan kharaj (dana yang dikumpulkan dari umat Islâm untuk membiayai kegiatan Tarekat Maulawiyah) Di Konya untuk Tarekat Maulawiyah.

Pelarangan pada Era Kamal Attarurk

Namun, akhirnya pada 1925 M., kegiatan Tarekat Maulawiyah di Turki dilarang oleh Kamal Attaturk, demikian juga segala jenis tarekat, sejak sekularisasi diberlakukan di negeri ini pada 1928 M. Pada tahap selanjutnya, sejumlah pengikut Tarekat Maulawiyah kemudian sering menampilkan pertunjukan musik dan tari-tarian mereka di Barat.

Tetapi, sejak 1954 M. mereka diperkenankan mengadakan sama’ pada peringatan ulang tahun wafatnya Jalaluddin al-Rumi pada 17 Desember di Konya. Walaupun tidak dalam ruang utama, mereka juga mengadakan pertunjukan di luar negeri.

Tarekat Maulawiyah beserta karya-karya Rumi mempunyai pengaruh terbesar di anak benua Indo-Pakistan. Tarekat Hisytiyah Nidzamuddin Auliya, misalnya, mendapatkan pengaruh nyata, ketika Hisyti membolehkan tarian mistik dan cenderung memberikan ungkapan terhadap jiwa penuh semangat dari sajak-sajak Rumi.

Para pengikut Maulawi juga terdapat di Syria, Mesir, dan negara-negara lainnya yang menjadi bagian wilayah kekuasaan Imperium Utsmani. Namun pada zaman sekarang ini, hanya terdapat beberapa cabang yang tetap aktif yakni di Istambul, Anatolia, dan Konya, serta belakangan ini juga sudah terdapat di Amerika Utara, dan Indonesia.

Sumber: Alif.ID

130. Tarekat Dasuqiyah

Perayaan maulid al-Dasuqi di Mesir (Wikipedia)

Pendiri Tarekat Dasuqiyah adalah Syaikh Ibrahim bin Abd al-‘Aziz al-Dasuqi al-Quraisyi. Beliau lahir di Dasûq, Mesir pada tahun  653 H/1255 M dan  wafat di Damaskus, Suriah pada tahun 696 H/1296 M pada usia sangat muda yaitu 43 tahun (A’lâm al-Shûfiyah, halaman 514-515).

Ibu beliau bernama Fâtimah binti Abû al-Fath al-Wasithi salah seorang waliyullah yang termasuk sahabat dari Syaikh Ahmad al-Rifa’i pendiri tarekat Rifa’iyah, salah seorang guru dari Abul Hasan al-Syadzili, (A’lâm al-Shûfiyah, halaman 514).

Secara lengkap silsilah beliau adalah Ibrahîm bin Abû al-Majd bin Quraisy bin Muhammad bin Abû al-Najâ’ bin Zain al-‘Abidîn bin ‘Abd al-Khâliq bin Abû al-Qâsim bin Ja’far al-Zaki bin ‘Ali bin Muhammad al-Jawâd bin ‘Ali al-Ridhâ bin Mûsa al-Kâzhim bin Imam Ja’far al-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali al-Zâhid bin ‘Ali Zain al-‘Abidîn bin Husain bin ‘Ali bin Abû Thâlib al-Qursyi al-Hasyimi, (al-Thabâqat al-Kubra, halaman 256).

Konon, semenjak dalam buaian ibunya, beliau sudah berpuasa. Pada usia tujuh tahun sudah mampu melihat Lauh Mahfudz, bahkan beliau juga mampu mencapai Sidratul Muntaha, (al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman 97).

Ikhwal Tarekat Dasuqiyah

Ibrahim al-Dasuqi mempelajari tarekat dari beberapa masyayikh imam tarekat besar diantaranya Nuruddîn ‘Abd al-Shamad al-Nazhari dan juga Abu Hasan al-Syadzili.

Tarekat Dasuqiyah biasa pula disebut Tarekat Ibrahimiyah, sebutan yang berasal dari nama pendirinya Ibrahim. Juga biasa disebut Tarekat Burhaniyah, sebutan yang berasal dari nama panggilan Ibrahim al-Dasuqi, yaitu Burhanuddin.

Pada mulanya Ibrahim al-Dasuqi adalah murid setia Abu al-Hasan Ali al-Syadzili (w. 1258 M), pendiri Tarekat Syadziliyah. Ia belajar kepada al-Syadzili bersama Abul Abbas al-Mursi (pengganti al-Syadzili, w. 1287 M) sampai memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat Syadziliyah.

Kehausan jiwanya untuk mereguk piala kerohanian membuat ia tidak puas mempelajari satu tarekat saja. Oleh sebab itu, ia pun mempelajari Tarekat Ahmadiyah kepada pendirinya, Sayyid Ahmad al-Badawi (Maroko, w. 1276 M), yang bertempat tinggal di Thanta (Mesir), sehingga ia pun memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat ini.

Bahkan ia mempelajari Tarekat Rifa’iyah yang sedang popular di Mesir ketika itu, terutama sekali karena keunikannya dalam mengajarkan permainan debus dan kekebalan terhadap benda-benda tajam. Tarekat Rifa’iyah dipelajari al-Dasuqi dari Abul Hasan Ali al-Syadzili, yang mempelajari tarekat ini dari kakek al-Dasuqi sendiri, yaitu Abul Fath al-Wasithi (w. 1234 M).

Di samping itu, al-Dasuqi juga mempelajari tarekat itu dari Sayyid Ahmad al-Badawi, yang menerima baiat tarekat ini secara langsung dari pendirinya Syaikh Ahmad bin Alî Abû al-‘Abbas al-Rifa’i. Menurut sebuah sumber, al-Dasuqi juga mempelajari Tarekat Suhrawardiyah dari Najmuddin Mahmud al-Isfahani, seorang sufi dari Isfahan.

Dari kajian panjang tentang tarekat yang telah dipelajarinya itu, al-Dasuqi merumuskan tarekat tersendiri, yang mengajarkan zikir, doa, dan hizib (sejenis wirid) yang dirangkainya sendiri. Ajaran inilah yang disebut Tarekat Dasuqiyah. Tarekat ini berkembang di Mesir dan pada abad ke-19 telah meluas ke Suriah, Hijaz, dan Hadhramaut.

Dari tarekat ini kemudian muncul sempalan, yaitu Syarnubiah dan Sa’idiyah Syarnubiyah. Dewasa ini Tarekat Dasuqiyah masih didapati di wilayah tersebut di atas dan masih mendapat banyak pengikut di Mesir.

Salawat Dasuqiyah

Syaikh Ibrahim al-Dasuqi juga meninggalkan beberapa shalawat di antaranya Shalawat Dzatiyah Ahadiyah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى الذَّاتِ الْمُحَمَّدِيَّةِ اللَّطِيْفَةِ الْأَحَدِيَّةِ شَمْسِ سَمَاءِ الْأَسْرَارِ وَمَظْهَرِ الْأَنْوَارِ وَمَرْكَزِ مَدَارِ الْجَلاَلِ وَقُطْبِ فَلَكِ الْجَمَالِ اللَّهُمَّ بِسِرِّهِ لَدَيْكَ وَبِسَيْرِهِ إِلَيْكَ أَمِنْ خَوْفِيْ وَأَقِلَّ عَثْرَتِيْ وَأَذْهِبْ حُزْنِيْ وَحِرْصِيْ وَكُنْ لِيْ وَخُذْنِيْ إِلَيْكَ مِنِّيْ وَارْزُقْنِيْ الْفَنَاءَ عَنِّيْ وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَفْتُوْنًا بِنَفْسِيْ مَحْجُوْبًا بِحِسِّيْ وَاكْشِفْ لِيْ عَنْ كُلِّ سِرٍّ مَكْتُوْمٍ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ

Nasihat-nasihatnya yang masyhur:

  1. Di antara yang wajib bagi murid adalah penelaahan terhadap sesuatu yang di dalamnya terdapat manâqib para shalihin dan peninggalan-peninggalan mereka berupa ilmu dan amal.
  2. Barangsiapa yang tidak bersifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri), bersih dan mulia, maka dia bukanlah anakku walau dari tulang rusukku
  3. Barangsiapa yang menetapi tarekat, agama, zuhud, wira’i dan sedikit tamak, maka dialah anakku sekalipun dari negeri yang jauh
  4. Demi Allah swt., tidaklah seorang murid itu benar-benar mahabbahnya kepada tarekat kecuali akan tumbuh hikmah di dalam hatinya.

Itulah antara lain wasiatnya kepada para muridnya, yang merupakan pondasi tarekatnya, di samping sejumlah zikir, wirid, dan doa untuk taqarrub kepada ‘Allâm al-Ghuyûb (Allah).

Sumber: Alif.ID

131. Sepuluh Ajaran Tarekat Dasuqiyah

Pertama, memelihara adab dan aturan syariat, yang didasarkan atas Alquran dan sunnah Nabi Saw. Mengenai hal ini, al-Dasuqi berkata, “Syariat adalah pohon dan hakikat adalah buahnya. Barangsiapa yang ingin menjadi anakku (maksudnya: pengikut tarekatnya) hendaklah ia mengekang nafsunya di dalam botol syariat, yang ditutupnya dengan tutup hakikat, dan dilemahkannya dengan mujahadah”.

Selain itu ia berkata pula, “Wahai buah hatiku, kuatkan cita-citamu untuk mengenal makna tarekat melalui ilmu, bukan hanya dengan sebutan bibir. Setiap makam yang engkau tempati akan mendindingimu dari Tuhan, jika tidak didasarkan atas petunjuk Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para tabi’in, dan Kitab Suci-Nya.”

Di tempat lain ia berkata, “Wahai anakku, lakukanlah cara ibadah menurut Kitab Allah dan sunnah Rasulullah Saw. yang diridhai, karena hal demikian akan mendatangkan cahaya terang dan menghilangkan kegelapan.”

Kedua, menjauhi segala yang haram dan syubhat. Mengenai hal ini al-Dasuqi berkata, “Makanan yang haram menghambat amal dan merendahkan agama; Perkataan yang haram merusak amal orang mubtadi’ (pemula dalam mengamalkan tasawuf). Selama alat perasaanmu merasakan yang haram, jangan engkau berharap akan dapat merasakan kelezatan hikmat dan ma’rifat.”

Dia juga berkata, “Pengikut ajaran Alquran tidak boleh mengisi rongganya dengan yang haram dan tidak boleh memakai pakaian yang haram. Karena jika ia berbuat demikian, niscaya ia akan dikutuk oleh Alquran”.

Ketiga, senantiasa waspada dalam menghadapi godaan hawa nafsu. Al-Dasuqi berkata, “Minuman ‘kaum ini’ (pengikut tarekatnya) tidak akan diminum oleh orang yang di dalam hatinya terdapat kekeruhan karena kotoran rohani, sisa-sisa kegelapan, gelora nafsu, godaan setan, kesombongan, dan dahaga jiwa kepada kebejatan”.

Keempat, senantiasa ingat akan Allah swt. Dalam keadaan bagaimanapun. Untuk itu, al-Dasuqi berkata, “Sang murid harus membersihkan dirinya dari kelalaian dan kelemahan dalam berzikir kepada Allah swt., sebagaimana ia harus membersihkan dirinya dari maksiat.

Wahai anakku, kalau kamu ingin dipanggil pada hari kiamat dengan panggilan ‘Wahai jiwa yang tenteram’, hendaklah kamu jadikan zikir sebagai makananmu, berpikir sebagai wacanamu, uns (keintiman dengan Tuhan) sebagai khalwat-mu, dan kamu harus menumpahkan perhatianmu kepada Allah”.

Kelima, membiasakan lapar karena lapar mempermudah pelaksanaan ibadah dan menghilangkan rasa malas. Al-Dasuqi berkata, “Bekal pemula tarekat ialah kesanggupannya menahan lapar sementara matanya basah oleh air mata, niatnya senantiasa kembali kepada Tuhan; ia memperbanyak puasa. Karena puasa dapat memperlembut tabiatnya sehingga hatinya menjadi sumber kasih sayang; puasa membuka pendengaran batinnya dan menghilangkan ketulian, maka dengan itu ia dapat mendengar kandungan terdalam dari Alquran secara lahir batin”.

Keenam, tidak terpesona oleh bunga-bunga dunia yang menyebabkan diri seseorang jatuh menjadi budaknya. Al-Dasuqi memperingatkan, “Wahai anakku, janganlah kamu terpesona oleh hiasan duniawi, alat transportasinya, busananya, perabotannya, aksesorisnya, dan keuntungannya, tetapi ikutilah cara hidup Nabimu. Kalau kamu tidak sanggup, ikutilah cara hidup gurumu. Jika tidak kamu ikuti, niscaya kamu menjadi binasa”.

Ketujuh, bergaul dengan orang yang berakhlak luhur. Mengenai hal ini al-Dasuqi berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kamu bergaul dengan penipu, pembohong dan orang panjang lidah, tetapi bergaullah dengan orang yang memperkenankan imbauan Tuhannya, sehingga kamu pun bisa mendapat petunjuk dari padanya, dapat meneladani kedisiplinan diri, dan suatu saat kamu akan berpisah dengannya secara benar”.

Kedelapan, ikhlas dalam melakukan segala amal. Al-Dasuqi berkata, “Jika engkau anakku dan pengikutku yang sebenarnya, maka ikhlaskanlah ibadahmu karena Allah swt., minta nasihatlah kepada kalbumu, dan jangan engkau campurkan amalmu dengan dirham. Sesungguhnya inilah tarekatku. Barangsiapa yang mencintaiku, dia akan berjalan di jalan ini bersamaku”.

Kesembilan, patuh terhadap perintah dan larangan syaikh mursyid (pimpinan tarekat). Al-Dasuqi berkata, “Sesungguhnya seorang Syaikh adalah bapak rohani, maka anak tidak boleh membantah terhadap orang tuanya. Adalah suatu hal yang tidak dapat kami mengerti jika ada yang masih membandel, padahal perintah demikian bersifat umum dalam segala hal. Dalam hal ini, hendaklah murid menjadikan dirinya laksana mayat di hadapan orang yang memandikannya. Oleh sebab itu, wahai anakku, taatlah kepada bapak rohanimu”.

Kesepuluh, tujuan akhir yang hendak dicapai dalam tarekat ini ialah fana’ dalam penyaksian wujud. Ini terkesan dari ucapan al-Dasuqi yang mengatakan bahwa tobat golongan istimewa (al-khawwash) merupakan penghapusan segala sesuatu selain Allah swt.

Adapun amalan yang dilakukan oleh penganut Tarekat Dasuqiyah ini mencakup, 1) shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah; 2) puasa, baik yang fardhu maupun yang sunnah; 3) zikir, doa, dan hizib

Zikir dan doa yang dilaksanakan meliputi zikir dan doa yang ma’tsur (berasal dari sabda Nabi Saw.) dan yang bebas. Zikir yang ma’tsur meliputi tahlil, tahmid, takbir, tasbih, dan taqdis. Sedangkan yang bebas ialah zikir yang dirumuskan oleh syaikh, dan dalam hal ini yang paling banyak diucapkan ialah zikir Ya Da’im (Wahai Tuhanku Yang Maha Kekal).

Syaikh ‘Abd al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi asal Mesir, menceritakan pengalamannya sebagai berikut, “Suatu kali aku melihat Syaikh Khalil al-Majdzûb (seorang sufi asal Mesir) naik ke sebuah bukit kecil, lantas aku berseru, ‘Siapakah orang itu, apakah dia seorang Ahmadi (penganut Tarekat Ahmadiyah) atau Burhani (penganut Tarekat Dasuqiyah)?’ Kudengar ia mengucapkan Ya Da’im, Ya Da’im sebagai isyarat bahwa ia adalah penganut Tarekat Dasuqiyah”.

Adapun hizib yang diamalkan dalam tarekat ini ialah hizib yang dikarang oleh Ibrahim al-Dasuqi sendiri, yang dinamai ‘Hizib Ibrahim’”. Kepada murid penganut Tarekat Dasuqiyah yang telah dipandang matang oleh syaikh mursyid untuk dapat mengembangkan ajaran tarekatnya, diberikan sehelai sobekan kain atau jubah, yang disebut khirqah.

Biasanya khirqah dalam Tarekat Dasuqiyah ini berwarna hijau. Dengan mendapat khirqah, seorang murid telah berhak menjadi khalîfah (wakil, pengganti) Syaikh mursyid, dan ia telah berhak mengajar di tempat lain secara mandiri tentang ajaran tarekatnya.

Sumber: Alif.ID

132. Silsilah dan Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah

Bahaudin Naqsyabandi
Sayyidi Shaykh Bahauddin Naqsyabandi

Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah secara lengkap sebagai berikut: (H.A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta 2005, halaman: 39).

  1. Rasulullah SAW.
  2. Abu Bakar al-Shiddiq RA
  3. Salmân al-Farisi
  4. Qâsim bin Muhammad
  5. Imam Ja’far al-Shâdiq
  6. Abu Yazid al-Busthami
  7. Abû Hasan Ali bin Ja’far al-Kharqani
  8. Abû Ali al-Fadhal bin Muhammad al-Thusi al-Farmadi
  9. Abu Ya’kub Yusuf al-Hamdanibin Ayyub bin Yusuf bin Husin
  10. Abdul Khaliq al-Fajduwani bin Imam Abdul Jamil
  11. Arif al-Riyukuri
  12. Mahmud al-Anjiru al-Faghnawi
  13. Ali al-Ramituniatau Syekh Azizan
  14. Muhammad Baba As-Samasi
  15. Amir Kulal bin Sayid Hamzah
  16. Baha’uddin Naqsyabandi

Menurut sebagian `ulamâ’, perbedaan antara tarekat Naqsyabandiyah dengan tarekat yang lain: Qadiriyah misalnya, adalah dari sanad yang menerima setelah Rasulullah SAW. Tarekat Naqsyabandiyah berasal dari ajaran yang disampaikan Nabi kepada Abû Bakar, sedangkan Qâdiriyah berasal dari ajaran Nabi kepada Ali bin Abî Thalib, hingga sampai pada Abdul Qâdir al-Jailani, (Martin van Bruinessen, tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992, halaman: 49).

Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah

Kata Naqsyabandiyah atau Naqsyabandi atau Naqshabandi نقشبندی berasal dari Bahasa Persia, diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshbandi Bukhari, sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”, “pembuat hiasan”, sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai”, “Rantai Emas”, (Http://www.wikipedia.org/terekatnaqsabandiyah).

Pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi, yang juga sekaligus sebagai pendiri tarekat Naqsabandiyah. Beliau dilahirkan pada tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat dimana ia wafat pada tahun 1389.

Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya, Transoxiana. Ini dilakukan untuk menjaga prinsip:  “Melakukan perjalanan di dalam negeri”, yang merupakan salah satu bentuk “laku” seperti yang ditulis oleh Omar Ali-Shah dalam bukunya “Ajaran atau rahasia dari tarekat Naqsyabandiyah”. Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah haji dua kali.

Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata Rantai tarekat Naqsyabandiyah. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi.

Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam mempelajari ilmu tasawuf, tepatnya ketika ia menginjak usia 18 tahun, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371). Dari Kulal inilah ia pertama kali belajar tarekat yang didirikannya.

Gambaran Umum Perkembangan Tarekat Naqsabandiyah

Dalam perkembangannya Tarekat Naqsabandiyah sudah menyentuh lapisan masyarakat muslim di berbagai wilayah. Dengan dampak dan pengaruhnya tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India.

Di Asia Tengah bukan hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil pun tarekat ini mempunyai Zawiyah (padepokan shufi)  dan rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang semaRAk, [Dr. Hj. Sri Mulyati Di samping itu tharâqah ini juga berkembang di Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.

Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan “Islâm bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.

Wiwi Siti Sajaroh, dalam ”Tarekat-tarekat Mu`tabaRah di Indonesia” memberikan  ciri-ciri yang menonjol dalam tarekat ini [ Ibid., h. 91-92] yaitu :

  1. Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah, menolak musik dan tari dalam ibadah, dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
  2. Upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnuya, tarekat naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya berusaha untuk mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
  3. membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaik masyarakat.

Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah dan Tokohnya

Bahaudin Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan aktivitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub al-Karkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Yang paling menonjol dalam perkembangan selanjutnya adalah ’Ubaidillah Ahrar. Ubaidillah terkenal dengan Syaikh yang memilki banyak lahan, kekayaan, dan harta.

Ia mempunyai watak yang sederhana dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Ia menganggap kesombongan dan keangkuhan merendahkan tingkat moral seseorang dan melemahkan tali pengikat spritual, [K.A Nizami.

Ia juga berjasa dalam meletakkan ciri khas tarekat ini yang terkenal dalam menjalin hubungan akrab dengan para penguasa saat itu sehingga ia mendapat dukungan yang luas jangkauannya. Pada tatanan selanjutnya tarekat ini mulai menyebarkan gerakannya diluar Islâm.

Tokoh lain yang berperan terbesar dalam penyebaran tarekat ini secara geografis adalah Said al-Din Kashghari. Ia juag telah membai’at penyair dan ulama besar ’Abd al-Rahman Jami’ ia yang kemudian mempopulerkan tarekat ini dikalangan istana. Kontribusi utama Jami’ adalah paparannya tentang pemikiran Ibnu ’Arabi dan mengomentari karya-karya Ibnu Arabi, Rumi, Parsa dan sebagainya, sehingga tersusun dalam gubahan syair yang mudah dipahami dari gagasan mereka tersebut.

Di India, Tarekat ini mulai tersebar pada tahun 1526. Baqi Billah, dilahirkan di Kabul merupakan syaikh yang menyebarkan ajaran tarekat ini di India. Ia mengembangkan ajaran Tarekat ini kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dakwahnya di India berlangsung selama 5 tahun. Hampir semua garis silsilah pengikut Naqsabandiyah di India mengambil garis spritual mereka melalui Baqi Biillah dan Khalifahnya Ahmad Sirhindi, [Dr. Hj. Sri Mulyati.

Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah [Http://www.wikipedia.org/terekatnaqsabandiyah].

Orientasi baru yang di bawa Sirhindi ini terlihat pada pemahamannya yang menolak paham Wahdatul Wujud yang dibawa Ibnu ’Arabi. Sirhindi sangat menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada al-Qu’ran dan tradisi-tradisi Nabi. (SI)

Sumber: Alif.ID

133. Tarekat Naqsyabandiyah

Pendirian Tarekat Naqsyabandiyah dinisbatkan kepada wali quthub bernama Muhammad Bahauddin bin Muhammad bin Muhammad al-Syarif al-Husaini al-Hasani al-Uwaissi al-Bukhari. Ia lebih dikenal dengan sebutan Syaikh an-Naqsyabandi, (Tanwir al-Qulub, halaman: 501).

Tarekat ini disebut dengan Naqsyabandiyah, karena dinisbatkan pada Naqsya Bandi (نَقْشَ بَنْدِ) yang artinya sambungan pahatan. an-Naqsy (النَّقْشُ) adalah sebentuk cap (stempel) yang dicapkan pada malam (sejenis lilin) dan sebagainya.

Rabitahnya (sambungannya) adalah tetapnya Naqsyabandi yang tidak lebur, maksudnya Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsyabandi itu selalu berzikir dengan hatinya sampai terukir dan tampak lafadz Allah Swt di luar hatinya, karena itulah (tarekat ini) disebut dengan Naqsyabandiyah. Dikisahkan dari beberapa khalifah (mursyid) an-Naqsyabandiyah yang berkata:

“Sungguh Rasulullah SAW. telah meletakkan telapak tangan mulia beliau di atas hati al-Syaikh (Bahauddin an-Naqsyabandi) ketika sedang muraqabah, sehingga terbentuklah ukiran (di atas hatinya)”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 539).

Biografi Syaikh Baha’uddin Al-Naqsyabandi

Syaikh an-Naqsyabandi berguru ilmu tarekat kepada Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi kemudian kepada Sayyid Amir Kulal, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 196). Sedangkan Sayyid Amir Kula juga berguru kepada Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi berguru kepada Ali al-ramitani yang lebih dikenal dengan nama Syaikh al-Azizan.

Syaikh al-Azizan berguru kepada Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi, Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi berguru kepada Syaikh Arif al-Riwikri yang berguru kepada Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani yang berguru kepada Syaikh Abi Ya’qub Yusuf al-Hamadani yang berguru kepada Syaikh Abi Ali al-Fadhal bin Muhammad ath-Thusi al-Faramadi yang berguru kepada Syaikh Abil Hasan Ali bin Abi Ja’far al-Kharqani.

Syaikh Abil Hasan Ali berguru kepada Abi Yazid Thaifur bin Isa al-Busthami yang berguru kepada Syaikh Imam Ja’far al-Shâdiq yang berguru kepada kakeknya Sayyid al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq yang dari Salman al-Farisi yang memperoleh dari Abi Bakar ash-Shiddiq yang memperoleh dari Rasulullah Saw (Tanwir al-Qulub, halaman: 502).

Syaikh an-Naqsyabandi lahir di desa Qasrul Arifan di dekat Bukhara (Uzbekistan) pada bulan Muharam tahun 717 H. (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman: 11). Sebelum beliau dilahirkan, gurunya, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi, telah mengisyaratkan akan kelahirannya. Setiap kali Syaikh as-Sammasi melewati desa Qasrul Arifan, selalu berkata kepada para muridnya, “Dari desa ini aku mencium bau seorang wali”.

Setelah bayi yang dimaksud dilahirkan dan berusia tiga hari, Syaikh as-Sammasi melewati desa itu seperti biasa. Lalu kembali berkata pada para muridnya, “Bau seorang wali yang telah aku ceritakan, sekarang ini semakin semerbak”.

Tak lama setelah itu, si bayi oleh kakeknya dibawa ke rumah Syaikh as-Sammasi. Ketika melihat bayi tersebut, Syaikh as-Sammasi spontan berteriak gembira seraya menoleh kepada muridnya, “Ini anakku. Inilah wali yang selama ini aku cium baunya. Insya Allah tidak lama lagi ia akan menjadi panutan banyak orang”.

Kemudian Syaikh as-Sammasi menemui Sayyid Amir Kulal untuk menyerahkan pendidikan anaknya itu. Ketika itu Syaikh as-Sammasi berkata, “Ini anakku”. Didiklah dengan sebaik-baiknya, jangan sampai engkau teledor dalam mendidiknya. Jika Engkau teledor, aku tak akan rela untuk selama-lamanya”.

Lalu Sayyid Amir Kulal berdiri dan berkata, “Aku akan melaksanakan perintahmu. Insya Allah aku tidak akan teledor dalam mendidiknya”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 207).

Syaikh an-Naqsyabandi mengisahkan, “Kakekku mengirimku ke desa Sammas dengan tujuan supaya aku mengabdi kepada Syaikh as-Sammasi. Ketika aku berhasil menemuinya, sebelum waktu Maghrib tiba aku telah mendapatkan keberkahannya sehingga aku merasakan ketenangan pada diriku, kekhusyu’an, tadharru’ serta kembali kepada Allah Swt.”, (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman: 12-13).

Lebih lanjut Syaikh an-Naqsyabandi berkata, “Ketika Syaikh as-Sammasi meninggal dunia, kakekku membawaku ke Samarqandi. Setiap kali mendengar ada orang shaleh, ia membawaku kepadanya. Kepada orang shaleh yang dikunjungi, ia memintakan doa untukku, ternyata permintaan doa betul-betul terkabul, aku mendapatkan keberkahan dari orang-orang shaleh tersebut”.

Syaikh an-Naqsyabandi juga berkata, “Di antara pertolongan Allah SWT. yang diberikan kepadaku adalah kopiah kakek guruku (Syaikh al-Azizan) telah sampai kepadaku sehingga keadaanku semakin baik dan harapanku semakin kuat, yang demikian itu membuatku dapat mengabdi kepada Sayyid Amir Kulal dan memberi tahuku bahwa Syaikh as-Sammasi mewasiatkan diriku kepadanya”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 196).

Semakin hari Sayyid Amir Kulal semakin memperhatikan dan bersungguh-sungguh dalam membimbingnya. Setelah bekal bimbingan yang diberikan dirasa sudah cukup, Sayyid Amir Kulal berkata, “Wahai anakku, aku telah melaksanakan wasiat Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi untuk membimbingmu”.

Seraya menunjuk ke arah susunya, Sayyid Amir Kulal berkata, “Engkau telah menyusu pendidikan padaku. Tingkat penyerapanmu terhadap apa yang aku ajarkan sangat tinggi dan keyakinanmu sangat kuat. Oleh karena itu, aku mengizinkan engkau mencari ilmu ke beberapa guru, engkau dapat mengambil ilmu dari mereka sesuai dengan kemauanmu yang besar”, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 198).

Sejak saat itu, aku terus-menerus mendatangi ulama’ untuk memetik ilmu syariat dan mencari ilmu Hadis serta akhlak Rasulullah Saw dan para sahabat sebagaimana telah diperintahkan padaku. papar Syaikh an-Naqsyabandi.

Di antara akhlak Syaikh an-Naqsyabandi adalah apabila menjenguk salah seorang temannya, pasti akan menanyakan kabar keluarga dan anak-anaknya serta menghiburya dengan hiburan yang sepantasnya. Bukan hanya itu saja, Syaikh an-Naqsyabandi juga menanyakan apa yang berhubungan dengannya sampai bertanya tentang ayam-ayam peliharaannya.

Ditampakkannya rasa belas kasihan kepada semuanya seraya berkata, “Abu Yazid al-Busthami sekembalinya dari larut berzikir, melakukan hal seperti ini”.

Meski sangat sempurna dalam kezuhudannya, Syaikh an-Naqsyabandi senantiasa memberi dan mendahulukan orang lain. Bila ada orang memberinya, diterimanya. Lalu membalasnya dengan pemberian yang berlipat ganda. Demikian itu karena Syaikh an-Naqsyabandi mengikuti jejak Rasulullah Saw yang sangat terkenal kedermawanannya.

Keberkahan akhlaknya yang mulia ini menular kepada murid muridnya, (Misykat al-Muhtadin fi Manaqib al-Syaikh Baha’uddin, halaman: 20-21).

Di antara karamahnya adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syaikh Alauddin al-Aththar. Suatu ketika Syaikh Ala’uddin al-Aththar bersama dengan Syaikh an-Naqsyabandi, ketika itu udara diliputi oleh mendung, lalu Syaikh an-Naqsyabandi bertanya, “Apa waktu dzuhur sudah masuk?” Syaikh Ala’uddin al-Aththar menjawab, “Belum”, lalu Syaikh an-Naqsyabandi berkata, “Keluarlah dan lihatlah langit”.

Lalu Syaikh Ala’uddin al-Aththar keluar dan melihat ke atas langit, tiba-tiba tersingkaplah hijab alam langit sehingga Syaikh Alauddin al-Aththar dapat melihat seluruh malaikat di langit tengah melaksanakan shalat Dhuhur, lalu Syaikh Ala’uddin al-Aththar masuk dan langsung ditanya oleh Syaikh an-Naqsyabandi, “Bagaimana pendapatmu, bukankah waktu dhuhur tiba?”

Syaikh Ala’uddin al-Aththar malu dibuatnya dan membaca istighfar dan sampai beberapa hari merasa masih terbebani dengan kejadian tersebut, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 201).

Syaikh Alauddin al-Aththar berkata: “Ketika Syaikh an-Naqsyabandi akan meninggal, aku dan yang hadir pada saat itu membaca Surat Yasin, ketika bacaan Surat Yasin sampai di tengah-tengah, tiba-tiba tampak seberkas cahaya terang yang menyinari seisi ruangan, maka aku membaca kalimat Lâ Ilâha IllAllah, lalu Syaikh an-Naqsyabandi wafat”.

Syaikh an-Naqsyabandi wafat pada malam Senin tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H. Kemudian dimakamkan di kebun miliknya yang memang sudah ditentukan oleh Syaikh an-Naqsyabandi sendiri. Para pengikutnya membangun kubah di atas makamnya dan di kebunnya dibangun masjid yang luas, (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 205). (SI)

Sumber: Alif.ID

134. Pelopor dan Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara

Ajaran Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia pertama kali di perkenalkan oleh Syaikh Yusuf Al-Makassari (1626-1699). Syaikh Yusuf berasal dari Kerajaan Gowa Sulawesi. Seperti disebutkan dalam bukunya Safinah al-Najah ia telah mendapat ijazah dari Syaikh Naqsabandiyah yaitu Muhammad ’Abd al Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ini ketika berada di Madinah dibawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani.

Pada tahun 1644, Syaikh Yusuf  pergi ke Yaman kemudian meneruskan lagi ke Makkah dan Madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji. Karena kondisi politik saat itu, ia mengurungkan niatnya untuk pulang ke tanah kelahirannya di Makassar dan menetap di Jawa Barat Banten hingga menikah dengan putri Sultan Banten.

Kehadirannya di Banten membawa sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai pusat pendidikan Islâm. Ia terkenal sebagai ulama Indonesia pertama yang menulis tentang tarekat ini.

Syaikh Yusuf telah menulis berbagai risalah mengenai Tasawuf dan menulis surah-surah tentang nasihat kerohanian untuk orang-orang penting. Kebanyakan risalah dan surah-surahnya ditulis dalam bahasa Arab dan Bugis, [Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,1992), h. 53].

Di dalam tulisan-tulisannya, Syaikh Yusuf tetap konsisten pada paham Wahdatul Wujud dan menekankan akan pentingnya meditasi melalui seorang Syaikh (Tawassul) dan kewajiban sang murid untuk patuh tanpa banyak tanya kepada gurunya. Ia mengemukakan bahwa kepatuhan paripurna kepada syaikh merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi demi pencapaian spiritual, [ Ibid,.h. 42].

Tarekat Naqsabandiyah menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok nusantara.

Penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Nusantara dapat dilihat dari para tokoh-tokoh tarekat ini yang mengambangkan ajaran Tarekat Naqsabandiyah di beberapa pelosok nusantara di antaranya adalah:

  1. Muhammad Yusuf adalah yang dipertuan muda di kepulauan Riau, beliau menjadi sultan di pulau tempat dia tinggal. Dan mempunyai istana di Penyengat dan di Lingga.
  2. Di Pontianak, sebelum perkembangannya telah ada Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah. Tarekat Naqsabandiyah mulai dikembangkan oleh Ismail Jabalyang merupakan teman dari Usman al-Puntani (“lamâ’ yang terkenal di Pontianak sebagai penganut Tasawuf dan penerjemah tak shufi).
  3. Di Madura, Tarekat Naqsabandiyah sudah hadir pada abad ke 11 hijriyah. Tarekat Naqsabandiyah Mazhariyah merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Madura dan juga di bebeRapa tempat lain yang banyak penduduknya bersal dari madura, seperti Surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat.
  4. Di Dataran Tinggi Minangkabau Tarekat Naqsabandiyah adalah yang paling padat. Tokohnya adalah Jalaludindari Cangking, ’Abd al-Wahab, Tuanku Syaikh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke silungkang, cangking, Singkarak dan Bonjol.
  5. Di Jawa Tengah berasal dari Muhammad Ilyasdari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsabandiyah di Jawa Tengah.

Perkembangan selanjutnya di Jawa antara lain di Rembang, Blora, Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar.

Tarekat ini merupakan satu-satunya Tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Tarekat ini sudah tersebar hampir keseluruh provinsi yang ada di tanah air yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya.

Pengikutnya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dari yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.

Ajaran Pokok Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah

  1. Berpegang teguh pada akidah-akidah ahlu as-sunnah yaitu orang-orang yang selamat
  2. Meninggalkan rukhsah
  3. Mengambil hukum-hukum yang berat
  4. Melanggengkan muraqabah
  5. Selalu menghadap kepada Tuhannya
  6. Berpaling dari hiruk pikuk dunia bahkan segala sesuatu selain Allah SWT. dan bisa menghasilkan hadirnya hati agar terbiasa sehingga menjadi watak
  7. Merasa sepi dalam keramaian, dan melakukan sesuatu yang bisa diambil manfaatnya dan atau memberi manfaat dalam ilmu agama.
  8. Berpakaian dengan pakaian orang-orang mukmin pada umumnya.
  9. Menyembunyikan zikir
  10. Menjaga nafas sekiranya nafas yang keluar masuk itu tanpa melupakan Allah SWT.
  11. Berakhlak dengan akhlak Nabi SAW. yang agung, (Risâlah al-Îdhah, halaman: 11-15).

Tata Krama Zikir Tarekat Naqsyabandiyah

Berikut ini adalah tata krama zikir tarekat Naqsyabandiyah (zikir ismudz dzat):

  1. Suci dari hadats dan najis (berwudu);
  2. Shalat dua rakaat;
  3. Menghadap kiblat pada tempat yang sepi
  4. Duduk dengan posisi kebalikan dari duduk tawarruk (duduk di antara dua sujud), karena posisi ini dapat paling cepat untuk menyatukan seluruh indrawi;
  5. Membaca istighfar 5 kali, atau 15 kali, atau 25 kali;
  6. Membaca al-Fatihah satu kali, Surat al-Ikhlas 3 kali dan menghadiahkan pahalanya kepada Rasulullah SAW., dan kepada silsilah Tarekat Naqsyabandiyah;
  7. Memejamkan mata, kedua bibir tertutup, dan lidah dilekatkan ke langit-langit mulut. Dengan kondisi seperti ini, salik yang berzikir mampu untuk khusyu’, dan seluruh getaran hatinya menjadi hilang;
  8. Rabitah kubur, yaitu seakan-akan seorang salik telah mati, dimandikan, dikafani, disholati, dimasukkan ke dalam kubur, dan ditinggalkan sendirian di sana. Tiada yang menemaninya kecuali amal ibadahnya;
  9. Rabitah mursyid, yaitu seorang salik menghadapkan hatinya dengan hati mursyid, seraya menjaga wajah mursyid ada dalam angan-angannya;
  10. Mengumpulkan seluruh indrawi, dan menghilangkan seluruh bisikan hatinya, serta menghadapkannya kepada Allah Swt., lalu membaca do’a:

إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ 3×

Setelah itu dia berzikir  Ismudz Dzat dengan hatinya yaitu dengan cara mengalirkan lafadz Allah dalam hatinya seraya memperhatikan makna bahwa Allah adalah dzat yang tidak ada yang menyamai-Nya, dan Allah adalah dzat yang hadir, melihat, dan menguasai dirinya.

  1. Sebelum mengakhiri zikir dan membuka mata, hendaknya salik menunggu perintah untuk berhenti, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 511-513).

Sumber: Alif.ID

135. Macam-macam Zikir Tarekat Naqsyabandiyah

Zikir Tarekat Naqsyabandiyah bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan lisan (jahr) atau dengan sirri (qolbi). Kedua jenis zikir ini masing-masing mempunyai dasar yang diambil dari sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.

Zikir jahr menggunakan media lisan untuk berzikir. Hal ini terkadang tidak mudah untuk dilaksanakan setiap waktu. Berbeda dengan zikir sirr yang menggunakan media hati sebagai sarana zikirnya, sehingga meskipun dalam keadaan berdagang sekalipun, zikir masih tetap bisa dilaksanakan (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 508).

Dalil tentang Zikir Qolbi  atau Zikir Sirri

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa zikir terbagi menjadi dua macam yaitu zikir jahr dan zikir sirri. Zikir jahr dengan menggunakan lisan, sedangkan zikir sirri dengan menggunakan hati.

Tentang dasar nash yang menguatkan keutamaan zikir sirri ini sebagaimana yang termaktub dalam Hadis berikut ini:

وَقَالَ: «وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ» أَيْ فِيْ قَلْبِكَ …. وَرَوَى أَبُوْ عَوَانَةٍ وَابْنُ حِبَّانٍ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا وَالْبَيْهَقِيُّ: «خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِيْ». وَقَالَ: «الذِّكْرُ الَّذِيْ لاَ تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ يَزِيْدُ عَلَى الذِّكْرِ الَّذِيْ تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ سَبْعِيْنَ ضَعْفًا» رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. (تنوير القلوب، ص 509)

Allah berfirman: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu” maksud dari kata nafsika adalah dalam hatimu…. Dan diriwayatkan dari Abu Awanah dan Ibn Hibban dalam kedua kitab shohihnya, dan dari Imam Baihaqi: “Sebaik-baik zikir adalah yang samar, dan sebaik-baik rizki adalah yang cukup”.

Rasulullah bersabda: “Zikir yang tidak terdengar oleh malaikat Hafadzoh itu lebih (baik) dari zikir yang terdengar oleh malaikat Hafadzoh dengan 70 kali lipat” hadist riwayat Imam Baihaqi (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 509).

Guru Naqsyabandi memilih zikir dalam hati, karena hati itu tempat melihat Allah yang Maha Pengampun, tempat iman, tempat sumber Rahasia dan sumber cahaya. Dengan keadaan hati yang baik, maka seluruh jasad pun baik. Sebaliknya, jika hati rusak maka seluruh jasad pun rusak. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi SAW.

Seorang hamba tidak bisa dikatakan seorang mukmin kecuali dia mengikat hatinya atas kewajiban iman, dan tidak sah apabila beribadah tanpa disertai dengan niat (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 508).

Lafadz Zikir Qolbi

Sebagaimana disebutkan dalam Tanwîr al-Qulûb, halaman: 511 bahwa zikir qolbi terbagi menjadi dua macam; yang pertama adalah dengan menggunakan Ismudz Dzaat dan yang kedua dengan Nafi Itsbat. Zikir Ismudz Dzaat menggunakan lafadz الله, sesuai dengan firman Allah Swt.:

إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ (طه: 14)

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, (Qs. Thaha: 14).

قُلِ الله ثُمَّ ذَرْهُمْ فِيْ خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ (الأنعام: 91)

Katakanlah: Allah, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya, (Qs. al-An’am: 91).

Maqâm Zikir

Berikut ini adalah maqâm-maqâm zikir dalam tarekat:

  1. Lathifatul Qolbi, beRada di bawah payudara kiri dengan jarak kira-kira dua jari. Yang menjadi wilayah Nabi Adam As. Lathifatul Qolbi menjadi tempat nafsu lawwamah yang mempunyai 9 watak, yaitu;
  • اللَّوَّامَة : sifat yang suka mencela terhadap orang lain
  • اللَّهْوُ : sifat menyenangkan nafsu
  • الْمَكَر : menipu
  • الْعُجْب : memuji terhadap amal perbuatannya sendiri (meRasa dirinya yang lebih baik)
  • الْغِيْبَة : sifat suka mengguncing orang lain
  • الرِّيَاء : memamerkan perbuatan dirinya sendiri
  • الظُّلْم : berbuat aniaya
  • الْكِذْب : bohong
  • الْغَفْلَة : lupa dari Allah

TanbiihLathifatul qalbi ini selalu dilakukan untuk berzikir kepada Allah dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugRAh dari Allah SWT. semoga nafsu lawwamah bisa dikalahkan serta dihilangkan dengan mendapat syafaat Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatur Rûh, berada di bawah payudara kanan dengan jarak kira-kira dua jari, yang menjadi wilayah nabi Nuh As. dan nabi IbRahim As. Lathifatur Rûh menjadi tempat nafsu mulhimah yang mempunyai 7 watak, yaitu;
  • السَخَاوَة : dermawan
  • القَنَاعَة : menerima apa adanya
  • الْحِلْم : sabar dan pemaaf
  • التَّوَاضُع : tawadhu’
  • التَّوْبَة : meminta maaf atas perbuatan yang telah dilakukan dan menyesal terhadap perbuatan yang jelek
  • الصَّبْر : sabar
  • التَّحَمُّل : berani menanggung ujian dan sengsara

TanbihLathifatur Ruuh ini selalu dilakukan untuk berzikir kepada Allah SWT. dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah Allah SWT. semoga nafsu mulhimah bisa dilakukan dengan baik karena syafa’at Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatus Sirri, berada di atas payudara kiri dengan jarak kira-kira dua jari (jantung). Yang menjadi wilayah nabi Musa As. (tempat zikir yang menjadi alam amar nabi Musa as.). Lathifatus sirri menjadi tempatnya nafsu muthmainnah yang memiliki 6 watak, yaitu;
  • الْجُوْد : dermawan terhadap semua harta yang dimiliki
  • التَّوَكُل : pasrah kepada Allah SWT.
  • العِبَادَة : ibadah dengan ikhlâs
  • الشُّكْر : syukur atas apa yang diberikan oleh Allah SWT.
  • الرِّضَا : rela dengan apa yang menjadi kehendak Allah SWT.
  • الْخَشْيَة : takut melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Tanbih: Lathifatus Sirri ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.  Dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugRAh dari Allah SWT. semoga nafsu muthmainnah bisa abadi diamalkan sehingga husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatul Khafiy, berada di atas payudara kanan dengan jarak kira-kira dua jari (paru-paru). Yang menjadi wilayah nabi Isa As. (tempat zikir alam amar nabi Isa as.). Lathifatul Khafiy menjadi tempatnya nafsu mardhiyyah yang mempunyai 6 watak, yaitu;
  • حُسْنُ الْخُلُق (etika yang baik)
  • اللُّطْف (mengasihi terhadap sesama)
  • حَمْلُ الْخَلْقِ عَلَى الصَّلاَحِ (mengajak untuk melakukan kebaikan)
  • تَرْكُ مَا سِوَى اللهِ (meninggalkan segala sesuatu selain Allah SWT.)
  • الصَّفْحُ عَنْ ذُنُوْبِ الْخَلْقِ (memaafkan kesalahan sesama makhluk)
  • حُبُّ الْخَلْقِ وَالْمَيْلِ إِلَيْهِمْ لِإِخْرَاجِهِمْ مِنْ طَبَائِعِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ إِلَى أَنْوَارِ أَرْوَاحِهِمْ (cinta dan senang kepada sesama makhluk untuk membebaskan mereka dari segala kebiasaan buruk dan kesenangan hawa nafsu menuju sifat malakaniyah, mahmudah, dan akhlak yang mulia).

Tanbih: Lathifatul Khafy ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.  Dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah Swt semoga nafsu mardliyayah bisa abadi diamalkan sehingga husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah Saw Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatul Akhfâ, berada di tengah-tengah dada, tepatnya berada diantara hati sanubari dan lathifatur Rûh. Tempat Lathifatul Akhfâ ada di ginjal. Yang menjadi wilayah Rasulullah SAW. (tempat zikir alam amar Rasulullah SAW.). Lathifatul Akhfâ menjadi tempatnya nafsu kâmilah, maksudnya nafsu yang lebih sempurna, yang memiliki 3 watak, yaitu;
  • عِلْمُ الْيَقِيْن (pengetahuan yang nyata)
  • عَيْنُ الْيَقِيْن (keadaan yang nyata)
  • حَقُّ الْيَقِيْن (kebenaran yang nyata)

TanbihLathifatul Akhfâ ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.,  dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah SWT. semoga nafsu kâmilah bisa karamah dan istiqâmah sehingga husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatun Nafsi an-Nathiqah, berada di tengah kening tepatnya di antara dua alis, yaitu berada dalam otak (pusat berpikir). Lathifatun Nafsi an-Nathiqah menjadi tempat nafsu ammarah (nafsu yang mengarah pada keburukan) yang memiliki 7 watak, yaitu;
  • الْبُخْلُ (pelit atau kikir)
  • الْحِرْصُ (cinta dunia)
  • الْحَسَدُ (iri, dengki)
  • الْجَهْلُ (bodoh)
  • الْكِبْرُ (sombong)
  • الشَّهْوَةُ (mengikuti kesenangan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan syari’at)
  • الْغَضَبُ (maRah karena mengikuti hawa nafsu)

TanbihLathifatun Nafsi an-Nathiqah ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.,  dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah SWT. semoga nafsu amarah bisa berkurang dan musnah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

  1. Lathifatul Jâmi’ul Badan, berada di seluruh tubuh dari hati sanubari diarahkan ke kepala, kemudian diarahkan ke seluruh tubuh yang meliputi kulit, daging, tulang, sumsum, otot, darah dan rambut yang kesemuanya itu berzikir. Lathifatul Jâmi’ul badan menjadi tempat nafsu mardhiyah yaitu nafsu yang senantiasa ridha, yang memiliki 6 watak, yaitu;
  • الْكَرَمُ (dermawan)
  • الزُّهْدُ (menghindari urusan duniawiyah harta benda yang tidak sesuai dengan syari’at dan menerima yang halal meskipun sedikit)
  • الإِخْلاَصُ (mengatur niat yang lebih utama, melakukan kebaikan karena Allah SWT.)
  • الْوَرَعُ (menjaga diri dari barang syubhat dan haram)
  • الرِّيَاضَة (menjauhi perbuatan yang tidak terpuji dan melakukan perbuatan yang terpuji dan menggunakan akhlak malakaniyyah seperti khalwat menyendiri untuk beribadah, berzikir, muraqabahtafakkur, dan terjaga (tidak tidur), lapar, diam dan berbicara yang sesuai dengan syari’at)
  • الْوَفَاءُ (menepati janji baiat)

TanbihLathifatul jaami’ul badan ini selalu digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT.,  dengan berkah tawajjuhan para masyayikh dan anugrah dari Allah Swt semoga nafsu mardhiyyah bisa istiqâmah dan husnul khâtimah dengan mendapat syafa’at dari Rasulullah SAW. Aminaminamin yaa Rabbal ‘alamin.

Allah berfirman: “Aku ada dalam pecahan-pecahan hati mereka”… Lalu (seorang Salik) berzikir lathifatul qolbi. Ketika cahaya dari lathifah tersebut telah keluar dari arah pundaknya dan naik, atau dia telah merasakan getaran atau gerakan kuat, maka lalu dia membisikkan pada latifatur ruuh yang berada di bawah payudara kanan dengan jarak kira-kira dua jari.

Gambar Lathif Naqsyabandi

Zikir di lathifatur ruuh, dan wuquf di hati, sebagaimana orang yang melihat dua arah dengan satu pandangan. Jika sudah terjadi gerakan pada lathifatur ruuh dan telah sibuk berzikir, maka dia bisikkan pada lathifatus sirri, yang berada di atas payudara kiri dengan jarak dua jari.

Berzikir di lathifatus sirri, dan juga wuquf di hati. Kemudian, jika lathifatus sirri telah sibuk dengan zikir, maka dia mulai bisikkan pada lathifatul khofiy yang berada di atas payudara kanan dengan jarak 2 jari. Lalu dia bisikkan pada lathifatul akhfaa, yang berada di tengah-tengah dada.

Dan jika dia telah sibuk dengannya sebagaimana sebelumnya, maka dia bisikkan pada lathifatun nafsi yang berada di antara dua mata dan dua alis beserta wuquf qolbi di seluruh zikir lathaif, lalu dilanjutkan pada lafhifatul jasad. Dengan demikian dia berzikir dengan seluruh badan setelah dia bentangkan wuquf pada seluruh anggota tubuhnya dan tempat tumbuhnya bulu.

Jika zikir telah berpengaruh pada seluruh tubuh, adakalanya dengan getaran kecil atau zikir yang berjalan di seluruh tubuhnya yang tebal. Dengan demikian, tubuhnya bagaikan hati yang bergerak dengan zikir, mulai dari bawah hingga ke atas tubuh, dan ini disebut sebagai sulthon zikir (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 25).

Sumber: Alif.ID

136. Lafal Zikir dan “Khotam Khowajikan” Naqsyabandiyah

Lafal atau kalimat yang digunakan dalam zikir itu beragam. Dalam tarekat Naqsyabandiyah lafal yang digunakan adalah lafal الله. Sedangkan dalam tarekat Syadziliyah adalah kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Masing-masing tarekat juga terkadang berbeda dalam kalimat atau lafal yang digunakan untuk berzikir yang kesemuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Namun, pada dasarnya seluruh perbedaan lafal zikir tersebut adalah sama, yaitu sama-sama untuk mengagungkan Allah Swt.

Ketahuilah, awal bentuk zikir menurut tarekat Naqsyabandiyah adalah lafal Allah dengan memperhatikan maknanya. Dan menurut tarekat Syadziliyah adalah kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Menurut tarekat lainnya (kalimat zikir itu) dari keduanya (lafal Allah dan Lâ Ilâha IllAllah), istighfâr dan shalawat dengan menghadirkan hati secara sempurna, serta bertata krama.

Firman Allah Ta’ala: “Aku bersama orang yang berzikir kepada-Ku, dan Aku bersama hamba-Ku ketika dia menyebut-Ku, dan ketika kedua bibirnya bergerak (karena berzikir kepada-Ku), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 23).

Zikir “Allah, Allah”, Zikir Ismudz Dzat

Zikir itu beragam bacaan dan jumlahnya. Di antara zikir-zikir tersebut adalah zikir ismudz dzaat, yaitu zikir dengan menyebut nama “Allah”. Hal ini didasarkan pada ayat pertama Surat al-Ikhlas; قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ .

Ketahuilah, bahwa nama yang luhur, agung dan hebat disebut dengan Ismudz Dzât yaitu lafadz Allah. Nama yang mulia ini diletakkan untuk dzat ketuhanan dengan berdasarkan dzat itu yang memiliki sifat-sifat dan nama-nama ketuhanan, keagungan, keindahan dan kesempurnaan.

Menurut sebagian ahli ma’rifat, nama itu adalah nama yang diletakkan hanya untuk dzat itu sendiri, bukan berdasarkan pada persifatan dengan sesuatu, karena firman Allah: “Katakanlah: ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”,  (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 170).

Cara Zikir Ismudz Dzat

Cara zikir Ismudz Dzât adalah seorang Salik yang berzikir menyebut nama Allah Swt dengan lisan hatinya. Karena dalam hati terdapat lisan, pendengaran dan penglihatan (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 179).

Nabi Muhammad Saw menegaskan dalam hadisnya bahwa majlis zikir menjadi sebuah penangkal akan datangnya hari kiamat. Mereka diibaratkan seperti caga’e dunyo (tiang dunia) yang meredakan murka Allah Swt ketika melihat kezaliman, perusakan bumi, dan kedurhakaan manusia di sekeliling mereka.

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: الله، الله. (فيض القدير، ج 6، ص 541)

Rasulullah Saw bersabda: “Tak akan terjadi hari kiamat, hingga tidak diucapkan lagi di muka bumi ini lafal Allah, Allah”, (Faidh al-Qadîr, juz 6, halaman: 541).

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ الله الله». رواه مسلم (تنوير القلوب، ص 511)

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak akan terjadi kiamat sampai tidak lagi di muka bumi ini orang yang mengucapkan Allah, Allah”. Hadis riwayat Muslim (Tanwîr al-Qulub, halaman: 511).

Khotam Khowajikan Tarekat Naqsyabandiyah

Kata khawajikan خَوَاجِكَان adalah bahasa Persia yang merupakan bentuk jamak dari kata khawajih خَوَاجِه yang berarti guru atau syaikh. Khatam khawajikan disebut dengan khatam karena para guru silsilah tarekat Naqsyabandiyah ketika berkumpul dengan para muridnya, mereka mengakhiri perkumpulan tersebut dengan zikir ini.

Imam Abdul Khâliq al-Ghujdawani dan para Imam silsilah sesudahnya hingga Syaikh Naqsyabandi bersepakat bahwa: jika seorang salik membaca zikir khatam ini, maka kebutuhannya akan terpenuhi, keinginannya akan tercapai, dirinya akan terjauhkan dari musibah, derajatnya akan diangkat.

Juga akan ditampakkan baginya berbagai keagungan Allah Swt setelah membaca zikir ini. Salik berdo’a kepada Allah Swt agar tujuan dan kebutuhannya dipenuhi, maka do’anya akan dikabulkan. Sebagaimana hal ini telah terbukti berkali-kali.

Khatam khawajikan adalah salah satu rukun utama setelah zikir ismudz dzât dan zikir nafi itsbat. Wirid ini adalah wirid yang agung yang khusus pada tarekat Naqsyabandiyah. Hal ini disebabkan karena ruh para syaikh silsilah tarekat Naqsyabandiyah dengan berkah wirid ini, akan menolong orang-orang yang meminta pertolongan (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 520).

Syarat-syarat Khataman Khawajikan

Syarat-syarat dalam khataman khawajikan adalah sebagai berikut:

  1. Suci dari hadats dan najis;
  2. Tempat yang sepi;
  3. Khusyu’ dan menghadirkan hati untuk menyembah Allah Swt seakan-akan anda melihat-Nya. Namun, jika anda tak bisa melihatnya, maka Allah Swt melihat anda;
  4. Orang-orang yang hadir di majlis zikir khawajikan tersebut adalah orang-orang yang telah diberi izin dari guru/mursyid;
  5. Menutup atau mengunci pintu;
  6. Memejamkan kedua mata mulai awal sampai akhir zikir;
  7. Bersungguh-sungguh dalam menolak segala hal yang dapat memalingkan hatinya untuk khusyu’ menghadap Allah Swt;
  8. Duduk kebalikan dari duduk tawarruk (duduk di antara dua sujud) (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 520-521).

Rukun Khataman Khawajikan

Adapun rukun khataman khawajikan adalah sebagai berikut:

  1. Membaca istighfâr 25 kali, atau 15 kali. Dan dianjurkan sebelum membaca istighfâr, Salik berdo’a dengan do’a berikut:

اللَّهُمَّ يَا مُفَتِحَّ اْلأَبْوَابِ وَيَا مُسَبِّبَ اْلأَسْبَابِ وَيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ وَاْلأَبْصَارِ وَيَا دَلِيْلَ الْمُتَحَيِّرِيْنَ وَيَا غِيَاثَ الْمُسْتَغِيْثِيْنَ أَغِثْنِيْ، تَوَكَّلْتُ عَلَيْكَ يَا رَبِّيْ وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ يَا فَتَّاحُ يَا وّهَّابُ يَا بَاسِطُ وَصَلّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

  1. Rabitah mursyid (caranya sama dengan zikir ismudz dzaat)
  2. Membaca al-Fatihah 7 kali
  3. Membaca shalawat 100 kali
  4. Membaca Surat Alam NasyRAh 79 kali
  5. Membaca Surat al-Ikhlâs 1001 kali
  6. Membaca al-Fatihah 7 kali
  7. Membaca shalawat 100 kali
  8. Membaca do’a khataman
  9. Membaca beberapa ayat Al-Qur’an (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 521-522).

Do’a setelah khataman khawajikan adalah sebagai berikut: (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 522-523).

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بِنُوْرِ جَمَالِهِ أَضَاءَ قُلُوْبَ الْعَارِفِيْنَ وَبِهَيْبَةِ جَلاَلِهِ أَحْرَقَ فُؤَادَ الْعَاشِقِيْنَ وَبِلَطَائِفِ عِنَايَتِهِ عَمَّرَ سِرَّ الْوَاصِلِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ اللَّهُمَّ بَلِّغْ وَأَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ وَنَوِّرْ مَا تَلَوْنَاهُ بَعْدَ الْقَبُوْلِ مِنَّا بِالْفَضْلِ وَاْلإِحْسَانِ إِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا وَطَبِيْبِ قُلُوْبِنَا وَقُرَّةِ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

وَإِلَى أَرْوَاحِ جَمِيْعِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ صَلَوَاتَ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ، وَإِلَى جَمِيْعِ أَرْوَاحِ مَشَايِخِ سَلاَسِلِ الطُّرُقِ الْعَلِيَّةِ، خُصُوْصًا النَّقْشَبَنْدِيَّةِ وَالْقَادِرِيَّةِ وَالْكُبْرَوِيَّةِ وَالسَّهْرُوَرْدِيَّةِ وَالْجِشْتِيَّةِ قَدَّسَ اللهُ أَسْرَارَهُمْ الْعَلِيَّةَ خُصُوْصًا إِلَى رُوْحِ الْقَطْبِ الْكَبِيْرِ وَالْعِلْمِ الشَّهِيْرِ ذِي الْفَيْضِ النُّوْرَانِيِّ وَاضِعِ هَذَا الْخَتْمِ مَوْلاَنَا عَبْدِ الْخَالِقِ الْغُجْدَوَانِى،  وَإِلَى رُوْحِ إِمَامِ الطَّرِيْقَةِ وَغَوْثِ الْخَلِيْقَةِ ذِي الْفَيْضِ الْجَارِيِّ وَالنُوْرِ السّارِيِّ السَّيِّدِ الشَّرِيْفِ مُحَمَّدٍ الْمَعْرُوْفِ بِشَاهْ نَقْشَبَنْدِ الْحُسَيْنِى الْحَسَنِى اْلأُوَيْسِ الْبُخَارِي قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِى، وَإِلَى رُوْحِ قُطْبِ اْلأَوْلِيَاءِ

وَبُرْهَانِ اْلأَصْفِيَاءِ جَامِعِ نَوْعَيِ الْكَمَالِ الصُّوَرِيِّ وَالْمَعْنَوِيِّ الشَّيْخِ عَبْدِ اللهِ الدَّهْلَوِيِّ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ السَّارِيْ فِى اللهِ الرَّاكِعِ السَّاجِدِ ذِى الْجَنَاحَيْنِ فِي عِلْمَيِ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ ضِيَاءِ الدِّيْنِ مَوْلاَنَا الشَّيْخِ خَالِدٍ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ سِرَاجِ الْمِلَّةِ وَالدِّيْنِ الشَّيْخِ عُثْمَانَ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ الْقُطْبِ اْلأَرْشَدِ وَالْغَوْثِ اْلأَمْجَدِ شَيْخِنَا

وَأُسْتَاذِنَا الشَّيْخِ عُمَرَ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَالِي، وَإِلَى رُوْحِ دُرَّةِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ شَيْخِنَا وَمُرْشِدِنَا الشَّيْخِ مُحَمَّدٍ أَمِيْن قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ، وَإِلَى إِمَامِ الطَّائِفَتَيْنِ شَيْخِنَا وَمُرْشِدِنَا الشَّيْخِ سَلاَمَةِ الْعَزَامِى قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمَحْسُوْبِيْنَ عَلَيْهِمْ، وَمِنَ الْمَنْسُوْبِيْنَ إِلَيْهِمْ، وَوَفِّقْنَا لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اللَّهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ الْخَوَاطِرِ النَّفْسِيَّةِ، وَاحْفَظْنَا مِنَ الشَّهَوَاتِ

الشَّيْطَانِيَّةِ، وَطَهِّرْنَا مِنَ الْقَاذُوْرَاتِ الْبَشَرِيَّةِ، وَصَفِّنَا بِصَفَاءِ الْمَحَبَّةِ الصِّدِّيْقِيَّةِ، وَأَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا إِتْبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تُحْيِيَ قُلُوْبَنَا وَأَرْوَاحَنَا وَأَجْسَامَنَا بِنُوْرِ مَعْرِفَتِكَ وَوَصْلِكَ وَتَجَلِّيَاتِكَ دَائِمًا بَاقِيًا هَادِيًا يَا اللهُ، (تنوير القلوب، ص 522-523). (SI)

Sumber: Alif.ID

137. Dalil Ruangan Tertutup Saat “Tawajjuh” Naqsyabandiyah

Tawajjuh atau tawajjuhan adalah majelis zikir yang ada dalam tarekat. Dalam prakteknya, tawajjuhan dilaksanakan dalam ruangan yang tertutup. Hal ini bukan tanpa landasan atau dasar, akan tetapi hal ini sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Imam Hakim, dan juga Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.

Berikut ini hadisnya:

إِغْلاَقُ الْبَابِ وَيَعْضَدُهُ حَدِيْثُ الْحَاكِمِ عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَادٍ قَالَ: بَيْنَمَا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟ قُلْنَا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ وَقَالَ: اِرْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ، الْحَدِيْثَ وَأَصْرَحَ مِنْهُ حَدِيْثُ الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ فِى دُخُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَعْبَةَ حَيْثُ أَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ حِيْنَ دُخُوْلِهَا عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ مَعَهُ دُوْنَ مَنْ عَدَاهُمْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُوْجُوْدِيْنَ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَلَفْظُ الْبُخَارِي فِى صَحِيْحِهِ، (تنوير القلوب، ص 521).

Termasuk tata krama berzikir adalah menutup pintu, hal ini dikuatkan dengan Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Hakim dari Ya’la bin Syadad, suatu ketika aku bersama Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah bertanya: “Apakah di antara kalian ada orang asing?” Aku menjawab: “Tidak wahai Rasulullah”. Maka Nabi memerintahkan untuk menutup pintu dan Beliau bersabda: “Angkatlah tanganmu (berdo’a)”.

Hadis Imam Bukhari dan Muslim lebih memperjelas tentang masuknya Nabi ke dalam Ka’bah sekiranya Nabi memerintahkan menutup pintu ketika masuk Ka’bah, dan orang-orang bersama Nabi bukan orang muslim lain yang ada di Masjidil Haram (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 521).

Dasar Tawajjuhan Tiga Kali dalam Sehari Semalam

Permulaan tawajjuhan dilaksanakan 3 kali dalam sehari semalam itu karena melihat tawajjuhan yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Saw itu sebanyak 3 kali dengan tujuan untuk:

  1. Menghilangkan sifat madzmûmah muhlikah (sifat yang jelek dan merusak)
  2. Menghiasi hati dengan sifat yang terpuji
  3. Memasukkan nûr wahyu dan risalah

Semua itu dilakukan di gua Hira’. Tawajjuh itu mulaqqan mu’an’an (ditalqinkan) dari Nabi Saw kepada Abu Bakar al-Shiddiq Ra, dan dari Abu Bakar al-Shiddiq Ra kepada guru-guru Naqsyabandi itu merupakan turunnya nûr yang menyebar.

Adapun hati para guru itu merupakan sumber hikmah dan ma’rifat. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh untuk menangkap nûr itu, maka dia yang akan berhasil. Adapun orang-orang yang tidak bersungguh-sungguh, maka dia tidak menghasilkan apapun kecuali bingung.

Tawajjuhan 3 kali itu dilakukan setelah shalat Isya’, waktu sahur, dan setelah shalat Dzuhur, (Keterangan ini dapat dilihat dalam kitab Nahjah as-Salikin, atau dalam kitab Majmû’ al-Risâlah, halaman: 26).

Tata Cara Tawajjuhan

  1. Membaca ayat al-Qur’an sekedarnya baik imam sendiri, atau salah seorang yang ikut tawajuhan;
  2. Membaca istighfar sebanyak 5, 15, atau 25;
  3. Membaca Surat al-Fatihah satu kali, Surat al-Ikhlas tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan kepada para guru tarekat yang ada salam silsilah;
  4. Zikir ismu dzât;

Bagi imam, bila bilangan zikirnya sudah sampai 300 atau 1.000, imam lalu berniat untuk menawajjuhi para murid. Di awal niat tersebut, membaca:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ فِى الْجَسَدِ ابْنِ آدَمَ لَمُضْغَةً اِذَا صَلُحَتْ الْمُضْغَةُ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَدَتْ الْمُضْغَةُ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ اَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ صَدَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jika murid berhenti putaran tasbih dan mendengarkan bacaan imam, jika sudah selesai maka berputar kembali tasbih tersebut, jika imam terus mentawajuhi para murid sesuai dengan kemampuannya dengan mujabahah (adu bathu’) dan jika murid ditawajuhi  dengan guru membaca di dalam hatinya:

اَفَاضَنِيْ اللهُ مِنْ نُوْرِ شَيْخِي إِلَى رُوْحِى عَلَى الدَّوَامِ

Semoga Allah Swt mencurahkan kepadaku dari cahaya guruku sampai kepada ruhku selamanya.

Amalan setelah Tawajjuhan

  1. Hadiah al-Fatihah kepada para guru
  2. Imam memimpin membaca shalawat, lalu makmum juga membaca shalawat berikut ini sebanyak 3 kali:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِالنَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ

  1. Imam membaca Surat al-Insyirah, lalu makmum juga membacanya sebanyak 3 kali

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ . وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ . الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ . وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ . فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ . وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

  1. Imam membaca Surat al-Ikhlâs, lalu makmum mengikutinya sebanyak 3 kali.
  1. Imam membaca اللهم يَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  2. Imam membaca اللهم يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ sebanyak 40 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  3. Imam membaca اللهم يَا رَافِعَ الدَّرَجَاتِ sebanyak 41 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  1. Imam membaca اللهم يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ sebanyak 40 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  2. Imam membaca اللهم يَا مُحِلَّ الْمُشْكِلَاتِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  3. Imam membaca اللهم يَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  1. Imam membaca اللهم يَا شَافِيَ الْاَمْرَاضِ sebanyak 10 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  2. Imam membaca اللهم يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ sebanyak 41 kali, dan makmum juga mengikutinya.
  3. Imam membaca shalawat di bawah ini sebanyak 3 kali, dan diikuti oleh makmum.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ نِالنَّبِىِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ ×3

  1. Menghadiahkan fatihah kepada Imam Khawajikan, Syaikh Abdul Qodir al-Jailani, dan Syekh Baha’uddin sebanyak 1 kali.
  2. Imam membaca يَا سَمِيْعُ يَا بَصِيْرُ sebanyak 100 kali.
  3. Imam membaca يَا مُبْدِئُ يَا خَالِقُ sebanyak 100 kali.
  1. Imam membaca يَا حَفِيْظُ يَا نَصِيْرُ يَا وَكِيْلُ يَا اللهُ sebanyak 10 kali.
  2. Imam membaca shalawat berikut ini sebanyak 3 kali, dan diikuti makmum:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ نِالنَّبِىِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ ×3

  1. Membaca al-Fatihah
  2. Membaca حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
  3. Membaca tawajjuh sebentar.
  1. Membaca يَا اَللهُ يَا قَدِيْمُ
  2. Membaca يَا لَطِيْفُ
  3. Membaca do’a

Sumber: Alif.ID

138. Wuquf Zamani, Wuquf ‘Adadi, dan Wuquf Qalbi

Wuquf Zamani berarti seorang salik setelah dua atau tiga jam melihat bagaimana keadaan dirinya. Jika keadaannya hudhur (hadir) bersama Allah Swt, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya atas pertolongan yang telah diberikan oleh-Nya. Ketika merasa dirinya masih sembrono dalam ke-hudhur-annya ketika itu, ia memulai lagi untuk bisa hudhur dengan lebih sempurna.

Jika dalam dua atau tiga jam itu dia dalam keadaan lupa, maka hendaknya dia memohon ampunan atas kealpaan itu, dan bertaubat kepada-Nya serta kembali untuk bisa hudhur dengan sempurna.

Adapun Wuquf ‘Adadi adalah menjaga bilangan ganjil dalam zikir nafi itsbat, bilangan tiga atau lima, dan seterusnya sampai dua puluh lima kali.

Sedangkan Wuquf Qalbi sebagaimana yang diutarakan oleh al-Syaikh Ubaidillah Ahrar (semoga Allah SWT menyucikan jiwanya) adalah sebuah ungkapan tentang hadirnya hati bersama Allah Swt, yang dalam hatinya tidak ada tujuan lain kecuali Allah SWT dan tidak lengah dari makna zikir, karena hal tersebut termasuk syarat-syarat zikir.

Al-Syaikh Ubaidillah Ahrar juga menyatakan bahwa pengertian wuquf qalbi yaitu orang yang berzikir itu wuquf pada hatinya saat berzikir, memperhatikan hatinya dan menjadikannya sibuk dengan lafadz zikir dan maknanya, dan tidak meninggalkan hatinya dalam keadaan lupa dari zikir tersebut, serta lalai dari maknanya.

Pengarang kitab al-Rasyahât berkata: “Syaikh al-Khawajih Baha’uddin semoga Allah SWT membersihkan jiwanya tidak mewajibkan menahan nafas dan menjaga hitungan dalam zikir.

Adapun wuquf qolbi itu beliau jadikan sebagai hal yang penting dengan kedua maknanya yaitu menjaga hati sibuk zikir dan tidak lupa dari maknanya, serta beliau menjadikan zikir qalbi ini sebagai sebuah keharusan. Sesungguhnya inti  dan tujuan zikir adalah wuquf qalbi itu sendiri (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 507).

Wuquf Qalbi dengan Menjaga Nafas

Gemuruhnya hati yaitu menjaga keluar masuknya nafas dari lupa (untuk berzikir kepada Allah SWT) dengan tujuan agar hati salikselalu hadir bersama Allah SWT di setiap nafasnya. Karena ketika tiap nafas yang keluar dan masuk selalu hadir bersama Allah SWT, maka hati itu hidup serta bersambung dengan Allah SWT Dan ketika tiap nafas yang keluar dan masuk itu lupa (dari zikir kepada Allah SWT), maka hati itu mati serta putus dari Allah Swt (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 506).

Atsar Zikir dan Nikmat Zikir

Hasil dari wuquf qalbi adalah lupa dari wujud manusiawi dan semua bisikan alam, tenggelam dalam tarikan dzat Ilahi. Jika sudah demikian, maka tampaklah bekas perubahan dari tarikan ilahi itu, yaitu menghadapnya hati pada dzat Yang Maha Benar lagi Maha Suci dengan rasa cinta kepada-Nya.

Bekas (hasil) zikir itu berbeda-beda bergantung pemberian Allah Swt, yaitu sebuah pemberian Allah SWT pada ruh-ruh hamba-Nya, sebelum ruh-ruh itu dihubungkan dengan jasadnya, kemudian  Allah SWT  memuliakannya dengan qurb (kedekatan) yang bersifat dzat yang azali.

Di antara mereka (para salik), pertama kali yang mereka capai adalah ketiadaan selain Allah Swt, yaitu lupa dari selain Allah Swt Sebagian yang lain, yang pertama mereka capai adalah mabuk, bingung, dan ketiadaan selain Allah Swt secara bersamaan, yang selanjutnya akan tercapai hilangnya wujud sifat kemanusiaan (fana’).

Mereka lalu mendapatkan kemuliaan fana’, yaitu leburnya diri dalam tarikan-tarikan ilahi. Jika seorang salik belum tampak baginya hasil-hasil tersebut, maka dia masih belum memenuhi syarat-syarat zikir (dengan benar) (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 515).

Nikmat Zikir Awal Mula Dibukanya Hijab

Syaikh Abu Sa’iid al-Kharaz menyatakan bahwa ketika Allah SWT  menginginkan seorang hamba untuk dijadikan kekasih-Nya, maka akan dibuka baginya pintu zikir. Ketika dia telah merasakan nikmat zikir, maka akan dibuka baginya kedekatan dengan Allah Swt.

Selanjutnya, dia akan diberi ketentraman, dan dijadikan baginya ketauhidan yang kuat, dihilangkan pula darinya tabir-tabir Allah Swt, dia dimasukkan dalam wilayah kesendirian (bersama Allah SWT), dibuka baginya hijab keagungan Allah Swt.

Dan, ketika mata batinnya telah sampai pada keagungan tersebut, maka dia menyatu dengan Allah SWT Ketika inilah, dia menjadi lumpuh dan hancur, dia berada dalam penjagaannya, dan terbebas dari segala bisikan nafsunya (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 510).

Bilangan Zikir

Dalam tarekat, jumlah bilangan zikir minimal bagi seorang salik dalam sehari semalam adalah 25.000. tidak ada batas maksimal untuk jumlah bilangan zikir tersebut. Jumlah zikir tersebut sangat dianjurkan untuk diselesaikan dalam sekali duduk.

Namun, jika tidak mampu, maka boleh diselesaikan dalam tiga kali duduk, atau jika tidak dimungkinkan, maka dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang memungkinkan bagi diri salik (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 25). (SI)

Sumber: Alif.ID

139. Kaifiyah (Tata Cara) Suluk dan Uzlah Naqsyabandiyah

Suluk Naqsyabandiyah
Ritual Suluk di Daya Seuramoe Daraussalam, Braden, Peukanbada, Aceh Besar, Aceh (Foto: Antara/Ampelsa))

Syarat Suluk

  1. Memperoleh izin dari guru mursyid atau dari orang yang sudah diberi ijazah untuk memberikan izin manjing suluk.
  2. Khalwah: mencari tempat sepi yang sekiranya bisa jauh dari anak istri serta sudara dan teman.
  3. Niat manjing suluk

 Lafadz Niat Suluk

نَوَيْتُ أَنْ أَدْخُلَ فِى السُّلُوْكِ (عَشَرَ، عِشْرِيْنَ، أَرْبَعِيْنَ) يَوْمًا لاِقْتِدَاءِ السَّلَفِ الصَّالِحِيْنَ وَلِاتِّبَاعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلهِ تَعَالَى

Saya berniat manjing suluk (10, 20, 40) hari karena mengikuti `ulamâ’ salaf yang sholeh dan mengikuti nabi Muhammad Saw semata karena Allah ta’ala.

 Rukun Suluk

  1. Meninggalkan ucapan yang tidak ada manfaatnya
  2. Tidak banyak makan sehingga menyebabkan tidak mampu untuk berzikir atau beribadah yang lain.
  3. Tidak banyak tidur
  4. Malanggengkan zikir di hati, siang dan malam dengan zikir yang jumlahnya melebihi apa yang telah diperintahkan guru dengan tidak mengubah adab dan syarat zikir.

Khusus bagi murid yang mubtadi’ (orang yang baru belajar) di waktu manjing suluk sehari semalam jumlah zikirnya tidak boleh kurang dari 25.000 zikir ismu dzât.

Bagi yang mampu, sehari semalam jumlah zikirnya jangan sampai kuRang dari 70.000 zikir ismu dzât.

 Bagi murid ahli lathaif, maka zikir lathaif sekali pada pagi hari dan sekali pada sore hari kemudian menjalankan zikir hati di antara dua waktu dengan jumlah bilangan 70.000 atau lebih.

Bagi murid ahli nafi isbat dan wuquf dan murâqqabah, maka zikir lathaif dilakukan sekali pada pagi hari dan sekali pada sore hari, nafi isbat sebanyak 3.000.

  1. Tawajuhan tiga kali dalam sehari semalam, yakni:
  2. setelah Isya’, dengan diawali khataman khawajikan, selain malam Selasa dan malam Jum’at,
  3. waktu sahur, dengan diawali khataman khawajikan, selain malam Selasa dan malam Jum’at,
  4. setelah Dzuhur, tanpa khataman khawajikan, khawajikan dilakukan setelah shalat Ashar, tawajuhan dilakukan khusus bagi murid yang suluk.

CatatanBagi murid yang tidak suluk tidak boleh tawajuhan kecuali hari Selasa dan hari Jum’at.

Adab Suluk

  1. Memperoleh izin dari guru mursyid untuk manjing suluk
  2. Mandi taubat dengan niat taubat dari seluruh dosa kemudian wudhu’ dengan sempurna
  3. Shalat hajat dua rakaat dengan niat manjing suluk
  1. Memasuki tempat khalwat dengan membaca ta’awudz dan basmalah
  2. Dengan sungguh-sungguh berniat untuk memenjarakan nafsu (رياضة النفس)
  3. Melanggengkan wudhu’ (jika batal, wudhu’)
  1. Tidak berbicara, kecuali zikir kepada Allah Swt
  2. Melanggengkan Rabitah kepada guru mursyid
  3. Menjalankan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu, sunnah rawatib (qobliyah ba’diyah) dan shalat sunnah yang lain terlebih yang muakkad dengan bersungguh-sungguh.
  1. Melanggengkan semua jenis zikir (sirri, jahr, nafi isbat, dzikit ismu dzat)
  2. Membiasakan tidak tidur kecuali meRasakan kantuk yang sangat, dengan niat agar tubuh semangat untuk berzikir.
  3. Tidak bersandar pada tembok, dinding, dan tidak tidur terlentang di atas alas
  1. Ketika keluar harus menundukkan kepala serta tidak memandang kecuali memang perlu.
  2. Ketika berbuka tidak memakan daging hewan, atau segala sesuatu yang bernyawa.

Lama waktu suluk bagi seorang salik terkadang berbeda-beda, bergantung dari tingkatannya. Jika dalam 40 hari seorang salik melaksanakan suluk dengan berkhalwat (menyepi) dan penuh ikhlas, maka akan muncul berbagai hikmah pada diri seorang salik, baik dari hati atau lisannya.

Hendaknya, awal manjing suluk itu dilakukan pada pertengahan bulan Sya’ban dan selesai suluk pada akhir hari Raya `Idul fitri, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 207).

Uzlah

‘Uzlah adalah menjauhkan diri dari pergaulan manusia dengan tujuan tidak menyakiti mereka.

Bagi salik seharusnya melakukan ‘uzlah pada permulaan karena ‘uzlah merupakan pertanda wushûl kepada Allah SWT Kemudian diakhiri dengan khalwat untuk menyatakan damainya bersama Allah Swt, (Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’, halaman: 217).

وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاء رَبِّي شَقِيًّا (المريم: ٤٨)

Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah Swt, dan aku akan berdo`a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo`a kepada Tuhanku, (Qs. al-Maryam: 48).

وَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النَّاسِ مَنْ يُجَاهِدُ فِى سَبِيْلِ  اللهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، ثُمَّ رَجُلٌ يَعْبُدُ اللهَ فِى شُعْبٍ مِنَ الشُّعَابِ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ (جامع الأصول فى الأولياء، ص 217)

Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang yang berjihad di jalan Allah Swt dengan jiwa Raga dan hartanya, dan orang yang menyembah kepada Allah SWT di puncak gunung serta meninggalkan manusia karena takut berbuat jelek kepada mereka, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 217).

Pembagian `Uzlah

‘Uzlah dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

  1. `Uzlah awwam: memisahkan diri secara jasmani untuk menyelamatkan manusia dari perbuatan buruknya, bukan mencari keselamatan diri dari perbuatan buruk manusia.

Menyelamatkan manusia dari perbuatan buruknya” adalah ciri muttaqin karena ‘uzlah sebagai akibat dari menganggap dirinya lebih hina dari orang lain (tawadhu’). Sedangkan yang dimaksud dengan ungkapan “bukan mencari keselamatan diri dari perbuatan buruk manusia” adalah sifat syaithoniyah karena menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain (sombong).

  1. Uzlah khawwas: memisahkan diri dari sifat basyariyah (manusia) menuju sifat malakiyah (malaikat) meskipun dia bergumul dengan manusia. Oleh karena itu, ulama’ taSawuf berpendapat bahwa orang yang makrifat itu secara dzahir bersama manusia, akan tetapi secara batin berpisah dari mereka, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: Lihat juga kitab al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 101-102). (SI)

Sumber: Alif.ID

140. Khalwat Tarekat Naqsyabandiyah

Asal mula disyaratkan khalwat selain mengikuti jejak Nabi Musa As yang bermunajat di bukit Tursina hingga 40 malam, juga mengikuti jejak Rasulullah Saw pada waktu menyendiri di gua Hira’ hingga berjalan sampai beberapa malam.

وَرُوِيَ مُكْثُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى جَبَلِ حِرَاءٍ أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا قَبْلَ الْوَحْيِ

Diriwayatkan bahwa khalwatnya Rasulullah SAW. di gua Hira’ selama 40 hari sebelum menerima wahyu.

قَالَ سَيِّدُنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اِسْتَأْذَنْتُ مِنَ الْبَوَّابِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَأَذِنَ لِيْ وَدَخَلْتُ فِيْهَا وَأَنَّهُ لَعَلَى حَصِيْرٍ فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِى جَنْبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوِسَادَةً مِنْ اَدَمٍ حَشْوُهَا مِنْ لِيْفٍ وَعِنْدَ رَأْسِهِ أُهُبٌ مُعَلَّقَةٌ. فَبَكَيْتُ فَقَالَ  مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ: إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ قُلْتُ رَضِيْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَذَلِكَ تَعْلِيْمٌ لِأُمَّتِهِ

Adapun dalil asal khalwatnya Nabi SAW. setelah ditetapkan menjadi Rasul, Nabi SAW. menyendiri di tempat khususiyahnya berada di kamar menyendiri di suatu tempat yang tinggi. Nabi SAW. menyendiri dengan menggunakan sumpah ila’ selama satu bulan penuh Nabi SAW. tidak tidur bersama istri-istrinya.

Perkataan Umar bin al-Khattab RA. selama Nabi SAW. menyendiri: “Suatu ketika saya meminta izin kepada penjaga pintu sampai tiga kali dan saya diizinkan untuk menghadap Nabi SAW. Dan ketika saya masuk, saya melihat Nabi Saw hanya beralaskan tikar, dan bantal dari kulit berisikan bulu, di atas kepala beliau terdapat kulit yang digantung.

Kemudian aku menangis. Lalu Rasulullah SAW. bersabda: “Kenapa kamu menangis?” Umar menjawab: “Wahai Rasulullah SAW. Raja Kisra dan kaisar itu sesuai dengan derajatnya”.

Padahal Nabi Muhammad SAW.. adalah Rasulullah Saw yang sangat mulia, namun tidur hanya menggunakan alas tikar. Lalu Nabi SAW. berkata: “Apakah kamu tidak terima apabila Raja Kisra dan kaisar dan lain-lainnya itu mendapatkan kemuliaan di dunia saja akan tetapi orang-orang mukmin itu mendapat bagian di akhirat bahkan akhirat itu lebih bagus daripada dunia?

Umar bin al-Khattab berkata: “Ya, saya menerima”. Adapun keadaan Nabi Saw yang demikian adalah bentuk pelajaran bagi umatnya.

Allah SWT berfirman:

فَأْوُوْا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ ويُهَيِّئْ لَكُم مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقاً (الكهف: ١٦)

Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yanga berguna bagimu dalam urusan kamu, (al-Kahfi: 16).

Nabi Saw bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  الْحِكْمَةُ عَشْرَةُ أَجْزَاءٍ تِسْعَةٌ فِى الْعُزْلَةِ وَوَاحِدَةٌ فِى الصُّمْتِ

Hikmah itu ada sepuluh bagian, yang 9 berada ketika uzlah dan yang 1 berada ketika diam.

Syarat-syarat khalwat

Agar musyahadah bisa tercapai, seorang salik harus melaksanakan khalwatKhalwat adalah menyepi secara dhohiriyah dengan cara menyepi di tempat khusus yang sekiranya orang yang tidak sedang melaksanakan suluk tidak bisa masuk ke tempat tersebut. Nabi SAW. pun melakukan khalwat di Gua Hira’ sampai akhirnya turun perintah untuk berdakwah.

Masa minimal khalwat adalah 3 hari 3 malam, kemudian 7 hari 7 malam, dan selama satu bulan, dan yang paling sempurna adalah 40 hari. Hal ini sesuai dengan Hadis: “Barangsiapa yang (berkhalwat) secara ikhlas selama 40 hari, maka akan memancar sumber-sumber hikmah dari hatinya atas lisannya”, (HR. Ahmad dalam kitab az-Zuhdi, dan Ibn ‘Addî).

Ada 20 syarat dalam khalwat:

  1. Niat yang ikhlâs dengan membuang semua unsur riya’ dan pamer, baik dhahir maupun batin.
  2. Meminta izin kepada mursyid, dan memohon do’anya, dan hendaknya dia tidak berkhalwat tanpa seizin mursyidnya selama dia masih dalam lingkungan tarbiyah/pendidikan.
  3. Ber’uzlah terlebih dahulu, membiasakan diri terjaga pada malam hari, membiasakan lapar dan zikir, sehingga nafsunya jinak dengan semua itu sebelum berkhalwat.
  4. Masuk pada tempat khalwat dengan kaki kanannya seraya memohon perlindungan kepada Allah SWT dari setan dengan membaca basmalah, dan juga membaca Surat an-Nâs tiga kali. Kemudian dia melangkahkan kaki kirinya seRaya membaca do’a:

اللَّهُمَّ وَلِيِّيْ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ كُنْ لِيْ كَمَا كُنْتَ لِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَارْزُقْنِيْ مَحَبَّتَكَ اللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ حُبَّكَ وَاشْغِلْنِيْ بِجَمَالِكَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُخْلِصِيْنَ . اللَّهُمَّ امْحُ نَفْسِيْ بِجَذْبَاتِ ذَاتِكَ يَا مَنْ لاَ أَنِيْسَ لَهُ . رَبِّ لاَ تَذَرْنِيْ فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ

Kemudian dia berdiri di tempat shalatnya, lalu berdo’a sebagai berikut sebanyak 21 kali:

إِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Kemudian dia shalat dua rakaat pada rakaat pertama dia membaca Surat al-Fatihah dan ayat al-Kursi, dan pada rakaat kedua dia membaca Surat al-Fatihah dan ayat:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ . لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (البقرة: 285-286)

Dan setelah salam membaca Yaa Fattâh (يَا فَتَّاحُ) sebanyak 500 kali, kemudian memulai zikirnya.

  1. Melanggengkan wudhu’
  2. Tidak menggantungkan niatnya untuk mendapatkan kaRamah (kemuliaan)
  3. Tidak menyandarkan punggung ke dinding
  4. Membayangkan wajah mursyid di hadapannya
  5. Berpuasa
  6. Tidak berbicara kecuali untuk berzikir kepada Allah Swt, atau perkataan yang mendesak menurut syari’at, agar khalwatnya tidak sia-sia dan cahaya hatinya tidak sirna
  7. Selalu waspada terhadap empat musuhnya, yaitu setan, dunia, hawa dan nafsu, dengan menyampaikan segala sesuatu yang pernah dilihat dan diketahui kepada mursyidnya
  8. Jauh dari keramaian
  9. Menjaga shalat Jum’at dan sholat jama’ah, karena inti dari khalwat adalah mengikuti sunnah Nabi Saw
  10. Jika dia keluar karena hal yang mendesak, maka harus menutup kepala sampai lehernya sambil menunduk
  11. Tidak tidur kecuali tertidur serta dalam keadaan suci, dan tidak tidur untuk melepas lelah, dan jika mampu hendaknya dia tidak tidur terlentang, tapi dengan duduk.
  12. Menjaga perutnya dengan tidak terlalu lapar dan tidak terlalu kenyang
  13. Tidak membuka pintu tempat khalwat bagi siapapun, kecuali bagi mursyidnya
  14. Meyakini bahwa segala kenikmatan yang didapat adalah semata-mata karena mursyidnya, dan beliau dari Rasulullah Saw
  15. Menghilangkan segala keinginan hati yang baik ataupun buruk, karena keinginan itu akan memisahkan hatinya dari segala yang diperoleh dengan zikir.
  16. Selalu berzikir sesuai dengan cara yang diperintahkan oleh mursyid, sampai sang mursyid menyuruhnya untuk keluar dari tempat khalwat, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 493-495).

Dalil Menghadap Qiblat ketika Berkhalwat

قَالَ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الْمَجَالِسِ مَا اِسْتَقْبَلَ بِهِ الْقِبْلَةَ (المتممات، ص 108)

Nabi bersabda: “Sebaik-baiknya majelis adalah majelis yang menghadap kiblat”, (Mutammimât, halaman: 108).

Sumber: Alif.ID

141. Dalil Menyedikitkan Bicara, Makan, dan Tidur

Tarekat apa pun, termasuk Naqsyabandiyah, mensyaratkan untuk menyedikitkan bicara, makan, dan tidur. Berikut ini dalil menyedikitkan bicara.

  • Al-Qur’an

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ (القصص: ٥٥)

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, (al-Qashash: 55).

  • Hadis Qudsi

يَا ابْنَ آدَمَ إِذَا وَجَدْتَ قَسَاوَةً فِى قَلْبِكَ وَسَقَمًا فِى بَدَنِكَ وَحِرْمَانًا فِى رِزْقِكَ فَاعْلَمْ أَنَّكَ تَكَلَّمْتَ فِيْمَا لَا يَعْنِيْكَ يَا ابْنَ آدَمَ لَا يَسْتَقِيْمُ لَكَ دِيْنُكَ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ لِسَانُكَ وَلَا يَسْتَقِيْمُ لِسَانُكَ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُكَ وَلَا يَسْتَقِيْمُ قَلْبُكَ حَتَّى يَسْتَحْيِى مِنِّى

Wahai anak Adam ketika hatimu keras, badanmu sakit, rizkimu terhalang, maka ketahuilah bahwa kamu berbicara yang tidak ada manfaatnya. Wahai anak Adam, tidak akan lurus agamamu hingga benar (jujur) ucapanmu dan hatimu pun lurus. Dan tidak akan lurus hatimu, hingga kamu malu kepada-Ku.

Dalil Menyedikitkan Makan

  • Al-Qur’an

وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ (الأعراف: ٣١)

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, (Qs. al-A’raf: 31)

  • Hadis Nabi

جَاهِدُوْا اَنْفُسَكُمْ بِالْجُوْعِ وَالْعَطْشِ فَإِنَّ الْأَجْرَ فِى ذَلِكَ كَأَجْرِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ. وَإِنَّ لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنَ الْجُوْعِ وَالْعَطْشِ

Perangilah hawa nafsumu dengan lapar dan dahaga, karena sungguh pahalanya seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah SWT Dan sesungguhnya tiada amal yang lebih dicintai Allah SWT kecuali lapar dan dahaga.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا شَبِعَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَهْلُهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ تِبَاعًا مِنْ خُبْزِ الْحِنْطَةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW dan keluarganya tidak pernah kenyang dari roti gandum selama tiga hari berturut-turut sampai beliau wafat.

Dalil Menyedikitkan Tidur

  • Al-Qur’an

وَالَّذِيْنَ يَبِيْتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (الفرقان: 64)

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka, (Qs. al-Furqân: 64)

وَمِنَ اللَّيلِ فَاسْجُدْلَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيْلًا (الإنسان: 26)

Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari, (Qs. al-Insân: 26)

  • Hadis Qudsi

عَبْدِيْ تَجِدُنِى فِى سَوَادِ اللَّيْلِ قَرِيْبًا مِنْكَ فَاطْلُبْنِىْ تَجِدُنِىْ. يَا ابْنَ آدَمَ كَيْفَ تَطْمَعُ فِى اِنْجِلَاءِ الْقَلْبِ مَعَ كَثْرَةِ النَّوْمِ فَأَخِّرْ نَوْمَكَ إِلَى الْقَبْرِ وَاطْلُبْ نُوْرَ قَلْبِكَ فِى قِلَّةِ النَّوْمِ وَسَهَرِ اللَّيْلِ.

Wahai hamba-Ku, carilah Aku dalam kegelapan malam, maka engkau menemukan-Ku dekat denganmu. Carilah Aku, maka akan kau dapati Aku. Wahai anak Adam, bagaimana engkau bisa mengharapkan hati yang terang dengan banyaknya tidur. Akhirkanlah tidurmu sampai datang ajalmu. Carilah cahaya hatimu dalam sedikit tidur dan terjaga pada malam hari.

  • Hadis Nabi

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنَ الرَّبِّ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ

Waktu yang lebih dekat antara seorang hamba dengan tuhannya adalah pada saat tengah malam.

Melanggengkan Wudu (Dawaam al-Wudhu’)

Di antara adab shufiyah adalah melanggengkan wudhu’. Adapun wudhu’ merupakan pedang orang mukmin, dan ketika seseorang mempunyai wudlu’ bisa mempersempit jalan syetan untuk menggodanya, (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 324).

Anas bin Malik RA berkata: “Nabi SAW datang ke Madinah dan ketika itu aku sedang berusia 8 tahun. Nabi SAW lalu bersabda kepadaku: ’Wahai anakku, jika Engkau mampu selalu dalam keadaan suci maka lakukanlah, karena sesungguhnya orang yang mati dalam keadaan mempunyai wudu maka matinya mati syahid”, (‘Awârif al-Ma’ârif, halaman: 324).

وَقَالَ أَنَسُ بْنُ ماَلِكٍ: قَدِمَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْمَدِيْنَةَ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ ابْنُ ثَمَانِ سِنِيْنَ، فَقَالَ لِيْ: يَا بُنَىَّ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَاتَزَالَ عَلَى الطَّهَارَةِ فَافْعَلْ، فَإِنَّهُ مَنْ أَتَاهُ الْمَوْتُ وَهُوَ عَلَى الْوُضُوْءِ أُعْطِىَ الشَّهَادَةَ (عوارف المعارف، ص 324)

Meninggalkan Makanan yang Bernyawa (Tarkur Rûh)

Orang yang masuk suluk dilarang untuk memakan makanan yang berasal dari yang memiliki nyawa. Ini disebabkan karena makanan tersebut bisa membuat hati menjadi keras, membuat nafsu sabuiyah (hewan liar) semakin besar.

Sebaiknya untuk tidak selalu makan daging, Sayyidina Ali Krw. berkata: “Barangsiapa meniggalkan makan daging selama 40 hari maka jelek kejadiannya, dan barang siapa yang rutin memakan daging selama 40 hari, maka keras hatinya. Karena sesungguhnya melanggengkan makan daging menjadikan bahaya seperti bahayanya khamr, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 86).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا بَنِى تَمِيْمٍ لَا تُدِيْمُوْا أَكْلَ اللَّحْمِ فَاِنَّ لَهُ ضَرَاوَةً كَضَرَاوَةِ الْخَمْرِ (بستان العارفين هامش تنبيه الغافلين، ص 64)

Dari Aisyah RA. berkata: “Wahai bani Tamim, janganlah kalian terus menerus makan daging karena sesungguhnya daging mengandung bahaya seperti bahayanya khamr”, (Hamisy Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 64).

Macam-macam Khawathir (Getaran Hati)

Ada empat macam khatir (bisikan) yang masuk ke dalam hati, yaitu:

  1. Khatir Rabbani adalah khatir dari Allah, sifatnya kuat karena dia datang dari Allah Yang Maha Memaksa (al-Qahhar).
  2. Khatir Malaki adalah khatir yang diiringi dengan rasa nikmat disertai hembusan dingin. Orang yang dalam hatinya terdapat khatir ini tidak akan meRasakan sakit, dan tidak pula berubah. Khatir ini bagaikan penasihat baginya yang menunjukkan pada kebaikan.
  3. Khatir Nafsi adalah khatir yang diiringi dengan rasa sakit di hati, dada terasa sesak dan permintaannya bersifat memaksa. Ini disebabkan karena nafsu itu bagaikan anak kecil yang meminta dengan memaksa dan permintaannya tidak bisa diganti dengan yang lain.
  4. Khatir Syaithani, adalah khatir yang diiringi dengan rasa sakit. Jika kita memalingkannya pada yang lain, maka dia pun akan berpindah. Akan tetapi, sebagaimana watak setan, khatir ini berpaling hanya untuk melakukan tipu daya dan menjerumuskan ke jalan kesesatan dengan cara apa pun, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 550). (SI)

Sumber: Alif.ID

142. Kewajiban dan Syarat-syarat Mursyid

Ketika Anda ditanya tentang apa kewajiban mursyid atas hak-hak murid, dan tentang apa kewajiban murid atas hak mursyid, maka jawabnya adalah: ada tiga hal yang wajib bagi mursyid atas hak murid.

Tiga hal itu meliputi: memberi bimbingan suluk pada permulaannya, mengantarkan (menuju wushûl) pada akhirnya, dan melindungi dalam pemeliharaannya.

Adapun kewajiban murid atas hak mursyid ada tiga hal; mematuhi perintahnya, menjaga Rahasianya, dan menghormati kedudukannya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 163).

Sifat-sifat Guru Mursyid

Dalam kitab Mutammimat, halaman 74, Nabi SAW. mengajarkan kalimat thayyibah kepada para sahabat agar hati mereka jernih dan bersih jiwanya, dan selanjutnya bisa sampai kepada Allah SWT dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.

Akan tetapi,  orang yang berzikir itu tidak serta merta bisa menghasilkan hati yang jernih dan jiwa yang bersih, serta inti dari zikir, kecuali berguru kepada seseorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan sempurna serta memahami makna Al-Qur’an dan kitab-kitab agama.

Guru alim itu juga  memahami ilmu Hadis dan sunnah, juga mengerti tentang akidah dan ilmu wushûl. Serta silsilahnya sampai kepada Nabi SAW. Orang yang memiliki sifat seperti inilah yang harus dijadikan guru, karena mencari guru itu harus teliti dan serius.

Syarat-syarat Mursyid

Bagi seorang mursyid disyaratkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Memahami apa yang dibutuhkan oleh para salik, seperti ilmu fiqih dan akidah, yang sekiranya dapat memalingkan salik ketika mengawali suluknya sehingga salik tidak bertanya kepada selain mursyid.
  2. Mengetahui terhadap kesempurnaan-kesempurnaan hati, tata krama hati, kerusakan jiwa dan penyakit-penyakitnya, serta cara memelihara hati yang telah sehat dan stabil.
  3. Lemah lembut, penyayang terhadap muslim, khususnya pada para murid salikin. Ketika sang mursyid melihat para muridnya tidak mampu untuk melawan hawa nafsu dan meninggalkan kebiasaannya, maka hendaknya sang mursyid memberi toleransi kepada mereka setelah memberi nasihat, tidak memutus mereka dari bimbingannya, dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai penyebab celaka mereka di hari kemudian, serta selalu menemani mereka sampai mereka memperoleh hidayah.
  1. Menutupi aib-aib para murid yang diketahui oleh mursyid
  2. Menjaga diri dari harta Salik, dan tidak tamak pada apa yang dimiliki oleh mereka
  3. Melakukan apa yang diperintahkan oleh mursyid, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (uswah), sehingga ucapannya memiliki pengaruh pada hati para muridnya.
  1. Tidak duduk (bercakap-cakap) bersama-sama para muridnya, kecuali sesuai kadar kebutuhan, dan menyampaikan masalah tarekat dan syari’at seperti menelaah kitab ini (Tanwîr al-Qulûb), agar jiwa mereka bersih dari bisikan-bisikan yang kotor, dan mereka dapat beribadah dengan sempurna.
  2. Ucapannya harus murni dan bersih dari kejelekan hawa nafsu, gurauan, dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.
  3. Tolerir terhadap hak dirinya, yakni tidak mengharap untuk dihormati dan dimuliakan. Tidak pula memaksakan haknya yang tidak mampu dilaksanakan para muridnya, tidak menetapkan amal yang membuat mereka bosan, tidak terlalu menampakkan kebahagiaan dan kesedihan, dan tidak pula menyulitkan mereka.
  4. Jika sang mursyid menyaksikan dari salah seorang muridnya bahwa dengan sering duduk bersama murid, keagungan mursyid menjadi hilang dalam hati murid, maka sang mursyid memerintahkannya untuk berkhalwat menyendiri di tempat yang tidak terlalu jauh dari sang mursyid.
  1. Jika mursyid mengetahui bahwa harga dirinya dalam hati salah seorang muridnya runtuh, maka hendaknya sang mursyid memalingkan muridnya dengan lemah lembut.
  2. Tidak lengah untuk selalu membimbing muridnya menuju ahwal-nya yang baik.
  3. Jika salah seorang muridnya ada yang bermimpi sesuatu, atau mengalami mukasyafah atau musyahadah, maka hendaknya sang mursyid tidak membicarakannya dengan murid tersebut, namun memberinya amalan yang bisa melindungi dirinya dari keburukan mimpi tersebut, dan bisa mengangkat derajatnya menjadi lebih luhur dan mulia. Karena jika mursyid membicarakan dan menjelaskan hal tersebut kepada muridnya, maka sang mursyid telah melanggar hak murid, sehingga menjadikan murid melihat dirinya memiliki derajat yang luhur, dan bisa menjatuhkan deRajat diri murid sendiri.
  1. Melarang muridnya untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak termasuk kawan suluknya, kecuali sangat penting. Juga melaRang muridnya untuk tidak membicarakan dengan sesama kawan suluknya tentang kemuliaan-kemuliaan yang mereka peroleh. Karena jika mursyid membiarkan hal tersebut, maka sang mursyid telah melanggar hak murid sehingga menjadikan mereka takabbur.
  2. Membuat tempat khalwat untuk digunakan salik menyendiri di dalamnya, yang sekiranya tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya kecuali orang-orang tertentu. Sedangkan tempat khalwat lain untuk dijadikan tempat berkumpulnya murid dengan para murid suluk lainnya.
  3. Tidak memperlihatkan aktifitas-aktifitas dan rahasia-rahasia sang mursyid kepada muridnya, tidak pula tidur, makan, dan minum di depan muridnya. Karena dengan hal itu, bisa jadi kemuliaan sang mursyid menjadi berkurang di mata murid yang masih lemah dalam memahami orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan. Hendaknya, mursyid menahan muridnya yang bertindak memata-matai, dengan tujuan agar murid memperoleh kebaikan.
  4. Tidak memperkenankan murid untuk banyak makan sehingga meng-hancurkan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh sang mursyid bagi muridnya, karena kebanyakan manusia menuruti keinginan perutnya.
  5. Melarang teman-teman mursyid untuk duduk bersama dengan mursyid yang lain, karena hal ini sangat membahayakan bagi murid. Namun, jika mursyid berkeyakinan bahwa muridnya memiliki keteguhan cinta kepada dirinya dan tidak khawatir hati muridnya goncang, maka hal ini tidak apa-apa.
  6. Menjaga diri untuk tidak mondar-mandir mendatangi para pemimpin dan pejabat, agar para muridnya tidak menirunya, sehingga sang mursyid menanggung dosa dirinya dan dosa murid-muridnya, karena ini termasuk dalam Hadis:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا . رواه مسلم والترمذيBaca juga:  Sabilus Salikin (144): Fana’ dan Baqa’

“Barangsiapa melakukan tradisi yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya”.

Pada umumnya, orang yang dekat dengan para pemimpin dan pejabat, sulit baginya untuk mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat yang dilihatnya. Jika sudah demikian, dengan sering berkecimpungnya mursyid dengan mereka, seakan-akan dia menyetujui terhadap kemunkaran (yang mereka lakukan).

  1. Ucapannya kepada murid-muridnya harus lemah lembut, menjaga diri dari perkataan kotor dan perkataan yang mencela mereka, agar hati mereka tidak lari darinya.
  2. Ketika salah seorang murid memanggilnya, lalu sang mursyid menjawabnya, maka sebaiknya jawaban sang mursyid itu tetap menjaga kehormatan dan kewibawaannya.
  3. Jika sang mursyid duduk di antara murid-muridnya, maka hendaknya dia duduk dengan tenang penuh wibawa, tidak banyak menoleh pada mereka, tidak tidur di depan mereka, tidak menjulurkan kaki, menundukkan pandangan, melirihkan suara, dan tidak merendahkan etikanya pada mereka. Pada hakikatnya para murid itu meyakini terhadap semua sifat yang terpuji, dan mengambilnya (sebagai contoh).
  4. Jika seorang murid mendatanginya, maka mursyid tidak berwajah muram. Ketika hendak mengakhiri (perbincangannya dengan murid), hendaknya sang mursyid mendoakannya tanpa permintaan dari murid. Ketika mursyid mendatangi salah seorang muridnya, maka mursyid harus dalam keadaan dan kondisi yang paling sempurna.
  5. Ketika salah seorang muridnya tidak ada, maka mursyid mencarinya dan mencari tahu apa penyebabnya. Jika murid itu sakit, mursyid menjenguknya. Jika murid itu sedang membutuhkan bantuan, maka sang mursyid menolongnya. Jika murid itu memiliki masalah, maka mursyid mendoakannya.

Secara global, satu kalimat yang menyimpulkan seluruh etika mursyid di atas adalah mursyid harus mengikuti prilaku Rasulullah SAW yang ada pada diri sahabat-sahabat beliau SAW dengan sekuat tenaga, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 525).

Sumber: Alif.ID

143. Tata Krama Murid dan Cara Berteman Salik

Tata krama murid meliputi tata krama murid terhadap mursyid, terhadap dirinya sendiri, dan terhadap sesama muslim. Tata krama murid terhadap mursyid dirangkum menjadi 14 poin di bawah ini.

  1. Memuliakan gurunya lahir bathin
  2. Yakin bahwa tujuan murid tidak tercapai jika tidak melalui wasilah guru
  3. Pasrah, taat, dan rela (rida) atas perintah guru, dengan mengerahkan kemampuannya baik harta maupun raga.
  1. Tidak menentang apa yang dilakukan guru, meskipun secara dzahir tampak haram, namun hendaknya harus di-ta’wil.
  2. Memilih apa yang telah dipilihkan oleh sang guru, baik segi ibadah atau kebiasaan juz-iyyah atau kulliyah
  1. Tidak membuka aib atau cacat guru, meskipun itu sudah tampak di antara masyarakat.
  2. Tidak menikahi wanita yang sudah pernah dicintai guru, meskipun sudah tidak menjadi istrinya baik karena thalaq maupun thalaq mati.
  1. Tidak meyakini terhadap kekurangan maqâm guru
  2. Meninggalkan apa yang dibenci guru, dan melakukan hal yang disukainya
  1. Cepat melaksanakan perintah guru tanpa menunda-nunda, tidak berhenti sebelum terlaksana perintahnya.
  2. Murid tidak berkumpul dengan guru kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
  3. Tidak boleh menyembunyikan ahwal, getaran hati, masalah yang terjadi, terbukanya hati terhadap alam-alam gaib, karamah di hadapan guru.
  1. Tidak boleh mengambil perkataan guru di hadapan manusia kecuali menurut kadar pemahaman dan akal mereka.
  2. Menjaga rabitah guru dalam keadaan ada dan tiadanya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 528-531).

Tata Krama Murid terhadap Dirinya Sendiri

  1. Merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasinya dalam berbagai perbuatannya, agar hatinya bisa tersibukkan dengan lafal Allah, meskipun dalam keadaan sedang bekerja
  2. Bergaul dengan orang-orang yang shalih dan beretika baik, dan menjauhi orang-orang yang beretika buruk
  1. Meninggalkan cinta terhadap kedudukan dan kepemimpinan karena hal tersebut menjadi penghambat terhadap tarekat
  2. Tidak berlebih-lebihan dalam urusan sandang maupun pangan
  1. Tidak tamak atas rizki yang ada pada orang lain
  2. Tidak tidur dalam keadaan junub
  3. Melanggengkan wudhu’ (selalu dalam keadaan suci)
  1. Meninggalkan tidur, terutama pada waktu sahur
  2. Meninggalkan perdebatan tentang ilmu, karena itu menyebabkan bodoh, dan lupa kepada Allah SWT
  1. Bergaul dengan teman-temannya ketika sedang gundah hatinya, dan berbicara tentang etika salik
  2. Tidak tertawa berlebihan
  1. Tidak berghibah, atau membicarakan aib orang lain, dan tidak menyebarkan adu domba
  2. Tawadhu’ terhadap orang lain, dan tidak mencintai jabatan
  3. Takut pada siksaan Allah Swt, dan selalu beristighfâr, serta tidak menganggap zikir dan amal perbuatan telah baik.
  4. Ketika berziarah kubur para wali hendaknya mengucapkan salam kepada ahli kubur dan menjaga tata krama orang berzirah, seperti menemui orang yang masih hidup, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 531-534).

Tata Krama Murid terhadap Teman dan Orang-orang Muslim

  1. Mengucapkan salam ketika bertemu dengan teman, dan berbicara yang baik
  2. Tawadhu’ terhadap teman-temannya, dan menganggap dirinya lebih rendah dari mereka
  1. Saling menolong dengan teman-temannya dalam perbuatan baik, ketaqwaan, dan cinta kepada Allah SWT
  2. Husnudzân terhadap teman-temannya
  1. Menerima keluhan temannya
  2. Mendamaikan teman-temannya ketika sedang bertikai atau berbeda pendapat
  1. Menjenguk temannya ketika sakit, dan melayat ketika ada keluarga temannya yang meninggal dunia
  2. Memenuhi janji
  1. Senang terhadap sesuatu yang disenangi orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
  2. Menerima alasan temannya, walaupun alasan itu bohong, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 535-539).

Cara Berteman bagi Salik

Dalam tarekat dan perjalanan suluk, lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap proses suluk seorang salik, termasuk kawan yang menjadi teman pergaulan seorang salik.

Agar tujuan wushul bisa tercapai, seorang salik hendaknya memilih kawan atau teman yang memiliki karakter positif. Layaknya penjual minyak wangi, orang di sekitarnya pun turut merasakan aroma wangi dari minyak wangi yang dibawanya. Kawan yang baik adalah kawan yang bisa membantu dan memberikan motivasi positif demi perbaikan pribadi, baik keilmuan maupun lainnya.

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَثَلُ اْلأَخَوَيْنِ مِثْلُ الْيَدَيْنِ تَغْسِلُ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى) أَخْرَجَهُ أَبُوْ نَعِيْمٍ فِى الْحِلْيَةِ . وَقَالَ: (الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كِالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا) رواه الشيخان وغيرهما.

Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan dua orang kawan adalah bagaikan dua tangan, salahsatunya membasuh yang lain”. HR. Abu Na’îm dalam kitab al-Hilyah. Beliau SAW juga bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain bagaikan sebuah bangunan, sebagian yang satu menguatkan sebagian yang lain” HR. Bukhâri Muslim dan imam lainnya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 535).

Pembagian Waktu Salik

Abû al-‘Abbâs al-Mursî RA berkata: “Waktu seorang hamba itu terbagi menjadi empat, tidak ada yang kelima dari waktu-waktu itu. Empat waktu itu adalah nikmat, cobaan, taat dan maksiat. Kewajibanmu dalam tiap waktu itu adalah adanya bagian ubudiyah yang dituntut oleh Allah al-Haqq.

Barang siapa ketika itu waktunya adalah taat, maka jalannya adalah menyaksikan bahwa segala anugrah itu dari Allah Swt, Dia memberi petunjuk padanya dan memberinya pertolongan untuk bisa menjalankan ketaatan itu. Barang siapa ketika itu waktunya adalah maksiat, maka tuntutan Allah SWT atas seorang hamba adalah adanya permohonan ampun dan sesal. Barangsiapa ketika itu waktunya adalah nikmat, maka jalannya adalah syukur. Syukur adalah gembiranya hati terhadap Allah SWT BaRang siapa ketika itu waktunya adalah cobaan, maka jalannya adalah ridha terhadap qadha’, dan sabar, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 37).

Oleh karena itu, hendaknya seorang salik memanfaatkan waktu yang ada dengan maksimal, yaitu mengisinya dengan aktifitas yang dapat mendekatkan dirinya pada Allah ‘azza wa jalla.

Pemanfaatan Waktu

Para ahli ilmu hakikat berkata: “Seorang shufi adalah anak waktunya”. Maksudnya bahwa seorang salik sibuk dengan apa yang lebih utama pada saat itu, melaksanakan apa yang menjadi tuntutan pada saat itu. Dikatakan juga bahwa seorang fakir (shufi) itu tidak digelisahkan dengan waktunya yang telah lalu dan tidak pula waktunya yang akan datang, tapi dia digelisahkan dengan waktunya saat itu, (al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 55).

Dengan pertolongan Allah Swt, bagilah waktumu, gunakanlah semuanya terhadap sesuatu yang pantas dengan bersungguh-sungguh untuk beribadah kepada Allah SWT Maksudnya, bagilah waktumu dengan macam-macam ibadah, jangan jadikan waktumu menganggur tanpa ada ibadah. Janganlah engkau menganggap enteng waktumu, agar engkau tidak seperti hewan-hewan ternak yang tak tahu apa yang mereka sibukkan, sehingga sia-sialah banyak waktumu terbuang percuma. Jika demikian, maka engkau benar-benar rugi, (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 43).

Wushûl

Sampainya dirimu kepada Allah SWT adalah sampainya dirimu pada pengetahuan tentang diri-Nya. Karena jika tidak demikian, maka alangkah Maha Agung Allah Swt, apabila sesuatu bisa berhubungan dengan Allah Swt, atau Allah SWT berhubungan dengan sesuatu, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 39).

Ilmu Mukasyafah

Disebutkan dalam kitab Tatarkhaniyah: ilmu mukasyafah tidak bisa diperoleh dengan cara belajar dan mengajar tetapi ilmu mukasyafah bisa berhasil dengan jalan mujahadah yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai pendahuluan terhadap hidayah. Sebagaimana firman Allah SWT Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 142).

Sumber: Alif.ID

144. Fana’ dan Baqa’

Hakikat fana’ adalah hilangnya sifat-sifat yang hina, dan baqa’ adalah wujudnya sifat-sifat yang terpuji. Ketika seorang hamba (salik) mengganti sifat-sifatnya yang hina, maka tercapailah baginya fana’ dan baqa’.

Fana’ ada 2 macam; pertama, sebagaimana yang telah kami sebutkan, yaitu dengan banyak riyadhah. Kedua, tidak adanya pengindraan terhadap alam malakut, yaitu dengan menenggelamkan diri dalam keagungan Allah Sang Pencipta, dan musyahadah (melihat) kepada Allah Yang haq, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172, dan al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 67).

Macam-macam Fana’ dan Baqa’

Dalam ilmu tasawuf ada istilah fana’ yaitu hancur leburnya diri manusia dari sifat tercela. Fana’ ada dua macam yang pertama adalah dengan banyak melatih diri, dan yang kedua menenggelamkan diri dalam keagungan dzat Allah SWT

“Fana’ ada dua bagian: (pertama) sebagaimana telah dijelaskan yaitu dengan memperbanyak melatih diri, (kedua) tidak adanya pengindraan di dalam alam malaikat, yaitu menenggelamkan diri dalam keagungan dzat yang menciptakan makhluk dan mampu melihat Allah SWT dengan nyata, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 172).

Perbedaan Hal dan Maqâm

Ahwal (hal) adalah pemberian (anugrah), dan maqâmat (maqâm) adalah usaha. Ahwal datang dari sifat kemurahan Allah SWT dan maqâm bisa diraih dengan mengerahkan segala kemampuan. Adapun orang yang mempunyai maqâm itu menempati pada posisinya, sedangkan orang yang mempunyai hal itu meningkat ahwal-nya, (al-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 57).

Cara Mengatasi Hijab dan Cara Mujahadah

Seorang salik tidak bisa mencapai wushul karena adanya hijab yang menghalanginya. Hijab secara bahasa berarti tabir atau penghalang. Hijab ada 2 macam; hijab Nuraniyah dan hijab DzulmaniyahHijab Nuraniyah adalah hijab cahaya, sedangkan hijab Dzulmaniyah adalah hijab kegelapan.

Agar seorang salik hatinya terbebas dari hijab-hijab tersebut, dia harus bermujahadah memersangi dan melawan hawa nafsunya, dan membebaskan dirinya dari segala kesenangan nafsunya. Hal ini disebabkan karena nafsu adalah musuh terbesar bagi diri salik yang menjadi hijab dirinya dari Allah SWT

Mujahadah pun beragam caranya yang masing-masing mujahadah tersebut tidak seluruhnya cocok/sesuai bagi seorang salik. Semua itu bergantung pada kadar kekuatan dan kelemahan diri salik, serta pemahamannya terhadap sesuatu yang lebih membeRatkan dengan melihat pada keadaan dan waktu pelaksanaan mujahadah.

Sebagai contoh, mujahadah puasa dan shalat akan terasa lebih berat bagi orang-orang kaya dan penguasa, daripada mujahadah dengan shadaqah dan memerdekakan hamba sahaya. Sebaliknya, mujahadah dengan shadaqah itu lebih berat bagi orang fakir, dan mujahadah dengan memerdekakan hamba sahaya itu lebih beRat bagi orang yang rakus harta.

Mujahadah dengan meninggalkan perdebatan, meninggalkan menampakkan kewibawaan, meninggalkan sifat pamer di majelis, dan meninggalkan untuk menjadi pimpinan, itu lebih berat bagi orang-orang yang berilmu daripada mujahadah dengan puasa dan sholat.Baca juga:  Mencintai Syair Cinta Rumi

Demikian halnya dengan mujahadah puasa pada musim kemarau, akan terasa lebih berat daripada puasa pada musim penghujan. Dan sebaliknya, mujahadah dengan sholat malam pada musim kemarau, terasa lebih ringan daripada sholat malam pada musim penghujan.

Penentuan jenis mujahadah ini bukan ditentukan oleh diri salik sendiri, akan tetapi bergantung pada bimbingan dari mursyid. Karena menentukan mujahadah ini adalah hal yang sangat mengkhawatirkan dan membahayakan (jika ditentukan oleh murid sendiri).

Esensi (inti, pokok) dari mujahadah adalah menyapih nafsu dari hal-hal yang disukai dan memperdayakan nafsu untuk tidak mengikuti kesenangannya dalam setiap saat. Orang-orang arif berkata: “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan, namun kami mengambilnya dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kesenangan, menjalankan perintah, dan menjauhi larangan”.

Sebagian masyayikh tarekat Naqsyabandiyah berkata: “Barangsiapa masuk ke madzhab (tarekat) kami, maka dia harus menjadikan empat jenis mati dalam dirinya; yaitu mati merah, mati hitam, mati putih, dan mati hijau. Mati merah adalah melawan nafsu. Mati hitam adalah kuat dan sabar atas perlakuan buruk orang lain kepada dirinya. Mati putih adalah lapar. Dan mati hijau adalah meletakkan satu tambalan di atas tambalan yang lain”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 467).

Zikir Khafi, Muraqabah, dan Rabitah

Ahli tarekat berkata bahwa jalan yang menuju kepada Allah SWT ada tiga:

  1. Zikir khafi, yaitu zikir sirri di dalam lathaif yang dihadapkan kepada Allah SWT dengan meniadakan semua getaran hati (tidak mengingat perkara yang sudah terjadi dan akan terjadi), dan tidak mengingat selain Allah Swt

Baca juga:  Sabilus Salikin (84): Tata Cara Halaqah Zikir Rifa’iyah (3)

  1. Muroqobah, yaitu mengawasi hati terhadap Allah Swt, seperti mengawasinya kucing terhadap tikus, serta mengharap limpahan anugerah Allah SWT
  2. Melanggengkan hadir dan rabitah dan khidmah kepada guru yang memberikan pengaruh secara utuh dan tata caranya.

Syarat tiga ini tidak mudah dilakukan oleh seorang salik (orang yang menjalani tarekat yang haqq) kecuali menggunakan ilmu, amal dan riyadhah.

Sebagian dari syarat orang yang suluk mampu menjalani tiga perkara itu harus sabar dan ridha terhadap ketetapan Allah SWT dan lain-lainnya. Ketika sudah selesai dari zikir lathaif tujuh, dengan izin maka pindahlah guru kepada muraqabah dua puluh yang akan disebutkan.

Sumber: Alif.ID

145. Muraqabah (1)

Jumlah muraqabah ada dua puluh.

  1. مُرَاقَبَةٌ اَحَدِيَّةٌ yaitu memperhatikan dengan seksama terhadap dzat, sifat dan af’al Allah SWT Dan tidak ada yang menyerupai Allah Swt, tidak ada yang hakiki kecuali wujudnya, semua makhluk adalah pancaran wujud Allah SWT serta mengetahui sifat kesempurnaan Allah SWT tidak mungkin terdapat kekur Wajib mengetahui sifat wajib Allah SWT yang ada dua puluh dan muhal-Nya.

(وَالْفَيْضُ مِنَ الْجِهَّاتِ السِّتِّ يَرْجُوْهُ), artinya berharaplah terhadap limpahan anugeRah Allah Swt dari enam arah (atas, bawah, depan, belakang, kiri, kanan). Dalil yang menunjukkan sifat jaiznya Allah Swt adalah “قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ”, artinya Allah Swt adalah dzat yang satu.

  1. مُرَاقَبَةٌ مَعِيَّةٌ yaitu menancapkan kesadaran dengan seksama bahwa selalu melihat Allah SWT yang senantiasa menyertai hamba-Nya. Namun secara maknawi tidak bisa diketahui bagaimana Allah SWT bersama kita. (وَالْفَيْضُ مِنَ الْجِهَّاتِ السِّتِّ) dalilnya adalah “وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَمَا كُنْتُمْ”. Artinya Allah SWT bersama kita di manapun kita berada (secara maknawi)

مَعِيَّةٌ فِى عِلْمِهِ وَقَدَرِهِ وَقُدْرَتِهِ فِى عِلْمِهِ الْقَدِيْمِ عَلَى الْعِبَادِ الْجَارِى فِى الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ

Muraqabah ma’iyah adalah kesertaan Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya, melalui ilmu-Nya, ketentuan-Nya, dan kekuasan-Nya, yang kesertaan itu berada pada ilmu-Nya yang azali, yang selalu lestari baik di dunia maupun di akhirat.

  1. مُرَاقَبَةٌ أَقْرَبِيَّةٌ artinya memperhatikan secara seksama bahwasanya Allah SWT itu lebih dekat kepada kita dari pada otot yang berada di leher kita, dan lebih dekat daripada pendengaran telinga kita, dan lebih dekat daripada penglihatan mata kita, lebih dekat daripada penciuman hidung kita, dan lebih dekat daripada perasa lidah kita, dan lebih dekat dari fikiran hati kita.

Artinya Allah SWT itu lebih dekat pada kita daripada semua anggota badan kita. Dengan kedekatan secara bathin. Dan hati kita selalu mengingat atas pengaruh yang sudah dijadikan Allah SWT Seperti manusia dan semua hewan yang melata di atas bumi, dan yang terbang di udaRa, dan yang berenang di dalam lautan dan lain-lainnya.

Bertafakkur terhadap alam yang ada di atas rembulan, matahari, bintang, mega dan lain-lain. Dan bertafakkur lagi terhadap alam yang bawah lautan, pegunungan, pohon-pohon, daun-daun, dan tumbuhan yang bermacam-macam dan lain-lain.

Dalilnya:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

Aku (Allah) SWT lebih dekat kepada hambaku daripada otot lehernya.

وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ مَعَ شِرْكَةِ اللَّطَائِفِ الْخَمْسِ الْمُسَمَّاتِ بِعَالِمِ الْلأَمْرِ

Artinya berharaplah engkau terhadap anugerah Allah SWT yang diturunkan kepada otak dan bersamaan dengan Lathaif lima yang berada di dalam dada yang disebut dengan alamul amri, yaitu tempat ijazahnya seorang guru kepada muridnya

Adapun lafadz ijazah sebagai berikut:

اَلْبَسْتُكَ خِرْقَةَ الْفَقِيْرِيَّةِ الصُّوْفِيَّةِ وَاَجَزْتُكَ اِجَازَةً مُطْلَقَةً لِلْاِرْشَادِ وَالْإِجَازَةِ وَجَعَلْتُكَ خَلِيْفَةً.

Maka murid menjawab: قَبِلْتُ وَرَضِيْتُ عَلَى ذَلِكَ. Maka murid itu akan menjadi kholifah yang kecil. Ini adalah akhir wilayah sughro dan menjadi awal dari wilayah kubra.

CatatanWilayah shughra: ungkapan perjalanan tajalli af’alul ilahiyah, dan perjalanan dzilal asma’ dan sifat. Ketahuilah bahwa ungkapan dzilal asma’ dan sifat merupakan awal mengenal seluruh al-mumkinat (sesuatu yang wujud yang berawal dari tidak ada) keculai Nabi dan Malaikat. Bahwasannya satu bagian dari beberapa bagian alam itu bersambung kepada Allah SWT melalui sifat dan ini yang menjadi garis tengah antara makhluk dan dzat Allah SWT, meskipun demikian asma’ dan sifat tidak bisa mewujudkan alam yang awalnya tidak ada karena dzat Allah SWT yang disifati itu tidak membutuhkan alam.

إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (العنكبوت: ٦)

Sesungguhnya Allah SWT benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Ahli shufi mengungkapkan bahwa jalan menuju kepada Allah SWT banyak sekali dengan hitungan nafasnya makhluk-makhluk ini menjadi gambaran lafadz dzilal (naungan).

  • Ketika Tajalli al-fi’li masuk pada lathifatul qalbi disebut wilayah Nabi Adam. Artinya seorang Salik masuk pada fana’ dan menjadi mudah baginya untuk mengetahui asal-usul hakikatnya.
  • Ketika Tajalli as-sifat masuk pada lathifatur ruh maka dalam keyakinan salik terhadap ketetapan bahwa sifat-sifatnya Allah SWT berbeda dengan sifat-sifat makhluk dan Salik berkeyakinan bahwa semua makhluk merupakan pancaran dari Allah SWT, pada saat ini Salik merasa wujudnya dan wujud semua makhluk sirna di hadapan wujud Allah SWT, dan hal ini disebut wilayah nabi Nuh dan nabi Ibr
  • Fana’ yang terrjadi pada lathifatus sirri disebut wilayah nabi Musa, pada maqâm ini Salik menemukan dirinya sirna dalam dzat Allah SWT (secara maknawi).
  • Fana’ yang terjadi pada lathifatul khafy disebut wilayah nabi Isa, pada maqâm ini seorang salik berhadapan langsung dengan sifat keagungan Allah SWT yang tidak terkandung unsur materi.
  • Fana’ yang terjadi pada lathifatul akhfa membuat Salik berakhlak seperti akhlak Ilahi, (Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’, halaman: 26-27).

4. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي الدَّائِرَةِ الْأُوْلَى artinya mengawasi cintanya Allah SWT kepada orang mukmin dengan memberi ridha dan pahala dan cintanya seorang mukmin kepada Allah SWT dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Dekat terhadap Allah SWT dalam maqom yang pertama dengan mengingat terhadap asmaul khusna yang jumlahnya 99 dan mengingat terhadap indahnya ciptaan Allah SWT yang tidak ada akhirnya. Dalam muRaqabah ini hendaknya merenungkan rahmat Allah SWT yang agung dan senantiasa turun di lathifatun nafsi (وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ).

CatatanWilayah kubra adalah ungkapan perjalanan sang Salik pada maqâm Asma’ al-Husna, sifat dan dzat Allah SWT

Ketahuilah ketika rahasia-rahasia tauhid wujudi dan rahasia bersama Allah Swt terjadi pada sang salik, maka dia bisa melihat ke dalam hatinya terdapat satu cahaya yang berasal dari ‘Arsy yang agung, yang mengelilingi sang salik serta dikelilingi partikel-partikel al-Mumkinat (sesuatu yang ada didahului yang tiada).

Warna cahaya itu kelihatan, sekalipun demikian cahaya itu tidak berwarna. salik mempercayai bahwa Allah SWT berada di atas gumpalan awan yang tinggi. Sang salik melihat matahari terbit dari tempatnya dan menghapus warna hitam yang dianggap dzat Allah SWT Kejadian ini tidak membekas pada diri sang salik.

Lalu sang salik kembali melihat Wujud al-Mumkinat yang telah hilang di dalam sorot cahaya hitam, seperti hilangnya wujud bintang ditelan oleh sorot sinar matahari, tapi perjalanan hati tidak bisa didefinisikan oleh mata dengan memperkirakan perbedaan antara wujud barang Mumkin (baRang yang wujud didahului dengan yang tiada) dan sesuatu yang wajib wujudnya.

Ditanyakan tentang penyatuan “persatuan” ketika pada mursyid memberikan keterangan dengan pendekatan logika tentang perjalanan hati Wilayah al-Kubra, ini merupakan wilayah para Nabi, wilayah yang orang selalu terjaga dari lupa kepada Allah SWT, dan wilayah orang yang menerima peringatan lalu memperbaikinya.

Mereka meyakini bahwa wujud barang mumkin tetap ada tapi sang Salik menemukan wujudnya, segala sesuatu itu merupakan bayangan, terpengaruh oleh wujudnya Tuhan (Allah SWT menjadikan barang mumkin berasal dari tidak ada menjadi ada).

Begitu juga rahasia tauhid syuhudi yaitu sang salik melihat bahwa sifat-sifat mumkinat adalah sifat-sifat Allah SWT yang tidak bermateri. Sang salik mengalami hal ini di lathifatun nafsi.

Disinilah sang salik menemukan makna muraqabah aqrabiyyah dengan Allah  SWT Perbedaan antara ma’iyyah dan aqrabiyyah yaitu tingkat akhir dari ma’iyyah ada persatuan dan  menyembunyikan dua hal. wujudnya barang mumkinat terlihat tapi tercermin dari wujud Allah SWT, bukan dari dzat benda mumkin.

Begitu juga dengan sifat-Nya. Jika sifat Allah SWT didzahirkan secara hakiki maka tidak mungkin ada ungkapan untuk membahasnya. Maka dapat diketahui dari kenyataan ini bahwa wujud asal bisa dibandingkan terhadap wujud bayangan yang lebih dekat terhadap bayangnya itu sendiri.

Karena bayangan yang tampak dari asal bukan dari lainnya, ketika melihat wujud bayangannya maka dapat ditemukan pengaruh dari asal. Ketika melihat sifat bayangan maka ditemukan pengaruh sifat asal.

Akal tidak kuasa menemukan makna kedekatan terhadap dzat Allah SWT Karena hubungan ini berada dibalik akal, tidak mungkin akal bisa menyingkap tabir rahasia ini.

Tanda-tanda Kesempurnaan Maqâm Wilayah Kubra

  • Hubungan anugerah batin tersambung dengan otak adalah sambungan hati. Dalam keadaan ini dada menjadi lapang dan tempatnya ada pada lathifaatul akhfa secara khusus.
  • Hilangnya penolakan terhadap keputusan-keputusan yang tetap. Sehingga hati menjadi tentram dan bisa menerima dengan suka cita (ridaa) semua ketentuan-ketentuan dalam semua keadaan dan perbuatan.
  1. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي الدَّائِرَةِ الثَّانِيَةِ artinya mengawasi terhadap cintanya Allah Swt terhadap orang mukmin dan cintanya orang mukmin terhadap Allah Swt dalam maqom yang kedua dan bertafakur terhadap sifat maknawi dan maknawiyah Allah SWT(وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ).
  1. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي الدَّائِرَةِ الْقَوْسِ artinya mengawasi terhadap cintanya Allah Swt terhadap orang mukmin dan cintanya orang mukmin terhadap Allah SWT dalam maqom yang lebih dekat yang diperkirakan satu busur. Ini adalah isyarat menunjukkan eratnya kedekatan. (وَالْفَيْضُ عَلَى لَطِيْفَةِ النَّفْسِ).

Dalilnya muraqabah mahabbah tiga tadi adalah يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ Artinya Allah SWT cinta terhadap kaum yang beriman. dan kaum yang beriman juga cinta kepada Allah SWT

Sumber: Alif.ID

146. Muraqabah (2)

  1. مُرَاقَبَةُ وِلَايَةِ الْعُلْيَا artinya pengawasan terhadap Allah SWT yang menciptakan terhadap wilayahnya malaikat. Dalilnya “هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ”. Artinya Allah SWT itu dzat yang dahulu dan tanpa permulaan, dan dzat yang akhir tanpa ada akhirnya, dan dzat yang nampak pengaruh dan af’al-ya, dan dzat-Nya adalah maknawi.

Dan ayat “اِنَّ الّذِيْنَ عِنْدَ رَبِّكَ لَايَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُوْنَهُ وَلَهُ يَسْجُدُوْنَ”, artinya sesungguhnya para malaikat yang berada di sisi Allah SWT itu tidak sombong dari ibadah kepada Allah SWT dan mereka membaca tasbih dan bersujud kepada Allah SWT.

Oleh karena itu maka kamu semua seperti malaikat dalam hal memakai pakaian takwa, sifat malakaniyah, sifat mahmudah munjiyaat, dan meninggalkan terhadap sifat syaithaniyah, nafsiyah, bahimiyah, hayawaniyah, sifat mahdzmumah mahlukaat (sifat yang tercela yang merusak). والفيض على العناصر الثلاث air, api, dan angin.

  1. مُرَاقَبَةُ كَمَالَاتِ النُّبُوَّةِ artinya mengawasi terhadap Allah SWT yang menjadikan beberapa kesempurnaan sifat kenabian. Dalilnya “وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّيْنَ عَلَى بَعْضٍ”, artinya sesungguhnya Allah SWT itu mengunggulkan sebagian para nabi dari sebagian yang lainnya. (وَالْفَيْضُ عَلَى عُنْصُرِ التُّرَابِ)

9.مُرَاقَبَةُ كَمَالَاتِ الرِّسَالَةِ  artinya mengawasi terhadap Allah SWT yang menjadikan sifat kerasulan atau sifat utusan. Dalilnya “وَمَا اَرْسَلْنَاكَ اِلَّا رَحْمَةً لِلْعَلَمِيْنَ”, artinya kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk memberi rahmat terhadap seluruh alam semesta. Dan ayat “تِلْكَ الرُّسُوْلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ”, artinya rasul-rasul itu sebagian kami beri keutamaan melebihi yang lain.

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ), artinya terkumpulnya lathaif sepuluh.

  1. مُرَاقَبَةُ أُولِى الْعَزْمِ mengawasi terhadap Allah SWT yang menjadikan para rasul yang mempunyai gelar Ulul ‘Azmi yaitu Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Nuh As. Dalilnya “وَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ”, artinya bersabarlah (Muhammad) seperti sabarnya Rasul Ulul ‘Azmi,

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ الْمَحَبَّةِ فِي دَائِرَةِ الْخُلَّةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ maksudnya pengawasan terhadap Allah SWT dzat yang menjadikan hakikatnya Nabi Ibrahim yang mempunyai gelar khalilullah (kekasih Allah Swt). Dalilnya “وَاتَّخَذَ اللهُ اِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلًا”, artinya Allah SWT telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai seorang kekasihnya,

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

12. مُرَاقَبَةُ دَائِرَةِ الْمَحَبَّةِ الصِّرْفَةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ سَيِّدِنَا مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ artinya pengawasan terhadap Allah SWT yang memurnikan menyayangi Nabi Musa yang bergelar kalimullah (kalam Allah Swt). Dalilnya “وَاَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّيْ”, artinya Aku telah menjadikan Musa kekasih yang murni.(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ الذَّاتِيَّةِ الْمُمْتَزِجَةِ بِالْمَحَبَّةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ الْمُحَمَّدِيَّةِ artinya pengawasan terhadap Allah SWT yang menjadikan hakikat Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih yang asli dan dianugerahi dengan sifat belas kasih dan kasih sayang. Dalilnya “وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌ”, artinya Muhammad SAW. itu tidak lain hanyalah seorang rasul (utusan), (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

14. مُرَاقَبَةُ الْمَحْبُوْبِيَّةِ الصِّرْفَةِ وَهِيَ حَقِيْقَةُ الْأَحْمَدِيَّةِ artinya pengawasan terahadap Allah SWT yang menjadikan hakikat Nabi Ahmad (Muhammad) yang dianugerahi sifat belas kasih dan kasih sayang yang tulus. Dalilnya “وَمُبَشِّرًا بِرَسُوْلٍ يَأْتِى مِنْ بَعْدِ اِسْمُهُ أَحْمَدُ”, artinya Nabi Isa akan merasa bahagia dengan diutusnya Nabi Ahmad SAW. pada akhir zaman, (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

15. مُرَاقَبَةُ الْحُبِّ الصِّرْفِ maksudnya meluangkan waktunya untuk merenungkan cinta yang murni (penuh kelembutan) terhadap orang mukmin yang cinta kepada Allah Swt, cinta kepada malaikat, nabi, rasul, para wali (auliya’), ulama’, dan seluruh orang Islâm. Dalilnya “وَالَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَشَدُّ حُبًّا لِلهِ”, maksudnya Orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah SWT (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ).

16. مُرَاقَبَةُ لَا تَعْيِيْنَ yaitu memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang dzat-Nya tidak bisa dilihat oleh mata telanjang dan makhluk tidak kuasa untuk menemukan-Nya, begitu juga malaikat, nabi, dan rasul. Dalilnya “لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ”, maksudnya tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

17. مُرَاقَبَةُ حَقِيْقَةِ الْكَعْبَةِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang telah menjadikan hakikat Ka’bah sebagai tempat sujud dan bermunajat para mumkinat (sesuatu ada yang diawali dengan tiada) yang telah disyariatkan oleh Allah SWT yang maha memiliki arah.

Sedangkan pengertian Ka’bah bagi salik adalah i’tiqad atau berkeyakinan tentang kesatuan arah yang merupakan perwujudan kesatuan tujuan dan azam yang kuat  demi menghadap Allah SWT yang Maha Esa. Ka’bah merupakan pusat arah tujuan ratapan hati seorang mukmin yang bergejolak karena merindukan Allah SWT Dalilnya,

“فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ (البقرة: 144)

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.

Maksudnya palingkanlah mukamu ke arah ka’bah yang berada di Masjidil Haram. (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ حَقِيْقَةِ الْقَرْآنِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang telah menjadikan hakikat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.. Hakikat Al-Qur’an adalah ungkapan tentang permulaan luasnya hadirnya dzat yang telah menjalankan, menjelaskan beberapa keadaan batin yang serupa secara luas. Pengungkapan itu bertujuan untuk melahirkan bahwa intisari kalamullah.

Keistimewaan Al-Qur’an, sebagai berikut;

  • Bernilai ibadah bagi pembacanya
  • Menjadi mukjizat Nabi Muhammad Saw atas pengakuan diri sebagai utusan Allah SWT walaupun dengan rurat-rurat pendek.
  • Menceritakan kisah-kisah yang berbeda-beda, perintah yang berbeda-beda, laRangan yang ditinggal, serta mengungkapkan beberapa rahasia, cahaya yang terpancar dari kekuasaan Allah SWT
  • Cerita-cerita para nabi untuk memberi pelajaran kepada kaumnya.
  • Menjadi petunjuk bagi manusia untuk menjalankan hukum yang telah ditentukan.
  • Penyembuh penyakit lahir dan batin, menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang gelap dan sakit.

Dalilnya:

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ (البقرة: 23)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW..), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu.

Maksudnya dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al- Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad SAW, buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu. (وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ حَقِيْقَةِ الصَّلَاةِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang telah mewajibkan hambanya untuk melaksanakn shalat. Shalat adalah ucapan, perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta mengikuti syarat rukunnya, adab shalat, menjauhi beberapa hal-hal yang membatalkan shalat, menjaga beberapa waktu shalat, khudlur (hadirnya hati menghadap kepada Allah Swt), dan khusyu’.

Dalilnya: (اِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا (النساء: 103)

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman, (Qs. an-Nisa’: 103).

(وَالْفَيْضُ عَلَى هَيْئَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ)

  1. مُرَاقَبَةُ دَائِرَةِ الْمَعْبُوْدَيَّةِ الصِّرْفَةِ maksudnya memperhatikan dengan seksama kepada Allah SWT yang berhak untuk disembah oleh semua makhluk dengan cara menyembah yang tulus ikhlas karena dzatnya. Dalilnya “وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ”, maksudnya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku, (Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’, halaman: 81-92).

Tanbih: Wajib bagi salik menjalankan muraqabah mulai dari muraqabah pertama sampai muraqabah kedua puluh dengan memperoleh izin dari mursyid. Wallahu a’lam. 

Sumber: Alif.ID

147. Tarekat Matbuliyah

Matbuliyahpeta

Syaikh Ibrahim bin Ali bin Umar al-Matbuli dikenal sebagai imam para wali di masanya. Beliau hidup pada sekitar tahun 800 H, tergolong wali yang mempunyai pangkat al-Dawair al-Kubra. Beliau mempunyai ma’rifat yang sempurna. Meski ummi (tidak bisa baca tulis), beliau mempunyai akal yang cerdas dan kekuatan dari diri beliau sendiri, sehingga tidak ada tujuan-tujuan nafsu yang ada pada diri beliau. Alquran dijadikan oleh beliau sebagai imam.

Sehari-harinya ia bekerja sebagai penjual kacang rebus di dekat masjid Jami’ Amir Syarafuddin di daerah Husainiyah, Kairo Mesir. Mengenai gurunya Syaikh Ibrahim, ketika ditanya siapakah gurumu? Beliau menjawab, “Ibuku, karena beliaulah yang mendidikku pada waktu kecil”. Dan terkadang beliau menjawab, “Guruku adalah Muhammad SAW.”.

Ibu beliau adalah seorang yang salihah dan seorang ibu rumah tangga yang baik, jika Syaikh al-Matbuli dilanda masalah yang berat, maka beliau pergi ke makam ibunya dan menceritakan permasalahan tersebut di atas makam ibunya dan masalah tersebut menjadi tuntas.

Al-Matbuli juga pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Ia menceritakan mimpinya kepada ibunya. Lalu ibunya berkata, “Wahai anakku, seorang lelaki sejati adalah orang yang mampu berkumpul langsung dengan Rasulullah SAW. dalam keadaan sadar”. Beberapa waktu kemudian al-Matbuli mampu bertemu dan berkumpul serta bermusyawarah dengan Rasulullah SAW. dalam keadaan sadar. Lalu ibunya berkata, “Sekarang engkau benar-benar seorang laki-laki sejati”.

Mengenai gurunya syaikh Ibrahim al-matbuli juga disebutkan bahwa beliau pernah menimba ilmu pada Syaikh Yusuf al-Barlisi al-Ahmadi.

Al-Matbuli ketika bertemu dan berkumpul serta bermusyawarah dengan Rasulullah SAW, membicarakan tentang berbagai hal, bahkan al-Matbuli pernah menggali sumur yang ada di kebunnya akan tetapi tidak menemukan air, kemudian beliau melaporkan tentang hal tersebut pada Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW menjawab: “Besok aku akan mengutus Ali bin Abi Thalib putera pamanku agar memberi tanda pada sumur Nabi Syu’aib As yang pernah digunakan untuk memberi minum kambingnya”.

Lalu esok harinya al-Matbuli menemukan tanda sebagaimana yang dimaksud Rasulullah SAW. Kemudian ia gali, dan ternyata disitu benar-benar terdapat sumur yang memiliki mata air yang besar.

Selama hidupnya al-Matbuli tidak pernah menikah, selama hidupnya lebih banyak digunakan untuk beribadah baik siang maupun malam. Selama hidupnya lebih dari 80 tahun sampai meninggalnya beliau tidak pernah mimpi basah (ihtilam). Syaikh Ibrahim al-Matbuli selalu bersikap lembut kepada siapapun bahkan kepada orang yang menyakitinya sekalipun.

Karamah yang dimiliki Syaikh Ibrahim al-Matbuli sangat banyak sekali diantaranya pernah suatu ketika beliau didatangi seorang laki-laki yang ingin meredam syahwatnya, kemudian Syaikh Ibrahim berkata, “Kamu menginginkan sementara atau selamanya? Jika menginginkan sementara, maka ikatlah kemaluanmu maka selama terikat selama itu pula kau tidak merasakan syahwat”. Tapi jika laki-laki tersebut menginginkan untuk meredam syahwat untuk selamanya, diusaplah punggungnya maka selamanya dia tidak akan pernah syahwat kepada perempuan sampai mati.

Dan diantara karamahnya, jika Syaikh Ibrahim al-Matbuli masuk ke dalam kebun, maka semua yang ada di dalam kebun tersebut baik pepohonan atau rerumputan akan memanggilnya dan memberitahukan segala khasiat dan madharatnya.

Mengenai muridnya, Syaikh Ibrahim al-Matbuli pernah ditanya. “Siapa yang akan meneruskan tugasmu ini? Beliau menjawab, “Seorang pemuda yang bernama Muhammad bin Annan.

Adapun murid-murid dari Syaikh Ibrahim al-Matbuli adalah:  sayyid Syakh Ali al-Murshafi, syekh Abdul Qâdir al-Dastuty, sayyid Muhammad Munir, sayyid Muhammad bin Annan, syaikh Abu Bakar al-Hadidy, syaikh Muhammad Sarawy, syaikh Abdul Halim bin Muslih, syaikh Yusuf al-Haritsi, Muhammad Syanawy al-Ahmady, syaikh Zakaria, syaikh Burhanuddin bin Abi Syarif, syaikh Burhanuddin al-Qalqasnady, syaikh Kamaluddin al-Thowil, syaikh Abdul Haq al-Sinbaty, syaikh Yusuf al-Kurdy, syaikh Shalih Ahmad Zawawi.

Syaikh Ibrahim bin Ali bin Umar al-Matbuli wafat pada tahun 880 H pada usia 109. Ketika itu beliau sedang melakukan perjalanan menuju Yerusalem dan beliau di makamkan di desa Saduud di sisi makam Salman al-Farisi. Adapun daerah penyebaran tarekat ini kebanyakan berada di daerah mesir.

Matbuliyah
Imam Abdul Wahab, Mursyid Matbuliyah (YouTube)

Sumber: Alif.ID

148. Ajaran Tarekat Matbuliyah

  1. Salik harus istiqâmah dalam bertaubat. Taubat memiliki tingkatan-tingaktan yaitu (1) taubat dari dosa-dosa besar, (2) taubat dari dosa-dosa kecil, (3) taubat dari hal-hal yang dimakruhkan, (4) taubat dari melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan keutamaan (khilaf al-aula), (5) taubat dari anggapan salik bahwa dia melakukan kebaikan-kebaikan,

(6) taubat dari pandangan salik bahwa dia tergolong fuqara` al-Zaman (orang-orang fakir yang memiliki keutamaan              di hadapan Allah SWT.), (7) taubat dari anggapan Salik bahwa dia sudah benar dalam taubat, (8) taubat dari segala                  getaran hati kepada selain yang diridhoi oleh Allah Swt.,

(9) taubat ketika lupa musyahadah (melihat Allah SWT., sifat dan perbuatan dengan (bashiroh) mata hati) kepada                   Allah SWT. walau sekejap, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 2).

  1. Seyogyanya salik meneliti anggota dhohir dan batinnya pada waktu pagi dan sore apakah sudah melakukan taat atau tidak, jika salik melakukan taat maka dia bersyukur jika tidak melakukan taat maka salik haru bertaubat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 3).
  2. Salik harus meniggalkan hal-hal yang mubah untuk mencari maqâm-maqâm yang luhur, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 4).
  3. Salik harus menjauhkan diri dari perbuatan riya`. Karena riya` merupakan racun yang bisa membunuh, menghilangkan pahalanya amal. Hal-hal yang termasuk riya` adalah merasa nikmat dengan ibadah, meninggalkan amal karena manusia, mengaku telah sampai pada maqâm tertentu, sementara salik tidak diizinkan untuk menampakkannya, suka dilihat manusia dalam melakukan ibadah, mengehentikan senda gurau yang mubah ketika ada orang yang mampir karena merasa malu, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 5-6).
  1. Salik harus meninggalkan perbuatan yang bisa menyakiti orang lain, karena hal itu merupakan racun yang bisa membunuh, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 6).
  2. Meninggalkan makanan yang tidak halal, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 7).
  3. Salik harus meniggalkan malu secara wataknya, yaitu salik malu menyebut nama Allah SWT. dengan mengeraskan suara.
  4. Hendaknya salik menjauhkan diri dari penipuan dalam pekerjaan, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 8).
  5. Salik harus memerangi nafsunya dengan lapar dan menyedikitkan tidur, karena lapar merupakan pokok dari ajaran tarekat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 9).
  1. Menetapi ‘uzlah.
  2. Menetapi diam, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 10).
  1. Salik tidak diperkenankan meninggalkan Qiyam al-Lail karena merupakan cahaya mukmin di hari qiyamat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 11).
  2. Harus shalat berjama’ah, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 12).
  3. Menjauhi zalim terhadap mak

Zalim dibagi menjadi dua:

  • Zalim al-Nafsi: salik melakukan maksiat selain syirik kepada Allah SWT., Allah SWT. tidak memperdulikan buku catatan amal salik selama salik mau bertaubat.
  • Zalim al-‘Abdi: Zalim seorang salik dibagi menjadi tiga (1) zalim yang berhubungan dengan jiwa, (2) zalim yang berhubungan dengan harta, (3) zalim yang berhubungan dengan harga diri, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 13).
  1. Memperbanyak membaca istighfar, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 13-14).
  2. Salik menetapi malu, karena malu merupakan bagian dari Imân. Para `ulamâ’ berkata: “Ibadah itu terbagi menjadi tujuh puluh dua bagian semantara tujuh puluh satu badian berada pada Rasa malu kepada Allah SWT., yang satu bagian dibagi terhadap seluruh macam-macam amal kebaikan”. Dalam satu Hadis Nabi berkata: “Malulah kalian kepada Allah SWT. dengan sebenar-benarnya malu” sahabat menjawab: “Sesungguhnya kami malu (kepada Allah SWT.) dan memuji kepada Allah SWT. ya Rasul” Rasul menjawab: “Bukan seperti itu (malu kepada Allah SWT.) tetapi orang yang malu kepada Allah SWT. akan menjaga kepala (isi), perut (apa yang dimasukkan ke dalam perut), hendaknya dia ingat kepada kematian dan akhirat. Barangsiapa yang menginginkan akhirat maka harus meniggalkan keindahan kehidupan dunia. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia harus malu kepada Allah SWT. dengan senyata-nyatanya”, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 14).
  1. Salik harus menetapi etika yang bagus.
  2. Salik tidak lupa zikir kepada Allah SWT. Ibnu Hibaan meriwayatkan sebuah Hadis:

أَكْثَرُوْا ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى حَتَّى يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنٌ

Perbanyaklah zikir kepada Allah sampai (orang-orang) berkata (kamu) gila(al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 15).

Zikir adalah cetakan (derajat) kewaliyan yang ditetapkan oleh Allah SWT. untuk hambanya. Barangsiapa menetapi melanggengkan zikir kepada Allah SWT., maka Allah SWT. akan memberi derajat kewalian kepadanya. Sesungguhnya zikir itu mempercepat membuka (pintu) sekalian ibadah. Para mursyid tidak kuasa menemukan yang lebih cepat mengobati dan membuat hati cemerlang selain melanggengkan zikir.

Seorang salik tidak akan bisa sampai di hadapan Allah SWT. kecuali dengan zikir, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 16).

Salik tidak akan bisa terbuka tirai hijabnya dan mencapai maqâm Ikhlâs kecuali dengan zikir. Zikir bisa menghilangkan kesusahan, menurunkan rahmat, bisa memutus getaran hati yang berasal dari syetan, bisa membedakan antara getaran syetan dan getaran nafsu, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 16-17).

  1. Salik tidak mencampur aduk zikir dengan lainnya, karena hal itu bisa menghambat kecepatan perjalanan salik, dan terbukanya hati salik menurut kadar banyak sedikitnya campuran tersebut, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 18).

Kewajiban Mursyid

  1. Memberi perintah kepada murid untuk melakukan zikir lisan dengan kemantapan hati yang kuat.
  2. Jika point pertama berhasil, maka mursyid memerintahkan kepada murid untuk menyamakan antara zikir lisan dan qalbi, lalu mursyid memberi pesan kepada salik untuk melanggengkan kedua zikir ini,seakan-akan Allah SWT. berada di depan salik, tidak meninggalkan zikir sehingga mendapatkan jiwa (hal) dan seluruh anggota tubuh ikut berzikir.
  1. Mursyid berpesan kepada salik untuk tidak menambah kewajiban, sunah mu’akad, tidak sibuk membaca Alquran dan lainnya.
  2. Memerintahkan salik untuk melaksanakan lapar sedikit demi sedikit, meminimalkan tidur, meminimalkan perbuatan yang tidak berfaedah.
  1. Memberi perintah untuk melakukan ‘uzlah dari manusia umum.
  2. Memberi pengarahan kepada salik untuk memperbaiki perbuatan dan hal salik (keadaan jiwa) sehingga salik bisa melaksanakan rukun-rukun tarekat, (al-Minah al-Saniyah ‘ala Wasiat al-Matbuliyah, halaman: 19).

Kewajiban Salik

  1. Wajib melaksanakan zikir jahr (lisan) jika salik belum mampu melakukan zikir sirri. Jika salik memaksakan zikir sirri, maka zikir itu tidak berfungsi.
  2. Salik wajib melakukan zikir dengan giat.
  1. Salik wajib melakukan zikir secara berjama’ah karena zikir berjama’ah lebih banyak memiliki dampak menghilangkan hijab.
  2. Salik harus banyak bertaubat dan bersyukur.
  1. Salik dilarang minum air setelah berzikir.
  2. Salik menghilangkan kesibukan terhadap seluruh hak-hak makhluk.

Aurâd

  1. Membaca istighfâr 70 kali tiap pagi dan sore
  2. Memperbanyak membaca lâ ilâha illAllah (tahlil saperti Tarekat Qadiriyyah)

Sumber: Alif.ID

149. Tarekat Syathariyah

Tarekat Syathariyah adalah tarekat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdullah al-Syaththar (w.890 H/1485 M). Ulama ini masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama yang memopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.

Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syathariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.

Nisbah al-Syathar yang berasal dari kata Syathara artinya membelah dua dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbatLa ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washitah (mursyid).

Namun karena popularitas tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahIrannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Abdullâh al-Syathâr dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.

Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syathâriyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).

Sepeninggal Abdullah al-Syathar, Tarekat Syathâriyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syathiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syathariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri.

Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka yaitu Sibghatullâh bin Rûhullâh (1606), salah seorang murid Wajihudîn dan mendirikan zawiyah di Madînah.

Tarekat ini kemudian disebarluaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut yaitu seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi.

Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syathâriyah yang terkenal di wilayah Madînah.

Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Raûf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syathâriyah di Indonesia. Abdul Raûf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islâm di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643.

Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya.

Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syaikh Burhanuddîn dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syathâriyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani yaitu Yûsuf Tajul Khalwati (1629-1699).

Silsilah Tarekat Syathariyah

  1. Nabi Muhammad SAW.. (609-632 M)
  2. Imam Ali bin Abu Thalib (632-661 M)
  3. Imam Hasan al-Syahid (661-670 M)
  4. Imam Husain (670-684 M)
  5. Imam Zainal Abidin (684-718 M)
  6. Imam Muhammad al-Baqir (718-737 M)
  7. Imam Ja’far Shadiq (737-771 M)
  8. Imam Musa al-Kazhim (771-806 M)
  9. Imam Ali bin Imam Musa al-Kazhim (806-826 M)
  10. Imam Muhammad al-Jawad (826-843 M)
  11. Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (843-877 M)
  12. Imam Abu Yazid al-Busthami(W.874 M)
  13. Imam Hasan al-Asykari (877-883 M)
  14. Imam al-Mahdi al-Muntadzar (883-955 M)
  15. Syaikh Muhammad al-Maghrîbi (955-1007 M)
  16. Syaikh Araby al-Asyiqi (1007-1074 M)
  17. Syaikh Qutb Maulana Rumi al-Tushi (1074-1132 M)
  18. Syaikh Qutb Abu Hasan al-Hirqan (1132-1176 M)
  19. Syaikh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar (1176-1249 M)
  20. Syaikh Muhammad Asyiq (1249-1312 M)
  21. Syaikh Muhammad Arif (1312-1376 M)
  22. Syaikh Abdullah al-Syaththar (1376-1429 M)

Sumber: Alif.ID

150. Ajaran Tarekat Syathariyah (1)

Syathariyahpeta

Syaikh Ahmad Qusyairi menerangkan sesuatu yang mengharukan dalam kitab al-Simth al-Majid halaman 143-144 yang mengutip dari Risalah Raikhan al-Qulub Fi al-Wushul Ila al-Mahbub karya Syaikh Jamaluddin Abi al-Mahasin Yusuf bin Abdullah bin Umar bin Ali bin Khidzir al-Kurani. Disebutkan, Nabi Muhammad Saw mentalqin (menuntun) zikir لا اله إلا الله kepada sayyidina Ali Krw secara individu.

Syaikh Jamaluddin Abi al-Mahasin Yusuf bin Abdullah bin Umar bin Ali bin Khidzir al-Kurani menjadi mahaguru dalam rantai silsilah al-Hamdaniyah yang berasal dari tarekat al-Ghoust dan Uwaisiyah. Dalam satu naskah terdapat tulisan Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Qurasyi al-Syibrisyi yang menceritakan bahwa sayyidina Ali Krw bertanya kepada nabi Muhammad “Wahai Rasulullah Saw tunjukkanlah kepadaku jalan dekat menuju kepada Allah”.

Rasul bersabda, ‘Wahai Ali, tetapkanlah dirimu dengan melanggengkan zikir (ingat) kepada Allah dalam melakukan khalwat’, lalu sayyidina Ali berkata ‘Zikir itu mempunyai faidah yang banyak dan semua manusia melakukannya’, kemudian Rasul bersabda , “Jangan begitu wahai Ali, hari kiamat tidak akan melanda bumi selama ada seseorang yang berucap Allah Allah.

Sayyidina Ali bertanya lagi “Bagaimana caranya saya berzikir?”, Rasul menjawab, “Pejamkan kedua matamu lalu dengarkanlah ucapanku 3 kali, kemudian tirukanlah 3 kali’. Sementara aku mendengarkannya, Rasulullah berkata لا اله إلا الله لا اله إلا الله لا اله إلا الله sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan ucapannya. Sementara sayyidina Ali mendengarkannya, kemudian sayyidina Ali menirukan ucapan dan keadaaan (tindakan) nabi, sementara nabi mendengarkannya”.

سَالَ عَلِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ النَّبِىَّ صَلْعَمْ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى اَقْرَبِ الطُّرُقِ اِلَى اللهِ وَ اَسْهَلِهَا عَلَى عِبَادِهِ وَ اَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ. فَقَالَ يَا عَلِى عَلَىْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى فِي الْخَلْوَاتِ فَقَالَ عَلَى هَكَذَا فَضِيْلَةُ الذِّكْرِ وَ كُلُّ النَّاسِ ذَاكِرُوْنَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلْعَمْ يَا عَلِى لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اَللهُ اَللهُ فَقَالَ كَيْفَ اَذْكُرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاسْمَعْ مِنِّيْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قُلْ اَتَتْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَ اَنَا اَسْمَعُ فَقَالَ النَّبِىُّ صَلْعَمْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مَغْمَضًا عَيْنَيْهِ رَافِعًا صَوْتَهُ وَ عَلِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَسْمَعُ ثُمَّ قَالَ عَلِى لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مَغْمَضًا عَيْنَيْهِ رَافِعًا صَوْتَهُ وَ النَّبِىُّ صَلْعَمْ سَيْمَعُ.

Kemudian sayyidina Ali mentalqin kalimat dengan cara tersebut kepada Hasan Basri, kemudian Hasan Basri mentalqin Habib al-Ajami, kemudian al-Ajami mentalqin Daud Tho’i, Daud Tho’i mentalqin al-Ma’ruf al-Karkhi, al-Ma’ruf al-Karkhi mentalqin Sari al-Siqthi, Sari al-Siqthi mentalqin Abu Qasim al-Junaidi, Abu Qasim al-Junaidi mentalqin Mamsyud al-Dainuri, Mamsyud al-Dainuri mentalqin Ahmad Aswad al-Dainuri.

Ahmad Aswad al-Dainuri mentalqin Muhammad Suhrowardi, Muhammad Suhrowardi mentalqin Qadhi Wajihuddin, Qadhi Wajihuddin mentalqin Abu Najib al-Suhrowardi, Abu Najib al-Suhrowardi mentalqin syaikh Syihabuddin al-Suhrowardi, syaikh Syihabuddin al-Suhrowardi mentalqin syaikh Najihuddin Ali bin Buzghusy al-Syirozi, syaikh Najihuddin Ali bin Buzghusy al-Syirozi mentalqin syaikh Nuruddin Abdussomad al-Nadhmiri.

Syaikh Nuruddin Abdussomad al-Nadhmiri kepada syaikh Badruddin al-Thusi dan syaikh Najmuddin Muhammad al-Ashfihani, keduanya mentalqin syaikh Khusnan al-Syasyiri, syaikh Khusnan al-Syasyiri mentalqin syaikh Najmuddin, syaikh Najmuddin mentalqin syaikh Abu al-Mahasin Jamaluddin Yusuf bin Syaikh Abu Muhammad Abdullah al-Kurani (al-Simth al-Majîd, halaman 143-145)

Disamping harus ada izin dari guru yang berhak dan sah, bagi yang bersangkutan (yang berkehendak memperoleh ilmu), harus ada niat yang kuat dan mantab.

Maksud dan kandungan niat minta petunjuk ilmu Syathariyah, biasanya diniatkan dengan ungkapan sebagai berikut:

نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

atau

نَوَيْتُ أَنْ أَدْخُلَ طَرِيْقَ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

”Saya berniat untuk ‘masuk’ mohon petunjuk ilmunya guru yang shaleh fardhu karena Allah Ta’ala.”

Diterjemahkan sebagaimana di atas karena mempunyai maksud dan tujuan agar para pengamal ilmu ini akan menjadi orang-orang yang benar-benar bermujâhadah (memerangi hawa nafsunya sendiri) hingga membentuk diri menjadi orang yang sabar dan tawakkal supaya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.

Tingkat dan martabat rasa yaitu relanya hati untuk melaksanakan lakon (ibadah yang dapat dilaksanakan oleh jasad) dan pitukon (amal jariah, zakat, infaq dan sejenisnya) untuk tujuan mendekat kepada-Nya (berjuang, berkorban dan berbakti dalam memenuhi taatnya kepada guru) dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya. Rasa hati yang tulus ikhlas karena Allah SWT., dengan Allah SWT., di jalan Allah SWT., Untuk Allah SWT., sehingga dia” tidak merasa” bahwa dirinya berkorban dan berbakti.

Perlu diketahui bahwa yang demikian itulah perjalanan hidup hamba-hamba Allah SWT. yang shaleh. Perjalan hidup hamba yang dicintai oleh-Nya.

Perlu diketahui bahwa ilmu ini adalah ilmu tentang Tuhan, ilmu untuk mengenal diri-Nya, Dzat yang al-Ghaib wajib wujud-Nya, dekat sekali dalam Rasa hati, Allah asma’-Nya. Ilmu Syathariyah adalah ilmu yang menjadi pingitan  Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Jîn: 26-27.

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً ﴿٢٧﴾ (الجن: 26-27)

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya, (QS. al-Jîn: 26-27).

Bahwa hanya dialah yang mengetahui al-Ghaib itu, maka Dia tidak sama sekali memperlihatkan (dalam mata hati) tentang keberadaan dirinya yang al-Ghaib itu kepada seorang pun, kecuali bagi orang yang diridai-Nya (ilmu tersebut hanya diperoleh) dari Rasul-Nya.

Sumber: Alif.ID

151. Ajaran Tarekat Syathariyah (2)

Perlu diketahui bahwa keberadaan Rasul di kalangan ahli Syathariyah tidak terputus ketika Nabi Muhammad Saw wafat. Sebab, yang wafat hanyalah jasadnya saja, sedangkan nurnya (nur Muhammad) tetap bercaya. Ia adalah cahaya terpuji-Nya, Dzat yang wajib wujud. Antara cahaya dan Dzat bagaikan shifat dan maushûf, bagaikan kertas dan putihnya yang tetap menyatu dan menjadi satu, tidak ikut mati.

Nur yang selalu bercahaya dalam dada Nabi Muhammad Saw ini juga harus terus mengalir ke dalam dada hamba yang diridai oleh-Nya sampai hari kiamat. Dan yang ditugasi Allah Swt mengalirkan cahaya terpuji-Nya, Dzat yang wajib wujudnya ini adalah Rasul.

فَآمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنزَلْنَا وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (التغابن: 8)

Maka berimanlah kamu semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada nur yang telah kami turunkan. Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan, (QS.at-Taghâbun:8).

Nur yang dimaksud adalah nur Muhammad. Cahaya terpuji-Nya Dzat yang wajib wujudnya. Cahaya yang dengan Dzat selalu menyatu menjadi satu. Jadi Nur disini adalah al-ghaib itu sendiri. Sedangkan mahluk lain yang banyak sekali yang sama-sama tidak bisa dilihat mata kepala, namanya al-ghuyub. Beberapa hal yang digolongkan gaib tetapi bukan al-ghaib.

Bukan dirinya Ilahi yang al-ghaib.  Sebab al-ghaib adalah satu-satunya Dzat yang tidak akan pernah menampakkan diri di muka bumi dan ma’rifah, adalah jelas dan tertentu. Seandainya barang, maka ini barangnya. Sebab memang sudah seharusnya dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati keberadaan-Nya, apabila secara benar ditanyakan kepada ahli-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ  (الأنبياء: 7)

Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada ahli zikir jika kamu tidak mengetahui, (QS. al-Anbiyâ’:7).

Dzat Tuhan yang Allah asma-Nya (al-ghaib) karena tidak akan pernah ngejawantah (menampakkan Diri), sedang keberadaan diri yang al-ghaib itu seharusnya (atas kehendak-Nya) dapat dikenali dengan yakin agar hamba-Nya tidak masuk ke jurang dosa yang tidak ada ampun di hadapan-Nya (dosa syirik), sebagaimana hal ini termaktub dalam QS. Ali-Imrân: 179:

مَّا كَانَ اللهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى مَا أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيْزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِيْ مِنْ رُّسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُواْ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَإِن تُؤْمِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ (آل عمران: 179)

Allah tidak akan membiarkan orang-orang mukmin dalam keadaan seperti sekarang sehingga Dia menyisihkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah tidak akan memperlihatkan kepadamu keadaan yang al-ghaib. Akan tetapi Allah memilih rasul-rasul, siapa yang Dia kehendaki (untuk mengetahui tentang al-ghaib itu). Maka berimanlah Kepada Allah dan para rasul. Jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar, (QS. Âli-Imrân: 179).

Bahwa karena Dia sama sekali tidak akan mengajari kamu semua perihal al-ghaib-Nya, lalu Dia memilih utusan yaitu orang yang dikehendaki-Nya untuk mengajari perihal keberadaan-Nya yang  al-ghaib  itu, hingga syarat menjadi muttaqin (supaya menjadi hamba yang mendapat hidayah-nya) terpenuhi.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ (البقرة: 2-3)

Kitab (al-Qur’an) yang tidak disangsikan (kebenarannya). Menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada al-ghaib, mendirikan shalat dan dari sebagian rizki yang kami berikan, mereka nafkahkan, (QS. al-Baqarah: 2-3).

Di samping itu agar tidak menjadi hamba yang bernasib seperti jin dan iblis adalah termasuk dari golongan jin:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً (الكهف: 50)

Dan ingatlah (ketika) kami berfirman pada malaikat: ’Tunduklah (memberi hormatlah)  kepada Adam!, Maka tunduklah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, dia mendurhakai Tuhan-Nya. Adakah pantas kamu mengambil iblis itu dan anak cucumya menjadi pemimpin selain aku? Sedangkan mereka adalah musuhmu. Alangkah buruk tukaran (iblis sebagai pengganti Allah)bagi orang-oarang zalim, (QS. al-Kahfi: 50).

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ (سبأ: 14)

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan, (QS. Saba’: 14).

Juga supaya tidak mendapat kecaman dari Allah Swt bagi mereka yang tidak mempunyai ilmu (tentang) al-Ghaib, lalu merasa dan mengaku mengetahui, firman-Nya:

أَعِندَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى (النجم: 35)

Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang al-ghaib , maka dia dapat melihat-Nya, (QS. an-Najm: 35).

أَمْ عِنْدَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُونَ (القلم: 47)

Atau apakah mereka mempunyai al-ghaib lalu mereka (berani) menulis?, (QS. al-Qalam: 47).

Bahkan agar tidak akan menjadi hamba yang diancam dengan kerasnya azab karena ungkapan katanya “kami beriman kepada Allah”, padahal bagaimana mungkin mereka dapat mencapai keimanan dari tempat yang jauh?”.

وَقَالُوا آمَنَّا بِهِ وَأَنَّى لَهُمُ التَّنَاوُشُ مِن مَكَانٍ بَعِيدٍ ﴿٥٢﴾ وَقَدْ كَفَرُوا بِهِ مِن قَبْلُ وَيَقْذِفُونَ بِالْغَيْبِ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ ﴿٥٣﴾ (سبأ: 52-53)

Dan (di waktu itu) mereka berkata: “Kami beriman kepada Allah”, bagaimanakah mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu. Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka menduga-duga tentang yang gaib dari tempat yang jauh, (QS. Saba’: 52-53)

Kemudian bagi yang berkehendak kuat untuk memperoleh ilmu  harus mengetahui dan menyadari bahwa Allah SWT. itu adalah Asma’-Nya Dzat yang wajib wujud-Nya tetapi al-ghaib. Sebagaimana halnya asma’ (nama) dengan sendirinya tidak bisa apa-apa. Yang bisa berbuat apa-apa dan segala-galanya adalah Dzat-Nya yang al-ghaib itu.

Seperti halnya apabila seorang menikah, apakah akan puas dan menerima kalau hanya menikah dengan namanya saja, tetapi tidak dengan orangnya.

Karena itu perlu diketahui pula bahwa firman Allah SWT.:

وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ (التكوير: 24)

Dan dia (Rasul) tidaklah bakhil untuk menerangkan perihal al-Ghaib, (QS. at-Takwîr: 24).

Ayat ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW. masih hidup, tetapi berlaku bagi umat islam hingga kiamat. Meski ternyata sebagian tidak yakin, maka lalu azab Tuhan datang dan menghancurkan disaat dâbbah diberdayakan, sebagaimana firman-Nya dalam (QS. an-Naml: 82):

وَإِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِّنَ الْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لَا يُوقِنُونَ (النمل: 82)

Dan apabila telah putus hukuman mereka, kami keluarkan binatang melata (dâbbah) dari  bumi yang mengatakan kepada mereka bahwa manusia tidak mempercayai ayat-ayat kami, (QS. an-Naml: 82).

Kehadiran Rasulullah yang selalu berada di tengah-tengahmu sebagaimana firman Allah SWT.:

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللهِ وَفِيْكُمْ رَسُوْلُهُ وَمَنْ يَعْتَصِم بِاللهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (آل عمران: 101)

Kenapakah kamu kafir; padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan rasul-Nya bersama kamu? Dan barang siapa berpegang teguh kepada Allah sesungguhnya dia telah diberi petunjuk, (QS. Âli ‘Imrân: 101).

وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيْكُمْ رَسُولَ اللهِ …. (الحجرات: 7)

Dan ketahuilah bahwasanya Rasulullah berada diantara kamu, (QS. al-Hujurat: 7).

Ternyata oleh umat Islam ayat tersebut sudah tidak diyakini kebenarannya. Sehingga al-Haqq min rabbika, maunya mereka al-Haqq itu diganti harus dari golonganku, dari pendapatku, dari kepandaianku, dari usulanku, dari mazhabku, dari siasatku, dari kebijakan-kebijakanku, dari kekuasaanku, dari harga diri dan kehormatanku, dan seterusnya.

Sumber: Alif.ID

152. Tata Cara Baiat Tarekat Syathariyah

  • Niat meminta ilmu Syathariah

نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

  • Mandi bersuci, niatnya:

نَوَيْتُ غُسْلاً لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

  • Berpuasa tiga hari berturut-turut (paling sedikit)

Puasa pada hari ketiga menghadap guru yang berhak dan sah menunjukkan ilmu untuk memohon ijinnya.

Waktu pemberian petunjuk tentang ilmu ini biasanya sehabis shalat ‘Ashar.

Niat puasanya sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

  • Latihan mukaddimahnya ilmu Syathâriah

Yakni zikir tujuh macam yang disesuaikan dengan jumlah nafsu manusia yang juga ada tujuh macam. Pemahaman dan latihan mukaddimahnya ilmu ini biasanya dilakukan oleh pimpinan cabang atau perwakilan cabang warga yang membawa warga baru untuk dapatnya memperoleh ilmu ini dan akan dilatih lagi di pusat sebelum menghadap guru.

  • Membayar kifarat

Penjelasan yang langsung dari guru-guru (dengan lisan) yang dilakukan secara bergilir dan tidak pernah putus sejak Nabi Muhammad Sawhingga kini, kifarat ini adalah menebus dosanya sendiri.

Adapun besarnya kifarat adalah sesuai dengan kemampuan (layaknya sebesar biaya untuk kematian dirinya) dan diserahkan kepada yang berhak dan sah sebagai pelanjut guru wâsithah (yang kemudian ditasharrufkan pada berbagai kegiatan pendidikan, dakwah, sosial, pembangunan sarana dan prasarananya).

Adab Syaikh

Seorang guru wâsithah yang berhak dan sah (atas izin dan kehendak-Nya) dipusakai dengan empat martabat:

  • Martabat Mursyidûn

Memperoleh pelimpahan wewenang dan izin untuk menunjukkan ilmu tentang Dzat yang al-ghaib, yang Allah asma-Nya, serta jalan lurus-Nya supaya dapat selamat sampai kepada-Nya dari guru yang silsilahnya berantai tidak pernah putus (gilir gumantinya) sampai kepada Sayyidinâ ‘Âli bin Abû Thalib As. hingga Nabi Muhammad Saw.

Dan memberi petunjuk atas berbagai tingkat temuan si murid (yang berkehendak bertemu Tuhannya) agar tidak menjadi hambatan dan rintangan terhadap tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai yaitu ma’rifat billah.

  • Martabat Murabbiyûn

Tidak jemu-jemu mengingatkan dan membimbing si murid supaya mempunyai kesabaran (ketahan mental, tahan ujian dalam memberlakukan  jihâd al-nafs terhadap dirinya sendiri). Mengingat bahwa proses diri untuk mendekat kepada-Nya adalah semua hal yang tidak disukai oleh nafsu.

Ini adalah perjalanan yang pelik sekali, banyak pengorbanan dan besar gangguannya. Ini adalah proses yang suci dan kesucian itu yang akan dicapai. Keluhuran dan kesempurnaan tauhid (muwahid) yang akan dicapai.

  • Martabat Nashihûn

Memberi nasehat, dan isi nasehatnya sama sekali tidak akan bertentangan dengan firman-firman Allah SWT. dan tidak akan bertentangan dengan Hadis-Hadis Nabi. Sebab keduanya adalah saksi nyata kebenaran al-Haqq-Nya (kebenaran kelangsungan tugas dan fungsi kerasulan Nabi Muhammad Saw)

Karena itu, apabila segala nasehatnya dita’ati, maka buah dan manfaat yang diterima serta sampainya dengan selamat bertemu dengan-Nya, sama persis seandainya langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw sendiri.

  • Martabat Kâmilûn

Sempurna dan menyempurnakan (kâmil-mukammil). Sebab hakikat guru ini adalah Tuhan sendiri. Maka dari itu, jasad yang kebetulan diberi tugas dan disebut dengan ahl al-dzkr (ahli mengingat-ingat-Nya dalam hati nurani, ruh dan rasa yang selalu menghayati diri-Nya sehingga dengan seyakin-yakinnya telah mengenal Dia, Dzat yang al-ghaib dan Allah Asma’-Nya).

Sama sekali tidak akan berani mengaku dan merasa menjadi guru. Ahl al-dzikr takutnya luar biasa, seandainya muncul watak berani menyekutukan Allah Swt. Sebab, dia sendiri yang diwujudkan jasad sebagai manusia biasa, juga berusaha keras bagaimana seharusnya mengamalkan seluruh petunjuk dan perintah dari guru yang memberi tugas kepada dirinya.

Dan menyempurnakan (mukammil). Maksudnya bagi murid yang taat sepenuh hati kepadanya, ia juga  akan sempurna. Selamat dan bahagia bertemu dengan Dzat Yang Maha Sempurna.

Adab Salik

  1. Senang mujâhadah, melaksanakan amal perbuatan yang mudah dikerjakan oleh gerak tingkah lakunya jasad, seperti memperbanyak shalat, puasa, membaca Alquran, serta amal ibadah lain yang besar faedahnya baik untuk diri sendiri mupun untuk orang lain. Sebagaimana yang banyak disabdakan oleh Hadis-Hadis Nabi Muhammad Saw, termasuk perbuatan yang kebanyakan orang menganggap sepele. Seperti halnya menyingkirkan duri dari jalan.
  2. Senang melakukan mujahadah yang harus disertai dengan:
  • Budi pekerti yang baik (bi tahsîn al-akhlâq). Ahlak yang baik ini terbentuk dari seseorang yang ilmunya bermanfaat. Yaitu seseorang yang dengan ilmunya itu selalu mengetahui terhadap aib dirinya sendiri. Dengan demikian akan Allah Swt akan menjadikan seorang hamba pandai untuk dipandaikan mengadili dirinya sendiri.

Sadar bahwa ternyata aibnya selalu menyertai perbuatan salah dan dosa, yang selanjutnya perbuatan salah dan dosa itu akan ditutupi dengan perbuatan-perbuatan baik. Itulah sebabnya orang yang baik budi pekertinya maka ia tidak akan mementingkan dirinya sendiri, dengan rela hati meringankan beban orang lain serta gemar menolong atas derita sesama.

  • Sucinya jiwa raga (tazkiyah al-nafs), adalah hamba Allah Swt yang sangat berhati-hati agar apa yang dimakan, dipakai dan ditempati  berasal dari hasil yang benar-benar terjamin kehalalannya. Memenuhi wasiat guru kepada segenap muridnya yaitu:

“Urip ing ndunyo iki mosok angel, sauger gelem ukril ya gempil. Sing angel iku sejatine, yen ora merkuleh pitulungane Gusti Allah yaiku olehe tansah gelem merangi nafsune dewe supaya patuh lan tunduk didadekake  tunggangane atinurani, roh lan rasa bali maring Allah hingga tumeka”.

Hidup di dunia ini tidaklah sulit, asal ada kemauan untuk bekerja (kreatif) ya jadi mudah. Yang sulit adalah berusaha mendapatkan pertolongan Allah Swt. Yaitu, kemauan untuk memerangi hawa nafsunya sendiri agar dapat patuh dan tunduk untuk dijadikan kendaraan hati nurani, ruh dan rasa pulang kembali kepada Allah hingga sampai kepada-Nya.

  • Beningnya hati (tashfiyah al-qalb). Hati yang bening adalah hati yang dilatih dan dididik agar tidak digunakan bagi munculnya angan-angan dan gagasan (hiyal wahmi) yang terjadi karena mengikuti kehendak watak manusia. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar hati ini terlatih hanya untuk mengingat-ingat hal-hal yang diridhai oleh Tuhan.
  • Senang melakukan hal-hal bagi syi’arnya agama Allah Swt. Seperti membangun sumber-sumber pendidikan bagi penyiapan generasi yang ‘ârif billâh yang didukung oleh pendayagunaan sarana dan prasarana terhadap kesiapan dayanya cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
  1. Senang bersama-sama sesama saudara setujuan dan secita-cita untuk membuktikan rasa cintanya kepada Allah Swt supaya menjadi al-SyaththârYakni hamba yang ditarik fadhal dan rahmat-Nya telah dapat mengeluarkan dari dalam hatinya semua hal tentang dunia.

Hingga yang tetap dalam hatinya hanyalah Diri-Nya Tuhan Dzat Yang al-Ghaib dan wajib Wujud-Nya, Allah Asma’-Nya. Ini adalah satu-satunya jalan yang tetap bagi selamatnya mati dan sekaligus memenuhi wasiat Nabi Muhammad SAW.. “Mûtû qabla an tamûtû”.

Sumber: Alif.ID

153. Aurad Tarekat Syathariyah

Ada riwayat Hadis yang menjelaskan tentang tata cara talqin zikir dan penambahannya. Semua itu dijelaskan dalam kitab Raihan al-Qulûb Fî Tawashul Ila al-Mahbûb karangan syaikh Jamaluddin Abu Mahasin Yusuf bin Abdillah bin Umar bin Ali bin Khidhir al-Kurani.

Riwayat tersebut dari rantai silsilah sayyid Hibbatulloh bin Atho’illah al-Hasan al-Husaini al-Farisi yang dikenal dengan julukan syaikh Mir cucu al-Hafidz Nuruddin Abi al-Futukh Ahmad bin Abdillah bin Abu Futukh bin Abi al-Khoir bin Abdul Qodir al-Hakim yang menjadi salah satu guru dari syaikh Syamsuddin bin al-Jazri (al-Simth al-Majîd, halaman 145-146).

Syaikh Tajuddin AbDurrahman bin Syihabuddin Mas’ud bin Muhammad meriwayatkan sebuah riwayat dari syaikh Abu al-Futukh dengan sanad yang sampai pada syaikh Hibbatulloh (riwayat ini juga ditulis oleh syaikh Abu al-Mawahib Ahmad bin Ali al-Abbas al-Syinnawi).

Syaikh Hibbatullloh (syaikh Mir) berkata ”Metode zikir ini ada 6 tata cara”: 

  1. Zikir dengan tanpa tata cara khusus.

Zikir ini bisa dilakukan pada semua waktu, dengan mengikuti sunnah Nabi. Jenis zikir ini mirip dengan zikir yang umum dilakukan oleh mahluk. Seperti ungkapan syaikh Tajuddin AbDurrahman al-Mursyid al-Kuzruni yang berbunyi: “Ketahuilah bahwa zikir لا اله ألا الله ada dua macam:

(a) Zikir mutlak yang tidak dibatasi dengan keadaan tertentu dan (tidak) mengarah pada tekanan tertentu, jenis zikir ini bisa dilakukan tiap waktu, keadaan, dan tanpa hitungan. Zikir ini merupakan zikir yang dilakukan oleh kebanyakan mahluk karena (zikir semacam ini) lebih sempurna dan lebih meyakinkan.

(b) Zikir yang dibatasi dengan keadaan tertentu dan mengarah pada tekanan tertentu, dilakukan pada waktu, keadaan, dan hitungan yang ditentukan.”

  1. Zikir yang dibatasi dengan 2 pukulan, menurut Tarekat Khalwatiyah.

Jenis zikir ini sanad silsilahnya sampai pada nabi Muhammad. Cara melakukan zikir ini adalah dengan:

  1. Duduk bersila dengan meletakkan kedua telapak tangan di kedua paha;
  2. Memejamkan kedua mata;
  3. Memulai zikir dari arah tubuh sebelah kiri (dibawah puting payudara kiri) dengan tujuan mengambil segala sesuatu selain Allah dari dalam hati dengan (secara bersamaan) mengucapkan lafadz لاَ;
  4. Menjalankan dan mengarahkan lafadz اِلَهَ kearah atas bahu kanan (disebut juga al-Manfi);
  5. Menancapkan lafadz اِلَّا di atas bahu kanan;
  6. Dan mengarahkan lafadz الله dalam hati serta memalingkannya dari segala sesuatu selain Allah disertai dengan menancapkan lafadz Jalalah secara keras ke dalam hati, sehingga menyebabkan hati mengeluarkan cahaya zikir.

Metode zikir ini didapat oleh Syaikh Hibbatulloh (syaikh Mir) dari kakek dan gurunya yaitu syaikh Abu al-Futukh Abu Bakar al-Khowafi, Syaikh Abu al-Futukh Abu Bakar al-Khowafi mendapat dari syaikh Abdurrahman al-Qurasyi al-Bachri, syaikh Abdurrahman al-Qurasyi al-Bachri mendapat dari syaikh Jamaluddin Yusuf bin Abdulloh al-Kurani.

Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Abdulloh al-Kurani mendapat dari Syaikh Najmuddin Mahmud bin Sa’dulloh al-Ashfihani, syaikh Najmuddin Mahmud bin Sa’dulloh al-Ashfihani mendapat dari syaikh Abdul al-Shomad al-Nadzimi, syaikh Abdul al-Shomad al-Nadzimi mendapat dari syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi, syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi mendapat dari pamannya sendiri yaitu syaikh Dhiyauddin al-Suhrawardi.

Syaikh Dhiyauddin al-Suhrawardi mendapat dari syaikh Ahmad bin Muhammad al-Ghazali (saudara imam Ghazali), Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Ghazali mendapat dari syaikh Abu Bakar bin Muhammad al-Nasaj al-Thusi, syaikh Abu Bakar bin Muhammad al-Nasaj al-Thusimendapat dari Syaikh Abu Qosim bin Abdullah al-Kirkani, Syaikh Abu Qosim bin Abdullah al-Kirkani mendapat dari Abu Utsman Sa’id Salam al-Maghribi.

Abu Utsman Sa’id Salam al-Maghribi mendapat dari Ali al-Hasan bin Ahmad al-Katib al-Misri, Ali al-Hasan bin Ahmad al-Katib al-Misri mendapat dari Abi Ali al-Ruzbari, Abi Ali al-Ruzbari mendapat dari syaikh Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi, syaikh Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi mendapat dari pamannya sendiri yaitu Sari bin Mughlis al-Siqthi.

Sari bin Mughlis al-Siqthi mendapat dari Abu Mahfudz Ma’ruf bin Fairuz al-Karkhi, Abu Mahfudz Ma’ruf bin Fairuz al-Karkhi mendapat dari Abu Sulaiman Daud al-Tho’i, Abu Sulaiman Daud al-Tho’i mendapat dari syaikh Habib al-‘Ajami, syaikh Habib al-‘Ajami mendapat dari sayyid Hasan Basri, sayyid Hasan Basri mendapat dari Sayyidina Ali Krw., Sayyidina Ali Krw. mendapat dari nabi Muhammad SAW.

عَلِى بِنْ أَبِى طَالِبْ عَلَىْهِ رِضْوَانُ اللهِ الْمُلْكِ الْوَهَّابِ لَهُ (قَالَ) قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى أَقْرَبِ الطُّرُقِ إِلَى اللهِ وَ أَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ وَ أَشْمَلِهَا عَلَى عِبَادَةِ اللهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ عَلَىْكَ بِمَا وَصَلْتَ بِهِ إِلَيَّ النُّبُوَّةَ فَقُلْتُ وَ مَاذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ بِمُدَاوَمَةِ الذِّكْرِ فِي الْخَلْوَاتِ قُلْتُ هَكَذَا فَضِيْلَةُ الذِّكْرِ وَ كُلُّ النَّاسِ ذَاكِرُوْنَ قَالَ مُهَّ يَا عَلِى لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اللهُ اللهُ ثُمَّ قُلْتُ وَ كَيْفَ اَذْكُرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اِسْمَعْ مِنِّيْ حَتَّى اَقُوْلُهَا ثَلَاثًا وَ اَنْتَ تَسْمَعُ ثُمَّ قُلْهَا ثَلَاثًا وَ اَنَا اَسْمَعُ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ سَمِعْتُ مِنْهُ ثُمَّ قُلْتُ كَمَا سَمِعْتُ فَاَجَازَ لِيْ اِنَّ الْفَنَّ غَيْرِيْ (السمط المجيد، ص 147-148).

Menurut syaikh Tajuddin al-Karzuni metode zikir yang kedua ini memiliki tiga cara:

Pertama: Syaikh Hibbatulloh (guru syaikh Tajuddin al-Karzuni) menambahkan pergerakan zikir 2 tekanan yaitu:

  • Duduk bersila dengan meletakkan kedua telapak tangan di kedua paha;
  • Memejamkan kedua mata;
  • Memulai zikir dari arah tubuh sebelah kiri (dibawah puting payudara kiri) dengan tujuan mengambil segala sesuatu selain Allah dari dalam hati dengan (secara bersamaan) mengucapkan lafadz لاَ;
  • Menjalankan dan mengarahkan lafadz اِلَهَ kearah atas bahu kanan (disebut juga al-Manfi); Menjalankan lafadz اله sambil menjalankan ke arah pusar, kemudian mengembalikan ke paha kanan dengan tujuan menghilangkan segala pengaruh syahwat farji yang dijadikan wakil oleh syaitan. (tambahan ini tidak ada pada syaikh Hibbatulloh).
  • Menancapkan lafadz اِلَّا di atas bahu kanan;
  • Dan mengarahkan lafadz الله dalam hati serta memalingkannya dari segala sesuatu selain Allah disertai dengan menancapkan lafadz Jalalah secara keras ke dalam hati, sehingga menyebabkan hati mengeluarkan cahaya zikir. Penambahan ini berasal dari syaikh Zainuddin Abu Bakar al-Khowafi.Kedua: Metodenya adalah dengan menambahkan 3 tekanan seperti yang dilakukan oleh Thoriqoh al-Nuriyah al-Asfarayiniyah;
    Ketiga: Dan juga menambahkan 4 tekanan seperti yang dilakukan Tarekat al-Rukniyah.3. Zikir tahlil yang dibatasi dengan 2 tekanan tanpa menjalankan ke arah pusar.
    Tata cara zikir ini sebagai berikut:
    * Diawali dari arah kanan dan membaca panjang lafadz لَا اِلَهَ dari arah sisi kanan dengan niat meniadakan segala sesuatu selain Allah;
    * Kemudian menetapkan lafadz الا الله ke dalam hati yang letaknya dibawah puting susu kiri. Metode zikir ini adalah metode zikir Taekat Kholwatiyah.4. Zikir tahlil dengan 3 tekanan.Jenis zikir ini dilakukan oleh Tarekat al-Asfaraniyah dengan tatacara sebagai berikut:
    * Duduk bersila dengan meletakkan telapak kaki kanan di atas betis kaki kiri, dengan kedua tangan memegang betis
    kaki kanan;
    * Memejamkan kedua mata;
    * Zikir dimulai dari pusar dengan membaca lafadz لاَ dan menakankan bacaan tersebut di pusar;
    * Mengarahkan lafadz اِلَهَ ke arah bahu kanan;
    * Menancapkan lafadz اِلَّا ke arah bahu kanan;
    * Mengarahkan lafadz الله ke dalam hati dengan kuat dan memalingkan segala sesuatu selain Allah, sehingga hati
    menjadi bersinar.

Sumber: Alif.ID

154. Tujuh Macam Zikir Syathariyah

Persiapan untuk mendapatkan izin dari guru yang berhak dan sah menunjukkan ilmu Syathariyah adalah dilatih mukadimah ilmunya, yang diperagakan pada jagad pribadi. Mukadimah ini adalah sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam ilmu Syathariyah, yakni tujuh macam zikir, disesuaikan dengan jumlah nafsu manusia yang juga ada tujuh macam. Sebab “mlebu maring Allah” atau bercita-cita supaya dapat selamat pulang kembali bertemu dengan diri-Nya harus dengan mengendarai nafsu. 

Tujuh macam zikir Tarekat Syathariyah tersebut meliputi thawaf, nafi istbat, itsbat faqad, ismu dzat, zikir taraki, zikir tanazul, dan zikir ismu ghaib

  • Thawaf

Mengucap kalimah :لا إله إلا الله (3x) Dilakukan pada diri (jagad) pribadi. Caranya memutar kepala, mulai dari bahu kiri. Alat penunjuknya adalah dagu (simbol pena Allah Swt dengan tinta nur Muhammad). Dengan dagu tersebut lalu menggaris dada (mulai dari bahu kiri) menuju bahu kanan, berpusat pada pusar, membentuk Lam Alif dengan mengucap kalimah “Lâ ilâha” (zikir pertama), dengan menahan nafas.

Setelah sampai pada bahu yang kanan lalu menarik nafas, baru mengucapkan (zikir kedua) yaitu  kalimah itsbât ‘IllAllah yang dipukulkan (oleh dagu) tersebut ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah payudara kiri.

Bahu kanan sebagai tempat menarik nafas ketika hendak mengucap kalimah nafi “illAllah” adalah simbolnya “maqâm firâq”. Simbol pisahnya yang hak dan yang batal. Simbol nafinya dzat, sifat dan af’alnya hamba supaya dapat membuktikan bahwa satu-satunya yang wujud dan yang ada adalah yang diitsbatkan (ditetapkan) dalam hati.  Yaitu Diri-Nya Ilahi al-ghaib yang hanya dapat diketahui dari guru wasithah yang berhak dan sah menunjuki.

Maksud dan kandungan makna dari zikir mukaddimah (zikir pertama dan kedua), yang bertempat pada bahu kiri (tempat mulai thawaf) dan bahu kanan (tempat menarik nafas) adalah simbol hamba yang mempunyai keberanian dengan tekad, mantab, meski betapapun berat resiko yang harus ditanggung guna memenuhi amanat ilahi.

Jadi sebagai simbol keberanian memikul amanah dari Allah SWT. yaitu:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ

Sembahlah Tuhanmu hingga datang yaqin (mati)

Ayat tersebut mengandung makna supaya menyembah Tuhan yang asma’nya Allah dengan kesungguhan berjihâd an-Nafsi supaya dapat lulus dalam mengikuti watak dan jejak para malaikatul muqarrabin, rela sepenuh hati sujud (memperlakukan diri bagai mayit yang patuh dan taat di hadapan yang berhak dan sah mensucikannya) hingga akan ditarik fadhal dan rahmat-Nya dapat seyakinnya merasakan kehadIran yang disembah itu.

Ketika menjelajahi jagat (menjalani kehidupan dunia sebatas umur masing-masing sebagai ujian dan cobaan ini) supaya dapat lurus harus berani menahan nafas, karena menahan nafas merupakan lambang sesuatu yang amat sangat penting. Agar dapat menjadi hamba-Nya Ratu Adil, karena dapat dimengertikan  bagaimana cara mengadili diri sendiri supaya hidupnya tidak ditipu daya, apalagi hingga sampai diperintah dan dijajah oleh hawa nafsu.

Lalu menjadi hamba yang hurriyah tammah. Menjadi hamba yang rasa jiwanya merdeka sejati. Menjadi hamba cahaya-Nya Ilahi di muka bumi. Dijadikan oleh-Nya dapat mengaktualisasikan fitrahnya jati diri.

Karena itulah ketika melakukan zikir istbat (IllAllah), dagu dipukulkan ke arah hati sanubari supaya markas besarnya nafsu lawwamah ini tidak berfungsi (dapat dikendalikan).

  • Nafi Itsbât

Kalimah Nafi Istbât (kalimah Thoyyibah) yaitu “Lâ Ilâha IllAllah” (dilafalkan secukupnya).

Zikir ini dilakukan sebanyak mungkin dengan menghidupkan angan-angan, bahwa semua hal tentang dunia dan apa saja termasuk jiwa raganya, nafi, tidak ada. Dibarengi dengan hati mengintai-intai dirinya Ilahi. Dan apabila masih selalu merasakan ada terhadap apa saja (dan ternyata memang demikianlah yang terjadi), maka segeralah menyadari atas salah dan dosanya sendiri.

Masih banyaknya lakon dan pitukon yang belum dijalani. Masih banyak sekali keteledoran dan masih sangat kurang kesungguhannya dalam ber-jihâd al-nafs. Dengan demikian jiwa dan taubat nasuha-nya terus menghidupi diri. Itulah sebabnya warga Syathariyah apabila melakukan zikir nafi istbat suara yang dikeraskan adalah suara nafi-nyaSebab begitu mengucap “ill” (yang lengkapnya IllAllah) suara seperti dimasukkan ke dalam yang mempunyai asma’ Allah SWT.

  • Itsbat Faqad

Zikir ini berupa lafal “illAllah” (diucapkan sebanyak 7x). dipukulkan kedalam hati nurani dengan alat pemukul dagu. Bermaksud mempertegas bahwa hanya diri-Nya lah Dzat yang Wujud dan yang Ada. Sehingga hati yang menjadi markas besarnya nafsu lawwamah  ini benar-benar diam. Tidak akan mengganggu perjalanan dan cita-cita hati nurani, ruh dan rasa dalam tujuan mendekat sehingga sampai ma’rifat kepada-Nya.

  • Ismu Dzat

Zikir Ism Dzat yaitu “Allah” (diucapkan sebanyak 7x) Arah yang dipukul oleh  dagu tepat pada tengah-tengah dada. Mengarah  pada ruh yang keberadaannya di dalam hati nurani. Supaya benar-benar disadari dan dipahami bahwa ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan dengan keluar masuknya nafas dalam dada, lalu karena itu wujud jiwa raga mempunyai daya dan kekuatan, ini semua adalah  min rûhihi.

Daya dan kekuatan Allah Swt sama sekali bukan bukan daya dan kekuatan nafsu yang terbiasa telah diaku oleh wataknya nafsu. Sebab bila demikian diterus-teruskan sama saja dengan telah berani menjadi hamba yang menyekutukan Tuhannya.

  • Zikir Taraki

Zikir TaRAki yaitu “Allah huwa (dibaca Alla huw) dibaca sebanyak 7x atau ganjil. Ucapan Allah diambil dari dalam dada, dan “huw” dimasukkan ke dalam baitul makmur (markasnya berpikir). Maksudnya supaya markas besarnya berpikir ini selalu dicahayai oleh cahaya Ilahi, sehinga potensi pikir akan benar-benar dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah dunia.

Bagi mengelola garapan dunia yang oleh Allah dicipta tidak sia-sia dan tidak batal ini, namun karena markas berpikir selalu diterangi oleh cahaya-Nya, sama sekali tidak akan ditujukan untuk mengumpulkan harta benda dunia, bersenang-senang, mengumbar hawa nafsu dan syahwat.

Berbangga-bangga dan bermegah-megah dengan kehidupan dunia. Tetapi semata-mata demi untuk subhaanaka. Demi untuk mensucikan Dzat yang Maha Suci. Oleh karena itu, hasil kerja kerasnya semata-mata dijadikan sebagai pancatan yang kokoh, guna mensucikan diri supaya dapat sampai selamat dan bahagia bertemu kembali dengan Dzat yang Maha suci.

  • Zikir Tanazul

Zikir ini berupa lafad “Huw Allah” (sebanyak 7x). “Huw” diambil dari baitul makmur (otak), dan kalimah Allah dimasukkan ke dalam dada. Sebab akhirat itu pintu masukknya ada di dalam dada. Al-taqwa haahuna (tiga kali) sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang dituding beliau adalah dadanya.

Sehingga akan senantiasa berkesadaran tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi, bahwa hidup dan kehidupan dunia dengan segala kewajiban hamba yang dilakukannya adalah merupakan proses nyata terhadap kandungan makna “inna lillaahi wa inna ilaihi rajiuun”

  • Zikir Ismu Ghaib

Zikir Isim Ghaib yaitu “Huwa” (dibaca huw dengan mulut tertutup, secukupnya)

Dengan mata terpejam dan mulut dikatupkan. Yang diarahkan tepat pada tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman Rasa yang telah diisi dengan zikir (ingatnya hati nurani pada al-ghaib, isinya Huw).

Zikir huw ini asalnya dari ha’ wawu di dhammah. Yaitu dhamir huwa. Dhamir yang maknanya adalah “sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang ada dan wujud diri-Nya Dzat al-ghaib yang Allah Asma’-Nya. Dan ini adalah makna kandungan firman Allah SWT. dalam Surat al-Ikhlas:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Sumber: Alif.ID

155. Talqin Zikir Syathariyah

Seorang salik di dalam mengamalkan Tarekat Syathariyah harus mengikuti talqin zikir terlebih dahulu oleh seorang mursyid, dan mengamalkan wirid tersebut sesuai dengan perintah mursyid. Caranya, mengucapkan kalimah  لا إله إلا اللهada yang 100 kali, atau 200 kali atau 1000 kali, atau 2000 kali, wirid tersebut dikerjakan satu kali duduk, atau di bagi berkali-kali sesuai kadar kelapangan waktu dan kemampuan.

Hendaklah salik melanggengkan apa yang telah diperintahkan mursyid  kepadanya dengan tidak melewati batasan yang telah diperintahkan agar mendapatkan kemanfaatan dengan seizin Allah. Apabila salik kosong dari kesibukan duniawi dan menyibukkan berzikir secara total kepada Allah, hingga Allah menetapkan kepadanya yaitu hakim yang sebaik-baiknya.

Mantalqin zikir kepada Allah sesuai perintah mursyidnya dengan mengambil secara sanad yang bersambung kepadanya baik dalam syariah dan tarekat. Sebagaimana Allah menetapkan dalam al-Qur’an yaitu:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿٣٧﴾

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ ﴿١٩﴾

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْراً كَثِيراً ﴿٤١﴾

Dan salik bersujud mulai sejak petang dan malam. Dia (Allah) dzat yang mendoakan terhadap kalian dan malaikatnya agar mengeluarkan dari perkara kegelapan kepada deRAng benderang (bercahaya) dan dia (Allah) bersama orang-orang yang beriman.

Maka dari itu orang yang berzikir harus melanggengkan zikirnya sesuai dengan pengetahuan dan setelah penetapan perintah. oleh karena itu seorang mursyid tidak akan memerintahkan kebenaran yang tidak diketahui tetapi dia memerintahkan sesuatu sesuai dengan pengetahuannya, hal ini sesuai dengan khithob pada zaman azali, karena qodimnya kalam Allah dan hubungan sifat kalam dengan sifat ilmu yang ghoib dan ilmu yang nyata.

Maka Allah telah memerintahkan sesuatu yang wujud dalam ilmunya Allah yang abadi, kapanpun yang Allah kehendaki, hendaklah engkau mengkiyaskan seluruh melakukan yang diperintah, sehingga tidak ada persamaan seperti perasangka orang yang menyamakan, baik berupa dahulunya alam karena qodimnya Alam dalam ilmunya Allah merupakan perintah untuk memulai, bukan untuk mengakhiri.

Maka tidak ada kesalahfahaman setelah ini, kecuali barunya alam dalam bentuk nyata bukan dalam ilmu Allah, maka tidak ada syubhat tapi justru hal ini adalah sesuatu yang benar dari Allah dan tidak ada jalan untuk perbedaan selamanya.

Adakalanya zikir dengan lisan dan zikir dengan hati, zikir lisan adalah zikir dengan menggunakan huruf tanpa kehadiran hati, jenis zikir ini disebut zikir dzohir yang memiliki keutamaan yang besar yang sudah disebutkan dalam al-Qur’an, Hadis, dan atsar diantaranya adalah al-Muthlak.

Ada zikir yang dibatasi dengan zaman atau tempat seperti zikir adalam sholatbaik setelah atau yang mengiringinya zikir dalam haji, zikir sebelum tidur, zikir sebelum saat akan tidur dan setelah tidur. Zikir sebelum dan sesudah makan dst. Diantaranya ada zikir yang tidak dibatasi dengan zaman, tempat, waktu dan keadaan. Zikir yang memuji kepada Allah seperti membaca tasbih, tahlil, hauqolah dan sebagainya.

Zikir hati, zikir yang sejati adalah hati dipenuhi dengan dzat yang zikiri hingga hilangnya zikir (karena nikmatnya zikir), Imam Ghazali berkata: zikir dengan hati memiliki 3 lapis, sebagiannya lebih dekat pada inti dibanding dengan yang lain sementara keberadaan inti ada di balik kulit, perumpamaan ini mengambil dari buah kelapa.

Kulit yang luar adalah zikir lisan saja, tidak henti-hentinya orang berzikir dengan lisannya dan berusaha untuk menghadirkan hati bersamnya karena hati membutuhkan tempat berlabuh yang sesuai sehingga hati bisa hadir dengan lisan. Jika seseorang meninggalkan walaupun dia meninggalkan dan melekatkan pastinya dia melepas dalam pemikIran yang terendah menuju terhadap keserasian hati dan lisan.

Ketika hal itu terjadi maka anggota dzohir dan anggota bathin dipenuhi berbagai cahaya, hati menjadi bersih dari kotoran, dan putus dari bisikan shetan, dan hati menjadi tempat al-Waridât (sesuatu yang ada sebagai akibat dari wirid), menjadi kaca yang bersih dan jernih bagi beberapa tajalli dan pengetahuan ilahiyah, ketika zikir itu mengalir menuju hati dan menyebar pada seluruh anggota tubuh, maka seluruh anggota tubuh akan berzikir menurut keadaannya, (al-Simthu al-Majid, halaman: 9-11).

Nabi Muhammad bersabda, Allah SWT. berfirman: “Lâ ilâha illâh itu kalam-Ku dan kami (Allah) itu dia (Lâ ilâha illâh), barangsiapa mengucapkan lafadz tersebut maka dia melindungi-Ku, barangsiapa yang melindungi-Ku maka dia aman/selamat dari siksaan-Ku yang baru” kemudian kitab al-Um menjelaskan yaitu lafadz Lâ ilâha illâh Muhammadar Rasulullah awal dan akhir itu dasar terhadap pembangunan syari’at.

Kemudian pembangunan syari’at tersebut di bagi dua, adakalanya perintah dan larangan dengan cara mengetahui makna yang mengandung lafadz amar, fi’il madly yang menunjukkan wajib, sunnah dan mubah, sedangkan yang menunjukkan  larangan dengan memakai shighot “La Taf’al” yang berarti menunjukkan haram dan makruh.

Sesuatu yang tidak patut dan khilâf al-aula ini menunjukkan pada makruh. Sesuatu yang benar itu termasuk perintah, sesuatu yang rusak itu haram yang dilarang, maka tidak ada perbedaan antara perintah dan larangan.

Lafadz tarekat tadi itu merupakan dasar dalam tarekat dengan melakukan ajaran yang bersanad  yang bersambung pada Nabi Muhammad Saw sebagaimana pohon yang baik hal ini seperti orang mukmin yang selalu berbicara yang baik dan amal yang baik pula dan selalu meningkat dengan baik.

Sebaliknya ucapan kotor seperti pohon yang buruk hal ini seperti orang kafir yang tidak meningkat pada ucapan baik dan tidak beramal baik. Diriwayatkan Ibnu hatim dari rabîh dari anas Allah berkata: “sesungguhnya Allah menjadikan taat kepadanya itu sebagai cahaya sedangkan ma’siat sebagai kegelapan, sesungguhnya Iman di dunia merupakan cahaya pada hari kiamat.

Kemudian Allah tidak menjadikan kalimat yang baik dan tidak beramal itu bukan dasar dan bukan cabang bagi-Nya karena Allah itu telah membuat perumpamaan iman dengan kufur. Sebagaimana Allah SWT. berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء ﴿٢٤﴾

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (Q.S. Ibrahim: 24).

Ayat ini merupakan perumpamaan iman dan kufur. Sesungguhnya hamba yang mukmin yang ikhlas dia bagaikan pohon yang akarnya teguh dalam bumi dan cabangnya sampai menjulang ke langit, karena akar yang teguh adalah ikhlas karena Allah semata dan beribadah kepadanya, tidak menyekutukannya.

Kemudian sesungguhnya cabang itu baik, hingga meningkat dengan baik waktu siang dan malam dan dia mampu makan dengan seizin tuhannya, kebaikan itu terbagi menjadi 4 perbuatan ketika hamba mengumpulkan ikhlas hanya kepada Allah yaitu  beribadah kepadanya, takut kepadanya, cinta kepadanya dan berzikir kepadanya, ketika ini dikumpulkan semuanya maka tidak ada bahaya fitnah baginya.

Ibnu Abi Hatim dari Qodatah sesungguhnya seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah orang pemalas itu pergi dengan tidak lalim, kemudian apakah kamu mengetahui kalau dia sengaja mencari harta dunia maka dia akan menaiki sebagian harta tersebut, apakah pertama akan sampai pada langit, saya beri kabar pada kamu tentang amal (perbuatan), dasar (akar) amal adalah di bumi, sedangkan cabangnya) menjulang ke langit. Karena mengucapkan lafadz Lâ Ilâha illâh wa Allahu akbar wa subhanAllah wal hamdulillah dengan 10 kali setiap selesai sholat maka hal ini merupakan dasarnya (akarnya) di bumi sedangkan cabangnya berada dilangit.

Dikatakan al-Shohihin dari Rasulullah SAW. Apa lafadz ringkas dari Inna al-Syajarah al-Thayyibah yaitu tabiat (al-nukhlah), dan khobitsah yaitu paria (sejenis labu Rasanya pahit).

Diriwayatkan dari ibnu Abbas  RA. Dalam firman Allah

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً   شَهَادَةً اَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ

Ini adalah orang mukmin, dasarnya kukuh (kuat) dengan mengucapkan lâ ilâha illAllah itu kuat (kukuh) didalam hati orang mukmin, cabangnya dilangit dengan mengucapkan lâ ilaha illâh dalam perbuatanya dengan mengangkatkan pada langit, masuh kalimat khobitsah yaitu syirik sebagaimana pohon buruk yakni orang kafir yang dicabut akarnya dari atas bumi.

Ibnu jarir dan ibnu abi hatim dari Ibnu Abbas RA. Dengan firman Allah:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً

Ibnu Abbas berkata al-Syajarah al-Thayyibah yaitu orang mukmin dengan dasarnya (akarnya) kukuh di bumi, dengan cabangnya di langit yaitu orang mukmin yang melakukan (beramal) di bumi.

Sedangkan Ucapan al-Sama’ yaitu dibumi dengan melakukan makan setiap hari dengan seizin tuhannya, yang berkata berzikirlah kepada Allah setiap waktu mulai dari siang dan petang.

Sumber: Alif.ID

156. Tarekat Aidrusiyah

Aidrusiyah adalah nama dari tarekat yang masyhur di kalangan bani Alawi. Nama tersebut berasal dari nama satu suku Arab Selatan (Yaman), yang banyak melahirkan sufi-sufi. Pendiri tarekat ini adalah Abu Bakar bin Syaikh Abdullah al-Aidrus bin Abi Bakar as-Sakran yang lahir dan wafat di Tarim Hadhramaut (851-914 H/1447-1509 M). Ia sangat shaleh, penghafal al-Qur’an, belajar ilmu lahir dan batin, serta memeroleh ijazah atau khirqah dari beberapa tokoh sufi.

Silsilah tarekatnya sambung sampai kepada Imam Syadzili, Imam Ibnu al-Maghribi, Imam Abû Madyân, Imam Abdul Qadir al-Jailani dan Imam Suhrawardi.

Pada usia 20 tahun Abu Bakar dididik dalam dunia tasawuf oleh saudaranya serta banyak bergaul dengan pamannya Syaikh Umar al-Muhdhar yang menuntunya menempuh jalan suluk. Pamannya ini banyak memberikan pengaruh kepada jiwanya. Ia mengatakan bahwa pamannya mengaruniakan kepadanya tiga tangan, yakni tangan Nabi Muhammad Saw mengenai Tarekat Kasyaf, tangan Syaikh Abdur Rahman as-Saqqaf dan tangan seorang rijal ghaib.

Tokoh lain dari Tarekat Aidrusiyah ini adalah Syaikh Abdur Rahman bin Musthafa al-Aidrusiyah (lahir di Tarim HadRAmaut 1135 H./1723 M-dan wafat di Mesir 1192 H./1778 M).

Syaikh Abdur Rahman pertama sekali mendapatkan ijazah dari ayah dan kakeknya. Ia belajar fikih kepada Abdur Rahman bin Abdullah bin Fakih. Pada 1153 H, ia berangkat ke India, berjumpa dengan tokoh Tarekat Aidrusiyah, yang kemudian mendidiknya dalam Tarekat zikir sampai ia mendapat ijazah pula.

Kemudian pada 1158 H, ia berangkat ke Mesir lalu mengajarkan Tarekat Aidrusiyah di sana. Salah seorang muridnya ialah seorang tokoh sufi yang ternama di Mesir, Abdur Rahman bin Sulaiman al-Misri.

Kewajiban Salik

Salik harus mengurutkan muamalahnya

  1. Zuhud, adalah memperkecil senang terhadap sesuatu, meninggalkan kebutuhan yang lebih. Ketergantungan zuhud batin lebih banyak dari pada zuhud lahir, tahapannya sebagai berikut:
  • Mempersedikit makan
  • Tidak menuruti kesenangan nafsu
  • Melaksanakan khalwat
  • Menjaga keadaan (ahwal) hati dan menjaganya dari was-was syetan, akhlak yang jelek
  • Selalu menjaga hubungan antara hati dengan Allah, sehingga hati selalu hudur dan tidak melupakan Allah walaupun sekejap mata, (îdhah Asrar Ulûm al-MuqarRAbin, halaman: 5).
  1. Menjaga adab bicara, hendaknya Salik beramal dulu sebelum berbicara, menjelaskan lisan di belakang hatinya (lebih banyak merasakan daripada membicarakannya), tidak berbicara sebelum ditimbang dengan timbangan akal, (îdhah Asrar Ulûm al-Muqarrabin, halaman: 7).
  2. Menjaga adab mendengarkan ucapan
  3. Selalu berusaha memperbaiki amal
  4. Selalu menjaga niat yang baik dalam segala amal, supaya terlepas dari riya’
  5. Tidak menyalahkan orang lain walaupun mereka berbuat salah
  6. Selalu mengajarkan amal yang baik.

Ajaran-ajaran Tarekat Aidrusiyah

Menjalankan tarekat yang sejati yaitu dengan ibadah, beberapa maqâm, hal, jiwa, pengetahuan, dengan mengambil kalam matsal (amtsal), menjaga hati dengan cinta dengan landasan khusnuzhan (prasangka yang baik) dengan zikir-zikir, dengan kesungguhan dan kejujuran, I’tiqad (keyakinan yang besar) dengan mencabut sesuatu yang jelek, hidmat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama.

Hal ini tidak akan terlaksana dengan baik kecuali dengan bimbingan Syaikh yang memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil nas (al-Qur’an dan Hadis) dan dalil-dalil akal (baik yang ijma’ atau yang tafsil), orang berpengetahuan terhadap Allah Swt atau dengan dirinya sendiri, berpengetahuan tentang alam musyahadah dan alam ghaib.

  1. Ahli sufi (tarekat) sepakat bahwa yang menjadi hijab hubungan antara hati salik dan Allah Swt adalah nafsu amarah, yang menjadi sumber-sumber perbuatan buruk. Terbukanya perilaku buruk bersumber pada ‘ujub, serta cinta dunia. perbuatan zhalim yang tinggi adalah hasud, adu domba. Para mursyid tarekat sepakat bahwa mencegah bergaul dengan orang-orang berbuat jelek, dengan orang fasik, orang-orang yang lupa kepada Allah Swt dalam kehidupan akhirat.
  2. Para syaikh sufi (tarekat) sepakat bahwa untuk membangun dan mendidik salik adalah dengan mempersedikit makan, berbicara, tidur, melakukan uzlah, riyadhah, khalwat, dan seluruh cita-cita salik tidak akan berhasil tanpa bimbingan syaikh atau mursyid.
  3. Berpedoman pada akidah ahlu as-Sunnah wal Jama’ah.
  4. Tentang ketauhidan, bahwa dzat Allah Swt tidak terbagi-bagi, tidak ada yang menyerupainya dalam dzat haq dan sifat-sifatnya dan
  5. Taqwa, merupakan sentral kebahagiaan, setiap kebahagiaan bertempat di akhir, seperti firman Allah SWT.: وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ semua bangunan bergantung pada fondasinya yaitu takwa kepada Allah SWT., firman Allah SWT.: اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ. Para ulama’ sufi berkata: yang dimaksud dengan kata takwa pada ayat di atas adalah (bangunan di atas) pondasi yang tidak akan bisa roboh selama akhir masa. Karena pokok agama adalah pemiliknya yang tiada henti-hentinya naik dalam latihan-latihan sirii, kenikmatan-kenikmatan dan salik naik derajat menuju alam keagungan. Untuk dapat melakukan hal itu salik harus melepaskan lima perkara dan memakai lima perkara yang lain:
  • Melepas baju yang melekat di badan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.
  • Melepas pakaian hati dengan membangun maqâm, yaitu taubat, wira’i, zuhud, sabar, fakir, syukur, khauf, raja’, tawakal, rida dengan jujur, terus-menerus susah karena Allah Swt, menghiasi hati (tahalli) dengan sifat-sifat yang baik dan membersihkan hati (takhalli) dari sifat-sifat yang jelek.
  • Melepas pakaian ruh dengan segenap rasa; cinta, rindu, takut, segan, merasa tentram, senang, merasa dekat, syukur, berusaha sampai kepada Allah Swt (washal), dihantarkan untuk sampai kepada Allah Swt (wushul), fana, dan baka
  • Melepas pakaian asrar dengan sifat keesaan Allah Swt. Pada tahap ini salik memakai pakaian insan al-kamil dengan melaksanakan syariat, tarekat, dan hakikat.
  • Melepas pakaian rahasianya rahasia yang tidak dapat dilihat kecuali Allah Swt yang haq.
    1. Yang menjadi salah satu konsentrasi tarekat ini adalah hati. Membersihkan hati dengan berbagai macam ibadah sehingga salik naik pada maqâm yang telah disiapkan terhadap ahwal (keadaan batin salik).
    2. Menjaga nafas bersama dengan Allah Swt karena para ulama’ sufi sepakat bahwa ibadah yang paling utama menjaga nafas, keluar masuknya nafas bersama lafadz Jalalah (Allah) atau kalimat zikir tahlil secara khafi tanpa menggerakkan lisan, (al-Kibrit al-Akhmar wal- Iksir al-Akbar fi Idhah Asrar Ulûm al-Muqarrabin, halaman: 66-68).

Sumber: Alif.ID

157. Maqam Salik dalam Tarekat Aidrusiyah

Setiap maqam bagi salik bisa menghasilkan ahwal aalik, berikut maqam-maqam salik:

  1. Taubat, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan mahabbah kepada Allah Swt.
  2. Wira’i, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan rindu.
  3. Zuhud, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan hal al-wahbi (keadaan hati yang dianugrahkan oleh Allah Swt).
  1. Sabar, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan ketenangan.
  2. Fakir, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan dekat dengan Allah Swt.
  3. Syukur, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan malu kepada Allah Swt.
  1. Khauf, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan keadaan jiwa yang luhur.
  2. Raja’, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan wushul kepada Allah Swt.
  1. Tawakal, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan fana.
  2. Rida, dengan hati yang sungguh-sungguh dan penjara hati bisa menghasilkan baqa’, (al-Kibrit al-Akhmar wal- Iksir al-Akbar fi Idhah Asrar Ulûm al-Muqarrabin, halaman: 70-72).

Tingkatan Perjalanan Salik

Ringkasan perjalanan salik, terbagi dalam tiga tingkatan:

  1. Perjalanan salik secara zhahir disebut dengan istilah syariat, yaitu mengikuti jalan yang lurus. Perjalanan ini merupakan persiapan salik masuk dalam kategori ilmu dhohir, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
  2. Perjalanan salik dari dirinya sendiri menuju ke hati yang diistilahkan dengan tarekat, yaitu berakhlak dengan akhlak yang agung, sebagaimana pujian Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw. Perjalanan ini memerlukan persiapan, yaitu ilmu batin: membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan menghiasinya dengan akhlak yang terpuji.
  3. Perjalanan salik dari hatinya menuju kepada tuhannya yang diistilahkan dengan hakikat, yaitu melebur segala sesuatu selain Allah Swt dalam hati dengan melanggengkan rasa tentram melalui ingat kepada Allah Swt

 Zikir Tarekat Aidrusiyah

  • Secara sirri
  1. لاإله إلا الله
  2. Zikir jalalah (الله) berfaidah membuka rahasia-rahasia
  3. Zikir ـهُ ـهُ (hu hu) untuk memperkuat asrar, menenggelamkan sirri, hati dan ruh
  • Secara jahri
  1. Membaca Alquran, minimal Surat yâsin, al-Waqi’ah, dan al-Mulk
  2. سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَر sebanyak 100 x
  3. لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وهُوَ عَلَى كل شيئ قدير sebanyak 100 x
  1. سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ
  2. مَا شٓاءَ اللهُ قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
  3. حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ sebanyak 7 x

Setelah membaca do’a di atas, kemudian membaca do’a setiap hari pada waktu subuh sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَايَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْئٌ فِى الْأَرْضِ وَلَا فِى السَّمٓاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. × 3

اللهم يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا حَيُّ حِيْنَ لَا حَيَّ يَا حَيُّ مُحْيِ الْمَوْتَى يَا حَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، اللهم إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ وَبِنُوْرِ قُدْسِكَ وَعَظَمَةِ ظَهَارَتِكَ وَبَرَكَةِ جَلَالِكَ مِنْ كُلِّ آفَةٍ وَعَاهَةٍ، وَطَارِقِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَطَارِقِ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ إِلَّاطَارِقًا يَطْرُقُ مِنْكَ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنُ: اللهم أَنْتَ يَا غِيَائِيْ فَبِكَ أَسْتَغِيْثُ،  وَأَنْتَ عِيَاذِيْ فَبِكَ أَعُوْذُ، وَأَنْتَ مُلَاذِيْ فَبِكَ أَلُوْذُ، يَا مَنْ ذِلْتَ لَهُ رِقَابَ الْجَبَابَرَةِ وَخَضَعْتَ لَهُ أَعْنَاقَ الْفَرَاعَنَةِ أَعُوْذُ بِجَلَالِ وَجْهِكَ وَكَرَمِ جَلَالِكَ مِنْ خُزِّيْكَ وَكَشْفِ سَتْرِكَ وَنِسْيَانِ ذِكْرِكَ وَالْاِضْرَابِ عَنْ شُكْرِكَ، أَنَا فِى حِرْزِكَ وَكَنَفِكَ وَكَلَاءَتِكَ فِى لَيْلِى وَنَهَارِيْ وَنَوْمِى وَقِرَارِىْ وَظَعْنِى وَأَسْفَارِىْ وَحَيَاتِى وَمَمَاتِى، ذِكْرِكَ شَعَارِىْ، وَثَنَاؤِكَ دَثَارِىْ، لَاإِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ  تَشْرِيْفًا لِعَظَمَتِكَ وَتَكْرِيْمًا لِسَبْحَاتِ وَجْهِكَ أَجِّرْنِى مِنْ خُزِّيْكَ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِكَ  وَاضْرِبْ عَلَيَّ سَرَادَقَاتِ حِفْظِكَ وَأَدْخِلْنِى فِى حِفْظِ عِنَايَتِكَ وَجُدْ عَلَيَّ مِنْكَ بِخَيْرٍ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

وَهِيَ لَااِلهَ اِلَّا اللهُ الحَكِيْمُ الكَرِيْمُ سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبِّ االْعَرْشِ الْعَظِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، اللهم إِنِّي أَدْرَأُ بِكَ فِيْ نَحْرِهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَأَسْتَعِيْنُكَ عَلَيْهِ فَاكْفِنِيْهِ بِمَا شِئْتَ، لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ الْحَكِيْمُ الْكَرِيْمُ سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اللهم إِنِّي اَعُوْذُ بِكَ  مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ وَأَدْرَأُ بِكَ فِي نَحْرِهِ وَأَسْتَعِيْنُكَ عَلَيْهِ فَاكْفِنِي شَرَّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ بِمَا شِئْتَ وَكَيْفَ شِئْتَ وَأَنِّي شِئْتَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.

Dan diakhiri dengan zikir Asma’ al-Husna

” حزب السكران ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾ آمين (الفاتحة: 1-7). بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿٢٥٥﴾ (البقرة: 255) (بنا استدارات) 3× كَمَا اِسْتَدَارَتْ الْمَلَائِكَةُ تَمْدِيْنَةُ الرَّسُوْلِ بِلَا خَنْدَقٍ وَسُوْرٍ مِنْ اَمْرٍ مَخْدُوْفٍ وَقَدَرٍ مَقْدُوْرٍ وَمِنْ جَمِيْعِ الشُّرُوْرِ (تترست بدرب الله) 3× مِنْ عَدُوِّنَا وَعَدُوِّ اللهِ مِنْ سَاقِ عَرْشِ اللهِ إِلَى قَاعِ اَرْضِ اللهِ بِاَلْفِ اَلْفِ اَلْفِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَظِيْمِ. اللهم اِنَّ اَحَدًا اَرَادَنِى بِسُوْءِ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْوُحُوْشِ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ مِنْ بَشَرٍ اَوْ شَيْطَانٍ اَوْ وَسْوَسٍ نَارِدٍ نَظْرِهِمْ فِى اِنْتِكَاسٍ وَقُلُوْبِهِمْ وَاَيْدِيْهِمْ فِى إِفْلَاسٍ وَاَوْبَقِهِمْ مِنَ الرِّجْلِ اِلَى الرَّأْسِ لَا فِى سَهْلٍ يَخْدَعُ وَلَا فِى جَدْرٍ يَطْلَعُ بِاَلْفِ اَلْفِ اَلْفِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

158. Tarekat Jalwatiyah

Tarekat ini dinisbatkan kepada Syaikh ‘Aziz Mahmud Hada’I (w.1628 M) dari Syaikh Muhammad Syahir, dari Syaikh al-Barwasawiyi, dari Syaikh al-Haj Birom al-Anqoridi, dari Syaikh Quthub al-Aqtab Humaid al-Din al-Aqsaroi, dari Syaikh Khowajah ‘Ali al-Ardabili, dari Syaikh Shofiyuddin al-Ardabili, dari Syaikh Ibrahim al-Zahid al-Kailani, dari Syaikh Syihabuddin Muhammad al-Tibrizi.

Syihabuddin Muhammad al-Tibrizi dari Syaikh Rukunuddin Muhammad al-Sanjani dari Syaikh Qutbuddin al-Abhari (w.590) dari Syaikh Najib al-Suhrawardi (w.563) dari Syaikh Wasiyuddin al-Qodhi Umar al-Bakri (w.532 H) dari Syaikh Muhammad al-Bakri (w.475 H) dari Syaikh Junaid (w.297 H) dari Syaikh Sari al-Siqti (w.253 H) dari syaikh Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi (w.199) dari Syaikh Dawud al-Thoi (165) dari Syaikh Hasan Bashri (w.110 H) dari Sayyid Hasan (w.50 H) dari Sayidina Ali bin Abi Thalib Krw (w.40 H), dan dari Nabi Muhammad Saw.

Nama Jalwatiyah berasal dari kata jala-yajli-jalwan yang bermakna keluarnya hamba dari khalwat dengan membawa dan memakai sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan). Pemakaian istilah خلوتية dengan huruf خ dan جلوتية degan huruf ج sebenarnya tidak ada bedanya, karena makna خلوة adalah meninggalkan pergaulan dengan manusia baik secara bentuk maupun maknawi, berkomunikasi secara langsung dengan Allah Swt secara sirri tanpa melalui perantara seseorang atau malaikat, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 20).

Turunnya titik huruf خ menjadi ج sebagai isyarat turunnya sirri nabi Muhammad Saw menjadi wujud alam semesta dan sebagai qutubnya. Dalam ajaran Jalwatiyah membagi perjalanan menjadi dua:

  1. Perjalanan pertama yang disebut fana’ al-kulli, ini adalah tingkatan لا إله إلا الله dibaca 100 x pada akhir bacaan ditambah محمد رسول الله. Penyebutan محمد رسول الله itu merupakan penjelasan kerasulan Nabi Muhammad Saw yang telah ditentukan oleh Allah Swt, begitu juga dengan pewaris-pewaris nabi diantara ahli Tarekat. Adakalanya penentuan itu tanpa melalui perantara (ini langka) adakalanya melalui perantara syaikh yang menjadi pengganti atau pewaris nabi, sementara nabi Muhammad Saw mendapat dari Allah Swt.
  2. Perjalanan kedua disebut dengan baqa’ (ini adalah maqam Nabi Muhammad yang disebut maqam Qab Qusain).

Dalam Tarekat Jalwatiyah, salik harus melaksanakan amal sesuai dengan hukum syariat sampai akhir hayatnya, karena ahli hakikat dalam pelaksanaan syari’at menganut pada ahli syariat. Sehingga salik tetap bergaul dengan manusia umum, berdagang, bertani, menikah, dan berbagai macam muamalah dan ibadah.

Nabi Muhammad Saw telah memberi isyarat ketika memberi perintah untuk merapatkan dan meluruskan barisan dalam shalat jamaah. Dalam hal ini nabi membedakan antara menghadap kepada Allah Swt secara individu dengan menghadap kepada Allah Swt secara berjama’ah atau kelompok. Karena sebagian orang dari kelompok pertama (individu) memetik buah kebahagiaan sebelum tujuannya berhasil.

Hal ini tidak terjadi pada golongan kedua (jama’ah/kelompok) sebagai tawajjuh (beribadah menghadap kepada Allah Swt) bagaikan selendang/surban bagi sebagian orang dan bahkan bisa menjadi penunjang untuk mendapatkan keutamaan. Seperti hujan bisa mempercepat aliran air yang sebelumnya lemah bukan malah memutus aliran air untuk sampai ke laut lepas, begitu juga dengan setiap tawajjuh yang dilakukan individu secara berkelompok itu bisa dibedakan dan menjadi penolong kesempurnaan tawajjuh di hadapan Allah Swt.

Tarekat Jalwatiyah mengenal konsep daur (memutar). Salik di masa awal harus melakukan khalwat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu keluar dari khalwat lalu bergaul dengan manusia umum dengan membawa perubahan dari sifat jelek menjadi baik, dari sifat manusia umum menjadi sifat-sifat uluhiyah. Dalam hal ini memiliki sirri yang lain yaitu menyatunya tahap awal (khalwat) dan tahap akhir (jalwat).

Sebagian mursyid Jalwatiyah ditanya apa itu pamungkas (nihayah)? Dijawab “kembali ke tahap awal, ketika salik sudah sampai tahap akhir maka menyatulah tahap pertama dan tahap akhir menjadi kesatuan lahir batin”.

Takutlah wahai salik melakukan amal yang tidak sesuai dengan syariat-syariat tarekat karena hal itu adalah penyakit dan pemiliknya berpenyakit. Jadilah anak zaman, kenalilah batas-batasmu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

Jangan engkau tidak menyesuaikan amal dengan bapak dan kakek (tirulah guru-guru tarekat yang menjadi bapak dan kakek ruhanimu). Jika engkau memilih untuk memutar atau daur (menyatunya tahap awal dan akhir) bergerak, hal itu adalah jalan tata kramanya, maka engkau akan menemukan kebaikan dan barokah, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 24-25).

Kewajiban

  1. Menjalankan amalan sesuai aturan syariat;
  2. Membaca Alquran dan menghayati makna-makna yang terkandung dan tersiratat dalam Alquran;
  3. Melaksanakan khalwat sebagai berikut (tata cara khalwat seperti Khalwatiyah):

Dilaksanakan selama 40 tahun atau kurang, menurut kebiasaan yang dilakukan oleh Allah (sunnatullah).

Perjalanan salik Jalwatiyah dalam menempuh tingkatan Asma` itu lambat dan mendaki karena membangun maqâm pada diri salik berbeda dengan membangun rumah, darah salik bukan batu bata bahan bangunan, kecuali setelah menempuh suluk dalam beberapa masa dengan benar maka bangunan maqâm salik bisa terwujud.

Salik Jalwatiyah memiliki dzauq (anugerah ilahi berupa pengetahuan yang ditancapkan ke dalam hati kekasih Allah Swt) yang sempurna, karena sang salik melaksanakan riyadhot al-nafs yang sempurna, selalu melaksanakan munajad kepada Allah Swt sepanjang siang dan malam, hati salik sudah mukasyafahmukasyafah qubur, melihat jin, malaikat, menyaksikan bentuk-bentuk amal, sifat-sifat yang biasa dilakukan manusia baik secara yaqdhoh (nyata), khisi (perasaan), mimpi, mengerti kalam matsal;

  1. Salik menyibukkan diri dengan zikir;
  2. Bersungguh secara ruhani dan jasmani, karena salik Jalwatiyah dalam melaksanakan tarekatnya akan mendapatkan mihnah (cobaan berupa kenikmatan). Yang sempurna diantaranya akan diberi pengetahuan tentang rahasia kehidupan seluruh cakrawala alam semesta dan tajalli, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 28-29).

Salik dalam menjalankan suluknya adakalanya di bawah naungan mursyid yang kamil, jika tidak maka akan sangat sulit untuk memahami dan mendalami asma` kecuali mendapatkan bimbingan langsung dari Allah Swt seperti Uwais al-Qarni RA.

Untuk bisa seperti Uwais harus mendapatkan persiapan yang sempurna, jika tidak maka akan sulit tetap ada di tarekatnya tanpa mendapatkan maqâm.

Bagaikan seorang anak yang meratapi kematian ibunya sehingga penuntun Tarekat Jalwatiyah lebih sedikit jika dinisbatkan kepada Tarekat Khalwatiyah.

Sumber: Alif.ID

159. Suluk Tarekat Jalwatiyah

  1. Bersungguh dalam kurun waktu 40 tahun;
  2. Memperbaiki watak, nafsu, ruh;
  3. Melakukan sayr (perjalanan) dalam tangga syariat, tarekat, makrifat, hakikat dengan jalan meninggalkan kesenangan;
  4. Menghilangkan kebodohan;
  5. Menghilangkan condong terhadap segala sesuatu selain Allah Swt, serta menerima tiada yang disembah, tiada yang dituju, tiada yang dikenal, tiada yang wujud selain Allah Swt.

لَا مَعْبُوْدَ وَ لَا مَقْصُوْدَ وَ لَا مَعْرُوْفَ وَ لَا مَوْجُوْدَ إِلَّا اللهُ

Setelah melakukan suluk, salik akan ditunjukkan penundukan jeleknya nafsu dan sifat-sifatnya yang rendah.

Kesungguhan (mujahadah) tidak akan tampak kecuali setelah keluar dari pintu kematian (yang dimaksud pintu kematian adalah hasil dari pendidikan watak dengan cara mengekang nafsu dari kesenangannya seperti makan, minum, tidur, melihat wanita yang menjadi jejaring setan), (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 30-31).

Ketahuilah bahwa syariat adalah tarekat yang harus ditempuh, awalnya melakukan amal sesuai dengan hukum dan berakhir sampai pada daerah al-Salam (surga tempat keselamatan). Sementera itu tarekat merupakan tata krama (adab), bermacam mujahadah, suluk, sayr (perjalanan hati untuk bertawajjuh dengan Allah Swt melalui zikir) dan thair (طير).

Perjalanan salik menurut ahli al-haqîqah adalah sebuah ungkapan tentang perjalanan hati ketika mengerjakan tawajjuh kepada Allah (al-Haqq) dengan berzikir,  perjalanan salik ini ada 4 macam:

  1. Menghilangkan banyak hijab dari dzat yang satu yaitu perjalan salik menuju Allah (ma’rifat Allah) dari derajat dirinya dengan menghilangkan kesenangan sesuatu yang nampak dan selain Allah sehingga hamba tersebut sampai pada kenaikan derajat yaitu Maqâm al-Qalbi
  2. Menghilangkan hijab yang maha satu (Allah) dari berbagai sisi keilmuan bathiniyah yaitu perjalanan salik kepada Allah dengan cara mengenal sifat-sifatNya dan nama-namaNya yang disebut perjalanan salik kepada Allah yang haq sampai memperolah derajat yang tinggi yaitu puncak bersimpuh dihadapan Allah yang maha satu.
  3. Menghilangkan ikatan dari dua jalur yang saling berbeda yaitu dzâhir dan bâthin yang sampai pada derajat mengumpulkan pandangan yang satu dan bersimpuh pada hadapan Allah yang satu yang disebut dengan Maqâm Qâba al-Qausani.
  4. Ketika kembali dari Allah kepada makhluk yaitu penyatuan dan pemisahan dengan menyaksikan perjalanan Allah pada makhluknya dan lenyapnya makhluk dari Allah sehingga pandangan dapat melihat beberapa bentuk didalam pandangan yang satu yaitu perjalanan salik dengan Allah dari Allah untuk menyempurnakan disebut dengan Maqâm al-Baqâ’ setelah maqam al-Fanâ’ dan pisah setelah kumpul.
  • Barangsiapa tidak bersyari’at maka dia tidak beragama.
  • Barangsiapa tidak berTarekat maka ia tidak mempunyai tata krama.
  • Bermujahadahnya suluk menempati kedudukan istinjaknya wudu. Barangsiapa yang tidak beristinjak maka dia tidak mempunyai wudu. Begitu juga barangsiapa yang tidak bermujahadah dalam suluknya maka dia tidak termasuk melakukan suluk. Lalu suluknya sayr (perjalanan hati) itu seperti kedudukan wudu dalam sa Sehingga barangsiapa yang tidak mempunyai wudhu` maka tidak sah shalatnya. Begitu juga barangsiapa yang tidak suluk maka dia tidak melakukan sayr. Dan akhir dari سير adalah طير yaitu sampainya salik pada maqâm qaf al-qurobah (قاف القربة).

Permulaan tarekat adalah adab dan yang terkait dengannya serta menjaga hukum-hukum syari’at. Dan akhir tarekat adalah مرتبة العندية (suatu derajat yang berada di atas surga dalam bentuknya). Oleh karena itu Allah Swt berfirman:

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوْا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ ﴿١٠٨﴾ [هود: 108]

Surga tidak bisa menampung insan kamil, tapi yang menampung insan kamil adalah surga hatinya. Hal ini yang dimaksud firman Allah Swt dalam Hadis qudsi:

لَا يَسَعَنِيْ اَرْضِيْ وَ لَا سَمَائِيْ وَ لَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِي التَّقِى (فيض القدير ،ج 2 حديث 4969)

Bumi dan langitku tidak bisa memuat aku, tetapi yang bisa memuat adalah hati hambaku yang bertaqwa

Karena bumi dan langit berada pada alam malak dan musyahadah, sementara hati berada di dalam alam malakut dan ghaib, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 33).

Tata Cara Baiat Dan Talqin Zikir

  1. Salik duduk seperti tasyahud dalam sholat dengan tenang, kedua tangan salik diletakkan di atas lututnya;
  2. Duduk di hadapan mursyid yang mentalqin zikir;
  3. Mursyid menuntun salik membaca istighfar;

أَسْتَغْفِرُ اللهَ (3×) مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ قَوْلًا وَ فِعْلًا وَ عَمَلًا وَ اعْتِقَادًا. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَ أَتُوْبُ إِلَىْهِ. أَمَنْتُ بِاللهِ وَ مَلَئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْيَوْمِ الْأَخِرِ وَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ مِنَ اللهِ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.

  1. Mursyid memberi wasiat untuk:
  1. Membaca istighfar 100 x tiap hari;
  2. Membaca tahlil لا إله إلا الله 700 x tiap hari. Setiap membaca tahlil 20/30 diteruskan dengan membaca محمد رسول الله;
  3. Membaca Asma’ 12 dengan melalui bimbimgan petunjuk mursyid:
  • لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ
  • اَللهُ
  • هُوَ
  • اَلْحَقُّ
  • اَلْحَيُّ
  • اَلْقَيُّوْمُ
  • اَلْقَهَّارُ
  • اَلْوَهَّابُ
  • اَلْفَتَّاحُ
  • اَلْوَاحِدُ
  • اَلْاَحَدُ
  • اَلصَّمَدُ

Untuk mengetahui urutan bacaan Asma’ membutuhkan maratib suluk, sair, thair dan dilakukan dalam pengawasan dan bimbingan mursyid.

Tata cara membaca tahlil لا إله إلا الله ada dalam kitab, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 58).

Wazhifah Harian bagi Salik Tarekat Jalwatiyah

Salik diperintahkan mursyid untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Melakukan shalat isyraq (shalat yang dilakukan saat matahari naik setinggi busur anak panah atau dua kalinya atau ½ sampai 1 meter) dua sampai empat rokaat (jika empat rakaat maka dengan dua salaman).

Rakaat pertama membaca Surat الشمس, rakaat kedua membaca Surat اليل, rakaat ketiga membaca Surat الضحى, rakaat keempat membaca Surat الم نشرح;

  1. Shalat dhuha 4/6/8/12 rakaat;
  2. Melakukan salat awabin (salat yang dilaksanakan setelah shalat maghrib);

مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ وَ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيْمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوْءٍ عَدَّلَنَّ بِعِبَادَةِ اثْنَى عَشَرَةَ سَنَةٍ، وَ يَقْرَءُ فِيْ كُلِّ رَكَعَةٍ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ قُلْ يَا اَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ مَرَّةً. وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. رواه الترمذ (535) و ابن ماجه (1157).

  1. Melakukan shalat tahajjut 12 Rakaat;
  2. Salik melaksanakan puasa-puasa sunnah sebagai berikut:
  1. Puasa sunnah hari senin dan kamis tiap minggu;
  2. Puasa sunnah pada bulan Dzulhijjah, yaitu tiap tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah;
  3. Puasa sunnah pada tanggal 10 Muharram;
  4. Puasa sunnah bulan Rojab;
  5. Puasa sunnah bulan Sya’ban;
  6. Puasa sunnah 6 hari pada bulan Syawal, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 63-70).

Syarat-syarat Syaikh (Mursyid) Tarekat Jalwatiyah

  1. Orang yang berilmu dan mampu membuka syubhat semua perkara dunia dan akhiratnya salik;
  2. Orang yang mampu memutus cinta dunia dan yang mencegah hawa nafsunya (zuhud);
  3. Orang yang tidak memiliki kepentingan terhadap harta murid-muridnya dan manusia;
  4. Seluruh perkataan, perbuatan, keadaan bathin (احوال) nya sesuai denga ketentuan-ketentuan syari’at. Karena seorang mursyid atau syaikh merupakan pengikut nabi Muhammad Saw (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 91).

Pakaian Salik

Pakaian mahluk dan al-Haq tidak bisa dikumpulkan bersama dalam satu tempat wujud. Ahli tarekat tidak mementingkan pakaian dhahir karena mereka lebih berkonsentrasi pada pakaian bathin, sehingga para guru sufi atau tarekat menyatakan bahwa makna takhalli (membersihkan jiwa atau hati dari sifat-sifat jelek, bisa merusak diganti dengan sifat-sifat yang baik) itu lebih diutamakan dari pada Tahalli (menghias hati dengan zikir), maka pemakai pakaian dosa (pelaku dosa) tidak berhak memakai pakaian shiddiqin. Sementara pakaian tahalli untuk orang-orang ahli yaqin.

Allah SWT. telah memberimu beberapa hal yaitu: watak, nafsu, hati, ruh, sirri dan khafi, semua hal itu membutuhkan pakaian yang pantas yang bisa menutupinya.

Sesungguhnya watak itu kebalikan syari’at. Watak mempunya beberapa perbuatan yang jelek lalu watak ini membutuhkan pakaian yang disebut syari’at dengan melaksanakan ketentuan hukum.

Nafsu kebalikan tarekat. Nafsu mempunyai sifat-sifat dan perangai yang liar dan buruk seperti sombong, marah, permusuhan, iri dan lain-lain. Semua kejelekan nafsu diberi pakaian Tarekat dengan cara melaksanakan pendidikan adab mujahadah terhadap nafsu.

Macam-macam Pakaian

  1. Pakaian lahir.

Bentuk pakaian dhahir berhubungan dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota badan yang terjadi di alam malak dan musyahadah (alam lahir).

  1. Pakaian batin.

Nafsu merupakan sumber lahirnya semua perbuatan yang merusak dan buruk. Sedangkan hati selalu berbolak-balik antara pengaruh Tuhan, keinginan mendapatkan dunia dan seisinya. Ketika hati condong ke keinginan duniawi, maka hati melupakan pengaruh Tuhan. Ahli tarekat menganggap hal ini hina. Maka pakaian hati (bagi salik) adalah bersungguh-sungguh dalam mencari (yang dicari) (الصدق في الطلب).

Ruh yang tidak berhubungan dengan Allah membutuhkan pakaian cinta kepada Allah Swt. Sirri yang tidak melirik kepada Allah membutuhkan pakaian (yaitu) melirik kepada Allah Swt bukan melirik dan melihat dunia, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 107).

Sumber: Alif.ID

160. Tarekat Bayumiyah

Tarekat Bayumiyah dinisbatkan pada Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin. Beliau  keturunan Rasulullah Saw.

Urutannya, Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin bin Sayyid Ali bin Sayyid Khijazi bin Sayyid Dawud bin Sayyid Misbah bin sayyid Umar bin Sayyid Kharfis bin Sayyid Abdur Rahim bin Sayyid Hasan bin Sayyid Hammad bin Sayyid Utsman bin Sayyid Atiyah bin Sayyid Mu’id bin Sayyid Isa.

Sayyid Isa bin Sayyid Hammad bin Sayyid Dawud bin Sayyid Turqi bin Sayyid Kharslah bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Ali bin Sayyid Musa bin Sayyid Yunus bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Idris bin Sayyid Idris Akbar bin Sayyid Abdullah al-Mahdi bin Sayyid Hasan al-Matsna bin Sayyid Imam Hasan bin Sayyidina Ali Krw bin Sayyidatina Fatimah Zahra Binti Sayyidi Rahmatil Alamin Sayyidina Muhammad Saw.

Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin lahir di Baiyum, daerah di Madiriyah Daqhaliyah. Masa kecil beliau hidup di tengah-tengah Ulama’ besar, beliau hafal Al-Qur’an  dan ilmu tafaqquh fi al-din dan majlis para syaikh dan beliau adalah pengikut Imam Syafi’i. Beliau belajar ilmu Hadis, lughah dari Ulama’-ulama’ terkemuka pada masanya.

Dalam kitab Tarih karangan Imam al-Jabaruti disebutkan bahwa beliau mendapat ilmu Hadis dari syaikh Umar bin Abdul Salam, dan mendapatkan ilmu syariah dari  beliau juga. Setelah itu beliau suluk menjalani mujahadah rahaniah dan riyadhah an-Nafsiyah sehingga beliau mencapai martabat yang sempurna.

Dalam kitab Tarih al-Jabariyah beliau mendapat ajaran Tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Husain al-Damardas dan beliau mendapatkan Tarekat Ahmadiyah dari para Ulama’ terkemuka pada masanya. Beliau juga baiat Tarekat Naqsyabandiyah dari para tokoh Naqsyabandiyah sehingga beliau mengarang kitab Risalatun fi-Tarekat Naqsyabandiyah.

Imam Arif al-Qutbi Sayyid Ali Nuruddin adalah pengagum Tarekat Ahmadiyah sehingga beliau termasuk salah satu tokoh Ahmadiyah, di sisi lain beliau juga menjadi pencetus Tarekat Bayumiyah, yang bersumber dari Tarekat Ahmadiyah, adapun penisbatan tersebut  berdasarkan adanya persamaan dalam amaliyah, munahajah, dan aurâdnya.

Di sisi lain Imam al-Bayumi dikenal sebagai seorang pengarang kitab dari berbagai macam fan ilmu sampai tidak terhitung jumlahnya , antara lain kitab Arbain an-Nawawiyahsyarhu Jami as-Shoghir,  syarh Insanul Kamil lil-JailiRisalah fi Khawasi Asmail al-IdrisiyyahSyarh al-Hukmi al-AthaiyahRisalah al-WahdaniyahSyarh ala Syighot al-AhmadiyahRisalah fil Hudud, dan kitab tarekat al-Khalwatiyah al-Damardasiyah.

Kitab lain adalah Risalah Tarekat an-NaqsabandiyahRisalah al-Tanziyyah al-MutlaqRisalah fi Talqini al-Asma’ as-Sab’ahRisalah fi Shalawat an-Nabiyyi SAW.., al-Muntakhaba an-Nafisi fil Fiqhi ‘ala Madzabi al-Arba’ahAn-Nuri as-Sathi’I fi Ismi al-Jami’Ial-Fauz wal IntibahSyarkhi al-Hukmi Abi MadyanaSyarhi al-Asma’ as-SuhrawardiyyahDa’watu Hasbuna Wani’ma al-Wakil, dan Risalah Ghariqin an-Nur.

Masih banyak lagi karangan-karangan beliau yang tidak mungkin disebutkan karena terlalu banyaknya. Beliau Syaikh al-Bayumi adalah orang yang terkenal di kalangan para wali ausat, orang-orang khas dan orang-orang umum, sehingga beliau diberi gelar Sulthan al-Muwahhidin.

Gelar tersebut menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang sudah mencapai puncak derajat tauhid kepada Allah Swt. pada masanya, karena beliau menghabiskan waktunya pada maqâm tauhid ini. Maqam ini merupakan puncak dari beberapa maqam tasawuf yang jumlahnya ada 70.000.

Seperti dikatakana oleh Syaikh Sayyid Ahmad Dhiyauddin al-Kamsakhanawiyi dalam kitabnya yang berjudul Jami’i al-Ushul fi al-Aulya’, tauhid merupakan puncak dari beberapa maqam yang jumlahnya 70.000, yang sebanding dengan jumlah hijab bagi manusia, karena manusia mempunyai 70.000 hijab kegelapan dan 70.000 hijab berupa cahaya. Maka barang siapa mampu mencapai maqâm menghancurkan hijab maka dia akan bisa wushul kepada Allah Swt.

Ajaran dan Dasar Amaliyah Tarekat Bayumiyah

Sebagaimana dikatakan syaikh Abdul Aziz Hamid Fadhal al-Bayumiyah seorang badal tarekat al-Bayumiyah, bahwa Imam al-Bayumiyah meletakkan tarekat ini dengan tujuan mengajar seorang murid  atau pengikut tarekat ini untuk membersihkan diri dari berbagai dosa, bahkan syaikh Abdul Aziz mengatakan: Seorang murid harus bisa menjadi seorang syaikh, maka apabila tidak bisa menjadi seorang syaikh, maka seperti pohon yang berdaun tapi tidak berbuah.

Dalam tarekat ini terdapat hizib dan aurad antara lain hizib syaikh Ali al-Bayumi yang harus dijalankan oleh seorang murid baik dalam keadaan terpaksa ataupun dalam keadaan longgar. Hal ini untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt. dan rasulnya.

Di antara aurad tarekat ini adalah hizib soghir dan hizib kabir dan shalawat kepada rasul, tawasul, istighfar. Adapun hizib ini mencakup tentang tauhid, tahlil, shalawat, dan do’a, dalam rangka untuk mengangkat ruh dan melebur sifat-sifat tercela.

Seorang yang ingin menjadi murid tarekat ini harus melalui janji dan baiat, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Abdul Aziz, wajib bagi seorang murid harus mempunyai seorang mursyid yang bisa menunjukkan dan mengarahkannya. Hendaklah seorang syaikh membaiat muridnya untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Diawali dengan berjabat tangan dengan seorang mursyid, dan sanadnya harus sambung sampai kepada Nabi Muhammad saw. Karena awal orang yang baiat adalah Nabi Muhammad saw. kemudian beliau membaiat para sahabat, sebagaimana firman Allah SWT.:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ ….(الفتح: 10)

Menurut keyakinan Tarekat al-Bayumiyah, sesungguhnya hizib yang dilakukan dengan cara yang ditentukan dan di dalamnya memuat tauhid dan tahlil yang diambil dari Al-Qur’an al-Karim, dan barang siapa yang membacanya maka dia akan selalu dalam perlindungan Allah Swt, yang  akan dikuatkan dan ditolong untuk mengalahkan musuh-musuhnya serta diselamatkan jiwa, harta dan keluarganya dan juga dijaga dari kejelekan sifat hasud serta dilapangkan rizkinya dan dimulyakan di atas orang lain.

Tata Krama Berzikir

  1. Memulai dengan membaca istighfar
  2. Merenungi dosa-dosanya pada waktu membaca istighfar dan merenungi atas segala kesalahan dan kecerobohannya.
  3. Berzikir dengan khusyu’ dan takut kepada Allah dan menghilangkan geteran-geteran hati selain getaran hati kepada Allah SWT.

Seorang murid tarekat terlebih dahulu mendahulukan hidmat kepada seorang guru dan semua pengikut tarekat, seperti mengubur orang yang meninggal, menghafal al-Qur’an, memahami dan mengerti terhadap orang yang dilayani (mursyid). Menurut syaikh Muhammad Hamid al-Fadhal mengatakan bahwa  hidmat merupakan sebuah ikatan yang sangat kuat dan penting antara seorang mursyid dan seorang murid.

Sumber: Alif.ID

161. Aurad dan Hizib Tarekat Bayumiyah

Di antara aurad-aurad dan hizib Tarekat Bayumiyah:

  1. Hizbu as-Shaghir
  2. Hizbu al-Kabir
  3. Shalawat dan tawasul
  4. Syi’ir-syi’ir pujian

Hizib Hisbul sayyid Ali al-Bayumiyyah ini memuat ayat-ayat tahlil yang terdapat dalam 37 tempat di dalam Alquran. Barang siapa membaca tahlil dengan tahlil yang ada dalam Alquran, maka Allah Swt. akan memenuhi hatinya dengan ilmu dan hikmah serta akan mendatangkan ketenangan dan nur, sifat wibawa dan Allah Swt. akan menurunkan rizki, sifat tawakal dan qana’ah.

Bahkan dikatakan tidaklah dibaca tahlil dari Alquran kecuali Allah Swt. memberikan kelapangan dan mengabulkan hajatnya. Hizib ini dibaca setiap pagi dan sore.

Hizib Hisbul Sayyid Ali al-Bayumiyyah adalah :

  1. Membaca Surat al-Fatihah 1x
  2. Membaca Surat al-Ikhlas 3x
  3. Membaca Surat al-Falaq 1x
  4. Membaca Surat an-Nas 1x
  5. Membaca do’a:
    • رَبَّنَا لَاتُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَاتَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَاتُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا (x3) أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَفِرِيْنَ.
    • وَإِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَاحِدٌ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ. اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ. الم. اَللهُ لَا إِلٰـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ. هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ ” لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “
    • اَللهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ
    • ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • اِتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهُ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُواْ إِلٰـهًا وَاحِدًا لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • آمَنتُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ
    • فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُواْ لَكُمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أُنزِلَ بِعِلْمِ اللهُ وَأَن لَا إِلٰـهَ إِلَّا هُوَ
    • أَنْ أَنذِرُواْ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ
    • اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
    • إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي
    • إِنَّمَا إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَاحِدٌ لَاإِلٰهَ إِلَّا هُوْ
    • وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ
    • وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنتَ
    • فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
    • اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
    • وَهُوَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ
    • وَلَا تَدْعُ مَعَ اللهِ إِلٰهًا آخَرَ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُم مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ
    • يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • ذِي الطُّوْلِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • وَهُوَ اللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ
    • لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ
    • فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ
    • هُوَ اللهُ الَّذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
    • هُوَ اللهُ الَّذِي لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ
    • اَللهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
    • رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلاً
    • اَللهم احْرُسْنَا بِعَيْنِكَ الَّتِى لَا تَنَامْ، وَاكْنِفْنَا بِكَنَفِكَ الَّذِى لَا يُرَامُ
    • وَارْحَمْنَا بِقُدْرَتِكَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْر. يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ تَحَصَّنَا بِكَ فَارْحَمْنَا بِحِمَايَتِكَ يَاحَلِيْمُ يَا سَتَّارُ ، وَأَدْخِلْنَا يَا أَوَّلُ يَا آخِرُ فِى مَكْنُوْنِ غَيْبِ سِرِّكَ مَا شَاءَ اللهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِكَ مِنْ شَرِّ عِبَادِكََ ، وَاضْرِبْ عَلَيْنَا سُرَادِقَاتِ حِفْظِكَ ، وَأَدْخِلْنَا فِى حِفْظِ عِنَايَتِكَ ، وَجُدْ عَلَيْنَا بِخَيْرٍ مِنْكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن، 3×
    • بِسْمِ اللهِ وَ بِاللهِ وَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِى الْعَظِيْمِ. بِسْمِ اللهِ احْتَجَبْنَا، وَبِحَوْلِ اللهِ اعْتَصِمْنَا، وَبِقُوَّةِ اللهِ اسْتَمْسَكْنَا، فَمَنْ أَرَادَنَا بِسُوْءٍ أَوْ كَادَنَا بِكَيْدٍ كَانَ بِإِذْنِ اللهِ مَمْنُوْعًا وَمَدْفُوْعًا. يَا اَللهُ يَاوَاحِدٌ يَاأَحَدٌ يَاجَوَّادٌ. اِنْفَحْنَا مِنْكَ بِنَفَحَةِ خَيْرِ إِنَّكَ عَلَى كَلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 11×
    • يَا لَطِيْفٌ 129×
    • اللهم يَامَنْ لَطَفْتَ بِخَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَطَفْتَ بِالْأَجِنَّةِ فِيْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِهَا، اُلْطُفْ بِنَا فِي قَضَائِكَ وَ قَدَرِكَ، لُطْفًا يَلِيْقُ بِكَرَمِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 3×
    • يَا اَللهُ 66×
    • اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَ الْآفَاتِ وَ تَقْضِي لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ، وَ تُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَ تَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَ تُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَ بَعْدَ الْمَمَاتِ 3×
    • رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَ تُبْ عَلَىْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ، وَ اغْفِرْ لَنَا وَ ارْحَمْنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. وَ نَجِّنَا مِنَ الْهَمِّ وَ الْغَمِّ وَ الْكَرْبِ الْعَظِيْمِ 3×
    • وَ اخْتِمْ لَنَا مِنْكَ بِخَيْرٍ أَجْمَعِيْنَ، آمِينَ.
    • اَللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
    • سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Do’a Kasyfi al-Kurub bi al-Huruf Sayyid Ali al-Bayumi

نَسْأَلُكَ اللهم وَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ وَنَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ وَنَدْعُوْكَ بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِسَائِرِ اَلْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ (يَا اللهُ…3× ، يَا هُوْ … 3× ، يَا رَحْمَنْ… 3× ، يَا رَحِيْم… 3× ، يَاحَيُّ يَاقَيُّوْم)

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ يَا بَدِيْعَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ بِ(كهيعص) بِ(حم) (عسق) نَسْأًَلُكَ أَنْ تُصَلِّيَ وَتُسَلِّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاسْتَجِبْ جَمِيْعَ دَعَوَاتِنَا ، اَللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ باِلْأَلِفِ) اَلْأَزَلِّيَّةِ الْاَبَدَنِيَّةِ الْأَحَدِيَّةِ اَوْلِهَيَّتِكَ اُلْفَةٍ وَأَمِنًا وَأَمِنًا مِنْ عُقُوْبَاتِ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ وَبِالْبَاءِ بِدَايَةٌ بَدِيْعٌ بَقَاءَ بَهَائُكَ بَهَاءًُا وَبَهْجَةٌ وَيُسْرًا بِنَا وَبِالْوَلِدَيْنِ وَمَنْ مَعَنَا بِرَحْمَتِكَ يَأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

(وَبِالتَّاءِ) تَمْجِيْدٌ تَحْمِيْدٌ تَفْرِيْدٌ تَوْحِيْدٌ تَوَبَةٌ تَوْحِيْدًا دَائِمًا أَبَدًا (وَبِالثَّاءِ) ثَنَاءٌ بَهَاءٌ ثُبُوْتٌ جَلَالُ وَجْهِكَ (وَبِالْجِيْمِ) جَبَرُوْتٌ جَمَالُ جَلَالِكَ جَوَّدًا وَجَلَالَةُ زُجَلَاءِ هَمٌّ وَغَمٌّ عَنَّا (وَبِالْخَاءِ) خَيْرًا كَثِيْرًا فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِيْرَةِ (وَباِلدَّالِ) دَوَامٌ بَقَاءٌ دَيْمُوْمِيَّتُكَ دَوَامُ عِزِّكَ وَلُطْفِكَ وَنِعْمَتِكَ عَلَيْنَا وَطاَعَتِنَا لَكَ وَحَجَبْنَا مِنَ الْمَعَاصِى دَائِمًا أَبَدًا

(وَبِالذَّالِ) ذِكْرٌ ذَخِيْرَةٌ قَوَّةٌ بَطْشٌ جَلَالٌ كِرَامُ وَجْهِكَ ذِكْرًا كَثِيْرًا فِي أَلْسِنَتِنَا وَفِي قُلُوْبِنَا دَائِمًا أَبَدًا (وَبِالرَّاءِ) رَأْفَةٌ دِقَّةٌ رُوْحٌ رِفْعَةٌ رَحْمَةٌ رُبُوْبِيَّتُكَ رَأْفَةٌ فِي  قُلُوْبِنَا مِنْكَ فِيْنَا يَارَبِّ الْعَالَمِيْنَ (وَبِالزَّاِي) زُهَادَةٌ وَزِيْنَةٌ وَزِيَادَةٌ فِي الْخَيْرَاتِ (وَبِالسِّيْنِ) سَتْرٌ سِرٌّ أَسْرَارٌ سَلَامٌ سُبُوْحِيَّتُكَ سَتْرًا وَسَلَامَةً وَسِرًّا وَسُرُوْرًا وَسِيَاحَةً فِي مَحَبَّتِكَ

(وَبِالشِّيْنِ) شَؤْنُوْنَا طَبِيْبَةً وَشُكْرًا لَكَ وَشَهَادَةٌ فِي مَحَبَّتِكَ وَصِيَانَةٌ وَصَبْرًا عَلَى طَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ (وَبِالضَّادِ) ضَوْءٌ ضِيَاءٌ بَهَاءٌ نُوْرُ وَجِهِكَ ضِيَائًا مِنْ نُوْرِ وَجْهِكَ فِي قُلُوْبِنَا (بِالطَّاءِ) طَيِّبٌ طَيِّبَاتٌ طَهَارَتُكَ فَطَهِّرْنَا مِنْ كُلِّ دَنَسٍ وَطيِّبْنَا لَكَ فِي كُلِّ الْأُمُوْرِ وَطَيِّبُ مَعِيْشَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ (وَبِالظَّاءِ) يَقِيْنِي ظَوَاهِرُ ظُهُوْرِكَ إِلَهِي أَظْهَرُ مَحَبَّتِنَا لَكَ وَلِحَبِيْبِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَأَظْهَرُ فِي قُلُوْبِنَا  سُلْطَنٌ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَآلِهِ

(وَبِالْعَيْنِ) عِلْمٌ عِنَايَةٌ عِزٌّ عَزِيْزِيٌّ عِزَّةُ عَظَمَتِكَ عِزًّا وَعَزَّمًا وَعِلْمًا وَعَمَلًا صَالِحًا يُرْضِيْكَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مِنَّا فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ (وَبِالْغَيْنِ) غِنَاءٌ غُيُوْبٌ غَيْبُوْبٌ غَيْبُوْبِيَّةٌ شَهَادَةُ غَيْبِكَ (يَعْنِي) غِنَاءٌ عَنْ كُلِّ مَا سِوَى اللهِ وَغَيْبَةٌ فِي شُهُوْدِهِ وَحُبَّتِهِ سُبْحَنَهُ (وَبِالْفَاءِ) فَلَاحٌ فُتُوْحٌ فَرَادِنِيَّةُ فَضْلِكَ فَتْحًا مُبِيْنًا رَبَّانِيَّا وَتَجْلِيًّا وَفَيْضًا أَحْسَانِيًّا مِنْكَ لَنَا يَا فَتَّاحٌ يَاعَلِيْمٌ (وَبِالْقَافِ) قَدِمٌ قُوَّةٌ اَقْدَارٌ قَهْرٌ قُدْرَةٌ قَيْمُوْمِيَّتُكَ قُدْرَةٌ وَقُوَّةٌ وَطَاعَةٌ وَقُرْبًا مِنْكَ إِلَيْنَا وَقَهْرًا لِأَقْدَائِنَا يَاقَيُّوْمُ يَاقَهَّارُ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ

(وَبِالْكَافِ) كَيْنُوْنِيَّةٌ كَرَمٌ كِفَايَةٌ كَنْفُ كَلَامِكَ كِفَايَةٌ وَكَرَمًا وَكَمَالًا لَنَا فِي كُلِّ شَيْءٍ (كهيعص) كِفَايَتُنَا (حم * عسق) حِمَايَتُنَا فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ (وَبِالَّامِ) جَمَالٌ مَكْنُوْنٌ بَهِيٌّ سَنِيٌّ عَلِيٌّ خَفِيٌّ لُطْفُكَ  لُطْفًا خَفِيًّا مُبَارَكًا لَنَا فِي جَمِيْعِ الْأُمُوْرِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا (وَبِالْمِيْمِ) مَوَاهِبٌ مُهَيْمِنَةٌ مَحَبَّةٌ مَوَدَّةٌ مَجِيْدٌ مَالِكٌ مَلَكُوْتُكَ ، مَلِكًا عَظِيْمًا وَمِنًّا وَمِنْحًا وَمُنَاجَةً وَمَحَبَّةً وَمَوَدَّةً وَمُبَادَرَةً فِي كُلِّ طَاعَةٍ لَكَ (وَبْالْهَاءِ) بَهَاءٌ هَيْبَةٌ هِدَايَةٌ سِرُّ هِدَايَتِكَ وَهِيْبَةٌ وَهَبٌ لَنَا مَا تَقِرُّبِهِ أَعْيُنِنَا فِي دِيْنِنَا وَدُنْيَانَا وَأَخِرَتِنَا وَأَنْفُسِنَا وَذُرِّيَاتِنَا وَأَهْلِيْنَا وَمَنْ مَعَنَا بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

(وَبِالْوَاوِ) وِلَايَةٌ وَدَادٌ وُجُوْدٌ وَحْدَانِيَّةٌ وُجُوْدُكَ وِلَايَةٌ لَا قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا وَوُدًّا صَادِقًا وَوُجُوْدًا فِي مَحَبَّتِكَ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادِ (وَبِالنُّوْنِ) نُوْرًا مَشْرُقًا فِي قُلُوْبِنَا وَنِعْمَةً عَلَيْنَا مِنْكَ لَنَا (وَبِالْيَاءِ) اَلْيَقِيْنُ قِيْنَا كُلَّ أَمْرٍ نَخَافُهُ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ (اللهم) إِنَّا نَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ الْمَخْزُوْنُ المَكْنُوْنُ الطَاهِرُ المُطَهِّرُ الحَيٌّ القَيُّوْمُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ بَدِيْعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

(يَا مَنْ) أَلْجَمَ الْبَحْرَ بِقُدْرَتِهِ وَقَهْرِ الْعِبَادِ بِحِكْمَتِهِ وَأَطْفَأَ نَارَ النَّمْرُوْذِ بِكَلِمَتِهِ وَاَلْقَى عَلَى مُوْسَى مَحَبَّتَهُ وَاَلِّفْ بَيْنَ جَمِيْعِ خَلْقِهِ بِقُدْرَتِهِ أَنْ تَجْعَلَ لَنَا طَلَعَةَ أَعْيُنِهِمْ وَمَحَبَّةً فِي قُلُوْبِهِمْ أَنْ تَأَلِّفَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِيَنَ يَا رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

(نَحْنُ) اَلَّذِيْنَ سَأَلْنَاكَ يَسِيْرًا فِي مَجْدِكَ غَيْرِ عَسِيْرٍ فِي رَحْمَتِكَ لَا تُرِدْنَا خَائِبِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَاحِمِيْنَ (اَللهم صَلِّى وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِ وَرَسُوْلِكَ الَّذِي جُمِعَتْ بِهِ شَتَّاتُ النُّفُوْسِ وَنَبِيِّكَ الَّذِي جُمِعَتْ بِهِ ظَلَامُ الْقُلُوْبِ وَحَبِيْبِكَ الَّذِي اخْتَرْتَهُ كُلَّ الْحَبِيْبِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ.

(A’lâm al-Shûfiyah, halaman: 593-604)

Sumber: Alif.ID

162. Tarekat Samaniyah

Samaniyah adalah nama tarekat yang pendiriannya dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin’ Abdul Karim al-Sammani al-Madani. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 1132 H dari keluarga Quraisy. Di kalangan murid-muridnya, ia lebih dikenal dengan sebutan al-Sammani.

Syaikh al-Sammani belajar hukum Islam kepada seorang ulama fikih yang terkenal yaitu Syaikh Muhammad ad-Daqqaq, Sayid Ali al-Aththar, Ali al-Kurdi, Abdul Wahab al-Thanthawi dan Sa’id Hilal al-Makki. Kemudian belajar ilmu Hadis kepada Muhammad Hayyat. Selain itu, juga berguru disiplin ilmu-ilmu keislâman lainnya kepada Muhammad Sulaiman al-Kurdi, Abu Thahir al-Kurani, dan Abdullah al-Bashri.

Adapun sanad tarekatnya adalah sebagai berikut; Ia berguru kepada Syaikh Mahmud al-Kurdi dari Hifni dari Sayyid Musthafa al-Bakri dari Sayyid Abdul Latif al-Khalwati dari Sayyid Musthafa Afandi al-Thabrani dari Ali Afandi dari Qirabasya dari Sayyid Ismail al-Jannidari Sayyid Umar al-Fua’di dari Sayyid Muhyiddin al-Qasthamuni dari Sayyid Sya’ban Afandi al-Qasthamuni dari Sayyid Khairuddin an-Naqqadi.

Sayyid Khairuddin an-Naqqadi dari Sayyid Jamal al-Khalwati dari Sayyid Baha’uddin al-Syarwani dari Sayyid Yahya al-Bakubi dari Sayyid Shadruddin al-Jayyani dari Sayyid Izzuddin. Sayyid Izzuddin dari Sayyid Muhammad Abram al-Khalwati dari Sayyid Umar al-Khalwati dari Sayyid Muhammad al-Khalwati dari Sayyid Ibrahim al-Kailani dari Sayyid Jamaluddin al-Tibrizi dari Sayyid Syihabuddin Muhammad al-Syirazi.

Sayyid Syihabuddin Muhammad al-Syirazi dari Sayyid Ruknuddin Muhammad an-Najasyi dari Sayyid Quthbuddin al-Abhari dari Sayyid Abu Najib as-Suhrawardi dari Sayyid Umar al-Bakri dari Sayyid Wajihuddin al-Qadhi dari Sayyid Muhammad al-Bakri dari Sayyid Junaid al-Baghdadi dari Sayyid sari Siqthi dari Sayyid Hasan Basri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. dari Rasulullah SAW.

Syaikh as-Sammani sangat produkif mengarang kitab di antaranya adalah: Ighatsah al-Lahafan wa Mu’anasah al-Walahan, al-Insan al-Kamil, Tuhfah al-Salik fi Kaifiyah Suluk lil-Malik, Tuhfah al-Qaum fi Muhimmat al-Ru’ya wal-Naum, Jaliyah al-KArab wa Munilah al-Arab, al-Futûhât al-Ilahiyyah fi al-Tawajjuhat al-Ruhiyah lil-Hadarah al-Muhammadiyah dan lainnya.

Syaikh as-Sammani terkenal sebagai seorang tokoh tarekat yang menjalani kehidupan zuhud dan kesalehan. Sejak masih kanak-kanak menunjukkan hal-hal yang aneh dalam perilakunya. Suatu ketika orang tuanya menghidangkan makanan untuknya, beberapa saat kemudian orang tuanya membuka tutup saji makanan. Ternyata makanannya masih utuh.

Kejadian tersebut berulang beberapa kali sehingga membuat orang tuanya cemas. Akhirnya orang tuanya melaporkan kejadian tersebut kepada guru yang mendidik anaknya. Sang guru berkata: “Jangan khawatir, anakmu akan menjadi seorang wali”.

Keanehan lainnya, jika tidur di bantal yang empuk ia selalu berkeluh kesah seperti orang sakit. Ketika orang tuanya tidur pulas, ia bangun di tengah malam, mengambil air wudu lalu shalat sampai menjelang waktu subuh.

Syaikh as-Sammani wafat pada tahun 1189 H. pada usia 57 tahun kemudian dimakamkan di Baqi’, Madinah.

Syaikh as-Sammani menggabungkan 5 tarekat menjadi tarekat Samaniyah, yaitu; tarekat Qadiriyah (yang dinisbatkan kepada Syaikh Abd al-Qodir al-Jilani lahir 470 H, Wafat 560 H), tarekat Naqsyabandiyah (yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi, lahir 717 H, wafat 761 H), tarekat Khalwatiyah (yang dinisbatkan kepada Syaikh Musthofa al-Bakri, lahir 1099 H, wafat 1162 H), tarekat Anfas, tarekat al-Asmaiyah.

Rukun Tarekat Samaniyah

  1. Lapar, dengan makna menyedikitkan makan, hal ini memiliki faedah yang sangat besar, salah satunya adalah mempermudah hati untuk berkilauan cahaya dan melakukan kebaikan
  2. Berdiam diri dengan lisan dan hati

Dalam arti: sedikit bicara dengan lisan, mempersedikit hati untuk memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dengan ini salik akan menjaga dirinya dari barang haram dan dari barang mubah yang bisa mendatangkan kendala-kendala bagi salik

  1. Berjaga pada waktu malam

Dalam arti; menyedikitkan tidur. Dengan hal ini, hati salik terjaga dari lupa yang digambarkan sebagai tidur. Dengan mata yang terjaga pada malam hari salik dapat menggunakan waktu tersebut untuk mujahadat al-Nafsi sehingga salik menaiki tangga-tangga musyahadah

  1. Uzlah (menyendiri)

Salik memutuskan hubungan dengan manusia untuk menuju kepada Allah SWT., dengan uzlah semua cita-cita salik dapat tercapai, salik dapat naik ke derajat orang–orang dekat.

Pokok-pokok ajaran tarekat Samaniyah adalah taubat, memerangi nafsu, susah karena Allah Swt, do’a, takut kepada Allah Swt, berharap kepada Allah Swt, menjaga diri dari yang dilarang, taqwa, zuhud, sabar, syukur, qana’ah, dan tawakkal.

Setengah dari karamah sayyid syaikh Muhammad Samman r.a. yang menggabungkan antara syari’at dan tarekat sehingga menjadi wali quthub pada negeri Madinah. Pada masa itu beliau menjadi juru pintu makam Rasulullah saw.

Syaikh Muhammad Samman memiliki kasih sayang kepada orang yang menuntut ilmu, fakir miskin, suka berkhidmat kepada orang yang ‘âlim, salik tarekat dan haqiqah, para `auliyâ’ Allah Swt. Perilaku itu mulai dari masa kecilnya sampai beliau menjadi Mursyid. Beliau mencintai orang yang dicintai Allah Swt. dan membenci orang yang dimurkai Allah Swt.

Beliau selalu melazimkan musyahadah dan muraqabah pada tiap-tiap waktu, taat beribadah, meniggalkan adatnya yang jahat, selalu melawan hawa nafsunya meskipun terhadap barang halal, tidak tidur pada malam hari kecuali hanya sedikit, jika tidur di atas bantal maka beliau mengeluh seperti orang sakit, apabila masuk waktu sahur maka beliau bangun lalu ia beribadah hingga waktu subuh lalu shalat subuh kemudian mambaca ratib hingga terbit matahari lalu shalat sunnah isyraq sampai seperempat hari, lalu melaksanakan shalat  sunnah dhuha.

Beliau selalu melaksanakan puasa sunnah sejak belum baligh dengan tujuan melakukan riyâdhah al-nafsi. Pada saat beliau masih remaja selalu dihidangkan makanan oleh orang tuanya, makanan itu tidak disentuh karena beliau selalu puasa sunnah, kejadian ini dilaporkan kepada orang tuanya kepada guru beliau, maka gurunya menjawab jangan engkau khawatir terhadap anakmu itu, jangan ragu-ragu, sebenarnya anakmu itu adalah waliyullah.

Pada saat orang tuanya memberi pakaian kepada syaikh Muhammad Samman r.a.ketika belum baligh dengan kain putih yang halus disulami dengan benang emas, maka dicarinya benang emas itu lalu dibuangnya, katanya wahai ayah yang demikian itu dilarang oleh hukum syara’ dan tidak ridha Allah Swt.; ini adalah sikap zuhud syaikh Muhammad Samman r.a.

Beliau selalu zikir kepada Allah Swt. siang dan malam, senang  ‘uzlah yakni jauh dari manusia dan masuk khalwat, selalu berziarah kubur ke Baqiq dan pada waktu petang ziarah ke makam istri Nabi Muhammad saw. dan para sahabat-sahabat, lalu ia zikir kepada Allah Swt, membaca al-Qu’ran pada tempat itu. Hal ini adalah kebiasaan beliau sebelum masuk dan melaksanakan jalan tarekat.

Dalam khalwat datang syaikh Abdul Qâdir Jilani (secara Yaqdhah) dengan membawa baju jubah putih lalu syaikh Muhammad Samman r.a. memakai pakaian tersebut, dan menanggalkan pakaian yang lain. Ini sebagai isyarat فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ yakni menutupi ilmunya dengan menzhahirkan kebodohannya. Akhirnya datang perintah dari Rasulullah saw, memerintahkan untuk menzhahirkan ilmunya di dalam kota Madinah seperti kehadiran matahari ketika naik di ufuk.

Setelah itu datanglah beberapa orang dari manca negara ke kota Madinah karena mendengar kabar tentang syaikh Muhammad Samman dan mengambil tarekat dari syaikh Muhammad Sammman r.a.

Mereka yang datang kepada syaikh Muhammad Samman dengan membawa emas, perak dan berbagai macam hadiah yang mahal, semua hadiah dan pemberian itu dibagikan kepada fakir miskin tanpa sisa.

Sumber: Alif.ID

163. Wasiat-wasiat Syaikh Muhammad Samman kepada Para Murid

  1. Amalkanlah do’a ini secara terus menerus:

اللهم اغْفِرْ لِأُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اللهم ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اللهم اسْتُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اللهم اجْبُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Barangsiapa yang membaca empat kali doa tersebut secara berturut-turut kemudian melaksanakan salat subuh niscaya dia masuk jumlah quthub. Martabatku tidak akan naik kecuali sebab aku melazimkan membaca doa ini pada tiap-tiap selesai shalat subuh empat kali berturut-turut.

  1. Laksanakanlah selalu salat lima waktu dengan berjamaah, dan selalu melaksanakan shalat Jumat.
  2. Perbanyaklah zikir kepada Allah swt, musyahadah, muraqabah, membaca al-Qu’ran, membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw membaca istighfar dan bersedekah, karena hal-hal tersebut bisa memberi pengaruh positif pada kematian.
  3. Seorang guru bukan orang yang memberi perintah dengan keras kepada murid untuk beribadah, tapi seorang guru adalah orang yang menaikkan derajat salik dari pekerjaan dunia menuju ke derajat yang lebih tinggi yaitu akhirat.
  4. Barang siapa yang mengambil dan mengamalkan tarekat ini, maka dia akan hidup dalam lindungan dan pertolongan Allah swt. pada waktu sakaratul maut serta mendapatkan rizki yang luas.

Jika ingin  mengatahui keramatnya Syaikh Muhammad Samman r.a. Bisa dibaca di kitab Manaqib Kubra karena keramatnya tiada terhingga banyaknya.

Membaca dan mendengar manaqib kekasih Allah Swt. memiliki faedah tersendiri, seperti sabda Nabi saw:

ذِكْرُ الْاَوْلِيَاءِ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ

Bermula menyebut keramat auliyâ’ itu turun rahmat.

Maka memadailah sebagian ini bagi orang yang percaya setengah dari keramat tuan syaikh Muhammad Samman r.a. Dikeluarkan namanya itu dari Lauh al-Mahfûdz sebagaimana yang tersebut di kitab طبقات سيدي أحمد الشرنبى yaitu setengah dari wazir mahdi.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

  • اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ 3×
  • وَ أَتُوْبُ اِلَىْهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِى وَ الذُّنُوْبِ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ اَشْهَدُ اَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدُ الرَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ.
  • عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ وَ عَلَى كُلِّ نِيَّةٍ صَالِحَةٍ وَ اِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ صَحَابَةِ الْأَرْبَعَةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ سَادَاتِنَا اَبِيْ بَكْرٍ وَ عُمَرٍ وَ عُثْمَانَ وَ عَالِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ اِبْرَاهِيْمَ عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ مُوْسَى عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ يُوْسُفَ عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ حِيْضِرَعَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ نَبِيِ اللهِ سُلَيْمَانَ عَلَىْهِ سَلَّمَ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ سُلْطَانِ الْأَوْلِيَاءِ 185 حِكَيَةُ شَيْءٍ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ سُلْطَانِ عَاسِقٍ 185 حِكَيَةُ شَيْءٍ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ سُلْطَانِ الْمُجْتَهِدِيْنَ 185 حِكَيَةُ شَيْءٍ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ شَيْخِ لُقْمَانِ الْحَكِيْمِ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ شَيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ جِيْلَانِى شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ شَيْخِ مُحَمَّدْ سَمَّانْ يَا سَمَّانْ3× يَا مَهْدِيْ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • وَ اِلَى حَضْرَةِ اَبِيْنَا اَدَامَ وَ اُمِّيْنَا هَوَى شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • ثُمَّ اِلَى اَرْوَاحٍ خُصُوْصًا اَهْلَ الْقُبُوْرِ … شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • ثُمَّ اِلَى اَرْوَاحِ كُلُّهُمْ اَجْمَعِيْنَ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمْ (الْفَاتِحَة)
  • اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ 11×
  • اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَىْهِ 11×
  • Membaca Surat al-Fatihah 1x
  • Membaca Surat al-Ikhâs 11x
  • Membaca Surat al-Falaq 11x
  • Membaca Surat al-Nâs 11x
  • Membaca ayat Kursi 11x
  • اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ 11×
  • لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ 11×
  • Membaca Surat al-Fatihah 1x
  • سُبْحَانَ اللهُ 170×
  • اَلْحَمْدُ لِلهِ 170×
  • اَللهُ اَكْبَرُ 170×
  • يَا لَطِيْفُ يَا حَفِيْظُ يَا حَكِيْمُ يَا وَكِيْلُ يَا اللهُ يَا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدُ الرَّسُوْلِ اللهِ 170×
  • حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَ نِعْمَ النَّصِيْرُ 170×
  • يَا فَتَّاحُ يَا رَزَّاقُ 170×
  • يَا عَدِيُّ يَا عَلِيُّ يَا خَبِيْرُ يَا مُبِيْنُ 170×
  • يَا كَبِيْرَ يَا مُنْطَهَى 170×
  • لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ 170×
  • سِرُّ اللهِ صِفَةُ اللهِ ذَاتُ اللهِ وُجُوْدُ اللهِ مُحَمَّدُ الرَّسُوْلِ اللهِ 170×
  • لَا إِلَهَ إِلَّا اَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ 170×
  • اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْأَوَّلِيْنَ اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِي الْأَخِرِيْنَ وَ بَارِكْ وَ سَلِّمْ وَ رِضَي اللهُ تَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحاَبَةِ رَسُوْلِ اللهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمِيْنَ اَمِيْنَ اَمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
  • وَ اعْفُ عَنَّا يَا كَرِيْمُ وَ اغْفِرْ لَنَا يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
  • اللهم اجْعَلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ وَمَا هَدَيْنَاهُ لِنَبِيِّكَ الْكَرِيْمِ هَدِيَّةً بَالِغَةً نَازِلَةً زِيَادَةً فِي شَرَفِ النَّبِيِّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
  • اللهم آتِ الْوَصِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَالشَّرَفَ وَالدَّرَجَةَ الْعَالِيَّةَ الرَّفِيْعَةَ. وَابْعَثْهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُوْدَ الَّذِيْ وَعَدْتَهُ. اِنَّكَ لَاتُخْلِفُ الْمِيْعَادَ وَصَلَّى اللهُ عَنْ غَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ.
  • اللهم افْتَحْ عَلَيْنَا اَبْوَابَ الْخَيْرِ وَاَبْوَابَ الْبَرَكَةِ وَاَبْوَابَ الرِّزْقِ وَاَبْوَابَ الْقُوَّةِ وَاَبْوَابَ الصِّحَّةِ وَاَبْوَابَ السَّلَامَةِ وَاَبْوَابَ الْعَافِيَّةِ وَاَبْوَابَ الْجَنَّةِ.
  • اللهم عَافِيْنَا مِنْ كُلِّ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ وَاسْرِفْ عَنَّا بِحَقِّ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَبِيِّكَ الَكَرِيْمِ شَرِّ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْأَخِرَةِ. غَفَرَ اللهُ لَنَا وَلَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
  • اللهم احْيِنَا بِالْإِيْمَانِ وَ اَمِتْنَا بِالْإِيْمَانِ وَ اخْسُرْنَا بِالْإِيْمَانِ وَ ادْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْإِيْمَانِ
  • اللهم ثَبِّتْنَا مَعَ الْإِيْمَانِ وَ اخْرِجْنَا مِنَ الدُّنْيَا مَعَ الْإِيْمَانِ وَ خَدِّمْ لَنَا مِنَ الْجِنِّ مَعَ الْإِيْمَانِ
  • اللهم عَافِيْنَا مِنْ كُلِّ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَ عَذَابِ الْأَخِرَةِ شَرِّ الدُّنْيَا وَ شَرِّ الْأَخِرَةِ غَفَرَ اللهُ لَنَا وَ لَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
  • اللهم اجْعَلْ فِيْ قَلْبِيْ نُوْرًا وَ فِيْ لِسَانِيْ نُوْرًا وَ فِيْ بَصَرِيْ نُوْرًا وَ فِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا وَ عَنْ يَمِيْنِيْ نُوْرًا وَ عَنْ يَسَرِيْ نُوْرًا وَ مِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا وَ مِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا وَ مِنْ اَمَامِيْ نُوْرًا وَ مِنْ خَلْفِيْ نُوْرًا وَ اجْعَلْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ نُوْرًا وَ عَظِّمْنِيْ نُوْرًا
  • اللهم اِنِّيْ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ قَلْبِيْ لَا يَخْشَ وَ مِنْ دُعَائِيْ لَا يُسْمَعْ وَ مِنْ نَفْسِيْ لَا تُتْبَعْ وَ مِنْ عِلْمِيْ لَا يَنْفَعْ وَ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَؤُلآءِ الْأَرْبَعِ
  • اللهم كَمَا أَحْسَنْتَ خَلْقِيْ فَأَحْسِنْ خُلُقِيْ
  • اللهم يُحِبُّوْنَهُمْ لِحُبِّ اللهِ وَ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَشَدُّ حُبًّا لِلهِ زُيِّنًا لِلنَّاسِ حُبَّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَ الْبَنِيْنَا وَ الْقَنَاطِيْرِ وَ الْمُقَنْطَرِيْنَ
  • اللهم رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَىْنَا مَآئِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُوْدُ لَنَا عِيْدَ الْأَوَّلِيْنَ وَ الْأَخِرِيْنَ وَ اَيَاتٍ مِنْهُ وَارْزُقْنَا وَ اَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ
  • اللهم اِنْ كَانَ رِزْقُنَا فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَ اِنْ كَانَ رِزْقُنَا فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَ اِنْ كَانَ رِزْقُنَا مَضْحُوْمًا فَزِدْهُ وَ اِنْ كَانَ رِزْقُنَا أَسِيْرُهُ لَنَا وَ لَا تَقُوْلُ لَنَا اِلَىْهِ حَيْثُ مَا كَانَ بِفَضْلِكَ وَ جُوْدِكَ وَ كَرَامِكَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
  • يَا اللهُ يَا اَحَدُ يَا مَوْجُوْدُ يَا جَوَّادُ يَا بَسِيْرُ يَا كَرِيْمُ يَا ذَاتَ اللهِ يَا غَنِيُّ يَا مُفْنِيُّ يَا فَتَّاحُ يَا رَزَّاقُ يَا عَلِيْمُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا رَحْمَنُ يَا رَحِيْمُ يَا بَدِيْعَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ يَا حَنَّانُ يَا مَنَّانُ اِنْفَعْنِيْ مِنْكَ بِنَفْحَةٍ خَيْرٍ تُغْنِيْ بِهَا عَنْ مَنْ سِوَاكَ اِنْ تَسْتَفْتِحْ فَقَدْ جَآءَكُمُ الْفَتْحُ اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِيْنًا نَصْرٌ مِنَ اللهِ وَ فَتْحٌ قَرِيْبٌ وَ بَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسِلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ الَأَمْوَاتِ
  • اللهم يَا غَنِيُّ يَا حَمِيْدُ يَا مُبْدِعُ يَا مُعِيْدُ أَغْنِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ كَرَامِكَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَنْ مَنْ سِوَاكَ وَ احْفَظْنِيْ بِمَا حَفَظْتَ بِهِ الذِّكْرَ وَ انْسُرْنِيْ لِمَا حَفَظْتَ بِهِ الرَّسُوْلَ اِنْ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ وَ زِنَةَ عَرْسِهِ وَ مِدَادَ كَلِمَاتٍ
  • اللهم ذِي السُّلْطَانِ الْعَظِيْمِ وَ ذِي الْمَنِّى الْقَدِيْمِ وَ ذِي الْوَجْهِ الْكَرِيْمِ وَ وَلِيِّ الْكَلِمَاتِ التَّآمَّاتِ وَ الدَّعَوَاتِ يُسْتَحَابَة وَ عَاقِلِ الْحَسَنِ وَ الْحُسْنِيْ مِنْ اَنْفُسِ الْحَقِّ وَ عَيْنِ الْقُدْرَةِ وَ النَّاظِرِيْنَ وَ عَيْنِ دَنَسٍ وَ الْجِنِّ وَ الشَّيَاطِيْنِ. وَ ان يكاد الذين كفرو لين لقومك بابصآرهم كما سمعوا الذكر و يقولون انه لمحنون
  • لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ وَ مَا هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِيْنَ وَ مُسْتَجَابُ لُقْمَنَ الْحَكِيْمِ وَ وَرَثَ سُلَيْمَانَ ابْنِ دَاوُدَ عَلَىْهِمَا السَّلَامُ الْوَدُوْدَ ذُو الْعَرْشِى الْمَجِيْدِ وَ وَرَثَ إِبْرَاهِيْمَ عَلَىْهِ سَلَامٌ وَ وَرَثَ مُوْسَى عَلَىْهِ سَلَامٌُ وَ وَرَثَ نَبِيَّ اللهِ يُوْسُفَ عَلَىْهِ سَلَامٌ وَ وَرَثَ نَبِيَّ اللهِ خِيْضِرَ عَلَىْهِ سَلَامٌ وَ وَرَثَ شَيْخَ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجِيْلَانِيِّ وَ وَرَثَ شَيْخَ مُحَمَّد سَمَّان يَا سَمَّانُ 3× وَ وَرَثَ أَوْلِيَاءَ اللهِ وَ وَرَثَ عَاشِقَ وَ وَرَثَ مُجَاهِدِيْنَ الْوَدُوْدُ ذُو الْعَرْشِى الْمَجِيْدِ طَوِّلْ عُمْرِيْ وَ صَحِّحْ جَسَدِيْ وَ اقْضِ حَاجَتِيْ وَ اكَثِرْ اَمْوَالِيْ وَ اَوْلَادِيْ وَ حَبِّبْ لِلنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ وَ تُبَاعِدْ الْعَدَاوَةَ وَ الْبَغْضَاءَ مِنْ نَبِيِّ آدَمَ عَلَىْهِ السَّلَامُ كُلِّهَا مَنْ كَانَ حَيًّا وَ يَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِيْنَ وَ قُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَ زَهَقَ الْبَاطِلُ اِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا وَ نُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ لَا يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا خَسَارًا سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
  • اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ سَلَامَةً فِي الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا وَ الْأَخِرَةِ وَ عَافِيَةً فِي الْجَسَدِ وَ زِيَادَةً فِي الْعِلْمِ وَ بَرَكَةً فِي الرِّزْقِ وَ تَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ
  • اللهم هَوِّنْ عَلَىْنَا فِي سَكَرَاتِ الْمَوْتِ وَ النَّجَاتِ مِنَ النَّارِ وَ الْعَفْوَى عِنْدَ الْحِسَابِ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَىْتَنَا وَ هَبْلَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَاٌم عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهم اِنَّا نَتَوَسَّلُ بِمَنْ يَتَوَسَّلُ إِلَىْكَ وَ بِآلِهِ. وَ اَصْحَابِهِ الذَّاكِرِيْنَ عَلَىْكَ وَ بِمَنْ تَلِيَتْ فِيْ هَذَا الْمَحَلِّ آثَارُهُ وَ لَاحَتْ عَلَى الْحَاضِرِيْنَ شُمُوْسُهُ وَ اَقْمَارُهُ، اَنْ تُوَفِّقَنَا فِي الْاَقْوَالِ وَ الْاَفْعَالِ لِخُصُوْصِ النِّيَّاتِ، وَ تُبَدِّلَ السَّيِّئآتِ الْحَسَنَاتِ، وَ اَنْ تُغَسِّلَ بِبَرْدِ عَوْفِكَ دَرَنَ نُفُوْسَنَا، وَ تُنَوِّرَ بِمِشْكَاتِ مَعْرِفَتِكَ حَنَادِسَ قُلُوْبِنَا وَ تَخَفَّنَا بِالْطَافِكَ الْخَفِيَّةِ عِنْدَ نُزُوْلِ هَادَمِ الَّلذَّاتِ. وَ تُطْلِقَ اَلْسِنَتِنَا بِتَوْحِيْدِكَ عِنْدَ خُلُوْلِ الْمَمَاتِ. وَ كَفَّ عَنَّا الْجَوْرَ وَ الْمَظَالِمِ. وَ اَوْكِفْ عَلَىْنَا وَ اكْفَ الْجُوْدِ وَ الْمَكَارِمِ وَ اَمَدَّنَا اللهم بِاَنْفَاسِ هَذَا الْعَارِفِ الْأَكْبَرِ. وَ الْبَحْرِ الْمُحِيْطِ الْأَنْوَرِ. وَ اَدْخِلْنَا فِيْ سِلْكِ جَاهِهِ الْعَظِيْمِ. وَ بِوِّئْنَا بِمُحَبَّتِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ. وَ انْشُرْ عَلَىْنَا بِهِ خِلَعِ الْمَوَاهِبِ وَ هَبْ لَنَا بْحُرْمَتِهِ عَلَىْكَ بُلُوْغِ الْمَآرِبِ. وَ امْنَحْنَا بِنَفَحَاتِ ذِكْرِكَ وَ ذِكْرِهِ الْجَمِيْلُ وَ عَرِّضْنَا لِحَشْرِ اَرْوَاحِنَا مَعَ الْكَمَالِ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ وَجِيْلٍ. وَ اغْفِرِ اللهم لِمَنْ اَسَّسَ هَذَا الْمَكَانَ السَّعِيْدُ وَ وَالِدَيْهِ وَ اَهْلِهِ وَ التَّابِعِيْنَ لَهُ مِنْ كُلِّ صَالِحٍ مَجِيْدُ وَ جَازِهِمْ بِالْإِحْسَانِ اِحْسَانًا. وَ بِالسَّيِّئآتِ غُفْرَانًا. وَ صَلِّ اللهم عَلَى خَيْرِ الْأَنَامِ وَ آلِهِ وَ صَحْبِهِ الْبَرَرَةِ الْكِرَامِ. مَا اَصْغَتْ اُذُنٌ لِسَمَاعِ ذِكْرِ الْكَمَالِ الْأَعْلَامِ. وَ فَازَ بِرُكُوْبِ جَوَادِ الْفَضْلِ فِي الْمِيْدَانِ. بِحُسْنِ الْخِتَامِ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمْ  بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ دَعْوَاهُمْ فِيْهَا سُبْحَانَكَ اللهم وَ تَحِيَّتُهُمْ فِيْهَا سَلَامٌ وَ اَخِرُ دَعْوَاهُمْ اَنِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

164. Tarekat Haddadiyah

Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan pada seorang wali quthub besar yaitu Abdullah bin Alwi aI-Haddad. Nasabnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.

Adapun garis keturunannya sebagai berikut : Abdullâh bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh bin Muhammad al-Haddad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullâh bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi pamannya Faqih al-Muqaddam bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullâh bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Krw.

Beliau dilahirkan pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044 H. di kota Tarim Hadramaut Yaman. Ia menghafaI Alquran lalu mencari ilmu pembersih hati dan berguru pada para `ulamâ’ besar. Sejak kecil matanya sudah buta, namun Allah Swt. menggantinya dengan sinar mata hati yang justru melebihi penglihatan mata biasa. Ia belajar ilmu fikih kepada Syaikh al-Qadhi Sahal bin Ahmad bin Hasan. Ia hafal kitab al-Irsyad atau sering membaca kitab al-Irsyad di hadapan gurunya.

Allah Swt. telah memberinya hafalan, pemahaman dan pemikIran yang sangat luar biasa. Ia berkata: “Di waktu kecil, setiap hari aku melaksanakan shalat di masjid Bani Alawi sebanyak 200 rakaat. Aku memohon kepada Allah SWT. agar diberi maqâm Habib Abdullâh al-Idrus”. Allah Swt. telah mengabulkan permohonannya itu.

Al-Haddad sering berziarah ke pemakaman Zambal, Furaith serta Akdar yang merupakan pemakaman para Habaib di Hadramaut.

Al-Haddad berguru dan memperoleh mandat (ijazah) Tarekat dari Sayyid Muhammad bin Alwi Makkah dari Imam Abdullâh bin Ali dari Sayyid Abdullâh al-Idrus dari Sayyid Umar bin Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Alwi dan Alwi dari saudaranya Abu Bakar al-Idrus dari ayahnya al-Idrus al-Kabir dari Syaikh Ali dari puteranya Syaikh Abi Bakar as-Sakran dan juga dari pamannya yaitu Syaikh Umar al-Mukhdhar dari ayah mereka Imam AbDurrahman as-Segaf dari ayahnya Syaikh Maula ad-Dawilah dari ayahnya Syaikh Ali dan pamannya Syaikh Abdullâh bin Syaikh Alawi dari ayahnya Syaikh al-Faqih al-Muqaddam dari ayahnya Syaikh Alawi bin al-Faqih dari kakeknya dan terus ke Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. (Ghayah al-Qashd wa al-Murad, juz 1, halaman: 219).

Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi bin Alawi mengisahkan bahwa Abdullâh al-Haddad berkata: “Sebagian murid-muridku ada yang memintaku mencatat sanad-sanadku, padahal aku memiliki kurang lebih seratus orang guru, seorang guru saja di antara mereka akan sulit mencari tandingannya karena hebatnya dalam urusan tarekat. Aku telah memperoleh mandat dari mereka menurut masing-masing pangkatnya”.

Dan Abdullâh al-Haddad berkata: “Aku tak pernah melakukan sesuatu kecuali atas petunjuk dari Allah SWT. atau Nabi SAW. atau al-Fagih al-Muqaddam Muhammad bin Ali ba Alawi”.

Di antara aurâdnya sehari-hari adalah setelah zhuhur membaca lâ ilâha illaAllah 1000 kali. Dan di setiap bulan Ramadan membaca lâ ilâha illallah setiap hari 2000 kali sehingga genap 70.000 kali pada tanggal 6 Syawwal. Abdullâh aI-Haddad juga juga membaca lâ ilâha illaAllah al-Malik al-Haq al-Mubin setiap hari 100 kali setelah zhuhur.

Ia sering berpuasa, lebih-lebih pada hari baik seperti Senin-Kamis, hari-hari putih yaitu tanggal 13, 14 dan 15, 10 Muharram, 9 Dzulhijjah, 6 hari pada bulan Syawal. Puasa tersebut ia jalani sehingga tidak kuat lagi karena usianya sudah tua.

Ketika dibacakan Hadis Nabi saw. yang berbunyi “Jangan engkau jadikan kuburanku seperti hari raya”, Abdullâh al-Haddad menjelaskan Hadis ini dari berbagai sudut pandang keilmuan. Secara mendalam ia membahas semuanya mulai dari seusai shalat ashar sampai menjelang maghrib. Kemudian ia berkata: “Aku mempunyai beberapa ilmu yang sekIranya aku tunjukan, jangankan manusia, bajuku pun akan mengingkarinya”.

Ia menyandang pangkat wali quthub mulai dari masa mudanya sehingga masa tua dalam rentang waktu ± 60 tahun. Di antara perkataannya adalah: “Dulu aku mencari sesuatu dan sekarang sesuatu mencariku”.

Ia juga berkata: “Pangkatku ini tak seorang pun yang mampu membawanya sendirian. Namun jika kelak aku hampir meninggal, akan aku berikan kepada sekelompok orang.”

Ia wafat pada malam Selasa 7 Dzul Qa’dah tahun 1132 H. dan dimakamkan di saat maghrib karena begitu banyaknya pelayat. Makamnya merupakan tempat yang mustajab untuk memanjatkan do’a dan bermanfaat bagi orang yang kesusahan. Orang yang duduk di sekitar makam akan merasa betah dan tak ingin beranjak karena merasakan kedamaian.

Di samping itu beliau juga seorang mushannif atau pengarang kitab terutama di bidang ilmu tasawuf di antara kitabnya :

  1. Al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah
  2. Al-Da’wah al-Tamah Wattadkir al-Amma
  3. Risalatu al-Muawanah Wa al-Mudhaharo Wa al-Muazarah al-Muraghabin Nimal Mu’minin Fi Suluk Tarekat al-Akhirah
  4. al-Fushul al-Ilmiyati Wa al-Ushul al-Khikmah
  5. Sabilu al-Iddikar Wa al-I’tibar bima Yamurru Bil Insân Wayanqadhi lahu Minal I’timar.
  6. Risalah al-Mudzakiroh Maa al-Ikhwan al-Mukhibbin min Ahli al-Khoir Waddin.
  7. Risâlah Adâb Sulûk al-Murid.
  1. Kitab al-Hikam.
  2. Adab Suluk al-Murid
  3. Al-Wirid al-Kabir
  4. Ithaf al-Sail

Sumber: Alif.ID

165. Ajaran-Ajaran Tarekat Haddadiyah

1. Berpegang teguh pada tali agama Allah Swt. dengan mengamalkan Al-Qur’an dan Hadis, kesepakatan para ulama, berpegang pada ahlu sunnah wal jamaah, dan mencegah keluar dari golongannya. Karena, jamaah merupakan rahmat sedangkan perpecahan adalah adzab (siksa).

Pertolongan Allah Swt. bersama dengan jamaah (persatuan yang kuat), persatuan merupakan dasar semua kebaikan. Begitu juga perpecahan dasar setiap kejelekan dan bencana (al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah, halaman: 5).

  1. Zikir

Zikir kepada Allah SWT. merupakan lebih utama-utamanya ibadah dan lebih cepat wushul kepada Allah Swt, zikir yang paling utama adalah dengan menggunakan hati dan lisan secara bersama sama kemudian zikir dengan hati saja, zikir dengan lisan saja.

Syaikh Abdullah Ba’lawi al-Haddad membagi urutan zikir menjadi 4 bagian seperti pembagianya Imam Ghazali: a) Zikir lisan saja. b) Zikir hati dan lisan yang dipaksakan. c) Hadirnya hati tanpa dipaksakan ketika zikir lisan. d) Hati tenggelam dalam Dzat yang di zikiri.

  1. Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan syiar agama yang agung, sesuatu yang penting bagi mu’min.  Allah Swt. Berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ… ” الأية ”

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ رَاءَ مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الْإِيْمَانِ.

Dengan demikian amar ma’ruf nahi munkar tidak ada kemurahan (rukhshah) bagi siapa pun untuk meninggalkannya. Barang siapa meremehkan amar ma’ruf nahi munkar maka dia termasuk orang yang meremehkan haknya Allah Swt. dan tidak menghormatinya, (al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah, halaman: 55).

Syaikh Abdullah al-Haddad mengingatkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar seharusnya dilakukan dengan lemah lembut, menampakkan jiwa kasih sayang karena hal itu merupakan lingkaransifat-sifat keagungan.

  1. Berpedoman terhadap aqidah ahlu sunnah wa al-jamaah.
  2. Tafakkur

Hendaknya salik melakukan wirid sambil melakukan tafakkur tiap malam, bertafakkur tentang kekuasaan dan nikmat-nikmat Allah Swt, bertafakkur terhadap ketedoran ibadah salik, tafakkur terhadap kehidupan dunia dan kesibukan salik meramaikan dalam meraih kehidupan dunia dan kerusakan-kerusakan dunia dengan memperhatikan kehidupan akhirat yang kekal abadi, (Risalah al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah, halaman: 37-39).

  1. Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis.
  2. Salik harus tetap menjaga kebersihan lahir batin.
  3. Salik harus menjaga dan membiasakan diri melakukan Adab al-Nibuwwah (adab tata krama Nabi Muhammad saw.
  4. Wirai yaiitu menjaga diri dari perbuatan yang diharamkan dan syubhat.
  5. Berbuat adil.
  6. Tetap melanggengkan taubat, roja’, khauf, sabar, syukur, zuhud, tawakkal kepada Allah Swt. dan mahabbah kepada Allah Swt. dan rasulnya.
  7. Ridho kepada Qadha’ dan Qadar Allah Swt. (Risalah al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah, halaman: 40-132).

Sebagian dengan perkara yang penting bagi seseorang yang berbuat amar ma’ruf nahi munkar yaitu menjahui dosa besar karena sesungguhnya perbuatan tersebut dapat menghapus atau menambah pahala dan menyebabkan siksa, (Nashaihu al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, halaman: 57).

Adab Zikir

  1. Salik harus menghadirkan hati dengan lisan ketika berzikir, karena hal ini sangat penting untuk salik bisa menerima faidah, buah dari zikir.
  2. Salik harus beradab dengan sebaik-baik adab, baik secara lahir atau batin.
  3. Salik harus dalam keadaan suci dari hadas,
  4. Salik harus khusyuk dan mengagungkan Allah Swt.
  5. Menghadap kiblat, semua anggota tubuhnya dalam keadaan tenang. Seperti dalam keadaan salat.
  6. Salik menggunakan segenap waktunya untuk berzikir dan tetap memegang adab dalam keadaan apapun, karena syaithan terus menunggu kelengahan salik, (al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, halaman: 49-50).

Macam-macam Zikir

Menurut Abdullâh bin Alwi al-Haddad Sebagaimana yang di tulis di kitab (Nashaihu al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, sebagai berikut :

  1. Membaca Al-Qur’an
  2. Membaca tahlil
  3. Membaca kalimat thayyibah
  4. Membaca tasbih, tahmid, dan takbir
  5. Membaca baqi’atus shalikha khauqala (la haula wala quwwata illa billah)
  6. Membaca istigfar
  7. Membaca shalawat pada Nabi
  8. Membaca doa (Nashaih al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, halaman: 52-53).

Berikut bacaan Ratib al-Haddad, Syaikh Alawi bin Ahmad bin Hasan bin Abdillah bin Alwi al-Haddad yang dijelaskan dalam kitab Mukhtashar Syarhu Ratib al-Haddad, halaman: 5-8.

أَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ،  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمِ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَللهُ لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ. لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ. لَهُ مَا فِي السَّمٰوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ. مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ. يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ. وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلَا يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ. آمَنَ الرَّسُولُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ. كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ. لَانُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ. وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ. لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا. لَهَا مَاكْتَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا. رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا. رَبَّنَا وَلَا تُـحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ. وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا. أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلىٰ كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ  ×3

سُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَلَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ اَللهُ اَكْبَرُ  ×3

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ ×3

رَبَّنَااغْفِرْلَنَاوَتُبْ عَلَيْنَااِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ ×3

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّم  ×3

اَعُوْذُبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّمَاخَلَقَ ×3

بِسْمِ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَالْـخَيْرُوَالشَّرُّبِمَشِيْئَةِ اللهِ  ×3

آمَنَّابِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ تُبْنَااِلَى اللهِ بَاطِنًاوَظَاهِر  ×3

يَارَبَّنَاوَعْفُ عَنَّاوَمْحُ الَّذِيْ كَانَ مِنَّا  ×3

يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ اَمِتْنَاعَلَى دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ  ×7

يٰاقَوِيُّ يٰامَتِيْنُ اكْفِ شَرَّالظَّالِمِيْنَ  ×3

اَصْلَحَ اللهُ اُمُرَالْمُسْلِمِيْنَ صَرَفَ اللهُ شَرَّالْمُؤْذِيْنِ  ×3

يَاعَلِيُّ يَاكَبِيْرُيَاعَلِيْمُ يَاقَدِيْرُيَاسَمِيْعُ يَابَصِيْرُيَالَطِيْفُ يَاخَبِيْرُ  ×3

يَافَرِجَ الْهَمِّ، يَاكَاشِفَ الْغَمِّ، يَامَنْ لِعَبْدِهِ يَغْفِرُوَيَرْحَمْ  ×3

اَسْتَغْفِرُ اللهَ رَبَّ الْبَرَايَا اَسْتَغْفِرُاللهَ مِنَ الْخَطَاياَ ×3

لَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ لَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ ×25

لَآإِلٰهَ اِلَّااللهُ مُحَمَّدٌرَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ وَمَـجَّدَ وَعَظَّمَ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالٰى عَنْ اَهْلِ بَيْتِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ وَاَصْحَابِهِ اْلاَكْرَمِيْنَ الْمُهْتَدِيْنَ، وَاَزْوَاجِهِ الطَّاهِرَةِ اُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلىٰ يَوْمِ الدِّيْنِ وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ وَفِيْهِمْ بِرَحْمَتِكَ يَآاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ. اَللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ ×3

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِن شَرِّ مَا خَلَقَ. وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ. وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ×1

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلٰهِ النَّاسِ. مِن شَرِّالْوَسْوَاسِ الْـخَنَّاسِ. الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ×1

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِسَيِّدنَا الْفَقِيْهِ الْمُقَدَّمِ مُحَمَّدِبْنِ عَلِيِّ بٰاعَلَوِى، وَاُصُوْلِهِ وَفُرُوْعِهِ وَجَمِيْعِ سَادَاتِنَا آلِ بٰاعَلَوِى، إِنَّ اللهَ يُقَدِّسُ أَرْوَاحَهُمْ فِي الْـجَنَّةِ، وَيُنَوِّرُ ضَرَائِحَهُمْ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ.

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِـجَمِيْعِ سَادَاتِنَا الصُّوْفِيَةِ إِنَّ اللهَ يُقَدِّسُ أَرْوَاحَهُمْ فِي الْـجَنَّةِ، وَيُنَوِّرُ ضَرَائِحَهُمْ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِمْ وَأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَيُلْحِقُنَا بِهِمْ فِي خَيْرٍ وَعَافِيَة.

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِصَاحِبِ الرَّاتِبِ، اَلْأُسْتَاذِ سَيِّدِنَا الشَّرِيْف، الْقُطْبِ الْغَوْثِ، عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلَوِيِّ اَلْحَدَّادِ بَاعَلَوِيِّ، إِنَّ اللهَ يُقَدِّسُ رُوْحَهُ فِي الْجَنَّةِ، وَيُنَوِّرُ ضَرِيْحَهُ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ وَأَسْرَارِهِ وَأَنْوَارِهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ.

﴿اَلْفَاتِحَةَ﴾ لِوَالِدِيْنَ وَوَالِدِيْكُمْ، وَاَمْوَاتِنَا وَاَمْوَاتِكُمْ وَاَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ اَجْمَعِيْنَ، إِنَّ اللهَ يَغْفِرُلَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيُسْكِنُهُمُ فِي الْجَنَّةَ، وَيُصْلِحُ أُمُوْرَالْمُسْلِمِيْنَ، وَيَكْفِيْهِمْ شَرَّ الْمُوءْذِيْنَ، وَيَتَقَبَّلُ مِنَّا وَمِنْكُمْ، وَيَرْزُقُنَا وَإِيَّاكُمْ حُسْنَ الْخَاتِمَةِ عِنْدَ الْمَوْتِ فِي خَيْرٍ وَلُطْفٍ وَعَافِيَةٍ، وَاِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ. لَهُمُ الْفَاتِحَة

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِى مَزِيْدَهُ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَلىٰ اَهْلِ بَيْتِهِ وَسَلِّمْ، اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ بِحَقِّ الْفَاتِحَةِ الْمُعَظَّمَةِ وَالسَّبْعِ الْمَثَانِى اَنْ تَفْتَحَ لَنَا بِكُلِّ خَيْرٍ، وَاَنْ تَفَضَّلَ عَلَيْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ، وَاَنْ تُعَامِلَنَا مُعَامَلَتَكَ لِأَهْلِ الْـخَيْرِ، وَاَنْ تَجْعَلَنَا مِنْ اَهْلِ الْخَيْرِ، وَاَنْ تَحْفَظَنَا فِى دِيْنِنَا وَاَنْفُسِنَا وَاَوْلاَدِنَا وَاَهْلِيْنَا وَاَصْحَابِنَا وَاَحْبَابِنَا مِنْ كُلِّ مِحْنَةٍ وَفِتْنَةٍ وَبُؤْسٍ وَّضَيْرٍ، اِنَّكَ وَلِيُّ كُلِّ خَيْرٍ، وَمُعْطٍ لِكُلِّ خَيْرٍ يَآاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمِ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ رِضَاكَ وَالْجَنَّةَ وَنَعُوْذُبِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ ×3

يَا عَالِمَ السِرِّ مِنَّا لاَ تَهْتِكَ السِّتْرَ عَنَّا وَعَافِنَا وَاعْفُ عَنَّا وَكُنْ لَنَا حَيْثُ كُنَّا ×3

يَا اَللهُ بِهَا يَا اَللهُ بِهَا يَا اَللهُ بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ ×3

يَا لَطِيْفًا بِـخَلْقِهِ، يَاعَلِيْمًا بِـخَلْقِهِ، يَاخَبِيْرًا بِـخَلْقِهِ، اُلْطُفْ بِنَا يَا لَطِيْفُ يَاعَلِيْمُ يَا خَبِيْرُ  ×3

يَا لَطِيْفًا لَمْ يَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا فِيْمَا نَزَلْ اِنَّكَ لَطِيْفٌ لَمْ تَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ  ×3

جَزَاللهُ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَنَّا خَيْرًا، جَزَاللهُ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَنَّا مَا هُوَ اَهْلُهُ  ×3

بِبَرَكَةِ الْفَاتِحَة  اهــ

(Mukhtashar Râtib al-Haddâd, halaman:  5-8 ).

Sumber: Alif.ID

166. Wasiat-wasiat al-Haddad

Dalam memantapkan keyakinan dan ketakwaan pengikut tarekat, al-Haddad memberikan wasiat kepada mereka untuk diamalkan. Di antara wasiat beliau sebagaimana yang tertulis di kitab ”al-Nashaih al-Diniyah” dan kitab-kitab yang lain adalah sebagai berikut:

  • Iman

Al-Haddad senantiasa berpesan agar selalu menguatkan keimanan dan memperbaikinya karena hal ini menjadi pokok yang utama. Jika keyakinan seorang menjadi teguh dalam hatinya yang gelap menjadi terang. Ia memberikan alasan dengan ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib.

Keyakinan itu dapat diperoleh dengat mendengar ayat-ayat Al-Qur’an , Hadis dan atsar sahabat. Kemudian dengan melihat pada alam semesta yang menandakan kebesaran penciptanya. Ia membagi iman itu dalam tiga tingkatan :

  1. Derajat ashabul yamim, yaitu tingkat iman yang masih keragu-raguannya.
  2. Derajat muqarrabin, yaitu yang mempunyai iman yang kuat tidak bisa digoncangkan ke kanan dan ke kiri.
  3. Derajat nabiyyin, yaitu iman yang sudah mencapai tingkatan sempurna
  • Niat

Niat yaitu keinginan hati untuk menjalankan ibadah baik yang wajib atau yang sunnah dan keinginan akan sesuatu seketika itu atau waktu akan datang.

Arti Niat:

  1. Niat yaitu gambaran dari kesengajaan seseorang terhadap satu pekerjaan yang disertai pekerjaan dan ucapan.
  2. Niat yaitu yaitu gambaran melakukan sesuatu yang disertai dengan kesengajaan, (Risalah al-Muawanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah, halaman: 19).
  • Muraqabah

Yaitu merasa di awasi Tuhan, dan orang yang sedang melakukan suluk hendaknya selalu murâqabah dalam gerak dan diamnya, dalam segala perbuatan dan kehendak, dalam keadaan aman dan bahaya, di kala nampak maupun tersembunyi, selalu merasa dirinya berdampingan dengan Allah Swt. dan diawasi olehnya. Niscaya dia selalu memperhatikan segala amal ibadahnya.

Muqarrabah adalah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt. selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak gerik kita dan bahkan segala yang terlintas dalam hati di ketahiu Allah Swt, (Nashâih al-Dîniyyah wa al-Washâyâ al-îmâniyyah, halaman: 93).

Seorang tasawuf dalam kitab Risâlah al-Qusyairiyyah berkata: “Adapun harapan baik itu adalah menggerakkan kamu supaya berbuat amal saleh, khauf (takut) akan menjauhkan kamu dari maksiat.

Adapun muraqabah akan membawa kamu ke jalan yang benar. Wajib menghindari arogansi dan kekerasan”. Karena jihad adalah amal kebaikan yang Allah Swt. syariatkan dan menjadi sebab kokoh dari kemuliaan umat Islâm.

Jihat terbagi menjadi beberapa macam:

  1. Amar ma’ruf nahi munkar.
  2. Memerangi orang kafir dengan harta, tenaga, dan ucapan.
  3. Memerangi nafsu sendiri, (Nashâih al-Dîniyyah wa al-Washâyâ al-îmâniyyah, halaman: 57-58).
  • Mengisi seluruh waktu dengan ibadah

Yaitu mengisi seluruh waktu dengan ibadah, bukan saja ibadah yang fardhu dan sunnah, melainkan sampai pada menentukan waktu makan dan minum, serta berjalan dan duduk tidak terlepas dari pada salah satu amal ibadah.  Ia memberikan contoh kehidupan Rasulullah saw, para sahabat, dan orang-orang saleh yang menggunakan tiap detik untuk sujud zikir, dan beribadah kepada Allah Swt.

  • Amal perbuatan lainnya

Yaitu memperbanyak membaca Alquran, banyak mempelajari ilmu pengetahuan, memperbanyak berfikir tentang kebesaran Allah Swt. dan kekurangan diri, menjauhkan diri dari segala bid’ah dan dari menuruti hawa nafsu, serta mempelajari cara-cara ibadah dengan sempurna.

Begitu juga kebersihan bathin selalu dijaga dengan membersihkan diri dari perangai-perangai yang tercela, seperti takabur, riya’, hasud, cinta dunia, kemudian berlaku dengan akhlak yang mulia seperti tawadhu’ (rendah hati), ikhlâs, dermawan, dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Kewajiban Salik Tarekat Haddadiyyah

  1. Salik wajib melaksanakan taubat dari seluruh doa, meminta maaf, dan ridha kepada seseorang jika di aniaya terhadap makhluk (dhalim al-‘abd).
  2. Salik wajib menjaga hatinya dari gangguan hati, getaran hati yang jelek sehingga salik bisa muraqabah kepada Allah Swt. Salik harus menghilangkan kemaksiatan hati yang lebih jelek dari maksiat anggota tubuh lahir serta memperbaiki hati karena hati merupakan tempat makrifat dan muraqabah kepada Allah Swt.
  1. Salik harus menjaga anggota tubuh lahir dari semua jenis maksiat.
  2. Salik harus melanggengkan wudhu’, mengurangi makan, tidur, dan bicara.
  3. Seyogyanya salik menjahui manusia yang bisa menimbulkan kemaksiatan.
  4. Salik harus menjaga shalat 5 waktu dengan sungguh-sungguh dan melaksanakannya dengan sempurna.
  1. Salik dilarang meninggalkan shalat jum’at dan shalat berjama’ah.
  2. Salik harus harus menggunakan semua keadaan (hal), waktu, dan tempat untuk selalu berzikir dengan hati dan lisan.
  1. Salik harus melawan ajakan nafsu. Sesungguhnya awal tarekat adalah sabar dan diakhiri dengan syukur, awalnya adalah kesulitan,susah payah, dan diakhiri terbukanya hati, wushûl kepada Allah Swt. (ma’kifat).
  2. Hendaknya salik bersyukur dengan diberi cobaan faqir, kesulitan, dan kesusahan dalam penghidupan dunia karena Rasulullah saw. bersabda:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وْجَنَّةُ الْكَافِرِ

Dunia merupakan merupakan penjara orang mu’min dan surga bagi orang-orang kafir.

  1. Salik harus bersifat sabar dan memaafkan.
  2. Salik harus menetapi sifat sabar, ikhlas dalam amal, dan khusnuzhan.
  3. Salik wajib mencintai syaikh (mursyid), (Risalah Adab Sulak al-Murad, halaman: 7-47).

Adab Salik terhadap Syaikh (Mursyid)

  1. Taat dan patuh kepada syaikh (mursyid).
  2. Mengikuti semua perbuatan dan ucapan syaikh kecuali sesuatu hal yang dikhususkan bagi syaikh.
  1. Salik tidak melawan syaikh baik lahir dan batin. Jika getaran jiwa (khâtir) salik sedang melakukan perlawanan maka salik harus bersungguh-sungguh menghilangkannya. Jika usaha salik tidak berhasil maka salik menceritakan hal tersebut kepada syaikh (mursyid).
  2. Tidak mengambil tarekat syaikh (mursyid) yang lain tanpa seizin syaikh (mursyid)nya (Risalah Adab Suluk al-Murid, halaman: 51-58).

Sumber: Alif.ID

167. Tarekat Tijaniyah

Tijaniyahpeta

Nama al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suku yang hidup di sekitar wilayah Tilimsan, Aljazair. Tarekat ini dinisbatkatkan kepada wali besar Sayyid Ahmad al-Tijani atau dikenal dengan julukan Ibnu Umar atau Abu ‘Abbas Ahmad.

Nasab al-Tijani  dari ayah sampai kepada Rasulullah saw. Adapun nasab lengkapnya sebagai berikut: Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Mukhtar ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salam ibn Ahmad al-‘Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Jabbar ibn Idris ibn Ishak ibn Zainal Abidin ibn Muhamad Al-Nafs al-Zakiyyah ibn Abdullah al-Kamil ibn Hasan Musana ibn Hasan al-Sibti ibn Abi Thalib dari Sayyidah Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw. (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, juz 1, halaman: 25).

Nasab dari Ibu adalah sebagai berikut; ibu Syaikh al-Tijani bernama Aisyah Binti Sayyid Atsil ibn Abu Abdillah ibn Sanusi al-Tijani, (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa ual-Amani, juz 1, halaman: 25).

Ahmad al-Tijani dilahirkan (1150  H., 1737 M.) di ‘Ain Madhi masuk wilayah Tilimsan selatan Aljazair. Ahmad al-Tijani sejak kecil sudah digembleng dengan pendidikan yang ketat sehingga pada umur 7 tahun sudah hafal Alquran di bawah bimbingan syaikh sayyid Isa di daerah Ukaz Madi (Muhammad ibn Abdul Qadir; Manaqib al-Imam as-Syafi’i, halaman: 4),

Sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai macam cabang ilmu seperti Fiqh, Ushul Fiqh, dan sastra dari syaikh al-Mubarak ibn Rusyd dan syaikh al-Ahdhari. Beliau dikenal dengan kecerdasan, ketekunan, memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga pada usia 20 tahun telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama, (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, juz 1, halaman: 24).

Pada tahun 1171, saat usia Ahmad al-Tijani menginjak 21 tahun, beliau pindah ke kota Fez Maroko, yang pada saat itu menjadi pusat studi ilmu agama di wilayah barat sebagaimana kota Kairo. Di kota ini beliau mempelajari kitab Futuhat al-makkiyah karya Ibnu ‘Arabi (w. 638 H, 1240 M) di bawah bimbingan al-Thayyib ibn Muhammad al-Yamhali dari Hibthi dan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali (w.1185).

Syaikh al-Wanjali pernah berkata kepada Syaikh Ahmad al-Tijani waktu pertama kali bertemu, ”Engkau akan mencapai maqam sebagaimana maqam al-Syadzili”. Beliau juga pernah bertemu dengan Abdullâh ibn ‘Arabi al-Andalusia, mereka berbincang tentang berbagai macam hal dan sebelum berpisah, Abdullâh ibn ‘Arabi al-Andalusia berkata kepada syaikh Ahmad al-Tijani: “Allah Swt. akan membimbingmu,” kata-kata ini diulang tiga kali.

Ketika Syaikh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31  tahun, beliau mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan mengikuti beberapa tarekat, diantaranya adalah; tarekat Qadiriyah di bawah bimbingan syaikh Abdul aâdir al-Jilani, tarekat Nasiriyah yang diambil dari syaikh Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, tarekat Ahmad al-Habib Ibn Muhammad, tarekat Mulamatiyah  di bawah bimbingan syaikh Abi ‘Abbas Ahmad al-Thawwas, (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 35).

Beliau mendapat bimbingan persiapan untuk tahap atau fase selanjutnya. Ia menyarankan kepada syaikh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (bersunyi diri) dengan memperbanyak zikir, bersabar sampai Allah SWT. memberi keterbukaan hati (Futuh) karena menurut syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas, dia berkata syaikh Ahmad al-Tijani, ”Engkau akan mendapatkan maqâm yang agung (maqâm ‘adzîm)”.

Anjuran ini tidak segera dilaksanakan oleh syaikh Ahmad al-Tijani, dan syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas mengerti terhadap sikap syaikh Ahmad al-Tijani yang demikian, ahirnya syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas memberikan kelonggaran dengan berkata, ”Tetaplah berzikir kepada Allah Swt. tanpa harus berkhalwat nanti Allah Swt. akan memberi keterbukaan (futuh) kepadamu.

Kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren) syaikh Abdul Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh dan menetap beberapa saat kemudian kembali ke Tilimsan.

Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. di Madinah al-Munawwarah. Dalam menempuh perjalanan panjang ke Makkah, beliau menjumpai tokoh-tokoh sufi dan sekaligus mendalami ilmu tasawuf dan mengambil ilmu hikmah dari mereka.

Ketika sampai di di desa Azwari wilayah al-Jazair beliau menjumpai sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari (w.1198) seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah dan beliau mendalami tarekat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunisia dan menjumpai wali bernama syaikh Abd al-Samad al-Rakhawi (w.1196 H), di kota ini beliau belajar tarekat sambil mengajar ilmu tasawuf, diantara kitab yang diajarkan adalah al-Hikam yang dikarang oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Athaillah al-Sakandari, (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 36).

Kemudian beliau meneruskan perjalanan ke mesir, di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi dari Tarekat Khalwatiyah, syaikh Mahmud al-Kurdi (w.1208 H), dari syaikh ini beliau mendalami Tarekat Khalwatiyah.

Pada satu kesempatan syaikh Mahmud al-Kurdi berkata kepada Syaikh Ahmad al-Tijani, “Engkau kekasih Allah Swt. di dunia dan di akhirat”, lalu al-Tijani bertanya, ”Dari mana pengetahuan ini?”.

Syaikh Mahmud al-Kurdi menjawab: “Dari Allah Swt.” Pada kesempatan lain syaikh Mahmud al-Kurdi bertanya lagi kepada al-Tijani: “Apa cita-citamu?” al-Tijani menjawab: “Cita-cita saya menduduki maqâm al-Qutbaniyah al-‘Udzma”.

Syaikh Mahmud al-Kurdi berkata lagi: “Engkau akan mendapatkan maqâm lebih dari itu”. Berkata al-Tijani: “Apa Engkau yang menanggungnya?”. syaikh Mahmud al-Kurdi menjawab: “Ya”.

Pada bulan Syawal tahun 1187 H. sampailah beliau ke Mekah. Pada waktu di Mekah ada seorang wali bernama Syaikh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn Abdillah al-Hindi (w.1187 H) (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 36).

Sewaktu Syaikh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, beliau mengungkapkan kepada Syaikh Ahmad al-Tijani melalui Surat lewat khadimnya yang berisi: “Engkau pewaris ilmuku, ilmu rahasiaku, karuniaku, dan cahayaku”.

Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa dalam tradisi tasawuf atau kewalian, proses pendidikan ilmu batin bisa dilakukan seorang wali kepada yang lain tanpa harus melalui bimbingan langsung secara fisik.

Setelah melaksanakan ibadah haji, Syaikh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. Di kota Madinah beliau menjumpai seorang wali Qutub Syaikh Muhammad Ibn Abd al-Saman (w.1775 M.) yaitu seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah dengan maksud untuk mendapatkan ajaran-ajaran sebagai persiapan masa depan.

Dalam perjalanan pulang ke al-Jazair, Syaikh Ahmad al-Tijani menjumpai gurunya di Mesir yaitu Syaikh Mahmud al-Kurdi, dengan tujuan untuk mendiskusikan tentang masalah tasawuf yang sulit difahami (musykil).

Dalam waktu yang relatif lama beliau tiap hari berdiskusi dengan Syaikh Mahmud al-Kurdi, sampai akhirnya Syaikh Mahmud al-Kurdi mengangkat Syaikh Ahmad al-Tijani sebagai khalifah tarekat Khalwatiyah di wilayah Maroko (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 37-38 ). Syaikh Ahmad al-Tijani akhirnya diberi hak untuk menyebarkan dan mengajarkan tarekat Khalwatiyah dari gurunya syaikh Muhammad al-Qurdi, (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 49).

Pada tahun 1196 H. tepatnya syaikh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun. Beliau pergi ke pedalaman al-Jazair tepatnya di desa Abu Samghun. Beliau tinggal di tempat itu untuk melakukan khalwat. Pada saat sedang melakukan khalwat di Abu Samghun, syaikh al-Tijani mengalami keterbukaan (al-futuh).

Beliau bertemu Rasulullah saw. dalam keadaan sadar, terjaga bukan dalam keadaan mimpi. Selanjutnya Rasulullah saw membimbing (menalqin) syaikh Ahmad al-Tijani dengan membaca istighfâr 100 kali, Shalawat 100 kali dan selanjutnya Rasulullah saw. Bersabda:

لَا مُنَّةَ لِمَخْلُوْقٍ عَلَيْكَ مِنْ أَشْيَاخِ الطَّرِيْقِ فَاَنَا وَاسِطَتُكَ وَ مُمِدُّكَ عَلَى التَّحْقِيْقِ. فَاتْرُكْ عَنْكَ جَمِيْعَ مَا اَخَذْتَ مِنْ جَمِيْعِ الطَّرِيْقِ وَ قَالَ لَهُ: اِلْزَمْ هَذِهِ الطَّرِيْقَةَ مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ وَ لَا اعْتِزَالٍ عَنِ النَّاسِ حَتَّى تَصِلَ مَقَامَكَ الَّذِى وُعِدْتَ بِهِ وَ اَنْتَ عَلَى حَالِكَ مِنْ غَيْرِ ضَيْقٍ وَ لَا حَرَجٍ وَ لَا كَثْرَةِ مُجَاهَدَةٍ. وَ اتْرُكْ عَنْكَ جَمِيْعَ الْأَوْلِيَاءِ.

“Tidak ada karunia bagi seorang makhluk dari guru-guru tarekat atas kamu, maka akulah perantara dan pembimbingmu secara nyata (oleh karena itu) tinggalkanlah semua tarekat yang telah kamu ambil. Tekunilah tarekat ini tanpa kholwat dan menghindari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan kepadamu dan kamu tetap berada pada keadaanmu tanpa kesempitan, tanpa susah payah, tidak banyak mujahadah dan tinggalkanlah semua wali”., (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 40-41).

Semenjak itu syaikh Ahmad al-Tijani meninggalkan semua tarekat yang pernah diambil dan pindah kepada tarekat yang ditalqinkan oleh Rasulullah saw. Syaikh Ahmad al-Tijani berkata: “Rasulullah saw. bersabda kepadaku: bahwa Rasulullah saw. adalah guru, pembimbing, pendidikku dan Rasulullah saw. selalu mendampingi dan tampak terlihat dengan mata kepala”.

Dua macam wirid di atas yaitu Istighfâr 100 kali, shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun (1200 H). wirid itu disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang ditambah bacaan hailalah (Tahlil: lâ ilâha illa Allah) 100 kali yang pada kemudian hari menjadi amalan dasar tarekat al-Tijani (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 41).

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani pernah memberikan isyarat tentang hal ini kepada syaikh Ahmad al-Tijani ketika masih berada di Zawiyahnya, syaikh Abdul Qâdir al-Jilani berkata: “البيضة منا بالق”.

Pada tahun 1789 M, syaikh Ahmad al-Tijani pindah dan menetap di kota Fes Maroko. Syekh Ahmad al-Tijani mengajak Maulana Sulaiman untuk mengembangkan tarekat ini. Sampai syaikh Ahmad al-Tijani meninggal dunia pada hari Kamis tanggal 17 Sya’ban 1230 H. dan dimakamkan di kota Fes Maroko.

Beliau mempunyai dua orang putera yaitu; Sayyid Muhammad al-Habib dan Sayyid Muhammad al-Kabir.

Sumber: Alif.ID

168. Amalan Wirid Tarekat Tijaniyah

Amalan wirid Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu: istighfar, salawat, dan tahlil. Tiga unsur pokok tersebut dijabarkan dalam tiga jenis wirid yaitu sebagai berikut.

  • Wirid Lazimah

Cara melakukan wirid lazimah (pagi sore)

  1. Membaca Surat al-Fatihah 7 kali
  2. Membaca istighfar

أَسْتَغْفِرُ اللهَ 100x

3. Membaca salawat dengan berbagai macam shighat

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ 100x

atau lebih utama membaca Salawat Fatih

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَ الْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ 100 x

4. Membaca tahlil.

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ 99 x

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ عَلَىْهِ سَلَامُ اللهِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 1 x

Wirid lazimah ini dibaca 2 kali dalam sehari yaitu setelah subuh sampai waktu dhuha dan setelah ashar sampai isyak. Jika murid Tarekat Tijaniyah dalam keadaan sibuk, maka boleh dibaca sepanjang waktu.

Barang siapa yang sudah mengambil wirid ini tidak diperbolehkan meninggalkan secara menyeluruh, tidak boleh meremehkannya. Jika hal ini dilakukan maka akan mendapat siksa (uqubah) dan kerusakan (al-Halk) (Jauharul Ma’ani juz 1 hal 91).

  • Wirid Wadzifah

Cara melakukan wirid Wadzifah

  1. Membaca niat untuk melakukan wirid wazhifah
  2. Membaca Surat al-Fatihah 3 kali
  3. Membaca Salawat Fatih 3 kali
  4. Membaca istighfar

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ لَااِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ 30 x

5. Membaca Salawat Fatih 50 kali

6. Membaca tahlil

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ 99 x

لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ عَلَىْهِ سَلَامُ اللهِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ 1 x

7. Membaca Salawat Jauhar al-Kamal

اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ وَ الْيَقُوْتَةِ الْمُتَحَقِّقَةِ الْحَائِطَةِ بِمَرْكَزِ الْفُهُوْمِ وَالْمَعَانِى وَ نُوْرِ الْأَكْوَانِ الْمَكْتُوْبَةِ الْآدَمِىِّ صَاحِبِ الْحَقِّ الرَّبَّانِىِّ الْبَرْقِ الْأَسْطَعِ بِمُزُوْنِ الْأَرْيَاحِ الْمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ الْبُحُوْرِ وِ الْأَوَانِيْ وَ نُوْرِكَ اللَّامِعِ الَّذِيْ مَلَأْتَ بِهِ كَوْنِكَ الْحَائِطَ بِأَمْكَانَةِ الْمَكَانِ. اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الْحَقِّ اللَّتِىْ تَتَجَلَّى مِنْهَا عُرُوْسُ الْحَقَائِقِ عَيْنِ الْمَعَارِفِ الْأَقْوَامِ صِرَاطِكَ التَّامِّ الأَسْقَمِ. اللهم صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى طَلْعَةِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ الْكَنْزِ الْاَعْظَامِ إِفَاضَتِكَ مِنْكَ اِلَيْكَ اِحَاطَةِ النُّوْرِ المُطَلْسَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ صَلَاةً تُعَرِّفْنَا بِهَا إِيَّاهُ 12 x (جواهر المعاني و بلوغ الأماني في فيض سيدي أبي العبّاس التجاني، ج 2, ص 401)

Wirid Wazhîfah dibaca 2 kali (lebih utama), atau 1 kali. Jika seseorang melewatkan atau meninggalkan zikir Wazhîfah tidak harus diqodho’i.

  • Wirid Tahlil

Wirid Tahlîl dilaksanakan setiap hari Jum’at setelah shalat ashar di masjid dengan berjama’ah (jika mempunyai teman). Ini merupakan syarat pelaksanaan tarekat ini, (Jawahir al-Ma’ani, juz 1, halaman: 92).

  • Doa Setelah Melakukan Wirid

يَا سَيِّدَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذِهِ هَدِيَّةٌ مِنَّا اِلَىْكَ فَاقْبَلْهَا بِفَضْلِكَ وَ كَرَمِكَ يَا سَيِّدَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْكَ وَ عَلَى آلِكَ وَ اَصْحَابِكَ وَ اَزْوَاجِكَ وَ ذُرِّيَتِكَ وَ سَلَّمَ (جَزَاكَ اللهُ عَنَّا اَفْضَلَ مَا اَنْتَ اَهْلُهُ 3×) وَ جَزَى اللهُ عَنَّا اَصْحَابَكَ وَ عُلَمآءَ اُمَّتِكَ الَّذِيْنَ بَلَّغُوْنَا دِيْنَ الْإِسْلَامِ (رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَ بِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَ بِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَ رَسُوْلًا 3×) صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ وَ جَزَى اللهُ عَنَّا وَلَدَكَ سَيِّدَنَا وَ سَنَدَنَا وَ عُدَّتَنَا وَ عُمْدَتَنَا وَ اسْتِمْدَادَنَا دُنْيَا وَ اُخْرَى الْاِمَامَ الْقُطْبَ الْمَكْتُوْمَ سَيِّدَنَا الشَّيْخِ اَحْمَدْ اِبْنَ مُحَمَّدْ التِّجَانِى وَ اَزْوَاجَهُ وَ ذُرِّيَّتَهُ وَ خُلَفَائَهُ وَ مُقَدَّمِيْهِ وَ اَصْحَابَهُ وَ اَحْبَابَهُ مِنَ الْاِنْسِ وَ الْجَانِّ. اللهم غَمِّسْنَا وَ اِيَّاهُمْ فِيْ دَائِرَةِ الرِّضَى وَ الرِّضْوَانِ وَ اغْرِقْنَا وَ اِيَّاهُمْ فِيْ دَائِرَةِ الْفَضْلِ وَ الْاِمْتِنَانِ. اللهم آمِنْ دَوْعَتَنَا وَ دَوْعَتَهُمْ وَ اَقِلْ عَثْرَتَنَا وَ عَثْرَتَهُمْ وِ الْطُفْ بِنَا وَ بِهِمْ لُطْفًا عَامًّا وَ لُطْفًا خَاصَّةً وَ اَدِّمَالَهُمْ عَلَىْنَا مِنَ الْحُقُوْقِ وَ التَّبِعَاتِ مِنْ خَزَائِنِ رَحْمَتِكَ بِمَحْضِ فَضْلِكَ وَ مِنَّتِكَ يَا ذَا الْفَضْلِ الْجَسِيْمِ وَ يَا ذَا الْمَنِّ الْعَظِيْمِ آمِيْنَ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Tata Cara Tarekat Tijaniyah

Tarekat Tijaniyah di dalam mendidik, mengarahkan dan membina para muridnya yang dalam istilah mereka disebut ikhwan Tarekat Tijaniyah atau Ikhwan Tijani mempunyai syarat-syarat dan aturan sebagai berikut:

  • Syarat Masuk

Untuk memasuki atau mengambil wirid zikir dari Tarekat Tijaniyah, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Calon murid Tarekat Tijaniyah tidak mempunyai wirid tarekat.
  2. Mendapat talqin wirid tarekat Tijaniyah dari orang yang mendapat izin yang sah untuk memberi wirid Tarekat
  • Kewajiban Murid Tarekat Tijaniyah

Setelah seseorang tercatat sebagai murid Tarekat Tijani, maka dia mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

  1. Harus menjaga syariat.
  2. Harus menjaga shalat lima waktu berjamaah bila mungkin.
  3. Harus mencintai Syaikh Ahmad al-Tijani selama-lamanya.
  4. Harus menghormati siapa saja yang ada hubungannya dengan Syaikh Ahmad al-
  5. Harus menghormati semua wali Allah dan semua tarekat.
  6. Harus mantap pada tarekatnya dan tidak boleh ragu-r
  7. Selamat dari mencela tarekat
  8. Harus berbuat baik kepada kedua orang tua.
  9. Harus menjauhi orang yang mencela tarekat
  10. Harus mengamalkan Tarekat Tijaniyah sampai akhir hayatnya.
  • Larangan bagi Murid Tarekat Tijaniyah

Adapun hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang murid Tarekat Tijaniyah adalah sebagai berikut:

  1. Tidak boleh mencaci, membenci, dan memusuhi Syaikh Ahmad al-
  2. Tidak boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani, khusus mengenai rabithah saja.
  3. Tidak boleh memberi wirid Tarekat Tijaniyah tanpa ada izin yang sah.
  4. Tidak boleh meremehkan wirid tarekat
  5. Tidak boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa izin syara’, terutama dengan murid Tarekat
  6. Tidak boleh merasa aman dari ma`rillah.
  • Aturan Melaksanakan Zikir

Seorang murid Tarekat Tijani yang akan melaksanakan wirid atau zikir Tarekat Tijaniyah, hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Dalam bacaan normal, suara bacaan zikir harus terdengar oleh dirinya sendiri.
  2. Harus suci dari najis, baik badan, pakaian, tempat dan apa saja yang dibawanya.
  3. Harus suci dari hadats, baik besar maupun kecil.
  4. Harus menutup aurat seperti shalat, baik pria maupun wanita.
  5. Tidak boleh berbicara.
  6. Harus menghadap kiblat.
  7. Harus dengan duduk.
  8. Harus ijtima’ dalam melaksanakan zikir wazhifah dan zikir hailalah sesudah Ashar pada hari Jumat apabila di daerahnya ada murid Tarekat Tijani lain.
  9. Istihdhar al-qudwah, yaitu saat melakukan wirid dari awal hingga akhir membayangkan seakan-akan berada di hadapan Syaikh Ahmad al-Tijani dan lebih utama membayangkan Sayyid al-Wujud Muhammad saw. dengan keyakinan bahwa beliaulah yang mengantarkan wushûl kepada Allah Swt.
  10. Mengingat dan memikirkan makna wirid dari awal sampai akhir. Kalau tidak bisa, hendaknya memperhatikan dan mendengarkan bacaan wiridnya.

Keterangan:

  • Kalau ada uzhur boleh berbicara asal tidak lebih dari dua kata. Kalau lebih dari itu, maka wiridnya batal, kecuali disebabkan oleh orang tuanya atau suaminya sekalipun bukan murid Tarekat Tijani.
  • Kalau ada udzur boleh tidak menghadap kiblat, seperti dalam perjalanan atau sedang berada dalam ijtima’ (perkumpulan).
  • Kalau ada udzur boleh tidak duduk, seperti sakit atau dalam perjalanan.

Sumber: Alif.ID

169. Aurad Tarekat Tijaniyah

Di dalam Tarekat Tijaniyah terdapat dua macam zikir yaitu:

  1. Zikir lazim (yang harus diamalkan).
  2. Zikir ikhtiyari (yang lebih baik kalau diamalkan).

Pada kesempatan ini hanya zikir lazim saja yang akan dijelaskan secara terperinci. Zikir lazim yang harus diamalkan oleh setiap murid Tarekat Tijani terdiri dari tiga macam:

  1. Wirid Lazim

Wirid lazim diamalkan dua kali sehari semalam, yaitu:

         Pertama: pagi hari (setelah subuh sampai waktu dhuha). Apabila ada uzur, maka waktunya bisa diundur sampai waktu maghrib. Lebih baik serta memperoleh keutamaan yang besar, jika diamalkan sebelum waktu suubuh dengan syarat harus selesai ketika waktu subuh telah tiba.

         Kedua: sore hari (setelah asar sampai waktu isyak. Apabila ada uzur, maka waktunya bisa diundur sampai waktu subuh.

Bacaan Wirid Lazim

  1. Hadiah al-Fatihah kepada Nabi Muhammad saw. dan Syaikh Abil Abbas Ahmad bin Muhammad al-Tijani.
  2. Membaca istighfar 100 kali.
  3. Membaca salawat Nabi 100 kali yang berupa Salawat Fatih yaitu sebagai berikut:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ

Atau shalawat yang lumrah digunakan:

اللهم صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

  1. Membaca tahlil/hailalah 100 kali, yang terakhir kalinya dipanjangkan lalu disambung dengan:

لَآ إله إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ سَلَامُ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّم

  1. Wirid Wazhifah

         Wirid Wazhifah dilaksanakan dua kali dalam sehari semalam, yaitu siang hari dan malam hari. Kalau tidak bisa dua kali, maka cukup sekali saja yaitu siang hari atau malam hari saja. Apabila dalam sehari semalam tidak melaksanakan sama sekali maka wajib mengqadha’. Demikian pula jika wirid lazim sudah habis tapi belum mengerjakannya, maka harus diqadha’ juga.

Bacaan Wirid Wazhifah

  1. Hadiah al-Fatihah sama dengan wirid lazim.
  2. Membaca Salawat Fatih sekali.
  3. Membaca istighfar 30 kali sebagai berikut:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَآ إله إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ

4. Membaca Salawat Fatih 50 kali.

5. Membaca tahlil atau hailalah 100 kali yang ditutup seperti pada wirid lazim.

6. Membaca salawat jauharah al-kamal 12 kali.

7. Membaca doa semampunya.

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

8. Diakhiri dengan membaca al-Fatihah sekali dan Salawat Fatih sekali.

9. Wirid Hailalah

         Wirid Hailalah dilakukan setelah shalat ‘Ashar hari Jum’at sampai waktu Maghrib. Apabila ada uzur dan tidak bisa melaksanakannya sampai waktunya habis, tidak perlu diqadha’.

Bacaan Wirid Hailalah

Yang dibaca pada saat melaksanakan wirid hailalah adalah لا اله إلا الله atau الله tanpa hitungan, mulai setelah melaksanakan sholat ‘Ashar sampai Maghrib. Kalau sendirian, maka membaca sebanyak 1600 kali, atau 1500 kali, atau 1200 kali, atau 1000 kali dan diakhiri dengan bacaan:

لَآ إله إِلَّا اللهُ سَيِّدُنَا مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ سَلَامُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dengan suara keras dan memanjangkan wirid hailalah adalah لا اله إلا الله lalu membaca:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Syarat Membaca Jauharah al-Kamal

Dalam melaksanakan pembacaan wirid salawat Jauharah al-Kamal ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

  1. Harus dalam keadaan suci dari najis, baik pada badan, tempat, dan apa saja yang dibawanya.
  2. Harus dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats kecil atau besar.
  3. Bersucinya harus dengan air, tidak boleh dengan tayamum.
  4. Harus menghadap kiblat.
  5. Harus duduk dan tidak boleh berjalan.
  6. Tempatnya harus luas dan cukup dengan 7 orang.

Keterangan Aurad

  1. Bacaan Istighfar

Salah satu unsur masuk tarekat adalah taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Swt.), sebelum taqarrub murid harus membersihkan diri dari semua dosa dengan membaca Istighfâr (minta ampun) sehingga semua dosa dan noda-noda ruhaniyah hilang dan diganti dengan nilai-nilai yang baik.

وَ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللهَ يَجِدْ اللهَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا. (النسآء 110)

Hadis Rasulullah saw.

عَنْ اَنَسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلْعَمْ يَقُوْلُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى يَا ابْنَ اَدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَ رَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ وَ لَا اَبَالِى. يَا ابْنَ اَدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنِ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَ غَفَرْتُ لَكَ. يَا ابْنَ اَدَمَ لَوْ اَتَيْتَنِيْ يَقْرَبُ الْاَرْضُ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَنِيْ لَا تُشْرِكْ بِيْ شَيْئًا لَاَتَيْتُكَ يُقَارِبُهَا مَغْفِرَةً. رواه الترمذى

Dari Anas r.a.. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda: Allah Swt. berfirman: “Hai anak Adam a.s. selama kamu berdo’a kepadaku dan mengharap aku, maka aku mengampuni kamu atas apa saja yang ada padamu dan aku tidak peduli. Hai anak Adam As. andaikata dosa-dosamu sampai pada langit kemudian kamu beristighfâr, maka Aku mengampunimu. Hai anak Adam a.s. andaikata kamu datang kepadaku dengan membawa kesalahan-kesalahan sepenuh bumi kemudian kamu menjumpaiku dengan tidak menyekutukan aku sama sekali, maka pastilah aku datang kepadamu dengan membawa sebesar bumi pengampunan”.

  1. Bacaan Salawat

Shalawat al-Fatih:

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وِ الْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ

Makna الفاتح لما اغلق adalah:

  1. Nabi Muhammad saw. (Haqiqat Muhammadiyah, Nur Muhammad SAW.) adalah pembuka belenggu ketertutupan segala yang maujud di alam (الكواكب) dari tidak ada menjadi ada.
  2. Nabi Muhammad saw. (Haqiqat Muhammadiyah, Nur Muhammad saw.) sebagai pembuka belenggu pintu-pintu rahmat ilahiyah bagi keberadaan makhluk di alam ini.
  3. Nabi Muhammad saw. (Haqiqat Muhammadiyah, Nur Muhammad saw.) sebagai pembuka hati yang terbelenggu syirik sehingga hati dipenuhi dengan keimanan dan hikmah.

Makna الخاتم لما سبق adalah:

  1. Nabi Muhammad saw. sebagai penutup kenabian dan ker
  2. Nabi Muhammad saw. sebagai kunci kenabian dan ker
  3. Tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya, (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 106).

Sanad Tarekat Tijaniyah (yang sampai ke Indonesia)

Sanad Tarekat Tijaniyah diterima langsung dari Rasulullah saw, melalui pertemuan syaikh Ahmad al-Tijani dengan Rasulullah saw. secara sadar (yaqdhah), dan Rasulullah saw. menalqin wirid Tijani kepada Syaikh Ahmad al-Tijani, (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 95-96).

Selengkapnya silsilah tarekat ini yaitu Rasulullah à Syekh Ahmad al-Tijani à Sayyid Muhammad al-Ghob à Sayyid Umar bin Sa’id al-Futi à Sayyid Sa’id bin Umar al-Futi à Sayyid Alfa Hasyim à Syekh Ali al-Thoyyibah dan Syekh Muhammad bin Abd. Hamid al-Futi. Dari kedua syekh terakhir inilah Tarekat al-Tijani dikembangkan di Indonesia.

Doktrin Syaikh Ahmad al-Tijani tentang Pemikiran Tasawuf

Syaikh Ahmad al-Tijani mengembangkan tarekat al-Tijani menggabungkan dua corak metode tasawuf yaitu; tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Hal ini dapat dilihat dari ajaran Syaikh Ahmad al-Tijani tentang maqâm Nabi Muhammad saw. sebagai haqiqat al-Muhammadiyah dan Wali Khatam. Lalu muncul shalawat Fatih dan shalawat Jauhar al-Kamal, (Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 75).

Sumber: Alif.ID

170. Tarekat Idrisiyah

Idrisiyahpeta

Tarekat Idrisiyah dinisbatkan kepada nama Syaikh Ahmad bin Idris al-Fasi al-Hasani (1172–1253 H./1758-1837 M). Ada beberapa nama diberikan kepada aliran tarekat ini. Terkadang disebut al-Idrisiyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut al-Khidiriyah, yang dikaitkan kepada Nabi Khidir a.s.

Bahkan, Sayyid Muhammad Ali al-Sanusi dalam kitabnya al-Manhalu aI-Râwî al-Râ’iq fî al-Sânîd al-‘Ulûm wa Ushûli al-Tharîq menyebut tarekat ini  dengan al-Muhammadiyah juga, ada pula catatan yang menyebut tarekat ini Ahmadiyah, nama yang dinisbatkan kepada Ahmad bin Idris.

Beliau dilahirkan di Naisabur, salah satu desa Kota Fas Maroko pada tahun (1173H./1760M). Nasab beliau sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau berasal dari keluarga yang taat beragama dan tumbuh di wilayah yang menjadi salah satu pusat kajian agama di Wilayah maghribi (Maroko).

Ini terbukti sejak kecil beliau sudah didik dengan pelajaran dan keilmuan agama, Fiqih, Tafsir, Hadis, Aqidah, dan berbagai macam ilmu lahir. Syaikh Ahmad bin Idrîs terkenal sangat cerdas sehingga guru-guru beliau memberikan perintah utuk mengajarkan semua ilmu yang telah dipelajari.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin Idris berguru ilmu tasawuf  (tarekat) kepada Syaikh Abdul Wahab al-Tazi (w. 1131 H.) yang menjadi penerus Tarekat Qadiriyah, yang merupakan murid Syaikh Abdul Aziz, Biografinya disebutkan di kitab al-Ibriz karangan Ibnu al-Mubarak.

Pada tahun 1214 H. tepat umur 41 tahun Syaikh Ahmad bin Idrîs pindah ke Makkah dan pada tahun 1246 H. Beliau  pindah ke Yaman dan menetap di daerah Shabyan sampai beliau wafat pada tahun 1253 H.

Menurut Syaikh Yûsuf al-Nabhani dalam kitabnya Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, secara umum beliau memadukan ilmu lahir (ilmu syari`at) dan ilmu batin (ilmu tasawuf), sehingga beliau sangat terkenal kemahiran yang sempurna dalam bidang ilmu Al-Qur’an, Hadis, riwayat, dan dirayat.

Syaikh Ahmad bin Idrîs mampu menyingkap tabir keilmuan dan menyatakannya secara umum dan khusus (Jâmi` Karâmât al-Auliyâ`, juz 1 halaman: 460-461 dan al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 8).

Diantara para ulama agung yang bertemu dan berguru kepada Syaikh Ahmad bin Idrîs adalah; Syaikh Sayyid Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal (seorang mufti yang berpengaruh di zamannya dan mempunyai pengaruh keilmuan dan amaliyah yang besar di kota Mesir), Syaikh Muhammad Abid al-Sanadi (seorang ulama besar dari kota Madinah al-Munawarah), dan Syaikh al-Arabi al-Darqawi.

Selain itu juga Syaikh Abu Abbas Ahmad al-Tijani (1737-1815 M), Syaikh Muhammad Sanusi (pendiri Tarekat Sanusiyah), Syaikh Muhammad al-Madani (ulama kota Madinah), Syaikh Muhammad al-Majdzub al-Sawakini (Wali dari Sudan), Syaikh Ibrahim al-Rasyid dan lain lain (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 463-464 dan al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 9).

Syaikh Ahmad bin Idrîs juga menerima awrad (wirid) tarekat Syadzîliyah, dan tarekat Taslikiyah yang diterima langsung dari Nabi Muhammad saw.  secara yaqdhah (pertemuan secara nyata dan fisik setelah Nabi Muhammad saw. wafat, bukan pertemuan dalam mimpi). Hal ini merupakan keistimewaan yang diberikan Allah Swt. kepada Syaikh Ahmad bin Idrîs.

Syaikh Ahmad bin Idrîs berkata: ”Aku berjumpa dengan Nabi Muhammad swa. yang sedang bersama dengan Nabi Khidir a.s. dengan pertemuan nyata. Lalu Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada Nabi Khidir a.s. untuk mengajariku zikir-zikir Tarekat Syadziliyah.

Kemudan Nabi Muhammad saw. bersabda kepada Nabi Khidir a.s.: “Wahai Khidir ajarkan kepadanya (Syaikh Ahmad bin Idrîs) untuk mengajarkan suatu amalan yang menggabungkan segala macam zikir, shalwat, dan istighfar”. Lalu Nabi khidir As. bertanya kepada Nabi Muhammad saw, “Bacaan apa itu wahai Rasulullah?” Nabi Muhammad saw. Bersabda: Ucapkanlah:

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ

Kemudian Nabi Khidir a.s. menirukannya dan aku menirukannya setelah beliau berdua. Rasulullah mengulanginya sampai 3 kali. Nabi saw. bersabda sampai akhir Salawat al-‘Azhimiyah: Wahai khidir ucapkanlah:

اَللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ. أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِي لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ، غَفَّارَ الذُّنُوْبِ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.

Kemudian Nabi Muhammad saw. bersabda kepadaku: ”Wahai Ahmad, aku telah memberimu kunci langit dan bumi yaitu zikir yang khusus, shalawat al-`Azhimiyyah, dan istighfâr al-Kabîr, membacanya sekali beratnya sama dengan isi dunia dan akhirat secara berlipat ganda”, (al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 10).

Pada kesempatan lain aku berjumpa dengan Nabi Muhammad saw dan beliau memerintahkan kepadaku untuk mengajarkan zikir tersebut (Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’, juz 1, halaman: 464).

Aurad dan Zikir

Kebiasaan zikir yang biasa dilakukan oleh jama’ah Tarekat Idrîsiyah adalah di setiap ba’da Maghrib hingga isya dan ba`da subuh hingga isyraq. Pelaksanaan zikir di tarekat ini dilakukan dengan jahr (suara keras), diiringi lantunan shalawat (terkadang dalam moment tertentu dengan menggunakan musik).

Kitab panduan awrad zikirnya bernama “Hadiqatur Riyahin” yang merupakan khulashah (ringkasan) berbagai macam awrad (wiridan/amalan) Syaikh Ahmad bin Idris dan Sadatut Tarekat lainnya. Awrad wajib harian bagi seorang salik Idrisiyah adalah:

  1. Membaca Al-Qur’an 1 juz
  2. Membaca Itighfâr Shagîr 100x
  3. Membaca Zikir Makhshûsh;

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ ….. ×300

  1. Membaca Shalawat Ummiyyah 100x
  2. Membaca Yâ Hayyu Yâ Qayyûm 1000x
  3. Membaca Zikir Mulkiyyah;

لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ….. ×100

  1. Memelihara Ketakwaan.

Aurad tambahan untuk taqârrub kepada Allah Swt. adalah menunaikan shalat tahajud dan membaca Saalawat `Azhimiyyah sebanyak 70 kali sesudah ba`da subuh hingga terbit fajar.

Gelar Pemimpin Tarekat Idrisiyah

Pemimpin Tarekat Idrisiyah ini mendapat gelar dari Rasulullah saw. (secara ruhani) yaitu: Syekh al-Akbar, kemudian pada masa kepemimpinan Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan r.a. mendapatkan tambahan muhyiddin dari Beliau saw. begitu pula pelimpahan mandat kekhalifahan Tarekat Idrisiyah selalu diinformasikan secara ruhaniyyah, dengan wasilah petunjuk Rasulullah saw. melalui guru mursyid sebelumnya.

Pengertian Muhyiddin

Istilah Muhyiddin dalam kepemimpinan Tarekat Idrisiyah ini diberikan oleh Rasulullah saw. melalui Nabi Khidhir a.s. Bahkan semua `Ulama’ yang dimasyhurkan namanya karena memperjuangkan nilai-nilai sunnah diberikan gelar itu dari Beliau saw.

Penyematan gelar itu ditandai dengan kondisi umat yang semakin jauh dari sunnah Nabi saw, yang dibawa oleh para pewarisnya. Ketika sunnah sudah dianggap asing dan aneh, maka muncullah sosok muhyiddin yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah tersebut.

Petikan Ungkapan al-Syaikh al-Akbar

Di antara petikan ungkapan Syaikh al-Akbar adalah bahwa Rasulullah saw. hanya diperintahkan menyampaikan ajaran Islâm, tetapi tidak bersifat memaksa orang untuk mengikuti ajarannya, karena petunjuk (hidayah) itu hanya milik Allah Swt.

Orang kafir belum tentu konsisten dengan kekafirannya, dan orang yang beriman belum tentu konsisten dengan keimanannya. Umat Islam tidak boleh egois dengan keislâmannya, karena dinul Islam bukan diperuntukkan buat umat Islam saja, tapi untuk seluruh umat.

Syaikh al-Akbar memandang perlunya pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis. Tafsir-tafsir ulama yang dahulu tidak cukup untuk mengatasi problem dunia saat ini, ia mengakui bahwa orang seperti Imam Syafi’i adalah manusia brilian di zamannya, tetapi zaman yang kita hadapi sekarang berbeda dengan zamannya.

Seorang muslim mesti membawa karakter dan perilaku agama yang dibawanya, yakni Islâm. Arti Islâm adalah keselamatan. Maka, orang Islâm mesti membawa nilai-nilai keselamatan dalam berbagai aspek kehidupannya. Islâm menghendaki keselamatan diri dan orang lain.

Inilah yang dinamakan konsep rahmatan lil alamîn. Islam membawa rahmat (kasih sayang) kepada seluruh makhluk alam. Jika seorang muslim membawa kecelakaan atau kebinasaan orang lain tanpa hak, maka tidak pantas istilah muslim itu disandarkan atas dirinya.

Sumber: Alif.ID

171. Sejarah Perkembangan Tarekat Idrisiyah

Sebagaimana Tarekat Sanusiyah, Tarekat Idrisiyah memiliki banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libya, dan Yaman serta daerah-daerah seperti Saudi Arabia dan Mesir. Para jamaah haji yang sekaligus memperdalam ilmu agama di Mekah berperan sangat besar dalam penyebaran tarekat ini.

Penyebaran itu terjadi karena selama kurang lebih 36 tahun Syaikh Ahmad bin Idris menjadi guru di Mekah yang setiap kali mengajar selalu diikuti banyak murid  yang berasal dari berbagai negara.

Masuknya Tarekat Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, dengan al-Syaikh al-Akbar Abdul Fatah sebagai tokoh pertamanya. Beliau lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke-3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan Hj. Rafi`ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa, yaitu Sunan Derajat.

Suatu hari guru dari Abdul Fatah, Haji Suja’i membahas Surat al-Kahfi ayat 17, yang artinya, “Barangsiapa diberi petunjuk Allah Swt, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang sesat maka tak akan mendapatkan wali mursyid (seorang pemimpin yang memberi petunjuk kepadanya)”.

Abdul Fatah bertanya: siapakah yang dimaksud waliyyan mursyidan dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk waliyyan mursyidan? “Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya,” jawab sang guru.

Sejak itu Abdul Fatah meminta izin sekaligus mencari orang yang disebut waliyyan mursyidan itu. Maka, pada tahun 1924 Abdul Fatah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura, kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun.

Barulah pada tahun 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Sampailah ia di Jabal Qubais dan di tempat ini beliau berguru kepada Syaikh Ahmad Syarif Sanusi. Dari Syaikh inilah ia peroleh ilmu tarekat yang dikembangkan oleh Syaikh Ahmad bin ldris.

Konsep Ihsan atau Tasawuf

Sumber ajaran tasawuf adalah Al-Qur’an dan perilaku Nabi Muhammad saw. dengan penekanan pada aspek:

  1. Pembersihan jiwa
  2. Pembentukan akhlak karimah
  3. Mensucikan hati

يَتَوَجَّهُ الْمُرِيْدُ إِلَى تَزْكِيَةِ النَّفْسِ وَتَهْذِيْبِ الْأَخْلاَقِ وَتَصْفِيَةِ الْقَلْبِ

Seorang murid harus berusaha dalam proses pembersihan jiwa, pembentukan akhlak dan penyucian hati.

Wiridan Khusus Syaikh Ahmad bin Idris (Hizib Idrisiyah)

Berikut ini adalah wiridan khusus yang biasa dilakukan oleh Syaikh Ahmad bin Idrîs atau yang dikenal dengan sebutan “Hizib Idrîsiyah”, yang dijelaskan di dalam kitab al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 17-20;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَللهم إِنِّي أُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ كُلِّ نَفَسٍ وَّلَمْحَةٍ وَّطَرْفَةٍ يَّطْرَفُ بِهَا أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وَأَهْلُ الْأَرْضِ وَكُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ فِيْ عِلْمِكَ كَائِنٌ أَوْ قَدْ كَانَ، أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ كُلِّهَا مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ …×3

بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَايَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ … ×3

بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ لَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، بِسْمِ اللهِ عَلَى دِيْنِي وَنَفْسِي، بِسْمِ اللهِ عَلى أَهْلِي وَمَالِيْ، بِسْمِ اللهِ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ رَبِّيْ، بِسْمِ اللهِ خَيْرِ الْأَسْمَاءِ، بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ، بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لَايَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ دَاءٌ، بِسْمِ اللهِ افْتَتَحْتَ وَبِاللهِ اخْتَتَمْتَ وَعَلَى اللهِ تَوَكَّلْتُ، لَا قُوَّةَ إِلَّابِاللهِ … ×3

اَللهُ أَكْبَرُ … ×3

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ الْحَلِيْمُ الْكَرِيْمُ لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ وَرَبُّ الْأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، عَزَّ جَارُكَ وَجَلَّ ثَنَائُكَ وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ، إِجْعَلْ نِيْ فِي جَوَارِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، إِنَّ وَلِييَّ اللهُ الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ،

فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ

﴿التوبة: 129﴾ …×7

اَللهُ عِدَّتِيْ فِي كُلِّ شِدَّةِ وَرَخَاءِ حَسْبُنَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا …×7

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَآ إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، عَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، مَاشَاءَ اللهُ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ…×1

اَعْلَمُ أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَديْرٍ، وَأَنَّ الله قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَدَدًا، أَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ وَمِنْ شَرِّ كُلِّ دَآبَّةٍ أَنْتَ أَخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا، إِنَّ رَبِّيْ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ ذٰلِكَ كُـلُّهُ أَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَوْلَادِي كُلُّهُمْ وَمَالِيْ كُلُّهُ وَإِخْوَانِيْ كُلُّهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِوَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ لَيْسَ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنْهُ ذِي الْعِزَّةِ وَالْـجَبَرُوْتِ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ، وَمِنْ شَرِّ الْـجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالشَّيَاطِيْنِ وَالسَّلَاطِيْنِ وَالْأَعْرَابِ وَالسِّبَاعِ وَالْهَوَامِ وَاللُّصُوْصِ وَكُلِّ مَا خَلَقَ اللهُ تَعَالٰى، وَمِنَ الْجُنُوْنِ وَالْـجُذَامِ وَالْبَرَصِ وَالْفَالِجِ وَالْبَاسُوْرِ وَالسَّلِسِ وَالصَّمَمِ وَالْعَمىَ وَالْبَكَمِ وَسُوْءِ الْخَلْقِ وَسُقُوْطِ الْأَسْنَانِ وَالْأَضْرَاسِ وَوَجَعِهَا وَتَكْسِيْرِهَا وَتَحْرِيْكِهَا وَاضْطِرَابِهَا، وَمِنْ جَمِيْعِ الْبَلَايَا كُلِّهَا وَالْفِتَنِ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَاتَّصَمْتُ بِرَبِّ الْمَلَكُوْتِ، وَتَوَكَّلْتُ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ … ×3

وَقُلِ الْـحَمْدُ لِلهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَم يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا ﴿الإسراء: ١١١﴾ أَللهُ أكْبَرْ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ وَأُفَوِّضُ أَمْرِيْ إِلَى اللهِ إِنَّ اللهَ بَصِيْرٌ بِالْعِبَادِ …×3

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، فَسُبْحَانَ اللهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ وَلَهُ الْـحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُوْنَ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَيُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَكَذٰلِكَ تُخْرَجُونَ ﴿الروم: 17-١٩

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَوْدِعُكَ دِيْنِيْ وَنَفْسِيْ، وَعِرْضِيْ وَأَمَانَتِيْ، وَخَوَاتِمَ عَمَلِيْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ وَمَالِيْ كُلِّهِ وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا فِيْ خَزَائِنِ حِفْظِكَ يَا مَنْ لَاتُضِيْعُ لَدَيْهِ الْوَدَائِعُ،

… فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ ﴿يوسوف: ٦٤﴾

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، أَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَوْلَادِيْ كُلِّهِمْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ وَمَالِيْ كُلِّهِ وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ وَأَمْوَالِهِم دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِوَجْهِ الْكَرِيْمِ الَّذِيْ لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمُ مِنْهُ، وَبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ الَّتِيْ لَايُجَاوِزُهُنَّ بِرٌّ وَلَافَاجِرٌ، وَبِأَسْمَاءِ اللهِ الْحُسْنَى كُلِّهَا مَا عَلِمْتُ مِنْهَا وَمَا لَمْ أَعْلَمْ مِنْ شَرِّمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَشَرِّ مَايَعْرُجُ فِيْهَا، وَشَرِّمَا ذَرَأَ فِي الْأَرْضِ، وَشَرِّمَا يَخْرُجُ مِنْهَا، وَمِنْ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَمِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمٰنُ…×1

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، أَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَوْلَادِيْ كُلِّهِمْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ وَمَالِيْ كُلِّهِ وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ وَأَمْوَالِهِم دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِوَجْهِ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ لَيْسَ شَيْءٌ أَعْظَمُ مِنْهُ، وَبِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ الَّتِيْ لَايُجَاوِزُهُنَّ بِرٌّ وَلَافَاجِرٌ، وَبِأَسْمَاءِ اللهِ الْحُسْنَى كُلِّهَا مَا عَلِمْتُ مِنْهَا وَمَا لَمْ أَعْلَمْ مِنْ شَرِّمَاخَلَقَ رَبِّيْ وَبَرَأَ أَوْ ذَرَأَ، أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ جَلَّ وَجْهُكَ لَا أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ، أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَخْضُرُوْنِ، رَبِّ أَعُوْذُبِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَعُوْذُبِكَ رَبِّ أَنْ يَخْضُرُوْنِ، أَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ …×10

بِسْمِ اللهِ ذِي الشَّأْنِي، عَظِيْمُ الْبُرْهَانِ، شَدِيْدُ السُّلْطَانِ، مَاشَاءَ اللهُ كَانَ، أَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ …×3

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ بِسْمِ الْإِلٰهِ الْخَالِقِ الْأَكْبَرِ، وَهُوَ حِرْزٌ مَانِعٌ مِنْ جَمِيْعِ مَانَخَافُ مِنْهُ وَنَحْذَرُ، لَاقُدْرَةَ لِمَخْلُوْقِ مَعَ قُدْرَةِ الْخَالِقِ يُلْجِمُهُ بِلِجَامِ قُدْرَتِهِ أَحْمَى حَمِيْثًا أَطْمَى طَمِيْثًا وَكَانَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيْزًا…×1

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، حٰم عسق حِمَايَتُنَا، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ كهيعص كِفَايَتُنَا فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَلَاحَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، أَحْوَنُ قَافِ آدَمَ حم هَاءِ آمِيْنُ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ قال: اِخْسَؤُوْا فِيْهَا وَلَا تُكَلِّمُوْنَ، إِنِّي أَعُوْذُ بِالرَّحْمٰنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيًّا، أَخَذْتُ بِعَظَمَتِ ذَاتِ اللهِ تَعَالَى وَسَمْعِهِ وَبَصَرِهِ وَقُوَّتِهِ وقُدْرَتِهِ وَعِزَّتِهِ وَسُلْطَانِهِ وَكَلَامِهِ وَقَهْرِهِ عَلَى جَمِيْعِ ذَوَاتِكُمْ وَأَسْمَاعِكُمْ وَأَبْصَارِكُمْ وَقُوَّتِكُمْ يَامَعْشَرَالْـجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالشَّيَاطِيْنِ وَالسَّلَاطِيْنِ وَالْأَعْرَابِ وَالسِّبَاعِ وَالْهَوَامِ وَاللُّصُوْصِ وَكُلِّ مَاخَلَقَ اللهُ تَعَالَى، سَتَرْتُ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ وَبَيْنَ أَهْلِيْ وَبَيْنَكُمْ، وَبَيْنَ مَالِيْ وَبَيْنَكُمْ، وَبَيْنَ إِخْوَانِيْ وَبَيْنَكُمْ بِسِتْرِ النُّبُوَّةِ الَّتِي اسْتَتَرُوْابِهَا مِنْ سَطْوَاتِ الْفَرَاعِنَةِ جِبْرِيْلُ عَنْ أَيْمَانِكُمْ وَمِيْكَائِيْلُ عَنْ شِمَالِكُمْ وَمُحَمَّدٌ أَمَامُكُمْ وَاللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنْ فَوْقِكُمْ وَمُحِيْطٌ بِكُمْ يَمْنَعُكُمْ عَنِّيْ فِيْ نَفْسِيْ وَدِيْنِيْ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ وَمَا عَلَيَّ وَمَامَعِيْ وَمَافَوْقِيْ وَمَاتَحْتِيْ وَمُحِيْطٌ بِيْ، وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَّسْتُوْرًا  وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَفِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا  ﴿الإسراء: 45-٤٦

وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوْبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ وَفِيْ آذَانِهِمْ وَقْرًا، وَإِذَ ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا، اللّٰهُمَّ أَسْتَجِيْرُكَ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ خَلَقْتَ وَأَحْتَرِسَ بِكَ مِنْهُمْ وَأُقَدِّمُ مِنْ بَيْنِيْ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِيْ وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ وَمِنْ فَوْقِيْ وَمِنْ تَحْتِيْ وَمِنْ دَاخِلِيْ وَمِنْ خَارِجِيْ وَمُحِيْطًا بِيْ بِوُجُوْدِ شُهُوْدٍ جُنُوْدٍ لَهُ مُعَقِّبَاتُ مِنْ بَيْنِيْ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفُظُوْنَهُ مِنْ أَمْرِاللهِ كَمَاحَفَظْتَ نَبِيِّكَ سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدًا فِي كُلِّ ذٰلِكَ، وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ  اَللهُ الصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ﴿ الإخلاص :1-٤﴾ …×3

وَأُقَدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ، اَللهم إِنِّيْ أَعُوْذُ بِعَظَمَةِ ذَاتِكَ الَّتِيْ لَانِهَايَةَ لَهَا، اَلَّتِيْ لَا يَعْلَمُهَا سِوَاكٌ، وَأَعُوْذُ بِاسْمِكَ الْعَظِيْمِ الْأَعْظَمِ، وَأَعُوْذُ بِوَجْهِكَ الْكَرِيْمِ الْأَكْرَمِ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ أَسْمَائِكَ الْحُسْنٰى كُلِّهَا مَاعَلِمْتُ مِنْهَا وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ كَلِمَاتِكَ التَّامَّاتِ كُلِّهَا الْمُبَارَكَاتِ الَّتِيْ لَا يُجَوِّزُهُنَّ بِرٌّ وَلَا فَاجِرٌ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ مَا عَاذَ بِهِ نَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ مَا عَاذَتْ بِهِ أَنْبِيَاؤُكَ وَرُسُلُكَ وَمَلَائِكَتُكَ وَأَوْلِيَاؤُكَ كُلُّهُمْ مَاعَلِمْتُ مِنْهُمْ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، صَلَوَاتُ اللهُ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنُ، وَأَعُوْذُ بِجَمِيْعِ مَا تَعَلَّمَ لِنَفْسِكَ مِمَّا لَايَعْلَمُهُ مِنْكَ غَيْرُكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ وَمِنْ شَرِّ الْـجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالشَّيَاطِيْنِ وَالسَّلَاطِيْنِ وَالْأَعْرَابِ وَالسِّبَاعِ وَالْهَوَامِ وَاللُّصُوْصِ وَكُلِّ مَاخَلَقَ اللهُ تَعَالٰى، وَمِنَ الْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ وَالْفَالِجِ وَالْبَارُوْسِ وَالسَّلِسِ وَالصَّمَمِ وَالْعَمَى وَالْبَكَمِ وَسُوْءِ الْخَلْقِ وَسُقُوْطِ الْأَسْنَانِ وَالْأَضْرَاسِ وَوَجَعِهَا وَتَكْسِيْرِهَا وَتَحْرِيْكِهَا وَاضْطِرَابِهَا وَمِنْ جَمِيْعِ الْبَلَايَا كُلِّهَا وَالْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَمِنْ كُلِّ سُوْءٍ وَمَكْرُوْهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اَللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾) [الإخلاص: 1-4] …×3

وَأَعِيْذُ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ كُلِّهِمْ، وَمَالِيْ كُلِّهِ، وَإِخْوَانِيْ كُلِّهِمْ، وَأَمْوَالِهِمْ دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا بِجَمِيْعِ مَا أَعَذْتُ بِهِ مِنْ جَمِيْعِ مَا اِسْتَعَذْتُ مِنْهُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمَ اللهِ.

Sumber: Alif.ID

172. Aurad Tarekat Idrisiyah

Berikut ini adalah tata cara mengamalkan zikir Tarekat Idrisiyah yang dijelaskan di dalam kitab al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 21-22.

  1. Mukadimah aurad, membaca;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَللهم إِنِّي أُقدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ كُلِّ نَفَسٍ وَّلَمْحَةٍ وَّطَرْفَةٍ يَّطْرَفُ بِهَا أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وَأَهْلُ الْأَرْضِ وَكُلُّ شَيْءٍ وَهُوَ فِيْ عِلْمِكَ كاَئِنٌ أَوْ قَدْ كَانَ، أُقدِّمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيْ ذٰلِكَ كُلِّهِ

  1. Membaca tahlil;

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ

  1. Membaca Salawat Azhimiyah;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ، الذَّيْ مَلَأَ أَرْكَانَ عَرْشِ اللهِ الْعَظِيْمِ، وَقَامَتْ بِهِ عَوَاِلمُ اللهِ الْعَظِيْمِ، أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ ذِي الْقَدْرِ الْعَظِيْمِ، وَعَلَى آلِ نَبِيِّ اللهِ الْعَظِيْمِ، بِقَدْرِ عَظَمَةِ ذَاتِ اللهِ الْعَظِيْمِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ الْعَظِيْمِ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ اللهِ الْعَظِيْمِ، تَعْظِيْماً لِـحَقِّكَ يَا مَوْلَانَا يَا مُحَمَّدُ يَا ذَاالْخَلْقِ الْعَظِيْمِ، وَ سَلِّمْ عَلَىْهِ وَعَلَى آلِهِ مِثْلِ ذَلِكَ، وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ كَمَا جَمَعْتَ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالنَّفْسِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، يَقَظَةً وَمَنَاماً، وَاجْعَلْهُ يَا رَبِّ رُوْحًا لِذَاتِيْ مِنْ جَمِيْعِ الْوُجُوْهِ فِيْ الدُّنْيَا قَبْلَ الْآخِرَةِ يَا عَظِيْمُ.

  1. Membaca istighfar kabir;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ، الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ، غَفَّارُ الْذُّنُوْبِ ذَاالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِيْ كُلِّهَا وَالذُّنُوْبِ وَالْآثَامِ وَمِنْ كُلِّ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، قَوْلاً وَفِعْلاً، فِيْ جَمِيْعِ حَرَكاَتِيْ وَسَكَنَاتِيْ، وَخَطَرَاتِيْ وَأَنْفَاسِيْ، كُلِّهَا دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا مِنَ الذَّنْبِ الَّذِيْ أَعْلَمُ وَمِنَ الذَّنْبِ الَّذِيْ لَا أَعْلَمُ، عَدَدَ مَا أَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ وَأَحْصَاهُ الْكِتَابُ، وَخَطَّهُ الْقَلَمُ، وَعَدَدَ مَا أَوْجَدَتْهُ الْقُدْرَةُ وَخَصَصَتْهُ الْإِرَادَةُ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِ اللهِ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِ رَبِّنَا وَجَمَالِهِ وَكَمَالِهِ وَكَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى.

Beberapa Salawat Idrisiyah

Berikut ini adalah beberapa kumpulan amalan shalawât yang terdapat pada Tarekat Idrisiyah. Salawat Idrisiyah ini berjumlah 14 salawat dan dijelaskan di dalam kitab al-Nafahât al-Aqdasiyah fi Syarh al-Shalawât al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, halaman: 11-16. Namun kami hanya mencatumkan lima salawat, selebihnya bisa dilihat sendiri di kitab tersebut di atas. Berikut Salawat Idrisiyah;

بسم الله الرحمن الرحيم

متن الصلوات الأحمدية الإدرسيَّة

(الصلاة الأولى)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اَللهم صَلِّ عَلَى طَامَّةِ الْحَقَائِقِ الْكُبْرَى، سِرِّ الْخَلْوَةِ الْإِلَهِيَّةِ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ، تَاجِ الْمَمْلَكَةِ الْإِلَهِيَّةِ، يَنْبُوْعِ الْحَقَائِقِ الْوُجُوْدِيَّةِ، بَصْرِ الْوُجُوْدِ وَسِرِّ بَصِيْرَةِ الشُّهُوْدِ، حَقِّ الْحَقِيْقَةِ الْعَيْنِيَّةِ، وَ هَوِيَّةِ الْمُشَاهَدَةِ الْغَيْبِيَّةِ، تَفْصِيْلِ الْإِجْمَالِ الْكُلِّيِّ، اَلْآيَةِ الْكُبْرَى فِي التَّجَلِّيِّ وَ التَّدَلِّيِّ، نَفْسِ الْأَنْفَاسِ الرُّوْحِيَّةِ، كُلِّيَّةِ الْأَجْسَامِ الصُّوْرِيَّةِ، عَرْشِ الْعُرُوْشِ الذَّاتِيَّةِ، صُوْرَةِ الْكَمَالَاتِ الرَّحْمَانِيَّةِ، لَوْحِ مَحْفُوْظِ عِلْمِكَ الْمَخْزُوْنِ وَسِرِّ كِتَابِكَ الْمَكْنُوْنِ الَّذِيْ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهِّرُوْنَ، يَا فَاتِحَةَ الْمَوْجُوْدَاتِ، يَا مَجْمَعَ بَحْرِي الْحَقَائِقِ الْأَزَلِيَّاتِ وَ الْأَبْدِيَاتِ، يَا عَيْنَ جَمَالِ الْاِخْتِرَاعَاتِ وَ الْاِنْفِعَالَاتِ، يَا نُقْطَةَ مَرْكَزِ جَمِيْعَ التَّجَلِّيَاتِ، يَا عَيْنَ حَيَاةِ الْحَسَنِ الَّذِيْ طَارَتْ مِنْهُ رَشَاشَاتِ فَاقْتَسَمَّتْهَا بِحُكْمِ الْمَشِيْئَةِ الْإِلَهِيَّةِ جَمِيْعِ الْمُبْدِعَاتِ، يَا مَعْنَى كِتَابِ الْحَسَنِ الْمُطْلَقِ الَّذِي اعْتَكَفَتْ فِيْ حَضْرَتِهِ جَمِيْعِ الْمَحَاسِنِ لِتُقْرَأَ حُرُوْفٌ حَسَنَهُ الْمُقَيِّدَاتُ، يَا مَنْ أَرَخَتْ حَقَائِقُ الْكَمَالِ كُلِّهَا بِرَقْعِ الْحِجَابِ دُوْنَ الْخَلْقِ وَأَجْمَعَتْ أَنْ لَاتَنْظُرَ لِغَيْرِهِ إِلَّا بِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمُكَوَّنَاتِ، يَا مُصِبَّ يَنَابِيْعِ ثُجَاجِ الْأَنْوَارِ السَّبْحَاتِيَاتِ الشَّعْشَعَانِيَاتِ، يَا مَنْ تَعَشَقَتْ بِكَمَالِهِ جَمِيْعِ الْمَحَاسِنِ الْإِلَهِيَّاتِ، يَا يَاقُوْتَةِ الْأَزَلِ، يَا مَغْنَاطِيْسَ الْكَمَالَاتِ قَدْ اَيْسَتِ الْعُقُوْلُ وَالْفُهُوْمُ وَالْأَلْسِنُ وَجَمِيْعُ الْإِدْرَاكَاتِ أَنْ تُقْرَأَ رُقُوْمٌ مَسْطُوْرٌ كَنُهِيَاتِكَ الْمُحَمَّدِيَّاتِ أَوْ تَصِلَ إِلَى حَقِيْقَةِ مَكْنُوْنَاتِ عُلُوْمِكَ اللَّدُنِّيَاتِ، وَكَيْفَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمِنْ لَوْحِ مَحْفُوْظٍ كَنُهِكَ قَرَأَ الْمُقَرَّبُوْنَ كُلُّهُمْ حَقِيْقُةَ التَّجَلِّيَاتِ، صَلَّى اللهُ وَ سَلَّمَ عَلَيْكَ يَا زَيْنَ الْبَرَايَا، يَا مَنْ لَوْلَا هُوَ لَمْ تَظْهَرْ لِلْعَالَمِ عَيْنٌ مِنَ الْخَفَيَاتِ.

(الصلاة الثانية)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم صَلِّ عَلَى مُظْهِرِ الْعَظَمَةِ الذَّاتِيَّةِ، جَمْعِيَّةِ عُيُوْنِ الْحَقَائِقِ الرَّحْمُوْتِيَّةِ، سِرِّ مَلَكُوْتِ الْأَسْمَاءِ الْمُعَبَّرِ عَنْهُ بِالْعَمَاءِ قَبْلَ خَلْقِ أَرْضٍ وَ سَمَاءٍ، سَاذَجَ الذَّاتِ الْإِحَاطِيَّةِ الْوُجُوْدِ، نُقْطَةَ دَائِرَةِ الْكَمَالِ الْإِلَهِي فِي الْغَيْبِ وَالشُّهُوْدِ، نَفَخَ رُوْحَ النَّفْسِ الرَّحْمَانِيِّ فِي كُلِّيَّاتِ الْوُجُوْدِ الْعِيَانِيْ، غَيْبَ هُوَ فِيْ هُوَ هُوَ مَنْ هُوَ هُوَ، فَصَلِّ اللهم عَلَيْهِ بِهُوَ هُوَ فِيْ هُوَ هُوَ مَنْ هُوَ هُوَ يَا مَنْ هُوَ هُوَ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَ سَلِّمْ.

(الصلاة الثالثة)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظَمَةِ ذَاتِكَ وَكَمَالِ عِلْمِكَ وَجَمَالِ أَسْمَائِكَ وَصِفَاتِكَ، أَنْ تُصَلِّى عَلَى النُّوْرِ الذَّاتِيْ، وَالْمَنْظَرِ الصِّفَاتِيْ مَجَلَّى الْحَقَائِقِ الْقُرْآنِيَّةِ، صُوْرَةِ مَادَّةِ  التَّجَلِّيَاتِ الْفَرْقَانِيَّةِ، الرُّوْحِ الْقُدُوْسِيِّ وَالسِّرِّ السَّبُوْحِيْ، بَرْزَحِ الْعَظَمَةِ الذَّاتِيَّةِ، اَلْحَاجِزِ بَيْنَ خَلْقِكَ وَ سَبَحَاتِ وَجْهِكَ كُلَّ الْكُلِّ فِيْ سِرِّ كُلِّ الْكُلِّ حَيْثُ الْكُلِّ لِلْكُلِّ فَيُوْضَ الْجَمَالُ وَالْجَلَالُ وَالْكَمَالُ مِنْ حَيْثُ لَا حَيْثُ إِلَى حَيْثُ لَا حَيْثُ  فِيْ حَيْثُ لَاحَيْثُ، فَصَلِّ اللهم عَلَيْهِ وَسَلِّمِ مِنْ حَيْثُ لَا حَيْثُ  إِلَى حَيْثُ لَا حَيْثُ  فِيْ حَيْثُ لَاحَيْثُ كَمَا أَنْتَ حَيْثُ لَاحَيْثُ عَدَدَ الْأَعْدَادِ الْمُتَنَاهِيَّةِ كُلِّهَا مِنْ حَيْثُ انْتِهَاؤِهَا فِيْ عِلْمِكَ مِنْ جَمِيْعِ الْحَيْثِيَّاتِ، وَمِنْ حَيْثُ لَا أَعْدَادَ مِنْ وُجُوْهِ عَدَمِ الْحَيْثِيَّاتِ كُلِّهَا فِيْ مَكْنُوْنِ عِلْمِكَ مِنْ غَيْرِ انْتِهَاءٍ إِنَّكِ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ.

(الصلاة الرابعة)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم صَلِّ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ، نُوْرَكَ اللَّامِعُ وَمُظْهِرُ سِرَّكَ الْهَامِعِ،  الَّذِيْ طَرَّزَتْ بِجَمَالِهِ الْأَكْوَانِ، وَزَيَّنَتْ بِبَهْجَةِ جَلَالِهِ الْأَوَانِ، الَّذِيْ فُتِحَتْ ظُهُوُرُ الْعَالَمِ مِنْ نُوْرِ حَقِيْقَتِهِ وَخُتِمَتْ كَمَالُهُ بِأَسْرَارِ نُبُوَّتِهِ، فَظَهَرَتْ صُوَرُ الْحَسَنِ مِنْ فَيْضِهِ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ وَلَوْلَا هُوَ مَا ظَهَرَتْ لِصُوْرَةِ عَيْنٍ مِنَ الْعَدَمِ الرَّمِيْمِ، الَّذِيْ مَا اسْتَغَاثَكَ بِهِ جَائِعٌ إِلَّا شَبَعَ وَلَا ظَمَآنَ إِلَّارُوِيَ، وَلَا خَائِفَ إِلَّا أَمِنَ، وَلَا لَهْفَانَ إِلَّاأُغِيْثَ، وَإِنِّيْ لَهْفَانُ مُسْتَغِيْثُكَ أَسْتَمْطِرُ رَحْمَتُكَ الْوَاسِعَةُ مِنْ خَزَائِنِ جُوْدِكَ فَأَغِثْنِيْ يَا رَحْمَنُ، يَا مَنْ إِذَا نَظَرَ بِعَيْنِ حِلْمِهِ وَعَفْوِهِ لَمْ يَظْهَرْ فِيْ جَنْبِ كِبْرِيَاءِ حِلْمِهِ وَعَظَمَةِ عَفْوِهِ ذَنْبٌ، اِغْفِرْ لِيْ وَتُبْ عَلَيَّ وَتَجَاوَزْ عَنِّيْ يَا كَرِيْمُ.

(الصلاة الخامسة)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اللهم صَلِّ عَلَى الذَّتِ الْكُنْهِ، قِبْلَةَ وُجُوْهِ تَجَلِّيَاتِ الْكُنْهِ عَيْنَ الْكُنْهِ فِي الْكُنْهِ، اَلْجَامِعَ لِحَقَائِقِ كَمَالِ كُنْهِ الْكُنْهِ، اَلْقَائِمِ بِالْكُنْهِ فِي الْكُنْهِ لِلْكُنْهِ، صَلَاةُ لَا غَايَةَ لِكُنْهِهَا دُوْنَ الْكُنْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ كَمَا يَنْبَغِيْ مِنَ الْكُنْهِ لِلْكُنْهِ، اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ الْأَنْوَارِ الَّذِيْ هُوَ عَيْنُكَ لَا غَيْرَكَ أَنْ تَرِيَنِيْ وَجْهَ نَبِيْكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا هُوَ عِنْدَكَ آمِيْنَ.

Sumber: Alif.ID

173. Tarekat Sanusiyah

Sanusiyahpeta

Pendiri tarekat ini adalah Syaikh Muhammad bin Ali bin Sanusi bin Arabi bin Muhammad bin Abdul Qadir bin Syahidah bin Khamim bin Yusuf bin Abdullah bin Khaottob bin Ali bin Yahya bin Rasyid bin Ahmad al-Murobith bin Mindas bin Abdul Qowi bin Abd. Al-Rohman bin Yusuf bin Zian bin Zainal Abidin bin Yusuf bin Hasan bin Idris bin Sa’id bin Ya’kub bin Daud bin Hamza bin Ali bin Imron bin Idris bin Idris bin Abdullah al-Kamil bin Hasan al-Mutsnna bin hasan bin Ali bin Abi tholib al-Hasyimi al-Quraisyi.

Syaikh Muhammad bin Ali bin Sanusi lahir di Mustagonim Negara Aljazair pada tahun (12 Rbiul Awal 1202 H./22 Desember 1787 M) pada waktu subuh hari senin, wafat pada tahun 1276 H./1858 M. Nasab beliau bersambung kepada nabi Muhammad saw. melalui Hasan bin ‘Ali dan Fatimah binti Rasul saw.  Julukan Sanusiyah merupakan sebutan kepada kakek ke empat beliau yaitu sayyid al-Sanusi yang menjadi ulama besar orang muslim yang di kebumikan di Timilsan-Fas-Maroko.

Pada usia dua tahun, orang tuanya wafat, kemudian beliau diasuh dan dididik oleh bibinya yang bernama Fatimah, yang menjadi orang yang memiliki banyak kelebihan pada zamannya, memiliki keilmuan yang dalam sehingga banyak yang menimba ilmu kepada beliau (Fatimah). Bibi beliau sangat menyayangi dan menghargai Syaikh Muhammad, sehingga beliau mendorong Syaikh Muhammad untuk mempelajari beberapa ilmu pada ulama di kota Mustaghonim dan sekitarnya.

Syaikh Muhammad belajar Al-Qur’an dan qiroah sab’ah pada Syaikh muhammad bin Kokmas al-Thohrowi (suami Fatimah), beliau belajar bersama dengan anak Fatimah yang bernama Abdul Qadir. Pada tahun 1209 beliau telah hafal Al-Qur’an dengan riwayat Qiro’ah Sab’ah, ilmu khot, muri al-Dhoman.

Lalu beliau meneruskan belajar ilmu Fikih pada Syaikh Muhammad al-Sanusi (Anak Pamannya) wafat tahun 1219 H lalu Syaikh Muhammad al-Sanusi melanjutkan pelajaran kepada Syaikh Muhyiddin bin Syalhabah, Muhammad bin Zawinah bin Abdul Qodir bin ‘Amur, Muhammad al-Kondur, Muhammad bin Abdullah, Ahmad Al-Thobuli al-Thurailisi.

Diawal tahun 1221 H (umur 19 th) beliau keluar dari kota Mustaghonim menuju ke kota Mazunah dan menetap disana selama 1 tahun, disana beliau belajar pada banyak Ulama diantaranya, Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Abi Tahalib, Abu Ra’si al-Ma’safari dan Abu al-Mahl, Abu Zawinah.

Pada Tahun 1222 H beliau mengembara ke kota Tilmisan Maroko dan menetap disana selama 7 tahun serta belajar kepada ulama-ulama terkemuka di kota tersebut. Diantaranya adalah Syaikh Khamudah bin Haj, Syaikh Hamdun bin Abd. Rahman, Syaikh Thoyyib al-Kiron, Syaikh Muhammad bin ‘Amir al-Ma’wani Syaikh Abu Bakar Al-Adrisi, Syaikh Idris bin Zian al-‘Iroki, Syaikh Muhammad bin Mansur, Syaikh Muhammad bin Umar al-Zarwali, Syaikh Muhammad Al-Baziri, Syaikh al-‘Arobi bin  Ahmad al-Darqawi (Ulama Thoriqah Syadziliyah)

Syaikh Muhammad Al-Sanusi mendalami Tarekat para sufi dan berhasil mendapatkan Ijazah dari ulama-ulama yang mendalam keilmuannya sehingga beliau diangkat menjadi pengajar di Madrasah kota Fas, pengajiannya diikuti oleh banyak peduduk dan mereka berpendapat bahwa keilmuan dan pemahaman syariat sangat mendalam, keilmuannya merupakan limpahan ilmunya Allah, akalnya cemerlang, pikirannya matang, hukum yang ditetapkan ditakuti oleh raja.

Ilmu-ilmu yang dipelajari di kota Faz (Maroko) diantaranya:

  1. Ilmu tarekat atau sufi karena di kota ini menjadi pusat perkembangan macam-macam tarekat Sehingga beliau pada akhir hayatnya mengarang kitab al-Sal Sabil al-Mu’in fi al-Thoroiq al-Arba’inyang membahas 40 thoriqah yang memiliki kretaria mengikuti sunah Nabi baik Ucapan, perbuatan, dan menggunakan waktu untuk bersalawat kepada Nabi.
  2. Mementingkan belajar Ilmu fikih, dalam bidang Fikih beliau mempelajari Mazhab Malikiyah, beliau belajar ulama, Syaikh Muhammad bin ‘Amir al-Ma’dani, syaikh Muhammad bin Abdu al-Salam al-Nashiri.
  3. Mementingkan gerakan perdamaian dan menghasilkan perdamian di Negara Maroko sehingga pada akhirnya beliau membentuk Negara Libiya.

Pada tahun 1235 H Syaikh Muhammad Sanusi keluar dari kota Faz Maroko menuju ke Aljazair dengan sebab:

  1. Karena ada fitnah yang besar di Kota Faz yaitu karena pemerintah dikota tersebut memaksakan kehendaknya kepada Ahlul Hilmi wal qodhi (parlemen). Kemudian terjadi fitnah yang lain disebabkan oleh perselisihan antara qodhi dan mufti dan kabar tersebut sampai pada Sultan Sulaiman, sehingga Sultan Sulaiman marah kepada mufti yang berakibat kepada para ulama, pengajar dan pelajar.

Lalu mereka melengserkan qodhi dengan menerbitkan pernyataan tentang kebodohan dan kelalimannya. Hal ini menimbulkan kejadian yang luar biasa sehingga penduduk kota Faz melakukan demo kepada Sultan Sulaiman.

Mereka menuntut mengangkat Ibrahim bin Yazid menantu Sultan Sulaiman untuk menjadi Qodhi. Pada awalnya sultan menolak, namun kemudian menerima tuntutan tersebut dengan ancaman, “Jika kami tidak mengangkatmu sebagai qodhi maka kami akan mengangkat keluarga Bani Idris”.

Ancaman ini membuatnya takut. Syaikh Al-‘Arabi al-Darqowi (salah satu Syaikh Muhamad Sanusi) menjadi salah satu yang menghadiri pengangkatan qodhi, yang pada akhirnya Syaikh Al-‘Arabi al-Darqowi dimasukkan penjara oleh Sultan dan hal ini yang menjadi penyebab utama pindahnya Syaikh Muhammad Sanusi dari Faz ke Kota AL-Jazair.

  1. Melaksanakan haji dan Ziarah ke Masjid Al-Nabawi dan melihat tanah kelahIrannya.

Ini merupakan perjalanan dari wilayah barat (maroko)-Sudan-Tunisia-Qobis-Torobilis-Zaliton-Masyriq(Al-Jazair). Syaikh Muhammad Sanusi belajar kepada ulama di daerah yang ditemui dan diminta untuk mengajarkan ilmu karena nama Syaikh Muhammad Sanusi sudah dikenal oleh sebagian masyarakat dan pemerintah daerah yang dilalui.

Pada tahun 1239 H/134 M Syaikh Muhammad Sanusi ke kota Mesir yang pada waktu itu kekuasaan dipegang oleh Muhammad Ali Basa pada tahun 1805 M dan ini merupakan kesempatan bagi Syaikh Muhammad Sanusi untuk mengenal ‘Ali Basa dengan dekat yaitu mengajak Ali Basya untuk melaksanakan berbagai macam aturan dan melaksanakan perdamaian.

Pada tahun 1240 H/1825 M  Syaikh Muhammad Sanusi pergi ke Makkah untuk ziarah dan perjalanan kali ini memiliki dampak yang besar dalam perkembangan tarekat sanusiah. Ada beberapa sebab yang menjadikan keberhasilan perjalanan kali ini:

  1. Syaikh Muhammad Sanusiberhasil membangun dasar-dasar hal dan akhlak orang muslim yang menjadi delegasi ke Mw
  2. Kesempatan yang bagus terbuka karena ulama’, ahli fiqih, dan para pemikir umat saling tarik-menarik tentang metode kebangkitan dan mengembalikan keluhuran umat ini.
  3. Makkah merupakan kota yang penting untuk berdakwah sehingga Syaikh Muhammad Imam Sanusi sibuk untuk menyebarkan, menghasilkan, bertukar pikIran tentang berbagai macam ilmu dan bersunngguh-sungguh mempelajari beberaapa madzhab yang berkembang sehingga bisa dirasakan oleh seluruh umat islam, (al-Harakah al-Sanusiyyah fi Libiya, halaman 40-48).

Guru-guru Syaikh Muhammad Imam Sanusi

Di Mekah ia berguru kepada:

a). Syaikh Abu Sulaiman ‘Abdul Hafid al-‘Ajami Mufti dan Qadhi di Mekah,

b). Syaikh Abu Hafs Umar bin ‘Abdur Rasul al-Athar (guru Hadis),

c). Syaikh Ahmad al-Dujjani (mursyid Syaikh Muhammad Imam Sanusi dalam beberapa tarekat),

d). Syaikh Ahmad bin Idris 1173-1213 H (mursyid Syaikh Muhammad Imam Sanusi dalam beberapa tarekat dan paling berpengaruh dalam kehidupan beliau)

(al-Harakah al-Sanusiyyah fi Libiya, halaman 48).

Sumber: Alif.ID

174. Kewajiban Salik Tarekat Sanusiyah

Kewajiban salik Tarekat Sanusiyah untuk melakukan dakwah berpegang pada beberapa pedoman. 

  1. Menyampaikan wahyu Allah kepada manusia, meliputi menjelaskan dasar-dasar dan kaidah agama kepada manusia, menjelaskan nash, Al-Qur’an dan Hadis dengan metode ulama salaf al-shalih.

Mengumpulkan manusia dalam Islam dan memberi pemahaman dan mendorong beramal, berdakwah pada semua lapisan masyarakat baik muslim atau non muslim, memberi penjelasan kepada masyarakat umum tentang bahaya-bahaya yang dihadapi.

  1. Mendidik manusia untuk membersihkan jiwa mereka yaitu mengganti amal jelek dengan amal yang baik.
  2. Mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu hikmah kepada manusia (al-Harakah al-Sanusiyyah fî Lîbiyâ, halaman 90-91).

Murid-murid Muhammad Sanusi

Murid-murid Syaikh Muhammad Sanusi yang memimpin zawiyah diantaranya adalah:

  1. Muhammad Abdullah al-Tawati, beliau diberi mandat untuk mengelola zawiyyah (pondok sufi) di Yaman, Libiya, dan Hija
  2. Ahmad Abû Qhasim al-Tawati, beliau berasal dari Aljazair, diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Siwah, Jaitun, Fazan.
  3. Syaikh Ali bin Abdul Maula, beliau dari Tunisia yang diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Jaghbub.
  4. Ahmad bin Farajullah, beliau dari Tha
  5. Muhammad bin Syafi’(w. 1324 H), beliau dari Sudan. Beliau diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Madinah dan orang yang mengawasi seluruh zawiyyah di wilayah Hijaz dan Libiya.
  6. Ahamd al-Mukrahi(w. 1263 H), beliau dari Tharablis yang menjadi hakim pada masa dinasti Bani U
  7. Imran bin Barakah al-Fituri(w. 1310 H), beliau dari Jali Beliau diberi wewenang mengelola Zawiyyah al-Baidha’.
  8. Abdul bin Muhammad al-Sinni, beliau dari Sudan diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah Mazdah.
  9. Falih al-Zhahiri(w. 1328 H), beliau dari daerah al-Hamra.
  10. Abdur Rahim bin Ahmad al-Mahbûb(w. 1305 H).
  11. Husain al-Gharyani, beliau diberi wewenang untuk mengelola Zawiyyah al-Baidha’ kemudiam mengelolah Zawiyyah Janzur. Beliau wafat di Zawiyyah Janzur.
  12. Ahmad bin Abd al-Qadir al-Rifi(Jaghbub W.1329 H/1911 M) beliau dari Tilmisan kota Fas
  13. Muhammad al-Shodiqbeliau dari Thoif diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Tunisia
  14. Muhammad bin Musthofa Hamid al-Madanibeliau dari Tilmisan, diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Tazrobu
  15. Umar Muhammad al-Asyhabbeliau dari Zalithon, diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Darnah dan Marroh kemudian dipindah ke Zawiyah Musawwis dan dikebumikan di sini.
  16. Mushthofa al-Mahjubbeliau diberi wewenang untuk mengelola Zawiyah Baidlok pada tahun 1258 H, kemudian dipindah untuk mengelola Zawiyah Tîlamûn
  17. Ahmad bin Ali Abu al-Saif(W.1294 H), beliau bersal dari desa Thorobilis, diberi wewenang pekerjaan yang banyak diantaranya adalah mengajar, memimpin Zawiyah Musawwis, Ma
  18. Abu Qosim al-‘Isawi, beliau diberi wewenang Zawiyah Rojban.
  19. Muhammad Ibrahim al-Ghomaribeliau diberi kekuasaan Zawiyah Baidlok.
  20. Ibrohim Al-Ghomari, beliau diberi wewenang Zawayah Diryanah
  21. Musthofa al-Ghomari, beliau diberi wewenang Zawiyah Diryanah
  22. Umar Abu Hawak al-Fudhail Aujali, beliau diberi wewenang Zawiyah al-Jauf di wilayah Wahah
  23. Musthofa al-Dardafi, beliau diberi wewenang Zawiyah Syahat.
  24. Muhammad bin Hamdi al-Ilanibeliau diberi wewenang memimpin dibeberapa majlis
  25. Muhammad Ahmad al-Sakuribeliau diberi wewenang Zawiyah al-Wahat al-Bahriyah pada masa al-Mahdi Sanusi diberi wewenang Zawiyah al-Marot
  26. Al-Murtadlo Farkasybeliau diberi wewenang mengelolah Zawiyah satu ke Zawiyah lainnya.
  27. Abu Saif Muqrob
  28. Al-Hussen al-Halafibeliau diberi wewenang Zawiyah al-Mukhoili
  29. Al-Mukhtar bin Amrbeliau diberi wewenang Zawiyah Kofnathoh
  30. Umar Jalghof Khudusbeliau diberi wewenang memimpin Majlis di Zawiyah Baidlok
  31. Muhammad Jidar al-Ghunibeliau diberi wewenang mengajar Al-Qur’an.
  32. Al-Fudhail Abu Khoriz Al-Kuzzah

Putera Syaikh Muhammad bin Ali As-Sanusi Mustaghanim, bernama Sanusi Muhammad al-Mahdi (w.1901) memindahkan pusat tarekat ke Kufrah, karena letaknya lebih strategis, peristiwa ini terjadi pada tahun 1895. Kemudian pindah lagi ke daerah Guro setelah itu kembali lagi ke Kufrah. Setelah beliau wafat pimpinan Tarekat Sanusiyah digantikan oleh keponakannya yang bernama Ahmad al-Syarif.

Tarekat ini disebarluaskan melalui pondok atau surau yang dipimpin oleh muqaddim (kepala tarekat) dan wakilnya. Para pejabat ini mempunyai wibawa yang besar di hadapan anggotanya dan masyarakat luas.

Selain berdakwah, untuk masyarakat Islâm, Tarekat Sanusiayah juga berdakwah ke beberapa suku Afrika yang masih menyembah berhala, seperti suku Baele di Negeri Ennedi (sebelah timur Borku) dan suku Tedas di Tu atau Tibesti (Gurun Sahara selatan Fezzan). Tarekat ini juga berhasil mengislamkan masyarakat di negeri Galla.

Tarekat ini memiliki rumah peribadatan yang tersebar mulai dari Mesir sampai kepedalaman Maroko dan ke daerah Oase di Gurun Sahara dan Sudan. Pengikut baru juga datang dari luar Afrika Utara. Tarekat Sanusiyah juga masuk ke Senegal, Gambia dan Somalia melalui Sudan. Pengaruh tarekat ini juga terdapat di Mekah, Madinah, Irak, Iran, dan bahkan sampai Indonesia dan Malaysia.

Tarekat ini lebih mengedepankan akhlak di masyarakat, juga berusaha memajukan kondisi fisik dengan jalan mengembangkan penanaman oase yang lebih baik, menggali sumur-sumur baru, mendirikan tempat-tempat peristirahatan sepanjang jalan-jalan kafilah dan memajukan peniagaan. Disamping itu juga mendirikan sekolah-sekolah dan tempat tinggal di daerah oase.

Budak-budak yang sudah dimerdekakan dididik di Jagbub dan setelah dibekali ilmu pengetahuan agama mereka dipulangkan ke kampung halamannya untuk berdakwah di kalangan familinya.

Selain dibidang dakwah tarekat ini juga berperan dalam bidang politik. Lebih dari setengah abad tarekat ini menjadi kekuatan besar yang  diperhitungkan oleh berbagai kolonial barat, seperti  Inggris, Perancis, dan Italia.

Bahkan berdirinya negara Libya adalah merupakan hasil dari perjuangan dari tarekat Sanusiyah. Libya adalah satu-satunya negara yang dibentuk olah persudaraan tarekat (mistik).

Tarekat ini juga mengajak jutaan orang primitif Nigeria di bagian barat dan tengah Afrika untuk masuk Islam. Bahkan sampai di Afrika barat juga banyak orang-orang nasrani yang masuk Islam.

Sumber: Alif.ID

175. Sanad Tarekat Sanusiyah Melalui Enam Jalur Tarekat

Sanad Tarekat Hidiriyah Muhammadiyah yang diterima Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Ahmad al-Rifi al-Qal’i bin Abdu Qadir dari Syaikh Muhammad bin ‘Ali al-Syarif dari Syaikh Abi Abbas al-‘Aroisyi Ahmad bin Idris dari Abdul Wahab al-Tasi (W.1099 H) dari Abdul ‘Aziz al-Dibaghi (W.1131 H) dari Nabi Khidir a.s.

Sanad Tarekat Nashiriyah yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Salam (kota Fas/W.1173 H) dari Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Nashir (W.1129 H) dari Syaikh Muhammad Al-Syahir bin Nashir al-Dar’i (W.1035 H).

Sanad Tarekat al-Syadzili yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Abi al-Abbas al-‘Aroisyi dari Syaikh Abi Qasim al-Waziri (W.1213 H) dari Syaikh Abi Hasan ‘Ali Mu’ammir yang dijuluki Jamal bin Abd. Al-Rahman bin Muhammad bin Ibrahim bin Imran al-Idrisi al-Hasani al-Imrani (Kota Fas W.1194 H) dari Syaikh Muhammad al-‘Arabi bin Abdullah Al-Andalusi Spanyol (W.1133 H).

Syaikh Muhammad dari Syaikh Ahmad bin Abdullah dari Syaikh Qasim al-Khossos (W. 1083 H) dari Syaikh Muhammad bin Abdullah (W. 1062 H) dari Syaikh Abd. Al-Rahman Al-Fasi al-Fahri (W.1036 H) dari Syaikh Yusuf al-Fazi al-Fahri (W.1013 H) dari Syaikh Abd. Al-Rahman bin ‘Iyad yang dikenal dengan julukan al-Majdub dari Syaikh ‘Ali bin Ahmad al-Son Haji yang dikenal julukan al-Dawwar dari Syaikh Abu Nur bin Ilmi Amhan dari Syaikh Ahmad Zaruq (kota Dafin W.899 H) dari Syaikh Abu Al-Abbas ‘Ali bin Wafa.

Syaikh Abul Abbas dari Syaikh Yahya bin Ahmad al-Wafa dari Syaikh ‘Ali bin Wafa dari Syaikh Muhammad Wafa dari Syaikh Mahmud al-Bahili dari Syaikh Tajuddin Muhammad bin Athoillah dari Syaikh Abû al-‘Abbâs al-Mursî dari Syaikh Abu Hasan al-Syadzili (W. 654 H) dari Syaikh Abd. Al-Salam bin Masyisy al-Idrisi al-Hasani (W. 625 H) dari Syaikh Abd. Al-Rahman al-Madani dari Syaikh Taqiyuddin al-Faqir.

Syaikh Taqiyuddin dari Syaikh Fachruddin dari Syaikh Nuruddin dari Syaikh Tajuddin dari Syaikh Samsuddin dari Syaikh Zainuddin dari Syaikh Ibrahim al-Bashri dari Syaikh al-Marwani dari Syaikh Fathu al-Su’ud dari Syaikh Sa’id dari Syaikh Jabir dari Syaikh Sayyid al-Hasan dari Syaikh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dari Muhammad  saw.

Sanad Tarekat Qadiriyah yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Sidi Syarif Abd al-‘Aziz dari Syaikh Abd. Al-Razaq dari Syaikh Syaikh Abd. Qadir al-Jailani.

Sanad Tarekat Qadiriyah yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Abi al-Abbas al-‘Aroisyi dari Syaikh Abi al-Mawahib al-Tazi al-Hasani dari Syaikh Abi al-Abbas Al-Zarani dari Syaikh Abd. Al-Jailani dari Syaikh Abi Sa’id al-Mubarak bin ‘Ali al-Khin bin badatar al-Baghdadi dari Syaikh Abi Hasan dari Syaikh ‘Ali bin Ahmad bin Yusuf al-Bakari al-Qurasyi dari Syaikh Abi Faraz bin Abdullah al-Turosusi dari Syaikh Abi Fadhol.

Syaikh Abi Fadhol dari Syaikh Abd. Al-Wahid bin Ahmad bin al-Faraz dari Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Tursusi dari Syaikh Abi Fadhol dari Syaikh Abd. Al-Wahid bin Abdul ‘Aziz bin Abdullah al-Tamini dari Syaikh Abd al-‘Aziz bin Haris al-Tamini dari Syaikh Abi Bakar al-Fariz Dalfa bin Khalaf bin Muhammad Hajdar Al-Syibli (W. 394 H) dari Syaikh Abu Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Junaid al-Qawariri al-Baghdadi al-Juzazi (Kota Baghdad W. 928 H).

Syaikh Abu Qasim dari Syaikh Abi Hasan al-Sari bin al-Mughollis al-Siqthi (Kota Baghdad W. 253 H) dari Syaikh Abi Mahfud yang dikenal dengan Ibnu Fairus al-Karkhi (kota Baghdad W.200 H) dari Syaikh ‘Ali Ridha bin Musa al-Kadzim (kota Madinah W. 148 H) dari Syaikh Musa al-Kadzim (Kota Baghdad W. 183) dari Syaikh Sayyid Ja’far al-Shodiq (kota Madinah W. 80 H) dari Sayiid Muhammad al-Baqir dari Sayyid Zainal ‘Abidin ‘Ali bin Husain dari Sayyidina Husain bin ‘Ali dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Krw. dari Nabi Muhammad saw.

Sanad Tarekat Uwais yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Muhammad Abd. Al-Salam al-Nashiri dari Syaikh Abd. Al-Salam Al-Nashiri dari Syaikh Muhammad bin Abd. Al-Ghofur dari Syaikh Abd. Qadir al-Mufti al-Shiddiqi dari Syaikh Hasan al-‘Ajimi (W.1113 H) dari Syaikh Shofi al-Qosasi dari Syaikh Shibgotullah dari Syaikh al-Mulawijih al-Din al-‘Alawi al-Ghoz dari Syaikh Haji al-Khushur dari Syaikh ‘Ali al-Shiraji dari Syaikh Abdullah al-Mishri dari Syaikh Uwais al-Qarni.

Sanad Tarekat Naqshabandi yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Abi al-Wafa dari Syaikh Muhammad Arabi Syah dari Syaikh Haji Nur al-Haq dari Syaikh Abi Wafa yang dikenal dengan Kutub Syah al-Qadiri Muhammad Arabi Syah dari Syaikh Abi ‘Ali dari Syaikh Maula Abi ‘Ali dari Syaikh Mubarak dari Syaikh Mer Abdullah dari Syaikh Muhammad Yahya dari Syaikh Abd. Al-Haq Ubaidillah Kharor dari Syaikh Ya’qub al-Karkhi dari Syaikh Bahauddin Al-Naqsabandi.

Sanad Tarekat Naqshabandi yang diterima oleh Syaikh Muhammad Sanusi dari Syaikh Ni’matullah bin Syaikh Umar al-Naqsyabandi dari Syaikh Muhammad Faidh Khon dari Syaikh Muhammad Hasan Atto dari Syaikh Muhammad Shibghotullah (W. 1122 H) dari Syaikh Muhammad al-Ma’shum dari Syaikh Sir Hindi al-Mujaddadi (W.1134 H) dari Syaikh Khowajih Ubaidillah Akhror bin Mahmud bin Syihab al-Din Al-Syasyini al-Samarqandi (W.895 H).

Syaikh Khowajih dari Syaikh Khowajih Ya’kub al-Khoroji dari Syaikh al-Kutub al-Rabbani yang dijuluki Naqsabandi Syaikh Khowajih Bahauddin Muhammad (717-191 H) dari Syaikh Khowajah Amir Kulal bin Hamzah dari Syaikh Khowajih Baba Al-Samasi dari Syaikh Khowajih ‘Ali Rami Tamini al-Bukhori (Kota Bukhoro W.715 H) dari Syaikh Khowajah Muhammad al-Anjiri Faghnawi dari Syaikh Khowajih ‘Arif al-Riya Kari dari Syaikh Khowajah Abdul Kholiq bin Syaikh Abd. Jalil Ghujdawani dari Syaikh Yusuf al-Hamdani (W.535 H).

Syiakh Khowajah dari Syaikh Abi ‘Ali Al-Farmadzi dari Syaikh Abi Qasim al-Karkani dari Syaikh Abi Hasan al-Khorkoni dari Syaikh Abi Usman al-Maghrabi Sa’id bin Salam dari Syaikh Abu Yazid al-Bustomi dari Syaikh Ja’far al-Shodiq dari Syaikh Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar dari Syaikh Salman Al-Farisi dari Syaikh Abu Bakar Al-Shiddiq dari Nabi Muhammad saw.

Sumber: Alif.ID

176. Aurad Tarekat Sanusiyah

Aurad Tarekat Sanusiyah secara umum yaitu:

  1. Membaca Al-Qur’an al-Karim
  2. Membaca istighfar
  3. Membaca tahlil
  4. Membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw.

Aurad Tarekat Sanusiyah yang telah ditulis oleh Sayyid Muhammad al-Mahdi r.a. dalam kitab al-Anwar al-Qudsiyah Muqaddimah al-Tarekat al-Sanusiyah sebagai berkut:

  • Al-Wirdu al-Muhammadi, terdapat 3 macam:
  1. أَسْتَغْفِرُ اللهَ 100 ×
  2. لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ

Lafadz ini dihadiahkan kepada 3 ahli:

  • لَاإلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ 300 × لِأَهْلِ التَّبَرُّك
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ 12000 × لِأَهْلِ الْإِرَادَةِ مِنَ الْمُنْتَسِبِيْن
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مَحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ 14000 × لِأَهْلِ التَّجْرِيْدِ مِنْ أَهْلِ الْعَكِفَاتِ
  1. Membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw. dengan macam-macam salawat yang telah ditentukan diantaranya:
    1. Salawat al-Ummiyah 100 x yang dihadiahkan kepada Ahli Tabarruk. Salawat ini Syaikh Muhammad al-Sanusibersanad dengan dua jalur:
  • Sayyid Ahmaddari Abi al-Mawahib al-Tazi dari Muhammad bin Ziyan dari Sayyid Muhammad Nashir.
  • Ibnu al-Sanusidari al-Hammam Sayyid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd. Al-Salam al-Binani dari Sayyid Ahmad dari Sayyid Muhammad bin Nashir al-Dar’i a.
    1. Salawat al-Fatihiyah 2000 x yang dihadiahkan kepada Ahli Iradah. Shalawat ini Syaikh Muhammad al-Sanusibersanad pada Sayyid Ahmad dari Abi al-Mawahib al-Tazi dari Abi al-Abbas al-Dani al-Fasi dari Sayyid Abd. Al-Qadhir al-Mufti al-Maki dari Sayyid ‘Abd. Al-Qadhir al-Jailani
    2. Salawat al-‘Adzimiyah 2000 x yang dihadiahkan kepada Ahli al-Tajrid. Shalawat ini Syaikh Muhammad al-Sanusibersanad pada Sayyid Ahmad bin Idris dari Sayyid Ahmad al-Khidir s.

Berdasarkan aurad tersebut dijelaskan menjadi 3 tingkatan yaitu:

  1. الورد الكبير
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ (100 ×)
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِمَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (300–3000– 24000)
  • الصَّلَاةُ الْعَظِيْمِيَّةُ ( أَللهم إِنِّى أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ الَّذِى مَلَأَ أَرْكَانٍ لِلهِ الْعَظِيْمِ وَقَامَتْ بِهِ عَوَالِمُ اللهِ الْعَظِيْمِ، أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ ذِى الْقَدَرِ الْعَظِيْمِ، وَعَلَى أَلِ نَبِيِ اللهِ الْعَظِيْمِ، بِقَدْرِ عَظَمَةِ اللهِ الْعَظِيْمِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا فِى عِلْمِ اللهِ الْعَظِيْمِ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ اللهِ الْعَظِيْمِ، تَعْظِيْمًا لِحَقِّكَ يَامَوْلَانَا يَامُحَمَّدٌ يَا ذَا الْخَلْقِ الْعَظِيْمِ ،َوَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ مِثْلَ ذَلِكَ، وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ كَمَا جَمَعْتَ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا يَقَظَةً وَمَنَامًا، وَاجْعَلْهُ يَارَبِّ رُوْحًا لِذَاتِيْ مِنْ جَمِيْعِ الْوُجُوْهِ فِى الدُّنْيَا قَبْلَ الْاَخِرَةِ يَاعَظِيْمُ) (100-200-1000-2000)
  • الإِسْتِغْفَارُ الكَبِيْرُ (أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَاإِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَّيُّوْمُ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِي كُلِّهَا وَالْاَثَامِ، وَمِنْ كُلِّ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ عَمْدًا وَخَطَأً ظَاهِرًا وَبَاطِنًا قَوْلًا وَفِعْلًا فِيْ جَمِيْعِ حَرَكَاتِيْ وَسَكَانَتِيْ وَخَطَرَاتِيْ وَاَنْفَاسِى كُلِّهَا دَائِمًا أَبَدًا سَرْمَدًا، مِنَ الذُّنُوْبِ الَّذِيْ اَعْلَمُ وَمِنَ الذُّنُوْبِ الَّذِيْ لَااَعْلَمُ، عَدَدِ مَا أَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ وَأَحْصَاهُ الْكِتَابُ وَخَطَهُ الْقَلَمُ وَعَدَدِ مَا أَوْجَدْتَهُ الْقَدْرَةُ وَخَصَّصَتَهُ الْاِرَادَةُ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِ اللهِ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِ رَبِّنَا وَجَمَالِهِ وَكَمَالِهِ، وَكَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى) (70 في السحر ومرة عقب الصلوات)
  • ذكر اللطيف (أَلَايَالَطِيْفُ يَالَطِيْفُ لَكَ اللُّطْفُ-فَاَنْتَ اللَّطِيْفُ مِنْكَ يَشْمِلُنَا اللُّطْفُ
  • لَطِيْفٌ لَطِيْفٌ اِنَّنِى مُتَوَسِّلٌ بِلُطْفِكَ-فَالْطِفْ بِي وَقَدْ نَزَلَ اللُّطْفُ بِلُطْفِكَ مَدَنِيْ يَالَطِيْفُ فَهَا نَحْنُ-دَخَلْنَا فِى وَسَطِ اللُّطْفِ وَانْسَدَلِ اللُّطْفُ) (116487 ×)
    1. الورد الأوسط
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ (100 ×)
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِمَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (300–3000– 24000(
  • الصلاة الفاتحية (أَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ اَلْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِيْ إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَعَلَى أَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ) (100 ×)
  • ذكر اللطيف (أَلَايَالَطِيْفُ يَالَطِيْفُ لَكَ اللُّطْفُ-فَاَنْتَ اللَّطِيْفُ مِنْكَ يَشْمِلُنَا اللُّطْفُ لَطِيْفٌ لَطِيْفٌ اِنَّنِى مُتَوَسِّلٌ بِلُطْفِكَ-فَالْطِفْ بِي وَقَدْ نَزَلَ اللُّطْفُ بِلُطْفِكَ مَدَنِيْ يَالَطِيْفُ فَهَا نَحْنُ-دَخَلْنَا فِى وَسَطِ اللُّطْفِ وَانْسَدَلِ اللُّطْفُ) (16641 ×)
    1. الورد الخفيف
  • أَسْتَغْفِرُ اللهَ (100 ×)
  • لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِمَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (300 ×)
  • الصلاة الأمية (أَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ (100 ×)
  • ذكر اللطيف (أَلَايَالَطِيْفُ يَالَطِيْفُ لَكَ اللُّطْفُ-فَاَنْتَ اللَّطِيْفُ مِنْكَ يَشْمِلُنَا اللُّطْفُ لَطِيْفٌ لَطِيْفٌ اِنَّنِى مُتَوَسِّلٌ بِلُطْفِكَ-فَالْطِفْ بِي وَقَدْ نَزَلَ اللُّطْفُ بِلُطْفِكَ مَدَنِيْ يَالَطِيْفُ فَهَا نَحْنُ-دَخَلْنَا فِى وَسَطِ اللُّطْفِ وَانْسَدَلِ اللُّطْفُ) (129 ×)
  • Al-Wirid al-‘Umumi
    1. Membaca Al-Qur’an al-Karim yang disebut dengan Hizib al-Syahri, separuh juz dibaca setelah sholat shubuh, separuh juz dibaca setelah sholat Maghrib dan setelah membaca Al-Qur’an masing-masing waktu tersebut membaca surah al-Ikhlash 3 kali, setelahnya membaca kafarah al-Majalis 3 kali. Membaca Al-Qur’an dimulai pagi hari pada awal bulan, dan dikhatamkan pada malam hari pada akhir bulan.
    2. Membaca surah al-Kahfi setelah Ashar dan maghrib pada malam jum’at
  • Al-Wirdu Kanzu al-Sa’adah

Yang dibaca setelah sholat maghrib dan shubuh oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali al-Sanusi sebagai berikut:

  1. أَللهم إِنِّي أَقْدَمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ كُلَّ نَفَسٍ وَلَمْحَةٍٍ وَطَرْفَةٍ يَطْرَفُ بِهَا أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكُلَّ شَيْئٍ هُوَ فِيْ عِلْمِكَ كَائِنٍ أَوْ قَدْ كَانَ أَقْدَمُ إِلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ ذَلِكَ كُلُّهُ الْإِخْلَاصُ (3 ×)
  2. بِالْبَسْمَلَةِ وَالْإِسْتِعَادَةِ أَوَّلًا ( أَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْْ (3 ×)
  3. لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدِ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ (100 ×)
  4. لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ (100 ×)
  5. اَللهُ، اَللهُ (100 ×)
  6. هُوَ (100 ×)
  7. يَا عَظِيْمُ ( 100 ×)
  8. الصَلَاةُ الْعَظِيْمِيَّةُ (3 ×)
  9. يَاحَيُّ يَاقَيُّوْمُ (100 ×)
  10. يَا لَطِيْفُ (100 ×)
  11. الإِسْتِغْفَارُ الْكَبِيْرُ (3 ×)
  12. سُوْرَةُ الإْخْلَاصُ (3 ×)
  13. سُبْحَانَكَ اللهم وَبِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ عَمِلْتُ سُوْءًا وَظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اَنْتَ (3 ×)
  • Wirid 7 Nafsu dan Wirid Para Wali

Adapun wirid 7 nafsu dan wirid para wali yang telah ditulis oleh Sayyid Muhammad al-Sanusi dan gurunya Sayyid Muhammad al-Mahdi r.a. diantaranya:

  1. النَّفْسُ الْأَمَّارَةُ : وِرْدُهَا لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ
  2. النَّفْسُ اللَّوَّامَةُ : وِرْدُهَا اَللهُ
  3. النَّفْسُ الْمُلْهِمَةُ : وِرْدُهَا هُوَ، هَوَ
  4. النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ : وِرْدُهَا حَقٌّ، حَقٌّ
  5. النَّفْسُ الرَّاضِيَّةُ : وِرْدُهَا حَيٌّ، حَيٌّ
  6. النَّفْسُ الْمَرْضِيَّةُ : وِرْدُهَا القَّيُّوْمُ
  7. النَّفْسُ الْكَامِلَةُ : وِرْدُهَا القَّهَّارُ
  8. وَلِيْ النُّقَبَاءِ : وِرْدُهُمْ التَّوَّابُ الغَفَّارُ
  9. وَلِيُ النُّجَبَاءِ : وِرْدُهُمْ الحَسِيْبُ الرَّقِيْبُ
  10. وَلِيُ الْأَفْرَادِ : وِرْدُهُمْ الشَّكُوْرُ وَالْحَمِيْدُ وَالصَّمَدُ وَالنُّوْرُ
  11. وَلْيُ الْأَبْدَالِ : وِرْدُهُمْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ إِلَى غَيْرِ ذَالِكَ مِنَ الْأَسْمَاءِ
  12. وَلِيُ الْأَمْنَاءِ : وِرْدُهُمْ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
  13. وَلِيُ الْأَوْتَادِ : وِرْدُهُمْ الْمُحْيِ وَالْمُمِيْتُ وَالسَّلَامُ الْمُؤْمِنُ
  14. وَلِيُ الْأَمَامَانِ : وِرْدُهُمْ سُوْرَةُ الْإِخْلَاصِ
  15. وَلِيُ الْخُلَفَاءِ : وِرْدُهُمْ الْمُهَيْمِنُ وَالْعَزِيْزُ وَالْجَبَّارُ وَالْقَدِيْرُ
  16. وَلِيُ الْأَقْطَابِ : وِرْدُهُمْ الْمُظْهِرُ وَالْمَلِكُ وَالْعَزِيْزُ وَالْمُحِيْطُ وَالْوَاحِدُ وَالْمَاجِدُ

Sumber: Alif.ID

177. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan gabungan dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN) yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872 M.) yang dikenal sebagai penulis kitab Futûh al-‘Arifîn. Sambas merupakan sebuah nama kota di sebelah Utara Pontianak, Kalimantan Barat.

Syaikh Naqib al-Attas mengatakan bahwa Syaikh Sambas adalah seorang mursyid dari kedua tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang kemudian oleh beliau diajarkan dalam satu versi dengan mengajarkan dua jenis zikir sekaligus, yakni zikir dengan lisan (jahr) dalam tarekat Qadiriyah dan zikir dengan hati (khafi) dalam tarekat Naqsyabandiyah.

Setelah menyelesaikan pendidikan agama dasar di kampung halamannya pada usia 19 tahun, Syaikh Sambas berangkat ke Kota Mekah di Saudi Arabia untuk melanjutkan pendidikannya sekaligus menetap di sana sampai wafatnya pada tahun 1289 H./1872 M.

Di kota Mekah, Syaikh Sambas mempelajari ilmu-ilmu Islam, termasuk ilmu tasawuf yang sampai pada akhirnya mencapai kedudukan tinggi sehingga sangat disegani oleh teman-temannya saat itu. Beliau kemudian juga menjadi seorang tokoh yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Nusantara.

Diantara guru-guru Syaikh Sambas adalah Syaikh Daud bin Abdullâh bin Idris al-Fattani (1843), dan Syaikh Syamsuddin Muhammad Arsyad al-Banjari (1812). Diantara semua murid Syaikh Syamsuddin, Syaikh Khatib Sambas berhasil mencapai tingkat yang tertinggi yaitu Syaikh Mursyid Kamil Mukammil.

Selain itu, beliau juga pernah belajar kepada Syaikh Muhammad Shalih RAys (seorang mufti Syafi’i), Syaikh Umar bin Abdul Karim bin Abdur Rasul (w. 1249 H.), Syaikh Abdul Jami (w. 1235 H). Di samping itu, beliau juga pernah menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan langsung oleh Syaikh Bisri al-Jabbati (seorang mufti Maliki), Syaikh Ahmad al-Marzuqi (seorang mufti Hanafi), dan Syaikh Abdullah Muhammad al-Mirghani (w. 1273 H.) serta Usman bin Hasan Dimyati (w. 1266 H).

Dari keterangan guru-guru beliau di atas, dapat diketahui bahwa beliau telah belajar kepada tiga dari empat madzhab fiqih terkemuka. Kebetulan al-Attar, al-Jami, dan RAys, terdaftar sebagai guru dari teman beliau, yakni Muhammad bin Ali bin al-Sanusi (w. 1276 H). dan juga pendiri Tarekat Sanusiyah (Muhammad Utsman al-Mirghani) dan juga pendiri Tarekat Khatmiyah. Sehingga, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dikalangan ulama Nahdlatul Ulama diakui sebagai Tarekat Mu’tabarah.

Metode Zikir Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

  • Khataman

Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Tanwîr al-Qulûb fi Mu’amalati ‘Allimil Ghuyub menjelaskan berbagai pengertian dan proses khataman yang intinya sebagai berikut: khatam artinya penutup atau akhir.

Zikir dengan sistem khataman ialah sejumlah murid atau salik duduk dalam suatu majelis (majelis zikir), berbentuk lingkarandengan dipimpin oleh seorang syaikh (mursyid) dan duduk menghadap kiblat. Di sebelah kanan duduk khalifah-khalifah, adapun yang tertua duduk di sebelah kanan syaikh. Sistem zikir ini dikatakan khataman, karena selesai zikir, syaikh meninggalkan majelis itu, maka ditutuplah dengan zikir-zikir tertentu.

Kegiatan khataman ini biasanya juga disebut mujahadah atau hususiyah karena memang upacara dan kegiatan ini dimaksudkan untuk mujahadah bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas spiritual para salik, baik dengan melakukan zikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan bimbingan ruhaniyah oleh mursyid secara khusus.

  • Adab Khataman

Menurut Syaikh al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qu1ûb fi Mu’amalati ‘Alamil Ghuyub halaman 520 menyebutkan ada 8 adab khataman, yaitu:

  1. Suci dari hadats dan najis
  2. Di ruangan khusus, sunyi dari keramaian manusia
  3. Khusyu’ dan menghadirkan Allah Swt, dengan cara beribadah kepada-Nya seolah-olah anda melihat-Nya. Jika anda tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat anda.
  4. Peserta yang hadir harus dengan seijin syaikh.
  5. Pintu ditutup karena menurut Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ya’la bin Syidad:

بَيْنَمَا أَنَا عِنْدَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ، إِذْ قَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟، قُلْنَا: لَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ، وَ قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ الحديث.

Tatkala aku berada di sisi Rasulullâh saw. tiba-tiba beliau bertanya: Adakah orang asing di antara kamu? Kami menjawab: Tidak ada, Rasulullah saw. “Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda: “Angkat tangan kamu”.

دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ الْبَيْتَ هُوَ وَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَ بِلَالٌ وَ عُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ فَاَغْلَقُوْا عَلَىْهِمُ الْبَابَ فَلَمَّا فَتَحُوْا كُنْتُ اَوَّلَ مَنْ وَلِجَ فَلَقِيْتُ بِلَالًا فَسَأَلْتُهُ هَلْ صَلَّى فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ صَلَّى بَيْنَ الْعَمُوْدَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ

Rasulullâh saw. telah memasuki Baitullâh bersama dengan Usâmah bin Zaid, Bilâl, Utsman bin Thalhah. Mereka menutupkan pintu. Tatkala mereka membukanya, sayalah orang pertama masuk, kujumpai Bilal dan kutanyakan: Apakab Rasulullâh saw. salat di dalamnya? Bilal menjawab: “benar, di antara dua tiang Yamani”.

  1. Memejamkan mata mulai awal hingga selasai.
  2. Berusaha dengan sungguh-sungguh meniadakan segala sesuatu yang timbul di dalam hati, sehingga hatinya hanya disibukkan dengan berzikir kepada Allah.
  3. Duduk tawarruk, kebalikan dari duduk tawarruk dalam salat.

Sumber: Alif.ID

178. Proses Khataman Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Proses khataman biasanya dilaksanakan oleh mursyid atau wakil (khalifah) dalam posisi duduk berjamaah setengah lingkaran atau berbaris sebagaimana shaf-shaf jamaah salat. Setelah itu lantas mulai membaca berbagai bacaan.

Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrah al-Fikriyah halaman 26, proses khataman sebagai berikut:

  1. Hadiah al-Fatihah kepada Nabi saw, beserta keluarga dan sahabatnya
  2. Hadiah al-Fatihah untuk para nabi dan rasul, para malaikat muqarrabin, para syuhada’, para shalihin, setiap keluarga, setiap sahabat, dan kepada arwah bapak kita Adam a.s, dan ibu kita Hawa, dan semua keturunan dan keduanya sampai hari kiamat.
  3. Hadiah al-Fatihah untuk para Khulafa’ ar-Rasyidin (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali r.a.) semua sahabat awal dan akhir, para tabi’in, tabi’it tabi’in, dan semua yang mengikuti kebaikan mereka sampai hari kiamat.
  4. Hadiah al-Fatihah untuk para Imam Mujtahid dan para pengikutnya, para ulama dan pembimbing, para qari’, para mukhlisin, para imam Hadis, mufassir, semua tokoh-tokoh sufi yang ahli tarekat, para wali baik laki-laki maupun perempuan. Kaum muslimin dan muslimat di seluruh penjuru dunia.
  5. Hadiah al-Fatihah untuk para Syaikh Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khususnya Sulthan al-Auliya’ Syaikh Abdul Qâdir al-Jilani, Abu Qasim al-Junaidi, Sirri Saqathi Ma’ruf ibn Fairuz al-Karkhi, Habib al-Ajami, Hasan al-Basri, Syaikh Ja’far Shadiq, Abu Yazid al-Busthami, Yusuf al-Hamdani, Burhanuddin al-Naqsyabandi, al-Sirhindi, berikut nenek moyang dan keturunan mereka, silsilah mereka dan orang yang mengambil ilmu dari mereka.
  6. Hadiah al-Fatihah kepada orang tua kita dan syaikh-syaikh kita, keluarga kita yang telah mati, orang yang berbuat baik kepada kita, dan orang yang mempunyai hak dari kita, orang yang mewasiati kita, dan orang yang kita wasiati, serta orang yang mendo’akan baik kepada kita.
  7. Hadiah al-Fatihah kepada semua mukminin-mukminat, muslimin-muslimat yang masih hidup maupun yang sudah mati di belahan barat maupun di belahan timur, Di belahan kanan dan kiri dunia, dan semua penjuru dunia, semua keturunan Nabi Adam a.s, sampai kiamat.

Kemudian secara bersama-sama membaca bacaan sebagai berikut;

  1. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  2. سورة الإنشراح 79×
  3. سورة الإخلاص 100×
  4. Fatihah kepada syaikh Abdul Qodir al-Jîlani dan syaikh Baha’uddin al-Naqsyabandi 1x
  1. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  2. اللهم يَا قَضِيَ الْحَاجَاتِ 100×
  3. اللهم يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ 100×
  4. اللهم يَا رَافِعَ الدَّارَجَاتِ 100×
  5. اللهم يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ 100×
  6. اللهم يَا مُحِلَّ الْمُشْكِلَاتِ 100×
  7. اللهم يَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ 100×
  8. اللهم يَا شَافِيَ الْأَمْرَاضِ 100×
  9. اللهم يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 100×
  10. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
    1. Fatihah kepada imam Khawajikan1x
    2. Fatihah kepada syaikh Abdul Qodir al-Jilani 1x
  11. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  12. حَسْبُنَا اللهِ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ 200×
  13. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
    1. Fatihah kepada syaikh Abdul Qodir al-Jîlani 1x
    2. Fatihah kepada imam al-Quthub syaikh Ahmad al-Fârûq al-Sarhandi1x
  14. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  15. لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 100×
  16. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×

Kemudian berhenti sejenak dengan rasa tunduk kepada Allah Swt. dengan memohon ampunan, keselamatan, kesehatan serta ketetapan iman di dunia dan akhirat, dan memohon dimudahkan memperoleh rezeki yang halal dengan merendahkan diri dari semua makhluk maksudnya tidak merasa mempunyai kelebihan dibandingkan orang lain. Dengan membaca doa:

اللهم أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَ رِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ

  1. Fatihah atas niat yang baik, 1x
  1. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
  2. يَا لَطِيْفُ 16641×
  3. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ 100×
    1. Fatihah kepada nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat sebanyak 1x
    2. Doa khushushiyah (khatam)

اللهم يَا لَطِيْفُ يَا لَطِيْفُ يَا لَطِيْفُ يَا مَنْ وَسِعَ لُطْفِهِ أَهْلَ السَّمَوَاتِ وَ الْأَرْضِ نَسْأَلُكَ بِخَفِيِّ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ أَنْ تُخْفِيْنَا فِيْ خَفِيِّ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ إِنَّكَ قُلْتَ وَ قَوْلُكَ الْحَقُّ اللهُ لَطِيْفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيْزُ اللهم يَا قَوِيُّ يَا عَزِيْزُ يَا مُعِيْنُ بِقُوَّتِكَ وَ عِزَّتِكَ يَا مَتِيْنُ أَنْ تَكُوْنَ لَنَا عَوْنًا وَ مُعِيْنًا فِيْ جَمِيْعِ الْأَقْوَالِ وَ الْأَفْعَالِ وَ الْأَحْوَالِ وَ جَمِيْعِ مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرَاتِ وَ أَنْ تَدْفَعَ عَنْ كُلِّ شَرٍّ وَ نُقْمَةٍ وَ مِحْنَةٍ قَدِ اسْتَحْقَقْنَاهَا مِنْ غَفْلَتِنَا وَ ذُنُوْبِنَا فَإِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ وَ قَدْ قُلْتَ وَ قَوْلُكَ الْحَقُّ وَ يَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ اللهم بِحَقِّ مَنْ لَطَفَتْ بِهِ وِجْهَتُهُ عِنْدَكَ وَ جَعَلَتِ اللُّطْفَ الْخَفِيَّ تَابِعًا لَهُ حَيْثُ تَوَجَّهَ أَسْأَلُكَ أَنْ تَوَجَّهَنَا عِنْدَكَ وَ أَنْ تُخْفِيْنَا بِخَفِيِّ لُطْفِكَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Kemudian bersalaman dengan para jamaah yang hadir, dimulai dari syaikh (guru mursyid). Khataman tarekat ini dapat dilakukan secara sendirian (munfaridan) atau bersama-sama dengan orang banyak (jamaah), waktunya tidak ditentukan (bisa siang atau malam), tapi yang resmi dari mursyid dilaksanakan setelah salat asar.

Demikian prosesi khataman yang merupakan paket-paket zikir. Paket zikir tersbut merupakan perhatian terhadap pembacaan Al-Qur’an yang mengikat diri dengan berbagai zikir sunnah dan doa-doa ma’tsur dan Hadis–Hadis yang shahih.

Sumber: Alif.ID

179. Pembaiatan

Dalam pelaksanaan zikir, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah melakukan beberapa tata acara amaliyah yang sudah ditetapkan, seperti baiat. Prosesi pembaiatan dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah biasanya dilaksanakan setelah calon murid mengetahui terlebih dahulu hal ihwal tarekat tersebut, terutama menyangkut kewajiban-kewajiban,  termasuk tata cara berbaiatSetelah merasa mantap dan mampu, murid pun datang menghadap mursyid untuk dibaiat.

Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrah al-Fikriyah halaman 1-3, bahwa proses pembaiatan mursyid kepada muridnya dilakukan sebagai berikut:

  1. Dalam keadaan suci, murid duduk menghadap mursyid dengan posisi duduk tawarruk (kebalikan duduk tawarruk dalam shalat). Dengan penuh kekhusyukan, taubat, dan menyerah diri sepenuhnya kepada mursyid untuk dibimbing.
  2. Selanjutnya murid bersama-sama dengan mursyid membaca kalimat berikut ini;
  1. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اللهم افْتَحْ لِيْ بِفُتُوْحِ الْعَارِفِيْنَ 7×
  2. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى الْحَبِيْبِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلْهَادِيْ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
  3. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. أَسْتَغْفِرُ اللهِ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ 3×
  4. اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ 3×
  5. Kemudian syaikh (mursyid) membaca;

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 3×

  1. Dan kemudian murid (salik) menirukan ucapan syaikh (mursyid);

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 3×

  1. Selanjutnya diakhiri dengan bacaan;

سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ

  1. Kemudian keduanya (mursyid dan murid) membaca Salawat Munjiyat seperti di bawah ini;

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَ الْآفَاتِ وَ تَقْضِى لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ وَ تُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَ تَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَ تُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَ بَعْدَ الْمَمَاتِ 1×

  1. Kemudian membaca ayat;

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً، (الفتح: 10) 1×

  1. Setelah itu menghadiahkan al-Fatihah kepada Rasulullâh saw, para masyayikh ahli silsilah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah khususnya kepada syaikh Abdul Qâdir al-Jailani dan syaikh Abu Qâsim al-Junaidi a1-Baghdadi, 1 x
  2. Kemudian syaikh (mursyid) berdoa untuk muridnya
  3. Selanjutnya syaikh (mursyid) memberikan tawajjuh kepada murid (salik) sebanyak 1000 x atau lebih.

Tawajjuh ini dilaksanakan dengan cara memejamkan kedua mata rapat-rapat, mulut juga ditutup rapat-rapat, dengan menyentuhkan lidah ke langit-langit mulut. Dengan menyebut nama Allah (Allah.Allah.Allah) dalam hati 1000 kali, dengan dikonsentrasikan (terfokus) ke arah sanubari. Demikian juga murid melaksanakan hal yang serupa.

Itulah prosesi pembaiatan yang merupakan pembelajaran (talqin) dua macam zikir sekaligus yaitu Nafi Itsbat (Qadiriyah) dan Zikir Latha’if (Naqsyabandiyah). Baru pembaiatan selanjutnya hanya untuk zikir latha’if saja, sampai tujuh kali. Dan pembaiatan untuk mengamalkan murâqabah.

Dari segi prosesinya, pembaiatan yang ada dalam tarekat ini jelas berbeda dengan prosesi yang ada dalam tarekat induknya. Di dalam Tarekat Qadiriyah, pembaiatan hanya untuk zikir nafi itsbat dengan didahului salat sunnah dua rakaat. Prosesi ijab qabul pun eksplisit, serta pemberian wasiat dan pesan-pesan yang berlaku kesufian oleh mursyid kepada murid (salik) yang menandai berakhirnya pembaiatan.

Demikian juga ritual tersebut berbeda dengan yang ada dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah.

Selain adanya perbedaan dalam proses pembaiatan antara ketiga tradisi tersebut, tentu terdapat banyak persamaan, yaitu:

  1. Murid harus duduk menghadap mursyid dalam keadaan suci
  2. Hadiah al-Fatihah dan istighfâr sebelum pentalqinan zikir
  3. Mendengarkan dan menirukan talqin zikir bagi murid, dalam keadaan mata terpejam
  4. Adanya kesetiaan murid terhadap semua aturan dan kebijaksanaan mursyid
  5. Doa mursyid untuk murid

Tata Cara Bertarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyyah

Seorang yang akan memasuki dan mengambil Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah ini maka dia harus melaksanakan kaifiah atau tata cara sebagai berikut:

  1. Datang kepada guru mursyid untuk memohon izin memasuki tarekatnya dan menjadi murid Hal ini dilakukan sampai memperoleh izinnya
  2. Mandi taubat yang dilanjutkan dengan salat taubat dan salat hajat
  3. Membaca istighfâr 100 kali
  4. Shalat istikharah, yang bisa dilakukan sekali atau lebih sesuai dengan petunjuk sang mursyid
  5. Tidur miring ke arah kanan dengan menghadap kiblat sambil membaca salawat Nabi sampai tidur.

Setelah hal tersebut di atas sudah dilakukan, selanjutnya adalah: pelaksanaan talqin zikir dan baiat dengan cara kurang lebihnya seperti tersebut di atas. Melakukan puasa (puasa sambil menghindari makanan yang bernyawa atau yang berasal dari yang bernyawa) selama 41 hari. Baru setelah itu, dia akan tercatat sebagai murid tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.

Adapun setelah menjadi murid tarekat ini, dia berkewajiban untuk mengamalkan wirid-wirid sebagai berikut:

  1. Diawali dengan membaca:

إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَ رِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 3×

  1. menghadiahkan al-Fatihah kepada Ahli Silsilah Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.
  2. Membaca Surat al-Ikhlâs 3 kali, a1-Falaq 1 kali dan al-Nâs 1 kali.
  3. Membaca Shalawat Ummi 3 kali.

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ

  1. Membaca istighfâr 3 kali.

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

  1. Menghadirkan rupa wajah (rabitah) kepada guru mursyid sambil membaca:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ حَيٌّ بَاقٍ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ حَيٌّ مَوْجُوْدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ حَيٌّ مَعْبُوْدٌ

  1. Membaca zikir nafi itsbat 65

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

Setelah itu dilanjutkan dengan;

  1. Membaca;

إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَ رِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَ مَعْرِفَتَكَ وَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 3×

  1. Menenangkan dan mengkonsentrasikan hati, kemudian kedua bibir dirapatkan sambil lidah ditekan dan gigi direkatkan seperti orang mati, dan merasa bahwa inilah nafas terakhirnya sambil mengingat alam kubur dan kiamat dengan segala kerepotannya.
  2. Kemudian dengan hatinya mewiridkan zikir ismudz dzat sebanyak 1000

Keterangan:

  • Semua wirid tersebut dilakukan setiap kali setelah salat maktubah
  • Untuk zikir ismudz dzat, kalau sudah bisa istiqamah setelah salat maktubah maka ditingkatkan dengan ditambahi setelah qiyamul lail (salat malam) dan setelah salat dhuha.
  • Untuk zikir ismudz dzat boleh dilakukan sekali dengan cara dirapel 5000 kali (bagi yang masih ba’da maktubah) atau 7000 kali (bagi yang sudah ditingkatkan).
  • Sikap duduk waktu melaksanakan wirid tersebut tidak ada keharusan tertentu. Jadi bisa dengan cara duduk tawarruk, iftirasy atau bersila.
  • Bacaan-bacaan, aurad dan pelaksanaan amalan zikir lainnya yang ada dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah ini secara lebih detail dan terperinci, dapat diketahui apabila seseorang telah masuk dan menjadi anggotanya dan meningkat ajarannya.

Sumber: Alif.ID

180. Suluk Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Istilah suluk (merambah jalan kesufian) terdapat dalam Al-Qur’an Surat an-Nahl; 69.

فَاسْلُوْكِىْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً ) النحل: 69 (

…. dan tempuhlah jalan Tuhan-mu yang telah dimudahkan (bagimu).

Hakikat suluk adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela (madzmumah) dan kemaksiatan lahir batin kemudian mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dengan melakukan ketaatan lahir dan batin, (Syaikh Muhammad Ibrahim Ibnu Ibad, 1996. halaman: 504).

Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb fi Mu’amalati ‘Allamul Ghuyub, halaman: 493-495. Seorang salik ketika suluk atau khalwat  (menyendiri) hendaknya melaksanakan 20 langkah sebagai berikut;

  1. Berniat ikhlas, tidak riya’, dan sum’ah (tidak pamer atau bermegah-megahan) baik secara lahir dan batin.
  2. Meminta ijin doa dari guru mursyid dan tidak boleh memasuki tempat suluk tanpa seizin guru mursyid selama masa pendidikan.
  3. Mengasingkan diri (‘uzlah), mengurangi tidur (membiasakan terjaga), dan membiasakan lapar serta berzikir menjelang suluk.
  4. Memasuki tempat khalwat dengan melangkah kaki kanan, seraya memohon perlindungan kepada Allah Swt. dari godaan setan serta membaca basmalah dan Surat al-Nâs sebanyak 3 x, kemudian melangkah kaki kiri seraya membaca;

اَللّٰهُمَّ وَلِيِّ فِى الدُّنْيَا وَاْﻵخِرَةِ كُنْ لِيْ كَمَا كُنْتَ لِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْزُقْنِى مَحَبَّتَكَ، اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنِى حُبَّكَ وَاشْغُلْنِيْ بِـجَمَالِكَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُخْلِصِيْنَ، اَللّٰهُمَّ امْحُ نَفْسِى بِـجَذْبَاتِ ذَاتِكَ يَا مَنْ لاَ أَنِيْسَ لَهُ. رَبِّ لاَتَذَرْنِى فَرْدًا وَاَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ.

kemudian berdiri tegak seraya mengucapkan;

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ … ×١١

Setelah itu melaksanakan shalat dua rakaat, dengan membaca Surat al-Fatihah dan ayat kursi di Rakaat pertama dan di rakaat kedua membaca al-Fatihah serta kemudian dilanjutkan dengan membaca;

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾

Dan sesudah salam, membaca; يَافَتَّاحُ sebanyak 500 x, dan setelah itu barulah berzikir menurut yang diajarkan oleh guru mursyid.

  1. Senantiasa berwudu (selalu suci dari hadats)
  2. Tidak mengharap karamah (kemuliyaan)
  3. Tidak diperkenankan bersandar ke dinding
  1. Selalu membayangkan wajah guru mursyid
  2. Senantiasa berpuasa
  3. Diam, kecuali berzikir kepada Allah Swt. tidak berbicara kecuali karena dharurat syar’i
  1. Tetap terjaga dan waspada terhadap empat musuh; setan, dunia, hawa nafsu, dan syahwat. Dengan menyampaikan segala sesuatu yang di lihat kepada mursyid
  2. Jauh dari keramaian
  3. Tetap menjaga salat jum’at dan shalat berjama’ah, karena tujuan pokok ber-khalwat adalah mengikuti sunnah Rasul
  1. Jika terpaksa keluar, hendaklah menutupi kepala sampai leher dengan menunduk
  2. Tidak boleh tidur, kecuali tertidur dalam keadaan suci dari hadats dan tidak diperkenankan tidur untuk mengistirahatkan badan dari rasa lelah
  3. Menjaga pertengahan antara lapar dan kenyang
  1. Jangan membukakan pintu kepada orang yang meminta berkah kepadanya, kecuali kepada syaikh (mursyid)
  2. Semua nikmat yang diperoleh salik harus dianggap dari syaikh (mursyid), sedangkan syaikh (mursyid) berasal dari Rasulullâh Muhammad saw.
  1. Menghilangkan (menafikan) segala sesuatu yang timbul di dalam hati, baik ataupun buruk, karena hal itu akan memisahkan hati dari atsarnya zikir
  2. Salik senantiasa melanggengkan zikir dengan cara yang telah diperintahkan oleh syaikh (mursyid)

Adab sebelum Zikir

  1. Bertaubat yakni menjauhi segala sesuatu baik berupa ucapan, pekerjaan, dan kehendak yang tidak bermanfaat
  2. Mandi, seperti yang dilakukan Abu Yazid al-Busthami setiap hendak berzikir beliau wudu dan berkumur air mawar
  3. Tenang dan diam sehingga hati hanya disibukkan dengan berzikir Allah-Allah, kemudian lisan menyesuaikan dengan zikir Lâilâha illallah
  4. Memohon bantuan dengan hati ketika berzikir sesuai keinginan syaikh (mursyid)
  5. Meyakini bahwa memohon bantuan dari mursyid pada hakikatnya adalah memohon bantuan dari Nabi Muhammad saw.

Adab dalam Zikir

  1. Duduk ditempat yang suci sebagai mana duduk ketika salat
  2. Meletakkan dua telapak tangan di atas kedua paha
  3. Menggunakan wangi-wangian dalam majlis zikir
  4. Menggunakan pakaian bagus dan halal
  1. Memilih tempat yang gelap jika dimungkinkan
  2. Memejamkan mata karena ketika mata terpejam maka semua panca indra menjadi tertutup dan hal itu menjadi sebab terbukanya hati sebagai indra keenam
  3. Membayangkan rupa mursyid diantara kedua mata
  4. Sungguh-sungguh dalam berzikir sehingga menjadi sama bagi salik antara zikir sirri dan zikir jahri
  1. Ikhlas yakni membersihkan amal dari segala sesuatu yang mengotori karena dengan berzikir dan ikhlas salik bisa sampai pada derajat shiddiqiyah dengan syarat tidak menyimpan segala sesuatu yang timbul di dalam hati dari mursyid meskipun tercela
  2. Tidak memilih shighat zikir sendiri
  3. Merenungkan makna zikir dengan hatinya
  4. Menafikan segala sesuatu yang timbul didalam hati selain Allah

Adab sesudah Zikir

  1. Tenang, yakni ketika salik diam, khusyu’, dan hatinya hadir (muraqabah kepada Allah), maka apabila hendak berzikir salik dengan mudah dapat mewujudkan atsar zikir yang dihasilkan di dalam hatinya
  2. Mengikat dengan kuat jiwanya secara terus-menerus karena itu lebih mempercepat dalam memberikan penerangan mata hati, menghilangkan hijab, dan dapat mencegah nafsu dan setan.
  3. Mencegah minum air setelah berzikir karena zikir itu menimbulkan rasa rindu kepada Allah yang menjadi tujuan utama berzikir. Sedangkan minum bisa menghilangkan rasa rindu tersebut (Bahjah as-Saniyah, halaman: 75-77).

Sumber: Alif.ID

181. Rabitah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Pengertian rabitah atau wasilah adalah perantara guru (syaikh), yaitu murid berwasilah pada guru (syaikh). Menurut al-Khalidi dalam kitabnya Bahjah as-Saniyah halaman 64, rabitah adalah menghadirkan rupa guru atau syaikh ketika hendak berzikir.

Selanjutnya beliau menyebutkan 6 (enam) langkah cara rabitah, yaitu:

  1. Menghadirkan rupa guru (mursyid) didepan mata dengan sempurna
  2. Membayangkan kiri-kanan dengan memusatkan perhatian ruhaniah, sampai terjadi sesuatu yang ghaib
  3. Menghayalkan rupa guru (mursyid) di tengah-tengah dahi
  4. Menghadirkan rupa guru (mursyid) ditengah hati
  5. Membayangkan rupa guru di kening kemudian menurunkan di tengah hati
  6. Meniadakan (menafikan) dirinya dan menetapkan(menisbatkan) keberadaan guru (mursyid)

Disamping itu para ahli tarekat menggunakan dasar hukum rabitah dengan Firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surat al-Imrân: 200, sebagai berikut;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿ال عمران: ٢٠٠﴾

Hai orang-orang beriman, bersabarlah, teguhlah, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung

Cara Pengangkatan dan Kualifikasi Mursyid

Menurut al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb Fi Mua’amalati ’Alamil Ghuyub halaman  524 menyebutkan sebagai berikut;

  1. Seseorang yang alim yang dapat memenuhi kebutuhan murid dalam masalah fiqih dan akidah, minimal dalam hal-hal yang dapat menghilangkan kesamaran dan keraguan yang dapat rnenyelamatkan murid dalam suluk dan tidak bertanya kepada orang selainnya
  2. Seseorang yang ma’rifat, sempurna hati dan adabnya, bersih dari penyakit hati dan mengetahui bagaimana memelihara kesehatan hati
  1. Mempunyai sifat kasih sayang kepada orang Islam terutama kepada murid. Apabila ia melihat para murid tidak dapat memenuhi hasrat hatinya atau meninggalkan apa yang dicondonginya, maka ia akan memberi maaf setelah memberi nasehat, dan ia tidak memutuskan tarekatnya. Tidak mencari sebab untuk mencelakakan murid dan senantiasa merasa kasih sayang sampai mereka mendapat petunjuk
  2. Menutup aib para muridnya
  1. Membersihkan harta murid dan tidak tamak terhadap harta mereka
  2. Mengamalkan apa-apa yang diperintahkan Allah Swt. dan meninggalkan apa-apa yang dilarang sehingga ucapannya menghunjam ke hati
  3. Tidak duduk bersama-sama dengan murid kecuali sekedar ada hajat. Mengingatkan mereka tentang tarekat dan syariat seperti muthala’ah kitab, (diskusi, dan lain-lain) supaya hati mereka bersih dari segala kotoran dan bisikan hati, supaya mereka dapat beribadah dengan benar.
  1. Ucapannya selalu bersih dari campuran hawa nafsu dan bergurau, dan hal-hal yang tidak bermanfaat
  2. Merasa murah terhadap diri sendiri, tidak mengharap diagungkan dan dihormati, tidak memberi beban kepada murid dengan beban yang memberatkan mereka. Tidak terlalu banyak bersenang-senang atau bersusah-susah, dan tidak membuat mereka merasa sempit
  3. Apabila ada seorang murid yang terlalu sering duduk dekat dengannya dan hal itu dapat mengurangi atau menghilangkan kewibawaan, maka perintahkan kepadanya agar duduk tidak dekat dan tidak jauh dan dirinya, tetapi sedang saja.
  1. Apabila ia menyadari bahwa kehormatannya jatuh pada salah seorang murid, maka segera ia memalingkannya dengan pelan-pelan. Sebab dalam keadaan seperti itu murid adalah musuh yang paling besar
  2. Tidak lupa mengingatkan murid pada hal-hal yang membuat hati dan perilakunya bersih dan baik.
  1. Apabila ada seorang yang mengaku bermimpi atau mukasyafah atau musyahadah sesuatu, maka janganlah ia berkata tentang hal itu, tetapi ia memberikan keterangan kepada mereka keadaan yang dapat memalingkan hal tersebut, dan mengangkatnya pada yang lebih tinggi dan lebih mulia
  2. Apabila ia mengomentari apa yang ada pada murid dan menjelaskan keagungan hal itu maka ia melakukan kesalahan. Sebab murid merasa dirinya lebih tinggi. Terkadang hal ini dapat menjatuhkan kehormatan dirinya.
  1. Wajib melarang para murid berbicara dengan selain kawan-kawannya kecuali dalam keadaan darurat. Dan melarang mereka berbicara dengan sesama kawannya tentang keramat. Apabila ia membiarkannya maka ia telah berbuat kesalahan kepada mereka, sebab ia akan dianggap sombong dan merasa agung sendiri
  2. Mempunyai tempat menyendiri (khalwat) yang tidak memunkirikan muridnya masuk kecuali kepercayaannya, dan mempunyai tempat khalwat khusus untuk berkumpul dengan para sahabatnya.
  3. Diupayakan murid tidak dapat melihat segala gerak-gerik yang bersifat pribadi dan tidak menceritakan rahasia kepada mereka. Jangan sampai mereka tahu tidurnya, makannya, minumnya atau lainnya. Sebab seorang murid jika melihat sesuatu hal di atas terkadang berkurang rasa hormatnya karena mereka tidak mengetahui perilaku orang-orang yang sempurna itu. Tapi juga harus menghardik murid jika ia mengetahui ada muridnya yang meneliti gerak-geriknya yang bersifat pribadi demi menjaga kemaslahatan bagi muridnya.
  1. Jangan membiarkan jika ada murid yang banyak makan. Sebab jika dibiarkan maka hal itu dapat merusak murid. Sebab kebanyakan manusia adalah budak dari perutnya
  2. Melarang mereka duduk bergaul dengan murid guru yang lain. Sebab bahaya dan bergaul itu cepat menular pada murid. Tetapi apabila ia melihat dia tetap setia kepadanya dan tidak dikhawatirkan hatinya goyah maka tidak apa-apa.
  1. Menjaga diri dari mendatangi pemimpin (pemerintahan) supaya tidak diikuti oleh muridnya. Sebab jika ia mendapat dosa maka ia juga mendapat dosa dari muridnya. Sesuai dengan hadis, “Barang siapa yang membuat sesuatu yang buruk maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkannya. “(HR. Muslim dan Tirmidzi). Sebab lumrahnya orang yang dekat dengan penguasa, ia akan sulit ingkar dan mencegah jika mereka melakukan hal yang dilarang syara’, seakan-akan mereka melakukan itu atas kemurahan dan ketetapannya.
  1. Berkata dengan mereka dengan perkataan yang lemah lembut. Hindari mencela atau membenci atau memusuhi mereka supaya mereka tidak lari darinya
  2. Apabila ia memanggil salah seorang murid atau menjawab panggilan harus tetap memelihara kehormatan diri.
  3. Apabila duduk disamping murid maka duduklah dengan tenang, jangan banyak menoleh kepada mereka. Tidak tidur di depan mereka. Tidak menjulurkan kaki di depan mereka. Tidak memejamkan mata. Tidak merendahkan suaranya dan tidak melakukan akhlak yang buruk, sebab mereka meyakini bahwa semuanya adalah baik dan mereka akan menirunya.
  4. Apabila ada seorang murid masuk kepadanya maka janganlah cemberut. Dan apabila ia mohon diri dari hadapannya maka do’akanlah dia tanpa diminta. Apabila masuk atau menemui salah seorang murid, maka tetaplah menjaga tingkah laku yang baik.
  5. Apabila ada seorang muridnya yang pulang atau pergi maka telitilah apa sebabnya. Apabila sakit maka tengoklah, Apabila karena hajat maka bantulah, Atau ia mempunyai uzhur maka doakanlah dia.

Sumber: Alif.ID

182. Muraqabah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Muraqabah

Muraqabah memiliki perbedaan dengan zikir terutama pada obyek pemusatan kesadaran (kosentrasinya). Zikir memikili obyek perhatian pada simbol, yang berupa kata atau kalimat, sedangkan muraqabah menjaga kesadaran atas makna, sifat, qudrat, dan iradat Allah Swt.

Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrah al-Fikriyah halaman: 11 mengemukakan 20 macam Muraqabah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu;

  1. Muraqabah Ahadiyah, muraqabah ini adalah mawas diri atas sifat Maha esa Allah Swt. Ajaran muraqabah ini ada dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam mawas diri diimajinasikan datangnya al-Fayd al-Rahmani (pancaran karunia Allah Swt.) berasal dari enam arah, yaitu: atas-bawah, muka-belakang, dan kanan-kiri. Sedangkan dalam Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddadiyah (NM), muraqabah hati kesadaran dipusatkan dalam lima lathaif secara bertahap, yaitu Lathifatul qalbi, Lathifatul ruhi, Lathifatul sirri, Lathifatul khafi, dan Lathifatul akhfa.
  1. Muraqabah Ma’iyyah, Jenis muraqabah ini ada dalam kedua tarekat induknya (Qadiriyah dan Naqsyabandiyah). Akan tetapi dalam hal teknis lebih dekat dengan ajaran muraqabah yang ada pada Tarekat Qadiriyah. Muraqabah Ma’iyah mawas diri akan makna kebersamaan Allah Swt. dengan dirinya
  2. Muraqabah Aqrabiyah, Arti dari muraqabah ini adalah memperhatikan dengan seksama dalam kontemplasi akan makna dan hal kedekatan Allah Swt. Namanya sama dengan yang ada dalarn Tarekat Naqsyabandiyah, sedangkan filosofinya lebih dekat dengan yang ada dalam Tarekat Qadiriyah.
  1. Muraqabah Wilayatul ‘Ulya, Muraqabah jenis ini hanya ada dalam ajaran Tarekat Naqsyabandiyah. Walaupun menggunakan nama yang berbeda (terkadang juga disebut dengan nama yang sama), tetapi cara dan sasarannya sama. Sedangkan dalam Tarekat Qadiriyah jenis muraqabah ini terlaksana dalam muraqabah yang ketujuh (sama sasaran dan dalilnya)
  2. Muraqabah Kamalatun Nubuwwah, Yaitu muraqabah atas qudrat Allah Swt. yang telah menjadikan sifat-sifat kesempurnaan kenabian.
  1. Muraqabah Kamalatul Risalat, adalah kontemplasi atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan kesempurnaan sifat kerasulan
  2. Muraqabah Kamalatul Ulul Azmi, adalah muraqabah atas diri Allah Swt. yang telah menjadikan para Rasul yang bertitel ulul azmi. Ketiga jenis muraqabah di atas tersebut hanya terdapat dalam ajaran Naqsyabandiyah Mujaddidiyah (NM).
  1. Muraqabatul Mahabbah fi al-Dairat al-Khullat, Yaitu muraqabah atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan hakikat Nabi Ibrahim sebagai khalilullah (kekasih Allah Swt.).
  2. Muraqabatul Mahabbah fi al-Dairat al-Sirfa, Yaitu muraqabah atas Allah Swt. yang telah menjadikan hakikat Nabi Musa a.s, yang sangat dikasihi, sehingga bertitel
  1. Muraqabah al-Dzatiyah al-Muntazibal bil Mahabbah, Yaitu muraqabah kepada Allah Swt, yang telah menjadikan hakikat Nabi Muhammad saw. yang telah menjadikan kekasihnya yang asal dan dicampur dengan sifat pengasih
  2. Muraqabah al-Mahbubiyah al-Sirfah, Yaitu muraqabah kepada Allah Swt. yang telah menjadikan hakikat Nabi Ahmad yang memiliki sifat pengasih yang mulus. Keempat jenis muraqabah ini (no. 8, 9, 10, dan 11) merupakan pendalaman dari muraqabah ulul azmi yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah al-Mujaddadiyah.
  1. Muraqabah al-Hubb al-Sirfi, Yaitu muraqabah kepada Allah Swt. yang telah mengasihi orang-orang mukmin (dengan tulus) yang cinta kepada Allah Swt, para malaikat, para Rasul, para nabi dan wali, cinta pada para ulama dan kepada sesama mukmin. Muraqabah ini di dalam Tarekat Naqsyabandiyah disebut dengan Muraqabah al-Mahabbah.
  2. Muraqabah la Ta’yin, Adalah Muraqabah akan hak Allah Swt. yang tidak dapat dinyatakan dzat-Nya, oleh semua makhluk tanpa kecuali. Muraqabah jenis ini tidak terdapat dalam kedua tarekat induknya. Akan tetapi tehnik dan sasaran dan muraqabah sudah tercakup di dalam muraqabah ahadiyah pada Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah.
  1. Muraqabah haqiqatul Ka’bah, Adalah muraqabah kepada Allah Swt, dzat yang telah menciptakan hakikat ka’bah sebagai kiblatnya orang yang bersujud kepada Allah Swt.
  2. Muraqabah haqiqatul Al-Qur’an, Muraqabah ini adalah mawas diri atas Allah Swt. yang telah menjadikan hakikat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang merupakan ibadah bagi pembacanya.
  1. Muraqabah haqiqatul Sirfah, adalah muraqabah atas Allah Swt. yang telah mewajibkan kepada para hambanya untuk melakukan shalat, yang terdiri dari beberapa ucapan dan perbuatan
  2. Muraqabah Dairat al-Ma’budiyah al-Sirfah, adalah muraqabah dengan berkontemplasi akan Allah Swt. yang memiliki hak untuk disembah oleh semua makhluk-Nya
  3. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Dairat al-Ma, Yaitu muraqabah atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan hakikat Nabi Ibrahim sebagai Khalîlullâh.
  1. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Dairat al-Saniyah, yaitu muraqabah atas Allah Swt. dzat yang telah menjadikan hakikat Nabi Musa a.s. yang sangat dikasihi, sehingga bertitel kalimullâh
  2. Muraqabah al-Mahabbah fi al-Dairat al-Qaus, Ketiga jenis muraqabah ini adalah jenis mawas diri atas kecintaan kepada Allah Swt. pada orang-orang yang beriman dan kecintaannya orang mukmin kepada Allah Swt. Ketiganya merupakan pendalaman dan perincian atas muraqabah al-Aqrabiyah dan al-Mahabbah yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah.

Adab dengan Sesama Teman

Prinsip-prinsip  ajaran etika (adab), antara sesama teman (ikhwan) ini diantaranya disebutkan oleh al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb Fi Mua’amalati ’Allamil Ghuyub halaman 535 dan Syaikh Abdul Qâdir al-Jailani dalam kitabnya yang berjudul al-Ghunyah LiThalib al-Thariq al-Haqsebagai berikut;

  1. Hendaknya kamu menyenangkan mereka dengan sesuatu yang menyenangkan dirimu, dan mengistimewakan dirimu sendiri
  2. Jika bertemu mereka, hendaknya bersegera mengucapkan salam, mengulurkan tangan (mengajak berjabat tangan), dan bermanis-manis kata dengan mereka.
  1. Menggauli mereka dengan akhlak yang baik, yaitu memperlakukan mereka sebagaimana kamu suka diperlakukan
  2. Merendahkan diri kepada mereka
  3. Usahakan agar mereka rela (suka), pandanglah bahwa mereka lebih baik dan dirimu. Bertolong menolonglah dengan mereka dalam kebaktian, takwa dan cinta kepada Allah Swt. Jika kamu lebih tua, bimbinglah mereka kepada kebajikan. Dan jika kamu lebih muda, maka mintalah bimbingan kepada mereka.
  1. Berlemah lembutlah dalam menasehati kawan, jika kamu melihat mereka menyimpang dari kebenaran
  2. Perbaikilah prasangkamu kepada mereka. Jika kamu melihat aib pada mereka katakan pada diri anda sendiri “Jangan-jangan ini juga ada pada saya”, karena seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lain.
  1. Jika ikhwan minta izin (keringanan), maka kabulkan. Walaupun kau tahu bahwa ia adalah pembohong
  2. Jika ada pertikaian antara sesama kawan, maka damaikanlah di antara keduanya. Dan jangan memihak salah satu di antara keduanya
  3. Jadikanlah kamu teman dalam semua keadaan. Jangan sampai melupakan berdoa untuk mereka, agar diampuni oleh Allah Swt.
  1. Hendaknya kalian memberi tempat duduk kepada kawan dalam majelis
  2. Hendaknya membatasi berpaling dari mereka, dan mendukung mereka secara moral, karena kehormatan adalah kewajiban
  3. Tunaikan janji, jika kamu berjanji, karena janji itu dihadapan Allah Swt. adalah hutang, dan menyalahi janji termasuk nifaq.

Adab kepada Diri Sendiri

Dalam menempuh jalan menuju Allah Swt. (suluk), seorang salik harus menjaga diri agar tetap beradab pada diri sendiri. Abdul Wahab al-Sya’rani menjelaskan panjang lebar tentang hal ini, demikian juga al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qulûb fi Mua’amalat ’Allâmil Ghuyûb halaman: 531 yang secara garis besar seorang murid harus;

  1. Memegangi prinsip tingkah laku yang lebih sempurna jangan sampai seseorang bertindak yang menjadikan dia orang tercela, dan mengecewakan
  2. Untuk maksud sebagaimana tersebut di poin 1, maka apabila mempunyai janji hendaklah segera dipenuhi, apabila dipercaya jangan sampai berkhianat, dan apabila bergaul dengan yang lebih tua, hendaklah senantiasa memberi penghormatan, terhadap yang lebih muda harus mengasihi. Jika terpaksa terjerumus atau terjebak pada perkataan dan, atau perbuatan yang tidak pantas maka segera menjauhinya.
  1. Hendaklah para murid bertingkah laku dan menerapkan adab (tata krama), senantiasa meyakinkan dirinya, bahwa Allah Swt. senantiasa mengetahui semua yang diperbuat hamba-Nya, baik lahir maupun batin
  2. Para murid hendaknya berusaha untuk bergaul dengan orang-orang yang baik akhlaknya dan menjauhi orang-orang yang kurang baik akhlaknya.
  1. Bagi para murid juga tidak diperbolehkan untuk berlebih-lebihan dalam hal makan, minum, berbusana, dan berhubungan seksual
  2. Hendaknya bagi para murid senantiasa berpaling dari cinta duniawi, kepada mendambakan ketinggian derajat akhirat.
  3. Jika murid terbuai oleh hawa nafsu misalnya berat melaksanakan ketaatan maka hendaklah senantiasa merayu dirinya sendiri, dan meyakinkan diri bahwa payahnya hidup di dunia ini sangat pendek waktunya.

Sumber: Alif.ID

183. Tanya Jawab Tasawuf dan Tarekat

Tanya: Bagaimana hukum masuk tarekat dan mengamalkannya?

Jawab: Jikalau yang dikehendaki masuk tarekat itu belajar membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah, dan menghiasi sifat-sifat yang dipuji maka hukumnya fardhu ‘ain. Hal ini seperti Hadis Rasulullah saw, yang artinya: “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan orang Islam perempuan”.

Akan tetapi kalau yang dikehendaki masuk tarekat mu’tabarah itu khusus untuk zikir dan wirid, maka termasuk sunnah Rasulullah saw.

Adapun mengamalkan zikir dan wirid setelah baiat, maka hukumnya wajib, untuk memenuhi janji. Tentang mentalqinkan (mengajarkan) zikir dan wirid kepada para murid, hukumnya sunnah. Karena sanad tarekat kepada Rasulullah saw, itu sanad yang sahih.

وَتَعَلَّمَنْ عِلْمًا يُصَحِّحُ طَاعَةً، البيت

Pelajarilah ilmu yang membuat sahnya ibadah, (al-Adzkiyâ’).

صَحَّتْ أَسَانِيْدُ الْأَوْلِيَاءِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ صَحَّ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلُّنِيْ عَلَى أَقْرَبِ طُرُقٍ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلِهَا عَلَى عِبَادِهِ وَأَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَعَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اللهُ . إهـ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَأَوْفُوْا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُوْلًا. (الإسراء: 34) إهـ (المعارف المحمدية، صحيفة: 81)

Sanad para wali kepada Rasulullah saw. itu benar (sahih), dan sahih pula Hadis bahwa Ali r.a. pernah bertanya kepada Nabi saw. Kata Ali, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan paling utama bagi Allah”.

Rasulullah saw. bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan Allah”. Dasar lainnya adalah firman Allah Swt. “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (al-Isrâ’: 34), (al-Ma`ârif al-Muhammadiyah, halaman: 81).

Murid Pindah Tarekat

Tanya: Apakah boleh seorang murid tarekat pindah dari satu tarekat kepada tarekat yang lain?

Jawab: Haram pindah dari satu tarekat kepada tarekat yang lain. Namun dapat dikatakan boleh pindah, apabila dia dapat menetapi kepada tarekat yang sudah dimasuki dan istiqamah (tekun) pada tuntunannya.

وَمَنْ ظَفَرَ بِشَيْخٍ بِالْوَصْفِ الْأَوَّلِ أَوِ الثَّانِيْ فَحَرُمَ عَلَيْهِ عِنْدَهُمْ أَنْ يَتْرُكَهُ وَيَنْتَقِلَ إِلَى غَيْرِهِ

Barangsiapa telah melaksanakan baiat kepada seorang mursyid, dan mampu melaksanakan isi baiatnya, dan telah mendapat pancaran rohani darinya dengan sifat yang pertama dan kedua, maka haram baginya – menurut mereka (para ulama) – meninggalkan mursyid tersebut dan beralih ke mursyid yang lain, (al-Fatâwa Hadisiyah, halaman: 50)

اِعْلَمْ أَنَّ الطَّرَائِقَ الْمَأْثُوْرَةَ الْمَشْهُوْرَةَ الْمُعَنْعَنَةَ الْوَاصِلَةَ مِنَ السَّلَفِ إِلَى الْخَلَفِ كَالْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ، يَجُوْزُ الْاِنْتِقَالُ مِنْ مَذْهَبٍ إِلَى آخَرَ بِشَرْطِ الْوَفَاءِ فِيْمَا دَخَلَ فِيْهِ وَالْاِسْتِقَامَةِ بِآدَابِهِ

Ketahuilah bahwa tarekat-tarekat yang ma’tsur, yang masyhur, yang sanadnya bersambung dari para guru tarekat terdahulu sampai belakangan adalah seperti empat madzhab dalam hal perpindahan dari satu madzhab ke madzhab yang lain. Boleh, namun dengan syarat bidang yang dimasuki oleh orang yang berpindah madzhab itu harus utuh dengan senantiasa menetapi tata kramanya (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 114)

Sumber: Alif.ID

184. Masuk Tarekat Secara Bersama

Tanya: Apakah boleh seorang masuk tarekat Naqsyabandiyah dan lainnya secara bersama? Apakah demikian itu tidak seperti sebutir telur dierami dua induk ayam, sehingga akhirnya menjadi rusak?

Jikalau yang dikehendaki dalam soal itu merangkai dua tarekat atau lebih banyak, maka boleh dan tidak mengapa.

وَأَجَازَهُ (أَيِ الشَّيْخُ الدَّهْلَوِيُّ إِيَّاهُ) بِالْإِرْشَادِ، وَخَلَّفَهُ (أَيْ جَعَلَهُ خَلِيْفَةً) الْخِلَافَةَ التَّامَّةَ فِى الطَّرِيْقَةِ الْخَمْسَةِ النَّقْشَبَنْدِيَّةِ وَالْقَادِرِيَّةِ وَالسُّهْرَاوَرْدِيَّةِ وَالْكُبْرَاوِيَّةِ وَالْجِسْتِيَّةِ

Syaikh Dahlawi menunjuknya sebagai mursyid dan khalifah dengan kekhalifahan yang sempurna dalam lima tarekat, yaitu Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah, dan Jistiyah, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 82)

Tanya: Apakah boleh orang yang tidak mempunyai sanad yang sambung kepada Rasulullah mengajarkan tarekat kepada murid? Apakah boleh memberi ijazah kepadanya?

Tidak boleh, kalau tarekat itu tarekat mu’tabarah seperti tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Khalidiyah dan sesamanya, yaitu tarekat yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah.

فَمَنْ لَمْ تَتَّصِلْ سِلْسِلَتُهُ إِلَى الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ الْفَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةُ وَالْإِجَازَةُ

Orang yang silsilah/sanadnya tidak bersambung ke hadirat Nabi saw itu terputus dari pancaran rohani dan ia bukanlah pewaris Rasulullah saw. serta tidak boleh membaiat dan memberi ijazah, (Khazînah al-Asrâr, halaman: 188)

وَقَدْ أَجْمَعَ السَّلَفُ كُلُّهُمْ عَلَى أَنَّ مَنْ لَمْ يَصِحَّ لَهُ نَسَبُ الْقَوْمِ وَلَا إِذْنَ فِى أَنْ يَجْلِسَ لِلنَّاسِ لَا يَجُوْزُ لَهُ الصَّدْرُ إِلَى إِرْشَادِ النَّاسِ وَلَا أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهِمْ عَهْدًا وَلَا أَنْ يُلَقِّنَهُمْ ذِكْرًا وَلَا شَيْئًا مِنَ الطَّرِيْقِ …إلخ

Semua ulama salaf sepakat bahwa orang yang silsilahnya tidak bersambung kepada guru-guru tarekat dan tidak mendapat izin untuk memimpin umat di majlis tarekat, tidak boleh menjadi mursyid, tidak boleh membaiat, tidak boleh mengajarkan zikir dan amalan-amalan lain dalam tarekat, (Ushûl al-Tharîq, halaman: 89).

وَلَا يَجُوْزُ التَّصَدُّرُ لِلْمَشِيْخَةِ وَالْإِرْشَادِ إِلَّا بَعْدَ التَّرْبِيَةِ وَالْإِذْنِ كَمَا قَالَتْ الْأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ إِذْ لَا يَخْفَى أَنَّ مَنْ تَصَدَّرَ لِلْمَشِيْخَةِ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَمَا يَضُرُّهُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُهُ وَعَلَيْهِ إِثْمُ قَاطِعِ الطَّرِيْقِ فَهُوَ بِمَعْزِلٍ عَنْ رُتْبَةِ الْمُرِيْدِيْنَ الصَّادِقِيْنَ فَضْلًا عَنِ الْمَشَايِخِ الْعَارِفِيْنَ

Tidak boleh menjadi guru tarekat dan mursyid kecuali setelah mendapat penempaan dan izin, sebagaimana kata para imam, karena sudah jelas bahwa orang yang menjadi guru tarekat tanpa mendapat izin itu bahayanya lebih besar daripada kemaslahatannya, dan ia memikul dosa sebagai pembegal/penjambret tarekat, serta jauh dari derajat murid yang benar, apalagi dari derajat guru tarekat yang arif, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 534).

Tanya: Apakah boleh diamalkan dan diikuti ucapan sebagian wali yang menyalahi hukum syara’?

Tidak boleh diamalkan dan tidak boleh dijadikan pedoman hukum.

وَالْخَطَأُ الْكَشْفِيُّ عِنْدَ الْأَوْلِيَاءِ بِمَنْزِلَةِ الْخَطَأِ الْاِجْتِهَادِيِّ إِلَّا أَنَّهُ لَا يُعْمَلُ بِهِ وَلَوْ صَحَّ لَا يُبْنَى عَلَيْهِ حُكْمٌ عِنْدَهُمْ مَا لَمْ يُسَاعِدْهُ الظَّاهِرُ فَاحْفَظْ هَذَا فَإِنَّهُ نَفِيْسٌ. إهـ

Ucapan para wali yang keliru menurut syariat yang diucapkan dalam keadaan kasyaf, kedudukannya seperti kekeliruan dalam ijtihad, hanya saja ucapan tersebut tidak boleh diamalkan. Seandainya benar, tidak boleh dijadikan dasar hukum selama tidak dikuatkan oleh dalil syara’. Demikian menurut para ulama. Ingat baik-baik, karena ini sangat penting, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 245).

Tanya: Bagaimana pendapat muktamirin tentang orang yang mengaku wushul kepada Allah, dan manunggal kepada Allah, serta melihat kepada Allah dengan mata kepalanya, sedangkan dia tidak mengamalkan perintah-perintah Allah dan tidak menjauhi larangan-Nya. Apakah dapat diterima pengakuannya, dan diambil ijazahnya?

Tidak boleh diterima pengakuannya dan tidak boleh diambil ijazahnya, karena orang tersebut adalah orang yang sesat menyesatkan, boleh dikatakan bahwa dia adalah orang fasik, bahkan dapat dikatakan bahwa dia adalah orang murtad.

فَمَنْ اِدَّعَى رُؤْيَةَ اللهِ يَقْظَةً بِعَيْنَىْ رَأْسِهِ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ وَقِيْلَ فَاسِقٌ وَقِيْلَ مُرْتَدٌّ. إهـ

Barangsiapa mengaku melihat Allah dalam keadaan jaga dengan kedua mata kepalanya, maka ia sesat dan menyesatkan. Menurut sebagai pendapat fasik, dan menurut sebagian lain murtad, (al-Farîdah al-Bahiyyah, halaman: 57).

Sumber: Alif.ID

185. Tidak Boleh, Memberi Baiat Kepada Anak Kecil

Tanya: Menurut keputusan kongres Jam`iyah Tarekat Mu’tabarah di Tegal Rejo, bahwa orang baiat tarekat “mu’tabarah” diwajibkan menjalaninya. Lalu bagaimana hukumnya orang yang memberi baiat kepada anak kecil? Bolehkah atau tidak? Jikalau wajib menjalani, tiba-tiba anak kecil tidak mau menjalani itu, siapa yang berdosa? Kalau anak kecil yang berdosa, padahal anak kecil itu belum “mukallaf”?

Memberi baiat kepada anaknya kecil, hukumnya tidak boleh.

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ حَدَّثَنَا سَعِيْدٌ هُوَ اْبنُ أَبِيْ أَيُّوْبٍ قَالَ حَدَّثَنِيْ أَبُوْ عُقَيْلٍ زَهْرَةٌ ابْنُ مَعْبَدٍ عَنْ جَدِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ هِشَامٍ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَتْ بِهِ أُمُّهُ زَيْنَبَ ابْنَةُ حُمَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ بَايِعْهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ صَغِيْرٌ. فَمَسَحَ رَأْسَهُ وَدَعَا لَهُ. وَكَانَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ عَنْ جَمِيْعِ أَهْلِهِ. إهـ

Kami (al-Bukhari) diberitahu oleh Ali bin Abdullah bin Zaid (Kata Ali): Kami diberitahu oleh Sa’id bin Abu Ayyub. Kata Sa’id: Saya diberitahu oleh Abu ‘Uqail, Zahrah bin Ma’bad, dari kakek Abdullah bin Hisyam yang pernah bertemu dengan Nabi SAW. dan diajak oleh ibunya, Zainab binti Humaid, menemui Rasulullah saw, kemudian ibunya berkata: Wahai Rasulullah, baiatlah anak ini! Beliau menjawab: Dia masih kecil. Kemudian beliau mengusap kepala anak itu, dan mendoakannya. Beliau pernah berkurban seekor kambing atas nama seluruh keluarganya, (al-Jâmi’ al-Shahîh al-Bukhâri, juz 4, halaman: 246).

Tanya: Bolehkah mengunjungi para wali baik yang masih hidup maupun yang telah wafat (ziarah kubur para wali) untuk mengharapkan keberkahan dari mereka?

Boleh, agar kita mendapatkan berkah dan pancaran rohani, doa yang dikabulkan dan turunnya Rahmat.

اِعْلَمْ يَنْبَغِيْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبِ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ أَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكَاتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ وَنُزُوْلَ الرَّحْمَاتِ فِىْ حَضْرَاتِ الْأَوْلِيَاءِ فِىْ مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِىْ زِيَارَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ. إهـ (جلاء الظلام فى عقيدة العوام)­

Ketahuilah bahwa seyogyanya setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan itu mencari berkah dan pancaran rohani, terkabulnya doa dan turunnya rahmat di hadirat para wali di majelis-majelis mereka, baik mereka itu masih hidup, maupun sudah wafat, di makam-makam mereka, pada saat mereka disebut-sebut, ketika banyak orang berkumpul dalam Rangka berziarah kepada mereka, dan ketika keutamaan serta manaqib mereka dibacakan dan dihayati, (Jalâ’ al-Zhalâm fî ‘Aqîdah al-‘Awâm).

Tanya: Bagaimana hukum rabithah dengan mengenangkan rupa guru mursyid?

Asal hukum rabithah adalah boleh, yang sama antara dua belah ujungnya, yakni tidak diberi pahala ketika dikerjakan, dan tidak disiksa ketika ditinggalkan. Tetapi rabithah itu kadang-kadang menjadi wajib atau disunnahkan karena datangnya sesuatu dari luar. Hal ini seperti menganggap bahwa sesuatu itulah yang bisa menjadikan wushul kepada Allah.

فَالرَّابِطَةُ بِاعْتِبَارِ الْأَصْلِ فِعْلُهَا جَائِزٌ وَبِاعْتِبَارِ مَا تَوَصَّلَ إِلَيْهِ فَمَنْدُوْبٌ

Rabithah menurut hukum asal adalah jaiz (boleh), sedangkan jika dianggap sebagai penyebab wushul kepada Allah, maka disunnahkan, (Tabshirah al-Fâshilîn ‘an Ushûl al-Wâshilîn).

Tanya: Bagaimana cara rabithah kepada Syaikh Mursyid yang disebut dalam tatasila kesembilan dalam kitab Tanwîr al-Qulûbtentang cara berzikir?

Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniah dalam gambar itu pada permulaan zikir, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.

اِعْلَمْ أَنَّ اسْتِحْضَارَ الرَّابِطَةِ عَلَى أَقْسَامٍ (الْأَوَّلُ) أَنْ يَتَصَوَّرَ صُوْرَةَ شَيْخِهِ الْكَامِلِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ثُمَّ يَتَوَجَّهُ إِلَى رُوْحَانِيَّةِ فِى تِلْكَ الصُّوْرَةِ وَلَا يَزُوْلُ عَنِ التَّوَجُّهِ إِلَيْهَا حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ الْغَيْبَةُ أَوْ آثَارُ الْجَذْبَةِ

Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacam-macam. Pertama, murid menggambarkan/membayangkan rupa gurunya yang sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada rohaniah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuh seperti itu sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 40).

Tanya: Bagaimana cara rabithah kepada Syaikh Mursyid yang disebut dalam tatasila kesembilan dalam kitab Tanwîr al-Qulûb tentang cara berzikir?

Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniah dalam gambar itu pada permulaan zikir, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.

اِعْلَمْ أَنَّ اسْتِحْضَارَ الرَّابِطَةِ عَلَى أَقْسَامٍ (الْأَوَّلُ) أَنْ يَتَصَوَّرَ صُوْرَةَ شَيْخِهِ الْكَامِلِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ثُمَّ يَتَوَجَّهُ إِلَى رُوْحَانِيَّةِ فِى تِلْكَ الصُّوْرَةِ وَلَا يَزُوْلُ عَنِ التَّوَجُّهِ إِلَيْهَا حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ الْغَيْبَةُ أَوْ آثَارُ الْجَذْبَةِB

Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacam-macam. Pertama, murid menggambarkan/membayangkan rupa gurunya yang sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada ruhaniyah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuh seperti itu sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 40).

Tanya: Apakah boleh seorang mursyid menjadikan orang yang saleh yang sedang jadzab menjadi khalifah dari padanya, sedangkan amal-amal yang lahir dari orang tersebut menyalahi syariat Islam?

Tidak boleh, karena ucapan orang jadzab tidak dapat dijadikan pedoman.

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِى الْجُمْلَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ، سَالِكُوْنَ فَقَطْ مَجْذُوْبُوْنَ فَقَطْ وَسَالِكُوْنَ ثُمَّ مَجْذُوْبُوْنَ. وَمَجْذُوْبُوْنَ ثُمَّ سَالِكُوْنَ. فَالْأَوَّلَانِ لَا يَصْلُحَانِ لِلتَّرْبِيَةِ وَالْإِرْشَادِ. أَمَّا السَّالِكُ فَلِأَنَّهُ ظَاهِرِيٌّ مَحْضٌ فَلَا نُوْرَ لَهُ فِى بَاطِنِهِ يَجْذُبُ بِهِ. وَأَمَّا الْمَجْذُوْبُ فَقَطْ، فَلَا سُلُوْكَ عِنْدَهُ يَسِيْرُ بِهِ وَالْآخِرَانِ يَصْلُحَانِ لِلتَّرْبِيَةِ مَعَ أَفْضَلِيَّةِ الْأَوَّلِ.

Ketahuilah bahwa orang-orang yang menuju Allah itu empat macam: (1) Salik saja/melaksanakan amalan di dalam tarekat secara zhahir saja. (2) Majdzub/jadzab saja. (3) Salik kemudian majdzub/jadzab. (4) Majdzub kemudian salik. Dua yang pertama tidak patut menjadi murabbi, dan mursyid, karena yang salik saja tidak ada cahaya kejadzaban dalam batinnya, sedangkan orang yang majdzûb saja tidak melaksanakan sulûk/amalan di dalam tarekat secara zhahir. Dua yang akhir (3 & 4), patut menjadi murabbi dan mursyid, namun yang lebih utama adalah no 3, (Îqâzh al-Humam fî Syarh al-Hikam).

Sumber: Alif.ID

186. Menggerakkan atau Menundukkan Kepala Ketika Berzikir

Tanya: Bagaimana hukum menggerak-gerakkan atau menundukkan kepala ketika berzikir?

Jika dengan menggerak-gerakkan atau menundukkan kepala itu bisa menjadikan diri orang yang berzikir lebih khusyuk, maka hal ini lebih baik baginya. Namun, jika dengan diam dia lebih khusyuk, tanpa menundukkan kepala atau menggerakkannya, maka zikir dengan keadaan diam itu lebih baik baginya.

Dan jika kedua keadaan tersebut, yaitu diam dan menggerakkan atau menundukkan kepala, dirasa sama-sama khusyuknya, maka bagi dia boleh memilih diam atau dengan gerakan. (Fatawi al-Khalili ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, 36).

(سُئِلَ) فِيْمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْمَيْلِ وَالتَّحْرِيْكِ فِيْ حَالِ الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ وَشِبْهِهِمَا كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ مِنْ جَمِيْعِ النَّاسِ هَلْ لِذَلِكَ أَصْلٌ فِى السُّنَّةِ أَوْلاَ. وَهَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ مَكْرُوْهٌ أَوْ مَنْدُوْبٌ وَهَلْ يُثَابُ عَلَيْهِ، وَهَلْ ثَبَتَ أَنَّهُ مَنْ تَشَبَّهَ بِالْيَهُوْدِ أَوْ لاَ؟ (أَجَابَ) إِذَا تَأَمَّلْتَ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ (آل عمران: 191) وَقَوْلَهُ تَعَالَى: وَالذَّاكِرِيْنَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ (الأحزاب: 35) …. عُمِلَتْ أَنَّ الْحَرَكَةَ فِى الذِّكْرِ وَالْقِرَاءَةِ لَيْسَتْ مُحْرَمَةً وَلاَمَكْرُوْهَةً بَلْ هِيَ مَطْلُوْبَةٌ فِيْ جُمْلَةِ أَحْوَالِ الذَّاكِرِيْنَ مِنْ قِيَامٍ وَقُعُوْدٍ وَجُنُوْبٍ وَحَرَكَةٍ وَسُكُوْنٍ وَسَفَرٍ وَحَضَرٍ وَغِنًى وَفَقْرٍ فَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا، يَقُوْلُ لاَ يَفْرُضُ اللهُ تَعَالَى لَمْ يَجْعَلْ لَهُ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ وَلَمْ يَعْذَرْ أَحَدٌ فِيْ تَرْكِهِ إِلاَّ مَغْلُوْبًا عَلَى عَقْلِهِ. فَقَالَ اذْكُرْ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فَي الْبَحْرِ وَالْبَرِّ فِى السَّفَرِ وَالْحَضَرِ فِى الْغِنَى وَالْفَقْرِ وَالصِّحَّةِ وَالسَّقَمِ وَالسِّرِّ وَالْعَلاَنِيَّةِ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ إِلَى أَنْ قَالَ: فَرُبَّ ذَاكِرٍ سَاكِنٍ غَافِلٍ فَإِذَا تَحَرَّكَ تَيَقَّظَ فَالْحَرَكَةُ أَوْلَى لَهُ، وَرُبَّ ذَاكِرٍ وَرُبَّ ذِكْرٍ مُتَحَرِّكٍ، الْحَرَكَةُ تَذْهَبُ خُشُوْعُهُ فَالسُّكُوْنُ أَوْلَى، وَرُبَّ ذَاكِرٍ أَوْ قَارِئٍ يَسْتَوِيْ عِنْدَهُ الْحَالاَنِ فَيَفْعَلُ مَا شَاءَ اللهُ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، وَلِكُلِّ وَجْهِةٍ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ. وَاللهُ أَعْلَمُ. (فتاوي الخليلي على مذهب الإمام الشافعي، ص 36)

Imam Kholili ditanya tentang apa yang dilakukan orang-orang seperti menundukkan dan menggerak-gerakkan (kepala) ketika membaca, zikir dan lain sebagainya, sebagaimana hal ini terlihat pada kebanyakan orang. Apakah hal ini ada dasarnya dalam sunnah atau tidak? Apakah haram, makruh, sunnah atau ada pahalanya? Apakah hal ini sama dengan orang yang menyerupai dengan Yahudi atau tidak?

(Imam Kholili menjawab) ketika engkau memahami firman Allah: “mereka adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (Qs. Ali Imran: 191). Dan firman Allah “laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah” (Qs. al-Ahzab:35).

Dilakukannya gerakan dalam zikir dan bacaan, bukanlah sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan, akan tetapi gerakan tersebut dianjurkan dalam beberapa keadaan orang-orang yang berzikir seperti berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, bepergian, berada di rumah, kaya dan miskin.

Ibnu Mundir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas dalam sabda Rasul: berzikirlah kalian dengan zikir (dalam segala keadaan), Rasul bersabda; Allah tidak mewajibkan, tidak pula menjadikan batasan baginya, dan tidak menerima alasan bagi seorang yang meninggalkannya kecuali akalnya telah dihilangkan.

Imam Kholili berkata berzikirklah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, malam dan siang, di lautan dan daratan, dalam bepergian maupun di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, sehat atau sakit, dalam keadaan sirri atau terang-terangan, dan dalam segala keadaan.

Selanjutnya dia berkata: betapa banyak orang yang berzirkir dengan diam yang lupa, namun ketika dia bergerak dia teringat (zikirnya), dengan demikian bergerak lebih utama baginya. Betapa banyak orang-orang yang berzikir dan betapa banyak zikir yang digerak-gerakkan sehingga gerakan itu menghilangkan kekhusyukannya, dengan demikian diam itu lebih baik (baginya).

Betapa banyak orang yang berzikir atau yang membaca, yang kedua keadaan tersebut (bergerak atau diam) menjadi sama baginya, maka dia melakukan apa yang dikehendaki Allah, dan Allah menunjukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya pada jalan yang lurus, dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Wallahu a’lam, (Fatawi al-Khalili ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, halaman: 36).

Hukum Mengamalkan Dua Tarekat

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tarekat itu bermacam-macam. Dengan beragamnya tarekat, hal tersebut memungkinkan bagi seseorang untuk bertarekat lebih dari satu.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah, “Bolehkah bagi seorang salik mengikuti tarekat lebih dari satu? Misalnya Tarekat Naqsyabandiyah dengan Tarekat Syadziliyah, atau Sathariyah, dan lain sebagainya?”

Hukum seseorang yang mengamalkan dua tarekat atau lebih adalah boleh, dengan tujuan bahwa dia mengikuti tarekat-tarekat tersebut untuk melaksanakannya secara bersamaan.

وَأَجَازَهُ (أَيِ الشَّيْخُ الدَّهْلَوِيُّ) بِاْلإِرْشَادِ، وَخَلَفَهُ (أَيْ جَعَلَهُ خَلِيْفَةً) الْخِلاَفَةَ التَّامَّةَ فِى الطَّرِيْقَةِ الْخَمْسَةِ النَّقْشَبَنْدِيَّةِ، وَالْقَادِرِيَّةِ، وَالسُّهْرَاوَرْدِيَّةِ، وَالْكُبْرَاوِيَّةِ، وَالْخَسْقِيَّةِ. (البهجة السنية، ص 82)

Syaikh al-Dahlawi memperbolehkan dengan syarat adanya petunjuk guru, dan menjadikan pimpinan yang sempurna dalam lima tarekat: Naqsabandiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah, Khashqiyah, (al-Bahjah as-Saniyah, halaman: 82).

Tanya: Bolehkah bagi seorang salik yang telah mengikuti satu tarekat, lalu berpindah ke tarekat lain?

Hukum berpindah dari satu tarekat ke tarekat lain adalah tidak boleh. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab al-Fatâwa Hadisiyah, hlm. 50:

وَمَنْ ظَفَرَ بِشَيْخٍ بِالْوَصْفِ اْلأَوَّلِ أَوِ الثَّانِي فَحَرَامٌ عَلَيْهِ عِنْدَهُمْ أَنْ يَتْرُكَهُ وَيَنْتَقِلُ إِلَى غَيْرِهِ . (الفتاوي الحديثية، ص 50)

Barangsiapa telah menemukan seorang guru seperti kriteria yang pertama atau yang kedua, maka tidak diperbolehkan baginya untuk meninggalkan-nya dan pindah kepada guru yang lain, (al-Fatâwa Hadisiyah, halaman: 50).

Hukum Mursyid Melarang Muridnya untuk Berbaiat ke Mursyid Lain

Diantara wewenang mursyid terhadap seorang murid (salik) adalah memberikan petunjuk dan pengarahan kepada muridnya terkait apa yang menjadi kebaikannya di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat. Termasuk kewenangan seorang mursyid adalah melarang muridnya untuk berbaiat tarekat kepada mursyid lain, apabila dengan berbaiat tarekat kepada mursyid lain sang murid tidak bisa sampai kepada Allah, atau masa depannya suram dan lain sebagainya.

الثَّانِى عَشَرَ أَنْ لاَ يَغْفُلَ عَنْ إِرْشَادِ الْمُرِيْدِيْنَ إِلَى مَا فِيْهِ صَلاَحُ حَالِهِمْ (تنوير القلوب، ص 526)

Yang keduabelas, seorang mursyid harus menunjukkan kepada muridnya terhadap hal-hal yang menjadikan kebaikan keadaan muridnya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 526).

Hukum Mengajarkan Tarekat bagi Orang yang Sanadnya tidak Bersambung sampai Rasulullah saw.

Di antara syarat syarat seorang mursyid adalah sanad tarekatnya bersambung sampai Rasulullah saw, dan diberi izin oleh gurunya untuk mengajarkan (mentalqin) tarekat. Karena jika seorang mursyid mengajarkan tarekat, sementara sanadnya terputus, dikhawatirkan murid tidak akan bisa wushul (sampai kepada Allah).

Dengan demikian, jika seorang mursyid terputus sanadnya, maka tidak diperkenankan baginya untuk mentalqin, dan atau diminta mentalqin para murid.

فَمَنْ لَمْ يَتَّصِلْ سِلْسِلَتُهُ إِلَى حَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ الْغَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  وَلاَ تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةُ وَاْلإِجَازَةُ. (خزينة الأسرار، ص 188)

Barangsiapa yang silsilahnya tidak bersambung kepada Rasulullah, maka seseorang itu adalah orang yang terputus sanadnya dan dia tidak dikategorikan penerus Rasulullah, maka dia tidak boleh membaiat dan mengijazahkannya, (Khazînah al-Asrâr, halaman: 188).

Hukum Suluk tanpa Guru

قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: فَإِنَّ قُلْتَ: هَلْ يَصِحُّ دُخُوْلُ الْخُلْوَةِ وَالسُّلُوْكُ عَلَى هَذَا الْأُسْلُوْبِ بِغَيْرِ الشَّيْخِ؟ قُلْنَا: نَعَمْ، وَلَكِنْ يَتَعَذَّرُ النَّجَاحُ لِقُوَّةِ الْعَوَارِضِ وَكَثْرَتِهَا, فَلِذَلِكَ قِيْلَ: إِنَّ الشَّيْخَ وَاجِبٌ فِي هَذِهِ الْمُجَاهَدَةِ دُوْنَ مُجَاهَدَةِ التَّقْوَى وَالْاِسْتِقَامَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 273).

Apakah sah, berkhalwat atau melakukan suluk dengan tanpa guru ? ya, akan tetapi prosentase keberhasilannya sangat minim karena kuat dan banyaknya hal-hal yang baru. Singkat kata, keberadaan seorang guru (syaikh) dalam bermujahadah adalah wajib adanya, bukan hanya mujahadah taqwa dan istiqomah, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 273).

Sumber: Alif.ID

187. Hukum Perempuan Menjadi Mursyid dalam Tarekat

Dalam dunia tarekat, yang menjadi mursyid atau khalifah semuanya adalah dari kalangan pria. Hal ini disebabkan karena syarat seorang mursyid adalah laki-laki. Oleh karena itu, jika ada seorang perempuan menjadi mursyid atau khalifah, maka hal ini tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh ulama ahli kasyaf bahwa syarat mursyid atau khalifah adalah seorang laki-laki.

وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْكَشْفِ عَلَى اشْتِرَاطِ الذُّكُوْرَةِ فِيْ كُلِّ دَاعٍ إِلَى اللهِ وَلَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّ أَحَدًا مِنْ نِسَاءِ السَّلَفِ الصَّالِحِ تَصَدَّرَتْ لِتَرْبِيَّةِ الْمُرِيْدِيْنَ أَبَدًا لِنَقْصِ النِّسَاءِ فِى الدَّرَجَةِ وَإِنْ وَرَدَ الْكَمَالُ فِيْ بَعْضِهِنَّ كَمَرْيَمَ ابْنَةِ عِمْرَانَ وَآسِيَةَ امْرَأِةِ فِرْعَوْنَ فَذَلِكَ كَمَالٌ بِالنِّسْبَةِ لِلتَّقْوَى وَالدِّيْنِ لاَ بِالنِّسْبَةِ لِلْحُكْمِ بَيْنَ النَّاسِ وَتَسْلِيْكِهِمْ فِيْ مَقَامَاتِ الْوِلاَيَةِ وَغَايَةُ أَمْرِ الْمَرْأَةِ أَنْ تَكُوْنَ عَابِدَةً زَاهِدَةً كَرَابِعَةِ الْعَدَوِيَّةِ وَبِالْجُمْلَةِ فَلاَ يُعْلَمُ بَعْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مُجْتَهِدَةٌ مِنْ جَمِيْعِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ كَامِلَةٌ تُلْحَقُ بِالرِّجَالِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. (الميزان الكبرى، ج 2، ص 189)

Menurut kesepakatan ahli kasyaf (orang-orang yang terbuka hatinya), syarat menjadi khalifah harus seorang laki-laki, dan belum pernah sama sekali ditemukan dari perempuan salaf dan salih yang mendidik murid-muridnya selamanya. Hal ini karena kurangnya seorang perempuan dalam segi derajat, walaupun ditemukan kesempurnaan terhadap perempuan seperti Maryam anaknya Imron dan Asiyah istri Fir’aun.

Kesempurnaan itu dinisbatkan terhadap takwa dan agama, bukan dinisbatkan dalam memberikan hukum di antara manusia dan menguasai tempat-tempat kekuasaan. Puncak dari seorang perempuan adalah ahli ibadah dan zuhud, seperti Rabiah al Adawiyah.

Secara umumnya tidak ada perempuan yang ahli ijtihad dari semua ummahatul mu’minin dan tidak ada kesempurnaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki, (al-Mizan al-Kubra, juz 2, halaman: 189).

Hukum Baiat Zikir Melalui Mimpi

Diantara syarat wajib untuk talqin atau baiat tarekat bagi seorang salik adalah talqin yang dilakukan oleh seorang mursyid tarekat mu’tabarah yang sanad atau silsilahnya bersambung kepada Rasulullah saw, serta mursyid tersebut diberi izin untuk mengajarkan tarekat tersebut kepada para murid.

Dengan demikian, jika ada seorang yang menyatakan telah dibaiat atau ditalqin sebuah zikir tarekat dalam mimpi, maka hal ini tidak sesuai dengan syarat talqin tersebut. Sebagaimana hal ini dikuatkan oleh para ulama yang telah menetapkan bahwa syarat wajib talqin yaitu murid harus ditalqin sendiri oleh seorang mursyid tarekat mu’tabarah yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah dan memiliki wewenang untuk mentalqin murid tarekat.

(وَأَّمَّا التَّلْقِيْنُ وَسَنَدُهُ) فَلَمَّا كَانَتْ الصُّحْبَةُ مِنْ لَوَازِمِهِ وَشُرُوْطِهِ وَكَانَ اْلاِنْتِسَابُ إِلَى شَيْخٍ إِنَّمَا يَحْصُلُ بِالتَّلْقِيْنِ وَالتَّعْلِيْمِ مِنْ شَيْخٍ مَأْذُوْنٍ إِجَازَتُهُ صَحِيْحَةٌ مُسْتَنِدَّةٌ إِلَى شَيْخٍ صَاحِبِ طَرِيْقٍ وَهُوَ إِلَى النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَكَانَ الذِّكْرُ لاَيُفِيْدُ فَائِدَةً تَامَّةً إِلاَّ بِالتَّلْقِيْنِ وَاْلإِذْنِ  بَلْ الأَكْثَرُ شَرْطًا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 31)

Ketika kebersamaan itu merupakan suatu keharusan dan syarat dan intisab kepada seorang guru, yang hanya bias dicapai dengan cara talqin dan pembelajaran dari guru yang diberi izin memberikan ijazah yang diperbolehkan mensanadkan kepada guru yang memiliki tarekat yaitu Nabi, maka zikir itu tidak memberikan manfaat yang sempurna kecuali dengan cara mentalqin dan izin, bahkan ini dijadikan syarat pada umumnya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 31).

Tanya: Lantas, jika perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi mursyid atau khalifah. Bagaimanakah hukum mewakilkan baiat tarekat kepada seorang perempuan?

Tentang hal ini, sama dengan apa yang menjadi syarat seorang mursyid atau khalifah, yaitu tidak boleh seorang mewakili seorang murid untuk berbaiat tarekat.

وَشُرِطَ فِى الْوَكِيْلِ صِحَّةُ مُبَاشَرَتِهِ مَا وُكِّلَ فِيْهِ كَالْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيْهِ لِنَفْسِهِ فَلِغَيْرِهِ أَوْلَى. (إعانة الطالبين، ج 3، ص 100)

Syarat wakil adalah kebolehannya melakukan sesuatu sebagaimana diperbolehkannya terhadap sesuatu yang diwakili seperti orang yang mewakilkan karena apabila wakil itu tidak mampu melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri maka untuk orang lain lebih tidak boleh, (I’anah at-Thalibin, juz 3, halaman: 100).

Tanya: Bagaimanakah pandangan para ulama tentang seseorang yang berhakikat tapi tidak bersyariat?

Dalam kitab Kifâyah al-Atqiyâ’, hlm. 12 disebutkan bahwa seorang mukmin yang tinggi maqamnya, hingga mencapai derajat kewalian sekalipun, dia masih memiliki kewajiban untuk menjalankan syariat yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Bahkan, jika seseorang mengaku telah mencapai derajat kewalian dan telah memahami hakikat, dia beranggapan bahwa taklif syariat telah gugur dari dirinya, maka orang tersebut adalah telah menyimpang dari ajaran agama.

Nabi sekalipun yang memiliki derajat yang lebih mulia dibandingkan para auliya’, mereka masih terkena taklif ibadah. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah saw. melaksanakan shalat hingga telapak kakinya bengkak. Padahal Allah Swt. telah mengampuni seluruh dosanya. Semua itu dilakukan oleh beliau semata-mata merupakan bentuk syukur seorang hamba kepada Allah Swt. (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 12).

فَالْمُؤْمِنُ وَإِنْ عَالَتْ دَرَجَتُهُ وَارْتَفَعَتْ مَنْزِلَتُهُ وَصَارَ مِنْ جُمْلَةِ اْلأَوْلِيَاءِ لاَ تَسْقُطُ عَنْهُ الْعِبَادَةُ الْمَفْرُوْضَةُ فِى الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ، وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مَنْ صَارَ وَلِيًّا وَوَصَلَ إِلَى الْحَقِيْقَةِ سَقَطَتْ عَنْهُ الشَّرِيْعَةُ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ مُلْحِدٌ وَلَمْ تَسْقُطْ الْعِبَادَاتُ عَنِ اْلأَنْبِيَاءِ فَضْلاً عَنِ اْلأَوْلِيَاءِ، فَلَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَتَوَرَّمَ قَدَمَاهُ، فَقِيْلَ لَهُ مَرَّةً أَلَمْ يَغْفِرِ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا (كفاية الاتقياء، ص 12).

Dengan berakhirnya bab tanya jawab ini, berakhir pula pemuatan bersambung kitab Sabilus Salikin, karya Pondok Pesantren Ngalah, Pasuruan, Jawa Timur. Terima kasih kepada pengasuh Ponpes Ngalah, KH Sholeh Bahruddin dan semua penyusun kitab yang telah menebarkan pengetahuan mengenai tarekat dan tasawuf dengan detail kepada publik. Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan kiai dan para santri.

Whatsapp Image 2020 06 08 At 3.16.36 Pm

الْإِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ

Mohon maaf atas keterbatasan kami. 

Sumber: Alif.ID

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?