Pada zaman ini, fenomena di mana sebagian penceramah agama menggunakan caci maki, hujatan, dan kata-kata kasar terhadap pemerintah serta kepala negara semakin menjadi sorotan, terutama melalui media sosial. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah tindakan seperti itu dapat dibenarkan dalam konteks amar makruf dan nahi mungkar.
Dalam sebuah forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada tahun 1997, para kiai membahas tentang hukum demonstrasi dan unjuk rasa yang berkaitan dengan amar makruf dan nahi mungkar terkait penyampaian aspirasi masyarakat. Kesepakatan yang diambil adalah bahwa kegiatan demonstrasi dan unjuk rasa yang mengandung nilai amar ma’ruf nahi munkar dapat diterima selama tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, sudah dilakukan musyawarah dan lobi terlebih dahulu, serta jika ditujukan kepada penguasa pemerintah, hanya dapat dilakukan melalui penyampaian penjelasan dan nasihat.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin menjelaskan tentang berbagai tingkatan dalam amar makruf. Mulai dari memberi pengertian, memberi nasihat, berbicara kasar, hingga mencegah dengan paksa agar seseorang melakukan kebaikan. Namun, dalam konteks berbicara kasar atau menghina, Imam Al-Ghazali menekankan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan jika dapat menimbulkan fitnah yang merugikan pihak lain.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan amar makruf dan nahi mungkar, penting untuk tetap mengedepankan penyampaian penjelasan dan nasihat tanpa menggunakan caci maki, hujatan, atau kata-kata kasar yang dapat menimbulkan konflik atau fitnah. Semoga pemahaman ini dapat menjadi pedoman bagi kita semua dalam berdakwah dan menyampaikan aspirasi dengan penuh kebijaksanaan.
Kita selalu terbuka untuk menerima masukan dan kritik yang membangun demi meningkatkan pemahaman bersama.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk yang lurus bagi kita semua. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.