Beberapa waktu lalu, Uni Emirat Arab (UEA) mengalami banjir besar yang melanda kota Dubai selama 24 jam. Hujan deras yang tak terduga mengganggu aktivitas sehari-hari penduduk kota.

Meski demikian, mesjid di Dubai tetap mengumandangkan azan sebagai tanda waktu shalat, dengan perubahan pada bagian redaksi tertentu. Bagian lafal ‘hayya ‘alal falah’ dan ‘hayya ‘alash shalah’ diganti dengan ‘shallu fi rihalikum’, yang artinya ‘shalatlah kalian di rumah masing-masing’.

Bagi sebagian orang, redaksi baru ini mungkin terdengar asing. Namun, redaksi ini sebenarnya berasal dari hadits Nabi Muhammad saw yang disebutkan dalam berbagai literatur utama hadits seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, dan lainnya.

Dalam hadits tersebut, disebutkan anjuran untuk shalat di rumah saat kondisi tidak memungkinkan untuk shalat berjamaah di masjid. Redaksi azan yang sama juga digunakan oleh para sahabat Nabi dalam situasi yang serupa.

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa ulama mazhab Syafi’i memandang bahwa meninggalkan shalat berjamaah karena uzur seperti hujan atau badai tidak akan menjadi makruh sebagaimana anjuran Rasulullah saw.

Melalui kajian hadits tentang shalat di rumah dalam situasi darurat, kita dapat melihat adaptasi agama Islam terhadap kebutuhan masyarakat. Prinsip dasar Islam tetap utuh, namun terdapat ruang bagi penyesuaian sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

Dalam konteks peristiwa banjir di Dubai, perubahan redaksi azan menjadi “shallu fi rihalikum” menunjukkan respons adaptif terhadap situasi darurat, sesuai dengan ajaran yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Kajian ini menggarisbawahi fleksibilitas agama Islam dalam menanggapi situasi darurat dan kebutuhan masyarakat. Dalam menjaga prinsip-prinsip agama, terdapat ruang bagi adaptasi yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.