Dalam dunia perdagangan, sistem jual beli menggunakan mesin capit claw atau yang dikenal sebagai sistem capit claw telah menjadi populer di berbagai supermarket, tidak hanya di kota besar tetapi juga di wilayah pedesaan. Meskipun banyak diminati oleh orang dewasa dan anak-anak, muncul perdebatan mengenai hukum syariah terkait praktik ini.
Dua ringkasan hasil kajian yang beredar menunjukkan pandangan yang berbeda. Pertama, keputusan dari forum bahtsul masail FMPP XXXVII menyatakan bahwa sistem capit claw termasuk human claw termasuk haram karena dianggap sebagai perjudian (maisir/qimar). Sementara itu, MUI DI Yogyakarta berpendapat bahwa hukum sistem capit claw tidak haram karena dianggap sebagai adu ketangkasan. Uang yang dikeluarkan dianggap sebagai biaya penggunaan mesin, sedangkan boneka yang didapat dipandang sebagai hadiah dari keterampilan pengguna mesin.
Perdebatan seputar hukum jual beli boneka dengan sistem capit claw dapat dipahami dari perspektif perjudian. Ciri utama dari perjudian adalah adanya kesempatan untuk menang atau kalah bagi kedua belah pihak. Dalam sistem capit claw, baik penjual maupun pembeli mempertaruhkan harta, dan jika pembeli tidak berhasil mendapatkan boneka, uangnya hilang tanpa mendapatkan barang. Hal ini menjadikan permainan tersebut masuk dalam kategori perjudian.
Di sisi lain, konsep adu ketangkasan (munadhalah) bertujuan untuk menguji keterampilan tanpa melibatkan pertaruhan uang. Dalam akad munadhalah, komisi baru diberikan setelah pekerjaan diselesaikan. Namun, dalam praktik capit claw dan human claw, lawan tanding justru harus membayar uang, dan jika gagal, uang tersebut hilang.
Sebagai kesimpulan, kedua sistem jual beli boneka dengan mesin capit claw cenderung dihukumi sebagai haram karena dinilai sebagai perjudian. Meskipun ada kemungkinan untuk disahihkan jika pembeli dijamin mendapatkan boneka, namun tanpa jaminan tersebut, praktik ini tetap dianggap sebagai perjudian yang melanggar prinsip syariah.