Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas mengenai hak tubuh untuk mendapatkan asupan makanan yang halal dan bergizi (kitab Manba’ussa’âdah karya Kiai Faqihuddin Abdul Qadir menyebutnya, at-tagadzi bi al-halal at-thayyib). Kali ini, kita akan membahas tentang hak tubuh untuk memperoleh porsi istirahat yang cukup. Dalam Manba’ussa’âdah pada fashal pertama, pembahasan ini terdapat dalam poin kedua dari tiga poin tentang hak-hak tubuh.
Sebagai pengingat, ada sebuah kisah sahabat Salman al-Farisi dan Abu Darda’ yang diabadikan dalam kitab-kitab hadits induk. Salman al-Farisi berkali-kali menahan niat baik Abu Darda’ untuk mendirikan shalat tahajud sejak awal malam. Setiap kali beranjak dari tempat tidur, Salman pun menyarankannya untuk tidur lagi. Sampai pada sepertiga malam, ia sendiri yang membangunkan saudaranya itu untuk beribadah kepada Allah ﷻ. Baginda Nabi ﷺ membenarkan nasihat sahabat Salman, bahwa tubuh juga memiliki hak yang wajib dipenuhi selain hak Allah ﷻ dan keluarga (relasi sosial).
Agama ini tidak hanya tentang shalat, puasa, dan ibadah vertikal lainnya, tetapi juga mengurusi soal kesehatan, relasi sosial, politik, ekonomi dan seterusnya secara serius. Dalam hal ini, Kiai Faqih pertama-tama merujuk kepada Al-Qur’an surah al-Furqan ayat 47:
وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِبَاسًا وَّالنَّوْمَ سُبَاتًا وَّجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا
Artinya, “Dan, Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha.”
Terkait kalimat an-nauma subata dan an-nahara nusyura, Kiai Faqih mengutip Tafsir Ibnu Katsir (juz 3, hal. 288):
{والنوم سباتا} أي قاطعاً للحركة لراحة الأبدان, فإن الأعضاء والجوارح تكل من كثرة الحركة في الانتشار بالنهار في المعاش, فإذا جاء الليل وسكن, سكنت الحركات فاستراحت, فحصل النوم الذي فيه راحة البدن والروح معاً {وجعل النهار نشورا} أي ينتشر الناس فيه لمعايشهم ومكاسبهم وأسبابهم
Artinya, “an-nauma subata, maknanya, menghentikan diri dari berbagai aktivitas guna merehatkan badan. Sebab, seluruh anggota tubuh — dengan banyaknya aktivitas di siang hari — pasti payah dan letih. Maka, saat malam tiba dan si empunya berhenti, anggota tubuh pun merasakan kenyamanan sampai ia tertidur. Sehingga, jasmani dan rohani berada dalam ketenangan sepanjang malam. Adapun an-nahara nusyura maksudnya, umat manusia bisa kembali beraktivitas di siang hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbagai macam usaha.”
Menurut Kiai Faqih, tidur bukan hanya kebutuhan hewani tetapi juga berguna untuk menyintesis nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan otak sehingga mampu bekerja dengan sempurna. Selain itu, tidur juga bermanfaat untuk menyatukan kembali daya nalar sehat yang sempat pecah karena kepayahan. Setelah terjaga, otak kita sudah siap menyelesaikan berbagai tugas dan persoalan.
Segala bentuk ekstremisme tidak baik. Bahkan dalam urusan ibadah, tidak boleh ekstrem. Bukan bermaksud mengesampingkan sujud dan sembah, tetapi untuk meraih kualitas penghambaan yang tinggi, diperlukan media-media seperti raga, jiwa, dan pikiran yang sehat. Dalam Manba’ussa’âdah (hal. 12), Kiai Faqih menulis Hadits Rasulullah ﷺ:
إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق ولا تُبغض إلى نفسك عبادة الله تعالى فإن المنبتّ لا أرضا قطع ولا ظهرا أبقى
Artinya, “Sungguh, agama ini sangatlah kokoh, maka masuklah (selami) agama dengan ramah dan lembut, jangan engkau siksa dirimu karena ibadah kepada Allah ﷻ. Sebab, hal ini laiknya orang yang terpisah dari rombongan (dalam safar yang jauh), ia tak lagi dapat melanjutkannya, juga tiada kendaraan yang dapat ditunggangi.”
Kebutuhan istirahat bagi tubuh demi kesehatan harus dipenuhi secara sempurna. Kendati demikian, istirahat tidak selalu hanya dengan tidur. Bisa juga dengan kegiatan-kegiatan yang menghibur seperti berkumpul dalam obrolan santai ditemani kopi dan rokok (bagi yang menikmati), beryoga, membaca Al-Qur’an, menyenandungkan syair-syair pujian kepada Rasulullah ﷺ, bahkan lagu-lagu yang memberi energi positif lainnya. Semua itu sah saja dilakukan selama masih dalam garis kehalalan menurut syariat.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin (juz 2, hal. 31) pada pembahasan Kitabu Adab an-Nikah menjelaskan tentang lima faedah pernikahan. Pada poin ketiga ia menulis bahwa dalam relasi pernikahan, sepasang suami istri melalui pandangan kasih sayang dan cumbu ria akan sangat mudah mendapatkan kenyamanan dan ketentraman dalam jiwa dan hati mereka. Tentunya itu menjadi pupuk terampuh untuk menumbuhkan semangat beribadah kepada Allah ﷻ:
الفائدة الثالثة ترويح النفس وإيناسها بالمجالسة والنظر والملاعبة إراحة للقلب وتقوية له على العبادة فإن النفس ملول وهي عن الحق نفور لأنه على خلاف طبعها فلو كلفت المداومة بالإكراه على ما يخالفها جمحت وثابت وإذا روحت باللذات في بعض الأوقات قويت ونشطت
Artinya, “Faedah (nikah) ketiga yaitu menyegarkan jiwa dan membuatnya tentram dengan bersenda gurau, memberi tatapan kasih sayang dan bercumbu ria dengan pasangan. Hal itu pastinya membuat hati berbunga dan bisa meningkatkan semangat ibadah kepada Allah ﷻ. Karena sejatinya jiwa itu bisa letih dan lekas berpaling dari kebenaran. Sebab kebenaran tidak lagi sejalan dengan tabiat jiwanya yang payah itu. Bila terus dibebani jiwanya akan mogok dan penuh beban. Namun jika sekali-kali disegarkan dengan hal-hal yang membahagiakan maka dia akan kembali kuat dan semangat.”
Kata kuncinya adalah segala bentuk refreshing dan penenang jiwa sebagaimana di atas penting dilakukan selama tidak melanggar batas-batas keharaman. Pada halaman yang sama Al-Ghazali mengutip penggalan Hadits riwayat Ibnu Hibban:
لا يكون العاقل ظاعناً إلا في ثلاث تزود لمعاد أو مرمة لمعاش أو لذة في غير محرم
Artinya, “Seorang yang berakal sehat tidak mungkin melakukan sesuatu kecuali untuk tiga hal; mempersiapkan bekal ukhrawinya, mereparasi kualitas hidupnya, dan mendapatkan kenikmatan pada sesuatu yang tidak diharamkan.”
Semoga tulisan ini bermanfaat baik untuk peningkatan wawasan intelektual maupun kualitas spiritual. Amin. Wallahu a’lam bisshawâb.