Dalam ekonomi syariah, konsep pengupahan memiliki peran penting dalam transaksi ekonomi. Pengertian tentang harta sebagai bagian dari maushuf fi al-dzimmah atau harta berjamin aset, serta harta utang (mâl duyun) menjadi landasan utama dalam menentukan kelangsungan transaksi.
Pengupahan dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengupahan berupa harta fisik (ainun al-manfaat) dan harta nonfisik (manfaat al-ain). Harta fisik melibatkan aktivitas jual beli barang fisik dengan pertukaran fisik, sedangkan harta nonfisik lebih mengacu pada manfaatnya.
Dalam konteks pengupahan berupa harta fisik, transaksi tunai merupakan hal yang umum. Upah dapat diberikan dalam bentuk barang, utang, atau pekerjaan. Sedangkan dalam pengupahan berupa harta nonfisik, seperti cashback, koin, atau poin digital, manfaat harta diserahkan dengan batasan waktu dan pekerjaan tertentu.
Konsep ijarah (sewa) juga memainkan peran dalam pengupahan harta nonfisik. Ijarah ainin musyahadah (ijarah tunai) dilakukan saat itu juga, sementara ijarah syaiin maushuf fi al-dzimmah (ijarah yang terutang) melibatkan jeda waktu antara penyerahan manfaat.
Dalam kesimpulannya, pengupahan dalam Islam terjadi melalui transaksi ijarah. Baik dalam bentuk tunai maupun nonfisik, upah harus memenuhi ketentuan syariat serta terkait dengan aset yang mendasarinya. Transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip ini dapat dianggap fiktif dan tidak sah secara syariah.
Dari dua model pengupahan tersebut, penting untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan dengan prinsip yang sesuai dengan nilai-nilai ekonomi syariah. Dengan demikian, kedua belah pihak terlibat dalam transaksi akan mendapatkan manfaat yang sah dan sesuai dengan ajaran agama.
Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang konsep pengupahan dalam ekonomi syariah menjadi penting dalam menjalankan transaksi ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.