Muzara’ah merupakan konsep di dalam hukum Islam yang berarti saling berbagi dalam perawatan dan hasil tanaman antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Perbedaan mendasar antara akad muzaraah dan musaqah terletak pada tahap dimana benih tanaman ditanam; pada muzaraah, benih belum dimasukkan ke dalam lahan sehingga petani perlu menyiapkan lahannya, sementara pada musaqah, tanaman sudah ada di lahan sehingga petani hanya perlu merawatnya.

Dalam konteks tiga mazhab – Hanafi, Maliki, dan Hanbali – akad muzaraah dianggap sebagai turunan dari akad syirkah karena terdapat unsur saling berbagi perawatan dan hasil tanaman. Namun, pandangan dari madzhab Syafi’i mengharuskan penelitian lebih lanjut terkait model akad ini.

Konsep muzara’ah dalam Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa jika benih tanaman berasal dari pemilik tanah, maka akad tersebut berbasis pada syirkah. Namun, jika benih berasal dari petani, maka akad ini dianggap sebagai ijarah atau mukhabarah. Hal ini mengakibatkan adanya dua jenis akad muzaraah menurut kalangan Syafiiyah, yaitu muzara’ah shahihah dan muzara’ah fasidah.

Sebelum mendalami lebih jauh mengenai jenis-jenis akad muzaraah, penting untuk memahami beberapa ketentuan yang mengatur pelaksanaan akad ini. Beberapa di antaranya meliputi larangan tanah menerima bagian kerja, larangan sewa tanah dengan nisbah tertentu dari hasil produksi, larangan sewa tanah dengan harga yang tidak diketahui, persyaratan lahan yang boleh digarap, dan bolehnya akad bagi hasil selama tidak ada larangan syariat.

Ketentuan-ketentuan ini menjadi dasar utama untuk menentukan keabsahan suatu akad muzaraah menurut syariat Islam. Berbagai fuqaha dari empat madzhab berbeda pendapat dalam menafsirkan hukum akad muzara’ah, dimana Imam Syafi’i menolaknya secara umum sementara tiga madzhab lainnya menerima dalam konteks khusus.