Gempa yang melanda Donggala belum lama ini meninggalkan sejumlah persoalan hukum terkait pergeseran tanah, bangunan, dan tanaman di atasnya. Perhatian khusus diberikan pada status tanah dan bangunan yang masih utuh setelah terjadi pergeseran tersebut.
Dalam konteks hukum positif, terdapat empat hal pokok yang menentukan status hak atas suatu barang, termasuk tanah. Keempat hal tersebut meliputi kedudukan kuasa, penyerahan, pembebanan, dan daluarsa. Sehubungan dengan hal ini, kajian fiqih tidak dapat melupakan hukum positif serta produk peraturan yang dihasilkannya.
Dalam fiqih, proses perpindahan kepemilikan barang dapat terjadi melalui akad-akad tertentu seperti hibah, wasiat, jual beli, dan waris. Namun, ada juga proses perpindahan hak milik tanpa melalui akad, seperti penyitaan atau penahanan. Meskipun jarang terjadi, kemungkinan perpindahan hak milik tetap ada.
Dalam kasus hak sewa tanah, misalnya, hak kuasa atas tanah dan barang di atasnya dimiliki oleh penyewa, bukan pemilik. Hal ini mengindikasikan bahwa hak kepemilikan terkadang tidak mutlak dimiliki oleh pemilik asal.
Ketika terjadi pergeseran lahan akibat bencana, perangkat undang-undang terkait harus turut berperan dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan. Penggunaan teknologi seperti GPS dapat membantu dalam menentukan lokasi lahan asal dan memfasilitasi pengukuran ulang sesuai dengan data yang tercatat.
Sengketa yang mungkin timbul terkait bangunan yang masih utuh setelah pergeseran dapat diselesaikan melalui kompromi antara pihak terkait. Langkah-langkah seperti pengambilalihan status hak milik dengan perjanjian tukar guling dapat menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi masalah ini.
Untuk tanah wakaf, prinsip bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan wakaf adalah hak milik Allah SWT membuat penentuan lokasi tanah wakaf menjadi penting. Hal serupa juga berlaku untuk status hak milik hasil pertanian dan perkebunan tanah yang mengalami pergeseran.
Dalam konteks ini, penting bagi para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan pasca-bencana dengan memperhatikan aspek hukum positif serta prinsip-prinsip fiqih yang berlaku.