Zakat fitrah, sebagai kewajiban bagi umat Muslim, memiliki peran penting dalam menolong sesama yang membutuhkan. Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan pemahaman antara konsep yang diajarkan oleh ulama dan implementasinya di beberapa daerah di Indonesia.
Ulama Syafi’iyyah sepakat bahwa zakat fitrah seharusnya tidak diberikan kepada penerima zakat (mustahiq) dalam bentuk uang. Meskipun demikian, praktik di lapangan seringkali berbeda. Hal ini menjadi perhatian Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pesantren Sirojuth Tholibin di Jawa Tengah.
Dalam penjelasannya, LBM Pesantren Sirojuth Tholibin menekankan bahwa penggunaan uang sebagai perantara dalam penyaluran zakat fitrah seharusnya tidak mengubah bentuk bantuannya yang seharusnya berupa makanan pokok. Konsep ini dijalankan dengan membeli beras sebagai bantuan utama.
Namun, terdapat beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam praktik penyaluran zakat fitrah. Misalnya, penjualan kembali beras zakat yang seharusnya menjadi bantuan murni. Selain itu, keberadaan panitia yang tidak resmi sering kali menyulitkan proses penyaluran yang seharusnya transparan.
Untuk menjaga keberlangsungan operasional panitia zakat, beberapa langkah dapat diambil. Salah satunya adalah dengan memastikan transparansi dalam penyediaan bantuan, serta menjauhkan transaksi jual beli dari lingkungan masjid. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa zakat fitrah yang disalurkan benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
Dengan kesadaran akan konsep zakat fitrah yang benar dan mengikuti ketentuan syariat, diharapkan masyarakat dan panitia zakat dapat bekerja sama untuk meningkatkan efektivitas penyaluran zakat fitrah di Indonesia. Dengan demikian, semakin banyak orang yang dapat merasakan manfaat dari kewajiban berzakat bagi kesejahteraan bersama.