Akhir-akhir ini, penggunaan telepon sebagai sarana komunikasi telah menjadi hal yang umum di masyarakat. Namun, fenomena penyadapan komunikasi juga semakin marak, di mana pihak-pihak tertentu dapat mengintip pembicaraan orang lain. Penyadapan dapat dilakukan dengan berbagai alat, dari yang sederhana hingga yang canggih, dan sering kali bertujuan untuk mengetahui isi percakapan orang lain, baik untuk kepentingan baik maupun jahat.
Di Indonesia, praktik penyadapan sering dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai alat penegakan hukum. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum menyikapi tindakan mengintai, mendengar, dan merekam pembicaraan orang lain melalui penyadapan telepon? Apakah hasil dari penyadapan tersebut dapat dijadikan saksi atau bukti hukum?
Hasil Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyah Muktamar ke-32 NU di Makassar pada akhir Maret 2010 memberikan penjelasan bahwa hukum mengintai, mendengar, dan merekam pembicaraan orang lain melalui penyadapan telepon pada dasarnya haram (tidak diperbolehkan), kecuali untuk tujuan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan terdapat dugaan kuat (gholabatuzh zhan) terjadinya kemaksiatan. Dalam kondisi tertentu, penyadapan bahkan dianggap wajib jika tidak ada cara lain untuk mendapatkan informasi.
Namun, hasil dari penyadapan tersebut secara syar’i tidak sah sebagai alat bukti hukum (bayyinah), melainkan hanya dianggap sebagai bukti pendukung.
Fenomena ini menjadi penting untuk dipahami seiring dengan semakin kompleksnya praktik hukum dan etika dalam masyarakat. Penyadapan yang dilakukan tanpa izin dan untuk tujuan yang tidak jelas dapat menimbulkan masalah hukum dan moral yang serius.