Penyembelihan atau tadzkiyah adalah proses pemotongan beberapa bagian leher agar daging hewan dapat dikonsumsi secara halal. Ulama memiliki beragam pendapat mengenai bagian yang perlu dipotong untuk keabsahan penyembelihan.
Dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, penyembelihan dianggap sah jika dua urat, yaitu urat jalur nafas (hulqum) dan urat jalur makanan (mari’), terpotong. Memotong dua pembuluh darah (wadajain) hukumnya sunah, karena termasuk tindakan ihsan dalam menyembelih. Tindakan ini juga bertujuan menghindari perselisihan di antara para ulama yang mewajibkan pemotongan tersebut.
Sementara itu, mazhab Hanafi memiliki perbedaan pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, penyembelihan sah jika tiga dari empat urat (hulqum, mari’, atau wadajain) terpotong. Imam Abu Yusuf menyatakan bahwa syarat sah penyembelihan adalah memotong hulqum, mari’, dan salah satu pembuluh darah. Sedangkan menurut Imam Muhammad bin Hasan, penyembelihan baru sah jika sebagian besar dari empat urat terpotong meskipun tidak semua terpotong sempurna.
Dalam mazhab Maliki, pendapat masyhur menyatakan bahwa hulqum dan wadajain harus terpotong sempurna, sedangkan memotong mari’ tidak menjadi syarat sah.
Kesepakatan di antara ulama mazhab empat adalah bahwa memotong seluruh empat urat leher, yaitu mari’, hulqum, dan wadajain dengan cara yang benar, menjadikan hewan halal untuk dikonsumsi.
Namun, bagaimana jika proses pemotongan empat urat tersebut menyebabkan kepala terputus? Terdapat dua tinjauan dalam menjawab permasalahan ini.
Tinjauan pertama adalah ketika pemotongan dilakukan secara normal dari arah depan, di mana bagian yang harus dipotong terpotong terlebih dahulu sebelum dilanjutkan ke belakang hingga kepala putus. Menurut mazhab Maliki dan Hanafi, hal ini makruh karena dianggap menyakiti hewan. Hewan seharusnya tidak dilukai lagi setelah pemotongan yang wajib sampai nyawanya keluar sepenuhnya. Di sisi lain, menurut mazhab Hanbali, hukumnya mubah berdasarkan fatwa Sayyidina Ali dan Sahabat Imran bin Husain. Dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pendapat; satu menyatakan haram karena menambah penderitaan hewan, sementara pendapat lainnya menganggapnya makruh.
Tinjauan kedua melibatkan pemotongan dari belakang atau tengkuk. Menurut mazhab Maliki, hewan yang disembelih dari tengkuk tidak halal dimakan karena sebelum mencapai bagian yang harus dipotong, penyembelihan tersebut terlebih dahulu mengenai sumsum tulang belakang yang termasuk organ mematikan. Dalam pandangan Syafi’iyah dan Hanabilah, menyembelih dari tengkuk termasuk perbuatan maksiat. Jika pemotongan dilakukan dengan cepat sehingga urat yang harus dipotong putus ketika hewan masih dalam kondisi hayat mustaqirrah, maka hewan tersebut halal. Sebaliknya, bila sudah tidak dalam kondisi hayat mustaqirrah, maka tidak halal dimakan. Dalam mazhab Hanafi hukumnya makruh.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyembelihan hingga kepala terputus bila dilakukan secara normal dari depan hukumnya makruh menurut mayoritas ulama. Jika dilakukan dari tengkuk, mayoritas ulama berpendapat bahwa tindakan ini haram, meskipun dagingnya bisa halal jika pemotongan dilakukan segera.
Kesimpulan ini hanya mempertimbangkan aspek terputusnya kepala. Dalam praktiknya, penting untuk memperhatikan syarat-syarat keabsahan penyembelihan lainnya, seperti ketajaman alat pemotong yang digunakan dan bukan karena kekuatan penyembelih. Mengikuti anjuran fiqih untuk menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebaiknya usaha dilakukan agar kepala tidak terputus untuk menghindari jatuh pada hukum haram menurut sebagian ulama.