Dalam proses pernikahan, ijab qabul memiliki peran penting sebagai rukun yang menentukan keabsahan suatu akad. Bagi penyandang disabilitas rungu, netra, dan wicara secara bersamaan, pelaksanaan ijab qabul memerlukan pertimbangan khusus.
Menurut hukum Islam, seseorang yang menyandang disabilitas tersebut umumnya tidak dapat mengetahui dan menunjukkan kerelaan untuk melakukan transaksi sendiri. Oleh karena itu, ijab qabul bagi mereka harus dilakukan oleh walinya.
Dalam pandangan fiqih Syafi’iyah, penyandang disabilitas tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang mengalami disabilitas sejak lahir atau sebelum memahami agama, seperti balita atau orang gila. Kelompok ini tidak dibebani dengan hukum Islam dan urusannya menjadi tanggung jawab walinya.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mengalami disabilitas setelah memahami agama. Mereka tetap terbebani dengan hukum agama yang sudah dipahami sebelum mengalami disabilitas.
Dalam konteks akad nikah, prosesi ijab qabul biasanya melibatkan ijab dari mempelai laki-laki dan qabul dari calon mertua secara lisan. Namun, bagi penyandang disabilitas rungu dan daksa, proses ini dapat menjadi sulit.
Fiqih memberikan solusi dengan memperbolehkan penggunaan bahasa isyarat yang mudah dipahami atau tulisan dalam pelaksanaan ijab qabul bagi penyandang disabilitas rungu. Hal ini untuk memastikan keabsahan akad nikah mereka.
Meskipun demikian, dalam mazhab Maliki ditegaskan bahwa orang yang mengalami disabilitas rungu, netra, dan wicara secara bersamaan tidak dapat melangsungkan ijab qabul sendiri karena keterbatasan mereka dalam memberikan isyarat.
Kesimpulannya, ijab qabul bagi penyandang disabilitas rungu, netra, dan wicara secara bersamaan harus dilakukan oleh walinya. Hal ini mengacu pada prinsip kehati-hatian dan kemaslahatan dalam menjalankan transaksi atau akad pernikahan bagi mereka. Semoga informasi ini bermanfaat untuk memahami lebih dalam mengenai pelaksanaan ijab qabul nikah bagi penyandang disabilitas.