Dalam beberapa waktu terakhir, muncul perdebatan seputar pidato yang disampaikan oleh perempuan di depan publik. Meskipun praktik ini sudah lazim dilakukan oleh kalangan pejabat publik, motivator, dan pakar parenting, namun hal ini tetap menjadi topik hangat yang diperbincangkan oleh sebagian orang.
Sejarah mencatat bahwa perihal pidato perempuan di depan publik telah dibahas sejak zaman sebelum kemerdekaan di Indonesia. Bahkan, propaganda politik pada masa itu juga melibatkan peran aktif perempuan dalam menyampaikan pidato.
Pada Muktamar Ke-10 Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Surakarta pada tahun 1935, masalah pidato perempuan di depan umum menjadi perhatian serius. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah mengenai hukum bagi perempuan yang berdiri di tengah-tengah kaum lelaki untuk menyampaikan pidato keagamaan.
Hasil dari forum Muktamar NU 1935 menyimpulkan bahwa kehadiran perempuan di tengah-tengah kaum lelaki untuk berpidato adalah haram, kecuali jika dapat memenuhi syarat-syarat tertentu yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti menutup aurat dengan baik dan terhindar dari segala bentuk godaan. Ini disebabkan suara perempuan tidak termasuk dalam aurat menurut pandangan yang dianggap kuat.
Dalam konteks ini, NU mengutip Kitab Ittihafus Sadatil Muttaqin karya Sayyid M Az-Zabidi yang menyatakan bahwa suara perempuan tidak diharamkan seperti alat musik seruling. Namun, larangan mengenai suara perempuan berlaku tegas ketika ada potensi fitnah yang jelas.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pidato perempuan di depan publik terkait isu keagamaan diperbolehkan menurut syariat Islam.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang baik. Kami senantiasa terbuka untuk menerima masukan dan kritik dari pembaca setia.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb.