Pertanyaan mengenai hukum jual beli kebutuhan media sosial seperti follower, like, subscriber, dan viewer sering kali menjadi perdebatan dalam ranah fiqih. Sebelum membahas lebih lanjut, penting untuk memahami apakah keempat hal tersebut dapat dikategorikan sebagai harta yang dapat diperjualbelikan.
Dalam konteks jual beli, salah satu unsur penting adalah objek yang dibeli harus dapat dikuasai, dimanfaatkan, dan dapat mengalami ganti rugi jika rusak. Dengan demikian, penting untuk mengetahui apakah follower, subscriber, like, dan viewer dapat dianggap sebagai harta.
Follower, subscriber, like, dan viewer pada media sosial sebenarnya mencerminkan hubungan antara akun yang diikuti dan mengikuti, atau antara akun penyedia konten dengan pelanggan atau penikmat konten. Hubungan ini umumnya berdasarkan kesukarelaan dan tidak melibatkan kontrak formal antara kedua belah pihak.
Dalam pandangan beberapa mazhab fiqih terkemuka, seperti Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, follower, like, dan subscriber dapat dianggap sebagai harta manfaat yang dapat diperjualbelikan. Namun, Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hal ini tidak termasuk dalam kategori harta yang bisa diperjualbelikan.
Selain itu, terdapat juga perbedaan pendapat mengenai asal muasal follower, like, subscriber, dan viewer pada sebuah akun media sosial. Pengikut tersebut bisa berasal secara alami, melalui rekayasa teknologi, dari hasil beriklan, atau bahkan dari akun yang dibobol oleh pihak lain.
Dari segi hukum jual beli akun media sosial, terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, apakah akun masih dapat dikendalikan oleh pemilik aslinya, apakah pengikut akun tersebut merupakan pengikut alami atau palsu, serta apakah pengikut tersebut diperoleh secara jujur atau dengan cara yang curang.
Jual beli akun dengan pengikut palsu hasil rekayasa mesin atau akun yang diperoleh dari hasil pembobolan akun pihak lain merupakan praktik yang tidak disarankan dalam pandangan syariat. Hal ini dikarenakan penggunaan akun tersebut dapat merugikan pihak lain dan dianggap sebagai tindakan yang tidak etis.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami dengan jelas hukum jual beli kebutuhan media sosial dalam ranah fiqih agar tidak terjerumus dalam praktik yang merugikan atau bertentangan dengan nilai-nilai agama. Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai masalah ini.