Dalam ajaran Islam, ketaatan seorang istri terhadap suaminya dianggap sebagai suatu kewajiban yang penting. Hal ini didasari oleh banyak ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah yang menegaskan perlunya ketaatan istri terhadap suami agar dapat disebut sebagai istri salehah.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli menjelaskan bahwa ketaatan istri terhadap suami terletak pada berbagai aspek, seperti keterbukaan dalam hubungan suami-istri dan izin untuk keluar rumah. Ketaatan ini diwajibkan oleh Islam sebagai wujud pengakuan akan hak suami atas istrinya.
Para ulama sepakat bahwa ketaatan istri terhadap suami adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan. Namun, kewajiban ini tidak bersifat mutlak tanpa batas, melainkan terbatas dan tidak boleh melanggar ketentuan agama.
Tak hanya memikul kewajiban, seorang istri juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suaminya. Hak-hak tersebut mencakup hak ekonomi, seperti mahar dan nafkah, serta hak non-ekonomi, seperti perlakuan baik dan adil.
Dalam konteks politik, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dan memberikan suaranya secara sadar dan merdeka, termasuk dalam pilkada serentak. Meskipun berbeda pandangan politik dengan suami, perempuan tetap dapat memilih sesuai keyakinan pribadinya tanpa harus khawatir dianggap durhaka.
Muktamar NU tahun 1999 menegaskan kesetaraan peran publik antara laki-laki dan perempuan, serta menolak diskriminasi dalam partisipasi politik perempuan. Para kiai menyarankan agar suami dan istri saling menghormati perbedaan pandangan politik serta tidak saling mengintimidasi dalam hal pilihan politik.
Dengan demikian, ketaatan istri terhadap suami dalam Islam tetap menjadi prinsip utama, namun bukan berarti perempuan kehilangan haknya untuk berpartisipasi dalam ranah politik secara mandiri dan berdasarkan keyakinan pribadinya. Kedua belah pihak diharapkan dapat menjalani hubungan yang harmonis dan saling menghormati satu sama lain tanpa harus melanggar prinsip-prinsip agama.