Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW telah melarang umatnya untuk mengafirkan dan menuduh sesama umat Islam dengan sebutan buruk seperti munafik, fasik, atau sebutan lain yang merendahkan martabat agama. Meskipun demikian, terdapat kejadian di masa lalu, terutama pada pergantian tahun 2016-2017, di mana sebagian orang dengan mudah melakukan tindakan yang dilarang oleh Rasulullah.
Bagaimana seharusnya kita meminta maaf kepada individu yang telah dianiaya dengan tuduhan-tuduhan bernuansa agama seperti itu? Imam Al-Ghazali memberikan panduan pertobatan bagi mereka yang telah melakukan tindakan melemparkan sebutan kafir, munafik, fasik, zindik, atau sebutan hina lain dalam konteks agama. Beliau menekankan pentingnya mengakui kesalahan di hadapan individu yang bersangkutan serta meminta maaf dengan tulus.
Permohonan maaf kepada individu yang telah dianiaya dengan tuduhan berat seperti itu merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi sebagai bagian dari upaya menuju jalan Allah SWT. Hal ini juga menjadi indikator pertobatan seseorang dalam menjalani amal ibadah. Selama seseorang belum menyelesaikan hak adami seperti ini, semua ibadah yang dilakukan belum akan diterima oleh Allah SWT.
Meskipun tuntunan pertobatan bagi pelaku penganiayaan terhadap sesama terlihat berat, namun sebagai umat Islam kita harus senantiasa menjaga lisan dan tindakan kita dari melakukan penghinaan terhadap sesama dengan menuduhnya sebagai kafir, munafik, fasik, atau zindik. Hal ini penting dilakukan baik secara lisan maupun tulisan, di berbagai media dan platform komunikasi.
Kita semua diingatkan untuk selalu menjaga akhlak dan sikap dalam berinteraksi dengan sesama umat. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari larangan Rasulullah SAW tersebut dan senantiasa meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga hubungan harmonis antar sesama umat. Mari bersama-sama memperbaiki kesalahan yang telah terjadi dan selalu berusaha menjadi umat yang diridhai oleh Allah SWT.
