Permasalahan mengenai nafkah anak hasil zina menjadi topik yang penting untuk dibahas dalam konteks hukum Islam. Mayoritas ulama sepakat bahwa anak hasil zina tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya, melainkan dinasabkan kepada ibunya. Hal ini berimplikasi bahwa tanggungjawab sepenuhnya berada pada ibu, termasuk dalam memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Menurut pandangan mayoritas ulama, meskipun ayah biologisnya tidak memiliki pertalian darah dengan anak zina, namun tetap diharamkan bagi ayah tersebut untuk menikahi anak tersebut. Meskipun demikian, ada perbedaan pendapat di antara ulama, khususnya dalam Madzhab Maliki.
Sebagian ulama dari Madzhab Maliki berpendapat bahwa seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan kemudian perempuan tersebut melahirkan seorang anak perempuan, tidak boleh menikahi anak tersebut. Dasar pendapat ini adalah hadits tentang Juraij dan penasaban anak hasil zina kepada si pezina.
Dalam konteks nafkah, pandangan ini menyebutkan bahwa ayah biologis bertanggung jawab memberikan nafkah kepada anak tersebut, kecuali terkait dengan masalah pewarisan dan wala`. Jadi, ada pandangan ulama yang menyatakan bahwa nafkah anak zina dibebankan kepada ayah biologisnya.
Penting untuk memperlakukan seorang anak dengan baik meskipun lahir akibat perzinahan, karena ia tidak bersalah atas kesalahan orang tuanya. Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai pandangan ulama terkait nafkah anak zina dalam Islam.