Dalam masyarakat kampung, sering terjadi tradisi meminta doa kepada kiai atau ustadz agar hajatan lancar. Salah satu praktik yang dilakukan adalah meletakkan cabe dan bawang di atas genting dengan harapan agar hujan tidak turun. Namun, beberapa kelompok menganggap tradisi ini sebagai bentuk syirik.
Pertanyaan muncul, apakah tindakan meletakkan cabe dan bawang di atas genting untuk mencegah hujan ini merupakan perbuatan syirik? Dalam konteks ini, penting untuk mencermati bagaimana Rasulullah saw melakukan materialisasi doa. Dalam sebuah riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah menancapkan pelepah kurma di atas dua kuburan yang penghuninya sedang disiksa. Tindakan ini dilakukan sebagai sarana untuk meringankan siksaan keduanya.
Analogi ini menunjukkan bahwa tindakan materialisasi doa bukanlah syirik. Rasulullah saw tidak bermaksud menyekutukan Allah swt, melainkan menggunakan sarana sebagai perantara dalam berdoa. Begitu pula dengan masyarakat kampung yang meletakkan cabe dan bawang di atas genting, mereka juga tidak bermaksud selain untuk berdoa kepada Allah swt.
Penting untuk memahami bahwa keyakinan bahwa hanya Allah yang mampu mengabulkan doa merupakan hal yang utama. Selama tidak ada niat untuk menyekutukan Allah, penggunaan sarana dalam berdoa tidak masuk dalam kategori syirik. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak terburu-buru memberi label syirik terhadap sesuatu tanpa pemahaman yang mendalam terlebih dahulu.
Semoga penjelasan ini dapat membantu memperjelas konsep materialisasi doa dalam tradisi keagamaan. Mari bersikap bijaksana dalam menilai suatu praktik keagamaan sebelum benar-benar memahami konteks dan hakekatnya.