Pertanyaan yang sering muncul terkait dengan pelanggaran puasa yang dilakukan pasangan suami-istri adalah apakah keduanya wajib membayar kaffarat atau hanya pihak suami saja yang bertanggung jawab. Hal ini terutama terjadi ketika hubungan badan dilakukan pada siang hari di bulan Ramadlan.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, jika seorang istri turut serta dalam hubungan badan yang membatalkan puasa, maka ia juga wajib membayar kaffarat. Namun, menurut Imam Syafi’i dan Imam Dawud azh-Zhahiri, tidak ada kewajiban membayar kaffarat bagi pihak perempuan dalam hal ini.
Alasan dibalik kewajiban membayar kaffarat menurut madzhab Hanafi adalah karena keduanya dianggap berkolaborasi dan bersama-sama melakukan pelanggaran yang merusak puasa. Sehingga, baik suami maupun istri memiliki kewajiban untuk membayar kaffarat.
Di sisi lain, pandangan yang tidak mewajibkan kaffarat bagi pihak perempuan didasarkan pada hadits Rasulullah saw yang hanya memerintahkan suami untuk membayar kaffarat dalam situasi tersebut.
Disarankan untuk mengikuti pendapat yang pertama sepanjang memungkinkan, karena hal ini dapat mengakomodir pendapat kedua dan mayoritas ulama mengikuti pendapat tersebut.
Penting untuk diingat bahwa menjaga puasa adalah sarana untuk menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya dihalalkan, termasuk hubungan suami-istri pada siang hari di bulan Ramadlan. Jika dirasa sulit untuk menahan diri, sebaiknya hindari intensitas pertemuan pada siang hari untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan.