Dalam Mazhab Syafi’i, terdapat perbedaan yang signifikan antara konsep rukun dan wajib dalam ibadah haji. Hal ini tidak ditemukan dalam bab-bab lainnya. Kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh perbedaan pendekatan dengan Mazhab Hanafi yang membedakan antara fardhu dan wajib.
Rukun haji, seperti ihram, wukuf, tawaf, sa’i, tahallul, dan tertib, harus dilaksanakan secara utuh tanpa ada yang ditinggalkan. Kegagalan dalam melaksanakan salah satu rukun haji dapat membuat ibadah haji menjadi rusak atau batal.
Sementara itu, wajib haji seperti ihram dari miqat, mabit di Muzdalifah dan Mina, lontar jumrah, tawaf wada’, haji ifrad, haji tamattu, atau qiran memiliki konsekuensi berbeda. Meskipun wajib haji juga harus dilaksanakan, namun jika ada yang terlupakan, haji masih dianggap sah dengan kewajiban membayar dam sebagai gantinya.
Jika dalam ibadah shalat, wajib haji dianggap mirip dengan sunnah ab’adh yang memiliki konsekuensi jika ditinggalkan. Bagi jamaah haji yang tidak melaksanakan wajib haji baik karena uzur maupun tanpa uzur, wajib membayar dam sebagai kompensasi.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa meninggalkan sebagian rukun haji memiliki konsekuensi yang berbeda dengan meninggalkan sebagian wajib haji. Rukun haji yang terlupakan akan membuat ibadah haji menjadi rusak atau batal, sementara wajib haji yang terlewatkan tidak akan mengakibatkan hal tersebut.
Kementerian Agama RI telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pelaksanaan rukun dan wajib haji dari tahun ke tahun. Dengan memfasilitasi para jamaah haji asal Indonesia, Kemenag RI bertujuan untuk memastikan kelancaran dan kesahihan pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ajaran Mazhab Syafi’i.
Penting untuk dicatat bahwa perbedaan mendasar antara rukun dan wajib haji dalam Mazhab Syafi’i terletak pada konsekuensi hukum yang timbul jika ada yang terlupakan. Ini menjadi hal penting bagi para jamaah haji untuk memahami dengan baik agar ibadah haji mereka sah dan diterima di sisi Allah SWT.