Dalam undang-undang, komoditi dijelaskan sebagai segala barang, jasa, hak, dan kepentingan lainnya yang dapat diperdagangkan serta menjadi subjek kontrak berjangka. Hak merupakan bagian dari harta yang diakui, seperti hak berupa profesi dalam sertifikat profesi atau hak tinggal bagi penyewa rumah. Hak ini bisa dianggap sebagai harta yang memiliki nilai (taqwim).
Di pasar berjangka, hak dapat diperdagangkan sebagai aset derivatif bersama dengan aset lainnya seperti giro, warant, saham, dan obligasi. Contohnya adalah Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) yang memungkinkan investor untuk membeli efek terlebih dahulu dengan memberikan uang muka.
Namun, ketika membicarakan kripto, terdapat perdebatan apakah kripto dapat dikategorikan sebagai aset berjamin hak. Beberapa menganggap kripto sebagai bagian dari haq ibtikari (hak inovasi) dan haq istihlaki (hak konsesi), namun kripto tidak memiliki fisik materi sehingga memunculkan keraguan.
Dalam Islam, semua harta harus memiliki aset landasan yang berlaku. Kripto, sebagai aset digital fiktif, tidak memenuhi kriteria tersebut karena tidak memiliki nilai materi atau fungsi material yang jelas. Oleh karena itu, memasukkan kripto ke dalam kategori aset berjamin hak di pasar berjangka dapat dikatakan sebagai kesalahan mendasar.
Kripto dapat dianggap hanya sebagai catatan digital tanpa nilai yang bermanfaat selain sebagai alat spekulasi. Perlu dipertimbangkan dengan bijak sebelum terlibat dalam perdagangan kripto.