Membahas tentang game online, sebagian besar umat manusia di belahan dunia sepakat bahwa di antara penyebab hilangnya kejenuhan atau hiburan paling asik adalah main game (gim). Game mempunyai daya tarik tersendiri sebagai bahan paling laris untuk diminati berbagai kalangan, baik muda atau tua sekalipun. Apalagi dikemas dengan gaya bermain yang bisa dilakukan secara bersama (mabar, main bareng), manusia seolah terhipnotis akan keseruan permainan itu.
Dalam sudut pandang syariat Islam (fiqih), segala macam permainan (game) yang memiliki dampak baik serta tidak dilakukan dengan cara berjudi mempunyai hukum boleh. Hukum boleh di sini, bisa saja mubah, juga bisa berhukum makruh. Kedua hukum tersebut bisa terjadi jika game memberikan dampak positif pada pemain khususnya dan kehidupan sosial pada umumnya. Intinya, segala macam game yang berguna melatih kecerdasan otak, seperti permainan catur, dadu atau permainan berbasis strategi lainnya hukumnya boleh (mubah atau makruh).
Menurut Imam ar-Rafi’i, hukum dadu dan catur bisa dianalogikan pada semua bentuk permainan dan segala hal yang berdasarkan hitung-hitungan dan pikiran seperti al-minqalat dan as-sijah (jenis permainan di Arab), yakni permainan dengan membentuk garis dan lobang-lobang untuk mengisi bebatuan yang dilakukan dengan perhitungan tersendiri. Permainan semacam ini tidak haram, sedangkan semua jenis permainan yang berdasarkan spekulasi, maka hukumnya haram. (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasiyatul Jama ala Syarhil Minhaj, [Bairut: Dar al-Fikr 1993], juz 5, h. 380).
Syekh Musthafa al-Bigha dalam kitab al-Fiqhul Manhaji mengatakan, semua permainan yang dibangun atas dasar berpikir dan strategi hukumnya boleh. Hanya saja kebolehan dalam hukum bermain bisa berkonsekuensi pada hukum mubah dan makruh. Semua itu tergantung bagaimana keadaan pemain dan dampak yang terjadi kepadanya. (Syekh Musthafa al-Bigha, al-Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Dar al-Qalam 1992], juz VIII, h. 166).
Melihat penjelasan di atas, maka bisa dipastikan bahwa hukum bermain game online adalah boleh (mubah atau makruh). Hanya saja, meski diperbolehkan, apabila kegiatan bermain game dilakukan secara terus-menerus maka bisa menimbulkan hukum haram (tidak diperbolehkan). Hukum ini bisa terjadi apabila berdampak pada terbengkalainya kewajiban, tidak bermanfaat untuk agamanya, menjadikannya pemalas, menurunkan etos kerja, dan efek negatif lainnya.
Sebagaimana penjelasan berikut:
“Di antara permainan ini adalah catur yang selalu menyibukkan hati dan menggerakkan akal pikiran. Tidak diragukan lagi bahwa catur tidak terlepas dari faedah bagi hati dan akal. Apabila seseorang disibukkan dengannya sampai melebihi kadar faedah itu, maka hukumnya makruh. Namun, apabila terlalu disibukkan, sehingga berdampak menggugurkan sebagian kewajiban, maka hukumnya kembali menjadi haram.” (Syekh Musthafa, al-Fiqhul Manhaji, 1992, VIII: 166).
Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili juga mempunyai pandangan yang sama dengan pendapat di atas. Dalam kitab Fatawa Mu’ashirah menjelaskan:
“Sesungguhnya kecanduan pada komputer sangat berbahaya bagi akal; melihatnya bisa melemahkan pancaindra (mata), sedangkan yang baik adalah yang sedang-sedang saja. Dan apabila begadang di depan komputer sampai menyebabkan terbengkalainya shalat fardhu, seperti subuh dan yang lain, maka hukumnya haram” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Fatawa Mu’ashirah, [Bairut: Dar al-Fikr 2003], h. 200).
Penjelasan di atas memberikan sebuah gambaran bahwa hukum bermain game online bisa berhukum boleh, makruh, atau bahkan haram tergantung bagaimana ia bisa memposisikan gamenya. Jika sekadar hiburan biasa tanpa berdampak lalai pada ibadah atau kewajiban yang lain, maka hukumnya boleh. Namun jika sampai melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka bermain game hukumnya haram.
Yang terpenting perlu dijadikan pertimbangan dalam masalah ini tidak hanya tentang lalai dan tidaknya pada ibadah. Ia juga harus mempertimbangkan kesehatan tubuhnya karena betapapun ia tetap antusias melakukan ibadah, namun dengan bermain game sampai tidak bisa menjaga imunitas kesehatan tubuhnya, hal ini juga berhukum haram. Syekh az-Zuhaili dalam keterangan selanjutnya mengatakan:
“Dan wajib bagi seorang ayah mengatur waktu anaknya saat tidur dan bangun guna menjaga kesehatannya. Setiap sesuatu yang menjadi perantara pada keharaman maka hukumnya haram hingga alat permainan yang hukum asalnya mubah maupun makruh.” (Syekh Zuhaili, Fatawa Mu’ashirah, 2003: h. 200).
Betapapun bermain game bisa berhukum boleh, meninggalkannya justru lebih baik. Karena betapa banyak orang-orang yang sudah kecanduan dengan bermain game online sehingga dampaknya tidak hanya lalai melakukan ibadah bahkan sudah dengan jelas enggan mengerjakan ibadah demi permainannya. Ia juga lupa akan kesehatan tubuhnya.
Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan bahwa hukum sebuah permainan terklasifikasi menjadi empat bagian: ada yang mubah, sunnah, makruh dan haram.
Pertama, permainan yang mubah yaitu permainan yang memenuhi syarat sebagai berikut: tidak ada unsur hinaan yang merendahkan harga diri; tidak menyebabkan bahaya pada manusia atau hewan; tidak memalingkan dari shalat atau kewajiban agama yang lain; tidak mengarahkan pada dusta atau hal-hal lain yang diharamkan. Contohnya seperti lomba lari, lomba perahu dan lain-lain.
Kedua, permainan yang sunnah yaitu permainan yang bermanfaat melatih perang (pertahanan diri). Semisal main panah-memanah pada sasaran atau tembak-tembakan.
Ketiga, permainan yang makruh yaitu seperti bermain adu burung atau merpati karena hal itu tidaklah pantas bagi orang yang terhormat (ashabil muru’ah) serta membiasakannya bisa memalingkan dari berbuat suatu yang maslahat dan dari amal ibadah.
Keempat, permainan yang haram seperti permainan yang mengandung unsur qimar (judi). (Lihat Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman, Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah [Kuwait: Dar as-Shafwah 1984], juz 35, h. 268).
Tidak melakukan kewajiban shalat disebabkan unsur lupa bukanlah hal yang fatal dalam Islam. Namun jika lupanya disebabkan bermain game maka hal itu tidak bisa ditoleransi.
Syekh Abi Bakar Syata mengatakan bahwa bermain catur hukumnya makruh bila tidak disertai salah satu ketentuan berikut: pertama disertai dengan harta dari kedua pemain atau salah satunya karena hal itu bisa menjadi judi (qimar); kedua keasyikan bermainnya tidak sampai meninggalkan shalat meski saat meninggalkannya disebabkan unsur lupa; ketiga tidak bermain bersama orang yang berkeyakinan mengharamkan catur tersebut. Bila terdapat salah satu ketentuan di atas maka bermain catur menjadi haram. (Syekh Abi Bakar Syata ad-Dimyathi, Hasiyah Ianah at-Thalibin, juz 4, h. 283).