Puasa wajib dan puasa sunnah memiliki perbedaan dalam Mazhab Syafi’i. Pada puasa wajib, niat puasa harus dipasang pada malam hari. Berbeda dengan puasa sunnah, seperti puasa tarwiyah 8 Dzulhijjah, di mana niat puasa tidak wajib dipasang pada malam hari.
Niat puasa sunnah, termasuk puasa tarwiyah, dapat dipasang pada siang hari sebelum melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, atau hubungan suami istri.
Mengenai puasa tarwiyah 8 Dzulhijjah, niat puasa dapat dilafalkan pada siang hari dengan lafal sebagai berikut: نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ يَومِ التَّرْوِيَةِ لِلهِ تَعَالَىNawaitu shauma haˆdzal yaumi ‘an adaˉ’i sunnati yaumit tarwiyah lillaˆhi ta‘aˉlaˉ.text{نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ يَومِ التَّرْوِيَةِ لِلهِ تَعَالَى} \ text{Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adā’i sunnati yaumit tarwiyah lillâhi ta‘ālā.}
Artinya, “Aku berniat puasa sunnah Tarwiyah hari ini karena Allah SWT.”
Menurut Mazhab Syafi’i, seseorang boleh berpuasa sunnah tarwiyah atau puasa sunnah lainnya dengan memasang niat pada siang hari. Pandangan ini didukung oleh hadits riwayat Muslim dari ummul mukminin Sayyidah Aisyah RA.
Dalam hadits tersebut, diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pada suatu hari tidak berniat berpuasa sunnah, namun karena situasi yang terbatas, beliau memilih untuk berpuasa. Keputusan tersebut diambil pada siang hari, bukan sejak malam sebagaimana niat puasa wajib.
Diperbolehkannya niat puasa sunnah pada siang hari dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa sejak subuh, seperti makan, minum, hubungan suami istri, merokok, dan sebagainya. Wallahu a’lam.