Bacaan yang dianjurkan setelah membaca surat Al-Fatihah dalam shalat sering kali menjadi perdebatan. Salah satu hadits yang menjadi pijakan anjuran membaca kata “âmîn” setelah surat Al-Fatihah adalah hadits yang menceritakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “Ghayril maghdûbi ‘alaihim wa ladl-dhâllîn” lalu mengucapkan “âmîn” dengan keras.
Namun, ada yang meragukan keutamaan membaca “âmîn” ketika seseorang menambahkan lafadz “rabbighfir lî amin” setelah Al-Fatihah. Menurut para ulama, menambahkan doa “rabbighfir lî” setelah Al-Fatihah tidak menghilangkan anjuran membaca “âmîn”. Hal ini didasarkan pada penjelasan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah melafalkan ad-dhallîn adalah doa “rabbighfir lî âmîn”.
Lebih lanjut, Syekh Ali Syibramalisi menyarankan menambahkan kalimat “Wa li wâlidayya wa li jamî’il muslimîn” untuk melengkapi doa tersebut. Dalam kitab hasyiyahnya, beliau menjelaskan bahwa menambahkan kalimat tersebut juga tidak masalah.
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa anjuran membaca doa “rabbighfir lî” setelah Al-Fatihah hanya berlaku bagi orang yang membaca Al-Fatihah saja, tidak bagi orang yang mendengarkan. Ini dijelaskan dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin.
Meninjau kekuatan hadits, anjuran membaca “âmîn” setelah Al-Fatihah cenderung lebih kuat dan shahih daripada hadits yang menjadi pijakan membaca kata “rabbighfir lî amin”. Kesimpulan ini dijadikan pedoman oleh ulama hadits kenamaan Mesir, Syekh Abdullah bin Muhammad al-Ghumari dalam himpunan fatwanya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa membaca kata “âmîn” setelah surat Al-Fatihah dalam shalat lebih utama karena berlandaskan pada dalil hadits yang lebih kuat. Meski demikian, menambahkan kata “rabbighfir lî” setelah Al-Fatihah juga dapat diamalkan karena berdasarkan pada dalil yang dianggap valid oleh beberapa ulama. Semoga informasi ini bermanfaat bagi kita semua.