Dalam tradisi Lebaran di Indonesia, silaturahim memiliki makna yang sangat dalam. Tidak hanya sebagai momen untuk berkunjung ke keluarga, sanak saudara, dan teman, tetapi juga sebagai kesempatan untuk saling memaafkan. Silaturahim membutuhkan upaya maaf-memaafkan yang merupakan inti dari nilai-nilai keagamaan.
Menurut Pakar Tafsir Al-Qur’an Muhammad Quraish Shihab, dalam Membumikan Al-Qur’an (1999), seseorang yang bertakwa seharusnya menunjukkan sikap sabar dan maaf kepada orang yang melakukan kesalahan terhadapnya. Ayat dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 134 menegaskan pentingnya menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik kepada sesama.
Di sisi lain, ketika seseorang bersikeras untuk tidak berbuat baik kepada orang yang telah berbuat salah padanya, Al-Qur’an menganjurkan untuk tetap memaafkan dan bersikap lapang. Dalam Surat An-Nur ayat 22, disebutkan tentang pentingnya memberi maaf dan berlapang dada kepada sesama.
Dari ayat-ayat tersebut, terlihat bahwa ada tingkatan yang lebih tinggi dalam maaf-memaafkan selain sekadar permintaan maaf. Hal ini terlihat ketika seseorang benar-benar mampu menghapus bekas luka di hatinya akibat kesalahan orang lain. Maaf sejati bukanlah hanya kata-kata, tetapi juga sikap dan tindakan yang tulus.
Syariat mengajarkan bahwa meminta maaf juga harus disertai dengan penyesalan, tekad untuk tidak mengulangi kesalahan, dan mengembalikan hak yang pernah diambil. Ini merupakan bagian dari proses taubat yang tidak hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan perubahan perilaku sosial di masyarakat.
Dengan memahami makna sejati dari silaturahim dan maaf-memaafkan, diharapkan setiap individu dapat menjalankan tradisi Lebaran dengan penuh keikhlasan dan keberkahan. Semoga semangat maaf-memaafkan ini dapat menguatkan tali persaudaraan dan menciptakan kedamaian di tengah masyarakat.