Tren penggunaan hijab semakin merajalela di berbagai belahan dunia, termasuk di Amerika, Eropa, dan Indonesia. Di Amerika, Halima Aden, salah seorang finalis Miss Universe, turut mempopulerkan hijab. Sementara di Eropa, Mariah Idrissi menjadi sorotan setelah tampil dalam lini mode H&M di Inggris.
Di Indonesia, hijab telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari kantor-kantor pemerintahan hingga lembaga pendidikan, hijab telah menjadi pilihan banyak perempuan. Bahkan, tidak ada lagi perbedaan yang signifikan antara bank konvensional dan bank syariah dalam hal tren berhijab.
Namun, tren hijab tidak luput dari kontroversi. Penggunaan hijab yang disertai cadar (niqab) memicu pro dan kontra di masyarakat. Beberapa menganggapnya sebagai ekspresi kebebasan berpakaian, sementara yang lain melihatnya sebagai potensi penyalahgunaan.
Kasus penyalahgunaan hijab terutama terkait dengan keberadaan anggota ISIS yang menyamar dengan burqa untuk melarikan diri dari wilayah peperangan. Bahkan, muncul fenomena baru yang dikenal sebagai crosshijabers, di mana kaum Adam memakai niqab dan berpura-pura menjadi perempuan.
Motif di balik crosshijabers bisa bermacam-macam. Mulai dari peniruan gaya ISIS untuk kejahatan hingga gangguan kejiwaan seperti gender dysphoria yang mendorong perilaku transgender. Namun, dari sudut pandang fiqih, penggunaan pakaian lawan jenis secara jelas diharamkan.
Crosshijabers tidak hanya menjadi kontroversi sosial, tetapi juga mengancam tren busana muslimah yang berkembang di Indonesia. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk mencegah penyalahgunaan hijab demi menjaga kesucian nilai-nilai yang terkandung dalam berbusana menurut ajaran agama.
Dalam menghadapi tren hijab yang berkembang, penting bagi masyarakat untuk tetap mengedepankan nilai-nilai keagamaan dan kepatutan dalam berbusana. Semoga tren hijab tetap menjadi simbol keindahan dan kesucian bagi setiap individu yang memilih untuk mengenakannya.