Baru-baru ini, terjadi kasus kebocoran minyak Pertamina di perairan Karawang yang menimbulkan dampak serius. Kejadian ini mempengaruhi petambak, nelayan, ekosistem laut, dan terumbu karang di sekitar lokasi. Pertanyaan muncul, apakah kerugian akibat kebocoran minyak masuk dalam ranah fiqih yang harus mendapatkan ganti?
Analogi dibuat dengan kasus-kasus lain seperti menggali sumur di jalanan umum atau menaruh barang di kendaraan angkutan yang kemudian rusak. Dalam konteks ini, laut dianggap sebagai sarana umum yang setara dengan jalanan umum. Tumpahan minyak dianggap sebagai kejadian tidak disengaja seperti menggali sumur di lokasi umum.
Syeikh Wahbah al-Zuhaili memberikan pandangan bahwa dalam situasi dimana tumpahan minyak menyebabkan kerusakan, pihak yang bertanggung jawab harus menanggung risiko tersebut. Namun, jika tindakan dilakukan dengan izin pemerintah, maka tanggung jawab risiko tersebut berada pada pemerintah.
Dalam konteks izin, pihak Pertamina harus mematuhi syarat-syarat izin yang diberikan. Jika perusahaan telah melalaikan kewajibannya untuk memperbarui manajemen dan mekanisme penanganan kasus darurat seperti kebocoran minyak, maka mereka harus bertanggung jawab atas risiko yang timbul.
Perizinan dalam fiqih menekankan pentingnya keselamatan dan izin dari pihak berwenang dalam memanfaatkan fasilitas publik. Jika salah satu syarat ini dilanggar, maka pihak yang bertanggung jawab harus menanggung konsekuensinya.
Penting bagi perusahaan seperti Pertamina untuk memiliki mekanisme penanganan kasus darurat dan memastikan kepatuhan terhadap perizinan yang diberikan. Hal ini merupakan bagian integral dari tanggung jawab lingkungan dan keberlanjutan bisnis.