Dampak kerugian yang disebabkan oleh aktivitas pihak lain dapat dibedakan menjadi dampak langsung dan tidak langsung. Setiap kerugian memerlukan pertanggungan risiko. Pertanggungan risiko tersebut tidak hanya dalam bentuk materi namun juga dapat dilakukan melalui kegiatan sosial kemasyarakatan.
Sebagai contoh, dalam konteks perbankan, terdapat akad fâsid yasîr yang merujuk pada rusaknya akad akibat pelanggaran terhadap ketentuan syariat. Meskipun kerusakan tersebut memiliki nilai mafsadah yang kecil dibanding manfaatnya, namun tetap harus ada pertanggungan risiko secara syariat karena berkaitan dengan masyarakat.
Dampak buruk dari suatu tindakan selalu ada, baik itu besar maupun kecil. Apalagi jika tindakan tersebut bersifat revolusioner, dampaknya akan terasa kuat terutama oleh pihak yang tidak setuju. Dalam kondisi seperti ini, pertanggungan risiko tetap diperlukan, terutama terkait dengan dampak langsung.
Dampak langsung dalam syariat merujuk pada dampak yang langsung menyebabkan kerugian tanpa adanya waktu jeda antara peristiwa dan kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa lain. Dalam hal ini, hubungan sebab akibat tetap berlaku tanpa adanya waktu jeda. Sebagai contoh, ketika sangkar burung dibuka dan burung langsung terbang, orang yang membuka sangkar bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Perlu diingat bahwa tidak semua risiko dapat ditanggung sepenuhnya, tergantung pada model dampaknya. Fokus saat ini adalah pada dampak langsung, di mana waktu jeda dihilangkan sehingga tidak ada kesempatan bagi faktor lain untuk masuk sebagai penyebab.
Penting untuk memahami bahwa penyebab langsung tidak selalu berupa hal material, namun juga dapat bersifat imaterial. Penilaian terhadap kerugian material bisa dilihat dari hubungan antara dampak dan penyebabnya. Jika tidak ada waktu jeda antara tindakan dan dampak, maka pertanggungan risiko harus dilakukan.
Hal ini menunjukkan pentingnya memahami tanggung jawab dalam situasi dampak kerugian akibat aktivitas pihak lain.