Kaidah Fiqih yang menyatakan bahwa masalah yang masih diperselisihkan tidak boleh ditolak, namun yang telah disepakati harus ditolak, memberikan landasan penting dalam menanggapi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini tercermin dalam berbagai masalah seperti judi, minum khamr, zina, mencuri, meninggalkan shalat, dan lainnya yang telah disepakati sebagai haram.
Namun, ketika berkaitan dengan masalah yang masih diperselisihkan, seperti mengirim bacaan Al-Qur’an dan doa untuk orang mati, berbagai pendapat ulama muncul. Ini menunjukkan pentingnya memiliki dasar argumentasi yang jelas dalam mengeluarkan produk hukum. Sebagai umat Islam, kita perlu memahami bahwa perbedaan pendapat merupakan nikmat besar. Masing-masing ulama memiliki dalil dan nalar fiqih sendiri.
Perbedaan pendapat telah menjadi bagian dari tradisi Islam sejak zaman Nabi hingga saat ini. Contoh seperti pendapat Sayyidina Abdullah bin Mas’ud tentang shalat qashar bagi musafir menunjukkan pentingnya saling menghormati pendapat meskipun berbeda. Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahkan menyatakan bahwa perbedaan pendapat para sahabat Muhammad adalah rahmat karena tanpanya tidak akan ada kemudahan.
Allah Swt. sendiri menguji umat-Nya melalui perbedaan pendapat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan siap menerima adanya perbedaan pendapat dalam hukum fiqih. Perbedaan pendapat boleh terjadi asalkan dilakukan dengan etika dan aturan main yang benar. Menyalahkan pendapat orang lain dengan label bid’ah, kafir, atau musyrik tidaklah bijaksana.
Perbedaan pendapat adalah bagian dari kekayaan intelektual umat Islam. Dengan memahami dan menghargai perbedaan pendapat, kita dapat lebih memperkaya pemahaman kita akan agama. Mari bersikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat para ulama dan terus berusaha berbuat kebaikan tanpa merendahkan pandangan orang lain.