Impian untuk mengunjungi Tanah Suci adalah dambaan banyak orang. Di Makkah dan Madinah, dua tanah yang penuh keberkahan, terdapat banyak tempat bersejarah yang sarat makna. Banyak yang berharap dapat membiayai haji bagi orang tua mereka, bukan hanya sebagai keinginan pribadi tetapi juga sebagai bentuk cinta dan penghargaan kepada orang tua. Namun, seringkali muncul dilema ketika dana yang dimiliki hanya cukup untuk membiayai haji diri sendiri.
Dalam konteks fiqih mazhab Syafi’i, seseorang yang mampu secara fisik dan finansial wajib menjalankan ibadah haji. Meskipun tidak diwajibkan untuk melakukannya segera, namun dapat ditunda dengan syarat memiliki tekad kuat untuk melaksanakannya di masa mendatang tanpa adanya indikasi kegagalan akibat hambatan fisik atau keuangan.
Namun, dari segi keutamaan, lebih baik untuk mendahulukan haji pribadi. Menurut kaidah fiqih, mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh. Oleh karena itu, sebaiknya prioritas diberikan pada pelaksanaan haji pribadi.
Ada juga pandangan ulama yang menyatakan bahwa kewajiban haji sebaiknya dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda. Oleh karena itu, jika ada kemampuan untuk melaksanakan haji, sebaiknya dilakukan tanpa menundanya.
Pilihan untuk mendahulukan haji pribadi juga didasarkan pada prinsip menjaga perbedaan pendapat ulama. Menurut sebagian ulama, kewajiban haji sebaiknya tidak ditunda.
Dalam konteks ini, mendahulukan haji pribadi bukanlah suatu bentuk kurang ajar kepada orang tua. Kewajiban menunaikan haji pribadi dan berbakti kepada orang tua seharusnya tidak dipertentangkan. Jika memiliki kemampuan finansial yang cukup, mengajak orang tua untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama tentu menjadi prioritas yang lebih utama.
Keputusan akhir tetap berada pada individu, namun perlu dipertimbangkan dengan bijaksana agar dapat menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab.