Kasus muamalah sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penyelesaiannya kadang memerlukan kebijaksanaan agar kedua belah pihak dapat saling bersepakat. Sebagai contoh, Toni mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman uang karena namanya terdaftar sebagai blacklist di perbankan. Hal ini disebabkan oleh temannya yang menggunakan identitas Toni untuk meminjam uang di bank tanpa mengembalikannya.
Dalam situasi sulitnya, Toni kemudian menemukan informasi bahwa temannya lain, Rudi, ingin membeli mobil baru seharga 210 juta rupiah. Toni kemudian mengusulkan perjanjian kepada Rudi sebagai berikut:
- Toni akan meminjam uang 210 juta rupiah yang seharusnya digunakan untuk membeli mobil secara tunai.
- Toni akan membelikan mobil atas nama Rudi dengan skema kredit, dimana Toni membayar uang muka 60 juta rupiah.
- Sisa uang 150 juta rupiah akan digunakan oleh Toni untuk mengembangkan usahanya.
- Toni akan menanggung cicilan kredit setiap bulan hingga mobil lunas.
Permasalahan fiqih sering muncul dalam kasus seperti ini terutama terkait dengan akad yang dilakukan. Beberapa fuqaha menginterpretasikan bahwa Toni seolah-olah meminjam uang 150 juta rupiah dengan tambahan biaya total kredit mobil. Namun, ada juga pandangan yang menekankan bahwa Toni sebenarnya tidak berutang uang, melainkan berutang mobil dengan harga yang disepakati.
Kesepakatan ini dapat dianggap sah jika memenuhi empat pijakan penetapan status sahnya akad, yaitu kejelasan transaksi, kejelasan kehendak pribadi, kejelasan motif transaksi, dan legal standing yang berlaku. Dalam hal ini, kedua belah pihak memiliki keyakinan bahwa kewajiban akan dipenuhi tepat waktu tanpa motif riba.
Kasus seperti ini memang sering menimbulkan potensi konflik di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan nota kesepakatan yang jelas untuk mengatur tanggung jawab cicilan dan sanksi atas pelanggaran yang mungkin terjadi. Dengan demikian, akad antara Toni dan Rudi dapat dianggap sah menurut syariat.
Dalam menyelesaikan kasus semacam ini, penting untuk memperhatikan kejelasan perjanjian serta memastikan bahwa kedua belah pihak saling memahami dan sepakat dengan kondisi yang disepakati.