Dalam hukum Islam, penagihan utang memiliki prinsip-prinsip yang harus dipatuhi agar sesuai dengan ajaran agama. Akad utang, juga dikenal sebagai qard, seharusnya didasari oleh rasa belas kasih. Praktik utang piutang seharusnya tidak memberatkan pihak yang berutang dan menguntungkan pihak yang memberi utang.
Mayoritas ulama sepakat bahwa menentukan batas waktu pembayaran utang oleh pihak yang berutang dapat menyebabkan akad utang menjadi tidak sah, kecuali menurut mazhab Maliki. Namun, syariat memberikan hak bagi pemberi utang untuk menagih utang kepada peminjam ketika peminjam tersebut mampu dan memiliki harta yang cukup untuk membayar utangnya.
Namun, jika peminjam tidak mampu membayar utang, maka pemberi utang tidak diperkenankan untuk menagih utang tersebut dan harus menunggu hingga peminjam tersebut mampu. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah yang mengajarkan untuk memberikan tenggang waktu kepada orang yang berutang hingga ia mampu membayar.
Dalam menagih utang, penting untuk melakukannya dengan cara yang baik dan sopan, tanpa ancaman atau tuntutan yang berlebihan. Hal ini dilakukan agar hubungan antara pemberi utang dan peminjam tetap harmonis tanpa adanya konflik yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Penagihan utang seharusnya dilakukan dengan kesadaran akan norma sosial dan etika yang berlaku. Dengan demikian, praktik penagihan utang dapat dilakukan dengan baik dan menjaga hubungan antarindividu tetap harmonis dalam masyarakat.