Pada suatu hari, seorang individu menghadapi dilema ketika membutuhkan uang dalam jumlah besar namun enggan berutang karena khawatir dengan bunga bank yang dianggapnya sebagai riba. Dalam kebingungannya, ia akhirnya menemukan solusi kreatif dengan menjual rumahnya kepada saudaranya dengan harga pas Rp200 juta. Namun, setelah mengetahui akar masalahnya, saudaranya menawarkan solusi untuk menjual rumah tersebut kembali secara kredit dengan selisih harga sebesar Rp25 juta yang akan dilunasi dalam 2 tahun.
Transaksi ini mengundang pertanyaan apakah akad kedua ini dapat disebut sebagai tindakan ‘hilah’ atau rekayasa untuk menghindari riba yang diharamkan. Dalam konteks ini, transaksi jual beli yang terjadi dapat dikategorikan sebagai bai’ul ‘inah. Praktik ini sering digunakan dalam produk pembiayaan di bank syariah, di mana akad jual beli menjadi dasar dari transaksi tersebut.
Meskipun terdapat kontroversi dalam praktik bai’ul ‘inah, Imam Syafii dan pengikut mazhab Syafi’iyah membolehkannya, sementara tiga mazhab lainnya menyatakan bahwa praktik ini tidak boleh dilakukan. Sebagai bentuk solusi kreatif dalam transaksi keuangan, bai’ul ‘inah menjadi salah satu alternatif yang digunakan untuk menghindari riba dalam transaksi.
Dalam perspektif Syafii, jual beli yang sah adalah ketika kedua pihak membawa barang yang akan ditukar ke majelis akad, atau ketika waktu penyerahan barang yang tidak dibawa sudah jelas ditentukan. Namun, terdapat perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab dalam hal jual beli tangguh dan rekayasa transaksi untuk menghindari riba.
Meskipun terdapat berbagai sudut pandang dan kontroversi seputar praktik bai’ul ‘inah, penting untuk mengetahui bahwa solusi kreatif dalam transaksi keuangan dapat ditemukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang berlaku. Dengan demikian, inovasi dalam transaksi keuangan dapat dilakukan tanpa melanggar prinsip-prinsip agama yang dianut.