Pada suatu diskusi tentang pajak, muncul pertanyaan mengenai dasar keabsahan pajak dalam Islam. Beberapa orang membandingkan pajak dengan pungutan liar yang diharamkan dalam Islam. Mereka mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan Imam Al-Thabarânî. Setelah dilakukan penelitian, hadits tersebut juga terdapat dalam kitab al-Talkhîsh al-Habîr karya Ahmad ibn Ali Muhammad al-Kanâniy al-Asyqalânî.
Hadits tersebut berbunyi: “Tidak ada hak dalam harta selain zakat.” Namun, ada perdebatan mengenai keabsahan hadits ini karena perawi yang diriwayatkan dinilai tidak terpercaya sehingga status hadits menjadi lemah. Namun, terdapat riwayat hadits lain dari Ibn Mâjah yang maknanya hampir sama, namun dengan perbedaan lafazh.
Hadits lain tersebut menyatakan: “Tiada hak dalam harta yang tersimpan selain dari zakat.” Hadits ini menjadi saksi bagi hadits pertama sehingga derajat keabsahan hadits pertama meningkat menjadi kuat. Kemudian, Imam Al-Tirmidzî meriwayatkan hadits lain yang berlawanan maknanya, yaitu: “Sesungguhnya dalam setiap harta terdapat hak selain zakat.”
Setelah diselidiki, hadits terakhir ini memiliki banyak perawi yang menegaskan kekuatan keabsahannya. Dengan demikian, terdapat dua hadits yang keabsahannya sama, namun terlihat bertentangan dari sisi makna. Metode untuk memahami kedua hadits tersebut adalah dengan berusaha mengompromikan keduanya atau memeriksa sanad masing-masing perawi.
Setelah melalui penelitian, ditemukan bahwa hadits yang menyatakan adanya hak lain di dalam harta selain zakat lebih dipilih karena memiliki banyak perawi dan lafazh hadits yang serupa di antara perawi-perawi tersebut. Kesimpulannya, berdasarkan takhrij hadits, terdapat hak lain di dalam harta selain dari zakat.
Namun, hal ini belum menjawab pertanyaan tentang keabsahan pemerintah dalam memungut pajak kepada masyarakatnya. Untuk memahami lebih lanjut mengenai perpajakan dalam Islam, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan antara pajak dan pungutan liar.