Salah satu hal yang dapat membatalkan sahnya shalat adalah saat seseorang mengonsumsi makanan atau minuman selama shalat berlangsung. Ketika ada benda yang masuk ke dalam lubang-lubang dalam tubuh, seperti mulut, telinga, atau hidung, yang disebut jauf, maka shalat seseorang dapat menjadi batal. Batas awal lubang jauf ini penting karena jika benda melewati batas tersebut, shalat bisa batal.
Dalam konteks rasa pedas yang masih terasa di lidah setelah mengonsumsi makanan pedas, apakah hal tersebut dapat membatalkan shalat seseorang? Jika sisa rasa pedas tersebut tidak mengandung zat kebendaan yang menetap di lidah dan tidak mengubah warna serta rasa air liur, maka tidak akan membatalkan shalat. Hal tersebut hanya merupakan bekas yang tidak berpengaruh pada keabsahan shalat.
Namun, jika sisa rasa pedas itu mengandung zat kebendaan, misalnya potongan cabai yang melekat di sela-sela mulut, dan kemudian potongan cabai tersebut ditelan dan melewati tenggorokan, maka shalat bisa menjadi batal. Namun, jika potongan cabai hanya menetap di bagian mulut dan tidak melewati batas awal jauf dalam mulut, yaitu tenggorokan, maka shalat tidak akan batal.
Perbedaan pendapat muncul ketika rasa pedas tidak mengandung zat kebendaan namun dapat mengubah rasa air liur menjadi ikut pedas. Beberapa ulama berpendapat bahwa menelan air liur yang mengandung perubahan rasa dapat membatalkan shalat karena menunjukkan adanya zat kebendaan di dalamnya. Sementara ulama lain berpandangan bahwa hal tersebut tidak membatalkan shalat karena perubahan rasa hanya bersifat mendampingi air liur, bukan bercampur dengan air liur.
Kesimpulannya, rasa pedas yang masih terasa di lidah setelah mengonsumsi makanan tidak secara langsung membatalkan shalat. Hal ini juga berlaku untuk rasa-rasa lain seperti masam, manis, dan lainnya. Wallahu a’lam.