Menjamak shalat merupakan salah satu bentuk keringanan yang diberikan oleh syariat Islam kepada umat Muslim. Keringanan ini memperbolehkan umat Islam untuk melaksanakan beberapa waktu shalat dalam satu waktu tertentu. Salah satu situasi umum yang memperbolehkan menjamak shalat adalah ketika seseorang sedang melakukan perjalanan jauh. Namun, ada juga situasi lain yang memungkinkan seseorang untuk menjamak shalat, yaitu saat sedang hujan.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah pernah menjamak shalat tanpa ada keperluan khusus atau dalam keadaan perjalanan. Imam Malik menafsirkan bahwa shalat yang dilakukan Rasulullah ﷺ saat itu adalah dalam keadaan hujan. Hadits tersebut menjadi dasar hukum bolehnya menjamak shalat dalam kondisi hujan.
Dalam mazhab Syafi’i, menjamak shalat saat hujan hanya diperbolehkan dilakukan pada waktu shalat pertama dan harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, shalat harus dilakukan secara berjamaah di tempat yang biasanya digunakan untuk shalat berjamaah seperti masjid atau mushala. Kedua, hujan masih turun pada tiga waktu penting: saat takbiratul ihram shalat pertama, takbiratul ihram shalat kedua, dan saat salam dari shalat pertama.
Syarat pertama tersebut mengindikasikan bahwa orang yang ingin menjamak shalat karena hujan harus benar-benar melaksanakan shalat berjamaah di tempat yang umumnya digunakan untuk berjamaah. Jika seseorang kembali ke rumah setelah shalat pertama, maka akan sulit bagi mereka karena pakaian mereka akan basah oleh tetesan hujan.
Dengan demikian, menjamak shalat karena hujan bukanlah hal yang bisa dilakukan secara sembarangan. Terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan ajaran agama. Adapun tindakan menjamak shalat saat hujan tidak berlaku bagi orang yang melaksanakan shalat jamaah di rumah tanpa kesulitan atau di masjid namun tidak terkena hujan karena dilindungi atap.
Menjamak shalat dalam keadaan hujan merupakan salah satu rukhsah yang diberikan dalam Islam, namun harus dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.