- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Khutbah Jumat: Menyelami Esensi Keabsahan dan Keharaman

Google Search Widget

Khutbah Jumat memiliki tujuan mulia untuk memberikan pesan yang menyejukkan dan mendamaikan. Namun, pada kenyataannya, esensi dari khutbah ini seringkali tergerus. Di beberapa tempat, pesan khutbah malah berubah menjadi caci maki dan ujaran kebencian. Padahal, keabsahan ibadah Jumat sangat bergantung pada keabsahan khutbahnya.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah caci maki, ujaran kebencian, dan perilaku serupa dapat membatalkan keabsahan ibadah Jumat? Ujaran kebencian, gosip, dan caci maki bukanlah ajaran yang diajarkan oleh Nabi. Meskipun dihadapkan dengan perilaku yang menyimpang, Nabi tetap sabar dan tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Khutbah yang disampaikan oleh Nabi selalu penuh dengan ketenangan dan kasih sayang.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai pelaknat. Aku diutus sebagai rahmat.” Nabi juga mengingatkan umatnya agar tidak saling dengki, membenci, atau memalingkan muka. Oleh karena itu, khatib yang gemar mencaci maki, mengucapkan ujaran kebencian, dan menggossip sebenarnya bertentangan dengan ajaran Nabi.

Caci maki, ujaran kebencian, dan gosip termasuk dalam kategori haram, termasuk ketika hal tersebut disampaikan dalam khutbah Jumat. Dalam studi ushul fiqih, ibadah yang mengandung unsur keharaman tidak selalu dianggap batal. Sebagai contoh, seseorang yang shalat dengan menggunakan barang hasil curian atau di tempat yang seharusnya tidak boleh. Meskipun shalatnya tetap sah, namun perbuatan tersebut tetap dianggap haram dari sisi penggunaan barang atau tempat tanpa izin pemiliknya. Hal serupa juga berlaku dalam kasus khutbah Jumat.

Secara hukum taklifi (hukum berdasarkan pertimbangan halal-haram), khutbah yang mengandung ujaran kebencian dan caci maki dianggap haram karena agama dengan tegas melarang hal tersebut. Banyak dalil yang menjelaskan tentang keharamannya.

Fokus tulisan ini adalah mengenai status keabsahan khutbah itu sendiri. Dalam studi ushul fiqih, hal ini disebut sebagai hukum wadh’i (hukum berdasarkan pertimbangan sah dan batal). Untuk menilai apakah sebuah ibadah sah atau tidak, kita harus kembali kepada syarat-syarat serta rukun dari ibadah tersebut. Jika semua syarat terpenuhi, maka ibadah tersebut dianggap sah.

Salah satu syarat penting dalam khutbah adalah kelancaran dalam penyampaian pesan tanpa adanya pemisah di antara rukun-rukun khutbah itu sendiri. Tidak boleh ada jeda atau pemisah yang lama dalam bentuk pembicaraan lain yang menyimpang dari inti khutbah.

Bacaan ayat suci Al-Qur’an juga tidak termasuk sebagai pemisah yang memutus kesinambungan khutbah, asalkan ayat tersebut mengandung pesan yang relevan dengan khutbah itu sendiri. Dengan demikian, materi caci maki dan ujaran kebencian bukanlah bagian dari kemaslahatan khutbah. Jika materi tersebut disampaikan dalam durasi yang lama dan cukup untuk melaksanakan shalat dua rakaat dengan durasi tercepat, hal itu dapat memutus kesinambungan khutbah.

Dalam kasus seperti ini, khutbah harus diulang karena tidak memenuhi syarat kelancaran penyampaian. Meskipun khutbah tersebut tetap sah secara formal, namun materi yang disampaikan dapat membatalkan pahala ibadah. Oleh karena itu, penting bagi khatib untuk selalu memberikan pesan yang menyejukkan dan tidak merendahkan pihak lain. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?