Perdagangan valuta asing (valas) seringkali menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama dalam konteks hukum Islam. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah jual beli valas termasuk riba?
Dalam Islam, konsep valas atau mata uang asing menjadi penting karena nilainya ditentukan oleh kepercayaan pasar. Mata uang memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai medium alat tukar, satuan hitung, dan alat penyimpan nilai. Sejarah mata uang juga menunjukkan evolusi dari masa barter hingga uang modern seperti fiat dan giral, bahkan uang virtual.
Dalam konteks syariah, uang modern tidak lagi dijamin dengan emas dan disamakan dengan surat berharga. Uang dianggap sebagai komoditas dengan karakteristik yang mirip dengan barang niaga. Harga uang dipengaruhi oleh jumlah stok di pasaran, mirip dengan harga komoditas lainnya.
Namun, apakah uang bisa dikategorikan sebagai barang ribawi? Uang dapat dianggap sebagai harta karena memiliki nilai manfaat sebagai alat tukar. Namun, uang tidak memiliki nilai intrinsik seperti emas yang dapat bertahan nilainya tanpa penanda cetak.
Dalam pandangan fiqih, jual beli valas tidak dapat disamakan dengan bai‘ sharfi yang mensyaratkan pertukaran barang ribawi dengan hulul (kontan) dan taqabudl (saling terima). Meskipun ada pandangan yang mengatakan wajib zakat pada uang kertas karena menggantikan posisi emas dan perak, pendapat ini diberikan pada masa ketika uang masih memiliki nilai cadangan emas.
Sebagai kesimpulan, perdagangan valas tidak bisa disamakan dengan jual beli barang ribawi dalam hukum Islam. Perdagangan valas lebih masuk dalam akad ‘urudl al-tijaarah karena karakteristiknya sebagai komoditas dagang. Penafsiran terhadap hukum riba dalam konteks jual beli valas masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Dengan demikian, pemahaman mendalam terkait hukum riba dan perdagangan valas dalam Islam menjadi penting untuk dipelajari lebih lanjut. Menyelami lebih dalam akan membantu umat Islam dalam menjalankan aktivitas ekonomi sesuai dengan ajaran agama.