Pada sebuah transaksi jual beli, keabsahan transaksi tersebut tergantung pada kelayakan barang yang diperdagangkan. Terdapat beberapa syarat agar transaksi jual beli dianggap sah, antara lain: barang harus suci, dapat dimanfaatkan, dimiliki sepenuhnya oleh penjual, dapat diserahkan, dan diketahui (ma’lum). Sebuah transaksi jual beli dianggap sah ketika barang yang diperdagangkan terdiri dari barang yang suci, dimiliki sepenuhnya, dan dapat dimanfaatkan. Sebaliknya, transaksi jual beli tidak sah jika barang yang diperdagangkan adalah barang najis ‘ainiyah (secara substansi najis) yang tidak dapat dimanfaatkan.
Pemahaman ini didasarkan pada hadits yang menyatakan larangan menjual barang-barang tertentu seperti arak, bangkai, babi, dan patung. Namun, muncul pertanyaan apakah larangan ini disebabkan oleh ketidak suciannya barang sehingga larangan itu bersifat mutlak, atau karena faktor lain yang membolehkannya untuk diperdagangkan. Contoh jelasnya adalah kasus khamr yang dapat diubah menjadi cuka, bangkai yang bisa diberikan kepada hewan piaraan, dan anjing yang dapat digunakan sebagai penjaga rumah. Hal ini menunjukkan bahwa larangan jual beli barang najis sebagian besar disebabkan oleh sifat najis barang tersebut dan bukan karena ketidakmampuannya untuk dimanfaatkan.
Terkait dengan barang yang semula suci namun terkontaminasi dengan najis, seperti minyak goreng yang terkena tikus, muncul pertanyaan apakah minyak tersebut masih boleh dijual atau tidak. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika barang tersebut tidak dapat disucikan, maka tidak boleh dijual atau dihibahkan. Hal ini sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad ﷺ untuk tidak menyia-nyiakan harta.
Dalam konteks seperti ini, muncul perbedaan pendapat di antara ulama mengenai kemungkinan menghibahkan atau menjual barang yang terkena najis namun memiliki manfaat tertentu. Pendapat yang paling diterima adalah memindahkan kepemilikan barang tersebut dengan cara pindah tangan (naqlu al-yad) disertai dengan wasiat.
Dengan demikian, dalam perspektif syariah, jual beli barang suci dan najis memiliki aturan tersendiri yang harus dipatuhi agar transaksi tersebut dapat dianggap sah dan sesuai dengan ajaran Islam.