Pada tanggal 1 Agustus 2018, Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri membahas hasil diskusi Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah. Hasil diskusi tersebut menghasilkan topik utama “Kerukunan Antarumat Beragama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” yang terbagi menjadi tiga subtopik. Dua subtopik terakhir membahas “Implementasi Kerukunan Beragama Berdasarkan Status Sosial” serta “Batas-batas Toleransi dan Menjalin Kerukunan Dengan Pemeluk Agama Lain.”
Implementasi Kerukunan Beragama Berdasarkan Status Sosial
Pelaksanaan prinsip kerukunan antarumat beragama di masyarakat dapat diklasifikasikan berdasarkan status sosial seorang Muslim:
- Sebagai Anggota dan Warga Masyarakat: Pemeluk agama Islam, sebagai anggota masyarakat, harus berinteraksi dengan pemeluk agama lain tanpa melanggar batas-batas syariat.
- Sebagai Pimpinan Ormas Keagamaan dan Tokoh Agama: Seorang Muslim yang menjadi pimpinan ormas atau tokoh agama memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama.
Sebagai Pejabat Pemerintah/Negara
Seorang Muslim yang menjabat sebagai pejabat pemerintahan atau negara wajib melaksanakan tugasnya secara baik dan bertanggung jawab. Pejabat Muslim harus memastikan pelayanan dan perlindungan merata bagi seluruh warga negara.
Batas-batas Toleransi dan Kerukunan Dengan Pemeluk Agama Lain
Dalam menerapkan prinsip kerukunan antarumat beragama, penting untuk tidak melampaui batas akidah dan syariat agama. Interaksi positif dengan pemeluk agama lain diperbolehkan asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip agama.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kerukunan antarumat beragama sangat penting dalam membangun persatuan nasional. Umat Islam harus tetap menjaga nilai-nilai agamanya sambil berinteraksi dengan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Para pejabat dan tokoh Muslim juga memiliki peran penting dalam memberikan contoh dan membimbing umat agar dapat menjalankan kerukunan antarumat beragama dengan benar dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.